respon publik terhadap model penganggaran partisipatif dalam

advertisement
RESPON PUBLIK TERHADAP MODEL PENGANGGARAN
PARTISIPATIF DALAM PEMBANGUNAN DESA: STUDI TIGA
PROVINSI DI INDONESIA
PUBLIC RESPONSES TOWARDS PARTICIPATORY BUDGETING
MODEL IN VILLAGE DEVELOPMENT: CASE STUDIES IN THREE
PROVINCES IN INDONESIA
Kadek Dwita Apriani
Universitas Udayana
Jl P.B. Sudirman Denpasar-Bali
Email: [email protected]
Irhamna
Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat
Email: [email protected]
Abstract
Participatory budgeting in this article refer to village development through village fund. One of the nine
development priorities by the Joko Widodo’s Government. However, at their second year after implemented, the
discourse of this program was merely related to techincal constraint such as the difference of villages number, the
recruitment of village assistants, or how the fund being processed. Therefore, this program was not getting any
significant responses from the public, which affected the level of public participation, even when empowerment and
participation became the main principles. This research aims to describe public responses towards village fund in
three provinces which represented three parts of Indonesia; Banten, Gorontalo, and West Papua. This research use
descriptive-quantitative method. There are 800 samples that being taken from each province, with 3% MoE. This
research finds that more than 50% of respondents did not have any information about the village fund, therefore the
numbers of society who actively engaged in the program is low. There only 53% of respondents who agreed that the
village fund was used correctly. Public’s knowledge and judgement in three provinces are related to their culture
which reflected from their intensity to be involved in public consultation or hearing. The higher their intensity to
be involed, the greater the respondents’ tendency to be aware of village fund, and resulting a positive value about
the pertinency of village fund.
Key Words: village fund, participatory budgeting, public responses
Abstrak
Model penganggaran partisipatif dalam pembangunan desa merujuk pada program Dana Desa. Dua tahun
berjalan, wacana tentang program ini lebih banyak berkaitan dengan hal teknis seperti perbedaan data jumlah desa;
rekrutmen pendamping desa; atau syarat pencairan dana desa. Oleh sebab itu program ini dinilai kurang mendapat
respon dari publik dalam arti luas sehingga berdampak pada partisipasi masyarakat dalam program yang dirancang
dengan azas partisipasi dan pemberdayaan ini. Tujuan dari penelitian ini, untuk menggambarkan dan memetakan
respon publik Indonesia mengenai program Dana Desa di wilayah Indonesia Barat yang diwakili oleh provinsi Banten; wilayah Indonesia Tengah yang diwakili Gorontalo; dan Indonesia Timur oleh Papua Barat. Berkaitan dengan
Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 137 tujuan penelitian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan tipe deskriptif. Sampel
yang diambil di masing-masing provinsi berjumlah 800, sehingga MoEnya di kisaran 3%. Temuan penelitian ini
memperlihatkan bahwa lebih dari 50% responden tidak mengetahui tentang program Dana Desa, sehingga jumlah
mereka yang berpartisipasi dalam program tersebut juga lebih rendah. Dari mereka yang mengetahui perihal program Dana Desa tersebut, hanya sekitar 53% yang menilai bahwa pemanfaatan Dana Desa di lingkungan tempat
tinggalnya tepat sasaran. Pengetahuan dan penilian masyarakat di tiga wilayah Indonesia tentang program dana
desa tersebut berkaitan dengan budaya masyarakatnya yang tercermin dalam indikator intensitas mengikuti rembug
warga untuk menyelesaikan persoalan di lingkungan tempat tinggalnya. Makin tinggi intensitas mereka mengikuti
rembug warga, maka makin besar kecenderungan responden untuk mengetahui perihal Dana Desa dan memberi
penilaian positif terkait ketepatan pemanfaatan Dana Desa di lingkungan sekitarnya.
Kata kunci: dana desa, anggaran partisipatif,
respon publik
Pendahuluan
Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah
menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi
sampai kepada tingkatan pemerintahan paling
bawah 1 . Dalam Nawa Cita, dikemukakan
sembilan agenda pembangunan prioritas, salah
satunya membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daearah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan2. Implementasi
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa, sebagai sebuah kebijakan desentralisasi,
memberikan otonomi yang lebih luas kepada
desa dalam merencanakan dan menjalankan
program-program pembangunan.
UU Desa mengamanatkan negara harus
menyediakan 10% dari total APBN untuk
dialokasikan sebagai dana desa, dan kemudian
juga ditambahkan alokasi dana desa sebesar
10% dari dana perimbangan yang diterima
oleh Kabupaten/Kota, setelah dikurangi dengan
dana alokasi khusus (DAK) 3. Penyediaan
ruang fiskal yang cukup besar ini diharapkan
dapat mengurangi ketimpangan pembangunan
antara pusat dan daerah. Jumlah dana desa
yang dialokasikan pada APBN TA 2015 adalah
Rp.20,7 triliun, dan naik menjadi Rp.46,9 triliun
dalam APBN TA 20164. Jumlah tersebut bahkan
melebihi jumlah anggaran belanja beberapa
K/L seperti: Kementerian Pertanian (Rp.31,5
triliun), Kementerian Keuangan (Rp.39,3
triliun), dan Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Rp.40,6 triliun)5. Dengan
alokasi tersebut, pada APBN TA 2015 jika
dibagi sebanyak 72.465 desa, rata-rata desa akan
menerima Rp.200-300 juta rupiah, sementara
pada APBN TA 2016 dengan peningkatan
alokasi anggaran, dan meningkatnya jumlah
desa menjadi 74.754 desa, masing-masing desa
rata-rata mendapatkan besaran Rp.500-800 juta.
Azas pelaksanaan UU Desa antara lain adalah
pemberdayaan dan partisipasi. Dengan demikian,
UU Desa membuka ruang seluas-luasnya
bagi partisipasi aktif masyarakat dan secara
kontinu melakukan pemberdayaan terhadap
masyarakat desa sehingga pembangunan desa
dapat berjalan. Azas ini juga menjadi dasar untuk
menjamin kepentingan seluruh masyarakat dapat
diakomodasi. Partisipasi juga dapat menjadi
sebuah mekanisme kontrol yang efektif. Kontrol
terhadap pemerintahan dapat diartikan sebagai
kemampuan atau kekuasaan untuk mengarahkan,
dan untuk menghasilkan sebuah pengawasan
yang baik, masyarakat harus terlibat dalam
prosesnya, mereka harus tahu apa yang terjadi
dibalik sebuah kebijakan6.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian
Keuangan, 2016.
4
Marco Bunte, “Indonesia’s Protracted Decentralization:
Contested Reforms and Their Unintended Consequences”
dalam Marco Bunte dan Andreas Ufen (ed), Democratization in
Post-Suharto Indonesia (New York: Routledge, 2009) hlm.114.
1
Kementerian PPN/Bappenas. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019: Buku I (Jakarta: Kementerian
PPN/Bappenas, 2015) hlm. 79.
2
3
Lihat Pasal 72 dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan,
Informasi APBN 2016: Mempercepat Pembangunan
Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang
Berkualitas (Jakarta: 2016), hlm.20.
5
Danny Burns, Robin Hambleton, dan Paul Hoggert, The
Politics of Decentralisation: Revitalising Local Democracy
(London: Macmillan, 1994), hlm. 153-156
6
138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 Salah satu model partisipasi masyarakat
dalam pembangunan yang kerap dirujuk sebagai
contoh adalah participatory budgeting 7 di
Porto Alegre, Brazil. Menurut Souza (2001)
proses redemokratisasi yang terjadi di Amerika
Latin pada dekade 1980 menciptakan peluang
partisipasi bagi masyarakat, hal tersebut kemudian
didukung oleh desentralisasi kekuasaan,
sehingga pemerintah daerah/lokal memiliki
kewenangan yang lebih besar dalam mengatur
dan mengalokasikan anggaran serta kebijakan
apa yang harus mereka bentuk. Menggunakan
konsep tangga partisipasi dari Arnstein (1971),
model yang berkembang di Porto Alegre sudah
mencapai tahapan citizen control. Proses
penganggaran dilakukan secara berjenjang, mulai
dari tingkat lingkungan, komite, komite khusus
hingga delegasi tingkat kota yang kemudian
memutuskan alokasi anggaran. Partisipasi ini pun
berjalan secara inklusif, seluruh warga terlibat
tanpa adanya diskriminasi, termasuk mereka
yang berpenghasilan rendah. Dalam penyusunan
anggaran, masyarakatlah yang menentukan
alokasi sumber daya, sektor mana yang akan
mereka bangun, dan seterusnya. Bank Dunia
pada tahun 2001 memilih model ini sebagai
salah satu proyek percontohan untuk melihat
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam
kerangka pembangunan yang inklusif. Ide dasar
dari penyusunan anggaran yang partisipatif
adalah mendorong terbentuknya pendalaman
demokrasi (deepening democracy). Selain
itu, pelibatan masyarakat secara penuh dalam
proses penyusunan anggaran dapat memperkecil
peluang terjadinya tindak pidana korupsi, karena
proses yang akuntabel dan transparan.
Kondisi objektif di Indonesia sampai saat
ini memperlihatkan pemerintah desa masih
disibukkan dengan masalah birokrasi yang
rumit, alur pertanggungjawaban yang panjang
terkait Dana Desa, sehingga membuat mereka
terkadang tidak bisa melangkah lebih jauh. Pada
saat yang bersamaan, mereka juga dituntut untuk
menyelesaikan laporan realisasi penggunaan
Dana Desa tahun anggaran sebelumnya untuk
bisa mencairkan Dana Desa pada tahun anggaran
berjalan. Pada titik inilah, terlihat bahwa dimensi
partisipasi masyarakat desa belum mendapat
perhatian yang memadai, karena perdebatan yang
terjadi masih pada tataran administratif.
Dengan berbagai persoalan yang disebutkan
di atas, Dana Desa dikhawatirkan hanya menjadi
wacana yang terhenti di tingkatan elit desa.
Pengetahuan warga tentang dana desa pun luput
dari kajian pihak terkait. Jika pengetahuan warga
tentang dana desa rendah, maka kita tak dapat
berharap banyak pada partisipasi warga dalam
merencanakan dan mengawasi pemanfaatan
dana desa. Oleh karenanya, penelitian mengenai
respon publik terhadap program Dana Desa
menjadi sangat penting.
Penelitian ini ingin memberi gambaran
mengenai respon publik di Indonesia terhadap
program Dana Desa yang telah dijalankan selama
kurang lebih 2 tahun di sekitar 74.000 desa di
seluruh Indonesia. Karenanya, dalam penelitian
ini dipilih tiga provinsi yang mewakili wilayah
Indonesia Barat, Tengah dan Timur untuk
memperlihatkan perbedaan respon publik di tiga
wilayah Indonesia mengenai Dana Desa.
Kerangka Konsep
Participatory Budgeting merupakan sebuah
program pembuatan kebijakan yang menekankan
pada partisipasi warga secara menyeluruh,
melalui tingkatan-tingakatan wilayah (spasial)
dan tematik untuk mengatur mengenai alokasi
sumber daya berdasarkan prioritas kebijakan,
serta memantau pengeluaran publik.8 Program
ini mengutamakan keikutsertaan seluruh lapisan
masyarakat dalam menentukan prioritas untuk
mengatur kebutuhan publik.9
Istilah Participatory Budgeting pertama
kali populer dari sebuah program peningkatan
kualitas hidup di kota Porto Alegre, Brazil.
Program ini dicetuskan oleh Partido dos
Trabahaldores (PT) pada tahun 1988, sebagai
hasil adaptasi nilai-nilai sosialis dalam realitas
lokal melalui aliansi-aliansi.10 Keberhasilan
Brian Wampler, “A Guide to Participatory Budgeting”, http://
www.internationalbudget.org/resources/library/GPB.pdf,
(diakses pada 18 November 2016), pukul 21.34 WIB
8
9
Celina Souza, “Participatory Budgeting in Brazilian Cities:
Limits and Possibilities in Building Democratic Institutions”
dalam Environment & Urbanization Vol 13 No. 1, April 2001
7
Ibid.
Iain Bruce, The Porto Alegre Alternative: Direct Democracy
in Action, (London: Pluto Press, 2004), hlm. 38-39
10
Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 139 program ini dalam meningkatkan taraf hidup
masyarakat Porto Alegre disebabkan oleh dua
faktor utama, yaitu: (1) kebudayaan komunitaskomunitas yang ada untuk menyuarakan aspirasi,
keinginan, maupun tuntutan secara bersama;
dan (2) gelombang migrasi besar-besaran yang
mengakibatkan terbentuknya kesadaran bersama
dalam menangani tantangan dan permasalahan
yang dihadapi akibat fenomena tersebut. 11
Narasi-narasi mengenai partisipasi dalam proses
penganggaran telah menjadi sebuah nilai baru
dalam perluasan demokasi dan menjadi kritik
terhadap bentuk-bentuk hirarki yang telah ada,
termasuk kritik terhadap demokrasi perwakilan
yang pada akhirnya hanya menjadi perebutan
kekuasaan partai politik12
Penganggaran partisipatif di Porto Alegre
dipandang sebagai sebuah model penerapan
demokrasi deliberatif. Pengalaman dari proses
tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan yang
berbeda dari kesimpulan sebelumnya mengenai
hubungan antara pengetahuan dan partisipasi.
Sebelumnya partisipasi publik dinilai sebagai
hasil dari pengetahuan warga yang mumpuni.
Dengan kata lain, kualitas partisipasi berbanding
lurus dengan tingkat pengetahuan masyarakat.
Pengalaman Porto Alegre justeru membuktikan
sebaliknya, dimana partisipasi warga dari
berbagai lapisan masyarakat dalam program
Participatory Budgeting di kota ini meningkatkan
pengetahuan politik, khususnya mengenai
anggaran publik dan demokrasi. 13 Gret dan
Sintomer (2005) menyebutnya sebagai sekolah
demokrasi bagi warga.
Demokrasi yang dirujuk dalam hal ini
adalah demokrasi komunitarian (demokrasi
deliberatif). Demokrasi model ini menekankan
unit analisa pada masyarakat lokal dan nilai
kebersamaan secara kolektif. Pada bentuk
umumnya diwujudkan dalam forum warga
dengan musyawarah.14 Nilai utama yang diusung
11
Ibid, hlm. 39-40.
Anja Rocke, Framing Citizen Participation: Participatory
Budgeting in France, Germany, and the United Kingdom
(London: Palgrave Macmillan, 2014), hlm. 31
12
Marion Gret dan Yves Sintomer, The Porto Alegre Experiment:
Learning Leassons for Better Democracy, (London: Zed Books,
2005), hlm. 132
13
14
Sutoro Eko, “Komunitarianisme Demokrasi Lokal”, http://
demokrasi deliberatif adalah proses pengambilan
keputusan yang menggunakan musyawarah,
dan dialog antara berbagai pihak warga dengan
tujuan mencapai konsensus, atau musyawarah
mufakat.15
Demokrasi deliberatif tidak membuka
ruang yang lebar bagi kompetisi politik,
melainkan menekankan pada nilai toleransi,
saling menghormati, upaya argumentasi, dan
lainnya. Kelebihan demokrasi deliberatif
terletak pada terbukanya peluang bagi partisipasi
masyarakat yang lebih luas, sehingga dapat
menghindari munculnya dominasi kelompok
elit, serta tarik menarik kekuasaan.16 Demokrasi
deliberatif berupaya meningkatkan komunikasi
publik sebagai bentuk pembangunan kesadaran
warga dalam berpolitik dan proses penyusunan
kebijakan. Alat dari demokrasi deliberatif
adalah forum, dialog, dan perkumpulan yang
mengutamakan musyawarah.
Studi dari Sherry Arnstein17 (1969) menjadi
salah satu studi klasik dari partisipasi masyarakat.
Ia menjelaskan mengenai tipologi partisipasi
yang kemudian dikenal dengan istilah “tangga
partisipasi masyarakat” atau “The Ladder of
Citizen Participation”. Konsep ini menjelaskan
bagaimana sumber daya mengalami redistribusi
yang kemudian memungkinkan kelompok
yang selama ini tidak memiliki kekuasaan
atas sumber daya (the have-not citizens) untuk
dapat ikut menentukan bagaimana sebuah
kebijakan dibentuk, diimplementasikan, dan
diawasi18. Dalam studinya, Arnstein (1969)
membagi partisipasi masyarkat dalam delapan
tingkatan: Manipulation; Therapy, dua tingkatan
pertama ini dikelompokan kembali dalam derajat
non-partisipasi; Information; Consultation;
Placation, tiga tingkatan ini disebut dengan
degrees of tokenism; Partnership; Delegated
www.ireyogya.org/ire.php?about=komunitarian.htm,
(diakses pada 19 November 2016), pukul 09.38 WIB, hlm. 2
Dan Satriana dan Rianingsih Djohani, Memfasilitasi
Konsultasi Publik. (Bandung: Forum Pengembangan Partisipasi
Masyarakat, 2007), hlm. 4
15
16
Ibid
17
Ibid., hml. 158
Lebih lanjut dalam Sherry R. Arnstein “A Ladder of Citizen
Participation” Journal of the American Institute of Planners
(JAIP) Vo.35 No.4 Juli, 1969, hlm. 216-224.
18
140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 Power; dan Citizen Control, tiga tingkatan
terakhir merupakan derajat tertinggi yang disebut
dengan citizen power.
P a r t i s i p a s i w a rg a d a l a m p r o g r a m
Participatory Budgeting di Porto Alegre dinilai
sudah mencapai tangga partisipasi tertinggi,
yakni Citizen Control. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah bagaimana dengan program
sejenis yang ada di Indonesia? Program tersebut
adalah Dana Desa. Program Dana Desa ini
yang akan dibedah dengan konsep Anggaran
Partisipatif; Demokrasi Delibertaif; dan Tangga
Partisipasi Masyarakat dalam bagian pembahasan.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
berjenis deskriptif karena tujuan penelitian ini
adalah untuk memberi gambaran tentang respon
publik di Indonesia terhadap model penganggaran
partisipatif dalam pembangunan desa, bukan
mencari hubungan sebab akibat antar variabel.
Pengumpulan data utama dilakukan dengan
wawancara terstruktur terhadap responden
dengan menggunakan kuesioner. Jumlah total
responden dalam penelitian ini sebanyak 2.400
orang yang terbagi ke tiga provinsi, sehingga
jumlah sampel per provinsi adalah 800. Tingkat
kepercayaan dalam riset ini adalah 95% dan
Margin of Error (MoE) 3% di masing-masing
provinsi.19 Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode multistage random sampling, dengan
memperhatikan proporsi penduduk di masingmasing kabupaten yang ada di ketiga provinsi
yang menjadi lokus penelitian. Pengambilan data
lapangan di Banten; Gorontalo; dan Papua Barat
tidak dilaksanakan secara bersamaan. Adapun
jadwal penelitian di tiga provinsi tersebut adalah
sebagai berikut.
Tabel 1.1 Waktu Pengumpulan Data
No
1
2
3
Provinsi
Gorontalo
Papua Barat
Banten
Waktu Pengumpulan Data
2 – 21 Juni 2016
23 Juni – 15 Juli 2016
1-20 Agustus 2016
David de Vaus, Research Design in Social Research (London:
SAGE Publication, 2006), hlm. 81
19
Dipilihnya tiga provinsi tersebut dan waktu
penelitian yang tidak bersamaan berdasarkan
alasan metodologis, dimana masing-masing
provinsi mewakili wilayah Indonesia. Banten
dipandang sebagai potret Indonesia bagian Barat;
Gorontalo mewakili wilayah Indonesia Tengah;
dan Papua Barat merupakan representasi wilayah
Indonesia Timur. Di masing-masing provinsi
diambil 800 sampel dengan memperhatikan
proporsi jumlah penduduk per kabupaten/kota.
Selanjutnya jumlah sampel di tiap kabupaten
berbeda sesuai dengan jumlah penduduk di
kabupaten tersebut. Di masing-masing kabupaten
diambil beberapa desa secara acak sesuai
proporsi kabupaten. Di masing-masing desa
diambil 5 RT/kampung dengan acak sederhana.
Kemudian di masing-masing RT/kampung
diambil 2 KK dengan acak sederhana, lalu di
tiap KK diambil 1 responden dengan sistem Kish
Grid. Proporsi gender dalam penelitian ini juga
dijaga agar 50:50 dengan mekanisme nomor
kuesioner ganjil untuk laki-laki dan genap untuk
responden perempuan. Tahapan-tahapan dalam
Multistage Random Samplingyang dilakukan
terhadap populasi penduduk di masing-masing
provinsi digambarkan dalam skema di bawah ini:
Gambar 1. Tahapan Pengambilan Sampel
Demografi Responden
Sebelum memaparkan data mengenai respon
publik di Indonesia terhadap model penganggaran
partisipatif, penting untuk menjelaskan
karakteristik responden dalam penelitian ini,
seperti kategori desa/kota; usia; penghasilan; dan
tingkat pendidikan. Terdapat variasi karakteristik
responden dari tiga provinsi yang merupakan
Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 141 lokus pada penelitian ini. Berikut adalah data
demografik responden di tiga provinsi.
Gambar 4: Komposisi Desa-Kota di MasingMasing Provinsi
*Catatan: angka dalam persen
Gambar 2: Komposisi Usia Responden di MasingMasing Provinsi
*Catatan: angka dalam persen
Tabel 2: Komposisi Tingkat Pendidikan Responden
di Masing-Masing Provinsi
PENDIDIKAN
TIDAK SEKOLAH
BANTEN GORONTALO PAPUA BARAT
2.4
9.63
8.4
TIDAK TAMAT SD
5.3
1.13
4.5
TAMAT SD/SEDERAJAT
35.9
47.63
22.6
22.6
TAMAT SLTP/SEDERAJAT
19.3
17.13
TAMAT SLTA/SEDERAJAT
26.8
17.25
25
TAMAT SMK
4.2
2.63
7.9
AKADEMI (DI/DIII)
1.7
0.75
3.8
SARJANA (S1)
4.4
3.88
5.3
*Catatan: angka dalam persen
Berdasarkan data demografi responden yang
ditampilkan di atas, diketahui bahwa responden
dalam penelitian yang tersebar di tiga wilayah
Indonesia ini sangat beragam. Di antara tiga
provinsi baru (hasil pemekaran) yang menjadi
lokus penelitian ini, Gorontalo merupakan
provinsi dengan jumlah penduduk yang tinggal
di wilayah berciri pedesaan paling banyak. Lebih
dari 80% responden di Gorontalo tinggal di desa.
Sementara Banten merupakan wilayah dengan
penduduk yang tinggal di perkotaan paling
banyak jika dibandingkan persentasenya dengan
dua provinsi lainnya. Persentase penduduk
dengan penghasilan tinggi juga paling banyak
ditemukan di Provinsi Banten.
Respon Publik terhadap Program
Dana Desa
Gambar 3: Komposisi Penghasilan Per Bulan
Responden di Masing-Masing Provinsi
Data berikut adalah data agregat dari tiga
provinsi yang menjadi lokus penelitian (Papua
Barat, Gorontalo dan Banten). Dua hal yang
dilihat untuk mengukur respon publik adalah
pengetahuan mengenai Dana Desa dan penilaian
tentang ketepatan penggunaan dana desa (dari
mereka yang tahu tentang Dana Desa. Data
tersebut disajikan dalam dua gambar di bawah
ini.
*Catatan: angka dalam persen
142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 mereka dan mencapai tangga partisipasi
masyarakat tertinggi atau tahapan citizen control
seperti di Porto Alegre.
Gambar 5: Pengetahuan Masyarakat Tentang
Program Dana Desa
*Catatan: angka dalam persen
Data di atas memperlihatkan bahwa program
Dana Desa yang telah bergulir selama dua
tahun ini belum diketahui oleh sebagian besar
masyarakat. Lebih dari 50% masyarakat di
Indonesia Barat, Tengah, dan Timur tidak
mengetahui mengenai program tersebut. Hal ini
mengindikasikan respon publik terhadap program
tersebut belum optimal. Pengetahuan masyarakat
mengenai Dana Desa dipandang memiliki
kaitan erat dengan partisipasi publik dalam
program tersebut. Informasi atau pengetahuan
tentang sebuah program dalam teori tangga
partisipasi masyarakat yang dikemukakan
Arnstein (1969) menempati posisi penting,
namun tidak secara otomatis dapat memberikan
ruang dan akses terhadap keputusan yang
akan diambil. Masyarakat yang memiliki
informasi atau pengetahuan masih berada dalam
derajat tokenisme, belum sampai pada tahapan
partisipatif.
Informasi terkait dana desa menjadi salah
satu bahan evaluasi, ketika dalam penelitian
ini ditemukan sebesar 58,7% masyarakat di
tiga provinsi (secara agregat) belum memiliki
pengetahuan dan informasi yang memadai
mengenai dana desa, berarti ada pola sosialisasi
yang harus dievaluasi. Kementerian teknis
yang berkaitan langsung dengan dana desa
seperti Kementerian Desa dan Pembangunan
Daerah Tertinggal, Kementerian Keuangan, dan
Kementerian Dalam Negeri, harus menemukan
strategi sosialisasi yang lebih efektif. Sehingga,
masyarakat desa memiliki akses informasi dan
pengetahuan yang memadai. Tanpa adanya
informasi yang memadai, agaknya sulit bagi
masyarakat desa untuk meningkatkan peran
Temuan berikutnya, dari yang mengaku tahu
atau pernah mendengar mengenai program Dana
Desa (41,1%) tersebut ditanyakan pertanyaan
lanjutan tentang penilaian mereka mengenai
pemanfaatan Dana Desa di lingkungan tempat
tinggal mereka. Jumlah responden yang
menyatakan kurang tepat dan tidak tepat dari
mereka yang mengaku tahu, sebanyak 42.2%.
Sementara yang menyatakan bahwa program
tersebut sangat tepat dan tepat sasaran sekitar
53%. Data mengenai hal tersebut dapat dilihat
dalam gambar di bawah ini.
Gambar 6: Penilaian Masyarakat (yang mengaku
tahu tentang dana desa) mengenai Ketepatan
Pemanfaatan Dana Desa
*Angka dalam persen
Dari dua data frekuensi agregat di atas,
diketahui bahwa respon publik Indonesia tentang
Dana Desa belum optimal. Kemudian dilihat peta
dari respon publik tersebut dan ingin diketahui
faktor apa yang mungkin berkaitan dengan respon
terhadap program Dana Desa tersebut. Faktorfaktor demografi yang dikemukan di bagian
terdahulu seharusnya berkaitan dengan respon
masyarakat mengenai isu-isu pembangunan.
Status Sosial Ekonomi (SSE) masyarakat
Indonesia umumnya dikaitkan dengan faktor
wilayah. Sering kali diasumsikan, makin ke Barat
maka SSE masyarakat semakin baik, sehingga
akses informasinya juga semakin baik. Atas dasar
itu, asumsi awal bahwa pengetahuan dan respon
masyarakat tentang pembangunan semakin ke
Barat akan semakin baik, dan sebaliknya.
Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 143 Hanya saja, berdasarkan pemetaan data yang
diperoleh dari hasil survei tiga provinsi mengenai
dana desa, asumsi di atas tidak terbukti. Temuan
lapangan dalam survei ini justeru memperlihatkan
bahwa informasi mengenai pembangunan,
khususnya program Dana Desa paling banyak
diketahui di wilayah Tengah Indonesia. Dari tiga
provinsi yang disurvei, pengetahuan masyarakat
tentang Dana Desa paling rendah di Banten
(Indonesia Barat).
Karena temuan di atas, maka perlu didalami
mengenai kemungkinan faktor lain yang
berhubungan dengan pengetahuan masyarakat
mengenai model penganggaran partisipatif ini.
Data lapangan berikutnya memperlihatkan adanya
kaitan pengetahuan responden mengenai Dana
Desa dengan intensitas partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan berbasis
spasial, seperti keikutsertaan dalam rapat-rapat
desa/kampung/RT. Hal tersebut dapat dilihat
dalam tabel hasil tabulasi silang antara variabel
intensitas mengikuti rapat RT/kampung/desa
dengan variabel pengetahuan program Dana
Desa dibawah ini.
Tabel 3: Tabulasi silang antara variabel intensitas
mengikuti rapat RT/kampung/desa dengan variabel
pengetahuan program Dana Desa di 3 Provinsi
Intensitas mengikuti rapat
Desa/Kampung/RT
Gambar 7: Pengetahuan Masyarakat Tentang
Program Dana Desa per Provinsi
*Catatan: angka dalam persen
Data di atas memperlihatkan bahwa 53.6%
masyarakat Papua Barat mengetahui adanya
program Dana Desa. Di Gorontalo, sebanyak
55.1% masyarakat mengetahui tentang Dana
Desa, sedangkan di di Banten angka responden
yang mengaku mengetahui tentang program
tersebut hanya sebanyak 28.1%. Respon publik
terhadap program Dana Desa ternyata tidak
sepenuhnya bergantung pada SSE dan akses
media. Di provinsi yang memiliki penduduk
perkotaan lebih banyak, masyarakatnya
cenderung lebih sedikit yang mengetahui tentang
Dana Desa. Bila diasumsikan bahwa program
Dana Desa yang berjalan 2 tahun ini telah
diketahui oleh publik melalui berbagai media,
maka seharusnya makin ke Barat, pengetahuan
masyarakat semakin baik, namun temuan
lapangan mencerminkan hal sebaliknya. Program
Dana Desa paling sedikit diketahui di Indonesia
bagian Barat yang memiliki infrastruktur; akses
informasi; dan penduduk perkotaan dalam
persentase yang tinggi.
Sering
Jarang
Tidak pernah
Tidak menjawab
Pengetahuan tentang
Dana Desa
Tahu
Tidak tahu
50.1 %
49.8 %
36.6 %
63.2 %
30.1 %
69.3 %
32.4 %
67.6 %
Tabel di atas memperlihatkan bahwa
intensitas partisipasi dalam pengambilan
keputusan berbasis spasial berhubungan dengan
pengetahuan responden mengenai Dana Desa.
Semakin tinggi intensitas partisipasi maka makin
besar kecenderungan warga untuk mengetahui
mengenai program Dana Desa. Hal ini dapat
dianalisis dengan salah satu kesimpulan dari
pengalaman Participatory Budgeting yang
telah berjalan lebih dari 2 dekade di Porto
Alegre, bahwa sangat sulit dan lama jika
mengharapkan partisipasi yang dihasilkan
dari kecukupan pengetahuan warga mengenai
program anggaran partisipatif. Pengalaman
Porto Aalegre memperlihatkan bahwa partisipasi
dalam forum-forum warga yang menyebabkan
peningkatan pengetahuan warga mengenai
program Participatory Budgeting itu. Hal
yang sama terjadi di Indonesia pada program
Dana Desa yang merupakan wujud dari model
penganggaran partisipatif. Pengetahuan warga
mengenai program ini didapat melalui partisipasi
mereka dalam forum-forum warga berbasis
spasial. Dengan begitu didapat penjelasan
mengapa respon publik tentang Dana Desa
144 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 lebih baik di Gorontalo dan Papua Barat
dibandingkan provinsi Banten. Ternyata basis
pengetahuan tentang Dana Desa bukanlah akses
informasi melalui media-media, melainkan
pengetahuan tersebut berpangkal pada partisipasi.
Di wilayah yang persentase masyarakatnya lebih
banyak tinggal di wilayah pedesaan ditemukan
kecenderungan lebih sering menghadiri forum
atau musyawarah warga. Hal ini berkaitan
dengan ketersediaan waktu dan budaya hidup
bersama yang masih terpelihara. Kehadiran atau
partisipasi dalam forum tersebut menyebabkan
mereka terlibat dalam pembahasan mengenai
Dana Desa. Dari sana pengetahuan mengenai
Dana Desa tersebut diperoleh.
Data mengenai intensitas partisipasi warga
dalam forum berbasis spasial di tiga wilayah
penelitian diperlihatkan dalam grafik di bawah
ini.
Gambar 8: Intensitas Keikutsertaan dalam
Pertemuan/Musyawarah Desa/Kampung/RT di
masing-masing Provinsi
*Catatan: angka dalam persen
Diagram batang di atas menunjukkan
bahwa masyarakat di Indonesia Timur dan
Tengah cenderung lebih meluangkan waktunya
untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan berbasis spasial. Kepedulian
masyarakat di Indonesia Bagian Barat, dalam
hal ini Banten, pada masalah-masalah di
lingkungannya lebih rendah dibandingkan dua
provinsi lain yang menjadi lokus dalam penelitian
ini. Indikasi ini dilihat dari semakin ke Barat,
jumlah responden yang menyatakan tidak pernah
mengikuti musyawarah atau proses pengambilan
keputusan di wilayah tempat tinggalnya semakin
besar.
Dalam Tangga Partisipasi Masyarakat yang
dikemukakan Arnstein, keterlibatan masyarakat
dalam musyawarah desa atau rapat desa,
merupakan indikator dari proses yang disebut
consultation. Consultation menurut Arnstein
merupakan tingkatan partisipasi yang berada satu
derajat di atas informasi, namun masih belum
menggambarkan secara penuh kontrol masyarakat
dalam proses perumusan sebuah kebijakan.
Dalam tingkatan konsultasi ini masyarakat
desa memiliki akses untuk menyampaikan
aspirasi mereka melalui sejumlah rapat desa
atau musyawarah desa. Dalam tahapan ini juga
proses penganggaran partisipatif dapat dimulai.
UU 6/2014 tentang Desa yang memberikan
kewenangan luas kepada pemerintah desa melalui
dana desa, mengikuti pola yang terjadi di Brazil
pada akhir dekade 1980, ketika Konstitusi Brazil
1988 secara signifikan memberikan perluasan
kewenangan kepada pemerintah kota, dalam
hal alokasi sumber daya. Pemerintah Kota/
Kabupaten (Municipal Government) berwenang
untuk menyediakan fasilitas kesehatan publik,
pendidikan dasar, dan infrastruktur.20
Dalam UU Desa tahapan konsultasi ini
dapat terlihat dalam proses musyawarah desa,
dan musyawarah rencana pembangunan desa
(Musrenbangdes). Masyarakat dapat secara
aktif memberikan aspirasi mereka untuk rencana
kebijakan yang akan diambil, serta usulan-usulan
untuk pembangunan proyek infrastruktur yang
sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dari pengetahuan mengenai program Dana
Desa, indikator berikutnya adalah penilaian
mengenai ketepatan penggunaan dana desa
di desa tempat tinggalnya.Temuan survei
memperlihatkan data sebagai berikut.
Lebih lanjut dalam Brian Wampler, Participatory Budgeting
in Brazil: Contestation, Cooperation, and Accountability
(Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 2007),
hlm. 46.
20
Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 145 belum mengetahui mengenai program dengan
anggaran yang cukup besar ini. Dari mereka
yang menyatakan mengetahui tentang dana desa,
hampir setengahnya menyatakan pemanfaatan
dana tersebut di lingkungan tempat tinggalnya
belum tepat sasaran. Hal ini semakin memperkuat
indikasi bahwa proses penanggaran partisipatif
dalam program dana desa belum optimal.
Gambar 9: Penilaian Ketepatan Penggunaan Dana
Desa di Desa Responden (Dari yang Tahu Program
Dana Desa)
*Catatan: angka dalam persen
Penggunaan Dana Desa paling banyak
dinilai sudah tepat sasaran di provinsi Gorontalo.
Di wilayah Indonesia Barat yang diwakili oleh
Banten, responden cenderung menganggap
penggunaan Dana Desa di desa tempat tinggalnya
tidak/belum tepat. Ditemukan kecenderungan
yang juga memperlihatkan pentingnya faktor
intensitas mengikuti rapat/musyawarah
pengambilan keputusan berbasis spasial dalam
mempengaruhi penilaian masyarakat tentang
ketepatan pemanfaatan Dana Desa. Data
mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam hasil
tabulasi silang di bawah ini.
Tabel 4: Tabulasi Silang Antara Intensitas Partisipasi
dan Penilaian Ketepatan Pemanfaatan Dana Desa
Intensitas
mengikuti rapat
Desa/Kampung/RT
Sering
Jarang
Tidak pernah
Tidak menjawab
Sangat
tepat
11.9 %
7.8 %
8.3 %
13.9 %
Ketepatan Penggunaan Dana Desa
Tepat Kurang Tidak
Tidak
tepat
tepat menjawab
49.1 % 30.6 % 5.3 %
3.1 %
40.6 % 40.6 % 5.9 %
5.0 %
27.5 % 44.2 % 14.2 %
5.8 %
31.9 % 36.1 % 8.3 %
9.7 %
Data di atas menunjukkan bahwa semakin
rendah intensitas seseorang mengikuti pertemuan
warga di wilayah tempat tinggalnya, maka
semakin besar kecenderungan untuk menilai
bahwa pemanfaatan dana desa tidak tepat.
Berdasarkan beberapa temuan di atas, maka
diketahui bahwa program Dana Desa yang telah
berjalan selama dua tahun terakhir ternyata
belum menuai respon publik yang optimal.
Lebih dari setengah masyarakat mengaku masih
Respon publik yang dalam penelitian ini
diukur melalui dua indikator yaitu pengetahuan
masyarakat mengenai dana desa dan penilaian
ketepatan penggunaan dana desa di lingkungan
tempat tinggal mereka bukan ditentukan
oleh infrastruktur dan akses informasi yang
baik, melainkan berkaitan dengan intensitas
keterlibatan mereka dalam proses-proses
pengambilan keputusan berbasis wilayah tempat
tinggal. Makin sering seseorang berpartisipasi
dalam musyawarah-musyawarah di tingkat
kampung/RT, makin besar tendensi yang
bersangkutan untuk memiliki pengetahuan
tentang dana desa dan memberikan penilaian
positif atas pemanfaatan dana desa tersebut.
Dengan kata lain, budaya komunitas dalam
masyarakat sangat mempengaruhi respon
masyarakat terhadap program pembangunan
desa ini.
Pada bagian kerangka konsep telah
disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan Partisipatory Budgeting di Porto
Alegre, Brazil adalah adanya kemauan untuk
menyelesaikan masalah bersama, dan budaya
komunitas yang menyuarakan aspirasi secara
bersama-sama. Di Indonesia, faktor budaya
komunitas pada masyarakat juga sangat
mempengaruhi respon publik pada program dana
desa yang sebenarnya menekankan semangat
partisipasi dan pemberdayaan seperti halnya
Participatory Budgeting di Brazil. Pengetahuan
dan penilaian positif masyarakat tentang program
pemerintah pusat bernama Dana Desa ini ternyata
tidak bergantung pada kecepatan akses informasi
dan terpaan media, melainkan pada intensitas
warga yang bersangkutan dalam mengikuti
rembug warga yang mengindikasikan tingkat
kepedulian dan kemauan satu entitas untuk
menyelesaikan masalah bersama.
Fenomena di atas dapat dijelaskan dengan
kerangka konsep tentang partisipasi publik
146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 dan pengetahuan yang telah dipaparkan di
bagian terdahulu. Dalam model penganggaran
partisipatif ditemukan sebuah kecenderungan
bahwa pengetahuan tidak menjamin partisipasi,
namun partisipasi dapat menstimulasi
peningkatan pengetahuan tentang program secara
signifikan. Itulah yang menjadi penjelasan bagi
temuan penelitian yang menyebutkan adanya
kecenderungan hubungan antara intensitas
mengikuti temu warga dengan pengetahuan
tentang Dana Desa. Makin sering responden
mengikuti temu warga berbasis spasial (rapat RT/
kampung), maka makin tinggi kecenderungan
responden mengetahui tentang Dana Desa.
Merujuk pada temuan penelitian dari pengalaman
Participatory Budgeting di Porto Alegre bahwa
partisipasi meningkatkan pengetahuan, maka
dapat dikatakan bahwa hal tersebut juga terjadi
di Indonesia.
Lebih jauh, hal ini dapat menjadi penjelasan
bagi fenomena pengetahuan dana desa berbasis
wilayah (Indonesia Barat, Tengah, dan Timur),
dimana makin ke barat maka pengetahuan
tentang dana desa yang merupakan wujud dari
model penganggaran partisipatif di Indonesia
semakin rendah, padahal umumnya pengetahuan
warga di Indonesia tentang sesuatu akan semakin
baik dari Timur ke Barat, karena berkaitan
dengan akses informasi dan infrastruktur yang
cenderung lebih baik di Indonesia bagian Barat.
Hal ini tidak berlaku bagi model penganggaran
partisipatif yang diwujudkan dalam Dana Desa.
Pengetahuan tentang Dana Desa yang lebih baik
di bagian Timur Indonesia bukan dipengaruhi
oleh infrastruktur dan akses informasi, melainkan
dengan budaya partisipasi masyarakatnya dalam
forum yang bertujuan untuk menyelesaikan
masalah bersama pada lingkup kecil.
Rendahnya respon publik terutama mengenai
pengetahuan masyarakat juga mengindikasikan
bahwa proses sosialisasi yang dilakukan
kementerian teknis terkait belum menemui
sasaran. Pola sosialisasi yang dilakukan tidak
akan efektif jika hanya menggunakan media
massa, karena terkait dengan komposisi desakota dan kecenderungan terbatasnya akses
informasi pada masyarakat yang bercirikan desa.
Peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai
penganggaran partisipatif sebaiknya dilakukan
dengan mendorong keterlibatan warga secara
langsung dalam proses penganggaran.
Pelibatan masyarakat secara menyeluruh dan
inklusif dapat menjadi faktor yang mempercepat
proses penganggaran partisipatif. Masyarakat
Indonesia melalui penlitian tentang respon
terhadap model penganggaran partisipatif dalam
pembangunan desa ini diketahui masih berada
dalam tingkatan non patisipasi, tokenisme dan
konsultasi pada konsep Tangga Partisipasi
Masyarakat Arnstein. Partisipasi masyarakat
kita belum sampai pada Citizen Control yang
merupakan derajat tertinggi dari Tingkatan
Partisipasi Masyarakat seperti yang terlihat di
Porto Alegre melalui program Participatory
Budgeting.
Sebenarnya UU Desa telah membuka
peluang bagi masyarakat untuk meningatkan
partisipasinya dari tiga tingkatan terbawah
dalam Tangga Partisipasi menuju tingkatan
delegated power dan citizen control. Semakin
besarnya anggaran desa yang diberikan oleh
pemerintah kepada desa-desa di Indonesia,
semakin menuntut adanya transparansi dan
akuntabilitas dalam pelaksanaanya.
Semangat dalam melaksanakan
pembangunan yang partisipatif sangat bergantung
kepada model demokrasi deliberatif yang terjadi
dalam masyarakat desa. Pemilihan program
unggulan desa atau prioritas pembangunan desa
harus menjadi usulan bersama yang kemudian
dapat diimplementasikan dengan menggunakan
dana desa. Ketidaktahuan publik tentang dana
desa dapat menjadi potensi penyalahgunaan dana
desa oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Karena merasa tidak diawasi dan memanfaatkan
ketidaktahuan masyarakat desa tersebut. Proses
deliberatif dalam pengambilan keputusan melalui
rapat-rapat desa menjadi kunci dalam pelibatan
masyarakat yang lebih luas.
Penutup
Partisipasi masyarakat Indonesia dalam
proses penganggaran partisipatif yang dilihat
melalui program Dana Desa di tiga provinsi
ini menunjukkan derajat partisipasi yang
masih rendah baik, yakni pada tingkatan non
partisipasi, tokenisme, dan konsultasi. Padahal
Respon Publik terhadap Model Penganggaran ... | Kadek Dwita Apriani dan Irhamna | 147 model penganggaran partisipatif membutuhkan
tingkatan partisipasi yang lebih tinggi, yakni
pada tataran delegated power dan citizen control.
Kebutuhan tersebut semakin mendesak karena
besaran dana desa semakin meningkat tiap
tahunnya dan membutuhkan transparansi serta
akuntabilitas dalam pengelolaannya.
Publik terlihat tidak terlalu antusias dengan
program yang menelan anggaran besar ini,
terbukti dari respon mereka yang diukur melalui
pengetahuan dan sikap terhadap program ini yang
cenderung rendah. Peningkatan pengetahuan
tentang Dana Desa memang sangat diperlukan,
namun proses tersebut membutuhkan waktu
yang sangat panjang dan program ini telah
berjalan. Peningkatan pengetahuan tersebut
sama pentingnya dengan peningkatan derajat
partisipasi dari tokenisme ke citizen control.
Cara untuk mencapai peningkatan keduanya
adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat
dalam forum-forum warga berbasis spasial
yang bertujuan menyelesaikan permasalahan
bersama. Partisipasi dalam forum berbasis
spasial seperti rapat RT atau temu warga
kampung akan meningkatkan pengetahuan
warga tentang permasalahan sekitarnya
termasuk masalah pembangunan dan Dana
Desa, serta menjadi wahana bagi warga untuk
meningkatkan kemampuan argumentasinya
dalam memperjuangkan kepentingan dalam
forum. Hal ini sangat besar artinya bagi
peningkatan derajat partisipasi masyarakat dari
sekadar tokenisme menuju citizen control.
Referensi
Buku
Bruce, Iain. The Porto Alegre Alternative: Direct Democracy in Action. London: Pluto Press. 2004.
Bunte, Marco. “Indonesia’s Protracted Decentralization: Contested Reforms and Their Unintended
Consequences” dalam Marco Bunte dan Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Suharto Indonesia. New York: Routledge. 2009.
Burns, Danny, Robin Hambleton, dan Paul Hoggert
The Politics of Decentralisation: Revitalising
Local Democracy. London: Macmillan. 1994.
De Vaus, David. Research Design in Social Research.
London: SAGE Publication. 2006.
Direktorat Jenderal Anggaran. Kementerian Keuangan, Informasi APBN 2016: Mempercepat
Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat
Pondasi Pembangunan yang Berkualitas. Jakarta: Kementerian Keuangan. 2016.
Gret, Marion dan Yves Sintomer. The Porto Alegre
Experiment: Learning Leassons for Better Democracy. London: Zed Books. 2005
Kementerian PPN/Bappenas. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019: Buku
I. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas. 2015.
Rocke, Anja. Framing Citizen Participation: Participatory Budgeting in France, Germany and
the United Kingdom. London: Palgrave Macmillan. 2014.
Satriana, Dan dan Rianingsih Djohani. Memfasilitasi
Konsultasi Publik. Bandung: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat. 2007
Wampler, Brian. Participatory Budgeting in Brazil:
Contestation, Cooperation, and Accountability. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press. 2007
Jurnal
Souza, Celina, “Participatory Budgeting in Brazilian Cities: Limits and Possibilities in Building
Democratic Institutions” dalam Environment &
Urbanization Vol 13 No. 1, April 2001
Arnstein, Sherry R, “A Ladder of Participation” dalam
JAIP Vol. 35 No.4 July 1969
Sumber Elektronik
Eko, Sutoro “Komunitarianisme Demokrasi Lokal”,
diakses dari http://www.ireyogya.org/ire.
php?about=komunitarian.htm, pada tanggal 19
November 2016 pukul 09.38 WIB
Wampler, Brian “A Guide to Participatory Budgeting”,
diakses dari http://www.internationalbudget.
org/reso urces/library/GPB.pdf, pada tanggal
18 November 2016, pukul 21.34 WIB
148 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 137–148 KONTEKS SOSIAL EKONOMI
KEMUNCULAN PEREMPUAN KEPALA DAERAH 1
SOCIO ECONOMIC CONTEXT OF INDONESIAN WOMEN PATH
TO LOCAL POLITICS
Kurniawati Hastuti Dewi
Pusat Penelitian Politik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
Email: [email protected]
Ahmad Helmy Fuady
Pusat Penelitian Sumber Daya Regional,
Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta
Email: [email protected]
Abstract
This paper aims to see possible pattern of socio-economic conditions that may contribute in facilitating the
rise and victory of female leaders, particularly in the December 2015 local direct elections. This paper reveals
that, human development index, poverty rate, and gini ratio of a region did not strongly correlate with the number
of female leader candidates, nor with the number of the elected female leaders. This paper also shows that the
number of candidate and elected female leaders is concentrated in areas which have large number of universities
and high proportion of internet access, such as Java. This paper highlighted two important points: first, female
leader candidates can emerge and be elected from various socio-economic conditions of region; second, flows of
ideas and information through universities and internet access are important keys to the rise and victory of female
leaders in local politics.
Keywords: socio-economic condition, university, internet, female local leader.
Abstrak
Tulisan ini bertujuan melihat kemungkinan kondisi sosial ekonomi memfasilitasi kemunculan dan kemenangan
para perempuan kepala daerah, khususnya pada Pilkada langsung Desember 2015. Tulisan ini menunjukkan bahwa
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan, tidak memiliki korelasi
kuat dengan jumlah perempuan kandidat kepala daerah, maupun jumlah perempuan yang terpilih. Tulisan ini
menemukan bahwa jumlah perempuan kandidat kepala daerah maupun jumlah perempuan terpilih terkonsentrasi
di daerah yang memiliki jumlah universitas yang banyak dan rata-rata tingkat akses internet yang tinggi seperti
di Jawa. Oleh karena itu, tulisan ini menggarisbawahi dua hal: pertama, perempuan kepala daerah dapat muncul
dalam kondisi sosial ekonomi apapun; kedua, persebaran berbagai gagasan baru dan informasi melalui universitas
dan media internet menjadi kunci peningkatan jumlah perempuan kepala daerah.
Kata Kunci: sosial ekonomi, universitas, internet, perempuan kepala daerah.
Draft awal tulisan ini berjudul “Socio Economic Context of Indonesian Women Path to Local Politics” telah dipresentasikan dalam
konferensi internasional “The 9th International Indonesia Forum Conference: in search of Key Drivers of Indonesian Empowerment”,
Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, 24 August 2016.
