BAB II LANDASAN TEORI A. PNEUMONIA Pneumonia adalah

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PNEUMONIA
Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh mikroba
patogen (bakteri, jamur dan parasit) kecuali Mycobacterium tuberculosis. Pembagian
pneumonia berdasarkan anatomi dan predileksi infeksi antara lain pneumonia lobaris,
bronkopneumonia, dan pneumonia interstisial (PDPI, 2003; Marrie, 2008)
Bronkopneumonia ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapang paru fokus dari
infeksi dan respons inflamasi pada bronkus dan parenkim, dapat disebabkan oleh
mikroba antara lain bakteri dan virus. Bronkopneumonia sering pada bayi dan orang
tua. Pneumonia lobaris adalah pneumonia yang terjadi pada satu lobus sering
disebabkan oleh karena infeksi bakteri dan disebabkan oleh obstruksi bronkus
misalnya aspirasi benda asing dan jarang terjadi pada bayi dan orang tua. Pneumonia
interstisial secara radiologi ditandai adanya infiltasi retikular atau retikulonoduler
pada infiltrat peribronkovaskular (PDPI, 2003).
1. Imunopatogenesis
Beberapa faktor menyebabkan risiko terjadinya pneumonia antara lain adalah
adanya defek sistem imun tubuh, ukuran dan jumlah mikroba patogen, kemampuan
kebertahanan hidup mikroba, dan kolonisasi mikroba. Pneumonia terjadi akibat invasi
mikroba patogen melalui proses aspirasi, inhalasi, inokulasi langsung dan penyebaran
hematogenik. Bahan aspirat dari orofaring yang mengandung mikroba menyebabkan
invasi mikroba pada saluran napas bawah (Torres et al., 2010). Setelah terjadi
aspirasi bahan-bahan faring yang mencapai saluran napas terminal dan alveoli, maka
proses berlanjut secara progresif dengan penyebaran bronkogenik yang ditandai
dengan terbentuknya infiltrat di paru atau konsolidasi, kerusakan parenkim paru yang
terjadi akibat pengaruh satu faktor atau lebih seperti faktor virulensi intrinsik
organisme, obstruksi bronkus, abnormalitas anatomis dan penurunan kekebalan
individu (Fishman, 2008). Sel-sel imun paru akan berikatan dengan PRR mikroba
melalui TLR atau NLR kemudian terjadi aktivasi faktor transkripsi, regulasi sitokin/
kemokin, molekul adhesi, infiltrasi sel fagosit. Sel-sel yang berperan penting pada
imun bawaan adalah netrofil, makrofag, dan sel dendritik. (Balamayooran et al.,
2010). Faktor transkripsi adalah protein yang menginduksi ekspresi gen. NF-κB
adalah salah satu factor transkripsi yang paling banyak diteliti. Sinyal TLR yang
bergantung pada MyD88 menyebabkan ekspresi gen proinflamasi melalui aktivasi
NF-κB yang mengandung p65 dan p50 (Craig et al., 2009).
2. Imunitas bawaan
Imunitas bawaan adalah respons tubuh secara awal terhadap mikroba untuk
mengeliminasi infeksi mikroba. Respons imunitas bawaan terhadap mikroba akan
merangsang respons imun adaptif dan dapat mempengaruhi imunitas adaptif agar
respons terhadap berbagai jenis mikroba menjadi optimal dan efektif. Sistem imun
bawaan mengenali mikroba melalui struktur molekul mikroba yang merupakan
karakteristik dari mikroba patogen. Zat mikroba yang merangsang imunitas bawaan
disebut
pathogen
associated
molecular
pattern
Karakteristik imunitas bawaan dapat dilihat pada gambar 1
(PAMP)
(Abbas,2012a).
Gambar 1. Karakteristik imunitas bawaan
(Abbas., 2012a).
Replikasi mikroba patogen ekstraseluler dalam saluran napas dapat
menimbulkan penyakit melalui dua mekanisme yaitu: (Abbas., 2012b)
a.
Inflamasi yang berlebihan yang mengakibatkan kerusakan jaringan.
b.
Toksin mikroba antara lain endotoksin bakteri gram negatif (lipopolisakarida)
dapat mengaktivasi makrofag dan sel dendritik. Eksoktoksin bersifat sitotoksik
merusak sel-sel melalui mekanisme biokimia atau mengganggu fungsi sel
normal.
Sel-sel imun bawaan antara lain adalah sel epitel saluran napas/ alveolar,
makrofag, sel dendritik, dan polimorfonuklear (PMN). Sel-sel imun seluler berperan
dalam merespons stimulasi dari sel-sel imun humoral (Balamayooran et al., 2010;
Riches et al., 2010).
Makrofag alveolar berperan dalam sistem imun bawaan dan adaptif.
Makrofag alveolar adalah makrofag yang berada di dalam paru. Makrofag alveolar
yang teraktivasi oleh antigen akan mengeluarkan berbagai sitokin (Abbas, 2012c).
Makrofag teraktivasi mengenali dan berikatan dengan komponen mikroba melalui
TLR-4 untuk LPS bakteri gram (-) dan TLR-2 untuk mengenali komponen dinding
bakteri gram (+), antara lain: asam lipoteikoik dan peptidolikan (Amersfoort et al.,
2003) TLR-2 berperan mengenali asam lipoteikoik dan peptidoglikan bakteri gram
(+), TLR-4 mengenali endotoksin (LPS) bakteri gram (-), TLR-5 mengenali flagellin
bakteri (Amersfoort et al., 2003; Bals & Hiemstra., 2004; Riches et al., 2010; Parker
& Prince., 2011). Makrofag menghasilkan zat oksidatif dan enzim protease untuk
mengeliminasi mikroba (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012). Makrofag yang
teraktivasi akan menghasilkan berbagai sitokin antara lain adalah IL-1, IL-6, IL-8,
IL-12, dan tumor necrosis factor (TNF)-α (Gordon, 2008; Bordon et al., 2012). IL-8
yang dihasilkan oleh makrofag akan menarik neutrofil masuk ke alveoli dari
pembuluh darah paru. Netrofil bertugas melawan infeksi mikroba. Neutrofil berasal
dari sel progenitor yang terdapat dalam sumsum tulang. Pada keadaan infeksi netrofil
terbentuk lebih banyak (Riches et al., 2010). Netrofil menghasilkan reactive oxygen
species
(ROS),
enzim
proteolitik,
myeloperoxidase,
dan
defensins
untuk
mengeliminasi mikroba (Bordon et al., 2012).
