BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kultur mikrospora adalah salah satu teknik kultur jaringan tanaman dimana
digunakan mikrospora sebagai sumber eksplan. Mikrospora adalah serbuk sari
yang masih muda, merupakan suatu prekursor dari gamet jantan (Silva, 2012).
Mikrospora secara normal akan mengalami perkembangan gametogenesis untuk
berkembang menjadi serbuk sari yang matang, perkembangan ini terjadi di dalam
anter atau kepala sari yang membungkus mikrospora.
Perkembangan mikrospora secara gametofit untuk menjadi gamet jantan
dapat dibelokkan ke arah jalur perkembangan sporofitik melalui kultur
mikrospora. Perkembangan sporofitik ini akan mengarahkan mikrospora untuk
membentuk suatu mikrospora embriogenik, dan berkembang menjadi benih
tanaman baru yang memiliki sifat haploid.
Dalam kultur mikrospora, sel mikrospora diberi perlakuan stres untuk
menginduksi terjadinya sel mikrospora embriogenik (Touraev dkk. 1997). Untuk
beberapa kasus, stressor berupa suhu ekstrem atau pemberian media pelaparan
ternyata dapat menginduksi terjadinya mikrospora embriogenik. Pada Nicotina
tabacum, pemberian stres berupa media pelaparan (starvasi N dan P) dan suhu
tinggi (33°C) dilaporkan mampu menginduksi terjadinya mikrospora embriogenik
(Santosa, 2004). Pada Datura innoxia, pemberian perlakuan sentrifugasi selama 4
menit pada kultur yang telah diberi stresor suhu dingin (4°C selama 48 jam
1
mampu meningkatkan persentase mikrospora embriogenik (Sangwan-Noreel,
1977).
Tanaman suku solanaceae, seperti Nicotina tabacum dan Datura innoxia,
lebih banyak digunakan sebagai sumber eksplan untuk kultur mikrospora. Selain
tembakau dan D. innoxia, tanaman suku solanaceae lain yang biasa digunakan
sebagai sumber eksplan salah satunya adalah kecubung. Metabolit sekunder yang
utama terkandung dalam tanaman kecubung adalah alkaloid golongan tropan
seperti hiosiamin, atropin, dan skopolamin. Salah satu cara untuk mendeteksi
keberadaan golongan senyawa alkaloid di dalam tanaman adalah dengan metode
kromatografi lapis tipis (KLT) deteksi dengan pereaksi semprot Dragendorff.
Metode ini telah banyak digunakan untuk analisis pada berbagai hasil kultur in
vitro, baik berupa kultur sel, kultur kalus maupun kultur tunas.
Belum banyak penelitian tentang aspek metabolit sekunder dalam kultur
mikrospora, khususnya penelitian tentang kultur mikrospora kecubung. Metabolit
sekunder sangat mungkin telah disintesis selama perkembangan awal embrioid
hasil kultur mikrospora. Selain itu, metabolit sekunder umumnya disintesis ketika
tanaman mengalami stres, termasuk berupa stres fisik ataupun akibat bahan-bahan
kimia yang ditambahkan ke dalam media. Embrio hasil perkembangan mikrospora
akan mempertahankan diri dari ancaman atau stressor dengan cara mensintesis
metabolit sekunder. Pada kultur mikrospora, sel mikrospora harus diberi
perlakuan stres untuk menginduksi embriogenesis, sehingga mikrospora juga
harus mampu mempertahankan diri dari paparan stres tersebut dan salah satu
caranya adalah dengan mensintesis metabolit sekunder.
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan:
1. Apakah mikrospora kecubung dapat diinduksi menjadi mikrospora
embriogenik dengan perlakuan pelaparan pada suhu 4°C dan
sentrifugasi?
2. Bagaimana pengaruh induksi embriogenesis terhadap kandungan
metabolit sekunder golongan alkaloid mikrospora kecubung?
C. Manfaat Penelitian
1. Mengetahui pengaruh perlakuan stres pelaparan pada suhu 4 oC dan
sentrifugasi pada perkembangan embriogenesis mikrospora kecubung
dan kandungan metabolit sekunder golongan alkaloid.
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai model produksi metabolit
sekunder golongan alkaloid tanaman kecubung dalam skala industri
bioteknologi melalui kultur sel mikrospora.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menginduksi mikrospora kecubung menjadi mikrospora embriogenik
dengan perlakuan pelaparan pada suhu 4o C dan sentrifugasi.
3
2. Mengetahui
kandungan
golongan
senyawa
alkaloid
selama
perkembangan awal embrioid dari mikrospora kecubung dengan
analisis kromatografi lapis tipis.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Uraian tentang kecubung
Kecubung atau Datura metel L. adalah tumbuhan suku Solanaceae.
