Jurnal Pendidikan Penabur

advertisement
Diterbitkan oleh:
BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR)
I S S N : 1412-2588
Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai
sebagai medium tukar pikiran, informasi dan
penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan.
Penanggung Jawab
Dra. Kristinawati Susatio, M.M.
Pemimpin Redaksi
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Sekretaris Redaksi
Rosmawati Situmorang
Dewan Editor
Prof. Dr. BP. Sitepu, M.A.
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si.
Dr. Ir. Hadiyanto Budisetio, M.M.
Dra. Mulyani
Prof. Dr. Theresia K. Brahim
Dra. Vitriyani P., M.Pd.
Alamat Redaksi :
Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470
Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968
http://www.bpkpenabur.or.id
E-mail : [email protected]
Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur
Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut.
1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang
berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk
bahasa ilmiah populer.
2.
Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain.
3.
Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan
bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas.
Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Book Antiqua 10
point/spasi ganda.
4.
Panjang naskah hasil penelitian atau opini + 4500 kata, sedangkan untuk
info serta resensi buku + 2000 kata.
5.
Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata.
6.
Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, daftar
pustaka, dan keterangan mengenai penulis.
7.
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata.
9.
Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada
ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar
huruf tidak lebih kecil dari 6 point.
10. Naskah dikirim dalam bentuk CD/disket dan hasil print out ke Redaksi
Jurnal Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E
Lantai 5. Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected]
11. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup penulis yang memuat latar
belakang pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah
ditulis.
12. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat
tidak dikembalikan.
13. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi
naskah.
14. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau
kebijakan BPK PENABUR.
Jurnal Pendidikan Penabur
Nomor 12/Tahun ke-8/ Juni 2009
ISSN: 1412-2588
Daftar Isi
i
Pengantar Redaksi
ii-iv
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan pada Siswa SD Laboratorium PGSD FIP UNJ , Nina Nurhasanah,
1-20
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif, Anastasia Alverina Chandra, Ivonne
Pratiwi, dan Monica Sharly,
21-30
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar Berbagai Peristiwa yang Terdapat dalam
Surat Kabar, Keke T. Aritonang,
31-39
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa: Tiga Syarat Pemberian Nilai , Anggiat Hisar,
M
Penelitian Tindakan Kelas, Kasina Ahmad,
50-56
40-49
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures: Implications for Educational Administrators,
Agustian Nugroho Sutrisno,
57-68
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi Guru dalam Rangka
Membangun Keunggulan Bersaing Sekolah, David Wijaya,
69-86
Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Tinggi, H.A.R. Tilaar,
87-92
Isu Mutakhir: Generasi Digital, dan Dana BOS Boleh Ditolak?, Hotben Situmorang,
93-96
Resensi Buku: The Craft of Writing Science Fiction That Sells
Budyanto Lestyana,
97-104
Profil BPK PENABUR Serang, Endang Suyatmi,
Keterangan Mengenai Penulis,
105-110
111-112
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
i
Pengantar Redaksi
ntuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional
sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pemerintah telah
menerbitkan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. P.P tersebut mengatur antara lain
standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian
pendidikan. Apabila sekolah memenuhi kedelapan standar itu maka
dapat diharapkan kualitas proses dan hasil pembelajaran di sekolah
dapat memenuhi standar nasional pendidikan yang diharapkan
menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat. Oleh karena itu Pemerintah memotivasi setiap
satuan pendidikan untuk menyelenggarakan pembelajaran di sekolah
mengacu pada masing-masing standar.
Salah satu standar yang perlu diperhatikan ialah standar proses
karena kegiatan belajar dan membelajarkan sesungguhnya dapat
dilihat pada proses. Selanjutnya, mutu proses akan menentukan mutu
hasil belajar membelajarkan. Dalam P.P No 19 Tahun 2005 disebutkan
bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Isi standar proses pada hakikatnya berhubungan dengan pendekatan,
startegi, metode dan teknik belajar-membelajarkan yang berkaitan
langsung dengan kegiatan pendidik/pembelajar dan peserta didik/
pemelajar.
Dalam proses belajar-membelajarkan tidak jarang pendidik dan
peserta didik menghadapi masalah dalam mencapai kompetensi
tertentu dengan bahan belajar yang ditetapkan dalam kurikulum.
Masalah mungkin saja terjadi karena pokok bahasan terlalu sulit, tidak
tersedia sumber belajar-membelajarkan yang diperlukan, strategi
belajar-membelajarkan yang tidak tepat, atau penguasaan pendidik
tentang pokok bahasan itu masih kurang. Oleh karena itu, standar
proses memberikan rambu-rambu penyelenggaraan pembelajaran di
ruang kelas.
Salah satu cara untuk mengatasi kesulitan belajar peserta didik
dan kesulitan membelajarkan pendidik ialah dengan menerapkan
penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitan ini ternyata dapat
meningkatkan hasil belajar peserta didik serta memenuhi standar
proses belajar-membelajarkan karena PTK melibatkan pendidik,
peserta didik, dan bahkan mungkin kepala sekolah atau orangtua
peserta didik dalam menyadari adanya masalah, mengidentifikasi dan
menentukan cara memecahkan masalah tersebut.
Memperhatikan manfaat PTK dalam membantu pendidik dan
peserta didik untuk memecahkan masalah-masalah belajar-
U
ii
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
membelajarkan secara kreatif dan inovatif, Jurnal Pendidikan Penabur
Edisi ini memuat tulisan yang berkaitan dengan PTK, landasan
teoretisnya serta contoh aplikasinya. Kasina Ahmad dari Universitas
Negeri Jakarta mendiskripsikan PTK secara teoretis, sedangkan Nina
dari Universitas yang sama memaparkan pengalamannya
melaksanakan PTK dengan menerapkan pendekatan kontekstual untuk
mengatasi kesulitan siswa SD dalam PKn di SD Laboratorium PGSD
FIP-UNJ. Informasi teoretis dan pengalaman melaksanakan PTK itu
diharapkan dapat memotivasi pendidik mempelajari PTK lebih
mendalam dan menerapkannya untuk mengatasi masalah-masalah
belajar-membelajarkan yang dihadapinya.
Keampuhan proses belajar-membelajarkan melalui strategi belajar
yang tepat mendorong pendidik yang profesional terus menerus kritis,
reflektif, kreatif dan inovatif dalam mengatasi berbagai masalah belajarmembelajarkan. Keke Aritonang, misalnya, meneliti dan menemukan
cara membelajarkan peserta didik mengembangkan kemampuan
membuat puisi yang kreatif mengacu pada gambar atau foto. Sementara
itu Anggiat Hisar menawarkan tata cara melakukan penilaian hasil
belajar peserta didik sehingga hasilnya objektif, dapat
dipertanggungjawabkan, serta diterima oleh semua pihak yang terkait.
Anak-anak usia sekolah yang beruntung, dapat mengikuti proses
belajar-membelajarkan di lembaga pendidikan formal. Akan tetapi,
terdapat juga sejumlah anak usia sekolah yang kurang beruntung dalam
berbagai hal sehingga tidak mendapat kesempatan mengalami
langsung proses belajar-membelajarkan di lembaga pendidikan formal.
Sungguhpun demikian, keadaan tersebut tidak menyurutkan semangat
mereka belajar . Mereka yang tergolong kurang beruntung ini mencari
bimbingan belajar alternatif dalam berbagai bentuk. Di tempat-tempat
itu mereka mengalami proses belajar yang bermakna untuk kehidupan
mereka sebagaimana terlihat dalam hasil penelitian Anastasia dan
kawan-kawan, alumni SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta.
Keberhasilan merencanakan, melaksanakan, dan menilai
pembelajaran, tidak dapat dipisahkan dari kemampuan yang dimiliki
guru. Oleh karena itu dalam era persaingan yang semakin ketat di antara
lembaga-lembaga pendidikan dewasa ini, sekolah perlu dikelola secara
profesional dengan meberdayakan semua sumber yang dimiliki sekolah.
David Wijaya menawarkan wacana tentang manajemen sumber daya
manusia pendidikan berbasis kompetensi guru dalam rangka
membangun keunggulan bersaing sekolah. Beda jenjang, jenis, dan
keadaan lembaga pendidikan tentu memerlukan seni pengelolaan yang
berbeda pula.
Sejauh masih dapat ditoleransi dan tidak menjauhkan organisasi
dari pencapaian tujuannya, konflik dalam organisasi, termasuk dalam
lembaga pendidikan, pada hakikatnya diperlukan untuk membuat
organisasi itu menjadi dinamis shingga konflik yang demikian memiliki
nilai positif. Akan tetapi, kekeliruan dalam melihat dan memperlakukan
atau menanggapi konflik dapat berakibat fatal dan mengganggu
jalannya organisasi. Tulisan Agustian Nugroho Sutrisno melakukan
kajian tentang cara-cara mengatasi konflik yang berbasis gender. Dalam
dua dekade belakangan ini masalah gender semakin mengemuka akibat
semakin disadarinya kesetaraan gender termasuk dalam manajemen
pendidikan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
iii
Masih dalam kaitannya dengan upaya peningkatan mutu
pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi, H.A.R Tilaar menulis
tentang tantangan-tantangan universitas dunia modern dalam
pembangunan kurikulum tinggi yang berbasis ilmu pengetahuan dan
teknologi maju serta kepentingan peserta didik yang majemuk.
Pemikiran yang ditawarkan perlu menjadi wacana bagi pendidik dan
tanaga kependidikan di pendidikan dasar dan menengah yang
mempersiapkan peserta didiknya masuk ke pendidikan tinggi.
Kurikulum pada dasarnya menjadi dasar atau acuan dalam
merancang dan melaksanakan proses belajar-membelajarkan di dalam
kelas sehingga mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Jurnal Pendidikan Penabur ini terbit pada awal tahun pelajaran
2009-2010 dan memuat berbagai tulisan yang isinya diharapkan dapat
dimanfaatkan oleh pendidik/guru untuk meningkatkan kualitas
pembelajarannya lebih bermutu. Isi Jurnal ini diharapkan dapat
memotivasi pendidik/guru melakukan inovasi secara kreatif, misalnya
dengan melakukan penelitian tindakan kelas. Variasi pendekatan,
metode, atau teknik membelajarkan dapat membuat suasana serta
proses belajar membelajarkan lebih hidup, menyenangkan, dan
dinamis. Mengawali tahun pelajaran ini dengan sesuatu yang baru,
diharapkan dapat memberikan nilai tambah dalam peningkatan mutu
pendidikan yang akan diukur pada akhir tahun pelajaran. Selamat
berinovasi.
Redaksi
iv
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Penelitian
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada
Siswa SD Laboratorium PGSD FIP UNJ
Nina Nurhasanah*)
Abstrak
alam pembelajaran PKn, guru sering menemukan kesulitan dalam memilih model belajar
yang tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Penelitian
Tindakan Kelas ini mencoba memecahkan kesulitan itu dengan berfokus pada pencapaian
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk membentuk karakter siswa dan
cara menerapkan pendekatan ini untuk mata pelajaran PKn di SD Laboratorium FIP UNJ. Penelitian
Tindakan Kelas yang dilakukan dalam bulan September sampai dengan Nopember 2008 ini
menunjukkan CTL dapat mengatasi masalah yang selama ini dihadapi guru setelah tiga siklus.
D
Kata-kata kunci : Contextual teaching and learning, pendidikan kewarganegaraan, strategi
pembelajaran, standar proses pendidikan.
The teacher found some difficulties in selecting and implementing appropriate instructional models to achieve
instructional objectives in civics subject. This classroom action research tried to use Contextual Teaching
Learning to overcome the problems. The research was conducted at Laboratory Primary Schol of Education,
State University of Jakarta, as from September through November 2008.After three cycles, the results of the
study showed significant improvement in the students’ learning achievement.
Pendahuluan
Sebagai sasaran utama dari pembangunan, perlu
diupayakan agar manusia berkembang ke arah
sumber daya manusia yang seoptimal mungkin.
Dengan upaya demikian diharapkan potensipotensi yang dimilikinya dapat berkembang. Hal
ini dapat dilakukan dengan melalui berbagai
proses pendidikan, baik di rumah, sekolah atau
di masyarakat. Pendidikan sebagaimana yang
diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan melihat ketentuan yang ada di
dalam peraturan perundang-undangan tersebut
maka upaya peningkatan pendidikan terus
dilakukan pemerintah, salah satunya adalah di
tingkat sekolah dasar. Upaya peningkatan
pendidikan di sekolah dasar merupakan salah
satu aspek di dalam pembangunan pendidikan
di Indonesia dewasa ini. Salah satu usaha
pemecahan masalah guna peningkatan kualitas
pendidikan adalah dengan memperbaiki sistem
pembelajaran yang antara lain tidak lagi
menggunakan sistem pembelajaran yang
konvensional melainkan menggunakan
pendekatan-pendekatan baru dalam pembelajaran.
*) Dosen PGSD Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
1
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Pendidikan di Indonesia selama ini masih
cenderung menerapkan kelas yang tidak
produktif. Sehari-hari kelas kebanyakan diisi
dengan ceramah sementara siswa dipaksa
menerima dan menghafal. Jarang sekali guru
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
mengutamakan kegiatan penemuan. Pembelajaran seperti itu sebaiknya di ubah dan digantikan
dengan pilihan strategi pembelajaran yang lebih
berpihak dan memberdayakan siswa.
Masalah utama dalam pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di sekolah
dasar adalah penggunaan metode atau model
pembelajaran dalam penyampaian materi
pelajaran belum tepat, sehingga belum
memenuhi harapan seperti muatan tatanan nilai
agar dapat diinternalisasikan pada diri siswa.
Hal ini berkaitan dengan kritik masyarakat
terhadap materi pelajaran PKn yang tidak
bermuatan nilai-nilai praktis, tetapi hanya
bersifat politis atau alat indoktrinasi untuk
kepentingan kekuasaan pemerintah. Metode
pembelajaran dalam proses belajar mengajar
terkesan sangat kaku, kurang fleksibel, kurang
demokratis, dan guru cenderung lebih dominan.
Guru mengajar lebih banyak mengejar target
yang berorientasi pada nilai ujian akhir, di
samping masih menggunakan model konvensional yang monoton.
Di dalam pembelajaran aktivitas guru lebih
dominan dari siswa, sehingga guru sering
mengabaikan proses pembinaan tatanan nilai,
sikap, tindakan sehingga mata pelajaran PKn
tidak dianggap sebagai mata pelajaran untuk
pembinaan warga negara yang menekankan
pada kesadaran akan hak dan kewajiban tetapi
lebih cenderung menjadi mata pelajaran yang
membuat jenuh dan membosankan. Untuk
menghadapi kritik masyarakat tersebut
diperlukan suatu pendekatan dan model
pembelajaran yang efektif dan efesien. Salah satu
alternatifnya adalah pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL). Dalam pembelajaran
diharapkan mampu melibatkan siswa dalam
keseluruhan proses pembelajaran, dan dapat
melibatkan seluruh aspek pembelajaran yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor baik secara fisik
maupun mentalnya. Siswa memiliki suatu
kebebasan berpikir, berpendapat, aktif dan
kreatif.
Oleh karena itu CTL dianggap lebih efektif
dan efesien dalam menggantikan pendekatan
konvensional. Namun dalam kenyataannya
masih ada guru yang belum dapat melaksana2
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
kan berbagai pendekatan baru dalam pembelajaran termasuk melaksanakan pendekatan
pembelajaran yang didasarkan pada pendekatan
CTL. Tidak terlaksananya pendekatan CTL
dalam pembelajaran oleh guru dapat disebabkan
oleh keterbatasan kemampuan guru dalam
memahami dan mengaplikasikannya. Guru
tidak/kurang mampu menggunakan pendekatan tersebut dikarenakan guru sendiri kurang
terlatih. Demikian juga guru-guru di SD
Laboratorium PGSD Universitas Negeri Jakarta.
Berdasarkan peng-amatan, mereka belum
dibekali dengan keteram-pilan praktis untuk
melakukan pendekatan CTL tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka sebagai fokus penelitian dapat diidentifikasikan berbagai permasalahan yang ada,
yaitu: (1) apakah dengan pendekatan pembelajaran CTL dapat mempermudah proses
pembinaan tatanan nilai, sikap dan tindakan
siswa di SD dalam upaya membentuk karakter
warga negara yang baik ?; dan (2) bagaimana
bentuk pelaksanaan pendekatan CTL untuk
mata pelajaran PKn di SD Laboratorium PGSD
FIP UNJ, sehingga dapat meningkatkan kualitas
pembelajarannya.
Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan informasi tentang CTL kepada para guru
umumnya dan guru-guru SD Laboratorium
PGSD FIP UNJ pada khususnya, dan bagaimana
pelaksanaannya dalam bentuk praktis di dalam
pembelajaran dalam bentuk penelitian kelas.
Pembahasan
Tinjauan Pustaka
Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pendekatan CTL merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, dan
mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat DepdiknasDikdasmen, 2003). Dengan konsep itu, hasil
pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
kehidupan siswa. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan
siswa bekerja dan mengalami, bukan hanya
transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam
kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu
siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
lebih banyak berurusan dengan strategi
daripada memberi informasi.
Di dalam www.geocities.com/pakguru-online
dikatakan bahwa CTL adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang mengaitkan materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
individu dan anggota (keluarga, masyarakat,
dan bangsa). Dengan pendekatan CTL, proses
belajar mengajar akan lebih konkret, realistis,
aktual, nyata, dan lebih menyenangkan, serta
lebih bermakna. Proses belajar mengajar
berpendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar (kualitas, kreativitas,
produktivitas, efesiensi dan efektifitas). Hasil
belajar meningkat, karena dalam CTL, semua
panca indera siswa diaktifkan dan dimanfaatkan secara serentak dalam proses belajar
mengajar melalui kegiatan pembelajarannya.
Pendekatan pembelajaran kontekstual CTL
didasarkan pada hasil penelitian John Dewey
(1916) dalam www.google.com yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar baik jika yang
dipelajari terkait dengan apa yang telah
diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa
yang akan terjadi di sekelilingnya. Jalan pikiran
pragmatis tidak hanya pada ajaran Dewey
dalam psikologi, tetapi juga dapat dilihat dalam
ilmu pendidikan. Dalam bidang pendidikan ia
menganjurkan teori dan metode: “learning by
doing” (belajar sambil melakukan). Dalam
teorinya ini ia berpendapat bahwa tidak perlu
orang terlalu banyak mempelajari tentang
sesuatu. Dengan melakukan apa yang hendak
dipelajarinya itu dengan sendirinya ia akan
menguasai gerakan-gerakan atau perbuatanperbuatan yang tepat sehingga ia bisa
menguasai hal yang dipelajari tersebut dengan
sempurna.
Pendekatan CTL dilandasi oleh aliran
filosofi konstruktivisme yang juga dipelopori
oleh John Dewey. Konstruktivisme merupakan
landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit),
tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu
dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dalam pandangan konstruktivisme, strategi
memperoleh lebih diutamakan dibandingkan
seberapa banyak siswa memperoleh dan
mengingat pengetahuan. Melalui landasan
filosofi tersebut dianggap dapat menjadi
alternatif strategi belajar yang baru. Sebuah
strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa
menghafal fakta-fakta, melainkan sebuah
strategi belajar yang mendorong siswa untuk
dapat mengkonstruksikan pengetahuan yang
ada dibenak mereka sendiri.
Pendekatan CTL didasarkan pada pemikiran tentang belajar atau teori belajar dimana
belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa
harus mengkonstruksikan pengetahuan di
benak mereka sendiri. Siswa belajar dari
mengalami, dan mencatat sendiri pola-pola
bermakna dari pengetahuan baru yang bukan
diberikan begitu saja oleh gurunya. Untuk itu
siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah,
menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya,
dan bergelut dengan ide-ide. Penting bagi siswa
untuk mengetahui untuk apa ia belajar, dan
bagaimana ia dapat menggunakan pengetahuan
dan keterampilan yang sudah ia peroleh. Tugas
guru memfasilitasi agar informasi baru dapat
bermakna, memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan dan menerapkan ide
mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk
menerapkan strategi mereka sendiri.
Untuk dapat mengkonstruksi, maka siswa
harus dibekali kemampuan untuk menemukan
(inquiry). Menemukan merupakan inti yang
harus ada dari kegiatan pembelajaran yang
berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil
dari menemukan sendiri. Guru harus selalu
merancang kegiatan yang merujuk pada
kegiatan menemukan, dengan kegiatan
observasi, bertanya, mengajukan dugaan,
pengumpulan data serta penyimpulan
Pendekatan dan model pembelajaran ini
menekankan pada daya pikir yang tinggi,
transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan
menganalisis data, memecahkan masalahmasalah tertentu baik secara individu maupun
kelompok. CTL atau pembelajaran kontekstual
merupakan strategi yang melibatkan siswa
secara penuh dalam proses pembelajaran.
Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar
mendengarkan dan mencatat tetapi belajar
berpengalaman secara langsung.
CTL adalah suatu strategi pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
3
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
siswa secara penuh untuk dapat menemukan
materi yang dipelajari dan menghubungkan
dengan situasi kehidupan yang nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka. Tiga konsep yang
dapat diambil dalam pembelajaran CTL adalah:
(1) mendorong pada proses keterlibatan siswa
untuk menemukan materi, (2) mendorong siswa
agar dapat menemukan materi yang dipelajari
dalam kehidupan nyata, (3) menerapkan dalam
kehidupan nyata.
Tantangan yang dihadapi oleh para guru
adalah bagaimana mengimplementasikan
materi yang diajarkan bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang materi, akan tetapi
akan mendorong siswa agar dapat menemukan
materi yang dipelajari dalam kehidupan nyata
serta menerapkannya dalam kehidupan seharihari. Berikut ini akan dijelaskan mengapa
pendekatan kontekstual perlu dikembangkan
menurut Sanjaya (2002).
Pertama, dengan pendekatan kontekstual
(CTL) diharapkan siswa bukan sekedar objek
akan tetapi mampu berperan sebagai subjek
dengan dorongan dari guru mereka diharapkan
mampu mengonstruksi pelajaran dalam benak
mereka sendiri. Jadi siswa tidak hanya
menghafalkan fakta-fakta, tetapi mereka
dituntut untuk mengalami dan akhirnya menjadi
tertarik untuk menerapkannya.
Kedua, memanfaatkan lingkungan siswa
untuk memperoleh pengalaman belajar. Guru
memberikan penugasan kepada siswa untuk
melakukan kegiatan yang berhubungan dengan
konteks lingkungan siswa antara lain di
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Hal ini
dapat dilakukan dengan memberi penugasan
kepada siswa di luar kelas. Siswa diharapkan
dapat memperoleh pengalaman langsung dari
kegiatan yang mereka lakukan mengenai materi
dilakukan siswa dalam rangka penguasaan
standar kompetensi, kemampuan dasar dan
materi pembelajaran.
Ketiga, memberikan aktivitas kelompok.
Melalui aktivitas ini siswa mampu mencari,
menganalisis dan menggunakan informasi
sendiri dengan sedikit bantuan guru. Supaya
dapat melakukannya, siswa harus lebih
memperhatikan bagaimana mereka memproses
informasi, menerapkan strategi pemecahan
masalah dan menggunakan pengetahuan yang
telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran
kontekstual harus mengikuti uji coba terlebih
dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan
4
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
menyusun refleksi; serta berusaha tanpa
meminta bantuan guru supaya dapat melakukan
proses pembelajaran secara mandiri (independent
learning).
Keempat, menyusun refleksi. Dalam melakan refleksi, misalnya ketika pelajaran berakhir
siswa merenungkan kembali pengalaman yang
baru diperoleh dari materi yang telah dipelajari.
Di akhir pelajaran diharapkan guru dapat
meluangkan waktu untuk sedikit refleksi,
bentuk dari refleksi itu dapat berupa (a) siswa
menyatakan langsung tentang materi yang
mereka peroleh hari itu, (b)catatan kecil di buku,
(c) kesan dan saran mengenai pembelajaran, (d)
diskusi kecil dan (e) menyampaikan hasil karya
Kelima, membuat aktivitas belajar bekerja
sama dengan masyarakat.Sekolah dapat
melakukan kerja sama dengan orang tua siswa
yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi
guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna
memberikan pengalaman belajar secara
langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk
melakukan pertanyaan. Selain itu kerja sama
dapat dengan institusi atau lembaga tertentu
untuk memberikan pangalaman belajar.
Keenam, membuat penilaian autentik.
Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian
autentik dapat membantu siswa untuk
menerapkan informasi akademik dan kecakapan
yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk
tujuan tertentu. Menurut Jhonson dalam Sanjaya:
2002) penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa
yang telah mereka pelajari selama proses belajar
mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian
yang dapat digunakan oleh guru adalah
portofolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan
laporan tertulis.
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) SD
Dalam kurikulum SD tahun 2006 (KTSP)
terdapat berbagai macam mata pelajaran, salah
satunya adalah Pendidikan Kewarganegaraan.
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn) bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan (a) berpikir secara kritis, rasional,
dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan, (b) berpartisipasi secara aktif
dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi, (c)
berkembang secara positif dan demokratis untuk
membentuk diri berdasarkan karakter-karakter
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama
dengan bangsa-bangsa lainnya, dan (d)
berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam
percaturan dunia secara langsung atau tidak
langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
Melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, siswa diarahkan, dibimbing, dan
dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia
dan warga dunia yang efektif. Menjadi warga
negara Indonesia dan warga dunia yang efektif
merupakan tantangan berat karena masyarakat
global selalu mengalami perubahan setiap saat.
Untuk itulah, PKn dirancang untuk membangun
dan merefleksikan kemampuan siswa dalam
kehidupan bermasyarakat yang selalu berubah
dan berkembang secara terus menerus.
Pendidikan Kewarganegaraan memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari
segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan
suku bangsa untuk menjadi warga negara
Indonesia yang bersatu, cerdas, terampil, dan
berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
dan Konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan mempertimbangkan atau
memanfaatkan sains, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat. Pembelajaran PKn dilakukan
melalui praktek belajar kewarganegaraan yang
dirancang untuk membantu siswa memahami
teori secara mendalam melalui pengalaman
belajar praktik empirik, seperti permainan dan
simulasi, membuat karangan, menganalisis isu/
kasus tertentu, atau metode pemecahan masalah.
Hasil akhir dari praktek belajar kewarganegaraan adalah portofolio hasil belajar yang
mencerminkan pemahaman, penghayatan serta
penerapan hasil belajar dari setiap individu atau
kelompok.
Metodologi
Penelitian ini merupakan pengembangan metode
dan strategi pembelajaran yang dilanjutkan
dengan kajian tindakan kelas melalui tiga siklus.
Penelitian yang dilaksanakan di SD Laboratorium PGSD FIP UNJ, pada siswa kelas VI,
dilakukan selama 3 bulan (September sampai
dengan November 20008) tahun pembelajaran
2008/2009.
Subjek penelitian kajian tindakan kelas ini
adalah siswa kelas VI di SD Laboratorium PGSD
FIP UNJ dengan pertimbangan bahwa pendekatan CTL jarang digunakan dalam pembelajaran
PKn, dan masih ditemukan kelemahan dalam
beberapa penyajian materi PKn di siswa kelas
VI. Hal ini menimbulkan siswa kurang
meminati pembelajaran PKn guru disebabkan
lebih sering menggunakan metode ceramah saja.
Berdasarkan hal ini, jika di kelas VI siswa
dibiasakan dengan menggunakan pendekatan
CTL dalam pembelajaran, maka di masa yang
akan datang siswa akan lebih meningkatkan
minat dan hasil belajarnya khususnya untuk
pembelajaran PKn. Dengan demikian objek
penelitian ini adalah pendekatan CTL dan
strategi pembelajaran PKn kelas VI SD.
Data primer yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah data tentang proses
pembelajaran PKn dengan menggunakan
pendekatan CTL, sikap kerja sama, partisipasi
siswa dalam kelompok, dan hasil belajar PKn
serta sarana dan prasarana untuk penerapan
pendekatan CTL. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data RPP Pendidikan Kewarganegaraan yang digunakan serta media yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan pendekatan
CTL. Sumber data utama adalah siswa dan guru
kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ.
Pengumpulan data dilakukan di setiap
siklus sejak perencanaan, pelaksanaan, observasi, hingga refleksi untuk komponen data yang
diperlukan. Data tentang rancangan pembelajaran diambil dari RPP PKn yang dibuat oleh
guru, dan juga melalui wawancara/diskusi
dengan guru. Sedangkan data hasil belajar
dijaring melalui tes pada akhir siklus.
Untuk analisis data, penelitian ini
menggunakan analisis dan refleksi dalam setiap
siklusnya berdasarkan hasil observasi yang
terekam dalam catatan lapangan dan formatformat pengamatan lainnya. Fokus pengamatan
diarahkan pada tentang kegiatan guru dan
siswa selama pembelajaran di kelas dan
perubahan sikap siswa. Analisis dan refleksi
dilakukan secara berkolaborasi antar semua
anggota peneliti, sedangkan pelaku tindakan
dilakukan oleh guru kelas VI SD Laboratorium
PGSD FIP UNJ.
Adapun tahap-tahap panelitian tindakan
kelas ini adalah sebagai berikut.
1. Identifikasi permasalahan.
2. Penemuan fakta-fakta dan analisis dari data
yang ditemukan tersebut.
3. Penyusunan perencanaan tindakan secara
umum, di mana di dalamnya mencakup
tindakan siklus I, tindakan siklus II, dan
seterusnya sampai peneliti menganggap
bahwa penelitian ini selesai.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
5
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
4.
Perencanaan tindakan siklus I sebagaimana
point 3, diimplementasikan sebagai
kegiatan evaluasi siklus I.
5. Melakukan monitoring kegiatan evaluasi
dan refleksi siklus I dan mengkaji untuk
perbaikan untuk putaran berikutnya.
6. Penyempurnaan tindakan kegiatan evalusi
siklus I.
7. Membuat perencanaan sebagai penyempurnaan dari perencanaan awal (point 3), di
mana di dalamnya mencakup tindakan
siklus II dan seterusnya sampai peneliti
menganggap bahwa penelitian selesai.
8. Mengimplementasikan revisi perencanaan
sebagai terdapat pada point 7 dan dianggap
sebagai kegiatan evaluasi siklus II.
9. Melakukan monitoring kegiatan evaluasi
siklus II dan mengkaji tindakan untuk
tindakan untuk perbaikan pada putaran
berikutnya (bila diperlukan).
10. Penyempurnaan tindakan kegiatan
evaluasi siklus II.
11. Kegiatan dilanjutkan sampai peneliti
menganggap bahwa penelitian selesai.
Adapun rencana tindakan yang akan dilakukan
pada setiap siklus adalah sebagai berikut.
1. Persiapan/Perencanaan :
a. Peneliti berkolaborasi dengan guru
menelaah indikator kurikulum PKn SD
tahun 2006 atau sesuai dengan KTSP
yang dilaksanakan di sekolah.
b. Peneliti melakukan observasi dan
wawancara dengan guru SD Laboratorium PGSD FIP UNJ untuk melihat
kekuatan dan kelemahan pembelajaran
PKn di kelas VI yang selama ini dilaksanakan.
c. Peneliti dan guru merencanakan
pelaksanaan pendekatan CTL yang
sesuai dengan materi yang akan
diajarkan.
2. Tindakan siklus I
a. Persiapan tindakan kelas
1) Peneliti melakukan observasi dan
wawancara dengan siswa dan
guru.
2) Guru mengidentifikasi media yang
diperlukan untuk pelaksanan
pendekatan CTL.
3) Peneliti bersama guru mencari
kegiatan pembelajaran yang sesuai
6
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
3.
dengan pendekatan CTL sesuai
dengan materi yang akan diajarkan.
4) Guru bersama peneliti merancang
penataan ulang dan ragam kegiatan
pendekatan CTL.
5) Guru bersama peneliti menata
ulang, menambah media atau
melaksanakan pendekatan CTL
yang lebih menarik yang
disesuaikan dengan materi yang
akan diajarkan.
b. Tindakan Kelas
1) Guru dan peneliti memper-siapkan
kegiatan pembelajaran dengan
menerapkan pendekatan CTL.
2) Guru kelas VI melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP, guru
yang lain sebagai observer
membantu dosen/peneliti mengamati kegiatan guru dan siswa.
c. Observasi
1) Peneliti dan guru yang lain
bersama-sama mengamati kegiatan
pembelajaran dari sisi siswa dan
guru, serta mencatat dalam anekdot
dan jurnal harian. Juga merekam
menggunakan audio visual kamera
tentang pembelajaran siklus I.
d. Evaluasi dan Refleksi I
1) Guru-guru bersama peneliti
mencari data tentang perubahan
kualitas belajar PKn dan perubahan
sikap siswa setelah tindakan I.
2) Guru kelas VI bersama peneliti
mendiskusikan
pelaksanaan
kegiatan penerapan pendekatan
CTL dalam pembelajaran PKn,
dilanjutkan dengan langkahlangkah perbaikan yang diperlukan
Tindakan siklus II
a. Guru kelas VI melakukan tindakan
pembelajaran baru sesuai dengan hasil
refleksi dan evaluasi dari siklus I,
dilanjutkan diskusi untuk mencari
alternatif tindakan lain yang cocok
dengan hasil dari tindakan siklus I.
Tindakan ini dapat mengurangi,
menambah atau memodifikasi dari
tindakan siklus I.
1) Peneliti melakukan observa-si
dibantu salah satu guru (yang
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
sedang tidak mengajar), dilakukan
dengan catatan lapangan, jurnal
harian dan isntrumen observasi
yang telah direvisi sesuai tindakan
baru yang disepakati.
2) Refleksi II
i. Guru-guru bersama peneliti
mencari data tentang hasil
belajar siswa dan perubahan
sikap siswa setelah tindakan II.
ii.Peneliti dibantu guru meninjau
ulang dampak dari tindakan
siklus II tersebut sehingga
tujuan penelitian dapat
tercapai.
4. Tindakan siklus III
Untuk menguji keabsahan dan keterpercayaan data dilakukan dengan triangulasi.
Triangulasi dilakukan dengan sumber
data, yaitu membandingkan apa yang
dirasakan guru pada saat pembelajaran
dengan pendapat observer dan peneliti yang
mengacu pada penelitian tentang kualitas
pembelajaran PKn pada materi pelajaran
“Nilai-nilai juang dalam proses perumusan
Pancasila sebagai dasar negara” melalui
pendekatan CTL dengan uji coba tes untuk
melihat hasil belajar siswa kelas VI SD
Laboratorium PGSD FIP UNJ.
Analisis data pemantau tindakan
dilakukan dengan melihat keterlibatan siswa
kelas VI pada saat pembelajaran PKn yang
sedang berlangsung, sikap guru dalam
pelaksanaan pembelajaran, dan kualitas
pembelajaran yang meningkat melalui hasil
belajar yang dicapai siswa.
Berdasarkan data aktivitas siswa setiap
siklus, jika setelah dianalisis ternyata semakin
sedikit jumlah siswa yang melakukan kegiatan
menyimpang saat mengikuti pembelajaran PKn,
dan semakin banyak jumlah siswa yang
melakukan aktivitas yang sesuai dengan
pembelajaran, maka aktivitas siswa dikatakan
semakin meningkat. Untuk hasil belajar siswa,
dianalisis dengan menggunakan penilaian
melalui target atau tolok ukur keberhasilan. Jika
80 % siswa mendapat nilai 6 ke atas, maka dapat
dikatakan kualitas pembelajaran PKn semakin
meningkat.
Hasil Intervensi Tindakan
Siklus I
1. Implementasi Tindakan
Pertemuan I : Senin, 21 Juli 2008 pukul 08.00-09.20
a. Kegiatan awal (5 menit)
Guru mengkondisikan kelas dengan
diawali mengabsensi siswa yang hadir
pada hari itu. Setelah itu mengatur tempat
duduk siswa untuk kerja kelompok, dan
mengadakan apersepsi tentang nilai-nilai
juang dalam proses perumusan Pancasila
sebagai dasar negara.
b. Kegiatan inti (45 menit)
Siswa menyanyikan lagu perjuangan
dengan judul “Pancasila Dasar Negara”
dengan penuh semangat dan gembira.
Kemudian, siswa diberikan lembaran kerja
(LKS), dan menyimak penjelasan dari guru
tentang tugas yang akan dilakukan secara
kelompok. Tugas kelompok adalah membuat identifikasi tentang nilai-nilai juang
dalam perumusan Pancasila sebagai dasar
negara. Setiap siswa di dalam kelompok
tersebut diberi nama pahlawan kemerdekaan.
Setelah semua tugas yang telah dilakukan
oleh setiap kelompok selesai, maka mereka
membuat laporan yang sesuai bagiannya
masing-masing. Setelah selesai membuat
laporan, setiap siswa mempresentasikan
hasil pekerjaannya. Kemudian guru
melakukan penilaian terhadap kelompok
mana yang terbaik yang mendapat poin
terbanyak. Setelah itu guru dan siswa
mengadakan tanya jawab tentang Pancasila
sebagai dasar negara.
c. Kegiatan akhir ( 10 menit )
Pada akhir pelajaran guru dan siswa
mereview pelajaran hari ini , dan kemudian
memberikan tindakan lanjut berupa PR.
2. Hasil Penelitian
Hasil penelitian pada siklus I diperoleh data dari
8 siswa kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP
UNJ. Hasil penelitian ini diperoleh dari:
a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn
melalui pendekatan CTL.
Hasil penilaian disiplin siswa dalam
belajar PKn melalui pendekatan CTL
diperoleh rata-rata skor adalah 73,3.
Dengan perincian sebagai berikut.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
7
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Tabel 1: Daftar Skor Penilaian Disiplin
Siswa pada Siklus I
Rentang
Skor
Banyak
Siswa
Prosentase
Keterangan
90-100
1
12,5
Baik Sekali
80-89
1
12,5
B ai k
70-79
2
25
Cukup
< 69
4
50
kurang
stiker. Pemberian penghargaan ini diberikan oleh guru secara berbeda-beda karena
diberikan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Hasil Pengamatan terhadap pemberian
hukuman kepada Siswa yang melanggar
disiplin dalam belajar PKn melalui
Pendekatan CTL. Hukuman diberikan guru
kepada siswa yang melanggar disiplin.
Hukuman itu berupa: menyapu lantai,
mencatat pelajaran yang tertinggal, lari
sebanyak 2 putaran, atau berdiri di depan
kelas. Hukuman ini diberikan sesuai
dengan pilihan siswa.
(Penilaian Disiplin dilihat dari daftar absensi siswa)
b.
Penanaman disiplin siswa dalam belajar
PKn melalui pendekatan CTL
Hasil pengisian angket penanaman disiplin
siswa dalam belajar
PKn melalui
pendekatan CTL diperoleh skor rata-rata
adalah 66,1. dengan perincian sebagai
berikut.
Tabel 4 : Daftar Skor Hukuman yang Diberikan
Guru pada Siklus I
Menyapu
Lantai
Mencatat
Pelajaran
Lari Dua
Putaran
Berdiri
d i k e l as
Jumlah
siswa
2
4
1
1
Prosentasi
25 %
50 %
12,5 %
12,5 %
Hukuman
Tabel 2: Daftar Skor Penanaman Disiplin
Siswa pada Siklus I
No
Rentang
Skor
Banyak
Siswa
Prosentase
Keterangan
1
90-100
2
25
Baik Sekali
2
80 -89
1
12,5
B ai k
3
70-79
2
25
Cukup
4
< 69
3
37,5
Kurang
c.
Hasil pengamatan terhadap penghargaan
yang diberikan guru kepada siswa yang
menunjukkan disiplin dalam belajar PKn
melaui Pendekatan CTL.
Penghargaan diberikan guru kepada siswa
yang menunjukan disiplin. Penghargaan ini
berupa tepukan sayang di punggung,
pelukan, senyuman, kata-kata pujian, atau
e.
Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan
CTL dalam belajar PKn
Dari data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL
belum dilaksanakan dengan baik atau tidak
sepenuhnya. Hal ini terlihat dari jawaban
“tidak “ masih tinggi atau 61,5
3. Pembahasan
Hasil pemantauAN tindakan pada siklus I
diperoleh dari:
a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn
melalui pendekatan CTL.
Hasil penelitian siklus I dapat diketahui
data bahwa 4 orang siswa atau 47.50 % yang
belum memiliki disiplin. Hal ini terlihat dari
kenyataan bahwa mereka belum menunjukkan sikap disiplin dalam mengerjakan
pekerjaan rumah, tidak memiliki rasa
Tabel 3: Daftar Skor Penghargaan yang Diberikan Guru pada Siklus I
8
Penghargaan
Tepukan Sayang
Dipunggung
Diberikan
P e l u k an
Diberikan
Senyuman
Diberikan KataKata Pujian
Diberikan
Stiker
Jumlah siswa
7
4
5
6
3
Prosentase
87,5 %
50 %
62 %
75 %
37,5 %
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
b.
c.
empati kepada teman, tidak memiliki
disiplin untuk membersihkan loker, laci,
membersihkan kelas, gaduh atau ramai saat
melakukan diskusi, tidak menjaga ketertiban
saat berdiskusi, tidak memiliki sikap
toleransi, sedangkan 2 orang siswa atau 25
% belum menunjukkan disiplin dalam hal
tidak membawa buku penghubung untuk
mencatat setiap tugas, belum memiliki sikap
toleransi, tidak menjaga kebersihan kelas
saat melakukan diskusi. 2 orang siswa atau
25 % sudah menunjukkan disiplin yang
baik dalam belajar PKn.
Penanaman disiplin siswa dalam belajar
PKn melalui pendekatan CTL.
Dari hasil penelitian pada siklus I diperoleh
data bahwa 7 orang siswa atau 87,5 %
belum tertanam disiplin dalam hal
membawa buku pekerjaan rumah (PR)
untuk mengerjakan tugas di rumah, disiplin
membersihkan loker laci meja, membersihkan kelas, bekerja sama dalam setiap kerja
kelompok, bertanggung jawab kepada
tugasnya, selalu rapih dan bersih, berlaku
baik kepada teman selama melakukan kerja
kelompok, bertanggung jawab atas apa yang
telah dilakukan, sedangkan 3 orang siswa
atau 37,5 % belum tertanam sikap disiplin
saat menggunakan buku PR untuk mengerjakan tugas di rumah. Antara 1-2 orang
siswa atau 12,5 % dan 25 % sudah memiliki
penanaman sikap disiplin yang baik.
Hasil pengamatan terhadap penghargaan
yang diberikan guru kepada siswa yang
disiplin dalam belajar PKn melalui
Pendekatan CTL.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
digambarkan bahwa penghargaan yang
diberikan guru kepada siswa yang
menunjukkan disipilin bervariasi. Ada 7
atau 87 % siswa yang menerima tepukan
sayang dipunggung, ada 4 atau 50 % siswa
diberikan pelukan karena siswa ini perlu
perhatian yang penuh karena masih kurang
disiplin dan perlu diberitahu secara teratur
oleh guru. Ada 5 atau 62 % siswa yang
diberikan senyuman karena sudah
melaksanakan disiplin tetapi kadang masih
melanggar, ada 6 atau 75 % siswa yang
diberikan kata-kata pujian, ada 3 atau 37,5
% orang siswa yang ketika melaksanakan
disiplin dengan baik kemudian diberikan
stiker.
d. Hasil pengamatan terhadap pemberian
hukuman oleh guru kepada siswa yang
melanggar disiplin dalam belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
digambarkan bahwa hukuman yang
diberikan kepada siswa yang melanggar
disiplin dapat diperinci sebagai berikut: 2
atau 25 % orang siswa diberi tugas untuk
menyapu lantai, 4 atau 25 % orang siswa
mencatat pelajaran yang tertinggal, 1 atau
12,5 % orang siswa lari sebanyak dua
putaran di lapangan, 1 atau 12,5 % orang
siswa berdiri di dalam kelas selama I jam
pelajaran. Jenis hukuman yang diterima
oleh setiap siswa dilaksanakan berdasarkan
pilihan siswa sendiri.
e. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan
CTL dalam belajar PKn.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
digambarkan bahwa pelaksanaan
pendekatan CTL belum dilaksanakan
dengan baik atau tidak sepenuhnya, itu
ditunjukkan dengan jawaban “tidak”
masih tinggi atau 61,5%. Pada siklus I ini
guru kurang sepenuhnya melaksanakan
pendekatan CTL dalam belajar PKn. Ini
disebabkan karena persiapan guru yang
kurang dan siswa masih ramai dan gaduh.
4. Refleksi Tindakan
Setelah
melaksanakan
kegiatan
pembelajaran dan menghitung data hasil
penelitian, guru dan observer melakukan
refleksi serta diskusi guna membahas
permasalahan yang berhubungan dengan
tindakan yang telah dilakukan oleh guru.
Terlihat pada siklus I masih banyak
kekurangan baik dari guru maupun siswa.
Berdasarkan pengamatan observer
diperoleh data, antara lain guru masih
kurang dalam mengkondisikan kelas,
kurangnya penanaman disiplin kepada
siswa, kurang optimal dalam memberikan
penghargaan kepada siswa yang menunjukkan disiplin, guru kurang tegas kepada
siswa yang melanggar disiplin, guru tidak
sepenuhnya melaksanakan pendekatan
CTL. Sedangkan dari siswa diperoleh data
bahwa sebagian besar siswa masih belum
memiliki disiplin yaitu tidak mengerjakan
pekerjaan rumah, tidak memiliki rasa
empati kepada teman, tidak membersihkan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
9
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
loker dan laci, membersih-kan kelas, gaduh
atau ramai saat melaku-kan kerja kelompok,
tidak menjaga kebersihan saat berdiskusi,
tidak toleransi kepada teman, membuat
laporan hasil percobaan dan diskusi tidak
benar, tidak mau bekerja sama. Dikarenakan
masih ada siswa yang menunjukkan sikap
melanggar dalam disiplin, maka guru
memberikan hukuman kepada siswa yang
melanggar tetapi sebaliknya bagi siswa
yang menunjukkan sikap melaksanakan
disiplin maka guru akan memberikan
penghargaan. Hasil evaluasi pembelajaran
PKn masih terlihat sangat rendah.
Berdasarkan data-data tersebut perolehan
hasil penelitian bahwa pada siklus I belum
memenuhi kriteria keberhasilan hasil
intervensi yang diharapkan.
Siklus II
1. Implementasi Tindakan
Pertemuan 2 : Senin, 28 Juli 2008 pukul 08.0009.20 WIB.
a. Kegiatan awal (5 menit)
Guru mengkondisikan kelas kemudian
membagi empat kelompok. Setiap kelompok
terdiri dari empat orang. Setelah itu guru
menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan
oleh setiap kelompok.
b. Kegiatan inti (45 menit)
Siswa diberikan lembaran kerja (LKS) dan
menyimak penjelasan dari guru tentang
tugas yang akan dilakukan secara kelompok. Setiap siswa berpasangan dalam
kelompok kemudian diberi tugas untuk
mengerjakan LKS. Setelah selesai kemudian
hasilnya didiskusikan dalam kelompok
tersebut. Selesai didiskusikan di
kelompoknya masing-masing, setiap
kelompok mempresentasikan hasil
diskusinya. Setelah itu dilanjutkan dengan
tanya jawab mengenai hasil diskusi dan
jawaban soal yang didiskusikan.
c. Kegiatan Akhir (10 menit)
Pada akhir pelajaran guru dan siswa
mereview pelajaran hari ini, dan kemudian
memberikan tindak lanjut berupa pekerjaan
rumah (PR)
2. Hasil Penelitian
Hasil penelitian pada siklus II diperoleh dari 8
orang siswa kelas VI SD Laboratorium PGSD
FIP UNJ. Hasil penelitian ini diperoleh dari:
a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
10
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Hasil pengisian angket mengenai penilain
disiplin siswa dalam belajar PKn melalui
pendekatan CTL diperoleh rata-rata skor
adalah 90,52. Dengan perincian sebagai
berikut.
Tabel 5: Daftar Skor Penilaian Disiplin
pada Sikus II
No
Rentang
Skor
Banyak
Siswa
Prosentase
Keterangan
1
90-100
7
87,5
Baik Sekali
2
80 -89
1
12,5
B ai k
3
70-79
0
0
Cukup
4
< 69
0
0
Kurang
b.
Penanaman disiplin siswa dalam belajar
PKn melalui pendekatan CTL.
Hasil pengisian angket penanaman
disiplin siswa dalam belajar PKn melalui
Pendekatan CTL diperoleh skor rata-rata
adalah 80,1. Dengan perincian sebagai
berikut.
Tabel 6: Daftar Skor Penanaman Disiplin
pada Siklus II
c
No
Rentang
Skor
Banyak
Siswa
Prosentase
Keterangan
1
90-100
4
50
Baik Sekali
2
80 -89
3
37,5
B ai k
3
70-79
1
12,5
Cukup
4
< 69
0
0
Kurang
Hasil pengamatan terhadap penghargaan
yang diberikan guru kepada siswa yang
menunjukkan disiplin dalam Belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
Penghargaan diberikan guru kepada siswa
yang menunjukkan disiplin siswa.
Penghargaan ini berupa tepukan sayang di
punggung, diberikan pujian, diberikan
senyuman, diberikan kata-kata pujian,
diberikan stiker. Pemberian penghargaan
diberikan oleh guru secara berbeda-beda
karena diberikan sesuai dengan kebutuhan
siswa.
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Tabel 7: Daftar Skor Penghargaan yang Diberikan Guru pada Siklus II
d.
Penghargaan
Tepukan Sayang
Dipunggung
Diberikan
P e l u k an
Diberikan
Senyuman
Diberikan KataKata Pujian
Diberikan
Stiker
Jumlah siswa
7
7
6
7
2
Prosentase
87,5 %
87,5 %
75 %
87,5 %
25 %
Hasil pengamatan terhadap hukuman yang
diberikan guru kepada siswa yang
melanggar disiplin dalam belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
Hukuman diberikan guru kepada siswa
yang melanggar disiplin. Hukuman itu
berupa: menyapu lantai, mencatat pelajaran
yang tertinggal, lari sebanyak 2 putaran,
berdiri di depan kelas. Hukuman ini
diberikan sesuai dengan pilihan siswa.
atau 12,5 % yang belum tertanam disiplin
dalam hal membuat laporan diskusi dengan
benar dan tepat, tidak bekerja sama dalam
setiap kerja kelompok, sedangkan 7 orang
siswa sudah menunjukkan memiliki penanaman disiplin dengan baik.
c. Hasil pengamatan terhadap penghargaan
yang diberikan guru kepada siswa yang
menunjukkan disiplin dalam belajar PKn
melalui pendekatan CTL .
Berdasarkan
data yang diTabel 8 : Daftar Skor Hukuman yang diberikan Guru pada Siklus II
peroleh dapat
digambarkan
Menyapu Mencatat Pelajaran Lari sebanyak
Berdiri di
Hukuman
bahwa pengLantai
yang Tertinggal
Dua Putaran
d al am k e l as
hargaan yang
Jumlah siswa
1
2
1
0
diberikan
guru kepada
Prosentase
12,55 %
25 %
12,5 %
0%
siswa yang
menunjukkan
d i s i p l i n
e. Hasil pengamatan pelaksanaan Pendekabervariasi. Ada 7 atau 87,5 % orang siswa
tan CTL dalam belajar PKn.
yang menerima tepukan sayang dipungDari data yang diperoleh dapat digamgung, karena siswa ini sudah baik dalam
barkan bahwa pelaksanaan pendekatan
melaksanakan disiplin. Oleh karena itu
CTL sudah cukup, itu ditunjukkan dengan
guru terus memberikan motivasi agar sikap
jawaban ‘ya’ ada 76,9 %.
tersebut dapat meningkat, ada 7 atau 87,5%
siswa yang diberikan pelukan karena siswa
3. Pembahasan Hasil Penelitian
ini menunjukkan perubahan yang baik
Hasil pemantau tindakan pada siklus II
dalam melaksanakan disiplin, 6 atau 75 %
diperoleh dari :
siswa yang diberikan senyuman karena
a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn
siswa sudah melaksanakan disiplin tetapi
melalui pendekatan CTL.
kadang masih melanggar, 7 atau 87,5 %
Berdasarkan hasil penelitian siklus II dapat
siswa yang diberikan kata-kata pujian.
diketahui data bahwa 1 orang siswa atau
Dengan kata-kata pujian yang diberikan
12,5 % dari 8 orang siswa yang belum
membuat siswa senang dan membuat
memiliki disiplin. Seorang siswa ini belum
semangat dalam belajar, 2 atau 25 % siswa
menunjukkan disiplin dalam hal sikap
yang ketika melaksanakan disiplin dengan
untuk membersihkan kelas, mengerjakan
baik kemudian diberikan stiker.
pekerjaan rumah (PR), sedangkan 7 orang d. Hasil pengamatan terhadap hukuman yang
siswa atau 87,5 % sudah menunjukkan
diberikan guru kepada siswa yang
disiplin yang baik dalam belajar PKn.
melanggar disiplin dalam Belajar PKn
b. Penanaman disiplin dalam belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
melalui Pendekatan CTL.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
Berdasarkan hasil penelitian pada siklus II
digambarkan bahwa hukuman yang
diperoleh data bahwa ada 1 orang siswa
diberikan kepada siswa yang melanggar
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
11
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
e.
4.
12
disiplin dapat diperinci sebagai berikut.
Terdapat 1 atau 12,5 % siswa yang diberi
tugas untuk menyapu lantai, ada 2 atau 25
% siswa mencatatat pelajaran yang
tertinggal, ada 1 atau 12,5 % siswa
mendapat hukuman lari sebanyak dua
putaran di lapangan, dan tidak ada siswa
yang berdiri di dalam kelas. Jenis hukuman
yang diterima oleh setiap orang dan
dilaksanakan berdasar-kan plihan siswa
masing-masing ketika mereka melanggar
disiplin . Pada siklus II ini siswa yang
melanggar disiplin makin berkurang dan
menunjukkan ke arah yang lebih baik.
Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan
Pendekatan CTL dalam belajar PKn.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL sudah cukup, dimana guru
sudah menggunakan pendekatan tersebut
dalam pembelajaran, dan terlihat siswa
menikmati berdiskusi dan melakukan kerja
kelompok. Pelaksanaan pendekatan CTL
yang sudah cukup ini ditunjukkan dengan
jawaban “ ya” ada 76,94%.
Refleksi Tindakan
Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran dan telah menghitung data hasil
penelitian, guru dan observer melakukan
refleksi dan diskusi guna membahas
permasalahan yang berhubung-an dengan
tindakan yang telah dikerjakan guru.
Terlihat pada siklus II sudah ada
peningkatan dari guru maupun siswa.
Berdasarkan pengamatan observer diperoleh data antara lain guru sudah dapat
mengkondisikan kelas dengan baik, sudah
memberikan penanaman disiplin kepada
siswa secara baik, guru sudah secara
optimal memberikan penghargaan kepada
siswa yang menunjukkan disiplin, guru
sudah tegas kepada siswa yang melanggar
disiplin, guru sudah sepenuhnya melaksanakan CTL. Sedangkan dari siswa
diperoleh data bahwa sebagian besar siswa
sudah memiliki disiplin yang cukup,
walaupun demikian masih ada beberapa
siswa yang masih perlu ditingkatkan
disiplinnya serta ditanamkan lagi disiplin.
