BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Herbisida Paraquat Diklorida 1

advertisement
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Herbisida Paraquat Diklorida
1. Deskripsi Herbisida Paraquat Diklorida
Paraquat (1,1−dimethyl,4,4−bipyridylium) merupakan suatu herbisida
golongan bipyridylium. Herbisida yang termasuk dalam golongan ini
umumnya merupakan herbisida pasca tumbuh, tidak aktif apabila
diaplikasikan lewat tanah dan bersifat tidak selektif. Herbisida paraquat
diklorida memiliki efek toksisitas terhadap organisme eukariotik (Suntres,
2002).
Karakteristik dari paraquat adalah tidak dapat diserap oleh bagian
tanaman yang tidak hijau seperti batang dan akar serta tidak aktif di
tanah. Ketidakaktifan tersebut disebabkan adanya reaksi antara dua
muatan ion positif pada paraquat dan ion negatif mineral tanah sehingga
molekul positif paraquat terabsorbsi kuat dengan lapisan tanah dan tidak
aktif lagi. Penetrasi paraquat terjadi melalui daun. Aplikasi paraquat
akan lebih efektif apabila ada sinar matahari karena reaksi keduanya
13
akan menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel.
Cara kerja paraquat yaitu menghambat proses dalam fotosistem I, yaitu
mengikat elektron bebas hasil fotosistem dan mengubahnya menjadi
elektron radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk akan diikat oleh
oksigen membentuk superoksida yang bersifat sangat aktif. Superoksida
tersebut mudah bereaksi dengan komponen asam lemak tak jenuh dari
membran sel, sehingga akan menyebabkan rusaknya membran sel dan
jaringan tanaman (Pusat Informasi Paraquat, 2006).
2. Kandungan Herbisida Paraquat Diklorida
Paraquat merupakan herbisida yang paling umum digunakan dari
golongan bipyridylium. Komposisi kimia dari paraquat adalah C12H14N2.
Angka kematian akibat toksisitas dari paraquat sangat tinggi dikarenakan
toksisitasnya secara langsung dan belum adanya pengobatan yang efektif
(Indika & Buckley, 2011). Struktur kimia paraquat diklorida tersaji pada
gambar 3.
Gambar 3. Paraquat diklorida (Sumber: Indika & Buckley, 2011).
14
Daya toksisitas dari kandungan herbisida biasanya ditunjukkan oleh
angka toksisitas akut hasil uji laboratorium dengan hewan percobaan
(umumnya menggunakan tikus). Studi toksisitas akut pada hewan
menghasiklan LD50. Berdasarkan nilai LD50 WHO menyusun kelas
bahaya suatu herbisida seperti tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Kelas Bahaya Herbisida Menurut WHO
LD50 akut (tikus) formulasi (mg/kg)
Kelas
Oral
Padat
Cair
Padat
Cair
≤5
≤20
≤10
≤40
Ia Sangat Berbahaya
Ib Bahaya Tinggi
6
II Bahaya Sedang
III Bahaya Rendah
Dermal
49
21−199
500
≥5001
11
99
41
399
1000
2000
≥2001
≥1001
4000
≥4001
(Sumber: Sembodo, 2010)
Menurut WHO's Classification of Pesticides by Hazard, bahan aktif
paraquat termasuk golongan II (moderately hazardous) dimana absorbsi
paraquat mempunyai efek serius dalam jangka panjang, dengan dosis
rendah paraquat relatif berbahaya dan fatal jika termakan atau mengenai
kulit secara langsung. Selain itu herbisida paraquat dapat mempengaruhi
kesehatan manusia lewat tanah dan air yang tercemar sehingga produk
makanan manusia maupun hewan ikut tercemar herbisida paraquat
(Purnawati, 2008).
15
3. Mekanisme Toksisitas Herbisida Paraquat Diklorida
Paraquat (1,1−dimethyl,4,4−bipyridylium), sangat cepat diabsorbsi
dengan inhalasi dan melalui usus setelah tertelan. Absorbsi setelah intake
oral sekitar 10%. Tempat absorbsi utama dari paraquat adalah di usus
halus, sedangkan penyerapan melalui lambung sangatlah sedikit.
