RESPON PUBLIK TERHADAP MODEL PENGANGGARAN PARTISIPATIF DALAM PEMBANGUNAN DESA: STUDI TIGA PROVINSI DI INDONESIA PUBLIC RESPONSES TOWARDS PARTICIPATORY BUDGETING MODEL IN VILLAGE DEVELOPMENT: CASE STUDIES IN THREE PROVINCES IN INDONESIA Kadek Dwita Apriani Universitas Udayana Jl P.B. Sudirman Denpasar-Bali Email: [email protected] Irhamna Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat Email: [email protected] Abstract Participatory budgeting in this article refer to village development through village fund. One of the nine development priorities by the Joko Widodo’s Government. However, at their second year after implemented, the discourse of this program was merely related to techincal constraint such as the difference of villages number, the recruitment of village assistants, or how the fund being processed. Therefore, this program was not getting any significant responses from the public, which affected the level of public participation, even when empowerment and participation became the main principles. This research aims to describe public responses towards village fund in three provinces which represented three parts of Indonesia; Banten, Gorontalo, and West Papua. This research use descriptive-quantitative method. There are 800 samples that being taken from each province, with 3% MoE. This research finds that more than 50% of respondents did not have any information about the village fund, therefore the numbers of society who actively engaged in the program is low. There only 53% of respondents who agreed that the village fund was used correctly. Public’s knowledge and judgement in three provinces are related to their culture which reflected from their intensity to be involved in public consultation or hearing. The higher their intensity to be involed, the greater the respondents’ tendency to be aware of village fund, and resulting a positive value about the pertinency of village fund. Key Words: village fund, participatory budgeting, public responses Abstrak Model penganggaran partisipatif dalam pembangunan desa merujuk pada program Dana Desa. Dua tahun berjalan, wacana tentang program ini lebih banyak berkaitan dengan hal teknis seperti perbedaan data jumlah desa; rekrutmen pendamping desa; atau syarat pencairan dana desa. Oleh sebab itu program ini dinilai kurang mendapat respon dari publik dalam arti luas sehingga berdampak pada partisipasi masyarakat dalam program yang dirancang dengan azas partisipasi dan pemberdayaan ini. Tujuan dari penelitian ini, untuk menggambarkan dan memetakan respon publik Indonesia mengenai program Dana Desa di wilayah Indonesia Barat yang diwakili oleh provinsi Banten; wilayah Indonesia Tengah yang diwakili Gorontalo; dan Indonesia Timur oleh Papua Barat. Berkaitan dengan Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 137 tujuan penelitian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan tipe deskriptif. Sampel yang diambil di masing-masing provinsi berjumlah 800, sehingga MoEnya di kisaran 3%. Temuan penelitian ini memperlihatkan bahwa lebih dari 50% responden tidak mengetahui tentang program Dana Desa, sehingga jumlah mereka yang berpartisipasi dalam program tersebut juga lebih rendah. Dari mereka yang mengetahui perihal program Dana Desa tersebut, hanya sekitar 53% yang menilai bahwa pemanfaatan Dana Desa di lingkungan tempat tinggalnya tepat sasaran. Pengetahuan dan penilian masyarakat di tiga wilayah Indonesia tentang program dana desa tersebut berkaitan dengan budaya masyarakatnya yang tercermin dalam indikator intensitas mengikuti rembug warga untuk menyelesaikan persoalan di lingkungan tempat tinggalnya. Makin tinggi intensitas mereka mengikuti rembug warga, maka makin besar kecenderungan responden untuk mengetahui perihal Dana Desa dan memberi penilaian positif terkait ketepatan pemanfaatan Dana Desa di lingkungan sekitarnya. Kata kunci: dana desa, anggaran partisipatif, respon publik Pendahuluan Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi sampai kepada tingkatan pemerintahan paling bawah 1 . Dalam Nawa Cita, dikemukakan sembilan agenda pembangunan prioritas, salah satunya membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daearah dan desa dalam kerangka negara kesatuan2. Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagai sebuah kebijakan desentralisasi, memberikan otonomi yang lebih luas kepada desa dalam merencanakan dan menjalankan program-program pembangunan. UU Desa mengamanatkan negara harus menyediakan 10% dari total APBN untuk dialokasikan sebagai dana desa, dan kemudian juga ditambahkan alokasi dana desa sebesar 10% dari dana perimbangan yang diterima oleh Kabupaten/Kota, setelah dikurangi dengan dana alokasi khusus (DAK) 3. Penyediaan ruang fiskal yang cukup besar ini diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah. Jumlah dana desa yang dialokasikan pada APBN TA 2015 adalah Rp.20,7 triliun, dan naik menjadi Rp.46,9 triliun dalam APBN TA 20164. Jumlah tersebut bahkan melebihi jumlah anggaran belanja beberapa K/L seperti: Kementerian Pertanian (Rp.31,5 triliun), Kementerian Keuangan (Rp.39,3 triliun), dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Rp.40,6 triliun)5. Dengan alokasi tersebut, pada APBN TA 2015 jika dibagi sebanyak 72.465 desa, rata-rata desa akan menerima Rp.200-300 juta rupiah, sementara pada APBN TA 2016 dengan peningkatan alokasi anggaran, dan meningkatnya jumlah desa menjadi 74.754 desa, masing-masing desa rata-rata mendapatkan besaran Rp.500-800 juta. Azas pelaksanaan UU Desa antara lain adalah pemberdayaan dan partisipasi. Dengan demikian, UU Desa membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipasi aktif masyarakat dan secara kontinu melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat desa sehingga pembangunan desa dapat berjalan. Azas ini juga menjadi dasar untuk menjamin kepentingan seluruh masyarakat dapat diakomodasi. Partisipasi juga dapat menjadi sebuah mekanisme kontrol yang efektif. Kontrol terhadap pemerintahan dapat diartikan sebagai kemampuan atau kekuasaan untuk mengarahkan, dan untuk menghasilkan sebuah pengawasan yang baik, masyarakat harus terlibat dalam prosesnya, mereka harus tahu apa yang terjadi dibalik sebuah kebijakan6. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, 2016. 4 Marco Bunte, “Indonesia’s Protracted Decentralization: Contested Reforms and Their Unintended Consequences” dalam Marco Bunte dan Andreas Ufen (ed), Democratization in Post-Suharto Indonesia (New York: Routledge, 2009) hlm.114. 1 Kementerian PPN/Bappenas. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019: Buku I (Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas, 2015) hlm. 79. 2 3 Lihat Pasal 72 dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, Informasi APBN 2016: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas (Jakarta: 2016), hlm.20. 5 Danny Burns, Robin Hambleton, dan Paul Hoggert, The Politics of Decentralisation: Revitalising Local Democracy (London: Macmillan, 1994), hlm. 153-156 6 138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 Salah satu model partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang kerap dirujuk sebagai contoh adalah participatory budgeting 7 di Porto Alegre, Brazil. Menurut Souza (2001) proses redemokratisasi yang terjadi di Amerika Latin pada dekade 1980 menciptakan peluang partisipasi bagi masyarakat, hal tersebut kemudian didukung oleh desentralisasi kekuasaan, sehingga pemerintah daerah/lokal memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengatur dan mengalokasikan anggaran serta kebijakan apa yang harus mereka bentuk. Menggunakan konsep tangga partisipasi dari Arnstein (1971), model yang berkembang di Porto Alegre sudah mencapai tahapan citizen control. Proses penganggaran dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat lingkungan, komite, komite khusus hingga delegasi tingkat kota yang kemudian memutuskan alokasi anggaran. Partisipasi ini pun berjalan secara inklusif, seluruh warga terlibat tanpa adanya diskriminasi, termasuk mereka yang berpenghasilan rendah. Dalam penyusunan anggaran, masyarakatlah yang menentukan alokasi sumber daya, sektor mana yang akan mereka bangun, dan seterusnya. Bank Dunia pada tahun 2001 memilih model ini sebagai salah satu proyek percontohan untuk melihat partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka pembangunan yang inklusif. Ide dasar dari penyusunan anggaran yang partisipatif adalah mendorong terbentuknya pendalaman demokrasi (deepening democracy). Selain itu, pelibatan masyarakat secara penuh dalam proses penyusunan anggaran dapat memperkecil peluang terjadinya tindak pidana korupsi, karena proses yang akuntabel dan transparan. Kondisi objektif di Indonesia sampai saat ini memperlihatkan pemerintah desa masih disibukkan dengan masalah birokrasi yang rumit, alur pertanggungjawaban yang panjang terkait Dana Desa, sehingga membuat mereka terkadang tidak bisa melangkah lebih jauh. Pada saat yang bersamaan, mereka juga dituntut untuk menyelesaikan laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya untuk bisa mencairkan Dana Desa pada tahun anggaran berjalan. Pada titik inilah, terlihat bahwa dimensi partisipasi masyarakat desa belum mendapat perhatian yang memadai, karena perdebatan yang terjadi masih pada tataran administratif. Dengan berbagai persoalan yang disebutkan di atas, Dana Desa dikhawatirkan hanya menjadi wacana yang terhenti di tingkatan elit desa. Pengetahuan warga tentang dana desa pun luput dari kajian pihak terkait. Jika pengetahuan warga tentang dana desa rendah, maka kita tak dapat berharap banyak pada partisipasi warga dalam merencanakan dan mengawasi pemanfaatan dana desa. Oleh karenanya, penelitian mengenai respon publik terhadap program Dana Desa menjadi sangat penting. Penelitian ini ingin memberi gambaran mengenai respon publik di Indonesia terhadap program Dana Desa yang telah dijalankan selama kurang lebih 2 tahun di sekitar 74.000 desa di seluruh Indonesia. Karenanya, dalam penelitian ini dipilih tiga provinsi yang mewakili wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur untuk memperlihatkan perbedaan respon publik di tiga wilayah Indonesia mengenai Dana Desa. Kerangka Konsep Participatory Budgeting merupakan sebuah program pembuatan kebijakan yang menekankan pada partisipasi warga secara menyeluruh, melalui tingkatan-tingakatan wilayah (spasial) dan tematik untuk mengatur mengenai alokasi sumber daya berdasarkan prioritas kebijakan, serta memantau pengeluaran publik.8 Program ini mengutamakan keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dalam menentukan prioritas untuk mengatur kebutuhan publik.9 Istilah Participatory Budgeting pertama kali populer dari sebuah program peningkatan kualitas hidup di kota Porto Alegre, Brazil. Program ini dicetuskan oleh Partido dos Trabahaldores (PT) pada tahun 1988, sebagai hasil adaptasi nilai-nilai sosialis dalam realitas lokal melalui aliansi-aliansi.10 Keberhasilan Brian Wampler, “A Guide to Participatory Budgeting”, http:// www.internationalbudget.org/resources/library/GPB.pdf, (diakses pada 18 November 2016), pukul 21.34 WIB 8 9 Celina Souza, “Participatory Budgeting in Brazilian Cities: Limits and Possibilities in Building Democratic Institutions” dalam Environment & Urbanization Vol 13 No. 1, April 2001 7 Ibid. Iain Bruce, The Porto Alegre Alternative: Direct Democracy in Action, (London: Pluto Press, 2004), hlm. 38-39 10 Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 139 program ini dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat Porto Alegre disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: (1) kebudayaan komunitaskomunitas yang ada untuk menyuarakan aspirasi, keinginan, maupun tuntutan secara bersama; dan (2) gelombang migrasi besar-besaran yang mengakibatkan terbentuknya kesadaran bersama dalam menangani tantangan dan permasalahan yang dihadapi akibat fenomena tersebut. 11 Narasi-narasi mengenai partisipasi dalam proses penganggaran telah menjadi sebuah nilai baru dalam perluasan demokasi dan menjadi kritik terhadap bentuk-bentuk hirarki yang telah ada, termasuk kritik terhadap demokrasi perwakilan yang pada akhirnya hanya menjadi perebutan kekuasaan partai politik12 Penganggaran partisipatif di Porto Alegre dipandang sebagai sebuah model penerapan demokrasi deliberatif. Pengalaman dari proses tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan sebelumnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan partisipasi. Sebelumnya partisipasi publik dinilai sebagai hasil dari pengetahuan warga yang mumpuni. Dengan kata lain, kualitas partisipasi berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan masyarakat. Pengalaman Porto Alegre justeru membuktikan sebaliknya, dimana partisipasi warga dari berbagai lapisan masyarakat dalam program Participatory Budgeting di kota ini meningkatkan pengetahuan politik, khususnya mengenai anggaran publik dan demokrasi. 13 Gret dan Sintomer (2005) menyebutnya sebagai sekolah demokrasi bagi warga. Demokrasi yang dirujuk dalam hal ini adalah demokrasi komunitarian (demokrasi deliberatif). Demokrasi model ini menekankan unit analisa pada masyarakat lokal dan nilai kebersamaan secara kolektif. Pada bentuk umumnya diwujudkan dalam forum warga dengan musyawarah.14 Nilai utama yang diusung 11 Ibid, hlm. 39-40. Anja Rocke, Framing Citizen Participation: Participatory Budgeting in France, Germany, and the United Kingdom (London: Palgrave Macmillan, 2014), hlm. 31 12 Marion Gret dan Yves Sintomer, The Porto Alegre Experiment: Learning Leassons for Better Democracy, (London: Zed Books, 2005), hlm. 132 13 14 Sutoro Eko, “Komunitarianisme Demokrasi Lokal”, http:// demokrasi deliberatif adalah proses pengambilan keputusan yang menggunakan musyawarah, dan dialog antara berbagai pihak warga dengan tujuan mencapai konsensus, atau musyawarah mufakat.15 Demokrasi deliberatif tidak membuka ruang yang lebar bagi kompetisi politik, melainkan menekankan pada nilai toleransi, saling menghormati, upaya argumentasi, dan lainnya. Kelebihan demokrasi deliberatif terletak pada terbukanya peluang bagi partisipasi masyarakat yang lebih luas, sehingga dapat menghindari munculnya dominasi kelompok elit, serta tarik menarik kekuasaan.16 Demokrasi deliberatif berupaya meningkatkan komunikasi publik sebagai bentuk pembangunan kesadaran warga dalam berpolitik dan proses penyusunan kebijakan. Alat dari demokrasi deliberatif adalah forum, dialog, dan perkumpulan yang mengutamakan musyawarah. Studi dari Sherry Arnstein17 (1969) menjadi salah satu studi klasik dari partisipasi masyarakat. Ia menjelaskan mengenai tipologi partisipasi yang kemudian dikenal dengan istilah “tangga partisipasi masyarakat” atau “The Ladder of Citizen Participation”. Konsep ini menjelaskan bagaimana sumber daya mengalami redistribusi yang kemudian memungkinkan kelompok yang selama ini tidak memiliki kekuasaan atas sumber daya (the have-not citizens) untuk dapat ikut menentukan bagaimana sebuah kebijakan dibentuk, diimplementasikan, dan diawasi18. Dalam studinya, Arnstein (1969) membagi partisipasi masyarkat dalam delapan tingkatan: Manipulation; Therapy, dua tingkatan pertama ini dikelompokan kembali dalam derajat non-partisipasi; Information; Consultation; Placation, tiga tingkatan ini disebut dengan degrees of tokenism; Partnership; Delegated www.ireyogya.org/ire.php?about=komunitarian.htm, (diakses pada 19 November 2016), pukul 09.38 WIB, hlm. 2 Dan Satriana dan Rianingsih Djohani, Memfasilitasi Konsultasi Publik. (Bandung: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat, 2007), hlm. 4 15 16 Ibid 17 Ibid., hml. 158 Lebih lanjut dalam Sherry R. Arnstein “A Ladder of Citizen Participation” Journal of the American Institute of Planners (JAIP) Vo.35 No.4 Juli, 1969, hlm. 216-224. 18 140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 Power; dan Citizen Control, tiga tingkatan terakhir merupakan derajat tertinggi yang disebut dengan citizen power. P a r t i s i p a s i w a rg a d a l a m p r o g r a m Participatory Budgeting di Porto Alegre dinilai sudah mencapai tangga partisipasi tertinggi, yakni Citizen Control. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan program sejenis yang ada di Indonesia? Program tersebut adalah Dana Desa. Program Dana Desa ini yang akan dibedah dengan konsep Anggaran Partisipatif; Demokrasi Delibertaif; dan Tangga Partisipasi Masyarakat dalam bagian pembahasan. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif berjenis deskriptif karena tujuan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran tentang respon publik di Indonesia terhadap model penganggaran partisipatif dalam pembangunan desa, bukan mencari hubungan sebab akibat antar variabel. Pengumpulan data utama dilakukan dengan wawancara terstruktur terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. Jumlah total responden dalam penelitian ini sebanyak 2.400 orang yang terbagi ke tiga provinsi, sehingga jumlah sampel per provinsi adalah 800. Tingkat kepercayaan dalam riset ini adalah 95% dan Margin of Error (MoE) 3% di masing-masing provinsi.19 Pengambilan sampel dilakukan dengan metode multistage random sampling, dengan memperhatikan proporsi penduduk di masingmasing kabupaten yang ada di ketiga provinsi yang menjadi lokus penelitian. Pengambilan data lapangan di Banten; Gorontalo; dan Papua Barat tidak dilaksanakan secara bersamaan. Adapun jadwal penelitian di tiga provinsi tersebut adalah sebagai berikut. Tabel 1.1 Waktu Pengumpulan Data No 1 2 3 Provinsi Gorontalo Papua Barat Banten Waktu Pengumpulan Data 2 – 21 Juni 2016 23 Juni – 15 Juli 2016 1-20 Agustus 2016 David de Vaus, Research Design in Social Research (London: SAGE Publication, 2006), hlm. 81 19 Dipilihnya tiga provinsi tersebut dan waktu penelitian yang tidak bersamaan berdasarkan alasan metodologis, dimana masing-masing provinsi mewakili wilayah Indonesia. Banten dipandang sebagai potret Indonesia bagian Barat; Gorontalo mewakili wilayah Indonesia Tengah; dan Papua Barat merupakan representasi wilayah Indonesia Timur. Di masing-masing provinsi diambil 800 sampel dengan memperhatikan proporsi jumlah penduduk per kabupaten/kota. Selanjutnya jumlah sampel di tiap kabupaten berbeda sesuai dengan jumlah penduduk di kabupaten tersebut. Di masing-masing kabupaten diambil beberapa desa secara acak sesuai proporsi kabupaten. Di masing-masing desa diambil 5 RT/kampung dengan acak sederhana. Kemudian di masing-masing RT/kampung diambil 2 KK dengan acak sederhana, lalu di tiap KK diambil 1 responden dengan sistem Kish Grid. Proporsi gender dalam penelitian ini juga dijaga agar 50:50 dengan mekanisme nomor kuesioner ganjil untuk laki-laki dan genap untuk responden perempuan. Tahapan-tahapan dalam Multistage Random Samplingyang dilakukan terhadap populasi penduduk di masing-masing provinsi digambarkan dalam skema di bawah ini: Gambar 1. Tahapan Pengambilan Sampel Demografi Responden Sebelum memaparkan data mengenai respon publik di Indonesia terhadap model penganggaran partisipatif, penting untuk menjelaskan karakteristik responden dalam penelitian ini, seperti kategori desa/kota; usia; penghasilan; dan tingkat pendidikan. Terdapat variasi karakteristik responden dari tiga provinsi yang merupakan Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 141 lokus pada penelitian ini. Berikut adalah data demografik responden di tiga provinsi. Gambar 4: Komposisi Desa-Kota di MasingMasing Provinsi *Catatan: angka dalam persen Gambar 2: Komposisi Usia Responden di MasingMasing Provinsi *Catatan: angka dalam persen Tabel 2: Komposisi Tingkat Pendidikan Responden di Masing-Masing Provinsi PENDIDIKAN TIDAK SEKOLAH BANTEN GORONTALO PAPUA BARAT 2.4 9.63 8.4 TIDAK TAMAT SD 5.3 1.13 4.5 TAMAT SD/SEDERAJAT 35.9 47.63 22.6 22.6 TAMAT SLTP/SEDERAJAT 19.3 17.13 TAMAT SLTA/SEDERAJAT 26.8 17.25 25 TAMAT SMK 4.2 2.63 7.9 AKADEMI (DI/DIII) 1.7 0.75 3.8 SARJANA (S1) 4.4 3.88 5.3 *Catatan: angka dalam persen Berdasarkan data demografi responden yang ditampilkan di atas, diketahui bahwa responden dalam penelitian yang tersebar di tiga wilayah Indonesia ini sangat beragam. Di antara tiga provinsi baru (hasil pemekaran) yang menjadi lokus penelitian ini, Gorontalo merupakan provinsi dengan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah berciri pedesaan paling banyak. Lebih dari 80% responden di Gorontalo tinggal di desa. Sementara Banten merupakan wilayah dengan penduduk yang tinggal di perkotaan paling banyak jika dibandingkan persentasenya dengan dua provinsi lainnya. Persentase penduduk dengan penghasilan tinggi juga paling banyak ditemukan di Provinsi Banten. Respon Publik terhadap Program Dana Desa Gambar 3: Komposisi Penghasilan Per Bulan Responden di Masing-Masing Provinsi Data berikut adalah data agregat dari tiga provinsi yang menjadi lokus penelitian (Papua Barat, Gorontalo dan Banten). Dua hal yang dilihat untuk mengukur respon publik adalah pengetahuan mengenai Dana Desa dan penilaian tentang ketepatan penggunaan dana desa (dari mereka yang tahu tentang Dana Desa. Data tersebut disajikan dalam dua gambar di bawah ini. *Catatan: angka dalam persen 142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 mereka dan mencapai tangga partisipasi masyarakat tertinggi atau tahapan citizen control seperti di Porto Alegre. Gambar 5: Pengetahuan Masyarakat Tentang Program Dana Desa *Catatan: angka dalam persen Data di atas memperlihatkan bahwa program Dana Desa yang telah bergulir selama dua tahun ini belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Lebih dari 50% masyarakat di Indonesia Barat, Tengah, dan Timur tidak mengetahui mengenai program tersebut. Hal ini mengindikasikan respon publik terhadap program tersebut belum optimal. Pengetahuan masyarakat mengenai Dana Desa dipandang memiliki kaitan erat dengan partisipasi publik dalam program tersebut. Informasi atau pengetahuan tentang sebuah program dalam teori tangga partisipasi masyarakat yang dikemukakan Arnstein (1969) menempati posisi penting, namun tidak secara otomatis dapat memberikan ruang dan akses terhadap keputusan yang akan diambil. Masyarakat yang memiliki informasi atau pengetahuan masih berada dalam derajat tokenisme, belum sampai pada tahapan partisipatif. Informasi terkait dana desa menjadi salah satu bahan evaluasi, ketika dalam penelitian ini ditemukan sebesar 58,7% masyarakat di tiga provinsi (secara agregat) belum memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai mengenai dana desa, berarti ada pola sosialisasi yang harus dievaluasi. Kementerian teknis yang berkaitan langsung dengan dana desa seperti Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri, harus menemukan strategi sosialisasi yang lebih efektif. Sehingga, masyarakat desa memiliki akses informasi dan pengetahuan yang memadai. Tanpa adanya informasi yang memadai, agaknya sulit bagi masyarakat desa untuk meningkatkan peran Temuan berikutnya, dari yang mengaku tahu atau pernah mendengar mengenai program Dana Desa (41,1%) tersebut ditanyakan pertanyaan lanjutan tentang penilaian mereka mengenai pemanfaatan Dana Desa di lingkungan tempat tinggal mereka. Jumlah responden yang menyatakan kurang tepat dan tidak tepat dari mereka yang mengaku tahu, sebanyak 42.2%. Sementara yang menyatakan bahwa program tersebut sangat tepat dan tepat sasaran sekitar 53%. Data mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini. Gambar 6: Penilaian Masyarakat (yang mengaku tahu tentang dana desa) mengenai Ketepatan Pemanfaatan Dana Desa *Angka dalam persen Dari dua data frekuensi agregat di atas, diketahui bahwa respon publik Indonesia tentang Dana Desa belum optimal. Kemudian dilihat peta dari respon publik tersebut dan ingin diketahui faktor apa yang mungkin berkaitan dengan respon terhadap program Dana Desa tersebut. Faktorfaktor demografi yang dikemukan di bagian terdahulu seharusnya berkaitan dengan respon masyarakat mengenai isu-isu pembangunan. Status Sosial Ekonomi (SSE) masyarakat Indonesia umumnya dikaitkan dengan faktor wilayah. Sering kali diasumsikan, makin ke Barat maka SSE masyarakat semakin baik, sehingga akses informasinya juga semakin baik. Atas dasar itu, asumsi awal bahwa pengetahuan dan respon masyarakat tentang pembangunan semakin ke Barat akan semakin baik, dan sebaliknya. Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 143 Hanya saja, berdasarkan pemetaan data yang diperoleh dari hasil survei tiga provinsi mengenai dana desa, asumsi di atas tidak terbukti. Temuan lapangan dalam survei ini justeru memperlihatkan bahwa informasi mengenai pembangunan, khususnya program Dana Desa paling banyak diketahui di wilayah Tengah Indonesia. Dari tiga provinsi yang disurvei, pengetahuan masyarakat tentang Dana Desa paling rendah di Banten (Indonesia Barat). Karena temuan di atas, maka perlu didalami mengenai kemungkinan faktor lain yang berhubungan dengan pengetahuan masyarakat mengenai model penganggaran partisipatif ini. Data lapangan berikutnya memperlihatkan adanya kaitan pengetahuan responden mengenai Dana Desa dengan intensitas partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berbasis spasial, seperti keikutsertaan dalam rapat-rapat desa/kampung/RT. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel hasil tabulasi silang antara variabel intensitas mengikuti rapat RT/kampung/desa dengan variabel pengetahuan program Dana Desa dibawah ini. Tabel 3: Tabulasi silang antara variabel intensitas mengikuti rapat RT/kampung/desa dengan variabel pengetahuan program Dana Desa di 3 Provinsi Intensitas mengikuti rapat Desa/Kampung/RT Gambar 7: Pengetahuan Masyarakat Tentang Program Dana Desa per Provinsi *Catatan: angka dalam persen Data di atas memperlihatkan bahwa 53.6% masyarakat Papua Barat mengetahui adanya program Dana Desa. Di Gorontalo, sebanyak 55.1% masyarakat mengetahui tentang Dana Desa, sedangkan di di Banten angka responden yang mengaku mengetahui tentang program tersebut hanya sebanyak 28.1%. Respon publik terhadap program Dana Desa ternyata tidak sepenuhnya bergantung pada SSE dan akses media. Di provinsi yang memiliki penduduk perkotaan lebih banyak, masyarakatnya cenderung lebih sedikit yang mengetahui tentang Dana Desa. Bila diasumsikan bahwa program Dana Desa yang berjalan 2 tahun ini telah diketahui oleh publik melalui berbagai media, maka seharusnya makin ke Barat, pengetahuan masyarakat semakin baik, namun temuan lapangan mencerminkan hal sebaliknya. Program Dana Desa paling sedikit diketahui di Indonesia bagian Barat yang memiliki infrastruktur; akses informasi; dan penduduk perkotaan dalam persentase yang tinggi. Sering Jarang Tidak pernah Tidak menjawab Pengetahuan tentang Dana Desa Tahu Tidak tahu 50.1 % 49.8 % 36.6 % 63.2 % 30.1 % 69.3 % 32.4 % 67.6 % Tabel di atas memperlihatkan bahwa intensitas partisipasi dalam pengambilan keputusan berbasis spasial berhubungan dengan pengetahuan responden mengenai Dana Desa. Semakin tinggi intensitas partisipasi maka makin besar kecenderungan warga untuk mengetahui mengenai program Dana Desa. Hal ini dapat dianalisis dengan salah satu kesimpulan dari pengalaman Participatory Budgeting yang telah berjalan lebih dari 2 dekade di Porto Alegre, bahwa sangat sulit dan lama jika mengharapkan partisipasi yang dihasilkan dari kecukupan pengetahuan warga mengenai program anggaran partisipatif. Pengalaman Porto Aalegre memperlihatkan bahwa partisipasi dalam forum-forum warga yang menyebabkan peningkatan pengetahuan warga mengenai program Participatory Budgeting itu. Hal yang sama terjadi di Indonesia pada program Dana Desa yang merupakan wujud dari model penganggaran partisipatif. Pengetahuan warga mengenai program ini didapat melalui partisipasi mereka dalam forum-forum warga berbasis spasial. Dengan begitu didapat penjelasan mengapa respon publik tentang Dana Desa 144 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 lebih baik di Gorontalo dan Papua Barat dibandingkan provinsi Banten. Ternyata basis pengetahuan tentang Dana Desa bukanlah akses informasi melalui media-media, melainkan pengetahuan tersebut berpangkal pada partisipasi. Di wilayah yang persentase masyarakatnya lebih banyak tinggal di wilayah pedesaan ditemukan kecenderungan lebih sering menghadiri forum atau musyawarah warga. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan waktu dan budaya hidup bersama yang masih terpelihara. Kehadiran atau partisipasi dalam forum tersebut menyebabkan mereka terlibat dalam pembahasan mengenai Dana Desa. Dari sana pengetahuan mengenai Dana Desa tersebut diperoleh. Data mengenai intensitas partisipasi warga dalam forum berbasis spasial di tiga wilayah penelitian diperlihatkan dalam grafik di bawah ini. Gambar 8: Intensitas Keikutsertaan dalam Pertemuan/Musyawarah Desa/Kampung/RT di masing-masing Provinsi *Catatan: angka dalam persen Diagram batang di atas menunjukkan bahwa masyarakat di Indonesia Timur dan Tengah cenderung lebih meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan berbasis spasial. Kepedulian masyarakat di Indonesia Bagian Barat, dalam hal ini Banten, pada masalah-masalah di lingkungannya lebih rendah dibandingkan dua provinsi lain yang menjadi lokus dalam penelitian ini. Indikasi ini dilihat dari semakin ke Barat, jumlah responden yang menyatakan tidak pernah mengikuti musyawarah atau proses pengambilan keputusan di wilayah tempat tinggalnya semakin besar. Dalam Tangga Partisipasi Masyarakat yang dikemukakan Arnstein, keterlibatan masyarakat dalam musyawarah desa atau rapat desa, merupakan indikator dari proses yang disebut consultation. Consultation menurut Arnstein merupakan tingkatan partisipasi yang berada satu derajat di atas informasi, namun masih belum menggambarkan secara penuh kontrol masyarakat dalam proses perumusan sebuah kebijakan. Dalam tingkatan konsultasi ini masyarakat desa memiliki akses untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui sejumlah rapat desa atau musyawarah desa. Dalam tahapan ini juga proses penganggaran partisipatif dapat dimulai. UU 6/2014 tentang Desa yang memberikan kewenangan luas kepada pemerintah desa melalui dana desa, mengikuti pola yang terjadi di Brazil pada akhir dekade 1980, ketika Konstitusi Brazil 1988 secara signifikan memberikan perluasan kewenangan kepada pemerintah kota, dalam hal alokasi sumber daya. Pemerintah Kota/ Kabupaten (Municipal Government) berwenang untuk menyediakan fasilitas kesehatan publik, pendidikan dasar, dan infrastruktur.20 Dalam UU Desa tahapan konsultasi ini dapat terlihat dalam proses musyawarah desa, dan musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes). Masyarakat dapat secara aktif memberikan aspirasi mereka untuk rencana kebijakan yang akan diambil, serta usulan-usulan untuk pembangunan proyek infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dari pengetahuan mengenai program Dana Desa, indikator berikutnya adalah penilaian mengenai ketepatan penggunaan dana desa di desa tempat tinggalnya.Temuan survei memperlihatkan data sebagai berikut. Lebih lanjut dalam Brian Wampler, Participatory Budgeting in Brazil: Contestation, Cooperation, and Accountability (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 2007), hlm. 46. 20 Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 145 belum mengetahui mengenai program dengan anggaran yang cukup besar ini. Dari mereka yang menyatakan mengetahui tentang dana desa, hampir setengahnya menyatakan pemanfaatan dana tersebut di lingkungan tempat tinggalnya belum tepat sasaran. Hal ini semakin memperkuat indikasi bahwa proses penanggaran partisipatif dalam program dana desa belum optimal. Gambar 9: Penilaian Ketepatan Penggunaan Dana Desa di Desa Responden (Dari yang Tahu Program Dana Desa) *Catatan: angka dalam persen Penggunaan Dana Desa paling banyak dinilai sudah tepat sasaran di provinsi Gorontalo. Di wilayah Indonesia Barat yang diwakili oleh Banten, responden cenderung menganggap penggunaan Dana Desa di desa tempat tinggalnya tidak/belum tepat. Ditemukan kecenderungan yang juga memperlihatkan pentingnya faktor intensitas mengikuti rapat/musyawarah pengambilan keputusan berbasis spasial dalam mempengaruhi penilaian masyarakat tentang ketepatan pemanfaatan Dana Desa. Data mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam hasil tabulasi silang di bawah ini. Tabel 4: Tabulasi Silang Antara Intensitas Partisipasi dan Penilaian Ketepatan Pemanfaatan Dana Desa Intensitas mengikuti rapat Desa/Kampung/RT Sering Jarang Tidak pernah Tidak menjawab Sangat tepat 11.9 % 7.8 % 8.3 % 13.9 % Ketepatan Penggunaan Dana Desa Tepat Kurang Tidak Tidak tepat tepat menjawab 49.1 % 30.6 % 5.3 % 3.1 % 40.6 % 40.6 % 5.9 % 5.0 % 27.5 % 44.2 % 14.2 % 5.8 % 31.9 % 36.1 % 8.3 % 9.7 % Data di atas menunjukkan bahwa semakin rendah intensitas seseorang mengikuti pertemuan warga di wilayah tempat tinggalnya, maka semakin besar kecenderungan untuk menilai bahwa pemanfaatan dana desa tidak tepat. Berdasarkan beberapa temuan di atas, maka diketahui bahwa program Dana Desa yang telah berjalan selama dua tahun terakhir ternyata belum menuai respon publik yang optimal. Lebih dari setengah masyarakat mengaku masih Respon publik yang dalam penelitian ini diukur melalui dua indikator yaitu pengetahuan masyarakat mengenai dana desa dan penilaian ketepatan penggunaan dana desa di lingkungan tempat tinggal mereka bukan ditentukan oleh infrastruktur dan akses informasi yang baik, melainkan berkaitan dengan intensitas keterlibatan mereka dalam proses-proses pengambilan keputusan berbasis wilayah tempat tinggal. Makin sering seseorang berpartisipasi dalam musyawarah-musyawarah di tingkat kampung/RT, makin besar tendensi yang bersangkutan untuk memiliki pengetahuan tentang dana desa dan memberikan penilaian positif atas pemanfaatan dana desa tersebut. Dengan kata lain, budaya komunitas dalam masyarakat sangat mempengaruhi respon masyarakat terhadap program pembangunan desa ini. Pada bagian kerangka konsep telah disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan Partisipatory Budgeting di Porto Alegre, Brazil adalah adanya kemauan untuk menyelesaikan masalah bersama, dan budaya komunitas yang menyuarakan aspirasi secara bersama-sama. Di Indonesia, faktor budaya komunitas pada masyarakat juga sangat mempengaruhi respon publik pada program dana desa yang sebenarnya menekankan semangat partisipasi dan pemberdayaan seperti halnya Participatory Budgeting di Brazil. Pengetahuan dan penilaian positif masyarakat tentang program pemerintah pusat bernama Dana Desa ini ternyata tidak bergantung pada kecepatan akses informasi dan terpaan media, melainkan pada intensitas warga yang bersangkutan dalam mengikuti rembug warga yang mengindikasikan tingkat kepedulian dan kemauan satu entitas untuk menyelesaikan masalah bersama. Fenomena di atas dapat dijelaskan dengan kerangka konsep tentang partisipasi publik 146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 dan pengetahuan yang telah dipaparkan di bagian terdahulu. Dalam model penganggaran partisipatif ditemukan sebuah kecenderungan bahwa pengetahuan tidak menjamin partisipasi, namun partisipasi dapat menstimulasi peningkatan pengetahuan tentang program secara signifikan. Itulah yang menjadi penjelasan bagi temuan penelitian yang menyebutkan adanya kecenderungan hubungan antara intensitas mengikuti temu warga dengan pengetahuan tentang Dana Desa. Makin sering responden mengikuti temu warga berbasis spasial (rapat RT/ kampung), maka makin tinggi kecenderungan responden mengetahui tentang Dana Desa. Merujuk pada temuan penelitian dari pengalaman Participatory Budgeting di Porto Alegre bahwa partisipasi meningkatkan pengetahuan, maka dapat dikatakan bahwa hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Lebih jauh, hal ini dapat menjadi penjelasan bagi fenomena pengetahuan dana desa berbasis wilayah (Indonesia Barat, Tengah, dan Timur), dimana makin ke barat maka pengetahuan tentang dana desa yang merupakan wujud dari model penganggaran partisipatif di Indonesia semakin rendah, padahal umumnya pengetahuan warga di Indonesia tentang sesuatu akan semakin baik dari Timur ke Barat, karena berkaitan dengan akses informasi dan infrastruktur yang cenderung lebih baik di Indonesia bagian Barat. Hal ini tidak berlaku bagi model penganggaran partisipatif yang diwujudkan dalam Dana Desa. Pengetahuan tentang Dana Desa yang lebih baik di bagian Timur Indonesia bukan dipengaruhi oleh infrastruktur dan akses informasi, melainkan dengan budaya partisipasi masyarakatnya dalam forum yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah bersama pada lingkup kecil. Rendahnya respon publik terutama mengenai pengetahuan masyarakat juga mengindikasikan bahwa proses sosialisasi yang dilakukan kementerian teknis terkait belum menemui sasaran. Pola sosialisasi yang dilakukan tidak akan efektif jika hanya menggunakan media massa, karena terkait dengan komposisi desakota dan kecenderungan terbatasnya akses informasi pada masyarakat yang bercirikan desa. Peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai penganggaran partisipatif sebaiknya dilakukan dengan mendorong keterlibatan warga secara langsung dalam proses penganggaran. Pelibatan masyarakat secara menyeluruh dan inklusif dapat menjadi faktor yang mempercepat proses penganggaran partisipatif. Masyarakat Indonesia melalui penlitian tentang respon terhadap model penganggaran partisipatif dalam pembangunan desa ini diketahui masih berada dalam tingkatan non patisipasi, tokenisme dan konsultasi pada konsep Tangga Partisipasi Masyarakat Arnstein. Partisipasi masyarakat kita belum sampai pada Citizen Control yang merupakan derajat tertinggi dari Tingkatan Partisipasi Masyarakat seperti yang terlihat di Porto Alegre melalui program Participatory Budgeting. Sebenarnya UU Desa telah membuka peluang bagi masyarakat untuk meningatkan partisipasinya dari tiga tingkatan terbawah dalam Tangga Partisipasi menuju tingkatan delegated power dan citizen control. Semakin besarnya anggaran desa yang diberikan oleh pemerintah kepada desa-desa di Indonesia, semakin menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaanya. Semangat dalam melaksanakan pembangunan yang partisipatif sangat bergantung kepada model demokrasi deliberatif yang terjadi dalam masyarakat desa. Pemilihan program unggulan desa atau prioritas pembangunan desa harus menjadi usulan bersama yang kemudian dapat diimplementasikan dengan menggunakan dana desa. Ketidaktahuan publik tentang dana desa dapat menjadi potensi penyalahgunaan dana desa oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Karena merasa tidak diawasi dan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat desa tersebut. Proses deliberatif dalam pengambilan keputusan melalui rapat-rapat desa menjadi kunci dalam pelibatan masyarakat yang lebih luas. Penutup Partisipasi masyarakat Indonesia dalam proses penganggaran partisipatif yang dilihat melalui program Dana Desa di tiga provinsi ini menunjukkan derajat partisipasi yang masih rendah baik, yakni pada tingkatan non partisipasi, tokenisme, dan konsultasi. Padahal Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 147 model penganggaran partisipatif membutuhkan tingkatan partisipasi yang lebih tinggi, yakni pada tataran delegated power dan citizen control. Kebutuhan tersebut semakin mendesak karena besaran dana desa semakin meningkat tiap tahunnya dan membutuhkan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaannya. Publik terlihat tidak terlalu antusias dengan program yang menelan anggaran besar ini, terbukti dari respon mereka yang diukur melalui pengetahuan dan sikap terhadap program ini yang cenderung rendah. Peningkatan pengetahuan tentang Dana Desa memang sangat diperlukan, namun proses tersebut membutuhkan waktu yang sangat panjang dan program ini telah berjalan. Peningkatan pengetahuan tersebut sama pentingnya dengan peningkatan derajat partisipasi dari tokenisme ke citizen control. Cara untuk mencapai peningkatan keduanya adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam forum-forum warga berbasis spasial yang bertujuan menyelesaikan permasalahan bersama. Partisipasi dalam forum berbasis spasial seperti rapat RT atau temu warga kampung akan meningkatkan pengetahuan warga tentang permasalahan sekitarnya termasuk masalah pembangunan dan Dana Desa, serta menjadi wahana bagi warga untuk meningkatkan kemampuan argumentasinya dalam memperjuangkan kepentingan dalam forum. Hal ini sangat besar artinya bagi peningkatan derajat partisipasi masyarakat dari sekadar tokenisme menuju citizen control. Referensi Buku Bruce, Iain. The Porto Alegre Alternative: Direct Democracy in Action. London: Pluto Press. 2004. Bunte, Marco. “Indonesia’s Protracted Decentralization: Contested Reforms and Their Unintended Consequences” dalam Marco Bunte dan Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Suharto Indonesia. New York: Routledge. 2009. Burns, Danny, Robin Hambleton, dan Paul Hoggert The Politics of Decentralisation: Revitalising Local Democracy. London: Macmillan. 1994. De Vaus, David. Research Design in Social Research. London: SAGE Publication. 2006. Direktorat Jenderal Anggaran. Kementerian Keuangan, Informasi APBN 2016: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas. Jakarta: Kementerian Keuangan. 2016. Gret, Marion dan Yves Sintomer. The Porto Alegre Experiment: Learning Leassons for Better Democracy. London: Zed Books. 2005 Kementerian PPN/Bappenas. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019: Buku I. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas. 2015. Rocke, Anja. Framing Citizen Participation: Participatory Budgeting in France, Germany and the United Kingdom. London: Palgrave Macmillan. 2014. Satriana, Dan dan Rianingsih Djohani. Memfasilitasi Konsultasi Publik. Bandung: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat. 2007 Wampler, Brian. Participatory Budgeting in Brazil: Contestation, Cooperation, and Accountability. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press. 2007 Jurnal Souza, Celina, “Participatory Budgeting in Brazilian Cities: Limits and Possibilities in Building Democratic Institutions” dalam Environment & Urbanization Vol 13 No. 1, April 2001 Arnstein, Sherry R, “A Ladder of Participation” dalam JAIP Vol. 35 No.4 July 1969 Sumber Elektronik Eko, Sutoro “Komunitarianisme Demokrasi Lokal”, diakses dari http://www.ireyogya.org/ire. php?about=komunitarian.htm, pada tanggal 19 November 2016 pukul 09.38 WIB Wampler, Brian “A Guide to Participatory Budgeting”, diakses dari http://www.internationalbudget. org/reso urces/library/GPB.pdf, pada tanggal 18 November 2016, pukul 21.34 WIB 148 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 KONTEKS SOSIAL EKONOMI KEMUNCULAN PEREMPUAN KEPALA DAERAH 1 SOCIO ECONOMIC CONTEXT OF INDONESIAN WOMEN PATH TO LOCAL POLITICS Kurniawati Hastuti Dewi Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta Email: [email protected] Ahmad Helmy Fuady Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta Email: [email protected] Abstract This paper aims to see possible pattern of socio-economic conditions that may contribute in facilitating the rise and victory of female leaders, particularly in the December 2015 local direct elections. This paper reveals that, human development index, poverty rate, and gini ratio of a region did not strongly correlate with the number of female leader candidates, nor with the number of the elected female leaders. This paper also shows that the number of candidate and elected female leaders is concentrated in areas which have large number of universities and high proportion of internet access, such as Java. This paper highlighted two important points: first, female leader candidates can emerge and be elected from various socio-economic conditions of region; second, flows of ideas and information through universities and internet access are important keys to the rise and victory of female leaders in local politics. Keywords: socio-economic condition, university, internet, female local leader. Abstrak Tulisan ini bertujuan melihat kemungkinan kondisi sosial ekonomi memfasilitasi kemunculan dan kemenangan para perempuan kepala daerah, khususnya pada Pilkada langsung Desember 2015. Tulisan ini menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan, tidak memiliki korelasi kuat dengan jumlah perempuan kandidat kepala daerah, maupun jumlah perempuan yang terpilih. Tulisan ini menemukan bahwa jumlah perempuan kandidat kepala daerah maupun jumlah perempuan terpilih terkonsentrasi di daerah yang memiliki jumlah universitas yang banyak dan rata-rata tingkat akses internet yang tinggi seperti di Jawa. Oleh karena itu, tulisan ini menggarisbawahi dua hal: pertama, perempuan kepala daerah dapat muncul dalam kondisi sosial ekonomi apapun; kedua, persebaran berbagai gagasan baru dan informasi melalui universitas dan media internet menjadi kunci peningkatan jumlah perempuan kepala daerah. Kata Kunci: sosial ekonomi, universitas, internet, perempuan kepala daerah. Draft awal tulisan ini berjudul “Socio Economic Context of Indonesian Women Path to Local Politics” telah dipresentasikan dalam konferensi internasional “The 9th International Indonesia Forum Conference: in search of Key Drivers of Indonesian Empowerment”, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, 24 August 2016. 1 Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 149 Pendahuluan Pemilihan kepala daerah secara langsung (selanjutnya disebut Pilkada langsung) merupakan salah satu capaian penting demokratisasi Indonesia pasca lengsernya Suharto dari kursi kepresidenan Indonesia. Pilkada langsung dapat dilihat sebagai sebuah terobosan dalam penguatan demokrasi, terutama partisipasi masyarakat dalam menentukan kepemimpinan di tingkat lokal. Sejak 2005, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah tahun 2005-2010, sebagai fase awal implementasi Pilkada langsung yang merupakan amanat Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,; fase kedua adalah tahun 2010-2015 sebagai fase lanjutan pelaksanaan Pilkada langsung; dan fase ketiga adalah sejak tahun 2015 sebagai fase Pilkada langsung serentak sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8/2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang sekarang diganti dengan UU No.10/2016 . 2 Mekanisme Pilkada langsung telah membuka peluang partisipasi politik yang lebih besar pada berbagai elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan untuk ikut mewarnai dan menentukan arah demokrasi lokal. Sejak dimulainya Pilkada Pasal 1 ayat (1) UU No. 8/2015 menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah adalah memilih ‘paket’ calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.” Selain itu, pasal 3 ayat (1) UU No. 8/2015 juga menyebutkan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Jadi, ke depan Pilkada langsung berupa pemilihan kepala daerah dan wakilnya baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diharapkan dapat dilaksanakan serentak waktunya. Pasal 201 UU No. 8/2015 menjelaskan bahwa terdapat tujuh gelombang Pilkada langsung serentak yaitu: gelombang pertama, pada Desember 2015 (telah selesai dilaksanakan), gelombang kedua pada tahun 2017, gelombang ketiga pada tahun 2018, gelombang keempat pada tahun 2020, gelombang kelima pada tahun 2022, gelombang keenam pada tahun 2023, dan terakhir gelombang ketujuh pada tahun 2027, informasi dalam http://www.dpr.go.id/dokjdih/ document/uu/1627.pdf , (diakses pada 18 Agustus 2016). 2 langsung di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 2005, jumlah perempuan yang menjadi kandidat dan atau terpilih sebagai kepala daerah meningkat cukup signifikan. Pada Pilkada langsung selama dua periode (2005-2010) dan (2010-2014), terdapat 26 perempuan terpilih sebagai kepala daerah (18 di Pulau Jawa--Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat--, dan 8 perempuan di luar Pulau Jawa). 3 Sementara itu, pada Pilkada langsung serentak tanggal 9 Desember 2015, tepilih 24 perempuan yang menjadi bupati/walikota. Tulisan ini terutama difokuskan pada persoalan partisipasi politik perempuan dalam Pilkada langsung serentak gelombang pertama yang telah dilakukan pada 9 Desember 2015 yang lalu. Pada 9 Desember 2015, terdapat 269 daerah (9 provinsi, 36 kotamadya, dan 224 kabupaten) yang telah melaksanakan Pilkada langsung serentak. Sejauh ini evaluasi maupun analisis mengenai Pilkada langsung serentak tahun 2015, banyak menyoroti hal-hal berupa: (i) persoalan efisiensi dan efektifitas anggaran, pemutakhiran data pemilih, persoalan calon tunggal dalam Pilkada, sengketa Pilkada; 4 (ii) rendahnya partisipasi masyarakat, politisasi birokrasi, dan persoalan politik uang;5 (iii) kurang semaraknya Pilkada langsung serentak sebagai dampak pembatasan kampanye yang diatur oleh KPUD, dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu.6 Beberapa tulisan telah menyoroti partisipasi perempuan yang kemudian terpilih menjadi kepala daerah. Perludem misalnya membuat catatan potret perempuan dalam Pilkada langsung serentak: dari 264 daerah, hanya 45 daerah Kurniawati Hastuti Dewi, “Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections,” Indonesian Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): hlm.47-52. 3 Lihat Perludem, “Evaluasi Pilkada Serentak 2015,” Jurnal Pemilu & Demokrasi, no. 8 (April 2016). 4 Lihat Dewan Perwakilan Daerah-Republik Indonesia, “DPD evaluasi Pilkada serentak 2015”, 18 Desember 2015, http:// dpdri.merdeka.com/berita/dpd-evaluasi-pilkada-serentak-2015151218o.html (diakses 18 Agustus 2016). 5 Lihat Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), “Pilkada Serentak Telah Usai, Ini Evaluasi Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII”, 18 Januari 2016, dalam http://www.berita9online.com/nasional/ pilkada-serentak-telah-usai-ini-evaluasi-pusat-studi-hukumkonstitusi-fh-uii/, (diakses pada 18 Agustus 2016). 6 150 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166 yang melahirkan perempuan pemimpin di mana 24 orang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah, 22 orang perempuan yang terpilih sebagai wakil kepala daerah, masih dominannya petahana, serta masih rendahnya komitmen perempuan kepala daerah terhadap persoalan perempuan.7 Yayasan SATUNAMA Yogyakarta memberikan catatan yang lebih optimistik misalnya, perempuan tidak mengalami stagnasi politik karena separuh dari perempuan yang saat ini menjadi kepala daerah terlebih dahulu menjadi wakil kepala daerah, 53 % dari keseluruhan kandidat perempuan memiliki perspektif gender, dan mengemukakan temuan yang hampir sama dengan Perludem bahwa sebagian besar perempuan kepala daerah terpilih adalah dari petahana, mantan anggota legislatif, pengusaha, dan birokrat.8 Berbeda dengan tulisan ataupun analisis tersebut di atas, tulisan ini menganalisis kemungkinan pola hubungan (korelasi) antara kondisi sosial ekonomi di daerah dengan partisipasi politik perempuan dalam Pilkada langsung serentak 2015. Kondisi sosial ekonomi dalam tulisan ini merujuk pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan (indeks gini) di kabupaten/kota. Selain itu, tulisan ini juga melihat kemungkinan persebaran berbagai gagasan baru dan informasi melalui universitas dan media internet yang menjadi kunci peningkatan jumlah perempuan kepala daerah. Terdiri dari tiga bagian, setelah pendahuluan, bagian kedua merupakan pembahasan, yang terdiri dari dua sub-judul yaitu review literatur yang menjelaskan kerangka pikir perempuan dan rekruitmen politik, diikuti dengan pemberdayaan perempuan, pembangunan ekonomi dan demokrasi. Disusul dengan sub-judul data dan analisis yang menjelaskan proses pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang memaparkan sejauhmana kontribusi Perludem, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, Jakarta, 20 Desember 2015. 7 Yayasan SATUNAMA, “Perempuan di Pilkada Serentak 2015: Perspektif dan Lingkar Kekuasaan di Sekitaran Calon Perempuan Peserta Pilkada,” Yayasan SATUNAMA, Yogyakarta, 2015. 8 IPM, tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan terhadap kemunculan kandidat perempuan dan kemenangannya dalam Pilkada langsung serentak 2015 yang lalu. Bagian ini juga menampilkan hasil pengujian terhadap variabel lain yaitu jumlah universitas dan jumlah orang yang mengakses internet di daerah yang bersangkutan untuk menjelaskan perbedaan jumlah kandidat yang begitu besar di Jawa, dibandingkan dengan daerah lain. Bagian ketiga penutup yang merangkum temuan, analisis dan dua poin penting yang digarisbawahi dalam tulisan ini. Rekruitmen Politik, Pemberdayaan Perempuan, Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi Mendiskusikan tentang kiprah perempuan kepala daerah, nampaknya dapat juga didekati dari literatur tentang rekruitmen politik. Pada dasarnya teori perempuan dan rekruitmen politik seperti yang dikemukakan oleh Pippa Norris (1995:21) menggariskan bahwa rekuitmen anggota legislatif pada dasarnya meliputi tiga level yaitu: pertama, “the systematic factor” meliputi konteks rekruitmen seperti “legal, electoral, and party system”; kedua, konteks dalam partai politik tertentu seperti organisasi partai, aturan, dan ideologi; ketiga, faktor yang langsung mempengaruhi rekruitmen kandidat individual seperti: (a) sumber daya dan motivasi dari kandidat, dan (b) perilaku dari para elit penyeleksi (gatekeepers).9 Dalam buku yang lain, Pippa Norris (1997:1) memakai kata ‘supply’ dan ‘demand’ untuk menjelaskan faktor ketiga yang disebutkan di atas, di mana ‘supply’ berarti suplai kandidat yang ingin maju ke dalam posisi politik dengan melihat khususnya motivasi mereka dan sumber daya politiknya; sementara ‘demand’ merujuk pada keinginan dari ‘gatekeepers’ yaitu pemilih, anggota partai politik, pemimpin partai politik, pemimpin politik, penyokong dana, yang menyeleksi beberapa (kandidat) dari sejumlah besar calon potensial.10 Sebagaimana dijelaskan Pippa Norris and Joni Lovenduski, Political Recruitment: Gender, Race, and Class in the British Parliament (Great Britain: Cambridge University Press, 1995), hlm. 21. 9 Pippa Norris, “Introduction: Theories of Recruitment,” dalam Pippa Norris (ed). Passage to Power: Legislative Recruitment in 10 Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 151 Noris di atas, sebenarnya teori perempuan dan rekuitment politik untuk menganalisis kompetisi pemilihan anggota perlemen perempuan dalam lembaga legislatif fokus pada ‘supply’ dan ‘demand’. Dalam konteks ini, posisi perempuan anggota parlemen adalah seorang wakil rakyat dalam sebuah lembaga perwakilan yang tidak bisa berdiri sendiri, cenderung kolekfif, dan bukan pemimpin tertinggi sebuah daerah. Sementara itu, tulisan ini mengkaji perempuan calon kepala daerah yang kemudian berhasil memenangkan Pilkada langsung sebagai pucuk pimpinan tertinggi eksekutif daerah. Oleh karena itu, dalam konteks ini harus dimengerti bahwa melandaskan diri pada sebuah teori yang sudah mapan sekalipun seperti teori perempuan dan rekruitmen politik, yang berasal dari konteks legislatif yang fokus pada aspek supply’ dan ‘demand’ saja tidak cukup mampu menerangkan bekerjanya faktor di luar kedua hal tersebut, untuk persoalan perempuan sebagai calon pemimpin daerah. Diskusi mengenai perempuan sebagai pucuk pimpinan tertinggi di sebuah daerah menyangkut dimensi yang lebih kompleks dibandingkan dengan permasalahan perempuan sebagai anggota parlemen. Apalagi dalam sebuah masyarakat mayoritas Muslim seperti Indonesia. Sebagaimana catatan aktifis perempuan Muslim (almarhumah) Lili Zakiyah Munir, (2002) bahwa terdapat persepsi umum yang berkembang bahwa Islam sebagai sumber diskriminasi dan penindasan perempuan, sehingga tidak ramah terhadap perempuan, 11 serta adanya beberapa kasus penolakan terhadap perempuan sebagai calon pemimpin kepala daerah. 12 Oleh karena itulah, tulisan ini memerlukan bangunan teori lain untuk membangun kerangka tulisan untuk memahami apakah terdapat konteks sosial ekonomi masyarakat tertentu Advanced Democracies (Great Britain: Cambridge University Press, 1997), hlm.1 Lili Zakiyah Munir, “Islam, Gender and Equal Rights for Women,” The Jakarta Post, December 10, (2002), hlm.6. 11 Lihat studi mendalam mengenai dinamika dan penolakan terhadap perempuan Muslim sebagai calon kepala daerah di Kebumen, Pekalongan dan Banyuwangi sebagaimana ditulis Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia (Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, 2015). 12 yang berkorelasi dengan kemunculan dan kemenangan perempuan sebagai pemimpin tertinggi sebuah daerah (kepala daerah) melalui kompetisi elektoral Pilkada langsung. Dalam konteks inilah, selanjutnya tulisan ini memakai bangunan teori pemberdayaan. Penelitian ini mengasumsikan bahwa terdapat hal ini berupa konteks sosial ekonomi masyarakat yang melingkupi seorang perempuan politisi, yang kemungkinan berkorelasi terhadap kemunculan dan kemenangan perempuan sebagai kepala daerah. Berikutnya adalah eksplorasi teori pemberdayaan, yang nantinya akan berujung pada tiga asumsi dasar dalam tulisan ini. Upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik dapat didekati dari istilah pemberdayaan (‘empowerment’). Kata ‘pemberdayaan’ atau ’empowerment’ telah banyak dipakai paling tidak sejak tahun 1960an dalam dokumen-dokumen kebijakan pembangunan negara-negara Utara dan Selatan. Amartya Sen (1999) dalam “Development as Freedom” menekankan bahwa pembangunan seharusnya tidak saja dilihat dari ukuranukuran ekonomi semata, tetapi dilihat sejauh mana masyarakat memilki banyak pilihan dari berbagai kesempatan; Sen memperkenalkan konsep ‘kebebasan manusia’ (human freedom) dalam lima hal yaitu pemberdayaan ekonomi, kebebasan politik, kesempatan sosial, keamanan dan transparansi sebagai prinsip dan tujuan akhir dari pembangunan, sementara ukuran-ukuran ekonomi adalah cara untuk mencapainya.13 Kemudian, istilah pembangunan dan pemberdayaan semakin sering dipakai dan muncul dalam dokumen-domuken resmi lembaga-lembaga interrnasional. Sebagai contoh, Laporan Pembangunan Manusia tahun 1995 (The Human Development Report 1995) menekankan bahwa pemberdayaan (empowerment) adalah sebagai berikut: “Empowerment. Development must be by people, not only for them. People must participate fully in the decision and processes that shape their lives. (UN, 1995 b: 12) but at the same time promotes a rather instrumentalist view of 13 Lihat Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999). Lihat juga review buku Amartya Sen oleh Siri Terjesen, “A. Sen’s’Development as freedom’, January 2004, dalam https://www.researchgate.net/ publication/27466009, (diakses pada 16 Agustus 2016). 152 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166 empowerment; Investing in women’s capabilities and empowering them to exercise their choices is not only valuable in itself but also is the surest way to contribute to economic growth and overall development (UN, 1995 b: iii).”14 Sementara itu, OXFAM menyatakan: “Empowerment involves challenging the forms of oppression which compel millions of people to play a part in their society on terms which are inequitable, or in way which deny their human rights (Oxfam, 1995).”15 Jika dicermati, catatan Laporan Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1995 menekankan pemberdayaan sebagai partisipasi sepenuhnya dari warga masyarakat dalam proses dan pembuatan keputusan, serta meningkatkan kapasitas perempuan agar dapat melakukan berbagai inisiatif dan pilihan untuk berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pemberdayaan menurut OXFAM menekankan pada upaya menentang segala bentuk-bentuk penindasan hak-hak dasar, pengingkaran terhadap hak asasi manusia atau diskriminasi yang membelenggu masyarakat. Bagaimana jika kata pemberdayaan dikaitkan dengan persoalan perempuan? Konsep mengenai pemberdayaan perempuan (women’s empowerment), mulai muncul dalam diskursus para feminis di dunia ketiga sejak tahun 1980an, seiring dengan kritik mereka terhadap konsep-konsep modernisasi dan pembangunan. Dimulai dari Ester Bosorup yang mengkritisi pendekatan kesejahteraan sebelum tahun 1970-an. Dalam bukunya Woman’s Role in Economic Development (1970) Boserup menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan modernisasi di perdesaan di negara-negara dunia ketiga (Asia, Afrika, Latin Amerika) tidak serta merta memberikan keuntungan dan manfaat yang sama terhadap perempuan dan laki-laki, dimana perempuan banyak ditinggalkan dalam proses produksi digantikan dengan mesin, menerima upah yang sangat rendah Sebagaimana dikutip dari Zoe Oxaal and Sally Baden, “Gender and Empowerment: Definitions, Approaches, and Implications for Policy,” BRIDGE Development – Gender Report, no. 40 (October 1997), hlm. 4. 