12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Herbisida Paraquat Diklorida 1. Deskripsi Herbisida Paraquat Diklorida Paraquat (1,1−dimethyl,4,4−bipyridylium) merupakan suatu herbisida golongan bipyridylium. Herbisida yang termasuk dalam golongan ini umumnya merupakan herbisida pasca tumbuh, tidak aktif apabila diaplikasikan lewat tanah dan bersifat tidak selektif. Herbisida paraquat diklorida memiliki efek toksisitas terhadap organisme eukariotik (Suntres, 2002). Karakteristik dari paraquat adalah tidak dapat diserap oleh bagian tanaman yang tidak hijau seperti batang dan akar serta tidak aktif di tanah. Ketidakaktifan tersebut disebabkan adanya reaksi antara dua muatan ion positif pada paraquat dan ion negatif mineral tanah sehingga molekul positif paraquat terabsorbsi kuat dengan lapisan tanah dan tidak aktif lagi. Penetrasi paraquat terjadi melalui daun. Aplikasi paraquat akan lebih efektif apabila ada sinar matahari karena reaksi keduanya 13 akan menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel. Cara kerja paraquat yaitu menghambat proses dalam fotosistem I, yaitu mengikat elektron bebas hasil fotosistem dan mengubahnya menjadi elektron radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk akan diikat oleh oksigen membentuk superoksida yang bersifat sangat aktif. Superoksida tersebut mudah bereaksi dengan komponen asam lemak tak jenuh dari membran sel, sehingga akan menyebabkan rusaknya membran sel dan jaringan tanaman (Pusat Informasi Paraquat, 2006). 2. Kandungan Herbisida Paraquat Diklorida Paraquat merupakan herbisida yang paling umum digunakan dari golongan bipyridylium. Komposisi kimia dari paraquat adalah C12H14N2. Angka kematian akibat toksisitas dari paraquat sangat tinggi dikarenakan toksisitasnya secara langsung dan belum adanya pengobatan yang efektif (Indika & Buckley, 2011). Struktur kimia paraquat diklorida tersaji pada gambar 3. Gambar 3. Paraquat diklorida (Sumber: Indika & Buckley, 2011). 14 Daya toksisitas dari kandungan herbisida biasanya ditunjukkan oleh angka toksisitas akut hasil uji laboratorium dengan hewan percobaan (umumnya menggunakan tikus). Studi toksisitas akut pada hewan menghasiklan LD50. Berdasarkan nilai LD50 WHO menyusun kelas bahaya suatu herbisida seperti tercantum pada tabel 1. Tabel 1. Kelas Bahaya Herbisida Menurut WHO LD50 akut (tikus) formulasi (mg/kg) Kelas Oral Padat Cair Padat Cair ≤5 ≤20 ≤10 ≤40 Ia Sangat Berbahaya Ib Bahaya Tinggi 6 II Bahaya Sedang III Bahaya Rendah Dermal 49 21−199 500 ≥5001 11 99 41 399 1000 2000 ≥2001 ≥1001 4000 ≥4001 (Sumber: Sembodo, 2010) Menurut WHO's Classification of Pesticides by Hazard, bahan aktif paraquat termasuk golongan II (moderately hazardous) dimana absorbsi paraquat mempunyai efek serius dalam jangka panjang, dengan dosis rendah paraquat relatif berbahaya dan fatal jika termakan atau mengenai kulit secara langsung. Selain itu herbisida paraquat dapat mempengaruhi kesehatan manusia lewat tanah dan air yang tercemar sehingga produk makanan manusia maupun hewan ikut tercemar herbisida paraquat (Purnawati, 2008). 15 3. Mekanisme Toksisitas Herbisida Paraquat Diklorida Paraquat (1,1−dimethyl,4,4−bipyridylium), sangat cepat diabsorbsi dengan inhalasi dan melalui usus setelah tertelan. Absorbsi setelah intake oral sekitar 10%. Tempat absorbsi utama dari paraquat adalah di usus halus, sedangkan penyerapan melalui lambung sangatlah sedikit. Walaupun absorpsi hanya 10%, sifat korosif dari paraquat akan menyebabkan erosi dari mukosa saluran cerna, sehingga paraquat akan semakin banyak diabsorbsi hingga 90%. Hanya sekitar 10−30% paraquat yang tidak diabsorbsi. Sistem absorpsinya menggunakan carriermediated transport system pada brush border membrane (Ginting et al., 2012). Paraquat dapat menyebabkan induksi toksisitas dalam tubuh dikarenakan kemampuannya untuk mempengaruhi siklus redoks dan membentuk Reactive Oxygen species (ROS). Di dalam tubuh, paraquat dimetabolisme oleh beberapa sistem enzim seperti Nikotinamide adenine dinukleotide phosphate oxidase (NADPH)−Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase, Nikotinamide