Walaupun absorpsi hanya 10%, sifat korosif dari paraquat akan
menyebabkan erosi dari mukosa saluran cerna, sehingga paraquat akan
semakin banyak diabsorbsi hingga 90%. Hanya sekitar 10−30% paraquat
yang tidak diabsorbsi. Sistem absorpsinya menggunakan carriermediated transport system pada brush border membrane (Ginting et al.,
2012).
Paraquat dapat menyebabkan induksi toksisitas dalam tubuh dikarenakan
kemampuannya untuk mempengaruhi siklus redoks dan membentuk
Reactive Oxygen species (ROS). Di dalam tubuh, paraquat dimetabolisme
oleh beberapa sistem enzim seperti Nikotinamide adenine dinukleotide
phosphate oxidase (NADPH)−Cytochrome p450 reductase, Xantin
oksidase, Nikotinamide adenosin dinukleotide hidrogen (NADH),
ubiquinone oxidoreductase, dan nitrite oxide synthase. Metabolisme
paraquat melalui system enzim ini menyebabkan terbentuknya paraquat
mono−cation radical (PQ+) di dalam sel. PQ+ secara cepat di reoksidasi
menjadi PQ2+ dan proses ini mencetuskan terbentuknya superoxide (O2-).
Atom O2 bertindak sebagai reseptor elektron dan NADPH bertindak
16
sebagai donor elektron pada reaksi ini. Reaksi ini lebih jauh membentuk
Hydroxyl free radical (HO). Nitrite Oxide (NO) kombinasi dengan O2
membentuk peroxinitrite (ONOO-) yang merupakan oksidan yang sangat
kuat. Nitrite Oxide secara enzimatis diproduksi dari L−arginine oleh NO
synthase, dan paraquat juga secara langsung atau tidak langsung
menginduksi NO synthase yang memediasi produksi nitrite oxide.
Oksigen reaktif dan nitrit yang terbentuk akan menyebabkan toksisitas
pada organ tubuh. Paraquat merupakan bahan reduksi alternatif dan
reoksidasi berulang akan menyebabkan terbentuknya oksigen free
radicals, seperti superoxide, hidrogen peroksida, dan hidroksil radikal,
yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada lemak, protein, dan DNA
(Indika & Buckley, 2011).
Paraquat terbukti dapat menginduksi lipid peroksidase. Lipid peroksidase
menyebabkan gangguan fungsi sel membran dan dapat mencetuskan
apoptoptosis. Lipid peroksidase juga dianggap sebagai salah satu kunci
utama proses patofisiologi pertama kali pada intoksikasi paraquat.
Perubahan struktur dan fungsi sel lipid dan protein menyebabkan
hilangnya regulasi intra seluler oleh kalsium adenosin trifosfatase (Ca2+
ATPase). Hilangnya regulasi ini dapat menyebabkan kematian sel,
sehingga menyebabkan kerusakan lokal dan disfungsi organ. Salah satu
organ primer yang dapat mengalami kerusakan dan kematian sel akibat
hilangnya regulasi intra seluler Ca2+ adalah hati. Hal tersebut disebabkan
17
karena hati memegang peranan penting dalam proses metabolisme lemak
dan detoksifikasi paparan paraquat (Indika & Buckley, 2011).
Selain dapat menyebabkan kerusakan lokal dan disfungsi organ akibat
hilangnya regulasi intra seluler Ca2+, hasil metabolisme dari paraquat oleh
oleh berbagai enzim seperti NADPH akan menyebabkan terjadinya
toksisitas mitokondria. Toksisitas mitokondria disebabkan karena
berkurangnya
kompleks
NADH−ubiquinone
oxidoreductase
di
mitokondria sehingga mencetuskan terbentuknya superoxide. Paraquat
juga meningkatkan permeabilitas membran mitokondria bagian dalam
dikarenakan
lipid
peroksida
sehingga
menyebabkan
depolarisasi
membran, dan pembengkakan matriks mitokondria, khususnya pada hati
yang memiliki peran sebagai detoksifikasi paraquat (Indika & Buckley,
2011).
