saham untuk pekerja - Universitas Mercu Buana Yogyakarta

advertisement
SAHAM UNTUK PEKERJA:
Realisasi Demokrasi Ekonomi di Tempat Kerja
Awan Santosa, S.E, M.Sc1
Perjuangan Muhammad Yunus melalui Grameen Bank begitu luar biasa. Tidak saja
menjadikan kaum perempuan miskin sebagai nasabah, pada saat yang sama mereka
sekaligus dijadikan sebagai pemilik bank tersebut. 93% saham Grameen Bank dikuasai
perempuan miskin yang merupakan nasabah terbesarnya. Kepemilikan saham inilah yang
telah menempatkan beberapa perempuan miskin yang buta huruf sebagai komisaris di
Grameen Bank.
Bukan itu saja. Grameen Bank memiliki GrameenPhone, sebuah perusahaan
patungan antara Telenor dari Norwegia dan Grameen Telecom. Saat ini Telenor memiliki
62% saham perusahaan, sedangkan Grameen Telecom memiliki 38%-nya. Dalam pidato
penerimaan Nobel-nya di Oslo, Yunus menyampaikan visi untuk pada akhirnya menjadikan
mayoritas kepemilikan GrameenPhone kepada kaum perempuan miskin anggota Grameen
Bank. Grameen Bank dengan begitu tidak sekedar mengusung revolusi kredit mikro
melainkan revolusi mode produksi.
Mode produksi perusahaan umumnya berwujud relasi dikotomik antara buruh
dengan pemilik modal. Keadaan perusahaan di negeri kita pun tidak jauh dari sifat
demikian. Koperasi, dengan relasi produksi demokratisnya, masih menjadi perusahaan
marjinal yang peranannya kian dikerdilkan. Perusahaan yang mempraktekkan relasi
produksi serupa melalui pola kepemilikan saham oleh pekerja (employee share ownership
program/ESOP), seperti pada pola Grameen Bank di atas, pun seolah masih seperti buih di
lautan, tidak signifikan. Padahal tersedia berbagai faktor objektif yang semestinya
mendukung praktik produksi yang demokratis tersebut.
Faktor Obyektif Realisasi ESOP
Faktor obyektif tersebut di antaranya adalah: Pertama, kita memiliki Pasal 33 UUD
1945 ayat 1 yang mengamanatkan ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Pasal ini jelas bervisi menolak dikotomi pekerja dan
pemilik modal dalam relasi produksi di tempat kerja. Usaha bersama bermakna pelibatan
pekerja dalam pengambilan keputusan dan kontrol secara kolektif di perusahaan. Hal ini
terwujud jika pekerja mempunyai kesempatan untuk ikut memiliki perusahaan. UU No
21/2000 tentang Serikat Pekerja pun telah mengamanatkan bahwa salah satu fungsi Serikat
Pekerja adalah sebagai wakil pekerja dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam
perusahaan.
Kedua, relasi dikotomis tersebut telah menghasilkan struktur alokasi yang timpang.
Bagian yang diterima pekerja (upah dan tunjangan lain) dari nilai output industri di
Indonesia relatif kecil dan dari tahun 1986 ke 2004 makin menurun. Misalnya saja bagian
pekerja di industri bahan makanan turun dari 8% menjadi hanya 1%, industri kayu dari
14% menjadi 2%, dan di industri kertas dari 20% menjadi 4%. Bagian tertinggi diterima
1
Dosen Negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Direktur Mubyarto Institute, Peneliti Pusat
Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, dan salah satu penggagas Sekolah Buruh, ph: 08161691650
1
pekerja industri galian. Itu pun hanya 17% (Hudiyanto, 2007). Kondisi ini menjadi salah
satu sebab kemiskinan pekerja Indonesia yang diperparah dengan merosotnya nilai upah riil
pada tahun-tahun terakhir.
Ketiga, terjadinya perluasan dominasi asing terhadap kepemilikan perusahaan di
Indonesia. Sebanyak 67% saham di Pasar Modal, termasuk di dalamnya 50% lebih saham
perbankan, telah dikuasai pemodal asing. Kondisi ini akan berimplikasi pada penyedotan
surplus perusahaan keluar negeri (net transfer), melemahnya posisi tawar pekerja, dan
ketergantungan terhadap modal asing. Pada saat yang sama relasi produksi makin timpang
dan tidak demokratis. Pengambilan keputusan dan kontrol perusahaan makin di luar
jangkauan partisipasi pekerja karena dilakukan oleh pemilik modal yang berada jauh di luar
negeri.
Keempat, rendahnya produktivitas pekerja Indonesia saat ini dituding sebagai sebab
menurunnya kinerja perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan. Tak banyak yang
mengaitkannya dengan terjadinya marjinalisasi pekerja dalam relasi produksi dan alokasi
seperti tercermin di atas. Peningkatan motivasi produksi dan efisiensi perusahaan selama ini
cenderung dilakukan melalui cara-cara represif (a-humanis) seperti sistem kerja kontrak,
outsourcing, dan (wacana) sistem upah fleksibel, yang mengingkari hak-hak sosialekonomi pekerja.
