BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan hidup manusia adalah melakukan pernikahan dan menjalin
hubungan dengan lawan jenis untuk dapat meneruskan keturunan (reproduksi).
Dalam proses reproduksi, mengharuskan seorang pria dan wanita melakukan
hubungan seksual sehingga terjadi proses pembuahan sel telur oleh sel sperma
(Yakubu et al., 2007). Saat ini proses reproduksi tidak hanya untuk meneruskan
keturunan, tetapi merupakan suatu kebutuhan untuk memenuhi hasrat seksual
manusia. Kepuasan setiap pasangan merupakan indikator dari hubungan seksual
yang dilakukan dan dapat mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga.
Sejalan dengan bertambahnya umur dan rutinitas yang padat, daya
kehidupan seksual seseorang akan mengalami penurunan. Seorang pria seringkali
mengalami gangguan seksual akibat pengaruh penyakit kronik, merokok, stress,
penyalahgunaan obat, dan pola hidup yang tidak sehat sehingga dapat
menurunkan hasrat dalam melakukan hubungan seksual. Akibat adanya
penurunan hasrat seksual menyebabkan salah satu pasangan tidak terpuaskan
sehingga akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Ada berbagai cara yang
dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan seksual tersebut seperti fisioterapi,
operasi, dan penggunaan obat-obatan. Saat ini banyak obat-obat peningkat gairah
seksual manusia (Aprodisiaka) yang beredar merupakan obat-obat sintetik seperti:
Viagra (sildenafil sitrat), proviron (Mesterolone / 1-methyl dihydrotestosterone),
1
2
klomifen (clomiphene citrate), (ISFI, 2009). Kontraindikasi pemakaian
sildenafil sitrat (Viagra) adalah pasien yang menggunakan preparat nitrat, adanya riwayat
stroke, infark miokard, hipotensi, penyakit degenaratif retina dan obat yang membuat
waktu paruh sildenafil menjadi lebih panjang (Susanto, 2001). Oleh karena itu obat-
obatan peningkat gairah seksual yang berasal dari tanaman dapat menjadi solusi
yang dianggap lebih aman.
Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, salah
satunya adalah tanaman obat tradisional. Tanaman obat tradisional telah
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam beberapa pengobatan dan telah
dilestarikan secara turun-temurun. Saat ini obat tradisional mengalami
perkembangan semakin meningkat, terlebih dengan munculnya sikap kembali ke
alam (back to nature). Hal ini mendorong penggunaan produk obat herbal sebagai
pilihan alternatif dalam menjaga kesehatan. Selain karena pengetahuan turuntemurun dari nenek moyang, juga banyak anggapan bahwa obat alam relatif lebih
aman dari efek samping jika dibandingkan dengan obat sintetik.
Penggunaan bahan-bahan dari alam sebagai produk obat herbal harus
didukung oleh bukti-bukti ilmiah agar khasiat dan keamanannya dapat
dipertanggungjawabkan. Salah satu tanaman yang dapat digunakan masyarakat
secara turun-temurun adalah krangean atau ki lemo yang dikenal dengan nama
ilmiah Litsea cubeba (Lour). Krangean merupakan salah satu tumbuhan aromatis,
karena hampir semua bagian tumbuhan ini beraroma khas dan mengandung
minyak atsiri (Kayang et al., 2009). Banyak pengobatan-pengobatan tradisional
3
yang memanfaatkan tanaman krangean, tidak hanya di Indonesia tetapi di negaranegara asia yang lain juga telah memanfaatkannya.
Litsea cubeba telah digunakan sebagai penghangat dan pereda rasa sakit
lebih dari ratusan tahun silam dalam Traditional Chinese Medicine (TCM) (Song
et al., 2000). Di Vietnam, Kamboja, dan Laos, dekokta dari tanaman ini
digunakan untuk menangani gangguan mental seperti hysteria dan gampang lupa
(Wiart, 2006). Sedangkan di Indonesia, secara empirik minyak kulit batang
krangean
untuk
obat
kejang
Radjakmangunsudarso,1968).
urat
Masyarakat
atau
dayak
otot
(Mardisiwojo
Kenyan
di
dan
Kalimantan
memanfaatkan batang dan buah untuk rempah-rempah dan di Jawa Timur,
krangean (adem ati) kulit batangnya digunakan untuk parem dan buahnya sebagai
obat batuk (Tyas et al., 1999). Senyawa lauratanin dalam krangean telah terbukti
dapat menginduksi kejang pada tikus (Chen et al., 1994).
