KEWENANGAN HAKIM PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KEPEGAWAIAN ANALISIS PT TUN NO: 174/G/2006/PT.TUN.JKT. (PERSPEKTIF SIYASAH SYARI’AH) Disusun Oleh : Latif Amri NIM: 105045201520 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431H / 2010M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Kewenangan Hakim Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Kepegawaian Analisis PT.TUN Nomor: 174/G/2006/PT.TUN.JKT. (Perspektif Siyasah Syari’ah)”, telah diujikan dalam sidang munaqoshah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pada tanggal 30 November 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syari’ah. Jakarta, 30 November 2010. Dekan, Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN MUNAQASAH Ketua : Asmawi, M.Ag NIP. 150 282 394 (…………………….) Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag NIP. 150 282 403 (.................................) Pembimbing I : Drs. Abu Thamrin, M, Hum. NIP. 196509081995031001 (.................................) Pembimbing II: Sri Hidayati, M. Ag NIP. 150 282 403 (…………………….) Penguji I : Asmawi, M.Ag NIP. 150 282 394 (…………………….) Penguji II : Asep Syarifudin Hidayat, SH, MH NIP. 196911211994031001 (…………………….) 1 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis. Guna diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di Kemudian Hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, LATIF AMRI 1 KATA PENGANTARs Alhamdulillah, puji syukur hanya kepada Allah yang telah melimpahkan curahan rahmat, inayah dan hidayah-Nya, terutama kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi) konsentrasi Siyasah Sar’iyyah Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada pahlawan junjungan alam yakni nabiyyuna Muhammad Saw yang menjadi Jenderal di waktu perang, menadi imam di waktu sholat, dengan kegigihan dan kesabarannya dalam membawa umat manusia dari era penuh kezhaliman, kebiadaban dibawanya secara gradual ke era peradaban baru dengan pola kehidupan yang penuh dengan rahmat dan berkah dari Allah Azza Wa Jalla. Dengan setulus hati yang paling dalam, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangatlah jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis, karena tidak sedikit kesulitan, hambatan dan cobaan yang penulis temui. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari bantuan sehingga mendapatkan banyak pihak terkait yang ikut berperan dalam proses penyelesaiannya, maka suatu kewajiban bagi penulis untuk mengucapkan terima kasih penulis kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA. MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum serta Para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dah Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag., Ketua Program Studi Fakultas Syari’ah dan Hukum dan Ibu Sri Hidayati M.Ag., Sekretaris Program Studi Fakultas Syari’ah dan Hukum. 3. Bapak Drs. Abu Thamrin M.Hum., dan Ibu Sri Hidayati M.Ag., Pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian, masukan yang bermanfaat dan motivasi serta semangat dalam penyusunan skripsi ini. 4. Seluruh staff Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang telah memberikan dokumen dan meluangkan waktunya disela-sela kesibukannya untuk memberikan arahan pada waktu penelitian. 5. Kepada segenap temen-teman seperjuangan Dinnur Garista Wirawan, Usman Ibnu Yusuf, Muhammad Fathul Ni’am, Muhammad Fadholi dan Afnanul Huda yang cukup bersahabat dan mempunyai jiwa karsa yang tinggi. 6. Kepada yang mulia Bapak H. Sukirman, Ibunda Hj Siti Rubingatun, Kakak Muhammad Irfan, Adik Zein Muttaqien, dan segenap keluarga besar yang berada di Sunter Jaya Jakarta Utara, yang selalu memberikan dukungan materil dan moril-spritual. Kepada semua penulis ucapkan ribuan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT senantiasa memberikan pahala dan ridha-Nya atas segala amal baik yang tiada terkira. Akhir kata penulis berharap agar kelak karya tulis ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Dan penulis tak lupa memohon maaf apabila dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekhilafan. Jakarta, Dzulhijjah 1431 H Nopember 2010 M Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................... i DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 10 D. Tinjauan Pustaka (Study Review) ................................................ 11 E. Metode Penelitian ........................................................................ 13 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 15 BAB II SEJARAH DAN KEWENANGAN LEMBAGA KEKUASAAN MAZHALIM BAB III A. Sejarah Lembaga Mazhalim......................................................... 17 B. Tugas dan Wewenang Lembaga Mazhalim .................................. 21 C. Kedudukan Lembaga Mazhalim .................................................. 25 TINJAUAN UMUM PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA DAN KEPEGAWAIAN A. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ........... 31 B. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.................................... 34 C. Sengketa dan Keputusan Tata Usaha negara ...................................... 47 D. Administrasi Kepegawaian .......................................................... 53 E. Sumber Hukum Kepegawaian ...................................................... 56 BAB IV ANALISIS PUTUSAN :174/G/2006/PT.TUN.JKT HAKIM DALAM PT. TUN NOMOR MENYELESAIAKAN SENGKETA KEPEGAWAIAN BAB V A. Duduk Perkara ............................................................................. 59 B. Substansi Putusan ........................................................................ 64 C. Analisa Putusan ........................................................................... 68 PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 80 B. Saran-Saran ................................................................................ 82 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan diwarnai dengan praktek maladministrasi, bahkan, terdapat pandangan yang menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Terkadang, birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan jelek koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering bertindak korup.1 Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik. 2 Bahwa sering kali setiap keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Badan-badan pemerintahan, rawan akan terjadinya rasa ketidakpuasan dari masyarakat, atau telah merasa dirugikan. Untuk menyelesaikan salah satu contoh permasalahan di atas, diperlukan lembaga independent yang menjadi jembatan penghubung antara kedua belah pihak, sekaligus memberikan keputusan yang bijaksana. Permasalahan seperti ini, dapat kita kategorikan dalam sengketa tentang administrasi Negara atau masalah Tata Usaha Negara. Kemudian pihak manakah yang berwenang menyelesaikan masalah ini. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang1 Soesilo Zauhar, Reformasi Administrasi, (PT Bumi Aksara: Jakarta) h 1 2 Penjelasan atas UU RI No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia 1 2 Undang No 51 tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN disebutkan bahwa hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebutkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen) disebutkan, bahwa : 1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. 2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Makamah Konstitusi 3 h. 517. Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (PT Bhuana Populer: 2007) 3 Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, yang mengatur kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman saat ini selain diselenggarakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam empat lingkungan peradilan juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 merupakan puncak dari badan-badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1 (satu) lingkungan peradilan umum dan 3 (tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu : agama, militer dan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan banding. Badan-badan peradilan tersebut berpuncak pada sebuah MA. Untuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan UndangUndang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang menyelesaikan sengketa tata usaha negara. memeriksa, memutus, dan 4 Berdasarkan uraian pasal demi pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hakim Tata Usaha Negara adalah pejabat yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di dalam lingkungan PTUN. Secara umum memang kewenangan hakim adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa. Menurut Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Sengketa Tata Usaha Negara menyebutkan, sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Mengacu pada rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari: 1. Subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di satu pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak. 2. Obyek sengketa adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.4 Kewenangan pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan 4 W. Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2002) h. 7 5 kompetensi atau kewenangan mengadili. PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding. Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyatakan : 1. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota. 2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Keputusan Tata Usaha Negara menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Keputusan Tata Usaha Negara ialah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata. Unsur-unsur yuridis Keputusan Tata Usaha Negara menurut hukum positif sebagai berikut :5 1. Suatu penetapan tertulis. 2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara. 5 Rozali, Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta. Pt Raja Grafindo Persada, 2004) h 13. 6 3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara. 4. Bersifat konkret, individual dan final. 5. Menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata. Kemungkinan besar bidang-bidang yang akan banyak menimbulkan perkara-perkara tata usaha negara nantinya adalah; perizinan, masalah kepegawaian negeri, masalah keuangan negara, masalah perumahan dan pergedungan, masalah pajak, masalah cukai, masalah agraria, perfilman, pemeriksaan bahan makanan dan mutu barang, keselamatan kerja perusahaan, jaminan sosial, kesehatan rakyat, pengamanan rumah penginapan, keamanan toko, pasar, perawatan infrastruktur, lalu lintas jalan, penanggulangan sampah, pendidikan, perbankan, kejahatan komputer, HAM, dan lain-lain. 6 Pengangkatan penguasa adalah untuk al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Karena kemaslahatan hamba tidak mungkin dicapai kecuali dengan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Juga karena kemaslahatan kehidupan dan hamba itu harus dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itu hanya dapat dicapai dengan menegakkan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an almunkar.7 Oleh karenanya, dalam Islam ada lembaga yang bertugas al-amr bi al ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar atau dengan istilah lain melayani pengaduan masyarakat, yang mana masyarakat ini merasa kecewa dengan pelayanan 6 Victor Situmorang, Soedibyo. Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta. PT Rineka Cipta, 1992) h 20 7 Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah, Etika Politik Islam, terjemahan Rofi’ Munawwar, h. 71- 72 7 pemerintah dan haknya sebagai warga negara tidak terpenuhi, lembaga ini dikenal dengan sebutan hisbah. Dalam sistem pemerintahan Islam, kewenangan peradilan (al-Qada) terbagi kedalam tiga wilayah, yaitu wilayat al-Mazalim, wilayat al-Qada, dan wilayat al-Hisbah. Wilayat al-Mazalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan yang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan Muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa. 8 Menurut teori al-Mawardi yang diterjemahkan oleh Nur Mufid dalam bukunya Bedah Al-Ahkamus Shulthaniah, hisbah merupakan salah satu bentuk pengawasan bila terjadi pelanggaran terhadap suatu peraturan. Orang yang menjalankan tugas itu disebut muhtasib atau wali al-hisbah. Biasanya seorang muhtasib diambil dari kalangan yuris. Dia mempunyai kebebasan untuk memutuskan suatu perkara atas dasar ‘urf (kebiasaan). ‘urf ini berbeda dari syariah.9 Ide yang terkandung dalam fungsi lembaga hisbah dan tanggung jawab muhtasib tampaknya berkaitan dengan cita-cita dijalankannya ibadah agama 8 Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 1997) h. 92 9 Nur Mufid, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah, Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah, (Pustaka Progressif: Surabaya, 2000), h. 131. 