ANALISA HOPANOID PADA SINORHIZOBIUM

advertisement
ANALISA HOPANOID PADA SINORHIZOBIUM FREDII
Ansori, Surya Rosa Putra
ABSTRAK
Analisis kandungan hopanoid dari beberapa bakteri merupakan langkah eksperimen untuk
membuktikan dugaan bahwa hopanoid dapat dijadikan marker dalam kemotaksonomi. Keberadaan
hopanoid dalam Sinosrizobium fredii yaitu suatu bakteri fiksasi nitrogen yang hidup dalam tanah
perlu diteliti,untuk mencari hubungan kekerabatan antara bakteri penyubur tanah. Kandungan
hopanoid kompleks dalam sel kering diekstrak dengan pelarut kloroform/methanol ( 2;1, v/v ).
Oksidasi dan reduksi hopanoid menggunakan pelarut asam periodat dan natrium boro hidrida.
Asetilasi hopanoid menggunakan pelarut piridin/ asetat anhidrat (1:1, v/v ).
Langkah akhir hopanoid terasetilasi dideteksi menggunakan Kromatograf Gas- Spektroskopi Massa
(KG-SM). Keberadaan fragmen-fragmen spesifik m/z = 73, 191, 295, dan 369 membuktikan bahwa
Sinorhizobium fredii mengandung hopanoid bis- homohopan 31-ol-32- Ac.
285
Sintesis Selulosa Diasetat
Dari Serat Daun Nanas (Ananas comusus)
Siti Wafiroh, Setyo Dwi Santoso dan Bambang Kurniadi
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Airlangga
Kampus C, Mulyorejo, Surabaya, 60115, Indonesia
e-mail : [email protected]
Abstract
This purpose research is to synthesis of cellulose diacetate from pineapple leaf fiber
(Ananas comosus). The first stage this research is to isolate cellulose use making of
pulp method with enhancing NaOH 17,5 % (b/v) and anthraquinon 0,2% (b/v) later to
reflux during 4 hour. Then the cellulose to synthesis become cellulose diacetate use
acetylation method. In this method to use acetate anhydride, glacial acetate acid and
sulphate acid as catalyze with acetylation time during 2 hour and the variation of
hydrolysis time during 5, 10, 15, 20 and 25 hour at room temperature. The result of
cellulose diacetate have chromatic is ashes white. Hydrolysis time influence to level of
acetyl rate (KA) and mean molecule weight (Mv). With hydrolysis time during 15 hour
obtained cellulose diacetate result from synthesis come near standard cellulose
diacetate. This cellulose diacetate result from synthesis have characterization for
example are 39,31% of acetyl rate (KA), 51.540,13 g/mole of mean molecule weight
(Mv), 210,1 oC of glass transition temperature (Tg), 226,4 oC of melting point (Tm) and
77,0 mJ/mg of enthalpy (ΔH).
Key word : cellulose diacetate, pineapple leave fiber, acetylation method,
hydrolysis time
Pendahuluan
Teknologi membran berkembang sangat pesat karena efisiensi pemisahannya
yang tinggi, tidak merusak struktur senyawa yang dipisahkan dan dapat dilakukan pada
temperatur rendah, serta dapat memisahkan senyawa-senyawa yang peka terhadap suhu
tinggi seperti pelarut organik dan biokimia. Selain itu teknologi membran termasuk
clean technology karena ramah lingkungan dan tidak menimbulkan limbah (Mulder,
1996). Saat ini teknologi membran banyak diaplikasikan untuk proses sterilisasi obatobatan dan produksi minuman, industri logam, industri makanan dan biokimia, industri
tekstil dan kulit, industri pulp, kesehatan dan pengolahan limbah, desalinasi air laut dan
sebagainya (Wenten, IG., 2002). Sayangnya perkembangan teknologi membran di
Indonesia tidak sepesat di negara lain karena kelangkaan bahan baku membran dan
belum ada salah satu industripun yang memproduksi membran sehingga harganya
mahal. Untuk itu perlu dilakukan upaya pemanfaatan kekayaan alam Indonesia sebagai
bahan baku membran. Salah satu kekayaan alam Indonesia yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku membran adalah serat daun nanas (Ananas comusus). Tujuan
penelitian ini mensintesis selulosa diasetat dari serat daun nanas (Ananas comusus).
Selulosa diasetat yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku membran
286
selulosa asetat. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu : isolasi selulosa dari serat
daun nanas, sintesis selulosa diasetat dan karakterisasi selulosa diasetat. Daun nanas
dapat diperoleh dari pasar tradisional yang saat ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Daun nanas mengandung 81% selulosa. Kandungan selulosa yang cukup tinggi ini,
dapat dibuat menjadi pulp , kemudian dilakukan reaksi asetilasi sehingga menghasilkan
selulosa diasetat. Kondisi yang optimal selama sintesis selulosa diasetat terutama waktu
hidrolisis akan sangat mempengaruhi kekuatan fisik dan kinerja membran selulosa
asetat yang dihasilkan.
Metode Penelitian
Bahan yang digunakan
Semua bahan yang digunakan mempunyai derajat kemurnian p.a kecuali yang
disebutkan lain meliputi NaOH, etanol, aseton, Ca(OH)2 teknis, antrakuinon, akuades,
KBr, asam asetat glasial, asetat anhidrida, H 2SO4 pekat, dry ice, HCl pekat, indikator
fenolftalein, alumina, selulosa standar, selulosa diasetat standar, boraks dan asam
oksalat.
Alat yang digunakan
Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi peralatan gelas, termometer,
gelas beker, labu titrasi, buret, pengaduk, pengaduk magnetik, timbangan, erlenmeyer
bertutup, pemanas, corong buchner, oven, alat cetak pulp, shaker, desikator,
spektrofotometer IR Buck Scientific tipe 500, DSC 200 Seiko SSC tipe 5200H, Fresh
Dryer Snijders dan kapillar viskometer.
Prosedur Penelitian
Preparasi serat daun nanas
Daun nanas bagian pucuk buah yang diambil di Pasar Wonokromo dibersihkan
kemudian direndam dengan air selama 1 minggu sampai kulit daun nanas tersebut
lunak dan serat-seratnya terpisah. Serat daun nanas kemudian dicuci sampai bersih
kemudian dikeringkan di udara terbuka.
Isolasi selulosa dari serat daun nanas
Serat daun nanas sebanyak 20 g ditambahkan Ca(OH) 2 2,5 % (b/v) dan
direndam selama 3 hari. Setelah perendaman selesai, serat daun nanas dicuci dengan
akuades. Serat daun nanas dimasukkan dalam labu alas bulat yang sebelumnya sudah
diisi dengan 300 mL larutan NaOH 17,5 % (b/v), antrakuinon 0,2% (b/v) 20 mL dan di
refluks selama 4 jam. Setelah dingin, serat dari limbah daun nanas dicuci sampai bebas
NaOH dan diblender dan dicetak menjadi lembaran pulp dan dikeringkan dalam oven
dengan suhu 60 0C.
Sintesis selulosa diasetat dari serat daun nanas
Ke dalam labu erlemeyer bertutup dicampurkan pulp serat daun nanas sebanyak
10 g dan asam asetat glasial 24 mL dan di-sheker pada suhu 400C selama 1 jam. Setelah
1 jam ditambahkan campuran asam asetat glasial 60 mL dan asam sulfat pekat 0,5 mL
dan di-sheker lagi selama 45 menit pada suhu yang sama. Kemudian campuran
didinginkan sampai mencapai suhu 180C dan ditambahkan asetat anhidrida sebanyak 27
mL yang sudah didinginkan sampai 17 0C. Selanjutnya campuran tadi ditambahkan
asam sulfat pekat 0,5 mL dan asam asetat glasial 60 mL di-sheker selama 2 jam pada
suhu 400 C. Setelah 2 jam diambil 30 mL dari campuran, kemudian diendapkan dengan
menambahkan akuades tetes demi tetes dan diaduk. Endapan yang diperoleh berupa gel
berwarna hijau muda. Gel tersebut kemudian di-fresh dryer.
Campuran tersebut ditambahkan asam asetat 67% (v/v) sebanyak 30 mL tetes
demi tetes selama 2 jam pada suhu 400C dan di-sheker. Selanjutnya diambil 35 mL dari
287
campuran pada tiap variasi waktu hidrolisis 5 jam, 10 jam, 15 jam, 20 jam dan 25 jam
pada suhu kamar. Selanjutnya campuran diendapkan dengan menambahkan akuades
tetes demi tetes dan diaduk sehingga diperoleh endapan yang berbentuk serbuk.
Endapan disaring dan dicuci sampai netral. Endapan dikeringkan dalam oven pada suhu
60 – 700C dan disimpan dalam desikator.
Karakterisasi selulosa diasetat dari serat daun nanas
Analisa gugus fungsi selulosa diasetat hasil sintesis dari serat daun nanas
dilakukan karakterisasi dengan menggunakan spektrofotometer IR dengan sampel pelet
KBR dan kadar asetil ditentukan dengan titrasi asam-basa. Penentuan massa molekul
relatif rata-rata viskositas (Mv) ditentukan dari pengukuran viskositas berbagai larutan
selulosa diasetat dalam aseton dan persamaan Mark-Houwink [] KxM va dengan nilai
K = 1,33x10-3 dan a = 0,616. Uji termalnya ditentukan dengan alat DSC (Differential
Scanning Calorimetry).
Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Hasil isolasi selulosa dari serat daun nanas
Selulosa hasil isolasi dari serat daun nanas relatif berbeda dengan selulosa
standar. Selulosa standar berwarna lebih putih daripada selulosa hasil isolasi. Hal ini
disebabkan oleh adanya proses pemurnian lebih lanjut dari selulosa standar misalnya
dilakukan proses pemutihan (bleaching). Pada selulosa hasil isolasi tidak dilakukan
proses pemutihan karena hasilnya tidak jauh beda dengan sebelum dilakukan proses
pemutihan. Rendemen selulosa hasil isolasi dari serat daun nanas ditunjukkan pada
tabel 1.
No.
1.
2.
3.
Tabel 1. Data rendemen selulosa hasil isolasi dari serat daun nanas
Serat daun nanas Selulosa hasil isolasi Rendemen
Rendemen
(g)
(g)
(%)
rata-rata (%)
20,000
14,588
72,94
20,000
14,755
73,78
73,38
20,000
14,683
73,42
Analisis gugus fungsi selulosa hasil isolasi dari serat daun nanas dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometer infra merah (IR). Sebagai pembanding juga
dilakukan analisis gugus fungsi selulosa standar. Spektrum IR selulosa standar dan
selulosa hasil isolasi dari serat daun nanas dapat ditunjukkan pada gambar 1 dan 2.
288
Gambar 1. Spektrum IR selulosa standar
Gambar 2. Spektrum IR selulosa
hasil isolasi
Dari perbandingan antara spektrum IR selulosa hasil isolasi dari serat daun
nanas dan selulosa standar memiliki kesamaan gugus fungsinya. Pada selulosa hasil
isolasi terdapat puncak gugus O-H yang melebar dan tajam pada bilangan gelombang
3351,5 cm-1, sedangkan pada selulosa standar pada bilangan gelombang 3342 cm-1.
Pada selulosa hasil isolasi, terdapat puncak tajam pada bilangan gelombang 1058,7 cm1
, sedangkan pada selulosa standar pada bilangan gelombang 1058,9 cm -1 yang
menunjukkan adanya gugus C-O. Gugus C-O ini menunjukkan adanya ikatan glikosida
dan ikatan C-O pada cincin piranosa.
Hasil Sintesis Selulosa Diasetat Dari Serat Daun Nanas
Secara fisik, selulosa diasetat hasil sintesis dari serat daun nanas dengan
selulosa diasetat standar terdapat perbedaan. Selulosa diasetat standar berwarna lebih
putih dibandingkan dengan selulosa diasetat hasil sintesis dari serat daun nanas dengan
variasi waktu hidrolisis dapat ditunjukkan pada Gambar 3. Hal ini disebabkan oleh
kemurnian selulosa hasil isolasi yang masih kurang karena tidak dilakukan proses
pemutihan.
289
Selulosa diasetat
standar
Selulosa diasetat hasil
hidrolisis 5 jam
Selulosa diasetat hasil
hidrolisis 15 jam
Selulosa diasetat hasil
hidrolisis 10 jam
Selulosa diasetat hasil
hidrolisis 25 jam
Selulosa diasetat hasil
hidrolisis 20 jam
Gambar 3. Selulosa diasetat standar hasil sintesis dari serat daun nanas dengan
variasi waktu hidrolisis
Hasil karakterisasi selulosa diasetat dari serat daun nanas
Hasil Analisa IR
Hasil analisis gugus fungsi spektrum IR dari selulosa diasetat standar dan
selulosa diasetat hasil sintesis dengan variasi waktu hidrolisis ditunjukkan pada tabel
2.
Tabel 2. Hasil perbandingan spektrum IR dari selulosa diasetat (SD) standar
dan selulosa diasetat hasil sintesis tiap variasi waktu hidrolisis (WH)
SD standar
(cm-1)
3491,4
2956,3
1743,2
1381,3
Selulosa diasetat hasil sintesis ν(cm-1)
WH 5
WH 10
WH15
WH 20
WH 25
3473,8
3493,3
3497,5
3493,9
3493,2
2948
2955,4
2958,4
2952.4
2931,6
1754,5
1752,9
1755,9
1757,2
1750,2
1379,8
1375,7
1374,8
1374,8
1374,6
290
Gugus
fungsi
O-H ulur
C-H ulur
C=O
C-H tekuk
1242
1042,8
1241,8
1043,7
1240,1
1048,4
1243,7
1055,6
1243
1055,6
1237,6
1047,9
C-O asetil
C-O ulur
Dari perbandingan antara spektrum IR selulosa diasetat standar dan selulosa
diasetat hasil sintesis dari serat daun nanas dengan variasi waktu hidrolisis memiliki
kesamaan dalam gugus fungsinya. Pada selulosa diasetat hasil sintesis pada variasi
waktu hidrolisis (WH) terdapat puncak gugus O-H yang melebar dan tajam pada
bilangan gelombang sekitar 3497,5 cm-1 – 3473,8 cm -1. Sedangkan pada selulosa
standar pada bilangan gelombang 3491,4 cm-1. Pada selulosa diasetat hasil sintesis
terdapat puncak tajam pada bilangan gelombang sekitar 1757,2 cm-1 – 1750,2 cm-1
yang menunjukkan adanya karbonil (C=O), sedangkan pada selulosa standar pada
bilangan gelombang 1743,2 cm-1. Pada selulosa diasetat hasil sintesis terdapat puncak
pada bilangan gelombang sekitar 1243,7 cm -1 – 1237,6 cm-1 yang menunjukkan adanya
ikatan C-O ester, sedangkan pada selulosa standar pada bilangan gelombang 1242 cm-1.
Pada selulosa diasetat hasil sintesis, terdapat puncak tajam pada bilangan gelombang
sekitar 1055,76 cm-1 – 1043,7 cm-1 yang menunjukkan adanya C-O ikatan glikosida dan
C-O ikatan cincin piranosa, sedangkan pada selulosa standar pada bilangan gelombang
1042,8 cm-1.
Hasil Penentuan Kadar Asetil Selulosa Diasetat
kad ar asetil (%)
Selulosa diasetat hasil sintesis dari serat daun nanas yang diperoleh ditentukan
kadar asetilnya (KA) dengan titrasi asam basa. Penentuan kadar asetil bertujuan untuk
menentukan banyaknya gugus asetil yang terdapat dalam selulosa asetat. Kadar asetil
untuk selulosa monoasetat kurang dari 36,5%, selulosa diasetat 36,5%-42,2% dan
selulosa triasetat 43,0%-44,8% (Fengel, D., 1995). Prinsip penentuan kadar asetil ini
melalui reaksi penyabunan (saponifikasi) dengan metode titrasi asam-basa. Pada
penelitian ini diperoleh kadar asetil selulosa diasetat hasil sintesis dari serat daun nanas
dengan variasi waktu hidrolisis yang ditunjukkan pada gambar 4.
44
43
42
41
40
39
38
37
0
5
10
15
20
25
30
w aktu hidr olisis (jam )
Gambar 4. Kurva hubungan antara waktu hidrolisis dengan kadar asetil
selulosa diasetat hasil sintesis
Dari grafik tersebut terlihat bahwa waktu hidrolisis mempengaruhi nilai kadar asetil
dari selulosa diasetat. Semakin lama waktu hidrolisis yang digunakan semakin banyak
gugus asetil yang tersubtitusi gugus hidroksi (OH) maka kadar asetil selulosa diasetat
hasil sintesis semakin menurun. Pada penelitian ini juga diperoleh kadar asetil selulosa
diasetat standar sebesar 39,32 %. Dari perbandingan kadar asetil antara selulosa
291
Mv SD hasil sintesis
(g/mol)
diasetat dari variasi waktu hidrolisis dengan selulosa diasetat standar, besarnya kadar
asetil dari selulosa diasetat hasil sintesis dengan waktu hidrolisis 15 jam mendekati
selulosa diasetat standar.
Hasil Penentuan Berat Molekul Rata-Rata (Mv) Selulosa Diasetat
Selulosa diasetat hasil sintesis dari serat daun nanas yang diperoleh ditentukan
berat molekul rata-rata dengan metode viskometri. Alat yang digunakan adalah kapillar
viskometer dan yang diukur adalah waktu alir dari selulosa diasetat pada berbagai
konsentrasi.
Pada penelitian ini diperoleh berat molekul rata-rata selulosa diasetat pada
variasi waktu hidrolisis (WH) yang dapat ditunjukkan pada gambar 5.
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
0
5
10
15
20
25
30
waktu hidrolisis (jam)
Gambar 5. Kurva hubungan antara waktu hidrolisis dengan berat molekul
rata-rata (Mv) selulosa diasetat hasil sintesis
Dari grafik tersebut terlihat bahwa waktu hidrolisis mempengaruhi nilai berat
molekul rata-rata dari selulosa diasetat. Hal ini disebabkan dengan adanya hidrolisis
maka gugus asetil yang pada awalnya terikat pada selulosa setelah reaksi asetilasi
(selulosa triasetat) akan tersubtitusi oleh gugus -OH yang akan menurunkan berat
molekul. Semakin lama waktu hidrolisis yang digunakan maka berat molekul rata-rata
selulosa diasetat hasil sintesis semakin menurun.
Pada penelitian ini juga diperoleh berat molekul rata-rata selulosa diasetat
standar sebesar 52.725,97 g/mol. Dari perbandingan besarnya berat molekul rata-rata
antara selulosa diasetat hasil sintesis dari variasi waktu hidrolisis dengan selulosa
diasetat standar, besarnya berat molekul rata-rata dari selulosa diasetat hasil sintesis
dengan waktu hidrolisis 15 jam mendekati selulosa diasetat standar.
Hasil Uji Termal
Pada penelitian ini digunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC) untuk
uji sifat termal polimer. DSC merupakan teknik analisa dengan mengukur perbedaan
kalor yang masuk ke dalam sampel dan pembanding (referensi) sebagai fungsi
temperatur. Dari termogram DSC yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan
suhu transisi gelas (Tg), suhu titik leleh (Tm) dan perubahan entalpi (ΔH) selulosa
diasetat hasil sintesis dari serat daun nanas.
292
Gambar 6. Termogram DSC selulosa diasetat hasil sintesis dari serat daun nanas
Pada termogram diatas terdapat puncak pada suhu 79,0 oC dengan entalpi
sebesar 124,6 mJ/mg yang menunjukkan adanya pengotor yaitu air yang dikarenakan
sampel yang kurang kering. Pada termogram terdapat puncak pada suhu 220,8 oC yang
menunjukkan adanya sebagian sampel yang belum meleleh. Dari termogram diperoleh
suhu transisi gelas pada suhu 210,1 oC, titik leleh pada suhu 226,4 oC dan perubahan
entalpi sebesar 77,0 mJ/mg.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa selulosa diasetat dapat
disintesis dari serat daun nanas (Ananas comosus) dengan metode asetilasi. Waktu
hidrolisis mempengaruhi terhadap selulosa diasetat hasil sintesis serat daun nanas
(Ananas comosus) terutama besarnya kadar asetil (KA) dan berat molekul rata-rata
(Mv). Pada penelitian ini dengan waktu hidrolisis 15 jam diperoleh hasil sintesis
selulosa diasetat mendekati selulosa diasetat standar yang miliki karakterisasi antara
lain KA sebesar 39,31%, Mv sebesar 51.540,13 g/mol, Tg pada suhu 210,1 oC, Tm
pada suhu 226,4 oC dan ΔH sebesar 77,0 mJ/mg.
Daftar Pustaka
Basta, A.H., El-Saied H. and Elberry M., 2003, Cellulose Membranes for Reverse
Osmosis, Part II, Improving RO membranes prepared from non-woody
cellulose, Desalination, 159, 183-196
Carl, J.M., 1997, Preparation of Cellulose Acetate, Industrial and Engineering
Chemistry, 75-79
Kulbe, K.C., Matsuura, T, Lamarche, A.M., Choi, C., Noh, S.H., 2001, Study of the
structure of asymmetric cellulose acetate membranes for reverse ormosis using
electron spin resonance (ESR) method, , Elvisier Science, Polymer 42, 6479-6484
293
Loske S., do Carmo Goncalves and Wolf B.S. (2003), Fractionation of cellulose
acetate for the investigation of molecular weight influences on the morphology
of membranes, J. Memb. Sci., 214, 223-228
Mulder, Marcel, 1996, Basic Principles of Membrane Technology, Kluwer Academic
Publishers, Dordrecht
Wenten,IG., 2002, Recent development in membrane science and its industrial
applications, Review Article, Bandung
.
294
PEMISAHAN DAN UJI ANTIMALARIA
SENYAWA-SENYAWA TURUNAN FENOLAT
DARI KAYU BATANG GARCINIA PICRORHIZA Miq
Sudaryono, Taslim Ersam
Pascasarjana Kimia ITS
ABSTRAK
Tumbuhan G. picrorhiza Miq (Clusiaceae) terdapat di daerah Asia tenggara
endemik untuk daerah Ambon (Maluku). Famili Clusiaceae adalah sumber senyawa
fenolat seperti turunan santon, benzofenon, flavonoid, depsidon dan antron. Beberapa
senyawa tersebut memiliki efek farmakologis dan fisiologis, dapat dimanfaatkan dalam
bidang kesehatan dan pertanian. Kajian ini ditujukan untuk mendapatkan senyawasenyawa aktif antimalaria dari tumbuhan yang terdapat di daerah endemik wabah
malaria.
Satu senyawa turunan biflavanon yaitu 5,7,3',3'',5'',7'',3''',4'''-oktahidroksi-4'metoksi-3,8''-biflavanon (1) telah dapat ditemukan menggunakan cara maserasi,
fraksinasi dan pemurnian dilanjutkan dengan penentuan struktur dengan cara
spektroskopi. Data fisik senyawa hasil isolasi adalah berupa padatan kuning dengan
titik leleh 229-2300 C. Uji invitro antimalaria terhadap senyawa hasil isolasi
menunjukkan bahwa senyawa tersebut kurang aktif sebagai antimalaria dengan nilai
IC50 3,36 μg/ml jika dibandingkan dengan kloroquin.
OH
3'
8
HO
4' OMe
O
9
6'
3
6
OH
OH
2'''
OH
O
8''
HO
O
10 ''
4''
6''
OH
6'''
OH
O
(1)
Kata Kunci : Clusiaceae, G. picrorhiza Miq, Fenolat, Spektroskopi, Antimalaria.
295
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan tropika Indonesia dapat dipandang sebagai gudang, sumber, dan
produsen senyawa-senyawa kimia khususnya yang dihasilkan oleh tumbuhtumbuhannya. Hutan tropika Indonesia memiliki beranekaragam spesies tumbuhan dan
termasuk salah satu dari tujuh negara megabiodiversity bersama Australia, Brazilia,
Kolombia, Madagaskar, Meksiko, dan Zaire. Tidak kurang dari 54 % spesies tumbuhan
di dunia terdapat di hutan tropika, atau setara dengan 250.000 spesies tumbuhan tingkat
tinggi, 30.000 spesies diantaranya terdapat di hutan tropika Indonesia. Keanekaragaman
hayati Indonesia merupakan aset nasional yang sangat besar nilainya bagi kepentingan
dan kesejahteraan manusia, sampai saat ini masih sangat sedikit yang sudah diketahui
manfaatnya (Ersam, 2001).