Kelima, arus baru demokratisasi perusahaan telah lama bergulir. Makin banyak
perusahaan di dunia yang sadar perlunya revolusi mode produksi. Perubahan relasi
produksi sama sekali bukanlah hal yang utopis. Kepemilikan saham oleh pekerja sudah
lama diatur khusus dalam Undang-Undang dan lazim dipraktikkan oleh perusahaan di
negara-negara maju seperti AS, Eropa Barat dan Eropa Timur. Bahkan di negara-negara
tersebut sudah banyak perusahaan yang 50%-100% sahamnya dikuasai oleh pekerja.
Kinerja perusahaan tersebut membaik dengan signifikan, yang otomatis mencerminkan
peningkatan kesejahteraan pekerja selaku pemilik perusahaan.
Faktor Subjektif Realisasi ESOP
Menilik tersedianya berbagai faktor obyektif yang mendukung, tetapi mengapa
konsep saham untuk pekerja (ESOP) –apalagi untuk kaum miskin- seolah masih menjadi
barang mewah di negeri kita? Mengapa beberapa faktor objektif yang seharusnya dapat
menjadi faktor pendukung justru menghambat demokratisasi di tempat kerja? Jawabannya
sedikit banyak dapat ditemukan melalui telaah faktor subjektif yang ada. Alih-alih
mendukung, faktor subjektif yang ada lebih banyak mengarah pada skeptisme dan
pengabaian arti pentingnya demokratisasi perusahaan melalui ESOP di Indonesia..
Pemerintah dan DPR belum menampakkan keberpihakan nyata. Justru produk
hukum dan kebijakan yang kurang sejalan dengan agenda tersebutlah yang dibuat.
Misalnya saja, liberalisasi ekonomi dan privatisasi yang diminta Bank Dunia, IMF, dan
korporasi transnasional telah dipenuhi melalui pembuatan UU neoliberal yang tidak
mengarah pada ESOP dan demokratisasi perusahaan. Pemerintah makin gencar melakukan
privatisasi BUMN dan aset strategis nasional yang praktiknya selama ini menyebabkan
konsentrasi kepemilikan perusahaan pada pemodal besar (asing).
Komitmen pemegang saham umumnya baru sebatas pemberian saham kepada
beberapa lapis atas manajemen perusahaan. Pada sisi pekerja pun kiranya masih muncul
kegamangan terhadap perjuangan ESOP. Saham untuk pekerja seolah masih berupa mimpi
karena tuntutan mereka akan upah yang layak pun masih jauh panggang dari api. Banyak
2
pekerja yang berpikir ”masih untung dapat pekerjaan di saat jutaan orang masih
menganggur”. Terlebih tekanan pemilik perusahaan makin mengancam kelangsungan
pekerjaan mereka melalui pemberlakuan sistem kontrak, outsourcing, dan sistem upah
fleksibel. Kepemilikan saham seolah masih dianggap barang mewah, tak terjangkau oleh
pekerja Indonesia.
Misi, Aksi, dan Potensi ESOP
Berangkat dari faktor objektif dan masalah subjektif di atas, kiranya yang
dibutuhkan saat ini adalah kerja keras untuk menyadarkan perlunya perluasan kepemilkan
saham oleh pekerja (ESOP). Kesadaran kolektif perlu dibangun untuk meyakinkan publik
bahwa kepemilikan saham oleh pekerja mengandung setidaknya lima peran (misi) strategis.
Pertama, realisasi amanat konstitusi utamanya Pasal 33 UUD 1945. Kedua, cara untuk
merombak ketimpangan relasi (struktur) produksi dan alokasi dalam perusahaan. Ketiga,
upaya untuk mempertahankan perusahaan dari pengambil-alihan oleh korporasi (investor)
luar negeri. Keempat, cara optimalisasi sumber keuangan (permodalan) domestik. Kelima,
sebagai solusi bagi peningkatan motivasi, tanggungjawab, dan produktivitas pekerja dan
perusahaan secara keseluruhan.
Stakeholder perusahaan perlu diyakinkan bahwa terdapat berbagai pola transformasi
kepemilikan saham oleh pekerja yang sangat mungkin diterapkan. Di samping itu, juga
tersedia cukup potensi (sumber finansial) untuk merealisasikannya. Alternatif pelepasan
saham kepada pekerja di antaranya adalah berupa pemberian gratis, pembelian langsung,
hak opsi saham, dan pola khas lainnya. Khusus dalam bentuk (pola) pembelian saham,
mekanisme pembayarannya dapat saja melalui lembaga yang ditunjuk pekerja (Trustee),
potong gaji langsung, intermediasi perbankan, atau mekanisme lain yang disepakati
bersama.
Sumber dana potensial dalam negeri misalnya berasal dari dana pekerja, dana
pensiun, dan dana pihak ketiga (tabungan) perbankan yang baru tersalur baru 60%-nya. Jika
sebagian saja sumber dana ini diatur untuk membiayai perluasan kepemilikan saham oleh
pekerja maka hasilnya akan luar biasa. Bukan sekedar kesejahteraan pekerja yang akan
meningkat, namun juga harkat dan martabat sebagai manusia dan bangsa yang akan
terangkat. Dengan begitu, mimpi untuk menjadikan bangsa Indonesia bukan sekedar
sebagai bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa pun akan menjadi nyata. Semoga.
3
Download