Sel dendritik berfungsi sebagai sel penyaji antigen yang banyak ditemukan di
jaringan intraepitel dan subepitel saluran napas (Riches et al., 2010). Sel dendritik
membawa antigen dan partikel yang berada pada saluran napas dan menyajikannya
untuk sel T naïve melalui saluran kelenjar getah bening regional (Riches et al., 2010;
Papadaki & Velegraki, 2005).
Respons imunitas bawaan terhadap infeksi bakteri terjadi melalui dua
mekanisme yaitu (Abbas., 2012b):
a. Aktivasi komplemen.
Aktivasi komplemen menyebabkan proses opsonisasi dan meningkatkan
fagositosis. Unsur utama dinding sel bakteri gram positif antara lain peptidoglikan
mengaktivasi jalur alternatif komplemen. Liposakarida bakteri gram (-) juga
mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif. Permukaan dinding bakteri yang
mengekspresikan manose yang dapat mengikat mannosebinding-lectin (MBL)
mengaktivasi komplemen melalui jalur lectin.
b. Aktivasi sel fagosit dan peradangan.
Reseptor mannose dan reseptor scavenger yang berada pada sel fagosit dapat
mengenali bakteri ekstraseluler. Sel fagosit menggunakan reseptor Fc dan reseptor
komplemen untuk mengenali bakteri yang telah telah teropsonisasi dengan
antibodi dan protein komplemen. Toll-like receptor (TLR) dan berbagai
sitoplasma sensor produk mikroba turut berpartisipasi dalam aktivasi fagosit
setelah bertemu
dengan mikroba. Reseptor mannose dan reseptor scavenger
berfungsi terutama untuk mempromosikan fagositosis mikroba.
Respon imunitas bawaan terhadap infeksi virus terjadi melalui induksi
interferon tipe I dan aktivasi sel natural killer (NK). Double stranded ribonucleic
acid (dsRNA) yang dihasilkan selama siklus hidup virus dapat menginduksi ekspresi
interferon (IFN)-α dan β. Sel-sel yang terinfeksi virus akan terinduksi dan
melepaskan interferon tipe I terutama sel dendritik jenis plasmasitoid. Makrofag,
monosit, dan fibroblas juga mampu mensintesis IFN tipe I tetapi mekanisme induksi
pada sel-sel ini tidak sepenuhnya dipahami (Abbas., 2012b; Goldsby et al., 2003)
Aktivasi protein kinase melalui jalur biokimia akan mengaktifkan faktor transkripsi
interferon regulatory factors (IRF) yang kemudian merangsang transkripsi gen
interferon. Interferon tipe I berfungsi untuk menghambat replikasi virus dalam sel
yang terinfeksi dan tidak terinfeksi (Abbas, 2012b).
Makrofag
alveolar mengenali jamur melalui TLR
yang berada di
dipermukaan sel yaitu TLR-2, TLR-4, dan TLR-9, kemudian difagosit tetapi tidak
semua jamur berhasil dihancurkan (Romani, 2004). Netrofil dan makrofag adalah
mediator utama imunitas bawaan terhadap jamur. Pasien dengan neutropenia sangat
rentan terhadap infeksi jamur oportunistik. Neutrofil melepaskan zat fungisida seperti
reactive oxygen species (ROS) dan enzim lisosom. Sel fagosit dan sel dendritik
mengenali organisme jamur melalui TLRs dan lectin-like receptors seperti disebut
dectins (Abbas, 2012b). Sel dendritik yang berada pada jaringan yang terinfeksi
jamur akan menjadi matur dan bermigrasi ke organ limfoid mengaktifkan sel Treg
dan Th. Sel Treg berfungsi untuk meredam reaksi inflamasi yang berlebihan dan
berkontribusi pada pengembangan memori kekebalan terhadap jamur (Romani, 2004).
2. Imunitas adaptif
PAMP yang tidak dapat dieliminasi oleh sel fagosit akan dikenali oleh sistem
imun spesifik. PAMP dikenali oleh PRR yang terdapat di permukaan sel dendritik
sebagai sel penyaji antigen. Sel dendritik menjadi aktif dan matang, pada kondisi ini
sel dendritik memiliki kemampuan untuk mengaktifkan sel limfosit T melalui major
histocompatibility complex (MHC) yang terdiri dari MHC I dan MHC II. Sel T
limfosit membutuhkan dua jalur rangsangan untuk aktif, pertama stimulasi dari
kompleks antigen-MHC yang pada reseptor sel T (TCR) dan ko-stimulasi dari
interaksi ligan sel dendritik dengan reseptor sel T. Reaksi pengenalan tersebut terjadi
di limfonodi regional, memicu proliferasi sel T dan migrasi ke jaringan. Sel T yang
belum berdiferensiasi dikenal sebagai sel T naïve kemudian teraktivasi menjadi sel
Th1 dan sel Th2. Sel Th1 mensekresi IL-2, TNF-β, dan IFN-γ yang mengaktifkan
fungsi fagositosis makrofag alveolar dan sel T sitotoksik. Sel Th2 mensekresi IL-4,
IL-5 membantu mengaktifkan sel limfosit B memproduksi antibodi. Sel Th2 juga
mensekresi IL-5 dan IL-9 yang mengaktifkan eosinofil dan sel mast. Respons imun
yang diperantarai oleh sel limfosit T atau disebut dengan sistem imun seluler
(Lambrecht, 2001; Abbas, 2012c). Sel dendritik dapat mengenali mikroba dan
menyajikannya melalui major histocompatibility complex (MHC) yang berada pada
permukaan sel dendritik. MHC membantu limfosit T untuk mengenali antigen yang
disajikan oleh sel dendritik. MHC dibagi atas dua yaitu MHC I berperan dalam proses
penyajian antigen endogen bakteri intraseluler dan virus ke limfosit T CD8+. Molekul
MHC II menyajikan antigen eksogen ke sel T CD4+ (Abbas, 2012d; Curtis., 2005;
Kiama, 2014). Sel T naive berdiferensiasi menjadi sel Th2 yang dikostimulasi oleh
sitokin IL-4. Sitokin IL-4 dihasilkan oleh berbagai sel antara lain sel mast, basofil,
dan eosinofil. Diferensiasi sel Limfosit T naive menjadi sel Th-17 dengan kostimulasi
IL-6, IL-1, dan IL-23 yang dihasilkan oleh sel dendritik. (Abbas, 2012e; Friedman &
Blumberg, 2015). Sel Th CD4+ menghasilkan IL-2 dan IFN-γ dan mengkostimulasi
sel limfosit T CD8+ berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik (CTL) (Playfair & Chain,
2004; Abbas, 2012e). CTL berperan dalam merusak sel yang terinfeksi dengan
menghasilkan granzim dan perforin (Abbas, 2012e).