8 sesuai dengan hukum, dan terwujudnya ketentraman dan ketertiban umum, khususnya dalam kegiatan sosial, ekonomi, transportasi dan sosial masyarakat, termasuk berkembangnya nilai-nilai kejujuran dikalangan pelaku ekonomi. Lebih jauh, dibentuknya hisbah ialah untuk memperkecil terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Keberadaan lembaga peradilan di dalam Islam juga bisa dijadikan studi kelembagaan atas kewenangan Hakim Tata Usaha Negara di Indonesia. Peradilan Tata Usaha Negara ini diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warganya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warganya, secara umum tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah: 1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hakhak individu. 2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.10 Berangkat dari penjelasan di atas, dimana kewenangan hakim Tata Usaha Negara adalah menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warganya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan atau kebijakan pemerintah yang dianggap melanggar atau merugikan hak-hak warga negaranya. Sedangkan obyek sengketa Tata Usaha Negara itu sendiri adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Salah satu Badan atau 10 Tjandra, Hukum Acara, h. 1 9 Pejabat Tata Usaha Negara adalah seperti Dinas Tata Kota, Dinas Pertamanan dan Dinas-dinas yang lain. Kemudian bagaimana pandangan siyasah sar’iyyah dalam hal ini. Fenomena tersebut beserta pemetaannya, merupakan titik tolak yang melatar belakangi pembahasan masalah ini, dalam sebuah skripsi yang berjudul KEWENANGAN HAKIM PERADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KEPEGAWAIAN ANALISIS PT TUN NO: 174/G/2006/PT.TUN.JKT. (PERSPEKTIF SIYASAH SYARI’AH) B. Batasan Dan Rumusan Masalah Untuk menghindari melebarnya pembahasan dan selanjutnya memudahkan penulis dalam analisis, permasalahan pada Kewenangan Hakim PT.TUN dalam menyelesaikan sengketa, khususnya sengketa kepegawaian. Perumusan masalah utama yang akan dijawab melalui penelitian adalah, “Bagaimana Kewenangan Hakim PT.TUN Jakarta Dalam Menyelesaikan Sengketa Kepegawaian?” Berdasarkan masalah utama tersebut, dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian yaitu : 1. Perkara sengketa Kepegawaian Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara yang dikaji dalam skripsi ini adalah Perkara Nomor NO: 174/G/2006 PT.TUN.JKT 10 yang diajukan oleh Ambrosius WB, terhadap Badan Pertimbangan kepegawaian 2. Pandangan Hukum Islam (ketatanegaraan Islam) terhadap kewenangan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara memutus sengketa kepegawaian Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara, dalam hal ini Perkara Nomor: 174/G/2006 PT.TUN.JKT. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penulis memberi rumusanrumusan masalah yang akan dikaji lebih lanjut, yakni : 1. Bagaimana peranan hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa kepegawaian di Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam (ketatanegaraan Islam) terhadap kewenangan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam memutus sengketa kepegawaian, perkara Nomor NO: 174/G/2006 PT.TUN.JKT? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Hukum Islam (ketetenegaraan Islam) memandang kewenangan Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara memutus sengketa kepegawaian yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan : 11 1. Untuk mengetahui bagaimana hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam memutus perkara kepegawaian di Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara. 2. Untuk mengetahui bagaimana Pandangan Hukum Islam (ketatanegaraan Islam) terhadap kewenangan Peradilan Tinggi tata Usaha Negara dalam memutus sengketa kepegawaian, dalam hal ini perkara Nomor 174/G/2006 PT.TUN.JKT. Sedangkan manfaat dari penelitian ini : 1. Bagi penulis bermanfaat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum Islam, selain itu juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran, keluasan wawasan serta kemampuan pemahaman penulis tentang hukum ketatanegaraan di Indonesia dan dalam tradisi Islam. 2. Bagi masyarakat bermanfaat untuk memberikan kontribusi pengetahuan di bidang Ilmu Hukum, khususnya tentang Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara yang mempunyai wewenang memeriksa, memutus, menyelesaikan sengketa kepegawaian. 3. Bagi para akademisi bermanfaat untuk memberikan kontribusi pemikiran terkait dengan wewenang Peradilan Tinggi tata Usaha Negara memutus sengketa kepegawaian. D. Tinjauan Pustaka (Study Review) Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penulisan proposal skripsi ini, penulis ingin memberikan rujukan terhadap tema-tema yang membahas dan 12 tema-tema yang hampir sama terhadap pembahasan judul proposal penulis, adapaun sumber-sumber yang penulis dapatkan ialah berasal dari buku-buku yang berkaitan, jurnal-jurnal, dan artikel pada media massa. Buku I, R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara, Sinar Grafika, 2007. di dalam buku ini menjelaskan bagaimana menjalankan proses beracara pada pengadilan Tata Usaha Negara. Buku II, Sudarsono, Pengadilan Negeri Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata Usaha negara, PT Rieneka Cipta, 1994. Dalam buku ini menjelaskan tentang Lembaga Peradilan di Indonesia, Badan Peradilan yang Berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Buku III, A. W. Widjaja, Administrasi Kepegawaian: Suatu Pengantar, CV.Rajawali, 1990. dalam buku ini mencoba secara garis besar menjelaskan mengenai Administrasi Kepegawaian atau administrasi personalia (personal administration) atau juga disebut dengan personel management. Kegiatannya secara umum dapat dirinci dan berkisar sekitar: perencanaan, penempatan, pembimbingan, peningkatan, pemberhentian tenaga kerja manusia dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Buku IV, Viktor M. Sitomurang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Rinekacipta, 1990. Buku tersebut pada dasarnya menjelaskan hukum 13 kepegawaian yang merupakan salah satu aspek dari hukum administrasi negara, juga di dalamnya memuat tindak pidana korupsi khususnya tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil. Buku V, Imam Al-Mawardi, Hukum tata negara dan kepemimpinan dalam takaran Islam, penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani, Kamaluddin Nurdin : Gema Insani Press, 2000. Buku tersebut pada dasarnya menjelaskan bagaimana hukum tata negara Islam dan kepemimpinan agama. Menurut imam Al-Mawardi. Termasuk di dalamnya menjelaskan lembaga administrasi beserta peradilannya dalam ketatanegaraan Islam. Buku-buku tersebut membahas tentang hukum Peradilan Tata Usaha Negara dan Kepegawaian secara umum yang berlaku di Indonesia, berbeda dengan yang penulis teliti, penulis memadukan Peradilan Tata Usaha Negara dan menganalisisnya dengan perspektif ketatanegaraan Islam. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Data Jenis penelitian data yang digunakan penulis di sini adalah dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, penelitian akan menggunakan metode eksloratif. Penelitian ini akan mengkombinasikan pendekatan normatif dengan studi kepustakaan (library research). Pendekatan normatif yaitu kajian kepustakaan bertujuan mengeksplorasi dan memahami berbagai 14 konsep yang berkaitan dengan tema penulis yang dilakukan untuk mendapatkan data seluas dan seditail mungkin dengan mengacu pada teori yang sudah dijelaskan pada kajian teoritis. 2. Sumber Data a. Data Primer, bersumber dari Undang-Undang Dasar 1945, dan juga Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, serta beberapa Undang-Undang lain yang berkaitan dengan pembahasan ini, dan juga buku-buku yang sesuai dengan bahasan penulis. b. Data Sekunder, yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini yaitu literatur berupa jurnal, majalah, artikel, surat kabar, serta website yang pembahasannya berkaitan dengan objek kajian penulis. 3. Teknik Pengumpulan Data Mengenai teknik pengumpulan data, penulis akan mendapatkan data melalui studi kepustakaan atau dokumenter, yang didapat di perpustakaan Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Mahkamah Konstitusi, perpustakaan Universitas Indonesia, dan perpustakaan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, mencari, mengumpulkan, meneliti, menelaah serta mengkaji data dan informasi dari berbagai media yang relevan dan objektif guna memenuhi target pembahasan. 15 4. Teknik Analisis Data Dalam Skripsi ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu pendekatan isi (Content Analiysis), yang menekankan pengambilan dari kesimpulan analisa yang bersifat deskriftif dan deduktif, seluruh data yang diperoleh akan diklarifikasikan dari bentuk yang bersifat umum, kemudian dikaji dan diteliti selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut. 5. Teknik Penulisan Adapun Teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Menulis Skripsi, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri , Jakarta, 2007. F. Sistematika Penulisan Dalam Proposal skripsi ini, penulis membagi pembahasan ke dalam 5 bab, dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai topiktopik tertentu, yaitu: BAB I, berisi Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Study Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Alasan sub-sub tersebut diletakkan pada bab 1 adalah untuk lebih mengetahui alasan pokok kenapa penulisan ini dilakukan dan mengetahui batasan dan metode yang dilakukan sehingga maksud dari isi penulisan ini dapat dipahami. 16 BAB II, pembahasan mengenai tinjauan umum yang meliputi: Sejarah Lembaga Mazhalim, tugas dan wewenang Lembaga Mazhalim, kedudukan Lembaga Mazhalim. BAB III, pembahasan mengenai tinjauan umum Peradilan Tata Usaha Negara dan Kepegawaian: Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha negara, Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, Sengketa dan Keputusan tata Usaha Negara, Administrasi Kepegawaian, Sumber Hukum Kepegawaian. BAB IV, pada bab ini penulis akan menguraikan tentang kewenangan Peradilan Tinggi tata Usaha Negara dalam memutus perkara sengketa kepegawaian, dalam hal ini Perkara Nomor 174/G/2006/PT.TUN.JKT. dan juga akan dikaji secara hukum Islam bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. BAB V, merupakan bab penutup, yang berisikan kesimpulan dari seluruh penelitian serta saran-saran. BAB II SEJARAH DAN KEWENANGAN LEMBAGA KEKUASAAN MAZHALIM A. Sejarah Lembaga Mazhalim Perkembangan kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat dan politik Islam. Dalam sejarah Islam yang paling banyak menguasai lembaga peradilan Islam adalah ahli praktisi hukum. Dalam peraturan perundang-undangan sekarang posisi para praktisi hukum itu selain sebagai ulama ahli juga sebagai pemisah antara kekuasaan. 1 Lembaga peradilan (qada) dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan putusan berdasarkan hukum syariah. Kasus – kasus tersebut meliputi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat muslim (juga non muslim yang dzimmi). Untuk tujuan tersebut, khilafah atau imam menunjuk seorang qadi dari kalangan yuris (mereka yang menguasai hukum Islam). Meskipun pada awalnya qadi dipilih oleh khalifah, tapi ia memiliki independensi untuk mengambil putusan hukum berdasarkan syariah. Bahkan ia tak terpecat dengan kematian khalifah yang mengangkatnya. Dalam teori, qadi hanyalah merupakan pelaksana hukum Islam, meskipun dalam praktik ia juga melakukan legislasi (penetapan hukum). 