Salah satu tumbuhan tingkat tinggi Indonesia yang mempunyai potensi sebagai
sumber bahan kimia hayati bioaktif adalah famili Clusiaceae. Di masyarakat dikenal
sebagai tumbuhan keluarga manggis yang merupakan tanaman pangan dan sudah
banyak dibudidayakan sebagai komoditas untuk buah-buahan. Selain itu, banyak pula
dimanfaatkan sebagai obat tradisional, seperti kulit akarnya untuk obat infeksi kulit
dan luka, kulit batangnya sebagai obat sakit perut, kulit buahnya sebagai obat diare,
seduhan akar dan daunnya sebagai obat rematik, biji buahnya sebagai obat penyakit
kulit dan bunganya untuk bahan jamu bersalin (Peres dan Nagem, 1997; Ersam, 2002
).
Salah satu spesies dari genus Garcinia yang belum pernah dilaporkan adalah
Garcinia picrorhiza Miq yang berasal dari Ambon Maluku, dan di masyarakat dikenal
dengan nama sesoot. Di Maluku tanaman ini tumbuh di pegunungan Hitu (pulau
Ambon) dan pulau Laitimor (Rumphius, Heyne, 1987). Tumbuhan ini oleh masyarakat
setempat dimanfaatkan sebagai obat saguer, yaitu sejenis minuman penambah
stamina. Sebagai spesies tumbuhan langka dan endemik untuk wilayah Indonesia
Timur khususnya Maluku dan Papua, G. Picrorhiza Miq diharapkan memiliki potensi
menghasilkan senyawa-senyawa kimia bioaktif yang dapat menyelesaikan masalahmasalah penyakit khususnya penyakit malaria yang berada di wilayah itu. Oleh karena
itu uji antimalaria terhadap senyawa hasil isolasi tumbuhan G.picrorhiza Miq dilakukan
dengan memperhatikan hal tersebut.
Berdasarkan kajian literatur, dapat diketahui bahwa afinitas kimia dari kayu
batang tumbuhan G.picrorhiza Miq belum pernah dilaporkan, maka pada penelitian ini
digunakan sebagai sampel yang akan diteliti kandungan kimia dan bioaktivitasnya
sebagai antimalaria.
1.2 Perumusan Masalah
Dari dua pendekatan yang dilaporkan di atas, tumbuh-tumbuhan yang
mengandung senyawa fenolat yang terdapat di wilayah Indonesia Timur diharapkan
dapat digunakan sebagai obat antimalaria. G.picrorhiza Miq merupakan tumbuhan asal
Ambon Maluku yang dikenal sebagai sumber senyawa fenolat yang dijadikan obyek
296
pada penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan senyawa fenolat yang bersifat
sebagai antimalaria.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Dapat mengungkap senyawa-senyawa fenolat atau turunannya dari kayu
batang G. picrorhiza Miq, menambah koleksi senyawa-senyawa fenolat
atau turunannyadan menambah data bioaktivitas senyawa-senyawa dari
genus Garcinia.
2.
Mengetahui jenis-jenis senyawa yang dapat diisolasi dari kayu batang
G. picrorhiza Miq dan sifat bioaktivitas senyawa - senyawa yang
ditemukan tersebut sebagai antimalaria.
3.
Dapat menyarankan jalur biogenesis pembentukan senyawa - senyawa
tersebut dengan senyawa - senyawa yang sudah dilaporkan sebelumnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Botani Genus Garcinia
Tumbuhan Genus Garcinia yang terdiri dari kurang lebih 500 spesies ini
tersebar luas di kawasan tropis serta memiliki fisiognomi yang beragam (Jones, 1980).
Dari jumlah tersebut terdapat 91 spesies Garcinia terdapat di Indonesia dan 35 spesies
dikoleksi di Kebun Raya Bogor (Hambali, 1986). Secara taksonomi tumbuhan genus
Garcinia ini diklasifikasikan (Heyne, 1987) sebagai berikut :
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Sub Kelas
: Archichlamydae
Ordo
: Parietales
Famili
: Clusiaceae (Guttiferae)
Genus
: Garcinia
Spesies
: Garcinia picrorhiza Miq
Studi literatur mengenai kandungan kimia dari famili Clusiaceae khususnya
dari genus Garcinia telah banyak dilaporkan, diantaranya senyawa-senyawa santon
trioksigenasi sederhana, misalnya 1,2,5-trihidroksisanton (2) dan senyawa santon
trioksigenasi dan terprenilasi, misalnya 1,3,5-trihidroksi-2-prenil santon (3) dari G.
Vieillardii (Anne-Emanuelle Hay, dkk, 2004). Senyawa-senyawa santon dengan pola
trioksigenasi atau tetraoksigenasi pada cincin utama dan terprenilasi bahkan sebagian di
antaranya telah mengalami siklisasi dari beberapa spesies Garcinia, antara lain
senyawa Subelliptenon F (4), dari G.Dulcis, dan 3-isomangostin (5) dari G.
Mangostana (Deachathai, dkk.,2005).
O
OH
O
O
OH
OH
O
OH
OH
O
OH
O
OH
OH
OH
OH
(2)
(4)
(3)
297
O
O
HO
O
OH
(5)
Senyawa - senyawa flavon turunan santon, juga ditemukan pada genus Garcinia
di antaranya naringenin (6) dan taxifolin (7) yang diisolasi dari buah G. Kola Heckel
(Cotterill dan Scheinmann, 1977), morelloflavon (8) yang diisolasi dari kayu batang
G. Morella (Venkataraman, K; 1976); GB-1a (9) yang diisolasi dari kulit batang
G. dulcis (Kosela, 2000), GB-1 (10), GB-2 (11), GB-3 (12) dan kolaflavon (13), yang
diisolasi dari kulit batang G. k ola (Kabangu, dkk, 1986).
OH
OH
OH
HO
HO
O
O
OH
OH
OH
O
O
(7)
(6)
R1
R2
OH
HO
OH
O
O
R4
OH
R5
OH
OH
O
HO
OH O
O
OH
O
R3
OH
(8)
OH
(9-13)
O
OH O
Gugus fungsi (R) untuk senyawa 9 sampai dengan 13.
Senyawa
R1
R2
R3
R4
R5
GB-1a (9)
H
OH
H
H
OH
GB-1 (10)
H
OH
OH
H
OH
GB-2 (11)
H
OH
OH
OH
OCH3
GB-3 (12)
OH
OCH3
OH
OH
OH
H
OH
OH
OH
OCH3
Kolaflavon (13)
Dari banyak jurnal juga dilaporkan bahwa senyawa-senyawa kimia hasil
isolasi dari tumbuhan Garcinia memiliki bioaktifitas sebagai: antimalaria (2) dan (3)
(Anne-Emanuelle Hay, dkk, 2004); antibakteri, antimikrobial, sitotoksik, antioksidan
dan anti-HIV (4 - 7), (Iinuma, dkk., 1996; Peres dan Nagem, 2000). Morellin (8) yang
diisolasi dari G. morella sebagai antiprotozoa dan antibakteri (Perveen dan Khan,
1987).
GB 1 (10) dan kolaflavon (13) yang diisolasi dari G.kola dilaporkan
bioaktifitasnya sebagai antibakteri dan antimikroba (R.A. Hussain, dkk, 1982; Quan
Bin Han, dkk, 2005).
298
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari genus Garcinia ini, maka dapat
dikatakan bahwa genus Garcinia ini memiliki nilai ekonomi yang sangat penting dalam
dunia perdagangan dan pengobatan.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Peralatan yang digunakan terdiri dari corong pisah, erlenmeyer, gelas kimia,
gelas ukur, pipa kapiler, pipet tetes, tabung reaksi, spatula, bejana pengembang
(chamber), kontainer maserasi, alat ukur titik leleh, neraca analitik, destilator, rotary
evaporator vakum, botol vial, oven, penggiling sampel mekanik, gunting, cutter, isolasi
bening, peralatan kromatografi cair vakum (KCV), kromatografi lapis tipis (KLT),
kromatotron, dan peralatan spektroskopi UV, IR, 13C-NMR dan 1H-NMR.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan terdiri dari kayu batang G. picrorhiza Miq yang telah
dihancurkan, pelarut-pelarut organik, yaitu: n-heksana, metilen klorida, kloroform, etil
asetat, aseton dan metanol; plat KLT, plat KLT preparatif, silika gel untuk KLT, silika
gel untuk kolom, pereaksi penampak noda serium sulfat[Ce(SO 4)2) ] dalam H2SO4 2N.
3.2 Penyiapan Bahan
kayu batang dari tumbuhan G. picrorhiza Miq yang digunakan sebagai sampel
pada penelitian ini adalah diperoleh dari Kebun Raya Bogor. Kayu batang yang sudah
kering dipotong kecil-kecil kemudian digiling hingga menjadi serbuk yang siap untuk
dimaserasi.
3.3 Prosedur Isolasi, Identifikasi dan Uji Bioaktifitas
Serbuk kayu batang G.picrorhiza Miq sebanyak 5 kg dimaserasi menggunakan
pelarut etil asetat sampai diperoleh ekstrak etil asetat, proses ini diakhiri berdasarkan
hasil monitoring dengan KLT. Ekstrak tersebut diuapkan dengan menggunakan rotary
evaporator vakum sampai dihasilkan ekstrak etil asetat padat. Ekstrak etil asetat yang
diperoleh kemudian diKCV dengan eluen n-heksana etil asetat untuk memisahkan
fraksi - fraksinya. Beberapa fraksi yang didapat masing-masing difraksinasi lagi dengan
menggunakan berbagai cara kromatografi dan dielusi dengan eluen yang sesuai
berdasarkan hasil monitoring KLT. Fraksi-fraksi yang dihasilkan yang mempunyai
harga retensi (Rf) yang sama dikelompokkan menjadi beberapa fraksi gabungan.
Kemudian dimonitor kembali dengan KLT untuk mengetahui fraksi yang lebih
sederhana dan potensi untuk dilanjutkan proses isolasinya, sampai dihasilkan fraksi
tunggal yang selanjutnya dimurnikan dengan cara rekristalisasi. Hasil rekristalisasi
kemudian diuji kemurniannya dengan KLT menggunakan 3 macam pelarut tunggal
atau campuran yang berbeda kepolarannya dan ditentukan titik lelehnya.
Sedangkan untuk menentukan struktur molekul digunakan data fisika dan
spektroskopi UV, IR, 1H-NMR dan 13C-NMR. Uji bioaktifitas senyawa hasil isolasi
dilakukan dengan cara uji in vitro terhadap parasit malaria Plasmodium falciparum di
laboratorium farmasi Universitas Airlangga Surabaya.
299
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kromatogram KLT senyawa hasil isolasi dengan 3 macam eluen
campuran yang berbeda tingkat kepolaranya tetap menunjukkan noda tunggal seperti
tampak di bawah ini :
Keterangan eluen untuk senyawa A (1) : 1. kloroform : metanol 10 % ;
2. heksan : aseton 40 % ; 3. metilen klorida : metanol 10 %
Ini berarti bahwa senyawa tersebut sudah murni. Selanjutnya dilakukan
spektroskopi UV, IR, 1H-NMR dan 13C-NMR untuk menentukan struktur molekulnya.
4.1 Spektrum UV Senyawa Hasil Isolasi
Spektrum UV senyawa hasil isolasi dengan λmaks nm dalam : (MeOH)
adalah 223, 293 dan 334; (MeOH + NaOH) adalah 245 dan 332, dalam (MeOH +
AlCl 3) adalah 315 dan 374; dan dalam (MeOH + AlCl3 + HCl) adalah 315 dan 373.
Spektrum UV senyawa hasil isolasi dengan λmaks dalam MeOH adalah 293 nm dan
334 nm; adalah sesuai untuk senyawa flavanon (Mabry dkk, 1970). Dan ketika
ditambahkan NaOH mengalami pergeseran λmaks dari 245 nm ke 332 nm, ini
mengindikasikan bahwa senyawa flavanon yang ada tersebut mempunyai gugus OH
pada posisi C-5 dan C-7 (Markham, 1998). Adapun spektrum UV senyawa hasil isolasi
dalam (MeOH + AlCl 3) dengan λmaks 315 nm dan 374 nm; dan dalam (MeOH +
AlCl 3 + HCl) adalah 315 nm dan 373 nm, dengan nilai pergeseran 59 nm dan 58 nm,
ini mengindikasikan adanya gugus OH pada atom C-3 senyawa flavanon tersebut
(Markham, 1998).
4.2 Spektrum IR (Infra Red) Senyawa Hasil Isolasi
Spektrum IR V KBr maks cm-1 senyawa hasil isolasi adalah sebagai berikut :
3255; 2962; 2924; 1634; 1608; 1512; 1454; 1366; 1258; 1168; 1086; dan 830. Bilangan
gelombang (V maks) 3255 cm -1 melebar menunjukkan adanya gugus fungsi OH; Dan
V maks 1634 cm -1 adalah bilangan gelombang untuk gugus karbonil terkhelat.
Sedangkan V maks 1608, 1512, 1454, dan 1366 cm -1 menunjukkan serapan yang khas
untuk ikatan rangkap pada cincin aromatik.
4.3 Spektrum 13C – NMR Senyawa Hasil Isolasi
Spektrum 13C – NMR senyawa hasil isolasi mempunyai nilai pergeseran
kimia (δC) ppm sebagai berikut : 82,5; 48,7; 197,5; 163,7; 96,1; 161,5; 96,4; 163,5;
300
101,3; 129,2; 129,9; 115,6; 158,8; 115,7; 130,1; 49,0; 83,0; 73,3; 198,1; 163,9; 97,0;
164,1; 100,9; 167,0; 102,6; 129,7; 115,8; 158,5; 158,6; 115,5; dan 128,4; Nilai
pergeseran kimia pada cincin C suatu flavaoid adalah khas dan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerangka dasar berbagai tipe senyawa flavonoid (Agrawal dan
Rastogi, 1981). Nilai δC 197,5 ppm dan 198,1 ppm merupakan δC untuk atom C-4
(C karbonil) pada cincin piron pusat ( cincin C) untuk 5,7 dihidroksiflavanon dan
flavanonol. Nilai δC untuk atom C-2nya adalah 83,0 ppm dan C-3nya 73,3 ppm. Untuk
cincin A, nilai pergeseran kimia pada atom C-5=163,7; C-6=96,1; C-7=164,1; C8=96,4; C-9=163,5 dan C-10=101,3 ppm. Adapun nilai pergeseran kimia untuk cincin
B dari atom C-1' – C-6' berturut-turut adalah 129,2; 129,9; 115,6; 158,8; 115,5;
128,4 ppm. Sedangkan δC 49,0 ppm adalah nilai pergeseran kimia untuk atom C
metil pada gugus metoksi.
4.4 Spektrum 1H – NMR Senyawa Hasil Isolasi
Nilai pergeseran kimia (δH) ppm spektrum 1H – NMR senyawa hasil isolasi
adalah sebagai berikut : 5,51 d 12,2; 4,60 d 1,2; 12,27 s OH; 5,82 s; 11,59 s OH; 5,92
s; 7,20 d 5; 6,91 s OH; 1,36 s (3H); 6,71 d 9,9; 7,19 d 5; 5,01 d 1,6; 4,79 d 12,2; 5,95s
OH; 12,40 s OH; 6,04 s 11,70 s OH; 7,29 d 5 6,83 d 10; 8,64 s OH; 6,83 d 7,3; dan 7,30
d 5; Dari data nilai pergeseran kimia (δH ppm) spektrum 1H – NMR senyawa hasil
isolasi menunjukkan adanya beberapa kelompok proton yaitu δH 12,27 s dan 12,20 s
adalah δH untuk OH khelat dengan C = O. Nilai δH ppm 11,59 s ; 6,91 s; 5,95 s;
11,70 s; dan 8,64 s; adalah nilai δH ppm untuk OH bebas dan δH ppm 4,60 d
11,2; 5,82 s; 5,92 s; 6,71 d 9,9; 7,19 d 5; 5,01 d 11,6; 4,79 d 12,2; 6,04 s; 7,29 d 5;
6,76 d 5; 6,75 d 5; 7,30 d 5; adalah nilai δH ppm untuk proton pada sistem aromatik.
Sedangkan δH ppm 1,36 s (3H) adalah δH untuk 1 metil pada gugus metoksi yang
diperkuat dengan adanya δC ppm 49,0 pada spektrum 13C-NMR senyawa tersebut.
Proton pada atom C-2 untuk senyawa flavanon muncul sebagai kwartet (2 doblet)
dengan J cis = 5 Hz dan
J trans = 11 Hz dekat 5,2 ppm sebagai hasil kopling
dengan 2 proton pada atom C-3. Proton pada atom C-3 berpasangan satu sama lain
dengan J = 17 Hz akibat dari interaksi spin-spin pada atom C-2 sehingga memberikan
puncak overlap kwartet di dekat 2,8 ppm. 2 dari masing-masing signal adalah lemah
dan sering tidak teramati (Mabry dkk, 1970).
Pada atom C-2 senyawa hasil isolasi, nilai δH ppm teramati pada 5,01 d
J=11,2 Hz trans terhadap proton pada atom C-3. Sedangkan proton pada atom C-3
muncul 2 signal yaitu pada δH ppm 4,60 d J=11,2 Hz dalam posisi trans terhadap H
pada atom C-2 dan 5,95 s. Signal ini adalah sesuai untuk senyawa dihidroflavonol atau
flavanonol yangmana δH ppm 5,95 s adalah nilai δH ppm untuk gugus OH. Adapun
proton pada atom C-6 dan C-8 muncul pada signal 5,82 s dan 5,92 s karena keduanya
(atom C-6 dan C-8) tersebut mempunyai tetangga yaitu atom C-5 dan C-7 yang
mengikat gugus OH, sedangkan atom C-9 sebagai tetangga atom C-8 tidak mengikat
atom H. Nilai δH ppm pada atom C-2' 7,20 d J=5 Hz yang berarti bahwa proton ini
mempunyai posisi meta terhadap atom C-6'. Adapun δH ppm 6,71 d J=9,9 Hz adalah
nilai pergeseran proton yang terikat pada atom C-5' dalam posisi orto terhadap atom H
pada C-6'. Signal 1,36 s (3H) adalah signal untuk 1 metil pada gugus metoksi yang
diperkuat dengan adanya nilai δC ppm 49,0 untuk gugus metoksi. Signal-signal 11,59 s
; 6,91 s; 5,95 s; 11,70 s; dan 8,64 s; adalah signal-signal untuk H pada gugus OH
bebas senyawa tersebut.
301
4.5 Penentuan Struktur Senyawa Hasil Isolasi
Dari hasil analisa spektrum 1H-NMR senyawa hasil isolasi, nilai-nilai
pergeseran kimia proton NMR untuk atom-atom C-2 dan C-3 pada cincin C dan C-5,
C-6, C-7,C-8 pada cincin A serta C-2', C3', C4', C5', C6' pada cincin B, diketahui
bahwa nilai-nilai pergeseran kimia yang ada adalah berulang dengan nilai pergeseran
(δH ppm) yang mendekati satu sama lain dengan memunculkan 24 nilai signal proton.
Hipotesa sementara senyawa hasil isolasi berdasarkan hasil analisa spektrum UV, IR,
13
dan
C-NMR adalah suatu senyawa biflavanon dengan 2 cincin flavanoid yang
identik yaitu flavanon dan flavanonol. Setelah dilengkapi dengan data hasil analisa
spektrum 1H-NMR serta membandingkanya dengan hasil-hasil analisa spektrum
beberapa senyawa flavanoid yang ada pada jurnal, maka dapat disarankan bahwa
senyawa hasil isolasi adalah suatu senyawa biflavanon yang terbentuk dari senyawa
flavanon (naringenin) dan senyawa flavanonol (taxifolin) yang terikat satu sama lain
pada posisi C-3 (cincin C) dan C-8'' (Cincin A) dengan rumus struktur C31 H24O13 dan
nama IUPAC 5,7,3',3'',5'',7'',3''',4''' – oktahidroksi - 4'- metoksi - 3,8''- biflavanon
adalah mempunyai struktur molekul sebagai berikut ini :
OH
3'
8
HO
4' OMe
O
9
6'
3
6
OH
OH
2'''
OH
O
8''
HO
O
10 ''
4''
6''
OH
6'''
OH
O
(1)
Berdasarkan uraian dan penjelasan data hasil analisa spektrum UV, IR,
C-NMR dan 1H-NMR di atas dan setelah membandingkannya dengan data-data hasil
spektrum senyawa GB3 maka dapat diambil kesimpulan bahwa senyawa hasil isolasi
mempunyai struktur molekul yang sama dengan senyawa GB3 yang pernah dilaporkan
pada jurnal oleh Kabangu dkk, (1986); Data fisika senyawa hasil isolasi adalah berupa
padatan kuning (200 mg) dengan titik leleh 229 - 2300 C yang diuji dengan
menggunakan alat uji titik leleh Fisher johns MP apparatus.
13
4.6 Hasil Uji Bioaktifitas Invitro Antimalaria
Hasil uji bioaktifitas invitro antimalaria terhadap senyawa hasil isolasi
menunjukkan bahwa senyawa tersebut kurang aktif sebagai antimalaria dengan nilai
IC50 3,36 μg/ml jika dibandingkan dengan kloroquin.
V. KESIMPULAN
Senyawa Hasil isolasi dari tumbuhan Garcinia picrorhiza Miq pada penelitian
ini setelah ditentukan struktur molekulnya dengan menggunakan data spektroskopi
UV,IR, 13C-NMR dan 1H-NMR adalah suatu senyawa biflavanon dengan nama IUPAC
5,7,3',3'',5'',7'',3''',4'''-oktahidroksi-4'-metoksi-3,8''-biflavanon.
Senyawa
tersebut
memiliki struktur molekul yang sama dengan senyawa GB3 yang pernah dilaporkan
302
pada jurnal oleh Kabangu, dkk (1986). Hasil uji invitro antimalaria terhadap senyawa
hasil isolasi menunjukkan bahwa senyawa tersebut kurang aktif sebagai antimalaria
dengan nilai IC50 3,36 μg/ml jika dibandingkan dengan kloroquin.
VI. Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada :
1. Dirjen Dikdasmen Dikmenjur Depdiknas, yang telah memberikan beasiswa
terbatas untuk mengikuti Program Magister Kimia di ITS Surabaya ini.
2. Pemda Kabupaten Buru yang telah membantu biaya penelitian dan pembelian
buku kuliah.
3. Dr. Tukiran, M.Si. dan staf dari UNESA Surabaya yang telah membantu dalam
pembuatan data spektroskopi UV dan IR.
4. Ahmad Darmawan, S.Si dan Sofa Fajriati S.Si dari PUSPITEK LIPI Serpong
Banten yang telah membantu pembuatan data spektroskopi 1H-NMR dan
13
C-NMR.
5. Dr. Aty Widyawaruyanti, M.Si dan Dra. Maria Nindatu, M. Kes dari Fakultas
Farmasi UNAIR Surabaya yang telah membantu menguji bioaktifitas senyawa.
6. Kepala Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Kebun Raya Bogor Jawa Barat
yang telah membantu mengidentifikasi tumbuhan spesies Garcinia picrorhiza
Miq.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, P.K., Rastogi, R.P. (1981)
Heterocycles, 16 (12) 2181-2216.
13
C-NMR Spectroscopy of Flavonoids.
Deachathai, S. (2005) Phenolic Compounds from the Fruit of Garcinia dulcis.
Phytochemistry, 66 (19) 2368-75
Ersam, T. (2001) Senyawa Kimia Mikromolekul beberapa Tumbuhan Artocarpus
Hutan Tropika Sumatera Barat, Disertasi, PPs. ITB, Bandung.
Fidock DA, Rosenthal PJ, Croft SL, Brun R, Nwaka S, 2004. Antimalarial drug
discovery : Efficacy models for compound screening, Review, Nature 3 (Juni)
: 509-520.
Iinuma, M., Tosa, H., Tanaka, T., Asai, F., Shinamo, R. (1996) Two Xanthones with
1,1 Dimethilallyl group in root bark of Garcinia subelliptica. Phytochemistry,
39 (4) 945-947
Jackson,B., Locksley, H.D., Scheinman, F., (1971) Extractives from Guttiferae, Part
XXII. The isolation and structure of four novel Biflavanones from from the
heartwood of Garcinia eugeniifolia Wall. J. Chem. Soc, 3791-3803.
