FILM READING Perceptor : dr. Karyanto, Sp.Rad Disusun Oleh : Annisa Ratya, S.Ked 1118011011 KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG RUMAH SAKIT ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG 2016 Kasus 1 Identitas : 11-11-01 / 2599 Foto : Colon in Loop – Kontras Barium Proyeksi : AP Kualitas : Layak baca Uraian hasil dan kesan pemeriksaan : - Tampak bahan kontras mengisi rectum, colon sigmoid dan 1/3 proximal colon descendens, tampak filling defect pada 1/3 medial colon descendens, sepanjang 4 cm, batas tegas, tepi irregular yang membentuk gambaran - apple core. Tak tampak haustra pada colon descendens. Tampak kontras mengisi colon transversum dan colon ascendens, tampak haustra pada colon ascendens dan colon transversum, distribusi gas - intralumen tidak meningkat, diameter colon 4 cm. Tampak susunan tulang belakang baik, DIV tidak menyempit, spurs (+) pada vertebrae lumbal IV. Kesan : - Massa colon descendens susp. Ca. Colon 1/3 medial colon descenden Spondiloarthrosis VL – IV A. Definisi Kanker colorectal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa colon atau rectum. Kebanyakan kanker colorectal berkembang dari polip, oleh karena itu polypectomy colon mampu menurunkan kejadian kanker colorectal. Polip colon dan kanker pada stadium dini terkadang tidak menunjukkan gejala. Secara histopatologis, hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda. Tumor dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe pericolon dan mesocolon, dan melalui aliran darah, biasanya ke hati karena colon mengalirkan darah ke sistem portal. B. Etiologi Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker colorectal yaitu: a. Umur Kanker colorectal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak pada usia 60-70 tahun (lansia). Kanker colorectal ditemukan di bawah usia 40 tahun yaitu pada orang yang memiliki riwayat colitis ulseratif atau polyposis familial. b. Faktor Genetik Meskipun sebagian besar kanker colorectal kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan, namun faktor genetik juga berperan penting. Ada beberapa indikasi bahwa ada kecenderungan faktor keluarga pada terjadinya kanker colorectal. Risiko terjadinya kanker colorectal pada keluarga pasien kanker colorectal adalah sekitar 3 kali dibandingkan pada populasi umum. Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kanker colorectal diantaranya sindrom poliposis. Namun demikian sindrom poliposis hanya terhitung 1% dari semua kanker colorectal. Selain itu terdapat Hereditary NonPoliposis Colorectal Cancer (HNPCC) atau Syndroma Lynch terhitung 2-3% dari kanker colorectal. c. Faktor Lingkungan Kanker colorectal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting pada kejadian kanker colorectal. Risiko mendapat kanker colorectal Universitas Sumatera Utara meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker colorectal yang rendah ke wilayah dengan risiko kanker colorectal yang tinggi. Hal ini menambah bukti bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan berpengaruh pada karsinogenesis. d. Faktor Makanan Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker colorectal. Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan risiko timbulnya kanker colorectal sebesar 40% dibandingkan orang yang hanya mengkonsumsi serat 12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi daging merah (misal daging sapi, kambing) atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2 porsi atau lebih) akan mengalami peningkatan risiko kanker colorectal sebesar 35% dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per minggu. C. Diagnosis 1. Anamnesis yang teliti Meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik berupa diare ataupun konstipasi (change of bowel habit), perdarahan per anum (darah segar), penurunan berat badan, faktor predisposisi (risk factor), riwayat kanker dalam keluarga, riwayat polip usus, riwayat colitis ulserosa, riwayat kanker payudara/ovarium, uretero sigmoidostomi, serta kebiasaan makan (rendah serat, banyak lemak). 