adenosin dinukleotide hidrogen (NADH), ubiquinone oxidoreductase, dan nitrite oxide synthase. Metabolisme paraquat melalui system enzim ini menyebabkan terbentuknya paraquat mono−cation radical (PQ+) di dalam sel. PQ+ secara cepat di reoksidasi menjadi PQ2+ dan proses ini mencetuskan terbentuknya superoxide (O2-). Atom O2 bertindak sebagai reseptor elektron dan NADPH bertindak 16 sebagai donor elektron pada reaksi ini. Reaksi ini lebih jauh membentuk Hydroxyl free radical (HO). Nitrite Oxide (NO) kombinasi dengan O2 membentuk peroxinitrite (ONOO-) yang merupakan oksidan yang sangat kuat. Nitrite Oxide secara enzimatis diproduksi dari L−arginine oleh NO synthase, dan paraquat juga secara langsung atau tidak langsung menginduksi NO synthase yang memediasi produksi nitrite oxide. Oksigen reaktif dan nitrit yang terbentuk akan menyebabkan toksisitas pada organ tubuh. Paraquat merupakan bahan reduksi alternatif dan reoksidasi berulang akan menyebabkan terbentuknya oksigen free radicals, seperti superoxide, hidrogen peroksida, dan hidroksil radikal, yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada lemak, protein, dan DNA (Indika & Buckley, 2011). Paraquat terbukti dapat menginduksi lipid peroksidase. Lipid peroksidase menyebabkan gangguan fungsi sel membran dan dapat mencetuskan apoptoptosis. Lipid peroksidase juga dianggap sebagai salah satu kunci utama proses patofisiologi pertama kali pada intoksikasi paraquat. Perubahan struktur dan fungsi sel lipid dan protein menyebabkan hilangnya regulasi intra seluler oleh kalsium adenosin trifosfatase (Ca2+ ATPase). Hilangnya regulasi ini dapat menyebabkan kematian sel, sehingga menyebabkan kerusakan lokal dan disfungsi organ. Salah satu organ primer yang dapat mengalami kerusakan dan kematian sel akibat hilangnya regulasi intra seluler Ca2+ adalah hati. Hal tersebut disebabkan 17 karena hati memegang peranan penting dalam proses metabolisme lemak dan detoksifikasi paparan paraquat (Indika & Buckley, 2011). Selain dapat menyebabkan kerusakan lokal dan disfungsi organ akibat hilangnya regulasi intra seluler Ca2+, hasil metabolisme dari paraquat oleh oleh berbagai enzim seperti NADPH akan menyebabkan terjadinya toksisitas mitokondria. Toksisitas mitokondria disebabkan karena berkurangnya kompleks NADH−ubiquinone oxidoreductase di mitokondria sehingga mencetuskan terbentuknya superoxide. Paraquat juga meningkatkan permeabilitas membran mitokondria bagian dalam dikarenakan lipid peroksida sehingga menyebabkan depolarisasi membran, dan pembengkakan matriks mitokondria, khususnya pada hati yang memiliki peran sebagai detoksifikasi paraquat (Indika & Buckley, 2011). Selain dapat menyebabkan kerusakan pada hati, resiko kontak langsung dapat mengakibatkan keracunan akut yang ditandai dengan timbulnya gejala seperti sakit kepala, mual, muntah, iritasi kulit, dan kebutaan, serta dapat menimbulkan keracunan kronis. Pada keracunan kronis gejala dan tanda yang timbul tidak selalu mudah dideteksi karena efeknya tidak segera dirasakan dalam waktu yang relatif singkat, walaupun akhirnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Saftarina, 2011). Pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral juga berpengaruh pada organ-organ 18 lain seperti esofagus, lambung, usus halus, jantung, ginjal, otot, dan otak (Dinis Oliveira, 2008). B. Hati 1. Anatomi Hati Hati adalah kelenjar paling besar dalam tubuh, dan setelah kulit, merupakan satu-satunya organ yang paling besar. Berat organ hati adalah sekitar 1500 gram dan mencakup 2,5% berat tubuh orang dewasa. Hati terletak dalam kuadran kanan atas abdomen yang tersembunyi dan terlindungi oleh tulang rangka toraks dan diafragma. Hati normal terletak di sebelah d XI pada sisi kanan dan menyilang garis tengah ke arah puting kiri. Hati mengisi hampir semua hypochondrium kanan dan epigastrium. Hati memanjang ke dalam hypochondrium kiri, disebelah inferior diafragma, yang memisahkannya dari pleura, paru, pericardium, dan jantung (Moore et al., 2013). Berdasarkan refleksi peritoneum dari permukaannya, fissura yang terbentuk sehubungan dengan refleksinya, dan pembuluh yang melayani hati dan vesica biliaris, hati dibagi menjadi dua lobus anatomis dan dua lobus tambahan. Lobus anatomis terdiri dari lobus dekstra dan lobus sinistra. Sedangkan lobus tambahan terdiri dari lobus quadrates dianterior dan inferior serta lobus kaudatus di posterior dan superior, kedua lobus tambahan ini dibatasi oleh porta hepatis transversa (Moore et al., 2013). 