Mabry,T.J, Markham K.R, The Systematic Identification of Flavanoids, SpringerVerlag 1970
Markham ,K.R (1988) Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan ITB Bandung.
303
Peres, V., Nagem, T. J., Olivera F. (2000) “Tetraoxygenated Naturally Occuring
Xanthones”, Phytochemistry, 55 683 – 710.
Rismita Sari dan Abdul Hanan (2000) “Garcinia (Clusiaceae) di Kebun Raya Bogor
: Fisiognomi, Keragaman dan Potensi “ 73
Rumphius dalam Heyne (1987) ”Tumbuhan Berguna Indonesia” jilid III Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,Departemen Kehutanan Jakarta
1387-1388
304
Senyawa Fenolik dari Ekstrak Kloroform
Kulit Batang Tumbuhan Kedoya (Dysoxylum gaudichandianum
A. Juss. Miq.) (Meliaceae)
Tukiran, S. Hidayati Syarief, N. Hidayati, dan B. Eka
Kelompok Penelitian Kimia Organik Bahan Alam
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Surabaya, Jl.Ketintang, Surabaya, 60231
Abstrak
Suatu senyawa fenolik, p-hidroksiasetofenon telah berhasil diisolasi dari ekstrak
kloroform kulit batang tumbuhan kedoya (Dysoxylum gaudichandianum A. Juss. Miq)
(Meliaceae). Struktur senyawa ini ditetapkan berdasarkan data spektroskopi IR dan
NMR.
Kata kunci : Dysoxylum gaudichandianum A.Juss. Miq., Kedoya, Meliaceae, Phenolic
Abstract
A phenolic compound, p-hydroxyacetophenone had been isolated from chloroform
extract of stem bark of kedoya (Dysoxylum gaudichandianum A. Juss. Miq.)
(Meliaceae). This structure had been established based on spectroscopic data of IR and
NMR.
Key words :
Dysoxylum gaudichandianum A. Juss. Miq., Kedoya, Meliaceae,
Phenolic
*) Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia di Jurusan Kimia – Unesa, Surabaya,
tanggal 5 Desember 2007
305
1. PENDAHULUAN
Genus Dysoxylum terdiri dari 200 spesies yang tumbuh secara alami di India
dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut literatur, ekstrak dari beberapa
spesies dari genus ini mempunyai sifat sitotoksik, anti-radang, dan antimalaria.
Hingga sekarang ini, banyak senyawa seperti triterpena, triterpen glikosida,
tetranortriterpenoid, diterpena, steroid, dan alkaloid, telah berhasil diisolasi dari
tumbuhan genus ini.
Suatu senyawa tetranortriterpenoid baru, yaitu lenticellatumin, tiga senyawa
terpenoid yang sudah dikenal, dysoxylumin C, asam eichlerianat, dan dysoxylumin
F, bersama-sama dengan tiga senyawa seramida yang sudah dikenal, 1-O- β-Dglucopiranosil- (2S,3S,4R,8Z)-2-N-(2’-hidroksitetrakosanoil) oktadekasphinga- 8ena,
(2S,3S,4R,8E)-2-N-(2’-hidrokstetrakosanoil)
oktadekasphinga-8-ena,
(2S,3R,4E)-2-N-(2’-hidrokstetrakosanoil) oktadekasphinga- 4-ena, telah berhasil
diisolasi dari ranting tumbuhan Dysoxylum lenticellatum. Dilaporkan pula bahwa
senyawa 1-O- β-D-glucopiranosil- (2S,3S,4R,8Z)-2-N-(2’-hidroksitetrakosanoil)
oktadekasphinga- 8-ena menunjukkan aktivitas antimakan yang kuat terhadap
serangga Pieris brassicae L., sementara dua senyawa terakhir memperlihatkan
aktivitas antimakan yang lemah [1].
Selanjutnya dilaporkan bahwa suatu senyawa triterpen baru, yaitu beddomei
lacton telah diisolasi dari tumbuhan Dysoxyum beddomei, bersama-sama dengan
enam senyawa triterpenoid yang sudah dikenal, 3-oksotirucalla-7,24-dien-23-ol,
dipterocarpol, niloticin, melianone, melianodiol, dan 24-epi-melianodiol [2]. Di sisi
lain
dilaporkan
pula,
dua
senyawa
triterpen
di
atas,
yaitu
3β,24,25-
trihidroksisikloartana dan beddomei lacton menunjukkan sifat sitotoksik terhadap
hama serangga beras Cnaphalocrocis medinalis (Guenée) [3].
Sebagai kelanjutan penelitian kami terhadap sejumlah tumbuhan Meliaceae,
seperti Khaya senegalensis [4] dan Sandoricum koetjape [5], kini kami mulai
menyelidiki kandungan kimia pada tumbuhan lain dalam famili tersebut, yaitu
tumbuhan kedoya (Dysoxylum gaudichandianum A. Juss. Miq.) yang diperoleh dari
Kebun Raya Purwodadi. Pada kesempatan ini, akan dilaporkan elusidasi struktur
suatu senyawa fenolik hasil isolasi dari ekstrak kloroform kulit batang tumbuhan
306
Dysoxylum spp. Struktur molekul senyawa hasil isolasi ditetapkan berdasarkan data
IR, 1H- dan 13C-NMR.
2. PERCOBAAN DAN HASIL
Umum. Penentuan spektroskopi inframerah (IR) suatu senyawa hasil isolasi
diukur dengan menggunakan alat spektrometer Buck Scientific M500. Spektrum 1H
dan
13
C NMR diukur dengan menggunakan spektrometer JEOL JNM-ECA500
NMR, beroperasi pada 500 MHz ( 1H) dan 125 MHz (13C), menggunakan pelarut
sebagai standar internal. Kromatografi cair vakum (KCV) dilakukan dengan
menggunakan Si Gel Merck 60 GF254, kromatografi kolom gravitasi (KKG) dengan
Si Gel Merck 60 (60 – 70 mesh), dan analisis kromatografi lapis tipis (KLT)
menggunakan pelat berlapis Si Gel Merck Kieselgel 60 F254 , 0,25 mm.
Pengumpulan Bahan Tumbuhan. Bahan tumbuhan berupa kulit batang
dari kedoya (Dysoxylum gaudichandianum A. Juss. Miq.) dikumpulkan pada bulan
Juni 2007 dari Kebun Raya Purwodadi. Tumbuhan ini telah diidentifikasi oleh staf
Herbarium LIPI, Purwodadi, Pasuruan dan spesimennya disimpan di Herbarium
tersebut.
Ekstraksi dan Isolasi. Serbuk kering kulit batang tumbuhan kedoya
(Dysoxylum gaudichandianum A. Juss., Miq) ini dimaserasi dalam pelarut metanol
sebanyak 3 kali, kemudian dievaporasi pada tekanan rendah dan diperoleh ekstrak
kental berwarna hijau tua (71,5 g). Selanjutnya, ekstrak kental metanol ini kembali
dilarutkan dalam sedikit pelarut metanol, untuk selanjutnya dipartisi dengan
kloroform sebanyak 3 kali pula. Setelah pelarut diuapkan dari porsi/bagian
kloroform pada tekanan rendah, diperoleh ekstrak kloroform kental berupa residu
berwarna hijau tua (30,7 g). Seluruh ekstrak kloroform ini difraksinasi sebanyak 3
kali dengan berat bagian masing-masing kurang lebih 10 g melalui KVC dengan
menggunakan eluen yang sama, yaitu heksana, campuran heksana – kloroform,
heksana – kloroform – metanol, dan metanol dengan tingkat kepolaran yang terus
meningkat, masing-masing menghasilkan 22, 34, dan 18 fraksi. Penggabungan
fraksi-fraksi tersebut atas dasar analisis KLT menghasilkan 4 fraksi utama, yaitu
fraksi A (2,123 g), B (3,974 g), C (3,104 g), dan D. Pemisahan berikutnya
dilakukan terhadap fraksi B (3,974 g) baik melalui cara/teknik KVC dan KKG
307
menggunakan berbagai macam eluen yang sesuai diikuti proses rekristalisasi,
dihasilkan suatu kristal putih sebanyak 20 mg (dan selanjutnya senyawa hasil
isolasi ini disebut isolat Bayu-Tuk-1). Uji karakterisasi berikutnya terhadap sampel
kristal isolat tersebut meliputi uji spektroskopi IR dan NMR.
Data spektroskopi senyawa hasil isolasi adalah sebagai berikut. Spektrum IR
(KBr) senyawa hasil isolasi menunjukkan serapan νmaks. pada 3300,6 (-OH);
2936,0 (-CH); 1663,5 (-C=O); 1575,3; 1507,0; dan 1450,7 (-C=C); 1357,0 (-CH3);
1278,9 (=C-OH); 1216,7; 1160,4; dan 845,1 (1,4-disubstitusi benzena) cm-1.
Spektrum
13
C-NMR (CDCl3, 125 MHz) senyawa hasil isolasi memperlihatkan
sejumlah sinyal pada δC 26,5 (1 CH 3), 115,6 (2 -CH=), 131,3 (2 –CH=), 130,1 (1 –
C=); 161,1 (1 –C-OH); dan 198,2 (-C=O) ppm.
3. PEMBAHASAN
Pemisahan ekstrak kloroform dari kulit batang tumbuhan dysoxylum spp.
dihasilkan suatu isolat Bayu-Tuk-1 yang diperoleh melalui beberapa tahap
fraksinasi, diikuti oleh pemilihan fraksi utama berdasarkan analisis kromatogafi
lapis tipis (KLT), pemurnian melalui kolom kromatografi dan rekristalisasi, serta
pengukuran spektroskopi.
Suatu isolat Bayu-Tuk-1 ini berupa kristal putih telah diperoleh dari kolom
kromatografi dan rekristalisasi berulang-ulang dalam pelarut metanol panas dari
fraksi gabungan V. Dengan pereaksi serium sulfat, senyawa ini memberikan warna
ungu dan memberikan pendar ungun dibawah lampu UV pada panjang gelombang
254 nm, berarti menunjukkan suatu senyawa fenolik.
Spektrum IR senyawa hasil isolasi ini memperlihatkan serapan pada daerah
3300,6; 2936,0; 1663,5; 1575,3; 1507,0; 1450,7; 1357,0; 1278,9; 1216,7; 1160,4;
dan 845,1 cm -1. Data-data serapan IR ini masing-masing menunjukkan vibrasi ulur
–OH (3300,6 cm -1), vibrasi ulur –CH (2936,0 cm-1), vibrasi ulur C=O (1663,5 cm1
), vibrasi ulur ikatan rangkap terkonjugasi dari benzena (C=C-C=C) (1575,3;
1507,0; dan 1450,7 cm -1), vibrasi tekuk C-H (1357,0 cm-1 ), dan vibrasi ulur C – O
(1278,9 cm -1) (Silverstein, 1981).
308
Berdasarkan spektrum
13
C-NMR senyawa hasil isolasi yang didukung oleh
spektrum HMQC, senyawa hasil isolasi ini memiliki 8 karbon yang terdiri dari 1
gugus metil (-CH3 ), 4 gugus metin (-CH-), dan 3 atom karbon kuaterner (-C=) (lihat
Table 2). Spektrum senyawa hasil isolasi ini memiliki 6 sinyal yang
menggambarkan adanya 1 gugus metil, yang terletak pada daerah geseran kimia (δC
ppm) 26,5, empat (4) gugus metin (-CH=) terletak pada daerah geseran kimia (δC
ppm) 115,6 (2 C) dan 131,3 (2 C), dan tiga (3) gugus metun (-C=) pada daerah
geseran kimia 130,1; 161,1; dan 198,2 (-C=O).
Sementara itu, spektrum 1H-NMR senyawa hasil isolasi memperlihatkan
sejumlah sinyal proton yang menggambarkan adanya 1 gugus metil (-CH3) pada
daerah 1,88 ppm, 1 gugus –OH fenol pada 6,93 ppm, 4 gugus metin (-CH=) di
daerah 6,91 (2 H) dan 7,90 (2 H) ppm yang menjadi ciri dari turunan 1,4disubstitusi benzena.
Akhirnya, data spektroskopi ini mendukung bahwa senyawa hasil isolasi
diduga sebagai senyawa p-hidroksiasetofenon, seperti digambarkan berikut.
O
8
CH3
7
4
5
3
6
p-Hidroksiasetofenon
2
1
OH
Tabel 1. Nilai geseran kimia dari spektrum H- dan C-NMR (δppm, CDCl3) dari
senyawa hasil isolasi (isolat Bayu-Tuk-1)
No. C
1
2(6)
3(5)
4
7
8
=C-OH
1
H- NMR (ppm)
6,91 (d, J = 8,0 Hz)
7,90 (d, J = 8,0 Hz)
1,88 (s)
6,93 (s)
13
C- NMR (ppm)
161,1
115,6
131,3
130,1
198,2
26,5
-
309
Jenis Karbon
=C-OH
-CH=
-CH=
-C=
-C=O
-CH3
4. KESIMPULAN
Penelitian kimia pada tumbuhan kedoya (Dysoxylum gaudichandianum
A.Juss. Miq.) telah dilakukan di laboratorium kami, dan dari penelitian ini telah
ditemukan suatu senyawa fenolik, yaitu p-hidroksiasetofenon. Sejauh ini, studi
fitokimia terhadap tumbuhan dalam genus Dysoxylum perlum pernah ditemukan
senyawa fenolik tersebut. Untuk mengungkap lebih jauh senyawa-senyawa fenolik
lainnya guna mencari keragaman dan pola kimia senyawa-senyawa pada tumbuhan
tersebut, kami masih terus melanjutkan kegiatan penelitian ini.
Ucapan terima kasih
Penelitian ini dibiayai oleh DIPA Unesa, Jenis Payung Riset Unggulan
Tahun 2007. Terima kasih disampaikan kepada staf LIPI, Kebun Raya Purwodadi,
Pasuruan, yang telah membantu mengidentifikasi spesimen tumbuhan tersebut.
Terima kasih pula disampaikan kepada staf LIPI ”Pusat Penelitian Kimia’, Serpong,
atas bantuan pengukuran spektroskopi NMR.
Referensi :
1. Qi, S.-H., Wu, D.-G., Zhang, S., dan Luo, X.-D., 2003, “A New
Tetranortriterpenoid from Dysoxylum lenticellatum”, Z. Naturforsch., 58b, 1128
– 1132.
2. Hisham, A., Jayakumar, G., Ajitha Bai, M.D., Fujimoto, Y., 2004,
“Beddomeilactone: A New Triterpene from Dysoxylum beddomei”, Natural
Product Research, Vol. 18 (4), 329 – 334.
3. Nathan, S.S., Choi, M.-Y., Paik, C.-H., dan Seo, H.-Y., 2007, “Food
consumption, utilization, and detoxification enzyme activity of the rice
leaffolder larvae after treatment with Dysoxylum triterpenes”, Pesticide
Biochemistry and Physiology, 88 (3), 260-267.
4. Tukiran, Sri Hidayati, S., dan Iid, F., Suatu Senyawa Steroid dari Ekstrak nHeksana Kulit Batang Tumbuhan Kaya (Khaya Senegalensis (Desr.) A. Juss)
(Meliaceae)”, Presentasi oral, Kumpulan Abstrak, Seminar Nasional MIPA, 17
Desember 2005, UNESA Surabaya.
310
5. Tukiran, Saidah, Suyatno, Nurul Hidayati, and Shimizu, K., 2006, “Briononic
acid from The Hexane Extracts Sandoricum koetjape Merr Stem Bark
(Meliaceae)”, Indonesian Journal of Chemistry, Vol.2(1), .
311
PEMILIHAN PELARUT DAN OPTIMASI SUHU PADA ISOLASI
SENYAWA ETIL PARA METOKSI SINAMAT (EPMS) DARI RIMPANG
KENCUR SEBAGAI BAHAN TABIR SURYA PADA INDUSTRI
KOSMETIK.
Abstrak
Titik Taufikurohmah, Rusmini, Nurhayati
Etil p-metoksisinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi
rimpang kencur (Kaempferia Galanga L) yang merupakan bahan dasar senyawa
tabir surya yaitu pelindung kulit dari sengatan sinar matahari. Isolasi EPMS dapat
dilakukan dengan berbagai pelarut karena struktur senyawa EPMS terdiri dari
gugus polar dan nonpolar, untuk lebih efektifnya maka perlu dilakukan pemilihan
pelarut untuk mengekstraknya. Dalam penelitian pemilihan pelarut yang
digunakan adalah heksan, etil asetat, alkohol dan aquades. Selain pelarut suhu
juga berpengaruh terhadap proses pelarutan karenanya dilakukan pula optimasi
suhu pada proses isolasi dengan pelarut yang telah terpilih.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah maeserasi yang diikuti
dengan perkolasi. Setelah didapatkan perkolat selanjutnya dipekatkan dengan
rotary vacuum evaporator, selanjutnya dikristalkan dan direkristalisasi.
Hasil penelitian pada pemilihan pelarut pada suhu kamar didapat bahwa
heksan adalah pelarut yang paling sesuai ditandai dengan % hasil isolasi tertinggi
yaitu 2,111% yang diikuti etanol yaitu 1,434%, dan etil asetat 0,542% sedangkan
dengan aquades tidak terdapat kristal. Pada optimasi suhu dengan pelarut heksan
didapat % hasil isolasi tertinggi terjadi pada suhu 50oC yaitu 8,873%, diikuti suhu
60oC yaitu 8,765% dan suhu 40oC yaitu 7,236%, sedangkan suhu 70 oC
memberikan prosentase terkecil yaitu 7,218%. Seluruh hasil isolasi selanjutnya
dilakukan uji kemurnian dengan penentuan TL didapat sekitar 46,5oC mendekati
TL EPMS standard, demikian pula pengujian dengan KLT memberikan Rf yang
identik dengan EPMS standard pada berbagai pelarut pengembang. Analisa
menggunakan IR menunjukkan pita serapan IR baik ulur maupun tekuk dengan
kemiripan diatas 98%, hal ini menunjukkan adanya struktur senyawa yang identik
antara EPMS standard dengan hasil isolasi.
Bab I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan iklim tropik di mana sinar
matahari menyinari wilayah Indonesia sepanjang tahun. Sinar matahari
merupakan sumber kehidupan bagi makhluk yang tinggal di bumi ini. Banyak
manfaat yang dapat diambil dari kehadiran matahari, namun ada juga yang
kurang menguntungkan yaitu sengatan panasnya matahari yang dapat
membakar kulit terutama sinar UV. Untuk mengurangi sengatan sinar UV ini
dapat digunakan pelindung misalnya berteduh atau memakai payung, namun
dalam beberapa hal keduanya tak mungkin dilakukan misalnya pada saat harus
keluar rumah dan beraktivitas. Menggunakan lotion pelindung matahari adalah
solusi yang tepat dan mudah dilakukan.
312
Tanaman kencur (Kaempferia Galanga L) telah lama digunakan oleh
nenek moyang kita dalam campuran bedak yaitu bedak dingin beras kencur
yang dapat mengurangi sengatan sinar matahari dan memberikan rasa sejuk
pada permukaan kulit. Penelitian telah membuktikan kebenaran pengalaman
nenek moyang kita bahwa dalam tanaman kencur memang mengandung
senyawa tabir surya yaitu etil p-metoksisinamat.
Etil p-metoksisinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi
rimpang kencur (Kaempferia Galanga L) yang merupakan bahan dasar
senyawa tabir surya yaitu pelindung kulit dari sengatan sinar matahari.
Senyawa tabir surya terutama yang berasal dari alam dirasa sangat penting
saat ini dimana tidak hanya wanita saja yang memerlukan perlindungan kulit
akan tetapi pria pun memerlukan tabir surya untuk melindungi kulit agar tidak
coklat atau hitam tersengat sinar matahari. Kulit dengan perlindungan akan
tampak lebih baik dalam hal warna yaitu akan terlihat lebih bersih dan lebih
putih.
EPMS merupakan senyawa aktif yang ditambahkan pada lotion kulit
ataupun pada bedak setelah mengalami sedikit modifikasi yaitu perpanjangan
rantai dimana etil dari ester ini digantikan oleh oktil, etil heksil, atau heptil
melalui transesterifikasi maupun esterifikasi bertahap. Modifikasi yang
dilakukan diharapkan mengurangi kepolaran EPMS sehingga kelarutannya
dalam air berkurang yang merupakan salah satu syarat senyawa sebagai tabir
surya. Selain dari itu juga untuk mengurangi tingkat bahaya terhadap kulit,
EPMS bila terhidrolisa akan melepaskan etanol yang bersifat karsinogenik
terhadap kulit sedangkan hasil modifikasinya akan melepaskan alkohol
dengan rantai lebih panjang yang tidak berbahaya.
Mengingat kebutuhan akan senyawa tabir surya yang terus meningkat
maka mengisolasi dari alam dengan bahan dasar yang murah adalah salah satu
pilihan yang menguntungkan dipandang dari berbagai kepentingan. Industri
kosmetik lebih diuntungkan dengan tersedianya bahan tabir surya yang lebih
murah bila dibanding dengan import di satu sisi, sementara disisi lain petani
kencur juga akan merasakan perbaikan harga dari hasil pertaniannya.
Kenyataan inilah maka sangat perlu pengembangan bagaimana menyediakan
EPMS ini di dalam negeri terutama karena Indonesia sangat potensi akan
tanaman kencur. Saat ini yang terpenting adalah mengupayakan bagaimana
mengoptimasi isolasi EPMS ini dari tanaman kencur agar didapatkan hasil
dengan prosentase tertinggi.
EPMS termasuk dalam golongan senyawa ester yang mengandung
cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus
karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga dalam
ekstraksinya dapat menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi
kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air, dan heksan.
Isolasi yang telah dilakukan sejauh ini adalah pada suhu kamar,
sedangkan kelarutan suatu zat selalu meningkat dengan kenaikan suhu.
Kelarutan suatu zat padat dan zat cair pada suatu pelarut meningkat dengan
kenaikan suhu bila proses pelarutannya adalah endoterm, sedangkan untuk
proses pelarutan yang bersifat eksoterm pemanasan justru menurunkan harga
kelarutan zat. Fenomena yang kedua ini jarang dijumpai di alam yang umum
313
adalah proses pelarutan yang bersifat endoterm yaitu memerlukan kalor.
Beberapa zat dalam larutan akan rusak atau terurai dam menguap dengan
pemanasan sehingga suhu ekstraksi harus diperhatikan agar senyawa yang
diharapkan tidak rusak.
Dalam ekstraksi suatu senyawa yang harus diperhatikan adalah
kepolaran antara pelarut dengan senyawa yang diekstrak, keduanya harus
memiliki kepolaran yang sama atau mendekati sama. EPMS adalah suatu ester
yang mengandung cincin bensen dan gugus metoksi yang bersifat non polar
dan mengandung gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat agak polar
menyebabkan senyawa ini mampu larut dalam beberapa pelarut dengan
kepolaran bervariasi, dimana dalam eksperimen ini dicoba heksana, etil asetat,
alkohol dan air dalam pencarian pelarut yang tepat.
Selain pelarut, suhu juga ikut berpengaruh terhadap proses ekstraksi
suatu bahan, dimana hampir semua zat padat dan zat cair kelarutannya dalam
pelarut akan meningkat dengan kenaikan suhu. Beberapa senyawa akan rusak
atau terurai dengan kenaikan suhu sehingga tidak mungkin suhu dinaikkan
terus selama proses ekstraksi karena itu perlu diketahui suhu optimum untuk
proses ekstraksi EPMS ini dengan pelarut yang sesuai yaitu pelarut yang
diperoleh dari optimasi pelarut sebelumnya.
Dengan asumsi-asumsi dari teori diatas maka rumusan masalah yang ingin
di jawab dalam penelitian ini adalah ;
1. Pelarut apa yang sesuai untuk proses ekstraksi dalam isolasi EPMS
dari rimpang kencur agar menghasilkan prosen isolat tertinggi.
2. Pada suhu berapa proses isolasi EPMS dengan pelarut terpilih yang
menghasilkan prosen isolat tertinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pelarut yang paling sesuai
dan suhu optimum proses isolasi EPMS dari rimpang kencur. Pemilihan
pelarut dan optimasi suhu bertujuan agar didapatkan prosen isolat yang tinggi,
dan bisa diterapkan dalam skala yang lebih besar guna pemenuhan kebutuhan
akan senyawa EPMS sebagai bahan dasar tabir surya di kalangan industri
kosmetik Indonesia.