Selain dapat menyebabkan kerusakan pada hati, resiko kontak langsung
dapat mengakibatkan keracunan akut yang ditandai dengan timbulnya
gejala seperti sakit kepala, mual, muntah, iritasi kulit, dan kebutaan, serta
dapat menimbulkan keracunan kronis. Pada keracunan kronis gejala dan
tanda yang timbul tidak selalu mudah dideteksi karena efeknya tidak
segera dirasakan dalam waktu yang relatif singkat, walaupun akhirnya
dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Saftarina, 2011). Pemberian
herbisida paraquat diklorida per−oral juga berpengaruh pada organ-organ
18
lain seperti esofagus, lambung, usus halus, jantung, ginjal, otot, dan otak
(Dinis
Oliveira, 2008).
B. Hati
1. Anatomi Hati
Hati adalah kelenjar paling besar dalam tubuh, dan setelah kulit,
merupakan satu-satunya organ yang paling besar. Berat organ hati adalah
sekitar 1500 gram dan mencakup 2,5% berat tubuh orang dewasa. Hati
terletak dalam kuadran kanan atas abdomen yang tersembunyi dan
terlindungi oleh tulang rangka toraks dan diafragma. Hati normal terletak
di sebelah d
XI pada sisi kanan dan menyilang
garis tengah ke arah puting kiri. Hati mengisi hampir semua
hypochondrium kanan dan epigastrium. Hati memanjang ke dalam
hypochondrium kiri, disebelah inferior diafragma, yang memisahkannya
dari pleura, paru, pericardium, dan jantung (Moore et al., 2013).
Berdasarkan refleksi peritoneum dari permukaannya, fissura yang
terbentuk sehubungan dengan refleksinya, dan pembuluh yang melayani
hati dan vesica biliaris, hati dibagi menjadi dua lobus anatomis dan dua
lobus tambahan. Lobus anatomis terdiri dari lobus dekstra dan lobus
sinistra. Sedangkan lobus tambahan terdiri dari lobus quadrates dianterior
dan inferior serta lobus kaudatus di posterior dan superior, kedua lobus
tambahan ini dibatasi oleh porta hepatis transversa (Moore et al., 2013).
19
Hati menerima darah dari dua sumber yaitu arteri hepatika propria (30%)
dan vena portae hepatis (70%). Arteri hepatika propria membawa darah
yang kaya akan oksigen dari aorta, dan vena portae hepatis mengantarkan
darah yang miskin oksigen dari saluran cerna. Darah yang berasal dari
arteri dan vena tersebut berjalan di antara sel-sel hati melalui sinusoid dan
dialirkan ke vena centralis. Vena centralis pada masing-masing lobulus
bermuara ke vena hepatika. Dalam ruangan antar lobulus-lobulus terdapat
kanalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatika, vena portae
hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus (Sloane, 2004).
Persarafan pada hati berasal dari plexus hepaticus, yang merupakan
derivat terbesar pada plexus coeliacus. Plexus hepaticus menyertai
cabang-cabang arteria hepatica dan vena porta ke hati. Plexus terdiri dari
serat simpatis dari plexus coeliacus dan serat parasimpastis dari truncus
vagalis anterior dan posterior (Moore et al., 2013). Gambaran
makroskopis hati tersaji pada gambar 4 dan 5.
20
Gambar 4. Makroskopis hati manusia dilihat dari anterior
(Sumber: Putz & Pabst, 2007).
Gambar 5. Makroskopis hati manusia dilihat dari posterior
(Sumber: Putz & Pabst, 2007).
2. Histologi Hati
Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hepaticus. Di bagian
tengah setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis, yang dikelilingi
secara radial oleh lempeng sel hati (lamina hepatocytica), yaitu hepatosit,
dan sinusoid ke arah perifer. Pada manusia, dapat ditemukan tiga sampai
enam daerah porta setiap lobulus. Darah arteri dan darah vena dari daerah
porta perifer mula-mula bercampur di sinusoid hati saat mengalir ke arah
vena sentralis. Dari sini, darah masuk ke sirkulasi umum melalui vena
hepatika yang keluar dari hati dan masuk ke vena kava inferior
(Eroschenko, 2010).