Beberapa hal yang perlu diting-katkan dan
ditanamkan lagi oleh seorang guru kepada
siswanya, yaitu agar siswa tidak gaduh
atau tidak ramai saat melakukan diskusi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
maupun kerja kelompok, rajin mengerjakan
tugas PR, memiliki toleransi dalam
berdiskusi, tidak saling menggangu saat
melakukan kerja kelompok maupun saat
berdiskusi, membuat laporan yang benar
dan baik, selalu bekerja sama dalam setiap
kerja kelompok, selalu membawa buku
penghubung untuk mencatat semua tugas.
Hasil evalusi pembelajaran PKn juga
mengalami peningkatan. Jumlah siswa
yang mendapat nilai kurang semakin turun.
Berdasarkan data tersebut perolehan hasil
penelitian pada siklus II sudah cukup
memenuhi kriteria keberhasilan dari hasil
intervensi yang diharapkan.
Siklus III
1. Implementasi Tindakan
Pertemuan I : Senin, 11 Agustus 2008 pukul
08.00-12.00
a. Kegiatan awal (5 menit)
Guru mengkondisikan kelas dengan
membentuk empat kelompok yang setiap
kelompok terdiri dari empat siswa. Setiap
siswa diberi nama sesuai dengan nama
pahlawan. Guru memberitahukan bahwa
hari ini akan ada acara field trip ke Museum
Gajah untuk melihat sejarah perjuangan
bangsa Indonesia melawan penjajahan
yang ada di tanah air. Guru meberikan
arahan/petunjuk kegiatan yang akan
dilakukan oleh siswa.
b. Kegiatan inti (45 Menit)
Siswa diberi lembaran kerja kelompok (LKS)
dan menyimak penjelasan dari guru tentang tugas kelompok yang akan dilakukan
secara kelompok. Setiap anggota di dalam
kelompok diberi tugas untuk mengadakan
pencatatan hasil observasi yang ada di
meseum gajah, mereka mendiskusikan
bersama dalam satu kelompok. Pada saat
diskusi berlangsung, setiap siswa dalam
kelompok tersebut punya kesempa-tan
untuk mengeluarkan pendapat atau
menjawab pertanyaan satu persatu secara
bergiliran. Setelah itu setiap siswa saling
bertanya jawab tentang soal-soal yang ada
di lembaran kerja siswa maupun soal-soal
yang telah disiapkan oleh guru.
2. Hasil Penelitian
Hasil penelitian pada siklus III yang diperoleh
dari data 8 orang siswa kelas VI . Hasil penelitian
ini diperoleh dari :
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
a.
Tabel 10:Daftar Skor Penanaman
Disiplin pada Siklus III
Penilaian disiplin siswa dalam belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
Hasil Pengisian angket penilaian disiplin
dalam Belajar PKn melalui Pendekatan CTL
diperoleh rata-rata skor 93,4% dengan
rincian sebagai berikut.
No
Rentang
Skor
Banyak
Siswa
Prosentase
Keterangan
1
90-100
6
75
Baik Sekali
2
80 -89
1
12,5
B ai k
3
70-79
1
12,5
Cukup
4
< 69
0
0
Kurang
Tabel 9: Daftar Skor Penilaian Disiplin
pada Siklus III
No
Rentang
Skor
Banyak
Siswa
Prosentase
Keterangan
1
90-100
7
8 7 ,5
Baik Sekali
2
80 -89
1
12,5
B ai k
3
70-79
0
0
Cukup
4
< 69
0
0
Kurang
b.
c.
d.
Penanaman disiplin siswa dalam belajar
PKn melalui pendekatan CTL.
Hasil pengisian angket penanaman disiplin
siswa dalam belajar PKn melalui
Pendekatan CTL diperoleh rata-rata skor
adalah 94,8 % dengan rincian dapat dilihat
pada tabel 10.
Hasil pengamatan terhadap penghargaan
yang diberikan guru kepada siswa yang
e.
diberikan pujian, diberikan senyuman,
diberikan kata-kata pujian, diberikan stiker.
Pemberian penghargaan diberikan oleh
guru secara berbeda-beda karena diberikan
sesuai dengan kebutuhan siswa lihat tabel 11.
Hasil Pengamatan terhadap hukuman yang
diberikan guru kepada siswa yang
melanggar disiplin dalam belajar PKn
melalui pendekatan CTL.
Hukuman diberikan guru kepada siswa
yang melanggar disiplin. Hukuman itu
berupa: menyapu lantai, mencatat pelajaran
yang tertinggal, lari sebanyak 2 putaran,
berdiri di depan kelas. Hukuman ini
diberikan sesuai dengan pilihan siswa.
Hasil pelaksanaan pendekatan CTL dalam
Belajar PKn.
Tabel 11: Daftar Skor Penghargaan yang Diberikan Guru pada Siklus IIII
Penghargaan
Tepukan Sayang
Dipunggung
Diberikan
P e l u k an
Diberikan
Senyuman
Diberikan KataKata Pujian
Diberikan
Stiker
Jumlah siswa
7
7
6
7
5
Prosentase
87,5 %
87,5 %
75 %
87,5 %
62 %
menunjukkan disiplin dalam belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
Penghargaan diberikan guru kepada siswa
yang menunjukkan disiplin. Penghargaan
ini berupa tepukan sayang di punggung,
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL sudah baik, itu ditunjukkan
dengan jawaban “ya” ada 92,3%.
Tabel 12 : Daftar Skor Hukuman yang diberikan Guru pada Siklus III
Hukuman
Menyapu
Lantai
Mencatat
Pelajaran yang
Tertinggal
Lari sebanyak
Dua Putaran
Berdiri di Kelas
s e l am 1 j am
Pelajaran
Jumlah siswa
1
1
0
0
Prosentase
12,5 %
12,5 %
0%
0%
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
13
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
3. Pembahasan
Hasil pemantauan tindakan pada siklus III
diperoleh dari:
a. Penilaian disiplin siswa dalam belajar
PKn melalui pendekatan CTL.
Dari hasil penelitian siklus III diperoleh data
adanya 1 orang siswa yang menunjukkan
disiplin di bawah rata-rata. Siswa ini masih
menunjukkan disiplin yang kurang dalam
hal membawa buku pelajaran secara
lengkap dan sesuai dengan mata pelajaran,
dan membuat laporan kelompok serta tidak
masuk sekolah. Sedangkan 7 orang siswa
atau 87,5 % sudah menunjukkan disiplin
yang baik dalam belajar PKn.
b. Penanaman disiplin siswa dalam belajar
PKn melalui pendekatan CTL.
Dari hasil penelitian pada siklus III
diperoleh data bahwa ada 1-2 orang siswa
menunjukkan penanaman disiplin masih
di bawah rata-rata atau cukup atau 25 %.
Siswa ini masih menunjukkan penanaman
disiplin yang kurang dalam hal berpakaian
seragam sekolah yang lengkap. Sedangkan
7 orang siswa atau 87,5 % sudah
menunjukkan penanaman disiplin yang
baik dalam belajar PKn.
c. Hasil pengamatan terhadap penghargaan
yang diberikan guru kepada siswa yang
menunjukkan disiplin dalam belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
digambarkan bahwa penghargaan
diberikan guru kepada siswa yang
menunjukkan disipilin bervariasi. Ada 7
atau 87,5 % siswa yang menerima tepukan
sayang dipung-gung, karena siswa ini
sudah baik dalam melaksanakan disiplin.
Oleh karena itu guru terus memberikan
motivasi agar siswa terus memiliki disiplin
dalam setiap belajar. Sebanyak 7 atau 87,5%
siswa diberikan pelukan karena siswa ini
menunjukkan perubahan yang baik dalam
melaksanakan disiplin, ada sebanyak 6
atau 75 %, siswa diberikan senyuman
karena siswa sudah melaksanakan disiplin
dengan baik, ada sebanyak 7 atau 87,5 %
diberikan kata-kata pujian. Kata-kata pujian
yang diberikan membuat siswa ini senang,
memberikan semangat belajar, dan
menunjukkan prestasi yang baik dalam
belajar, 5 atau 62 % orang siswa ini ketika
melaksanakan disiplin dengan baik maka
14
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
d.
e.
4.
diberikan stiker. Siswa ini senang dengan
berbagai stiker.
Hasil pengamatan terhadap hukuman yang
diberikan guru kepada siswa yang
melanggar disiplin dalam belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
digambarkan bahwa hukuman diberikan
kepada siswa yang melanggar disiplin
dapat diperinci sebagai berikut; 1 atau 12,5
% siswa diberi tugas untuk menyapu lantai,
1 atau 12,5 % siswa mencatatat pelajaran
yang tertinggal, 0 atau 0 % siswa yang lari
sebanyak dua putaran di lapangan, 0 atau
0 % siswa yang berdiri di dalam kelas. Jenis
hukuman yang diterima oleh setiap orang
dan dilaksanakan berdasarkan pilihan
siswa masing-masing ketika mereka
melanggar disiplin. Pada siklus III ini siswa
yang melanggar disiplin berkurang dan
menunjukkan kearah yang lebih baik.
Hasil pengamatan pelaksanaan pendekatan CTL dalam belajar PKn.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
digambarkan bahwa pelaksanaan
pendekatan CTL sudah baik, dimana guru
sudah menggunakan pendekatan tersebut
dalam pembelajaran, dan terlihat siswa
berdiskusi dan kerja kelompok secara aktif.
Pelaksanaan pendekatan CTL yang sudah
baik ini ditunjukkan dengan jawaban “ ya”
ada 92,3%.
Refleksi Tindakan
Setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran dan telah menghitung data hasil
penelitian, guru dan observer melakukan
refleksi dan diskusi guna membahas
permasalahan yang berhubungan dengan
tindakan yang telah dikerjakan guru.
Terlihat pada siklus III ada peningkatan ke
arah lebih baik dari guru maupun siswa.
Berdasarkan pengamatan observer diperoleh data antara lain guru sudah dapat
mengkondisikan kelas dengan baik, sudah
memberikan penanaman disiplin kepada
siswa secara baik, guru sudah optimal
memberikan penghargaan kepada siswa
yang menunjukkan disiplin, guru sudah
tegas kepada siswa yang melanggar
disiplin, guru sudah sepenuhnya
melaksanakan pendekatan CTL. Sedangkan
dari siswa diperoleh data bahwa sebagian
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
besar siswa sudah memiliki disiplin yang
baik, walaupun demikian masih ada 1-2
orang siswa yang masih perlu ditingkatkan. Beberapa hal yang perlu ditingkatkan
dan ditanamkan lagi oleh guru untuk
menegakkan disiplin pada siswa yaitu wajib
datang ke sekolah tepat waktu, mengerjakan
pekerjaan rumah, berpakaian seragam
sekolah yang lengkap, membawa buku
penghubung untuk mencatat semua tugas,
memiliki rasa toleransi dalam berdiskusi.
Hasil evaluasi juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data tersebut peroleh
hasil penelitian pada siklus III yang sudah
baik dan memenuhi kriteria keberhasilan
dari hasil intervensi yang diharapkan.
Analisis Data
Data yang diperoleh meliputi data penilaian
disiplin, penanaman disiplin dan tanggung
jawab siswa, penghargaan yang diberikan guru
kepada siswa yang menunjukkan disiplin,
hukuman yang diberikan guru kepada siswa
yang melanggar disiplin, dan pelaksaan
pendekatan CTL, serta hasil evaluasi belajar PKn.
Data ini diperoleh dari siswa dengan mengisi
angket dibawah bimbingan guru, dan observer
juga mengamati dan mengisi angket tersebut,
siswa mengerjakan tes PKn sebanyak 30 butir
soal. Sedangkan data pelaksanaan pendekatan
CTL diperoleh dari pengamatan observer pada
saat guru melaksanakan proses belajar mengajar.
Pengisian setiap angket ini dilakukan oleh siswa
di bawah bimbingan guru kelas, observer dan
dilakukan dalam setiap akhir siklus. Sedangkan
data pemantauan tindakan yang diperoleh dari
hasil pengamatan keaktifan siswa dan guru
dihasilkan dari pengamatan observer setiap
pertemuan.
1. Siklus I
Melalui hasil pengamatan yang dilakukan oleh
observer terhadap keaktifan siswa dan guru
serta hasil penelitian berupa angket terlihat
bahwa pada siklus I masih banyak kekurangan
baik dari pihak guru maupun siswa.
Berdasarkan pengamatan observer diperoleh
data antara lain guru masih kurang dalam
mengkondisikan kelas, kurangnya penanaman
disiplin kepada siswa, kurang optimalnya guru
dalam memberikan penghargaan kepada siswa
yang menunjukkan disiplin, guru kurang tegas
kepada siswa yang melanggar disiplin, guru
tidak sepenuhnya melaksanakan pendekatan
CTL. Untuk siswa dapat dilihat dari data
sebagai berikut.
a. Penilaian Disiplin Siswa dalam Belajar PKn
melalui pendekatan CTL
Hasil penelitian siklus I dapat diketahui
data bahwa 4 orang siswa atau 50 % yang
belum memiliki disiplin. Empat orang siswa
ini dikatakan kurang disipilin karena belum
menunjukkan sikap mengerjakan pekerjaan
rumah, tidak memiliki disiplin dalam
kehadiran, disiplin untuk membersihkan
loker dan laci, membersihkan kelas, gaduh
atau ramai saat melakukan kerja kelompok,
tidak menjaga ketertiban saat berdiskusi,
tidak memiliki sikap toleransi, sedangkan 2
siswa atau 25 % belum menunjukkan
disiplin dan dalam hal tidak membawa
buku penghubung untuk mencatat setiap
tugas, belum memiliki sikap toleransi, tidak
menjaga ketertiban saat melakukan kerja
kelompok. Ada 4 orang siswa atau 50 %
sudah menunjukkan disiplin yang baik
dalam belajar PKn. Rata-rata nilai penilaian
disiplin dihitung dari jumlah skor seluruh
siswa dibagi jumlah siswa.
b. Penanaman disiplin siswa dalam belajar
PKn melalui Pendekatan CTL.
Dari hasil penelitian pada siklus I diperoleh
data bahwa 7 orang siswa atau 87,5 % belum
tertanam disiplin dalam hal membawa
buku pekerjaan rumah (PR), untuk mengerjakan tugas di rumah, disiplin membersihkan loker laci meja, membersihkan kelas,
bekerja sama dalam setiap kerja kelompok,
bertanggung jawab kepada tugasnya, selalu
rapih dan bersih, berlaku baik kepada teman
selama melakukan diskusi, bertanggung
jawab atas apa yang telah dilakukan,
sedangkan 3 orang siswa atau 37,5 % belum
tertanam disiplin dalam menggunakan
buku PR untuk mengerjakan tugas di rumah.
1-2 Siswa atau 12,5 dan 25% sudah
menunjukkan memiliki penanaman disiplin
yang baik. Rata-rata nilai penanaman
disiplin dihitung dari jumlah skor seluruh
siswa dibagi jumlah siswa.
c. Hasil pengamatan penghargaan yang
diberikan guru kepada siswa yang
menunjukkan disiplin dalam belajar PKn
melalui Pendekatan CTL.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat
digambarkan bahwa penghargaan yang
diberikan guru kepada siswa yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
15
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
menunjukkan disiplin bervariasi. Ada 7 atau
87,5 %, siswa yang menerima tepukan
sayang dipunggung, karena siswa ini perlu
motivasi maka diberikan tepukan sayang,
ada 4 atau 50 % siswa diberikan pelukan
karena siswa ini perlu perhatian yang
penuh karena pelaksanaan disiplin masih
kurang dilaksanakan dengan baik dan perlu
diberitahu secara teratur oleh guru. Ada 5
atau 62 %, siswa yang diberikan senyuman
karena siswa sudah melaksanakan disiplin
tetapi kadang masih melanggar. Ada 6 atau
75 % siswa yang diberikan kata-kata pujian,
dan ada 3 atau 37,5 % yang diberikan stiker.
Data ini diperoleh dari pengamatan guru
dan observer selama proses mengajar di
dalam kelas, setelah memperoleh data
kemudian dikelompokkan penghargaan
yang diberikan oleh guru kepada siswa yang
melaksanakan disiplin.
d. Hasil pengamatan terhadap hukuman yang
diberikan guru kepada siswa yang
melanggar disiplin dalam pembelajaran
PKn melalui Pendekatan CTL.
Dari data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa hukuman yang diberikan
kepada siswa yang melanggar disiplin
dapat diperinci sebagai berikut : 2 atau 25 %
siswa diberi tugas untuk menyapu lantai, 4
atau 50 %, siswa mencatatat pelajaran yang
tertinggal, 1 atau 12,5 % siswa lari sebanyak
dua putaran di lapangan, dan 1 atau 12,5 %
siswa yang berdiri di dalam kelas. Data ini
diperoleh dari pengamatan guru dan
observer selama proses mengajar di dalam
kelas, setelah memperoleh data kemudian
dikelompokkan hukuman yang diberikan
oleh guru kepada siswa yang melanggar
disiplin.
e. Hasil pengamatan pelaksanaan CTL dalam
pembelajaran PKn
Dari data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa pelaksanaan pendekatan CTL
belum dilaksanakan dengan tidak baik atau
tidak sepenuhnya, itu ditunjukkan dengan
jawaban “ tidak “ masih tinggi atau 61,5%.
Dengan perincian sebagai berikut: Yang
jawabannya “Ya” ada 38,4% sedangkan
yang jawabannya “tidak” ada 61,5%. Pada
siklus I ini guru kurang sepenuhnya
melaksanakan pendekatan CTL dalam
pembelajaran PKn. Ini disebabkan karena
persiapan guru yang kurang dan siswa
masih ramai dan gaduh.
16
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
2. Siklus II
Guru terlihat lebih siap dan lebih tenang dalam
melaksanakan pembelajaran PKn melalui
pendekatan CTL sehingga aktivitas dalam
pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik.
Hal tersebut juga berpengaruh terhadap
kesiapan siswa dalam melaksanakan setiap
kegiatan dalam pembelajaran. Siswa secara
keseluruhan sudah dapat mengikuti kegiatan
dengan semangat dan lebih siap menerima tugas
yang diberikan oleh guru dan antusias untuk
terlibat secara aktif sehingga potensi yang ada
pada diri siswa dapat berkembang secara
optimal.
Pada siklus II sudah ada peningkatan dari
guru maupun siswa. Berdasarkan pengamatan
observer diperoleh data antara lain guru sudah
dapat mengkondisikan kelas dengan baik, sudah
memberikan penanaman disiplin kepada siswa
secara baik, guru sudah secara optimal
memberikan penghargaan kepada siswa yang
menunjukkan disiplin, guru sudah tegas
kepada siswa yang melanggar disiplin, guru
sudah sepenuhnya melaksanakan CTL.
Sedangkan dari siswa diperoleh data bahwa
sebagian besar siswa sudah memiliki disiplin
yang cukup, walaupun demikian masih ada
beberapa siswa yang masih perlu ditingkatkan
disiplin serta ditananamkan lagi disiplin.
Beberapa hal yang perlu ditingkatkan dan
ditanamkan lagi oleh seorang guru kepada
siswanya yaitu siswa tidak gaduh atau ramai
saat melakukan kerja kelompok, mengerjakan
tugas di rumah, memiliki toleransi dalam
berdiskusi, tidak saling menggangu saat
melakukan diskusi maupun saat berdiskusi,
membuat laporan yang benar dan baik, selalu
bekerja sama dalam setiap diskusi kelompok,
selalu membawa buku penghubung untuk
mencatat semua tugas.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
refleksi, hasil penelitian penilaian disiplin
mencapai 90,52%. Dengan perincian sebagai
berikut: rentang nilai kurang dari 69 ada 0 orang
siswa prosentasenya 0 %, rentang nilai antara
70-79 ada 0 orang siswa prosentasenya 0 %,
rentang nilai 80–89 ada 1 orang siswa
prosentasenya 12,5 %, rentang nilai 90–100 ada
7 orang siswa prosentasenya 87,5 %. Hasil
penelitian penanaman disiplin mencapai 80,1%.
dengan rincian sebagai berikut: rentang nilai
kurang dari 69 ada 0 orang siswa prosentasenya
0 %, rentang nilai 70–79 ada 1 orang siswa
prosentasenya 12,5 %, rentang nilai 80-89 ada 3
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
orang siswa prosentasenya 37,5%, rentang nilai
90– 100 ada 4 orang siswa prosentasenya 50%.
Hasil penelitian pengamatan oleh observer
tentang penghargaan yang diberikan guru
kepada siswa yang menunjukkan disiplin
mencapai hasil sebagai berikut: penghargaan
tepukan sayang dipunggung ada 7 atau 87,5%
siswa, diberikan pelukan ada 7 atau 87,5% siswa,
diberikan senyuman ada 6 atau 75% siswa,
diberikan kata-kata pujian ada 7 atau 87,5%
siswa, diberikan stiker 2 atau 25% siswa. Hasil
penelitian hukuman yang diberikan guru
kepada siswa yang melanggar disiplin
mencapai hasil sebagai berikut: menyapu lantai
ada 1 atau 12,5% siswa, mencatatat pelajaran
yang tertinggal ada 2 atau 25% siswa, lari
sebanyak dua putaran di lapangan ada 1 atau
12,5 % siswa, berdiri di dalam kelas ada 0 atau 0
% siswa. Hasil pengamatan pelaksanaan
pendekatan CTL mencapai hasil 76,9%,
Berdasarkan hasil perolehan peningkatan
disiplin tersebut, maka penelitian pada siklus II
sudah memenuhi kriteria keberhasilan yang
telah ditentukan.
3. Siklus III
Guru terlihat lebih siap dan lebih tenang lagi
dan ada rasa percaya diri sehingga dalam
melaksanakan pembelajaran PKn melalui
pendekatan CTL dengan segala aktivitas setiap
pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik.
Hal tersebut juga berpengaruh terhadap
kesiapan siswa dalam melaksanakan setiap
kegiatan dalam pembelajaran. Siswa secara
keseluruhan sudah dapat mengikuti kegiatan
dengan semangat dan lebih siap menerima tugas
yang diberikan oleh guru dan antusias untuk
terlibat secara aktif sehingga potensi yang ada
pada diri siswa dapat berkembang secara
optimal.
Pada siklus III ada peningkatan ke arah yang
lebih baik dari guru maupun siswa. Berdasarkan pengamatan observer diperoleh data antara
lain guru sudah dapat mengkondisikan kelas
dengan baik, sudah memberikan penanaman
disiplin kepada siswa secara baik, guru sudah
optimal memberikan penghargaan kepada siswa
yang menunjukkan disiplin, guru sudah tegas
kepada siswa yang melanggar disiplin, dan guru
sudah sepenuhnya melaksanakan pendekatan
CTL. Dari siswa diperoleh data bahwa sebagian
besar siswa sudah memiliki disiplin yang baik,
walaupun demikian masih ada 1-3 siswa yang
masih perlu untuk ditingkatkan disiplin.
Beberapa disiplin yang perlu ditingkatkan dan
ditanamkan lagi oleh guru kepada siswa yaitu
datang ke sekolah tepat waktu, mengerjakan
pekerjaan rumah, berpakaian seragam sekolah
yang lengkap, membawa buku penghubung
untuk mencatat semua tugas, memiliki rasa
toleransi dalam berdiskusi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil
refleksi, hasil penelitian mengenai penilaian
disiplin mencapai 93,47%. Perinciannya
sebagai berikut: rentang nilai kurang dari 69 ada
0 orang siswa dengan prosentasenya 0%,
rentang nilai antara 70-79 ada 0 orang siswa
dengan prosentasenya 0 %, rentang nilai 80–89
ada 1 orang siswa prosentasenya 12,5 %, rentang
nilai 90– 100 ada 7 orang siswa persentase
87,5%. Hasil penelitian mengenai penanaman
disiplin mencapai 94,85% dengan rincian
sebagai berikut: rentang nilai kurang dari 69 ada
0 orang siswa prosentasenya 0%, rentang nilai
70–79 ada 1 orang siswa prosentasenya 12,5 %,
rentang nilai 80-89 ada 1 orang siswa
prosentasenya 12,5 %, rentang nilai 90–100
ada 6 orang siswa prosentasenya 75 %. Hasil
penelitian mengenai penghargaan yang
diberikan guru kepada siswa yang
menunjukkan disiplin mencapai hasil sebagai
berikut: penghargaan tepukan sayang dipunggung ada 7 orang atau 87,5 % siswa, diberikan
pelukan ada 7 orang atau 87,5 % siswa,
diberikan senyuman ada 6 orang atau 75 %
siswa, diberikan kata-kata pujian ada 7 orang
siswa atau 87,5 %, dan yang diberikan stiker 5
atau 62 %. Hasil penelitian mengenai pemberian
hukuman oleh guru kepada siswa yang
melanggar disiplin mencapai hasil sebagai
berikut: menyapu lantai ada 1 orang atau 12,5 %
siswa, mencatat pelajaran yang tertinggal ada 1
atau 12,5% siswa, lari sebanyak dua putaran
dilapangan ada 0 orang atau 0% siswa, berdiri
di dalam kelas ada 0 orang atau 0 % siswa. Hasil
pengamatan pelaksanaan pendekatan CTL
mencapai hasil 92,3%, dan hasil tes kemampuan
kognitif pembelajaran PKn mencapai rata-rata
7,68 dengan prosentase 76,8% secara
keseluruhan dengan perincian sebagai berikut:
jumlah siswa yang mendapat nilai dengan
kategori tinggi ada 7 orang siswa dengan
prosentase 87,5 %, siswa yang mendapat nilai
dengan kategori sedang ada 1 orang siswa
dengan prosentase 12,5 %.
Berdasarkan hasil perolehan peningkatan
sikap disiplin dan tanggung jawab tersebut,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
17
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
maka penelitian pada siklus III sudah memenuhi
kriteria keberhasilan yang telah ditentukan.
Interpretasi Hasil Analisis dan
Pembahasan
Berdasarkan hasil data yang diperoleh pada
tindakan pembelajaran PKn melalui pendekatan
CTL telah menunjukkan adanya peningkatan
disiplin siswa yang semakin meningkat.
Mencermati hasil intervensi tindakan yang
sudah dilaksanakan oleh peneliti melalui
tindakan pembagian siklus I, II, III. Hasil
penelitian menunjukkan adanya peningkatan
prosentase pencapaian peningkatan disiplin
siswa kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ
nilai rata-rata pada: a) penilaian disiplin silklus
I mencapai 73,8%, siklus II mencapai 90,2%,
siklus III mencapai 93,4%, b) penanaman
disiplin siklus I mencapai 66,1%, siklus II 80,1%,
siklus III 94,8%, c) penghargaan yang diberikan
guru kepada siswa yang melaksanakan disiplin
siklus I mencapai: tepukan sayang dipunggung
ada 7 atau 87,5% siswa, di berikan pelukan ada
4 atau 50% siswa, diberikan senyuman ada 5
atau 62% siswa diberikan kata-kata pujian ada
6 atau 75% siswa, diberikan stiker ada 3 atau
37,5% siswa, siklus II mencapai: tepukan sayang
dipunggung ada 7 atau 87,5 % siswa, diberikan
pelukan ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan
senyuman ada 6 atau 75% siswa, diberikan katakata pujian ada 7 atau 87,5% siswa, diberikan
stiker ada 2 atau 25% siswa, siklus III mencapai:
tepukan sayang dipunggung ada 7 atau 87,5%
siswa, diberikan pelukan ada 7 atau 87,5% siswa,
diberikan senyuman 6 atau 75% siswa,
diberikan kata-kata pujian ada 7 atau 87,5%
siswa, diberikan stiker ada 5 atau 62%, d)
hukuman yang diberikan guru kepada siswa
yang melanggar disiplin siklus I mencapai:
menyapu lantai ada 2 atau 25% siswa, mencatat
pelajaran yang tertinggal ada 4 atau 50% siswa,
lari sebanyak dua putaran di lapangan ada 1
atau 12,5% siswa, berdiri di dalam kelas ada 1
atau 12,5% siswa, hasil siklus II mencapai:
menyapu lantai ada 1 atau 12,5% siswa,
mencatatat pelajaran di lapangan yang tertinggal
ada 2 atau 25% siswa, lari sebanyak dua putaran
ada 1 atau 12,5% siswa, berdiri di dalam kelas
ada 0 atau 0 % siswa. Siklus III mencapai:
menyapu lantai ada 1 atau 12,5% siswa,
mencatatat pelajaran yang tertinggal ada 1 atau
12,5%, lari sebanyak lari sebanyak dua putaran
18
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
di lapangan ada 0 atau 0 % siswa, berdiri di
dalam kelas 0 atau 0 % siswa.
Hasil yang dicapai tersebut membuktikan
bahwa pendekatan pembelajaran CTL dapat
digunakan guru untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran PKn khususnya dalam materi
nilai-nilai juang dalam proses perumusan
Pancasila sebagai dasar negara.
Pelaksanaan pendekatan CTL juga
mengalami peningkatan prosentase. Pada siklus
I nilai prosentase aktivitas guru dan siswa dalam
pembelajaran PKn masih kurang sebesar 38, 4%,
siklus II nilai prosentase aktivitas guru dan
siswa dalam pembelajaran cukup sebesar 76,9%,
siklus III prosentase aktivitas guru dan siswa
dalam pembelajaran PKn semakin baik sebesar
92,3%.
Hasil yang dicapai tersebut membuktikan
bahwa pendekatan CTL pada pembelajaran
yang digunakan guru untuk meningkatkan
kualitas disiplin siswa dalam belajar PKn
sudah tepat. Hal tersebut dibuktikan dengan
adanya peningkatan disiplin siswa dan hasil
tes yang digunakan guru dalam pembelajaran
PKn dan dari hasil pemantauan pelaksanaan
pendekatan CTL pada setiap siklus pembelajaran. Implementasi dari pendekatan tersebut
tidak terlepas dari upaya guru dalam
mengembangkan inovasi pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan CTL.
Keterbatasan Penelitian
Penyajian pembahasan pada penelitian
tindakan kelas yang menerapkan pendekatan
CTL dalam mengajarkan materi “Nilai-nilai
juang dalam proses perumusan Pancasila
sebagai dasar negara” pada pembelajaran di
kelas VI SD Laboratorium PGSD FIP UNJ disadari
masih jauh dari sempurna. Adanya keterbatasan
wawasan terhadap fokus penelitian dan
sedikitnya sumber bacaan sebagai referensi, serta
singkatnya waktu dalam melakukan penelitian
menjadi permasalahan utama terhadap ke
dalaman isi dari penelitian ini. Namun disadari
bahwa peningkatan kualitas pendidikan
merupakan faktor yang tidak boleh ditunda.
Bentuk kesadaran profesi terhadap tanggung
jawab keberhasilan pendidikan di sekolah dasar
seharusnya memotivasi peneliti untuk
memberikan yang terbaik bagi kemajuan dunia
pendidikan. Hal ini memungkinkan terwujud,
apabila guru di sekolah selalu melakukan
kegiatan evaluasi, refleksi, dan merevisi setiap
kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya.
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Oleh karena itu peneliti berharap dari hasil
penelitian yang sederhana ini dapat menggugah
peneliti lainnya untuk lebih memperdalam dan
memperluas bahan kajian pada penelitian
berikutnya.
Kesimpulan, Implikasi, dan Saran
Kesimpulan
Dari hasil penelitian tindakan kelas yang
dilakukan dalam menerapkan pendekatan
Contextual Teaching and Learning(CTL) pada
pembelajaran PKn di kelas VI SD Laboratorium
PGSD FIP UNJ pada materi pokok Nilai-nilai
juang dalam proses perumusan Pancasila
sebagai dasar negara menunjukkan hasil yang
positif dalam peningkatan kualitas pembelajaran, seperti disiplin dan kerja sama siswa
dalam melakukan diskusi kelompok maupun
dalam pengerjaan setiap tugas yang diberikan
oleh guru, serta peningkatan akan sikap
menghargai dan bertoleransi terhadap teman
maupun guru. Peningkatan juga terjadi pada
hasil belajar yang didapat dari nilai tes harian.
Pembelajaran PKn dengan menggunakan
pendekatan CTL dapat juga meningkatkan
pemahaman konsep tentang nilai-nilai juang
dalam proses perumusan Pancasila sebagai
dasar negara, karena siswa melakukan proses
belajar sambil melakukan aktifitas sehingga
dapat mempermudah dipahaminya suatu
konsep dan tidak gampang melupakan tentang
apa yang diperoleh siswa melalui kegiatan
bekerja, mencari, dan menemukan sendiri
informasi yang dipelajarinya. Dengan pendekatan CTL siswa lebih mampu mengenal dan
mengembangkan potensi yang dimiliki secara
penuh. Siswa juga mempunyai kemampuan
untuk berprakarsa, berpikir secara teratur, kritis,
tanggap, dan dapat menyelesaikan masalah.
Dalam pembelajaran PKn dengan pendekatan CTL, siswa diharapkan dapat menerapkan
materi yang telah dipelajari untuk memecahkan
masalah sehari-hari. Pemecahan masalah dalam
proses pembelajaran di kelas dapat dilakukan
dengan kerja kelompok. Hal ini sangat baik
dalam mengembangkan sosialisasi dan interaksi
antar siswa. Dengan kerja kelompok masalah
sulit yang dihadapi dapat mereka selesaikan
dengan benar, cepat, dan tepat waktu. Selain itu
pula dapat memberi kesempatan pada siswa
untuk membimbing temannya dalam memahami
materi yang sulit, serta membiasakan siswa
untuk menghargai adanya perbedaan pendapat
dalam kegiatan pembelajaran. Penghargaan dan
hukuman pada proses pembelajaran PKn
dengan pendekatan CTL dapat memotivasi
siswa lebih disiplin dalam belajar.
Dengan pendekatan CTL, guru dapat
meningkatkan dan mengembangkan kemampuannya dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan memperhatikan kebutuhan siswa
dan sekaligus dapat mengoptimalkan
ketercapaian hasil belajar PKn dengan cara yang
menyenangkan. Selain itu, pengkondisian siswa
yang baik dan pemilihan metode yang tepat
dengan materi, serta dengan memperhatikan
kontekstual siswa kelas VI SD akan dapat
menumbuhkan komunikasi dan interaksi yang
baik antara siswa dan guru dan antar siswa itu
sendiri. Dengan kondisi seperti itu siswa dapat
menyampaikan informasi yang didapatnya
kepada teman serta melatih keberanian serta rasa
percaya diri.
Dengan melalui pendekatan CTL, proses
belajar mengajar akan lebih kongkret, realistis,
aktual, nyata, dan lebih menyenangkan, serta
lebih bermakna. Proses belajar mengajar
berpendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar (kualitas, kreatifitas, produktivitas, efesiensi dan efektifitas). Hasil belajar
meningkat, karena dalam CTL semua panca
indera siswa diaktifkan dan dimanfaatkan
secara serentak dalam proses belajar mengajar
melalui kegiatan pembelajarannya.
Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
beberapa hal yang perlu diperhatikan guru
mengenai kepribadian siswa secara individu
dalam proses pembelajaran PKn di kelas VI SD,
khususnya pada materi Nilai-nilai juang dalam
proses perumusan Pancasila sebagai dasar
negara guru harus mengubah cara pandangnya
dalam pembelajaran PKn yang meliputi: peran
guru dalam pengelolaan kelas, pemahaman
perkembangan karakteristik siswa, peran siswa
dalam proses pembelajaran, pemilihan alat
peraga/media dan metode pembelajaran yang
sesuai dengan materi yang dipelajari siswa.
Guru dituntut untuk lebih kreatif dalam
mendesain pembelajaran. Sebelum dan dalam
proses pelaksanaan pembelajaran guru perlu
menanamkan disiplin, dan bekerjasama pada
diri siswa seperti mengadakan apersepsi dan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
19
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
pengenalan materi lebih dahulu, gunanya
adalah agar pada siswa muncul rasa
keingintahuan tentang apa yang akan diajarkan
guru dan apa saja yang akan mereka kerjakan
selama belajar PKn. Hal ini penting sebab sesuai
hasil analisis data yang diperoleh bahwa adanya
peningkatan kualitas pembelajaran PKn seperti
disiplin, dan bekerjasama dalam diri siswa.
Selain itu juga dapat meningkatkan hasil belajar
siswa dalam pembelajaran PKn. Penggunaan
pendekatan CTL dapat menyebabkan keaktifan
siswa secara individu maupun kelompok
sehingga siswa di dalam kelompoknya dapat
menghasilkan karya yang baik dengan memilih
media yang tepat akan sangat mendukung
tercapainya tujuan pembelajaran.
Peran guru sebagai motivator dan fasilitator
sangat menentukan keberhasilan siswa dalam
proses pembelajaran dengan memberikan
penghargaan dan hukuman dengan tujuan agar
siswa semangat belajar dan disiplin di dalam
proses belajar mengajar.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari
penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran
kepada guru agar menerapkan pendekatan CTL,
sebagai salah satu alternatif pilihan pendekatan
dalam meningkatkan disiplin dan kerja sama
serta hasil belajar yang secara langsung dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran PKn. Hasil
penelitian ini hendaknya dijadikan sebagai
masukan bagi sekolah di dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengembangkan serta
mengambil kebijakan strategi yang menunjang
keberhasilan pembelajaran. Akhirnya peneliti
20
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
lain diharapkan lebih memperdalam dan
memperluas kajian pada pembelajaran PKn
sesuai dengan pendekatan CTL khususnya di
kelas VI SD.
Daftar Pustaka
Depdiknas. (2004) Kurikulum 2004: Standar
kompetensi mata pelajaran pengetahuan sosial
SD dan MI. Jakarta: Diknas
Depdiknas. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi
dalam Menunjang Kecakapan Hidup Siswa.
Jakarta: Dikdasmen.
Depdiknas. (2003). Pendekatan kontekstual
(Contextual teaching and learning ). Jakarta:
Depdiknas-Dikdasmen
John, Elaine B. (2008). Contextual teaching and
learning : Menjadikan kegiatan belajar
mengajar mengasyikkan dan bermakna.
Terjemahan. Bandung: Mizan
Kasbolah, Kasihani. (1998/1999). Penelitian
tindakan kelas (PTK). Jakarta: Depdikbud
Sanjaya, Wina. (2002). Strategi pembelajaran
standard proses pendidikan. Jakarta: Erlangga
Sarwono, Sarlito W. (2002). Berkenalan dengan
Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi.
Jakarta: Erlangga
______UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. (2006).
Bandung: Citra Umbara.
______UNJ. Pedoman penulisan ilmiah. Jakarta:
UNJ, 2000.
www. Geocieties.com/pakguruonline.
www.google.com
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
Penelitian
Kehidupan Siswa yang Belajar
di Bimbingan Belajar Alternatif
Anastasia Alverina Chandra, Ivonne Pratiwi, dan Monica Sharly*)
Abstrak
leh karena berbagai alasan, masih terdapat sejumlah anak usia sekolah yang tidak dapat
memperoleh kesempatan belajar di lembaga pendidikan formal. Mereka mengikuti pelajaran
di Bimbingan Belajar Alternatif. Penelitian yang dilakukan oleh siswa-siswa SMAK 4 BPK
PENABUR Jakarta ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan sosial dan apa
alasan mereka belajar di Bimbingan Belajar Alternatif. Hasil penelitian yang dilakukan melalui
survei ini menunjukkan hubungan antara siswa dengan pengajar sangat baik dan alasan siswa
belajar di Bimbingan Belajar Alternatif adalah kesadaran akan pentingnya peranan pendidikan
dalam kehidupan mereka.
O
Kata-kata kunci: Pendidikan, Bimbingan Belajar Alternatif, ekonomi sosial.
Being unable to attend formal education for certain reasons, a number of school age children improve their
knowledge and skills at the Alternative Learning Guidance Centers in Jakarta. This research aimed at
discovering the relationship atmosphere, between the learners and finding out the teachers and the learners’
reasons to attend the Alternative Learning Guidance Centers. The findings of the survey show a good relationship
between the learners and the teacher and the main reason of the learners to study is their awareness of the
importance of education in improving the quality of their life.
Pendidikan
Pendidikan memiliki peranan strategis dalam
menyiapkan generasi berkualitas untuk
kepentingan masa depan. Bagi setiap orang tua,
masyarakat, dan bangsa, pemenuhan akan
pendidikan menjadi kebutuhan pokok.
Pendidikan dijadikan sebagai institusi utama
dalam upaya pembentukan sumber daya
manusia (SDM) berkualitas yang diharapkan
suatu bangsa.
Namun, oleh sebagian orang, terutama yang
kurang mampu, pendidikan belum dianggap
sebagai sesuatu yang penting. Hal ini dipicu oleh
kesulitan hidup yang kian mengimpit
sedangkan biaya pendidikan semakin
melambung tinggi. Akibatnya, banyak orang tua
yang tidak dapat memberikan pendidikan yang
layak bagi anak-anaknya.
Pemerintah, tentunya menyadari krisis
pendidikan yang terjadi pada masyarakat kita.
Untuk menanggulangi masalah ini, ada
beberapa solusi yang ditawarkan pemerintah
seperti program BOS (Biaya Operasional
Sekolah) dan sekolah gratis. Tetapi pada
kenyataannya program ini masih belum efektif
dikarenakan prosesnya yang terlalu berbelit-belit
dan juga adanya oknum-oknum yang
mengambil keuntungan dari subsidi pendidikan
yang seharusnya diterima oleh masyarakat.
Akibatnya, tidak semua orang dapat menikmati
fasilitas sekolah gratis. Masih banyak anak-anak
putus sekolah yang terlantar di jalan dengan
*) Alumni SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
21
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
berbagai profesi seperti pengamen, pemintaminta dan penyedia jasa membersihkan mobil.
Tidak sedikit di antara mereka yang merupakan
korban eksploitasi orang tua yang menyuruh
mereka bekerja demi menyokong kebutuhan
hidup sehari-hari.
Dengan kondisi perekonomian yang
demikian, ternyata tidak semua anak jalanan
mengabaikan pendidikan mereka. Masih banyak
di antara mereka yang sadar akan manfaat
pendidikan dan memiliki semangat belajar yang
tinggi. Meskipun demikian, mereka menyadari
kondisi perekonomian mereka, sehingga biaya
kembali menjadi masalah utama. Bagi mereka
yang terbentur masalah biaya, tetapi tetap ingin
mengenyam pendidikan, bimbingan belajar
alternatif dapat menjadi jalan keluar. Bimbingan
belajar alternatif adalah bimbingan belajar bagi
mereka yang kurang mampu untuk membayar
biaya pendidikan yang cukup mahal. Bimbingan
belajar alternatif, dapat berlokasi di mana saja
misalnya, di kolong jembatan. Dengan fasilitas
yang serba terbatas, anak-anak belajar dengan
impian dapat memperoleh kehidupan yang lebih
baik lagi di masa depan.
Yayasan Sahabat Anak (YSA) adalah salah
satu dari yayasan yang membantu anak-anak
yang kesulitan biaya untuk menempuh pendidikan di tingkat SD, SMP, dan SMA. YSA bermula
dari Jambore Anak Jalanan (JAJ) yang pertama
kali diselenggarakan pada tahun 1997. Sejumlah
voluntir yang terdiri atas mahasiswa, alumni,
dan profesional yang tergabung dalam kepanitiaan melihat adanya satu kebutuhan esensial
pada generasi anak kaum urban, khususnya
anak-anak jalanan di Jakarta, yakni pendidikan
sebagai pendongkrak status, ekonomi, dan
karakter menuju fase yang lebih baik.
YSA ini lahir setelah melalui periode
panjang dengan pembelajaran istimewa akan
kerjasama, dinamika filantropi (rasa kepedulian
kepada sesama), tantangan realita jalanan,
pemahaman karakter anak jalanan yang unik,
pengumpulan dana dan pertanggungjawabannya, serta pencarian program kurikulum
informal terbaik sesuai kebutuhan anak
marginal tersebut. Hingga saat ini, Sahabat Anak
membidani kegiatan rutin Bimbingan Belajar
(Bimbel) bagi anak-anak jalanan di tujuh area di
Jakarta, yakni: Prumpung, Grogol, Cijantung,
Gambir, Manggarai, Senen, dan Tanah Abang.
Yayasan Sahabat Anak juga mengembangkan
relasi dengan 4 Mitra yang turut menyeleng-
22
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
garakan Bimbel, yakni di area Klender-Buaran,
Jati Asih, Bekasi, dan Depok.
Dengan visi dan misi yang begitu mulia,
YSA tetap berdiri hingga sekarang ini. Visi YSA
adalah “Anak jalanan sadar bahwa mereka
makhluk mulia ciptaan Tuhan yang memiliki
kesetaraan hidup”. Sedangkan misi ialah
“Melibatkan sebanyak mungkin pribadi/pihak
yang peduli kepada anak jalanan dengan
menjadi seorang sahabat”. Dalam segala
keterbatasan siswa-siswa, fasilitas belajar, dan
tenaga pengajar, YSA tetap melakukan kegiatan
belajar-mengajar. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian, bagaimanakah kehidupan murid – murid yang belajar di
bimbingan belajar alternatif. Secara lebih khusus
lagi bagaimanakah kehidupan sosial siswa yang
belajar di bimbingan belajar alternatif serta apa
alasan siswa mengikuti bimbingan belajar
alternatif?
Melalui penelitian ini diharapkan dapat
diketahui (a) kehidupan sosial siswa yang
belajar di bimbingan alternatif dan (b) alasan
siswa mengikuti bimbingan belajar alternatif.
Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah (a) kepekaan
peneliti terhadap kondisi sosial di sekitar, (b)
kepekaan masyarakat terhadap anak-anak yang
kurang beruntung, dan (c) menambah wawasan
mengenai murid – murid yang menuntut ilmu
di bimbingan belajar alternatif.
Landasan Teori
Pendidikan
Kata pendidikan berasal dari kata didik yang
berdasarkan Kamus Baru Bahasa Indonesia
memiliki arti membiasakan seseorang untuk
berbuat menurut arah yang dikehendaki. (Julius,
dkk, 1975 : 48). Jadi, pendidikan memiliki arti
mengarahkan seseorang. Sedangkan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tata
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, proses, cara,
perbuatan mendidik. (Balai Pustaka, 2003 : 263).
Sementara itu UU No.20 tahun 2003 mengenai
Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan
pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Oleh karena merupakan sarana sosialisasi,
pendidikan merupakan unsur penting dalam
bermasyarakat. Usia pendidikan hampir sama
tuanya dengan usia manusia dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbagai tentang peradaban.
(Djojonegoro, 1991 : 1). Meskipun demikian,
disebutkan dalam buku Pendidikan Rusakrusakan, Departemen Pendidi-kan Nasional yang
disebut Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, adalah salah satu dari instansi
pemerintah yang telah lama disinyalir paling
korup kedua, selain Departemen Agama
(Darmaningtyas, 2005 : 64). Hal ini sungguh
sangat ironis, mengingat pendidikan adalah
sesuatu yang mulia, tapi telah disalahartikan
dan disalahgunakan hanya untuk mengeruk
keuntungan semata.
Pendidikan umum merupakan bagian dari
kesinambungan sejarah, seperti halnya
pendidikan agama. Realitas pendidikan nasional
sekarang ini adalah merupakan buah dari
kesuksesan sekelompok orang yang memiliki
kepentingan politik tertentu. Hal ini disebutkan
dalam buku Liberalisasi Pendidikan (Mu’ Arif,
2008 : 39). Istilah pendidikan secara sederhana
dari aspek kebahasaannya, sering disamakan
pengertiannya dengan pengajaran, pembelajaran atau proses. Sedangkan dalam pengertian
yang lebih serius, pendidikan banyak memberikan ruang intrepretasi yang debatable (Mu’ Arif,
2008 : 47).
Berdasarkan judul penelitian di atas,
pendidikan yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah proses pengubahan sikap dan tata
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha
untuk mendewasakan manusia melalui upaya
pembelajaran. Hal ini disebabkan pendidikan
yang diberikan kepada murid–murid di
bimbingan belajar alternatif, ditujukan untuk
meningkatkan tata krama dan kemampuan
berpikir mereka. Dengan demikian bimbingan
belajar aternatif adalah sarana pendidikan
secara nonformal kepada anak-anak yang
kurang mampu dengan fasilitas seadanya dan
tanpa dipungut biaya. Bimbingan belajar
alternatif, dijalankan murni karena faktor
kepedulian kepada sesama. Dalam bimbingan
belajar ini terdapat anak-anak dengan tingkatan
dari SD hingga SMA.
Ekonomi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ekonomi memiliki arti ilmu mengenai asas-asas
produksi, distribusi dan pemakaian barangbarang serta kekayaan (seperti hal keuangan,
perindustrian dan perdagangan) serta tata
kehidupan perekonomian suatu negara (Balai
Pustaka, 2003 : 147). Jadi, arti ekonomi adalah
segala kegiatan yang dilakukan oleh manusia
untuk menghasilkan barang dan jasa yang
berguna bagi setiap orang.
Kegiatan perekonomian di Indonesia saat
ini, masih belum menunjukkan hasil yang
memuaskan. Sebagai buktinya, banyak orangorang Indonesia yang berstatus kelompok
ekonomi kelas bawah dan kelas menengah ke
bawah. Dalam buku Kemiskinan dan Kesenjangan
Sosial, disebutkan ada 2 kategori akar penyebab
kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah,
yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat
sumber-sumber daya yang langka jumlahnya
atau karena tingkat perkembangan teknologi
yang rendah. Artinya, adanya faktor-faktor yang
menyebabkan masyarakat menjadi miskin secara
alamiah. Kedua, kemiskinan buatan, yaitu
kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial
yang ada membuat anggota suatu kelompok
masyarakat tidak dapat menguasai sarana
ekonomi dan fasilitas-fasilitas yang ada secara
merata (Wignyosoebroto, 2005 : 7).
Pemerintah tentunya bukan tidak
mengetahui tentang masalah kemiskinan di
negeri ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
menanggulangi masalah ini, antara lain
merumuskan standar garis kemiskinan dan
menyusun peta kantong-kantong kemiskinan. Di
luar itu, tidak sedikit dari program yang telah
disusun tersebut dilaksanakan di lapangan,
seperti teras memacu pertumbuhan ekonomi
nasional, menyediakan fasilitas kredit bagi
masyarakat miskin(Wignyosoebroto, 2005 : 12).
Kendati demikian, kemiskinan di Indonesia
belum teratasi dengan baik. Akibatnya,
masyarakat miskin kian bertambah banyak.
Banyak orang tua yang tidak mampu membiayai
kehidupan rumah tangga, sehingga anak-anak
pun menjadi korban terpaksa turut bekerja untuk
membantu kedua orang tuanya.
Sosial
Secara harafiah, sosial menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi kedua, memiliki arti
berkenaan dengan masyarakat. Sedangkan
menurut website Wikipedia Indonesia, sosial
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
23
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
dapat diartikan sebagai kemasyarakatan. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa sosial memiliki arti
segala sesuatu yang berhubungan dengan
masyarakat, dan, kehidupan sosial berarti
kehidupan seseorang dengan dipengaruhi oleh
masyarakat sekitarnya.
Bagi anak-anak yang masih bersekolah,
kehidupan sosial mereka kebanyakan berada di
seputar lingkungan sekolah. Siswa sebagai
individu dalam perkembangannya tidak terlepas
dari pengaruh lingkungan di mana siswa
tersebut tinggal atau belajar. Unsur yang penting
dari kehidupan sosial di sekolah adalah teman
sebaya dan para pengajar.
Teman sebaya, memiliki peran penting
dalam mendorong semangat belajar siswa.
Dengan adanya teman yang memiliki nasib yang
sama, siswa akan terpacu dan merasa lebih
bersemangat dalam belajar. Hal ini karena, begitu
bergabung dengan teman-teman, siswa akan
menyerahkan dirinya secara total terhadap
kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang
dibangunnya (Bayuptk,one.indoskripsi.com).
Teman sebaya secara signifikan terbukti
berpengaruh terhadap meningkatnya perkembangan moral siswa. Artinya, setiap perubahan
perkembangan moral siswa diikuti dengan
pengaruh teman sebaya (Yuli Rachmiati, 2007,
digilib.upi.edu).
Para pengajar juga memiliki peran penting
dalam kehidupan sosial siswa. Sebab, pengajar
adalah orang tua bagi anak di sekolah, setelah
keberadaan orang tua di rumah, yang sangat
berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kepribadian anak (Marjohan,
2008, www.wikimu.com). Peranan para pengajar
ibarat fondasi sebuah bangunan. Apabila
fondasi kokoh, tentu saja bangunannya akan
berdiri kuat dan tidak akan goyah. Namun,
sebaliknya, jika pondasinya rapuh, bahkan
keropos, sudah bisa ditebak, tinggal menunggu
waktu, bangunan itu pun akan ambruk lantas
rata dengan tanah (Firman Taqur, secangkir-kopi
pagi.wordpress.com, 2007). Untuk menciptakan
suasana belajar yang kondusif, hubungan antara
siswa dan pengajar adalah salah satu unsur
yang penting. Apabila para pengajar memiliki
hubungan yang baik dengan para siswa, maka
suasana yang nyaman akan tercipta dan dapat
mendukung proses belajar mengajar. Siswapun
tidak akan merasa segan untuk meminta
penjelasan pada pengajar bila ada hal yang tidak
dimengerti.
24
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Selain kedua unsur yang telah disebutkan,
orang tua juga memiliki peranan penting dalam
kehidupan sosial anak di sekolah. Peranan
orang tua dapat mempengaruhi prestasi dan
perilaku anak. Prestasi anak akan meningkat
ketika orangtua terlibat dalam pendidikan anak
mereka, tidak memperhatikan status sosial
ekonomi, latar belakang etnis/ras atau tingkat
pendidikan orangtua. Selain itu, anak-anaknya
juga akan memiliki skor tes yang lebih tinggi,
dan anak lebih sering menyelesaikan pekerjaan
rumah, serta kehadiran anak di sekolah lebih
tinggi. Dalam program yang dirancang untuk
melibatkan orangtua dalam kemitraan yang
penuh, prestasi anak-anak dari keluarga yang
tidak beruntung tidak hanya meningkat tetapi
juga mampu mencapai level standar yang
dipersyaratkan bagi anak-anak dari status sosial
ekonomi menengah. Kemudian, anak-anak
memiliki kemungkinan besar untuk memasuki
pendidikan tinggi.
Perilaku anak juga akan berubah ketika
para siswa melaporkan dirinya merasa
mendapat dukungan dari sekolah dan rumah.
Mereka memiliki kepercayaan diri yang lebih
tinggi, merasa sekolah lebih penting, cenderung
melakukan sesuatu dengan lebih baik.
Sedangkan perilaku-perilaku siswa seperti
terlibat dalam penyalahgunaan narkoba,
perilaku kekerasan, dan perilaku antisosial
lainnya menunjukkan penurunan seiring
dengan meningkatnya keterlibatan orangtua.
Terakhir anak memperlihatkan sikap-sikap dan
perilaku-perilaku yang lebih positif (Henderson
dan Mapp, 2002; National Standards for Parent/
Family Involvement Programs, 2004).
Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis
dalam penelitian ini adalah metode survei
dengan mengambil tempat di kolong jembatan
yang terletak di daerah kawasan Jakarta pada
November 2008. Populasi dalam penelitian ini
adalah para siswa – siswi yang belajar di
bimbingan alternatif dengan jumlah keseluruhan 90 orang. Sampel penelitian yang dipergunakan sebesar 33,33 % dari jumlah populasi
yang ada atau 30 responden. Penelitian ini
menggunakan teknik survei dengan metode
angket dengan pengisian kuesioner yang berisi
pertanyaan-pertanyaan mengenai kegiatan
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
belajar siswa di bimbingan belajar alternatif.
Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan tabel frekuensi.
Hasil Penelitian
Berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh
responden diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 1: Jenis Kelamin
Responden
Jenis Kelamin
Responden
Tabel 3: Lama Waktu yang Digunakan
Responden untuk Mengikuti Kegiatan Belajar
di Bimbingan Alternatif
Lama Waktu yang
Digunakan Responden
untuk Mengikuti Kegiatan
Belajar di Bimbingan
Alternatif
Frekuensi
%
< 1 tahun
1
3.33
2 tahun
0
0
3 tahun
3
10
Frekuensi
%
4 tahun
7
23.33
Laki-laki
12
40
> 5 tahun
19
63.3 4
Perempuan
18
60
Jumlah
30
100
Jumlah
30
100
Data dalam tabel 1 di atas menunjukkan
responden yang mengikuti bimbingan belajar
alternatif adalah mayoritas perempuan atau
berjumlah 18 orang (60%).
Tabel 2: Usia Responden
Usia
Responden
Frekuensi
%
< 8 tahun
0
0
9 - 10 tahun
5
1 6 . 67
11 - 12 tahun
7
2 3 . 33
13 - 14 tahun
11
36.6 7
> 15 tahun
7
2 3 . 33
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 2, responden yang
mengikuti bimbingan belajar alternatif berusia
13 - 14 tahun berjumlah 11 orang (36.67%). Hal
ini disebabkan, pada usia 9-12 tahun, siswa
masih belajar di Sekolah Dasar dan orang tua
masih mampu membiayai sekolah mereka
apalagi tersedia sekolah dengan biaya minim,
atau gratis bagi anak-anak dengan usia tersebut.
Karena itu, jumlah siswa yang putus sekolah
dasar lebih sedikit dibandingkan dengan putus
sekolah menengah pertama.
Berdasarkan tabel 3, sebagian besar (63.34%)
responden telah mengikuti kegiatan belajar
mengajar di bimbingan belajar alternatif lebih
dari lima tahun. Hal ini menunjukan bahwa
responden memiliki kesadaran tinggi untuk
belajar dan juga adanya perasaan nyaman
ketika belajar di bimbingan belajar alternatif.
Tabel 4: Alasan Responden Mengikuti Kegiatan
Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
Alasan Responden Mengikuti
Kegiatan Belajar di Bimbingan
Belajar Alternatif
Frekuensi
%
Kesadaran diri sendiri
23
76.67
Diminta oleh orang tua
1
3.33
Diajak teman
5
16.67
Mengikuti teman untuk
mengurangi beban orang tua
1
3.3 3
Jumlah
30
10 0
Berdasarkan tabel 4, sebagian besar (76,67%)
responden menjawab bahwa dirinya mengikuti
kegiatan belajar mengajar karena adanya
kesadaran dari dirinya sendiri. Dari data ini,
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
responden memahami betapa pentingnya
pendidikan demi masa depan mereka.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
25
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
Tabel 7: Banyaknya Siswa dalam Satu
Kelompok Belajar
Tabel 5: Dukungan dari Orangtua/ Wali untuk
Mengikuti Kegiatan Belajar di Bimbingan Belajar
Dukungan dari
Orangtua/Wali untuk
Mengikuti Kegiatan Belajar
di Bimbingan Belajar
Frekuensi
%
Ada
29
96.6 7
T i d ak
1
3.33
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 5, hampir semua (96.67%)
responden mendapatkan dukungan dari
orangtua ataupun walinya untuk mengikuti
kegiatan belajar mengajar di bimbingan belajar
alternatif. Dengan demikian orang tua responden
turut membantu jalannya proses pendidikan
anak – anaknya.
Tabel 6: Sumber informasi tentang Bimbingan
Belajar Alternatif
Sumber Informasi ttg
Keberadaan Bimbingan
Belajar Alternatif ini
Frekuensi
%
Teman yang Telah Lebih Dulu
Mengikuti Bimbingan Belajar
16
53.33
Lingkungan Sekitar
1
3.33
Wali/Orang Tua
9
30
Pengajar
4
13.34
Jumlah
30
100
Banyaknya Siswa dalam
Satu Kelompok Belajar
Frekuensi
%
<3 orang
0
0
4 - 6 orang
6
20
7 - 10 orang
14
46.66
11 - 15 orang
5
16.67
>15 orang
5
16.67
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 8, semua (100%)
responden menganggap bahwa aktivitas belajar
di bimbingan belajar alternatif berguna untuk
masa depan mereka. Hal ini dapat dijadikan
Tabel 8: Pendapat Responden Mengenai
Aktivitas Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
Pendapat Responden
Mengenai Aktivitas Belajar di
Bimbingan Belajar Alternatif
Frekuensi
%
Berguna
30
100
Tidak Berguna
0
0
Jumlah
30
100
indikator tingginya semangat belajar responden,
karena menyadari manfaatnya.
Tabel 9: Tingkat Kesulitan Responden dalam
Memahami Pelajaran yang Diberikan
Berdasarkan tabel 6, lebih dari sebagian
(53.33%) responden mengetahui keberadaan
bimbingan belajar alternatif dari temannya yang
mengikuti bimbingan belajar juga. Hal ini juga
berarti, sebagian besar responden aktif mengajak
dan menghimbau teman – temannya untuk
mengikuti bimbingan belajar.
Berdasarkan tabel 7, jumlah siswa dalam
satu kelompok belajar sebanyak (46,66%)
berkisar antara 7 – 10 orang. Hal ini
dipengaruhi oleh jumlah siswa dalam tiap
tingkatannya.
26
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Tingkat Kesulitan Responden
dalam Memahami Pelajaran
yang Diberikan
Frekuensi
%
Mudah
5
16.67
Cukup Mudah
21
70
Sulit
4
13.33
Sangat Sulit
0
0
30
100
Jumlah
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
Berdasarkan tabel 9, sebagian besar (70%)
responden tidak mengalami kesulitan
memahami pelajaran. Hal ini menunjukan,
walaupun mengalami kesulitan ekonomi dan
keterbatasan fasilitas mereka cukup giat belajar.
Tabel 10: Tujuan Responden Setelah Mengikuti
Bimbingan Belajar
Tujuan Responden Setelah
Mengikuti Bimbingan Belajar
Frekuensi
%
Melanjutkan pendidikan
20
66.6 7
Bekerja
2
6.7
Mengajarkan pelajaran yang
didapatkan kepada teman teman lain
8
26.66
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 10, sebagian besar
(66.67%) responden akan melanjutkan
pendidikannya setelah mengikuti bimbingan
belajar alternatif. Hal ini menunjukan adanya
kemauan dari mereka untuk dapat mengecap
pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk
kehidupan yang lebih baik.
Tabel 12: Pelajaran yang Ingin Diperdalam oleh
Responden
Pelajaran yang Ingin
Diperdalam oleh Responden
Frekuensi
%
IPA
0
0
IPS
2
6.67
Bahasa
2
6,67
Sama seperti sekolah reguler
22
73.32
Bahasa Inggris dan
matematika
2
6.6 7
Bahasa Inggris
2
6.67
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 12, sebagian besar
(73.32%), responden ingin memperdalam semua
pelajaran yang diberikan. Hal ini dapat
menunjukan bahwa minat responden tidak
terfokus pada satu pelajaran saja.
Tabel 13: Masalah Utama Responden dalam
Belajar
Tabel 11: Pelajaran yang Dipelajari oleh
Responden
Pelajaran yang Dipelajari oleh
Responden
bukan sekolah formal, pelajaran yang diberikan
sudah sama seperti sekolah formal (reguler).
Frekuensi
%
IPA
0
0
IPS
0
0
Bahasa Inggris
0
0
Sama seperti sekolah reguler
21
70
Bahasa Inggris dan
matematika
8
26.67
Matematika
1
3.33
Jumlah
30
1 00
Berdasarkan tabel 11, sebagian besar (70%)
responden mengakui semua pelajaran yang
diberikan sama seperti sekolah reguler lainnya.
Hal ini dapat membuktikan bahwa walaupun
Masalah Utama Responden
dalam Belajar
Frekuensi
%
Waktu
16
53.34
Keterbatasan fasilitas
4
13.33
Keterbatasan biaya
6
20
Tidak diperbolehkan orang
tua
0
0
T i d ak ad a
4
13.33
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 13, lebih dari sebagian
(53.34%) responden menyatakan masalah utama
yang dihadapi adalah waktu. Hal ini
menunjukkan bahwa responden memiliki
kesulitan dalam membagi waktu antara belajar
dan melakukan aktifitas lainnya, seperti
membantu orang tua di rumah.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
27
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
Tabel 14: Ada atau Tidaknya Kegiatan Seperti
Ekstrakurikuler
Ada atau Tidaknya Kegiatan
Seperti Ekstrakulikuler
Frekuensi
%
Ada
19
6 3 . 33
T i d ak ad a
11
3 6 . 67
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 14, sebagian besar
(63.33%) responden memiliki kegiatan
ektrakurikuler. Hal ini menunjukkan bahwa
responden tidak hanya mementingkan pelajaran
yang bersifat akademis, tetapi juga keterampilan
responden di bidang nonakademis.
Tabel 15: Hubungan Responden dengan
Pengajar
Hubungan Responden
dengan Pengajar
Frekuensi
%
Sangat dekat
19
63.3 3
Dekat
11
36.6 7
T i d ak d e k at
0
0
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 15, lebih dari sebagian
(63,33%) responden memiliki hubungan sangat
dekat. Hal ini menunjukkan adanya hubungan
akrab antara responden dengan pengajarnya
yang dipicu oleh sikap pengajar yang
bersahabat.
Tabel 16: Pernah atau Tidaknya Responden
Menerima Sumbangan dari Pengajar
Pernah atau Tidaknya
Responden Menerima
Sumbangan dari Pengajar
Frekuensi
30
100
Tidak Pernah
0
0
Jumlah
30
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Tabel 17: Mau atau Tidaknya Responden
Mengajak Teman-teman Mengikuti Bimbingan
Belajar Alternatif
Mau atau Tidaknya
Responden Mengajak Temanteman Mengikuti Bimbingan
Belajar Alternatif
Frekuensi
%
24
80
Tidak mau
6
20
Jumlah
30
100
Ya, mau
Berdasarkan tabel 17, sebagian besar (80%)
responden turut mengajak teman-temannya
untuk mengikuti bimbingan belajar alternatif.
Hal ini menunjukkan tingkat kepedulian
responden kepada teman-temannya cukup
tinggi.
Tabel 18: Cara Responden untuk Mengajak
Teman-Temannya Bergabung dalam Bimbingan
Belajar Alternatif
Cara Responden untuk
Mengajak Teman-Temannya
Bergabung dalam
Bimbingan Belajar Alternatif
Frekuensi
%
Memberikan Informasi
mengenai keberadaan
sekolah ini
12
50
Mengajak untuk turut
bergabung sebagai percobaan
12
50
Jumlah
24
10 0
%
Pernah
28
Berdasarkan tabel 16, semua (100%)
responden pernah menerima sumbangan dari
pengajar. Hal ini menunjukkan kepedulian
pengajar terhadap perekonomian responden.
Bentuk sumbangan yang diterima responden
pun beragam mulai dari buku pelajaran,
pakaian, makanan dan sebagainya.
Berdasarkan tabel 18, sebagian (50%)
responden menyatakan cara yang digunakan
untuk mengajak teman-temannya mengikuti
bimbingan belajar alternatif adalah dengan
memberi informasi dan sebagian (50%) lagi
menyatakan mengajak untuk turut bergabung
sebagai percobaan.
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
Tabel 19: Faktor yang Paling Mengganggu
Responden dalam Proses KBM
Faktor yang Paling
Menggangu Responden
dalam Proses KBM
Frekuensi
%
Kendaraan
12
40
Orang-orang di sekitar
3
10
Cuaca
13
43,33
Kendaraan dan cuaca
2
6,67
Jumlah
30
10 0
Berdasarkan tabel 19, hampir sebagian
(43,33%) responden menyatakan faktor yang
paling menggangu responden dalam proses
KBM adalah cuaca. Hal ini tejadi karena mereka
belajar di ruang terbuka.
Tabel 20. Waktu yang Digunakan Responden
untuk Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
Waktu yang Digunakan
Responden untuk Belajar di
Bimbingan Belajar Alternatif
Frekuensi
%
P ag i
0
0
Siang
23
76,6 7
Sore
7
23,33
Malam
0
0
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 20, sebagian besar
(76,67%) responden menyatakan waktu yang
digunakan responden untuk bersekolah adalah
pada saat siang hari. Hal ini dikarenakan pada
siang hari matahari bersinar cukup terang
sehingga mereka tidak lagi memerlukan sumber
penerangan lainnya.
Tabel 21: Ada atau Tidaknya Jadwal Pasti untuk
Melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar
Ada atau Tidaknya Jadwal
Pasti untuk Melaksanakan
Kegiatan Belajar Mengajar
Frekuensi
%
Ada
17
56,67
T i d ak ad a
13
43,33
Jumlah
30
100
Berdasarkan tabel 21, lebih dari sebagian
(56,67%), responden memiliki jadwal belajar
yang pasti. Hal ini dikarenakan, bimbingan
belajar alternatif tersebut telah memiliki struktur
organisasi yang jelas.
Tabel 22: Frekuensi Responden Belajar di
Bimbingan Belajar Alternatif Setiap Minggunya
Frekuensi Responden
Belajar di Bimbingan Belajar
Alternatif Setiap Minggunya
Frekuensi
1 k al i
25
%
8 3 , 33
2 - 3 k al i
1
3,3 3
4 - 5 k al i
2
6,6 7
6 k al i
2
6,6 7
Jumlah
30
1 00
Berdasarkan tabel 22, pada umumnya
(83,33%) responden belajar di bimbingan belajar
alternatif setiap minggunya adalah 1 kali.
Sedangkan sisanya, memiliki kegiatan belajar
tambahan lainnya di luar kegiatan di bimbingan
belajar alternatif tersebut.
Tabel 23: Ada atau Tidaknya Pekerjaan
Responden
Ada atau Tidaknya
Pekerjaan Responden
Frekuensi
%
6
20
T i d ak ad a
24
80
Jumlah
30
100
Ada
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
29
Kehidupan Siswa yang Belajar di Bimbingan Belajar Alternatif
Berdasarkan tabel 23, pada umumnya (80%)
responden tidak memiliki pekerjaan. Sebagian
dari responden tersebut mengakui bahwa
mereka membantu orang tuanya di rumah dan
sebagian lagi memilih untuk belajar dalam
mengisi waktu luangnya. Sedangkan, responden
yang memiliki pekerjaan, bekerja sebagai
pengamen.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (a)
kehidupan sosial siswa dan alasan mereka
mengikuti bimbingan alternatif. Hasil yang
diperoleh menunjukkan, kehidupan sosial
antara responden dengan pengajar terbilang
baik terlihat dari jawaban semua responden
mengatakan bahwa hubungannya dengan
pengajar dekat. Kedekatan hubungan antara
mereka dipengaruhi oleh adanya perhatian dan
sumbangan dari pengajar, seperti : buku
pelajaran, pakaian, dan sebagainya.
Adapun alasan sebagian besar responden
mengikuti bimbingan belajar alternatif adalah
pentingnya arti pendidikan bagi kehidupan
mereka di masa depan, dan adanya dukungan
dari orang tua untuk mengikuti bimbingan
belajar alternatif. Kegiatan belajar di bimbingan
belajar alternatif ternyata sangat berguna bagi
responden, karena cara belajar yang efektif
membuat responden tidak mengalami kesulitan
untuk memahami pelajaran yang diberikan. Hal
ini juga dikarenakan adanya semangat belajar
yang tinggi dari responden untuk menambah
wawasan.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
maka peneliti memberikan saran, kepada: Siswasiswi SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta, untuk
mencontoh siswa-siswi bimbingan belajar
30
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
alternatif yang memiliki kesadaran yang tinggi
akan pendidikan walaupun dengan
keterbatasan ekonomi. Selain itu, sebaiknya para
siswa juga turut membantu mereka. Misalnya,
dengan memberikan sumbangan berupa uang
untuk membiayai fasilitas yang diperlukan
untuk kegiatan belajar mengajar mereka,
ataupun berupa barang seperti buku-buku
pelajaran bekas yang tidak terpakai lagi atau
menjadi sukarelawan.
Penelitian ini juga menyarankan masyarakat ekonomi menengah ke atas lebih peduli pada
siswa-siswi di bimbingan belajar alternatif.
Kepedulian masyarakat akan membantu mereka
menggapai cita-cita. Masyarakat dapat mendukung kegiatan mereka dengan memberikan
donasi. Apabila masyarakat miskin berkurang,
maka kriminalitas juga dapat dikurangi sehingga
kenyamanan masyarakat semakin meningkat.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(2003). Kamus besar bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Djojonegoro, Wardiman. (1991). Pendidikan.
Jakarta: Gramedia
Darmaningtyas. (2005). Pendidikan. Jakarta:
Gramedia
Darmaningtyas. (2005). Pendidikan rusak-rusakan.
Yogyakarta: Laski Pelangi Aksara
Julius, dkk. (1975). Kamus Baru Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Mu’Arif. (2008). Liberalisasi pendidikan.
Yogyakarta: Pinus Book Publisher
Wignyosoebroto, Sutandyo. (2005). Kemiskinan
dan kesenjangan sosial. Jakarta: Gramedia
www.sahabatanak.com
www.wikipedia.com
www.one.indoskripsi.com
www.digilib.upi.edu
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
Opini
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
Berbagai Peristiwa yang Terdapat dalam Surat Kabar
Keke T. Aritonang*)
Abstrak
ulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan materi pembelajaran menulis puisi bebas
yang cocok dan mudah ditiru berdasarkan gambar peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Dari hasil kegiatan pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar
peristiwa yang terdapat dalam surat kabar, siswa dapat mengembangkan kreativitas dan
imajinasi dalam menulis puisi bebas, menumbuhkan sikap kritis terhadap permasalahan yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan menumbuhkan sikap berani mengeluarkan pernyataan
terhadap persoalan yang terjadi. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran menulis puisi bebas
berdasarkan gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat kabar perlu dilakukan dalam
proses belajar mengajar di kelas.
T
Kata-kata kunci : Puisi bebas, gambar peristiwa, pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan
gambar
How to the develop the student’s poetry writing skills is the focus of discussion in this article. Based on the
expriment, the writer proposes to use pictures in the news papers as a learning resource to develop the
students’ skills in composing creative poems . This technique creates joyful and motivating learning process.
Besides, this technigue can also develop not only the students’ creativity and imagination, but also their
critical thinking of every day life.
Pendahuluan
Menulis puisi bebas terdapat dalam silabus mata
pelajaran bahasa Indonesia tingkat SMP kelas
VIII semester 2 dengan standar kompetensi (SK)
16, yaitu : Mengungkapkan pikiran dan
perasaan dalam puisi bebas. Berdasarkan SK
tersebut maka kompetensi dasar yang harus
dikuasai siswa dan materi pokok yang diajarkan
oleh guru adalah seperti tertera pada tabel 1.
Tabel 1: Kompetensi Dasar dan Materi Pokok
Menulis Puisi Bebas
Kompetensi Dasar
16.1 Menulis puisi
bebas dengan
menggunakan pilihan
kata yang sesuai
Materi
Pokok/Pembelajaran
Penulisan puisi
bebas dengan pilihan
kata yang sesuai
(Kurukulum Satuan Pendidikan Tingkat SMP
Bahasa Indonesia, Tahun 2006)
*) Guru SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
31
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
Yang menjadi masalah di lapangan
pembelajaran menulis puisi sulit dilaksanakan
oleh guru, ini karena kemampuan guru yang
belum memadai dalam hal pengetahuan
maupun cara mengajarkannya. Selain faktor
guru, kemampuan dan minat siswa pun menjadi
penghambat dalam pembelajaran ini. Faktor
minat siswa juga dapat menjadi pemicu
terhambatnya pembelajaran menulis puisi.
Kurangnya minat dan kemampuan siswa
tersebut tidak terlepas dari faktor pemilihan
model pembelajaran yang cocok serta mudah
untuk ditiru siswa.
Meski dalam pembelajaran sastra siswa
telah mempelajari puisi yang rumit baik rima,
irama, serta unsur kebahasaannya, untuk
pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan
gambar peristiwa yang terdapat dalam surat
kabar siswa belum perlu menuliskan puisi yang
rumit. Menurut Rahmanto, (1988:116), puisi
yang cocok sebagai model untuk latihan menulis,
biasanya puisi yang berbentuk bebas dan
sederhana, berisi hasil pengamatan yang berupa
imbauan atau pernyataan.
Berdasarkan hal di atas, penulis beranggapan agar siswa mampu menulis puisi bebas
dengan mudah maka diperlukan model
pembelajaran yang cocok serta mudah untuk
ditiru. Untuk itu penulis memilih gambar
berbagai peristiwa yang terdapat dalam surat
kabar. Gambar yang akan dijadikan puisi bebas
disini adalah foto-foto berbagai peristiwa yang
dimuat di dalam surat kabar.
Melalui gambar-gambar, tersebut siswa
dapat mengamati peristiwa apa yang terjadi, di
mana peristiwa tersebut terjadi, kapan
terjadinya, siapa yang menjadi korban, siapa
yang terlibat, dan siapa yang bertanggung jawab
atas peristiwa tersebut. Selain itu, siswa dapat
merenungkan mengapa peristiwa itu dapat
terjadi serta siswa dapat memberikan imbauan
atau pernyataan atas peristiwa tersebut. Hal ini
sesuai dengan model latihan menulis yang
dikatakan (Rahmanto, 1988).
Adapun kelebihan lainnya dari media
gambar peristiwa yang terdapat dalam surat
kabar adalah berikut.
1. Gambar-gambar tersebut mudah diamati,
sehingga siswa dengan mudah dapat
mendata objek yang terdapat dalam gambar
yang akan dijadikan bahan penulisan puisi.
2. Peristiwa-peristiwa tersebut berhubungan
langsung dengan kehidupan sehari-hari,
32
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
sehingga siswa dengan mudah menentukan
tema dan amanat yang akan dijadikan
bahan penulisan puisi.
3. Gambar-gambar tersebut sangat menarik
apalagi peristiwa dalam gambar tersebut
merupakan berita mengejutkan, sehingga
siswa dengan mudah dapat mengubah fakta
yang terdapat dalam peristiwa tersebut
menjadi sebuah puisi yang menarik.
Berdasarkan kelebihan media gambar
peristiwa tersebut, penulis telah menerapkan
pembelajaran menulis puisi bebas dengan
menggunakan media gambar berbagai peristiwa
yang terdapat dalam surat kabar. Dan hasil dari
belajar tersebut, siswa yang pada mulanya sulit
menulis serta tidak berminat pada puisi menjadi
mudah dan senang menulis puisi.
Langkah-Langkah Menulis Puisi
Bebas Berdasarkan Gambar yang
Terdapat dalam Surat Kabar
Penyusunan Program Pembelajaran
Penyusunan program pembelajaran menulis
puisi bebas berdasarkan gambar peristiwa yang
terdapat dalam surat kabar sesuai dengan
Rencana Pembelajaran bahasa Indonesia Kelas
VIII, semester 2, meliputi : a) perumusan tujuan
pembelajaran, b) penentuan materi ajar, c)
penentuan metode pembelajaran, d) pemilihan
gambar peristiwa yang terdapat dalam surat
kabar dan penulisan puisi bebas model.
a. Perumusan Tujuan
Tujuan pembelajaran menulis puisi bebas
berdasarkan gambar peristiwa dikembangkan berdasarkan standar kompetensi,
kompetensi dasar, dan indikator berikut ini.
1). Standar Kompetensi :
Mampu mengungkapkan pikiran dan
perasaan dalam puisi bebas
2). Kompetensi Dasar :
Menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai
3). Indikator :
a). Mampu mendata objek yang akan
dijadikan bahan menulis puisi
b). Mampu menulis puisi dengan
menggunakan pilihan kata yang
tepat
c). Mampu menyunting sendiri
pilihan kata puisi yang ditulis
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
Berdasarkan standar kompetensi,
kompetensi dasar, dan indikator tersebut, ada
dua tujuan yang ingin dicapai dalam
pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan
gambar peristiwa yang terdapat dalam surat
kabar, yaitu tujuan pembelajaran umum dan
tujuan pembelajaran khusus.
1). Tujuan Pembelajaran Umum:
a) Siswa mampu mendata objek yang
terdapat dalam gambar peristiwa
b) Siswa mampu menulis puisi
berdasarkan gambar peristiwa
dengan menggunakan pilihan kata
yang tepat
c) Siswa mampu menyunting sendiri
pilihan kata puisi yang ditulis
2). Tujuan Pembelajaran Khusus:
a) Siswa mampu menentukan data
objek yang terdapat dalam gambar
peristiwa untuk dijadikan puisi.
b) Siswa mampu mengubah data objek
yang terdapat dalam gambar peristiwa menjadi sebuah puisi dengan
memperhatikan sistematika, kekhasan bahasa, dan unsur-unsur puisi.
c) Siswa mampu menyunting sendiri
puisi berdasarkan gambar peristiwa
dengan pilihan kata yang sesuai.
b. Penentuan Materi Ajar
Penentuan materi ajar didasarkan pada
materi pokok/pembelajaran yang terdapat
dalam silabus. Materi ajar/materi
pembelajaran harus disesuaikan dengan: (a)
tingkat kemampuan siswa, (b) perkembangan jiwa siswa, dan (c) minat siswa yang
diintegrasikan dengan penanaman nilai
budi pekerti.
Materi ajar menulis puisi bebas berdasarkan
gambar berbagai peristiwa mengacu pada
teori tentang unsur-unsur puisi, yaitu
sebagai berikut.
Puisi terdiri dari dua unsur yang menjadi
ciri umum puisi, yaitu:
1). Unsur yang berkaitan dengan bentuk
puisi terdiri dari unsur bunyi (rima dan
irama), diksi atau pilihan kata, dan
tampilan cetak/tulisan (tipografi)
2). Unsur yang berkaitan dengan makna
puisi terdiri dari unsur tema dan unsur
pesan tersurat atau pesan tersirat
(Trianto, 2006: 100)
Adapun unsur-unsur menulis puisi
bergambar akan diuraikan berdasarkan dua
unsur yang menjadi ciri umum puisi di atas
yang dirangkum berdasarkan buku Teori
dan Apresiasi Puisi serta Apresiasi Puisi
karangan Waluyo (1987), adalah sebagai
berikut.
1). Unsur Bunyi (Rima dan Irama)
Rima adalah persamaan bunyi dalam
puisi. Persamaan bunyi tersebut dapat
berupa bunyi awal, tengah, akhir, atau
persamaan bunyi konsonan pada
beberapa kata. Adapun yang dimaksud
dengan irama ialah alunan suara dalam
perpaduan panjang – pendek, tinggi –
rendah, keras – lemah dalam pengucapan kata-katanya. Rima digunakan untuk
keindahan bunyi bahasa pada puisi,
sedangkan irama berfungsi memberikan keindahan dalam pengucapan.
Pada puisi lama rima dan irama
berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pikiran serta membang-kitkan
kesan. Puisi bebas (baru) rima dan irama
tidak digunakan lagi, kecuali jika
diperlukan. Para penyair sekarang lebih
suka menggu-nakan pilihan kata yang
tepat untuk menguatkan kesan sebagai
pengganti rima. Sebagai latihan
menulis puisi bebas bergambar
peristiwa siswa dibe-baskan untuk
menggunakan rima yang sama atau
tidak menggunakan rima
2). Diksi atau Pilihan Kata
Dalam sebuah puisi, pemilihan kata
yang tepat dapat lebih mengungkapkan
sesuatu, dapat memberikan imajinasi
yang baik. Dengan demikian, kesan yang
timbul akan lebih jelas dan kuat. Untuk
menulis puisi bebas bergambar peristwa
agar dapat menimbulkan imajinasi
yang baik, gunakan gaya tertentu.
Misalnya, mengubah kata-kata yang
terdapat dalam gambar peristiwa yang
akan dijadikan sebuah puisi dengan
membandingkan hal lain atau metafora.
Selain itu, dapat juga menggunakan
gaya bahasa, yaitu pemakaian kata-kata
yang berjiwa, segar, dan dapat menggetarkan perasaan pembaca atau pendengar.
3). Tampilan cetak/tulisan (tipografi)
Tipografi puisi dinyatakan oleh susunan
kata, baris, dan bait. Tipografi ini
gunanya agar pembaca dapat memahami maksud isi puisi karena bagian-bagian
itu mengandung satuan pikiran yang
kemudian terjalin dalam kesatuan pilihan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
33
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
Pada puisi lama tipografi puisi sangat
terikat oleh susunan kata, baris, dan bait.
Seperti pantun memiliki syarat, tiap bait
terdiri atas empat baris, tiap baris terdiri
atas 8 sampai 12 suku kata. Tipografi
dalam penulisan puisi bebas bergambar
tidak terikat oleh jumlah susunan kata,
baris, dan bait. Akan tetapi dapat kita
batasi jumlah baris atau bait untuk
memudahkan siswa menulis puisinya.
4). Unsur Tema
Tema sebuah puisi ialah inti pokok yang
terkandung dalam puisi. Tema menjadi
landasan utama dalam menghasilkan
sebuah karya. Tema dalam menulis puisi
bergambar dapat dengan mudah kita
tentukan dengan cara mengamati gambar
peristiwa . Misalnya gambar peristiwa
tersebut tentang perang yang
berkecamuk, maka tema yang cocok
adalah tragedi kemanusian. Tema-tema
dalam puisi bebas berdasarkan gambar
peristiwa dari koran biasanya bertema
kemanusiaan atau protes sosial, karena
berita dalam koran banyak meng-angkat
soal kemanusiaan atau protes sosial.
5). Amanat (Pesan)
Amanat adalah pesan yang hendak
disampaikan kepada pembaca. Tujuan
menuliskan amanat merupakan hal yang
mendorong siswa untuk menciptakan
puisi. Amanat tersirat di balik kata-kata
yang disusun dan juga berada dibalik
tema yang diungkapkan.
Amanat dalam penulisan puisi bebas
bergambar peristiwa banyak ditujukan
kepada pengambil kebijakan publik atau
orang yang bertanggung jawab akan
peristiwa tersebut.
c.
34
Penentuan Metode Pembelajaran
Agar kompetensi yang diharapkan dapat
terwujud maka diperlukan metode yang
tepat. Metode yang menonjol yang
digunakan dalam pembelajaran menulis
puisi bebas berdasarkan gambar berbagai
peristiwa yang terdapat dalam surat kabar
adalah pemodelan.
Metode pemodelan mengupayakan adanya
contoh, model, peragaan atau demonstrasi
yang dapat memudahkan siswa memahami
konsep atau mengerjakan apa yang
diinginkan oleh guru. Metode ini sangat
sesuai digunakan dalam pembelajaran
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
menulis puisi bebas berdasarkan gambar
berbagai peristiwa yang terdapat dalam
surat kabar karena contoh, peragaan atau
demonstrasi sangat dibutuhkan, terlebihlebih pembelajaran ini merupakan sesuatu
yang baru.
Bentuk pemodelan dalam pembelajaran ini
yaitu penyajian contoh menulis puisi bebas
berdasarkan gambar dan fakta yang ada
yang sudah diubah menjadi puisi, serta
kegiatan guru mencontohkan cara-cara
mengubah fakta dalam gambar menjadi
puisi.
d.
Pemilihan Gambar Berbagai Peristiwa
dari Koran dan Puisi Model
Untuk mempermudah penyampaian materi
pembelajaran, diperlukan alat/bahan/
sumber belajar. Alat/bahan/sumber belajar
yang diperlukan dalam pembelajaran
menulis puisi bebas berdasarkan gambar
berbagai peristiwa yaitu koran dan naskah
puisi.
Gambar-gambar peristiwa yang terdapat
dalam surat kabar yang akan dijadikan
model hendaknya memenuhi kriteria: (1)
gambar-gambar yang jelas dan menarik
perhatian siswa, (2) memiliki judul di atas
gambar tersebut, (3) memiliki keterangan di
bawah gambar tersebut.
Hal- hal yang harus diperhatikan dalam
pemilihan puisi model yaitu: (1) memiliki
unsur bunyi (rima dan irama), (2) memiliki
diksi atau pilihan kata yang sesuai dengan
puisi, (3) memiliki tampilan cetak/tulisan
(tipografi) puisi, (4) memiliki tema, dan (5)
mengandung amanat.
Hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat
dengan mudah mengubah gambar dan data
yang ada menjadi sebuah puisi. Untuk
mendapatkan puisi bebas yang demikian
memang sangat sulit. Untuk itu, guru
ditantang untuk menulisnya sendiri.
Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
a. Kegiatan Awal
Langkah-langkah kegiatan awal dalam
pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa dapat
dideskripsikan sebagai berikut.
1). Guru mengondisikan kelas untuk
mengikuti kegiatan belajar-mengajar
2). Guru
menyampaikan
tujuan
pembelajaran
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
3). Guru mengaitkan materi sebelumnya
dengan materi yang akan disampaikan
4). Guru dan siswa menyebutkan menulis
puisi dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Pada langkah ini siswa mampu
menyebutkan beberapa cara menulis
puisi, di antaranya berdasarkan
kejadian yang pernah dialami,
berdasarkan pengalaman yang
menarik, berdasarkan gambar
pemandangan alam.
5). Guru mengajukan beberapa pertanyaan
yang berkaitan dengan menulis puisi
6). Guru memperlihatkan gambar peristiwa
dari surat kabar.
3) Siswa memilih gambar peristiwa
Guru membagikan gambar-gambar
peristiwa dari koran yang sudah
digunting-gunting, siswa diperbolehkan
memilihnya
sesuai
dengan
kemampuannya mengubah gambar
tersebut menjadi puisi
4) Siswa memperhatikan penjelasan guru
bagaimana langkah-langkah menulis
puisi bebas bergambar peristiwa dari
koran
Langkah 1: Mencermati Gambar
Contoh gambar yang diamati siswa adalah
sebagai berikut.
Sumber gambar : Kompas, 29 Januari 2009
b.
Kegiatan Inti
Langkah-langkah kegiatan inti dalam
pembelajaran menulis puisi bebas
berdasarkan gambar berbagai peristiwa
dapat dideskripsikan berikut ini.
1) Mencermati gambar dan puisi
Secara individu, siswa mencermati
gambar dan puisi yang disajikan guru.
Hal yang dicermati adalah isi puisi
tersebut sesuaikah dengan gambar
tersebut.
2) Menentukan unsur-unsur puisi
Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana siswa mampu
menentukan unsur-unsur puisi (tema,
amanat, rima, diksi/pilihan kata)
Cermatilah gambar peristiwa yang akan
dijadikan puisi
Langkah 2: Menentukan Tema
Agar mudah untuk menulis puisi bebas yang
pertama kita lakukan, maka langkah kedua
adalah menentukan tema. Melalui tema yang
telah ditentukan, puisi yang kita susun akan
terfokus pada satu masalah.
Gambar-gambar peristiwa yang terdapat
dalam koran umumnya mengangkat persoalan
tentang manusia, seperti manusia yang tidak
dihargai, dihormati, tidak diperhatikan hakhaknya, tidak diperlakukan secara adil dan
manusiawi, dan ada juga manusia-manusia
yang perbuatannya mengorbankan martabat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
35
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
manusia. Selain itu, mengangkat persoalan
tentang manusia yang berjuang demi hidupnya,
manusia yang mengasihi sesamanya, dan
manusia yang cinta pada lingkungannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka tema-tema
puisi bergambar peristiwa adalah tema
kemanusiaan, tema kritik sosial, perjuangan
hidup, lingkungan hidup, dan tema kasih sayang
Judul gambar di atas adalah : Semangat
Bekerja di Hari Tua. Tema yang cocok untuk
gambar dan judul di atas adalah : Perjuangan
hidup. Setelah ini, secara individu siswa
melakukan kegiatan yang sama yaitu
menentukan tema untuk puisinya sesuai dengan
gambar pilihannya.
Langkah 3 : Menentukan Amanat/Pesan Moral
Berdasarkan tema yang telah kita tulis, buatlah
amanat/pesan yang akan disampaikan, sesuai
dengan pokok persoalan tersebut. Amanat/
pesan puisi bergambar peristiwa dengan tematema yang telah disebutkan pada langkah 2 pada
umumnya ditujukan kepada pemerintah (Orangorang yang membuat kebijakan publik) atau
orang-orang yang bertanggung jawab atas
peristiwa tersebut dan dapat juga disampaikan
kepada diri sendiri sebagai pembaca puisi.
Amanat ditulis menjadi sangat penting jika
persoalan yang kita tulis dalam bentuk puisi
tersebut dapat menggugah hati nurani pembaca.
Sehingga dengan amanat tersebut terjadi
perubahan kearah yang lebih baik.Contoh
amanat/pesan moral: Amanat sesuai gambar,
judul, dan tema di atas adalah:
1) Menghargai jerih payah orang tua dalam
mencari nafkah
2) Rusman walaupun sudah tua tetap
semangat dalam bekerja, untuk itu kita
yang masih muda harus lebih gigih dalam
belajar maupun bekerja.
3) Mengajar kita untuk tidak mengeluh
walaupun keadaan hidup kita susah
4) Mengajar kita untuk lebih peduli pada
orang-orang di sekitar kita yang hidupnya
susah.
Langkah 4 : Mendata Objek atau Fakta
Datalah sebanyak-banyaknya objek atau fakta
yang terdapat dalam gambar peristiwa tersebut.
Objek atau fakta tersebut dapat dilihat dari
gambar atau kata-kata yang terdapat di bawah
gambar.
36
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Contoh :
Data objek/fakta berdasarkan gambar di atas
adalah :
Gambar : Seorang lelaki tua yang sedang
berjalan sambil memikul barang
dagangannya di Jalan Raya Kota
Bandung.
Fakta yang terdapat di bawah gambar :
(1) Rusman (75), (2) berjualan sandal, (3) berkeliling kota, (4) Taman Cilaki, (5) Kota Bandung,
Jawa Barat, (6) masuk usia senja, (7) menjual 8 –
10 sandal, (8) harga Rp 8.000 per pasang
Langkah 5 : Mengubah objek atau fakta dengan
pilihan kata atau diksi lain
Ubahlah objek atau fakta yang telah didata
dengan pilihan kata atau diksi lain yang sesuai
dengan penulisan puisi. Pilihan kata atau diksi
lain tersebut dapat menggunakan kata-kata khas
puisi seperti menggunakan kata-kata kias, gaya
bahasa , membandingkan hal lain atau metafora.
Setelah itu, secara individu siswa
melakukan kegiatan yang sama yaitu mengubah
objek atau fakta untuk puisinya sesuai dengan
gambar pilihannya.
Tabel 2 : Contoh diksi/pilihan kata
No
Objek /fakta
Pilihan kata/diksi
1.
Rusman (75)
Lelaki berusia senja,
semangat baja
2.
Berjualan sandal
Jual alas kaki
3.
Berkeliling kota
Menyusuri jalan
4.
Taman Cilaki
Tempat berjualan
5.
Kota Bandung,
Jawa Barat
Kota Kembang
6.
Masuk usia senja
Renta
7.
Menjual 8-10
sandal
Alas kaki
8
Harga Rp 8.000
per pasang
Harga alas kaki
Langkah 6 : Membuat Judul Puisi
Judul puisi dapat dibuat dahulu sebelum
menyusun puisi agar memudahkan kita dalam
menyusun puisi bebas, tetapi jika belum dapat
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
judulnya siswa diperbolehkan menyusun
puisinya terlebih dahulu.
Judul dibuat sesuai dengan tema, gambar, atau
data fakta yang telah disusun.
Contoh judul:
Judul yang tepat untuk gambar dan data fakta
pada gambar peristiwa “Semangat Bekerja di
Hari Tua” dapat seperti berikut ini.
1) RUSMAN sesuai dengan nama orang
yang ada di gambar
2) LELAKI USIA SENJA sesuai dengan
umurnya
3) SEMANGAT BEKERJA DI HARI TUA
sesuai dengan judul gambar
Setelah itu, secara individu siswa melakukan kegiatan yang sama yaitu membuat judul
untuk puisinya sesuai dengan gambar
pilihannya.
Langkah 7 : Menyusun Puisi
Susunlah puisi berdasarkan gambar, tema,
amanat, diksi/pilihan kata, dan judul yang telah
dibuat.
Contoh puisi berdasarkan;
Gambar : Semangat Bekerja di Hari Tua
Tema : Perjuangan Hidup
Amanat :
1) Menghargai jerih payah orang tua dalam
mencari nafkah
2) Rusman walaupun sudah tua tetap
semangat dalam bekerja, untuk itu kita
yang masih muda harus lebih gigih
dalam belajar maupun bekerja.
3) Mengajar kita untuk tidak mengeluh
walaupun keadaan hidup kita susah
4) Mengajar kita untuk lebih peduli pada
orang-orang di sekitar kita yang
hidupnya susah.
Diksi/pilihan kata: lelaki berusia senja,
semangat baja, jual alas kaki, menyusuri
jalan, tempat berjualan, Kota Kembang,
renta, alas kaki, harga alas kaki
Judul : Rusman
Maka puisinya dapat seperti berikut.
RUSMAN
Lelaki berusia senja, tubuhmu renta
Tapi kuatnya tubuhmu bagai baja
Teriknya matahari siang tak menyurut
Langkah kakimu yang mulai keriput
Kehidupan yang keras, memaksamu…
Mencari hidup dengan memikul alas-alas
kaki
Di pundakmu yang tipis
Dengan semangat baja,
Berkeliling menyusuri jalan-jalan di Kota
Kembang
Mulai dari gang sempit tempatmu
berteduh
Sampai Taman Cilaki tempatmu menjual
alas-alas kaki
Seharga delapan ribu rupiah alas-alas
kaki per pasang
Harga yang pantas untuk kaummu yang
susah
Lelaki berusia senja, tak pernah mengeluh
Keringat yang kau kucurkan
Memberikan kehidupan dan kehangatan
orang-orang terkasihmu
Lelaki berusia senja,
Semangat bekerjamu bagai baja
Menegur usia muda yang tak menghargai
jerih payah orang terkasihnya
Menegur usia muda yang menyia-nyiakan
waktu kehidupannya
Mengajar manusia-manusia yang malas
mencari hidup
Mengajar manusia-manusia memahami
makna kehidupan
(Keke Taruli Aritonang)
Puisi di atas diberi judul “Rusman” sesuai
dengan nama orang yang ada di gambar. Adapun
tipografi puisi tersebut terdiri atas enam bait.
Jumlah baris tiap bait terdiri atas empat baris
pada bait pertama dan ketiga, tiga baris pada
bait kedua dan kelima, dua baris pada bait
keempat, dan enam baris pada bait keenam.
Kemudian secara individu siswa melakukan
kegiatan yang sama yaitu membuat puisinya
sesuai dengan gambar, tema, amanat, diksi/
pilihan kata, dan judul yang telah dibuat.
Langkah 8: Menyusun Rubrik Penilaian
Rubrik penilaian pembelajaran menulis puisi
bebas berdasarkan gambar berbagai peristiwa
ini menggunakan bentuk portofolio, karena
pembelajaran ini akan menghasilkan berbagai
karya siswa yaitu berbentuk puisi. Hal ini sesuai
dengan apa yang dimaksud dengan portofolio,
yaitu merupakan kumpulan hasil kerja siswa.
Hasil kerja tersebut sering disebut artefak.
Artefak-artefak dihasilkan dari pengalaman
belajar atau proses pembelajaran siswa dalam
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
37
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
periode waktu tertentu. Artefak-artefak diseleksi
dan disusun menjadi satu portofolio (Muslich,
2007:118).
Untuk menghasilkan protofolio yang baik
dalam pembelajaran, maka perlu disusun kriteria
penilaian portofolio, yaitu sebagai berikut.
Kriteria Penilaian Portofolio
Kesimpulan
Kesimpulan tulisan ini adalah bahwa
pembelajaran menulis puisi bebas berdasarkan
gambar berbagai peristiwa yang terdapat dalam
surat kabar ini sangat tepat dilaksanakan karena
KD
: Menulis puisi bebas dengan menggunakan dapat menarik minat siswa dalam menulis puisi
pilihan kata yang sesuai.
bebas. Pembelajaran ini memiliki beberapa
Materi : Menulis puisi berdasarkan gambar
keunggulan sebagai berikut.
peristiwa
a. Mudah dilaksanaKriteria Penilaian :
kan oleh setiap guru
bahasa Indonesia di
SMP
1. Bentuk Puisi
Skor
b. Materi ajar yang disampaikan sesuai
a. Jumlah bait 3 sampai 7 bait
1
dengan kebutuhan
b. Jumlah baris satu bait 4 sampai 7 baris
1
dan lingkungan
siswa
d. Jumlah kata satu baris 4 sampai 7 kata
1
c. Kegiatan pembelajaran benar-benar
2. Tema
berpusat pada siswa
a. Sesuai dengan gambar
1
sehingga siswa dapat menemukan
b. Tidak sesuai dengan gambar
0
jawaban sendiri
(inkuiri) terhadap
3. Pesan Moral
gambar peristiwa
a. Disampaikan sesuai dengan isi
2
yang akan diubah
menjadi puisi
b. Disampaikan mendekati sesuai dengan isi
1
d. Sangat efektif untuk
mengembangkan
c, Disampaikan tidak sesuai dengan isi
0
kreativitas
dan
4. Mendata fakta yang terdapat dalam gambar
imajinasi siswa
e. Sangat efektif untuk
a. Data fakta lengkap
2
menumbuhkan
sikap kritis terhadap
b. Data fakta mendekati lengkap
1
permasalahan yang
c. Data fakta tidak lengkap
0
terjadi dalam kehidupan sehari-hari
5. Mengubah fakta menjadi puisi dengan diksi/pilihan kata
f. Sangat efektif untuk
yang sesuai (kata kias, lambang/simbolik, gaya bahasa)
menumbuhkan
a. Semua fakta sesuai dengan pilihan kata
3
sikap berani mengeluarkan pernyataan
b. Sebagian kecil fakta tidak sesuai dengan pilihan kata
2
terhadap persoalan
c. Sebagian besar fakta tidak sesuai dengan pilihan kata
1
yang terjadi
g. Sangat efektif untuk
d. Semua fakta tidak sesuai dengan pilihan kata
0
mengembangkan
6. Sistematika Puisi
kemampuan siswa
dalam menulis puisi
a. Urut-urutan sesuai
1
bebas
b. Urut-urutan tidak sesuai
Total
38
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
0
12
Pembelajaran Menulis Puisi Bebas Berdasarkan Gambar
Saran
Daftar Pustaka
Agar pembelajaran menulis puisi bebas
berdasarkan gambar berbagai peristiwa yang
terdapat dalam surat kabar ini dapat menarik
minat belajar siswa dalam menulis puisi bebas,
hal yang dapat disarankan adalah sebagai
berikut.
1. Dalam penyusunan rencana pembelajaran,
guru harus melakukannya dengan matang,
terutama yang berkaitan dengan kebutuhan
dan minat siswa.
2. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru
harus dapat menyusun langkah-langkah
pembelajaran
secara
sistematis,
memberikan bimbingan yang maksimal, dan
dapat menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan.
Semoga pembelajaran menulis puisi bebas
berdasarkan gambar berbagai peristiwa yang
terdapat dalam surat kabar yang penulis
paparkan ini dapat memberikan manfaat dan
menjadi contoh bagi teman-teman guru bahasa
Indonesia terutama di lingkungan BPK
PENABUR.
B. Rahmanto. (1988). Metode pengajaran sastra.
Yogyakarta: Kanisius
Dinas Pendidikan Dasar. (2006). Kurikulum
satuan pendidikan tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Muslich, Masnur. (2007). KTSP Pembelajaran
berbasis kompetensi dan kontekstual. Jakarta:
Bumi Aksara.
Trianto, Agus. (2006). Pasti Bisa Bahasa Indonesia
Kelas VIII. Jakarta: Erlangga
Waluyo, Herman J. (1987). Teori dan apresiasi
puisi. Jakarta : Erlangga
______ (2002). Apresiasi Puisi. Jakarta : Gramedia
-----------Koran Kompas, 29 Januari Tahun 2009
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
39
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
Opini
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
Tiga Syarat Pemberian Nilai
Anggiat Hisar*)
Abstrak
elama ini, masih banyak guru menghadapi kesulitan dalam mengevaluasi hasil belajar
siswa. Akibatnya tidak jarang terjadi keluhan siswa atau orang tuanya atas hasil evaluasi
yang diberikan guru. Tulisan ini membahas tentang tata cara mengevaluasi hasil belajar
siswa dengan menggunakan kriteria tertentu. Dengan demikian hasil evaluasi yang dibuat
oleh guru diharapkan objektif dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat diterima oleh
pihak terkait.
S
Kata-kata kunci : Evaluasi, kriteria penilaian, assessment
A number of teachers still find some problems in evaluating the students’ achievement. This article discusses
the problems by elaborating the evaluation criteria and evaluation techniques thoroughly. At the end of the
discussion, a set of recommendations is given to the teachers in performing the evaluation properly so the
students and the parents will agree with the evaluation result.
Pendahuluan
Ada tiga istilah yang digunakan dan perlu
diketahui pemakaiannya, sebelum disampaikan
uraian lebih jauh tentang mengevaluasi siswa,
yaitu evaluasi (evaluation), pengukuran
(measurement), dan penilaian (assessment).
Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa
Inggris). Kata tersebut diserap ke dalam
perbendaharaan istilah bahasa Indonesia
dengan tujuan mempertahankan kata aslinya
dengan sedikit penyesuaian lafal Indonesia
menjadi evaluasi. Istilah penilaian merupakan
kata benda dari nilai. Pengertian pengukuran
mengacu pada kegiatan membandingkan
sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu,
sehingga sifatnya menjadi kuantitatif (Arikunto,
2008:1).
Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu,
yang selanjutnya informasi tersebut digunakan
untuk menentukan alternatif yang tepat dalam
mengambil suatu keputusan (Arikunto, 2008:2).
Evaluasi terhadap siswa di kelas merupakan
salah satu pekerjaan yang dianggap sulit oleh
sebagian guru. Proses yang dilakukan oleh guru
memiliki konsekuensi yang penting bagi siswa
maupun orang tuanya. Sebagai contoh, kajian
yang dilakukan oleh Shaefer dan Lissitz
melaporkan, guru menghabiskan sampai dengan
10 persen waktunya untuk hal-hal yang terkait
dengan assessment dan evaluasi. Stiggins
menemukan bahwa guru dapat menghabiskan
sepertiga waktunya untuk kegiatan yang sama.
Oleh karena, itu sangat penting bagi guru
membangun sebuah repertoar dari berbagai
strategi yang efektif untuk menilai dan
*) Kepala Seksi Evaluasi;Bagian Kurikulum dan Evaluasi BPK PENABUR Jakarta
40
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
mengevaluasi siswa-siswa mereka dan
memahami tentang testing terstandar (Arends,
2008 : 214)
Berbagai opini timbul akibat kontroversi
seputar penggunaan evaluasi. Pendapat yang
muncul akibat evaluasi adalah adanya
dehumanisasi pendidikan dan ketidakpercayaan antara guru dan siswa. Proses evaluasi
yang dilakukan oleh guru dengan membandingbandingkan para siswa mengakibatkan
kecemasan dan harga diri (self-esteem) yang
rendah bagi mereka yang menerima nilai yang
buruk. Sebagian lagi berkomentar bahwa nilai
dalam evaluasi benar-benar “penggaris karet”
yang lebih mengukur apa yang dilakukan guru
tertentu daripada mengukur tujuan-tujuan
pendidikan yang penting.
Assessment dan evaluasi berfungsi untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk
mengambil keputusan-keputusan yang bijaksana yang didasarkan pada informasi yang
relevan dan akurat. Assessment biasanya merujuk
pada seluruh rentang informasi yang
dikumpulkan dan disintesiskan oleh guru
tentang siswa-siswanya maupun tentang
kelasnya. Informasi tentang siswa dapat
diperoleh secara informal, misalnya melalui
observasi dan pertukaran verbal. Informasi juga
dapat diperoleh melalui cara-cara formal seperti
pekerjaan rumah, tes, dan laporan tertulis.
Informasi tentang kelas dan pengajaran guru
juga dapat menjadi bagian dari assessment.
Bila assessment difokuskan pada mengumpulkan dan menyintesiskan informasi, evaluasi
mengacu pada proses membuat keputusan
(judgment), menetapkan nilai (value) atau
memutuskan tentang manfaat (worth). Tes,
misalnya, adalah salah satu teknik assessment
yang digunakan untuk mengumpulkan
informasi tentang seberapa banyak yang
diketahui siswa tentang topik tertentu. Akan
tetapi, memberi nilai adalah sebuah tindakan
evaluatif, karena guru menempatkan value pada
informasi yang diperoleh dari tes itu ( Arends,
2008 : 217 ).
Cuplikan peristiwa pada kasus di bawah
ini merupakan salah satu episode rangkaian
peristiwa yang muncul pada saat mengevaluasi
siswa yang terdapat dalam buku Shirran (2008)
yang berjudul Evaluating Students.
Guru yang Beritikad Baik
Beberapa hari setelah mengembalikan
pekerjaan siswanya yang sudah
dinilai, seorang guru bahasa Inggris
didatangi oleh salah seorang orang tua
siswa. Mereka minta agar guru itu
mempertimbangkan nilai yang sudah
diberikan, dan juga menaikkan nilai
itu. Karena tidak puas mendengar
alasan dan tanggapan sang guru
tersebut, orang tua itu mengajukan
protes kepada Kepala Sekolah yang
menyelidiki masalah itu. Dalam
laporannya, Kepala Sekolah itu
menulis, setelah mewawancarai guru
itu secara informal, menjadi jelas
bahwa guru itu tidak memakai
prosedur evaluasi yang standar dan
agaknya satu-satunya pembelaan guru
itu adalah, “Saya sudah mengajar
selama lebih dari 25 tahun. Saya tahu
beda antara pekerjaan yang nilainya A
dan yang nilainya C+.” Kepala Sekolah
itu menyimpulkan bahwa, meskipun
tugas yang diberikan guru itu menarik
dan memang mencapai tujuan mata
pelajaran tersebut, metode guru itu
cacat, tidak akurat dan kurang bagus.
Pada kasus di atas dikatakan bahwa guru
tersebut sudah memiliki itikad yang baik ketika
mengevaluasi siswa-siswanya. Akan tetapi ia
belum berhasil mengenali dan mengikuti
tuntutan dasar dalam proses evaluasi itu, guru
tersebut membahayakan reputasi profesionalnya
dan menyebabkan kalangan orang tua siswa,
siswa, dan pengelola sekolah prihatin.