19 Hati menerima darah dari dua sumber yaitu arteri hepatika propria (30%) dan vena portae hepatis (70%). Arteri hepatika propria membawa darah yang kaya akan oksigen dari aorta, dan vena portae hepatis mengantarkan darah yang miskin oksigen dari saluran cerna. Darah yang berasal dari arteri dan vena tersebut berjalan di antara sel-sel hati melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis. Vena centralis pada masing-masing lobulus bermuara ke vena hepatika. Dalam ruangan antar lobulus-lobulus terdapat kanalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatika, vena portae hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus (Sloane, 2004). Persarafan pada hati berasal dari plexus hepaticus, yang merupakan derivat terbesar pada plexus coeliacus. Plexus hepaticus menyertai cabang-cabang arteria hepatica dan vena porta ke hati. Plexus terdiri dari serat simpatis dari plexus coeliacus dan serat parasimpastis dari truncus vagalis anterior dan posterior (Moore et al., 2013). Gambaran makroskopis hati tersaji pada gambar 4 dan 5. 20 Gambar 4. Makroskopis hati manusia dilihat dari anterior (Sumber: Putz & Pabst, 2007). Gambar 5. Makroskopis hati manusia dilihat dari posterior (Sumber: Putz & Pabst, 2007). 2. Histologi Hati Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hepaticus. Di bagian tengah setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis, yang dikelilingi secara radial oleh lempeng sel hati (lamina hepatocytica), yaitu hepatosit, dan sinusoid ke arah perifer. Pada manusia, dapat ditemukan tiga sampai enam daerah porta setiap lobulus. Darah arteri dan darah vena dari daerah porta perifer mula-mula bercampur di sinusoid hati saat mengalir ke arah vena sentralis. Dari sini, darah masuk ke sirkulasi umum melalui vena hepatika yang keluar dari hati dan masuk ke vena kava inferior (Eroschenko, 2010). Hepatosit pada lobus hati tersusun radier. Lempeng sel ini tersusun dari perifer lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk 21 struktur yang menyerupai labirin dan busa, celah diantara lempeng ini mengandung kapiler, yaitu sinusoid hati. Kapiler sinusoid adalah pembuluh lebar yang tak teratur, dan hanya terdiri atas lapisan tak utuh dari sel endotel berfenestra (Junqueira et al., 2007). Sel-sel endotel pada hati dipisahkan dari hepatosit oleh suatu celah subendotel yang dikenal sebagai celah disse yang mengandung mikrovili hepatosit, sel penyimpan lemak (sel Ito) dan serat retikulin yang halus (Gartner & Hiatt, 2012). Selain sel-sel endotel, sinusoid juga mengandung makrofag yang dikenal sebagai sel Kupffer. Sel-sel ini ditemukan pada permukaan luminal selsel endotel. Fungsi utamanya adalah memetabolisme eritrosit tua, mencerna hemoglobin, mensekresi protein yang berhubungan dengan proses imunologis dan menghancurkan bakteri yang berhasil masuk ke darah portal melalui usus besar. Kebanyakan sel tersebut berada di daerah periportal di lobulus hati, tempat berlangsungnya fagositosis yang sangat aktif (Junqueira et al., 2007). Gambaran histologi hati normal tersaji pada gambar 6. 22 Gambar 6. Histologi hati normal (Sumber: Junqueira et al., 2007). Hepatosit berbentuk polihedral, dengan enam atau lebih permukaan, dan berdiameter 20−30 µm. Permukaan masing-masing hepatosit berkontak dengan dinding sinusoid, melalui celah Disse, dan dengan permukaan hepatosit lain. Di tempat dua hepatosit berkontak, terbentuk suatu celah tubular di antara kedua sel yang disebut kanalikulus biliaris (Junqueira et al., 2007). Hepatosit memiliki satu atau dua inti bulat dengan satu atau dua anak inti. Sebagian intinya poliploid, yaitu mengandung perkalian genap dari jumlah kromosom haploid. Hepatosit memiliki banyak retikulum