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat
mengisolasi EPMS dari rimpang kencur dengan pelarut dan suhu yang tepat,
manfaat yang lain yaitu dari kalangan industri kosmetik yang dapat membeli
bahan kosmetik yang lebih murah dibanding dengan bila harus mengimport
bahan kosmetik tersebut
Bab II. KAJIAN PUSTAKA
Tabir surya adalah suatu senyawa yang digunakan untuk menyerap
secara efektif sinar matahari terutama daerah emisi gelombang UV sehingga
dapat mencegah gangguan pada kulit akibat pancaran secara langsung sinar UV
tersebut (Kreps,1972).
Sinar matahari yang membahayakan kulit adalah radiasi ultraviolet
dimana sinar ini dibedakan menjadi tiga, yaitu sinar ultraviolet A (UV-A), UVB dan UV-C yang ketiganya mempunyai panjang gelombang dan efek radiasi
314
yang berbeda. Sinar UV-A dengan panjang gelombang 320-400 nm mempunyai
efek penyinaran, dimana timbul pigmentasi yang menyebabkan kulit berwarna
coklat kemerahan. Sinar UV-B dengan panjang gelombang 290-320nm
memiliki efek penyinaran, dimana dapat mengakibatkan kanker kulit bila terlalu
lama terkena radiasi. Sedangkan Sinar UV-C dengan panjang gelombang 200290nm yang tertahan pada lapisan atmosfer paling atas dari bumi dan tidak
sempat masuk ke bumi karena adanya lapisan ozon, efek penyinarannya paling
kuat karena energi radiasinya paling tinggi diantara ketiganya yaitu dapat
menyebabkan kanker kulit dengan penyinaran yang tidak lama (Harry, 1982).
Secara alamiah kulit manusia telah mempunyai sistim perlindungan
terhadap sinar UV yaitu penebalan stratum corneum, pembentukan melanin, dan
juga pengeluaran keringat. Namun pada penyinaran yang berlebihan sistim
pertahanan alamiah ini tidak mencukupi lagi sehingga menyebabkan beberapa
gangguan pada kulit, karena itu diperlukanlah senyawa tabir surya untuk
melindungi kulit dari radiasi UV secara langsung (Cumpelick, 1972).
Senyawa tabir surya ada dua macam yaitu senyawa yang melindungi
secara fisik dan senyawa yang menyerap secara kimia. Adapun senyawa yang
melindungi secara fisik contohnya adalah senyawa titanium oksida, petroleum
merah, dan seng oksida, sedangkan senyawa yang menyerap secara kimia
contohnya adalah turunan asam p-aminobenzoat, turunan ester pmetoksisinamat, dan oksibenzena (Shaath, 1986).
Ciri senyawa tabir surya yang menyerap secara kimia adalah
mempunyai inti benzena yang tersubstitusi pada posisi orto maupun para yang
terkonjugasi dengan gugus karbonil. Senyawa-senyawa demikian diantaranya
adalah turunan asam para amino benzoat (PABA), turunan salisilat, turunan
antranilat, turunan benzofenon, turunan kamfer dan senyawa-senyawa turunan
sinamat. Senyawa turunan sinamat yang telah digunakan sebagai tabir surya
antara lain adalah oktil sinamat, etil4-isopropil sinamat, dietanolamin pmetoksisinamat, dan isoamil p-metoksisinamat (Shaath, 1990). Selain itu
sebagai senyawa tabir surya juga masih harus memenuhi persyaratan yaitu
senyawa tersebut tidak atau sukar larut dalam air. Beberapa turunan sinamat
yang memenuhi persyaratan ini diantaranya oktil p-metoksisinamat, isoamil pmetoksisinamat, sikloheksil p-metoksisinamat, 2-etoksi etil p-metoksisinamat,
dietanolamin p-metoksisinamat dan turunan-turunan lain dari sinamat yang
mempunyai rantai panjang dan sistem ikatan rangkap terkonjugasi yang akan
mengalami resonansi selama terkena pancaran sinar UV.
Berbagai jenis rempah-rempah diantaranya kencur (Kaempferia
galanga) selain digunakan sebagai bumbu dapur juga dapat digunakan sebagai
obat-obatan tradisional karena khasiatnya dapat juga digunakan menjaga
kesehatan dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit, antara lain sebagai
penimbul rasa hangat, analgesik, penyembuh bengkak-bengkak, obat batuk,
penambah nafsu makan dan lain-lain (Kusumaningati, 1994).
Tanaman kencur mempunyai klasifikasi sebagai berikut: termasuk
dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiosperma, kelas Monocotyledoneae,
bangsa Scitamineae, suku jahe-jahean (Zingiberaceae), marga Kaempferia, dan
jenis Kaempferia galanga L, dengan nama lokal (Jawa) adalah kencur. Rimpang
tanaman ini banyak digunakan sebagai bumbu masak, dan bahan bobok
315
tradisional, baik digunakan sendiri maupun bersama rempah yang lain.
Campuran dari rempah kencur dengan tanaman lain dapat digunakan sebagai
obat luar yang bersifat analgesik, antipiritik, anti inflamasi dan anti mikroba.
Kencur juga digunakan sebagai bahan kosmetik yaitu dalam ramuan tradisional
bedak dingin beras kencur (Kusumaningati, 1994).
Kandungan senyawa kimia dari rimpang kencur (menurut J.J.
Afriastini, 1990) antara lain minyak atsiri berupa sineol sebanyak 0.02%, asam
metil kanil, pentadekana, ester etil sinamat, asam sinamat, borneol, kamfena,
paraeumarina, asam anisat, alkaloid, gom mineral sebanyak 13.7% dan pati
4.14%. Kandungan minyak atsiri dalam rimpang kencur yaitu 2-4% yang terdiri
dari etil sinamat, etil p-metoksisinamat, p-metoksi stirena, n-pentadekana,
borneol, kamfen, 3,7,7-trimetil bisiklo [4,1,0] hept-3-ena (Didik, dkk, 1989).
Larutan adalah campuran yang homogen, artinya setelah kedua zat
dicampur, maka keduanya akan menghasilkan satu fasa (homogen) yang
mempunyai sifat dan komposisi yang sama antara satu bagian dengan bagian
lain dalam campuran tersebut. Larutan terdiri dari pelarut (komponen yang besar
jumlahnya) yang biasa disebut solven dan zat terlarut (solut).
Macam-macam larutan
==========================================================
zat terlarut
pelarut
contoh
gas
gas
udara
gas
cair
oksigen dalam air
gas
padat
hidrogen dalam serbuk Pt
cair
padat
raksa dalam almagam padat
cair
cair
alkohol dalam air
padat
padat
emas dalam perak
padat
cair
gula dalam air
Jika kelarutan zat kurang dari 0,1 gram dalam 1000 gram pelarut disebut tidak
larut (insoluble), misal kaca dan plastik dalam air.
Konsentrasi larutan menyatakan komposisi larutan secara kuantitatif
atau perbandingan jumlah zat terlarut dengan pelarut.
Beberapa satuan konsentrasi:
 Fraksi mol (X) = mol zat terlarut/(mol zat terlarut+mol pelarut)
 Molaritas (M) = mol zat terlarut/ liter larutan
 Molal (m) = mol zat terlarut/ 1000 g pelarut
 Normal (N) = mol ekivalen zat terlarut/ liter larutan
 % massa = (gram zat terlarut/ gram larutan) x 100%
 5 volume = (liter zat terlarut/ liter larutan) x 100%
 Ppm = mg zat terlarut/ kg larutan
Walaupun suatu zat bisa larut dalam pelarut cair, tetapi jumlah yang
dapat larut selalu terbatas dan batas itu disebut kelarutan. Suatu larutan lewat
jenuh merupakan kesetimbangan dinamis. Kesetimbangan bergeser bila suhu
dinaikkan. Pada umumnya kelarutan zat padat dalam larutan bertambah bila suhu
316
dinaikkan, karena umumnya proses pelarutan bersifat endotermik, tapi ada pula
yang sebaliknya.
Kelarutan dalam
Zat padat
cairan
T
Pengaruh kenaikan suhu pada kelarutan zat berbeda-beda. Hal ini
merupakan dasar pemisahan secara kristalisasi bertingkat, misal memisahkan
kristal KNO3 dan KBr yang bercampur. Dengan menaikkan suhu kristal KNO3
segera mencair sedang KBr tidak. Bila menggunakan pelarut air, maka KNO3
akan larut sedang KBr tidak, dengan menyaring keduanya terpisah (dalam
keadaan panas).
Bab III. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian.
S-------------- P1-------------H1
P2-------------H2
P3-------------H3
P4-------------H4---------------H Opt / P Opt
S--------------P Opt T1----------H5
P Opt T2----------H6
P Opt T3----------H7
P Opt T4----------H8------------T Opt
Keterangan;
S
= sampel berupa rimpang kencur
P1-P4 = Pelarut ( 1=Heksan, 2=Etil asetat, 3= Etanol dan 4 = air)
H1-H4 = %isolat dengan Pelarut 1-4
H opt = %isolat paling besar
P opt = Pelarut dengan %isolat paling besar
T1-4 = Suhu (1=30oC, 2=50oC, 3=70oC dan 4= 90oC)
H5-8 = %isolat dengan pelarut terpilih pada suhu (1=30oC, 2=50oC, 3=70oC,
4=90oC)
Teknik pengumpulan data dimulai setelah prosedur berikut ini dilakukan yaitu:
Isolasi etil p-metoksi sinamat ( EPMS ) dari rimpang kencur
Rimpang kencur dicuci dengan air hingga bersih, ditiriskan lalu diiris-iris
tipis agar mudah kering. Selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari tidak
langsung, setelah kering dihaluskan menjadi serbuk dan direndam dalam
perkolator dengan pelarut selama 24 jam. Cairan perkolat ditampung dalam
erlenmeyer dan residu direndam lagi sampai beberapa kali hingga diperoleh
perkolat yang warnanya kuning pucat dengan total perkolat 5 liter tiap kg serbuk.
Perkolat selanjutnya dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator hingga
diperoleh larutan pekat yang selanjutnya didinginkan dalam penangas es hingga
terbentuk kristal. Kristal yang didapat masih kotor dan dicuci dengan pelarut
317
sedikit saja lalu direkristalisasi dengan metanol hingga didapat kristal jarum yang
tidak berwarna. Isolasi dengan proses ekstraksi di atas dilakukan menggunakan
beberapa pelarut yaitu etanol, etil asetat, air dan hexana untuk mendapatkan
pelarut paling sesuai yaitu pelarut yang mampu mengekstrak EPMS terbanyak
dalam berat bahan yang sama dan volume pelarut sama. Setelah diperolah pelarut
yang sesuai selanjutnya dilakukan Isolasi dengan ekstraksi menggunakan pelarut
tersebut pada berbagai suhu yaitu suhu kamar (30 oC), 50 oC, 70 oC, dan 90
o
C.Untuk mempertahankan suhu digunakan waterbath dan agar rendaman tidak
kehilangan pelarut maka diusahakan tutup yang memungkinkan pelarut yang
menguap akan masuk dalam rendaman kembali.
Instrumen penelitian melipuli peralatan iolasi yaitu seperangkat alat
perkolasi berupa peralatan gelas, alat pemekat berupa Rotary Vacum Evaporator,
peralatan gelas untuk kristalisasi dan rekristalisasi, instrumen pengukur Titik leleh
dan dilanjutkan dengan instrumen analisis yaitu UV-Vis, GC-MS, IR dan NMR.
Data Instrumen senyawa hasil isolasi dibuat tabel dan dibandingkan dengan data
instrumen senyawa EPMS murni sebagai pembanding.
Data pada optimasi jenis pelarut berupa massa hasil isolasi yang diperoleh
untuk tiap jenis pelarut dihitung prosentasenya dengan rumus. Hasil prosentase
tertinggi menunjukkan proses ekstraksi untuk senyawa EPMS paling sesuai
artinya pelarut tersebut mengekstrak EPMS paling sempurna karena mempunyai
kepolaran yang paling mendekati kepolaran EPMS itu sendiri. Hasil dari optimasi
ini didapatkan pelarut optimum dan selanjutnya digunakan untuk optimasi suhu.
Data pada optimasi suhu dengan menggunakan pelarut terpilih berupa
massa hasil isolasi juga dihitung prosentasenya dengan rumus. Hasil prosentase
tertinggi menunjukkan bahwa pada suhu tersebut senyawa EPMS terekstrak
dengan sempurna, senyawa tidak terurai dan tidak rusak pada suhu tersebut. Hasil
dari optimasi ini diperoleh suhu optimum proses ekstraksi EPMS dengan pelarut
terpilih.
Untuk menafsirkan data instrumen EPMS senyawa hasil isolasi
dibandingkan dengan senyawa EPMS murni. Data titik leleh senyawa dikatakan
identik bila range titik leleh keduanya sama atau berbeda 0,5-1 oC. Data IR
senyawa dikatakan identik bila serapan-serapan pada wilayah panjang gelombang
yang sama terhadap sinar infra merah. Data NMR suatu senyawa dikatakan
identik bila menghasilkan spektogram yang sama. Data MS suatu senyawa
dikatakan identik bila pola fragmentasi keduanya sama. Data UV-Vis senyawa
dikatakan identik bila keduanya mempunyai serapan pada wilayah panjang
gelombang yang sama.
Bab IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Hasil Pemilihan Pelarut Pada Proses Isolasi EPMS Pada suhu Kamar
Jenis Pelarut
Heksana
Etil Asetat
Etanol
Aquades
Prosentase Hasil Isolasi
2,111%
0,542%
1,434%
-
318
Hasil Optimasi Suhu Pada Proses Isolasi EPMS Dengan Pelarut Heksana
Suhu Ekstraksi
40oC
50oC
60oC
70oC
Prosentase Hasil Isolasi
7,236%
8,873%
8,765%
7,218%
Harga Rf Etil p-metoksisinamat dari hasil pemilihan pelarut pada suhu kamar
Harga Rf
Jenis eluen
Heksan : etil asetat = 4:1
Heksan: etil asetat : aseton
= 13 : 3 : 1
Heksan :
kloroform
:
As.Asetat Glasial = 5:4:1
Heksana E-Aset
Etanol
Aquades Stand.
0,65
0,73
0,66
0,72
0,66
0,72
-
0,65
0,73
0,92
0,93
0,93
-
0,93
Harga Rf Etil p-metoksisinamat dari hasil optimasi suhu dengan pelarut heksan
Harga Rf
40oC
Jenis eluen
Heksan : etil asetat = 4:1
0,60
Heksan: etil asetat : aseton
0,63
= 13 : 3 : 1
Heksan : kloroform : As.Asetat 0,90
Glasial = 5:4:1
50oC
60oC
70oC
0,57
0,60
0,57
0,60
0,63
0,63
Stand.
EPMS
0,63
0,63
0,85
0,87
0,87
0,87
Titik Leleh EPMS standard adalah 46,5oC
Titik Leleh hasil isolasi dengan beberapa pelarut
Jenis pelarut
Heksan
Etil asetat
Etanol
Air
Titik leleh
46,5oC
46,0oC
46,5oC
-
Titik Leleh hasil isolasi dengan pelarut heksan pada berbagai suhu
Suhu ekstraksi
40oC
50oC
60oC
70oC
Titik leleh
46,0oC
46,5oC
46,0oC
46,5oC
319
4.2. Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil pemilihan pelarut dalam penelitian ini terlihat bahwa heksan lebih
sesuai hal ini ditunjukkan oleh prosentase hasil yang lebih besar dibandingkan
dengan pelarut lain pada suhu kamar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
kepolaran EPMS lebih mendekati heksan karena dalam EPMS ada dua gugus
yang mendukung sifat nonpolar yaitu gugus eter dan lingkar benzen, sedang
gugus yang mendukung ke arah polar hanya satu yaitu adanya karbonil dalam
gugus ester.
Hasil optimasi suhu menunjukkan bahwa suhu optimum dalam isolasi
menggunakan pelarut terpilih yaitu heksan adalah 50oC. Kenyataan ini
memberikan gambaran jelas bahwa proses pelarutan EPMS dalam heksan
tergolong endoterm yaitu memerlukan kalor dimana kenaikan kalor pada proses
ekstraksi diikuti dengan kenaikan prosentase hasil isolasi. Pada suhu diatas 50oC
terjadi penurunan hasil isolasi disebabkan karena EPMS yang telah terekstrak
sebagian mengalami penguraian struktur karena pemanasan.
Hasil Analisa kemurnian dengan penentuan titik leleh menunjukkan angka
mendekati titik leleh EPMS standard yaitu 46,5oC, dengan demikian maka dapat
dikatakan bahwa hasil isolasi telah murni dan senyawa yang diperoleh benar
EPMS selanjutnya siap untuk dilakukan analisis lebih lanjut.
Dari Uji KLT dengan berbagai komposisi dan jenis pelarut pengembang
menunjukkan bahwa hasil RF tidak berbeda dengan senyawa EPMS standard pada
pelarut pengembang yang sama, hal ini menunjukkan bahwa benar hasil yang kita
dapat dalam isolasi ini adalah EPMS
Analisa IR yang dilakukan terhadap senyawa hasil isolasi dibandingkan
dengan EPMS standard ternyata terdapat kemiripan lebih dari 98%, hal ini
memberikan informasi bahwa hasil isolasi identik dengan EPMS standard.
Bab V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Pelarut yang paling sesuai dalam penelitian ini adalah Heksan
2. Suhu optimum proses pelarutan EPMS dalam heksan adalah 50oC
5.2. Saran
Dari hasil isolasi EPMS dengan heksan ternyata lebih efektif pada suhu di
atas suhu kamar berarti terdapat penambahan kalor selama proses ekstraksi.
Heksan merupakan pelarut yang mudah terbakar maka sebaiknya melakukan
pemanasan dengan pemanas yang sekaligus dapat mengontrol suhu yaitu hot plate
jangan sekali-kali menggunakan kompor listrik yang pemanasannya tak
terkendali.
320
DAFTAR PUSTAKA
Afriastini. JJ., 1990, Bertanam Kencur, Cetakan V, Jakarta:PT. Penebar Swadaya
, hal 3
Adams S. R, Jonhson J.R, Wilcox C.F, 1970, Laboratory Experimens Inorganic
Chemistry, 6th edition, The Macmilam Company, London, p.76-78
Anonimus, 1987, Programme and Abstracts Handbook Unesco Sub-Regional
Seminar/Workshoop on Trasnformation and synthesis Related to
Natural Products, organized by Airlangga University and Sepuluh
Nopember Institute of Technology with The Sponsorship of Unesco,
p. 27-28
Crabtree, R H., 1992, The Organometallic Chemistry Of The Transition Metals,
second edition, A Wiley-Interscience Publication, John Wiley & Sons,
New York
Cumpelik, B.M.,1972, Analitycal Procedures and Evaluation Of Sunscreen,
J.Soc. Cosmet. Chemist, 2, 333-345.
Fessenden, RJ., 1994, Kimia Organik, edisi ketiga, (alih bahasa oleh A. Hadyana
Pudjaatmaka), Jakarta ; Penerbit Erlangga, Hal 86
Harrwood, Laurence M., Moody, Christoper S., 1989, Experimental Organic
Chemistry, Principles and Practice, Blacwell Sciencetific Publication,
London.
Harry R.G., 1982, Harry’s Cosmeticology, 6 th edition, The Principle and Practice
Of Modern Cosmetic, Leonard Hill Book, London
Hidayati N., 1997, Sintesa Oktil p-metoksisinamat dan etil heksil pmetoksisinamat dari etil p-metoksisinamat Hasil Isolasi Rimpang
Kencur (Kaempferia Galanga L), Tesis, Universitas Airlangga,
Surabaya
Hery Suwito, Mulyadi Tanjung, Sri Sumarsih, Nanik Siti Aminah, Sofiyan Hadi,
1994, Sintesis Beberapa Deret Homolog Turunan Ester pmetoksisinamat dengan bahan baku Kaempferia galanga OPF
Lembaga Penelitian Unair.
Kreps, S.I., Goldenberg, 1972, Suntan Preparation in Balsam MS, Cosmetic
Sciense and Technology,2nd ed, John Wiley & Sons, Inc, 241-305.
Kusumaningati S., 1994, Kaempferia Galanga L dalam Jamu, makalah pada
seminar Nasional Tanaman Obat Indonesia VI , Bandung.
321
Norman R O C. 1978 Principles Of Organic Synthesis, second edition, A Halsted
Press Book, John Wiley & Sons, New York.
Shaath N.A., 1990, Sunscreens, Development, Evaluation, and Regulatory
Aspects, Marcel Dekker, INC, New York.
Sudjadi, 1986, Metode Pemisahan, cetakan I, Kanisius , Jogyakarta, halaman 167177. Dan halaman 74
Soeratri W., 1993, Studi Proteksi Radiasi UV sinar Matahari Tahap 1 : Studi
Efektivitas Protektor Kimia , Lembaga Penelitian Universitas
Airlangga.
Tanjung M , 1997, Dari Isolasi Dan Rekayasa Senyawa Turunan Sinamat
Kaempferia Galanga L Sebagai Tabir Surya, Lembaga Penelitian
Universitas Airlangga.
Vogel A.I, 1978 Vogel’s Text Book Of Practical Organic Chemistry, Ebflish
Language Book Society Longman, London p-1078.
Wahjo Dyatmiko, Mulya H.S, Achmad Fuad, Anik SB (1995) , Validasi Analisis
etyl p-metoksisinamat secara densitometer dalam standarisasi produk
jadi yang mengandung ekstrak etanol dari rimpang kencur
(Kaempferia Galanga L), Laporan Penelitian SPP/DPP Lembaga
Penelitian Unair.
322
SINTESIS ETIL P-METOKSISINAMIL P-METOKSISINAMAT HASIL
ISOLASI RIMPANG KENCUR ( Kaempferia Galanga L.)
Titik Taufikurohmah, Nita Kusumawati
ABSTRAK
Etil p-metoksisinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang
kencur (Kaempferia Galanga L) yang merupakan bahan dasar senyawa tabir surya
yaitu pelindung kulit dari sengatan sinar matahari.EPMS sebagai senyawa tabir surya
dipandang masih kurang bagus karena saat terhidrolisa akan melepaskan etanol hal ini
dapat menyebabkan karsinogenik, selain dari itu juga kelarutan senyawa ini dalam air
cukup tinggi sehingga perlu perubahan senyawa EPMS menjadi ester dengan rantai
yang lebih panjang yang lebih nonpolar dan tidak karsinogenik melalui sintesis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sintesis bertahap dan
transesterifikasi. Hasil sintesis secara bertahap dimana sebagian EPMS dirubah menjadi
alkohol dan yang lain dirubah menjadi asam yaitu APMS. kedua senyawa direaksikan
menghasilkan ester baru yaitu etil p-metoksisinamil p-metoksisinamat sebanyak 49,9%.
Sintesis melalui transesterifikasi untuk mendapatkan ester yang sama maka persen hasil
yaitu 70,23%
Analisa kemurnian senyawa EPMS dengan penentuan titik leleh diperoleh harga
46,5oC, 46 oC dan 46,5oC ( tiga kali pengukuran) sedangkan ester hasil sintesis
mempunyai titik leleh 187 oC dan 188oC ( dua kali pengukuran)
Analisa kemurnian menggunakan KLT diperoleh beberapa data dengan fasa
pengembang yang berbeda-beda sebagai berikut :
Senyawa
Pengembang-1 Pengembang-2 Pengembang-3 Pengembang-4
EPMS
0,86
0,65
0,67
0,56
Hasil sintesis
0,80
0,73
0,56
0,51
Bab 1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan iklim tropik di mana sinar matahari
menyinari wilayah Indonesia sepanjang tahun. Sinar matahari merupakan sumber
kehidupan bagi makhluk yang tinggal di bumi ini. Banyak manfaat yang dapat diambil
dari kehadiran matahari, namun ada juga yang kurang menguntungkan yaitu sengatan
panasnya matahari yang dapat membakar kulit terutama sinar UV. Untuk mengurangi
sengatan sinar UV ini dapat digunakan pelindung misalnya berteduh atau memakai
payung, namun dalam beberapa hal keduanya tak mungkin dilakukan misalnya pada
saat harus keluar rumah dan beraktifitas. Menggunakan lotion pelindung matahari
adalah solusi yang tepat dan mudah dilakukan.
Tanaman kencur (Kaempferia Galanga L) telah lama digunakan oleh
nenek moyang dalam campuran bedak yaitu bedak dingin beras kencur yang dapat
mengurangi sengatan sinar matahari dan memberikan rasa sejuk pada permukaan kulit.
