PENGESAHAN NASKAH JURNAL Judul : Partisipasi Masyarakat pada Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe Nama : Siti Rostini Nomor Induk Mahasiswa : G2 C1 15 003 Program Studi : Administrasi Pembangunan Kendari, Juni 2017 Menyetujui Komisi Pembimbing, Dr. H. Muhammad Basri, M.Si Ketua Dr. La Ode Mustafa R., M.Si Anggota 1 PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) KECAMATAN ANGGABERI KABUPATEN KONAWE Siti Rostini1, Muhammad Basri2, La Ode Mustafa3 1 Mahasiswa Pascasarjana Magister Administrasi Pembangunan Universitas Halu Oleo Dosen Jrusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Halu Oleo 3 Dosen Jrusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Halu Oleo 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan intensitas partisipasi masyarakat pada Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) dan menjelaskan bentuk partisipasi masyarkat pada pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Adapun narasumber penelitian ini diantaranya adalah aparat Kecamatan dan aparat Desa serta stakeholder lainnya di Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa wawancara, observasi serta dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat pada setiap tahap pelaksanaan Musrenbang masih rendah karena masyarakat kurang memahami dan penyadadari pentingnya partisipasi mereka dalam proses pembangunan, dimana kehadiran dan keaktifan mereka dalam proses ini sangat menunjang pembangunan. Bentuk partisipasi masyarakat melalui akses informasi kurang baik karena informasi lambat sampai kepada masyarakat dan tidak semua masyarakat dapat mengetahu informasi pelaksanaan murembang, masyarakat kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, pengawasan masyarakat terhadap pelaksanaan Musrenbang masih rendah. Rekomendasi penelitian ini adalah intervensi dari intasi terkait untuk memberikan pengenalan, arahan, pelatihan, dan penyadaran akan arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kata Kunci: Partisipasi, pembangunan, perencanaan, masyararakat. Penduhuluan Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997: 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama. Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang 2 desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah. Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal. Melalui pemerintahan yang desentralistik, akan terbuka wadah demokrasi bagi masyarakat lokal untuk berperan serta dalam menentukan nasibnya, serta berorientasi kepada kepentingan rakyat melalui pemerintahan daerah yang terpercaya, terbuka dan jujur serta bersikap tidak mengelak tanggung jawab (passing the buck) sebagai prasyarat terwujudnya pemerintahan yang akuntabel dan mampu memenuhi asas-asas kepatutan dalam pemerintahan (good governance). Konsep good governance sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini banyak dibicarakan dalam berbagai konteks dan menjadi issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan pemerintahan dan pelayanan kepada publik. Tuntutan ini sebagai akibat dari pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dirasakan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah atau dengan kata lain semakin tidak efektifnya pemerintahan disamping semakin berkembangnya kualitas demokrasi, hak asasi manusia dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Jadi ada tekanan untuk mendefinisikan ulang terhadap peran-peran pemerintahan dalam hubungannya dengan masyarakat dan sektor swasta. Sebagai suatu alternatif pengelolaan pemerintahan, konsep good governance berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam aktor kelembagaan di semua level/tingkat dalam negara, yakni pemerintah, swasta dan civil society dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Dalam konteks ini, United Nations Development Programme (LAN, 2000; 5) mengemukakan bahwa pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Pada tataran ini, perlu adanya keseimbangan hubungan yang sehat antara aktor (domain), sehingga tidak boleh ada aktor kelembagaan di dalam good governance yang mempunyai kontrol yang absolut. Melalui paradigma good governance sebagai alternatif penyelenggaraan pemerintahan, potensi masing-masing stakeholders dapat diaktualisasikan dalam mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi Daerah dalam pelaksanaan 3 otonomi daerah, sehingga perlu dijamin perkembangan kreativitas dan aktivitas yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, demokratisasi serta kemandirian Daerah. Seiring dengan adanya keinginan untuk mewujudkan paradigma