1
Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 149 Pendahuluan
Pemilihan kepala daerah secara langsung
(selanjutnya disebut Pilkada langsung) merupakan
salah satu capaian penting demokratisasi
Indonesia pasca lengsernya Suharto dari kursi
kepresidenan Indonesia. Pilkada langsung
dapat dilihat sebagai sebuah terobosan dalam
penguatan demokrasi, terutama partisipasi
masyarakat dalam menentukan kepemimpinan
di tingkat lokal. Sejak 2005, pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara langsung di
Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase
pertama adalah tahun 2005-2010, sebagai
fase awal implementasi Pilkada langsung
yang merupakan amanat Undang-Undang No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,; fase
kedua adalah tahun 2010-2015 sebagai fase
lanjutan pelaksanaan Pilkada langsung; dan
fase ketiga adalah sejak tahun 2015 sebagai
fase Pilkada langsung serentak sesuai amanat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8/2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang
sekarang diganti dengan UU No.10/2016 . 2
Mekanisme Pilkada langsung telah membuka
peluang partisipasi politik yang lebih besar pada
berbagai elemen masyarakat, termasuk kaum
perempuan untuk ikut mewarnai dan menentukan
arah demokrasi lokal. Sejak dimulainya Pilkada
Pasal 1 ayat (1) UU No. 8/2015 menegaskan bahwa pemilihan
kepala daerah adalah memilih ‘paket’ calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah yaitu “Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan
adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan
kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
secara langsung dan demokratis.” Selain itu, pasal 3 ayat (1) UU
No. 8/2015 juga menyebutkan bahwa “Pemilihan dilaksanakan
setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Jadi, ke depan Pilkada
langsung berupa pemilihan kepala daerah dan wakilnya baik
di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diharapkan dapat
dilaksanakan serentak waktunya. Pasal 201 UU No. 8/2015
menjelaskan bahwa terdapat tujuh gelombang Pilkada langsung
serentak yaitu: gelombang pertama, pada Desember 2015 (telah
selesai dilaksanakan), gelombang kedua pada tahun 2017,
gelombang ketiga pada tahun 2018, gelombang keempat pada
tahun 2020, gelombang kelima pada tahun 2022, gelombang
keenam pada tahun 2023, dan terakhir gelombang ketujuh pada
tahun 2027, informasi dalam http://www.dpr.go.id/dokjdih/
document/uu/1627.pdf , (diakses pada 18 Agustus 2016).
2
langsung di berbagai wilayah Indonesia sejak
tahun 2005, jumlah perempuan yang menjadi
kandidat dan atau terpilih sebagai kepala daerah
meningkat cukup signifikan. Pada Pilkada
langsung selama dua periode (2005-2010) dan
(2010-2014), terdapat 26 perempuan terpilih
sebagai kepala daerah (18 di Pulau Jawa--Jawa
Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat--, dan 8
perempuan di luar Pulau Jawa). 3 Sementara
itu, pada Pilkada langsung serentak tanggal 9
Desember 2015, tepilih 24 perempuan yang
menjadi bupati/walikota.
Tulisan ini terutama difokuskan pada
persoalan partisipasi politik perempuan dalam
Pilkada langsung serentak gelombang pertama
yang telah dilakukan pada 9 Desember 2015 yang
lalu. Pada 9 Desember 2015, terdapat 269 daerah
(9 provinsi, 36 kotamadya, dan 224 kabupaten)
yang telah melaksanakan Pilkada langsung
serentak. Sejauh ini evaluasi maupun analisis
mengenai Pilkada langsung serentak tahun 2015,
banyak menyoroti hal-hal berupa: (i) persoalan
efisiensi dan efektifitas anggaran, pemutakhiran
data pemilih, persoalan calon tunggal dalam
Pilkada, sengketa Pilkada; 4 (ii) rendahnya
partisipasi masyarakat, politisasi birokrasi, dan
persoalan politik uang;5 (iii) kurang semaraknya
Pilkada langsung serentak sebagai dampak
pembatasan kampanye yang diatur oleh KPUD,
dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu.6
Beberapa tulisan telah menyoroti partisipasi
perempuan yang kemudian terpilih menjadi
kepala daerah. Perludem misalnya membuat
catatan potret perempuan dalam Pilkada langsung
serentak: dari 264 daerah, hanya 45 daerah
Kurniawati Hastuti Dewi, “Profiles, Statuses and Performance
of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local
Elections,” Indonesian Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August
2015): hlm.47-52.
3
Lihat Perludem, “Evaluasi Pilkada Serentak 2015,” Jurnal
Pemilu & Demokrasi, no. 8 (April 2016).
4
Lihat Dewan Perwakilan Daerah-Republik Indonesia, “DPD
evaluasi Pilkada serentak 2015”, 18 Desember 2015, http://
dpdri.merdeka.com/berita/dpd-evaluasi-pilkada-serentak-2015151218o.html (diakses 18 Agustus 2016).
5
Lihat Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII), “Pilkada Serentak Telah
Usai, Ini Evaluasi Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII”, 18
Januari 2016, dalam http://www.berita9online.com/nasional/
pilkada-serentak-telah-usai-ini-evaluasi-pusat-studi-hukumkonstitusi-fh-uii/, (diakses pada 18 Agustus 2016).
6
150 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166
yang melahirkan perempuan pemimpin di
mana 24 orang perempuan yang terpilih sebagai
kepala daerah, 22 orang perempuan yang
terpilih sebagai wakil kepala daerah, masih
dominannya petahana, serta masih rendahnya
komitmen perempuan kepala daerah terhadap
persoalan perempuan.7 Yayasan SATUNAMA
Yogyakarta memberikan catatan yang lebih
optimistik misalnya, perempuan tidak mengalami
stagnasi politik karena separuh dari perempuan
yang saat ini menjadi kepala daerah terlebih
dahulu menjadi wakil kepala daerah, 53 % dari
keseluruhan kandidat perempuan memiliki
perspektif gender, dan mengemukakan temuan
yang hampir sama dengan Perludem bahwa
sebagian besar perempuan kepala daerah terpilih
adalah dari petahana, mantan anggota legislatif,
pengusaha, dan birokrat.8
Berbeda dengan tulisan ataupun analisis
tersebut di atas, tulisan ini menganalisis
kemungkinan pola hubungan (korelasi) antara
kondisi sosial ekonomi di daerah dengan
partisipasi politik perempuan dalam Pilkada
langsung serentak 2015. Kondisi sosial
ekonomi dalam tulisan ini merujuk pada
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat
kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan
(indeks gini) di kabupaten/kota. Selain itu,
tulisan ini juga melihat kemungkinan persebaran
berbagai gagasan baru dan informasi melalui
universitas dan media internet yang menjadi
kunci peningkatan jumlah perempuan kepala
daerah.
Terdiri dari tiga bagian, setelah pendahuluan,
bagian kedua merupakan pembahasan, yang
terdiri dari dua sub-judul yaitu review literatur
yang menjelaskan kerangka pikir perempuan
dan rekruitmen politik, diikuti dengan
pemberdayaan perempuan, pembangunan
ekonomi dan demokrasi. Disusul dengan
sub-judul data dan analisis yang menjelaskan
proses pengumpulan, pengolahan, dan analisis
data yang memaparkan sejauhmana kontribusi
Perludem, “Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih:
Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan
Kebijakan Properempuan”, Jakarta, 20 Desember 2015.
7
Yayasan SATUNAMA, “Perempuan di Pilkada Serentak
2015: Perspektif dan Lingkar Kekuasaan di Sekitaran
Calon Perempuan Peserta Pilkada,” Yayasan SATUNAMA,
Yogyakarta, 2015.
8
IPM, tingkat kemiskinan, dan ketimpangan
pendapatan terhadap kemunculan kandidat
perempuan dan kemenangannya dalam Pilkada
langsung serentak 2015 yang lalu. Bagian ini
juga menampilkan hasil pengujian terhadap
variabel lain yaitu jumlah universitas dan jumlah
orang yang mengakses internet di daerah yang
bersangkutan untuk menjelaskan perbedaan
jumlah kandidat yang begitu besar di Jawa,
dibandingkan dengan daerah lain. Bagian ketiga
penutup yang merangkum temuan, analisis dan
dua poin penting yang digarisbawahi dalam
tulisan ini.
Rekruitmen Politik, Pemberdayaan
Perempuan, Pembangunan Ekonomi dan
Demokrasi
Mendiskusikan tentang kiprah perempuan
kepala daerah, nampaknya dapat juga didekati
dari literatur tentang rekruitmen politik. Pada
dasarnya teori perempuan dan rekruitmen politik
seperti yang dikemukakan oleh Pippa Norris
(1995:21) menggariskan bahwa rekuitmen
anggota legislatif pada dasarnya meliputi tiga
level yaitu: pertama, “the systematic factor”
meliputi konteks rekruitmen seperti “legal,
electoral, and party system”; kedua, konteks
dalam partai politik tertentu seperti organisasi
partai, aturan, dan ideologi; ketiga, faktor yang
langsung mempengaruhi rekruitmen kandidat
individual seperti: (a) sumber daya dan motivasi
dari kandidat, dan (b) perilaku dari para elit
penyeleksi (gatekeepers).9 Dalam buku yang lain,
Pippa Norris (1997:1) memakai kata ‘supply’ dan
‘demand’ untuk menjelaskan faktor ketiga yang
disebutkan di atas, di mana ‘supply’ berarti suplai
kandidat yang ingin maju ke dalam posisi politik
dengan melihat khususnya motivasi mereka dan
sumber daya politiknya; sementara ‘demand’
merujuk pada keinginan dari ‘gatekeepers’ yaitu
pemilih, anggota partai politik, pemimpin partai
politik, pemimpin politik, penyokong dana, yang
menyeleksi beberapa (kandidat) dari sejumlah
besar calon potensial.10 Sebagaimana dijelaskan
Pippa Norris and Joni Lovenduski, Political Recruitment:
Gender, Race, and Class in the British Parliament (Great
Britain: Cambridge University Press, 1995), hlm. 21.
9
Pippa Norris, “Introduction: Theories of Recruitment,” dalam
Pippa Norris (ed). Passage to Power: Legislative Recruitment in
10
Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 151 Noris di atas, sebenarnya teori perempuan dan
rekuitment politik untuk menganalisis kompetisi
pemilihan anggota perlemen perempuan dalam
lembaga legislatif fokus pada ‘supply’ dan
‘demand’. Dalam konteks ini, posisi perempuan
anggota parlemen adalah seorang wakil rakyat
dalam sebuah lembaga perwakilan yang tidak
bisa berdiri sendiri, cenderung kolekfif, dan
bukan pemimpin tertinggi sebuah daerah.
Sementara itu, tulisan ini mengkaji
perempuan calon kepala daerah yang kemudian
berhasil memenangkan Pilkada langsung sebagai
pucuk pimpinan tertinggi eksekutif daerah. Oleh
karena itu, dalam konteks ini harus dimengerti
bahwa melandaskan diri pada sebuah teori yang
sudah mapan sekalipun seperti teori perempuan
dan rekruitmen politik, yang berasal dari konteks
legislatif yang fokus pada aspek supply’ dan
‘demand’ saja tidak cukup mampu menerangkan
bekerjanya faktor di luar kedua hal tersebut,
untuk persoalan perempuan sebagai calon
pemimpin daerah. Diskusi mengenai perempuan
sebagai pucuk pimpinan tertinggi di sebuah
daerah menyangkut dimensi yang lebih kompleks
dibandingkan dengan permasalahan perempuan
sebagai anggota parlemen. Apalagi dalam sebuah
masyarakat mayoritas Muslim seperti Indonesia.
Sebagaimana catatan aktifis perempuan Muslim
(almarhumah) Lili Zakiyah Munir, (2002) bahwa
terdapat persepsi umum yang berkembang
bahwa Islam sebagai sumber diskriminasi
dan penindasan perempuan, sehingga tidak
ramah terhadap perempuan, 11 serta adanya
beberapa kasus penolakan terhadap perempuan
sebagai calon pemimpin kepala daerah. 12
Oleh karena itulah, tulisan ini memerlukan
bangunan teori lain untuk membangun kerangka
tulisan untuk memahami apakah terdapat
konteks sosial ekonomi masyarakat tertentu
Advanced Democracies (Great Britain: Cambridge University
Press, 1997), hlm.1
Lili Zakiyah Munir, “Islam, Gender and Equal Rights for
Women,” The Jakarta Post, December 10, (2002), hlm.6.
11
Lihat studi mendalam mengenai dinamika dan penolakan
terhadap perempuan Muslim sebagai calon kepala daerah
di Kebumen, Pekalongan dan Banyuwangi sebagaimana
ditulis Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and
Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto
Indonesia (Singapore: NUS Press and Kyoto University Press,
2015).
12
yang berkorelasi dengan kemunculan dan
kemenangan perempuan sebagai pemimpin
tertinggi sebuah daerah (kepala daerah) melalui
kompetisi elektoral Pilkada langsung. Dalam
konteks inilah, selanjutnya tulisan ini memakai
bangunan teori pemberdayaan. Penelitian ini
mengasumsikan bahwa terdapat hal ini berupa
konteks sosial ekonomi masyarakat yang
melingkupi seorang perempuan politisi, yang
kemungkinan berkorelasi terhadap kemunculan
dan kemenangan perempuan sebagai kepala
daerah. Berikutnya adalah eksplorasi teori
pemberdayaan, yang nantinya akan berujung
pada tiga asumsi dasar dalam tulisan ini.
Upaya peningkatan partisipasi
perempuan dalam politik dapat didekati dari
istilah
pemberdayaan (‘empowerment’).
Kata ‘pemberdayaan’ atau ’empowerment’
telah banyak dipakai paling tidak sejak tahun
1960an dalam dokumen-dokumen kebijakan
pembangunan negara-negara Utara dan Selatan.
Amartya Sen (1999) dalam “Development as
Freedom” menekankan bahwa pembangunan
seharusnya tidak saja dilihat dari ukuranukuran ekonomi semata, tetapi dilihat sejauh
mana masyarakat memilki banyak pilihan dari
berbagai kesempatan; Sen memperkenalkan
konsep ‘kebebasan manusia’ (human freedom)
dalam lima hal yaitu pemberdayaan ekonomi,
kebebasan politik, kesempatan sosial, keamanan
dan transparansi sebagai prinsip dan tujuan akhir
dari pembangunan, sementara ukuran-ukuran
ekonomi adalah cara untuk mencapainya.13
Kemudian, istilah pembangunan dan
pemberdayaan semakin sering dipakai dan
muncul dalam dokumen-domuken resmi
lembaga-lembaga interrnasional. Sebagai contoh,
Laporan Pembangunan Manusia tahun 1995 (The
Human Development Report 1995) menekankan
bahwa pemberdayaan (empowerment) adalah
sebagai berikut:
“Empowerment. Development must be by people,
not only for them. People must participate
fully in the decision and processes that shape
their lives. (UN, 1995 b: 12) but at the same
time promotes a rather instrumentalist view of
13
Lihat Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999). Lihat juga review buku
Amartya Sen oleh Siri Terjesen, “A. Sen’s’Development as
freedom’, January 2004, dalam https://www.researchgate.net/
publication/27466009, (diakses pada 16 Agustus 2016).
152 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166
empowerment; Investing in women’s capabilities
and empowering them to exercise their choices
is not only valuable in itself but also is the surest
way to contribute to economic growth and overall
development (UN, 1995 b: iii).”14
Sementara itu, OXFAM menyatakan:
“Empowerment involves challenging the forms
of oppression which compel millions of people to
play a part in their society on terms which are
inequitable, or in way which deny their human
rights (Oxfam, 1995).”15
Jika dicermati, catatan Laporan Pembangunan
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun
1995 menekankan pemberdayaan sebagai
partisipasi sepenuhnya dari warga masyarakat
dalam proses dan pembuatan keputusan, serta
meningkatkan kapasitas perempuan agar dapat
melakukan berbagai inisiatif dan pilihan untuk
berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, pemberdayaan menurut OXFAM
menekankan pada upaya menentang segala
bentuk-bentuk penindasan hak-hak dasar,
pengingkaran terhadap hak asasi manusia atau
diskriminasi yang membelenggu masyarakat.
Bagaimana jika kata pemberdayaan dikaitkan
dengan persoalan perempuan?
Konsep mengenai pemberdayaan perempuan
(women’s empowerment), mulai muncul dalam
diskursus para feminis di dunia ketiga sejak
tahun 1980an, seiring dengan kritik mereka
terhadap konsep-konsep modernisasi dan
pembangunan. Dimulai dari Ester Bosorup yang
mengkritisi pendekatan kesejahteraan sebelum
tahun 1970-an. Dalam bukunya Woman’s Role
in Economic Development (1970) Boserup
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
dan modernisasi di perdesaan di negara-negara
dunia ketiga (Asia, Afrika, Latin Amerika)
tidak serta merta memberikan keuntungan dan
manfaat yang sama terhadap perempuan dan
laki-laki, dimana perempuan banyak ditinggalkan
dalam proses produksi digantikan dengan
mesin, menerima upah yang sangat rendah
Sebagaimana dikutip dari Zoe Oxaal and Sally Baden,
“Gender and Empowerment: Definitions, Approaches, and
Implications for Policy,” BRIDGE Development – Gender
Report, no. 40 (October 1997), hlm. 4.
14
15
Ibid.
di sektor non-pertanian di daerah perkotaan,
dan bahkan tidak dihargai pekerjaan mereka
di perdesaan.16 Kemudian, kritik para feminis
terhadap pembangunan ekonomi semacam itu
diterjemahkan dalam upaya mengintegrasikan
perempuan dalam pembangunan melalui
pendekatan Women in Development (WID)
sejak tahun 1970an. Pengadopsian WID ditandai
pada Konferensi Tingkat Tinggi PBB pertama
tentang Perempuan di Mexico tahun 1975, yang
memperkenalkan term Women in Development
(WID) untuk memastikan integrasi perempuan
dalam pembangunan.
Namun demikian, Caroline Mosser (1991)
mencatat bahwa pendekatan anti kemiskinan
(anti-poverty approach) yang dipakai dalam
WID untuk mencapai kesetaraan gender,
lebih menekankan pada upaya mengurangi
kesenjangan pendapatan antara perempuan
dan laki-laki karena dipercaya bahwa sumber
ketidakadilan adalah kemiskinan, dan bukan
sub-ordinasi.17 Menurut Geeta Chowdhry (1995)
pendekatan anti kemiskinan dalam WID lebih
difokuskan pada peran reproduksi perempuan,
untuk perempuan perdesaan di dunia ketiga
yang lekat dengan peran dan posisi konvensional
perempuan sebagai istri atau ibu di rumah.18 Jadi,
WID justru tidak mengintegrasikan perempuan
dalam modernisasi dan pertumbuhan ekonomi,
tetapi malah meminggirkan perempuan.
Maka, melihat kecenderungan ini, para
feminis di negara-negara dunia ketiga di
Selatan (Global South --Asia, Afrika, Latin
Amerika--) yang tergabung dalam Development
Alternatives with Women for a New Era (DAWN)
menyerukan agar WID diganti dengan Gender and
Lihat Ester Boserup, Woman’s Role in Economic Development
(Great Britain: George Allen and Unwin, 1970); baca juga
Barbara Rogers, The Domestication of Women: Discrimination
in Developing Societies (London and New York: Routledge,
1980); Irene Tinker (ed)., Persistent Inequalities: Women and
World Development (New York: Oxford University Press,
1990).
16
Caroline Mosser, “Gender Planning in the third World:
Meeting Practical and Strategic Needs”, dalam Rebecca Grant
and Kathleen Newland (eds.), Gender and International
Relations (Suffolk: Open University Press, 1991), hlm. 101.
17
Geeta Chowdhry, “Engendering Development: Women in
Development (WID) in International Development Regimes”,
dalam Marianne H. Marchand and Jane L. Papart (eds.),
Feminism/Postmodernism/Development (London and New
York: Routledge, 1995), hlm 32.
18
Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 153 Development (GAD)19 untuk mengintegrasikan
kepentingan perempuan dalam modernisasi
dan pertumbuhan ekonomi, meskipun ternyata
pendekatan anti-kemiskinan masih tetap
digunakan. GAD berfokus pada hubungan politik
atau relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki
upaya untuk meningkatkan kuasa sosial politik
perempuan dengan membenahi ketimpangan
relasi tersebut.20
Dalam perkembangannya sejak tahun
1980an, lembaga-lembaga donor internasional
menggunakan kata ‘gender dan pembangunan’
termasuk kemudian merebak dalam term
p e m b e r d a y a a n p e r e m p u a n ( w o m e n ’s
empowerment) menggambarkan spirit yang lebih
politis untuk melakukan transformasi, menentang
struktur patriarkhi yang membelenggu peran
dan posisi perempuan di negara-negara dunia
ketiga.21 Dalam bahasa Srilatha Batliwala (2007)
‘women’s empowerment’ adalah sebuah proses
sosial politik di mana pintu pembuka dalam
pemberdayaan adalah perpindahan penguasaan
sosial, ekonomi, politik di antara dan antara
individu maupun kelompok sosial. 22 Salah
satu menifestasi konkrit adopsi pemberdayaan
perempuan adalah pada Konferensi Tingkat
Tinggi PBB tentang Perempuan di Nairobi,
Kenya tahun 1985. Konferensi itu menjadi
momen penyebaran gagasan dan pendekatan
GAD,23 selain rekomendasi “the Nairobi Forward
Looking Strategy” untuk meningkatkan partisipasi
perempuan dalam pengambilan keputusan.24
DAWN adalah forum kerja sama dan komunikasi antara
perempuan di negara-negara dunia yang menyadari bahwa WID
justru meminggirkan perempuan. Lihat DAWN, “Rethinking
Social Development: DAWN’s Vision,” World Development
23, no.11(1996).
19
Kathryn Robinson, “Indonesian Women’s Rights, International
Feminism and Democratic Change,” Communal/Plural 6, no.2
(1998): 205-223, hlm 212.
20
Srilatha Batliwala, “Taking the Power out of Empowerment:
An Experiential Account”, Development in Practice, vol. 17,
no. 4/5 (August 2007): 557-565, hlm.558
21
22
Ibid., hlm. 559.
Kate Young, “Gender and Development” dalam Nalini
Visvanathan, and others, (eds), The Women, Gender and
Development Reader, (London and New Jersey: Zed Books,
2000).
23
Sjamsiah Achmad, “Perempuan Dalam Politik: Kampanye 5050 Asia Pasifik 2005, Indonesia Kapan”, paper dipresentasikan
24
Dalam kacamata GAD, upaya mengintegrasikan
gender dalam kebijakan pembangunan dilakukan
dengan ‘mainstreaming’ (pengarusutamaan)
yakni upaya menyeluruh, lintas kebijakan,
lintas tingkat pemerintahan, dan yang terpenting
menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai
mitra aktif dalam proses tersebut.25
Dalam perkembangan kekinian, kaum
feminis khawatir dengan penggunaan istilah
‘pemberdayaan perempuan’ yang dalam
praktiknya seringkali sekedar dimaknai sebagai
upaya memobilisasi perempuan (umumnya) kelas
bawah melalui program-program swakarsa untuk
meningkatkan taraf ekonomi, partisipasi, tetapi
tanpa memberikan kuasa untuk menentang narasi
dominan dari pembangunan atau merumuskan
jalan alternatif.26 Menurut Rowland (1997:14)
pandangan feminis mengenai ‘pemberdayaan’
tidak sekedar merujuk pada partisipasi dalam
pengambilan keputusan, tetapi harus meliputi
proses yang menyebabkan seseorang mampu
mencapai kesadaran diri untuk dapat membuat
keputusan; pemberdayaan harus meliputi dimensi
‘power to’ yaitu untuk melakukan kewenangan
pengambilan keputusan untuk mengatasi
persoalan, serta dimensi ‘power within’27 dimana
seseorang memiliki rasa percaya diri, kesadaran
diri dan ketegasan diri.28 Dalam pandangan
feminis, sebagaimana ditegaskan Rowland,
pemberdayaan meliputi tiga dimensi yaitu:
pertama, ‘personal’ dimana seseorang mampu
membangun rasa percaya diri, kapasitas, dan
melepaskan diri dari penindasan dari dalam;
kedua, ‘relational’ yaitu kemampuan untuk
negosiasi atau mempengaruhi hubungan atau
keputusan didalamnya; ketiga, ‘collective’
di mana seseorang dapat bekerja bersama
di Jakarta, 13 April 2001, Jakarta, hlm. 1.
Kurniawati Hastuti Dewi, “Menjenderkan Pemerintahan
Daerah”, KOMPAS, 15 Februari 2005.
25
Elliot (2008) sebagaimana dikutip dari Manisha Desai,
“Hope in Hard Times: Women’s Empowerment and Human
development”, United Nations Development Programme,
Human Development Research Paper 2010/14, July 2010,
hlm. 4.
26
Elaborasi mengenai ‘power to’ dan ‘power within’ diambil
dari Zoe Oxaal and Sally Baden, “Gender and Empowerment:
Definitions, Approaches, and Implications for Policy,” hlm 1.
27
Jo Rowlands, Questioning Empowerment: Working with
Women in Honduras (UK and Ireland: Oxfam, 1997), hlm 14.
28
154 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166
untuk mencapai dampak yang lebih optimal
seperti upaya bersama dalam struktur politik
menekankan kerja sama dan bukan kompetisi.29
Tidak jauh berbeda, catatan Naila Kabeer
(1999) juga mengetengahkan tiga dimensi
pemberdayaan (perempuan), yaitu: pertama,
‘resources” (pre-condition) meliputi tidak
hanya sumber daya material tetapi juga sumber
daya manusia, jaringan hubungan sosial dalam
keluarga, pasar, masyarakat; kedua, ‘agency’
(process) sebagai kemampuan mendefinisikan
tujuan dan mencapainya yang dapat berupa
kemampuan melakukan negosiasi, tawar menawar
dalam sebuah keadaan atau pengambilan
keputusan, memanipulasi atau memainkan,
yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama;
ketiga, ‘achievements’ (outcomes).30 Kabeer
merumuskan bahwa pemberdayaan perempuan
(women’s empowerment) adalah proses dimana
seseorang (perempuan) yang semula tidak
memperoleh kesempatan melakukan pilihan
strategis dalam hidupnya, kemudian mampu
menguasai kemampuan tersebut.31
Kajian tentang kemunculan perempuan
Indonesia dalam organisasi kemasyarakatan
maupun politik di Indonesia telah banyak
mengangkat aspek agency. Beberapa kajian
tentang agency perempuan misalnya yang
dilakukan oleh Safira Machrusah (2005), Susan
Blackburn, Bianca J Smith, Siti Syamsiyatun
(2008), Kurniawati Hastuti Dewi (2008) dan
(2015), Eva F. Amrullah (2011), dan tim Gender
dan Politik P2P LIPI (2016). Dalam penelitiannya
Machrusah (2005) melihat bagaimana Muslimat
Nahdlatul Ulama, sebuah badan otonom organisasi
Islam tradisional, menegosiasikan kesetaraan
gender dengan organisasi induknya, Nahdlatul
Ulama.32 Blackburn, Smith dan Syamsiyatun
(2008) mengetengahkan agency perempuam
Muslim dalam menegosiasikan nilai-nilai dan
29
Ibid., hlm. 15.
Naila Kabeer, “Resource, Agency, Achievements: Reflections
on the Measurement of Women’s Empowerment”, Development
and Change, vol. 30 (1999): 435-464, hlm. 437-438.
Ibid.
Safira Machrusah, “Muslimat Nahdlatul Ulama: Negotiating
Gender Relations within a Traditional Muslim Organisation in
Indonesia” (Master thesis, the Australian National University,
2005).
32
Susan Blackburn, Bianca J Smith, Siti Syamsiyatun,
“Introduction”, dalam Susan Blackburn, Bianca J. Smith,
Siti Syamsiyatun (eds), Indonesian Islam in A New Era: How
Women Negotiate Their Muslim Identities, (Clayton: Monash
University Press, 2008), hlm 3.
33
Kurniawati Hastuti Dewi, “Perspectives Versus Practices:
Women’s Leadership in Muhammadiyah”, SOJOURN: Journal
of Social Issues in Southeast Asia, vol. 23/2, October 2008 :
hlm.161-185
34
Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local
Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto
Indonesia.
35
Amrullah terinspirasi dan mengikuti pengertian ‘agency’
dari Saba Mahmood, “Feminist Theory, Embodiment, and
the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic
Revival,” Cultural Anthropology 16, no. 2 (May 2001), hlm.
225; Saba Mahmood, Politics of Piety: the Islamic Revival
and the Feminist Subject (Princeton and Oxford: Princeton
University Press, 2005).
36
30
31
praktik Islam dalam berbagai bidang misalnya
polygami, pemakaian jilbab, kegiatan pilantropi,
sebagai nyai (istri kyai), dan pembentukan
identitas baru perempuan Muslim.33 Sementara
itu Dewi (2008) melihat strategi perempuan
di ‘Aisyiyah dalam menegosiasikan persoalan
kepemimpian perempuan di Muhammadiyah.34
Dalam level politik praktis, Dewi (2015)
menganalisis agency tiga perempuan yang
memenangkan kompetisi Pilkada langsung
di daerah yang berbasis Islam di Jawa, yaitu
Ratna Ani Lestari di Banyuwangi (2005),
Rustriningsih di Kebumen (2005), dan Siti
Qomariyah di Pekalongan (2006). Studi tersebut
menemukan bahwa ketiga perempuan tersebut
mampu menggunakan dan memainkan ide-ide
atau norma-norma mengenai kesalehan dalam
Islam (Islamic piety) seperti memakai kerudung
dikombinasikan dengan identitas gender mereka
sebagai seorang “perempuan Muslim Jawa”.35
Amrullah (2011) meneliti perempuan Muslim
kelas menengah atas yang bergabung aktif dalam
Jamaah Tabligh di Jakarta; menemukan bahwa
partisipasi aktif para perempuan Muslim tersebut
termasuk dalam menyebarkan dan merekrut
anggota baru menunjukkan sisi agency36 dari
perempuan, oleh karena itu tidak tepat menilai
bahwa bergabungnya mereka ke Jamaah Tabligh
sebagai sebuah ketertindasan. 37 Sementara
itu, tim peneliti Gender dan Politik P2P-LIPI
Eva F. Amrullah, “Seeking Sancturay in ‘the age of disoder’:
Women in Contemporary Tablighi Jama’at,” Contemporary
Islam 5/2, (2011): hlm.135-160.
37
Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 155 (2016) menunjukkan bagaimana Eka Wiryastuti
dapat memainkan perannya dalam ‘mengolah,
menegosiasikan, atau menyiasati agama Hindu
Bali, budaya, adat istiadat sejak proses persiapan
awal kemunculannya dan kemenangannya’
di Tabanan, Bali. 38 Kajian-kajian tersebut
lebih banyak melihat bagaimana agensi yang
diperankan para perempuan untuk muncul
sebagai pemimpin politik. Belum ada kajian yang
secara serius melihat bagaimana kemungkinan
konteks sosial ekonomi yang menjadi pra-kondisi
atau memfasilitasi kemunculan perempuan dalam
politik lokal tersebut.
Sementara itu, Seymour Martin Lipset (1959)
sejak lama mengungkapkan tentang perlunya
melihat prasyarat sosial bagi perkembangan
demokrasi. Menurutnya, pembangunan
ekonomi yang efektif berkorelasi positif dengan
demokrasi. 39 Hal senada dinyatakan oleh
Guillermo A. O’ Donnel (2004), bahwa salah
satu komponen penting bahkan sangat dasar dari
demokrasi, yang selama ini kerap diabaikan,
adalah manusia dalam hal ini warga negara;
O’Donnel percaya ada hubungan erat antara
demokrasi, pembangunan manusia (Human
Development), dan hak asasi manusia (Human
Rights). 40 Oleh karena itulah, untuk mengisi
kekosongan yang ada dalam kajian tersebut,
tulisan ini melihat bagaimana hubungan antara
variabel sosial ekonomi dengan keberadaan
perempuan pemimpin politik.
Aspek sosial ekonomi masyarakat dalam
tulisan ini merujuk pada Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) atau Human Development
Index (HDI), prosentase kemiskinan, dan
ketimpangan pendapatan. Penggunaan IPM,
didasari pemikiran bahwa ada hubungan erat
antara demokrasi, pembangunan manusia
Kurniawati Hastuti Dewi, ed., Kebangkitan Perempuan
Tabanan dalam Politik Lokal (Tangerang: Mahara Publishing,
2016).
38
Seymour Martin Lipset, “Some Social Requisites of
Democracy: Economic Development and Political Legitimacy,”
The American Political Science Review, vol. 53, no. 1 (Mar,
1959): hlm. 69-105.
39
Guillermo O’Donnell, “Human Development, Human Rights,
and Democracy,” dalam Guillermo O’Donnell, Jorge Vargas
Cullell, Osvaldo M. Iazzetta (eds.), The Quality of Democracy
Theory and Applications, (USA: University of Notre Dame
Press, 2004), hlm. 9-10.
40
(Human Development), dan hak asasi manusia
(Human Rights).41 Di Indonesia, IPM merupakan
indeks komposit dari faktor kesehatan (angka
harapan hidup), pendidikan (lama sekolah)
dan standar hidup layak (besar pengeluaran).
Diperkenalkan oleh United Nations Development
Programme (UNDP) pada tahun 1990, IPM ini
dapat menunjukkan kualitas pembangunan yang
dinikmati oleh penduduk.
Tulisan ini didasari tiga asumsi yaitu:
pertama, daerah yang memiliki prosentase
kemiskinan yang rendah dianggap memiliki
kelas menengah yang cukup banyak, sehingga
cenderung mudah menerima adanya pemimpin
perempuan. Asumsi kedua adalah, ketimpangan
pendapatan yang tercermin dari indeks gini
dianggap menunjukkan kesetaraan dalam suatu
daerah; daerah dengan ketimpangan yang rendah
diasumsikan memiliki pandangan yang lebih
terbuka dalam menerima pemimpin perempuan.
Variabel lain yang dilihat dalam tulisan ini terkait
dengan arus informasi dan pengetahuan yang
mendukung persebaran ide tentang kesetaraan
gender dan peran perempuan dalam politik,
yaitu jumlah perguruan tinggi dan proporsi
penduduk yang memiliki akses internet. Kedua
variable ini menjadai sarana penyebaran ide-ide
baru, diskusi-diskusi mengenai perkembangan
demokrasi, termasuk tentang perkembangan
tafsir atas persoalan kepemimpinan perempuan.
Oleh karena itu, asumsi ketiga tulisan ini adalah:
bahwa eksposur yang lebih banyak terhadap
ide dan perkembangan tentang demokrasi dan
kesetaraan gender melaui perguruan tinggi dan
proporsi penduduk yang memiliki akses internet,
diasumsikan akan memudahkan kemunculan
kepemimpinan perempuan dalam politik.
Data dan Analisis
Pasal 1 ayat (1) UU No. 8/2015 menyatakan
bahwa pemilihan kepala daerah adalah memilih
‘paket’ calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Pada Pilkada langsung serentak 9
Desember 2015, terdapat 825 paket pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
terdiri dari 19 paket pasangan untuk posisi kepala
daerah provinsi, 110 paket pasangan untuk posisi
41
Ibid.
156 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166
kepala daerah kota, dan 694 paket pasangan
untuk posisi kepala daerah kabupaten.
Sumber: diolah oleh penulis dari data dasar di
website KPU RI, http://infopilkada.kpu.go.id/index.
php?r=Dashboard/paslon&tahap=3 (diakses pada 22
Oktober 2015)
Grafik 2 menunjukkan hanya ada 1
perempuan dicalonkan sebagai calon gubernur,
tidak ada perempuan dicalonkan sebagai wakil
gubernur. Maya Rumantir (anggota DPD RI)
dicalonkan sebagai gubernur Sulawesi Utara
oleh Gerindra dan Partai Demokrat. Sementara
ada 18 laki-laki dicalonkan sebagai gubernur,
dan 19 orang laki-laki dicalonkan sebagai wakil
gubernur. Grafik ini menunjukkan betapa sulit
dan sengitnya persaingan kedudukan seorang
kepala daerah provinsi, sehingga semakin
sedikit politisi perempuan yang mampu muncul
dan masuk dalam bursa pencalonan posisi
wakil gubernur dan sebagai calon gubernur.
Selanjutnya untuk melihat di level kabupaten
kota disajikan dalam Grafik 3.
Gambar 1. Grafik 1. Distribusi Pasangan Calon
Kepala Daerah berdasarkan Pencalonan
Sebagaimana terlihat dari Grafik 1, terdapat
19 paket pasangan calon gubernur & wakil
gubernur, di mana sebagian besar dicalonkan
oleh partai politik. Demikian pula untuk paket
pasangan calon bupati & wakil bupati, dan
walikota & wakil walikota, sebagian besar
juga dicalonkan oleh partai politik. Selanjutnya
untuk melihat jumlah calon gubernur dan wakil
gubernur atas dasar gender dapat disajikan dalam
Grafik 2.
Sumber: diolah oleh penulis dari data dasar di
website KPU RI http://infopilkada.kpu.go.id/index.
php?r=Dashboard/paslon&tahap=3 (diakses pada 16
Oktober 2015)
Grafik 3. Jumlah Calon Bupati/Walikota dan Calon
Wakil Bupati/Wakil Walikota atas dasar Gender
Sumber: diolah oleh penulis dari data dasar di
website KPU RI http://infopilkada.kpu.go.id/index.
php?r=Dashboard/paslon&tahap=3 (diakses pada 22
Oktober 2015)
Grafik 2. Jumlah Calon Gubernur dan Wakil
Gubernur atas dasar Gender
Berdasarkan Grafik 3 di atas, hanya ada 56
politisi perempuan sebagai calon bupati/walikota,
dan 66 politisi perempuan sebagai calon wakil
bupati/calon walikota. Dibandingkan dengan
748 politisi laki-laki pada posisi calon bupati/
walikota, dan 738 politisi laki-laki pada posisi
calon wakil bupati/wakil walikota. Grafik ini
menggambarkan masih dominannya politisi
laki-laki dalam pertarungan politik lokal level
kabupaten/kota. Namun jika dilihat lebih jauh,
grafik ini memberikan gambaran menarik
bahwa level kabupaten/kota nampaknya menjadi
wahana pertarungan politik yang relatif dinamis,
lebih terbuka bagi para politisi perempuan untuk
ikut berkiprah, dibandingkan di level provinsi.
Jadi, level kabupaten/kota dapat dijadikan tidak
saja sebagai tempat bertarung awal bagi seorang
Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 157 politisi perempuan, namun dapat menjadi media
pembelajaran untuk kemudian secara bertahap
naik pada posisi level provinsi, seiring dengan
pengalaman politik dan kinerjanya.
Tulisan ini terutama menggunakan data
Pilkada langsung serentak 2015 dari laman
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan data sosial
ekonomi dari laman Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia. Data yang didapat dari laman KPU
adalah data tentang kandidat kepala daerah dan
jumlah kabupaten/kota peserta Pilkada langsung
tahun 2015. Sementara data sosial ekonomi yang
berupa proporsi penduduk perempuan dibanding
laki-laki, IPM, proporsi penduduk miskin, indeks
gini,43 jumlah perguruan tinggi, dan proporsi
pengguna internet didapat dari laman BPS
pusat dan provinsi. Data sosial ekonomi yang
digunakan adalah data tahun 2014 karena
Dari Grafik 2 dan Grafik 3, itu dapat
diketahui bahwa terdapat 57 perempuan yang
dicalonkan sebagai kepala daerah yaitu 1 sebagai
calon gubernur dan 56 sebagai calon bupati/
walikota. Kemudian, tulisan ini fokus pada dari
56 daerah di mana terdapat perempuan sebagai
calon bupati/walikota. Dari 56 daerah tersebut,
terdapat 24 daerah di mana perempuan berhasil
menang menjadi kepala daerah dalam Pilkada
Langsung serentak 9 Desember 2015.42
Tabel 1. Data Pilkada dan Indikator Sosial Ekonomi Terpilih
Kandidat
Perempuan
Kabupaten/
Kota
Peserta
pemilu
Perempuan
/Laki-laki
IPM
%
Miskin
GINI
Perguruan
Tinggi
%
Pengguna
Internet
Sumatera Utara
3
23
1.005
68.87
10.35
0.34
300
13.09
Sumatera Barat
0
19
1.013
69.36
7.09
0.34
131
15.61
Riau
0
9
0.947
70.33
7.98
0.36
99
15.88
Jambi
2
11
0.959
68.24
8.41
0.36
61
12.85
Sumatera Selatan
2
7
0.968
66.75
13.54
0.36
133
12.84
Bengkulu
3
10
0.961
68.06
17.32
0.38
24
12.04
Lampung
1
8
0.948
66.42
14.29
0.38
101
8.37
Kep. Bangka Belitung
1
4
0.928
68.27
5.22
0.28
15
12.05
Kep. Riau
0
7
0.955
73.4
5.98
0.36
34
29.00
Jawa Barat
3
8
0.971
68.8
8.95
0.41
511
16.85
Jawa Tengah
7
21
1.016
68.78
13.27
0.38
320
15.04
Di Yogyakarta
3
3
1.025
76.81
13.34
0.43
143
24.49
Jawa Timur
5
19
1.027
68.14
12.05
0.42
513
14.05
Banten
4
4
0.960
69.89
5.42
0.4
142
16.96
Bali
2
6
0.987
72.48
4.25
0.38
65
18.08
Nusa Tenggara Barat
1
7
1.063
64.31
16.48
0.37
78
7.90
Nusa Tenggara Timur
0
9
1.018
62.26
22.19
0.34
48
5.52
Kalimantan Barat
1
7
0.962
64.89
7.87
0.33
54
9.96
Kalimantan Tengah
0
14
0.916
67.77
5.66
0.33
29
12.23
Kalimantan Selatan
0
13
0.976
67.63
4.85
0.35
60
16.11
Kalimantan Timur
3
9
0.903
73.82
6.11
0.32
75
25.52
Kalimantan Utara
2
5
0.903
68.64
6.23
0.29
1
25.52
Sulawesi Utara
6
15
0.960
69.96
8.34
0.37
49
14.94
Sulawesi Tengah
1
13
0.955
66.43
14.45
0.37
40
9.89
Sulawesi Selatan
3
11
1.049
68.49
9.4
0.42
240
13.25
Sulawesi Tenggara
0
7
0.991
68.07
12.88
0.4
47
10.19
Gorontalo
0
3
0.996
65.17
17.72
0.42
13
11.22
Sulawesi Barat
0
4
0.995
62.24
11.74
0.36
18
8.43
Maluku
1
4
0.982
66.74
19.18
0.34
31
10.95
Maluku Utara
0
8
0.960
65.18
6.33
0.28
20
4.98
Papua Barat
0
9
0.898
61.28
25.43
0.44
22
5.75
Papua
2
11
0.893
56.75
28.54
0.42
44
10.26
Sumber: Diolah dari laman KPU dan BPS
Mengacu pada data Perludem, Perludem, “Jalan Terjal
Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan
Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan”,
Jakarta, 20 Desember 2015.
42
Mengacu pada ‘koefisien gini’ Badan Pusat Statistik-RI, untuk
mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh.
Koefisien gini didasarkan pada kurva lorenz, yaitu sebuah kurva
pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari
suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi
uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif
penduduk, https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/
view&id=22 (diakses pada 25 Agustus 2016)
43
158 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166
dianggap sebagai tahun dasar pengambilan
kebijakan politik dalam Pilkada langsung 2015.
Karena di tahun 2015 tidak ada kabupaten/kota
dari DI Aceh dan DKI Jakarta yang mengikuti
Pilkada langsung, maka kedua provinsi tersebut
tidak disertakan dalam analisis.
Analisis korelasi dilakukan untuk melihat
hubungan antara keberadaan perempuan
calon bupati/walikota dengan variable sosial
ekonomi daerah yang berupa proporsi penduduk
perempuan dibanding laki-laki, IPM, proporsi
penduduk miskin, indeks gini, distribusi
perguruan tinggi, dan proporsi pengguna internet
di 31 provinsi yang memiliki kabupaten/kota
peserta Pilkada langsung 2015. Dalam analisis
ini, variabel keberadaan perempuan bupati/
walikota merupakan jumlah perempuan calon
bupati/walikota yang ada di suatu provinsi
dibagi dengan jumlah kabupaten/kota peserta
Pilkada langsung 2015 yang ada di provinsi
yang bersangkutan. Variabel sosial ekonomi
yang dipakai mengikuti data yang ada dari BPS.
Khusus variabel distribusi perguruan tinggi
merupakan data jumlah perguruan tinggi yang
ada di suatu provinsi dibagi dengan jumlah total
perguruan tinggi di Indonesia. Hasil analisis
korelasi ditunjukkan pada Tabel 2.
hanya menunjukkan hubungan yang rendah
dengan keberadaan keberadaan perempuan
calon bupati/walikota, dengan koefisien korelasi
sebesar 0,25 dan 0,26. Sementara itu, hubungan
keberadaan perempuan calon bupati/walikota
dengan variabel proporsi penduduk perempuan
dibanding laki-laki dan variabel kemiskinan
sangat rendah (0,07 dan -0,15).
Lebih jauh, Grafik 4 di bawah
ini, menunjukkan bahwa calon perempuan
bupati/walikota dapat muncul dan menang di
daerah dengan IPM rendah maupun IPM tinggi.
Hal ini terlihat misalnya di Boven Digoel
yang hanya memiliki nilai IPM sebesar 51,9
atau di Kota Tangerang Selatan dengan nilai
IPM sebesar 79,38. Ini sekaligus menjawab
asumsi pertama, bahwa daerah yang memiliki
prosentase kemiskinan yang rendah dianggap
memiliki kelas menengah yang cukup banyak,
sehingga cenderung mudah menerima adanya
pemimpin perempuan. Namun ternyata, analisis
korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan
yang kuat antara keberadaan perempuan calon
bupati/walikota dengan variabel sosial ekonomi
masyarakat menunjukkan bahwa perempuan
pemimpin politik dapat muncul di daerah dengan
kondisi sosial ekonomi yang beragam.
Tabel 2. Koefisien Korelasi
Kandidat Perempuan
Perempuan/Laki-laki
0.07388
IPM
0.48970
Kemiskinan
-0.15418
Gini
0.25182
Perguruan Tinggi
0.26106
% Pengguna Internet
0.46157
Sumber: diolah oleh penulis
Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada
variabel sosial ekonomi yang memiliki hubungan
yang kuat dengan variabel keberadaan perempuan
calon bupati/walikota. Hanya variabel IPM dan
proporsi pengguna internet yang memiliki
hubungan level sedang atau menengah dengan
keberadaan perempuan calon bupati/walikota,
dengan koefisien korelasi sebesar 0,48 dan
0,46. Indeks gini dan distribusi perguruan tinggi
Sumber: data BPS diolah oleh penulis.
Grafik 4. IPM di beberapa Kabupaten/Kota yang
dimenangkan Calon Perempuan
Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 159 Sementara itu, Grafik 5 selanjutnya,
menunjukkan variasi tingkat kemiskinan
di kabupaten/kota yang dimenangkan oleh
perempuan calon bupati/walikota pada Pilkada
langsung 2015. Kandidat perempuan bisa
muncul dan menang di daerah dengan prosentase
kemiskinan yang sangat rendah, seperti di Kota
Tangerang Selatan (1,68%), Bontang (5,2%)
dan Tabanan (5,2%) atau di daerah dengan
penduduk yang prosentase kemiskinannya
sangat tinggi seperti di Seram Bagian Timur
(23,4%) maupun Gunung Kidul (20,83%). Hal
serupa juga terlihat pada tingkat kesenjangan
sosial yang tercermin pada nilai IPM. Kandidat
bupati/walikota perempuan ternyata dapat
muncul di daerah dengan tingkat kesenjangan
tinggi seperti Tabanan (IPM=0,36), maupun
daerah dengan tingkat kesenjangan rendah
seperti Kutai Timur (IPM=0,20). Hal ini untuk
menjawab asumsi kedua tulisan ini bahwa
ketimpangan pendapatan yang tercermin dari
indeks gini dianggap menunjukkan kesetaraan
dalam suatu daerah; daerah dengan ketimpangan
yang rendah diasumsikan memiliki pandangan
yang lebih terbuka dalam menerima pemimpin
perempuan. Ternyata, menang tidaknya kandidat
perempuan juga tidak berhubungan dengan
tingkat kesenjangan di daerah tersebut. Mereka
dapat menang di daerah dengan kesenjangan
rendah seperti di Bontang, Jember atau Kutai
Kertanegara, maupun di daerah dengan tingkat
kesenjangan tinggi seperti di Sragen, Klaten atau
Grobogan.
Sumber: Data BPS diolah oleh penulis.
Grafik 5. Proporsi Penduduk Miskin di Kabupaten/
Kota yang dimenangkan Calon Perempuan
Selanjutnya, tabel 3 di bawah ini,
menampilkan distribusi kandidat menurut
wilayah yang dibagi ke dalam enam wilayah
yaitu Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku,
Kalimantan, Bali-NTT-NTB, dan Papua. Tabel
tersebut menunjukkan distribusi kandidat yang
tidak merata, terkonsentrasi di Jawa (39,29%),
Sumatera (21,43%) dan Sulawesi-Maluku
(19,64%). Selain itu, terlihat bahwa sebagian
besar kandidat perempuan yang menang berada
di Jawa mencapai 54,17%. Walaupun demikian,
prosentase kemenangan kandidat perempuan
terbesar berada di Bali-NTT-NTB (Tabanan,
Karangasem, Bima) yang mencapai 100%.
Tabel 3. Distribusi Kandidat dan Prosentase
Kemenangan Perempuan dalam Pilkada Langsung
serentak, 9 Desember 2015
Kandidat
Menang
Jumlah
%
Jumlah
%
% Menang
Jawa
22
39.29
13
54.17
59
Sumatera
12
21.43
1
4.17
8
Sulawesi-Maluku
11
19.64
4
16.67
36
Kalimantan
6
10.71
3
12.50
50
Bali-NTT-NTB
3
5.36
3
12.50
100
Papua
Total
2
3.57
0
0.00
0
56
100.00
24
100.00
43
Sumber: diolah dan dikelompokkan oleh penulis
berdasarkan data dari laman KPU tahun 2015
Analisis korelasi pada level provinsi
menunjukkan hubungan antara keberadaan
perempuan calon bupati/walikota dengan
distribusi perguruan tinggi nilainya rendah.
Namun, jika diagregasi pada level yang lebih
tinggi pada level wilayah (Jawa, Sumatera,
Sulawesi dan Maluku, Kalimantan, Bali-NTTNTB, dan Papua) terlihat sebaran kandidat
perempuan yang sangat mirip dengan sebaran
perguruan tinggi baik (Grafik 6). Agregasi data
perguruan tinggi pada level wilayah yang lebih
tinggi ini secara sederhana dapat menunjukkan
pola sebaran yang terjadi. Selain itu, persebaran
penduduk dalam menempuh pendidikan tinggi
lebih kami anggap dapat lebih dijelaskan oleh
persebaran perguruan tinggi di level wilayah
tersebut dibanding membatasinya pada level
provinsi.