Secara naluriah, karena terlatih dan
pengalaman profesionalnya, guru tahu
pekerjaannya dalam memberikan nilai A itu
seperti apa. Namun, siswa dan orang tua, tidak
tahu cara guru mengevaluasi dan apa yang
dituntut pada proses evaluasi tersebut. Konflik
yang terjadi pada peristiwa di atas dapat
diminimalkan dengan cara, guru secara khusus
memberitahukan kepada siswa cara menilai
pekerjaan siswa.
Sebelum seorang siswa mulai menggarap
tugas apa saja untuk mata pelajaran apa saja,
guru harus dengan jelas dan di depan umum
menyebutkan tiga komponen evaluasi ini. (1)
tingkat kriteria yang tertulis, (2) tingkat pemikiran akademik, dan (3) pernyataan tentang
persyaratan (Shirran, 2008 : 2).
Ini berarti bahwa sebelum menggarap tugas
apa saja, siswa harus diberitahu tentang apa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
41
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
yang diharapkan guru. Seorang guru yang tidak
menyebutkan ketiga komponen tersebut, tanpa
sengaja akan membahayakan profesinya sendiri
dan siswanya menghadapi risiko akademik.
Beberapa di antara studi yang paling
menarik dan dilakukan hampir satu abad yang
lalu adalah yang dilakukan Starch dan Elliot
(1912,1913), yang menunjukkan subjektivitas
guru dalam mengases dan menetapkan nilai
untuk ujian esai. Dalam studi pertama mereka,
para peneliti meminta guru-guru dari sejumlah
sekolah yang berbeda untuk menilai hasil ujian
esai bahasa Inggris siswa-siswa. Setelah itu para
peneliti meminta guru sejarah dan matematika
untuk mengerjakan tugas yang sama. Starch dan
Elliot menemukan bahwa guru-guru itu banyak
menggunakan berbagai macam kriteria ketika
mengases esai, dan akibatnya skor atau nilai
yang mereka berikan pada karya tulis yang sama
sangat bervariasi. Salah satu esai bahasa Inggris,
misalnya, diberi poin yang bervariasi antara 50
sampai 97. Studi-studi sejenis yang dilaksanakan selama bertahun-tahun terus menunjukkan
bahwa guru-guru memiliki kriteria yang berbeda
untuk menilai hasil kerja siswa dan bahwa
mereka dipengaruhi oleh sejumlah faktor
subjektif, seperti tulisan tangan siswa, apakah
pendapat yang diekspresikan sama dengan
pendapat guru, dan ekspektasi yang dimiliki
guru atas hasil kerja siswa tertentu (Arends,
2008: 225).
Prinsip-prinsip Umum
Gronlund (Arends,2008:234) memberikan
beberapa prinsip yang dapat memandu guru
pada saat merancang sistem assessment dan
membuat tes sendiri. Keluhan yang sering
terdengar dari siswa adalah bahwa materi yang
dicakup dalam tes, ulangan, ujian, dan tugas
belum pernah dibahas di kelas. Untuk alasan
apapun, yang mengeluhkan hal itu percaya
bahwa mereka telah dinilai secara tidak adil.
Jadi, prinsip pertama Gronlund adalah guru
semestinya mengonstruksikan evaluasinya
sedemikian rupa sehingga dapat mengukur
dengan jelas tujuan belajar yang sudah mereka
komunikasikan kepada siswa dan materi yang
telah mereka bahas. Pendek kata evaluasi itu
seharusnya selaras dengan tujuan instruksional
guru.
Prinsip yang kedua adalah kebanyakan
pelajaran dan unit pengajaran berisi beragam
42
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
tujuan mulai dari mengingat informasi aktual
sampai pemahaman, analisis, dan aplikasi
kreatif prinsip-prinsip tertentu. Sebuah evaluasi
yang baik tidak sepenuhnya difokuskan pada
salah satu tipe tujuan, misalnya ingatan faktual.
Sebaiknya ia mengukur sampel-sampel tujuan
pembelajaran secara representatif. Selain itu,
evaluasi yang digunakan oleh guru semestinya
harus tepat mengukur proses berpikir dan
keterampilan yang akan diukur. Beberapa tipe
tes seperti menjodohkan atau mengisi titik-titik
lebih cocok untuk mengukur ingatan tentang
informasi tertentu; tipe soal lain seperti soal-soal
esai, lebih cocok untuk mengukur proses berpikir
yang lebih tinggi.
1. Kriteria Penilaian
Analogi yang paling sederhana untuk
menggambarkan kriteria terlihat pada saat
ketika mengikuti ujian SIM. Kita harus tahu
persis apa yang harus kita lakukan dan yang
tidak boleh kita lakukan agar bisa mendapatkan
SIM. Atau pada waktu bermain catur, kita tahu
aturan yang harus kita ikuti dan perilaku yang
harus kita tunjukkan agar bisa menang.
Demikian pula siswa harus tahu aturan
main penilaian itu jika mereka ingin berhasil.
Sayangnya ada guru yang tidak mau meluangkan waktu untuk mengungkapkan kriteria
penilaian mereka karena menciptakan kriteria
memang makan waktu. Kriteria diperlukan
untuk menjadi penentu agar hasil penilaian itu
berarti. Interpretasi terhadap hasil penilaian
hanya dapat bersifat evaluatif apabila disandarkan pada suatu norma atau kriteria (Purwanto,
2008 : 6). Tingkat atau tingginya nilai akademik
atau kecakapan yang dibutuhkan seorang siswa
untuk menerima suatu nilai-huruf khusus ini
disebut kriteria penilaian (Shirran, 2008 : 3 ).
Kriteria penilaian dapat mengambil bentuk
sebuah kisi-kisi yang disebut ’rubrik penilaian’.
Dalam rubrik penilaian terperinci (lihat tabel 1.),
masing-masing kotak atau sel mewakili suatu
tingkat prestasi yang bisa dicocokan dengan
suatu nilai-huruf yang sesuai.
Pada tabel 1 dapat dilihat, tingkat kriteria
dapat diciptakan oleh guru kelas sendiri-sendiri
atau oleh sekelompok guru pada tingkat jurusan,
dan secara jelas menentukan ciri, nilai, detail,
dan kecakapan yang harus ditunjukkan setiap
siswa agar menerima suatu nilai-huruf tertentu.
Berdasarkan tabel tersebut, guru dapat
menentukan perbedaan nilai A dan B, serta tugas
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
mana yang pantas dapat A dan mana yang
pantas dapat B, atau bahkan C.
Menggunakan rubrik penilaian membantu
guru menilai secara cepat dan efisien. Selain itu
guru dapat mengemukakan alasan dan
mendukung nilai yang diberikan kepada siswa.
Jika orangtua siswa menyampaikan keluhan,
rubrik penilaian membuat penilaian konsisten
dan memungkinkan siswa lebih baik dalam
menaksir kualitas pekerjaan mereka. Selain itu
rubrik penilaian dapat menjelaskan dan
memungkinkan orangtua apa yang perlu dilakukan
anak mereka untuk meningkatkan nilainya.
Menghindari Efek ’Halo’ dan ’Garu’
Bias dalam membuat keputusan atas hasil
pekerjaan siswa dan menetapkan nilai perlu
mendapat perhatian. Betapa pentingnya bagi
Tabel 1. Rubrik Penilaian Terperinci
Aspek
Gaya (20%)
Kosa Kata
Nada suara
F (0)
-
-
Bentuk (40%)
Analisis dan
Struktur
Transisi
sering
memakai
nada tidak
p as
kalimat
sederhana
kesalahan
memilih kata
- tidak logis
atau tidak
punya
struktur
- beberapa kata
fokus
mungkin
hilang
- ide tidak
berkait
dengan
transisi
C- (1)
-
tulisan
terputusputus
kosakata
sederha
tidak ada
variasi
kalimat
kurang
berkembang
d an
informal
- semua kata
fokus tidak
ad a
- s e d i ki t
transisi
- s e d i ki t
analisis
C (2)
B (3)
A (4)
- kurang
berkembang
d an
- informal
s e k al i
tempo
memakai
- bahasa
informal
beberapa
kosakata
canggih
- hampir
ada suara
yang
berbeda
- memakai
bahasa
formal
- variasi dari
tipe
kalimat
p ak ai
kosakata
yang cocok
- g ay a
tulisan
unik
- p ak ai
kosakata
k u at
- menunjak-an
kematangan
- wawasan
berani
ambil
resiko
dengan
g ay a
penulisan
- mungkin
kehilangan
1 atau 2
kata fokus
- transisi
lemah
- ad a s e d i k i t
analisis
- tersusun
dengan
b ai k
- d ap at
memanfaatkan
transisi
- l o gi s
menganalisis semua
kata fokus
dengan
j e l as
- transisi
d i p ak ai
dengan
amat baik
- menciptakan aliran
yang kuat
- l o g i k a d an
analisis
amat
b ag u s
- semua bag i an d i singgung
dengan
wawasankedalaman
Konvensi
(40%)
Ejaan TitikKoma
Tatabahasa
- sering
tampak
kesalahan
mencolok
yang
mengganggu
arti
-
banyak
kesalahan
ejaan, titik,
koma dan
tatabahasa
- k e j e l as an
g e l ap
- kesalahan
mencolok
yang mengganggu
- arti relatif
j e l as
-
ad a
beberapa
kesalahan
kecil tapi
tidak
mengganggu arti
- ejaan,tatabahasa,
titik,
koma,
tidak ada
kesalahan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
43
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
guru agar berlaku adil dan tidak memihak dalam
menilai siswa. Seperti yang muncul pada kasus
berikut.
Mengevaluasi Perilaku Mengacau.
Tom, siswa drama kelas 9, yang
dikenal sebagai anak yang tak kenal
lelah dan mengoceh terus, disuruh
keluar dari kelas oleh guru karena
bergulat dengan siswa lain di lantai,
padahal seharusnya ia latihan
solilokui atau percakapan dengan
dirinya sendiri. Meskipun sering
mengacau, keesokan harinya Tom
mengucapkan solilokuinya hampir
tanpa salah di depan guru itu. Tom
dan orang tuanya amat kecewa ketika
ia menerima nilai C untuk penampilannya itu, ditambah guru itu
menuliskan komentar yang menyinggung fakta bahwa Tom mendapat nilai
rendah karena susah diatur dan suka
mengacau (Shirran, 2008 :7).
Masalah penskor yang bias, artinya penskor
(rater) cenderung untuk menghilangkan masalah
personal bias. Sewaktu menskor hasil pekerjaan
peserta tes ada kemungkinan penskor (rater)
mempunyai masalah generosity error artinya
penskor cenderung memberi nilai yang tinggitinggi, walaupun kenyataan yang sebenarnya
hasil pekerjaan peserta tes tidak baik. Kemungkinan juga penskor mempunyai masalah severity
errorartinya penskor juga cenderung dapat
memberi nilai yang sedang-sedang saja,
walaupun kenyataan yang sebenarnya hasil
pekerjaan tes ada yang baik dan tidak baik.
Masalah lain adalah adanya kemungkinan
penskor tertarik atau simpati kepada peserta tes
sehingga sukar baginya memberi nilai yang
objektif (halo effect) (Setiadi, 2006 : 18).
Shirran mengatakan sulit mencari
pembenaran untuk nilai yang diberikan. Jika
sikap tidak disebutkan sebagai satu kriteria
penilaian maka perilaku mengganggu siswa itu
tidak bisa dipakai untuk tujuan evaluasi (bahkan
jika sikap memang disebutkan, guru itu tentu
sulit menunjukkan bahwa kriteria ini satu syarat
valid untuk tujuan muatan mata pelajaran itu).
Kiranya akan tampak jelas bahwa angka rendah
itu hanya dimaksudkan untuk menghukum
siswa tersebut lebih jauh.
Seorang guru yang menilai di luar kriteria
yang sudah ditetapkan dapat mengakibatkan
ketidaktepatan dan bias. Mestinya seorang guru
mengikuti kriteria penilaian yang sudah
44
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
ditetapkan sehingga menjadi seorang penilai
yang objektif dan adil. A particularly frequent error
arises when a teacher’s overall impression of a student
influences how the teacher rates that student with
respect to an individual criterion. That error is known
as halo effect (Popham, 1995 : 153).
Sering kali guru menaikkan nilai seorang
siswa, tidak peduli kualitas pekerjaan siswa,
hanya karena siswa itu secara umum memberi
kesan yang baik. Secara singkat dikatakan ada
siswa yang disukai dan ada yang tidak.
Fenomena guru yang memberikan nilai yang
lebih tinggi kepada siswa yang disukai
berlawanan dengan efek ’garu’ (garpu rumput)
yaitu seorang guru menurunkan nilai siswa
berdasarkan kesan negatif siswa tersebut ( sering
mengganggu di kelas, menunjukkan sikap atau
kebiasaan bekerja yang jelek atau sering terlambat).
2. Tingkat Cara Berpikir Akademik
Guru harus membuat keputusan tentang apa
yang akan dimasukkan dan apa yang tidak akan
dimasukkan dalam tes. Test blueprint (cetak biru
atau rancangan tes) adalah alat yang ditemukan
oleh para spesialis evaluasi untuk membantu
para guru dalam membuat keputusan dan
menentukan berapa banyak ruang yang
dialokasikan bagi jenis pengetahuan tertentu
dan berbagai tingkat proses kognitif siswa yang
berbeda (Arends, 2009 : 235). Peristiwa di
bawah ini menjadi bagian penting bagi guru
dalam merencanakan tes.
Tingkat Pelajaran Kognitif
Pak K, guru Sejarah SMP, diadukan
orang tua salah seoarng siswanya. Si
pengadu menulis kepada Kepala
Sekolah bahwa Pak K setiap hari
memberikan kegiatan yang menghendaki siswa hanya menghafal dan mengingat fakta, tetapi ia mengevaluasi
pengetahuan siswa dengan menggunakan kegiatan yang menghendaki
analisis kritikal dan penalaran logis.
Kepala Sekolah memutuskan bahwa
pelajaran dan kegiatan kelas Pak K
belakangan secara kognitif tidak
menyiapkan siswa untuk menghadapi
keharusan yang diminta guna
memperoleh keberhasilan lebih
canggih dari tuntutan akan keberhasilan tugas dan pekerjaan sekolah
(Shirran, 2008 : 11).
Pada kasus di atas, seorang pakar di bidang
authentic assessment Wigins (1977), berpendapat
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
bahwa agar authentic assessment efektif maka
kriteria dan standar untuk hasil kerja siswa
harus jelas, diketahui dan tidak ditetapkan
secara sewenang-wenang. Siswa yang mengerjakan tugas akademik perlu tahu bagaimana hasil
kerja mereka akan dinilai (Arend, 2009:244)
Pada waktu memberikan tugas, guru harus
mengenali kata kerja yang digunakan ketika
memberikan tugas. Sebagai contoh, kedua soal
ini membutuhkan jawaban yang amat berbeda
dari siswa.
Soal 1 : Kenalilah metode berburu dan berkumpul yang dipakai pada zaman Jomon
di Jepang Kuno
Soal 2 : Beri alasan dan pertahankan metode
berburu dan berkumpul yang dipakai
pada zaman Jomon di Jepang Kuno
Pada soal pertama siswa mendaftar fakta
dan menjawab secara deskriptif. Sedangkan
jawaban pada soal yang kedua tidak hanya
sekedar deskripsi sederhana tetapi juga
mengungkapkan pertimbangan pribadi dan
mempertahankan pertimbangan tersebut. Kedua
soal tersebut membutuhkan tipe jawaban yang
amat berbeda.
Dalam semua mata pelajaran, ada enam
tingkat cara berpikir akademik atau kerumitan
yang berbeda-beda, dipakai untuk mengklasifikasi tugas akademik seorang siswa. Tugas
seorang siswa dapat diklasifikasikan ke dalam
enam kategori kognitif yaitu, (1) tingkat pengetahuan, (2) tingkat pemahaman, (3) tingkat
penerapan, (4) tingkat analisis, (5) tingkat
sintesis, dan (6) tingkat evaluasi
Sebagai contoh dalam soal esai ini, kata kerja
untuk memulai tugas ini memberi informasi
kepada siswa bahwa jawabannya menghendaki
siswa mengenali kesalahan-kesal;ahan logis,
menunjukkan kontradiksi atau membedakan
fakta, pendapat, hipotesis, asumsi, dan
simpulan termasuk dalam tingkatan analisis.
Siswa diharapkan menggambarkan hubungan
antargagasan.
Contoh soal :
Tunjukkan kelemahan metode berburu dan
berkumpul yang dipakai orang Jomon,
mengingat kondisi cuaca negeri Jepang
zaman kuno yang berubah-ubah.
Bandingkan dengan soal pada tingkatan
sintesis yang menghendaki siswa menciptakan
sesuatu yang unik atau asli, dan bisa jadi
menghendaki jawaban atau hasil kerja siswa
yang menghasilkan suatu kombinasi ide untuk
membentuk suatu keseluruhan yang baru.
Contoh soal :
Rancang suatu eksperimen yang menunjukkan bahwa metode berburu dan berkumpul
dari orang Jomon cukup untuk mendukung
kebutuhan pokok suatu suku. (Shirran,
2008 : 15)
Setelah guru memutuskan tipe pengetahuan
dan proses kognitif mana yang akan dicakup
pada evaluasi tertentu, langkah selanjutnya
adalah memutuskan format tes dan tipe soal yang
akan digunakan.
Pada tabel 2 berikut ini, menunjukkan contoh
cetak-biru tes yang menggunakan dimensidimensi Taksonomi Bloom yang telah direvisi.
Tabel ini diciptakan dengan asumsi bahwa guru
mengajarkan unit tentang “Kehidupan zaman
kolonial di Amerika” dengan tujuan
instruksional berikut.
Tujuan 1 : Memperoleh pengetahuan tentang
pertambangan di sebuah kota di New
England dan perkebunan di wilayah
selatan selama abad ketujuh belas
Tujuan 2 : Mengingat nama-nama empat tokoh
kolonial : Cotton Mather, Anne
Hutchison, Lord Calvert dan Thomas
Hooker
Tujuan 3 : Menerapkan pengetahuan dengan
membandingkan kehidupan di
zaman kolonial dengan kehidupan di
wilayah yang sama saat ini
Tujuan 4 : Mengevaluasi tindakan orang-orang
di Massachussetts yang terlibat
dalam Salem witchcraft trials
Tujuan 5 : Membuat iklan tertulis yang mendorong orang-orang di Eropa untuk
pindah ke New England atau ke
Selatan
Tujuan 6 : Memeriksa bagaimana pemahaman
tentang kehidupan di zaman kolonial
memengaruhi pemikiran siswa
sendiri tentang kehidupan saat ini
(Arends, 2008 : 238)
Pada bagian atas cetak biru pada tabel
tersebut guru memerinci keenam proses kognitif
dalam Taksonomi Bloom yang telah direvisi.
Keempat tipe pengetahuan dalam taksonomi
ditulis dalam baris-baris cetak-biru. Dalam selsel yang terkait, guru mengategorisasikan
keenam tujuan itu. Tidak ada tujuan di setiap
sel yang tipikal untuk sebagian besar unit.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
45
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
Tabel 2. Cetak biru Assessment Unit Kehidupan Zaman Kolonial di Amerika, yang menggunakan
kategori dalam Taksonomi Bloom yang telah direvisi
Dimensi
Pengetahuan
Mengingat
Pengetahuan
Faktual
T u j u an 2
Soal Tes
Empat soal
yang
meminta
siswa
menjodohkan namanama dan
prestasinya
Pengetahuan
Konseptual
T u j u an 1
Soal Tes
Dua belas
soal benars al ah
tentang kotakota dan
perkebunan
Memahami
Menerapkan
T u j u an 1
Soal Tes
Dua puluh
s o al
pilihan
ganda
tentang
kota-kota
d an
perkebunan
T u j u an 3
Soal Tes
Satu soal
Esai yang
menerapkan
pengetahuan tentang
kehidupan
zaman
kolonial
p ad a
kehidupan
masa kini
Menganalisis
46
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Menciptakan
T u j u an 4
Soal Tes
Satu soal
esai yang
meminta
al as an
terhadap
keputusan
tentang
pemeriksaan
pengadilan
terhadap
ilmu sihir
(witchcraft
trial)
Pengetahuan
Prosedural
Pengetahuan
Metakognitif
Mengevaluasi
T u j u an 5
Soal Tes
Ukuran
kinerja yang
membutuhkan
pembuatan
s e b u ah i k l an
T u j u an 6
Soal Tes
Soal esai
yang
membutuhkan refleksi
terhadap
proses
berpikir
siswa
sendiri
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
Terakhir, dalam tabel itu guru juga menyebutkan
jumlah tes yang dibutuhkan untuk mengases
hasil belajar siswa untuk setiap tipe
pengetahuan proses kognitif.
Tingkat Prestasi Psikomotor
Permasalahan yang sering muncul dalam
mendesain dan menggunakan evaluasi adalah
permasalahan tentang kemampuan yang akan
diukur. Komponen-komponen kemampuan
yang akan diukur pada kasus di bawah ini
sangat tidak relevan.
Suatu Aktivitas Fisik untuk
Mengukur Kemampuan Kognitif
Seorang guru sastra Inggris bermaksud
mengevaluasi kemampaun siswanya
membaca dan memahami satu cerita
deskriptif yang diambil dari teks
Inggris Kuno, The Canterbury Tales
karya Chaucer. Guru tersebut minta
para siswanya membaca salah satu
kisah kemudian membuat lukisan
akurat dari salah seorang karakter
cerita itu dari tulisan deskriptif
Chaucer. Seorang siswa, meskipun
dapat membaca dan memahami tulisan
Chaucer dengan baik, tidak dapat
menggambarkan dengan baik. Dengan
sendirinya pekerjaannya mendapat
nilai rendah. Guru tersebut, ketika
didatangi oleh siswa itu, menyatakan
bahwa metode evaluasinya adil dan
akurat (Shirran, 2008 : 11).
Menyimak yang terjadi pada kasus di atas,
ruang lingkup materi penilaian tidak
merefleksikan kemampuan yang ditargetkan
untuk dikuasai oleh siswa selama proses
pembelajaran. Mestinya penilaian perlu disusun
dan dirancang untuk mengukur sejauh mana
siswa telah menguasai apa yang telah
ditetapkan sebelumnya atau dalam indikatorindikator pecapaian kemampuan pembelajaran
tersebut. Masalahnya di sini adalah bahwa guru
itu berusaha mengukur pemahaman kognitif,
akademik siswa dengan menggunakan suatu
aktivitas fisik. Pada dasarnya ini sama dengan
seseorang yang berusaha menggunakan
kilogram untuk mengukur jarak antara dua
benda.
Guru dari mata pelajaran akademik
seharusnya mengevaluasi siswanya dengan
menggunakan kegiatan yang dapat masuk ke
dalam lingkup kognitif. Untuk mata pelajaran
itu, seperti pendidikan fisik dan seni, yang
memang menghendaki evaluasi kecakapan otot
dan fisik, guru seharusnya bergantung pada
tugas yang masuk ke dalam lingkup psikomotor.
Psikomotor berhubungan erat dengan kerja
otot sehingga menyebabkan geraknya tubuh atau
bagian-bagiannya. Yang termasuk dalam
klasifikasi gerak di sini mulai dari gerak yang
paling sederhana sampai yang kompleks
(Arikunto, 2008, 122). Lingkup ini punya lima
tingkat prestasi : (1) tingkat imitasi, (2) tingkat
manipulasi, (3) tingkat ketepatan, (4) tingkat
artikulasi, dan (5) tingkat naturalisasi
Untuk Setiap kategori tingkatan di atas guru
berharap siswa melakukan kegiatan fisik dengan
tingkatan yang berbeda-beda. Pada tingkat
manipulasi misalnya, siswa melakukan kegiatan
fisik dari pelajaran lisan atau tertulis tanpa
memperhatikan model yang ditiru. Peragaan
siswa mungkin kurang anggun dan kurang
terkoordinasi. Tugas pada tingkat ini seperti ini:
Perhatikan gambar pada bukumu,
tirukan posisi jari dan pergelangan
tangan ketika menembak sebuah
bola basket dari garis lemparbebas.
Berbeda dengan tingkatan ketepatan yang
mengharapkan siswa mereproduksi aksi itu
dengan sedikit kesalahan.
Pegang bola basket itu secara tepat
dengan tangan yang dominan
dengan jari serta pergelangan tangan
dalam posisi yang betul, tembakkan
bola ke dalam keranjang dari garis
lempar bebas. (Shirran, 2008 : 19)
3. Suatu Pernyataan tentang Kondisi
Komponen ketiga dari proses penilaian
menghendaki guru menyatakan dengan jelas
kondisi yang di dalamnya pengetahuan dapat
diharapkan masuk. Dengan kata lain guru harus
menyatakan gunanya peralatan, sumber,
material, atau lokasi khusus yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan tugas itu. In an authentic
assessment, the student not only completes or
demonstrates desired behavior, but also does it in reallife context. “Real life” may be in terms of student
(for example, the classroom) or an adult expectation.
The significant criterion fo the authenticity of writing
assignment might be that the locus of control rests
with the student ; that is, the student determines the
topic, the time allocated, the pacing, and the conditions
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
47
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
under which the writing sample is generated (Hill,
1999 : 8).
Yang terpenting dari setiap evaluasi adalah
mengukur pengetahuan siswa sehubungan
dengan isi kurikulernya. Dengan sendirinya
guru harus sering mempersempit fokus siswa
untuk mengarahkan siswa kepada hasil yang
diinginkan guru.
Suatu pernyataan tentang kondisi penting
karena membantu memfokuskan topik yang
harus dipelajari dan mencegah siswa
mempelajari bahan-bahan yang tidak relevan.
Contoh tugas di bawah ini merangsang suatu
pernyataan tentang kondisi yang dikehendaki :
Kenalilah kondisi-kondisi di Selatan
yang mengikuti Perang Saudara di
Amerika Serikat
Tidak ada fokus atau konteks untuk para
siswa sementara siswa mungkin mengenali
faktor geografis, ada yang mungkin mencari
masalah sosial dan rasial, dan yang lainnya bisa
jadi lebih suka mengenali masalah ekonomi.
Bagaimanapun juga, ketika guru menambahkan
suatu pernyataan tentang kondisi, fokus dan
titik pandang siswa kiranya akan cocok dengan
harapan guru.
Dengan menggunakan peta sumbersumber strategis yang dibagikan di
kelas, kenalilah kondisi-kondisi di
Selatan yang mengikuti Perang
Saudara di Amerika Serikat.
Frasa “Dengan menggunakan peta sumbersumber strategis yang dibagikan di kelas”,
adalah kondisi perlu yang diharapkan oleh guru
agar siswa mendapat nilai A untuk tugas itu
(Shirran, 2008 : 22)
Penutup
Proses evaluasi merupakan proses yang tak
terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan
bagian yang terpisah dari proses pembelajaran
(a part of, not apart from, instruction) (Hayat, 2006:
3). Evaluasi yang dilakukan menggunakan
berbagai ukuran, metode dan kriteria yang
sesuai dengan karakteristik dan esensi
pengalaman belajar. Melalui evaluasi, guru
memperoleh informasi tentang perkembangan
dan pencapaian pembelajaran secara tepat
bahwa tujuan pembelajaran dan kompetensi
48
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
telah benar-benar dikuasai dan dicapai oleh
siswa.
Guru dalam melakukan evaluasi berupaya
memilih metode yang terbaik untuk mengukur
apa yang diharapkan untuk dikuasai oleh siswa.
Mayoritas besar guru adalah profesional
berdedikasi yang sungguh-sungguh memperhatikan kesejahteraan siswa mereka. Mereka ingin
melihat semua siswa mereka berhasil di sekolah
dan di jalan karier mereka di masa depan. Akan
tetapi bila evaluasi siswa diikuti dengan konflik
antarpribadi seperti kadang-kadang terjadi,
guru justru mendapat keuntungan kalau berdiri
di tempat tinggi dan mengungkapkan perilaku
yang profesional.
Memang, setiap kali guru memberi nilai,
mereka mengingatkan bahwa mereka boleh
diminta menjelaskan, membenarkan, mempertahankan keputusan penilaian profesional
mereka. Cara terbaik bagi guru untuk
mempertahankan keputusan evaluatif mereka
adalah bergantung pada suatu proses penilaian
dan didorong riset, transparan, dan ditetapkan
secara universal.
Saran untuk Guru
Shirran menyampaikan beberapa saran yang
perlu diperhatikan oleh guru, antara lain :
1.
Sampaikan kriteria penilaian itu kepada
siswa ketika memberikan tugas. Guru
harus memberitahu siswa cara tugas itu
akan dinilai. Ini menghendaki guru memberi tahu siswa
a. informasi atau muatan apa yang
diminta, dan
b. bagaimana guru akan memberikan
angka kepada muatan ini
Dengan kata lain, siswa dan orang tua
siswa harus diberi informasi jika ada
muatan yang akan mendapat angka lebih
dibandingkan muatan lainnya.
2.
Dokumentasikan kriteria tersebut. Seperti
halnya kontrak tertulis, kriteria ini dapat
dipakai untuk menyelesaikan pertikaian
yang mungkin timbul kelak. Juga, siswa
seharusnya menerima kriteria itu sebagai
acuan untuk menyelesaikan pekerjaan
mereka.
3.
Biarkan siswa ikut ambil bagian dalam
pengembangan kriteria penilaian ini. Ada
guru yang mengizinkan siswanya
Perspektif tentang Mengevaluasi Siswa
4.
5.
mengambil bagian dalam proses
penilaian itu dan menyumbang kepada
perkembangan kriteria tersebut. Pendekatan ini memungkinkan siswa melihat
relevansi dan arti penting kriteria itu, dan
memberi mereka rasa memiliki, sehingga
ada kemungkinan meningkatkan motivasi. Juga, beberapa orang tua siswa dan
pengurus sekolah merasa lebih sulit
mempertanyakan angka yang diberikan
jika mereka tahu bahwa siswa punya
peran aktif dalam mengembangkan
kriteria tersebut.
Kalau sudah disusun, jangan mengubah
kriteria penilaian itu.
Beri siswa contoh-contoh yang bisa masuk
ke dalam berbagai kategori pencapaian itu.
Daftar Pustaka
Arends, Richard I. (2008). Learning to teach : Belajar
untuk mengajar. Buku Satu. Terjemahan
Helly Prajitno Soetjipto dan Sri
Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Arikunto, Suharsimi. (2008). Dasar-dasar evaluasi
pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Bumi
Aksara
Arikunto,Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul
Jabar.(2008). Evaluasi Program
pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Hayat, Bahrul. (2006). Prinsip-prinsip dan strategi
penilaian di kelas. Jakarta : Pusat
Penilaian Pendidikan Badan Penelitian
dan Pengembangan Departemen
Pendidikan Nasional.
Hill, Bonnie Campbell and Cynthia Ruptic. 1999.
Practical aspects of authentic assessment :
Putting the pieces together. Norwood,MA
: Christopher-Gordon Publishers, Inc.
Popham, W. James. (1995). Classroom assessment:
What teachers need to know. Boston : Allyn
and Bacon
Purwanto. (2009). Evaluasi hasil belajar.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Setiadi, Hari. (2006). Penilaian kinerja. Jakarta :
Pusat Penilaian Pendidikan Badan
Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional
Shirran, Alex. (2008). Evaluating students :
Mengevaluasi siswa. Terjemahan Nien
Bakti Soemanto. Jakarta : PT Gramedia
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
49
Penelitian Tindakan Kelas
Opini
Penelitian Tindakan Kelas
Kasina Ahmad*)
Abstrak
ntuk mengatasi berbagai masalah dalam proses pembelajaran, berbagai upaya dilakukan
oleh sekolah, guru, dan peserta didik yang salah satu di antaranya ialah dengan
menerapkan penelitian tindakan kelas. Oleh karena upaya ini dianggap cukup ampuh,
tulisan ini menguraikan bagaimana cara melakukan tindakan kelas. Di samping prosedur
dan langkah-langkah dikemukakan, juga berbagai contoh diberikan untuk lebih mudah dipahami
oleh guru.
U
Kata-kata kunci: Penelitian tindakan kelas, fokus, siklus.
A lot of efforts have been given by teacher and students to solve the instructional problems as well as to
improve the quality of education. One of them is conducting clasroom action research. This article discusses
in the details the procedures of classroom action research. Beside describing the procedures, it gives some
practical examples to clarify in the details teacher’s understanding.
Pendahuluan
Sejak dikumandangkannya UU RI Nomor 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan yang
menyatakan bahwa guru adalah pendidik
profesional, maka para guru dipersyaratkan
untuk memiliki kualifikasi akademik yang
relevan dengan mata pelajaran yang diampunya
dan menguasai kompetensi sebagaimana
dituntut oleh UU Guru dan Dosen. Salah satu
kompetensi profesional yang dituntut adalah
melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
untuk perbaikan pembelajaran berdasarkan
hasil refleksi pembelajaran di kelas.
Dalam kenyataannya berbagai masalah
masih dihadapi pendidik, tenaga kependidikan,
dan peserta didik dalam meningkatkan mutu
*) Dosen PGSD Universitas Negeri Jakarta
50
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
proses dan hasil pembelajaran. Masalahmasalah ini pada hakekatnya sangat kompleks
dan saling terkait. Sungguhpun demikian,
diyakini bahwa pembelajaran di kelas
merupakan proses yang sangat berpengaruh
dalam menentukan keberhasilan peningkatan
mutu pembelajaran. Salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu proses dan hasil
pembelajaran ialah melalui PTK. Uraian berikut
bermaksud membantu para guru Sekolah Dasar
dan calon guru Sekolah Dasar untuk memahami
lebih mendalam apa yang dimaksudkan dengan
PTK.
Pembahasan
Pengertian Penelitian Tindakan Kelas
Secara singkat PTK dapat didefinisikan sebagai
suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif
Penelitian Tindakan Kelas
dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu
agar dapat memperbaiki atau meningkatkan
praktik-praktik pembelajaran di kelas secara
profesional. Oleh karena itu, PTK terkait dengan
persoalan praktik pembelajaran sehari-hari yang
dihadapi oleh guru. Sebagai contoh, guru
menghadapi persoalan rendahnya hasil belajar
baca siswa, sehingga sangat menghambat tujuan
kurikuler, maka guru dapat melakukan tindakan
kelas agar hasil belajar baca siswa dapat
ditingkatkan, misalnya dengan memuat
program pembelajaran tertentu seperti (a)
mencoba menggunakan bahan bacaan yang
memiliki gambar dan cerita yang menarik, (b)
menggunakan buku yang memiliki cerita-cerita
lokal dan (c) menggunakan buku yang memiliki
cerita lucu.
Dalam literatur bahasa Inggris, PTK disebut
dengan classroom action research. PTK merupakan
penelitian yang mampu menawarkan cara dan
prosedur baru untuk memperbaiki dan
meningkatkan profesionalisme guru dalam
proses dan produk pembelajaran di kelas dengan
melihat berbagai indikator keberhasilan proses
dan hasil pembelajaran yang terjadi pada siswa.
MC Niff (1992) yang dikutip (Siswoyo, 1998),
memandang PTK sebagai bentuk penelitian
reflektif yang dilakukan oleh guru sendiri,
hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk
(a) pengembangan keahlian pembelajarannya
sendiri dan hasilnya bermanfaat bagi muridnya,
(b) memperbaiki pemahamannya sendiri tentang
praktik atau proses pembelajaran yang
dilakukannya, dan (c) memahami situasi dan
lingkungan belajar ditempat praktik
pembelajaran dilakukan. Selain itu ditambahkan
oleh Mc. Niff bahwa PTK juga memandang guru
sebagai satu-satunya orang yang paling
mengenal situasi dan masalah yang ada di
kelasnya, sehingga dapat memutuskan teori dan
paraktik mana yang paling cocok diterapkan
untuk kelasnya.
Selanjutnya, Mc.Niff mengatakan bahwa
PTK bukan pula penelitian eksperimen, karena
dalam penelitian tindakan tidak ada kelompok
kontrol dan kelompok eksperimen yang
dimanipulasi, yang memungkinkan faktor-faktor
di luar kelompok, diawasi secara ketat dan
sistematis ikut terlibat. Dalam hal ini, PTK hanya
menerapkan langkah-langkah yang ada pada
teori yang dipraktekkan di kelas melalui
technical-rational dari pendekatan, model, strategi,
metode, teknik dan taktik.
Reigeluth dan Stein, (1983) dalam Siswoyo
menyatakan bahwa:
The result of instructional design as aprofessional
activity is an “ architect’s blueprint” for what the
instruction should be like. This blueprint is a
prescription as to what methods of instruction should
be used for that course content and those students.
Jadi bila seorang guru melaksanakan PTK
di kelasnya, ada dua hal yang dilakukannya
yaitu keterlibatan dirinya sendiri secara aktif
(involvement) dan melakukan perubahan
(improvement) melalui intruksional proses yang
dipergunakannya untuk meningkatkan kualitas
hasil akhir pembelajaran. Selanjutnya, selain
PTK memperbolehkan guru meneliti sendiri
praktek pembelajaran yang dilakukan di kelas,
PTK juga memperbolehkan guru kelas dan dosen
pembimbing secara kolaboratif dapat melakukan
penelitian terhadap proses dan produk
pembelajaran secara reflektif di kelas. Pendek
kata, dengan melakukan PTK, guru dapat
memperbaiki praktik-praktik pembelajaran di
kelas menjadi lebih efektif.
Karakteristik
Masalah yang diangkat untuk dipecahkan
melalui PTK harus selalu berangkat dari
persoalan praktik pembelajaran sehari-hari yang
dihadapi oleh guru. Di kelas, PTK akan dapat
dilaksanakan jika guru sejak awal memang
menyadari adanya persoalan yang terkait
dengan proses dan produk pembelajaran yang
dihadapinya di kelas.
PTK tidak diperlukan jika seorang guru
merasa bahwa apa yang dipraktikkannya seharihari di kelas tidak bermasalah. Yang menjadi
soal adalah tidak semua guru mampu melihat
sendiri apa yang telah dilakukannya selama di
kelas, maka perlu bantuan orang lain untuk
melihat apa yang selama ini dilakukan dalam
proses pembelajaran di kelasnya. Guru dan
dosen pembimbing dapat duduk bersama
berdiskusi untuk mencari dan merumuskan
persoalan pembelajaran di kelas. Guru dan
dosen pembimbing dapat melakukan PTK
secara kolaboratif-partisipatif.
Karakteristik khas : tindakan-tindakan
(aksi) tertentu untuk memperbaiki proses
pembelajaran di kelas. Secara spesifik Isaac dan
Michael (1980) mengemukan ciri-ciri penelitian
tindakan adalah:
1. Bersifat praktis dan relevan dengan situasi
aktual dalam dunia kerja.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
51
Penelitian Tindakan Kelas
2.
3.
Menyediakan kerangka kerja yang teratur
untuk memecahkan masalah atau
pengembangan.
Bersifat empiris, fleksible dan adaptif, yaitu
mudah diubah dan dapat disesuaikan
dengan tuntutan tindakan selama masa
penelitian.
Tujuan dan Manfaat Melakukan PTK
Penelitian tindakan kelas, bertujuan untuk
meningkatkan atau memperbaiki praktik
pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh
guru secara profesional. Saat ini masyarakat kita
berkembang begitu cepat. Akibatnya tuntutan
terhadap layanan pendidikan yang harus
dilakukan guru juga meningkat. Untuk
meningkatkan atau memperbaiki layanan
pendidikan bagi guru dalam konteks
pembelajaran di kelas, bahkan Mc Niff (1992)
menegaskan bahwa dasar utama dilaksanakannya PTK guru dapat melakukan berbagai
tindakan alternatif dalam memecahkan berbagai
persoalan pembelajaran di kelas.
Penelitian Tindakan Kelas dapat
menjembatani kesenjangan antara teori dan
praktik pendidikan. Hal ini terjadi karena setelah
meneliti kegiatannya sendiri, di kelas sendiri,
dengan melibatkan siswanya sendiri, melalui
sebuah tindakan-tindakan yang direncanakan,
dilaksanakan dan dievaluasi, guru akan
memperoleh umpan balik yang sistematik
mengenai apa yang selama ini selalu dilakukan
dalam kegiatan belajar pembelajaran. Di
samping itu seorang/peneliti/praktisi akan
dapat merasakan, menghayati dan menentukan
apakah praktek pendidikan selama ini telah
sesuai, dan berlangsung dengan baik sehingga
mencapai kadar kualitas yang seharusnya,
efektif dan efisien.
Lebih lanjut PTK dapat meningkatkan
kualitas proses dan produk pembelajarannya
tanpa mengorbankan proses pembelajaran,
tidak membebani pekerjaan guru dalam
kesehariannya, tidak mengganggu pencapaian
target kurikulernya serta dapat mengadaptasi
teori yang ada untuk kepentingan proses dan
produk. Akhirnya melalui PTK berbagai inovasi
dalam bidang pendidikan dapat dilakukan
sesuai dengan kemampuan guru dan keadaan
lingkungan.
Dilihat dari manfaatnya, PTK bermanfaat
dalam inovasi pembelajaran, pengembangan
kurikulum di tingkat sekolah dan tingkat kelas
serta peningkatan profesionalisme guru. Dalam
52
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
inovasi pembelajaran, guru perlu selalu mencoba
mengubah, mengembangkan dan meningkatkan
gaya pembelajarannya dan melakukan model
pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Di samping penelitian itu berangkat
dari realitas kegiatan guru, dalam proses
penelitian tindakan sangat terbuka bagi guru
untuk merumuskan masalahnya sendiri,
meneliti sendiri dan kemudian mengevaluasi
sendiri efektivitas model-model pembelajaran di
kelasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Rapoport (1970) antara lain menyatakan bahwa
penelitian tindakan memiliki kepedulian
terhadap pemecahan persoalan-persoalan
praktik yang dihadapi oleh manusia dalam
pekerjaannya sehari-hari. Dalam aspek
pengembangan kurikulum, PTK dimanfaatkan
secara efektif oleh guru. Guru kelas juga
bertanggung jawab terhadap pengembangan
kurikulum dalam level sekolah dan atau kelas
(sebagai salah satu masukan). Apalagi dalam
KTSP guru dan sekolah diharapkan aktif
mengembangkan kurikulum tingkat sekolah.
PTK dapat membantu guru untuk lebih dapat
memahami hakikat pengembangan kurikulum
secara empirik dan bukan hanya sekedar
pemahaman yang bersifat teroritis.
Selanjutnya PTK dilihat dari aspek
profesionalisme guru dalam proses pembelajaran, memiliki manfaat yang sangat penting.
Untuk memahami apa yang terjadi di kelas dan
kemudian meningkatkannya menuju arah
perbaikan-perbaikan secara profesional. Bahkan
dalam konteks profesionalisme guru, guru
ditantang untuk memiliki keterbukaan terhadap
pengalaman dan proses-proses pembelajaran
yang baru. Keterlibatan guru dalam PTK dapat
meningkatkan profesionalisme guru dalam
proses pembelajaran.
Penerapan Penelitian Tindakan Kelas
Agar dapat menerapkan PTK dalam upayanya
memperbaiki atau meningkatkan layanan
pembelajaran secara lebih profesional, guru
dituntut berani mengatakan secara jujur kepada
dirinya sendiri mengenai sisi-sisi lemah yang
dimiliki dalam proses pembelajaran di kelas.
Untuk dapat segera memulai dan menerapkan
PTK, guru hendaknya berangkat dari persoalan
yang kecil dahulu, merencanakan PTK secara
cermat, melibatkan pihak lain yang terkait
Penelitian Tindakan Kelas
terinformasi, menciptakan sistem umpan balik,
dan membuat jadwal penulisan.
praktik pembelajaran. Guru merencanakan
perubahan yang akan dilakukan bersama
dengan para siswa, bersama observer lainnya
(jika ada) sambil melakukan observasi, dan
Jenis-jenis Penelitian Tindakan Kelas proses belajar berlangsung sesuai dengan jadwal
belajar seperti biasanya.
Pada kenyataannya, masalah-masalah
Materi PLPG, bahan diklat PTK (2007)
pendidikan
saling berkaitan satu sama lain,
mengkategorikan PTK menjadi partisipatory
misalnya:
masalah
kualitas pendidikan,
action research, critical action research, institutional
kurangnya
sarana/prasarana,
kedisiplinan dan
action research, dan classroom action research.
sebagainya.
Kenyataannya
kegiatan yang
Partisipatory Action Research biasanya dilakukan
dilakukan
oleh
para
guru/dosen
dalam proses
sebagai strategi transformasi sosial yang
belajar
mengajar
sering
kali
mendapatkan
menekankan pada keterlibatan masyarakat, rasa
ikut memiliki program, dan analisis problem banyak kendala yang ditimbulkan dari para
sosial berbasis masyarakat. Di sini suatu peserta didik, misalnya kurangnya kemampuan
rekayasa untuk perubahan sosial direncanakan, dalam hal bertanya, menggunakan media
kemudian dilakukan, diamati dan dievaluasi/ elektronik sederhana, kelas yang pasif,
dilakukan refleksi setelah berjalan selama jangka penyelesaian tugas tidak tepat waktu dan lainlain. Kendala tersebut seharusnya dipandang
waktu tertentu.
Critical Action Research biasanya dilakukan sebagai hasil interaksi antara guru dan siswa.
oleh kelompok yang secara kolektif mengkritisi Dari kondisi ini para guru seharusnya perlu
masalah praktis, dengan penekanan pada melakukan suatu refleksi terhadap semua
tindakan dalam
komitmen untuk
rangka proses
b e r t i n d a k
pembelajaran
menyempurnakan
yang telah dilasituasi, misal hal... guru tidak lagi hanya
kukan. Untuk
hal yang terkait
dianggap sebagai penerima
selanjutnya guru
dengan ketimpembaharuan, akan tetapi
dapat mengipangan jender
mereka
ikut
bertanggung
jawab
dentifikasi
atau ras. Kelomberbagai masadalam pengembangan
pok peneliti malah yang berkaisuk dan bergapengetahuan dan keterampilan
tan dengan diribung dengan kepembelajaran.
nya sendiri di
lompok sasaran,
kelas, sehingga
untuk mengetahui
akhirnya dari
lebih dalam berbaberbagai
identifikasi
masalah
tersebut guru
gai hal yang menjadi fokus riset aksi, sambil
dapat
memfokuskan
pada
masalah-masalah
melakukan tindakan yang telah direncanakan
aktual yang perlu dicari pemecahannya dan yang
bersama kelompok sasaran.
Institutional Action Research, biasanya mampu dalam jangkauan guru itu sendiri.
Selanjutnya dalam menangani persoalandilaksanakan oleh pihak manajemen atau
persoalan
di kelas guru dapat bekerjasama
organisasi untuk meningkatkan kinerja, proses
dengan
teman
sejawat/sesama guru untuk
dan produktivitas dalam suatu lembaga. Intinya
berkolaborasi
sehingga
kegiatan yang dilakukan
juga tindakan yang berupaya memecahkan
dalam
menangani
masalah
di kelas akan lebih
masalah-masalah organisasi atau manajemen
baik
dan
terjadi
penularan
(
transfer of learning)
melalui pertukaran pengalaman secara kritis.
pengetahuan.
Pemecahan
persoalan-persoalan
Riset aksi dilakukan bersama konsultan yang
memiliki keahlian di dalam melakukan tindakan itu antara lain melalui penelitian tindakan kelas
perubahan dalam rangka meningkatkan kinerja ataupun tindakan kelas kolaborasi. Hal ini juga
sejalan dengan masa era globalisasi di mana
organisasi atau manajemen.
Classroom Action Research, biasanya para guru tidak lagi hanya dianggap sebagai
dilakukan oleh guru di kelas atau sekolah tempat penerima pembaharuan, akan tetapi mereka ikut
ia mengajar, dengan penekanan pada bertanggung jawab dalam pengembangan
penyempurnaan atau peningkatan proses dan pengetahuan dan keterampilan pembelajaran
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
53
Penelitian Tindakan Kelas
yang telah dilakukan terhadap proses
pembelajarannya sendiri dengan beberapa cara
antara lain: mengadakan penelitian tindakan
kelas (classroom action research).
PTK, saat ini berkembang dengan pesat di
negara-negara maju seperti Inggris, Amerika,
Australia, dan Kanada. Apabila dicermati
kecenderungan baru ini mengemuka karena jenis
penelitian ini mampu menawarkan pendekatan
dan prosedur baru yang lebih menjanjikan
dampak langsung dalam bentuk perbaikan dan
peningkatan profesionalisme guru dalam
mengelola proses belajar mengajar di kelas atau
mengimplementasikan berbagai program di
sekolahnya dengan mengkaji berbagai indikator
keberhasilan proses dan hasil pembelajaran
yang terjadi pada siswa. Dengan kata lain
melalui penelitian tindakan kelas, guru/
pendidik langsung memperoleh “teori” yang
dibangunnya sendiri, bukan diberikan oleh
pihak lain.
Menyusun Rencana Penelitian
Tindakan Kelas
Langkah-langkah operasional yang dapat
dilakukan PTK ialah mengidentifikasi fokus
penelitian, menganalisis fokus penelitian dan
menentukan faktor-faktor yang diduga sebagai
penyebab utama, merumuskan gagasangagasan pemecahan fokus penelitian bagi faktor
penyebab utama yang gawat dengan mengumpulkan data dan menafsirkannya untuk
mempertajam gagasan tersebut serta mengkaji
kelaikan solusi atau pilihan tindakan pemecahan masalah.
Masalah dalam penelitian kualitatif disebut
dengan fokus. Fokus penelitian kualitatif
disusun secara naratif dengan merinci
pertanyaan-pertanyaan fokus menjadi beberapa
kalimat lengkap yang bercerita tentang
bagaimana proses, situasi dan hasil penelitian
yang diinginkan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam rumusan fokus PTK adalah
seperti berikut.
a. Rumusan masalah merupakan beberapa
pertanyaan yang akan terjawab setelah
tindakan selesai dilakukan.
b. Rumusan masalah harus dirinci sehingga
tidak terlalu umum.
Misalnya:
Tidak hanya menanyakan apakah dengan
metode partisipatif siswa terhadap
54
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
pembelajaran menjadi tinggi?, tetapi harus
dipisah-pisah, yaitu: Bagaimana proses,
bagaimana situasi, dan bagaimana
hasilnya?
Contoh Fokus Penelitian
Dalam mata kuliah Dasar-dasar Fotografi salah
satu teknik dalam memotret adalah teknik ruang
tajam atau Dept of Field. Berbagai unsur yang
mempengaruhi teknik Dept of Field terkadang
menjadi kesulitan dalam memahami dan
mempraktekkannya. Adapun fokus penelitian
yang terjadi dalam mempelajari teknik Dept of
Field dapat diidentifikasikan seperti berikut.
1. Bagaimana menjelaskan pengaruh
diafragma dalam teknik Dept of Field?
2. Bagaimana menjelaskan pengaruh jarak
pemotretan dalam teknik Dept Of Field?
3. Apakah yang dapat digunakan sebagai
sumber belajar dalam membedakan gambargambar dari hasil pemotretan dengan ruang
tajam yang sempit dan lebar?
4. Metode atau treatment apa yang sesuai untuk
digunakan sehingga mahasiswa dapat
memotret dengan teknik Dept of Field secara
tepat?
Dari latar belakang di atas, peneliti
memfokuskan PTK pada metode atau treatment
yang digunakan dalam menyampaikan materi
teknik Dept of Field kepada mahasiswa yang
sedang mengikuti mata kuliah Dasar-dasar
Fotografi sehingga mahasiswa dapat memotret
dengan teknik Dept of Field secara tepat.
Dengan demikian fokus penelitian
dirumuskan sebagai berikut.
Bagaimana menerapkan metode atau treatment
yang sesuai dalam menyampaikan materi Dept
of Field?
Desain dan Prosedur Implementasi
Desain dan prosedur implementasinya disusun
sebagai berikut. Pertama, merancang model PTK
sesuai dengan permasalahan rencana kegiatan
tindakan dan keadaan atau situasi kelas,
kemudian mengatur langkah-langkah tindakan
yang akan dilakukan. Selanjutnya melakukan
identifikasi komponen pendukung yang
diperlukan. Berikutnya melakukan pengaturan
dan penyusunan jadwal kegiatan yang akan
dilakukan. Terakhir menyusun desain tindakan
sesuai dengan model PTK dan jadwal.
Penelitian Tindakan Kelas
Implementasi
Model Penelitian Tindakan Kelas
Jika peneliti melakukan PTK langkah-langkah
perlu diperhatikan ialah sebagai berikut.
1. Kegiatan awal persiapan implementasinya.
a. Pembicaraan dialog dengan Kepala
Sekolah dan guru-guru mengenai PTK
untuk mematangkan rencana.
b. Pelatihan bagi guru.
c. Penciptaan situasi kelas dan sekolah.
d. Pelatihan dengan simulasi dan
pemberian contoh bagaimana melakukan tindakan.
e. Persiapan alat dan pemantauan dan
perekaman data.
f. Persiapan perangkat dan bahan yang
diperlukan untuk melaksanakan
tindakan.
g. Persiapan untuk mendiskusikan hasil
pemantauan dan observasi dengan guru.
2. Implementasi di kelas.
Pada waktu mulai dilakukan tindakan
jangan membiarkan guru sendirian tanpa
ada yang mendampingi dan memantau apa
yang dilakukan atas reaksi atau respon
siswa.
Pada saat istirahat sebaiknya peneliti dapat
mencari informasi apa yang dirasakan oleh
siswa dan persepsi mereka, kemudian
dilakukan refleksi bersama-sama. Hasil
refleksi dapat digunakan untuk memperbaiki prosedur dan cara bertindak yang
dilakukan guru.
3. Pengelolaan dan Pengendalian.
Pengelolaan mencakup pengorganisasian
kegiatan waktu dan sarana yang
dipergunakan.
Pengendalian dimaksudkan jika diperlukan
perubahan di tengah jalan atau proses,
perubahan justru untuk meningkatkan
pencapaian hasil dan bukan penyimpangan
yang menjauhi sasaran.
4. Modifikasi prosedur dan cara tindakan.
Data hasil refleksi merupakan masukan
dan bahan pertimbangan untuk melakukan
modifikasi. Modifikasi bertujuan untuk
percepatan pencapaian tujuan.
Perlu disadari bahwa PTK bersifat siklus
(berputar melingkar seperti arah jarum jam dan
spriral artinya, semakin lama semakin
meningkat perubahan pencapaian hasilnya.
Berikut ini digambarkan model PTK menurut
Kurt Lewin.
Kurt Lewin:
Planning
Reflecting
Acting
Observing
Merumuskan Judul PTK
1. Judul berbentuk pernyataan
2. Memperlihatkan adanya dua variabel:
a. Variabel Criteria (the desired instructional
outcome/objective/product/the end results,
the ultimate outcome).
b. Variabel Instructional/ Proses (the
instructional treatment: teori, model,
pendekatan, strategi, metode, teknik,
dan taktik).
3. Adanya Satuan Analisis (populasi)
4. Adanya Satuan Pengamatan (sampel) yaitu
kelompok dari mana diperoleh informasi.
Contoh Judul:
Upaya Meningkatkan Hasil Pembelajaran IPS
Tentang Konsep Dokumen di Kelas Tiga SDN
90 Cengkareng Jakarta Barat melalui Metode
Partisipatif.