good governance tersebut, maka sistem penyelenggaraan pemerintah daerah di era otonomi saat ini, hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, konsistensi kebijaksanaan dan kepastian hukum. Ketika ada keinginan untuk melakukan re-definisi terhadap pola penyelenggaraan pemerintahan yang terjadi selama ini dan pada saat yang bersamaan pula kebijakan otonomi daerah digulirkan, pertanyaan yang segera muncul adalah apakah dengan demikian, pembangunan akan lebih dekat dengan masyarakat atau dengan kata lain pemerintah, melalui kebijakan-kebijakannya akan lebih berpihak kepada masyarakat dan dunia usaha, disamping seberapa besar akses yang dimiliki oleh para stakeholder untuk turut serta mengambil bagian dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perencanaan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dan dunia usaha menjadi salah satu syarat untuk mengembangkan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance), sebab perencanaan merupakan proses awal, sebelum langkah-langkah yang bakal mempengaruhi kehidupan masyarakat berjalan. Asumsi ini didasarkan pada pemikiran bahwa jika dalam perencanaan telah dengan sengaja mengabaikan suara rakyat, maka dengan sendirinya langkah-langkah yang akan diciptakan bisa mengancam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, jika perencanaan disusun dengan melibatkan masyarakat, maka besar kemungkinan akan mendekatkan kegiatan pemerintahan dan pembangunan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip dan tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakni pengembangan kehidupan demokrasi, pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran serta masyarakat. Penelitian ini bertujuan Untuk mendeskripsikan intensitas partisipasi masyarakat pada proses pelasanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe. Untuk menjelaskan bentuk partisipasi masyarakat pada Pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe. Tinjauan Pustaka Pembagunan secara umum dapat diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Ndraha (1985), menyatakan bahwa pembangunan (development) adalah segala upaya untuk mewujudkan perubahan sosial besar-besaran menuju suatu keadaan yang lebih baik. Sedangkan Korten (1998), mendefinisikan pembangunan sebagai proses dimana angotaanggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikanperbaikan yang berkelanjutan dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka sendiri. Siagian (2003), pembangunan adalah suatu usaha atau merangkaikan usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa dan negara serta pemerintah menuju modemisasi dalam rangka pembinaan bangsa (nations building). Menurut Todaro (2004) harus diartikan secara luas dart hanya sekedar pemenuhan kebutuhan materi di daleim kehidupan manusia, pembangunan seharusnya merupakan proses multidimensi yang meliputi perubahan 4 organisasi dan orientasi seluruh sistem sosial dan ekonomi, sehingga pembangunan daerah adalah proses multidimensi pembangunan suatu daerah. Lebih lanjut Bryan dan White (1989) menyatakan bahwa pembangunan yang "people centered" merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam menentukan nasib dan masa depannya, ini berarti melibatkan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan proses pembangunan. Dari pengertian tersebut pembangunan berwawasan 'people centered" dalam implikasinya akan mencakup beberapa pengertian, antara lain (1) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok (capacity); (2) Pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan pemerataan sistem nilai dan kesejahteraan (equity); (3) Pembangunan berarti manaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesepakatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutu'>kan (empowermwnt); (4) Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri dan berkelanjutan (sustainabi/ity); (5) Pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu tet hadap negara yang lain dengan menciptakan hubungan yang sating menguntungkan (simbiosis mutua/is) dan sating menghormati (interdependensi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembangunan yang berwawasan manusia (community development) terdapat dua pandangan yaitu: pertama, production centered development, yang lebih menempatkan manusia sebagai instrument atau obyek dalam pembangunan. Hal ini berorientasi pada produktivitas yang berhubungan dengan kemakmuran yang metimpah atau manusia dipandang sebagai faktor produksi. Kedua, People centered development, yang lebih menekankan pada pentinganya kemampuan (empowerment) manusia