PENGESAHAN NASKAH JURNAL Judul : Partisipasi

advertisement
PENGESAHAN NASKAH JURNAL
Judul
: Partisipasi Masyarakat pada Pelaksanaan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan
Anggaberi Kabupaten Konawe
Nama
: Siti Rostini
Nomor Induk Mahasiswa : G2 C1 15 003
Program Studi
: Administrasi Pembangunan
Kendari,
Juni 2017
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Dr. H. Muhammad Basri, M.Si
Ketua
Dr. La Ode Mustafa R., M.Si
Anggota
1
PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PELAKSANAAN
MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG)
KECAMATAN ANGGABERI KABUPATEN KONAWE
Siti Rostini1, Muhammad Basri2, La Ode Mustafa3
1
Mahasiswa Pascasarjana Magister Administrasi Pembangunan Universitas Halu Oleo
Dosen Jrusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Halu Oleo
3
Dosen Jrusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Halu Oleo
2
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan intensitas partisipasi
masyarakat
pada
Pelaksanaan
Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan
(MUSRENBANG) dan menjelaskan bentuk partisipasi masyarkat pada pelaksanaan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) Kecamatan Anggaberi
Kabupaten Konawe. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Adapun narasumber penelitian ini diantaranya adalah
aparat Kecamatan dan aparat Desa serta stakeholder lainnya di Kecamatan Anggaberi
Kabupaten Konawe. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa wawancara,
observasi serta dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
partisipasi masyarakat pada setiap tahap pelaksanaan Musrenbang masih rendah karena
masyarakat kurang memahami dan penyadadari pentingnya partisipasi mereka dalam
proses pembangunan, dimana kehadiran dan keaktifan mereka dalam proses ini sangat
menunjang pembangunan. Bentuk partisipasi masyarakat melalui akses informasi
kurang baik karena informasi lambat sampai kepada masyarakat dan tidak semua
masyarakat dapat mengetahu informasi pelaksanaan murembang, masyarakat kurang
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, pengawasan masyarakat terhadap
pelaksanaan Musrenbang masih rendah. Rekomendasi penelitian ini adalah intervensi
dari intasi terkait untuk memberikan pengenalan, arahan, pelatihan, dan penyadaran
akan arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Kata Kunci: Partisipasi, pembangunan, perencanaan, masyararakat.
Penduhuluan
Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan
pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut
Rasyid (1997: 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata
lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat
serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat
mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.
Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan
ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang
bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang
2
desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan
semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “Otonomi Daerah”
yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan
aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan
kondisi, potensi dan keragaman daerah.
Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas
tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division
of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini,
kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di
lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan
republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma
pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya,
berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses
demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal.
Melalui pemerintahan yang desentralistik, akan terbuka wadah demokrasi
bagi masyarakat lokal untuk berperan serta dalam menentukan nasibnya, serta
berorientasi kepada kepentingan rakyat melalui pemerintahan daerah yang terpercaya,
terbuka dan jujur serta bersikap tidak mengelak tanggung jawab (passing the buck)
sebagai prasyarat terwujudnya pemerintahan yang akuntabel dan mampu memenuhi
asas-asas kepatutan dalam pemerintahan (good governance).
Konsep good governance sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini
banyak dibicarakan dalam berbagai konteks dan menjadi issue yang paling mengemuka
dalam pengelolaan pemerintahan dan pelayanan kepada publik. Tuntutan ini sebagai
akibat dari pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dirasakan tidak sesuai lagi
bagi tatanan masyarakat yang telah berubah atau dengan kata lain semakin tidak
efektifnya pemerintahan disamping semakin berkembangnya kualitas demokrasi, hak
asasi manusia dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Jadi ada tekanan
untuk mendefinisikan ulang terhadap peran-peran pemerintahan dalam hubungannya
dengan masyarakat dan sektor swasta.
Sebagai suatu alternatif pengelolaan pemerintahan, konsep good governance
berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan
interaksi dari bermacam-macam aktor kelembagaan di semua level/tingkat dalam
negara, yakni pemerintah, swasta dan civil society dalam menjalankan fungsinya
masing-masing. Dalam konteks ini, United Nations Development Programme (LAN,
2000; 5) mengemukakan bahwa pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik
dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan,
sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik termasuk
mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas
ekonomi, sosial dan politik. Pada tataran ini, perlu adanya keseimbangan hubungan
yang sehat antara aktor (domain), sehingga tidak boleh ada aktor kelembagaan di dalam
good governance yang mempunyai kontrol yang absolut.
Melalui paradigma good governance sebagai alternatif penyelenggaraan
pemerintahan, potensi masing-masing stakeholders dapat diaktualisasikan dalam
mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi Daerah dalam pelaksanaan
3
otonomi daerah, sehingga perlu dijamin perkembangan kreativitas dan aktivitas yang
mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, demokratisasi serta kemandirian
Daerah. Seiring dengan adanya keinginan untuk mewujudkan paradigma good
governance tersebut, maka sistem penyelenggaraan pemerintah daerah di era otonomi
saat ini, hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan pemberdayaan,
pelayanan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi, kemitraan, desentralisasi,
konsistensi kebijaksanaan dan kepastian hukum.
