BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Kedelai Susu kedelai adalah minuman padat gizi yang diperoleh dari biji kedelai berkualitas yang dibudidayakan secara alami tanpa rekayasa genetik. Sejak abad ke-2 sebelum masehi Cina sudah membuat susu yang berbahan kedelai. Indonesia mulai mengenal susu kedelai setelah perang dunia ke-II (Uransyah 2011). Pembuatan susu kedelai dan konsumsinya setiap tahunnya semakin meningkat. Hal ini dikarenakan banyaknya kandungan yang ada pada susu kedelai yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Kandungan gizi yang terdapat pada susu kedelai ini tidak kalah dengan kandungan gizi yang terdapat pada susu sapi, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi gizi susu kedelai cair dan susu sapi (dalam 100 gram) Komponen Kalori (Kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (g) Besi (g) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin E (mg) Susu Kedelai 41.00 3.50 2.50 5.00 50.00 45.00 0.70 200.00 0.08 2.00 Susu Sapi 61.00 3.20 3.50 4.30 143.00 60.00 1.70 130.00 0.03 1.00 Sumber: Budirmawanti (2004) Kandungan susu kedelai memberikan manfaat yang besar untuk tubuh kita. Protein berguna untuk pertumbuhan, perbaikan jaringan, penambah imunitas tubuh. Protein pada susu kedelai tersusun oleh sejumlah asam amino, yaitu arginin, lisin, glisin, leusin, isoleusin, treonin, triptofan, fenilalanin, metionin, sistin, valin, histidin, dan alanin. Kandungan asam amino tersebut bisa dilihat pada Tabel 2. Protein yang terkandung dalam kedelai diketahui kaya akan asam amino arginin dan glisin yang merupakan komponen penyusun hormon insulin dan glukagon yang disekresi oleh kelenjar pankreas dalam tubuh kita (Efendi 2008). 4 Tabel 2 Komposisi asam amino susu kedelai Asam Amino Nitrogen Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenilalanin Treonin Triptofan Valin Arginin Histidin Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Susu Kedelai (mg) 0,49 330 470 330 86 46 330 210 85 360 400 140 280 710 1.100 310 Sumber: Budirmawanti (2004) Kandungan nutrisi susu kedelai yang sangat bermanfaat selain protein adalah karbohidrat yang digunakan sebagai sumber energi, serat yang berguna untuk sistem pencernaan, dan lemak yang berfungsi sebagai sumber energi, pelumas, dan pemberi rasa kenyang (Almatsier 2009). Susu kedelai juga mengandung vitamin A, B1, dan E. Vitamin A berfungsi membantu kelancaran fungsi organ penglihatan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, berperan dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi. Vitamin B1 berperan sebagai koenzim berbagai reaksi metabolisme, dan vitamin E berperan sebagai antioksidan, melancarkan proses reproduksi dan proses menstruasi, mencegah impotensi, keguguran, penyakit jantung, meningkatkan produksi air susu, dan membantu memperpanjang usia (Efendi 2008). Selain itu, susu kedelai juga mengandung mineral-mineral (Ca, P, dan Fe). Mineral-mineral ini berfungsi dalam proses pembentukan tulang, menambah kekuatan struktur tulang, gigi dan kuku, serta dapat menambah daya tahan tubuh terhadap gangguan penyakit (Almatsier 2009). Selain kandungan di atas yang paling menarik dari susu kedelai adalah kandungan fitoestrogennya. Kadar fitoestrogen dalam kedelai atau produkproduk olahannya dapat dilihat pada Tabel 3. Fitoestrogen diketahui memiliki banyak manfaat bagi kesehatan diantaranya anti inflamasi, anti 5 kanker, anti alergi, anti kolesterol, dan mencegah osteoporosis (Pawiroharsono 2001). Tabel 3 Kandungan fitoestrogen dalam kedelai dan produk olahannya Sumber (100 g) Kacang kedelai Susu kedelai Toge Saus kedelai Yogurt kedelai Tempe Tahu Fitoestrogen (µg) 103920.0 2957.2 789.6 149.6 10275.0 18307.9 27150.1 Sumber: Thompson et al. (2006) 2.2. Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang struktur dan fungsinya mirip dengan estrogen dan banyak ditemukan di dalam makanan (Rishi 2002). Fitoestrogen memiliki rumus kimia yang berbeda dengan estrogen. Sifat estrogenik pada fitoestrogen dikarenakan fitoestrogen juga memiliki 2 gugus –OH/ hidroksil yang berjarak 11.0-11.5 A0 pada intinya yang sama dengan estrogen. Para peneliti sepakat jarak 11 A0 dan gugus –OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik sehingga fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen pada organ target (Achadiat 2007). Target utama fitoestrogen pada jaringan tubuh yang pertama adalah sistem reproduksi karena pada organ tersebut jumlah estrogen reseptor cukup tinggi. Beberapa fungsi tubuh yang dipengaruhi oleh fitoestrogen di antaranya siklus estrus, pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas fisiologis saluran reproduksi betina, pituitary, kelenjar susu dan beberapa organ dan jaringan reproduksi lainnya (Whitten & Patisaul 2001). 2.3. Klasifikasi Fitoestrogen Fitoestrogen diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu isoflavon, lignan dan coumestan (Rishi 2002). Klasifikasi fitoestrogen ini dapat dilihat pada Gambar 1. 6 Gambar 1 Klasifikasi fitoestrogen (Rishi 2002). Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak disintesa oleh tanaman. Kandungan isoflavon banyak terdapat pada tanaman kedelai, kentang, buah-buahan, sayuran, dan minuman beralkohol (Whitten & Patisaul 2001). Kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada tanaman Leguminoceae, khusunya pada tanaman kedelai terutama pada bagian biji, khususnya pada bagian hipoktil (germ) yang akan tumbuh menjadi tanaman. Sebagian lagi terdapat pada biji kotiledon yang akan menjadi daun pertama dari tanaman (Pawiroharsono 2001). Konsentrasi isoflavon pada produk kedelai sangat beraneka ragam tapi semua makanan kedelai tradisional seperti susu kedelai, tempe dan tahu merupakan sumber isoflavon yang baik (Pawiroharsono 2001). Coumestan merupakan kelompok fitoestrogen yang banyak terdapat pada biji bunga matahari, kecambah toge, dan sedikit pada kedelai. Coumestan banyak digunakan untuk terapi herbal pada berbagai negara. Masyarakat Amerika Utara menggunakan coumestan sebagai antivenom, sedangkan masyarakat Cina menggunakanya untuk terapi shock septik. Selain itu, senyawa ini juga digunakan sebagai anti kanker dan obat gangguan jantung (Kaushik-Basu et al. 2008). Lignan merupakan fitoestrogen yang tersebar di banyak bagian tumbuhan. Lignan terdapat di vaskular tumbuhan pada beberapa bagian tumbuhan yaitu bagian akar, rhizoma, bagian kayu, daun, biji, dan buah. Minyak biji tepung sereal (gandum, oat) legum, sayuran, dan buah merupakan bagian yang banyak mengandung lignan (Lampe 2003). Lignan diduga mampu menekan risiko penyakit jantung koroner dan telah terbukti bisa menekan pertumbuhan sel kanker pada hewan percobaan (Rizki 2010). 7 Kandungan isoflavon, lignan, dan coumestan pada kedelai dan produk-produk olahannya memiliki jumlah kandungan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Kandungan isoflavon, lignan, dan coumestan pada kedelai dan produk olahannya Sumber (100 g) Kacang kedelai Susu kedelai Toge Saus kedelai Yogurt kedelai Tempe Tahu Isoflavon (µg) 103649.3 2944.2 787.5 135.0 10227.8 18277.7 27118.5 Lignan (µg) 269.2 12.3 2.2 14.3 46.6 29.6 30.9 Coumestan (µg) 1.5 0.6 0 0.4 0.5 0.6 0.7 Sumber: Thompson et al. (2006) 2.4. Struktur Kimia Fitoestrogen Fitoestrogen memiliki struktur kimia yang mirip dengan struktur kimia estrogen. Fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip 17β estradiol yang dapat dilihat pada Gambar 2. Kemiripan ini menyebabkan fitoestrogen dapat berikatan dengan kedua reseptor estrogen ERα dan ERβ. Afinitas ikatan fitoestrogen pada kedua reseptor tidak sama, afinitas fitoestrogen lebih besar terhadap ERβ dibanding ERα (Staar et al. 2005). Gambar 2 Perbedaan struktur kimia estrogen (17β estradiol) dengan kelompok fitoestrogen (Murkies et al. 1998). 