Hepatosit pada lobus hati tersusun radier. Lempeng sel ini tersusun dari
perifer lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk
21
struktur yang menyerupai labirin dan busa, celah diantara lempeng ini
mengandung kapiler, yaitu sinusoid hati. Kapiler sinusoid adalah
pembuluh lebar yang tak teratur, dan hanya terdiri atas lapisan tak utuh
dari sel endotel berfenestra (Junqueira et al., 2007). Sel-sel endotel pada
hati dipisahkan dari hepatosit oleh suatu celah subendotel yang dikenal
sebagai celah disse yang mengandung mikrovili hepatosit, sel penyimpan
lemak (sel Ito) dan serat retikulin yang halus (Gartner & Hiatt, 2012).
Selain sel-sel endotel, sinusoid juga mengandung makrofag yang dikenal
sebagai sel Kupffer. Sel-sel ini ditemukan pada permukaan luminal selsel endotel. Fungsi utamanya adalah memetabolisme eritrosit tua,
mencerna hemoglobin, mensekresi protein yang berhubungan dengan
proses imunologis dan menghancurkan bakteri yang berhasil masuk ke
darah portal melalui usus besar. Kebanyakan sel tersebut berada di daerah
periportal di lobulus hati, tempat berlangsungnya fagositosis yang sangat
aktif (Junqueira et al., 2007). Gambaran histologi hati normal tersaji pada
gambar 6.
22
Gambar 6. Histologi hati normal (Sumber: Junqueira et al., 2007).
Hepatosit berbentuk polihedral, dengan enam atau lebih permukaan, dan
berdiameter 20−30 µm. Permukaan masing-masing hepatosit berkontak
dengan dinding sinusoid, melalui celah Disse, dan dengan permukaan
hepatosit lain. Di tempat dua hepatosit berkontak, terbentuk suatu celah
tubular di antara kedua sel yang disebut kanalikulus biliaris (Junqueira et
al., 2007).
Hepatosit memiliki satu atau dua inti bulat dengan satu atau dua anak inti.
Sebagian intinya poliploid, yaitu mengandung perkalian genap dari
jumlah kromosom haploid. Hepatosit memiliki banyak retikulum
endoplasma, baik halus maupun kasar. Pada hepatosit retikulum
endoplasma kasar membentuk agregat yang tersebar dalam sitoplasma,
agregat ini sering kali disebut badan basofilik. Beberapa protein misalnya,
albumin darah, fibrinogen disintesis pada poliribosom di struktur ini.
Beberapa proses penting berlangsung di dalam retikulum endoplasma
halus, yang tersebar secara difus di dalam sitoplasma. Organel ini
bertanggung jawab atas proses oksidasi, metilasi, dan konjugasi yang
diperlukan untuk menonaktifkan atau mendetoksifikasi berbagai zat
sebelum diekskresi dari tubuh. Retikulum endoplasma halus merupakan
sistem labil yang segera bereaksi terhadap molekul yang diterima
hepatosit (Junqueira et al., 2007). Gambaran mikroskopis hati normal
tersaji pada gambar 7.
23
Gambar 7. Gambaran mikroskopis hati normal. Perbesaran 30 kali
(Sumber: Eroschenko, 2010).
3. Fisiologi Hati
Menurut Guyton dan Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yang
berkaitan dengan pencernaan, antara lain:
a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan
glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa
menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa
kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain
untuk mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi
tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan
lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.
24
c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,
pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino
dan membentuk senyawa lain dari asam amino.
Hati juga melakukan beberapa fungsi yang tidak berkaitan dengan
pencernaan, antara lain:
a. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta
obat dan senyawa asing lain.
b. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk
pembekuan darah dan yang untuk mengangkut hormon steroid dan
tiroid serta kolesterol dalam darah.
c. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
d. Mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan bersama dengan ginjal.
e. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya
makrofag residennya.
f. Mengekskresikan kolesterol dan bilirubin, bilirubin adalah produk
penguraian yang berasal dari destruksi sel darah merah tua
(Sherwood, 2011).