Ketika ada keinginan untuk melakukan re-definisi terhadap pola
penyelenggaraan pemerintahan yang terjadi selama ini dan pada saat yang bersamaan
pula kebijakan otonomi daerah digulirkan, pertanyaan yang segera muncul adalah
apakah dengan demikian, pembangunan akan lebih dekat dengan masyarakat atau
dengan kata lain pemerintah, melalui kebijakan-kebijakannya akan lebih berpihak
kepada masyarakat dan dunia usaha, disamping seberapa besar akses yang dimiliki oleh
para stakeholder untuk turut serta mengambil bagian dalam proses pemerintahan dan
pembangunan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perencanaan sebagai bentuk
partisipasi masyarakat dan dunia usaha menjadi salah satu syarat untuk
mengembangkan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance), sebab
perencanaan merupakan proses awal, sebelum langkah-langkah yang bakal
mempengaruhi kehidupan masyarakat berjalan. Asumsi ini didasarkan pada pemikiran
bahwa jika dalam perencanaan telah dengan sengaja mengabaikan suara rakyat, maka
dengan sendirinya langkah-langkah yang akan diciptakan bisa mengancam kehidupan
masyarakat. Sebaliknya, jika perencanaan disusun dengan melibatkan masyarakat, maka
besar kemungkinan akan mendekatkan kegiatan pemerintahan dan pembangunan
dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip dan tujuan pelaksanaan
otonomi daerah yakni pengembangan kehidupan demokrasi, pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran serta masyarakat.
Penelitian ini bertujuan Untuk mendeskripsikan intensitas partisipasi
masyarakat pada proses pelasanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(MUSRENBANG) Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe. Untuk menjelaskan
bentuk partisipasi masyarakat pada Pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Anggaberi
Kabupaten Konawe.
Tinjauan Pustaka
Pembagunan secara umum dapat diartikan sebagai usaha untuk
meningkatkan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Ndraha (1985),
menyatakan bahwa pembangunan (development) adalah segala upaya untuk
mewujudkan perubahan sosial besar-besaran menuju suatu keadaan yang lebih baik.
Sedangkan Korten (1998), mendefinisikan pembangunan sebagai proses dimana angotaanggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka
untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikanperbaikan yang berkelanjutan dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka
sendiri. Siagian (2003), pembangunan adalah suatu usaha atau merangkaikan usaha
pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu
bangsa dan negara serta pemerintah menuju modemisasi dalam rangka pembinaan
bangsa (nations building). Menurut Todaro (2004) harus diartikan secara luas dart
hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materi di daleim kehidupan manusia,
pembangunan seharusnya merupakan proses multidimensi yang meliputi perubahan
4
organisasi dan orientasi seluruh sistem sosial dan ekonomi, sehingga pembangunan
daerah adalah proses multidimensi pembangunan suatu daerah.
Lebih lanjut Bryan dan White (1989) menyatakan bahwa pembangunan
yang "people centered" merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia
dalam menentukan nasib dan masa depannya, ini berarti melibatkan masyarakat secara
aktif dalam setiap tahapan proses pembangunan. Dari pengertian tersebut pembangunan
berwawasan 'people centered" dalam implikasinya akan mencakup beberapa pengertian,
antara lain (1) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik
individu maupun kelompok (capacity); (2) Pembangunan berarti mendorong
tumbuhnya kebersamaan dan pemerataan sistem nilai dan kesejahteraan (equity); (3)
Pembangunan berarti manaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun
dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Kepercayaan ini
dinyatakan dalam bentuk kesepakatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan
untuk memutu'>kan (empowermwnt); (4) Pembangunan berarti membangkitkan
kemampuan untuk membangun secara mandiri dan berkelanjutan (sustainabi/ity); (5)
Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu tet hadap negara
yang lain dengan menciptakan hubungan yang sating menguntungkan (simbiosis
mutua/is) dan sating menghormati (interdependensi).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembangunan yang berwawasan
manusia (community development) terdapat dua pandangan yaitu: pertama, production
centered development, yang lebih menempatkan manusia sebagai instrument atau obyek
dalam pembangunan. Hal ini berorientasi pada produktivitas yang berhubungan dengan
kemakmuran yang metimpah atau manusia dipandang sebagai faktor produksi. Kedua,
People centered development, yang lebih menekankan pada pentinganya kemampuan
(empowerment) manusia yaitu kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan segala
potensinya sebagai manusia (Korten, 1998)..