8 2.5. Fungsi Fitoestrogen Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen di organ-organ, seperti prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis, dan menimbulkan efek estrogenik, walaupun efek fitoestrogen pada organorang tersebut memang kurang poten dibandingakan 17β estradiol, namun dengan kadar yang tinggi dan berulang dapat menimbulkan efek yang potensial. Hal ini disebabkan karena reseptor estrogen akan diduduki oleh fitoestrogen dan tidak dapat diduduki oleh estrogen. Fitoestrogen setelah berikatan dengan reseptor estrogen, akan menyebabkan timbulnya aktivitas estrogenik yang relatif lemah (Tsourounis 2001). Dengan kata lain, fitoestrogen dapat menggantikan fungsi estrogen. Fungsi estrogen diantaranya adalah mempengaruhi ukuran uterus dan organ kelamin wanita. Ovarium, tuba fallopii, uterus dan vagina semuanya akan bertambah besar atas pengaruh estrogen. Pembesaran juga terjadi pada genitalia eksterna akibat meningkatnya deposisi lemak. Estrogen juga mengubah epitel vagina yang semula epitel pipih selapis menjadi kuboid bertingkat. Pada tuba fallopii estrogen menyebabkan bertambah banyaknya sel silia yang membatasi tuba fallopii. Estrogen menyebabkan perubahan nyata pada endometrium dan kelenjarnya akibatnya ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Selain itu, estrogen juga menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan duktus yang luas dan deposisi lemak pada payudara (Guyton & Hall 1997). 2.6. Metabolisme Fitoestrogen Fitoestrogen yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu isoflavon, lignan, dan coumestan masing-masing memiliki metabolisme tersendiri. Isoflavon memiliki dua glikosida utama yaitu: genestein dan daidzein yang terdapat dalam bentuk tak terkonjugasi (aglikon) yang didapatkan setelah proses hidrolisis dan bentuk terkonjugasi (beta glokosida) (Rishi 2002). Aktifitas biologis tiap-tiap glikosida ini tidak banyak diketahui, namun aktifitasnya tidak seperti estrogen aktif. Glikosida dihidrolisis menjadi bentuk aglikon (genestein dan daidzein) yang bersifat estrogen aktif akibat metabolisme 9 mikroflora intestinum. Glikosida lain yang juga terdapat pada isoflavon (jumlahnya tidak signifikan) adalah Biochanin A dan Fermononetin (Ososki & Kennelly 2003). Baik Biochanin A maupun Fermononentin akan dihidrolisis oleh mikroflora intestinum menjadi genestein dan daidzein (aglikon). Genistein dimetabolisme lebih lanjut di usus menjadi bentuk senyawa inaktif p-etilfenol, sedangkan daidzein diubah menjadi equol, dihidrodaidzein, dan O-desmetilangolensin. Selanjutnya isoflavon akan diabsorpsi oleh usus, kemudian akan masuk ke pembuluh darah. Isoflavon akan mengalami metabolisme lebih lanjut berupa konjugasi aglikon dengan asam glukoronik dan asam sulfur (dalam jumlah sedikit) di hati. Senyawa isoflavon kemudian akan diekskresikan melalui urin (Rishi 2002). Gambaran keseluruhan proses ini dapat dilihat pada Gambar 3. Hidrolisis oleh bakteri intestinum Hidrolisis oleh bakteri intestinum daidzein daidzein formonontein glicitin glicitin genestein genestein Biochanin A Demethylation Dehydroxylation glukosa Reduction Ring clevage Metabolisme Metabolisme daidzein: genestein: Equol p- Dihydrodaidzein ethylphenol Odesmethylangolensin absorpsi Konjugasi di hati Sirkulasi enterohepatik Ekskresi : urin Gambar 3 Absorpsi, metabolisme dan ekskresi isoflavon (Rishi 2002). 10 Pada kelompok lignan, fitoestrogen akan diabsorbsi sebagai metabolit prekursor dalam bentuk secoisolariciresinol dan matairesinol yang terdapat pada lapisan aleuronik yang letaknya dekat dengan lapisan fiber pada biji. Kedua prekursor ini akan berubah bentuk menjadi bentuk difenol yaitu enterodiol dan enterolacton setelah mengalami proses fermentasi oleh mikroflora di kolon. Enterodiol dan enterolacton memiliki struktur yang mirip dengan estradiol. Senyawa ini akan diekskresikan melalui urin setelah mengalami proses absorbsi sebelumnya (Rishi 2002). Senyawa coumestan akan mengalami proses metabolisme di hati menjadi senyawa yang lebih aktif melalui proses demetilasi. Senyawa ini juga akan didegradasi menjadi senyawa yang bersifat asam sederhana dan fenil (Kaushik-Basu et al. 2008). 