Secara tradisional banyak tanaman yang berada di Indonesia telah
dimanfaatkan sebagai aprodisiaka. Tanaman-tanaman tersebut telah diteli dan
diuji untuk mengetahui aktivitas dan efek yang ditimbulkan. Tanaman obat yang
digunakan sebagai aprodisiaka pada umumnya mengandung komponen aktif
seperti senyawa turunan saponin, alkaloid, tannin, dan senyawa lain yang secara
fisiologis dapat menguatkan tubuh dan melancarkan peredaran darah pada sistem
saraf pusat atau sirkulasi darah tepi (Khomsan, 2007). Tanaman-tanaman obat
yang memiliki efek sebagai aprodisiaka diantaranya cabe jawa, pasak bumi,
ginseng, purwoceng, dan lain sebagainya. Krangean merupakan salah satu
tumbuhan yang digunakan secara tradisional dan bersifat turun-temurun sebagai
4
aprodisiaka oleh masyarakat di pulau jawa terutama di daerah Tawangmangu dan
Karang Anyar (Pramono, 2013). Buah krangean yang tumbuh di bumi Indonesia
telah diujicobakan pada binatang dan terbukti mampu meningkatkan libido. Hasil
penelitian para ahli botani dan farmasi ini menyatakan buah krangean saat ini
masih dalam proses riset (Trihono, 2012). Hal ini memungkinkan jika kulit batang
krangean juga memiliki efek sebagai aprodisiaka sehingga dapat digunakan untuk
menunjang kesehatan dan kebutuhan manusia.
A. Rumusan Masalah
1. Apakah pemberian berulang ekstrak etanolik kulit batang krangean pada tikus
jantan galur Wistar memiliki efek aprodisiaka?
2. Seberapa besar efek peningkatan libido pemberian berulang ekstrak etanolik
kulit batang krangean dibandingkan dengan ekstrak etanolik serbuk buah cabe
jawa yang memiliki efek sebagai tanaman aprodisiaka?
3. Bagaimanakah pengaruh pemejanan berulang ekstrak etanolik kulit batang
krangean terhadap kuantitas spermatozoa dan organ reproduksi tikus jantan?
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek aprodisiaka dari ekstrak
etanolik kulit batang krangean dan untuk membandingkan efektivitasnya terhadap
ekstrak etanolik buah cabe jawa yang telah diketahui aktif sebagai aprodisiaka
serta untuk mengetahui pengaruh pemejanan berulang ekstrak etanolik kulit
batang krangean terhadap kuantitas spermatozoa dan organ reproduksi tikus
jantan.
5
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif terhadap pemakaian
obat aprodisiaka terutama dari bahan alam sehingga dapat mengurangi
ketergantungan akan obat aprodisiaka dari bahan sintetis yang selama ini beredar
di masyarakat.
D. Tinjauan Pustaka
1. Krangean (Litsea cubeba Pers.)
a. Sistematika tanaman
Tanaman krangean berhabitus pohon dengan tinggi ± 15m dan garis
tengah batang 6-20 cm. Batang tegak dan berkayu, berbentuk bulat dan
memiliki percabangan simpodial, serta berwarna
putih kotor. Tanaman
krangean memiliki tipe daun tunggal berbentuk lonjong, memiliki tepi rata
dengan ujung runcing. Pangkal daun meruncing dengan pertulangan menyirip,
panjang 10-14 cm dan lebar 7-9 cm berwarna hijau. Krangean memiliki tipe
bunga majemuk bentuk malay berkelamin dua. Kelopak berwarna hijau muda
dan berbentuk mangkok, berbulu halus dengan mahkota bulat melengkung,
kepala sari bulat, hijau kehitaman. Buah krangean berbentuk Bulat, keras, dan
berwarna hitam. Tanaman krangean memiliki biji bulat, putih kotor dengan
perakaran tunggang.
b.
Nomenklatur
Kedudukan tanaman krangean dalam kategori taksa yang dirunut dari
Inventaris Tanaman Obat Indonesia (Hutapea, 1994) adalah sebagai berikut:
6
Sinonim
: Litsea citrata BI. ; Tethrantera citrata Ness. ; T.
polyantha Wall.
Klasisfikasi
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Rhamnales
Suku
: Lauraceae
Marga
: Litsea
Spesies
: Litsea cubeba Pers.
Nama daerah
: Kilemo (sunda) krangean (jawa)
Penyebaran
: Tersebar di seluruh jawa pada ketinggian 700-2300 m
dpl.
c. Khasiat
Kulit batang krangean berkhasiat sebagai penghangat dan pereda rasa
sakit lebih dari ratusan tahun silam dalam Traditional Chinese Medicine
(TCM) (Song et al., 2000). Di Vietnam, Kamboja, dan Laos, dekokta dari
tanaman ini digunakan untuk menangani gangguan mental seperti hysteria dan
gampang lupa (Wiart, 2006). Sedangkan di Indonesia, secara empirik minyak
kulit batang krangean untuk obat kejang urat atau otot (Mardisiwojo dan
Radjakmangunsudarso, 1968). Ekstrak metanol kulit batang krangean dapat
menghambat katalis mieloperoksidase yang menyebabkan terjadinya inflamasi
(Choi dan Hwang, 2004). Senyawa lauratanin dalam krangean telah terbukti
dapat menginduksi kejang pada tikus (Chen et al., 1994).