Imunitas adaptif terhadap infeksi virus diperantarai oleh antibodi dan cytotoxic
T lymphocytes (CTLs) bertujuan untuk mengatasi infeksi dengan cara membunuh sel
yang terinfeksi. Antibodi akan menghambat ikatan sel dengan virus. Antibodi efektif
terhadap virus hanya selama tahap ekstraseluler dan diawal perjalanan infeksi
(sebelum menginfeksi sel inang) virus hidup di ekstraseluler atau ketika virus
dilepaskan dari sel yang terinfeksi oleh virus pemula atau jika sel-sel yang dibunuh.
Antibodi mengikat kapsul virus atau antigen kapsid untuk mencegah masuk ke dalam
sel inang. Antibodi yang disekresi dari isotipe IgA penting untuk menetralkan virus
pada saluran pernapasan dan usus. Antibodi dapat melakukan opsonisasi pada partikel
virus dan mempromosikan kepada fagosit. Aktivasi komplemen juga dapat
berpartisipasi dalam kekebalan virus diperantarai antibodi. Kekebalan humoral
memainkan peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi virus (Abbas,
2012b).
Imunitas seluler atau cell-mediated immunity (CMI) adalah mekanisme utama
kekebalan adaptif terhadap infeksi jamur. Histoplasma capsulatum adalah parasit
intraseluler fakultatif yang hidup di
dalam makrofag akan dihilangkan melalui
mekanisme CMI. Sel CD4 dan CD8 bekerja sama untuk menghilangkan
Cryptococcus neoformans yang cenderung berkolonisasi di paru dan otak manusia
selama defisiensi imunitas. Aktivasi sel dendritik terjadi setelah reseptor dectin-1
berikatan dengan glucan jamur lalu sel dendritik melepaskan sitokin IL-6 dan IL-23
untuk merangsang TH17. Sel TH17 akan menstimulasi inflamasi, menarik netrofil
dan monosit untuk menghancurkan jamur. Respons TH1 adalah pelindung pada
infeksi jamur intraseluler seperti histoplasmosis tetapi respons ini dapat menimbulkan
terjadinya peradangan granulomatosa (Abbas, 2012b).
3. Diagnosis
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
pemeriksaan radiologis, dan laboratorium. Penderita yang dicurigai pneumonia harus
dilakukan berbagai pemeriksaan radiografi dada untuk membantu penegakkan
diagnosis dan untuk memastikan adakah komplikasi seperti efusi pleura atau penyakit
multilobar. Penderita pneumonia dengan indikasi rawat inap harus menjalani
pemeriksaan analisis gas darah (AGD)/ oksimetri, darah rutin/ kimia, dan kultur
mikroba. Pemeriksaan serologi tidak dianjurkan pada pada pasien pneumonia
komunitas (Niederman & Craven, 2005).
Diagnosis pneumonia ditegakkan bila pada pemeriksaan radiografi dada
ditemukan infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dua atau lebih gejala berikut:
gejala batuk yang bertambah, adanya purulensi sputum, suhu badan ≥ 38oC atau ada
riwayat demam, pemeriksaan fisis paru didapatkan tanda-tanda konsolidasi , suara
napas bronkial, dan ronki, atau lekosit ≥ 10.000 atau < 4500 (PDPI, 2003).
4. Terapi
Terapi utama pneumonia adalah pemberian antibiotik yang sesuai dengan
etiologinya. Terapi antibiotic empirik harus segera diberikan jika etiologinya belum
diketahui. Tujuan utama pemberian terapi antibiotik adalah untuk tercapainya
perbaikan klinis penderita pnumonia (Mandell et al., 2007).
5. Kriteria pemulangan dari rawat inap
Kriteria pulang dari rawat inap penderita pneumonia berdasarkan Guideline
BTS 2009 adalah penderita pneumonia diperbolehkan pulang bila sudah dilakukan
evaluasi klinis selama 24 jam dan memenuhi semua variabel kriteria pulang. Kriteria
pulang terpenuhi bila semua variabel berikut terpenuhi: suhu tubuh < 37,8 0C,
frekuensi jantung < 100 kali per menit, frekuensi napas < 24 kali per menit, tekanan
darah sistolik > 90 mmHg, saturasi oksigen > 90%, dapat makan dan minum, dan
tidak ada gangguan kesadaran (Lim et al., 2009).
B. INTERLEUKIN-6
Sitokin adalah protein yang dikeluarkan oleh berbagai sel imun, antara lain
adalah sel dendritik dan makrofag yang dapat menyebabkan inflamasi. Sitokin
berperan dalam memediasi (mediator) dan meregulasi imunitas bawaan dan adaptif
(Abbas, 2012d). Produksi sitokin proinflamasi pada pneumonia akibat infeksi bakteri
tidak terbatas pada paru yang terinfeksi saja, namun secara sistemik turut meningkat.