4. Histopatologi Hati
Dari sudut pandang patologi, hati adalah organ yang secara inheren
sederhana dengan berbagai respons yang terbatas terhadap cedera.
25
Respon awal terjadinya cedera yang disebabkan oleh gangguan aliran
darah pada organ hati ditandai dengan adanya kongesti. Kongesti
merupakan terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi
darah dalam organ yang diakibatkan oleh adanya gangguan sirkulasi
pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular yang merupakan tekanan
yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa
jantung. Peningkatan tekanan hidrostatik tersebut dapat menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini
akan mengisi pada sela−sela jaringan ikat longgar dan rongga badan
sehingga dapat menyebabkan timbulnya pembengkakan dan penumpukan
sel−sel radang (Wulandari, 2006).
Kongesti yang terjadi pada hati dibedakan menjadi kongesti hepatik akut
dan kronis. Pada kongesti hepatik akut, vena sentralis dan sinusoid akan
menggelembung oleh darah bahkan dapat terjadi degenerasi hepatosit
sentral. Sedangkan pada kongesti hepatik pasif kronis, secara
mikroskopis dapat terlihat nekrosis sentrilobular disertai dengan
hilangnya hepatosit dan terjadi perdarahan (Kumar et al., 2007).
Berdasarkan sifatnya, respon umum hati terhadap cidera dapat
dikelompokkan menjadi jejas reversibel dan ireversibel (Kumar et al.,
2007).
26
a. Jejas reversibel
1) Peradangan
Cedera hepatosit yang menyebabkan influks sel radang akut
atau kronis ke hati disebut hepatitis. Serangan terhadap hepatosit
hidup yang mengekspresikan antigen oleh sel T yang telah
tersensitisasi merupakan penyebab umum kerusakan hati.
Peradangan mungkin terbatas di saluran porta atau mungkin
meluas ke parenkim (Kumar et al., 2007).
2) Pembengkakan sel
Pembengkakan sel merupakan manifestasi klinis yang muncul
sebagai akibat ketidakmampuan sel dalam mepertahankan
homeostasis
ionik
dan
cairan.
Secara
mikroskopiks,
pembengkakan sel ditandai dengan vakuola kecil, jernih di
dalam sitoplasma. Vakuola tersebut menggambarkan segmen
retikulum endoplasma yang berdistensi dan menekuk (Kumar et
al., 2007).
3) Perlemakan
Terjadi pada jejas hipoksik dan berbagai bentuk jejas toksik atau
metabolik. Secara mikroskopis ditandai dengan adanya vakuola
lipid dalam sitoplasma. Dapat disebut dengan degenerasi lemak
(Kumar et al., 2007).
27
b. Jejas Ireversibel
1) Nekrosis
Nekrosis merupakan kematian sel yang terjadi di lingkungan
cedera eksogen ireversibel. Nekrosis sel dapat terjadi langsung
atau dapat mengikuti degenerasi sel. Gambaran mikroskopis dari
nekrosis dapat berupa gambaran piknosis, karioreksis, dan
kariolisis (Chandrasoma & Taylor, 2005).
2) Fibrosis
Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang
merupakan respon dari cedera akut atau kronik pada hati. Pada
tahap awal, fibrosis terbentuk di dalam atau di sekitar saluran
porta atau vena sentralis atau mungkin mengendap langsung di
dalam sinusoid. Hal ini merupakan reaksi penyembuhan terhadap
cedera. Cedera pada hepatosit akan mengakibatkan pelepasan
sitokin dan faktor solubel lainnya oleh sel kupffer serta sel tipe
lainnya yang akan mengaktivasi sel stelat yang akan mensintesis
sejumlah besar komponen matriks ekstraseluler (Kumar et al.,
2007).
3) Sirosis
Berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim menyebabkan hati
terbagi–bagi menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi
dan dikelilingi oleh jaringan parut yang disebut sirosis (Kumar et
al., 2007).