14 15 Ibid. di sektor non-pertanian di daerah perkotaan, dan bahkan tidak dihargai pekerjaan mereka di perdesaan.16 Kemudian, kritik para feminis terhadap pembangunan ekonomi semacam itu diterjemahkan dalam upaya mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan melalui pendekatan Women in Development (WID) sejak tahun 1970an. Pengadopsian WID ditandai pada Konferensi Tingkat Tinggi PBB pertama tentang Perempuan di Mexico tahun 1975, yang memperkenalkan term Women in Development (WID) untuk memastikan integrasi perempuan dalam pembangunan. Namun demikian, Caroline Mosser (1991) mencatat bahwa pendekatan anti kemiskinan (anti-poverty approach) yang dipakai dalam WID untuk mencapai kesetaraan gender, lebih menekankan pada upaya mengurangi kesenjangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki karena dipercaya bahwa sumber ketidakadilan adalah kemiskinan, dan bukan sub-ordinasi.17 Menurut Geeta Chowdhry (1995) pendekatan anti kemiskinan dalam WID lebih difokuskan pada peran reproduksi perempuan, untuk perempuan perdesaan di dunia ketiga yang lekat dengan peran dan posisi konvensional perempuan sebagai istri atau ibu di rumah.18 Jadi, WID justru tidak mengintegrasikan perempuan dalam modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi malah meminggirkan perempuan. Maka, melihat kecenderungan ini, para feminis di negara-negara dunia ketiga di Selatan (Global South --Asia, Afrika, Latin Amerika--) yang tergabung dalam Development Alternatives with Women for a New Era (DAWN) menyerukan agar WID diganti dengan Gender and Lihat Ester Boserup, Woman’s Role in Economic Development (Great Britain: George Allen and Unwin, 1970); baca juga Barbara Rogers, The Domestication of Women: Discrimination in Developing Societies (London and New York: Routledge, 1980); Irene Tinker (ed)., Persistent Inequalities: Women and World Development (New York: Oxford University Press, 1990). 16 Caroline Mosser, “Gender Planning in the third World: Meeting Practical and Strategic Needs”, dalam Rebecca Grant and Kathleen Newland (eds.), Gender and International Relations (Suffolk: Open University Press, 1991), hlm. 101. 17 Geeta Chowdhry, “Engendering Development: Women in Development (WID) in International Development Regimes”, dalam Marianne H. Marchand and Jane L. Papart (eds.), Feminism/Postmodernism/Development (London and New York: Routledge, 1995), hlm 32. 18 Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 153 Development (GAD)19 untuk mengintegrasikan kepentingan perempuan dalam modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, meskipun ternyata pendekatan anti-kemiskinan masih tetap digunakan. GAD berfokus pada hubungan politik atau relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki upaya untuk meningkatkan kuasa sosial politik perempuan dengan membenahi ketimpangan relasi tersebut.20 Dalam perkembangannya sejak tahun 1980an, lembaga-lembaga donor internasional menggunakan kata ‘gender dan pembangunan’ termasuk kemudian merebak dalam term p e m b e r d a y a a n p e r e m p u a n ( w o m e n ’s empowerment) menggambarkan spirit yang lebih politis untuk melakukan transformasi, menentang struktur patriarkhi yang membelenggu peran dan posisi perempuan di negara-negara dunia ketiga.21 Dalam bahasa Srilatha Batliwala (2007) ‘women’s empowerment’ adalah sebuah proses sosial politik di mana pintu pembuka dalam pemberdayaan adalah perpindahan penguasaan sosial, ekonomi, politik di antara dan antara individu maupun kelompok sosial. 22 Salah satu menifestasi konkrit adopsi pemberdayaan perempuan adalah pada Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perempuan di Nairobi, Kenya tahun 1985. Konferensi itu menjadi momen penyebaran gagasan dan pendekatan GAD,23 selain rekomendasi “the Nairobi Forward Looking Strategy” untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan.24 DAWN adalah forum kerja sama dan komunikasi antara perempuan di negara-negara dunia yang menyadari bahwa WID justru meminggirkan perempuan. Lihat DAWN, “Rethinking Social Development: DAWN’s Vision,” World Development 23, no.11(1996). 19 Kathryn Robinson, “Indonesian Women’s Rights, International Feminism and Democratic Change,” Communal/Plural 6, no.2 (1998): 205-223, hlm 212. 20 Srilatha Batliwala, “Taking the Power out of Empowerment: An Experiential Account”, Development in Practice, vol. 17, no. 4/5 (August 2007): 557-565, hlm.558 21 22 Ibid., hlm. 559. Kate Young, “Gender and Development” dalam Nalini Visvanathan, and others, (eds), The Women, Gender and Development Reader, (London and New Jersey: Zed Books, 2000). 23 Sjamsiah Achmad, “Perempuan Dalam Politik: Kampanye 5050 Asia Pasifik 2005, Indonesia Kapan”, paper dipresentasikan 24 Dalam kacamata GAD, upaya mengintegrasikan gender dalam kebijakan pembangunan dilakukan dengan ‘mainstreaming’ (pengarusutamaan) yakni upaya menyeluruh, lintas kebijakan, lintas tingkat pemerintahan, dan yang terpenting menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra aktif dalam proses tersebut.25 Dalam perkembangan kekinian, kaum feminis khawatir dengan penggunaan istilah ‘pemberdayaan perempuan’ yang dalam praktiknya seringkali sekedar dimaknai sebagai upaya memobilisasi perempuan (umumnya) kelas bawah melalui program-program swakarsa untuk meningkatkan taraf ekonomi, partisipasi, tetapi tanpa memberikan kuasa untuk menentang narasi dominan dari pembangunan atau merumuskan jalan alternatif.26 Menurut Rowland (1997:14) pandangan feminis mengenai ‘pemberdayaan’ tidak sekedar merujuk pada partisipasi dalam pengambilan keputusan, tetapi harus meliputi proses yang menyebabkan seseorang mampu mencapai kesadaran diri untuk dapat membuat keputusan; pemberdayaan harus meliputi dimensi ‘power to’ yaitu untuk melakukan kewenangan pengambilan keputusan untuk mengatasi persoalan, serta dimensi ‘power within’27 dimana seseorang memiliki rasa percaya diri, kesadaran diri dan ketegasan diri.28 Dalam pandangan feminis, sebagaimana ditegaskan Rowland, pemberdayaan meliputi tiga dimensi yaitu: pertama, ‘personal’ dimana seseorang mampu membangun rasa percaya diri, kapasitas, dan melepaskan diri dari penindasan dari dalam; kedua, ‘relational’ yaitu kemampuan untuk negosiasi atau mempengaruhi hubungan atau keputusan didalamnya; ketiga, ‘collective’ di mana seseorang dapat bekerja bersama di Jakarta, 13 April 2001, Jakarta, hlm. 1. Kurniawati Hastuti Dewi, “Menjenderkan Pemerintahan Daerah”, KOMPAS, 15 Februari 2005. 25 Elliot (2008) sebagaimana dikutip dari Manisha Desai, “Hope in Hard Times: Women’s Empowerment and Human development”, United Nations Development Programme, Human Development Research Paper 2010/14, July 2010, hlm. 4. 26 Elaborasi mengenai ‘power to’ dan ‘power within’ diambil dari Zoe Oxaal and Sally Baden, “Gender and Empowerment: Definitions, Approaches, and Implications for Policy,” hlm 1. 27 Jo Rowlands, Questioning Empowerment: Working with Women in Honduras (UK and Ireland: Oxfam, 1997), hlm 14. 28 154 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166 untuk mencapai dampak yang lebih optimal seperti upaya bersama dalam struktur politik menekankan kerja sama dan bukan kompetisi.29 Tidak jauh berbeda, catatan Naila Kabeer (1999) juga mengetengahkan tiga dimensi pemberdayaan (perempuan), yaitu: pertama, ‘resources” (pre-condition) meliputi tidak hanya sumber daya material tetapi juga sumber daya manusia, jaringan hubungan sosial dalam keluarga, pasar, masyarakat; kedua, ‘agency’ (process) sebagai kemampuan mendefinisikan tujuan dan mencapainya yang dapat berupa kemampuan melakukan negosiasi, tawar menawar dalam sebuah keadaan atau pengambilan keputusan, memanipulasi atau memainkan, yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama; ketiga, ‘achievements’ (outcomes).30 Kabeer merumuskan bahwa pemberdayaan perempuan (women’s empowerment) adalah proses dimana seseorang (perempuan) yang semula tidak memperoleh kesempatan melakukan pilihan strategis dalam hidupnya, kemudian mampu menguasai kemampuan tersebut.31 Kajian tentang kemunculan perempuan Indonesia dalam organisasi kemasyarakatan maupun politik di Indonesia telah banyak mengangkat aspek agency. Beberapa kajian tentang agency perempuan misalnya yang dilakukan oleh Safira Machrusah (2005), Susan Blackburn, Bianca J Smith, Siti Syamsiyatun (2008), Kurniawati Hastuti Dewi (2008) dan (2015), Eva F. Amrullah (2011), dan tim Gender dan Politik P2P LIPI (2016). Dalam penelitiannya Machrusah (2005) melihat bagaimana Muslimat Nahdlatul Ulama, sebuah badan otonom organisasi Islam tradisional, menegosiasikan kesetaraan gender dengan organisasi induknya, Nahdlatul Ulama.32 Blackburn, Smith dan Syamsiyatun (2008) mengetengahkan agency perempuam Muslim dalam menegosiasikan nilai-nilai dan 29 Ibid., hlm. 15. Naila Kabeer, “Resource, Agency, Achievements: Reflections on the Measurement of Women’s Empowerment”, Development and Change, vol. 30 (1999): 435-464, hlm. 437-438. Ibid. Safira Machrusah, “Muslimat Nahdlatul Ulama: Negotiating Gender Relations within a Traditional Muslim Organisation in Indonesia” (Master thesis, the Australian National University, 2005). 32 Susan Blackburn, Bianca J Smith, Siti Syamsiyatun, “Introduction”, dalam Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun (eds), Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities, (Clayton: Monash University Press, 2008), hlm 3. 33 Kurniawati Hastuti Dewi, “Perspectives Versus Practices: Women’s Leadership in Muhammadiyah”, SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 23/2, October 2008 : hlm.161-185 34 Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia. 35 Amrullah terinspirasi dan mengikuti pengertian ‘agency’ dari Saba Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival,” Cultural Anthropology 16, no. 2 (May 2001), hlm. 225; Saba Mahmood, Politics of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005). 36 30 31 praktik Islam dalam berbagai bidang misalnya polygami, pemakaian jilbab, kegiatan pilantropi, sebagai nyai (istri kyai), dan pembentukan identitas baru perempuan Muslim.33 Sementara itu Dewi (2008) melihat strategi perempuan di ‘Aisyiyah dalam menegosiasikan persoalan kepemimpian perempuan di Muhammadiyah.34 Dalam level politik praktis, Dewi (2015) menganalisis agency tiga perempuan yang memenangkan kompetisi Pilkada langsung di daerah yang berbasis Islam di Jawa, yaitu Ratna Ani Lestari di Banyuwangi (2005), Rustriningsih di Kebumen (2005), dan Siti Qomariyah di Pekalongan (2006). Studi tersebut menemukan bahwa ketiga perempuan tersebut mampu menggunakan dan memainkan ide-ide atau norma-norma mengenai kesalehan dalam Islam (Islamic piety) seperti memakai kerudung dikombinasikan dengan identitas gender mereka sebagai seorang “perempuan Muslim Jawa”.35 Amrullah (2011) meneliti perempuan Muslim kelas menengah atas yang bergabung aktif dalam Jamaah Tabligh di Jakarta; menemukan bahwa partisipasi aktif para perempuan Muslim tersebut termasuk dalam menyebarkan dan merekrut anggota baru menunjukkan sisi agency36 dari perempuan, oleh karena itu tidak tepat menilai bahwa bergabungnya mereka ke Jamaah Tabligh sebagai sebuah ketertindasan. 37 Sementara itu, tim peneliti Gender dan Politik P2P-LIPI Eva F. Amrullah, “Seeking Sancturay in ‘the age of disoder’: Women in Contemporary Tablighi Jama’at,” Contemporary Islam 5/2, (2011): hlm.135-160. 37 Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 155 (2016) menunjukkan bagaimana Eka Wiryastuti dapat memainkan perannya dalam ‘mengolah, menegosiasikan, atau menyiasati agama Hindu Bali, budaya, adat istiadat sejak proses persiapan awal kemunculannya dan kemenangannya’ di Tabanan, Bali. 38 Kajian-kajian tersebut lebih banyak melihat bagaimana agensi yang diperankan para perempuan untuk muncul sebagai pemimpin politik. Belum ada kajian yang secara serius melihat bagaimana kemungkinan konteks sosial ekonomi yang menjadi pra-kondisi atau memfasilitasi kemunculan perempuan dalam politik lokal tersebut. Sementara itu, Seymour Martin Lipset (1959) sejak lama mengungkapkan tentang perlunya melihat prasyarat sosial bagi perkembangan demokrasi. Menurutnya, pembangunan ekonomi yang efektif berkorelasi positif dengan demokrasi. 39 Hal senada dinyatakan oleh Guillermo A. O’ Donnel (2004), bahwa salah satu komponen penting bahkan sangat dasar dari demokrasi, yang selama ini kerap diabaikan, adalah manusia dalam hal ini warga negara; O’Donnel percaya ada hubungan erat antara demokrasi, pembangunan manusia (Human Development), dan hak asasi manusia (Human Rights). 40 Oleh karena itulah, untuk mengisi kekosongan yang ada dalam kajian tersebut, tulisan ini melihat bagaimana hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan keberadaan perempuan pemimpin politik. Aspek sosial ekonomi masyarakat dalam tulisan ini merujuk pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), prosentase kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan. Penggunaan IPM, didasari pemikiran bahwa ada hubungan erat antara demokrasi, pembangunan manusia Kurniawati Hastuti Dewi, ed., Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal (Tangerang: Mahara Publishing, 2016). 38 Seymour Martin Lipset, “Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy,” The American Political Science Review, vol. 53, no. 1 (Mar, 1959): hlm. 69-105. 39 Guillermo O’Donnell, “Human Development, Human Rights, and Democracy,” dalam Guillermo O’Donnell, Jorge Vargas Cullell, Osvaldo M. Iazzetta (eds.), The Quality of Democracy Theory and Applications, (USA: University of Notre Dame Press, 2004), hlm. 9-10. 40 (Human Development), dan hak asasi manusia (Human Rights).41 Di Indonesia, IPM merupakan indeks komposit dari faktor kesehatan (angka harapan hidup), pendidikan (lama sekolah) dan standar hidup layak (besar pengeluaran). Diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990, IPM ini dapat menunjukkan kualitas pembangunan yang dinikmati oleh penduduk. Tulisan ini didasari tiga asumsi yaitu: pertama, daerah yang memiliki prosentase kemiskinan yang rendah dianggap memiliki kelas menengah yang cukup banyak, sehingga cenderung mudah menerima adanya pemimpin perempuan. Asumsi kedua adalah, ketimpangan pendapatan yang tercermin dari indeks gini dianggap menunjukkan kesetaraan dalam suatu daerah; daerah dengan ketimpangan yang rendah diasumsikan memiliki pandangan yang lebih terbuka dalam menerima pemimpin perempuan. Variabel lain yang dilihat dalam tulisan ini terkait dengan arus informasi dan pengetahuan yang mendukung persebaran ide tentang kesetaraan gender dan peran perempuan dalam politik, yaitu jumlah perguruan tinggi dan proporsi penduduk yang memiliki akses internet. Kedua variable ini menjadai sarana penyebaran ide-ide baru, diskusi-diskusi mengenai perkembangan demokrasi, termasuk tentang perkembangan tafsir atas persoalan kepemimpinan perempuan. Oleh karena itu, asumsi ketiga tulisan ini adalah: bahwa eksposur yang lebih banyak terhadap ide dan perkembangan tentang demokrasi dan kesetaraan gender melaui perguruan tinggi dan proporsi penduduk yang memiliki akses internet, diasumsikan akan memudahkan kemunculan kepemimpinan perempuan dalam politik. Data dan Analisis Pasal 1 ayat (1) UU No. 8/2015 menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah adalah memilih ‘paket’ calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015, terdapat 825 paket pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terdiri dari 19 paket pasangan untuk posisi kepala daerah provinsi, 110 paket pasangan untuk posisi 41 Ibid. 156 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166 kepala daerah kota, dan 694 paket pasangan untuk posisi kepala daerah kabupaten. Sumber: diolah oleh penulis dari data dasar di website KPU RI, http://infopilkada.kpu.go.id/index. php?r=Dashboard/paslon&tahap=3 (diakses pada 22 Oktober 2015) Grafik 2 menunjukkan hanya ada 1 perempuan dicalonkan sebagai calon gubernur, tidak ada perempuan dicalonkan sebagai wakil gubernur. Maya Rumantir (anggota DPD RI) dicalonkan sebagai gubernur Sulawesi Utara oleh Gerindra dan Partai Demokrat. Sementara ada 18 laki-laki dicalonkan sebagai gubernur, dan 19 orang laki-laki dicalonkan sebagai wakil gubernur. Grafik ini menunjukkan betapa sulit dan sengitnya persaingan kedudukan seorang kepala daerah provinsi, sehingga semakin sedikit politisi perempuan yang mampu muncul dan masuk dalam bursa pencalonan posisi wakil gubernur dan sebagai calon gubernur. Selanjutnya untuk melihat di level kabupaten kota disajikan dalam Grafik 3. Gambar 1. Grafik 1. Distribusi Pasangan Calon Kepala Daerah berdasarkan Pencalonan Sebagaimana terlihat dari Grafik 1, terdapat 19 paket pasangan calon gubernur & wakil gubernur, di mana sebagian besar dicalonkan oleh partai politik. Demikian pula untuk paket pasangan calon bupati & wakil bupati, dan walikota & wakil walikota, sebagian besar juga dicalonkan oleh partai politik. Selanjutnya untuk melihat jumlah calon gubernur dan wakil gubernur atas dasar gender dapat disajikan dalam Grafik 2. Sumber: diolah oleh penulis dari data dasar di website KPU RI http://infopilkada.kpu.go.id/index. php?r=Dashboard/paslon&tahap=3 (diakses pada 16 Oktober 2015) Grafik 3. Jumlah Calon Bupati/Walikota dan Calon Wakil Bupati/Wakil Walikota atas dasar Gender Sumber: diolah oleh penulis dari data dasar di website KPU RI http://infopilkada.kpu.go.id/index. php?r=Dashboard/paslon&tahap=3 (diakses pada 22 Oktober 2015) Grafik 2. Jumlah Calon Gubernur dan Wakil Gubernur atas dasar Gender Berdasarkan Grafik 3 di atas, hanya ada 56 politisi perempuan sebagai calon bupati/walikota, dan 66 politisi perempuan sebagai calon wakil bupati/calon walikota. Dibandingkan dengan 748 politisi laki-laki pada posisi calon bupati/ walikota, dan 738 politisi laki-laki pada posisi calon wakil bupati/wakil walikota. Grafik ini menggambarkan masih dominannya politisi laki-laki dalam pertarungan politik lokal level kabupaten/kota. Namun jika dilihat lebih jauh, grafik ini memberikan gambaran menarik bahwa level kabupaten/kota nampaknya menjadi wahana pertarungan politik yang relatif dinamis, lebih terbuka bagi para politisi perempuan untuk ikut berkiprah, dibandingkan di level provinsi. Jadi, level kabupaten/kota dapat dijadikan tidak saja sebagai tempat bertarung awal bagi seorang Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 157 politisi perempuan, namun dapat menjadi media pembelajaran untuk kemudian secara bertahap naik pada posisi level provinsi, seiring dengan pengalaman politik dan kinerjanya. Tulisan ini terutama menggunakan data Pilkada langsung serentak 2015 dari laman Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan data sosial ekonomi dari laman Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Data yang didapat dari laman KPU adalah data tentang kandidat kepala daerah dan jumlah kabupaten/kota peserta Pilkada langsung tahun 2015. Sementara data sosial ekonomi yang berupa proporsi penduduk perempuan dibanding laki-laki, IPM, proporsi penduduk miskin, indeks gini,43 jumlah perguruan tinggi, dan proporsi pengguna internet didapat dari laman BPS pusat dan provinsi. Data sosial ekonomi yang digunakan adalah data tahun 2014 karena Dari Grafik 2 dan Grafik 3, itu dapat diketahui bahwa terdapat 57 perempuan yang dicalonkan sebagai kepala daerah yaitu 1 sebagai calon gubernur dan 56 sebagai calon bupati/ walikota. Kemudian, tulisan ini fokus pada dari 56 daerah di mana terdapat perempuan sebagai calon bupati/walikota. Dari 56 daerah tersebut, terdapat 24 daerah di mana perempuan berhasil menang menjadi kepala daerah dalam Pilkada Langsung serentak 9 Desember 2015.42 Tabel 1. Data Pilkada dan Indikator Sosial Ekonomi Terpilih Kandidat Perempuan Kabupaten/ Kota Peserta pemilu Perempuan /Laki-laki IPM % Miskin GINI Perguruan Tinggi % Pengguna Internet Sumatera Utara 3 23 1.005 68.87 10.35 0.34 300 13.09 Sumatera Barat 0 19 1.013 69.36 7.09 0.34 131 15.61 Riau 0 9 0.947 70.33 7.98 0.36 99 15.88 Jambi 2 11 0.959 68.24 8.41 0.36 61 12.85 Sumatera Selatan 2 7 0.968 66.75 13.54 0.36 133 12.84 Bengkulu 3 10 0.961 68.06 17.32 0.38 24 12.04 Lampung 1 8 0.948 66.42 14.29 0.38 101 8.37 Kep. Bangka Belitung 1 4 0.928 68.27 5.22 0.28 15 12.05 Kep. Riau 0 7 0.955 73.4 5.98 0.36 34 29.00 Jawa Barat 3 8 0.971 68.8 8.95 0.41 511 16.85 Jawa Tengah 7 21 1.016 68.78 13.27 0.38 320 15.04 Di Yogyakarta 3 3 1.025 76.81 13.34 0.43 143 24.49 Jawa Timur 5 19 1.027 68.14 12.05 0.42 513 14.05 Banten 4 4 0.960 69.89 5.42 0.4 142 16.96 Bali 2 6 0.987 72.48 4.25 0.38 65 18.08 Nusa Tenggara Barat 1 7 1.063 64.31 16.48 0.37 78 7.90 Nusa Tenggara Timur 0 9 1.018 62.26 22.19 0.34 48 5.52 Kalimantan Barat 1 7 0.962 64.89 7.87 0.33 54 9.96 Kalimantan Tengah 0 14 0.916 67.77 5.66 0.33 29 12.23 Kalimantan Selatan 0 13 0.976 67.63 4.85 0.35 60 16.11 Kalimantan Timur 3 9 0.903 73.82 6.11 0.32 75 25.52 Kalimantan Utara 2 5 0.903 68.64 6.23 0.29 1 25.52 Sulawesi Utara 6 15 0.960 69.96 8.34 0.37 49 14.94 Sulawesi Tengah 1 13 0.955 66.43 14.45 0.37 40 9.89 Sulawesi Selatan 3 11 1.049 68.49 9.4 0.42 240 13.25 Sulawesi Tenggara 0 7 0.991 68.07 12.88 0.4 47 10.19 Gorontalo 0 3 0.996 65.17 17.72 0.42 13 11.22 Sulawesi Barat 0 4 0.995 62.24 11.74 0.36 18 8.43 Maluku 1 4 0.982 66.74 19.18 0.34 31 10.95 Maluku Utara 0 8 0.960 65.18 6.33 0.28 20 4.98 Papua Barat 0 9 0.898 61.28 25.43 0.44 22 5.75 Papua 2 11 0.893 56.75 28.54 0.42 44 10.26 Sumber: Diolah dari laman KPU dan BPS Mengacu pada data Perludem, Perludem, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”, Jakarta, 20 Desember 2015. 42 Mengacu pada ‘koefisien gini’ Badan Pusat Statistik-RI, untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Koefisien gini didasarkan pada kurva lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk, https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/ view&id=22 (diakses pada 25 Agustus 2016) 43 158 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166 dianggap sebagai tahun dasar pengambilan kebijakan politik dalam Pilkada langsung 2015. Karena di tahun 2015 tidak ada kabupaten/kota dari DI Aceh dan DKI Jakarta yang mengikuti Pilkada langsung, maka kedua provinsi tersebut tidak disertakan dalam analisis. Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan variable sosial ekonomi daerah yang berupa proporsi penduduk perempuan dibanding laki-laki, IPM, proporsi penduduk miskin, indeks gini, distribusi perguruan tinggi, dan proporsi pengguna internet di 31 provinsi yang memiliki kabupaten/kota peserta Pilkada langsung 2015. Dalam analisis ini, variabel keberadaan perempuan bupati/ walikota merupakan jumlah perempuan calon bupati/walikota yang ada di suatu provinsi dibagi dengan jumlah kabupaten/kota peserta Pilkada langsung 2015 yang ada di provinsi yang bersangkutan. Variabel sosial ekonomi yang dipakai mengikuti data yang ada dari BPS. Khusus variabel distribusi perguruan tinggi merupakan data jumlah perguruan tinggi yang ada di suatu provinsi dibagi dengan jumlah total perguruan tinggi di Indonesia. Hasil analisis korelasi ditunjukkan pada Tabel 2. hanya menunjukkan hubungan yang rendah dengan keberadaan keberadaan perempuan calon bupati/walikota, dengan koefisien korelasi sebesar 0,25 dan 0,26. Sementara itu, hubungan keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan variabel proporsi penduduk perempuan dibanding laki-laki dan variabel kemiskinan sangat rendah (0,07 dan -0,15). Lebih jauh, Grafik 4 di bawah ini, menunjukkan bahwa calon perempuan bupati/walikota dapat muncul dan menang di daerah dengan IPM rendah maupun IPM tinggi. Hal ini terlihat misalnya di Boven Digoel yang hanya memiliki nilai IPM sebesar 51,9 atau di Kota Tangerang Selatan dengan nilai IPM sebesar 79,38. Ini sekaligus menjawab asumsi pertama, bahwa daerah yang memiliki prosentase kemiskinan yang rendah dianggap memiliki kelas menengah yang cukup banyak, sehingga cenderung mudah menerima adanya pemimpin perempuan. Namun ternyata, analisis korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan yang kuat antara keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan variabel sosial ekonomi masyarakat menunjukkan bahwa perempuan pemimpin politik dapat muncul di daerah dengan kondisi sosial ekonomi yang beragam. Tabel 2. Koefisien Korelasi Kandidat Perempuan Perempuan/Laki-laki 0.07388 IPM 0.48970 Kemiskinan -0.15418 Gini 0.25182 Perguruan Tinggi 0.26106 % Pengguna Internet 0.46157 Sumber: diolah oleh penulis Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada variabel sosial ekonomi yang memiliki hubungan yang kuat dengan variabel keberadaan perempuan calon bupati/walikota. Hanya variabel IPM dan proporsi pengguna internet yang memiliki hubungan level sedang atau menengah dengan keberadaan perempuan calon bupati/walikota, dengan koefisien korelasi sebesar 0,48 dan 0,46. Indeks gini dan distribusi perguruan tinggi Sumber: data BPS diolah oleh penulis. Grafik 4. IPM di beberapa Kabupaten/Kota yang dimenangkan Calon Perempuan Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 159 Sementara itu, Grafik 5 selanjutnya, menunjukkan variasi tingkat kemiskinan di kabupaten/kota yang dimenangkan oleh perempuan calon bupati/walikota pada Pilkada langsung 2015. Kandidat perempuan bisa muncul dan menang di daerah dengan prosentase kemiskinan yang sangat rendah, seperti di Kota Tangerang Selatan (1,68%), Bontang (5,2%) dan Tabanan (5,2%) atau di daerah dengan penduduk yang prosentase kemiskinannya sangat tinggi seperti di Seram Bagian Timur (23,4%) maupun Gunung Kidul (20,83%). Hal serupa juga terlihat pada tingkat kesenjangan sosial yang tercermin pada nilai IPM. Kandidat bupati/walikota perempuan ternyata dapat muncul di daerah dengan tingkat kesenjangan tinggi seperti Tabanan (IPM=0,36), maupun daerah dengan tingkat kesenjangan rendah seperti Kutai Timur (IPM=0,20). Hal ini untuk menjawab asumsi kedua tulisan ini bahwa ketimpangan pendapatan yang tercermin dari indeks gini dianggap menunjukkan kesetaraan dalam suatu daerah; daerah dengan ketimpangan yang rendah diasumsikan memiliki pandangan yang lebih terbuka dalam menerima pemimpin perempuan. Ternyata, menang tidaknya kandidat perempuan juga tidak berhubungan dengan tingkat kesenjangan di daerah tersebut. Mereka dapat menang di daerah dengan kesenjangan rendah seperti di Bontang, Jember atau Kutai Kertanegara, maupun di daerah dengan tingkat kesenjangan tinggi seperti di Sragen, Klaten atau Grobogan. Sumber: Data BPS diolah oleh penulis. Grafik 5. Proporsi Penduduk Miskin di Kabupaten/ Kota yang dimenangkan Calon Perempuan Selanjutnya, tabel 3 di bawah ini, menampilkan distribusi kandidat menurut wilayah yang dibagi ke dalam enam wilayah yaitu Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku, Kalimantan, Bali-NTT-NTB, dan Papua. Tabel tersebut menunjukkan distribusi kandidat yang tidak merata, terkonsentrasi di Jawa (39,29%), Sumatera (21,43%) dan Sulawesi-Maluku (19,64%). Selain itu, terlihat bahwa sebagian besar kandidat perempuan yang menang berada di Jawa mencapai 54,17%. Walaupun demikian, prosentase kemenangan kandidat perempuan terbesar berada di Bali-NTT-NTB (Tabanan, Karangasem, Bima) yang mencapai 100%. Tabel 3. Distribusi Kandidat dan Prosentase Kemenangan Perempuan dalam Pilkada Langsung serentak, 9 Desember 2015 Kandidat Menang Jumlah % Jumlah % % Menang Jawa 22 39.29 13 54.17 59 Sumatera 12 21.43 1 4.17 8 Sulawesi-Maluku 11 19.64 4 16.67 36 Kalimantan 6 10.71 3 12.50 50 Bali-NTT-NTB 3 5.36 3 12.50 100 Papua Total 2 3.57 0 0.00 0 56 100.00 24 100.00 43 Sumber: diolah dan dikelompokkan oleh penulis berdasarkan data dari laman KPU tahun 2015 Analisis korelasi pada level provinsi menunjukkan hubungan antara keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan distribusi perguruan tinggi nilainya rendah. Namun, jika diagregasi pada level yang lebih tinggi pada level wilayah (Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku, Kalimantan, Bali-NTTNTB, dan Papua) terlihat sebaran kandidat perempuan yang sangat mirip dengan sebaran perguruan tinggi baik (Grafik 6). Agregasi data perguruan tinggi pada level wilayah yang lebih tinggi ini secara sederhana dapat menunjukkan pola sebaran yang terjadi. Selain itu, persebaran penduduk dalam menempuh pendidikan tinggi lebih kami anggap dapat lebih dijelaskan oleh persebaran perguruan tinggi di level wilayah tersebut dibanding membatasinya pada level provinsi. 160 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166 terkonsentrasi di Jawa, Sumatera, dan SulawesiMaluku adalah terkait dengan fakta keberadaan perguruan tinggi yang juga terkonsentrasi paling banyak di Jawa, menyusul Sumatera, lalu Sulawesi-Maluku. Sementara jumlah perguruan tinggi semakin sedikit di Kalimantan, lalu BaliNTT-NTB, dan Papua. Perguruan tinggi menjadi salah satu faktor yang bisa menjelaskan perbedaan signifikan jumlah perempuan kandidat kepala daerah di Jawa dan daerah-daerah lainnya karena melalui perguruan tinggi yang banyak tersebut, karena perguruan tinggi menjadi tempat penyebaran ideide baru, diskusi-diskusi mengenai perkembangan demokrasi, termasuk perkembangan dari luar meyangkut persoalan kepemimpinan perempuan. Dengan demikian, masyarakat banyak terutama yang hidup dan berada di sekitar daerah tersebut, akan memiliki kesempatan eksposur yang lebih banyak terhadap ide dan perkembangan baru termasuk persoalan kepemimpinan perempuan. Ket: Balok warna biru (kiri) menunjukkan jumlah perempuan kandidat kepala daerah Balok warna merah (kanan) menunjukkan jumlah perguruan tinggi Sumber: diolah dan dikelompokkan oleh penulis berdasarkan data dari laman KPU tahun 2015...? Grafik 6. Jumlah Perempuan Calon Bupati/Walikota pada Pilkada Langsung 2015, dan Jumlah Perguruan Tinggi Balok warna biru (di bagian kiri) menggambarkan jumlah perempuan kandidat kepala daerah dimana paling banyak berada di Jawa (22 orang), kemudian disusul Sumatera (12 orang), Sulawesi-Maluku (11), dan kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit di Kalimantan (6 orang), Bali-NTT-NTB (3 orang), dan terakhir adalah Papua (2 orang). Ternyata salah satu penjelasan yang masuk akal mengapa jumlah perempuan kandidat kepala daerah cenderung Peran strategis perguruan tinggi, sebagai pusat diseminasi ide-ide, menggagas nilai-nilai ideal dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitarnya, bahkan penemuan-penemuan revolusioner dalam sejarah peradaban manusia telh teruji ratusan tahun dalam berbagai lintasan sejarah bahkan sejak zaman ‘Renaissance’ (pencerahan). 44 Dalam konteks inilah, penelusuran lebih jauh memperlihatkan bahwa sejak masa kolonial Belanda, Jawa dan Madura adalah daerah dengan jumlah penduduk terpadat disebabkan beberapa hal di antaranya keberadaan tanah lahan pertanian yang subur, jumlah intensitas hujan yang tinggi, dan pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan yang banyak dilakukan pemerintah Belanda.45 Konsentrasi pembangunan berbagai fasilitas pendidikan di Jawa yang berbeda dengan daerah lainnya terus berlanjut pada masa setelah kemerdekaan. Apalagi ditambah dengan pergerakan kaum muda Muslim dalam gerakan tarbiyah tahun 1980an di universitas-universitas di Jawa (ITB, UGM, Doris Wilkinson, “Transforming the Social Order: The Role of the University in Social Change”, Sociological Forum, vol. 9, no. 3 (September 1994), hlm.327-328, http://www.jstor.org/ stable/684706 (diakses pada 23 Agustus 2016) 44 Lihat Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia, Towards Social Welfare in Indonesia (Jakarta: Ministry of Social Affairs, Republic of Indonesia, 1954), hlm. 11. 45 Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 161 IAIN) sebagai bagian gerakan kebangkitan Islam tahun 1970an menjadi salah satu katalis penting bagi ide-ide progresif untuk bermunculan. Patut dicatat pula bahwa sejak awal tahun 1990an, para aktifis Muslim di Jakarta menyebarkan gagasan-gagasan feminis Muslim melalui Jurnal Ulumul Qur’an dengan mengetengahkan pemikiran dan tulisan Ashgar Ali Engineer, Riffat Hasan, dan Fatima Mernissi. Kemudian secara perlahan muncul figur-figur berpengaruh dalam wacana kesetaraan gender dalam Islam seperti Wardah Hafidz, Siti Musdah Mulia, Lili Zakiyah Munir, Farha Ciciek, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Lies-Marcos Natsir, Nasaruddin Umar, dan KH. Husein Muhammad. Melihat dinamika yang terjadi di perguruan tinggi dan komunitas intelektual sedemikian rupa, maka tidak mengherankan catatan Sita van Bemmelen dan Mies Grijn (2005) bahwa meskipun tren kemunculan para perempuan Muslim yang semakin percaya diri dalam politik tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa Jawa adalah pusat berbagai pendidikan, pusat gerakan Islam tradisional dan Islam modernis yang paling berpengaruh, di mana sebagian besar para penggiat wacana gender (dalam Islam) berasal.46 Selanjutnya, tulisan ini melihat secara lebih jauh mengenai bagaimana arus informasi sangat penting dalam membentuk keterbukaan masyarakat dalam menerima nilai-nilai maupun ide-ide baru. Sebelumnya dalam analisis korelasi telah disebutkan bahwa terdapat hubungan dengan nilai yang sedang antara keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan proporsi pengguna internet pada level provinsi. Grafik 7 menunjukkan sebaran kedua variabel tersebut pada tingkat agregasi yang lebih tinggi atau level wilayah. Sita van Bemmelen and Mies Grijns, “What Has Become of The Slendang? Changing Images of Women and Java,” dalam Hans Antlov and Jorgen Hellman (eds), The Java That Never Was: Academic Theories and Political Practices (USA and London: Transaction Publisher, 2005), hlm 115. Sumber: www.kpu.go.id dan www.bps.go.id; dihitung oleh penulis. Grafik 7. Jumlah Perempuan Kandidat Kepala Daerah pada Pilkada Langsung Serentak 9 Desember 2015 dan Persentase Pengguna Internet “Internet” dalam hal ini merujuk pada jaringan elektronik yang menghubungkan orang-orang dan informasi melalui komputer dan sarana lainnya yang memungkinkan komunikasi dan saling memberikan informasi orang-per orang. 47 Penggunaan internet secara massif oleh berbagai kalangan mulai merebak sejak tahun 1990an, yang semula terbatas pada laman lembaga-lembaga tertentu, dan bersifat pasif. Kemudian sejak tahun 2000an, penggunaan internet semakin berkembang ke komunikasi digital dua arah melaui media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan sebagainya. Jadi, internet menyajikan kemudahan bagi siapa saja yang memiliki komputer dan jaringan untuk mengakses beragam informasi apa saja, dari mana saja, termasuk di dalamnya ide, gagasan, atau praktik terkait persoalan gender atau kepemimpinan perempuan yang muncul di negara lain. Intenet memiliki peran strategis sebagai salah satu kekuatan politik, karena internet memungkinkan orang berjejaring melalui sosial media, menjadi sebuah komunitas besar lintas benua dan negara, di mana akses informasi menjadi lebih mudah, cepat, termasuk untuk 46 Paul DiMaggio, Eszter Hargittai, W. Russell Neuman and John P. Robinson, “Social Implications of the Internet”, Annual Review of Sociology, vol. 27 (2001): 307-336, hlm. 307 http:// www.jstor.org/stable/2678624 (diakses pada 23 Agustus 2016). 47 162 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166 melakukan mobilisasi kolektif melakukan sebuah gerakan perubahan.48 Melihat betapa strategisnya peran internet dalam penyebaram ide dan gagasan secara luas dan massif, maka tulisan ini menyajikan Grafik 7 tersebut. Grafik 7 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa perempuan (calon) kepala daerah terkonsentrasi di wilayah yang memiliki proporsi penduduk berumur 5 tahun ke atas yang mengakses internet selama tiga bulan terakhir dengan nilai yang tinggi. Hal ini sekaligus menjawab asumsi ketiga tulisan ini bahwa eksposur yang lebih banyak terhadap ide dan perkembangan tentang demokrasi dan kesetaraan gender melalui perguruan tinggi dan proporsi penduduk yang memiliki akses internet, di daerah yang bersangkutan menjadi salah satu pendorong banyaknya jumlah kandidat perempuan sebagai kepala daerah. Hal ini menunjukkan bagaimana arus informasi sangat penting dalam membentuk keterbukaan masyarakat dalam menerima nilainilai maupun ide-ide baru, termasuk persoalan gender dan perempuan sebagai pemimpin. Penutup Tulisan ini didasari ketertarikan yang mendalam untuk melihat kemungkinan kondisi sosial ekonomi yang kemungkinan memfasilitasi kemunculan dan kemenangan para perempuan kepala daerah, khususnya pada Pilkada Langsun 9 Desember 2015. Tulisan ini menunjukkan bahwa dari 179 kabupaten/kota, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, dan gini rasio (ketimpangan pendapatan) tidak berkorelasi dengan jumlah perempuan kandidat kepala daerah, maupun jumlah perempuan yang menang. Tulisan ini menemukan bahwa jumlah perempuan kandidat kepala daerah maupun jumlah perempuan terpilih terkonsentrasi di daerah yang memiliki jumlah universitas yang banyak dan rata-rata tingkat akses internet yang tinggi seperti di Jawa. Lembaga perguruan tinggi dalam hal ini universitas menjadi menjadi salah satu katalis penting bagi ide-ide progresif Clay Shirky, “The Political Power of Social Media: Technology, the Public Sphere, and Political Change”, Foreign Affairs, vol. 90, no. 1 (January/Feburay 2011): 28-41, http:// www.jstor.org/stable/25800379 (diakses pada 23 Agustus 2016). 48 untuk bermunculan, termasuk dalam wacana mengenai perempuan sebagai pemimpin atau kandidat dalam Pilkada Langsung. Sementara itu, tulisan ini juga menemukan bahwa eksposur masyarakat di daerah terhadap ide-ide baru melalui internet menjadi salah satu pendorong banyaknya jumlah kandidat perempuan sebagai kepala daerah di daerah yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bagaimana arus informasi sangat penting dalam membentuk kesadaran dan keterbukaan masyarakat dalam menerima ide-ide baru, termasuk persoalan gender dan perempuan sebagai pemimpin. Temuan dan analisis tulisan ini berhasil menampilkan sisi-sisi lain yang selama ini belum terungkap. Melalui pendekatan kuantitatif, tulisan ini tidak saja mampu menampilkan data-data yang belum tergali untuk menunjukkan dinamika sosial ekonomi di daerah-daerah di mana para perempuan kepala daerah berasal, sebagai bagian upaya memahami fenomena kemunculan para perempuan sebagai kepala daerah di Indonesia secara lebih utuh. Pada akhirnya, tulisan ini hendak menggarisbawahi dua hal penting: pertama, perempuan kepala daerah dapat muncul dalam kondisi sosial ekonomi apapun. Hal ini menjadi sebuah berita positif bagi perempuan Indonesia. Karena perempuan di daerah mana saja di Indonesia, tidak peduli dalam kondisi masyarakat dengan IPM tinggi atau rendah, tingkat kemiskinan tinggi atau rendah, dan tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi atau rendah, tetap dapat muncul sebagai calon kepala daerah. Kedua, penyebaran berbagai gagasan baru dan informasi melalui universitas dan media internet di suatu daerah menjadi kunci peningkatan jumlah perempuan kepala daerah. Hal ini menyiratkan pesan pentingnya upaya untuk terus menerus membuka akses pendidikan dan komunikasi ke daerah-daerah terbelakang (kawasan Indonesia timur) untuk memperbesar eksposur masyarakat terhadap gagasan-gasagan baru, dan meningkatkan imajinasi mereka mengenai kiprah progresif perempuan Indonesia dalam politik. Jika dikaitkan dengan ‘agency’ sebagai salah satu dimensi dalam pemberdayaan perempuan, pendidikan dalam hal ini perguruan tinggi memang menjadi salah satu kunci penting Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 163 bagi perempuan untuk meningkatkan modal individu (individual capital). Jadi, dengan memperbanyak jumlah perguruan tinggi di suatu daerah tidak saja akan memperbesar ekposure masyarakat terhadap dinamika gagasan-gagasan baru yang berkembang. Namun lebih dari itu, akan memperbanyak pilihan bagi seorang perempuan dalam upaya memenuhi ‘agency’nya yaitu meningkatkan kapasitas dirinya, memperoleh kepercayaan diri, sebagai modal mendasar untuk berkiprah di ruang publik, dengan berbagai pilihan pendidikan di daerahnya maupun di tempat lain. Referensi Buku Blackburn, Susan., Bianca J Smith, Siti Syamsiyatun. “Introduction”, dalam Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun (eds). Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities. Clayton: Monash University Press. 2008. Boserup, Ester. Woman’s Role in Economic Development. Great Britain: George Allen and Unwin. 1970. Chowdhry, Geeta. “Engendering Development: Women in Development (WID) in International Development Regimes”, dalam Marianne H. Marchand and Jane L. Papart (eds.). Feminism/ Postmodernism/Development. London and New York: Routledge. 1995. Dewi, Kurniawati Hastuti, ed., Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal. Tangerang: Mahara Publishing, 2016. Dewi, Kurniawati Hastuti. Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia. Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, 2015. Mahmood, Saba. Politics of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject.Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005. Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia. Towards Social Welfare in Indonesia. Jakarta: Ministry of Social Affairs, Republic of Indonesia. 1954. Mosser, Caroline. “Gender Planning in the third World: Meeting Practical and Strategic Needs”, dalam Rebecca Grant and Kathleen Newland (eds.). Gender and International Relations. Suffolk: Open University Press. 1991. Norris, Pippa. “Introduction: Theories of Recruitment,” dalam ed. Pippa Norris (ed). Passage to Power: Legislative Recruitment in Advanced Democracies. Great Britain: Cambridge University Press. 1997. Norris, Pippa., and Joni Lovenduski, Political Recruitment: Gender, Race, and Class in the British Parliament. Great Britain: Cambridge University Press. 1995. O’Donnell, Guillermo. “Human Development, Human Rights, and Democracy,” dalam Guillermo O’Donnell, Jorge Vargas Cullell, Osvaldo M. Iazzetta (eds.). The Quality of Democracy Theory and Applications. USA: University of Notre Dame Press. 2004. Rogers, Barbara. The Domestication of Women: Discrimination in Developing Societies. London and New York: Routledge.1980. Rowlands, Jo. Questioning Empowerment: Working with Women in Honduras. UK and Ireland: Oxfam. 1997. Sen, Amartya. Development as Freedom New York: Alfred A. Knopf. 1999. Terjesen, Siri, ‘A. Sen’s ‘Development as freedom’, January 2004, https://www.researchgate.net/ publication/27466009 (diakses pada 16 Agustus 2016) Tinker, Irene, ed., Persistent Inequalities: Women and World Development. New York: Oxford University Press. 1990. Van Bemmelen, Sita and Mies Grijns. “What Has Become of The Slendang? Changing Images of Women and Java,” dalam Hans Antlov and Jorgen Hellman (eds). The Java That Never Was: Academic Theories and Political Practices. USA and London: Transaction Publisher. 2005. Yayasan SATUNAMA, “Perempuan di Pilkada Serentak 2015: Perspektif dan Lingkar Kekuasaan di Sekitaran Calon Perempuan Peserta Pilkada,” Yayasan SATUNAMA, Yogyakarta, 2015. Young, Kate. “Gender and Development” dalam Nalini Visvanathan, and others, (eds). The Women, Gender and Development Reader, London and New Jersey: Zed Books. 2000. Jurnal Amrullah, Eva F. “Seeking Sanctuary in ‘the age of disroder’: Women in Contemporary Tablighi Jama’at,” Contemporary Islam 5/2, (2011): 135-160. 164 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166 Batliwala, Srilatha. “Taking the Power out of Empowerment: An Experiential Account”, Development in Practice, vol. 17, no. 4/5 (August 2007): 558 DAWN. “Rethinking Social Development: DAWN’s Vision,” World Development 23, no.11(1996). Dewi, Kurniawati Hastuti. “Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections,” Indonesian Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): 47-52. Dewi, Kurniawati Hastuti. “Perspectives Versus Practices: Women’s Leadership in Muhammadiyah”, SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 23/2, October 2008: (161-185) DiMaggio, Paul., Eszter Hargittai, W. Russell Neuman and John P. Robinson. “Social Implications of the Internet”, Annual Review of Sociology, vol. 27 (2001): 307, http://www. jstor.org/stable/2678624 (diakses pada 23 Agustus 2016). Kabeer, Naila. “Resource, Agency, Achievements: Reflections on the Measurement of Women’s Empowerment”, Development and Change, vol. 30 (1999): 437-438. Lipset, Seymour Martin. “Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy,” The American Political Science Review, vol. 53, no. 1 (Mar., 1959): 69-105. Mahmood, Saba. “Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival,” Cultural Anthropology 16, no. 2 (May 2001), 225 Oxaal, Zoe and Sally Baden. “Gender and Empowerment: Definitions, Approaches, and Implications for Policy,” BRIDGE Development – Gender Report, no. 40 (October 1997). Perludem. “Evaluasi Pilkada Serentak 2015,” Jurnal Pemilu & Demokrasi, no. 8 (April 2016). Robinson, Kathryn. “Indonesian Women’s Rights, International Feminism and Democratic Change,” Communal/Plural 6, no.2 (1998): 212. Shirky, Clay. “The Political Power of Social Media: Technology, the Public Sphere, and Political Change”, Foreign Affairs, vol. 90, no. 1 (January/Feburay 2011), http://www.jstor.org/stable/25800379 (diakses pada 23 Agustus 2016). Wilkinson, Doris. “Transforming the Social Order: The Role of the University in Social Change”, Sociological Forum, vol. 9, no. 3 (September 1994) : 327-328, http://www.jstor.org/stable/684706 (diakses pada 23 Agustus 2016) Thesis Safira Machrusah, “Muslimat Nahdlatul Ulama: Negotiating Gender Relations within a Traditional Muslim Organisation in Indonesia” (Master thesis, the Australian National University, 2005). Paper Achmad, Sjamsiah. “Perempuan Dalam Politik: Kampanye 50-50 Asia Pasifik 2005, Indonesia Kapan”. Paper 13 April 2001, Jakarta, hlm. 1. Desai, Manisha. “Hope in Hard Times: Women’s Empowerment and Human development”. United Nations Development Programme, Human Development Research Paper 2010/14, July 2010, hal. 4. PERLUDEM, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”. Jakarta, 20 Desember 2015. Surat Kabar Dewi, Kurniawati Hastuti. 2005. “Menjenderkan Pemerintahan Daerah”, KOMPAS, 15 Februari. Dewan Perwakilan Daerah-Republik Indonesia, 2015, “DPD evaluasi Pilkada serentak 2015”, 18 Desember 2015, dalam http://dpdri.merdeka. com/berita/dpd-evaluasi-pilkada-serentak2015-151218o.html,iunduh 81 Agustus 2016. Munir, Lili Zakiyah. “Islam, Gender and Equal Rights for Women,” The Jakarta Post, December 10, 2002. Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), “Pilkada Serentak Telah Usai, Ini Evaluasi Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII”, 18 Januari 2016, dalam http://www.berita9online.com/nasional/ pilkada-serentak-telah-usai-ini-evaluasi-pusatstudi-hukum-konstitusi-fh-uii/ , diunduh 18 Agustus 2016. Sumber Online Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8/2015 tentang “Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang”, http://www.dpr.go.id/ dokjdih/document/uu/1627.pdf, diunduh 18 Agustus 2016. Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 165 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10/2016 tentang “Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang”, http://jdih.kpu.go.id/data/ data_tematik/UU_Nomor_10_Tahun_2016. pdf, diunduh 8 November 2016. 166 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166 DESENTRALISASI DAN OLIGARKI PREDATOR DI WAKATOBI: PERAN OLIGARKI DAN ELIT PENENTU DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN DECENTRALIZATION AND OLIGARCHY PREDATOR IN WAKATOBI: THE ROLE OF OLIGARCHY’S AND ELITE’S STRATEGIC IN RURAL DEVELOPMENT Eka Suaib Universitas Halu Oleo Email: [email protected] La Husen Zuada Universitas Halu Oleo Email: [email protected] Waode Syifatu Universitas Halu Oleo Abstract The present article discusess about the practice of oligarchy in Wakatobi. Wakatobi has attracted lots of tourist in recent past and tourism has become one of the major source of bussiness in this area. The tourism industry guarantees not only employment in the region but is also a major way to gain political power. In this era of Wakatobi the regional autonomy is controlled by political elites and entrepreneurs. It is these political elites and the enterprenuers who also control the tourism industry and are the owners of the largest tourist company.There is nexus between the politicians and the entreprenuers who takes away all the major gorvernment tourist projects. This group of politicians and enternprenuers, who are responsible for the development of the region, are also the people who control the maximum wealth of the region. Though the presence of oligarchy in Wakatobi has grown new businesses, created jobs and increased the number of tourists in the region, but it has also brought income inequality, land owners and labors conflicts and other problems among people of Wakatobi. Key words: Decentralization, Oligarchy Predator, Elite Strategic, Rural Development, Wakato Abstrak Artikel ini menguraikan tentang praktek oligarki di Wakatobi. Keunggulan pariwisata yang dimiliki Wakatobi menjadikan daerah ini sebagai lahan bisnis paling menjajikan. Potensi ini menjadi incaran para pengusaha, tidak terkecuali para elit politik. Di era otonomi daerah, para elit politik dan pengusaha adalah pemilik perusahan sektor pariwisata terbesar di Wakatobi dan juga berperan sebagai kelompok yang mengerjakan proyek pemerintah. Di era otonomi daerah, elit politik dan elit ekonomi di Wakatobi merupakan elit penentu, diantara mereka bertransformasi menjadi oligarki predator yang melibatkan diri dalam pertahanan dan peningkatan kekayaan melalui sejumlah bisnis yang mereka kelola. Kehadiran oligarki di Wakatobi menumbuhkan gairah usaha baru, membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan jumlah wisatawan. Namun pada sisi yang lain, kehadiran oligarki memunculkan ketimpangan pendapatan, konflik lahan serta perburuhan antara pemerintah, pengusaha dan warga di Wakatobi. Kata Kunci: Desentralisasi, Oligarki Predator, Elite Penentu, Pembangunan Perdesaan, Wakatobi Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 167 Pendahuluan Transisi kekuasaan dari otoriter Soeharto menuju demokrasi tidak diikuti dengan keruntuhan oligarki di Indonesia. Kelompok oligarki yang hidup dan dibesarkan oleh Soeharto masih tetap bertahan dan mereformasi diri. Fenomena bertahannya oligarki terlihat dalam laporan majalah Forbes (2010), dimana setelah dua belas tahun reformasi bergulir sebanyak 40 orang warga negara Indonesia menguasai 10,3 % PDB dengan total kekayaan 680 triliun rupiah. Jumlah ini setara dengan kekayaaan 60 juta jiwa orang paling miskin. Pada tahun 2015 berdasarkan catatan Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat pertama negara paling timpang di Asia. Sejumlah analis berpendapat bahwa situasi ini lebih parah bila dibandingkan dengan kesenjangan menjelang orde baru runtuh serta enam belas tahun reformasi bergulir. Bercokoknya oligarki di tingkat nasional tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di tingkat daerah, dimana kekuasaan material (kekayaan) terkonsentrasi pada sekolompok orang. Mereka adalah kaum oligarki zaman orde baru yang masih bertahan dan para oligarki yang muncul ketika desentralisasi digulirkan.1 Oligarki yang disebutkan terakhir, lahir dengan memanfaatkan sejumlah kewenangan yang diserahkan kepada daerah di era otonomi daerah. Kehadiran otonomi daerah dan desentralisasi dipandang dapat menciptakan tiga hal2: pertama, menyediakan public good and services, efisiensi dan efektitas pembangunan ekonomi; kedua, meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintahan dan masyarakat serta mempertahankan integrasi nasional; ketiga, mewujudkan politic equality, local acountablity, local responsiveness. Tidak dapat dipungkiri tiga tujuan itu terwujud pada Ulasan tentang oligarki era orde baru dan era reformasi ini baca Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan Indonesia Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005). Baca pula Jeffrey Winters., Oligarki. (Jakarta: Gramedia, 2011), hal. 206286. Baca juga Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). 1 Pandangan ini diutarakan oleh Rondinelli, dalam bahasa yang berbeda diutarakan pula oleh Jurgen Ruland. Keduanya lihat dalam Syarif Hidayat., Too Much Too Soon Local State Elite’s Perspective on and The Puzzle of Conteporary Indonesian Regional Autonomy Policy, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 238-240. 2 beberapa daerah. Meskipun pada sisi yang lain, desentralisasi dimanfaatkan pula oleh sekelompok orang untuk memperkaya diri. Tak heran kemudian istilah desentralisasi kekuasaan, diikuti pula desentralisasi kekayaan kepada sekelompok orang. Istilah ini tampak relevan untuk menggambarkan perjalanan lima belas tahun otonomi daerah di Indonesia (2001-2016). Desentralisasi yang diharapkan mewujudkan prinsip kesetaraan, keadilan dan partisipasi, pada beberapa daerah di Indonesia, justru meminggirkan masyarakat, baik dalam aspek politik maupun ekonomi. Praktek tersebut diantaranya berlangsung di Wakatobi, dimana sekelompok orang menguasai sebagian besar bisnis pariwisata yang menjadi sektor andalan kabupaten yang mekar dari Kabupaten Buton tahun 2003 silam. Penguasaan bisnis pariwisata oleh sekelompok orang semakin tidak menguntungkan bagi masyarakat Wakatobi yang memiliki kekuasaan atas tanah dan berprofesi sebagai nelayan. Mereka dibatasi dan dilarang untuk mencari mata pencaharian di sekitar pusatpusat bisnis pariwisata (resort) yang dikelola oleh para oligarki di Wakatobi. Selain pemilik resort, pembatasan terhadap nelayan juga didukung oleh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah3 yang memberlakukan sistem zonasi taman nasional, yang berakibat pada pelarangan penangkapan ikan pada zona-zona tertentu.4 Dampak ini sangat dirasakan oleh nelayan dan orang laut (suku Bajo) yang semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup.5 Salah satu peraturan daerah yang membatasi ruang gerak nelayan di Wakatobi adalah Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi. 3 Kesulitan para nelayanan ini ditulis pula dalam laporan riset lembaga intenasional OXFAM bahwa masalah yang dihadapai oleh nelayan-nelayan lokal di Wakatobi (Sampela dan Ambeua) yaitu kebebasan mereka untuk menangkap ikan di lepas pantai telah dibatasi. Lihat Paul Simonin, Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia, (Atkinson Center for a Sustainable Future & OXFAM), hlm. 19 4 Keluh kesah kesulitan hidup yang dialami oleh Suku Bajo di Wakatobi diceritakan oleh Indrawati Aminudin (scholar jurusan Leisure, Tourism and Enviroment di Wageningen University, Belanda) dalam artikelnya yang berjudul “Orang Bajo di Surga Bawah Laut” 5 Maret 2012, http://indoprogress.com/2012/03/ orang-bajo-di-surga-bawah-laut/ (diakses pada tanggal 29 September 2016). 5 168 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Keunggulan pariwisata dan desentralisasi di Wakatobi dimanfaatkan oleh elit politik dan elit ekonomi untuk melakukan akumulasi kekayaan dan mempertahkan kekayaan—pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Di era otonomi daerah (tahun 2015) sejumlah elit politik dan ekonomi di Wakatobi merupakan ‘pemain besar’ dalam sektor perkonomian. Diantara mereka terbagi dalam bisnis yang berbeda dan ada pula yang mencoba menggarap lebih dari dua sektor. Bisnis itu meliputi: bisnis transportasi (kapal), pengerjaan proyek infrastruktur (jalan, bandara dan pelabuhan), serta penyedia resort dan hotel. Bisnis transportasi laut terbesar di Wakatobi misalnya, dimiliki oleh Arhawi (pengusaha lokal/Wakil Bupati Wakatobi 2011-2016/ Bupati Wakatobi terpilih 2016-2021). Sektor infrastruktur dikerjakan oleh Ceng Ceng, pengusaha Tionghoa yang berasal dari Bau-Bau dan memiliki kedekatan dengan Hugua, Bupati Wakatobi dua periode (2006-2011/2011-2016). Hugua yang juga Ketua DPD PDI.P Sulawesi Tenggara membangun kerajaan bisnis dibawah bendera Patuno Resort dan Pata Pulo Travel, yang bergerak dibidang bisnis pariwisata dan transportasi. Sosok lain yang cukup berpengaruh adalah Mr. Lorenz Mader, pengusaha dan warga negara Swiss pemilik Wakatobi Dive Resort. Berbeda dengan Hugua, Arhawi dan Ceng Ceng yang muncul di era otonomi daerah, Mr. Lorenz hadir sejak orde baru dan di era otonomi daerah tetap bertahan. Mr. Lorenz merupakan saingan Hugua dalam bisnis pariwisata (Resort) di Wakatobi. Melalui wawancara di media Hugua seringkali menyinggung sektor Pariwisata Wakatobi dikuasai oleh asing (Lorenz didalamnya) dan harus dikurangi, meskipun hal ini tidak pernah terbukti. Di Lamanggau Lorenz semakin berkuasa dan mampu mempertahankan pendapatannya. Secara bersamaan Hugua tumbuh menjadi oligarki lokal yang predator. Sejak dipimpin Hugua, Wakatobi menjadi salah satu daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi (mendekati 10 %) di Sulawesi Tenggara. Sepuluh tahun berkuasa, Hugua mampu meningkatkan pendapatan asli daerah, kunjungan wisatawan dan membuka keterisolasian Wakatobi melalui pembangunan dan pengoperasian bandara Mataohara. Hugua juga secara perlahan menurunkan angka kemiskinan di Wakatobi, namun hal ini tidak disertai dengan pemerataan pendapatan. Ketimpangan masyarakat berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi setiap tahun mengalami kenaikan. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi tinggi Wakatobi tampak tidak berpengaruh secara nyata terhadap penurunan angka kemiskinan dan pengurangan jumlah pengangguran. Laporan analisis pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara6 mengkategorikan Wakatobi sebagai daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi tapi pengurangan kemiskinan dan pengangguran di bawah rata-rata (high-growth less-pro poor dan high-growth, less-pro job).7 Pembangunan di era Hugua juga dinilai terlalu fokus ke laut dan mengabaikan daratan. Situasi ini tergambar pada rendahnya kualitas infrastruktur di daratan, seperti: jalan dan keterbatasan fasilitas umum (perbankan, hotel dan alat transportasi darat).8 Atas kondisi itu, tidak heran kemudian para aktivis, pemerhati9 dan elit politik10 di Wakatobi bersuara kritis. Hugua dinilai tidak memberikan banyak manfaat bagi Wakatobi sejak memisahkan diri dari Kabupaten Buton. Dalam berbagai tulisan dan pernyataan para aktivis seringkali meminjam istilah Hugua yang menyebut Wakatobi sebagai ‘Surga Laut’. Oleh para aktivis tagline ini dijadikan kelakar ‘surga di laut dan neraka di darat’. Ungkapan ini merupakan ekspresi kekecewaan atas kepemimpinan Hugua yang tidak memberikan Perkembangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara. Seri Analisis Pengembangan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara 2015, hlm. 4-7 6 Pada tahun 2014 IPM Wakatobi mencapai 66,95. Lihat: Badan Pusat Statistik, Kabupaten Wakatobi Dalam Angka Tahun 2015, (Kendari: BPS, 2015), hlm. 364 7 Suasana ini dirasakan langsung oleh penulis saat berkunjung ke Wakatobi 5-11 Agustus 2015. 8 Sebuah lembaga Swadaya Masyarakat, Forum Komunikasi KABALI menyampaikan sikap kritis terhadap pemerintah Hugua yang mengesampingkan kepentingan masyarakat dan lebih berpihak pada kepentingan pemodal. Lihat http:// kabali-indonesia.blogspot.co.id/2014/10/kebijakan-programkepariwisataan.html (diakses pada 8 Agustus 2016) 9 Salah satu elit politik yang cukup kritis terhadap pemerintahan Hugua adalah Daryono Moane (Mantan Ketua DPRD Wakatobi). 10 Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 169 banyak manfaat bagi masyarakat Wakatobi, terkecuali Hugua dan kelompok elit lainnya yang semakin kaya dan berkuasa. Berdasarkan uraian di atas, maka artikel ini mencoba menjawab pertanyaan, seperti apa profil dan sumber daya kekuasaan kelompok oligarki di Wakatobi? Dampak apa yang ditimbulkan dari praktek oligarki terhadap pembangunan perdesaan? Oligarki, Desentralisasi dan Pembangunan Perdesaan Dalam terminologi klasik, oligarki dipahami sebagai kekuasaan sekelompok kecil orang (minoritas). Istilah ini dianggap kurang tepat, karena mengartikan oligarki sebagai kekuasaan sekelompok orang sama halnya menyamakannya dengan elit, yang juga dipahami sebagai kekuasaan oleh sekelompok orang. Oligarki dan elit adalah dua hal yang berbeda. Seseorang dapat dikatakan oligarki, jika ia memegang kendali sumber daya kekuasaan individual secara terkosentrasi. Sumber daya kekuasaan itu meliputi: 1). hak politik; 2). kekuasaan jabatan resmi dalam pemerintahan atau organisasi; 3). kekuasaan pemaksaan (koersif); 4). kekuasaan mobilisasi; 5). kekuasaan material.11 Sebaliknya, jika sesorang hanya menguasai empat sumber daya kekuasaan disebutkan pertama, tanpa memiliki kekuasaan material bukanlah oligarki, tapi elit. Guna membedakan keduanya Winters menyebut sebagai berikut: “oligark bisa punya bentuk kekuasaan elite di atas atau bercampur dengan dasar material…. tapi elite tak bisa menjadi oligark kalau tidak memiliki dan menggunakan sendiri kekuasaan material yang besar….seorang bangsawan feodal dapat menjadi oligark, tapi jelas bukan kapitalis. Seorang pemilik bisnis bisa menjadi kapitalis namun mungkin kekuasaan materialnya masih kurang untuk menjadi oligark”. Elite yang disebut Winters ini hampir senada dengan pendapat Suzanne Keller yang mempopulerkan istilah elite penentu yaitu mereka yang dipertimbangkan keputusan-keputusannya dan tindakan-tindakannya mempunyai akibatakibat penting dan menentukan untuk kebanyakan anggota masyarakat.12 Elit penentu menurut Keller meliputi pemimpin politik, ekonomi, militer, moral, budaya dan ilmu pengetahuan. Mesikupun itu menurut Keller mereka-mereka tersebut dapat dikatakan sebagai elit penentu, jika ruang lingkup kegiatannya mengenai berapa banyak anggota masyarakat yang dikenai. Oligarki menurut Jeffrey Winters adalah politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material. 