endoplasma, baik halus maupun kasar. Pada hepatosit retikulum endoplasma kasar membentuk agregat yang tersebar dalam sitoplasma, agregat ini sering kali disebut badan basofilik. Beberapa protein misalnya, albumin darah, fibrinogen disintesis pada poliribosom di struktur ini. Beberapa proses penting berlangsung di dalam retikulum endoplasma halus, yang tersebar secara difus di dalam sitoplasma. Organel ini bertanggung jawab atas proses oksidasi, metilasi, dan konjugasi yang diperlukan untuk menonaktifkan atau mendetoksifikasi berbagai zat sebelum diekskresi dari tubuh. Retikulum endoplasma halus merupakan sistem labil yang segera bereaksi terhadap molekul yang diterima hepatosit (Junqueira et al., 2007). Gambaran mikroskopis hati normal tersaji pada gambar 7. 23 Gambar 7. Gambaran mikroskopis hati normal. Perbesaran 30 kali (Sumber: Eroschenko, 2010). 3. Fisiologi Hati Menurut Guyton dan Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yang berkaitan dengan pencernaan, antara lain: a. Metabolisme karbohidrat Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat. b. Metabolisme lemak Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain untuk mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat. 24 c. Metabolisme protein Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino. Hati juga melakukan beberapa fungsi yang tidak berkaitan dengan pencernaan, antara lain: a. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan senyawa asing lain. b. Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan untuk pembekuan darah dan yang untuk mengangkut hormon steroid dan tiroid serta kolesterol dalam darah. c. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin. d. Mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan bersama dengan ginjal. e. Mengeluarkan bakteri dan sel darah merah tua, berkat adanya makrofag residennya. f. Mengekskresikan kolesterol dan bilirubin, bilirubin adalah produk penguraian yang berasal dari destruksi sel darah merah tua (Sherwood, 2011). 4. Histopatologi Hati Dari sudut pandang patologi, hati adalah organ yang secara inheren sederhana dengan berbagai respons yang terbatas terhadap cedera. 25 Respon awal terjadinya cedera yang disebabkan oleh gangguan aliran darah pada organ hati ditandai dengan adanya kongesti. Kongesti merupakan terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan oleh adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular yang merupakan tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung. Peningkatan tekanan hidrostatik tersebut dapat menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela−sela jaringan ikat longgar dan rongga badan sehingga dapat menyebabkan timbulnya pembengkakan dan penumpukan sel−sel radang (Wulandari, 2006). Kongesti yang terjadi pada hati dibedakan menjadi kongesti hepatik akut dan kronis. Pada kongesti hepatik akut, vena sentralis dan sinusoid akan menggelembung oleh darah bahkan dapat terjadi degenerasi hepatosit sentral. Sedangkan pada kongesti hepatik pasif kronis, secara mikroskopis dapat terlihat nekrosis sentrilobular disertai dengan hilangnya hepatosit dan terjadi perdarahan (Kumar et al., 2007). Berdasarkan sifatnya, respon umum hati terhadap cidera dapat dikelompokkan menjadi jejas reversibel dan ireversibel (Kumar et al., 2007). 26 a. Jejas reversibel 1) Peradangan Cedera hepatosit yang menyebabkan influks sel radang akut atau kronis ke hati disebut hepatitis. Serangan terhadap hepatosit hidup yang mengekspresikan antigen oleh sel T yang telah tersensitisasi merupakan penyebab umum kerusakan hati. Peradangan mungkin terbatas di saluran porta atau mungkin meluas ke parenkim (Kumar et al., 2007). 2) Pembengkakan sel Pembengkakan sel merupakan manifestasi klinis yang muncul sebagai akibat ketidakmampuan sel dalam mepertahankan homeostasis ionik dan cairan. Secara mikroskopiks, pembengkakan sel ditandai dengan vakuola kecil, jernih di dalam sitoplasma. Vakuola tersebut menggambarkan segmen retikulum endoplasma yang berdistensi dan menekuk (Kumar et al., 2007). 