yaitu kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan segala potensinya sebagai manusia (Korten, 1998).. Mengenai pendidikan kepada masyarakat, Conyers (1994) mengemukakan bahwa sangatlah penting dan diperlukan adanya komponen pendidikan dalam setiap bentuk perencanaan pembangunan partisipatif. Masyarakat harus faham bagaimana sistem pengambilan keputusan bekerja, dan pilihan-pilihan apa saja yang ada bagi mereka sehingga mereka dapat berpartisipasi secara efektif. Sejalan dengan hal ini Suprajogo (2003) menyatakan bahwa dalam konteks otonomi daerah, masyarakat lokal yang lebih memahami kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi harus diberdayakan ataupun ditingkatkan kapasitasnya agar mereka lebih mampu mengenali kebutuhankebutuhannya. Pembangunan dengan melibatkan masyarakat ini tidak terlepas dari konsep Arnstein dalam Oetomo (1997) tentang tangga partisipasi warganegara yang dibagi ke dalam tiga tahap. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 5 Tabel 2.1 Tiga Tahap Partisipasi Warga Negara A. Kekuatan Masyarakat 1. Kontrol warga negara (Citizen Control) Kontrol warga yang dimaksud adalah bukan kewenangan tanpa control (absolut power). Pada tahap ini partisipasi sudah mencapai tahap akhir dimana publik memiliki kewenangan untuk memutuskan, melaksanakan dan mengawasi pengelolaan sumberdaya public 2. Delegasi kewenangan (Delegated power) Pada tahap ini masyarakat sudah memiliki kewenangan yang lebih besar dibanding penyelenggaraan negara. Contohnya adalah jumlah keanggotaan masyarakat yang lebih besar dalam dewan kota ataupun adanya hak veto bagi masyarakat dalam suatu dewan perencanaan. Tantangannya lagi-lagi adalah mewujudkan akuntabilitas dan menyediakan sumberdaya yang memadai bagi kelompok dimaksud 3. Kemitraan (Partnership) Kekuatan pada tahap ini sebenamya sudah terbagi secara relatif seimbang antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan dan sudah menjadi kemitraan di antara kedua belah pihak untuk membicarakan perencanaan dan pengembangan keputusan bersama misalnya melalui komite perencanaan, dewan kebijakan bersama, dan lainnya. Sayangnya dalam tahap ini inisiatif dan komitmen baru timbul setelah adanya desakan public yang kuat untuk menjalankan proses yang partisipatif. Dalam tahap ini beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah : a. keterwakilan dan akuntabilitas wakil kelompok b. kemampuan masyarakat untuk membekali kelompoknya dengan keahlian yang dibutuhkan seperti penasehat hukum, teknisi dan lainnya B. Semu (Tokenisme) 4. Peredam (Piaction) Dalam tahap ini masyarakat sudah mulai memilih pengaruh terhadap kebijakan. Namun sayangnya sifatnya masih belum genuine. Keberhasilan partisipasi pada tahap ini masih ditentukan oleh besamya dan solidnya kekuatan masyarakat untuk menyampaikan kepentingannya. Dalam tahap ini bentuk seperti keanggotaan masyarakat dalam dewan kota m isalnya sudah dikenal. Namun sayangnya kadang-kadang jumlahnya tidak signifikan sehingga bila terjadi voting dalam pengambilan keputusan mereka dapat dikalahkan dengan mudah atau hanya sebagai penasehat, sedangkan pengambil kebijakan tetap berada di pihak pemegang kekuasaan 6 5. Konsultasi (Consultation) Dalam tahap ini sudah dilakukan konsultasi dan dengar pendapat masyarakat terhadap kebijakan yang diambil, sayangnya belum diikuti dengan jaminan pendapat masyarakat akan dipertimbangkan dalam kebijakan yang akan dibuat. Dalam tahap ini yang diperoleh masyarakat adalah "telah berpartisipasi dalam proses partisipasi". 6. lnformasi (Informing) Dalam tahap ini biasanya sudah mulai dilakukan pemberian informasi kepada masyarakat mengenai hak, tanggung jawab dan pilihan yang ada. Sayangnya sifatnya masih satu arah hanya dari badan publik dan belum diikuti dengan kesempatan tmtuk mengasosiasikan pilihan. Pola ini juga biasanya digunakan dalam bentuk memberikan informasi yang tidak dalam (sifatnya superfisial), tidak ramah terhadap pertanyaan (discouraging questions) ataupun memberikan jawaban yang tidak benar terhadap suatu pertanyaan. C. Tidak Partisipasi 7. Terapi Terapi seharusnya berada di deretan paling bawah partisipasi masyarakat karena sifatnya yang tidak jujur dan arogan. Contohnya adalah bila ada suatu kesalahan pejabat publik tertentu maka warga negara yang terkena dampak dianjurkan untuk menemui pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dan seolah-olah pengaduan tersebut akan ditindaklanjuti. 