Penelitian telah membuktikan kebenaran pengalaman nenek moyang bahwa dalam
tanaman kencur memang mengandung senyawa tabir surya yaitu etil pmetoksisinamat.(Hidayati, 1997)
323
Etil p-metoksisinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi
rimpang kencur (Kaempferia Galanga L) yang merupakan bahan dasar senyawa tabir
surya yaitu pelindung kulit dari sengatan sinar matahari. Senyawa tabir surya terutama
yang berasal dari alam dirasa sangat penting saat ini dimana tidak hanya wanita saja
yang memerlukan perlindungan kulit akan tetapi priapun memerlukan tabir surya untuk
melindungi kulit agar tidak coklat atau hitam tersengat sinar matahari. Kulit dengan
perlindungan akan tampak lebih baik dalam hal warna yaitu akan terlihat lebih bersih
dan lebih putih.
EPMS merupakan senyawa aktif yang ditambahkan pada lotion kulit
ataupun pada bedak setelah mengalami sedikit modifikasi yaitu perpanjangan rantai
dimana etil dari ester ini digantikan oleh oktil, etil heksil atau heptil melalui
transesterifikasi maupun esterifikasi bertahap. Modifikasi yang dilakukan diharapkan
mengurangi kepolaran EPMS sehingga kelarutannya dalam air berkurang yang
merupakan salah satu syarat senyawa sebagai tabir surya. Selain dari itu juga untuk
mengurangi tingkat bahaya terhadap kulit, EPMS bila terhidrolisa akan melepaskan
etanol yang bersifat karsinogenik terhadap kulit sedangkan hasil modifikasinya akan
melepaskan alkohol dengan rantai lebih panjang yang tidak berbahaya.
Berdasarkan sintesis yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu
terhadap hasil isolasi rimpang kencur yang berupa EPMS, telah dilakukan penggantian
gugus etil pada EPMS dengan alkyl yang lebih panjang dengan harapan mengurangi
kelarutannya dalam air, maka kemudian akan dicoba untuk melakukan pengembangan
sintesis EPMS dimana etil dalam EPMS digantikan oleh alkyl yang terbentuk dari
EPMS itu sendiri. Dengan menggunakan Litium Aluminium Hidrida (LAH), EPMS
dapat dirubah menjadi alkohol, yaitu melalui reaksi reduksi.
Esterifikasi bertahap telah dilakukan untuk ester yang meruang seperti di
atas, yaitu dengan melalui tahap pembentukan asam dari EPMS yang diikuti
pembentukan asil (senyawa intermediet yang reaktif) dengan tionil klorida sedangkan
metode transesterifikasi belum pernah dicoba. Dengan melalui transesterifikasi maka
penggunaan tionil klorida dapat dihindari karena bahan ini termasuk bahan yang sulit
masuk ke dalam negeri saat ini. Transesterifikasi merupakan pilihan yang diharapkan
dapat menyiasati keadaan, namun kendala yang mungkin timbul adalah sulitnya
mempertemukan dua substituen yang sama-sama meruang yaitu alkohol dari EPMS dan
EPMS itu sendiri.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah transesterifikasi yang
memiliki tahap reaksi yang lebih singkat. Langkah-langkah yang ditempuh meliputi:
isolasi EPMS dari rimpang kencur, reduksi EPMS menjadi alkoholnya dan mensintesis
menjadi ester yang lebih panjang. Metode ini lebih singkat dibanding esterifikasi
bertahap yang perlu pembentukan asam dan asil dari EPMS.
Dengan rantai dan sistim konjugasi yang lebih panjang diharapkan senyawa
produk hasil reaksi ini dapat berfungsi lebih baik sebagai tabir surya karena kelarutan
dalam air menurun dan dengan ikatan rangkap terkonjugasi yang lebih banyak
kemampuan menyerap sinar UV juga makin besar.
Berdasarkan latar belakang sintesis senyawa-senyawa turunan sinamat
tersebut diatas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Berapa rendemen Etil p-metoksisinamil p-metoksisinamat hasil sintesis EPMS
melalui reaksi bertahap?
324
2. Berapa rendemen Etil p-metoksisinamil p-metoksisinamat hasil sintesis EPMS
melalui transesterifikasi?
Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1. Tinjauan Tentang Tabir Surya.
Tabir surya adalah suatu senyawa yang digunakan untuk menyerap secara
efektif sinar matahari terutama daerah emisi gelombang UV sehingga dapat mencegah
gangguan pada kulit akibat pancaran secara langsung sinar UV tersebut (Kreps,1972).
Sinar matahari yang membahayakan kulit adalah radiasi ultraviolet dimana
sinar ini dibedakan menjadi tiga, yaitu sinar ultraviolet A (UV-A), UV-B dan UV-C
yang ketiganya mempunyai panjang gelombang dan efek radiasi yang berbeda. Sinar
UV-A dengan panjang gelombang 320-400 nm mempunyai efek penyinaran, dimana
timbul pigmentasi yang menyebabkan kulit berwarna coklat kemerahan. Sinar UV-B
dengan panjang gelombang 290-320 nm memiliki efek penyinaran, dapat
mengakibatkan kanker kulit bila terlalu lama terkena radiasi. Sedangkan Sinar UV-C
dengan panjang gelombang 200-290 nm yang tertahan pada lapisan atmosfer paling
atas dari bumi dan tidak sempat masuk ke bumi karena adanya lapisan ozon, efek
penyinarannya paling kuat karena energi radiasinya paling tinggi diantara ketiganya
yaitu dapat menyebabkan kanker kulit dengan penyinaran yang tidak lama (Harry,
1982).
Berbagai jenis rempah-rempah diantaranya kencur (Kaempferia galanga)
selain digunakan sebagai bumbu dapur juga dapat digunakan sebagai obat-obatan
tradisional karena khasiatnya dapat juga digunakan menjaga kesehatan dan dapat
menyembuhkan berbagai penyakit, antara lain sebagai penimbul rasa hangat, analgesik,
penyembuh bengkak-bengkak, obat batuk, penambah nafsu makan dan lain-lain
(Kusumaningati, 1994).
2.2.Tinjauan Tentang Tanaman Kencur (Kaempferia galanga L)
Tanaman kencur mempunyai klasifikasi sebagai berikut: termasuk dalam
divisi Spermatophyta, sub divisi Angiosperma, kelas Monocotyledoneae, bangsa
Scitamineae, suku jahe-jahean (Zingiberaceae), marga Kaempferia, dan jenis
Kaempferia galanga L, dengan nama lokal (Jawa) adalah kencur. Rimpang tanaman ini
banyak digunakan sebagai bumbu masak, dan bahan bobok tradisional, baik digunakan
sendiri maupun bersama rempah yang lain. Campuran dari rempah kencur dengan
tanaman lain dapat digunakan sebagai obat luar yang bersifat analgesik, antipiritik, anti
inflamasi dan anti mikroba. Kencur juga digunakan sebagai bahan kosmetik yaitu
dalam ramuan tradisional bedak dingin beras kencur (Kusumaningati, 1994).
Kandungan senyawa kimia dari rimpang kencur (menurut J.J. Afriastini,
1990) antara lain minyak atsiri berupa sineol sebanyak 0.02%, asam metil kanil,
pentadekana, ester etil sinamat, asam sinamat, borneol, kamfena, paraeumarina, asam
anisat, alkaloid, gom mineral sebanyak 13.7% dan pati 4.14%. Kandungan minyak
atsiri dalam rimpang kencur yaitu 2-4% yang terdiri dari etil sinamat, etil pmetoksisinamat, p-metoksi stirena, n-pentadekana, borneol, kamfen, 3,7,7-trimetil
bisiklo [4,1,0] hept-3-ena (Didik, dkk, 1989).
325
2.3.Tinjauan Tentang EPMS Dan Isolasi Etil P-metoksisinamat
Etil p-metoksisinamat merupakan kandungan terbesar dari rimpang kencur
dengan rumus struktur sebagai berikut :
CH3

O
4
CH3
H
Gambar1. Rumus struktur EPMS
Rumus molekul EPMS adalah C 12H13O3 , dengan berat molekul 205.
Senyawa ini berbentuk kristal jarum tidak berwarna, dengan titik lebur antara 47-48 o C
(Tanjung, 1997).
Penelitian terdahulu terhadap EPMS memberikan data sebagai berikut:
identifikasi EPMS dengan spektrofotometer UV-Vis memberikan puncak serapan
maksimum dalam etanol pada panjang gelombang 225 dan 307 nm. Analisis
spektrofotometer IR memberikan puncak serapan pada bilangan gelombang (cm-1)
3000 ; 2910 ;1635;1600 ;1570;1510 ;1185;1035 ; 835. Analisis spektrofotometer massa
memberikan massa molekul (Mr = 206) dengan pola fragmentasi m/z: 191, 178, 161,
147, 134, 118, 103, 90, 81, 77, 63, 51 dan 39 (Tanjung, 1997).
Isolasi etil p-metoksisinamat dari rimpang kencur dimulai dengan ekstraksi
simplisia rimpang kencur dengan cara perkolasi pada suhu kamar, yaitu dengan cara
merendam serbuk kering rimpang kencur dalam etanol 96% sebanyak 3-5 kali berat
bahan selama 24 jam dalam perkolator dan diikuti perkolasi yang semuanya dilakukan
3 kali atau sampai didapat perkolat dengan warna kuning muda. Selanjutnya perkolat
yang dihasilkan dikumpulkan dan diuapkan pelarutnya menggunakan rotary vacuum
evaporator agar didapat perkolat yang kental. Setelah itu dengan penangas es perkolat
kental tersebut didinginkan sampai terbentuk kristal yang masih kotor. Selanjutnya
kristal yang terbentuk dicuci dengan etanol dan dilakukan rekristalisasi dengan
metanol, atau etanol-air.
2.4.Tinjauan Tentang Esterifikasi
Esterifikasi bertahap merupakan reaksi pembentukan ester dari suatu asam
karboksilat dengan alkohol melalui suatu senyawa antara yaitu asil halida
(Fessenden, 1990). Penelitian yang pernah dilakukan dengan metode ini adalah melalui
tahapan sebagai berikut : hidrolisis etil p-metoksisinamat menjadi asam pmetoksisinamat, asam p-metoksisinamat yang terbentuk direaksikan dengan SOCl2
membentuk senyawa asil klorida. Selanjutnya senyawa asil klorida yang terbentuk
direaksikan dengan n-oktanol membentuk oktil p-metoksisinamat. Mekanisme reaksi
ini dapat dilihat pada gambar 2.6.2 ( Hidayati, 1997 )
326
CH3

O
CH3

O
Hidrolisis
OH
APMS
C2H
5
EPMS
+ SOC1 2
CH 3
CH3

O
HC1 +
SO
OH
CH3
CH3
C8H17OH
+
Gambar 2.6.2 Reaksi sintesis oktil p-metoksisinamat dengan pereaksi COCl2
Reaksi transesterifikasi merupakan salah satu mekanisme pembentukan ester dari
suatu ester lain. Reaksi umum dari reaksi trasesterifikasi adalah sebagai berikut (
Fessenden, 1990 ; Morrison and Boyd, 1989 ).
O
R
C
O
H’ atau OR’
+
R”O - OH
R
OR’
C
+
R’ O H
OR’
Reaksi transesterifikasi dikatalisis oleh suatu asam misalnya H2 SO4 atau HCl
kering dan dapat pula dikatalisa oleh suatu basa yang biasanya berupa ion alkoksida.
Mekanisme reaksi transesterifikasi yang dikatalisis oleh suatu asam adalah sebagai
berikut ( Morrison and Boyd, 1989 ).
R  C  OR’
Ester A
OH
R  C  OR’
+
R”OH
Alkohol B
327
OH
R  C  OR’
OR
”
OH
OH
R  C  OR’
H
OR
”
R
+
R’OH
O
RC
OR”
Ester B
C
OR
”
O
H+
Gambar 2.6.3a. Reaksi transesterifikasi dengan katalis asam
Mekanisme reaksi transesterifikasi yang dikatalis oleh basa adalah sebagai berikut (
Morrison and Boyd, 1989 ).
O
OH
RC
OR”
OR
”
+
OR”
RC
OR
”
Ester A
Alkoksida B
OH
+
OR”
RC
OR
”
Ester B
Alkoksida A
Gambar 2.6.3b. Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa
Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan, agar kesetimbangan reaksi
bergeser ke kanan maka dapat dilakukan dengan menggunakan alkohol berlebih atau
dengan segera memisahkan hasil reaksi dari sistem. Cara yang lebih mudah untuk
menggeser reaksi ke kanan adalah dengan alkohol berlebih ( Morrison and Boyd, 1989
).
Bab 3. Metode Penelitian
3.1. Prosedur Penelitian
a. Isolasi etil p-metoksi sinamat ( EPMS ) dari rimpang kencur
Rimpang kencur dicuci dengan air hingga bersih, ditiriskan lalu diiris-iris tipis
agar mudah kering. Selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari tidak langsung,
setelah kering dihaluskan menjadi serbuk dan direndam dalam perkolator dengan etanol
96 % selama 24 jam. Cairan perkolat ditampung dalam erlenmeyer dan residu direndam
lagi sampai beberapa kali hingga diperoleh perkolat yang warnanya kuning pucat
dengan total perkolat 5 liter tiap kg serbuk. Perkolat selanjutnya dipekatkan dengan
rotary vacuum evaporator hingga diperoleh larutan pekat yang selanjutnya didinginkan
dalam penangas es hingga terbentuk kristal. Kristal yang didapat masih kotor dan
328
dicuci dengan etanol sedikit saja lalu direkristalisasi dengan metanol hingga didapat
kristal jarum EPMS yang tidak berwarna.
b. Hidrolisis etil p-metoksi sinamat
Hidrolisis dilakukan dengan mereaksikan EPMS dari hasil isolasi rimpang
kencur dengan KOH dalam alkohol, selanjutnya garam yang terbentuk dilarutkan
dalam air dan diasamkan dengan HCl pekat dengan prosedur sbb :
Sebanyak 0,146 mol atau 30 g EPMS dilarutkan dalam 60 mL etanol dan
dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Ke dalam labu tersebut dimasukkan pula 300 ml
larutan KOH dalam alkohol 5%. Campuran tersebut direfluks selama 2 jam di atas
penangas air. Campuran didinginkan dan kristal Kalium p-metoksisinamat yang
terbentuk disaring dengan corong Buchner. Garam ini selanjutnya dilarutkan dalam 150
ml air dan diasamkan dengan 30 ml HCl pekat. Endapan yang terbentuk disaring serta
dicuci dengan air 3 kali. Asam p-metoksisinamat yang terbentuk ini direkristalisasi
dengan menggunakan campuran etanol air 7 : 3 sehingga diperoleh kristal tidak
berwarna. Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap asam p-metoksisinamat hasil
transformasi ini.
c. Pembentukan Asil klorida
Ke dalam labu alas bulat berleher tiga yang bebas air pada masing-masing
mulut tabung dipasang termometer, refluks pendingin, dan corong pisah. Selanjutnya
dimasukkan 0,05 mol atau 9 g asam p-metoksisinamat dan 30 ml CHCl 3 sehingga
terbentuk suspensi . Corong pisah dimasukkan perlahan-lahan 0,203 mol atau 18 ml
tionil klorida yang sebelumnya telah dikeringkan dengan Na 2SO4 anhidrat. Campuran
dibiarkan pada suhu kamar selama 15 menit agar campuran bereaksi. Selanjutnya labu
dipanaskan selama 3 jam sambil diaduk dengan pengaduk magnet pada suhu 40-50 o C
sampai cairan berwarna hijau muda. Kelebihan tionil klorida serta gas-gas yang
terbentuk selama proses reaksi dihilangkan dengan mengalirkan ke dalam larutan KOH
alkoholis 5%. Sisa gas yang terbentuk dihilangkan sekali lagi dengan menguapkan labu
di atas penangas air. Senyawa yang terbentuk ini tanpa dilakukan identifikasi karena
tidak stabil dan merupakan senyawa antara yang selanjutnya akan direaksikan dengan
EPMS yang telah mengalami transformasi menjadi alkohol .
d. Pembentukan Alkohol
EPMS 0,05 mol (9g) dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang sebelumnya
dialiri gas nitrogen agar sistim bebas dari udara luar yang mengandung uap air.
Tetrahidrofuran ditambahkan sebagai pelarut dari EPMS sebanyak 50 ml ke dalam labu
tersebut dengan kedua lubang tertutup. Pereaksi LAH ditambahkan secara berlebih
yaitu 0,15 mol dan dilakukan pengadukan berupa penggoyangan pada penangas es
selama 18 jam agar reaksi berlangsung sempurna. Kemudian ditambahkan air tetes
demi tetes sampai terbentuk masa endapan yang stabil, selanjutnya endapan disaring
dan filtrate dipisahkan, dikeringkan dengan Na2SO 4 anhidrat. Pelarut diuapkan dengan
evaporator dan residu dimurnikan dengan cara destilasisederhana menghasilhan hasil
reaksi murni. Hasil reaksi selanjutnya diidentifikasi apakah benar alkohol.
e. Reaksi Sintesis Bertahap
Alkohol yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam erlenmeyer untuk
selanjutnya tetes demi tetes ke dalam erlenmeyer tersebut dimasukkan pula asil klorida
329
yang suhunya 50 oC. Campuran selanjutnya didinginkan di dalam penangas es sambil
diaduk-aduk. Campuran ini dibiarkan selama satu malam pada suhu kamar. Sisa bahanbahan dan gas dihilangkan dengan cara penguapan dan kemudian didinginkan sampai
diperoleh kristal. Kristal yang diperoleh dimurnikan dengan cara rekristalisasi dengan
pelarut campuran metanol-air. Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap hasil reaksi.
f. Reaksi Transesterifikasi
Sebanyak 9 gram ( 0,5 mol) EPMS dimasukkan ke dalam beker glass 400 ml
dilarutkan dengan 10 ml etanol selanjutnya diasamkan dengan H2SO4 pekat sebanyak 5
ml. Dalam beker glass yang lain disiapkan alkohol hasil reduksi EPMS sebanyak 8 g
(0,5 mol), ditambahkan etanol sebanyak 10 ml sebagai pelarut dan KOH sebagai
suasana basa kedua senyawa selanjutnya dimasukkan ke dalam labu bulat dan dibiarkan
sejenak sambil pengaduk magnet dinyalakan. Reaksi dipanaskan pada suhu 70o selama
18 jam, sebelum reaksi berakhir suhu dinaikkan sampai 80 o C untuk menguapkan
pelarut dan hasil samping yaitu etanol.
3.2. Analisis Hasil Penelitian
Hasil isolasi maupun hasil sintesis dilakukan uji kemurnian dengan uji titik
lebur dan uji Rf dengan berbagai komposisi dan jenis pelarut. Analisis senyawa hasil
isolasi maupun hasil sintesis menggunakan peralatan sebagai berikut :
1. UV-Vis Spektrofotometer Simatzu Recording Spektrometer UV-260
2. Infra Red Spektrometer JASCO-FTIR-530
3. Spektrometer RMI (NMR) 1H NMR VARIAN INOVA 400 MHz
Spektrometer Massa HP 6890. LC-MS
Bab 4. Hasil Dan Pembahasan
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Hasil Isolasi Rimpang Kencur (EPMS)
Sebanyak 15 kg kencur segar yang dibuat simplisia dan dihaluskan
menghasilkan 2605 g serbuk kering. Serbuk direndam dengan alcohol selama 24 jam
kemudian diperkolasi menghasilkan perkolat berwarna coklat kekuningan sampai
kuning muda diperlukan seluruhnya 22,5 liter alcohol. Selanjutnya dipekatkan dengan
Rotary Vacuum evaporator sehingga didapat cairan pekat yang menghasilkan kristal
kotor saat didinginkan dalam penangas es. Kristal kotor yang diperoleh sebanyak 210 g.
Kristal kotor ini selanjtnya direkristalisasi dengan metanol yang menghasilkan 56,6 g
kristal murni. Rendemen yang diperoleh adalah :
56,5/2605 x 100% = 2,2%
4.1.2. Hasil Sintesis Dengan Esterifikasi Bertahap
Sebanyak 9 gr material awal yang berupa EPMS telah dilakukan perubahan
bentuk dari ester menjadi alkohol dengan LAH. Dari reduksi ini didapat alkohol
sebanyak 4,51 gr sehingga persen hasil dapat dihitung sebagai berikut :
4,51/9 x 100% = 50%
Sebanyak 9 gr material awal yang berupa EPMS telah pula dilakukan perubahan
bentuk dari ester menjadi asam yaitu A-PMS dengan KOH. Dari reaksi ini diperoleh
asam sebanyak 8,10g sehingga diperoleh persen hasil :
330
8,10/9 x 100% = 90 %
seluruh asam yang terbentuk selanjutnya dirubah menjadi asil klorida dengan tionil
klorida, senyawa ini merupakan bentuk intermediet sehingga tidak mungkin
mengisolasinya dan mengetahui persen hasilnya. Selanjutnya segera direaksikan antara
asil dan alkohol di atas membentuk ester. Dari proses sintesis ini didapat 2,25 g ester
sehingga rendemen sintesis dengan metode bertahap dapat dihitung sebagai berikut :
2,25/4,51 x 100% = 49,9%
Material awal dalam sintesis ini sebanyak 4,51 yaitu pereaksi pembatasnya atau
pereaksi yang paling kecil, dan asam sebagai pereaksi berlebih agar reaksi berjalan ke
arah kanan yaitu kearah hasil reaksi.
4.1.3. Hasil Sintesis Dengan Metode Transesterifikasi
Sebanyak 9 g EPMS dirubah bentuknya menjadi alkohol dengan pereaksi LAH.
Dalam reaksi ini diperoleh alkohol sebanyak 5,98g, persen hasil dapat dihitung sebagai
berikut :
5,98/9 x 100% = 66,44%
Alkohol ini selanjutnya direaksikan dengan EPMS sebanyak 9 g, dalam hal ini alkohol
adalah pereaksi pembatas dan dianggap sebagai material awal sintesis, sedangkan
EPMS adalah pereaksi berlebihnya. Dalam reaksi ini diperoleh hasil sebanyak 4,2 g
sehingga rendemen adalah : 4,2/5,98 x 100% = 70,23%
4.1.4 .Hasil Analisis
Analisa kemurnian senyawa EPMS dengan penentuan titik leleh diperoleh harga
46,5oC, 46 oC dan 46,5oC ( tiga kali pengukuran) sedangkan ester hasil sintesis
mempunyai titik leleh 187 oC dan 188oC ( dua kali pengukuran)
Analisa kemurnian menggunakan KLT diperoleh beberapa data dengan fasa
pengembang yang berbeda-beda sebagai berikut :
Senyawa
Pengembang-1 Pengembang-2 Pengembang-3 Pengembang-4
EPMS
0,86
0,65
0,67
0,56
Hasil sintesis
0,80
0,73
0,56
0,51
Hasil Analisa Instrumen UV-Vis, IR, NMR dan MS terlampir dalam lampiran.
4.2. Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil isolasi rimpang kencur dengan menggunakan etanol sebagai pelarut
diperoleh rendemen sebanyak 2,2%, padahal EPMS termasuk senyawa dominan dari
tanaman kencur seharusnya didapat lebih banyak lagi. Dengan melihat kepolaran
EPMS dimana pendukung sifat nonpolarnya yaitu gugus eter dan gugus benzen,
sedangkan penyumbang sifat polarnya hanya gugus karbonil, kemungkinan senyawa
EPMS lebih maksimal diisolasi menggunakan pelarut yang lebih nonpolar misalnya
heksan atau petroleum eter.
Dengan memperhatikan hukum kelarutan, dimana kelarutan zat akan meningkat
dengan kenaikan suhu. Rendemen EPMS dapat ditingkatkan dengan kenaikan suhu
karena terbukti proses pengkristalannya terjadi dalam penangas es artinya pada suhu
rendah. Jadi pada suhu rendah kelarutan turun, sehingga pada suhu tinggi kelarutan
naik ini menunjukkan bahwa EPMS juga seperti senyawa pada umumnya yang proses
pelarutannya bersifat endotermis yaitu memerlukan kalor.
