Rencana Konversi Upah Buruh Dengan Saham :Sebuah Kebijakan Etis Nan Tragis! Oleh: Subagyo Saat sedang menerima konsultasi penulisan skripsi di kampus, HP-ku berdering. Terlihat sebuah nama dilayar, Cak Kirun tetangga kampungku yang menjadi buruh pabrik tekstil di Sumedang Jabar, mengajak bicara. "Assalamu’alaikum Cak Su!" teriaknya dari seberang. "Waalaikum salam, ada apa Cak!" "Hanya mau ngabari saja, jika aku sekarang sudah jadi juragan, jadi pemilik perusahaan!" katanya. "Alhamdulillah…. wis mulya sampeyan Cak, wis gak mburuh maneh!" "Mburuh yo masih tetap, rumah ya masih ngontrak, blonjo yo tetep repot, utang juga masih banyak, rokok ya masih tingwe! Susah!!" "Lho!! Kok iso ngono Cak?!" "Lha itu kan pokal gawene pemerintahe sampeyan, mosok upah buruh dipotong buat beli saham perusahaan, katanya konversi upah buruh dengan saham!" "Welah…. ??!!" Shift I Ada Apa Dengan Buruh? Kompas (11/12) menulis berita yang cukup mengejutkan sekaligus membuat penasaran. Dalam berita itu disebutkan saat ini pemerintah sedang menyusun peraturan tentang Konversi Upah Buruh Dengan Saham. Peraturan ini dibuat sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh atas kemungkinan terjadinya PHK karena imbas dari krisis keuangan global. Daripada di PHK lebih baik buruh bersedia untuk menerima upah yang sebagian dibayarkan secara noncash dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Kebijakan ini juga menguntungkan perusahaan, karena sumber daya ekonomi berupa "úang kas/tunai" yang terbatas bisa dialihkan kepada pos belanja lain, sehingga "dapur masih bisa mengepul." Saat ini, berdasarkan data dari API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) 10% dari 2.1 juta buruh yang terlibat dalam industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) telah di PHK. Jika mengacu kepada data API tersebut maka dalam industri TPT saja telah terjadi PHK sebanyak 200.000 lebih buruh. Tetapi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) memiliki data sendiri mengenai jumlah PHK saat ini. Data itu menyebutkan bahwa dari 23.927 permohonan PHK, per tanggal 5 Desember, PHK riil sebanyak 17.418 orang dan yang berstatus dirumahkan sebanyak 6.597 orang. (Kontan (11/12). Perbedaan data yang signifikan tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut validitas data yang dipakainya. Tetapi kedua data itu menunjukkan bahwa imbas krisis keuangan global telah sampai pada tataran PHK massal. Mengapa harus terjadi PHK? Secara ekonomis ketidakpastian akibat krisis adalah disinsentif bagi perusahaan untuk melakukan investasi baru dan penambahan kapasitas produksi, krisis juga menyebabkan cost of capital menjadi relatif lebih besar karena ada kekeringan likuiditas di pasar keuangan (lack of liquidity), penyerapan produk perusahaan oleh pasar juga rendah. Faktor-faktor inilah yang mendorong terjadinya under capacity sehingga menuntut adanya rasionalisasi termasuk terhadap buruh. Kondisi seperti ini diramalkan oleh Bank Dunia akan semakin parah terlihat pada tahun 2009. Sesuai data yang dirilis oleh Bank Dunia, ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan sebesar 4% (target pemerintah 5.8-6%), lalu lintas modal masuk melalui Foreign Direct Investment (FDI) stagnan 0%, dan pertumbuhan ekspor kita hanya dalam rentang tumbuh 1-2%. Hal ini didukung pula oleh masih parahnya daya saing negara kita dibandingkan negara lain dalam menarik investasi asing. Data Global Competitiveness Report 2007-2008, Indonesia masih menduduki rangking 54 dari 131 negara. Jeleknya infrastruktur jalan memiliki kontribusi besar terbentuknya daya saing yang rendah. Pertumbuhan ekonomi yang rendah, FDI rendah, pertumbuhan ekspor rendah serta daya saing rendah akan semakin membuat kondisi buruh menjadi rentan terhadap PHK. Shift II Antara ESPP vs ESOP: Dilema Buruh Kita Larry Ellison, CEO Oracle Corporation tahun ini dinobatkan oleh The Corporate Library sebagai CEO dengan penghasilan terbanyak. (Jawa Pos 11/12). Dari total penghasilan sebesar 4 triliyun lebih, hampir 50%-nya dihasilkan dari opsi saham yang dimilikinya dalam program ESOP (Employee Stock Ownership Program). Apakah kebijakan konversi upah buruh dengan saham dalam kerangka untuk meng-konversi buruh Indonesia menjadi Larry Ellison Larry Ellison? "Lain Lubuk Lain Belalang, Jauh Panggang Dari Api". ESPP (Employee Stock Purchase Program) Merupakan opsi (hak) untuk membeli sejumlah tertentu saham pada harga tetap selama periode tertentu. Biasanya opsi rencana pembelian ini dijual dengan harga diskon dengan melakukan mekanisme pemotongan gaji terhadap buruh yang dimilikinya. Atas kesediaan buruh untuk dipotong