13 Pertahanan kekayaan mengandung dua hal yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Pertahanan harta adalah upaya oligarki untuk memastikan kekayaan mereka tidak diambil oleh pihak lain yang menginginkan, sedangkan pertahanan pendapatan adalah bagaimana oligarki mempertahankan pendapatannya melalui investasi pribadi. Seorang pejabat korup dan mengumpulkan kekayaan pribadi (dengan cara apapun), maka dia menjadi elite pemerintah sekaligus oligark yang mampu melibatkan diri dalam politik pertahanan kekayaan.14 Dengan demikian seseorang dapat dikatakan oligarki jika menguasai sumber daya politik dan sumber daya ekonomi, yang digunakan untuk melindungi dan melakukan akumulasi kekayaan. Vedi Hadiz menyatakan bahwa desentralisasi di Indonesia memberikan jalan bagi kebangkitan dan konsolidasi “oligarki lokal”. Subyek tersebut adalah bertahannya warisan Orde baru yaitu kelompok predatoris yang kuat yang mengontrol kekuasaan negara (institusinya dan sumber dayanya) dan dibarengi dengan tidak terorganisirnya gerakan sosial yang independen di masa desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi justru memperkuat posisi ekonomi dan politik “oligarki lokal” yang predator ketimbang memperkuat masyarakat lokal.15 Vedi Hadiz melihat bahwa pasca Soeharto terjadi suatu persaingan di antara berbagai Suzanne Keller, Penguasa dan Kekompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 28 12 13 Jeffrey Winters, Oligarki, hlm. 10 14 Ibid., hlm. 14 Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective, (Stanford: Stanford University Press, 2010), hlm. 47-49. 15 11 Jeffrey Winters, Oligarki, hlm. 18 170 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 kelompok dominan untuk memperebutkan kontrol atas aparatur dan otoritas negara, terutama dalam hubungannya dengan alokasi sumber daya dan patronase negara.16 Persaingan itu berlangsung dalam sistem terbuka dan tidak terpusat. Partai politik dan parlemen menjadi wadah persaingan, disertai dengan politik uang. Sistem ini diperankan oleh aktor-aktor lokal—tokoh-tokoh daerah, birokrat-politik dan para pengusaha—yang pada era Soeharto telah mengalami kematangan. Singkatnya, logika utama kehidupan politik di Indonesia pascaSoeharto tetap saja perebutan peluang-peluang untuk rent-seeking melalui pengamanan ‘akses menuju posisi aparatur negara’ untuk tujuantujuan akumulasi pribadi. Lebih lanjut Hadiz menyebut, desentralisasi menyebabkan politik di tingkat lokal menguat kembali tetapi tidak disertai dengan konsolidasi demokrasi berideologi liberal karena menghasilkan “oligarki lokal” yang predatoris dengan penggunaan politik uang dan premanisme. Pembajakan institusi demokrasi yang berlangsung selama desentralisasi dilakukan oleh koalisi yang memiliki kepentingan-kepentingan predatoris (perampok/penghisap). Indikasinya dapat dilihat dari aktor politik yang terlibat seperti birokrat dan pengusaha yang masih membutuhkan dan bergantung pada proyek negara dan kontrakkontrak pemerintah, politisi-politisi yang asal usulnya masih bisa dihubungkan dengan partaipartai lama Orde Baru dan rekruitmen aparatur politik dan operator politik masih berasal dari organisasi-organisasi seperti KNPI, HMI dan GMNI.17 Dalam penelitian Vedi R. Hadiz di Sumatera Utara, para elit menganggap lembaga-lembaga demokrasi yang digerakkan dengan politik uang dan kekerasan bisa sama menguntungkannya dengan perlindungan rezim otoritarian yang bersifat menyeluruh. Bahkan deretan kepentingan yang sekarang memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal tampak lebih bervariasi dibandingkan Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm. 169 16 Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, “Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidations : The Indonesian Paradox”, Journal of Development Studies Volume 41 Nomor 2 Bulan Februari 2005 pada masa Soeharto. Di dalamnya termasuk para pialang dan bandar politik ambisius, birokrat negara yang lihai dan masih bersifat predatoris, kelompok-kelompok bisnis baru yang berambisi tinggi serta beranekaragam gangster politik, kaum kriminal dan barisan keamanan sipil. Mayoritas dari kelompok-kelompok ini dibesarkan oleh rezim Orde Baru sebagai operator dan pelaksana lapangannya.18 Oligarki yang dibesarkan oleh rezim otoritarian Orde Baru secara mengesankan berhasil melakukan metamorfosis menjadi oligarki dengan penggunaan politik uang. Oligarki baru yang hidup di masa pasca otoritarian berhasil memanfaatkan jaringan patronase dan mekanisme untuk mengalokasi kekuasaan dan kekayaan publik, mereka mendapatkan arena baru dalam wujud partai politik dan parlemen. Di dalam akomodasi sistem kekuasaan politik yang telah mengalami desentralisasi dan difusi berhasil mampu mengubah mereka yang pada awalnya seorang reformis menjadi bagian di dalam persatuan kapitalisme predatoris dan politik demokratis yang dibangun oleh kekuatan Oligarki.19 Desentralisasi telah dibajak oleh kepentingan predatoris lokal. Fakta memperlihatkan oligarki lama dan kepentingan predatoris tidak mampu dihilangkan oleh reformasi. Mereka berhasil menyesuaikan diri dan memperlihatkan bahwa mereka juga bagian dari demokrasi dan reformasi. Ada lima bentuk elit lokal yang bertarung dalam arena politik lokal di Indonesia era desentralisasi. Pertama, mantan elit yang dibesarkan oleh Orde Baru yang telah belajar untuk menguasai politik demokrasi pada tingkat lokal melalui penggunaan politik uang dan berbagai instrumen mobilisasi politik dan intimidasi. Kedua, birokrat tua yang dibesarkan oleh Orde Baru yang berharap mampu melakukan transformasi birokrasi yang telah lama mereka pegang menjadi kekuatan politik yang mampu secara langsung menentukan melalui pembangunan koalisi lokal sebagai kekuatan pendukungnya. Ketiga, pengusaha lokal dengan kategori pengusaha dibidang usaha 18 17 ibid Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia : The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, (London: Routledge, 2004), hlm. 187-188. 19 Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 171 kecil atau menengah seperti misalnya kontraktor, perdagangan dan jasa yang ambisi semakin meningkat. Keempat, kelompok preman dan kelompok kekerasan yang selama Orde Baru menjadi alat ditingkat lokal yang hendak mencoba mencari peruntungan dalam politik demokrasi. Kelima, kelompok politik yang biasanya menjadi operator dimasa Orde Baru terutama organisasi massa mahasiswa dan pemuda yang dibina Orde Baru seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dan Komite Nasional Pemuda Indonesia. 20 “Oligarki lokal” yang predator melakukan berbagai macam cara terutama politik uang dan premanisme politik dalam rangka mempertahankan dan mengamankan posisi mereka. Politik uang dilakukan karena tidak transparannya penghimpunan dana politik terutama di tingkat lokal. Pemilihan umum (eksekutif dan legislatif) di tingkat lokal telah berubah menjadi industri yang berbiaya tinggi. Premanisme politik dilakukan oleh satgas partai dan ormas yang menjadi milisi represif bagi kekuasaan Orde Baru (FKPPI dan Pemuda Pancasila) serta organisasi kekerasan berbasis agama dan kedaerahan (FPI dan FBR), 21 organisasi Jawara (PPPSBBI Banten),22 Blater di Madura23 dan mantan kombatan di Aceh. Vedi Hadiz mencatat bahwa kekuatankekuatan gerakan sosial memiliki akses yang kecil terhadap kekuasaan dan sumberdaya serta tidak dipersiapkan dengan baik berani menantang dan bertarung dengan elit lokal yang predatoris yang memiliki posisi sosial dominan. Pertarungan yang berakhir dengan kekalahan dipihak kekuatan-kekuatan gerakan sosial dikarenakan demokratisasi dan desentralisasi tidak berdampak Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective, (Stanford: Stanford University Press, 2010), hlm. 92-94 20 21 ibid, hlm. 133-141 Lihat: Lili Romli, Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006), (Jakarta: Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 2007). 22 Baca Abrur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura”. Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009). 23 positif bagi peningkatan kapasitas organisasi petani dan organisasi buruh sebagai kekuatan sosial utama gerakan sosial. Tanpa organisasi yang kuat dan vokal, buruh terisolasi dalam sistem pemilihan yang didominasi pembelian suara, biaya tinggi dan persekutuan pengusaha kota besar dan organisasi kekerasan. Tidak ada keberpihakan pemerintah ketika gerakan petani dan masyarakat adat menghadapi konflik tanah dengan perusahaan besar. Justru aparat keamanan kembali melakukan represi seperti jaman otoriter.24 Melvin P. Hutabarat menyebut ada 8 ciri oligarki predator yang dimaksud oleh Vedi Hadiz. 25 Pertama, kelompok predator mengontrol masyarakat melalui politik uang dan kekerasan. Kedua, latar belakang ekonomi kelompok predator tidak selalu kaya. Ketiga, proses pembentukan kelompok predatoris melalui: 1). Bertahannya warisan politik otoriter yaitu kelompok predatoris yang kuat mengontrol kekuasaan negara (institusinya dan sumber dayanya); 2. Tidak terorganisirnya gerakan sosial yang independen. Keempat, aktor kelompok predatoris terdiri dari mantan elit orde baru, birokrat tua orde baru, pengusaha lokal, kelompok preman dan kelompok ormas mahasiswa/pemuda. Kelima, kekuasaan di tingkat lokal terpusat kepada klik politik antara pengusaha, birokrat dan politisi. Keenam, hubungan dengan pemerintah pusat bersekutu, karena mereka adalah bagian dari oligarki lama Orde Baru yang mampu bertahan. Ketujuh, afiliasi partai politik, bisa bergabung dengan partai lama seperti Golkar, PDI Perjuangan dan PPP ataupun partai-partai baru seperti PAN, PKB, PKS dan partai lainnya. Kedelapan, reproduksi kekuasaan adalah bagian dari klik politik melalui mekanisme pemilihan umum. Kehadiran oligarki dan elit ekonomi mendorong gairah usaha baru yang berdampak pada pembangunan perdesaan. Konsep pembangunan perdesaan berasal dari kata Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm. 143-160 24 Lihat Melvin P. Hutabarat, Fenomena “Orang Kuat” Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi. (Depok: Tesis, Universitas Indonesia, 2012), hlm. 29-30 25 172 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Skema kelembagaan desa. Desa menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara perdesaan menurut UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pengertian tersebut menyiratkan bahwa desa dan perdesaan memang mempunyai perbedaan, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan hal ini membentuk desa (rural village), sekaligus sangat terkait dengan agenda pembangunan lokal. Bappenas membedakan pengertian pembangunan desa dan pembangunan perdesaan. Pembangunan desa identik dengan “desa membangun”, sedangkan pembangunan perdesaan identik dengan “membangun desa”. Tabel. 1. Pembangunan Perdesaan Vs. Pembangunan Desa Items/Isu Pintu masuk Pendekatan Level Isu dan konsepkonsep terkait Level, skala dan cakupan Skema kelembagaan Pemegang kewenangan Tujuan Membangun Desa (Pembangunan Perdesaan) Perdesaan Functional Rural development Rural-urban linkage, market, pertumbuhan, lapangan pekerjaan, Kawasan ruang dan ekonomi yang lintas desa. Contohnya adalah kecamatan sebagai small town. Pemda melakukan perencanaan dan pelaksanaan didukung alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supervisi dan akselerasi. Pemerintah daerah Peran pemerintah daerah Mengurangi keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, sekaligus membangun kesejahteraan Merencanakan, membiayai dan Melaksanakan Peran desa Berpartisipasi Desa Membangun (Pembangunan Desa) Desa Locus Local development Otonomi, kearifan lokal, modal sosial, demokrasi, partisipasi, kewenangan, alokasi dana, dll. Dalam jangkauan skala dan yurisdiksi desa UU menetapkan kewenangan skala desa, melembagakan perencanaan desa, alokasi dana dan kontrol lokal. Pemegang kewenangan Tujuan Peran pemerintah daerah Peran desa Hasil sebagai small town. Pemda melakukan perencanaan dan pelaksanaan didukung alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supervisi dan akselerasi. Pemerintah daerah Mengurangi keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, sekaligus membangun kesejahteraan Merencanakan, membiayai dan Melaksanakan Berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan ï‚· Infrastruktur lintasdesa yang lebih baik ï‚· Tumbuhnya kota-kota kecil sebagai pusat pertumbuhan dan penghubung transaksi ekonomi desa kota. ï‚· Terbangunnya kawasan hutan, collective farming, industri, wisata, dll. UU menetapkan kewenangan skala desa, melembagakan perencanaan desa, alokasi dana dan kontrol lokal. Desa (pemerintah desa dan masyarakat) Menjadikan desa sebagai ujung depan yang dekat dengan masyarakat, serta membangun desa yang mandiri Fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa Sebagai aktor utama yang merencanakan, membiayai dan melaksanakan ï‚· Pemerintah desa menjadi ujung depan penyelenggar aan ï‚· pelayanan public bagi warga ï‚· Satu desa mempunyai produk ï‚· ekonomi unggulan (one village one product). Sumber: Hasil Kajian Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas, 2010. Desa membangun adalah campur tangan pemerintah level di atasnya (kabupaten, provinsi, pusat) dilakukan secara tidak langsung kepada masyarakat desanya, sedangkan “membangun desa” dilakukan oleh sektor-sektor terkait dari level pemerintah di atasnya.26 Pembangunan perdesaan sendiri secara umum dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat di kawasan perdesaan yang bertumpu pada kepentingan, karakter, potensi serta kemandirian. Struktur Sosial Ekonomi Wakatobi Wakatobi merupakan salah satu daerah otonom yang terbentuk sejak tahun 2003 pemekaran dari Kabupaten Buton berdasarkan UU No. 29 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana, Wakatobi, dan Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara. Nama Wakatobi merupakan akronim 26 BAPPENAS, Laporan Akhir Evaluasi Pembangunan Desa (pemerintah desa dan Perdesaan Dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan masyarakat) Masyarakat. (Jakarta: BAPPENAS, 2011), hlm. 16 Menjadikan desa sebagai ujung depan yang dekat dengan Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 173 masyarakat, serta membangun desa yang mandiri Fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa Sebagai aktor dari empat pulau yang berjejer disebelah tenggara pulau Buton yaitu Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Dahulu jejeran pulau-pulau kecil yang berada dibawah pulau Buton dinamai kepulauan tukang besi. Istilah tersebut melekat dengan profesi masyarakat Wakatobi khususnya Binongko sebagai pengrajin besi, seperti: membuat parang yang ditempa dari besi. Atas hal ini, Hoger seorang berkebangsaan Belanda menyebut wilayah Wakatobi sebagai kepulauan Toekang Besi Eilanden. Lain pula cerita tradisi lisan masyarakat Wakatobi, tukang besi merupakan nama Raja Hitu, Tuluka Besi. Raja Tuluka Besi dikenal memiliki pengikut setia dan seringkali merepotkan pemerintahan kolonial Belanda. Oleh Belanda, Raja Tuluka Besi bersama pengikutnya direncanakan untuk diasingkan ke Batavia, namun hal ini batal terlaksana setelah melakukan perlawanan dan selanjutnya melarikan diri di Pulau Wangi-Wangi. Tuluka Besi dan para pengikutnya ini oleh masyarakat Wakatobi diyakini sebagai cikal bakal penduduk Wakatobi. 27 Penuturan seorang antropolog Universitas Halu Oleo, Dr. Waode Syifatu menyebut bahwa pengikut Tuluka Besi bukanlah penduduk asli Maluku. Mereka adalah orangorang Buton yang merantau di Maluku. Dengan demikian kedatangan mereka di Wangi-Wangi bukanlah pelarian tapi kembalinya mereka ke tanah leluhur.28 Wakatobi yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan kesultanan Buton mengenal startifikasi sosial dalam masyarakat, yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: golongan Kaomu, Walaka dan Papara. 29 Di era kesultanan, kekuasaan di Wakatobi dipegang oleh golongan kaomu (bangsawan/raja). Di era pemerintahan modern dan demokrasi liberal pemimpin lahir atau diseleksi melalui mekanisme pemilihan dan Pemerintah Daerah Wakatobi, “Laporan Akhir Rencana Pengelolaan Pariwisata Wakatobi”, Pemda Wakatobi, hlm. 9. 27 Wawancara dengan Waode Syifatu, 21 Oktober 2016, pukul 17.00 WITA. 28 Kaomu adalah golongan masyarakat yang berhak menduduki jabatan sultan. Walaka adalah golongan masyarakat kesultanan Buthuuni yang berhak menduduki jabatan legislatif. Papara yaitu mereka yang tidak mempunyai garis silsilah keturunan dari kedua golongan tersebut (Kaomu dan Walaka) disebut sebagai golongan masyarakat biasa. keahlian di bidang tertentu khusunya pendidikan. Hal ini berakibat pada terkikisnya secara perlahan dominasi bangsawan yang dalam tulisan ini saya sebut elite lama (old elite). Sebaliknya mereka yang punya perahu, perantau, birokrat dan aktivis menjadi elite baru (new elite). Mereka yang punya perahu dan perantau oleh masyarakat Wakatobi diidentifikasi sebagai orang yang berada/berharta (memiliki kekayaan). Menurut Waode Syifatu, orang yang punya perahu dan perantau di Wakatobi memiliki kemampuan untuk mengganti camat dan jajaran pemerintahan lainnya.30 Lain pula birokrat dan aktivis yang menjadi penguasa karena memiliki pengetahuan, pendidikan dan keahlian. Di era reformasi, sumber kekuasaan di Wakatobi semakin beragam, jika sebelumnya penguasa berasal dari kaum bangsawan, kini bergeser pada kalangan terdidik dan mereka yang memiliki kekayaan (harta). Munculnya kaum terdidik tampak pada terpilihnya dan terangkatnya mereka sebagai pejabat pemerintahan di Wakatobi, seperti Bupati, anggota DPRD dan birokrat. Saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Buton, pejabat di Wakatobi berasal dari kaum birokrat (camat). Pasca menjadi daerah otonom, kepala daerah diseleksi melalui mekanisme pemilihan, mereka yang terpilihlah menjadi penguasa di Wakatobi. Terpilihnya Hugua sebagai Bupati Wakatobi Tahun 2005 menjadi awal kebangkitan kaum aktivis. Hugua oleh masyarakat Wakatobi dikenal sebagai aktivis dan pegiat LSM. Profesi Hugua sebagai pegiat LSM mampu mendatangkan bantuan (air bersih) bagi daerahnya. Hal ini menjadikan ia semakin dikenal dan menjadi modal sosial bagi dirinya ketika mencalonkan diri sebagai Bupati Wakatobi.31 Selain Hugua ada pula Muhamad Ali Tembo yang juga berlatar belakang aktivis yang berhasil terpilih menjadi anggota DPRD Wakatobi. Lebih lanjut, masuknya orang kaya sebagai pejabat di Wakatobi diawali dengan terpilihnya Arhawi sebagai anggota DPRD Wakatobi tahun 2009. Dua tahun berselang (2011), Arhawi terpilih sebagai Wakil Bupati mendampingi 29 Wawancara dengan Waode Syifatu, 21 Oktober 2016, pukul 17.00 WITA. 30 Wawancara dengan Rasman, Dosen Universitas Muhamadiyah Buton, 19 September 2016, pukul 20.00 WITA. 31 174 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Hugua pada periode kedua pemerintahannya. Seperti keterangan salah satu narasumber, pemilihan Arhawi oleh Hugua lebih pada pertimbangan materi yang dimiliki. Latar belakang Arhawi sebagai pengusaha dipandang dapat memudahkan langkahnya terpilih kembali ditengah biaya politik yang semakin mahal.32 Pada Pemilu 2014, orang yang memiki kekayaan dan perahu semakin banyak yang mencalonkan diri sebagai caleg, diantara mereka ada yang terpilih dan ada pula yang tidak terpilih. Pilkada 2015, kekuatan uang dalam memperebutkan jabatan kepala daerah semakin nyata terlihat. Di Wakatobi calon kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berjumlah dua pasangan calon (head to head) memiliki kekayaan tertinggi dibanding enam daerah lain yang melangsungkan Pilkada.33 Menurut Waode Syifatu, status sosial sebagai bangsawan, orang yang memiliki perahu (kaya) dan memiliki pendidikan, menjadi daya dukung seseorang untuk terpilih atau menjadi penguasa di Wakatobi. Penuturan ini diakui pula oleh Mahmud, seorang akademisi asal Wakatobi. “Di Wakatobi untuk bisa terpilih sebagai pejabat politik harus didukung oleh kekuatan finansial (seperti: memiliki perahu, perantau, tanah). Mereka yang memiliki perahu/ kapal mempekerjakan banyak orang dan memiliki uang, sehingga sangat mudah untuk mengajak dan memobilisasi pemilih agar memberikan dukungan. Jika para pekerja tidak menuruti perintah sang pemilik kapal mereka akan dipecat/ tidak dipekerjakan lagi. Pengaruh mereka yang memiliki uang ini sangat kuat terasa ketika dalam pemilihan kepala desa, caleg hingga kepala daerah. Salah satu contohnya legislator PAN terpilih, Ariati. Legislator asal Tomia ini bukan bangsawan dan bukan pula yang memiliki pendidikan baik, tapi karena kekuatan uang dan bapaknya (Baharudin Isa/mantan Wawancara dengan S, aktivis Wakatobi, 22 Oktober 2016, pukul 13.00 WITA. 32 Pilkada Wakatobi 2015 diikuti dua pasangan Calon yaitu Pasangan Arhawi dan Ilmiati Daud yang diusung oleh PAN dan koalisinya. Sementara pasangan Haliana dan Muhamad Syawal didukung oleh PDI.P . Dalam rilis harta kekayaan oleh KPU, Arhawi merupakan calon kepala daerah terkaya di Wakatobi dan Sultra dengan jumlah kekayaan 44 miliar rupiah. Sementara Haliana merupakan calon kepala daerah terkaya kedua di Wakatobi dan Sultra dengan jumlah harta berkisar 31 miliar rupiah. 33 camat dan penguasa tanah pulau One Mobaa/ pulau Lorenz), pada Pemilu 2014 ia terpilih sebagai anggota DPRD. Selain itu, mereka yang berpendidikan juga banyak terpilih/duduk sebagai pejabat politik di Wakatobi, contohnya: Hugua dan Muh. Ali Tembo (Ketua DPRD Wakatobi). Mereka berdua bukan bangsawan, bukan pula orang kaya, tapi mereka dikenal sebagai aktivis LSM yang memiliki pengetahuan dan pendidikan.”34 Menurut Mahmud, modal finansial dan pendidikan merupakan sumber kekuasaan di Wakatobi. Sebaliknya status sosial sebagai bangsawan semakin tidak mendapat tempat/ dukungan untuk bisa terpilih. Menurut Mahmud, kepemilikan finansial, pendidikan, peran mosega (orang kuat, pandai silat, kebal dari benda tajam, kebal dari guna-guna) sangat mempengaruhi terpilihnya pejabat publik di Wakatobi.35 Dalam pemilihan, mosega memiliki kekuasaan informal untuk mempengaruhi pemilih secara persuasif dan represif. Mosega seringkali digunakan oleh para elite politik sebagai alat pemaksa dan pelindung mereka, selain polisi dan aparat pemerintah. “Dalam ajang pemilihan, pejabat atau calon pejabat mendapat pengawalan dari polisi, satgas partai dan preman. Satgas partai banyak diisi oleh orang-orang sega (berani) yang dikenal memiliki kekebalan dan pandai berkelahi.”36 Mosega dalam perpolitikan lokal Indonesia memiliki kemiripan dengan Jawara (Banten), Blater (Madura), mantan kombatan (Aceh). Yang membedakan, Mosega di Wakatobi belum menduduki kekuasaan atau terpilih sebagai kepala daerah. Sementara Jawara, Blater dan 34 Wawancara dengan Mahmud, akademisi UHO asal Wakatobi. Di zaman dahulu (kerajaan) mosega dikenal sebagai pasukan yang pandai silat (balaba) dan memiliki kesaktian (tidak ditembus parang dari serangan senjata) yang bertugas mempertahankan wilayah kekuasaan. Mosega menujuk pada pemimpin suatu kelompok biasanya diambil dari orang-orang yang gagah berani, cekatan, ahli berkelahi dan ahli perang. http://lapatuju.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-singkatwakatobi.html 35 36 Wawancara dengan SD, mahasiswa asal Wakatobi. Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 175 mantan kombatan telah berhasil menduduki posisi sebagai kepala daerah (transformasi menjadi penguasa). Sosok Mosega di Wakatobi identik dengan terminologi Migdal tentang local strongman (orang kuat lokal). Bangsawan, pemilik perahu atau yang memiliki tanah, aktivis, mosega dan birokrat merupakan elite penentu di Wakatobi. Orang Wakatobi dikenal sebagai pelaut tangguh yang mampu melintasi lautan luas. Keberanian pelaut Wakatobi tidak terlepas dari kebiasaan menaklukan ombak di wilayah tempat tinggal mereka, yang berhadapan langsung dengan laut Banda.37 Sambil berlayar, orang Wakatobi juga menjalankan aktivitas perdagangan antar pulau bahkan antar negara. Tidak heran kemudian orang Wakatobi memiliki peranakan dan banyak menetap (merantau) di setiap wilayah pesisir kepulauan di Indonesia, sebagaimana kebiasaan yang dilakukan oleh orang Bugis, Makassar dan Bajo. Profesi pelaut orang Wakatobi kerap dimanfaatkan oleh para penyeludup untuk mengangkut barang-barang (elektronik, otomotif, pakaian, ikan, kayu dan hasil laut) dari dalam dan luar negeri demi menghindari pajak negara. Lapangan pekerjaan penduduk Wakatobi paling banyak berasal dari sektor pertanian (19.376), perdagangan (8.143), jasa (6.108), lainnya (6.163) dan indsutri (2.438). Pada tahun-tahun terakhir terjadi peningkatan dalam investasi luar di daerah Wakatobi. 38 Disisi lain Wakatobi menyimpan potensi wisata laut berkelas dunia, ini mulai terlihat ketika masih menjadi bagian dari Kabupaten Buton. Kekhasan bawah laut yang dimiliki Wakatobi menjadikan daerah ini ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional oleh pemerintah pada tahun 1996. Jauh sebelum itu, Wakatobi telah menarik perhatian masyarakat internasional, diantaranya Mr. Lorenz Mader, seorang investor berkebangsaan Swiss. Pada Tahun 1995, di pulau One Mobaa, Desa Laut Banda dikenal sebagai laut terdalam di Indonesia yang memiliki ombak tinggi. 37 Kebanyakan toko yang menjual barang-barang industri saat ini dimiliki oleh pebisnis dari bagian lain Sulawesi, dan operasi budidaya mutiara di sekitar Kaledupa dimiliki investor-investor dari Bali Lihat: Paul Simonin, “Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia”, hlm. 18 38 Lamanggau—salah satu bagian dari wilayah Kecamatan Tomia—, Mr. Lorenz merintis pendirian resort kelas dunia dengan nama Wakatobi Dive Resort (WDR). WDR beroperasi setelah mengantongi surat izin tempat usaha dari pemerintah setempat dengan nomor registrasi 17/ V1/2000 yang dikeluarkan oleh Bupati Buton. Setelah berdiri sebagai daerah otonom, sektor wisata Wakatobi tumbuh dan menjadi andalan untuk meningkatkan penghasilan daerah. Upaya tersebut dicanangkan oleh Bupati Wakatobi, Ir. Hugua melalui visi pemerintahannya yaitu “Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Pusat Segitiga Karang Dunia”. Visi ini mengadung tiga hal pokok yaitu: 1). Surga nyata adalah perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup serta daya saing daerah yang didukung oleh situasi ketertiban dan ketentraman umum yang kondusif; 2). Bawah laut adalah perwujudan kemanfaatan dan kelestarian atas potensi sumberdaya bawah laut dan perairannya khususnya dalam hal kelautan, perikanan, pariwisata, dan lingkungan/ kawasannya; 3). Pusat segi tiga karang dunia adalah aktualisasi posisi geostrategi Wakatobi, yakni pada pusat segitiga karang dunia yang mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.39 Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, pemerintah Wakatobi mengeluarkan berbagai kebijakan diantaranya mempromosikan pariwisata Wakatobi di dalam dan luar negeri, menerbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Retribusi Izin Usaha Industri dan Usaha Perdagangan, serta Perda Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penanaman Modal Di Kabupaten Wakatobi. Berbagai kebijakan tersebut ditujukan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Profil dan Sumber Daya Oligarki Sektor pariwisata yang mendatangkan banyak wisatawan setiap tahun mampu meningkatkan PAD dan menggairahkan ekonomi Wakatobi. Namun, secara bersamaan capaian positif tidak disertai dengan pemerataan pendapatan, yang setiap tahun pendapatan masyarakat semakin mengalami ketimpangan. Perekonomian Wakatobi dikuasai oleh para elit politik dan 39 BPS, “Kabupaten Wakatobi Dalam Angka Tahun 2015” 176 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 ekonomi, sementara masyarakat hanya mendapat bagian kecil dari efek pertumbuhan ekonomi. Fenomena ini tampak dalam pengelolaan bisnis pariwisata dan kebutuhan pendukung pariwisata, sarana dan prasarana pendukung pariwisata, seperti: jalan, bandara, hotel, resort, kapal, alat transportasi dan lainnya dikuasai/dikelola oleh beberapa orang. Mereka inilah yang dalam tulisan ini dinamai sebagai kelompok oligarki predatoris dan elit ekonomi yang menguasai bisnis dan sumber daya pariwisata di Wakatobi. Latar belakang mereka sangat beragam mulai dari pengusaha, politisi hingga mantan birokrat. Tabel. 2. Profil Oligarki dan Elite Ekonomi di Wakatobi Nama Latar Belakang Hugua Aktivis Grup Bisnis/tahun pendirian Patuno Resort & PT. Patua Insani Sapulo (Pata Pulo Travel)/ Bisnis/ proyek Yang di Kelola Pariwisata (resort & penyeleman) dan Travel Sumber Daya Kekuasaan Kewargan egaraan Harta/Kekayaan/ Pendapatan Keterangan Hak politik dan ekonomi (memilih/dipilih, investasi) Jabatan resmi (Bupati Wakatobi 2006-2011, 2011-2016; Ketua DPD PDI.P Sultra) Kekusaan pemaksaan (pajabat negara/aparatur negara 2006-2016) Kekuasaan mobilisasi (aktivis sosial/LSM/tokoh partai) Kekuasaan material (Pemilik Patuno Resort & Pata Pulo Travel) Hak ekonomi (investasi) Jabatan resmi (pemilik Wakatobi Dive Resort) Kekuasaan material (Pemilik Wakatobi Dive Resort) Hak politik dan ekonomi (memilih/dipilih, investasi) Jabatan resmi (Wakil Bupati Wakatobi 20112016, Bupati terpilih Wakatobi terpilih 20162021; Ketua DPD PAN Wakatobi, CEO Aksar) Kekusaan pemaksaan (pejabat negara/aparatur negara 2011-2021) Kekuasaan mobilisasi (tokoh partai) Kekuasaan material (Pemilik Grup Aksar) Hak ekonomi (investasi) Jabatan resmi (pemilik Golden Prima Wakatobi & Tunas Mandiri) Kekuasaan material (Pemilik Golden Prima Wakatobi & Tunas Mandiri) Indonesia Tidak diketahui Aktivis yang bertransformas i menjadi elite politik dan elite ekonomi, lalu menjadi Oligarki Swiss Pendapatan WDR sebesar 64,8 Milyar Rupiah/Tahun (data tahun 2007). Elite ekonomi Rp.44.150.947.948 (LHKPN Tahun 2015). Pengusaha yang bertransformas i menjadi elite politik dan menjadi Oligarki Indonesia Tidak diketahui Elite ekonomi - Hak ekonomi Hak politik Kekuasaan material Indonesia Rp. 31.608.292.298948 (LHKPN Tahun 2015). Elite ekonomi yang berusaha menjadi elite politik namun gagal (tidak terpilih) - Hak ekonomi Hak politik Kekuasaan material Indonesia Tidak diketahui Mantan birokrat yang bertransformas i menjadi elite ekonomi dan memiliki pengaruh politik (anaknya terpiluh menjadi anggota DPRD) - Lorenz Mader Arhawi Pengusaha Pengusaha Wakatobi Dive Resort/ 1995 Pariwisata (resort dan penyeleman) - PT. Askar Saputra Transportasi (kapal laut) - - - Ceng Ceng Pengusaha / Kontraktor Haliana Pengusaha Baharudi n Isa Pemilik Tanah/ Mantan Birokrat PT. Golden Prima Wakatobi & Tunas Mandiri CV.Liya Persada (Kontraktor), UD.Rezky Abadi (Perdagangan Umum), PT. Tomia Bersinar (SPBN/PERTA MINA), Pudonggala Damai Bersinat (Transportasi Laut), Anggota plasma pada PT. Agrosawit Indonesia (Perkebunan Kelapa Sawit) Infrastrukur (jalan yang didanai APBD dan perluasan Apron dan Taxiway termasuk Marking Bandara Matohara Pihak yang memfasilitasi Lorenz menyewa Pulau One Mobaa - Indonesia Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 177 Tomia Bersinar (SPBN/PERTA MINA), Pudonggala Damai Bersinat (Transportasi Laut), Anggota plasma pada PT. Agrosawit Indonesia (Perkebunan Kelapa Sawit) Baharudi n Isa Pemilik Tanah/ Mantan Birokrat Pihak yang memfasilitasi Lorenz menyewa Pulau One Mobaa - Hak ekonomi Hak politik Kekuasaan material Indonesia Tidak diketahui Mantan birokrat yang bertransformas i menjadi elite ekonomi dan memiliki pengaruh politik (anaknya terpiluh menjadi anggota DPRD) Sumber: diolah penulis dari berbagai sumber, tahun 2016. Hugua merupakan salah satu kelompok oligarki di Wakatobi. Ia merupakan Bupati Wakatobi dua periode (2006-2011)/(20112016). Sebelum terpilih sebagai Bupati, Hugua merupakan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat Himpunan Pendidikan Luar Sekolah Oleh Masyarakat (HPP LSM RA) dan Himpunan Lembaga Latihan Swasta Indonesia (HILLSI). Pada dua organisasi itu, Hugua terpilih sebagai Ketua I DPD dan Ketua DPD Sultra. Semasa kuliah di Universitas Halu Oleo (UHO), Hugua terdaftar sebagai salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di organisasi internal kampus, Hugua pernah menjadi anggota Badan Perwakilan Mahasiswa FAPERTA UHO serta Koordinator Himpunan Mahasiswa Agronomi Pecinta Buku (HIPMAPBU) Sultra. Di organisasi kepemudaan Hugua pernah menjadi Ketua Departemen ICMI Sultra dan Ketua Kerukunan Keluarga Tomia di Kendari Periode 2001-2004. Ia juga pernah menjadi Ketua Pengurus Masjid dan tercatat pernah menjabat sebagai Working Group ILO Periode 2001-2005.40 Keterlibatan dalam organisasi menjadikan Hugua memiliki jaringan luas, baik di dalam maupun luar negeri. Hugua kerap mengikuti kursus dan pelatihan internasional yang menjadikannya semakin fasih bahasa asing dan memiliki jaringan internasional. Semasa aktif di LSM, Hugua berhasil mendatangkan program pemberdayaan yang didanai oleh lembaga donor internasional, diantaranya program air bersih. Program ini menjadikan Hugua semakin dikenang oleh masyarakat Wakatobi. Suara Kendari, “Profil Hugua, Putera Terbaik Sultra Calon Menteri Kelautan di Kabinet Jokowi –JK”, 3 Agustus 2014, http://www.suarakendari.com/profil-hugua-putera-terbaiksultra-calon-menteri-kelautan-di-kabinet-jokowi-jk.html (diakses pada 25 Juli 2016). 40 Pada Pemilu 2004, Hugua berbekal kepopuleran, pengalaman organisasi dan jaringan yang dimiliki mencalonkan diri sebagai anggota legislatif provinsi Sultra, namun tidak berhasil. Meski gagal dalam pemilu legislatif, tidak menurunkan semangat Hugua menjauh dari aktivitas politik. Setahun berselang (2005), ia mencalonkan diri sebagai Bupati Wakatobi. Pencalonan ini didukung oleh koalisi PDI.P dan PPP. Pada Pilkada itu, Hugua terpilih menjadi Bupati Wakatobi. Tidak lama berselang ia dipercaya memimpin ketua DPC PDI.P Wakatobi, selanjutnya pada tahun 2010, Hugua terpilih melalui musyawarah sebagai Ketua PDI.P Sultra periode 2010-2015. “Dipilihnya Hugua pada saat itu dianggap sangat tepat karena ia dipandang berhasil menaikan kursi PDI.P didaerahnya serta sukses memimpin Wakatobi. PDI.P berpikiran, keberhasilan di Wakatobi bisa diikuti oleh Kabupaten/Kota lain di Sulawesi Tenggara. Juga Hugua merupakan kader. PDI.P juga memiliki hitungan dengan terpilihnya Hugua, posisinya sebagai Bupati dapat dimanfaatkan untuk melakukan banyak hal untuk kesejahteraan rakyat dan membesarkan partai.”41 Terpilihnya Hugua sebagai Ketua PDI.P Sultra, dipertemukan pada kepentingan yang hampir sama antara partai dan Hugua. Pada sisi Hugua, PDI.P sangat dibutuhkan untuk tetap mem-back-up pemerintahannya di legislatif, serta memuluskan dirinya untuk bertarung kembali pada Pemilukada Wakatobi 2011. Belakangan Hugua berkepentingan mewariskan kesuksesan politik dirinya kepada keluargannya. Hal ini tampak pada pencalonan istrinya, Ratna Lada Pada Pemilu 2009, kursi PDI.P di Wakatobi berjumlah 5. Wawancara dengan Agus Sanaa (Wakil Sekertrais DPD PDI.P Sultra), 19 Agustus 2016, pukul 16.30 WITA. 41 178 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 sebagai Caleg DPR-RI dari PDI.P serta adik iparnya Nursalam Lada sebagai Caleg DPRD Provinsi. Ratna Lada gagal melenggang ke Senayan, namun adik iparnya Nursalam Lada lolos sebagai anggota DPRD Sultra dan ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPRD. Dominasi dan keberhasilan PDI.P menjadi partai penguasa (the rulling party) di Wakatobi, menjadi pembeda dengan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara yang didominasi oleh Partai Golkar, PAN dan Partai Demokrat. Selama dipimpin Hugua, PDI.P Wakatobi pada Pemilu 2009 menguasai 20 % suara (5 kursi) di legislatif. Sejak menjabat Ketua PDI.P Sultra, ia berhasil memenangkan dirinya dalam Pemilukada Wakatobi tahun 2011 dan menaikan perolehan kursi legislatif PDI.P Tahun 2014 di hampir seluruh Kab/Kota dan Provinsi di Sulawesi Tenggara. Di tingkat Propinsi PDI.P mendudukan 5 wakilnya, sekaligus merebut posisi wakil ketua DPRD Provinsi. Pencapaian ini secara perlahan menjadikan PDI.P mendekati dominasi PAN, Golkar dan Demokrat di Sulawesi Tenggara. Kesuksesan Hugua di bidang politik berlangsung pula di bidang ekonomi. Ia muncul sebagai salah satu elit politik Wakatobi yang memiliki aset dan kekayaan material besar. Di Wakatobi Hugua dikenal sebagai pemilik Patuno Resort dan Pata Pulo Travel.42 Dalam rangka mencapai kesukesan ekonomi, Hugua melakukan berbagai strategi demi memberikan keuntungan bagi usahanya. Hugua mewajibkan kepada setiap pegawai pemerintah yang bepergian untuk menggunakan tiket yang dipesan melalui Pata Pulo Travel. 43 Hugua secara intens menyelenggarakan kegiatan dan promosi untuk menarik wisatawan, yang secara bersamaan terselip kepentingan bisnis Hugua yaitu terisinya resort-resort di Patuno Resort merupakan satu-satunya resort yang berada ibukota Kabupaten (Wangi-Wangi). Hal ini menjadikannya sangat strategis bagi siapa saja yang berkunjung ke Wakatobi, baik untuk tujuan wisata maupun sekedar menghadiri acara pemerintahan. Untuk bisa menginap di Patuno Resort pengunjung harus menyediakan minimal Rp. 750.000 /malam. Sementara itu, Pata Pulo Travel merupakan perusahan yang bergerak dibidang agen penyedia tiket pesawat. 42 Wawancara dengan Muhamad Daulat 5 Agustus 2016, pukul 20.30 WITA 43 Wakatobi, diantaranya Patuno yang merupakan resort miliknya. Sejak berdirinya Patuno Resort dan Pata Pulo Travel, Hugua seringkali mencampuradukkan kepentingan pemerintah daerah dan kepentingan bisnis pribadinya. Patuno Resort dan Pata Pulo Travel menjadi mesin ‘pencetak uang’ bagi Hugua. Kedatangan banyak pengunjung di Wakatobi selain meningkatkan PAD turut menambah akumulasi kapital Hugua dari hasil sewa wisatawan, yang menginap di Patuno Resort dan menggunakan agen perjalanan Pata Pulo Travel. Penuturan Daryono Moane (Mantan Ketua DPRD Wakatobi/PDI.P) Patuno Resort dan Pata Pulo Travel adalah asset Hugua yang terlihat. Menurutnya Hugua juga memiliki sejumlah tanah di Wakatobi dan Kendari, serta rumah di Australia.44 Wawancara dengan salah satu akademisi asal Wakatobi yang bekerja di Universitas Muhamadiyah Buton menceritakan hal ini: “Semua orang sudah tahu bahwa Hugua adalah pemilik Patuno Resort dan Pata Pulo Travel. Hugua juga memiliki banyak tanah di Wakatobi dan Kendari. Ia juga memiliki rumah di Kendari.”45 Penguasaan aset oleh Hugua dikonfirmasi pula Muhamad Daulat, seorang aktivis anti korupsi lokal. Daulat menyebut bahwa banyak tanah dan lahan kosong di Wakatobi dimiliki oleh Hugua yang dibeli dengan harga murah, pengambilan secara paksa dari warga serta diperoleh melalui pematokan tanah/pulau yang belum berpenghuni. Sumiman Udu seorang akademisi Universitas Halu Oleo asal Wakatobi menuturkan, pengembangan Pariwisata Wakatobi menyebabkan hilangnya tanah Sara dan memicu perlawanan masyarakat adat terhadap Negara.46 Tanah menjadi alat akumulasi dan perlindungan kekayaan para elit politik dan Daryono Moane, “Korupsi Bupati Wakatobi”, 26 April 2013, http://www.kompasiana.com/putrawaka/korupsi-bupati-waktob i_552fa49e6ea83434098b4591 (diakses pada 5 Agustus 2016). 44 45 Wawancara dengan Rasman 31 Juli 2016, pukul 20.30 WITA Lihat Sumiman Udu, “Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanh Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat”. Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity and Future, Bali 9-10 Februari 2012. 46 Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 179 ekonomi di Wakatobi. Menurut Daulat, seorang pejabat Wakatobi diduga pernah melakukan gratifikasi tanah kepada seorang petinggi Polri yang bertugas di Wakatobi demi mengamankan dirinya dari pengusutan kasus korupsi. Dugaan korupsi yang melibatkan Hugua menurut Daulat telah berlangsung sejak awal pemerintahannya.47 Sementara itu dugaan korupsi yang melibatkan Hugua dihimpun oleh Wakatobi Information Agency (WAINA). Selain insentif PPB, WAINA menemukan dugaan korupsi belanja subsidi kepada perusahaan penerbangan Express Air sebesar Rp. 2.550.000.000. Kedua kasus tersebut telah dilaporkan oleh WAINA pada Kepolisian Republik Indonesia. Namun hasil penyelidikan Polri mengklarifikasi bahwa dugaan korupsi subsidi penerbangan Express Air belum ditemukan unsur pidana, sedangkan dugaan korupsi insentif PBB, Polri tidak dapat menangani dikarenakan telah diusut oleh pihak kejaksaan. 48 Seteru politik Hugua, Daryono Moane (mantan Ketua DPRD Wakatobi/PDI.P) mengungkapkan lebih banyak dugaan korupsi di Wakatobi, diantaranya pengadaan kapal laut, pengadaan pipa dan dana sharing PNPM.49 Daulat bercerita bahwa pada tahun 2005 Wakatobi mendapatkan insentif pajak bumi dan bangunan dari pemerintah sebesar Rp. 1.694.218.018. Uang hasil insentif pajak ini dibagi-bagi kepada elit politik dan birokrasi Wakatobi. Bagian terbesar diperuntukan kepada Bupati, Wakil Bupati dan Sekertaris Daerah sebesar 43 %, 22 % diperuntukan kepada Kepala Dinas Pendapatan Wakatobi, asisten Setda Kabupaten Wakatobi dan Kepala Kantor pelayanan PBB Bau-Bau. Sisanya sebesar 35 % diperuntukan kepada unsur sekertaris dan anggota tim intensifikasi PBB. Instruksi pembagian insentif pajak ini merujuk pada surat perintah Bupati Wakatobi, Hugua, dengan nomor 973/334. Wawancara dengan Muhamad Daulat dan kutipan salinan Surat Perintah Bupati Wakatobi Nomor 973/334 dan lampiran 47 Hasil klarifikasi POLRI atas pengaduan masyarakat. Wakatobi Invormatian Agency 48 49 1). Proyek pengadaan kapal ikan pada TA 2007 melalui penunjukkan Bupati yang jatuh kepada Nursalam Lada (Adik Ipar Bupati) dengan total anggaran Rp. 7 miliar. Menurut Daryono, kapal tersebut tidak pernah dipakai oleh nelayan, karena sebelum serah terima kepada nelayan kapal-kapal tersebut telah rusak. 2). Dugaan korupsi pengadaan pipa untuk air minum sebesar Rp. 30 miliar yang dianggarkan pada dua APBD (APBD Kabupaten dan ABPD Propinsi). 3). Tidak adanya pertanggung jawaban atas dana sharing PNPM yang setiap tahunnya mencapai Rp. 3 s/d 4 miliar. Daryono Moane, “Korupsi Bupati Wakatobi”, 26 April 2013, http://www. kompasiana.com/putrawaka/korupsi-bupati-waktobi_552fa4 9e6ea83434098b4591 (diakses pada 5 Agustus 2016). Selain itu, Hugua dikenal memiliki kedekatan dengan pengusaha Ceng Ceng, seorang kontraktor asal Bau-Bau. Di Wakatobi Ceng Ceng sangat familiar, ia dikenal sebagai kontraktor yang kerap memenangkan tender proyek.50 Kehebatan Ceng Ceng ini diakui pula oleh salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan miliknya. “Ceng-Ceng merupakan kontraktor yang telah lama bermain (menangani proyek) di Wakatobi. Proyek besar di Wakatobi selalu dimenangkan oleh Ceng Ceng. Jika ada kontraktor selain Ceng Ceng yang memenangkan tender, nilai proyeknya sangat kecil, itu sisa-sisa/buangan Ceng Ceng.”51 Guna mendapatkan banyak proyek, Ceng Ceng mendirikan lebih dari satu perusahan yaitu Golden Prima Wakatobi dan Tunas Mandiri (praktek kartel). Ia juga kerap menyewa perusahan lain demi menghindari kecurigaan publik dan badan pemeriksa. Jenis proyek yang dikerjakan oleh Ceng Ceng diantaranya adalah jalan yang didanai oleh APBD Kabupaten dan jalan inspeksi Bandara Mataohara. Sang karyawan menuturkan, kemenangan Ceng Ceng dalam tender proyek di Wakatobi didukung oleh ketersediaan peralatan yang lengkap (alat berat, seperti: mesin pengeruk) yang tidak dimiliki oleh kontraktor lain. Bermodal kelengkapan perlatan itu, Ceng Ceng meski tidak memenangkan tender, ia seringkali diminta oleh pemenang tender (kontraktor lain) untuk mengerjakan proyek yang dimenangkan, atau sekedar meminjam peralatan melalui komitmen pembagian keuntungan. Ceng Ceng juga dianggap berpengalaman dalam mengerjakan proyek di Kepulauan Wakatobi, sejak masih bergabung dengan Kabupaten Buton. Keunggulan Ceng Ceng lainya adalah memiliki hubungan baik dengan para penguasa di era otonomi daerah. Hubungan baik dipelihara melalui sikap royalnya terhadap penguasa yaitu menjadi donatur pada pagelaran politik penting. Menurut karyawan yang bekerja di perusahan Nama Ceng Ceng adalah nama yang dikenal oleh warga Wakatobi, saat penulis berkunjung ke Tomia disana sedang dikerjakan pengaspalan jalan kabupaten. Sang sopir bercerita bahwa proyek dikerjakan oleh Ceng Ceng, kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek di Wakatobi. Wawancara dengan A , Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi, 6 Agustus 2015, pukul 17.00 WITA 50 51 Wawancara dengan N, 7 Agustus 2016, pukul 08.30 WITA 180 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Ceng Ceng, ‘sang bos’ sampai tahun 2015 merupakan salah satu donatur utama Hugua dalam kegiatan politik. Perpisahan keduanya berlangsung pada Pemilukada 2016, Hugua mendukung Haliana, sementara Ceng Ceng memberikan dukungan kepada Arhawi (Bupati terpilih Wakatobi periode 2016-2021).52 Arhawi merupakan Ketua DPD PAN Wakatobi dua periode, 2007-2012/2012-2017. Pada Pemilu 2009, PAN berhasil mendudukan 3 kursi di legislatif sekaligus menempatkan Arhawi sebagai wakil ketua DPRD. Dua tahun menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD (20092011), Arhawi terpilih sebagai wakil bupati mendampingi Hugua. Saat menjabat sebagai Wakil Bupati, Arhawi dipercaya memimpin organisasi kepemudaan, KNPI dan Kwarcab Pramuka Wakatobi periode 2011-2015. Di partai, Arhawi tetap dipercaya memimpin PAN Wakatobi. Hasilnya pada Pemilu 2014 PAN berhasil mengirimkan 7 wakilnya di legislatif, perolehan suara PAN hanya berselisih 1 kursi dengan PDI.P, partai yang sangat dominan di Wakatobi. Kesuksesan politik Arhawi diwariskan pula pada keluarganya, Sukardi dan Hamiruddin. Kakak dan ipar Arhawi ini pada Pemilu 2014, terpilih menjadi anggota DPRD Wakatobi dari PAN. Arhawi dan Hugua memimpin partai yang berbeda, namun keduanya sangat harmonis (tidak terlibat konflik) dalam menjalankan pemerintahan sebagai Bupati-Wakil Bupati53 terkecuali menjelang Pemilukada Wakatobi 2016. Rivalitas politik keduanya tampak ketika PDI.P dan PAN tidak lagi berkoalisi, Hugua sebagai Ketua PDI.P Sultra mendukung Haliana-Syawal, sementara PAN mendukung Arhawi untuk menjadi Bupati Wakatobi periode 2016-2021. 52 Wawancara dengan N, 7 Agustus 2016, pukul 08.38 WITA LIPI menemukan hampir 95 persen pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga mengalami pecah kongsi atau konflik. Kementerian Dalam Negeri pernah merilis data bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil pilkada langsung dari tahun 2005 hingga 2013 sebesar 94,6 persen pecah kongsi. Liputan 6, “Mendagri: 95% Kepala Daerah & Wakilnya Pecah Kongsi Tengah Jalan” 10 Maret 2014, lihat http://news.liputan6. com/read/2020702/mendagri-95-kepala-daerah-wakilnyapecah-kongsi-tengah-jalan diakses tanggal 6 Agustus 2016. 53 Persaingan dalam Pemilukada berakhir dengan kemenangan tipis Arhawi atas Halina.54 Kemenangan Arhawi pada Pemilukada Wakatobi tidak terlepas dari dukungan PAN dan Nur Alam sebagai pimpinan PAN saat itu dan Gubernur Sultra. 55 Di samping itu, Arhawi juga memiliki basis material yang setara bahkan melampui Hugua. Jika Hugua memiliki Patuno Resort dan Pata Pulo Travel, Arhawi merupakan pemilik Askar Saputra Grup, perusahan perkapalan yang melayani angkutan penumpang dan barang yang beroperasi di dalam dan luar Sulawesi Tenggara (Maluku, Maluku Utara, Papua dan Sulawesi). Grup Askar tercatat memiliki beberapa cabang perusahaan dan puluhan kapal angkut penumpang dan barang. Arhawi sebagai pemilik Grup Askar memiliki kekayaan sebesar Rp.44.150.947.948.56 Hugua dan Arhawi adalah elit politik yang juga menjadi elit ekonomi di Wakatobi. Hal yang membedakan keduanya adalah Hugua memiliki kekayaan setelah menjadi Bupati, sementara Arhawi sebelum memasuki dunia politik telah memiliki basis material besar. Arhawi memiliki latar belakang pengusaha dan pernah menjadi Ketua KADIN Wakatobi pada periode 20062008, sedangkan Hugua berlatar belakang aktivis. Meminjam pendapat Winters, masuknya Arhawi dalam politik merupakan bagian dari upaya menambah dan mempertahankan kekayaan57, meski hal ini tentu perlu dibuktikan hingga akhir periode kepemimpinannya sebagai Bupati. Keberadaan Askar Saputra Grup sangat berkontribusi dalam memenangkan Arhawi Hasil pleno KPU Waktobi, Pilkada Wakatobi dimenangkan oleh pasangan Arhawi-Ilmiati Daud dengan selisih 777 suara atau 0,7 persen. 54 Nur Alam merupakan Ketua DPW PAN Sultra tiga periode. Tahun 2016, setelah ia tidak terpilih menjadi Ketua DPW PAN dan memilih untuk istrahat dari kepartaian. Uraian lebih lengkap tentang sosok Nur Alam, baca Eka Suaib dan La Husen Zuada, “Fenomena Bosisme Local di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara”, Jurnal Penelitian Politik LIPI. Vol.12, No.2. 2015. Baca pula Eka Suaib dan La Husen Zuada, “Institusionalisasi Partai Politik: Studi Kasus Hegemoni PAN di Sulawesi Tenggara”, Jurnal The Politics. Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Vol. 2 No.1 Tahun 2015. 55 Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara yang disetor di KPUD Wakatobi 56 57 Lihat Jeffrey Winters, Oligarki, hlm. 18 Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 181 pada Pemilukada Kabupaten Wakatobi. Laporan Bawaslu Sultra mencatat, PT. Askar Saputra Lines merupakan salah satu penyumbang biaya kampanye Arhawi.58 Kapal milik PT. Askar Saputra menjadi alat pertukaran suara antara kandidat dan pemilih (klientalisme). Pola klientalisme yang dipraktekan yaitu dengan menggratiskan atau memotong tiket penumpang pengguna kapal milik Arhawi (PT. Askar Saputra).59 Kapal Arhawi pada saat Pemilukada digunakan sebagai alat intimidasi bagi penduduk yang berbeda pilihan politik. Sebuah surat kabar memberitakan tindakan intimidasi dan perlakuan tidak menyenangkan yaitu larangan naik kapal dan pengusiran penumpang PT. Askar yang tidak berpihak pada salah satu calon bupati.60 Lebih lanjut menurut salah satu fungsionaris PDI.P Sultra, pada Pilkada 2015 kapal milik Arhawi digunakan sebagai alat mobilisasi pemilih (mendatangkan pemilih) dari luar daerah. Para pemilih ini adalah orang-orang Wakatobi yang merantau ke Indonesia bagian timur seperti, Papua, Taliabu dan Maluku.61 Mobilisasi pemilih dari luar daerah merupakan salah satu pola yang ditemukan oleh Bawaslu Sultra pada penyelenggaraan Pemilukada serentak 2015.62 Saat Pemilukada, para penduduk Wakatobi yang berada di luar daerah (merantau) kembali ke Sultra dengan alasan pulang kampung. Diantara mereka ada yang telah memiliki KTP dan tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT), maka dengan pulang kampung mereka bisa memilih. Ada pula yang memiliki KTP tapi tidak tercatat dalam DPT, maka berdasarkan PKPU No. 10 Tahun 2015 mereka berhak untuk memilih. Bagi mereka yang belum memiliki KTP, maka dibuatkan KTP baru. Selain Hugua dan Arhawi, nama lain yang cukup dikenal di Wakatobi adalah Mr. Lorenz Mader, pemilik Wakatobi Dive Resort (WDR) yang berlokasi di Pulau One Mobaa, Desa Lamanggau Kecamatan Tomia. Lorenz biasa disapa merupakan warga negara Swiss yang berinvestasi di Wakatobi. Lorenz merintis berdirinya WDR sejak tahun 1995 dan mendapatkan izin dari Bupati Buton lima tahun kemudian (tahun 2000). Kehadiran WDR cukup kontroversial dikalangan masyarakat, pemerintah dan pihak keamanan. Pro kontra masyarakat terkait keberadaan WDR diantaranya menyangkut sewa lahan yang dipersoalkan oleh pemilik lahan63, kontribusi bagi masyarakat sekitar, larangan terhadap nelayan setempat untuk mencari ikan, pelanggaran ketanagakerjaan dan ancaman keamanan/kedaulatan negara. Menurut salah satu ahli waris pemilik lahan yang disewa oleh Lorenz, surat perjanjian sewa menyewa lahan milik warga dilakukan secara illegal dan penuh manipulasi. “Lorenz menyewa lahan warga tanpa sepengetahuan pemilik lahan. Pemilik lahan tiba-tiba dikirimkan/serahkan akta notaris yang telah ditanda tangani dan menyebutkan bahwa lahan tersebut telah disepakati untuk disewa oleh Lorenz selama 30 tahun. Akta notaris itu mengangetkan kami, karena orang tua dan ahli waris tidak pernah menanda tangani apalagi menyetujui sewa lahan tersebut. Kami kemudian menyapaikan protes pada pemerintah setempat. Namun saya justru mendapatkan ancaman kekerasan dari preman dan keluarga Baharudin Isa (mantan Camat Tomia) dengan menuduh saya telah mencemarkan nama baik orang tua mereka (Baharudin Isa). Atas peristiwa tersebut, saya diamankan oleh keluarga”.64 Bawaslu Sultra, “Laporan Akhir Hasil Pengawasan Bawaslu Sultra”, 2016, hlm. 76 58 Salinan putusan MK. Nomor 117 PHP-BUP-XV/2016, tentang sidang sengketa Pilkada Wakatobi Tahun 2015, hlm. 8 59 Kompas, “ Penumpang diturunkan dari kapal gara-gara beda pilihan”, 5 Januari 2016, http://regional.kompas.com/ read/2016/01/05/15094811/Penumpang.Mengaku.Diturunkan. dari.Kapal.gara-gara.Beda.Pilihan.di.Pilkada (diakses pada 6 Agustus 2016). 60 Wawancara dengan Agus Sanaa, 22 Agustus 2016, jam 16.30 WITA. Fenomena mobilisasi pemilih dari luar daerah di Wakatobi pernah terungkap dalam Pemilukada tahun 2011. Lihat Putusan MK Nomor 40/PHPU.D-Ix/2011 tentang sidang sengketa Pilkada Wakatobi Tahun 2011, hlm. 8 61 Wawancara dengan Munsir Salam, Komisioner Bawaslu Sultra, 28 Juni 2016, pukul 09.30 WITA 62 Penuturan warga setempat, lahan mereka disewa oleh Lorenz melalui perjanjian yang dibuat oleh Camat. Pemilik lahan tidak pernah mengetahui isi perjanjian antara Lorenz dan Lihat Marwan, Studi Ekonomi Politik: Pengelolaan Pariwisata Di Kabupaten Wakatobi. (Skripsi: Program Studi Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2014), hlm. 92 63 64 Wawancara dengan S, 8 Agustus 2016, pukul 21.00 WITA 182 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Camat. Atas bantuan Camat pula Lorenz menggunakan lahan di Pulau Tomia sebagai lokasi berdirinya lapangan terbang (Lapter) Maranggo, tempat pendaratan pesawat milik Lorenz.65 Setiap seminggu sekali pesawat milik Lorenz membawa wisatawan langsung dari Bali, tanpa melalui bandara Mataohara, Wakatobi. Dengan itu, Pemda Wakatobi mendapatkan sedikit keuntungan atas keberadaan bandara tersebut, kecuali sewa tanah yang diterima langsung oleh pemilik tanah. Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, keberadaan WDR menyumbang PAD sebanyak 106 juta pada tahun 2002 dan setiap tahun terus mengalami peningkatan.66 Para wisatawan untuk bisa menginap dan menikmati fasilitas WDR dikenakan biaya Rp. 4.500.000 /malam.67 Dari sisi keamanan dan kedaulatan Negara penguasaan lapangan terbang oleh orang asing sangat membahayakan. Lapangan terbang merupakan salah satu infrastruktur vital dalam pertahanan sebuah wilayah/negara. Lapter menjadi pintu masuk sebuah wilayah, sehingga pengawasan negara terhadap lapangan terbang tidak kalah vital. Pada saat penulis melakukan observasi di Tomia, menemukan begitu ekslusifnya Lapter Maranggo dan WDR, hanya atas izin Lorenz untuk bisa mengaksesnya. Para tamu WDR juga ekslusif, ketika mendarat di Lapter Maranggo telah disediakan mobil dan kapal khusus untuk mengangkut orang dan barang para tamu WDR, tanpa melalui pemeriksaan aparat keamanan atau otoritas lainnya. Para tamu WDR juga tidak membaur dengan masyarakat, seperti wisatawan pada umumnnya yang kerap mengunjungi tempatKepemilikan Tanah di lokasi Lapter Maranggo kontroversial. Pada tahun 2009 seorang warga bernama L.M. Urufi Prasad,SH.,MH (ahli waris pemilik tanah) menggugat Lorenz, Bupati Wakatobi, Bupati Buton. Ketua DPRD Wakatobi, Ketua DPRD Buton dan Camat Tomia atas penggunaan lahan miliki orang tua penggugat dan warga Tomia. Putusan Mahkamah Agung Republik Indoensia, 21 Desember 2011 file:///C:/ Users/hp/Downloads/2326_K_Pdt_2011.pdf (diakses pada 6 Agustus 2016). 65 Lihat Nur Ayu, Zulkhair Burhan, Beche BT. Mamma, “Dampak Investasi Pt. Wakatobi Dive Resort Pada Sektor Pariwisata One Mobaa Serta Potensi Perkembangan Ekonomi Masyarakat Lamanggau”, Jurnal Paradigma. Vol. 003, Nomor. 003, Juli 2015, hlm. 296. 66 Wawancara dengan A, Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi, 7 Agustus 2015, pukul 08.00 WITA 67 tempat umum atau warga. Di WDR, wisatawan sangat terjaga hak-hak individu dan privasinya, tanpa ada yang mengganggu. Inilah menjadikan WDR menjadi salah satu tujuan wisata favorit. Penuturan seorang warga menyebut, antusiasme wisatawan yang ingin ke WDR mirip dengan antrian yang ingin naik haji.68 Lorenz sangat berkuasa, ia melarang dan mengusir nelayan setempat yang mencari ikan di sekitar resort miliknya. Penuturan Muhamad Daulat, Kapolda Sultra pernah suatu ketika memasuki wilayah Tomia dan hendak berlabuh di pelabuhan milik Lorenz namun tidak dibolehkan. Sikap WDR membuat Kapolda marah dan memerintahkan jajarannya menyelidiki sikap ekslusif WDR, namun pengusutan itu tidak dilanjutkan, setelah Kapolda mendapatkan surat dari Kementrian Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia.69 Selain memiliki relasi dengan oknum pemerintah pusat, Lorenz memiliki hubungan bisnis dengan tokoh lokal Tomia (Baharudin Isa). Mantan camat Tomia ini merupakan tokoh yang memfasilitasi Lorenz dalam penyewaan tanah di lahan bisnis miliknya. Atas hal itu, masyarakat Tomia mengenal Baharudin Isa sebagai pemilik pulau One Mobaa (lokasi berdirinya WDR). Baharudin Isa juga dikenal sebagai orang kaya di Tomia, berkat ketokohan dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan ia sangat disegani. Hal ini pula yang menjadikan anaknya, Ariati terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Wakatobi pada Pemilu 2014 lalu. Masyarakat Tomia mengenal Ariati sebagai anak Baharudin Isa yang sempat menempuh kuliah jurusan kesehatan masyarakat, namun ia tidak menyelesaikan karena terpilih menjadi anggota DPRD. Pada Pemilu 2014, Ariati menjadi anggota legislatif mewakili PAN, partai yang dipimpin oleh Arhawi di Wakatobi dan Nur Alam di Sulawesi Tenggara.70 Nur Alam dan Arhawi saat kampanye Pemilukada Wakatobi 2015 di Tomia menginap di WDR Wawancara dengan D, aktivis Tomia, 21 Oktober 2016, pukul 13.00 WITA 68 Wawancara dengan Muhamad Daulat, 5 Agustus 2016, pukul 21.00 69 PAN merupakan peraih kursi terbanyak kedua di Wakatobi (dibawah PDI.P). Sejak 2006 sampai saat ini PAN Wakatobi diketuai oleh Arhawi. Sementara Nur Alam merupakan Ketua DPW PAN Sultra hingga tahun 2016. 70 Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 183 milik Lorenz. Keterbukaan WDR menerima tamu yang masuk lewat Wakatobi diluar kebiasaan atau prosedur yang lazim berlangsung selama ini, mengingat menurut cerita warga Tomia yang bekerja di WDR, untuk bisa menginap di WDR harus melakukan registrasi (pintu masuk) di Bali. Dari Bali kemudian para wisatawan diantar menggunakan pesawat milik Lorenz.71 Pemerintah Wakatobi tampak lemah menghadapi Lorenz. Dugaan pelanggaran UU ketenagakerjaan oleh WDR tidak mendapatkan sanksi apapun dari pemerintah.72 Pemerintah Wakatobi juga gagal memberikan perlindungan pada warganya. Ancaman dan intimadasi terhadap nelayan oleh WDR masih terus berlangsung. Pelarangan nelayan oleh WDR sangat berdampak pada komunitas suku Bajo Lamanggau.73 Pada sebagian masyarakat Lamanggau dan Tomia, Lorenz mendapat dukungan dan sebagian masyarakat yang lain mentang. Masyarakat pendukung Lorenz beranggapan bahwa WDR sangat berkontribusi bagi kampung mereka berupa ketersediaan listrik, lapangan kerja dan pendapatan desa. Untuk diketahui, di Desa Lamanggau, Lorenz memberikan kompensasi berupa lampu penerangan (listrik) secara gratis kepada masyarakat yang bersumber dari listrik WDR. Listrik yang diberikan WDR dapat Wawancara dengan D, aktivis Tomia, 21 Oktober 2016, pukul 13.00 WITA 71 Pelanggaran perburuan di WDR terungkap setelah adanya demonstrasi para buruh yang bekerja di WDR pada tanggal 1 Agustus 2011. Sebuah sumber menyebut perlakuan yang kurang menyenangkan dari perusahaan atau pelanggaran hak pekerja di PT. Wakatobi Dive Resort sudah berlangsung sejak tahun 1996. Dalam aksi tersebut, para buruh menuntut hakhak normatif sesuai regulasi ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia seperti menuntut gaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP), pemberlakuan upah lembur, cuti haid, cuti hamil dan cuti melahirkan bagi perempuan, pemberlakuan shiff jam kerja, kontrak kerja serta hak libur hari raya. Lihat Nur Ayu, Zulkhair Burhan, Beche BT. Mamma, Op.cit, hlm. 299. Lihat pula tulisan Ismmar Indarsyah, “Nasib Tragis Buruh PT. Wakatobi Dive Resort”, 13 Maret 2012, http:// www.kompasiana.com/ismarindarsyah/nasib-tragis-buruh-ptwakatobi-dive-resort_550e7759813311c82cbc6522 (diakses pada 6 Agustus 2016). 