Hasil Pembelajaran IPS Tentang Konsep
Dokumen adalah: Variabel Kriteria/Produk/the
ultimate Outcome. Melalui Metode Partisipatif
adalah Variabel instructional proces.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
55
Penelitian Tindakan Kelas
Penutup
PTK dapat dilakukan oleh guru untuk mengatasi
berbagai masalah di kelas sehingga mutu proses
dan hasil belajar dapat ditingkatkan. PTK
melibatkan guru dan peserta didik secara aktif
sehingga menghasilkan makna ganda. Akan
tetapi keberhasilan PTK tergantung pada
kemauan dan penguasaan kemampuan guru
menerapkan PTK. Uraian PTK yang
dikemukakan dalam tulisan ini kiranya dapat
membantu guru mengenal PTK secara lebih jelas
sehingga memotivasi mereka melaksanakannya.
Daftar Pustaka
Hannaway, D. dan Reynold (ed), 1994, School
development series: improving education,
London: Cassel
Harjodipuro, Siswoyo. Penerapan pedagogis
metode naturalistik, Makalah Seminar
Harjodipuro, Siswoyo. (1998). Penelitian tindakan
kelas. Diktat kuliah
56
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Kristianty, Theresia. (2007). Menyusun instrumen
penelitian kuantitatif. 2007. Jakarta: Suara
GKYE Peduli Bangsa
Lincoln, Ivonna S. dan Egon G. Guba. (1981).
Naturalistic Inquiry
Moleong, Lexy. (1998). Metodologi penelitian
kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Penelitian Tindakan Kelas, Materi PLPG 2009
______Panduan Penyusunan Proposal
Penelitian Kualitatif Program Pasca
Sarjana Universitas Negeri Jakarta
_______, Decentralization and school improvement:
Can we fulfil the promise?. San Fransisco:
Jossey. Bass Publishers
_______ Materi PLPG Bahan Diklat PTK (2007)
______ (1996) Introduction to design in the
classroom. design: Constructive thought and
action problems are everywhere designing
solutions - from kindergarten to high school
(volume 2 Number 3). Tersedia pada http:/
/www.sedl.org/scimath/compass/v02n03/
pigs.html (05 Mei 2004)
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
Opini
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist
Cultures: Implications for Educational Administrators
Agustian Nugroho Sutrisno*)
Abstrak
tudi ini menyelidiki cara-cara mengatasi konflik yang dikaitkan dengan masalah perbedaan jender
dan budaya. Berbagai penelitian telah menemukan bahwa budaya kolektif cenderung menghindari
konflik dan juga cara bekerja sama ketika menghadapi konflik. Orang-orang dengan peran jender
feminin cenderung menghindari konflik. Demikian juga, dalam masyarakat kolektif, menghindari
konflik mendatangkan manfaat dan juga dianggap sebagai norma yang umum. Hubungan baik yang sudah
ada sebelumnya merupakan faktor penting dalam menentukan hasil dari menghindari konflik di Cina karena
hubungan baik sebelumnya dapat membawa dampak yang baik dalam penyelesaian konflik, sedangkan
hubungan sebelumnya yang buruk akan membawa malapetaka bagi suatu konflik dan hubungan antar individu
tersebut. Tulisan ini mengembangkan suatu model manajemen konflik bagi para administrator pendidikan di
samping memberikan penjelasan tentang berbagai situasi yang memungkinkan penggunaan penghindaran
konflik dalam masyarakat kolektif.
S
Kata kunci: Manajemen konflik, peran jender, budaya kolektif, administrasi pendidikan
This study investigates conflict handling styles as seen from the perspectives of gender and cultural
differences. Various studies have found that collectivist cultures tend to avoid conflicts. Similarly,
people with feminine gender roles tend to avoid conflicts. In collectivist cultures, avoiding conflict
can be beneficial and can also be considered as the norm. Good prior relationship is an important
factor in determining the outcome of conflict avoidance in China, because good prior relationship
can bring good effects in conflict resolution, while poor prior relationship will bring negative impacts
to the conflict and the personal relationship between the individuals involved. This article develops
a conflict management model for educational administrators and also provides explanation about
various situations that may require the use of conflict avoidance in collectivist cultures.
Introduction
Female teachers dominate the teaching profession
throughout the world (Cubillo & Brown, 2003).
However, they are underrepresented in
administrative and managerial roles (Gold,
1996). There are some differences between female
and male school administrators’ leadership
qualities, including the preference to avoid
conflicts among female administrators (Krüger,
1996). Derr (1972) noted that in many educational
institutions, it is prohibited to disagree openly.
This attitude can be seen as a preference to avoid
conflict in a predominantly female workplace.
On the other hand, males are often associated
with more confrontational ways of handling
conflicts (Holt & DeVore, 2005). School
administrators, who are still predominantly
males in some countries, might not be ‘armed’
with enough understanding of how to manage
conflict among female teachers (Cubillo & Brown,
*) Alumni SMAK 3 BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
57
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
2003).Recently, research has discovered
differences in conflict handling styles between
cultures (Brew & Cairns, 2004; Tinsley & Weldon,
2003). Based on Hofstede’s (1980) seminal study
on the impact of cultural differences on
management, researchers’ attention is mainly
focussed on the differences of conflict handling
styles between collectivist and individualist
cultures (Morris et al, 1998). The majority of the
world population lives in collectivist countries,
such as China with more than 1 billion
inhabitants and Pakistan and Indonesia, each
with populations of more than 100 million
(Hofstede, 2001, 2003; Encyclopaedia Britannica,
2004). Considering these facts, it seems
instrumental that our attention should be
focussed on the conflict handling style of female
teachers in collectivist countries. The article seeks
to find conflict handling strategies commonly
used by women in collectivist societies based on
research findings on organisational conflicts and
devises a conflict management model for
educational administrators that takes into
account females’ conflict handling style in
collectivist societies.
Conflicts in Organisations
Views on organisational conflicts have changed
dramatically. In the past, organisational conflicts
were seen as an organisational malfunction
(Owens, 2004; Shelton & Darling, 2004; Vecchio,
Hearn, & Southey, 1992). From the bureaucratic
point of view, organisational conflict is a sign of
the management’s incompetence in exercising
control over the organisation (Owens, 2004;
Stoner et al, 1994). Now, organisational conflicts
are perceived more positively (Owen, 2004;
Shelton & Darling, 2004). Organisational
conflicts, including conflicts in schools, are
inevitable and they can bring innovation and
changes in organisations (Jehn, 1995; Shelton &
Darling, 2004; Newhouse & Neely, 1993; Szilagyi
& Wallace, 1990; Vecchio et al, 1992). What
managers should do is minimise the negative
aspects and optimise the positive aspects of a
conflict (Owen, 2004; Stoner et al, 1994).
To understand organisational conflicts, it is
necessary to discuss the definition, causes, types
and effects of organisational conflicts. Rahim
(2002, p. 2) defines conflict as “an interactive
process manifested in incompatibility,
disagreement, or dissonance within or between
58
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
social entities (i.e., individual, group,
organization, etc).” According to Stoner et al
(1994, p. 315) organisational conflict is “a
disagreement between two or more organisation
members or groups.” There are many causes of
conflicts in organisations. For instance, limited
resources can cause organisational conflicts
(Owens, 2004; Rahim, 2002; Stoner et al, 1994;
Szilagyi & Wallace, 1990). Schools within a
school district often compete to attain limited
resources such as manpower or money (Stoner
et al, 1994). It is also uncommon for units or
individuals within organisations to strive to
achieve different goals (Owens, 2004; Stoner et
al, 1994; Szilagyi & Wallace, 1990). In big
universities, it is possible that a faculty develops
specific goals that are not compatible with other
faculties’ goals.
Researchers often distinguish two types of
conflict: cognitive and affective conflicts
(DiPaola & Hoy, 2001; Jehn, 1997). Cognitive
conflict or substantive conflict is a disagreement
concerning a task (DiPaola & Hoy, 2001; Jehn,
1997; Szilagyi & Wallace, 1990). Jehn (1995)
found that cognitive or substantive conflict can
have good impacts on groups when they are
dealing with non-routine tasks because different
ideas can bring better solutions to a problem.
Affective conflict takes place when someone or a
group’s feelings or attitudes do not match others’
feelings or attitudes (Szilagyi & Wallace, 1990).
Jehn (1995, 1997) argued that affective conflicts
are detrimental for organisations. They reduce
employees’ job loyalty to the organisations and
impede the organisations’ performance (Jehn,
1995, 1997). Nevertheless, the effects from
excessive conflicts of any type can seriously
paralyse an organisation because cognitive
conflicts can also lead to affective conflicts
(DiPaola & Hoy, 2001; Rahim, 2002).
There are a lot of different classifications of
organisational conflict’s effects (Stoner et al, 1994;
Szilagyi & Wallace, 1990). A full discussion of
those classifications might not be appropriate
here. Owen (2004) suggests the use of
organisational performance as a criterion to
determine whether effects of organisational
conflict are negative or positive. Negative effects
of organisational conflicts may occur when
conflicts are poorly managed and lead to
unhealthy competition and hatred among the
organisation’s personnel; thus, lowering the
organisational performance (Owen, 2004).
Conflicts can have positive effects when they are
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
managed effectively and result in an atmosphere
of collaboration and support that increases
organisational performance (Owen, 2004).
Managing Conflicts
Concern for People (Blake & Mouton)
Party’s Desire to Satisfy Other’s Concerns (Thomas)
Concern for Others (Rahim)
Concern for Relationships (Hall, Renwick)
Robbins (1978) differentiated conflict
management and conflict resolution. Conflict
resolution is the elimination or reduction of
conflicts (Robbins, 1978). On the other hand,
conflict management is the design of schemes to
minimise the negative effects of conflicts and
maximise their positive impacts in order to
improve organisational learning and
effectiveness (Rahim, 2002). Therefore, conflict
management does not always seek to eliminate
all conflicts; it sometimes tries to promote some
conflicts when the impacts can be positive for
the organisation’s performance (Robbins, 1978).
Rahim (2002) suggested that a good conflict
management strategy should identify the
appropriate conflict handling or resolution style.
Basically, there are five conflict handling styles
(Holt & DeVore, 2005). These styles are based on
two dimensions involved when a person is facing
an organisational conflict—concern for others
and concern for self (Holt & DeVore, 2005; Owen,
2004; Rahim, 2002; Thomas, 1976). Hence, this
model is occasionally called the dual concern
model (Tjosvold & Sun, 2002). Theorists have
come up with different terms for these dimensions
and styles. Holt and DeVore (2005) provided an
overlay of conflict handling styles and the
theorists who proposed them, which is shown
in figure 1.
Among these different theorists, Thomas’
model (1976) is one of the most frequently quoted
in textbooks (see French, Kast & Rozenweig, 1985;
Owen, 2004; Szilagyi & Wallace, 1990; Robbins
et al, 1994). Using Thomas’ (1976) terms, the five
conflict handling styles are accommodative,
collaborative, compromise, avoidant and
competitive. People with competitive conflict
handling style want to win their own concerns
without thinking about others’ concerns
(Thomas, 1976). On the contrary, people with
accommodating style try to win other’s concerns
without considering their own concerns
(Thomas, 1976). Compromise takes place when
both conflicting parties are willing to give up
some of their concerns to find a middle ground
(Thomas, 1976; Robbins et al, 1994).
Collaborative style seeks to fully satisfy the
concerns of both conflicting parties, which is also
known as the win-win concept (Thomas, 1976;
Owen, 2004). Avoidance takes place when people
do not care about the other party’s concerns and
Smoothing (Blake & Mouton Ronwick)
Accomodating (Thomas)
Obliging (Rahim)
Yield-Lose (Hall)
Problem-Solving (Blake & Mouton)
Confronting (Renwick)
Collaborating (Thomas)
Integrating (Rahim)
Synergistic (Hall)
Compromising (Blake & Mouton,
Renwick, Thomas, Rahim, Hall)
Withdrawing (Blake & Mouton, Renwick)
Avoiding (Thomas, Rahim)
Lose-Leave (Hall)
Forcing (Blake & Mouton)
Competing (Thomas)
Dominating (Rahim)
Win-Lose (Hall)
Concern for Production (Blake & Mouton)
Party’s Desire for Own Concern (Thomas)
Concern for Self (Rahim)
Concern for Personal Goals (Hall, Renwick)
Figure 1. Overlay of conflict handling styles and authors. Source: Holt & DeVore, 2005, p. 168.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
59
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
their own concerns (Thomas, 1976). Rahim
(2002) developed a list that matched each conflict
handling style with the situations where it could
be appropriate or inappropriate. For example,
collaborative style is appropriate when there is a
complex problem and time is available for solving
it (Rahim, 2002). It is unnecessary when the
problem is straightforward and a decision is
needed urgently (Rahim, 2002).
This conceptualisation of conflict handling
style has received some criticisms despite its
wide acceptance (Knapp, Putnam & Davies, 1988;
Volkema & Bergmann, 1995). The dual concern
conflict handling style theory seemingly
postulates that when someone faces a conflict
situation, only one conflict handling style is
employed (van de Vliert, Euwema & Huismans,
1995). Research has shown that in many conflict
situations, people use a variety of conflict
handling styles (van de Vliert et al, 1995; Volkema
& Bergmann, 1995). Van de Vliert and Hordijk
(1989) found that compromising was similar to
collaborating and questioned the validity of
compromising as a distinct conflict handling style
from the other four styles. In a study of the
influence of Confucian ethic on conflicts, Yan
and Sorenson (2004) stated that the dual concern
model was inadequate to explain the complexity
of conflict handling styles in non-Western
culture, and proposed a new model for cultures
influenced by Confucianism. Similarly, TingToomey et al (2000) identified seven conflict
handling styles used by various ethnic groups
within the United States, more than the widely
accepted five styles proposed by the dual concern
model. However, the model is still popular and
widely used in research literature (Holt &
DeVore, 2005).
Conflict Handling Style in
Collectivist Cultures
The inclusion of cross-cultural differences in
conflict management literature stems from the
acknowledgement that conflict management
theories have a Western bias and are not
adequate to handle conflicts effectively in other
cultures (Ting-Toomey, 1999; Yan & Sorenson,
2004). Therefore, researchers try to compare and
contrast conflict handling styles of people from
different countries and different ethnic groups
within a multicultural country (Elsayed-Ekhouly
& Buda, 1996; Ting-Toomey et al, 2000). Hofstede
(1980) grouped countries based on four
dimensions—individualism vs. collectivism,
feminine vs. masculine, high vs. low power
distance, high vs. low uncertainty avoidance.
The individualism vs. collectivism dimension is
the most widely utilized by researchers to group
different cultures and their preferred conflict
handling styles (Morris et al, 1998). The United
States is a country high in individualism, while
many Asian and Latin American countries are
highly collectivist (Hofstede, 2001). Presumably,
collectivist cultures use more other-oriented
conflict handling style such as accommodating,
avoiding and compromising, while individualist
cultures use more self-oriented conflict handling
styles such as collaborating, compromising, and
competing (Elsayed-Ekhouly & Buda, 1996; Holt
& DeVore, 2005; Leung, Koch, & Lu, 2002; Morris
et al, 1998). Because compromising is a halfway
between the desires for self concern and other’s
concern, it is likely to be used by both collectivist
and individualist cultures (Holt & DeVore, 2005).
Based on recent studies on cross-cultural
differences in conflict handling styles, there is a
Table 1. Research findings of types of culture and conflict handling styles
Research
Conflict Handling Styles and the Type of Culture that uses them
Accommodating
Collaborating
Compromising
Avoiding
Competing
Individualist
Collectivist
Individualist
Collectivist
Individualist
Morris et al
Collectivist
Individualist
Ting-Toomey et al
Collectivist
Elsayed-Ekhouly
& Bu da
Holt & DeVore
Ting-Toomey
60
Collectivist
Collectivist
Collectivist
Collectivist
Individualist
Collectivist
Collectivist
Collectivist
Individualist
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
conclusion that can be drawn. Elsayed-Ekhouly method of handling conflict in individualist
and Buda (1996) compared conflict handling cultures, and avoiding and collaborating styles
styles between Middle-East Arab and American as the preferred conflict handling strategies in
executives. They found that collectivist Arabs collectivist cultures. It does not mean that people
used collaborating and avoiding style more than in collectivist culture do not engage in competing
individualist Americans. Americans tended to style at all nor people in individualist culture do
choose accommodating, competing and not use avoiding and collaborating styles in
compromising conflict handling styles. Morris handling conflicts. People in collectivist cultures
et al (1998) studied conflict handling styles may use competing style but to a lesser degree or
among young managers in India, China, the frequency than people in individualist cultures,
Philippines and the U.S. and found that and similarly, people in individualist cultures
collectivist Chinese managers tended to use may use avoiding and collaborating conflict
avoiding more than Americans, while American handling styles but to a lesser degree than people
managers preferred competing style. Based on in collectivist cultures (Chew & Lim, 1995).
the findings of her earlier studies, Ting-Toomey
(1999) stated that individualists used more
competing style. Collectivists used more
Female Conflict Handling Style
collaborating and compromising styles, and in
task related conflicts, they tended to use Researchers hypothesise that males and females
accommodating and avoiding styles (Ting- handle conflicts differently (Shockley-Zalabak,
Toomey, 1999). In a study of ethnic identity and as cited in Holt & DeVore, 2005). Traditionally,
conflict styles in
females are expecA m e r i c a ,
ted to be caring
and receptive,
TingToomey et al
while males are
(2000) found Asi... females were more likely to
expected to be
an Americans
use compromise than males in
straightforward,
used avoiding
both collectivist and
independent and
conflict handling
individualist cultures, while men
d o m i n a n t
style more than
(Hofstede, 2001).
preferred using competing style
European and
Based on this
African Amemore than females in
traditional view,
ricans. It was
individualistic cultures.
the concern for
postulated that
other dimension
Asian Americans
of the dual conwho still strongly
identified themselves with their traditional ethnic cern model can be interpreted as a feminine
values were more collectivist than European quality in handling conflict and the concern for
Americans. Holt and De Vore (2005) conducted self dimension can be viewed as a masculine
a meta-analysis of several studies on culture and quality (Hofstede, 2001). Consequently, women
conflict management. They concluded that are presumed to resolve conflicts by
individu-alistic cultures were more likely to accommodating, avoiding and compromising,
choose competing style and named avoidance, while men are hypothesised to handle conflicts
compromise and collaboration as the preferred by collaborating and competing (Holt & DeVore,
methods of conflict handling in collectivist 2005).
Research of female conflict handling style
cultures. A summary of the results of these
has
been
unable to establish a strong conclusion
studies is presented below.
about
the
preferred conflict handling style among
There are some conflicting findings between
females
(Brewer,
Mitchell, & Weber, 2002; Holt &
these studies, particularly the attribution of
DeVore,
2005).
Sternberg
and Dobson (1987)
compromising and accommodating as the
found
that
there
were
no
significant
differences
preferred conflict handling styles of both
between
male
and
female
conflict
handling
style.
collectivist and individualist cultures. The
Bedell
and
Sistrunk
(1973)
found
that
women
conclusion that can be drawn from these studies
is the similarity between these studies in were more competitive than men in handling
identifying competing style as the preferred conflicts. Rahim (1983) found that women were
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
61
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
more likely to employ collaborating, avoiding
and compromising than men. To establish a
more reliable conclusion, Holt and DeVore (2005)
conducted a meta-analysis into this problem
based on data gathered from previous 36 studies
and found that females were more likely to use
compromise than males in both collectivist and
individualist cultures, while men preferred
using competing style more than females in
individualistic cultures. Although the metaanalysis gave some support for the general
proposition about the female preferred conflict
handling style, it was still disappointing because
the meta-analysis found that collectivist males
chose conflict avoidance while the females chose
collaboration, which seemed contradictive to the
general proposition about gender differences in
conflict handling style (Holt & DeVore, 2005).
Brewer et al (2002) studied gender roles
instead of pure biological sex in relation to conflict
handling style in order to find a more satisfactory
result. Gender roles are learned patterns of
masculine and feminine features which can
determine how a person behaves (Cook, as cited
by Brewer et al, 2002). This is similar with
Hofstede’s (2001) idea about femininity and
masculinity in various national cultures. It is
possible that a female takes a more masculine
gender role because she is ‘forced’ by her
condition to be more assertive and competitive.
A lot of female managers have more masculine
characteristics than most women (Fagenson,
1990). Moreover, Cubillo and Brown (2003) stated
that schools with their educating and nurturing
roles were associated with feminine
characteristics. It is possible that male teachers
may adopt many qualities of the feminine gender
role in order to fit in schools. Brewer and others
(2002) predicted that people with a masculine
gender role preferred competing and those with
feminine gender roles preferred accommodating
and avoiding conflict handling styles.
Androgynous people, those with both masculine
and feminine gender roles, were predicted to use
integrating and compromising styles more than
the others. These propositions about gender roles
were partially supported by their research
findings. Avoiding style could be attributed to
the female biological sex and feminine gender
role. Androgynous individuals used integrating
style and masculine individuals tended to use
competing style. This research by Brewer et al
(2002) seemingly gives a clearer explanation of
62
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
the general assumption about the differences
between females and males’ conflict handling
styles using the notion of gender roles. Brewer et
al’s study (2002) might look promising, but it has
not been replicated in a wider population and
different cultures.
Holt and DeVore’s meta-analysis (2005) and
Brewer et al’s research (2002) do not show a very
strong correlation between gender and a
particular conflict handling style. The two
studies recommend a search for more
sophisticated explanation about gender and
conflict handling style (Brewer et al, 2002; Holt
& DeVore, 2005). Researchers need to move
beyond gender, explore the role of power and
perception, and observe actual behaviour to
further investigate the female conflict handling
style (Brewer et al, 2002; Holt & DeVore, 2005;
Klenke, 2003). As researchers continue to look
for more reliable explanations about female
conflict handling style, we seemingly have to
make do with the available research. Because
research has shown that collectivist cultures tend
to use avoiding and collaborating styles, and
people with feminine gender role, which include
both women and men, tend to prefer avoiding
along with compromising style, there is a
possibility that the avoiding style is frequently
used by both males and females in collectivist
cultures. Thus, our focus should be on the use of
conflict avoidance in collectivist cultures.
Avoiding Conflict
Avoiding conflict has been viewed as a rather
negative style of handling conflict. Western
researchers have found that conflict avoidance
is counterproductive, while handling conflict
openly is beneficial for settling relationship
issues and increasing productivity (DeDreu &
Vandevliert, as cited in Tjosvold & Sun, 2002;
Gross & Guerrero, 2000; Jehn, 1997). Based on
the dual concern model, avoiding is seen as an
egoistic way of solving conflict because the
person who employs it has a low level of concern
for relationships and solving the problem
(Tjosvold & Sun, 2002). Szilagyi and Wallace
(1990) and Owen (2004) described avoiding as
essentially not dealing with a conflict because
the conflict still remained unsolved.
This negative perception of avoiding conflict
might not be suitable for collectivist cultures in
the East (Morris et al, 1998). For collectivist
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
cultures, avoiding conflict is appropriate because consequences of avoiding conflict. Conflict
interpersonal relationships are highly valued avoidance can increase productivity and
(Leung et al, 2002; Tjosvold & Sun, 2002). They strengthen relationships when the previous
do not want other people to ‘lose face’ in public relationship between the conflicting parties is
and there is a culture of not to argue (Ting- already effective. However, when the prior
Toomey, 1999; Holt & DeVore, 2005). In the East, relationship is bad, conflict avoidance can
conflict avoidance may be motivated by the idea reduce productivity and weaken the already
of supporting relationships and promoting the fragile relationship.
goals of both parties involved in the conflict, not
This exploratory study about avoiding
because the conflicting parties have low concern conflict in China by Tjosvold and Sun (2002) has
for relationship and solving the problem some weaknesses that warrant further
(Tjosvold & Sun, 2002).
explanation and research. First, the idea of
Tjosvold and Sun (2002) studied conflict outflanking is very interesting and it can show
avoidance in China and hypothesised that four that collectivists are not passive in handling
interrelated elements—prior relationship conflict. However, outflanking might not be
between the conflicting parties, motivation to suitable to be classified as a strategy of conflict
avoid conflict, avoiding strategies and the avoidance, because it involves using a third party
consequences—should be considered in to influence the other protagonist. Ting-Toomey
understanding
et al (2000), for
c o n f l i c t
i n s t a n c e ,
avoidance. They
classified the use of
identified two
a third party as a
In the East, conflict avoidance may
strategies of avoidistinct way of
be motivated by the idea of
ding conflict in
handling conflict.
supporting relationships and
China. The first
Furthermore, the
strategy is conforpromoting the goals of both parties
study was based
ming—comon responses of a
involved in the conflict, not
plying with the
rather limited
because the conflicting parties have
other’s decision
number of responlow concern for relationship and
and concealing
dents in Southern
solving the problem
the expression of
China, so further
unhappiness.
studies are needed
This fits with the
to replicate the
common depicresearch with more
tion of avoiding conflict as a passive conflict respondents in other parts of China (Tjosvold &
handling style. The second is outflanking— Sun, 2002). Therefore, we do not know whether
trying to work around the other party involved the results of this study can be applied in other
in the conflict. It is a proactive and goal-driven collectivist cultures or not. Unfortunately,
action of avoiding conflict. People using empirical studies of conflict avoidance in other
outflanking “collect information, pursue their collectivist cultures are not available.
objectives as best they can, and try to influence
the other protagonist through a third party”
(Tjosvold & Sun, 2002, p. 154). The effects of these
Conflict Management Model for
two strategies are different. Conforming is
Educational Administrators
correlated with increased respect for the other
party; however, it is of little use and should not Based on the discussion above, it seems quite
be used extensively. Outflanking is more clear that we cannot draw a solid conclusion
productive. It increases the performance and about conflict avoidance in collectivist cultures.
confidence of its users because the conflicting Nevertheless, if Tjosvold and Sun’s (2002)
parties become more creative and active to find a finding can be generalised for most collectivist
better solution for the problem without becoming cultures, we can devise a conflict management
engaged in a conflict. They also found that the model for schools that takes into account the
previous relationship played a central role in preference of avoiding conflict in collectivist
determining the motivation, strategy and cultures. Rahim (2002) developed a conflict
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
63
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
management model that formed the basis for
devising conflict management strategies for the
current study. In this paper, the focus of conflict
management is on the process intervention.
Process intervention is managing conflict by
helping the organisation’s personnel learn how
to match the conflict handling styles with the
nature of the conflict situation (Rahim, 2002). The
diagram in the next page outlines a model of
conflict management for educational
administrators. The following paragraphs
explain the model and steps of managing conflict.
The first step of managing conflict is
diagnosing the organisation. A school
administrator needs to investigate whether there
are conflicts in the school or not. If there is no
conflict, the administrator still needs to conduct
conflict handling training for the teachers and
other staff so they can match the conflict
handling styles with the conflict situation. After
training the staff about the need to maintain some
constructive conflicts in the organisation and the
appropriate ways of handling conflicts based on
the situation, then the administrator can
stimulate some conflicts in the organisation
(Rahim, 2002). This might seem contradictory to
the findings that schools are effective when
teachers collaborate and do not fight among each
other (Ayres et al, 2000; Aubrey-Hopkins &
James, 2002). Stimulating conflict does not mean
that teachers should fight among each other and
stop working together. The type of conflict
stimulated in conflict management is cognitive
conflict that challenges teachers to test their ideas
or practices against each other (Rahim, 2002).
For instance, by sharing their teaching practices,
the teachers engage in a discussion that might
lead to a conflict about the best way to teach a
subject. Through such conflict, the teachers
enrich each other’s knowledge and increase the
effectiveness of their teaching. Some ways to
stimulate conflicts include bringing in outsiders,
people who have a different background or
perspective from the present staff, and having a
devil’s advocate who deliberately criticise the
majority’s practice or opinion (Robbins, as cited
in Robbins et al, 1994). Because the teachers have
already been trained to handle conflicts
effectively, they are expected to be able to
understand functions of conflicts and how to deal
with conflicts wisely.
If there are conflicts, an administrator
should clarify whether the conflicts are
constructive or destructive (DiPaola & Hoy, 2001;
Diagnosis
No conflict
Conflict exists
Conflict
handling style
training
Destructive
conflict
Constructive
conflict
Stimulate
constructive
conflict
Resolve conflict
Conflict handling style
training
Teachers understand how to solve and maintain
conflict effectively
Maintain constructive conflict at an
acceptable level
Increased organisational performance
Figure 2. Conflict management model for educational administrators
64
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
Rahim, 2002). Excessive affective conflicts are
destructive, while a moderate amount of
cognitive conflicts is constructive for
organisations (Jehn, 1997; Rahim, 2002).
Destructive conflicts need to be tackled
immediately. Administrators should understand
the causes of conflicts and use good
communication skills when handling conflicts
(DiPaola & Hoy, 2001; Newhouse & Neely, 1993).
Destructive conflicts should be handled by
utilising cooperative problem-solving which
attempts to integrate the different interests of the
conflicting parties to achieve a mutually
satisfying solution (DiPaola & Hoy, 2001).
Administrators should avoid using competitive
and authoritarian ways to resolve conflicts
because research has shown that such ways can
actually worsen the conflicts (DiPaola & Hoy,
2001). There can be two results of this
intervention. The conflicts can disappear and
when they have disappeared, the situation
becomes similar with the no conflict situation.
Administrators should then take the steps
outlined in the previous paragraph. Another
possibility is the alteration of destructive conflicts
into constructive conflicts. For example, after an
affective conflict has been solved, some different
opinions may persist but the conflicting teachers
begin to see each other not as enemies but as
partners in developing their school. This brings
us to the next discussion about managing
constructive conflicts.
When constructive conflicts are identified
in a school, they should be maintained and the
staff should be aware of conflict handling
strategies to prevent the constructive conflicts
turn destructive. Therefore, teachers should be
trained to utilise the suitable conflict handling
strategies although the conflicts are already
constructive. The result should be the teachers’
increased understanding of how to maintain
constructive conflicts and when this ideal is
achieved, the performance of the organisation
can increase as well (Rahim, 2002). Although the
performance increases, continuous diagnosis is
an important part of educational administrators’
duty to maintain constructive conflicts at the
appropriate level, reduce destructive conflicts,
and stimulate conflicts when there is no conflict
(Owen, 2004).
Because there is a big possibility that
teachers choose avoiding style in collectivist
cultures, special attention is needed for this
particular conflict handling style. Administrators
need to put special emphasis on conflict
avoidance in the conflict handling training.
Based on the studies by Tjosvold and Sun (2002)
and Rahim (2002), there are two salient factors
that should be taken into account to ensure that
avoiding conflict can be positive—prior
relationship and the importance of the issue.
Borrowing Hoy and Tarter’s (1993) decision
making model, a model of the interaction between
prior relationship, importance of the issue and
conflict handling style is depicted below. This
model can be included in conflict handling
training for teachers in collectivist cultures.
Importance
Relationship
Positive
Important
Unimportant
Outflank
Conform
Negative Collaborate or
compromise
Accommodate
Figure 3. The interaction between prior
relationship and importance in determinin
conflict handling style
When the previous relationship was good,
one of the strategies of conflict avoidance should
be considered. When the issue is important,
avoiding conflict by outflanking is suitable. The
conflicting parties do not engage in open conflict;
rather, they try to investigate the problem more
deeply and determine the goals that they want to
achieve (Tjosvold & Sun, 2005). They also make
use of a third party that can act as a mediator
and influence the other party to agree, so a
conflict does not occur and slow down the quest
of finding the best solution for an important issue
(Tjosvold, 2005). Because the relationship is
already good, there is a trust that the other party
will not plan something bad or cause someone
to ‘lose face’ (Tjosvold & Sun, 2005). When the
issue is not important, conforming can be a good
choice. One of the conflicting parties can just
agree with the opinion or decision of the other
party because the problem is not important and
instigating conflict may just harm the already
good relationship without achieving anything
important.
When prior relationship is bad, avoiding
conflict is not appropriate and other conflict
handling styles are needed (Tjosvold & Sun,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
65
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
2005). When conflicting parties distrust one
another, avoiding conflict and being not open to
the other party cannot fix the problem and can
even increase the distrust (Tjosvold & Sun, 2005).
Collaborating or compromising might be needed
when the issue is important. The conflicting
parties need to be open, confront, and discuss
the matter with one another preferably to achieve
a win-win solution. If it is not possible to achieve
a win-win solution, a compromise can be
considered. When the issue is not important,
accommodating can be appropriate. After
confronting one another, one of the conflicting
parties may be willing to give up their standing,
because the issue is not important for that party
or it is in a weaker position. Competing is less
likely to be chosen by collectivists and feminine
people in any circumstances; hence, it is not
included in this discussion.
There are some limitations of the two models
described in this paper. The conflict management
model for educational administrators outlines
the general steps to manage conflicts by using
process intervention. However, there are still
other interventions that can be used to manage
conflicts (Rahim, 2002; Robbins, as cited in
Robbins et al, 1994). Furthermore, the two aspects
of the conflict avoidance model are not the only
ones that should be considered when using
conflict avoidance. Other aspects that can be
considered
include
shared
goals,
interdependence of the conflicting parties and
availability of time (Rahim, 2002; Tjosvold & Sun,
2002). Moreover, teachers may have been trained
to handle conflict effectively, but it might be
unrealistic to expect them to be always aware of
the conflict handling styles and appropriate
situations in which to use each style.
Administrators may need to find other ways to
manage conflicts besides using conflict handling
training. A further elaboration of the above model
is needed but limited space does not allow a more
detailed discussion.
Conclusion
This study has investigated conflict handling
styles in conjunction with gender and cultural
differences. Research has found collectivist
cultures tend to use avoiding as well as
collaborating style in handling conflicts
(Elsayed-Ekhouly & Buda, 1996). People with
feminine gender role, both men and women, are
66
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
more likely to avoid conflict (Brewer et al, 2002).
In a collectivist culture, avoiding conflict can be
useful and appropriate (Morris et al, 1998). Prior
relationship plays an important role in
determining the outcome of avoiding conflict in
China because positive prior relationship can
bring good outcomes but bad prior relationship
might be disastrous for the conflict and the
relationship itself (Tjosvold & Sun, 2002).
The paper has developed a conflict
management model for educational
administrators. A discussion about the
appropriate situation to employ conflict
avoidance in collectivist cultures is also
provided.
As this study is based on some assumptions,
more research is needed to verify those
assumptions. Although the models developed in
this paper can guide administrators to manage
conflicts, more elaboration is required to devise
more comprehensive models.
References
Aubrey-Hopkins, J. & James, C. (2002). Improving
practice in subject departments: the
experience of secondary school subject
leaders in Wales. School Leadership and
Management, 22(3), 305-320.
Ayres, P., Dinham, S. & Sawyer, W. (2000).
Successful senior secondary school teaching.
Paper No. 1 in the Quality Teaching
Series. Deakin West, ACT: Australian
College of Education.
Brew, F.P., & Cairns, D.R. (2004). Styles of
managing interpersonal workplace
conflict in relation to status and face
concern: A study with Anglos and
Chinese. The International Journal of
Conflict Management, 15(1), 27-56.
Retrieved September 27, 2005, from
http://www.umi.proquest.com.
Brewer, N., Mitchell, P.,& Weber, N. (2002).
Gender role, organizational status, and
conflict management styles. The
International Journal of Conflict
Management, 13(1), 78-94. Retrieved
September 27, 2005, from http://
www.umi.proquest.com.
Cubillo, L., & Brown, M. (2003). Women into
educational
leadership
and
management: International differences?
Journal of Educational Administration,
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
41(3), 278-291. Retrieved September 28,
2005, from http://www.emeraldinsight.
com/0957-8234.htm.
Derr, C.B. (1972). Conflict resolution in
organizations: Views from the field of
educational administration. Public
Administration Review, 32 (5), 495-501.
Retrieved September 27, 2005, from
http://links.jstor.org.
DiPaola, M.F., & Hoy, W.K. (2001). Formalization,
conflict, and change: constructive and
destructive consequences in schools. The
International Journal of Educational
Management, 15 (4-5), 238-244. Retrieved
October 12, 2005, from http://
www.umi.proquest.com.
Elsayed-Ekhouly, S.M., & Buda, R. (1996).
Organizational conflict: A comparative
analysis of conflict styles across cultures.
The International Journal of Conflict
Management, 7(1), 71-81. Retrieved
September 27, 2005, from http://
www.umi.proquest.com.
Fagenson, E.A. (1990). Perceived masculine and
feminine attributes examined as a
function of individuals’ sex and level in
organizational power hierarchy: A test
of four theoretical perspectives. Journal
of Applied Psychology, 75(2), 204-211.
Retrieved October 9, 2005, from http://
gateway.ut.ovid.com.
French, W.L., Kast, F.E. & Rozenweig, J.E. (1985).
Understanding human behaviour in
organizations. New York: Harper & Row.
Gross, M.A., & Guerrero. (2000). Managing
conflict appropriately and effectively:
An application of the competence model
to Rahim’s organizational conflict styles.
International Journal of Conflict
Management, 11(3), 200-226. Retrieved
October 15, 2005, from http://
www.umi.proquest.com.
Gold, A. (1996). Women into educational
management. European Journal of
Education, 31 (4), 419-433.
Hofstede, G. (1980). Culture’s consequences:
International differences in work-related
values. Beverly Hills, CA: Sage
Publications.
Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences:
Comparing values, behaviors, institutions,
and organizations across nations, 2nd ed.
Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Hofstede, G. (2003). Cultural constraints in
management theories. In L.W. Porter,
G.A. Bigley, & R.M. Steers (Eds.)
Motivation and work behavior, 7th ed (pp.
344-357). New York: McGraw-Hill
Higher Education.
Holt, J.L., & DeVore, C.J. (2005). Culture, gender,
organizational role, and styles of conflict
resolution: A meta-analysis. International
Journal of Intercultural Relations, 29, 165196. Retrieved September 24, 2005, from
http://www.elsevier.com/locate/
ijintrel.
Hoy, W.K., & Tarter, C.J. (1993). A normative
theory of participative decision making
in schools. Journal of Educational
Administration, 31 (3), 4-19.
Indonesia. (2004). In Encyclopaedia Britannica
Standard Edition 2004 CD-ROM.
Copyright 1994-2003. Encyclopaedia
Britannica, Inc. May 30, 2003.
Jehn, K.A. (1995). A multimethod examination of
the benefits and detriments of
intragroup conflict. Administrative science
quarterly, 40(2), 256-282. Retrieved
September 29, 2005, from http://
links.jstor.org.
Jehn, K.A. (1997). A qualitative analysis of conflict
types and dimensions in organizational
groups. Administrative science quarterly,
42(3), 530-557. Retrieved September 29,
2005, from http://links.jstor.org.
Klenke, K. (2003). Gender differences in decisionmaking processes in top management
teams. Management Decision, 41 (10),
1024-1034. Retrieved September 28, 2005,
from http://www.umi.proquest.com.
Knapp, M.L., Putnam, L.L., & Davis, L.J. (1988).
Measuring interpersonal conflict in
organizations: Where do we go from
here? Management communication
quarterly, 1(3), 414-429. Retrieved October
5, 2005, from http://ft.csa.com.
Krüger, M.L. (1996). Gender issues in school
headship: Quality versus power?
European Journal of Education, 31 (4), 447-460.
Leung, K., Koch, P.T., & Lu, L. (2002). A dualistic
model of harmony and its implications
for conflict management in Asia. Asia
pacific journal of management, 19, 201-220.
Retrieved October 8, 2005 from http://
www.umi.proquest.com.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
67
Conflict Avoidance Among Females in Collectivist Cultures
Morris, M.W. et al (1998). Conflict management
style: Accounting for cross-national
differences. Journal of International
Business Studies, 29(4), 729-747. Retrieved
September 30, 2005, from http://
links.jstor.org.
Newhouse, R.C., & Neely, M. (1993). Conflict
resolution: An overview for classroom
managers. International journal of
educational management, 7(3), 4-8.
Retrieved October 11, 2005, from http:/
/www.umi.proquest.com.
Owens, R.G. (2004). Organizational behaviour in
education: Adaptive leadership and school
reform. Boston, MA: Pearson.
Pakistan. (2004). In Encyclopaedia Britannica
Standard Edition 2004 CD-ROM.
Copyright 1994-2003. Encyclopaedia
Britannica, Inc. May 30, 2003.
Rahim, M.A. (1983). A measure of styles of
handling interpersonal conflict. Academy
of Management Journal, 26(2), 368-376.
Rahim, M.A. (2002). Toward a theory of
managing organizational conflict. The
International Journal of Conflict
Management, 13(3), 206-235. Retrieved
September 26, 2005, from http://
www.umi.proquest.com.
Robbins, S.P. (1978). “Conflict management” and
“conflict resolution” are not
synonymous
terms.
California
Management Review, 21, 67-75. Retrieved
October 11, 2005, from http://
www.umi.proquest.com.
Shelton, C.D., & Darling, J.R. (2004). From chaos
to order: Exploring new frontiers in
conflict management. Organization
Development Journal, 22(3), 22-41.
Retrieved October 7, 2005, from http://
www.proquest.umi.com.
Sternberg, R.J., & Dobson, D.M. (1987). Resolving
interpersonal conflict: An analysis of
stylistic consistency. Journal of
Personality and Social Psychology, 52(4),
794-812. Retrieved October 9, 2005, from
http://gateway.ut.ovid.com.
Stoner, J., Yetton, P., Craig, J., & Johnston, K.
(1994). Management in Australia. Sydney:
Prentice-Hall.
Szilagyi, A.D. & Wallace, M. J. (1990).
Organizational behavior and performance,
4th ed. Glenview, Il: Scott, Foresman and
Company.
68
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Thomas, K. (1976). Conflict and conflict
management. In M.D. Dunnette (Ed.)
Handbook of industrial and organizational
psychology (pp. 889-935). Chicago: Rand
McNally.
Ting-Toomey, S. (1999). Communicating across
cultures. New York: Guilford Press.
Ting-Toomey, S. et al (2000). Ethnic/cultural
identity salience and conflict styles in
four US ethnic groups. International
Journal of Intercultural Relations, 24, 4781. Retrieved September 28, 2005, from
http://www.elsevier.com.
Tinsley, C.H., & Weldon, E. (2003). Responses to
a normative conflict among American
and Chinese managers. International
Journal of Cross Cultural Management, 3(2),
183-194. Retrieved September 27, 2005,
from http://www.umi.proquest.com.
Tjosvold, D., & Sun, H.F. (2002). Understanding
conflict avoidance: Relationship,
motivations, actions, and consequences.
The International Journal of Conflict
Management, 13(2), 142-164. Retrieved
October 10, 2005, from http://
www.umi.proquest.com.
Van de Vliert, E., Euwema, M.C., & Huismans,
S.E. (1995). Managing conflict with a
subordinate or a superior: Effectiveness
of conglomerated behaviour. Journal of
Applied Psychology, 80, 271-281.
Retrieved October 5, 2005, from http://
gateway.ut.ovid.com.
Van de Vliert, E., & Hordijk, J.W. (1989). A
theoretical position of compromising
among other styles of conflict
management. The Journal of Social
Psychology, 129(5), 681-690. Retrieved
October 5, 2005, from http://
content.epnet.com.
Vecchio R. P., Hearn, G. and Southey, G. (1992).
Organisational Behaviour: Life at work in
Australia. Sydney: HBJ.
Volkema, R.J., & Bergmann, T.J. (1995). Conflict
styles as indicators of behavioral
patterns in interpersonal conflicts. The
Journal of Social Psychology, 135 (1), 5-15.
Retrieved October 5, 2005, from http://
content.epnet.com.
Yan, J., & Sorenson, R.L. (2004). The influence of
Confucian ideology on conflict in
Chinese family business. International
Journal of Cross Cultural Management, 4(1),
5-17. Retrieved September 27, 2005, from
http://www.proquest.umi.com
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
Opini
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan
Berbasis Kompetensi Guru dalam Rangka Membangun
Keunggulan Bersaing Sekolah
David Wijaya*)
Abstrak
alah satu faktor penentu keberhasilan/kegagalan sekolah adalah faktor sumber daya
manusia (SDM) pendidikan. Keunggulan bersaing sekolah sangat ditentukan oleh mutu
SDM pendidikan. Penanganan SDM pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh dalam
kerangka sistem pengelolaan SDM pendidikan yang bersifat strategis, terintegrasi, saling
berkaitan, dan bersatu-padu. Sekolah sangat membutuhkan SDM pendidikan yang kompeten dan
memiliki kompetensi tertentu yang dibutuhkan agar dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan
pekerjaannya.
S
Kata kunci: Manajemen SDM pendidikan, kompetensi guru, keunggulan bersaing sekolah.
The success or the failure of a school is influenced by several factors, one of which is the available human
resources. This article is of the opinion that qualified and profesional human resources enable school to
develop and compete. The school is expected to manage its personnel appropriately and motivate them to
complete their task successfully.
Pendahuluan
Sumber daya manusia (SDM) dalam suatu
organisasi merupakan komponen utama bagi
keberlangsungan hidupnya. Faktor sarana dan
prasarana, sistem, serta bahan merupakan
komponen pelengkap terhadap SDM. Semua
fasilitas, aset, dan prasarana lainnya tidak dapat
berfungsi optimal jika tidak tersedia SDM
sebagai “penggerak” dari suatu sistem,di
samping komponen lainnya (kurikulum, sarana,
dan prasarana). Istilah SDM menjadi populer
dalam dunia pendidikan ketika Prof. Wardiman
Djojonegoro menjadi menteri pendidikan pada
zaman Orde Baru, padahal istilah ini lebih
banyak dipakai di dalam dunia bisnis, dan
menteri pendidikan sebelumnya tidak pernah
menggunakan istilah tersebut dalam dunia
pendidikan.
Kualitas SDM di dalam penyelenggaraan
pendidikan merupakan “roh” dari sekolah. Soft
property ini menggerakkan sistem kurikulum
serta sarana dan prasarana lainnya (hard
property) sehingga layanan pendidikan dapat
terselenggara. Guru dalam proses pembelajaran
berfungsi sebagai motivator dan fasilitator bagi
siswa untuk mengembangkan potensinya secara
optimal dengan mendayagunakan semua
sarana pembelajaran yang tersedia serta sistem
pembelajaran yang kondusif. Up-grade
kemampuan profesional guru menjadi suatu
keharusan yang tidak boleh diabaikan. Akan
tetapi, Ubrodiyanto (2007) menemukan beberapa
kendala di dalam tataran praktis pengembangan
kualitas guru:
1. Pengembangan kualitas guru merupakan
investasi yang hasilnya tidak bersifat instant
atau merupakan investasi jangka panjang
(long-term investment). Sementara di dalam
*) Alumni SMAK 3 BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
69
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
tataran praktis pendidikan, masyarakat
cenderung menginginkan perubahan serta
perkembangan yang bersifat riil dan konkret.
2. Pengembangan kualitas guru mengarah
kepada peningkatan soft skill yang tidak
berwujud secara fisik. Jadi, perubahan
sebagai dampak dari investasi ini akan
dapat diketahui tingkat keberhasilannya
dalam waktu yang relatif lama.
3. Pengembangan kualitas guru menuntut
perencanaan dan pelaksanaan program
yang berkesinambungan. Program yang
berkesinambungan juga berdasarkan pada
pemikiran akan perlunya melakukan
refreshing atas kemampuan yang telah
dikuasai sebelumnya. Tanpa pengembangan yang berkesinambungan, maka kompetensi guru akan semakin memudar seiring
dengan berjalannya waktu.
4. Rawan terjadinya pembajakan atas guru
dan tenaga kependidikan yang telah
dilakukan up-grade oleh institusi-institusi
lainnya dengan berbagai motivasi.
Pendidikan memegang peran yang sangat
penting di dalam proses peningkatan kualitas
SDM. Peningkatan kualitas pendidikan
merupakan proses yang terintegrasi dengan
proses peningkatan kualitas SDM itu sendiri.
Menyadari akan pentingnya proses peningkatan
kualitas SDM tersebut, maka pemerintah terus
berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui
berbagai usaha pembangunan pendidikan yang
berkualitas, antara lain melalui pengembangan
kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan
sarana pendidikan, pengembangan dan
pengadaan bahan belajar, serta berbagai
pelatihan bagi guru. Pendidikan yang bermutu
memiliki kaitan ke depan (forward linkage) dan
kaitan ke belakang (backward linkage). Forward
linkage berarti bahwa pendidikan yang bermutu
merupakan syarat utama untuk mewujudkan
kehidupan bangsa yang maju, modern, dan
sejahtera. Backward linkage berarti bahwa
pendidikan yang bermutu tergantung pada
keberadaan guru yang bermutu, yaitu guru yang
profesional, sejahtera, dan bermartabat. Oleh
karena keberadaan guru yang bermutu
merupakan syarat mutlak lahirnya sistem dan
praktek pendidikan yang berkualitas, maka
hampir semua bangsa di dunia ini mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru
yang berkualitas. Salah satu kebijakan yang
dikembangkan oleh pemerintah di beberapa
negara (Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan
70
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Amerika Serikat) adalah kebijakan intervensi
langsung dalam hal peningkatan mutu serta
memberikan jaminan dan kesejah-teraan guru
yang memadai. Negara-negara tersebut
berupaya meningkatkan mutu guru dengan
mengembangkan kebijakan yang langsung
mempengaruhi mutu dengan melaksanakan
sertifikasi guru.
Di Indonesia, dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan nasional, pemerintah melalui
Depdiknas terus berupaya melakukan pembaharuan sistem pendidikan nasional. Salah satu
upaya yang telah dilakukan berkaitan dengan
faktor guru adalah lahirnya Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Kedua regulasi tersebut merupakan kebijakan
pemerintah yang memuat usaha pemerintah
untuk menata dan memperbaiki mutu guru di
Indonesia. Pembaharuan sistem pendidikan
tergantung pada bagaimana guru berpikir dan
bertindak. Atau dengan kata lain, pembaharuan
sistem pendidikan bergantung pada penguasaan
kompetensi guru.
Meskipun kedua regulasi tersebut telah
ditetapkan, namun masih ada berbagai masalah
terkait kondisi guru, yaitu: (1) adanya
keberagaman kemampuan guru dalam proses
pembelajaran dan penguasaan pengetahuan; (2)
belum adanya alat ukur yang akurat untuk
mengetahui kemampuan guru; (3) pembinaan
yang dilakukan terhadap guru belum
mencerminkan kebutuhan; dan (4) kesejahteraan
guru yang belum memadai. Secara spesifik,
Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah
satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah
guru belum mampu menunjukkan kinerja (work
performance) yang memadai. Ini menunjukkan
bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang
oleh derajat penguasaan kompetensi yang
memadai. Jika masalah-masalah tersebut tidak
diatasi, maka akan berdampak pada rendahnya
mutu pendidikan.
Sumber Daya Manusia merupakan sumber
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
yang terakumulasi di dalam suatu organisasi.
Dewasa ini, sekolah menghadapi berbagai
tantangan kompetitif terkait masalah
globalisasi, peningkatan profitabilitas melalui
pertum-buhan, modal intelektual, teknologi,
serta perubahan yang berkesinambungan.
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut,
sekolah harus mengembangkan keunggulan
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
intangible atau keunggulan bersaing. Agar dapat
menciptakan keunggulan bersaing yang
berkelanjutan, sekolah membutuhkan dukungan
kepala sekolah serta karyawan sekolah yang
berkualitas. Oleh karena itu, kepala sekolah
harus dapat mengembangkan kompetensi,
inovasi, dan kreatifitas dirinya, serta berperan
sebagai agen perubahan sehingga dapat melihat
fungsi-fungsi SDM sebagai sumber keunggulan
bersaing sekolah.
Oleh karena itu, diperlukan sistem
pengelolaan SDM pendidikan yang bersifat
strategis, terintegrasi, saling berkaitan, dan
bersatu-padu melalui manajemen SDM
pendidikan berbasis kompetensi guru. Dengan
adanya manajemen SDM pendidikan berbasis
kompetensi guru, maka sekolah akan memiliki
kepala sekolah yang dapat melaksanakan
kepemimpinannya dengan tepat serta sekolah
memiliki guru yang mengetahui apa yang
seharusnya dapat dilakukan untuk keberhasilan
sekolah. Pada akhirnya, kompetensi apa yang
dimiliki dan dikembangkan sekolah terhadap
para stakeholders pendidikan tergantung dari visi
dan misi sekolah yang bersangkutan dengan
melihat pada budaya organisasi sekolah.
Kompetensi Guru
Kompetensi meliputi pengetahuan, keahlian,
sikap, dan perilaku karyawan. Dalam arti luas,
kompetensi terkait strategi organisasi. Pengertian
kompetensi dapat dipadukan dengan soft skill,
hard skill, social skill, dan mental skill (Hanafi,
2007). Soft skill meliputi intuisi dan kepekaan
SDM. Hard skill meliputi pengetahuan dan
keterampilan fisik SDM. Social skill meliputi
keterampilan dan hubungan sosial SDM. Mental
skill meliputi mental SDM. Kompetensi adalah
karakteristik yang mendasari seseorang dan
berkaitan dengan efektifitas kinerja individu di
dalam pekerjaannya (Mitrani et al, 1992).
Berangkat dari definisi tersebut, maka kompetensi seorang individu merupakan sesuatu yang
melekat dalam dirinya mencakup motif, konsep
diri, sifat, pengetahuan, dan keahlian yang
dapat digunakan untuk memprediksi
kinerjanya.
Spencer dan Spencer (1993) membagi
kompetensi atas dua kategori. Pertama, threshold
competencies, yaitu karakteristik utama yang
harus dimiliki oleh seseorang agar dapat
melaksanakan
pekerjaannya.
Kedua,
differentiating competencies, yaitu faktor-faktor
yang membedakan individu yang berkinerja
tinggi dan rendah. Misalnya, seorang guru harus
mempunyai kemampuan utama mengajar. Itu
berarti bahwa pada tataran threshold
competencies, selanjutnya apabila guru tersebut
dapat mengajar dengan baik, cara mengajarnya
mudah dipahami, dan analisisnya tajam
sehingga dapat dibedakan tingkat kinerjanya,
maka hal-hal tersebut sudah masuk kategori
differentiating competencies.
Kompetensi dapat dipandang dari keadaan
yang sebenarnya terkait dengan individu dan
pekerjaannya (Moqvist, 2003). Sementara itu,
Holmes (1993) mengatakan bahwa kompetensi
dapat dijelaskan dengan kondisi di mana
seseorang bekerja dalam bidang pekerjaan
tertentu yang seyogianya mampu dilakukan. Itu
menggambarkan tindakan, perilaku, dan hasil
di mana seseorang seyogianya mampu ditampilkannya. Dari kedua pendapat tersebut, maka kita
dapat menarik benang merah bahwa kompetensi
pada dasarnya menggambarkan apa yang
seyogianya dapat dilakukan (be able to do)
seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa
kegiatan, perilaku, dan hasil yang seyogianya
dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Agar dapat
melakukan sesuatu dalam pekerjaannya,
seseorang harus memiliki kemampuan (ability)
dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude), dan keteram-pilan (skill) yang sesuai
dengan bidang pekerjaannya.
Mengacu pada pengertian kompetensi di
atas, maka kompetensi guru dapat dimaknai
sebagai gambaran tentang apa yang seyogianya
dapat dilakukan seorang guru dalam
melaksanakan pekerjaannya, baik berupa
kegiatan, perilaku, maupun hasil yang dapat
ditampilkan oleh guru. Depdiknas (2008)
mengatakan bahwa kompetensi guru juga dapat
diartikan sebagai kebulatan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang diwujudkan
dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan
penuh tanggung jawab yang dimiliki seorang
guru untuk memangku jabatannya sebagai
profesi. Dengan demikian, kompetensi yang
dimiliki oleh setiap guru menunjukkan kualitas
guru yang sebenarnya.