Dari hasil sintesis secara bertahap diperoleh rendemen sebanyak 49,9%
sedangkan dengan metode transesterifikasi diperoleh rendemen sebanyak 70,23%, hal
ini tidak sesuai dengan literatur dimana untuk ester rantai panjang biasanya lebih
331
dianjurkan dengan metode bertahap dimana melalui pembentukan asil yaitu senyawa
antara yang reaktif. Namun perlu diingat bahwa hasil samping yaitu etanol dari EPMS
dalam transesterifikasi adalah senyawa yang mudah menguap, dan pemanasan dalam
hal ini ikut membantu proses penguapan etanol tersebut maka hal ini ikut mendorong
arah reaksi terus berjalan ke kanan yaitu ke arah hasil reaksi.
Transesterifikasi yang dilakukan dengan sistem terbuka juga ikut membantu
proses penguapan hasil reaksi yang berupa etanol, sedangkan reaksi bertahap sistemnya
tertutup sehingga ester yang telah terbentuk diserang lagi oleh etanol hasil reaksi yang
tidak segera terpisah, sehingga reaksi bolak-balik ini terus berjalan sampai pada saat
tabung terbuka untuk menguapka etanol hasil reaksi.
Hasil Spektra UV-Vis menunjukkan adanya kenaikan serapan pada wilayah
yang lebih tinggi energinya untuk senyawa hasil sintesis, hal ini memberikan informasi
bahwa hasil sintesis lebih efektif sebagai senyawa tabir surya.
Dari Spektra IR yang hampir mirip keduanya namun dibedakan dengan lebih
tajam dan tingginya puncak menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah ikatan yang
ada tetapi masih identik karena dalam hal ini terjadi pengulangan karena ester yang
baru merupakan penggabungan dua molekul EPMS dengan gugus fungsi yang sama
tapi intensitas berbeda yaitu dua kali semula.
Spektra H-NMR memberikan informasi tentang rangkaian proton-proton yang
ada dimana untuk proton yang sejenis terjadi peningkatan intensitas ditandai dengan
tingginya integral spektra.
Spektra MS memberikan pola fragmentasi yang identik antara EPMS dan Ester
hasil sintesis, hal ini menunjukkan bahwa keduanya tersusun dari fragmen masa yang
sama dan ester baru mempunyai massa yang lebih tinggi yaitu hampir dua kali EPMS
namun tidak nampak pada spektra, hal ini menandakan bahwa senyawa kurang stabil
dalam bentuk gas atau senyawa sudah mengalami penguraian saat berubah fasa.
Bab 5. Kesimpulan Dan Saran
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Rendemen Sintesis Etil p-metoksisinamil p-metoksisinamat dengan metode
bertahap diperoleh rendemen sebanyak 49,9%
2. Rendemen Sintesis Etil p-metoksisinamil p-metoksisinamat dengan metode
Transesterifikasi diperoleh rendemen sebanyak 70,23 %
5.2. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan pemilihan pelarut yang sesuai untuk proses ekstraksi pada
isolasi EPMS dari rimpang kencur, disarankan untuk memilih pelarut yang lebih
nonpolar misalnya heksan.
2. Perlu dilakukan optimasi suhu untuk proses isolasi, karena pada umumnya
kenaikan suhu akan mempercepat proses pelarutan dan sekaligus meningkatkan
jumlah kelarutan zat.
332
DAFTAR PUSTAKA
Afriastini. JJ., 1990, Bertanam Kencur, Cetakan V, Jakarta:PT. Penebar Swadaya , hal
3
Adams S. R, Jonhson J.R, Wilcox C.F, 1970, Laboratory Experimens Inorganic
Chemistry, 6th edition, The Macmilam Company, London, p.76-78
Anonimus, 1987, Programme and Abstracts Handbook Unesco Sub-Regional
Seminar/Workshoop on Trasnformation and synthesis Related to Natural
Products, organized by Airlangga University and Sepuluh Nopember
Institute of Technology with The Sponsorship of Unesco, p. 27-28
Crabtree, R H., 1992, The Organometallic Chemistry Of The Transition Metals, second
edition, A Wiley-Interscience Publication, John Wiley & Sons, New York
Harry R.G., 1982, Harry’s Cosmeticology, 6 th edition, The Principle and Practice Of
Modern Cosmetic, Leonard Hill Book, London
Hidayati N., 1997, Sintesa Oktil p-metoksisinamat dan etil heksil p-metoksisinamat dari
etil p-metoksisinamat Hasil Isolasi Rimpang Kencur (Kaempferia Galanga
L), Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya
Fessenden, RJ., 1994, Kimia Organik, edisi ketiga, (alih bahasa oleh A. Hadyana
Pudjaatmaka), Jakarta ; Penerbit Erlangga, Hal 86
Hery Suwito, Mulyadi Tanjung, Sri Sumarsih, Nanik Siti Aminah, Sofiyan Hadi, 1994,
Sintesis Beberapa Deret Homolog Turunan Ester p-metoksisinamat dengan
bahan baku Kaempferia galanga OPF Lembaga Penelitian Unair.
Kusumaningati S., 1994, Kaempferia Galanga L dalam Jamu, makalah pada seminar
Nasional Tanaman Obat Indonesia VI , Bandung.
Norman R O C. 1978 Principles Of Organic Synthesis, second edition, A Halsted Press
Book, John Wiley & Sons, New York.
Shaath N.A., 1990, Sunscreens, Development, Evaluation, and Regulatory Aspects,
Marcel Dekker, INC, New York.
Sudjadi, 1986, Metode Pemisahan, cetakan I, Kanisius , Jogyakarta, halaman 167-177.
Dan halaman 74
Soeratri W., 1993, Studi Proteksi Radiasi UV sinar Matahari Tahap 1 : Studi
Efektivitas Protektor Kimia , Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.
333
Tanjung M , 1997, Dari Isolasi Dan Rekayasa Senyawa Turunan Sinamat Kaempferia
Galanga L Sebagai Tabir Surya, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.
Vogel A.I, 1978 Vogel’s Text Book Of Practical Organic Chemistry, Ebflish Language
Book Society Longman, London p-1078.
Wahjo Dyatmiko, Mulya H.S, Achmad Fuad, Anik SB (1995) , Validasi Analisis etyl pmetoksisinamat secara densitometer dalam standarisasi produk jadi yang
mengandung ekstrak etanol dari rimpang kencur (Kaempferia Galanga L),
Laporan Penelitian SPP/DPP Lembaga Penelitian Unair.
334
Aktifitas Anti Jamur dan Antibakteri Minyak Atsiri pada Daun Sirih
(Piper betle Linn)
Oka Adi Parwata
Kelompok Studi Bahan Alam
Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Udayana, Denpasar Bali.
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang isolasi, uji aktifitas anti bakteri dan uji
aktivitas anti jamur minyak atsiri pada daun sirih (Piper betle Linn). Sebanyak 10,0
kg daun sirih segar didestilasi uap menghasilkan 13,5 mL minyak atsiri berwarna
kuning muda, dengan berat jenis 0,7148 g/mL. Uji fitokimia menunjukkan bahwa
minyak atsiri daun sirih positif mengandung terpenoid dan senyawa fenol. Uji aktifitas
antibakteri minyak atsiri 100 ppm menunjukkan zona hambatan 2,4 cm terhadap
bakteri S. aureus dan 2,5 cm terhadap bakteri E. coli, sedangkan dalam uji aktivitas
anti jamur zona hambatan terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans sebesar
2,3 cm.
Analisis GC-MS menunjukkan bahwa dalam minyak atsiri mengandung 15
puncak tapi setelah di analisa ternyata mengandung 9 komponen senyawa antara lain
4-metil(1-metiletil)-3-sikloheksen-1-ol, 1-metoksi-4(1-propenil) benzene, 4-(2propenil)fenol/kavicol,
4-alilfenilasetat,
Eugenol,
Karyofilen,
3-alil-6metoksifenilasetat, 4-alil-1,2-diasetoksibenzena dan dekahidro-4a-metil-1-metilen-7(1metiletenil) naftalena.
Berdasarkan intensitas puncak kandungan minyak atsiri daun sirih didominasi
oleh 4 komponen senyawa yaitu 4-allyl phenil acetate, 2 metoksi-4-(2 prophenil)
fenol/eugenol, 3-allyl-6-methoksi phenil asetat, 4-(2-prophenyl)-phenol / kavikol.
Keempat senyawa ini diduga berperan aktif/sangat besar dalam aktifitasnya sebagai
senyawa yang menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur karena merupakan
senyawa fenol dan asetat.
Kata Kunci : anti jamur, antibakteri, daun Piper betle (Linn), minyak atsiri, uji
fitokimia, analisis GC-MS.
335
PENDAHULUAN
Pemeliharaan dan pengembangan pengobatan tradisional sebagai warisan budaya
bangsa terus ditingkatkan dan didorong pengembangnnya melalui penggalian,
penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan, termasuk
budidaya tanaman obat tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan
(GBHN 1993).
Berdasarkan amanah GBHN 1993 bidang kesehatan tersebut di atas maka secara
umum dapat diformulasikan 5 masalah obat tradisional yaitu : etnomedisin,
agroindustri tanaman obat, iptek kefarmasian dan kedokteran serta industri obat,
teknologi kimia dan proses, pembinaan dan pengawasan produksi atau
pemasaran bahan dan produk obat tradisional. (Noor C.Z. d.k.k., 1997).(1,2)
Pengembangan potensi sumber bahan (tumbuhan/tanaman) obat tradisional untuk
mendapatkan zat-zat kimia atau bahan baku obat baru (teknologi kimia dan proses)
dapat dilakukan melalui eksplorasi keanekaragaman hayati hutan yang dimiliki
Indonesia maupun budidaya tanaman obat (agroindustri tanaman obat). Tanaman
sebagai bahan baku untuk obat mempunyai ciri-ciri yang khusus dan komplek. Hal ini
disebabkan karena tumbuhan obat memiliki kandungan komponen aktif yang banyak
jenisnya, dan berbeda kadarnya . Hal ini dipengaruhi oleh faktor iklim dan lingkungan.
Setiap tanaman berinteraksi dengan organisme lain dan dalam proses evolusi telah
terjadi adaptasi untuk mempertahankan keberadaan masing-masing species. Dalam
interaksi ini tiap species dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan metabolisme
sekunder dengan menggunakan metabolit primer sebagai prekursor. Dengan demikian
keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman plasma nuftah dan genetika serta
berfungsi sebagai pustaka kimia alam yang sangat besar artinya bila didayagunakan
secara maksimal baik melalui proses isolasi (ekstraksi) maupun skrining
bioaktivitasnya. Salah satu tanaman obat yang perlu dikembangkan adalah Tanaman
Sirih (Piper betle Linn) (1,2,3)
Sirih (Piper betle Linn) merupakan tanaman yang dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia, daerah Asia Selatan, dan Tenggara. Secara tradisional di Indonesia selain
untuk upacara keagamaan, sirih juga digunakan sehari-hari untuk memelihara higienitas
oral dengan mengunyah daunnya, mengatasi bau badan dan mulut, sariawan, mimisan,
gatal-gatal, koreng dan untuk mengobati keputihan 1,2,3,4,5. Derivate fenol (eugenol dan
chavicol) yang terkandung dalam daun sirih berkhasiat antiseptik dan khususnya
Chavicol diketahui mempunyai daya pembunuh bakteri lima kali fenol2,3,5.
Penggunaannya dalam pengobatan gigi diasumsikan selain sebagai antibakteri, juga
sebagai analgesic dan anti oksidan, sedangkan sebagai obat untuk keputihan
diasumsikan sebagai obat anti jamur.2,5,6
MATERI DAN METODA
A. Isolasi Minyak Atsiri dengan Metoda Destilasi Uap
Sepuluh kilogram daun sirih yang sudah dipotong kecil-kecil dimasukkan dalam
alat destilasi uap. Destilat yang diperoleh merupakan campuran antara air dan minyak,
selanjutnya minyak atsiri dipisahkan dengan menambahkan NaCl agar minyak atsiri
yang teremulsi terpisah dengan air yang dibuktikan dengan terbentuknya dua lapisan
yaitu fase air dan fase minyak.. Fase minyak yang diperoleh dipisahkan selanjutnya
ditampung dan ditambahkan CaCl2 untuk menyerap air yang masih tersisa atau ikut
dalam fase minyak selama lebih kurang 24 jam. Selanjutnya fase minyak dipisahkan
336
dengan CaCl 2 dengan cara dekantasi. Minyak atsiri yang diperoleh selanjutnya
dipergunakan untuk uji fitokimia, uji aktivitas antibacteri dan anti jamur serta di
analisis komponen-komponennya dengan GC-MS. 11,12
B. Uji aktivitas Antibacteri dan Anti Jamur
Metoda yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metoda difusi agar.
Cakram kertas saring yang telah dicelupkan dalam minyak atsiri / sample dimasukkan
dalam cawan petridish yang telah berisi bacteri uji dan jamur yang telah dibiakkan
dalam media agar. Bacteri yang dipergunakan dalam hal ini adalah bacteri gram positif
(S. aureus) dan bacteri gram negative (E. coli ) sedangkan jamur yang dipergunakan
adalah jamur jenis Candida albicans. Uji positif bila terbentuk daerah/zona bening
disekitar cakram kertas saring yang merupakan zona hambatan pertumbuhan bacteri
dan zona hambatan pertumbuhan jamur7,8,9,10
C. Uji Fitokimia Minyak Atsiri
Minyak Atsiri diuji fitokimia terhadap golongan senyawa fenolat dan
terpenoidnya. Uji golongan senyawa fenolat diuji dengan FeCl3 1%, uji positif bila
terjadi perubahan warna dari kuning menjadi biru tua. Uji golongan senyawa terpenoid
diuji dengan Pereaksi Leibermann –Burcard, uji positif bila terjadi perubahan warna
dari kuning menjadi merah / ungu.11
D. Analisi / Identifikasi Minyak Atsiri dengan GC-MS
Minyak Atsiri yang diperoleh di analisis komponen-komponen yang
dikandungnya dengan GC-MS yang mana dalam hal ini akan diperoleh spectra GC
yang merupakan total ion kromatogram atau puncak-puncak kromatogram dari
komponen senyawa yang ada dalam minyak atsiri sedangkan spectra MS akan
diperoleh Mr atau Massa Molekul Relatif dari komponen-komponen senyawa dalam
minyak atsiri serta fragmentasi ion-ionnya.12
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Minyak Atsiri yang diperoleh positif mengandung senyawa fenolat dan
terpenoid. Hal ini ditunjukkan dengan uji positif untuk FeCl 3 yaitu terjadinya
perubahan dari kuning menjadi biru tua dan dengan Pereaksi L-B terjadi perubahan dari
kuning menjadi merah muda. Uji antibacteri dan anti jamur minyak atsiri, positif
menghambat pertumbuhan bacteri bacteri gram positif (S. aureus) dan bacteri gram
negative (E. coli ) serta positif menghambat pertumbuhan jamur jenis Candida
albicans yang dibuktikan adanya zona bening disekitar cakram kertas saring pada
biakan bacteri dan biakan jamur seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini :
Tabel 1. Aktifitas antibacteri dari minyak atsiri.
No.
1.
2.
3.
Zona Hambatan terhadap bacteri
Sampel
S. aureus
E. coli
0
0
2,4 cm
0
0
2,5 cm
Control
Control Metanol
Minyak Atsiri 100 ppm
Tabel 2. Aktifitas Anti Jamur Minyak Atsiri
337
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Sampel
Zona Hambatan Pertumbuhan Jamur (cm)
Candida albica
0
0
1,8
2,3
3,2
Control tanpa sample dan pelarut
Control methanol
Minyak Atsiri 10 ppm
Minyak Atsiri 100 ppm
Minyak Atsiri 1000 ppm
Analisis Komponen Senyawa dalam Minyak Atsiri dengan Metode GC-MS
Hasil analisis GS-MS menunjukkan bahwa minyak atsiri daun sirih, Piper betle
(Linn) mengandung 15 komponen yang didominasi 4 komponen dengan intensitas
(luas area) seperti yang ditunjukkan Tabel 3 dan Gambar 1 berikut :
Tabel 3. Hasil Analisis Komponen Senyawa dalam Minyak Atsiri
dengan Metode GC-MS
No.
1.
2.
Waktu retensi (tR )
11,24
11,62
Intesitas/luas area
11,24
11,62
Mr
176
164
3.
4.
13,42
9,96
13,42
9,96
206
134
Senyawa
4-Allyl phenil Acetate
2-metoksi- 4-(2-prophenil)
fenol/Eugenol
3- Allyl-6-methoxy phenil acetate
4-(2- prophenyl)-phenol/ kavikol
Kromatogram pada gambar 1 memperlihatkan adanya 4 puncak dominan yaitu 2
puncak yang hampir sama tinggi dengan waktu retensi (t R) masing-masing 11,24;
11,62; 13,42 dan 9,96 menit. Intensitas (luas area) masing-masing puncak secara
berturutan 27,99%; 21,20%; 20,08% dan 15,47%.
Gambar 1. Kromatogram Gas Minyak Atsiri Piper betle Linn
338
Komponen senyawa yang diduga terkandung dalam Minyak Atsiri setelah di
analisa dan dicocokkan dengan data base hanya 9 yang terdeteksi seperti yang
ditunjukkan dalam tabel berikut ini 3,11,12
Tabel 4. Komponen Senyawa Yang terdeteksi dalam Minyak Atsiri
Puncak
Puncak 1
Puncak 2
Puncak 3,4
Puncak 5,6,7
Puncak 8,9
Puncak 10,11,12
Puncak 13
Puncak 14,15
Puncak 16
Waktu Retensi (t R )
8,8
9,06
10,18 dan 10,33
11,32 ; 11,64 ; 11,97
12,62 ; 13,02
13,27 ; 13,47 ; 13,56
13,60
13,75 ; 13,83
14,85
Senyawa Yang diduga
4-metil(1-metiletil)-3-sikloheksen-1-ol
1-metoksi-4(1-propenil) benzene
4-(2-propenil)fenol/kavicol
4-alilfenilasetat
Eugenol
Karyofilen
3-alil-6-metoksifenilasetat
4-alil-1,2-diasetoksibenzena
dekahidro-4a-metil-1-metilen-7(1-metiletenil) naftalena
Sesuai dengan teori komponen senyawa yang diduga dominan dapat
menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur adalah Eugenol dan kavicol dimana
derivate fenol (eugenol dan chavicol) yang terkandung dalam daun sirih berkhasiat
antiseptik dan khususnya Chavicol diketahui mempunyai daya pembunuh bakteri lima
kali fenol1,3 sedangkan yang lainnya yang lainnya bersifat sinergis/mendukung daya
hambat pertumbuhan bacteri dan jamur. 8,9,10
SIMPULAN
1. Minyak atsiri daun sirih positif mengandung senyawa terpenoid dan senyawa
fenol/derivatnya.
2. Minyak atsiri daun sirih positif menghambat pertumbuhan bacteri S. aureus dan
bacteri E. coli serta positif menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans
3. Hasil analisis GS-MS menunjukkan bahwa minyak atsiri daun sirih, Piper betle
(Linn) mengandung 15 komponen yang didominasi 4 komponen yaitu
4-Allyl phenil acetat (tR =11,24); Eugenol (2-metoksi-4-(2-prophenil) fenol) tR =
11,62; 3- Allyl-6-methoxy phenil acetat tR = 13,42; 4-(2- prophenyl)-phenol
atau
kavikol t R =9,96.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemisahan masing-masing
komponen minyak atsiri dengan destilasi fraksi sehingga lebih jelas diketahui
komponen mana yang mempunyai aktifitas yang paling tinggi dan apakah masingmasing komponen tersebut bersifat sinergis dalam menghambat pertumbuhan
bacteri/jamur atau sebaliknya bersifat antagonis.
339
PUSTAKA
1. Noor C.Z., Wahjo D., Mulja H.S., 1997, Proses Bahan Tanaman Menjadi Obat di
Indonesia, Surabaya.
2. Heyne K, 1987. Tumbuhan Obat berguna Indonesia Jilid II, Cetakan ke-1,
Badan Litbang Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.Hal: 622-627.
3. Hardjono Sastrohamidjojo, 2004, Kimia Minyak Atsiri, Cetakan ke-1, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
4. Sastroamidjojo S, 1988. Obat Asli Indonesia. PT Dian Rakyat. Jakarta. Hal: 498501.
5. Dharmananda S, (2004) New Additions To The Chinese Materia Medica I.
Kava: Piper methysticum, Available: http://www.itmonline.org/arts/kava.htm
(diakses: 5/17/2004).
6. Lei D, Chan CP, Wang TM, et.al., 2003, Antioxidative and antiplatelet effects of
aqueous inflorescence Piper betle extract, J Agric Food Chem, Mar
26;51(7):2083-8.
Available:
http//www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
(diakses 2/2/ 2007).
7. Turner, R.A., 1965, Screening Method in Pharmacology Vol I, Academic Presss,
New York and London, Hal. 100-117.
8. Jenie, BSL; Andarwulan, N; Puspitasari-Nienaber, NL; Nuraida L, 2001.
Antimicrobial activity of Piper betle Linn extract towards foodborne
pathogens and food spoilage microorganism. IFT Annual Meeting-New Orleans,
Louisiana. Available: http://ift.confex.com/ift/2001/techprogram/paper_9068.htm
(diakses tanggal 2/16/2007).
9. Bhattacharya S, et al., 2005. Radioprotective Property of the Ethanolic Extract
of Piper betle Leaf, J. Radiat. Res., 46, 165-171 (2005); http://jrr.jstage.jst.go.jp
10. Urquiaga, I; Leighton, F, 2000. Plat Polyphenol Antioxidant and Oxidative
Stress,
Biol.
Res.v.33n.2
Santiago
2000.
Available:
http://www.scielo.cl/scielo.php?pid=S071697602000000200004&script=sci_arttext
11. Paolo M., 1992, Biosintesis Produk Alami, diterjemahkan oleh Koensoemardiyah,
IKIP Semarang Press, Semarang.
12. Silverstein, Bassler and Morrill, 1981, Spectrometric Identification of Organic
Compounds, John Willey and Sons, New York.
340
PHENOLIC COMPOUNDS ISOLATED FROM THE FERN Chingia sakayensis (Zeiller) Holtt
Suyatnoa, Noor Cholies Zaini b, Gunawan Indrayanto b, , Motoo TORIc, Kuniyoshi Shimizud
a
Department of Chemistry, Surabaya State University, Jl. Ketintang Surabaya, Indonesia
E-mail : [email protected]
b
Faculty of Pharmacy, Airlangga University, Jl.Darmawangsa Dalam Surabaya,Indonesia
c
Faculty of Pharmaceutical Sciences, Tokushima Bunri University,Yamashiro-cho,Tokushima 770, Japan
d
Interior Design Institute, Fukuoka Industrial Technology Centre, Department of Forest and Forest Product Sciences, Faculty
of Agriculture, Kyushu University, Fukuoka 812-8581, Japan
ABSTRACT
Four known phenolic compounds namely kaemferol, matteucinol, farrerol, and matteucinol-7-O--Dglucoside were isolated for the first time from the fern Chingia sakayensis (Zeiller) Holtt’s. Their
structures were elucidated on the basis of spectroscopic evidence and by comparation with those reported
data in literature.
Keywords : Fern, Chingia sakayensis, kaemferol, matteucinol, farrerol, and matteucinol-7-O--Dglucoside
INTRODUCTION
Chingia sakayensis was one of the ferns belonging the Thelypteridaceae family distributed in
Thailand, Malaysia, Serawak, Sumatra, and Java. It usually grew in the forest, often near streams, at
altitude 150-1200 m. Because of the difference of environment condition, the specimens from Java and
Sumatra were much ticker in texture, with very strongly raised veins and sinus membrane on the lower
[1]. The young fronds of the plant can be eaten cooked or raw, an extract of mature fronds in water some
times sprinkled on fever, and a decoction was used as tonic after childbirth [2].
In the course of our studies, several secondary metabolites had been isolated from the leaves and
stem of C. sakayensis including wax ester, steroid, and flavonoid [3]. In this paper, we reported the
isolation and structure determination of the four flavonoids, kaemferol, matteucinol, farrerol, and
matteucinol-7-O--D-glucoside, isolated from C. sakayensis.