2 1 Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), h. 118 2 Nur Mufid, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah, Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah, (Pustaka Progressif: Surabaya, 2000), h. 115 17 18 Al-Mazhalim kata jama’ dari Mazlimah, yaitu nama bagi sesuatu yang diambil oleh orang zalim. Menurut istilah fuqaha, Wilayah Mazhalim merupakan suatu jabatan kehakiman, akan tetapi lebih luas dari jabatan hakim biasa karena Wilayah Mazhalim yaitu suatu jabatan gabungan dari pengaruh kekuasaan dan peradilan kehakiman.3 Menurut asal-usulnya, peradilan Mazhalim berasal dari tradisi penguasa Sasaniyah. Melalui Mazhalim, kepala negara (khalifah) mendengarkan pengaduan rakyat yang merasa mendapatkan perlakuan tidak adil dari pejabat pemerintahan. Dalam peradilan Mazhalim itu juga, khalifah memberikan keadilan kepada rakyatnya. Di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin persoalan mazhalim ditangani sesuai dengan kebiasaan yang ditunjukkan oleh Nabi SAW. Semua kasus yang menyangkut peradilan mazhalim ditangani langsung oleh khalifah. Di zaman Dinasty Umayah, kasus yang menyangkut mazhalim semakin banyak karena sejalan dengan semakin luasnya wilayah Islam. Atas inisiatif Khalifah Abdul Malik bin Marwan, semua kasus mazhalim diselesaikan dalam peradilan khusus, yaitu pengadilan mazhalim. Kedudukan pengadilan mazhalim semakin kuat dan tegas ketika masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Dalam sejarah diketahui bahwa tindakan yang dilakukannya sebagai khalifah adalah mengembalikan 3 Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam Jilid 3, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid, 2004), h. 64 19 seluruh harta rakyat yang diambil para penguasa secara zhalim, sehingga ia dapat mewujudkan kembali kehidupan dan prilaku yang adil. 4 Lembaga Al-Mazhalim ini mulai terpikirkan pada masa pemerintahan Ali ra, ini disebabkan karena beliau merasa perlu mempergunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kedzaliman. Permulaan khalifah yang sengaja mengadakan waktuwaktu tertentu untuk memperhatikan pengaduan-pengaduan rakyat pada para pejabat ialah Abdul Malik Ibn Marwan mereka menentukan hari-hari tertentu untuk menerima pengaduan rakyat terhadap para pejabat negara. Pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara kedzaliman, pada masa itu dilakukan di masjid-masjid. Akan tetapi penguasa yang mengetahui sidang mazhalim ini dilengkapi dengan bermacam-macam aparat agar pengadilannya mempunyai kewibawaan yang penuh dan dapat melaksanakan putusan-putusannya.5 Menurut al-Mawardi, yang diterjemahkan oleh Nur Mufid dalam bukunya Bedah Al-Ahkamus Shulthoniah, orang pertama dalam sejarah Islam yang mengadakan lembaga peradilan Mazhalim adalah Abdul al-Malik ibn Marwan, khalifah Bani Umayyah. Gagasannya untuk mewujudkan lembaga ini timbul setelah pada suatu hari dia membaca dan meneliti sebuah laporan tentang kasus sengketa. Sebelumnya, dia cukup menyerahkan kasus-kasus yang sulit 4 Hasan Muarif, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 53 5 Tengku Muhammad Hasbi, Peradilan Dan Hukum Acara Islam, (Semarang, PT Pustaka Rizki Putra 1997) h. 94 20 diselesaikannya kepada seorang hakim kepercayaannya, yaitu Abu Idris al-Audi. Abdul al-Malik tahu bahwa Abu Idris adalah hakim yang sangat teliti dalam menyimpulkan dan memutus perkara dengan meneliti sebab-sebab terjadinya suatu perkara. Abu Idrislah yang menjadi pelaksana (pemeriksa) mazhalim pertama dalam sejarah islam, sedangkan Malik ibn Marwan adalah orang pertama yang mengangkat seorang pemeriksa mazhalim.6 Setelah itu, pelanggaran para pejabat dan kezaliman orang-orang kuat semakin membesar sehingga hanya dapat ditangani oleh pihak yang paling tinggi dan paling kuat kedudukannya. Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang pertama kali menempatkan dirinya sebagai penanggung jawab tugas mazhalim, sehingga ia dapat menyelesaikan masalah-masalah yang diadukan kepadanya dan dapat mewujudkan kembali kehidupan dan perilaku yang adil. Ia juga menghilangkan kezaliman yang dilakukan oleh keluarga Bani Umayyah, sehingga ada yang mengatakan kepadanya, “Engkau telah berlaku keras dan kasar terhadap mereka. Kami takut jika hal itu berakibat buruk bagimu.” Ia menjawab, “Seluruh hari yang aku takuti lebih kecil daripada tingkat ketakutanku akan hari kiamat.” Pada akhirnya, tugas ini ditangani oleh para khalifah dari Banni Abbas, yang pertama mendudukinya adalah al-Mahdi, kemudian al-Hadi, selanjutnya arRasyid, diteruskan oleh al-Ma’mun. Khalifah Abbasiyyah yang terakhir menangani tugas ini adalah al-Muhtadi. Dengan penanganan seperti itu, milik- 6 Nur Mufid, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah, Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah, h. 120 21 milik manusia dapat dikembalikan kepada yang berhak. Para raja Parsi melihat hal itu sebagai bagian dari rambu-rambu kerajaan dan undang-undang keadilan, yang menjadi pokok perwujudan kepentingan umum dan keadilan. 7 Didalam risalah Al Kharady, Abu Yusuf menganjurkan kepada khalifah Harun Ar Rasyid supaya mengadakan sidang-sidang untuk memeriksa pengaduan-pengaduan rakyat terhadap para pejabat. Kerap kali para khulafa menyerahkan tugas ini kepada wazir-wazir dan kepala daerah atau hakim-hakim. Meskipun hal ini pada awalnya adalah suatu tindakan jahiliah yang didorong oleh kepentingan politik, namun dengan kehadiran Rasulullah saw, pada saat peristiwa itu membuat hal tersebut menjadi hukum syariat dan tindakan kenabian yang harus diikuti oleh insan muslim. B. Tugas dan Wewenang Lembaga Mazhalim Sebagai peradilan yang bertindak tanpa harus menunggu suatu gugatan dari yang dirugikan, maka Wilayah mazhalim memilki tugas dan kewenangan untuk hal-hal sebagai berikut : Wewenang dan tugas mazhalim (yang menangani perkara penzhaliman) adalah mendorong pihak-pihak yang saling bersikap zalim untuk bersikap adil, dengan cara membuat mereka takut dan menghentikan sikap keras kepala orangorang yang saling bersengketa dengan kewibawaannya. Oleh karena itu, individu 7 Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam. Penerjemah Kamaluddin Nurdin, dkk, Cet.I (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 160 22 yang menduduki jabatan ini harus seorang yang terhormat, ditaati masyarakat, berwibawa, bersih jalan hidupnya, sedikit ketamakannya, dan banyak wara’nya. Karena dalam menjalankan tugas itu ia membutuhkan sifat kegagahan seorang ksatriadan ketegasan seorang qadhi maka ia harus memiliki kedudukan dan keistimewaan yang dimiliki oleh kedua kelompok itu, sehingga dengan statusnya itu keputusan dan perkataannya didengar dan dipatuhi oleh kedua kelompok itu. 8 Dalam menangani pelanggaran yang dilakukan pejabat pemerintah atas rakyat, majelis mazhalim mempunyai wewenang untuk meneliti perilaku pejabat yang disinyalir bermasalah, kemudian menghukumnya. Akan tetapi majelis mazhalim ini tidak segan-segan mendukung mereka jika mereka berlaku adil dan jujur walau tidak serta merta. Karena harus tetap melihat undang-undang yang adil, catatan pembukuan negara, dan ketetapan pemerintah. Selanjutnya, bertugas mengembalikan harta yang dirampas dan dikorupsi oleh pejabat. Sebaliknya, jika pejabat mazhalim mendapatkan pelanggaran ini saat memeriksa, maka harus dikembalikan harta tersebut sebelum adanya pengaduan. Wilayah mazhalim juga bertugas sebagai pencatat administrasi negara. Lingkup kerjanya mengidentifikasi apakah ada pelanggaran, pengurangan, penambahan atau penggelapan. Dalam melaksanakan tugas ini pejabat mazhalim tidak perlu menunggu adanya pihak penuntut. Tugas wilayah mazhalim tidak hanya meliputi tugas kenegaraan secara keseluruhan, ini terbukti juga mengurusi 8 Al-Mawardi, Hukum Tata Negara. h 157 23 masalah personal dilingkungan pejabat negara. Lembaga berwenang juga dalam penetapan gaji atas penyunatan gaji atau keterlambatan pemberian gaji serta.9 Wilayah mazhalim mempunyai wewenang menangani kasus yang tidak mampu ditangani oleh para qadhi, yang disebabkan lemahnya kemampuan mereka untuk menanganinya atau keseganan menghadapi pihak tertuduh. Dalam hal seperti ini, pejabat mazhalim dapat turun tangan karena adanya kekuatan yang ia miliki dan lebih efektifnya keputusan hukum, sehingga lembaga ini dapat dengan mudah memutuskan untuk menyita harta yang berada dalam genggaman pihak yang bersalah atau memerintahkannya untuk menyerahkan harta tersebut. Dijelaskan pula bahwa wilayah mazhalim berwenang untuk menangani kasus-kasus pelanggaran kepentingan umum yang sulit ditangani oleh pejabat biasa, seperti tindakan berbuat mungkar secara terang-terangan. Dalam kasus seperti ini, pejabat mazhalim turun tangan untuk mengambilnya dari mereka sesuai dengan ketentuan Allah swt dan mewajibkan menaati peraturan dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Lembaga ini juga memperhatikan, menangani kasus pertengkaran dan memberikan keputusan hukum bagi pihak yang bersengketa. Akan tetapi, dalam menjalankan wewenangnya itu, pejabat mazhalim tidak boleh keluar dari tuntunan kebenaran dan tidak boleh memberikan keputusan hukum yang tidak sesuai dengan keputusan hukum yang di tetapkan oleh para hakim dan para qadhi, karena bisa 9 Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, h. 70 24 saja pejabat mazhalim bertindak tidak adil sehingga keputusannya ternyata melanggar tuntunan syariat.10 Pejabat yang mengurus masalah mazhalim dapat menggunakan cara-cara yang diperbolehkan untuk mendapatkan fakta kebenaran, tidak semata dengan cara-cara yang konvensional dan secara rutin dipergunakan. Kemudian dengan segera memberikan keputusan hukum sesuai dengan tuntunan syariat. Menurut para ahli seluruh fuqaha, pejabat mazhalim tidak boleh menetapkan hukum semata-mata dengan bukti tulisan tangan jika tidak disertai adanya pengakuan akan kebenaran yang terkandung di dalamnya, karena wewenang pejabat mazhalim tidak dapat menetapkan keputusan hukum yang dilarang oleh syariat. Adapun wewenang pejabat mazhalim yang terbaik adalah dalam masalah yang boleh, bukan masalah yang wajib, yaitu jika dalam kasus tersebut menemukan kecurigaan dan adanya penentangan dari satu pihak. Maka dapat menggunakan cara-cara yang dapat mengungkapkan kebenaran dan menjaga pihak yang dituntut sesuai dengan aturan hukum. Yang menjadi wewenang tugas majelis mazhalim ada sepuluh bagian yaitu:11 1. Menangani pelanggaran pejabat pemerintah atas rakyat, untuk kemudian memberikan catatan yang buruk baginya. 10 Yahya A.R., Strutur Negara Khilafah, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997) h.204 11 Al-Mawardi, Hukum Tata Negara. h 163 25 2. Menangani sikap korup para pejabat pemerintah atas harta yang mereka pungut dari rakyat. 3. Bertugas sebagai pencatat administrasi negara. 4. Menerima pengaduan para penerima gaji atas penyunatan gaji mereka atau keterlambatan pemberian gaji itu kepada mereka. 5. Mengembalikan harta yang dirampas dan dikorupsi oleh pejabat. 6. Mengawasi harta wakaf. 7. Menangani kasus yang tidak mampu ditangani oleh para qadhi, yang disebabkan lemahnya kemampuan mereka untuk menanganinya atau keseganan mereka menghadapi pihak tertuduh. 8. menangani kasus-kasus pelanggaran kepentingan umum yang sulit ditangani oleh pejabat biasa, seperti tindakan berbuat mungkar secara terang-terangan yang sulit diberantas, tindakan menggangu kelancaran dan keamanan lalu lintas yang sulit dicegah, dan tindakan menahan orang lain yang sulit diminta. 9. Memperhatikan pelaksanaan ibadah-ibadah yang lahiriah. 10. Menangani kasus pertengkaran dan memberikan keputusan hukum baik bagi pihak yang bersengketa. C. Kedudukan Lembaga Mazhalim Wilayat al-madzalim merupakan lembaga kehakiman tingkat tinggi, yang sejak masa khalifah Abdul Malik (685-705 M) untuk pusat dipegang langsung oleh khalifah. Dalam penanganan ini, khalifah menyediakan waktu khusus untuk 26 menyelesaikan perkara yang masuk. Sedangkan untuk daerah, jabatan ini dipegang oleh qadhi madzalim. Wilayat al-madzalim ini juga menangani tindakan pejabat-pejabat negara termasuk hakim yang berbuat sewenang-wenang terhadap terhadap rakyat. Kalau dibandingkan dengan lembaga-lembaga kehakiman sekarang, bisa dipadangkan dengan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, sebagai tempat bagi orang yang kalah tak puas mengajukan kembali perkaranya. 12 Dengan adanya Mahkamah Agung dan ketuanya ini, kekuasaan negara di bidang pengadilan bertambah lengkap, Di bawah Mahkamah Agung ada pengadilan tinggi dan di bawahnya ada pengadilan negara. Dalam kajian fiqih, Mazhalim merupakan salah satu bentuk lembaga peradilan umum dan peradilan hisbah (peradilan khusus yang menangani pelanggaran terhadap prinsip amar ma’ruf nahi mungkar). Mazhalim adalah lembaga peradilan yang secara khusus menangani kelaliman para penguasa dan keluarganya terhadap hak-hak rakyat. Peradilan Mazhalim ini bertujuan agar hakhak rakyat dapat dikembalikan, serta dapat menyelesaikan persengketaan antara penguasa dan warga negara. 