2.7. Biologi Umum Tikus Putih Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai percobaan penelitian dan kedokteran (Sulaksono et al. 1986). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), hewan percobaan ialah setiap hewan yang dipelihara secara intensif di laboratorium. Hewan percobaan harus memenuhi persyaratan genetik atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaan, serta memperlihatkan reaksi biologis sesuai yang dikehendaki (Subahagio et al. 1997). Tikus putih merupakan salah satu hewan percobaan yang paling banyak digunakan dalam penelitian. Berikut adalah klasifikasi taksonomi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Suckow et al.(2006): Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Myomorpha Family : Muridae Superfamiliy : Muroidea 11 Subfamiliy : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus Tikus putih atau tikus laboratorium merupakan hewan yang semarga dengan tikus liar. Nama ilmiah tikus laboratorium ialah Rattus norvegicus, sedangkan nama ilmiah tikus liar adalah Rattus rattus. Secara umum, tikus laboratorium (Rattus norvegicus) termasuk ke dalam tikus yang memiliki ukuran tubuh medium, memiliki rambut yang tidak terlalu banyak dan memiliki ekor bersisik yang panjangnya lebih pendek dibandingkan panjang badannya. Rambut hewan ini sedikit kasar dan berwarna abu-abu di bagian dorsal serta berwarna putih kekuningan di bagian ventral (Schwartz & Reeder 2001). Tikus ini memiliki moncong yang panjang, memiliki mata yang kecil, telinga dan ekor yang tak berambut. Tikus ini memiliki 4 jari yang berkuku dan ukurannya tidak terlalu besar (Verts & Carraway 1998). Menurut Malole dan Pramono (1989), terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague Dawley, Wistar dan galur Long Evans. Tikus galur Sprague Dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus galur Wistar memiliki ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek sedangkan galur Long Evans memiliki ciri badan berukuran lebih kecil dari tikus putih, berwarna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley merupakan tikus yang paling sering digunakan untuk percobaan. Tikus ini memiliki temperamen yang tenang sehingga mudah dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat badan tikus Sprague Dawley adalah 10.5 gram. Berat badan dewasa adalah 250-300 gram untuk betina, dan 450-520 gram untuk jantan. Tikus ini jarang hidup lebih dari 3 tahun (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Tingkah laku tikus sangat dipengaruhi oleh ukuran dan tipe kandang serta kondisi lingkungan sekitar. Tikus mempunyai kebiasaan berlari, berdiri dengan kedua kaki belakang, melompat serta memanjat. Tikus jantan lebih agresif dibandingkan tikus betina serta dapat menggigit untuk 12 mempertahankan diri dari serangan musuh. Tikus juga dapat memakan segala macam makanan (omnivora) dan beraktivitas pada malam hari (nokturnal) serta melakukan perkawinan sepanjang tahun (Wagner & Harkness 1989). Menurut Hrapkiewicz dan Medina (1998), tikus dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik melalui pemberian pakan standar komersial yang mengandung setidaknya 20-25% protein dan 4% lemak. Pertumbuhan dan perkembangan tubuh tergantung pada efisiensi makanan yang diberikan dan juga sangat dipengaruhi oleh metabolisme basal tubuh tikus. Tikus memasuki masa pubertas pada 50-60 hari setelah kelahiran. Usia pubertas pada hewan betina ditandai dengan pembukaan liang vagina (vaginal opening) dan pada hewan jantan ditandai dengan adanya penurunan testis dari abdominal ke skrotum (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Tikus memasuki usia dewasa kelamin dan siap untuk dikawinkan pada usia 65110 hari. Tikus betina memiliki masa produktifitas reproduksi antara 2.5-3 tahun dengan bobot badan antara 250-300 gram, sedangkan tikus jantan masa produktifitasnya antara 2.5-3.5 