BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Dari penelitian ini dapat ditemukan beberapa kesimpulan. Pertama perempuan marjinal di Lombok Timur mengalami pembatasan-pembatasan di ranah domestik yang dijustifikasi oleh kultur, bias agama, dan nilai sosial yang telah terkonstruksi dengan langgeng dalam masyarakat Lombok Timur. Pembatasan tersebutlah yang menyebabkan perempuan, khususnya perempuan marjinal, mengalami berbagai bentuk ketidakadilan gender. Seperti stereotipe, diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi, beban kerja ganda, dan tentu saja kekerasan. Kondisi tersebut pada akhirnya membuat perempuan-perempuan marjinal sulit untuk keluar dari belenggu tanggung jawab domestik dan mengaktualisasikan diri mereka untuk mencapai kehidupan yang setara dengan laki-laki, bukan hanya di lingkup domestik tapi juga di ranah publik. Kedua, dari penelitian di lapangan dan studi literatur yang telah dilakukan dalam penelitian ini menemukan bahwa ketidaksetaraan gender dapat menimbulkan ketimpangan dalam penerimaan manfaat pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Hal tersebut dapat terjadi karena subordinasi dan marjinalisasi perempuan menyebabkan perempuan sangat jarang dilibatkan dalam proses pembangunan. Absennya perempuan dalam berbagai proses pembangunan tersebut menyebabkan permasalahan perempuan selalu diabaikan. Padahal mandat untuk menjadikan perspektif gender sebagai arus utama dalam pembangunan sebenarnya sudah ada. Yaitu melalui Inpres nomor 9 tahun 182 2000 tentang PUG. Namun mandat ini tidak diimplementasikan dengan baik oleh pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Sehingga masih banyak isu-isu perempuan yang belum mampu diakomodasi oleh pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Selanjutnya dalam penelitian ini juga ditemukan kesimpulan ketiga bahwa LPSDM sebagai lembaga swadaya masyarakat telah berhasil menjadi agen perubahan, sekaligus membantu pemerintah Kabupaten Lombok Timur untuk mengarusutamakan gender dalam pembangunan di Lombok Timur melalui beberapa strategi yaitu dengan berperan sebagai lembaga perantara antara masyarakat dengan funding, memperkuat basis perempuan marjinal melalui pendidikan kritis, penanaman perspektif gender, pengorganisasian, memperkuat kemandirian ekonomi, dan pembentukan isu bersama ke dalam diri perempuanperempuan marjinal di level komunitas hingga membentuk suatu jaringan. Serta LPSDM juga melakukan berbagai kegiatan advokasi untuk mendorong isu-isu kesetaraan perempuan menjadi sebuah isu bersama. Dari kegiatan yang telah dilakukan LPSDM tersebut, ditemukan kesimpulan keempat yaitu bahwa kesadaran perempuan yang muncul atas pemahaman perspektif gender dan pendidikan kritis, terbukti mampu mendorong perempuan untuk berani melawan ketidakadilan yang dideritanya selama ini. Kesadaran tersebut juga mendorong perempuan menjadi lebih percaya diri untuk mengaktualisasikan dirinya dan menembus hambatan-hambatan domestik untuk mengambil peran di ranah publik. 183 Sebagai bentuk penguatan eksistensi perempuan di ranah publik LPSDM mendorong jaringan perempuan marjinal yang telah terbentuk antar Sekolah Perempuan dan Kelompok Belajar Komunitas menjadi sebuah gerakan yang memiliki kesamaan perspektif, isu bersama yang diperjuangkan, dan willingness to transform yang diwujudkan melalui tindakan kolektif dalam musrenbang perempuan. Aktivitas tersebut menunjukkan bahwa gerakan ini terbukti mampu mendorong organisasi perempuan lain diluar binaan LPSDM untuk ikut mengambil bagian perjuangan kesetaraan gender melalui musrenbang perempuan. Dalam hal ini juga dapat disumpulkan bahwa musrenbang perempuan sebagai affirmative action policy merupakan bentuk nyata terciptanya arena bagi perjuangan perempuan dalam menuntut kesetaraan antara perempuan dan laki-laki khususnya dalam pembangunan. Musrenbang perempuan yang telah berlangsung sebanyak empat kali ini merupakan bentuk nyata pelaksanaan PUG karena terbukti dapat meningkatkan empat indikator PUG, yaitu meningkatnya akses perempuan dalam akses dan partisipasi terhadap sumberdaya, meningkatnya kontrol perempuan terhadap pengambilan keputusan, dan meningkatnya penerimaan manfaat oleh perempuan dari kebijakan dan program dalam pembangunan meskipun memang belum signifikan. Walaupun demikian tetap dapat diambil kesimpulan bahwa pergerakan perempuan melalui SP dan KBK yang tergabung dalam musrenbang perempuan telah memberikan pengaruh baik di level kabupaten maupun desa. Terbukti dalam RPJMD Kabupaten Lombok Timur isu perempuan dijadikan salah satu prioritas pembangunan, setelah musrenbang perempuan pertama kali dilakukan. Walaupun 184 belum signifikan berpengaruh terhadap kebijakan umum pembangunan, namun setidaknya telah memberikan warna baru dalam proses pembangunan. Dalam menelaah pengaruh musrenbang perempuan maupun gerakan yang sedang dibangun perempuan akar rumput ini dapat juga ditemukan kesimpulan bahwa komitmen pemegang kebijakan memang sangat menentukan besar atau kecilnya pengaruh gerakan perempuan melalui musrenbang perempuan ini. Jika hanya sebagian yang komitmen, perjuangan perempuan dalam menuntut kesetaraannya akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena bukan hanya perlu merubah mindset masyarakat yang cenderung patriakhis namun juga harus berurusan dengan sifat birokrasi yang maskulin. 6.2 Saran Dalam penelitian ini dapat diberikan beberapa saran, pertama isu ketidaksetaraan gender dalam pembangunan merupakan hal yang krusial. Meskipun sudah ada mandat untuk mengatasi masalah tersebut melalui Inpres nomor 9 tahun 2000 tentang PUG rasanya masih belum cukup. Sehingga akan lebih baik jika tingkatan dasar hukum PUG dinaikkan menjadi undang-undang sehingga mandat tersebut dapat lebih mengikat dan pelaksanaannya menjadi lebih optimal. Disamping itu perlu juga diadakan pendidikan gender bagi pemegang kebijakan jika ingin menciptakan kesetaraan ini karena pemahaman dari pemegang kebijakan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam terciptanya kehidupan yang adil dan responsif gender. Tanpa adanya pemahaman yang 185 komprehensif diantar pemegang kebijakan maka komitmen untuk menciptakan keadilan gender akan terasa sulit. Pendampingan terhadap masyarakat yang mengalami ketidakadilan gender harus terus dilakukan dan diregenerasi. Karena mengintervensi kebijakan di ranah publik saja tidak cukup untuk membangun masyarakat yang adil gender. perlu intervensi-intervensi dalam budaya dan kehidupan masyarakat di level akar rumput sehingga antara pemerintah dan budaya dapat saling mendukung untuk menciptakan tatanan sosial 186 yang adil gender.