8. Manipulasi Dalam bentuk ini biasanya partisipasi dimaksudkan untuk mendidik atau membangun dukungan publik dengan memberi kesan bahwa pengambil keputusan sudah partisipatif. Padahal keputusan tidak diambil berdasarkan masukan dari proses partisipasi. Dalam bentuk ini biasanya yang digunakan adalah pola pembinaan, humas (public relation) dan lainnya. Sumber: Arnstein (1969: 216-224) Bryant dan White (1989) mengelola peran serta (pemberdayaan) bukanlah semata-mata melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi proyek belaka. Dalam peran serta tersirat makna dan integritas keseluruhan proyek itu. Peran serta merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain; peran serta berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat; peran serta adalah kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan pihak-pihak lain untuk suatu kegiatan. 7 Bahwa proses pelaksanaan musrenbang kecamatan dilaksanakan melalui tahapan penetapan fasilitator yaitu memilih tenaga terlatih yang konpetensi dalam memandu pelaksanaan Musrenbang, penyusunan jadwal musrenbang oleh sebut tim yang dibentuk oleh Camat yang terdiri dari akademisi, tokoh masyarakat, LSM dan keterwakilan perempuan dengan memperimbangkan kemampuan dan komitmen untuk aktif dan terlibat dalam seluruh tahap penyelenggaran Musrenbang, persiapan bahan dan materi musrenbang, penetapan jadwal pelaksanaan musrenbang dan pelaksanaan musyawaran untuk merumuskan dan menetapkan prioritas-prioritas rencana pembangunan, dimana proses tersebut diharapkan menedapat dukungan dan partsipasi aktif masyarakat melalui serangkaian bentuk partisipasi yang meliputi peran akantif dalam ankses informasi, peran aktif dalam pengambilan keputusan dan peran akif dalam pengawasan proses pelaksanaan Musrenbang. Mrtode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena peneliti ingin memperoleh gambaran tentang partisipasi masyarakat pada pelaksanaan Musrembang Kecamatan di Kecamatan Anggaberi Kabupaten Konawe dan kendala-kendala atau masalah-masalah yang menghambat proses perencanaan pembangunan daerah khususnya dengan model perencanaan parsitipatif tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa pendekatan penelitian kualitatif digunakan untuk menggambarkan kehidupan manusia dan kasus-kasus terbatas, bersifat kasuistik, namun mendalam (in depth) dan total atau menyeluruh (holistik). Teknik analisis data yang dipergunakan adalah model interaktif (interactive model of analysis) dari Miles dan Huberman (1992) dengan prosedur reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan. Berikut ini penulis menguraikan definisi konsep dari masing-masing varibael penelitian sebagai fenomena, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan barbagai fenomena yang sama sehingga merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Adapun defini konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Fasilitator adalah tenaga terlatih atau berpengalaman yang memiliki persyaratan kompetensi dan kemampuan memandu pembahasan dan proses pengambilan keputusan dalam kelompok diskusi yang piawai memandu proses musrenbang dengan memahami sistem perencanaan nasional secara menyeluruh, memahami koridor program daerah dalam kerangka program nasional dan kemudian menjabarkannya menjadi langkah-langkah fasilitasi sebuah musyawarah perencanaan di suatu level. 2. Penyusunan jadual dan agenda Musrenbang Kecamatan yaitu suatu tahap pekgiatan yang dilakukan jadwal kegiatan Musrenbang yang disusun oleh sebut tim yang dibentuk oleh Camat yang terdiri dari akademisi, tokoh masyarakat, LSM dan keterwakilan perempuan dengan memperimbangkan kemampuan dan komitmen untuk aktif dan terlibat dalam seluruh tahap penyelenggaran Musrenbang. 3. Persiapan Bahan dan Materi Musrenbang yaitu beberapa persiapan yang diperlukan agar kegiatan Musrenbang Kecamatan dapat berjalan dengan baik adalah berupa alat-alat dan fasilitas Musrenbang 8 4. Bappeda Kabupaten sebagai penanggung jawab Musrenbang Kecamatan menetapkan jadwal pelaksanaan Musrenbang Kecamatan pada masing-masing kecamatan. kemudian Pengumuman jadual dan tempat Musrenbang. 5. Pelaksanaan Musyawarah yaitu rangkaian kegiatan rapat/musyawarah dalam rangka pemaparan prioritas program/kegiatan kecamatann yang disampaikan termasuk usulan pembangunan sarana prasarana wilayah. 6. Akses informasi yaitu sersedianya sarana informasi dan kemudahan dalam mengakses informasi bagi masyrakat mengenai pelaksanaan Musrenbang. 