Suyanto dan Hisyam (2000) mengemukakan
tentang tiga jenis kompetensi guru. Pertama,
kompetensi profesional, yaitu memiliki
pengetahuan yang luas dari bidang studi yang
diajarkannya, memilih dan menggunakan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
71
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
berbagai metode mengajar dalam proses belajar
mengajar yang diselenggarakannya. Kedua,
kompetensi kemasyarakatan, yaitu memiliki
kemampuan berkomunikasi, baik dengan siswa,
sesama guru, maupun masyarakat luas. Ketiga,
kompetensi personal, yaitu memiliki kepribadian
yang mantap dan patut diteladani. Jadi, seorang
guru akan mampu menjadi seorang pemimpin
yang menjalankan peran: ing ngarso sung tulada,
ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional,
pada pasal 35 ayat 1, Standar Nasional
Pendidikan meliputi Standar Isi, Standar Proses,
Standar Kompetensi Lulusan, Standar Tenaga
Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana,
Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan
Standar Penilaian Pendidikan. Sebagaimana
dijelaskan pada pasal 39, guru merupakan
pendidik yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan
dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik di perguruan tinggi. Agar dapat
memenuhi konstitusi tersebut, Pemerintah telah
menetapkan Standar Tenaga Kependidikan yang
meliputi persyaratan pendidikan prajabatan dan
kelayakan, baik fisik maupun mental, serta
pendidikan dalam jabatan. Persyaratanpersyaratan tersebut dapat kita lihat pada
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Pertama, kompetensi pedagogik,
yaitu kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik, meliputi pemahaman terhadap
peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kedua, kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta
didik, dan berakhlak mulia. Ketiga, kompetensi
sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai
bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi
dan bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Keempat, kompetensi profesional, yaitu
kemampuan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi
standar kompetensi yang ditetapkan pada
Standar Nasional Pendidikan.
72
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Berdasarkan uraian di atas, Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Nasional menerapkan
standar kompetensi guru yang terkait dengan:
(1) komponen kompetensi pengelolaan
pembelajaran dan wawasan pendidikan; (2)
komponen kompetensi akademik/vokasional
sesuai materi pembelajaran; serta (3)
pengembangan profesi. Ketiga komponen
standar kompetensi guru tersebut mewadahi
kompetensi profesional, personal, dan sosial
yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Pengembangan standar kompetensi guru
diarahkan pada peningkatan kualitas guru serta
pola pembinaan guru yang terstruktur dan
sistematis.
Berdasarkan empat komponen yang
merupakan tuntutan profesional guru di atas,
maka Ubrodiyanto (2007) menyumbangkan
beberapa pemikiran tentang program dan
perencanaan untuk pengembangan kualitas
SDM pendidikan, antara lain:
1. Melakukan pembinaan guru secara terusmenerus serta berkesinambungan. Pada
akhir pelatihan, diharapkan guru akan
menyadari pentingnya penguasaan materi
sebagai bagian dari pengembangan
kemampuannya sehingga diperlukan
investasi awal yang besar terhadap
kegiatan ini. Namun, jika dibandingkan
dengan manfaat yang akan diperoleh, maka
faktor biaya dapat menjadi prioritas.
2. Menyusun sistem remunerasi sehingga
mendorong guru untuk merasa nyaman dan
sejahtera di dalam bekerja. Sistem
remunerasi yang kompetitif akan membentengi guru dari kemungkinan terjadinya
“pembajakan” oleh sekolah.
3. Melakukan up-grade kemampuan akademik
guru, dari minimal Sarjana (S1) ke jenjang
Magister (S2) dan Doktor (S3). Up-grade ini
semakin penting mengingat tuntutan global
bagi guru. Pengiriman guru-guru terbaik
untuk mengikuti program ini dapat
meningkatkan semangat guru dan tenaga
kependidikan lainnya untuk berkompetisi
secara sehat dalam melaksanakan
tugasnya.
4. Membangun soft skill guru menyangkut
sikap mental, karakter, dan kepribadian
sehingga guru dapat memberikan teladan
bagi siswa.
5. Menciptakan kondisi serta lingkungan kerja
yang kondusif bagi pengembangan
kemampuan guru, sekaligus menumbuhkan
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
kepuasan kerja. Kepuasan kerja ditentukan
dari pengalaman, mencakup: secara terusoleh tiga faktor, yaitu: gaji yang sesuai,
menerus menguji diri untuk memilih
adanya kebebasan berpikir dan mengekskeputusan terbaik serta meminta saran dari
presikan kreativitasnya, serta penghargaan
pihak lain dan melakukan berbagai riset
atas pekerjaan yang dilakukan. Kondisi kerja
pendidikan untuk meningkatkan praktik
yang baik akan membuat guru diterima dan
pembelajaran.
nyaman dalam bekerja sehingga guru 5. Guru harus menjadi anggota komunitas
bekerja sukarela dan tanpa paksaan.
pembelajar, mencakup: memberikan
Sebagai pembanding, National Board for
kontribusi terhadap efektivitas sekolah
Professional Teaching Standards (2002) telah
melalui kolaborasi dengan kalangan
merumuskan standar kompetensi bagi guru di
profesional lainnya; bekerja sama dengan
Amerika yang menjadi dasar bagi guru untuk
orang tua siswa; dan dapat menarik
mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan
keuntungan dari berbagai sumber daya
“What Teachers Should Know and Be Able To Do”,
masyarakat.
yang di dalamnya memuat lima proposisi utama
Secara esensial, ketiga pendapat di atas
sebagai berikut.
tidak menunjukkan adanya perbedaan prinsipil.
1. Guru harus berkomitmen terhadap siswa Letak perbedaannya pada cara pengelompokdan pembelajarannya, mencakup: kannya. Isi rincian kompetensi pedagogik yang
penghargaan guru terhadap perbedaan disampaikan Depdiknas, menurut Suyanto dan
individual siswa, pemahaman guru Hisyam sudah teramu dalam kompetensi
terhadap perprofesional.
kembangan
Sementara dari
belajar siswa,
National Board for
perlakuan
Professional
Jika guru tidak dapat memahami
guru terhadap
Teaching Stanmekanisme dan pola penyebaran
seluruh siswa
dards (NBPTS) tiinformasi yang demikian cepat,
secara adil,
dak mengenal
maka ia akan terpuruk secara
dan misi guru
adanya pengeprofesional.
dalam memlompokan jenis
p e r l u a s
kompetensi,
cakrawala
tetapi langsung
berpikir siswa.
memaparkan
2. Guru harus tahu mata pelajaran yang tentang aspek-aspek kemampuan yang harus
diajarkan dan bagaimana mengajarnya dikuasai oleh guru.
kepada siswa, mencakup: apresiasi guru
Sejalan dengan adanya tantangan
terhadap pemahaman materi pelajaran kehidupan global, maka peran dan tanggung
untuk dikreasikan, disusun dan dihubung- jawab guru di masa yang akan datang akan
kan dengan mata pelajaran lainnya; semakin kompleks, sehingga menuntut guru
kemampuan guru untuk menyampaikan untuk senantiasa melakukan berbagai peningmateri pelajaran; dan mengembangkan katan dan penyesuaian penguasaan kompeusaha untuk memperoleh pengetahuan tensinya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif
dengan berbagai cara (multiple path).
dalam mengembangkan proses pembelajaran
3. Guru harus bertanggung jawab untuk siswa. Di masa yang akan datang, guru bukan
mengelola dan memantau pembelajaran lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well
siswanya, mencakup: penggunaan berbagai informed terhadap berbagai informasi dan
metode dalam pencapaian tujuan pembel- pengetahuan yang sedang berkembang serta
ajaran; menyusun proses pembe-lajaran berinteraksi dengan manusia di alam ini. Guru
dalam berbagai kelompok (group setting) dan bukan satu-satunya orang yang paling pandai
mampu untuk memberikan hadiah atas di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak
keberhasilan siswa; menilai kemajuan dapat memahami mekanisme dan pola
siswa secara teratur; dan kesadaran akan penyebaran informasi yang demikian cepat,
tujuan utama pembelajaran.
maka ia akan terpuruk secara profesional. Kalau
4. Guru harus berpikir secara sistematis hal ini terjadi, maka ia akan kehilangan
tentang praktek pembelajaran dan belajar kepercayaan, baik dari siswa, orang tua, maupun
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
73
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
masyarakat. Untuk menghadapi tantangan
profesionalitas tersebut, maka guru perlu berpikir
secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru
harus melakukan pembaharuan terhadap ilmu
dan pengetahuan yang dimilikinya secara terusmenerus. Di samping itu, guru juga harus
memahami penelitian guna mendukung
efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya,
sehingga dengan dukungan dari hasil penelitian
guru tersebut, guru tidak terjebak pada praktik
pembelajaran yang menurut asumsi mereka
sudah efektif, tetapi kenyataannya justru
mematikan kreativitas siswanya. Begitu pula,
dengan adanya dukungan dari hasil penelitian
yang mutakhir sehingga memungkinkan guru
untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi
dari tahun ke tahun yang disesuaikan dengan
konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedang berlangsung.
Pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas
Pendidikan Dasar DKI Jakarta, telah menetapkan standar mutu kinerja tenaga kependidikan,
kemudian bekerjasama dengan Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) untuk
melakukan Uji Kompetensi Guru SD dan SMP
di DKI Jakarta pada tahun 2006, yang terdiri dari:
1. Penguasaan bidang studi/akademik,
meliputi: penguasaan materi kurikulum,
bidang studi, metode/teknik pembelajaran,
dan teknik evaluasi.
2. Pengelolaan pembelajaran, meliputi:
penyusunan rencana pembelajaran (RPP),
pelaksanaan interaksi pembelajaran,
pengelolaan kelas, pemahaman potensi
peserta didik, penggunaan alat bantu
pembelajaran, penilaian prestasi belajar
peserta didik, dan pelaksanaan tindak lanjut
hasil penilaian.
3. Sikap kerja dan kepribadian, meliputi
komunikasi interpersonal.
Penelitian tersebut dilakukan pada lima
wilayah di DKI Jakarta dari bulan Juli sampai
dengan November tahun 2008 dengan menggunakan metode penelitian ex-postfacto, yaitu
penelitian yang dilakukan setelah terjadi suatu
peristiwa. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh guru SMP di Provinsi DKI Jakarta yang
berstatus PNS. Sampel penelitian ini meliputi
guru SMP pada mata pelajaran Geografi di
wilayah DKI Jakarta yang mengikuti Uji
Kompetensi Guru SMP pada tahun 2006.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peta
kompetensi guru dalam pengelolaan pembelajaran Geografi. Penelitian ini dapat menjadi
74
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
bahan pertimbangan Dinas Pendidikan Dasar
DKI Jakarta dalam upaya melakukan sertifikasi
kompetensi guru serta dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk melakukan pembinaan
terhadap tenaga kependidikan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran agar sesuai
dengan standar proses pendidikan. Bagi LPMP,
hasil penelitian ini dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam merumuskan program
pendidikan dan pelatihan untuk tujuan
peningkatan kemampuan guru dalam melakukan pengelolaan pembelajaran. Selain itu, hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada
satuan pendidikan dasar (SD dan SMP) sebagai
upaya penjaminan mutu satuan pendidikan
untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan.
Dari hasil penelitian tersebut, ada sebanyak
285 guru SMP pada mata pelajaran Geografi di
DKI Jakarta atau mencapai 77,4% dari populasi
mempunyai kualifikasi pendidikan S1, artinya
kualifikasi pendidikan guru sudah sesuai
dengan syarat minimal yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru. Nilai yang diperoleh guru dalam
pengelolaan pembelajaran, sebagian besar
mendapatkan kategori baik, dengan perincian
sebagai berikut.
1. Sebanyak 72,1% guru mampu menyusun
rencana pembelajaran dengan baik.
2. Sebanyak 72,1% guru mampu melaksanakan interaksi pembelajaran dengan baik.
3. Sebanyak 74,8% guru mampu mengelola
kelas dengan baik.
4. Sebanyak 55,8% guru mampu memahami
potensi peserta didik dengan baik.
5. Sebanyak 61,7% guru mampu menggunakan alat bantu pembelajaran dengan baik.
6. Sebanyak 62,2% guru mampu menilai
prestasi belajar peserta didik dengan baik.
7. Sebanyak 64,9% guru mampu melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian prestasi
belajar peserta didik dengan baik.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara
golongan dengan nilai pengelolaan pembelajaran menunjukkan bahwa golongan
memberikan kontribusi terhadap perolehan nilai
pengelolaan pembelajaran. Artinya, dengan
golongan yang tinggi, maka guru akan semakin
mampu dalam melakukan pengelolaan
pembelajaran, karena dengan golongan yang
tinggi berarti bahwa guru sudah berpengalaman
dalam mengajar. Dengan demikian, guru sudah
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
memahami tugas yang diemban sebagaimana
mestinya.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara
tingkat pendidikan guru dengan nilai
pengelolaan pembelajaran menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan guru juga memberikan
kontribusi terhadap perolehan nilai pengelolaan
pembelajaran. Artinya, dengan tingkat
pendidikan yang tinggi, maka guru akan
mempunyai nilai pengelolaan pembelajaran
yang baik. Sedangkan hasil tabulasi silang
antara asal wilayah dengan nilai pengelolaan
pembelajaran menunjukkan bahwa wilayah
Jakarta Utara merupakan wilayah yang gurunya
mempunyai nilai pengelolaan pembelajaran
yang tertinggi jika dibandingkan dengan
wilayah Jakarta lainnya. Wilayah Jakarta Pusat
merupakan wilayah dengan perolehan nilai
pengelolaan pembelajaran yang terendah dalam
semua aspek pembelajaran.
Nilai yang diperoleh guru berdasarkan hasil
Uji Kompetensi Guru tersebut sudah sesuai
dengan standar minimal yang ditetapkan oleh
Pemerintah DKI Jakarta, namun hal tersebut
belum menggambarkan kompetensi guru yang
sesungguhnya karena banyak guru yang pada
waktu dinilai dalam melakukan pengelolaan
pembelajaran, menunjukkan penampilan yang
baik dengan mempersiapkan perangkat
pembelajaran dengan lengkap. Akan tetapi,
setelah tidak dilakukan penilaian, para guru
kembali pada praktek yang lama, yaitu
menggunakan RPP yang dibuat pada tahun
sebelumnya, membuat RPP satu kali dalam satu
semester, tidak melakukan interaksi
pembelajaran dengan baik, tidak membawa alat
bantu pembelajaran, serta tidak menggunakan
sumber pembelajaran yang baik dan lengkap.
Oleh karena itu, untuk mengetahui
kompetensi guru yang sesungguhnya dalam
melaksanakan pengelolaan pembelajaran tidak
bisa dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi
memerlukan proses penilaian yang terusmenerus secara sistematis dan berkesinambungan. Berbicara mengenai pengelolaan
kompetensi guru, maka kita harus tahu
bagaimana kompetensi guru dimulai dari segi
perencanaan, pengorganisasian, sampai dengan
evaluasi. Di bawah ini ada beberapa tahap
pengelolaan kompetensi guru yang diadaptasi
dari pernyataan Hanafi (2007), antara lain
meliputi:
1. Perencanaan kompetensi guru. Pada tahap
ini, sekolah harus berpijak pada visi dan
misinya kemudian diterjemahkan ke dalam
strategi fungsional sekolah. Visi dan misi
sekolah diterjemahkan ke dalam strategi
pengelolaan guru, kemudian diterjemahkan
menjadi tuntutan kompetensi guru yang
harus dipenuhi. Selanjutnya, kompetensi
guru kemudian dipetakan agar lebih mudah
dalam pengelolaannya. Pemetaan kompetensi guru merupakan rancangan
kompetensi guru yang akan dibangun
sekolah (kompetensi inti dan kompetensi
pendukung).
2. Pengorganisasian kompetensi guru.
Setelah pemetaan kompetensi guru
diketahui, sekolah harus melakukan
pengelompokan kompetensi guru tersebut.
Pengelompokan dilakukan melalui penentuan bidang-bidang kompetensi inti yang
merupakan tonggak sekolah, maupun
bidang kompetensi pendukung.
3. Pengembangan kompetensi guru. Upaya
ini dilakukan dengan melakukan penilaian
terhadap kompetensi guru pada saat ini
yang dimiliki guru. Kemudian dibandingkan dengan pemetaan kompetensi guru
yang telah dibuat, sehingga diketahui
besarnya gap antara kompetensi guru yang
harus dimiliki dengan kompetensi guru
yang diharapkan. Selanjutnya sekolah
melakukan berbagai upaya pembangunan
dan pengembangan kompetensi guru
sehingga peta kompetensi guru tersebut
dapat terisi dengan baik.
4. Pengevaluasian kompetensi guru. Sekolah
melakukan evaluasi terhadap kompetensi
guru yang dibangun dan dikembangkan
untuk mengetahui sejauh mana upaya yang
dilakukan sekolah sehingga mencapai peta
kompetensi guru yang disusun. Evaluasi
tersebut harus memperhatikan perkembangan situasi sekolah yang ada. Sekolah juga
harus melakukan berbagai penyesuaian
terhadap peta kompetensi guru dan
program pengembangan kompetensinya.
Berdasarkan peta kompetensi guru tersebut,
sekolah menggunakan peta tersebut sebagai
dasar dalam menentukan keputusan tentang
guru, dimulai dari pelaksanaan sampai dengan
pengadaan, di mana penentuan persyaratan dan
prosedur seleksi guru dapat menjadi dasar
kompetensi guru. Program sosialisasi, pelatihan
dan pengembangan guru dilakukan untuk
membangun kompetensi guru. Penentuan arah
karier, pengelolaan kinerja dan kompensasi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
75
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
guru juga berdasarkan pada kompetensi yang
dimiliki guru.
Hanafi (2007) menjelaskan beberapa
manfaat yang dapat diterima dengan adanya
peta kompetensi guru, yaitu: (1) sekolah dapat
mengetahui guru mana yang siap mengisi posisi
tertentu yang sesuai dengan kompetensi yang
dituntut serta bagaimana cara untuk menarik
atau menyeleksi calon guru, baik dari dalam
sekolah maupun dari luar sekolah; (2) sekolah
dapat mengetahui arah pengembangan guru,
bukan hanya sekedar ikut tren pengembangan
guru yang ada, tetapi benar-benar mengembangkan guru sesuai dengan kebutuhan kompetensinya; (3) sekolah dapat lebih adil dalam
memberikan kompensasi guru; (4) sekolah dapat
menyusun perencanaan karier yang lebih pasti
bagi gurunya; dan (5) sekolah dapat menilai
kinerja guru secara lebih adil.
Manajemen SDM Pendidikan
Berbasis Kompetensi Guru
Salah satu bidang penting dalam administrasi
pendidikan atau manajemen pendidikan adalah
terkait personil atau (SDM) yang terlibat dalam
proses pendidikan, baik itu pendidik seperti
guru maupun tenaga kependidikan seperti
tenaga administratif. Intensitas dunia
pendidikan sangat berhubungan dengan
manusia, sehingga dapat dipandang sebagai
suatu perbedaan penting antara lembaga
pendidikan atau organisasi sekolah dengan
organisasi lainnya. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Sergiovanni et al. (1987) yang
menyatakan bahwa “perbedaan yang paling
kritis antara sekolah dengan organisasi lainnya
adalah intensitas manusia yang mendasari
pekerjaannya. Sekolah adalah organisasi
kemanusiaan, produknya adalah manusia serta
prosesnya memerlukan sosialiasi manusia”. Ini
menunjukkan bahwa masalah SDM menjadi hal
yang dominan di dalam proses pendidikan. Hal
ini juga dapat berarti bahwa mengelola SDM
merupakan bidang yang sangat penting dalam
melaksanakan proses pendidikan di sekolah.
Inti dari manajemen SDM pendidikan
adalah bagaimana meningkatkan peran serta
dan sumbangan SDM pendidikan secara
optimal dalam proses transformasi jasa
pendidikan di sekolah. Proses manajemen SDM
pendidikan dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, secara tradisional dilakukan melalui
76
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
empat proses integral, yaitu: proses seleksi,
pendidikan dan pelatihan, evaluasi dan
penggajian, dan pengembangan (Triono, 2002).
Integralitas keempat proses tersebut serta
kedalaman pada setiap prosesnya, pada
umumnya dipersepsikan memiliki korelasi yang
tinggi terhadap derajat sumbangan SDM
sekolah.
Pada proses rekrutmen guru, dilibatkan
sejumlah instrumen psikologis untuk mengukur
intelegensi calon guru, yaitu: intelegensi verbal,
ruang, logis-matematis, dan interpersonal.
Semakin tinggi skornya sehingga diasumsikan
bahwa calon guru semakin cerdas dan memiliki
peluang besar untuk menghadapi situasi baru
dalam melaksanakan tugasnya. Namun,
pendapat tersebut dipatahkan dengan hasil
penelitian Goleman (1996) yang berkata bahwa
apabila bagian otak yang digunakan untuk
merasakan telah rusak, maka individu yang
bersangkutan tidak dapat berpikir secara efektif.
Oleh karena itu, Goleman merumuskan
intelegensi kedua yang disebut dengan EQ
(Emotional Quotient) yang merupakan prasyarat
penggunaan IQ (Intelligence Quotient). Pada akhir
abad 20, terdapat rangkaian data ilmiah terbaru
sehingga sampai pada kesimpulan bahwa ada
jenis intelegensi ketiga yang mendasari
kemampuan pemfungsian IQ dan EQ secara
efektif, yaitu SQ (Spiritual Quotient), yang
merupakan kecerdasan untuk menghadapi serta
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku
manusia sehingga mampu menilai bahwa jalan
hidup seseorang dengan nilai yang dianutnya
lebih bermakna daripada yang lainnya, dengan
demikian lebih mampu untuk menyesuaikan
aturan yang kaku dalam konteks moral yang
dimiliki. Akibatnya, semakin tinggi SQ
seseorang, maka akan semakin mampu dia untuk
melepaskan diri dari batasan-batasan yang ada
di dalam setiap situasi sehingga semakin kreatif
individu yang bersangkutan (Zohar dan
Marshall, 2000). Dengan menyadari ketiga
intelegensi tersebut, maka cukup beralasan bagi
kita untuk menuntut adanya proses rekrutmen
guru yang tidak terlalu mengandalkan kepada
pengukuran intelegensi pertama (IQ).
Pada proses pendidikan dan pelatihan
(diklat) guru, kegiatan didesain secara
konvensional agar pesertanya mampu meningkatkan keterampilan dan perilakunya sesuai
dengan tuntutan tugas masing-masing. Metode
yang digunakan adalah gabungan antara metode
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
klasikal (campuran metode ceramah dan kasus)
dengan metode on the job training. Ada kelemahan
pada kedua metode tersebut, yaitu adanya
kecenderungan untuk menjadi sangat struktural
dan sistematis sehingga kehilangan semangat
holistik dan lateral yang lebih disukai oleh otak
manusia. Akibatnya, dengan adanya proses
diklat guru seperti itu akan membutuhkan lebih
banyak waktu dalam menyerap dan mencerna
materi-materi yang diberikan. DePorter dan
Hernacki (1992) memberikan solusi terhadap
masalah tersebut, yaitu melalui pendidikan
dengan metode Quantum Learning. Pada metode
ini, materi diklat diberikan untuk diserap dengan
cara yang disukai otak, yaitu dalam situasi
santai serta menggunakan pendekatan holistik.
Bobbi menyarankan penggunaan musik untuk
menurunkan denyut nadi, terutama musik yang
berasal dari zaman Barok seperti Bach, Handel,
Pachelbel, dan Vivaldi selama masa diklat.
Relaksasi yang diiringi musik membuat pikiran
selalu siap dan mampu berkonsentrasi. Bobbi
juga menyarankan digunakannya peta pikiran,
yaitu diagram yang memuat keseluruhan obyek
bahasan secara garis besar sehingga otak
menyerap informasi secara holistik.
Pada proses evaluasi, penggajian, dan
pengembangan; masalah mendasar dari
manajemen SDM pendidikan tradisional adalah
faktor penilaian kinerja SDM pendidikan yang
berfokus pada aspek kompetensi teknis jabatan.
Jika terlalu memfokuskan diri pada tolok ukur
tersebut, maka dalam jangka panjang akan
mematikan kreativitas tingkat guru dan sekolah
karena kaidah anjing Pavlov akan berlaku dalam
sistem penilaian tersebut, di mana karyawan
akan memfokuskan diri pada indikatorindikator kompetensi tersebut, yang pada
umumnya berdimensi jangka pendek serta
bersifat individual.
Studi komprehensif telah dikembangkan
oleh Southern States Cooperative Program in
Educational Administration (SSCPEA) tahun 1955
untuk mendefinisikan administrasi pendidikan.
Salah satu tugas pokok administrasi pendidikan
adalah personil sekolah. Bidang personil sekolah
tersebut meliputi tugas-tugas administratif: (1)
mempersiapkan perumusan kebijakan personil
sekolah; (2) mempersiapkan pengadaan personil
sekolah; (3) memilih dan menugaskan personil
sekolah; (4) meningkatkan kesejahteraan
personil sekolah; (5) mengembang-kan sistem
pencatatan personil sekolah; serta (6) mendorong
dan menyediakan kesempatan bagi
pertumbuhan profesional personil sekolah.
Manajemen SDM berbasis kompetensi
(MSDM-BK) merupakan suatu konsep
manajemen SDM yang mengaitkan aktivitas
SDM di dalam organisasi dengan kompetensi
inti/dasar yang akan diunggulkan. MSDM-BK
adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengendalian aktivitas tenaga
kerja mulai dari rekrutmen sampai pensiun di
mana proses pengambilan keputusannya
didasarkan pada informasi kebutuhan
kompetensi jabatan dan kompetensi individu
untuk mencapai tujuan organisasi (Siswanto,
2001). Berbeda dengan manajemen SDM
konvensional, keputusan dalam MSDM-BK
lebih transparan, dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, dan tidak diskriminatif. Dalam
MSDM-BK, keputusan yang diambil serta
aktivitas yang dilaksanakan selalu mengacu
kepada kebutuhan kompetensi jabatan dan
kompetensi individu yang terukur serta dapat
diamati validitasnya berdasarkan perilaku
seseorang yang bekerja di dalam organisasi.
Dengan mengacu kepada kebutuhan kompetensi
jabatan dan kompetensi individu, maka dapat
dibangun sistem MSDM-BK yang terintegrasi
atau sering dikenal dengan “integrated
competencies based human resource management
system”. Komponen dari sistem manajemen SDM
berbasis kompetensi guru secara terpadu
meliputi hal-hal berikut.
1 Kinerja Guru
Agar kinerja guru dapat meningkat serta
mencapai standar kompetensi tertentu,
maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja
(performance management). Manajemen
kinerja guru berkaitan erat dengan tugas
kepala sekolah melakukan komunikasi yang
berkesinambungan melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya.
2 Evaluasi dan Desain Pekerjaan Guru
Manajemen kinerja guru meliputi
perencanaan, komunikasi yang berkesinambungan, dan evaluasi. Evaluasi kinerja
merupakan proses di mana kinerja masingmasing guru dinilai dan dievaluasi. Setelah
melakukan evaluasi kinerja guru, kepala
sekolah dapat merancang atau mendesain
pekerjaan guru sehingga kinerja guru
mencapai hasil yang optimal.
3 Seleksi Guru
Ada tiga alasan mengapa seleksi guru
penting yaitu:
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
77
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
a
4
5
78
Kinerja kepala sekolah selalu tergantung pada kinerja guru.
b Penyaringan guru yang efektif penting
karena
biaya
merekrut
dan
mempekerjakan guru mahal.
c Adanya implikasi yang sah dari seleksi
guru yang tidak efektif atau guru yang
tidak cakap.
Pelatihan dan Pengembangan Guru
Ada lima tahapan dalam pelatihan dan
pengembangan guru, yaitu sebagai berikut.
a Analisis kebutuhan, yaitu kepala sekolah
mengidentifikasi berbagai kompetensi
guru yang dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja guru beserta dengan
produktivitasnya.
b Rancangan instruksional, yaitu kepala
sekolah mengumpulkan sasaran
instruksional, metode, media, gambar
dan urutan isi, contoh, latihan, dan
kegiatan pelatihan dan pengembangan
guru.
c Keabsahan, yaitu kepala sekolah
memperkenalkan serta mengesahkan
program pelatihan dan pengembangan
guru di hadapan audiensi sekolah yang
representatif.
d Implementasi, yaitu kepala sekolah
berusaha untuk mendorong keberhasilan guru melalui lokakarya yang berfokus
pada penyajian pengetahuan dan
keterampilan guru.
e Evaluasi dan tindak lanjut, yaitu kepala
sekolah melakukan penilaian terhadap
keberhasilan program pelatihan dan
pengembangan guru menurut indikator:
reaksi, kegiatan belajar, perilaku, dan
hasil yang dicapai oleh guru.
Jalur Karier Guru
Ada lima tahapan utama dalam karier guru,
antara lain sebagai berikut.
a Tahap pertumbuhan, di mana guru baru
mengembangkan konsep dirinya
dengan cara mengidentifikasikan diri
serta berinteraksi dengan keluarga,
teman, dan sesama guru.
b Tahap penjelajahan, di mana guru serius
menjelajahi berbagai alternatif kedudukan serta berusaha mencocokan berbagai alternatif tersebut dengan minat dan
kemampuannya.
c Tahap penetapan, di mana guru
mengharapkan satu kedudukan yang
layak diperolehnya dan kepala sekolah
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
6
melibatkan diri di dalam kegiatankegiatan tersebut serta membantunya
untuk memperoleh satu kedudukan
yang tetap.
d Tahap pemeliharaan, di mana guru
mengamankan tempatnya di dalam
dunia kerja. Kepala sekolah akan
berusaha untuk memelihara tempat
tersebut.
e Tahap kemerosotan, di mana guru
menghadapi berkurangnya tingkat
kekuasaan dan tanggung jawab serta
belajar untuk menerima dan mengembangkan peran baru sebagai mentor dan
mempercayakan tugas-tugas sebelumnya kepada guru yang lebih muda.
Perencanaan Suksesi Karier Guru
Menurut Edgar Schein, perencanaan suksesi
karier merupakan suatu proses penemuan
yang berkesinambungan atau proses di
mana seseorang secara perlahan-lahan
mengembangkan konsep diri tentang
pekerjaan yang lebih jelas jika dilihat dari
bakat, kemampuan, motif, kebutuhan, sikap,
dan nilai-nilainya. Ada empat langkah
penting dalam perencanaan suksesi karir
guru, yaitu:
a Mengidentifikasi langkah karier guru
Kepala sekolah harus mempunyai
wawasan yang luas tentang apa yang
diinginkan dari karir guru, bakat dan
keterbatasan guru, serta nilai-nilai yang
dimiliki oleh guru dan bagaimana nilainilai tersebut cocok dengan alternatif
yang dikembangkan.
b Mengidentifikasi orientasi pekerjaan
guru
John Holland menemukan enam tipe
atau orientasi kepribadian dasar, yaitu:
orientasi realistik, orientasi penyelidikan, orientasi sosial, orientasi
konvensional, orientasi kewiraswastaan, dan orientasi artistik.
c Mengidentifikasi keterampilan guru
Kesuksesan karier guru tidak hanya
tergantung dari motivasi, tetapi juga
kemampuan. Ada dua faktor penting
yang mempengaruhi kemampuan guru,
yaitu keterampilan kedudukan
(keterampilan yang dibutuhkan untuk
berhasil dalam menduduki posisi guru)
maupun kecerdasan (kemampuan
bawaan guru yang mencakup intelegensia, kecerdasan numerik, pemahaman
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
7
8
mekanik, ketangkasan manual, juga
berbagai bakat seperti kemampuan
artistik, teatrik, atau musik yang
memainkan peran penting dalam
pemilihan karier guru).
d Mengidentifikasi jangkar karier guru
Jangkar karier guru merupakan suatu
poros yang di sekelilingnya karier guru
akan berputar. Guru akan menyadari hal
ini sebagai akibat dari pembelajaran
tentang bakat dan kemampuannya,
motif dan kebutuhannya, serta sikap
dan nilainya. Ada lima jangkar karier
guru, yaitu jangkar karir fungsional/
teknik, jangkar karir kompetensi
manajerial, jangkar karier kreativitas,
jangkar karir otonomi dan kemandirian,
dan jangkar karier keamanan.
Rekrutmen Guru
Proses rekrutmen guru dapat dilakukan
melalui empat kegiatan, meliputi:
a Persiapan rekrutmen guru, yaitu
melakukan persiapan rekrutmen guru
baru secara matang, sehingga melalui
rekrutmen tersebut, sekolah dapat
memperoleh guru yang memiliki
kompetensi yang diharapkan.
b Penyebaran informasi mengenai
penerimaan guru baru, yaitu melakukan
penyebaran pengumuman penerimaan
guru baru melalui berbagai media
seperti brosur, siaran radio, surat kabar,
dan sebagainya.
c Penerimaan lamaran guru baru, yaitu
panitia penerimaan guru baru menerima surat lamaran guru. Surat lamaran
guru harus dilengkapi dengan berbagai
surat keterangan seperti ijazah, akte
kelahiran, surat keterangan Warga
Negara Indonesia (WNI), surat keterangan kesehatan dari dokter, dan surat
keterangan berkelakuan baik dari
kepolisian.
d Penyeleksian pelamar, yaitu merupakan
suatu proses untuk memperkirakan
berbagai pelamar yang mempunyai
kemungkinan besar untuk berhasil
dalam pekerjaannya setelah diangkat
menjadi guru.
Kompensasi Guru
Kompensasi guru merujuk kepada semua
bentuk upah atau imbalan yang berlaku dan
muncul dari pekerjaan sebagai guru.
Kompensasi guru tersebut mempunyai dua
komponen, yaitu:
a Pembayaran keuangan secara langsung,
dalam bentuk gaji dan insentif lainnya.
b Pembayaran keuangan secara tidak
langsung, dalam bentuk tunjangan
keuangan seperti asuransi, tunjangan
kesehatan, dan tunjangan lainnya.
Dalam rangka membangun manajemen
SDM berbasis kompetensi guru seperti yang
telah dikemukakan di atas, maka ada beberapa
tahap yang perlu dilakukan, yaitu:
1.
Menyusun direktori kompetensi guru
serta profil kompetensi guru per posisi.
Di dalam proses ini akan dirancang daftar
jenis kompetensi guru, baik berupa soft
competency (kepemimpinan, komunikasi,
hubungan interpersonal, dan lain-lain)
maupun hard competency (mengajar,
membimbing, meneliti, dan lain-lain) yang
dibutuhkan sekolah tersebut; lengkap
dengan definisi kompetensi guru yang
terperinci serta indikator perilaku dan
levelisasi guru (penjenjangan level) bagi
setiap jenis kompetensi guru. Di dalam
tahap ini juga disusun kebutuhan
kompetensi guru per posisi atau daftar
kompetensi apa yang dipersyaratkan bagi
posisi guru tertentu berikut dengan level
minimumnya.
2.
Menilai kompetensi bagi setiap individu
guru dalam sekolah tersebut. Tahap ini
merupakan tahap yang paling kritis.
Tahap ini wajib dilakukan karena setelah
kita memiliki direktori kompetensi guru
beserta dengan kebutuhan kompetensi
guru per posisi, maka kita perlu mengetahui di mana level kompetensi guru kita dan
pada tahap ini juga kita dapat memahami
gap antara level kompetensi guru yang
dipersyaratkan dengan level kompetensi
yang dimiliki guru pada saat ini.
Sumber Daya Manusia Pendidikan
dan Keunggulan Bersaing Sekolah
SDM merupakan sumber pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan yang terakumulasi di dalam diri anggota organisasi (Hanafi,
2007). Kemampuan tersebut harus terus diasah
dari waktu ke waktu dan sekolah terus
mengembangkan keahliannya sebagai pilar agar
selalu memiliki keunggulan bersaing. Wherter
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
79
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
and Davis (1993) mengatakan bahwa SDM di
dalam konteks manajemen adalah orang yang
siap, mau, dan mampu berkontribusi kepada
tujuan organisasi. Oleh karena itu, SDM di dalam
suatu organisasi termasuk organisasi pendidikan, memerlukan pengelolaan dan pengembangan yang baik dalam upaya meningkatkan
kinerja mereka agar dapat memberikan
sumbangan bagi pencapaian tujuannya. Sumber
daya sekolah terdiri dari aset berwujud (tangible)
maupun aset tidak berwujud (intangible) seperti
kemampuan, proses organisasi, informasi,
atribut, dan pengetahuan sekolah. Meningkatnya kinerja SDM pendidikan akan berdampak
pada semakin baiknya kinerja sekolah dalam
menjalankan perannya di masyarakat.
Para pemimpin di dalam organisasi
menghadapi tantangan kompetitif berkaitan
dengan globalisasi, peningkatan profitabilitas
melalui pertumbuhan, modal intelektual,
teknologi, dan perubahan secara kontinu (Ulrich,
1996). Di dalam menghadapi berbagai tantangan
tersebut, maka sekolah harus mengembangkan
keunggulan intangible atau keunggulan bersaing
yang tidak mudah diimitasi oleh pesaing.
Keunggulan bersaing diciptakan melalui
efisiensi, kualitas produk, dan inovasi (Hill dan
Jones, 1998). Di dalam menciptakan keunggulan
bersaing yang berkelanjutan, sekolah tersebut
membutuhkan dukungan pimpinan sekolah dan
karyawan berkualitas. Pimpinan sekolah harus
dapat mengembangkan kompetensi, inovasi,
kreatifitas, serta berperan sebagai agen
perubahan dan melihat fungsi-fungsi SDM
sebagai sumber keunggulan bersaing. Dengan
adanya kualitas tersebut, maka pimpinan
sekolah diharapkan dapat mengarahkan
karyawan sebagai SDM yang profesional dalam
mewujudkan keunggulan bersaing yang
berkelanjutan. Di samping itu juga, sekolah
dapat memegang kendali dirinya sendiri serta
dapat menciptakan pasar di masa depan jika
lebih dahulu tiba di masa depan, sehingga
diperlukan pemimpin sekolah yang dapat
meramu visi dan misinya, SDMnya, dan strategi
bersaingnya untuk dapat menciptakan
organisasi sekolah berkelas dunia (Hamel dan
Prahalad, 1995). Gambar 1 di bawah ini
mengilustrasikan strategi bersaing untuk
mencapai organisasi sekolah berkelas dunia.
Walker (1994) menyebutkan bahwa ada
empat karakteristik utama yang harus dipenuhi
oleh fungsi SDM agar dapat mendukung
keunggulan bersaing, yang dapat diterapkan ke
dalam dunia pendidikan, yaitu: (1)
mengintegrasikan kegiatan SDM pendidikan
dengan strategi organisasi sekolah; (2)
mengintegrasikan proses SDM pendidikan
dengan proses manajemen SDM sekolah; (3)
mengintegrasikan fungsi SDM pendidikan
dengan organisasi sekolah; dan (4) mengintegrasikan cara pengukuran SDM pendidikan
Tantangan Kompetitif
Pemimpin Sekolah
Perumusan Kembali Visi
dan Misi Sekolah
Strategi
Bersaing
Sekolah
Mengembangkan
Budaya Sekolah
Mengembangkan
Keunggulan Bersaing
Sekolah
ORGANISASI SEKOLAH
BERKELAS DUNIA
Gambar 1. Strategi Bersaing Sekolah untuk Mencapai Organisasi Sekolah Berkelas Dunia
80
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
dengan cara pengukuran organisasi sekolah
secara keseluruhan.
Para peneliti manajemen SDM juga
mengatakan bahwa ada keterkaitan antara
praktek manajemen SDM dengan keunggulan
bersaing. Bahkan timbul argumentasi bahwa
praktek manajemen SDM dapat memberi
kontribusi bagi keunggulan bersaing sepanjang
hal tersebut memperkuat perilaku peran yang
dapat memberikan hasil yang meminimumkan
biaya, mendorong diferensiasi atau keduaduanya (Schuler dan Jackson, 1996). Mereka
mengadopsi strategi bersaing Michael Porter
bahwa untuk mencapai keunggulan bersaing,
ada tiga macam alternatif strategi yang dapat
digunakan, yaitu:
1. Strategi inovasi pendidikan, yaitu strategi
pengembangan produk pendidikan yang
unik dibandingkan produk yang dihasilkan
sekolah pesaingnya. Jika sekolah
menggunakan strategi inovasi pendidikan,
perilaku peran yang diperlukan: tingkat
kreatifitas guru yang tinggi, fokus sekolah
jangka panjang, kerja sama yang tinggi di
antara guru, perilaku guru yang saling
melengkapi (interdependent), perhatian guru
yang cukup terhadap kualitas dan kuantitas
pendidikan, adanya keseimbangan antara
hasil pendidikan dengan proses pendidikan, dan memiliki toleransi tinggi terhadap
ketidakpastian kondisi di sekolahnya.
Implikasi bagi sekolah yang menggunakan
strategi inovasi pendidikan adalah
memberikan sedikit pengawasan terhadap
guru, memilih guru dengan keterampilan
yang tinggi, memiliki banyak guru bantu,
serta adanya penilaian kinerja sekolah
dalam jangka panjang.
2. Strategi kualitas pendidikan, yaitu strategi
penciptaan produk pendidikan yang lebih
berkualitas dibandingkan produk sekolah
pesaingnya. Bagi sekolah yang menggunakan strategi kualitas pendidikan, perilaku
peran yang diperlukan: perilaku guru yang
berulang dan dapat diperkirakan, fokus
sekolah jangka menengah, kerja sama yang
cukup di antara guru, perilaku guru yang
saling melengkapi (interdependent),
perhatian guru yang tinggi terhadap
kualitas pendidikan tetapi perhatian guru
yang sedang terhadap kuantitas pendidikan, fokus guru yang tinggi terhadap proses
pendidikan, guru kurang berani mengambil
resiko, dan guru memiliki komitmen yang
cukup terhadap tujuan organisasi sekolah.
Implikasi bagi sekolah yang menggunakan
strategi kualitas pendidikan adalah adanya
komitmen guru yang tinggi dan
pemanfaatan guru yang lebih besar serta
membutuhkan lebih sedikit guru untuk
menghasilkan output pendidikan yang
sama.
3. Strategi pengurangan biaya pendidikan,
ditekankan pada upaya menekan biaya
pendidikan serendah mungkin sehingga
harga jasa pendidikan yang ditawarkan
lebih rendah dibandingkan pesaingnya.
Bagi sekolah yang menggunakan strategi
pengurangan biaya pendidikan, perilaku
peran yang diperlukan: perilaku guru yang
berulang dan dapat diperkirakan, fokus
sekolah jangka pendek, mengutamakan
individualisme dan otomatisasi, perhatian
guru yang cukup terhadap kualitas
pendidikan tetapi lebih tinggi terhadap
kuantitas pendidikan, guru kurang berani
menanggung resiko, dan guru lebih
menyukai kegiatan pendidikan yang stabil.
Implikasi bagi sekolah yang menggunakan
strategi pengurangan biaya pendidikan
adalah penggunaan guru part time (guru
honorer), adanya subkontrak, penyederhanaan pekerjaan guru dan prosedur
pengukuran kinerja guru, adanya otomasisasi dan perubahan aturan kerja guru,
serta adanya penugasan guru yang
fleksibel.
Apabila fokus strategi sekolah adalah
menciptakan “competitive advantage” yang
berkelanjutan, maka fokus strategi SDM
Fungsi SDM
Sistem SDM
Perilaku Karyawan
SDM profesional dengan
kompetensi strategik
Kinerja tinggi, kemitraan
strategis, kebijakan dan
praktek
Secara strategik terfokus
pada kompetensi, motivasi,
dan perilaku yang
terasosiasi
Gambar 2 : Arsitektur Strategi SDM
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
81
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
pendidikan di sekolah harus disesuaikan. Hal
ini adalah untuk memaksimalkan kontribusi
SDM pendidikan terhadap tujuan organisasi
sekolah dan selanjutnya menciptakan nilai
(value) bagi organisasi sekolah. Dasar dari peran
SDM pendidikan strategik tersebut terdiri dari
tiga dimensi rantai nilai (value chain) yang
dikembangkan oleh Arsitektur SDM, yang
meliputi fungsi, sistem, dan perilaku karyawan.
Istilah “Arsitektur” secara luas menjelaskan
profesi SDM di dalam fungsi SDM, sistem SDM
yang berkaitan dengan kebijakan dan praktek
SDM melalui kompetensi, motivasi, dan perilaku
SDM. Gambar 2 berikut ini mengilustrasikan
proses arsitektur strategi SDM (Becker, Huselid,
dan Ulrich, 2001):
1. Fungsi SDM (The Human Resource
Function)
Manajemen SDM pendidikan yang efektif
terdiri dari dua dimensi penting, yaitu: (a)
manajemen SDM pendidikan secara teknis,
mencakup: rekrutmen guru, kompensasi
yang diterima oleh guru, dan benefit bagi
guru; serta (b) manajemen SDM pendidikan
yang strategik, mencakup: penyampaian
(delivery) pelayanan manajemen SDM
pendidikan secara teknis dalam cara yang
mendukung berlangsungnya implementasi
strategi di sekolah.
2. Sistem SDM (The Human Resource System)
Sistem SDM merupakan unsur utama yang
berpengaruh pada SDM pendidikan
strategik. Model sistem SDM tersebut
disebut dengan “High Performance Work
System” (HPWS). Di dalam HPWS, setiap
elemen dari sistem SDM pendidikan
dirancang untuk memaksimalkan seluruh
kualitas human capital melalui sekolah.
Untuk membangun dan memelihara
persediaan human capital yang berkualitas,
maka HPWS melakukan hal-hal sebagai
berikut: (a) menghubungkan keputusan
seleksi dan promosi guru untuk
memvalidasi model kompetensi guru; (b)
mengembangkan strategi yang menyediakan waktu dan dukungan yang efektif
untuk keterampilan yang dituntut oleh
implementasi strategi sekolah; serta (c)
melaksanakan kebijakan kompensasi dan
pengelolaan kinerja guru yang menarik,
mempertahankan, dan memotivasi kinerja
guru yang tinggi. HPWS secara langsung
menciptakan customer value atau nilai
sekolah lainnya yang berkaitan. Dalam hal
82
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
ini, proses kemitraan (alignment) dimulai
dari pemahaman yang jelas terhadap rantai
nilai sekolah, yaitu pemahaman yang solid
tentang apa saja yang menjadi nilai-nilai
sekolah serta bagaimana menciptakan
manfaat dari nilai tersebut. Kuncinya,
karakteristik HPWS tidak hanya
mengadopsi kebijakan SDM pendidikan
yang tepat, tetapi juga bagaimana mengelola
praktek SDM pendidikan. Di dalam HPWS,
kebijakan SDM pendidikan menunjukkan
kemitraan yang kuat dengan sasaran
operasional serta strategi bersaing sekolah.
Oleh karena itu, setiap HPWS akan berbeda
antar sekolah, sehingga HPWS dapat
disesuaikan dengan keunikan, kekuatan,
dan kebutuhan masing-masing sekolah.
3. Perilaku Karyawan yang Strategik
(Employee Behavior Strategically)
Peran SDM (human capital) yang strategik
berfokus pada produktivitas dari perilaku
guru di sekolah. Perilaku strategik
merupakan perilaku produktif yang secara
langsung mengimplementasikan strategi
sekolah. Strategi tersebut terdiri dari dua
kategori umum sebagai berikut: (a) perilaku
inti (core behavior), yaitu alur yang langsung
berasal dari kompetensi inti perilaku yang
didefinisikan oleh sekolah; serta (b) perilaku
spesifik yang situasional (situation-specific
behavior) yang esensial sebagai key point
dalam sekolah atau rantai nilai sekolah.
Setiap langkah sekolah untuk mengembangkan dirinya dapat ditiru oleh sekolah lain,
sehingga tidak mungkin terus-menerus
dipertahankan sebagai keunggulan bersaing
sekolah. SDM pendidikan adalah sumber
keunggulan bersaing sekolah yang potensial
karena kompetensi yang dimilikinya berupa
intelektualitas, sifat, keterampilan, karakter
pribadi, serta proses intelektual, tidak dapat
ditiru sekolah lain. Pentingnya kontribusi SDM
pendidikan (guru) sebagai salah satu faktor
pendukung kesuksesan sekolah harus disadari
oleh pimpinan sekolah, sehingga sekolah
dituntut melakukan pengembangan berkesinambungan terhadap kuantitas dan kualitas
pengetahuannya melalui pelatihan guru atau
merangsang guru agar “learning by doing” di
dalam learning organization. Membangun
kemampuan guru merupakan langkah awal
dalam penciptaan aset guru strategis. Namun,
langkah awal tersebut tergantung pada proses
sekolah untuk mencetak guru yang kompeten
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
serta kemampuan sekolah untuk merekrut guruguru terbaik.
Peranan Kepala Sekolah selaku
Manajer SDM Pendidikan dalam
Meningkatkan Kompetensi Guru
Agar proses pendidikan dapat berjalan efektif
dan efisien, maka guru dituntut memiliki
kompetensi yang memadai. Jika kita selami lebih
dalam mengenai isi yang terkandung dari setiap
jenis kompetensi yang disampaikan para ahli
maupun di dalam perspektif kebijakan
pemerintah, maka untuk menjadi guru yang
kompeten bukan sesuatu yang mudah, karena
untuk mewujudkan dan meningkatkan
kompetensi guru diperlukan upaya yang
komprehensif. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah melalui optimalisasi peran
kepala sekolah. Kepala sekolah selaku manajer
SDM, memiliki tugas untuk mengembangkan
kinerja personel sekolah, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru (Anwar dan
Amir, 2000). Perlu digarisbawahi bahwa yang
dimaksud dengan kompetensi profesional tidak
hanya terkait penguasaan materi semata, tetapi
mencakup seluruh jenis dan isi kandungan
kompetensi seperti yang dipaparkan di atas.
Di dalam perspektif kebijakan pendidikan
nasional (Depdiknas, 2006), terdapat tujuh
peran utama kepala sekolah terkait dengan
peningkatan kompetensi guru, yaitu:
1. Kepala sekolah sebagai pendidik
(educator)
Kepala sekolah yang berkomitmen tinggi
dan fokus terhadap pengembangan
kurikulum dan kegiatan belajar mengajar di
sekolahnya akan memperhatikan kompetensi yang dimiliki gurunya, juga akan
senantiasa berusaha memfasilitasi dan
mendorong guru agar terus-menerus
meningkatkan kompetensinya sehingga
kegiatan belajar mengajar dapat berjalan
efektif dan efisien.
2. Kepala sekolah sebagai pengelola
(manager)
Dalam mengelola tenaga kependidikan,
salah satu tugas yang dilakukan kepala
sekolah adalah melakukan kegiatan
pemeliharaan dan pengembangan profesi
guru. Kepala sekolah harus dapat memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang luas
kepada guru agar dapat melakukan kegia-
3.
4.
5.
tan pengembangan profesi guru melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan guru,
yang dilakukan di sekolah (MGMP/MGP
sekolah, in house training, diskusi profesional, dan sebagainya) maupun yang
dilakukan di luar sekolah (kesempatan
melanjutkan pendidikan atau mengikuti
kegiatan pelatihan yang diselenggarakan
pihak lain).
Kepala sekolah sebagai administratur
(administrator)
Berkenaan dengan pengelolaan keuangan,
maka untuk tercapainya peningkatan
kompetensi guru tidak terlepas dari faktor
biaya. Seberapa besar sekolah dapat
mengalokasikan anggaran peningkatan
kompetensi guru akan mempengaruhi
tingkat kompetensi gurunya. Kepala sekolah
seyogianya dapat mengalokasikan anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan
kompetensi guru.
Kepala sekolah sebagai pengawas
(supervisor)
Agar dapat mengetahui sejauh mana guru
mampu melaksanakan pembelajaran, kepala
sekolah perlu melaksanakan kegiatan
supervisi secara berkala melalui kegiatan
kunjungan kelas untuk mengamati proses
pembelajaran secara langsung dalam hal
pemilihan serta penggunaan metode dan
media yang digunakan serta keterlibatan
siswa dalam proses pembelajaran.
(Mulyasa, 2004). Dari hasil supervisi ini,
maka dapat diketahui kelemahan sekaligus
kelebihan guru dalam melaksanakan
pembelajaran, tingkat penguasaan kompetensi guru yang bersangkutan, selanjutnya
diupayakan solusi, pembinaan, dan tindak
lanjut tertentu sehingga guru dapat
memperbaiki kekurangan yang ada,
sekaligus juga mempertahankan kelebihannya dalam melaksanakan pembelajaran.
Kepala sekolah sebagai pemimpin (leader)
Di dalam teori kepemimpinan, kita
mengenal 2 gaya kepemimpinan, yaitu
kepemimpinan yang berorientasi kepada
tugas dan kepemimpinan yang berorientasi
kepada manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, kepala sekolah
dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat dan fleksibel
sesuai kondisi dan kebutuhan yang ada.
Namun, menarik dipertimbangkan dari
hasil studi yang dilakukan Wiyono (2003)
terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
83
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
sekolah dasar di Bantul terungkap bahwa
etos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin
kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan
yang berorientasi kepada manusia. Mulyasa
(2003) juga mengatakan bahwa kepemimpinan seseorang terkait kepribadian kepala
sekolah sebagai pemimpin akan tercermin
dalam sifat-sifat: jujur, percaya diri,
tanggung jawab, berani mengambil resiko
dan keputusan, berjiwa besar, emosi yang
stabil, dan teladan.
6. Kepala sekolah sebagai pencipta iklim
kerja (creator)
Dalam menciptakan budaya dan iklim kerja
yang kondusif, kepala sekolah hendaknya
memperhatikan prinsip-prinsip: (a) guru
akan bekerja lebih giat jika kegiatan yang
dilakukannya menarik dan menyenangkan;
(b) tujuan kegiatan sekolah perlu disusun
dengan jelas dan diinformasikan kepada
guru sehingga mereka mengetahui tujuannya bekerja; (c) guru harus selalu diberitahu
setiap pekerjaannya; (d) memberikan hadiah
lebih baik daripada hukuman, namun
hukuman juga diperlukan sewaktu-waktu;
dan (e) usahakan untuk memenuhi
kebutuhan sosio-psiko-fisik guru sehingga
tercapai kepuasan (Mulyasa, 2003).
7. Kepala sekolah sebagai wirausahawan
(entrepreneur)
Dalam menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan terkait dengan peningkatan
kompetensi guru, kepala sekolah seyogianya dapat menciptakan pembaharuan,
keunggulan komparatif, serta memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah
dengan sikap kewirausa-haan yang kuat
akan berani melakukan perubahanperubahan yang inovatif di sekolahnya,
termasuk perubahan dalam hal-hal yang
berhubungan dengan proses pembelajaran
siswa serta kompetensi gurunya.
