Diterbitkan oleh: BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR) I S S N : 1412-2588 Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai sebagai medium tukar pikiran, informasi dan penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan. Penanggung Jawab Dra. Kristinawati Susatio, M.M. Pemimpin Redaksi Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Sekretaris Redaksi Rosmawati Situmorang Dewan Editor Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A. Ir. Budyanto Lestyana, M.Si. Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M. Dra. Mulyani Prof. Dr. Theresia K. Brahim Dra. Vitriyani P., M.Pd. Alamat Redaksi : Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470 Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968 http://www.bpkpenabur.or.id E-mail : [email protected] Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut. 1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk bahasa ilmiah populer. 2. Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain. 3. Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas. Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Book Antiqua 10 point/spasi ganda. 4. Panjang naskah hasil penelitian atau opini + 4500 kata, sedangkan untuk info serta resensi buku + 2000 kata. 5. Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata. 6. Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, daftar pustaka, dan keterangan mengenai penulis. 7. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata. 9. Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar huruf tidak lebih kecil dari 6 point. 10. Naskah dikirim dalam bentuk CD/disket dan hasil print out ke Redaksi Jurnal Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lantai 5. Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected] 11. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup penulis yang memuat latar belakang pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah ditulis. 12. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat tidak dikembalikan. 13. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi naskah. 14. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau kebijakan BPK PENABUR. Jurnal Pendidikan Penabur Nomor 12/Tahun ke-8/ Juni 2009 ISSN: 1412-2588 Daftar Isi i Pengantar Redaksi ii-iv Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada Siswa SD Laboratorium PGSD FIP UNJ , Nina Nurhasanah, 1-20 Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif, Anastasia Alverina Chandra, Ivonne Pratiwi, dan Monica Sharly, 21-30 Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar Berbagai Peristiwa yang Terdapat dalam Surat Kabar, Keke T. Aritonang, 31-39 Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa: Tiga Syarat Pemberian Nilai , Anggiat Hisar, M Penelitian Tindakan Kelas, Kasina Ahmad, 50-56 40-49 Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures: Implications for Educational Administrators, Agustian Nugroho Sutrisno, 57-68 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi Guru dalam Rangka Membangun Keunggulan Bersaing Sekolah, David Wijaya, 69-86 Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi, H.A.R. Tilaar, 87-92 Isu Mutakhir: Generasi Digital, dan Dana BOS Boleh Ditolak?, Hotben Situmorang, 93-96 Resensi Buku: The Craft of Writing Science Fiction That Sells Budyanto Lestyana, 97-104 Profil BPK PENABUR Serang, Endang Suyatmi, Keterangan Mengenai Penulis, 105-110 111-112 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 i Pengantar Redaksi ntuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. P.P tersebut mengatur antara lain standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Apabila sekolah memenuhi kedelapan standar itu maka dapat diharapkan kualitas proses dan hasil pembelajaran di sekolah dapat memenuhi standar nasional pendidikan yang diharapkan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Oleh karena itu Pemerintah memotivasi setiap satuan pendidikan untuk menyelenggarakan pembelajaran di sekolah mengacu pada masing-masing standar. Salah satu standar yang perlu diperhatikan ialah standar proses karena kegiatan belajar dan membelajarkan sesungguhnya dapat dilihat pada proses. Selanjutnya, mutu proses akan menentukan mutu hasil belajar membelajarkan. Dalam P.P No 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Isi standar proses pada hakikatnya berhubungan dengan pendekatan, startegi, metode dan teknik belajar-membelajarkan yang berkaitan langsung dengan kegiatan pendidik/pembelajar dan peserta didik/ pemelajar. Dalam proses belajar-membelajarkan tidak jarang pendidik dan peserta didik menghadapi masalah dalam mencapai kompetensi tertentu dengan bahan belajar yang ditetapkan dalam kurikulum. Masalah mungkin saja terjadi karena pokok bahasan terlalu sulit, tidak tersedia sumber belajar-membelajarkan yang diperlukan, strategi belajar-membelajarkan yang tidak tepat, atau penguasaan pendidik tentang pokok bahasan itu masih kurang. Oleh karena itu, standar proses memberikan rambu-rambu penyelenggaraan pembelajaran di ruang kelas. Salah satu cara untuk mengatasi kesulitan belajar peserta didik dan kesulitan membelajarkan pendidik ialah dengan menerapkan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitan ini ternyata dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik serta memenuhi standar proses belajar-membelajarkan karena PTK melibatkan pendidik, peserta didik, dan bahkan mungkin kepala sekolah atau orangtua peserta didik dalam menyadari adanya masalah, mengidentifikasi dan menentukan cara memecahkan masalah tersebut. Memperhatikan manfaat PTK dalam membantu pendidik dan peserta didik untuk memecahkan masalah-masalah belajar- U ii Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 membelajarkan secara kreatif dan inovatif, Jurnal Pendidikan Penabur Edisi ini memuat tulisan yang berkaitan dengan PTK, landasan teoretisnya serta contoh aplikasinya. Kasina Ahmad dari Universitas Negeri Jakarta mendiskripsikan PTK secara teoretis, sedangkan Nina dari Universitas yang sama memaparkan pengalamannya melaksanakan PTK dengan menerapkan pendekatan kontekstual untuk mengatasi kesulitan siswa SD dalam PKn di SD Laboratorium PGSD FIP-UNJ. Informasi teoretis dan pengalaman melaksanakan PTK itu diharapkan dapat memotivasi pendidik mempelajari PTK lebih mendalam dan menerapkannya untuk mengatasi masalah-masalah belajar-membelajarkan yang dihadapinya. Keampuhan proses belajar-membelajarkan melalui strategi belajar yang tepat mendorong pendidik yang profesional terus menerus kritis, reflektif, kreatif dan inovatif dalam mengatasi berbagai masalah belajarmembelajarkan. Keke Aritonang, misalnya, meneliti dan menemukan cara membelajarkan peserta didik mengembangkan kemampuan membuat puisi yang kreatif mengacu pada gambar atau foto. Sementara itu Anggiat Hisar menawarkan tata cara melakukan penilaian hasil belajar peserta didik sehingga hasilnya objektif, dapat dipertanggungjawabkan, serta diterima oleh semua pihak yang terkait. Anak-anak usia sekolah yang beruntung, dapat mengikuti proses belajar-membelajarkan di lembaga pendidikan formal. Akan tetapi, terdapat juga sejumlah anak usia sekolah yang kurang beruntung dalam berbagai hal sehingga tidak mendapat kesempatan mengalami langsung proses belajar-membelajarkan di lembaga pendidikan formal. Sungguhpun demikian, keadaan tersebut tidak menyurutkan semangat mereka belajar . Mereka yang tergolong kurang beruntung ini mencari bimbingan belajar alternatif dalam berbagai bentuk. Di tempat-tempat itu mereka mengalami proses belajar yang bermakna untuk kehidupan mereka sebagaimana terlihat dalam hasil penelitian Anastasia dan kawan-kawan, alumni SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta. Keberhasilan merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran, tidak dapat dipisahkan dari kemampuan yang dimiliki guru. Oleh karena itu dalam era persaingan yang semakin ketat di antara lembaga-lembaga pendidikan dewasa ini, sekolah perlu dikelola secara profesional dengan meberdayakan semua sumber yang dimiliki sekolah. David Wijaya menawarkan wacana tentang manajemen sumber daya manusia pendidikan berbasis kompetensi guru dalam rangka membangun keunggulan bersaing sekolah. Beda jenjang, jenis, dan keadaan lembaga pendidikan tentu memerlukan seni pengelolaan yang berbeda pula. Sejauh masih dapat ditoleransi dan tidak menjauhkan organisasi dari pencapaian tujuannya, konflik dalam organisasi, termasuk dalam lembaga pendidikan, pada hakikatnya diperlukan untuk membuat organisasi itu menjadi dinamis shingga konflik yang demikian memiliki nilai positif. Akan tetapi, kekeliruan dalam melihat dan memperlakukan atau menanggapi konflik dapat berakibat fatal dan mengganggu jalannya organisasi. Tulisan Agustian Nugroho Sutrisno melakukan kajian tentang cara-cara mengatasi konflik yang berbasis gender. Dalam dua dekade belakangan ini masalah gender semakin mengemuka akibat semakin disadarinya kesetaraan gender termasuk dalam manajemen pendidikan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 iii Masih dalam kaitannya dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi, H.A.R Tilaar menulis tentang tantangan-tantangan universitas dunia modern dalam pembangunan kurikulum tinggi yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi maju serta kepentingan peserta didik yang majemuk. Pemikiran yang ditawarkan perlu menjadi wacana bagi pendidik dan tanaga kependidikan di pendidikan dasar dan menengah yang mempersiapkan peserta didiknya masuk ke pendidikan tinggi. Kurikulum pada dasarnya menjadi dasar atau acuan dalam merancang dan melaksanakan proses belajar-membelajarkan di dalam kelas sehingga mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Jurnal Pendidikan Penabur ini terbit pada awal tahun pelajaran 2009-2010 dan memuat berbagai tulisan yang isinya diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pendidik/guru untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya lebih bermutu. Isi Jurnal ini diharapkan dapat memotivasi pendidik/guru melakukan inovasi secara kreatif, misalnya dengan melakukan penelitian tindakan kelas. Variasi pendekatan, metode, atau teknik membelajarkan dapat membuat suasana serta proses belajar membelajarkan lebih hidup, menyenangkan, dan dinamis. Mengawali tahun pelajaran ini dengan sesuatu yang baru, diharapkan dapat memberikan nilai tambah dalam peningkatan mutu pendidikan yang akan diukur pada akhir tahun pelajaran. Selamat berinovasi. Redaksi iv Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Penelitian Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada Siswa SD Laboratorium PGSD FIP UNJ Nina Nurhasanah*) Abstrak alam pembelajaran PKn, guru sering menemukan kesulitan dalam memilih model belajar yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Penelitian Tindakan Kelas ini mencoba memecahkan kesulitan itu dengan berfokus pada pencapaian pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk membentuk karakter siswa dan cara menerapkan pendekatan ini untuk mata pelajaran PKn di SD Laboratorium FIP UNJ. Penelitian Tindakan Kelas yang dilakukan dalam bulan September sampai dengan Nopember 2008 ini menunjukkan CTL dapat mengatasi masalah yang selama ini dihadapi guru setelah tiga siklus. D Kata-kata kunci : Contextual teaching and learning, pendidikan kewarganegaraan, strategi pembelajaran, standar proses pendidikan. The teacher found some difficulties in selecting and implementing appropriate instructional models to achieve instructional objectives in civics subject. This classroom action research tried to use Contextual Teaching Learning to overcome the problems. The research was conducted at Laboratory Primary Schol of Education, State University of Jakarta, as from September through November 2008.After three cycles, the results of the study showed significant improvement in the students’ learning achievement. Pendahuluan Sebagai sasaran utama dari pembangunan, perlu diupayakan agar manusia berkembang ke arah sumber daya manusia yang seoptimal mungkin. Dengan upaya demikian diharapkan potensipotensi yang dimilikinya dapat berkembang. Hal ini dapat dilakukan dengan melalui berbagai proses pendidikan, baik di rumah, sekolah atau di masyarakat. Pendidikan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan melihat ketentuan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tersebut maka upaya peningkatan pendidikan terus dilakukan pemerintah, salah satunya adalah di tingkat sekolah dasar. Upaya peningkatan pendidikan di sekolah dasar merupakan salah satu aspek di dalam pembangunan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Salah satu usaha pemecahan masalah guna peningkatan kualitas pendidikan adalah dengan memperbaiki sistem pembelajaran yang antara lain tidak lagi menggunakan sistem pembelajaran yang konvensional melainkan menggunakan pendekatan-pendekatan baru dalam pembelajaran. *) Dosen PGSD Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 1 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Pendidikan di Indonesia selama ini masih cenderung menerapkan kelas yang tidak produktif. Sehari-hari kelas kebanyakan diisi dengan ceramah sementara siswa dipaksa menerima dan menghafal. Jarang sekali guru melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengutamakan kegiatan penemuan. Pembelajaran seperti itu sebaiknya di ubah dan digantikan dengan pilihan strategi pembelajaran yang lebih berpihak dan memberdayakan siswa. Masalah utama dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di sekolah dasar adalah penggunaan metode atau model pembelajaran dalam penyampaian materi pelajaran belum tepat, sehingga belum memenuhi harapan seperti muatan tatanan nilai agar dapat diinternalisasikan pada diri siswa. Hal ini berkaitan dengan kritik masyarakat terhadap materi pelajaran PKn yang tidak bermuatan nilai-nilai praktis, tetapi hanya bersifat politis atau alat indoktrinasi untuk kepentingan kekuasaan pemerintah. Metode pembelajaran dalam proses belajar mengajar terkesan sangat kaku, kurang fleksibel, kurang demokratis, dan guru cenderung lebih dominan. Guru mengajar lebih banyak mengejar target yang berorientasi pada nilai ujian akhir, di samping masih menggunakan model konvensional yang monoton. Di dalam pembelajaran aktivitas guru lebih dominan dari siswa, sehingga guru sering mengabaikan proses pembinaan tatanan nilai, sikap, tindakan sehingga mata pelajaran PKn tidak dianggap sebagai mata pelajaran untuk pembinaan warga negara yang menekankan pada kesadaran akan hak dan kewajiban tetapi lebih cenderung menjadi mata pelajaran yang membuat jenuh dan membosankan. Untuk menghadapi kritik masyarakat tersebut diperlukan suatu pendekatan dan model pembelajaran yang efektif dan efesien. Salah satu alternatifnya adalah pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Dalam pembelajaran diharapkan mampu melibatkan siswa dalam keseluruhan proses pembelajaran, dan dapat melibatkan seluruh aspek pembelajaran yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor baik secara fisik maupun mentalnya. Siswa memiliki suatu kebebasan berpikir, berpendapat, aktif dan kreatif. Oleh karena itu CTL dianggap lebih efektif dan efesien dalam menggantikan pendekatan konvensional. Namun dalam kenyataannya masih ada guru yang belum dapat melaksana2 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 kan berbagai pendekatan baru dalam pembelajaran termasuk melaksanakan pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada pendekatan CTL. Tidak terlaksananya pendekatan CTL dalam pembelajaran oleh guru dapat disebabkan oleh keterbatasan kemampuan guru dalam memahami dan mengaplikasikannya. Guru tidak/kurang mampu menggunakan pendekatan tersebut dikarenakan guru sendiri kurang terlatih. Demikian juga guru-guru di SD Laboratorium PGSD Universitas Negeri Jakarta. Berdasarkan peng-amatan, mereka belum dibekali dengan keteram-pilan praktis untuk melakukan pendekatan CTL tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka sebagai fokus penelitian dapat diidentifikasikan berbagai permasalahan yang ada, yaitu: (1) apakah dengan pendekatan pembelajaran CTL dapat mempermudah proses pembinaan tatanan nilai, sikap dan tindakan siswa di SD dalam upaya membentuk karakter warga negara yang baik ?; dan (2) bagaimana bentuk pelaksanaan pendekatan CTL untuk mata pelajaran PKn di SD Laboratorium PGSD FIP UNJ, sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajarannya. Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan informasi tentang CTL kepada para guru umumnya dan guru-guru SD Laboratorium PGSD FIP UNJ pada khususnya, dan bagaimana pelaksanaannya dalam bentuk praktis di dalam pembelajaran dalam bentuk penelitian kelas. Pembahasan Tinjauan Pustaka Contextual Teaching and Learning (CTL) Pendekatan CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat DepdiknasDikdasmen, 2003). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi kehidupan siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan hanya transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Di dalam www.geocities.com/pakguru-online dikatakan bahwa CTL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai individu dan anggota (keluarga, masyarakat, dan bangsa). Dengan pendekatan CTL, proses belajar mengajar akan lebih konkret, realistis, aktual, nyata, dan lebih menyenangkan, serta lebih bermakna. Proses belajar mengajar berpendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar (kualitas, kreativitas, produktivitas, efesiensi dan efektifitas). Hasil belajar meningkat, karena dalam CTL, semua panca indera siswa diaktifkan dan dimanfaatkan secara serentak dalam proses belajar mengajar melalui kegiatan pembelajarannya. Pendekatan pembelajaran kontekstual CTL didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) dalam www.google.com yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar baik jika yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya. Jalan pikiran pragmatis tidak hanya pada ajaran Dewey dalam psikologi, tetapi juga dapat dilihat dalam ilmu pendidikan. Dalam bidang pendidikan ia menganjurkan teori dan metode: “learning by doing” (belajar sambil melakukan). Dalam teorinya ini ia berpendapat bahwa tidak perlu orang terlalu banyak mempelajari tentang sesuatu. Dengan melakukan apa yang hendak dipelajarinya itu dengan sendirinya ia akan menguasai gerakan-gerakan atau perbuatanperbuatan yang tepat sehingga ia bisa menguasai hal yang dipelajari tersebut dengan sempurna. Pendekatan CTL dilandasi oleh aliran filosofi konstruktivisme yang juga dipelopori oleh John Dewey. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Melalui landasan filosofi tersebut dianggap dapat menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, melainkan sebuah strategi belajar yang mendorong siswa untuk dapat mengkonstruksikan pengetahuan yang ada dibenak mereka sendiri. Pendekatan CTL didasarkan pada pemikiran tentang belajar atau teori belajar dimana belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Siswa belajar dari mengalami, dan mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru yang bukan diberikan begitu saja oleh gurunya. Untuk itu siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Penting bagi siswa untuk mengetahui untuk apa ia belajar, dan bagaimana ia dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang sudah ia peroleh. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru dapat bermakna, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. Untuk dapat mengkonstruksi, maka siswa harus dibekali kemampuan untuk menemukan (inquiry). Menemukan merupakan inti yang harus ada dari kegiatan pembelajaran yang berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, dengan kegiatan observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data serta penyimpulan Pendekatan dan model pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalahmasalah tertentu baik secara individu maupun kelompok. CTL atau pembelajaran kontekstual merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat tetapi belajar berpengalaman secara langsung. CTL adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 3 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan dengan situasi kehidupan yang nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Tiga konsep yang dapat diambil dalam pembelajaran CTL adalah: (1) mendorong pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, (2) mendorong siswa agar dapat menemukan materi yang dipelajari dalam kehidupan nyata, (3) menerapkan dalam kehidupan nyata. Tantangan yang dihadapi oleh para guru adalah bagaimana mengimplementasikan materi yang diajarkan bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang materi, akan tetapi akan mendorong siswa agar dapat menemukan materi yang dipelajari dalam kehidupan nyata serta menerapkannya dalam kehidupan seharihari. Berikut ini akan dijelaskan mengapa pendekatan kontekstual perlu dikembangkan menurut Sanjaya (2002). Pertama, dengan pendekatan kontekstual (CTL) diharapkan siswa bukan sekedar objek akan tetapi mampu berperan sebagai subjek dengan dorongan dari guru mereka diharapkan mampu mengonstruksi pelajaran dalam benak mereka sendiri. Jadi siswa tidak hanya menghafalkan fakta-fakta, tetapi mereka dituntut untuk mengalami dan akhirnya menjadi tertarik untuk menerapkannya. Kedua, memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar. Guru memberikan penugasan kepada siswa untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi penugasan kepada siswa di luar kelas. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung dari kegiatan yang mereka lakukan mengenai materi dilakukan siswa dalam rangka penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran. Ketiga, memberikan aktivitas kelompok. Melalui aktivitas ini siswa mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi sendiri dengan sedikit bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan 4 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning). Keempat, menyusun refleksi. Dalam melakan refleksi, misalnya ketika pelajaran berakhir siswa merenungkan kembali pengalaman yang baru diperoleh dari materi yang telah dipelajari. Di akhir pelajaran diharapkan guru dapat meluangkan waktu untuk sedikit refleksi, bentuk dari refleksi itu dapat berupa (a) siswa menyatakan langsung tentang materi yang mereka peroleh hari itu, (b)catatan kecil di buku, (c) kesan dan saran mengenai pembelajaran, (d) diskusi kecil dan (e) menyampaikan hasil karya Kelima, membuat aktivitas belajar bekerja sama dengan masyarakat.Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk melakukan pertanyaan. Selain itu kerja sama dapat dengan institusi atau lembaga tertentu untuk memberikan pangalaman belajar. Keenam, membuat penilaian autentik. Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Jhonson dalam Sanjaya: 2002) penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portofolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) SD Dalam kurikulum SD tahun 2006 (KTSP) terdapat berbagai macam mata pelajaran, salah satunya adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan (a) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan, (b) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi, (c) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya, dan (d) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, siswa diarahkan, dibimbing, dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang efektif. Menjadi warga negara Indonesia dan warga dunia yang efektif merupakan tantangan berat karena masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat. Untuk itulah, PKn dirancang untuk membangun dan merefleksikan kemampuan siswa dalam kehidupan bermasyarakat yang selalu berubah dan berkembang secara terus menerus. Pendidikan Kewarganegaraan memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang bersatu, cerdas, terampil, dan berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mempertimbangkan atau memanfaatkan sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Pembelajaran PKn dilakukan melalui praktek belajar kewarganegaraan yang dirancang untuk membantu siswa memahami teori secara mendalam melalui pengalaman belajar praktik empirik, seperti permainan dan simulasi, membuat karangan, menganalisis isu/ kasus tertentu, atau metode pemecahan masalah. Hasil akhir dari praktek belajar kewarganegaraan adalah portofolio hasil belajar yang mencerminkan pemahaman, penghayatan serta penerapan hasil belajar dari setiap individu atau kelompok. Metodologi Penelitian ini merupakan pengembangan metode dan strategi pembelajaran yang dilanjutkan dengan kajian tindakan kelas melalui tiga siklus. Penelitian yang dilaksanakan di SD Laboratorium PGSD FIP UNJ, pada siswa kelas VI, dilakukan selama 3 bulan (September sampai dengan November 20008) tahun pembelajaran 2008/2009. Subjek penelitian kajian tindakan kelas ini adalah siswa kelas VI di SD Laboratorium PGSD FIP UNJ dengan pertimbangan bahwa pendekatan CTL jarang digunakan dalam pembelajaran PKn, dan masih ditemukan kelemahan dalam beberapa penyajian materi PKn di siswa kelas VI. Hal ini menimbulkan siswa kurang meminati pembelajaran PKn guru disebabkan lebih sering menggunakan metode ceramah saja. Berdasarkan hal ini, jika di kelas VI siswa dibiasakan dengan menggunakan pendekatan CTL dalam pembelajaran, maka di masa yang akan datang siswa akan lebih meningkatkan minat dan hasil belajarnya khususnya untuk pembelajaran PKn. Dengan demikian objek penelitian ini adalah pendekatan CTL dan strategi pembelajaran PKn kelas VI SD. Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data tentang proses pembelajaran PKn dengan menggunakan pendekatan CTL, sikap kerja sama, partisipasi siswa dalam kelompok, dan hasil belajar PKn serta sarana dan prasarana untuk penerapan pendekatan CTL. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data RPP Pendidikan Kewarganegaraan yang digunakan serta media yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pendekatan CTL. Sumber data utama adalah siswa dan guru kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ. Pengumpulan data dilakukan di setiap siklus sejak perencanaan, pelaksanaan, observasi, hingga refleksi untuk komponen data yang diperlukan. Data tentang rancangan pembelajaran diambil dari RPP PKn yang dibuat oleh guru, dan juga melalui wawancara/diskusi dengan guru. Sedangkan data hasil belajar dijaring melalui tes pada akhir siklus. Untuk analisis data, penelitian ini menggunakan analisis dan refleksi dalam setiap siklusnya berdasarkan hasil observasi yang terekam dalam catatan lapangan dan formatformat pengamatan lainnya. Fokus pengamatan diarahkan pada tentang kegiatan guru dan siswa selama pembelajaran di kelas dan perubahan sikap siswa. Analisis dan refleksi dilakukan secara berkolaborasi antar semua anggota peneliti, sedangkan pelaku tindakan dilakukan oleh guru kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ. Adapun tahap-tahap panelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut. 1. Identifikasi permasalahan. 2. Penemuan fakta-fakta dan analisis dari data yang ditemukan tersebut. 3. Penyusunan perencanaan tindakan secara umum, di mana di dalamnya mencakup tindakan siklus I, tindakan siklus II, dan seterusnya sampai peneliti menganggap bahwa penelitian ini selesai. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 5 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran 4. Perencanaan tindakan siklus I sebagaimana point 3, diimplementasikan sebagai kegiatan evaluasi siklus I. 5. Melakukan monitoring kegiatan evaluasi dan refleksi siklus I dan mengkaji untuk perbaikan untuk putaran berikutnya. 6. Penyempurnaan tindakan kegiatan evalusi siklus I. 7. Membuat perencanaan sebagai penyempurnaan dari perencanaan awal (point 3), di mana di dalamnya mencakup tindakan siklus II dan seterusnya sampai peneliti menganggap bahwa penelitian selesai. 8. Mengimplementasikan revisi perencanaan sebagai terdapat pada point 7 dan dianggap sebagai kegiatan evaluasi siklus II. 9. Melakukan monitoring kegiatan evaluasi siklus II dan mengkaji tindakan untuk tindakan untuk perbaikan pada putaran berikutnya (bila diperlukan). 10. Penyempurnaan tindakan kegiatan evaluasi siklus II. 11. Kegiatan dilanjutkan sampai peneliti menganggap bahwa penelitian selesai. Adapun rencana tindakan yang akan dilakukan pada setiap siklus adalah sebagai berikut. 1. Persiapan/Perencanaan : a. Peneliti berkolaborasi dengan guru menelaah indikator kurikulum PKn SD tahun 2006 atau sesuai dengan KTSP yang dilaksanakan di sekolah. b. Peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan guru SD Laboratorium PGSD FIP UNJ untuk melihat kekuatan dan kelemahan pembelajaran PKn di kelas VI yang selama ini dilaksanakan. c. Peneliti dan guru merencanakan pelaksanaan pendekatan CTL yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan. 2. Tindakan siklus I a. Persiapan tindakan kelas 1) Peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan siswa dan guru. 2) Guru mengidentifikasi media yang diperlukan untuk pelaksanan pendekatan CTL. 3) Peneliti bersama guru mencari kegiatan pembelajaran yang sesuai 6 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 3. dengan pendekatan CTL sesuai dengan materi yang akan diajarkan. 4) Guru bersama peneliti merancang penataan ulang dan ragam kegiatan pendekatan CTL. 5) Guru bersama peneliti menata ulang, menambah media atau melaksanakan pendekatan CTL yang lebih menarik yang disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan. b. Tindakan Kelas 1) Guru dan peneliti memper-siapkan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan CTL. 2) Guru kelas VI melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP, guru yang lain sebagai observer membantu dosen/peneliti mengamati kegiatan guru dan siswa. c. Observasi 1) Peneliti dan guru yang lain bersama-sama mengamati kegiatan pembelajaran dari sisi siswa dan guru, serta mencatat dalam anekdot dan jurnal harian. Juga merekam menggunakan audio visual kamera tentang pembelajaran siklus I. d. Evaluasi dan Refleksi I 1) Guru-guru bersama peneliti mencari data tentang perubahan kualitas belajar PKn dan perubahan sikap siswa setelah tindakan I. 2) Guru kelas VI bersama peneliti mendiskusikan pelaksanaan kegiatan penerapan pendekatan CTL dalam pembelajaran PKn, dilanjutkan dengan langkahlangkah perbaikan yang diperlukan Tindakan siklus II a. Guru kelas VI melakukan tindakan pembelajaran baru sesuai dengan hasil refleksi dan evaluasi dari siklus I, dilanjutkan diskusi untuk mencari alternatif tindakan lain yang cocok dengan hasil dari tindakan siklus I. Tindakan ini dapat mengurangi, menambah atau memodifikasi dari tindakan siklus I. 1) Peneliti melakukan observa-si dibantu salah satu guru (yang Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran sedang tidak mengajar), dilakukan dengan catatan lapangan, jurnal harian dan isntrumen observasi yang telah direvisi sesuai tindakan baru yang disepakati. 2) Refleksi II i. Guru-guru bersama peneliti mencari data tentang hasil belajar siswa dan perubahan sikap siswa setelah tindakan II. ii.Peneliti dibantu guru meninjau ulang dampak dari tindakan siklus II tersebut sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. 4. Tindakan siklus III Untuk menguji keabsahan dan keterpercayaan data dilakukan dengan triangulasi. Triangulasi dilakukan dengan sumber data, yaitu membandingkan apa yang dirasakan guru pada saat pembelajaran dengan pendapat observer dan peneliti yang mengacu pada penelitian tentang kualitas pembelajaran PKn pada materi pelajaran “Nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara” melalui pendekatan CTL dengan uji coba tes untuk melihat hasil belajar siswa kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ. Analisis data pemantau tindakan dilakukan dengan melihat keterlibatan siswa kelas VI pada saat pembelajaran PKn yang sedang berlangsung, sikap guru dalam pelaksanaan pembelajaran, dan kualitas pembelajaran yang meningkat melalui hasil belajar yang dicapai siswa. Berdasarkan data aktivitas siswa setiap siklus, jika setelah dianalisis ternyata semakin sedikit jumlah siswa yang melakukan kegiatan menyimpang saat mengikuti pembelajaran PKn, dan semakin banyak jumlah siswa yang melakukan aktivitas yang sesuai dengan pembelajaran, maka aktivitas siswa dikatakan semakin meningkat. Untuk hasil belajar siswa, dianalisis dengan menggunakan penilaian melalui target atau tolok ukur keberhasilan. Jika 80 % siswa mendapat nilai 6 ke atas, maka dapat dikatakan kualitas pembelajaran PKn semakin meningkat. Hasil Intervensi Tindakan Siklus I 1. Implementasi Tindakan Pertemuan I : Senin, 21 Juli 2008 pukul 08.00-09.20 a. Kegiatan awal (5 menit) Guru mengkondisikan kelas dengan diawali mengabsensi siswa yang hadir pada hari itu. Setelah itu mengatur tempat duduk siswa untuk kerja kelompok, dan mengadakan apersepsi tentang nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara. b. Kegiatan inti (45 menit) Siswa menyanyikan lagu perjuangan dengan judul “Pancasila Dasar Negara” dengan penuh semangat dan gembira. Kemudian, siswa diberikan lembaran kerja (LKS), dan menyimak penjelasan dari guru tentang tugas yang akan dilakukan secara kelompok. Tugas kelompok adalah membuat identifikasi tentang nilai-nilai juang dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Setiap siswa di dalam kelompok tersebut diberi nama pahlawan kemerdekaan. Setelah semua tugas yang telah dilakukan oleh setiap kelompok selesai, maka mereka membuat laporan yang sesuai bagiannya masing-masing. Setelah selesai membuat laporan, setiap siswa mempresentasikan hasil pekerjaannya. Kemudian guru melakukan penilaian terhadap kelompok mana yang terbaik yang mendapat poin terbanyak. Setelah itu guru dan siswa mengadakan tanya jawab tentang Pancasila sebagai dasar negara. c. Kegiatan akhir ( 10 menit ) Pada akhir pelajaran guru dan siswa mereview pelajaran hari ini , dan kemudian memberikan tindakan lanjut berupa PR. 2. Hasil Penelitian Hasil penelitian pada siklus I diperoleh data dari 8 siswa kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ. Hasil penelitian ini diperoleh dari: a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL. Hasil penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL diperoleh rata-rata skor adalah 73,3. Dengan perincian sebagai berikut. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 7 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Tabel 1: Daftar Skor Penilaian Disiplin Siswa pada Siklus I Rentang Skor Banyak Siswa Prosentase Keterangan 90-100 1 12,5 Baik Sekali 80-89 1 12,5 B ai k 70-79 2 25 Cukup < 69 4 50 kurang stiker. Pemberian penghargaan ini diberikan oleh guru secara berbeda-beda karena diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa. Hasil Pengamatan terhadap pemberian hukuman kepada Siswa yang melanggar disiplin dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Hukuman diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin. Hukuman itu berupa: menyapu lantai, mencatat pelajaran yang tertinggal, lari sebanyak 2 putaran, atau berdiri di depan kelas. Hukuman ini diberikan sesuai dengan pilihan siswa. (Penilaian Disiplin dilihat dari daftar absensi siswa) b. Penanaman disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL Hasil pengisian angket penanaman disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL diperoleh skor rata-rata adalah 66,1. dengan perincian sebagai berikut. Tabel 4 : Daftar Skor Hukuman yang Diberikan Guru pada Siklus I Menyapu Lantai Mencatat Pelajaran Lari Dua Putaran Berdiri d i k e l as Jumlah siswa 2 4 1 1 Prosentasi 25 % 50 % 12,5 % 12,5 % Hukuman Tabel 2: Daftar Skor Penanaman Disiplin Siswa pada Siklus I No Rentang Skor Banyak Siswa Prosentase Keterangan 1 90-100 2 25 Baik Sekali 2 80 -89 1 12,5 B ai k 3 70-79 2 25 Cukup 4 < 69 3 37,5 Kurang c. Hasil pengamatan terhadap penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin dalam belajar PKn melaui Pendekatan CTL. Penghargaan diberikan guru kepada siswa yang menunjukan disiplin. Penghargaan ini berupa tepukan sayang di punggung, pelukan, senyuman, kata-kata pujian, atau e. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan CTL dalam belajar PKn Dari data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL belum dilaksanakan dengan baik atau tidak sepenuhnya. Hal ini terlihat dari jawaban “tidak “ masih tinggi atau 61,5 3. Pembahasan Hasil pemantauAN tindakan pada siklus I diperoleh dari: a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL. Hasil penelitian siklus I dapat diketahui data bahwa 4 orang siswa atau 47.50 % yang belum memiliki disiplin. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa mereka belum menunjukkan sikap disiplin dalam mengerjakan pekerjaan rumah, tidak memiliki rasa Tabel 3: Daftar Skor Penghargaan yang Diberikan Guru pada Siklus I 8 Penghargaan Tepukan Sayang Dipunggung Diberikan P e l u k an Diberikan Senyuman Diberikan KataKata Pujian Diberikan Stiker Jumlah siswa 7 4 5 6 3 Prosentase 87,5 % 50 % 62 % 75 % 37,5 % Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran b. c. empati kepada teman, tidak memiliki disiplin untuk membersihkan loker, laci, membersihkan kelas, gaduh atau ramai saat melakukan diskusi, tidak menjaga ketertiban saat berdiskusi, tidak memiliki sikap toleransi, sedangkan 2 orang siswa atau 25 % belum menunjukkan disiplin dalam hal tidak membawa buku penghubung untuk mencatat setiap tugas, belum memiliki sikap toleransi, tidak menjaga kebersihan kelas saat melakukan diskusi. 2 orang siswa atau 25 % sudah menunjukkan disiplin yang baik dalam belajar PKn. Penanaman disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL. Dari hasil penelitian pada siklus I diperoleh data bahwa 7 orang siswa atau 87,5 % belum tertanam disiplin dalam hal membawa buku pekerjaan rumah (PR) untuk mengerjakan tugas di rumah, disiplin membersihkan loker laci meja, membersihkan kelas, bekerja sama dalam setiap kerja kelompok, bertanggung jawab kepada tugasnya, selalu rapih dan bersih, berlaku baik kepada teman selama melakukan kerja kelompok, bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan, sedangkan 3 orang siswa atau 37,5 % belum tertanam sikap disiplin saat menggunakan buku PR untuk mengerjakan tugas di rumah. Antara 1-2 orang siswa atau 12,5 % dan 25 % sudah memiliki penanaman sikap disiplin yang baik. Hasil pengamatan terhadap penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang disiplin dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Berdasarkan data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disipilin bervariasi. Ada 7 atau 87 % siswa yang menerima tepukan sayang dipunggung, ada 4 atau 50 % siswa diberikan pelukan karena siswa ini perlu perhatian yang penuh karena masih kurang disiplin dan perlu diberitahu secara teratur oleh guru. Ada 5 atau 62 % siswa yang diberikan senyuman karena sudah melaksanakan disiplin tetapi kadang masih melanggar, ada 6 atau 75 % siswa yang diberikan kata-kata pujian, ada 3 atau 37,5 % orang siswa yang ketika melaksanakan disiplin dengan baik kemudian diberikan stiker. d. Hasil pengamatan terhadap pemberian hukuman oleh guru kepada siswa yang melanggar disiplin dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Berdasarkan data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa hukuman yang diberikan kepada siswa yang melanggar disiplin dapat diperinci sebagai berikut: 2 atau 25 % orang siswa diberi tugas untuk menyapu lantai, 4 atau 25 % orang siswa mencatat pelajaran yang tertinggal, 1 atau 12,5 % orang siswa lari sebanyak dua putaran di lapangan, 1 atau 12,5 % orang siswa berdiri di dalam kelas selama I jam pelajaran. Jenis hukuman yang diterima oleh setiap siswa dilaksanakan berdasarkan pilihan siswa sendiri. e. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan CTL dalam belajar PKn. Berdasarkan data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL belum dilaksanakan dengan baik atau tidak sepenuhnya, itu ditunjukkan dengan jawaban “tidak” masih tinggi atau 61,5%. Pada siklus I ini guru kurang sepenuhnya melaksanakan pendekatan CTL dalam belajar PKn. Ini disebabkan karena persiapan guru yang kurang dan siswa masih ramai dan gaduh. 4. Refleksi Tindakan Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran dan menghitung data hasil penelitian, guru dan observer melakukan refleksi serta diskusi guna membahas permasalahan yang berhubungan dengan tindakan yang telah dilakukan oleh guru. Terlihat pada siklus I masih banyak kekurangan baik dari guru maupun siswa. Berdasarkan pengamatan observer diperoleh data, antara lain guru masih kurang dalam mengkondisikan kelas, kurangnya penanaman disiplin kepada siswa, kurang optimal dalam memberikan penghargaan kepada siswa yang menunjukkan disiplin, guru kurang tegas kepada siswa yang melanggar disiplin, guru tidak sepenuhnya melaksanakan pendekatan CTL. Sedangkan dari siswa diperoleh data bahwa sebagian besar siswa masih belum memiliki disiplin yaitu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, tidak memiliki rasa empati kepada teman, tidak membersihkan Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 9 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran loker dan laci, membersih-kan kelas, gaduh atau ramai saat melaku-kan kerja kelompok, tidak menjaga kebersihan saat berdiskusi, tidak toleransi kepada teman, membuat laporan hasil percobaan dan diskusi tidak benar, tidak mau bekerja sama. Dikarenakan masih ada siswa yang menunjukkan sikap melanggar dalam disiplin, maka guru memberikan hukuman kepada siswa yang melanggar tetapi sebaliknya bagi siswa yang menunjukkan sikap melaksanakan disiplin maka guru akan memberikan penghargaan. Hasil evaluasi pembelajaran PKn masih terlihat sangat rendah. Berdasarkan data-data tersebut perolehan hasil penelitian bahwa pada siklus I belum memenuhi kriteria keberhasilan hasil intervensi yang diharapkan. Siklus II 1. Implementasi Tindakan Pertemuan 2 : Senin, 28 Juli 2008 pukul 08.0009.20 WIB. a. Kegiatan awal (5 menit) Guru mengkondisikan kelas kemudian membagi empat kelompok. Setiap kelompok terdiri dari empat orang. Setelah itu guru menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan oleh setiap kelompok. b. Kegiatan inti (45 menit) Siswa diberikan lembaran kerja (LKS) dan menyimak penjelasan dari guru tentang tugas yang akan dilakukan secara kelompok. Setiap siswa berpasangan dalam kelompok kemudian diberi tugas untuk mengerjakan LKS. Setelah selesai kemudian hasilnya didiskusikan dalam kelompok tersebut. Selesai didiskusikan di kelompoknya masing-masing, setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya. Setelah itu dilanjutkan dengan tanya jawab mengenai hasil diskusi dan jawaban soal yang didiskusikan. c. Kegiatan Akhir (10 menit) Pada akhir pelajaran guru dan siswa mereview pelajaran hari ini, dan kemudian memberikan tindak lanjut berupa pekerjaan rumah (PR) 2. Hasil Penelitian Hasil penelitian pada siklus II diperoleh dari 8 orang siswa kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ. Hasil penelitian ini diperoleh dari: a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. 10 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Hasil pengisian angket mengenai penilain disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL diperoleh rata-rata skor adalah 90,52. Dengan perincian sebagai berikut. Tabel 5: Daftar Skor Penilaian Disiplin pada Sikus II No Rentang Skor Banyak Siswa Prosentase Keterangan 1 90-100 7 87,5 Baik Sekali 2 80 -89 1 12,5 B ai k 3 70-79 0 0 Cukup 4 < 69 0 0 Kurang b. Penanaman disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL. Hasil pengisian angket penanaman disiplin siswa dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL diperoleh skor rata-rata adalah 80,1. Dengan perincian sebagai berikut. Tabel 6: Daftar Skor Penanaman Disiplin pada Siklus II c No Rentang Skor Banyak Siswa Prosentase Keterangan 1 90-100 4 50 Baik Sekali 2 80 -89 3 37,5 B ai k 3 70-79 1 12,5 Cukup 4 < 69 0 0 Kurang Hasil pengamatan terhadap penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin dalam Belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Penghargaan diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin siswa. Penghargaan ini berupa tepukan sayang di punggung, diberikan pujian, diberikan senyuman, diberikan kata-kata pujian, diberikan stiker. Pemberian penghargaan diberikan oleh guru secara berbeda-beda karena diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa. Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Tabel 7: Daftar Skor Penghargaan yang Diberikan Guru pada Siklus II d. Penghargaan Tepukan Sayang Dipunggung Diberikan P e l u k an Diberikan Senyuman Diberikan KataKata Pujian Diberikan Stiker Jumlah siswa 7 7 6 7 2 Prosentase 87,5 % 87,5 % 75 % 87,5 % 25 % Hasil pengamatan terhadap hukuman yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Hukuman diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin. Hukuman itu berupa: menyapu lantai, mencatat pelajaran yang tertinggal, lari sebanyak 2 putaran, berdiri di depan kelas. Hukuman ini diberikan sesuai dengan pilihan siswa. atau 12,5 % yang belum tertanam disiplin dalam hal membuat laporan diskusi dengan benar dan tepat, tidak bekerja sama dalam setiap kerja kelompok, sedangkan 7 orang siswa sudah menunjukkan memiliki penanaman disiplin dengan baik. c. Hasil pengamatan terhadap penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL . Berdasarkan data yang diTabel 8 : Daftar Skor Hukuman yang diberikan Guru pada Siklus II peroleh dapat digambarkan Menyapu Mencatat Pelajaran Lari sebanyak Berdiri di Hukuman bahwa pengLantai yang Tertinggal Dua Putaran d al am k e l as hargaan yang Jumlah siswa 1 2 1 0 diberikan guru kepada Prosentase 12,55 % 25 % 12,5 % 0% siswa yang menunjukkan d i s i p l i n e. Hasil pengamatan pelaksanaan Pendekabervariasi. Ada 7 atau 87,5 % orang siswa tan CTL dalam belajar PKn. yang menerima tepukan sayang dipungDari data yang diperoleh dapat digamgung, karena siswa ini sudah baik dalam barkan bahwa pelaksanaan pendekatan melaksanakan disiplin. Oleh karena itu CTL sudah cukup, itu ditunjukkan dengan guru terus memberikan motivasi agar sikap jawaban ‘ya’ ada 76,9 %. tersebut dapat meningkat, ada 7 atau 87,5% siswa yang diberikan pelukan karena siswa 3. Pembahasan Hasil Penelitian ini menunjukkan perubahan yang baik Hasil pemantau tindakan pada siklus II dalam melaksanakan disiplin, 6 atau 75 % diperoleh dari : siswa yang diberikan senyuman karena a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn siswa sudah melaksanakan disiplin tetapi melalui pendekatan CTL. kadang masih melanggar, 7 atau 87,5 % Berdasarkan hasil penelitian siklus II dapat siswa yang diberikan kata-kata pujian. diketahui data bahwa 1 orang siswa atau Dengan kata-kata pujian yang diberikan 12,5 % dari 8 orang siswa yang belum membuat siswa senang dan membuat memiliki disiplin. Seorang siswa ini belum semangat dalam belajar, 2 atau 25 % siswa menunjukkan disiplin dalam hal sikap yang ketika melaksanakan disiplin dengan untuk membersihkan kelas, mengerjakan baik kemudian diberikan stiker. pekerjaan rumah (PR), sedangkan 7 orang d. Hasil pengamatan terhadap hukuman yang siswa atau 87,5 % sudah menunjukkan diberikan guru kepada siswa yang disiplin yang baik dalam belajar PKn. melanggar disiplin dalam Belajar PKn b. Penanaman disiplin dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. melalui Pendekatan CTL. Berdasarkan data yang diperoleh dapat Berdasarkan hasil penelitian pada siklus II digambarkan bahwa hukuman yang diperoleh data bahwa ada 1 orang siswa diberikan kepada siswa yang melanggar Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 11 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran e. 4. 12 disiplin dapat diperinci sebagai berikut. Terdapat 1 atau 12,5 % siswa yang diberi tugas untuk menyapu lantai, ada 2 atau 25 % siswa mencatatat pelajaran yang tertinggal, ada 1 atau 12,5 % siswa mendapat hukuman lari sebanyak dua putaran di lapangan, dan tidak ada siswa yang berdiri di dalam kelas. Jenis hukuman yang diterima oleh setiap orang dan dilaksanakan berdasar-kan plihan siswa masing-masing ketika mereka melanggar disiplin . Pada siklus II ini siswa yang melanggar disiplin makin berkurang dan menunjukkan ke arah yang lebih baik. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan Pendekatan CTL dalam belajar PKn. Berdasarkan data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL sudah cukup, dimana guru sudah menggunakan pendekatan tersebut dalam pembelajaran, dan terlihat siswa menikmati berdiskusi dan melakukan kerja kelompok. Pelaksanaan pendekatan CTL yang sudah cukup ini ditunjukkan dengan jawaban “ ya” ada 76,94%. Refleksi Tindakan Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran dan telah menghitung data hasil penelitian, guru dan observer melakukan refleksi dan diskusi guna membahas permasalahan yang berhubung-an dengan tindakan yang telah dikerjakan guru. Terlihat pada siklus II sudah ada peningkatan dari guru maupun siswa. Berdasarkan pengamatan observer diperoleh data antara lain guru sudah dapat mengkondisikan kelas dengan baik, sudah memberikan penanaman disiplin kepada siswa secara baik, guru sudah secara optimal memberikan penghargaan kepada siswa yang menunjukkan disiplin, guru sudah tegas kepada siswa yang melanggar disiplin, guru sudah sepenuhnya melaksanakan CTL. Sedangkan dari siswa diperoleh data bahwa sebagian besar siswa sudah memiliki disiplin yang cukup, walaupun demikian masih ada beberapa siswa yang masih perlu ditingkatkan disiplinnya serta ditanamkan lagi disiplin. Beberapa hal yang perlu diting-katkan dan ditanamkan lagi oleh seorang guru kepada siswanya, yaitu agar siswa tidak gaduh atau tidak ramai saat melakukan diskusi Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 maupun kerja kelompok, rajin mengerjakan tugas PR, memiliki toleransi dalam berdiskusi, tidak saling menggangu saat melakukan kerja kelompok maupun saat berdiskusi, membuat laporan yang benar dan baik, selalu bekerja sama dalam setiap kerja kelompok, selalu membawa buku penghubung untuk mencatat semua tugas. Hasil evalusi pembelajaran PKn juga mengalami peningkatan. Jumlah siswa yang mendapat nilai kurang semakin turun. Berdasarkan data tersebut perolehan hasil penelitian pada siklus II sudah cukup memenuhi kriteria keberhasilan dari hasil intervensi yang diharapkan. Siklus III 1. Implementasi Tindakan Pertemuan I : Senin, 11 Agustus 2008 pukul 08.00-12.00 a. Kegiatan awal (5 menit) Guru mengkondisikan kelas dengan membentuk empat kelompok yang setiap kelompok terdiri dari empat siswa. Setiap siswa diberi nama sesuai dengan nama pahlawan. Guru memberitahukan bahwa hari ini akan ada acara field trip ke Museum Gajah untuk melihat sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang ada di tanah air. Guru meberikan arahan/petunjuk kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa. b. Kegiatan inti (45 Menit) Siswa diberi lembaran kerja kelompok (LKS) dan menyimak penjelasan dari guru tentang tugas kelompok yang akan dilakukan secara kelompok. Setiap anggota di dalam kelompok diberi tugas untuk mengadakan pencatatan hasil observasi yang ada di meseum gajah, mereka mendiskusikan bersama dalam satu kelompok. Pada saat diskusi berlangsung, setiap siswa dalam kelompok tersebut punya kesempa-tan untuk mengeluarkan pendapat atau menjawab pertanyaan satu persatu secara bergiliran. Setelah itu setiap siswa saling bertanya jawab tentang soal-soal yang ada di lembaran kerja siswa maupun soal-soal yang telah disiapkan oleh guru. 2. Hasil Penelitian Hasil penelitian pada siklus III yang diperoleh dari data 8 orang siswa kelas VI . Hasil penelitian ini diperoleh dari : Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran a. Tabel 10:Daftar Skor Penanaman Disiplin pada Siklus III Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Hasil Pengisian angket penilaian disiplin dalam Belajar PKn melalui Pendekatan CTL diperoleh rata-rata skor 93,4% dengan rincian sebagai berikut. No Rentang Skor Banyak Siswa Prosentase Keterangan 1 90-100 6 75 Baik Sekali 2 80 -89 1 12,5 B ai k 3 70-79 1 12,5 Cukup 4 < 69 0 0 Kurang Tabel 9: Daftar Skor Penilaian Disiplin pada Siklus III No Rentang Skor Banyak Siswa Prosentase Keterangan 1 90-100 7 8 7 ,5 Baik Sekali 2 80 -89 1 12,5 B ai k 3 70-79 0 0 Cukup 4 < 69 0 0 Kurang b. c. d. Penanaman disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL. Hasil pengisian angket penanaman disiplin siswa dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL diperoleh rata-rata skor adalah 94,8 % dengan rincian dapat dilihat pada tabel 10. Hasil pengamatan terhadap penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang e. diberikan pujian, diberikan senyuman, diberikan kata-kata pujian, diberikan stiker. Pemberian penghargaan diberikan oleh guru secara berbeda-beda karena diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa lihat tabel 11. Hasil Pengamatan terhadap hukuman yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL. Hukuman diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin. Hukuman itu berupa: menyapu lantai, mencatat pelajaran yang tertinggal, lari sebanyak 2 putaran, berdiri di depan kelas. Hukuman ini diberikan sesuai dengan pilihan siswa. Hasil pelaksanaan pendekatan CTL dalam Belajar PKn. Tabel 11: Daftar Skor Penghargaan yang Diberikan Guru pada Siklus IIII Penghargaan Tepukan Sayang Dipunggung Diberikan P e l u k an Diberikan Senyuman Diberikan KataKata Pujian Diberikan Stiker Jumlah siswa 7 7 6 7 5 Prosentase 87,5 % 87,5 % 75 % 87,5 % 62 % menunjukkan disiplin dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Penghargaan diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin. Penghargaan ini berupa tepukan sayang di punggung, Berdasarkan data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL sudah baik, itu ditunjukkan dengan jawaban “ya” ada 92,3%. Tabel 12 : Daftar Skor Hukuman yang diberikan Guru pada Siklus III Hukuman Menyapu Lantai Mencatat Pelajaran yang Tertinggal Lari sebanyak Dua Putaran Berdiri di Kelas s e l am 1 j am Pelajaran Jumlah siswa 1 1 0 0 Prosentase 12,5 % 12,5 % 0% 0% Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 13 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran 3. Pembahasan Hasil pemantauan tindakan pada siklus III diperoleh dari: a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL. Dari hasil penelitian siklus III diperoleh data adanya 1 orang siswa yang menunjukkan disiplin di bawah rata-rata. Siswa ini masih menunjukkan disiplin yang kurang dalam hal membawa buku pelajaran secara lengkap dan sesuai dengan mata pelajaran, dan membuat laporan kelompok serta tidak masuk sekolah. Sedangkan 7 orang siswa atau 87,5 % sudah menunjukkan disiplin yang baik dalam belajar PKn. b. Penanaman disiplin siswa dalam belajar PKn melalui pendekatan CTL. Dari hasil penelitian pada siklus III diperoleh data bahwa ada 1-2 orang siswa menunjukkan penanaman disiplin masih di bawah rata-rata atau cukup atau 25 %. Siswa ini masih menunjukkan penanaman disiplin yang kurang dalam hal berpakaian seragam sekolah yang lengkap. Sedangkan 7 orang siswa atau 87,5 % sudah menunjukkan penanaman disiplin yang baik dalam belajar PKn. c. Hasil pengamatan terhadap penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Berdasarkan data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa penghargaan diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disipilin bervariasi. Ada 7 atau 87,5 % siswa yang menerima tepukan sayang dipung-gung, karena siswa ini sudah baik dalam melaksanakan disiplin. Oleh karena itu guru terus memberikan motivasi agar siswa terus memiliki disiplin dalam setiap belajar. Sebanyak 7 atau 87,5% siswa diberikan pelukan karena siswa ini menunjukkan perubahan yang baik dalam melaksanakan disiplin, ada sebanyak 6 atau 75 %, siswa diberikan senyuman karena siswa sudah melaksanakan disiplin dengan baik, ada sebanyak 7 atau 87,5 % diberikan kata-kata pujian. Kata-kata pujian yang diberikan membuat siswa ini senang, memberikan semangat belajar, dan menunjukkan prestasi yang baik dalam belajar, 5 atau 62 % orang siswa ini ketika melaksanakan disiplin dengan baik maka 14 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 d. e. 4. diberikan stiker. Siswa ini senang dengan berbagai stiker. Hasil pengamatan terhadap hukuman yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Berdasarkan data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa hukuman diberikan kepada siswa yang melanggar disiplin dapat diperinci sebagai berikut; 1 atau 12,5 % siswa diberi tugas untuk menyapu lantai, 1 atau 12,5 % siswa mencatatat pelajaran yang tertinggal, 0 atau 0 % siswa yang lari sebanyak dua putaran di lapangan, 0 atau 0 % siswa yang berdiri di dalam kelas. Jenis hukuman yang diterima oleh setiap orang dan dilaksanakan berdasarkan pilihan siswa masing-masing ketika mereka melanggar disiplin. Pada siklus III ini siswa yang melanggar disiplin berkurang dan menunjukkan kearah yang lebih baik. Hasil pengamatan pelaksanaan pendekatan CTL dalam belajar PKn. Berdasarkan data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL sudah baik, dimana guru sudah menggunakan pendekatan tersebut dalam pembelajaran, dan terlihat siswa berdiskusi dan kerja kelompok secara aktif. Pelaksanaan pendekatan CTL yang sudah baik ini ditunjukkan dengan jawaban “ ya” ada 92,3%. Refleksi Tindakan Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran dan telah menghitung data hasil penelitian, guru dan observer melakukan refleksi dan diskusi guna membahas permasalahan yang berhubungan dengan tindakan yang telah dikerjakan guru. Terlihat pada siklus III ada peningkatan ke arah lebih baik dari guru maupun siswa. Berdasarkan pengamatan observer diperoleh data antara lain guru sudah dapat mengkondisikan kelas dengan baik, sudah memberikan penanaman disiplin kepada siswa secara baik, guru sudah optimal memberikan penghargaan kepada siswa yang menunjukkan disiplin, guru sudah tegas kepada siswa yang melanggar disiplin, guru sudah sepenuhnya melaksanakan pendekatan CTL. Sedangkan dari siswa diperoleh data bahwa sebagian Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran besar siswa sudah memiliki disiplin yang baik, walaupun demikian masih ada 1-2 orang siswa yang masih perlu ditingkatkan. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan dan ditanamkan lagi oleh guru untuk menegakkan disiplin pada siswa yaitu wajib datang ke sekolah tepat waktu, mengerjakan pekerjaan rumah, berpakaian seragam sekolah yang lengkap, membawa buku penghubung untuk mencatat semua tugas, memiliki rasa toleransi dalam berdiskusi. Hasil evaluasi juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data tersebut peroleh hasil penelitian pada siklus III yang sudah baik dan memenuhi kriteria keberhasilan dari hasil intervensi yang diharapkan. Analisis Data Data yang diperoleh meliputi data penilaian disiplin, penanaman disiplin dan tanggung jawab siswa, penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin, hukuman yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin, dan pelaksaan pendekatan CTL, serta hasil evaluasi belajar PKn. Data ini diperoleh dari siswa dengan mengisi angket dibawah bimbingan guru, dan observer juga mengamati dan mengisi angket tersebut, siswa mengerjakan tes PKn sebanyak 30 butir soal. Sedangkan data pelaksanaan pendekatan CTL diperoleh dari pengamatan observer pada saat guru melaksanakan proses belajar mengajar. Pengisian setiap angket ini dilakukan oleh siswa di bawah bimbingan guru kelas, observer dan dilakukan dalam setiap akhir siklus. Sedangkan data pemantauan tindakan yang diperoleh dari hasil pengamatan keaktifan siswa dan guru dihasilkan dari pengamatan observer setiap pertemuan. 1. Siklus I Melalui hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer terhadap keaktifan siswa dan guru serta hasil penelitian berupa angket terlihat bahwa pada siklus I masih banyak kekurangan baik dari pihak guru maupun siswa. Berdasarkan pengamatan observer diperoleh data antara lain guru masih kurang dalam mengkondisikan kelas, kurangnya penanaman disiplin kepada siswa, kurang optimalnya guru dalam memberikan penghargaan kepada siswa yang menunjukkan disiplin, guru kurang tegas kepada siswa yang melanggar disiplin, guru tidak sepenuhnya melaksanakan pendekatan CTL. Untuk siswa dapat dilihat dari data sebagai berikut. a. Penilaian Disiplin Siswa dalam Belajar PKn melalui pendekatan CTL Hasil penelitian siklus I dapat diketahui data bahwa 4 orang siswa atau 50 % yang belum memiliki disiplin. Empat orang siswa ini dikatakan kurang disipilin karena belum menunjukkan sikap mengerjakan pekerjaan rumah, tidak memiliki disiplin dalam kehadiran, disiplin untuk membersihkan loker dan laci, membersihkan kelas, gaduh atau ramai saat melakukan kerja kelompok, tidak menjaga ketertiban saat berdiskusi, tidak memiliki sikap toleransi, sedangkan 2 siswa atau 25 % belum menunjukkan disiplin dan dalam hal tidak membawa buku penghubung untuk mencatat setiap tugas, belum memiliki sikap toleransi, tidak menjaga ketertiban saat melakukan kerja kelompok. Ada 4 orang siswa atau 50 % sudah menunjukkan disiplin yang baik dalam belajar PKn. Rata-rata nilai penilaian disiplin dihitung dari jumlah skor seluruh siswa dibagi jumlah siswa. b. Penanaman disiplin siswa dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Dari hasil penelitian pada siklus I diperoleh data bahwa 7 orang siswa atau 87,5 % belum tertanam disiplin dalam hal membawa buku pekerjaan rumah (PR), untuk mengerjakan tugas di rumah, disiplin membersihkan loker laci meja, membersihkan kelas, bekerja sama dalam setiap kerja kelompok, bertanggung jawab kepada tugasnya, selalu rapih dan bersih, berlaku baik kepada teman selama melakukan diskusi, bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan, sedangkan 3 orang siswa atau 37,5 % belum tertanam disiplin dalam menggunakan buku PR untuk mengerjakan tugas di rumah. 1-2 Siswa atau 12,5 dan 25% sudah menunjukkan memiliki penanaman disiplin yang baik. Rata-rata nilai penanaman disiplin dihitung dari jumlah skor seluruh siswa dibagi jumlah siswa. c. Hasil pengamatan penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin dalam belajar PKn melalui Pendekatan CTL. Berdasarkan data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 15 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran menunjukkan disiplin bervariasi. Ada 7 atau 87,5 %, siswa yang menerima tepukan sayang dipunggung, karena siswa ini perlu motivasi maka diberikan tepukan sayang, ada 4 atau 50 % siswa diberikan pelukan karena siswa ini perlu perhatian yang penuh karena pelaksanaan disiplin masih kurang dilaksanakan dengan baik dan perlu diberitahu secara teratur oleh guru. Ada 5 atau 62 %, siswa yang diberikan senyuman karena siswa sudah melaksanakan disiplin tetapi kadang masih melanggar. Ada 6 atau 75 % siswa yang diberikan kata-kata pujian, dan ada 3 atau 37,5 % yang diberikan stiker. Data ini diperoleh dari pengamatan guru dan observer selama proses mengajar di dalam kelas, setelah memperoleh data kemudian dikelompokkan penghargaan yang diberikan oleh guru kepada siswa yang melaksanakan disiplin. d. Hasil pengamatan terhadap hukuman yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin dalam pembelajaran PKn melalui Pendekatan CTL. Dari data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa hukuman yang diberikan kepada siswa yang melanggar disiplin dapat diperinci sebagai berikut : 2 atau 25 % siswa diberi tugas untuk menyapu lantai, 4 atau 50 %, siswa mencatatat pelajaran yang tertinggal, 1 atau 12,5 % siswa lari sebanyak dua putaran di lapangan, dan 1 atau 12,5 % siswa yang berdiri di dalam kelas. Data ini diperoleh dari pengamatan guru dan observer selama proses mengajar di dalam kelas, setelah memperoleh data kemudian dikelompokkan hukuman yang diberikan oleh guru kepada siswa yang melanggar disiplin. e. Hasil pengamatan pelaksanaan CTL dalam pembelajaran PKn Dari data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL belum dilaksanakan dengan tidak baik atau tidak sepenuhnya, itu ditunjukkan dengan jawaban “ tidak “ masih tinggi atau 61,5%. Dengan perincian sebagai berikut: Yang jawabannya “Ya” ada 38,4% sedangkan yang jawabannya “tidak” ada 61,5%. Pada siklus I ini guru kurang sepenuhnya melaksanakan pendekatan CTL dalam pembelajaran PKn. Ini disebabkan karena persiapan guru yang kurang dan siswa masih ramai dan gaduh. 16 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 2. Siklus II Guru terlihat lebih siap dan lebih tenang dalam melaksanakan pembelajaran PKn melalui pendekatan CTL sehingga aktivitas dalam pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap kesiapan siswa dalam melaksanakan setiap kegiatan dalam pembelajaran. Siswa secara keseluruhan sudah dapat mengikuti kegiatan dengan semangat dan lebih siap menerima tugas yang diberikan oleh guru dan antusias untuk terlibat secara aktif sehingga potensi yang ada pada diri siswa dapat berkembang secara optimal. Pada siklus II sudah ada peningkatan dari guru maupun siswa. Berdasarkan pengamatan observer diperoleh data antara lain guru sudah dapat mengkondisikan kelas dengan baik, sudah memberikan penanaman disiplin kepada siswa secara baik, guru sudah secara optimal memberikan penghargaan kepada siswa yang menunjukkan disiplin, guru sudah tegas kepada siswa yang melanggar disiplin, guru sudah sepenuhnya melaksanakan CTL. Sedangkan dari siswa diperoleh data bahwa sebagian besar siswa sudah memiliki disiplin yang cukup, walaupun demikian masih ada beberapa siswa yang masih perlu ditingkatkan disiplin serta ditananamkan lagi disiplin. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan dan ditanamkan lagi oleh seorang guru kepada siswanya yaitu siswa tidak gaduh atau ramai saat melakukan kerja kelompok, mengerjakan tugas di rumah, memiliki toleransi dalam berdiskusi, tidak saling menggangu saat melakukan diskusi maupun saat berdiskusi, membuat laporan yang benar dan baik, selalu bekerja sama dalam setiap diskusi kelompok, selalu membawa buku penghubung untuk mencatat semua tugas. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil refleksi, hasil penelitian penilaian disiplin mencapai 90,52%. Dengan perincian sebagai berikut: rentang nilai kurang dari 69 ada 0 orang siswa prosentasenya 0 %, rentang nilai antara 70-79 ada 0 orang siswa prosentasenya 0 %, rentang nilai 80–89 ada 1 orang siswa prosentasenya 12,5 %, rentang nilai 90–100 ada 7 orang siswa prosentasenya 87,5 %. Hasil penelitian penanaman disiplin mencapai 80,1%. dengan rincian sebagai berikut: rentang nilai kurang dari 69 ada 0 orang siswa prosentasenya 0 %, rentang nilai 70–79 ada 1 orang siswa prosentasenya 12,5 %, rentang nilai 80-89 ada 3 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran orang siswa prosentasenya 37,5%, rentang nilai 90– 100 ada 4 orang siswa prosentasenya 50%. Hasil penelitian pengamatan oleh observer tentang penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin mencapai hasil sebagai berikut: penghargaan tepukan sayang dipunggung ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan pelukan ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan senyuman ada 6 atau 75% siswa, diberikan kata-kata pujian ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan stiker 2 atau 25% siswa. Hasil penelitian hukuman yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin mencapai hasil sebagai berikut: menyapu lantai ada 1 atau 12,5% siswa, mencatatat pelajaran yang tertinggal ada 2 atau 25% siswa, lari sebanyak dua putaran di lapangan ada 1 atau 12,5 % siswa, berdiri di dalam kelas ada 0 atau 0 % siswa. Hasil pengamatan pelaksanaan pendekatan CTL mencapai hasil 76,9%, Berdasarkan hasil perolehan peningkatan disiplin tersebut, maka penelitian pada siklus II sudah memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditentukan. 3. Siklus III Guru terlihat lebih siap dan lebih tenang lagi dan ada rasa percaya diri sehingga dalam melaksanakan pembelajaran PKn melalui pendekatan CTL dengan segala aktivitas setiap pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap kesiapan siswa dalam melaksanakan setiap kegiatan dalam pembelajaran. Siswa secara keseluruhan sudah dapat mengikuti kegiatan dengan semangat dan lebih siap menerima tugas yang diberikan oleh guru dan antusias untuk terlibat secara aktif sehingga potensi yang ada pada diri siswa dapat berkembang secara optimal. Pada siklus III ada peningkatan ke arah yang lebih baik dari guru maupun siswa. Berdasarkan pengamatan observer diperoleh data antara lain guru sudah dapat mengkondisikan kelas dengan baik, sudah memberikan penanaman disiplin kepada siswa secara baik, guru sudah optimal memberikan penghargaan kepada siswa yang menunjukkan disiplin, guru sudah tegas kepada siswa yang melanggar disiplin, dan guru sudah sepenuhnya melaksanakan pendekatan CTL. Dari siswa diperoleh data bahwa sebagian besar siswa sudah memiliki disiplin yang baik, walaupun demikian masih ada 1-3 siswa yang masih perlu untuk ditingkatkan disiplin. Beberapa disiplin yang perlu ditingkatkan dan ditanamkan lagi oleh guru kepada siswa yaitu datang ke sekolah tepat waktu, mengerjakan pekerjaan rumah, berpakaian seragam sekolah yang lengkap, membawa buku penghubung untuk mencatat semua tugas, memiliki rasa toleransi dalam berdiskusi. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil refleksi, hasil penelitian mengenai penilaian disiplin mencapai 93,47%. Perinciannya sebagai berikut: rentang nilai kurang dari 69 ada 0 orang siswa dengan prosentasenya 0%, rentang nilai antara 70-79 ada 0 orang siswa dengan prosentasenya 0 %, rentang nilai 80–89 ada 1 orang siswa prosentasenya 12,5 %, rentang nilai 90– 100 ada 7 orang siswa persentase 87,5%. Hasil penelitian mengenai penanaman disiplin mencapai 94,85% dengan rincian sebagai berikut: rentang nilai kurang dari 69 ada 0 orang siswa prosentasenya 0%, rentang nilai 70–79 ada 1 orang siswa prosentasenya 12,5 %, rentang nilai 80-89 ada 1 orang siswa prosentasenya 12,5 %, rentang nilai 90–100 ada 6 orang siswa prosentasenya 75 %. Hasil penelitian mengenai penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang menunjukkan disiplin mencapai hasil sebagai berikut: penghargaan tepukan sayang dipunggung ada 7 orang atau 87,5 % siswa, diberikan pelukan ada 7 orang atau 87,5 % siswa, diberikan senyuman ada 6 orang atau 75 % siswa, diberikan kata-kata pujian ada 7 orang siswa atau 87,5 %, dan yang diberikan stiker 5 atau 62 %. Hasil penelitian mengenai pemberian hukuman oleh guru kepada siswa yang melanggar disiplin mencapai hasil sebagai berikut: menyapu lantai ada 1 orang atau 12,5 % siswa, mencatat pelajaran yang tertinggal ada 1 atau 12,5% siswa, lari sebanyak dua putaran dilapangan ada 0 orang atau 0% siswa, berdiri di dalam kelas ada 0 orang atau 0 % siswa. Hasil pengamatan pelaksanaan pendekatan CTL mencapai hasil 92,3%, dan hasil tes kemampuan kognitif pembelajaran PKn mencapai rata-rata 7,68 dengan prosentase 76,8% secara keseluruhan dengan perincian sebagai berikut: jumlah siswa yang mendapat nilai dengan kategori tinggi ada 7 orang siswa dengan prosentase 87,5 %, siswa yang mendapat nilai dengan kategori sedang ada 1 orang siswa dengan prosentase 12,5 %. Berdasarkan hasil perolehan peningkatan sikap disiplin dan tanggung jawab tersebut, Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 17 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran maka penelitian pada siklus III sudah memenuhi kriteria keberhasilan yang telah ditentukan. Interpretasi Hasil Analisis dan Pembahasan Berdasarkan hasil data yang diperoleh pada tindakan pembelajaran PKn melalui pendekatan CTL telah menunjukkan adanya peningkatan disiplin siswa yang semakin meningkat. Mencermati hasil intervensi tindakan yang sudah dilaksanakan oleh peneliti melalui tindakan pembagian siklus I, II, III. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan prosentase pencapaian peningkatan disiplin siswa kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ nilai rata-rata pada: a) penilaian disiplin silklus I mencapai 73,8%, siklus II mencapai 90,2%, siklus III mencapai 93,4%, b) penanaman disiplin siklus I mencapai 66,1%, siklus II 80,1%, siklus III 94,8%, c) penghargaan yang diberikan guru kepada siswa yang melaksanakan disiplin siklus I mencapai: tepukan sayang dipunggung ada 7 atau 87,5% siswa, di berikan pelukan ada 4 atau 50% siswa, diberikan senyuman ada 5 atau 62% siswa diberikan kata-kata pujian ada 6 atau 75% siswa, diberikan stiker ada 3 atau 37,5% siswa, siklus II mencapai: tepukan sayang dipunggung ada 7 atau 87,5 % siswa, diberikan pelukan ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan senyuman ada 6 atau 75% siswa, diberikan katakata pujian ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan stiker ada 2 atau 25% siswa, siklus III mencapai: tepukan sayang dipunggung ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan pelukan ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan senyuman 6 atau 75% siswa, diberikan kata-kata pujian ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan stiker ada 5 atau 62%, d) hukuman yang diberikan guru kepada siswa yang melanggar disiplin siklus I mencapai: menyapu lantai ada 2 atau 25% siswa, mencatat pelajaran yang tertinggal ada 4 atau 50% siswa, lari sebanyak dua putaran di lapangan ada 1 atau 12,5% siswa, berdiri di dalam kelas ada 1 atau 12,5% siswa, hasil siklus II mencapai: menyapu lantai ada 1 atau 12,5% siswa, mencatatat pelajaran di lapangan yang tertinggal ada 2 atau 25% siswa, lari sebanyak dua putaran ada 1 atau 12,5% siswa, berdiri di dalam kelas ada 0 atau 0 % siswa. Siklus III mencapai: menyapu lantai ada 1 atau 12,5% siswa, mencatatat pelajaran yang tertinggal ada 1 atau 12,5%, lari sebanyak lari sebanyak dua putaran 18 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 di lapangan ada 0 atau 0 % siswa, berdiri di dalam kelas 0 atau 0 % siswa. Hasil yang dicapai tersebut membuktikan bahwa pendekatan pembelajaran CTL dapat digunakan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PKn khususnya dalam materi nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Pelaksanaan pendekatan CTL juga mengalami peningkatan prosentase. Pada siklus I nilai prosentase aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran PKn masih kurang sebesar 38, 4%, siklus II nilai prosentase aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran cukup sebesar 76,9%, siklus III prosentase aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran PKn semakin baik sebesar 92,3%. Hasil yang dicapai tersebut membuktikan bahwa pendekatan CTL pada pembelajaran yang digunakan guru untuk meningkatkan kualitas disiplin siswa dalam belajar PKn sudah tepat. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan disiplin siswa dan hasil tes yang digunakan guru dalam pembelajaran PKn dan dari hasil pemantauan pelaksanaan pendekatan CTL pada setiap siklus pembelajaran. Implementasi dari pendekatan tersebut tidak terlepas dari upaya guru dalam mengembangkan inovasi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Keterbatasan Penelitian Penyajian pembahasan pada penelitian tindakan kelas yang menerapkan pendekatan CTL dalam mengajarkan materi “Nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara” pada pembelajaran di kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ disadari masih jauh dari sempurna. Adanya keterbatasan wawasan terhadap fokus penelitian dan sedikitnya sumber bacaan sebagai referensi, serta singkatnya waktu dalam melakukan penelitian menjadi permasalahan utama terhadap ke dalaman isi dari penelitian ini. Namun disadari bahwa peningkatan kualitas pendidikan merupakan faktor yang tidak boleh ditunda. Bentuk kesadaran profesi terhadap tanggung jawab keberhasilan pendidikan di sekolah dasar seharusnya memotivasi peneliti untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan dunia pendidikan. Hal ini memungkinkan terwujud, apabila guru di sekolah selalu melakukan kegiatan evaluasi, refleksi, dan merevisi setiap kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya. Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Oleh karena itu peneliti berharap dari hasil penelitian yang sederhana ini dapat menggugah peneliti lainnya untuk lebih memperdalam dan memperluas bahan kajian pada penelitian berikutnya. Kesimpulan, Implikasi, dan Saran Kesimpulan Dari hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan dalam menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning(CTL) pada pembelajaran PKn di kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ pada materi pokok Nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara menunjukkan hasil yang positif dalam peningkatan kualitas pembelajaran, seperti disiplin dan kerja sama siswa dalam melakukan diskusi kelompok maupun dalam pengerjaan setiap tugas yang diberikan oleh guru, serta peningkatan akan sikap menghargai dan bertoleransi terhadap teman maupun guru. Peningkatan juga terjadi pada hasil belajar yang didapat dari nilai tes harian. Pembelajaran PKn dengan menggunakan pendekatan CTL dapat juga meningkatkan pemahaman konsep tentang nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, karena siswa melakukan proses belajar sambil melakukan aktifitas sehingga dapat mempermudah dipahaminya suatu konsep dan tidak gampang melupakan tentang apa yang diperoleh siswa melalui kegiatan bekerja, mencari, dan menemukan sendiri informasi yang dipelajarinya. Dengan pendekatan CTL siswa lebih mampu mengenal dan mengembangkan potensi yang dimiliki secara penuh. Siswa juga mempunyai kemampuan untuk berprakarsa, berpikir secara teratur, kritis, tanggap, dan dapat menyelesaikan masalah. Dalam pembelajaran PKn dengan pendekatan CTL, siswa diharapkan dapat menerapkan materi yang telah dipelajari untuk memecahkan masalah sehari-hari. Pemecahan masalah dalam proses pembelajaran di kelas dapat dilakukan dengan kerja kelompok. Hal ini sangat baik dalam mengembangkan sosialisasi dan interaksi antar siswa. Dengan kerja kelompok masalah sulit yang dihadapi dapat mereka selesaikan dengan benar, cepat, dan tepat waktu. Selain itu pula dapat memberi kesempatan pada siswa untuk membimbing temannya dalam memahami materi yang sulit, serta membiasakan siswa untuk menghargai adanya perbedaan pendapat dalam kegiatan pembelajaran. Penghargaan dan hukuman pada proses pembelajaran PKn dengan pendekatan CTL dapat memotivasi siswa lebih disiplin dalam belajar. Dengan pendekatan CTL, guru dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuannya dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan memperhatikan kebutuhan siswa dan sekaligus dapat mengoptimalkan ketercapaian hasil belajar PKn dengan cara yang menyenangkan. Selain itu, pengkondisian siswa yang baik dan pemilihan metode yang tepat dengan materi, serta dengan memperhatikan kontekstual siswa kelas VI SD akan dapat menumbuhkan komunikasi dan interaksi yang baik antara siswa dan guru dan antar siswa itu sendiri. Dengan kondisi seperti itu siswa dapat menyampaikan informasi yang didapatnya kepada teman serta melatih keberanian serta rasa percaya diri. Dengan melalui pendekatan CTL, proses belajar mengajar akan lebih kongkret, realistis, aktual, nyata, dan lebih menyenangkan, serta lebih bermakna. Proses belajar mengajar berpendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar (kualitas, kreatifitas, produktivitas, efesiensi dan efektifitas). Hasil belajar meningkat, karena dalam CTL semua panca indera siswa diaktifkan dan dimanfaatkan secara serentak dalam proses belajar mengajar melalui kegiatan pembelajarannya. Implikasi Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal yang perlu diperhatikan guru mengenai kepribadian siswa secara individu dalam proses pembelajaran PKn di kelas VI SD, khususnya pada materi Nilai-nilai juang dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara guru harus mengubah cara pandangnya dalam pembelajaran PKn yang meliputi: peran guru dalam pengelolaan kelas, pemahaman perkembangan karakteristik siswa, peran siswa dalam proses pembelajaran, pemilihan alat peraga/media dan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi yang dipelajari siswa. Guru dituntut untuk lebih kreatif dalam mendesain pembelajaran. Sebelum dan dalam proses pelaksanaan pembelajaran guru perlu menanamkan disiplin, dan bekerjasama pada diri siswa seperti mengadakan apersepsi dan Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 19 Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran pengenalan materi lebih dahulu, gunanya adalah agar pada siswa muncul rasa keingintahuan tentang apa yang akan diajarkan guru dan apa saja yang akan mereka kerjakan selama belajar PKn. Hal ini penting sebab sesuai hasil analisis data yang diperoleh bahwa adanya peningkatan kualitas pembelajaran PKn seperti disiplin, dan bekerjasama dalam diri siswa. Selain itu juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran PKn. Penggunaan pendekatan CTL dapat menyebabkan keaktifan siswa secara individu maupun kelompok sehingga siswa di dalam kelompoknya dapat menghasilkan karya yang baik dengan memilih media yang tepat akan sangat mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Peran guru sebagai motivator dan fasilitator sangat menentukan keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran dengan memberikan penghargaan dan hukuman dengan tujuan agar siswa semangat belajar dan disiplin di dalam proses belajar mengajar. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran kepada guru agar menerapkan pendekatan CTL, sebagai salah satu alternatif pilihan pendekatan dalam meningkatkan disiplin dan kerja sama serta hasil belajar yang secara langsung dapat meningkatkan kualitas pembelajaran PKn. Hasil penelitian ini hendaknya dijadikan sebagai masukan bagi sekolah di dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengembangkan serta mengambil kebijakan strategi yang menunjang keberhasilan pembelajaran. Akhirnya peneliti 20 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 lain diharapkan lebih memperdalam dan memperluas kajian pada pembelajaran PKn sesuai dengan pendekatan CTL khususnya di kelas VI SD. Daftar Pustaka Depdiknas. (2004) Kurikulum 2004: Standar kompetensi mata pelajaran pengetahuan sosial SD dan MI. Jakarta: Diknas Depdiknas. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam Menunjang Kecakapan Hidup Siswa. Jakarta: Dikdasmen. Depdiknas. (2003). Pendekatan kontekstual (Contextual teaching and learning ). Jakarta: Depdiknas-Dikdasmen John, Elaine B. (2008). Contextual teaching and learning : Menjadikan kegiatan belajar mengajar mengasyikkan dan bermakna. Terjemahan. Bandung: Mizan Kasbolah, Kasihani. (1998/1999). Penelitian tindakan kelas (PTK). Jakarta: Depdikbud Sanjaya, Wina. (2002). Strategi pembelajaran standard proses pendidikan. Jakarta: Erlangga Sarwono, Sarlito W. (2002). Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi. Jakarta: Erlangga ______UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2006). Bandung: Citra Umbara. ______UNJ. Pedoman penulisan ilmiah. Jakarta: UNJ, 2000. www. Geocieties.com/pakguruonline. www.google.com Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Penelitian Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Anastasia Alverina Chandra, Ivonne Pratiwi, dan Monica Sharly*) Abstrak leh karena berbagai alasan, masih terdapat sejumlah anak usia sekolah yang tidak dapat memperoleh kesempatan belajar di lembaga pendidikan formal. Mereka mengikuti pelajaran di Bimbingan Belajar Alternatif. Penelitian yang dilakukan oleh siswa-siswa SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan sosial dan apa alasan mereka belajar di Bimbingan Belajar Alternatif. Hasil penelitian yang dilakukan melalui survei ini menunjukkan hubungan antara siswa dengan pengajar sangat baik dan alasan siswa belajar di Bimbingan Belajar Alternatif adalah kesadaran akan pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan mereka. O Kata-kata kunci: Pendidikan, Bimbingan Belajar Alternatif, ekonomi sosial. Being unable to attend formal education for certain reasons, a number of school age children improve their knowledge and skills at the Alternative Learning Guidance Centers in Jakarta. This research aimed at discovering the relationship atmosphere, between the learners and finding out the teachers and the learners’ reasons to attend the Alternative Learning Guidance Centers. The findings of the survey show a good relationship between the learners and the teacher and the main reason of the learners to study is their awareness of the importance of education in improving the quality of their life. Pendidikan Pendidikan memiliki peranan strategis dalam menyiapkan generasi berkualitas untuk kepentingan masa depan. Bagi setiap orang tua, masyarakat, dan bangsa, pemenuhan akan pendidikan menjadi kebutuhan pokok. Pendidikan dijadikan sebagai institusi utama dalam upaya pembentukan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang diharapkan suatu bangsa. Namun, oleh sebagian orang, terutama yang kurang mampu, pendidikan belum dianggap sebagai sesuatu yang penting. Hal ini dipicu oleh kesulitan hidup yang kian mengimpit sedangkan biaya pendidikan semakin melambung tinggi. Akibatnya, banyak orang tua yang tidak dapat memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Pemerintah, tentunya menyadari krisis pendidikan yang terjadi pada masyarakat kita. Untuk menanggulangi masalah ini, ada beberapa solusi yang ditawarkan pemerintah seperti program BOS (Biaya Operasional Sekolah) dan sekolah gratis. Tetapi pada kenyataannya program ini masih belum efektif dikarenakan prosesnya yang terlalu berbelit-belit dan juga adanya oknum-oknum yang mengambil keuntungan dari subsidi pendidikan yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Akibatnya, tidak semua orang dapat menikmati fasilitas sekolah gratis. Masih banyak anak-anak putus sekolah yang terlantar di jalan dengan *) Alumni SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 21 Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif berbagai profesi seperti pengamen, pemintaminta dan penyedia jasa membersihkan mobil. Tidak sedikit di antara mereka yang merupakan korban eksploitasi orang tua yang menyuruh mereka bekerja demi menyokong kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kondisi perekonomian yang demikian, ternyata tidak semua anak jalanan mengabaikan pendidikan mereka. Masih banyak di antara mereka yang sadar akan manfaat pendidikan dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Meskipun demikian, mereka menyadari kondisi perekonomian mereka, sehingga biaya kembali menjadi masalah utama. Bagi mereka yang terbentur masalah biaya, tetapi tetap ingin mengenyam pendidikan, bimbingan belajar alternatif dapat menjadi jalan keluar. Bimbingan belajar alternatif adalah bimbingan belajar bagi mereka yang kurang mampu untuk membayar biaya pendidikan yang cukup mahal. Bimbingan belajar alternatif, dapat berlokasi di mana saja misalnya, di kolong jembatan. Dengan fasilitas yang serba terbatas, anak-anak belajar dengan impian dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik lagi di masa depan. Yayasan Sahabat Anak (YSA) adalah salah satu dari yayasan yang membantu anak-anak yang kesulitan biaya untuk menempuh pendidikan di tingkat SD, SMP, dan SMA. YSA bermula dari Jambore Anak Jalanan (JAJ) yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1997. Sejumlah voluntir yang terdiri atas mahasiswa, alumni, dan profesional yang tergabung dalam kepanitiaan melihat adanya satu kebutuhan esensial pada generasi anak kaum urban, khususnya anak-anak jalanan di Jakarta, yakni pendidikan sebagai pendongkrak status, ekonomi, dan karakter menuju fase yang lebih baik. YSA ini lahir setelah melalui periode panjang dengan pembelajaran istimewa akan kerjasama, dinamika filantropi (rasa kepedulian kepada sesama), tantangan realita jalanan, pemahaman karakter anak jalanan yang unik, pengumpulan dana dan pertanggungjawabannya, serta pencarian program kurikulum informal terbaik sesuai kebutuhan anak marginal tersebut. Hingga saat ini, Sahabat Anak membidani kegiatan rutin Bimbingan Belajar (Bimbel) bagi anak-anak jalanan di tujuh area di Jakarta, yakni: Prumpung, Grogol, Cijantung, Gambir, Manggarai, Senen, dan Tanah Abang. Yayasan Sahabat Anak juga mengembangkan relasi dengan 4 Mitra yang turut menyeleng- 22 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 garakan Bimbel, yakni di area Klender-Buaran, Jati Asih, Bekasi, dan Depok. Dengan visi dan misi yang begitu mulia, YSA tetap berdiri hingga sekarang ini. Visi YSA adalah “Anak jalanan sadar bahwa mereka makhluk mulia ciptaan Tuhan yang memiliki kesetaraan hidup”. Sedangkan misi ialah “Melibatkan sebanyak mungkin pribadi/pihak yang peduli kepada anak jalanan dengan menjadi seorang sahabat”. Dalam segala keterbatasan siswa-siswa, fasilitas belajar, dan tenaga pengajar, YSA tetap melakukan kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian, bagaimanakah kehidupan murid – murid yang belajar di bimbingan belajar alternatif. Secara lebih khusus lagi bagaimanakah kehidupan sosial siswa yang belajar di bimbingan belajar alternatif serta apa alasan siswa mengikuti bimbingan belajar alternatif? Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui (a) kehidupan sosial siswa yang belajar di bimbingan alternatif dan (b) alasan siswa mengikuti bimbingan belajar alternatif. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah (a) kepekaan peneliti terhadap kondisi sosial di sekitar, (b) kepekaan masyarakat terhadap anak-anak yang kurang beruntung, dan (c) menambah wawasan mengenai murid – murid yang menuntut ilmu di bimbingan belajar alternatif. Landasan Teori Pendidikan Kata pendidikan berasal dari kata didik yang berdasarkan Kamus Baru Bahasa Indonesia memiliki arti membiasakan seseorang untuk berbuat menurut arah yang dikehendaki. (Julius, dkk, 1975 : 48). Jadi, pendidikan memiliki arti mengarahkan seseorang. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. (Balai Pustaka, 2003 : 263). Sementara itu UU No.20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena merupakan sarana sosialisasi, pendidikan merupakan unsur penting dalam bermasyarakat. Usia pendidikan hampir sama tuanya dengan usia manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan berbagai tentang peradaban. (Djojonegoro, 1991 : 1). Meskipun demikian, disebutkan dalam buku Pendidikan Rusakrusakan, Departemen Pendidi-kan Nasional yang disebut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, adalah salah satu dari instansi pemerintah yang telah lama disinyalir paling korup kedua, selain Departemen Agama (Darmaningtyas, 2005 : 64). Hal ini sungguh sangat ironis, mengingat pendidikan adalah sesuatu yang mulia, tapi telah disalahartikan dan disalahgunakan hanya untuk mengeruk keuntungan semata. Pendidikan umum merupakan bagian dari kesinambungan sejarah, seperti halnya pendidikan agama. Realitas pendidikan nasional sekarang ini adalah merupakan buah dari kesuksesan sekelompok orang yang memiliki kepentingan politik tertentu. Hal ini disebutkan dalam buku Liberalisasi Pendidikan (Mu’ Arif, 2008 : 39). Istilah pendidikan secara sederhana dari aspek kebahasaannya, sering disamakan pengertiannya dengan pengajaran, pembelajaran atau proses. Sedangkan dalam pengertian yang lebih serius, pendidikan banyak memberikan ruang intrepretasi yang debatable (Mu’ Arif, 2008 : 47). Berdasarkan judul penelitian di atas, pendidikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses pengubahan sikap dan tata seseorang atau sekelompok orang dalam usaha untuk mendewasakan manusia melalui upaya pembelajaran. Hal ini disebabkan pendidikan yang diberikan kepada murid–murid di bimbingan belajar alternatif, ditujukan untuk meningkatkan tata krama dan kemampuan berpikir mereka. Dengan demikian bimbingan belajar aternatif adalah sarana pendidikan secara nonformal kepada anak-anak yang kurang mampu dengan fasilitas seadanya dan tanpa dipungut biaya. Bimbingan belajar alternatif, dijalankan murni karena faktor kepedulian kepada sesama. Dalam bimbingan belajar ini terdapat anak-anak dengan tingkatan dari SD hingga SMA. Ekonomi Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ekonomi memiliki arti ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barangbarang serta kekayaan (seperti hal keuangan, perindustrian dan perdagangan) serta tata kehidupan perekonomian suatu negara (Balai Pustaka, 2003 : 147). Jadi, arti ekonomi adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang berguna bagi setiap orang. Kegiatan perekonomian di Indonesia saat ini, masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Sebagai buktinya, banyak orangorang Indonesia yang berstatus kelompok ekonomi kelas bawah dan kelas menengah ke bawah. Dalam buku Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial, disebutkan ada 2 kategori akar penyebab kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya atau karena tingkat perkembangan teknologi yang rendah. Artinya, adanya faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin secara alamiah. Kedua, kemiskinan buatan, yaitu kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota suatu kelompok masyarakat tidak dapat menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas yang ada secara merata (Wignyosoebroto, 2005 : 7). Pemerintah tentunya bukan tidak mengetahui tentang masalah kemiskinan di negeri ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi masalah ini, antara lain merumuskan standar garis kemiskinan dan menyusun peta kantong-kantong kemiskinan. Di luar itu, tidak sedikit dari program yang telah disusun tersebut dilaksanakan di lapangan, seperti teras memacu pertumbuhan ekonomi nasional, menyediakan fasilitas kredit bagi masyarakat miskin(Wignyosoebroto, 2005 : 12). Kendati demikian, kemiskinan di Indonesia belum teratasi dengan baik. Akibatnya, masyarakat miskin kian bertambah banyak. Banyak orang tua yang tidak mampu membiayai kehidupan rumah tangga, sehingga anak-anak pun menjadi korban terpaksa turut bekerja untuk membantu kedua orang tuanya. Sosial Secara harafiah, sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, memiliki arti berkenaan dengan masyarakat. Sedangkan menurut website Wikipedia Indonesia, sosial Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 23 Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif dapat diartikan sebagai kemasyarakatan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosial memiliki arti segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat, dan, kehidupan sosial berarti kehidupan seseorang dengan dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya. Bagi anak-anak yang masih bersekolah, kehidupan sosial mereka kebanyakan berada di seputar lingkungan sekolah. Siswa sebagai individu dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh lingkungan di mana siswa tersebut tinggal atau belajar. Unsur yang penting dari kehidupan sosial di sekolah adalah teman sebaya dan para pengajar. Teman sebaya, memiliki peran penting dalam mendorong semangat belajar siswa. Dengan adanya teman yang memiliki nasib yang sama, siswa akan terpacu dan merasa lebih bersemangat dalam belajar. Hal ini karena, begitu bergabung dengan teman-teman, siswa akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya (Bayuptk,one.indoskripsi.com). Teman sebaya secara signifikan terbukti berpengaruh terhadap meningkatnya perkembangan moral siswa. Artinya, setiap perubahan perkembangan moral siswa diikuti dengan pengaruh teman sebaya (Yuli Rachmiati, 2007, digilib.upi.edu). Para pengajar juga memiliki peran penting dalam kehidupan sosial siswa. Sebab, pengajar adalah orang tua bagi anak di sekolah, setelah keberadaan orang tua di rumah, yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kepribadian anak (Marjohan, 2008, www.wikimu.com). Peranan para pengajar ibarat fondasi sebuah bangunan. Apabila fondasi kokoh, tentu saja bangunannya akan berdiri kuat dan tidak akan goyah. Namun, sebaliknya, jika pondasinya rapuh, bahkan keropos, sudah bisa ditebak, tinggal menunggu waktu, bangunan itu pun akan ambruk lantas rata dengan tanah (Firman Taqur, secangkir-kopi pagi.wordpress.com, 2007). Untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif, hubungan antara siswa dan pengajar adalah salah satu unsur yang penting. Apabila para pengajar memiliki hubungan yang baik dengan para siswa, maka suasana yang nyaman akan tercipta dan dapat mendukung proses belajar mengajar. Siswapun tidak akan merasa segan untuk meminta penjelasan pada pengajar bila ada hal yang tidak dimengerti. 24 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Selain kedua unsur yang telah disebutkan, orang tua juga memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial anak di sekolah. Peranan orang tua dapat mempengaruhi prestasi dan perilaku anak. Prestasi anak akan meningkat ketika orangtua terlibat dalam pendidikan anak mereka, tidak memperhatikan status sosial ekonomi, latar belakang etnis/ras atau tingkat pendidikan orangtua. Selain itu, anak-anaknya juga akan memiliki skor tes yang lebih tinggi, dan anak lebih sering menyelesaikan pekerjaan rumah, serta kehadiran anak di sekolah lebih tinggi. Dalam program yang dirancang untuk melibatkan orangtua dalam kemitraan yang penuh, prestasi anak-anak dari keluarga yang tidak beruntung tidak hanya meningkat tetapi juga mampu mencapai level standar yang dipersyaratkan bagi anak-anak dari status sosial ekonomi menengah. Kemudian, anak-anak memiliki kemungkinan besar untuk memasuki pendidikan tinggi. Perilaku anak juga akan berubah ketika para siswa melaporkan dirinya merasa mendapat dukungan dari sekolah dan rumah. Mereka memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi, merasa sekolah lebih penting, cenderung melakukan sesuatu dengan lebih baik. Sedangkan perilaku-perilaku siswa seperti terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, perilaku kekerasan, dan perilaku antisosial lainnya menunjukkan penurunan seiring dengan meningkatnya keterlibatan orangtua. Terakhir anak memperlihatkan sikap-sikap dan perilaku-perilaku yang lebih positif (Henderson dan Mapp, 2002; National Standards for Parent/ Family Involvement Programs, 2004). Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode survei dengan mengambil tempat di kolong jembatan yang terletak di daerah kawasan Jakarta pada November 2008. Populasi dalam penelitian ini adalah para siswa – siswi yang belajar di bimbingan alternatif dengan jumlah keseluruhan 90 orang. Sampel penelitian yang dipergunakan sebesar 33,33 % dari jumlah populasi yang ada atau 30 responden. Penelitian ini menggunakan teknik survei dengan metode angket dengan pengisian kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai kegiatan Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif belajar siswa di bimbingan belajar alternatif. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi. Hasil Penelitian Berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh responden diperoleh hasil sebagai berikut. Tabel 1: Jenis Kelamin Responden Jenis Kelamin Responden Tabel 3: Lama Waktu yang Digunakan Responden untuk Mengikuti Kegiatan Belajar di Bimbingan Alternatif Lama Waktu yang Digunakan Responden untuk Mengikuti Kegiatan Belajar di Bimbingan Alternatif Frekuensi % < 1 tahun 1 3.33 2 tahun 0 0 3 tahun 3 10 Frekuensi % 4 tahun 7 23.33 Laki-laki 12 40 > 5 tahun 19 63.3 4 Perempuan 18 60 Jumlah 30 100 Jumlah 30 100 Data dalam tabel 1 di atas menunjukkan responden yang mengikuti bimbingan belajar alternatif adalah mayoritas perempuan atau berjumlah 18 orang (60%). Tabel 2: Usia Responden Usia Responden Frekuensi % < 8 tahun 0 0 9 - 10 tahun 5 1 6 . 67 11 - 12 tahun 7 2 3 . 33 13 - 14 tahun 11 36.6 7 > 15 tahun 7 2 3 . 