160 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166
terkonsentrasi di Jawa, Sumatera, dan SulawesiMaluku adalah terkait dengan fakta keberadaan
perguruan tinggi yang juga terkonsentrasi
paling banyak di Jawa, menyusul Sumatera, lalu
Sulawesi-Maluku. Sementara jumlah perguruan
tinggi semakin sedikit di Kalimantan, lalu BaliNTT-NTB, dan Papua.
Perguruan tinggi menjadi salah satu faktor
yang bisa menjelaskan perbedaan signifikan
jumlah perempuan kandidat kepala daerah di
Jawa dan daerah-daerah lainnya karena melalui
perguruan tinggi yang banyak tersebut, karena
perguruan tinggi menjadi tempat penyebaran ideide baru, diskusi-diskusi mengenai perkembangan
demokrasi, termasuk perkembangan dari luar
meyangkut persoalan kepemimpinan perempuan.
Dengan demikian, masyarakat banyak terutama
yang hidup dan berada di sekitar daerah tersebut,
akan memiliki kesempatan eksposur yang lebih
banyak terhadap ide dan perkembangan baru
termasuk persoalan kepemimpinan perempuan.
Ket: Balok warna biru (kiri) menunjukkan jumlah
perempuan kandidat kepala daerah
Balok warna merah (kanan) menunjukkan jumlah
perguruan tinggi
Sumber: diolah dan dikelompokkan oleh penulis
berdasarkan data dari laman KPU tahun 2015...?
Grafik 6. Jumlah Perempuan Calon Bupati/Walikota
pada Pilkada Langsung 2015, dan Jumlah Perguruan
Tinggi
Balok warna biru (di bagian kiri)
menggambarkan jumlah perempuan kandidat
kepala daerah dimana paling banyak berada di
Jawa (22 orang), kemudian disusul Sumatera (12
orang), Sulawesi-Maluku (11), dan kemudian
dalam jumlah yang lebih sedikit di Kalimantan
(6 orang), Bali-NTT-NTB (3 orang), dan terakhir
adalah Papua (2 orang). Ternyata salah satu
penjelasan yang masuk akal mengapa jumlah
perempuan kandidat kepala daerah cenderung
Peran strategis perguruan tinggi, sebagai
pusat diseminasi ide-ide, menggagas nilai-nilai
ideal dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
di sekitarnya, bahkan penemuan-penemuan
revolusioner dalam sejarah peradaban manusia
telh teruji ratusan tahun dalam berbagai lintasan
sejarah bahkan sejak zaman ‘Renaissance’
(pencerahan). 44 Dalam konteks inilah,
penelusuran lebih jauh memperlihatkan bahwa
sejak masa kolonial Belanda, Jawa dan Madura
adalah daerah dengan jumlah penduduk terpadat
disebabkan beberapa hal di antaranya keberadaan
tanah lahan pertanian yang subur, jumlah
intensitas hujan yang tinggi, dan pembangunan
fasilitas pendidikan, kesehatan yang banyak
dilakukan pemerintah Belanda.45 Konsentrasi
pembangunan berbagai fasilitas pendidikan
di Jawa yang berbeda dengan daerah lainnya
terus berlanjut pada masa setelah kemerdekaan.
Apalagi ditambah dengan pergerakan kaum muda
Muslim dalam gerakan tarbiyah tahun 1980an
di universitas-universitas di Jawa (ITB, UGM,
Doris Wilkinson, “Transforming the Social Order: The Role
of the University in Social Change”, Sociological Forum, vol.
9, no. 3 (September 1994), hlm.327-328, http://www.jstor.org/
stable/684706 (diakses pada 23 Agustus 2016)
44
Lihat Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia,
Towards Social Welfare in Indonesia (Jakarta: Ministry of Social
Affairs, Republic of Indonesia, 1954), hlm. 11.
45
Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 161 IAIN) sebagai bagian gerakan kebangkitan Islam
tahun 1970an menjadi salah satu katalis penting
bagi ide-ide progresif untuk bermunculan. Patut
dicatat pula bahwa sejak awal tahun 1990an,
para aktifis Muslim di Jakarta menyebarkan
gagasan-gagasan feminis Muslim melalui
Jurnal Ulumul Qur’an dengan mengetengahkan
pemikiran dan tulisan Ashgar Ali Engineer, Riffat
Hasan, dan Fatima Mernissi. Kemudian secara
perlahan muncul figur-figur berpengaruh dalam
wacana kesetaraan gender dalam Islam seperti
Wardah Hafidz, Siti Musdah Mulia, Lili Zakiyah
Munir, Farha Ciciek, Siti Ruhaini Dzuhayatin,
Lies-Marcos Natsir, Nasaruddin Umar, dan KH.
Husein Muhammad.
Melihat dinamika yang terjadi di perguruan
tinggi dan komunitas intelektual sedemikian
rupa, maka tidak mengherankan catatan Sita
van Bemmelen dan Mies Grijn (2005) bahwa
meskipun tren kemunculan para perempuan
Muslim yang semakin percaya diri dalam politik
tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa Jawa adalah pusat berbagai
pendidikan, pusat gerakan Islam tradisional
dan Islam modernis yang paling berpengaruh,
di mana sebagian besar para penggiat wacana
gender (dalam Islam) berasal.46
Selanjutnya, tulisan ini melihat secara
lebih jauh mengenai bagaimana arus informasi
sangat penting dalam membentuk keterbukaan
masyarakat dalam menerima nilai-nilai maupun
ide-ide baru. Sebelumnya dalam analisis korelasi
telah disebutkan bahwa terdapat hubungan
dengan nilai yang sedang antara keberadaan
perempuan calon bupati/walikota dengan
proporsi pengguna internet pada level provinsi.
Grafik 7 menunjukkan sebaran kedua variabel
tersebut pada tingkat agregasi yang lebih tinggi
atau level wilayah.
Sita van Bemmelen and Mies Grijns, “What Has Become of
The Slendang? Changing Images of Women and Java,” dalam
Hans Antlov and Jorgen Hellman (eds), The Java That Never
Was: Academic Theories and Political Practices (USA and
London: Transaction Publisher, 2005), hlm 115.
Sumber: www.kpu.go.id dan www.bps.go.id; dihitung
oleh penulis.
Grafik 7. Jumlah Perempuan Kandidat Kepala
Daerah pada Pilkada Langsung Serentak 9 Desember
2015 dan Persentase Pengguna Internet
“Internet” dalam hal ini merujuk pada
jaringan elektronik yang menghubungkan
orang-orang dan informasi melalui komputer dan
sarana lainnya yang memungkinkan komunikasi
dan saling memberikan informasi orang-per
orang. 47 Penggunaan internet secara massif
oleh berbagai kalangan mulai merebak sejak
tahun 1990an, yang semula terbatas pada laman
lembaga-lembaga tertentu, dan bersifat pasif.
Kemudian sejak tahun 2000an, penggunaan
internet semakin berkembang ke komunikasi
digital dua arah melaui media sosial seperti
facebook, twitter, instagram, dan sebagainya.
Jadi, internet menyajikan kemudahan bagi
siapa saja yang memiliki komputer dan jaringan
untuk mengakses beragam informasi apa saja,
dari mana saja, termasuk di dalamnya ide,
gagasan, atau praktik terkait persoalan gender
atau kepemimpinan perempuan yang muncul
di negara lain. Intenet memiliki peran strategis
sebagai salah satu kekuatan politik, karena
internet memungkinkan orang berjejaring melalui
sosial media, menjadi sebuah komunitas besar
lintas benua dan negara, di mana akses informasi
menjadi lebih mudah, cepat, termasuk untuk
46
Paul DiMaggio, Eszter Hargittai, W. Russell Neuman and
John P. Robinson, “Social Implications of the Internet”, Annual
Review of Sociology, vol. 27 (2001): 307-336, hlm. 307 http://
www.jstor.org/stable/2678624 (diakses pada 23 Agustus 2016).
47
162 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166
melakukan mobilisasi kolektif melakukan sebuah
gerakan perubahan.48
Melihat betapa strategisnya peran internet
dalam penyebaram ide dan gagasan secara
luas dan massif, maka tulisan ini menyajikan
Grafik 7 tersebut. Grafik 7 menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa perempuan (calon) kepala
daerah terkonsentrasi di wilayah yang memiliki
proporsi penduduk berumur 5 tahun ke atas yang
mengakses internet selama tiga bulan terakhir
dengan nilai yang tinggi. Hal ini sekaligus
menjawab asumsi ketiga tulisan ini bahwa
eksposur yang lebih banyak terhadap ide dan
perkembangan tentang demokrasi dan kesetaraan
gender melalui perguruan tinggi dan proporsi
penduduk yang memiliki akses internet, di daerah
yang bersangkutan menjadi salah satu pendorong
banyaknya jumlah kandidat perempuan sebagai
kepala daerah. Hal ini menunjukkan bagaimana
arus informasi sangat penting dalam membentuk
keterbukaan masyarakat dalam menerima nilainilai maupun ide-ide baru, termasuk persoalan
gender dan perempuan sebagai pemimpin.
Penutup
Tulisan ini didasari ketertarikan yang mendalam
untuk melihat kemungkinan kondisi sosial
ekonomi yang kemungkinan memfasilitasi
kemunculan dan kemenangan para perempuan
kepala daerah, khususnya pada Pilkada Langsun 9
Desember 2015. Tulisan ini menunjukkan bahwa
dari 179 kabupaten/kota, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, dan gini
rasio (ketimpangan pendapatan) tidak berkorelasi
dengan jumlah perempuan kandidat kepala
daerah, maupun jumlah perempuan yang menang.
Tulisan ini menemukan bahwa jumlah
perempuan kandidat kepala daerah maupun
jumlah perempuan terpilih terkonsentrasi di
daerah yang memiliki jumlah universitas yang
banyak dan rata-rata tingkat akses internet yang
tinggi seperti di Jawa. Lembaga perguruan
tinggi dalam hal ini universitas menjadi menjadi
salah satu katalis penting bagi ide-ide progresif
Clay Shirky, “The Political Power of Social Media:
Technology, the Public Sphere, and Political Change”, Foreign
Affairs, vol. 90, no. 1 (January/Feburay 2011): 28-41, http://
www.jstor.org/stable/25800379 (diakses pada 23 Agustus
2016).
48
untuk bermunculan, termasuk dalam wacana
mengenai perempuan sebagai pemimpin atau
kandidat dalam Pilkada Langsung. Sementara
itu, tulisan ini juga menemukan bahwa eksposur
masyarakat di daerah terhadap ide-ide baru
melalui internet menjadi salah satu pendorong
banyaknya jumlah kandidat perempuan sebagai
kepala daerah di daerah yang bersangkutan.
Hal ini menunjukkan bagaimana arus informasi
sangat penting dalam membentuk kesadaran dan
keterbukaan masyarakat dalam menerima ide-ide
baru, termasuk persoalan gender dan perempuan
sebagai pemimpin.
Temuan dan analisis tulisan ini berhasil
menampilkan sisi-sisi lain yang selama ini belum
terungkap. Melalui pendekatan kuantitatif, tulisan
ini tidak saja mampu menampilkan data-data
yang belum tergali untuk menunjukkan dinamika
sosial ekonomi di daerah-daerah di mana para
perempuan kepala daerah berasal, sebagai bagian
upaya memahami fenomena kemunculan para
perempuan sebagai kepala daerah di Indonesia
secara lebih utuh.
Pada akhirnya, tulisan ini hendak
menggarisbawahi dua hal penting: pertama,
perempuan kepala daerah dapat muncul dalam
kondisi sosial ekonomi apapun. Hal ini
menjadi sebuah berita positif bagi perempuan
Indonesia. Karena perempuan di daerah mana
saja di Indonesia, tidak peduli dalam kondisi
masyarakat dengan IPM tinggi atau rendah,
tingkat kemiskinan tinggi atau rendah, dan
tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi
atau rendah, tetap dapat muncul sebagai calon
kepala daerah. Kedua, penyebaran berbagai
gagasan baru dan informasi melalui universitas
dan media internet di suatu daerah menjadi kunci
peningkatan jumlah perempuan kepala daerah.
Hal ini menyiratkan pesan pentingnya upaya
untuk terus menerus membuka akses pendidikan
dan komunikasi ke daerah-daerah terbelakang
(kawasan Indonesia timur) untuk memperbesar
eksposur masyarakat terhadap gagasan-gasagan
baru, dan meningkatkan imajinasi mereka
mengenai kiprah progresif perempuan Indonesia
dalam politik. Jika dikaitkan dengan ‘agency’
sebagai salah satu dimensi dalam pemberdayaan
perempuan, pendidikan dalam hal ini perguruan
tinggi memang menjadi salah satu kunci penting
Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 163 bagi perempuan untuk meningkatkan modal
individu (individual capital). Jadi, dengan
memperbanyak jumlah perguruan tinggi di suatu
daerah tidak saja akan memperbesar ekposure
masyarakat terhadap dinamika gagasan-gagasan
baru yang berkembang. Namun lebih dari
itu, akan memperbanyak pilihan bagi seorang
perempuan dalam upaya memenuhi ‘agency’nya yaitu meningkatkan kapasitas dirinya,
memperoleh kepercayaan diri, sebagai modal
mendasar untuk berkiprah di ruang publik,
dengan berbagai pilihan pendidikan di daerahnya
maupun di tempat lain.
Referensi
Buku
Blackburn, Susan., Bianca J Smith, Siti Syamsiyatun.
“Introduction”, dalam Susan Blackburn, Bianca
J. Smith, Siti Syamsiyatun (eds). Indonesian
Islam in A New Era: How Women Negotiate
Their Muslim Identities. Clayton: Monash
University Press. 2008.
Boserup, Ester. Woman’s Role in Economic
Development. Great Britain: George Allen and
Unwin. 1970.
Chowdhry, Geeta. “Engendering Development:
Women in Development (WID) in International
Development Regimes”, dalam Marianne H.
Marchand and Jane L. Papart (eds.). Feminism/
Postmodernism/Development. London and
New York: Routledge. 1995.
Dewi, Kurniawati Hastuti, ed., Kebangkitan
Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal.
Tangerang: Mahara Publishing, 2016.
Dewi, Kurniawati Hastuti. Indonesian Women and
Local Politics: Islam, Gender and Networks in
Post-Suharto Indonesia. Singapore: NUS Press
and Kyoto University Press, 2015.
Mahmood, Saba. Politics of Piety: the Islamic Revival
and the Feminist Subject.Princeton and Oxford:
Princeton University Press, 2005.
Ministry of Social Affairs of the Republic of
Indonesia. Towards Social Welfare in Indonesia.
Jakarta: Ministry of Social Affairs, Republic of
Indonesia. 1954.
Mosser, Caroline. “Gender Planning in the third
World: Meeting Practical and Strategic Needs”,
dalam Rebecca Grant and Kathleen Newland
(eds.). Gender and International Relations.
Suffolk: Open University Press. 1991.
Norris, Pippa. “Introduction: Theories of Recruitment,”
dalam ed. Pippa Norris (ed). Passage to
Power: Legislative Recruitment in Advanced
Democracies. Great Britain: Cambridge
University Press. 1997.
Norris, Pippa., and Joni Lovenduski, Political
Recruitment: Gender, Race, and Class in the
British Parliament. Great Britain: Cambridge
University Press. 1995.
O’Donnell, Guillermo. “Human Development, Human
Rights, and Democracy,” dalam Guillermo
O’Donnell, Jorge Vargas Cullell, Osvaldo M.
Iazzetta (eds.). The Quality of Democracy
Theory and Applications. USA: University of
Notre Dame Press. 2004.
Rogers, Barbara. The Domestication of Women:
Discrimination in Developing Societies.
London and New York: Routledge.1980.
Rowlands, Jo. Questioning Empowerment: Working
with Women in Honduras. UK and Ireland:
Oxfam. 1997.
Sen, Amartya. Development as Freedom
New York: Alfred A. Knopf. 1999.
Terjesen, Siri, ‘A. Sen’s ‘Development as freedom’,
January 2004, https://www.researchgate.net/
publication/27466009 (diakses pada 16 Agustus
2016)
Tinker, Irene, ed., Persistent Inequalities: Women
and World Development. New York: Oxford
University Press. 1990.
Van Bemmelen, Sita and Mies Grijns. “What Has
Become of The Slendang? Changing Images
of Women and Java,” dalam Hans Antlov
and Jorgen Hellman (eds). The Java That
Never Was: Academic Theories and Political
Practices. USA and London: Transaction
Publisher. 2005.
Yayasan SATUNAMA, “Perempuan di Pilkada
Serentak 2015: Perspektif dan Lingkar
Kekuasaan di Sekitaran Calon Perempuan
Peserta Pilkada,” Yayasan SATUNAMA,
Yogyakarta, 2015.
Young, Kate. “Gender and Development” dalam
Nalini Visvanathan, and others, (eds). The
Women, Gender and Development Reader,
London and New Jersey: Zed Books. 2000.
Jurnal
Amrullah, Eva F. “Seeking Sanctuary in ‘the age of
disroder’: Women in Contemporary Tablighi
Jama’at,” Contemporary Islam 5/2, (2011):
135-160.
164 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166
Batliwala, Srilatha. “Taking the Power out of
Empowerment: An Experiential Account”,
Development in Practice, vol. 17, no. 4/5
(August 2007): 558
DAWN. “Rethinking Social Development: DAWN’s
Vision,” World Development 23, no.11(1996).
Dewi, Kurniawati Hastuti. “Profiles, Statuses and
Performance of Female Local Leaders: Impact
Study of Direct Local Elections,” Indonesian
Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015):
47-52.
Dewi, Kurniawati Hastuti. “Perspectives
Versus Practices: Women’s Leadership in
Muhammadiyah”, SOJOURN: Journal of
Social Issues in Southeast Asia, vol. 23/2,
October 2008: (161-185)
DiMaggio, Paul., Eszter Hargittai, W. Russell Neuman
and John P. Robinson.
“Social Implications of the Internet”, Annual Review
of Sociology, vol. 27 (2001): 307, http://www.
jstor.org/stable/2678624 (diakses pada 23
Agustus 2016).
Kabeer, Naila. “Resource, Agency, Achievements:
Reflections on the Measurement of Women’s
Empowerment”, Development and Change,
vol. 30 (1999): 437-438.
Lipset, Seymour Martin. “Some Social Requisites
of Democracy: Economic Development and
Political Legitimacy,” The American Political
Science Review, vol. 53, no. 1 (Mar., 1959):
69-105.
Mahmood, Saba. “Feminist Theory, Embodiment, and
the Docile Agents: Some Reflections on the
Egyptian Islamic Revival,” Cultural Anthropology 16, no. 2 (May 2001), 225
Oxaal, Zoe and Sally Baden. “Gender and Empowerment: Definitions, Approaches, and Implications for Policy,” BRIDGE Development – Gender Report, no. 40 (October 1997).
Perludem. “Evaluasi Pilkada Serentak 2015,” Jurnal Pemilu & Demokrasi, no. 8 (April 2016).
Robinson, Kathryn. “Indonesian Women’s Rights, International Feminism and Democratic Change,”
Communal/Plural 6, no.2 (1998): 212.
Shirky, Clay. “The Political Power of Social Media:
Technology, the Public Sphere, and Political
Change”, Foreign Affairs, vol. 90, no. 1 (January/Feburay 2011), http://www.jstor.org/stable/25800379 (diakses pada 23 Agustus 2016).
Wilkinson, Doris. “Transforming the Social Order:
The Role of the University in Social Change”,
Sociological Forum, vol. 9, no. 3 (September 1994) : 327-328, http://www.jstor.org/stable/684706 (diakses pada 23 Agustus 2016)
Thesis
Safira Machrusah, “Muslimat Nahdlatul Ulama:
Negotiating Gender Relations within a
Traditional Muslim Organisation in Indonesia”
(Master thesis, the Australian National
University, 2005).
Paper
Achmad, Sjamsiah. “Perempuan Dalam Politik:
Kampanye 50-50 Asia Pasifik 2005, Indonesia
Kapan”. Paper 13 April 2001, Jakarta, hlm. 1.
Desai, Manisha. “Hope in Hard Times: Women’s
Empowerment and Human development”.
United Nations Development Programme,
Human Development Research Paper 2010/14,
July 2010, hal. 4.
PERLUDEM, “Jalan Terjal Perempuan Kepala
Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan
Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan
Properempuan”. Jakarta, 20 Desember 2015.
Surat Kabar
Dewi, Kurniawati Hastuti. 2005. “Menjenderkan
Pemerintahan Daerah”, KOMPAS, 15 Februari.
Dewan Perwakilan Daerah-Republik Indonesia, 2015,
“DPD evaluasi Pilkada serentak 2015”, 18
Desember 2015, dalam http://dpdri.merdeka.
com/berita/dpd-evaluasi-pilkada-serentak2015-151218o.html,iunduh 81 Agustus 2016.
Munir, Lili Zakiyah. “Islam, Gender and Equal Rights
for Women,” The Jakarta Post, December 10,
2002.
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII), “Pilkada
Serentak Telah Usai, Ini Evaluasi Pusat Studi
Hukum Konstitusi FH UII”, 18 Januari 2016,
dalam http://www.berita9online.com/nasional/
pilkada-serentak-telah-usai-ini-evaluasi-pusatstudi-hukum-konstitusi-fh-uii/ , diunduh 18
Agustus 2016.
Sumber Online
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8/2015
tentang “Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang”, http://www.dpr.go.id/
dokjdih/document/uu/1627.pdf, diunduh 18
Agustus 2016.
Konteks Sosial Ekonomi ...| Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady | 165 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10/2016
tentang “Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang”, http://jdih.kpu.go.id/data/
data_tematik/UU_Nomor_10_Tahun_2016.
pdf, diunduh 8 November 2016.
166 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 149–166
DESENTRALISASI DAN OLIGARKI PREDATOR DI WAKATOBI:
PERAN OLIGARKI DAN ELIT PENENTU DALAM PEMBANGUNAN
PERDESAAN
DECENTRALIZATION AND OLIGARCHY PREDATOR IN WAKATOBI:
THE ROLE OF OLIGARCHY’S AND ELITE’S STRATEGIC IN RURAL
DEVELOPMENT
Eka Suaib
Universitas Halu Oleo
Email: [email protected]
La Husen Zuada
Universitas Halu Oleo
Email: [email protected]
Waode Syifatu
Universitas Halu Oleo
Abstract
The present article discusess about the practice of oligarchy in Wakatobi. Wakatobi has attracted lots of
tourist in recent past and tourism has become one of the major source of bussiness in this area. The tourism
industry guarantees not only employment in the region but is also a major way to gain political power. In this era
of Wakatobi the regional autonomy is controlled by political elites and entrepreneurs. It is these political elites and
the enterprenuers who also control the tourism industry and are the owners of the largest tourist company.There
is nexus between the politicians and the entreprenuers who takes away all the major gorvernment tourist projects.
This group of politicians and enternprenuers, who are responsible for the development of the region, are also the
people who control the maximum wealth of the region. Though the presence of oligarchy in Wakatobi has grown
new businesses, created jobs and increased the number of tourists in the region, but it has also brought income
inequality, land owners and labors conflicts and other problems among people of Wakatobi.
Key words: Decentralization, Oligarchy Predator, Elite Strategic, Rural Development, Wakato
Abstrak
Artikel ini menguraikan tentang praktek oligarki di Wakatobi. Keunggulan pariwisata yang dimiliki Wakatobi
menjadikan daerah ini sebagai lahan bisnis paling menjajikan. Potensi ini menjadi incaran para pengusaha, tidak
terkecuali para elit politik. Di era otonomi daerah, para elit politik dan pengusaha adalah pemilik perusahan sektor
pariwisata terbesar di Wakatobi dan juga berperan sebagai kelompok yang mengerjakan proyek pemerintah. Di era
otonomi daerah, elit politik dan elit ekonomi di Wakatobi merupakan elit penentu, diantara mereka bertransformasi
menjadi oligarki predator yang melibatkan diri dalam pertahanan dan peningkatan kekayaan melalui sejumlah bisnis
yang mereka kelola. Kehadiran oligarki di Wakatobi menumbuhkan gairah usaha baru, membuka lapangan pekerjaan
dan meningkatkan jumlah wisatawan. Namun pada sisi yang lain, kehadiran oligarki memunculkan ketimpangan
pendapatan, konflik lahan serta perburuhan antara pemerintah, pengusaha dan warga di Wakatobi.
Kata Kunci: Desentralisasi, Oligarki Predator, Elite Penentu, Pembangunan Perdesaan, Wakatobi
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 167 Pendahuluan
Transisi kekuasaan dari otoriter Soeharto menuju
demokrasi tidak diikuti dengan keruntuhan
oligarki di Indonesia. Kelompok oligarki yang
hidup dan dibesarkan oleh Soeharto masih
tetap bertahan dan mereformasi diri. Fenomena
bertahannya oligarki terlihat dalam laporan
majalah Forbes (2010), dimana setelah dua belas
tahun reformasi bergulir sebanyak 40 orang
warga negara Indonesia menguasai 10,3 % PDB
dengan total kekayaan 680 triliun rupiah. Jumlah
ini setara dengan kekayaaan 60 juta jiwa orang
paling miskin.
Pada tahun 2015 berdasarkan catatan Bank
Dunia, Indonesia menempati peringkat pertama
negara paling timpang di Asia. Sejumlah analis
berpendapat bahwa situasi ini lebih parah bila
dibandingkan dengan kesenjangan menjelang
orde baru runtuh serta enam belas tahun reformasi
bergulir. Bercokoknya oligarki di tingkat nasional
tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di tingkat
daerah, dimana kekuasaan material (kekayaan)
terkonsentrasi pada sekolompok orang. Mereka
adalah kaum oligarki zaman orde baru yang
masih bertahan dan para oligarki yang muncul
ketika desentralisasi digulirkan.1 Oligarki yang
disebutkan terakhir, lahir dengan memanfaatkan
sejumlah kewenangan yang diserahkan kepada
daerah di era otonomi daerah.
Kehadiran otonomi daerah dan desentralisasi
dipandang dapat menciptakan tiga hal2: pertama,
menyediakan public good and services, efisiensi
dan efektitas pembangunan ekonomi; kedua,
meningkatkan keterampilan dan kemampuan
politik para penyelenggara pemerintahan dan
masyarakat serta mempertahankan integrasi
nasional; ketiga, mewujudkan politic equality,
local acountablity, local responsiveness. Tidak
dapat dipungkiri tiga tujuan itu terwujud pada
Ulasan tentang oligarki era orde baru dan era reformasi ini baca
Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan Indonesia Ekonomi Politik
Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005). Baca pula
Jeffrey Winters., Oligarki. (Jakarta: Gramedia, 2011), hal. 206286. Baca juga Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya
Kapitalisme Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012).
1
Pandangan ini diutarakan oleh Rondinelli, dalam bahasa yang
berbeda diutarakan pula oleh Jurgen Ruland. Keduanya lihat
dalam Syarif Hidayat., Too Much Too Soon Local State Elite’s
Perspective on and The Puzzle of Conteporary Indonesian
Regional Autonomy Policy, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),
hlm. 238-240.
2
beberapa daerah. Meskipun pada sisi yang
lain, desentralisasi dimanfaatkan pula oleh
sekelompok orang untuk memperkaya diri. Tak
heran kemudian istilah desentralisasi kekuasaan,
diikuti pula desentralisasi kekayaan kepada
sekelompok orang. Istilah ini tampak relevan
untuk menggambarkan perjalanan lima belas
tahun otonomi daerah di Indonesia (2001-2016).
Desentralisasi yang diharapkan mewujudkan
prinsip kesetaraan, keadilan dan partisipasi,
pada beberapa daerah di Indonesia, justru
meminggirkan masyarakat, baik dalam aspek
politik maupun ekonomi. Praktek tersebut
diantaranya berlangsung di Wakatobi, dimana
sekelompok orang menguasai sebagian
besar bisnis pariwisata yang menjadi sektor
andalan kabupaten yang mekar dari Kabupaten
Buton tahun 2003 silam. Penguasaan bisnis
pariwisata oleh sekelompok orang semakin tidak
menguntungkan bagi masyarakat Wakatobi yang
memiliki kekuasaan atas tanah dan berprofesi
sebagai nelayan. Mereka dibatasi dan dilarang
untuk mencari mata pencaharian di sekitar pusatpusat bisnis pariwisata (resort) yang dikelola oleh
para oligarki di Wakatobi. Selain pemilik resort,
pembatasan terhadap nelayan juga didukung
oleh kebijakan pemerintah dan pemerintah
daerah3 yang memberlakukan sistem zonasi
taman nasional, yang berakibat pada pelarangan
penangkapan ikan pada zona-zona tertentu.4
Dampak ini sangat dirasakan oleh nelayan dan
orang laut (suku Bajo) yang semakin sulit dalam
memenuhi kebutuhan hidup.5
Salah satu peraturan daerah yang membatasi ruang gerak
nelayan di Wakatobi adalah Peraturan Daerah Kabupaten
Wakatobi Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi.
3
Kesulitan para nelayanan ini ditulis pula dalam laporan riset
lembaga intenasional OXFAM bahwa masalah yang dihadapai
oleh nelayan-nelayan lokal di Wakatobi (Sampela dan Ambeua)
yaitu kebebasan mereka untuk menangkap ikan di lepas
pantai telah dibatasi. Lihat Paul Simonin, Laporan Mengenai
Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi
Tenggara, Indonesia, (Atkinson Center for a Sustainable Future
& OXFAM), hlm. 19
4
Keluh kesah kesulitan hidup yang dialami oleh Suku Bajo di
Wakatobi diceritakan oleh Indrawati Aminudin (scholar jurusan
Leisure, Tourism and Enviroment di Wageningen University,
Belanda) dalam artikelnya yang berjudul “Orang Bajo di Surga
Bawah Laut” 5 Maret 2012, http://indoprogress.com/2012/03/
orang-bajo-di-surga-bawah-laut/ (diakses pada tanggal 29
September 2016).
5
168 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Keunggulan pariwisata dan desentralisasi di
Wakatobi dimanfaatkan oleh elit politik dan elit
ekonomi untuk melakukan akumulasi kekayaan
dan mempertahkan kekayaan—pertahanan harta
dan pertahanan pendapatan. Di era otonomi
daerah (tahun 2015) sejumlah elit politik dan
ekonomi di Wakatobi merupakan ‘pemain besar’
dalam sektor perkonomian. Diantara mereka
terbagi dalam bisnis yang berbeda dan ada pula
yang mencoba menggarap lebih dari dua sektor.
Bisnis itu meliputi: bisnis transportasi (kapal),
pengerjaan proyek infrastruktur (jalan, bandara
dan pelabuhan), serta penyedia resort dan hotel.
Bisnis transportasi laut terbesar di Wakatobi
misalnya, dimiliki oleh Arhawi (pengusaha
lokal/Wakil Bupati Wakatobi 2011-2016/
Bupati Wakatobi terpilih 2016-2021). Sektor
infrastruktur dikerjakan oleh Ceng Ceng,
pengusaha Tionghoa yang berasal dari Bau-Bau
dan memiliki kedekatan dengan Hugua, Bupati
Wakatobi dua periode (2006-2011/2011-2016).
Hugua yang juga Ketua DPD PDI.P Sulawesi
Tenggara membangun kerajaan bisnis dibawah
bendera Patuno Resort dan Pata Pulo Travel,
yang bergerak dibidang bisnis pariwisata dan
transportasi.
Sosok lain yang cukup berpengaruh adalah
Mr. Lorenz Mader, pengusaha dan warga negara
Swiss pemilik Wakatobi Dive Resort. Berbeda
dengan Hugua, Arhawi dan Ceng Ceng yang
muncul di era otonomi daerah, Mr. Lorenz hadir
sejak orde baru dan di era otonomi daerah tetap
bertahan. Mr. Lorenz merupakan saingan Hugua
dalam bisnis pariwisata (Resort) di Wakatobi.
Melalui wawancara di media Hugua seringkali
menyinggung sektor Pariwisata Wakatobi
dikuasai oleh asing (Lorenz didalamnya) dan
harus dikurangi, meskipun hal ini tidak pernah
terbukti. Di Lamanggau Lorenz semakin berkuasa
dan mampu mempertahankan pendapatannya.
Secara bersamaan Hugua tumbuh menjadi
oligarki lokal yang predator.
Sejak dipimpin Hugua, Wakatobi menjadi
salah satu daerah yang mengalami pertumbuhan
ekonomi tinggi (mendekati 10 %) di Sulawesi
Tenggara. Sepuluh tahun berkuasa, Hugua mampu
meningkatkan pendapatan asli daerah, kunjungan
wisatawan dan membuka keterisolasian Wakatobi
melalui pembangunan dan pengoperasian
bandara Mataohara. Hugua juga secara perlahan
menurunkan angka kemiskinan di Wakatobi,
namun hal ini tidak disertai dengan pemerataan
pendapatan. Ketimpangan masyarakat
berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi
setiap tahun mengalami kenaikan.
Disisi lain, pertumbuhan ekonomi tinggi
Wakatobi tampak tidak berpengaruh secara
nyata terhadap penurunan angka kemiskinan
dan pengurangan jumlah pengangguran. Laporan
analisis pembangunan Provinsi Sulawesi
Tenggara6 mengkategorikan Wakatobi sebagai
daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi
tinggi tapi pengurangan kemiskinan dan
pengangguran di bawah rata-rata (high-growth
less-pro poor dan high-growth, less-pro job).7
Pembangunan di era Hugua juga dinilai
terlalu fokus ke laut dan mengabaikan daratan.
Situasi ini tergambar pada rendahnya kualitas
infrastruktur di daratan, seperti: jalan dan
keterbatasan fasilitas umum (perbankan, hotel
dan alat transportasi darat).8 Atas kondisi itu,
tidak heran kemudian para aktivis, pemerhati9 dan
elit politik10 di Wakatobi bersuara kritis. Hugua
dinilai tidak memberikan banyak manfaat bagi
Wakatobi sejak memisahkan diri dari Kabupaten
Buton. Dalam berbagai tulisan dan pernyataan
para aktivis seringkali meminjam istilah Hugua
yang menyebut Wakatobi sebagai ‘Surga Laut’.
Oleh para aktivis tagline ini dijadikan kelakar
‘surga di laut dan neraka di darat’. Ungkapan
ini merupakan ekspresi kekecewaan atas
kepemimpinan Hugua yang tidak memberikan
Perkembangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara.
Seri Analisis Pengembangan Wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara 2015, hlm. 4-7
6
Pada tahun 2014 IPM Wakatobi mencapai 66,95. Lihat: Badan
Pusat Statistik, Kabupaten Wakatobi Dalam Angka Tahun 2015,
(Kendari: BPS, 2015), hlm. 364
7
Suasana ini dirasakan langsung oleh penulis saat berkunjung
ke Wakatobi 5-11 Agustus 2015.
8
Sebuah lembaga Swadaya Masyarakat, Forum Komunikasi
KABALI menyampaikan sikap kritis terhadap pemerintah
Hugua yang mengesampingkan kepentingan masyarakat
dan lebih berpihak pada kepentingan pemodal. Lihat http://
kabali-indonesia.blogspot.co.id/2014/10/kebijakan-programkepariwisataan.html (diakses pada 8 Agustus 2016)
9
Salah satu elit politik yang cukup kritis terhadap pemerintahan
Hugua adalah Daryono Moane (Mantan Ketua DPRD
Wakatobi).
10
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 169 banyak manfaat bagi masyarakat Wakatobi,
terkecuali Hugua dan kelompok elit lainnya yang
semakin kaya dan berkuasa.
Berdasarkan uraian di atas, maka artikel ini
mencoba menjawab pertanyaan, seperti apa profil
dan sumber daya kekuasaan kelompok oligarki
di Wakatobi? Dampak apa yang ditimbulkan
dari praktek oligarki terhadap pembangunan
perdesaan?
Oligarki, Desentralisasi dan
Pembangunan Perdesaan
Dalam terminologi klasik, oligarki dipahami
sebagai kekuasaan sekelompok kecil orang
(minoritas). Istilah ini dianggap kurang tepat,
karena mengartikan oligarki sebagai kekuasaan
sekelompok orang sama halnya menyamakannya
dengan elit, yang juga dipahami sebagai
kekuasaan oleh sekelompok orang. Oligarki
dan elit adalah dua hal yang berbeda. Seseorang
dapat dikatakan oligarki, jika ia memegang
kendali sumber daya kekuasaan individual
secara terkosentrasi. Sumber daya kekuasaan itu
meliputi: 1). hak politik; 2). kekuasaan jabatan
resmi dalam pemerintahan atau organisasi; 3).
kekuasaan pemaksaan (koersif); 4). kekuasaan
mobilisasi; 5). kekuasaan material.11 Sebaliknya,
jika sesorang hanya menguasai empat sumber
daya kekuasaan disebutkan pertama, tanpa
memiliki kekuasaan material bukanlah oligarki,
tapi elit. Guna membedakan keduanya Winters
menyebut sebagai berikut:
“oligark bisa punya bentuk kekuasaan elite di
atas atau bercampur dengan dasar material….
tapi elite tak bisa menjadi oligark kalau tidak
memiliki dan menggunakan sendiri kekuasaan
material yang besar….seorang bangsawan feodal
dapat menjadi oligark, tapi jelas bukan kapitalis.
Seorang pemilik bisnis bisa menjadi kapitalis
namun mungkin kekuasaan materialnya masih
kurang untuk menjadi oligark”.
Elite yang disebut Winters ini hampir
senada dengan pendapat Suzanne Keller yang
mempopulerkan istilah elite penentu yaitu mereka
yang dipertimbangkan keputusan-keputusannya
dan tindakan-tindakannya mempunyai akibatakibat penting dan menentukan untuk kebanyakan
anggota masyarakat.12 Elit penentu menurut
Keller meliputi pemimpin politik, ekonomi,
militer, moral, budaya dan ilmu pengetahuan.
Mesikupun itu menurut Keller mereka-mereka
tersebut dapat dikatakan sebagai elit penentu,
jika ruang lingkup kegiatannya mengenai berapa
banyak anggota masyarakat yang dikenai.
Oligarki menurut Jeffrey Winters adalah
politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang
memiliki kekayaan material. 13 Pertahanan
kekayaan mengandung dua hal yaitu pertahanan
harta dan pertahanan pendapatan. Pertahanan
harta adalah upaya oligarki untuk memastikan
kekayaan mereka tidak diambil oleh pihak lain
yang menginginkan, sedangkan pertahanan
pendapatan adalah bagaimana oligarki
mempertahankan pendapatannya melalui
investasi pribadi. Seorang pejabat korup dan
mengumpulkan kekayaan pribadi (dengan cara
apapun), maka dia menjadi elite pemerintah
sekaligus oligark yang mampu melibatkan diri
dalam politik pertahanan kekayaan.14 Dengan
demikian seseorang dapat dikatakan oligarki jika
menguasai sumber daya politik dan sumber daya
ekonomi, yang digunakan untuk melindungi dan
melakukan akumulasi kekayaan.
Vedi Hadiz menyatakan bahwa desentralisasi
di Indonesia memberikan jalan bagi kebangkitan
dan konsolidasi “oligarki lokal”. Subyek
tersebut adalah bertahannya warisan Orde baru
yaitu kelompok predatoris yang kuat yang
mengontrol kekuasaan negara (institusinya dan
sumber dayanya) dan dibarengi dengan tidak
terorganisirnya gerakan sosial yang independen
di masa desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi
justru memperkuat posisi ekonomi dan politik
“oligarki lokal” yang predator ketimbang
memperkuat masyarakat lokal.15
Vedi Hadiz melihat bahwa pasca Soeharto
terjadi suatu persaingan di antara berbagai
Suzanne Keller, Penguasa dan Kekompok Elite: Peranan Elite
Penentu dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), hlm. 28
12
13
Jeffrey Winters, Oligarki, hlm. 10
14
Ibid., hlm. 14
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian
Indonesia: A Southeast Asia Perspective, (Stanford: Stanford
University Press, 2010), hlm. 47-49.
15
11
Jeffrey Winters, Oligarki, hlm. 18
170 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 kelompok dominan untuk memperebutkan
kontrol atas aparatur dan otoritas negara,
terutama dalam hubungannya dengan alokasi
sumber daya dan patronase negara.16 Persaingan
itu berlangsung dalam sistem terbuka dan tidak
terpusat. Partai politik dan parlemen menjadi
wadah persaingan, disertai dengan politik
uang. Sistem ini diperankan oleh aktor-aktor
lokal—tokoh-tokoh daerah, birokrat-politik dan
para pengusaha—yang pada era Soeharto telah
mengalami kematangan. Singkatnya, logika
utama kehidupan politik di Indonesia pascaSoeharto tetap saja perebutan peluang-peluang
untuk rent-seeking melalui pengamanan ‘akses
menuju posisi aparatur negara’ untuk tujuantujuan akumulasi pribadi.
Lebih lanjut Hadiz menyebut, desentralisasi
menyebabkan politik di tingkat lokal menguat
kembali tetapi tidak disertai dengan konsolidasi
demokrasi berideologi liberal karena
menghasilkan “oligarki lokal” yang predatoris
dengan penggunaan politik uang dan premanisme.
Pembajakan institusi demokrasi yang berlangsung
selama desentralisasi dilakukan oleh koalisi yang
memiliki kepentingan-kepentingan predatoris
(perampok/penghisap). Indikasinya dapat dilihat
dari aktor politik yang terlibat seperti birokrat
dan pengusaha yang masih membutuhkan dan
bergantung pada proyek negara dan kontrakkontrak pemerintah, politisi-politisi yang asal
usulnya masih bisa dihubungkan dengan partaipartai lama Orde Baru dan rekruitmen aparatur
politik dan operator politik masih berasal dari
organisasi-organisasi seperti KNPI, HMI dan
GMNI.17
Dalam penelitian Vedi R. Hadiz di Sumatera
Utara, para elit menganggap lembaga-lembaga
demokrasi yang digerakkan dengan politik uang
dan kekerasan bisa sama menguntungkannya
dengan perlindungan rezim otoritarian yang
bersifat menyeluruh. Bahkan deretan kepentingan
yang sekarang memperebutkan kekuasaan di
tingkat lokal tampak lebih bervariasi dibandingkan
Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik
Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES
Indonesia, 2005), hlm. 169
16
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, “Neo-liberal Reforms
and Illiberal Consolidations : The Indonesian Paradox”,
Journal of Development Studies Volume 41 Nomor 2 Bulan
Februari 2005
pada masa Soeharto. Di dalamnya termasuk para
pialang dan bandar politik ambisius, birokrat
negara yang lihai dan masih bersifat predatoris,
kelompok-kelompok bisnis baru yang berambisi
tinggi serta beranekaragam gangster politik, kaum
kriminal dan barisan keamanan sipil. Mayoritas
dari kelompok-kelompok ini dibesarkan oleh
rezim Orde Baru sebagai operator dan pelaksana
lapangannya.18
Oligarki yang dibesarkan oleh rezim
otoritarian Orde Baru secara mengesankan
berhasil melakukan metamorfosis menjadi
oligarki dengan penggunaan politik uang.
Oligarki baru yang hidup di masa pasca otoritarian
berhasil memanfaatkan jaringan patronase dan
mekanisme untuk mengalokasi kekuasaan dan
kekayaan publik, mereka mendapatkan arena
baru dalam wujud partai politik dan parlemen.
Di dalam akomodasi sistem kekuasaan politik
yang telah mengalami desentralisasi dan difusi
berhasil mampu mengubah mereka yang pada
awalnya seorang reformis menjadi bagian di
dalam persatuan kapitalisme predatoris dan
politik demokratis yang dibangun oleh kekuatan
Oligarki.19
Desentralisasi telah dibajak oleh kepentingan
predatoris lokal. Fakta memperlihatkan oligarki
lama dan kepentingan predatoris tidak mampu
dihilangkan oleh reformasi. Mereka berhasil
menyesuaikan diri dan memperlihatkan bahwa
mereka juga bagian dari demokrasi dan reformasi.
Ada lima bentuk elit lokal yang bertarung dalam
arena politik lokal di Indonesia era desentralisasi.
Pertama, mantan elit yang dibesarkan oleh Orde
Baru yang telah belajar untuk menguasai politik
demokrasi pada tingkat lokal melalui penggunaan
politik uang dan berbagai instrumen mobilisasi
politik dan intimidasi. Kedua, birokrat tua yang
dibesarkan oleh Orde Baru yang berharap mampu
melakukan transformasi birokrasi yang telah
lama mereka pegang menjadi kekuatan politik
yang mampu secara langsung menentukan
melalui pembangunan koalisi lokal sebagai
kekuatan pendukungnya. Ketiga, pengusaha
lokal dengan kategori pengusaha dibidang usaha
18
17
ibid
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganizing Power
in Indonesia : The Politics of Oligarchy in an Age of Markets,
(London: Routledge, 2004), hlm. 187-188.
19
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 171 kecil atau menengah seperti misalnya kontraktor,
perdagangan dan jasa yang ambisi semakin
meningkat. Keempat, kelompok preman dan
kelompok kekerasan yang selama Orde Baru
menjadi alat ditingkat lokal yang hendak mencoba
mencari peruntungan dalam politik demokrasi.
Kelima, kelompok politik yang biasanya menjadi
operator dimasa Orde Baru terutama organisasi
massa mahasiswa dan pemuda yang dibina
Orde Baru seperti Himpunan Mahasiswa Islam,
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia, Perhimpunan
Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dan
Komite Nasional Pemuda Indonesia. 20
“Oligarki lokal” yang predator melakukan
berbagai macam cara terutama politik uang
dan premanisme politik dalam rangka
mempertahankan dan mengamankan posisi
mereka. Politik uang dilakukan karena tidak
transparannya penghimpunan dana politik
terutama di tingkat lokal. Pemilihan umum
(eksekutif dan legislatif) di tingkat lokal telah
berubah menjadi industri yang berbiaya tinggi.
Premanisme politik dilakukan oleh satgas partai
dan ormas yang menjadi milisi represif bagi
kekuasaan Orde Baru (FKPPI dan Pemuda
Pancasila) serta organisasi kekerasan berbasis
agama dan kedaerahan (FPI dan FBR), 21
organisasi Jawara (PPPSBBI Banten),22 Blater
di Madura23 dan mantan kombatan di Aceh.
Vedi Hadiz mencatat bahwa kekuatankekuatan gerakan sosial memiliki akses yang
kecil terhadap kekuasaan dan sumberdaya serta
tidak dipersiapkan dengan baik berani menantang
dan bertarung dengan elit lokal yang predatoris
yang memiliki posisi sosial dominan. Pertarungan
yang berakhir dengan kekalahan dipihak
kekuatan-kekuatan gerakan sosial dikarenakan
demokratisasi dan desentralisasi tidak berdampak
Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian
Indonesia: A Southeast Asia Perspective, (Stanford: Stanford
University Press, 2010), hlm. 92-94
20
21
ibid, hlm. 133-141
Lihat: Lili Romli, Jawara dan Penguasaan Politik Lokal
di Provinsi Banten (2001-2006), (Jakarta: Disertasi Doktor,
Universitas Indonesia, 2007).
22
Baca Abrur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa
Blater di Madura”. Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11
(December 2009).
23
positif bagi peningkatan kapasitas organisasi
petani dan organisasi buruh sebagai kekuatan
sosial utama gerakan sosial. Tanpa organisasi
yang kuat dan vokal, buruh terisolasi dalam
sistem pemilihan yang didominasi pembelian
suara, biaya tinggi dan persekutuan pengusaha
kota besar dan organisasi kekerasan. Tidak
ada keberpihakan pemerintah ketika gerakan
petani dan masyarakat adat menghadapi konflik
tanah dengan perusahaan besar. Justru aparat
keamanan kembali melakukan represi seperti
jaman otoriter.24
Melvin P. Hutabarat menyebut ada 8
ciri oligarki predator yang dimaksud oleh
Vedi Hadiz. 25 Pertama, kelompok predator
mengontrol masyarakat melalui politik uang
dan kekerasan. Kedua, latar belakang ekonomi
kelompok predator tidak selalu kaya. Ketiga,
proses pembentukan kelompok predatoris
melalui: 1). Bertahannya warisan politik
otoriter yaitu kelompok predatoris yang kuat
mengontrol kekuasaan negara (institusinya
dan sumber dayanya); 2. Tidak terorganisirnya
gerakan sosial yang independen. Keempat,
aktor kelompok predatoris terdiri dari mantan
elit orde baru, birokrat tua orde baru, pengusaha
lokal, kelompok preman dan kelompok ormas
mahasiswa/pemuda. Kelima, kekuasaan di
tingkat lokal terpusat kepada klik politik antara
pengusaha, birokrat dan politisi. Keenam,
hubungan dengan pemerintah pusat bersekutu,
karena mereka adalah bagian dari oligarki lama
Orde Baru yang mampu bertahan. Ketujuh,
afiliasi partai politik, bisa bergabung dengan
partai lama seperti Golkar, PDI Perjuangan dan
PPP ataupun partai-partai baru seperti PAN, PKB,
PKS dan partai lainnya. Kedelapan, reproduksi
kekuasaan adalah bagian dari klik politik melalui
mekanisme pemilihan umum.
Kehadiran oligarki dan elit ekonomi
mendorong gairah usaha baru yang berdampak
pada pembangunan perdesaan. Konsep
pembangunan perdesaan berasal dari kata
Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik
Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES
Indonesia, 2005), hlm. 143-160
24
Lihat Melvin P. Hutabarat, Fenomena “Orang Kuat” Di
Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika
Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi. (Depok: Tesis, Universitas
Indonesia, 2012), hlm. 29-30
25
172 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Skema
kelembagaan
desa. Desa menurut UU Nomor 6 Tahun 2014
adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sementara perdesaan menurut UU
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya
alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi. Pengertian tersebut menyiratkan
bahwa desa dan perdesaan memang mempunyai
perbedaan, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan
satu sama lain, dan hal ini membentuk desa (rural
village), sekaligus sangat terkait dengan agenda
pembangunan lokal. Bappenas membedakan
pengertian pembangunan desa dan pembangunan
perdesaan. Pembangunan desa identik dengan
“desa membangun”, sedangkan pembangunan
perdesaan identik dengan “membangun desa”.