Jadi, kepala sekolah memiliki peran strategis
dalam meningkatkan kompetensi guru, baik
sebagai pendidik, pengelola, administratur,
pengawas, pemimpin, pencipta iklim kerja,
maupun wirausahawan. Sejauh mana kepala
sekolah dapat mewujudkan peran-peran di atas,
dapat memberikan kontribusi terhadap
peningkatan kompetensi guru, sehingga
akhirnya dapat membawa efek terhadap
peningkatan mutu sekolah.
Sudah cukup jelas tentang penjelasan peran
kepala sekolah terkait dengan kompetensi guru
84
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Kesimpulan
Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan,
kompetensi guru merupakan salah satu faktor
yang penting. Kompetensi guru menggambarkan
apa yang seyogianya dapat dilakukan seorang
guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik
berupa kegiatan, perilaku, maupun hasil yang
dapat ditunjukkan. Kompetensi guru meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi personal,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Dengan adanya tantangan kehidupan global,
maka peran dan tanggung jawab guru di masa
yang akan datang semakin kompleks sehingga
menuntut guru untuk senantiasa melakukan
berbagai peningkatan dan penyesuaian
terhadap penguasaan kompetensinya.
Manajemen SDM pendidikan konvensional
yang berfokus pada peningkatan kemampuan
teknis dan analitis guru, harus ditinggalkan
karena selain membawa pada ketidak efektifan
penggunaan akal budi guru, manajemen SDM
pendidikan tersebut kurang bermanfaat bagi
perolehan core competence sekolah untuk
memperoleh competitive advantage. Sekolah
hendaknya mempertimbangkan pengelolaan IQEQ-SQ guru secara integral dengan metode
holistik karena dapat meningkatkan kreativitas
guru pada tingkat mikro serta menghasilkan
kreativitas bersama dalam wujud perolehan core
competence yang strategis. Sekolah seyogianya
menerapkan konsep manajemen SDM pendidikan berbasis kompetensi guru karena mengkaitkan aktivitas SDM pendidikan secara
terintegrasi di sekolah dengan kompetensi inti
guru untuk mencapai tujuan organisasi sekolah.
Dengan menerapkan konsep tersebut, sekolah
akan memiliki kepala sekolah yang dapat
melaksanakan kepemimpinannya dengan tepat
serta memiliki guru yang mengetahui apa yang
seharusnya dapat dilakukan untuk keberhasilan
sekolah.
Upaya peningkatan kompetensi guru
dilakukan melalui optimalisasi peran kepala
sekolah yang strategis sebagai pendidik,
pengelola, administratur, pengawas, pemimpin,
pencipta iklim kerja, dan wirausahawan. Sejauh
mana kepala sekolah dapat mewujudkan peranperan tersebut, dapat memberikan kontribusi
pada peningkatan kompetensi guru, sehingga
dapat membawa efek terhadap peningkatan
mutu sekolah.
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
Daftar Pustaka
Anwar, Idochi dan Yayat Hidayat Amir. (2000).
Administrasi Pendidikan: Teori, Konsep, dan
Issu. Bandung: Bumi Siliwangi
Aqib, Zainal. (2002). Profesionalisme guru dalam
pembelajaran. Surabaya: Insan Cendekia
Becker, Huselid, and Ulrich. (2001). The HR
scorecard: linking people, strategy and
performance. Boston: Harvard Business
School Press
Danim, Sudarwan. (2002). Inovasi pendidikan
dalam upaya meningkatkan profesionalisme
tenaga kependidikan. Bandung: Pustaka Setia
Departemen Pendidikan Nasional. (2003).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional. (2005).
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan
Departemen Pendidikan Nasional. (2005).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Departemen Pendidikan Nasional. (2006).
Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK, SD,
SMP, SMA, SMK, dan SLB
Departemen Pendidikan Nasional. (2008).
Pedoman peningkatan kompetensi guru sekolah
Indonesia di luar negeri (SILN) secara online
DePorter, Bobbi, and Mike Hernacki. (1992).
Quantum learning: unleashing the genius in
you. Dell Publishing
Dessler, Gary. (1997). Human resource management.
New Jersey: Prentice Hall, Inc
Dharma, Surya dan Yuanita Sunatrio. (2001).
Human resource scorecard: suatu model
pengukuran kinerja SDM. Usahawan, No.
11, Th XXX, Nopember 2001
Goleman, Daniel. (1996). Emotional intelligence.
Bantam Books
Hall, Jay. (1988). The competence connection: a blue
print for excellent. Texas, USA: Woodstead Press
Hamel, G. and C. K. Prahalad (1995). Competitive
in the future. Boston: Harvard Business
School Press
Hanafi, Iwan. (2007). “Competence based human
resources management (CBHRM)”, http://
www.ptpn3.co.id/ptb.pdf
Hill, Charles W.L., and Gareth J. Jones (1998).
Strategic management theory: an integrated
approach. NY: Houghton Miffilin Company
Holmes. (1993). Rescuing the useful concept of
managerial competence. Personnel Review,
Vol. 22, No. 6, pp.37-52
Lucky, Elizabeth. (2002). Peran pemimpin dalam
maksimisasi sumber daya manusia dan
strategi bersaing untuk membentuk organisasi
kelas dunia. Usahawan, No. 11, Th XXXI,
Nopember 2002
Mitrani, A, M. Daziel, and D. Fitt (1992).
Competency based human resource
management: value-driven strategies for
recruitment, development, and reward.
London: Kogan Page Limited
Moqvist, Louise. (2003). The competency dimension
of leadership: findings from a study of self
image among top managers in the changing
swedish public administration. Linköping
University: Centre for Studies of Humans,
Technology, and Organisation
Mulyasa. (2003). Menjadi kepala sekolah
profesional: dalam konteks menyukseskan
MBS dan KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya
Mulyasa. (2004). Manajemen berbasis sekolah:
konsep, strategi, dan implementasi. Bandung:
Remaja Rosdakarya
National Board for Professional Teaching
Standards. (2002). Five core propositions,
http://www.nbpts.org/the_standards/
the_five_core_propositio
Nuringsih, Kartika. (2002). Menciptakan
keunggulan kompetitif melalui penilaian
kinerja 3600 feedback. Usahawan, No. 05,
Th XXXI, Mei 2002
Nursanti, Tinjung Desy. (2001). Strategi
terintegrasi dalam perencanaan sumber daya
manusia yang efektif. Usahawan, No. 03, Th
XXX, Maret 2001
Purnama, Nursya’bani. (2000). Membangun
keunggulan bersaing melalui integrasi
perencanaan stratejik dan perencanaan SDM.
Usahawan, No. 07, Th XXIX, Juli 2000
Schuler, R.S. and S.E. Jackson. (1996). Human
resources management: positioning for 21th
centuries. NJ: West Publishing Company
Sergiovanni, J., Burlingame, Martin, Coombs,
Fred S., Thurston, and Paul W. (1987).
Educational governance and administration.
New Jersey: Prentice-Hall, Inc
Siswanto. (2001). Deskripsi aplikasi manajemen
sumber daya manusia berbasis kompetensi,
http://www.asb.co.id/document/
deskripsi_msdm-bk.pdf
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
85
Manajemen Sumber Daya Manusia Pendidikan Berbasis Kompetensi
Southern States Cooperative Program in
Educational Administration. (1955). Better
teaching in school administration: a
competency approach to improving
institutional preparation programs in
educational administration. Nashville, Tenn.:
George Peaboddy College for Teachers
Spencer, M.Lyle and M.Signe Spencer (1993).
Competence at work: models for superior
performance. New York, USA: John Wiley
& Son, Inc
Suminar, Nina Ratna dan Didang Setiawan.
(2008). Peta kompetensi guru SMP dalam
pengelolaan pembelajaran geografi di provinsi
DKI Jakarta (Studi hasil uji kompetensi guru
SMP
tahun
2006),
http://
www.lpmpdki.web.id/pdf/nina%20%20didang.pdf.
Suyanto dan Djihad Hisyam. (2000). Refleksi dan
reformasi pendidikan Indonesia memasuki
millenium III. Yogyakarta: Adi Cita
Triono, Rachmadi Bagus. (2002). Manajemen
SDM holistik: jalan menuju perolehan
competitive advantage. Usahawan, No. 05,
Th XXXI, Mei 2002
Tunggara, R. M. Imam I. (2001). Peranan kepala
sekolah dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan melalui konsep manajemen
86
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
berbasis sekolah (studi kasus pada SLTP swasta
kota Bandung. Bandung: Tesis Program
Pasca Sarjana Administrasi Pendidikan –
Universitas Pendidikan Indonesia.
Ubrodiyanto. (2007). Pengembangan guru, sebuah
harga
mati!,
http://
www.smak1cirebon.com/supported/
pdfviewer.php?hal=artikel&id=5
Ulrich, Dave. (1996). Human resource champions:
the next agenda for adding value and
delivering results. Boston, Massachusetts:
Harvard Business School Press.
Walker, J.W. (1994). Integrating the human resources
function with the business resources planning.
Human Resources Planning, Vol. 17, No.
2, pp.59-77
Wherther, William B. and Keith Davis. (1993).
Human Resources and Personnel Management. New York: McGraw-Hill
Wiyono, Bambang Budi. (2003). Gaya
kepemimpinan kepala sekolah dan semangat
kerja guru dalam melaksanakan tugas jabatan
di sekolah dasar. Jurnal Filsafat, Teori, dan
Praktik Kependidikan – Universitas
Negeri Malang
Zohar, Danah and Ian Marshal. (2000). SQ:
spiritual intelligence-the ultimate intelligence.
Bloomsbury
Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern
Opini
Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern dalam
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Tinggi
H.A.R. Tilaar*)
Abstrak
alam era globalisasi ini peranan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, sangat strategis
dalam membentuk sumber daya manusia yang cerdas, terampil, dan mampu bersaing.
Oleh karena itu, pendidikan tinggi perlu secara terus menerus melakukan pengembangan
dalam berbagai aspek termasuk kurikulum. Tulisan ini membahas berbagai tantangan
dan aspek yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum pendidikan tinggi di
Indonesia. Aspek-aspek yang dibahas termasuk otonomi dan manajemen universitas, hak asasi
manusia, pendanaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
D
Kata-kata kunci: Otonomi universitas, manajemen universitas, hak asasi manusia, pendanaan,
perkembangan ilmu dan teknologi.
In this modern and globalization era, the role of education in producing professional human resourcess is very
strategic and has to be put into priority. Beside primary and secondary education, higher education should be
developed in all aspects including its curriculum. This article discusses critically some factors to be well
consedered in developing higher education curriculum such as autonomy and management, human right,
funding, science and technology development.
Pendahuluan
Pendidikan tinggi modern dimulai dengan
lahirnya Akedemi Plato sekitar empat abad SM
telah mempengaruhi perkembangan pendidikan
tinggi di dunia Barat. Falsafah Yunani yang
mendasari perguruan tinggi tersebut dilanjutkan
dengan peradaban Kristen dan telah menjadikan
biara-biara sebagai kecambah lahirnya
pendidikan tinggi modern di Barat. Universitas–
universitas Oxford, Cambridge, Sorbonne yang
lahir pada abad pertengahan merupakan
kelanjutan dari falsafah Yunani–Romawi yang
kemudian dikembangkan di dalam biara-biara
Kristen. Perkembangan pendidikan tinggi
modern di benua baru juga dimulai dari para
ilmuwan/biarawan yang melarikan diri dari
tekanan agama di benua lama. Univeristasuniversitas Harvard, Yale, Columbia, Princeton
semula didirikan oleh para pendeta dan
kemudian menjadi universitas-universitas
sekuler. Perubahan orientasi pendidikan tinggi
tersebut tidak terlepas dari perubahan zaman.
Zaman Aufklarung, kemajuan akal manusia,
kemajuan ilmu pengetahuan telah mengubah
kebudayaan Barat ketika itu. Maka Universitasuniversitas abad pertengahan berubah menjadi
pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Ledakan industrialisasi pada abad ke 18/19
telah melahirkan bentuk-bentuk pendidikan
tinggi sekuler seperti Landgrant Colleges yang
melahirkan State Universities di Amerika Serikat.
Kemajuan ilmu pengetahuan pada abad ke-19
*) Guru Besar Emiritus Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
87
Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern
melahirkan Research University di Jerman
khususnya Unversitas Berlin dan Humbolt. Ide
Research University tersebut kemudian dibawa ke
Amerika Serikat di Johns Hopkins University,
Baltimore. Dimulailah fase baru lahirnya
universitas modern sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada abad
ke-20. Dua perang dunia telah ikut memberikan
wajah baru ke dalam pendidikan tinggi dengan
melahirkan teknologi perang serta kemajuankemajuan lainnya dalam ilmu pengetahuan
yang dibutuhkan oleh perang itu. Selanjutnya
berakhirnya perang dingin dan maraknya
globalisasi telah melahirkan suatu dunia yang
terbuka, perdangangan bebas, interaksi manusia
yang lebih marak, lahirnya dunia maya, telah
menumbuhkan suatu dunia baru, dunia global.
Semua kekuatan baru tersebut ikut memberikan
wujud baru dalam dunia pendidikan tinggi.
Wujud baru tersebut juga mempengaruhi bentukbentuk organisasi pendidikan tinggi, tujuan,
sarana, kurikulum serta pengelolaan dunia
pendidikan tinggi secara keseluruhan.
Perubahan bentuk, pengetahuan, tujuan
pendidikan tinggi dewasa ini yang berubah dari
tujuannya yang klasik menjadi bentuknya yang
super modern dewasa ini seperti yang dikemukakan Cardinal John Henry Newman dalam
publikasinya pada tahun 1852, The idea of a
University. Dalam bukunya itu Newman
menuliskan tujuan ideal dari universitas sebagai
pusat pengembangan kebudayaan manusia.
Kebudayaan manusia, di dalam hal ini dalam
lingkup kebudayaan Barat, adalah manusia
yang bermoral menurut ajaran Kristiani. Dalam
pandangan Newman tersebut tentunya juga
kemajuan moral manusia perlu ditopang oleh
kemajuan akal sebagaimana yang dikemukakan
oleh filsuf Immanuel Kant. Konsep Newman
tersebut tentunya tidak terlepas dari falsafah
Barat yang berakar dari falsafah YunaniRomawi serta budaya Kristen. Ilmu pengetahuan
disubordinasikan ke dalam agama dan moral.
Kita lihat di dalam sejarah pendidikan tinggi ide
Cardinal Newman mendapat tantangan yang
keras dari kemajuan berpikir rasionalisme serta
revolusi industri pada abad 18-19. Ilmu
pengetahuan semakin lama semakin ditonjolkan
dan di dalam dunia universitas ilmu pengetahuan (science) dan kemudian aplikasi science
dalam teknologi mulai marak di dunia
pendidikan tinggi. Terjadi revolusi besar di
dalam kehidupan dan kebudayaan manusia
88
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
modern yang mulai mengangungkan kemampuan rasio serta teknologi dan materialisme.
Di dunia pendidikan menengah kita lihat
lahirnya bentuk-bentuk sekolah dengan nama
seperti Iyceum yang kemudian didampingi oleh
sekolah menengah yang modern seperti AMS/
HBS. Di samping universitas-universitas yang
berorientasi klasik seperti Oxford, Cambridge,
Sorbonne, lahirlah pendidikan tinggipendidikan tinggi teknologi seperti Sekolah
Tinggi Teknik Delf (Delft Technische Hoge School),
Massachusetts Institute Technology. Pada
permulaan abad ke-20 lahirlah pendidikan
tinggi-pendidikan tinggi modern yang
berorientasi kepada ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Tantangan-tantangan Universitas
Dunia Modern
Setiap tahun Universitas Oxford, Inggris,
mengadakan pertemuan-pertemuan membicarakan masalah-masalah perkembangan pendidikan tinggi dunia. Salah satu pertemuan tersebut
(Oxford Round Table) membicarakan mengenai
perkembangan pendidikan tinggi dewasa ini
serta tantangan-tantangannya.
Berbagai tantangan yang menonjol adalah :
1) otonomi universitas, 2) manajemen
universitas, 3) hak asasi manusia, 4) pendanaan,
5) perkembangan ilmu pengetahuan IT.
2. Otonomi Universitas
Otonomi pendidikan tinggi merupakan suatu
masalah perenial. Kita lihat pendidikan tinggi
Barat pada mulanya terikat di dalam suatu
tradisi budaya Barat di bawah kekuasaan raja
khususnya pada abad pertengahan. Lahirnya
Aufklarung dan kebebasan berpikir manusia,
memberikan pengaruh yang besar terhadap
tuntutan ekonomi pendidikan tinggi. Empirisme
dan rasionalisme, memberikan pengaruh yang
besar terhadap tuntutan otonomi pendidikan
tinggi. Empirisme dan rasionalisme memberikan
pengaruh yang besar terhadap otonomi
pendidikan tinggi karena ilmu pengetahuan
hanya dapat berkembang karena kebebasan
manusia untuk berpikir. Kita ingat pahlawanpahlawan ilmu pengetahuan yang dihukum
mati pada Abad Pertengahan menunjukkan
tuntutan manusia untuk kebebasan berpikir.
Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern
Ilmu pengetahuan hanya maju dan berkembang undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan
Pendidikan sebenarnya ingin
apabila didasarkan kepada kebebasan rasio Hukum
memenuhi
tuntutan
otonomi kampus. Namun
manusia yang tentunya sering bertentangan
demikian
UU
tersebut
mengandung potensi
dengan tradisi agama pada saat itu.
pengelolaan
kampus
sebagai
suatu unit bisnis.
Di dalam kebebasan akademik diperjuangKampus
diharuskan
mencari
dana sendiri
kan dua hal yaitu kebebasan akademi dan
sebagai
pelengkap
dari
dana
yang
diberikan
kebebasan mimbar akademi. Kebebasan
oleh
negara
atau
masyarakat.
Tentunya
hal ini
akademi berlaku untuk seluruh masyarakat
dapat
menimbulkan
ekses
yaitu
kampus
pendidikan tinggi untuk mengeluarkan
pendapat berdasarkan penalaran. Kebebasan dikelola sebagai suatu unit bisnis yang mencari
mimbar akademik diberikan kepada dosen/guru profit (keuntungan).
besar untuk menyatakan pendapatnya di dalam
kampus mengenai kebenaran yang diyakininya. 2. Manajemen Universitas
Dewasa ini masalah otonomi perguruan Dunia modern menurut Peter Drucker terdisi atas
tinggi bukan hanya berkenaan dengan berbagai organisasi sosial atau lembaga-lembaga
kebebasan mimbar dan kebebasan akademis sosial (social institution). Setiap lembaga sosial
tetapi juga telah mengikuti berbagai aspek mempunyai tujuannya sendiri meskipun
kehidupan pendidikan tinggi sebagai suatu masing-masing mempunyai prinsip-prinsip
lembaga sosial (social institution). Kebebasan dasarnya sendiri. Lembaga sosial bisnis
bertujuan untuk
untuk meneliti,
m e n c a r i
kebebasan untuk
keuntungan (profit)
mengeluarkan
oleh karena itu
p e n d a p a t
Dewasa ini masalah otonomi
haruslah dikelola
memerlukan kebeperguruan tinggi bukan hanya
secara efisen dan
basan dalam kehiberkenaan dengan kebebasan
efektif. Lembaga
dupan kampus
mimbar
dan
kebebasan
akademis
pendidikan
dalam arti yang
tetapi
juga
telah
mengikuti
merupakan suatu
luas. Hal ini berlembaga yang efiarti pendidikan
berbagai aspek kehidupan
sien dan produktif.
tinggi sebagai suapendidikan tinggi sebagai suatu
Namun demikian
tu
komunitas
lembaga sosial (social institution).
berbeda dengan
mempunyai
lembaga bisnis,
pengaturantujuan lembaga
pengaturan
pendidikan
bukanlah
untuk
mencari keunsendiri di dalam suatu masyarakat. Tidak
tungan
(profit)
tetapi
mempunyai
tujuan untuk
mengherankan apabila dewasa ini apa yang
mengembangkan
potensi
peserta-didik
agar
disebut kebebasan kampus acap kali bentrok
bermanfaat
untuk
diri
sendiri,
masyarakat
dan
dengan kekuasaan negara. Di dalam banyak
kehidupan
pada
umumnya.
Di
dalam
hal
ini
negara terutama negara-negara yang tidak
tentunya
terdapat
perbedaan
di
dalam
demokratis, kampus merupakan perlawanan
kekuasaaan. Hal ini dapat kita lihat misalnya penggunaan prinsip-prinsip umum yang
pada era komunisme, negara-negara diktator, berlaku untuk semua lembaga sosial modern.
negara-negara totaliter banyak yang tumbang Oleh sebab lembaga sosial pendidikan bukanlah
karena pemberontakan dari kampus. Otonomi suatu lembaga bisnis maka penerapan prinsipkampus tidak jarang diartikan sebagai prinsip bisnis yang memang efektif dalam
kemerdekaan sepenuhnya di dalam kampus. Di mewujudkan keuntungan perlu disikapi dengan
dalam banyak kasus kita lihat terjunnya kampus langkah-langkah berikutnya untuk mencapai
di dalam kehidupan politik praktis sehingga tujuan lembaga pendidikan. Dengan demikian
tujuan utama dari kampus telah berubah. Hal peserta didik tidak semata-mata dilihat sebagai
ini antara lain yang telah melahirkan kebijakan suatu objek eksploitasi untuk mewujudkan
NKK/BKK pada zaman Menteri Pendidikan dan tujuan lembaga tetapi untuk kepentingan pribadi
peserta didik (mahasiswa) itu sendiri.
Kebudayaan Daoed Joesoef.
Pengalaman-pengalaman dalam melaksaOtonomi kampus juga berarti otonomi di
nakan
universitas sebagai badan hukum milik
dalam pengaturan kehidupan kampus. UndangJurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
89
Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern
negara menunjukkan berbagai kelemahan di
dalam manajemen. Umum mengetahui bahwa
di dalam rangka untuk mewujudkan otonomi
setengah hati dari BHMN, universitas dipaksa
mencari sumber-sumber penghasilan sendiri.
Tidak mengherankan apabila sebagian atau
sebagain besar dana operasional oleh
mahasiswa/orangtua. Bagi mahasiswa dari
keluarga yang tidak mampu hal ini tentunya
merupakan suatu hambatan meskipun
tersedianya beberapa beasiswa bagi mereka.
Bagi PTN hal ini tentunya perlu dikaji lebih
mendalam sebab hal tersebut bertentangan
dengan jiwa UUD 1954. UUD 1945 mengatakan
bahwa pendidikan merupakan hak seluruh
rakyat dan pemerintah wajib menyelenggarakannya. Memang tidak semua orang
mempunyai kemampuan untuk melanjutkan ke
tingkat pendidikan tinggi namum demikian
semua rakyat memperoleh hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan tinggi sesuai dengan
kemampuan akalnya.
Manajemen pendidikan tinggi modern
tentunya menuntut pula kemampuan manajerial
dari pengurus pendidikan tinggi itu. Sebagai
kenyataan, para pimpinan pendidikan tinggi
(administrator) pada umumnya tidak mempunyai
pendidikan atau pengalaman sebagai manajer.
Mereka diambil dari dunia ilmu pengetahuan
yang minim dalam pengetahuan manajemen.
Oleh sebab itu di Amerika Serikat kedudukan
pimpinan pendidikan tinggi kebanyakan
diambil dari yang berpengalaman di bidang
bisnis atau kepemimpinan dalam bidang
lainnya. Presiden Eisenhower sebagai
komandan sekutu dalam PD II kemudian
menjadi Presiden Columbia University baru
kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat.
Summers yang pernah menjadi presiden
Harvard bermula sebagai Menteri Keuangan
Amerika Serikat. Kini dia menjadi penasihat
Presiden Obama.
Berbeda dengan Amerika, tradisi Eropa
memilih presiden universitas dari kalangannya
sendiri melalui pemilihan. Mereka masih
memegang tradisi keilmuan dari seorang
presiden (rektor) universitas.
3. Hak asasi manusia
Tradisi Eropa memberikan hak istimewa pada
sekelompok anggota masyarakat yang
berprivilege untuk mendapatkan pendidikan
tinggi. Di Inggris misalnya pendidikan
menengah Eaton dan Harrow mempersiapkan
90
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
mahasiswanya untuk universitas Cambridge
dan Oxford. Pendidikan tinggi diwarnai oleh
hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kelompok
feodal demi untuk melestarikan kekuasaannya.
Poskolonialisme menunjukkan pada kita
betapa pendidikan tinggi merupakan hak
istimewa dari kelas atas. Di Indonesia kita
mengenal lahirnya beberapa pendidikan tinggi
pada permulaan abad ke-20 yang hanya
memberikan tempat yang minim terhadap
(inlander) bangsa Indonesia.
Di Amerika Serikat sebagai pejuang hak
azasi manusia dalam revolusi tahun 1776 pada
mulanya membuat segregasi antara pendidikan
yang dibutuhkan oleh golongan putih dan
secara terpisah oleh golongan kulit berwarna.
Pendidikan tinggi-pendidikan tinggi terkenal
tertutup bagi kulit berwarna, seperti misalnya
Universiatas Harvard baru memberikan izin
kepada Ralph Unche sebagai mahasiswanya
berkulit hitam yang pertama. Dengan adanya
Universal Declaration of Human Rights tahun 1948
terbukalah kesempatan yang sama untuk semua
ras memasuki pendidikan tinggi di Amerika.
Hak-hak azasi manusia ini mulai tersebar di
seluruh dunia sampai pada waktu itu ke Afrika
Selatan yang gigih mempertahankan politik
rasial. Gerakan persamaan hak semua ras
semakin gigih di seluruh dunia sehingga
rasialisme terkikis dari kehidupan perguruan
tinggi di seluruh dunia. Kemajuan HAM tersebut
bukan hanya menepis perbedaan ras tapi juga
mengenai perbedaan gender. Pada mulanya
pendidikan tinggi hanya terbatas untuk kaum
pria meskipun di Barat sejak akhir abad ke-19
telah membuka lebar bagi perempuan. Bahkan
pada permulaan abad ke -20 seorang perempuan
Madame Curie berhasil menggondol hadiah
Nobel.
4. Pendanaan
Dunia modern semakin menuntut perubahan
cepat serta kebutuhan yang semakin meningkat
yang hanya dapat diberikan oleh universitas
melalui pendidikan dengan tenaga-tenaga yang
terampil. Tuntutan dunia bisnis tersebut
menuntut universitas menyediakan fasilitasfasilitas, baik tenaga-tenaga guru besar maupun
laboratorium, dalam mempersiapkan yang
dibutuhkan itu. Hal ini berarti menambahkan
kebutuhan universitas akan dana yang
memadai untuk menyiapkan atau mendatangkan tenaga guru besar dengan gaji yang
tinggi, kampus yang semakin marak baik secara
Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern
fisik maupun kemampuannya sehingga menarik pun swasta meminta pembiayaan yang tinggi.
perhatian banyak mahasiswanya. Kegiatan- Meskipun di sana-sini terdapat disediakan
kegiatan riset ditingkatkan baik riset tersebut banyak beasiswa untuk para mahasiswa yang
merupakan riset murni ataupun riset pesanan berpotensi tetapi tentunya hal tersebut membatasi
dari industri-industri besar. Modal industri kemungkinan anak-anak dari keluarga miskin
mulai memainkan peranannya di dalam untuk memperoleh kesempatan yang sama. Di
pengembangan universitas riset dari Jerman ke dalam negara-negara berkembang di mana dana
Amerika Serikat telah menumbuhkan program- pemerintah terbatas untuk universitas yang
program Graduate Studies yang kebanyakan dimiliki negara, tentunya hal tersebut akan
berorientasi kepada industri atau bisnis. memberikan pengaruh yang negatif terhadap
Universitas-universitas terkenal mulai membuka pertumbuhan perguruan tinggi. PTS tergantung
diri pada masuknya modal-modal besar dalam seluruh pendanaannya dari masyarakat. Oleh
pembangunan pusat-pusat riset di kampus sebab itu untuk memperoleh akreditasi yang
sebagaimana yang kita lihat di Massachusetts tinggi dalam masyarakat, PTS memperoleh dana
Institute of Technology. Demikian pula perkem- dari masyarakat itu sendiri. Tidak
bangan persenjataan modern dalam rangka mengherankan apabila dana yang ditanggung
perang dingin untuk menghasilkan senjata- oleh PTS akan relatif lebih tinggi dari rekannya
senajata pemudari PTN. Di
snah
massal
dalam hal ini
memberikan keperilu dikemsempatan kepada
bangkan suatu
Proses pembelajaran melalui
penelitiansistem subsidi
dunia maya dengan penggunaan
penelitian
dan beasiswa
peralatan IT akan mengubah
universitas.
yang mengakui
proses pembelajaran bukan lagi
Dengan demikian
eksistensi PTS di
sebagai suatu proses encounter
jutaan atau bahdalam kehidupan
kan milyaran
suatu bangsa.
antar manusia.
dollar melimpah
Kebijakan ini kita
ke universitaslihat di negarauniversitas terkenal di dunia.
negara maju.
Di dalam per-kembangannya dalam dunia
Kebutuhan dana yang besar dalam
modern dewasa ini kita lihat adanya kerjasama pengelolaan suatu pendidikan tinggi dibarengi
yang erat antara A-B-G yaitu para akade-misi, oleh kebutuhan masyarakat akan tenaga terampil
para birokrat pemerintah (government). Simbiose lulusan pendidikan tinggi memberikan
antara keempat kekuatan tersebut telah pengaruh terhadap pembukaan programmelahirkan wajah baru dari universitas modern program studi. Pendidikan tinggi swasta
abad ke-21.
meskipun berakreditasi baik enggan untuk
Apakah ada ekses dari hubungan simbiotik membuka program studi seperti bahasa, filsafat,
dari keempat kekuatan tersebut di atas? Tentunya pendidikan guru jarang dibuka oleh PTS.
di samping hal-hal positif terdapat juga hal-hal Program-program studi yang laku terutama bagi
negatif yang dilahirkan dari kerjasama tersebut. PTS adalah program studi bisnis, hukum,
Sebagai contoh misalnya penelitian-penelitian teknologi khususnya teknologi informasi. Kalau
yang besar yang dibutuhkan oleh multinational keadaan ini terus berlanjut maka ini akan
corporation tentunya membatasi otonomi merupakan suatu lampu merah bagi
universitas dalam penelitian. Demikian pula perekembangan suatu kebudayaan yang sehat.
keterlibatan universitas di dalam persiapan
persenjataan pemusnah massal sudah tentu 5. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
bersinggungan dengan tanggung jawab moral Teknologi Informasi
universitas bagi peradaban manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Kebutuhan dana yang besar untuk pendidi- yang sangat pesat dewasa ini juga memberikan
kan tinggi tentun-ya merupakan beban ekstra di warna tertentu bagi perkembangan pendidikan
dalam masya-rakat khususnya bagi mahasiswa tinggi. Bukan hanya program-program studi
dari kelompok rakyat miskin. Universitas-uni- tersebut tumbuh menjamur dalam masyarakat
versitas terkenal di dunia baik milik negara mau- tetapi juga memberikan pengaruh terhadap
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
91
Tantangan-tantangan Universitas Dunia Modern
jalannya proses belajar. Secara tradisional kita
lihat pendidikan tinggi merupakan suatu dialog
face-to-face antardosen dengan mahasiswanya.
Adanya proses pembelajaran melalui dunia
maya dengan penggunaan peralatan IT akan
mengubah proses pembelajaran bukan lagi
sebagai suatu proses encounter antarmanusia.
Seorang dosen dapat menyampaikan pelajaran
atau penelitian melalui dunia maya tanpa
adanya sentuhan emosional antarpribadi. Hal
ini akan menjadikan suatu bentuk pembelajaran
tanpa emosi dan sentuhan kemanusiaan.
Kampus bukan lagi berupa kampus fisik tetapi
kampus maya sehingga aspek interpersonal
antara dosen dengan mahasiswa menghilang.
Ini adalah suatu bentuk campus cyber atau yang
disebut “kampus kuburan” (cemetery campus) di
mana para anggotanya ada tetapi terkubur di
dalam dunia maya. Apakah ini merupakan suatu
bentuk universitas masa depan? Sebagai
gambaran dalam tabel berikut terlihat ranking
universitas di Indonesia ditingkat Asean dan
International.
Tabel Ranking Universitas di Indonesia
(Rabometrics, Januari 2009)
No
Universitas
di Indonesia
Ranking
ASEAN
Ranking
Dunia
1.
Gajah Mada
7
6 23
2.
ITB
10
676
3.
UI
15
906
4.
Guna darma
37
160 4
5.
ITS
44
176 2
6.
ST. Teknik
T e l ko m
48
196 0
7.
Univ. Petra
52
201 3
8.
IPB
53
206 3
9.
Unibraw
56
215 2
10
Univ. Sbelas
Maret
57
2159
18.
UNY
90
3310
20
UPI
93
3347
33
Un. Semarang
144
4800
92
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Kesimpulan
Kurikulum pendidikan tinggi di dalam
sejarahnya berkembang sesuai dengan
perkembangan kebudayaan manusia. Di dalam
masyarakat sederhana yang kontemplatif,
kurikulum pendidikan tinggi diarahkan kepada
mencari jawaban terhadap masalah-masalah
mendasar tentang kehidupan dan alam. Ketika
akal manusia terlepas dari kungkungan ideologi,
pendidikan tinggi merupakan pusat dari
manusia mencari jawaban terhadap
eksistensinya di bumi ini. Ketika dunia ini telah
dapat dikendalikan oleh akal manusia,
perkembangan materialisme, perkembangan
bisnis serta paham individualisme-liberalisme,
pendidikan tinggi dijadikan alat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia.
Kurikulum pendidikan tinggi diarahkan
kepada upaya untuk menguasai dunia materi
demi untuk memenuhi kebutuhan materialisme.
Bahaya yang dihadapi oleh pendidikan tinggi
ialah kecenderungan sekedar menjadi pusat
pelatihan dan bukan sebagai pusat pembebasan
akal manusia untuk pembebasan dirinya serta
pengabdian kepada sesamanya. Kurikulum
pendidikan tinggi dewasa ini dihadapkan
kepada dilema idealisme pendidikan tinggi
menurut konsep Newman atau “for-profituniversity”. Di dalam pergumulan tersebut
pendidikan tinggi selayaknya tetap merupakan
pusat
pengembangan
kebudayaan
kemanusiaan dan menjadi penjaga moral
manusia.
Daftar Pustaka
Alexander, King F. & Kern Alexander (ed.). (2003).
The university. McGill-Queen University
Press
Hammersley, Martya. (2002). Educational reaserch.
Policymaking and practise. London: Paul
Chapman
Lewis, Ralph G. & Douglas H. Smith. (1994). Total
quality in higher education. Florida: St.
Lucie Press Delray Beach
Newman, John Henry. (1852). The idea of
university. London (1919): Longmans.
O’Neil, Harold F. Jr. & Ray S. Perez (ed.). (2003).
Technology aplications in education. New
Jersey : Lawrence Erlbaum
Isu Mutakhir: Generasi Digital (Digital Native)
Isu Mutakhir
Generasi Digital
Hotben Situmorang*)
alam perjalanan
pulang kantor,
penulis mendengar
siaran Radio Elshinta yang
memberitakan dalam waktu
dekat akan ada kebijakan
pemerintah yang mengatur
sistem penyiaran “TV digital”
sehingga isi siarannya juga
dapat diikuti melalui “TV
analog”, seperti kebanyakan
TV yang kita tonton selama
ini. Menarik untuk difahami
bahwa banyak hal bergeser ke
arah digital, termasuk
manusia juga telah
mempunyai identifikasi
digital dengan sebutan
“digital native”.
Sebutan digital native ini
telah menarik perhatian dari
beberapa pemerhati
pendidikan, seperti Marc
Prensky yang pada tahun
2001 mempublikasi tulisan
“new breed of student entering
educational establishment”
dengan menyatakan digital
immigrant sebagai a thick accent
karena mengedepankan data
dan fakta yang sering
memperlambat penyampaian
informasi (en.wikipedia.org/
wiki/digitalnative). Tidak
ketinggalan Gardner
menyatakan pada research
paper yang dipublikasi pada
22 Januari 2008 di Barcelona,
D
*)
bahwa ada 18 area perubahan
dari perilaku kerja para digital
native.
Buku yang ditulis oleh
John Palfrey and Urs Gasser
berjudul Born Bigital :
Understanding the first
generation of digital native
diterbitkan Basic Books pada
2008, berbicara tentang
ketersediaan koneksi internet
yang luas dan konsep
perubahan identitas, privasi
dan pembajakan musik. Hal
yang lebih spesifik
membicarakan murid masa
depan adalah laporan Julie
Evans selaku CEO Project
Tomorrow pada 25 Oktober
2007 berjudul : Are we ready
for the new 21st ceentury learner
?. Proyek ini melaporkan
lebih dari 50% guru dan orang
tua dan bahkan 62% siswa
SLTA yang disurvei meyakini
bahwa sekolah saat ini “are
not doing a good job”. Survei
yang dilakukan
menyimpulkan bahwa
teknologi telah merubah cara
guru menyampaikan materi
pembelajaran pada siswa.
Penggunaan tehnologi lebih
konsisten sebagaimana siswa
berinteraksi dengan dunia
dan apa yang mereka
harapkan pada masa yang
akan datang.
Tidak sulit menemukan
peristiwa yang sama terjadi di
Indonesia, antara lain
penggunaan bahasa
singkatan yang dikirim
melalui SMS telah merusak
tata bahasa akan tetapi
memudahkan penyampaian
sebuah pesan singkat.
Generasi ini memang
mengedepankan kecepatan
dan membangun aturan
sendiri. Mengenal lebih jauh
perilaku generasi ini perlu
dalam menyusun rancangan
pembelajaran yang sesuai dan
mengoptimalkan
pencapaiannya.
Menelusuri identifikasi
tersebut ternyata dimulai
dengan fakta sejarah Perang
Dunia II yang melibatkan dan
mengorbankan banyak umat
manusia. Berakhirnya Perang
Dunia ke II banyak tentara
meninggalkan ketentaraan
dan menjadi masyarakat sipil
membina keluarga bahagia.
Sejarah mencatat kejadian ini
disusul dengan angka
kelahiran yang sangat massive
di Amerika dan mungkin juga
di Eropa. Situasi ini
memunculkan istilah baby
boomer’s (anak yang terlahir
sekitar 1945 – awal 1960-an).
Anak-anak yang terlahir pada
saat baby boomer’s ini disebut
Mahasiswa PPS/S3-MP, Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
93
Isu Mutakhir: Generasi Digital (Digital Native)
sebagai generasi “x”. Anak
generasi “x” sangat cinta
damai dan tidak suka perang,
mungkin terindoktrinasi dari
orang tua yang menderita
karena perang.
Perang Dunia berakhir
disusul dengan perang dingin
dimana tejadi ketegangan
antara Amerika di Blok Barat
dan Rusia di Blok Timur.
Ketegangan menonjol saat
Rusia menempatkan peluru
kendali di Kuba awal 1960-an.
Generasi yang terlahir pada
era tersebut hingga runtuhnya
tembok Berlin disebut generasi
“y” dengan perilaku yang
pada umumnya memilih
berbeda dengan orang tua,
kreatif dan cenderung
membentuk komunitas
tersendiri. Pertumbuhan
generasi “y” diikuti situasi
pertumbuhan ekonomi yang
luar biasa dan situasi yang
relatif lebih aman. Zaman ini
juga menghadirkan teknologi
kreatif yang memudahkan
kehidupan manusia.
Penyebaran komunikasi
demikian cepat dengan
adanya internet pada
pertengahan 1980-an yang
sekaligus melahirkan generasi
“digital”. Di Amerika dan
negara maju lainnya disebut
“digital native” karena
memang mereka terlahir pada
zaman digital. Penulis dan
semua yang memasuki era
digital pada saat sudah
dewasa disebut “digital
imigrant”. Sebagai imigran
perlu memahami kehidupan
zaman ini.
Lebih jauh, digital native
lebih senang berkomunikasi
lewat perangkat komunikasi
(sms, chatting, internet, facebook
dll) dibandingkan
berhadapan langsung. Para
digital native ini juga memiliki
substansi yang sama, tetapi
94
dengan cara dan kecepatan
yang berbeda. Mereka mampu
mengekspresikan diri melalui
online dan offline. Mereka
memiliki lebih banyak akses,
terutama melalui internet dan
mobile. Dalam hal identitas,
beberapa perbedaan penting
adalah dalam hal personal
information.
Para immigrant sangat
hati-hati dalam memberikan
informasi yang bersifat
pribadi. Digital native justru
sangat terbuka dan cenderung
menebar informasi tentang
hobi mereka, apa yang mereka
lakukan, dan apa pandangan
mereka. Ini dilakukan karena
mereka memiliki keinginan
untuk mencapai goal dan
tujuan hidup seperti
friendship, social acceptance,
popularitas atau sekedar
pelepas stres. Kalau mereka
mengundang kawankawannya untuk menjadi
bagian dari Facebook, maka
yang ingin mereka dapatkan
adalah untuk melihat berapa
kawan yang menerima
respons mereka.
Berikutnya, digital native
ini memiliki kemampuan
untuk membentuk identitas
mereka lebih cepat dan lebih
beragam. Di sisi lain, mereka
tidak memiliki kontrol atau
lebih sedikit kontrol dalam hal
persepsi orang lain terhadap
identitas mereka. Ini adalah
paradoks. Jadi, mereka
berpikir bahwa mereka
mampu dan punya kebebasan
untuk mengubah-ubah
identitas mereka, tetapi
sebenarnya identitas sosial
menjadi hal yang sulit.
Di masa lalu, kita lebih
mudah mengubah identitas
sosial atau bagaimana orang
lain mempersepsi kita.
Dengan komunikasi yang
konvensional, orang-orang di
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
sekitar kita akan memiliki
persepsi seperti yang kita
inginkan. Saat ini, identitas
sosial justru lebih sulit karena
tidak adanya kekuatan untuk
menciptakan maupun
mengubah hal ini.
Apa implikasinya bagi
para marketer yang membidik
segmen ini? Pertama,
komponen brand personality
menjadi semakin penting
sebagai bagian dari brand
image. Kalau di masa lalu,
atribut produk, benefit, value
dan self-esteem adalah
komponen pembentuk brand
image yang penting, maka hari
ini dan ke depan akan
semakin berubah. Yang
penting dicatat bahwa digital
native ini hidup sebagai hybrid
consumer. Mereka
membutuhkan offline untuk
mencari pengalaman real atau
sebagai interface dari apa yang
mereka komunikasikan secara
online. Ring Back Tone (RBT)
yang sangat populer di
Indonesia adalah bukti yang
sangat nyata. Bukan hanya
lagu yang enak didengar yang
mereka cari, karena
sebenarnya yang mendengar
lagu tersebut justru orang lain
yang menelepon ke ponsel
mereka. Tapi, RBT ini adalah
cerminan diri mereka dalam
mewujudkan keinginan untuk
membentuk identitas. Dengan
menelepon kita tahu bahwa
pemilik ponsel adalah
pencinta Michael Jacson atau
yang lainnya.
Kedua, ada peningkatan
yang sangat besar dalam hal
customization. Karena
semuanya bergerak cepat,
maka keinginan untuk
mencari identitas yang
semakin unik akan semakin
cepat. Marketer atau setiap
perusahaan haruslah mulai
memikirkan digital content-
Isu Mutakhir: Generasi Digital (Digital Native)
nya. Industri telekomunikasi,
resto ataupun tempat-tempat
yang sering dikunjungi oleh
digital native ini harus
mengadopsi digitilization
lebih cepat. Inilah salah satu
cara untuk mengakomodasi
keinginan mereka untuk
mendapatkan layanan yang
customized dan personal.
Mereka tidak seperti kita
dan tidak bisa menjadi seperti
kita tetapi kita harus
mengenal mereka, anak-anak
yang Tuhan titipkan melalui
kita untuk dunia. Mereka
bagai anak panah yang
meluncur cepat tetapi tidak
bisa dipaksa. Dalam belajar
juga mereka mempunyai cara
dan pilihan sendiri. Jika
manusia ‘jadul’ bangga punya
anak menjadi dokter, insiniur,
pengacara dan lain lain tetapi
mereka hadir dengan menjadi
ring tone specialist, menjadi
“DJ” dan banyak karier baru
dengan penghasilan tinggi.
Orang tua hanya bisa menjadi
busur yang lentur untuk
menghantarkan generasi ini
tepat sasaran yang tidak
mengakibatkan anak panah
gemetar saat meluncur
sehingga dikhawatirkan tidak
optimal dan bahkan menjadi
menyimpang dari harapan.
Kepemilikan telepon
genggam yang dimanfaatkan
siswa berkomunikasi sering
menjadi masalah dan dinilai
negatif oleh para guru karena
tidak memahami bagaimana
mengendalikannya. Pencarian
informasi dari buku-buku
perpustakaan telah menjadi
hal yang lambat, sebaliknya
internet telah menghubungkan informasi dunia dan
sangat memudahkan
penggunanya. Sudah barang
tentu rancangan pendidikan,
khususnya kurikulum dan
proses pembelajaran perlu
design baru. Guru dituntut
merubah cara pandang dalam
mempersiapkan pembelajaran
bahkan sekolah yang
dianggap berhasil dalam pola
lama akan ketinggalan jika
tidak menyesuaikan diri.
Aktivitas rutin seperti halnya
jadwal belajar per-minggu
dalam satu semester perlu
dirubah, dan dalam hal
sederhana, penyiapan
pembelajaran guru
seyogianya memanfaatkan
segala sumber daya ICT. Pada
akhirnya guru dan orang tua
haruslah menjadi imigran
yang baik selaku imigran.
Peningkatan
perbendaharaan kata dalam
pembelajaran bahasa
misalnya, dapat dipacu
dengan memanfaatkan
teknologi telepon genggam
yang dimiliki siswa dijadikan
kelompok yang sekaligus
memudahkan guru memberi
penilaian secara otomatis.
Guru berfungsi sebagai
moderator dan dapat diikuti
siswa walau di luar jam
pelajaran dalam kelas.
Fenomena belajar diluar kelas
formal juga muncul dengan
pertumbuhan home schooling
semakin menjamur sebagai
alternatif pendidikan.
Pembangunan gedung
sekolah yang memerlukan
biaya investasi cukup besar di
kemudian hari tidaklah
penting, sejauh pengelola
pendidikan dapat
menyiapkan sarana yang
dapat diakses siswa secara
online dan ditambahkan
dengan jaringan kerja sama
industri untuk praktek.
Dana BOS Boleh
Ditolak?
Peningkatan mutu
pendidikan dan layanan
masyarakat yang menjadi
jargon politik pemerintah
menjadi issu kontroversial
dikarenakan pemerintah
mengeluarkan regulasi
bantuan operasional sekolah
(BOS). Tuntutan penyediaan
layanan pendidikan murah
dengan perhitungan standar
pemerintah dipandang tidak
layak oleh sebagian sekolah
swasta. Penyaluran dana
publik diiringi dengan
pengawasan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
sebenarnya adalah hal yang
wajar. Akan tetapi di kala
audit mengganggu kebijakan
keuangaan yang mungkin
dipersepsikan berbeda, maka
mengkhawatirkan beberapa
sekolah swasta sehingga
menolak dana BOS tersebut.
Penolakan dana BOS yang
berarti tidak mendukung
program pemerintah dalam
hal pendidikan murah
memang menjadi keputusan
yang dilematis. Di lain pihak
membiayai operasional
pendidikan yang bermutu
membutuhkan dana yang
jauh lebih besar dari dana
yang disalurkan pemerintah
melalui program BOS. BOS
memang merupakan program
bantuan akan tetapi hal-hal
yang bisa terjadi di balik
kebijakan ini masih belum
mempunyai kesepahaman
yang sama antara pemerintah
dan pelaksana di lapangan.
Dalam rangka memacu
pendidikan murah yang
bermutu, pemerintah
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
95
Isu Mutakhir: Generasi Digital (Digital Native)
memperbaharui aturan
penyalurannya dan sekaligus
meningkatkan anggarannya
sekitar 50% seperti
disampaikan Prof. Suyanto
PhD (Dirjen Dikdasmen) pada
pertengahan April 2009.
Beberapa poin penting
kebijakan baru tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Sasaran program BOS
adalah semua sekolah
setingkat SD dan SMP
(termasuk SMPT), baik
negeri maupun swasta di
seluruh propinsi di
Indonesia. Program Kejar
Paket A dan Paket B tidak
termasuk sasaran
program BOS ini. Biaya
satuan BOS, termasuk
BOS Buku, per siswa/
tahun mulai Januari 2009
naik secara signifikan
menjadi: SD di kota
Rp400 ribu, SD di
kabupaten Rp397 ribu,
SMP di kota Rp575 ribu,
dan SMP di kabupaten
Rp570 ribu.
b. Dengan kenaikan
kesejahteraan guru PNS
dan kenaikan BOS sejak
Januari 2009, semua SD
dan SMP negeri harus
membebaskan siswa dari
biaya operasional
sekolah, kecuali RSBI dan
SBI.
1) Sekolah yang menolak
BOS harus melalui
persetujuan orang tua
siswa dan Komite
Sekolah dan tetap
menjamin
kelangsungan
pendidikan siswa
miskin di sekolah
tersebut.
2) Seluruh sekolah yang
menerima BOS harus
mengikuti pedoman
96
c.
BOS yang telah
ditetapkan oleh
pemerintah.
3) Sekolah negeri
kategori RSBI dan SBI
diperbolehkan
memungut dana dari
orang tua siswa yang
mampu dengan
persetujuan Komite
Sekolah.
4) Semua sekolah SD/
SDLB/SMP Negeri
wajib menerima dana
BOS. Bila sekolah
tersebut menolak BOS
maka sekolah
dilarang memungut
biaya dari peserta
didik, orang tua atau
wali peserta didik
5) Semua sekolah swasta
yang telah memiliki
ijin operasional dan
tidak dikembangkan
menjadi bertaraf
internasional atau
berbasis keunggulan
lokal wajib menerima
dana BOS.
Tim Manajemen BOS
Sekolah :
a) Penanggungjawab:
Kepala Sekolah.
b) Anggota : Bendahara
dan satu orang tua
siswa selain ketua/
anggota komite
sekolah
c) Catatan: Tim
Manajemen BOS
Tingkat Sekolah di SK
kan oleh Kepala
Sekolah, dan
penyimpangan dari
aturan yang berlaku
maka kepala sekolah
dikenakan denda Rp
500 juta dan
diberhentikan dari
status pendidik.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Dalam diskusi Proyek
CES (Center of Educatin
Statistic’s) di Hotel Century
pada bulan Mei 2009 yang
lalu dari seorang pejabat PNF
Depdiknas terungkap
penolakan dana BOS oleh
beberapa sekolah swasta,
dan pada kenyataannya
penolakan tersebut telah
berdampak pada daya serap
anggaran yang menurut
undang-undang harus 20 %
dari APBN. Jika penyerapan
anggaran rendah maka
program tersebut bisa jadi
akan dipertanyakan.
Memperhatikan kebijakan
Dirjen Dikdasmen yang
mengharuskan penerimaan
dana BOS dan peninjauan
uang sekolah , maka sekolah
swasta yang menolak
menerima dana BOS
seyogianya menata diri
dengan melakukan
pemenuhan persyaratan
RSBI atau SBI. Tanpa
perubahan status sekolah
dimungkinkan akan
mendapat persoalan dalam
menjalankan operasional
sekolah. Hal yang perlu
disikapi adalah cara
pandang pemangku
kebijakan, karena
pelaksanaan pendidikan
adalah tanggung jawab
pemerintah dan lembaga
pendidikan swasta adalah
pendukung (“sub contractor”)
pelaksanaan pekerjaan
pemerintah (main contractor).
Dengan memenuhi
persyaratan RSBI atau SBI
peraturan pemerintah
mempersilahkan sekolah
untuk mengatur kebijakan
keuangannya sejauh
hal itu diterima masyarakat.
Resensi buku
Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells
Judul Buku:
The Craft of Writing Science Fiction That Sells
Penulis :
Ben Bova
Penerbit :
Writers Digest Books
Tahun terbit :
1994
Jumlah Halaman :
224
Oleh: Budyanto Lestyana
P
elajaran mengarang telah diajarkan
kepada siswa sejak dari jenjang Sekolah
Dasar hingga jenjang Sekolah Menengah
Atas. Pelajaran yang diberikan mulai
dari membuat kalimat hingga paragraf singkat
dan karangan-karangan pendek dengan
memperhatikan bagian pembuka, inti, dan
penutup. Sayang sekali pelajaran mengarang
tersebut berhenti pada tingkat tersebut. Padahal
masih banyak hal teknis membuat karangan
(khususnya cerita fiksi) yang perlu diajarkan dan
dikuasai
agar
dapat
menghasilkan suatu karya
cerita yang dapat dinikmati.
Dalam buku The Craft Of
Writing Science Fiction That
Sells, Ben Bova mengajarkan
bagaimana membangun
sebuah cerita. Di sini sama
sekali tidak dibahas bagaimana membuat kalimat
maupun menyusun paragraf
(Teknik dasar menulis ini
dianggap sudah dikuasai.
Pengarang tetap harus
menggunakan teknik dasar
menulis yang baik). Orang
dapat menyusun paragraf
dengan sangat baik tetapi belum tentu dapat
membangun sebuah cerita yang menarik.
Pada bagian awal, buku ini membahas
mengenai sifat-sifat khusus fiksi ilmiah, dan
kelebihannya. Diutarakan di sini bahwa fiksi
ilmiah merupakan awal yang baik untuk penulis
pemula memulai kariernya.
Buku ini mendefinisikan cerita fiksi ilmiah
sebagai cerita yang sebagian aspek sains masa
depan atau teknologi tinggi menjadi bagian
intergral dari cerita, sehingga bila sains atau
teknologi tersebut dicabut dari cerita, maka cerita
akan runtuh. Oleh karena itu, walaupun buku
ini terbit tahun 1994, gagasan yang disampaikan masih terasa relevan dan aktual sehingga
menarik untuk dikaji.
Hal-hal utama dalam mengarang cerita fiksi
ilmiah
Bagian kedua buku ini
mengajarkan teknik-teknik
yang berharga dalam
menyusun sebuah cerita. Di
sini dibahas empat hal
utama dalam menyusun
sebuah cerita adalah
karakter, latar belakang,
konflik, plot. Setiap pengarang harus memasukkan
tiga faktor utama dalam
setiap cerita yang ditulisnya. Ketiga faktor tersebut
adalah ide, seni, dan kemahiran menyusun cerita.
Seni tergantung dari
talenta individu penulis dan komitmen untuk
menulis. Tidak ada orang yang dapat
mengajarkan keindahan seni kepada seorang
penulis, walaupun sudah banyak yang mencoba.
Seni tergantung sepenuhnya pada apa yang ada
di dalam diri penulis, talenta bawaan,
keberanian, kemauan, dan jiwa.
*) Staf BPK PENABUR Tirta Marta BPK PENABUR
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
97
Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells
Kemahiran menyusun cerita dapat
diajarkan. Kebanyakan pengarang pemula jatuh
pada hal ini. Dalam banyak kasus,
ketidakmahiran ini yang membuat pengarang
tidak pernah bisa menghasilkan karangan yang
layak untuk dipublikasikan.