2. Pemeriksaan Fisik Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang air besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi. Semakin distal letak tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan karena semakin ke distal feses semakin keras dan sulit dikeluarkan akibat lumen yang menyempit, bahkan bisa disertai nyeri dan perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat bervariasi, merah terang, purple, mahogany, dan kadang kala merah kehitaman. Makin ke distal letak tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering disertai dengan lendir, kombinasi keduanya harus dicurigai adanya proses patologis pada colorectal. Selain itu, pemeriksaan fisik lainnya yaitu adanya massa yang teraba pada fossa iliaca dextra dan secara perlahan makin lama makin membesar. Penurunan berat badan sering terjadi pada fase lanjut, dan 5% kasus sudah metastasis jauh ke hepar. 3. Pemeriksaan laboratorium Meliputi pemeriksaan tinja apakah ada darah secara makroskopis/mikroskopis atau ada darah samar (occult blood) serta pemeriksaan CEA (carcino embryonic antigen). Kadar yang dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat meninggi pada tumor epitelial dan mesenkimal, emfisema paru, sirhosis hepatis, hepatitis, perlemakan hati, pankreatitis, colitis ulserosa, penyakit crohn, tukak peptik, serta pada orang sehat yang merokok. Peranan penting dari CEA adalah bila diagnosis karsinoma colorectal sudah ditegakkan dan ternyata CEA meninggi yang kemudian menurun setelah operasi maka CEA penting untuk tindak lanjut. 4. Double-contrast barium enema (DCBE) Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan Single contras procedure (barium saja) atau Double contras procedure (udara dan barium). Kombinasi udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail. Akan tetapi barium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih dari 1 cm). DCBE memiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar 96% dengan nilai prediksi negatif 98%. Metode ini kurang efektif untuk mendeteksi polips di rectosigmoid-colon. Angka kejadian perforasi pada DCBE 1/25.000 sedangkan pada Single Contras Barium Enema (SCBE) 1/10.000. Pada foto rontgen abdomen akan nampak gambarantumor yang menonjol ke dalam lumen dan menyebabkanpenyempitan lumen kolon yang sering disebut dengan gambaran “apple core” atau “napkin-ring”. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalahdengan melakukan foto rontgen dengan memakai zat kontras seperti barium yang dimasukkan melalui rektum.Pada foto nanti akan tampak lapisan tipis barium di mukosa kolon. Pemeriksaan ini disebut dengan foto kontras ganda, yaitu kontras negatif udara dan kontras positif bubur barium,tetapi cara ini tidak dapat melihat rektum pada duapertiga distalnya. 5. CEA (Carcinoembrionik Antigen) Screening CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam peredaran darah dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status karsinoma kolorektal dan mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif dan non spesifik untuk bisa digunakan sebagai screening karsinoma kolorektal 6. Flexible Sigmoidoscopy Flexible Sigmoidoscopy (FS) merupakan bagian dari endoskopi yang dapat dilakukan pada rectum dan bagian bawah dari colon sampai jarak 60 cm (sigmoid) tanpa dilakukan sedasi. Prosedur ini sekaligus dapat melakukan biopsi. Hasilnya terbukti dapat mengurangi mortalitas akibat karsinoma colorectal hingga 60%80% Universitas Sumatera Utara dan memiliki sensistivitas yang hampir sama dengan colonoscopy 60%-70% untuk mendeteksi karsinoma colorectal. Walaupun jarang, FS juga mengandung resiko terjadinya perforasi 1/20.000 pemeriksaan.42,44 Intepretasi hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal, prekarsinoma, atau jaringan karsinoma. American Cancer Society (ACS) merekomendasikan untuk dilakukan colonoscopy apabila ditemukan jaringan adenoma pada pemeriksaan FS. Sedangkan hasil yang negatif pada pemeriksaan FS, dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5 tahun. 7. Endoscopy dan biopsi Endoscopy dapat dikerjakan dengan rigid endoscope untuk kelainan-kelainan sampai 25 cm – 30 cm, dengan fibrescope untuk semua kelainan dari rectum sampai caecum. Biopsi diperlukan untuk menentukan secara patologis anatomis jenis tumor. 8. Colonoscopy Colonoscopy adalah prosedur dengan menggunakan tabung fleksibel yang panjang dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rectum dan usus besar. Colonoscopy umumnya dianggap lebih akurat daripada barium enema, terutama dalam mendeteksi polip kecil. Jika ditemukan polip pada usus besar, maka biasanya diangkat dengan menggunakan colonoscope dan dikirim ke ahli patologi untuk kemudian diperiksa jenis kankernya. 