22 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Brokoli (Brassica oleracea L. var

advertisement
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck)
2.1.1
Morfologi Brokoli
Struktur morfologi brokoli berupa akar, tangkai, daun dan bunga (Gambar
2.1). Bunga terdiri atas bunga muda yang telah terdiferensiasi sempurna dan
bagian atas batang yang lembut. Tinggi batang yaitu sekitar 50 - 90 cm. Daunnya
terbagi dan bertangkai, berwarna hijau keabu-abuan hingga kebiruan.
Gambar 2.1 Struktur Morfologi Brokoli
(Departement of Public Health California, 2011)
Bagian brokoli yang biasa dikonsumsi adalah kelompok tunas bunga
(curd) seperti tampak pada Gambar 2.2. Pembungaan utama terbentuk pada ujung
batang memanjang yang tidak bercabang, walaupun pembungaannya sendiri
sangat bercabang. Tunas bunga pada ujung setiap cabang pembungaan secara
23
keseluruhan membentuk sebuah kepala yang agak bundar dan padat (flower
head). Kelompok tunas bunga berwarna hijau atau ungu (Yamaguchi dan Vincent,
1998).
Gambar 2.2 Kuncup Bunga Brokoli (Gray, 1982)
2.1.2
Syarat Tumbuh Brokoli
Brokoli termasuk tanaman semusim ataau dwi musim yang berbentuk
perdu. Sayuran ini tidak tahan terhadap hujan yang terus- menerus. Panen bunga
brokoli dilakukan setelah umurnya mencapai 60 - 90 hari sejak ditanam yaitu
sebelum bunganya mekar dan sewaktu kuncup masih berwarna hijau. Jika
bunganya mekar, tangkai bunga akan memanjang dan keluar kuntum- kuntum
bunga berwarna kuning (Dalimartha, 2000).
24
Pada mulanya bunga brokoli dikenal sebagai sayuran daerah beriklim
dingin (subtropis), sehingga di Indonesia cocok ditanam di dataran tinggi antara
1.000- 2.000 meter dari atas permukaan laut (dpl) yang suhu udaranya dingin dan
lembab. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan produksi sayuran ini antara
15,5°C- 18°C dan maksimum 24°C. Setelah beberapa negara di kawasan Asia
berhasil menciptakan varietas-varietas unggul baru yang toleran terhadap
temperatur tinggi (panas), maka brokoli dapat ditanam di dataran menengah
sampai tinggi (Rukmana, 1994). Kultivar brokoli yang dikenal di Indonesia yaitu
kultivar Royal Green, kultivar Delicate Green, kultivar Green King, kultivar
Radiant Green, kultivar Tender Green dan kultivar Green Jewel (Susila, 2006).
2.2
Perkembangan Mikrospora
Mikrospora terbentuk di dalam anter (Gambar 2.3 A dan B). Proses
perkembangan
mikrospora
disebut
mikrosporogenesis
(Chawla,
2002).
Mikrosporogenesis diawali adanya pembelahan meiosis I pada sel induk
mikrospora yang bersifat diploid (mikrosporosit) menghasilkan sepasang sel
haploid (dyad) (Gambar 2.3 C). Pembelahan meiosis II menghasilkan empat sel
mikrospora haploid yang berlekatan menjadi satu (tetrad). Masing- masing sel
pada tetrad memisahkan diri kemudian membentuk empat buah sel mikrospora
dengan satu inti (mikrospora uninukleat) (Gambar 2.3 D). Tahap perkembangan
mikrospora
selanjutnya
yaitu
mikrogametogenesis.
Mikrogametogenesis
merupakan proses pematangan mikrospora menjadi polen yang fungsional. Proses
pematangan ini diawali dengan proses pembelahan inti sehingga terbentuk polen
25
yang terdiri atas dua inti dan bersifat haploid yaitu inti generatif dan inti inti
vegetatif (Gambar 2.3 E). Pada saat perkecambahan, inti generatif membelah
secara mitosis tanpa disertai sitokinesis sehingga dalam polen yang masak
terdapat tiga buah inti yaitu dua inti generatif dan satu inti vegetatif (Gambar 2.3
F) (Susan dan William, 2007).