7
d. Kandungan kimia
Kulit batang dan daun krangean mengandung saponin, flavonoida,
minyak atsiri dan tanin. Kandungan minyak atsiri yang ada dalam krangean
antara lain: sitral, limonen, sabinen, metil heptanon, sitronelal, α-cis-osimen,
3,7-dimetil-1,6-oktadien-3-ol dan n-transnerolidol (Wang et al., 1999). Dalam
krangean terdapat tanin dan alkaloid seperti: laurotetanin, litebamin, (+)N(metoksi-karbonil)-N-norlauroskolzin,
(+)-N-(metoks-karbonil)-norglausin
(Feng et al., 2009).
2. Cabe jawa (Piper retrofractumVahl.)
a. Sistematika tanaman
Tanaman Cabe Jawa berhabitus semak menjalar dengan panjang ± 12
m, bentuk batang bulat, berkayu, membelit, beralur, dan beruas, serta memiliki
warna hijau. Tipe daun tunggal dan berbentuk lonjong, pangkal tumpul, ujung
runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan atas licin, permukaan
bawah berbintik-bintik, dengan panjang 8,5-20 cm lebar 3-7 cm, berwarna
hijau. Memiliki tipe bunga majemuk, bentuk bulir dengan panjang tangkai 0,52 cm, benang sari dua kadang tiga, pendek, kuning, putik 2-3 buah, dan
berwarna hijau kekuningan. Bentuk buah Cabe Jawa lonjong saat masih muda
hijau setelah tua merah. Biji bulat pipih dan berwarna coklat keputih-putihan
memiliki perakaran tunggang, putih pucat.
b. Nomenklatur
Kedudukan tanaman cabe jawa dalam kategori taksa yang dirunut dari
Inventaris Tanaman Obat Indonesia (Hutapea, 1994) adalah sebagai berikut:
8
Sinonim
: Chavica labillardierei Miq. ; C. maritime Miq. ;
C.officinarum Miq. ; Piper officinarum (Miq.) DC. ; P.
longum BI.
Klasisfikasi
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Piperales
Suku
: Piperaceae
Marga
: Piper
Spesies
: Piper retrofractum Vahl.
Nama daerah
: Ladang panjang (Melayu) Cabe jawa (Jawa) Cabai
solah (Madura)
c. Khasiat
Penggunaan buah cabe jawa oleh masyarakat yaitu sebagai analgetik,
antipiretik,
mencegah mulas,
lemah syahwat (aprodisiaka), stimulan,
karminatif, diaforetik, tekanan darah rendah, sakit gigi, migrain, influenza,
sakit kuning, demam, anti bakteri, menghangatkan juga menyegarkan tubuh,
pemakaian luar untuk encok dan sesudah melahirkan (BPOM, 2003; Dalimarta,
1999; Muslisah, 2001). Kandungan minyak atsiri buah cabe jawa berefek
sebagai anti bakteri, rasa pedas piperinnya menghangatkan dan memperlancar
perederan darah (Supriadi, 2001).
Tanaman cabe jawa diketahui dapat meningkatkan stamina tubuh
karena memiliki efek stimulan terhadap sel-sel saraf. Efek hormonal ini
9
dikenal sebagai aprodisiaka. Berdasarkan penelitian pemberian berulang fraksi
tak larut heksan ekstrak etanolik buah cabe jawa dapat berefek sebagai
aprodisiaka dengan meningkatkan frekuensi introduction, climbing, dan coitus
pada tikus jantan. Sedangkan pemberian berulang fraksi heksan tidak
memberikan efek aprodisiaka berupa peningkatan introduction, climbing, dan
coitus pada tikus jantan. Pemberian berulang fraksi tak larut heksan ekstrak
etanolik buah cabe jawa berbeda tidak bermakana dengan pemberian berulang
serbuk buah cabe jawa (Dwiprastyo, 2010).
d. Kandungan kimia
Cabe jawa mengandung senyawa kimia seperti piperin, kavisin,
piperidin, isobutildeka-trans-2-trans-4-dienamida, saponin, polifenol, minyak
atsiri,
asam
palmitat,
asam
tetrahidropiperat,
1-undesilenil-3,4-
metilendioksibenzena dan sesamin (Depkes RI, 2010). Buah cabe jawa
mengandung minyak atsiri 0,6-0,7 % alkaloid piperin dan suatu senyawa amida
yang mirip dengan senyawa yang terkandung dalam Piper longumin yaitu
piplartin, piplasterin, dan sesamin (Sudarsono et al., 1996).
3. Simplisia
a. Pengertian simplisia
Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain simplisia
merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa bahan nabati,
hewani, dan partikel atau mineral (Depkes RI, 1986).
10
Simplisia krangean berupa kulit batang yang telah dikeringkan,
berwarna kecoklatan, berbau khas aromatik, rasa agak pedas dan agak pahit.
Potongan kulit berbentuk gelendong atau pipa, menggulung membujur,
melengkung atau datar, tebal 0,5-1,5 mm. Permukaan luar kasar tidak
beraturan, warna coklat muda sampai coklat kehitaman. Sangat mudah patah,
bekas patahan tidak rata (Depkes RI, 1980).
b.Penyarian simplisia
Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dalam bahan
yang tidak dapat larut dalam pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung
zat aktif yang dapat larut dan zat yang tidak larut seperti serat, karbohidrat,
protein, dan lain-lain. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah
kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan
penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut (Depkes RI, 1986).