Sitokin IL-6 adalah salah satu sitokin proinflamasi yang berperan penting pada
pneumonia karena kadar IL-6 meningkat secara signifikan pada penderita pneumonia
seiring dengan derajat keparahan (Endeman et al, 2011). Interleukin-6 pertama kali
diidentifikasi pada pertengahan tahun 1980-an dan saat ini peran IL-6 dalam
memodulasi respons imun semakin jelas diketahui dan produksi IL-6 yang berlebihan
bertanggung jawab terhadap terjadinya inflamasi (Kishimoto., 2010; Rincon., 2012).
1. Struktur kimia dan fisiologi
Interleukin-6 adalah anggota famili sitokin 4 helikal yang memberikan sinyal
melalui IL-6 receptor (IL-6R) membran dan glicoprotein (gp) 130 (Krutgen & Jhon,
2011). Sitokin IL-6 berukuran 19-26 kD bertanggung jawab pada respons inflamasi
akut yang memiliki efek lokal dan sistemik. Sitokin IL-6 merupakan homodimer dari
polipeptida famili sitokin tipe I (Abbas, 2012a).
Gen IL-6 manusia berada pada kromosom 7p21 dan 5. Interleukin 6 manusia
terdiri dari 212 asam amino dan 27 yang diantaranya berperan sebagai peptida sinyal.
Struktur tiga dimensi IL-6 manusia terdiri dari 4 bundel heliks (dua pasang heliks).
Interleukin 6 memiliki beberapa peran dalam imunitas, inflamasi, sistem endokrin,
sistem saraf, sistem hematopoietik, dan metabolisme tulang (Guzman et al., 2010).
Interleukin-6 tidak dapat memberikan sinyal kepada gp130 sebelum berikatan
dengan IL-6R membran. Hanya sel-sel tertentu saja yang mengeluarkan IL-6R yaitu
sel hepatosit dan lekosit, sedangkan gp130 dihasilkan oleh banyak sel. Sel-sel yang
hanya mengekspresi gp130 (tidak mengekspresi IL-6R) tidak respons terhadap IL-6
karena gp130 tidak dapat berikatan secara langsung dengan IL-6 tanpa IL-6R
(Krutgen & John., 2011).
Reseptor IL-6R terdiri dari sebuah rantai polipeptida yang dapat mengikat
sitokin (cytokine-binding polypeptide chain). Glikoprotein 130 adalah sebuah unit
transduksi yang dapat memberi sinyal kepada reseptor sitokin lain (Abbas, 2012a).
Reseptor IL-6R berukuran 80 kDA dan gp130 berukuran 130 kDA (Kishimoto, 2010).
Protein gp130 adalah protein transduser yang berperan pada jalur sinyal
transmembran IL-6 (Heinrich et al., 2003; Kishimoto, 2010; Scheller et al., 2011).
Protein gp130 tidak dapat berikatan secara langsung dengan IL-6 sebelum IL-6
berikatan dengan IL-6R atau sIL-6R. Apabila pembentukan sIL-6R terjadi secara
berlebihan maka spektrum sel target IL-6 (jalur trans-signalling) akan meningkat.
Reseptor sIL-6R dihasilkan dua mekanisme. Mekanisme pertama: sIL-6R berasal dari
pembelahan proteolitik prekursor membran (IL-6R membran) oleh metalloprotease
atau a-disintegrin and metalloprotease (ADAM) 17, dan mekanisme kedua: sIL-6R
berasal dari transkripsi alternatif IL-6R-mRNA yang tidak memiliki transmembran
dan sitosol domain (Scheller et al., 2011).
Sitokin IL-6 memiliki aktivitas sebagai anttiinflamasi dan proinflamasi.
Aktivitas IL-6 sebagai antiinflamasi dimediasi oleh jalur klasik dan aktivitas IL-6
sebagai proinflamasi dimediasi oleh jalur trans-sinyal (Scheller et al., 2011),
Jalur klasik sinyal IL-6 (jalur antiinflamasi) terjadi bila IL-6 berikatan dengan
IL-6R membran, kemudian ikatan kompleks antara IL-6 dan IL-6R berikatan dengan
gp130 pada sel target (makrofag, netrofil, dan sel hepatosit), lalu terjadilah transduksi
sinyal IL-6 (Heinrich et al., 2003; Scheller et al., 2011). Sinyal transduksi melibatkan
aktivasi jalur janus kinase (JAK), aktivasi signal transducers and activators of
transcription (STAT), dan mitogen-activated protein kinase (MAPK) (Heinrich et al.,
2003). Jalur trans-sinyal IL-6 (jalur proinflamasi) terjadi bila sitokin IL-6 berikatan
melalui soluble IL-6R (sIL-6R) dan memberi sinyal pada sel yang hanya
mengekspresi gp130 (tidak mengekspresi reseptor IL-6R) (Krutgen & John., 2011;
Rincon, 2012).
Kadar IL-6 serum adalah rendah saat keadaan homeostatik, namun meningkat
dengan cepat saat terjadi infeksi. Produksi IL-6 oleh monosit bergantung pada faktor
transkripsi seperti NF-kβ, C/EPBb (CAAT/enhancer-binding protein beta, formerly
NF-IL6), dan activating protein (AP)-1 (Naugler & Karin, 2007). Sitokin IL-6
disekresi oleh berbagai sel imun, antara lain: makrofag, sel epitel, dan sel imun
lainnya setelah dirangsang oleh PAMP (Abbas, 2012a).
IL-6 berperan dalam menentukan derajat berat infeksi karena memiliki waktu
paruh yang lebih panjang dibandingkan sitokin proinflamasi lainnya (Andrijevic et
al., 2014). Produksi IL-6 meningkat dengan cepat dan mencapai kadar puncak dalam
waktu 3 jam setelah infeksi bakteri (Maruna et al.,, 2000). Peningkatan kadar IL-6
dapat merangsang peningkatan sitokin-sitokin lain saat berlangsungnya inflamasi.