33 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 2, responden yang mengikuti bimbingan belajar alternatif berusia 13 - 14 tahun berjumlah 11 orang (36.67%). Hal ini disebabkan, pada usia 9-12 tahun, siswa masih belajar di Sekolah Dasar dan orang tua masih mampu membiayai sekolah mereka apalagi tersedia sekolah dengan biaya minim, atau gratis bagi anak-anak dengan usia tersebut. Karena itu, jumlah siswa yang putus sekolah dasar lebih sedikit dibandingkan dengan putus sekolah menengah pertama. Berdasarkan tabel 3, sebagian besar (63.34%) responden telah mengikuti kegiatan belajar mengajar di bimbingan belajar alternatif lebih dari lima tahun. Hal ini menunjukan bahwa responden memiliki kesadaran tinggi untuk belajar dan juga adanya perasaan nyaman ketika belajar di bimbingan belajar alternatif. Tabel 4: Alasan Responden Mengikuti Kegiatan Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Alasan Responden Mengikuti Kegiatan Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Frekuensi % Kesadaran diri sendiri 23 76.67 Diminta oleh orang tua 1 3.33 Diajak teman 5 16.67 Mengikuti teman untuk mengurangi beban orang tua 1 3.3 3 Jumlah 30 10 0 Berdasarkan tabel 4, sebagian besar (76,67%) responden menjawab bahwa dirinya mengikuti kegiatan belajar mengajar karena adanya kesadaran dari dirinya sendiri. Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memahami betapa pentingnya pendidikan demi masa depan mereka. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 25 Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Tabel 7: Banyaknya Siswa dalam Satu Kelompok Belajar Tabel 5: Dukungan dari Orangtua/ Wali untuk Mengikuti Kegiatan Belajar di Bimbingan Belajar Dukungan dari Orangtua/Wali untuk Mengikuti Kegiatan Belajar di Bimbingan Belajar Frekuensi % Ada 29 96.6 7 T i d ak 1 3.33 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 5, hampir semua (96.67%) responden mendapatkan dukungan dari orangtua ataupun walinya untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di bimbingan belajar alternatif. Dengan demikian orang tua responden turut membantu jalannya proses pendidikan anak – anaknya. Tabel 6: Sumber informasi tentang Bimbingan Belajar Alternatif Sumber Informasi ttg Keberadaan Bimbingan Belajar Alternatif ini Frekuensi % Teman yang Telah Lebih Dulu Mengikuti Bimbingan Belajar 16 53.33 Lingkungan Sekitar 1 3.33 Wali/Orang Tua 9 30 Pengajar 4 13.34 Jumlah 30 100 Banyaknya Siswa dalam Satu Kelompok Belajar Frekuensi % <3 orang 0 0 4 - 6 orang 6 20 7 - 10 orang 14 46.66 11 - 15 orang 5 16.67 >15 orang 5 16.67 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 8, semua (100%) responden menganggap bahwa aktivitas belajar di bimbingan belajar alternatif berguna untuk masa depan mereka. Hal ini dapat dijadikan Tabel 8: Pendapat Responden Mengenai Aktivitas Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Pendapat Responden Mengenai Aktivitas Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Frekuensi % Berguna 30 100 Tidak Berguna 0 0 Jumlah 30 100 indikator tingginya semangat belajar responden, karena menyadari manfaatnya. Tabel 9: Tingkat Kesulitan Responden dalam Memahami Pelajaran yang Diberikan Berdasarkan tabel 6, lebih dari sebagian (53.33%) responden mengetahui keberadaan bimbingan belajar alternatif dari temannya yang mengikuti bimbingan belajar juga. Hal ini juga berarti, sebagian besar responden aktif mengajak dan menghimbau teman – temannya untuk mengikuti bimbingan belajar. Berdasarkan tabel 7, jumlah siswa dalam satu kelompok belajar sebanyak (46,66%) berkisar antara 7 – 10 orang. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah siswa dalam tiap tingkatannya. 26 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Tingkat Kesulitan Responden dalam Memahami Pelajaran yang Diberikan Frekuensi % Mudah 5 16.67 Cukup Mudah 21 70 Sulit 4 13.33 Sangat Sulit 0 0 30 100 Jumlah Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Berdasarkan tabel 9, sebagian besar (70%) responden tidak mengalami kesulitan memahami pelajaran. Hal ini menunjukan, walaupun mengalami kesulitan ekonomi dan keterbatasan fasilitas mereka cukup giat belajar. Tabel 10: Tujuan Responden Setelah Mengikuti Bimbingan Belajar Tujuan Responden Setelah Mengikuti Bimbingan Belajar Frekuensi % Melanjutkan pendidikan 20 66.6 7 Bekerja 2 6.7 Mengajarkan pelajaran yang didapatkan kepada teman teman lain 8 26.66 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 10, sebagian besar (66.67%) responden akan melanjutkan pendidikannya setelah mengikuti bimbingan belajar alternatif. Hal ini menunjukan adanya kemauan dari mereka untuk dapat mengecap pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk kehidupan yang lebih baik. Tabel 12: Pelajaran yang Ingin Diperdalam oleh Responden Pelajaran yang Ingin Diperdalam oleh Responden Frekuensi % IPA 0 0 IPS 2 6.67 Bahasa 2 6,67 Sama seperti sekolah reguler 22 73.32 Bahasa Inggris dan matematika 2 6.6 7 Bahasa Inggris 2 6.67 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 12, sebagian besar (73.32%), responden ingin memperdalam semua pelajaran yang diberikan. Hal ini dapat menunjukan bahwa minat responden tidak terfokus pada satu pelajaran saja. Tabel 13: Masalah Utama Responden dalam Belajar Tabel 11: Pelajaran yang Dipelajari oleh Responden Pelajaran yang Dipelajari oleh Responden bukan sekolah formal, pelajaran yang diberikan sudah sama seperti sekolah formal (reguler). Frekuensi % IPA 0 0 IPS 0 0 Bahasa Inggris 0 0 Sama seperti sekolah reguler 21 70 Bahasa Inggris dan matematika 8 26.67 Matematika 1 3.33 Jumlah 30 1 00 Berdasarkan tabel 11, sebagian besar (70%) responden mengakui semua pelajaran yang diberikan sama seperti sekolah reguler lainnya. Hal ini dapat membuktikan bahwa walaupun Masalah Utama Responden dalam Belajar Frekuensi % Waktu 16 53.34 Keterbatasan fasilitas 4 13.33 Keterbatasan biaya 6 20 Tidak diperbolehkan orang tua 0 0 T i d ak ad a 4 13.33 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 13, lebih dari sebagian (53.34%) responden menyatakan masalah utama yang dihadapi adalah waktu. Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki kesulitan dalam membagi waktu antara belajar dan melakukan aktifitas lainnya, seperti membantu orang tua di rumah. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 27 Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Tabel 14: Ada atau Tidaknya Kegiatan Seperti Ekstrakurikuler Ada atau Tidaknya Kegiatan Seperti Ekstrakulikuler Frekuensi % Ada 19 6 3 . 33 T i d ak ad a 11 3 6 . 67 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 14, sebagian besar (63.33%) responden memiliki kegiatan ektrakurikuler. Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak hanya mementingkan pelajaran yang bersifat akademis, tetapi juga keterampilan responden di bidang nonakademis. Tabel 15: Hubungan Responden dengan Pengajar Hubungan Responden dengan Pengajar Frekuensi % Sangat dekat 19 63.3 3 Dekat 11 36.6 7 T i d ak d e k at 0 0 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 15, lebih dari sebagian (63,33%) responden memiliki hubungan sangat dekat. Hal ini menunjukkan adanya hubungan akrab antara responden dengan pengajarnya yang dipicu oleh sikap pengajar yang bersahabat. Tabel 16: Pernah atau Tidaknya Responden Menerima Sumbangan dari Pengajar Pernah atau Tidaknya Responden Menerima Sumbangan dari Pengajar Frekuensi 30 100 Tidak Pernah 0 0 Jumlah 30 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Tabel 17: Mau atau Tidaknya Responden Mengajak Teman-teman Mengikuti Bimbingan Belajar Alternatif Mau atau Tidaknya Responden Mengajak Temanteman Mengikuti Bimbingan Belajar Alternatif Frekuensi % 24 80 Tidak mau 6 20 Jumlah 30 100 Ya, mau Berdasarkan tabel 17, sebagian besar (80%) responden turut mengajak teman-temannya untuk mengikuti bimbingan belajar alternatif. Hal ini menunjukkan tingkat kepedulian responden kepada teman-temannya cukup tinggi. Tabel 18: Cara Responden untuk Mengajak Teman-Temannya Bergabung dalam Bimbingan Belajar Alternatif Cara Responden untuk Mengajak Teman-Temannya Bergabung dalam Bimbingan Belajar Alternatif Frekuensi % Memberikan Informasi mengenai keberadaan sekolah ini 12 50 Mengajak untuk turut bergabung sebagai percobaan 12 50 Jumlah 24 10 0 % Pernah 28 Berdasarkan tabel 16, semua (100%) responden pernah menerima sumbangan dari pengajar. Hal ini menunjukkan kepedulian pengajar terhadap perekonomian responden. Bentuk sumbangan yang diterima responden pun beragam mulai dari buku pelajaran, pakaian, makanan dan sebagainya. Berdasarkan tabel 18, sebagian (50%) responden menyatakan cara yang digunakan untuk mengajak teman-temannya mengikuti bimbingan belajar alternatif adalah dengan memberi informasi dan sebagian (50%) lagi menyatakan mengajak untuk turut bergabung sebagai percobaan. Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Tabel 19: Faktor yang Paling Mengganggu Responden dalam Proses KBM Faktor yang Paling Menggangu Responden dalam Proses KBM Frekuensi % Kendaraan 12 40 Orang-orang di sekitar 3 10 Cuaca 13 43,33 Kendaraan dan cuaca 2 6,67 Jumlah 30 10 0 Berdasarkan tabel 19, hampir sebagian (43,33%) responden menyatakan faktor yang paling menggangu responden dalam proses KBM adalah cuaca. Hal ini tejadi karena mereka belajar di ruang terbuka. Tabel 20. Waktu yang Digunakan Responden untuk Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Waktu yang Digunakan Responden untuk Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Frekuensi % P ag i 0 0 Siang 23 76,6 7 Sore 7 23,33 Malam 0 0 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 20, sebagian besar (76,67%) responden menyatakan waktu yang digunakan responden untuk bersekolah adalah pada saat siang hari. Hal ini dikarenakan pada siang hari matahari bersinar cukup terang sehingga mereka tidak lagi memerlukan sumber penerangan lainnya. Tabel 21: Ada atau Tidaknya Jadwal Pasti untuk Melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Ada atau Tidaknya Jadwal Pasti untuk Melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar Frekuensi % Ada 17 56,67 T i d ak ad a 13 43,33 Jumlah 30 100 Berdasarkan tabel 21, lebih dari sebagian (56,67%), responden memiliki jadwal belajar yang pasti. Hal ini dikarenakan, bimbingan belajar alternatif tersebut telah memiliki struktur organisasi yang jelas. Tabel 22: Frekuensi Responden Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Setiap Minggunya Frekuensi Responden Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Setiap Minggunya Frekuensi 1 k al i 25 % 8 3 , 33 2 - 3 k al i 1 3,3 3 4 - 5 k al i 2 6,6 7 6 k al i 2 6,6 7 Jumlah 30 1 00 Berdasarkan tabel 22, pada umumnya (83,33%) responden belajar di bimbingan belajar alternatif setiap minggunya adalah 1 kali. Sedangkan sisanya, memiliki kegiatan belajar tambahan lainnya di luar kegiatan di bimbingan belajar alternatif tersebut. Tabel 23: Ada atau Tidaknya Pekerjaan Responden Ada atau Tidaknya Pekerjaan Responden Frekuensi % 6 20 T i d ak ad a 24 80 Jumlah 30 100 Ada Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 29 Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif Berdasarkan tabel 23, pada umumnya (80%) responden tidak memiliki pekerjaan. Sebagian dari responden tersebut mengakui bahwa mereka membantu orang tuanya di rumah dan sebagian lagi memilih untuk belajar dalam mengisi waktu luangnya. Sedangkan, responden yang memiliki pekerjaan, bekerja sebagai pengamen. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (a) kehidupan sosial siswa dan alasan mereka mengikuti bimbingan alternatif. Hasil yang diperoleh menunjukkan, kehidupan sosial antara responden dengan pengajar terbilang baik terlihat dari jawaban semua responden mengatakan bahwa hubungannya dengan pengajar dekat. Kedekatan hubungan antara mereka dipengaruhi oleh adanya perhatian dan sumbangan dari pengajar, seperti : buku pelajaran, pakaian, dan sebagainya. Adapun alasan sebagian besar responden mengikuti bimbingan belajar alternatif adalah pentingnya arti pendidikan bagi kehidupan mereka di masa depan, dan adanya dukungan dari orang tua untuk mengikuti bimbingan belajar alternatif. Kegiatan belajar di bimbingan belajar alternatif ternyata sangat berguna bagi responden, karena cara belajar yang efektif membuat responden tidak mengalami kesulitan untuk memahami pelajaran yang diberikan. Hal ini juga dikarenakan adanya semangat belajar yang tinggi dari responden untuk menambah wawasan. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti memberikan saran, kepada: Siswasiswi SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta, untuk mencontoh siswa-siswi bimbingan belajar 30 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 alternatif yang memiliki kesadaran yang tinggi akan pendidikan walaupun dengan keterbatasan ekonomi. Selain itu, sebaiknya para siswa juga turut membantu mereka. Misalnya, dengan memberikan sumbangan berupa uang untuk membiayai fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan belajar mengajar mereka, ataupun berupa barang seperti buku-buku pelajaran bekas yang tidak terpakai lagi atau menjadi sukarelawan. Penelitian ini juga menyarankan masyarakat ekonomi menengah ke atas lebih peduli pada siswa-siswi di bimbingan belajar alternatif. Kepedulian masyarakat akan membantu mereka menggapai cita-cita. Masyarakat dapat mendukung kegiatan mereka dengan memberikan donasi. Apabila masyarakat miskin berkurang, maka kriminalitas juga dapat dikurangi sehingga kenyamanan masyarakat semakin meningkat. Daftar Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2003). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Djojonegoro, Wardiman. (1991). Pendidikan. Jakarta: Gramedia Darmaningtyas. (2005). Pendidikan. Jakarta: Gramedia Darmaningtyas. (2005). Pendidikan rusak-rusakan. Yogyakarta: Laski Pelangi Aksara Julius, dkk. (1975). Kamus Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Mu’Arif. (2008). Liberalisasi pendidikan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher Wignyosoebroto, Sutandyo. (2005). Kemiskinan dan kesenjangan sosial. Jakarta: Gramedia www.sahabatanak.com www.wikipedia.com www.one.indoskripsi.com www.digilib.upi.edu Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar Opini Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar Berbagai Peristiwa yang Terdapat dalam Surat Kabar Keke T. Aritonang*) Abstrak ulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan materi pembelajaran menulis puisi bebas yang cocok dan mudah ditiru berdasarkan gambar peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dari hasil kegiatan pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar, siswa dapat mengembangkan kreativitas dan imajinasi dalam menulis puisi bebas, menumbuhkan sikap kritis terhadap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan menumbuhkan sikap berani mengeluarkan pernyataan terhadap persoalan yang terjadi. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar perlu dilakukan dalam proses belajar mengajar di kelas. T Kata-kata kunci : Puisi bebas, gambar peristiwa, pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar How to the develop the student’s poetry writing skills is the focus of discussion in this article. Based on the expriment, the writer proposes to use pictures in the news papers as a learning resource to develop the students’ skills in composing creative poems . This technique creates joyful and motivating learning process. Besides, this technigue can also develop not only the students’ creativity and imagination, but also their critical thinking of every day life. Pendahuluan Menulis puisi bebas terdapat dalam silabus mata pelajaran bahasa Indonesia tingkat SMP kelas VIII semester 2 dengan standar kompetensi (SK) 16, yaitu : Mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas. Berdasarkan SK tersebut maka kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa dan materi pokok yang diajarkan oleh guru adalah seperti tertera pada tabel 1. Tabel 1: Kompetensi Dasar dan Materi Pokok Menulis Puisi Bebas Kompetensi Dasar 16.1 Menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai Materi Pokok/Pembelajaran Penulisan puisi bebas dengan pilihan kata yang sesuai (Kurukulum Satuan Pendidikan Tingkat SMP Bahasa Indonesia, Tahun 2006) *) Guru SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 31 Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar Yang menjadi masalah di lapangan pembelajaran menulis puisi sulit dilaksanakan oleh guru, ini karena kemampuan guru yang belum memadai dalam hal pengetahuan maupun cara mengajarkannya. Selain faktor guru, kemampuan dan minat siswa pun menjadi penghambat dalam pembelajaran ini. Faktor minat siswa juga dapat menjadi pemicu terhambatnya pembelajaran menulis puisi. Kurangnya minat dan kemampuan siswa tersebut tidak terlepas dari faktor pemilihan model pembelajaran yang cocok serta mudah untuk ditiru siswa. Meski dalam pembelajaran sastra siswa telah mempelajari puisi yang rumit baik rima, irama, serta unsur kebahasaannya, untuk pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar siswa belum perlu menuliskan puisi yang rumit. Menurut Rahmanto, (1988:116), puisi yang cocok sebagai model untuk latihan menulis, biasanya puisi yang berbentuk bebas dan sederhana, berisi hasil pengamatan yang berupa imbauan atau pernyataan. Berdasarkan hal di atas, penulis beranggapan agar siswa mampu menulis puisi bebas dengan mudah maka diperlukan model pembelajaran yang cocok serta mudah untuk ditiru. Untuk itu penulis memilih gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar. Gambar yang akan dijadikan puisi bebas disini adalah foto-foto berbagai peristiwa yang dimuat di dalam surat kabar. Melalui gambar-gambar, tersebut siswa dapat mengamati peristiwa apa yang terjadi, di mana peristiwa tersebut terjadi, kapan terjadinya, siapa yang menjadi korban, siapa yang terlibat, dan siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Selain itu, siswa dapat merenungkan mengapa peristiwa itu dapat terjadi serta siswa dapat memberikan imbauan atau pernyataan atas peristiwa tersebut. Hal ini sesuai dengan model latihan menulis yang dikatakan (Rahmanto, 1988). Adapun kelebihan lainnya dari media gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar adalah berikut. 1. Gambar-gambar tersebut mudah diamati, sehingga siswa dengan mudah dapat mendata objek yang terdapat dalam gambar yang akan dijadikan bahan penulisan puisi. 2. Peristiwa-peristiwa tersebut berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari, 32 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 sehingga siswa dengan mudah menentukan tema dan amanat yang akan dijadikan bahan penulisan puisi. 3. Gambar-gambar tersebut sangat menarik apalagi peristiwa dalam gambar tersebut merupakan berita mengejutkan, sehingga siswa dengan mudah dapat mengubah fakta yang terdapat dalam peristiwa tersebut menjadi sebuah puisi yang menarik. Berdasarkan kelebihan media gambar peristiwa tersebut, penulis telah menerapkan pembelajaran menulis puisi bebas dengan menggunakan media gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar. Dan hasil dari belajar tersebut, siswa yang pada mulanya sulit menulis serta tidak berminat pada puisi menjadi mudah dan senang menulis puisi. Langkah-Langkah Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar yang Terdapat dalam Surat Kabar Penyusunan Program Pembelajaran Penyusunan program pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar sesuai dengan Rencana Pembelajaran bahasa Indonesia Kelas VIII, semester 2, meliputi : a) perumusan tujuan pembelajaran, b) penentuan materi ajar, c) penentuan metode pembelajaran, d) pemilihan gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar dan penulisan puisi bebas model. a. Perumusan Tujuan Tujuan pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar peristiwa dikembangkan berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator berikut ini. 1). Standar Kompetensi : Mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas 2). Kompetensi Dasar : Menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai 3). Indikator : a). Mampu mendata objek yang akan dijadikan bahan menulis puisi b). Mampu menulis puisi dengan menggunakan pilihan kata yang tepat c). Mampu menyunting sendiri pilihan kata puisi yang ditulis Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar Berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator tersebut, ada dua tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar, yaitu tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. 1). Tujuan Pembelajaran Umum: a) Siswa mampu mendata objek yang terdapat dalam gambar peristiwa b) Siswa mampu menulis puisi berdasarkan gambar peristiwa dengan menggunakan pilihan kata yang tepat c) Siswa mampu menyunting sendiri pilihan kata puisi yang ditulis 2). Tujuan Pembelajaran Khusus: a) Siswa mampu menentukan data objek yang terdapat dalam gambar peristiwa untuk dijadikan puisi. b) Siswa mampu mengubah data objek yang terdapat dalam gambar peristiwa menjadi sebuah puisi dengan memperhatikan sistematika, kekhasan bahasa, dan unsur-unsur puisi. c) Siswa mampu menyunting sendiri puisi berdasarkan gambar peristiwa dengan pilihan kata yang sesuai. b. Penentuan Materi Ajar Penentuan materi ajar didasarkan pada materi pokok/pembelajaran yang terdapat dalam silabus. Materi ajar/materi pembelajaran harus disesuaikan dengan: (a) tingkat kemampuan siswa, (b) perkembangan jiwa siswa, dan (c) minat siswa yang diintegrasikan dengan penanaman nilai budi pekerti. Materi ajar menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa mengacu pada teori tentang unsur-unsur puisi, yaitu sebagai berikut. Puisi terdiri dari dua unsur yang menjadi ciri umum puisi, yaitu: 1). Unsur yang berkaitan dengan bentuk puisi terdiri dari unsur bunyi (rima dan irama), diksi atau pilihan kata, dan tampilan cetak/tulisan (tipografi) 2). Unsur yang berkaitan dengan makna puisi terdiri dari unsur tema dan unsur pesan tersurat atau pesan tersirat (Trianto, 2006: 100) Adapun unsur-unsur menulis puisi bergambar akan diuraikan berdasarkan dua unsur yang menjadi ciri umum puisi di atas yang dirangkum berdasarkan buku Teori dan Apresiasi Puisi serta Apresiasi Puisi karangan Waluyo (1987), adalah sebagai berikut. 1). Unsur Bunyi (Rima dan Irama) Rima adalah persamaan bunyi dalam puisi. Persamaan bunyi tersebut dapat berupa bunyi awal, tengah, akhir, atau persamaan bunyi konsonan pada beberapa kata. Adapun yang dimaksud dengan irama ialah alunan suara dalam perpaduan panjang – pendek, tinggi – rendah, keras – lemah dalam pengucapan kata-katanya. Rima digunakan untuk keindahan bunyi bahasa pada puisi, sedangkan irama berfungsi memberikan keindahan dalam pengucapan. Pada puisi lama rima dan irama berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pikiran serta membang-kitkan kesan. Puisi bebas (baru) rima dan irama tidak digunakan lagi, kecuali jika diperlukan. Para penyair sekarang lebih suka menggu-nakan pilihan kata yang tepat untuk menguatkan kesan sebagai pengganti rima. Sebagai latihan menulis puisi bebas bergambar peristiwa siswa dibe-baskan untuk menggunakan rima yang sama atau tidak menggunakan rima 2). Diksi atau Pilihan Kata Dalam sebuah puisi, pemilihan kata yang tepat dapat lebih mengungkapkan sesuatu, dapat memberikan imajinasi yang baik. Dengan demikian, kesan yang timbul akan lebih jelas dan kuat. Untuk menulis puisi bebas bergambar peristwa agar dapat menimbulkan imajinasi yang baik, gunakan gaya tertentu. Misalnya, mengubah kata-kata yang terdapat dalam gambar peristiwa yang akan dijadikan sebuah puisi dengan membandingkan hal lain atau metafora. Selain itu, dapat juga menggunakan gaya bahasa, yaitu pemakaian kata-kata yang berjiwa, segar, dan dapat menggetarkan perasaan pembaca atau pendengar. 3). Tampilan cetak/tulisan (tipografi) Tipografi puisi dinyatakan oleh susunan kata, baris, dan bait. Tipografi ini gunanya agar pembaca dapat memahami maksud isi puisi karena bagian-bagian itu mengandung satuan pikiran yang kemudian terjalin dalam kesatuan pilihan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 33 Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar Pada puisi lama tipografi puisi sangat terikat oleh susunan kata, baris, dan bait. Seperti pantun memiliki syarat, tiap bait terdiri atas empat baris, tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata. Tipografi dalam penulisan puisi bebas bergambar tidak terikat oleh jumlah susunan kata, baris, dan bait. Akan tetapi dapat kita batasi jumlah baris atau bait untuk memudahkan siswa menulis puisinya. 4). Unsur Tema Tema sebuah puisi ialah inti pokok yang terkandung dalam puisi. Tema menjadi landasan utama dalam menghasilkan sebuah karya. Tema dalam menulis puisi bergambar dapat dengan mudah kita tentukan dengan cara mengamati gambar peristiwa . Misalnya gambar peristiwa tersebut tentang perang yang berkecamuk, maka tema yang cocok adalah tragedi kemanusian. Tema-tema dalam puisi bebas berdasarkan gambar peristiwa dari koran biasanya bertema kemanusiaan atau protes sosial, karena berita dalam koran banyak meng-angkat soal kemanusiaan atau protes sosial. 5). Amanat (Pesan) Amanat adalah pesan yang hendak disampaikan kepada pembaca. Tujuan menuliskan amanat merupakan hal yang mendorong siswa untuk menciptakan puisi. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun dan juga berada dibalik tema yang diungkapkan. Amanat dalam penulisan puisi bebas bergambar peristiwa banyak ditujukan kepada pengambil kebijakan publik atau orang yang bertanggung jawab akan peristiwa tersebut. c. 34 Penentuan Metode Pembelajaran Agar kompetensi yang diharapkan dapat terwujud maka diperlukan metode yang tepat. Metode yang menonjol yang digunakan dalam pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar adalah pemodelan. Metode pemodelan mengupayakan adanya contoh, model, peragaan atau demonstrasi yang dapat memudahkan siswa memahami konsep atau mengerjakan apa yang diinginkan oleh guru. Metode ini sangat sesuai digunakan dalam pembelajaran Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar karena contoh, peragaan atau demonstrasi sangat dibutuhkan, terlebihlebih pembelajaran ini merupakan sesuatu yang baru. Bentuk pemodelan dalam pembelajaran ini yaitu penyajian contoh menulis puisi bebas berdasarkan gambar dan fakta yang ada yang sudah diubah menjadi puisi, serta kegiatan guru mencontohkan cara-cara mengubah fakta dalam gambar menjadi puisi. d. Pemilihan Gambar Berbagai Peristiwa dari Koran dan Puisi Model Untuk mempermudah penyampaian materi pembelajaran, diperlukan alat/bahan/ sumber belajar. Alat/bahan/sumber belajar yang diperlukan dalam pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa yaitu koran dan naskah puisi. Gambar-gambar peristiwa yang terdapat dalam surat kabar yang akan dijadikan model hendaknya memenuhi kriteria: (1) gambar-gambar yang jelas dan menarik perhatian siswa, (2) memiliki judul di atas gambar tersebut, (3) memiliki keterangan di bawah gambar tersebut. Hal- hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan puisi model yaitu: (1) memiliki unsur bunyi (rima dan irama), (2) memiliki diksi atau pilihan kata yang sesuai dengan puisi, (3) memiliki tampilan cetak/tulisan (tipografi) puisi, (4) memiliki tema, dan (5) mengandung amanat. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat dengan mudah mengubah gambar dan data yang ada menjadi sebuah puisi. Untuk mendapatkan puisi bebas yang demikian memang sangat sulit. Untuk itu, guru ditantang untuk menulisnya sendiri. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran a. Kegiatan Awal Langkah-langkah kegiatan awal dalam pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa dapat dideskripsikan sebagai berikut. 1). Guru mengondisikan kelas untuk mengikuti kegiatan belajar-mengajar 2). Guru menyampaikan tujuan pembelajaran Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar 3). Guru mengaitkan materi sebelumnya dengan materi yang akan disampaikan 4). Guru dan siswa menyebutkan menulis puisi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada langkah ini siswa mampu menyebutkan beberapa cara menulis puisi, di antaranya berdasarkan kejadian yang pernah dialami, berdasarkan pengalaman yang menarik, berdasarkan gambar pemandangan alam. 5). Guru mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan menulis puisi 6). Guru memperlihatkan gambar peristiwa dari surat kabar. 3) Siswa memilih gambar peristiwa Guru membagikan gambar-gambar peristiwa dari koran yang sudah digunting-gunting, siswa diperbolehkan memilihnya sesuai dengan kemampuannya mengubah gambar tersebut menjadi puisi 4) Siswa memperhatikan penjelasan guru bagaimana langkah-langkah menulis puisi bebas bergambar peristiwa dari koran Langkah 1: Mencermati Gambar Contoh gambar yang diamati siswa adalah sebagai berikut. Sumber gambar : Kompas, 29 Januari 2009 b. Kegiatan Inti Langkah-langkah kegiatan inti dalam pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa dapat dideskripsikan berikut ini. 1) Mencermati gambar dan puisi Secara individu, siswa mencermati gambar dan puisi yang disajikan guru. Hal yang dicermati adalah isi puisi tersebut sesuaikah dengan gambar tersebut. 2) Menentukan unsur-unsur puisi Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu menentukan unsur-unsur puisi (tema, amanat, rima, diksi/pilihan kata) Cermatilah gambar peristiwa yang akan dijadikan puisi Langkah 2: Menentukan Tema Agar mudah untuk menulis puisi bebas yang pertama kita lakukan, maka langkah kedua adalah menentukan tema. Melalui tema yang telah ditentukan, puisi yang kita susun akan terfokus pada satu masalah. Gambar-gambar peristiwa yang terdapat dalam koran umumnya mengangkat persoalan tentang manusia, seperti manusia yang tidak dihargai, dihormati, tidak diperhatikan hakhaknya, tidak diperlakukan secara adil dan manusiawi, dan ada juga manusia-manusia yang perbuatannya mengorbankan martabat Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 35 Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar manusia. Selain itu, mengangkat persoalan tentang manusia yang berjuang demi hidupnya, manusia yang mengasihi sesamanya, dan manusia yang cinta pada lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka tema-tema puisi bergambar peristiwa adalah tema kemanusiaan, tema kritik sosial, perjuangan hidup, lingkungan hidup, dan tema kasih sayang Judul gambar di atas adalah : Semangat Bekerja di Hari Tua. Tema yang cocok untuk gambar dan judul di atas adalah : Perjuangan hidup. Setelah ini, secara individu siswa melakukan kegiatan yang sama yaitu menentukan tema untuk puisinya sesuai dengan gambar pilihannya. Langkah 3 : Menentukan Amanat/Pesan Moral Berdasarkan tema yang telah kita tulis, buatlah amanat/pesan yang akan disampaikan, sesuai dengan pokok persoalan tersebut. Amanat/ pesan puisi bergambar peristiwa dengan tematema yang telah disebutkan pada langkah 2 pada umumnya ditujukan kepada pemerintah (Orangorang yang membuat kebijakan publik) atau orang-orang yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan dapat juga disampaikan kepada diri sendiri sebagai pembaca puisi. Amanat ditulis menjadi sangat penting jika persoalan yang kita tulis dalam bentuk puisi tersebut dapat menggugah hati nurani pembaca. Sehingga dengan amanat tersebut terjadi perubahan kearah yang lebih baik.Contoh amanat/pesan moral: Amanat sesuai gambar, judul, dan tema di atas adalah: 1) Menghargai jerih payah orang tua dalam mencari nafkah 2) Rusman walaupun sudah tua tetap semangat dalam bekerja, untuk itu kita yang masih muda harus lebih gigih dalam belajar maupun bekerja. 3) Mengajar kita untuk tidak mengeluh walaupun keadaan hidup kita susah 4) Mengajar kita untuk lebih peduli pada orang-orang di sekitar kita yang hidupnya susah. Langkah 4 : Mendata Objek atau Fakta Datalah sebanyak-banyaknya objek atau fakta yang terdapat dalam gambar peristiwa tersebut. Objek atau fakta tersebut dapat dilihat dari gambar atau kata-kata yang terdapat di bawah gambar. 36 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Contoh : Data objek/fakta berdasarkan gambar di atas adalah : Gambar : Seorang lelaki tua yang sedang berjalan sambil memikul barang dagangannya di Jalan Raya Kota Bandung. Fakta yang terdapat di bawah gambar : (1) Rusman (75), (2) berjualan sandal, (3) berkeliling kota, (4) Taman Cilaki, (5) Kota Bandung, Jawa Barat, (6) masuk usia senja, (7) menjual 8 – 10 sandal, (8) harga Rp 8.000 per pasang Langkah 5 : Mengubah objek atau fakta dengan pilihan kata atau diksi lain Ubahlah objek atau fakta yang telah didata dengan pilihan kata atau diksi lain yang sesuai dengan penulisan puisi. Pilihan kata atau diksi lain tersebut dapat menggunakan kata-kata khas puisi seperti menggunakan kata-kata kias, gaya bahasa , membandingkan hal lain atau metafora. Setelah itu, secara individu siswa melakukan kegiatan yang sama yaitu mengubah objek atau fakta untuk puisinya sesuai dengan gambar pilihannya. Tabel 2 : Contoh diksi/pilihan kata No Objek /fakta Pilihan kata/diksi 1. Rusman (75) Lelaki berusia senja, semangat baja 2. Berjualan sandal Jual alas kaki 3. Berkeliling kota Menyusuri jalan 4. Taman Cilaki Tempat berjualan 5. Kota Bandung, Jawa Barat Kota Kembang 6. Masuk usia senja Renta 7. Menjual 8-10 sandal Alas kaki 8 Harga Rp 8.000 per pasang Harga alas kaki Langkah 6 : Membuat Judul Puisi Judul puisi dapat dibuat dahulu sebelum menyusun puisi agar memudahkan kita dalam menyusun puisi bebas, tetapi jika belum dapat Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar judulnya siswa diperbolehkan menyusun puisinya terlebih dahulu. Judul dibuat sesuai dengan tema, gambar, atau data fakta yang telah disusun. Contoh judul: Judul yang tepat untuk gambar dan data fakta pada gambar peristiwa “Semangat Bekerja di Hari Tua” dapat seperti berikut ini. 1) RUSMAN sesuai dengan nama orang yang ada di gambar 2) LELAKI USIA SENJA sesuai dengan umurnya 3) SEMANGAT BEKERJA DI HARI TUA sesuai dengan judul gambar Setelah itu, secara individu siswa melakukan kegiatan yang sama yaitu membuat judul untuk puisinya sesuai dengan gambar pilihannya. Langkah 7 : Menyusun Puisi Susunlah puisi berdasarkan gambar, tema, amanat, diksi/pilihan kata, dan judul yang telah dibuat. Contoh puisi berdasarkan; Gambar : Semangat Bekerja di Hari Tua Tema : Perjuangan Hidup Amanat : 1) Menghargai jerih payah orang tua dalam mencari nafkah 2) Rusman walaupun sudah tua tetap semangat dalam bekerja, untuk itu kita yang masih muda harus lebih gigih dalam belajar maupun bekerja. 3) Mengajar kita untuk tidak mengeluh walaupun keadaan hidup kita susah 4) Mengajar kita untuk lebih peduli pada orang-orang di sekitar kita yang hidupnya susah. Diksi/pilihan kata: lelaki berusia senja, semangat baja, jual alas kaki, menyusuri jalan, tempat berjualan, Kota Kembang, renta, alas kaki, harga alas kaki Judul : Rusman Maka puisinya dapat seperti berikut. RUSMAN Lelaki berusia senja, tubuhmu renta Tapi kuatnya tubuhmu bagai baja Teriknya matahari siang tak menyurut Langkah kakimu yang mulai keriput Kehidupan yang keras, memaksamu… Mencari hidup dengan memikul alas-alas kaki Di pundakmu yang tipis Dengan semangat baja, Berkeliling menyusuri jalan-jalan di Kota Kembang Mulai dari gang sempit tempatmu berteduh Sampai Taman Cilaki tempatmu menjual alas-alas kaki Seharga delapan ribu rupiah alas-alas kaki per pasang Harga yang pantas untuk kaummu yang susah Lelaki berusia senja, tak pernah mengeluh Keringat yang kau kucurkan Memberikan kehidupan dan kehangatan orang-orang terkasihmu Lelaki berusia senja, Semangat bekerjamu bagai baja Menegur usia muda yang tak menghargai jerih payah orang terkasihnya Menegur usia muda yang menyia-nyiakan waktu kehidupannya Mengajar manusia-manusia yang malas mencari hidup Mengajar manusia-manusia memahami makna kehidupan (Keke Taruli Aritonang) Puisi di atas diberi judul “Rusman” sesuai dengan nama orang yang ada di gambar. Adapun tipografi puisi tersebut terdiri atas enam bait. Jumlah baris tiap bait terdiri atas empat baris pada bait pertama dan ketiga, tiga baris pada bait kedua dan kelima, dua baris pada bait keempat, dan enam baris pada bait keenam. Kemudian secara individu siswa melakukan kegiatan yang sama yaitu membuat puisinya sesuai dengan gambar, tema, amanat, diksi/ pilihan kata, dan judul yang telah dibuat. Langkah 8: Menyusun Rubrik Penilaian Rubrik penilaian pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa ini menggunakan bentuk portofolio, karena pembelajaran ini akan menghasilkan berbagai karya siswa yaitu berbentuk puisi. Hal ini sesuai dengan apa yang dimaksud dengan portofolio, yaitu merupakan kumpulan hasil kerja siswa. Hasil kerja tersebut sering disebut artefak. Artefak-artefak dihasilkan dari pengalaman belajar atau proses pembelajaran siswa dalam Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 37 Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar periode waktu tertentu. Artefak-artefak diseleksi dan disusun menjadi satu portofolio (Muslich, 2007:118). Untuk menghasilkan protofolio yang baik dalam pembelajaran, maka perlu disusun kriteria penilaian portofolio, yaitu sebagai berikut. Kriteria Penilaian Portofolio Kesimpulan Kesimpulan tulisan ini adalah bahwa pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar ini sangat tepat dilaksanakan karena KD : Menulis puisi bebas dengan menggunakan dapat menarik minat siswa dalam menulis puisi pilihan kata yang sesuai. bebas. Pembelajaran ini memiliki beberapa Materi : Menulis puisi berdasarkan gambar keunggulan sebagai berikut. peristiwa a. Mudah dilaksanaKriteria Penilaian : kan oleh setiap guru bahasa Indonesia di SMP 1. Bentuk Puisi Skor b. Materi ajar yang disampaikan sesuai a. Jumlah bait 3 sampai 7 bait 1 dengan kebutuhan b. Jumlah baris satu bait 4 sampai 7 baris 1 dan lingkungan siswa d. Jumlah kata satu baris 4 sampai 7 kata 1 c. Kegiatan pembelajaran benar-benar 2. Tema berpusat pada siswa a. Sesuai dengan gambar 1 sehingga siswa dapat menemukan b. Tidak sesuai dengan gambar 0 jawaban sendiri (inkuiri) terhadap 3. Pesan Moral gambar peristiwa a. Disampaikan sesuai dengan isi 2 yang akan diubah menjadi puisi b. Disampaikan mendekati sesuai dengan isi 1 d. Sangat efektif untuk mengembangkan c, Disampaikan tidak sesuai dengan isi 0 kreativitas dan 4. Mendata fakta yang terdapat dalam gambar imajinasi siswa e. Sangat efektif untuk a. Data fakta lengkap 2 menumbuhkan sikap kritis terhadap b. Data fakta mendekati lengkap 1 permasalahan yang c. Data fakta tidak lengkap 0 terjadi dalam kehidupan sehari-hari 5. Mengubah fakta menjadi puisi dengan diksi/pilihan kata f. Sangat efektif untuk yang sesuai (kata kias, lambang/simbolik, gaya bahasa) menumbuhkan a. Semua fakta sesuai dengan pilihan kata 3 sikap berani mengeluarkan pernyataan b. Sebagian kecil fakta tidak sesuai dengan pilihan kata 2 terhadap persoalan c. Sebagian besar fakta tidak sesuai dengan pilihan kata 1 yang terjadi g. Sangat efektif untuk d. Semua fakta tidak sesuai dengan pilihan kata 0 mengembangkan 6. Sistematika Puisi kemampuan siswa dalam menulis puisi a. Urut-urutan sesuai 1 bebas b. Urut-urutan tidak sesuai Total 38 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 0 12 Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar Saran Daftar Pustaka Agar pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar ini dapat menarik minat belajar siswa dalam menulis puisi bebas, hal yang dapat disarankan adalah sebagai berikut. 1. Dalam penyusunan rencana pembelajaran, guru harus melakukannya dengan matang, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dan minat siswa. 2. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru harus dapat menyusun langkah-langkah pembelajaran secara sistematis, memberikan bimbingan yang maksimal, dan dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Semoga pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar yang penulis paparkan ini dapat memberikan manfaat dan menjadi contoh bagi teman-teman guru bahasa Indonesia terutama di lingkungan BPK PENABUR. B. Rahmanto. (1988). Metode pengajaran sastra. Yogyakarta: Kanisius Dinas Pendidikan Dasar. (2006). Kurikulum satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bahasa Indonesia. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Muslich, Masnur. (2007). KTSP Pembelajaran berbasis kompetensi dan kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara. Trianto, Agus. (2006). Pasti Bisa Bahasa Indonesia Kelas VIII. Jakarta: Erlangga Waluyo, Herman J. (1987). Teori dan apresiasi puisi. Jakarta : Erlangga ______ (2002). Apresiasi Puisi. Jakarta : Gramedia -----------Koran Kompas, 29 Januari Tahun 2009 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 39 Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa Opini Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa Tiga Syarat Pemberian Nilai Anggiat Hisar*) Abstrak elama ini, masih banyak guru menghadapi kesulitan dalam mengevaluasi hasil belajar siswa. Akibatnya tidak jarang terjadi keluhan siswa atau orang tuanya atas hasil evaluasi yang diberikan guru. Tulisan ini membahas tentang tata cara mengevaluasi hasil belajar siswa dengan menggunakan kriteria tertentu. Dengan demikian hasil evaluasi yang dibuat oleh guru diharapkan objektif dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat diterima oleh pihak terkait. S Kata-kata kunci : Evaluasi, kriteria penilaian, assessment A number of teachers still find some problems in evaluating the students’ achievement. This article discusses the problems by elaborating the evaluation criteria and evaluation techniques thoroughly. At the end of the discussion, a set of recommendations is given to the teachers in performing the evaluation properly so the students and the parents will agree with the evaluation result. Pendahuluan Ada tiga istilah yang digunakan dan perlu diketahui pemakaiannya, sebelum disampaikan uraian lebih jauh tentang mengevaluasi siswa, yaitu evaluasi (evaluation), pengukuran (measurement), dan penilaian (assessment). Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Kata tersebut diserap ke dalam perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia menjadi evaluasi. Istilah penilaian merupakan kata benda dari nilai. Pengertian pengukuran mengacu pada kegiatan membandingkan sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu, sehingga sifatnya menjadi kuantitatif (Arikunto, 2008:1). Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil suatu keputusan (Arikunto, 2008:2). Evaluasi terhadap siswa di kelas merupakan salah satu pekerjaan yang dianggap sulit oleh sebagian guru. Proses yang dilakukan oleh guru memiliki konsekuensi yang penting bagi siswa maupun orang tuanya. Sebagai contoh, kajian yang dilakukan oleh Shaefer dan Lissitz melaporkan, guru menghabiskan sampai dengan 10 persen waktunya untuk hal-hal yang terkait dengan assessment dan evaluasi. Stiggins menemukan bahwa guru dapat menghabiskan sepertiga waktunya untuk kegiatan yang sama. Oleh karena, itu sangat penting bagi guru membangun sebuah repertoar dari berbagai strategi yang efektif untuk menilai dan *) Kepala Seksi Evaluasi;Bagian Kurikulum dan Evaluasi BPK PENABUR Jakarta 40 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa mengevaluasi siswa-siswa mereka dan memahami tentang testing terstandar (Arends, 2008 : 214) Berbagai opini timbul akibat kontroversi seputar penggunaan evaluasi. Pendapat yang muncul akibat evaluasi adalah adanya dehumanisasi pendidikan dan ketidakpercayaan antara guru dan siswa. Proses evaluasi yang dilakukan oleh guru dengan membandingbandingkan para siswa mengakibatkan kecemasan dan harga diri (self-esteem) yang rendah bagi mereka yang menerima nilai yang buruk. Sebagian lagi berkomentar bahwa nilai dalam evaluasi benar-benar “penggaris karet” yang lebih mengukur apa yang dilakukan guru tertentu daripada mengukur tujuan-tujuan pendidikan yang penting. Assessment dan evaluasi berfungsi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan-keputusan yang bijaksana yang didasarkan pada informasi yang relevan dan akurat. Assessment biasanya merujuk pada seluruh rentang informasi yang dikumpulkan dan disintesiskan oleh guru tentang siswa-siswanya maupun tentang kelasnya. Informasi tentang siswa dapat diperoleh secara informal, misalnya melalui observasi dan pertukaran verbal. Informasi juga dapat diperoleh melalui cara-cara formal seperti pekerjaan rumah, tes, dan laporan tertulis. Informasi tentang kelas dan pengajaran guru juga dapat menjadi bagian dari assessment. Bila assessment difokuskan pada mengumpulkan dan menyintesiskan informasi, evaluasi mengacu pada proses membuat keputusan (judgment), menetapkan nilai (value) atau memutuskan tentang manfaat (worth). Tes, misalnya, adalah salah satu teknik assessment yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang seberapa banyak yang diketahui siswa tentang topik tertentu. Akan tetapi, memberi nilai adalah sebuah tindakan evaluatif, karena guru menempatkan value pada informasi yang diperoleh dari tes itu ( Arends, 2008 : 217 ). Cuplikan peristiwa pada kasus di bawah ini merupakan salah satu episode rangkaian peristiwa yang muncul pada saat mengevaluasi siswa yang terdapat dalam buku Shirran (2008) yang berjudul Evaluating Students. Guru yang Beritikad Baik Beberapa hari setelah mengembalikan pekerjaan siswanya yang sudah dinilai, seorang guru bahasa Inggris didatangi oleh salah seorang orang tua siswa. Mereka minta agar guru itu mempertimbangkan nilai yang sudah diberikan, dan juga menaikkan nilai itu. Karena tidak puas mendengar alasan dan tanggapan sang guru tersebut, orang tua itu mengajukan protes kepada Kepala Sekolah yang menyelidiki masalah itu. Dalam laporannya, Kepala Sekolah itu menulis, setelah mewawancarai guru itu secara informal, menjadi jelas bahwa guru itu tidak memakai prosedur evaluasi yang standar dan agaknya satu-satunya pembelaan guru itu adalah, “Saya sudah mengajar selama lebih dari 25 tahun. Saya tahu beda antara pekerjaan yang nilainya A dan yang nilainya C+.” Kepala Sekolah itu menyimpulkan bahwa, meskipun tugas yang diberikan guru itu menarik dan memang mencapai tujuan mata pelajaran tersebut, metode guru itu cacat, tidak akurat dan kurang bagus. Pada kasus di atas dikatakan bahwa guru tersebut sudah memiliki itikad yang baik ketika mengevaluasi siswa-siswanya. Akan tetapi ia belum berhasil mengenali dan mengikuti tuntutan dasar dalam proses evaluasi itu, guru tersebut membahayakan reputasi profesionalnya dan menyebabkan kalangan orang tua siswa, siswa, dan pengelola sekolah prihatin. Secara naluriah, karena terlatih dan pengalaman profesionalnya, guru tahu pekerjaannya dalam memberikan nilai A itu seperti apa. Namun, siswa dan orang tua, tidak tahu cara guru mengevaluasi dan apa yang dituntut pada proses evaluasi tersebut. Konflik yang terjadi pada peristiwa di atas dapat diminimalkan dengan cara, guru secara khusus memberitahukan kepada siswa cara menilai pekerjaan siswa. Sebelum seorang siswa mulai menggarap tugas apa saja untuk mata pelajaran apa saja, guru harus dengan jelas dan di depan umum menyebutkan tiga komponen evaluasi ini. (1) tingkat kriteria yang tertulis, (2) tingkat pemikiran akademik, dan (3) pernyataan tentang persyaratan (Shirran, 2008 : 2). Ini berarti bahwa sebelum menggarap tugas apa saja, siswa harus diberitahu tentang apa Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 41 Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa yang diharapkan guru. Seorang guru yang tidak menyebutkan ketiga komponen tersebut, tanpa sengaja akan membahayakan profesinya sendiri dan siswanya menghadapi risiko akademik. Beberapa di antara studi yang paling menarik dan dilakukan hampir satu abad yang lalu adalah yang dilakukan Starch dan Elliot (1912,1913), yang menunjukkan subjektivitas guru dalam mengases dan menetapkan nilai untuk ujian esai. Dalam studi pertama mereka, para peneliti meminta guru-guru dari sejumlah sekolah yang berbeda untuk menilai hasil ujian esai bahasa Inggris siswa-siswa. Setelah itu para peneliti meminta guru sejarah dan matematika untuk mengerjakan tugas yang sama. Starch dan Elliot menemukan bahwa guru-guru itu banyak menggunakan berbagai macam kriteria ketika mengases esai, dan akibatnya skor atau nilai yang mereka berikan pada karya tulis yang sama sangat bervariasi. Salah satu esai bahasa Inggris, misalnya, diberi poin yang bervariasi antara 50 sampai 97. Studi-studi sejenis yang dilaksanakan selama bertahun-tahun terus menunjukkan bahwa guru-guru memiliki kriteria yang berbeda untuk menilai hasil kerja siswa dan bahwa mereka dipengaruhi oleh sejumlah faktor subjektif, seperti tulisan tangan siswa, apakah pendapat yang diekspresikan sama dengan pendapat guru, dan ekspektasi yang dimiliki guru atas hasil kerja siswa tertentu (Arends, 2008: 225). Prinsip-prinsip Umum Gronlund (Arends,2008:234) memberikan beberapa prinsip yang dapat memandu guru pada saat merancang sistem assessment dan membuat tes sendiri. Keluhan yang sering terdengar dari siswa adalah bahwa materi yang dicakup dalam tes, ulangan, ujian, dan tugas belum pernah dibahas di kelas. Untuk alasan apapun, yang mengeluhkan hal itu percaya bahwa mereka telah dinilai secara tidak adil. Jadi, prinsip pertama Gronlund adalah guru semestinya mengonstruksikan evaluasinya sedemikian rupa sehingga dapat mengukur dengan jelas tujuan belajar yang sudah mereka komunikasikan kepada siswa dan materi yang telah mereka bahas. Pendek kata evaluasi itu seharusnya selaras dengan tujuan instruksional guru. Prinsip yang kedua adalah kebanyakan pelajaran dan unit pengajaran berisi beragam 42 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 tujuan mulai dari mengingat informasi aktual sampai pemahaman, analisis, dan aplikasi kreatif prinsip-prinsip tertentu. Sebuah evaluasi yang baik tidak sepenuhnya difokuskan pada salah satu tipe tujuan, misalnya ingatan faktual. Sebaiknya ia mengukur sampel-sampel tujuan pembelajaran secara representatif. Selain itu, evaluasi yang digunakan oleh guru semestinya harus tepat mengukur proses berpikir dan keterampilan yang akan diukur. Beberapa tipe tes seperti menjodohkan atau mengisi titik-titik lebih cocok untuk mengukur ingatan tentang informasi tertentu; tipe soal lain seperti soal-soal esai, lebih cocok untuk mengukur proses berpikir yang lebih tinggi. 