Kecubung merupakan tumbuhan perdu yang memiliki pokok batang kayu tebal,
bercabang banyak, dan tinggi kurang dari 2 meter. Daun kecbung berwarna hijau
berbentuk bulat telur, tunggal, tipis, dan pada bagian tepi berlekuk-lekuk tajam
dan letaknya berhadapan. Ujung dan pangkal daun meruncing dan pertulangannya
menyirip (Tampubolon, 1995). Buah kecubung berbentuk hampir bulat dan salah
satu ujungnya didukung oleh tangkai tandan yang pendek dan melekat kuat.
Bagian luarnya dihiasi duri-duri, ukurannya bervariasi, dan di dalamnya berisi
biji-biji kecil berwarna kuning kecokelatan. (Dalimartha 2000; Thomas, 2003).
Bunga kecubung menyerupai terompet, berwarna putih, berwarna putih dengan
tepian ungu, dan berwarna ungu (Heyne,1987). Kecubung berwarna putih sering
dianggap paling beracun dibandingkan dengan jenis kecubung lain yang
mengandung alkaloid (Tjitrosoepomo,1994). Di dalam sistematika tumbuhan,
kategori taksa untuk kecubung menurut Tjitrosoetomo (1994) diklasifikasikan
menjadi:
Divisi :
Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
4
Kelas :
Dicotyledoneae
anak Kelas :
Sympetalae
bangsa :
Solanales
suku :
Solanaceae
marga :
Datura
jenis :
Datura metel L.
Gambar 1. Tanaman kecubung, daun, buah dan bunga kecubung
Kecubung dikenal pula dengan nama thorn apple. Di Cina bunga kecubung yang
telah dikeringkan digunakan sebagai anestesi dan pengobatan untuk asma, batuk,
dan convulsion (Yang dkk., 2007). Di Vietnam bunga dan daun kecubung dihisap
sebagai rokok untuk mengobati asma (Mandal & Shah, 2013). Menurut
Chowdury, dkk. (1996), penduduk Bangladesh menggunakan daun kecubung
5
sebagai obat tradisional untuk mengobati kudis, alergi dan eksim.
Kecubung mengandung alkaloid. Semua bagian tanaman Kecubung
mengandung senyawa alkaloid. Daun Datura mengandung sekitarr 0,5% senyawa
alkaloid dengan 0,2% adalah alkaloid skopolamin (Evans, 2002). Alkaloid
merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
Nitrogen dan biasanya terdapat dalam gabungan sebagai suatu sistem siklik yang
bentuknya bermacam-macam. Kandungan alkaloid yang jumlahnya paling besar
kecubung umumnya adalah hoisin atau skopolamin, dan atropine dan hiosiamin
yang jumlahnya lebih sedikit.
2. Gametogenesis Mikrospora
Mikrospora adalah suatu serbuk sari yang masih muda, yang akan
mengalami perkembangan gametogenesis untuk menjadi sel gamet yang siap
membuahi sel telur. Perkembangan mikrospora menjadi serbuk sari matang terjadi
di dalam suatu organ berupa kepala sari (anter). Kepala sari merupakan bagian
dari stamen (benang sari). Pada kebanyakan golongan tumbuhan dikotil, terutama
anggota suku solanaceae, jumlah anter ada lima helai. Selama perkembangan
mikrospora menjadi sebuk sari matang dapat dirunut melalui pertumbuhan kuncup
bunga. Pada kuncup bunga yang masih tertutup bagian kelopak seutuhnya,
mikrospora berada pada tahap tetrat sampai uni-nukleat awal. Perkembangan
selanjutnya, fase uni-nukleat akhir biasanya ditunjukkan dengan mulai terbukanya
kelopak dan munculnya mahkota bunga. Apabila semakin mahkota bunga
semakin membuka, maka perkembangan serbuk sari semakin ke arah dewasa atau
pematangan (Maheshwari, 1997).
6
Gambar 2. Perkembangan serbuk sari (Heidstra, 2007)
.Maturasi mikrospora dimulai dari pembelahan mitosis mikrospora
membentuk sel tetrat kemudian sel tetrat akan terdegradasi oleh dinding sel dan
sitoplasma yang mengalami restrukturisasi membentuk suatu mikrospora uninukleat dengan sitoplasma membesar dan bagian inti yang terdesak ke pinggir.
Dalam perkembangan secara gametogenesis mikrospra uni-nukleat membelah
secara mitosis menghasilkan sel dengan dua inti haploid, fase ini disebut dengan
fase bi-nukleat. Sel mengalami sitokinesis dan menghasilkan dua sel an-ekual, sel
yang lebih besar disebut sel vegetatif dan yang lebih kecil disebut sel generatif.