Tabel. 1. Pembangunan Perdesaan Vs. Pembangunan
Desa
Items/Isu
Pintu masuk
Pendekatan
Level
Isu dan
konsepkonsep
terkait
Level, skala
dan cakupan
Skema
kelembagaan
Pemegang
kewenangan
Tujuan
Membangun
Desa
(Pembangunan
Perdesaan)
Perdesaan
Functional
Rural
development
Rural-urban
linkage, market,
pertumbuhan,
lapangan
pekerjaan,
Kawasan ruang
dan ekonomi yang
lintas desa.
Contohnya adalah
kecamatan
sebagai small
town.
Pemda melakukan
perencanaan dan
pelaksanaan
didukung alokasi
dana khusus.
Pusat melakukan
fasilitasi,
supervisi dan
akselerasi.
Pemerintah
daerah
Peran
pemerintah
daerah
Mengurangi
keterbelakangan,
ketertinggalan,
kemiskinan,
sekaligus
membangun
kesejahteraan
Merencanakan,
membiayai dan
Melaksanakan
Peran desa
Berpartisipasi
Desa
Membangun
(Pembangunan
Desa)
Desa
Locus
Local
development
Otonomi,
kearifan lokal,
modal sosial,
demokrasi,
partisipasi,
kewenangan,
alokasi dana, dll.
Dalam jangkauan
skala dan
yurisdiksi desa
UU menetapkan
kewenangan
skala desa,
melembagakan
perencanaan
desa, alokasi
dana dan kontrol
lokal.
Pemegang
kewenangan
Tujuan
Peran
pemerintah
daerah
Peran desa
Hasil
sebagai small
town.
Pemda melakukan
perencanaan dan
pelaksanaan
didukung alokasi
dana khusus.
Pusat melakukan
fasilitasi,
supervisi dan
akselerasi.
Pemerintah
daerah
Mengurangi
keterbelakangan,
ketertinggalan,
kemiskinan,
sekaligus
membangun
kesejahteraan
Merencanakan,
membiayai dan
Melaksanakan
Berpartisipasi
dalam
perencanaan dan
pengambilan
keputusan
ï‚· Infrastruktur
lintasdesa yang
lebih baik
ï‚· Tumbuhnya
kota-kota kecil
sebagai pusat
pertumbuhan
dan
penghubung
transaksi
ekonomi desa
kota.
ï‚· Terbangunnya
kawasan hutan,
collective
farming,
industri, wisata,
dll.
UU menetapkan
kewenangan
skala desa,
melembagakan
perencanaan
desa, alokasi
dana dan kontrol
lokal.
Desa (pemerintah
desa dan
masyarakat)
Menjadikan desa
sebagai ujung
depan yang dekat
dengan
masyarakat, serta
membangun desa
yang mandiri
Fasilitasi,
supervisi dan
pengembangan
kapasitas desa
Sebagai aktor
utama yang
merencanakan,
membiayai dan
melaksanakan
ï‚· Pemerintah
desa menjadi
ujung depan
penyelenggar
aan
ï‚· pelayanan
public bagi
warga
ï‚· Satu desa
mempunyai
produk
ï‚· ekonomi
unggulan
(one village
one product).
Sumber: Hasil Kajian Direktorat Perkotaan dan Perdesaan,
Bappenas, 2010.
Desa membangun adalah campur tangan
pemerintah level di atasnya (kabupaten, provinsi,
pusat) dilakukan secara tidak langsung kepada
masyarakat desanya, sedangkan “membangun
desa” dilakukan oleh sektor-sektor terkait dari
level pemerintah di atasnya.26 Pembangunan
perdesaan sendiri secara umum dimaksudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat
di kawasan perdesaan yang bertumpu pada
kepentingan, karakter, potensi serta kemandirian.
Struktur Sosial Ekonomi Wakatobi
Wakatobi merupakan salah satu daerah otonom
yang terbentuk sejak tahun 2003 pemekaran dari
Kabupaten Buton berdasarkan UU No. 29 Tahun
2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana,
Wakatobi, dan Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Nama Wakatobi merupakan akronim
26
BAPPENAS, Laporan Akhir Evaluasi Pembangunan
Desa (pemerintah
desa dan
Perdesaan Dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan
masyarakat)
Masyarakat. (Jakarta: BAPPENAS, 2011), hlm. 16
Menjadikan desa
sebagai ujung
depan yang dekat
dengan
Desentralisasi
dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 173 masyarakat, serta
membangun desa
yang mandiri
Fasilitasi,
supervisi dan
pengembangan
kapasitas desa
Sebagai aktor
dari empat pulau yang berjejer disebelah tenggara
pulau Buton yaitu Wanci, Kaledupa, Tomia dan
Binongko. Dahulu jejeran pulau-pulau kecil
yang berada dibawah pulau Buton dinamai
kepulauan tukang besi. Istilah tersebut melekat
dengan profesi masyarakat Wakatobi khususnya
Binongko sebagai pengrajin besi, seperti:
membuat parang yang ditempa dari besi. Atas
hal ini, Hoger seorang berkebangsaan Belanda
menyebut wilayah Wakatobi sebagai kepulauan
Toekang Besi Eilanden.
Lain pula cerita tradisi lisan masyarakat
Wakatobi, tukang besi merupakan nama
Raja Hitu, Tuluka Besi. Raja Tuluka Besi
dikenal memiliki pengikut setia dan seringkali
merepotkan pemerintahan kolonial Belanda.
Oleh Belanda, Raja Tuluka Besi bersama
pengikutnya direncanakan untuk diasingkan
ke Batavia, namun hal ini batal terlaksana
setelah melakukan perlawanan dan selanjutnya
melarikan diri di Pulau Wangi-Wangi. Tuluka
Besi dan para pengikutnya ini oleh masyarakat
Wakatobi diyakini sebagai cikal bakal penduduk
Wakatobi. 27 Penuturan seorang antropolog
Universitas Halu Oleo, Dr. Waode Syifatu
menyebut bahwa pengikut Tuluka Besi bukanlah
penduduk asli Maluku. Mereka adalah orangorang Buton yang merantau di Maluku. Dengan
demikian kedatangan mereka di Wangi-Wangi
bukanlah pelarian tapi kembalinya mereka ke
tanah leluhur.28
Wakatobi yang menjadi bagian dari wilayah
kekuasaan kesultanan Buton mengenal startifikasi
sosial dalam masyarakat, yang terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu: golongan Kaomu, Walaka
dan Papara. 29 Di era kesultanan, kekuasaan
di Wakatobi dipegang oleh golongan kaomu
(bangsawan/raja). Di era pemerintahan modern
dan demokrasi liberal pemimpin lahir atau
diseleksi melalui mekanisme pemilihan dan
Pemerintah Daerah Wakatobi, “Laporan Akhir Rencana
Pengelolaan Pariwisata Wakatobi”, Pemda Wakatobi, hlm. 9.
27
Wawancara dengan Waode Syifatu, 21 Oktober 2016, pukul
17.00 WITA.
28
Kaomu adalah golongan masyarakat yang berhak menduduki
jabatan sultan. Walaka adalah golongan masyarakat kesultanan
Buthuuni yang berhak menduduki jabatan legislatif. Papara
yaitu mereka yang tidak mempunyai garis silsilah keturunan
dari kedua golongan tersebut (Kaomu dan Walaka) disebut
sebagai golongan masyarakat biasa.
keahlian di bidang tertentu khusunya pendidikan.
Hal ini berakibat pada terkikisnya secara perlahan
dominasi bangsawan yang dalam tulisan ini
saya sebut elite lama (old elite). Sebaliknya
mereka yang punya perahu, perantau, birokrat
dan aktivis menjadi elite baru (new elite).
Mereka yang punya perahu dan perantau oleh
masyarakat Wakatobi diidentifikasi sebagai
orang yang berada/berharta (memiliki kekayaan).
Menurut Waode Syifatu, orang yang punya
perahu dan perantau di Wakatobi memiliki
kemampuan untuk mengganti camat dan jajaran
pemerintahan lainnya.30 Lain pula birokrat dan
aktivis yang menjadi penguasa karena memiliki
pengetahuan, pendidikan dan keahlian. Di
era reformasi, sumber kekuasaan di Wakatobi
semakin beragam, jika sebelumnya penguasa
berasal dari kaum bangsawan, kini bergeser pada
kalangan terdidik dan mereka yang memiliki
kekayaan (harta). Munculnya kaum terdidik
tampak pada terpilihnya dan terangkatnya mereka
sebagai pejabat pemerintahan di Wakatobi, seperti
Bupati, anggota DPRD dan birokrat. Saat masih
menjadi bagian dari Kabupaten Buton, pejabat
di Wakatobi berasal dari kaum birokrat (camat).
Pasca menjadi daerah otonom, kepala daerah
diseleksi melalui mekanisme pemilihan, mereka
yang terpilihlah menjadi penguasa di Wakatobi.
Terpilihnya Hugua sebagai Bupati Wakatobi
Tahun 2005 menjadi awal kebangkitan kaum
aktivis. Hugua oleh masyarakat Wakatobi dikenal
sebagai aktivis dan pegiat LSM. Profesi Hugua
sebagai pegiat LSM mampu mendatangkan
bantuan (air bersih) bagi daerahnya. Hal ini
menjadikan ia semakin dikenal dan menjadi
modal sosial bagi dirinya ketika mencalonkan
diri sebagai Bupati Wakatobi.31 Selain Hugua
ada pula Muhamad Ali Tembo yang juga berlatar
belakang aktivis yang berhasil terpilih menjadi
anggota DPRD Wakatobi.
Lebih lanjut, masuknya orang kaya sebagai
pejabat di Wakatobi diawali dengan terpilihnya
Arhawi sebagai anggota DPRD Wakatobi tahun
2009. Dua tahun berselang (2011), Arhawi
terpilih sebagai Wakil Bupati mendampingi
29
Wawancara dengan Waode Syifatu, 21 Oktober 2016, pukul
17.00 WITA.
30
Wawancara dengan Rasman, Dosen Universitas Muhamadiyah
Buton, 19 September 2016, pukul 20.00 WITA.
31
174 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Hugua pada periode kedua pemerintahannya.
Seperti keterangan salah satu narasumber,
pemilihan Arhawi oleh Hugua lebih pada
pertimbangan materi yang dimiliki. Latar
belakang Arhawi sebagai pengusaha dipandang
dapat memudahkan langkahnya terpilih kembali
ditengah biaya politik yang semakin mahal.32
Pada Pemilu 2014, orang yang memiki kekayaan
dan perahu semakin banyak yang mencalonkan
diri sebagai caleg, diantara mereka ada yang
terpilih dan ada pula yang tidak terpilih. Pilkada
2015, kekuatan uang dalam memperebutkan
jabatan kepala daerah semakin nyata terlihat. Di
Wakatobi calon kepala daerah dan Wakil Kepala
Daerah yang berjumlah dua pasangan calon (head
to head) memiliki kekayaan tertinggi dibanding
enam daerah lain yang melangsungkan Pilkada.33
Menurut Waode Syifatu, status sosial
sebagai bangsawan, orang yang memiliki perahu
(kaya) dan memiliki pendidikan, menjadi daya
dukung seseorang untuk terpilih atau menjadi
penguasa di Wakatobi. Penuturan ini diakui pula
oleh Mahmud, seorang akademisi asal Wakatobi.
“Di Wakatobi untuk bisa terpilih sebagai
pejabat politik harus didukung oleh kekuatan
finansial (seperti: memiliki perahu, perantau,
tanah). Mereka yang memiliki perahu/ kapal
mempekerjakan banyak orang dan memiliki
uang, sehingga sangat mudah untuk mengajak
dan memobilisasi pemilih agar memberikan
dukungan. Jika para pekerja tidak menuruti
perintah sang pemilik kapal mereka akan
dipecat/ tidak dipekerjakan lagi. Pengaruh
mereka yang memiliki uang ini sangat kuat
terasa ketika dalam pemilihan kepala desa, caleg
hingga kepala daerah. Salah satu contohnya
legislator PAN terpilih, Ariati. Legislator asal
Tomia ini bukan bangsawan dan bukan pula yang
memiliki pendidikan baik, tapi karena kekuatan
uang dan bapaknya (Baharudin Isa/mantan
Wawancara dengan S, aktivis Wakatobi, 22 Oktober 2016,
pukul 13.00 WITA.
32
Pilkada Wakatobi 2015 diikuti dua pasangan Calon yaitu
Pasangan Arhawi dan Ilmiati Daud yang diusung oleh PAN
dan koalisinya. Sementara pasangan Haliana dan Muhamad
Syawal didukung oleh PDI.P . Dalam rilis harta kekayaan
oleh KPU, Arhawi merupakan calon kepala daerah terkaya di
Wakatobi dan Sultra dengan jumlah kekayaan 44 miliar rupiah.
Sementara Haliana merupakan calon kepala daerah terkaya
kedua di Wakatobi dan Sultra dengan jumlah harta berkisar
31 miliar rupiah.
33
camat dan penguasa tanah pulau One Mobaa/
pulau Lorenz), pada Pemilu 2014 ia terpilih
sebagai anggota DPRD. Selain itu, mereka
yang berpendidikan juga banyak terpilih/duduk
sebagai pejabat politik di Wakatobi, contohnya:
Hugua dan Muh. Ali Tembo (Ketua DPRD
Wakatobi). Mereka berdua bukan bangsawan,
bukan pula orang kaya, tapi mereka dikenal
sebagai aktivis LSM yang memiliki pengetahuan
dan pendidikan.”34
Menurut Mahmud, modal finansial dan
pendidikan merupakan sumber kekuasaan di
Wakatobi. Sebaliknya status sosial sebagai
bangsawan semakin tidak mendapat tempat/
dukungan untuk bisa terpilih. Menurut Mahmud,
kepemilikan finansial, pendidikan, peran mosega
(orang kuat, pandai silat, kebal dari benda tajam,
kebal dari guna-guna) sangat mempengaruhi
terpilihnya pejabat publik di Wakatobi.35
Dalam pemilihan, mosega memiliki
kekuasaan informal untuk mempengaruhi
pemilih secara persuasif dan represif. Mosega
seringkali digunakan oleh para elite politik
sebagai alat pemaksa dan pelindung mereka,
selain polisi dan aparat pemerintah.
“Dalam ajang pemilihan, pejabat atau calon
pejabat mendapat pengawalan dari polisi,
satgas partai dan preman. Satgas partai
banyak diisi oleh orang-orang sega (berani)
yang dikenal memiliki kekebalan dan pandai
berkelahi.”36
Mosega dalam perpolitikan lokal Indonesia
memiliki kemiripan dengan Jawara (Banten),
Blater (Madura), mantan kombatan (Aceh).
Yang membedakan, Mosega di Wakatobi belum
menduduki kekuasaan atau terpilih sebagai
kepala daerah. Sementara Jawara, Blater dan
34
Wawancara dengan Mahmud, akademisi UHO asal Wakatobi.
Di zaman dahulu (kerajaan) mosega dikenal sebagai
pasukan yang pandai silat (balaba) dan memiliki kesaktian
(tidak ditembus parang dari serangan senjata) yang bertugas
mempertahankan wilayah kekuasaan. Mosega menujuk pada
pemimpin suatu kelompok biasanya diambil dari orang-orang
yang gagah berani, cekatan, ahli berkelahi dan ahli perang.
http://lapatuju.blogspot.co.id/2013/05/sejarah-singkatwakatobi.html
35
36
Wawancara dengan SD, mahasiswa asal Wakatobi.
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 175 mantan kombatan telah berhasil menduduki
posisi sebagai kepala daerah (transformasi
menjadi penguasa). Sosok Mosega di Wakatobi
identik dengan terminologi Migdal tentang
local strongman (orang kuat lokal). Bangsawan,
pemilik perahu atau yang memiliki tanah, aktivis,
mosega dan birokrat merupakan elite penentu di
Wakatobi.
Orang Wakatobi dikenal sebagai pelaut
tangguh yang mampu melintasi lautan luas.
Keberanian pelaut Wakatobi tidak terlepas
dari kebiasaan menaklukan ombak di wilayah
tempat tinggal mereka, yang berhadapan
langsung dengan laut Banda.37 Sambil berlayar,
orang Wakatobi juga menjalankan aktivitas
perdagangan antar pulau bahkan antar negara.
Tidak heran kemudian orang Wakatobi memiliki
peranakan dan banyak menetap (merantau) di
setiap wilayah pesisir kepulauan di Indonesia,
sebagaimana kebiasaan yang dilakukan oleh
orang Bugis, Makassar dan Bajo. Profesi pelaut
orang Wakatobi kerap dimanfaatkan oleh para
penyeludup untuk mengangkut barang-barang
(elektronik, otomotif, pakaian, ikan, kayu dan
hasil laut) dari dalam dan luar negeri demi
menghindari pajak negara.
Lapangan pekerjaan penduduk Wakatobi
paling banyak berasal dari sektor pertanian
(19.376), perdagangan (8.143), jasa (6.108),
lainnya (6.163) dan indsutri (2.438). Pada
tahun-tahun terakhir terjadi peningkatan dalam
investasi luar di daerah Wakatobi. 38 Disisi
lain Wakatobi menyimpan potensi wisata laut
berkelas dunia, ini mulai terlihat ketika masih
menjadi bagian dari Kabupaten Buton. Kekhasan
bawah laut yang dimiliki Wakatobi menjadikan
daerah ini ditetapkan sebagai kawasan Taman
Nasional oleh pemerintah pada tahun 1996. Jauh
sebelum itu, Wakatobi telah menarik perhatian
masyarakat internasional, diantaranya Mr. Lorenz
Mader, seorang investor berkebangsaan Swiss.
Pada Tahun 1995, di pulau One Mobaa, Desa
Laut Banda dikenal sebagai laut terdalam di Indonesia yang
memiliki ombak tinggi.
37
Kebanyakan toko yang menjual barang-barang industri saat
ini dimiliki oleh pebisnis dari bagian lain Sulawesi, dan operasi
budidaya mutiara di sekitar Kaledupa dimiliki investor-investor
dari Bali Lihat: Paul Simonin, “Laporan Mengenai Resiliensi
(Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara,
Indonesia”, hlm. 18
38
Lamanggau—salah satu bagian dari wilayah
Kecamatan Tomia—, Mr. Lorenz merintis
pendirian resort kelas dunia dengan nama
Wakatobi Dive Resort (WDR). WDR beroperasi
setelah mengantongi surat izin tempat usaha dari
pemerintah setempat dengan nomor registrasi 17/
V1/2000 yang dikeluarkan oleh Bupati Buton.
Setelah berdiri sebagai daerah otonom, sektor
wisata Wakatobi tumbuh dan menjadi andalan
untuk meningkatkan penghasilan daerah. Upaya
tersebut dicanangkan oleh Bupati Wakatobi,
Ir. Hugua melalui visi pemerintahannya yaitu
“Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Pusat
Segitiga Karang Dunia”. Visi ini mengadung
tiga hal pokok yaitu: 1). Surga nyata adalah
perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran baik
secara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup serta
daya saing daerah yang didukung oleh situasi
ketertiban dan ketentraman umum yang kondusif;
2). Bawah laut adalah perwujudan kemanfaatan
dan kelestarian atas potensi sumberdaya bawah
laut dan perairannya khususnya dalam hal
kelautan, perikanan, pariwisata, dan lingkungan/
kawasannya; 3). Pusat segi tiga karang dunia
adalah aktualisasi posisi geostrategi Wakatobi,
yakni pada pusat segitiga karang dunia yang
mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di
dunia.39
Dalam rangka mewujudkan visi tersebut,
pemerintah Wakatobi mengeluarkan berbagai
kebijakan diantaranya mempromosikan
pariwisata Wakatobi di dalam dan luar negeri,
menerbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2006
Tentang Retribusi Izin Usaha Industri dan
Usaha Perdagangan, serta Perda Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Penanaman Modal Di Kabupaten
Wakatobi. Berbagai kebijakan tersebut ditujukan
untuk meningkatkan perekonomian daerah.
Profil dan Sumber Daya Oligarki
Sektor pariwisata yang mendatangkan banyak
wisatawan setiap tahun mampu meningkatkan
PAD dan menggairahkan ekonomi Wakatobi.
Namun, secara bersamaan capaian positif
tidak disertai dengan pemerataan pendapatan,
yang setiap tahun pendapatan masyarakat
semakin mengalami ketimpangan. Perekonomian
Wakatobi dikuasai oleh para elit politik dan
39
BPS, “Kabupaten Wakatobi Dalam Angka Tahun 2015”
176 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 ekonomi, sementara masyarakat hanya mendapat
bagian kecil dari efek pertumbuhan ekonomi.
Fenomena ini tampak dalam pengelolaan bisnis
pariwisata dan kebutuhan pendukung pariwisata,
sarana dan prasarana pendukung pariwisata,
seperti: jalan, bandara, hotel, resort, kapal, alat
transportasi dan lainnya dikuasai/dikelola oleh
beberapa orang. Mereka inilah yang dalam
tulisan ini dinamai sebagai kelompok oligarki
predatoris dan elit ekonomi yang menguasai
bisnis dan sumber daya pariwisata di Wakatobi.
Latar belakang mereka sangat beragam mulai
dari pengusaha, politisi hingga mantan birokrat.
Tabel. 2. Profil Oligarki dan Elite Ekonomi di Wakatobi
Nama
Latar
Belakang
Hugua
Aktivis
Grup
Bisnis/tahun
pendirian
Patuno Resort
& PT. Patua
Insani Sapulo
(Pata Pulo
Travel)/
Bisnis/
proyek Yang
di Kelola
Pariwisata
(resort &
penyeleman)
dan Travel
Sumber Daya Kekuasaan
Kewargan
egaraan
Harta/Kekayaan/
Pendapatan
Keterangan
Hak politik dan ekonomi
(memilih/dipilih,
investasi)
Jabatan resmi (Bupati
Wakatobi
2006-2011,
2011-2016; Ketua DPD
PDI.P Sultra)
Kekusaan
pemaksaan
(pajabat negara/aparatur
negara 2006-2016)
Kekuasaan
mobilisasi
(aktivis
sosial/LSM/tokoh partai)
Kekuasaan
material
(Pemilik Patuno Resort
& Pata Pulo Travel)
Hak ekonomi (investasi)
Jabatan resmi (pemilik
Wakatobi Dive Resort)
Kekuasaan
material
(Pemilik Wakatobi Dive
Resort)
Hak politik dan ekonomi
(memilih/dipilih,
investasi)
Jabatan resmi (Wakil
Bupati Wakatobi 20112016, Bupati terpilih
Wakatobi terpilih 20162021; Ketua DPD PAN
Wakatobi, CEO Aksar)
Kekusaan
pemaksaan
(pejabat negara/aparatur
negara 2011-2021)
Kekuasaan
mobilisasi
(tokoh partai)
Kekuasaan
material
(Pemilik Grup Aksar)
Hak ekonomi (investasi)
Jabatan resmi (pemilik
Golden Prima Wakatobi
& Tunas Mandiri)
Kekuasaan
material
(Pemilik Golden Prima
Wakatobi
& Tunas
Mandiri)
Indonesia
Tidak diketahui
Aktivis yang
bertransformas
i menjadi elite
politik dan
elite ekonomi,
lalu menjadi
Oligarki
Swiss
Pendapatan WDR sebesar
64,8 Milyar Rupiah/Tahun
(data tahun 2007).
Elite ekonomi
Rp.44.150.947.948
(LHKPN Tahun 2015).
Pengusaha
yang
bertransformas
i menjadi elite
politik dan
menjadi
Oligarki
Indonesia
Tidak diketahui
Elite ekonomi
-
Hak ekonomi
Hak politik
Kekuasaan material
Indonesia
Rp.
31.608.292.298948
(LHKPN Tahun 2015).
Elite ekonomi
yang berusaha
menjadi elite
politik namun
gagal (tidak
terpilih)
-
Hak ekonomi
Hak politik
Kekuasaan material
Indonesia
Tidak diketahui
Mantan
birokrat yang
bertransformas
i menjadi elite
ekonomi dan
memiliki
pengaruh
politik
(anaknya
terpiluh
menjadi
anggota
DPRD)
-
Lorenz
Mader
Arhawi
Pengusaha
Pengusaha
Wakatobi Dive
Resort/
1995
Pariwisata
(resort dan
penyeleman)
-
PT. Askar
Saputra
Transportasi
(kapal laut)
-
-
-
Ceng
Ceng
Pengusaha
/
Kontraktor
Haliana
Pengusaha
Baharudi
n Isa
Pemilik
Tanah/
Mantan
Birokrat
PT. Golden
Prima Wakatobi
& Tunas
Mandiri
CV.Liya
Persada
(Kontraktor),
UD.Rezky
Abadi
(Perdagangan
Umum), PT.
Tomia Bersinar
(SPBN/PERTA
MINA),
Pudonggala
Damai Bersinat
(Transportasi
Laut), Anggota
plasma pada
PT. Agrosawit
Indonesia
(Perkebunan
Kelapa Sawit)
Infrastrukur
(jalan
yang
didanai
APBD
dan
perluasan
Apron
dan
Taxiway
termasuk
Marking
Bandara
Matohara
Pihak yang
memfasilitasi
Lorenz
menyewa
Pulau One
Mobaa
-
Indonesia
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 177 Tomia Bersinar
(SPBN/PERTA
MINA),
Pudonggala
Damai Bersinat
(Transportasi
Laut), Anggota
plasma pada
PT. Agrosawit
Indonesia
(Perkebunan
Kelapa Sawit)
Baharudi
n Isa
Pemilik
Tanah/
Mantan
Birokrat
Pihak yang
memfasilitasi
Lorenz
menyewa
Pulau One
Mobaa
-
Hak ekonomi
Hak politik
Kekuasaan material
Indonesia
Tidak diketahui
Mantan
birokrat yang
bertransformas
i menjadi elite
ekonomi dan
memiliki
pengaruh
politik
(anaknya
terpiluh
menjadi
anggota
DPRD)
Sumber: diolah penulis dari berbagai sumber, tahun 2016.
Hugua merupakan salah satu kelompok
oligarki di Wakatobi. Ia merupakan Bupati
Wakatobi dua periode (2006-2011)/(20112016). Sebelum terpilih sebagai Bupati,
Hugua merupakan aktivis Lembaga Swadaya
Masyarakat Himpunan Pendidikan Luar Sekolah
Oleh Masyarakat (HPP LSM RA) dan Himpunan
Lembaga Latihan Swasta Indonesia (HILLSI).
Pada dua organisasi itu, Hugua terpilih sebagai
Ketua I DPD dan Ketua DPD Sultra. Semasa
kuliah di Universitas Halu Oleo (UHO), Hugua
terdaftar sebagai salah satu kader Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Di organisasi internal
kampus, Hugua pernah menjadi anggota Badan
Perwakilan Mahasiswa FAPERTA UHO serta
Koordinator Himpunan Mahasiswa Agronomi
Pecinta Buku (HIPMAPBU) Sultra. Di organisasi
kepemudaan Hugua pernah menjadi Ketua
Departemen ICMI Sultra dan Ketua Kerukunan
Keluarga Tomia di Kendari Periode 2001-2004.
Ia juga pernah menjadi Ketua Pengurus Masjid
dan tercatat pernah menjabat sebagai Working
Group ILO Periode 2001-2005.40
Keterlibatan dalam organisasi menjadikan
Hugua memiliki jaringan luas, baik di dalam
maupun luar negeri. Hugua kerap mengikuti
kursus dan pelatihan internasional yang
menjadikannya semakin fasih bahasa asing dan
memiliki jaringan internasional. Semasa aktif di
LSM, Hugua berhasil mendatangkan program
pemberdayaan yang didanai oleh lembaga
donor internasional, diantaranya program air
bersih. Program ini menjadikan Hugua semakin
dikenang oleh masyarakat Wakatobi.
Suara Kendari, “Profil Hugua, Putera Terbaik Sultra Calon
Menteri Kelautan di Kabinet Jokowi –JK”, 3 Agustus 2014,
http://www.suarakendari.com/profil-hugua-putera-terbaiksultra-calon-menteri-kelautan-di-kabinet-jokowi-jk.html
(diakses pada 25 Juli 2016).
40
Pada Pemilu 2004, Hugua berbekal
kepopuleran, pengalaman organisasi dan jaringan
yang dimiliki mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif provinsi Sultra, namun tidak berhasil.
Meski gagal dalam pemilu legislatif, tidak
menurunkan semangat Hugua menjauh dari
aktivitas politik. Setahun berselang (2005), ia
mencalonkan diri sebagai Bupati Wakatobi.
Pencalonan ini didukung oleh koalisi PDI.P
dan PPP. Pada Pilkada itu, Hugua terpilih
menjadi Bupati Wakatobi. Tidak lama berselang
ia dipercaya memimpin ketua DPC PDI.P
Wakatobi, selanjutnya pada tahun 2010, Hugua
terpilih melalui musyawarah sebagai Ketua PDI.P
Sultra periode 2010-2015.
“Dipilihnya Hugua pada saat itu dianggap
sangat tepat karena ia dipandang berhasil
menaikan kursi PDI.P didaerahnya serta
sukses memimpin Wakatobi. PDI.P berpikiran,
keberhasilan di Wakatobi bisa diikuti oleh
Kabupaten/Kota lain di Sulawesi Tenggara.
Juga Hugua merupakan kader. PDI.P juga
memiliki hitungan dengan terpilihnya
Hugua, posisinya sebagai Bupati dapat
dimanfaatkan untuk melakukan banyak hal
untuk kesejahteraan rakyat dan membesarkan
partai.”41
Terpilihnya Hugua sebagai Ketua PDI.P
Sultra, dipertemukan pada kepentingan yang
hampir sama antara partai dan Hugua. Pada sisi
Hugua, PDI.P sangat dibutuhkan untuk tetap
mem-back-up pemerintahannya di legislatif, serta
memuluskan dirinya untuk bertarung kembali
pada Pemilukada Wakatobi 2011. Belakangan
Hugua berkepentingan mewariskan kesuksesan
politik dirinya kepada keluargannya. Hal ini
tampak pada pencalonan istrinya, Ratna Lada
Pada Pemilu 2009, kursi PDI.P di Wakatobi berjumlah 5.
Wawancara dengan Agus Sanaa (Wakil Sekertrais DPD PDI.P
Sultra), 19 Agustus 2016, pukul 16.30 WITA.
41
178 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 sebagai Caleg DPR-RI dari PDI.P serta adik
iparnya Nursalam Lada sebagai Caleg DPRD
Provinsi. Ratna Lada gagal melenggang ke
Senayan, namun adik iparnya Nursalam Lada
lolos sebagai anggota DPRD Sultra dan ditunjuk
sebagai Wakil Ketua DPRD. Dominasi dan
keberhasilan PDI.P menjadi partai penguasa (the
rulling party) di Wakatobi, menjadi pembeda
dengan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara
yang didominasi oleh Partai Golkar, PAN dan
Partai Demokrat.
Selama dipimpin Hugua, PDI.P Wakatobi
pada Pemilu 2009 menguasai 20 % suara (5
kursi) di legislatif. Sejak menjabat Ketua PDI.P
Sultra, ia berhasil memenangkan dirinya dalam
Pemilukada Wakatobi tahun 2011 dan menaikan
perolehan kursi legislatif PDI.P Tahun 2014
di hampir seluruh Kab/Kota dan Provinsi di
Sulawesi Tenggara. Di tingkat Propinsi PDI.P
mendudukan 5 wakilnya, sekaligus merebut
posisi wakil ketua DPRD Provinsi. Pencapaian
ini secara perlahan menjadikan PDI.P mendekati
dominasi PAN, Golkar dan Demokrat di Sulawesi
Tenggara.
Kesuksesan Hugua di bidang politik
berlangsung pula di bidang ekonomi. Ia muncul
sebagai salah satu elit politik Wakatobi yang
memiliki aset dan kekayaan material besar. Di
Wakatobi Hugua dikenal sebagai pemilik Patuno
Resort dan Pata Pulo Travel.42
Dalam rangka mencapai kesukesan ekonomi,
Hugua melakukan berbagai strategi demi
memberikan keuntungan bagi usahanya. Hugua
mewajibkan kepada setiap pegawai pemerintah
yang bepergian untuk menggunakan tiket yang
dipesan melalui Pata Pulo Travel. 43 Hugua
secara intens menyelenggarakan kegiatan
dan promosi untuk menarik wisatawan,
yang secara bersamaan terselip kepentingan
bisnis Hugua yaitu terisinya resort-resort di
Patuno Resort merupakan satu-satunya resort yang berada
ibukota Kabupaten (Wangi-Wangi). Hal ini menjadikannya
sangat strategis bagi siapa saja yang berkunjung ke Wakatobi,
baik untuk tujuan wisata maupun sekedar menghadiri acara
pemerintahan. Untuk bisa menginap di Patuno Resort
pengunjung harus menyediakan minimal Rp. 750.000 /malam.
Sementara itu, Pata Pulo Travel merupakan perusahan yang
bergerak dibidang agen penyedia tiket pesawat.
42
Wawancara dengan Muhamad Daulat 5 Agustus 2016, pukul
20.30 WITA
43
Wakatobi, diantaranya Patuno yang merupakan
resort miliknya. Sejak berdirinya Patuno
Resort dan Pata Pulo Travel, Hugua seringkali
mencampuradukkan kepentingan pemerintah
daerah dan kepentingan bisnis pribadinya. Patuno
Resort dan Pata Pulo Travel menjadi mesin
‘pencetak uang’ bagi Hugua. Kedatangan banyak
pengunjung di Wakatobi selain meningkatkan
PAD turut menambah akumulasi kapital Hugua
dari hasil sewa wisatawan, yang menginap di
Patuno Resort dan menggunakan agen perjalanan
Pata Pulo Travel.
Penuturan Daryono Moane (Mantan Ketua
DPRD Wakatobi/PDI.P) Patuno Resort dan
Pata Pulo Travel adalah asset Hugua yang
terlihat. Menurutnya Hugua juga memiliki
sejumlah tanah di Wakatobi dan Kendari, serta
rumah di Australia.44 Wawancara dengan salah
satu akademisi asal Wakatobi yang bekerja di
Universitas Muhamadiyah Buton menceritakan
hal ini:
“Semua orang sudah tahu bahwa Hugua
adalah pemilik Patuno Resort dan Pata Pulo
Travel. Hugua juga memiliki banyak tanah di
Wakatobi dan Kendari. Ia juga memiliki rumah
di Kendari.”45
Penguasaan aset oleh Hugua dikonfirmasi
pula Muhamad Daulat, seorang aktivis anti
korupsi lokal. Daulat menyebut bahwa banyak
tanah dan lahan kosong di Wakatobi dimiliki
oleh Hugua yang dibeli dengan harga murah,
pengambilan secara paksa dari warga serta
diperoleh melalui pematokan tanah/pulau yang
belum berpenghuni. Sumiman Udu seorang
akademisi Universitas Halu Oleo asal Wakatobi
menuturkan, pengembangan Pariwisata Wakatobi
menyebabkan hilangnya tanah Sara dan memicu
perlawanan masyarakat adat terhadap Negara.46
Tanah menjadi alat akumulasi dan
perlindungan kekayaan para elit politik dan
Daryono Moane, “Korupsi Bupati Wakatobi”, 26 April 2013,
http://www.kompasiana.com/putrawaka/korupsi-bupati-waktob
i_552fa49e6ea83434098b4591 (diakses pada 5 Agustus 2016).
44
45
Wawancara dengan Rasman 31 Juli 2016, pukul 20.30 WITA
Lihat Sumiman Udu, “Pengembangan Pariwisata dan
Hilangnya Tanah-Tanh Sara di Wakatobi: Kajian Atas
Perlawanan Masyarakat Adat”. Prosiding The 4th International
Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity and Future,
Bali 9-10 Februari 2012.
46
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 179 ekonomi di Wakatobi. Menurut Daulat, seorang
pejabat Wakatobi diduga pernah melakukan
gratifikasi tanah kepada seorang petinggi Polri
yang bertugas di Wakatobi demi mengamankan
dirinya dari pengusutan kasus korupsi. Dugaan
korupsi yang melibatkan Hugua menurut Daulat
telah berlangsung sejak awal pemerintahannya.47
Sementara itu dugaan korupsi yang melibatkan
Hugua dihimpun oleh Wakatobi Information
Agency (WAINA). Selain insentif PPB, WAINA
menemukan dugaan korupsi belanja subsidi
kepada perusahaan penerbangan Express
Air sebesar Rp. 2.550.000.000. Kedua kasus
tersebut telah dilaporkan oleh WAINA pada
Kepolisian Republik Indonesia. Namun hasil
penyelidikan Polri mengklarifikasi bahwa
dugaan korupsi subsidi penerbangan Express
Air belum ditemukan unsur pidana, sedangkan
dugaan korupsi insentif PBB, Polri tidak dapat
menangani dikarenakan telah diusut oleh pihak
kejaksaan. 48 Seteru politik Hugua, Daryono
Moane (mantan Ketua DPRD Wakatobi/PDI.P)
mengungkapkan lebih banyak dugaan korupsi
di Wakatobi, diantaranya pengadaan kapal laut,
pengadaan pipa dan dana sharing PNPM.49
Daulat bercerita bahwa pada tahun 2005 Wakatobi
mendapatkan insentif pajak bumi dan bangunan dari pemerintah
sebesar Rp. 1.694.218.018. Uang hasil insentif pajak ini
dibagi-bagi kepada elit politik dan birokrasi Wakatobi. Bagian
terbesar diperuntukan kepada Bupati, Wakil Bupati dan
Sekertaris Daerah sebesar 43 %, 22 % diperuntukan kepada
Kepala Dinas Pendapatan Wakatobi, asisten Setda Kabupaten
Wakatobi dan Kepala Kantor pelayanan PBB Bau-Bau. Sisanya
sebesar 35 % diperuntukan kepada unsur sekertaris dan anggota
tim intensifikasi PBB. Instruksi pembagian insentif pajak ini
merujuk pada surat perintah Bupati Wakatobi, Hugua, dengan
nomor 973/334. Wawancara dengan Muhamad Daulat dan
kutipan salinan Surat Perintah Bupati Wakatobi Nomor 973/334
dan lampiran
47
Hasil klarifikasi POLRI atas pengaduan masyarakat.
Wakatobi Invormatian Agency
48
49 1). Proyek pengadaan kapal ikan pada TA 2007 melalui
penunjukkan Bupati yang jatuh kepada Nursalam Lada (Adik
Ipar Bupati) dengan total anggaran Rp. 7 miliar. Menurut
Daryono, kapal tersebut tidak pernah dipakai oleh nelayan,
karena sebelum serah terima kepada nelayan kapal-kapal
tersebut telah rusak. 2). Dugaan korupsi pengadaan pipa untuk
air minum sebesar Rp. 30 miliar yang dianggarkan pada dua
APBD (APBD Kabupaten dan ABPD Propinsi). 3). Tidak
adanya pertanggung jawaban atas dana sharing PNPM yang
setiap tahunnya mencapai Rp. 3 s/d 4 miliar. Daryono Moane,
“Korupsi Bupati Wakatobi”, 26 April 2013, http://www.
kompasiana.com/putrawaka/korupsi-bupati-waktobi_552fa4
9e6ea83434098b4591 (diakses pada 5 Agustus 2016).
Selain itu, Hugua dikenal memiliki kedekatan
dengan pengusaha Ceng Ceng, seorang kontraktor
asal Bau-Bau. Di Wakatobi Ceng Ceng sangat
familiar, ia dikenal sebagai kontraktor yang kerap
memenangkan tender proyek.50 Kehebatan Ceng
Ceng ini diakui pula oleh salah satu karyawan
yang bekerja di perusahaan miliknya.
“Ceng-Ceng merupakan kontraktor yang telah
lama bermain (menangani proyek) di Wakatobi.
Proyek besar di Wakatobi selalu dimenangkan
oleh Ceng Ceng. Jika ada kontraktor selain
Ceng Ceng yang memenangkan tender, nilai
proyeknya sangat kecil, itu sisa-sisa/buangan
Ceng Ceng.”51
Guna mendapatkan banyak proyek, Ceng
Ceng mendirikan lebih dari satu perusahan
yaitu Golden Prima Wakatobi dan Tunas
Mandiri (praktek kartel). Ia juga kerap menyewa
perusahan lain demi menghindari kecurigaan
publik dan badan pemeriksa. Jenis proyek yang
dikerjakan oleh Ceng Ceng diantaranya adalah
jalan yang didanai oleh APBD Kabupaten
dan jalan inspeksi Bandara Mataohara. Sang
karyawan menuturkan, kemenangan Ceng Ceng
dalam tender proyek di Wakatobi didukung oleh
ketersediaan peralatan yang lengkap (alat berat,
seperti: mesin pengeruk) yang tidak dimiliki oleh
kontraktor lain. Bermodal kelengkapan perlatan
itu, Ceng Ceng meski tidak memenangkan tender,
ia seringkali diminta oleh pemenang tender
(kontraktor lain) untuk mengerjakan proyek yang
dimenangkan, atau sekedar meminjam peralatan
melalui komitmen pembagian keuntungan. Ceng
Ceng juga dianggap berpengalaman dalam
mengerjakan proyek di Kepulauan Wakatobi,
sejak masih bergabung dengan Kabupaten Buton.
Keunggulan Ceng Ceng lainya adalah
memiliki hubungan baik dengan para penguasa
di era otonomi daerah. Hubungan baik dipelihara
melalui sikap royalnya terhadap penguasa yaitu
menjadi donatur pada pagelaran politik penting.
Menurut karyawan yang bekerja di perusahan
Nama Ceng Ceng adalah nama yang dikenal oleh warga
Wakatobi, saat penulis berkunjung ke Tomia disana sedang
dikerjakan pengaspalan jalan kabupaten. Sang sopir bercerita
bahwa proyek dikerjakan oleh Ceng Ceng, kontraktor yang
mengerjakan proyek-proyek di Wakatobi. Wawancara dengan
A , Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi, 6 Agustus 2015, pukul
17.00 WITA
50
51
Wawancara dengan N, 7 Agustus 2016, pukul 08.30 WITA
180 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Ceng Ceng, ‘sang bos’ sampai tahun 2015
merupakan salah satu donatur utama Hugua
dalam kegiatan politik. Perpisahan keduanya
berlangsung pada Pemilukada 2016, Hugua
mendukung Haliana, sementara Ceng Ceng
memberikan dukungan kepada Arhawi (Bupati
terpilih Wakatobi periode 2016-2021).52
Arhawi merupakan Ketua DPD PAN
Wakatobi dua periode, 2007-2012/2012-2017.
Pada Pemilu 2009, PAN berhasil mendudukan
3 kursi di legislatif sekaligus menempatkan
Arhawi sebagai wakil ketua DPRD. Dua tahun
menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD (20092011), Arhawi terpilih sebagai wakil bupati
mendampingi Hugua. Saat menjabat sebagai
Wakil Bupati, Arhawi dipercaya memimpin
organisasi kepemudaan, KNPI dan Kwarcab
Pramuka Wakatobi periode 2011-2015. Di
partai, Arhawi tetap dipercaya memimpin PAN
Wakatobi. Hasilnya pada Pemilu 2014 PAN
berhasil mengirimkan 7 wakilnya di legislatif,
perolehan suara PAN hanya berselisih 1 kursi
dengan PDI.P, partai yang sangat dominan di
Wakatobi. Kesuksesan politik Arhawi diwariskan
pula pada keluarganya, Sukardi dan Hamiruddin.
Kakak dan ipar Arhawi ini pada Pemilu 2014,
terpilih menjadi anggota DPRD Wakatobi dari
PAN.
Arhawi dan Hugua memimpin partai yang
berbeda, namun keduanya sangat harmonis
(tidak terlibat konflik) dalam menjalankan
pemerintahan sebagai Bupati-Wakil Bupati53
terkecuali menjelang Pemilukada Wakatobi 2016.
Rivalitas politik keduanya tampak ketika PDI.P
dan PAN tidak lagi berkoalisi, Hugua sebagai
Ketua PDI.P Sultra mendukung Haliana-Syawal,
sementara PAN mendukung Arhawi untuk
menjadi Bupati Wakatobi periode 2016-2021.
52
Wawancara dengan N, 7 Agustus 2016, pukul 08.38 WITA
LIPI menemukan hampir 95 persen pasangan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah juga mengalami pecah kongsi atau
konflik. Kementerian Dalam Negeri pernah merilis data bahwa
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil pilkada langsung
dari tahun 2005 hingga 2013 sebesar 94,6 persen pecah kongsi.
Liputan 6, “Mendagri: 95% Kepala Daerah & Wakilnya Pecah
Kongsi Tengah Jalan” 10 Maret 2014, lihat http://news.liputan6.
com/read/2020702/mendagri-95-kepala-daerah-wakilnyapecah-kongsi-tengah-jalan diakses tanggal 6 Agustus 2016.
53
Persaingan dalam Pemilukada berakhir dengan
kemenangan tipis Arhawi atas Halina.54
Kemenangan Arhawi pada Pemilukada
Wakatobi tidak terlepas dari dukungan PAN
dan Nur Alam sebagai pimpinan PAN saat
itu dan Gubernur Sultra. 55 Di samping itu,
Arhawi juga memiliki basis material yang
setara bahkan melampui Hugua. Jika Hugua
memiliki Patuno Resort dan Pata Pulo Travel,
Arhawi merupakan pemilik Askar Saputra Grup,
perusahan perkapalan yang melayani angkutan
penumpang dan barang yang beroperasi di dalam
dan luar Sulawesi Tenggara (Maluku, Maluku
Utara, Papua dan Sulawesi). Grup Askar tercatat
memiliki beberapa cabang perusahaan dan
puluhan kapal angkut penumpang dan barang.
Arhawi sebagai pemilik Grup Askar memiliki
kekayaan sebesar Rp.44.150.947.948.56
Hugua dan Arhawi adalah elit politik yang
juga menjadi elit ekonomi di Wakatobi. Hal yang
membedakan keduanya adalah Hugua memiliki
kekayaan setelah menjadi Bupati, sementara
Arhawi sebelum memasuki dunia politik telah
memiliki basis material besar. Arhawi memiliki
latar belakang pengusaha dan pernah menjadi
Ketua KADIN Wakatobi pada periode 20062008, sedangkan Hugua berlatar belakang aktivis.
Meminjam pendapat Winters, masuknya Arhawi
dalam politik merupakan bagian dari upaya
menambah dan mempertahankan kekayaan57,
meski hal ini tentu perlu dibuktikan hingga akhir
periode kepemimpinannya sebagai Bupati.
Keberadaan Askar Saputra Grup sangat
berkontribusi dalam memenangkan Arhawi
Hasil pleno KPU Waktobi, Pilkada Wakatobi dimenangkan
oleh pasangan Arhawi-Ilmiati Daud dengan selisih 777 suara
atau 0,7 persen.
54
Nur Alam merupakan Ketua DPW PAN Sultra tiga periode.
Tahun 2016, setelah ia tidak terpilih menjadi Ketua DPW
PAN dan memilih untuk istrahat dari kepartaian. Uraian lebih
lengkap tentang sosok Nur Alam, baca Eka Suaib dan La Husen
Zuada, “Fenomena Bosisme Local di Era Desentralisasi: Studi
Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara”, Jurnal
Penelitian Politik LIPI. Vol.12, No.2. 2015. Baca pula Eka
Suaib dan La Husen Zuada, “Institusionalisasi Partai Politik:
Studi Kasus Hegemoni PAN di Sulawesi Tenggara”, Jurnal
The Politics. Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Vol. 2 No.1 Tahun 2015.
55
Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara yang disetor di
KPUD Wakatobi
56
57
Lihat Jeffrey Winters, Oligarki, hlm. 18
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 181 pada Pemilukada Kabupaten Wakatobi. Laporan
Bawaslu Sultra mencatat, PT. Askar Saputra
Lines merupakan salah satu penyumbang biaya
kampanye Arhawi.58 Kapal milik PT. Askar
Saputra menjadi alat pertukaran suara antara
kandidat dan pemilih (klientalisme). Pola
klientalisme yang dipraktekan yaitu dengan
menggratiskan atau memotong tiket penumpang
pengguna kapal milik Arhawi (PT. Askar
Saputra).59 Kapal Arhawi pada saat Pemilukada
digunakan sebagai alat intimidasi bagi penduduk
yang berbeda pilihan politik. Sebuah surat kabar
memberitakan tindakan intimidasi dan perlakuan
tidak menyenangkan yaitu larangan naik kapal
dan pengusiran penumpang PT. Askar yang tidak
berpihak pada salah satu calon bupati.60
Lebih lanjut menurut salah satu fungsionaris
PDI.P Sultra, pada Pilkada 2015 kapal milik
Arhawi digunakan sebagai alat mobilisasi
pemilih (mendatangkan pemilih) dari luar daerah.
Para pemilih ini adalah orang-orang Wakatobi
yang merantau ke Indonesia bagian timur
seperti, Papua, Taliabu dan Maluku.61 Mobilisasi
pemilih dari luar daerah merupakan salah satu
pola yang ditemukan oleh Bawaslu Sultra pada
penyelenggaraan Pemilukada serentak 2015.62
Saat Pemilukada, para penduduk Wakatobi yang
berada di luar daerah (merantau) kembali ke
Sultra dengan alasan pulang kampung. Diantara
mereka ada yang telah memiliki KTP dan tercatat
dalam daftar pemilih tetap (DPT), maka dengan
pulang kampung mereka bisa memilih. Ada pula
yang memiliki KTP tapi tidak tercatat dalam
DPT, maka berdasarkan PKPU No. 10 Tahun
2015 mereka berhak untuk memilih. Bagi mereka
yang belum memiliki KTP, maka dibuatkan KTP
baru.
Selain Hugua dan Arhawi, nama lain
yang cukup dikenal di Wakatobi adalah
Mr. Lorenz Mader, pemilik Wakatobi Dive
Resort (WDR) yang berlokasi di Pulau One
Mobaa, Desa Lamanggau Kecamatan Tomia.
Lorenz biasa disapa merupakan warga negara
Swiss yang berinvestasi di Wakatobi. Lorenz
merintis berdirinya WDR sejak tahun 1995
dan mendapatkan izin dari Bupati Buton lima
tahun kemudian (tahun 2000). Kehadiran WDR
cukup kontroversial dikalangan masyarakat,
pemerintah dan pihak keamanan. Pro kontra
masyarakat terkait keberadaan WDR diantaranya
menyangkut sewa lahan yang dipersoalkan oleh
pemilik lahan63, kontribusi bagi masyarakat
sekitar, larangan terhadap nelayan setempat untuk
mencari ikan, pelanggaran ketanagakerjaan dan
ancaman keamanan/kedaulatan negara.