13 Pembentukan lembaga ini dimaksudkan untuk merealisir keadilan di tengah kehidupan masyarakat. Karena, dalam suatu negara, lembaga seperti ini difungsikan untuk menegakkan hukum di wilayah kekuasaan negara, atau sebagai 12 A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam. (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984). Jilid 3. Edisi revisi 5. h 256 13 Hasan Muarif, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, Vol.2 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h.52 27 media untuk mengimplementasikan ajaran Islam di bidang penegakan dan perlindungan hukum. Wilayah mazhalim dibentuk untuk melaksanakan fungsi yudisial upaya mewujudkan keadilan dan perlindungan hukum dalam kehidupan manusia yang secara efektif dan efisien. Berkenaan dengan tugas yang dimiliki dalam memberikan penerangan dan pembinaan hukum, penegakkan hukum dan memutuskan suatu perkara. Karena itu mereka yang bertugas dalam wilayah mazhalim harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :14 1. Mempunyai kedudukan 2. Mempunyai pengaruh 3. Berwibawa 4. Mempunyai harga diri 5. Tidak rakus, tidak mudah silau oleh dunia 6. Menghindari perbuatan maksiat dan menjauhi syubhat Syarat-syarat ini diperlukan karena dalam menangani atau memeriksa kasus-kasus tindakan semena-mena, investigator memerlukan keteguhan sebagai seorang pelindung hukum dan ketegasan. Karena dengan kharisma dan wibawa yang dimilikinya pemeriksa atau investigator itu disegani sehingga keputusannya dihargai dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. 14 Nur Mufid dan Nur Fuad, Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah, (Jakarta: Pustaka Progesif, 2000), h. 22 28 Letak perbedaan antara pejabat Mazhalim dan Qadhi :15 1. Petugas mazhalim mempunyai wibawa dan kekuatan yang tidak dimiliki oleh para qadhi untuk menuntaskan persengketaan pihak yang beperkara, serta mencegah tindakan kezaliman. 2. Wewenang petugas mazhalim keluar dari kesempitan kewajiban kepada keluasan keluasan kebolehan sehingga petugas ini mempunyai ruang yang lebih luas dan keputusan yang lebih didengar. 3. Ia dapat melakukan penekanan dan merumuskan fakta sesuai dengan tandatanda yang tampak dan bukti-bukti yang ditemukan yang tidak dapat dilakukan oleh para hakim, sehingga ia dapat menemukan kebenaran dan mengetahui siapa yang salah yang benar. 4. Ia boleh menjatuhkan sanksi kepada pihak yang membuat kezhaliman dan menjatuhkan hukuman bagi pihak yang membuat permusuhan. 5. Ia boleh menunda penyelesaian masalah persengketaan jika jalan keluarnya belum ditemukan dan hak-hak mereka belum jelas sehingga belum dapat ditetapkan, kemudian ia melakukan penelitian intensif untuk mendapatkan fakta-fakta yang dapat digunakan. Sedangkan, seorang hakim tidak dapat melakukan hal itu jika salah seorang dari pihak yang bersengketa meminta untuk segera memutuskan hukum. Karena seorang hakim tidak dapat 15 Imam Al-Mawardi, Hukum-Hukum Penyelengaraan Negara dalam Syariat Islam, Penerjemah Fadli Bahri, Lc, cet. II (Jakarta: Darul Falah, 2006), h. 132 29 menunda keputusan hukum, sedangkan petugas mazhalim dapat melakukannya. 6. Jika sulit ditangani, ia boleh menyerahkan masalah mereka kepada pihak penengah yang berusaha menyelesaikan persengketaan antara keduanya dengan cara damai dan kerelaan, sedangkan qadhi tidak mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan seperti itu. 7. Ia dapat terus menangani kedua pihak yang bersengketa itu jika ada tandatanda yang menunjukkan sikap saling bersikeras, dan ia dapat menetapkan uang jaminan jika dibutuhkan untuk mendorong pihak yang bersengketa itu untuk saling bersikap jujur dan mengubah sikap pengingkaran dan saling menuduh dusta. 8. Ia boleh mendengarkan persaksian orang-orang yang rendah kredibilitas pribadinya, sedangkan para qadhi hanya mendengarkan persaksian orangorang yang mempunyai kredibilitas yang tinggi. 9. Ia boleh meminta para saksi untuk bersumpah saat ia masih meragukan mereka jika mereka mengubah sumpah mereka dengan sengaja dan ia dapat memperbanyak jumlah saksi untuk menghilangkan keraguan, sedangkan seorang hakim tidak dapat melakukan itu. 10. Ia boleh memulai dengan memanggil para saksi dan menanyakan persaksian mereka tentang kasus yang sedang ditangani. Sedangkan kebiasaan para qadhi adalah memerintahkan pihak penuntut untuk mengajukan bukti. 30 Kemandirian kekuasaan yudikatif yang dimiliki wilayah mazhalim dalam Islam adalah menerapkan hukum perundang-undangan dalam rangka menegakkan keadilan dan menetapkan kebenaran yang bertujuan untuk mengukuhkan keemanfaatan umum. Pembentukan lembaga ini dimaksudkan untuk merealisir keadilan di tengah kehidupan masyarakat. Karena, dalam suatu negara, lembaga seperti ini difungsikan untuk menegakkan hukum di wilayah kekuasaan negara, atau sebagai media untuk mengimplementasikan ajaran Islam di bidang penegak kan dan perlindungan hukum. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA DAN KEPEGAWAIAN Istilah Tata Usaha Negara di sebagian lingkungan perguruan tinggi dikenal dengan nama “administrasi negara”, alasannya karena istilah Tata Usaha Negara lebih sempit daripada Istilah administrasi negara itu sendiri. 1 Hukum administrasi adalah keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan negara, baik tinggi maupun rendah, setelah alat-alat itu menggunakan kewenangan-kewenangan ketatanegaraan. Bagi Indonesia keinginan untuk memiliki Peradilan Administrasi Negara 2 sebetulnya sudah ada sejak zaman pemerintahan Belanda. Namun, keinginan itu selalu kandas di tengah perjalanan karena berbagai alasan. Keinginan itu baru terwujud pada penghujung tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada tanggal 29 Desember 1986. A. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Dasar konstitusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: 3 1 Victor S, Soedibyo, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta. PT Rineka Cipta, 1992), h 16. 2 Pada mulanya penyebutan istilah ini bermacam-macam, antara lain Peradilan Administrasi Negara, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, setelah berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sekarang sudah mengalami perubahan menjadi UU Nomor 51 Tahun 2009, istilah yang digunakan bisa Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi Negara. 3 Rozali, Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta. Pt Raja Grafindo Persada, 2004) h 13. 31 32 1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang. 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undangundang. Sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman disebutkan: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: 4 1. Peradilan Umum. 2. Peradilan Agama. 3. Peradilan militer. 4. Peradilan Tata Usaha Negara. Dari bunyi pasal tersebut di atas jelaslah bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri ternyata cukup kuat, sama halnya dengan ketiga Peradilan lainnya yang sudah lama ada yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Militer. Sesuai dengan maksud pasal 145 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan bahwa undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambatlambatnya lima tahun sejak undang-undang ini diundangkan, seperti yang telah 4 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Bhuana Populer: 2007), h 513. 33 dikemukakan sebelumnya, pada tanggal 14 Januari 1991 diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 8 semenjak itu mulailah 5 buah Pengadilan Tata UsahaNegara dan 3 buah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang sudah dibentuk sebelumnya menjalankan tugasnya masing-masing. Setelah reformasi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengalami perubahan tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara itu merupakan salah satu undangundang yang mengatur bahwa perlu dilakukan perubahan di lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dam finansial di bawah Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman sebagaimana dkehendaki oleh Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu5 : 5 Penjelasan UU 51 Tahun 2009. 34 1. Penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; 2. Memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim; 3. Pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc. 4. Pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim; 5. Kesejahteraan hakim; 6. Transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan; 7. Transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban biaya perkara; 8. Bantuan hukum; dan 9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. B. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 jauh lebih sempit lagi, karena tidak semua perkara yang pokok sengketanya terletak di lapangan Hukum Publik (Hukum Tata Usaha 35 Negara) dapat diadili di Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, haruslah memenuhi syaratsyarat:6 1. Bersifat tertulis, hal ini diperlukan untuk memudahkan pembuktian. Pengertian tertulis disini bukanlah dalam arti bentuk formalnya, melainkan cukup tertulis, asal saja: a. Jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha yang mengeluarkannya. b. Jelas isi dan maksud tulisan tersebut yang menimbulkan hak dan kewajiban. c. Jelas kepada siapa tulisan ini ditujukan. Mengenai syarat tertulis ini ada pengecualiannya sebagai mana dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu: a. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. b. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. 6 Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h 24. 36 c. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. 2. Bersifat kongkrit, artinya obyek yang diputus dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu berwujud tertentu atau dapat ditentukan. 3. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi ditujukan untuk orang-orang atau badan hukum perdata tertentu. Jadi tidak berupa suatu peraturan yang berlaku umum. 4. Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, atau ketetapan yang tidak membutuhkan lagi persetujuan dari instansi atasannya. Di samping mengadili pada tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara juga berwenang (Pasal 51. UPTN):7 1. Memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat Banding. 2. Memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. 7 Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h 26. 37 Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili. PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding. akan tetapi untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986. Dalam pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang- Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan sebagai berikut : 1. Dalam hal suatu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia; 2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Ada beberapa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara: pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi); kedua, dengan 38 melakukan pembedaan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van distributie van rechtsmacht); ketiga, dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif. 8 Pertama, dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim PTUN). Kedua, dengan melakukan pembedaan atas kewenangan mengadili dengan pembagian kompetensi atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Atribusi, yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, yang dapat dibedakan : a. Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat/ setingkat. Contoh: Pengadilan Administrasi terhadap Pengadilan Negeri (umum), Pengadilan Agama atau Pengadilan Militer. 8 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997) h 28. 39 b. Secara vertical, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarki mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh: Pengadilan Negeri (umum) terhadap Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. 2. Distribusi, yang berkaitan dengan pembagian wewenang yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh; antara Pengadilan Negeri Bandung dengan Pengadilan Negeri antara lain di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Ketiga, adalah pembagian atas Kompetensi absolut dan Kompetensi relatif. Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa yang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundangundangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. Kompetensi relatif, adalah kewenangan dari pengadilan sejenis, yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara, maka 40 kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan peradilan tata usaha negara yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Apakah PTUN Ujung Pandang, Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, Palembang, atau Medan, dan sebagainya. 