28
C. Radikal Bebas dan Stres Oksidatif
1. Radikal Bebas
a. Definisi Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang tidak stabil dan
sangat reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak
berpasangan pada orbit terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom
atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul di
sekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini akan
berlangsung terus menerus di dalam tubuh dan apabila tidak dihentikan
akan menimbulkan berbagai penyakit (Waji & Sugrani, 2009).
Radikal bebas yang diproduksi di dalam tubuh normal akan dinetralisir
oleh antioksidan yang ada di dalam tubuh. Bila kadar radikal bebas
terlalu tinggi maka kemampuan dari antioksidan endogen tidak
memadai untuk menetralisir radikal bebas sehingga terjadi keadaan
yang tidak seimbang antara radikal bebas dengan antioksidan
(Harjanto, 2004).
b. Definisi Reactive Oxygen Species (ROS)
Salah satu elemen kimia yang sering terlibat dalam pembentukan
radikal bebas adalah oksigen. Oksigen (O2) sangat penting bagi
kehidupan manusia namun juga dapat bersifat toksik. Atom O2 adalah
biradikal, yang berarti atom O2 mempunyai 2 elektron tunggal dalam
29
orbital yang berbeda. Kedua elektron ini tidak dapat melintasi orbital
yang sama karena memiliki putaran paralel, yakni berputar dengan
arah yang sama (Wu & Cederbaum, 2004).
Atom O2 mampu menerima 4 elektron, yang akan direduksi menjadi 2
molekul air. Ketika O2 menerima 1 elektron, superoksida terbentuk.
Superoksida masih menjadi radikal karena masih mempunyai 1
elektron yang tidak berpasangan. Ketika superoksida menerima 1
elektron, superoksida tereduksi menjadi hidrogen peroksida. Hidrogen
peroksida (H2O2) kemudian tereduksi menjadi radikal hidroksil.
Produk akhir dari proses ini adalah H2O. Berikut ini adalah gambar
proses terbentuknya H2O dari O2 (Smith et al., 2005).
O2 (oksigen)
eO2- (superoksida)
e-, 2H+
H2O2 (hidrogen peroksida)
e-, H+
Radikal hidroksil (H2O + OH)
e-, H+
H2O
Gambar 8. Reduksi oksigen (Sumber: Smith et al., 2005).
30
Superoksida, peroksida, dan radikal hidroksil dikategorikan sebagai
Reactive Oxygen Species (ROS). Reactive Oxygen Species adalah
senyawa yang mengandung O2, termasuk ke dalam radikal bebas yang
sangat reaktif, atau senyawa yang siap dikonversi menjadi radikal
bebas O2 dalam sel (Wu & Cederbaum, 2003). Reactive Oxygen
Species dibutuhkan untuk menjalankan fungsi fisiologis tubuh, tetapi
apabila berlebihan akan menimbulkan stres oksidatif yang dapat
menimbulkan respons inflamasi yang berbeda manifestasinya pada
setiap individu (Fandika, 2013).
c. Pengaruh ROS terhadap Sel
Tiga reaksi yang berkaitan dengan jejas sel diperantarai ROS adalah
(Kumar et al., 2007):
1) Peroksidasi membran lipid
Ikatan ganda pada lemak tak jenuh membran mudah terkena
serangan ROS. Interaksi ROS
lemak menghasilkan peroksida
yang tidak stabil dan reaktif serta terjadi reaksi rantai autokatalitik.
2) Fragmentasi Deoxyribo Nuecleic Acid (DNA)
Reaksi ROS dengan timin pada DNA mitokondria dan nuklear
menimbulkan kerusakan untai tunggal. Kerusakan DNA tersebut
menyebabkan kematian sel dan perubahan sel menjadi ganas.
3) Ikatan silang protein
Reactive Oxygen Species mencetuskan ikatan silang protein
diperantarai sulfhidril, menyebabkan peningkatan kecepatan
31
degradasi atau hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi ROS juga
dapat secara langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida.