Gambar 2.3 Perkembangan Mikrospora (Taji et al., 2002)
26
Suaib et al. (2007) menyebutkan bahwa tahap perkembangan mikrospora
terdiri atas:
a. Tetrad: empat sel mikrospora yang saling berlekatan dan memiliki inti
ditengah
b. Uninukleat awal: inti terletak pada bagian tengah dinding mikrospora
c. Uninukleat akhir: inti terletak pada bagian tepi dekat dinding mikrospora
d. Binukleat awal: inti vegetatif dan inti generatif berdekatan
e. Binukleat akhir: inti generatif telah bergeser ke bagian tengah mikrospora
f. Multinukleat atau polen: inti polen berjumlah tiga.
Tahap perkembangan mikrospora merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan kultur. Kultur mikrospora berkaitan erat dengan
embriogenesis mikrospora (Suaib et al., 2007). Mikrospora dapat langsung
beregenerasi membentuk embrio disebut embriogenesis. Mikrospora juga dapat
membentuk jaringan kalus yang selanjutnya dapat diinduksi untuk bergenerasi
menjadi tanaman atau disebut callogenesis. Proses embriogenesis mikrospora
disajikan pada Gambar 2.4 (Segui-Simaro dan Nuez, 2008).
27
Gambar 2.4 Embriogenesis Mikrospora (Segui-Simaro dan Nuez, 2008)
Tahap uninukleat dan awal binukleat merupakan fase yang paling baik
untuk embriogenesis kultur mikrospora. Embriogenesis mikrospora dapat
berlangsung pada kondisi kultur yang optimal. Embriogenesis pada kultur
mikrospora dapat melalui dua tahap pembelahan asimetris dan simetris (Gambar
2.5). Mikrospora dari pembelahan tersebut berkembang menjadi binukleat.
perbanyakan sel vegetatif membentuk globular embrio yang kemudian
berkembang menjadi embrio kotiledon (Palmer dan Keller, 1999).
28
Gambar 2.5 Embriogenesis pada Kultur Mikrospora (Palmer dan Keller, 1999)
2.3
Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik untuk menumbuhkan dan
memperbanyak sel, jaringan dan organ menggunakan nutrisi dalam keadaan
aseptik dalam lingkungan yang terkontrol (Loyola-Vargas dan Vazquez-Flota,
2008). Kultur jaringan berdasar pada kenyataan bahwa banyak sel tumbuhan
memiliki kemampuan untuk melakukan regenerasi menjadi tanaman yang utuh
atau yang kenal sebagai teori totipotensi sel (Akin-Idowu et al., 2009).
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: menghasilkan tanaman dengan sifat yang seragam dan
29
identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar tanpa
membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar
dalam waktu yang singkat, produksi bibit yang steril bebas hama, penyakit serta
patogen, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan
konvensional dan pengadaan bibit tidak tergantung musim (Akin-Idowu et al.,
2009).
Menurut Yusnita (2003), tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan
tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
a. Pemilihan dan penyiapan tanaman induk sumber eksplan
Tanaman yang menjadi eksplan harus jelas jenisnya agar eksplan yang
digunakan tumbuh baik pada waktu dikultur secara in vitro
b. Inisiasi kultur (culture establishment)
Tujuan utama tahap ini adalah mengusahakan kultur yang aseptik. Aseptik
berarti bebas dari mikroorganisme. Untuk mendapatkan kultur yang bersih
dari kontaminasi, eksplan harus disterilisasi. Sterilisasi merupakan upaya
untuk menghilangkan kontaminan mikroorganisme yang menempel di
permukaan eksplan.
c. Multiplikasi
Tahap ini bertujuan untuk menggandakan eksplan yang diperbanyak
seperti tunas atau embrio serta memeliharanya dalam keadaan tertentu
sehingga sewaktu- waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya.