3) Perlemakan Terjadi pada jejas hipoksik dan berbagai bentuk jejas toksik atau metabolik. Secara mikroskopis ditandai dengan adanya vakuola lipid dalam sitoplasma. Dapat disebut dengan degenerasi lemak (Kumar et al., 2007). 27 b. Jejas Ireversibel 1) Nekrosis Nekrosis merupakan kematian sel yang terjadi di lingkungan cedera eksogen ireversibel. Nekrosis sel dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi sel. Gambaran mikroskopis dari nekrosis dapat berupa gambaran piknosis, karioreksis, dan kariolisis (Chandrasoma & Taylor, 2005). 2) Fibrosis Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang merupakan respon dari cedera akut atau kronik pada hati. Pada tahap awal, fibrosis terbentuk di dalam atau di sekitar saluran porta atau vena sentralis atau mungkin mengendap langsung di dalam sinusoid. Hal ini merupakan reaksi penyembuhan terhadap cedera. Cedera pada hepatosit akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan faktor solubel lainnya oleh sel kupffer serta sel tipe lainnya yang akan mengaktivasi sel stelat yang akan mensintesis sejumlah besar komponen matriks ekstraseluler (Kumar et al., 2007). 3) Sirosis Berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim menyebabkan hati terbagi–bagi menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh jaringan parut yang disebut sirosis (Kumar et al., 2007). 28 C. Radikal Bebas dan Stres Oksidatif 1. Radikal Bebas a. Definisi Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus menerus di dalam tubuh dan apabila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit (Waji & Sugrani, 2009). Radikal bebas yang diproduksi di dalam tubuh normal akan dinetralisir oleh antioksidan yang ada di dalam tubuh. Bila kadar radikal bebas terlalu tinggi maka kemampuan dari antioksidan endogen tidak memadai untuk menetralisir radikal bebas sehingga terjadi keadaan yang tidak seimbang antara radikal bebas dengan antioksidan (Harjanto, 2004). b. Definisi Reactive Oxygen Species (ROS) Salah satu elemen kimia yang sering terlibat dalam pembentukan radikal bebas adalah oksigen. Oksigen (O2) sangat penting bagi kehidupan manusia namun juga dapat bersifat toksik. Atom O2 adalah biradikal, yang berarti atom O2 mempunyai 2 elektron tunggal dalam 29 orbital yang berbeda. Kedua elektron ini tidak dapat melintasi orbital yang sama karena memiliki putaran paralel, yakni berputar dengan arah yang sama (Wu & Cederbaum, 2004). Atom O2 mampu menerima 4 elektron, yang akan direduksi menjadi 2 molekul air. Ketika O2 menerima 1 elektron, superoksida terbentuk. Superoksida masih menjadi radikal karena masih mempunyai 1 elektron yang tidak berpasangan. Ketika superoksida menerima 1 elektron, superoksida tereduksi menjadi hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida (H2O2) kemudian tereduksi menjadi radikal hidroksil. Produk akhir dari proses ini adalah H2O. Berikut ini adalah gambar proses terbentuknya H2O dari O2 (Smith et al., 2005). O2 (oksigen) eO2- (superoksida) e-, 2H+ H2O2 (hidrogen peroksida) e-, H+ Radikal hidroksil (H2O + OH) e-, H+ H2O Gambar 8. Reduksi oksigen (Sumber: Smith et al., 2005). 30 Superoksida, peroksida, dan radikal hidroksil dikategorikan sebagai Reactive Oxygen Species (ROS). Reactive Oxygen Species adalah senyawa yang mengandung O2, termasuk ke dalam radikal bebas yang sangat reaktif, atau senyawa yang siap dikonversi menjadi radikal bebas O2 dalam sel (Wu & Cederbaum, 2003). Reactive Oxygen Species dibutuhkan untuk menjalankan fungsi fisiologis tubuh, tetapi apabila berlebihan akan menimbulkan stres oksidatif yang dapat menimbulkan respons inflamasi yang berbeda manifestasinya pada setiap individu (Fandika, 2013). c. Pengaruh ROS terhadap Sel Tiga reaksi yang berkaitan dengan jejas sel diperantarai ROS adalah (Kumar et al., 2007): 1) Peroksidasi membran lipid Ikatan ganda pada lemak tak jenuh membran mudah terkena serangan ROS. Interaksi ROS lemak menghasilkan peroksida yang tidak stabil dan reaktif serta terjadi reaksi rantai autokatalitik. 2) Fragmentasi Deoxyribo Nuecleic Acid (DNA) Reaksi ROS dengan timin pada DNA mitokondria dan nuklear menimbulkan kerusakan untai tunggal. Kerusakan DNA tersebut menyebabkan kematian sel dan perubahan sel menjadi ganas. 