tahun dengan bobot badan 450-520 gram. Tikus merupakan hewan poliestrus yang memiliki siklus estrus yang lebih dari dua kali dalam setahun. Siklus estrus tikus pendek yaitu 4-5 hari dengan lama estrus 9-12 jam. Tikus betina yang sedang estrus memiliki sifat yang lebih agresif dan cenderung ingin kawin. Perkawinan antara tikus yang terjadi dalam waktu 24 jam dapat diketahui dengan melakukan ulas vagina dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan adanya sekresi cairan dari vagina dan adanya spermatozoa dalam usapan vagina tersebut (Malole & Pramono 1989). Masa kebuntingan tikus berkisar antara 21-23 hari dengan jumlah anak pada setiap kelahiran 6-12 ekor anak (Hrapkiewicz & Medina 1998). Anak tikus yang baru lahir memiliki bobot antara 5-6 gram. Anak tikus yang baru dilahirkan memiliki penampilan tanpa rambut, buta, kaki yang belum berkembang, ekor yang pendek serta lubang telinga masih tertutup. Anak tikus mulai memiliki rambut pada usia 7-10 hari, mata terbuka antara 7-14 hari, dan telinga terbuka antara usia 2.5-3.5 hari (Fox 13 2002). Penentuan jenis kelamin anak tikus dilakukan melalui perbandingan celah anogenital dan ukuran tonjolan genital. Celah anogenital didapat dengan melakukan pengukuran jarak antara alat genital dengan anus. Celah anogenital yang lebih panjang dan tonjolan genital yang lebih besar merupakan ciri tikus jantan (Gambar 4). Menurut Fox (2002), anak tikus mulai memakan makanan padat pada usia 2 minggu. Usia penyapihan tikus biasanya 21 hari. Gambar 4 Celah anogenital anak jantan (kiri) dan betina (kanan) usia 2 minggu (A) dan 6 minggu (B) (Suckow et al. 2006). 2.8. Reproduksi Tikus Jantan Sistem reproduksi jantan terdiri atas banyak organ-organ individual yang bekerja sama memproduksi spermatozoa dan menyampaikannya ke traktus reproduksi betina. Pada tikus jantan, organ reproduksi meliputi testis, epididimis, duktus deferent, kelenjar aksesoris (ampula, vesica semininalis, prostat, dan bulbouretralis), penis, skrotum, dan preputium (Gambar 5). Organ reproduksi ini memiliki peran masing-masing dalam menjalankan fungsinya sebagai organ reproduksi. Testis berfungsi memproduksi spermatozoa dan hormon testosteron. Epididimis (caput, corpus dan cauda) berperan sebagai tempat pematangan sperma, kapasitasi, dan penyimpanan sperma yang sudah matang. Duktus deferent berfungsi menyalurkan spermatozoa ke uretra. Kelenjar aksesoris menghasilkan semen yang berfungsi memberi makan spermatozoa dan menetralisir keasaman vagina. Penis berfungsi sebagai organ kopulasi, mengantar semen 14 masuk ke organ reproduksi betina. Skrotum melapisi testis, dan preputium melapisi penis (Cunningham 1997). Gambar 5 Struktur anatomi alat reproduksi jantan (Moore 2000). Testis adalah organ utama dalam sistem reproduksi jantan. Testis terletak di dalam sebuah kantung yang dinamakan skrotum dan menggantung di bawah tubuh hewan. Testis bertanggung jawab atas steroidogenesis, terutama androgens, dan juga pengadaan sel-sel germinal haploid melalui spermatogenesis. Kedua fungsi ini terjadi pada sel-sel Leydig dan pada tubuli semeniferi (Cunningham 1997). Tubuli semeniferi adalah tempat spermatozoa dibentuk. Proses pembentukan spermatozoa ini dikenal dengan spermatogenesis. Dalam proses spermatogenesis terdapat dua tahapan, yaitu: spermatositogenesis (spermatogenium, spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid awal, spermatid akhir) dan spermoigenesis (perubahan struktural spermatid menjadi spermatozoa). Proses spermatositogenesis ini pada hewan jantan mulai terjadi beberapa saat sebelum masa pubertas dimana sel benih primordial berkembang menjadi spermatogonia yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi spermatosit primer. Setelah terjadinya penggandaan DNA, spermatosit primer mulai memasuki tahap profase pembelahan miosis pertama. Spermatosit primer berkembang menjadi dua spermatosit sekunder, dan mulai memasuki tahap pembelahan meiosis kedua dan akan dihasilkan empat spermatid yang bersifat haploid (Ganong 1995). Pada tahapan spermiogenesis terjadi perubahan struktural spermatid menjadi spermatozoa. 