30
d. Perpanjangan tunas, induksi dan perkembangan akar
Pemanjangan dan pengakaran tunas mikro dilakukan dalam media kultur
dengan hara mineral dan sukrosa lebih rendah dan konsentrasi agar- agar
lebih tinggi. Selain itu, induksi tunas dan akar dapat menggunakan zat
pengatur tumbuh.
e. Aklimatisasi plantlet ke lingkungan luar
Aklimatisasi adalah pengkondisian plantlet atau tunas mikro di lingkungan
baru yang septik diluar botol, dengan media tanah sehingga plantlet dapat
bertahan dan terus tumbuh menjadi bibit yang siap ditanam di lapang.
Plantlet atau tunas mikro dipindahkan kelingkungan di lur botol seperti
rumah kaca, rumah plastik, atau screenhouse (rumah kaca/ plastik untuk
melindungi hama).
Pada dasarnya tanaman tersusun atas berbagai macam organ. Masingmasing organ tersusun atas jaringan yang berbeda dan jaringan tersusun atas selsel (Sumadi, 2007). Menurut Gunawan (1992), terdapat beberapa jenis kultur
jaringan yaitu:
a. Kultur organ (organ culture) merupakan kultur yang berasal dari bagian
tanaman seperti: ujung akar, pucuk aksilar, meristem dengan beberapa
primordial daun dan embrio sebagai bagian dari biji.
b. Kultur kalus (callus culture) merupakan kultur sekumpulan sel yang tidak
terorganisir, hanya sel-sel parenkim yang berasal dari berbagai bahan
awal.
31
c. Kultur suspensi (suspension culture) adalah kultur sel bebas atau agregat
sel kecil dalam media cair dengan pengocokan. Pada umumnya kultur
suspensi diinisiasi dari kalus.
d. Kultur protoplasma adalah kultur yang berasal dari sel-sel muda yang
dikultur dalam media cair kemudian dihilangkan dinding selnya dengan
menggunakan enzim. Protoplasma kemudian dibiarkan membelah diri dan
membentuk dinding kembali pada media padat.
e. Kultur haploid (kultur mikrospora/ kultur anther) adalah kultur yang
berasal dari bagian reproduktif tanaman yaitu kepala sari atau tepung sari.
Dari kultur tersebut diharapkan dapat tumbuh dan beregenerasi menjadi
tanaman haploid. Apabila secara khusus yang dipakai sebagai bahan awal
adalah serbuk sari maka kultur sering disebut kultur mikrospora.
Sedangkan kultur anter berasal dari kepala sari.
2.4
Kultur Mikrospora
Tanaman haploid dapat dikembangkan dengan teknik kultur in
vitro mikrospora dan anter (Gambar 2.6). Kultur mikrospora berbeda dengan
kultur anter. Kultur anter menggunakan anter sebagai eksplan kemudian ditanam
pada medium padat. Pada kultur mikrospora, eksplan yang digunakan adalah
serbuk sari muda atau yang biasa disebut dengan mikrospora. Anter harus dipecah
lebih dulu kemudian mikrospora ditanam pada medium cair (Chwla, 2002). Kultur
mikrospora memiliki keunggulan dibanding kultur anter. Kultur mikrospora
menghasilkan jumlah embrio yang banyak.
32
Gambar 2.6 Perbandingan Kultur Anter dan kultur mikrospora (Chawla, 2002)
Produksi haploid dan double haploid yang dihasilkan dari kultur
mikrospora dapat dimanfaatkan sebagai model sistem proses embriogenesis dan
target manipulasi genetik seperti mutasi, seleksi in vitro dan transformasi (Palmer
et al., 2005). Selain itu, kultur mikrospora merupakan teknologi yang efisien
untuk memproduksi tanaman homozigot. Tanaman homozigot digunakan sebagai
tetua dalam memproduksi hibrida F1 dengan meningkatkan efisien seleksi untuk
rekombinan genetik (Na et al., 2011).