Penyarian dipengaruhi oleh: Derajat kehalusan serbuk yang terdapat
mulai dari pusat butir serbuk simplisia sampai ke permukaannya, maupun pada
perbedaan konsentrasi yang terdapat lapisan batas, sehingga suatu titik akan
dicapai, oleh zat-zat yang tersari jika ada daya dorong yang cukup untuk
melanjutkan pemindahan masa. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin
besar daya dorong tersebut sehingga penyarian berjalan makin cepat (Depkes
RI, 1986).
11
1. Cairan penyari
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak factor.
Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria berikut ini:
a. Murah dan mudah diperoleh
b. Stabil secara fisika dan kimia
c. Bereaksi netral
d. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
e. Selektif, hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki
f. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat
g. Diperbolehkan oleh peraturan
Berikut adalah tabel jenis cairan penyari dan jenis kandungan kimia yang
dapat terlarut didalamnya:
Tabel 1. Tabel jenis cairan penyari dan jenis golongan senyawa yang terlarut
Jenis cairan penyari
Jenis / golongan kandungan kimia
Heksan, Petroleum
eter, Benzene, Toluen
Mono dan seskuiterpen (komponen minyak atsiri), di dan triterpen,
lemak, resin, steroid, Flavon polimetoksi, klorofil
Kloroform,
diklorometana
Semua yang di atas, aglikon antrakinon, kumarin, alkaloid bebas, fenol
bebas kurkuminoid,
Dietil eter
Semua yang di atas, aglikon flavonoid polihidroksi, asam fenolat
Etil asetat
Semua yang di atas, flavonoid monoglikosida, kuasinoid, glikosida lain
Etanol, methanol,
isopropanol, butanol
Semua yang larut di atas, flavonoid diglikosida, tanin, saponin
Air panas
Semua yang larut di atas mulai dietil eter, flavonoid, asam amino
poliglikosida, garam alkaloid, mono dan disakarida, dan protein.
(Pramono, 2013)
12
Metode penyarian itu sendiri dapat dibedakan menjadi: infundasi,
maserasi, perkolasi, dan penyarian berkesinambungan (Depkes RI, 1986).
2. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zak aktif di dalam sel dengan yang diluar sel maka
larutan yang terpekatkan didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga
terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel
(Depkes RI, 1986).
Penyarian dengan metode maserasi memerlukan pengadukan secara
berkala agar tidak terjadi kejenuhan penyari pada lapisan antara cairan penyari
dan bahan yang disari. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi yaitu cara
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah dilakukan.
Kerugian cara maserasi yaitu waktu pengerjaan lama dan penyarian kurang
sempurna (Depkes RI, 1986)..
Remaserasi adalah pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama dan seterusnya, dengan kata lain adalah replikasi
dengan pelarut yang sama dengan jumlah sama terhadap bahan (Depkes RI,
2000).
13
3. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang seuai, kemudian hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah
ditentukan
(Depkes
RI,
1995).
Penguapan
(pemekatan)
merupakan
meningkatnya jumlah bagian solut (senyawa terlarut) secara penguapan pelarut
tanpa sampai menjadi kondisi kering, namun ekstrak hanya menjadi kental atau
pekat (Depkes RI, 2000).
4. Susut pengeringan
Susut pengeringan merupakan kadar bagian yang menguap dari suatu
zat. Kecuali dinyatakan lain, sebanyak 1 g sampai 2 g zat ditetapkan pada
temperatur 1050C selama 30 menit atau sampai bobot tetap. Sebelum setiap
pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam eksikator
hingga suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan,
pengeringan dilakukan pada suhu antara 50C dan 100C dibawah suhu leburnya
selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktu yang
ditentukan atau hingga bobot tetap (Depkes RI, 1989).
Tujuannya adalah untuk memberikan batas maksimal (rentang)
besarnya senyawa yang hilang selama proses pengeringan. Nilai atau rentang
yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Depkes RI,
2000).
14
4. Kromatografi
Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum
dan paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat digunakan
untuk analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif, atau preparatif dalam bidang
farmasi, lingkungan, industry, dan sebagainya. Kromatografi merupakan suatu
teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase
gerak (mobile phase) (Gandjar dan Rohman, 2013).
a. Kromatografi lapis tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar,
selain kromatografi kertas dan elektrolisis. Berbeda dengan kromatografi
kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada
kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform)
pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat
almunium, atau pelat plastik. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut akan
bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan
secara
mekanik
pengembangan
(ascending),
secara
atau
menurun
karena
pengaruh
(descending).
grafitasi
Dalam
pada
pelaksannan
kromatografi lapis tipis dapat dilakukan identifikasi pemisahan komponen
dengan deteksi pereaksi warna, fluoresensi, atau dapat dengan radiasi
menggunakan sinar ultra violet (Gandjar dan Rohman, 2013).