Mengenai pendidikan kepada masyarakat, Conyers (1994) mengemukakan
bahwa sangatlah penting dan diperlukan adanya komponen pendidikan dalam setiap
bentuk perencanaan pembangunan partisipatif. Masyarakat harus faham bagaimana
sistem pengambilan keputusan bekerja, dan pilihan-pilihan apa saja yang ada bagi
mereka sehingga mereka dapat berpartisipasi secara efektif. Sejalan dengan hal ini
Suprajogo (2003) menyatakan bahwa dalam konteks otonomi daerah, masyarakat lokal
yang lebih memahami kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi harus diberdayakan
ataupun ditingkatkan kapasitasnya agar mereka lebih mampu mengenali
kebutuhankebutuhannya. Pembangunan dengan melibatkan masyarakat ini tidak
terlepas dari konsep Arnstein dalam Oetomo (1997) tentang tangga partisipasi
warganegara yang dibagi ke dalam tiga tahap. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
5
Tabel 2.1
Tiga Tahap Partisipasi Warga Negara
A. Kekuatan Masyarakat
1. Kontrol warga negara (Citizen Control)
Kontrol warga yang dimaksud adalah bukan kewenangan tanpa control
(absolut power). Pada tahap ini partisipasi sudah mencapai tahap akhir
dimana publik memiliki kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan
dan mengawasi pengelolaan sumberdaya public
2. Delegasi kewenangan (Delegated power)
Pada tahap ini masyarakat sudah memiliki kewenangan yang lebih besar
dibanding penyelenggaraan negara. Contohnya adalah jumlah keanggotaan
masyarakat yang lebih besar dalam dewan kota ataupun adanya hak veto
bagi masyarakat dalam suatu dewan perencanaan. Tantangannya lagi-lagi
adalah mewujudkan akuntabilitas dan menyediakan sumberdaya yang
memadai bagi kelompok dimaksud
3. Kemitraan (Partnership)
Kekuatan pada tahap ini sebenamya sudah terbagi secara relatif seimbang
antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan dan sudah menjadi
kemitraan di antara kedua belah pihak untuk membicarakan perencanaan
dan pengembangan keputusan bersama misalnya melalui komite
perencanaan, dewan kebijakan bersama, dan lainnya. Sayangnya dalam
tahap ini inisiatif dan komitmen baru timbul setelah adanya desakan public
yang kuat untuk menjalankan proses yang partisipatif. Dalam tahap ini
beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
a. keterwakilan dan akuntabilitas wakil kelompok
b. kemampuan masyarakat untuk membekali kelompoknya dengan
keahlian yang dibutuhkan seperti penasehat hukum, teknisi dan
lainnya
B. Semu (Tokenisme)
4. Peredam (Piaction)
Dalam tahap ini masyarakat sudah mulai memilih pengaruh terhadap
kebijakan. Namun sayangnya sifatnya masih belum genuine. Keberhasilan
partisipasi pada tahap ini masih ditentukan oleh besamya dan solidnya
kekuatan masyarakat untuk menyampaikan kepentingannya. Dalam tahap
ini bentuk seperti keanggotaan masyarakat dalam dewan kota m isalnya
sudah dikenal. Namun sayangnya kadang-kadang jumlahnya tidak
signifikan sehingga bila terjadi voting dalam pengambilan keputusan
mereka dapat dikalahkan dengan mudah atau hanya sebagai penasehat,
sedangkan pengambil kebijakan tetap berada di pihak pemegang kekuasaan
6
5. Konsultasi (Consultation)
Dalam tahap ini sudah dilakukan konsultasi dan dengar pendapat
masyarakat terhadap kebijakan yang diambil, sayangnya belum diikuti
dengan jaminan pendapat masyarakat akan dipertimbangkan dalam
kebijakan yang akan dibuat. Dalam tahap ini yang diperoleh masyarakat
adalah "telah berpartisipasi dalam proses partisipasi".
6. lnformasi (Informing)
Dalam tahap ini biasanya sudah mulai dilakukan pemberian informasi
kepada masyarakat mengenai hak, tanggung jawab dan pilihan yang ada.
Sayangnya sifatnya masih satu arah hanya dari badan publik dan belum
diikuti dengan kesempatan tmtuk mengasosiasikan pilihan. Pola ini juga
biasanya digunakan dalam bentuk memberikan informasi yang tidak dalam
(sifatnya superfisial), tidak ramah terhadap pertanyaan (discouraging
questions) ataupun memberikan jawaban yang tidak benar terhadap suatu
pertanyaan.
C. Tidak Partisipasi
7. Terapi
Terapi seharusnya berada di deretan paling bawah partisipasi masyarakat
karena sifatnya yang tidak jujur dan arogan. Contohnya adalah bila ada
suatu kesalahan pejabat publik tertentu maka warga negara yang terkena
dampak dianjurkan untuk menemui pihak yang bertanggung jawab
terhadap pengelolaan dan seolah-olah pengaduan tersebut akan
ditindaklanjuti.
8. Manipulasi
Dalam bentuk ini biasanya partisipasi dimaksudkan untuk mendidik atau
membangun dukungan publik dengan memberi kesan bahwa pengambil
keputusan sudah partisipatif. Padahal keputusan tidak diambil berdasarkan
masukan dari proses partisipasi. Dalam bentuk ini biasanya yang digunakan
adalah pola pembinaan, humas (public relation) dan lainnya.