72 Saat observasi, penulis berkesempatan wawancara dengan mereka. Melalui wawancara itu, mereka (Orang Bajo) tampak ketakutan menjawab setiap pertanyaan. Akibat larangan WDR, Orang Bajo Lamanggau mengeluhkan kehidupan dirasa semakin sulit. Namun mereka tidak mampu melawan Lorenz yang mengintimidasi melalui orang-orang lokal yang mendukung Lorenz dan ancaman pemutusan saluran listrik. 73 dinikmati oleh seluruh masyarakat Lamanggau dari pukul 18.00-24.00. Bahkan menurut penuturan warga Lamanggau, Lorenz bersedia menambah jam pasokan listrik menjadi 12 jam, asal warga Lamanggau menyanggupi permintaan Lorenz untuk menambah luas lahan yang dikuasai/sewa oleh WDR. Sebaliknya bagi mereka yang kritis terhadap WDR, Lorenz mengancam memutus aliran listrik. Selain listrik, Lorenz juga memberikan kompensasi uang kepada pemerintah desa yang berdekatan dengan WDR. Setiap Desa mendapatkan kompensasi sebesar Rp. 5.000.000 /bulan. Hal ini diakui oleh para Kepala Desa di Lamanggau, Dete dan Kahiyanga.74 WDR juga dipandang mendatangkan pekerjaan bagi warga, meski hanya sebagai pegawai rendahan. Jajaran pimpinan dan pengelola WDR berasal dari luar Wakatobi.75 Asal-usul Lorenz sebagai warga asing tidak dipersoalkan oleh masyarakat Tomia. Lorenz dianggap sebagai bagian dari masyarakat Wakatobi, setelah ia menikah dengan perempuan asal Tomia.76 U p a y a P e m d a Wa k a t o b i m e r e d a m dominasi dan ekspansi Lorenz di Lamanggau, dilakukan dengan mendirikan resort di sekitar (bersampingan) WDR. Akan tetapi resort yang dibangun Pemerintah Wakatobi ini kalah bersaing dengan WDR, yang tersisa adalah bangunan yang tidak terawat. Sebaliknya, WDR semakin berkembang berkat perlindungan politik lebih kuat, pengunjung yang terus meningkat, kekayaan material lebih banyak (aset perusahaan), fasilitas yang lengkap dan berstandar internasional serta manajemen perusahaan yang modern. Keunggulan yang dimiliki WDR berhasil mengokohkan kekuasaan Lorenz atas tanah dan laut pulau One Mobaa, memunculkan polarisasi antar warga serta membungkam suara kritis warga desa sekitar Wawancara penulis dengan Kepala Desa Lamanggau, Dete dan Kahiyanga, 5-7 Agustus 2016 74 Pimpinan perusahan (WDR) setingkat manajer berasal dari luar Wakatobi (orang Bali). Posisi tertinggi yang dijabat oleh orang lokal adalah kepala keamanan (Satpam). Selain sebagai Satpam, penduduk local dipekerjakan sebagai buruh cuci, buruh masak dan tukang kebersihan. Observasi 7 Agustus 2015, pukul 14.00 WITA. 75 Wawancara dengan A, Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi, 7 Agustus 2015, pukul 08.00 WITA 76 184 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 lokasi WDR. Disisi lain, atas penguasaan pulau One Mobaa, Lorenz dipandang melanggar dan mengancam kedaulatan wilayah, diantaranya berkaitan dengan keberadaan bandara dan penguasaan pulau One Mobaa. Suatu ketika, pada tahun 2008 Pulau One Mobaa berganti menjadi pulau Lorenz. Peristiwa ini berawal setelah info cellular ponsel masyarakat dan wisatawan yang berkunjung atau hanya sekedar melewati batas resort One Mobaa bertuliskan pulau Lorenz.77 Saat penulis berkunjung di Tomia, penyebutan pulau Lorenz ini lebih populer dibanding pulau One Mobaa. Dampak oligarki dan Eite Penentu Dalam Pembangunan Perdesaan Hugua dan Arhawi merupakan kelompok oligarki di Wakatobi. Mereka menguasai sumber daya politik dan perekonomian Wakatobi. Mereka mempertahankan pendapatan dan menambah kekayaan dengan bersandar pada kekuasaan dan jejaring politik yang mereka miliki. Diantara mereka bersaing satu sama lain, kadang menjadi teman dan juga lawan, namun tidak saling meniadakan, sehingga kelompok oligarki ini tetap bertahan. Selain mereka, konstalasi politik dan ekonomi di Wakatobi sangat dipengaruhi oleh keberadaan elite penentu seperti elite ekonomi, birokrat dan aktivis. Elite ekonomi di Wakatobi diantaranya ada pada Lorenz dan Ceng Ceng, sedangkan elite birokrat yang bertransformasi menjadi elite ekonomi ada pada mantan birokrat seperti: Baharudin Isa, elite aktivis ada pada Muhamad Ali Tembo. Bertahannya kelompok oligarki dan elite ekonomi memberikan dampak positif maupun negatif bagi pembangunan kawasan perdesaan Wakatobi. Pertama, menggairakan per-ekonomian daerah. Perekonomian Kabupaten Wakatobi bila dilihat dari struktur PDRB, pertanian merupakan sektor paling berperan. Meski demikian kontribusi PDRB berdasarkan pembagian pada tiga sektor—primer (pertanian dan penggalian), sekunder (industri, listrik dan bangunan) dan tersier (perdagangan, hotel, restoran, keuangan Saat penulis berkunjung ke Desa Lamanggau lokasi WDR berdiri tepat berada disebelah selatan Pulau Tomia yang berhadapan dengan pelabuhan Usuku. Pulau yang oleh masyarakat Tomia dikenal sebagai pulau One Mobaa, kini penyebutannya telah berganti menjadi pulau Lorenz. 77 dan jasa-jasa)—, tersier berkontribusi paling besar terhadap PDRB Wakatobi (52,37 %), disusul sektor primer (33,16 %) dan sektor sekunder (10,15 %). 78 Sektor primer mempekerjakan banyak orang namun minim modal (padat karya), sebaliknya sektor sekunder dan tersier mempekerjakan sedikit orang namun memiliki modal besar (padat modal). Sektor sekunder dan tersier di Wakatobi dikuasai oleh kelompok oligarki dan elit ekonomi. Sektor jasa misalnya: resort—Patuno dan WDR—, hotel dan penginapan milik Hugua dan Lorenz. Sektor konstruksi dikelola oleh Ceng Ceng dan sektor transportasi dimiliki oleh Arhawi (PT. Askar Saputra) dan Hugua (Pata Pulo Travel). Penguasaan sektor yang padat modal dan minim tenaga kerja oleh kelompok oligarki dan elite ekonomi, menjadi pemicu ketimpangan pendapatan di Wakatobi. Meski hal itu, tidak dipungkiri keberadaan kelompok oligarki dan elit ekonomi ikut menumbuhkan perekonomian daerah. Pada tahun 2008-2012, perekonomian Wakatobi tumbuh mendekati 10 %, ini sejalan dengan peningkatan IPM diatas rata-rata.79 Pertumbuhan ekonomi Wakatobi ditunjukkan dengan peningkatan PDRB setiap tahun. Tabel. 3. PDRB Wakatobi Tahun 2012-2014 Sektor Perekonomian Pertanian Penggalian Industri Pengolahan Listrik & Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi, komunikasi Keuangan, R. Estate & Jasa persewahan Jasa kemasyarakatan sosial PDRB 2012 510,397.05 327,336.37 83,960.55 5,514.26 279,025.44 267,310.76 52,548.91 80,191.38 283,410.40 1,889,695.12 2013* 546,607.07 346,722.28 90,193.18 6,076.70 304,734.48 294,777.36 57,035.22 84,368.09 306,745.97 2,037,260.37 2014** 584,489.82 361,430.46 101,772..57 6,672.92 332,608.71 320,274.73 59,458.35 90,898.75 339,516.81 2,197,123.11 Sumber: BPS Wakatobi 2016. *angka sementara **angka sangat sementara Kedua, peningkatan kunjungan wisata. Upaya pemerintah Wakatobi menggenjot sektor Pemerintah Daerah Wakatobi, “Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan Kabupaten Wakatobi Tahun 2014”, hlm. 22. 78 IPM diatas rata-rata tetap menjadi catatan karena secara peringkat dan capaian, IPM Wakatobi masih berada dibawah rata-rata provinsi dan menduduki peringkat 10 terendah dengan perolehan 66,95 pada tahun 2014 79 Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 185 pariwisata dan sejumlah bisnis yang dimiliki oleh kelompok oligarki dan elit ekonomi berdampak pada peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Wakatobi, sehingga memberikan multiplayer efek pada peningkatan PAD dan PDRB setiap tahunnya. Tabel. 4. Jumlah Kunjungan Wisata dan PAD Wakatobi Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Jumlah Kunjungan Wisata 6793 7698 6332 12370 14270 PAD (dalam juta Rp) 415 190,58 482 495,68 535,111.13 Sumber: BPS (diolah kembali oleh peneliti). Ketiga, membuka lapangan pekerjaan baru. Secara umum serapan lapangan pekerjaan selama sepuluh tahun terakhir (2006-2015) di Wakatobi mengalami peningkatan (6,56 %). Meski demikian secara parsial ada yang mengalami penurunan, seperti sektor pertanian (20,46 %), perdagangan (20,34 %), keuangan dan persewahan (49,49 %). Tabel. 5. Perkembangan Pekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama (Orang), di Wakatobi, 2000,2006, 2015. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Lapangan Usaha Pertanian Penggalian Industri Listrik, Air Konstruski Perdagangan , akomodasi Transportasi, komunikasi Keuangan, persewahan Jasa kemasyarakatan sosial Lainnya Total (Orang) 2006 23,566 486 1,582 54 972 5,889 2,425 396 3,499 38,869 2015 18,743 1,368 1,875 3,021 4,691 3,350 200 8,173 41,421 Sumber: BPS (diolah kembali oleh penulis) Sebaliknya kenaikan terjadi pada sektor penggalian (281,48 %), industri (118,52 %), konstruksi (310,80 %), transportasi dan komunikasi (138,43 %), jasa (233,58 %). Kenaikan ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah Wakatobi yang memfokuskan pembangunan pada sektor pariwisata, yang membutuhkan daya dukung dari sektor konstruksi, transportasi dan jasa-jasa milik para oligarki dan elit ekonomi. Keempat, kemudahan akses transportasi. Bisnis para oligarki dan elite ekonomi berkontribusi pada peningkatan alat dan jaringan transportasi di Wakatobi selama sepuluh tahun terakhir. Tabel. 6. Alat & Jaringan Transportasi di Wakatobi Tahun 2006- 2015 No Alat dan jaringan Transportasi 1 Jalan (km) 2 Bandara/Lapter 3 Dernaga/Pelabuhan 4 Angkutan pedesaan (unit) 5 Angkuatan penyebarangan (unit) 6 Kendaraan Bermotor Sumber: BPS (Diolah kembali) Tahun 2006 284,30 1 2176 Tahun 2015 419.010* 2** 24 139 17 2778 *Kondisi jalan baik (24,63 %), sedang (14,99 %), rusak (20,86 %), rusak berat (5,27 %), tidak terinci (34,22 %). ** Bandara/Lapter yaitu Bandara Mataohara milik Pemda Wakatobi dan Lapter Maranggo milik Lorenz. Ketersediaan sarana transportasi menjadikan wilayah Wakatobi mudah diakses. Keberadaan Bandara Mataohara mempercepat waktu tempuh menuju dan dari Wakatobi. Keberadaan dermaga dan kapal milik PT. Askar Grup ikut memperlancar mobilitas barang dan orang, ini ditandai dengan peningkatan arus penumpang selama delapan tahun terakhir. Berbeda dengan itu, arus barang justru mengalami penurunan bobot. Hal ini dipicu oleh keberadaan sektor industri di Wakatobi yang terus tumbuh, sehingga secara perlahan mampu memproduksi barang yang diperlukan oleh masyarakat lokal. Tabel. 7. Arus Penumpang dan Barang di Wakatobi Tahun 2006 dan 2014 Tahun 2006 2014 Penumpang Naik Turun (orang) (orang) 52.867 60.865 121.703,00 122,946,00 Barang Bongkar Muat (Ton) (Ton) 13.672 2.182.325 895,88 849,38 Sumber: BPS (Diolah kembali oleh penulis) 186 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Tingginya mobilitas menuju dan dari Wakatobi tidak terlepas dari ketersediaan alat dan jaringan transportasi. Meskipun hal itu tetap menjadi catatan, kondisi daratan—jaringan jalan—tidak lebih baik dari infrastruktur laut. Persentase jalan baik pada tahun 2015 hanya 24,63 %, selebihnya mengalami kerusakan dalam kategori sedang hingga buruk. Tabel. 8. Peringkat Daya Saing Infrastruktur dan SDA di Wakatobi Tahun 2007 Nama Kabupaten/ Kota Kabupaten Buton Kabupaten Muna Kota Bau-Bau Kabupaten Wakatobi Kabupaten Konawe Kota Kendari Kabupaten Kolaka Kabupaten Konawe Selatan Kabupaten Bombana Kabupaten Kolaka Utara Peringkat Daya Saing Infrastruktur dan SDA VIII V IV X I III II IX VI VII Sumber: Penelitian Ira Irawati dkk, 2007. Tabel. 9. Perkembangan UMKM di Wakatobi Tahun 2011 dan 2013 Tahun 2011 2013 Jumlah Usaha Kecil Menengah 395 71 374 128 Mikro 7.209 7.925 Tenaga Kerja Kecil Menengah 1.308 329 1.200 494 Sumber: Profil Perekonomian Wakatobi 2014 Tabel di atas menampakan, jumlah usaha dan tenaga kerja sektor usaha mikro dan menengah meningkat, sebalikanya usaha kecil mengalami penurunan. Keenam, oligarki memperlebar kesenjangan pendapatan masyarakat. Wakatobi mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi, namun hal ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap penurunan angka kemiskinan dan pengurangan jumlah pengangguran. Sebuah laporan analisis pembangunan Sulawesi Tenggara mengkategorikan Wakatobi sebagai daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi tapi pengurangan kemiskinan dan pengangguran di bawah rata-rata (high-growth less-pro poor dan high-growth, less-pro job).81 Pertumbuan ekonomi tinggi Wakatobi tidak disertai dengan pemerataan pendapatan. Gambar. 1. Indeks Gini Wakatobi 2009-2012 Studi Ira Irawati dkk80 pada tahun 2007 menyebut, kondisi daya saing infrastruktur di Wakatobi masih tertinggal dibanding daerah lain di Sulawesi Tenggara. Suasana itu tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan penulis ketika berkunjung ke Wakatobi pada tahun 2015. Kelima, mendorong gairah usaha baru yang ditandai dengan pertumbuahan sektor usaha mikro, kecil dan menengah. Keunggulan sektor pariwisata dan kemudahan akses di Wakatobi ikut mempengaruhi perkembangan jumlah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta jumlah (orang) bekerja di sektor tersebut. Mikro 4.595 5.406 Indeks Gini (%) 28 2009 25 2010 34 29 2011 2012 Sumber: BPS 2016 (diolah kembali oleh penulis) Berdasarkan perhitungan BPS, rasio gini atau indeks ketimpangan pendapatan masyarakat Wakatobi mengalami peningkatan dari tahun ketahun. 82 Grafik di atas menampilkan ketimpangan pendapatan di Wakatobi semakin Perkembangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014, Seri Analisis Pengembangan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara 2015, hlm. 4-7 81 Ira Irawati Dkk, “Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah Berdasarkan Variabel Perekonomian Daerah, Variabel Infrastruktur Dan Sumber Daya Alam, Serta Variabel Sumber Daya Manusia Di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara”. Jurnal J@TI Undip, Vol VII, No 1, Januari 2012. 80 Gini rasio membagi ketimpangan pengeluaran penduduk dalam tiga kategori yaitu jika G < 0,3 berarti ketimpangan rendah, jika G ≤ 0,5 berarti ketimpangan sedang, jika G > 0,5 berarti ketimpangan tinggi. 82 Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 187 lebar. Capaian tersebut termasuk dalam kategori sedang, butuh 17 poin untuk dikategorikan sebagai ketimpangan tinggi. Jika indeks ketimpangan terus meningkat, maka ini sangat membahaya-kan bagi kestabilan sosial politik di Wakatobi. Gejala ketidakstabilan sosial itu setidaknya terlihat pada munculnya konflik perburuhan dan agraria yang melibatkan tiga pihak, yaitu: warga, pemerintah dan swasta di Wakatobi (lihat tabel 9). yang ditetapkan oleh pemerintah Wakatobi dan Taman Nasional. Ketujuh, mahalnya harga tanah dan keterbatasan jumlah lahan. Kehadiran para investor pariwisata secara perlahan mengurangi penguasaan lahan oleh warga, akibat banyaknya tanah yang berpindah tangan (dijual) oleh orang perorang kepada pengusaha pariwisata. Kesaksian Sumiman Udu menyebut, hampir 30 % tanah-tanah rakyat yang ada di wilayah Longa, Patuno, Togo dan Wanci telah dijual kepada pendatang dan yang punya uang untuk sekedar membeli motor, handphone dan penukaran untuk jaminan lulus CPNS.83 Kesembilan, oligarki memuncul-kan konflik antara warga, pemerintah dan swasta. Konflik ini diantaranya menyangkut konflik lahan/tanah dan perburuhan. Tanah merupakan salah satu asset penting dalam meningkatkan produksi. Kelangkaan tanah akan menimbulkan konflik. Potensi konflik lahan di Wakatobi sangat mungkin terjadi, selain dikarenakan wilayah ini didominasi oleh lautan (97%) dan daratan (3 %)86, juga dipicu oleh penyerobotan dan penguasaan lahan oleh para oligarki untuk mendirikan resort, seperti: Patuno Resort dan Wakatobi Dive Resort.87 Kedelapan, kesulitan hidup nelayan. Sektor perikanan yang juga mempekerjakan banyak orang mengalami hambatan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan. Penelusuran Sumiman Udu84 dan studi yang dilakukan oleh Paul Simonin menyebut, nelayan yang bermukim di sekitar lokasi wisata dan zona pemanfaatan (suku Bajo) mengalami penurunan produktivitas dan kesulitan untuk bertahan hidup, sebagaimana dimuat dalam penuturan nelayan berikut: Pembatasan wilayah laut ini bertentangan dengan adat kebiasaan orang Wakatobi yang menjadikan wilayah pantai sebagai ruang publik mereka. Tak heran kemudian upaya pemerintah untuk menjadikan Wakatobi sebagai Badan Otoritas Pariwisata (BOP) ditentang oleh warga, karena dipandang akan semakin meminggirkan dan memiskinkan mereka. Tabel. 10. Konflik Warga, Pemerintah dan Swasta di Wakatobi. Tahun 2011 “Masalah utama yang kami hadapi adalah kami menangkap ikan lebih sedikit daripada yang biasa kami tangkap. Kami perlu ikan untuk bertahan hidup. Setiap orang di sini menangkap ikan.”85 2004saat ini Masyarakat Lamanggau dan PT. WDR 20072010 Masyarakat (Desa Matohara dan Desa Longa) dan Pemerintah Masyarakat (Desa Matohara dan Liya) dan pemerintah Masyarakat (desa Sombu) dan investor Masyarakat dan pemerintah 2010 2010 Masalah yang dialami nelayan ini dikarenakan adanya larangan dari para pengusaha dan pemerintah untuk menangkap ikan di sekitar resort milik investor, serta adanya zona larangan Lihat: Sumiman Udu, Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat, hlm. 879 83 84 Ibid, hlm. 878 Paul Simonin, Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia, hlm. 14 85 Pihak terlibat Buruh dan PT. WDR 2015 Uraian dan Jenis Konflik Tuntutan hak buruh (upah) dan pelanggaran UU Ketenagakerjaan - Larangan terhadap nelayan untuk menangkap ikan di sekitar lokasi WDR. - Sewa menyewa lahan milik warga tempat Lapter Maranggo dan lokasi berdirinya WDR. Konflik pembebasan lahan bandara Mataohara Konflik ganti rugi lahan pembangunan sekolah Internasional 'School For M arine Protected Area Rencana pembangunan perumahan Rencana proyek PLTU Penolakan warga terhadap Badan Otoritas Pariwisata Sumber: data diolah oleh penulis Buku Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Wakatobi menyebut wilayah Wakatobi terdiri atas 97 % lautan dan 3 % darat. (Tim, 2008: Bab III-15). 86 Konflik lahan di Wakatobi yang terbaru adalah adanya penolakan masyarakat tentang Badan Otoritas Pariwisata. Menurut warga BOP akan mengurangi hak-hak mereka atas lahan dan sumber kehidupan mereka sebagai nelayan. 87 188 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Keberadaan resort para oligarki tidak hanya mengurangi luas tanah milik warga, namun juga membatasi ruang gerak mereka yang berprofesi sebagai nelayan dan petani. Para petani dan nelayan dilarang untuk mencari ikan dan berkebun, akibatnya konflik menjadi sering terjadi. Disisi lain, keberadaan oligarki juga memicu konflik perburuhan akibat pelanggaran hak-hak buruh oleh perusahaan milik kaum oligarki, sebagaimana dialami oleh buruh yang bekerja di Wakatobi Dive Resort. Konflik juga sangat mungkin terjadi diantara pemangku kepentingan di bidang pariwisata yang memiliki modal kecil dan modal besar.88 Kesepuluh, oligarki berusaha mempertahankan kekayaan dengan membangun dinasti. Mereka mengusung istri, ipar, saudara sebagai anggota legislatif. Sementara elite ekonomi menjalin hubungan baik dengan elit politik lokal dan kelompok oligarki, demi menjaga kelangsungan usaha mereka, diantaranya menjadi donatur dalam kegiatan politik penting dan menyediakan fasilitas bagi para elite politik saat kampanye. Penutup Kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah memberikan perubahan politik, sosial dan ekonomi di Wakatobi. Pada era otonomi daerah elit lama (old elite) yang berasal dari kaum bangsawan (kaomu) secara perlahan digantikan oleh kehadiran elit baru (new elite) yang berasal dari mereka yang memiliki keahlian (birokrat), berlatar belakang pendidikan tinggi (aktivis) dan memiliki kekayaan (orang yang memiliki perahu, tanah, perantau, pengusaha, kontraktor). Para elite baru—aktivis, pemilik kekayaan, birokrat—bertransformasi menjadi elite politik (Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Anggota DPRD), elite ekonomi (pengusaha) dan elit politik plus ekonomi (oligarki). Kemunculan oligarki di Wakatobi terbagi dalam dua klasifikasi: pertama, aktivis yang bertransformasi menjadi elit politik dan pengusaha; kedua, pengusaha yang bertransformasi menjadi Baca Kompas, “Jadi Pemain di Negeri ‘Surga’ Bawah Laut”, 2 Agustus 2016 http://kompasmuda.com/2016/08/02/ jadi-pemain-di-negeri-surga-bawah-laut/ (diakses pada 27 Desember 2016). elit politik. Klasifikasi pertama menjadi oligarki dengan mengumpulkan kekayaan, sedangkan klasifikasi kedua menjadi oligarki dengan mempertahankan kekayaan. Para oligarki dalam mengumpulkan dan mempertahankan kekayaan dan juga kekuasaan berafiliasi dengan elite ekonomi, pengusaha, kontraktor, mantan birokrat, orang memiliki perahu dan mosega (pemberani). Kehadiran oligarki di Wakatobi berdampak positif dan negatif dalam pembangunan kawasan perdesaan. Pertama, menggairakan perekonomian daerah. Kedua, peningkatan kunjungan wisata. Ketiga, membuka lapangan pekerjaan baru. Keempat, kemudahan akses transportasi. Kelima, mendorong gairah usaha baru. Keenam, memperlebar kesenjangan pendapatan masyarakat. Ketujuh, mahalnya harga tanah dan keterbatasan jumlah lahan. Kedelapan, kesulitan hidup nelayan. Kesembilan, konflik antara warga, pemerintah dan swasta. Kesepuluh, oligarki berusaha mempertahankan kekayaan dengan membangun dinasti. Referensi Buku Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan Indonesia Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2005. --------. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia : A Southeast Asia Perspective. Stanford: Stanford University Press, 2010. Hidayat, Syarif. Too Much Too Soon Local State Elite’s perspective on and The Puzzle of Conteporary Indonesian Regional Autonomy Policy. Jakarta: Rajawali Pers, 2007. Keller, Suzanne. Penguasa dan Kekompok Elite: Peranan Elite Penentu Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Robison, Richard dan Vedi R. Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia : The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London : Routledge, 2004. Robison, Richard. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012. Winters, Jeffrey. Oligarki. Jakarta: Gramedia, 2011. 88 Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 189 Jurnal Ayu, Nur, Zulkhair Burhan, Beche BT. Mamma, “Dampak Investasi Pt. Wakatobi Dive Resort Pada Sektor Pariwisata One Mobaa Serta Potensi Perkembangan Ekonomi Masyarakat Lamanggau”. Jurnal Paradigma. Vol. 003, Nomor. 003, Juli 2015. Hadiz, Vedi R. dan Richard Robison, “Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidations : The Indonesian Paradox”, Journal of Development Studies Volume 41 Nomor 2 Bulan Februari 2005. Ira Irawati Dkk, “Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah Berdasarkan Variabel Perekonomian Daerah, Variabel Infrastruktur Dan Sumber Daya Alam, Serta Variabel Sumber Daya Manusia Di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara”. Jurnal J@TI Undip, Vol VII, No 1, Januari 2012. Suaib, Eka dan La Husen Zuada, “Fenomena Bosisme Local di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara”, Jurnal Penelitian Politik LIPI. Vol.12, No.2. 2015. ----------, “Institusionalisasi Partai Politik: Studi Kasus Hegemoni PAN di Sulawesi Tenggara”. Jurnal The Politics. Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Vol. 2 No.1 Tahun 2015. Laporan dan Makalah Badan Pusat Statistik, Kabupaten Wakatobi Dalam Angka 2015. Bappenas. Laporan Akhir Evaluasi Pembangunan Perdesaan Dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. 2011 Buku Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Wakatobi. Tim, 2008. Hutabarat, Melvin P. Fenomena “Orang Kuat” Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi, Tesis: Universitas Indonesia, 2012. Laporan Akhir Hasil Pengawasan Pemilukada Tahun 2015, Bawaslu Sultra. Marwan, Studi Ekonomi Politik: Pengelolaan Pariwisata Di Kabupaten Wakatobi. Skripsi: Program Studi Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2014. Pemerintah Daerah Wakatobi, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan Kabupaten Wakatobi Tahun 2014. Romli, Lili. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”, Jakarta: Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 2007. Rozaki, Abrur. “Social origin dan Politik Kuasa Blater di Madura” . Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009). Salinan Surat Perintah Bupati Wakatobi Nomor 973/334 dan lampiran Seri Analisis Pengembangan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara 2015 Simonin, Paul. Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Atkinson Center for a Sustainable Future & OXFAM Udu, Sumiman. Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat. Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity and Future, 2012. Wawancara Wawancara dengan Agus Sanaa, Wakil Sekertrais DPD PDI.P Sultra, 19 Agustus 2016. Wawancara dengan Muhamad Daulat, 5 Agustus 2016. Wawancara dengan Rasman, 31 Juli 2016 Wawancara dengan A , Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi, 6 Agustus 2015 Wawancara dengan N, 7 Agustus 2016 Wawancara dengan Munsir Salam, Komisioner Bawaslu Sultra, 28 Juni 2016 Wawancara dengan S, 8 Agustus 2016 Wawancara dengan Kepala Desa Lamanggau, Dete dan Kahiyanga, 5-7 Agustus 2016 Wawancara dengan Mahmud, 22 Oktober 2016 Sumber Internet Aminudin, Indrawati. “Orang Bajo di Surga Bawah Laut” http://indoprogress.com/2012/03/orang-bajo-di-surgabawah-laut/ Kompas, Penumpang Mengaku Diturunkan dari Kapal garagara Beda Pilihan di Pilkada. 5 Januari 2016. http:// regional.kompas.com/read/2016/01/05/15094811/Penumpang.Mengaku.Diturunkan.dari.Kapal.gara-gara. Beda.Pilihan.di.Pilkada Kompas, “Jadi Pemain di Negeri ‘Surga’ Bawah Laut”, 2 Agustus 2016 http://kompasmuda.com/2016/08/02/jadi-pemain-di-negeri-surga-bawah-laut/ Kompasiana, Korupsi Bupati Waktobi. 26 April 2013. http:// www.kompasiana.com/putrawaka/korupsi-bupati-wak tobi_552fa49e6ea83434098b4591 --------, Nasib Tragis Buruh PT Wakatobi Dive Resort. 15 Maret 2012. http://www.kompasiana.com/ismarindarsyah/ nasib-tragis-buruh-pt-wakatobi-dive-resort_550e7759 813311c82cbc6522 190 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 News Kabali Indonesian Culture on the World. Kebijakan Program Unggulan Hugua Kepariwisataan Maritim Kurang Mendapat Resfon Para Pakar Asal Kepulauan Wangi-Wangi. 5 Desember 2014. http://kabali-indonesia.blogspot.co.id/2014/10/kebijakan-program-kepariwisataan.html Pikiran Rakyat, Ketimpangan Penghasilan Paling Tinggi? Di Indonesia. 21 Desember 2015. http://www.pikiranrakyat.com/ekonomi/2015/12/21/354459/ketimpanganpenghasilan-paling-tinggi-di-indonesia Suara Kendari, Profil Hugua, Putera Terbaik Sultra Calon Menteri Kelautan di Kabinet Jokowi –JK. http://www.suarakendari.com/profil-hugua-putera-terbaik-sultracalon-menteri-kelautan-di-kabinet-jokowi-jk.html Tribun news, Pendapatan 40 Orang Kaya Setara 60 Juta Orang Miskin. 26 Oktober 2011. http://www.tribunnews.com/ nasional/2011/10/26/pendapatan-40-orang-kaya-setara60-juta-orang-miskin Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 191 OTONOMI DESA DAN EFEKTIVITAS DANA DESA THE VILLAGE AUTONOMY AND THE EFFECTIVENESS OF VILLAGE FUND Nyimas Latifah Letty Aziz Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No.10, Jakarta E-mail:[email protected] Abstract The Law No.6 / 2014 on the village has opened up opportunities for villages to become self-sufficient and autonomous. The Village autonomy is autonomous of village governments in managing the finances of the village. One of program that given by the government is the village fund with the proportion of 90:10. The purpose of giving the village fund is to fund village governance, implement the development, and empower rural communities. However, the implementation of the use of village funds were still not effective due to inadequate capacity and capability of the village government and lack of community involvement in the management of village funds. Keywords : village autonomy, effectiveness, village fund Abstrak Lahirnya UU No.6/2014 tentang desa telah membuka peluang bagi desa untuk menjadi mandiri dan otonom. Otonomi desa yang dimaksud adalah otonomi pemerintah desa dalam melakukan pengelolaan keuangan desa. Salah satu program yang diberikan pemerintah saat ini adalah pemberian dana desa dengan proporsi 90:10. Tujuan pemberian dana desa ini adalah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Namun, dalam pelaksanaan penggunaan dana desa masih dirasakan belum efektif dikarenakan belum memadainya kapasitas dan kapabilitas pemerintah desa dan belum terlibatnya peran serta masyarakat secara aktif dalam pengelolaan dana desa. Kata Kunci : otonomi desa, efektivitas, dana desa Pendahuluan Otonomi daerah di Indonesia (sejak 2001) telah membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk bertanggung jawab dalam mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Ini merupakan solusi alternatif dalam mengatasi berbagai persoalan yang terjadi karena masalah ketimpangan pembangunan baik antara pusat dan daerah maupun antardaerah kabupaten dan kota. Ketidakseimbangan yang terjadi sebagai akibat pembangunan yang tidak merata hingga menyebabkan tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data BPS (September, 2015) bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 8,22% sedangkan tingkat kemiskinan di perdesaan mencapai 14,09%.1 Menghadapi persoalan tersebut, strategi pemerintah untuk mengatasi ketimpangan pembangunan nasional dengan menaruh perhatian besar terhadap pembangunan daerah perdesaan. Salah satu wujud perhatian pemerintah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini membawa perubahan besar yang mendasar bagi kedudukan dan relasi Lihat https://www.bps.go.id/brs/view/id/1227, (diakses pada 1 Oktober 2016). 1 Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 193 desa dengan daerah dan pemerintah meliputi aspek kewenangan, perencanaan, pembangunan, keuangan dan demokrasi desa. Melalui UU ini, kedudukan desa menjadi lebih kuat. UU ini dengan jelas menyatakan bahwa desa dan desa adat mendapat perlakuan yang sama dari pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam hal ini, desa diberikan otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat desa, serta menetapkan dan mengelola kelembagaan desa. Tentunya untuk menjalankan kesemuanya itu maka pemerintah desa perlu mendapatkan dukungan dana. Dana tersebut diperoleh dari sumber-sumber pendapatan desa meliputi PADesa (Pendapatan Asli Desa), alokasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), bagian dari PDRD kabupaten/ kota, ADD (Alokasi Dana Desa), bantuan keuangan dari APBD provinsi/kabupaten/kota, hibah dan sumbangan pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan yang sah. Ini bertujuan supaya pemerintah desa dapat memberikan pelayanan prima dengan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam program kegiatan pembangunan baik fisik maupun non fisik sehingga tercapai pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Sejak tahun 2015, pemerintah memberikan Dana Desa (selanjutnya akan disebut dengan DD) kepada desa yang bersumber dari APBN yang ditransfer melalui APBD kabupaten/ kota. Desa mempunyai hak untuk mengelola kewenangan dan pendanaannya. Namun, sebagai bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pemerintah desa perlu mendapat supervisi dari level pemerintah di atasnya. Hal ini dikarenakan untuk kedepannya, jumlah DD yang akan diberikan ke desa akan semakin besar sementara kapasitas dan kapabilitas SDM (Sumber Daya Manusia) dalam pengelolaan keuangan desa masih belum cukup memadai. Selain itu, keterlibatan masyarakat untuk merencanakan dan mengawasi penggunaan dana desa masih dirasakan minimal. Dengan demikian, ini menjadi tugas dan catatan penting tidak hanya bagi pemerintah pusat, tetapi juga bagi pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa serta masyarakat untuk membangun desa secara kolektif. Pembangunan dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk memengaruhi masa depannya. Ada lima implikasi utama dari pembangunan tersebut yakni: (a) capacity, pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok; (b) equity, mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan; (c) empowerment, menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan dalam memutuskan; (d) sustainability, membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri; dan (e) interdependence, mengurangi ketergantungan negara yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati.2 Pembangunan memiliki tiga sasaran pembangunan yakni pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Apabila ketiganya mengalami penurunan, pembangunan memiliki arti penting. Namun, apabila terjadi sebaliknya, sulit dikatakan adanya pembangunan.3 Sayangnya, ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di Indonesia antara kawasan perkotaan dan perdesaan memiliki gap yang tinggi sehingga pembangunan pedesaan menjadi jauh tertinggal dibanding perkotaan. Oleh karena itu, fokus perhatian pemerintahan saat ini adalah bagaimana membangun desa menjadi desa yang otonom dan mandiri, salah satunya melalui pemberian dana desa. Kajian mengenai dana desa ini merupakan kajian yang baru dan menarik mengingat penyaluran dana desa baru diberlakukan pada tahun 2015. Tulisan ini akan membahas tentang otonomi desa dan efektivitas penggunaaan dana desa. serta kendala yang dihadapi dalam implementasi penggunaan dana desa. Bagian akhir merupakan catatan penutup untuk memberikan Lihat : Bryan White dalam Budi Suryadi, Ekonomi Politik Modern Suatu Pengantar, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006). 2 Lihat : Dudley Seers dalam Hudiyanto, Ekonomi Politik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005). 3 194 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 masukan atas kendala yang terjadi dalam proses implementasi penggunaan dana desa. Otonomi Desa Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum NKRI terbentuk. Pasal 18 UUD NRI (Negara Republik Indonesia) tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volsgemeenschappen. Ini sama dengan penyebutan desa untuk di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, gampong di Aceh, dusun dan marga di Palembang, lembang di Toraja, negeri di Maluku, dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dianggap istimewa. Dalam hal ini, negara mengakui keberadaan desa tersebut dengan mengingat hak-hak asal usulnya. Oleh karena itu, keberadaannya wajib dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam NKRI. Sejarah pengaturan tentang Desa telah mengalami beberapa kali perubahan sejak Indonesia merdeka sampai dengan sekarang, yaitu pada masa orde lama UU No. 22/1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan UU No. 19/1965 tentang Desa Praja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah RI. Selanjutnya pada masa orde baru dibentuk UU No. 5/1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada masa reformasi dibentuklah UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.6/2014 tentang Desa, serta terakhir UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, dalam pelaksanaannya pengaturan tentang desa belumlah mewadahi apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa. Barulah melalui UU No.6/2014 kepentingan desa mulai diakomodasi. Terbitnya UU No.6/2014 tentang desa merupakan upaya untuk menghidupkan kembali peran penting desa dalam proses pembangunan nasional. Sebagaimana yang diketahui bahwa pasca reformasi UU No.22/1999 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dinilai belum memiliki semangat untuk menampilkan desa sebagai salah satu komponen penting dalam proses pembangunan nasional. Dalam perspektif UU No. 22/1999, kebijakan mengenai desa tidak cukup memberikan ruang bagi desa untuk berkreasi dalam skema kewenangan yang lebih luas. Sejak konstitusi sampai dengan UU No.22/1999, kesemuanya lebih mengedepankan ruang desentralisasi bagi pemerintah daerah kabupaten/kota. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 justru menyatakan bahwa yang memiliki pemerintah desa adalah provinsi, kabupaten dan kota. Pasal 1 huruf o UU No. 22/1999 melihat kewenangan mengatur dan mengurus desa ditempatkan dalam format kewenangan daerah otonom, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 22/1999 pasal 99. 4 Secara normatif dapat dikatakan bahwa otonomi desa hanya merupakan pelengkap dari otonomi daerah. Explanatory factor terhadap otonomi desa justru dapat dielaborasi berdasarkan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pasal 7 ayat (2) UU No.22/1999 mengatur bahwa peraturan desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh BPD atau dengan nama lain kepala desa atau dengan nama lainnya. Ini dikelompokkan ke dalam jenis perda yang diakui secara tegas sebagai skema hierarki peraturan perundang-undangan RI. Hal ini merupakan kelanjutan dari Keputusan Mendagri No. 126/2003 tentang Bentuk-Bentuk Produk Hukum di Lingkungan Pemerintah Desa meliputi: (a) peraturan desa, (b) keputusan kepala desa, (c) keputusan bersama, dan (d) instruksi kepala desa. Dengan demikian ada kepastian hukum bagi peraturan desa yang menegaskan pengakuan terhadap ‘otonomi desa’, meskipun dalam batasbatas kewenangan pengaturan yang digariskan oleh perda kabupaten/kota.5 W. Riawan Tjandra, (Perspektif Otonomi Desa dalam Dinamika Desentralisasi dalam Dadang Juliantara: Mewujudkan Kabupaten Partisipatif, (Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri, 2004), hlm. 91. 4 Ibid. Lihat juga Hessel Nogi S. Tangkilisan, Analisis Kebijakan dan Masnajemen Otonomi Daerah Kontemporer, (Yogyakarta: Lukman Offset, 2003), hlm. 41-52. 5 Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 195 Selanjutnya dalam perspektif UU No.32/2004 pasal 200 ayat (1), pemerintahan desa dibentuk dalam lingkup pemda kabupaten/ kota. Pemerintahan desa terdiri dari pemerintah desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Pembentukan, penghapusan, dan penggabungan desa, dilakukan dengan memperhatikan asal-usul atau prakarsa masyarakat. Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah statusnya menjadi kelurahan atas usul dan prakarsa pemerintah desa dan BPD yang ditetapkan dengan perda (peraturan daerah). Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi oleh PNS yang memenuhi syarat.6 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa yakni : (1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (2) urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya ke desa; (3) tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau kabupaten/kota yang disertai pembiayaan, sarana, prasarana, dan SDM; dan (4) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan ke desa. Apabila kita melihat urusan kewenangan (pada pon 2 dan 3), tampak bahwa pemerintah desa mengalami proses penunggangan kepentingan pemerintahan di atasnya. Demikian halnya dengan BPD yang menjadikan proses demokrasi di tingkat desa menjadi terancam.7 Ini menunjukkan bahwa UU No.32/2004 sebagai bagian dari proses penyeragaman bentuk pemerintahan di daerah. Kondisi pemerintahan demikian menjadi bagian dari proses sejarah yang tidak dapat dielakkan. Sebagai contoh, sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat kurang mempunyai landasan pijakan yang sah bila mengacu pada UU ini. Desa tidak lagi mempunyai otonomi. Sementara UU No.22/1999 pasal 95 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah desa terdiri atas kepala desa atau yang disebut juga dengan nama lain, yaitu J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global (ed. Revisi), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hlm. 185. 6 7 Ibid, hlm. 186. perangkat desa. Sedangkan UU No.32/2004 menyatakan pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Tidak ada klausul tentang atau yang disebut dengan nama lain. Ini artinya terjadi pola penyeragaman sebutan kepala desa. Secara formal tidak ada lagi wali nagari di Sumatera Barat, hukum tua di Minahasa, opo lao di Sangihe dan Talaud, sangadi di Bolaang Mongondow, atau ayahanda di Gorontalo. Semua diseragamkan dengan satu nama ‘kepala desa’. Ini merupakan sebagian warna yang dibawa oleh UU No. 32/2004.8 Saat ini jumlah desa yang ada di Indonesia sudah mencapai 74.000 (tujuh puluh empat ribu).9 Dengan demikian pelaksanaan pengaturan desa yang selama ini berlaku sampai dengan UU No.32/2004 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama dalam hal masyarakat hukum adat, keberagaman, demokratisasi, partisipasi masyarakat, dan pemerataan pembangunan sehingga terjadi gap yang tinggi antarwilayah, kemiskinan, sosial budaya, dan lingkungan yang dapat mengancam keutuhan NKRI. Oleh karena itu, perlu ada suatu gerakan pembaharuan desa untuk meredam semua itu, khususnya dalam memahami otonomi desa. UU No.6/2014 memberikan ruang gerak yang luas untuk mengatur perencanaan pembangunan atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat desa tanpa terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi pemerintah yang selanjutnya disebut ‘otonomi desa’. Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut.10 J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, hlm..186. 8 Lihat “Kemenkeu Minta Jumlah Desa di Indonesia Tidak Ditambah”, 20 April 2016 http://nasional.republika.co.id/ berita/nasional/umum/16/04/20/o5xcdd383-kemenkeu-mintajumlah-desa-di-indonesia-tidak-ditambah, (diakses pada 1 Oktober 2016). 9 HAW Widjaja, Otonomi Desa : Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),hlm.165. 10 196 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 Ada 4 (empat) hal penting untuk memahami tentang otonomi desa, yakni pertama, cara pandang legal formal yang merujuk pada diktum-diktum yang tertuang dalam UU bahwa “desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Di sini desa sebagai subyek hukum yang berhak dan berwenang membuat tindakan hukum, membuat peraturan yang mengikat, menguasai tanah, membuat surat-surat resmi, berhubungan dengan pengadilan, menyelenggarakan kerjasama, dan lain-lain. Namun, desa sebagai daerah otonom tidak bisa hanya dilihat sebagai subyek hukum, tetapi juga menjadi bagian dan implikasi dari desentralisasi sehingga tidak bisa hanya dilihat dari sisi hukum tetapi juga dari sisi hubungan desa dengan negara. Oleh karena itu, desa juga berhak memperoleh pembagian kewenangan tidak hanya dari sisi pengelolaan pemerintahan, tetapi juga pengelolaan keuangannya. Kedua, desa dapat dikatakan otonom apabila mendapat pengakuan dari negara atas eksistensinya beserta hak asal-usul dan adat istiadatnya. Di sini negara tidak hanya mengakui eksistensinya, tetapi juga melindungi sekaligus memberikan pembagian kekuasaan, kewenangan dalam pengelolaan pemerintahan dan keuangan. Ketiga, dengan menggabungkan fungsi self governing community (kesatuan masyarakat hukum) dengan local self government diperlukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari wilayah desa menjadi desa dan desa adat. Adapun fungsi dan tugas keduanya hampir sama, namun berbeda dalam pelaksanaan hak asal usul, utamanya yang berkaitan dengan pelestarian sosial, pengaturan wilayah, ketentraman dan ketertiban masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaannya atas dasar susunan asli. Keberadaan desa dan desa adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemda (Pemerintah Daerah). Oleh karena itu, akan ada pengaturan tersendiri mengenai hal tersebut yang diatur dalam UU No.6/2014. Keempat, melalui UU No.6/2014 diberikan ruang gerak yang luas untuk mengatur perencanaan pembangunan atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat desa tanpa terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi pemerintah yang selanjutnya disebut ‘otonomi desa’ sebagai otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah.11 Demi memperkuat otonomi desa, pemerintah kabupaten/kota perlu mengupayakan beberapa kebijakan. Pertama, memberi akses dan kesempatan kepada desa untuk menggali potensi SDA (Sumber Daya Alam) untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan desa dengan tetap memperhatikan ekologi untuk pembangunan berkelanjutan. Kedua, memberikan bantuan kepada desa berdasar peraturan perundangan yang berlaku. Ketiga, memfasilitasi upaya capacity building tidak hanya bagi aparatur desa, tetapi juga bagi komponen-komponen masyarakat melalui korbinwas (koordinasi, bimbingan dan pengawasan). Ketiga hal di atas menjadi penting mengingat meskipun desa diberikan otonomi dalam mengurus rumah tangganya sendiri, pelaksanaan otonomi tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya sumber pendapatan. Beberapa hal yang menyebabkan desa membutuhkan sumber pendapatan yakni; (a) Desa memiliki APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) yang kecil di mana sumber pendapatannya sangat bergantung pada bantuan yang juga kecil. (b) PADes (Pendapatan Asli Desa) juga masih rendah karena kemampuan SDM desa yang masih rendah dalam mengelola SDA sehingga kesejahteraan masyarakat desa juga rendah. (c) Dana operasional untuk pelayanan publik juga rendah. (d) Program-program yang dijalankan di desa bersifat top down sehingga tidak sesuai dengan apa yang menjadi prioritas kebutuhan masyarakat desa. Sehubungan dengan permasalahan tersebut pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana minimal 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dikurangi DAK diperuntukkan bagi desa. Ini kemudian dikenal dengan ADD (Alokasi Dana Desa). Tujuan pemberian ADD untuk menstimulasi pemerintah desa melaksanakan program-program kegiatannya dengan melibatkan masyarakat. Bahkan, dalam dua tahun ini (sejak 2015), 11 Ibid., hlm.165 Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 197 pemerintah telah memberikan bantuan dana kepada desa yang dikenal dengan DD (Dana Desa) untuk semakin mendorong pembangunan perdesaan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dana desa merupakan dana realokasi anggaran pusat berbasis desa yang diberikan 10% dari dan diluar dana transfer ke daerah secara bertahap. Dengan demikian desa semakin diberikan ruang gerak yang luas untuk mengelola pembangunan desa melalui sumber-sumber pendapatan yang diperolehnya. Lantas sejauhmana desa mampu mengoptimalkan penggunaan DD tersebut? Efektivitas Dana Desa Efektivitas pada umumnya sering dihubungkan dengan efisiensi dalam pencapaian tujuan baik tujuan individu, kelompok dan organisasi. 12 Menurut Gibson ada 2 (dua) pendekatan dalam menilai keefektifan menurut tujuan dan teori sistem. Berdasarkan pendekatan tujuan maka untuk merumuskan dan mengukur keefektifan melalui pencapaian tujuan ditetapkan dengan usaha kerjasama. Sedangkan pendekatan teori sistem menekankan pentingnya adaptasi terhadap tuntutan ekstern sebagai kriteria penilaian keefektifan. Lebih lanjut Gibson menyatakan bahwa konsep efektivitas organisasi haruslah mencerminkan 2 (dua) kriteria, yakni (a) keseluruhan siklus masukan-proses-keluaran, dan (b) mencerminkan hubungan timbal balik antara organisasi dan lingkungannya. Kriteria ini kemudian berkembang dengan dimensi waktu jangka pendek meliputi : 13 (a) Kriteria produksi; mencerminkan kemampuan organisasi untuk menghasilkan jumlah dan keluaran kualitas yang dibutuhkan lingkungan. (b) Kriteria efisiensi; perbandingan keluaran terhadap masukan yang mengacu pada ukuran pengguna sumber daya yang langka dalam organisasi. (c) Kriteria kepuasan; ukuran keberhasilan organisasi dalam memenuhi kebutuhan anggotanya. James L.Gibson, et.al, Organisasi dan Manajemen. Perilaku Struktur Proses, Alih Bahasa: Wahid, Djoerban, (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm.26 12 13 Ibid., hlm.27 (d) Kriteria keadaptasian; ketanggapan organisasi terhadap perubahan internal dan eksternal (e) Kriteria pengembangan; mengukur kemampuan organisasi untuk meningkatkan kapasitasnya terhadap tuntutan lingkungan. Sedangkan Steers mengemukakan efektivitas tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan yang banyak, tetapi juga diukur dengan jumlah barang atau kualitas pelayanan yang dihasilkan di mana ukuran kriteria efektivitas itu sendiri sebenarnya intangible. Lebih lanjut Steers mengemukakan bahwa efektivitas organisasi adalah kemampuan organisasi dalam memperoleh dan menggunakan secara efisien sumber-sumber yang tersedia untuk mencapai tujuannya.14 Pendekatan yang digunakan untuk mengukur efektivitas adalah optimalisasi tujuan dengan asumsi bahwa organisasi yang berbeda memiliki tujuan yang berbeda pula. Ada 4 (empat) kategori yang memengaruhi efektivitas yakni (a) sifat organisasi, seperti struktur dan teknologi; (b) sifat lingkungan, seperti kondisi pasar dan ekonomi; (c) sifat karyawan, seperti tingkat kinerja dan prestasi karyawan; (d) kebijakan dan praktek manajerial.15 Pendapat lainnya, Robbins menyatakan keefektifan organisasi dilihat dari pencapaian tujuan yang kemudian dikenal dengan pendekatan konstituensi strategis, bahwasanya organisasi dikatakan efektif apabila memenuhi tuntutan konstituensi yang terdapat di lingkungan organisasi tersebut. Konstituensi yang dimaksud adalah pendukung kelanjutan eksistensi organisasi. 16 Berdasarkan ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan untuk mengukur efektivitas penggunaan dana desa, ada beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan yakni (a) pencapaian tujuan, bahwa penggunaan dana desa dapat dikatakan efektif apabila penggunaannya Richard M Steers, Efektivitas Organisasi, diterjemahkan oleh Magdalena Jamin, (Jakarta : Erlangga, 1997), hlm.70 14 15 Ibid, hlm.75 Robins, Stephen P, Adminstrasi Negara-Negara Berkembang (Terjemahan), (Jakarta: CV Rajawali, 1995), hlm.58 16 198 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 sesuai dengan prioritas kebutuhan sehingga tujuan tercapai; (b) ketepatan waktu, proses penyaluran dan penggunaan dana sesuai dengan waktu pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan hingga berakhirnya kegiatan; (c) sesuai manfaat, dana desa dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa sebagai penerima program; dan (d) hasil sesuai harapan masyarakat. Sebelum membahas lebih lanjut apakah desa telah mampu mengoptimalkan penggunaan DD demi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa akan dijelaskan terlebih dahulu dasar hukum DD dan skema penyaluran DD, penyaluran dan penggunaan DD, serta tata kelola DD. Dasar Hukum dan Skema Penyaluran Dana Desa UU No.6/2014 tentang Dana Desa telah memuat aturan tentang pengelolaan DD. Namun, untuk pelaksanaannya ada 3 (tiga) kementerian (kemendagri, kemenkeu, dan kemendes) dan pemda yang terlibat mulai proses awal sampai dengan akhir dalam penyaluran dan penggunaan DD. Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) bertanggung jawab dalam hal penyelenggaraan capacity building bagi aparat desa; penyelenggaraan pemerintahan desa; pengelolaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa; penguatan desa terhadap akses, aset dan kepemilikan lahan dan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat, penyusunan dokumen perencanaan desa; kewenangan berdasarkan hak asal-usul, dan kewenangan skala lokal desa; serta tata cara penyusunan pedoman teknis peraturan desa. Kemenkeu (Kementerian Keuangan) bertanggung jawab dalam penganggaran dana desa dalam APBN; penetapan rincian alokasi DD pada peraturan bupati/walikota; penyaluran DD dari RKUN (Rekening Kas Umum Negara) ke RKUD (Rekening Kas Umum Daerah) dan dari RKUD ke RKD (Rekening Kas Desa); dan pengenaan sanksi jika tidak terpenuhinya porsi ADD dalam APBD. Sementara Kemendes (Kementerian Desa) bertanggung jawab dalam penetapan pedoman umum dan prioritas penggunaan DD; pengadaan tenaga pendamping untuk desa; penyelenggaraan musyawarah desa yang partisipatif; pendirian, pengurusan, perencanaan usaha, pengelolaan, kerjasama, dan pembubaran BUMDesa; serta pembangunan kawasan perdesaan. Pemda dalam hal ini bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyusunan perda yang mengatur desa; pemberian alokasi DD; pembinaan capacity building Kades dan perangkat desa, BPM (Badan Permusyawaratan Desa), dan lembaga kemasyarakatan; pembinaan manajemen pemerintahan desa; pemberian bantuan keuangan, pendampingan, bantuan teknis; bimtek (bimbingan teknis) dalam bidang tertentu yang tidak mungkin dilakukan pemkab/pemkot; inventarisasi kewenangan provinsi yang dilaksanakan oleh desa; binwas RAPBD kabupaten/kota dalam pembiayaan desa; membantu pemerintah dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai desa; dan binwas penetapan pengaturan BUMDesa kab/kota dan lembaga kerjasama antardesa. Berikut ini payung hukum yang melandasi pemberian DD. PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No.6/2014 PP No.47/2015 tentang Perubahan atas PP No. 43/2014 UU No.6/2014 tentang desa PP No.60/2014 tentang DD Bersumber dari APBN PP No. 22/2015 tentang Perubahan atas PP No. 60/2014 PP No.8/2016 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 60/2014 PERMENDAGRI: 1. Permendagri No.111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa 2. Permendagri No. 112/2014 tentang Pemilihan Kepala Desa 3. Permendagri No. 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa 4. Permendagri No. 114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa PERMENDES: 1. Permendes No.1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Lokal Berskala Desa 2. Pemendes No. 2/2015 tentang Musyawarah Desa 3. Permendes No.3/2015 tentang Pendampingan Desa 4. Permendes No.4/2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran BUMDesa 5. Permendes No.21/2015 jo No.8/2016 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2016 PMK No.257/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Penundaan dan/atau Pemotongan Dana Perimbangan terhadap Daerah yang Tidak Memenuhi ADD PMK No. 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa Skema 1. Dasar Hukum Sumber : Kementerian Keuangan, 2016. Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 199 Berdasarkan skema payung hukum tersebut, jelas PP No. 60/2014 menyatakan bahwa DD bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). DD diberikan 10% (sepuluh persen) dari dan di luar dana transfer ke daerah dan diberikan secara bertahap. Pada tahun 2015 terdapat tiga tahapan dalam penyaluran DD. Pada tahap I (April) DD disalurkan sebesar 40%, tahap II (Agustus) sebesar 40% dan tahap III (Oktober) sebesar 20%. Kemudian pada tahun 2016, skema ini mengalami perubahan menjadi 2 (dua) tahapan yakni tahap I (Maret) sebesar 60% dan tahap II (Agustus) sebesar 40%. Alasan perubahan tahapan ini karena skema tahun 2015, persyaratan penyaluran DD tidak berdasarkan kinerja penyaluran/penggunaan DD tahap sebelumnya. Padahal ini penting untuk memastikan apakah penyaluran DD tepat waktu dan tepat jumlahnya sehingga dapat menghindari penundaan penyaluran DD tahap berikutnya. Hal ini dapat diketahui dari tahapan pemenuhan 10% DD pada tahun 2015 sebesar 3% yakni Rp. 20,7 triliun. Kemudian pada tahun 2016 naik menjadi 6% yakni Rp. 46,9 triliun. Disini terjadi peningkatan sebesar 126,24%. Pada tahun 2017 DD direncanakan sebesar Rp. 8,6 triliun. dokumen tersebut belum/terlambat disampaikan, Menteri atau Bupati/Walikota mengenakan sanksi administratif berupa penundaan penyaluran DD sampai dipenuhinya dokumen tersebut. Dalam hal ini, penundaan terjadi karena sebagian daerah belum memasukkan DD ke dalam APBD induk, dan terlambat menetapkan perbup/perwali tentang pengalokasian DD per desa. Untuk penyaluran tahap II bahwa penyaluran DD dari RKUN ke RKUD dilakukan setelah Menteri cq. Dirjen Perimbangan Keuangan menerima laporan realisasi penyaluran dan penggunaan DD tahap I dari Bupati/Walikota, dan laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan DD tahap I menunjukkan paling kurang 50% (lima puluh persen). Kemudian penyaluran DD dari RKUD ke RKD dilakukan setelah Bupati/Walikota menerima laporan realisasi penggunaan DD tahap I dari Kades (kepala desa) dan laporan realisasi tahap I menunjukkan paling kurang 50% (lima puluh persen). Berikut ini merupakan skema pengalokasian DD Adapun yang menjadi persyaratan penyaluran DD bahwa DD dapat disalurkan dari RKUN ke RKUD setelah persyaratan dipenuhi. Kemudian paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima di RKUD barulah disalurkan ke RKD. Apabila Bupati/Walikota tidak menyalurkan sebagaimana yang dimaksud akan dikenakan sanksi administratif berupa penundaan penyaluran DAU (Dana Alokasi Umum) dan/atau DBH (Dana Bagi Hasil) yang menjadi hak kabupaten/kota bersangkutan. Persyaratan penyaluran DD pada tahap I bahwa penyaluran dari RKUN ke RKUD haruslah dilengkapi dengan dokumen (a) perda mengenai APBD kabupaten/kota tahun berjalan; (b) perbup/ walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran DD; (c) laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan DD tahap sebelumnya. Kemudian penyaluran DD dari RKUD ke RKD haruslah dilengkapi dengan dokumen (a) perdes mengenai APB Desa tahun anggaran berjalan dan (c) laporan realisasi penggunaan DD tahap sebelumnya. Apalabila 200 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 MENTERI KEUANGAN APBN Transfer ke Daerah BUPATI/WALIKOTA Dana Desa per desa Dana Desa per kab/kota 90% alokasi dasar Alokasi Dasar 10% formula Dasar 25% x jml penduduk desa Dana Desa Alokasi dasar/ desa x jumlah desa 35% x jml penduduk miskin desa 10% x luas wilayah desa 30% x IKK Formula=Pagu DD-Alokasi 25% x jumlah penduduk desa 35% x jumlah penduduk miskin desa 10% x luas wilayah desa 30% x IKG Skema 2. Pengalokasian DD (Dana Desa) Sumber: Kementerian Keuangan, 2016 Skema pengalokasian DD menggunakan alokasi dasar sebesar 90% merata untuk semua desa pada kabupaten/kota (alokasi minimal yang diterima oleh desa secara merata di kabupaten/kota). Alokasi formula sebesar 10% didistribusikan ke desa secara proporsional berdasarkan 4 (empat) indikator yakni jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Namun, khusus untuk daerah pemekaran apabila data jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, dan luas wilayah desa yang belum tersedia datanya dapat menggunakan data desa induk secara proporsional. Sedangkan untuk data tingkat kesulitan geografis dapat menggunakan data yang sama dengan desa induk atau data yang bersumber dari pemda. Dana Desa setiap kabupaten/kota dialokasikan berdasarkan jumlah desa di setiap kabupaten/kota dan rata-rata DD setiap provinsi. Rp. 46,982 triliun pada tahun 2016. Terjadi kenaikan sebesar 126,24%. ADD juga mengalami peningkatan meskipun jumlahnya tidak sebesar DD yakni Rp. 33,835 triliun menjadi Rp. 35,455 triliun, ada kenaikan sebesar 4,79%. Bagi hasil PDRD juga mengalami peningkatan sebesar 9,39% di mana pada tahun 2015 jumlahnya Rp. 2,650 triliun menjadi Rp. 2,899 triliun pada tahun 2016. Berikut ini adalah gambaran perkembangan dana ke desa pada tahun 2015 dan 2016 yang mengalami peningkatan. Pada tahun 2015 DD sebesar Rp. 20,766 triliun naik menjadi Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 201 Tabel 1. Dana Desa per Tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali NTB NTT Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat Kalimantan Utara TOTAL NASIONAL Jumlah Desa 6.474 5.389 880 1.592 1.398 2.817 DD (Dana Desa) ADD (Alokasi Dana Desa) Dalam Rupiah 1,70 T 1,32T 1,46 T 1,75T 267,03M 855,50M 445,65M 1,59T 381,56M 741,24M 775,04M 1,39T Bagian Hasil PDRD Jumlah Jumlah Dana per Desa 75,96M 142,95M 28,56M 46,71M 24,75M 47,34M 3,10T 3,35T 1,15T 2,08T 1,14T 2,22T 479,77juta 622,21juta 1,30 M 1,30 M 820,85juta 788 juta 1.341 2.435 5.319 7.809 392 7.723 1.908 362,96M 684,73M 1,59T 2,23T 128,08M 2,21T 537,07M 450,29M 946,60M 2,69T 2,89T 359,41M 3,44T 892,36M 9,86M 29,17M 545,19M 205,68M 59,08M 378,67M 39,60M 823,12M 1,66T 4,82T 5,32T 546,57M 6,03T 6,03T 613,81juta 681,93juta 907,55juta 682,08juta 1,39M 781,04juta 769,93juta 1.434 403,35M 900,46M 23,37M 1,4T 925,51juta 1.864 501,12M 819,51M 28,17M 1,3T 723,60juta 833 240,54M 1,54T 23,28M 1,3T 2,17M 1.490 1.839 2.253 1.820 402,55M 500,30M 635,35M 496,08M 527,36M 711,55M 1,32T 633,29M 15,39M 26,18M 96,44M 15,86M 1,8T 945M 2,05T 1,14T 634,43juta 673,21juta 913,03juta 629,24juta 636 995 2.950 1.191 5.118 1.063 1.238 309 657 275 1.628 576 447 185,43M 301,79M 812,87M 334,00M 1,43T 291,07M 352,52M 91,93M 179,96M 79,20M 449,33M 162,02M 129,87M 554,60M 599,99M 1,03T 596,79M 2,11T 439,37M 468,81M 313,47M 233,65M 389,73M 732,80M 304,42M 257,78M 368,96M 45,24M 33,31M 20,79M 53,00M 16,81M 155,46M 19,96M 5,57M 41,40M 11,59M 13,54M 2,44M 1,10T 947,03M 1,88T 951,58M 3,60T 747,26M 976,78M 425,35M 419,17M 510,33M 1,19T 479,98M 390,10M 1,74M 951,78juta 638,40juta 798,98juta 703,53juta 702,97juta 789,00juta 1,37M 638,01juta 1,85M 733,24juta 833,30juta 872,71juta 74.093 20,77T 33,83T 2,65T 57,25T 772M Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, 2016 202 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 Tabel 2. Dana Desa per Tahun 2016 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali NTB NTT Maluku Papua Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Sulawesi Barat Kalimantan Utara TOTAL NASIONAL Jumlah Desa 6.474 5.418 880 1.592 1.399 2.859 DD (Dana Desa) ADD (Alokasi Dana Desa) Dalam Rupiah 3,82T 1,38T 3,29T 1,85T 598,63M 917,06T 999,27M 1,32T 856,77M 713,44M 1,78T 1,42T Bagian Hasil PDRD Jumlah Jumlah Dana per Desa 66,99M 140,70M 27,56M 40,66M 25,65M 59,21M 5,28 T 5,29 T 1,54 T 2,36 T 1,59T 3,26 T 815,94juta 976,93juta 1,75M 1,48M 1,14M 1,14M 1.341 2.435 5.319 7.809 392 7.724 1.977 813,89M 1,53T 3,56T 5T 287,69M 4,96T 1,24T 483,00M 1,02T 2,75T 3,13T 383,64M 3,62T 956,74M 11,17M 29,53M 617,12M 233,61M 64,52M 420,42M 39,77M 1,3T 2,58T 6,94 T 8,37 T 735,86M 9,01 T 2,23 T 975,44juta 1,06M 1,30M 1,07M 1,87M 1,16M 1,13M 1.434 904,37M 970,11M 26,61M 1,9 T 1,32M 1.866 1,12T 937,58M 31,04M 2,09 T 1,12M 836 540,76M 1,43T 23,75M 1,99 T 2,38M 1.505 1.842 2.253 1.846 911,49M 1,12T 1,42T 1,12T 577,61M 775,70M 1,43T 759,65M 22,26M 26,40M 105,18M 15,59M 1,51T 1,92 T 2,96 T 1,9 T 1,00M 1,04M 1,31M 1,03M 636 995 2.995 1.198 5.419 1.064 1.238 309 657 275 1.744 576 447 416,26M 677,49M 1,89T 754,63M 3,38 T 653,45M 791,25M 206,29M 403,67M 177,76M 1,07T 363,55M 291,09M 625,30M 659,02M 1,12T 651,85M 2,33T 478,42M 495,27M 331,82M 262,76M 307,67M 714,18M 334,47M 253,33M 413,76M 48,12M 36,96M 25,13M 67,69M 17,17M 156,66M 23,13M 5,86M 43,16M 18,49M 12,29M 2,96M 1,45T 1,38 T 3,01 T 1,43M 5,79 T 1,14 T 1,44 T 561,25M 672,30M 528,60M 1,80T 710,32M 547,39M 2,28M 1,39 M 1,00M 1,19M 1,06M 1,07 M 1,16M 1,81M 1,02M 1,92 M 1,03 M 1,23M 1,22M 74.754 46,98 T 35,45 T 2,89 T 85,33 T 1,15T Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, 2016 Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 203 Berdasarkan tabel 1 dan 2 diketahui bahwa Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur mendapatkan DD lebih banyak ketimbang daerah-daerah lainnya di Indonesia, mengingat kedua provinsi tersebut memiliki desa yang lebih banyak sehingga secara otomatis mendapatkan porsi DD yang lebih besar.17 Ada tiga jenis dana yang disalurkan ke desa yakni DD (dana desa), ADD (alokasi dana desa), dan PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Namun, yang mungkin membingungkan adalah antara DD dan ADD. Meskipun ADD dan DD merupakan bantuan pemerintah pusat kepada desa, skemanya berbeda. ADD diberikan kepada desa dengan jumlah paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota setelah dikurangi dengan DAK (Dana Alokasi Khusus). Dalam hal ini, pemerintah pusat dapat menunda dan/atau mengurangi dana perimbangan apabila kabupaten/kota tidak mengalokasikan ADD ke desa. Sedangkan DD merupakan dana yang berasal dari alokasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). DD diberikan 10% (sepuluh persen) dari dan diluar dana transfer ke daerah dan diberikan secara bertahap. Penyaluran dan Penggunaan Dana Desa Penyaluran DD ke desa dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2015 seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya ada 3 (tiga) tahapan dalam penyaluran DD, dan pada tahun 2016 dilakukan perubahan menjadi 2 (dua) tahapan. Penyaluran DD secara bertahap dan bukan sekaligus ini dengan pertimbangan, bahwasanya pada triwulan I (Januari - Maret), pembangunan masih dalam proses persiapan sedangkan kebutuhan pembiayaan terbesar diperkirakan mulai April hingga Agustus. Kemudian penyaluran DD atas dasar kebutuhan kas desa dan mengurangi kas negara, karena di awal tahun penerimaan negara belum optimal sementara negara juga harus menyalurkan dana ke daerah-daerah lainnya. Selain menerima DD, desa juga mengelola dana yang berasal dari sumber pendapatan lainnya, seperti ADD, DBH PDRD, Dana Desa Terbesar untuk Jatim-Jateng”, 28 Maret 2 0 1 5 . h t t p : / / w w w. p r e s s r e a d e r. c o m / i n d o n e s i a / jawapos/20150328/281663958507989/TextView. (diakses pada 1 Oktober 2016) 17 dan lain-lain, sehingga apabila diberikan sekaligus akan menyulitkan pemerintah desa dalam pengelolaannya, mengingat kapasitas dan kapabilitas SDM desa belum memadai. Sementara ini penyaluran DD ke desa masih melalui RKUD dan tidak langsung ke RKD. Pemberlakuan ini atas dasar penjelasan pasal 72 huruf b UU No. 6/2014 yang bersumber dari APBN, yang ditransfer melalui APBD kabupaten/ kota. Dalam hal ini, desa mempunyai hak untuk mengelola kewenangannya diikuti dengan pendanaannya, namun tetap perlu mendapat supervisi dari pemerintah di atasnya. Rencana ke depan, pemberian jumlah DD ini akan semakin besar Rp.1,4 miliar per desa untuk memenuhi nawacita pemerintahan Jokowi-JK. Tentunya untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan kapasitas dan kapabilitas SDM yang memadai untuk mengelola dana desa tersebut. Oleh karena itu, desa saat ini masih membutuhkan pendamping untuk meningkatkan capacity building-nya. Penyaluran DD dengan formulasi 90:10 menunjukkan rasio perbedaan antara desa penerima terkecil dan terbesar. Formulasi ini mengindikasikan kebutuhan dana APBN terendah jika dikaitkan dengan DD minimal Rp. 1 miliar per desa. Pada tahun 2015, proporsi 90:10 dengan alokasi rata-rata per desa Rp. 280 juta dimana alokasi terendah sebesar Rp. 254 juta dan tertinggi Rp. 1,12 miliar dengan rasio kesenjangan terendah 1:4 (lihat tabel 1). Tahun 2016, pemerintah secara konsisten masih menggunakan proporsi 90:10 dengan alokasi rata-rata Rp. 628 juta per desa dengan alokasi terendah Rp. 570 juta dan tertinggi Rp. 2,22 miliar, dengan rasio kesenjangan terendah 1:4 (lihat tabel 2).18 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalokasian DD dengan proporsi 90:10 masih mengindikasikan kebutuhan anggaran terendah dan terbaik. Kebijakan penggunaan DD bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam menjaga tingkat konsumsi rumah tangga, tingkat pendapatan, dan tingkat inflasi yang stabil. Selain itu juga untuk meningkatkan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur dengan mendorong stabilitas harga dan distribusi 18 Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu RI, 2016. 