38 Tingkat sensitivitas colonoscopy dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip colorectal adalah 95%. Namun tingkat kualitas dan kesempurnaan prosedur pemeriksaannya sangat tergantung pada persiapan colon, sedasi, dan kompetensi Universitas Sumatera Utara operator. Colonoskopi memiliki resiko dan komplikasi yang lebih besar dibandingkan FS. Angka kejadian perforasi pada skrining karsinoma colorectal antara 3-61/10.000 pemeriksaan, dan angka kejadian perdarahan sebesar 2-3/1.000 pemeriksaan. 9. Colok dubur Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap penderita dengan tujuan untuk menentukan keutuhan spinkter ani, ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rectum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur yang harus dinilai adalah pertama, keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rectum. Kedua, mobilitas tumor untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Ketiga, ekstensi penjalaran yang diukur dari ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer, mobilitas atau fiksasi lesi. D. Klasifikasi Karsinoma Kolorektal E. Penatalaksanaan 1.Pembedahan Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif ialah tindak bedah. Tujuan utama ialah memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif maupun nonkuratif. Tindak bedah terdiri atas reseksi luas karsinoma primer dan kelenjar limf regional. Bila sudah terjadi metastasis jauh, tumor primer akan di reseksi juga dengan maksud mencegah obstruksi, perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel, dan nyeri. 2.Radiasi Terapi radiasi merupakan penanganan karsinoma dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel karsinoma. Terdapat 2 cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan radiasi eksternal dan radiasi internal. Radiasi eksternal (external beam radiation therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel karsinoma. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit. 3.Kemoterapi Dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah banyak kemajuan yang dicapai pada kemoterapi terhadap karsinoma kolorektal. Beberapa dekade ini hanya menggunakan 5-fluorouracil (5-FU) –disusul oleh kehadiran asam folinat /leukovorin (folinic acid/FA/LV) sebagai kombinasi. Selanjutnya, pemilihan obat diperluas dengan diterimanya irinotecan sebagai terapi lini pertama pada tahun 1996, oxaliplatin pada tahun 2004 dan capecitabine (tahun 2004) sebagai pengganti oral kombinasi 5-FU/FA. Kasus 2 Identitas : Tn.HAP/58thn/12896/24-07-2015 Foto : Brachii dan Antebrachii Proyeksi : AP Dextra dan Sinistra Kualitas : Layak baca Uraian hasil dan kesan pemeriksaan : Hasil : - Usia tulang : 58 tahun - Tampak pada os humeri dextra lesi multipel dengan spongiosa radioluscent tanpa sklerotik, batas tegas, dekstruksi korteks (-), reaksi periosteal (-), tidak tampak soft tisue swelling, punched hole (+) - Tampak pada os ulnaris dextra lesi multipel dengan spongiosa radioluscent tanpa sklerotik, batas, dan dekstruksi korteks pada 1/3 proximal diafsis , reaksi perosteal (-) , tidak tampak soft tisue swelling, punched hole (+) - Tampak pada os radius dextra lesi multipel dengan spongiosa, radioluscent tanpa sklerotik, batas tegas, terdapat dekstruksi korteks pada 1/3 distal diafsis , reaksi perosteal (-) , tidak tampak soft tisue swelling, punched hole (+) - Tampak pada os humeri sinistra lesi multipel dengan spongiosa radioluscent tanpa sklerotik, batas tegas, terdapat dekstruksi korteks pada 1/3 distal diafsis , reaksi perosteal (-), tidak tampak soft tisue swelling, punched hole (+) - Tampak pada os ulnaris sinistra lesi multipel dengan spongiosa radioluscent tanpa sklerotik, batas tegas, dan dekstruksi korteks pada 1/3 proximal diafsis , reaksi perosteal (-) , tidak tampak soft tisue swelling, punched hole (+) - Tampak pada os radius sinistra lesi multipel dengan spongiosa radioluscent tanpa sklerotik, batas tegas, dan dekstruksi korteks pada 2/3 proximal diafsis , reaksi perosteal (-) , tidak tampak soft tisue swelling, punched hole (+) Kesan: - Multipel Myeloma ; DD Bone Metastasis - Tidak tampak fraktur A. Definisi Mieloma Multiple atau Multiple Myeloma (MM)adalah penyakit yang timbul karena transformasi ganas bentuk terminal limfosit