9 Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut di atas, dalam pasal 77 UU PTUN disebutkan: 1. Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan. 2. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. 3. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa. Dengan demikian, eksepsi terhadap kompetensi relatif dari PTUN, harus disampaikan tergugat sebelum memberikan jawaban atas pokok sengketa, apabila eksepsi itu disampaikan setelah memberikan jawaban atas pokok sengketa, maka eksepsi tersebut tidak lagi dapat diterima. Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara bukan untuk mencari-cari kesalahan, apalagi mengurangi kewibawaan Badan atau Pejabat Tata Usaha 9 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h 30 41 Negara, tetapi justru sebaliknya agar terbinanya aparatur yang mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa dan selalu berdasarkan hukum serta bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilandasi semangat serta sikap pengabdian untuk masyarakat di dalam menjalankannya tugasnya. Di lain pihak juga tindakan yang tidak tepat dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karenanya Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum privat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara akibat pelaksanaan atau penggunaan wewenang pemerintahan yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa dengan warga masyarakat atau badan hukum privat, atau sengketa dengan warga masyarakat atauu badan hukum privat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Susunan Peradilan Tata Usaha Negara sama halnya dengan Peradilan Umum, terdiri dari dua tingkat Peradilan, yaitu: 1. Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan Peradilan Tingkat Pertama. 2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan Peradilan Tingkat Banding. Sama halnya dengan ketiga Peradilan lain, Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung, sebagai Peradilan Negara tertinggi yang berfungsi antara lain sebagai Peradilan Kasasi. 42 Susunan Pengadilan sesuai dengan pasal 8 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 terdiri atas: 1. Pimpinan 2. Hakim Anggota 3. Panitera 4. Sekretaris Tujuan dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum, atau tepat menurut Undang-Undang, ataupun tepat secara efektif maupun berfungsi secara efisien. 10 Faktor terpenting untuk mendukung efektifitas peranan pemerintah adalah faktor makna kontrol Yudisial dengan spesifikasi karakteristiknya. Hal tersebut, mendasari konsepsi mengenai Peradilan Tata Usaha Negara yang merupakan pelembagaan kontrol yudisial terhadap tindakan pemerintah. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia tidak akan mencontoh belaka pada sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Negara lain. Akan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan situasi dan kondisi serta perkembangan di Indonesia, bahkan akan diciptakan sistem sendiri yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Final draft Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, pada tahun 1982 berada dalam taraf 10 Victor S, Soedibyo, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992) h 11. 43 penggodogan dan telah dibahas di muka forum DPR dengan banyak mendapat tanggapan yang positif, walaupun ternyata kemudian pihak Panitia Khusus (pansus) Rancangan Undang-Undang masih belum dan tidak dapat menyelesaikan tugasnya dalam masa persidangan DPR terakhir periode 1977-1982, karena keterbatasan waktu dan beratnya materi yang harus dibahas. Pada bulan April 1986 Pemerintah sekali lagi menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah disempurnakan kepada DPR periode masa bhakti 1982-1987, Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang. Dan pada akhirnya tahun 1990 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dibentuk berdasarkan Keppres Nomor : 52 Tahun 1990, tanggal 30 Oktober 1990 dan PP No. 41 Tahun 1991 tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Medan dan Ujung Pandang serta dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang No 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peresmian penggunaan gedung Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dilakukan pada tanggal 10 November 1990 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia H. Ismail Saleh, SH. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta menempati bekas Pengadilan Tinggi Jakarta yang terletak di Jalan Cikini Raya Nomor 117 Jakarta Pusat yang diberikan oleh Mahkamah Agung secara pinjam pakai kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta berdasarkan Surat Persetujuan Pemakaian Nomor : KMA/242/IX/89 tanggal 6 September 44 1989, kemudian direnovasi dan diperluas kebelakang, adapun luas Gedung yang ditambah 340 m2. Sedangkan tanggal peresmian operasionalnya dilakukan pada tanggal 14 Januari 1991. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta berkedudukan di DKI Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/021/SK/III/1993,tanggal 5 Maret 1991 wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta saat ini meliputi: 11 1. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, daerahnya hukumnya meliputi : a. Kotamadya Jakarta Pusat b. Kotamadya Jakarta Barat c. Kotamadya Jakarta Selatan d. Kotamadya Jakarta Timur e. Kotamadya Jakarta Utara 2. Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, daerah hukumnya meliputi : a. Kotamadya Bandung b. Kotamadya Bogor c. Kotamadya Cirebon d. Kotamadya Sukabumi e. Kotamadya Depok f. Kotamadya Bekasi 11 Pusat). Makalah, Sejarah singkat Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara, (sumber PT.TUN Jakarta 45 g. Kotamadya Banten 3. Pengadilan Tata Usaha Negara Pontianak, daerah hukumnya meliputi : a. Kotamadya Pontianak b. Kabupaten Sambas c. Kabupaten Ketapang d. Kabupaten Pontianak e. Kabupaten Kapuas Hulu f. Kabupaten Sanggau g. Kabupaten Sintang 4. Pengadilan Tata Usaha Negara Banjarmasin, daerah hukumnya meliputi : a. Kotamadya Banjarmasin b. Kabupaten Hulu Sungai Tengah c. Kabupaten Hulu Sungai Selatan d. Kabupaten Hulu Sungai Utara e. Kabupaten Kota Baru f. Kabupaten Barito Kuala g. Kabupaten Banjar h. Kabupaten Tanah Laut i. Kabupaten Tapin j. Kabupaten Tabalog 46 5. Pengadilan Tata Usaha Negara Palangkaraya, daerah hukumnya meliputi : a. Kotamadya Palangka Raya b. Kabupaten Kapuas c. Kabupaten Barito Utara d. Kabupaten Barito Selatan e. Kabupaten Kotawaringin Timur f. Kabupaten Kotawaringin Barat g. Kabupaten Seruyan h. Kabupaten Pulang Pisau i. Kabupaten Barito Timur j. Kabupaten Lamandau k. Kabupaten Katingan l. Kabupaten Sukamara m. Kabupaten Gunung Mas n. Kabupaten Murung Raya 6. Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda, daerah hukumnya meliputi : a. Kotamadya Samarinda b. Kotamadya Balikpapan c. Kabupaten Kutai d. Kabupaten Pasir e. Kabupaten Berau 47 C. Sengketa dan Keputusan Tata Usaha Negara Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan, Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari: 1. Subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di satu pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak. 2. Obyek sengketa adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sebagai Jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintah, sehingga dapat menjadi pihak yang tergugat dalam sengketa TUN dapat dikelompokkan dalam :12 1. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah presiden sebagai kepala eksekutif. 2. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan. 12 A.Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung, PT. Refika Aditama, 2007) h 5. 48 3. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. 4. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. 5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Obyek sengketa TUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Jenis-jenis Keputusan Tata Usaha Negara/ KTUN (Beschikking) menurut doktrin (pendapat/ teori para pakar administrasi Negara) terdapat berbagai rumusan, antara lain menurut P. De Haan (Belanda), dalam bukunya : “Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat”, (Philipus M. Hadjon; 2002) dikelompokkan sebagai berikut :13 1. KTUN Perorangan dan Kebendaan (Persoonlijk en Zakelijk) a. KTUN perorangan adalah keputusan yang diterbitkan kepada seseorang berdasarkan kualitas pribadi tertentu, dimana hak yang timbul tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh : SK PNS, SIM,dan sebagainya. 13 Ujang Abdullah, “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, artikel diakses pada 31 November 2010 dari http://www.ptun.palembang.go.id/index.php? option=com_content&task=view&id=575&Itemid=294. 49 b. KTUN kebendaan adalah keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas kebendaan atau status suatu benda sebagai obyek hak, dimana hak yang timbul dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh : Sertifikat Hak atas Tanah, BPKP/STNK kendaraan bermotor, dan sebagainya. 2. KTUN Deklaratif dan Konstitutif (Rechtsvastellend en Rechtsscheppend) a. KTUN deklaratif adalah keputusan yang sifatnya menyatakan atau menegaskan adanya hubungan hukum yang secara riil sudah ada. Contoh : Akta Kelahiran, Akta Kematian, dan sebagainya. b. KTUN konstitutif adalah keputusan yang menciptakan hubungan hukum baru yang sebelumnya tidak ada, atau sebaliknya memutuskan hubungan hukum yang ada. Contoh : Akta Perkawinan, Akta Perceraian, dan sebagainya. 3. KTUN Bebas dan Terikat (Vrij en Gebonden) KTUN bebas adalah keputusan yang didasarkan atas kebebasan bertindak (Freis Ermessen/ Discretionary Power) dan memberikan kebebasan bagi pelaksananya untuk melakukan penafsiran atau kebijaksanaan. Contoh : SK Pemberhentian PNS yang didasarkan hukuman disiplin yang telah diatur secara jelas dan rinci di dalam perundang-undangan. 4. KTUN yang membebankan dan yang menguntungkan (Belastend en Begunstigend) 50 a. KTUN yang member beban adalah keputusan yang memberikan kewajiban. Contoh : SK tentang Pajak, Restribusi, dan lain-lain. b. KTUN yang menguntungkan adalah keputusan yang memberikan keuntungan bagi pihak yang dituju. Contoh : SK pemutihan pembayaran pajak yang telah kadaluwarsa. 5. KTUN Seketika dan Permanen (Einmaligh en Voortdurend) a. KTUN seketika adalah keputusan yang masa berlakunya hanya sekali pakai. Contoh : Surat ijin pertunjkan hiburan, music, olahraga, dll b. KTUN pemanen adalah keputusan yang masa berlakunya untuk selamalamanya, kecuali ada perubahan atau peraturan baru. Contoh : Sertifikat Hak Milik Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara: 1. Keputusan Tata Usaha Negara Positif (Pasal 1 angka (3)) Yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata. 2. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif (Pasal 3 angka (1)) Yaitu keputusan Tata Usaha Negara yang seharusnya dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara menurut kewajibannya tetapi ternyata tidak diterbitkan, sehingga 51 menimbulkan kerugian bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata. Contoh : Dalam kasus kepegawaian, seorang atasan berkewajiban membuat DP3 atau mengusulkan kenaikan pangkat bawahannya, tetapi atasannya tidak melakukan. 3. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif (Pasal 3 ayat (2)) Yaitu keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan seseorang atau Badan Hukum Perdata, tetapi tidak ditanggapi atau tidak diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Sehingga dianggap bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah mengeluarkan keputusan penolakan (negatif). Contoh : Pemohon IMB, KTP, Sertifikat, dan sebagainya apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tidak dijawab/diterbitkan, maka dianggap jelas-jelas menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang menolak. Dalam praktek administrasi pemerintahan terdapat beberapa KTUN yang berpotensi menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu antara lain : 1. Keputusan tentang perijinan Secara yuridis suatu ijin adalah merupakan persetujuan yang diberikan pemerintah (Badan/Pejabat TUN) kepada seseorang atau Badan Hukum Perdata untuk melakukan aktivitas tertentu. Menurut Philipus M. Hadjon ada 5 tujuan diadakannya perijinan pada pokoknya adalah untuk : 52 a. Mengarahkan atau mengendalikan aktivitas tertentu (misal: ijin prinsip, IMB, ijin pertambangan, ijin pengusahaan hutan, ijin berburu, dan sebagainya) b. Mencegah bahaya atau gangguan (misal: gangguan/ Hinder Ordanatie, amdal, dan sebagainya) c. Melindungi obyek tertentu (misal: ijin masuk obyek wisata, cagar budaya, dan sebagainya) d. Distribusi benda atau barang langka (misal: ijin trayek, ijin perdagangan satwa langka, dan sebagainya) e. Seleksi orang atau aktivitas tertentu (misal: SIM, ijin memiliki senjata api, ijin penelitian, dan sebagainya). 