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran
kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. semakin kecil ukuran rata-rata
15
partikel fase diam dan semakin sempit kisarannya untuk fase diam, maka
semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya. Penjerap
yang paling sering digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, sementara
mekanisme yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi (Gandjar dan
Rohman, 2013).
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering
dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. System
yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi
campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga
pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gandjar dan Rohman, 2013).
b. Pengembangan KLT
Sampel senyawa uji diaplikasikan pada fase diam dalam bentuk totolan
kecil atau pita. Fase gerak akan melewati fase diam dengan gaya kapilaritas.
Komponen-komponen suatu senyawa akan bergerak karena adanya fase gerak
dengan jarak tempuh yang berbeda pada fase diam, biasanya disebut
pengembangan kromatogram. Perbedaan jarak tempuh setiap komponen
senyawa disebabkan karena afinitas yang berbeda dari masing-masing
komponen dengan fase diam atau fase gerak. Interaksi yang mungkin terjadi
pada pemisahan senyawa dengan metode kromatografi diantaranya ikatan
hidrogen, transfer muatan atau ikatan Van der Waals (Sherma, 1996).
16
c. Deteksi bercak
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak
berwarna. Untuk penentuanya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun
biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak
dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi
jelas. Cara fisika yang digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan
pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar
ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak
akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan
penyerapnya akan diberi indicator yang berfluoresensi, dengan demikian
bercak akan kelihatan hitam sedangkan latar belakangnya akan terlihat
berfluoresensi (Gandjar dan Rohman, 2013).
d. Analisis kualitatif kromatografi lapis tipis (KLT)
KLT digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik terutama
dalam bidang biokimia, farmasi, klinis, forensik, baik untuk analisis kualitatif
maupun kuantitatif. Penggunaan umum KLT adalah untuk ; menentukan
banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi senyawa, memantau
berjalannya suatu reaksi, dan menentukan efektifitas pemurnian.
KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter
KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa
dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi
KLT yang sama. Untuk meyakinkan identifikasi dapat dilakukan dengan
17
menggunakan lebih dari 1 fase gerak dan jenis pereaksi semprot. (Gandjar dan
Rohman,2013).
5. Tikus putih
Tikus putih yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
galur Wistar yang mempunyai syarat sehat dan normal. Tikus putih relatif
resisten terhadap infeksi dan tidak bersifat fotofobik seperti halnya mencit.
Aktivitas tikus putih tidak mudah terganggu oleh kehadiran manusia sehingga
pada pengamatan dapat diamati langsung. Selain itu, tikus putih lebih cepat
dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman dan umumnya lebih
mudah untuk berkembang biak. Perkawinan tikus putih dapat dilakukan secara
monogami maupun poligami (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
a. Tikus jantan
Reproduksi pada tikus jantan diiringi oleh turunnya testis ke skrotum
dan diikuti dengan mulainya spermatogenesis. Sekresi Gonadotropin releasing
hormon (GnRH) menghasilkan level sekresi testosteron yang meningkat
selama pubertas. LH (Lutenizing Hormon) menstimulasi sel leydig untuk
meningkatkan produksi testosteron (Suckow et al., 2006). Sistem reproduksi
pada hewan terdiri atas organ reproduksi, saluran reproduksi, dan kelenjar seks
aksesoris. Pada mamalia jantan, organ reproduksi utama berupa sepasang testis
yang terdapat didalam skrotum. Saluran reproduksi pada mammal jantan
berfungsi sebagai jalur transportasi sperma (semen). Kelenjar seks aksesoris
seperti vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar bulbo uretralis
18
(Junqueira dan Carniero, 1998). Testis sebagai organ reproduksi utama
memiliki banyak fungsi ganda, yaitu selain sebagai kelenjar reproduksi untuk
menghasilkan gamet (spermatozoa) juga merupakan kelenjar yang mampu
menghasilkan hormon seks pada jantan terutama testosteron.
b. Tikus betina
Tikus betina siap dikawinkan jika tikus sedang pada fase estrus (Smith
dan Mangkoewidjojo, 1988). Siklus estrus merupakan periode dimana betina
menerima pejantan secara seksual dan mengijinkan terjadinya kopulasi
(Suckow et al., 2006). Siklus estrus terjadi setiap 4-5 hari dan segera setelah
beranak. Biasanya periode estrus berlangsung sekitar 12 jam dan estrus lebih
sering terjadi pada malam hari dibanding siang hari. Cara mengetahui stadium
siklus estrus tikus betina adalah dengan memeriksa sel-sel dinding vagina tikus
pada sediaan apus vagina (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Proses siklus estrus dibedakan menjadi 2 fase yaitu fase folikular dan
fase luteal. Fase folikular adalah fase pembentukan folikel sampai masak,
sedangkan fase luteal adalah fase setelah ovulasi kemudian terbentuknya
korpus luteum dan sampai mulainya siklus. Siklus estrus terdiri dari 4 fase
yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Setiap fase dalam siklus
ditentukan berdasarkan bentuk sel epitel pada pengamatan sitologi vagina tikus
betina (Spornitz et al., 1999).