B, yaitu sel plasma. MM khas memproduksi paraprotein abnormal sehingga digolongkan sebagai penyakit paraproteinemias. Paraprotein yang dibentuk adalah imunoglobulin yang bersifat monoklonal, oleh karena itu penyakit ini dimasukkan dalam kelompok penyakit gamopati monoklonal atau monoclonal gammopathy. Meskipun MM tergolong tumor ganas yang jarang, hanya 1% dari seluruh keganasan, atau merupakan 10% dari seluruh keganasan hematologik, MM merupakan keganasan hematologik kedua setelah limfoma non-Hodgkin. B. Faktor risiko 1. Usia Kemungkinan mengidap multiple myeloma semakin meningkat dengan bertambahnyausia. Kurang dari 1% kasus ditemukan pada usia kurang dari 35 tahun. Kebanyakanpenderita terdiagnosa pada usia lebih dari 65 2. 3. 4. 5. 6. tahun. Jenis kelamin Lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan Ras Lebih sering ditemukan pada ras kulit hitam Radiasi Paparan radiasi akan meningkatkan kejadian myeloma Genetik Jika terdapat saudara sekandung atau orangtua yang mengidap myeloma, makakemungkinan untuk mengidap myeloma meningkat sebanyak 4 kali lipat. Beberapastudi telah menunjukkan bahwa kelainan onkogen tertentu, seperti c-myc, ternyataberhubungan dengan kemajuan perkembangan tumor pada awal fase pertumbuhannyadan abnormalitas onkogen seperti NRas dan K-Ras yang berhubungan dengan perkembangan tumor setelah pembentukan ulang sumsum tulang. Kelainan gensupresor tumor, seperti TP53, telah terbukti berhubungan dengan penyebaran tumorke organ lain.Penelitian yang sekarang ini sedang dikembangkan adalah menyelidiki apakah human-leukosit-antigen (HLA)-Cw5 atau HLA-Cw2 memainkan peran dalampathogenesis multiple myeloma 7. Paparan kerja Orang-orang yang bekerja di bidang agricultural terutama yang menggunakanherbisida dan insektisida maupun yang bekerja di industry petrokimia memiliki risikolebih besar mengidap multiple myeloma. Paparan lama (>20 tahun) terkait eratdengan peningkatan risiko multiple myeloma 8. Infeksi Virus HPV 8 yang menyerang sel dendrite pada sumsum tulang ditemukan padapasien dengan multiple myeloma 9. Obesitas Obesitas meningkatkan risiko multiple myeloma 10. Penyakit plasma sel yang lain Orang dengan monoclonal gammopathy of undetermined significance (MGUS) atau plasmasitoma soliter akan meningkatkan risiko mengidap multiple myeloma C. Patofisiologi Patofisiologi dasar dari penampakan klinis yang ditimbulkan oleh multiple myeloma adalah sebagai berikut : a. Sistem skeletal Perombakan tulang oleh osteoklas serta mekanisme humoral akanmeningkatkan jumlah kalsium dalam darah (hiperkalsemia). Isolated plasmasitoma(yang mengakibatkan hiperkalsemia menjangkit melalui 2-10% produksi pasien) akan dari osteoclact activating-factor. Destruksi tulang dan penggantiannya dengan masa tumor akan mengakibatkannyeri, kompresi jaras spinal yang disebabkan oleh massa epidural, massa ekstradural,atau kompresi korpus vertebrta oleh multiple myeloma, dan fraktur patologis. b. Sistem hematologic Multiple myeloma akan menempati 20% populasi tulang sehingga menekan produksisel-sel darah menyebabkan timbulnya neutropenia, anemia, dan trombositopenia.Dalam hal perdarahan, monoclonal antibody yang dihasilkan multiple myeloma dapatberinteraksi dengan faktor pembekuan, sehingga terjadi agregasi yang tidak sempurna. c. Sistem renal Multiple myeloma menyebabkan cedera pada tubulus ginjal, amiloidosis, atau invasidari plasmasitoma. Kondisi kerusakan ginjal yang dapat diamati antara lain neuropatihiperkalsemik, hiperurisemia oleh karena infiltrasi sel plasma pada ginjal, nefropatirantai utama, amiloidosis, dan glomerulosklerosis. d. Sistem neurologik Kelainan pada sistema nervosa merupakan akibat dari radikulopati dan atau kompresi jaras dan destruksi tulang (infiltrasi amyloid pada syaraf) e. Proses umum Proses patofisiologi umum termasuk sindrom hiperviskositas. Sindrom ini jarangterjadi pada kasus multiple myeloma dan melibatkan IgG1, IgG3, atau IgA.Pengandapan di kapiler dapat menghasilkan purpura, perdarahan retina, papiledema,iskemia koroner, iskemia SSP. Iskemia SSP dapat menimbulkan gejala seperti kebingungan, vertigo, kejang. Cryoglobulinemia dapat menyebabkan fenomenaRaynoud, thrombosis, dan gangrene pada kaki. D. Diagnosis 1. Gejala klinis Myeloma dibagi menjadi asimptomatik myeloma dan simptomatik atau myeloma aktif, bergantung pada ada atau tidaknya organ yang berhubungan dengan myeloma atau disfungsi jaringan, termasuk hiperkalsemia, insufisiensi renal, anemia, dan penyakit tulang. Gejala yang umum pada multiple myeloma adalah lemah, nyeri pada tulang dengan atau tanpa fraktur ataupun infeksi. Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien yang terdiagnosis. Lesi tulang berkembang pada kebanyakan 80% pasien. Pada suatu penelitian, dilaporkan 58% pasien dengan nyeri tulang. Kerusakan ginjal terjadi pada 20 sampai 40% pasien. Fraktur patologis sering ditemukan pada multiple myeloma seperti fraktur kompresi vertebra dan juga fraktur tulang panjang (contoh: femur proksimal). Gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi vertebra berupa nyeri punggung, kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada ekstremitas. Imunitas humoral yang abnormal dan leukopenia dapat berdampak pada infeksi yang melibatkan infeksi seperti gram-positive organisme (eg, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus) dan Haemophilus influenzae. Kadang ditemukan pasien datang dengan keluhan perdarahan yang diakibatkan oleh trombositopenia. Gejala-gejala hiperkalsemia berupa somnolen, nyeri tulang, konstipasi, nausea, dan rasa haus. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan : Pucat yang disebabkan oleh anemia Ekimosis atau purpura sebagai tanda dari thrombositopeni Gambaran neurologis seperti perubahan tingkat sensori , lemah, atau carpal tunnel syndrome. Amiloidosis dapat ditemukan pada pasien multiple myeloma seperti makroglossia dan carpal tunnel syndrome. Gangguan fungsi organ visceral seperti ginjal, hati, otak, limpa akibat infiltrasi sel plasma (jarang). 2. Laboratorium Pasien dengan multiple myeloma, secara khas pada pemeriksaan urin rutin dapat ditemukan adanya proteinuria Bence Jones. Dan pada apusan darah tepi, didapatkan adanya formasi Rouleaux. Selain itu pada pemeriksaan darah rutin, anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 80% kasus. Jumlah leukosit umumnya normal, namun dapat juga ditemukan pancytopenia, koagulasi yang abnormal dan peningkatan LED. . 3. Gambaran radiologi a. Foto polos x-ray Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi litik multiple, berbatas tegas, punch out, dan bulat pada calvaria, vertebra, dan pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga medulla , mengikis tulang, dan secara progresif menghancurkan tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien myeloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi. Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan : Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama vertebra yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan myeloma. Hilangnya densitas vertebra mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya pada myeloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai. Fraktur kompresi pada corpus vertebra , tidak dapat dibedakan dengan osteoprosis senilis. Lesi-lesi litik “punch out lesion” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping. Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa jaringan lunak. Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, costa 44%, calvaria 41%, pelvis 28%, femur 24%, clavicula 10% dan scapula 10%. Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lesi litik “punch out lesion” yang khas pada calvaria, yang merupakan karakteristik dari gambaran multiple myeloma. e Foto pelvic yang menunjukkan fokus litik kecil yang sangat banyak sepanjang tulang pelvis dan femur yang sesuai dengan gambaran multiple myeloma. Foto femur menunjukkan adanya endosteal scalloping (erosi pada cortex interna) pada pasien dengan multiple myeloma. b. CT-Scan CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada myeloma serta menilai resiko fraktur pada tulang yang kerusakannya sudah berat. Diffuse osteopenia dapat memberi kesan adanya keterlibatan myelomatous sebelum lesi litik sendiri terlihat. Pada pemeriksaan ini juga dapat ditemukan gambaran sumsum tulang yang tergantikan oleh sel tumor, osseous lisis, destruksi trabekular dan korteks. Namun, pada umumnya tidak dilakukan pemeriksaan kecuali jika adanya lesi fokal c. MRI MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit myeloma berupa suatu intensitas bulat , sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2. E. Pengobatan