Menurut salah satu ahli waris pemilik lahan
yang disewa oleh Lorenz, surat perjanjian sewa
menyewa lahan milik warga dilakukan secara
illegal dan penuh manipulasi.
“Lorenz menyewa lahan warga tanpa
sepengetahuan pemilik lahan. Pemilik lahan
tiba-tiba dikirimkan/serahkan akta notaris
yang telah ditanda tangani dan menyebutkan
bahwa lahan tersebut telah disepakati untuk
disewa oleh Lorenz selama 30 tahun. Akta
notaris itu mengangetkan kami, karena orang
tua dan ahli waris tidak pernah menanda
tangani apalagi menyetujui sewa lahan
tersebut. Kami kemudian menyapaikan protes
pada pemerintah setempat. Namun saya
justru mendapatkan ancaman kekerasan dari
preman dan keluarga Baharudin Isa (mantan
Camat Tomia) dengan menuduh saya telah
mencemarkan nama baik orang tua mereka
(Baharudin Isa). Atas peristiwa tersebut, saya
diamankan oleh keluarga”.64
Bawaslu Sultra, “Laporan Akhir Hasil Pengawasan Bawaslu
Sultra”, 2016, hlm. 76
58
Salinan putusan MK. Nomor 117 PHP-BUP-XV/2016,
tentang sidang sengketa Pilkada Wakatobi Tahun 2015, hlm. 8
59
Kompas, “ Penumpang diturunkan dari kapal gara-gara
beda pilihan”, 5 Januari 2016, http://regional.kompas.com/
read/2016/01/05/15094811/Penumpang.Mengaku.Diturunkan.
dari.Kapal.gara-gara.Beda.Pilihan.di.Pilkada (diakses pada 6
Agustus 2016).
60
Wawancara dengan Agus Sanaa, 22 Agustus 2016, jam
16.30 WITA. Fenomena mobilisasi pemilih dari luar daerah
di Wakatobi pernah terungkap dalam Pemilukada tahun 2011.
Lihat Putusan MK Nomor 40/PHPU.D-Ix/2011 tentang sidang
sengketa Pilkada Wakatobi Tahun 2011, hlm. 8
61
Wawancara dengan Munsir Salam, Komisioner Bawaslu
Sultra, 28 Juni 2016, pukul 09.30 WITA
62
Penuturan warga setempat, lahan mereka
disewa oleh Lorenz melalui perjanjian yang
dibuat oleh Camat. Pemilik lahan tidak pernah
mengetahui isi perjanjian antara Lorenz dan
Lihat Marwan, Studi Ekonomi Politik: Pengelolaan
Pariwisata Di Kabupaten Wakatobi. (Skripsi: Program Studi
Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2014), hlm. 92
63
64
Wawancara dengan S, 8 Agustus 2016, pukul 21.00 WITA
182 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Camat. Atas bantuan Camat pula Lorenz
menggunakan lahan di Pulau Tomia sebagai
lokasi berdirinya lapangan terbang (Lapter)
Maranggo, tempat pendaratan pesawat milik
Lorenz.65 Setiap seminggu sekali pesawat milik
Lorenz membawa wisatawan langsung dari Bali,
tanpa melalui bandara Mataohara, Wakatobi.
Dengan itu, Pemda Wakatobi mendapatkan
sedikit keuntungan atas keberadaan bandara
tersebut, kecuali sewa tanah yang diterima
langsung oleh pemilik tanah. Berdasarkan
catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,
keberadaan WDR menyumbang PAD sebanyak
106 juta pada tahun 2002 dan setiap tahun terus
mengalami peningkatan.66 Para wisatawan untuk
bisa menginap dan menikmati fasilitas WDR
dikenakan biaya Rp. 4.500.000 /malam.67
Dari sisi keamanan dan kedaulatan Negara
penguasaan lapangan terbang oleh orang asing
sangat membahayakan. Lapangan terbang
merupakan salah satu infrastruktur vital dalam
pertahanan sebuah wilayah/negara. Lapter
menjadi pintu masuk sebuah wilayah, sehingga
pengawasan negara terhadap lapangan terbang
tidak kalah vital. Pada saat penulis melakukan
observasi di Tomia, menemukan begitu
ekslusifnya Lapter Maranggo dan WDR, hanya
atas izin Lorenz untuk bisa mengaksesnya.
Para tamu WDR juga ekslusif, ketika mendarat
di Lapter Maranggo telah disediakan mobil
dan kapal khusus untuk mengangkut orang
dan barang para tamu WDR, tanpa melalui
pemeriksaan aparat keamanan atau otoritas
lainnya. Para tamu WDR juga tidak membaur
dengan masyarakat, seperti wisatawan pada
umumnnya yang kerap mengunjungi tempatKepemilikan Tanah di lokasi Lapter Maranggo kontroversial.
Pada tahun 2009 seorang warga bernama L.M. Urufi
Prasad,SH.,MH (ahli waris pemilik tanah) menggugat Lorenz,
Bupati Wakatobi, Bupati Buton. Ketua DPRD Wakatobi, Ketua
DPRD Buton dan Camat Tomia atas penggunaan lahan miliki
orang tua penggugat dan warga Tomia. Putusan Mahkamah
Agung Republik Indoensia, 21 Desember 2011 file:///C:/
Users/hp/Downloads/2326_K_Pdt_2011.pdf (diakses pada 6
Agustus 2016).
65
Lihat Nur Ayu, Zulkhair Burhan, Beche BT. Mamma,
“Dampak Investasi Pt. Wakatobi Dive Resort Pada Sektor
Pariwisata One Mobaa Serta Potensi Perkembangan Ekonomi
Masyarakat Lamanggau”, Jurnal Paradigma. Vol. 003, Nomor.
003, Juli 2015, hlm. 296.
66
Wawancara dengan A, Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi,
7 Agustus 2015, pukul 08.00 WITA
67
tempat umum atau warga. Di WDR, wisatawan
sangat terjaga hak-hak individu dan privasinya,
tanpa ada yang mengganggu. Inilah menjadikan
WDR menjadi salah satu tujuan wisata favorit.
Penuturan seorang warga menyebut, antusiasme
wisatawan yang ingin ke WDR mirip dengan
antrian yang ingin naik haji.68
Lorenz sangat berkuasa, ia melarang dan
mengusir nelayan setempat yang mencari ikan
di sekitar resort miliknya. Penuturan Muhamad
Daulat, Kapolda Sultra pernah suatu ketika
memasuki wilayah Tomia dan hendak berlabuh di
pelabuhan milik Lorenz namun tidak dibolehkan.
Sikap WDR membuat Kapolda marah dan
memerintahkan jajarannya menyelidiki sikap
ekslusif WDR, namun pengusutan itu tidak
dilanjutkan, setelah Kapolda mendapatkan surat
dari Kementrian Politik Hukum dan Keamanan
Republik Indonesia.69 Selain memiliki relasi
dengan oknum pemerintah pusat, Lorenz
memiliki hubungan bisnis dengan tokoh lokal
Tomia (Baharudin Isa). Mantan camat Tomia
ini merupakan tokoh yang memfasilitasi Lorenz
dalam penyewaan tanah di lahan bisnis miliknya.
Atas hal itu, masyarakat Tomia mengenal
Baharudin Isa sebagai pemilik pulau One Mobaa
(lokasi berdirinya WDR). Baharudin Isa juga
dikenal sebagai orang kaya di Tomia, berkat
ketokohan dan kekayaan yang dimilikinya
menjadikan ia sangat disegani. Hal ini pula yang
menjadikan anaknya, Ariati terpilih sebagai
anggota DPRD Kabupaten Wakatobi pada
Pemilu 2014 lalu. Masyarakat Tomia mengenal
Ariati sebagai anak Baharudin Isa yang sempat
menempuh kuliah jurusan kesehatan masyarakat,
namun ia tidak menyelesaikan karena terpilih
menjadi anggota DPRD. Pada Pemilu 2014,
Ariati menjadi anggota legislatif mewakili PAN,
partai yang dipimpin oleh Arhawi di Wakatobi
dan Nur Alam di Sulawesi Tenggara.70 Nur
Alam dan Arhawi saat kampanye Pemilukada
Wakatobi 2015 di Tomia menginap di WDR
Wawancara dengan D, aktivis Tomia, 21 Oktober 2016, pukul
13.00 WITA
68
Wawancara dengan Muhamad Daulat, 5 Agustus 2016,
pukul 21.00
69
PAN merupakan peraih kursi terbanyak kedua di Wakatobi
(dibawah PDI.P). Sejak 2006 sampai saat ini PAN Wakatobi
diketuai oleh Arhawi. Sementara Nur Alam merupakan Ketua
DPW PAN Sultra hingga tahun 2016.
70
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 183 milik Lorenz. Keterbukaan WDR menerima tamu
yang masuk lewat Wakatobi diluar kebiasaan
atau prosedur yang lazim berlangsung selama
ini, mengingat menurut cerita warga Tomia yang
bekerja di WDR, untuk bisa menginap di WDR
harus melakukan registrasi (pintu masuk) di
Bali. Dari Bali kemudian para wisatawan diantar
menggunakan pesawat milik Lorenz.71
Pemerintah Wakatobi tampak lemah
menghadapi Lorenz. Dugaan pelanggaran UU
ketenagakerjaan oleh WDR tidak mendapatkan
sanksi apapun dari pemerintah.72 Pemerintah
Wakatobi juga gagal memberikan perlindungan
pada warganya. Ancaman dan intimadasi terhadap
nelayan oleh WDR masih terus berlangsung.
Pelarangan nelayan oleh WDR sangat berdampak
pada komunitas suku Bajo Lamanggau.73
Pada sebagian masyarakat Lamanggau dan
Tomia, Lorenz mendapat dukungan dan sebagian
masyarakat yang lain mentang. Masyarakat
pendukung Lorenz beranggapan bahwa WDR
sangat berkontribusi bagi kampung mereka
berupa ketersediaan listrik, lapangan kerja dan
pendapatan desa. Untuk diketahui, di Desa
Lamanggau, Lorenz memberikan kompensasi
berupa lampu penerangan (listrik) secara gratis
kepada masyarakat yang bersumber dari listrik
WDR. Listrik yang diberikan WDR dapat
Wawancara dengan D, aktivis Tomia, 21 Oktober 2016, pukul
13.00 WITA
71
Pelanggaran perburuan di WDR terungkap setelah adanya
demonstrasi para buruh yang bekerja di WDR pada tanggal
1 Agustus 2011. Sebuah sumber menyebut perlakuan yang
kurang menyenangkan dari perusahaan atau pelanggaran hak
pekerja di PT. Wakatobi Dive Resort sudah berlangsung sejak
tahun 1996. Dalam aksi tersebut, para buruh menuntut hakhak normatif sesuai regulasi ketenagakerjaan yang berlaku
di Indonesia seperti menuntut gaji sesuai Upah Minimum
Provinsi (UMP), pemberlakuan upah lembur, cuti haid, cuti
hamil dan cuti melahirkan bagi perempuan, pemberlakuan
shiff jam kerja, kontrak kerja serta hak libur hari raya. Lihat
Nur Ayu, Zulkhair Burhan, Beche BT. Mamma, Op.cit, hlm.
299. Lihat pula tulisan Ismmar Indarsyah, “Nasib Tragis
Buruh PT. Wakatobi Dive Resort”, 13 Maret 2012, http://
www.kompasiana.com/ismarindarsyah/nasib-tragis-buruh-ptwakatobi-dive-resort_550e7759813311c82cbc6522 (diakses
pada 6 Agustus 2016).
72
Saat observasi, penulis berkesempatan wawancara dengan
mereka. Melalui wawancara itu, mereka (Orang Bajo) tampak
ketakutan menjawab setiap pertanyaan. Akibat larangan
WDR, Orang Bajo Lamanggau mengeluhkan kehidupan
dirasa semakin sulit. Namun mereka tidak mampu melawan
Lorenz yang mengintimidasi melalui orang-orang lokal yang
mendukung Lorenz dan ancaman pemutusan saluran listrik.
73
dinikmati oleh seluruh masyarakat Lamanggau
dari pukul 18.00-24.00. Bahkan menurut
penuturan warga Lamanggau, Lorenz bersedia
menambah jam pasokan listrik menjadi 12
jam, asal warga Lamanggau menyanggupi
permintaan Lorenz untuk menambah luas lahan
yang dikuasai/sewa oleh WDR. Sebaliknya
bagi mereka yang kritis terhadap WDR, Lorenz
mengancam memutus aliran listrik.
Selain listrik, Lorenz juga memberikan
kompensasi uang kepada pemerintah desa
yang berdekatan dengan WDR. Setiap Desa
mendapatkan kompensasi sebesar Rp. 5.000.000
/bulan. Hal ini diakui oleh para Kepala Desa di
Lamanggau, Dete dan Kahiyanga.74 WDR juga
dipandang mendatangkan pekerjaan bagi warga,
meski hanya sebagai pegawai rendahan. Jajaran
pimpinan dan pengelola WDR berasal dari luar
Wakatobi.75 Asal-usul Lorenz sebagai warga
asing tidak dipersoalkan oleh masyarakat Tomia.
Lorenz dianggap sebagai bagian dari masyarakat
Wakatobi, setelah ia menikah dengan perempuan
asal Tomia.76
U p a y a P e m d a Wa k a t o b i m e r e d a m
dominasi dan ekspansi Lorenz di Lamanggau,
dilakukan dengan mendirikan resort di sekitar
(bersampingan) WDR. Akan tetapi resort
yang dibangun Pemerintah Wakatobi ini kalah
bersaing dengan WDR, yang tersisa adalah
bangunan yang tidak terawat. Sebaliknya,
WDR semakin berkembang berkat perlindungan
politik lebih kuat, pengunjung yang terus
meningkat, kekayaan material lebih banyak
(aset perusahaan), fasilitas yang lengkap dan
berstandar internasional serta manajemen
perusahaan yang modern. Keunggulan yang
dimiliki WDR berhasil mengokohkan kekuasaan
Lorenz atas tanah dan laut pulau One Mobaa,
memunculkan polarisasi antar warga serta
membungkam suara kritis warga desa sekitar
Wawancara penulis dengan Kepala Desa Lamanggau, Dete
dan Kahiyanga, 5-7 Agustus 2016
74
Pimpinan perusahan (WDR) setingkat manajer berasal dari
luar Wakatobi (orang Bali). Posisi tertinggi yang dijabat oleh
orang lokal adalah kepala keamanan (Satpam). Selain sebagai
Satpam, penduduk local dipekerjakan sebagai buruh cuci, buruh
masak dan tukang kebersihan. Observasi 7 Agustus 2015, pukul
14.00 WITA.
75
Wawancara dengan A, Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi,
7 Agustus 2015, pukul 08.00 WITA
76
184 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 lokasi WDR. Disisi lain, atas penguasaan pulau
One Mobaa, Lorenz dipandang melanggar dan
mengancam kedaulatan wilayah, diantaranya
berkaitan dengan keberadaan bandara dan
penguasaan pulau One Mobaa. Suatu ketika, pada
tahun 2008 Pulau One Mobaa berganti menjadi
pulau Lorenz. Peristiwa ini berawal setelah info
cellular ponsel masyarakat dan wisatawan yang
berkunjung atau hanya sekedar melewati batas
resort One Mobaa bertuliskan pulau Lorenz.77
Saat penulis berkunjung di Tomia, penyebutan
pulau Lorenz ini lebih populer dibanding pulau
One Mobaa.
Dampak oligarki dan Eite Penentu Dalam
Pembangunan Perdesaan
Hugua dan Arhawi merupakan kelompok oligarki
di Wakatobi. Mereka menguasai sumber daya
politik dan perekonomian Wakatobi. Mereka
mempertahankan pendapatan dan menambah
kekayaan dengan bersandar pada kekuasaan dan
jejaring politik yang mereka miliki. Diantara
mereka bersaing satu sama lain, kadang menjadi
teman dan juga lawan, namun tidak saling
meniadakan, sehingga kelompok oligarki ini
tetap bertahan. Selain mereka, konstalasi politik
dan ekonomi di Wakatobi sangat dipengaruhi oleh
keberadaan elite penentu seperti elite ekonomi,
birokrat dan aktivis. Elite ekonomi di Wakatobi
diantaranya ada pada Lorenz dan Ceng Ceng,
sedangkan elite birokrat yang bertransformasi
menjadi elite ekonomi ada pada mantan birokrat
seperti: Baharudin Isa, elite aktivis ada pada
Muhamad Ali Tembo. Bertahannya kelompok
oligarki dan elite ekonomi memberikan dampak
positif maupun negatif bagi pembangunan
kawasan perdesaan Wakatobi.
Pertama, menggairakan per-ekonomian
daerah. Perekonomian Kabupaten Wakatobi bila
dilihat dari struktur PDRB, pertanian merupakan
sektor paling berperan. Meski demikian
kontribusi PDRB berdasarkan pembagian pada
tiga sektor—primer (pertanian dan penggalian),
sekunder (industri, listrik dan bangunan) dan
tersier (perdagangan, hotel, restoran, keuangan
Saat penulis berkunjung ke Desa Lamanggau lokasi
WDR berdiri tepat berada disebelah selatan Pulau Tomia
yang berhadapan dengan pelabuhan Usuku. Pulau yang oleh
masyarakat Tomia dikenal sebagai pulau One Mobaa, kini
penyebutannya telah berganti menjadi pulau Lorenz.
77
dan jasa-jasa)—, tersier berkontribusi paling
besar terhadap PDRB Wakatobi (52,37 %),
disusul sektor primer (33,16 %) dan sektor
sekunder (10,15 %). 78
Sektor primer mempekerjakan banyak orang
namun minim modal (padat karya), sebaliknya
sektor sekunder dan tersier mempekerjakan
sedikit orang namun memiliki modal besar (padat
modal). Sektor sekunder dan tersier di Wakatobi
dikuasai oleh kelompok oligarki dan elit
ekonomi. Sektor jasa misalnya: resort—Patuno
dan WDR—, hotel dan penginapan milik Hugua
dan Lorenz. Sektor konstruksi dikelola oleh Ceng
Ceng dan sektor transportasi dimiliki oleh Arhawi
(PT. Askar Saputra) dan Hugua (Pata Pulo
Travel). Penguasaan sektor yang padat modal
dan minim tenaga kerja oleh kelompok oligarki
dan elite ekonomi, menjadi pemicu ketimpangan
pendapatan di Wakatobi.
Meski hal itu, tidak dipungkiri keberadaan
kelompok oligarki dan elit ekonomi ikut
menumbuhkan perekonomian daerah. Pada tahun
2008-2012, perekonomian Wakatobi tumbuh
mendekati 10 %, ini sejalan dengan peningkatan
IPM diatas rata-rata.79 Pertumbuhan ekonomi
Wakatobi ditunjukkan dengan peningkatan
PDRB setiap tahun.
Tabel. 3. PDRB Wakatobi Tahun 2012-2014
Sektor Perekonomian
Pertanian
Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik & Air Bersih
Bangunan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Transportasi, komunikasi
Keuangan, R. Estate & Jasa persewahan
Jasa kemasyarakatan sosial
PDRB
2012
510,397.05
327,336.37
83,960.55
5,514.26
279,025.44
267,310.76
52,548.91
80,191.38
283,410.40
1,889,695.12
2013*
546,607.07
346,722.28
90,193.18
6,076.70
304,734.48
294,777.36
57,035.22
84,368.09
306,745.97
2,037,260.37
2014**
584,489.82
361,430.46
101,772..57
6,672.92
332,608.71
320,274.73
59,458.35
90,898.75
339,516.81
2,197,123.11
Sumber: BPS Wakatobi 2016.
*angka sementara
**angka sangat sementara
Kedua, peningkatan kunjungan wisata.
Upaya pemerintah Wakatobi menggenjot sektor
Pemerintah Daerah Wakatobi, “Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintahan Kabupaten Wakatobi Tahun
2014”, hlm. 22.
78
IPM diatas rata-rata tetap menjadi catatan karena secara
peringkat dan capaian, IPM Wakatobi masih berada dibawah
rata-rata provinsi dan menduduki peringkat 10 terendah dengan
perolehan 66,95 pada tahun 2014
79
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 185 pariwisata dan sejumlah bisnis yang dimiliki oleh
kelompok oligarki dan elit ekonomi berdampak
pada peningkatan jumlah wisatawan yang
berkunjung ke Wakatobi, sehingga memberikan
multiplayer efek pada peningkatan PAD dan
PDRB setiap tahunnya.
Tabel. 4. Jumlah Kunjungan Wisata dan PAD
Wakatobi
Tahun
2010
2011
2012
2013
2014
Jumlah Kunjungan
Wisata
6793
7698
6332
12370
14270
PAD
(dalam juta Rp)
415 190,58
482 495,68
535,111.13
Sumber: BPS (diolah kembali oleh peneliti).
Ketiga, membuka lapangan pekerjaan
baru. Secara umum serapan lapangan pekerjaan
selama sepuluh tahun terakhir (2006-2015)
di Wakatobi mengalami peningkatan (6,56
%). Meski demikian secara parsial ada yang
mengalami penurunan, seperti sektor pertanian
(20,46 %), perdagangan (20,34 %), keuangan dan
persewahan (49,49 %).
Tabel. 5. Perkembangan Pekerja menurut Lapangan
Pekerjaan Utama (Orang), di Wakatobi, 2000,2006,
2015.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Lapangan Usaha
Pertanian
Penggalian
Industri
Listrik, Air
Konstruski
Perdagangan , akomodasi
Transportasi, komunikasi
Keuangan, persewahan
Jasa kemasyarakatan sosial
Lainnya
Total (Orang)
2006
23,566
486
1,582
54
972
5,889
2,425
396
3,499
38,869
2015
18,743
1,368
1,875
3,021
4,691
3,350
200
8,173
41,421
Sumber: BPS (diolah kembali oleh penulis)
Sebaliknya kenaikan terjadi pada sektor
penggalian (281,48 %), industri (118,52
%), konstruksi (310,80 %), transportasi dan
komunikasi (138,43 %), jasa (233,58 %). Kenaikan
ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah
Wakatobi yang memfokuskan pembangunan
pada sektor pariwisata, yang membutuhkan daya
dukung dari sektor konstruksi, transportasi dan
jasa-jasa milik para oligarki dan elit ekonomi.
Keempat, kemudahan akses transportasi.
Bisnis para oligarki dan elite ekonomi
berkontribusi pada peningkatan alat dan jaringan
transportasi di Wakatobi selama sepuluh tahun
terakhir.
Tabel. 6. Alat & Jaringan Transportasi di Wakatobi
Tahun 2006- 2015
No
Alat dan jaringan
Transportasi
1
Jalan (km)
2
Bandara/Lapter
3
Dernaga/Pelabuhan
4
Angkutan pedesaan (unit)
5
Angkuatan penyebarangan (unit)
6
Kendaraan Bermotor
Sumber: BPS (Diolah kembali)
Tahun
2006
284,30
1
2176
Tahun
2015
419.010*
2**
24
139
17
2778
*Kondisi jalan baik (24,63 %), sedang (14,99 %), rusak
(20,86 %), rusak berat (5,27 %), tidak terinci (34,22 %).
** Bandara/Lapter yaitu Bandara Mataohara milik Pemda
Wakatobi dan Lapter Maranggo milik Lorenz.
Ketersediaan sarana transportasi menjadikan
wilayah Wakatobi mudah diakses. Keberadaan
Bandara Mataohara mempercepat waktu
tempuh menuju dan dari Wakatobi. Keberadaan
dermaga dan kapal milik PT. Askar Grup ikut
memperlancar mobilitas barang dan orang, ini
ditandai dengan peningkatan arus penumpang
selama delapan tahun terakhir. Berbeda dengan
itu, arus barang justru mengalami penurunan
bobot. Hal ini dipicu oleh keberadaan sektor
industri di Wakatobi yang terus tumbuh, sehingga
secara perlahan mampu memproduksi barang
yang diperlukan oleh masyarakat lokal.
Tabel. 7. Arus Penumpang dan Barang di Wakatobi
Tahun 2006 dan 2014
Tahun
2006
2014
Penumpang
Naik
Turun
(orang)
(orang)
52.867
60.865
121.703,00 122,946,00
Barang
Bongkar
Muat
(Ton)
(Ton)
13.672
2.182.325
895,88
849,38
Sumber: BPS (Diolah kembali oleh penulis)
186 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Tingginya mobilitas menuju dan dari
Wakatobi tidak terlepas dari ketersediaan alat
dan jaringan transportasi. Meskipun hal itu
tetap menjadi catatan, kondisi daratan—jaringan
jalan—tidak lebih baik dari infrastruktur laut.
Persentase jalan baik pada tahun 2015 hanya
24,63 %, selebihnya mengalami kerusakan dalam
kategori sedang hingga buruk.
Tabel. 8. Peringkat Daya Saing Infrastruktur dan
SDA di Wakatobi Tahun 2007
Nama Kabupaten/
Kota
Kabupaten Buton
Kabupaten Muna
Kota Bau-Bau
Kabupaten Wakatobi
Kabupaten Konawe
Kota Kendari
Kabupaten Kolaka
Kabupaten Konawe Selatan
Kabupaten Bombana
Kabupaten Kolaka Utara
Peringkat Daya
Saing
Infrastruktur
dan SDA
VIII
V
IV
X
I
III
II
IX
VI
VII
Sumber: Penelitian Ira Irawati dkk, 2007.
Tabel. 9. Perkembangan UMKM di Wakatobi Tahun
2011 dan 2013
Tahun
2011
2013
Jumlah Usaha
Kecil Menengah
395
71
374
128
Mikro
7.209
7.925
Tenaga Kerja
Kecil Menengah
1.308
329
1.200
494
Sumber: Profil Perekonomian Wakatobi 2014
Tabel di atas menampakan, jumlah usaha dan
tenaga kerja sektor usaha mikro dan menengah
meningkat, sebalikanya usaha kecil mengalami
penurunan.
Keenam, oligarki memperlebar kesenjangan
pendapatan masyarakat. Wakatobi mengalami
pertumbuhan ekonomi tinggi, namun hal
ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap
penurunan angka kemiskinan dan pengurangan
jumlah pengangguran. Sebuah laporan
analisis pembangunan Sulawesi Tenggara
mengkategorikan Wakatobi sebagai daerah yang
mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi tapi
pengurangan kemiskinan dan pengangguran
di bawah rata-rata (high-growth less-pro poor
dan high-growth, less-pro job).81 Pertumbuan
ekonomi tinggi Wakatobi tidak disertai dengan
pemerataan pendapatan.
Gambar. 1. Indeks Gini Wakatobi 2009-2012
Studi Ira Irawati dkk80 pada tahun 2007
menyebut, kondisi daya saing infrastruktur di
Wakatobi masih tertinggal dibanding daerah lain
di Sulawesi Tenggara. Suasana itu tidak jauh
berbeda dengan yang dirasakan penulis ketika
berkunjung ke Wakatobi pada tahun 2015.
Kelima, mendorong gairah usaha baru yang
ditandai dengan pertumbuahan sektor usaha
mikro, kecil dan menengah. Keunggulan sektor
pariwisata dan kemudahan akses di Wakatobi
ikut mempengaruhi perkembangan jumlah usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta
jumlah (orang) bekerja di sektor tersebut.
Mikro
4.595
5.406
Indeks Gini (%)
28
2009
25
2010
34
29
2011
2012
Sumber: BPS 2016 (diolah kembali oleh penulis)
Berdasarkan perhitungan BPS, rasio
gini atau indeks ketimpangan pendapatan
masyarakat Wakatobi mengalami peningkatan
dari tahun ketahun. 82 Grafik di atas menampilkan
ketimpangan pendapatan di Wakatobi semakin
Perkembangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2014, Seri Analisis Pengembangan Wilayah Provinsi
Sulawesi Tenggara 2015, hlm. 4-7
81
Ira Irawati Dkk, “Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah
Berdasarkan Variabel Perekonomian Daerah, Variabel
Infrastruktur Dan Sumber Daya Alam, Serta Variabel Sumber
Daya Manusia Di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara”. Jurnal
J@TI Undip, Vol VII, No 1, Januari 2012.
80
Gini rasio membagi ketimpangan pengeluaran penduduk
dalam tiga kategori yaitu jika G < 0,3 berarti ketimpangan
rendah, jika G ≤ 0,5 berarti ketimpangan sedang, jika G > 0,5
berarti ketimpangan tinggi.
82
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 187 lebar. Capaian tersebut termasuk dalam kategori
sedang, butuh 17 poin untuk dikategorikan
sebagai ketimpangan tinggi. Jika indeks
ketimpangan terus meningkat, maka ini sangat
membahaya-kan bagi kestabilan sosial politik
di Wakatobi. Gejala ketidakstabilan sosial itu
setidaknya terlihat pada munculnya konflik
perburuhan dan agraria yang melibatkan tiga
pihak, yaitu: warga, pemerintah dan swasta di
Wakatobi (lihat tabel 9).
yang ditetapkan oleh pemerintah Wakatobi dan
Taman Nasional.
Ketujuh, mahalnya harga tanah dan
keterbatasan jumlah lahan. Kehadiran para
investor pariwisata secara perlahan mengurangi
penguasaan lahan oleh warga, akibat banyaknya
tanah yang berpindah tangan (dijual) oleh
orang perorang kepada pengusaha pariwisata.
Kesaksian Sumiman Udu menyebut, hampir 30
% tanah-tanah rakyat yang ada di wilayah Longa,
Patuno, Togo dan Wanci telah dijual kepada
pendatang dan yang punya uang untuk sekedar
membeli motor, handphone dan penukaran untuk
jaminan lulus CPNS.83
Kesembilan, oligarki memuncul-kan konflik
antara warga, pemerintah dan swasta. Konflik
ini diantaranya menyangkut konflik lahan/tanah
dan perburuhan. Tanah merupakan salah satu
asset penting dalam meningkatkan produksi.
Kelangkaan tanah akan menimbulkan konflik.
Potensi konflik lahan di Wakatobi sangat mungkin
terjadi, selain dikarenakan wilayah ini didominasi
oleh lautan (97%) dan daratan (3 %)86, juga dipicu
oleh penyerobotan dan penguasaan lahan oleh
para oligarki untuk mendirikan resort, seperti:
Patuno Resort dan Wakatobi Dive Resort.87
Kedelapan, kesulitan hidup nelayan. Sektor
perikanan yang juga mempekerjakan banyak
orang mengalami hambatan dalam upaya
meningkatkan produktivitas dan pendapatan
nelayan. Penelusuran Sumiman Udu84 dan studi
yang dilakukan oleh Paul Simonin menyebut,
nelayan yang bermukim di sekitar lokasi wisata
dan zona pemanfaatan (suku Bajo) mengalami
penurunan produktivitas dan kesulitan untuk
bertahan hidup, sebagaimana dimuat dalam
penuturan nelayan berikut:
Pembatasan wilayah laut ini bertentangan
dengan adat kebiasaan orang Wakatobi yang
menjadikan wilayah pantai sebagai ruang publik
mereka. Tak heran kemudian upaya pemerintah
untuk menjadikan Wakatobi sebagai Badan
Otoritas Pariwisata (BOP) ditentang oleh warga,
karena dipandang akan semakin meminggirkan
dan memiskinkan mereka.
Tabel. 10. Konflik Warga, Pemerintah dan Swasta di
Wakatobi.
Tahun
2011
“Masalah utama yang kami hadapi adalah kami
menangkap ikan lebih sedikit daripada yang
biasa kami tangkap. Kami perlu ikan untuk
bertahan hidup. Setiap orang di sini menangkap
ikan.”85
2004saat
ini
Masyarakat
Lamanggau
dan
PT.
WDR
20072010
Masyarakat
(Desa
Matohara
dan
Desa
Longa)
dan
Pemerintah
Masyarakat
(Desa
Matohara
dan
Liya)
dan
pemerintah
Masyarakat
(desa
Sombu) dan
investor
Masyarakat
dan
pemerintah
2010
2010
Masalah yang dialami nelayan ini
dikarenakan adanya larangan dari para pengusaha
dan pemerintah untuk menangkap ikan di sekitar
resort milik investor, serta adanya zona larangan
Lihat: Sumiman Udu, Pengembangan Pariwisata dan
Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi: Kajian Atas
Perlawanan Masyarakat Adat, hlm. 879
83
84
Ibid, hlm. 878
Paul Simonin, Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan)
Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia, hlm. 14
85
Pihak
terlibat
Buruh
dan
PT. WDR
2015
Uraian dan Jenis Konflik
Tuntutan hak buruh (upah)
dan
pelanggaran
UU
Ketenagakerjaan
- Larangan
terhadap
nelayan
untuk
menangkap
ikan
di
sekitar lokasi WDR.
- Sewa
menyewa
lahan
milik
warga
tempat
Lapter
Maranggo
dan
lokasi berdirinya WDR.
Konflik pembebasan lahan
bandara Mataohara
Konflik ganti rugi lahan
pembangunan
sekolah
Internasional 'School For M
arine Protected Area
Rencana
pembangunan
perumahan
Rencana proyek PLTU
Penolakan warga terhadap
Badan Otoritas Pariwisata
Sumber: data diolah oleh penulis
Buku Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Wakatobi
menyebut wilayah Wakatobi terdiri atas 97 % lautan dan 3 %
darat. (Tim, 2008: Bab III-15).
86
Konflik lahan di Wakatobi yang terbaru adalah adanya
penolakan masyarakat tentang Badan Otoritas Pariwisata.
Menurut warga BOP akan mengurangi hak-hak mereka atas
lahan dan sumber kehidupan mereka sebagai nelayan.
87
188 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 Keberadaan resort para oligarki tidak hanya
mengurangi luas tanah milik warga, namun
juga membatasi ruang gerak mereka yang
berprofesi sebagai nelayan dan petani. Para
petani dan nelayan dilarang untuk mencari ikan
dan berkebun, akibatnya konflik menjadi sering
terjadi. Disisi lain, keberadaan oligarki juga
memicu konflik perburuhan akibat pelanggaran
hak-hak buruh oleh perusahaan milik kaum
oligarki, sebagaimana dialami oleh buruh yang
bekerja di Wakatobi Dive Resort. Konflik juga
sangat mungkin terjadi diantara pemangku
kepentingan di bidang pariwisata yang memiliki
modal kecil dan modal besar.88
Kesepuluh, oligarki berusaha
mempertahankan kekayaan dengan membangun
dinasti. Mereka mengusung istri, ipar, saudara
sebagai anggota legislatif. Sementara elite
ekonomi menjalin hubungan baik dengan elit
politik lokal dan kelompok oligarki, demi
menjaga kelangsungan usaha mereka, diantaranya
menjadi donatur dalam kegiatan politik penting
dan menyediakan fasilitas bagi para elite politik
saat kampanye.
Penutup
Kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah
memberikan perubahan politik, sosial dan
ekonomi di Wakatobi. Pada era otonomi daerah
elit lama (old elite) yang berasal dari kaum
bangsawan (kaomu) secara perlahan digantikan
oleh kehadiran elit baru (new elite) yang berasal
dari mereka yang memiliki keahlian (birokrat),
berlatar belakang pendidikan tinggi (aktivis)
dan memiliki kekayaan (orang yang memiliki
perahu, tanah, perantau, pengusaha, kontraktor).
Para elite baru—aktivis, pemilik kekayaan,
birokrat—bertransformasi menjadi elite politik
(Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Anggota
DPRD), elite ekonomi (pengusaha) dan elit
politik plus ekonomi (oligarki).
Kemunculan oligarki di Wakatobi terbagi
dalam dua klasifikasi: pertama, aktivis yang
bertransformasi menjadi elit politik dan pengusaha;
kedua, pengusaha yang bertransformasi menjadi
Baca Kompas, “Jadi Pemain di Negeri ‘Surga’ Bawah
Laut”, 2 Agustus 2016 http://kompasmuda.com/2016/08/02/
jadi-pemain-di-negeri-surga-bawah-laut/ (diakses pada 27
Desember 2016).
elit politik. Klasifikasi pertama menjadi oligarki
dengan mengumpulkan kekayaan, sedangkan
klasifikasi kedua menjadi oligarki dengan
mempertahankan kekayaan. Para oligarki
dalam mengumpulkan dan mempertahankan
kekayaan dan juga kekuasaan berafiliasi dengan
elite ekonomi, pengusaha, kontraktor, mantan
birokrat, orang memiliki perahu dan mosega
(pemberani).
Kehadiran oligarki di Wakatobi berdampak
positif dan negatif dalam pembangunan
kawasan perdesaan. Pertama, menggairakan
perekonomian daerah. Kedua, peningkatan
kunjungan wisata. Ketiga, membuka lapangan
pekerjaan baru. Keempat, kemudahan akses
transportasi. Kelima, mendorong gairah usaha
baru. Keenam, memperlebar kesenjangan
pendapatan masyarakat. Ketujuh, mahalnya harga
tanah dan keterbatasan jumlah lahan. Kedelapan,
kesulitan hidup nelayan. Kesembilan, konflik
antara warga, pemerintah dan swasta. Kesepuluh,
oligarki berusaha mempertahankan kekayaan
dengan membangun dinasti.
Referensi
Buku
Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan Indonesia
Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto.
Jakarta: LP3ES, 2005.
--------. Localising Power in Post-Authoritarian
Indonesia : A Southeast Asia Perspective.
Stanford: Stanford University Press, 2010.
Hidayat, Syarif. Too Much Too Soon Local State Elite’s
perspective on and The Puzzle of Conteporary
Indonesian Regional Autonomy Policy. Jakarta:
Rajawali Pers, 2007.
Keller, Suzanne. Penguasa dan Kekompok Elite:
Peranan Elite Penentu Dalam Masyarakat
Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Robison, Richard dan Vedi R. Hadiz, Reorganizing
Power in Indonesia : The Politics of Oligarchy
in an Age of Markets. London : Routledge,
2004.
Robison, Richard. Soeharto dan Bangkitnya
Kapitalisme Indonesia. Jakarta: Komunitas
Bambu, 2012.
Winters, Jeffrey. Oligarki. Jakarta: Gramedia, 2011.
88
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 189 Jurnal
Ayu, Nur, Zulkhair Burhan, Beche BT. Mamma,
“Dampak Investasi Pt. Wakatobi Dive Resort
Pada Sektor Pariwisata One Mobaa Serta
Potensi Perkembangan Ekonomi Masyarakat
Lamanggau”. Jurnal Paradigma. Vol. 003,
Nomor. 003, Juli 2015.
Hadiz, Vedi R. dan Richard Robison, “Neo-liberal
Reforms and Illiberal Consolidations : The
Indonesian Paradox”, Journal of Development
Studies Volume 41 Nomor 2 Bulan Februari
2005.
Ira Irawati Dkk, “Pengukuran Tingkat Daya Saing
Daerah Berdasarkan Variabel Perekonomian
Daerah, Variabel Infrastruktur Dan Sumber
Daya Alam, Serta Variabel Sumber Daya
Manusia Di Wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara”. Jurnal J@TI Undip, Vol VII, No
1, Januari 2012.
Suaib, Eka dan La Husen Zuada, “Fenomena Bosisme
Local di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni
Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara”, Jurnal
Penelitian Politik LIPI. Vol.12, No.2. 2015.
----------, “Institusionalisasi Partai Politik: Studi Kasus
Hegemoni PAN di Sulawesi Tenggara”. Jurnal
The Politics. Magister Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin. Vol. 2 No.1 Tahun 2015.
Laporan dan Makalah
Badan Pusat Statistik, Kabupaten Wakatobi Dalam
Angka 2015.
Bappenas. Laporan Akhir Evaluasi Pembangunan
Perdesaan Dalam Konteks Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat. 2011
Buku Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Wakatobi. Tim, 2008.
Hutabarat, Melvin P. Fenomena “Orang Kuat” Di
Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus
Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin
Di Jambi, Tesis: Universitas Indonesia, 2012.
Laporan Akhir Hasil Pengawasan Pemilukada Tahun
2015, Bawaslu Sultra.
Marwan, Studi Ekonomi Politik: Pengelolaan
Pariwisata Di Kabupaten Wakatobi. Skripsi:
Program Studi Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin, 2014.
Pemerintah Daerah Wakatobi, Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintahan Kabupaten
Wakatobi Tahun 2014.
Romli, Lili. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal
di Provinsi Banten (2001-2006)”, Jakarta:
Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 2007.
Rozaki, Abrur. “Social origin dan Politik Kuasa Blater
di Madura” . Kyoto Review of Southeast Asia
Issue 11 (December 2009).
Salinan Surat Perintah Bupati Wakatobi Nomor
973/334 dan lampiran
Seri Analisis Pengembangan Wilayah Provinsi
Sulawesi Tenggara 2015
Simonin, Paul. Laporan Mengenai Resiliensi
(Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi
Tenggara, Indonesia. Atkinson Center for a
Sustainable Future & OXFAM
Udu, Sumiman. Pengembangan Pariwisata dan
Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi:
Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat.
Prosiding The 4th International Conference
on Indonesian Studies: Unity, Diversity and
Future, 2012.
Wawancara
Wawancara dengan Agus Sanaa, Wakil Sekertrais
DPD PDI.P Sultra, 19 Agustus 2016.
Wawancara dengan Muhamad Daulat, 5 Agustus 2016.
Wawancara dengan Rasman, 31 Juli 2016
Wawancara dengan A , Warga Tomia, Kabupaten
Wakatobi, 6 Agustus 2015
Wawancara dengan N, 7 Agustus 2016
Wawancara dengan Munsir Salam, Komisioner Bawaslu Sultra, 28 Juni 2016
Wawancara dengan S, 8 Agustus 2016
Wawancara dengan Kepala Desa Lamanggau, Dete
dan Kahiyanga, 5-7 Agustus 2016
Wawancara dengan Mahmud, 22 Oktober 2016
Sumber Internet
Aminudin, Indrawati. “Orang Bajo di Surga Bawah Laut”
http://indoprogress.com/2012/03/orang-bajo-di-surgabawah-laut/
Kompas, Penumpang Mengaku Diturunkan dari Kapal garagara Beda Pilihan di Pilkada. 5 Januari 2016. http://
regional.kompas.com/read/2016/01/05/15094811/Penumpang.Mengaku.Diturunkan.dari.Kapal.gara-gara.
Beda.Pilihan.di.Pilkada
Kompas, “Jadi Pemain di Negeri ‘Surga’ Bawah Laut”, 2 Agustus 2016 http://kompasmuda.com/2016/08/02/jadi-pemain-di-negeri-surga-bawah-laut/
Kompasiana, Korupsi Bupati Waktobi. 26 April 2013. http://
www.kompasiana.com/putrawaka/korupsi-bupati-wak
tobi_552fa49e6ea83434098b4591
--------, Nasib Tragis Buruh PT Wakatobi Dive Resort. 15 Maret 2012. http://www.kompasiana.com/ismarindarsyah/
nasib-tragis-buruh-pt-wakatobi-dive-resort_550e7759
813311c82cbc6522
190 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 167–191 News Kabali Indonesian Culture on the World. Kebijakan
Program Unggulan Hugua Kepariwisataan Maritim
Kurang Mendapat Resfon Para Pakar Asal Kepulauan
Wangi-Wangi. 5 Desember 2014. http://kabali-indonesia.blogspot.co.id/2014/10/kebijakan-program-kepariwisataan.html
Pikiran Rakyat, Ketimpangan Penghasilan Paling Tinggi? Di
Indonesia. 21 Desember 2015. http://www.pikiranrakyat.com/ekonomi/2015/12/21/354459/ketimpanganpenghasilan-paling-tinggi-di-indonesia
Suara Kendari, Profil Hugua, Putera Terbaik Sultra Calon Menteri Kelautan di Kabinet Jokowi –JK. http://www.suarakendari.com/profil-hugua-putera-terbaik-sultracalon-menteri-kelautan-di-kabinet-jokowi-jk.html
Tribun news, Pendapatan 40 Orang Kaya Setara 60 Juta Orang
Miskin. 26 Oktober 2011. http://www.tribunnews.com/
nasional/2011/10/26/pendapatan-40-orang-kaya-setara60-juta-orang-miskin
Desentralisasi dan Oligarki ... | Eka Suaib dan La Husen Zuada | 191 OTONOMI DESA DAN EFEKTIVITAS DANA DESA
THE VILLAGE AUTONOMY AND THE EFFECTIVENESS
OF VILLAGE FUND
Nyimas Latifah Letty Aziz
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No.10, Jakarta
E-mail:[email protected]
Abstract
The Law No.6 / 2014 on the village has opened up opportunities for villages to become self-sufficient and
autonomous. The Village autonomy is autonomous of village governments in managing the finances of the village. One
of program that given by the government is the village fund with the proportion of 90:10. The purpose of giving the
village fund is to fund village governance, implement the development, and empower rural communities. However,
the implementation of the use of village funds were still not effective due to inadequate capacity and capability of
the village government and lack of community involvement in the management of village funds.
Keywords : village autonomy, effectiveness, village fund
Abstrak
Lahirnya UU No.6/2014 tentang desa telah membuka peluang bagi desa untuk menjadi mandiri dan otonom.
Otonomi desa yang dimaksud adalah otonomi pemerintah desa dalam melakukan pengelolaan keuangan desa.
Salah satu program yang diberikan pemerintah saat ini adalah pemberian dana desa dengan proporsi 90:10. Tujuan
pemberian dana desa ini adalah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat desa. Namun, dalam pelaksanaan penggunaan dana desa masih dirasakan belum efektif
dikarenakan belum memadainya kapasitas dan kapabilitas pemerintah desa dan belum terlibatnya peran serta
masyarakat secara aktif dalam pengelolaan dana desa.
Kata Kunci : otonomi desa, efektivitas, dana desa
Pendahuluan
Otonomi daerah di Indonesia (sejak 2001) telah
membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk
bertanggung jawab dalam mengurus urusan
rumah tangganya sendiri. Ini merupakan solusi
alternatif dalam mengatasi berbagai persoalan
yang terjadi karena masalah ketimpangan
pembangunan baik antara pusat dan daerah
maupun antardaerah kabupaten dan kota.
Ketidakseimbangan yang terjadi sebagai
akibat pembangunan yang tidak merata hingga
menyebabkan tingginya angka kemiskinan di
Indonesia. Berdasarkan data BPS (September,
2015) bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan
sebesar 8,22% sedangkan tingkat kemiskinan
di perdesaan mencapai 14,09%.1 Menghadapi
persoalan tersebut, strategi pemerintah untuk
mengatasi ketimpangan pembangunan nasional
dengan menaruh perhatian besar terhadap
pembangunan daerah perdesaan.
Salah satu wujud perhatian pemerintah
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa. UU ini membawa perubahan
besar yang mendasar bagi kedudukan dan relasi
Lihat https://www.bps.go.id/brs/view/id/1227, (diakses pada
1 Oktober 2016).
1
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 193 desa dengan daerah dan pemerintah meliputi
aspek kewenangan, perencanaan, pembangunan,
keuangan dan demokrasi desa. Melalui UU
ini, kedudukan desa menjadi lebih kuat. UU
ini dengan jelas menyatakan bahwa desa dan
desa adat mendapat perlakuan yang sama dari
pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam hal
ini, desa diberikan otonomi untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan
hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai sosial
budaya masyarakat desa, serta menetapkan dan
mengelola kelembagaan desa. Tentunya untuk
menjalankan kesemuanya itu maka pemerintah
desa perlu mendapatkan dukungan dana.
Dana tersebut diperoleh dari sumber-sumber
pendapatan desa meliputi PADesa (Pendapatan
Asli Desa), alokasi APBN (Anggaran Pendapatan
Belanja Negara), bagian dari PDRD kabupaten/
kota, ADD (Alokasi Dana Desa), bantuan
keuangan dari APBD provinsi/kabupaten/kota,
hibah dan sumbangan pihak ketiga, dan lain-lain
pendapatan yang sah. Ini bertujuan supaya
pemerintah desa dapat memberikan pelayanan
prima dengan memberdayakan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam program kegiatan
pembangunan baik fisik maupun non fisik
sehingga tercapai pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat desa.
Sejak tahun 2015, pemerintah memberikan
Dana Desa (selanjutnya akan disebut dengan
DD) kepada desa yang bersumber dari APBN
yang ditransfer melalui APBD kabupaten/
kota. Desa mempunyai hak untuk mengelola
kewenangan dan pendanaannya. Namun, sebagai
bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) pemerintah desa perlu mendapat
supervisi dari level pemerintah di atasnya. Hal
ini dikarenakan untuk kedepannya, jumlah DD
yang akan diberikan ke desa akan semakin
besar sementara kapasitas dan kapabilitas SDM
(Sumber Daya Manusia) dalam pengelolaan
keuangan desa masih belum cukup memadai.
Selain itu, keterlibatan masyarakat untuk
merencanakan dan mengawasi penggunaan
dana desa masih dirasakan minimal. Dengan
demikian, ini menjadi tugas dan catatan penting
tidak hanya bagi pemerintah pusat, tetapi juga
bagi pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah
desa serta masyarakat untuk membangun desa
secara kolektif.
Pembangunan dapat diartikan sebagai
upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk
memengaruhi masa depannya. Ada lima implikasi
utama dari pembangunan tersebut yakni: (a)
capacity, pembangunan berarti membangkitkan
kemampuan optimal manusia, baik individu
maupun kelompok; (b) equity, mendorong
tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan
nilai dan kesejahteraan; (c) empowerment,
menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk
membangun dirinya sendiri sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan
dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan
memilih dan kekuasaan dalam memutuskan;
(d) sustainability, membangkitkan kemampuan
untuk membangun secara mandiri; dan (e)
interdependence, mengurangi ketergantungan
negara yang lain dan menciptakan hubungan
saling menguntungkan dan saling menghormati.2
Pembangunan memiliki tiga sasaran
pembangunan yakni pengangguran, kemiskinan,
dan ketimpangan. Apabila ketiganya mengalami
penurunan, pembangunan memiliki arti penting.
Namun, apabila terjadi sebaliknya, sulit
dikatakan adanya pembangunan.3 Sayangnya,
ketidakmerataan pembangunan yang terjadi
di Indonesia antara kawasan perkotaan dan
perdesaan memiliki gap yang tinggi sehingga
pembangunan pedesaan menjadi jauh tertinggal
dibanding perkotaan. Oleh karena itu, fokus
perhatian pemerintahan saat ini adalah bagaimana
membangun desa menjadi desa yang otonom
dan mandiri, salah satunya melalui pemberian
dana desa.