Inti generatif akan mengalami pembelahan secara mitosis membentuk dua inti
identik yang dinamakan inti generatif I dan inti generatif II, sedangkan inti
vegetative tidak mengalami pembelahan namun melalui polinasi membentuk
pollen tube yang akan mengantarkan inti generatif ke pada embrio di sel ovum
(Twell et al., 1998; McCormick, 2004). Mikrospora yang seperti demikian adalah
mikrospora matang yang telah siap membuahi sel telur dari putik.
7
3. Androgenesis
Androgenesis adalah istilah untuk menyebut perkembangan embrioid dari
mikrospora. Mikrospora secara normal akan berdiferensisasi menjadi serbuk sari
matang dan menghasilkan sel sperma. Pada kondisi khusus, perkembangan
gametofit mikrospora dapat dibelokkan ke arah perkembangan sporofitik untuk
menghasilkan suatu tanaman haploid. Jalur perkembangan ini disebut dengan
androgenesis atau mikrospora embriogenesis (Raghavan, 1990). Androgenesis
dapat dipicu dengan pemberian stres pada anter atau mikrospora, jika tidak ada
stressor mikrospora akan berkembang menjadi serbuk sari normal yang masak
(Heberle-Borss, 1999).
Keterangan:
Gambar 3. Fragmentasi sitoplasma mikrospora (Touraev, 1997)
Tipe 1= mikrospora uni-nukleat
Tipe 2= mikrospora terfragmen
Tipe 3= mikrospora star-like
Embriogenesis suatu mikrospora ditandai dengan perubahan letak inti dan
proses fragmentasi sitoplasma. Mikrospora pada stadium uni-nukleat akhir,
umumnya dipilih sebagai mikrospora untuk diberi stres hingga dihasilkan
embrioid. Pada stadium ini vakuola yang berukuran besar akan dipecah oleh
benang-benang sitoplasma menjadi vakuola-vakuola yang berukuran lebih kecil
8
dan memberi bentuk seperti bintang (star-like) pada sel mikrospora. Bentuk starlike merupakan salah satu tanda jika jalur perkembangan mikrospora telah
berubah dari perkembangan gametogenesis menjadi jalur perkembangan
embriogenesis (Touraev dkk., 1996).
Gambar 4. Struktur mikrotubul (Becker, 2000)
Fragmentasi vakuola oleh benang-benang sitoplasma tidak lepas dari peran
mikrotubul. Mikrotubul adalah elemen terbesar dari sitoskeleton yang memegang
peranan penting dalam pembentukan sitoplasma, pergerakan intraseluler
makromolekul dan material lain di dalam sel. Mikrotubul juga berperan dalam
struktur susunan sel, disposisi atau perpindahan spasial dari organel-organel, juga
distribusi mikrofilamen dan intermediet filamen. Mikrotubul berbentuk silinder
berlubang
yang
terdiri
dari
longitudinal
arrays
protofilamen
sebagai
penyusunnya. Protofilamen sendiri tersusun dari dua sub-unit protein tubulin,
tubulin α dan tubulin β (Becker dkk., 2000).
9
Pemberian perlakuan stres dapat mempengaruhi orientasi dari mikrotubul
dan merubah struktur dari sel. Seperti pada pemberian medium starvasi, yang
dapat menyebabkan disagregasi protofilamen sehingga mikrotubul tidak
terbentuk. Menurut Zarsky dkk. (1992), Taiz &Ziger (1998), dan Tim dkk. (2000)
pemberian stres starvasi (N&P) dapat menaikkan jumlah Ca2+ dalam sel. Ion Ca2+
dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan disagregasi protofilamen sehingga
mikrotubul tidak terbentuk (Fosket, 1994). Keberadaan mikrotubul penting untuk
sel, sehingga sel akan berusaha untuk membentuk kembali mikrotubul dengan
membentuk mikrotubul prephophase band (mikrotubul ppb). Mikrotubul ppb
tidak terbentuk pada perkembangan sel gametofit, sehingga apabila terdapat
mikrotubul ppb dapat dikatakan mikrospora sudah masuk ke jalur sporofitik.
(Simmond dkk., 1991).