204 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 yang lebih merata. Pada pasal 100 PP No. 43/2014 tentang keuangan desa, bahwasanya penggunaan DD dibagi menjadi 30% untuk operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dan 70% untuk kemasyarakatan, pemberdayaan, dan pembangunan. Kemudian PP No. 60/2014 Jo. PP No.22/2015 mengatur penggunaan DD berdasarkan 4 (empat) bidang yakni penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Prioritas penggunaan DD yakni pada 2 (dua) bidang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Penentuan ini atas dasar kewenangan berskala lokal desa dan hak asal usul. Selain itu juga atas dasar keadilan, kebutuhan prioritas, dan tipologi desa. Prioritas penggunaan DD dalam bidang pembangunan desa difokuskan pada (a) pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan infrastruktur atau sarana dan prasarana fisik untuk penghidupan, termasuk ketahanan pangan dan permukiman; (b) pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana dan prasarana kesehatan masyarakat; (c) pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan, sosial dan kebudayaan; (d) pengembangan usaha ekonomi masyarakat, meliputi pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana produksi dan distribusi; dan (e) pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana energi terbarukan serta kegiatan pelestarian lingkungan hidup. Prioritas penggunaan DD untuk bidang pemberdayaan masyarakat dibagi 2 (dua) tahapan yakni tahap I adalah untuk (a) peningkatan investasi ekonomi desa melalui pengadaan, pengembangan atau bantuan alat-alat produksi, permodalan dan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan magang; (b) dukungan kegiatan ekonomi baik yang dikembangkan oleh BUM Desa atau BUM Desa Bersama, maupun oleh kelompok atau lembaga ekonomi masyarakat desa lainnya, (c) bantuan peningkatan kapasitas untuk program dan kegiatan ketahanan pangan desa; dan (d) pengorganisasian masyarakat, fasilitasi dan pelatihan paralegal dan bantuan hukum masyarakat desa, termasuk pembentukan KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) dan pengembangan kapasitas ruang belajar masyarakat di desa (community center). Sedangkan prioritas penggunaan DD untuk bidang pemberdayaan masyarakat tahap II, yakni (a) promosi dan edukasi kesehatan masyarakat serta gerakan hidup bersih dan sehat, termasuk peningkatan kapasitas pengelolaan posyandu, poskesdes, polindes dan ketersediaan atau keberfungsian tenaga medis/swamedikasi di desa; (b) dukungan terhadap kegiatan pengelolaan hutan/pantai desa dan hutan/pantai kemasyarakatan; (c) peningkatan kapasitas kelompok masyarakat untuk energi terbarukan dan pelestarian lingkungan hidup; dan (d) bidang kegiatan pemberdayaan ekonomi lainnya yang sesuai dengan analisa kebutuhan desa dan telah ditetapkan dalam musyawarah desa. Pelaksanaan DD dilakukan melalui 2 (dua) cara, yakni swakelola, dengan menggunakan tenaga kerja dari masyarakat desa setempat sehingga penghasilan dan peningkatan daya beli masyarakat tetap terjaga, dan mendorong kegiatan-kegiatan masyarakat yang produktif secara ekonomi. Data realisasi penyaluran DD secara nasional dari RKUN ke RKUD pada tahun 2015 menyisakan 0,96% di RKUD. Dalam hal ini, penyaluran RKUD ke desa hanya mencapai 99,04%. Sedangkan penggunaan DD secara nasional pada tahun 2015 untuk pembangunan sebesar 82,2%, pemerintahan 6,5%, pemberdayaan 7,7%, kemasyarakatan 3,5%, dan lain-lain 0,1%. Ini menunjukkan bahwa penggunaan DD pada tahun 2015 masih difokuskan pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan aspal, irigasi, drainase, pavingisasi, pembangunan dan pemeliharaan polindes, pembangunan lumbung, dan lainlain. Penggunaan DD untuk pemerintahan digunakan seperti, peningkatan kantor desa, pagar, toilet, listrik, meubel kantor, ATK, dan lain-lain. Pemberdayaan seperti, pelatihan menjahit, komputer, pembiayaan BUMDesa (fotokopi, sewa tenda), pelatihan perangkat desa. Kemasyarakatan seperti pembinaan keagamaan, seni dan budaya, linmas, anak yatim piatu, dan lain-lain. Lain-lain seperti penanganan banjir dan longsor, dan untuk hal-hal tak terduga.19 19 Ibid. Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 205 Padahal, tujuan akhir dari penggunaan DD adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa melalui pemberdayaan masyarakat desa dan kemasyarakatan. Ini sebagai bentuk feedback penggunaan DD dengan harapan dapat menciptakan pemerintahan dan masyarakat desa yang otonom dan mandiri untuk turut ambil bagian dalam pembangunan nasional berkelanjutan dalam kerangka NKRI. Tata Kelola Dana Desa Berdasarkan Permendes No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa, setiap desa perlu pendampingan dalam melakukan tata kelola DD. Tujuan pendampingan desa ini adalah untuk meningkatkan kapasitas, efektivitas dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan desa; meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang partisipatif; meningkatkan sinergi program pembangunan antarsektor; dan mengoptimalkan aset lokal desa secara emansipatoris. Ruang lingkup pendampingan desa dilakukan secara berjenjang untuk memberdayakan dan memperkuat desa. Ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang didasarkan pada kondisi geografis wilayah, nilai APBDesa, dan cakupan kegiatan yang didampingi. Selain itu, pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa juga melakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pendampingan masyarakat berkelanjutan, termasuk dalam penyediaan SDM. Pendamping profesional terdiri atas TAPM (tenaga ahli pemberdayaan masyarakat, TPD (tenaga pendamping desa), TPLD (tenaga pendamping lokal desa), dan TPT (tenaga pendamping teknis). TAPM bertugas meningkatkan kapasitas tenaga pendamping dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. TPD bertugas di kecamatan untuk mendampingi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, kerjasama desa, pengembangan BUMDesa, dan pembangunan berskala lokal desa. TPLD bertugas di desa untuk mendampingi desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, kerjasama desa, pengembangan BUMDesa, dan pembangunan yang berskala lokal desa. TPT bertugas di kecamatan untuk mendampingi desa dalam pelaksanaan program dan kegiatan sektoral. Berdasarkan PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 6/2014 tentang Desa, khususnya pasal 128 yang mengatur tentang pendampingan desa oleh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan masyarakat desa dengan pendampingan secara berjenjang. Pendampingan yang dilakukan SKPD ini dapat dibantu oleh tenaga pendamping profesional/ahli, kader pemberdayaan masyarakat desa, dan/atau pihak ketiga. Camat atau sebutan lain dalam hal ini, melakukan koordinasi pendampingan masyarakat desa di wilayahnya. Pendamping profesional memiliki tugas dan fungsi untuk mengawal penyaluran DD dalam hal memfasilitasi pemerintah desa, BPD (Badan Permusyawatan Desa) dan masyarakat desa dalam menyusun RPJMDesa dan RKPDesa, dan mengelola sisa DD di RKD. Selain itu juga memfasilitasi pemerintah desa dan BPD dalam menyusun APBDesa, memfasilitasi pemerintah desa menyusun laporan penggunaan DD, memfasilitasi pemerintah desa dan mengajukan usulan penyaluran DD dari RKUD ke RKD. Pendamping profesional juga bertugas untuk membantu SKPD kabupaten/kota menyusun laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan DD. Berikut ini adalah posisi dan kuota pendamping profesional tahun 2015 dan 2016. Tabel 3. Posisi dan Kuota Pendamping Profesional Tahun 2015 dan 2016 Tahun 2015 2016 Jumlah Kuota Kebutuhan Kekurangan TA (Tenaga Ahli ) 908 1.329 2.237 2.532 295 PD (Pendamping Desa ) 5.303 5.418 10.721 16.493 5.772 PLD (Pendamping Lokal Desa) 14.391 2.578 16.969 21.117 4.148 Jumlah 20.602 9.325 29.927 40.142 10.215 Sumber : Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2016. 206 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 Tenaga ahli kabupaten terdiri dari TAPM (tenaga ahli pemberdayaan masyarakat), tenaga ahli infrastruktur desa, tenaga ahli pembangunan partisipatif, tenaga ahli pengembangan ekonomi desa, tenaga ahli teknologi tepat guna, dan tenaga ahli pelayanan sosial. Pendamping desa kecamatan terdiri dari PDP (pendamping desa pemberdayaan) dan PDTI (pendamping desa teknik infrastruktur). Satu orang PLD (Pendamping Lokal Desa) ditempatkan di 4 (empat) desa. PD (Pendamping Desa) untuk kecamatan yang memiliki jumlah desa (a) 01-10 desa ditempatkan 2 (dua) orang PD yang terdiri dari 1 orang PDP dan 1 orang PDTI; (b) 11-20 desa ditempatkan 3 (tiga) orang PD yang terdiri dari 2 (dua) orang PDP dan 1 orang PDTI; (c) 21-40 desa ditempatkan 4 (empat) orang PD yang terdiri dari 3 (tiga) orang PDP dan 1 orang PDTI; (d) lebih dari 40 desa ditempatkan 5 (lima) PD yang terdiri dari 4 (empat) orang PDP dan 1 (satu) orang PDTI. TAPM kabupaten dengan jumlah kecamatan (a) 1-5 kecamatan ditempatkan 4 (empat) tenaga ahli, dan (b) lebih dari 5 kecamatan ditempatkan 6 (enam) tenaga ahli. Keberadaan tenaga pendamping desa ini dirasakan perlu mengingat kapasitas dan kapabilitas SDM desa yang masih rendah sehingga dalam implementasi penggunaan DD dikhawatirkan akan menjadi hambatan. Namun, pendampingan desa ini haruslah dibatasi waktu dengan ketentuan kontrak yang jelas. Ini mengingat jumlah biaya yang harus dikeluarkan dalam pembayaran tenaga pendamping desa yang diambil dari DD sehingga akan membebani APBN. Saat ini kebutuhan TA (tenaga ahli) sebanyak 2.532 orang untuk 434 kabupaten/ kota, TPD sebanyak 16.493 orang untuk 6.446 kecamatan, dan TPLD 21.117 orang untuk 74.754 desa. Sementara yang saat ini sudah terisi untuk TA sebanyak 2.237 orang, TPD sebanyak 10.721 orang,dan TPLD sebanyak 16.969 orang. Padahal total kebutuhan sebanyak 40.142 orang, sedangkan yang baru terisi sebanyak 29.927 orang, masih ada kekurangan sebanyak 10.215 orang.20 Namun, dalam kurun waktu ke depan jumlah tenaga pendamping ini perlu dibatasi, mengingat besarnya beban yang harus ditanggung “Posisi dan Kuota Pendamping Profesional Tahun 2015 dan 2016”, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2016. 20 APBN untuk membiayai gaji pendamping desa mulai kisaran Rp.3,5 juta sampai dengan Rp.14 juta per bulan.21 Kendala Penyaluran dan Penggunaan Dana Desa Lemahnya Kapasitas dan Kapabilitas SDM Pemerintahan Desa, dan Partisipasi Aktif Masyarakat Desa yang Minimal Proses penyaluran DD saat ini masih mengalami kendala. Hal ini masih dianggap wajar karena DD ini merupakan program baru dan masih terus dalam proses perbaikan mengingat kondisi di lapangan. Adapun yang menjadi kendala lemahnya kapasitas dan kapabilitas SDM pemerintahan daerah, khususnya pemerintahan desa hingga menyebabkan keterlambatan dalam proses penyaluran DD pada tahun 2015. Ini disebabkan sebagian daerah belum memasukkan DD dalam APBD induk; sebagian daerah terlambat menetapkan perbup/perwali tentang pengalokasian DD per desa; sebagian daerah harus merubah penetapan alokasi DD per desa karena jumlah desanya berbeda dengan yang ditetapkan dalam Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri); sebagian daerah terlambat menetapkan perbup/perwali tentang pedoman pengelolaan keuangan desa dan tentang pengadaan barang/jasa di desa; sebagian daerah menambahkan persyaratan penyaluran DD dari RKUD ke rekening kas desa berupa dokumen RPJMDesa dan RKPDesa, yang semakin menyulitkan bagi desa untuk segera menerima DD; sebagian daerah memeriksa dokumen pertanggungjawaban DD sebagai syarat penyaluran tahapan; terdapat daerah belum berani menyalurkan DD ke desa dan sebagian desa belum berani menggunakan DD karena belum ada pendamping desa; sebagian desa belum menetapkan APBDesa; dan kekhawatiran perangkat desa terjerat kasus hukum. Sedangkan pada tahun 2016, kendala dalam penyaluran DD ke desa dikarenakan masih terdapat penyaluran DD tahap I dari RKUN ke “Pendamping Desa Digaji Rp.14 Juta Sebulan”, 4 Agustus 2015 http://www.tribunnews.com/regional/2015/08/04/ pendamping-desa-digaji-rp-14-juta-sebulan, (diakses pada 1 Oktober 2016) 21 Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 207 RKUD yang disalurkan melampaui semester I sehingga mempersempit waktu penggunaan/ penyerapan di desa. Selain itu sebagian besar daerah yang lambat penyaluran DD tahap I disebabkan kesulitan dalam penyusunan laporan konsolidasi penggunaan—karena laporan ini mengandalkan kepatuhan desa; sebagian besar daerah yang lambat penyaluran DD tahap I adalah kawasan timur Indonesia; dan masih terdapat penyaluran DD tahap I dari RKUD ke RKD yang tidak tepat waktu/terlambat dengan sebab: (a) APBDesa belum/terlambat ditetapkan, (b) perubahan regulasi, (c) laporan penggunaan belum dibuat, dan (d) dokumen perencanaan belum ada.22 Selain penyalurannya, dalam implementasi penggunaan DD terdapat kendala di mana masih terdapat penggunaan DD di luar prioritas penggunaan, pekerjaan konstruksi dilakukan seluruhnya oleh pihak ketiga/penyedia jasa, hasil pengadaan tidak dapat digunakan/dimanfaatkan, pengeluaran DD tidak didukung oleh bukti yang memadai, kelebihan perhitungan volume RAB, dan kelebihan pembayaran. Kendala lainnya juga terjadi karena pemungutan dan penyetoran pajak tidak sesuai, dana disimpan bukan di RKD, dan pengeluaran di luar APBDesa. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa rendahnya kapasitas dan kapabilitas SDM (aparatur desa) menyebabkan rendahnya pemahaman terhadap standar akuntasi pemerintah (terkait transfer dana desa). Berdasarkan pengalaman Provinsi Banten, yang terdiri dari 4 (empat) kabupaten yakni kabupaten Pandeglang dengan jumlah desa sebanyak 326, kabupaten Lebak dengan jumlah desa sebanyak 340, kabupaten Tangerang dengan jumlah desa sebanyak 246, dan kabupaten Serang yang memiliki 326 desa. Dari keempat kabupaten tersebut, masing-masing menerima alokasi DD pada tahun 2016 sebanyak Rp. 205,56 juta untuk kabupaten Pandeglang, kabupaten Lebak sebanyak Rp. 215,36 juta, kabupaten Tangerang sebanyak Rp. 168, 76 juta, dan kabupaten Serang sebanyak Rp. 201,57 juta. Sayangnya dari keempat kabupaten tersebut barulah “ Lampiran Penyaluran Dana Desa Tahap I Tahun 2016”, 31 Mei 2016 http://www.djpk.depkeu.go.id/wp-content/ uploads/2016/06/Lampiran-PENYALURAN-DANA-DESATAHAP-I-TAHUN-2016-per-31-Mei-2016.pdf, (diakses pada 1 Oktober 2016). 22 kabupaten Pandeglang yang menyelesaikan pelaporan penggunaan DD tahap I (60%) dengan laporan penggunaan DD untuk kegiatan fisik sebesar 98,38%, kegiatan pemberdayaan masyarakat sebesar 1,15%, dan 0,47% untuk kegiatan pembinaan kemasyarakatan. Sedangkan ketiga kabupaten lainnya masih dalam proses penyelesaian.23 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penggunaan DD masih diprioritaskan pada kegiatan fisik semata. Ditemukan juga dokumen perencanaan pembangunan desa dengan APBDesa masih belum selaras. Oleh karena itu, perlu dibuat master plan penggunaan dana desa. Dana desa dapat menjadi alat motivasi bagi pemerintah desa untuk bekerja secara ekonomis, efektif dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi yang ditetapkan. Dana desa juga dapat menjadi alat koordinasi dan komunikasi dalam pemerintahan desa dengan pelibatan peran aktif masyarakat desa, sebagai ukuran penilaian kinerja pemerintahan desa atas target yang dicapai dan efisiensi penggunaannya, dan menjadi alat kebijakan fiskal pemerintah desa untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di perdesaan. Selain itu, desa dapat melakukan pemberdayaan masyarakat sebagai upaya meningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki masyarakat sehingga dapat mewujudkan jati diri, harkat dan martabat secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri (ekonomi, sosial, agama, dan budaya) dan bertanggung jawab.24 Pemberdayaan tidak hanya dari sisi kesempatan usaha dan modal tetapi juga harus diikuti dengan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat. Ada 4 akses yang mendukung peran, produktivitas dan efisiensi yakni akses terhadap SDA, teknologi, pasar, dan sumber pembiayaan. Keempat hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah desa sebagai fasilitator dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Sejauh ini, partisipasi masyarakat belum sepenuhnya dilibatkan mulai dari proses Laporan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Desa Provinsi Banten, 2016. 23 HAW Widjaja, Otonomi Desa : Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, hlm.169. 24 208 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 penyusunan dokumen perencanaan, bahkan, sampai dengan pengawasan penggunaan DD sehingga APBDesa belum optimal dan PADesa belum sesuai dengan berbagai potensi yang ada di desa. Dalam hal ini, pengelola DD adalah Kepala Desa, PTPKD (Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa), dan Bendahara Desa. Namun, dalam realitasnya Kepala Desa memiliki hak penuh untuk menentukan prioritas penggunaan dan pengalokasian DD bukan atas dasar kebutuhan masyarakat. Di sini, terjadi peluang penyalahgunaan DD karena belum ada transparansi penggunaan DD kepada masyarakat. Sejak tahun 2015 sampai dengan 2016 telah banyak kepala desa yang tersangkut kasus penyalahgunaan DD. Kasus-kasus yang terjadi seperti pelaporan penggunaan DD yang tidak sesuai dengan peruntukannya, pemotongan DD untuk keperluan pribadi, dan tumpang tindihnya penggunaan DD, ADD, dan BK (Bantuan Keuangan). 25 Kondisi demikian tidak boleh dibiarkan terus terjadi mengingat tahun 2017 DD akan ditambah menjadi Rp.60 triliun. Partisipasi aktif masyarakat harus dimulai dari perencanaan sampai dengan pengawasan penggunaan DD untuk menjamin terlaksananya good governance dalam pemerintahan desa dan sebagai modal untuk pengembangan ekonomi masyarakat desa. Penutup Pembahasan di atas memaparkan bahwa lahirnya UU No.6/2014 menghidupkan kembali peran penting pemerintahan desa sebagai otonomi asli. Pemerintah desa dapat turut serta dalam proses pembangunan dengan turut bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, salah satunya melalui pemanfaatan penggunaan dana desa. Di sini, desa memiliki otonomi asli yang bermakna kewenangan pemerintah desa dalam menyatukan dan mengurus kepentingan masyarakat atas dasar hak asal-usul dan nilai-nilai Lihat “Soal Kasus Dana Desa Warga Minta LPJ, Kades Berdalih Masih di Kejaksaan”, 15 Maret 2016 http://www. metropublika.com/soal-kasus-dana-desa-warga-minta-lpjkades-berdalih-masih-di-kejaksaan/, (diakses pada 1 Oktober 2016); Lihat juga “ Lagi, Ada Kades Dituding Selewengkan Dana Desa”, 11 Juli 2016 http://beritakotamakassar.fajar.co.id/ berita/2016/07/11/lagi-ada-kades-dituding-selewengkan-danadesa/, (diakses pada tanggal 1 Oktober 2016). 25 budaya yang ada pada masyarakat, namun harus diselenggarakan dalam pespektif administrasi modern. Hal tersebut sejalan dengan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang diletakkan di kabupaten/kota maka korbinwas dengan pemerintah desa sepanjang bukan lintas kabupaten/kota dilakukan oleh kabupaten/kota yang bersangkutan, termasuk pengawasan terhadap peraturan desa dan keputusan kepala desa. Selain itu desa sebagai suatu komunitas yang mengatur dan mengurus urusannya sendiri atas dasar kearifan lokal diharapkan dapat menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat serta mendorong partsipasi aktif masyarakat dengan memanfaatkan potensi SDA dan SDM yang tersedia. Ini diharapkan pada gilirannya akan menghasilkan pemerintahan desa dan masyarakat desa yang mandiri secara ekonomis. Kedepannya, peran unsur-unsur pembangunan non pemerintah dapat menempati porsi yang besar dalam proses pembangunan berkelanjutan. Sedangkan pemerintah desa lebih pada posisi memfasilitasi dan mengakomodasi unsur-unsur tersebut dalam melaksanakan pembangunan desa. Partisipasi masyarakat ini dapat diwujudkan dalam penggunaan dana desa dimana keberadaan dana desa sebagai alat politik bagi kepala desa. Di sini kepala desa memiliki peranan penting dalam memutuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan dana terhadap prioritas tersebut. Dana desa sebagai political tool merupakan komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana desa untuk kepentingan masyarakat desa. Oleh karena itu dalam hal penggunaan dana desa membutuhkan political skill, coalition building, keahlian bernegosiasi, dan pemahaman tentang prinsip manajeman keuangan oleh pengambil kebijakan di desa (kepala desa beserta perangkatnya). Kegagalan dalam pelaksanaan penggunaan dana desa dapat menjatuhkan kepemimpinan kepala desa atau paling tidak menurunkan kredibilitas pemerintah desa. Disinilah peran pendamping menjadi penting untuk meningkatkan kualitas SDM desa. Namun, keberadaan peran pendamping ini perlu ditetapkan dengan MoU yang jelas sehingga tidak akan menimbulkan kendala ke depannya apabila Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 209 kebutuhan atas mereka berkurang atau ditiadakan sampai dengan kapasitas dan kapabilitas SDM desa benar-benar siap. Persoalan lainnya, keberadaan dana desa yang telah digelontorkan sejak tahun 2016 masih belum dirasakan manfaatnya secara optimal bagi efektivitas penggunaan DD untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan usaha dan kerja keras semua pihak mulai dari pemerintah (kemendagri, kemenkeu, kemendes) dan pemda kabupaten/kota serta pemerintah desa beserta masyarakat desa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan desa, utamanya melalui BPD. Referensi Buku Gibson, James L, Ivancevich, John M. Donnely Jr. James H. Organisasi dan Manajemen. Perilaku Struktur Proses, Alih Bahasa: Wahid, Djoerban. Jakarta: Erlangga. 1995. Hudiyanto. Ekonomi Politik. Jakarta: Bumi Aksara. 2005. Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global (ed. Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta. 2007 Robins, Stephen P. Adminstrasi Negara-Negara Berkembang (Terjemahan). Jakarta: CV Rajawali. 1995 Steers, Richard M. Efektivitas Organisasi. Diterjemahkan oleh Magdalena Jamin. Jakarta : Erlangga. 1997. Suryadi, Budi. Ekonomi Politik Modern Suatu Pengantar. Yogyakarta: IRCiSoD. 2006. Tangkilisan, Hessel Nogi S. Analisis Kebijakan dan Manajemen Otonomi Daerah Kontemporer. Yogyakarta: Lukman Offset. 2003. Tjandra, W. Riawan. “Perspektif Otonomi Desa dalam Dinamika Desentralisasi”, dalam Dadang Juliantara. Mewujudkan Kabupaten Partisipatif. Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri. 2004. Widjaja, HAW. Otonomi Desa : Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008. Undang-Undang dan Peraturan PerundangUndangan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah RI. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Website Beritamakassar.fajar.co.id.” Lagi, Ada Kades Dituding Selewengkan Dana Desa”. 11 Juli 2016. http://beritakotamakassar.fajar.co.id/ berita/2016/07/11/lagi-ada-kades-ditudingselewengkan-dana-desa/,diunduh pada tanggal 1 Oktober 2016. Djpk.depkeu.go.id.“ Lampiran Penyaluran Dana Desa Tahap I Tahun 2016” , 31 Mei 2016 http://www.djpk.depkeu.go.id/wp-content/ uploads/2016/06/Lampiran-PENYALURANDANA-DESA-TAHAP-I-TAHUN-2016per-31-Mei-2016.pdf, diunduh pada tanggal1 Oktober 2016. https://www.bps.go.id/brs/view/id/1227, diunduh pada 1 Oktober 2016. Metropublika.com. “Soal Kasus Dana Desa Warga Minta LPJ, Kades Berdalih Masih di Kejaksaan”. 15 Maret 2016. http://www.metropublika.com/ soal-kasus-dana-desa-warga-minta-lpj-kadesberdalih-masih-di-kejaksaan/, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2016. Nasional republika.co.id. “Kemenkeu Minta Jumlah Desa di Indonesia Tidak Ditambah”, 20 April 2016. http://nasional.republika.co.id/ berita/nasional/umum/16/04/20/o5xcdd383- 210 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 kemenkeu-minta-jumlah-desa-di-indonesiatidak-ditambah, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2016. Pressreader.com. “Dana Desa Terbesar untuk Jatim-Jateng”. 28 Maret 2015. http:// www.pressreader.com/indonesia/jawapos/20150328/281663958507989/TextView, diunduh pada 1 Oktober 2016 Tribunnews.com. “Pendamping Desa Digaji Rp.14 Juta Sebulan”, 4 Agustus 2015 http:// www.tribunnews.com/regional/2015/08/04/ pendamping-desa-digaji-rp-14-juta-sebulan, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2016 Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 211 OTODA DALAM UU PEMDA BARU: MASALAH DAN TANTANGAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH REGIONAL AUTONOMY ON NEW LOCAL GOVERNMENT’S LAW: PROBLEMS AND CHALLENGE OF CENTRAL AND REGIONAL GOVERNMNENT RELATION R. Siti Zuhro Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Jend. Gatot Subroto, no.10, Jakarta email: [email protected] Abstract After 16 years implement decentralization and regional autonomy, the results is not encouraging, particularly in relation to good local governance, local economic competitiveness, the quality of public services and the welfare of local communities. Although local government in some regions have proven capable of innovation in providing public services, the numbers are still minimal compared to the number of regions experiencing stagnation in their development. There are approximately 122 districts are still categorized as undeveloped. Law 23/2014, replacing the 34/2004 law on regional government, is legal binding on regions and is significantly more demanding of performance. Although it is still questionable, this law is expected to provide a better basis for synergy and cooperation between regions, improved relations between center and regions, promoting innovation in public services and building social welfare. Keyword: Regional autonomy, central and regional government relation, public services, social welfare Abstrak Desentralisasi dan otonomi daerah setelah 16 tahun diimplementasikan ternyata belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, terutama dalam kaitannya dengan tata pemerintahan yang baik lokal, daya saing ekonomi lokal, kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat setempat. Meskipun pemerintah daerah di beberapa daerah telah terbukti mampu berinovasi dalam memberikan pelayanan publik, jumlahnya masih minim dibandingkan dengan jumlah daerah yang mengalami stagnasi dalam pembangunan daerahnya. Ada sekitar 122 kabupaten masih dikategorikan sebagai berkembang. Kehadiran Undang-undang nomor 23 tahun 2014, menggantikan UndangUndang nomor 34 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, secara signifikan menuntut kinerja pemerintah daerah. Meskipun masih dipertanyakan, undang-undang ini diharapkan dapat memberikan dasar yang lebih baik dalam melakukan sinergi dan kerjasama antar daerah, meningkatkan hubungan antara pusat dan daerah, mempromosikan inovasi dalam pelayanan publik dan membangun kesejahteraan sosial. Kata kunci: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pelayanan Publik, Kesejahteraan Sosial Pendahuluan Sejak 1998 Indonesia kembali ke sistem demokrasi. Salah satu perubahan yang sangat fundamental adalah lahirnya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Ketidakpuasan terhadap sentralisasi kekuasaan selama era Orde Baru membuat daerah-daerah menuntut otonomi. Sistem sentralistis ditolak karena dianggap hanya mampu memakmurkan elite. Sebaliknya, sistem yang desentralistis diharapkan akan Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 213 dapat meningkatkan kualitas kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat. Meskipun demikian, di tataran realitasnya keinginan tersebut tak semudah membalik telapak tangan. Sejauh ini praktik otonomi daerah menghadapi banyak kendala dan belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Berbeda dengan era sebelumnya, pemerintah era reformasi sekarang ini dituntut untuk konsisten melaksanakan sistem demokrasi dan desentralisasi/otonomi daerah. Pemerintah juga tidak bisa lagi menggunakan cara-cara represif terhadap daerah seperti yang pernah dilakukannya terhadap Aceh dan Papua. Kelangkaan sumberdaya ekonomi dan keterbatasan dalam menggunakan sumber-sumber kekuasaan secara leluasa membuat pemerintah tak punya banyak pilihan.1 Klientelisme ekonomi untuk membeli loyalitas menjadi semakin sulit dilakukan karena sumber-sumber (resources) yang ada di negeri ini sudah sangat berkurang. Oleh sebab itu, tuntutan atau gugatan daerah harus ditanggapi secara persuasif, yaitu dengan menerapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.2 UU 32/2004 telah direvisi. Saat ini UU Pemerintahan Daerah (Pemda) yang baru (UU 23/2014) sudah diberlakukan dan menjadi acuan bagi praktek desentralisasi dan otonomi daerah. Salah satu isu strategis dari 13 isu yang ada dalam UU 23/2014 tersebut adalah masalah hubungan pusat dan daerah. Masalah Krisis ekonomi (1997-1998) membuat anggaran negara defisit; sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi digugat; dan setiap kebijakan alokasi sumber daya ekonomi juga dipertanyakan. Korporatisme negara juga lumpuh tatkala kelompok-kelompok masyarakat, terutama kelompok profesi, berhasil membangun pluralitas representasi kepentingan mereka tanpa berhasil dikekang negara. 1 UU No. 22/1999 dan UU 25/1999 memberikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta beberapa kewenangan bidang lain. UU tersebut diharapkan bisa memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik melalui desentralisasi dan memberikan kesempatan berkembangnya demokrasi lokal melalui pemilihan kepala daerah langsung dan pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa. Selain itu, kedua UU itu juga diharapkan dapat memuaskan daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang ‘memberontak’ dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing. 2 ini sangat krusial. Karena itu, secara eksplisit UU tentang Pemerintahan Daerah yang baru tersebut menekankan pentingnya membangun dan memperoleh kesamaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah. Idealnya, kebijakan desentralisasi dan otonomi tak hanya bertujuan untuk memajukan daerah, tapi juga harus mampu meningkatkan pola hubungan yang lebih harmonis antara pusat dan daerah. Hal ini yang antara lain patut mendapatkan perhatian di era otonomi sekarang ini. Dalam kaitan tersebut, tulisan ini mencoba membahas relasi pusat dan daerah era desentralisasi dan otonomi. Isu ini tak bisa dipisahkan dengan masalah koordinasi, bimbingan dan pengawasan antarjenjang pemerintahan yang menjadi salah satu faktor utama membangun hubungan pusat-daerah yang harmonis. Selain itu, akan coba dibahas pula isu tentang penguatan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pertanyaannya apakah hal ini akan efektif memperkuat hubungan pusatdaerah?. Sebelum menguraikan masalah tersebut, akan dibahas terlebih dahulu problematik otonomi daerah. Problematik Otonomi Daerah Sejak diterapkannya kembali otonomi daerah (otoda 2001) relasi pusat dan daerah belum menampakkan hubungan yang harmonis. Asumsi bahwa dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah hubungan pusat dan daerah menjadi lebih baik, ternyata tidak terbukti. Beberapa kendala yang muncul dalam pelaksanaan otoda membuat hubungan pusatdaerah ikut terganggu. Salah satu contohnya adalah isu pemekaran daerah. Tak jarang tuntutan-tuntutan daerah untuk memekarkan daerahnya terganggu karena adanya persyaratan yang ketat untuk memekarkan daerah dan kebijakan moratorium pemekaran daerah. Realitasnya jumlah daerah otonom senantiasa bertambah, dari 219 menjadi 542 (34 provinsi, 415 kabupaten, 93 kota) tahun 2016. Pemekaran seolah menjadi penanda era otoda yang sulit dibendung.3 Ironinya banyak pemda Terjadi penambahan jumlah daerah otonom yang sangat signifikan setelah otonomi daerah. Sampai tahun 1999 jumlah keseluruhan daerah otonom mencapai 315 (26 provinsi, 234 3 214 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 yang membuat perda yang tidak bermanfaat dan hanya mengandung kepentingan sempit para elit. Sebagian dari ribuan perda bermasalah tersebut sudah dibatalkan oleh pemerintah pusat. Sebab, perda bermasalah memunculkan kontroversi dan menyebabkan masyarakat merugi, termasuk kaum perempuan.4 Dengan diterapkannya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, muncul kegalauan baru dimana daerah merasakan adanya inkonsistensi semangat otoda yang mencoba kembali ke sentralistik. Sebagai contoh, ditariknya beberapa urusan kembali ke provinsi, seperti urusan pendidikan menengah, pengelolaan sumber daya anggaran, SDM, dan asset sarpras, menjadi tanggung jawab provinsi membuat kabupaten dan kota protes. Saat tulisan ini dibuat UU 23/2014 sedang digugat oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah berharap UU 23/2014 ini mampu mewujudkan terobosan baru berupa sinergi dan kerjasama antardaerah, memperbaiki pola relasi pusat dan daerah, mendorong inovasi pelayanan publik dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tetapi, hingga saat ini peraturan pemerintah (PP) sebagai petunjuk teknisnya belum juga terbit. Kajian empirik menunjukkan bahwa meskipun peluang otoda sangat besar untuk sukses, ada beberapa problematik yang dihadapi daerah-daerah dalam melaksanakan otonomi, yaitu (a) silang sengkarutnya hubungan pusat dan daerah dan lemahnya koordinasi, pengawasan dan bimbingan (korbinwas) antarjenjang kabupaten dan 59 kota). Tapi tahun 2014 jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat sehingga mencapai 542 (34 provinsi, 416 kabupaten dan 93 kota).Ini berarti penambahannya selama priode 1999-2014 mencapai 223 daerah otonom. Dalam kaitan itu, banyak elite lokal yang menjadikan ketidakpuasan dan kekecewaan mereka terhadap kinerja pemerintah daerah dan ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi di daerahnya sebagai komoditas politik untuk memekarkan daerahnya. Atas nama aspirasi rakyat daerah, para elite pun membentuk daerah otonom baru (DOB). Keterbukaan politik dimaknai secara sempit sebagai kebebasan untuk mendapatkan kekuasaan dan kewenangan untuk mengelola sumber-sumber kekayaan Indonesia. Akibatnya, pemekaran daerah berjalan dengan liar dan sulit untuk dikontrol. Perda retribusi yang dibuat pemda banyak meresahkan masyarakat daerah karena dianggap membebani ekonomi mereka. Demikian juga dengan perda syariah terkait perempuan, ini dirasakan cukup mengganggu karena baik langsung maupun tidak langsung membatasi aktivitas perempuan. 4 pemerintahan. (b) masalah dalam pengelolaan anggaran dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK); (c) pola relasi antara kepala daerah dan DPRD yang kurang harmonis; (d) kekhawatiran terhadap isu kriminalisasi administrasi; (e) minimnya kerjasama antardaerah yang bermanfaat bagi pembangunan daerah, (f) minimnya komitmen dan konsistensi dalam menjalankan peraturan, (g) persepsi sepihak daerah tentang kewenangannya yang membuat penonjolan isu kedaerahan dan keindonesiaan kurang berimbang, (h) kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antardaerah, dan (i) kolaborasi elite dan pengusaha dalam mengeksploitasi sumber daya alam daerah untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan implikasinya terhadap masyarakat dan kesehatan lingkungan/ekologi politik.5 Harapan untuk melaksanakan otonomi daerah yang konsisten juga dihambat oleh realitas pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang lebih disemarakkan oleh politik uang. Akibatnya, makin sulit ditemukan pemimpin yang memiliki kredibilitas, integritas dan kapasitas karena pilkada dimaknai secara sempit oleh para elite dan aktor yang berlaga hanya untuk meraih kekuasaan. Dalam pilkada, partai sangat oportunistis karena cenderung memunculkan calon yang populer dan memiliki modal. Politik transaksional semakin sulit dielakkan. Keadaan ini telah memberikan dampak negatif terhadap birokrasi. Studi empirik di sejumlah daerah menunjukkan bahwa politisasi birokrasi acapkali terjadi di mana tidak sedikit yang menggunakan fasilitas serta anggaran daerah untuk kepentingan pilkada.6 Kendala-kendala yang dihadapi daerahdaerah tersebut membuat tarik-menarik kewenangan antara pusat-daerah semakin R. Siti Zuhro,“Politik Desentralisasi: Masalah dan Prospeknya”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 43 Tahun 2013. lihat juga “Benang Kusut Relasi Pusat-Daerah”, Kolom Pakar, Media Indonesia, 22 September 2014. 5 Lihat R. Siti Zuhro, “Perjuangan Demokrasi melalui Pilkada: Studi Kasus Keterlibatan Birokrasi dalam Pilkada di Jember”, Jurnal Masyarakat Indonesia, Jakarta: LIPI, Vol. XXXI, No. 2, 2005. “The Role of the Indonesian Bureaucracy in the Transition Era: The Struggle for Democratization,”Mayarakat Indonesia, LIPI, Jakarta, Vol. XXXII, No. 1, 2006. Lihat R. Siti Zuhro, “Birokrasi dan Politik: Pola Relasi Birokrasi, Politik dan Masyarakat”, Jurnal Bhinneka Tunggal Ika, 2013. 6 Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 215 runcing, sementara pembagian sumber keuangan belum merata, pilkada juga kurang efektif dan belum seluruhnya berkorelasi positif terhadap terciptanya good local governance dan dalam menopang keberhasilan pelaksanaan otoda. Pada saat yang sama daerah juga menghadapi realitas masih lemahnya SDM dan perangkat birokrasi daerah. Sebagai akibatnya, tata kelola pemerintahan yang baik dan daya saing daerah masih belum bisa terwujud.7 Secara umum kualitas pelayanan publik di banyak daerah juga masih rendah. Jumlah daerah yang mampu mewujudkan pelayanan publik yang prima dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan perizinan juga masih sangat minim, yakni kurang dari 10 persen. Indikator lainnya adalah jumlah penduduk miskin masih cukup besar (sekitar 27,73 juta orang tahun 2015) dan jumlah pengangguran juga masih tinggi (sekitar 7,4 juta orang tahun 2015).8 Kondisi tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan bila tidak cepat diatasi. Masalahnya bagaimana membangun kapasitas kelembagaan daerah agar mereka mampu mengelola anggaran DAU dan DAK dengan baik. Selain membangun Lihat hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD, Kemendagri) yang setiap tahunnya melakukan evaluasi dan diumumkan pada acara “Hari Otda” setiap bulan April. Salah satu strategi untuk mencapai tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah melakukan proses monitoring dan evaluasi secara teratur dan komprehensif, Cara ini juga digunakan untuk mengukur kemajuan dan tingkat keberhasilan Pemda dalam penerapan prinsip otonomi daerah dan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Untuk itu Kepala Daerah diwajibkan menyampaikan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) yang selanjutnya dilakukan evaluasi setiap tahunnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 69 dan Pasal 70 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pengumuman Hasil EKPPD terhadap Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) merupakan langkah strategis Pemerintah Pusat untuk menilai keberhasilan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, sekaligus sebagai bahan kebijakan dalam meningkatkan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, berdasarkan PP No. 3 Tahun 2007 dan evaluasi (sejak tahun 2009 sesuai amanat PP No. 6 Tahun 2008), evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ini dilakukan secara terukur, dengan melibatkan beberapa Kementerian/LPNK (Kemendagri, Kemen Pan-RB, Kemenkeu, Kemenkumham, Setneg, BAPPENAS, BKN, BPKP, BPS dan LAN) terhadap Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk memotret kinerja penyelenggaraan Pemda terutama dari aspek Manajemen Pemerintahan. Dari hasil evaluasi tersebut dapat diperoleh gambaran kinerja pemerintahan daerah, baik di level pengambil kebijakan maupun di level pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. 7 8 Data BPS 2015. Lihat: www.bps.go.id sistem pengawasan yang lebih efektif, perlu pula diciptakan sebuah mekanisme hubungan yang saling bersinergi dan berkoordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antarpemerintah daerah dalam konteks menyukseskan otoda dan dalam upaya untuk menyejahterakan rakyat. Sinergi dapat dibangun, misalnya, melalui pencapaian kesepahaman bersama mengenai tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan mekanisme hubungan dan kerjasama yang menjembatani kepentingan pusat dan daerah secara simultan. Relasi Pusat-Daerah Harmonis yang Kurang Dalam perspektif demokrasi, pemerintah daerah adalah kumpulan unit - unit lokal dari pemerintah yang otonom, independen dan bebas dari kendali kekuasaan pusat. Dalam sistem ini pemerintahan daerah meliputi institusi-institusi atau organisasi yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Institusi demokrasi dalam politik lokal mencerminkan partisipasi masyarakat karena keterlibatan masyarakat di dalam proses pembuatan keputusan menjadi salah satu tujuan penting otonomi daerah. Secara teori maupun praksis, tidak ada satu pun negara yang menjalankan secara penuh desentralisasi atau sentralisasi. Yang ada adalah kombinasi antara asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pengalaman empirik negara-negara lain dalam menjalankan otonomi daerah menunjukkan bahwa kecenderungan arah desentralisasi dan sentralisasi ditentukan oleh sistem pemerintahan yang diberlakukan di suatu negara. Namun, model demokrasi lokal yang digunakan dalam pendekatan politik akan memberikan peluang yang besar bagi dihormatinya keragaman dan kemandirian lokal. Rumusan desentralisasi yang didasarkan atas demokrasi menegaskan bahwa daerah perlu memiliki kekuasaan (power) dan para pemangku kepentingan (stakeholders) perlu berperan serta dalam pengambilan keputusan. Penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan kepada daerah, baik yang berlandaskan desentralisasi, dekonsentrasi 216 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 maupun tugas pembantuan menuntut pengaturan yang jelas agar tidak terjadi overlapping dan konflik antarjenjang pemerintahan (Pemerintah Pusat, Provinsi, kabupaten/kota). Meskipun daerah otonom tidak bersifat hierarkis, urusan pemerintahan yang menjadi otonomi daerah pada dasarnya juga menjadi perhatian kepentingan pusat. Untuk itu, diperlukan sinkronisasi dan sinergi dalam penyelenggaraan fungsifungsi pemerintahan. Dengan kata lain, perlu penyesuaian antara fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom dan kewenangan yang dimiliki oleh kementerian sektoral di pusat. Indonesia dengan pilar pentingnya Negara Kesatuan Republik Indfonesia (NKRI) menjunjung tinggi asas desentralisasi dan otonomi daerah. Impian pendiri bangsa untuk membangun rumah Indonesia yang sejahtera dan demokratis tak hanya tercermin dalam kebijakan dan peraturan yang dibuatnya, tetapi juga bisa dilihat melalui perilaku yang tampak. Impian terhadap terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, adil dan sejahtera juga bukan semata-mata harapan para pendiri bangsa ini, melainkan impian rakyat yang sebagian besar nasibnya tak kunjung tersejahterakan. Hal itu menunjukkan bahwa tugas besar Indonesia ke depan adalah menyukseskan pelaksanaan otonomi daerah. Pertanyaannya, model otonomi daerah seperti apa yang aplikatif, sesuai dan bisa dilaksanakan secara sukses. Pertama, Indonesia bukanlah negara maju. Suatu negara yang maju secara sosial, politik dan ekonomi, entitas yang diberikan kepada unit pemerintahan lokalnya akan semakin otonom. Kedua, suatu negara yang terbelakang secara sosial, ekonomi dan politik, entitas yang diberikan ke unit pemerintahan lokalnya akan semakin administratif. Dalam konteks Indonesia, kecenderungan yang kedua tersebut lebih tampak. Pemerintah memegang kendali dalam menentukan norma, standard, prosedur dan kriteria (NSPK). Masalahnya adalah apakah koridor tersebut tidak justru menjadi kendala bagi daerah-daerah dalam melaksanakan otonomi? Apakah benar bahwa kontrol kuat Pemerintah melalui NSPK tersebut akan dapat menciptakan sinkronisasi, sinergi dan koordinasi antarjenjang pemerintahan? Kalau asumsi tersebut benar, mengapa relasi antara pusatdaerah era otonomi ini tak lebih baik ketimbang era sebelumnya? Realitasnya “sinkronisasi, sinergi dan koordinasi” yang menjadi salah satu kunci penting keberhasilan otonomi daerah sulit dilakukan oleh pusat dan daerah. Adalah jelas bahwa masing-masing jenjang pemerintahan (pusat, provinsi kabupaten/ kota) mengemban amanat untuk mewujudkan kepentingan nasional. Masing-masing jenjang pemerintahan juga memiliki tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangannya. Pemerintah pusat memegang tanggung jawab akhir pemerintahan. Dengan kata lain, pemerintah memegang kendali sebagai pembuat norma, standar dan prosedur. Masalahnya, meskipun pemerintah daerah merupakan subsistem dari pemerintahan nasional, sejauh ini koordinasi, bimbingan dan pengawasan (korbinwas) antarjenjang pemerintahan yang mengedepankan reward and punishment kurang tampak. Padahal, efektivitas fungsi korbinwas antarjenjang pemerintahan tersebut sangat penting dan menjadi penentu agar konsepsi otonomi daerah dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika bisa aplikatif dan mampu diwujudkan. Sejauh ini gambaran yang tampak justru masing-masing daerah seolah berjalan sendirisendiri. Tidak sedikit daerah yang memunculkan “raja-raja kecil” dan praktik dinasti atau kekerabatan politik.9 Fenomena ini menunjukkan bahwa otoda yang mengacu pada Konstitusi dan NKRI itu cenderung dimaknai secara berbeda oleh daerah-daerah. Di bawah Bhinneka Tunggal Ika, daerah – daerah belum menghayati secara utuh realitas keragaman daerah. Daerah-daerah dari Sabang sampai Merauke merupakan satu kesatuan yang kontinum dalam kedaulatan RI. Karena itu, bimbingan dan pengawasan (binwas) perlu dilakukan dengan cermat dan efektif, sebagai upaya untuk menjamin terlaksananya pembangunan daerah yang terintegrasi, merata, dan sinergis dalam bingkai Lihat: www.kemdagri.go.id. Data menunjukkan sampai tahun 2013 tercatat ada sekitar 57 praktik dinasti/kekerabatan politik di daerah-daerah. Jumlah tersebut meningkat menjadi 65 tahun 2016. 9 Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 217 negara kesatuan. Kendati binwas terdiri dari dua kegiatan yang berbeda, pembinaan dan pengawasan, keduanya saling melengkapi dan memperkuat upaya untuk mendorong agar daerah mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan NSPK yang dibuat oleh pemerintah. Pembinaan yang dilakukan oleh Pusat terhadap Daerah dapat mencakup aspekaspek politik, administratif, fiskal, ekonomi, dan sosial budaya. Pada aspek politik, pembinaan dapat difokuskan pada penguatan lembaga perwakilan rakyat daerah bersamaan dengan lembaga pemberdayaan masyarakat. Pada aspek administratif, pembinaan dapat difokuskan pada penegasan pembagian urusan pemerintahan, serta kewenangan pengelolaannya, terutama berkaitan dengan perencanaan dan penganggaran. Pada aspek fiskal, pembinaan dapat berfokus pada peningkatan pendapatan asli daerah seiring dengan pelaksanaan kebijakan transfer dan pinjaman yang ditetapkan oleh Pusat. Pada aspek ekonomi, pembinaan dapat berfokus pada pembangunan ekonomi daerah, yang dapat menjamin kemungkinan berlangsungnya privatisasi dalam pelaksanaan urusan pemerintahan daerah. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembinaan dunia usaha dan koperasi. Sedangkan pada aspek sosial budaya, pembinaan dimaksudkan untuk mendorong kemampuan pemerintahan daerah dalam membangun kehidupan masyarakat dengan kesadaran berkewarganegaraan yang tinggi.10 Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri dan menteri/pimpinan LPNK terkait. Menteri Dalam negeri melaksanakan pembinaan bidang pemerintahan umum, sedangkan Menteri/Kepala LPNK melaksakan pembinaan teknis urusan pemerintahan terkait dengan bidang tugasnya masing-masing. Dalam melakukan pembinaan teknis kepada daerah provinsi, Menteri/Kepala LPND berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Angaran yang digunakan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya dibiayai oleh APBN. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan oleh aparatur daerah provinsi dan juga aparatur pusat yang ada di daerah. Dalam hal pembinaan yang dilakukan oleh aparatur daerah provinsi, maka pemerintah melakukan tugas pembantuan kepada pemerintah provinsi untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada kabupaten/kota. 10 Sedangkan pengawasan bertujuan untuk menjamin agar kegiatan pelaksanaan rencana sesuai dengan spefisikasi yang telah ditentukan, baik yang bersifat substansial maupun prosedural. Dengan pengawasan diharapkan tujuan yang tercapai benar-benar dapat membangun kondisi yang diinginkan secara efisien dan efektif. Dalam konteks keberadaan daerah otonom, pengawasan berperan sebagai penjamin terbangunnya daerah yang maju, terciptanya keadilan regional, dan terwujudnya masyarakat yang sejahtera dalam bingkai sistem dan kepentingan nasional. Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Terkait dengan bidang-bidang pembinaan sebagaimana tersebut di atas, harus ada kejelasan institusi mana yang akan melakukan pembinaan. Untuk itulah perlu diformulasikan agar pembinaan yang bersifat umum, seperti aspek manajerial pemerintahan dan administrasi, dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Adapun pembinaan yang bersifat teknis dilakukan oleh Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sesuai dengan fungsi dan kewenangan masingmasing. Proses pembinaan dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Seperti halnya pembinaan, pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah juga harus secara tegas diatur institusi mana yang melaksanakannya. Pengawasan yang bersifat umum dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri, sedangkan pengawasan yang bersifat khusus dilakukan oleh LPNK dengan tetap melaksanakan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Pengawasan juga harus secara jelas mengatur aspek yang diawasi, yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Kementerian/LPNK terkait melakukan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi bidang tugasnya dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pengawasan terhadap pengaturan yang dihasilkan. UU 23/2014 menegaskan bahwa ciri utama otonomi daerah dalam konteks NKRI adalah adanya hubungan hierarki antara Pusat 218 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 dengan Daerah. Daerah otonom dibentuk oleh Pusat dan bahkan dapat dihapus apabila tidak mampu melaksanakan otonominya. Sumber kewenangan daerah adalah berasal dari Pemerintah Pusat dengan tanggung jawab pemerintahan berada ditangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945. Desentralisasi sejatinya bertujuan politik dan ekonomi. Tujuan politiknya adalah untuk memperkuat kelembagaan pemda, meningkatkan kemampuan aparat pemda dan masyarakat di daerah, dan mempertahankan integrasi nasional. Sementara tujuan ekonominya adalah untuk meningkatkan kemampuan pemda dalam menyediakan layanan publik yang profesional,terjangkau, efisien dan efektif. Sebagai negara archipelago, Indonesia menghadapi isu rentang kendali (span of control) yang serius antara pusat dan daerah. Kebijakan desentralisasi di negara kesatuan berawal dari adanya pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam konsep negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan ada pada pemerintah pusat. Makin sentralistik pemerintahan di suatu negara, makin sedikit kekuasaan pemerintahan atau urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Sebaliknya, makin desentralistik pemerintah suatu negara akan makin luas pula urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Di tataran praksis tampak bahwa semakin besar kepentingan elite di masing-masing daerah makin sering pula konflik muncul di daerah dan antardaerah. Sumber sengketa antardaerah tersebut umumnya menyangkut masalah pengelolaan resources. Kerumitan terjadi karena banyaknya pihak atau aktor yang terlibat dalam konflik kepentingan tersebut mulai dari pengusaha, elite birokrat lokal, anggota dewan lokal, sampai elite dan birokrat pusat. Salah satu contoh paling jelas, misalnya, kasus penambangan timah liar (TI) di Bangka dan illegal logging di Nunukan.11 Munculnya konflik kepentingan di daerah juga menunjukkan kurang memadainya pengelolaan kewenangan daerah dan antardaerah. Banyaknya kendala, distorsi, dan manipulasi yang dihadapi daerah dalam mengelola kewenangannya itu mengindikasikan rendahnya political will, political commitment dan law enforcement masing-masing pimpinan daerah untuk bersikap terbuka, akuntabel, dan mampu bekerja sama membahas permasalahan yang dihadapi daerahnya. Masalahnya menjadi makin rumit karena elite lokal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tak mampu membuat program yang saling selaras dan bersinergi guna mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerja sama antara gubernur dan bupati/walikota dalam meningkatkan pertumbuhan wilayahnya merupakan hal yang sangat penting. Tanpa kerja sama intradaerah dan antardaerah sulit bagi daerah untuk membangun dirinya secara maksimal. Beberapa permasalahan yang dihadapi daerah tersebut merefleksikan minimnya sinergi dan koordinasi pusat-daerah dan antardaerah belakangan ini. Munculnya resistensi daerah terhadap kebijakan pusat, demonstrasi yang dilakukan pimpinan daerah untuk melawan kebijakan atau keputusan pusat, dan diabaikannya seruan dan kebijakan Presiden untuk memberantas korupsi dan menegakkan hukum, mencerminkan belum terbenahinya relasi pusat-daerah. Ini menunjukkan bahwa koordinasi, sinergi, komunikasi dan interaksi antarjenjang pemerintahan kurang efektif. Padahal, daerah-daerah merupakan satu kesatuan utuh (continuum) yang tak terpisahkan dari Sabang sampai Merauke. Evaluasi Kritis mengenai Peran Ganda Gubernur Hasil evaluasi otonomi daerah menunjukkan bahwa peran gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah selama ini masih sangat terbatas.12 Menurut UU 23/2014 gubernur lebih diperankan sebagai wakil pemerintah pusat yang tugasnya untuk memantau daerah otonom dan ketertiban umum. Ini adalah tugas-tugas Lihat antara lain, R. Siti Zuhro, “Sewindu Realisasi Otonomi Daerah: Evaluasi Kritis”, Jurnal Demokrasi & HAM, Vol. 8, No.1, 2008. 12 R. Siti Zuhro et al, Konflik dan Kerjasama Antar Daerah. (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2004) 11 Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 219 berkaitan dengan dekonsentrasi. Dari perspektif teori, istilah wakil pemerintah dalam kaitan ïni mengacu pada tanggungjawabnya sebagai koordinator yang menyatukan instansi-instansi vertikal di daerahnya. Dengan kata lain, UU Pemda yang baru tidak menugaskan gubernur untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan instansi vertikal di wilayahnya. Hal ini bisa dilihat dari pasal 91 (1) sampai (8) yang mengatur tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; c. menyelesaikan perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar-Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi; memberikan persetujuan terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan susunan Perangkat Daerah kabupaten/kota; dan e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Selain Pasal 91 (1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/ kota, Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. (2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai tugas: a. mengoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Daerah kabupaten/kota; b. melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; c. memberdayakan dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota di wilayahnya; d. melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/ Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah; e. melakukan pengawasan terhadap Perda Kabupaten/Kota; dan f. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud ayat (2), gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai wewenang: a. membatalkan Perda Kabupaten/ Kota dan peraturan bupati/wali kota; b. memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/wali kota terkait dengan melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai tugas dan wewenang: a). menyelaraskan perencanaan pembangunan antarDaerah kabupaten/ kota dan antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota di wilayahnya; b). mengoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dan antarDaerah kabupaten/kota yang ada di wilayahnya; c). memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat atas usulan DAK pada Daerah kabupaten/kota di wilayahnya; d). melantik bupati/wali kota; e). memberikan persetujuan pembentukan Instansi Vertikal di wilayah provinsi kecuali pembentukan Instansi Vertikal untuk melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan pembentukan Instansi Vertikal oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; f). melantik kepala Instansi Vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang ditugaskan di wilayah Daerah provinsi yang bersangkutan kecuali untuk kepala Instansi Vertikal yang melaksanakan urusan pemerintahan absolut dan kepala Instansi Vertikal yang dibentuk oleh kementerian yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan g). melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 220 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 (5) Pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) dibebankan pada APBN. (6) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan kepada penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. (7) Tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat didelegasikan kepada wakil gubernur. (8) Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang serta hak keuangan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat diatur dengan peraturan pemerintah. UU 23/2014 mengatur peran gubernur sebagai aparat dekonsentrasi atau wakil pemerintah pusat di daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki peran pembinaan dan pengawasan (binwas) untuk penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota, koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di kabupaten/kota, dan koordinasi binwas penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.13 Ke depan peran gubernur sebagaimana disebutkan dalam UU tersebut semestinya bisa dilaksanakan secara optimal. Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan terkait penguatan peran gubernur. Pertama, Mengingat rentang kendali antara pemerintah nasional dengan pemerintahan daerah terlalu luas, maka UU 23/2014 menetapkan bahwa perangkat pemerintahan negara yang melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi atas terselenggaranya pemerintahan daerah dan pemerintahan umum di daerah adalah Gubernur dalam kedudukannya selaku Wakil Pemerintah Pusat. Dengan demikian, Gubernur yang karena jabatannya (Ex-officio) berkedudukan selaku Wakil Pemerintah adalah juga Kepala Wilayah di wilayah administrasi Provinsi yang bersangkutan. Selaku Wakil Pemerintah dan Kepala Wilayah, Gubernur merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi di wilayah jabatannya dalam menjalankan sebagian urusan pemerintahan negara di daerah, baik yang bersifat “attributed” yang dengan undang-undang melekat kepadanya dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya, maupun yang bersifat “delegated” melalui tugas-tugas yang dilimpahkan dari pemerintah pusat kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang bersifat “attributed” tersebut dinyatakan dalam Pasal 91 UU 23/2014. �� konflik kepentingan sering terjadi ketika gubernur sebagai kepala daerah otonom memiliki kepentingan yang berbeda dengan Menteri/ Kepala LPNK dalam berbagai aspek pengelolaan kegiatan pembangunan di daerahnya. Misalnya, dalam pengelolaan kegiatan pertambangan, kehutanan, dan kegiatan lainnya, seringkali posisi gubernur sebagai kepala daerah otonom berbeda dengan posisi yang diambil oleh Kementerian/ LPNK. Dalam UU 23/2014 peran ganda gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah yang bertanggungjawab kepada presiden menimbulkan tarik-menarik kepentingan, membuat posisi gubernur dilematis: antara perannya sebagai wakil pemerintah pusat atau kepala daerah otonom. Peran ganda gubernur (dual roles), sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat tersebut, sering menimbulkan konflik peran ketika kepentingan provinsi berbeda dengan kepentingan pemerintah pusat. Pertama, Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur kerap harus mengamankan kebijakan pemerintah pusat, yang kadangkala berbenturan dengan kepentingan daerahnya. Karena itu, meskipun UU 23/2014 sudah mengatur mengenai masalah tersebut, bila yang ditekankan aspek dekonsentrasi, penguatan peran gubernur tidak akan tampak nyata. Kedua, sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur melaksanakan tugas dekonsentrasi. Berbeda dengan dengan UU Pemda sebelumnya, peran gubernur dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi diatur secara jelas (lihat pasal 91 di atas). Pasal-pasal tersebut di atas telah mengatur dengan jelas mengenai tugas yang harus dilakukan gubernur. Pertanyaannya, apakah hal ini akan membuat kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi lebih clear dan reliable. Ketiga, dalam menjalankan tugas dekonsentrasi, gubernur sebagai wakil pusat di daerah perlu mempunyai perangkat dekonsentrasi sendiri dengan sumber pembiayaan yang jelas. Hal ini penting agar ada kejelasan dalam pertanggungjawaban pengelolaan tugas dekonsentrasi. Disamping itu, perlu pula ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung peran gubernur dalam menjalankan Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 221 tugas-tugas dekonsentrasi sehingga menjadikan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah lebih efektif. Keempat, kemungkinan munculnya ketidakjelasan dalam pelaksanaannya sehingga peran dan tugas gubernur dalam melakukan pemantauan terhadap kabupaten/kota tidak efektif. Pelaksanaan tugas pemantauan terhadap kinerja kabupaten/kota sering dilakukan secara campur aduk dalam konteks dekonsentrasi sekaligus desentralisasi. UU 23/2014 secara jelas memberi tugas kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan binwas terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, pasal-pasal tersebut tidak mengatur dengan cukup jelas tentang apakah binwas ini perlu juga dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi atau hanya terbatas pada pelaksanaan tugas dekonsentrasi. Kelima, hubungan koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota selama ini masih kurang berjalan secara efektif. Kewenangan dan kapasitas pemerintah provinsi untuk melaksanakan koordinasi dalam perencanaan program pembangunan dan pelayanan publik yang memiliki eksternalitas lintas kabupaten/ kota kurang dapat dikelola secara efektif dan sinergis. Pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan yang jelas untuk dapat mengatur kegiatan pembangunan dan pelayanan publik, yang mencakup wilayah lebih dari satu kabupaten/ kota agar dapat diselenggarakan secara sinergis. Pengaturan yang jelas tentang kewenangan provinsi dalam koordinasi perencanaan pembangunan daerah dan penyelenggaraan pelayanan publik perlu dilakukan dengan jelas. Keenam, pelaksanaan tugas pembantuan oleh provinsi kepada kabupaten/kota dan desa harus dipahami secara jelas. Sebab, pelaksanaan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/ kota belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Supaya pemerintah provinsi memiliki dasar yang kuat untuk melaksanakan tugas pembantuan kepada kabupaten/kota dan desa, pengaturan yang jelas diperlukan mengenai kriteria dan konsekuensi pelaksanaan tugas pembantuan. Lepas dari itu, provinsi dan kabupaten/kota merupakan daerah otonom. Namun, kendati keduanya adalah daerah otonom, provinsi memiliki peran fasilitasi dan pemberdayaan terhadap kabupaten/kota terkait dengan kebijakan yang menggambarkan kekhasan provinsi. Dalam UU 23/2014, peran tersebut relatif sudah diatur cukup memadai. Karena itu, ke depan pelaksanaan berbagai peran tersebut mestinya bisa dilakukan secara optimal. Rendahnya optimalisasi dari pelaksanaan peran tersebut sering membuat penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota kurang dapat dikoordinasikan secara efektif dan sinergis untuk mencapai tujuan pembangunan provinsi. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi tentang peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kedudukan gubernur sebagai kepala daerah dan sebagai wakil pemerintah pusat kurang dapat dipisahkan dengan tegas dalam beberapa hal. Pertama, kapan gubernur harus bertindak sebagai wakil pemerintah pusat dan kapan gubernur harus bertindak sebagai kepala daerah. Dengan payung hukum yang ada saat ini apakah hal tersebut bisa dilaksanakan secara efektif. Hal ini penting karena memiliki implikasi kelembagaan dan anggaran yang berbeda. Ketidakjelasan pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan kepala daerah membuat fungsi ganda gubernur belum dapat berjalan dengan baik karena struktur kelembagaan dan anggaran belum dapat memberi dukungan yang kuat terhadap pelaksanaan fungsi ganda gubernur. Kedua, akibat tidak berjalannya secara optimal fungsi ganda itu, pelaksanaan binwas dari gubernur belum dapat berjalan dengan baik. Akibat lebih jauh dari tidak berjalannya peran binwas, penyelenggaraan pemerintahan di daerah saat ini kurang terkoordinasi dengan baik, kurang sinergis sehingga pembangunan daerah tidak dapat diwujudkan secara optimal. Pengaturan tentang fungsi ganda gubernur dalam UU23/2014 diharapkan dapat mendorong adanya pembangunan daerah yang sinergis dan berkelanjutan dalam wilayah provinsi. Pengaturan yang lebih jelas akan dapat memperkuat peran gubernur dalam melakukan korbinwas dan penyelarasan kegiatan pembangunan di daerah. Hal ini diharapkan akan dapat mengurangi ketegangan yang selama 222 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 ini sering terjadi dalam hubungan antara bupati/ walikota dan gubernur di daerah. Miskonsepsi dalam memahami pola hubungan tersebut cenderung mempersulit koordinasi dan sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di tingkat kabupaten/kota. Lebih dari itu, pengaturan juga diperlukan agar gubernur dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan konflik yang terjadi di antara kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dampak positif UU 23/2014 diharapkan bisa memperkuat fungsi ganda gubernur dan hubungan antartingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, hubungan antara gubernur dengan bupati/ walikota bersifat bertingkat, di mana gubernur dapat melakukan peran korbinwas terhadap kinerja bupati/walikota dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah. Sebaliknya, bupati/walikota dapat melapor dan mengadu kepada gubernur apabila terjadi masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan antarkabupaten/ kota. Penguatan peran Gubernur sebagai kepala daerah diharapkan dapat memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah. Dengan kata lain, UU 23/2014 diharapkan menjadi payung hukum yang ditaati dan tidak dipersoalkan oleh daerah. Karena user UU ini adalah daerah. Poin pentingnya adalah pertama, peran gubernur harus lebih efektif dan fungsional, mampu mengkoordinasi kabupaten/ kota yang ada di wilayahnya agar terjadi sinergi dalam mengembangkan ekonomi regional. Sinergi antardaerah diperlukan agar mereka saling melengkapi dan membantu. Hal itu bisa dilakukan dengan menjalin komunikasi intensif sampai pada tingkat perumusan bersama yang menghasikan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP)/rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) kabupaten/kota. Kedua, selaku koordinator, pengawas dan pembimbing, gubernur ikut mengelola anggaran pusat ke dan atau di kabupaten/kota melalui DAU dan DAK atau dalam bentuk lain seperti “dana tugas pembantuan” dan “hibah”. Dalam kaitan ini, DAU dimaksudkan sebagai dana alokasi dari pusat yang diberikan berdasarkan rumus tertentu yang pemanfaatannya dikoordinasikan agar lebih berorientasi kinerja. Sebagai contoh dana tersebut bukan untuk membeli mobil atau rumah jabatan, tapi untuk benih dan obat. Sedangkan DAK dimaksudkan sebagai dana alokasi khusus untuk urusan yang sudah menjadi otonomi daerah untuk daerah tertentu seperti untuk dana fisik (rehab jalan, sekolah dan rumah sakit). DAK ini direncanakan diatur secara rinci (satuan III) oleh Biro Perencanaan Kementerian/Lembaga di Pusat. Namun realitasnya, dana tersebut sering salah sasaran dan kurang aspiratif dan tidak sesuai dengan yang diharapkan kabupaten/kota. Oleh karena itu, ke depan DAK tidak hanya berwujud fisik tapi juga non-fisik, misalnya untuk meningkatkan kualitas lulusan Dikdasmen, untuk dana transportasi guru, peningkatan kualitas guru, gizi murid, armada ikan, kebun dan ternak di tiap-tiap kabupaten/kota. DAK tidak perlu secara rinci direncanakan oleh pemerintah pusat, tapi diserahkan dalam bentuk “blok” dengan arahan umum kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Gubernur bersamasama dengan Bupati dan Walikota menyusun rencananya dengan rinci. Begitu juga dengan perencanaan dana tugas pembantuan dan hibah. Selain melaksanakan fungsi Binwas, Gubernur harus melakukan koordinasi di wilayahnya. Ketiga, dalam hal SDM aparatur Kabupaten/ Kota, Gubernur mengkoordinasikan dan berwenang memindahkan pejabat eselon III antarkabupaten/kota. Idealnya pejabat eselon III baru bisa naik ke eselon II setelah bermutasi ke daerah/kota lain lebih dahulu. Ini penting agar terbangun aparatur yang tidak semata-mata menonjolkan ego kedaerahan dan berpengalaman sempit. Keempat, Binwas dilakukan Gubernur kepada kabupaten/kota untuk menjaga agar otonomi daerah yang dilaksanakan kabupaten/ kota sesuai dengan NSPK yang ditetapkan pemerintah pusat. Hal ini juga dimaksudkan agar tata cara pengelolaan hutan, misalnya, tidak bertentangan dengan NSPK dari departemen Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 223 Kehutanan. Dengan demikian pelaksanaan urusan Dikdasmen, kesehatan, dan lainnya juga sesuai dengan NSPK, baik secara teknis maupun manajerial, termasuk kompetensi pejabat yang diangkat. Kelima, Binwas juga dilakukan dalam menyiapkan Perda terutama agar Perda tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Gubernur selaku wakil pemerintah pusat mewakili Presiden dapat membatalkan Perda. Meskipun demikian, atas nama pluralitas lokal, penghapusan perda harus memenuhi kriteria yang ada sehingga tetap menghormati nilai-nilai kearifan lokal. Keenam, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berwenang melakukan evaluasi kinerja kabupaten/kota dan melaporkannya kepada Presiden. Hasil evaluasi, baik atau buruk mestinya akuntabel dan transparan. Fungsi Korbinwas yang dilaksanakan Gubernur terhadap kabupaten dan kota secara umum cenderung masih belum memadai karena yang dilakukan Gubernur selama ini hanya kunjungan dan belum dalam bentuk komunikasi intensif seperti merumuskan rencana secara bersama. Selain itu, kajian empirik selama ini menunjukkan bahwa yang turun ke kabupaten/kota adalah Bappeda, SKPD, alat daerah dan bukan perangkat pemerintah pusat. Sejauh ini Gubernur belum memiliki perangkat pemerintah pusat yang kompeten untuk melaksanakan fungsi Korbinwas. UU 23/2014 telah mengantisipasi hal tersebut dengan menciptakan pasal yang memberikan otoritas kepada pemerintah provinsi untuk membatalkan peraturan daerah (perda/perbup/ perwali) yang dinilai melanggar undang-undang/ peraturan di atasnya (pasal 91 ayat 3). Hal ini merupakan langkah maju karena dengan demikian gubernur bisa merespons langsung bila ada perda bermasalah. Ke depan dengan peran barunya tersebut, gubernur bisa lebih antisipatif terhadap kemungkinan munculnya perda-perda yang bermasalah, menyimpang dan merugikan rakyat. Namun, perlu diantisipasi yaitu kemungkinan munculnya keberatan pemkab/kota atas pembatalan produk hukum oleh gubernur. Menurut pasal 251 ayat 8 bupati/ walikota bisa mengajukan keberatan kepada Mendagri selambat-lambatnya 14 hari sejak perda dibatalkan. Supaya ada kepastian hukum perlu ada pengaturan dalam PP mengenai kelanjutan prosesnya apakah keberatan itu langsung dikabulkan oleh Mendagri atau cukup menjadi arsip saja. Catatan Penutup Pemerintah daerah adalah subsistem dari pemerintahan nasional. Karena itu, perlu ada sinergi dan hamonisasi antara kebijakan pusat dan daerah. Binwas, sinergi, koordinasi dan komunikasi yang lebih efektif antartingkatan pemerintahan perlu dimaksimalkan untuk mendorong keberhasilan otoda. Selain itu, hadirnya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) sangat signifikan untuk mengevaluasi pelaksanaan otoda dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyimpangannya. Salah satu perubahan mencolok UU 23/2014 (tentang Pemda) adalah isu penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam melaksanakan fungsi koordinasi, bimbingan dan pengawasan (korbinwas). Ini sekaligus merupakan pengakuan eksplisit bahwa korbinwas antarjenjang pemerintahan (pusatprovinsi-kabupaten/kota) selama ini tidak efektif. Seiring dengan itu, daerah-daerah didorong untuk melakukan kerjasama, baik antardaerah maupun antara daerah dan pemerintah pusat dan peningkatan kualitas pelayanan publik melalui berbagai inovasi. Kemendagri dengan otoritasnya bisa lebih tegas lagi mengefektifkan PP 6/2008 (tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah) agar daerah-daerah lebih bersemangat lagi menyukseskan otoda. Masalahnya, sejauh ini evaluasi pemerintah pusat (melalui Kemendagri) terhadap daerah agaknya tak cukup mendorong daerah-daerah untuk maju. Mekanisme reward and punishment yang seharusnya dijadikan sebagai faktor pemantik (leverage factor) tak digunakan secara maksimal sehingga apresiasi terhadap daerah yang berhasil melaksanakan best practices masih belum menyemangati (encouraging), sementara itu pemberian penalti terhadap daerah yang melanggar peraturan juga kurang tegas. 224 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 Permasalahan serius ketidakharmonisan hubungan pusat dan daerah tak cukup dijawab melalui perbaikan UU Pemda, tapi lebih penting dari itu adalah adanya political will dan political commitment dari para stakeholders otoda untuk konsisten menjalankan amanah UU Pemda, khususnya pasal tentang binwas dan penguatan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pemerintah pusat harus konsisten dalam menjalankan peraturan. Sebaliknya, pemerintah daerah tak perlu resisten berlebihan dalam merespons kebijakan pusat yang dianggap merugikan. Karena itu, penting bagi masingmasing pihak untuk memperbaiki pola komunikasi, sinergi dan koordinasi agar tercipta relasi pusat-daerah yang harmonis. Tidak efektifnya koordinasi, pengawasan dan pendampingan oleh pemerintah di atasnya berpengaruh negatif terhadap praktek pemerintahan, karena masingmasing tingkatan pemerintahan bisa jalan menurut kehendaknya sendiri. Bila itu terjadi, kebangsaan dan kesatuan Indonesia akan berada di ujung tanduk dengan risiko besar yang akan ditanggung Republik ini. ________, “Sewindu Otonomi Daerah: Evaluasi Kritis.” Jurnal Demokrasi & HAM,.Vol. 8. No. 1. 2008. ________, ”Relasi antara DPRD dan Kepala Daerah Era Pilkada.” Jurnal Ilmu Pemerintahan. Edisi 40 Tahun 2013. ________, “Politik Desentralisasi: Masalah dan Prospeknya”. Jurnal Ilmu Pemerintahan. Edisi 43 Tahun 2013. Peraturan PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Top 99 Inovasi Pelayanan Publik, Jakarta: KemenPAN RB. 2014. Referensi Buku dan Jurnal Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD). Jakarta: Kementerian Dalam Negeri RI. 2015. Zuhro, R. Siti. “Masa Depan Otonomi Daerah dan Integrasi Bangsa”. Jurnal Madani. No. 3. Vol. 2. 1999. _________, ”Prospek Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan: Perjuangan Panjang Membangun Otonomisasi”. Jurnal Otonomi,.Vol. I No. I. October 1999. _________, “Beberapa Pemikiran Tentang Federasi. Kesatuan dan Demokrasi”. Jurnal Otonomi. Vol. 1. No. 2. 2000. _________, “Perjuangan Demokrasi melalui Pilkada: Studi Kasus Keterlibatan Birokrasi dalam Pilkada di Jember”. Masyarakat Indonesia. Jakarta: LIPI, Vol. XXXI. No. 2. 2005. Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 225 MASA DEPAN PARTAI ISLAM DI INDONESIA1 THE FUTURE OF ISLAMIC POLITICAL PARTIES IN INDONESIA Moch. Nurhasim Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10 Jakarta E-mail: [email protected]; [email protected] Abstract The existence of Islamic political party is not just a marker of the arising of plurality politics in this country. But, far beyond it, plurality “Keindonesiaan” means nothing without islam in the plurality itself. Therefore, Islamic political parties remain relevant and needed, not only as a channel for the aspirations and interests of Muslims, but also as part of plurality and “Keindonesiaan”. This study results showed that chance of islamic ideology and Islamic political parties in the future depends on how far the Islamic ideology can be presented to answer the problems about “Keindonesiaan” and nationality. The opportunities of Islamic political parties could be figured out from electoral results. But, the more fundamental point is how to improve the quality of the presence and contribution of islamic political parties in practicing democracy more ethically, civilized, and also fair, accountable, and full of integrity. Keywords: Democracy, Election, Islamic Political Party Abstrak Keberadaan partai politik Islam bukan sekedar penanda tumbuh suburnya pluralitas politik di Tanah Air. Namun jauh dari itu, pluralitas “Keindonesiaan” tidak ada artinya tanpa ke-Islam di dalamnya. Oleh karena itu, partai-partai Islam tetap relevan dan dibutuhkan, bukan hanya sebagai saluran aspirasi dan kepentingan umat Islam, melainkan juga sebagai bagian dari pluralitas dan “Keindonesiaan” itu sendiri. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa peluang ideologi Islam dan partai-partai Islam di masa depan bergantung pada sejauhmana ideologi Islam dapat dihadirkan untuk menjawab persoalan “Keindonesiaan” dan kebangsaan. Peluang partai-partai Islam pada satu sisi dapat dilihat dari hasil elektoral, namun pada sisi yang jauh lebih mendasar dari hal itu ialah bagaimana meningkatkan kualitas kehadiran dan kontribusi partai-partai Islam bagi praktik demokrasi Indonesia yang tidak sekedar lebih etis dan beradab, melainkan juga lebih adil, akuntabel, dan berintegritas. Kata Kunci: Demokrasi, Partai Politik Islam, Pemilu Moch. Nurhasim (Koordinator), Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sri Nuryanti, Luky Sandra Amalia, Devi Darmawan, dan Ridho Imawan Hanafi. 1 Pendahuluan Naik-turunnya suara partai Islam dalam setiap pemilu menunjukkan tingkat instabilitas suara partai Islam relatif tinggi dibandingkan dengan partai-partai yang berideologi nasionalis atau non-agama. Padahal, pemilih di Indonesia sebagian besar adalah pemilih yang beragama Islam. Namun dalam politik nyata, sepertinya ada paradoks elektoral—antara dukungan pemilih dengan ideologi yang diusung oleh partai. Secara sepintas tampak bahwa pemilih yang beragama Moch. Nurhasim (Koordinator), Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sri Nuryanti, Luky Sandra Amalia, Devi Darmawan, dan Ridho Imawan Hanafi. 1 Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 227 Islam cenderung tidak lagi “tertarik” untuk mendukung partai-partai politik yang mengusung ideologi Islam atau partai-partai politik yang menggunakan simbol-simbol agama (Islam). Kecenderungan seperti itu sudah terjadi pada Pemilu 1955, dan semakin jelas pada pemilupemilu di era reformasi. Kajian ini ingin menjawab tiga pertanyaan pokok penelitian berkaitan dengan naik-turunnya suara partai Islam pada pemilu era reformasi, yaitu: (1) Mengapa kecenderungan penurunan dukungan pemilih terhadap partai Islam dari pemilu ke pemilu di era reformasi terus terjadi? (2) Faktor-faktor apa yang memengaruhi volatilitas elektoral partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu?; dan (3) Bagaimana masa depan partai politik Islam di Indonesia? Partai Islam dan Volatilitas Pemilihan Partai politik (parpol) adalah organisasi yang memiliki ideologi dan tujuan politik 2 yang diwujudkan dalam keikutsertaannya pada pemilihan umum (pemilu). Parpol juga dianggap sebagai sebuah organisasi yang memiliki hubungan dengan pemilih. Parpol merupakan agen perwakilan yang berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, menuntut dukungan mereka, yang dipengaruhi secara langsung oleh perubahan suara dalam suatu proses pemilihan.3 Dalam arti fungsional, parpol merupakan alat utama dari representasi penduduk, yang berkompetisi dalam pemilu dan dipilih oleh pemilih berdasarkan tindakan dan kebijakan yang mereka tawarkan.4 Parpol dianggap sebagai aktor rasional yang bereaksi dan beradaptasi terhadap desakan dan kesempatan yang ada di pasar politik. 5 Organisasi, ideologi, dan 2 K.R. Luther and F Müller-Rommel, “Political Parties in a Changing Europe”, dalam K.R. Luther and F. Müller-Rommel, eds. Political Parties in the New Europe, (Oxford: Oxford University Press, 2002), hlm. 3–16. Sergiu Gherghina, Party Organization and Electoral Volatility in Central and Eastern Europe Enhancing Voter Loyalty, (Oxon: Routledge, 2015), hlm. 21. 3 4 Ibid. O. Kirchheimer, “The Transformation of the Western European Party System”, dalam J. LaPalombara and M. Weiner, eds., Political Parties and Political Development, (Princeton NJ: Princeton University Press, 1966), hlm. 177–200. 5 keanggotaan serta kebijakan partai politik dipengaruhi oleh tipe pemerintahan, sistem pemilu, pengalaman demokrasi, 6 dan aturan pemilu7 yang dipraktikkan oleh suatu negara. Sebagai sebuah organisasi, parpol bersifat dinamis dan tidak statis, mengalami perubahan pada tingkat struktural dan institusional secara terus-menerus sebagai dampak dari perubahan lingkungan eksternalnya. Partai Islam dalam riset ini merujuk pada dua pembatasan, pertama, sebuah partai yang menjadikan Islam sebagai asas atau ideologi secara jelas dan tegas seperti tercantum pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Kedua, adalah partai yang tidak mencantumkan Islam sebagai asas atau ideologi, tetapi identitas partai tidak dapat dipisahkan dari simbol-simbol Islam. Dari dua pembatasan tersebut, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah dua partai yang secara tegas menjadikan Islam sebagai asas atau ideologinya. Sedangkan yang termasuk pada kategori kedua adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tidak menjadikan Islam sebagai asas dan ideologi—ideologinya terbuka—tetapi Islam tidak dapat dilepaskan sebagai bagian dari identitas dan simbol-simbol kepartaiannya. Juga sejarah pendiriannya yang tidak dapat dilepaskan dari komunitas Islam, baik secara ideologi, kultural, dan simbol-simbol keagamaan. Volatilitas pemilihan (electoral volatility) adalah turun naiknya perolehan suara partai politik dari pemilu ke pemilu atau stabil-tidaknya perolehan suara parpol dari pemilu ke pemilu. Dalam studi tentang pemilu, volatilitas elektoral menjadi salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur perubahan perolehan suara partai pada dua pemilu secara berturut-turut. Secara matematik, rumus yang biasa digunakan adalah Indeks Pedersen. Indeks ini memang tidak D.W. Rae, The Political Consequences of Electoral Laws, (New Haven, CT: Yale University Press, 1971). Lihat juga, R. Harmel dan K. Janda, Parties and Their Environments: Limits to Reform, (New York: Longman, 1982). 6 G. Sartori, Parties and Party Systems: A Framework for Analysis, (Cambridge: Cambridge University Press, 1976). G. Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry into Structures, Incentives and Outcomes, 2nd ed., (Basingstoke, UK: Macmillan, 1997). 7 228 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 dapat mengungkap alasan-alasan perpindahan suara pemilih secara individual dari satu partai ke partai lain dalam sebuah pemilu, namun indeks Pedersen minimal dapat mengungkap tingkat konsolidasi atau pelembagaan sistem kepartaian, stabilitas, stagnasi dan fluktuasi suara partai pada dua pemilu secara berturut-turut. Pedersen mengartikan electoral volatility sebagai “by which will be meant the net change within the electoral party system resulting from individual vote transfers.” Rumus yang dikembangkan adalah: p i,t-1 adalah sebuah persentase yang diperoleh oleh suatu partai pada pemilu (i) dan pada pemilu sebelumhya (t-1), sehingga dihasilkan rumus sebagai berikut:8 Æpi,t = pi,t - pi,t- 1 Volatility (Vt) = 1/2 x TNCt Sebagai contoh, dalam pemilu pertama, Parpol A meraup suara 65 %, Parpol B 25% dan Parpol C 10%. Kemudian, dalam pemilu kedua, perolehan suara parpol A tetap 65%, Parpol B turun menjadi 10% dan Parpol C naik menjadi 20%. Maka volatilitas partai dapat ditentukan sebagai berikut: Tabel 1. Contoh Menghitung Volatilitas Partai dari Satu Pemilu ke Pemilu9 Pemilu/Partai A B C 65% 25% 10% Pemilu Pertama 65% 15% 20% Pemilu Kedua 0 -10% 10% Selisih 0 10% 10% Selisih Mutlak Volatilitas (v) = ½ (0% + 10% + 10%) = 20/2 = 10% Mengenai rumus ini dapat dilihat pada Mogens N. Pedersen, Excerpted from ‘The Dynamics of European Party Systems: Changing Patterns of Electoral Volatility’, European Journal of Political Research, 7/1 (1979), 1-26. Copyright 1979. Reprinted with permission of Kluwer Academic Publishers. 8 Pipit R. Kartawidjaj dan M. Faishal Aminuddin, Demokrasi Elektoral (Bagian I) Perbandingan Sistem dan Metode dalam Kepartaian dan Pemilu, (Surabaya: Sindikasi Indonesia, 2014), hlm. 37. 9 Dari contoh di atas terlihat bahwa penguapan suara Partai A tidak terjadi, karena mendekati 0 persen, sedangkan Partai B kebalikannya, kehilangan 10 persen, dan Partai C mengalami peningkatan 10 persen. Dengan rumus itu akan diperoleh rata-rata volatilitas pemilu pada suatu negara. Dengan rumus ini tidak dapat menjelaskan mengapa terjadi penguapan suara dan kenaikan suara pada suatu partai. Rumus di atas hanya dapat memberikan gambaran awal volatilitas partai yang terjadi. Angka-angka tersebut tidak dapat menunjukkan mengapa terjadi kenaikan dan penurunan pada suatu partai dari pemilu ke pemilu. Oleh karena itu, diperlukan konsep volatilitas elektoral yang secara kualitatif dapat menjelaskan turun naiknya suara partai politik dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Penjelasan kualitatif juga dapat menggambarkan masa depan partai, dilihat dari stabilitas perolehan suara dari pemilu ke pemilu dan stabilitas suara partai pada sistem kepartaian serta sistem pemilu berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sementara untuk mengukur tingkat volatilitas partai secara tunggal—dapat menggunakan model volatilitas yang dikembangkan oleh Mainwairing, di mana volatilitas pemilihan partai dihitung dengan menambahkan perubahan persentase (bertambah atau berkurang) dari setiap pemilu, kemudian dibagi menjadi dua.10 Konsep ini dapat digunakan untuk menjelaskan eksistensi partai pada sistem kepartaian dan pemilu berdasarkan perolehan suara partai tersebut, apakah tergolong sebagai partai papan atas, menengah, atau bawah. Menurut Shergiue Ghergina, elektoral pemilihan dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang memiliki tingkat dominan yang berbeda-beda. Sejumlah faktor tersebut berkaitan dengan bekerjanya faktor internal dan eksternal partai sebagaimana tampak pada tabel di bawah. Dalam konteks Indonesia, perlu ada modifikasi dan penambahan, sebab teori yang dibangun oleh Ghergina lebih digunakan dalam melihat perkembangan elektoral partai-partai politik di Eropa Barat dan Tengah. Scott Mainwaring, “Rethingking Party System Theory In The Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionlization, Working Paper #260 – October 1998, Kellogg Institute, hlm. 9. 10 Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 229 Tabel 2. Modifikasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Elektoral Pemilihan Partai Politik11 Faktor Internal Partai Variabel Organisasi Partai 1. 2. 3. 4. Eksternal Partai Volitilitas Sistem Kepartaian 1. 2. 3. Indikator Loyalitas Akar Sosial Perpecahan atau kohesi Kinerja elektoral partai (jaringan sosial, interaksi antara partai dengan pemilih, kedekatan/ jarak aktor/ kader partai dengan pemilih). Sistem pemilu Format partai politik Polarisasi ideologi Secara umum, volatilitas elektoral partai dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal sebenarnya berkaitan dengan organisasi partai politik dan faktor eksternal berkaitan dengan volatilitas sistem kepartaian. Ghergina menyebutkan bahwa organisasi partai dapat mengurangi atau menambah volatilitas partai pada pemilu. Studi yang dilakukan oleh Barelson et all 1954; Easton 1957 membahas sejauhmana partai politik dapat menyederhanakan pilihan-pilihannya sehingga menghasilkan simbol identitas dan loyalitas. Sementara, Neumann 1956; Key 1964; Borre dan Katz 1973; Rosenstone dan Hansen 1993; Dalton dan Wattenberg 2000a) menyebut ada kesinambungan partai politik dalam pemilu, apabila partai-partai dapat menciptakan sebuah rantai komunikasi dengan warga. Dalam konteks itu, stabilitas organisasi partai politik akan memelihara preferensi pemilihan. Partai yang memiliki stabilitas organisasi akan hadir secara terus menerus pada arena politik dan mereka secara jangka panjang dapat memperkenalkan perspektif preferensinya kepada pemilih melalui pengenalan label organisasi dan kandidatkandidat yang disiapkan.12 Simbol identitas dan loyalitas berkaitan dengan apa yang akan dijual oleh partai-partai politik kepada pemilih. Banyak faktor yang berkaitan dengan hal itu, antara lain bagaimana faktor pembelahan sosial dalam kaitannya dengan preferensi pemilih dalam konteks sosial-politik pada suatu negara. Teori pembelahan sosial dari Lipset menyebut bahwa dalam sistem kepartaian, pemilih mengidentifikasi kepentingan mereka atas dasar posisi sosiologi masyarakat atas dasar kelas, agama, etnik, kebangsaan, dan kota/desa. Pembentukan partai politik juga didasari oleh preferensi mereka atas posisi sosial tersebut (kelas, agama, etnik atau kembangsaan dan sektor kota/pedesaan).13 Perbedaan ideologi antara satu partai dengan partai lainnya menurut hasil kajian Kuskridho Ambardi dipengaruhi oleh sistem kepartaian. Sistem kepartaian di Indonesia dalam pandangan Ambardi dicirikan oleh beberapa hal.14 Pertama, ideologi tidak menjadi faktor penting yang menentukan perilaku partai. Kedua, dalam pembentukan koalisi, tidak ada rambu-rambu yang memandu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh; semua serba boleh (promicious). Ketiga, kecenderungan untuk merangkul semua partai ke dalam koalisi (koalisi turah) membuat keberadaan oposisi sulit diidentifikasi. Keempat, perilaku partai tidak ditentukan oleh hasil menang-kalah dalam pemilu (inkonsekuensial). Kelima, terlepas dari perbedaan identitas normatif yang “dijual” dalam kampanye pemilu, partai-partai cenderung bertindak sebagai satu kelompok. Kekaburan identitas antarpartai dan “kekaburan” ideologi seperti disebut oleh Ambardi, menyebabkan tidak adanya polarisasi ideologi yang tajam antara satu partai dengan Gherghina, “Party Organization and Electoral Volatility…”, hlm. 6. 12 Scott Mainwaring and Mariano Torcal, “Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization,” dalam Working Papar #319-April 2005, Kellogg Institute (The Helen Kellogg Institute for International Studies), hlm. 12. 13 Peter Mair, Party System Change, Aprroaches and Interpretations, (New York: Oxford University Press, 2002), hlm. 28-29. 14 Gherghina, “Party Organization and Electoral Volatility…”, hlm. 16-33. 11 230 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 partai lainnya. Perbedaan di antara partai-partai Islam sendiri dan antara satu partai Islam dengan partai nasionalis misalnya, turut menentukan preferensi politik pemilih kepada partai yang bersangkutan. Hal ini juga didorong oleh adanya suatu kenyataan bahwa dalam perkembangan politik di Indonesia, partai-partai sengaja mengaburkan jenis kelamin ideologi mereka, karena mereka meyakini bahwa proporsi pemilih dalam garis pembelahan ideologi/budaya lebih berdiam di tengah (bukan ekstrem kiri maupun kanan). Pada titik inilah, mobilisasi finansial untuk memenangkan persaingan elektoral melalui iklan dan money politics lebih ditempuh partai-partai ketimbang mengedepankan tawaran ideologi dan program untuk mendekati pemilih. 15 Kecenderungan seperti itu sudah pernah diprediksi oleh Pedersen (1979) bahwa volitilitas pemilu setelah 1960 lebih berakar pada jarak sosial partai dengan pemilihnya. Artinya, perubahan preferensi pemilihan telah mengubah secara longitudinal dan menyebabkan transformasi pada nilai-nilai struktur sosial.16 Dalam kaitan itu, kinerja elektoral partai politik menjadi penting. Kinerja elektoral mencakup sejumlah langkah atau cara yang digunakan oleh partai-partai politik untuk memaksimalkan jaringan yang dimiliki, membuat branding bagi partai politiknya, dan bagaimana partai politik melakukan interaksi dengan para pemilihnya. Seperti telah disinggung oleh Gherghina di atas bahwa stabilitas partai—kohesi internal partai—di mana partai tidak mengalami perpecahan (cleavage) yang memungkinkan partai memiliki kinerja elektoral yang lebih terfokus pada pemilu dan agenda pemenangan pemilu. Dalam kaitan itu, studi yang dilakukan oleh Tilly dalam mengkaji pertumbuhan partai-partai politik di Amerika Latin menyebut bahwa eksis atau tidaknya partai politik dipengaruhi oleh tiga Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan pengajar FISIP UIN Jakarta , “Pro-Kontra Penyederhanaan Sistem Kepartaian”, dalam http://www. lampungpost.com/opini/20730-pro-kontra-penyederhanaansistem-kepartaian.html, 5 Januari 2012. 15 Gherghina, “Party Organization and Electoral Volatility...,” hlm. 15. 16 indikator utama.17 Ketiga indikator itu adalah tingkat institusionalisasi (institutionalization), volatilitas pemilihan (electoral volatility), dan pilihan ideologi (ideological voting). Studi itu menyebut bahwa sistem kepartaian di negara-negara yang belum berkembang menunjukkan polarisasi pelembagaan yang disebut tidak stabil, tidak memiliki akar rumput yang kuat, dan legitimasi yang disesuaikan oleh aktor-aktor politik partai.18 Pada konteks pilihan ideologi (ideological voting), berbagai literatur perilaku memilih menggambarkan bahwa kompetisi antarpartai lebih didominasi oleh dua asumsi yakni berbasis program (programmatic) atau ideologi/keyakinan pemilih (ideological voters). Pada negara-negara yang belum maju demokrasinya, umumnya faktor personalisasi begitu besar dan menonjol. Perilaku pemilih lebih didasari pada pengaruh personal atau figur dalam menentukan pilihan-pilihannya.19 Sementara partai yang mengarah moderen, pengaruh figur atau orang makin mengecil dan institusi partai (kelembagaan dan pelembagaan partai) menjadi lebih kuat. Dalam konteks kelembagaan dan pelembagaan partai, pengaruh kepemimpinan pada organisasi partai juga turut menentukan. Apakah partai mengembangkan kepemimpinan yang sifatnya personal dengan ciri loyalitas yang bersandar pada orang ataukah kepemimpinan partai lebih didasarkan pada prinsip-prinsip organisasi yang modern, di mana seorang pemimpin adalah manajer yang akan membawa roda organisasi sesuai dengan AD/ ART. Sumber daya untuk mengisi kepemimpinan partai juga tersedia dari pusat hingga daerah. Dalam hal itu, seorang pemimpin perannya memang penting, tetapi tidak membayangi partai dan loyalitas lebih didasarkan pada institusi dan bukan personal. Selain sejumlah faktor yang telah disebut di atas, khususnya faktor internal dan eksternal, faktor lain yang juga memiliki pengaruh pada masa depan suatu partai politik adalah sistem Scott Mainwaring dan Timothy R Scully, Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, (Stanford, California: Stanford University Press, 1995), hlm. 5. 17 18 Mainwaring, “Party System Institutionalization...”, hlm. 4-14. Mainwaring, “Party System Institutionalization...”, hlm. 18-19. 19 Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 231 pemilu dan demokratisasi. Michael Gallagher dan Paul Mitchell menyebut bahwa sistem pemilu membuat perbedaan yang besar atas bentuk sistem kepartaian, bentuk pemerintahan (apakah koalisi atau partai tunggal).20 Disamping itu, berbagai macam pilihan dalam menghadapi pemilih dalam pemilu, kemampuan pemilih untuk pertahankan akuntabilitas keterwakilan personal mereka, perilaku angota parlemen, seberapa banyak parlemen berisi orang-orang yang cakap, seberapa jauh demokrasi dan kohesi di dalam partai politik, kualitas pemerintahan dan tentu saja kualitas hidup masyarakat yang diatur oleh pemerintahan tersebut.21 Pengaruh sistem pemilu pada demokratisasi dan kohesi di dalam partai politik salah satunya ditentukan apakah sistem kepartaian dan pemilu dapat mendorong proses-proses yang demokratis dalam mengatur pelbagai kepentingan dalam proses pencalonan, penempatan, dan rekrutmen kader-kader partai pada pemilu. Andrew Reynold22 menyebut bahwa sistem pemilu akan mendorong partai politik bekerja lebih baik. Sistem pemilu yang baik akan mendorong partai politik untuk memperbaiki organisasi internalnya, lebih memperhatikan isu-isu masyarakat, dan bekerja untuk para pemilihnya. Pada dasarnya, sistem pemilu adalah suatu instrumen untuk mengagregasikan prefensi pemilih dan mengubahnya ke dalam hasil pemilihan, dan tidak ada sistem dapat melakukan ini sebagai suatu penerjemah pasif kehendak individual ke dalam suatu pilihan kolektif. Setiap sistem pemilu memiliki bias yang terbentuk ke dalam mekanisme keputusannya, dan ini kemudian berbalik ke dalam struktur keputusan yang membenturkan pemilih, membandingkan dan mengubah pilihan-pilihan yang mungkin mereka buat di bawah sistem lainnya. Muhammad Asfar (ed.), Model-model Sistem Pemilihan di Indonesia, Surabaya: Pusat Studi Demokrasi dan HAM bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2002, hlm. 4. Konsekuensinya, tidak hanya terdapat refleksi yang tidak sempurna atas preferensi pemilih dalam contoh pertama, tetapi preferensi pemilih itu terbentuk oleh sistem pemilu. Preferensi tidak dan tidak dapat hadir secara independen. Sistem pemilu juga membentuk dan membatasi jalan di mana politisi dan konstituen bertindak atau berperilaku, tetapi sistem tersebut hanya sebagian kecil dari kekuatan yang mempengaruhi konstelasi keseluruhan dari perilaku, bahkan perilaku politik. Stagnasi, Stabilisasi dan Fluktuasi Volatilitas Elektoral Partai Islam Dalam sejarah pemilu di Indonesia, blok partai Islam pernah memperoleh dukungan yang signifikan pada Pemilu 1955. Partai Islam memperoleh dukungan kurang lebih 43,9%,23 dengan total kursi sebanyak 116 kursi. Perolehan suara blok partai Islam itu lebih tinggi dibandingkan dengan blok suara partai nasionalis, dan sosialis (komunis). Walaupun suara blok partai Islam tinggi, bukan berarti secara politik suara mereka sama, karena antarblok partai Islam sendiri sering terjadi pertentangan dan gesekan politik, dengan agenda politik yang tidak sama. Perkembangan partai-partai Islam selanjutnya di masa Orde Baru—nyaris “tenggelam,” tidak bisa berkembang secara optimal karena tekanan dan intervensi Orde Baru. Kebijakan penyederhanaan partai melalui fusi partai politik pada 1973 menyebabkan blok partai Islam yang tumbuh di era pemerintahan Orde Lama, dikerdilkan melalui pengelompokkan dengan lahirnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan blok partai nasional melalui Partai Demokrasi Indonesia. 20 Muhammad Asfar (ed.), “Model-model Sistem Pemilihan...,” hlm. 4. 21 Andrew Reynolds, “Merancang Sistem Pemilihan Umum” dalam Juan J. Linz, et.al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 102. 22 Gabungan perolehan suara antara Masyumi (20,9%), NU (18,4%), PSSI (2,9%), Perti (1,3%) PPTI (0,2%), dan AKUI (0,2%). Tentang kegagalan partai Islam dalam Pemilu 1999, lihat misalnya, Syamsuddin Haris, “Politicization of Religion and the Failure of Islamic Parties in the 1999 General Election”, dalam Antlov dan Cederroth, ed, Election in Indonesia: The New Order and Beyond, (London and New York: RoutledgeCurzon, 2004), hlm. 77-110. 23 232 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 Grafik 1. Perolehan Suara Golkar, PPP, PDI pada PemiluPemilu Orde Baru Sumber: diolah dari data KPU oleh tim peneliti. Di era reformasi, blok partai (Islam dan Nasionalis) yang dikubur dan diharamkan oleh Orde Baru tumbuh kembali seiring dengan dibukanya kebebasan berserikat dan berkumpul, khususnya untuk mendirikan partai politik menjelang Pemilu 1999—pemilu pertama era reformasi. Tercatat 19 partai Islam yang ikut menjadi peserta pemilu dengan perolehan suara 37,59 %, sedangkan blok partai nasionalis sebanyak 29 partai dengan perolehan suara 62,41 persen. Perolehan blok partai Islam di era reformasi cenderung fluktuatif, dengan perolehan dukungan paling tinggi sebanyak 38,54 persen pada Pemilu 2004. Penurunan drastis terjadi pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Tabel 3. Perbandingan Jumlah Parpol dan Perolehan Suara Blok Partai Islam dan Nasionalis pada PemiluPemilu Era Reformasi Pemilu 1999 2004 2009 2014 Partai Islam Jumlah parpol peserta pemilu 19 7 9 5 Perolehan suara (%) 37,59 38,54 25,94 31,39 Partai Non-Islam (Nasionalis) Jumlah Perparpol olehan peserta suara pemilu (%) 29 62,41 17 61,46 35 74,06 7 68,61 Sumber: diolah dari berbagai sumber oleh tim peneliti. Dari empat partai Islam yang memiliki kursi di DPR dan lolos electoral threshold (ET) dan/ atau parliamentary threshold (PT) sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2014 yaitu PPP, PKB, PAN dan PK/PKS, ada kecenderungan pola dukungan pemilih terhadap blok partai Islam semakin menurun. Dukungan paling signifikan pemilih terhadap blok partai Islam terjadi pada Pemilu 1999. Selebihnya, dukungan pemilih dari pemilu ke pemilu (1999 ke 2004; dan 2004 ke 2009) terhadap blok partai Islam terus mengalami penurunan. Kenaikan signifikan dialami oleh PKS pada Pemilu 2004, dengan memperoleh suara sebesar 7,20 persen (meingkat 5,85%). Gambaran sebaliknya terjadi peningkatan relatif sedikit dukungan terhadap partai-partai Islam (PPP, PKB dan PAN) pada Pemilu 2014, tetapi PKS justru mengalami penurunan. Grafik 2. Perolehan Suara PPP, PKB, PAN, dan PKS pada Pemilu Reformasi Sumber: diolah dari data KPU oleh tim peneliti. Tabel 4. Perolehan Suara PPP, PKB, PAN, dan PKS pada Pemilu Reformasi Parpol PPP PKB PAN PK/PKS 1999 10,71 12,60 7,11 1,35 Pemilu 2004 2009 8,16 5,33 10,61 4,95 6,41 6,03 7,20 7,89 2014 6,53 9,04 7,57 6,79 Dari perolehan suara partai-partai Islam di atas, PPP tampaknya terus mengalami penurunan suara, kalau pun terjadi kenaikan dukungan “sangat sedikit.” Ada gejala bahwa PPP mengalami stagnasi elektoral, pada kisaran angka dukungan antara 5-6 persen. Sementara itu, PAN relatif mengalami tingkat stabilitas yang lebih baik ketimbang PPP, karena kecenderungan perolehan suaranya antara 6-7 persen. Demikian pula dengan PKS, besaran dukungannya antara 6-8 persen. PKB yang relatif mengalami fluktuasi dukungan dengan jarak yang relatif tinggi, khususnya pada Pemilu 2004 ke Pemilu 2009 dan dari Pemilu 2009 ke Pemilu 2014. Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 233 Kalau dihitung dengan rumus volatilitas elektoral (Ve), dengan menggunakan indeks Pedersen (lihat lampiran), menunjukkan bahwa Ve Blok partai Islam pada Pemilu 1999 dengan Pemilu 2004 adalah Ve yang paling tinggi, sebesar 9,43%, sedangkan pada Pemilu 2004 ke Pemilu 2009 sebesar 7,36% dan dari Pemilu 2009 ke Pemilu 2014 sebesar 5,58%. Tingkat volatilitas blok partai Islam ini memang kecil dibandingkan dengan dengan tingkat volalititas pemilu-pemilu di Indonesia, di mana Ve pemilu di era reformasi berkisar antara 27-29 persen. Data Ve blok partai Islam di atas memperlihatkan bahwa tingkat rata-rata Ve blok partai Islam antara 5-9 persen. Artinya tingkat kemungkinan naik turunnya suara partai blok Islam paling tinggi tidak akan melebihi 9 persen, dan paling rendah 5 persen. Sementara itu kalau dilihat dengan Ve masing-masing partai Islam dengan menggunakan rumus Scott Mainwaring, tampak bahwa PPP, PAN dan PKS memiliki kecenderungan Ve yang kecil (<1%), dibandingkan dengan PKB yang jarak Ve dari pemilu ke pemilu relatif besar (antara 1,5-2,5 persen). Dari data Ve blok partai Islam dan masing-masing partai Islam menunjukkan bahwa tingkat kemungkinan Ve partai Islam sebenarnya tidak akan lebih dari 5 persen. volatilitas yang lebih kompleks, pada satu sisi bisa secara fluktuatif menurun tajam—mana kala terjadi konflik atau kerapuhan internal, dan cenderung stabil atau meningkat manakala terjadi konsolidasi politik, atau tetap memiliki hubungan yang baik dengan NU. Volatilitas elektoral partai-partai Islam juga menunjukkan bahwa mereka relatif memperebutkan basis massa yang tidak terlalu berbeda (“Umat Islam”) dengan tingkat kompetisi yang relatif mirip. Artinya, partai-partai Islam cenderung memperebutkan basis masa yang cenderung identik. Hal itu tampak dari perbadingan sebaran perolehan kursi partai Islam pada Pemilu 2009 dan 2014—yang tidak terlalu mengalami perubahan sumber daerah pemilihan yang memberikan kontribusi dukungan suara dan kursi. Tabel 6. Perbandingan Sebaran Perolehan Kursi Partai Islam Pemilu 2009 Tabel 5. Ukuran Volatilitas Elektoral Partai Islam (PPP, PKB, PAN, PKS) Par Pol Pemilu 2004 Selisih Mutlak Ve (di bagi 2) Pemilu 1999 2004 2009 2014 PPP 10,71 8,16 2,55 1,275 5,33 6,53 Seli sih Mut lak 1,2 Ve (di bagi 2) 0,6 PKB 12,6 10,61 1,99 1,56078 4,95 9,04 4,09 2,045 PAN 7,11 6,41 0,7 0,4485 6,03 7,57 1,54 0,77 PK/ PKS 1,35 7,2 5,85 2,925 7,89 6,79 1,1 0,55 11,09 5,5 7,93 3,95 Sumber: diolah oleh tim dari data perolehan kursi blok partai Islam berdasarkan Dapil pada Pemilu 2009. Sumber: diolah oleh tim dengan menggunakan rumus Scot Mainwairing. Kecenderungan volatilitas elektoral di atas menunjukkan bahwa PPP, PAN dan PKS relatif tidak memiliki faktor yang dapat melonjakkan perolehan suaranya dibandingkan dengan PKB. Artinya ada kecenderungan kuat bahwa PPP, PAN dan PKS relatif akan memperoleh dukungan pada kisaran suara antara 5-7 persen. Sementara itu, PKB yang relatif mempunyai faktor elektoral 234 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 Tabel 7. Sebaran Perolehan Kursi Partai Islam pada Pemilu 2014 Sumber: diolah oleh tim dari data perolehan kursi blok partai Islam berdasarkan Dapil pada Pemilu 2014. Kompetisi partai-partai Islam cenderung berada pada daerah pemilihan yang terpusat di Jawa, dan sebagian kecil di luar Jawa Kawasan Indonesia Barat. Sementara tingkat dukungan di daerah-daerah pemilihan Luar Jawa Kawasan Indonesia Timur relatif masih sangat rendah. Faktor yang Memengaruhi Volatilitas Elektoral Partai Islam Secara umum, hasil kajian ini menemukan tiga pola volatilitas elektoral partai-partai Islam, yaitu stagnan, stabil dan fluktuatif. Stagnasi elektoral misalnya terjadi pada PPP. Ada sejumlah faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain, pertama, PPP –memiliki usia jauh lebih tua dibandingkan dengan partai-partai Islam lainnya seperti PKB, PAN, dan PKS. Walau demikian, PPP justru tidak bisa keluar dari perangkap ideologi Islam yang diusungnya. PPP mengalamai “kegalauan ideologi,” akibat tidak berhasil menerjemahkan Islam sebagai ideologi yang menarik bagi para pemilih. Problem ideologi yang diterapkan oleh PPP dan beberapa partai Islam lainnya seperti PKS, justru menyebabkan dilema elektoral. PKS dapat disebut sebagai satu di antara partai Islam yang relatif berhasil menerjemahkan ideologi dalam organisasi partai dan kadernya. Islam sebagai ideologi dan identitas simbolik, diterjemahkan sebagai ideologi organisasi dan dipraktikkan oleh kader-kadernya dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, dari sisi integritas dan moralitas justu ada paradoks, di mana perilaku sebagian kadernya dianggap “kurang Islami,” akibat beberapa kadernya terjerat persoalan korupsi dan lainnya. Hal itu yang justru menyebabkan para simpatisan PKS (pemilih) pada Pemilu 2004 tidak dapat dipertahankan. Simpatisan PKS justru “meninggalkan” PKS pada Pemilu 2009 dan 2014. PKS kehilangan branding sebagai partai bersih. Sementara itu, PKB dan PAN,24 dua partai yang ideologi dan asasnya terbuka (tidak berideologi Islam) secara politik elektoral juga mengalami masalah yang relatif sama. Tidak terlalu ada pengaruh “keterbukaan ideologi” PAN dan PKB sebagai magnet untuk mendulang suara. PKB dan PAN masih dianggap sebagai partai yang lekat dan dekat dengan simbol-simbol Islam. Kedekatan emosional dan historis antara PKB dengan NU yang melahirkannya, dan PAN dengan sebagian besar kader Muhammmadiyah,25 relatif menguntungkannya. PKB dan PAN relatif memiliki kader yang lebih jelas ketimbang PPP. Sementara PKS mencoba menampung aspirasi politik umat Islam yang tidak NU dan tidak Muhammadiyah, tetapi lebih didukung oleh gerakan tarbiyah yang berkembang di kampuskampus pada era 1980-an. Secara kinerja elektoral, PKB tetap bertumpu pada figur Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Garis kebijakan PKB dalam kinerja elektoral dilakukan dengan cara tetap mempertahankan peran tokoh sentral Gus Dur sebagai magnet politik untuk memperoleh dukungan pemilih dari kalangan NU. Bagi PKB, figur Gus Dur adalah figur yang PAN merupakan partai politik yang berasaskan Pancasila. Identitasnya bersumber dari asas partai yang terpantul dari keterkaitannya pada moral agama yang menghargai harkat kemanusiaan dan kemajemukan sosial kutural dalam memperjuangkan kedaulatan rakyat, keadilan sosial dan kehidupan yang cerdas. PAN juga bersifat terbuka dan mandiri, dalam arti terbuka bagi warga negara Indonesia yang berasal dari berbagai pemikiran, latar belakang etnis dan agama, juga gender. Bambang Setiawan dan Bestian Nainggolan (Ed), Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 20042009, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 233. 24 PAN dideklarasikan pada 23 Agustus 1998. Dalam platform yang disusun ketika itu, partai ini bertugas memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan dan keadilan sosial. Cita-cita partai berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. Sedangkan prinsip yang dianutnya adalah nonsektarian dan nondiskriminatif. 25 Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 235 tetap erat hubungannya dengan PKB, dan Gus Dur merupakan salah satu faktor untuk menarik kembali masa Islam yang dahulu loyal kepada Gus Dur untuk kembali memilih PKB. PKB tetap mengandalkan pola vote getter, di mana tokohtokoh kiai atau keluarga kiai melalui jaringan pesantrennya tetap dijadikan sebagai pendulang suara yang paling dominan. Hubungan itu dirajut dengan memperbaiki silaturahmi politik antara PKB dengan NU, baik secara kultural maupun struktural. Visi PKB yang relatif “disamakan” dengan visi ideologis NU, termasuk perubahan struktur organisasi yang dilakukan oleh Muhaimin Iskandar adalah satu cara untuk tetap memelihara kedekatan PKB dengan NU. Upaya itu dilakukan untuk mengembalikan lumbung suara PKB yang hilang pada Pemilu 2009, akibat konflik internal PKB yang berkepanjangan. Secara ideologis memang ada proses sekularisasi pada PKB. PKB menerapkan ideologi secara longgar dan terbuka dengan harapan dapat menarik dukungan pemilih yang lebih luas, khususnya konstituen di luar pemilih NU yang berada di luar garis ideologi ke-NU-an dengan melakukan gerakan-gerakan sekulernasionalis di satu sisi, dan di sisi lain tetap mempertahankan basis dukungan pesantren. PKB juga menjalankan strategi ganda yaitu dengan memaksimalkan fungsi sayap-sayap partai, seperti sayap legislatif , sayap eksekutif nasional, sayap eksekutif daerah. Pilkada-pilkada yang di gelar di daerah-daerah dengan mendorong kader-kader ataupun non-kader yang menjadi simpatisan PKB menjadi motor pendongkrak suara partai. Perekrutan berbagai kalangan termasuk artis juga dilakukan oleh PKB dalam pemilu 2014. Tercatat ada Krisna Mukti dan Arzetty, yang berhasil menjadi anggota DPR RI 2014-2019. Sementara itu ada beberapa artis lain yang meraup perolehan suara kurang lebih 35.000 suara, namun tidak lolos ke Senayan. Walaupun tidak lolos, jumlah suara yang dikumpulkan tetap memiliki arti bagi PKB. PKB juga mengoptimalkan peran Raja Dangdut Rhoma Irama yang digadang-gadang menjadi Calon Presiden RI ke 7 dari PKB, dianggap turut mendorong kenaikan suara PKB pada Pemilu 2014. Model kampanye yang berbasis hiburan dengan menempatkan juru kampanye Raja Dangdut dan artis sekelas Ahmad Dani, Mahfud MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, hingga Rusdi Kirana Direktur Utama maskapai Lion Air, dan lain-lain, dianggap memiliki pengaruh terhadap perolehan suara PKB. Relatif sama dengan PKB, PAN tetap mempertahankan figur Amien Rais (AR) sebagai salah satu magnet untuk memperoleh dukungan dari kader dan pemilih Muhammadiyah. Sementara dari sisi ideologi, di mana PAN menetapkan ideologi dan asas partai yang bukan agama, tetapi identitas partai yang inklusif, bukan tanpa resiko. Resiko positifnya, seperti dicatat dalam laporan Tempo ketika awal kehadiran PAN (5-11 Januari 1999), bahwa pilihan itu akan memungkinkan terjadinya perluasan basis suara PAN yang semula diperkirakan akan hanya terbatas pada basis kelompok tertentu, seperti Muhammadiyah. Dengan ideologi yang inklusif, PAN mengharapkan akan memperoleh dukungan pemilih yang lebih luas. Pilihan itu bukan tanpa resiko. Resiko negatifnya, PAN bisa kehilangan sebagian pendukung dari Muhammadiyah. Kemungkinan lain yang dihadapi PAN misalnya, sejumlah warga Muhammadiyah bisa lari meninggalkan PAN begitu partai ini memutuskan untuk menjadi partai yang inklusif. Identitas seperti itu sebenarnya bisa menjadi modal politik bagi PAN untuk mendapatkan kontinuitas dukungan di masyarakat. Tinggal bagaimana dengan karakter partai yang terbuka tersebut PAN dapat melakukan perluasan dukungan dari pemilu ke pemilu. Salah satu ciri karakter politik elektoral di Indonesia umumnya menyukai sifat yang moderat atau inklusif. Maka semakin partai politik menunjukkan bahwa kemoderatannya atau inklusif semakin mereka berpeluang meraih suara. Untuk memperoleh itu, rancang bangun struktur organisasi PAN ini disusun dengan mengkombinasikan beberapa standar organisasi yang telah ada dan menyesuaikannya dengan kebutuhan partai. Struktur organisasi didesain agar target dan program partai bisa berjalan lancar serta dapat mengakomodasi semua kepentingan dan gagasan. Namun dalam perkembangannya, 236 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 justru perbedaan itu mulai berubah, karena ternyata dalam pengisian kepengurusan PAN selanjutnya, sebagian besar mereka yang duduk dalam jajaran kepengurusan pernah aktif dan dikenal sebagai tokoh dari Muhammadiyah, yang memang memiliki keterkaitan historis dengan PAN. Hal ini justru menegaskan kedekatan secara politik partai ini dengan partai-partai yang secara tegas menyatakan diri sebagai partai Islam. Namun demikian, PAN tetap memberi ruang yang lebih lebar dan luas pada generasi muda untuk duduk dalam kepengurusan partai sebagai proses regenerasi dan kaderisasi. Pada derajat tertentu, organisasi partai juga mulai didorong untuk berubah, di mana kepemimpinan yang awalnya pada figur diubah ke institusi. Walaupun ada ruang yang luas dan lebar pada masuknya generasi muda dan sejumlah tokoh pada struktur PAN, namun sisa-sisa personifikasi beberapa sosok yang pernah memimpin PAN masih terasa. Pengaruh besar Amien Rais di PAN tidak bubar, masih tetap memiliki pengaruh pada perkembangan PAN baik secara organisasi, ideologi, dan garis kebijakan partai. PAN seperti juga partai Islam lainnya, tidak terbebas dari faksi-faksi yang diakibatkan oleh perbedaan dalam memahami Islam dan politik, meskipun faksi-faksi tersebut belum menimbulkan konflik terbuka. PAN relatif memiliki tingkat kohesi internal partai yang lebih baik ketimbang PPP dan PKB, karena mereka mengelola perbedaan yang disadari sejak awal sebagai unsur penopang pendirian PAN. Secara garis besar ada empat faksi menonjol di PAN, yaitu: pertama, mereka yang berpandangan atau kelompok moderat terlihat pada Amien Rais, M. Amin Azis, Muhammad Siswosoedarmo, dan Abdillah Toha. Kubu kedua, adalah mereka yang berideologi sosial demokrat. Representasi kubu ini umumnya dari mereka yang berlatar belakang akademisi atau pegiat LSM, seperti Faisal Basri, Toety Heraty, M. Dawam rahardjo, Syamsurizal Panggabean, Sandra Hamid, Taufik Abdullah. Ketiga, kelompok minoritas non-Islam yang selalu memperjuangkan ide-ide pluralisme. Kelompok ini dihuni seperti Th. Sumartana dan Sindhunata. Kelompok keempat, kubu Islam ideologis yang dipelopori oleh AM. Fatwa yang termasuk dalam kelompok ini adalah tokoh-tokoh terkemuka Muhammadiyah.26 PPP sebagai partai Islam—pada konstelasi pemilu di era reformasi—relatif tidak menjadi wadah politik NU baik secara struktural maupun kultural. Kader-kader NU memang tetap sebagian besar di PPP—tetapi dalam realitasnya, kaderkader NU yang tidak terpakai di PKB dan kader MI yang tidak di PAN, alternatifnya ke PPP atau ke partai-partai nasionalis lainnya. Dari akar historis, PPP sebenarnya memiliki dukungan yang masih cukup kuat dari kaderkader Parmusi, yang sebagian besar merupakan pendukung setianya sejak pemilu di masa Orde Baru hingga masa reformasi. Perolehan suara PPP 10,71 persen tampaknya tidak dapat bertahan lama, karena pada pemilu selanjutnya, Pemilu 2004, justru suara PPP turun 2,5 persen. Demikian pada pemilu berikutnya, pada Pemilu 2009 suara PPP turun 2,83 persen, sebagai penurunan suara yang paling signifikan.27 Nasib PPP agak beruntung karena pada Pemilu 2014, perolehan suara PPP mengalami kenaikan 1,2 persen. Salah satunya dianggap sebagai keberuntungan, karena beberapa partai Islam seperti PKNU gagal sebagai peserta pemilu. Penurunan itu juga dikarenakan PPP mengalami perpecahan menjelang Pemilu 2004. Saat kepemimpinan PPP di bawah Hamzah Haz (1998-2003 dan 2003-2007) sengketa internal terjadi. K.H. Zainuddin MZ yang kecewa bersama dengan beberapa tokoh PPP lainnya mendirikan PPP Reformasi. Partai tersebut kemudian berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR) pada 2003. Secara umum, stagnasi perolehan suara PPP disebabkan oleh faktor internal dan ekternal. Salah satu faktor yang menjadi perdebatan tidak bekerjanya volatilitas elektoral PPP atau partai-partai Islam lainnya adalah sejauhmana pengaruh ideologi Islam dapat menjadi magnet bagi PPP untuk memperoleh dukungan dari pemilih yang beragama Islam. Lebih dari itu bagaimana ideologi Islam dan simbol Ka’bah 26 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 155. Tantangan yang dihadapi oleh PPP ini dapat dilihat pada Abul Aziz, Politik Islam Politik: Pergulatan Ideologis PPP Menjadi Partai Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 2-5. 