7. Pengambilan keputusan yaitu proses kegiatan merumuskan dan menetapkan priritas program/kegiatan rencana pembangunan yang melibatkan selururuh peserta Musrenbang. Hasil Penelitian Dari fakta empiris, jika dihubungkan dengan teori maka dari delapan tangga partsipasi menurut Arstein (dalam Mitchell, 2000: 260) bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam penetapan fasilitastor Musrenbang masih berada pada tingkat manipulasi (manipulation), yaitu bahwa dalam bentuk ini biasanya partisipasi dimaksudkan untuk mendidik atau membangun dukungan publik dengan memberi kesan bahwa pengambil keputusan sudah partisipatif. Padahal keputusan tidak diambil berdasarkan masukan dari proses partisipasi. Dalam bentuk ini biasanya yang digunakan adalah pola pembinaan, humas (public relation) dan lainnya. Dengan demikin, jelaslah bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan masih saja terdapat kekurangan, padalah partisipasi masyarakat ini sangat penting dengan berbagai mascam alasan, sebagai mana dikatakan oleh para ahli. Dari data hasil wawancara dan pengamatan di atas, penulis menganggap bahwa tingkat partsipasi masyarakat dalam penyusunan jadual dan agenda Musrenbang masih bersifat semu (tokenisme) melalui tahap konsultasi (Consultation). Dalam tahap ini sudah dilakukan konsultasi dan dengar pendapat masyarakat terhadap kebijakan yang diambil, sayangnya belum diikuti dengan jaminan pendapat masyarakat akan dipertimbangkan dalam kebijakan yang akan dibuat. Berdasarkan hasil wawancara di atas, menunjukkan bahwa partisipasi masyararakat pada persiapan bahan dan materi Musrenbang masih bersifat parsif, artinya masyarakat belum memilii inisiatif untuk bertindak, atau daapat dikalatakan bahwa pola perencanaaan belum meninggalkan pola yang lama yaitu masih bersifat top-down. Dengan demikian yang terjadi adalah mekanisme bottom up yang seharusnya mendasari pelaksanaan Musrenbangdes telah tergantikan dengan dominasi dari para elit sehingga proses perumusan kebijakan dalam Musrenbangdes menjadi bersifat top down yang berarti kebijakan berasal dari aspirasi atau ide dari kaum elit atau kaum yang memeiliki kekuasaan bukan berasal dari pendapat masyarakat secara umum. Selain itu juga terjadi pergeseran makna dari partisipasi masyarakat menjadi partisipasi elitis dimana partisipasi yang dilakukan hanya terfokus pada cara kekuasaan yang dikonsentrasikan. Kekuasaan disini tidak hanya dimiliki oleh pemerintah kecamatan Anggaberi namun juga kaum elit atau tokoh masyarakat yang hadir dalam Musrenbangdes. Sehingga hal ini akan mempengaruhi produk dari Musrenbangdes dimana sebagian besar dari daftar prioritas program yang akan dilaksanakan merupakan program yang berasal dari kaum elit kecamatan yang memiliki kepentingannya masing-masing. Intensitas partisipasi masyarakat dalam mengumumkan agenda dan jadual Musrenbang adalah termasuk partisipasi pasif, meskipun kita ketahui bahwa partisipasi ini 9 sangat penting sebagaimana dikatakab oleh Rowe dan Freyer (2004:512), bahwa partisipasi masyarakat adalah proses konsultasi dan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan agenda, pengambilan keputusan dan membentuk kebijakan kegiatan lembaga yang bertanggung jawab untuk pembangunan kebijakaan. Pendekatan pembangunan yang dilakan di Kecamatan Anggaberi tidak menggunakan pendekatan governance karena sebagaimana dijelaskan oleh para pakar bahwa dalam bidang pemerintahan, partisipasi masyarakat merupakan salah satu dimensi governance. Menurut Utomo (2006: 212), governance merupakan konsep yang menggambarkan kondisi ketika pemerintah (government) bukan lagi satu-satunya pihak yang menjalankan pemerintahan. Miftah Thoha (dalam Pramusinto & Wahyudi, 2009: 299) mengemukakan bahwa konsep governance merupakan konsep demokratis. Menurutnya konsep penyelenggaraan pemerintahan yang baik terletak seberapa jauh konstelasi antara tiga komponen rakyat, pemerintah dan pengusaha berjalan secara kohesif, selaras, kongruen dan sebanding. Apabila sistem keseimbangan di antara ketiganya tidak berjalan baik, berbagai penyimpangan dapat terjadi. Akses informasi masyarakat hanya terbatas pada kelompok-kelompok tertentu saja, yaitu mereka yang berada pada lingkaran kekuasaan atau punya peran formal di pemerintahan, mereka yang berpendidikan lebih tinggi atau kemampuan sosial lainnya sebaliknya kelompokkelompok masyarakat yang memiliki kapasitas sosial yang terbatas atau diluar lingkaran kekuasaan, beperdidikan rendah dan kemampuan ekonomi rendah akses informasinya pun terbatas sehingga mereka semakin tidak berdaya. Proses pengambilan keputusan pada pelaksanaan Musrenbang Kacamatan Anggaberi, sebagaimana pula dapat dilihat pada daftar hadir Musrenbang (terlampir), hanya dihadiri oleh aparat kecamatan, aparat kelurahan dan ketua-ketua RW/RT yang diundang, tidak