gajinya tersebut maka buruh berhak mendapatkan sebagian saham perusahaan. Secara teori sebenarnya ESPP memiliki kebaikan baik dilihat dari sisi buruh ataupun dari sisi perusahaan. Buruh mendapatkan employee benefit dengan adanya kesempatan untuk mengambil bagian dalam kesuksesan perusahaan serta berfungsi pula sebagai motivator dan bagi perusahaan merupakan bentuk pembayaran upah yang bersifat noncash. Masalahnya adalah buruh Indonesia adalah buruh yang masih mendapatkan upah sebatas "cukup (baca: dipaksa cukup)" untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja. Itupun bagi sebagian besar buruh masih "besar pasak daripada tiang". Sehingga hutang seringkali digunakan sebagai salah satu solusi untuk berdamai dengan keadaan. Jika upah buruh yang hanya "cukup" untuk mempertahankan kondidi "hidup" saja dan harus dipotong upahnya untuk kepemilikan saham, masih mungkinkah? Kondisi buruh saat ini lebih cenderung senang memiliki uang kas/tunai daripada selembar saham. Sehingga kebijakan konversi upah dengan saham, pastilah akan mendapatkan tantangan dari serikat buruh. ESOP (Employee Stock Ownership Program) ESOP pada dasarnya merupakan transfer kepemilikan sebuah perusahaan kepada buruh dalam bentuk manfaat yang diterima buruh dikemudian hari. (Little, 2001). ESOP dalam konteks ini dapat digunakan sebagai salah satu bentuk kompensasi dan motivator bagi buruh karena merasa memiliki perusahaan. Kharakteristik ESOP adalah nilai tunai yang bisa dinikmati oleh buruh adalah pada masa yang akan datang yaitu saat buruh tersebut berhenti sebagai buruh (pensiun dan lain-lain). Pertanyaannya? Realistiskah ESOP dilakukan bagi buruh kita saat ini? Meminjam istilah grammar dalam bahasa inggris, kondisi buruh kita masih dalam tataran past dan present belum sampai pada tataran future terkait dengan penggunaan upah yang diterimanya. Time Horizon-nya lain. Sehingga ESOP juga relatif sulit untuk diterapkan seperti halnya ESPP. Problem riil buruh terkait dengan kemampuan daya beli yang terbatas membuat setiap kebijakan yang mencoba "merugikan" buruh, "menganggu" besaran upah menjadi isu yang sensitif dan bisa menyulut aksi-aksi buruh yang masif. Terbukti ketika SKB 4 Menteri yang mencoba "menganggu"`buruh dalam wilayah pengupahan membentuk solidaritas diantara mereka dan berhasil memaksa pemrintah "merubah" substansi SKB 4 Menteri yang dipersoalkan itu. Shift III White Collar Worker vs Blue Collar Worker Masalah buruh memang merupakan masalah yang kompleks. Kompleksitas ini bisa dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu: sudut pandang ekonomi; buruh merupakan faktor produksi sehingga ia menjadi input biaya (cost), buruh juga sebagai masyarakat konsumen yang memiliki daya beli, serta buruh sebagai satu-satunya faktor produksi yang hidup, memiliki rasa, keingginan dan lain-lain sehingga pengelolaanya juga lebih rumit dan mahal. Sudut pandang politik; buruh sebagai komoditas politik, sudut pandang sosial; isu buruh bisa menjadi pemicu konflik dan keresahan sosial. Adilkah Konversi Upah Bagi Buruh? Untuk saat ini TIDAK ADIL. Mengapa? Karena perusahaan yang akan menjalankan kebijakan konversi upah dengan saham hanyalah perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja jelek. Jika buruh dipaksa untuk membeli saham perusahaan yang memiliki kinerja seperti itu, hal tersebut jelas akan merugikan buruh. Kemarin kemana saja Bung?! Ketika kinerja perusahaan baik dan tidak terimbas krisis, alternatif konversi upah menjadi saham dengan ESPP atau ESOP tidak dilakukan bahkan terpikirkan-pun tidak. Sekarang saat mau kolaps, buruh disuruh membeli saham perusahaan. Tidak Adil! Dilihat dari perspektif daya beli, untuk saat ini kelompok "buruh berdasi" (white collar worker) memungkinkan untuk mengikuti konversi upah dengan saham daripada "buruh bertopi" (blue collar worker) yang hidup hanya dengan UMK. Itupun jika diasumsikan bahwa perusahaan yang melakukan program konversi tersebut masih memiliki kinerja yang baik dan mempunyai prospek bisnis yang baik pula. Tetapi jika kondisi sebaliknya yang terjadi, maka merugikan buruh baik yang "berdasi" ataupun yang "bertopi". "Cak Su, sekarang Pak SBY suka nyanyi NGE-REP!!" kata Cak Kirun di ujung HP. "Nge-rep gimana Cak?!" "NGE-REP-POTIN!!!" "Kok bisa sampeyan ngomong begitu?" "Lha iya masak buruh yang sudah pas-pasan, met-metan, nut-nuten masih disuruh beli saham potong gaji!!!" "Sekarang konversi upah dengan saham sudah diubah Cak?! "Diubah gimana lagi Cak Su?" "Konversi Upah Buruh Dengan P-A-H-A-L-A!!!" "Wis tak nyari pahala lain saja Cak!" "???" (11 Desember 2008, pernah dimuat di www.wongndoko.blogspot.com)