19
Secara keseluruhan siklus estrus tikus betina dapat dilihat pada gambar
1 dibawah ini:
Gambar 1. Siklus estrus pada tikus betina (Eroschenko, 2008)
Berikut merupakan alat-alat reproduksi pada tikus jantan maupun
tikus betina yang ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Organ Reproduksi Tikus Jantan dan Betina (Anonima, 2009)
6. Organ Reproduksi Pria
Organ reproduksi pria terdiri dari penis, testis dalam kantong skrotum,
sistem duktus yang terdiri dari epididimis, vas deferens, duktus ejakulatorius
dan uretra serta glandula asesoris yang terdiri dari vesikula seminalis, kelenjar
bulbouretralis dan kelenjar prostat. Struktur organ reproduksi pria dapat dilihat
pada gambar 3:
20
Gambar 3. Organ reproduksi pria (Anonima, 2012)
Spermatogenesis atau pembentukan sperma terjadi di tubulus
seminiferus. Bagian kepala berhubungan dengan duktus seminiferus dari testis
dan bagian ekor terus berlanjut ke vas deferens. Vas deferens adalah duktus
ekskretorius testis yang membentang sampai ke duktus vesikula seminalis.
Duktus ejakulatoris selanjutnya bergabung menjadi satu dengan uretra yang
merupakan saluran keluar bersama baik sperma maupun kemih (Anderson dan
Wilson, 1995).
7. Spermatogenesis
Spermatogenesis atau proses pembentukan sperma yang terjadi di
dalam testis, tepatnya pada tubulus seminiferus. Spermatogenesis mencakup
pematangan sel epitel geminital melalu proses pembelahan dan diferensiasi sel
yang
bertujuan
untuk
membentuk
sperma
fungsional.
Pada
proses
spermatogenesis, spermatogonium akan membelah menjadi spermatosit primer,
21
kemudian menjadi spermatosit sekunder, kemudian menjadi spermatozoa
(Gambar 4).
Gambar 4. Tahap-tahap Spermatogenesis (Rosenfiel dan Fathalla, 1997)
Proses ini distimulasi oleh beberapa hormon seperti testosteron, LH
(Luteinizing Hormone), FSH (Follicle Stimulating Hormone), estrogen dan
hormon pertumbuhan (Guyton dan Hall, 1997). Testosteron merupakan suatu
steroid C19 dengan gugus –OH pada posisi 17. Hormon ini hasil sintesis dari
kolesterol dalam sel Leydig. Sekresi testosteron dibawah kendali LH dan
mekanisme LH dalam merangsang sel Leydig melibatkan peningkatan AMP
siklik. Efek psikis testosteron sangat sulit ditentukan terutama pada manusia.
Namun pada hewan percobaan, adanya androgen dapat meningkatkan libido
(Ganong, 1983).
22
8. Tahap-tahap aksi seksual pria
Proses seksual laki-laki normal dan secara fungsional dibagi menjadi
lima keadaan yang saling bertautan yakni libido, ereksi, ejakulasi, orgasme,
dan detumescence (hilangnya ereksi). Setiap keadaan memiliki ciri yang
berbeda dengan keadaan yang lain. Libido diartikan sebagai kebutuhan biologis
akan aktivitas seksual dan diekspresikan sebagai perilaku pencarian seks.
Intensitas dari libido bervariasi tergantung individu (Yakubu et al., 2007).
Libido ini merupakan fenomena kompleks yang menyangkut pengaruh biologis
internal dan eksternal serta faktor psikologis syaraf.
Ereksi adalah keadaan dimana semakin besar, memanjang dan padatnya
organ seksual sehingga cukup untuk melakukan penetrasi ke dalam vagina.
Ereksi merupakan hasil dari fisiogenik berganda dan stimulasi sensor yang
ditimbulkan akibat imajinasi, visual, pendengaran, penciuman dan rangsangan
alat kelamin (Yakubu et al., 2007). Ereksi disebabkan oleh impuls saraf
parasimpatis yang menjalar dari bagian sakral medulla spinalis melalui nervus
pelvikus
menuju
penis.
Saraf-saraf
parasimpatis
ini
diyakini
akan
menghasilkan nitrit oksida yang melebarkan pembuluh arteri pada penis
dengan terbendungnya sebagian aliran vena sehingga terjadi tekanan darah
tinggi dalam sinusoid yang menyebabkan penggembungan pada jaringan
erektil sehingga penis menjadi memanjang dan keras (Guyton dan Hall, 1996).
23
Gambar 5. Jaringan erektil penis (Anonima, 2008)
Lubrikasi adalah pengeluaran lendir dari kelenjar uretra dan kelenjar
bulbouretralis. Lendir ini akan mengalir melalu uretra selama berhubungan
seksual untuk membantu melubrikasikan selama coitus (Guyton dan Hall,
1996).