ada yang mewakili kelompok perempuan, perwakilan pelaku usaha, tokoh masyarakat, kelompok marginal. Dalam konteks penyelenggaraan Musrenbang, sistem akuntabilitas terutama dalam hal penyiapan daftar usulan kegiatan dan penyampaian usulan kegiatan terdiri dari beberapa elemen yaitu kejelasan akan siapa yang meberikan dan menerima mandat, kejelasan tentang kewajiban dan norma yang menjadi mandat, dan kejelasan mekanisme kontrol dan pelaporan. Dari pengamatan terhadap pengalaman penyelenggaraan Musrenbang di Kecamatan Anggaberi, perhatian akan akuntabilitas lebih ditekankan pada akuntabilitas penyampaian usulan program ke tingkatan Musrenbang yang lebih tinggi, dibandingkan akuntabilitas pada penyiapan materi usulan kegiatan yang akan dibahas dalam Musrenbang. Kesimpulan Pada tahap pembentukan fasilitator dan mempersiapkan bahan dan materi Musrenbang, banyak warga tidak hadir, yang hadirpun tidak aktif dalam menentukan fasilitator, demikian pula halnya pada tahapan penyusunan jadual dan agenda, sebagian besar warga tidak hadir. Demikian pula halnya pada tahapan mengumumkan jadwal, agenda dan tempat serta Pelaksanaan Musrenbang, dimana sebagian besar warga tidak menghadiri proses ini. Hal inilah yang kemudian menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat Kecamatan Anggaberi dalam Musrenbang menjadi rendah. Kondisi terserbut menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Anggaberi masih kurang memahami dan penyadadari pentingnya partisipasi mereka dalam proses pembangunan, dimana kehadiran dan keaktifan mereka dalam proses ini sangat menunjang pembangunan. Bentuk partisipasi masyarakat pada pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Anggaberi diukur dari tiga tangga partsipasi yaitu akses terhadap informasi, keterlibatan 10 masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan peranan masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan Musrenbang. Akses masyarkat terhadap informasi kurang baik karena informasi lambat sampai kepada masyarakat bahkan tidak semua masyarakat dapat mengetahu informasi pelaksanaan murembang. Tidak semua proses pelaksanaan Musrenbang kecamatan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, intervensi politik dan birokrasi dalam pengmabilan keputusan masih dominan. Pengawasan masyarakat terhadap pelaksanaan Musrenbang belum maksimal dan cenderung bersifat masa bodoh. Rekomendasi Hasil studi ini menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam Musrenbang masih kurang sehingga menyebabkan proses pembangunan dan hasilnya di Kecamatan Anggaberi kurang optimal dan berhasil guna. Hal ini perlu ditindaklanjuti dan diperlukan intervensi dari intasi terkait untuk memberikan pengenalan, arahan, pelatihan, dan penyadaran akan arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sehingga diharapkan pembangunan pada masa selanjutnya, mereka akan aktif dan berpartisipasi dalam segala bentuk pembangunan. Adanya keterbatasan instasi terkait akan pengenalan, penyediaan informasi dan pelatihan partisispasi masyarakat dan proses penjaringan aspirasi masyarkat dalam pembangunan serta intervensi elit politik dan birokrasi yang dominan, diharapkan dapat ditanggapi oleh masyarakat dengan cara lebih menyadari arti pentingnya proses partisipasi dalam pembangunan Dafatr Pustaka Yogyakarta. Arnstein, S.R. (1969), “A ladder of citizen participation”, Journal of the American Institute of Planners, Vol. 35 No. 4, pp. 216-224. Arsyad, L. 2004. Ekonomi Pembangunan. BPSTIE YKPN. Yogyakarta Arsyad, L. 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, BPSTIE YKPN, Yogyakarta. Babbie, Earl. 1995. The Practice of Social Research. Belmont CA: Wadsworth Publishing Company Bryant, Coralie dan White, Louise G, 1987, Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang, Penerjemah Rusyanto L. Simatupang, LP3ES, Jakarta. Bryant, Coralie dan White, Louise G, 1989, Managing Development in ThirdWorld, Westview Press, Boulder, Colorado. Charlick, R. B. 2001. Popular participation and local government reform. Public Administration and Development, Vol.21, pp.149-157. 11 Cohen and Uphoff. 1977. Rural Development Participation. Cornel University. New. York. Downey, D. A Conyers, Diana dan Hills, Peter. 1992. An Introduction to Development Planning in The Third World. Jhon Wiley dan sons. New York Conyers, Diana, 1994, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar, Terjemahan Setiawan dan Affan Ghafar, UGM Press, Yogyakarta. Conyers, Diana. 1994.Perencanaan Sosial di Dunia Pengantar.