Waktu paruh IL-6 adalah 20-60 menit (Kishimoto., 2010; Zobel et al., 2012).
2.
IL-6 sebagai penanda inflamasi pada pneumonia
Antunes et al., 2002 melakukan penelitian tentang kadar sitokin proinflamasi
pada penderita pneumonia yaitu IL-1β, TNF-α, dan IL-6. Kadar IL-6 meningkat pada
awal masuk rumah sakit (admission) dan menurun secara signifikan saat perawatan
hari ke-3 dan 5. Sitvokin IL-6 memiliki korelasi positif dengan skor stratifikasi
keparahan berdasarkan Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE)
II dan skor BTS (terdiri dari 3 parameter yaitu frekuensi napas > 30/ menit, ureum > 7
mmol/ L, dan tekanan darah distolik < 60 mmHg).
Penelitian Zobel et al., (2012) menemukan bahwa kadar IL-6 meningkat
seiring dengan peningkatan stratifikasi keparahan penderita pneumonia. Peningkatan
kadar IL-6 juga signifikan pada penderita pneumonia yang disebabkan oleh bakteri
dibandingkan virus atau yang tidak diketahui etiologinya.
Andrijevic et al.,, 2014, melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan
antara kadar IL-6 dengan risiko kematian dan sistim stratifikasi keparahan pneumonia
komunitas salah satu diantaranya adalah PSI. Penelitian tersebut menemukan bahwa
kadar IL-6 berkorelasi signifikan dengan skor PSI. Nilai sensitivitas IL-6 (cutt off
20,2 pg/ ml) dalam memprediksi mortalitas adalah 84% dan spesivisitas 87%.
C. PRAVASTATIN
Statin
adalah
obat
pemghambat
pembentukan
kolesterol
melalui
penghambatan 3-hydroxy-3-methyl glutaryl coenzyme A reductase (HMG-CoA)
(Mahley & Bersot, 2006). Kolesterol memiliki peran dalam tubuh antara lain adalah
sebagai unsur penting pembentuk membran sel, sebagai prekursor lipoprotein, steroid,
asam empedu, dan vitamin D (Liao & Laufs., 2005). Pravastatin adalah metabolit
jamur dengan
rantai methylbutirate ester dan rantai hydroxy acid analog atau
menyerupai HMG-Coa reduktase (Mahley & Bersot., 2006).. Statin yang bersifat
hidrofilik antara lain adalah pravastatin dan rosuvastatin, sedangkan yang bersifat
lipofilik antara lain adalah simvastatin, atorvastatin, fluvastatin, dan lovastatin
(Srinivasa et al., 2011).
1. Struktur sifat, dan sumber statin
Statin dibagi atas tiga kelompok berdasarkan struktur kimianya yaitu:
(Srinivasa et al., 2011).
a. Kelompok analog substrat HMG-CoA.
b. Kelompok cincin hidrofobik (hydrophobic rings)
c. Kelompok cincin tepi (side rings group), seperti tampak pada gmbar 2.
Gambar.2. struktur kimia statin
(Stancu & Sima 2001)
2. Mekanisme keja
Kebanyakan sintesis kolesterol terjadi di dalam hati. Kadar kolesterol
berkurang bila sintesis kolesterol dihambat melalui penghambatan HMG-CoA
reductase (Liao & Laufs., 2005). Penghambatan terhadap HMG-CoA reductase akan
mereduksi kolesterol intrasel, menginduksi aktivasi protease yang mengikis sterol
regulatory element binding proteins (SREBPs) dari retikulum endoplasma. Sterol
regulatory element binding proteins mengalami translokasi pada tingkat nukleus dan
meningkatkan ekspresi gen untuk reseptor LDL. Penurunan kolesterol dalam hepatosit
menyebabkan peningkatan reseptor LDL di hati, yang menentukan pengurangan
sirkulasi LDL dan prekursornya [intermediate density (IDL) dan very low densitylipoproteins (VLDL) (Stancu & Sima., 2001).
3.
Efek Pleiotropik Statin
Statin memiliki efek pleotropik yaitu sifat antiinflamasi,
imunomodulator,
dan antibakteri (Chalmers et al., 2010; Wunderink et al., 2012). Efek statin tampak
pada tabel 1
Tabel 1. Efek pleiotropik statin
Efek statin
( Viasus et al., 2010)
4. Antiinflamasi
Efek antiinflamasi statin terhadap NF-kB dan aktivasi AP-1 telah menjadi
topik besar dan menarik (Jain et al 2005). Penurunan penanda inflamasi seperti Creactive protein (CRP) selama pemberian statin menunjukkan bahwa statin dapat
mempengaruhi kaskade inflamasi (Meij., 2013; Mahley & Bersot., 2006).
Aktivasi pada permukaan sel dan jalur sinyal sitosol berujung pada tingkat
nukleus yang mengatur ekspresi gen. Berbagai rangsangan proinflamasi berpusat pada
jalur transkripsi utama seperti NF-kB dan AP-1 yang menginduksi ekspresi gen (Jain
& Ridker., 2005).