Kajian mengenai dana desa ini merupakan
kajian yang baru dan menarik mengingat
penyaluran dana desa baru diberlakukan pada
tahun 2015. Tulisan ini akan membahas tentang
otonomi desa dan efektivitas penggunaaan
dana desa. serta kendala yang dihadapi dalam
implementasi penggunaan dana desa. Bagian akhir
merupakan catatan penutup untuk memberikan
Lihat : Bryan White dalam Budi Suryadi, Ekonomi Politik
Modern Suatu Pengantar, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006).
2
Lihat : Dudley Seers dalam Hudiyanto, Ekonomi Politik,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2005).
3
194 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 masukan atas kendala yang terjadi dalam proses
implementasi penggunaan dana desa.
Otonomi Desa
Desa atau yang disebut dengan nama lain telah
ada sebelum NKRI terbentuk. Pasal 18 UUD
NRI (Negara Republik Indonesia) tahun 1945
(sebelum perubahan) menyebutkan bahwa
dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih
kurang 250 zelfbesturende landschappen
dan volsgemeenschappen. Ini sama dengan
penyebutan desa untuk di Jawa dan Bali, nagari
di Minangkabau, gampong di Aceh, dusun dan
marga di Palembang, lembang di Toraja, negeri di
Maluku, dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya
dianggap istimewa. Dalam hal ini, negara
mengakui keberadaan desa tersebut dengan
mengingat hak-hak asal usulnya. Oleh karena
itu, keberadaannya wajib dan diberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya dalam NKRI.
Sejarah pengaturan tentang Desa telah
mengalami beberapa kali perubahan sejak
Indonesia merdeka sampai dengan sekarang,
yaitu pada masa orde lama UU No. 22/1948
tentang Pokok Pemerintahan Daerah, UU No.
1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah, UU No. 18/1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, dan UU No. 19/1965
tentang Desa Praja sebagai Bentuk Peralihan
untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah
Tingkat III di Seluruh Wilayah RI. Selanjutnya
pada masa orde baru dibentuk UU No. 5/1975
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
dan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan
Desa. Pada masa reformasi dibentuklah UU
No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU
No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan
UU No.6/2014 tentang Desa, serta terakhir UU
No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, dalam pelaksanaannya pengaturan
tentang desa belumlah mewadahi apa yang
menjadi kepentingan dan kebutuhan masyarakat
desa. Barulah melalui UU No.6/2014 kepentingan
desa mulai diakomodasi.
Terbitnya UU No.6/2014 tentang desa
merupakan upaya untuk menghidupkan kembali
peran penting desa dalam proses pembangunan
nasional. Sebagaimana yang diketahui bahwa
pasca reformasi UU No.22/1999 dan UU
No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dinilai
belum memiliki semangat untuk menampilkan
desa sebagai salah satu komponen penting
dalam proses pembangunan nasional. Dalam
perspektif UU No. 22/1999, kebijakan mengenai
desa tidak cukup memberikan ruang bagi desa
untuk berkreasi dalam skema kewenangan yang
lebih luas. Sejak konstitusi sampai dengan UU
No.22/1999, kesemuanya lebih mengedepankan
ruang desentralisasi bagi pemerintah daerah
kabupaten/kota. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI
1945 justru menyatakan bahwa yang memiliki
pemerintah desa adalah provinsi, kabupaten dan
kota. Pasal 1 huruf o UU No. 22/1999 melihat
kewenangan mengatur dan mengurus desa
ditempatkan dalam format kewenangan daerah
otonom, sebagaimana yang ditegaskan dalam
UU No. 22/1999 pasal 99. 4
Secara normatif dapat dikatakan bahwa
otonomi desa hanya merupakan pelengkap dari
otonomi daerah. Explanatory factor terhadap
otonomi desa justru dapat dielaborasi berdasarkan
UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pasal 7 ayat (2) UU No.22/1999
mengatur bahwa peraturan desa/peraturan yang
setingkat dibuat oleh BPD atau dengan nama
lain kepala desa atau dengan nama lainnya. Ini
dikelompokkan ke dalam jenis perda yang diakui
secara tegas sebagai skema hierarki peraturan
perundang-undangan RI. Hal ini merupakan
kelanjutan dari Keputusan Mendagri No.
126/2003 tentang Bentuk-Bentuk Produk Hukum
di Lingkungan Pemerintah Desa meliputi: (a)
peraturan desa, (b) keputusan kepala desa, (c)
keputusan bersama, dan (d) instruksi kepala
desa. Dengan demikian ada kepastian hukum
bagi peraturan desa yang menegaskan pengakuan
terhadap ‘otonomi desa’, meskipun dalam batasbatas kewenangan pengaturan yang digariskan
oleh perda kabupaten/kota.5
W. Riawan Tjandra, (Perspektif Otonomi Desa dalam Dinamika
Desentralisasi dalam Dadang Juliantara: Mewujudkan
Kabupaten Partisipatif, (Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri,
2004), hlm. 91.
4
Ibid. Lihat juga Hessel Nogi S. Tangkilisan, Analisis Kebijakan
dan Masnajemen Otonomi Daerah Kontemporer, (Yogyakarta:
Lukman Offset, 2003), hlm. 41-52.
5
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 195 Selanjutnya dalam perspektif UU
No.32/2004 pasal 200 ayat (1), pemerintahan
desa dibentuk dalam lingkup pemda kabupaten/
kota. Pemerintahan desa terdiri dari pemerintah
desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa).
Pembentukan, penghapusan, dan penggabungan
desa, dilakukan dengan memperhatikan asal-usul
atau prakarsa masyarakat. Desa di kabupaten/kota
secara bertahap dapat diubah statusnya menjadi
kelurahan atas usul dan prakarsa pemerintah
desa dan BPD yang ditetapkan dengan perda
(peraturan daerah). Pemerintah desa terdiri dari
kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa
terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa
lainnya. Sekretaris desa diisi oleh PNS yang
memenuhi syarat.6
Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan desa yakni : (1) urusan pemerintahan
yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
(2) urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
ke desa; (3) tugas pembantuan dari pemerintah,
pemerintah provinsi, dan/atau kabupaten/kota
yang disertai pembiayaan, sarana, prasarana,
dan SDM; dan (4) urusan pemerintahan lainnya
yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan ke desa. Apabila kita melihat urusan
kewenangan (pada pon 2 dan 3), tampak
bahwa pemerintah desa mengalami proses
penunggangan kepentingan pemerintahan di
atasnya. Demikian halnya dengan BPD yang
menjadikan proses demokrasi di tingkat desa
menjadi terancam.7
Ini menunjukkan bahwa UU No.32/2004
sebagai bagian dari proses penyeragaman bentuk
pemerintahan di daerah. Kondisi pemerintahan
demikian menjadi bagian dari proses sejarah
yang tidak dapat dielakkan. Sebagai contoh,
sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat
kurang mempunyai landasan pijakan yang
sah bila mengacu pada UU ini. Desa tidak
lagi mempunyai otonomi. Sementara UU
No.22/1999 pasal 95 ayat (1) menyatakan
bahwa pemerintah desa terdiri atas kepala desa
atau yang disebut juga dengan nama lain, yaitu
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi
dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global (ed.
Revisi), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hlm. 185.
6
7
Ibid, hlm. 186.
perangkat desa. Sedangkan UU No.32/2004
menyatakan pemerintah desa terdiri atas kepala
desa dan perangkat desa. Tidak ada klausul
tentang atau yang disebut dengan nama lain. Ini
artinya terjadi pola penyeragaman sebutan kepala
desa. Secara formal tidak ada lagi wali nagari di
Sumatera Barat, hukum tua di Minahasa, opo
lao di Sangihe dan Talaud, sangadi di Bolaang
Mongondow, atau ayahanda di Gorontalo. Semua
diseragamkan dengan satu nama ‘kepala desa’.
Ini merupakan sebagian warna yang dibawa oleh
UU No. 32/2004.8
Saat ini jumlah desa yang ada di Indonesia
sudah mencapai 74.000 (tujuh puluh empat
ribu).9 Dengan demikian pelaksanaan pengaturan
desa yang selama ini berlaku sampai dengan
UU No.32/2004 sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman, terutama dalam
hal masyarakat hukum adat, keberagaman,
demokratisasi, partisipasi masyarakat, dan
pemerataan pembangunan sehingga terjadi gap
yang tinggi antarwilayah, kemiskinan, sosial
budaya, dan lingkungan yang dapat mengancam
keutuhan NKRI. Oleh karena itu, perlu ada suatu
gerakan pembaharuan desa untuk meredam
semua itu, khususnya dalam memahami otonomi
desa.
UU No.6/2014 memberikan ruang gerak yang
luas untuk mengatur perencanaan pembangunan
atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat
desa tanpa terbebani oleh program-program
kerja dari berbagai instansi pemerintah yang
selanjutnya disebut ‘otonomi desa’. Otonomi
desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan
utuh serta bukan merupakan pemberian dari
pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban
menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh
desa tersebut.10
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi
dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global,
hlm..186.
8
Lihat “Kemenkeu Minta Jumlah Desa di Indonesia Tidak
Ditambah”, 20 April 2016 http://nasional.republika.co.id/
berita/nasional/umum/16/04/20/o5xcdd383-kemenkeu-mintajumlah-desa-di-indonesia-tidak-ditambah, (diakses pada 1
Oktober 2016).
9
HAW Widjaja, Otonomi Desa : Merupakan Otonomi yang
Asli, Bulat dan Utuh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008),hlm.165.
10
196 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 Ada 4 (empat) hal penting untuk memahami
tentang otonomi desa, yakni pertama, cara pandang
legal formal yang merujuk pada diktum-diktum
yang tertuang dalam UU bahwa “desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri”. Di sini
desa sebagai subyek hukum yang berhak dan
berwenang membuat tindakan hukum, membuat
peraturan yang mengikat, menguasai tanah,
membuat surat-surat resmi, berhubungan dengan
pengadilan, menyelenggarakan kerjasama, dan
lain-lain. Namun, desa sebagai daerah otonom
tidak bisa hanya dilihat sebagai subyek hukum,
tetapi juga menjadi bagian dan implikasi dari
desentralisasi sehingga tidak bisa hanya dilihat
dari sisi hukum tetapi juga dari sisi hubungan
desa dengan negara. Oleh karena itu, desa juga
berhak memperoleh pembagian kewenangan
tidak hanya dari sisi pengelolaan pemerintahan,
tetapi juga pengelolaan keuangannya.
Kedua, desa dapat dikatakan otonom
apabila mendapat pengakuan dari negara atas
eksistensinya beserta hak asal-usul dan adat
istiadatnya. Di sini negara tidak hanya mengakui
eksistensinya, tetapi juga melindungi sekaligus
memberikan pembagian kekuasaan, kewenangan
dalam pengelolaan pemerintahan dan keuangan.
Ketiga, dengan menggabungkan fungsi self
governing community (kesatuan masyarakat
hukum) dengan local self government diperlukan
penataan kesatuan masyarakat hukum adat yang
merupakan bagian dari wilayah desa menjadi
desa dan desa adat. Adapun fungsi dan tugas
keduanya hampir sama, namun berbeda dalam
pelaksanaan hak asal usul, utamanya yang
berkaitan dengan pelestarian sosial, pengaturan
wilayah, ketentraman dan ketertiban masyarakat
hukum adat, serta pengaturan pelaksanaannya
atas dasar susunan asli. Keberadaan desa dan
desa adat mendapat perlakuan yang sama dari
Pemerintah dan Pemda (Pemerintah Daerah).
Oleh karena itu, akan ada pengaturan tersendiri
mengenai hal tersebut yang diatur dalam UU
No.6/2014. Keempat, melalui UU No.6/2014
diberikan ruang gerak yang luas untuk mengatur
perencanaan pembangunan atas dasar kebutuhan
prioritas masyarakat desa tanpa terbebani oleh
program-program kerja dari berbagai instansi
pemerintah yang selanjutnya disebut ‘otonomi
desa’ sebagai otonomi yang asli, bulat dan
utuh serta bukan merupakan pemberian dari
pemerintah.11
Demi memperkuat otonomi desa, pemerintah
kabupaten/kota perlu mengupayakan beberapa
kebijakan. Pertama, memberi akses dan
kesempatan kepada desa untuk menggali potensi
SDA (Sumber Daya Alam) untuk dimanfaatkan
sebagai sumber pendapatan desa dengan tetap
memperhatikan ekologi untuk pembangunan
berkelanjutan. Kedua, memberikan bantuan
kepada desa berdasar peraturan perundangan
yang berlaku. Ketiga, memfasilitasi upaya
capacity building tidak hanya bagi aparatur
desa, tetapi juga bagi komponen-komponen
masyarakat melalui korbinwas (koordinasi,
bimbingan dan pengawasan).
Ketiga hal di atas menjadi penting mengingat
meskipun desa diberikan otonomi dalam
mengurus rumah tangganya sendiri, pelaksanaan
otonomi tersebut tidak akan berhasil tanpa
adanya sumber pendapatan. Beberapa hal yang
menyebabkan desa membutuhkan sumber
pendapatan yakni; (a) Desa memiliki APBDes
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) yang
kecil di mana sumber pendapatannya sangat
bergantung pada bantuan yang juga kecil. (b)
PADes (Pendapatan Asli Desa) juga masih
rendah karena kemampuan SDM desa yang
masih rendah dalam mengelola SDA sehingga
kesejahteraan masyarakat desa juga rendah. (c)
Dana operasional untuk pelayanan publik juga
rendah. (d) Program-program yang dijalankan
di desa bersifat top down sehingga tidak sesuai
dengan apa yang menjadi prioritas kebutuhan
masyarakat desa.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut
pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk
dana perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, dimana minimal
10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan
yang diterima kabupaten/kota dikurangi
DAK diperuntukkan bagi desa. Ini kemudian
dikenal dengan ADD (Alokasi Dana Desa).
Tujuan pemberian ADD untuk menstimulasi
pemerintah desa melaksanakan program-program
kegiatannya dengan melibatkan masyarakat.
Bahkan, dalam dua tahun ini (sejak 2015),
11
Ibid., hlm.165
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 197 pemerintah telah memberikan bantuan dana
kepada desa yang dikenal dengan DD (Dana
Desa) untuk semakin mendorong pembangunan
perdesaan demi meningkatkan kesejahteraan
masyarakat desa. Dana desa merupakan dana
realokasi anggaran pusat berbasis desa yang
diberikan 10% dari dan diluar dana transfer
ke daerah secara bertahap. Dengan demikian
desa semakin diberikan ruang gerak yang luas
untuk mengelola pembangunan desa melalui
sumber-sumber pendapatan yang diperolehnya.
Lantas sejauhmana desa mampu mengoptimalkan
penggunaan DD tersebut?
Efektivitas Dana Desa
Efektivitas pada umumnya sering dihubungkan
dengan efisiensi dalam pencapaian tujuan baik
tujuan individu, kelompok dan organisasi. 12
Menurut Gibson ada 2 (dua) pendekatan dalam
menilai keefektifan menurut tujuan dan teori
sistem. Berdasarkan pendekatan tujuan maka
untuk merumuskan dan mengukur keefektifan
melalui pencapaian tujuan ditetapkan dengan
usaha kerjasama. Sedangkan pendekatan teori
sistem menekankan pentingnya adaptasi terhadap
tuntutan ekstern sebagai kriteria penilaian
keefektifan. Lebih lanjut Gibson menyatakan
bahwa konsep efektivitas organisasi haruslah
mencerminkan 2 (dua) kriteria, yakni (a)
keseluruhan siklus masukan-proses-keluaran,
dan (b) mencerminkan hubungan timbal balik
antara organisasi dan lingkungannya. Kriteria
ini kemudian berkembang dengan dimensi waktu
jangka pendek meliputi : 13
(a) Kriteria produksi; mencerminkan
kemampuan
organisasi
untuk
menghasilkan jumlah dan keluaran
kualitas yang dibutuhkan lingkungan.
(b) Kriteria
efisiensi;
perbandingan
keluaran terhadap masukan yang
mengacu pada ukuran pengguna sumber
daya yang langka dalam organisasi.
(c) Kriteria kepuasan; ukuran keberhasilan
organisasi dalam memenuhi kebutuhan
anggotanya.
James L.Gibson, et.al, Organisasi dan Manajemen. Perilaku
Struktur Proses, Alih Bahasa: Wahid, Djoerban, (Jakarta:
Erlangga, 1995), hlm.26
12
13
Ibid., hlm.27
(d) Kriteria keadaptasian; ketanggapan
organisasi terhadap perubahan internal
dan eksternal
(e) Kriteria pengembangan; mengukur
kemampuan
organisasi
untuk
meningkatkan kapasitasnya terhadap
tuntutan lingkungan.
Sedangkan Steers mengemukakan efektivitas
tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan yang
banyak, tetapi juga diukur dengan jumlah barang
atau kualitas pelayanan yang dihasilkan di mana
ukuran kriteria efektivitas itu sendiri sebenarnya
intangible. Lebih lanjut Steers mengemukakan
bahwa efektivitas organisasi adalah kemampuan
organisasi dalam memperoleh dan menggunakan
secara efisien sumber-sumber yang tersedia
untuk mencapai tujuannya.14 Pendekatan yang
digunakan untuk mengukur efektivitas adalah
optimalisasi tujuan dengan asumsi bahwa
organisasi yang berbeda memiliki tujuan
yang berbeda pula. Ada 4 (empat) kategori
yang memengaruhi efektivitas yakni (a) sifat
organisasi, seperti struktur dan teknologi; (b) sifat
lingkungan, seperti kondisi pasar dan ekonomi;
(c) sifat karyawan, seperti tingkat kinerja dan
prestasi karyawan; (d) kebijakan dan praktek
manajerial.15
Pendapat lainnya, Robbins menyatakan
keefektifan organisasi dilihat dari pencapaian
tujuan yang kemudian dikenal dengan pendekatan
konstituensi strategis, bahwasanya organisasi
dikatakan efektif apabila memenuhi tuntutan
konstituensi yang terdapat di lingkungan
organisasi tersebut. Konstituensi yang dimaksud
adalah pendukung kelanjutan eksistensi
organisasi. 16
Berdasarkan ketiga pendapat di atas,
dapat disimpulkan untuk mengukur efektivitas
penggunaan dana desa, ada beberapa aspek
penting yang perlu dipertimbangkan yakni (a)
pencapaian tujuan, bahwa penggunaan dana desa
dapat dikatakan efektif apabila penggunaannya
Richard M Steers, Efektivitas Organisasi, diterjemahkan oleh
Magdalena Jamin, (Jakarta : Erlangga, 1997), hlm.70
14
15
Ibid, hlm.75
Robins, Stephen P, Adminstrasi Negara-Negara Berkembang
(Terjemahan), (Jakarta: CV Rajawali, 1995), hlm.58
16
198 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 sesuai dengan prioritas kebutuhan sehingga tujuan
tercapai; (b) ketepatan waktu, proses penyaluran
dan penggunaan dana sesuai dengan waktu
pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan
hingga berakhirnya kegiatan; (c) sesuai manfaat,
dana desa dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat desa sebagai penerima program; dan
(d) hasil sesuai harapan masyarakat.
Sebelum membahas lebih lanjut apakah desa
telah mampu mengoptimalkan penggunaan DD
demi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa
akan dijelaskan terlebih dahulu dasar hukum
DD dan skema penyaluran DD, penyaluran dan
penggunaan DD, serta tata kelola DD.
Dasar Hukum dan Skema Penyaluran
Dana Desa
UU No.6/2014 tentang Dana Desa telah memuat
aturan tentang pengelolaan DD. Namun, untuk
pelaksanaannya ada 3 (tiga) kementerian
(kemendagri, kemenkeu, dan kemendes)
dan pemda yang terlibat mulai proses awal
sampai dengan akhir dalam penyaluran dan
penggunaan DD. Kemendagri (Kementerian
Dalam Negeri) bertanggung jawab dalam hal
penyelenggaraan capacity building bagi aparat
desa; penyelenggaraan pemerintahan desa;
pengelolaan, penatausahaan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban keuangan desa; penguatan
desa terhadap akses, aset dan kepemilikan
lahan dan pemanfaatannya bagi kesejahteraan
masyarakat, penyusunan dokumen perencanaan
desa; kewenangan berdasarkan hak asal-usul,
dan kewenangan skala lokal desa; serta tata cara
penyusunan pedoman teknis peraturan desa.
Kemenkeu (Kementerian Keuangan)
bertanggung jawab dalam penganggaran
dana desa dalam APBN; penetapan rincian
alokasi DD pada peraturan bupati/walikota;
penyaluran DD dari RKUN (Rekening Kas
Umum Negara) ke RKUD (Rekening Kas
Umum Daerah) dan dari RKUD ke RKD
(Rekening Kas Desa); dan pengenaan sanksi
jika tidak terpenuhinya porsi ADD dalam APBD.
Sementara Kemendes (Kementerian Desa)
bertanggung jawab dalam penetapan pedoman
umum dan prioritas penggunaan DD; pengadaan
tenaga pendamping untuk desa; penyelenggaraan
musyawarah desa yang partisipatif; pendirian,
pengurusan, perencanaan usaha, pengelolaan,
kerjasama, dan pembubaran BUMDesa; serta
pembangunan kawasan perdesaan. Pemda
dalam hal ini bertugas melakukan pembinaan
dan pengawasan dalam penyusunan perda
yang mengatur desa; pemberian alokasi DD;
pembinaan capacity building Kades dan
perangkat desa, BPM (Badan Permusyawaratan
Desa), dan lembaga kemasyarakatan; pembinaan
manajemen pemerintahan desa; pemberian
bantuan keuangan, pendampingan, bantuan
teknis; bimtek (bimbingan teknis) dalam
bidang tertentu yang tidak mungkin dilakukan
pemkab/pemkot; inventarisasi kewenangan
provinsi yang dilaksanakan oleh desa; binwas
RAPBD kabupaten/kota dalam pembiayaan desa;
membantu pemerintah dalam rangka penentuan
kesatuan masyarakat hukum adat sebagai desa;
dan binwas penetapan pengaturan BUMDesa
kab/kota dan lembaga kerjasama antardesa.
Berikut ini payung hukum yang melandasi
pemberian DD.
PP No. 43/2014 tentang
Peraturan Pelaksana UU
No.6/2014
PP No.47/2015 tentang
Perubahan atas PP No.
43/2014
UU
No.6/2014
tentang
desa
PP No.60/2014 tentang DD
Bersumber dari APBN
PP No. 22/2015 tentang
Perubahan atas PP No.
60/2014
PP No.8/2016 tentang
Perubahan Kedua atas PP
No. 60/2014
PERMENDAGRI:
1. Permendagri No.111/2014 tentang Pedoman
Teknis Peraturan di Desa
2. Permendagri No. 112/2014 tentang
Pemilihan Kepala Desa
3. Permendagri No. 113/2014 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa
4. Permendagri No. 114/2014 tentang
Pedoman Pembangunan Desa
PERMENDES:
1. Permendes No.1/2015 tentang Pedoman
Kewenangan Lokal Berskala Desa
2. Pemendes No. 2/2015 tentang
Musyawarah Desa
3. Permendes No.3/2015 tentang
Pendampingan Desa
4. Permendes No.4/2015 tentang Pendirian,
Pengurusan, Pengelolaan dan
Pembubaran BUMDesa
5. Permendes No.21/2015 jo No.8/2016
tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa
2016
PMK No.257/PMK.07/2015 tentang Tata Cara
Penundaan dan/atau Pemotongan Dana
Perimbangan terhadap Daerah yang Tidak
Memenuhi ADD
PMK No. 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara
Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa
Skema 1. Dasar Hukum
Sumber : Kementerian Keuangan, 2016.
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 199 Berdasarkan skema payung hukum tersebut,
jelas PP No. 60/2014 menyatakan bahwa DD
bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan
Belanja Negara). DD diberikan 10% (sepuluh
persen) dari dan di luar dana transfer ke daerah
dan diberikan secara bertahap. Pada tahun 2015
terdapat tiga tahapan dalam penyaluran DD.
Pada tahap I (April) DD disalurkan sebesar
40%, tahap II (Agustus) sebesar 40% dan tahap
III (Oktober) sebesar 20%. Kemudian pada
tahun 2016, skema ini mengalami perubahan
menjadi 2 (dua) tahapan yakni tahap I (Maret)
sebesar 60% dan tahap II (Agustus) sebesar 40%.
Alasan perubahan tahapan ini karena skema
tahun 2015, persyaratan penyaluran DD tidak
berdasarkan kinerja penyaluran/penggunaan DD
tahap sebelumnya. Padahal ini penting untuk
memastikan apakah penyaluran DD tepat waktu
dan tepat jumlahnya sehingga dapat menghindari
penundaan penyaluran DD tahap berikutnya.
Hal ini dapat diketahui dari tahapan pemenuhan
10% DD pada tahun 2015 sebesar 3% yakni Rp.
20,7 triliun. Kemudian pada tahun 2016 naik
menjadi 6% yakni Rp. 46,9 triliun. Disini terjadi
peningkatan sebesar 126,24%. Pada tahun 2017
DD direncanakan sebesar Rp. 8,6 triliun.
dokumen tersebut belum/terlambat disampaikan,
Menteri atau Bupati/Walikota mengenakan sanksi
administratif berupa penundaan penyaluran DD
sampai dipenuhinya dokumen tersebut. Dalam
hal ini, penundaan terjadi karena sebagian
daerah belum memasukkan DD ke dalam APBD
induk, dan terlambat menetapkan perbup/perwali
tentang pengalokasian DD per desa.
Untuk penyaluran tahap II bahwa penyaluran
DD dari RKUN ke RKUD dilakukan setelah
Menteri cq. Dirjen Perimbangan Keuangan
menerima laporan realisasi penyaluran dan
penggunaan DD tahap I dari Bupati/Walikota,
dan laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi
penggunaan DD tahap I menunjukkan paling
kurang 50% (lima puluh persen). Kemudian
penyaluran DD dari RKUD ke RKD dilakukan
setelah Bupati/Walikota menerima laporan
realisasi penggunaan DD tahap I dari Kades
(kepala desa) dan laporan realisasi tahap
I menunjukkan paling kurang 50% (lima
puluh persen). Berikut ini merupakan skema
pengalokasian DD
Adapun yang menjadi persyaratan
penyaluran DD bahwa DD dapat disalurkan
dari RKUN ke RKUD setelah persyaratan
dipenuhi. Kemudian paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja setelah diterima di RKUD barulah
disalurkan ke RKD. Apabila Bupati/Walikota
tidak menyalurkan sebagaimana yang dimaksud
akan dikenakan sanksi administratif berupa
penundaan penyaluran DAU (Dana Alokasi
Umum) dan/atau DBH (Dana Bagi Hasil) yang
menjadi hak kabupaten/kota bersangkutan.
Persyaratan penyaluran DD pada tahap I
bahwa penyaluran dari RKUN ke RKUD haruslah
dilengkapi dengan dokumen (a) perda mengenai
APBD kabupaten/kota tahun berjalan; (b) perbup/
walikota mengenai tata cara pembagian dan
penetapan besaran DD; (c) laporan realisasi
penyaluran dan konsolidasi penggunaan DD
tahap sebelumnya. Kemudian penyaluran DD
dari RKUD ke RKD haruslah dilengkapi dengan
dokumen (a) perdes mengenai APB Desa tahun
anggaran berjalan dan (c) laporan realisasi
penggunaan DD tahap sebelumnya. Apalabila
200 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 MENTERI KEUANGAN
APBN
Transfer
ke Daerah
BUPATI/WALIKOTA
Dana Desa
per desa
Dana Desa per
kab/kota
90%
alokasi dasar
Alokasi Dasar
10%
formula
Dasar
25% x jml penduduk
desa
Dana Desa
Alokasi
dasar/
desa x
jumlah
desa
35% x jml penduduk
miskin desa
10% x luas wilayah desa
30% x IKK
Formula=Pagu
DD-Alokasi
25% x jumlah penduduk
desa
35% x jumlah penduduk
miskin desa
10% x luas wilayah desa
30% x IKG
Skema 2. Pengalokasian DD (Dana Desa)
Sumber: Kementerian Keuangan, 2016
Skema pengalokasian DD menggunakan
alokasi dasar sebesar 90% merata untuk semua
desa pada kabupaten/kota (alokasi minimal
yang diterima oleh desa secara merata di
kabupaten/kota). Alokasi formula sebesar 10%
didistribusikan ke desa secara proporsional
berdasarkan 4 (empat) indikator yakni jumlah
penduduk, jumlah penduduk miskin, luas
wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Namun,
khusus untuk daerah pemekaran apabila data
jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa,
dan luas wilayah desa yang belum tersedia
datanya dapat menggunakan data desa induk
secara proporsional. Sedangkan untuk data
tingkat kesulitan geografis dapat menggunakan
data yang sama dengan desa induk atau data
yang bersumber dari pemda. Dana Desa setiap
kabupaten/kota dialokasikan berdasarkan jumlah
desa di setiap kabupaten/kota dan rata-rata DD
setiap provinsi.
Rp. 46,982 triliun pada tahun 2016. Terjadi
kenaikan sebesar 126,24%. ADD juga mengalami
peningkatan meskipun jumlahnya tidak sebesar
DD yakni Rp. 33,835 triliun menjadi Rp. 35,455
triliun, ada kenaikan sebesar 4,79%. Bagi hasil
PDRD juga mengalami peningkatan sebesar
9,39% di mana pada tahun 2015 jumlahnya Rp.
2,650 triliun menjadi Rp. 2,899 triliun pada
tahun 2016.
Berikut ini adalah gambaran perkembangan
dana ke desa pada tahun 2015 dan 2016 yang
mengalami peningkatan. Pada tahun 2015
DD sebesar Rp. 20,766 triliun naik menjadi
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 201 Tabel 1. Dana Desa per Tahun 2015
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera
Selatan
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi
Tenggara
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku Utara
Banten
Bangka Belitung
Gorontalo
Kepulauan Riau
Papua Barat
Sulawesi Barat
Kalimantan
Utara
TOTAL
NASIONAL
Jumlah
Desa
6.474
5.389
880
1.592
1.398
2.817
DD
(Dana
Desa)
ADD
(Alokasi
Dana
Desa)
Dalam Rupiah
1,70 T
1,32T
1,46 T
1,75T
267,03M 855,50M
445,65M
1,59T
381,56M 741,24M
775,04M
1,39T
Bagian
Hasil
PDRD
Jumlah
Jumlah
Dana per
Desa
75,96M
142,95M
28,56M
46,71M
24,75M
47,34M
3,10T
3,35T
1,15T
2,08T
1,14T
2,22T
479,77juta
622,21juta
1,30 M
1,30 M
820,85juta
788 juta
1.341
2.435
5.319
7.809
392
7.723
1.908
362,96M
684,73M
1,59T
2,23T
128,08M
2,21T
537,07M
450,29M
946,60M
2,69T
2,89T
359,41M
3,44T
892,36M
9,86M
29,17M
545,19M
205,68M
59,08M
378,67M
39,60M
823,12M
1,66T
4,82T
5,32T
546,57M
6,03T
6,03T
613,81juta
681,93juta
907,55juta
682,08juta
1,39M
781,04juta
769,93juta
1.434
403,35M
900,46M
23,37M
1,4T
925,51juta
1.864
501,12M
819,51M
28,17M
1,3T
723,60juta
833
240,54M
1,54T
23,28M
1,3T
2,17M
1.490
1.839
2.253
1.820
402,55M
500,30M
635,35M
496,08M
527,36M
711,55M
1,32T
633,29M
15,39M
26,18M
96,44M
15,86M
1,8T
945M
2,05T
1,14T
634,43juta
673,21juta
913,03juta
629,24juta
636
995
2.950
1.191
5.118
1.063
1.238
309
657
275
1.628
576
447
185,43M
301,79M
812,87M
334,00M
1,43T
291,07M
352,52M
91,93M
179,96M
79,20M
449,33M
162,02M
129,87M
554,60M
599,99M
1,03T
596,79M
2,11T
439,37M
468,81M
313,47M
233,65M
389,73M
732,80M
304,42M
257,78M
368,96M
45,24M
33,31M
20,79M
53,00M
16,81M
155,46M
19,96M
5,57M
41,40M
11,59M
13,54M
2,44M
1,10T
947,03M
1,88T
951,58M
3,60T
747,26M
976,78M
425,35M
419,17M
510,33M
1,19T
479,98M
390,10M
1,74M
951,78juta
638,40juta
798,98juta
703,53juta
702,97juta
789,00juta
1,37M
638,01juta
1,85M
733,24juta
833,30juta
872,71juta
74.093
20,77T
33,83T
2,65T
57,25T
772M
Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, 2016
202 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 Tabel 2. Dana Desa per Tahun 2016
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera
Selatan
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi
Tenggara
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku Utara
Banten
Bangka Belitung
Gorontalo
Kepulauan Riau
Papua Barat
Sulawesi Barat
Kalimantan
Utara
TOTAL
NASIONAL
Jumlah
Desa
6.474
5.418
880
1.592
1.399
2.859
DD
(Dana
Desa)
ADD
(Alokasi
Dana
Desa)
Dalam Rupiah
3,82T
1,38T
3,29T
1,85T
598,63M
917,06T
999,27M
1,32T
856,77M 713,44M
1,78T
1,42T
Bagian
Hasil
PDRD
Jumlah
Jumlah
Dana per
Desa
66,99M
140,70M
27,56M
40,66M
25,65M
59,21M
5,28 T
5,29 T
1,54 T
2,36 T
1,59T
3,26 T
815,94juta
976,93juta
1,75M
1,48M
1,14M
1,14M
1.341
2.435
5.319
7.809
392
7.724
1.977
813,89M
1,53T
3,56T
5T
287,69M
4,96T
1,24T
483,00M
1,02T
2,75T
3,13T
383,64M
3,62T
956,74M
11,17M
29,53M
617,12M
233,61M
64,52M
420,42M
39,77M
1,3T
2,58T
6,94 T
8,37 T
735,86M
9,01 T
2,23 T
975,44juta
1,06M
1,30M
1,07M
1,87M
1,16M
1,13M
1.434
904,37M
970,11M
26,61M
1,9 T
1,32M
1.866
1,12T
937,58M
31,04M
2,09 T
1,12M
836
540,76M
1,43T
23,75M
1,99 T
2,38M
1.505
1.842
2.253
1.846
911,49M
1,12T
1,42T
1,12T
577,61M
775,70M
1,43T
759,65M
22,26M
26,40M
105,18M
15,59M
1,51T
1,92 T
2,96 T
1,9 T
1,00M
1,04M
1,31M
1,03M
636
995
2.995
1.198
5.419
1.064
1.238
309
657
275
1.744
576
447
416,26M
677,49M
1,89T
754,63M
3,38 T
653,45M
791,25M
206,29M
403,67M
177,76M
1,07T
363,55M
291,09M
625,30M
659,02M
1,12T
651,85M
2,33T
478,42M
495,27M
331,82M
262,76M
307,67M
714,18M
334,47M
253,33M
413,76M
48,12M
36,96M
25,13M
67,69M
17,17M
156,66M
23,13M
5,86M
43,16M
18,49M
12,29M
2,96M
1,45T
1,38 T
3,01 T
1,43M
5,79 T
1,14 T
1,44 T
561,25M
672,30M
528,60M
1,80T
710,32M
547,39M
2,28M
1,39 M
1,00M
1,19M
1,06M
1,07 M
1,16M
1,81M
1,02M
1,92 M
1,03 M
1,23M
1,22M
74.754
46,98 T
35,45 T
2,89 T
85,33 T
1,15T
Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, 2016
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 203 Berdasarkan tabel 1 dan 2 diketahui
bahwa Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur
mendapatkan DD lebih banyak ketimbang
daerah-daerah lainnya di Indonesia, mengingat
kedua provinsi tersebut memiliki desa yang lebih
banyak sehingga secara otomatis mendapatkan
porsi DD yang lebih besar.17 Ada tiga jenis dana
yang disalurkan ke desa yakni DD (dana desa),
ADD (alokasi dana desa), dan PDRD (Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah). Namun, yang
mungkin membingungkan adalah antara DD
dan ADD. Meskipun ADD dan DD merupakan
bantuan pemerintah pusat kepada desa, skemanya
berbeda. ADD diberikan kepada desa dengan
jumlah paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari
dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota
setelah dikurangi dengan DAK (Dana Alokasi
Khusus). Dalam hal ini, pemerintah pusat dapat
menunda dan/atau mengurangi dana perimbangan
apabila kabupaten/kota tidak mengalokasikan
ADD ke desa. Sedangkan DD merupakan dana
yang berasal dari alokasi APBN (Anggaran
Pendapatan Belanja Negara). DD diberikan 10%
(sepuluh persen) dari dan diluar dana transfer ke
daerah dan diberikan secara bertahap.
Penyaluran dan Penggunaan Dana Desa
Penyaluran DD ke desa dilakukan secara
bertahap. Pada tahun 2015 seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya ada 3 (tiga) tahapan dalam
penyaluran DD, dan pada tahun 2016 dilakukan
perubahan menjadi 2 (dua) tahapan. Penyaluran
DD secara bertahap dan bukan sekaligus
ini dengan pertimbangan, bahwasanya pada
triwulan I (Januari - Maret), pembangunan masih
dalam proses persiapan sedangkan kebutuhan
pembiayaan terbesar diperkirakan mulai April
hingga Agustus. Kemudian penyaluran DD
atas dasar kebutuhan kas desa dan mengurangi
kas negara, karena di awal tahun penerimaan
negara belum optimal sementara negara juga
harus menyalurkan dana ke daerah-daerah
lainnya. Selain menerima DD, desa juga
mengelola dana yang berasal dari sumber
pendapatan lainnya, seperti ADD, DBH PDRD,
Dana Desa Terbesar untuk Jatim-Jateng”, 28 Maret
2 0 1 5 . h t t p : / / w w w. p r e s s r e a d e r. c o m / i n d o n e s i a /
jawapos/20150328/281663958507989/TextView. (diakses
pada 1 Oktober 2016)
17
dan lain-lain, sehingga apabila diberikan
sekaligus akan menyulitkan pemerintah desa
dalam pengelolaannya, mengingat kapasitas dan
kapabilitas SDM desa belum memadai.
Sementara ini penyaluran DD ke desa masih
melalui RKUD dan tidak langsung ke RKD.
Pemberlakuan ini atas dasar penjelasan pasal
72 huruf b UU No. 6/2014 yang bersumber dari
APBN, yang ditransfer melalui APBD kabupaten/
kota. Dalam hal ini, desa mempunyai hak untuk
mengelola kewenangannya diikuti dengan
pendanaannya, namun tetap perlu mendapat
supervisi dari pemerintah di atasnya. Rencana ke
depan, pemberian jumlah DD ini akan semakin
besar Rp.1,4 miliar per desa untuk memenuhi
nawacita pemerintahan Jokowi-JK. Tentunya
untuk memenuhi kebutuhan ini diperlukan
kapasitas dan kapabilitas SDM yang memadai
untuk mengelola dana desa tersebut. Oleh
karena itu, desa saat ini masih membutuhkan
pendamping untuk meningkatkan capacity
building-nya.
Penyaluran DD dengan formulasi 90:10
menunjukkan rasio perbedaan antara desa
penerima terkecil dan terbesar. Formulasi
ini mengindikasikan kebutuhan dana APBN
terendah jika dikaitkan dengan DD minimal Rp.
1 miliar per desa. Pada tahun 2015, proporsi
90:10 dengan alokasi rata-rata per desa Rp.
280 juta dimana alokasi terendah sebesar Rp.
254 juta dan tertinggi Rp. 1,12 miliar dengan
rasio kesenjangan terendah 1:4 (lihat tabel 1).
Tahun 2016, pemerintah secara konsisten masih
menggunakan proporsi 90:10 dengan alokasi
rata-rata Rp. 628 juta per desa dengan alokasi
terendah Rp. 570 juta dan tertinggi Rp. 2,22
miliar, dengan rasio kesenjangan terendah 1:4
(lihat tabel 2).18 Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pengalokasian DD dengan proporsi 90:10
masih mengindikasikan kebutuhan anggaran
terendah dan terbaik.
Kebijakan penggunaan DD bertujuan
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam
menjaga tingkat konsumsi rumah tangga,
tingkat pendapatan, dan tingkat inflasi yang
stabil. Selain itu juga untuk meningkatkan
konektivitas melalui pembangunan infrastruktur
dengan mendorong stabilitas harga dan distribusi
18
Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu RI, 2016.
204 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 yang lebih merata. Pada pasal 100 PP No.
43/2014 tentang keuangan desa, bahwasanya
penggunaan DD dibagi menjadi 30% untuk
operasional penyelenggaraan pemerintahan
desa dan 70% untuk kemasyarakatan,
pemberdayaan, dan pembangunan. Kemudian
PP No. 60/2014 Jo. PP No.22/2015 mengatur
penggunaan DD berdasarkan 4 (empat) bidang
yakni penyelenggaraan pemerintahan desa,
pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan
kemasyarakatan. Prioritas penggunaan DD
yakni pada 2 (dua) bidang pembangunan desa
dan pemberdayaan masyarakat. Penentuan ini
atas dasar kewenangan berskala lokal desa dan
hak asal usul. Selain itu juga atas dasar keadilan,
kebutuhan prioritas, dan tipologi desa.
Prioritas penggunaan DD dalam bidang
pembangunan desa difokuskan pada (a)
pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan
infrastruktur atau sarana dan prasarana fisik untuk
penghidupan, termasuk ketahanan pangan dan
permukiman; (b) pembangunan, pengembangan
dan pemeliharaan sarana dan prasarana
kesehatan masyarakat; (c) pembangunan,
pengembangan dan pemeliharaan sarana dan
prasarana pendidikan, sosial dan kebudayaan;
(d) pengembangan usaha ekonomi masyarakat,
meliputi pembangunan dan pemeliharaan sarana
dan prasarana produksi dan distribusi; dan (e)
pembangunan dan pengembangan sarana dan
prasarana energi terbarukan serta kegiatan
pelestarian lingkungan hidup.
Prioritas penggunaan DD untuk bidang
pemberdayaan masyarakat dibagi 2 (dua) tahapan
yakni tahap I adalah untuk (a) peningkatan
investasi ekonomi desa melalui pengadaan,
pengembangan atau bantuan alat-alat produksi,
permodalan dan peningkatan kapasitas melalui
pelatihan dan magang; (b) dukungan kegiatan
ekonomi baik yang dikembangkan oleh BUM
Desa atau BUM Desa Bersama, maupun oleh
kelompok atau lembaga ekonomi masyarakat
desa lainnya, (c) bantuan peningkatan kapasitas
untuk program dan kegiatan ketahanan pangan
desa; dan (d) pengorganisasian masyarakat,
fasilitasi dan pelatihan paralegal dan bantuan
hukum masyarakat desa, termasuk pembentukan
KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa)
dan pengembangan kapasitas ruang belajar
masyarakat di desa (community center).
Sedangkan prioritas penggunaan DD
untuk bidang pemberdayaan masyarakat tahap
II, yakni (a) promosi dan edukasi kesehatan
masyarakat serta gerakan hidup bersih dan sehat,
termasuk peningkatan kapasitas pengelolaan
posyandu, poskesdes, polindes dan ketersediaan
atau keberfungsian tenaga medis/swamedikasi
di desa; (b) dukungan terhadap kegiatan
pengelolaan hutan/pantai desa dan hutan/pantai
kemasyarakatan; (c) peningkatan kapasitas
kelompok masyarakat untuk energi terbarukan
dan pelestarian lingkungan hidup; dan (d) bidang
kegiatan pemberdayaan ekonomi lainnya yang
sesuai dengan analisa kebutuhan desa dan telah
ditetapkan dalam musyawarah desa.
Pelaksanaan DD dilakukan melalui 2 (dua)
cara, yakni swakelola, dengan menggunakan
tenaga kerja dari masyarakat desa setempat
sehingga penghasilan dan peningkatan daya
beli masyarakat tetap terjaga, dan mendorong
kegiatan-kegiatan masyarakat yang produktif
secara ekonomi.
Data realisasi penyaluran DD secara
nasional dari RKUN ke RKUD pada tahun
2015 menyisakan 0,96% di RKUD. Dalam hal
ini, penyaluran RKUD ke desa hanya mencapai
99,04%. Sedangkan penggunaan DD secara
nasional pada tahun 2015 untuk pembangunan
sebesar 82,2%, pemerintahan 6,5%, pemberdayaan
7,7%, kemasyarakatan 3,5%, dan lain-lain 0,1%.
Ini menunjukkan bahwa penggunaan DD pada
tahun 2015 masih difokuskan pada pembangunan
infrastruktur, seperti jalan aspal, irigasi, drainase,
pavingisasi, pembangunan dan pemeliharaan
polindes, pembangunan lumbung, dan lainlain. Penggunaan DD untuk pemerintahan
digunakan seperti, peningkatan kantor desa,
pagar, toilet, listrik, meubel kantor, ATK, dan
lain-lain. Pemberdayaan seperti, pelatihan
menjahit, komputer, pembiayaan BUMDesa
(fotokopi, sewa tenda), pelatihan perangkat desa.
Kemasyarakatan seperti pembinaan keagamaan,
seni dan budaya, linmas, anak yatim piatu, dan
lain-lain. Lain-lain seperti penanganan banjir dan
longsor, dan untuk hal-hal tak terduga.19
19
Ibid.
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 205 Padahal, tujuan akhir dari penggunaan
DD adalah untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat desa melalui pemberdayaan
masyarakat desa dan kemasyarakatan. Ini
sebagai bentuk feedback penggunaan DD dengan
harapan dapat menciptakan pemerintahan dan
masyarakat desa yang otonom dan mandiri untuk
turut ambil bagian dalam pembangunan nasional
berkelanjutan dalam kerangka NKRI.
Tata Kelola Dana Desa
Berdasarkan Permendes No. 3/2015 tentang
Pendampingan Desa, setiap desa perlu
pendampingan dalam melakukan tata kelola
DD. Tujuan pendampingan desa ini adalah
untuk meningkatkan kapasitas, efektivitas
dan akuntabilitas pemerintahan desa dan
pembangunan desa; meningkatkan prakarsa,
kesadaran dan partisipasi masyarakat desa
dalam pembangunan desa yang partisipatif;
meningkatkan sinergi program pembangunan
antarsektor; dan mengoptimalkan aset lokal
desa secara emansipatoris. Ruang lingkup
pendampingan desa dilakukan secara berjenjang
untuk memberdayakan dan memperkuat desa.
Ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang
didasarkan pada kondisi geografis wilayah, nilai
APBDesa, dan cakupan kegiatan yang didampingi.
Selain itu, pemerintah, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah
desa juga melakukan upaya pemberdayaan
masyarakat melalui pendampingan masyarakat
berkelanjutan, termasuk dalam penyediaan SDM.
Pendamping profesional terdiri
atas TAPM (tenaga ahli pemberdayaan
masyarakat, TPD (tenaga pendamping desa),
TPLD (tenaga pendamping lokal desa), dan
TPT (tenaga pendamping teknis). TAPM
bertugas meningkatkan kapasitas tenaga
pendamping dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan
desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan
pemberdayaan masyarakat desa. TPD bertugas
di kecamatan untuk mendampingi desa
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa,
kerjasama desa, pengembangan BUMDesa,
dan pembangunan berskala lokal desa. TPLD
bertugas di desa untuk mendampingi desa
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa,
kerjasama desa, pengembangan BUMDesa,
dan pembangunan yang berskala lokal desa.
TPT bertugas di kecamatan untuk mendampingi
desa dalam pelaksanaan program dan kegiatan
sektoral.
Berdasarkan PP No. 43/2014 tentang
Peraturan Pelaksana UU No. 6/2014 tentang
Desa, khususnya pasal 128 yang mengatur tentang
pendampingan desa oleh SKPD (Satuan Kerja
Perangkat Daerah), pemerintah dan pemerintah
daerah menyelenggarakan pemberdayaan
masyarakat desa dengan pendampingan secara
berjenjang. Pendampingan yang dilakukan
SKPD ini dapat dibantu oleh tenaga pendamping
profesional/ahli, kader pemberdayaan masyarakat
desa, dan/atau pihak ketiga. Camat atau sebutan
lain dalam hal ini, melakukan koordinasi
pendampingan masyarakat desa di wilayahnya.
Pendamping profesional memiliki tugas dan
fungsi untuk mengawal penyaluran DD dalam
hal memfasilitasi pemerintah desa, BPD (Badan
Permusyawatan Desa) dan masyarakat desa
dalam menyusun RPJMDesa dan RKPDesa,
dan mengelola sisa DD di RKD. Selain itu juga
memfasilitasi pemerintah desa dan BPD dalam
menyusun APBDesa, memfasilitasi pemerintah
desa
menyusun laporan penggunaan DD,
memfasilitasi pemerintah desa dan mengajukan
usulan penyaluran DD dari RKUD ke RKD.
Pendamping profesional juga bertugas untuk
membantu SKPD kabupaten/kota menyusun
laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi
penggunaan DD. Berikut ini adalah posisi dan
kuota pendamping profesional tahun 2015 dan
2016.
Tabel 3. Posisi dan Kuota Pendamping Profesional
Tahun 2015 dan 2016
Tahun
2015
2016
Jumlah
Kuota Kebutuhan
Kekurangan
TA
(Tenaga
Ahli )
908
1.329
2.237
2.532
295
PD
(Pendamping
Desa )
5.303
5.418
10.721
16.493
5.772
PLD
(Pendamping
Lokal Desa)
14.391
2.578
16.969
21.117
4.148
Jumlah
20.602
9.325
29.927
40.142
10.215
Sumber : Kementerian Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2016.
206 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 Tenaga ahli kabupaten terdiri dari TAPM
(tenaga ahli pemberdayaan masyarakat), tenaga
ahli infrastruktur desa, tenaga ahli pembangunan
partisipatif, tenaga ahli pengembangan ekonomi
desa, tenaga ahli teknologi tepat guna, dan
tenaga ahli pelayanan sosial. Pendamping
desa kecamatan terdiri dari PDP (pendamping
desa pemberdayaan) dan PDTI (pendamping
desa teknik infrastruktur). Satu orang PLD
(Pendamping Lokal Desa) ditempatkan di 4
(empat) desa. PD (Pendamping Desa) untuk
kecamatan yang memiliki jumlah desa (a) 01-10
desa ditempatkan 2 (dua) orang PD yang terdiri
dari 1 orang PDP dan 1 orang PDTI; (b) 11-20
desa ditempatkan 3 (tiga) orang PD yang terdiri
dari 2 (dua) orang PDP dan 1 orang PDTI; (c)
21-40 desa ditempatkan 4 (empat) orang PD
yang terdiri dari 3 (tiga) orang PDP dan 1 orang
PDTI; (d) lebih dari 40 desa ditempatkan 5 (lima)
PD yang terdiri dari 4 (empat) orang PDP dan
1 (satu) orang PDTI. TAPM kabupaten dengan
jumlah kecamatan (a) 1-5 kecamatan ditempatkan
4 (empat) tenaga ahli, dan (b) lebih dari 5
kecamatan ditempatkan 6 (enam) tenaga ahli.