33
Kultur mikrospora menghasilkan embrio yang bersifat haploid dan juga
secara spontan dapat menjadi tanaman double haploid (Eftoda, 2006). Tanaman
haploid adalah tanaman yang mempunyai kromosom dengan jumlah separuh dari
jumlah kromosom tanaman normal. Tanaman haploid sangat penting dalam
pemuliaan tanaman yaitu untuk mendapatkan tanaman homozigot atau galur
murni (Santoso dan Nursandi, 2002).
Haploid adalah penyebutan yang umum untuk tanaman sporofit yang
mengandung gametik jumlah kromosom (n). Pada jenis tanaman sporofit diploid
(2n), haploid dapat disebut sebagai monoploid (x) karena hanya memiliki satu set
kromosom. Pada spesies poliploid, haploid (n) memiliki lebih dari satu set
kromosom (polyhaploid). Tanaman haploid dari autotetraploid (4x) dengan 4 set
dari satu genom disebut dihaploid (2n=2x). apabila tanaman haploid jumlah
kromosomnya menjadi ganda maka disebut double haploid dan bukan diploid.
tanaman dihaploid merupakan galur yang tidak homozigot karena memiliki dua
set kromosom dari empat set autotetraploid. Double haploid dari monoploid atau
allohaploid merupakan galur yang homozigot (Maluszynski et al., 2003).
Tanaman haploid dapat terjadi secara alami dan buatan. Cara alami dapat
terjadi melalui penyerbukan sendiri namun frekuensinya rendah. Dalam
pemuliaan tanaman, tanaman haploid set kromosomnya dapat digandakan dan
diperoleh tanaman yang homozigot sempurna. Untuk menggandakan sesuai
dengan sifat yang diinginkan perlu mengubah tanaman haploid menjadi
homozigot double haploid dengan kultur mikrospora (Boer et al., 2000).
34
2.5
Kultur Mikrospora Brassica
Brassica memiliki produktifitas yang tinggi, hasil panen dan karakteristik
agronomik yang baik. Program pemuliaan pada tanaman Brassica memiliki
inovasi dan teknologi untuk menemukan kultivar baru . Salah satu teknologi yang
digunakan
yaitu kultur mikrospora. Kultur mikrospora Brassica
dapat
memproduksi galur murni sehingga digunakan sebagai alternatif dalam pemulian
tanaman secara konvensional (Eftoda, 2006).
Kultur mikrospora digunakan dalam program pemuliaan pada banyak jenis
Brassica, diantaranya Brassica napus, Brassica rapa dan Brassica juncea
dimanfaatkan sebagai penghasil minyak goreng serta bermacam- macam kultivar
Brassica oleracea yang dimanfaatkan sebagai sayuran. Kultur mikrospora dapat
meningkatkan embrio 10 kali lipat dibanding kultur anter sehingga teknik ini
sangat baik bagi peningkatan pemanfaatan genus Brassica (Babbar et al., 2004).
Adapun faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur mikrospora
Brassica yaitu:
a. Genotip tanaman donor
Tanaman donor adalah tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan
kultur jaringan. Brassica memiliki variasi genotip meliputi Brassica oleracea
(2n=18), Brassica campestris (2n=20), Brassica carinata (2n=34), Brassica napus
(2n=38) dan Brassica juncea (2n=36) (Babbar et al., 2004). Genotip merupakan
faktor yang penting dalam frekuensi embriogenesis pada kebanyakan spesies.
Perbedaan genotip tanaman donor akan menghasilkan variasi dalam embriogenik.
35
Tiap genotip dapat merespon embriogenesis yang berbeda pada tiap tanaman
(Eftoda, 2006).
b. Status Fisiologi Tanaman Donor
Kondisi lingkungan, khususnya suhu biasanya mempengaruhi fisiologi
tanaman donor dan sekaligus mempengaruhi potensial androgenik dalam isolasi
mikrospora. Kebanyakan tanaman tumbuh pada kondisi temperatur rendah.