Penghambatan statin terhadap jalur mevalonat mengakibatkan pembentukan
molekul isoprenoid yaitu farnesyl pyrophosphate (FPP) dan geranylgeranyl
pyrophosphate (GPP) terhambat. Interaksi antara FPP dan GPP
dengan protein
sitoplasma seperti protein Rho, Rac, Ras, dan Rab berperan penting dalam regulasi
sitokin, kemokin, molekul adhesi, protein fase akut, faktor koagulasi, dan enzim
(Viasus et al., 2010). Protein Rho dan Rac menginduksi aktivitas NF-kB melalui
beberapa mekanisme antara lain menyebabkan fosforilasi IκB dan membatasi
akumulasi NF-kB dalam nukleus. Nuclear factor kappa B berada dalam sitoplasma
berikatan dengan inhibitor NF-kB (IκB). Respons inflamasi menyebabkan IκB
terfosforilasi dan terdegradasi sehingga NF-kB bebas bertranslokasi ke nukleus dan
menginduksi ekspresi gen target. Statin terbukti membatasi akumulasi NF-kB nukleus
dan mengikat DNA melalui peningkatan ekspresi IκB (Jain & Ridker, 2005). Nuclear
factor-kappa B dibentuk oleh protein dimer (contoh heterodimer p50/ p65), mengatur
ekspresi gen yang terlibat pada inflamasi, proliferasi, dan apoptosis. Ikatan secara
langsung antara protein IkB dengan dimer NFKB di dalam sitoplasma akan
menghambat translokasi NF-kB ke nukleus. Faktor NF-kB bebas bertranslokasi dan
berikatan dengan DNA pada gen target pada saat IkB terfosforilasi oleh IkB kinase
(IKK) kompleks (Riganti et al., 2008).
Penghambatan HMG-CoA reductase mengakibatkan penurunan farnesylated
dan geranylgeranylated small G - protein seperti protein Rho GTPase, sehingga
terjadi penghambatan sinyal Rho (Iwata et al., 2012). Protein Rho/ Rac merupakan
subkelompok (subfamili) dari superfamili Ras GTP hydrolase (GTPase). Famili Rho/
Rac yang terdapat pada manusia dibagi atas enam subfamili yaitu Rho, Rac, Cdc42,
Rnd, RhoBTB, dan RhoT/ Miro. Protein RhoBTB dan RhoT protein juga disebut
sebagai 'Rho/ Rac GTPases atipik karena mereka sangat berbeda dari subfamili
GTPase lain berdasarkan struktur, regulatori dan fungsional (Bustelo et al., 2007).
Rho/ Rac GTPase berperilaku sebagai '' molekul switch '' yang bersifat fluktuatif
yaitu dalam keadaan “on” atau aktif bila berikatan dengan GTP dan keadaan “off”
atau inaktif bila berikatan dengan GDP (Boureux et al., 2007; Bustelo et al., 2007).
5.
Immunomodulator
Statin menekan perkembangan Th1, hal tersebut terjadi kemungkinan karena
statin secara langsung mempengaruhi jalur sinyal STAT4, sehingga menghambat
pengembangan
Th1
(Hakamada
et
al.,
2003).
Statin
dapat menghambat
perkembangan Th1 terjadi melalui penghambatan/ pelemahan sinyal NF-kB (Jasinska
et al., 2007).
Pengembangan sel T naive menjadi sel
Th1 atau Th2 dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya adalah APC dan molekul kostimulator (Hakamada et al.,
2003). Molekul MHC-II diekspresikan pada permukaan sel APC dan secara langsung
terlibat dalam pengendalian respons imun. Hanya sejumlah sel mengekspresikan
MHC-II secara konstitutif, sel-sel lain mengekspresi MHC-II bila diinduksi oleh
mediator inflamasi seperti IFN-γ. Statin dapat
mengatur ekspresi MHC-II yang
diinduksi oleh IFN-γ pada sel APC, dan mengakibatkan aktivasi sel T menjadi
berkurang (Jasinska et a.,, 2007).
Sifat imunomodulasi statin memberikan wawasan baru, termasuk dampaknya
terhadap sinyal CD40, ekspresi MHC-II, dan respons imun sel Th2. Sinyal CD40
melalui aktivasi sel vaskular telah terbukti menginduksi respons inflamasi dengan
ekspresi
molekul
adhesi,
sitokin
proinflamasi,
kemokin,
dan
matriks
metalloproteinase (MMP). Sel T CD4 + dan platelet teraktivasi mengekspresi CD40L.
HMG-CoA reduktase dapat mengganggu sinyal CD40/ CD40L di beberapa tingkat.
Statin mengurangi peningkatan kadar CD40L plasma yang terutama berasal dari
platelet, serta mengurangi ekspresi CD40L permukaan sel dan CD40 pada sel-sel otot
polos pembuluh darah (VSMC), monosit, makrofag, dan limfosit T. Statin mereduksi
stimulator CD40/CD40L (lemak termodifikasi, sitokin, growth factor) melalui
penurunan lemak dan oksidasi. Ligan PPARγ, seperti rosiglitazone dan troglitazone
terbukti dapat menghambat ekspresi dan pelepasan CD40L pada permukaan platelet,
sehingga jalur molekuler ini tampaknya berkontribusi terhadap efek antiinflamasi dan
imunomodulator statin (Jasinska et al., 2007).
Peran statin dalam mengatur respons imun mungkin terjadi melalui jalur
sitokin sel Th, dan telah dilaporkan bahwa statin dapat mengatur keseimbangan Th1/
Th2, sehingga temuan jalur ini menunjukkan efek menguntungkan statin. Sel Th2
mensekresi sitokin seperti IL-4,5,10, dan TGF-B. Sel Th1 memperantarai imunitas
seluler proinflamasi dengan mengeluarkan sitokin seperti IL-2, IL-12 dan TNF-α
(Jasinka et al., 2007).
Statin memiliki sifat aksi lain yaitu menghambat leucocyte function-associated
antigen-1 (LFA-1) (Viasus et al., 2010). Leucocyte function-associated antigen-1
konstitutif disajikan dalam keadaan tidak aktif pada permukaan leukosit, dan
memberikan respons terhadap beberapa stimulus (seperti ikatan silang antara reseptor
sel T dengan MHC-II), dan LFA-1 akan berikatan dengan ICAM-1 lalu memberikan
sinyal kostimulasi untuk
pengaktivan sel T (Jasinska et al., 2007). Statin telah
terbukti mengikat LFA-1 yang sangat penting untuk ikatan ICAM-1pengikatan, dan
pemblokiran interaksi LFA-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1 telah
dibuktikan dapat mempromosikan penegembangan Th2, oleh karena itu, tidak tertutup
kemungkinan bahwa penghambatan kostimulasi sel T yang diperantarai LFA-1 oleh
statin dapat mempromosikan pengembangan Th2. Sel Th2 mediasi imunitas humoral
dan menurunkan regulasi respons inflamasi (Hakamada et al., 2003).