Emisi adalah puncak aksi seksual pria yang diawali dengan kontraksi
pada vas deferens dan ampula yang menyebabkan keluarnya sperma ke dalam
uretra interna. Selanjutnya, terjadi kontraksi otot pelapis kelenjar prostat yang
diikuti dengan kontraksi vesikula seminalis yang mengeluarkan cairan prostat
dan cairan seminal kemudian mendorong sperma lebih jauh. Semua cairan ini
bercampur menjadi satu dalam uretra interna dengan mukus yang disekresikan
oleh kelenjar bulbouretralis dan membentuk semen atau mani (Guyton dan
Hall, 1996).
24
Ejakulasi merupakan proses pengeluaran cairan sperma dari uretra pada
saat orgasme. Hal ini terjadi karena refleks spinalis dua bagian yang
melibatkan emisi (semen bergerak ke dalam uretra) dan ejakulasi sebenarnya
yaitu dorongan semen keluar dari uretra pada saat orgasme. Semen atau mani
merupakan hasil ejakulasi (ejakulat) yang berasal dari seorang pria berbentuk
cairan kental dan keruh yang berisi spermatozoa, dan kelenjar prostat serta
kelenjar lainnya (Ganong, 1983).
Orgasme merupakan puncak dari nafsu seksual. Semua periode dari
emisi dan ejakulasi merupakan bagian dari orgasme pria (Yakubu et al., 2007).
Resolusi adalah proses akhir dari tahap aksi seksual pria yaitu hilangnya gairah
seksual secara keseluruhan selama 1-2 menit kemudian diikuti dengan
hilangnya ereksi (Guyton dan Hall, 1996).
9. Gangguan-gangguan seksual pria
Penggunaan obat-obat aprodisiaka merupakan suatu akibat dari
banyaknya gangguan seksual pada seseorang. Gangguan seksual
ini
disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah psikologi. Gangguan
seksual yang terjadi pada pria seperti: disfungsi erektil atau impotensi, masalah
ejakulasi , gairah seksual yang rendah, dan lain-lainnya.
Disfungsi erektil atau impotensi adalah suatu keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup
untuk menyelesaikan coitus. Ejakulasi primer merupakan keadaan ketika pria
tidak dapat secara sadar mengontrol refleks ejakulasi dan sekali terangsang,
pria akan mengalami orgasme sebelum atau segera setelah masuk liang vagina
25
(intromisi) dan ejakulasi lambat merupakan suatu keadaan dimana terjadi
penghambatan introvolunter reflex ejakulasi berbagai respon mencakup
ejakulasi okasional melalui hubungan seksual atau stimulasi mandiri atau
ketidakmampuan komplit untuk ejakulasi didalam segala situasi ((Yakubu et
al., 2007). Gangguana-gangguan seksual yang dialami seorang pria dapat
menyebabkan gairah seksual atau libido yang rendah dimana sedikitnya gairah
untuk melakukan hubungan seksual atau hilangnya fantasi seksual yang dapat
bersifat permanen.
Penyebab terjadinya gangguan seksual dapat berupa faktor psikogenik
maupun faktor organik. Penyebab faktor psikogenik antara lain seperti: ansietas
(kecemasan), depresi, keletihan dan tekanan ketika berhubungan seksual.
Penyebab
faktor
organik
termasuk
kelainan
neurologis
(neuropati,
parkinsonisme), penyakit vaskuler oklusif, penyakit endokrin (diabetes,
hiperteroidisme, hipoteroidisme, tumor hipofisis dan hipogonadisme disertai
defisiensi testosterone), gagal ginjal kronis, sirosis, kondisi hematologis
(penyakit Hodgkin, leukimia), trauma pada pelvis atau area genital, obatobatan (alkohol, preparat psikoaktif, antikolinergik) dan penyalahgunaan obat
(Brunner dan Suddarth, 2002).
10. Aprodisiaka
Aprodisiaka diambil dari nama dewi kecantikan, seksual dan cinta
Yunani yakni aphrodite yang menurut mitologi kuno Romawi diartikan
sebagai dewi Venus yang dalam mitos berarti semua bahan yang dapat
membangkitkan gairah seksual (erogenik). Sebagian aprodisiaka juga
26
meningkatkan aspek lain dari pengalaman sensori seperti sentuhan, sinar, bau,
rasa dan pendengaran sehingga peningkatan sensori ini berkontribusi terhadap
munculnya seksual dan kesenangan seksual.
Aprodisiaka dapat dideskripsikan sebagai suatu zat atau kandungan
yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan akan keinginan seksual.
Kebanyakan aprodisiaka juga meningkatkan aspek lain dari pengalaman indra
sensoris seperti sentuhan, rasa, bau, pendengaran dan cahaya. Peningkatan
fungsi sensoris ini tentunya berkontribusi besar terhadap timbulnya hasrat dan
kesenangan seksual.