Misalnya pada tanaman donor Brassica napus tumbuh pada temperatur rendah
100C siang/50C malam). Umur tanaman juga mempengaruhi respon dalam kultur
mikrospora. Umumnya tanaman yang digunakan dalam kultur mikrospora adalah
tanaman yang muda dan kuat walaupun demikian ada beberapa embrio yang dapat
diproduksi dari tanaman yang tua seperti pada Brassica campestris (Babbar et al.,
2004).
c. Tahap Perkembangan Mikrospora
Pada kultur mikrospora, embriogenesis dapat berlangsung dengan baik
hanya pada tahapan perkembangan mikrospora yang spesifik. Hal ini bervariasi
pada tahap awal uninukleat atau awal binukleat tergantung jenisnya. Misalnya
pada Brassica napus, frekuensi embrogenesis tertinggi terjadi ketika mikrospora
dikulturkan pada umur uninukleat akhir (Babbar et al., 2004).
d. Perlakuan
Beberapa perlakuan secara fisika maupun kimia dapat mempengaruhi
proses embriogenesis. Perlakuan dapat mengakhiri perkembangan gamet dan
melanjutkan proses perkembangan spora. Salah satu perlakuan yang umum
dilakukan pada kultur mikrospora adalah perlakuan panas. Perlakuan panas dapat
36
mempengaruhi
distribusi
awal
mikrotubul
pada
mikrospora
kemudian
menghalangi perkembangan gamet (Babbar et al., 2004).
e. Komposisi media
Media kultur mikrospora terdiri dari air, karbohidrat, vitamin, mineral,
asam amino dan zat pengatur tumbuh. Komponen tersebut dapat divariasikan satu
sama lain sehingga mempengaruhi proses embryogenesis pada tanaman yang
dikultur. Media standar yang digunakan dalam kultur mikrospora biasanya
meliputi media NLN, MS, B5 yang memiliki komposisi karbohidat yang
bervariasi. Karbohidrat berupa sukrosa kebanyakan digunakan dalam kultur
mikrospora (Eftoda, 2006). Untuk menstimulus produksi tanaman haploid dari
Brassica dalam media dapat ditambahkan kolkhisin dan arang aktif.
Kolkhisin digunakan secara in vitro untuk menstimulus embriogenesis
mikrospora Brassica. Larutan kolkhisin dengan konsentrasi yang tepat dapat
mencegah terbentuknya gelendong spindel sehingga pemisahan kromosom pada
anafase dari mitosis tidak berlangsung (Boer et al., 2000). Tidak berlangsungnya
pemisahan kromosom menyebabkan penggandaan kromosom tanpa pembentukan
dinding sel sehingga terbentuk tanaman homozigot double haploid (Heberle-Bors,
1999). Perlakuan kolkhisin pada suspensi mikrosopa secara signifikan dapat
meningkatkan proporsi variasi genotip dari tanaman diploid (Takahira et al.,
2011). Menurut Cousin et al. (2009), kultur mikrospora Brassica membutuhkan
konsentrasi kolkhisin 0.5% (25mM) untuk menginduksi embriogenesis.
Arang aktif bukan zat pengatur tumbuh tetapi suatu bahan yang
mempunyai kemampuan memodifikasi komposisi media. Arang aktif mempunyai
37
daya serap yang kuat dan digunakan dalam proses kimiawi untuk menyerap
senyawa toksik yang menghambat proses diferensiasi dan dediferensiasi (Hutami,
2006).
Pada kultur mikrospora Brassica, arang aktif berfungsi sebagai pemicu
embriogenesis. Pada saat kultur mikrospora terkadang dihasilkan senyawa toksik
sehingga menghambat embriogenesis. Senyawa penghambat yang dihasilkan
dapat berupa gas etilen, senyawa fenol dan lain sebagainya. Arang aktif dapat
menyerap senyawa tersebut sehingga embriogenesis dapat berlangsung (Dias,
1999).
Download