6. Antibakterial
Statin menginduksi antihiperlipidemia melalui penghambatan HMG-CoA
reductase. Peranan HMG-CoA reduktase sangat penting dalam sel-sel bakteri yang
diperlukan untuk biosintesis isoprene, namun HMG-CoA reductase bakteri memiliki
struktural yang berbeda dan afinitasnya dengan statin yang 10 ribu kali lebih lemah
dibandingkan pada eukariota. (Masadeh et al., 2012; Jerwood & Cohen, 2008).
Efek antibakteri statin diteliti dalam satu penelitian dengan metode metaanalisis, yang menunjukkan bahwa hasil penggunaan statin bermanfaat dalam
pengobatan dan pencegahan infeksi yang berbeda pada penerima transplantasi organ
solid transplantasi (Masadeh et al., 2012).
Aktivitas antimikroba statin secara langsung tidak terbukti, sepertinya
aktivitas antimokroba berasal dari efek statin pada sel inang. Statin telah terbukti
menurunkan kadar LDL dengan mengganggu sintesis mevalonat. Pengurangan kadar
mevalonat
berpotensi
mempengaruhi
inflamasi
yang
diinduksi
patogen.
Penghambatan mevalonat dapat mempengaruhi jalur sinyal sel sehingga dapat
mengurangi penanda inflamasi plasma, sel T, aktivasi monosit, dan pembekuan darah
(Kozarov et al., 2014).
Penelitian Masadeh et al., 2012 tentang efek antibakteri statin dan
membandingkan efek antibakteri diantara obat golongan statin yaitu atorvastatin,
simvastatin, dan rosuvastatin. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa statin
memiliki potensi sebagai antibakteri terutama atorvastatin dan simvastatin (Masadeh
et al., 2012).
Penelitan terbaru menyebutkan bahwa statin menurunkan kolesterol membran,
terutama mevalonat-isoprenoid pada jalur sterol, mempromosikan maturasi fagosom
(EEA-1/Lamp-3) dan autophagy M. tuberkulosis oleh makrofag. Hasil ini
memperkirakan bahwa reduksi kolesterol dalam membran fagosom menghilangkan
”inhibisi maturasi fagosom” yang diinduksi bakteri dan mempromosikan autophagy
yang diinduksi oleh inang, sehingga memperlihatkan aktivitas antimikroba dan
melindung inang dari infeksi tuberkulosis. Inhibisi
terjadinya reduksi sintesis
mevalonat memperantarai
isoprenoid (FPP dan GPP), sehingga menyebabkan
modulasi prenylation pascatranslasi pada Ras, Rho, dan Rac (Kozarov et al., 2014).
Penelitian Jerwood dan Cohen., 2008 membuktikan keuntungan penggunaan statin
untuk mencegah infeksi melalui efek antimikroba statin (Jerwood & Cohen., 2008).
Penelitian in vivo menunjukkan keuntungan penggunaan simvastatin dapat
mereduksi kasus acute lung injury (ALI) pada inflamasi paru yang terinduksi oleh
LPS. Pemberian simvastatin sebelum dan sesudah ALI dapat mengurangi influks
netrofil kedalam paru dan menurunkan permeabilitas paru, sehingga mengindikasikan
peran protektif simvastatin pada inflamasi paru (Grommes et al., 2012).
Mekasnisme proteksi yang dimediasi simvastatin pada ALI yang terinduksi
LPS sepertinya karena penurunan formasi reactive oxygen species (ROS), oksidasi
LDL, dan adhesi netrofil, fagositosis bakteri dan bersihan bakteri masih belum jelas.
Pengertian formasi ROS adalah ikatan Rac-1dengan p67phox yang mengaktivasi
sistem oksidasi NADPH dan pembentukan ROS. Berdasarkan keterangan diatas
berarti statin menghambat Rac, menekan pembentukan ROS yang bergantung pada
oksidasi NADPH yang diperantarai oleh Rac (Kozarov et al., 2014).
7. Farmakokinetik
Pravastatin tidak berikatan dengan protein plasma dan kadar pravastatin dalam
darah lebih tinggi dibandingkan statin lainnya dan pravastatin dapat diabsorbsi secara
pada saluran cerna.. Faktor jenis kelamin dan usia tidak mempengaruhi
farmakokinetik pravastatin. Metabolisme pravastatin terjadi dalam hati dan saluran
cerna. Ekskresi pravastatin melalui ginjal sebanyak 60 %. Dosis mempengaruhi efek
terapi pravastatin Efek terapi pravastatin juga dapat dipengaruhi oleh obat-obat lain
yang dapat menghambat metabolisme statin (Gazzero et al., 2012).
8. Dosis terapi
Dosis terapi pravastatin adalah 40 mg perhari. Absorbsi pravastatin akan lebih
baik bila pemberian pravastatin pada saat perut kosong (Gazzero et al., 2012).
9. Efek samping
Efek samping pravastatin adalah mual, muntah, nyeri perut, diare, konstipasi,
dan ruam kulit, namun efek samping ini jarang terjadi (Maji et al., 2013). Efek
samping pravastatin terhadap otot paling kecil atau sedikit dibandingkan obat statin
lain (Gazzero et al., 2012).
Pemberian secara bersamaan statin dengan inhibitor
sitokrom p450 atau obat penghambat metabolisme statin dapat menyebabkan miopati
(Stancu & Sima., 2001; Malloy & Kane., 2012). Miopati atau miositis ditandai
dengan adanya gejala otot difus yang dikaitkan dengan kenaikan kadar kreatinin
kinase > 10 kali nilai tertinggi kadar normal (Maji et al., 2013). Bila muncul gejala
seperti rasa nyeri, nyeri tekan, dan kelemahan otot, maka pemberian pravastatin harus
segera dihentikan dan dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kreatinin serum
(Malloy & Kane., 2012). Penggunaan pravastatin 40 mg perhari dalam jangka waktu
panjang tidak menimbulkan efek samping yang berarti (Pfeffer et al., 2002).