2. Keputusan tentang status hukum, hak dan kewajiban a. Status hukum perorangan atau badan hukum, misalnya akta kelahiran, akta kematian, akta pendirian/pembubaran badan hukum, KTP, Ijasah, sertipikat (Tanda Lulus Ujian), dll. b. Hak/ kewajiban perorangan atau badan hukum terhadap suatu barang atau jasa, misalnya pemberian/pencabutan hak atas tanah, hak untuk melakukan pekerjaan, dan sebagainya. 3. Keputusan tentang kepegawaian. 53 a. Keputusan tentang mutasi PNS, dimana pegawai yang dimutasi keberatan karena merasa dirugikan, menghambat karier atau karena mutasi itu dianggap sebagai hukuman disiplin terselubung. b. Keputusan tentang hukuman disiplin PNS, dimana pegawai yang bersangkutan menganggap hukuman itu tidak sesuai dengan prosedur atau tidak adil. c. Keputusan tentang pemberhentian PNS, misalnya dalam rangka perampingan pegawai atau likuidasi suatu instansi, dan sebagainya. Menurut ketentuan pasal 35 Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian: a. Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara; b. Sengketa kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS diselesaikan melalui upaya banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEG). D. Administrasi Kepegawaian Pada umumnya yang dimaksud dengan admistrasi kepegawaian adalah segala hal yang mengenai kedudukan, kewajiban, hak dan pembinaan pegawai. Pegawai merupakan tenaga kerja manusia, jasmaniah maupun rohaniah (mental dan fikiran), yang senantiasa dibutuhkan dan kerena itu menjadi salah-satu modal pokok dalam badan usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (organisasi). 54 Pengertian Pegawai Negeri secara resmi mula-mula ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961. dalam Undang-Undang tersebut pengertian pegawai negeri didefinisikan atau dirumuskan sebagai berikut: Pegawai negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, diangkat, digaji menurut Peraturan Pemerintah yang berlaku dan dipekerjakan dalam suatu jabatan negeri oleh Pejabat Negara atau badan Negara yang berwenang. Dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 2312 diterangkan, bahwa ada 3 faktor yang menetapkan seseorang pegawai negeri menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian ini, yaitu:14 1. Memenuhi syarat-syarat sebagaimana terperinci dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kepegawaian (Undang-Undang Nomor 18 tahun 1961). 2. Harus diangkat dalam jabatan negeri dan digaji menurut Peraturan Pemerintah yang berlaku. 3. Harus diangkat oleh pejabat negara dan badan negara yang berwenang. Syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kepegawaian ialah: syarat-syarat meliputi segi kepribadian, kesetian, kesehatan, kecerdasan, kemampuan dan ketangkasan dan syarat-syarat lain yang 14 Victor M. Sitomurang Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta. PT Rineka Cipta, 1990) h 18. 55 khusus diperlukan bagi suatu jabatan. Umpamanya untuk menjadi hakim harus seorang sarjana Hukum dan sebagainya. Sasaran administrasi kepegawaian yaitu masalah penggunaan tenaga kerja. Oleh karena itu administrasi kepegawaian dikembangkan dengan tujuan:15 1. Penggunaan secara efektif tenaga kerja manusia. 2. Tercipta, terpelihara serta terkembangkan hubungan kerja yang memberikan suasana kerja yang menyenangkan antar individu yang berkerja sama. 3. Tercapainya perkembangan yang maksimal bagi masing-masing individu yang berkerja sama tersebut. 4. Efektif dalam arti mencapai sasaran, yakni masing-masing individu pegawai memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya serta efisien dalam pelaksanaan tugas itu. Jadi efisien berlangsung setelah efektivitas terjadi. Namun apabila individu-individu itu merasa tidak senang (tanpa kegembiraan kerja) maka tak mungkin terdapat efektivitas dan efisiensi dalam kerja. Jika dirinci maka administrasi kepegawaian mencakup pokok-pokok persoalan: 1. Sistem kepegawaian. 2. Sistem pengadaan/penerimaan pegawai (pemilihan-penyajian-pengangkatanpenempatan). 3. Analisa tugas jabatan. 15 A.W. Widjaja Administrasi Kepegawaian, ( Jakarta. CV.Rajawali, 1990) h 16. 56 4. Sistem penggolongan jabatan dan kepangkatan. 5. Sistem penggajian. 6. Sistem penilaian kecakapan pegawai. 7. Sistem kenaikan pangkat dan pemindahan jabatan. 8. Disiplin dan hukuman jabatan. 9. Sistem pemberhentian pegawai. 10. Sistem jaminan di hari tua (pensiun). E. Sumber Hukum kepegawaian Pada organisasi pemerintahan, kebijaksanaan politik kepegawaian ditetapkan oleh pemerintah dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, peraturan), ketetapan (keputusan), surat edaran, dekrit dan pengumuman maupun maklumat pemerintah, peraturan perundang-undangan inilah yang merupakan sumber hukum kepegawaian. Kedudukan Pegawai Negeri didasarkan pada Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (1), yaitu Pegwai Negeri sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. didasarkan pada Rumusan kedudukan pegawai pokok-pokok pikiran bahwa pemerintah tidak negeri hanya menjalankan fungsi umum pemerintahan, tetapi juga harus mampu melaksanakan fungsi pembangunan atau dengan kata lain pemerintah bukan hanya 57 menyelenggarakan tertib pemerintahan, tetapi juga harus mampu menggerakkan dan memperlancar pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak. Dalam organisasi Pemerintah Republik Indonesia, kebijaksanaan politik kepegawaian dituangkan dalam bentuk Undang-Undang yakni Undang-Undang No. 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara RI 1974 No. 55) dan penjelasannya dimuat dalam tambahan lembaran negara RI No. 3041. Kebijaksanaan politik pelaksanaan kepegawaian dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri, surat Kepala BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara) surat edaran Menteri/Kepala BAKN. Fungsi dan eksistensi Badan Administrasi Kepegawaian diatur melalui Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1988, dan terakhir diatur melalui Keputusan Presiden No. 143 Tahun 1998. Untuk meningkatkan manajemen Sumber Daya Manusia aparatur pemerintah dan/atau SDM PNS, Presiden melalui Keputusan Presiden No. 95 Tahun 1999 tentang Badan Kepegawaian Negara, mengatur kembali kedudukan, tugas pokok, fungsi, dan organisasi BAKN dengan mengubah nama BAKN menjadi Badan Kepegawaian Negara (BKN), yang diharapkan dapat meningkatkan fungsi dan eksistensinya. Keputusan presiden No. 166 Tahun 2000 dengan beberapa kali perubahan dan terakhir diatur melalui Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Susunan, Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Nondepartemen. 58 Perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dengan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999, mengakibatkan pembentukan Badan Kepegawaian Negara ini akan menjadi fungsi dan eksistensinya lebih dipertegas.16 Aturan hukum yang mendasari dibentuknya Badan Kepegawaian Negara adalah pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 43 Tahun 1999, bahwa untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil, dibentuk Badan Kepegawaian Negara. 16 Sri Hartini, Hukum Kepegawaian di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008) h 19. BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA NOMOR :174/G/2006/PT.TUN.JKT DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KEPEGAWAIAN A. Duduk Perkara Putusan Nomor : 174/G/2006/PT.TUN.JKT, dengan nama Ambrosius WB (penggugat) kewarganegaraan Indonesia, pekerjaan Kepala Sekolah/Pegawai Negeri Sipil, alamat SDN No.9 Mensiap Tanjung, kecamatan Tempunak, kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selanjutnya disebut sebagai pemberi kuasa. Dalam hal ini memberikan kuasa kepada Prof. Drs. Frans Sisu Wuwu, SH. MA. PhD, Advocat, beralamat kantor Nawawi Hasan No.562 Pontianak Kalimantan Barat, berdasarkan Surat Kuasa khusus No: 05/LMR-RI/BPHN/V/2006, selanjutnya disebut sebagai Penggugat, dan melawan Badan pertimbangan kepegawaian (BAPEK) yang berkedudukan di Jl. Letjen. Sutoyo No. 12 Cililitan, Jakarta Timur. Dalam hal ini dikuasakan kepada Prapto Hadi, warga negara Indonesia Pekerjaan: Kepala Badan Kepegawaian selaku Sekretaris Badan Pertimbangan Kepegawaian berkantor di Jl. Letjen. Sutoyo No. 12 Cililitan, Jakarta Timur, berdasarkan Surat Kuasa Khusus nomor : 004/G.TUN/BAPEK.2006 tertanggal 25 Juli 2006, yang selanjutnya dikuasakan kepada Prapto Hadi, dan surat kuasa subtitusi No.004/G.TUN.SET.BAPEK/2006 59 60 kepada Dedi Herdi, SH., dan Arniati Repi, SH., keduanya warga negara Indonesia pekerjaan Kepala Bidang Pengolahan A 4 dan A 2 pada sekretariat Badan Pertimbangan Kepegawaian berkantor di Jl. Letjen. Sutoyo No 12 Cililitan, Jakarta Timur berdasarkan Surat Kuasa Subtitusi tertanggal 25 Juli 2006, selanjutnya disebut sebagai Tergugat. Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 10 Mei 2006 yang diterima dikepaniteraan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 10 Mei 2006 dibawah Register Nomor : 174/G/2006/PT.TUN.JKT. mengemukakan sebagai berikut ; 1. Obyek Gugatan ; Surat Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) Nomor : 021/KPT/BAPEK/2006 tertanggal 24 Januari 2006. 2. Dasar-Dasar Gugatan ; a. Bahwa dengan Surat Keputusan dari Tergugat No.021/KPTS/BAPEK/2006 tanggal 24 Januari 2006 yang telah diterima oleh Penggugat pada tanggal 4 April 2006, berdasarkan berita acara penyerahan surat keputusan tergugat oleh Kepala Badan kepegawaian Daerah Kabupaten Sintang dan telah didaftarkan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta oleh kuasa hukum penggugat dalam perkara tanggal No.174/G/2006/PT.TUN.JKT 10 Mei 2006 dengan demikian 61 tenggang waktu 90 hari sesuai Undang-Undang No.5 Tahun 1986 jo Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. b. Bahwa penggugat telah memenuhi seperti yang diatur pada pasal 1 angka 3 dari Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah merupakan surat Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat selaku Pejabat Negara yang bersifat individual, kongkrit, dan final mengakibatkan penggugat tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsi guru sebagai kepala sekolah dalam status Pegawai Negeri Sipil. c. Bahwa disamping Surat Tergugat telah memenuhi ketentuan pada Pasal 48 Jo Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-undang No. 51 Tahun 2009, mengenai banding administrasi melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta dimana gugatan diajukan oleh penggugat. 3. Alasan-alasan Gugatan. a. Bahwa keputusan tergugat sangat merugikan kepentingan penggugat dan telah diterbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan peraturan perundangan serta sewenang wenangnya sesuai Pasal 53 ayat 2 huruf a,d, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. 62 b. Bahwa akibat surat keputusan tergugat, penggugat tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai kepala sekolah karena gaji bulanan distop oleh tergugat. 4. Kronologis Pengajuan Gugatan. 1. Bahwa penggugat adalah Kepala Sekolah Dasar Negeri Nomor 09 Kota Baru Kecamatan Tanah Pinoh Kabupaten Sintang Propinsi Kalimantan Barat. a. Bekerja sebagai guru Pegawai Negeri Sipil sejak Tahun 1978 sesuai surat pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil sampai sekarang yakni Tahun 2006 dengan pangkat terakhir Golongan III/c, jadi selama 28 Tahun berstatus Pegawai Negeri Sipil. b. Hasil Berita Acara Pemeriksaan bahwa penggugat telah melaksanakan perkawinan dengan seorang perempuan bernama Kartini sebab lama menunggu surat ijin cerai dari atasannya yang telah diusulkan sejak Tahun 1993 baru disetujui pada Tahun 2001 (sesuai bukti). Disamping itu istri penggugat Dayang Zaini telah meninggalkan rumah dan berselingkuh dengan laki-laki lain dan mempunyai seorang anak. Perkawinan istri penggugat dilakukan terlebih dahulu sebelum penggugat kawin dibawah tangan dengan perempuan Kartini. c. Perkawinan istri penggugat Dayang Zaini dengan laki-laki lain sesuai pernyataan tanggal 30 Oktober 1994 dan diperkuat surat Kepala 63 Kantor Pendidikan dan Nasional kecamatan tanah Pinoh kabupaten Sintang tanggal 10 Mei 2000. 