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Ketiga: Suatu Corburn, J. 2003. Bringing local knowledge into environmental decision making Improving urban planning for communities at risk. Journal of Planning Education and Research, Vol.22, No.4, pp.420-433. Dwijowijoto dan Nugroho, Riant, 2001, Reinventing Indonesia : Menata U/ang MAnjemen Pemerintahan Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, Elex Media Komputerindo, Jakarta. Dwiyanto, Agus 2002, Governance and Decentralization Swvey, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Elliot, M. L. P. (1999) The role of facilitators, mediators, and other consensus building practitioners. IN Susskind, L., Mckearnan, S. & Thomas-Larmer, J. (Eds.) The consensus building handbook : a comprehensive guide to reaching agreement. Thousand Oaks, Calif. ; London, Sage Publications. Grimble, R. & Wellard, K. 1997. Stakeholder methodologies in natural resource management: a review of principles, contexts, experiences, and opportunities. Agricultural Systems, Vol. 55, No. 2, pp. 173-193. Handayaningrat, Soewarno, 1980, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan. Manajemen, CV Haji Masagung, Jakarta. Hirokawa, R. Y. & Scheerhorn, D. R. 1986. Communication in Faulty Group DecisionMaking. IN Hirokawa, R. Y. & Poole, M. S. (Eds.) Communication and Group Decision-making. California, Sage Publications, Inc. Islamy, M. lrfan, 2001, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Cetakan Kesembilan Bumi Aksara, Jakarta. Kartasasmita, Ginanjar. 1997.Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Korten, David dan Syahrir, 1998, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan Obor, Jakarta. Korten, David, 2001, Menuju Abad ke 21 : Tindakan Sukarela dan Agenda Global, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 12 Kunarjo, 2002, Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan, Penerbit Ul, Jakrata. Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Erlangga. Jakarta Lembaga Administrasi Negara, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), Jakarta. Lourenco, R. P. & Costa, J. P. 2007. Incorporating citizens' views in local policy decision making processes. Decision Support Systems, Vol.43, No.4, pp.1499-1511. lshomuddin, 2001, Diskursus Politik dan Pembangunan, Universitas Muhammadiyah, Malang. McNabb, David E., 2002, Research Methods in Public Administration and Nonprofit Management Quantitative and Qualitative Approach, M.E Sharpe New York. Michael, Todaro. 1977.Pembangunan ekonomi di dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta. Miles B. Mathew dan A. Michell Huberman, 1992, Ana/isis Data Kualitatif, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Milles, MB & Hubberman, AM. 2014. Analisis Data Kualitatif, Terjemahan oleh Tjetjep Rohidi dan mulyarto, UI Percetakan, Jakarta. Mintzberg, Henry, 1998, The Rise and Fall of Strategy Planning, The Free Press, New York. Mirza, Iskandar, 1998, lmplementasi Kebijaksanaan Pembangunan Desa dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan suatu studi di Desa Cibeusi dan Oesa Sayang Kecamatan Cikeruh Kabupaten Sumedang, Tesis, tidak diterbitkan Moleong, Lexy J., 2005, Metodelogi Penelitian Kua/itatif, Edisi Revisi PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Munir, Badrul, 2002, Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Badan Penerbit Bappeda, NTB. Nazwar, et.al. 2003, Koalisi Aktor dalam lmplementasi Kebijakan, Jurnal llmiah Administrasi Publik, Volume IV Nomor 1, FIA Universitas Brawijaya Malang Ndraha, Taliziduhu, 1985, Peran Administrasi Pemerintah Desa dalam Pembangunan Desa, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 13 Newman, W. Lawrence, 1997, Social Research Methods Qualitative Approach, University of Wisconsin at White Water, Boston. Oetomo, Andi, 1997, Konsep dan lmplementasi Penerapan Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Di Indonesia, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Pramusinto, Agus, Wahyudi Kumorotomo (ed.). 2009. Governance Reform di Indonesia: Mancari Arsah Kelembangaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesonal. Gava Media: Yogyakarta. Resi, Adrianus, lsmani H.P. dan Soesilo Zauhar, 2005, lnteraksi Birokrasi Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Pembangunan, Jurnal llmiah Administrasi Publik. Volume V Nomor 1, FIA, Universitas Brawijaya Malang. Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusuma. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah, Strategi Mengga/i Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Rofikoh, Nurul, 2006, Mewujudkan Good Local Governance Melalui Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Publik, Jumal Kebijakan dan Administrasi Publik, Vol 10 Nomor 1 , MAP UGM, Yogyakarta. Rowe, Gene and Lynn J. Frewer. 2004. Evaluating Public-Participation Exercises: A Research Agenda. Science, Technology, & Human Values, Vol.29, No.4, pp. 512-557 Santoso, B. 2005. Manajemen Pembangunan Berbasis Masyarakat (Perencanaan Pembangunan Partisipatif). Jember: Komunitas Alumni Perform Projects. Siagian, Sondang P. 1984. Proses Pengelolaan Pembangunan Nasional. PT Gunung Agung. Jakarta Siagian, Sondang P.2003. Administrasi Pembangunan, Konsep, Dimensi dan Strateginya. PT Bumi Aksara. Jakarta. Singarimbun, Masri dan Effendi Sofian, 1987, Metode Penelitian Survay, Edisi Revisi, LP3ES, Jakarta. Siregar. I. 2001, Tesis Penanggulanagn kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat nelayan, Universitas Indonesia, Depok. Slamet, 1994, Partisipasi di Ldalam Lembaga Sosial Desa, Tesis Magister Administrasi Publik, Program Pasc-asarjana Universitas Brawijaya Soekartawi, 1990, Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan Daerah, CV. Rajawali, Jakarta. Soegijoko, S, Budhi Tjahjati, dan Kusbiantoro, 1997. Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan Di Indonesia, Grasindo, Jakarta. 14 Soekartawi, 1990, Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan Daerah, CV. Rajawali, Jakarta. Soekartawi, 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi. Cobb Douglas. Rajawali Press. Jakarta. Soetarto, Soedibyo dan Suharsono, 1991, Organisasi Program Pembangunan Berkelanjutan, hasil penelitian di Jawa Tengah. Soewignyo. 1986. Pembangunan Desa dan. Sumber Pendapatan Desa, Ghalia. Indonesia, Jakarta Suherman,Nandang, 2000, Pengembangan Partisipatif di Jatinangor, Tesis Sulistiyani, Ambar Teguh. (2004). Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media. Sumodiningrat, Gunawan, 1999, Kemiskinan : Teori, Fakta dan Kebijakan, lmpac, Jakarta. Suprajogo, Tjahjo, 2003, Makna Otonomi Daerah bagi Pemberdayaan Masyarakat Lokal, Jumal llmu Pemerintahan, Widya Praja, Volume XXIX Nomor 2, lnstitut llmu Pemerintahan Jakarta. Susanto, Hery, 2003, Otonomi Daerah dan Kompetensi Lokal, PT. Dyatama Milenia, Jakarta. Suwignyo, 1986, Administrasi Pembangunan Desa Dan Sumber-sumber Pendapatan, Ghalia, Jakarta. Syahroni. 2002. Pengertian Dasar dan Generik Tentang Perencanaan Pembangunan Daerah. German Technical Cooperation-GTZ. Jakarta Tikson, D.T, 1999, Perencanaan Partisipatif, Modul Perencanaan Pembangunan, Program Diklat Teknis dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tingkat Lanjutan, Kerjasama UNHA.S dan OTO-Bappenas, Jakarta. Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya, AR. 1988. Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan, Perkembangan Teori dan penerapan. Cetakan ke tujuh belas. LP3ES: lakarta Tjokroamidjojo, Bintoro, 1993, Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan, Perkembgan Teori dan Penerapan, LP3ES, Jakarta Tjokroamidjojo, Bintoro, 2002, Reformasi Penyelenggaraan Good Governance Dan Perwujudan Masyarakat Madani, LAN-RI Jakarta. Tjokroamidjojo, Bintoro. 1996. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: PT. Gunung Agung. Jakarta. 15 Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta. Todaro Michael P. 2004, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Buku 1, Diterjemahkan oleh Harris Munandar. Erlangga. Jakarta. Todaro Michael P. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Buku 2, Diterjemahkan oleh Harris Munandar. Erlangga. Jakarta. Urbanus, M. Ambandi dan S. Prihantoro, 2002, Pengembangan Wi/ayah dan Otonomi Daerah, CV. Cahaya lbu, Jakarta. Wahyudi, lsa, 2006, Metodologi Perencanaan Partisipatif, MCW dan YAPPIKA, Jakarta USAID, 2007. “Bahan Pelatihan Fasilitator Forum SKPD dan Musrenbang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)”. Jakarta: Local Governance Support Program. Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigrma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Wahab, Solichin Abdul, 2001, Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi Ke ImplementasiKebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Wibawa, Samodra, 1994, Kebijakan Publik : Prosesdan Analisis, Intermedia, Jakarta. Widodo, Joko, 2001, Good Governance : Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya. Winarno, Budi, 1989, Teori Kebijaksanaan Publik, Pusat Antar UniversitasSosial UGM, Yogyakarta. Studi Wrihatnolo, Randy R., Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia. PT. Elex Media Komputindo: Jakarta. 16