1. Kriteria Penilaian Analogi yang paling sederhana untuk menggambarkan kriteria terlihat pada saat ketika mengikuti ujian SIM. Kita harus tahu persis apa yang harus kita lakukan dan yang tidak boleh kita lakukan agar bisa mendapatkan SIM. Atau pada waktu bermain catur, kita tahu aturan yang harus kita ikuti dan perilaku yang harus kita tunjukkan agar bisa menang. Demikian pula siswa harus tahu aturan main penilaian itu jika mereka ingin berhasil. Sayangnya ada guru yang tidak mau meluangkan waktu untuk mengungkapkan kriteria penilaian mereka karena menciptakan kriteria memang makan waktu. Kriteria diperlukan untuk menjadi penentu agar hasil penilaian itu berarti. Interpretasi terhadap hasil penilaian hanya dapat bersifat evaluatif apabila disandarkan pada suatu norma atau kriteria (Purwanto, 2008 : 6). Tingkat atau tingginya nilai akademik atau kecakapan yang dibutuhkan seorang siswa untuk menerima suatu nilai-huruf khusus ini disebut kriteria penilaian (Shirran, 2008 : 3 ). Kriteria penilaian dapat mengambil bentuk sebuah kisi-kisi yang disebut ’rubrik penilaian’. Dalam rubrik penilaian terperinci (lihat tabel 1.), masing-masing kotak atau sel mewakili suatu tingkat prestasi yang bisa dicocokan dengan suatu nilai-huruf yang sesuai. Pada tabel 1 dapat dilihat, tingkat kriteria dapat diciptakan oleh guru kelas sendiri-sendiri atau oleh sekelompok guru pada tingkat jurusan, dan secara jelas menentukan ciri, nilai, detail, dan kecakapan yang harus ditunjukkan setiap siswa agar menerima suatu nilai-huruf tertentu. Berdasarkan tabel tersebut, guru dapat menentukan perbedaan nilai A dan B, serta tugas Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa mana yang pantas dapat A dan mana yang pantas dapat B, atau bahkan C. Menggunakan rubrik penilaian membantu guru menilai secara cepat dan efisien. Selain itu guru dapat mengemukakan alasan dan mendukung nilai yang diberikan kepada siswa. Jika orangtua siswa menyampaikan keluhan, rubrik penilaian membuat penilaian konsisten dan memungkinkan siswa lebih baik dalam menaksir kualitas pekerjaan mereka. Selain itu rubrik penilaian dapat menjelaskan dan memungkinkan orangtua apa yang perlu dilakukan anak mereka untuk meningkatkan nilainya. Menghindari Efek ’Halo’ dan ’Garu’ Bias dalam membuat keputusan atas hasil pekerjaan siswa dan menetapkan nilai perlu mendapat perhatian. Betapa pentingnya bagi Tabel 1. Rubrik Penilaian Terperinci Aspek Gaya (20%) Kosa Kata Nada suara F (0) - - Bentuk (40%) Analisis dan Struktur Transisi sering memakai nada tidak p as kalimat sederhana kesalahan memilih kata - tidak logis atau tidak punya struktur - beberapa kata fokus mungkin hilang - ide tidak berkait dengan transisi C- (1) - tulisan terputusputus kosakata sederha tidak ada variasi kalimat kurang berkembang d an informal - semua kata fokus tidak ad a - s e d i ki t transisi - s e d i ki t analisis C (2) B (3) A (4) - kurang berkembang d an - informal s e k al i tempo memakai - bahasa informal beberapa kosakata canggih - hampir ada suara yang berbeda - memakai bahasa formal - variasi dari tipe kalimat p ak ai kosakata yang cocok - g ay a tulisan unik - p ak ai kosakata k u at - menunjak-an kematangan - wawasan berani ambil resiko dengan g ay a penulisan - mungkin kehilangan 1 atau 2 kata fokus - transisi lemah - ad a s e d i k i t analisis - tersusun dengan b ai k - d ap at memanfaatkan transisi - l o gi s menganalisis semua kata fokus dengan j e l as - transisi d i p ak ai dengan amat baik - menciptakan aliran yang kuat - l o g i k a d an analisis amat b ag u s - semua bag i an d i singgung dengan wawasankedalaman Konvensi (40%) Ejaan TitikKoma Tatabahasa - sering tampak kesalahan mencolok yang mengganggu arti - banyak kesalahan ejaan, titik, koma dan tatabahasa - k e j e l as an g e l ap - kesalahan mencolok yang mengganggu - arti relatif j e l as - ad a beberapa kesalahan kecil tapi tidak mengganggu arti - ejaan,tatabahasa, titik, koma, tidak ada kesalahan Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 43 Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa guru agar berlaku adil dan tidak memihak dalam menilai siswa. Seperti yang muncul pada kasus berikut. Mengevaluasi Perilaku Mengacau. Tom, siswa drama kelas 9, yang dikenal sebagai anak yang tak kenal lelah dan mengoceh terus, disuruh keluar dari kelas oleh guru karena bergulat dengan siswa lain di lantai, padahal seharusnya ia latihan solilokui atau percakapan dengan dirinya sendiri. Meskipun sering mengacau, keesokan harinya Tom mengucapkan solilokuinya hampir tanpa salah di depan guru itu. Tom dan orang tuanya amat kecewa ketika ia menerima nilai C untuk penampilannya itu, ditambah guru itu menuliskan komentar yang menyinggung fakta bahwa Tom mendapat nilai rendah karena susah diatur dan suka mengacau (Shirran, 2008 :7). Masalah penskor yang bias, artinya penskor (rater) cenderung untuk menghilangkan masalah personal bias. Sewaktu menskor hasil pekerjaan peserta tes ada kemungkinan penskor (rater) mempunyai masalah generosity error artinya penskor cenderung memberi nilai yang tinggitinggi, walaupun kenyataan yang sebenarnya hasil pekerjaan peserta tes tidak baik. Kemungkinan juga penskor mempunyai masalah severity errorartinya penskor juga cenderung dapat memberi nilai yang sedang-sedang saja, walaupun kenyataan yang sebenarnya hasil pekerjaan tes ada yang baik dan tidak baik. Masalah lain adalah adanya kemungkinan penskor tertarik atau simpati kepada peserta tes sehingga sukar baginya memberi nilai yang objektif (halo effect) (Setiadi, 2006 : 18). Shirran mengatakan sulit mencari pembenaran untuk nilai yang diberikan. Jika sikap tidak disebutkan sebagai satu kriteria penilaian maka perilaku mengganggu siswa itu tidak bisa dipakai untuk tujuan evaluasi (bahkan jika sikap memang disebutkan, guru itu tentu sulit menunjukkan bahwa kriteria ini satu syarat valid untuk tujuan muatan mata pelajaran itu). Kiranya akan tampak jelas bahwa angka rendah itu hanya dimaksudkan untuk menghukum siswa tersebut lebih jauh. Seorang guru yang menilai di luar kriteria yang sudah ditetapkan dapat mengakibatkan ketidaktepatan dan bias. Mestinya seorang guru mengikuti kriteria penilaian yang sudah 44 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 ditetapkan sehingga menjadi seorang penilai yang objektif dan adil. A particularly frequent error arises when a teacher’s overall impression of a student influences how the teacher rates that student with respect to an individual criterion. That error is known as halo effect (Popham, 1995 : 153). Sering kali guru menaikkan nilai seorang siswa, tidak peduli kualitas pekerjaan siswa, hanya karena siswa itu secara umum memberi kesan yang baik. Secara singkat dikatakan ada siswa yang disukai dan ada yang tidak. Fenomena guru yang memberikan nilai yang lebih tinggi kepada siswa yang disukai berlawanan dengan efek ’garu’ (garpu rumput) yaitu seorang guru menurunkan nilai siswa berdasarkan kesan negatif siswa tersebut ( sering mengganggu di kelas, menunjukkan sikap atau kebiasaan bekerja yang jelek atau sering terlambat). 2. Tingkat Cara Berpikir Akademik Guru harus membuat keputusan tentang apa yang akan dimasukkan dan apa yang tidak akan dimasukkan dalam tes. Test blueprint (cetak biru atau rancangan tes) adalah alat yang ditemukan oleh para spesialis evaluasi untuk membantu para guru dalam membuat keputusan dan menentukan berapa banyak ruang yang dialokasikan bagi jenis pengetahuan tertentu dan berbagai tingkat proses kognitif siswa yang berbeda (Arends, 2009 : 235). Peristiwa di bawah ini menjadi bagian penting bagi guru dalam merencanakan tes. Tingkat Pelajaran Kognitif Pak K, guru Sejarah SMP, diadukan orang tua salah seoarng siswanya. Si pengadu menulis kepada Kepala Sekolah bahwa Pak K setiap hari memberikan kegiatan yang menghendaki siswa hanya menghafal dan mengingat fakta, tetapi ia mengevaluasi pengetahuan siswa dengan menggunakan kegiatan yang menghendaki analisis kritikal dan penalaran logis. Kepala Sekolah memutuskan bahwa pelajaran dan kegiatan kelas Pak K belakangan secara kognitif tidak menyiapkan siswa untuk menghadapi keharusan yang diminta guna memperoleh keberhasilan lebih canggih dari tuntutan akan keberhasilan tugas dan pekerjaan sekolah (Shirran, 2008 : 11). Pada kasus di atas, seorang pakar di bidang authentic assessment Wigins (1977), berpendapat Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa bahwa agar authentic assessment efektif maka kriteria dan standar untuk hasil kerja siswa harus jelas, diketahui dan tidak ditetapkan secara sewenang-wenang. Siswa yang mengerjakan tugas akademik perlu tahu bagaimana hasil kerja mereka akan dinilai (Arend, 2009:244) Pada waktu memberikan tugas, guru harus mengenali kata kerja yang digunakan ketika memberikan tugas. Sebagai contoh, kedua soal ini membutuhkan jawaban yang amat berbeda dari siswa. Soal 1 : Kenalilah metode berburu dan berkumpul yang dipakai pada zaman Jomon di Jepang Kuno Soal 2 : Beri alasan dan pertahankan metode berburu dan berkumpul yang dipakai pada zaman Jomon di Jepang Kuno Pada soal pertama siswa mendaftar fakta dan menjawab secara deskriptif. Sedangkan jawaban pada soal yang kedua tidak hanya sekedar deskripsi sederhana tetapi juga mengungkapkan pertimbangan pribadi dan mempertahankan pertimbangan tersebut. Kedua soal tersebut membutuhkan tipe jawaban yang amat berbeda. Dalam semua mata pelajaran, ada enam tingkat cara berpikir akademik atau kerumitan yang berbeda-beda, dipakai untuk mengklasifikasi tugas akademik seorang siswa. Tugas seorang siswa dapat diklasifikasikan ke dalam enam kategori kognitif yaitu, (1) tingkat pengetahuan, (2) tingkat pemahaman, (3) tingkat penerapan, (4) tingkat analisis, (5) tingkat sintesis, dan (6) tingkat evaluasi Sebagai contoh dalam soal esai ini, kata kerja untuk memulai tugas ini memberi informasi kepada siswa bahwa jawabannya menghendaki siswa mengenali kesalahan-kesal;ahan logis, menunjukkan kontradiksi atau membedakan fakta, pendapat, hipotesis, asumsi, dan simpulan termasuk dalam tingkatan analisis. Siswa diharapkan menggambarkan hubungan antargagasan. Contoh soal : Tunjukkan kelemahan metode berburu dan berkumpul yang dipakai orang Jomon, mengingat kondisi cuaca negeri Jepang zaman kuno yang berubah-ubah. Bandingkan dengan soal pada tingkatan sintesis yang menghendaki siswa menciptakan sesuatu yang unik atau asli, dan bisa jadi menghendaki jawaban atau hasil kerja siswa yang menghasilkan suatu kombinasi ide untuk membentuk suatu keseluruhan yang baru. Contoh soal : Rancang suatu eksperimen yang menunjukkan bahwa metode berburu dan berkumpul dari orang Jomon cukup untuk mendukung kebutuhan pokok suatu suku. (Shirran, 2008 : 15) Setelah guru memutuskan tipe pengetahuan dan proses kognitif mana yang akan dicakup pada evaluasi tertentu, langkah selanjutnya adalah memutuskan format tes dan tipe soal yang akan digunakan. Pada tabel 2 berikut ini, menunjukkan contoh cetak-biru tes yang menggunakan dimensidimensi Taksonomi Bloom yang telah direvisi. Tabel ini diciptakan dengan asumsi bahwa guru mengajarkan unit tentang “Kehidupan zaman kolonial di Amerika” dengan tujuan instruksional berikut. Tujuan 1 : Memperoleh pengetahuan tentang pertambangan di sebuah kota di New England dan perkebunan di wilayah selatan selama abad ketujuh belas Tujuan 2 : Mengingat nama-nama empat tokoh kolonial : Cotton Mather, Anne Hutchison, Lord Calvert dan Thomas Hooker Tujuan 3 : Menerapkan pengetahuan dengan membandingkan kehidupan di zaman kolonial dengan kehidupan di wilayah yang sama saat ini Tujuan 4 : Mengevaluasi tindakan orang-orang di Massachussetts yang terlibat dalam Salem witchcraft trials Tujuan 5 : Membuat iklan tertulis yang mendorong orang-orang di Eropa untuk pindah ke New England atau ke Selatan Tujuan 6 : Memeriksa bagaimana pemahaman tentang kehidupan di zaman kolonial memengaruhi pemikiran siswa sendiri tentang kehidupan saat ini (Arends, 2008 : 238) Pada bagian atas cetak biru pada tabel tersebut guru memerinci keenam proses kognitif dalam Taksonomi Bloom yang telah direvisi. Keempat tipe pengetahuan dalam taksonomi ditulis dalam baris-baris cetak-biru. Dalam selsel yang terkait, guru mengategorisasikan keenam tujuan itu. Tidak ada tujuan di setiap sel yang tipikal untuk sebagian besar unit. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 45 Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa Tabel 2. Cetak biru Assessment Unit Kehidupan Zaman Kolonial di Amerika, yang menggunakan kategori dalam Taksonomi Bloom yang telah direvisi Dimensi Pengetahuan Mengingat Pengetahuan Faktual T u j u an 2 Soal Tes Empat soal yang meminta siswa menjodohkan namanama dan prestasinya Pengetahuan Konseptual T u j u an 1 Soal Tes Dua belas soal benars al ah tentang kotakota dan perkebunan Memahami Menerapkan T u j u an 1 Soal Tes Dua puluh s o al pilihan ganda tentang kota-kota d an perkebunan T u j u an 3 Soal Tes Satu soal Esai yang menerapkan pengetahuan tentang kehidupan zaman kolonial p ad a kehidupan masa kini Menganalisis 46 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Menciptakan T u j u an 4 Soal Tes Satu soal esai yang meminta al as an terhadap keputusan tentang pemeriksaan pengadilan terhadap ilmu sihir (witchcraft trial) Pengetahuan Prosedural Pengetahuan Metakognitif Mengevaluasi T u j u an 5 Soal Tes Ukuran kinerja yang membutuhkan pembuatan s e b u ah i k l an T u j u an 6 Soal Tes Soal esai yang membutuhkan refleksi terhadap proses berpikir siswa sendiri Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa Terakhir, dalam tabel itu guru juga menyebutkan jumlah tes yang dibutuhkan untuk mengases hasil belajar siswa untuk setiap tipe pengetahuan proses kognitif. Tingkat Prestasi Psikomotor Permasalahan yang sering muncul dalam mendesain dan menggunakan evaluasi adalah permasalahan tentang kemampuan yang akan diukur. Komponen-komponen kemampuan yang akan diukur pada kasus di bawah ini sangat tidak relevan. Suatu Aktivitas Fisik untuk Mengukur Kemampuan Kognitif Seorang guru sastra Inggris bermaksud mengevaluasi kemampaun siswanya membaca dan memahami satu cerita deskriptif yang diambil dari teks Inggris Kuno, The Canterbury Tales karya Chaucer. Guru tersebut minta para siswanya membaca salah satu kisah kemudian membuat lukisan akurat dari salah seorang karakter cerita itu dari tulisan deskriptif Chaucer. Seorang siswa, meskipun dapat membaca dan memahami tulisan Chaucer dengan baik, tidak dapat menggambarkan dengan baik. Dengan sendirinya pekerjaannya mendapat nilai rendah. Guru tersebut, ketika didatangi oleh siswa itu, menyatakan bahwa metode evaluasinya adil dan akurat (Shirran, 2008 : 11). Menyimak yang terjadi pada kasus di atas, ruang lingkup materi penilaian tidak merefleksikan kemampuan yang ditargetkan untuk dikuasai oleh siswa selama proses pembelajaran. Mestinya penilaian perlu disusun dan dirancang untuk mengukur sejauh mana siswa telah menguasai apa yang telah ditetapkan sebelumnya atau dalam indikatorindikator pecapaian kemampuan pembelajaran tersebut. Masalahnya di sini adalah bahwa guru itu berusaha mengukur pemahaman kognitif, akademik siswa dengan menggunakan suatu aktivitas fisik. Pada dasarnya ini sama dengan seseorang yang berusaha menggunakan kilogram untuk mengukur jarak antara dua benda. Guru dari mata pelajaran akademik seharusnya mengevaluasi siswanya dengan menggunakan kegiatan yang dapat masuk ke dalam lingkup kognitif. Untuk mata pelajaran itu, seperti pendidikan fisik dan seni, yang memang menghendaki evaluasi kecakapan otot dan fisik, guru seharusnya bergantung pada tugas yang masuk ke dalam lingkup psikomotor. Psikomotor berhubungan erat dengan kerja otot sehingga menyebabkan geraknya tubuh atau bagian-bagiannya. Yang termasuk dalam klasifikasi gerak di sini mulai dari gerak yang paling sederhana sampai yang kompleks (Arikunto, 2008, 122). Lingkup ini punya lima tingkat prestasi : (1) tingkat imitasi, (2) tingkat manipulasi, (3) tingkat ketepatan, (4) tingkat artikulasi, dan (5) tingkat naturalisasi Untuk Setiap kategori tingkatan di atas guru berharap siswa melakukan kegiatan fisik dengan tingkatan yang berbeda-beda. Pada tingkat manipulasi misalnya, siswa melakukan kegiatan fisik dari pelajaran lisan atau tertulis tanpa memperhatikan model yang ditiru. Peragaan siswa mungkin kurang anggun dan kurang terkoordinasi. Tugas pada tingkat ini seperti ini: Perhatikan gambar pada bukumu, tirukan posisi jari dan pergelangan tangan ketika menembak sebuah bola basket dari garis lemparbebas. Berbeda dengan tingkatan ketepatan yang mengharapkan siswa mereproduksi aksi itu dengan sedikit kesalahan. Pegang bola basket itu secara tepat dengan tangan yang dominan dengan jari serta pergelangan tangan dalam posisi yang betul, tembakkan bola ke dalam keranjang dari garis lempar bebas. (Shirran, 2008 : 19) 3. Suatu Pernyataan tentang Kondisi Komponen ketiga dari proses penilaian menghendaki guru menyatakan dengan jelas kondisi yang di dalamnya pengetahuan dapat diharapkan masuk. Dengan kata lain guru harus menyatakan gunanya peralatan, sumber, material, atau lokasi khusus yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas itu. In an authentic assessment, the student not only completes or demonstrates desired behavior, but also does it in reallife context. “Real life” may be in terms of student (for example, the classroom) or an adult expectation. The significant criterion fo the authenticity of writing assignment might be that the locus of control rests with the student ; that is, the student determines the topic, the time allocated, the pacing, and the conditions Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 47 Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa under which the writing sample is generated (Hill, 1999 : 8). Yang terpenting dari setiap evaluasi adalah mengukur pengetahuan siswa sehubungan dengan isi kurikulernya. Dengan sendirinya guru harus sering mempersempit fokus siswa untuk mengarahkan siswa kepada hasil yang diinginkan guru. Suatu pernyataan tentang kondisi penting karena membantu memfokuskan topik yang harus dipelajari dan mencegah siswa mempelajari bahan-bahan yang tidak relevan. Contoh tugas di bawah ini merangsang suatu pernyataan tentang kondisi yang dikehendaki : Kenalilah kondisi-kondisi di Selatan yang mengikuti Perang Saudara di Amerika Serikat Tidak ada fokus atau konteks untuk para siswa sementara siswa mungkin mengenali faktor geografis, ada yang mungkin mencari masalah sosial dan rasial, dan yang lainnya bisa jadi lebih suka mengenali masalah ekonomi. Bagaimanapun juga, ketika guru menambahkan suatu pernyataan tentang kondisi, fokus dan titik pandang siswa kiranya akan cocok dengan harapan guru. Dengan menggunakan peta sumbersumber strategis yang dibagikan di kelas, kenalilah kondisi-kondisi di Selatan yang mengikuti Perang Saudara di Amerika Serikat. Frasa “Dengan menggunakan peta sumbersumber strategis yang dibagikan di kelas”, adalah kondisi perlu yang diharapkan oleh guru agar siswa mendapat nilai A untuk tugas itu (Shirran, 2008 : 22) Penutup Proses evaluasi merupakan proses yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian yang terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not apart from, instruction) (Hayat, 2006: 3). Evaluasi yang dilakukan menggunakan berbagai ukuran, metode dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar. Melalui evaluasi, guru memperoleh informasi tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kompetensi 48 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 telah benar-benar dikuasai dan dicapai oleh siswa. Guru dalam melakukan evaluasi berupaya memilih metode yang terbaik untuk mengukur apa yang diharapkan untuk dikuasai oleh siswa. Mayoritas besar guru adalah profesional berdedikasi yang sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan siswa mereka. Mereka ingin melihat semua siswa mereka berhasil di sekolah dan di jalan karier mereka di masa depan. Akan tetapi bila evaluasi siswa diikuti dengan konflik antarpribadi seperti kadang-kadang terjadi, guru justru mendapat keuntungan kalau berdiri di tempat tinggi dan mengungkapkan perilaku yang profesional. Memang, setiap kali guru memberi nilai, mereka mengingatkan bahwa mereka boleh diminta menjelaskan, membenarkan, mempertahankan keputusan penilaian profesional mereka. Cara terbaik bagi guru untuk mempertahankan keputusan evaluatif mereka adalah bergantung pada suatu proses penilaian dan didorong riset, transparan, dan ditetapkan secara universal. Saran untuk Guru Shirran menyampaikan beberapa saran yang perlu diperhatikan oleh guru, antara lain : 1. Sampaikan kriteria penilaian itu kepada siswa ketika memberikan tugas. Guru harus memberitahu siswa cara tugas itu akan dinilai. Ini menghendaki guru memberi tahu siswa a. informasi atau muatan apa yang diminta, dan b. bagaimana guru akan memberikan angka kepada muatan ini Dengan kata lain, siswa dan orang tua siswa harus diberi informasi jika ada muatan yang akan mendapat angka lebih dibandingkan muatan lainnya. 2. Dokumentasikan kriteria tersebut. Seperti halnya kontrak tertulis, kriteria ini dapat dipakai untuk menyelesaikan pertikaian yang mungkin timbul kelak. Juga, siswa seharusnya menerima kriteria itu sebagai acuan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. 3. Biarkan siswa ikut ambil bagian dalam pengembangan kriteria penilaian ini. Ada guru yang mengizinkan siswanya Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa 4. 5. mengambil bagian dalam proses penilaian itu dan menyumbang kepada perkembangan kriteria tersebut. Pendekatan ini memungkinkan siswa melihat relevansi dan arti penting kriteria itu, dan memberi mereka rasa memiliki, sehingga ada kemungkinan meningkatkan motivasi. Juga, beberapa orang tua siswa dan pengurus sekolah merasa lebih sulit mempertanyakan angka yang diberikan jika mereka tahu bahwa siswa punya peran aktif dalam mengembangkan kriteria tersebut. Kalau sudah disusun, jangan mengubah kriteria penilaian itu. Beri siswa contoh-contoh yang bisa masuk ke dalam berbagai kategori pencapaian itu. Daftar Pustaka Arends, Richard I. (2008). Learning to teach : Belajar untuk mengajar. Buku Satu. Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Arikunto, Suharsimi. (2008). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara Arikunto,Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar.(2008). Evaluasi Program pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Hayat, Bahrul. (2006). Prinsip-prinsip dan strategi penilaian di kelas. Jakarta : Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. Hill, Bonnie Campbell and Cynthia Ruptic. 1999. Practical aspects of authentic assessment : Putting the pieces together. Norwood,MA : Christopher-Gordon Publishers, Inc. Popham, W. James. (1995). Classroom assessment: What teachers need to know. Boston : Allyn and Bacon Purwanto. (2009). Evaluasi hasil belajar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Setiadi, Hari. (2006). Penilaian kinerja. Jakarta : Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Shirran, Alex. (2008). Evaluating students : Mengevaluasi siswa. Terjemahan Nien Bakti Soemanto. Jakarta : PT Gramedia Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 49 Penelitian Tindakan Kelas Opini Penelitian Tindakan Kelas Kasina Ahmad*) Abstrak ntuk mengatasi berbagai masalah dalam proses pembelajaran, berbagai upaya dilakukan oleh sekolah, guru, dan peserta didik yang salah satu di antaranya ialah dengan menerapkan penelitian tindakan kelas. Oleh karena upaya ini dianggap cukup ampuh, tulisan ini menguraikan bagaimana cara melakukan tindakan kelas. Di samping prosedur dan langkah-langkah dikemukakan, juga berbagai contoh diberikan untuk lebih mudah dipahami oleh guru. U Kata-kata kunci: Penelitian tindakan kelas, fokus, siklus. A lot of efforts have been given by teacher and students to solve the instructional problems as well as to improve the quality of education. One of them is conducting clasroom action research. This article discusses in the details the procedures of classroom action research. Beside describing the procedures, it gives some practical examples to clarify in the details teacher’s understanding. Pendahuluan Sejak dikumandangkannya UU RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional, maka para guru dipersyaratkan untuk memiliki kualifikasi akademik yang relevan dengan mata pelajaran yang diampunya dan menguasai kompetensi sebagaimana dituntut oleh UU Guru dan Dosen. Salah satu kompetensi profesional yang dituntut adalah melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk perbaikan pembelajaran berdasarkan hasil refleksi pembelajaran di kelas. Dalam kenyataannya berbagai masalah masih dihadapi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik dalam meningkatkan mutu *) Dosen PGSD Universitas Negeri Jakarta 50 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 proses dan hasil pembelajaran. Masalahmasalah ini pada hakekatnya sangat kompleks dan saling terkait. Sungguhpun demikian, diyakini bahwa pembelajaran di kelas merupakan proses yang sangat berpengaruh dalam menentukan keberhasilan peningkatan mutu pembelajaran. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran ialah melalui PTK. Uraian berikut bermaksud membantu para guru Sekolah Dasar dan calon guru Sekolah Dasar untuk memahami lebih mendalam apa yang dimaksudkan dengan PTK. Pembahasan Pengertian Penelitian Tindakan Kelas Secara singkat PTK dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif Penelitian Tindakan Kelas dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki atau meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas secara profesional. Oleh karena itu, PTK terkait dengan persoalan praktik pembelajaran sehari-hari yang dihadapi oleh guru. Sebagai contoh, guru menghadapi persoalan rendahnya hasil belajar baca siswa, sehingga sangat menghambat tujuan kurikuler, maka guru dapat melakukan tindakan kelas agar hasil belajar baca siswa dapat ditingkatkan, misalnya dengan memuat program pembelajaran tertentu seperti (a) mencoba menggunakan bahan bacaan yang memiliki gambar dan cerita yang menarik, (b) menggunakan buku yang memiliki cerita-cerita lokal dan (c) menggunakan buku yang memiliki cerita lucu. Dalam literatur bahasa Inggris, PTK disebut dengan classroom action research. PTK merupakan penelitian yang mampu menawarkan cara dan prosedur baru untuk memperbaiki dan meningkatkan profesionalisme guru dalam proses dan produk pembelajaran di kelas dengan melihat berbagai indikator keberhasilan proses dan hasil pembelajaran yang terjadi pada siswa. MC Niff (1992) yang dikutip (Siswoyo, 1998), memandang PTK sebagai bentuk penelitian reflektif yang dilakukan oleh guru sendiri, hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk (a) pengembangan keahlian pembelajarannya sendiri dan hasilnya bermanfaat bagi muridnya, (b) memperbaiki pemahamannya sendiri tentang praktik atau proses pembelajaran yang dilakukannya, dan (c) memahami situasi dan lingkungan belajar ditempat praktik pembelajaran dilakukan. Selain itu ditambahkan oleh Mc. Niff bahwa PTK juga memandang guru sebagai satu-satunya orang yang paling mengenal situasi dan masalah yang ada di kelasnya, sehingga dapat memutuskan teori dan paraktik mana yang paling cocok diterapkan untuk kelasnya. Selanjutnya, Mc.Niff mengatakan bahwa PTK bukan pula penelitian eksperimen, karena dalam penelitian tindakan tidak ada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang dimanipulasi, yang memungkinkan faktor-faktor di luar kelompok, diawasi secara ketat dan sistematis ikut terlibat. Dalam hal ini, PTK hanya menerapkan langkah-langkah yang ada pada teori yang dipraktekkan di kelas melalui technical-rational dari pendekatan, model, strategi, metode, teknik dan taktik. Reigeluth dan Stein, (1983) dalam Siswoyo menyatakan bahwa: The result of instructional design as aprofessional activity is an “ architect’s blueprint” for what the instruction should be like. This blueprint is a prescription as to what methods of instruction should be used for that course content and those students. Jadi bila seorang guru melaksanakan PTK di kelasnya, ada dua hal yang dilakukannya yaitu keterlibatan dirinya sendiri secara aktif (involvement) dan melakukan perubahan (improvement) melalui intruksional proses yang dipergunakannya untuk meningkatkan kualitas hasil akhir pembelajaran. Selanjutnya, selain PTK memperbolehkan guru meneliti sendiri praktek pembelajaran yang dilakukan di kelas, PTK juga memperbolehkan guru kelas dan dosen pembimbing secara kolaboratif dapat melakukan penelitian terhadap proses dan produk pembelajaran secara reflektif di kelas. Pendek kata, dengan melakukan PTK, guru dapat memperbaiki praktik-praktik pembelajaran di kelas menjadi lebih efektif. Karakteristik Masalah yang diangkat untuk dipecahkan melalui PTK harus selalu berangkat dari persoalan praktik pembelajaran sehari-hari yang dihadapi oleh guru. Di kelas, PTK akan dapat dilaksanakan jika guru sejak awal memang menyadari adanya persoalan yang terkait dengan proses dan produk pembelajaran yang dihadapinya di kelas. PTK tidak diperlukan jika seorang guru merasa bahwa apa yang dipraktikkannya seharihari di kelas tidak bermasalah. Yang menjadi soal adalah tidak semua guru mampu melihat sendiri apa yang telah dilakukannya selama di kelas, maka perlu bantuan orang lain untuk melihat apa yang selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran di kelasnya. Guru dan dosen pembimbing dapat duduk bersama berdiskusi untuk mencari dan merumuskan persoalan pembelajaran di kelas. Guru dan dosen pembimbing dapat melakukan PTK secara kolaboratif-partisipatif. Karakteristik khas : tindakan-tindakan (aksi) tertentu untuk memperbaiki proses pembelajaran di kelas. Secara spesifik Isaac dan Michael (1980) mengemukan ciri-ciri penelitian tindakan adalah: 1. Bersifat praktis dan relevan dengan situasi aktual dalam dunia kerja. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 51 Penelitian Tindakan Kelas 2. 3. Menyediakan kerangka kerja yang teratur untuk memecahkan masalah atau pengembangan. Bersifat empiris, fleksible dan adaptif, yaitu mudah diubah dan dapat disesuaikan dengan tuntutan tindakan selama masa penelitian. Tujuan dan Manfaat Melakukan PTK Penelitian tindakan kelas, bertujuan untuk meningkatkan atau memperbaiki praktik pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh guru secara profesional. Saat ini masyarakat kita berkembang begitu cepat. Akibatnya tuntutan terhadap layanan pendidikan yang harus dilakukan guru juga meningkat. Untuk meningkatkan atau memperbaiki layanan pendidikan bagi guru dalam konteks pembelajaran di kelas, bahkan Mc Niff (1992) menegaskan bahwa dasar utama dilaksanakannya PTK guru dapat melakukan berbagai tindakan alternatif dalam memecahkan berbagai persoalan pembelajaran di kelas. Penelitian Tindakan Kelas dapat menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik pendidikan. Hal ini terjadi karena setelah meneliti kegiatannya sendiri, di kelas sendiri, dengan melibatkan siswanya sendiri, melalui sebuah tindakan-tindakan yang direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi, guru akan memperoleh umpan balik yang sistematik mengenai apa yang selama ini selalu dilakukan dalam kegiatan belajar pembelajaran. Di samping itu seorang/peneliti/praktisi akan dapat merasakan, menghayati dan menentukan apakah praktek pendidikan selama ini telah sesuai, dan berlangsung dengan baik sehingga mencapai kadar kualitas yang seharusnya, efektif dan efisien. Lebih lanjut PTK dapat meningkatkan kualitas proses dan produk pembelajarannya tanpa mengorbankan proses pembelajaran, tidak membebani pekerjaan guru dalam kesehariannya, tidak mengganggu pencapaian target kurikulernya serta dapat mengadaptasi teori yang ada untuk kepentingan proses dan produk. Akhirnya melalui PTK berbagai inovasi dalam bidang pendidikan dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan guru dan keadaan lingkungan. Dilihat dari manfaatnya, PTK bermanfaat dalam inovasi pembelajaran, pengembangan kurikulum di tingkat sekolah dan tingkat kelas serta peningkatan profesionalisme guru. Dalam 52 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 inovasi pembelajaran, guru perlu selalu mencoba mengubah, mengembangkan dan meningkatkan gaya pembelajarannya dan melakukan model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Di samping penelitian itu berangkat dari realitas kegiatan guru, dalam proses penelitian tindakan sangat terbuka bagi guru untuk merumuskan masalahnya sendiri, meneliti sendiri dan kemudian mengevaluasi sendiri efektivitas model-model pembelajaran di kelasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rapoport (1970) antara lain menyatakan bahwa penelitian tindakan memiliki kepedulian terhadap pemecahan persoalan-persoalan praktik yang dihadapi oleh manusia dalam pekerjaannya sehari-hari. Dalam aspek pengembangan kurikulum, PTK dimanfaatkan secara efektif oleh guru. Guru kelas juga bertanggung jawab terhadap pengembangan kurikulum dalam level sekolah dan atau kelas (sebagai salah satu masukan). Apalagi dalam KTSP guru dan sekolah diharapkan aktif mengembangkan kurikulum tingkat sekolah. PTK dapat membantu guru untuk lebih dapat memahami hakikat pengembangan kurikulum secara empirik dan bukan hanya sekedar pemahaman yang bersifat teroritis. Selanjutnya PTK dilihat dari aspek profesionalisme guru dalam proses pembelajaran, memiliki manfaat yang sangat penting. Untuk memahami apa yang terjadi di kelas dan kemudian meningkatkannya menuju arah perbaikan-perbaikan secara profesional. Bahkan dalam konteks profesionalisme guru, guru ditantang untuk memiliki keterbukaan terhadap pengalaman dan proses-proses pembelajaran yang baru. Keterlibatan guru dalam PTK dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran. Penerapan Penelitian Tindakan Kelas Agar dapat menerapkan PTK dalam upayanya memperbaiki atau meningkatkan layanan pembelajaran secara lebih profesional, guru dituntut berani mengatakan secara jujur kepada dirinya sendiri mengenai sisi-sisi lemah yang dimiliki dalam proses pembelajaran di kelas. Untuk dapat segera memulai dan menerapkan PTK, guru hendaknya berangkat dari persoalan yang kecil dahulu, merencanakan PTK secara cermat, melibatkan pihak lain yang terkait Penelitian Tindakan Kelas terinformasi, menciptakan sistem umpan balik, dan membuat jadwal penulisan. praktik pembelajaran. Guru merencanakan perubahan yang akan dilakukan bersama dengan para siswa, bersama observer lainnya (jika ada) sambil melakukan observasi, dan Jenis-jenis Penelitian Tindakan Kelas proses belajar berlangsung sesuai dengan jadwal belajar seperti biasanya. Pada kenyataannya, masalah-masalah Materi PLPG, bahan diklat PTK (2007) pendidikan saling berkaitan satu sama lain, mengkategorikan PTK menjadi partisipatory misalnya: masalah kualitas pendidikan, action research, critical action research, institutional kurangnya sarana/prasarana, kedisiplinan dan action research, dan classroom action research. sebagainya. Kenyataannya kegiatan yang Partisipatory Action Research biasanya dilakukan dilakukan oleh para guru/dosen dalam proses sebagai strategi transformasi sosial yang belajar mengajar sering kali mendapatkan menekankan pada keterlibatan masyarakat, rasa ikut memiliki program, dan analisis problem banyak kendala yang ditimbulkan dari para sosial berbasis masyarakat. Di sini suatu peserta didik, misalnya kurangnya kemampuan rekayasa untuk perubahan sosial direncanakan, dalam hal bertanya, menggunakan media kemudian dilakukan, diamati dan dievaluasi/ elektronik sederhana, kelas yang pasif, dilakukan refleksi setelah berjalan selama jangka penyelesaian tugas tidak tepat waktu dan lainlain. Kendala tersebut seharusnya dipandang waktu tertentu. Critical Action Research biasanya dilakukan sebagai hasil interaksi antara guru dan siswa. oleh kelompok yang secara kolektif mengkritisi Dari kondisi ini para guru seharusnya perlu masalah praktis, dengan penekanan pada melakukan suatu refleksi terhadap semua tindakan dalam komitmen untuk rangka proses b e r t i n d a k pembelajaran menyempurnakan yang telah dilasituasi, misal hal... guru tidak lagi hanya kukan. Untuk hal yang terkait dianggap sebagai penerima selanjutnya guru dengan ketimpembaharuan, akan tetapi dapat mengipangan jender mereka ikut bertanggung jawab dentifikasi atau ras. Kelomberbagai masadalam pengembangan pok peneliti malah yang berkaisuk dan bergapengetahuan dan keterampilan tan dengan diribung dengan kepembelajaran. nya sendiri di lompok sasaran, kelas, sehingga untuk mengetahui akhirnya dari lebih dalam berbaberbagai identifikasi masalah tersebut guru gai hal yang menjadi fokus riset aksi, sambil dapat memfokuskan pada masalah-masalah melakukan tindakan yang telah direncanakan aktual yang perlu dicari pemecahannya dan yang bersama kelompok sasaran. Institutional Action Research, biasanya mampu dalam jangkauan guru itu sendiri. Selanjutnya dalam menangani persoalandilaksanakan oleh pihak manajemen atau persoalan di kelas guru dapat bekerjasama organisasi untuk meningkatkan kinerja, proses dengan teman sejawat/sesama guru untuk dan produktivitas dalam suatu lembaga. Intinya berkolaborasi sehingga kegiatan yang dilakukan juga tindakan yang berupaya memecahkan dalam menangani masalah di kelas akan lebih masalah-masalah organisasi atau manajemen baik dan terjadi penularan ( transfer of learning) melalui pertukaran pengalaman secara kritis. pengetahuan. Pemecahan persoalan-persoalan Riset aksi dilakukan bersama konsultan yang memiliki keahlian di dalam melakukan tindakan itu antara lain melalui penelitian tindakan kelas perubahan dalam rangka meningkatkan kinerja ataupun tindakan kelas kolaborasi. Hal ini juga sejalan dengan masa era globalisasi di mana organisasi atau manajemen. Classroom Action Research, biasanya para guru tidak lagi hanya dianggap sebagai dilakukan oleh guru di kelas atau sekolah tempat penerima pembaharuan, akan tetapi mereka ikut ia mengajar, dengan penekanan pada bertanggung jawab dalam pengembangan penyempurnaan atau peningkatan proses dan pengetahuan dan keterampilan pembelajaran Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 53 Penelitian Tindakan Kelas yang telah dilakukan terhadap proses pembelajarannya sendiri dengan beberapa cara antara lain: mengadakan penelitian tindakan kelas (classroom action research). PTK, saat ini berkembang dengan pesat di negara-negara maju seperti Inggris, Amerika, Australia, dan Kanada. Apabila dicermati kecenderungan baru ini mengemuka karena jenis penelitian ini mampu menawarkan pendekatan dan prosedur baru yang lebih menjanjikan dampak langsung dalam bentuk perbaikan dan peningkatan profesionalisme guru dalam mengelola proses belajar mengajar di kelas atau mengimplementasikan berbagai program di sekolahnya dengan mengkaji berbagai indikator keberhasilan proses dan hasil pembelajaran yang terjadi pada siswa. Dengan kata lain melalui penelitian tindakan kelas, guru/ pendidik langsung memperoleh “teori” yang dibangunnya sendiri, bukan diberikan oleh pihak lain. Menyusun Rencana Penelitian Tindakan Kelas Langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan PTK ialah mengidentifikasi fokus penelitian, menganalisis fokus penelitian dan menentukan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab utama, merumuskan gagasangagasan pemecahan fokus penelitian bagi faktor penyebab utama yang gawat dengan mengumpulkan data dan menafsirkannya untuk mempertajam gagasan tersebut serta mengkaji kelaikan solusi atau pilihan tindakan pemecahan masalah. Masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus. Fokus penelitian kualitatif disusun secara naratif dengan merinci pertanyaan-pertanyaan fokus menjadi beberapa kalimat lengkap yang bercerita tentang bagaimana proses, situasi dan hasil penelitian yang diinginkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam rumusan fokus PTK adalah seperti berikut. a. Rumusan masalah merupakan beberapa pertanyaan yang akan terjawab setelah tindakan selesai dilakukan. b. Rumusan masalah harus dirinci sehingga tidak terlalu umum. Misalnya: Tidak hanya menanyakan apakah dengan metode partisipatif siswa terhadap 54 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 pembelajaran menjadi tinggi?, tetapi harus dipisah-pisah, yaitu: Bagaimana proses, bagaimana situasi, dan bagaimana hasilnya? Contoh Fokus Penelitian Dalam mata kuliah Dasar-dasar Fotografi salah satu teknik dalam memotret adalah teknik ruang tajam atau Dept of Field. Berbagai unsur yang mempengaruhi teknik Dept of Field terkadang menjadi kesulitan dalam memahami dan mempraktekkannya. Adapun fokus penelitian yang terjadi dalam mempelajari teknik Dept of Field dapat diidentifikasikan seperti berikut. 1. Bagaimana menjelaskan pengaruh diafragma dalam teknik Dept of Field? 2. Bagaimana menjelaskan pengaruh jarak pemotretan dalam teknik Dept Of Field? 3. Apakah yang dapat digunakan sebagai sumber belajar dalam membedakan gambargambar dari hasil pemotretan dengan ruang tajam yang sempit dan lebar? 4. Metode atau treatment apa yang sesuai untuk digunakan sehingga mahasiswa dapat memotret dengan teknik Dept of Field secara tepat? Dari latar belakang di atas, peneliti memfokuskan PTK pada metode atau treatment yang digunakan dalam menyampaikan materi teknik Dept of Field kepada mahasiswa yang sedang mengikuti mata kuliah Dasar-dasar Fotografi sehingga mahasiswa dapat memotret dengan teknik Dept of Field secara tepat. Dengan demikian fokus penelitian dirumuskan sebagai berikut. Bagaimana menerapkan metode atau treatment yang sesuai dalam menyampaikan materi Dept of Field? Desain dan Prosedur Implementasi Desain dan prosedur implementasinya disusun sebagai berikut. Pertama, merancang model PTK sesuai dengan permasalahan rencana kegiatan tindakan dan keadaan atau situasi kelas, kemudian mengatur langkah-langkah tindakan yang akan dilakukan. Selanjutnya melakukan identifikasi komponen pendukung yang diperlukan. Berikutnya melakukan pengaturan dan penyusunan jadwal kegiatan yang akan dilakukan. Terakhir menyusun desain tindakan sesuai dengan model PTK dan jadwal. Penelitian Tindakan Kelas Implementasi Model Penelitian Tindakan Kelas Jika peneliti melakukan PTK langkah-langkah perlu diperhatikan ialah sebagai berikut. 1. Kegiatan awal persiapan implementasinya. a. Pembicaraan dialog dengan Kepala Sekolah dan guru-guru mengenai PTK untuk mematangkan rencana. b. Pelatihan bagi guru. c. Penciptaan situasi kelas dan sekolah. d. Pelatihan dengan simulasi dan pemberian contoh bagaimana melakukan tindakan. e. Persiapan alat dan pemantauan dan perekaman data. f. Persiapan perangkat dan bahan yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan. g. Persiapan untuk mendiskusikan hasil pemantauan dan observasi dengan guru. 2. Implementasi di kelas. Pada waktu mulai dilakukan tindakan jangan membiarkan guru sendirian tanpa ada yang mendampingi dan memantau apa yang dilakukan atas reaksi atau respon siswa. Pada saat istirahat sebaiknya peneliti dapat mencari informasi apa yang dirasakan oleh siswa dan persepsi mereka, kemudian dilakukan refleksi bersama-sama. Hasil refleksi dapat digunakan untuk memperbaiki prosedur dan cara bertindak yang dilakukan guru. 3. Pengelolaan dan Pengendalian. Pengelolaan mencakup pengorganisasian kegiatan waktu dan sarana yang dipergunakan. Pengendalian dimaksudkan jika diperlukan perubahan di tengah jalan atau proses, perubahan justru untuk meningkatkan pencapaian hasil dan bukan penyimpangan yang menjauhi sasaran. 4. Modifikasi prosedur dan cara tindakan. Data hasil refleksi merupakan masukan dan bahan pertimbangan untuk melakukan modifikasi. Modifikasi bertujuan untuk percepatan pencapaian tujuan. Perlu disadari bahwa PTK bersifat siklus (berputar melingkar seperti arah jarum jam dan spriral artinya, semakin lama semakin meningkat perubahan pencapaian hasilnya. Berikut ini digambarkan model PTK menurut Kurt Lewin. Kurt Lewin: Planning Reflecting Acting Observing Merumuskan Judul PTK 1. Judul berbentuk pernyataan 2. Memperlihatkan adanya dua variabel: a. Variabel Criteria (the desired instructional outcome/objective/product/the end results, the ultimate outcome). b. Variabel Instructional/ Proses (the instructional treatment: teori, model, pendekatan, strategi, metode, teknik, dan taktik). 3. Adanya Satuan Analisis (populasi) 4. Adanya Satuan Pengamatan (sampel) yaitu kelompok dari mana diperoleh informasi. Contoh Judul: Upaya Meningkatkan Hasil Pembelajaran IPS Tentang Konsep Dokumen di Kelas Tiga SDN 90 Cengkareng Jakarta Barat melalui Metode Partisipatif. Hasil Pembelajaran IPS Tentang Konsep Dokumen adalah: Variabel Kriteria/Produk/the ultimate Outcome. Melalui Metode Partisipatif adalah Variabel instructional proces. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 55 Penelitian Tindakan Kelas Penutup PTK dapat dilakukan oleh guru untuk mengatasi berbagai masalah di kelas sehingga mutu proses dan hasil belajar dapat ditingkatkan. PTK melibatkan guru dan peserta didik secara aktif sehingga menghasilkan makna ganda. Akan tetapi keberhasilan PTK tergantung pada kemauan dan penguasaan kemampuan guru menerapkan PTK. Uraian PTK yang dikemukakan dalam tulisan ini kiranya dapat membantu guru mengenal PTK secara lebih jelas sehingga memotivasi mereka melaksanakannya. Daftar Pustaka Hannaway, D. dan Reynold (ed), 1994, School development series: improving education, London: Cassel Harjodipuro, Siswoyo. Penerapan pedagogis metode naturalistik, Makalah Seminar Harjodipuro, Siswoyo. (1998). Penelitian tindakan kelas. Diktat kuliah 56 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Kristianty, Theresia. (2007). Menyusun instrumen penelitian kuantitatif. 2007. Jakarta: Suara GKYE Peduli Bangsa Lincoln, Ivonna S. dan Egon G. Guba. (1981). Naturalistic Inquiry Moleong, Lexy. (1998). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Penelitian Tindakan Kelas, Materi PLPG 2009 ______Panduan Penyusunan Proposal Penelitian Kualitatif Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta _______, Decentralization and school improvement: Can we fulfil the promise?. San Fransisco: Jossey. Bass Publishers _______ Materi PLPG Bahan Diklat PTK (2007) ______ (1996) Introduction to design in the classroom. design: Constructive thought and action problems are everywhere designing solutions - from kindergarten to high school (volume 2 Number 3). Tersedia pada http:/ /www.sedl.org/scimath/compass/v02n03/ pigs.html (05 Mei 2004) Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures Opini Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures: Implications for Educational Administrators Agustian Nugroho Sutrisno*) Abstrak tudi ini menyelidiki cara-cara mengatasi konflik yang dikaitkan dengan masalah perbedaan jender dan budaya. Berbagai penelitian telah menemukan bahwa budaya kolektif cenderung menghindari konflik dan juga cara bekerja sama ketika menghadapi konflik. Orang-orang dengan peran jender feminin cenderung menghindari konflik. Demikian juga, dalam masyarakat kolektif, menghindari konflik mendatangkan manfaat dan juga dianggap sebagai norma yang umum. Hubungan baik yang sudah ada sebelumnya merupakan faktor penting dalam menentukan hasil dari menghindari konflik di Cina karena hubungan baik sebelumnya dapat membawa dampak yang baik dalam penyelesaian konflik, sedangkan hubungan sebelumnya yang buruk akan membawa malapetaka bagi suatu konflik dan hubungan antar individu tersebut. Tulisan ini mengembangkan suatu model manajemen konflik bagi para administrator pendidikan di samping memberikan penjelasan tentang berbagai situasi yang memungkinkan penggunaan penghindaran konflik dalam masyarakat kolektif. S Kata kunci: Manajemen konflik, peran jender, budaya kolektif, administrasi pendidikan This study investigates conflict handling styles as seen from the perspectives of gender and cultural differences. Various studies have found that collectivist cultures tend to avoid conflicts. Similarly, people with feminine gender roles tend to avoid conflicts. In collectivist cultures, avoiding conflict can be beneficial and can also be considered as the norm. Good prior relationship is an important factor in determining the outcome of conflict avoidance in China, because good prior relationship can bring good effects in conflict resolution, while poor prior relationship will bring negative impacts to the conflict and the personal relationship between the individuals involved. This article develops a conflict management model for educational administrators and also provides explanation about various situations that may require the use of conflict avoidance in collectivist cultures. Introduction Female teachers dominate the teaching profession throughout the world (Cubillo & Brown, 2003). However, they are underrepresented in administrative and managerial roles (Gold, 1996). There are some differences between female and male school administrators’ leadership qualities, including the preference to avoid conflicts among female administrators (Krüger, 1996). Derr (1972) noted that in many educational institutions, it is prohibited to disagree openly. This attitude can be seen as a preference to avoid conflict in a predominantly female workplace. On the other hand, males are often associated with more confrontational ways of handling conflicts (Holt & DeVore, 2005). School administrators, who are still predominantly males in some countries, might not be ‘armed’ with enough understanding of how to manage conflict among female teachers (Cubillo & Brown, *) Alumni SMAK 3 BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 57 Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures 2003).Recently, research has discovered differences in conflict handling styles between cultures (Brew & Cairns, 2004; Tinsley & Weldon, 2003). Based on Hofstede’s (1980) seminal study on the impact of cultural differences on management, researchers’ attention is mainly focussed on the differences of conflict handling styles between collectivist and individualist cultures (Morris et al, 1998). The majority of the world population lives in collectivist countries, such as China with more than 1 billion inhabitants and Pakistan and Indonesia, each with populations of more than 100 million (Hofstede, 2001, 2003; Encyclopaedia Britannica, 2004). Considering these facts, it seems instrumental that our attention should be focussed on the conflict handling style of female teachers in collectivist countries. The article seeks to find conflict handling strategies commonly used by women in collectivist societies based on research findings on organisational conflicts and devises a conflict management model for educational administrators that takes into account females’ conflict handling style in collectivist societies. Conflicts in Organisations Views on organisational conflicts have changed dramatically. In the past, organisational conflicts were seen as an organisational malfunction (Owens, 2004; Shelton & Darling, 2004; Vecchio, Hearn, & Southey, 1992). From the bureaucratic point of view, organisational conflict is a sign of the management’s incompetence in exercising control over the organisation (Owens, 2004; Stoner et al, 1994). Now, organisational conflicts are perceived more positively (Owen, 2004; Shelton & Darling, 2004). Organisational conflicts, including conflicts in schools, are inevitable and they can bring innovation and changes in organisations (Jehn, 1995; Shelton & Darling, 2004; Newhouse & Neely, 1993; Szilagyi & Wallace, 1990; Vecchio et al, 1992). What managers should do is minimise the negative aspects and optimise the positive aspects of a conflict (Owen, 2004; Stoner et al, 1994). To understand organisational conflicts, it is necessary to discuss the definition, causes, types and effects of organisational conflicts. Rahim (2002, p. 2) defines conflict as “an interactive process manifested in incompatibility, disagreement, or dissonance within or between 58 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 social entities (i.e., individual, group, organization, etc).” According to Stoner et al (1994, p. 315) organisational conflict is “a disagreement between two or more organisation members or groups.” There are many causes of conflicts in organisations. For instance, limited resources can cause organisational conflicts (Owens, 2004; Rahim, 2002; Stoner et al, 1994; Szilagyi & Wallace, 1990). Schools within a school district often compete to attain limited resources such as manpower or money (Stoner et al, 1994). It is also uncommon for units or individuals within organisations to strive to achieve different goals (Owens, 2004; Stoner et al, 1994; Szilagyi & Wallace, 1990). In big universities, it is possible that a faculty develops specific goals that are not compatible with other faculties’ goals. Researchers often distinguish two types of conflict: cognitive and affective conflicts (DiPaola & Hoy, 2001; Jehn, 1997). Cognitive conflict or substantive conflict is a disagreement concerning a task (DiPaola & Hoy, 2001; Jehn, 1997; Szilagyi & Wallace, 1990). Jehn (1995) found that cognitive or substantive conflict can have good impacts on groups when they are dealing with non-routine tasks because different ideas can bring better solutions to a problem. Affective conflict takes place when someone or a group’s feelings or attitudes do not match others’ feelings or attitudes (Szilagyi & Wallace, 1990). Jehn (1995, 1997) argued that affective conflicts are detrimental for organisations. They reduce employees’ job loyalty to the organisations and impede the organisations’ performance (Jehn, 1995, 1997). Nevertheless, the effects from excessive conflicts of any type can seriously paralyse an organisation because cognitive conflicts can also lead to affective conflicts (DiPaola & Hoy, 2001; Rahim, 2002). There are a lot of different classifications of organisational conflict’s effects (Stoner et al, 1994; Szilagyi & Wallace, 1990). A full discussion of those classifications might not be appropriate here. Owen (2004) suggests the use of organisational performance as a criterion to determine whether effects of organisational conflict are negative or positive. Negative effects of organisational conflicts may occur when conflicts are poorly managed and lead to unhealthy competition and hatred among the organisation’s personnel; thus, lowering the organisational performance (Owen, 2004). Conflicts can have positive effects when they are Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures managed effectively and result in an atmosphere of collaboration and support that increases organisational performance (Owen, 2004). Managing Conflicts Concern for People (Blake & Mouton) Party’s Desire to Satisfy Other’s Concerns (Thomas) Concern for Others (Rahim) Concern for Relationships (Hall, Renwick) Robbins (1978) differentiated conflict management and conflict resolution. Conflict resolution is the elimination or reduction of conflicts (Robbins, 1978). On the other hand, conflict management is the design of schemes to minimise the negative effects of conflicts and maximise their positive impacts in order to improve organisational learning and effectiveness (Rahim, 2002). Therefore, conflict management does not always seek to eliminate all conflicts; it sometimes tries to promote some conflicts when the impacts can be positive for the organisation’s performance (Robbins, 1978). Rahim (2002) suggested that a good conflict management strategy should identify the appropriate conflict handling or resolution style. Basically, there are five conflict handling styles (Holt & DeVore, 2005). These styles are based on two dimensions involved when a person is facing an organisational conflict—concern for others and concern for self (Holt & DeVore, 2005; Owen, 2004; Rahim, 2002; Thomas, 1976). Hence, this model is occasionally called the dual concern model (Tjosvold & Sun, 2002). Theorists have come up with different terms for these dimensions and styles. Holt and DeVore (2005) provided an overlay of conflict handling styles and the theorists who proposed them, which is shown in figure 1. Among these different theorists, Thomas’ model (1976) is one of the most frequently quoted in textbooks (see French, Kast & Rozenweig, 1985; Owen, 2004; Szilagyi & Wallace, 1990; Robbins et al, 1994). Using Thomas’ (1976) terms, the five conflict handling styles are accommodative, collaborative, compromise, avoidant and competitive. People with competitive conflict handling style want to win their own concerns without thinking about others’ concerns (Thomas, 1976). On the contrary, people with accommodating style try to win other’s concerns without considering their own concerns (Thomas, 1976). Compromise takes place when both conflicting parties are willing to give up some of their concerns to find a middle ground (Thomas, 1976; Robbins et al, 1994). Collaborative style seeks to fully satisfy the concerns of both conflicting parties, which is also known as the win-win concept (Thomas, 1976; Owen, 2004). Avoidance takes place when people do not care about the other party’s concerns and Smoothing (Blake & Mouton Ronwick) Accomodating (Thomas) Obliging (Rahim) Yield-Lose (Hall) Problem-Solving (Blake & Mouton) Confronting (Renwick) Collaborating (Thomas) Integrating (Rahim) Synergistic (Hall) Compromising (Blake & Mouton, Renwick, Thomas, Rahim, Hall) Withdrawing (Blake & Mouton, Renwick) Avoiding (Thomas, Rahim) Lose-Leave (Hall) Forcing (Blake & Mouton) Competing (Thomas) Dominating (Rahim) Win-Lose (Hall) Concern for Production (Blake & Mouton) Party’s Desire for Own Concern (Thomas) Concern for Self (Rahim) Concern for Personal Goals (Hall, Renwick) Figure 1. Overlay of conflict handling styles and authors. Source: Holt & DeVore, 2005, p. 168. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 59 Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures their own concerns (Thomas, 1976). Rahim (2002) developed a list that matched each conflict handling style with the situations where it could be appropriate or inappropriate. For example, collaborative style is appropriate when there is a complex problem and time is available for solving it (Rahim, 2002). It is unnecessary when the problem is straightforward and a decision is needed urgently (Rahim, 2002). This conceptualisation of conflict handling style has received some criticisms despite its wide acceptance (Knapp, Putnam & Davies, 1988; Volkema & Bergmann, 1995). The dual concern conflict handling style theory seemingly postulates that when someone faces a conflict situation, only one conflict handling style is employed (van de Vliert, Euwema & Huismans, 1995). Research has shown that in many conflict situations, people use a variety of conflict handling styles (van de Vliert et al, 1995; Volkema & Bergmann, 1995). Van de Vliert and Hordijk (1989) found that compromising was similar to collaborating and questioned the validity of compromising as a distinct conflict handling style from the other four styles. In a study of the influence of Confucian ethic on conflicts, Yan and Sorenson (2004) stated that the dual concern model was inadequate to explain the complexity of conflict handling styles in non-Western culture, and proposed a new model for cultures influenced by Confucianism. Similarly, TingToomey et al (2000) identified seven conflict handling styles used by various ethnic groups within the United States, more than the widely accepted five styles proposed by the dual concern model. However, the model is still popular and widely used in research literature (Holt & DeVore, 2005). Conflict Handling Style in Collectivist Cultures The inclusion of cross-cultural differences in conflict management literature stems from the acknowledgement that conflict management theories have a Western bias and are not adequate to handle conflicts effectively in other cultures (Ting-Toomey, 1999; Yan & Sorenson, 2004). Therefore, researchers try to compare and contrast conflict handling styles of people from different countries and different ethnic groups within a multicultural country (Elsayed-Ekhouly & Buda, 1996; Ting-Toomey et al, 2000). Hofstede (1980) grouped countries based on four dimensions—individualism vs. collectivism, feminine vs. masculine, high vs. low power distance, high vs. low uncertainty avoidance. The individualism vs. collectivism dimension is the most widely utilized by researchers to group different cultures and their preferred conflict handling styles (Morris et al, 1998). The United States is a country high in individualism, while many Asian and Latin American countries are highly collectivist (Hofstede, 2001). Presumably, collectivist cultures use more other-oriented conflict handling style such as accommodating, avoiding and compromising, while individualist cultures use more self-oriented conflict handling styles such as collaborating, compromising, and competing (Elsayed-Ekhouly & Buda, 1996; Holt & DeVore, 2005; Leung, Koch, & Lu, 2002; Morris et al, 1998). Because compromising is a halfway between the desires for self concern and other’s concern, it is likely to be used by both collectivist and individualist cultures (Holt & DeVore, 2005). Based on recent studies on cross-cultural differences in conflict handling styles, there is a Table 1. Research findings of types of culture and conflict handling styles Research Conflict Handling Styles and the Type of Culture that uses them Accommodating Collaborating Compromising Avoiding Competing Individualist Collectivist Individualist Collectivist Individualist Morris et al Collectivist Individualist Ting-Toomey et al Collectivist Elsayed-Ekhouly & Bu da Holt & DeVore Ting-Toomey 60 Collectivist Collectivist Collectivist Collectivist Individualist Collectivist Collectivist Collectivist Individualist Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures conclusion that can be drawn. Elsayed-Ekhouly method of handling conflict in individualist and Buda (1996) compared conflict handling cultures, and avoiding and collaborating styles styles between Middle-East Arab and American as the preferred conflict handling strategies in executives. They found that collectivist Arabs collectivist cultures. It does not mean that people used collaborating and avoiding style more than in collectivist culture do not engage in competing individualist Americans. Americans tended to style at all nor people in individualist culture do choose accommodating, competing and not use avoiding and collaborating styles in compromising conflict handling styles. Morris handling conflicts. People in collectivist cultures et al (1998) studied conflict handling styles may use competing style but to a lesser degree or among young managers in India, China, the frequency than people in individualist cultures, Philippines and the U.S. and found that and similarly, people in individualist cultures collectivist Chinese managers tended to use may use avoiding and collaborating conflict avoiding more than Americans, while American handling styles but to a lesser degree than people managers preferred competing style. Based on in collectivist cultures (Chew & Lim, 1995). the findings of her earlier studies, Ting-Toomey (1999) stated that individualists used more competing style. Collectivists used more Female Conflict Handling Style collaborating and compromising styles, and in task related conflicts, they tended to use Researchers hypothesise that males and females accommodating and avoiding styles (Ting- handle conflicts differently (Shockley-Zalabak, Toomey, 1999). In a study of ethnic identity and as cited in Holt & DeVore, 2005). Traditionally, conflict styles in females are expecA m e r i c a , ted to be caring and receptive, TingToomey et al while males are (2000) found Asi... females were more likely to expected to be an Americans use compromise than males in straightforward, used avoiding both collectivist and independent and conflict handling individualist cultures, while men d o m i n a n t style more than (Hofstede, 2001). preferred using competing style European and Based on this African Amemore than females in traditional view, ricans. It was individualistic cultures. the concern for postulated that other dimension Asian Americans of the dual conwho still strongly identified themselves with their traditional ethnic cern model can be interpreted as a feminine values were more collectivist than European quality in handling conflict and the concern for Americans. Holt and De Vore (2005) conducted self dimension can be viewed as a masculine a meta-analysis of several studies on culture and quality (Hofstede, 2001). Consequently, women conflict management. They concluded that are presumed to resolve conflicts by individu-alistic cultures were more likely to accommodating, avoiding and compromising, choose competing style and named avoidance, while men are hypothesised to handle conflicts compromise and collaboration as the preferred by collaborating and competing (Holt & DeVore, methods of conflict handling in collectivist 2005). Research of female conflict handling style cultures. A summary of the results of these has been unable to establish a strong conclusion studies is presented below. about the preferred conflict handling style among There are some conflicting findings between females (Brewer, Mitchell, & Weber, 2002; Holt & these studies, particularly the attribution of DeVore, 2005). Sternberg and Dobson (1987) compromising and accommodating as the found that there were no significant differences preferred conflict handling styles of both between male and female conflict handling style. collectivist and individualist cultures. The Bedell and Sistrunk (1973) found that women conclusion that can be drawn from these studies is the similarity between these studies in were more competitive than men in handling identifying competing style as the preferred conflicts. Rahim (1983) found that women were Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 61 Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures more likely to employ collaborating, avoiding and compromising than men. To establish a more reliable conclusion, Holt and DeVore (2005) conducted a meta-analysis into this problem based on data gathered from previous 36 studies and found that females were more likely to use compromise than males in both collectivist and individualist cultures, while men preferred using competing style more than females in individualistic cultures. Although the metaanalysis gave some support for the general proposition about the female preferred conflict handling style, it was still disappointing because the meta-analysis found that collectivist males chose conflict avoidance while the females chose collaboration, which seemed contradictive to the general proposition about gender differences in conflict handling style (Holt & DeVore, 2005). Brewer et al (2002) studied gender roles instead of pure biological sex in relation to conflict handling style in order to find a more satisfactory result. Gender roles are learned patterns of masculine and feminine features which can determine how a person behaves (Cook, as cited by Brewer et al, 2002). This is similar with Hofstede’s (2001) idea about femininity and masculinity in various national cultures. It is possible that a female takes a more masculine gender role because she is ‘forced’ by her condition to be more assertive and competitive. A lot of female managers have more masculine characteristics than most women (Fagenson, 1990). Moreover, Cubillo and Brown (2003) stated that schools with their educating and nurturing roles were associated with feminine characteristics. It is possible that male teachers may adopt many qualities of the feminine gender role in order to fit in schools. Brewer and others (2002) predicted that people with a masculine gender role preferred competing and those with feminine gender roles preferred accommodating and avoiding conflict handling styles. Androgynous people, those with both masculine and feminine gender roles, were predicted to use integrating and compromising styles more than the others. These propositions about gender roles were partially supported by their research findings. Avoiding style could be attributed to the female biological sex and feminine gender role. Androgynous individuals used integrating style and masculine individuals tended to use competing style. This research by Brewer et al (2002) seemingly gives a clearer explanation of 62 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 the general assumption about the differences between females and males’ conflict handling styles using the notion of gender roles. Brewer et al’s study (2002) might look promising, but it has not been replicated in a wider population and different cultures. Holt and DeVore’s meta-analysis (2005) and Brewer et al’s research (2002) do not show a very strong correlation between gender and a particular conflict handling style. The two studies recommend a search for more sophisticated explanation about gender and conflict handling style (Brewer et al, 2002; Holt & DeVore, 2005). Researchers need to move beyond gender, explore the role of power and perception, and observe actual behaviour to further investigate the female conflict handling style (Brewer et al, 2002; Holt & DeVore, 2005; Klenke, 2003). As researchers continue to look for more reliable explanations about female conflict handling style, we seemingly have to make do with the available research. Because research has shown that collectivist cultures tend to use avoiding and collaborating styles, and people with feminine gender role, which include both women and men, tend to prefer avoiding along with compromising style, there is a possibility that the avoiding style is frequently used by both males and females in collectivist cultures. Thus, our focus should be on the use of conflict avoidance in collectivist cultures. Avoiding Conflict Avoiding conflict has been viewed as a rather negative style of handling conflict. Western researchers have found that conflict avoidance is counterproductive, while handling conflict openly is beneficial for settling relationship issues and increasing productivity (DeDreu & Vandevliert, as cited in Tjosvold & Sun, 2002; Gross & Guerrero, 2000; Jehn, 1997). Based on the dual concern model, avoiding is seen as an egoistic way of solving conflict because the person who employs it has a low level of concern for relationships and solving the problem (Tjosvold & Sun, 2002). Szilagyi and Wallace (1990) and Owen (2004) described avoiding as essentially not dealing with a conflict because the conflict still remained unsolved. This negative perception of avoiding conflict might not be suitable for collectivist cultures in the East (Morris et al, 1998). For collectivist Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures cultures, avoiding conflict is appropriate because consequences of avoiding conflict. Conflict interpersonal relationships are highly valued avoidance can increase productivity and (Leung et al, 2002; Tjosvold & Sun, 2002). They strengthen relationships when the previous do not want other people to ‘lose face’ in public relationship between the conflicting parties is and there is a culture of not to argue (Ting- already effective. However, when the prior Toomey, 1999; Holt & DeVore, 2005). In the East, relationship is bad, conflict avoidance can conflict avoidance may be motivated by the idea reduce productivity and weaken the already of supporting relationships and promoting the fragile relationship. goals of both parties involved in the conflict, not This exploratory study about avoiding because the conflicting parties have low concern conflict in China by Tjosvold and Sun (2002) has for relationship and solving the problem some weaknesses that warrant further (Tjosvold & Sun, 2002). explanation and research. First, the idea of Tjosvold and Sun (2002) studied conflict outflanking is very interesting and it can show avoidance in China and hypothesised that four that collectivists are not passive in handling interrelated elements—prior relationship conflict. However, outflanking might not be between the conflicting parties, motivation to suitable to be classified as a strategy of conflict avoid conflict, avoiding strategies and the avoidance, because it involves using a third party consequences—should be considered in to influence the other protagonist. Ting-Toomey understanding et al (2000), for c o n f l i c t i n s t a n c e , avoidance. They classified the use of identified two a third party as a In the East, conflict avoidance may strategies of avoidistinct way of be motivated by the idea of ding conflict in handling conflict. supporting relationships and China. The first Furthermore, the strategy is conforpromoting the goals of both parties study was based ming—comon responses of a involved in the conflict, not plying with the rather limited because the conflicting parties have other’s decision number of responlow concern for relationship and and concealing dents in Southern solving the problem the expression of China, so further unhappiness. studies are needed This fits with the to replicate the common depicresearch with more tion of avoiding conflict as a passive conflict respondents in other parts of China (Tjosvold & handling style. The second is outflanking— Sun, 2002). Therefore, we do not know whether trying to work around the other party involved the results of this study can be applied in other in the conflict. It is a proactive and goal-driven collectivist cultures or not. Unfortunately, action of avoiding conflict. People using empirical studies of conflict avoidance in other outflanking “collect information, pursue their collectivist cultures are not available. objectives as best they can, and try to influence the other protagonist through a third party” (Tjosvold & Sun, 2002, p. 154). The effects of these Conflict Management Model for two strategies are different. Conforming is Educational Administrators correlated with increased respect for the other party; however, it is of little use and should not Based on the discussion above, it seems quite be used extensively. Outflanking is more clear that we cannot draw a solid conclusion productive. It increases the performance and about conflict avoidance in collectivist cultures. confidence of its users because the conflicting Nevertheless, if Tjosvold and Sun’s (2002) parties become more creative and active to find a finding can be generalised for most collectivist better solution for the problem without becoming cultures, we can devise a conflict management engaged in a conflict. They also found that the model for schools that takes into account the previous relationship played a central role in preference of avoiding conflict in collectivist determining the motivation, strategy and cultures. Rahim (2002) developed a conflict Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 63 Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures management model that formed the basis for devising conflict management strategies for the current study. In this paper, the focus of conflict management is on the process intervention. Process intervention is managing conflict by helping the organisation’s personnel learn how to match the conflict handling styles with the nature of the conflict situation (Rahim, 2002). The diagram in the next page outlines a model of conflict management for educational administrators. The following paragraphs explain the model and steps of managing conflict. The first step of managing conflict is diagnosing the organisation. A school administrator needs to investigate whether there are conflicts in the school or not. If there is no conflict, the administrator still needs to conduct conflict handling training for the teachers and other staff so they can match the conflict handling styles with the conflict situation. After training the staff about the need to maintain some constructive conflicts in the organisation and the appropriate ways of handling conflicts based on the situation, then the administrator can stimulate some conflicts in the organisation (Rahim, 2002). This might seem contradictory to the findings that schools are effective when teachers collaborate and do not fight among each other (Ayres et al, 2000; Aubrey-Hopkins & James, 2002). Stimulating conflict does not mean that teachers should fight among each other and stop working together. The type of conflict stimulated in conflict management is cognitive conflict that challenges teachers to test their ideas or practices against each other (Rahim, 2002). For instance, by sharing their teaching practices, the teachers engage in a discussion that might lead to a conflict about the best way to teach a subject. Through such conflict, the teachers enrich each other’s knowledge and increase the effectiveness of their teaching. Some ways to stimulate conflicts include bringing in outsiders, people who have a different background or perspective from the present staff, and having a devil’s advocate who deliberately criticise the majority’s practice or opinion (Robbins, as cited in Robbins et al, 1994). Because the teachers have already been trained to handle conflicts effectively, they are expected to be able to understand functions of conflicts and how to deal with conflicts wisely. If there are conflicts, an administrator should clarify whether the conflicts are constructive or destructive (DiPaola & Hoy, 2001; Diagnosis No conflict Conflict exists Conflict handling style training Destructive conflict Constructive conflict Stimulate constructive conflict Resolve conflict Conflict handling style training Teachers understand how to solve and maintain conflict effectively Maintain constructive conflict at an acceptable level Increased organisational performance Figure 2. Conflict management model for educational administrators 64 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures Rahim, 2002). Excessive affective conflicts are destructive, while a moderate amount of cognitive conflicts is constructive for organisations (Jehn, 1997; Rahim, 2002). Destructive conflicts need to be tackled immediately. Administrators should understand the causes of conflicts and use good communication skills when handling conflicts (DiPaola & Hoy, 2001; Newhouse & Neely, 1993). Destructive conflicts should be handled by utilising cooperative problem-solving which attempts to integrate the different interests of the conflicting parties to achieve a mutually satisfying solution (DiPaola & Hoy, 2001). Administrators should avoid using competitive and authoritarian ways to resolve conflicts because research has shown that such ways can actually worsen the conflicts (DiPaola & Hoy, 2001). There can be two results of this intervention. The conflicts can disappear and when they have disappeared, the situation becomes similar with the no conflict situation. Administrators should then take the steps outlined in the previous paragraph. Another possibility is the alteration of destructive conflicts into constructive conflicts. For example, after an affective conflict has been solved, some different opinions may persist but the conflicting teachers begin to see each other not as enemies but as partners in developing their school. This brings us to the next discussion about managing constructive conflicts. When constructive conflicts are identified in a school, they should be maintained and the staff should be aware of conflict handling strategies to prevent the constructive conflicts turn destructive. Therefore, teachers should be trained to utilise the suitable conflict handling strategies although the conflicts are already constructive. The result should be the teachers’ increased understanding of how to maintain constructive conflicts and when this ideal is achieved, the performance of the organisation can increase as well (Rahim, 2002). Although the performance increases, continuous diagnosis is an important part of educational administrators’ duty to maintain constructive conflicts at the appropriate level, reduce destructive conflicts, and stimulate conflicts when there is no conflict (Owen, 2004). Because there is a big possibility that teachers choose avoiding style in collectivist cultures, special attention is needed for this particular conflict handling style. Administrators need to put special emphasis on conflict avoidance in the conflict handling training. Based on the studies by Tjosvold and Sun (2002) and Rahim (2002), there are two salient factors that should be taken into account to ensure that avoiding conflict can be positive—prior relationship and the importance of the issue. Borrowing Hoy and Tarter’s (1993) decision making model, a model of the interaction between prior relationship, importance of the issue and conflict handling style is depicted below. This model can be included in conflict handling training for teachers in collectivist cultures. Importance Relationship Positive Important Unimportant Outflank Conform Negative Collaborate or compromise Accommodate Figure 3. The interaction between prior relationship and importance in determinin conflict handling style When the previous relationship was good, one of the strategies of conflict avoidance should be considered. When the issue is important, avoiding conflict by outflanking is suitable. The conflicting parties do not engage in open conflict; rather, they try to investigate the problem more deeply and determine the goals that they want to achieve (Tjosvold & Sun, 2005). They also make use of a third party that can act as a mediator and influence the other party to agree, so a conflict does not occur and slow down the quest of finding the best solution for an important issue (Tjosvold, 2005). Because the relationship is already good, there is a trust that the other party will not plan something bad or cause someone to ‘lose face’ (Tjosvold & Sun, 2005). When the issue is not important, conforming can be a good choice. One of the conflicting parties can just agree with the opinion or decision of the other party because the problem is not important and instigating conflict may just harm the already good relationship without achieving anything important. When prior relationship is bad, avoiding conflict is not appropriate and other conflict handling styles are needed (Tjosvold & Sun, Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 65 Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures 2005). When conflicting parties distrust one another, avoiding conflict and being not open to the other party cannot fix the problem and can even increase the distrust (Tjosvold & Sun, 2005). Collaborating or compromising might be needed when the issue is important. The conflicting parties need to be open, confront, and discuss the matter with one another preferably to achieve a win-win solution. If it is not possible to achieve a win-win solution, a compromise can be considered. When the issue is not important, accommodating can be appropriate. After confronting one another, one of the conflicting parties may be willing to give up their standing, because the issue is not important for that party or it is in a weaker position. Competing is less likely to be chosen by collectivists and feminine people in any circumstances; hence, it is not included in this discussion. There are some limitations of the two models described in this paper. The conflict management model for educational administrators outlines the general steps to manage conflicts by using process intervention. However, there are still other interventions that can be used to manage conflicts (Rahim, 2002; Robbins, as cited in Robbins et al, 1994). Furthermore, the two aspects of the conflict avoidance model are not the only ones that should be considered when using conflict avoidance. Other aspects that can be considered include shared goals, interdependence of the conflicting parties and availability of time (Rahim, 2002; Tjosvold & Sun, 2002). Moreover, teachers may have been trained to handle conflict effectively, but it might be unrealistic to expect them to be always aware of the conflict handling styles and appropriate situations in which to use each style. Administrators may need to find other ways to manage conflicts besides using conflict handling training. A further elaboration of the above model is needed but limited space does not allow a more detailed discussion. Conclusion This study has investigated conflict handling styles in conjunction with gender and cultural differences. Research has found collectivist cultures tend to use avoiding as well as collaborating style in handling conflicts (Elsayed-Ekhouly & Buda, 1996). People with feminine gender role, both men and women, are 66 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 more likely to avoid conflict (Brewer et al, 2002). In a collectivist culture, avoiding conflict can be useful and appropriate (Morris et al, 1998). Prior relationship plays an important role in determining the outcome of avoiding conflict in China because positive prior relationship can bring good outcomes but bad prior relationship might be disastrous for the conflict and the relationship itself (Tjosvold & Sun, 2002). The paper has developed a conflict management model for educational administrators. A discussion about the appropriate situation to employ conflict avoidance in collectivist cultures is also provided. As this study is based on some assumptions, more research is needed to verify those assumptions. Although the models developed in this paper can guide administrators to manage conflicts, more elaboration is required to devise more comprehensive models. References Aubrey-Hopkins, J. & James, C. (2002). Improving practice in subject departments: the experience of secondary school subject leaders in Wales. School Leadership and Management, 22(3), 305-320. Ayres, P., Dinham, S. & Sawyer, W. (2000). Successful senior secondary school teaching. Paper No. 1 in the Quality Teaching Series. Deakin West, ACT: Australian College of Education. Brew, F.P., & Cairns, D.R. (2004). Styles of managing interpersonal workplace conflict in relation to status and face concern: A study with Anglos and Chinese. The International Journal of Conflict Management, 15(1), 27-56. Retrieved September 27, 2005, from http://www.umi.proquest.com. Brewer, N., Mitchell, P.,& Weber, N. (2002). Gender role, organizational status, and conflict management styles. The International Journal of Conflict Management, 13(1), 78-94. Retrieved September 27, 2005, from http:// www.umi.proquest.com. Cubillo, L., & Brown, M. (2003). Women into educational leadership and management: International differences? Journal of Educational Administration, Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures 41(3), 278-291. Retrieved September 28, 2005, from http://www.emeraldinsight. com/0957-8234.htm. Derr, C.B. (1972). Conflict resolution in organizations: Views from the field of educational administration. Public Administration Review, 32 (5), 495-501. Retrieved September 27, 2005, from http://links.jstor.org. DiPaola, M.F., & Hoy, W.K. (2001). Formalization, conflict, and change: constructive and destructive consequences in schools. The International Journal of Educational Management, 15 (4-5), 238-244. Retrieved October 12, 2005, from http:// www.umi.proquest.com. Elsayed-Ekhouly, S.M., & Buda, R. (1996). Organizational conflict: A comparative analysis of conflict styles across cultures. The International Journal of Conflict Management, 7(1), 71-81. Retrieved September 27, 2005, from http:// www.umi.proquest.com. Fagenson, E.A. (1990). Perceived masculine and feminine attributes examined as a function of individuals’ sex and level in organizational power hierarchy: A test of four theoretical perspectives. Journal of Applied Psychology, 75(2), 204-211. Retrieved October 9, 2005, from http:// gateway.ut.ovid.com. French, W.L., Kast, F.E. & Rozenweig, J.E. (1985). Understanding human behaviour in organizations. New York: Harper & Row. Gross, M.A., & Guerrero. (2000). Managing conflict appropriately and effectively: An application of the competence model to Rahim’s organizational conflict styles. International Journal of Conflict Management, 11(3), 200-226. Retrieved October 15, 2005, from http:// www.umi.proquest.com. Gold, A. (1996). Women into educational management. European Journal of Education, 31 (4), 419-433. Hofstede, G. (1980). Culture’s consequences: International differences in work-related values. Beverly Hills, CA: Sage Publications. Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations, 2nd ed. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Hofstede, G. (2003). Cultural constraints in management theories. In L.W. Porter, G.A. Bigley, & R.M. Steers (Eds.) Motivation and work behavior, 7th ed (pp. 344-357). New York: McGraw-Hill Higher Education. Holt, J.L., & DeVore, C.J. (2005). Culture, gender, organizational role, and styles of conflict resolution: A meta-analysis. International Journal of Intercultural Relations, 29, 165196. Retrieved September 24, 2005, from http://www.elsevier.com/locate/ ijintrel. Hoy, W.K., & Tarter, C.J. (1993). A normative theory of participative decision making in schools. Journal of Educational Administration, 31 (3), 4-19. Indonesia. (2004). In Encyclopaedia Britannica Standard Edition 2004 CD-ROM. Copyright 1994-2003. Encyclopaedia Britannica, Inc. May 30, 2003. Jehn, K.A. (1995). A multimethod examination of the benefits and detriments of intragroup conflict. Administrative science quarterly, 40(2), 256-282. Retrieved September 29, 2005, from http:// links.jstor.org. Jehn, K.A. (1997). A qualitative analysis of conflict types and dimensions in organizational groups. Administrative science quarterly, 42(3), 530-557. Retrieved September 29, 2005, from http://links.jstor.org. Klenke, K. (2003). Gender differences in decisionmaking processes in top management teams. Management Decision, 41 (10), 1024-1034. Retrieved September 28, 2005, from http://www.umi.proquest.com. Knapp, M.L., Putnam, L.L., & Davis, L.J. (1988). Measuring interpersonal conflict in organizations: Where do we go from here? Management communication quarterly, 1(3), 414-429. Retrieved October 5, 2005, from http://ft.csa.com. Krüger, M.L. (1996). Gender issues in school headship: Quality versus power? European Journal of Education, 31 (4), 447-460. Leung, K., Koch, P.T., & Lu, L. (2002). A dualistic model of harmony and its implications for conflict management in Asia. Asia pacific journal of management, 19, 201-220. Retrieved October 8, 2005 from http:// www.umi.proquest.com. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 67 Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures Morris, M.W. et al (1998). Conflict management style: Accounting for cross-national differences. Journal of International Business Studies, 29(4), 729-747. Retrieved September 30, 2005, from http:// links.jstor.org. Newhouse, R.C., & Neely, M. (1993). Conflict resolution: An overview for classroom managers. International journal of educational management, 7(3), 4-8. Retrieved October 11, 2005, from http:/ /www.umi.proquest.com. Owens, R.G. (2004). Organizational behaviour in education: Adaptive leadership and school reform. Boston, MA: Pearson. Pakistan. (2004). In Encyclopaedia Britannica Standard Edition 2004 CD-ROM. Copyright 1994-2003. Encyclopaedia Britannica, Inc. May 30, 2003. Rahim, M.A. (1983). A measure of styles of handling interpersonal conflict. Academy of Management Journal, 26(2), 368-376. Rahim, M.A. (2002). Toward a theory of managing organizational conflict. The International Journal of Conflict Management, 13(3), 206-235. Retrieved September 26, 2005, from http:// www.umi.proquest.com. Robbins, S.P. (1978). “Conflict management” and “conflict resolution” are not synonymous terms. California Management Review, 21, 67-75. Retrieved October 11, 2005, from http:// www.umi.proquest.com. Shelton, C.D., & Darling, J.R. (2004). From chaos to order: Exploring new frontiers in conflict management. Organization Development Journal, 22(3), 22-41. Retrieved October 7, 2005, from http:// www.proquest.umi.com. Sternberg, R.J., & Dobson, D.M. (1987). Resolving interpersonal conflict: An analysis of stylistic consistency. Journal of Personality and Social Psychology, 52(4), 794-812. Retrieved October 9, 2005, from http://gateway.ut.ovid.com. Stoner, J., Yetton, P., Craig, J., & Johnston, K. (1994). Management in Australia. Sydney: Prentice-Hall. Szilagyi, A.D. & Wallace, M. J. (1990). Organizational behavior and performance, 4th ed. Glenview, Il: Scott, Foresman and Company. 68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Thomas, K. (1976). Conflict and conflict management. In M.D. Dunnette (Ed.) Handbook of industrial and organizational psychology (pp. 889-935). Chicago: Rand McNally. Ting-Toomey, S. (1999). Communicating across cultures. New York: Guilford Press. Ting-Toomey, S. et al (2000). Ethnic/cultural identity salience and conflict styles in four US ethnic groups. International Journal of Intercultural Relations, 24, 4781. Retrieved September 28, 2005, from http://www.elsevier.com. Tinsley, C.H., & Weldon, E. (2003). Responses to a normative conflict among American and Chinese managers. International Journal of Cross Cultural Management, 3(2), 183-194. Retrieved September 27, 2005, from http://www.umi.proquest.com. Tjosvold, D., & Sun, H.F. (2002). Understanding conflict avoidance: Relationship, motivations, actions, and consequences. The International Journal of Conflict Management, 13(2), 142-164. Retrieved October 10, 2005, from http:// www.umi.proquest.com. Van de Vliert, E., Euwema, M.C., & Huismans, S.E. (1995). Managing conflict with a subordinate or a superior: Effectiveness of conglomerated behaviour. Journal of Applied Psychology, 80, 271-281. Retrieved October 5, 2005, from http:// gateway.ut.ovid.com. Van de Vliert, E., & Hordijk, J.W. (1989). A theoretical position of compromising among other styles of conflict management. The Journal of Social Psychology, 129(5), 681-690. Retrieved October 5, 2005, from http:// content.epnet.com. Vecchio R. P., Hearn, G. and Southey, G. (1992). Organisational Behaviour: Life at work in Australia. Sydney: HBJ. Volkema, R.J., & Bergmann, T.J. (1995). Conflict styles as indicators of behavioral patterns in interpersonal conflicts. The Journal of Social Psychology, 135 (1), 5-15. Retrieved October 5, 2005, from http:// content.epnet.com. Yan, J., & Sorenson, R.L. (2004). The influence of Confucian ideology on conflict in Chinese family business. International Journal of Cross Cultural Management, 4(1), 5-17. Retrieved September 27, 2005, from http://www.proquest.umi.com Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi Opini Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi Guru dalam Rangka Membangun Keunggulan Bersaing Sekolah David Wijaya*) Abstrak alah satu faktor penentu keberhasilan/kegagalan sekolah adalah faktor sumber daya manusia (SDM) pendidikan. Keunggulan bersaing sekolah sangat ditentukan oleh mutu SDM pendidikan. Penanganan SDM pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh dalam kerangka sistem pengelolaan SDM pendidikan yang bersifat strategis, terintegrasi, saling berkaitan, dan bersatu-padu. Sekolah sangat membutuhkan SDM pendidikan yang kompeten dan memiliki kompetensi tertentu yang dibutuhkan agar dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan pekerjaannya. S Kata kunci: Manajemen SDM pendidikan, kompetensi guru, keunggulan bersaing sekolah. The success or the failure of a school is influenced by several factors, one of which is the available human resources. This article is of the opinion that qualified and profesional human resources enable school to develop and compete. The school is expected to manage its personnel appropriately and motivate them to complete their task successfully. Pendahuluan Sumber daya manusia (SDM) dalam suatu organisasi merupakan komponen utama bagi keberlangsungan hidupnya. Faktor sarana dan prasarana, sistem, serta bahan merupakan komponen pelengkap terhadap SDM. Semua fasilitas, aset, dan prasarana lainnya tidak dapat berfungsi optimal jika tidak tersedia SDM sebagai “penggerak” dari suatu sistem,di samping komponen lainnya (kurikulum, sarana, dan prasarana). Istilah SDM menjadi populer dalam dunia pendidikan ketika Prof. Wardiman Djojonegoro menjadi menteri pendidikan pada zaman Orde Baru, padahal istilah ini lebih banyak dipakai di dalam dunia bisnis, dan menteri pendidikan sebelumnya tidak pernah menggunakan istilah tersebut dalam dunia pendidikan. Kualitas SDM di dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan “roh” dari sekolah. Soft property ini menggerakkan sistem kurikulum serta sarana dan prasarana lainnya (hard property) sehingga layanan pendidikan dapat terselenggara. Guru dalam proses pembelajaran berfungsi sebagai motivator dan fasilitator bagi siswa untuk mengembangkan potensinya secara optimal dengan mendayagunakan semua sarana pembelajaran yang tersedia serta sistem pembelajaran yang kondusif. Up-grade kemampuan profesional guru menjadi suatu keharusan yang tidak boleh diabaikan. Akan tetapi, Ubrodiyanto (2007) menemukan beberapa kendala di dalam tataran praktis pengembangan kualitas guru: 1. Pengembangan kualitas guru merupakan investasi yang hasilnya tidak bersifat instant atau merupakan investasi jangka panjang (long-term investment). Sementara di dalam *) Alumni SMAK 3 BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 69 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi tataran praktis pendidikan, masyarakat cenderung menginginkan perubahan serta perkembangan yang bersifat riil dan konkret. 2. Pengembangan kualitas guru mengarah kepada peningkatan soft skill yang tidak berwujud secara fisik. Jadi, perubahan sebagai dampak dari investasi ini akan dapat diketahui tingkat keberhasilannya dalam waktu yang relatif lama. 3. Pengembangan kualitas guru menuntut perencanaan dan pelaksanaan program yang berkesinambungan. Program yang berkesinambungan juga berdasarkan pada pemikiran akan perlunya melakukan refreshing atas kemampuan yang telah dikuasai sebelumnya. Tanpa pengembangan yang berkesinambungan, maka kompetensi guru akan semakin memudar seiring dengan berjalannya waktu. 4. Rawan terjadinya pembajakan atas guru dan tenaga kependidikan yang telah dilakukan up-grade oleh institusi-institusi lainnya dengan berbagai motivasi. Pendidikan memegang peran yang sangat penting di dalam proses peningkatan kualitas SDM. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas SDM itu sendiri. Menyadari akan pentingnya proses peningkatan kualitas SDM tersebut, maka pemerintah terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang berkualitas, antara lain melalui pengembangan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan bahan belajar, serta berbagai pelatihan bagi guru. Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Forward linkage berarti bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern, dan sejahtera. Backward linkage berarti bahwa pendidikan yang bermutu tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yaitu guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Oleh karena keberadaan guru yang bermutu merupakan syarat mutlak lahirnya sistem dan praktek pendidikan yang berkualitas, maka hampir semua bangsa di dunia ini mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di beberapa negara (Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan 70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Amerika Serikat) adalah kebijakan intervensi langsung dalam hal peningkatan mutu serta memberikan jaminan dan kesejah-teraan guru yang memadai. Negara-negara tersebut berupaya meningkatkan mutu guru dengan mengembangkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu dengan melaksanakan sertifikasi guru. Di Indonesia, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan nasional, pemerintah melalui Depdiknas terus berupaya melakukan pembaharuan sistem pendidikan nasional. Salah satu upaya yang telah dilakukan berkaitan dengan faktor guru adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kedua regulasi tersebut merupakan kebijakan pemerintah yang memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Pembaharuan sistem pendidikan tergantung pada bagaimana guru berpikir dan bertindak. Atau dengan kata lain, pembaharuan sistem pendidikan bergantung pada penguasaan kompetensi guru. Meskipun kedua regulasi tersebut telah ditetapkan, namun masih ada berbagai masalah terkait kondisi guru, yaitu: (1) adanya keberagaman kemampuan guru dalam proses pembelajaran dan penguasaan pengetahuan; (2) belum adanya alat ukur yang akurat untuk mengetahui kemampuan guru; (3) pembinaan yang dilakukan terhadap guru belum mencerminkan kebutuhan; dan (4) kesejahteraan guru yang belum memadai. Secara spesifik, Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai. Jika masalah-masalah tersebut tidak diatasi, maka akan berdampak pada rendahnya mutu pendidikan. Sumber Daya Manusia merupakan sumber pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang terakumulasi di dalam suatu organisasi. Dewasa ini, sekolah menghadapi berbagai tantangan kompetitif terkait masalah globalisasi, peningkatan profitabilitas melalui pertum-buhan, modal intelektual, teknologi, serta perubahan yang berkesinambungan. Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, sekolah harus mengembangkan keunggulan Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi intangible atau keunggulan bersaing. Agar dapat menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan, sekolah membutuhkan dukungan kepala sekolah serta karyawan sekolah yang berkualitas. Oleh karena itu, kepala sekolah harus dapat mengembangkan kompetensi, inovasi, dan kreatifitas dirinya, serta berperan sebagai agen perubahan sehingga dapat melihat fungsi-fungsi SDM sebagai sumber keunggulan bersaing sekolah. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan SDM pendidikan yang bersifat strategis, terintegrasi, saling berkaitan, dan bersatu-padu melalui manajemen SDM pendidikan berbasis kompetensi guru. Dengan adanya manajemen SDM pendidikan berbasis kompetensi guru, maka sekolah akan memiliki kepala sekolah yang dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan tepat serta sekolah memiliki guru yang mengetahui apa yang seharusnya dapat dilakukan untuk keberhasilan sekolah. Pada akhirnya, kompetensi apa yang dimiliki dan dikembangkan sekolah terhadap para stakeholders pendidikan tergantung dari visi dan misi sekolah yang bersangkutan dengan melihat pada budaya organisasi sekolah. Kompetensi Guru Kompetensi meliputi pengetahuan, keahlian, sikap, dan perilaku karyawan. Dalam arti luas, kompetensi terkait strategi organisasi. Pengertian kompetensi dapat dipadukan dengan soft skill, hard skill, social skill, dan mental skill (Hanafi, 2007). Soft skill meliputi intuisi dan kepekaan SDM. Hard skill meliputi pengetahuan dan keterampilan fisik SDM. Social skill meliputi keterampilan dan hubungan sosial SDM. Mental skill meliputi mental SDM. Kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu di dalam pekerjaannya (Mitrani et al, 1992). Berangkat dari definisi tersebut, maka kompetensi seorang individu merupakan sesuatu yang melekat dalam dirinya mencakup motif, konsep diri, sifat, pengetahuan, dan keahlian yang dapat digunakan untuk memprediksi kinerjanya. Spencer dan Spencer (1993) membagi kompetensi atas dua kategori. Pertama, threshold competencies, yaitu karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya. Kedua, differentiating competencies, yaitu faktor-faktor yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Misalnya, seorang guru harus mempunyai kemampuan utama mengajar. Itu berarti bahwa pada tataran threshold competencies, selanjutnya apabila guru tersebut dapat mengajar dengan baik, cara mengajarnya mudah dipahami, dan analisisnya tajam sehingga dapat dibedakan tingkat kinerjanya, maka hal-hal tersebut sudah masuk kategori differentiating competencies. Kompetensi dapat dipandang dari keadaan yang sebenarnya terkait dengan individu dan pekerjaannya (Moqvist, 2003). Sementara itu, Holmes (1993) mengatakan bahwa kompetensi dapat dijelaskan dengan kondisi di mana seseorang bekerja dalam bidang pekerjaan tertentu yang seyogianya mampu dilakukan. Itu menggambarkan tindakan, perilaku, dan hasil di mana seseorang seyogianya mampu ditampilkannya. Dari kedua pendapat tersebut, maka kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya menggambarkan apa yang seyogianya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku, dan hasil yang seyogianya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Agar dapat melakukan sesuatu dalam pekerjaannya, seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan keteram-pilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya. Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogianya dapat dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, perilaku, maupun hasil yang dapat ditampilkan oleh guru. Depdiknas (2008) mengatakan bahwa kompetensi guru juga dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seorang guru untuk memangku jabatannya sebagai profesi. Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Suyanto dan Hisyam (2000) mengemukakan tentang tiga jenis kompetensi guru. Pertama, kompetensi profesional, yaitu memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 71 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi berbagai metode mengajar dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya. Kedua, kompetensi kemasyarakatan, yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas. Ketiga, kompetensi personal, yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Jadi, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran: ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 35 ayat 1, Standar Nasional Pendidikan meliputi Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian Pendidikan. Sebagaimana dijelaskan pada pasal 39, guru merupakan pendidik yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi. Agar dapat memenuhi konstitusi tersebut, Pemerintah telah menetapkan Standar Tenaga Kependidikan yang meliputi persyaratan pendidikan prajabatan dan kelayakan, baik fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Persyaratanpersyaratan tersebut dapat kita lihat pada Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pertama, kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kedua, kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Ketiga, kompetensi sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua peserta didik, dan masyarakat sekitar. Keempat, kompetensi profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan pada Standar Nasional Pendidikan. 72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Berdasarkan uraian di atas, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional menerapkan standar kompetensi guru yang terkait dengan: (1) komponen kompetensi pengelolaan pembelajaran dan wawasan pendidikan; (2) komponen kompetensi akademik/vokasional sesuai materi pembelajaran; serta (3) pengembangan profesi. Ketiga komponen standar kompetensi guru tersebut mewadahi kompetensi profesional, personal, dan sosial yang harus dimiliki oleh seorang guru. Pengembangan standar kompetensi guru diarahkan pada peningkatan kualitas guru serta pola pembinaan guru yang terstruktur dan sistematis. Berdasarkan empat komponen yang merupakan tuntutan profesional guru di atas, maka Ubrodiyanto (2007) menyumbangkan beberapa pemikiran tentang program dan perencanaan untuk pengembangan kualitas SDM pendidikan, antara lain: 1. Melakukan pembinaan guru secara terusmenerus serta berkesinambungan. Pada akhir pelatihan, diharapkan guru akan menyadari pentingnya penguasaan materi sebagai bagian dari pengembangan kemampuannya sehingga diperlukan investasi awal yang besar terhadap kegiatan ini. Namun, jika dibandingkan dengan manfaat yang akan diperoleh, maka faktor biaya dapat menjadi prioritas. 2. Menyusun sistem remunerasi sehingga mendorong guru untuk merasa nyaman dan sejahtera di dalam bekerja. Sistem remunerasi yang kompetitif akan membentengi guru dari kemungkinan terjadinya “pembajakan” oleh sekolah. 3. Melakukan up-grade kemampuan akademik guru, dari minimal Sarjana (S1) ke jenjang Magister (S2) dan Doktor (S3). Up-grade ini semakin penting mengingat tuntutan global bagi guru. Pengiriman guru-guru terbaik untuk mengikuti program ini dapat meningkatkan semangat guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk berkompetisi secara sehat dalam melaksanakan tugasnya. 4. Membangun soft skill guru menyangkut sikap mental, karakter, dan kepribadian sehingga guru dapat memberikan teladan bagi siswa. 5. Menciptakan kondisi serta lingkungan kerja yang kondusif bagi pengembangan kemampuan guru, sekaligus menumbuhkan Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi kepuasan kerja. Kepuasan kerja ditentukan dari pengalaman, mencakup: secara terusoleh tiga faktor, yaitu: gaji yang sesuai, menerus menguji diri untuk memilih adanya kebebasan berpikir dan mengekskeputusan terbaik serta meminta saran dari presikan kreativitasnya, serta penghargaan pihak lain dan melakukan berbagai riset atas pekerjaan yang dilakukan. Kondisi kerja pendidikan untuk meningkatkan praktik yang baik akan membuat guru diterima dan pembelajaran. nyaman dalam bekerja sehingga guru 5. Guru harus menjadi anggota komunitas bekerja sukarela dan tanpa paksaan. pembelajar, mencakup: memberikan Sebagai pembanding, National Board for kontribusi terhadap efektivitas sekolah Professional Teaching Standards (2002) telah melalui kolaborasi dengan kalangan merumuskan standar kompetensi bagi guru di profesional lainnya; bekerja sama dengan Amerika yang menjadi dasar bagi guru untuk orang tua siswa; dan dapat menarik mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan keuntungan dari berbagai sumber daya “What Teachers Should Know and Be Able To Do”, masyarakat. yang di dalamnya memuat lima proposisi utama Secara esensial, ketiga pendapat di atas sebagai berikut. tidak menunjukkan adanya perbedaan prinsipil. 1. Guru harus berkomitmen terhadap siswa Letak perbedaannya pada cara pengelompokdan pembelajarannya, mencakup: kannya. Isi rincian kompetensi pedagogik yang penghargaan guru terhadap perbedaan disampaikan Depdiknas, menurut Suyanto dan individual siswa, pemahaman guru Hisyam sudah teramu dalam kompetensi terhadap perprofesional. kembangan Sementara dari belajar siswa, National Board for perlakuan Professional Jika guru tidak dapat memahami guru terhadap Teaching Stanmekanisme dan pola penyebaran seluruh siswa dards (NBPTS) tiinformasi yang demikian cepat, secara adil, dak mengenal maka ia akan terpuruk secara dan misi guru adanya pengeprofesional. dalam memlompokan jenis p e r l u a s kompetensi, cakrawala tetapi langsung berpikir siswa. memaparkan 2. Guru harus tahu mata pelajaran yang tentang aspek-aspek kemampuan yang harus diajarkan dan bagaimana mengajarnya dikuasai oleh guru. kepada siswa, mencakup: apresiasi guru Sejalan dengan adanya tantangan terhadap pemahaman materi pelajaran kehidupan global, maka peran dan tanggung untuk dikreasikan, disusun dan dihubung- jawab guru di masa yang akan datang akan kan dengan mata pelajaran lainnya; semakin kompleks, sehingga menuntut guru kemampuan guru untuk menyampaikan untuk senantiasa melakukan berbagai peningmateri pelajaran; dan mengembangkan katan dan penyesuaian penguasaan kompeusaha untuk memperoleh pengetahuan tensinya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dengan berbagai cara (multiple path). dalam mengembangkan proses pembelajaran 3. Guru harus bertanggung jawab untuk siswa. Di masa yang akan datang, guru bukan mengelola dan memantau pembelajaran lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well siswanya, mencakup: penggunaan berbagai informed terhadap berbagai informasi dan metode dalam pencapaian tujuan pembel- pengetahuan yang sedang berkembang serta ajaran; menyusun proses pembe-lajaran berinteraksi dengan manusia di alam ini. Guru dalam berbagai kelompok (group setting) dan bukan satu-satunya orang yang paling pandai mampu untuk memberikan hadiah atas di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak keberhasilan siswa; menilai kemajuan dapat memahami mekanisme dan pola siswa secara teratur; dan kesadaran akan penyebaran informasi yang demikian cepat, tujuan utama pembelajaran. maka ia akan terpuruk secara profesional. Kalau 4. Guru harus berpikir secara sistematis hal ini terjadi, maka ia akan kehilangan tentang praktek pembelajaran dan belajar kepercayaan, baik dari siswa, orang tua, maupun Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 73 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, maka guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaharuan terhadap ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terusmenerus. Di samping itu, guru juga harus memahami penelitian guna mendukung efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan dari hasil penelitian guru tersebut, guru tidak terjebak pada praktik pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, tetapi kenyataannya justru mematikan kreativitas siswanya. Begitu pula, dengan adanya dukungan dari hasil penelitian yang mutakhir sehingga memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun yang disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung. Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta, telah menetapkan standar mutu kinerja tenaga kependidikan, kemudian bekerjasama dengan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) untuk melakukan Uji Kompetensi Guru SD dan SMP di DKI Jakarta pada tahun 2006, yang terdiri dari: 1. Penguasaan bidang studi/akademik, meliputi: penguasaan materi kurikulum, bidang studi, metode/teknik pembelajaran, dan teknik evaluasi. 2. Pengelolaan pembelajaran, meliputi: penyusunan rencana pembelajaran (RPP), pelaksanaan interaksi pembelajaran, pengelolaan kelas, pemahaman potensi peserta didik, penggunaan alat bantu pembelajaran, penilaian prestasi belajar peserta didik, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian. 3. Sikap kerja dan kepribadian, meliputi komunikasi interpersonal. Penelitian tersebut dilakukan pada lima wilayah di DKI Jakarta dari bulan Juli sampai dengan November tahun 2008 dengan menggunakan metode penelitian ex-postfacto, yaitu penelitian yang dilakukan setelah terjadi suatu peristiwa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru SMP di Provinsi DKI Jakarta yang berstatus PNS. Sampel penelitian ini meliputi guru SMP pada mata pelajaran Geografi di wilayah DKI Jakarta yang mengikuti Uji Kompetensi Guru SMP pada tahun 2006. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peta kompetensi guru dalam pengelolaan pembelajaran Geografi. Penelitian ini dapat menjadi 74 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 bahan pertimbangan Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta dalam upaya melakukan sertifikasi kompetensi guru serta dapat menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan pembinaan terhadap tenaga kependidikan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran agar sesuai dengan standar proses pendidikan. Bagi LPMP, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan program pendidikan dan pelatihan untuk tujuan peningkatan kemampuan guru dalam melakukan pengelolaan pembelajaran. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar (SD dan SMP) sebagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. Dari hasil penelitian tersebut, ada sebanyak 285 guru SMP pada mata pelajaran Geografi di DKI Jakarta atau mencapai 77,4% dari populasi mempunyai kualifikasi pendidikan S1, artinya kualifikasi pendidikan guru sudah sesuai dengan syarat minimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru. Nilai yang diperoleh guru dalam pengelolaan pembelajaran, sebagian besar mendapatkan kategori baik, dengan perincian sebagai berikut. 1. Sebanyak 72,1% guru mampu menyusun rencana pembelajaran dengan baik. 2. Sebanyak 72,1% guru mampu melaksanakan interaksi pembelajaran dengan baik. 3. Sebanyak 74,8% guru mampu mengelola kelas dengan baik. 4. Sebanyak 55,8% guru mampu memahami potensi peserta didik dengan baik. 5. Sebanyak 61,7% guru mampu menggunakan alat bantu pembelajaran dengan baik. 6. Sebanyak 62,2% guru mampu menilai prestasi belajar peserta didik dengan baik. 7. Sebanyak 64,9% guru mampu melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik dengan baik. Berdasarkan hasil tabulasi silang antara golongan dengan nilai pengelolaan pembelajaran menunjukkan bahwa golongan memberikan kontribusi terhadap perolehan nilai pengelolaan pembelajaran. Artinya, dengan golongan yang tinggi, maka guru akan semakin mampu dalam melakukan pengelolaan pembelajaran, karena dengan golongan yang tinggi berarti bahwa guru sudah berpengalaman dalam mengajar. Dengan demikian, guru sudah Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi memahami tugas yang diemban sebagaimana mestinya. Berdasarkan hasil tabulasi silang antara tingkat pendidikan guru dengan nilai pengelolaan pembelajaran menunjukkan bahwa tingkat pendidikan guru juga memberikan kontribusi terhadap perolehan nilai pengelolaan pembelajaran. Artinya, dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka guru akan mempunyai nilai pengelolaan pembelajaran yang baik. Sedangkan hasil tabulasi silang antara asal wilayah dengan nilai pengelolaan pembelajaran menunjukkan bahwa wilayah Jakarta Utara merupakan wilayah yang gurunya mempunyai nilai pengelolaan pembelajaran yang tertinggi jika dibandingkan dengan wilayah Jakarta lainnya. Wilayah Jakarta Pusat merupakan wilayah dengan perolehan nilai pengelolaan pembelajaran yang terendah dalam semua aspek pembelajaran. Nilai yang diperoleh guru berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru tersebut sudah sesuai dengan standar minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, namun hal tersebut belum menggambarkan kompetensi guru yang sesungguhnya karena banyak guru yang pada waktu dinilai dalam melakukan pengelolaan pembelajaran, menunjukkan penampilan yang baik dengan mempersiapkan perangkat pembelajaran dengan lengkap. Akan tetapi, setelah tidak dilakukan penilaian, para guru kembali pada praktek yang lama, yaitu menggunakan RPP yang dibuat pada tahun sebelumnya, membuat RPP satu kali dalam satu semester, tidak melakukan interaksi pembelajaran dengan baik, tidak membawa alat bantu pembelajaran, serta tidak menggunakan sumber pembelajaran yang baik dan lengkap. Oleh karena itu, untuk mengetahui kompetensi guru yang sesungguhnya dalam melaksanakan pengelolaan pembelajaran tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi memerlukan proses penilaian yang terusmenerus secara sistematis dan berkesinambungan. Berbicara mengenai pengelolaan kompetensi guru, maka kita harus tahu bagaimana kompetensi guru dimulai dari segi perencanaan, pengorganisasian, sampai dengan evaluasi. Di bawah ini ada beberapa tahap pengelolaan kompetensi guru yang diadaptasi dari pernyataan Hanafi (2007), antara lain meliputi: 1. Perencanaan kompetensi guru. Pada tahap ini, sekolah harus berpijak pada visi dan misinya kemudian diterjemahkan ke dalam strategi fungsional sekolah. Visi dan misi sekolah diterjemahkan ke dalam strategi pengelolaan guru, kemudian diterjemahkan menjadi tuntutan kompetensi guru yang harus dipenuhi. Selanjutnya, kompetensi guru kemudian dipetakan agar lebih mudah dalam pengelolaannya. Pemetaan kompetensi guru merupakan rancangan kompetensi guru yang akan dibangun sekolah (kompetensi inti dan kompetensi pendukung). 2. Pengorganisasian kompetensi guru. Setelah pemetaan kompetensi guru diketahui, sekolah harus melakukan pengelompokan kompetensi guru tersebut. Pengelompokan dilakukan melalui penentuan bidang-bidang kompetensi inti yang merupakan tonggak sekolah, maupun bidang kompetensi pendukung. 3. Pengembangan kompetensi guru. Upaya ini dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap kompetensi guru pada saat ini yang dimiliki guru. Kemudian dibandingkan dengan pemetaan kompetensi guru yang telah dibuat, sehingga diketahui besarnya gap antara kompetensi guru yang harus dimiliki dengan kompetensi guru yang diharapkan. Selanjutnya sekolah melakukan berbagai upaya pembangunan dan pengembangan kompetensi guru sehingga peta kompetensi guru tersebut dapat terisi dengan baik. 4. Pengevaluasian kompetensi guru. Sekolah melakukan evaluasi terhadap kompetensi guru yang dibangun dan dikembangkan untuk mengetahui sejauh mana upaya yang dilakukan sekolah sehingga mencapai peta kompetensi guru yang disusun. Evaluasi tersebut harus memperhatikan perkembangan situasi sekolah yang ada. Sekolah juga harus melakukan berbagai penyesuaian terhadap peta kompetensi guru dan program pengembangan kompetensinya. Berdasarkan peta kompetensi guru tersebut, sekolah menggunakan peta tersebut sebagai dasar dalam menentukan keputusan tentang guru, dimulai dari pelaksanaan sampai dengan pengadaan, di mana penentuan persyaratan dan prosedur seleksi guru dapat menjadi dasar kompetensi guru. Program sosialisasi, pelatihan dan pengembangan guru dilakukan untuk membangun kompetensi guru. Penentuan arah karier, pengelolaan kinerja dan kompensasi Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 75 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi guru juga berdasarkan pada kompetensi yang dimiliki guru. Hanafi (2007) menjelaskan beberapa manfaat yang dapat diterima dengan adanya peta kompetensi guru, yaitu: (1) sekolah dapat mengetahui guru mana yang siap mengisi posisi tertentu yang sesuai dengan kompetensi yang dituntut serta bagaimana cara untuk menarik atau menyeleksi calon guru, baik dari dalam sekolah maupun dari luar sekolah; (2) sekolah dapat mengetahui arah pengembangan guru, bukan hanya sekedar ikut tren pengembangan guru yang ada, tetapi benar-benar mengembangkan guru sesuai dengan kebutuhan kompetensinya; (3) sekolah dapat lebih adil dalam memberikan kompensasi guru; (4) sekolah dapat menyusun perencanaan karier yang lebih pasti bagi gurunya; dan (5) sekolah dapat menilai kinerja guru secara lebih adil. Manajemen SDM Pendidikan Berbasis Kompetensi Guru Salah satu bidang penting dalam administrasi pendidikan atau manajemen pendidikan adalah terkait personil atau (SDM) yang terlibat dalam proses pendidikan, baik itu pendidik seperti guru maupun tenaga kependidikan seperti tenaga administratif. Intensitas dunia pendidikan sangat berhubungan dengan manusia, sehingga dapat dipandang sebagai suatu perbedaan penting antara lembaga pendidikan atau organisasi sekolah dengan organisasi lainnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sergiovanni et al. (1987) yang menyatakan bahwa “perbedaan yang paling kritis antara sekolah dengan organisasi lainnya adalah intensitas manusia yang mendasari pekerjaannya. Sekolah adalah organisasi kemanusiaan, produknya adalah manusia serta prosesnya memerlukan sosialiasi manusia”. Ini menunjukkan bahwa masalah SDM menjadi hal yang dominan di dalam proses pendidikan. Hal ini juga dapat berarti bahwa mengelola SDM merupakan bidang yang sangat penting dalam melaksanakan proses pendidikan di sekolah. Inti dari manajemen SDM pendidikan adalah bagaimana meningkatkan peran serta dan sumbangan SDM pendidikan secara optimal dalam proses transformasi jasa pendidikan di sekolah. Proses manajemen SDM pendidikan dalam rangka mencapai tujuan tersebut, secara tradisional dilakukan melalui 76 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 empat proses integral, yaitu: proses seleksi, pendidikan dan pelatihan, evaluasi dan penggajian, dan pengembangan (Triono, 2002). Integralitas keempat proses tersebut serta kedalaman pada setiap prosesnya, pada umumnya dipersepsikan memiliki korelasi yang tinggi terhadap derajat sumbangan SDM sekolah. Pada proses rekrutmen guru, dilibatkan sejumlah instrumen psikologis untuk mengukur intelegensi calon guru, yaitu: intelegensi verbal, ruang, logis-matematis, dan interpersonal. Semakin tinggi skornya sehingga diasumsikan bahwa calon guru semakin cerdas dan memiliki peluang besar untuk menghadapi situasi baru dalam melaksanakan tugasnya. Namun, pendapat tersebut dipatahkan dengan hasil penelitian Goleman (1996) yang berkata bahwa apabila bagian otak yang digunakan untuk merasakan telah rusak, maka individu yang bersangkutan tidak dapat berpikir secara efektif. Oleh karena itu, Goleman merumuskan intelegensi kedua yang disebut dengan EQ (Emotional Quotient) yang merupakan prasyarat penggunaan IQ (Intelligence Quotient). Pada akhir abad 20, terdapat rangkaian data ilmiah terbaru sehingga sampai pada kesimpulan bahwa ada jenis intelegensi ketiga yang mendasari kemampuan pemfungsian IQ dan EQ secara efektif, yaitu SQ (Spiritual Quotient), yang merupakan kecerdasan untuk menghadapi serta memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku manusia sehingga mampu menilai bahwa jalan hidup seseorang dengan nilai yang dianutnya lebih bermakna daripada yang lainnya, dengan demikian lebih mampu untuk menyesuaikan aturan yang kaku dalam konteks moral yang dimiliki. Akibatnya, semakin tinggi SQ seseorang, maka akan semakin mampu dia untuk melepaskan diri dari batasan-batasan yang ada di dalam setiap situasi sehingga semakin kreatif individu yang bersangkutan (Zohar dan Marshall, 2000). Dengan menyadari ketiga intelegensi tersebut, maka cukup beralasan bagi kita untuk menuntut adanya proses rekrutmen guru yang tidak terlalu mengandalkan kepada pengukuran intelegensi pertama (IQ). Pada proses pendidikan dan pelatihan (diklat) guru, kegiatan didesain secara konvensional agar pesertanya mampu meningkatkan keterampilan dan perilakunya sesuai dengan tuntutan tugas masing-masing. Metode yang digunakan adalah gabungan antara metode Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi klasikal (campuran metode ceramah dan kasus) dengan metode on the job training. Ada kelemahan pada kedua metode tersebut, yaitu adanya kecenderungan untuk menjadi sangat struktural dan sistematis sehingga kehilangan semangat holistik dan lateral yang lebih disukai oleh otak manusia. Akibatnya, dengan adanya proses diklat guru seperti itu akan membutuhkan lebih banyak waktu dalam menyerap dan mencerna materi-materi yang diberikan. DePorter dan Hernacki (1992) memberikan solusi terhadap masalah tersebut, yaitu melalui pendidikan dengan metode Quantum Learning. Pada metode ini, materi diklat diberikan untuk diserap dengan cara yang disukai otak, yaitu dalam situasi santai serta menggunakan pendekatan holistik. Bobbi menyarankan penggunaan musik untuk menurunkan denyut nadi, terutama musik yang berasal dari zaman Barok seperti Bach, Handel, Pachelbel, dan Vivaldi selama masa diklat. Relaksasi yang diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan mampu berkonsentrasi. Bobbi juga menyarankan digunakannya peta pikiran, yaitu diagram yang memuat keseluruhan obyek bahasan secara garis besar sehingga otak menyerap informasi secara holistik. Pada proses evaluasi, penggajian, dan pengembangan; masalah mendasar dari manajemen SDM pendidikan tradisional adalah faktor penilaian kinerja SDM pendidikan yang berfokus pada aspek kompetensi teknis jabatan. Jika terlalu memfokuskan diri pada tolok ukur tersebut, maka dalam jangka panjang akan mematikan kreativitas tingkat guru dan sekolah karena kaidah anjing Pavlov akan berlaku dalam sistem penilaian tersebut, di mana karyawan akan memfokuskan diri pada indikatorindikator kompetensi tersebut, yang pada umumnya berdimensi jangka pendek serta bersifat individual. Studi komprehensif telah dikembangkan oleh Southern States Cooperative Program in Educational Administration (SSCPEA) tahun 1955 untuk mendefinisikan administrasi pendidikan. Salah satu tugas pokok administrasi pendidikan adalah personil sekolah. Bidang personil sekolah tersebut meliputi tugas-tugas administratif: (1) mempersiapkan perumusan kebijakan personil sekolah; (2) mempersiapkan pengadaan personil sekolah; (3) memilih dan menugaskan personil sekolah; (4) meningkatkan kesejahteraan personil sekolah; (5) mengembang-kan sistem pencatatan personil sekolah; serta (6) mendorong dan menyediakan kesempatan bagi pertumbuhan profesional personil sekolah. Manajemen SDM berbasis kompetensi (MSDM-BK) merupakan suatu konsep manajemen SDM yang mengaitkan aktivitas SDM di dalam organisasi dengan kompetensi inti/dasar yang akan diunggulkan. MSDM-BK adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian aktivitas tenaga kerja mulai dari rekrutmen sampai pensiun di mana proses pengambilan keputusannya didasarkan pada informasi kebutuhan kompetensi jabatan dan kompetensi individu untuk mencapai tujuan organisasi (Siswanto, 2001). Berbeda dengan manajemen SDM konvensional, keputusan dalam MSDM-BK lebih transparan, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dan tidak diskriminatif. Dalam MSDM-BK, keputusan yang diambil serta aktivitas yang dilaksanakan selalu mengacu kepada kebutuhan kompetensi jabatan dan kompetensi individu yang terukur serta dapat diamati validitasnya berdasarkan perilaku seseorang yang bekerja di dalam organisasi. Dengan mengacu kepada kebutuhan kompetensi jabatan dan kompetensi individu, maka dapat dibangun sistem MSDM-BK yang terintegrasi atau sering dikenal dengan “integrated competencies based human resource management system”. Komponen dari sistem manajemen SDM berbasis kompetensi guru secara terpadu meliputi hal-hal berikut. 1 Kinerja Guru Agar kinerja guru dapat meningkat serta mencapai standar kompetensi tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Manajemen kinerja guru berkaitan erat dengan tugas kepala sekolah melakukan komunikasi yang berkesinambungan melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya. 2 Evaluasi dan Desain Pekerjaan Guru Manajemen kinerja guru meliputi perencanaan, komunikasi yang berkesinambungan, dan evaluasi. Evaluasi kinerja merupakan proses di mana kinerja masingmasing guru dinilai dan dievaluasi. Setelah melakukan evaluasi kinerja guru, kepala sekolah dapat merancang atau mendesain pekerjaan guru sehingga kinerja guru mencapai hasil yang optimal. 3 Seleksi Guru Ada tiga alasan mengapa seleksi guru penting yaitu: Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 77 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi a 4 5 78 Kinerja kepala sekolah selalu tergantung pada kinerja guru. b Penyaringan guru yang efektif penting karena biaya merekrut dan mempekerjakan guru mahal. c Adanya implikasi yang sah dari seleksi guru yang tidak efektif atau guru yang tidak cakap. Pelatihan dan Pengembangan Guru Ada lima tahapan dalam pelatihan dan pengembangan guru, yaitu sebagai berikut. a Analisis kebutuhan, yaitu kepala sekolah mengidentifikasi berbagai kompetensi guru yang dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja guru beserta dengan produktivitasnya. b Rancangan instruksional, yaitu kepala sekolah mengumpulkan sasaran instruksional, metode, media, gambar dan urutan isi, contoh, latihan, dan kegiatan pelatihan dan pengembangan guru. c Keabsahan, yaitu kepala sekolah memperkenalkan serta mengesahkan program pelatihan dan pengembangan guru di hadapan audiensi sekolah yang representatif. d Implementasi, yaitu kepala sekolah berusaha untuk mendorong keberhasilan guru melalui lokakarya yang berfokus pada penyajian pengetahuan dan keterampilan guru. e Evaluasi dan tindak lanjut, yaitu kepala sekolah melakukan penilaian terhadap keberhasilan program pelatihan dan pengembangan guru menurut indikator: reaksi, kegiatan belajar, perilaku, dan hasil yang dicapai oleh guru. Jalur Karier Guru Ada lima tahapan utama dalam karier guru, antara lain sebagai berikut. a Tahap pertumbuhan, di mana guru baru mengembangkan konsep dirinya dengan cara mengidentifikasikan diri serta berinteraksi dengan keluarga, teman, dan sesama guru. b Tahap penjelajahan, di mana guru serius menjelajahi berbagai alternatif kedudukan serta berusaha mencocokan berbagai alternatif tersebut dengan minat dan kemampuannya. c Tahap penetapan, di mana guru mengharapkan satu kedudukan yang layak diperolehnya dan kepala sekolah Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 6 melibatkan diri di dalam kegiatankegiatan tersebut serta membantunya untuk memperoleh satu kedudukan yang tetap. d Tahap pemeliharaan, di mana guru mengamankan tempatnya di dalam dunia kerja. Kepala sekolah akan berusaha untuk memelihara tempat tersebut. e Tahap kemerosotan, di mana guru menghadapi berkurangnya tingkat kekuasaan dan tanggung jawab serta belajar untuk menerima dan mengembangkan peran baru sebagai mentor dan mempercayakan tugas-tugas sebelumnya kepada guru yang lebih muda. Perencanaan Suksesi Karier Guru Menurut Edgar Schein, perencanaan suksesi karier merupakan suatu proses penemuan yang berkesinambungan atau proses di mana seseorang secara perlahan-lahan mengembangkan konsep diri tentang pekerjaan yang lebih jelas jika dilihat dari bakat, kemampuan, motif, kebutuhan, sikap, dan nilai-nilainya. Ada empat langkah penting dalam perencanaan suksesi karir guru, yaitu: a Mengidentifikasi langkah karier guru Kepala sekolah harus mempunyai wawasan yang luas tentang apa yang diinginkan dari karir guru, bakat dan keterbatasan guru, serta nilai-nilai yang dimiliki oleh guru dan bagaimana nilainilai tersebut cocok dengan alternatif yang dikembangkan. b Mengidentifikasi orientasi pekerjaan guru John Holland menemukan enam tipe atau orientasi kepribadian dasar, yaitu: orientasi realistik, orientasi penyelidikan, orientasi sosial, orientasi konvensional, orientasi kewiraswastaan, dan orientasi artistik. c Mengidentifikasi keterampilan guru Kesuksesan karier guru tidak hanya tergantung dari motivasi, tetapi juga kemampuan. Ada dua faktor penting yang mempengaruhi kemampuan guru, yaitu keterampilan kedudukan (keterampilan yang dibutuhkan untuk berhasil dalam menduduki posisi guru) maupun kecerdasan (kemampuan bawaan guru yang mencakup intelegensia, kecerdasan numerik, pemahaman Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi 7 8 mekanik, ketangkasan manual, juga berbagai bakat seperti kemampuan artistik, teatrik, atau musik yang memainkan peran penting dalam pemilihan karier guru). d Mengidentifikasi jangkar karier guru Jangkar karier guru merupakan suatu poros yang di sekelilingnya karier guru akan berputar. Guru akan menyadari hal ini sebagai akibat dari pembelajaran tentang bakat dan kemampuannya, motif dan kebutuhannya, serta sikap dan nilainya. Ada lima jangkar karier guru, yaitu jangkar karir fungsional/ teknik, jangkar karir kompetensi manajerial, jangkar karier kreativitas, jangkar karir otonomi dan kemandirian, dan jangkar karier keamanan. Rekrutmen Guru Proses rekrutmen guru dapat dilakukan melalui empat kegiatan, meliputi: a Persiapan rekrutmen guru, yaitu melakukan persiapan rekrutmen guru baru secara matang, sehingga melalui rekrutmen tersebut, sekolah dapat memperoleh guru yang memiliki kompetensi yang diharapkan. b Penyebaran informasi mengenai penerimaan guru baru, yaitu melakukan penyebaran pengumuman penerimaan guru baru melalui berbagai media seperti brosur, siaran radio, surat kabar, dan sebagainya. c Penerimaan lamaran guru baru, yaitu panitia penerimaan guru baru menerima surat lamaran guru. Surat lamaran guru harus dilengkapi dengan berbagai surat keterangan seperti ijazah, akte kelahiran, surat keterangan Warga Negara Indonesia (WNI), surat keterangan kesehatan dari dokter, dan surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian. d Penyeleksian pelamar, yaitu merupakan suatu proses untuk memperkirakan berbagai pelamar yang mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil dalam pekerjaannya setelah diangkat menjadi guru. Kompensasi Guru Kompensasi guru merujuk kepada semua bentuk upah atau imbalan yang berlaku dan muncul dari pekerjaan sebagai guru. Kompensasi guru tersebut mempunyai dua komponen, yaitu: a Pembayaran keuangan secara langsung, dalam bentuk gaji dan insentif lainnya. b Pembayaran keuangan secara tidak langsung, dalam bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi, tunjangan kesehatan, dan tunjangan lainnya. Dalam rangka membangun manajemen SDM berbasis kompetensi guru seperti yang telah dikemukakan di atas, maka ada beberapa tahap yang perlu dilakukan, yaitu: 1. Menyusun direktori kompetensi guru serta profil kompetensi guru per posisi. Di dalam proses ini akan dirancang daftar jenis kompetensi guru, baik berupa soft competency (kepemimpinan, komunikasi, hubungan interpersonal, dan lain-lain) maupun hard competency (mengajar, membimbing, meneliti, dan lain-lain) yang dibutuhkan sekolah tersebut; lengkap dengan definisi kompetensi guru yang terperinci serta indikator perilaku dan levelisasi guru (penjenjangan level) bagi setiap jenis kompetensi guru. Di dalam tahap ini juga disusun kebutuhan kompetensi guru per posisi atau daftar kompetensi apa yang dipersyaratkan bagi posisi guru tertentu berikut dengan level minimumnya. 2. Menilai kompetensi bagi setiap individu guru dalam sekolah tersebut. Tahap ini merupakan tahap yang paling kritis. Tahap ini wajib dilakukan karena setelah kita memiliki direktori kompetensi guru beserta dengan kebutuhan kompetensi guru per posisi, maka kita perlu mengetahui di mana level kompetensi guru kita dan pada tahap ini juga kita dapat memahami gap antara level kompetensi guru yang dipersyaratkan dengan level kompetensi yang dimiliki guru pada saat ini. Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Keunggulan Bersaing Sekolah SDM merupakan sumber pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang terakumulasi di dalam diri anggota organisasi (Hanafi, 2007). Kemampuan tersebut harus terus diasah dari waktu ke waktu dan sekolah terus mengembangkan keahliannya sebagai pilar agar selalu memiliki keunggulan bersaing. Wherter Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 79 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi and Davis (1993) mengatakan bahwa SDM di dalam konteks manajemen adalah orang yang siap, mau, dan mampu berkontribusi kepada tujuan organisasi. Oleh karena itu, SDM di dalam suatu organisasi termasuk organisasi pendidikan, memerlukan pengelolaan dan pengembangan yang baik dalam upaya meningkatkan kinerja mereka agar dapat memberikan sumbangan bagi pencapaian tujuannya. Sumber daya sekolah terdiri dari aset berwujud (tangible) maupun aset tidak berwujud (intangible) seperti kemampuan, proses organisasi, informasi, atribut, dan pengetahuan sekolah. Meningkatnya kinerja SDM pendidikan akan berdampak pada semakin baiknya kinerja sekolah dalam menjalankan perannya di masyarakat. Para pemimpin di dalam organisasi menghadapi tantangan kompetitif berkaitan dengan globalisasi, peningkatan profitabilitas melalui pertumbuhan, modal intelektual, teknologi, dan perubahan secara kontinu (Ulrich, 1996). Di dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, maka sekolah harus mengembangkan keunggulan intangible atau keunggulan bersaing yang tidak mudah diimitasi oleh pesaing. Keunggulan bersaing diciptakan melalui efisiensi, kualitas produk, dan inovasi (Hill dan Jones, 1998). Di dalam menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan, sekolah tersebut membutuhkan dukungan pimpinan sekolah dan karyawan berkualitas. Pimpinan sekolah harus dapat mengembangkan kompetensi, inovasi, kreatifitas, serta berperan sebagai agen perubahan dan melihat fungsi-fungsi SDM sebagai sumber keunggulan bersaing. Dengan adanya kualitas tersebut, maka pimpinan sekolah diharapkan dapat mengarahkan karyawan sebagai SDM yang profesional dalam mewujudkan keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Di samping itu juga, sekolah dapat memegang kendali dirinya sendiri serta dapat menciptakan pasar di masa depan jika lebih dahulu tiba di masa depan, sehingga diperlukan pemimpin sekolah yang dapat meramu visi dan misinya, SDMnya, dan strategi bersaingnya untuk dapat menciptakan organisasi sekolah berkelas dunia (Hamel dan Prahalad, 1995). Gambar 1 di bawah ini mengilustrasikan strategi bersaing untuk mencapai organisasi sekolah berkelas dunia. Walker (1994) menyebutkan bahwa ada empat karakteristik utama yang harus dipenuhi oleh fungsi SDM agar dapat mendukung keunggulan bersaing, yang dapat diterapkan ke dalam dunia pendidikan, yaitu: (1) mengintegrasikan kegiatan SDM pendidikan dengan strategi organisasi sekolah; (2) mengintegrasikan proses SDM pendidikan dengan proses manajemen SDM sekolah; (3) mengintegrasikan fungsi SDM pendidikan dengan organisasi sekolah; dan (4) mengintegrasikan cara pengukuran SDM pendidikan Tantangan Kompetitif Pemimpin Sekolah Perumusan Kembali Visi dan Misi Sekolah Strategi Bersaing Sekolah Mengembangkan Budaya Sekolah Mengembangkan Keunggulan Bersaing Sekolah ORGANISASI SEKOLAH BERKELAS DUNIA Gambar 1. Strategi Bersaing Sekolah untuk Mencapai Organisasi Sekolah Berkelas Dunia 80 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi dengan cara pengukuran organisasi sekolah secara keseluruhan. Para peneliti manajemen SDM juga mengatakan bahwa ada keterkaitan antara praktek manajemen SDM dengan keunggulan bersaing. Bahkan timbul argumentasi bahwa praktek manajemen SDM dapat memberi kontribusi bagi keunggulan bersaing sepanjang hal tersebut memperkuat perilaku peran yang dapat memberikan hasil yang meminimumkan biaya, mendorong diferensiasi atau keduaduanya (Schuler dan Jackson, 1996). Mereka mengadopsi strategi bersaing Michael Porter bahwa untuk mencapai keunggulan bersaing, ada tiga macam alternatif strategi yang dapat digunakan, yaitu: 1. Strategi inovasi pendidikan, yaitu strategi pengembangan produk pendidikan yang unik dibandingkan produk yang dihasilkan sekolah pesaingnya. Jika sekolah menggunakan strategi inovasi pendidikan, perilaku peran yang diperlukan: tingkat kreatifitas guru yang tinggi, fokus sekolah jangka panjang, kerja sama yang tinggi di antara guru, perilaku guru yang saling melengkapi (interdependent), perhatian guru yang cukup terhadap kualitas dan kuantitas pendidikan, adanya keseimbangan antara hasil pendidikan dengan proses pendidikan, dan memiliki toleransi tinggi terhadap ketidakpastian kondisi di sekolahnya. Implikasi bagi sekolah yang menggunakan strategi inovasi pendidikan adalah memberikan sedikit pengawasan terhadap guru, memilih guru dengan keterampilan yang tinggi, memiliki banyak guru bantu, serta adanya penilaian kinerja sekolah dalam jangka panjang. 2. Strategi kualitas pendidikan, yaitu strategi penciptaan produk pendidikan yang lebih berkualitas dibandingkan produk sekolah pesaingnya. Bagi sekolah yang menggunakan strategi kualitas pendidikan, perilaku peran yang diperlukan: perilaku guru yang berulang dan dapat diperkirakan, fokus sekolah jangka menengah, kerja sama yang cukup di antara guru, perilaku guru yang saling melengkapi (interdependent), perhatian guru yang tinggi terhadap kualitas pendidikan tetapi perhatian guru yang sedang terhadap kuantitas pendidikan, fokus guru yang tinggi terhadap proses pendidikan, guru kurang berani mengambil resiko, dan guru memiliki komitmen yang cukup terhadap tujuan organisasi sekolah. Implikasi bagi sekolah yang menggunakan strategi kualitas pendidikan adalah adanya komitmen guru yang tinggi dan pemanfaatan guru yang lebih besar serta membutuhkan lebih sedikit guru untuk menghasilkan output pendidikan yang sama. 3. Strategi pengurangan biaya pendidikan, ditekankan pada upaya menekan biaya pendidikan serendah mungkin sehingga harga jasa pendidikan yang ditawarkan lebih rendah dibandingkan pesaingnya. Bagi sekolah yang menggunakan strategi pengurangan biaya pendidikan, perilaku peran yang diperlukan: perilaku guru yang berulang dan dapat diperkirakan, fokus sekolah jangka pendek, mengutamakan individualisme dan otomatisasi, perhatian guru yang cukup terhadap kualitas pendidikan tetapi lebih tinggi terhadap kuantitas pendidikan, guru kurang berani menanggung resiko, dan guru lebih menyukai kegiatan pendidikan yang stabil. Implikasi bagi sekolah yang menggunakan strategi pengurangan biaya pendidikan adalah penggunaan guru part time (guru honorer), adanya subkontrak, penyederhanaan pekerjaan guru dan prosedur pengukuran kinerja guru, adanya otomasisasi dan perubahan aturan kerja guru, serta adanya penugasan guru yang fleksibel. Apabila fokus strategi sekolah adalah menciptakan “competitive advantage” yang berkelanjutan, maka fokus strategi SDM Fungsi SDM Sistem SDM Perilaku Karyawan SDM profesional dengan kompetensi strategik Kinerja tinggi, kemitraan strategis, kebijakan dan praktek Secara strategik terfokus pada kompetensi, motivasi, dan perilaku yang terasosiasi Gambar 2 : Arsitektur Strategi SDM Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 81 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi pendidikan di sekolah harus disesuaikan. Hal ini adalah untuk memaksimalkan kontribusi SDM pendidikan terhadap tujuan organisasi sekolah dan selanjutnya menciptakan nilai (value) bagi organisasi sekolah. Dasar dari peran SDM pendidikan strategik tersebut terdiri dari tiga dimensi rantai nilai (value chain) yang dikembangkan oleh Arsitektur SDM, yang meliputi fungsi, sistem, dan perilaku karyawan. Istilah “Arsitektur” secara luas menjelaskan profesi SDM di dalam fungsi SDM, sistem SDM yang berkaitan dengan kebijakan dan praktek SDM melalui kompetensi, motivasi, dan perilaku SDM. Gambar 2 berikut ini mengilustrasikan proses arsitektur strategi SDM (Becker, Huselid, dan Ulrich, 2001): 1. Fungsi SDM (The Human Resource Function) Manajemen SDM pendidikan yang efektif terdiri dari dua dimensi penting, yaitu: (a) manajemen SDM pendidikan secara teknis, mencakup: rekrutmen guru, kompensasi yang diterima oleh guru, dan benefit bagi guru; serta (b) manajemen SDM pendidikan yang strategik, mencakup: penyampaian (delivery) pelayanan manajemen SDM pendidikan secara teknis dalam cara yang mendukung berlangsungnya implementasi strategi di sekolah. 2. Sistem SDM (The Human Resource System) Sistem SDM merupakan unsur utama yang berpengaruh pada SDM pendidikan strategik. Model sistem SDM tersebut disebut dengan “High Performance Work System” (HPWS). Di dalam HPWS, setiap elemen dari sistem SDM pendidikan dirancang untuk memaksimalkan seluruh kualitas human capital melalui sekolah. Untuk membangun dan memelihara persediaan human capital yang berkualitas, maka HPWS melakukan hal-hal sebagai berikut: (a) menghubungkan keputusan seleksi dan promosi guru untuk memvalidasi model kompetensi guru; (b) mengembangkan strategi yang menyediakan waktu dan dukungan yang efektif untuk keterampilan yang dituntut oleh implementasi strategi sekolah; serta (c) melaksanakan kebijakan kompensasi dan pengelolaan kinerja guru yang menarik, mempertahankan, dan memotivasi kinerja guru yang tinggi. HPWS secara langsung menciptakan customer value atau nilai sekolah lainnya yang berkaitan. Dalam hal 82 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 ini, proses kemitraan (alignment) dimulai dari pemahaman yang jelas terhadap rantai nilai sekolah, yaitu pemahaman yang solid tentang apa saja yang menjadi nilai-nilai sekolah serta bagaimana menciptakan manfaat dari nilai tersebut. Kuncinya, karakteristik HPWS tidak hanya mengadopsi kebijakan SDM pendidikan yang tepat, tetapi juga bagaimana mengelola praktek SDM pendidikan. Di dalam HPWS, kebijakan SDM pendidikan menunjukkan kemitraan yang kuat dengan sasaran operasional serta strategi bersaing sekolah. Oleh karena itu, setiap HPWS akan berbeda antar sekolah, sehingga HPWS dapat disesuaikan dengan keunikan, kekuatan, dan kebutuhan masing-masing sekolah. 3. Perilaku Karyawan yang Strategik (Employee Behavior Strategically) Peran SDM (human capital) yang strategik berfokus pada produktivitas dari perilaku guru di sekolah. Perilaku strategik merupakan perilaku produktif yang secara langsung mengimplementasikan strategi sekolah. Strategi tersebut terdiri dari dua kategori umum sebagai berikut: (a) perilaku inti (core behavior), yaitu alur yang langsung berasal dari kompetensi inti perilaku yang didefinisikan oleh sekolah; serta (b) perilaku spesifik yang situasional (situation-specific behavior) yang esensial sebagai key point dalam sekolah atau rantai nilai sekolah. Setiap langkah sekolah untuk mengembangkan dirinya dapat ditiru oleh sekolah lain, sehingga tidak mungkin terus-menerus dipertahankan sebagai keunggulan bersaing sekolah. SDM pendidikan adalah sumber keunggulan bersaing sekolah yang potensial karena kompetensi yang dimilikinya berupa intelektualitas, sifat, keterampilan, karakter pribadi, serta proses intelektual, tidak dapat ditiru sekolah lain. Pentingnya kontribusi SDM pendidikan (guru) sebagai salah satu faktor pendukung kesuksesan sekolah harus disadari oleh pimpinan sekolah, sehingga sekolah dituntut melakukan pengembangan berkesinambungan terhadap kuantitas dan kualitas pengetahuannya melalui pelatihan guru atau merangsang guru agar “learning by doing” di dalam learning organization. Membangun kemampuan guru merupakan langkah awal dalam penciptaan aset guru strategis. Namun, langkah awal tersebut tergantung pada proses sekolah untuk mencetak guru yang kompeten Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi serta kemampuan sekolah untuk merekrut guruguru terbaik. Peranan Kepala Sekolah selaku Manajer SDM Pendidikan dalam Meningkatkan Kompetensi Guru Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif dan efisien, maka guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai. Jika kita selami lebih dalam mengenai isi yang terkandung dari setiap jenis kompetensi yang disampaikan para ahli maupun di dalam perspektif kebijakan pemerintah, maka untuk menjadi guru yang kompeten bukan sesuatu yang mudah, karena untuk mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang komprehensif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Kepala sekolah selaku manajer SDM, memiliki tugas untuk mengembangkan kinerja personel sekolah, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru (Anwar dan Amir, 2000). Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional tidak hanya terkait penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi seperti yang dipaparkan di atas. Di dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah terkait dengan peningkatan kompetensi guru, yaitu: 1. Kepala sekolah sebagai pendidik (educator) Kepala sekolah yang berkomitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya akan memperhatikan kompetensi yang dimiliki gurunya, juga akan senantiasa berusaha memfasilitasi dan mendorong guru agar terus-menerus meningkatkan kompetensinya sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan efektif dan efisien. 2. Kepala sekolah sebagai pengelola (manager) Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu tugas yang dilakukan kepala sekolah adalah melakukan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan profesi guru. Kepala sekolah harus dapat memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada guru agar dapat melakukan kegia- 3. 4. 5. tan pengembangan profesi guru melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan guru, yang dilakukan di sekolah (MGMP/MGP sekolah, in house training, diskusi profesional, dan sebagainya) maupun yang dilakukan di luar sekolah (kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain). Kepala sekolah sebagai administratur (administrator) Berkenaan dengan pengelolaan keuangan, maka untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak terlepas dari faktor biaya. Seberapa besar sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi guru akan mempengaruhi tingkat kompetensi gurunya. Kepala sekolah seyogianya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru. Kepala sekolah sebagai pengawas (supervisor) Agar dapat mengetahui sejauh mana guru mampu melaksanakan pembelajaran, kepala sekolah perlu melaksanakan kegiatan supervisi secara berkala melalui kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung dalam hal pemilihan serta penggunaan metode dan media yang digunakan serta keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. (Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini, maka dapat diketahui kelemahan sekaligus kelebihan guru dalam melaksanakan pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan, selanjutnya diupayakan solusi, pembinaan, dan tindak lanjut tertentu sehingga guru dapat memperbaiki kekurangan yang ada, sekaligus juga mempertahankan kelebihannya dalam melaksanakan pembelajaran. Kepala sekolah sebagai pemimpin (leader) Di dalam teori kepemimpinan, kita mengenal 2 gaya kepemimpinan, yaitu kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi kepada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel sesuai kondisi dan kebutuhan yang ada. Namun, menarik dipertimbangkan dari hasil studi yang dilakukan Wiyono (2003) terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 83 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi sekolah dasar di Bantul terungkap bahwa etos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada manusia. Mulyasa (2003) juga mengatakan bahwa kepemimpinan seseorang terkait kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat: jujur, percaya diri, tanggung jawab, berani mengambil resiko dan keputusan, berjiwa besar, emosi yang stabil, dan teladan. 6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja (creator) Dalam menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip: (a) guru akan bekerja lebih giat jika kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan; (b) tujuan kegiatan sekolah perlu disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada guru sehingga mereka mengetahui tujuannya bekerja; (c) guru harus selalu diberitahu setiap pekerjaannya; (d) memberikan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun hukuman juga diperlukan sewaktu-waktu; dan (e) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru sehingga tercapai kepuasan (Mulyasa, 2003). 7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan (entrepreneur) Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan terkait dengan peningkatan kompetensi guru, kepala sekolah seyogianya dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirausa-haan yang kuat akan berani melakukan perubahanperubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa serta kompetensi gurunya. Jadi, kepala sekolah memiliki peran strategis dalam meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai pendidik, pengelola, administratur, pengawas, pemimpin, pencipta iklim kerja, maupun wirausahawan. Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas, dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, sehingga akhirnya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu sekolah. Sudah cukup jelas tentang penjelasan peran kepala sekolah terkait dengan kompetensi guru 84 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Kesimpulan Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, kompetensi guru merupakan salah satu faktor yang penting. Kompetensi guru menggambarkan apa yang seyogianya dapat dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, perilaku, maupun hasil yang dapat ditunjukkan. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dengan adanya tantangan kehidupan global, maka peran dan tanggung jawab guru di masa yang akan datang semakin kompleks sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian terhadap penguasaan kompetensinya. Manajemen SDM pendidikan konvensional yang berfokus pada peningkatan kemampuan teknis dan analitis guru, harus ditinggalkan karena selain membawa pada ketidak efektifan penggunaan akal budi guru, manajemen SDM pendidikan tersebut kurang bermanfaat bagi perolehan core competence sekolah untuk memperoleh competitive advantage. Sekolah hendaknya mempertimbangkan pengelolaan IQEQ-SQ guru secara integral dengan metode holistik karena dapat meningkatkan kreativitas guru pada tingkat mikro serta menghasilkan kreativitas bersama dalam wujud perolehan core competence yang strategis. Sekolah seyogianya menerapkan konsep manajemen SDM pendidikan berbasis kompetensi guru karena mengkaitkan aktivitas SDM pendidikan secara terintegrasi di sekolah dengan kompetensi inti guru untuk mencapai tujuan organisasi sekolah. Dengan menerapkan konsep tersebut, sekolah akan memiliki kepala sekolah yang dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan tepat serta memiliki guru yang mengetahui apa yang seharusnya dapat dilakukan untuk keberhasilan sekolah. Upaya peningkatan kompetensi guru dilakukan melalui optimalisasi peran kepala sekolah yang strategis sebagai pendidik, pengelola, administratur, pengawas, pemimpin, pencipta iklim kerja, dan wirausahawan. Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peranperan tersebut, dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kompetensi guru, sehingga dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu sekolah. Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi Daftar Pustaka Anwar, Idochi dan Yayat Hidayat Amir. (2000). Administrasi Pendidikan: Teori, Konsep, dan Issu. Bandung: Bumi Siliwangi Aqib, Zainal. (2002). Profesionalisme guru dalam pembelajaran. Surabaya: Insan Cendekia Becker, Huselid, and Ulrich. (2001). The HR scorecard: linking people, strategy and performance. Boston: Harvard Business School Press Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi pendidikan dalam upaya meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan. Bandung: Pustaka Setia Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Pedoman peningkatan kompetensi guru sekolah Indonesia di luar negeri (SILN) secara online DePorter, Bobbi, and Mike Hernacki. (1992). Quantum learning: unleashing the genius in you. Dell Publishing Dessler, Gary. (1997). Human resource management. New Jersey: Prentice Hall, Inc Dharma, Surya dan Yuanita Sunatrio. (2001). Human resource scorecard: suatu model pengukuran kinerja SDM. Usahawan, No. 11, Th XXX, Nopember 2001 Goleman, Daniel. (1996). Emotional intelligence. Bantam Books Hall, Jay. (1988). The competence connection: a blue print for excellent. Texas, USA: Woodstead Press Hamel, G. and C. K. Prahalad (1995). Competitive in the future. Boston: Harvard Business School Press Hanafi, Iwan. (2007). “Competence based human resources management (CBHRM)”, http:// www.ptpn3.co.id/ptb.pdf Hill, Charles W.L., and Gareth J. Jones (1998). Strategic management theory: an integrated approach. NY: Houghton Miffilin Company Holmes. (1993). Rescuing the useful concept of managerial competence. Personnel Review, Vol. 22, No. 6, pp.37-52 Lucky, Elizabeth. (2002). Peran pemimpin dalam maksimisasi sumber daya manusia dan strategi bersaing untuk membentuk organisasi kelas dunia. Usahawan, No. 11, Th XXXI, Nopember 2002 Mitrani, A, M. Daziel, and D. Fitt (1992). Competency based human resource management: value-driven strategies for recruitment, development, and reward. London: Kogan Page Limited Moqvist, Louise. (2003). The competency dimension of leadership: findings from a study of self image among top managers in the changing swedish public administration. Linköping University: Centre for Studies of Humans, Technology, and Organisation Mulyasa. (2003). Menjadi kepala sekolah profesional: dalam konteks menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyasa. (2004). Manajemen berbasis sekolah: konsep, strategi, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya National Board for Professional Teaching Standards. (2002). Five core propositions, http://www.nbpts.org/the_standards/ the_five_core_propositio Nuringsih, Kartika. (2002). Menciptakan keunggulan kompetitif melalui penilaian kinerja 3600 feedback. Usahawan, No. 05, Th XXXI, Mei 2002 Nursanti, Tinjung Desy. (2001). Strategi terintegrasi dalam perencanaan sumber daya manusia yang efektif. Usahawan, No. 03, Th XXX, Maret 2001 Purnama, Nursya’bani. (2000). Membangun keunggulan bersaing melalui integrasi perencanaan stratejik dan perencanaan SDM. Usahawan, No. 07, Th XXIX, Juli 2000 Schuler, R.S. and S.E. Jackson. (1996). Human resources management: positioning for 21th centuries. NJ: West Publishing Company Sergiovanni, J., Burlingame, Martin, Coombs, Fred S., Thurston, and Paul W. (1987). Educational governance and administration. New Jersey: Prentice-Hall, Inc Siswanto. (2001). Deskripsi aplikasi manajemen sumber daya manusia berbasis kompetensi, http://www.asb.co.id/document/ deskripsi_msdm-bk.pdf Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 85 Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi Southern States Cooperative Program in Educational Administration. (1955). Better teaching in school administration: a competency approach to improving institutional preparation programs in educational administration. Nashville, Tenn.: George Peaboddy College for Teachers Spencer, M.Lyle and M.Signe Spencer (1993). Competence at work: models for superior performance. New York, USA: John Wiley & Son, Inc Suminar, Nina Ratna dan Didang Setiawan. (2008). Peta kompetensi guru SMP dalam pengelolaan pembelajaran geografi di provinsi DKI Jakarta (Studi hasil uji kompetensi guru SMP tahun 2006), http:// www.lpmpdki.web.id/pdf/nina%20%20didang.pdf. Suyanto dan Djihad Hisyam. (2000). Refleksi dan reformasi pendidikan Indonesia memasuki millenium III. Yogyakarta: Adi Cita Triono, Rachmadi Bagus. (2002). Manajemen SDM holistik: jalan menuju perolehan competitive advantage. Usahawan, No. 05, Th XXXI, Mei 2002 Tunggara, R. M. Imam I. (2001). Peranan kepala sekolah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan melalui konsep manajemen 86 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 berbasis sekolah (studi kasus pada SLTP swasta kota Bandung. Bandung: Tesis Program Pasca Sarjana Administrasi Pendidikan – Universitas Pendidikan Indonesia. Ubrodiyanto. (2007). Pengembangan guru, sebuah harga mati!, http:// www.smak1cirebon.com/supported/ pdfviewer.php?hal=artikel&id=5 Ulrich, Dave. (1996). Human resource champions: the next agenda for adding value and delivering results. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press. Walker, J.W. (1994). Integrating the human resources function with the business resources planning. Human Resources Planning, Vol. 17, No. 2, pp.59-77 Wherther, William B. and Keith Davis. (1993). Human Resources and Personnel Management. New York: McGraw-Hill Wiyono, Bambang Budi. (2003). Gaya kepemimpinan kepala sekolah dan semangat kerja guru dalam melaksanakan tugas jabatan di sekolah dasar. Jurnal Filsafat, Teori, dan Praktik Kependidikan – Universitas Negeri Malang Zohar, Danah and Ian Marshal. (2000). SQ: spiritual intelligence-the ultimate intelligence. Bloomsbury Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern Opini Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi H.A.R. Tilaar*) Abstrak alam era globalisasi ini peranan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, sangat strategis dalam membentuk sumber daya manusia yang cerdas, terampil, dan mampu bersaing. Oleh karena itu, pendidikan tinggi perlu secara terus menerus melakukan pengembangan dalam berbagai aspek termasuk kurikulum. Tulisan ini membahas berbagai tantangan dan aspek yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia. Aspek-aspek yang dibahas termasuk otonomi dan manajemen universitas, hak asasi manusia, pendanaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. D Kata-kata kunci: Otonomi universitas, manajemen universitas, hak asasi manusia, pendanaan, perkembangan ilmu dan teknologi. In this modern and globalization era, the role of education in producing professional human resourcess is very strategic and has to be put into priority. Beside primary and secondary education, higher education should be developed in all aspects including its curriculum. This article discusses critically some factors to be well consedered in developing higher education curriculum such as autonomy and management, human right, funding, science and technology development. Pendahuluan Pendidikan tinggi modern dimulai dengan lahirnya Akedemi Plato sekitar empat abad SM telah mempengaruhi perkembangan pendidikan tinggi di dunia Barat. Falsafah Yunani yang mendasari perguruan tinggi tersebut dilanjutkan dengan peradaban Kristen dan telah menjadikan biara-biara sebagai kecambah lahirnya pendidikan tinggi modern di Barat. Universitas– universitas Oxford, Cambridge, Sorbonne yang lahir pada abad pertengahan merupakan kelanjutan dari falsafah Yunani–Romawi yang kemudian dikembangkan di dalam biara-biara Kristen. Perkembangan pendidikan tinggi modern di benua baru juga dimulai dari para ilmuwan/biarawan yang melarikan diri dari tekanan agama di benua lama. Univeristasuniversitas Harvard, Yale, Columbia, Princeton semula didirikan oleh para pendeta dan kemudian menjadi universitas-universitas sekuler. Perubahan orientasi pendidikan tinggi tersebut tidak terlepas dari perubahan zaman. Zaman Aufklarung, kemajuan akal manusia, kemajuan ilmu pengetahuan telah mengubah kebudayaan Barat ketika itu. Maka Universitasuniversitas abad pertengahan berubah menjadi pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Ledakan industrialisasi pada abad ke 18/19 telah melahirkan bentuk-bentuk pendidikan tinggi sekuler seperti Landgrant Colleges yang melahirkan State Universities di Amerika Serikat. Kemajuan ilmu pengetahuan pada abad ke-19 *) Guru Besar Emiritus Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 87 Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern melahirkan Research University di Jerman khususnya Unversitas Berlin dan Humbolt. Ide Research University tersebut kemudian dibawa ke Amerika Serikat di Johns Hopkins University, Baltimore. Dimulailah fase baru lahirnya universitas modern sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada abad ke-20. Dua perang dunia telah ikut memberikan wajah baru ke dalam pendidikan tinggi dengan melahirkan teknologi perang serta kemajuankemajuan lainnya dalam ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh perang itu. Selanjutnya berakhirnya perang dingin dan maraknya globalisasi telah melahirkan suatu dunia yang terbuka, perdangangan bebas, interaksi manusia yang lebih marak, lahirnya dunia maya, telah menumbuhkan suatu dunia baru, dunia global. Semua kekuatan baru tersebut ikut memberikan wujud baru dalam dunia pendidikan tinggi. Wujud baru tersebut juga mempengaruhi bentukbentuk organisasi pendidikan tinggi, tujuan, sarana, kurikulum serta pengelolaan dunia pendidikan tinggi secara keseluruhan. Perubahan bentuk, pengetahuan, tujuan pendidikan tinggi dewasa ini yang berubah dari tujuannya yang klasik menjadi bentuknya yang super modern dewasa ini seperti yang dikemukakan Cardinal John Henry Newman dalam publikasinya pada tahun 1852, The idea of a University. Dalam bukunya itu Newman menuliskan tujuan ideal dari universitas sebagai pusat pengembangan kebudayaan manusia. Kebudayaan manusia, di dalam hal ini dalam lingkup kebudayaan Barat, adalah manusia yang bermoral menurut ajaran Kristiani. Dalam pandangan Newman tersebut tentunya juga kemajuan moral manusia perlu ditopang oleh kemajuan akal sebagaimana yang dikemukakan oleh filsuf Immanuel Kant. Konsep Newman tersebut tentunya tidak terlepas dari falsafah Barat yang berakar dari falsafah YunaniRomawi serta budaya Kristen. Ilmu pengetahuan disubordinasikan ke dalam agama dan moral. Kita lihat di dalam sejarah pendidikan tinggi ide Cardinal Newman mendapat tantangan yang keras dari kemajuan berpikir rasionalisme serta revolusi industri pada abad 18-19. Ilmu pengetahuan semakin lama semakin ditonjolkan dan di dalam dunia universitas ilmu pengetahuan (science) dan kemudian aplikasi science dalam teknologi mulai marak di dunia pendidikan tinggi. Terjadi revolusi besar di dalam kehidupan dan kebudayaan manusia 88 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 modern yang mulai mengangungkan kemampuan rasio serta teknologi dan materialisme. Di dunia pendidikan menengah kita lihat lahirnya bentuk-bentuk sekolah dengan nama seperti Iyceum yang kemudian didampingi oleh sekolah menengah yang modern seperti AMS/ HBS. Di samping universitas-universitas yang berorientasi klasik seperti Oxford, Cambridge, Sorbonne, lahirlah pendidikan tinggipendidikan tinggi teknologi seperti Sekolah Tinggi Teknik Delf (Delft Technische Hoge School), Massachusetts Institute Technology. Pada permulaan abad ke-20 lahirlah pendidikan tinggi-pendidikan tinggi modern yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern Setiap tahun Universitas Oxford, Inggris, mengadakan pertemuan-pertemuan membicarakan masalah-masalah perkembangan pendidikan tinggi dunia. Salah satu pertemuan tersebut (Oxford Round Table) membicarakan mengenai perkembangan pendidikan tinggi dewasa ini serta tantangan-tantangannya. Berbagai tantangan yang menonjol adalah : 1) otonomi universitas, 2) manajemen universitas, 3) hak asasi manusia, 4) pendanaan, 5) perkembangan ilmu pengetahuan IT. 2. Otonomi Universitas Otonomi pendidikan tinggi merupakan suatu masalah perenial. Kita lihat pendidikan tinggi Barat pada mulanya terikat di dalam suatu tradisi budaya Barat di bawah kekuasaan raja khususnya pada abad pertengahan. Lahirnya Aufklarung dan kebebasan berpikir manusia, memberikan pengaruh yang besar terhadap tuntutan ekonomi pendidikan tinggi. Empirisme dan rasionalisme, memberikan pengaruh yang besar terhadap tuntutan otonomi pendidikan tinggi. Empirisme dan rasionalisme memberikan pengaruh yang besar terhadap otonomi pendidikan tinggi karena ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang karena kebebasan manusia untuk berpikir. Kita ingat pahlawanpahlawan ilmu pengetahuan yang dihukum mati pada Abad Pertengahan menunjukkan tuntutan manusia untuk kebebasan berpikir. Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern Ilmu pengetahuan hanya maju dan berkembang undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Pendidikan sebenarnya ingin apabila didasarkan kepada kebebasan rasio Hukum memenuhi tuntutan otonomi kampus. Namun manusia yang tentunya sering bertentangan demikian UU tersebut mengandung potensi dengan tradisi agama pada saat itu. pengelolaan kampus sebagai suatu unit bisnis. Di dalam kebebasan akademik diperjuangKampus diharuskan mencari dana sendiri kan dua hal yaitu kebebasan akademi dan sebagai pelengkap dari dana yang diberikan kebebasan mimbar akademi. Kebebasan oleh negara atau masyarakat. Tentunya hal ini akademi berlaku untuk seluruh masyarakat dapat menimbulkan ekses yaitu kampus pendidikan tinggi untuk mengeluarkan pendapat berdasarkan penalaran. Kebebasan dikelola sebagai suatu unit bisnis yang mencari mimbar akademik diberikan kepada dosen/guru profit (keuntungan). besar untuk menyatakan pendapatnya di dalam kampus mengenai kebenaran yang diyakininya. 2. Manajemen Universitas Dewasa ini masalah otonomi perguruan Dunia modern menurut Peter Drucker terdisi atas tinggi bukan hanya berkenaan dengan berbagai organisasi sosial atau lembaga-lembaga kebebasan mimbar dan kebebasan akademis sosial (social institution). Setiap lembaga sosial tetapi juga telah mengikuti berbagai aspek mempunyai tujuannya sendiri meskipun kehidupan pendidikan tinggi sebagai suatu masing-masing mempunyai prinsip-prinsip lembaga sosial (social institution). Kebebasan dasarnya sendiri. Lembaga sosial bisnis bertujuan untuk untuk meneliti, m e n c a r i kebebasan untuk keuntungan (profit) mengeluarkan oleh karena itu p e n d a p a t Dewasa ini masalah otonomi haruslah dikelola memerlukan kebeperguruan tinggi bukan hanya secara efisen dan basan dalam kehiberkenaan dengan kebebasan efektif. Lembaga dupan kampus mimbar dan kebebasan akademis pendidikan dalam arti yang tetapi juga telah mengikuti merupakan suatu luas. Hal ini berlembaga yang efiarti pendidikan berbagai aspek kehidupan sien dan produktif. tinggi sebagai suapendidikan tinggi sebagai suatu Namun demikian tu komunitas lembaga sosial (social institution). berbeda dengan mempunyai lembaga bisnis, pengaturantujuan lembaga pengaturan pendidikan bukanlah untuk mencari keunsendiri di dalam suatu masyarakat. Tidak tungan (profit) tetapi mempunyai tujuan untuk mengherankan apabila dewasa ini apa yang mengembangkan potensi peserta-didik agar disebut kebebasan kampus acap kali bentrok bermanfaat untuk diri sendiri, masyarakat dan dengan kekuasaan negara. Di dalam banyak kehidupan pada umumnya. Di dalam hal ini negara terutama negara-negara yang tidak tentunya terdapat perbedaan di dalam demokratis, kampus merupakan perlawanan kekuasaaan. Hal ini dapat kita lihat misalnya penggunaan prinsip-prinsip umum yang pada era komunisme, negara-negara diktator, berlaku untuk semua lembaga sosial modern. negara-negara totaliter banyak yang tumbang Oleh sebab lembaga sosial pendidikan bukanlah karena pemberontakan dari kampus. Otonomi suatu lembaga bisnis maka penerapan prinsipkampus tidak jarang diartikan sebagai prinsip bisnis yang memang efektif dalam kemerdekaan sepenuhnya di dalam kampus. Di mewujudkan keuntungan perlu disikapi dengan dalam banyak kasus kita lihat terjunnya kampus langkah-langkah berikutnya untuk mencapai di dalam kehidupan politik praktis sehingga tujuan lembaga pendidikan. Dengan demikian tujuan utama dari kampus telah berubah. Hal peserta didik tidak semata-mata dilihat sebagai ini antara lain yang telah melahirkan kebijakan suatu objek eksploitasi untuk mewujudkan NKK/BKK pada zaman Menteri Pendidikan dan tujuan lembaga tetapi untuk kepentingan pribadi peserta didik (mahasiswa) itu sendiri. Kebudayaan Daoed Joesoef. Pengalaman-pengalaman dalam melaksaOtonomi kampus juga berarti otonomi di nakan universitas sebagai badan hukum milik dalam pengaturan kehidupan kampus. UndangJurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 89 Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern negara menunjukkan berbagai kelemahan di dalam manajemen. Umum mengetahui bahwa di dalam rangka untuk mewujudkan otonomi setengah hati dari BHMN, universitas dipaksa mencari sumber-sumber penghasilan sendiri. Tidak mengherankan apabila sebagian atau sebagain besar dana operasional oleh mahasiswa/orangtua. Bagi mahasiswa dari keluarga yang tidak mampu hal ini tentunya merupakan suatu hambatan meskipun tersedianya beberapa beasiswa bagi mereka. Bagi PTN hal ini tentunya perlu dikaji lebih mendalam sebab hal tersebut bertentangan dengan jiwa UUD 1954. UUD 1945 mengatakan bahwa pendidikan merupakan hak seluruh rakyat dan pemerintah wajib menyelenggarakannya. Memang tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi namum demikian semua rakyat memperoleh hak yang sama untuk memperoleh pendidikan tinggi sesuai dengan kemampuan akalnya. Manajemen pendidikan tinggi modern tentunya menuntut pula kemampuan manajerial dari pengurus pendidikan tinggi itu. Sebagai kenyataan, para pimpinan pendidikan tinggi (administrator) pada umumnya tidak mempunyai pendidikan atau pengalaman sebagai manajer. Mereka diambil dari dunia ilmu pengetahuan yang minim dalam pengetahuan manajemen. Oleh sebab itu di Amerika Serikat kedudukan pimpinan pendidikan tinggi kebanyakan diambil dari yang berpengalaman di bidang bisnis atau kepemimpinan dalam bidang lainnya. Presiden Eisenhower sebagai komandan sekutu dalam PD II kemudian menjadi Presiden Columbia University baru kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat. Summers yang pernah menjadi presiden Harvard bermula sebagai Menteri Keuangan Amerika Serikat. Kini dia menjadi penasihat Presiden Obama. Berbeda dengan Amerika, tradisi Eropa memilih presiden universitas dari kalangannya sendiri melalui pemilihan. Mereka masih memegang tradisi keilmuan dari seorang presiden (rektor) universitas. 3. Hak asasi manusia Tradisi Eropa memberikan hak istimewa pada sekelompok anggota masyarakat yang berprivilege untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Di Inggris misalnya pendidikan menengah Eaton dan Harrow mempersiapkan 90 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 mahasiswanya untuk universitas Cambridge dan Oxford. Pendidikan tinggi diwarnai oleh hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kelompok feodal demi untuk melestarikan kekuasaannya. Poskolonialisme menunjukkan pada kita betapa pendidikan tinggi merupakan hak istimewa dari kelas atas. Di Indonesia kita mengenal lahirnya beberapa pendidikan tinggi pada permulaan abad ke-20 yang hanya memberikan tempat yang minim terhadap (inlander) bangsa Indonesia. Di Amerika Serikat sebagai pejuang hak azasi manusia dalam revolusi tahun 1776 pada mulanya membuat segregasi antara pendidikan yang dibutuhkan oleh golongan putih dan secara terpisah oleh golongan kulit berwarna. Pendidikan tinggi-pendidikan tinggi terkenal tertutup bagi kulit berwarna, seperti misalnya Universiatas Harvard baru memberikan izin kepada Ralph Unche sebagai mahasiswanya berkulit hitam yang pertama. Dengan adanya Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 terbukalah kesempatan yang sama untuk semua ras memasuki pendidikan tinggi di Amerika. Hak-hak azasi manusia ini mulai tersebar di seluruh dunia sampai pada waktu itu ke Afrika Selatan yang gigih mempertahankan politik rasial. Gerakan persamaan hak semua ras semakin gigih di seluruh dunia sehingga rasialisme terkikis dari kehidupan perguruan tinggi di seluruh dunia. Kemajuan HAM tersebut bukan hanya menepis perbedaan ras tapi juga mengenai perbedaan gender. Pada mulanya pendidikan tinggi hanya terbatas untuk kaum pria meskipun di Barat sejak akhir abad ke-19 telah membuka lebar bagi perempuan. Bahkan pada permulaan abad ke -20 seorang perempuan Madame Curie berhasil menggondol hadiah Nobel. 4. Pendanaan Dunia modern semakin menuntut perubahan cepat serta kebutuhan yang semakin meningkat yang hanya dapat diberikan oleh universitas melalui pendidikan dengan tenaga-tenaga yang terampil. Tuntutan dunia bisnis tersebut menuntut universitas menyediakan fasilitasfasilitas, baik tenaga-tenaga guru besar maupun laboratorium, dalam mempersiapkan yang dibutuhkan itu. Hal ini berarti menambahkan kebutuhan universitas akan dana yang memadai untuk menyiapkan atau mendatangkan tenaga guru besar dengan gaji yang tinggi, kampus yang semakin marak baik secara Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern fisik maupun kemampuannya sehingga menarik pun swasta meminta pembiayaan yang tinggi. perhatian banyak mahasiswanya. Kegiatan- Meskipun di sana-sini terdapat disediakan kegiatan riset ditingkatkan baik riset tersebut banyak beasiswa untuk para mahasiswa yang merupakan riset murni ataupun riset pesanan berpotensi tetapi tentunya hal tersebut membatasi dari industri-industri besar. Modal industri kemungkinan anak-anak dari keluarga miskin mulai memainkan peranannya di dalam untuk memperoleh kesempatan yang sama. Di pengembangan universitas riset dari Jerman ke dalam negara-negara berkembang di mana dana Amerika Serikat telah menumbuhkan program- pemerintah terbatas untuk universitas yang program Graduate Studies yang kebanyakan dimiliki negara, tentunya hal tersebut akan berorientasi kepada industri atau bisnis. memberikan pengaruh yang negatif terhadap Universitas-universitas terkenal mulai membuka pertumbuhan perguruan tinggi. PTS tergantung diri pada masuknya modal-modal besar dalam seluruh pendanaannya dari masyarakat. Oleh pembangunan pusat-pusat riset di kampus sebab itu untuk memperoleh akreditasi yang sebagaimana yang kita lihat di Massachusetts tinggi dalam masyarakat, PTS memperoleh dana Institute of Technology. Demikian pula perkem- dari masyarakat itu sendiri. Tidak bangan persenjataan modern dalam rangka mengherankan apabila dana yang ditanggung perang dingin untuk menghasilkan senjata- oleh PTS akan relatif lebih tinggi dari rekannya senajata pemudari PTN. Di snah massal dalam hal ini memberikan keperilu dikemsempatan kepada bangkan suatu Proses pembelajaran melalui penelitiansistem subsidi dunia maya dengan penggunaan penelitian dan beasiswa peralatan IT akan mengubah universitas. yang mengakui proses pembelajaran bukan lagi Dengan demikian eksistensi PTS di sebagai suatu proses encounter jutaan atau bahdalam kehidupan kan milyaran suatu bangsa. antar manusia. dollar melimpah Kebijakan ini kita ke universitaslihat di negarauniversitas terkenal di dunia. negara maju. Di dalam per-kembangannya dalam dunia Kebutuhan dana yang besar dalam modern dewasa ini kita lihat adanya kerjasama pengelolaan suatu pendidikan tinggi dibarengi yang erat antara A-B-G yaitu para akade-misi, oleh kebutuhan masyarakat akan tenaga terampil para birokrat pemerintah (government). Simbiose lulusan pendidikan tinggi memberikan antara keempat kekuatan tersebut telah pengaruh terhadap pembukaan programmelahirkan wajah baru dari universitas modern program studi. Pendidikan tinggi swasta abad ke-21. meskipun berakreditasi baik enggan untuk Apakah ada ekses dari hubungan simbiotik membuka program studi seperti bahasa, filsafat, dari keempat kekuatan tersebut di atas? Tentunya pendidikan guru jarang dibuka oleh PTS. di samping hal-hal positif terdapat juga hal-hal Program-program studi yang laku terutama bagi negatif yang dilahirkan dari kerjasama tersebut. PTS adalah program studi bisnis, hukum, Sebagai contoh misalnya penelitian-penelitian teknologi khususnya teknologi informasi. Kalau yang besar yang dibutuhkan oleh multinational keadaan ini terus berlanjut maka ini akan corporation tentunya membatasi otonomi merupakan suatu lampu merah bagi universitas dalam penelitian. Demikian pula perekembangan suatu kebudayaan yang sehat. keterlibatan universitas di dalam persiapan persenjataan pemusnah massal sudah tentu 5. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan bersinggungan dengan tanggung jawab moral Teknologi Informasi universitas bagi peradaban manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kebutuhan dana yang besar untuk pendidi- yang sangat pesat dewasa ini juga memberikan kan tinggi tentun-ya merupakan beban ekstra di warna tertentu bagi perkembangan pendidikan dalam masya-rakat khususnya bagi mahasiswa tinggi. Bukan hanya program-program studi dari kelompok rakyat miskin. Universitas-uni- tersebut tumbuh menjamur dalam masyarakat versitas terkenal di dunia baik milik negara mau- tetapi juga memberikan pengaruh terhadap Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 91 Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern jalannya proses belajar. Secara tradisional kita lihat pendidikan tinggi merupakan suatu dialog face-to-face antardosen dengan mahasiswanya. Adanya proses pembelajaran melalui dunia maya dengan penggunaan peralatan IT akan mengubah proses pembelajaran bukan lagi sebagai suatu proses encounter antarmanusia. Seorang dosen dapat menyampaikan pelajaran atau penelitian melalui dunia maya tanpa adanya sentuhan emosional antarpribadi. Hal ini akan menjadikan suatu bentuk pembelajaran tanpa emosi dan sentuhan kemanusiaan. Kampus bukan lagi berupa kampus fisik tetapi kampus maya sehingga aspek interpersonal antara dosen dengan mahasiswa menghilang. Ini adalah suatu bentuk campus cyber atau yang disebut “kampus kuburan” (cemetery campus) di mana para anggotanya ada tetapi terkubur di dalam dunia maya. Apakah ini merupakan suatu bentuk universitas masa depan? Sebagai gambaran dalam tabel berikut terlihat ranking universitas di Indonesia ditingkat Asean dan International. Tabel Ranking Universitas di Indonesia (Rabometrics, Januari 2009) No Universitas di Indonesia Ranking ASEAN Ranking Dunia 1. Gajah Mada 7 6 23 2. ITB 10 676 3. UI 15 906 4. Guna darma 37 160 4 5. ITS 44 176 2 6. ST. Teknik T e l ko m 48 196 0 7. Univ. Petra 52 201 3 8. IPB 53 206 3 9. Unibraw 56 215 2 10 Univ. Sbelas Maret 57 2159 18. UNY 90 3310 20 UPI 93 3347 33 Un. Semarang 144 4800 92 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Kesimpulan Kurikulum pendidikan tinggi di dalam sejarahnya berkembang sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia. Di dalam masyarakat sederhana yang kontemplatif, kurikulum pendidikan tinggi diarahkan kepada mencari jawaban terhadap masalah-masalah mendasar tentang kehidupan dan alam. Ketika akal manusia terlepas dari kungkungan ideologi, pendidikan tinggi merupakan pusat dari manusia mencari jawaban terhadap eksistensinya di bumi ini. Ketika dunia ini telah dapat dikendalikan oleh akal manusia, perkembangan materialisme, perkembangan bisnis serta paham individualisme-liberalisme, pendidikan tinggi dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia. Kurikulum pendidikan tinggi diarahkan kepada upaya untuk menguasai dunia materi demi untuk memenuhi kebutuhan materialisme. Bahaya yang dihadapi oleh pendidikan tinggi ialah kecenderungan sekedar menjadi pusat pelatihan dan bukan sebagai pusat pembebasan akal manusia untuk pembebasan dirinya serta pengabdian kepada sesamanya. Kurikulum pendidikan tinggi dewasa ini dihadapkan kepada dilema idealisme pendidikan tinggi menurut konsep Newman atau “for-profituniversity”. Di dalam pergumulan tersebut pendidikan tinggi selayaknya tetap merupakan pusat pengembangan kebudayaan kemanusiaan dan menjadi penjaga moral manusia. Daftar Pustaka Alexander, King F. & Kern Alexander (ed.). (2003). The university. McGill-Queen University Press Hammersley, Martya. (2002). Educational reaserch. Policymaking and practise. London: Paul Chapman Lewis, Ralph G. & Douglas H. Smith. (1994). Total quality in higher education. Florida: St. Lucie Press Delray Beach Newman, John Henry. (1852). The idea of university. London (1919): Longmans. O’Neil, Harold F. Jr. & Ray S. Perez (ed.). (2003). Technology aplications in education. New Jersey : Lawrence Erlbaum Isu Mutakhir: Generasi Digital (Digital Native) Isu Mutakhir Generasi Digital Hotben Situmorang*) alam perjalanan pulang kantor, penulis mendengar siaran Radio Elshinta yang memberitakan dalam waktu dekat akan ada kebijakan pemerintah yang mengatur sistem penyiaran “TV digital” sehingga isi siarannya juga dapat diikuti melalui “TV analog”, seperti kebanyakan TV yang kita tonton selama ini. Menarik untuk difahami bahwa banyak hal bergeser ke arah digital, termasuk manusia juga telah mempunyai identifikasi digital dengan sebutan “digital native”. Sebutan digital native ini telah menarik perhatian dari beberapa pemerhati pendidikan, seperti Marc Prensky yang pada tahun 2001 mempublikasi tulisan “new breed of student entering educational establishment” dengan menyatakan digital immigrant sebagai a thick accent karena mengedepankan data dan fakta yang sering memperlambat penyampaian informasi (en.wikipedia.org/ wiki/digitalnative). Tidak ketinggalan Gardner menyatakan pada research paper yang dipublikasi pada 22 Januari 2008 di Barcelona, D *) bahwa ada 18 area perubahan dari perilaku kerja para digital native. Buku yang ditulis oleh John Palfrey and Urs Gasser berjudul Born Bigital : Understanding the first generation of digital native diterbitkan Basic Books pada 2008, berbicara tentang ketersediaan koneksi internet yang luas dan konsep perubahan identitas, privasi dan pembajakan musik. Hal yang lebih spesifik membicarakan murid masa depan adalah laporan Julie Evans selaku CEO Project Tomorrow pada 25 Oktober 2007 berjudul : Are we ready for the new 21st ceentury learner ?. Proyek ini melaporkan lebih dari 50% guru dan orang tua dan bahkan 62% siswa SLTA yang disurvei meyakini bahwa sekolah saat ini “are not doing a good job”. Survei yang dilakukan menyimpulkan bahwa teknologi telah merubah cara guru menyampaikan materi pembelajaran pada siswa. Penggunaan tehnologi lebih konsisten sebagaimana siswa berinteraksi dengan dunia dan apa yang mereka harapkan pada masa yang akan datang. Tidak sulit menemukan peristiwa yang sama terjadi di Indonesia, antara lain penggunaan bahasa singkatan yang dikirim melalui SMS telah merusak tata bahasa akan tetapi memudahkan penyampaian sebuah pesan singkat. Generasi ini memang mengedepankan kecepatan dan membangun aturan sendiri. Mengenal lebih jauh perilaku generasi ini perlu dalam menyusun rancangan pembelajaran yang sesuai dan mengoptimalkan pencapaiannya. Menelusuri identifikasi tersebut ternyata dimulai dengan fakta sejarah Perang Dunia II yang melibatkan dan mengorbankan banyak umat manusia. Berakhirnya Perang Dunia ke II banyak tentara meninggalkan ketentaraan dan menjadi masyarakat sipil membina keluarga bahagia. Sejarah mencatat kejadian ini disusul dengan angka kelahiran yang sangat massive di Amerika dan mungkin juga di Eropa. Situasi ini memunculkan istilah baby boomer’s (anak yang terlahir sekitar 1945 – awal 1960-an). Anak-anak yang terlahir pada saat baby boomer’s ini disebut Mahasiswa PPS/S3-MP, Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 93 Isu Mutakhir: Generasi Digital (Digital Native) sebagai generasi “x”. Anak generasi “x” sangat cinta damai dan tidak suka perang, mungkin terindoktrinasi dari orang tua yang menderita karena perang. Perang Dunia berakhir disusul dengan perang dingin dimana tejadi ketegangan antara Amerika di Blok Barat dan Rusia di Blok Timur. Ketegangan menonjol saat Rusia menempatkan peluru kendali di Kuba awal 1960-an. Generasi yang terlahir pada era tersebut hingga runtuhnya tembok Berlin disebut generasi “y” dengan perilaku yang pada umumnya memilih berbeda dengan orang tua, kreatif dan cenderung membentuk komunitas tersendiri. Pertumbuhan generasi “y” diikuti situasi pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dan situasi yang relatif lebih aman. Zaman ini juga menghadirkan teknologi kreatif yang memudahkan kehidupan manusia. Penyebaran komunikasi demikian cepat dengan adanya internet pada pertengahan 1980-an yang sekaligus melahirkan generasi “digital”. Di Amerika dan negara maju lainnya disebut “digital native” karena memang mereka terlahir pada zaman digital. Penulis dan semua yang memasuki era digital pada saat sudah dewasa disebut “digital imigrant”. Sebagai imigran perlu memahami kehidupan zaman ini. Lebih jauh, digital native lebih senang berkomunikasi lewat perangkat komunikasi (sms, chatting, internet, facebook dll) dibandingkan berhadapan langsung. Para digital native ini juga memiliki substansi yang sama, tetapi 94 dengan cara dan kecepatan yang berbeda. Mereka mampu mengekspresikan diri melalui online dan offline. Mereka memiliki lebih banyak akses, terutama melalui internet dan mobile. Dalam hal identitas, beberapa perbedaan penting adalah dalam hal personal information. Para immigrant sangat hati-hati dalam memberikan informasi yang bersifat pribadi. Digital native justru sangat terbuka dan cenderung menebar informasi tentang hobi mereka, apa yang mereka lakukan, dan apa pandangan mereka. Ini dilakukan karena mereka memiliki keinginan untuk mencapai goal dan tujuan hidup seperti friendship, social acceptance, popularitas atau sekedar pelepas stres. Kalau mereka mengundang kawankawannya untuk menjadi bagian dari Facebook, maka yang ingin mereka dapatkan adalah untuk melihat berapa kawan yang menerima respons mereka. Berikutnya, digital native ini memiliki kemampuan untuk membentuk identitas mereka lebih cepat dan lebih beragam. Di sisi lain, mereka tidak memiliki kontrol atau lebih sedikit kontrol dalam hal persepsi orang lain terhadap identitas mereka. Ini adalah paradoks. Jadi, mereka berpikir bahwa mereka mampu dan punya kebebasan untuk mengubah-ubah identitas mereka, tetapi sebenarnya identitas sosial menjadi hal yang sulit. Di masa lalu, kita lebih mudah mengubah identitas sosial atau bagaimana orang lain mempersepsi kita. Dengan komunikasi yang konvensional, orang-orang di Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 sekitar kita akan memiliki persepsi seperti yang kita inginkan. Saat ini, identitas sosial justru lebih sulit karena tidak adanya kekuatan untuk menciptakan maupun mengubah hal ini. Apa implikasinya bagi para marketer yang membidik segmen ini? Pertama, komponen brand personality menjadi semakin penting sebagai bagian dari brand image. Kalau di masa lalu, atribut produk, benefit, value dan self-esteem adalah komponen pembentuk brand image yang penting, maka hari ini dan ke depan akan semakin berubah. Yang penting dicatat bahwa digital native ini hidup sebagai hybrid consumer. Mereka membutuhkan offline untuk mencari pengalaman real atau sebagai interface dari apa yang mereka komunikasikan secara online. Ring Back Tone (RBT) yang sangat populer di Indonesia adalah bukti yang sangat nyata. Bukan hanya lagu yang enak didengar yang mereka cari, karena sebenarnya yang mendengar lagu tersebut justru orang lain yang menelepon ke ponsel mereka. Tapi, RBT ini adalah cerminan diri mereka dalam mewujudkan keinginan untuk membentuk identitas. Dengan menelepon kita tahu bahwa pemilik ponsel adalah pencinta Michael Jacson atau yang lainnya. Kedua, ada peningkatan yang sangat besar dalam hal customization. Karena semuanya bergerak cepat, maka keinginan untuk mencari identitas yang semakin unik akan semakin cepat. Marketer atau setiap perusahaan haruslah mulai memikirkan digital content- Isu Mutakhir: Generasi Digital (Digital Native) nya. Industri telekomunikasi, resto ataupun tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh digital native ini harus mengadopsi digitilization lebih cepat. Inilah salah satu cara untuk mengakomodasi keinginan mereka untuk mendapatkan layanan yang customized dan personal. Mereka tidak seperti kita dan tidak bisa menjadi seperti kita tetapi kita harus mengenal mereka, anak-anak yang Tuhan titipkan melalui kita untuk dunia. Mereka bagai anak panah yang meluncur cepat tetapi tidak bisa dipaksa. Dalam belajar juga mereka mempunyai cara dan pilihan sendiri. Jika manusia ‘jadul’ bangga punya anak menjadi dokter, insiniur, pengacara dan lain lain tetapi mereka hadir dengan menjadi ring tone specialist, menjadi “DJ” dan banyak karier baru dengan penghasilan tinggi. Orang tua hanya bisa menjadi busur yang lentur untuk menghantarkan generasi ini tepat sasaran yang tidak mengakibatkan anak panah gemetar saat meluncur sehingga dikhawatirkan tidak optimal dan bahkan menjadi menyimpang dari harapan. Kepemilikan telepon genggam yang dimanfaatkan siswa berkomunikasi sering menjadi masalah dan dinilai negatif oleh para guru karena tidak memahami bagaimana mengendalikannya. Pencarian informasi dari buku-buku perpustakaan telah menjadi hal yang lambat, sebaliknya internet telah menghubungkan informasi dunia dan sangat memudahkan penggunanya. Sudah barang tentu rancangan pendidikan, khususnya kurikulum dan proses pembelajaran perlu design baru. Guru dituntut merubah cara pandang dalam mempersiapkan pembelajaran bahkan sekolah yang dianggap berhasil dalam pola lama akan ketinggalan jika tidak menyesuaikan diri. Aktivitas rutin seperti halnya jadwal belajar per-minggu dalam satu semester perlu dirubah, dan dalam hal sederhana, penyiapan pembelajaran guru seyogianya memanfaatkan segala sumber daya ICT. Pada akhirnya guru dan orang tua haruslah menjadi imigran yang baik selaku imigran. Peningkatan perbendaharaan kata dalam pembelajaran bahasa misalnya, dapat dipacu dengan memanfaatkan teknologi telepon genggam yang dimiliki siswa dijadikan kelompok yang sekaligus memudahkan guru memberi penilaian secara otomatis. Guru berfungsi sebagai moderator dan dapat diikuti siswa walau di luar jam pelajaran dalam kelas. Fenomena belajar diluar kelas formal juga muncul dengan pertumbuhan home schooling semakin menjamur sebagai alternatif pendidikan. Pembangunan gedung sekolah yang memerlukan biaya investasi cukup besar di kemudian hari tidaklah penting, sejauh pengelola pendidikan dapat menyiapkan sarana yang dapat diakses siswa secara online dan ditambahkan dengan jaringan kerja sama industri untuk praktek. Dana BOS Boleh Ditolak? Peningkatan mutu pendidikan dan layanan masyarakat yang menjadi jargon politik pemerintah menjadi issu kontroversial dikarenakan pemerintah mengeluarkan regulasi bantuan operasional sekolah (BOS). Tuntutan penyediaan layanan pendidikan murah dengan perhitungan standar pemerintah dipandang tidak layak oleh sebagian sekolah swasta. Penyaluran dana publik diiringi dengan pengawasan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebenarnya adalah hal yang wajar. Akan tetapi di kala audit mengganggu kebijakan keuangaan yang mungkin dipersepsikan berbeda, maka mengkhawatirkan beberapa sekolah swasta sehingga menolak dana BOS tersebut. Penolakan dana BOS yang berarti tidak mendukung program pemerintah dalam hal pendidikan murah memang menjadi keputusan yang dilematis. Di lain pihak membiayai operasional pendidikan yang bermutu membutuhkan dana yang jauh lebih besar dari dana yang disalurkan pemerintah melalui program BOS. BOS memang merupakan program bantuan akan tetapi hal-hal yang bisa terjadi di balik kebijakan ini masih belum mempunyai kesepahaman yang sama antara pemerintah dan pelaksana di lapangan. Dalam rangka memacu pendidikan murah yang bermutu, pemerintah Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 95 Isu Mutakhir: Generasi Digital (Digital Native) memperbaharui aturan penyalurannya dan sekaligus meningkatkan anggarannya sekitar 50% seperti disampaikan Prof. Suyanto PhD (Dirjen Dikdasmen) pada pertengahan April 2009. Beberapa poin penting kebijakan baru tersebut adalah sebagai berikut. a. Sasaran program BOS adalah semua sekolah setingkat SD dan SMP (termasuk SMPT), baik negeri maupun swasta di seluruh propinsi di Indonesia. Program Kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk sasaran program BOS ini. Biaya satuan BOS, termasuk BOS Buku, per siswa/ tahun mulai Januari 2009 naik secara signifikan menjadi: SD di kota Rp400 ribu, SD di kabupaten Rp397 ribu, SMP di kota Rp575 ribu, dan SMP di kabupaten Rp570 ribu. b. Dengan kenaikan kesejahteraan guru PNS dan kenaikan BOS sejak Januari 2009, semua SD dan SMP negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional sekolah, kecuali RSBI dan SBI. 1) Sekolah yang menolak BOS harus melalui persetujuan orang tua siswa dan Komite Sekolah dan tetap menjamin kelangsungan pendidikan siswa miskin di sekolah tersebut. 2) Seluruh sekolah yang menerima BOS harus mengikuti pedoman 96 c. BOS yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 3) Sekolah negeri kategori RSBI dan SBI diperbolehkan memungut dana dari orang tua siswa yang mampu dengan persetujuan Komite Sekolah. 4) Semua sekolah SD/ SDLB/SMP Negeri wajib menerima dana BOS. Bila sekolah tersebut menolak BOS maka sekolah dilarang memungut biaya dari peserta didik, orang tua atau wali peserta didik 5) Semua sekolah swasta yang telah memiliki ijin operasional dan tidak dikembangkan menjadi bertaraf internasional atau berbasis keunggulan lokal wajib menerima dana BOS. Tim Manajemen BOS Sekolah : a) Penanggungjawab: Kepala Sekolah. b) Anggota : Bendahara dan satu orang tua siswa selain ketua/ anggota komite sekolah c) Catatan: Tim Manajemen BOS Tingkat Sekolah di SK kan oleh Kepala Sekolah, dan penyimpangan dari aturan yang berlaku maka kepala sekolah dikenakan denda Rp 500 juta dan diberhentikan dari status pendidik. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Dalam diskusi Proyek CES (Center of Educatin Statistic’s) di Hotel Century pada bulan Mei 2009 yang lalu dari seorang pejabat PNF Depdiknas terungkap penolakan dana BOS oleh beberapa sekolah swasta, dan pada kenyataannya penolakan tersebut telah berdampak pada daya serap anggaran yang menurut undang-undang harus 20 % dari APBN. Jika penyerapan anggaran rendah maka program tersebut bisa jadi akan dipertanyakan. Memperhatikan kebijakan Dirjen Dikdasmen yang mengharuskan penerimaan dana BOS dan peninjauan uang sekolah , maka sekolah swasta yang menolak menerima dana BOS seyogianya menata diri dengan melakukan pemenuhan persyaratan RSBI atau SBI. Tanpa perubahan status sekolah dimungkinkan akan mendapat persoalan dalam menjalankan operasional sekolah. Hal yang perlu disikapi adalah cara pandang pemangku kebijakan, karena pelaksanaan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan lembaga pendidikan swasta adalah pendukung (“sub contractor”) pelaksanaan pekerjaan pemerintah (main contractor). Dengan memenuhi persyaratan RSBI atau SBI peraturan pemerintah mempersilahkan sekolah untuk mengatur kebijakan keuangannya sejauh hal itu diterima masyarakat. Resensi buku Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells Judul Buku: The Craft of Writing Science Fiction That Sells Penulis : Ben Bova Penerbit : Writers Digest Books Tahun terbit : 1994 Jumlah Halaman : 224 Oleh: Budyanto Lestyana P elajaran mengarang telah diajarkan kepada siswa sejak dari jenjang Sekolah Dasar hingga jenjang Sekolah Menengah Atas. Pelajaran yang diberikan mulai dari membuat kalimat hingga paragraf singkat dan karangan-karangan pendek dengan memperhatikan bagian pembuka, inti, dan penutup. Sayang sekali pelajaran mengarang tersebut berhenti pada tingkat tersebut. Padahal masih banyak hal teknis membuat karangan (khususnya cerita fiksi) yang perlu diajarkan dan dikuasai agar dapat menghasilkan suatu karya cerita yang dapat dinikmati. Dalam buku The Craft Of Writing Science Fiction That Sells, Ben Bova mengajarkan bagaimana membangun sebuah cerita. Di sini sama sekali tidak dibahas bagaimana membuat kalimat maupun menyusun paragraf (Teknik dasar menulis ini dianggap sudah dikuasai. Pengarang tetap harus menggunakan teknik dasar menulis yang baik). Orang dapat menyusun paragraf dengan sangat baik tetapi belum tentu dapat membangun sebuah cerita yang menarik. Pada bagian awal, buku ini membahas mengenai sifat-sifat khusus fiksi ilmiah, dan kelebihannya. Diutarakan di sini bahwa fiksi ilmiah merupakan awal yang baik untuk penulis pemula memulai kariernya. Buku ini mendefinisikan cerita fiksi ilmiah sebagai cerita yang sebagian aspek sains masa depan atau teknologi tinggi menjadi bagian intergral dari cerita, sehingga bila sains atau teknologi tersebut dicabut dari cerita, maka cerita akan runtuh. Oleh karena itu, walaupun buku ini terbit tahun 1994, gagasan yang disampaikan masih terasa relevan dan aktual sehingga menarik untuk dikaji. Hal-hal utama dalam mengarang cerita fiksi ilmiah Bagian kedua buku ini mengajarkan teknik-teknik yang berharga dalam menyusun sebuah cerita. Di sini dibahas empat hal utama dalam menyusun sebuah cerita adalah karakter, latar belakang, konflik, plot. Setiap pengarang harus memasukkan tiga faktor utama dalam setiap cerita yang ditulisnya. Ketiga faktor tersebut adalah ide, seni, dan kemahiran menyusun cerita. Seni tergantung dari talenta individu penulis dan komitmen untuk menulis. Tidak ada orang yang dapat mengajarkan keindahan seni kepada seorang penulis, walaupun sudah banyak yang mencoba. Seni tergantung sepenuhnya pada apa yang ada di dalam diri penulis, talenta bawaan, keberanian, kemauan, dan jiwa. *) Staf BPK PENABUR Tirta Marta BPK PENABUR Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 97 Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells Kemahiran menyusun cerita dapat diajarkan. Kebanyakan pengarang pemula jatuh pada hal ini. Dalam banyak kasus, ketidakmahiran ini yang membuat pengarang tidak pernah bisa menghasilkan karangan yang layak untuk dipublikasikan. Karakter Di dalam buku ini dikatakan, bahwa semua cerita fiksi didasarkan atas karakter. Setiap cerita fiksi bergantung pada bagai-mana penulis mengelola orang-orang. Khusus-nya tokoh utamalah yang menentukan apakah akan menjadi cerita yang baik atau buruk. Pada dasarnya sebuah cerita dapat didefinisikan sebagai proses mendeskripsikan bagaimana tokoh cerita memecahkan permasalahan, tidak lebih dan tidak kurang. Dalam cerita fiksi, karakter tidak selalu seorang manusia. Banyak cerita fiksi yang ditulis dengan tokoh utama sebuah robot, alien dari dunia lain, mahkluk supranatural, hewan, bahkan tumbuhan. Tetapi dalam semua kasus, cerita hanya bisa bagus bila tokoh utama berperilaku seolah-olah manusia. Pembaca membaca cerita untuk menikmatinya. Mereka tidak ingin dibuat bosan atau bingung. Mereka tidak suka diceramahi atau dikotbahi. Jika pembaca mulai membaca sebuah cerita yang tokoh utamanya sebuah mesin atau tanaman, dan tokoh utama itu tidak berperilaku seperti manusia – tetapi sekedar menyala atau bertelur, pembaca akan segera berhenti membaca. Tetapi bila tokoh utama dibuat menghadapi permasalahan manusiawi, seperti bertahan hidup, dan bagaimana ia berjuang mengatasi permasalahan itu, maka pembaca akan menikmati cerita tersebut. Sebuah cerita adalah seperti bentuk hiburan lain. Ia harus dapat menarik perhatian pembaca dan mempertahankan ketertarikan itu. Cerita yang dicetak memiliki banyak kelebihan dibandingkan bentuk hiburan lain, karena katakata yang tertulis dapat secara langsung mencetuskan imajinasi. Seorang pengarang dapat membuka imajinasi pembaca dan membawa pembaca dalam perjalanan yang menggairahkan ke dalam dunia yang ajaib dan aneh, dengan hanya menggunakan kertas dan tinta. Pengarang tidak membutuhkan aktor, sutradara, pemusik, panggung, kamera dan lainlain. Yang dibutuhkan pengarang hanyalah kertas dan alat tulis untuk berbicara langsung kepada pembaca. Di lain pihak, pengarang tidak pernah 98 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 bertemu muka dengan pembaca. Ia tidak dapat berada di samping pembaca dan menjelaskan berbagai hal yang kurang jelas. Ia tidak dapat berkata kepada pembaca untuk melompati beberapa halaman karena tidak diperlukan untuk memahami jalan cerita. Pengarang harus menuliskan semua yang ingin diungkapkannya dan berharap agar pembaca dapat merasa melihat, mendengar, merasakan, mencium halhal yang yang ingin diungkapkannya. Pengarang harus membuat pembaca pembaca memahami apa yang ada dalam pikirannya dengan memahami kata-kata yang tertulis. Tugas penulislah untuk membuat pembaca hidup dalam alam cerita. Penulis harus membuat pembaca lupa bahwa ia sedang duduk dan membaca. Penulis harus membuat pembaca percaya dan merasa bahwa ia sedang berada dalam dunia imajinasi penulis, sedang mendaki gunung yang diceritakan, sedang berjuang melawan kedinginan dan es untuk menemukan harta yang diceritakan ada di puncaknya. Cara termudah–sebenarnya satu-satunya cara untuk membuat pembaca hidup dalam alam cerita penulis adalah dengan memberikan pembaca tokoh yang diinginkannya. Biarlah pembaca merasa menjadi tokoh cerita, Cinderella atau Sherlock Holmes. Membuat Karakter Menjadi Hidup Bagaimana caranya? Ada dua cara yang perlu diperhatikan. Pertama, perlu selalu diingat bahwa setiap cerita pada dasarnya adalah deskripsi tokoh yang berjuang memecahkan permasalahan. Tokoh utama harus dipilih dengan hati-hati. Tokoh utama harus cukup menarik dan menghadapi permasalahan yang cukup serius, untuk membuat pembaca peduli dengannya. Seringkali tokoh utama disebut sebagai titik pusat pandang, karena jalan cerita diutarakan dari sudut pandangnya. Sebenarnya cerita sang tokoh utamalah yang penulis ceritakan. Pengarang harus memilih tokoh utama (atau tokoh titik pusat pandang) yang memiliki kelebihan yang besar dan paling tidak satu kelemahan yang sangat mencolok. Kemudian memberikan padanya permasalahan yang sangat berat. Sebagai contoh adalah Hamlet, pangeran Denmark dalam novel Shakespeare. Hamlet adalah seorang yang kuat, cerdas, tampan, setia, dan pemimpin alami. Tetapi ia juga seorang yang ragu-ragu, tidak yakin akan dirinya, dan hal inilah yang justru membawa kejatuhannya. Jika Hamlet harus memimpin Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells pasukan, atau memikat wanita, atau menggapai prestasi akademis tentulah dapat dilakukannya dengan mudah. Akan tetapi Shakespeare memberinya permasalahan yang berfokus pada kelemahannya, bukan kelebihannya. Inilah yang harus dilakukan pengarang yang baik. Sekali pengarang memilih siapa tokoh utamanya dan apa kelebihan dan kekurangannya, ia harus menimpanya pada bagian yang paling menyakitkan. Pengarang perlu membuat dirinya tega menghadapkan tokoh utama dengan permasalahan yang tidak dapat dipecahkannya, kemudian membuat sesulit mungkin baginya untuk berjuang menyelesaikan dilemanya. Teknik dari William Foster-Harris– pengajar seni mengarang di Universitas Oklahoma, sangat membantu. Untuk menggambarkan konflik yang dihadapi tokoh utama, dapat digambarkan sebagai persamaan berikut: Emosi A versus Emosi B. Sebagai contoh, Abraham di dalam alkitab menghadapi konflik ketaatan vs kasih sayang, Hamlet menghadapi konflik balas dendam vs ketidak percayaan diri. Kapanpun pengarang memikirkan seorang tokoh cerita, bahkan tokoh pendamping, ia dapat mencoba menuliskan karakteristik utamanya dalam rumusan di atas. Pengarang jangan terkecoh dengan kesederhanaan pendekatan ini. Jika pengarang tidak dapat merumuskan tokoh ke dalam rumusan di atas, maka ia belum memikirkan cukup dalam untuk memulai menulis. Tentu saja untuk pemeran figuran, hal ini tidaklah perlu. Tetapi hal ini fital untuk tokoh utama dan tokoh pendamping. Dengan pendekatan ini, pengarang dapat memahami bahwa permasalahan sebenarnya yang dihadapi tokoh utama adalah di dalam dirinya. Konflik dasar yang mendorong jalan cerita adalah konflik emosi di dalam pikiran tokoh utama. Konflik lain di dalam cerita berasal dari konflik tersebut. Pengarang jangan pernah membuat tokoh utama tahu bahwa ia akan menang. Banyak cerita dibuat dengan tokoh utama yang menarik dan berkemampuan super menghadapi problem yang sangat besar. Akan tetapi kemudian ia tidak pernah gemetar dan meragukan dirinya dalam memecahkan masalah. Tokoh utama tahu bahwa ia aman dan pasti berhasil karena penulis ingin membuat cerita berakhir bahagia. Hal ini akan menghasilkan cerita yang tidak masuk akal dan membosankan. Pembaca tidak akan peduli dunia akan kiamat, bila sang tokoh utamanya saja tidak peduli. Pembaca harus senantiasa berada dalam keraguan dan ketegangan hingga akhir cerita. Hal ini berarti si tokoh utama harus juga dalam keraguan akan akhir cerita. Selalu ada harga yang harus dibayar. Dalam cerita yang menarik, tokoh utama tidak dapat berhasil kecuali ia mengorbankan sesuatu yang sangat berarti baginya. Dengan kata lain, ia harus merelakan sesuatu, dan pembaca akan berdebar-debar mengira-kira apa yang akan dikorbankannya. Tokoh utama yang serba bisa adalah stereotipe yang paling sering dijumpai dalam fiksi picisan. Biasanya tokoh yang stereotipe ini berasal dari cerita yang diciptakan penulis lain. Penulis yang baik adalah seperti arsitek yang selalu menciptakan sesuatu yang baru dan orisinil, yang diciptakan khusus untuk cerita itu. Pengarang dapat membuat orang di sekelilingnya menjadi bahan cerita. Bila pengarang melihat orang-orang sekelilingnya dan mempelajari mereka dengan sungguhsungguh, ia akan menemukan orang-orang yang dijumpainya sangat unik. Jangan hanya menggolongkan mereka menjadi stereotipe seperti polisi nakal, politisi korup anak durhaka, artis cantik, dll. Masing-masing memiliki kepribadian yang unik, permasalahan yang berbeda, kebiasaan, kesukaan, dan ketakutan yang spesifik. Seperti itulah karakter yang menjadi tokoh cerita. Pengarang perlu mempertanyakan hal apa yang paling membuat tokohnya menderita. Dari sanalah penulis bisa memulai ceritanya. Seperti semua cerita yang menarik, cerita fiksi adalah menceritakan manusia. Teknik membuat karakter menjadi hidup yang dituliskan di dalam buku ini berbeda dengan yang biasanya diajarkan dalam pelajaran mengarang pada Pelajaran Bahasa Indonesia. Di dalam Pelajaran Bahasa Indonesia hal ini diistilahkan dengan “penokohan”. Penokohan dilakukan dengan memberikan sifatsifat karakter manusia pada tokoh cerita. Di sini sama sekali tidak disinggung mengenai konflik emosi. Tanpa menggali konflik emosi, seringkali siswa/i menghasilan cerita yang dangkal. Mengelola Sudut Pandang Dalam cerita pendek, penting untuk mengutarakan cerita dari sudut pandang tokoh utama. Sudut pandang dapat saja berpindahpindah dalam sebuah novel, tetapi tidak demikian dalam cerita pendek. Dalam keterbatasan ruang cerita pendek, sangat penting untuk tetap menggunakan satu sudut pandang Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 99 Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells sang tokoh dari awal hingga akhir. Bahkan bila menulis cerita dalam sudut pandang orang ketiga, janganlah menceritakan apapun yang tidak dialami langsung oleh tokoh utama. Tokoh utama harus berada dalam setiap adegan. Pengarang tidak boleh memberitahu pembaca hal-hal yang tidak diketahui oleh oleh tokoh utama. Hal ini memang membatasi tetapi menghasilkan cerita yang masuk akal dan realistis. Ketika tokoh utama kebingungan, pembaca ikut kebingunan, ketika tokoh utama kesakitan, pembaca ikut sakit. Dengan kata lain, pembaca hidup dalam cerita, tidak sekedar membaca laporan. Pengarang dapat menulis dari sudut pandang orang pertama: Aku merasa angin menerpa pakaianku, dingin dan menusuk. Detak jantungku berdegup dalam telingaku. Aku melihat ke bawah; betapa jauhnya aku melayang jatu... Pengarang dapat juga menghasilkan realitas perasaan tersebut dari sudut pandang orang ketiga bila ia hanya menulis yang dirasakan tokoh utama: Ia merasakan angin menerpa pakaiannya, dingin dan menusuk. Detak jantungnya berdegup di telinganya. Ia memandang ke bawah; betapa jauhnya ia melayang jatuh... Sudut pandang orang ketiga seperti ini memiliki kelebihan dengan berada di luar tokoh utama sehingga dapat lebih obyektif tentang dirinya. Sebagai contoh, sangatlah sukar untuk tokoh utama mendeskripsikan dirinya sendiri: Tinggi badanku seratus tujuh puluh sentimeter, dan aku berotot. Rambutku pirang bergelombang; wanita-wanita suka menyisirkan jarinya pada rambutku. Dengan sudut pandang orang ketiga, deskripsi yang sama akan terasa lebih enak: Jack tingginya seratus tujuh puluh sentimeter, dan badannya berotot. Rambutnya berwarna pirang dan bergelombang; wanitawanita suka menyisirkan jari mereka pada rambutnya. Dengan menulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, pengarang dapat sedikit menjauh dari tokoh utama bila diperlukan untuk menceritakan sesuatu yang tidak diketahui tokoh utama: Walaupun Jack sangat tampan, Sheryl membencinya. Ia tidak pernah mengizinkannya tahu akan hal ini karena ia ingin membuat ia mengira… 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Informasi seperti itu kadang-kadang sangat dibutuhkan pembaca. Tetapi hal ini dapat sangat berbahaya karena justru dapat membingungkan pembaca, bukan menolong. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan masak-masak. Lebih baik tetap menulis dari sudut pandang tokoh utama, kecuali bila tidak dimungkinkan untuk menuliskan hal yang ingin diungkapkan pengarang. Indera yang realistis Penggunaan kesemua pancaindera tokoh utama akan membuat cerita yang kaya rasa. Pengarang perlu memeriksa setiap halaman untuk melihat seberapa banyak pancaindera yang digunakan tokoh utama. Jika dalam satu halaman hanya menceritakan apa yang dilihat atau didengar tokoh utama, halaman itu perlu ditulis ulang agar indera penciuman, perabaan dan pengecapan juga dituliskan. Hal ini akan menciptakan cerita yang lebih tajam dan memukau. Ia membuka pintu itu. Dilihatnya ruangan yang kotor, penuh debu dan sarang laba-laba. Bandingkan dengan: Pintu itu didorongnya terbuka. Terdengar suara berderit. Bau apek menerpa hidungnya dan membuatnya ingin bersin. Sarang laba-laba yang memenuhi ruangan itu menggelitik kulit wajahnya. Poin-Poin Penting Tokoh Utama Berikut ini adalah tujuh poin penting yang sudah dibahas. 1. Dalam cerita yang menarik, pembaca lupa akan sekelilingnya dan hidup di dalam cerita; pembaca ingin menjadi sang tokoh utama 2. Tokoh utama harus sangat memukau, atau paling tidak disukai, tetapi harus memiliki paling tidak satu kelemahan utama yang menjadi dasar perilakunya. Hal ini dapat dituliskan dalam rumus sederhana: Emosi A vs Emosi B. 3. Tokoh utama harus berjuang memecahkan permasalahannya. Perjuangan ini adalah tulang punggung cerita. 4. Hindari stereotipe 5. Perhatikan orang-orang sekeliling. Gunakanlah tokoh yang berasal dari dunia nyata. 6. Tulislah cerita dari sudut pandang tokoh utama. 7. Gunakan semua panca indera. Deskripsikan apa yang dlihat, didengar, Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells diraba, dikecap, dan dicium sang tokoh utama. Rantai Problem dan Janji Jawaban sebuah pertanyaan menghasilkan pertanyaan baru. Hal ini menghasilkan rantai permasalahan yang saling berkait. Penulis Manuel Komroff menggunakan istilah lain, yaitu rantai janji. Menurutnya setiap problem yang diungkapkan kapada pembaca, secara implisit mengandung janji adanya sebuah penyelesaian, jawaban, sesuatu yang menarik dan mengelitik untuk mendorong pembaca meneruskan membaca. Jadi pengarang perlu menyodorkan problem, dan pertanyaan sepanjang cerita. Pengarang tidak boleh menyodorkan penyelesaian atau jawaban sebelum menyodorkan satu atau dua problem lain. Hal ini akan membuat pembaca terus melanjutkan membaca. Titik Keputusan dan Krisis Setiap cerita pendek harus mencapai suatu titik krisis. Di sinilah pengarang meletakkan tokoh utama dalam dilema mendalam. Pada titik ini, pengarang perlu secara-hati-hati menyakinkan pembaca bahwa si tokoh utama tetap karakter yang baik dan berharga, tanpa peduli sedalam apa ia jatuh dan sebesar apa problemnya. Jika hal ini dilakukan dengan baik, pembaca akan emmbayangkan dirinya menjadi sang tokoh utama. Pada titik keputusan ini, pengarang membuat pembaca merasa menghadapi dilema yang sulit. Jika tokoh utama memilih berbuat baik, ia akan menderita. Jika ia berbuat jahat, maka ia akan menjadi kaya, walaupun selalu dibayangi rasa bersalah. Dalam cerita dengan akhir bahagia, tokoh utama memilih berbuat baik. Ia mengorbankan apa yang berharga bagi dirinya demi melakukan apa yang benar. Namun pada akhirnya ia justru dapat bertahan walaupun bukan tanpa bekas luka. Tokoh utama harus membayar harga untuk berbuat baik. Tetapi justru karena itulah ia justru lepas dari kehancuran yang mengancamnya. Cinderella lari dari sang pangeran seperti yang diperintahkan ibu peri, tetapi pada akhirnya sang pangeran menemukannya dan mereka hidup bahagia selamanya. Pinokio menyerahkan hidupnya demi ayahnya, sang tukang kayu, dapat tetap hidup, namun pada akhirnya ia justru mendapatkan hidup dan menjadi manusia. Kedua tokoh itu menderita, tetapi menang pada akhirnya. Dalam cerita dengan akhir sedih, tokoh utama memilih berbuat jahat. Ia mungkin mendapatkan segala sesuatu yang diinginknya, ttetapi kehilangan jiwanya dan menjadi orang yang jahat. Ada beberapa cerita yang tokoh utamanya memilih berbuat baik tetapi kehilangan hidupnya. Inilah yang disebut cerita tragis. Dalam ceita pendek fiksi “The Green Hills of Earth” karangan Robert A. Heinlein, penyair buta membuat pilihan yang secara moral baik, yaitu masuk ke dalam ruang mesin beradioaktif di sebuah pesawat ruang angkasa yang rusak demi menyelamatkan semua penumpang. Sebagai hasilnya ia mati. Pada intinya tokoh utama mengorbankan jiwanya demi jiwa semua penumpang. Tidak ada tindakan mulia melebihi hal ini. Inilah yang membuat cerita tragis menjadi bentuk cerita paling indah. Jadi pada intinya, dalam sebuah cerita pendek, tokoh utama mengalami perubahan. Tak peduli betapa singkatnya suatu cerita, tokoh utama harus mengalami perubahan yang dramatis. Bila ia lemah, ia harus menjadi kuat, bila ia jahat, ia harus menjadi baik (tentunya pada cerita yang berakhir bahagia). Triknya ada pada perubahan yang dramatis pada tokoh utama. Inilah yang seharusnya menjadi bahan cerita. Bila tokoh utama tetap seperti semula, cerita itu akan menjadi cerita yang tumpul. Poin-Poin Utama Tokoh Cerita Sebagai tambahan tujuh poin sebelumnya, adalah poin ke delapan, yaitu: 8. Tokoh utama harus mengalami perubahan. Latar Belakang Latar belakang lebih dari sekedar pemandangan alam atau deskripsi mengenai perabotan dalam rumah sang tokoh cerita. Latar belakang membentuk suasana dan warna sebuah cerita. Latar Belakang Yang Bermakna Salah satu tantangan pengarang cerita pendek adalah membuat latar belakang yang bermakna tanpa mendominasi cerita. Bagi pengarang yang menggunakan latar belakang sejarah atau detektif dapat mengasumsikan pembaca sudah mengenal latar belakang cerita. Pembaca dapat dengan mudah mem-visualisasikan suasana yang diceritakan. Bagi penulis cerita fiksi, perlu untuk menggambarkan kepada pembaca latar Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 101 Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells belakang cerita. Karena tidak mungkin pembaca membayangkan seperti apa lautan ammonia di bulan Jupiter, atau seperti apa suasana tanpa gravitasi di sebuah statsiun ruang angkasa. Pengarang harus memberikan gambaran menyeluruh kepada pembaca. Inilah salah satu sebab cerita fiksi ilmiah sulit dibuat dengan baik. Bila latar belakang terlalu mendominasi cerita, akhirnya malah menghasilkan cerita yang tumpul. Bagaimanapun juga suatu cerita haruslah bercerita tentang orang. Sebagian penulis yang menjelaskan latar belakang secara panjang lebar. Tetapi sebagian penulis lain hanya memberikan gambaran serba sedikit dan membiarkan pembaca menggunakan imaginasinya untuk melengkapinya. Penulis seperti ini biasanya lebih berkonsentrasi pada karakter tokoh utama dan konflik yang dihadapinya. Jika menggunakan latar belkang dari cerita fiksi ilmiah atau film yang sudah populer, pengarang dapat berasumsi bahwa pembaca dapat membayangkannya. Walaupun demikian pengarang harus berhati-hati menggunakan jargon, karena pada akhirnya pembacanya akan terbatas pada mereka yang fanatik akan fiksi ilmiah tersebut. Bahkan lebih buruknya lagi, pengarang akan terbatas dalam dunia fiksi ilmiah yang sudah populer tersebut. Dalam cerita detektif atau cowboy atau sejarah, latar belakang tersebut dapat digunakan berulang-ulang, tetapi dalam fiksi ilmiah diinginkan sesuatu yang baru dan original. Bagaimana Membuat Latar Belakang yang Baik Berikut ini adalah beberapa panduan sederhana. 1. Buatlah latar belakang yang berfungsi. Artinya setiap latar belakang yang diceritakan haruslah benar-benar penting dan berpengaruh bagi jalan cerita. 2. Jangan mencoba menjelaskan bagaimana sebuah mesin bekerja. Cukup menjelaskan apa hasil kerjanya. Pengarang tidak perlu menjelaskan bagaimana cara bekerjanya sebuah reactor fusi, cukup membuat pembaca yakin adanya reaktor fusi yang dapat berfungsi baik. Cukup menggambarkan bentuknya secara umum dan apa yang dihasilkannya. 3. Silakan menciptakan alat baru yang belum ada. Buatlah penemuan-penemuan baru yang dapat diimajinasikan, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah yang diketahui. Bila ingin 102 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 4. 5. 6. 7. melampaui batas-batas ilmiah, maka pengarang harus punya penjelasan yang meyakinkan. Pengarang harus benar-benar memahami latar belakang yang ditulisnya. Pengarang yang hanya tahu sedikit akan mengalami kesulitan untuk membuat gambaran yang hidup dan realistis. Walaupun demikian janganlah pengetahuan ilmiah ini menghalangi imaginasi pengarang. Imajinasi inilah yang membedakan laporan ilmiah yang membosankan dengan cerita fiksi ilmiah yang menarik. Pengarang perlu mempelajari dasar-dasar ilmiah. Pada umumnya pengarang fiksi ilmiah sudah memiliki ketertarikan dengan ilmu pengetahuan yang ditulisnya. Cara yang paling mudah adalah dengan membaca majalah ilmiah populer. Penamaan orang, tempat dan barang juga sangat penting. Penamaan akan mempengaruhi rasa sebuah cerita. Nama perlu dipilih yang dapat membuat imajinasi yang sesuai. Oleh karena itu nama haruslah berasal dari sesuatu yang cukup mudah dipahami. Nama yang terlalu sulit dieja akan mengakibatkan pembaca terhenti sejenak. Apapun yang membuat pembaca terhenti akan berakibat fatal bagi suatu cerita. Sumber yang baik untuk menemukan nama adalah peta. Jalan cerita harus konsisten. Ini lebih dari sekedar mencatat waktu kejadian atau arah angin. Pengarang tidak dapat mengubah musim panas menjadi musim dingin dalam waktu semalam hanya karena ia ingin latar belakang yang sesuai. Ingatlah kata pepatah “It’s too good to be true”. Pembaca tidak akan mempercayai keberuntungan yang terlalu dibuat-buat untuk menolong tokoh utama. Konflik Buku ini membahas konflik sebagai berikut. 1. Sebuah cerita adalah deskripsi naratif dari tokoh yang berjuang memecahkan permasalahan. Perjuangan berarti konflik. 2. Di dalam cerita fiksi, konflik hampir selalu melibatkan perjuangan batin atau moral antara tokoh cerita yang dikarenakan ketidakcocokan keinginan dan tujuan. 3. Adu fisik bukan berarti sebuah konflik 4. Konflik di dalam cerita seharusnya berakar di dalam pikiran tokoh utama. Peperangan di dalam diri tokoh utama itulah yang menjadi dasar jalan cerita. Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells 5. 6. 7. Peperangan batin tokoh utama harus tercermin dalam konflik eksternal dengan tokoh antagonis. Tokoh antagonis dalat berupa orang, alam, atau masyarakat sekitar tokoh utama. Tokoh antagonis harus percaya bahwa dialah sang pahlawan dari cerita. Pengarang harus menjadi pembuat masalah. Pengarang menciptakan permasalahan untuk tokoh utama. Dan ia tidak memecahkan permasalahan hingga menimbulkan paling tidak dua masalah baru, hingga akhir cerita. Plot Bagian buku yang membahas plot dapat disarikan menjadi delapan poin berikut ini. 1. Pengarang seharusnya menciptakan “bom waktu” pada halaman pertama, atau bahkan pada paragraf pertama jika memungkinkan. 2. Setiap cerita berpacu dengan waktu. “Bom waktu” tersebut diatur meledak pada saat klimaks cerita. Detaknya haruslah tercermin pada setiap halaman cerita. 3. Setiap skenario harus membawa maju alur cerita. Khususnya dalam cerpen, jika sebuah skenario tidak memajukan alur cerita, maka harus dihapuskan. 4. Dalam setiap halaman cerita harus ada kejutan. Komplikasi baru dan permasalahan baru harus muncul seiring berjalannya alur cerita sehingga membentuk suatu rantai. 5. Pengarang harus menunjukkan dalam cerita, bukan memberitahukan kepada pembaca. Pepatah ini sangatlah tepat: Show, don’t tell! 6. Tindakan sang tokoh harus membawa maju alur cerita dari awal hingga akhir. Tokoh cerita haruslah aktif tidak pasif. Juga Tokoh utama harus mengalami perubahan diri. 7. Cerita berkahir ketika “bom waktu” meledak (atau berhasil dimatikan). Bagian akhir haruslah memberikan jawaban yang memuaskan atas berbagai permasalahan yang dimunculkan di awal cerita. 8. Akhir cerita hanyalah bagus jika dapat mengejutkan pembaca, walaupun harus logis dan konsisten dengan isi cerita. Ide Dalam cerita fiksi ilmiah, ide memegang peranan penting. Ide dapat berasal dari kejadian di sekitar kita. Misalkan ada kejadian perbantahan antara dua orang teman. Bagaimana mengolah kejadian ini menjadi sebuah ide cerita? Pertama, kejadian tersebut disederhanakan menjadi sepasang konflik emosi, seperti misalnya satu orang keangkuhan vs. kesetiaan sedangkan lawanya ambisi vs. kujujuran. Dengan demikian diperoleh sepasang karakter, tokoh utama dan tokoh lawan untuk menjadi tulang punggung cerita. Kedua, dibuat pertanyaan “Bagaimana jika...”. Misalnya, bagaimana jika kedua orang yang memiliki konflik itu menjadi kru sebuah pesawat antariksa? Bagaimana jika sistem penunjang hidup di pesawat itu rusak? Tipe pertanyaan ini menjadi dasar sebagian besar cerita yang baik. Berawal dari pertanyaan seperti ini, bila dikembangkan dengan menambahkan tokoh-tokoh dan konflik manusiawi akan berkembang menjadi cerita yang menarik. Berbeda dengan metode pengembangan ide dari Ben Bove, Judith Gould (Gould, Judith S. (1999). Four Square Writing Method : A Unique Approach to Teaching Basic Writing Skills, Grades 4-6. Crystal Springs Books. ISBN 1573101885) mengajarkan cara mengembangkan sebuah ide menjadi serangkaian topik cerita. Dalam metode mengarang empat kotak (four square writing method), menulis dimulai dengan menggambar sebuah segi empat berukuran besar. Kemudian segiempat itu dibagi menjadi empat kotak berukuran sama pada sudut-sudutnya. Sebuah kotak ditambahkan pada bagian tengah gambar. Tahap berikutnya adalah menuliskan topik utama, dalam kalimat lengkap, pada kotak yang di tengah. Kemudian pada setiap kotak kiri bawah, kiri atas, dan kanan atas dituliskan kalimat pengembangan dari topik utama. Akhirnya pada kotak kanan bawah dituliskan ringkasan yang mendeskripsikan apa yang diinginkan untuk dirasakan oleh pembaca mengenai topik utama tadi. Metode menulis empat kotak ini terlihat jauh lebih mudah, sehingga cocok untuk penulis Ilustrasi tampilan metode menulis empat kotak Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 103 Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells pemula. Akan tetapi metode ini tidak secara tajam mengangkat konflik emosi sehingga seringkali menghasilkan tulisan yang “kering” seperti sebuah reportase. Sedangkan metode Ben Bova memfokuskan penulis pemula pada sisi psikologis konflik emosi untuk membuat cerita menjadi hidup dan menarik. Kemutakhiran Dalam era saat ini, ilmu dan teknologi berkembang sangat pesat. Banyak teori dan hipotesis ilmiah yang direvisi atau diganti. Oleh karena itu penting bagi penulis fiksi ilmiah untuk mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi. Cara termudah adalah dengan membaca majalah ilmiah populer. Di dalam buku ini disarankan beberapa judul majalah ilmiah populer dan juga majalah ilmiah yang lebih serius. Namun demikian sejak era bertutur lisan hingga era komunikasi belakangan ini, teknik bercerita tidak berubah. Penutur lisan pada suku primitif memukau pendengarnya melalui jalan cerita yang menegangkan dan berfokus pada konflik emosi internal juga. Cara manusia mempersepsi sebuah cerita dan merasa berada di dalam cerita juga tetap sama. Hal ini dikarenakan wiring otak manusia juga tidak berubah. Oleh karena itu teknik-teknik yang diajarkan di dalam buku ini juga tetap relevan, sungguhpun diterbitkan awal tahun 1994. Teori atau prinsip-prinsip dalam menulis cerita ilmiah fiksi yang dikemukakan dalam buku ini masih dapat dikembangkan secara kontekstual. Sudah barang tentu gaya penulisan atau penuturan masing-masing pengarang/penulis berbeda. Akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi manfaat isi buku ini bagi penulis pemula atau penulis berpengalaman. Novel Pada bagian akhir buku ini dibahas mengenai penulisan novel. Tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dan curahan waktu yang lebih banyak membuat penulisan novel hanya menarik bagi mereka yang ingin serius menulis atau menjadikan menulis sebagai mata pencaharian. Penutup Judul buku ini menunjukkan bahwa fokus pembahasannya berkisar pada cerita fiksi 104 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 ilmiah. Walaupun demikian, teknik yang diajarkan sebenarnya berlaku umum dan dapat digunakan pada semua cerita fiksi. Pada intinya buku ini mengajarkan bagaimana membuat sebuah cerita fiksi ilmiah yang menarik dengan memfokuskan pada konflik emosi internal. Dibandingkan dengan teknik menulis yang diajarkan dalam Pelajaran Bahasa Indonesia, teknik ini lebih mampu memandu penulis untuk membuat cerita yang hidup. Akan tetapi di dalam buku ini tidak diajarkan dasar-dasar teknik menulis seperti bagaimana membuat paragraf yang kohesif, bagaimana membuat deskripsi, bagaimana membuat dialog, dan sebagainya. Walaupun demikian, seorang pemula yang membaca buku ini akan dapat lebih memahami makna teknikteknik menulis yang akan dipelajarinya. Buku ini juga menampilkan banyak contohcontoh cerita yang sangat bermanfaat untuk memahami berbagai teknik yang diajarkan. Contoh-contoh tersebut merupakan contoh karya nyata yang original karena diambil dari ceritacerita yang telah dipublikasikan sebelumnya oleh sang penulis. Selain itu di dalam buku ini dibahas triktrik dalam menghadapi penerbit dan bagaimana memasarkannya. Pengalaman si penulis sebagai editor majalah fiksi ilmiah, penulis cerita fiksi ilmiah, dan berbagai peran lainnya menghasilkan saran yang berbobot dan bermanfaat bagi pembaca yang ingin mempublikasikan hasil karyanya dengan sukses. Bagi pembaca yang ingin menghasilkan cerita yang laku dijual sangat disarankan untuk membaca buku karangan Ben Bova ini. Buku ini sekarang sudah ada versi ebook yang dapat didownload gratis dari internet pada alamat ini: http://www.voidspace.org.uk/library/ classic_scifi.shtml http://www.filestube.com/86d2000e02ba592803ea/ go.html Daftar Pustaka Bova, B. (1994). The craft of writing science fiction that sells. Writers Digest Books. ISBN-10: 0898796008 ISBN-13: 978-0898796001 Gould, Judith S. (1999). Four square writing method: A unique approach to teaching basic writing skills, Grades 4-6. http://en.wikipedia.org/wiki/ Four_Square_Writing_Method Profil BPK PENABUR SERANG Profil Profil BPK PENABUR SERANG Endang Suyatmi*) Sejarah Singkat rovinsi Banten adalah salah satu provinsi baru di Indonesia dari hasil pemekaran wilayah Jawa Barat. Tepat di ibukota provinsi ini, Badan Pendidikan Kristen PENABUR (disingkat BPK PENABUR) Serang memiliki gedung di lokasi yang strategis, Jalan Diponegoro No. 4, BPK PENABUR Serang. Gedung BPK PENABUR berhadapan dengan bangunan pemerintahan Kabupaten/Kota Serang, berdampingan dengan beberapa bank, juga berdekatan dengan wilayah pertokoan. Keberadaan BPK PENABUR Serang merupakan jawaban dari kerinduan Jemaat GKI Serang yang sudah bertahun-tahun menginginkan adanya sekolah Kristen. Gagasan awal untuk merintis berdirinya sekolah BPK PENABUR dicetuskan oleh Pdt. S Soedarsono yang pada saat itu menjabat sebagai Pengerja di GKI Serang. Beliau mengajak beberapa jemaat yang dianggap mengerti dan peduli akan dunia pendidikan untuk mewujudkan hal tersebut. Perencanaan dan persiapan untuk mendirikan sekolah BPK PENABUR Serang tersebut kemudian dibawa dalam persidangan Majelis Jemaat GKI Serang dengan Pengurus Harian BPK PENABUR di Jakarta, yang pada saat itu dipimpin oleh Jufri Sentana sebagai Ketua Umum dan Michael Tanok sebagai Sekretaris Umum. Dari hasil persidangan tersebut, maka pada tanggal 23 Mei 1989 BPK PENABUR Serang terbentuk. Setelah mendapatkan ijin operasional dari Dinas Pendidikan yang pada masa itu P bernama Kantor Wilayah DEPDIKBUD Jawa Barat, proses belajar mengajar Jenjang Taman Kanak Kanak dimulai pada tanggal 17 Juli 1989 dengan menggunakan ruang Majelis Jemaat GKI Serang sebagai ruangan kelas. Jumlah siswa perdana sebanyak 18 anak. Sri Moerdini (istri Pdt. S Soedarsono) menjabat sebagai Kepala Sekolah dan Esther Yohana Sapasuru serta Rumintang Situmorang sebagai guru Taman Kanak Kanak pertama. Kemudian ada keinginan untuk menyiapkan jenjang pendidikan yang berkesinambungan, maka pengurus BPK PENABUR Serang yang pada saat itu bernama KPS Serang merintis berdirinya pendidikan Sekolah Dasar BPK PENABUR Serang. Setelah mendapatkan izin Operasional pada tanggal 14 Juli 1990, kegiatan belajar mengajar di SDK BPK PENABUR Serang pun dimulai dengan jumlah siswa sebanyak 10 anak. Kegiatan berlangsung dengan menggunakan ruangan milik GKI Serang yaitu disamping ruang ibadah. Pejabat Kepala Sekolah saat itu dirangkap oleh Sri Moerdini dan Lusia Parsaulian sebagai guru pertama. Melalui proses yang panjang disertai dengan doa dan harapan agar keberadaan sekolah BPK PENABUR selalu bertumbuh dan dapat memfasilitasi anak-anak yang berdomisili di Serang dan sekitarnya serta dapat pengakuan dari masyarakat sekitar, maka pada tahun 1993 BPK PENABUR SERANG memiliki gedung sekolah baru tepatnya di belakang GKI Serang, yang pada akhirnya gedung sekolah ini dipergunakan untuk kegiatan belajar jenjang Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar. *) Kepala TKK BPK PENABUR Serang Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 105 Profil BPK PENABUR SERANG Kepercayaan masyarakat yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah siswa setiap tahun, menambah semangat pengurus dan guru guru dalam upaya mengembangkan sarana dan pembelajaran. Berkat kesungguhan dan kerja keras dari seluruh warga BPK PENABUR Serang, maka pada tahun 2002 memiliki gedung sekolah TKK yang megah dan membanggakan. Pada tahun 2006, guna melengkapi layanan pendidikan masyarakat di Serang dan Cilegon, dibuka Sekolah Menengah Pertama (SMP). Gedung SMPK BPK PENABUR Serang satu lokasi dengan TK dan SD. Dengan demikian saat ini sekolah yang dikelola BPK PENABUR Serang terdiri dari jenjang TK, SD dan SMP. Gambaran Umum Jenjang TK K Fasilitas Program unggulan Gedung sekolah tersendiri berlantai 2 Program pengembangan minat dan bakat dalam seni tari, musik, dan melukis. Lingkungan yang aman dan nyaman untuk anak bermain d an b e l aj ar Program penanaman Nilai Nilai Kristiani [N2K]: Keramahan, Kejujuran, dan Integritas. Lokasi mudah dijangkau dengan angkutan umum Program RaBiTeDi (Rapi,Bersih,Tertib,Disiplin). Sarana pembelajaran komputer Pemeriksaan kesehatan gigi yang terprogram setiap 6 b u l an s e k al i . Sarana perpustakaan English For Fun. Sarana bermain indoor dan outdoor Kunjungan ke objek objek pembelajaran: Sawah, stasiun, kantor polisi, kantor pos, bank, pemadam kebakaran, dll Sarana sanggar seni musik, tari, melukis. Membangun karakter positip dengan pembiasaan Sarana bermain air Kerjasama dengan orang tua murid di beberapa kegiatan sekolah: Family Day, Family Gathering, Natal, dan Paskah. Seluruh ruangan ber-AC Menginformasikan kegiatan belajar harian kepada orang tua murid melalui buku komunikasi. Kegiatan bermain air. Mempersiapkan siswa secara mental dan akademis ke jenjang Sekolah dasar. Mempersiapkan siswa secara mental dan akademis ke jenjang Sekolah dasar. SDK 106 Gedung sekolah berlantai 2 Program pengembangan minat dan bakat dalam ekstra kurikuler: tari, paduan suara, basket, sepak bola, tenis meja, math c lub, sains c lub, english c lub, futsal. Lokasi mudah dijangkau dengan kendaraan umum Program penanaman Nilai Nilai Kristiani [N2K]: Keramahan, Kejujuran, dan Integritas. Sarana pembelajaran komputer Program RaBiTeDi (Rapi,Bersih,Tertib,Disiplin). Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 Profil BPK PENABUR SERANG Gambaran Umum Jenjang SDK Fasilitas Program unggulan Sarana perpustakaan Program Remedial siswa Ruang AVA Bahasa Mandarin Lapangan Olah Raga Field trip ke objek-objek pembelajaran Laboratorium bahasa Kerjasama dengan orang tua dalam beberapa kegiatan sekolah. Seluruh ruangan ber AC Retret dan outbond. Kegiatan sosial kemanusiaan. Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. SMPK Gedung sekolah berlantai IV Program pengembangan minat dan bakat alam ekstra kurikuler: basket, paduan suara, bulu tangkis, tari, dama, English c lub, sains c lub, math c lub. Lokasi mudah dijangkau dengan kendaraan umum. Program penanaman Nilai Nilai Kristiani [N2K]: Keramahan, Kejujuran, dan Integritas. Sarana Pembelajaran komputer Program RaBiTeDi (Rapi, Bersih, Tertib, Disiplin) Sarana Perpustakaan Program Remedial siswa. Ruang Multimedia Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan Lapangan Olah Raga Bahasa Mandarin. Laboratorium bahasa Retret dan outbond. Laboratorium Biologi Kegiatan sosial kemanusiaan. Laboratorium Fisika Menjalin kerjasama dan persahabatan dengan sekolah sekolah sekitar dalam bentuk eksibi atau pertandingan persahabatan. Seluruh ruangan ber AC Data di bawah ini memperlihatkan kondisi jumlah siswa jenjang TKK, SDK dan SMPK BPK PENABUR Serang dari tahun 2006-2009 yang mengalami peningkatan pada tiap jenjang. Keberadaan jumlah siswa yang ada, sebenarnya masih di bawah standar dari target yang ditentukan. Kondisi seperti ini tentu saja menjadi bahan pergumulan bagi pengurus, guru dan karyawan sehingga secara bersama-sama bahumembahu mengatur strategi dan mencari jalan keluar agar jumlah siswa pada tahun berikutnya dapat lebih meningkat lagi. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 107 Profil BPK PENABUR SERANG Perkembangan Jumlah Murid 2006-2009 500 450 418 462 448 430 Jumlah SIswa 400 350 300 250 200 150 157 134 135 134 100 132 134 77 30 50 0 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 Tahun Ajaran TK SD SMP Langkah- Langkah Kongkret yang yang Diupayakan 1. 2. 3. 4. 108 Menjalin kerjasama yang harmonis dengan GKI Serang dengan cara mensosialisasikan BPK PENABUR Serang dalam Rapat Kerja Majelis Jemaat dan mengkomunikasikan perkembangan sekolah, dana orang tua asuh, pemakaian sarana dalam persidangan majelis jemaat 2x dalam 1 tahun serta ambil bagian dalam Ibadah Minggu dengan mengisi pujian. Menambah sarana yang disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan masa kini, misalnya laboratorium komputer yang dilengkapi dengan jaringan internet, lapangan olah raga, dan kantin sekolah. Pembinaan guru dan karyawan untuk meningkatkan etos kerja dan kompetensi. Sumbangan Sarana Pendidikan (SSP) dan Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) dibuat rata atau sama dengan asumsi terjangkau oleh semua kalangan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 5. 6. 7. 8. Memberlakukan program orang tua asuh bekerjasama dengan GKI Serang dan pemberian subsidi bagi siswa yang tidak mampu. Program pembimbingan siswa secara rutin untuk menghadapi perlombaan-perlombaan. Program remedial untuk anak anak yang kemampuan akademisnya di bawah standar. Melibatkan orang tua siswa dalam beberapa program sekolah. Prestasi 2007-2009 Jenjang TKK Terakreditasi dengan nilai A dengan jumlah nilai 96.38. Nilai tertinggi dari sekolah sekolah di Kabupaten Serang. Jenjang SDK a. Terakreditasi A Profil BPK PENABUR SERANG b. c. NEM klasifikasi A tiga tahun terakhir Kelulusan 100% dengan NEM tertinggi se Kota Serang tahun 2008-2009. Jenjang SMPK Kelulusan 100% dengan NEM tertinggi ke II se Kota Serang tahun 2008-2009 Prestasi Guru dan Siswa dalam Perlombaan Tahun 2007-2009 Jenjang TK K SDK SMPK Jenis Lomba Penyelenggara Tingkat Juara Guru Berprestasi Dinas Pendidikan Propinsi Banten Juara II Mencipta Lagu Anak [Guru] IGTKI/PGRI Nasional Juara II Menyanyi Duet Guru IGTKI/PGRI Propinsi Banten Juara I Komputer Computer Kid Nasional Menyanyi Solo Putra Dinas Pendidikan Kota Serang Juara I Menyanyi Solo Putri Dinas Pendidikan Kota Serang Juara II Siswa Teladan Dinas Pendidikan Kecamatan Juara I Karate Dinas Pendidikan Kecamatan Juara II Snailc ar Robotic Demo Kab Serang & Cilegon Juara II Spelling bee Singapore International Sc hool Kab serang & Cilegon Juara I Bhs Inggris Al Azhar Kabupaten Juara I Listening Efvia Land Sc hool Kabupaten Juara I Dokter Kecil Dinas Pendidikan Propinsi Banten Juara I Fun With Biology 2008 PENABUR Jakarta PENABUR Jakarta Story Telling Dinas Pendidikan Kota Serang Juara I Cipta Cerpen Dinas Pendidikan Kota Serang Juara I Gerak Jalan Putri Dinas Pendidikan Kab Serang Juara III Gerak Jalan Putri Dinas Pendidikan Kab Serang Juara II Renang Regu Putri Dinas Pendidikan Kab Serang Juara I Tenis Lapangan Putri Dinas Pendidikan Propinsi Banten Juara I Basket Putra PERBASI Kota Serang Juara II Atletik Putra Dinas Pendidikan Kota Serang Juara I Tenis Lapangan Putri Dinas Pendidikan Kota Serang Juara I Basket Putra Dinas Pendidikan Kota Serang Juara III Seni Lukis Dinas Pendidikan Kota Serang Juara II Tenis Lapangan Pi Dinas Pendidikan Propinsi Banten Juara II Juara III Juara III Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 109 Profil BPK PENABUR SERANG Upaya Terkini Pengembangan Sekolah 1. 2. 3. 4. 5. 110 Membangun citra sekolah dengan prestasi peserta didik. Menambah sarana prasarana disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran masa kini Menjadi sekolah yang berciri kristiani dengan mengembangkan pelaksanaan Nilai-nilai Kristiani (N2K) dalam setiap aspek kegiatan dan pembelajaran. Menjadi sekolah yang berciri RaBiTeDi dengan melaksanakan kerapian, kebersihan, ketertiban,dan kedisiplinan. Peningkatan Kompetensi Guru dengan memberikan kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan, pembinaan, workshop, Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 dan kursus kursus sesuai dengan bidang masing-masing guru. Penutup Menyukuri Anugerah Tuhan akan selalu dinyatakan dengan doa, semangat, kerja keras, kerjasama dan ketulusan hati dalam memelihara dan mengembangkan BPK PENABUR Serang. Peningkatan kualitas dan pelayanan pendidikan melalui berbagai upaya kiranya dapat membangun citra sekolah yang lebih baik sehingga impian dan harapan BPK PENABUR Serang menjadi sekolah pilihan utama masyarakat dapat terwujud khususnya di Serang. Keterangan Mengenai Penulis Keterangan Mengenai Penulis Agustian Nugroho Sutrisno, menamatkan pendidikan menengah di SMAK 3 BPK PENABUR Jakarta pada tahun 1999. Kemudian melanjutkan pendidikan di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia dan lulus cum laude pada tahun 2003. Setamat dari pendidikan sarjana, mengajar di almamaternya dan mendapat beasiswa Australian Development Scholarship untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang S2 dalam bidang Administrasi Pendidikan di School of Education, University of New South Wales, Sydney, yang diselesaikan dengan predikat with distinction pada tahun 2006. Di samping mengajar di Lembaga Bahasa Internasional FIB UI, ia juga bekerja di Kantor UNESCO Jakarta sebagai National Programme Officer for Governance. Anastasia Alverina Chandra, lahir di Jakarta, 18 Desember 1991, Prestasi : Peserta lomba mading UPH. Kelas : 12 SOS 1 SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta, tahun ajaran 2008-2009 Anggiat Hisar, lahir di Jakarta 14 Januari 1968. Menyelesaikan Pendidikan S1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Jakarta. Melanjutkan S2 Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan UNJ Jakarta. Sekarang sebagai Kepala Seksi Evaluasi ; Bagian Kurikulum dan Evaluasi BPK PENABUR Jakarta. Budyanto Lestyana, Ir., lahir di Semarang, Desember 1970. Menyelesaikan program S2 dari IPB-Bogor tahun 2000. Menjabat sebagai Kepala Bidang Kurikulum M.Si. dari tahun 2000-2004 BPK PENABUR Jakarta, kemudian sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan. Terlibat di berbagai proyek pengembangan kurikulum dan diversifikasi sekolah serta berkecimpung dalam pengembangan KIR. Saat ini bekerja di Tirta Marta BPK PENABUR Jakarta. David Wijaya, SE., lahir di Jakarta, Oktober 1984. Menyelesaikan pendidikan S1 Manajemen FE UKRIDA Jakarta pada tahun 2006 dengan predikat Cum Laude, dan alumnus SMUK Kalam Kudus II Jakarta. Penulis lulusan terbaik pada program studi Manajemen FE UKRIDA Jakarta. Sejak tahun 2007 sampai sekarang, dosen dan Koordinator Laboratorium Manajemen Keuangan Lanjutan FE UKRIDA Jakarta. Di samping memiliki pengalaman sebagai staf pengajar FE UKRIDA Jakarta, sampai saat ini masih aktif menulis karya ilmiah serta Modul Laboratorium FE UKRIDA Jakarta. Selain itu, juga terafiliasi dengan perusahaan yang bergerak dalam bidang pendidikan, pelatihan, dan konsultasi strategi bisnis sebagai konsultan dan Associate Partner Arrbey. Endang Suyatmi, lahir di Gunung Kidul, Yogyakarta, 15 Maret 1963. Menyelesaikan Pendidikan SI di SKTIP Siliwangi Bandung jurusan Bahasa dan Seni. Sejak tahun 1983-2001 menjadi guru TKK BPK PENABUR Serang dan tahun 2001- sekarang diangkat sebagai Kepala TKK BPK PENABUR Serang. Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009 111 Hotben Situmorang, Drs., lahir di Toba, Sumatera Utara, April 1961. Menyelesaikan S1 di IKIP Jakarta Jurusan Pendidikan Fisika (1985). Sambil menyelesaikan S1, M.B.A., menjadi guru di SMA Neg. 50 (1982), SMA Neg.31 (1983-1987) dan ikut mendirikan SMA PGRI 10. Sebagai guru dan pejabat Kepala Sekolah Indonesia di Davao Philippines (1987-1994) sambil menyelesaikan S2 bidang Business Management di Ateneo de Davao Philippines (1994). Mengikuti Program Mission Studies di Overseas Ministries Study Centre, Connecticut USA (1994/1995). Menjadi konsultan Yakoma PGI dan dosen di UKI (1996). Bekerja di BPK PENABUR Jakarta sebagai Kepala Bidang Pengembangan (1997). Care taker Kepala SMKK 2 BPK PENABUR ( 1996-2004). Pernah sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta. Saat ini sebagai mahasiswa S3 di Universitas Negeri Jakarta, dan juga Pengurus Klub Guru Jakarta. H.A.R Tilaar, Prof. Em. Dr. lahir di Tondano 16 Juni 1932. Menyelesaikan Sarjana Pendidikan UI tahun 1961. Memperoleh gelar M.Sc.Ed. dan Doctor dari Indiana M.Sc.Ed., University, Bloomington, Indiana AS. Sering diundang sebagai pembicara di berbagai seminar. Menulis beberapa buku antara lain, Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI (1990); Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi: Visi, Misi dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020 (1997); Membenahi Pendidikan Nasional (2000); Kekuasaan dan Pendidikan (2003). Pernah Anggota Dewan Penasihat UKRIDA Jakarta. Sekarang sebagai guru besar emeritus di berbagai perguruan tinggi. Dikenal sebagai tokoh pendidikan ditingkat nasional maupun internasional. Ivonne Pratiwi, lahir di Jakarta, 30 Maret 1991. Prestasi : Nominasi siswa teladan, juara umum jurusan IPS. Kelas : 12 SOS 1 SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta, tahun ajaran 2008-2009. Kasina Ahmad, Dra. dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ketua Prodi PGSD UNJ dan saat ini sedang mengambil program S3 di UNJ. M.Pd., Keke T. Aritonang, M.Pd., lahir di Jakarta, April 1969. Menyelesaikan S1 di FKIP Universitas Jambi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1996), dan Magister Pendidikan tahun 2004 di Universitas Kristen Jakarta. Pada tahun 2000 sampai tahun 2002 sebagai dosen di Akademi Sekretaris dan Manajemen LEPISI Tangerang. Bekerja di BPK PENABUR sejak tahun 1988-sekarang sebagai guru Bahasa Indonesia di SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta, serta pelatih ekstrakurikuler menulis. Monica Sharly, lahir di Aceh, 31 Maret 1991. Prestasi : Peserta lomba mata pelajaran Ekonomi-Akuntansi. Kelas : 12 SOS 1 SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta, tahun ajaran 2008-2009. Nina, Dra., dosen PGSD UNJ, dan saat ini sedang mengikuti program S2 di PPS UNJ. 112 Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009