Sumber: Arnstein (1969: 216-224)
Bryant dan White (1989) mengelola peran serta (pemberdayaan) bukanlah
semata-mata melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi
proyek belaka. Dalam peran serta tersirat makna dan integritas keseluruhan proyek itu.
Peran serta merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain;
peran serta berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan
dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat; peran serta adalah
kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan pihak-pihak lain untuk suatu
kegiatan.
7
Bahwa proses pelaksanaan musrenbang kecamatan dilaksanakan melalui
tahapan penetapan fasilitator yaitu memilih tenaga terlatih yang konpetensi dalam
memandu pelaksanaan Musrenbang, penyusunan jadwal musrenbang oleh sebut tim
yang dibentuk oleh Camat yang terdiri dari akademisi, tokoh masyarakat, LSM dan
keterwakilan perempuan dengan memperimbangkan kemampuan dan komitmen untuk
aktif dan terlibat dalam seluruh tahap penyelenggaran Musrenbang, persiapan bahan dan
materi musrenbang, penetapan jadwal pelaksanaan musrenbang dan pelaksanaan
musyawaran untuk merumuskan dan menetapkan prioritas-prioritas rencana
pembangunan, dimana proses tersebut diharapkan menedapat dukungan dan partsipasi
aktif masyarakat melalui serangkaian bentuk partisipasi yang meliputi peran akantif
dalam ankses informasi, peran aktif dalam pengambilan keputusan dan peran akif dalam
pengawasan proses pelaksanaan Musrenbang.
Mrtode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih
karena peneliti ingin memperoleh gambaran tentang partisipasi masyarakat pada
pelaksanaan Musrembang Kecamatan di Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe dan
kendala-kendala atau masalah-masalah yang menghambat proses perencanaan
pembangunan daerah khususnya dengan model perencanaan parsitipatif tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa pendekatan penelitian kualitatif digunakan untuk
menggambarkan kehidupan manusia dan kasus-kasus terbatas, bersifat kasuistik, namun
mendalam (in depth) dan total atau menyeluruh (holistik).
Teknik analisis data yang dipergunakan adalah model interaktif (interactive
model of analysis) dari Miles dan Huberman (1992) dengan prosedur reduksi data,
penyajian data dan menarik kesimpulan.
Berikut ini penulis menguraikan definisi konsep dari masing-masing
varibael penelitian sebagai fenomena, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan
barbagai fenomena yang sama sehingga merupakan suatu kesatuan pengertian tentang
suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Adapun defini konsep dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Fasilitator adalah tenaga terlatih atau berpengalaman yang memiliki persyaratan
kompetensi dan kemampuan memandu pembahasan dan proses pengambilan
keputusan dalam kelompok diskusi yang piawai memandu proses musrenbang
dengan memahami sistem perencanaan nasional secara menyeluruh, memahami
koridor program daerah dalam kerangka program nasional dan kemudian
menjabarkannya menjadi langkah-langkah fasilitasi sebuah musyawarah
perencanaan di suatu level.
2. Penyusunan jadual dan agenda Musrenbang Kecamatan yaitu suatu tahap
pekgiatan yang dilakukan jadwal kegiatan Musrenbang yang disusun oleh sebut
tim yang dibentuk oleh Camat yang terdiri dari akademisi, tokoh masyarakat,
LSM dan keterwakilan perempuan dengan memperimbangkan kemampuan dan
komitmen untuk aktif dan terlibat dalam seluruh tahap penyelenggaran
Musrenbang.
3. Persiapan Bahan dan Materi Musrenbang yaitu beberapa persiapan yang
diperlukan agar kegiatan Musrenbang Kecamatan dapat berjalan dengan baik
adalah berupa alat-alat dan fasilitas Musrenbang
8
4. Bappeda Kabupaten sebagai penanggung jawab Musrenbang Kecamatan
menetapkan jadwal pelaksanaan Musrenbang Kecamatan pada masing-masing
kecamatan. kemudian Pengumuman jadual dan tempat Musrenbang.
5. Pelaksanaan Musyawarah yaitu rangkaian kegiatan rapat/musyawarah dalam
rangka pemaparan prioritas program/kegiatan kecamatann yang disampaikan
termasuk usulan pembangunan sarana prasarana wilayah.
6. Akses informasi yaitu sersedianya sarana informasi dan kemudahan dalam
mengakses informasi bagi masyrakat mengenai pelaksanaan Musrenbang.
7. Pengambilan keputusan yaitu proses kegiatan merumuskan dan menetapkan
priritas program/kegiatan rencana pembangunan yang melibatkan selururuh
peserta Musrenbang.