341
3'
3'
OH
4'
2'
HO
8
7
1
1'
O
9
2
6
10
5
3
4
HO
5'
1'
O
9
5'
2
6'
6'
6
H
H3 C
OH
10
5
OH
O
OH
H
1
8
7
4'
2'
CH3
3
4
H
O
(1)
(2)
3'
HO
1
8
7
OH
4'
2'
CH3
1'
O
9
5'
2
6'
H
6
H3C
5
4
10
3
H
OH
O
(3)
H
4"
OH
3'
6"
5"
H
O
HO
HO
2"
3" H
H
1"
O
8
7
4'
2'
CH 3
1
9
H
1'
O
5'
OH
2
6'
6
H
H3C
OC H3
H
5
OH
10 4
3
H
O
(5)
EXPERIMENTAL
General Experimental Procedures
Melting point was measured by Fisher John melting point apparatus and was
uncorrected. Optical rotation was determined on polarimeter Perkin-Elmer 341. UV
spectra were recorded on Shimadzu Pharmaspec UV-1700 spectrophotometer. IR
spectrum in KBr film was determined by JASCO FT/IR-5300 spectrophotometer. 1H
and 13C NMR spectra were measured by JEOL JNM-ECP 400 spectrometer
[operating at 400 MHz (1H) and 100.5 MHz (13C)] and JEOL JNM-AL300/AL 400
spectrometer [operating at 400 MHz ( 1H) and 100.4 MHz (13 C)] using tetra methyl
silane (TMS) as the internal standart. Mass spectrum (MS) was recorded on JEOL
JMS-LX 1000 spectrometer using ion mode EI, CI+ , and FAB+ [3-nitro benzyl alcohol
(m-NBA) as matrix]. Kieselgel 60 GF-254 (Merck) and silica gel G 60 63-200 m
(Merck) were used for vacuum liquid chromatography (VLC) and flash
chromatography (FC), respectively. Precoated silica gel 60 F-254 (Merck) 0.25 mm,
20 x 20 cm was used for thin layer chromatography (TLC) and spots were detected by
spraying with the sulphuric acid solution 5% (v/v) in ethanol followed by heating.
OCH3
Plant Material
The leaves and stem of C. sakayensis was collected from Kletak forest, Nongkojajar,
Pasuruan, East Java, Indonesia in January 2002. A voucher spesimen was deposited at
the herbarium of the Purwodadi Botanical Garden, Indonesia.
Isolation
(1). The leaves of C. sakayensis.
The dried powdered leaves of C. sakayensis (1.5 kg) was exhaustively extracted
successively with n-hexane (6 L x 3), dichloromethane (6 L x 3), and methanol (6 L x
3) at room temperature. The methanol extract was evaporated in vacuo to obtain the
concentrate methanol extract (104 g). Futhermore it was extracted with ethyl acetatewater mixture (1 : 1) (400 mL x 3). Removal of the solvent under reduced pressure of
the ethyl acetate soluble fraction afforded a greenish brown residue (28 g). A portion
of it (8 g) was chromatographed by VLC and eluted with solvents of increasing
polarity (n-hexane, n-hexane-CHCl3, CHCl3, CHCl3-MeOH) yielded 200 fractions
(15 mL each). Removal of the solvent under reduced pressure of the combined
fractions of 125-180 gave the brownish yellow solid (271 mg). A part of it (203 mg)
was rechromatographed by FC with CHCl3-acetone (4:1) as eluen, obtained 25
fractions (10 mL each). The fractions 6-9 were collected, recrystalized in CHCl3acetone yielded compound 1 (28 mg).
(2). The stem of C. sakayensis.
The dried powdered stem of C. sakayensis (677 g) was exhaustively extracted
successively with n-hexane (4 L x 3), dichloromethane (4 L x 3), and methanol (4 L x
3) at room temperature. The methanol extract was evaporated in vacuo to afford the
concentrate methanol extract (65 g). Futhermore it was extracted with ethyl acetatewater mixture (1 : 1) (400 mL x 3). Removal of the solvent under reduced pressure of
the ethyl acetate soluble fraction yielded a brown residue (10 g). A portion of it (5 g)
was chromatographed by VLC and eluted with solvents of increasing polarity (nhexane, n-hexane-CHCl3 , CHCl3, CHCl3-MeOH) yielded 225 fractions (15 mL each).
The combined fractions of 34-50 (216 mg) was purified by FC with n-hexane-EtOAc
(3:2) as eluen yielded compound 2 (30 mg). While purification of the combined
fractions of 60-67 (160 mg) by FC with n-hexane-EtOAc (3:2) as eluen afforded
compound 3 (18 mg). Recrystalization of the combined fractions of 128-135 (360 mg)
in CHCl3-MeOH afforded compound 4 (58 mg).
Compound 1 was obtained as yellow crystal (CHCl3-acetone), mp. 271-273oC,
which gave positive test (green colour) with FeCl 3 and Shinoda test (Mg-HCl). UV
(MeOH) max (log 
) : 273 (2.87), 324 (sh) (2.63) and 375 (2.85) nm; (MeOH +
NaOH): 285 (3.91) and 410 (3.69) nm; (MeOH+AlCl3): 276 (3.00), 312 (sh) (2.49),
355 (sh) (2.53) and 432 (2.93) nm; (MeOH+AlCl3+HCl): 276 (2.97), 311 (sh) (2.51),
355 (sh) (2.55) and 432 (2.89) nm; (MeOH+NaOAc): 282 (2.97) and 391 (2.81) nm;
(MeOH+NaOAc+H3BO3): 274 (2.92) and 375 (2.87) nm. IR (KBr) max : 3333 (OH),
1659 (chelated C=O), 1617, 1570, 1509 (aromatic C=C) cm-1. 1H-NMR (400
MHz,CD3OH) (ppm) : 6.18 (1H, d, J = 2 Hz, H-6); 6.39 (1H, d, J = 2 Hz, H-8); 6.90
(2H, d, J = 9 Hz, H-3' and H-5') and 8.08 (2H, d, J = 9 Hz, H-2' and H-6'). 13C-NMR
(100.5 MHz, CD3OH) (ppm) : 94.5 (C-8); 99.3 (C-6); 104.5 (C-10); 116.3 (C-3’ and
C-5'); 123.7 (C-1'); 130.7 (C-2' and C-6'); 137.1 (C-3); 148.1 (C-2); 158.3 (C-5);
160.5 (C-4’); 162.5 (C-9); 165.6 (C-7) and 177.4 (C-4). FABMS, m/z (rel.int.): 287
(M+H+)(44), 176 (m-NBA + Na+)(34), 154 (m-NBA + H+ )(100), 136 (m-NBAOH)(84).
Compound 2 was obtained as pale yellow crystal (benzene), mp. 167-168oC,
[]D20 =
-26o (MeOH, c.0.1), gave positive test with FeCl3 (green) and shinoda test
(Mg-HCl)(red). It showed a single spot by TLC on silica gel with Rf = 0.25 (n-hexane
: CH2Cl2 = 1 : 4), Rf = 0.70 (CH2Cl2 : EtOAc = 95 :5) and Rf = 0.80 (CH2Cl2: EtOAc
= 9:1). UV (MeOH) maks (log 
) : 298 (4.13) dan 349 (sh) (3.40) nm; (MeOH +
NaOH): 341 (4.37)nm; (MeOH+AlCl3): 299 (4.10), 354 (sh)(3.32) nm;
(MeOH+AlCl3+HCl): 309 (4.05) nm; (MeOH+NaOAc): 341 (4.26) nm;
(MeOH+NaOAc+H3BO3): 299 (4.07) dan 346 (sh)(3.72) nm. IR (KBr) maks : 3453
(OH), 3005 (aromatic C-H), 2922, 2840 (alkyl C-H), 1630 (chelated C=O), 1520
(aromatic C=C), 1454, 1397 cm-1. 1H-NMR (300 MHz,CDCl3) (ppm) : 2.03(3H, s,
6-CH3), 2.05 (3H, s, 8-CH3), 2.78 (1H, dd, J = 17 Hz, 3 Hz, H-3), 3.03 (1H, dd, J =
17 Hz, 13 Hz, H-3), 3.83 (3H, s, OCH3 ), 5.32 (1H, dd, J = 13 Hz, 3 Hz, H-2), 6.95
(2H, d, J = 9 Hz, H-3’,5’), 7.39 (2H, d, J = 9 Hz, H-2’,6’), 12.29 (1H, s, chelated 5OH). 13C-NMR (100.5 MHz,CDCl3) (ppm) : 6.9 (6-CH3), 7.6 (8-CH3), 43.1
(3,3), 55.2 (OCH3), 78.2 (C-1), 102.3 (C-8), 102.7 (C-10), 103.5 (C-6), 114.0 (C3’,5’), 127.4 (C-2’,6’), 131.0 (C-1’), 157.7 (C-9), 158.8 (C-5), 159.6 (C-4’), 162.1 (C7), 196.5 (C-4). EIMS, m/z (rel.int.): 314 (M+ )(100), 207 (M-C7H7 O)+ (9), 206 (MC7H7O-H)+(6), 180 (M-C9H10 O)+ (89), 152 (M-C9 H10O-CO)+(70), 134 (MC9H8O4)+(36), 121 (24), 91 (10), 77 (5), 69 (5), 55 (4).
Compound 3 was obtained as pale yellow crystal (CHCl3-MeOH), mp. 224226oC, []D20 =
-26o (MeOH, c.0.1), gave positive test with FeCl3 (green) and
shinoda test (Mg-HCl)(red). It showed a single spot by TLC on silica gel with Rf =
0.38 (CHCl3 : EtOAc = 5 : 1), Rf = 0,36 (n-hexane : EtOAc = 3 : 2), and Rf = 0.07
(n-hexane : EtOAc = 4:1). UV (MeOH) maks (log 
) : 297 (3.76) dan 348 (sh)
(3.08) nm; (MeOH + NaOH): 339 (3.96)nm; (MeOH+AlCl 3): 297 (3.70), 357
(sh)(3.00) nm; (MeOH+AlCl 3+HCl): 299 (3.67), 358 (sh) (2.97) nm;
(MeOH+NaOAc): 339 (3.83) nm; (MeOH+NaOAc+H 3BO3 ): 297 (3.75), 350
(sh)(3.37) nm. IR (KBr) maks : 3425 (OH), 2924 (alkyl C-H), 1636 (chelated C=O),
1520 (aromatic C=C), 1458, 1367, 1119, 833 cm-1. 1H-NMR (400 MHz, CD3OD) 
(ppm) : 1.98(3H, s, 6-CH3), 1.99 (3H, s, 8-CH3), 2.70 (1H, dd, J = 16.8 Hz, 2.8 Hz, H3), 3.05 (1H, dd, J = 16.8 Hz, 12.8 Hz, H-3), 5.29 (1H, dd, J = 12.8 Hz, 2.8 Hz, H2), 6.82 (2H, d, J = 8.4 Hz, H-3’,5’), 7.32 (2H, d, J = 8.4 Hz, H-2’,6’). 13C-NMR
(100.6 MHz,CD3OD) (ppm) : 7.4 (6-CH3), 8.2 (8-CH3), 44.1 (3,3), 80.1 (C-1),
103.2 (C-8), 104.1 (C-10), 104.8 (C-6), 116.3 (C-3’,5’), 128.8 (C-2’,6’), 131.5 (C-1’),
158.9 (C-9), 159.3 (C-5), 160.3 (C-4’), 164.2 (C-7), 198.4 (C-4). EIMS, m/z (rel.int.):
300 (M+)(82), 282 (3), 271 (1), 257 (3), 207 (M-C6H5O)+ (6), 194 (12), 180 (MC8H8O)+ (65), 152 (M-C8H8O-CO)+(100), 154 (6), 120 (24), 107 (6), 91 (18), 77 (9),
65 (12), 55 (12).
Compound 4 was obtained as pale yellow crystal (MeOH-CHCl3), mp. 135-136
o
C, []D20 = +7o (MeOH, c.0.1), gave positive test with FeCl3 (green) and shinoda test
(Mg-HCl)(pale red). It showed a single spot by TLC on silica gel with Rf = 0.14
(CHCl 3 - EtOAc = 1 : 4), Rf = 0.28 (CHCl3 -MeOH = 9 :1) and Rf = 0.38 (CHCl3MeOH = 5:1). UV (MeOH) maks (log ) : 282 (3.41), 361 (sh) (2.77) nm; (MeOH
+ NaOH): 284 (3.33), 372 (sh) (2.88)nm; (MeOH+AlCl3): 281 (3.37), 362 (sh)(2.73)
nm; (MeOH+AlCl3+HCl): 283 (3.36), 363 (sh) (2.76) nm; (MeOH+NaOAc): 282
(3.41), 362 (sh) (2.77) nm; (MeOH+NaOAc+H 3BO3): 282 (3.41), 363 (sh) (2.74) nm.
IR (KBr) maks : 3432 (OH), 2928 (alkyl C-H), 1636 (chelated C=O), 1516 (aromatic
C=C), 1456, 1356, 1125, 1069, 835 cm-1. 1 H-NMR (400 MHz,DMSO-d6) (ppm) :
2.05(3H, s, 6-CH3), 2.07 (3H, s, 8-CH3), 2.84 (1H, dd, J = 17.2 Hz, 2.8 Hz, H-3),
3.05 (1H, dd, J = 18 Hz, 13.6 Hz, H-3), 3.10-3.62 (5H, m, H-2”-6”), 3.76 (3H, s, 4’OCH3), 4.58 (1H, d, J = 7.2 Hz, H-1”), 5.54 (1H, m, H-2), 6.98 (2H, d, J = 8.4 Hz, H3’,5’), 7.45 (2H, d, J = 8.8 Hz, H-2’,6’), 12.10 (1H, s, chelated 5-OH). 13C-NMR
(100.4 MHz, DMSO-d6) (ppm) : 8.70 (6-CH3), 9.27 (8-CH3), 42.19 (3,3), 55.16
(OCH3), 61.05 (C-6”), 69.86 (C-4”), 74.06 (C-2”), 76.34 (C-3”), 77.03 (C-5”), 77.84
(C-2), 104.19 (C-1”), 109.96 (C-10), 110.13 (C-8), 111.21 (C-6), 113.94 (C-3’,5’),
127.99 (C-2’,6’), 130.82 (C-1’), 157.27 (C-9), 157.85 (C-5), 159.36 (C-4’), 161.40
(C-7), 198.46 (C-4). FABMS, m/z (rel.int.): 515 (M+K+)(2), 477 (M+H+ ) (1), 345 (2
m-NBA+K+)(22), 315 (aglycon+H+ ), 314 (aglycon) (3), 307 (2 m-NBA+H+ )(14), 192
(m-NBA+H+)(100), 136 (m-NBA-OH) (86).
RESULTS AND DISCUSSION
Compound 1 was isolated from ethyl acetate soluble fraction of methanol extract
of the C. sakayensis’s leaves as a yellow needles (CHCl3-acetone), mp.271-273 oC,
gave positive test with FeCl3 (green) and shinoda test (Mg-HCl) (orange). The
FABMS spectrum of 1 showed a quasi molecular ion peak at m/z 287 [M+H+ ],
corresponding to a molecular formula C15H10O6 . The absorbtion maxima at 273 (band
II) and 375 nm (band I) in the UV spectrum supported that 1 was a flavonol with a
free 3-hydroxyl group [4]. The batochromic shift of band I on adding NaOH reagent
(35 nm) and AlCl3 + HCl reagent (57 nm) indicated the presence of a hydroxyl group
at C-4' and C-5, respectively. The presence of a hydroxyl group at C-7 was exhibited
by batochromic shift of band II (9 nm) on adding NaOAc reagent. No batochromic
shift on adding NaOAc + H3BO3 reagent supported that 1 didn’t have ortho-di
hydroxyl group at B-ring. The IR spectrum of 1 clearly disclosed absorbtion bands for
OH group (3333 cm-1), chelated carbonyl group (1659 cm-1), and aromatic C=C
(1617, 1570, 1509 cm-1 ). The 1H-NMR spectrum of 1 exhibited four doublet proton
signals at H 6.18, 6.39, 6.90, and 8.08 (Table 1). Two doublet proton signals at H
6.18 (J =1.8 Hz) and 6.39 (J = 2.2 Hz) due to a pair of meta coupled protons H-6 and
H-8 in the A-ring, respectively, supported the presence of a hydroxyl group at C-5
and C-7. While two doublet proton signals at H 6.90 (J = 8.8 Hz, H-3’,5’) and 8.08
(J = 8.8, H-2’,6’) due to two pairs of ortho-cop;ed protons in the B-ring, confirmed
the presence of a hydroxyl group at C-4'. The 13C-NMR spectrum exhibited 15
carbon signals which corresponded to 1, containing five oxy aryl carbons [
C 148.1
(C-2), 158.3 (C-5), 160.5 (C-4'), 162.5 (C-9), and 165.6 (C-7)], one oxyolefine carbon
[
[C 177.4 (C-4)] (Table 1). The
C 137.1 (C-3)], and one carbonyl carbon
1 1
correlation spectroscopy ( H- H COSY, HMQC, and HMBC) spectral data supported
complete assignment of all proton-bearing carbon signals of 1.
Table 1. 1H, 13C, and 1 H-13C HMBC NMR data of 1 in CD3OH
Position
of
Atom C
1
2
3
4
5
6
7
8
H
(mult.,J in Hz)
C
H-13C
HMBC
6.18 (d, 1.8)
6.39 (d, 2.2)
148.1
137.1
177.3
158.3
99.3
165.6
94.5
C-7,C-8,C-9, C-10
C-4,C-5,C-6,C-7,C-10
1
9
10
1’
2’
3’
4’
5’
6’
8.08 (d,8.8)
6.90 (d,8.8)
6.90 (d,8.8)
8.08 (d,8.8)
162.5
104.5
123.7
130.7
116.3
160.5
116.3
130.7
C-2,C-3’,C-4’,C-5’,C-6’
C-1’,C-4’,C-5’
C-1’, C-3’, C-4’
C-2,C-2’,C-3’,C-4’,C-5’
Futher supporting evidence of structure 1 for kaemferol came from comparison of the
1
H-NMR and 13C-NMR spectral data with those of reported data in literature [5,6].
From the above results, 1 was proposed for the structure of kaemferol (3,5,7,4’tetrahydroxy flavone).
Compound 2 was isolated from ethyl acetate soluble fraction of methanol extract
of the C. sakayensis’s stem as a pale yellow needles (benzene), mp.167-167 oC, []D20
= -26o (MeOH, c.0.1), gave positive test with FeCl3 (green) and shinoda test (MgHCl) (red). The EIMS spectrum of 2 showed a molecular ion peak at m/z 314,
corresponding a molecular formula C18H18O5. The UV spectrum of 2 indicated
absorbtion characteristic of flavanone-type compounds at 297 nm (band II) and 343
nm (sh) (band I) [4]. The absorbtion bands of alkyl C-H (2922, 2840 cm-1), chelated
carbonyl group (1630 cm-1), and aromatic C=C (1520 cm -1) in the IR spectrum,
together with the existence of the ABX-type proton signals at H 2.78 (dd, H-3), 3.05
(dd, H-3), and 5.35 (dd, H-2) in the 1 H-NMR spectrum (Table 2) also supported that
2 was a flavanone [8]. The batochromic shift of band II (42 nm) on adding NaOH and
NaOAc reagent showed the presence of a hydroxyl group at C-7 [8]. The presence of
OH group at C-5 was supported by the batochromic shift of band II (11 nm) on adding
AlCl3 + HCl reagent. No batochromic shift on adding NaOAc + H3 BO3 reagent
supported that 2 didn’t have ortho-dihydroxyl group at the A-ring. The chelated
proton signal at H 12.29 (s) indicated the presence of a hydroxyl group at C-5.
Futher the 1H-NMR spectrum of 2 showed the existence of two aromatic methyl
groups [H 2.03 (s), 2.05 (s)] and a methoxyphenyl group [
H 3.85 (s)] in the
flavanone skeleton (Table 2). In the HMBC spectrum of 2, the proton signal of the
first aromatic methyl group (H 2.03) showed correlation with carbon signals of C-5
(
C 158.8), C-6 (
C 103.5), C-7 (
C 162.1), while the proton signal of the second
aromatic methyl group (H 2.05) correlated with carbon signals of C-7 (C 162.1), C-8
(
C 102.3), C-9 (
C 157.7) (Table 2). These results indicated that the first and the
second aromatic methyl groups should be located at C-6 and C-8, respectively. The
correlation between proton signal of methoxyphenyl group (H 3.85) with carbon
signal of C-4’ (C 159.6) in the HMBC spectrum, together with the appearance of two
aromatic proton signals at 
H 6.95 (d, J = 9.0 Hz, H-3’,5’) and 7.39 (d, J = 8.7 Hz, H2’,6’) due to two pairs of ortho-copled aromatic protons in the B-ring indicated the
presence of a methoxy group at C-4’. The other significant correlations of 2 can be
seen in Table 2. Futher supporting evidence of structure 2 for matteucinol came from
comparison of the 1H-NMR, 13 C-NMR, and EIMS spectral data with those of
reported data in literature [7,8]. From the above results, compound 2 was identified
as matteucinol (5,7-dihydroxy-4’-methoxy-6,8-dimethyl flavanone).
Table 2. 1H, 13C, and 1 H-13C HMBC NMR data of 2 in CDCl3
Position
of
Atom C
1
2
3
3
4
5
6
7
8
9
10
1’
2’
3’
4’
5’
6’
6-CH3
8-CH3
4’-OCH3
5-OH
1
H-NMR
(ppm, mult.,J)
5.32 (dd,J=13 Hz,3 Hz)
3.03 (dd,J=17 Hz,13 Hz)
2.78 (dd,J = 17 Hz,3 Hz)
7.39 (d,J=9 Hz)
6.95 (d,J= 9 Hz)
6.95 (d,J= 9 Hz)
7.39 (d,J=9 Hz)
2.03 (s)
2.05 (s)
3.83 (s)
12.29 (s)
13
1
13
C-NMR
(ppm)
H- C
HMBC
78.2
43.1
43.1
196.5
158.8
103.5
162.1
102.3
157.7
102.7
131.0
127.4
114.0
159.6
114.0
127.4
6.9
7.6
55.2
-
C-1’,C-2’,C-6’
C-4, C-10
C-2, C-4, C-1’
C-2, C-3’, C-4’, C-6’
C-1’,C-4’, C-5’
C-1’,C-4’, C-5’
C-2, C-2’, C-4’, C-5’
C-5, C-6, C-7
C-7, C-9
C-4’
-
Compound 3 was isolated from ethyl acetate soluble fraction of methanol extract
of the C. sakayensis’s stem as a pale yellow needles (CHCl3-MeOH), mp.224-226 oC,
[]D20 = -20o (MeOH, c.0.1), gave positive test with FeCl3 (green) and shinoda test
(Mg-HCl) (red). The EIMS spectrum of 2 showed a molecular ion peak at m/z 300,
suggesting a molecular formula C17 H16O5. The UV spectrum of 2 indicated absorbtion
characteristic of flavanone-type compounds at 297 nm (band II) and 348 nm (sh)
(band I) [4]. The absorbtion bands of alkyl C-H (2924 cm-1 ), chelated carbonyl group
(1636 cm-1), and aromatic C=C (1520 cm-1) in the IR spectrum, together with the
existence of the ABX-type proton signals at H 2.70 (dd, H-3), 3.05 (dd, H-3), and
5.29 (dd, H-2) in the 1H-NMR spectrum (Table 3) also supported that 2 was a
flavanone [8]. The batochromic shift of band II (42 nm) on adding NaOH and
NaOAc reagent showed the presence of a hydroxyl group at C-7. The presence of OH
group at C-5 was supported by the batochromic shift of band II (2 nm) on adding
AlCl3 + HCl reagent. No batochromic shift on adding NaOAc + H3 BO3 reagent
supported that 3 didn’t have ortho-dihydroxyl group at the A-ring. Futher the 1HNMR spectrum of 3 showed the existence of two aromatic methyl groups [
H 1.98
(s), 1.99 (s)] in the flavanone skeleton (Table 3). The DEPT spectrum of 3 showed
that it had five methine carbons, one methylene carbon, two methyl carbons, and nine
quartenary carbons.