15 Perubahan utama meliputi kondensasi kromatin inti, pembentukan ekor sperma dan perkembangan tudung akrosom. Setelah terbentuk sempurna, spermatozoa memasuki rongga tubuli seminiferi dan selanjutnya masuk ke cauda epididimis. Pada tikus jantan, sperma mulai ada di cauda epididimis pada usia 45-46 hari dan puncak produksinya pada usia 75 hari (Fox 2002). Selain menghasilkan sperma, testis juga berfungsi menghasilkan hormon testosteron. Peranan dan hadirnya hormon ini di dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa hormon lain, yaitu hormon GnRH, FSH, dan LH. Pada hewan jantan, gonadotrophin releasing hormone (GnRH) disekresikan dari hipothalamus untuk menstimulasi pelepasan lutenising hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH) dari pituitari anterior. LH and FSH mengatur aktivitas testis. LH merangsang sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron dan FSH akan menstimulasi sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis. FSH dan testosteron merangsang sel-sel spermatogenik untuk melakukan meiosis dan berdiferensiasi menjadi sperma (Hernawati 2007). Pada masa pubertas kinerja hormon ini terutama testosteron semakin meningkat. Kurangnya kadar testosteron dapat menyebabkan berbagai macam gangguan reproduksi jantan, seperti kriptorchid, hipospadia, pseudohermafroditsme (Heffner & Schust 2008), dan gangguan kesuburan (Martono & Joewana 2006). 2.9. Homon-Hormon yang Berperan pada Masa Bunting dan Laktasi Hormon adalah agen kimia yang disekresikan oleh sel endokrin langsung ke dalam aliran darah dan ditransportasikan pada target (Cunningham 1997). Hormon-hormon yang mempengaruhi kebuntingan dan berperan setelah postpartus adalah estrogen, progesteron, relaxin, oxitosin, dan prolaktin. Estrogen berpengaruh pada masa kebuntingan terutama saat proses organogenesis. Peran estrogen pada saat kebuntingan adalah ikut membantu dalam mempersiapkan uterus untuk implantasi. Uterus akan mengalami hiperplasi dan hipertropi akibat estrogen dengan tujuan mempersiapkan kebuntingan. Estrogen bertanggung jawab terhadap peningkatan jumlah buluh darah ke uterus. Hal ini bertujuan memperlancar 16 aliran darah ke uterus. Estrogen juga memegang peranan penting terhadap perkembangan fetus selama kebuntingan (Sherwood 2001). Proses diferensiasi organ reproduksi fetus selama di kandungan juga dipengaruhi oleh adanya paparan agen estrogenik. Paparan yang berlebihan pada fetus jantan dapat menyebabkan kegagalan diferensiasi sex, menyebabkan komplikasi lain seperti epididymal cyst, meatal stenosis, hypospadia, cryptorchidsm dan microphallus (Vicenzo et al. 2005). Frekuensi dari terjadinya abnormalitas sangat tergantung pada kadar dan waktu terjadinya paparan. Hewan jantan yang mendapat paparan estrogen pada periode akhir kebuntingan memiliki risiko lebih rendah terjadinya abnormalitas ini jika dibandingkan dengan yang mendapat paparan pada awal kebuntingan (Vicenzo et al. 2005). Kadar paparan estrogenik yang tinggi selama kebuntingan dapat menekan perkembangan saluran tikus jantan sehingga kinerja reproduksinya kurang maksimal (Santii et al. 1998). Selain itu, paparan estrogen yang tinggi pada fetus dan neonatus ditakutkan akan menyebabkan efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina persisten, hemoragi folikel ovarium, dan premature vaginal opening (Hughes et al. 2004). Hormon progesteron memiliki fungsi memelihara kebuntingan, menghambat kontraksi uterus, membentuk kelenjar endometrium, dan pemicu pertumbuhan alveolar pada kelenjar susu. Hormon prolaktin berperan merangsang pertumbuhan kelenjar susu dan hormon oksitosin merangsang pengeluran air susu. Hormon relaxin berperan sebagai relaksasi ligament pelvis (Isnaeni 2006). Hormon-hormon ini sangat dibutuhkan oleh induk yang bunting sampai menyusui.