Hasil Penelitian
Dari fakta empiris, jika dihubungkan dengan teori maka dari delapan tangga
partsipasi menurut Arstein (dalam Mitchell, 2000: 260) bahwa tingkat partisipasi
masyarakat dalam penetapan fasilitastor Musrenbang masih berada pada tingkat
manipulasi (manipulation), yaitu bahwa dalam bentuk ini biasanya partisipasi
dimaksudkan untuk mendidik atau membangun dukungan publik dengan memberi
kesan bahwa pengambil keputusan sudah partisipatif. Padahal keputusan tidak diambil
berdasarkan masukan dari proses partisipasi. Dalam bentuk ini biasanya yang digunakan
adalah pola pembinaan, humas (public relation) dan lainnya. Dengan demikin, jelaslah
bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan masih saja terdapat
kekurangan, padalah partisipasi masyarakat ini sangat penting dengan berbagai mascam
alasan, sebagai mana dikatakan oleh para ahli.
Dari data hasil wawancara dan pengamatan di atas, penulis menganggap bahwa
tingkat partsipasi masyarakat dalam penyusunan jadual dan agenda Musrenbang masih bersifat
semu (tokenisme) melalui tahap konsultasi (Consultation). Dalam tahap ini sudah dilakukan
konsultasi dan dengar pendapat masyarakat terhadap kebijakan yang diambil, sayangnya belum
diikuti dengan jaminan pendapat masyarakat akan dipertimbangkan dalam kebijakan yang akan
dibuat.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, menunjukkan bahwa partisipasi masyararakat
pada persiapan bahan dan materi Musrenbang masih bersifat parsif, artinya masyarakat belum
memilii inisiatif untuk bertindak, atau daapat dikalatakan bahwa pola perencanaaan belum
meninggalkan pola yang lama yaitu masih bersifat top-down.
Dengan demikian yang terjadi adalah mekanisme bottom up yang seharusnya
mendasari pelaksanaan Musrenbangdes telah tergantikan dengan dominasi dari para elit
sehingga proses perumusan kebijakan dalam Musrenbangdes menjadi bersifat top down yang
berarti kebijakan berasal dari aspirasi atau ide dari kaum elit atau kaum yang memeiliki
kekuasaan bukan berasal dari pendapat masyarakat secara umum. Selain itu juga terjadi
pergeseran makna dari partisipasi masyarakat menjadi partisipasi elitis dimana partisipasi yang
dilakukan hanya terfokus pada cara kekuasaan yang dikonsentrasikan. Kekuasaan disini tidak
hanya dimiliki oleh pemerintah kecamatan Anggaberi namun juga kaum elit atau tokoh
masyarakat yang hadir dalam Musrenbangdes. Sehingga hal ini akan mempengaruhi produk dari
Musrenbangdes dimana sebagian besar dari daftar prioritas program yang akan dilaksanakan
merupakan program yang berasal dari kaum elit kecamatan yang memiliki kepentingannya
masing-masing.
Intensitas partisipasi masyarakat dalam mengumumkan agenda dan jadual
Musrenbang adalah termasuk partisipasi pasif, meskipun kita ketahui bahwa partisipasi ini
9
sangat penting sebagaimana dikatakab oleh Rowe dan Freyer (2004:512), bahwa partisipasi
masyarakat adalah proses konsultasi dan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan agenda,
pengambilan keputusan dan membentuk kebijakan kegiatan lembaga yang bertanggung jawab
untuk pembangunan kebijakaan.
Pendekatan pembangunan yang dilakan di Kecamatan Anggaberi tidak
menggunakan pendekatan governance karena sebagaimana dijelaskan oleh para pakar bahwa
dalam bidang pemerintahan, partisipasi masyarakat merupakan salah satu dimensi governance.
Menurut Utomo (2006: 212), governance merupakan konsep yang menggambarkan kondisi
ketika pemerintah (government) bukan lagi satu-satunya pihak yang menjalankan pemerintahan.
Miftah Thoha (dalam Pramusinto & Wahyudi, 2009: 299) mengemukakan bahwa konsep
governance merupakan konsep demokratis. Menurutnya konsep penyelenggaraan pemerintahan
yang baik terletak seberapa jauh konstelasi antara tiga komponen rakyat, pemerintah dan
pengusaha berjalan secara kohesif, selaras, kongruen dan sebanding. Apabila sistem
keseimbangan di antara ketiganya tidak berjalan baik, berbagai penyimpangan dapat terjadi.
Akses informasi masyarakat hanya terbatas pada kelompok-kelompok tertentu saja,
yaitu mereka yang berada pada lingkaran kekuasaan atau punya peran formal di pemerintahan,
mereka yang berpendidikan lebih tinggi atau kemampuan sosial lainnya sebaliknya kelompokkelompok masyarakat yang memiliki kapasitas sosial yang terbatas atau diluar lingkaran
kekuasaan, beperdidikan rendah dan kemampuan ekonomi rendah akses informasinya pun
terbatas sehingga mereka semakin tidak berdaya.
Proses pengambilan keputusan pada pelaksanaan Musrenbang Kacamatan
Anggaberi, sebagaimana pula dapat dilihat pada daftar hadir Musrenbang (terlampir),
hanya dihadiri oleh aparat kecamatan, aparat kelurahan dan ketua-ketua RW/RT yang
diundang, tidak ada yang mewakili kelompok perempuan, perwakilan pelaku usaha,
tokoh masyarakat, kelompok marginal.