Menurut Silva (2012), perlakuan stres suhu dingin dapat meningkatkan
pelepasan asam amino bebas yang berperan dalam membantu persiapan induksi
embriogenesis. Umumnya sel akan merespon suatu kondisi stres dengan
mengekspresikan suatu gen yang disebut dengan stress-response gen, yang
fungsinya belum banyak diketahui namun gen ini dapat memproduksi protein
yang dapat meminimalisisr dampak dari kerusakan yang diakibatkan stres pada
sel. Pada paparan stres suhu tinggi, gen ini disebut dengan heat shock protein,
sedangkan pada paparan suhu tinggi gen ini disebut cold shock protein (Becker
dkk., 2000). Peningkatan asam amino pada perlakuan stres suhu dingin juga
diasumsikan dapat mengarahkan mikrospora untuk mempertahankan dirinya
10
dengan mensintesis suatu metabolit sekunder (Claparols dkk., 1993; Yang dkk.,
1997)
Induksi androgenesis dari mikrospora uni-nukleat diawali dengan
pembelahan mitosis secara simetri yang menghasilkan dua sel berukuran sama.
Proses mitosis menghasilkan sel-sel yang belum terdiferensiasi, dan secara cepat
berproliferasi sehingga meningkatkan masa multi seluler. Struktur multi seluler ini
akan berkembang menjadi sel embriogenik atau tetap meristematik tergantung
dari kondisi kultur yang tersedia (Silva, 2012).
Gambar 5. Jalur pembelahan embriogenesis mikrospora (Bohjwani & Razdan, 1997)
Berdasarkan Gambar 5, perkembangan embriogenesis mikrospora dapat
melalui 4 jalur, yaitu:
11
a. Jalur I, mikrospora membelah secara simetris menghasilkan dua sel
anakan identik dan kedua sel identik tersebut masing-masing akan
membelah hingga terbentuk embrio globular yang berkontribusi dalam
perkembangan sporofitik. Pada jalur ini tidak dapat dibedakan sel
vegetatif
ataupun
generatif.
Jalur
ini
biasa
ditemukan
pada
perkembanga embrioid mikrospora tanaman Brassica napus.
b. Jalur II, mikrospora uni-nukleat akhir membelah secara asimetris. Sel
vegetatif membelah terus menerus sehingga perkembangan sporofitnya
muncul dari bagian sel vegetatif ini. Sel generatif akan mengalami
degenatif.
c. Pathway III, didominasi oleh mikrospora embriogenik yang terbentuk
dari sel generatif. Pada beberapa kasus, sel vegetatif terbentuk sampai
batas tertentu atau tidak terbentuk sama sekali.
d. Pathway IV, pada mikrospora terbentuk sel generatif dan vegetatif,
tetapi keduanya ikut membelah dan berkontribusi dalam perkembangan
embrioid.
Setelah terbentuk embrioid globular dari empat kemungkinan jalur tersebut,
perkembangan embrioid selanjutnya akan dihasilkan bentuk embrioid jantung,
kemudian bentuk embrioid torpedo dan pada tahap akhir akan terbentuk plantula
(Bhojawni & Razdan, 1997).
Mikrospora yang telah diinduksi dan berkembang menjadi embriogenik
akan menunjukkan karakteristik yang berbeda dari mikrospora normal yang
perkembangannya ke arah gametofit jantan. Karakteristik yang berbeda
12
diantaranya adalah perubahan dari morfologi sel dan perubahan proses biokimia
yang mempengaruhi profil ekspresi gen (Silva, 2012).
Untuk mengubah jalur perkembangan gametofit mikrospora menjadi
perkembangan embriogenik, mikrospora harus diperlakukan dalam kondisi
spesifik. Kondisi ini biasanya berbeda untuk masing-masing jenis tanaman, dan
seringkali berbeda untuk jenis yang sama antar-genotip atau varitas. Keberhasilan
kultur mikrospora ditentukan pula oleh kondisi fisiologi sumber tanaman asal,
mikropora, pemberian perlakuan, dan kedaan selama kultur in vitro (Silva, 2012).
Keberhasilan
induksi
embriogenesis
mikrospora
diperngaruhi
oleh
pemberian stres perlakuan. Pada tahap ini, Shariatpanahi dkk. (2006)
menggolongkan pemberian stres kedalam 3 kelompok; widely use, neglected dan
novel. Perlakuan widely use adalah pemberian stres berupa suhu dingin, suhu
panas, pelaparan, dan pemberian kolkisin. Stress neglected berupa pemberian stres
radiasi sinar γ, stres etanol, syok hipertonik, perlakuan sentrifugasi, dan
penurunan tekanan atmosfer. Sedangkan yang termasuk ke dalam stress novel
adalah media dengan pH tinggi, stres logam berat, induksi kimia, dan pra
perlakuan 2,4-D.
Perlakuan stres berupa suhu dingin, suhu panas dan starvasi telah banyak
dilakukan penelitian. Perlakuan stres semacam ini ternyata menunjukkan hasil
yang positif dalam menginduksi embriogenesis mikrospora. Menurut Santosa
(2004) pemberian stres starvasi dan stres suhu panas mampu menginduksi
mikrospora embriogenesis. Pechan (2001), melaporkan pemberian stres suhu
32°C selama 4 hari mampu menginduksi embriogenesis Brasica napus.