27 Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 237 yang diusung oleh PPP mampu menembus batas psikologis pembelahan sosial pemilih di Indonesia. Atau unsur-unsur PPP manakah yang mampu menjadi daya tarik sehingga pemilih rela untuk memberikan suaranya. PPP juga mengalami disorientasi ideologi. Hal itu mengingatkan pada kasus yang hampir sama di masa lalu, ketika PPP mengalami kekaburan ideologi sejak Muktamar I Tahun 1984. Pada Muktamar I tersebut, PPP secara resmi menanggalkan asas Islam dan lambang Ka’bah menjadi berasaskan Pancasila dan bintang dalam segi lima. Kekaburan ideologi bahkan keinginan untuk meninggalkan ideologi Islam. PPP justru ingin dibawa ke ideologi “tengah” antara Islam dan Nasionalis yang tidak tegas. PPP relatif gamang menghadapi perubahan politik di era reformasi, sejak sebagian tokohtokoh NU yang dimotori oleh K.H. Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa dan sebagian besar warga Muhammadiyah terlibat dalam kelahiran Partai Amanat Nasional. Persoalannya, ideologi Islam seperti apa yang yang hendak dikembangkan dan diimplementasikan oleh PPP dalam konteks ke-Indonesiaan yang sedang berubah. Problem ini yang belum tuntas diselesaikan oleh PPP. PPP relatif gagal menerjemahkan ideologi Islam dalam konteks organisasi dan Islam sebagai ideologi yang membumi. PPP juga relatif mengalami persoalan dalam membedakan dirinya dengan partai-partai Islam lainnya seperti PKB, PAN, dan PKS dalam mendiferensiasi Islam sebagai sebuah ideologi. PPP juga belum bisa keluar dari pola pengembangan partai yang sifatnya tradisionalis, mengandalkan jaringan Islam lama, mendekati tokoh-tokoh keagamaan yang memiliki pengaruh, menggunakan keturunan kyai kharismatik. PPP juga belum bisa keluar dari dua basis utama umat di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah— walau yang di Muhammadiyah sangatlah sulit untuk menyebut mendukung PPP, karena sebagian pilihan pemilihnya sudah berpindah secara variatif, sebagian ke PAN, sebagian ke partai nasional dan partai Islam lainnya. Naik turunnya suara PPP juga dipengaruhi oleh arah pengelolaan partai yang tidak jelas dalam mengemas ideologinya untuk diperkenalkan kepada masyarakat. Kegagalan dalam mengelola sumber daya internal (kader) dan material menjadi salah satu sebabnya. Hal itu salah satunya dipengaruhi oleh ketidakberdayaan partai untuk memberikan insentif substantif kepada para anggotanya. Kebanyakan dalam konteks Indonesia, orang tertarik menjadi anggota partai karena berharap memperoleh pekerjaan. Orang masuk ke partai politik untuk bekerja bukan orang masuk ke partai politik untuk menjadi aktivis politik. PPP terjebak pada arus politik lama yang cenderung “tradisionalis.” Pengelolaan partai politik mengandalkan jalur kekerabatan politik dan unsur-unsur lama kader militannya. PPP juga terjebak pada situasi politik yang sedang berubah yang menuntut “perbedaan” antara partai yang tumbuh di era Orba dengan era Reformasi. Perubahan formulasi sosial umat Islam dalam konteks politik tidak diantisipasi dengan baik. PPP justru kurang berhasil mendekati formulasi sosial umat Islam yang baru yang memerlukan ruang berekspresi secara politik. PPP juga kesulitan mengembangkan pengaruh sayap partai. Tidak terlalu terjadi pergeseran yang signifikan antara sebaran dukungan PPP pada masa Orba dan masa reformasi. Pada Pemilu 1977, pemilu pertama era Orba sejak fusi 1973, PPP memperoleh kursi di 22 provinsi waktu itu. Dukungan politik pada PPP relatif tidak mengalami perubahan secara signifikan dari pemilu-pemilu masa Orba hingga reformasi. Pada pemilu di era reformasi, pola dukungan terhadap PPP justru cenderung mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Dari segi dukungan wilayah, gambaran di atas menegaskan temuan Anis Bawesdan yang menyebut adanya korelasi signifikan antara dukungan untuk partai Islam di setiap Kota dan Kabupaten selama dua pemilu. Pola dukungan politik terhadap PPP secara garis besar dapat digarisbawahi bahwa unsur-unsur pendukung lama, khususnya sebagian besar unsur Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) kemungkinan besar masih menjadi mesin PPP dalam mempertahankan suaranya pada pemilu. Di era reformasi, Parmusi—meski beberapa kadernya sempat kecewa dengan kepemimpinan Hamzah Haz dan Suryadharma 238 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 Ali, namun secara umum unsur Parmusi dapat disebut masih memberi kontribusi yang relatif besar pada PPP ketimbang ketiga unsur lainnya khususnya NU dan Muhammadiyah. Beberapa kecenderungan faktor elektoral yang terjadi pada partai-partai Islam di atas, juga dialami oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS merupakan metamorfosa dari Partai Keadilan (PK), yang didirikan oleh para anak muda mantan aktivis Islam dikampus dan masjid. Bagi para pendirinya, PK bukanlah partai politik an sich, tetapi lebih dari itu, ia juga bagian dari dakwah. Secara historis, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan (PK) yang dibentuk pada tahun 1998. Bila dilihat dari latar belakang kemunculannya, pendirian PK merupakan respon konkret para aktivis dakwah kampus yang memanfaatkan momentum reformasi pasca berakhirnya rezim orde baru. Para aktivis dakwah kampus tersebut tergabung dalam gerakan dakwah kampus yang popular disebut gerakan tarbiyah,28 yang secara aktif mereka mengkaji Islam serta berusaha mengaplikasikannya dalam kehidupan seharihari. Masjid kampus adalah basis yang dijadikan benteng pertahanan sekaligus basis gerakan. Gerakan itu menyebar di kampus-kampus dan masyarakat umum, terutama lebih menonjol pada kampus-kampus besar seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS). Para perintis dari beberapa kampus besar pada gerakan ini pun juga mengajak para mahasiswa yang dikadernya untuk mewujudkan Islam secara kaffah (menyeluruh) dan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Gerakan tarbiyah merupakan gerakan yang mengedepankan aspek pendidikan atau pembinaan jamaah dengan mengacu pada marhalah dakwah yang ditempuh Rasulullah, berusaha mengaplikasikan Islam secara menyeluruh (kaffah), komprehensif (syamil), dan manusiawi (insani). Gerakan Tarbiyah itu terdiri dari lima elemen penting: pertama, DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) yang merupakan transformasi dari Masyumi dengan tokoh utamanya adalah Mohammad Natsir. Kedua, elemen jaringan dakwah kampus (LDK) sebagai tulang punggung Tarbiyah dan sekolah (ROHIS). Ketiga, elemen para alumnus perguruan tinggi luar negeri, khususnya Timur Tengah. Keempat: para aktivis ormas Islam maupun kepemudaan Islam. Kelima, para da’i lulusan pesantren. 28 Sebagai partai politik, perolehan suara PKS relatif tidak beranjak sebagai partai menengah, dengan jarak perolehan suara berkisar antara 6-7 persen. Sebagai partai yang relatif baru, perolehan suara PK tersebut tergolong cukup signifikan, mengingat ia merupakan sebuah partai baru yang dipimpin oleh anak muda yang tidak memiliki hubungan geneologis dengan partai-partai Islam sebelumnya, maupun dengan ormas-ormas Islam mainstream (NU dan Muhammadiyah). Bahkan PK bisa mengungguli perolehan suara beberapa partai Islam lainnya yang mengklaim sebagai pewaris partai-partai Islam masa lalu.29 Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Liddle bahwa PK mewakili kelompok Islam baru yang tidak berakar pada kekuatan organisasi modernis yang pernah ada di Indonesia. Pemilihnya berasal dari latarbelakang perkotaan dan terkonsentrasi pada universitas terkemuka dimana kebanyakan pemimpinnya juga pengajar dan peneliti. Fenomena PK—sebagai salah satu bagian dari sejarah PKS—cukup signifikan karena PK pada Pemilu 1999 menang di DKI Jakarta. Secara signifikan, PKS mengalami masa keemasan dukungan pada Pemilu 2004. Peningkatan suara yang sangat signifikan itu tidak lepas dari strategi ganda yang dilakukan PKS, yaitu memadukan dua konsep antara politik dan Islamisme dan good governance (dengan slogan bersih dan peduli).30 Di lain pihak, PKS melihat keberhasilan tersebut terjadi karena slogan “bersih dan peduli” sebagai party ID yang membedakan PKS dengan partai lainnya. Faktor internal juga bekerja, di antaranya adalah faktor kepemimpinan Ustadz Hilmi Aminuddin dan kualitas kader yang mendukung.31 Dari segi perilaku pemilih, peningkatan suara PKS bukan semata-mata karena performa PKS yang bagus pada periode sebelumnya, tetapi di antaranya karena publik tidak punya pilihan lain. PKS berhasil menarik simpatisan lintas partai pada komunitas pemilih Islam. Sebaran 29 Lili Romli, “Model Pelembagaan Partai...,” hlm. 54 30 Lili Romli, “Model Pelembagaan Partai...,” hlm. 54 Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, Disertasi, (Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2011), hlm. 369 31 Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 239 dukungan PKS pun mulai meluas jika dilihat dari sejarah pendiriannya yang baru berumur sekitar 5 tahun. dukungan atau basis suara PKS mencakup Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, jawa tengah, Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Maluku Utara.32 Bagaimanapun faktor pelembagaan internal PKS yang relatif lebih bagus ketimbang partaipartai Islam lainnya, dengan terciptanya sistem kaderisasi mirip sistem sel, menjadikan PKS memiliki ideologi yang membedakannya dengan partai Islam lainnya. PKS berhasil menyusun paradigma Islam eksklusif dan inklusif dalam menerjemahkan ideologi partai. Suasana itu tidak terjadi pada Pemilu 2009 dan 2014, karena faktor kinerja elektoral PKS relatif hanya mengandalkan kader-kader internalnya, dan PKS kehilangan simpatisan yang memilihnya pada Pemilu 2004. PKS nyaris tenggelam oleh problematik internal dan integritas kader-kadernya.33 Sirkulasi elit yang statis dan perilaku elit pada PKS pada beberapa kasus korupsi turut menjadi faktor turunnya suara PKS pada Pemilu 2009 dan 2014. Walaupun tidak separah PKB dan PPP, konflik internal PKS cenderung senyap, tidak terlalu gaduh, dan di tengah keterpurukan, kepemimpinan Anis Matta masih mampu mengkonsolidasikan internal PKS agar kader-kadernya tidak beralih dengan memilih ke partai lain. Pertarungan antara faksi keadilan dan kesejahteraan, yang sering disinyalir, sebenarnya tidak sesederhana itu. PKS mengalami faksionalisasi yang lebih kompleks antar unsur inti elit dengan unsur-unsur lainnya. Ada faksi idealis, faksi konservatif, dan faksi progresif, faksi penantang, dan juga orientasi kelompok pendukung partai dengan gerakan religius kelompoik-kelompok tarbiyah lainnya yang berbeda orientasi dan gagasan.34 Kohesi partai memang cenderung terlihat agak utuh, walaupun di dalamnya ada dinamika antar 32 Diolah dari data KPU oleh tim peneliti Syamsuddin Haris, Evaluasi Proses dan Analisis Hasil Pemilu Legislatif 2014, dalam Laporan Tim Pemilu Tematik, tahun 2014. tidak dicetak. hlm. 133 33 Arief Munandar, “Antara Jemaah dan Partai Politik...,” hlm. 146. 34 kelompok yang dinamis, yang berhasil dikelola oleh PKS, tetapi juga dapat menjadi hambatan bagi perkembangan partai. Secara umum, problematik kinerja elektoral partai-partai Islam hampir memiliki kesamaan antara satu partai dengan partai lainnya. Hingga Pemilu 2014, kinerja elektoral partai Islam masih belum bisa mendominasi suara pemilih umat Islam. Ada sejumlah faktor mengapa hal itu terjadi pada pada partai-partai Islam, antara lain: pertama, sejauh ini belum ada partai Islam yang berhasil memunculkan figur nasional, sebagai figur alternatif yang memiliki elektabilitas yang dapat dipersandingkan dengan tokoh-tokoh politik yang diusung oleh partai nasionalis. Sumber daya kader partai Islam relatif mengalami kemunduran, karena figur-figur yang muncul masih belum mampu menjadi alternatif bagi kepemimpinan nasional di masa depan. Kedua, problem kemampuan dalam memimpin birokrasi. Kemampuan teknokratik yang rendah pada beberapa kader partai Islam di antaranya disebabkan oleh “peluang” yang sempit bagi kalangan muda Islam yang memiliki kemampuan teknokratik untuk memimpin partai Islam, seperti PPP, PKB, PAN, dan PKS, karena pola kepemimpinan mereka masih bersumber pada proses penjaringan yang sifatnya “tradisional.” PKS dan PAN mungkin agak relatif berbeda, atau masih memiliki sejumlah kader yang memiliki tingkat teknokratik yang bisa diandalkan, ketimbang PPP dan PKB. Ketiga, partai-partai Islam belum mampu menjadi ruang imajinasi bagi kalangan muda Islam yang jumlahnya sangat potensial sebagai pemilih. Tantangan partai-partai Islam yang dapat diterima oleh kalangan pemilih (komunitas Islam) yang tengah mengalami perubahan merupakan tantangan yang berat. Kehadiran ideologi, kepemimpinan dan tokoh-tokoh dianggap belum bisa mengayomi banyak kelompok, karena secara internal—Islam juga mengalami persoalan dengan lahirnya perbedaan-perbedaan dalam hal keagamaan. Pengkotak-kotakan itu juga menjadi salah satu faktor eksternal yang menyebabkan pemilih Islam, kurang tertarik pada partai-partai Islam. Jarak ideologis pemilih di Indonesia dianggap menjadi salah satu faktor mengapa 240 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 partai-partai Islam menjadi sebagian partai papan tengah, dan sebagian lagi mengarah pada partai papan bawah. Ideologi yang seharusnya sangat menentukan bagi keterpilihan partai di dalam pemilu tidak lagi terjadi di Indonesia. Saat ini, ideologi partai politik bersifat rendah dan party identification-nya pun bersifat rendah. Sebagai contoh, orang Islam tidak lagi secara pasti memilih partai yang berbasis Islam.35 Masyarakat sudah rasional dalam menentukan pilihan. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah partai yang seharusnya menjadi sekolah ideologi bagi para kadernya nampaknya telah gagal menjalankan peran tersebut. Keempat, performance partai-partai Islam yang masih lekat dengan “politik kelompok.” Konflik internal di PPP yang berlarut-larut misalnya, dapat memengaruhi persepsi pemilih bahwa partai hanya menjadi “kendaraan politik” oleh orang-orang tertentu. Partai dianggap belum hadir ditengah persoalan yang sedang dihadapi oleh pemilih, dan partai justru menyimpan banyak masalah ketimbang menjadi solusi atas masalah yang dialami oleh masyarakat. Kelima, faktor perubahan sistem pemilu dan kepartaian. Perubahan sistem pemilu ke arah sistem proporsional terbuka, menyebabkan terjadinya kompetisi bertingkat yang berat. Kompetisi internal partai dan kompetisi antarpartai begitu ketat. Apalagi, partai-partai Islam juga relatif memperebutkan basis pemilih Islam yang relatif sama. Perubahan perilaku pemilih yang lebih “transaksional,” menyebabkan partaipartai Islam kesulitan untuk mengembangkan dukungan. Modal dana yang kecil dibandingkan dengan partai-partai nasionalis dianggap sebagai salah satu sebab mengapa dukungan pemilih yang sebagian besar beragama Islam tidak sepenuhnya mendukung partai-partai Islam. Partai-partai Islam pada pemilu di era reformasi kecenderungannya menempati posisi papan tengah dan bawah. Keenam, kualitas parpol dapat dilihat dari beberapa sisi, yakni kejelasan positioning ideologi dan diferensiasi antarparpol; memudahkan pemilih untuk mengidentifikasi perbedaan Kacung Marijan, Seminar Sosialisasi Akhir Hasil Penelitian Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, di Jakarta, 13 November 2012. 35 principal and working ideology masing-masing partai serta meningkatkan party-ID di kalangan pemilih. Minimnya party-ID karena fragmentasi partai yang terlalu banyak membuat sistem kompetisi partai tidak lagi didasarkan pada ideologi dan programmatic appeals. Logika persaingan elektoral dalam sistem multipartai yang terlalu ekstrem tidak mengikuti asumsi representasi ideologi dan basis sosial partai, tapi mengarah pada “politik ke tengah” (political centrism). Partai-partai sengaja mengaburkan jenis kelamin ideologi mereka karena yakin proporsi pemilih berdiam di tengah (bukan ekstrem kiri maupun kanan). Pada titik inilah, mobilisasi finansial untuk memenangkan persaingan elektoral melalui iklan dan politik uang lebih ditempuh partai-partai ketimbang mengedepankan tawaran ideologi dan program. 36 Masa Depan Partai Islam di Indonesia Masa depan partai Islam dilihat dari dua hal yaitu stabilitas perolehan suara partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu; dan eksistensi partai-partai Islam pada sistem politik, sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia. Sebagaimana telah digambarkan di atas, stabilitas perolehan suara partai-partai Islam cenderung mengarah pada posisi partai Islam papan tengah (perolehan suara 7-10 persen) dan di bawah 7 persen (4-7 persen). Masa depan partai Islam sebagai partai papan tengah dan bawah tersebut dipengaruhi oleh sikap dan perilaku politik pemilih “Islam” itu sendiri. Dalam konteks kinerja elektoral, selama masih ada santri dan pesantran—dan kelompokkelompok yang menggunakan identitas politik “Islam” sebenarnya dukungan terhadap partai Islam akan tetap terbuka dan besar. Persoalannya kecenderungan pemilih Islam yang berubah bagaimanapun akan memiliki pengaruh pada masa depan partai Islam itu sendiri. Dari segi elektoral, dari empat partai Islam (PPP, PKB, PAN, dan PKS), PPP tergolong sebagai partai Islam yang riskan, karena perolehan suaranya cenderung mendekati garis Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan pengajar FISIP UIN Jakarta , “Pro-Kontra Penyederhanaan Sistem Kepartaian”, dalam http://www. lampungpost.com/opini/20730-pro-kontra-penyederhanaansistem-kepartaian.html, 5 Januari 2012. 36 Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 241 parliamentary threshold (PT) yang diterapkan pada pemilu-pemilu era reformasi. Tabel pada lampiran tentang jarak perolehan suara partai dengan besaran PT menunjukkan kecenderungan itu. Dari segi pemilu, partai-partai Islam sebenarnya realistis hanya dapat eksis pada kisaran PT antara 2,5-3 persen. Lebih dari 3,5% atau 4%, kecenderungan berkurangnya partai Islam dalam sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia akan sangat memungkinkan. Kajian ini juga menunjukkan bahwa partaipartai Islam hanya dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran besaran daerah pemilihan menengah (7-8 kursi) dan besar (9-10 atau > 10 kursi). Partai-partai Islam yang cenderung memiliki dukungan suara papan tengah, secara empirik mengalami kesulitan untuk berkompetisi pada besaran daerah pemilihan 3-6 kursi, karena perolehan kursi partai-partai Islam hanya mengandalkan suara sisa pada penghitungan kedua dan ketiga. Dalam konteks politik nasional, masa depan partai-partai Islam masih belum mampu sebagai alternatif untuk melakukan perubahan karena faktor perbedaan ideologi dalam membangun koalisi antarpartai Islam, dan dalam melahirkan sosok alternatif untuk kepemimpinan nasional. Kelemahan kepemimpinan internal partai dan “belum” lahirnya sosok pemimpin dari kader-kader partai Islam yang menjadi magnet politik untuk menarik massa dan memiliki elektabilitas yang tinggi menyebabkan partaipartai Islam dalam kancah politik nasional hanya diperhitungan sebagai “dukungan politik” untuk memenuhi faktor representasi pemilih. Posisi dan peran mereka relatif hanya terasa sebagai faktor pelengkap dalam dinamika dan proses politik serta dalam perubahan yang sedang berlangsung. Referensi Buku Amalia, Luky Sandra. (Ed.). Kecenderungan Hubungan Anggota Legislatif dan Konstituen: Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu 2009, Jakarta: LIPI Press. 2010. Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: KPG. 2009. Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik PascaSoeharto. Jakarta: LP3ES. 2003. Ananta, Aris, Evi Nurvidya Arifin, Leo Suryadinata. Emerging Democracy in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 2005. Antunes, Rui. “Party Identification and Voting Behavior: Structural Factors, Attitudes and Changes in Voting”. Doctoral Thesis. University of Coimbra. 2008. Asfar, Muhammad. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Surabaya: Pustaka Eureka dan PusDeHAM. 2006. Choirie, A. Effendy. Islam-Nasionalisme UMNOPKB Studi Komparasi dan Diplomasi. Jakarta: Pensil-234. 2008. Dhakiri, Muhammad Hanif dan kawan-kawan. PKB Masa Depan. Jakarta: DPP Partai Kebangkitan Bangsa. 2006. Dirdjosanjoto, Pradjarta. Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta: LkiS. 2013. Evans, Kevin Raymond. Sejarah Pemilu & Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Aries Consultancies. 2003. Feith, Herbert dan Lance Castles. Indonesian Political Thinking 1945-1965. Itacha and London: Cornell University. 1970. Feith, Herbert. Pemilihan Umum 1955. Jakarta: LP3ES. 1985. Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011. Firmanzah. Persaingan Legitimasi Kekuasaan dan Marketing Politik-Pembelajaran Politik Pemilu 2009. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2010. Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press. 1960. Gherghina, Sergiu. Party Organization and Electoral Volatility in Central and Eastern Europe Enhancing Voter Loyalty. Oxon: Routledge. 2015. Halim, Abdul. Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama: Perspektif Hermeneutika Gadamer. Jakarta: LP3ES. 2014. Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Study Critical Discourse Analysis Terhadap Berita –berita Politik. Jakarta: Granit. 2004. Hefner, Robert W. Geger Tengger, Perubahan sosial dan Pertikaian Politik. Yogyakarta: LkiS. 1999. Horikoshi, Hiroko. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M. 1984. 242 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 Ida, Laode. NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga. 2004. Irsyam, Mahrus. Ulama dan Partai Politik, Upaya Mengatasi Krisis. Jakarta: Yayasan Perkhidamatan. 1984. Iskandar, A Muhaimin. Melampaui Demokrasi Merawat Bangsa dengan Visi Ulama. Refleksi Sewindu Partai Kebangkitan Bangsa. Yogjakarta: Klik.R. 2006. Kamarudin, Kamarudin. Partai Politik Islam di Pentas Reformasi Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004. Jakarta: Visi Publishing. 2003. Kompas, Tim Penelitian dan Pengembangan Kompas. Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi, Strategi, dan Program. Jakarta: Kompas. 1999. Mainwaring, Scott dan Timothy R Scully. Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America. Stanford, California: Stanford University Press. 1995. Muchlis, Edison. (ed). Pelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Pusat Penelitian Politik. 2007. Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS Suara dan Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2012. Mujani, Saiful, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. Bandung: Mizan. 2012. Najib, Muhammad dan K.S. Himmaty. Amien Rais: Dari Yogya ke Bina Graha. Jakarta: Gema Insani Press. 1999. Noer, Deliar (et.al.). Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam Dari Pra-Pemilu ’99 Sampai Pemilihan Presiden. Jakarta : Alvabet. 1999. Novianto, Kholid., Chaidar, Al., (ed). Era Baru Indonesia : Sosialisasi Pemikiran Amien Rais, Hamzah Haz, Nur mahmudi, Matori Abdul Djalil dan Yusril Ihza Mahendra, Cetakan I, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1999. Pamungkas, Sigit. Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism. 2011. Price, Daniel E. Islamic Political Culture, Democracy, And Human Rights : A Comparative Study . USA: Praeger Publisher. 1999. Reid, Antony and Gilsenan, Michael (eds.). Islamic Legitimacy in a Plural Asia. London and New York: Routledge, Taylor and Francis Group. 2007. Romli, Lili. (ed). Potret Partai Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. 2003. Romli, Lili. Model Pelembagaan Partai Politik di Indonesia: Kasus Partai Keadilan Sejahtera, dalam Pelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: LIPI Press. 2007. Setiawan, Bambang dan Bestian Nainggolan (Ed). Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2004. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 1998. Jurnal Bird, Judith. “Indonesia in 1998: The Pot Boils Over,” dalam Asian Survey Vol. 39, No. 1, 1999. Croissant, Aurel and Philip Volkel. “Party system types and party system institutionalization: Comparing new democracies in East and Southeast Asia,” dalam Party Politics Vol.18, No.2, 2012. Ishomuddin, “Continuity and Change of Political Culture: Study on Scientific Insights and Political Understanding on Politicians of Political Parties in Indonesia,” dalam Asian Social Science Vol. 10, No. 16, 2014. Liddle, R. William dan Saiful Mujani. “Indonesia in 2004: The Rise of Susilo Bambang Yudhoyono,” dalam Asian Survey, Vol. 45, No. 1, 2005. Liddle, R. William. “Leadership, Party, and Religion Explaining Voting Behavior in Indonesia,” Comparative Political Studies, Vol. 40, No. 7, 2007. Mietzner, Marcus. “Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System,” dalam Lowy Institute for International Policy, 2009. Nurhasim, Moch. “Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi,” dalam Jurnal Penelitian Politik Vol.10, No.1, Juni 2013, Jakarta: LIPI Press. Romli, Lili. “Crescent and Electoral Strength: Islamic Party Portrait of Reform Era In Indonesia,” dalam International Journal of Islamic Thought, Vol.4, 2003. Tan, Paige Johnson. “Indonesia Seven Years after Soeharto: Party System Institutionalization in a New Democracy,” dalam Contemporary Southeast Asia Vol.28, No.1, 2006. Tomsa, Dirk. “Party System Fragmentation in Indonesia: The Subnational Dimension,” dalam Journal of East Asian Studies, Vol.14, 2014. Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 243 Woodward, Mark. “Indonesia’s Religious Political Parties: Democratic Consolidation and Security in Post-New Order Indonesia,” dalam Asian Security, Vol.4, No.1, 2008. Disertasi Firman Noor, “Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the PostSoeharto Era (1998-2008)”, Disertasi, (London: University of Exeter). Munandar, Arief. Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004. Disertasi. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2011. Website “Ini Hasil Lengkap Rekapitulasi Perolehan Suara Pileg 2014”, dalam http://www.republika.co.id/ berita/nasional/politik/14/05/10/n5bgv5-inihasil-lengkap-rekapitulasi-perolehan-suarapileg-2014, diunduh 10 Agustus 2014. Haris, Syamsuddin.. “PPP dan Gerakan Politik Islam”, dalam http://www.republika.co.id/berita/koran/ teraju/14/11/14/nf0y4q-ppp-gerakan-politikIslam, diakses pada 28 Februari 2015. Muhtadi, Burhanuddin. “Pro-Kontra Penyederhanaan Sistem Kepartaian,” dalam http://www. lampungpost.com/opini/20730-pro-kontrapenyederhanaan-sistem-kepartaian.html, 5 Januari 2012. Supit Urang PKB Gus Dur, www.aananshori.com, diakses pada tanggal 21 september 2015. Laporan Penelitian Amalia, Luky Sandra. (Ed.). “Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi”, Laporan Penelitian, Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2012. Haris, Syamsuddin. Evaluasi Proses dan Analisis Hasil Pemilu Legislatif 2014. Laporan Tim Pemilu Tematik, P2Politik Tahun 2014 (tidak dicetak). Mainwaring, Scott. “Rethingking Party System Theory In The Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionlization, Working Paper #260 – October 1998, Kellogg Institute. Romli, Lili. Peta Kekuatan Partai Politik Hasil Pemilu 2014. Laporan Tim Pemilu Tematik, P2Politik Tahun 2014 (tidak dicetak). Surat Kabar Evans, Kevin. “Politik ‘Aliran’ yang Mana?”. Tempo. 5 April 2009. Haris, Syamsuddin. “Masa Depan Parpol Islam,” dalam Seputar Indonesia, 12 Oktober 2012. Haris, Syamsuddin. “Mengapa ‘Partai Tengah’”, dalam Suara Pembaruan, 31 Mei 2010. Haris, Syamsuddin.. “PPP dan Nasib Parpol Islam”, dalam Kompas, 4 Juli 2011. Jakarta Post, Chinese-Indonesians and NU pray for sick ‘father’ Gus Dur, 7 September, 2009 Kompas, Menjaga Sinar Politik Sang Matahari, 2 Maret 2015. Kompas, Setelah Semua Perbedaan Diselesaikan, 2 Maret 2015. Kompas, Zulkifli: Semua Harus Bersatu Kembali, 2 Maret 2015. Pramono, Sidik. Proporsional Terbuka Sitem yang Membuat Dilema, Kompas, 14 Maret 2007. Sumber Lainnya Anggaran Dasar PAN, Tahun 1998. Anggaran Dasar PAN, Tahun 2010. Anggaran Dasar Partai Kebangkitan Bangsa Pasal 3,4 dan 5 Arah Perjuangan Politik Partai Kebangkitan Bangsa. Jakarta; DPP PKB, 2004. Dokumentasi Hasil Muktamar II PKB, Jakarta, DPP PKB, 2005 Keputusan KPU No.416/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik dan Penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pemilu 2014 KPU RI. Modul I Pemilih untuk Pemula. Jakarta: KPU RI. 2013. Laporan Pertanggungjawaban DPP PKB Periode 2002-2005 pada Muktamar II PKB di Semarang 16-18 April 2005. Pemilu 2009 Dalam Angka, KPU RI, 2010 Surat Keputusan Menkum HAM No M.HH-70/ AH.11.01 tahun 2008 tentang pengesahan susunan kepengurusan DPP PKB periode 2008-2013. 244 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 PROBLEMATIKA KEKUATAN POLITIK ISLAM DI MAROKO, SUDAN, DAN SOMALIA1 THE PROBLEMS OF THE POWER OF POLITICAL ISLAM IN MOROCCO, SUDAN AND SOMALIA Nostalgiawan Wahyudhi Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto no. 10, Jakarta e-mail: [email protected] Abstract This research is conducted to examine the development of political Islam in Morocco, Sudan and Somalia in post Arab Spring. Based on research finding in 2014, we found the phenomenon of “backward bending process” in which the political unrest and regime change in previous case studies do not lead towards democracy, but turned back to authoritarianism. The research on Morocco, Sudan and Somalia shows a unique finding that the Muslim Brotherhood (IM) has existed in these three countries. However this movement is deeply rooted in Sudan compared to the rest countries based on geographical and historical reasons. Other findings are Islamic political movements have emerged as democratic opposition movements against the authoritarian regimes. This study shows that the phenomenon of ‘Arab exceptionalism’ has existed. The cultural and political systems in these three countries do not provide a sufficient space for the growth of democracy. Keywords: Arab Spring, Ikhwanul Muslimin, Maroko, Sudan, Somalia Abstrak Riset ini dilakukan untuk meneliti perkembangan kekuatan politik Islam di Maroko, Sudan dan Somalia pasca Arab Spring. Berdasarkan riset tahun 2014, kami menemukan fenomena “backward bending process” dimana gejolak politik dan regime change dibeberapa negara kasus sebelumnya justru tidak mengarah pada demokrasi, namun terjadi pembalikan kembali ke arah autoritarianisme. Maroko, Sudan dan Somalia memiliki keunikan dibanding penelitian sebelumnya, dimana Ikhwanul Muslimin (IM) menjadi benang merah di ketiga negara tersebut. Meskipun begitu, gerakan IM lebih mengakar di Sudan dibandingkan dua negara lainnya karena faktor geografis dan historis. Selain itu, gerakan politik Islam di tiga negara ini muncul sebagai gerakan oposisi pro demokrasi menentang rezim otoriter. Penelitian ini membuktikan fenomena Arab exceptionalism terjadi. Budaya dan sistem politik di tiga negara kasus tidak memberikan ruang yang cukup bagi tumbuhnya iklim demokrasi. Kata Kunci: Arab Spring, Ikhwanul Muslimin, Maroko, Sudan, Somalia Tim Peneliti terdiri atas M. Fakhry Ghafur (koordinator), M. Hamdan Basyar, Dhurorudin Mashad, Indriana Kartini, Nostalgiawan Wahyudhi. 1 Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 245 Pendahuluan Problematika demokratisasi di Timur Tengah, sejatinya bukanlah berakar dari agama (Islam sebagai agama mayoritas), tetapi lebih dikarenakan ketidakmampuan rezim otoriter yang gagal menerapkan demokrasi dan memecahkan masalah kesejahteraan ekonomi, partisipasi politik, keadilam sosial dan lain-lain. Ketidakmampuan rezim ini memicu tumbuhnya gerakan oposisi yang menggunakan Islam sebagai dasar untuk mendapatkan identitas dan legitimasi politik, disisi lain juga dijadikan landasan ideologis bagi tatanan kehidupan masyarakat. Kompleksitas permasalahan ini menemukan momentumnya di Tunisia dan menjadi gerakan Arab Spring sebagai bentuk gelombang demokratisasi yang masif di kawasan Timur Tengah. Gerakan politik Islam di beberapa negara yang sudah dikaji pada tahun sebelumnya (Yaman, Suriah dan Aljazair), menjadi parameter kajian saat ini. Karena hasil penelitian tersebut menemukan adanya gerakan backward bending, pembalikan politik ke arah asal yaitu otoritarianisme. Pemilihan negara kasus pada penelitian saat ini, Maroko, Sudan,dan Somalia sangat menarik untuk melengkapi hasil penelitian sebelumnya. Mengingat aktivitas politik gerakan Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin (IM) sangat eksis di tiga negara kasus tersebut. Sudan memiliki posisi yang sangat unik, dimana awalnya kekuatan politik Islam bersatu dengan militer membentuk pemerintahan baru yang Islamis. Namun, kemenangan ini justru membuat kekuatan politik Islam memilih menjadi oposisi dan berkonsentrasi dalam politik yang menentang pemerintahan militer-Islamis pimpinan Omar Bashir. Sedangkan di Maroko, politik Islam semakin kuat dan meluas di kalangan rakyat bawah ditengah kuatnya politik rezim monarki yang bercorak sosialis-sekuler. Berbeda dengan kedua negara di atas, Somalia memiliki tingkat kompleksitas permasalahan yang paling tinggi karena kekuatan politik Islam tumbuh ditengah kondisi negara yang gagal (failed state) dan politik klan yang kuat. Kekuatan politik Islam tumbuh dalam bentuk perlawanan politik terhadap intervensi internasional dan pemerintahan despotik yang tidak aspiratif. Melihat kompleksitas peta kekuatan politik Islam dalam konstelasi politik di ketiga negara tersebut, penelitian ini difokuskan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: Pertama, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tumbuhnya kekuatan politik Islam secara signifikan di Maroko, Sudan, dan Somalia? Kedua, bagaimana peran kekuatan politik Islam terhadap pertumbuhan demokrasi di tiga negara tersebut? Ketiga, bagaimana implikasinya terhadap pertumbuhan demokrasi di tiga negara tersebut? Maroko, Sudan, dan Somalia dalam Bingkai Sejarah Budaya Politik Sejarah Islam di Maroko dapat dilihat dari kebangkitan apa yang disebut sebagai “Murabitun” pada abad kesebelas dan “Muwahidun” pada abad kedua belas. Keberadaan Dinasti al-Murabitun2 berawal dari sekelompok pejuang yang disebut al-Mulassimun karena mereka selalu menutup wajah untuk melindungi diri dari terik panas matahari di gurun pasir Magribi (Maroko sekarang). Kelompok itu berasal dari kabilah Lemtuna, sebuah kabilah bangsa Berber di wilayah gurun pasir Magribi yang bernama Sanhaja. Mereka menyebarkan agama Islam dengan mengajak suku-suku lain untuk menganut agama Islam. Mereka mengikuti ajaran Mazhab Salaf (Gerakan Salafiyah) secara ketat. Wilayah dakwah mereka meliputi Afrika barat daya dan daerah Spanyol. Kemudian pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, di Maroko ada gerakan reformasi Salafi. Gerakan Salafi ini mengkritik keras adanya pengkultusan terhadap orang-orang suci. Mereka ingin merasionalisasi penafsiran Islam dengan kembali ke sumber aslinya, tanpa penafsiran yang macam-macam. Dengan keras, mereka ingin kembali ke hadits, bukan bersandar kepada aturan fiqh, yang dianggap mewakili penafsiran pada masa tertentu. Dengan penafsiran itu, aturan menjadi kaku tanpa koneksi ke sumber aslinya maupun masyarakat Maroko. Tentang Al-Murabitun, antara lain, dapat dilihat Nazeer Ahmed, “The Murabitun in the Maghreb,” dalam http:// historyofislam.com/murabitun/, (diakses pada 11 November 2015). 2 246 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 Pasca kemerdekaan pada tahun 1956, muncul gerakan yang dapat dikatakan fundamentalis. Gerakan itu dapat dikatakan bermula pada tahun 1969. Ketika itu, Abd al-KarÄ«m Muti’ mendirikan organisasi “Pemuda Islam” (Shabiba Islamiyyah). Itu adalah sebuah gerakan politik bawah tanah untuk melawan ajaran ateisme, khususnya kelompok kiri yang ada di kampus universitas. Munculnya Shabiba Islamiyyah dipengaruhi oleh ideologi yang berasal dari tulisan-tulisan Sayyid Qutb, Mesir. Organisasi Shabiba Islamiyyah itu kemudian disahkan oleh pihak Kerajaan pada tahun 1972. Shabiba berkembang pesat, terutama, di kampus-kampus universitas dan banyak mempengaruhi pandangan dan sikap mahasiswa Maroko. Tetapi pembunuhan aktivis buruh, Umar Ibn JallÅ«n, pada tahun 1975 oleh beberapa anggota Shabiba telah menyebabkan terusirnya Abd al-KarÄ«m Muti’ dan pembubaran organisasi Shabiba. Pada tahun 1998, kelompok Shabiba membentuk suatu partai politik yang diberi nama “Partai Keadilan dan Pembangunan” (Party of Justice and Development - PJD). Dengan menggunakan PJD, mereka berusaha berpartisipasi dalam pemilu legislatif dan pemilu dewan kota. Anggota mereka adalah para lulusan dari sistem pendidikan Arab. PJD sendiri terkait erat dengan jaringan sekitar dua ratus asosiasi Islam yang tergabung dalam Gerakan Persatuan dan Pembaruan. Gerakan itulah yang menjadi motor alat perekrutan anggota dan alat kampanye pemenangan PJD. Partai ini mempunyai ideologi yang sangat dekat dengan ideologi Ikhwanul Muslimin, Mesir. Mereka ingin berkiprah dalam koridor hukum dan tetap setia pada garis komando ideologi Ikhwan. Mereka bersikeras menciptakan kehidupan publik yang bermoral, menciptakan warga percaya dan mau menerapkan syariah Islam dalam kehidupan kesehariannya. Adapun sejarah Islam di Sudan, ada istilah yang disebut sebagai “Imam Mahdi”. Gerakan Imam Mahdi ingin menyadarkan umat Islam di dunia selama abad ke-18 dan ke-19 dan menghasilkan puritanisme. Gerakan ini berpandangan bahwa sudah saatnya umat Islam terbebas dari belenggu ketidakadilan yang menjerat mereka. Dengan idealismenya, mereka ingin mengubah Sudan sesuai dengan konsepnya. Sebelum ada gerakan Mahdi, di Sudan sudah ada sufi Khatmiyya (kadang-kadang disebut Mirghaniyya, sesuai nama pendirinya). Gerakan itu menggabungkan sufi dan kepemimpinan suku. Selama tahun 1821-1885, gerakan sufi Khatmiyya cukup berjaya di wilayah Sudan. Pada waktu yang bersamaan, wilayah Sudan di bawah kekuasaan Turki-Mesir. Oleh karena itu, ketika gerakan Mahdi muncul, ada persaingan dengan Khatmiyya. Para pemimpin Khatmiyya yang didukung oleh kekuasaan Turki, berusaha menghadang pemberontakan Mahdi. Pertikaian antara pendukung Mahdi dan orang-orang Khatmiyya, yang berakar di abad ke-19, terus berlanjut pada pemerintahan berikutnya. Ketika berdiri “Kongres Sarjana” pada 1938, anggota mereka terbagi menjadi dua kelompok. Ada yang pro-Mahdi dan ada yang pro-Khatmi. Kebanyakan partai politik besar yang muncul pada 1940-an juga berada dalam naungan salah satu dari dua Sayyid tersebut. Tanpa perlindungan itu, mereka akan sulit untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat banyak. Berdirinya asosiasi kaum terdidik muda yang bersandingan dengan dua organisasi keagamaan besar itu, membawa fenomena unik dan berdampak luas pada perkembangan kehidupan masyarakat Sudan. Di satu sisi, hal itu menciptakan situasi di mana keputusan politik tergantung pada pimpinan faksi besar agama. Di sisi lain, itu dapat mendorong kaum elite terpelajar yang aktif berpolitik tetapi tidak mau bergabung dengan salah satu dari dua kelompok keagamaan tersebut, akan membentuk kelompok sendiri yang lebih radikal. Akibat kondisi tersebut, selama Perang Dunia Kedua, di Sudan muncul Partai Komunis. Kemudian pada tahun 1954, muncul pula gerakan Ikhwanul Muslimin (IM). Sepuluh tahun kemudian, 1964, gerakan IM mendirikan organisasi politik yang disebut Islamic Charter Front (ICF). Organisasi ini kemudian menjadi kekuatan politik yang signifikan dengan berbagai fungsi. ICF mewakili organisasi modern perkotaan, bila dibandingkan dengan sufi tarekat tradisional (Ansar, Khatmiyya dan Partai Umma).3 L i h a t G a b r i e l R . Wa r b u r g m , “ I s l a m a n d t h e S t a t e i n N u m a y r i ’s S u d a n , ” d a l a m J o u r n a l o f 3 Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 247 Pada tahun 1969, ICF mengajukan draft moderat Konstitusi Islam. Usul itu didukung oleh dua sekte sufi, Ansar dan Khatmiyya. Proposal itu diajukan oleh ICF menjelang kudeta militer pimpinan Numayri, 1969. Apa yang dinginkan oleh ICF tidak mudah, karena itu harus mengubah Konstitusi. Untuk mengubah Konstitusi yang Islamis, ICF harus berhadapan dengan kelompok lain, Partai Komunis Sudan (CPS), yang menginginkan negara sekuler. Akhirnya, Hassan al-Turabi berkolaborasi dengan Jenderal Omar Hasan Ahmad al-Bashir mengambil alih kekuasaan dari Numayri pada 1985. Setelah penggulingan tersebut, ICF melakukan reorganisasi dan berubah dengan nama National Islamic Front (NIF). Turabi membentuk NIF sebagai partai politik bersamasama dengan sejumlah kelompok Islam. Partai itu menjadi blok ketiga di parlemen pada tahun 1986. Kolaborasi Turabi dan Bashir juga membawa mereka ke dalam persaingan politik yang terlalu kentara. Sebenarnya perbedaan pandangan keduanya sudah terlihat tidak lama setelah jatuhnya Numayri. Pada 1 April 1996, ada pemilu pertama pasca penumbangan terhadap Presiden Numayri. Ketika itu, ada empat ratus orang terpilih menjadi anggota Majelis Nasional. Omar Bashir terpilih menjadi Presiden Sudan dengan 75,7% suara, dan Hassan al-Turabi terpilih menjadi Ketua Parlemen.Rupanya persaingan politik keduanya tidak dapat dikompromikan lagi. Maka, pada 12 Desember 1999, Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir memberlakukan keadaan darurat dan membubarkan parlemen. Sebagai Ketua Parlemen, Turabi pun mengutuk pembubaran Parlemen oleh Bashir dan menganggap sebagai “kudeta militer” serta menolak keadaan darurat karena inkonstitusional. Turabi menganggap Bashir sebagai “The man has destroyed the constitution and liberties and betrayed the political system. He has also deceived the forces that brought him to power and supported him.”4 the International African Institute, Vol. 55, No. 4, 1985, hlm. 400-413. Lihat “Coup in Sudan May be Turabi’s Swan Song,” dalam Middle East Intelligence Bulletin, Vol. 1 No. 12, December 1999; lihat juga “Coup in Sudan Maybe Turabi’s Swan Song,” dalam https://www.meforum.org/meib/issues/9912.htm, (diakses pada 11 November 2015). Sementara itu, kebangkitan Islam di Somalia pada abad ke-19 dan ke-20 dipelopori oleh ulama sufi. Pada waktu itu, gerakan sufi Qadiriyyah, Ahmadiyah dan Salihiya menjadi kelompok tarekat sufi besar. Kemudian, pada tahun 1940, sebuah kesadaran dan gerakan baru Islam mulai muncul dan dikembangkan. Liga Islam Somalia, yang didirikan pada tahun 1952, adalah organisasi pertama untuk merespon peningkatan peran misionaris Kristen. Liga Islam juga mempromosikan pendidikan dalam bahasa Arab. Dari sekolah-sekolah ini, lahir generasi elit Somalia baru yang terdidik dalam budaya Arab.5 Selanjutnya, kebangkitan Islam yang sebenarnya terjadi setelah kemerdekaan Somalia, pada 1960-an dan 1970-an, ketika kaum terdidik dari universitas Arab membawa ideologi Islam modern ke seluruh penjuru Somalia. Berbagai organisasi kecil dibentuk untuk memacu adanya kebangkitan kesadaran Islam yang dipimpin oleh ulama Islam modern. Akan tetapi, selama kekuasaan Somalia di bawah rezim sosialis, sejak tahun 1969, negara sosialis sekuler itu melarang semua organisasi non pemerintahan, termasuk organisasi Islam. Kemudian, pada tahun 1975, penguasa Somalia menyetujui undang-undang tentang kehidupan keluarga untuk melawan prinsip-prinsip Islam. Pemerintah Somalia waktu itu, menginginkan masyarakatnya menjadi sekuler yang jauh dari prinsip kehidupan yang Islami. Akibatnya, ada berbagai protes dari masyarakat Muslim. Pemerintah melakukan tindakan yang keras terhadap para pemrotes. Maka, ribuan ulama Islam melarikan diri ke Arab Saudi, Mesir dan Sudan. Mereka menyelamatkan diri dan sekaligus memulai gerakan terorganisir di luar negeri. Muslim Somalia yang sebelumnya satu pandangan ideologi telah tersebar ke seluruh negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Di sana, mereka terpengaruh dengan ideologi setempat yang menyebabkan mereka berbeda pandangan. Ketika mereka kembali ke Somalia pada akhir tahun 1970, para ulama tersebut membawa ideologi mereka masing-masing 4 Lihat Abdurahman M. Abdullahi, “Islamism and Politics in Somalia,” dalam https://www.chathamhouse.org/sites/files/ chathamhouse/public/Research/Africa/120612summary.pdf, (diakses pada 13 November 2015). 5 248 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 yang berbeda-beda dalam menginterpretasikan pemahaman Islam. Pada tahun 1978, Gerakan Islah lahir di Somalia yang merupakan cabang Ikhwanul Muslimin. Al-Islah mengadopsi pendekatan modern dan moderat Islam. Gerakan al-Islah mempromosikan reformasi Islam yang damai selama masa pemerintahan diktator (1969-1991) dan perang saudara (1991-2008). Tampaknya di Somalia, ada “wajah” ideologi yang saling bertentangan. Pertama, ada konflik antara modernitas dan tradisional. Dalam beberapa kali kejadian, gerakan-gerakan Islam telah diartikan sebagai penentangan terhadap sebuah negara modern. Kedua, ada konflik terus-menerus antara Islamisme, kesukuan (clanism) dan nasionalisme. Ketiga, ada konflik antara ideologi yang berbeda dalam masyarakat Muslim. Di antara mereka ada penganut tasawuf, Salafisme dan Ikhwanul Muslimin. Sejarah gerakan Islam sejalan dengan sejarah negara yang mengalami keruntuhan pada tahun 1991. Gerakan ekstremis muncul setelah tahun 1991 yang mengubah jalannya sejarah Somalia. Keterlibatan Al Qaeda mulai terasa, ketika mereka berusaha untuk mengeksploitasi Gerakan Islam al Itihaad selama perang saudara. Mereka menciptakan sebuah kelompok bersenjata yang terorganisir dengan agenda keislaman dan nasionalis. Ketika al Itihaad meninggalkan perjuangan bersenjata, kekosongan itu justru dimanfaatkan oleh al-Shabaab. Kelompok keras itu muncul kepermukaan Somalia, setelah tahun 2003. Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko Dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara lainnya, seperti Tunisia, Mesir, dan Libya, yang terkena imbas fenomena Arab Spring, Maroko dianggap sebagai “pengecualian” dan selamat dari pergolakan politik, konflik sektarianisme dan perpecahan sosial. Label “Moroccan exceptionalism” kemudian sering digunakan oleh para pejabat pemerintah dan analis politik untuk menggambarkan situasi politik Maroko pasca Arab Spring. Pada awal kekuasaannya, Muhammad VI mengeluarkan kebijakan demokratisasi di Maroko dan menanamkan kultur HAM di institusi negara. Ayahnya, Raja Hassan II, pada 1990an juga telah memahami bahwa Maroko perlu melakukan reformasi politik dan mulai mengimplementasikannya melalui pembentukan Kementerian HAM, meski langkah tersebut dianggap hanya institusional belum substansial. Bisa dikatakan bahwa di masa Muhammad VI aktivisme civil society meningkat termasuk organisasi-organisasi yang mempromosikan dan membela HAM. Organisasi-organisasi tersebut terlibat dalam pembentukan Instance Equite et Reconciliation (IER), yang memberikan legitimasi kepada Raja secara domestik dan internasional seperti reformasi family law code 2004 (Mudawana).6 Komisi IER mendapat perhatian internasional, namun perubahan signifikan yang dibawa Raja Muhammad VI adalah Mudawana (family law code). Perubahan tersebut tidak dilakukan sendiri oleh Raja, melainkan berbarengan dengan desakan dari sejumlah organisasi perempuan. Perubahan signifikan dalam Mudawana adalah meningkatnya hakhak perempuan dalam perkawinan, perceraian, pemeliharaan anak, dan harta warisan. Meski persoalan terkait hak perempuan masih terjadi, namun setidaknya telah terjadi kemajuan signifikan dibanding masa sebelumnya. Sebelum adanya Mudawana, kaum perempuan berada di posisi minor, sebagai warga negara kelas dua dan selalu menjadi subyek kontrol laki-laki, bahkan anak laki-laki si perempuan menjadi wali sah mereka.7 Selain perubahan yang berkaitan dengan hak perempuan, dikeluarkan pula kebijakan yang bertujuan mengubah proses pemilu dan institusi negara menjadi lebih demokratis. Hal ini terlihat dalam pemilu legislatif 2002 yang dipandang sebagai “turning point” yang dalam hal ini pihak pemerintah mengurangi campur tangan dalam proses pemilu. Lebih lanjut, pemerintah juga Emanuela Dalmasso & Francesco Cavatorta, “Political Islam in Morocco: Negotiating the Liberal Space Post 2003”, Working Papers in International Studies, Centre for Intenational Studies, Dublin City University, No. 4, 2011, hlm.3. 6 7 Ibid., hlm.70. Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 249 memberikan kesempatan kepada parlemen untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan ketimbang menyandarkan sepenuhnya kepada eksekutif yang ditunjuk oleh Raja.8 Sementara itu, ditengah perkembangan politik Maroko yang sangat dinamis, politik Islam yang mendapat dukungan dari kalangan bawah dapat berperan secara signifikan. Berdasarkan analisis Laskier dan Dalmasso & Cavatorta, terdapat empat kelompok Islam politik di Maroko, yakni pertama, kelompok toleran Jama’at al-Adl wal-Ihsan (Justice and Charity), pimpinan Syekh Abd al-Salam Yasin; kedua, Hizb al-Adala wal-Tanmiyya (The Party for Justice and Development), dipimpin oleh Dr. Abd al-Karim Khatib dan Abd al-Illah Benkiran; ketiga, kelompok radikal Salafiya Jihadiya (Salafist Jihad); keempat, kelompok Sufi Zaouiya Boutchichia.9 Kelompok pertama, Jama’at al-Adl wal-Ihsan (Justice and Charity/ JC), merupakan kelompok semi-legal yang sangat popular di masyarakat. Kelompok ini beroperasi seperti gerakan sosial yang memberikan pelayanan dan bantuan kepada masyarakat miskin. Al-Adl didirikan oleh Syekh Abd al-Salam Yasin. Debut politik Yasin dimulai pada 1974, ketika mengirimkan surat kepada Raja Hassan II, berjudul alIslam wal-Tufan (Islam and the Deluge), yang meminta Raja memegang teguh ajaran Islam dan meninggalkan kebijakan-kebijakan yang tidak Islami. Dalam surat tersebut, Yasin mengkritik imperialisme monarki, dekadensi Westernisasi, dan ketidakadilan sosial. Respons Raja adalah dengan memenjarakan Yasin selama tiga tahun. Setelah bebas, Yasin kemudian mempublikasikan majalah Islam al-Jama’a, yang menjadi fondasi awal gerakannya. Setelah al-Jama’at dibekukan pada 1983, Yasin kemudian mempublikasikan harian al-Subh. Harian ini kemudian dibekukan juga dan Yasin pun harus dipenjara kembali selama dua tahun. Meski diberi sedikit ruang bernafas, namun al-Adl tetap mendapat kekerasan 8 Ibid., hlm. 4. Michael M. Laskier, “A Difficult Inheritance: Moroccan Society under King Mohammed VI”, Middle East Review of International Affairs”, Vol.7, No.3, 2003, hlm.4; Lihat juga, Dalmasso & Cavatorta, hlm. 4. sistematis dari polisi.10 Wafatnya Raja Hassan II dan diangkatnya Raja Muhammad VI justru membuat aktivitas al-Adl meningkat. Hal ini disebabkan karena dua faktor, yakni pertama, reformasi sosial yang dilakukan monarki baru kontradiktif dengan prinsip-prinsip Islam; kedua, karena kebijakan rezim pemerintahan baru yang membuka kebebasan politik dan ekspresi kultural yang lebih luas. Kelompok kedua, Hizb al-Adala walTanmiyya (The Party for Justice and Development/ PJD), merupakan partai politik yang para pemimpinnya mau berpartisipasi dalam sistem politik dan dibolehkan untuk aktif dalam politik. Hal ini berbeda dengan kelompok al-Adl yang bersikap oposan. Partai Al-Adala (PJD) dibentuk dari gabungan organisasi-organisasi Islam moderat dan kelompok pendukung Kerajaan. Di bawah nama the Constitutional and Democratic Popular Movement (MPDC), koalisi ini bertarung dalam pemilu legislatif 1997 dan berhasil masuk parlemen pertama kali dengan memenangkan 9 kursi. Pada 1998, terjadi perubahan nama partai menjadi the Justice and Development Party. Dalam pemilu legislatif 2002, PJD memenangkan 42 dari 295 kursi, serta menjadi salah satu kekuatan politik utama di Maroko.11 Setelah empat tahun pemerintahan koalisi pimpinan PJD berjalan, pada 5 September 2015, Maroko menyelenggarakan pemilu lokal dan regional. Dalam pemilu lokal, partai oposisi the Authenticity and Modernity Party (PAM) berhasil memenangkan suara terbanyak dengan 6.655 kursi di dewan lokal, atau 21,12%, diikuti oleh Partai Istiqlal dengan 5.106 kursi, atau 16,22%, sedangkan PJD menduduki urutan ketiga dengan 5.021 kursi atau 15.94%.12 Meski mengalami kekalahan dalam pemilu lokal, PJD berhasil memenangkan 174 kursi dalam pemilu regional, atau 25,66% memimpin perolehan suara di beberapa kota besar. Berbeda dengan al-Adl/JC, PJD tidak mempersoalkan fondasi politik kerajaan Maroko. Partai itu mendukung monarki dan tidak 10 Laskier, ibid., hlm. 4-5. 11 Ibid., hlm. 9. 9 “PJD Comes Third in Morocco’s Local, First in Regional Elections”, Kuwait News Agency, 5 September 2015, (diakses pada 16 Oktober 2015). 12 250 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 menyerukan retorika perubahan sosial yang bertujuan membentuk negara islam. Sebaliknya, PJD memandang bahwa negara dan masyarakat tidak perlu di-Islamisasi karena Maroko sudah merupakan negara Muslim. PJD teguh memegang prinsip mempertahankan identitas Islam masyarakat Maroko melalui legislatif dan institusional tatkala identitas tersebut terancam. Kelompok ketiga, Salafiya Jihadiya merupakan kelompok radikal yang bertujuan menggulingkan pemerintahan melalui cara kekerasan. Kelompok ini merupakan minoritas dan tidak mendapat banyak dukungan, namun disinyalir bertanggungjawab dalam peristiwa penyerangan pada Mei 2003 di Kasablanka. Secara historis, eksistensi kelompok ini berawal pada 1980an, tatkala Raja Hassan II mengizinkan Arab Saudi untuk menyebarkan paham Wahabi untuk meng-counter Islam politik di Maroko. Konsekuensinya, generasi baru ulama radikal disekolahkan di Arab Saudi, termasuk Omar al-Haddouci, Hassan Kettani, Ahmed al-Raffiki, Abdelkarim Chadli dan Muhammad Fizazi. Semua tokoh-tokoh ini merupakan ideolog kunci dari Salafiya Jihadiya. Sebagaimana yang telah disinggung bahwa eksistensi Arab Saudi di Maroko adalah untuk meng-counter perkembangan Islam Politik. Arab Saudi merupakan negara tempat lahirnya ideologi Wahabi yang sangat mendukung Salafiyyah Jihadiyyah, karena itu wajar kiranya banyak para ulama yang belajar di Saudi untuk memperkuat pemahaman keagamaan akan Islam dan Jihad. Pasca Perang Teluk 1991, para tokoh ulama ini menjaga jarak dengan Arab Saudi yang dianggap turut membantu invasi AS dan mulai mengkritisi orotitas kerajaan Maroko. Secara ideologis, Salafiya Jihadiya terinspirasi oleh tulisan dan pidato dari Sayyid Qutb, Omar Abd al-Rahman, Abu Qatada dan Osama bin Laden. Doktrin yang dihasilkan berupa versi radikal dari Salafisme yang ingin menggulingkan monarki melalui jalan kekerasan. Salafiya Jihadiya menolak demokrasi dan menuduh rezim Maroko sebagai murtad. Salafiya Jihadiya mengklaim bahwa aksi lokal melawan kaum Musllim yang murtad lebih penting ketimbang perang melawan orang kafir.13 13 Thomas Renard, “Moroccan Crackdown on salafiya Jihadiya Kelompok keempat, Sufi Zaouiya Boutchichia, merupakan kelompok yang memiliki hubungan dekat sekaligus pendukung monarki. Kelompok sufi ini seringkali dipinggirkan dalam kajian politik Maroko, meski merupakan aktor penting yang berperan dalam pengakuan legitimasi monarki. Peran penting dari kelompok ini adalah sebagai penghubung kelompok relijius kelas menengah dengan monarki. Gerakan ini beraliansi dengan monarki dalam bidang politik dan sosial, dan dapat dimobilisir untuk menghadapi oposisi kelompok Islam lainnya.14 Ditengah proses transisi politik menuju pemerintahan yang demokratis dan berkembangnya politik Islam, Maroko harus menghadapi tantangan lainnya yakni ancaman terorisme. Serangan bom pada 16 Mei 2003 di Kasablanka meruntuhkan keyakinan sebelumnya bahwa Maroko “immune” dari aksi terorisme. Aksi bom tersebut dilakukan dengan target yakni pusat komunitas Yahudi, restoran dan klub sosial Spanyol, hotel, dan Konsulat Belgia, yang menewaskan 41 orang dan lebih dari 100 orang luka-luka. Pihak otoritas Maroko kemudian menuding kelompok Jamaa Islamiya Moukatila Maghrebia (the Moroccan Islamic Combat Group/ GICM) bertanggungjawab atas aksi terorisme tersebut. Aksi terorisme di Maroko ini mendapat perhatian dunia internasional dan menunjukkan bahwa aksi ini merupakan konsekuensi dari kehadiran gerakan teroris transnasional di wilayah Maroko. Kelompok GICM yang didirikan oleh Nafia Noureddine yang berkaitan erat dengan kelompok radikal Salafiya Jihadiya, disinyalir memiliki afiliasi dengan Al Qaida yang memperoleh pelatihan milliter dan bantuan materi dari Osama bin Laden. PBB, AS, dan Inggris kemudian memasukkan kelompok GICM ke dalam daftar organisasi teroris yang berbahaya. Pada 10 Oktober 2002, PBB mengeluarkan larangan beroperasi bagi kelompok tersebut di bawah Resolusi Dewan Keamanan 1267. Di tahun yang sama, pemerintah AS memasukkan Recruitment of Fighters for Iraq”, Terrorirism Focus, Vo.5, No.27, 23 Juli 2008, dalam http://www.jamestown.org/ programs/tm/single/?tx_ttnews[tt_news]=5072&no_cache=1#. ViWayytlTcc, (diakses pada 20 Oktober 2015). 14 Ibid., hlm. 9. Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 251 kelompok GICM ke dalam organisasi teroris asing. Sejalan dengan AS, di bawah UU Terorisme 2000, pemerintah Inggris memberlakukan hukuman tahanan 10 tahun bagi anggota GICM. Dalam konteks melawan radikalisme di Maroko, pemerintah AS berpandangan bahwa kelompok Islam moderat sebaiknya dilibatkan dalam proses demokratisasi, seperti dilibatkannya partai PJD. “The PJD can act as a buffer against Al-Qaeda inspired groups that seeks to mobilize the poorest and most marginalize. That is what the US seems to think”.15 Ada pula yang berpandangan bahwa meningkatnya partisipasi politik dari kelompok Islam moderat merupakan cara terbaik untuk mencegah berkembangnya ekstrimisme di Maroko. Problematika Kekuatan Politik Islam di Sudan Sudan termasuk dari negara yang memiliki tingkat pembangunan manusia yang rendah (low development index countries) namun tetap memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan negara-negara Afrika lainnya. Sektor yang paling menonjol dari Sudan adalah pendidikan, yang membuat tingkat literasi di negara tersebut mencapai 71.9 persen, sebuah angka yang cukup tinggi diantara negara-negara low development index.16 Namun Sudan memiliki tingkat pengangguran yang cukup tinggi dengan pendapatan perkapita perhari hanya $ 2.7 per hari (sekitar $ 987 per tahun). Belum lagi didukung dengan tingkat korupsi yang amat fatal dari pemerintahan Omar Bashir yang membuat Sudan berada pada tingkat 173 dari 175 negara.17 Berkaitan dengan pengelolaan negara yang koruptif dan konflik sipil yang panjang, Sudan berada pada negara yang tergenting nomor 4 Erik Fattorelli,”Morocco between Terrorism, Islamism, and Democratisation: a Cosmetic Approach”, 2009, dalam http:// www.ssoar.info/ssoar/bitstream/handle/document/11883/ssoar2009-fattorelli-morocco_between_terrorism.pdf?sequence=1, (diakses pada 18 Oktober 2015). 