Intelektual Muda dan Metamorfosis Pemikiran Islam

advertisement
Intelektual Muda dan Metamorfosis Pemikiran Islam
Nazhori Author
Akhir-akhir ini ada suatu gejala menarik dalam perkembangan pemikiran Islam
di Indonesia, yaitu munculnya para pemikir-pemikir muda yang mencoba untuk tampil
di tengah masyarakat. Mereka dengan gagasan-gagasan segarnya berusaha untuk
memberikan horison baru dunia pemikiran Islam melalui beberapa media cetak nasional
dan buku-buku berbasis pemikiran Islam. Adapun kehadirannya berangkat dari
komunitas-komunitas berbeda yang tentunya juga membawa corak dan warna
pemikiran berbeda pula.
Apabila dilihat dan dicermati sebenarnya wisata intelektual dan medan wacana
pergumulan mereka adalah tidak terlepas dari diskursus potsmodernisme. Wacana yang
diangkatpun ialah berkisar demokrasi, HAM, agama, pluralisme, civil society yang
diimbangi dengan ilmu-ilmu perubahan sosial klasik dan modern sebagai pisau analisis.
Di samping itu mereka juga banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir barat dan timur
dalam rangka untuk menghilangkan sekat-sekat dominasi peradaban antara Barat
dan Timur (laa syarqiyyah wa laa ghorbiyyah) dengan cara meramu sedemikian rupa
untuk menemukan dan menghasilkan cara berpikir yang baru, reflektif dan kritis.
Gambaran di atas, setidaknya bukanlah tanda dari sekian hal yang menarik,
melainkan ada hal menarik lain yang perlu dicermati kembali dengan alasan sebagai
berikut, pertama kemunculan intelektual muda sekarang ini tidak terlepas dari latar
belakang pendidikan mereka baik agama maupun umum walaupun pada kenyataannya
yang lebih dominan adalah yang berbasis agama (IAIN/STAIN) sehingga turut pula
mempengaruhi basis intelektual mereka. Kedua, kehadiran mereka juga tidak terlepas
dari basis sosial yang mereka geluti seperti organisasi di kampus maupun luar kampus.
Ketiga, keberadaannya juga tidak terlepas dari forum-forum diskusi kecil yang akhirnya
berkembang sebagai wadah pengayaan intelektual dan terakhir adanya transfer ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge) dari para senior terlebih yang telah menyelesaikan
studi pacsa sarjana S-2 maupun S-3 di luar negeri berupa warisan intelektual.
Dari perspketif tersebut dalam perjalanan proses sejarahnya bagaimanapun juga
para intelektual muda mendapatkan tradisi berpikir yang mengejutkan dan tidak semua
intelektual muda lain mendapatkannya. Dus, perjalanan proses berpikir yang
transformatif dan berkersinambungan ini dapat menghiasi dunia pemikiran pada
umumnya dalam menghadapi diskursus universal yang terus berkembang dengan cepat.
Dan semoga kehadirannya tidak berada dalam suatu iklim pemikiran yang kaku dan
ambigu atau dengan kata lain tidak sekedar untuk melepaskan diri dari kungkungan
problem intelektual yaitu keterasingan dan kegelisahan intelektual yang bersumber pada
epistemologi dan problem moral-sosial yang menyangkut dimensi moral dan etik
intelektual muda. Namun di sini, menurut hemat penulis gejala dan kondisi
perkembangan intelektual muda (khususnya dalam pemikiran islam) tersebut
merupakan langkah konkrit menuju proses transformasi dan transfer pemikiran untuk
menemukan metode dan pendekatan baru berpikir (mode of thought dan mode of
inquiry) serta peristiwa metamorfosis pemikiran Islam di lingkungan intelektual muda.
Sebuah Metaforfosis
Gagasan pembaruan intelektualisme Islam yang dialami intelektual muda di
Indonesia apabila ditilik secara historis pernah terjadi pada awal tahun 1970-1980.