2. Bahwa keterlambatan persetujuan ijin perceraian dari atasan penggugat untuk diajukan gugat cerai di Pengadilan Agama Kabupaten Sintang, maka usulan berkas penggugat tentang perkawinan dibawah tangan tidak disertai ijin persetujuan perceraian dari Pengadilan Agama, sehingga keputusan Menteri Pendidikan Nasional adalah penjatuhan hukuman disiplin dengan “MEMBERHENTIKAN DENGAN HORMAT TIDAK ATAS PERMINTAAN SENDIRI, DAN KEPADANYA DIBERIKAN HAK-HAK KEPEGAWAIAN SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU APABILA YANG BERSANGKUTAN TIDAK MENGAJUKAN KEBERATAN” 3. Bahwa dampak surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional tersebut, penggugat mengajukan keberatan dengan melampirkan surat ijin persetujuan perceraian, dari Pengadilan Agama Kabupaten Sintang namun tergugat mengeluarkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang sangat merugikan penggugat yaitu tidak menerima pensiun dan gaji distopkan. Oleh sebab itu penggugat tetap keberatan dengan Keputusan tergugat yang mengakibatkan penggugat tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsi guru sebagai Kepala Sekolah dengan Pegawai Negeri Sipil. 64 B. Substansi Putusan Bahwa isi dan maksud serta tuntutan penggugat terhadap tergugat, maupun dalil bantahan tergugat adalah seperti yang sudah diuraikan dalam duduk sengketa. Untuk menguatkan dalil masing-masing pihak, penggugat maupun tergugat mengajukan pembuktian berupa surat yang telah dibubuhi materai secukupnya, yang telah disesuaikan dengan aslinya di persidangan, sehingga surat-surat bukti tersebut dapat dijadikan bukti yang sah, dan dipertimbangan sepanjang ada relevansinya dengan sengketa ini. Bahwa terlepas atau tidak eksepsi tergugat, namun Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta merasa perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut ini 1. Apakah obyek sengketa tersebut keputusan tata usaha negara yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara. 2. Apakah kepentingan penggugat dirugikan akibat terbitnya obyek sengketa. 3. Apakah obyek sengketa keputusan tata usaha negara hasil penyelesaian melalui upaya administratif yang tersedia. Pertama, bahwa untuk menguji apakah obyek sengketa keputusan tata usaha negara yang dapat digugat Peradilan Tata Usaha Negara, haruslah diuji dengan dimaksud pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor. 51 Tahun 2009 perubahan kedua dari Undang-undang Nomor. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi: “Keputusan tata usaha negara adalah suatu 65 penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Setelah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta meneliti, ternyata semua unsur yang terkandung dalam pengertian keputusan tata usaha negara seperti diuraikan tersebut terpenuhi dalam obyek sengketa, maka obyek sengketa adalah keputusan tata usaha negara yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara. Kedua, bahwa agar seseorang atau badan hukum perdata dapat mengajukan gugatan, penggugat harus merasa kepentingannya dirugikan akibat terbitnya keputusan tata usaha negara yang digugat, seperti dimaksud pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Obyek sengketa adalah surat keputusan yang berisikan penolakan terhadap keberatan penggugat, dan memperkuat keputusan hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Menteri Pendidikan Nasional No. 46450/A2.I.5/KP/2003 tanggal 04 Februari 2003 berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil. dan dengan pemberhentian tersebut maka penggugat menjadi kehilangan hak-hak selaku pegawai negeri sipil yang diterima dan dinikmati sebelum terbit keputusan tata usaha negara yang menjadi obyek 66 sengketa, dengan demikian unsur kepentingan penggugat dirugikan sebagai akibat terbitnya obyek sengketa cukup terbukti, sehingga penggugat mempunyai kepentingan untuk beracara menggugat di Peradilan Tata Usaha Negara. Ketiga, keputusan tata usaha negara yang menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa, memutus, dan menyelesaikan selaku pengadilan tingkat pertama, seperti yang dimaksud pasal 48 ayat (1), (2) dan pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 perubahan kedua dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, adalah keputusan tata usaha negara tertentu yang telah terlebih dahulu diselesaikan melalui upaya administratif. Menurut ketentuan pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina IV/a ke bawah yang dijatuhi hukuman disiplin salah satu jenis dalam pasal 6 ayat (4) huruf c dan d, tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian. Penerbitan obyek sengketa adalah sebagai keberatan yang diajukan oleh penggugat terhadap keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 46450/A2.I.5/KP/2003 tanggal 04 Februari 2003 berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil atas nama penggugat (lihat surat bukti bertanda P. 17, 19, dan P.20). 67 Berdasarkan pertimbangan yang diuraikan di atas, jelaslah obyek sengketa adalah keputusan tata usaha negara hasil penyelesaian upaya administratif yang menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan selaku pengadilan tingkat pertama. Mempedomani : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 2. Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan sengketa tata usaha ini. Mengadili : 1. Mengabulkan gugatan penggugat sebagian 2. Menyatakan tidak sah keputusan tata usaha negara yang diterbitkan tergugat berupa : Surat Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian No.: 021/KPTS/BAPEK/2006 tanggal 24 Januari 2006 tentang penguatan hukuman disiplin atas nama Ambrosius WB, NIP 130663443. 3. Memulihkan harkat, martabat, dan kedudukan penggugat seperti keadaan semula. 4. Menghukum tergugat membayar biaya perkara, yang hingga putusan ini diucapkan sejumlah Rp.216.000,- (Dua ratus enam belas ribu rupiah). 5. Menolak gugatan yang selebihnya. 68 Demikian diputus dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, hari Rabu, 22 November 2006, yang terdiri dari : Jacob Gerungan,SH., Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, selaku Ketua Majelis. C. Analisa Putusan Dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 menyebutkan bahwa sengketa kepegawaian diselesaikan melalui PTUN. Kemudian ayat (2) menyebutkan bahwa sengketa kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS diselesaikan melalui upaya banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK). Badan Pertimbangan Kepegawaian dalam Keppres No. 67 Tahun 1980, mempunyai tugas pokok memeriksa dan mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh PNS yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke bawah tentang hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 sepanjang mengenai hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Badan Pertimbangan Kepegawaian juga memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai usul penjatuhan hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan 69 pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke atas serta pembebasan dari jabatan eselon I. Dalam hal ini, yang dapat diajukan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian berupa Pegawai Negeri yang berpangkat Pembina ruang IV/a ke bawah yang dijatuhi hukuman disiplin: 1. Pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri sebagai PNS 2. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin berat, berhak mengajukan keberatan ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK), sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Pengajuan keberatan itu diajukan kepada pejabat yang berwenang menghukum, harus disertai alasan, tanggapan dan datadata lain yang diperlukan serta dalam tenggang waktu yang ditentukan, yaitu 14 hari terhitung mulai tanggal menerima Surat keputusan hukuman disiplin. Penyelesaian sengketa kepegawaian sedapat mungkin dilakukan dalam lingkungan unit kerja di instansinya yang mengeluarkan keputusan hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil oleh pimpinan atau pejabat pembina kepegawaian, baik di tingkat pusat maupun daerah maka dapat ditempuh upaya banding administratif. Upaya administratif merupakan prosedur yang hanya dapat ditempuh oleh seorang pegawai negeri sipil apabila tidak puas terhadap suatu keputusan yang dijatuhkan kepada seseorang yang telah 70 melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat sesuai Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri, setelah melakukan keberatan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian dan telah memperoleh keputusan tetap. Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) dalam Keppres No. 67 Tahun 1980 tersebut adalah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh semua pihak yang bersangkutan. Berdasarkan penjabaran di atas, dapat diketahui bahwa dalam keputusan tersebut tidak tersirat upaya pembelaan diri dalam hukum peradilan yang ditempuh oleh Pegawai Negeri Sipil yang telah dijatuhi hukuman disiplin karena melanggar Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980. namun di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dijelaskan bahwa upaya administratif terdiri atas: 1. Keberatan, apabila penyelesaian sengketa itu dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu. 2. Banding administratif, apabila penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. Sisi positif upaya administrasi yang melakukan penilaian secara lengkap suatu Keputusan Tata Usaha Negara baik dari segi Legalitas (Rechtmatigheid) maupun aspek Opportunitas (Doelmatigheid), para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah (Win or Loose) seperti halnya di lembaga peradilan, tapi dengan pendekatan musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya dapat 71 terjadi pada tingkat obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha Negara yang menerbitkan Surat Keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya secara langsung ataupun tidak langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal yang seharusnya ditempuh. Tidak semua peraturan dasar penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara mengatur mengenai upaya administrasi, oleh karena itu adanya ketentuan pasal 48 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan aspek prosedural yang sangat penting yang berkaitan dengan kompetensi atau wewenang untuk mengadii sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan, yang dimaksud Upaya Adiministratif adalah, Pengajuan surat keberatan (Bezwaarscriff Beroep) yang diajukan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan (Penetapan/ Beschikking) semula. Pengajuan banding administratif (administratif Beroep) yang ditujukan kepada atasan Pejabat atau instansi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang berwenang memeriksa ulang keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa peninjauan surat keberatan, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha 72 Negara yang bersangkutan diajukan kepada pengadilan Tata Usaha Negara. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya adiministratif berupa surat keberatan dan atau mewajibkan surat banding administratif, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang. Ketentuan tersebut sesuai pula dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 48 ayat (2) yang menyatakan “pengadilan baru berwenang memeriksa, menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan “ jo ketentuan pasal 51 ayat (3) ditentukan bahwa dalam hal suatu sengketa dimungkinkan adanya administratif maka gugatan langsung ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara apabila keputusannya merupakan keputusan banding administratif. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dibuat bagan “Proses Penyelesaian Upaya Administrasi” sebagai berikut : MA.RI Sengketa Tata Usaha Negara Banding Administratif (Administratief Beroep) PT.TUN Keberatan Administratif (Administratief Bezwaar) PTUN Upaya Administrasi 73 Dalam menganalisa kewenangan Hakim Tata Usaha Negara dalam perspektif Fiqh Siyasah ini, perlu kiranya kita melihat kembali jenis-jenis lembaga peradilan di dalam Islam sebagai studi kelembagaan yang berbicara tentang konsep yang digunakan. Hal ini diperlukan karena kewenangan Hakim tentunya dapat dipersepsikan dengan kewenangan-kewenangan lembaga peradilan itu juga. Dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa, Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Dalam Pasal 1 UndangUndang No 51 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Kemudian dalam Pasal 47 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga disebutkan, pengadilan bertugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Setelah Islam mulai berkembang dan kekuasaan Islam makin melebar, Rasulullah mulai mengangkat sahabat-sahabatnya untuk menjalankan kekuasaan di bidang peradilan di berbagai tempat. Dasar hukum, keadilan dapat ditegakkan antara lain melalui lembaga-lembaga peradilan yang dibentuk sesuai dengan 74 keadaan dan kebutuhan masyarakat, keharusan adanya lembaga peradilan dalam Islam, terdapat dalam firman Allah SWT; Artinya: “Hai Dawud, sesungguhnya kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shad: 36) Selain ayat di atas keharusan tentang adanya lembaga peradilan dalam Islam terdapat pula dalam surat An Nisa’ ayat 6 surat Al Ma’idah ayat 44, 45, 47, 49. Sedangkan di dalam As Sunnah diberitakan bahwa Rasulullah SAW sangat memuji kepada setiap Hakim yang diangkat kemudian menjalankan peradilannya secara baik dan benar. Di dalam Islam dikenal beberapa lembaga kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan Al-Qodo’, kekuasaan Al-Hisbah, Kekuasaan Al-Mazalim. Lembaga AlQodo’, berwenang menyelesaikan perkara-perkara Madaniyat dan al-ahwal asysyakhsiyah (masalah keperdataan) termasuk di dalamnya masalah keluarga 75 dan masalah jinayat (tindak pidana). Hisbah adalah kantor di mana pejabatnya yang disebut Muhtasib mempunyai tugas mengajak pada kebaikan dan mencegah kejahatan (menerapkan kode etik Islam). Berdasarkan uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa kewenangan hakim menurut pasal-pasal yang telah disampaikan di atas, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan merupakan suatu anjuran. Dalam kaitannya dengan fiqh siyasah, kewenangan Hakim Tata Usaha Negara ini adalah mengenai pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan manusia itu sendiri. Apabila kita melihat tujuan diciptakannya Peradilan Tata Usaha Negara yang disebutkan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dan warganya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakantindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warganya, dan secara umum tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah: 1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hakhak individu. 2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. Sengketa dalam hal administrasi Negara atau Tata Usaha Negara ini lahir karena adanya atau dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh badan 76 atau pejabat Tata Usaha Negara. Unsur-unsur pengertian istilah Keputusan Tata Usaha Negara sebagai obyek sengketa Tata Usaha Negara menurut UU No.5 Tahun 1986 ialah: 1. Penetapan tertulis 2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara 3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundangundangan. 4. Bersifat konkrit, individual dan final. 5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Tinjauan Fiqh Siyasah atas keberadaan Keputusan Tata Usaha Negara ini bisa kita analisa dengan melakukan studi kelembagaan kekuasaan kehakiman yang ada di dalam Islam. Apabila dilihat dari dampak hukum dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara ini, maka Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia ini dapat disejajarkan dengan lembaga Al-Mazalim di dalam Islam. Ini tidak terlepas dari keberadaan lembaga Al-Mazalim itu sendiri yang berwenang memeriksa perkara penganiayaan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penguasa, hakim ataupun anak dari pejabat yang sedang berkuasa. Lebih jelas bahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, tapi berikut beberapa perkara yang ditangani lembaga Al-Mazalim yang ada kemiripannya dengan wilayah Peradilan Tata Usaha Negara antara lain; 1. Penganiayaan para penguasa terhadap perorangan maupun golongan. 77 2. Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan Negara yang lain. 3. Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat. 4. Mengembalikan pada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa yang zalim. 5. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh petugas hisbah. Keputusan Tata Usaha Negara dikeluarkan oleh pejabat Keputusan Tata Usaha Negara atau pejabat pemerintahan, yang kemudian dapat berakibat pada tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang terkait, yang tidak jarang keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara ini didasari karena ada permainan uang atau maksud-maksud negative dari pejabat yang kemudian berdampak merugikan masyarakat. Hal ini dapat diselaraskan dengan arti kesewenang-wenangan oleh penguasa yang dimaksud di dalam Al Mazalim. Tata Usaha Negara adalah administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan itu antara lain, seperti pendataan penduduk oleh Dinas kependudukan, penyelenggaraan pendidikan oleh Dinas Pendidikan, dan masalah-masalah Tata Usaha yang lain seperti, perizinan, keuangan Negara, pajak, kesehatan rakyat, pengelolaan sumber daya, dan lain-lain. 78 Apabila dilihat dari obyek Tata Usaha Negara itu sendiri, lembaga kehakiman Islam yang salah satu tugasnya mengatur masalah-masalah administrasi Negara di antaranya, memberikan perlindungan dan menanggung kehidupan anakanak, tidak melukai hak-hak para tetangga, menekankan para pemilik hewan untuk memberikan makan, mengawasi transaksi pasar, jalan-jalan umum dan penarikan pajak, dan lain-lain, yaitu lembaga hisbah Dasar hukum kehadiran lembaga hisbah ini adalah sunnah, termasuk kategori sunnah fi’liyah atau perbuatan Nabi Saw sendiri yang menemukan tindak kecurangan di pasar. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia ini dapat disejajarkan dengan lembaga Al-Mazalim di dalam Islam. Ini tidak terlepas dari keberadaan lembaga Al-Mazalim itu sendiri yang berwenang memeriksa perkara penganiayaan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penguasa, hakim ataupun anak dari pejabat yang sedang berkuasa. Lebih jelas bahwa perkaraperkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada 10 macam, tapi berikut beberapa perkara yang ditangani lembaga Al-Mazalim yang ada kemiripannya dengan wilayah Peradilan Tata Usaha Negara antara lain; 1. Penganiayaan para penguasa terhadap perorangan maupun golongan. 2. Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan Negara yang lain. 3. Mengontrol/mengawasi keadaan para pejabat. 79 4. Mengembalikan pada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa yang zalim. 5. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang mengenai maslahat umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh petugas hisbah. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah penulis bahas dalam bab-bab yang terdahulu, penulis mengambil kesimpulan dari skripsi ini sebagai berikut : 1. Sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan bahwa hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, yang mana tugas kekuasaan kehakiman itu adalah dalam rangka menyelenggarakan peradilan dan peradilan itu sendiri mempunyai kewajiban memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Singkatnya hakim Tata Usaha Negara adalah pejabat yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara di dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. 2. Untuk membedakan apakah sengketa harus diselesaikan melalui banding administratif atau keberatan dapat dilihat dari pejabat atau instansi yang berwenang menyelasaikannya; a. Apabila diselesaikan oleh instansi atasan Pejabat yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut atau instansi yang lainnya dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, maka penyelesaiannya “BANDING ADMINISTRATIF”. 80 tersebut disebut dengan 81 b. Apabila diselesaikan instansi atau Pejabat yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara tersebut, penyelesaian tersebut disebut dengan “KEBERATAN”. 5. Cara pengujian penyelesaian melalui upaya administratif adalah dilakukan secara lengkap dalam arti dari segi hukum dan kebijaksanaan, sedangkan pengujian di Pengadilan hanya dari segi hukumnya saja, dalam hal masih tidak puas terhadap penyelesaian melalui upaya administratif, maka dapat ditempuh upaya antara lain: a. Setelah melalui upaya administratif maka dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama; b. Setelah melalui upaya keberatan, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. 6. Kewenangan Hakim Tata usaha Negara dalam perspektif fiqh siyasah adalah melindungi hak-hak warga Negara dari kesewenang-wenangan tindakan atau kebijakan pemerintah. Hal ini sesuai juga dengan keberadaan lembaga AlMazhalim di dalam sejarah peradilan Islam, di mana tujuan utama dibentuknya lembaga Al-Mazhalim adalah melindungi rakyat dari tindak kesewenang-wenangan penguasa. Dalam kaitannya dengan fiqh siyasah, kewenangan Hakim Tata Usaha Negara ini adalah mengenai pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan manusia itu sendiri. Pada Pasal 28 ayat 1 Undang-undang No. 4 82 tahun 2004 dinyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan B. Saran-Saran Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam sistem peradilan kita, masih relatif kecil. Tidak jarang di berbagai Peradilan Tata Usaha Negara volume perkara pertahunnya di bawah 20 perkara seperti antara lain Peradilan Tata Usaha Negara Ambon, Banda Aceh, Bengkulu, Jambi, Jayapura, Kendari, Kupang, Palangkaraya, Palu, Yogyakarta. Hal ini menunjukan belum optimalnya peranan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap pemerintah. Adanya upaya pemerintah dalam reformasi birokrasi dengan merancang Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU-AP) kiranya dapat dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga eksistensi peradilan tata usaha negara dapat dirasakan manfaatnya baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Setelah RUU-AP menjadi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, haruslah pula ditindak lanjuti dengan penyelarasan menyangkut kompetensi mengadili PTUN yang secara tegas mengatur : “Peradilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili sengketa yang timbul dari perbuatan badan/pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan hukum publik yang menimbulkan seseorang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan. DAFTAR PUSTAKA A. Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984. A.R. Yahya, Strutur Negara Khilafah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Abdullah, Rozali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta. Pt Raja Grafindo Persada, 2004 Al-Mawardi, Imam, Hukum tata negara dan kepemimpinan dalam takaran Islam, penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani, Kamaluddin Nurdin : Gema Insani Press, 2000. Asshiddiqie, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 1997 Assiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT Bhuana Populer: 2007 Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Raja Grafindo Persada, 1997 Hartini, Sri, dkk, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008 Ibrahim, Jhonny, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV, Malang: Bayumedia, 2008. Mahfud, Moh MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2001. Muarif, Hasan, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, Vol.2 Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Mufid, Nur, Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah, Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah, Pustaka Progressif: Surabaya, 2000. Nazir, Moh., Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia ; 2005. Sitomurang, Viktor M., Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Jakarta. Rineka Cipta, 1990. 83 84 Situmorang, Viktor M, Soedibyo, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta. PT Rineka Cipta, 1992. Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1995. Soetami , A. Siti, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung, PT. Refika Aditama, 2007. Sudarsono, Pengadilan Negeri Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata Usaha negara, PT Rieneka Cipta, 1994. Sunindhia, Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi, PT Rineka Cipta, 1990. Taimiyah, Ibnu, Tugas Negara Menurut Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004. Tjandra, W. Riawan, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya, 2002. Widjaja, A. W, Administrasi Kepegawaian: Suatu Pengantar, CV.Rajawali, 1990. Wiyono, R., Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara, Sinar Grafika, 2007. Zaidan, Abdul Karim, Sistem Kehakiman Islam Jilid 3, Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid, 2004. Zauhar, Soesilo, Reformasi Administrasi, PT Bumi Aksara: Jakarta, 2000. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 Tentang Pegawai Negeri. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kedudukan Pegawai Negeri Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.