Dalam konteks penyelenggaraan Musrenbang, sistem akuntabilitas terutama
dalam hal penyiapan daftar usulan kegiatan dan penyampaian usulan kegiatan terdiri
dari beberapa elemen yaitu kejelasan akan siapa yang meberikan dan menerima mandat,
kejelasan tentang kewajiban dan norma yang menjadi mandat, dan kejelasan mekanisme
kontrol dan pelaporan. Dari pengamatan terhadap pengalaman penyelenggaraan
Musrenbang di Kecamatan Anggaberi, perhatian akan akuntabilitas lebih ditekankan
pada akuntabilitas penyampaian usulan program ke tingkatan Musrenbang yang lebih
tinggi, dibandingkan akuntabilitas pada penyiapan materi usulan kegiatan yang akan
dibahas dalam Musrenbang.
Kesimpulan
Pada tahap pembentukan fasilitator dan mempersiapkan bahan dan materi
Musrenbang, banyak warga tidak hadir, yang hadirpun tidak aktif dalam menentukan
fasilitator, demikian pula halnya pada tahapan penyusunan jadual dan agenda, sebagian
besar warga tidak hadir. Demikian pula halnya pada tahapan mengumumkan jadwal,
agenda dan tempat serta Pelaksanaan Musrenbang, dimana sebagian besar warga tidak
menghadiri proses ini. Hal inilah yang kemudian menyebabkan tingkat partisipasi
masyarakat Kecamatan Anggaberi dalam Musrenbang menjadi rendah. Kondisi
terserbut menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Anggaberi masih kurang
memahami dan penyadadari pentingnya partisipasi mereka dalam proses pembangunan,
dimana kehadiran dan keaktifan mereka dalam proses ini sangat menunjang
pembangunan.
Bentuk partisipasi masyarakat pada pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan
Anggaberi diukur dari tiga tangga partsipasi yaitu akses terhadap informasi, keterlibatan
10
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan peranan masyarakat dalam
mengawasi pelaksanaan Musrenbang. Akses masyarkat terhadap informasi kurang baik
karena informasi lambat sampai kepada masyarakat bahkan tidak semua masyarakat
dapat mengetahu informasi pelaksanaan murembang. Tidak semua proses pelaksanaan
Musrenbang kecamatan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,
intervensi politik dan birokrasi dalam pengmabilan keputusan masih dominan.
Pengawasan masyarakat terhadap pelaksanaan Musrenbang belum maksimal dan
cenderung bersifat masa bodoh.
Rekomendasi
Hasil studi ini menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam
Musrenbang masih kurang sehingga menyebabkan proses pembangunan dan hasilnya di
Kecamatan Anggaberi kurang optimal dan berhasil guna. Hal ini perlu ditindaklanjuti
dan diperlukan intervensi dari intasi terkait untuk memberikan pengenalan, arahan,
pelatihan, dan penyadaran akan arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, sehingga diharapkan pembangunan pada masa selanjutnya, mereka akan
aktif dan berpartisipasi dalam segala bentuk pembangunan.
Adanya keterbatasan instasi terkait akan pengenalan, penyediaan informasi
dan pelatihan partisispasi masyarakat dan proses penjaringan aspirasi masyarkat dalam
pembangunan serta intervensi elit politik dan birokrasi yang dominan, diharapkan dapat
ditanggapi oleh masyarakat dengan cara lebih menyadari arti pentingnya proses
partisipasi dalam pembangunan
Dafatr Pustaka
Yogyakarta.
Arnstein, S.R. (1969), “A ladder of citizen participation”, Journal of the American
Institute of Planners, Vol. 35 No. 4, pp. 216-224.
Arsyad, L. 2004. Ekonomi Pembangunan. BPSTIE YKPN. Yogyakarta
Arsyad, L. 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah,
BPSTIE YKPN, Yogyakarta.
Babbie, Earl. 1995. The Practice of Social Research. Belmont CA: Wadsworth
Publishing Company
Bryant, Coralie dan White, Louise G, 1987, Manajemen Pembangunan Untuk Negara
Berkembang, Penerjemah Rusyanto L. Simatupang, LP3ES, Jakarta.
Bryant, Coralie dan White, Louise G, 1989, Managing Development in ThirdWorld,
Westview Press, Boulder, Colorado.
Charlick, R. B. 2001. Popular participation and local government reform. Public
Administration and Development, Vol.21, pp.149-157.
11
Cohen and Uphoff. 1977. Rural Development Participation. Cornel University. New.
York. Downey, D. A
Conyers, Diana dan Hills, Peter. 1992. An Introduction to Development Planning in The
Third World. Jhon Wiley dan sons. New York
Conyers, Diana, 1994, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar,
Terjemahan Setiawan dan Affan Ghafar, UGM Press, Yogyakarta.
Conyers,
Diana.