15 16 Data HDR 2014. “Sudan: Economic Indicators”, dalam http://www. tradingeconomics.com/sudan/indicators, diunduh pada 10 Agustus 2015 ; ICG, “Divisions in Sudan’s Ruling Party and the Threat to the Country’s Future Stability,” Crisis Group Africa Report No. 174, 4 Mei 2011, hlm. 13. 17 dari yang paling bawah dalam daftar Fragile State Index.18 Islam merupakan agama mayoritas di Sudan yang mencapai 97% pada pasca lepasnya Sudan Selatan dari wilayah kekuasaan Sudan. Mayoritas Muslim Sudan adalah Sunni yang menganut madzhab Maliki. Banyak diantara fuqaha, orang yang memiliki otoritas untuk mengajarkan Islam, adalah ulama sufi yang mengajarkan mistisisme. Kuatnya sufisme ini seiring dengan Islam datang ke Sudan dengan proses Islamisasi dan Arabisasi dari negara-negara Afrika Utara melalui perdagangan, pernikahan campuran (dengan orang Arab) dan interaksi yang intens.19 Melekatnya Islam dalam masyarakat Sudan melalui sufisme yang hadir dalam tariqah-tariqah yang kuat dikalangan Muslim konservatif, yang dibawa oleh ulama-ulama Arab, memiliki dampak politik yang panjang.20 Penguasaan gerakan Al-Mahdi yang memerintah Sudan pada masa kekuasaan Turko-Egyptian dan AngloEgyptian memberikan warna tersendiri bahwa Islam dan politik begitu erat di Sudan. Hubungan lintas batas antara Mesir dan Sudan yang terjadi dalam praktek perdagangan perbudakan di Darfur dan Khartoum yang memiliki potensi ekonomi besar telah membuat eksistensi ras Arab menguat di bagian utara Sudan yang pada akhirnya berkembang menjadi identitas yang berbasis ras.21 Dalam perkembangannya, ras Arab menduduki status yang lebih tinggi dan secara otoritarian menguasai sumber-sumber politik dan ekonomi sehingga menentukan pembentukan identitas nasional Sudan yang berbasis Arab dan Islam.22 Fragile State Index 2015, http://library.fundforpeace.org/ library/fragilestatesindex-2015.pdf, (diakses pada 10 Agustus 2015). 18 Maruyama Daisuke, “Redefining Sufism in Its Social and Political Contexts: The Relationship between Sufis and Salafis in Contemporary Sudan,” Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 8 Maret 2015, hlm. 40–56. 19 H.A. MacMichael, A History of the Arabs in Sudan, and Some Accounts of the People who Preceded Them and of the Tribes Inhabiting Darfur, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011) 20 Mohamed Ibrahim Nugud, Slavery in the Sudan: History, Documents, and Commentary, (New York: Palgrave Macmillan, 2013) 21 Amir H. Idris, Sudan’s Civil War: Slavery, Race, and Formational Identities, (Lewiston: Edwin Mellen Press, 2001), 22 252 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 Sedangkan ras Afrika Sudan mendapatkan posisi yang lebih rendah meskipun sebagian dari mereka juga memiliki status sebagai Muslim (Islam) terutama yang berdomisili di wilayah Darfur sebagai akibat dari stereotype perbudakan di masa lalu. Dalam hal ini, gerakan Islam muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap politik rasisme dan otoritarianisme di Sudan.23 Bashir memberangus partai-partai politik dan menekan gerakan tokoh-tokoh oposisi agar lebih mudah melakukan dominasi politik. Hal ini tidak mengherankan jika kita melihat trend bahwa rezim militer diktator yang berkuasa di Sudan muncul melalui serangkaian kudeta militer. Kediktatoran ini telah menciptakan iklim yang negatif terhadap pertumbuhan demokrasi sehingga memunculkan gerakangerakan perlawanan yang terinisiasi oleh ideologi Ikhwanul Muslimin (IM) yang telah ada sejak awal kemerdekaan dengan tokoh sentral Hassan Turabi (ICF/NIF/PCP) dan Al-Mirghani (NUP/ DUP). Berkembangnya IM di Sudan tidak lepas dari faktor geo-politik yang mempengaruhinya, dimana Sudan merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Mesir tempat lahirnya gerakan IM. Keterkaitan Khartoum dan Kairo tidak hanya erat dalam bidang ekonomi tetapi juga bidang pendidikan. Meskipun tidak secara utuh dan menyeluruh, Universitas Khartoum sebagian besar masih berkiblat pada universitas al-Azhar baik secara akademis maupun aktivisme. Selain itu, Sudan dan Mesir memiliki keterkaitan dan keterpengaruhan sejarah yang panjang dalam bentuk kekuasaan (Turko-Egyptian rule) dan penjajahan (Anglo-Egyptian rule), sehingga perubahan sosial-politik di Mesir akan memiliki pengaruh besar bagi Sudan. Sedangkan Sadiq Al-Mahdi (Umma Party) merupakan transformasi institusional dari gerakan Al-Mahdi yang pernah berkuasa di Sudan. Gerakan-gerakan Islam semacam Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan modernis yang berbasis perkotaan (urban-centred modernist movements) yang dekat dengan politik dan adaptif dengan perubahan sosial yang ada. Terutama jika dibandingkan dengan pola-pola bab 4. Amir H. Idris, Conflict and Politics of Identity in Sudan, (New York: Palgrave, 2005) 23 organisasi sufisme yang tradisional (traditionbound sufi order), sehingga keberadaannya tidak mendapatkan dukungan penuh dari grass root terutama kalangan sufi tradisional. Relasi rezim militer Omar Bashir dengan gerakan-gerakan Islam mengalami pasang surut dalam bentuk koalisi dan konfrontasi, misalnya merekrut Hasan Turabi untuk membentuk partai bersama di NCP karena Bashir masih mempercayai potensi kuat dari politik Islam untuk mendukung kekuasaannya. Hal yang menjadi sangat identik di perpolitikan Sudan adalah fokus yang sangat berlebihan dikalangan elit politik untuk mencari dukungan dari masa gerakan Islam, sehingga kehidupan Islam seakan dipaksa untuk selalu terkait dengan politik negara. Hal ini pula yang menjadi strategi Omar Bashir untuk melanggengkan pengaruh politiknya di Sudan. Serangkaian momentum politik dan gelombang Arab Spring dari negara-negara Afrika Utara membuat gerakan oposisi menggeliat. Gejala Arab Spring telah menumbuhkan gerakan new intifada di Sudan. Meskipun terjadi di berbagai kota besar, gerakan ini belum berdampak masif bagi terjadinya regime change di Sudan. Padahal jika kita menilik kondisi perekonomian Sudan yang cukup parah, terutama setelah lepasnya beberapa kilang minyak yang menjadi suplai utama anggaran negara jatuh ke tangan Sudan Selatan dan krisis ekonomi sebagai akibat dari mismanagement dalam pemerintahan, seharusnya gerakan new intifada bisa membawa perubahan politik yang fundamental di Sudan. Kegagalan ini disebabkan karena tidak adanya tokoh sentral simbol perlawanan pasca Arab Spring. Kelompok oposisi terkemuka justru terpecah antara tokoh oposisi Hasan Turabi dan Sadeq el Mahdi. Protes yang terjadi di tahun 2011 hingga 2015 masih bersifat sporadis dan tidak masif, dukungan yang kuat dari militer sehingga rezim secara represif dan otoriter masih bisa meredam protes masa, dan tidak tersedianya ruang bagi publik untuk melakukan perlawanan dan mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap pemerintah. Keengganan Bashir untuk berkompetisi secara fair yang diiringi kekuatan militer yang mendukungnya secara kuat membuat masa depan Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 253 kehidupan demokratis di Sudan terlihat suram. Hal ini membuat masyarakat Sudan memiliki pengalaman yang kurang memadai dalam membangun kehidupan lingkungan politik yang kompetitif dan multi partai. Pemilu di Sudan tidak dilakukan secara reguler dengan periodesasi tertentu, misalnya secara umum pemilu di negara-negara dunia setiap 5 tahun sekali. Hal ini karena yang paling memungkinkan adalah perang sipil dengan Sudan Selatan (dulu Sudan) pada pasca kemerdekaan dan disusul konflik sipil di wilayah Darfur. Selain itu, Sudan termasuk negara yang sering berganti sistem politiknya tergantung rezim yang berkuasa dan kestabilan politik negara. Serangkaian konflik sebelum pisahnya Sudan Selatan membuat data yang akurat tentang pemilu Sudan sangat sulit didapatkan. Namun pisahnya Sudan Selatan dan menurunnya konflik membuat pemilu di Sudan semakin menapaki titik terang. Pemilu tahun 2015 merupakan pemilu presiden dengan tingkat partisipasi terendah yaitu sekitar 46.40 %. Meski demikian, persentase kemenangan Bashir cukup tinggi hingga mencapai 94.05% jika dibandingkan pemilu sebelumnya 75.68% (1996), 86.5% (2000), dan 68.24% (2010).24 Hasil ini justru membuktikan popularitas dan legitimasi Bashir pada pemilu 2015 semakin rendah. Kemenangan ganjil ini sebenarnya disebabkan oleh beberapa kondisi, pertama, protes yang terjadi sepanjang tahun 2011-2015 sebagai pengaruh dari Arab springs dan keterpurukan ekonomi. Kedua, pasca pisahnya Sudan Selatan, Bashir kehilangan momentum untuk menciptakan ancaman bersama (common enemy) bagi memonopoli dukungan rakyat. Ketiga, terjadinya boikot terhadap pemilu 2015 yang dilakukan kalangan oposisi: Shadiq Al-Mahdi (Umma Party/UP), Hassan Turabi (People Congress Party/PCP) dan Al-Mirghani (Democratic Unionist Party/DUP) serta masyarakat Darfur yang apatis terhadap perubahan politik Sudan pada paska pemilu 2015.25 Lihat http://www.espac.org/presidential_pages/presidential_ parliamentary.asp; http://www.ipu.org/parline-e/reports/ arc/2297_00.htm, diunduh pada 2 April 2015; “Elections in Sudan,” http://africanelections.tripod.com/sd.html, (diakses pada 18 Oktober 2015). 24 25 Adela Suliman, “’More of the same’: Bashir sweeps Sudan Secara eksplisit pemerintah Sudan mempersepsikan bahwa pasca lepasnya Sudan Selatan, Sudan merupakan pemerintahan negara Islam yang hampir seluruh penduduknya beragama Islam sehingga tidak diperlukan lagi proses-proses Islamisasi untuk meng-Islam-kan seperti yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam. Namun rendahnya partisipasi pemilu legislatif pada tahun 2015 ini memberikan dugaan dan indikasi lain, terutama kasus boikot yang dilakukan oleh oposisi yang sebagian besar dari kalangan gerakan Islam seperti Hassan Turabi (PCP) dan Sadiq Al-Mahdi (UP). Indikasi ini juga terlihat dari perolehan DUP yang meningkat dari 4 kursi pada pemilu 2010 menjadi 40 kursi pada pemilu legislatif 2015 (hasil akumulasi DUP pimpinan Al-Mirghani dan DUP pimpinan Jalal Al-Digair). Bisa jadi pemilu 2015 ini merupakan awal dari kebangkitan menguatnya eksistensi partai-partai Islam di Sudan. Meskipun mengalami serangkaian perang sipil yang panjang dengan gerakan separatis Sudan People Liberation Movement/Army (SPLM/A) di wilayah selatan dan Sudan Liberation Movement (SLM) di Darfur– yang memancing “campur tangan” internasional-- gerakan oposisi Islam yang dipelopori oleh Turabi, Sadiq Al-Mahdi dan Al-Mirghani memberikan harapan yang konsisten akan pertumbuhan demokrasi di Sudan. Namun pada sisi lain gerakan Islam-militeristik yang dibawa oleh Bashir dan penguasa militer sebelumnya menggunakan politik otorianistik dalam menjalankan roda pemerintahan terasa kontra produktif bagi pembentukan iklim demokrasi dan penguatan civil society. Meskipun tidak mengarah pada politik totalitarianisme namun Sudan masih harus menapaki jalan yang panjang menuju demokrasi. Problematika Kekuatan Politik Islam di Somalia Somalia dihadapkan pada kekacauan politik dan konflik sosial yang tak berkesudahan. Berbagai kasus, seperti perebutan sumber daya alam, sengketa perbatasan, pembajakan, perang antar election,” http://www.aljazeera.com/news/2015/04/bashirsweeps-sudan-election-150427111551251.html, (diakses pada 15 Oktober 2015). 254 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 suku, dan kekacauan politik selalu mewarnai lembaran sejarah negara multi etnis ini, bahkan di tengah euforia Arab Spring yang menjadi momentum bagi perubahan iklim politik di sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara, Somalia justru terjebak dalam perang sipil yang akut sebagai imbas dari warisan era kolonialisme. Situasi ini mengantarkan Somalia menjadi negara gagal (failed state).26 Di tengah krisis yang berkepanjangan, para tokoh dan pemimpin di Somalia berusaha untuk membangun kembali negara melalui upaya rekonsiliasi dan konsolidasi politik. Pada tahun 2009, parlemen transisi (Transitional Federal Parliament/TFP) memilih pimpinan The Alliance for Re-Liberation of Somalia (ARS), Syekh Sharif Ahmad sebagai presiden pertama dengan perdana menteri Umar Abdurrashid Ali Sharmarke. Seiring berakhirnya masa pemerintahan interim, pada Agustus 2012, terbentuk National Constituent Assembly/NCA yang menjadi cikal bakal berdirinya pemerintahan federal Somalia.27 Dalam pemilu pertama yang diselenggarakan NCA pada September 2012, Hassan Syekh Mahmoud berhasil unggul dalam perolehan suara mengungguli pesaingnya dari Islamic CourtsUnion/ICU, Syekh Sharif Ahmad. Terbentuknya Pemerintah Federal Somalia dibawah pimpinan Hassan Syekh Mahmoud menjadi langkah awal penegakkan demokrasi di Somalia. Tercapainya rekonsiliasi pada era 2009-2012 tidak lepas dari peran klan dan kelompok Islam Sufi yang memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial-politik Somalia.28 Diantara klan utama yang mempunyai peran signifikan dalam politik Somalia adalah Darood, Ishaaq, Dir, dan Hawiya. Darood adalah klan terbesar di Somalia yang sebagian besar menempati wilayah timur laut dan barat daya Somalia, tepatnya di lembah Jubbah, sebelah utara Kenya. Mantan presiden Siyaad Barri dan Abdillah Yusuf Ahmad “The Failed State Index 2011”, The Fund for Peace, dalam http://www.fundforpeace.org, diunduh pada 4 September 2015. 26 Nuruddin Farah, et.al, Somalia : A Nation Without A State, Life and Peace Institute, (Stockholm: The Nordic Africa Institute, 2007). 27 Jason Mosley, “Somalia’s Federal Future : Layered Agendas, Risks and Opportunities”, Africa Programme, September 2015. 28 berasal dari klan ini. Sementara klan Ishaaq terkonsentrasi di utara, sebagian wilayah tengah dan selatan. Dari kedua suku ini berkembang tiga tarikat terbesar, yaitu Qadariyyah, Ahmadiyyah, dan Salihiyyah.29 Tradisi Islam sufi yang damai dan selaras dengan hukum adat menciptakan tatanan sosial yang harmonis selama berabadabad, karena itu kelompok Islam sufi lebih mengedepankan pendekatan humanis ketimbang bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan di Somalia. Hubungan antara Islam dan klan di Somalia pun sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Islam sendiri sampai di Madinah dan mencapai puncaknya ketika terjadi migrasi kaum muslimin sekitar abad ke-8 ke wilayah pesisir Somalia akibat instabiitas sosial-politik di Jazirah Arab. Kehadiran dua tokoh sufi, Abdurrahman bin Ismail al-Jabrti atau yang lebih dikenal dengan Syekh Darood dan Syekh Ishaaq bin Ahmad Al-Alawi –keduanya satu silsilah dengan nabi Saw- memperkuat relasi antara Islam dan klan di Somalia.30 Keduanya menetap di utara Somalia sampai beranak pinak dan melahirkan konfederasi dua klan terbesar saat ini, yakni Darood dan Ishaaq. Dalam perkembangannya, kedua klan ini menjadi cikal bakal lahirnya gerakan Islam –khususnya tarekat sufi- di Somalia. Salah satu tokoh dari klan Darood, Syekh Syarif Ahmad menjadi pelopor pergerakan politik kelompok sufi di Somalia yang memilih untuk melakukan rekonsiliasi dengan pemerintah transisi dan membentuk pemerintahan koalisi ARS yang merupakan gabungan antara kelompok Islam moderat non-radikal di Somalia. Secara historis, kebangkitan sufisme di Somalia dimulai pada abad ke-19 di bawah pimpinan tokoh sufi terkemuka Syekh Muhyiddin bin Syekh Uwais dengan beberapa muridnya yang mengembangkan aliran tarekat Qadariyyah. Hal yang menarik adalah bahwa sufi Somalia tidak seperti kebanyakan sufi umumnya yang terbiasa tinggal dalam lingkungan zaawiyah atau surau melainkan turut beraktivitas dalam berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan. Pada tahun 1952, sejumlah tokoh sufi Islam Lihat, Abdurrahman M. Abdullahi, “Islamism and Politics in Somalia”, Chatham House, 2012. 29 30 Ibid. Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 255 mendirikan Somalia Islamic League/Liga Islam Somalia sebagai reaksi dari maraknya kristenisasi di Somalia.31 Meski demikian, masih tetap saja ada diantaranya yang bereaksi melalui jalur ekstremisme, seperti halnya Ahlussunnah Wal Jama’ah yang bereaksi terhadap simbol kemusyrikan dan budaya barat yang berkembang, bahkan tidak sedikit pula yang bergabung dengan gerakan Ash-Shabab. Perbedaan interpretasi dalam memaknai prinsip-prinsip Islam menjadi salah satu faktor munculnya kelompok sufi yang lebih reaksioner. Pasca kemerdekaan 1961, gerakan Islam kontemporer muncul dengan berbagai coraknya. Gerakan ini dipelopori oleh beberapa alumnus perguruan tinggi Islam terkemuka di Timur Tengah yang kemudian mempromosikan ide-ide keislamannya dengan membentuk sejumlah gerakan Islam di Somalia. Gerakan Islam yang terkenal adalah Harokah Al-Ittihad Al-Islami yang didirikan pada tahun 1982. Gerakan ini menginspirasi lahirnya gerakan Islam moderat dan radikal, seperti Al-Islah, Al-Itisham, Hizb al-Islam, Ash-Shabab, dan Salafiyyah Jadidah. Sebelumnya sudah ada gerakan Islam serupa, yakni Harokah An-Nahdah yang berdiri tahun 1967 di Mogadishu, Wahadaat ash-Shabab al-Islami tahun 1969 dan Jamaat Ahlal Islam. Para aktivisnya menjadi motor pergerakan Islam dalam menentang rezim militer-sosialis.32 Oleh karena itu, keberadaan gerakan Islam sangat ditentang rezim Siyaad Barri dengan menetapkan undang-undang yang melarang berdirinya gerakan dan organisasi massa Islam di Somalia. Banyak para aktivisnya yang ditangkap dan mengasingkan diri ke Sudan, Mesir, Yaman, dan Arab Saudi. Mereka memperjuangkan Islam dari luar dan membangun jaringan dengan gerakan Islam transnasional, seperti IM, Salafiyyah, Jama’ah Tabligh dan Jama’ah Jihadiyyah. Pasca lengsernya Siyaad Barri, gerakan Islam semakin menemukan momentumnya dengan maraknya aktivitas Harokah Da’wah Islamiyyah yang dipelopori oleh para ulama dan pemuda Somalia melalui penguatan peran dakwah Islam di sekolah maupun lembaga pendidikan. Mereka bahkan 31 Ibid. 32 Ibid. mengisi kekosongan hampir di semua lini, baik dalam berdagang maupun aktivitas sosial kemasyarakatan. Selain semaraknya dakwah Islam, Islam di Somalia juga diwarnai dengan munculnya gerakan Al-Islah yang didirikan oleh sejumlah tokoh IM di Somalia yang bertujuan menjaga nilai-nilai budaya Somalia dan menerapkan prinsip Islam dalam bernegara. Karena itu, dalam setiap aktivitasnya gerakan ini kerap bertentangan dengan rezim sosialis, sehingga banyak diantara para tokohnya seperti Syekh Mohammed Ahmad Nur, Dr. Ali Syekh Ahmed, Dr. Mohamed Yusuf Abdi, Syekh Ahmad Rasyid Hanafi, dan Syekh Abdullah Ahed Abdullah yang menjadi musuh rezim dan sejak lama hidup dipengasingan.33 Dibawah pimpinan Syekh Mohammed Ahmed Nur, al-Islah menjadi gerakan Islam yang inklusif dan anti kekerasan. Kelompok ini lebih mengedepankan dakwah Islam melalui metode pendidikan Islam moderat sebagaimana yang digagas oleh Abduh maupun Al Afghani. Meski mendapat sambutan dari masyarakat kelas menengah, keberadaan gerakan Islam sekelas IM di Somalia tidak begitu kuat terlebih jika dibandingkan dengan IM di Mesir maupun Sudan. Hal itu tidak lepas dari belum berkembangnya iklim intelektual (kampus) di Somalia sehingga kekuatan IM yang biasa berkembang dalam lingkungan intelektual Islam dapat dikatakan tidak begitu berperan secara signifikan. Selain itu, iklim politik Somalia yang sarat akan konflik dan perebutan kekuasaan lebih mendorong lahirnya gerakan Islam radikal, seperti Ash-Shabab maupun Hizb Al-Islam. Dengan kata lain, Somalia menjadi rumah yang nyaman bagi perkembangan gerakan Islam Jihadiyyah. Sementara itu, kelompok Islam SalafiyyahJihadiyyah terefleksikan dengan munculnya gerakan Al-Ittihad Almahakim Al-Islamiyyah, Ash-Shabab, dan Hizb al-Islami. Pada awalnya tujuan berdirinya gerakan itu adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim Siyaad Barri disamping untuk mendirikan pemerintahan yang lebih Islami. Agenda keislaman kelompok Abdurrahman M. Abdullahi, “The Islah Movement : Islamic Moderation in War-torn Somalia”, dalam http://www.hiiraan. com/oct2008/ISLAH.pdf, (diakses pada 20 Maret 2015). 33 256 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 Salafiyyah-Jihadiyyah terlihat dengan dibentuknya pengadilan Islam atau al-Mahakim Al-Islamiyyah di sejumlah wilayah dibawah pimpinan Fuqoha atau seorang yang ahli dalam hukum Islam. Disini faktor klan menjadi penentu aktivitas al-Mahakim. Berdirinya sejumlah pengadilan Islam mendorong kekhawatiran AS dan negara-negara Barat akan kebangkitan Islam di Somalia. Mereka mengklaim bahwa kelompok ini adalah ancaman bagi keamanan regional dan global. Disamping membangun jaringan dengan kelompok Islam lokal, Salafiyyah Jihadiyyah mempunyai relasi yang kuat dengan kelompok Al Qaeda in Arabian Peninsula (AQAP). Hubungan kedua kelompok terjalin sejak awal tahun 2000, ketika Osama bin Laden secara resmi menyatakan akan memberikan dukungan finansial dan fasilitas persenjataan bagi gerakan Islam Somalia. Dukungan ini jelas menguntungkan kelompok Islam radikal di Somalia khususnya setelah melemahnya basis kekuatan Al-Ittihad Al-Islamiyyah akibat serangan pasukan militer Ethiopia pada tahun 2002. Untuk mengisi kekosongan kekuatan Islam, pada tahun 2003 berdiri gerakan Islam baru yang lebih radikal dikenal dengan sebutan Harokah Ash-Shabab AlMujahidin. Menurut David Shinn, Ash-Shabab dianggap sebagai gerakan Islam paling kuat di Somalia setelah kegagalan pemerintahan koalisi ICU di Mogadishu.34 Kehadiran Ash-Shabab sebagai garda gerakan Islam radikal di Somalia menjadikan konflik antara kelompok Islam di satu sisi dan pemerintah yang didukung kekuatan militer asing tidak terelakkan lagi. Akibatnya selama beberapa dekade Somalia didera konflik akut yang berkepanjangan. Konflik internal yang berkepanjangan itu menimbulkan dampak yang cukup signifikan tidak hanya bagi Somalia tetapi juga bagi sejumlah negara yang mempunyai kepentingan di wilayah Timur Tengah dan Afrika. Hal ini mendorong sejumlah kekuatan politik internasional untuk terlibat dalam konflik internal Somalia. Ethiopia adalah negara yang terlibat cukup besar dalam pusaran konflik Somalia. Keterlibatan itu tidak lepas dari faktor historis, demografis, maupun David Shinn, “Al Shabaab’s Foreign Threat to Somalia”, Foreign Policy Research Institute, 2011. geografis yang melatarbelakanginya. Secara historis, sejak masa kolonialisme, kedua negara kerap berseteru. Pembagian wilayah yang tidak melihat faktor clanism menjadi awal penyebab terjadinya konflik. Disamping itu, perbedaan agama dan budaya semakin meningkatkan ketegangan kedua negara. Selain Ethiopia, AS dan negara-negara Barat ikut terlibat dalam dinamika politik Somalia. Keterlibatan AS tidak lepas dari dua hal, yakni kontra-terorisme dan maraknya aksi bajak laut. Indikasi keterlibatan itu sudah terlihat sejak lama, bahkan sejak masa pemerintahan Siyaad Barri, ketika kekuatan AS bercokol untuk mengkanter menyebarnya paham sosialis-marxisme di Somalia. Kemudian intervensi AS semakin meningkat pada tahun 2001 terutama pasca tragedi WTC. Wendy Sherman, Wakil Menteri Luar Negeri AS, menyatakan dalam pidatonya, “A secure and united Somalia weakens the forces of extremism that threaten other countries, including the United States”.35 Hal itu juga diperkuat oleh pernyataan John Norris, bahwa kepentingan AS di Somalia bukan hanya masalah kontra-terorisme, tetapi juga karena faktor lain, yakni bajak laut yang sudah mengakibatkan kerugian besar bagi perekonomian AS dan sejumlah negara di dunia. Meski ada upaya untuk terus meningkatkan intervensi militer di Somalia, namun belakangan dunia internasional mulai mencari cara untuk mengatasi krisis Somalia tanpa intervensi militer. Salah satunya adalah dengan penyelesaian konflik melalui pendekatan sosio-kultural-keagamaan dengan mengupayakan jalan damai antar kekuatan politik dan klan di Somalia, sehingga jika stabilitas politik dan keamanan terwujud, maka konflik sosial dan maraknya aksi bajak laut yang lebih bermotif ekonomi akan dapat terselesaikan. Penutup Agama dan politik (demokrasi) apalagi dalam konstelasi dunia Islam tampaknya selalu menjadi wacana menarik untuk diperbincangkan. Bahkan, kedua hal tersebut seolah menjadi dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, Cunningham menyebutnya sebagai dua hal yang 34 35 Ibid. Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 257 saling tumpang-tindih (overlapping) dan tidak pernah berujung, sehingga selalu menemukan justifikasi untuk menautkan diri.36 Namun, realitas itu acapkali menumbuhkan kecurigaan dari kalangan sekuleris, yang senantiasa memandang curiga terhadap peran agama dalam konteks politik (demokrasi). Artinya, ketika Islam melekat kepada kehidupan politik, maka politik Islam dianggap tidak akan menyediakan tempat bagi tumbuhnya iklim demokrasi. Namun, pandangan ekstrem sebaliknya juga menggejala di sebagian kalangan Islam sendiri, yang apriori terhadap segala konsep yang lahir dari dunia Barat/sekuler (termasuk partai politik, pemilu dan parlementariat). Baik kaum sekuleris maupun kaum Islamis sama-sama memandang Islam dan demokrasi sebagai sesuatu yang tidak bisa disandingkan. Wacana “Islamic exceptionalism” sebagai dasar tidak selarasnya Islam dan demokrasi dalam kasus Maroko, Sudan dan Somalia menjadi kurang tepat. Sebab fenomena “Arab exceptionalism” tampaknya lebih bisa mengilustrasikan mengapa mayoritas negara-negara Arab tidak demokratis.37 Artinya, tidak adanya demokrasi di dunia Arab selama berabad-abad bukan akibat tidak kompatibelnya demokrasi dengan Islam. Melainkan faktor politico-historis bangsa Arab yang telah lama mempraktikkan sistem kenegaraan yang bersifat dinasti-autoritarian.38 Frank Cunningham, “The Conflicting Truths of Religion and Democracy”, dalam John Rowan (ed.), HumanRights and Democracy, (Charlottesville, V.A.: Philosophical Documentation Centre, 2005), hlm.65-80. 36 Konsep Islamic exceptionalism didasarkan pada aggapan bahwa Islam sebagai faktor/pengecualian yang menyulitkan tumbuhnya iklim demokrasi. Begitu juga Arab exceptionalism merupakan sebuah anggapan yang menyatakan budaya Arab sebagai faktor yang menyulitkan tumbuhnya iklim yang demokrasi. Riset ini didasarkan pada penelitian pemilu di 47 negara mayoritas Muslim yang menunjukkan bahwa negara non Arab memiliki iklim pemilu hampir dua puluh kali lebih kompetitif di bandingkan negara-negara Arab.Lihat Alfred Stepan dan Graeme B. Robertson, “Arab, not Muslim, Exceptionalism,” Journal of Democracy, 15, No.4, Oktober 2004, hlm.140-146. 37 Sedangkan yang menjadi kontras adalah bagaimana nilainilai demokratis dalam Islam tersebut diimplementasikan oleh kalangan radikal dalam bentuk authoritarian, sedangkan kalangan moderat menafsirkanya dalam koridor yang keadilan dan Islamis. Lihat, Ahmad S. Mousalli, The Islamic Quest for Democracy, Pluralism and Human Right, (Florida: University 38 Fenomena Arab Spring, menumbuhkan kesadaran politik warga negara untuk mendorong pemerintah menyelenggarakan pemilu dan menumbuhkan iklim politik yang lebih demokratis. Dalam kasus Maroko, Sudan, dan Somalia, meskipun “rezim yang lama” tetap berkuasa, menguatnya dukungan masyarakat terhadap partai-partai Islam membuat pemerintah harus berpikir ulang tentang efektivitas sistem otoritarian dalam melanggengkan kekuasaan. Baik di Maroko, Sudan dan Somalia, gerakan Ikhwanul Muslimin tidak lagi menjadi hal yang asing baik secara ideologis maupun gerakan sosial. Tak berlebihan jika Valentine Columbo, guru besar geopolitik dunia Islam Universitas Eropa di Roma, menyebut bahwa Arab Spring hakekatnya bagai musim semi Ikhwanul Muslimin di jazirah Arab. Sebab pada kenyataannya organisasi sosial-politik yang berafiliasi pada Ikhwanul Muslim yang tampil dominan dalam konstelasi politik demokrasi. Melihat realitas ini maka peran kekuatan politik Islam dalam kerangka membangun demokrasi, pelan tapi pasti kian mapan. Dibandingkan Somalia, negara Maroko dan Sudan lebih siap berdemokrasi. Hanya saja kekuasaan Raja Muhammad IV dan Omar Bashir yang terlalu besar membuat iklim demokrasi terhambat untuk tumbuh. Ketidaksiapan negara dalam menghadapi tumbuhnya kesadaran demokratis rakyatnya, mendorong pemerintah menggunakan tangan besi untuk melakukan monopoli politik. Demokrasi dianggap sebuah ancaman. Kemenangan partai Islam dalam kontestasi politik harus berujung pada pemberangusan seperti kasus FIS Aljazair (1990), Refah di Turki (1995), Morsi di Mesir (2012). Ini menegaskan bahwa nihilnya iklim demokrasi di Timur Tengah adalah “Arab exceptionalism”. Referensi Buku Mousalli, Ahmad S. The Islamic Quest for Democracy, Pluralism and Human Right. Florida: University of Florida Press. 2003. of Florida Press, 2003), hlm. 158-167. Baca juga Fares AlBraizat, “Muslim and Democracy: An Empirical Critique of Fukuyama’s Cultural Approach,” International Journal of Comparative Sociology, Vol. 43, No. 3-5, 2002, hlm.269-299. 258 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 Idris, Amir H. Conflict and Politics of Identity in Sudan. New York: Palgrave. 2005. -----,. Sudan’s Civil War: Slavery, Race, and Formational Identities. Lewiston: Edwin Mellen Press. 2001. Cunningham, Frank. “The Conflicting Truths of Religion and Democracy”, dalam John Rowan (ed.) Human Rights and Democracy, Charlottesville, V.A.: Philosophical Documentation Centre. 2005. MacMichael, H.A. A History of the Arabs in Sudan, and Some Accounts of the People who Preceded Them and of the Tribes Inhabiting Darfur. Cambridge: Cambridge University Press. 2011. Nugud, Mohamed Ibrahim. Slavery in the Sudan: History, Documents, and Commentary. New York: Palgrave Macmillan. 2013. Jurnal Al-Braizat, Fares. “Muslim and Democracy: An Empirical Critique of Fukuyama’s Cultural Approach”. International Journal of Comparative Sociology. Vol.43. No. 3-5. 2002. Laskier, Michael M. “A Difficult Inheritance: Moroccan Society under King Mohammed VI”. Middle East Review of International Affairs. Vol.7. No.3. 2003. Maruyama, Daisuke. “Redefining Sufism in Its Social and Political Contexts: The Relationship between Sufis and Salafis in Contemporary Sudan”. Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies. Vol.8. 2015. Stepan, Alfred & Robertson, Graeme B. “Arab, not Muslim, Exceptionalism,” Journal of Democracy, Vol.15. No.4. 2004. Warburgm, Gabriel R. “Islam and the State in Numayri’s Sudan”. Journal of the International African Institute. Vol. 55. No. 4. 1985. Makalah Abdullahi, Abdurrahman M. “Islamism and Politics in Somalia”. Chatham House. 2012. Dalmasso, Emanuela & Cavatorta, Francesco. “Political Islam in Morocco: Negotiating the Liberal Space Post 2003”. Working Papers in International Studies No. 4. Centre for Intenational Studies, Dublin City University. 2011. ICG. “Divisions in Sudan’s Ruling Party and the Threat to the Country’s Future Stability”. Crisis Group Africa Report. No. 174. 2011. Mosley, Jason. “Somalia’s Federal Future : Layered Agendas, Risks and Opportunities”. Africa Programme. 2015. Nuruddin, Farah, et.al . “Somalia : A Nation Without A State”. Life and Peace Institute, The Nordic Africa Institute : Stockholm. 2007. Shinn, David. “Al Shabaab’s Foreign Threat to Somalia”. Foreign Policy Research Institute. 2011. Internet Abdullahi, Abdurahman M, “Islamism and Politics in Somalia,” dalam https://www.chathamhouse. org/sites/files/chathamhouse/public/Research/ Africa/120612summary.pdf, diunduh pada 13 November 2015. ------------, “The Islah Movement : Islamic Moderation in War-torn Somalia”, dalam http://www. hiiraan.com/oct2008/ISLAH.pdf, diunduh pada 15 Oktober 2015. Ahmed, Nazeer, “The Murabitun in the Maghreb,” dalam http://historyofislam.com/murabitun/, diunduh pada 11 November 2015. “Elections in Sudan”, dalam http://africanelections. tripod.com/sd.html, diunduh pada 18 Oktober 2015. Fattorelli, Erik, “Morocco between Terrorism, Islamism, and Democratisation: a Cosmetic Approach”, 2009, dalam http://www.ssoar. info/ssoar/bitstream/handle/document/11883/ ssoar-2009-fattorelli-morocco_between_terrorism.pdf?sequence=1, diunduh pada 18 Oktober 2015. “Fragile State Index 2015”, dalam http://library.fundforpeace.org/library/fragilestatesindex-2015. pdf, diunduh pada 10 Agustus 2015. http://www.espac.org/presidential_pages/presidential_parliamentary.asp, diunduh pada 2 April 2015. http://www.ipu.org/parline-e/reports/arc/2297_00. htm, diunduh pada 5 Maret 2016. “PJD Comes Third in Morocco’s Local, First in Regional Elections”, Kuwait News Agency, 5 September 2015, diunduh pada 16 Oktober 2015. “Sudan: Economic Indicators”, dalam http://www. tradingeconomics.com/sudan/indicators, diunduh pada 10 Agustus 2015. Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 259 Suliman, Adela, “’More of the same’: Bashir sweeps Sudan election,” http://www.aljazeera.com/ news/2015/04/bashir-sweeps-sudan-election-150427111551251.html, diunduh pada 15 Oktober 2015. Thomas, Renard, “Moroccan Crackdown on salafiya Jihadiya Recruitment of Fighters for Iraq”, Terrorism Focus, Vo.5, No.27, 2008, dalam http:// www.jamestown.org/programs/tm/single/?tx_ ttnews[tt_news]=5072&no_cache=1#.ViWayytlTcc, diunduh pada 20 Oktober 2015. “The Failed State Index 2011”, The Fund for Peace, dalam http://www.fundforpeace.org, diunduh pada 4 September 2015. 260 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA DALAM BINGKAI OTONOMI DAERAH INDEPENDENCE VILLAGE BUILDING IN FRAME OF REGIONAL AUTONOMY Yusuf Maulana Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jln. Jend Gatot Subroto No.10, Jakarta Email : [email protected] Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Tebal : Membangun Kemandirian Desa : Didik G. Suharto : Pustaka Pelajar : 2016 : 288 Halaman Abstract Issues surrounding the village is complex. Especially the issue of decentralization in the village are not clear, which is related to the position of the village and the expected impact of decentralization. The existence of the problem structure and function of rural government institutions are not in accordance with the needs of the village and its people. Then the problem changes in the structure and the function has not contributed to the independence of the village. How these changes could create the potential independence of the village can be awakened Keywords: village, decentralization, autonomy, institutional. Abstrak Persoalan yang melingkupi desa cukup kompleks. Terutama persoalan pelaksanaan desentralisasi di tingkat desa yang belum jelas, yang terkait posisi desa dan dampak desentralisasi yang diharapkan. Adanya masalah struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa yang belum sesuai dengan kebutuhan desa dan masyarakatnya. Kemudian masalah perubahan struktur dan fungsi tersebut belum memberikan kontribusi kepada kemandirian desa. Bagaimana perubahan tersebut bisa membuat potensi kemandirian desa bisa terbangun Kata Kunci : Desa, Desentralisasi, Otonomi Daerah, Kelembagaan. Pendahuluan Disahkannya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa seakan menjadi akhir penantian dan perjuangan panjang dari segenap elemen desa. Ribuan kepala desa, perangkat desa, dan aktivis pro-desa lainnya tak pernah lelah melakukan pergerakan, baik melalui forum-forum ilmiah hingga aksi jalanan, baik di daerah maupun berdemontrasi ke Jakarta untuk mendesak pengesahan undang-undang desa. Latar belakang dibentuknya UU Desa tersebut berangkat dari adanya anggapan bahwa pembangunan nasional justru menciptakan kesenjangan antara desa dan kota. Pembangunan yang bias perkotaan semakin memperbesar disparitas antara kota dan desa. Membangun Kemandirian Desa ... | Yusuf Maulana | 261 Negara berkembang, termasuk Indonesia lebih mengkosentrasikan pembangunan ekonomi pada sektor industri untuk mengejar pertumbuhan. Ini mengakibatkan pembangunan hanya terpusat di kota dan kepentingan masyatakat desa terkesampingkan. besar menjembatani sejumlah persoalan yang telah diuraikan di atas. Selo Soemardjam selalu menyoroti betapa sulitnya menempatkan posisi dan format desa. Pendapatnya adalah sebagai berikut : “Mengenai pembentukan daerah-daerah administratif pada umumnya tidak dijumpai masalah-masalah yang berarti, baik secara hukum maupun politis. Sebaliknya menghadapi desa, negeri, marga dan sebagainya yang diakui sebagai daerah istimewa tampaknya ada berbagai pendapat yang berbeda-beda yang sampai sekarang belum dapat disatukan dengan tuntas. Perbedaan pendapat itu mengakibatkan keragu-raguan pemerintah untuk memilih antara sistem desentralisasi dua tingkat, yaitu dengan daerah otonom tingkat I dan tingkat II ditambah tingkat III”2 Sementara masalah yang terjadi di desa yang hingga saat ini terjadi memperlihatkan bahwa sistem pemerintahan desa yang berlaku sejak Indonesia merdeka hingga kini di Era Reformasi terbukti belum menjadi sebuah sistem yang konsisten dalam mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat desa. Kompleksitas persoalan tersebut berakar pada persoalan seputar pelaksanaan desentralisasi, khususnya penyelenggaraan pemerintah desa. Dari sisi kelembagaan, pengaturan mengenai desa cenderung mengalami penurunan kualitas dalam aspek demokratisasi. Persoalan penurunan kualitas demokratisasi paling nampak terjadi pada institusi Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Institusi yang mencerminkan demokrasi desa mengalami erosi kelembagaan. BPD mengalami penurunan posisi legal formal kedudukan dan peranan yang terlihat dan tidak tegasnya kedudukan BPD sebagai lembaga legislatif desa dan mekanisme pengisian keangotaaan BPD yang semula dipilih langsung menjadi ditetapkan secara musyawarah mufakat berdasar perwakilan wilayah1. Beragam persoalan pemerintah desa itu pada intinya bersumber kepada struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa yang masih bermasalah. Untuk menentukan struktur dan fungsi kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau organisasi pemerintah desa itu sendiri tidak mudah. Secara teoritis, belum ada pedoman atau ukuran-ukuran baku yang mengidentifikasi struktur dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa yang sesuai kebutuhan masyarakat/organisasi. Juga belum ada pengelompokan bentuk atau klarifikasi desa sebagai wujud keberagaman karakteristik desa yang bisa diterima luas. Perspektif umum dari buku ini berpandangan bahwa faktor struktural dan fungsional kelembagaan desa dinilai memiliki pengaruh Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 3 1 Desentralisasi Pemerintahan dalam UU Desa Daerah Dalam desentralisasi yang dianut oleh NKRI, pelaksanaan pada pemerintah desa selama ini belum nampak jelas, terutama posisi desa dan dampak desentralisasi yang dihasilkan. Kebijakan desentralisasi seharusnya mampu menjadi solusi terhadap permasalahan yang terjadi di pemerintah desa. Dalam sistem desentralisasi, pemerintahan di level bawah (daerah dan desa) sudah sepatutnya diberikan kewenangankewenangan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Demikian pula hubungan antar pemerintahan, yang termanifestasi dalam hubungan desa dengan supra-desa, logikanya dapat mewujudkan hubungan antara ordinat dan sub-ordinat yang harmonis sehingga tercapai kemandirian desa. Merujuk pada pendapat Norton, desentralisasi kepada desa dapat dibenarkan tetapi harus melihat sejauh mana partisipasi masyarakat. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah adalah melakukan desentralisasi pada unit-unit pemerintahan yang lebih kecil di daerah tersebut (decentralization within cities). Tujuannya untuk memungkinkan masyarakat mengartikulasikan atau menyampaikan kebutuhan mereka, membawa kekuasaan lebih dekat dengan rakyat, Ditjen PMD Depdagri, Naskah Akademik RUU tentang Desa, 2007, hlm. 17 2 262 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 261–267 dan menarik berbagai partisipan ke dalam sistem politik.3 Menurut Suharto desentralisasi dapat dikelompokan dalam dua definisi, yaitu definisi dari perspektif administrasi dan perspektif politik. Persepektif desentralisasi politik menerjemahkan desentralisasi sebagai devolusi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; sedangkan persepektif desentralisasi administrasi diartikan sebagai pendelegasian wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.4 Implementasi kebijakan desentralisasi akan melahirkan pemerintahan lokal di negara yang bersangkutan.5 Sebagai instrumen desentralisasi, pemerintah lokal memiliki peran lain. Pertama, pemerintah lokal dapat menjadi senjata yang efektif untuk menyalurkan tekanan lokal, menyatakan dan menyatukan kepentingan lokal. Kedua, pemerintah lokal dapat lebih memberikan suatu pelayanan secara efisien daripada pemerintah pusat. Ketiga, pemerintah lokal dapat merencanakan, dengan pemahaman yang jauh lebih baik atas persoalan yang ada di wilayahnya, berbagai rancangan untuk kemajuan sosial, ekonomi dan sumber daya manusia yang lebih efisien daripada pemerintah nasional. Keempat, pemerintah lokal dapat memastikan pertanggungjawaban yang lebih baik tentang pejabat publik kepada para warga kota, karena mereka lebih dekat dengan masyarakatnya. Terakhir, pemerintah lokal dapat menjadi saluran komunikasi yang lebih efektif untuk memastikan berjalannya kebijakan pemerintah pusat dengan baik. Merujuk dari negara-negara di kawasan Eropa barat, dimana desa cenderung dilihat sebagai lembaga-lembaga administratif berbasis komunitas teritorial sebagai bagian alami dari suatu kesatuan organ di dalam aspekaspek politik masyarakat dan menekankan harapan tentang solidaritas di dalam dan antar masyarakat. Negara-negara Anglophone cenderung menganut pandangan instrumental dan Alan Norton,” Internasional Handbook of Local and Regional Government, (UK: Edward Elgar Publishing, 1997), hlm. 106-107 3 4 Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, hlm. 36 Bambang Supriyono, “Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Kultural”, (Universitas Brawijaya, 2010), hlm. 13 5 pragmatis tentang pemerintah yang memandang kepentingan nasional tidak lebih dari sekadar hasil persaingan kepentingan swasta. Di Eropa Barat mencerminkan sikap non-ekonomis dan non-utilitarian terhadap hubungan politik. Di Eropa Barat Pemerintah pusat menganggap pemerintah daerah memperoleh legitimasi dari masyarakat daerah. Konsep-konsep dan nilainilai dibentuk oleh filsafat sosial, moral dan politik yang diekspresikan melalui saluran politik telah memainkan sebuah peranan penting.6 Sementara dalam konstitusi di Indonesia, posisi pemerintahan daerah sangat kuat, karena tercantum dalam UUD 1945. Pasal 18 UUD RI 1945 menyebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur undang-undang”. Aturan turunan dari pasal tersebut adalah UU Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah yang menyangkut asas penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. Di pasal 5 ayat (4) disebutkan, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Menariknya, pada UU Desa No. 6 Tahun 2014 ini, yang lebih dahulu dibentuk adalah UU Desa, baru setelah UU Desa disahkan barulah UU pemerintah daerah yang disahkan. Pada UU pemerintahan daerah sebelumnya yaitu UU No. 32 tahun 2004, pemerintah daerah hanya berhenti pada pemerintah kabupaten/kota, di mana desa bukan merupakan unsur dalam pemerintahan daerah. Sedangkan pada UU pemerintah daerah yang baru yaitu UU No. 23 tahun 2014, posisi desa dimasukkan ke dalam bagian dari pemerintahan daerah yang mempunyai asas rekognisi sebagai pengakuan adanya pemerintahan desa. Menyangkut sumber pendapatan desa, ketentuan pada masa lalu dan era UU No. 32/2004 berbeda dibanding UU No. 6 2014 yang berlaku sekarang. Pendapatan desa sekarang meliputi sumber: (a) pendapatan asli desa (PADesa), (b) alokasi anggaran dan pendapatan belanja negara, (c) bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, (d) alokasi 6 Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, hlm. 42 Membangun Kemandirian Desa ... | Yusuf Maulana | 263 dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, (e) bantuan keuangan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi/kabupaten/kota, (f) hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan (g) lain-lain pendapatan desa yang sah. Sementara pada masa UU No. 32 tahun 2004, sumber pendapatan desa meliputi PADesa, bagi hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah, bantuan dari pemerintah pusat, provinsi hingga kabupaten/kota dan sumbangan pihak ketiga. Pada masa lalu, penghasilan dapat dibagi menjadi lima macam, kalau dipandang dari sudut penyelenggaraan rumah-tangga desa, yaitu: tenaga warga-desa atau tebusannya berupa uang, hasil usaha di lapangan pertanian yang berupa barang atau uang, hasil perusahaan desa, penghasilan yang langsung di peruntukan membayar kepala dan pemerintah desa, serta pajak desa, urunan desa, dan subsidi pemerintah pusat. Masuknya negara dan pengaruh sistem administrasi modern mendorong perubahan terhadap sistem pemerintahan desa dan pranatapranata sosial yang ada dalam komunitas masyarakat. sementara didaerah ada beberapa isu kritis tentang pemerintahan desa: (a) kedudukan dan kewenangan desa; (b) perencanaan pembangunan desa; (c) keuangan desa; (d) demokrasi desa, khususnya tentang posisi dan peran badan permusyawaratan desa; serta birokrasi desa. Senada dengan pendapat tersebut, pendapat lainnya menguraikan isu-isu kritis yang terkandung dalam otonomi desa yang selama ini dalam perhatian. Pertama, adalah isu ketatanegaraan dan pemerintahan. Kedudukan dan kewenangan desa menjadi titik sentral dalam semesta pembicaraan tentang otonomi desa. Kedua, isu adat dan lokalisme, hampir semua masyarakat berusaha mempertahankan pemerintahan adat itu adan pada saat yang sama pemerintah berupaya melakukan intervensi dan modernisasi terhadap pemerintahan adat agar sesuai dengan tujuan dan kepentingan nasional. Ketiga, isi ekonomi politik. Tarik menarik antara pemerintah dengan masyarakat lokal yang terus menerus berlangsung sebenarnya merupakan bentuk pertarungan antara negara dan modal dengan masyarakat lokal memperebutkan kuasa atas tanah dan penduduk. Keempat, desa umumnya mempunyai keterbatasan sumber daya lokal. Berdasarkan kalkulasi nominal, desa umumnya mempunyai keterbatasan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi desa, dan lain-lain.7 Menata kelembagaan menuju kemandirian desa Untuk mengkaji struktur dan fungsi suatu organisasi atau lembaga, terlebih dahulu perlu dipahami mengenai bagian-bagian pokok dari organisasi. Suharto menawarkan konsepsi Henry Mintberg tentang lima bagian pokok dari organisasi relevan diketengahkan. Dimana Mintzberg menjelaskan, pada bagian dasar terdapat operating core, di mana operator menjalankan pekerjaan pokok organisasi baik input maupun output, hal tersebut identik dengan dinas daerah dan kecamatan. Bagian tengah ada middle line yang bertugas mengoperasionalkan strategi yang dibangun, hal ini identik dengan sekretaris daerah. Dan di bagian tertinggi terdapat strategic apex yang bertugas melakukan supervisi langsung, melakukan hubungan dengan lingkungan, dan pengembangan strategi, hal tersebut identik dengan kepala daerah.8 Sementara dalam mengkaji kelembagaan pemerintahan desa, dipandang tepat untuk mencermatinya dari perspektif pembangunan lembaga (institution building). Model pembangunan lembaga adalah suatu teori elitis dengan suatu prasangka rekayasa sosial yang eksplisit. Perubahan-perubahan terjadi dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas, dan perubahanperubahan tersebut dipimpin oleh orang-orang yang sampai batas tertentu memiliki wewenang atau sanksi resmi. Wahana perubahannya adalah organisasi formal yang mungkin birokratis sifatnya, yang mengumpulkan kemampuankemampuan teknis dan komitmen-komitmen nilai yang diperlukan untuk mengadakan inovasi dan untuk mendorong dan melindungi mereka dalam lingkungan yang relevan untuk organisasi. Lingkungannya adalah sekumpulan 7 Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, hlm. 60 8 Ibid.,hlm. 75 264 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 261–267 organisasi atau kelompok , yang masing-masing bekerja komunikasi-komunikasi intern, sehingga informasi dapat bergerak dengan cepat dan karenanya memperlancar tindakan yang lebih cepat dan rasional dan dalam sumber-sumber dukungan sosial. Pembangunan yang efektif sangat perlu bagi modernisasi dan pembangunan bangsa. Kemandirian dalam pembangunan desa erat kaitannya dengan otonomi daerah, dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif. Secara teoritik, jika desa terlepas dari intervensi negara maka aplikasi kekuasaan dan kewenangan yang telah didesentralisasikan berlangsung lebih leluasa. Asumsinya, dalam keadaan berlangsungnya otonomi, desa memperoleh kewenangan yang lebih besar di tangan politisi lokal, dan tersedia ruang pemberdayaan civil society di desa. Kekuasaan besar yang dimiliki politisi lokal akan bermanfaat bagi pengembangan desa jika disertai kapasitas yang memadai dan kesadaran serta tanggung jawab politik yang besar pula Dalam pandangan tersebut, otonomi desa menjadi prinsip dasar yang harus dikembangkan. Berdasarkan perspektif pemerintahan daerah, kemandirian dalam pengelolaan kewenangan daerah adalah dasar untuk mewujudkan efisiensi, akuntabilitas, pengendalian, dan otonomi. Kemandirian dalam pengelolaan dapat terwujud apabila memenuhi beberapa prinsip. Pertama, pengambilan keputusan harus terjadi pada tingkatan terendah pemerintahan yang konsisten dengan tujuan efisiensi alokasi sumber daya. Kedua, keselarasan batasan politik dengan kemanfaatan atau keuntungan yang diperoleh, untuk itu diperlukan yuridiksi untuk setiap jenis layanan publik. Ketiga, kejelasan yuridiksi yang berkaitan dengan kewenangan pusat dan daerah menyangkut penyediaan setiap barang publik harus disediakan dengan batasan yuridiksi yang jelas melalui kontrol yang bersifat terbatas. Keempat, belanja dan fungsi regulasi harus berada pada tingkatan pemerintahan terendah.9 Pendapat lain menyatakan bahwa jika hendak memahami dan mendesain otonomi Supriyono, Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Kultural, hlm. 35 9 desa secara lebih maksimal maka otonomi desa bukan sesuatu yang asli dan lokalistik, tetapi otonomi desa yang sepadan dengan otonomi daerah sebagai implikasi dari desentralisasi. Otonomi desa dalam konteks desentralisasi berarti menempatkan desa sebagai local selfgovernment, bukan sekadar self-government community yang asli. Apabila mengikuti skema desentralisasi antara self-governming community dan self-government bukan dua status desa yang bertentangan. Prinsip dasar pertama, desentralisasi merupakan bentuk pengakuan negara terhadap self-governing community, dan prinsip selanjutnya adalah pembagian kewenangan dan keuangan kepada desa untuk membuat desa sebagai local self-government.10 Dalam memandang kemandirian desa, Suharto membatasi dalam dua pokok persoalan, Pertama, Kemandirian administratif/ekonomi yang memandang tingkat kemandirian dapat diamati dari proporsi Pendapatan Asli Desa(PADesa) dibanding pendapatan desa secara keseluruhan. Kontribusi desa terhadap seluruh pendapatan desa pada umumnya masih sangat minim dan terbatas.11 Sumber pendapatan desa dari dulu hingga sekarang relatif tidak memberikan pendapatan bagi desa secara signifikan. Ketidakmampuan untuk meningkatkan pendapatan desa tersebut dikarenakan potensi komponen sumber pendapatan desa relatif kurus atau dengan kata lain tidak memberikan hasil optimal. Mayoritas pendapatan desa dalam APBDes berasal dari sumbangan/bantuan dari pemerintah supra-desa. Kenyataan sebaliknya terjadi dalam hal kemandirian masyarakat. Masyarakat relatif mandiri dalam membangun desa, yang dibuktikan dari antusiasme masyarakat untuk berswadaya. Kedua, kemandirian politik desa antara lain dapat dilihat dari proses rekruitmen/ pembinaan aparatur, pertanggungjawaban aparatur, perwujudan hak-hak politik/partisipasi masyarakat, kemandirian dalam pembuatan kebijakan, kebebasan dalam mengekspresikan asal-usul desa dan adat istiadat. Kemandirian politik di desa sangat dipengaruhi karakteristik Eko Sutoro dan Abdul Rozaki, Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, (Yogyakarta: Ire Press, 2005), hlm. 45 10 11 Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, hlm. 84 Membangun Kemandirian Desa ... | Yusuf Maulana | 265 pemerintah desa dan BPD. Dari sisi kuantitas maupun kualitas, realitas kondisi aparatur pemerintah amat terbatas. Struktur pemerintahan desa yang lemah secara kualitas menjadi hambatan pelayanan bagi warga masyarakat dan peningkatan kinerja organisasi. Semakin tidak mampu pemerintah desa menyelesaikan tugasnya, maka dorongan terhadap keberhasilan kemandirian desa juga akan cenderung semakin tergantung kepada pemerintah tingkat di atasnya. Dari analisis kondisi kemandirian desa yang disampaikan, ada berapa faktor yang mempengaruhi kemandirian desa. Secara umum, kedudukan dan kewenangan desa masih sangat terbatas. Kapasitas pemerintahan desa dipandang juga belum mampu menyelenggarakan urusannya dengan maksimal. Desa dihadapkan kepada permasalahan pengorganisasian, sumber daya manusia dan pendanaan untuk melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa. Di pihak lain, pemerintahan supra-desa serasa enggan berbagi kekuasaan dan sumber daya dengan desa. Faktor internal yang mempengaruhi kemandirian desa adalah kapasitas sumber daya manusia, manajemen pemerintahan termasuk kepemimpinan kepala desa. Kekompakan internal pemerintah desa dan eksistensi lembaga-lembaga desa merupakan tantangan sekaligus persoalan bagi pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan. Perubahan struktur dan fungsi kelembagaan desa berpotensi menimbulkan ketidaksolidan internal pemerintah desa. Manajemen pemerintahan yang kurang tertata menyebabkan pemerintah desa kurang bisa mendorong pemerintahan desa. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian desa adalah faktor regulasi yang banyak mempengaruhi pola kemandirian atau ketergantungan desa. Penulis banyak mengupas kemandirian desa dengan membandingkan antara periode UU No. 32 tahun 2004, UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 1979 di mana perubahan regulasi tersebut melahirkan perubahan atas unsur atau komponen pemerintahan desa. Perubahan status aparatur desa seperti sekretaris desa menjadi pegawai negeri sipil (PNS), aturan tentang kades terutama soal penghasilan dan masa jabatan kepala desa, dan pengaruh terhadap keuangan desa. Poin-poin tersebut secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi struktur kemandirian desa. Untuk mencermati faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian desa dikaitkan dengan struktur dan fungsi kelembagaan desa, penulis menawarkan teori strukturisasi dari Giddens, struktur dipandang sebagai aturan-aturan dan sumber daya yang terlibat secara terus menerus dalam reproduksi sosial; unsur-unsur terlembagakan sistem sosial memiliki kelengkapan-kelengkapan struktural dalam pengertian bahwa hubungan-hubungan distabilkan di sepanjang masa dan ruang. 12 Komposisi antara para agen dan struktur-struktur bukanlah dua perangkat fenomena-fenomena tertentu yang saling terpisah atau sebuah dualisme, melainkan mewakili sebuah dualitas. Menurut Giddens, salah satu proposisi utama teori strukturasi adalah aturan-aturan dan sumber daya yang dilibatkan dalam produksi dan reproduksi tindakan sosial sekaligus merupakan saranasarana reproduksi sistem (dualitas struktur). Struktur sebagai perangkat aturan dan sumber daya yang terorganisasikan secara rutin berada di luar ruang dan waktu.13 Sebaliknya sistem sosial yang secara rutin melibatkan struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas tertentu para agen manusia dan reproduksi di sepanjang ruang dan waktu. Didik Suharto di akhir pembahasannya melengkapi kajian dengan sebuah model rekomendasi dalam membangun kemandirian desa. Pertama, Penekanan desentralisasi hingga ke tingkat desa. Jika selama ini kewenangan desa hanya terkait dekonsentrasi dan tugas pembantuan, direkomendasikan perlu lebih besar kewenangan urusan berdasar asas desentralisasi di desa dan diberikan otonomi yang lebih besar. Kedua, arah desentralisasi yaitu: kebebasan bertanggung jawab, desentralistik, semi hierarkis, local democracy model, keberagaman, dan kesadaran partisipatif harus terus ditingkatkan. Ketiga, pemerintahan supra-desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa idealnya tidak mengulangkan kedaulatan desa. Keempat, Kedudukan desa perlu diperjelas dan diperkuat. Perlu ada kapasitas 12 Ibid., hlm. 239-240 Anthony Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-Dasar Pembentukan Struktural Sosial Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 13 266 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 261–267 lokal yang memadai dan peluang kepada desa untuk mandiri. Kelima, dalam hal struktur kelembagaan, struktur pemerintahan desa sebaiknya didesain lebih fungsional, adaptif, dan sederhana tanpa mengabaikan fungsi pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat. Penutup Buku yang mengangkat isu mengenai kemandirian desa yang ditulis oleh Didik Suharto ini dengan jelas menggambarkan persoalan yang dihadapi desa. Dia melihat terdapat persoalan serius ketika kebijakan sistem pemerintahan desa yang telah mengalami perubahan beberapa kali, tetapi implikasi nyata bagi kemakmuran desa dirasa masih belum terlihat. Dalam konteks seperti ini, kebijakan terkait sistem pemerintahan desa perlu di evaluasi. Kemandirian desa menjadi titik tolak sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan kemajuan desa dan kesejahteraan masyarakat desa. Penulis buku ini mencoba memotret dan menganalisis kemandirian desa itu dari sudut pandang kebijakan publik, terutama saat berlakunya perundang-undangan tentang desa yang berubah-ubah di mana cukup memberi warna bagi proses penyelenggaraan pemerintahan desa selama ini. Dari ulasan bab-bab di buku ini, dapat ditarik benang merah bahwa terdapat sejumlah persoalan strategis yang dihadapi desa. Pertama, dan menjadi hal mendasar adalah terkait kedudukan desa. Tanpa menafikan faktor kelemahan yang bersumber dari internal desa seperti kualitas/ kuantitas SDM dan sarana/prasarana pemerintah desa, stagnasi atau kelambatan pembangunan desa amat dipengaruhi oleh pemerintah supradesa dalam hal ini adalah pemerintah pusat. Realitas bahwa kemajuan desa dan kesejahteraan masyarakat desa belum bisa terwujud selama ini terutama disebabkan oleh tidak jelasan atau lemahnya posisi desa dalam sistem pemerintahan nasional. Eksistensi desa hampir-hampir tidak diakui, dipandang sebelah mata, dan bahkan sering dianggap sebagai sumber masalah. Sehingga dari perspektif regulasi maupun perilaku pemerintahan di tingkat atas (supradesa), cenderung dipinggirkan. Akibatnya, desa kurang diperhatikan dan tidak diberikan posisi yang kuat. Mencermati substansi isi dari UU No.6 tahun 2014 serta dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya (UU No. 32 tahun 2004) terlihat bahwa secara normatif desa semakin diberikan kesempatan untuk otonom. Kesempatan otonomi desa yang kian besar, termasuk dalam hal penguatan kapasitas kelembagaan, memberikan harapan baru akan terwujudnya kemandirian desa di masa depan. Harapan sekaligus tantangan dalam UU No.6 tahun 2014 tersebut memerlukan kerja keras dan komitmen dari para stakeholders, termasuk pemerintahan supra-desa, untuk mengimplementasikan dan mewujudkannya. Tanpa itu, harapan baru dari UU No. 6 Tahun 2014 tidak akan membawa makna berarti bagi kemandirian desa. Namun dalam buku ini belum begitu terlihat bagaimana posisi desa dalam menghadapi undang-undang desa yang baru dan peluang desa menuju kemandirian politik, sosial dan ekonomi, dimana penulis lebih mengedepankan perjalanan kebijakan desa sejak Negara Indonesia berdiri hingga sebelum implementasi UU No.6 Tahun 2014. Padahal buku ini terbit pada tahun 2016, dimana UU Desa yang baru disahkan pada tahun 2014. Seharusnya pembahasan mengenai UU Desa yang baru tersebut lebih komprehensif dibahas penulis dalam buku ini. Daftar Pustaka Ditjen PMD Depdagri. Naskah Akademik RUU tentang Desa. Jakarta; Kemendagri. 2007. Eko, Sutoro dan Abdul Rozaki. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta : IRE Press. 2005. Giddens, Anthony. Teori Strukturasi; Dasar-Dasar Pembentukan Struktural Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Norton, Alan. Internasional Handbook of Local and Regional Government. UK: Edward Elgar Publishing. 1997. Suharto, Didik. Membangun Kemandirian Desa. Jakarta : Pustaka Pelajar. 2016. Supriyono, Bambang. Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Kultural. Malang: Universitas Brawijaya. 2010. Membangun Kemandirian Desa ... | Yusuf Maulana | 267