Ketika pelopor kebangkitan intelektualisme Islam Harus Nasution sebagai lokomotif
penarik gerbong modernisme berhasil memunculkan gagasan-gagasan teori modernisasi
dengan Islam Rasionalnya secara tidak langsung membawa iklim perubahan intelektual
yang kreatif di perguruan tinggi Islam.
Suasana tersebut semakin semarak ketika gagasan pembaruan teologisnya
menjadi dasar pijakan sistem pengetahuan pemikiran Islam (ephisteme) dan cakrawala
pembaruan pemikiran Islam di zamannya. Di mana etos rasionalitas mengenai Islam
yang bertumpu pada ilmu, iman dan amal yang rasional dapat aplikatif dalam kehidupan
sehari-hari atau dengan meminjam bahasa Budi Munawar Rachman landasan
epitemologi Islam Rasional adanya suatu keyakinan pada dasarnya Islam itu rasional.
Selanjutnya pada periode tahun 1980-an, ketika negara kuat dan para kaum
intelektual kehilangan daya kreatif-aplikatifnya mencoba menggagas suatu paradigma
pemikiran mengenai negara dalam perspketif Islam dan ilmu-ilmu sosial. Yang akhirnya
dapat menemukan cara pandang baru mengenai teori negara. Periode pemikiran ini di
motori oleh Nurcholis Madjid dan kawan-kawan. Memang harus diakui sepulang dari
studinya di Chicago Cak Nur banyak dipengaruhi pemikiran Fazlur Rahman sehingga
ketika datang ke Indonesia gagasannya di sambut dengan gembira. Terlebih idenya
tentang Islam politik dengan ungkapan: Islam Yes, Partai Islam No? mendapat
tanggapan dan kritik serius dari para orang tua. Gagasannya pun sekaligus menjawab
gagasan Islam Rasional Harun Nasution dengan memunculkan gagasan Islam
Peradaban. Dasar pemikiran Islam yang dibangun pun sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan Harun mengenai modernisasi, namun bagi Cak Nur tentang modernitas
ditafsirkan dengan kata rasionalitas. Bedanya landasan epistemologi Cak Nur lebih
empiris dan kritis.
Hal berbeda bagi Dawam Raharjo dan kawan-kawan turut meramaikan
perkembangan pemikiran Islam dengan gagasan Islam alternatifnya dengan mencoba
memecahkan problem keterbelakangan dan kemunduran umat Islam dari sudut
pandang struktural. Maka Dawam pun menggagas Islam Transformatif dengan landasan
epistemologi ilmu sosial kritis di mana al-Qur?an dengan pesan dan misi sucinya ketika
awal mula turun merupakan jawaban peristiwa sosial dari proses perubahan sosial yang
terjadi dalam sejarah manusia.
Berdasarkan ke tiga macam bentuk pemikiran Islam di atas, yang mewarnai
corak dan warna perkembangan dunia pemikiran Islam di Indonesia adalah proses
dialektika pemikiran umat manusia. Adapun peranan daur pemikiran Islam itu tidak
terlepas dari pola interaksi dan dialog Islam dengan peradaban Barat. Karena itu, dalam
konteks ke-Indonesiaan khususnya dalam perkembangan pemikiran Islam merupakan
tahapan sejarah atau wujud dari metamorfosis perkembangan pemikiran Islam. Situasi
ini juga terjadi pada para intelektual muda baru yang berusaha menggali dan
menafsirkan kembali ajaran agama dan khazanah pemikiran Islam klasik dan modern.
Dan sekaligus sebagai jawaban terhadap peradaban Barat yang menjadi tantangan untuk
melahirkan kembali tradisi intelektual dan keilmuan baru dengan tidak begitu saja
diserap dan dijadikan landasan berpikir tetapi ada proses pemilahan yang selektif.