1994.Perencanaan
Sosial
di
Dunia
Pengantar.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
Ketiga:
Suatu
Corburn, J. 2003. Bringing local knowledge into environmental decision making Improving urban planning for communities at risk. Journal of Planning
Education and Research, Vol.22, No.4, pp.420-433.
Dwijowijoto dan Nugroho, Riant, 2001, Reinventing Indonesia : Menata U/ang
MAnjemen Pemerintahan Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, Elex
Media Komputerindo, Jakarta.
Dwiyanto, Agus 2002, Governance and Decentralization Swvey, Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Elliot, M. L. P. (1999) The role of facilitators, mediators, and other consensus building
practitioners. IN Susskind, L., Mckearnan, S. & Thomas-Larmer, J. (Eds.)
The consensus building handbook : a comprehensive guide to reaching
agreement. Thousand Oaks, Calif. ; London, Sage Publications.
Grimble, R. & Wellard, K. 1997. Stakeholder methodologies in natural resource
management: a review of principles, contexts, experiences, and
opportunities. Agricultural Systems, Vol. 55, No. 2, pp. 173-193.
Handayaningrat, Soewarno, 1980, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan. Manajemen,
CV Haji Masagung, Jakarta.
Hirokawa, R. Y. & Scheerhorn, D. R. 1986. Communication in Faulty Group DecisionMaking. IN Hirokawa, R. Y. & Poole, M. S. (Eds.) Communication and
Group Decision-making. California, Sage Publications, Inc.
Islamy, M. lrfan, 2001, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Cetakan
Kesembilan Bumi Aksara, Jakarta.
Kartasasmita, Ginanjar. 1997.Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Korten, David dan Syahrir, 1998, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan
Obor, Jakarta.
Korten, David, 2001, Menuju Abad ke 21 : Tindakan Sukarela dan Agenda Global,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
12
Kunarjo, 2002, Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan, Penerbit Ul,
Jakrata.
Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: reformasi,
Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Erlangga. Jakarta
Lembaga Administrasi Negara, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul
Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP),
Jakarta.
Lourenco, R. P. & Costa, J. P. 2007. Incorporating citizens' views in local policy
decision making processes. Decision Support Systems, Vol.43, No.4,
pp.1499-1511.
lshomuddin, 2001, Diskursus Politik dan Pembangunan, Universitas Muhammadiyah,
Malang.
McNabb, David E., 2002, Research Methods in Public Administration and Nonprofit
Management Quantitative and Qualitative Approach, M.E Sharpe New
York.
Michael, Todaro. 1977.Pembangunan ekonomi di dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta.
Miles B. Mathew dan A. Michell Huberman, 1992, Ana/isis Data Kualitatif, Universitas
Indonesia Press, Jakarta.
Milles, MB & Hubberman, AM. 2014. Analisis Data Kualitatif, Terjemahan oleh
Tjetjep Rohidi dan mulyarto, UI Percetakan, Jakarta.
Mintzberg, Henry, 1998, The Rise and Fall of Strategy Planning, The Free Press, New
York.
Mirza, Iskandar, 1998, lmplementasi Kebijaksanaan Pembangunan Desa dan
Dampaknya Terhadap Kesejahteraan suatu studi di Desa Cibeusi dan Oesa
Sayang Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang, Tesis, tidak diterbitkan
Moleong, Lexy J., 2005, Metodelogi Penelitian Kua/itatif, Edisi Revisi PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Munir, Badrul, 2002, Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Perspektif Otonomi
Daerah, Badan Penerbit Bappeda, NTB.
Nazwar, et.al. 2003, Koalisi Aktor dalam lmplementasi Kebijakan, Jurnal llmiah
Administrasi Publik, Volume IV Nomor 1, FIA Universitas Brawijaya
Malang
Ndraha, Taliziduhu, 1985, Peran Administrasi Pemerintah Desa dalam Pembangunan
Desa, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
13
Newman, W. Lawrence, 1997, Social Research Methods Qualitative Approach,
University of Wisconsin at White Water, Boston.
Oetomo, Andi, 1997, Konsep dan lmplementasi Penerapan Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang Di Indonesia, Jurnal Perencanaan Wilayah dan
Kota.
Pramusinto, Agus, Wahyudi Kumorotomo (ed.). 2009. Governance Reform di
Indonesia: Mancari Arsah Kelembangaan Politik yang Demokratis dan
Birokrasi yang Profesonal. Gava Media: Yogyakarta.
Resi, Adrianus, lsmani H.P. dan Soesilo Zauhar, 2005, lnteraksi Birokrasi Pemerintah
dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pembangunan, Jurnal llmiah
Administrasi Publik. Volume V Nomor 1, FIA, Universitas Brawijaya
Malang.
Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusuma. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah,
Strategi Mengga/i Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Rofikoh, Nurul, 2006, Mewujudkan Good Local Governance Melalui Transparansi dan
Akuntabilitas Anggaran Publik, Jumal Kebijakan dan Administrasi Publik,
Vol 10 Nomor 1 , MAP UGM, Yogyakarta.