13
Perlakuan stres juga dapat diberikan secara kombinasi untuk meningkatkan
efektivitas induksi embriogenesis. Pelakuan suhu dingin dan sentrifugasi pada
Datura innoxia dan Cicer arietinum mampu meningkatkan jumlah mikrospora
embriogenik (Grewal dkk., 2009.). Demikian pula, kombinasi perlakuan berupa
suhu tinggi dan starvasi N,P dapat meningkatkan efektivitas pembentukan
embriogenesis mikrospora (Touraev dkk., 1996. Santosa, 2004).
4. Kultur Mikrospora dan Kultur Anter
Untuk menginduksi androgenesis pada tanaman, secara in vitro dapat
dilakukan dengan teknik kultur anter dan kultur mikrospora. Kultur mikrospora
berbeda dengan kultur anter. Pada kultur anter digunakan anter atau kepala sari
sebagai eksplan dan ditanam di medium padat, sedangkan kultur mikrospora
menggunakan sel sel mikrospora sebagai eksplannya sehingga anter harus dipecah
terlebih dahulu untuk mengeluarkan mikrospora dan kemudian ditanam di
medium cair (Ferrie & Keller, 1995; Ferrie & Caswell, 2010). Kultur anter lebih
disukai untuk menginduksi androgenesis pada tanaman karena lebih mudah dan
efisien. Meski demikian kultur anter memiliki kekurangan yakni kemungkinan
kultur tumbuh dari jaringan somatik bukan dari sel mikrospora yang dimaksud.
Selain itu pada kultur anter juga sulit untuk menganalisis terjadinya induksi
embriogenesis dan sulit menetapkan stadium awal perkembangan mikrospora
(Reynolds, 1997; Ferrie & Caswell, 2010).
14
Gambar 6. Perbedaan antara kultur mikrospora dan kultur anter (Reynolds, 1996)
Untuk beberapa tanaman kultur mikrospora lebih sulit dan tidak efisien
dibandingkan kultur anter. Pada kultur mikrospora, sel mikrospora dikulturkan
setelah dipisahkan dari jaringan anther yang membungkusnya. Sel mikrospora
dapat dipisahkan dari anter secara fisik dengan menghancurkan jaringan anther
untuk mengeluarkan sel mikrospora di dalamnya. Meski lebih sulit dan tidak
efisien, pada kultur mikrospora tidak ada kemungkinan terjadi perkembangan
tanaman dari jaringan lain selain sel mikrospora seperti pada kultur anter. Selain
itu kemungkinan terjadi kegagalan kultur kecil. Keuntungan lain dari kultur
mikrospora dibandingkan dengan kultur anter diantaranya;
15
1. Pada kultur anter, adanya dinding anter dapat memberi pengaruh negatif
pada perkembangan mikrospora, atau ada kemungkinan kultur akan
menghasilkan sel diploid, kalus somatik, dan subsequently embryo
2. Pada kultur anter membutuhkan banyak waktu dalam pengerjaannya, dan
membutuhkan kemampuan pembedahan-mikro
3. Pada kultur mikrospora memiliki ketersediaan nutrisi yang lebih baik
untuk perkembangan mikrospora
4. Pada kultur mikrospora dapat digunakan untuk melacak dan mempelajari
tahap tahap pematangan mikrospora atau perkembangan embriogenesisnya
(Ferrie & Caswell, 2010)
Dalam kultur mikrospora dapat digunakan satu macam media ataupun dua
macam media. Biasanya pada dua macam media, salah satu media digunakan
untuk menginduksi terbentuknya mikrospora embiroid sedangkan media yang lain
digunakan untuk media pertumbuhan mikrospora embrioid.
Komposisi dari media mempengaruhi keberhasilan dari kultur mikrospora,
terutama pada media untuk menginduksi embriogenesis mikrospora. Keberhasilan
dari kultur mikrospora bergantung pada nutrisi media yang mencukupi dan
kondisi kultur yang sesuai. Kandungan nutrisi seperti makro dan mikronutrien,
vitamin, dan sumber karbohidrat harus tersedia dalam jumlah yang cukup (Ferrie
& Caswell, 2010).
Sumber karbon, makronutrien, dan mikronutrien menentukan apakah
induksi embriogenik mikrospora terjadi atau tidak. Sumber karbon penting untuk
menyediakan sumber energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan eksplan.
16
Mikronutrien memegang peranan penting dan krusial dalam pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Silva, 2012).
Sumber karbon penting untuk menyediakan sumber energi yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan kultur tanaman. Sumber karbon yang sering digunakan dalam
kultur jaringan tanaman adalah sukrosa. Gula juga berperan penting dalam
menjaga tekanan osmotik dalam media kultur (Silva, 2012).