Table 3. 1H-NMR, 13C-NMR, and DEPT spectral data of farrerol in CD3OD
1
Position
H-NMR
(ppm, mult.,J)
1
2
3
3
4
5
6
7
8
9
10
1’
2’
3’
4’
5’
6’
6-CH3
8-CH3
5.29 (dd,J=12.8 Hz, 2.8 Hz)
3.05 (dd,J=16.8 Hz, 12.8 Hz)
2.7 (dd,J = 16.8 Hz, 2.8 Hz)
7.32 (d,J=8.4 Hz)
6.82 (d,J=8.4 Hz)
6.82 (d,J=8.4 Hz)
7.32 (d,J=8.4 Hz)
1.98 (s)
1.99 (s)
13
C-NMR
(ppm)
DEPT 90
DEPT 135
80.1
44.1
44.1
198.4
159.3
104.8
164.2
103.2
158.9
104.1
131.5
128.8
116.3
160.3
116.3
128.8
7.4
8.2
CH
CH
CH
CH
CH
-
CH
CH2
CH2
CH
CH
CH
CH
CH3
CH3
The 1H-NMR and 13C-NMR spectral data of 3 were similar to those of related
compound, matteucinol, except a methoxy signal at H 3.83 (s) and C 55.2,
respectively. Futher supporting evidence of structure 3 for matteucinol came from
comparison of the EIMS data with those of the base data at the GCMS instrument.
From the above results, compound 3 was identified as farrerol (5,7, 4’-trihydroxy6,8-dimethyl flavanone).
Compound 4 was isolated from the ethyl acetate soluble fraction of methanol
extract of the C. sakayensis’s stem as a pale yellow powder (CHCl3-MeOH), mp. 135136 oC, gave positive test with FeCl3 test (green) and Shinoda-test (Mg-HCl) (pale
red). The FABMS spectrum of 4 a quasi molecular ion peak at m/z 477 [M+H+ ],
suggesting a molecular formula C24H28O10. The absorption maxima at 282 nm (band
II) and 361 nm (sh) (band I) in the UV spectrum supported that compound supported
that compound 4 was a flavanone [4]. The presence of absorbtion bands for alkyl CH (2928 cm-1), chelated carbonyl group (1636 cm-1), and aromatic C=C (1516 cm-1 ) in
the IR spectrum, together with the existence of the ABX-type signals at H 2.84 (dd,
H-3), 3.05 (dd, H-3), and 5.35 (dd, H-2) in the 1H-NMR spectrum (Table 3) also
supported that compound 4 had the flavanone skeleton. No batochromic shift of band
II on adding NaOH and NaOAc reagent showed that 4 didn’t have a free hydroxyl
group at C-7. No batochromic shift on adding NaOAc + H3BO3 reagent supported
that 4 didn’t have ortho-dihydroxy group at A-ring. The chelated proton signal at H
12.10 (s) indicated the existence of a hydroxyl group at C-5. The 1H-NMR spectrum
of 4 exhibited proton signals due to a 4’-methoxyphenyl group at 
H 3.76 (3H, s, 4’OCH3), 6.98 (2H, d, J=8.4 Hz), and 7.45 (2H, d, J=8.8 Hz), two aromatic methyl
group at H 2.05 (3H, s) and 2.07 (3H, s) as well as a glycosyl group at H 4.58 (1H,
d, J = 7.2 Hz, H-1”) and H 3.10-3.62 (6-H glycosyl, m)(Table 3). The glycosyl group
of 4 could be identified as a glucosyl group because its carbon signals resembled
those of reported data in literature [8]. In the HMBC spectrum of 4, proton signal of
methoxyphenyl group (H 3.76) showed correlation with carbon signal of C-4’ (
C
159.36), proton signal of the first aromatic methyl group (H 2.05) correlated with
carbon signals of C-5 (C 157.85), C-6 (C 111,21), C-7 (C 161.40), and the proton
signal of the second aromatic methyl group (H 2.07) correlated with carbon signals of
C-7 (C 161.40), C-8 (C 110.13), C-9 (C 157.27) (Table 3). These results suggested
the presence of methoxyphenyl group at C-4’ and aromatic methyl group at C-6 and
C-8, respectively. The correlation beetwen proton signal of anomeric proton of
glucosyl group (H 4.58) with carbon signal of C-7 (
C 161.40) in the HMBC
spectrum of 4 showed the presence of glucosyl group at C-7. Meanwhile the coupling
constant value of the anomeric proton was 7.2 Hz, indicated the presence of a glycosydic linkage to a aglycon [11]. Futher supporting evidence of structure 4 for
matteucinol-7-O--D-glucoside came from comparison of the 1H-NMR and 13C-NMR
spectral data with those of reported data in literature [8]. From above results
compound 4 was suggested to be a matteucinol-7-O--D-glucoside.
Table 4. 1H, 13C, and 1H-13C HMBC NMR data of 4 in DMSO-d6
Position
of
Atom C
1
2
3
3
4
5
6
7
8
9
10
1’
2’
3’
4’
5’
6’
6-CH3
8-CH3
4’-OCH3
5-OH
1”
2”
3”
4”
5”
6”
H
(mult.,J in Hz)
C
H-13C
HMBC
5.54 (m)
3.05 (dd,18.0,13.6)
2.84 (dd,17.2,2.8)
77.84
42.19
42.19
198.46
157.85
111.21
161.40
110.13
157.27
109.96
130.82
127.99
113.94
159.36
113.94
127.99
8.70
9.27
55.16
104.19
74.06
76.34
69.86
77.03
61.05
C-1’,C-2’,C-6’, C-4
C-4
C-4
C-2, C-3’, C-4’, C-6’
C-1’,C-2’,C-4’, C-5’
C-1’,C-3’,C-4’, C-6’
C-2, C-2’, C-4’, C-5’
C-5, C-6, C-7
C-7, C-8,C-9
C-4’
C-5,C-6,C-8
C-7
7.45 (d,8.8)
6.98 (d,8.4)
6.98 (d,8.4)
7.45 (d,8.8)
2.05 (s)
2.07 (s)
3.76 (s)
12.10 (s)
4.58 (d, 7.2)
3.10-3.62 (m)
1
ACKNOWLEDGMENTS
We thanks the Directorate General of Higher Education, Ministry of National
Education, Idonesia, for financial support and Mr. Wardaya from the Purwodadi
Botanical Garden, Pasuruan, Indonesia, for help in collecting and identifying the plant
material.
REFERENCES
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
Steenish V, Holttum RE. (1982). Flora Malesiana. Junk Publisher, London,
392.
Piggott AG. (1988). Fern of Malaysia. Kualalumpur, 192.
Sutoyo S, Indrayanto G, Zaini NC (2007). Studies on chemical constituents of
Chingia sakayensis (Zeiller) Holtt. Natural Product Communications, 2 (5)
579-580.
Markham, KR. (1982) Techniques of Flavonoid Identification. Academic
Press, London, 38-50.
Markham KR, Geiger H. (1994) 1H nuclear magnetic resonance spectroscopy
of flavonoids and their glycosides in hexadeuterodimethylsulfoxide. In The
Flavonoids. Advances in research since 1986. Harborne JB (Ed). Chapman &
Hall, London, 452, 464.
Li Bin, Luo Yongming. (2003) Studies on chemical constituents of Camellia
oleifera Abel, http://www. chemistrymag.org//cji/2003/053020ne.htm, accesed
at 5 June 2003.
Tanaka N,Murakami T, Wada H, Gutierrez AB, Saiki Y, Chen CM. (1985)
Chemical and chemotaxonomical studies of Filices.LXI.Chemical studies on
the constituents of Proneprium triphyllum .Chemical and Pharmaceutical
Bulletin, 33 (12) 5231-5238.
Miraglia MDC, Padua APD, Mesquita, AAL, Gottlieb OR. (1985) Flavonoids
from the fern Blechnum regnellianum and Pityrogramma ebenea .
Phytochemistry, 24 (5) 1120.
Suatu Senyawa Alkohol Rantai Panjang dan Dua Senyawa Sterol dari Ekstrak
Heksana Kulit Batang Tumbuhan Pacar Cina (Aglaia odorata Lour)(Meliaceae) *)
Tukiran a , P.Ardhiana a, Suyatno a, dan K.Shimizu b
a
Kelompok Penelitian Kimia Organik Bahan Alam Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya. Jl. Ketintang
Surabaya, 60231
b
Departement of Forest and Forest Products Sciences, Faculty of Agricuture, Kyushu
University, Fukuoka 812-8581, Japan.
Abstrak
Suatu senyawa alkohol berantai panjang (long chain-alcohol), 1-eikosanol bersamasama dengan dua senyawa sterol,β-sitosterol dan stigmasterol telah berhasil diisolasi
dari
ekstrak
heksana
kulit
batang tumbuhan
pacar cina
(Aglaia
odorata
Lour)(Meliaceae). Struktur ketiga senyawa ini telah ditetapkan berdasarkan data
spektroskopi IR, NMR dan FABMS.
Kata kunci : Aglaia odorata Lour, Alcohol, Meliaceae, Pacar Cina , Sterol
Abstract
A long chain alcohol, 1-eicosanol together with two sterols, β-sitosterol and
stigmasterol had been isolated from hexane extract of stem bark of pacar cina (Aglaia
odorata Lour)(Meliaceae). These structures had been established based on
spectroscopic data (IR, NMR and FABMS).
Keyword : Aglaia odorata Lour, Alcohol, Meliaceae, Pacar Cina, Sterol.
*
) Makalah disanpaikan pada Seminar Nasional Kimia di Jurusan Kimia-Unesa Surabaya, Tanggal 5
Desember 2007
351
1. PENDAHULUAN
Dari laporan yang berhasil dikumpulkan pada studi kimia tanaman
genus Aglaia pada dasarnya dapat dikelompokan menurut kerangka dasarnya,
yaitu kelompoksiklortan, liminoid, 14α-metilsterol (steroid), tirucllan,
flavonoid,
dan siklopenatetrahidrobenzofuran (rokaglamida). Kelompok-
kelompok senyawa ini sekaligus menggambarkan keragaman molekul dan pola
kimia dari senyawa-senyawa yang terkandung dalam tumbuhan Meliaceaea
pada umumnya. Sebagai contoh, kelompok senyawa sikloartan, argenteanon A
– E, argenteanol, argenteanol B – E telah berhasil diisolasi dari tumbuhan
Aglaia argentea dan pula menunjukan efek sitotoksik terhadap sel KB [1,2].
Kemudian senyawa jenis sikloartan lainya, 29-nor-sikloartan-24,25-epoksi-3βol dan 29-nor-sikloartan-23-en-3β,25-diol telah diisolasi dari tumbuhan Aglaia
roxburghiana [3]. Dari daun tumbuhan Aglaia harmsiana telah pula ditemukan
empat senyawa jenis sikloartan, yaitu sikloartenol, sikloartan-3β,29-diol-24on, (24R)-sikloartan-3β,24,25-triol, dan (24R)-sikloartan-24,25-diol-3-on[4].
Sebagai kelanjutan penelitian kami terhadap sejumlah tumbuhan
Meliaceae, seperti Khaya senegalensis [5] dan Sandoricum koetjape [6], kini
kami mulai menyelidiki kandungan kimia pada tumbuhan lain dalam famili
tersebut, yaitu Aglaia odorata Lour. [7] yang diperoleh dari Kebun Raya
Purwodadi. Dari ekstrak heksana kulit batang tumbuhan A. odorata ini telah
berhasil diisolasi suatu senyawa alkohol rantai panjang, 1-eikosanol bersamasama dengan β-sitosterol dan stigmasterol. Pada kesempatan ini, akan
dilaporkan elusidasi struktur suatu senyawa hasil isolasi 1-eikosanol dari
ekstrak heksana tersebut yang ditetapkan berdasarkan data IR dan NMR.
2. METODE DAN HASIL PENELITIAN
Umum. Penentuan spektroskopi inframerah (IR) suatu senyawa hasil
isolasi diukur dengan menggunakan alat spektrometer Buck Scientific M500.
Spektrum 1H dan
13
C NMR diukur dengan menggunakan spektrometer JEOL
JNM-AL300/AL400 FTNMR, beroperasi pada 399.65 MHz (1H) dan 100.40
MHz (13 C), menggunakan pelarut sebagai standar internal. Kromatografi cair
352
vakum (KVC) dilakukan dengan menggunakan Si Gel Merck 60 GF 254,
Kromatografi kolom gravitasi (KKG) dengan Si Gel Merck 60 (60-70 mesh),
dan analisis kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan pelat berlapis Si Gel
Merck Kieselgel 60 F254 , 0,25 mm.
Pengumpulan Bahan Tumbuhan. Bahan tumbuhan berupa kulit
batang dari Aglaia odorata Lour (Pacar Cina) dikumpulkan pada bulan Maret
2007 dari kebun Raya Purwodadi. Tumbuhan ini telah diidentifikasi oleh staf
Herbarium LIPI, Purwodadi, Pasuruan dan spesimenya disimpan di Herbarium
tersebut.
Ekstraksi dan Isolasi. Kulit batang tumbuhan pacar cina yang telah
dikeringkan dan digiling halus (1,25 kg) diekstraksituntas (sebanyak 3 kali)
dengan metanol. Setelah pelarut diuapkan dari ekstrak metanol paeda tekanan
rendah, diperoleh residu berwarna coklat kekuningan (101,1 g). selanjutnya,
terhadap total ekstrak metanol ini dipartisis oleh heksana sebanyak 3 kali, dan
diperoleh total ekstrak heksana sebanyak 15,6 g. ekstrak heksana ini dibagi
menjadi 2 bagian dengan berat masing – masing bagian kurang lebih 7,3 dan
8,3 g (selanjutnya disebut fraksi utama I dan II). Kemudian fraksi utama I
difraksinasi melalui kromatografi vakum cair (KVC) berturut – turut
menggunakan eluen campuran heksana/kloroform/metanol dengan tingkat
kepolaran yang terus meningkat (H/K/M = 10/0/0 sampai dengan 0/0/10).
Menghasilkan 20 fraksi. Penggabungan fraksi-fraksi tersebut atas dasar analisis
KLT menghasilkan 5 fraksi utama yaitu fraksi IA (1-13)IB (14), IC(1517;2,003g),ID(18, 1,272 g), dan IE(19-20; 0,786 g). hal yang sama dilakukan
pemisahan pula terhadap fraksi utama II dengan menggunakan cara dan eluen
yang sama pula dihasilkan 24 fraksi dan digabung menjadi 5 fraksi, yaitu fraksi
IIA (1-3), IIB (4-7), IIC(8-11), IID(12-19), dan IIE(20-24).
Selanjutnya terhadap fraksi IC (15-17; 2,003 g) difraksinasi melalui
KKG (eluen campuran heksana/kloroform/metanol (H/K/M = 15/1/0,5)
dihasilkan 68 fraksi dan dilanjutkan dengan mengganti eluen (H/K/M =
10/3/0,5), dihasilkan fraksi 69-77 fraksi dan digabung berdasarkan analisis
KLT diperoleh 8 fraksi gabungan yaitu fraksi ICI (1-3; 0,233 g), IC2)(4-5;
353
0,045 g), IC3 (6-9; 0,148g), IC4 (8-11, 0,547 g), IC5 (12-25; 0,649 g), IC6 (2633 ; 0,649 g), IC7 (34-41), dan IC8 (42-77).
Berdasarkan analisis KLT dari sejumjah fraksi-fraksi hasil pemisahan
fraksi utama I, II, dan IC di atas, selanjutnya digabung menjadi 6 fraksi
kelompok, yaitu fraksi kelompok I (gabungan fraksi-fraksi IIB, IC1 dan IC2;
1,571 g), fraksi kelompol II (gabungan fraksi-fraksi IIC dan IC5; 1,681 g),
fraksi kelompok III(gabungan fraksi-fraksi IID dan IC7, Fraksi kelompok IV
(Fraksi IIA), fraksi kelompok V (gabungan fraksi-fraksi IIE dan IC8), dan
fraksi kelompok VI (fraksi IC3).
Pemisahan berikutnya difokuskan pada fraksi kelompok II (1,681 g)
melalui KVC menggunakan eluen heksana, heksana/etil asetat, dan etil asetat
menurut kenaikan tingkat kepolaran dihasilkan 80 fraksi. Berdasarkan analisis
KLT terhadap semua fraksi yang diperoleh diatas, kemudian digabungmenjadi
6 fraksi, yaitu fraksi kelompok IIa (1-36), fraksi Kelompok IIb (37-46; 0,357
g), fraksi kelompok Iic(47-59; 0,385 g), fraksi kelompok Iid (60-63), fraksi
kelompok Iie (64-74; 0,440 g), dan fraksi kelompok Iif (75-80). Penguapan
terhadap fraksi kelompok Iib (0,357 g) diikuti terbentuknya kristal dan
selanjutnya dilakukan rekristalisasi secara berulang-ulang dalam campuran
kloroform dan metanol panas diperoleh kristal putihsebanyak 10 mg (disebut
isolat Prima-tuk-1). Karakterisasi berikutnya dilakukan terhadap isolat ini
melalui pengukuran IR dan NMR.
Pemisahan selanjutnya dilakukan terhadap fraksi kelompok I melalui
KVC menggunakan eluen yang sama dihasilkan 149 fraksi dan digabung
menjadi fraksi gabungan, yaitu kelompok Ia (1-2), Ib (3-4), Ic (5-46), Id (4759), Ie (60-63), If (64-74), Ig (75-130), dan Ih (131-149). Hasil penguapan
fraksi kelompok Id (47-59)dan If (64-74)diikuti terbentuknya kristal dan
digabung selanjutnya dilakukan rekristalisasi dalam metanol panas secara
berulang-ulang, masing-masing diperoleh kristal putih sebanyak 8mg (disebut
isolat Prima-Tuk-2).
Data spektroskopi senyawa hasil isolasi adalah sebagai berikut.
Spektrum IR (KB r) senyawa hasil isolasi (isolat Prima-Tuk-1) menunjukan
serapan v
maks
pada 3390,3 (-OH), 2921 dan 2853 (-CH alifatik), dan 1060,6 (-
354
C- OH)cm-1 . spektrum
13
C-NMR (CDCI3 , 125 MHz) senyawa hasil isolasi
memperlihatkan sejumlah sinyal pada γc63,2 (C-OH), 32,97 (CH2-), 32,01 (CH2-), 29,42 (-CH2-); 25,87 (-CH2-), 22,75 (-CH2-), dan 14,11 (CH3 -) ppm.
Spektrum 1H-NMR (CDCI3, 500 MHz)senyawa hasil isolasi menunjukan
sejumlah sinyal pada δ
c 0,88 (CH 3, t), 1,125 (CH 2-, m), dan 7,26 (-C-OH) ppm.
Sementara itu, isolat Prima-Tuk-2 dilakukan karakterisasi dengan cara
membandingkan dengan senyawa hasil isolasi standar yang diperoleh dari
ekstrak kloroform (disebut Diah-Tuk-1), yaitu β-sitostero; dan stigmasterol
dari tumbuhan yang sama, diatas pelat KLT dan dibawah lampu UV baik pada
panjang gelombang 254 maupun 366 nm menunjukan kesamaan sifat dan pola
serapanya, sehingga dapat disarankan bahwa isolat Prima-Tuk-2 adalah βsitosterol dan stigmasterol.
3. PEMBAHASAN
Pemisahan ekstrak heksana kulit batang tumbuhan pacar cina (Aglaia
odorata Lour) dihasilkan suatu senyawa hasil isolasi, yang diperoleh melalui
beberapa tahap fraksinasi, diikuti oleh pemilihan fraksi utama berdasarkan
analisis kromatografi lapis tipis (KLT), pemurnian melalui kolom kromatografi
dan rekristalisasi, serta pengukuran spektroskopi.
Suatu senyawa hasil isolasi berupa kristal putih telah diperoleh dari
kolom kromatografi dan rekristalisasi berulang-ulang dalam pelarut metanol
panas. Dengan pereaksi Lieberman-Burchard, senyawa ini memberikan warna
ungu dan memberikan pendar dibawah lampu UV baik pada panjang
gelombang 254 nm.
Spektrum IR senyawa hasil isolasi menunjukan sejumlah serapan v
maks pada 3390,3 yang menggambarkan adanya gugus –OH, pada 2921 dan
2853 cm-1 yang mengindikasikan adanya gugus –CH alifatik, dan pada 1060,6
cm-1 yang menunjukkan adanya gugus alkil alkohol (-C-OH) cm -1.
Spektrum
13
C-NMR (CDCI3, 125 MHz) senyawa hasil isolasi
memperlihatkan sejumlah sinyal pada δc 63,2 ppm berarti senyawa hasil isolasi
mempunyai atom karbon alkohol sekunder (-CH2-OH), 32,97; 32,01; 29,42;
25,87 (-CH2-), 22,75 ppm (-CH2-), menyatakan adanya atom karbon jenis
355
metilen (CH2-). Spektrum 1H-NMR (CDCI3, 500MHz) senyawa hasil isolasi
menunjukan sejumlah sinyal pada δc 0,88 ppm dengan multiplissitas triplet (t),
yang menyatakan sebagai proton metil (CH3), 1,25 ppm dengan multiplisitas
multiplet (m) dan dengan kelimpahan yang cukup tinggi menandakan dahwa
senyawa hasil isolasi gugus metilen (CH2-) yang cukup banyak, dan 7,26 ppm
yang berarti adanya gugus alkil alkohol. Data dan pola serapan spektruk IR ini
serta data spektrum NMR, disarankan bahwa senyawa hasil isolasi adalah suatu
1-eikosanol.
OH
1-Eikosanol (CH3-(CH2)19 OH)
21
18
22
22
20
23
23
17
11
19
1
9
10
14
3
OH
OH
5
Β-Sitosterol
Stigmasterol
4. KESIMPULAN
Penelitian kimia tumbuhan Aglaia odorata Lour, telah dilakukan di
laboratorium kami, dan dari penelitian ini telah ditemukan suatu senyawa
alkohol rantai panjang, 1-eikosanol bersama-sama dengan dua senyawa sterol
dalam bentuk isomernya yang sulit dipisahkan, yaitu β-sitosterol dan
stigmasterol. Jika ditinjau dari segi biogenesis, dua senyawa terakhir terbentuk
356
melalui reaksi enzimatik dari 2,3-oksidoskualen sebagai precursor dalam
konformasi kursi-perahu-kursi (chair-boat-chair conformation). Mempelajri
terjadinya proses reaksi sekunder dari senyawa triterpenoid maupun steroid,
diharapkan akan ditemukan banyak senyawa lain yang lebih komplek dari
tumbuhan tersebut. Dengan demikian penelitian ini masih terus dilanjutkan.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (DP2M), Pendidikan Tinggi, Jenis Penelitian Fundamental
Tahun 2007. Terima kasih disampaikan kepada staf LIPI, Kebun Raya
Purwodadi, Pasuruan, yang telah membantu mengidentifikasi spessimen
tumbuhan tersebut.
Referensi
1. Omobuwajo, O.R., Martin, M.-T., Perromat, G.,Sevenet, T., Awang, K., dan
Pais, M., 1995, “Cytotoxic cycloartanes from Aglaia argentea”,
Phytochemistry, 41 (5), 1325-8.
2. Mohamad, K., Martin, M.-T., Leroy, E., Tempete, C., Sevenet, T., Awang,
K., dan Pais, M., 1997, “Argenteanones C-E and argenteanols B-E,
cytotoxic cycloartanes from Aglaia argentea”, Journal of Natural Products,
60 (2), 81-5.
3. Vishnoi, S.P., Shoeb, A., dan Kapil, R.s., 1988, “New cycloartenol
derivatives from Aglaia roxburghania”, Planta Medica” , 54 (1), 40-1.
4. Inada, A., Murayta, H. Inatomi, Y., Nakanishi, T., dan Darnaedi, D., 1995,
”Cycloartane treterpenes from the leaves of Aglaia harmsiana”, Journal of
Natural Products, 58, 1143-6.
5. Tukiran, Sri Hidayati, S., dan Iid, F., Suatu Senyawa Steroid dari Ekstrak
n-Heksana Kulit Batang Tumbuhan Kaya (Khaya Senegalensis (Desr.)A.
Juss)(Meliaceae)”, Presentasi oral, Kumpilan Abstrak, Seminar Nasional
MIPA, 17 Desember 2005, UNESA Surabaya.
6. Tukiran, Saidah, Suyatno, Nurul Hidayati, and Shimizu, K.,2006, “A
Briononic acid from the Hexane Exstracts of Sandoricum Koetjape Merr.
357
Stem Bark (Meliaceae)”, Indonesian Journal of Chemistry, Vol.13,
No.2,2007, 133-137.
7. Tukiran dan Rikki H. A., “Isolation and Characteization a Roclamide from
Ethil Achetate Extracts of
The Stem Bark of
Aglaia odorata
Lour
(Meliaceae)”, Presentasi oral, Kumpulan Abstrak, Seminar Nasional Kimia,
4 Februari 2006, UNESA Surabaya.
358
Download