Karakter
Di dalam buku ini dikatakan, bahwa semua
cerita fiksi didasarkan atas karakter. Setiap cerita
fiksi bergantung pada bagai-mana penulis
mengelola orang-orang. Khusus-nya tokoh
utamalah yang menentukan apakah akan
menjadi cerita yang baik atau buruk.
Pada dasarnya sebuah cerita dapat
didefinisikan sebagai proses mendeskripsikan
bagaimana tokoh cerita memecahkan permasalahan, tidak lebih dan tidak kurang.
Dalam cerita fiksi, karakter tidak selalu
seorang manusia. Banyak cerita fiksi yang
ditulis dengan tokoh utama sebuah robot, alien
dari dunia lain, mahkluk supranatural, hewan,
bahkan tumbuhan. Tetapi dalam semua kasus,
cerita hanya bisa bagus bila tokoh utama
berperilaku seolah-olah manusia.
Pembaca membaca cerita untuk menikmatinya. Mereka tidak ingin dibuat bosan atau
bingung. Mereka tidak suka diceramahi atau
dikotbahi. Jika pembaca mulai membaca sebuah
cerita yang tokoh utamanya sebuah mesin atau
tanaman, dan tokoh utama itu tidak berperilaku
seperti manusia – tetapi sekedar menyala atau
bertelur, pembaca akan segera berhenti
membaca. Tetapi bila tokoh utama dibuat
menghadapi permasalahan manusiawi, seperti
bertahan hidup, dan bagaimana ia berjuang
mengatasi permasalahan itu, maka pembaca
akan menikmati cerita tersebut.
Sebuah cerita adalah seperti bentuk hiburan
lain. Ia harus dapat menarik perhatian pembaca
dan mempertahankan ketertarikan itu. Cerita
yang dicetak memiliki banyak kelebihan
dibandingkan bentuk hiburan lain, karena katakata yang tertulis dapat secara langsung
mencetuskan imajinasi. Seorang pengarang
dapat membuka imajinasi pembaca dan
membawa pembaca dalam perjalanan yang
menggairahkan ke dalam dunia yang ajaib dan
aneh, dengan hanya menggunakan kertas dan
tinta. Pengarang tidak membutuhkan aktor,
sutradara, pemusik, panggung, kamera dan lainlain. Yang dibutuhkan pengarang hanyalah
kertas dan alat tulis untuk berbicara langsung
kepada pembaca.
Di lain pihak, pengarang tidak pernah
98
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
bertemu muka dengan pembaca. Ia tidak dapat
berada di samping pembaca dan menjelaskan
berbagai hal yang kurang jelas. Ia tidak dapat
berkata kepada pembaca untuk melompati
beberapa halaman karena tidak diperlukan
untuk memahami jalan cerita. Pengarang harus
menuliskan semua yang ingin diungkapkannya
dan berharap agar pembaca dapat merasa
melihat, mendengar, merasakan, mencium halhal yang yang ingin diungkapkannya.
Pengarang harus membuat pembaca pembaca
memahami apa yang ada dalam pikirannya
dengan memahami kata-kata yang tertulis.
Tugas penulislah untuk membuat pembaca
hidup dalam alam cerita. Penulis harus membuat
pembaca lupa bahwa ia sedang duduk dan
membaca. Penulis harus membuat pembaca
percaya dan merasa bahwa ia sedang berada
dalam dunia imajinasi penulis, sedang mendaki
gunung yang diceritakan, sedang berjuang
melawan kedinginan dan es untuk menemukan
harta yang diceritakan ada di puncaknya.
Cara termudah–sebenarnya satu-satunya
cara untuk membuat pembaca hidup dalam alam
cerita penulis adalah dengan memberikan
pembaca tokoh yang diinginkannya. Biarlah
pembaca merasa menjadi tokoh cerita, Cinderella
atau Sherlock Holmes.
Membuat Karakter Menjadi Hidup
Bagaimana caranya? Ada dua cara yang perlu
diperhatikan. Pertama, perlu selalu diingat
bahwa setiap cerita pada dasarnya adalah
deskripsi tokoh yang berjuang memecahkan
permasalahan. Tokoh utama harus dipilih
dengan hati-hati. Tokoh utama harus cukup
menarik dan menghadapi permasalahan yang
cukup serius, untuk membuat pembaca peduli
dengannya. Seringkali tokoh utama disebut
sebagai titik pusat pandang, karena jalan cerita
diutarakan dari sudut pandangnya. Sebenarnya
cerita sang tokoh utamalah yang penulis
ceritakan.
Pengarang harus memilih tokoh utama
(atau tokoh titik pusat pandang) yang memiliki
kelebihan yang besar dan paling tidak satu
kelemahan yang sangat mencolok. Kemudian
memberikan padanya permasalahan yang
sangat berat. Sebagai contoh adalah Hamlet,
pangeran Denmark dalam novel Shakespeare.
Hamlet adalah seorang yang kuat, cerdas,
tampan, setia, dan pemimpin alami. Tetapi ia
juga seorang yang ragu-ragu, tidak yakin akan
dirinya, dan hal inilah yang justru membawa
kejatuhannya. Jika Hamlet harus memimpin
Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells
pasukan, atau memikat wanita, atau menggapai
prestasi akademis tentulah dapat dilakukannya
dengan mudah. Akan tetapi Shakespeare
memberinya permasalahan yang berfokus pada
kelemahannya, bukan kelebihannya. Inilah yang
harus dilakukan pengarang yang baik. Sekali
pengarang memilih siapa tokoh utamanya dan
apa kelebihan dan kekurangannya, ia harus
menimpanya pada bagian yang paling menyakitkan. Pengarang perlu membuat dirinya tega
menghadapkan tokoh utama dengan permasalahan yang tidak dapat dipecahkannya, kemudian membuat sesulit mungkin baginya untuk
berjuang menyelesaikan dilemanya.
Teknik dari William Foster-Harris– pengajar
seni mengarang di Universitas Oklahoma, sangat
membantu. Untuk menggambarkan konflik yang
dihadapi tokoh utama, dapat digambarkan
sebagai persamaan berikut: Emosi A versus
Emosi B. Sebagai contoh, Abraham di dalam
alkitab menghadapi konflik ketaatan vs kasih
sayang, Hamlet menghadapi konflik balas
dendam vs ketidak percayaan diri.
Kapanpun pengarang memikirkan seorang
tokoh cerita, bahkan tokoh pendamping, ia dapat
mencoba menuliskan karakteristik utamanya
dalam rumusan di atas. Pengarang jangan
terkecoh dengan kesederhanaan pendekatan ini.
Jika pengarang tidak dapat merumuskan tokoh
ke dalam rumusan di atas, maka ia belum
memikirkan cukup dalam untuk memulai
menulis. Tentu saja untuk pemeran figuran, hal
ini tidaklah perlu. Tetapi hal ini fital untuk tokoh
utama dan tokoh pendamping.
Dengan pendekatan ini, pengarang dapat
memahami bahwa permasalahan sebenarnya
yang dihadapi tokoh utama adalah di dalam
dirinya. Konflik dasar yang mendorong jalan
cerita adalah konflik emosi di dalam pikiran
tokoh utama. Konflik lain di dalam cerita berasal
dari konflik tersebut.
Pengarang jangan pernah membuat tokoh
utama tahu bahwa ia akan menang. Banyak
cerita dibuat dengan tokoh utama yang menarik
dan berkemampuan super menghadapi problem
yang sangat besar. Akan tetapi kemudian ia tidak
pernah gemetar dan meragukan dirinya dalam
memecahkan masalah. Tokoh utama tahu
bahwa ia aman dan pasti berhasil karena penulis
ingin membuat cerita berakhir bahagia. Hal ini
akan menghasilkan cerita yang tidak masuk akal
dan membosankan. Pembaca tidak akan peduli
dunia akan kiamat, bila sang tokoh utamanya
saja tidak peduli.
Pembaca harus senantiasa berada dalam
keraguan dan ketegangan hingga akhir cerita.
Hal ini berarti si tokoh utama harus juga dalam
keraguan akan akhir cerita.
Selalu ada harga yang harus dibayar.
Dalam cerita yang menarik, tokoh utama tidak
dapat berhasil kecuali ia mengorbankan sesuatu
yang sangat berarti baginya. Dengan kata lain,
ia harus merelakan sesuatu, dan pembaca akan
berdebar-debar mengira-kira apa yang akan
dikorbankannya.
Tokoh utama yang serba bisa adalah
stereotipe yang paling sering dijumpai dalam
fiksi picisan. Biasanya tokoh yang stereotipe ini
berasal dari cerita yang diciptakan penulis lain.
Penulis yang baik adalah seperti arsitek yang
selalu menciptakan sesuatu yang baru dan
orisinil, yang diciptakan khusus untuk cerita itu.
Pengarang dapat membuat orang di
sekelilingnya menjadi bahan cerita. Bila
pengarang melihat orang-orang sekelilingnya
dan mempelajari mereka dengan sungguhsungguh, ia akan menemukan orang-orang yang
dijumpainya sangat unik. Jangan hanya
menggolongkan mereka menjadi stereotipe
seperti polisi nakal, politisi korup anak durhaka,
artis cantik, dll. Masing-masing memiliki
kepribadian yang unik, permasalahan yang
berbeda, kebiasaan, kesukaan, dan ketakutan
yang spesifik. Seperti itulah karakter yang
menjadi tokoh cerita. Pengarang perlu
mempertanyakan hal apa yang paling membuat
tokohnya menderita. Dari sanalah penulis bisa
memulai ceritanya. Seperti semua cerita yang
menarik, cerita fiksi adalah menceritakan
manusia.
Teknik membuat karakter menjadi hidup
yang dituliskan di dalam buku ini berbeda
dengan yang biasanya diajarkan dalam
pelajaran mengarang pada Pelajaran Bahasa
Indonesia. Di dalam Pelajaran Bahasa Indonesia
hal ini diistilahkan dengan “penokohan”.
Penokohan dilakukan dengan memberikan sifatsifat karakter manusia pada tokoh cerita. Di sini
sama sekali tidak disinggung mengenai konflik
emosi. Tanpa menggali konflik emosi, seringkali
siswa/i menghasilan cerita yang dangkal.
Mengelola Sudut Pandang
Dalam cerita pendek, penting untuk
mengutarakan cerita dari sudut pandang tokoh
utama. Sudut pandang dapat saja berpindahpindah dalam sebuah novel, tetapi tidak
demikian dalam cerita pendek. Dalam
keterbatasan ruang cerita pendek, sangat penting
untuk tetap menggunakan satu sudut pandang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
99
Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells
sang tokoh dari awal hingga akhir. Bahkan bila
menulis cerita dalam sudut pandang orang
ketiga, janganlah menceritakan apapun yang
tidak dialami langsung oleh tokoh utama.
Tokoh utama harus berada dalam setiap
adegan. Pengarang tidak boleh memberitahu
pembaca hal-hal yang tidak diketahui oleh oleh
tokoh utama. Hal ini memang membatasi tetapi
menghasilkan cerita yang masuk akal dan
realistis. Ketika tokoh utama kebingungan,
pembaca ikut kebingunan, ketika tokoh utama
kesakitan, pembaca ikut sakit. Dengan kata lain,
pembaca hidup dalam cerita, tidak sekedar
membaca laporan.
Pengarang dapat menulis dari sudut
pandang orang pertama:
Aku merasa angin menerpa pakaianku,
dingin dan menusuk. Detak jantungku berdegup
dalam telingaku. Aku melihat ke bawah; betapa
jauhnya aku melayang jatu...
Pengarang dapat juga menghasilkan
realitas perasaan tersebut dari sudut pandang
orang ketiga bila ia hanya menulis yang
dirasakan tokoh utama:
Ia merasakan angin menerpa pakaiannya,
dingin dan menusuk. Detak jantungnya
berdegup di telinganya. Ia memandang ke
bawah; betapa jauhnya ia melayang jatuh...
Sudut pandang orang ketiga seperti ini
memiliki kelebihan dengan berada di luar tokoh
utama sehingga dapat lebih obyektif tentang
dirinya. Sebagai contoh, sangatlah sukar untuk
tokoh utama mendeskripsikan dirinya sendiri:
Tinggi badanku seratus tujuh puluh
sentimeter, dan aku berotot. Rambutku pirang
bergelombang; wanita-wanita suka menyisirkan
jarinya pada rambutku.
Dengan sudut pandang orang ketiga,
deskripsi yang sama akan terasa lebih enak:
Jack tingginya seratus tujuh puluh
sentimeter, dan badannya berotot. Rambutnya
berwarna pirang dan bergelombang; wanitawanita suka menyisirkan jari mereka pada
rambutnya.
Dengan menulis menggunakan sudut
pandang orang ketiga, pengarang dapat sedikit
menjauh dari tokoh utama bila diperlukan untuk
menceritakan sesuatu yang tidak diketahui
tokoh utama:
Walaupun Jack sangat tampan, Sheryl
membencinya. Ia tidak pernah mengizinkannya
tahu akan hal ini karena ia ingin membuat ia
mengira…
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Informasi seperti itu kadang-kadang sangat
dibutuhkan pembaca. Tetapi hal ini dapat sangat
berbahaya karena justru dapat membingungkan
pembaca, bukan menolong. Oleh karena itu perlu
dipertimbangkan masak-masak. Lebih baik tetap
menulis dari sudut pandang tokoh utama,
kecuali bila tidak dimungkinkan untuk
menuliskan hal yang ingin diungkapkan
pengarang.
Indera yang realistis
Penggunaan kesemua pancaindera tokoh utama
akan membuat cerita yang kaya rasa. Pengarang
perlu memeriksa setiap halaman untuk melihat
seberapa banyak pancaindera yang digunakan
tokoh utama. Jika dalam satu halaman hanya
menceritakan apa yang dilihat atau didengar
tokoh utama, halaman itu perlu ditulis ulang agar
indera penciuman, perabaan dan pengecapan
juga dituliskan. Hal ini akan menciptakan cerita
yang lebih tajam dan memukau.
Ia membuka pintu itu. Dilihatnya ruangan yang
kotor, penuh debu dan sarang laba-laba.
Bandingkan dengan:
Pintu itu didorongnya terbuka. Terdengar suara
berderit. Bau apek menerpa hidungnya dan
membuatnya ingin bersin. Sarang laba-laba yang
memenuhi ruangan itu menggelitik kulit
wajahnya.
Poin-Poin Penting Tokoh Utama
Berikut ini adalah tujuh poin penting yang sudah
dibahas.
1. Dalam cerita yang menarik, pembaca lupa
akan sekelilingnya dan hidup di dalam
cerita; pembaca ingin menjadi sang tokoh
utama
2. Tokoh utama harus sangat memukau, atau
paling tidak disukai, tetapi harus memiliki
paling tidak satu kelemahan utama yang
menjadi dasar perilakunya. Hal ini dapat
dituliskan dalam rumus sederhana: Emosi
A vs Emosi B.
3. Tokoh utama harus berjuang memecahkan
permasalahannya. Perjuangan ini adalah
tulang punggung cerita.
4. Hindari stereotipe
5. Perhatikan orang-orang sekeliling. Gunakanlah tokoh yang berasal dari dunia nyata.
6. Tulislah cerita dari sudut pandang tokoh
utama.
7. Gunakan
semua
panca
indera.
Deskripsikan apa yang dlihat, didengar,
Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells
diraba, dikecap, dan dicium sang tokoh
utama.
Rantai Problem dan Janji
Jawaban sebuah pertanyaan menghasilkan
pertanyaan baru. Hal ini menghasilkan rantai
permasalahan yang saling berkait. Penulis
Manuel Komroff menggunakan istilah lain, yaitu
rantai janji. Menurutnya setiap problem yang
diungkapkan kapada pembaca, secara implisit
mengandung janji adanya sebuah penyelesaian,
jawaban, sesuatu yang menarik dan mengelitik
untuk mendorong pembaca meneruskan
membaca.
Jadi pengarang perlu menyodorkan problem,
dan pertanyaan sepanjang cerita. Pengarang
tidak boleh menyodorkan penyelesaian atau
jawaban sebelum menyodorkan satu atau dua
problem lain. Hal ini akan membuat pembaca
terus melanjutkan membaca.
Titik Keputusan dan Krisis
Setiap cerita pendek harus mencapai suatu titik
krisis. Di sinilah pengarang meletakkan tokoh
utama dalam dilema mendalam. Pada titik ini,
pengarang perlu secara-hati-hati menyakinkan
pembaca bahwa si tokoh utama tetap karakter
yang baik dan berharga, tanpa peduli sedalam
apa ia jatuh dan sebesar apa problemnya. Jika
hal ini dilakukan dengan baik, pembaca akan
emmbayangkan dirinya menjadi sang tokoh
utama.
Pada titik keputusan ini, pengarang
membuat pembaca merasa menghadapi dilema
yang sulit. Jika tokoh utama memilih berbuat
baik, ia akan menderita. Jika ia berbuat jahat,
maka ia akan menjadi kaya, walaupun selalu
dibayangi rasa bersalah.
Dalam cerita dengan akhir bahagia, tokoh
utama memilih berbuat baik. Ia mengorbankan
apa yang berharga bagi dirinya demi melakukan
apa yang benar. Namun pada akhirnya ia justru
dapat bertahan walaupun bukan tanpa bekas
luka. Tokoh utama harus membayar harga untuk
berbuat baik. Tetapi justru karena itulah ia justru
lepas dari kehancuran yang mengancamnya.
Cinderella lari dari sang pangeran seperti
yang diperintahkan ibu peri, tetapi pada
akhirnya sang pangeran menemukannya dan
mereka hidup bahagia selamanya. Pinokio
menyerahkan hidupnya demi ayahnya, sang
tukang kayu, dapat tetap hidup, namun pada
akhirnya ia justru mendapatkan hidup dan
menjadi manusia. Kedua tokoh itu menderita,
tetapi menang pada akhirnya.
Dalam cerita dengan akhir sedih, tokoh
utama memilih berbuat jahat. Ia mungkin
mendapatkan segala sesuatu yang diinginknya,
ttetapi kehilangan jiwanya dan menjadi orang
yang jahat.
Ada beberapa cerita yang tokoh utamanya
memilih berbuat baik tetapi kehilangan
hidupnya. Inilah yang disebut cerita tragis.
Dalam ceita pendek fiksi “The Green Hills of
Earth” karangan Robert A. Heinlein, penyair
buta membuat pilihan yang secara moral baik,
yaitu masuk ke dalam ruang mesin beradioaktif
di sebuah pesawat ruang angkasa yang rusak
demi menyelamatkan semua penumpang.
Sebagai hasilnya ia mati. Pada intinya tokoh
utama mengorbankan jiwanya demi jiwa semua
penumpang. Tidak ada tindakan mulia melebihi
hal ini. Inilah yang membuat cerita tragis
menjadi bentuk cerita paling indah.
Jadi pada intinya, dalam sebuah cerita
pendek, tokoh utama mengalami perubahan. Tak
peduli betapa singkatnya suatu cerita, tokoh
utama harus mengalami perubahan yang
dramatis. Bila ia lemah, ia harus menjadi kuat,
bila ia jahat, ia harus menjadi baik (tentunya
pada cerita yang berakhir bahagia).
Triknya ada pada perubahan yang dramatis
pada tokoh utama. Inilah yang seharusnya
menjadi bahan cerita. Bila tokoh utama tetap
seperti semula, cerita itu akan menjadi cerita
yang tumpul.
Poin-Poin Utama Tokoh Cerita
Sebagai tambahan tujuh poin sebelumnya,
adalah poin ke delapan, yaitu:
8.
Tokoh utama harus mengalami perubahan.
Latar Belakang
Latar belakang lebih dari sekedar pemandangan
alam atau deskripsi mengenai perabotan dalam
rumah sang tokoh cerita. Latar belakang
membentuk suasana dan warna sebuah cerita.
Latar Belakang Yang Bermakna
Salah satu tantangan pengarang cerita pendek
adalah membuat latar belakang yang bermakna
tanpa mendominasi cerita. Bagi pengarang yang
menggunakan latar belakang sejarah atau
detektif dapat mengasumsikan pembaca sudah
mengenal latar belakang cerita. Pembaca dapat
dengan mudah mem-visualisasikan suasana
yang diceritakan.
Bagi penulis cerita fiksi, perlu untuk
menggambarkan kepada pembaca latar
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
101
Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells
belakang cerita. Karena tidak mungkin pembaca
membayangkan seperti apa lautan ammonia di
bulan Jupiter, atau seperti apa suasana tanpa
gravitasi di sebuah statsiun ruang angkasa.
Pengarang harus memberikan gambaran
menyeluruh kepada pembaca. Inilah salah satu
sebab cerita fiksi ilmiah sulit dibuat dengan baik.
Bila latar belakang terlalu mendominasi
cerita, akhirnya malah menghasilkan cerita yang
tumpul. Bagaimanapun juga suatu cerita
haruslah bercerita tentang orang.
Sebagian penulis yang menjelaskan latar
belakang secara panjang lebar. Tetapi sebagian
penulis lain hanya memberikan gambaran serba
sedikit dan membiarkan pembaca menggunakan
imaginasinya untuk melengkapinya. Penulis
seperti ini biasanya lebih berkonsentrasi pada
karakter tokoh utama dan konflik yang
dihadapinya.
Jika menggunakan latar belkang dari cerita
fiksi ilmiah atau film yang sudah populer,
pengarang dapat berasumsi bahwa pembaca
dapat membayangkannya. Walaupun demikian
pengarang harus berhati-hati menggunakan
jargon, karena pada akhirnya pembacanya akan
terbatas pada mereka yang fanatik akan fiksi
ilmiah tersebut. Bahkan lebih buruknya lagi,
pengarang akan terbatas dalam dunia fiksi
ilmiah yang sudah populer tersebut. Dalam cerita
detektif atau cowboy atau sejarah, latar belakang
tersebut dapat digunakan berulang-ulang, tetapi
dalam fiksi ilmiah diinginkan sesuatu yang baru
dan original.
Bagaimana Membuat Latar Belakang yang Baik
Berikut ini adalah beberapa panduan sederhana.
1. Buatlah latar belakang yang berfungsi.
Artinya setiap latar belakang yang
diceritakan haruslah benar-benar penting
dan berpengaruh bagi jalan cerita.
2. Jangan mencoba menjelaskan bagaimana
sebuah mesin bekerja. Cukup menjelaskan
apa hasil kerjanya. Pengarang tidak perlu
menjelaskan bagaimana cara bekerjanya
sebuah reactor fusi, cukup membuat
pembaca yakin adanya reaktor fusi yang
dapat berfungsi baik. Cukup menggambarkan bentuknya secara umum dan apa yang
dihasilkannya.
3. Silakan menciptakan alat baru yang belum
ada. Buatlah penemuan-penemuan baru
yang dapat diimajinasikan, asalkan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip
ilmiah yang diketahui. Bila ingin
102
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
4.
5.
6.
7.
melampaui batas-batas ilmiah, maka
pengarang harus punya penjelasan yang
meyakinkan.
Pengarang harus benar-benar memahami
latar belakang yang ditulisnya. Pengarang
yang hanya tahu sedikit akan mengalami
kesulitan untuk membuat gambaran yang
hidup dan realistis. Walaupun demikian
janganlah pengetahuan ilmiah ini
menghalangi imaginasi pengarang.
Imajinasi inilah yang membedakan laporan
ilmiah yang membosankan dengan cerita
fiksi ilmiah yang menarik.
Pengarang perlu mempelajari dasar-dasar
ilmiah. Pada umumnya pengarang fiksi
ilmiah sudah memiliki ketertarikan dengan
ilmu pengetahuan yang ditulisnya. Cara
yang paling mudah adalah dengan
membaca majalah ilmiah populer.
Penamaan orang, tempat dan barang juga
sangat penting. Penamaan akan mempengaruhi rasa sebuah cerita. Nama perlu dipilih
yang dapat membuat imajinasi yang sesuai.
Oleh karena itu nama haruslah berasal dari
sesuatu yang cukup mudah dipahami.
Nama yang terlalu sulit dieja akan
mengakibatkan pembaca terhenti sejenak.
Apapun yang membuat pembaca terhenti
akan berakibat fatal bagi suatu cerita.
Sumber yang baik untuk menemukan nama
adalah peta.
Jalan cerita harus konsisten. Ini lebih dari
sekedar mencatat waktu kejadian atau arah
angin. Pengarang tidak dapat mengubah
musim panas menjadi musim dingin dalam
waktu semalam hanya karena ia ingin latar
belakang yang sesuai. Ingatlah kata pepatah
“It’s too good to be true”. Pembaca tidak akan
mempercayai keberuntungan yang terlalu
dibuat-buat untuk menolong tokoh utama.
Konflik
Buku ini membahas konflik sebagai berikut.
1. Sebuah cerita adalah deskripsi naratif dari
tokoh yang berjuang memecahkan
permasalahan. Perjuangan berarti konflik.
2. Di dalam cerita fiksi, konflik hampir selalu
melibatkan perjuangan batin atau moral
antara tokoh cerita yang dikarenakan
ketidakcocokan keinginan dan tujuan.
3. Adu fisik bukan berarti sebuah konflik
4. Konflik di dalam cerita seharusnya berakar
di dalam pikiran tokoh utama. Peperangan
di dalam diri tokoh utama itulah yang
menjadi dasar jalan cerita.
Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells
5.
6.
7.
Peperangan batin tokoh utama harus
tercermin dalam konflik eksternal dengan
tokoh antagonis. Tokoh antagonis dalat
berupa orang, alam, atau masyarakat sekitar
tokoh utama.
Tokoh antagonis harus percaya bahwa
dialah sang pahlawan dari cerita.
Pengarang harus menjadi pembuat
masalah. Pengarang menciptakan permasalahan untuk tokoh utama. Dan ia tidak
memecahkan permasalahan hingga
menimbulkan paling tidak dua masalah
baru, hingga akhir cerita.
Plot
Bagian buku yang membahas plot dapat
disarikan menjadi delapan poin berikut ini.
1. Pengarang seharusnya menciptakan “bom
waktu” pada halaman pertama, atau
bahkan pada paragraf pertama jika
memungkinkan.
2. Setiap cerita berpacu dengan waktu. “Bom
waktu” tersebut diatur meledak pada saat
klimaks cerita. Detaknya haruslah tercermin
pada setiap halaman cerita.
3. Setiap skenario harus membawa maju alur
cerita. Khususnya dalam cerpen, jika
sebuah skenario tidak memajukan alur
cerita, maka harus dihapuskan.
4. Dalam setiap halaman cerita harus ada
kejutan. Komplikasi baru dan permasalahan
baru harus muncul seiring berjalannya alur
cerita sehingga membentuk suatu rantai.
5. Pengarang harus menunjukkan dalam
cerita, bukan memberitahukan kepada
pembaca. Pepatah ini sangatlah tepat: Show,
don’t tell!
6. Tindakan sang tokoh harus membawa maju
alur cerita dari awal hingga akhir. Tokoh
cerita haruslah aktif tidak pasif. Juga Tokoh
utama harus mengalami perubahan diri.
7. Cerita berkahir ketika “bom waktu”
meledak (atau berhasil dimatikan). Bagian
akhir haruslah memberikan jawaban yang
memuaskan atas berbagai permasalahan
yang dimunculkan di awal cerita.
8. Akhir cerita hanyalah bagus jika dapat
mengejutkan pembaca, walaupun harus
logis dan konsisten dengan isi cerita.
Ide
Dalam cerita fiksi ilmiah, ide memegang peranan
penting. Ide dapat berasal dari kejadian di sekitar
kita. Misalkan ada kejadian perbantahan antara
dua orang teman. Bagaimana mengolah
kejadian ini menjadi sebuah ide cerita? Pertama,
kejadian tersebut disederhanakan menjadi
sepasang konflik emosi, seperti misalnya satu
orang keangkuhan vs. kesetiaan sedangkan
lawanya ambisi vs. kujujuran. Dengan demikian
diperoleh sepasang karakter, tokoh utama dan
tokoh lawan untuk menjadi tulang punggung cerita.
Kedua, dibuat pertanyaan “Bagaimana
jika...”. Misalnya, bagaimana jika kedua orang
yang memiliki konflik itu menjadi kru sebuah
pesawat antariksa? Bagaimana jika sistem
penunjang hidup di pesawat itu rusak? Tipe
pertanyaan ini menjadi dasar sebagian besar
cerita yang baik. Berawal dari pertanyaan seperti
ini, bila dikembangkan dengan menambahkan
tokoh-tokoh dan konflik manusiawi akan
berkembang menjadi cerita yang menarik.
Berbeda dengan metode pengembangan ide
dari Ben Bove, Judith Gould (Gould, Judith S.
(1999). Four Square Writing Method : A Unique
Approach to Teaching Basic Writing Skills, Grades
4-6. Crystal Springs Books. ISBN 1573101885)
mengajarkan cara mengembangkan sebuah ide
menjadi serangkaian topik cerita. Dalam metode
mengarang empat kotak (four square writing
method), menulis dimulai dengan menggambar
sebuah segi empat berukuran besar. Kemudian
segiempat itu dibagi menjadi empat kotak
berukuran sama pada sudut-sudutnya. Sebuah
kotak ditambahkan pada bagian tengah gambar.
Tahap berikutnya adalah menuliskan topik
utama, dalam kalimat lengkap, pada kotak yang
di tengah. Kemudian pada setiap kotak kiri
bawah, kiri atas, dan kanan atas dituliskan
kalimat pengembangan dari topik utama.
Akhirnya pada kotak kanan bawah dituliskan
ringkasan yang mendeskripsikan apa yang
diinginkan untuk dirasakan oleh pembaca
mengenai topik utama tadi.
Metode menulis empat kotak ini terlihat jauh
lebih mudah, sehingga cocok untuk penulis
Ilustrasi tampilan metode menulis empat kotak
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
103
Resensi buku : The Craft of Writing Science Fiction That Sells
pemula. Akan tetapi metode ini tidak secara
tajam mengangkat konflik emosi sehingga
seringkali menghasilkan tulisan yang “kering”
seperti sebuah reportase. Sedangkan metode Ben
Bova memfokuskan penulis pemula pada sisi
psikologis konflik emosi untuk membuat cerita
menjadi hidup dan menarik.
Kemutakhiran
Dalam era saat ini, ilmu dan teknologi
berkembang sangat pesat. Banyak teori dan
hipotesis ilmiah yang direvisi atau diganti. Oleh
karena itu penting bagi penulis fiksi ilmiah untuk
mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
Cara termudah adalah dengan membaca
majalah ilmiah populer. Di dalam buku ini
disarankan beberapa judul majalah ilmiah
populer dan juga majalah ilmiah yang lebih
serius.
Namun demikian sejak era bertutur lisan
hingga era komunikasi belakangan ini, teknik
bercerita tidak berubah. Penutur lisan pada suku
primitif memukau pendengarnya melalui jalan
cerita yang menegangkan dan berfokus pada
konflik emosi internal juga. Cara manusia
mempersepsi sebuah cerita dan merasa berada
di dalam cerita juga tetap sama. Hal ini
dikarenakan wiring otak manusia juga tidak
berubah. Oleh karena itu teknik-teknik yang
diajarkan di dalam buku ini juga tetap relevan,
sungguhpun diterbitkan awal tahun 1994. Teori
atau prinsip-prinsip dalam menulis cerita ilmiah
fiksi yang dikemukakan dalam buku ini masih
dapat dikembangkan secara kontekstual. Sudah
barang tentu gaya penulisan atau penuturan
masing-masing pengarang/penulis berbeda.
Akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi
manfaat isi buku ini bagi penulis pemula atau
penulis berpengalaman.
Novel
Pada bagian akhir buku ini dibahas mengenai
penulisan novel. Tingkat kompleksitas yang
lebih tinggi dan curahan waktu yang lebih
banyak membuat penulisan novel hanya
menarik bagi mereka yang ingin serius menulis
atau menjadikan menulis sebagai mata
pencaharian.
Penutup
Judul buku ini menunjukkan bahwa fokus
pembahasannya berkisar pada cerita fiksi
104
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
ilmiah. Walaupun demikian, teknik yang
diajarkan sebenarnya berlaku umum dan dapat
digunakan pada semua cerita fiksi.
Pada intinya buku ini mengajarkan
bagaimana membuat sebuah cerita fiksi ilmiah
yang menarik dengan memfokuskan pada
konflik emosi internal. Dibandingkan dengan
teknik menulis yang diajarkan dalam Pelajaran
Bahasa Indonesia, teknik ini lebih mampu
memandu penulis untuk membuat cerita yang
hidup. Akan tetapi di dalam buku ini tidak
diajarkan dasar-dasar teknik menulis seperti
bagaimana membuat paragraf yang kohesif,
bagaimana membuat deskripsi, bagaimana
membuat dialog, dan sebagainya. Walaupun
demikian, seorang pemula yang membaca buku
ini akan dapat lebih memahami makna teknikteknik menulis yang akan dipelajarinya.
Buku ini juga menampilkan banyak contohcontoh cerita yang sangat bermanfaat untuk
memahami berbagai teknik yang diajarkan.
Contoh-contoh tersebut merupakan contoh karya
nyata yang original karena diambil dari ceritacerita yang telah dipublikasikan sebelumnya
oleh sang penulis.
Selain itu di dalam buku ini dibahas triktrik dalam menghadapi penerbit dan bagaimana
memasarkannya. Pengalaman si penulis sebagai
editor majalah fiksi ilmiah, penulis cerita fiksi
ilmiah, dan berbagai peran lainnya menghasilkan saran yang berbobot dan bermanfaat bagi
pembaca yang ingin mempublikasikan hasil
karyanya dengan sukses.
Bagi pembaca yang ingin menghasilkan
cerita yang laku dijual sangat disarankan untuk
membaca buku karangan Ben Bova ini. Buku ini
sekarang sudah ada versi ebook yang dapat didownload gratis dari internet pada alamat ini:
http://www.voidspace.org.uk/library/
classic_scifi.shtml
http://www.filestube.com/86d2000e02ba592803ea/
go.html
Daftar Pustaka
Bova, B. (1994). The craft of writing science fiction
that sells. Writers Digest Books. ISBN-10:
0898796008 ISBN-13: 978-0898796001
Gould, Judith S. (1999). Four square writing method:
A unique approach to teaching basic writing skills,
Grades 4-6. http://en.wikipedia.org/wiki/
Four_Square_Writing_Method
Profil BPK PENABUR SERANG
Profil
Profil BPK PENABUR SERANG
Endang Suyatmi*)
Sejarah Singkat
rovinsi Banten adalah salah satu
provinsi baru di Indonesia dari hasil
pemekaran wilayah Jawa Barat. Tepat
di ibukota provinsi ini, Badan
Pendidikan Kristen PENABUR (disingkat BPK
PENABUR) Serang memiliki gedung di lokasi
yang strategis, Jalan Diponegoro No. 4, BPK
PENABUR Serang. Gedung BPK PENABUR
berhadapan dengan bangunan pemerintahan
Kabupaten/Kota Serang, berdampingan dengan
beberapa bank, juga berdekatan dengan wilayah
pertokoan.
Keberadaan BPK PENABUR Serang
merupakan jawaban dari kerinduan Jemaat GKI
Serang yang sudah bertahun-tahun menginginkan adanya sekolah Kristen. Gagasan awal
untuk merintis berdirinya sekolah BPK
PENABUR dicetuskan oleh Pdt. S Soedarsono
yang pada saat itu menjabat sebagai Pengerja di
GKI Serang. Beliau mengajak beberapa jemaat
yang dianggap mengerti dan peduli akan dunia
pendidikan untuk mewujudkan hal tersebut.
Perencanaan dan persiapan untuk
mendirikan sekolah BPK PENABUR Serang
tersebut kemudian dibawa dalam persidangan
Majelis Jemaat GKI Serang dengan Pengurus
Harian BPK PENABUR di Jakarta, yang pada
saat itu dipimpin oleh Jufri Sentana sebagai Ketua
Umum dan Michael Tanok sebagai Sekretaris
Umum. Dari hasil persidangan tersebut, maka
pada tanggal 23 Mei 1989 BPK PENABUR Serang
terbentuk. Setelah mendapatkan ijin operasional
dari Dinas Pendidikan yang pada masa itu
P
bernama Kantor Wilayah DEPDIKBUD Jawa
Barat, proses belajar mengajar Jenjang Taman
Kanak Kanak dimulai pada tanggal 17 Juli 1989
dengan menggunakan ruang Majelis Jemaat GKI
Serang sebagai ruangan kelas. Jumlah siswa
perdana sebanyak 18 anak. Sri Moerdini (istri
Pdt. S Soedarsono) menjabat sebagai Kepala
Sekolah dan Esther Yohana Sapasuru serta
Rumintang Situmorang sebagai guru Taman
Kanak Kanak pertama. Kemudian ada keinginan
untuk menyiapkan jenjang pendidikan yang
berkesinambungan, maka pengurus BPK
PENABUR Serang yang pada saat itu bernama
KPS Serang merintis berdirinya pendidikan
Sekolah Dasar BPK PENABUR Serang. Setelah
mendapatkan izin Operasional pada tanggal 14
Juli 1990, kegiatan belajar mengajar di SDK BPK
PENABUR Serang pun dimulai dengan jumlah
siswa sebanyak 10 anak. Kegiatan berlangsung
dengan menggunakan ruangan milik GKI
Serang yaitu disamping ruang ibadah. Pejabat
Kepala Sekolah saat itu dirangkap oleh Sri
Moerdini dan Lusia Parsaulian sebagai guru
pertama.
Melalui proses yang panjang disertai
dengan doa dan harapan agar keberadaan
sekolah BPK PENABUR selalu bertumbuh dan
dapat memfasilitasi anak-anak yang berdomisili
di Serang dan sekitarnya serta dapat pengakuan
dari masyarakat sekitar, maka pada tahun 1993
BPK PENABUR SERANG memiliki gedung
sekolah baru tepatnya di belakang GKI Serang,
yang pada akhirnya gedung sekolah ini
dipergunakan untuk kegiatan belajar jenjang
Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar.
*) Kepala TKK BPK PENABUR Serang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
105
Profil BPK PENABUR SERANG
Kepercayaan masyarakat yang semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
siswa setiap tahun, menambah semangat
pengurus dan guru guru dalam upaya mengembangkan sarana dan pembelajaran. Berkat
kesungguhan dan kerja keras dari seluruh warga
BPK PENABUR Serang, maka pada tahun 2002
memiliki gedung sekolah TKK yang megah dan
membanggakan.
Pada tahun 2006, guna melengkapi layanan
pendidikan masyarakat di Serang dan Cilegon,
dibuka Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Gedung SMPK BPK PENABUR Serang satu
lokasi dengan TK dan SD. Dengan demikian
saat ini sekolah yang dikelola BPK PENABUR
Serang terdiri dari jenjang TK, SD dan SMP.
Gambaran Umum
Jenjang
TK K
Fasilitas
Program unggulan
Gedung sekolah tersendiri
berlantai 2
Program pengembangan minat dan bakat dalam seni tari,
musik, dan melukis.
Lingkungan yang aman dan
nyaman untuk anak bermain
d an b e l aj ar
Program penanaman Nilai Nilai Kristiani [N2K]:
Keramahan, Kejujuran, dan Integritas.
Lokasi mudah dijangkau
dengan angkutan umum
Program RaBiTeDi (Rapi,Bersih,Tertib,Disiplin).
Sarana pembelajaran komputer
Pemeriksaan kesehatan gigi yang terprogram setiap 6
b u l an s e k al i .
Sarana perpustakaan
English For Fun.
Sarana bermain indoor dan
outdoor
Kunjungan ke objek objek pembelajaran: Sawah, stasiun,
kantor polisi, kantor pos, bank, pemadam kebakaran, dll
Sarana sanggar seni musik,
tari, melukis.
Membangun karakter positip dengan pembiasaan
Sarana bermain air
Kerjasama dengan orang tua murid di beberapa kegiatan
sekolah: Family Day, Family Gathering, Natal, dan Paskah.
Seluruh ruangan ber-AC
Menginformasikan kegiatan belajar harian kepada orang
tua murid melalui buku komunikasi.
Kegiatan bermain air.
Mempersiapkan siswa secara mental dan akademis ke
jenjang Sekolah dasar.
Mempersiapkan siswa secara mental dan akademis ke
jenjang Sekolah dasar.
SDK
106
Gedung sekolah berlantai 2
Program pengembangan minat dan bakat dalam ekstra
kurikuler: tari, paduan suara, basket, sepak bola, tenis
meja, math c lub, sains c lub, english c lub, futsal.
Lokasi mudah dijangkau
dengan kendaraan umum
Program penanaman Nilai Nilai Kristiani [N2K]:
Keramahan, Kejujuran, dan Integritas.
Sarana pembelajaran
komputer
Program RaBiTeDi (Rapi,Bersih,Tertib,Disiplin).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Profil BPK PENABUR SERANG
Gambaran Umum
Jenjang
SDK
Fasilitas
Program unggulan
Sarana perpustakaan
Program Remedial siswa
Ruang AVA
Bahasa Mandarin
Lapangan Olah Raga
Field trip ke objek-objek pembelajaran
Laboratorium bahasa
Kerjasama dengan orang tua dalam beberapa kegiatan
sekolah.
Seluruh ruangan ber AC
Retret dan outbond.
Kegiatan sosial kemanusiaan.
Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
SMPK
Gedung sekolah berlantai IV
Program pengembangan minat dan bakat alam ekstra
kurikuler: basket, paduan suara, bulu tangkis, tari,
dama, English c lub, sains c lub, math c lub.
Lokasi mudah dijangkau
dengan kendaraan umum.
Program penanaman Nilai Nilai Kristiani [N2K]:
Keramahan, Kejujuran, dan Integritas.
Sarana Pembelajaran
komputer
Program RaBiTeDi (Rapi, Bersih, Tertib, Disiplin)
Sarana Perpustakaan
Program Remedial siswa.
Ruang Multimedia
Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan
Lapangan Olah Raga
Bahasa Mandarin.
Laboratorium bahasa
Retret dan outbond.
Laboratorium Biologi
Kegiatan sosial kemanusiaan.
Laboratorium Fisika
Menjalin kerjasama dan persahabatan dengan sekolah
sekolah sekitar dalam bentuk eksibi atau pertandingan
persahabatan.
Seluruh ruangan ber AC
Data di bawah ini memperlihatkan kondisi
jumlah siswa jenjang TKK, SDK dan SMPK BPK
PENABUR Serang dari tahun 2006-2009 yang
mengalami peningkatan pada tiap jenjang.
Keberadaan jumlah siswa yang ada, sebenarnya
masih di bawah standar dari target yang
ditentukan. Kondisi seperti ini tentu saja menjadi
bahan pergumulan bagi pengurus, guru dan
karyawan sehingga secara bersama-sama bahumembahu mengatur strategi dan mencari jalan
keluar agar jumlah siswa pada tahun berikutnya
dapat lebih meningkat lagi.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
107
Profil BPK PENABUR SERANG
Perkembangan Jumlah Murid 2006-2009
500
450
418
462
448
430
Jumlah SIswa
400
350
300
250
200
150
157
134
135
134
100
132
134
77
30
50
0
2006-2007
2007-2008
2008-2009
2009-2010
Tahun Ajaran
TK
SD
SMP
Langkah- Langkah Kongkret yang
yang Diupayakan
1.
2.
3.
4.
108
Menjalin kerjasama yang harmonis dengan
GKI Serang dengan cara mensosialisasikan
BPK PENABUR Serang dalam Rapat Kerja
Majelis Jemaat dan mengkomunikasikan
perkembangan sekolah, dana orang tua
asuh, pemakaian sarana dalam
persidangan majelis jemaat 2x dalam 1
tahun serta ambil bagian dalam Ibadah
Minggu dengan mengisi pujian.
Menambah sarana yang disesuaikan
dengan kebutuhan pendidikan masa kini,
misalnya laboratorium komputer yang
dilengkapi dengan jaringan internet,
lapangan olah raga, dan kantin sekolah.
Pembinaan guru dan karyawan untuk
meningkatkan etos kerja dan kompetensi.
Sumbangan Sarana Pendidikan (SSP) dan
Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan
(SPP) dibuat rata atau sama dengan asumsi
terjangkau oleh semua kalangan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
5.
6.
7.
8.
Memberlakukan program orang tua asuh
bekerjasama dengan GKI Serang dan
pemberian subsidi bagi siswa yang tidak
mampu.
Program pembimbingan siswa secara rutin
untuk menghadapi perlombaan-perlombaan.
Program remedial untuk anak anak yang
kemampuan akademisnya di bawah
standar.
Melibatkan orang tua siswa dalam beberapa
program sekolah.
Prestasi 2007-2009
Jenjang TKK
Terakreditasi dengan nilai A dengan jumlah
nilai 96.38. Nilai tertinggi dari sekolah sekolah
di Kabupaten Serang.
Jenjang SDK
a. Terakreditasi A
Profil BPK PENABUR SERANG
b.
c.
NEM klasifikasi A tiga tahun terakhir
Kelulusan 100% dengan NEM tertinggi se
Kota Serang tahun 2008-2009.
Jenjang SMPK
Kelulusan 100% dengan NEM tertinggi ke II se
Kota Serang tahun 2008-2009
Prestasi Guru dan Siswa dalam Perlombaan Tahun 2007-2009
Jenjang
TK K
SDK
SMPK
Jenis Lomba
Penyelenggara
Tingkat
Juara
Guru Berprestasi
Dinas Pendidikan
Propinsi Banten
Juara II
Mencipta Lagu Anak [Guru]
IGTKI/PGRI
Nasional
Juara II
Menyanyi Duet Guru
IGTKI/PGRI
Propinsi Banten
Juara I
Komputer
Computer Kid
Nasional
Menyanyi Solo Putra
Dinas Pendidikan
Kota Serang
Juara I
Menyanyi Solo Putri
Dinas Pendidikan
Kota Serang
Juara II
Siswa Teladan
Dinas Pendidikan
Kecamatan
Juara I
Karate
Dinas Pendidikan
Kecamatan
Juara II
Snailc ar
Robotic Demo
Kab Serang & Cilegon
Juara II
Spelling bee
Singapore International Sc hool
Kab serang & Cilegon
Juara I
Bhs Inggris
Al Azhar
Kabupaten
Juara I
Listening
Efvia Land Sc hool
Kabupaten
Juara I
Dokter Kecil
Dinas Pendidikan
Propinsi Banten
Juara I
Fun With Biology 2008
PENABUR Jakarta
PENABUR Jakarta
Story Telling
Dinas Pendidikan
Kota Serang
Juara I
Cipta Cerpen
Dinas Pendidikan
Kota Serang
Juara I
Gerak Jalan Putri
Dinas Pendidikan
Kab Serang
Juara III
Gerak Jalan Putri
Dinas Pendidikan
Kab Serang
Juara II
Renang Regu Putri
Dinas Pendidikan
Kab Serang
Juara I
Tenis Lapangan Putri
Dinas Pendidikan
Propinsi Banten
Juara I
Basket Putra
PERBASI
Kota Serang
Juara II
Atletik Putra
Dinas Pendidikan
Kota Serang
Juara I
Tenis Lapangan Putri
Dinas Pendidikan
Kota Serang
Juara I
Basket Putra
Dinas Pendidikan
Kota Serang
Juara III
Seni Lukis
Dinas Pendidikan
Kota Serang
Juara II
Tenis Lapangan Pi
Dinas Pendidikan
Propinsi Banten
Juara II
Juara III
Juara III
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
109
Profil BPK PENABUR SERANG
Upaya Terkini Pengembangan
Sekolah
1.
2.
3.
4.
5.
110
Membangun citra sekolah dengan prestasi
peserta didik.
Menambah sarana prasarana disesuaikan
dengan kebutuhan pembelajaran masa kini
Menjadi sekolah yang berciri kristiani
dengan mengembangkan pelaksanaan
Nilai-nilai Kristiani (N2K) dalam setiap
aspek kegiatan dan pembelajaran.
Menjadi sekolah yang berciri RaBiTeDi
dengan melaksanakan kerapian, kebersihan, ketertiban,dan kedisiplinan.
Peningkatan Kompetensi Guru dengan
memberikan kesempatan untuk mengikuti
berbagai pelatihan, pembinaan, workshop,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
dan kursus kursus sesuai dengan bidang
masing-masing guru.
Penutup
Menyukuri Anugerah Tuhan akan selalu
dinyatakan dengan doa, semangat, kerja keras,
kerjasama dan ketulusan hati dalam memelihara
dan mengembangkan BPK PENABUR Serang.
Peningkatan kualitas dan pelayanan pendidikan
melalui berbagai upaya kiranya dapat
membangun citra sekolah yang lebih baik
sehingga impian dan harapan BPK PENABUR
Serang menjadi sekolah pilihan utama
masyarakat dapat terwujud khususnya di
Serang.
Keterangan Mengenai Penulis
Keterangan Mengenai Penulis
Agustian Nugroho
Sutrisno,
menamatkan pendidikan menengah di SMAK 3 BPK PENABUR
Jakarta pada tahun 1999. Kemudian melanjutkan pendidikan di
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia dan lulus cum laude pada tahun 2003. Setamat
dari pendidikan sarjana, mengajar di almamaternya dan mendapat
beasiswa Australian Development Scholarship untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang S2 dalam bidang Administrasi Pendidikan
di School of Education, University of New South Wales, Sydney, yang
diselesaikan dengan predikat with distinction pada tahun 2006. Di
samping mengajar di Lembaga Bahasa Internasional FIB UI, ia juga
bekerja di Kantor UNESCO Jakarta sebagai National Programme Officer
for Governance.
Anastasia Alverina
Chandra,
lahir di Jakarta, 18 Desember 1991, Prestasi : Peserta lomba mading
UPH. Kelas : 12 SOS 1 SMAK 4 BPK PENABUR Jakarta, tahun ajaran
2008-2009
Anggiat Hisar,
lahir di Jakarta 14 Januari 1968. Menyelesaikan Pendidikan S1
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Jakarta. Melanjutkan S2
Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan UNJ Jakarta.
Sekarang sebagai Kepala Seksi Evaluasi ; Bagian Kurikulum dan
Evaluasi BPK PENABUR Jakarta.
Budyanto Lestyana, Ir., lahir di Semarang, Desember 1970. Menyelesaikan program S2 dari
IPB-Bogor tahun 2000. Menjabat sebagai Kepala Bidang Kurikulum
M.Si.
dari tahun 2000-2004 BPK PENABUR Jakarta, kemudian sebagai
Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan. Terlibat di
berbagai proyek pengembangan kurikulum dan diversifikasi sekolah
serta berkecimpung dalam pengembangan KIR. Saat ini bekerja di
Tirta Marta BPK PENABUR Jakarta.
David Wijaya, SE.,
lahir di Jakarta, Oktober 1984. Menyelesaikan pendidikan S1
Manajemen FE UKRIDA Jakarta pada tahun 2006 dengan predikat
Cum Laude, dan alumnus SMUK Kalam Kudus II Jakarta. Penulis
lulusan terbaik pada program studi Manajemen FE UKRIDA Jakarta.
Sejak tahun 2007 sampai sekarang, dosen dan Koordinator
Laboratorium Manajemen Keuangan Lanjutan FE UKRIDA Jakarta. Di
samping memiliki pengalaman sebagai staf pengajar FE UKRIDA
Jakarta, sampai saat ini masih aktif menulis karya ilmiah serta Modul
Laboratorium FE UKRIDA Jakarta. Selain itu, juga terafiliasi dengan
perusahaan yang bergerak dalam bidang pendidikan, pelatihan, dan
konsultasi strategi bisnis sebagai konsultan dan Associate Partner
Arrbey.
Endang Suyatmi,
lahir di Gunung Kidul, Yogyakarta, 15 Maret 1963. Menyelesaikan
Pendidikan SI di SKTIP Siliwangi Bandung jurusan Bahasa dan Seni.
Sejak tahun 1983-2001 menjadi guru TKK BPK PENABUR Serang dan
tahun 2001- sekarang diangkat sebagai Kepala TKK BPK PENABUR
Serang.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
111
Hotben Situmorang, Drs., lahir di Toba, Sumatera Utara, April 1961. Menyelesaikan S1 di IKIP
Jakarta Jurusan Pendidikan Fisika (1985). Sambil menyelesaikan S1,
M.B.A.,
menjadi guru di SMA Neg. 50 (1982), SMA Neg.31 (1983-1987) dan
ikut mendirikan SMA PGRI 10. Sebagai guru dan pejabat Kepala
Sekolah Indonesia di Davao Philippines (1987-1994) sambil
menyelesaikan S2 bidang Business Management di Ateneo de Davao
Philippines (1994). Mengikuti Program Mission Studies di Overseas
Ministries Study Centre, Connecticut USA (1994/1995). Menjadi
konsultan Yakoma PGI dan dosen di UKI (1996). Bekerja di BPK
PENABUR Jakarta sebagai Kepala Bidang Pengembangan (1997).
Care taker Kepala SMKK 2 BPK PENABUR ( 1996-2004). Pernah
sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK
PENABUR Jakarta. Saat ini sebagai mahasiswa S3 di Universitas
Negeri Jakarta, dan juga Pengurus Klub Guru Jakarta.
H.A.R Tilaar, Prof. Em. Dr. lahir di Tondano 16 Juni 1932. Menyelesaikan Sarjana Pendidikan UI
tahun 1961. Memperoleh gelar M.Sc.Ed. dan Doctor dari Indiana
M.Sc.Ed.,
University, Bloomington, Indiana AS. Sering diundang sebagai
pembicara di berbagai seminar. Menulis beberapa buku antara lain,
Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI
(1990); Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi:
Visi, Misi dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020
(1997); Membenahi Pendidikan Nasional (2000); Kekuasaan dan
Pendidikan (2003). Pernah Anggota Dewan Penasihat UKRIDA
Jakarta. Sekarang sebagai guru besar emeritus di berbagai perguruan
tinggi. Dikenal sebagai tokoh pendidikan ditingkat nasional maupun
internasional.
Ivonne Pratiwi,
lahir di Jakarta, 30 Maret 1991. Prestasi : Nominasi siswa teladan,
juara umum jurusan IPS. Kelas : 12 SOS 1 SMAK 4 BPK PENABUR
Jakarta, tahun ajaran 2008-2009.
Kasina Ahmad, Dra. dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ketua Prodi PGSD UNJ dan
saat ini sedang mengambil program S3 di UNJ.
M.Pd.,
Keke T. Aritonang, M.Pd., lahir di Jakarta, April 1969. Menyelesaikan S1 di FKIP Universitas
Jambi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1996), dan Magister
Pendidikan tahun 2004 di Universitas Kristen Jakarta. Pada tahun
2000 sampai tahun 2002 sebagai dosen di Akademi Sekretaris dan
Manajemen LEPISI Tangerang. Bekerja di BPK PENABUR sejak tahun
1988-sekarang sebagai guru Bahasa Indonesia di SMPK 1 BPK
PENABUR Jakarta, serta pelatih ekstrakurikuler menulis.
Monica Sharly,
lahir di Aceh, 31 Maret 1991. Prestasi : Peserta lomba mata pelajaran
Ekonomi-Akuntansi. Kelas : 12 SOS 1 SMAK 4 BPK PENABUR
Jakarta, tahun ajaran 2008-2009.
Nina, Dra.,
dosen PGSD UNJ, dan saat ini sedang mengikuti program S2 di PPS
UNJ.
112
Jurnal Pendidikan Penabur - No.12/Tahun ke-8/Juni 2009
Download