Keberadaan tenaga pendamping desa
ini dirasakan perlu mengingat kapasitas dan
kapabilitas SDM desa yang masih rendah
sehingga dalam implementasi penggunaan
DD dikhawatirkan akan menjadi hambatan.
Namun, pendampingan desa ini haruslah dibatasi
waktu dengan ketentuan kontrak yang jelas. Ini
mengingat jumlah biaya yang harus dikeluarkan
dalam pembayaran tenaga pendamping desa
yang diambil dari DD sehingga akan membebani
APBN. Saat ini kebutuhan TA (tenaga ahli)
sebanyak 2.532 orang untuk 434 kabupaten/
kota, TPD sebanyak 16.493 orang untuk 6.446
kecamatan, dan TPLD 21.117 orang untuk
74.754 desa. Sementara yang saat ini sudah terisi
untuk TA sebanyak 2.237 orang, TPD sebanyak
10.721 orang,dan TPLD sebanyak 16.969 orang.
Padahal total kebutuhan sebanyak 40.142 orang,
sedangkan yang baru terisi sebanyak 29.927
orang, masih ada kekurangan sebanyak 10.215
orang.20 Namun, dalam kurun waktu ke depan
jumlah tenaga pendamping ini perlu dibatasi,
mengingat besarnya beban yang harus ditanggung
“Posisi dan Kuota Pendamping Profesional Tahun 2015 dan
2016”, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia, 2016.
20
APBN untuk membiayai gaji pendamping desa
mulai kisaran Rp.3,5 juta sampai dengan Rp.14
juta per bulan.21
Kendala Penyaluran dan Penggunaan
Dana Desa
Lemahnya Kapasitas dan Kapabilitas
SDM Pemerintahan Desa, dan Partisipasi
Aktif Masyarakat Desa yang Minimal
Proses penyaluran DD saat ini masih mengalami
kendala. Hal ini masih dianggap wajar karena
DD ini merupakan program baru dan masih
terus dalam proses perbaikan mengingat kondisi
di lapangan. Adapun yang menjadi kendala
lemahnya kapasitas dan kapabilitas SDM
pemerintahan daerah, khususnya pemerintahan
desa hingga menyebabkan keterlambatan dalam
proses penyaluran DD pada tahun 2015. Ini
disebabkan sebagian daerah belum memasukkan
DD dalam APBD induk; sebagian daerah
terlambat menetapkan perbup/perwali tentang
pengalokasian DD per desa; sebagian daerah
harus merubah penetapan alokasi DD per desa
karena jumlah desanya berbeda dengan yang
ditetapkan dalam Permendagri (Peraturan
Menteri Dalam Negeri); sebagian daerah
terlambat menetapkan perbup/perwali tentang
pedoman pengelolaan keuangan desa dan
tentang pengadaan barang/jasa di desa; sebagian
daerah menambahkan persyaratan penyaluran
DD dari RKUD ke rekening kas desa berupa
dokumen RPJMDesa dan RKPDesa, yang
semakin menyulitkan bagi desa untuk segera
menerima DD; sebagian daerah memeriksa
dokumen pertanggungjawaban DD sebagai
syarat penyaluran tahapan; terdapat daerah belum
berani menyalurkan DD ke desa dan sebagian
desa belum berani menggunakan DD karena
belum ada pendamping desa; sebagian desa
belum menetapkan APBDesa; dan kekhawatiran
perangkat desa terjerat kasus hukum.
Sedangkan pada tahun 2016, kendala dalam
penyaluran DD ke desa dikarenakan masih
terdapat penyaluran DD tahap I dari RKUN ke
“Pendamping Desa Digaji Rp.14 Juta Sebulan”, 4 Agustus
2015 http://www.tribunnews.com/regional/2015/08/04/
pendamping-desa-digaji-rp-14-juta-sebulan, (diakses pada 1
Oktober 2016)
21
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 207 RKUD yang disalurkan melampaui semester
I sehingga mempersempit waktu penggunaan/
penyerapan di desa. Selain itu sebagian besar
daerah yang lambat penyaluran DD tahap I
disebabkan kesulitan dalam penyusunan laporan
konsolidasi penggunaan—karena laporan ini
mengandalkan kepatuhan desa; sebagian besar
daerah yang lambat penyaluran DD tahap I
adalah kawasan timur Indonesia; dan masih
terdapat penyaluran DD tahap I dari RKUD ke
RKD yang tidak tepat waktu/terlambat dengan
sebab: (a) APBDesa belum/terlambat ditetapkan,
(b) perubahan regulasi, (c) laporan penggunaan
belum dibuat, dan (d) dokumen perencanaan
belum ada.22
Selain penyalurannya, dalam implementasi
penggunaan DD terdapat kendala di mana
masih terdapat penggunaan DD di luar prioritas
penggunaan, pekerjaan konstruksi dilakukan
seluruhnya oleh pihak ketiga/penyedia jasa, hasil
pengadaan tidak dapat digunakan/dimanfaatkan,
pengeluaran DD tidak didukung oleh bukti yang
memadai, kelebihan perhitungan volume RAB,
dan kelebihan pembayaran. Kendala lainnya juga
terjadi karena pemungutan dan penyetoran pajak
tidak sesuai, dana disimpan bukan di RKD, dan
pengeluaran di luar APBDesa. Kesemuanya ini
menunjukkan bahwa rendahnya kapasitas dan
kapabilitas SDM (aparatur desa) menyebabkan
rendahnya pemahaman terhadap standar akuntasi
pemerintah (terkait transfer dana desa).
Berdasarkan pengalaman Provinsi Banten,
yang terdiri dari 4 (empat) kabupaten yakni
kabupaten Pandeglang dengan jumlah desa
sebanyak 326, kabupaten Lebak dengan jumlah
desa sebanyak 340, kabupaten Tangerang dengan
jumlah desa sebanyak 246, dan kabupaten Serang
yang memiliki 326 desa. Dari keempat kabupaten
tersebut, masing-masing menerima alokasi
DD pada tahun 2016 sebanyak Rp. 205,56 juta
untuk kabupaten Pandeglang, kabupaten Lebak
sebanyak Rp. 215,36 juta, kabupaten Tangerang
sebanyak Rp. 168, 76 juta, dan kabupaten
Serang sebanyak Rp. 201,57 juta. Sayangnya
dari keempat kabupaten tersebut barulah
“ Lampiran Penyaluran Dana Desa Tahap I Tahun 2016”,
31 Mei 2016 http://www.djpk.depkeu.go.id/wp-content/
uploads/2016/06/Lampiran-PENYALURAN-DANA-DESATAHAP-I-TAHUN-2016-per-31-Mei-2016.pdf, (diakses pada
1 Oktober 2016).
22
kabupaten Pandeglang yang menyelesaikan
pelaporan penggunaan DD tahap I (60%)
dengan laporan penggunaan DD untuk kegiatan
fisik sebesar 98,38%, kegiatan pemberdayaan
masyarakat sebesar 1,15%, dan 0,47% untuk
kegiatan pembinaan kemasyarakatan. Sedangkan
ketiga kabupaten lainnya masih dalam proses
penyelesaian.23 Dengan demikian, dapat diketahui
bahwa penggunaan DD masih diprioritaskan
pada kegiatan fisik semata. Ditemukan juga
dokumen perencanaan pembangunan desa
dengan APBDesa masih belum selaras. Oleh
karena itu, perlu dibuat master plan penggunaan
dana desa.
Dana desa dapat menjadi alat motivasi bagi
pemerintah desa untuk bekerja secara ekonomis,
efektif dan efisien dalam mencapai target dan
tujuan organisasi yang ditetapkan. Dana desa juga
dapat menjadi alat koordinasi dan komunikasi
dalam pemerintahan desa dengan pelibatan
peran aktif masyarakat desa, sebagai ukuran
penilaian kinerja pemerintahan desa atas target
yang dicapai dan efisiensi penggunaannya, dan
menjadi alat kebijakan fiskal pemerintah desa
untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong
pertumbuhan ekonomi di perdesaan.
Selain itu, desa dapat melakukan
pemberdayaan masyarakat sebagai upaya
meningkatkan kemampuan dan potensi yang
dimiliki masyarakat sehingga dapat mewujudkan
jati diri, harkat dan martabat secara maksimal
untuk bertahan dan mengembangkan diri secara
mandiri (ekonomi, sosial, agama, dan budaya)
dan bertanggung jawab.24 Pemberdayaan tidak
hanya dari sisi kesempatan usaha dan modal
tetapi juga harus diikuti dengan perubahan
struktur sosial ekonomi masyarakat. Ada 4
akses yang mendukung peran, produktivitas dan
efisiensi yakni akses terhadap SDA, teknologi,
pasar, dan sumber pembiayaan. Keempat hal ini
menjadi tanggung jawab pemerintah desa sebagai
fasilitator dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat.
Sejauh ini, partisipasi masyarakat belum
sepenuhnya dilibatkan mulai dari proses
Laporan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat
Desa Provinsi Banten, 2016.
23
HAW Widjaja, Otonomi Desa : Merupakan Otonomi yang
Asli, Bulat dan Utuh, hlm.169.
24
208 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 penyusunan dokumen perencanaan, bahkan,
sampai dengan pengawasan penggunaan DD
sehingga APBDesa belum optimal dan PADesa
belum sesuai dengan berbagai potensi yang
ada di desa. Dalam hal ini, pengelola DD
adalah Kepala Desa, PTPKD (Pelaksana Teknis
Pengelolaan Keuangan Desa), dan Bendahara
Desa. Namun, dalam realitasnya Kepala Desa
memiliki hak penuh untuk menentukan prioritas
penggunaan dan pengalokasian DD bukan atas
dasar kebutuhan masyarakat. Di sini, terjadi
peluang penyalahgunaan DD karena belum ada
transparansi penggunaan DD kepada masyarakat.
Sejak tahun 2015 sampai dengan 2016
telah banyak kepala desa yang tersangkut kasus
penyalahgunaan DD. Kasus-kasus yang terjadi
seperti pelaporan penggunaan DD yang tidak
sesuai dengan peruntukannya, pemotongan DD
untuk keperluan pribadi, dan tumpang tindihnya
penggunaan DD, ADD, dan BK (Bantuan
Keuangan). 25 Kondisi demikian tidak boleh
dibiarkan terus terjadi mengingat tahun 2017 DD
akan ditambah menjadi Rp.60 triliun. Partisipasi
aktif masyarakat harus dimulai dari perencanaan
sampai dengan pengawasan penggunaan DD
untuk menjamin terlaksananya good governance
dalam pemerintahan desa dan sebagai modal
untuk pengembangan ekonomi masyarakat desa.
Penutup
Pembahasan di atas memaparkan bahwa lahirnya
UU No.6/2014 menghidupkan kembali peran
penting pemerintahan desa sebagai otonomi asli.
Pemerintah desa dapat turut serta dalam proses
pembangunan dengan turut bertanggung jawab
dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa,
salah satunya melalui pemanfaatan penggunaan
dana desa. Di sini, desa memiliki otonomi asli
yang bermakna kewenangan pemerintah desa
dalam menyatukan dan mengurus kepentingan
masyarakat atas dasar hak asal-usul dan nilai-nilai
Lihat “Soal Kasus Dana Desa Warga Minta LPJ, Kades
Berdalih Masih di Kejaksaan”, 15 Maret 2016 http://www.
metropublika.com/soal-kasus-dana-desa-warga-minta-lpjkades-berdalih-masih-di-kejaksaan/, (diakses pada 1 Oktober
2016); Lihat juga “ Lagi, Ada Kades Dituding Selewengkan
Dana Desa”, 11 Juli 2016 http://beritakotamakassar.fajar.co.id/
berita/2016/07/11/lagi-ada-kades-dituding-selewengkan-danadesa/, (diakses pada tanggal 1 Oktober 2016).
25
budaya yang ada pada masyarakat, namun harus
diselenggarakan dalam pespektif administrasi
modern.
Hal tersebut sejalan dengan prinsip otonomi
daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab yang diletakkan di kabupaten/kota maka
korbinwas dengan pemerintah desa sepanjang
bukan lintas kabupaten/kota dilakukan oleh
kabupaten/kota yang bersangkutan, termasuk
pengawasan terhadap peraturan desa dan
keputusan kepala desa. Selain itu desa sebagai
suatu komunitas yang mengatur dan mengurus
urusannya sendiri atas dasar kearifan lokal
diharapkan dapat menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas masyarakat serta mendorong partsipasi
aktif masyarakat dengan memanfaatkan potensi
SDA dan SDM yang tersedia. Ini diharapkan
pada gilirannya akan menghasilkan pemerintahan
desa dan masyarakat desa yang mandiri secara
ekonomis. Kedepannya, peran unsur-unsur
pembangunan non pemerintah dapat menempati
porsi yang besar dalam proses pembangunan
berkelanjutan. Sedangkan pemerintah desa lebih
pada posisi memfasilitasi dan mengakomodasi
unsur-unsur tersebut dalam melaksanakan
pembangunan desa.
Partisipasi masyarakat ini dapat diwujudkan
dalam penggunaan dana desa dimana keberadaan
dana desa sebagai alat politik bagi kepala desa.
Di sini kepala desa memiliki peranan penting
dalam memutuskan prioritas-prioritas dan
kebutuhan dana terhadap prioritas tersebut.
Dana desa sebagai political tool merupakan
komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif
atas penggunaan dana desa untuk kepentingan
masyarakat desa. Oleh karena itu dalam hal
penggunaan dana desa membutuhkan political
skill, coalition building, keahlian bernegosiasi,
dan pemahaman tentang prinsip manajeman
keuangan oleh pengambil kebijakan di desa
(kepala desa beserta perangkatnya). Kegagalan
dalam pelaksanaan penggunaan dana desa dapat
menjatuhkan kepemimpinan kepala desa atau
paling tidak menurunkan kredibilitas pemerintah
desa. Disinilah peran pendamping menjadi
penting untuk meningkatkan kualitas SDM desa.
Namun, keberadaan peran pendamping ini perlu
ditetapkan dengan MoU yang jelas sehingga tidak
akan menimbulkan kendala ke depannya apabila
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 209 kebutuhan atas mereka berkurang atau ditiadakan
sampai dengan kapasitas dan kapabilitas SDM
desa benar-benar siap.
Persoalan lainnya, keberadaan dana desa
yang telah digelontorkan sejak tahun 2016 masih
belum dirasakan manfaatnya secara optimal bagi
efektivitas penggunaan DD untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
diperlukan usaha dan kerja keras semua pihak
mulai dari pemerintah (kemendagri, kemenkeu,
kemendes) dan pemda kabupaten/kota serta
pemerintah desa beserta masyarakat desa untuk
terlibat secara aktif dalam proses pembangunan
desa, utamanya melalui BPD.
Referensi
Buku
Gibson, James L, Ivancevich, John M. Donnely Jr.
James H. Organisasi dan Manajemen. Perilaku
Struktur Proses, Alih Bahasa: Wahid, Djoerban.
Jakarta: Erlangga. 1995.
Hudiyanto. Ekonomi Politik. Jakarta: Bumi Aksara.
2005.
Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu
Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan
Tantangan Global (ed. Revisi). Jakarta: PT
Rineka Cipta. 2007
Robins, Stephen P. Adminstrasi Negara-Negara
Berkembang (Terjemahan). Jakarta: CV
Rajawali. 1995
Steers, Richard M. Efektivitas Organisasi.
Diterjemahkan oleh Magdalena Jamin. Jakarta
: Erlangga. 1997.
Suryadi, Budi. Ekonomi Politik Modern Suatu
Pengantar. Yogyakarta: IRCiSoD. 2006.
Tangkilisan, Hessel Nogi S. Analisis Kebijakan dan
Manajemen Otonomi Daerah Kontemporer.
Yogyakarta: Lukman Offset. 2003.
Tjandra, W. Riawan. “Perspektif Otonomi Desa
dalam Dinamika Desentralisasi”, dalam
Dadang Juliantara. Mewujudkan Kabupaten
Partisipatif. Yogyakarta: Pustaka Jogja
Mandiri. 2004.
Widjaja, HAW. Otonomi Desa : Merupakan
Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2008.
Undang-Undang dan Peraturan PerundangUndangan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang
Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai
Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang
Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah
Tangganya Sendiri.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun
1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.
UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja sebagai
Bentuk Peralihan untuk Mempercepat
Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh
Wilayah RI.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Website
Beritamakassar.fajar.co.id.” Lagi, Ada Kades
Dituding Selewengkan Dana Desa”. 11 Juli
2016. http://beritakotamakassar.fajar.co.id/
berita/2016/07/11/lagi-ada-kades-ditudingselewengkan-dana-desa/,diunduh pada tanggal
1 Oktober 2016.
Djpk.depkeu.go.id.“ Lampiran Penyaluran Dana
Desa Tahap I Tahun 2016” , 31 Mei 2016
http://www.djpk.depkeu.go.id/wp-content/
uploads/2016/06/Lampiran-PENYALURANDANA-DESA-TAHAP-I-TAHUN-2016per-31-Mei-2016.pdf, diunduh pada tanggal1
Oktober 2016.
https://www.bps.go.id/brs/view/id/1227, diunduh
pada 1 Oktober 2016.
Metropublika.com. “Soal Kasus Dana Desa Warga
Minta LPJ, Kades Berdalih Masih di Kejaksaan”.
15 Maret 2016. http://www.metropublika.com/
soal-kasus-dana-desa-warga-minta-lpj-kadesberdalih-masih-di-kejaksaan/, diunduh pada
tanggal 1 Oktober 2016.
Nasional republika.co.id. “Kemenkeu Minta Jumlah
Desa di Indonesia Tidak Ditambah”, 20
April 2016. http://nasional.republika.co.id/
berita/nasional/umum/16/04/20/o5xcdd383-
210 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 193–211 kemenkeu-minta-jumlah-desa-di-indonesiatidak-ditambah, diunduh pada tanggal 1
Oktober 2016.
Pressreader.com. “Dana Desa Terbesar untuk
Jatim-Jateng”. 28 Maret 2015. http://
www.pressreader.com/indonesia/jawapos/20150328/281663958507989/TextView,
diunduh pada 1 Oktober 2016
Tribunnews.com. “Pendamping Desa Digaji
Rp.14 Juta Sebulan”, 4 Agustus 2015 http://
www.tribunnews.com/regional/2015/08/04/
pendamping-desa-digaji-rp-14-juta-sebulan,
diunduh pada tanggal 1 Oktober 2016
Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa ... | Nyimas Latifah Letty Aziz | 211 OTODA DALAM UU PEMDA BARU:
MASALAH DAN TANTANGAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
REGIONAL AUTONOMY ON NEW LOCAL GOVERNMENT’S LAW:
PROBLEMS AND CHALLENGE OF CENTRAL AND REGIONAL
GOVERNMNENT RELATION
R. Siti Zuhro
Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Jend. Gatot Subroto, no.10, Jakarta
email: [email protected]
Abstract
After 16 years implement decentralization and regional autonomy, the results is not encouraging, particularly
in relation to good local governance, local economic competitiveness, the quality of public services and the welfare
of local communities. Although local government in some regions have proven capable of innovation in providing
public services, the numbers are still minimal compared to the number of regions experiencing stagnation in their
development. There are approximately 122 districts are still categorized as undeveloped. Law 23/2014, replacing the
34/2004 law on regional government, is legal binding on regions and is significantly more demanding of performance.
Although it is still questionable, this law is expected to provide a better basis for synergy and cooperation between
regions, improved relations between center and regions, promoting innovation in public services and building
social welfare. Keyword: Regional autonomy, central and regional government relation, public services, social welfare
Abstrak
Desentralisasi dan otonomi daerah setelah 16 tahun diimplementasikan ternyata belum menunjukkan hasil
yang menggembirakan, terutama dalam kaitannya dengan tata pemerintahan yang baik lokal, daya saing ekonomi
lokal, kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat setempat. Meskipun pemerintah daerah di beberapa
daerah telah terbukti mampu berinovasi dalam memberikan pelayanan publik, jumlahnya masih minim dibandingkan
dengan jumlah daerah yang mengalami stagnasi dalam pembangunan daerahnya. Ada sekitar 122 kabupaten masih
dikategorikan sebagai berkembang. Kehadiran Undang-undang nomor 23 tahun 2014, menggantikan UndangUndang nomor 34 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, secara signifikan menuntut kinerja pemerintah daerah.
Meskipun masih dipertanyakan, undang-undang ini diharapkan dapat memberikan dasar yang lebih baik dalam
melakukan sinergi dan kerjasama antar daerah, meningkatkan hubungan antara pusat dan daerah, mempromosikan
inovasi dalam pelayanan publik dan membangun kesejahteraan sosial.
Kata kunci: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pelayanan Publik, Kesejahteraan Sosial
Pendahuluan
Sejak 1998 Indonesia kembali ke sistem
demokrasi. Salah satu perubahan yang sangat
fundamental adalah lahirnya kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah. Ketidakpuasan
terhadap sentralisasi kekuasaan selama era Orde
Baru membuat daerah-daerah menuntut otonomi.
Sistem sentralistis ditolak karena dianggap
hanya mampu memakmurkan elite. Sebaliknya,
sistem yang desentralistis diharapkan akan
Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 213 dapat meningkatkan kualitas kehidupan sosial,
ekonomi dan politik masyarakat. Meskipun
demikian, di tataran realitasnya keinginan
tersebut tak semudah membalik telapak tangan.
Sejauh ini praktik otonomi daerah menghadapi
banyak kendala dan belum menunjukkan hasil
seperti yang diharapkan.
Berbeda dengan era sebelumnya,
pemerintah era reformasi sekarang ini
dituntut untuk konsisten melaksanakan sistem
demokrasi dan desentralisasi/otonomi daerah.
Pemerintah juga tidak bisa lagi menggunakan
cara-cara represif terhadap daerah seperti
yang pernah dilakukannya terhadap Aceh dan
Papua. Kelangkaan sumberdaya ekonomi dan
keterbatasan dalam menggunakan sumber-sumber
kekuasaan secara leluasa membuat pemerintah
tak punya banyak pilihan.1 Klientelisme ekonomi
untuk membeli loyalitas menjadi semakin sulit
dilakukan karena sumber-sumber (resources)
yang ada di negeri ini sudah sangat berkurang.
Oleh sebab itu, tuntutan atau gugatan daerah
harus ditanggapi secara persuasif, yaitu dengan
menerapkan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah.2
UU 32/2004 telah direvisi. Saat ini UU
Pemerintahan Daerah (Pemda) yang baru (UU
23/2014) sudah diberlakukan dan menjadi
acuan bagi praktek desentralisasi dan otonomi
daerah. Salah satu isu strategis dari 13 isu
yang ada dalam UU 23/2014 tersebut adalah
masalah hubungan pusat dan daerah. Masalah
Krisis ekonomi (1997-1998) membuat anggaran negara
defisit; sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi
digugat; dan setiap kebijakan alokasi sumber daya ekonomi
juga dipertanyakan. Korporatisme negara juga lumpuh tatkala
kelompok-kelompok masyarakat, terutama kelompok profesi,
berhasil membangun pluralitas representasi kepentingan mereka
tanpa berhasil dikekang negara.
1
UU No. 22/1999 dan UU 25/1999 memberikan kewenangan
yang luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang
pemerintahan, kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta beberapa kewenangan
bidang lain. UU tersebut diharapkan bisa memuaskan semua
daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik melalui
desentralisasi dan memberikan kesempatan berkembangnya
demokrasi lokal melalui pemilihan kepala daerah langsung
dan pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai
perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa.
Selain itu, kedua UU itu juga diharapkan dapat memuaskan
daerah-daerah kaya sumberdaya alam yang ‘memberontak’
dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati
sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
2
ini sangat krusial. Karena itu, secara eksplisit
UU tentang Pemerintahan Daerah yang baru
tersebut menekankan pentingnya membangun
dan memperoleh kesamaan persepsi antara
pemerintah pusat dan daerah. Idealnya, kebijakan
desentralisasi dan otonomi tak hanya bertujuan
untuk memajukan daerah, tapi juga harus
mampu meningkatkan pola hubungan yang lebih
harmonis antara pusat dan daerah. Hal ini yang
antara lain patut mendapatkan perhatian di era
otonomi sekarang ini.
Dalam kaitan tersebut, tulisan ini
mencoba membahas relasi pusat dan daerah
era desentralisasi dan otonomi. Isu ini tak
bisa dipisahkan dengan masalah koordinasi,
bimbingan dan pengawasan antarjenjang
pemerintahan yang menjadi salah satu faktor
utama membangun hubungan pusat-daerah yang
harmonis. Selain itu, akan coba dibahas pula
isu tentang penguatan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Pertanyaannya apakah hal
ini akan efektif memperkuat hubungan pusatdaerah?. Sebelum menguraikan masalah tersebut,
akan dibahas terlebih dahulu problematik
otonomi daerah.
Problematik Otonomi Daerah
Sejak diterapkannya kembali otonomi daerah
(otoda 2001) relasi pusat dan daerah belum
menampakkan hubungan yang harmonis.
Asumsi bahwa dengan kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah hubungan pusat dan
daerah menjadi lebih baik, ternyata tidak
terbukti. Beberapa kendala yang muncul dalam
pelaksanaan otoda membuat hubungan pusatdaerah ikut terganggu. Salah satu contohnya
adalah isu pemekaran daerah. Tak jarang
tuntutan-tuntutan daerah untuk memekarkan
daerahnya terganggu karena adanya persyaratan
yang ketat untuk memekarkan daerah dan
kebijakan moratorium pemekaran daerah.
Realitasnya jumlah daerah otonom
senantiasa bertambah, dari 219 menjadi 542 (34
provinsi, 415 kabupaten, 93 kota) tahun 2016.
Pemekaran seolah menjadi penanda era otoda
yang sulit dibendung.3 Ironinya banyak pemda
Terjadi penambahan jumlah daerah otonom yang sangat
signifikan setelah otonomi daerah. Sampai tahun 1999 jumlah
keseluruhan daerah otonom mencapai 315 (26 provinsi, 234
3
214 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 yang membuat perda yang tidak bermanfaat dan
hanya mengandung kepentingan sempit para elit.
Sebagian dari ribuan perda bermasalah tersebut
sudah dibatalkan oleh pemerintah pusat. Sebab,
perda bermasalah memunculkan kontroversi
dan menyebabkan masyarakat merugi, termasuk
kaum perempuan.4
Dengan diterapkannya UU 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah, muncul kegalauan baru
dimana daerah merasakan adanya inkonsistensi
semangat otoda yang mencoba kembali ke
sentralistik. Sebagai contoh, ditariknya beberapa
urusan kembali ke provinsi, seperti urusan
pendidikan menengah, pengelolaan sumber
daya anggaran, SDM, dan asset sarpras, menjadi
tanggung jawab provinsi membuat kabupaten
dan kota protes. Saat tulisan ini dibuat UU
23/2014 sedang digugat oleh Asosiasi Pemerintah
Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) di
Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemerintah berharap UU 23/2014 ini mampu
mewujudkan terobosan baru berupa sinergi dan
kerjasama antardaerah, memperbaiki pola relasi
pusat dan daerah, mendorong inovasi pelayanan
publik dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Tetapi, hingga saat ini peraturan pemerintah (PP)
sebagai petunjuk teknisnya belum juga terbit.
Kajian empirik menunjukkan bahwa
meskipun peluang otoda sangat besar untuk
sukses, ada beberapa problematik yang dihadapi
daerah-daerah dalam melaksanakan otonomi,
yaitu (a) silang sengkarutnya hubungan pusat dan
daerah dan lemahnya koordinasi, pengawasan
dan bimbingan (korbinwas) antarjenjang
kabupaten dan 59 kota). Tapi tahun 2014 jumlahnya bertambah
hampir dua kali lipat sehingga mencapai 542 (34 provinsi, 416
kabupaten dan 93 kota).Ini berarti penambahannya selama
priode 1999-2014 mencapai 223 daerah otonom.
Dalam kaitan itu, banyak elite lokal yang menjadikan
ketidakpuasan dan kekecewaan mereka terhadap kinerja
pemerintah daerah dan ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi
di daerahnya sebagai komoditas politik untuk memekarkan
daerahnya. Atas nama aspirasi rakyat daerah, para elite pun
membentuk daerah otonom baru (DOB). Keterbukaan politik
dimaknai secara sempit sebagai kebebasan untuk mendapatkan
kekuasaan dan kewenangan untuk mengelola sumber-sumber
kekayaan Indonesia. Akibatnya, pemekaran daerah berjalan
dengan liar dan sulit untuk dikontrol.
Perda retribusi yang dibuat pemda banyak meresahkan
masyarakat daerah karena dianggap membebani ekonomi
mereka. Demikian juga dengan perda syariah terkait perempuan,
ini dirasakan cukup mengganggu karena baik langsung maupun
tidak langsung membatasi aktivitas perempuan.
4
pemerintahan. (b) masalah dalam pengelolaan
anggaran dana alokasi umum (DAU) dan dana
alokasi khusus (DAK); (c) pola relasi antara
kepala daerah dan DPRD yang kurang harmonis;
(d) kekhawatiran terhadap isu kriminalisasi
administrasi; (e) minimnya kerjasama antardaerah
yang bermanfaat bagi pembangunan daerah, (f)
minimnya komitmen dan konsistensi dalam
menjalankan peraturan, (g) persepsi sepihak
daerah tentang kewenangannya yang membuat
penonjolan isu kedaerahan dan keindonesiaan
kurang berimbang, (h) kerumitan pengelolaan
hubungan kewenangan daerah dan antardaerah,
dan (i) kolaborasi elite dan pengusaha dalam
mengeksploitasi sumber daya alam daerah untuk
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa
mempedulikan implikasinya terhadap masyarakat
dan kesehatan lingkungan/ekologi politik.5
Harapan untuk melaksanakan otonomi
daerah yang konsisten juga dihambat oleh realitas
pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung
yang lebih disemarakkan oleh politik uang.
Akibatnya, makin sulit ditemukan pemimpin
yang memiliki kredibilitas, integritas dan
kapasitas karena pilkada dimaknai secara sempit
oleh para elite dan aktor yang berlaga hanya untuk
meraih kekuasaan. Dalam pilkada, partai sangat
oportunistis karena cenderung memunculkan
calon yang populer dan memiliki modal. Politik
transaksional semakin sulit dielakkan. Keadaan
ini telah memberikan dampak negatif terhadap
birokrasi. Studi empirik di sejumlah daerah
menunjukkan bahwa politisasi birokrasi acapkali
terjadi di mana tidak sedikit yang menggunakan
fasilitas serta anggaran daerah untuk kepentingan
pilkada.6
Kendala-kendala yang dihadapi daerahdaerah tersebut membuat tarik-menarik
kewenangan antara pusat-daerah semakin
R. Siti Zuhro,“Politik Desentralisasi: Masalah dan Prospeknya”,
Jurnal Ilmu Pemerintahan, Edisi 43 Tahun 2013. lihat juga
“Benang Kusut Relasi Pusat-Daerah”, Kolom Pakar, Media
Indonesia, 22 September 2014.
5
Lihat R. Siti Zuhro, “Perjuangan Demokrasi melalui Pilkada:
Studi Kasus Keterlibatan Birokrasi dalam Pilkada di Jember”,
Jurnal Masyarakat Indonesia, Jakarta: LIPI, Vol. XXXI, No.
2, 2005. “The Role of the Indonesian Bureaucracy in the
Transition Era: The Struggle for Democratization,”Mayarakat
Indonesia, LIPI, Jakarta, Vol. XXXII, No. 1, 2006. Lihat R. Siti
Zuhro, “Birokrasi dan Politik: Pola Relasi Birokrasi, Politik dan
Masyarakat”, Jurnal Bhinneka Tunggal Ika, 2013.
6
Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 215 runcing, sementara pembagian sumber keuangan
belum merata, pilkada juga kurang efektif dan
belum seluruhnya berkorelasi positif terhadap
terciptanya good local governance dan dalam
menopang keberhasilan pelaksanaan otoda.
Pada saat yang sama daerah juga menghadapi
realitas masih lemahnya SDM dan perangkat
birokrasi daerah. Sebagai akibatnya, tata kelola
pemerintahan yang baik dan daya saing daerah
masih belum bisa terwujud.7
Secara umum kualitas pelayanan publik
di banyak daerah juga masih rendah. Jumlah
daerah yang mampu mewujudkan pelayanan
publik yang prima dalam bidang pendidikan,
kesehatan, dan perizinan juga masih sangat
minim, yakni kurang dari 10 persen. Indikator
lainnya adalah jumlah penduduk miskin masih
cukup besar (sekitar 27,73 juta orang tahun 2015)
dan jumlah pengangguran juga masih tinggi
(sekitar 7,4 juta orang tahun 2015).8 Kondisi
tersebut tentunya sangat mengkhawatirkan bila
tidak cepat diatasi. Masalahnya bagaimana
membangun kapasitas kelembagaan daerah
agar mereka mampu mengelola anggaran DAU
dan DAK dengan baik. Selain membangun
Lihat hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (EKPPD, Kemendagri) yang setiap tahunnya
melakukan evaluasi dan diumumkan pada acara “Hari Otda”
setiap bulan April. Salah satu strategi untuk mencapai tujuan
desentralisasi dan otonomi daerah adalah melakukan proses
monitoring dan evaluasi secara teratur dan komprehensif, Cara
ini juga digunakan untuk mengukur kemajuan dan tingkat
keberhasilan Pemda dalam penerapan prinsip otonomi daerah
dan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Untuk itu Kepala
Daerah diwajibkan menyampaikan Laporan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah (LPPD) yang selanjutnya dilakukan evaluasi
setiap tahunnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
69 dan Pasal 70 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah. Pengumuman Hasil EKPPD terhadap
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD)
merupakan langkah strategis Pemerintah Pusat untuk menilai
keberhasilan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah,
sekaligus sebagai bahan kebijakan dalam meningkatkan
kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selain itu, berdasarkan PP No. 3 Tahun 2007 dan evaluasi
(sejak tahun 2009 sesuai amanat PP No. 6 Tahun 2008), evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ini dilakukan secara
terukur, dengan melibatkan beberapa Kementerian/LPNK
(Kemendagri, Kemen Pan-RB, Kemenkeu, Kemenkumham,
Setneg, BAPPENAS, BKN, BPKP, BPS dan LAN) terhadap
Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk memotret kinerja
penyelenggaraan Pemda terutama dari aspek Manajemen
Pemerintahan. Dari hasil evaluasi tersebut dapat diperoleh
gambaran kinerja pemerintahan daerah, baik di level pengambil
kebijakan maupun di level pelaksana kebijakan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.
7
8
Data BPS 2015. Lihat: www.bps.go.id
sistem pengawasan yang lebih efektif, perlu
pula diciptakan sebuah mekanisme hubungan
yang saling bersinergi dan berkoordinasi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
serta antarpemerintah daerah dalam konteks
menyukseskan otoda dan dalam upaya untuk
menyejahterakan rakyat. Sinergi dapat dibangun,
misalnya, melalui pencapaian kesepahaman
bersama mengenai tujuan pelaksanaan otonomi
daerah dan mekanisme hubungan dan kerjasama
yang menjembatani kepentingan pusat dan daerah
secara simultan.
Relasi Pusat-Daerah
Harmonis
yang
Kurang
Dalam perspektif demokrasi, pemerintah daerah
adalah kumpulan unit - unit lokal dari pemerintah
yang otonom, independen dan bebas dari kendali
kekuasaan pusat. Dalam sistem ini pemerintahan
daerah meliputi institusi-institusi atau organisasi
yang bertugas memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Institusi demokrasi dalam politik
lokal mencerminkan partisipasi masyarakat
karena keterlibatan masyarakat di dalam proses
pembuatan keputusan menjadi salah satu tujuan
penting otonomi daerah.
Secara teori maupun praksis, tidak ada
satu pun negara yang menjalankan secara
penuh desentralisasi atau sentralisasi. Yang ada
adalah kombinasi antara asas desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Pengalaman empirik negara-negara lain dalam
menjalankan otonomi daerah menunjukkan
bahwa kecenderungan arah desentralisasi dan
sentralisasi ditentukan oleh sistem pemerintahan
yang diberlakukan di suatu negara. Namun,
model demokrasi lokal yang digunakan dalam
pendekatan politik akan memberikan peluang
yang besar bagi dihormatinya keragaman dan
kemandirian lokal.
Rumusan desentralisasi yang didasarkan
atas demokrasi menegaskan bahwa daerah perlu
memiliki kekuasaan (power) dan para pemangku
kepentingan (stakeholders) perlu berperan serta
dalam pengambilan keputusan. Penyerahan
kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi
pemerintahan kepada daerah, baik yang
berlandaskan desentralisasi, dekonsentrasi
216 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 maupun tugas pembantuan menuntut pengaturan
yang jelas agar tidak terjadi overlapping dan
konflik antarjenjang pemerintahan (Pemerintah
Pusat, Provinsi, kabupaten/kota). Meskipun
daerah otonom tidak bersifat hierarkis, urusan
pemerintahan yang menjadi otonomi daerah pada
dasarnya juga menjadi perhatian kepentingan
pusat. Untuk itu, diperlukan sinkronisasi
dan sinergi dalam penyelenggaraan fungsifungsi pemerintahan. Dengan kata lain, perlu
penyesuaian antara fungsi pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom dan
kewenangan yang dimiliki oleh kementerian
sektoral di pusat.
Indonesia dengan pilar pentingnya
Negara Kesatuan Republik Indfonesia (NKRI)
menjunjung tinggi asas desentralisasi dan
otonomi daerah. Impian pendiri bangsa untuk
membangun rumah Indonesia yang sejahtera dan
demokratis tak hanya tercermin dalam kebijakan
dan peraturan yang dibuatnya, tetapi juga bisa
dilihat melalui perilaku yang tampak. Impian
terhadap terwujudnya pemerintahan daerah
yang demokratis, adil dan sejahtera juga bukan
semata-mata harapan para pendiri bangsa ini,
melainkan impian rakyat yang sebagian besar
nasibnya tak kunjung tersejahterakan.
Hal itu menunjukkan bahwa tugas besar
Indonesia ke depan adalah menyukseskan
pelaksanaan otonomi daerah. Pertanyaannya,
model otonomi daerah seperti apa yang aplikatif,
sesuai dan bisa dilaksanakan secara sukses.
Pertama, Indonesia bukanlah negara maju.
Suatu negara yang maju secara sosial, politik
dan ekonomi, entitas yang diberikan kepada
unit pemerintahan lokalnya akan semakin
otonom. Kedua, suatu negara yang terbelakang
secara sosial, ekonomi dan politik, entitas yang
diberikan ke unit pemerintahan lokalnya akan
semakin administratif.
Dalam konteks Indonesia, kecenderungan
yang kedua tersebut lebih tampak. Pemerintah
memegang kendali dalam menentukan norma,
standard, prosedur dan kriteria (NSPK).
Masalahnya adalah apakah koridor tersebut tidak
justru menjadi kendala bagi daerah-daerah dalam
melaksanakan otonomi? Apakah benar bahwa
kontrol kuat Pemerintah melalui NSPK tersebut
akan dapat menciptakan sinkronisasi, sinergi dan
koordinasi antarjenjang pemerintahan? Kalau
asumsi tersebut benar, mengapa relasi antara pusatdaerah era otonomi ini tak lebih baik ketimbang
era sebelumnya? Realitasnya “sinkronisasi,
sinergi dan koordinasi” yang menjadi salah satu
kunci penting keberhasilan otonomi daerah sulit
dilakukan oleh pusat dan daerah.
Adalah jelas bahwa masing-masing jenjang
pemerintahan (pusat, provinsi kabupaten/
kota) mengemban amanat untuk mewujudkan
kepentingan nasional. Masing-masing jenjang
pemerintahan juga memiliki tugas pokok
dan fungsinya sesuai dengan urusan yang
menjadi kewenangannya. Pemerintah pusat
memegang tanggung jawab akhir pemerintahan.
Dengan kata lain, pemerintah memegang
kendali sebagai pembuat norma, standar dan
prosedur. Masalahnya, meskipun pemerintah
daerah merupakan subsistem dari pemerintahan
nasional, sejauh ini koordinasi, bimbingan
dan pengawasan (korbinwas) antarjenjang
pemerintahan yang mengedepankan reward and
punishment kurang tampak. Padahal, efektivitas
fungsi korbinwas antarjenjang pemerintahan
tersebut sangat penting dan menjadi penentu
agar konsepsi otonomi daerah dalam bingkai
NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika bisa aplikatif
dan mampu diwujudkan.
Sejauh ini gambaran yang tampak justru
masing-masing daerah seolah berjalan sendirisendiri. Tidak sedikit daerah yang memunculkan
“raja-raja kecil” dan praktik dinasti atau
kekerabatan politik.9 Fenomena ini menunjukkan
bahwa otoda yang mengacu pada Konstitusi dan
NKRI itu cenderung dimaknai secara berbeda
oleh daerah-daerah. Di bawah Bhinneka Tunggal
Ika, daerah – daerah belum menghayati secara utuh
realitas keragaman daerah. Daerah-daerah dari
Sabang sampai Merauke merupakan satu kesatuan
yang kontinum dalam kedaulatan RI.
Karena itu, bimbingan dan pengawasan
(binwas) perlu dilakukan dengan cermat
dan efektif, sebagai upaya untuk menjamin
terlaksananya pembangunan daerah yang
terintegrasi, merata, dan sinergis dalam bingkai
Lihat: www.kemdagri.go.id. Data menunjukkan sampai
tahun 2013 tercatat ada sekitar 57 praktik dinasti/kekerabatan
politik di daerah-daerah. Jumlah tersebut meningkat menjadi
65 tahun 2016.
9
Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 217 negara kesatuan. Kendati binwas terdiri dari
dua kegiatan yang berbeda, pembinaan dan
pengawasan, keduanya saling melengkapi dan
memperkuat upaya untuk mendorong agar
daerah mampu menyelenggarakan urusan
pemerintahan sesuai dengan NSPK yang dibuat
oleh pemerintah. Pembinaan yang dilakukan oleh
Pusat terhadap Daerah dapat mencakup aspekaspek politik, administratif, fiskal, ekonomi, dan
sosial budaya.
Pada aspek politik, pembinaan dapat
difokuskan pada penguatan lembaga perwakilan
rakyat daerah bersamaan dengan lembaga
pemberdayaan masyarakat. Pada aspek
administratif, pembinaan dapat difokuskan pada
penegasan pembagian urusan pemerintahan, serta
kewenangan pengelolaannya, terutama berkaitan
dengan perencanaan dan penganggaran. Pada
aspek fiskal, pembinaan dapat berfokus pada
peningkatan pendapatan asli daerah seiring dengan
pelaksanaan kebijakan transfer dan pinjaman
yang ditetapkan oleh Pusat. Pada aspek ekonomi,
pembinaan dapat berfokus pada pembangunan
ekonomi daerah, yang dapat menjamin
kemungkinan berlangsungnya privatisasi dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah.
Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembinaan
dunia usaha dan koperasi. Sedangkan pada
aspek sosial budaya, pembinaan dimaksudkan
untuk mendorong kemampuan pemerintahan
daerah dalam membangun kehidupan masyarakat
dengan kesadaran berkewarganegaraan yang
tinggi.10
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
provinsi dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri dan
menteri/pimpinan LPNK terkait. Menteri Dalam negeri
melaksanakan pembinaan bidang pemerintahan umum,
sedangkan Menteri/Kepala LPNK melaksakan pembinaan
teknis urusan pemerintahan terkait dengan bidang tugasnya
masing-masing. Dalam melakukan pembinaan teknis kepada
daerah provinsi, Menteri/Kepala LPND berkoordinasi dengan
Menteri Dalam Negeri.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat. Angaran yang digunakan untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kabupaten/
kota yang ada di wilayahnya dibiayai oleh APBN. Pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan dapat dilakukan oleh aparatur
daerah provinsi dan juga aparatur pusat yang ada di daerah.
Dalam hal pembinaan yang dilakukan oleh aparatur daerah
provinsi, maka pemerintah melakukan tugas pembantuan
kepada pemerintah provinsi untuk melaksanakan pembinaan
dan pengawasan kepada kabupaten/kota.
10
Sedangkan pengawasan bertujuan untuk
menjamin agar kegiatan pelaksanaan rencana
sesuai dengan spefisikasi yang telah ditentukan,
baik yang bersifat substansial maupun prosedural.
Dengan pengawasan diharapkan tujuan yang
tercapai benar-benar dapat membangun kondisi
yang diinginkan secara efisien dan efektif. Dalam
konteks keberadaan daerah otonom, pengawasan
berperan sebagai penjamin terbangunnya daerah
yang maju, terciptanya keadilan regional, dan
terwujudnya masyarakat yang sejahtera dalam
bingkai sistem dan kepentingan nasional.
Dari uraian tersebut menjadi jelas bahwa
pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah adalah upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah untuk mewujudkan tercapainya
tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Terkait
dengan bidang-bidang pembinaan sebagaimana
tersebut di atas, harus ada kejelasan institusi
mana yang akan melakukan pembinaan. Untuk
itulah perlu diformulasikan agar pembinaan
yang bersifat umum, seperti aspek manajerial
pemerintahan dan administrasi, dilaksanakan
oleh Kementerian Dalam Negeri. Adapun
pembinaan yang bersifat teknis dilakukan oleh
Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)
sesuai dengan fungsi dan kewenangan masingmasing. Proses pembinaan dikoordinasikan oleh
Menteri Dalam Negeri.
Seperti halnya pembinaan, pengawasan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah juga harus secara
tegas diatur institusi mana yang melaksanakannya.
Pengawasan yang bersifat umum dilaksanakan
oleh Kementerian Dalam Negeri, sedangkan
pengawasan yang bersifat khusus dilakukan oleh
LPNK dengan tetap melaksanakan koordinasi
dengan Menteri Dalam Negeri. Pengawasan juga
harus secara jelas mengatur aspek yang diawasi,
yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan
dan utamanya terhadap peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah. Kementerian/LPNK
terkait melakukan pengawasan teknis terhadap
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
bidang tugasnya dan Kementerian Dalam Negeri
melakukan pengawasan terhadap pengaturan
yang dihasilkan.
UU 23/2014 menegaskan bahwa ciri
utama otonomi daerah dalam konteks NKRI
adalah adanya hubungan hierarki antara Pusat
218 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 dengan Daerah. Daerah otonom dibentuk
oleh Pusat dan bahkan dapat dihapus apabila
tidak mampu melaksanakan otonominya.
Sumber kewenangan daerah adalah berasal
dari Pemerintah Pusat dengan tanggung jawab
pemerintahan berada ditangan Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945.
Desentralisasi sejatinya bertujuan politik
dan ekonomi. Tujuan politiknya adalah untuk
memperkuat kelembagaan pemda, meningkatkan
kemampuan aparat pemda dan masyarakat
di daerah, dan mempertahankan integrasi
nasional. Sementara tujuan ekonominya adalah
untuk meningkatkan kemampuan pemda
dalam menyediakan layanan publik yang
profesional,terjangkau, efisien dan efektif.
Sebagai negara archipelago, Indonesia
menghadapi isu rentang kendali (span of
control) yang serius antara pusat dan daerah.
Kebijakan desentralisasi di negara kesatuan
berawal dari adanya pembentukan daerah
otonom dan penyerahan urusan pemerintahan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Dalam konsep negara kesatuan, kekuasaan
pemerintahan ada pada pemerintah pusat. Makin
sentralistik pemerintahan di suatu negara, makin
sedikit kekuasaan pemerintahan atau urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah.
Sebaliknya, makin desentralistik pemerintah
suatu negara akan makin luas pula urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah.
Di tataran praksis tampak bahwa semakin
besar kepentingan elite di masing-masing
daerah makin sering pula konflik muncul di
daerah dan antardaerah. Sumber sengketa
antardaerah tersebut umumnya menyangkut
masalah pengelolaan resources. Kerumitan
terjadi karena banyaknya pihak atau aktor yang
terlibat dalam konflik kepentingan tersebut mulai
dari pengusaha, elite birokrat lokal, anggota
dewan lokal, sampai elite dan birokrat pusat.
Salah satu contoh paling jelas, misalnya, kasus
penambangan timah liar (TI) di Bangka dan
illegal logging di Nunukan.11
Munculnya konflik kepentingan di daerah
juga menunjukkan kurang memadainya
pengelolaan kewenangan daerah dan antardaerah.
Banyaknya kendala, distorsi, dan manipulasi
yang dihadapi daerah dalam mengelola
kewenangannya itu mengindikasikan rendahnya
political will, political commitment dan law
enforcement masing-masing pimpinan daerah
untuk bersikap terbuka, akuntabel, dan mampu
bekerja sama membahas permasalahan yang
dihadapi daerahnya. Masalahnya menjadi makin
rumit karena elite lokal di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota tak mampu membuat
program yang saling selaras dan bersinergi guna
mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya.
Kerja sama antara gubernur dan bupati/walikota
dalam meningkatkan pertumbuhan wilayahnya
merupakan hal yang sangat penting. Tanpa
kerja sama intradaerah dan antardaerah sulit
bagi daerah untuk membangun dirinya secara
maksimal.
Beberapa permasalahan yang dihadapi
daerah tersebut merefleksikan minimnya sinergi
dan koordinasi pusat-daerah dan antardaerah
belakangan ini. Munculnya resistensi daerah
terhadap kebijakan pusat, demonstrasi yang
dilakukan pimpinan daerah untuk melawan
kebijakan atau keputusan pusat, dan
diabaikannya seruan dan kebijakan Presiden
untuk memberantas korupsi dan menegakkan
hukum, mencerminkan belum terbenahinya
relasi pusat-daerah. Ini menunjukkan bahwa
koordinasi, sinergi, komunikasi dan interaksi
antarjenjang pemerintahan kurang efektif.