Makronutrien adalah salah satu nutrisi yang esensial bagi tanaman, selain
unsur C,H, dan O. Senyawa-senyawa makroelemen termasuk ke dalam
makronutrien, diantaranya adalah; Nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium,
dan sulfur yang berperan dalam pertumbuhan dan morfogenesis. Sumber nitrogen
dalam media kultur dapat berupa senyawa organik atau an-organik. Nitrogen
anorganik biasa berada dalam bentuk nitrat atau ion ammonium, sementara
nitrogen organik berada dalam bentuk vitamin dan suplemen asam amino.
Mikronutrien diketahui memegang peranan penting dalam pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Namun, pada studi lebih lanjut diketahui jika campur
tangan mikronutrien dalam kultur in vitro embriogenesis mikrospora sangatlah
terbatas. Mikronutrien yang telah diketahui berperan dalam perkembangan kultur
embriogenesis mikrospora adalah kuprum dan seng (Wojnarowiez dkk.,2002.
Jacquard dkk., 2009).
Pada kultur anther dan mikrospora umumnya digunakan media N6, Nitsch
& Nitsch, MS, atau B5 (Gamborg dkk., 1998). Umumnya media kultur untuk
Datura metel mengandung Glutamin, L-serine, dan myo-inositol yang merupakan
17
komponen yang penting (Nitsch, 1974), dan sukrosa yang merupakan komponen
yang essensial untuk androgenesis (Nitsch, 1969).
5. Metabolit Sekunder Golongan Alkaloid
Metabolit sekunder adalah senyawa hasil metabolism tanaman yang
disintesis pada saat-saat tertentu, umumnya ketika tanaman merasa terancam.
Tidak seperti metabolit primer yang keberadaannya esensial dan hampir ada di
semua jenis tanaman, metabolit sekunder sifatnya spesifik pada tanaman tertentu
dan fungsinya bagi tanaman belum banyak diketahui. Beberapa menganggap
metabolit sekunder berfungsi sebagai alat pertahanan diri karena beberapa
tanaman menghasilkan senyawa toksik atau senyawa berbau tajam yang dapat
melindungi tanaman dari predatornya. Akan tetapi beberapa metabolit sekunder
yang dihasilkan tanaman ternyata merupakan sumber komponen aktif farmakologi
untuk produk alam (Dewick, 2002).
Alkaloid merupakan golongan metabolit sekunder yang bersifat basa yang
mengandung satu atau lebih atom N dan biasanya berada sebagai bagian sistem
heterosiklik yang bersifat fisiologis aktif (Wagner, 1984). Alkaloid tidak hanya
ditemukan dalam tanaman tapi juga ditemukan di beberapa hewan dan
mikroorganisme. Atom Nitrogen dalam alkaloid biasanya berada sebagai amina
primer, sekunder atau tersier yang keberadaannya mempengaruhi sifat kebasaan
dan memfasilitasi dalam proses isolasi atau purifikasi karena adanya asam mineral
dapat membentuk garam alkaloid larut air. Sifat kebasaan alkaloid juga
18
dipengaruhi oleh struktur molekul dan letak gugus fungsi dalam struktur molekul
(Dewick, 2002).
Evans (2002) membagi alkaloid ke dalam 2 kelompok:
a. Non-heterosiklik atau atipikal alkaloid, biasanya disebut protoalkaloid.
b. Heterosiklik atau tipikal alkaloid yang dibagi lagi ke dalam 14 kelompok
berdasarkan bentuk cincinnya.
Alkaloid Tropan termasuk ke dalam kelompok alkaloid heterosiklik, dan yang
termasuk ke dalam kelompok alkaloid tropan adalah; hiosiamin, atropine,
hyoscine atau skopolamin. Alkaloid Tropan umumnya banyak ditemukan dalam
tanaman Solanaceae, seperti Datura.
Gambar 7. Struktur hiosiamin, atropine, dan skopolamin (Evans. 2002)
Alkaloid heterosiklik lain, selain alkaloid tropan, di antaranya adalah: pirol,
pirolidin, pirolisidin, piridin, piperidin, Quinoline, isoquinoline, aporphine, norlupinane, indole, indolizidine, imidazole, dan purine.
Umumnya dalam tanaman alkaloid berada dalam bentuk bebasnya seperti
dalam bentuk garam, amina atau dalam bentuk alkaloid N-oksida. Bentuk alkaloid
dan garamnya memiliki kelarutan yang sangat berbeda, karena memiliki variasi
struktur yang juga berbeda. Alkaloid bebas umumnya sedikit larut dalam air dan
larut dalam pelarut organik sementara bentuk garamnya larut baik dalam air
19
namun sedikit larut dalam pelarut organik. Sedangkan alkaloid N-oksida memiliki
sifat polaritas yang besar dan larut air.