2. Stres Oksidatif
Stres oksidatif adalah keadaan yang tidak seimbang antara antioksidan
yang ada dalam tubuh dengan produksi ROS. Stres oksidatif dapat
menyebabkan terjadinya reaksi peroksidasi lipid, protein termasuk enzim
dan DNA, yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif,
apabila hal tersebut berlanjut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
dan kematian sel (Mahdi et al., 2007). Mekanisme protektif untuk
mencegah pembentukan ROS atau untuk mendetoksifikasi ROS di dalam
tubuh melibatkan molekul yang disebut antioksidan. Keadaan terjadinya
gangguan keseimbangan antara produksi ROS dan pembuangan ROS
disebut stres oksidatif. Gangguan keseimbangan ini dapat terjadi dari
kurangnya kapasitas antioksidan karena gangguan dalam produksi dan
distribusinya, atau dari jumlah ROS yang berlebihan (Wu & Cederbaum,
2004).
D. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley
1. Klasifikasi Tikus Putih
Klasifikasi tikus putih adalah:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
32
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentai
Subordo
: Odontoceti
Familia
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus (Narendra, 2007).
2. Jenis Tikus Putih
Tikus putih atau tikus albino galur outbred lebih sering digunakan untuk
penelitian di laboratorium dibandingkan galur inbred. Beberapa contoh
jenis tikus putih galur outbred adalah Wistar, Sprague dawley, dan Long
Evans. Sprague dawley merupakan galur yang lebih cepat tumbuh
dibandingkan tikus Wistar. Sedangkan Long Evans merupakan galur yang
lebih kecil dibandingkan tikus Wistar atau Sprague dawley. Galur Fisher
344 dan Lewis adalah tikus putih galur inbred yang paling banyak
digunakan dalam penelitian (Animal Care Program, 2011).
3. Biologi Tikus Putih
Tikus putih merupakan hewan yang lebih cepat menjadi dewasa dan lebih
mudah berkembang biak dibandingkan dengan tikus liar. Berat badan tikus
putih lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Berat tikus putih
pada umur 4 minggu mencapai 35−40 gram dan berat dewasa rata-rata
200−250 gram (FKH UGM, 2006). Data biologis tikus putih (Rattus
norvegicus) tersaji dalam Table 2.
33
Tabel 2. Data Biologi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
DATA BIOLOGI
Lama hidup
Newborn
Pubertas
Dewasa jantan
Dewasa betina
Kematangan seksual
Siklus estrus
Gestasi
Penyapihan
Suhu tubuh
Denyut jantung
Laju nafas
Tekanan darah diastole
Tekanan darah sistol
Feses
Urin
Konsumsi makan
Konsumsi air
KETERANGAN
2,5–3,5 tahun
Berat badan
5−6 gr
150−200 gr
200−800 gr
200−400 gr
Reproduksi
65−110 hari
4−5 hari
20−22 hari
21 hari
Fisiologi
35,90−37,50 C
250−600 kali/menit
66−144 kali/menit
60−90 mmHg
75−120 mmHg
Padat, berwarna coklat tua, bentuk
memanjang dengan ujung membulat
Jernih dan berwarna kuning
Konsumsi makan dan air
15–30 gr/hari atau 5–6 gr/100 grBB
24–60 ml/hari atau 10−12 ml/100 grBB
(Sumber: Isroi, 2010)
Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan sebagai hewan
percobaan karena tikus merupakan hewan yang mewakili kelas mamalia
sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia,
sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah, serta ekskresinya
menyerupai manusia. Tikus juga dapat secara alami menderita suatu
penyakit, seperti hipertensi dan diabetes, dan juga sering dipakai dalam
studi nutrisi, tingkah laku, kerja obat, dan toksikologi (Animal Care
Program, 2011).
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley memiliki beberapa
sifat yang menguntungkan, seperti cepat berkembang biak, mudah
34
dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang, dan ukurannya lebih besar
daripada mencit. Tikus putih galur Sprague dawley juga memiliki ciri-ciri
albino, kepala kecil, ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya,
pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi,
dan tahan terhadap perlakuan. Keuntungan utama tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley adalah ketenangan dan kemudahan
penanganannya (Isroi, 2010).
Download