Menyemarakkan Sekolah Pemikiran Islam
Gelombang kebangkitan intelektualisme Islam di Indonesia tampaknya terasa
tidak lengkap, jika tidak disajikan pendukung lain dalam perkembangnnya. Yakni
dengan melihat gejala-gejala arus globalisasi yang dahsat dan turut berperan dalam
masalah krisis umat manusia dalam segala bidang kehidupan. Penampakkan gejala
inilah yang menggerakan kaum intelektual muda untuk mendirikan sekolah-sekolah
pemikiran ilmu pengetahuan (school of thought) sebagai basis gerakan pemikiran yang
praksis-liberatif.
Kemunculannya bisa dilihat dengan mencermati sosialisasi gagasan dan
pemikiran komunitas kaum muda Utankayu dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya di
mana Ulil Abshar dan kawan-kawan sebagai lokomotifnya. Selanjutnya disusul oleh
komunitas kaum muda Menteng berupa Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
(JIMM) dengan bangkitnya second Muhammadiyah yang di motori oleh Piet H. Khaidir
dan kawan-kawan. Komunitas-komunitas itu dulu juga pernah dibangun oleh Cak Nur
dan kawan-kawan dengan lingkaran madzhab Ciputatnya yang sekarang berkembang
menjadi komunitas Paramadina.
Oleh karena itu, tampaklah bagi kita khususnya masyarakat untuk bisa
menangkap obsesi dan pesan-pesan profetik mereka sebagai kekuatan pembebas umat
Islam dari kebodohan. Sehingga misi emansipatorisnya untuk menggerakan potensi
intelektual muslim dan melepaskan diri dari dominasi ideologi sekuler Barat dan teori
modernisasi merupakan alternatif pemikiran, pilihan dan proses ijtihad. Adapun jika
banyak saran dan kritik dari masyarakat tentang gagasan-gagasan mereka adalah hal
yang wajar.
Selanjutnya hal terpenting bagi kaum intelektual muda yang patut
dipertimbangkan yaitu peran dan tanggung jawab sosial mereka sebagai bagaian dari
warga masyarakat berada dalam struktur sosial yang elitis, sehingga untuk menjadi
intelektual organik meminjam istilahnya Gramsci para kaum muda tersebut tidak hanya
berbicara dengan gaya khasnya di media cetak dengan bahasa yang tidak membumi.
Padahal di mata masyarakat intelektual organik diharapkan mampu berbicara fasih dan
ikut merasakan penderitaan yang dialami masyarakat. Sehingga mampu
mengaktualisasikan teorinya yang selama ini di dengung-dengungkan di tengah
masyarakat dan masyarakat merasa tercerahkan. Inilah roushan fikr sesungguhnya
meminjam istilahnya Ali Syari’ati.
Di samping itu kehadirannya juga merupakan bentuk ekspresi kejiwaan yang
disalurkan lewat berbicara dan menulis. Bukankah yang diinginkan kaum intelektual
untuk menguji gagasan pemikirannya senantiasa harus berada dalam medan
pergumulan. Karena hanya dengan cara itulah konfrontasi pemikiran akan dinamis dan
tidak kering makna.
Pada dasarnya cita-cita profetik ini tidak akan tercapai tanpa peran aktif dan
partisipasi masyrakat dan dunia akademis. Sebab kebangkitan intelektual Islam masih
terus dikembangkan dan disosialisasikan secara luas, baik di lembaga-lembaga
pendidikan, agamawan, serta melalui organisasi-organisasi mahasiswa, NGO/LSM dan
komunitas-komunitas baru generasi muda Islam dengan minat dan semangat untuk
mengkaji khazanah ilmu pengetahuan Islam baik yang sudah maupun yang belum
terjamah sama sekali. Dengan demikian kondisi inilah yang akan mempengaruhi besar
kecilnya perkembangan pemikiran umat Islam dan gerak maju peradaban Islam.
*Penulis adalah peminat sosial keagamaan dan aktif di Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah Banyumas. Tinggal di Sekretariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Jl. Dr. Angka No. 1 Purwokerto. Telp (0281) 626420
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2004
Download