Rowe, Gene and Lynn J. Frewer. 2004. Evaluating Public-Participation Exercises: A
Research Agenda. Science, Technology, & Human Values, Vol.29, No.4,
pp. 512-557
Santoso, B. 2005. Manajemen Pembangunan Berbasis Masyarakat (Perencanaan
Pembangunan Partisipatif). Jember: Komunitas Alumni Perform Projects.
Siagian, Sondang P. 1984. Proses Pengelolaan Pembangunan Nasional. PT Gunung
Agung. Jakarta
Siagian, Sondang P.2003. Administrasi Pembangunan, Konsep, Dimensi dan
Strateginya. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Effendi Sofian, 1987, Metode Penelitian Survay, Edisi Revisi,
LP3ES, Jakarta.
Siregar. I. 2001, Tesis Penanggulanagn kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat
nelayan, Universitas Indonesia, Depok.
Slamet, 1994, Partisipasi di Ldalam Lembaga Sosial Desa, Tesis Magister Administrasi
Publik, Program Pasc-asarjana Universitas Brawijaya Soekartawi, 1990,
Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan Daerah, CV. Rajawali, Jakarta.
Soegijoko, S, Budhi Tjahjati, dan Kusbiantoro, 1997. Bunga Rampai Perencanaan
Pembangunan Di Indonesia, Grasindo, Jakarta.
14
Soekartawi, 1990, Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan Daerah, CV. Rajawali,
Jakarta.
Soekartawi, 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi.
Cobb Douglas. Rajawali Press. Jakarta.
Soetarto, Soedibyo dan Suharsono, 1991, Organisasi Program Pembangunan
Berkelanjutan, hasil penelitian di Jawa Tengah.
Soewignyo. 1986. Pembangunan Desa dan. Sumber Pendapatan Desa, Ghalia.
Indonesia, Jakarta
Suherman,Nandang, 2000, Pengembangan Partisipatif di Jatinangor, Tesis
Sulistiyani, Ambar Teguh. (2004). Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan.
Yogyakarta: Gava Media.
Sumodiningrat, Gunawan, 1999, Kemiskinan : Teori, Fakta dan Kebijakan, lmpac,
Jakarta.
Suprajogo, Tjahjo, 2003, Makna Otonomi Daerah bagi Pemberdayaan Masyarakat
Lokal, Jumal llmu Pemerintahan, Widya Praja, Volume XXIX Nomor 2,
lnstitut llmu Pemerintahan Jakarta.
Susanto, Hery, 2003, Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal, PT. Dyatama Milenia,
Jakarta.
Suwignyo, 1986, Administrasi Pembangunan Desa Dan Sumber-sumber Pendapatan,
Ghalia, Jakarta.
Syahroni. 2002. Pengertian Dasar dan Generik Tentang Perencanaan Pembangunan
Daerah. German Technical Cooperation-GTZ. Jakarta
Tikson, D.T, 1999, Perencanaan Partisipatif, Modul Perencanaan Pembangunan,
Program Diklat Teknis dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tingkat
Lanjutan, Kerjasama UNHA.S dan OTO-Bappenas, Jakarta.
Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya, AR. 1988. Kebijaksanaan dan
Administrasi Pembangunan, Perkembangan Teori dan penerapan. Cetakan
ke tujuh belas. LP3ES: lakarta
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1993, Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan,
Perkembgan Teori dan Penerapan, LP3ES, Jakarta
Tjokroamidjojo, Bintoro, 2002, Reformasi Penyelenggaraan Good Governance Dan
Perwujudan Masyarakat Madani, LAN-RI Jakarta.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1996. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: PT. Gunung
Agung. Jakarta.
15
Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar
Offset, Yogyakarta.
Todaro Michael P. 2004, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Buku 1,
Diterjemahkan oleh Harris Munandar. Erlangga. Jakarta.
Todaro Michael P. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Buku 2,
Diterjemahkan oleh Harris Munandar. Erlangga. Jakarta.
Urbanus, M. Ambandi dan S. Prihantoro, 2002, Pengembangan Wi/ayah dan Otonomi
Daerah, CV. Cahaya lbu, Jakarta. Wahyudi, lsa, 2006, Metodologi
Perencanaan Partisipatif, MCW dan YAPPIKA, Jakarta
USAID, 2007. “Bahan Pelatihan Fasilitator Forum SKPD dan Musrenbang Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)”. Jakarta: Local Governance Support
Program.
Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigrma
dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Wahab, Solichin Abdul, 2001, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi Ke
ImplementasiKebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Wibawa, Samodra, 1994, Kebijakan Publik : Prosesdan Analisis, Intermedia, Jakarta.
Widodo, Joko, 2001, Good Governance : Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan
Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan
Cendekia, Surabaya.
Winarno, Budi, 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, Pusat Antar UniversitasSosial UGM, Yogyakarta.
Studi
Wrihatnolo, Randy R., Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2006. Manajemen Pembangunan
Indonesia. PT. Elex Media Komputindo: Jakarta.
16
Download