6. Ekstraksi Golongan Alkaloid
Ekstraksi adalah proses pemisahan atau pengambilan senyawa aktif dari
jaringan tanaman menggunakan pelarut yang sesuai. Senyawa aktif dalam
tanaman umumnya merupakan bagian dari gabungan senyawa lain yang kompleks
dalam tanaman, proses ekstraksi dapat memisahkan senyawa aktif dari senyawa
lain dan jaringan tanaman yang tidak dibutuhkan (Handa, 2008).
Ada beberapa macam teknik ekstraksi, dan umumnya dibagi menjadi 2
macam yakni ekstraksi cara dingin dan ekstraksi cara panas. Ekstraksi cara dingin
meliputi proses ekstraksi dengan maserasi dan perkolasi, sedangkan ekstraksi cara
panas meliputi proses reflux, sokhlet, infundasi.
Singh (2008) menyebutkan 6 faktor utama dalam memilih teknik ekstraksi
yang akan digunakan, 6 faktor tersebut diantaranya adalah:
a. Sifat dan karakteristik simplisia
b. Stabilitas senyawa aktif dalam simplisia. Senyawa aktif yang bersifat
termolabil sebaiknya tidak diekstraksi menggunakan ekstraksi panas
berulang karena dapat merusak senyawa aktif.
c. Biaya atau harga dari simplisia. Ada beberapa simplisia dengan harga
mentah yang cukup tinggi, sehingga untuk menekan biaya produksi harus
dipilih teknik ekstraksi yang seekonomis mungkin.
20
d. Solvent atau pelarut. Pemilihan pelarut sangat tergantung pada kelarutan
senyawa yang diinginkan
e. Konsentrasi senyawa dalam simplisia. Untuk senyawa dengan kadar yang
cukup besar ekstraksi dapat menggunakan maserasi, sedangkan untuk
senyawa dengan kadar yang sedikit ekstraksi dapat menggunakan
perkolasi.
f. Pemulihan dari solven
Menurut Wagner (1996) ada dua metode untuk ekstraksi senyawa alkaloid
dalam tanaman.
a. General method, atau metode secara umum, untuk senyawa alkaloid yang
konsentrasinya dalam tanaman >1%. Metode A:
Satu
gram
serbuk
simplisia dilarutkan dalam 1mL ammonia 10% atau larutan Na2CO3
kemudian diekstraksi dengan 10 mL metanol dengan cara direflux.
b. Enrichment method, atau metode diperkaya, untuk senyawa alkaloid yang
konsentrasinya dalam tanaman <1%.
i.
Metode B:
2 gram serbuk simplisia digerus dalam mortar
dengan 2 mL ammonia 10% dan dicampur dengan 7 gram alumunium
oksida. Campuran kemudian dikemas dalam kolom dan ditambahkan
10mL CHCl3.
ii.
Metode A:
0,4-2 gram serbuk simplisia dilarutkan dalam 15 mL
asam sulfat 0,1N selama 15 menit, kemudian disaring. Residu filtrat
dicuci dengan asam sulfat sampai volume total 20 mL. Ditambahkan
1 mL ammonia 10%, campuran kemudian diekstraksi dengan dietil
21
eter. Fase eter diambil dan ditambahkan sodium sulfat anhidrat,
diuapkan sampai kering, dan dilarutkan kembali dengan 0,5 mL
metanol.
5. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis merupakan salah satu metode pemisahan
fisikakimia. Senyawa campuran yang akan dipisahkan, ditotolkan dalam bentuk
totolan atau pita pada lapisan penjerap yang diletakkan di permukaan pelat gelas,
logam, atau lapisan yang cocok. Senyawa yang telah ditotolkan pada lapisan
penjerap kemudian dimasukkan ke dalam bejana yang telah dijenuhkan dengan
fase gerak, dan dibiarkan sampai jarak elusi yang diinginkan (Stahl, 1985). Fase
gerak akan bergerak di sepanjang lapisan penjerap (fase diam) karena adanya
pengaruh gaya kapiler pada pengembangan secara menaik, atau karena gaya
gravitasi pada pengembangan secara menurun. ( Gandjar & Rohman, 2007)
Fase diam atau lapisan penjerap yang digunakan dalam KLT merupakan
penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30µm. Semakin kecil
ukuran partikel penjerap semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan
resolusi. Mekanisme sorpsi dari fase diam KLT utamanya adalah mekanisme
partisi dan adsorbsi (Gandjar & Rohman, 2007)
Pemilihan fase gerak bisa dipilih dari pustaka yang telah ada atau dengan
cara mencoba-coba karena waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Beberapa
petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak diantaranya:
a. fase gerak harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif
22
b. daya elusi harus diatur sehingga diperoleh harga Rf antara 0,2-0,8 untuk
memaksimalkan pemisahan
c. untuk pemisahan menggunakan fase diam polar, polaritas fase gerak
akan menentukan kecepatan migrasi solute dan menentukan nilai Rf.
d. solut-solut ionik dan solut-solut polarlebih baik digunakan campuran
pelarut sebagai fase geraknya (Gandjar & Rohman, 2007).