Secara histori bahan-bahan yang digunakan sebagai aprodisiaka telah
dikarakteristikan secara luas sehingga dapat dibedakan berdasarkan pendekatan
budaya dan ilmiah. Pendekatan budaya atau non ilmiah didasarkan atas
keanekaragaman budaya yang berkembang seiring berjalannya waktu. Di
Negara Inggris memiliki keyakinan jika tanaman yang berbentuk seperti
bentuk kelamin mampu menghasilkan efek aprodisiaka misalnya asparagus dan
wortel. Lain halnya dengan Cina yang lebih mempercayai ginseng dan tanduk
badak yang memiliki bentuk tegak seperti alat kelamin sebagai aprodisiaka dari
penampakan bentuk luarnya dibanding dari kandungan kimia didalamnya
(Yakubu et al., 2007). Berikut merupakan aksi secara ilmiah dari aprodisiaka
dalam meningkatkan hasrat seksual:
1. Meningkatkan jumlah nutrisi. Sejalan dengan peningkatan nutrisi akan
mampu meningkatkan kesehatan penggunanya serta akan meningkat pula
kemampuan seksual dan libidonya. Contoh aprodisiaka ini adalah
27
penggunaan tanduk badak oleh masyarakat Cina yang ternyata
mengandung kalsium dan fosfor dimana kekurangan elemen ini akan
berakibat pada lemahnya otot dan kelelahan.
2. Berefek fisiologi spesifik seperti berpengaruh pada aliran darah, hubungan
seksual dan meningkatkan durasi saat beraktifitas seksual. Contoh obat
yang memiliki efek mempengaruhi fisiologi secara aktif dengan
memperpanjang waktu ereksi misalnya sildenafil sitrat (Viagra®) dan
yohimbine dari Pausinystalia yohimbe.
3. Aprodisiaka biologi aktif yang berefek fisiologis aktif secara alami.
Aprodisiaka jenis ini bekerja melewati sawar darah otak atau menstimulasi
dan merangsang pada area yang dapat menimbulkan gairah seksual.
Contohnya antara lain hormon dan berbagai macam neurotransmiter
(Yakubu et al., 2007).
E. Landasan Teori
Tanaman obat yang digunakan sebagai aprodisiaka pada umumnya
mengandung komponen aktif seperti senyawa turunan saponin, alkaloid, tannin,
dan senyawa lain yang secara fisiologis dapat melancarkan peredaran darah pada
sistem saraf pusat atau sirkulasi darah tepi (Khomsan, 2007). Lancarnya sirkulasi
darah tepi memberikan efek fisiologis pada saat terjadinya ereksi dimana pada
saat ereksi saraf pelvis membawa impuls parasimpatis yang akan mendilatasi
pembuluh darah region penis dan meningkatkan darah ke penis, sehingga
membesarkan korpus kavernosum (Guyton dan Hall, 1996).
28
Krangean secara turun-temurun telah dimanfaatkan sebagian masyarakat
jawa di daerah Tawangmangu dan Karang Anyar sebagai tanaman aprodisiaka
untuk meningkatkan gairah seksual (Pramono, 2013). Kandungan utama dalam
tanaman krangean adalah tanin, flavonoid, minyak atsiri dan alkaloid seperti:
laurotetanin,
litebamin,
(+)-N-(metoksi-karbonil)-N-norlauroskolzin,
(+)-N-
(metoks-karbonil)-norglausin (Feng et al., 2009). Kandungan minyak atsiri yang
ada dalam krangean antara lain: sitral, limonen, sabinen, metil heptanon,
sitronelal, α-cis-osimen, 3,7-dimetil-1,6-oktadien-3-ol dan n-transnerolidol (Wang
et al., 1999) .
Di Indonesia, secara empirik minyak kulit batang krangean untuk obat
kejang urat atau otot (Mardisiwojo dan Radjakmangunsudarso, 1968). Ekstrak
metanol kulit batang krangean dapat menghambat katalis mieloperoksidase yang
menyebabkan terjadinya inflamasi (Choi dan Hwang, 2004). Senyawa lauratanin
dalam krangean telah terbukti dapat menginduksi kejang pada tikus (Chen et al.,
1994). Berdasarkan artikel dalam surat kabar Suara Merdeka pada bulan
Desember 2012 buah krangean yang tumbuh di bumi Indonesia telah diujicobakan
pada binatang dan terbukti mampu meningkatkan libido. Hasil penelitian para ahli
botani dan farmasi ini menyatakan buah krangean saat ini masih dalam proses
riset (Trihono, 2012). Kandungan senyawa dan penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa ekstrak etanolik kulit batang krangean yang mengandung
senyawa lauratanin, minyak atsiri, alkaloid, tanin, dan senyawa lain sangat
memungkinkan untuk digunakan dalam bentuk sediaan farmasetik atau suplemen
yang dapat membantu regulasi sistem saraf pusat dan saraf tepi. Hal ini
29
memungkinkan jika kulit batang krangean juga memiliki efek sebagai aprodisiaka
sehingga dapat digunakan untuk menunjang kesehatan dan kebutuhan manusia.
F. Hipotesis
Pemejanan berulang ekstrak etanolik serbuk kulit batang krangean dapat
memberikan
efek
sebagai
aprodisiaka
dengan
meningkatkan
frekuensi
introduction, climbing dan coitus dan tidak mempengaruhi kuantitas spermatozoa
maupun organ reproduksi pada tikus jantan.
Download