3) Ikatan silang protein Reactive Oxygen Species mencetuskan ikatan silang protein diperantarai sulfhidril, menyebabkan peningkatan kecepatan 31 degradasi atau hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi ROS juga dapat secara langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida. 2. Stres Oksidatif Stres oksidatif adalah keadaan yang tidak seimbang antara antioksidan yang ada dalam tubuh dengan produksi ROS. Stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya reaksi peroksidasi lipid, protein termasuk enzim dan DNA, yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif, apabila hal tersebut berlanjut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian sel (Mahdi et al., 2007). Mekanisme protektif untuk mencegah pembentukan ROS atau untuk mendetoksifikasi ROS di dalam tubuh melibatkan molekul yang disebut antioksidan. Keadaan terjadinya gangguan keseimbangan antara produksi ROS dan pembuangan ROS disebut stres oksidatif. Gangguan keseimbangan ini dapat terjadi dari kurangnya kapasitas antioksidan karena gangguan dalam produksi dan distribusinya, atau dari jumlah ROS yang berlebihan (Wu & Cederbaum, 2004). D. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley 1. Klasifikasi Tikus Putih Klasifikasi tikus putih adalah: Kingdom : Animalia Filum : Chordata 32 Kelas : Mamalia Ordo : Rodentai Subordo : Odontoceti Familia : Muridae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus (Narendra, 2007). 2. Jenis Tikus Putih Tikus putih atau tikus albino galur outbred lebih sering digunakan untuk penelitian di laboratorium dibandingkan galur inbred. Beberapa contoh jenis tikus putih galur outbred adalah Wistar, Sprague dawley, dan Long Evans. Sprague dawley merupakan galur yang lebih cepat tumbuh dibandingkan tikus Wistar. Sedangkan Long Evans merupakan galur yang lebih kecil dibandingkan tikus Wistar atau Sprague dawley. Galur Fisher 344 dan Lewis adalah tikus putih galur inbred yang paling banyak digunakan dalam penelitian (Animal Care Program, 2011). 3. Biologi Tikus Putih Tikus putih merupakan hewan yang lebih cepat menjadi dewasa dan lebih mudah berkembang biak dibandingkan dengan tikus liar. Berat badan tikus putih lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Berat tikus putih pada umur 4 minggu mencapai 35−40 gram dan berat dewasa rata-rata 200−250 gram (FKH UGM, 2006). Data biologis tikus putih (Rattus norvegicus) tersaji dalam Table 2. 33 Tabel 2. Data Biologi Tikus Putih (Rattus norvegicus) DATA BIOLOGI Lama hidup Newborn Pubertas Dewasa jantan Dewasa betina Kematangan seksual Siklus estrus Gestasi Penyapihan Suhu tubuh Denyut jantung Laju nafas Tekanan darah diastole Tekanan darah sistol Feses Urin Konsumsi makan Konsumsi air KETERANGAN 2,5–3,5 tahun Berat badan 5−6 gr 150−200 gr 200−800 gr 200−400 gr Reproduksi 65−110 hari 4−5 hari 20−22 hari 21 hari Fisiologi 35,90−37,50 C 250−600 kali/menit 66−144 kali/menit 60−90 mmHg 75−120 mmHg Padat, berwarna coklat tua, bentuk memanjang dengan ujung membulat Jernih dan berwarna kuning Konsumsi makan dan air 15–30 gr/hari atau 5–6 gr/100 grBB 24–60 ml/hari atau 10−12 ml/100 grBB (Sumber: Isroi, 2010) Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan sebagai hewan percobaan karena tikus merupakan hewan yang mewakili kelas mamalia sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah, serta ekskresinya menyerupai manusia. Tikus juga dapat secara alami menderita suatu penyakit, seperti hipertensi dan diabetes, dan juga sering dipakai dalam studi nutrisi, tingkah laku, kerja obat, dan toksikologi (Animal Care Program, 2011). Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley memiliki beberapa sifat yang menguntungkan, seperti cepat berkembang biak, mudah 34 dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang, dan ukurannya lebih besar daripada mencit. Tikus putih galur Sprague dawley juga memiliki ciri-ciri albino, kepala kecil, ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap perlakuan. Keuntungan utama tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya (Isroi, 2010).