Bejana kromatografi harus tertutup rapat, dan sedapat mungkin volume fase
gerak yang dibutuhkan sesedikit mungkin namun tetap bisa mengelusi fase gerak
sampai ketinggian yang ditentukan. Untuk melakukan penjenuhan biasa
digunakan kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung kertas saring bisa
dikatakan bejana telah jenuh dengan fase gerak. (Gandjar & Rohman, 2007)
Bercak pemisahan KLT umumnya merupakan bercak tidak berwarna.
Untuk deteksinya bisa dilakukan secara kimia, fisika, ataupun biologi. Cara kimia
yang biasa dilakukan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi
melalui penyemprotan sehingga bercak menjadi terlihat jelas. Cara fisika yang
biasa dilakukan adalah dengan pencacahan radio aktif dan fluorosensi ultraviolet.
Fluorosensi sinar ultraviolet digunakan untuk senyawa-senyawa yang dapat
berfluorosensi dengan sinar ultraviolet sehingga membuat bercak terlihat.
(Gandjar & Rohman, 2007).
23
F. Landasan Teori
Mikrospora embrioid dapat diinduksi dengan pemberian pra perlakuan
stres. Mikrospora kecubung diketahui dapat diinduksi menjadi mikrospora
embrioid dengan pemberian stres dingin pada suhu 5o C. Mikrospora yang diberi
pra perlakuan berupa stres suhu dingin total asam amino bebas yang dilepaskan
akan meningkat. Asam amino ini akan membantu mikrospora dalam persiapan
induksi embriogenesis (Silva, 2012). Pemberian stres suhu dingin yang
dikombinasikan dengan sentrifugasi diketahui mampu meningkatkan efektifitas
induksi embriogenesis. Grewal dkk. (2009) melaporkan jika sentrifugasi
memberikan pengaruh positif pada induksi embriogenesis Cicer arietinum.
Induksi embriogenesis mikrospora dapat dilakukan melalui kultur anter
atau kultur mikrospora. Kultur mikrospora memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan kultur anter, salah satunya adalah tidak adanya jaringan dinding
anter yang dapat mengganggu induksi embriogenesis. Pada kultur mikrospora,
eksplan berupa mikrospora yang telah diisolasi dari anter, sehingga tidak ada
kemungkinan jaringan anter yang dapat berkembang sendiri dan mengalami
totipotensi menjadi sel kalus. Dalam kultur mikrospora, keberhasilan induksi
embriogenesis mikrospora dipengaruhi oleh beberapa hal. Pemilihan stadium
perkembangan mikrospora, cara penanganan saat pra perlakuan, pemilihan media
merupakan sebagian hal yang mempengaruhi keberhasilan induksi embriogenesis
mikrospora. Pengaruh keberhasilan kultur mikrospora tergantung pada setiap jenis
tanaman (Silva, 2012).
24
Metabolit sekunder disintesis oleh tanaman ketika merasa stres atau
terancam dengan lingkungan sekitar. Pemberian suhu dingin, diasumsikan dapat
menginduksi sintesis dari metabolit sekunder sebagai salah satu cara pertahanan
diri (Silva, 2012). Dari penelitian Santosa (2004) kultur mikrospora tembakau
dengan perlakuan starvasi pada suhu 34°C mampu mensintesis senyawa nikotin
pada perkembangan embrioid awal.
Kandungan metabolit sekunder dapat dianalisis menggunakan kromatografi
lapis tipis. Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisiko-kimia dalam
satu campuran senyawa (Gandjar & Rohman, 2007). Analisis kualitatif dapat
dilakukan dengan mengamati bercak pemisahan yang muncul pada sinar tampak,
di bawah sinar UV, atau direaksikan dengan pereaksi penampak bercak.
G. Hipotesis
Pemberian perlakuan stres berupa kombinasi suhu dingin dan sentrifugasi
dalam media pelaparan mampu menginduksi embriogenesis mikrospora Datura
metel L. Kultur mikrospora mampu menghasilkan metabolit sekunder, karena
pemberian stressor yang dilakukan untuk menginduksi mikrospora embrioid.
25
Download