10. Kontraindikasi
Ibu hamil belum terbukti aman menggunakan statin sehingga tidak dianjurkan
menggunakan pravastatin. Pravastatin juga tidak dianjurkan pada ibu menyusui
(Malloy & Kane., 2012, Mahley & Bersot., 2006).
11. Pengaruh pravastatin
Penelitian Makris et al., (2011) menemukan bahwa frekuensi terjadinya kasus
VAP menurun pada pasien-pasien yang dirawat di ruang intensif yamg menerima
terapi statin dengan dosis 40 mg perhari. Pravastatin juga menurunkan angka
kematian pada pasien yang dirawat di ruang intensif.
Penelitian Iwata et al., (2012) menemukan penurunan kadar IL-6 setelah
pemberian
pravastatin
lipopolisakarida
bakteri.
pada
sel
epitel
Penghambatan
bronkus
yang
HMG-CoA
distimulasi
reductase
dengan
menurunkan
farnesylation dan geranylgeranylation terhadap protein Rho, sehingga jalur sinyal
Rho terhambat.
Proses terjadinya pneumonia dan peningkatan kadar IL-6 diringkas dalam
kerangka teori seperti tampak pada gambar 3.
Invasi Bakteri
Parenkim Paru
Bakteri gram (+)
Bakteri gram (-)
Asam Lipoteikoik
Peptidoglikan
Liposakarida
TLR-4
TLR-4
Sel Epitel Bronkus
TLR-2
Makrofag alveolar
Sel Penyaji Antigen
(Sel dendritik)
MHC-II
NF-қB
TCR
IL-12
IL-6
Sel Th CD4
IL-8
IL-4
IL-1α
Sel Th1
Netrofil
TNF-α
IL1,IL-4,
IL-6
Sel Th2
Sel Th17
MHC-I
ROS
Defensin
IFN-γ
IL-2
Sel T CD8
Eliminasi
mikroba
berhasil
Inflamasi
parenkim paru
Sel T Sitolitik CD8
Eliminasi mikroba gagal
Infiltrasi PMN dan
eritrosit intraalveoli
Sembuh
dan
Reaksi
inflamasi
menurun.
Inflamasi menetap dan meningkat
Infiltrasi PMN dan eritrosit
Edema alveoli
Infiltrasi PMN dan
eritrosit intraalveoli
Klinis pneumonia:
Batuk
Sesak napas
Hipoksemia
PNEUMONIA
Keterangan:
= mempengaruhi
= meningkat
Gambar 3. Kerangka teori
Granzyme
Perforine
Merusak
sel-sel yang
terinfeksi
mikroba
D. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
Berdasarkan landasan teori yang sudah disampaikan sebelumnya
yaitu
pneumonia disebabkan antara lain infeksi bakteri gram (+) dan gram (-). Asam
lipoteikoik dan peptidoglikan,bakteri gram (+) dan LPS bakteri gram (-) bersifat
imunogenik.
Inflamasi yang dihasilkan oleh respons imun berpern untuk mengeliminasi
mikroba patogen, tetapi inflamasi yang berkepanjangan dan berlebihan berakibat
kerusakan jaringan.
TLR-2 yang terdapat pada permukaan sel dendritik mengenali dan
berintraksi dengan asam lipoteikoik dan peptidoglikan bakteri gram (+) sedangkan
TLR-4 yang terdapat pada permukaan makrofag dan sel epitel bronkus dan alveoli
mengenali LPS bakteri gram negatip. Sel dendritik menyajikan asam lipoteikoik dan
peptidoglikan ke sel Th CD4 melalui MHC-II yang berikatan dan berinteraksi dengan
TCR (T cell receptor) dan sel penyaji antigen mengeluarkan sitokin IL-12 untuk
mempromosikan diferensiasi sel Th CD4 menjadi sel Th1. Sel Th1 mengeluarkan
IFN-γ untuk mengaktivasi dan merangsang makrofag untuk memproduksi IL-12.
Interaksi sel epitel dan makrofag dengan LPS bakteri gram (-) melalui TLR-4
mengaktivasi NF-kβ dan menghasilkan sitokin proinflamasi IL-6, IL-1β, dan TNF-α.
Efek pleiotropik pravastatin sebagai antiinflamasi akan mengendalikan
inflamasi yang berlebihan yang ditandai dengan penurunan kadar IL-6 melalui
penghambatan faktor transkripsi NF-kβ, sehingga lama rawat inap dapat dipercepat
Kerangka konseptual penelitian tampak pada gambar 4.
PNEUMONIA
A
ANTIMIKROBA
Mikroba
R
E
Aktivasi NF-қB
PRAVASTATIN
IL-6
A
P
Lokal dan sistemik
E
N
Inflamasi
berkepanjangan
dan berlebihan
E
L
I
PRAVASTATIN
Kerusakan
struktur
Patofisiologi
Gangguan patologis
paru dan sistemik
Gangguan difusi
Gejala dan tanda
klinis
Hipoksemia
Sesak napas,
batuk,demam.
T
I
Pemeriksaan
penunjang :
Radiologi: foto
toraks
Patologi klinik:
darah lengkap,
kimia darah, IL-6,
Mikrobiologi:
kultur gram
Takikardi, hipotensi, gangguan kesadaran
Keterangan:
= mempengaruhi/ induksi
= meningkat
= menghambat/ inhibisi
= menurun
Gambar 4. Kerangka konseptual penelitian.
A
N
E. HIPOTESIS
1. Adakah pengaruh pemberian pravastatin terhadap kadar IL-6 pada penderita
pneumonia? Terdapat pengaruh pemberian pravastatin terhadap penurunan kadar
IL-6 pada penderita pneumonia.
1. Adakah pengaruh pemberian pravastatin terhadap percepatan lama rawat inap
penderita pneumonia? Terdapat pengaruh pemberian pravastatin terhadap
percepatan lama rawat inap penderita pneumonia.
Download