Padahal, daerah-daerah merupakan satu kesatuan
utuh (continuum) yang tak terpisahkan dari
Sabang sampai Merauke.
Evaluasi Kritis mengenai Peran Ganda
Gubernur
Hasil evaluasi otonomi daerah menunjukkan
bahwa peran gubernur dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah selama ini masih sangat
terbatas.12 Menurut UU 23/2014 gubernur lebih
diperankan sebagai wakil pemerintah pusat
yang tugasnya untuk memantau daerah otonom
dan ketertiban umum. Ini adalah tugas-tugas
Lihat antara lain, R. Siti Zuhro, “Sewindu Realisasi Otonomi
Daerah: Evaluasi Kritis”, Jurnal Demokrasi & HAM, Vol. 8,
No.1, 2008.
12
R. Siti Zuhro et al, Konflik dan Kerjasama Antar Daerah.
(Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2004)
11
Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 219 berkaitan dengan dekonsentrasi. Dari perspektif
teori, istilah wakil pemerintah dalam kaitan
ïni mengacu pada tanggungjawabnya sebagai
koordinator yang menyatukan instansi-instansi
vertikal di daerahnya. Dengan kata lain, UU
Pemda yang baru tidak menugaskan gubernur
untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
instansi vertikal di wilayahnya. Hal ini bisa
dilihat dari pasal 91 (1) sampai (8) yang mengatur
tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat.
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
c. menyelesaikan perselisihan dalam
penyelenggaraan fungsi pemerintahan
antar-Daerah kabupaten/kota dalam 1
(satu) Daerah provinsi; memberikan
persetujuan terhadap rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang pembentukan dan
susunan Perangkat Daerah kabupaten/kota;
dan e. melaksanakan wewenang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Selain
Pasal 91
(1) Dalam
melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota dan
Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/
kota, Presiden dibantu oleh gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(2) Dalam
melaksanakan pembinaan dan
pengawasan
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat mempunyai tugas:
a. mengoordinasikan pembinaan dan
pengawasan
penyelenggaraan Tugas
Pembantuan di Daerah kabupaten/kota;
b. melakukan monitoring, evaluasi, dan
supervisi
terhadap
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota yang
ada di wilayahnya; c. memberdayakan
dan memfasilitasi Daerah kabupaten/kota
di wilayahnya; d. melakukan evaluasi
terhadap rancangan Perda Kabupaten/
Kota tentang RPJPD, RPJMD, APBD,
perubahan APBD, pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD, tata ruang daerah,
pajak daerah, dan retribusi daerah; e.
melakukan pengawasan terhadap Perda
Kabupaten/Kota; dan f. melaksanakan
tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud ayat (2), gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat mempunyai wewenang:
a. membatalkan Perda Kabupaten/
Kota dan peraturan bupati/wali kota; b.
memberikan penghargaan atau sanksi
kepada bupati/wali kota terkait dengan
melaksanakan pembinaan dan
pengawasan
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat mempunyai tugas dan
wewenang: a). menyelaraskan perencanaan
pembangunan antarDaerah kabupaten/
kota dan antara Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota di wilayahnya; b).
mengoordinasikan kegiatan pemerintahan
dan pembangunan antara Daerah provinsi
dan Daerah kabupaten/kota dan antarDaerah kabupaten/kota yang ada di
wilayahnya; c). memberikan rekomendasi
kepada Pemerintah Pusat atas usulan
DAK pada Daerah kabupaten/kota di
wilayahnya; d). melantik bupati/wali kota;
e). memberikan persetujuan pembentukan
Instansi Vertikal di wilayah provinsi
kecuali pembentukan Instansi Vertikal
untuk melaksanakan urusan pemerintahan
absolut dan pembentukan Instansi Vertikal
oleh kementerian yang nomenklaturnya
secara tegas disebutkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; f). melantik kepala Instansi
Vertikal dari kementerian dan lembaga
pemerintah
nonkementerian
yang
ditugaskan di wilayah Daerah provinsi
yang bersangkutan kecuali untuk kepala
Instansi Vertikal yang melaksanakan
urusan pemerintahan absolut dan kepala
Instansi Vertikal yang dibentuk oleh
kementerian yang nomenklaturnya secara
tegas disebutkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; dan g). melaksanakan tugas lain
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
220 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 (5) Pendanaan
pelaksanaan tugas dan
wewenang gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (4) dibebankan pada
APBN.
(6) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
dapat menjatuhkan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan
kepada penyelenggara Pemerintahan
Daerah kabupaten/kota.
(7) Tugas dan wewenang gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat dapat didelegasikan
kepada wakil gubernur.
(8) Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas
dan wewenang serta hak keuangan
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
diatur dengan peraturan pemerintah.
UU 23/2014 mengatur peran gubernur sebagai
aparat dekonsentrasi atau wakil pemerintah pusat
di daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat memiliki peran pembinaan dan pengawasan
(binwas) untuk penyelenggaraan pemerintahan
kabupaten/kota, koordinasi penyelenggaraan
urusan pemerintah pusat di kabupaten/kota,
dan koordinasi binwas penyelenggaraan tugas
pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/
kota.13 Ke depan peran gubernur sebagaimana
disebutkan dalam UU tersebut semestinya bisa
dilaksanakan secara optimal.
Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan
terkait penguatan peran gubernur. Pertama,
Mengingat rentang kendali antara pemerintah nasional
dengan pemerintahan daerah terlalu luas, maka UU 23/2014
menetapkan bahwa perangkat pemerintahan negara yang
melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi atas
terselenggaranya pemerintahan daerah dan pemerintahan umum
di daerah adalah Gubernur dalam kedudukannya selaku Wakil
Pemerintah Pusat.
Dengan demikian, Gubernur yang karena jabatannya
(Ex-officio) berkedudukan selaku Wakil Pemerintah adalah
juga Kepala Wilayah di wilayah administrasi Provinsi yang
bersangkutan. Selaku Wakil Pemerintah dan Kepala Wilayah,
Gubernur merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi
di wilayah jabatannya dalam menjalankan sebagian urusan
pemerintahan negara di daerah, baik yang bersifat “attributed”
yang dengan undang-undang melekat kepadanya dalam
menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya, maupun yang
bersifat “delegated” melalui tugas-tugas yang dilimpahkan dari
pemerintah pusat kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah
dalam rangka dekonsentrasi. Tugas, wewenang, dan kewajiban
yang bersifat “attributed” tersebut dinyatakan dalam Pasal 91
UU 23/2014.
��
konflik kepentingan sering terjadi ketika
gubernur sebagai kepala daerah otonom memiliki
kepentingan yang berbeda dengan Menteri/
Kepala LPNK dalam berbagai aspek pengelolaan
kegiatan pembangunan di daerahnya. Misalnya,
dalam pengelolaan kegiatan pertambangan,
kehutanan, dan kegiatan lainnya, seringkali posisi
gubernur sebagai kepala daerah otonom berbeda
dengan posisi yang diambil oleh Kementerian/
LPNK. Dalam UU 23/2014 peran ganda gubernur
sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah
pusat di daerah yang bertanggungjawab
kepada presiden menimbulkan tarik-menarik
kepentingan, membuat posisi gubernur dilematis:
antara perannya sebagai wakil pemerintah pusat
atau kepala daerah otonom.
Peran ganda gubernur (dual roles), sebagai
kepala daerah dan wakil pemerintah pusat
tersebut, sering menimbulkan konflik peran
ketika kepentingan provinsi berbeda dengan
kepentingan pemerintah pusat. Pertama,
Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,
gubernur kerap harus mengamankan kebijakan
pemerintah pusat, yang kadangkala berbenturan
dengan kepentingan daerahnya. Karena itu,
meskipun UU 23/2014 sudah mengatur mengenai
masalah tersebut, bila yang ditekankan aspek
dekonsentrasi, penguatan peran gubernur tidak
akan tampak nyata.
Kedua, sebagai wakil pemerintah pusat,
gubernur melaksanakan tugas dekonsentrasi.
Berbeda dengan dengan UU Pemda sebelumnya,
peran gubernur dalam pelaksanaan tugas
dekonsentrasi diatur secara jelas (lihat pasal
91 di atas). Pasal-pasal tersebut di atas telah
mengatur dengan jelas mengenai tugas yang
harus dilakukan gubernur. Pertanyaannya, apakah
hal ini akan membuat kedudukan gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi
lebih clear dan reliable.
Ketiga, dalam menjalankan tugas
dekonsentrasi, gubernur sebagai wakil pusat di
daerah perlu mempunyai perangkat dekonsentrasi
sendiri dengan sumber pembiayaan yang
jelas. Hal ini penting agar ada kejelasan
dalam pertanggungjawaban pengelolaan
tugas dekonsentrasi. Disamping itu, perlu
pula ketersediaan sarana dan prasarana yang
mendukung peran gubernur dalam menjalankan
Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 221 tugas-tugas dekonsentrasi sehingga menjadikan
kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah
lebih efektif.
Keempat, kemungkinan munculnya
ketidakjelasan dalam pelaksanaannya sehingga
peran dan tugas gubernur dalam melakukan
pemantauan terhadap kabupaten/kota tidak
efektif. Pelaksanaan tugas pemantauan terhadap
kinerja kabupaten/kota sering dilakukan secara
campur aduk dalam konteks dekonsentrasi
sekaligus desentralisasi. UU 23/2014 secara
jelas memberi tugas kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat untuk melakukan binwas
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Namun, pasal-pasal tersebut tidak mengatur
dengan cukup jelas tentang apakah binwas ini perlu
juga dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi
atau hanya terbatas pada pelaksanaan tugas
dekonsentrasi.
Kelima, hubungan koordinasi antara
provinsi dan kabupaten/kota selama ini masih
kurang berjalan secara efektif. Kewenangan
dan kapasitas pemerintah provinsi untuk
melaksanakan koordinasi dalam perencanaan
program pembangunan dan pelayanan publik
yang memiliki eksternalitas lintas kabupaten/
kota kurang dapat dikelola secara efektif dan
sinergis. Pemerintah provinsi tidak memiliki
kewenangan yang jelas untuk dapat mengatur
kegiatan pembangunan dan pelayanan publik,
yang mencakup wilayah lebih dari satu kabupaten/
kota agar dapat diselenggarakan secara sinergis.
Pengaturan yang jelas tentang kewenangan
provinsi dalam koordinasi perencanaan
pembangunan daerah dan penyelenggaraan
pelayanan publik perlu dilakukan dengan jelas.
Keenam, pelaksanaan tugas pembantuan oleh
provinsi kepada kabupaten/kota dan desa harus
dipahami secara jelas. Sebab, pelaksanaan tugas
pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/
kota belum dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Supaya pemerintah provinsi
memiliki dasar yang kuat untuk melaksanakan
tugas pembantuan kepada kabupaten/kota dan
desa, pengaturan yang jelas diperlukan mengenai
kriteria dan konsekuensi pelaksanaan tugas
pembantuan.
Lepas dari itu, provinsi dan kabupaten/kota
merupakan daerah otonom. Namun, kendati
keduanya adalah daerah otonom, provinsi
memiliki peran fasilitasi dan pemberdayaan
terhadap kabupaten/kota terkait dengan kebijakan
yang menggambarkan kekhasan provinsi. Dalam
UU 23/2014, peran tersebut relatif sudah
diatur cukup memadai. Karena itu, ke depan
pelaksanaan berbagai peran tersebut mestinya
bisa dilakukan secara optimal. Rendahnya
optimalisasi dari pelaksanaan peran tersebut
sering membuat penyelenggaraan pemerintahan
kabupaten/kota kurang dapat dikoordinasikan
secara efektif dan sinergis untuk mencapai tujuan
pembangunan provinsi.
Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi
tentang peran gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat. Kedudukan gubernur sebagai kepala
daerah dan sebagai wakil pemerintah pusat
kurang dapat dipisahkan dengan tegas dalam
beberapa hal. Pertama, kapan gubernur harus
bertindak sebagai wakil pemerintah pusat dan
kapan gubernur harus bertindak sebagai kepala
daerah. Dengan payung hukum yang ada saat
ini apakah hal tersebut bisa dilaksanakan
secara efektif. Hal ini penting karena memiliki
implikasi kelembagaan dan anggaran yang
berbeda. Ketidakjelasan pengaturan kedudukan
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan
kepala daerah membuat fungsi ganda gubernur
belum dapat berjalan dengan baik karena struktur
kelembagaan dan anggaran belum dapat memberi
dukungan yang kuat terhadap pelaksanaan fungsi
ganda gubernur.
Kedua, akibat tidak berjalannya secara
optimal fungsi ganda itu, pelaksanaan binwas
dari gubernur belum dapat berjalan dengan
baik. Akibat lebih jauh dari tidak berjalannya
peran binwas, penyelenggaraan pemerintahan
di daerah saat ini kurang terkoordinasi dengan
baik, kurang sinergis sehingga pembangunan
daerah tidak dapat diwujudkan secara optimal.
Pengaturan tentang fungsi ganda gubernur
dalam UU23/2014 diharapkan dapat mendorong
adanya pembangunan daerah yang sinergis dan
berkelanjutan dalam wilayah provinsi.
Pengaturan yang lebih jelas akan dapat
memperkuat peran gubernur dalam melakukan
korbinwas dan penyelarasan kegiatan
pembangunan di daerah. Hal ini diharapkan
akan dapat mengurangi ketegangan yang selama
222 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 ini sering terjadi dalam hubungan antara bupati/
walikota dan gubernur di daerah. Miskonsepsi
dalam memahami pola hubungan tersebut
cenderung mempersulit koordinasi dan sinergi
dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
di tingkat kabupaten/kota. Lebih dari itu,
pengaturan juga diperlukan agar gubernur dapat
mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk mencegah dan mengendalikan konflik
yang terjadi di antara kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dampak positif UU 23/2014 diharapkan bisa
memperkuat fungsi ganda gubernur dan hubungan
antartingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan
peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,
hubungan antara gubernur dengan bupati/
walikota bersifat bertingkat, di mana gubernur
dapat melakukan peran korbinwas terhadap
kinerja bupati/walikota dalam penyelenggaraan
urusan pemerintah di daerah. Sebaliknya,
bupati/walikota dapat melapor dan mengadu
kepada gubernur apabila terjadi masalah dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
termasuk dalam hubungan antarkabupaten/
kota. Penguatan peran Gubernur sebagai kepala
daerah diharapkan dapat memperkuat orientasi
pengembangan wilayah dan memperkecil
dampak kebijakan desentralisasi terhadap
fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di
daerah.
Dengan kata lain, UU 23/2014 diharapkan
menjadi payung hukum yang ditaati dan tidak
dipersoalkan oleh daerah. Karena user UU
ini adalah daerah. Poin pentingnya adalah
pertama, peran gubernur harus lebih efektif dan
fungsional, mampu mengkoordinasi kabupaten/
kota yang ada di wilayahnya agar terjadi sinergi
dalam mengembangkan ekonomi regional.
Sinergi antardaerah diperlukan agar mereka
saling melengkapi dan membantu. Hal itu bisa
dilakukan dengan menjalin komunikasi intensif
sampai pada tingkat perumusan bersama yang
menghasikan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
dan rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP)/rencana pembangunan jangka menengah
(RPJM) kabupaten/kota.
Kedua, selaku koordinator, pengawas dan
pembimbing, gubernur ikut mengelola anggaran
pusat ke dan atau di kabupaten/kota melalui DAU
dan DAK atau dalam bentuk lain seperti “dana
tugas pembantuan” dan “hibah”. Dalam kaitan
ini, DAU dimaksudkan sebagai dana alokasi dari
pusat yang diberikan berdasarkan rumus tertentu
yang pemanfaatannya dikoordinasikan agar
lebih berorientasi kinerja. Sebagai contoh dana
tersebut bukan untuk membeli mobil atau rumah
jabatan, tapi untuk benih dan obat. Sedangkan
DAK dimaksudkan sebagai dana alokasi khusus
untuk urusan yang sudah menjadi otonomi daerah
untuk daerah tertentu seperti untuk dana fisik
(rehab jalan, sekolah dan rumah sakit). DAK
ini direncanakan diatur secara rinci (satuan III)
oleh Biro Perencanaan Kementerian/Lembaga
di Pusat.
Namun realitasnya, dana tersebut sering
salah sasaran dan kurang aspiratif dan tidak
sesuai dengan yang diharapkan kabupaten/kota.
Oleh karena itu, ke depan DAK tidak hanya
berwujud fisik tapi juga non-fisik, misalnya untuk
meningkatkan kualitas lulusan Dikdasmen, untuk
dana transportasi guru, peningkatan kualitas
guru, gizi murid, armada ikan, kebun dan ternak
di tiap-tiap kabupaten/kota. DAK tidak perlu
secara rinci direncanakan oleh pemerintah
pusat, tapi diserahkan dalam bentuk “blok”
dengan arahan umum kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat. Gubernur bersamasama dengan Bupati dan Walikota menyusun
rencananya dengan rinci. Begitu juga dengan
perencanaan dana tugas pembantuan dan hibah.
Selain melaksanakan fungsi Binwas, Gubernur
harus melakukan koordinasi di wilayahnya.
Ketiga, dalam hal SDM aparatur Kabupaten/
Kota, Gubernur mengkoordinasikan dan
berwenang memindahkan pejabat eselon III
antarkabupaten/kota. Idealnya pejabat eselon
III baru bisa naik ke eselon II setelah bermutasi
ke daerah/kota lain lebih dahulu. Ini penting
agar terbangun aparatur yang tidak semata-mata
menonjolkan ego kedaerahan dan berpengalaman
sempit.
Keempat, Binwas dilakukan Gubernur
kepada kabupaten/kota untuk menjaga agar
otonomi daerah yang dilaksanakan kabupaten/
kota sesuai dengan NSPK yang ditetapkan
pemerintah pusat. Hal ini juga dimaksudkan
agar tata cara pengelolaan hutan, misalnya, tidak
bertentangan dengan NSPK dari departemen
Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 223 Kehutanan. Dengan demikian pelaksanaan
urusan Dikdasmen, kesehatan, dan lainnya juga
sesuai dengan NSPK, baik secara teknis maupun
manajerial, termasuk kompetensi pejabat yang
diangkat.
Kelima, Binwas juga dilakukan dalam
menyiapkan Perda terutama agar Perda tidak
bertentangan dengan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Gubernur selaku wakil pemerintah
pusat mewakili Presiden dapat membatalkan
Perda. Meskipun demikian, atas nama pluralitas
lokal, penghapusan perda harus memenuhi
kriteria yang ada sehingga tetap menghormati
nilai-nilai kearifan lokal.
Keenam, Gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat berwenang melakukan evaluasi kinerja
kabupaten/kota dan melaporkannya kepada
Presiden. Hasil evaluasi, baik atau buruk mestinya
akuntabel dan transparan. Fungsi Korbinwas
yang dilaksanakan Gubernur terhadap kabupaten
dan kota secara umum cenderung masih belum
memadai karena yang dilakukan Gubernur
selama ini hanya kunjungan dan belum dalam
bentuk komunikasi intensif seperti merumuskan
rencana secara bersama. Selain itu, kajian
empirik selama ini menunjukkan bahwa yang
turun ke kabupaten/kota adalah Bappeda, SKPD,
alat daerah dan bukan perangkat pemerintah
pusat. Sejauh ini Gubernur belum memiliki
perangkat pemerintah pusat yang kompeten untuk
melaksanakan fungsi Korbinwas.
UU 23/2014 telah mengantisipasi hal tersebut
dengan menciptakan pasal yang memberikan
otoritas kepada pemerintah provinsi untuk
membatalkan peraturan daerah (perda/perbup/
perwali) yang dinilai melanggar undang-undang/
peraturan di atasnya (pasal 91 ayat 3). Hal
ini merupakan langkah maju karena dengan
demikian gubernur bisa merespons langsung
bila ada perda bermasalah. Ke depan dengan
peran barunya tersebut, gubernur bisa lebih
antisipatif terhadap kemungkinan munculnya
perda-perda yang bermasalah, menyimpang dan
merugikan rakyat. Namun, perlu diantisipasi
yaitu kemungkinan munculnya keberatan
pemkab/kota atas pembatalan produk hukum
oleh gubernur. Menurut pasal 251 ayat 8 bupati/
walikota bisa mengajukan keberatan kepada
Mendagri selambat-lambatnya 14 hari sejak
perda dibatalkan. Supaya ada kepastian hukum
perlu ada pengaturan dalam PP mengenai
kelanjutan prosesnya apakah keberatan itu
langsung dikabulkan oleh Mendagri atau cukup
menjadi arsip saja.
Catatan Penutup
Pemerintah daerah adalah subsistem dari
pemerintahan nasional. Karena itu, perlu ada
sinergi dan hamonisasi antara kebijakan pusat
dan daerah. Binwas, sinergi, koordinasi dan
komunikasi yang lebih efektif antartingkatan
pemerintahan perlu dimaksimalkan untuk
mendorong keberhasilan otoda. Selain itu,
hadirnya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
(DPOD) sangat signifikan untuk mengevaluasi
pelaksanaan otoda dan mengantisipasi
kemungkinan terjadinya penyimpangannya.
Salah satu perubahan mencolok UU
23/2014 (tentang Pemda) adalah isu penguatan
peran gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat dalam melaksanakan fungsi koordinasi,
bimbingan dan pengawasan (korbinwas). Ini
sekaligus merupakan pengakuan eksplisit bahwa
korbinwas antarjenjang pemerintahan (pusatprovinsi-kabupaten/kota) selama ini tidak efektif.
Seiring dengan itu, daerah-daerah didorong
untuk melakukan kerjasama, baik antardaerah
maupun antara daerah dan pemerintah pusat dan
peningkatan kualitas pelayanan publik melalui
berbagai inovasi.
Kemendagri dengan otoritasnya bisa lebih
tegas lagi mengefektifkan PP 6/2008 (tentang
Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah) agar daerah-daerah lebih bersemangat
lagi menyukseskan otoda. Masalahnya, sejauh ini
evaluasi pemerintah pusat (melalui Kemendagri)
terhadap daerah agaknya tak cukup mendorong
daerah-daerah untuk maju. Mekanisme reward
and punishment yang seharusnya dijadikan
sebagai faktor pemantik (leverage factor) tak
digunakan secara maksimal sehingga apresiasi
terhadap daerah yang berhasil melaksanakan
best practices masih belum menyemangati
(encouraging), sementara itu pemberian penalti
terhadap daerah yang melanggar peraturan juga
kurang tegas.
224 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 213– 225 Permasalahan serius ketidakharmonisan
hubungan pusat dan daerah tak cukup dijawab
melalui perbaikan UU Pemda, tapi lebih
penting dari itu adalah adanya political will dan
political commitment dari para stakeholders
otoda untuk konsisten menjalankan amanah UU
Pemda, khususnya pasal tentang binwas dan
penguatan gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat. Pemerintah pusat harus konsisten dalam
menjalankan peraturan. Sebaliknya, pemerintah
daerah tak perlu resisten berlebihan dalam
merespons kebijakan pusat yang dianggap
merugikan. Karena itu, penting bagi masingmasing pihak untuk memperbaiki pola komunikasi,
sinergi dan koordinasi agar tercipta relasi
pusat-daerah yang harmonis. Tidak efektifnya
koordinasi, pengawasan dan pendampingan
oleh pemerintah di atasnya berpengaruh negatif
terhadap praktek pemerintahan, karena masingmasing tingkatan pemerintahan bisa jalan
menurut kehendaknya sendiri. Bila itu terjadi,
kebangsaan dan kesatuan Indonesia akan berada
di ujung tanduk dengan risiko besar yang akan
ditanggung Republik ini.
________, “Sewindu Otonomi Daerah: Evaluasi
Kritis.” Jurnal Demokrasi & HAM,.Vol. 8.
No. 1. 2008.
________, ”Relasi antara DPRD dan Kepala Daerah
Era Pilkada.” Jurnal Ilmu Pemerintahan. Edisi
40 Tahun 2013.
________, “Politik Desentralisasi: Masalah dan
Prospeknya”. Jurnal Ilmu Pemerintahan. Edisi
43 Tahun 2013.
Peraturan
PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Top 99 Inovasi Pelayanan Publik, Jakarta: KemenPAN
RB. 2014.
Referensi
Buku dan Jurnal
Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (EKPPD). Jakarta: Kementerian Dalam
Negeri RI. 2015.
Zuhro, R. Siti. “Masa Depan Otonomi Daerah dan
Integrasi Bangsa”. Jurnal Madani. No. 3. Vol.
2. 1999.
_________, ”Prospek Otonomi Daerah dalam
Kerangka Negara Kesatuan: Perjuangan
Panjang Membangun Otonomisasi”. Jurnal
Otonomi,.Vol. I No. I. October 1999.
_________, “Beberapa Pemikiran Tentang Federasi.
Kesatuan dan Demokrasi”. Jurnal Otonomi.
Vol. 1. No. 2. 2000.
_________, “Perjuangan Demokrasi melalui Pilkada:
Studi Kasus Keterlibatan Birokrasi dalam
Pilkada di Jember”. Masyarakat Indonesia.
Jakarta: LIPI, Vol. XXXI. No. 2. 2005.
Otoda dalam UU Pemda Baru ... | R. Siti Zuhro | 225 MASA DEPAN PARTAI ISLAM DI INDONESIA1
THE FUTURE OF ISLAMIC POLITICAL PARTIES IN INDONESIA
Moch. Nurhasim
Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10 Jakarta
E-mail: [email protected]; [email protected]
Abstract
The existence of Islamic political party is not just a marker of the arising of plurality politics in
this country. But, far beyond it, plurality “Keindonesiaan” means nothing without islam in the plurality
itself. Therefore, Islamic political parties remain relevant and needed, not only as a channel for the
aspirations and interests of Muslims, but also as part of plurality and “Keindonesiaan”. This study results
showed that chance of islamic ideology and Islamic political parties in the future depends on how far
the Islamic ideology can be presented to answer the problems about “Keindonesiaan” and nationality.
The opportunities of Islamic political parties could be figured out from electoral results. But, the more
fundamental point is how to improve the quality of the presence and contribution of islamic political
parties in practicing democracy more ethically, civilized, and also fair, accountable, and full of integrity.
Keywords: Democracy, Election, Islamic Political Party
Abstrak
Keberadaan partai politik Islam bukan sekedar penanda tumbuh suburnya pluralitas politik di Tanah Air. Namun
jauh dari itu, pluralitas “Keindonesiaan” tidak ada artinya tanpa ke-Islam di dalamnya. Oleh karena itu, partai-partai
Islam tetap relevan dan dibutuhkan, bukan hanya sebagai saluran aspirasi dan kepentingan umat Islam, melainkan
juga sebagai bagian dari pluralitas dan “Keindonesiaan” itu sendiri. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa peluang
ideologi Islam dan partai-partai Islam di masa depan bergantung pada sejauhmana ideologi Islam dapat dihadirkan
untuk menjawab persoalan “Keindonesiaan” dan kebangsaan. Peluang partai-partai Islam pada satu sisi dapat dilihat
dari hasil elektoral, namun pada sisi yang jauh lebih mendasar dari hal itu ialah bagaimana meningkatkan kualitas
kehadiran dan kontribusi partai-partai Islam bagi praktik demokrasi Indonesia yang tidak sekedar lebih etis dan
beradab, melainkan juga lebih adil, akuntabel, dan berintegritas.
Kata Kunci: Demokrasi, Partai Politik Islam, Pemilu
Moch. Nurhasim (Koordinator), Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sri Nuryanti, Luky Sandra Amalia, Devi Darmawan, dan Ridho
Imawan Hanafi.
1
Pendahuluan
Naik-turunnya suara partai Islam dalam setiap
pemilu menunjukkan tingkat instabilitas suara
partai Islam relatif tinggi dibandingkan dengan
partai-partai yang berideologi nasionalis atau
non-agama. Padahal, pemilih di Indonesia
sebagian besar adalah pemilih yang beragama
Islam. Namun dalam politik nyata, sepertinya ada
paradoks elektoral—antara dukungan pemilih
dengan ideologi yang diusung oleh partai. Secara
sepintas tampak bahwa pemilih yang beragama
Moch. Nurhasim (Koordinator), Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sri Nuryanti, Luky Sandra Amalia, Devi Darmawan, dan Ridho
Imawan Hanafi.
1
Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 227 Islam cenderung tidak lagi “tertarik” untuk
mendukung partai-partai politik yang mengusung
ideologi Islam atau partai-partai politik yang
menggunakan simbol-simbol agama (Islam).
Kecenderungan seperti itu sudah terjadi pada
Pemilu 1955, dan semakin jelas pada pemilupemilu di era reformasi.
Kajian ini ingin menjawab tiga pertanyaan
pokok penelitian berkaitan dengan naik-turunnya
suara partai Islam pada pemilu era reformasi,
yaitu: (1) Mengapa kecenderungan penurunan
dukungan pemilih terhadap partai Islam dari
pemilu ke pemilu di era reformasi terus terjadi?
(2) Faktor-faktor apa yang memengaruhi
volatilitas elektoral partai-partai Islam dari
pemilu ke pemilu?; dan (3) Bagaimana masa
depan partai politik Islam di Indonesia?
Partai Islam dan Volatilitas Pemilihan
Partai politik (parpol) adalah organisasi yang
memiliki ideologi dan tujuan politik 2 yang
diwujudkan dalam keikutsertaannya pada
pemilihan umum (pemilu). Parpol juga dianggap
sebagai sebuah organisasi yang memiliki
hubungan dengan pemilih. Parpol merupakan
agen perwakilan yang berinteraksi secara
langsung dengan masyarakat, menuntut dukungan
mereka, yang dipengaruhi secara langsung oleh
perubahan suara dalam suatu proses pemilihan.3
Dalam arti fungsional, parpol merupakan
alat utama dari representasi penduduk, yang
berkompetisi dalam pemilu dan dipilih oleh
pemilih berdasarkan tindakan dan kebijakan
yang mereka tawarkan.4 Parpol dianggap sebagai
aktor rasional yang bereaksi dan beradaptasi
terhadap desakan dan kesempatan yang ada
di pasar politik. 5 Organisasi, ideologi, dan
2
K.R. Luther and F Müller-Rommel, “Political Parties in a
Changing Europe”, dalam K.R. Luther and F. Müller-Rommel,
eds. Political Parties in the New Europe, (Oxford: Oxford
University Press, 2002), hlm. 3–16.
Sergiu Gherghina, Party Organization and Electoral Volatility
in Central and Eastern Europe Enhancing Voter Loyalty, (Oxon:
Routledge, 2015), hlm. 21.
3
4
Ibid.
O. Kirchheimer, “The Transformation of the Western European
Party System”, dalam J. LaPalombara and M. Weiner, eds.,
Political Parties and Political Development, (Princeton NJ:
Princeton University Press, 1966), hlm. 177–200.
5
keanggotaan serta kebijakan partai politik
dipengaruhi oleh tipe pemerintahan, sistem
pemilu, pengalaman demokrasi, 6 dan aturan
pemilu7 yang dipraktikkan oleh suatu negara.
Sebagai sebuah organisasi, parpol bersifat
dinamis dan tidak statis, mengalami perubahan
pada tingkat struktural dan institusional secara
terus-menerus sebagai dampak dari perubahan
lingkungan eksternalnya.
Partai Islam dalam riset ini merujuk pada
dua pembatasan, pertama, sebuah partai yang
menjadikan Islam sebagai asas atau ideologi
secara jelas dan tegas seperti tercantum pada
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART). Kedua, adalah partai yang tidak
mencantumkan Islam sebagai asas atau ideologi,
tetapi identitas partai tidak dapat dipisahkan
dari simbol-simbol Islam. Dari dua pembatasan
tersebut, Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah dua
partai yang secara tegas menjadikan Islam sebagai
asas atau ideologinya. Sedangkan yang termasuk
pada kategori kedua adalah Partai Amanat
Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) yang tidak menjadikan Islam sebagai
asas dan ideologi—ideologinya terbuka—tetapi
Islam tidak dapat dilepaskan sebagai bagian dari
identitas dan simbol-simbol kepartaiannya. Juga
sejarah pendiriannya yang tidak dapat dilepaskan
dari komunitas Islam, baik secara ideologi,
kultural, dan simbol-simbol keagamaan.
Volatilitas pemilihan (electoral volatility)
adalah turun naiknya perolehan suara partai
politik dari pemilu ke pemilu atau stabil-tidaknya
perolehan suara parpol dari pemilu ke pemilu.
Dalam studi tentang pemilu, volatilitas elektoral
menjadi salah satu alat yang dapat digunakan
untuk mengukur perubahan perolehan suara
partai pada dua pemilu secara berturut-turut.
Secara matematik, rumus yang biasa digunakan
adalah Indeks Pedersen. Indeks ini memang tidak
D.W. Rae, The Political Consequences of Electoral Laws,
(New Haven, CT: Yale University Press, 1971). Lihat juga, R.
Harmel dan K. Janda, Parties and Their Environments: Limits
to Reform, (New York: Longman, 1982).
6
G. Sartori, Parties and Party Systems: A Framework for
Analysis, (Cambridge: Cambridge University Press, 1976). G.
Sartori, Comparative Constitutional Engineering: An Inquiry
into Structures, Incentives and Outcomes, 2nd ed., (Basingstoke,
UK: Macmillan, 1997).
7
228 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 dapat mengungkap alasan-alasan perpindahan
suara pemilih secara individual dari satu partai ke
partai lain dalam sebuah pemilu, namun indeks
Pedersen minimal dapat mengungkap tingkat
konsolidasi atau pelembagaan sistem kepartaian,
stabilitas, stagnasi dan fluktuasi suara partai
pada dua pemilu secara berturut-turut. Pedersen
mengartikan electoral volatility sebagai “by
which will be meant the net change within the
electoral party system resulting from individual
vote transfers.” Rumus yang dikembangkan
adalah: p i,t-1 adalah sebuah persentase yang
diperoleh oleh suatu partai pada pemilu (i)
dan pada pemilu sebelumhya (t-1), sehingga
dihasilkan rumus sebagai berikut:8
Æpi,t = pi,t - pi,t- 1
Volatility (Vt) = 1/2 x TNCt
Sebagai contoh, dalam pemilu pertama,
Parpol A meraup suara 65 %, Parpol B 25% dan
Parpol C 10%. Kemudian, dalam pemilu kedua,
perolehan suara parpol A tetap 65%, Parpol B
turun menjadi 10% dan Parpol C naik menjadi
20%. Maka volatilitas partai dapat ditentukan
sebagai berikut:
Tabel 1. Contoh Menghitung Volatilitas Partai dari
Satu Pemilu ke Pemilu9
Pemilu/Partai
A
B
C
65%
25%
10%
Pemilu Pertama
65%
15%
20%
Pemilu Kedua
0
-10%
10%
Selisih
0
10%
10%
Selisih Mutlak
Volatilitas (v) = ½ (0% + 10% + 10%) = 20/2 = 10%
Mengenai rumus ini dapat dilihat pada Mogens N. Pedersen,
Excerpted from ‘The Dynamics of European Party Systems:
Changing Patterns of Electoral Volatility’, European Journal of
Political Research, 7/1 (1979), 1-26. Copyright 1979. Reprinted
with permission of Kluwer Academic Publishers.
8
Pipit R. Kartawidjaj dan M. Faishal Aminuddin, Demokrasi
Elektoral (Bagian I) Perbandingan Sistem dan Metode dalam
Kepartaian dan Pemilu, (Surabaya: Sindikasi Indonesia, 2014),
hlm. 37.
9
Dari contoh di atas terlihat bahwa penguapan
suara Partai A tidak terjadi, karena mendekati
0 persen, sedangkan Partai B kebalikannya,
kehilangan 10 persen, dan Partai C mengalami
peningkatan 10 persen. Dengan rumus itu akan
diperoleh rata-rata volatilitas pemilu pada suatu
negara. Dengan rumus ini tidak dapat menjelaskan
mengapa terjadi penguapan suara dan kenaikan
suara pada suatu partai. Rumus di atas hanya
dapat memberikan gambaran awal volatilitas
partai yang terjadi. Angka-angka tersebut tidak
dapat menunjukkan mengapa terjadi kenaikan
dan penurunan pada suatu partai dari pemilu
ke pemilu. Oleh karena itu, diperlukan konsep
volatilitas elektoral yang secara kualitatif dapat
menjelaskan turun naiknya suara partai politik
dari satu pemilu ke pemilu lainnya.
Penjelasan kualitatif juga dapat
menggambarkan masa depan partai, dilihat
dari stabilitas perolehan suara dari pemilu ke
pemilu dan stabilitas suara partai pada sistem
kepartaian serta sistem pemilu berdasarkan
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sementara
untuk mengukur tingkat volatilitas partai secara
tunggal—dapat menggunakan model volatilitas
yang dikembangkan oleh Mainwairing, di mana
volatilitas pemilihan partai dihitung dengan
menambahkan perubahan persentase (bertambah
atau berkurang) dari setiap pemilu, kemudian
dibagi menjadi dua.10 Konsep ini dapat digunakan
untuk menjelaskan eksistensi partai pada sistem
kepartaian dan pemilu berdasarkan perolehan
suara partai tersebut, apakah tergolong sebagai
partai papan atas, menengah, atau bawah.
Menurut Shergiue Ghergina, elektoral
pemilihan dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang
memiliki tingkat dominan yang berbeda-beda.
Sejumlah faktor tersebut berkaitan dengan
bekerjanya faktor internal dan eksternal partai
sebagaimana tampak pada tabel di bawah.
Dalam konteks Indonesia, perlu ada modifikasi
dan penambahan, sebab teori yang dibangun
oleh Ghergina lebih digunakan dalam melihat
perkembangan elektoral partai-partai politik di
Eropa Barat dan Tengah.
Scott Mainwaring, “Rethingking Party System Theory In
The Third Wave of Democratization: The Importance of Party
System Institutionlization, Working Paper #260 – October 1998,
Kellogg Institute, hlm. 9.
10
Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 229 Tabel 2. Modifikasi Faktor-faktor yang Memengaruhi
Elektoral Pemilihan Partai Politik11
Faktor
Internal
Partai
Variabel
Organisasi
Partai
1.
2.
3.
4.
Eksternal
Partai
Volitilitas
Sistem
Kepartaian
1.
2.
3.
Indikator
Loyalitas
Akar Sosial
Perpecahan
atau kohesi
Kinerja
elektoral partai
(jaringan
sosial, interaksi
antara partai
dengan
pemilih,
kedekatan/
jarak aktor/
kader partai
dengan
pemilih).
Sistem pemilu
Format partai
politik
Polarisasi
ideologi
Secara umum, volatilitas elektoral partai
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal
dan eksternal. Faktor internal sebenarnya
berkaitan dengan organisasi partai politik dan
faktor eksternal berkaitan dengan volatilitas
sistem kepartaian. Ghergina menyebutkan
bahwa organisasi partai dapat mengurangi atau
menambah volatilitas partai pada pemilu. Studi
yang dilakukan oleh Barelson et all 1954; Easton
1957 membahas sejauhmana partai politik dapat
menyederhanakan pilihan-pilihannya sehingga
menghasilkan simbol identitas dan loyalitas.
Sementara, Neumann 1956; Key 1964;
Borre dan Katz 1973; Rosenstone dan Hansen
1993; Dalton dan Wattenberg 2000a) menyebut
ada kesinambungan partai politik dalam pemilu,
apabila partai-partai dapat menciptakan sebuah
rantai komunikasi dengan warga. Dalam konteks
itu, stabilitas organisasi partai politik akan
memelihara preferensi pemilihan. Partai yang
memiliki stabilitas organisasi akan hadir secara
terus menerus pada arena politik dan mereka
secara jangka panjang dapat memperkenalkan
perspektif preferensinya kepada pemilih melalui
pengenalan label organisasi dan kandidatkandidat yang disiapkan.12
Simbol identitas dan loyalitas berkaitan
dengan apa yang akan dijual oleh partai-partai
politik kepada pemilih. Banyak faktor yang
berkaitan dengan hal itu, antara lain bagaimana
faktor pembelahan sosial dalam kaitannya dengan
preferensi pemilih dalam konteks sosial-politik
pada suatu negara. Teori pembelahan sosial dari
Lipset menyebut bahwa dalam sistem kepartaian,
pemilih mengidentifikasi kepentingan mereka
atas dasar posisi sosiologi masyarakat atas dasar
kelas, agama, etnik, kebangsaan, dan kota/desa.
Pembentukan partai politik juga didasari oleh
preferensi mereka atas posisi sosial tersebut
(kelas, agama, etnik atau kembangsaan dan sektor
kota/pedesaan).13
Perbedaan ideologi antara satu partai dengan
partai lainnya menurut hasil kajian Kuskridho
Ambardi dipengaruhi oleh sistem kepartaian.
Sistem kepartaian di Indonesia dalam pandangan
Ambardi dicirikan oleh beberapa hal.14 Pertama,
ideologi tidak menjadi faktor penting yang
menentukan perilaku partai. Kedua, dalam
pembentukan koalisi, tidak ada rambu-rambu
yang memandu mana yang boleh dan mana yang
tidak boleh; semua serba boleh (promicious).
Ketiga, kecenderungan untuk merangkul semua
partai ke dalam koalisi (koalisi turah) membuat
keberadaan oposisi sulit diidentifikasi. Keempat,
perilaku partai tidak ditentukan oleh hasil
menang-kalah dalam pemilu (inkonsekuensial).
Kelima, terlepas dari perbedaan identitas
normatif yang “dijual” dalam kampanye pemilu,
partai-partai cenderung bertindak sebagai satu
kelompok.
Kekaburan identitas antarpartai dan
“kekaburan” ideologi seperti disebut oleh
Ambardi, menyebabkan tidak adanya polarisasi
ideologi yang tajam antara satu partai dengan
Gherghina, “Party Organization and Electoral Volatility…”,
hlm. 6.
12
Scott Mainwaring and Mariano Torcal, “Party System
Institutionalization and Party System Theory After the Third
Wave of Democratization,” dalam Working Papar #319-April
2005, Kellogg Institute (The Helen Kellogg Institute for
International Studies), hlm. 12.
13
Peter Mair, Party System Change, Aprroaches and
Interpretations, (New York: Oxford University Press, 2002),
hlm. 28-29.
14
Gherghina, “Party Organization and Electoral Volatility…”,
hlm. 16-33.
11
230 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 partai lainnya. Perbedaan di antara partai-partai
Islam sendiri dan antara satu partai Islam dengan
partai nasionalis misalnya, turut menentukan
preferensi politik pemilih kepada partai yang
bersangkutan. Hal ini juga didorong oleh adanya
suatu kenyataan bahwa dalam perkembangan
politik di Indonesia, partai-partai sengaja
mengaburkan jenis kelamin ideologi mereka,
karena mereka meyakini bahwa proporsi pemilih
dalam garis pembelahan ideologi/budaya lebih
berdiam di tengah (bukan ekstrem kiri maupun
kanan). Pada titik inilah, mobilisasi finansial
untuk memenangkan persaingan elektoral
melalui iklan dan money politics lebih ditempuh
partai-partai ketimbang mengedepankan
tawaran ideologi dan program untuk mendekati
pemilih. 15 Kecenderungan seperti itu sudah
pernah diprediksi oleh Pedersen (1979) bahwa
volitilitas pemilu setelah 1960 lebih berakar
pada jarak sosial partai dengan pemilihnya.
Artinya, perubahan preferensi pemilihan telah
mengubah secara longitudinal dan menyebabkan
transformasi pada nilai-nilai struktur sosial.16
Dalam kaitan itu, kinerja elektoral partai
politik menjadi penting. Kinerja elektoral
mencakup sejumlah langkah atau cara yang
digunakan oleh partai-partai politik untuk
memaksimalkan jaringan yang dimiliki, membuat
branding bagi partai politiknya, dan bagaimana
partai politik melakukan interaksi dengan para
pemilihnya. Seperti telah disinggung oleh
Gherghina di atas bahwa stabilitas partai—kohesi
internal partai—di mana partai tidak mengalami
perpecahan (cleavage) yang memungkinkan
partai memiliki kinerja elektoral yang lebih
terfokus pada pemilu dan agenda pemenangan
pemilu.
Dalam kaitan itu, studi yang dilakukan oleh
Tilly dalam mengkaji pertumbuhan partai-partai
politik di Amerika Latin menyebut bahwa eksis
atau tidaknya partai politik dipengaruhi oleh tiga
Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Lembaga Survei Indonesia
(LSI) dan pengajar FISIP UIN Jakarta , “Pro-Kontra
Penyederhanaan Sistem Kepartaian”, dalam http://www.
lampungpost.com/opini/20730-pro-kontra-penyederhanaansistem-kepartaian.html, 5 Januari 2012.
15
Gherghina, “Party Organization and Electoral Volatility...,”
hlm. 15.
16
indikator utama.17 Ketiga indikator itu adalah
tingkat institusionalisasi (institutionalization),
volatilitas pemilihan (electoral volatility), dan
pilihan ideologi (ideological voting).
Studi itu menyebut bahwa sistem kepartaian
di negara-negara yang belum berkembang
menunjukkan polarisasi pelembagaan yang
disebut tidak stabil, tidak memiliki akar rumput
yang kuat, dan legitimasi yang disesuaikan oleh
aktor-aktor politik partai.18 Pada konteks pilihan
ideologi (ideological voting), berbagai literatur
perilaku memilih menggambarkan bahwa
kompetisi antarpartai lebih didominasi oleh dua
asumsi yakni berbasis program (programmatic)
atau ideologi/keyakinan pemilih (ideological
voters). Pada negara-negara yang belum maju
demokrasinya, umumnya faktor personalisasi
begitu besar dan menonjol. Perilaku pemilih lebih
didasari pada pengaruh personal atau figur dalam
menentukan pilihan-pilihannya.19
Sementara partai yang mengarah moderen,
pengaruh figur atau orang makin mengecil dan
institusi partai (kelembagaan dan pelembagaan
partai) menjadi lebih kuat. Dalam konteks
kelembagaan dan pelembagaan partai, pengaruh
kepemimpinan pada organisasi partai juga turut
menentukan. Apakah partai mengembangkan
kepemimpinan yang sifatnya personal dengan
ciri loyalitas yang bersandar pada orang ataukah
kepemimpinan partai lebih didasarkan pada
prinsip-prinsip organisasi yang modern, di mana
seorang pemimpin adalah manajer yang akan
membawa roda organisasi sesuai dengan AD/
ART. Sumber daya untuk mengisi kepemimpinan
partai juga tersedia dari pusat hingga daerah.
Dalam hal itu, seorang pemimpin perannya
memang penting, tetapi tidak membayangi partai
dan loyalitas lebih didasarkan pada institusi dan
bukan personal.
Selain sejumlah faktor yang telah disebut
di atas, khususnya faktor internal dan eksternal,
faktor lain yang juga memiliki pengaruh pada
masa depan suatu partai politik adalah sistem
Scott Mainwaring dan Timothy R Scully, Building
Democratic Institutions: Party Systems in Latin America,
(Stanford, California: Stanford University Press, 1995), hlm. 5.
17
18
Mainwaring, “Party System Institutionalization...”, hlm. 4-14.
Mainwaring, “Party System Institutionalization...”, hlm.
18-19.
19
Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 231 pemilu dan demokratisasi. Michael Gallagher
dan Paul Mitchell menyebut bahwa sistem pemilu
membuat perbedaan yang besar atas bentuk
sistem kepartaian, bentuk pemerintahan (apakah
koalisi atau partai tunggal).20
Disamping itu, berbagai macam pilihan
dalam menghadapi pemilih dalam pemilu,
kemampuan pemilih untuk pertahankan
akuntabilitas keterwakilan personal mereka,
perilaku angota parlemen, seberapa banyak
parlemen berisi orang-orang yang cakap,
seberapa jauh demokrasi dan kohesi di dalam
partai politik, kualitas pemerintahan dan tentu
saja kualitas hidup masyarakat yang diatur oleh
pemerintahan tersebut.21
Pengaruh sistem pemilu pada demokratisasi
dan kohesi di dalam partai politik salah satunya
ditentukan apakah sistem kepartaian dan pemilu
dapat mendorong proses-proses yang demokratis
dalam mengatur pelbagai kepentingan dalam
proses pencalonan, penempatan, dan rekrutmen
kader-kader partai pada pemilu. Andrew
Reynold22 menyebut bahwa sistem pemilu akan
mendorong partai politik bekerja lebih baik.
Sistem pemilu yang baik akan mendorong partai
politik untuk memperbaiki organisasi internalnya,
lebih memperhatikan isu-isu masyarakat, dan
bekerja untuk para pemilihnya.
Pada dasarnya, sistem pemilu adalah suatu
instrumen untuk mengagregasikan prefensi
pemilih dan mengubahnya ke dalam hasil
pemilihan, dan tidak ada sistem dapat melakukan
ini sebagai suatu penerjemah pasif kehendak
individual ke dalam suatu pilihan kolektif. Setiap
sistem pemilu memiliki bias yang terbentuk
ke dalam mekanisme keputusannya, dan ini
kemudian berbalik ke dalam struktur keputusan
yang membenturkan pemilih, membandingkan
dan mengubah pilihan-pilihan yang mungkin
mereka buat di bawah sistem lainnya.
Muhammad Asfar (ed.), Model-model Sistem Pemilihan di
Indonesia, Surabaya: Pusat Studi Demokrasi dan HAM bekerja
sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia,
2002, hlm. 4.
Konsekuensinya, tidak hanya terdapat
refleksi yang tidak sempurna atas preferensi
pemilih dalam contoh pertama, tetapi preferensi
pemilih itu terbentuk oleh sistem pemilu.
Preferensi tidak dan tidak dapat hadir secara
independen. Sistem pemilu juga membentuk dan
membatasi jalan di mana politisi dan konstituen
bertindak atau berperilaku, tetapi sistem tersebut
hanya sebagian kecil dari kekuatan yang
mempengaruhi konstelasi keseluruhan dari
perilaku, bahkan perilaku politik.
Stagnasi, Stabilisasi dan Fluktuasi
Volatilitas Elektoral Partai Islam
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, blok
partai Islam pernah memperoleh dukungan
yang signifikan pada Pemilu 1955. Partai
Islam memperoleh dukungan kurang lebih
43,9%,23 dengan total kursi sebanyak 116 kursi.
Perolehan suara blok partai Islam itu lebih tinggi
dibandingkan dengan blok suara partai nasionalis,
dan sosialis (komunis). Walaupun suara blok
partai Islam tinggi, bukan berarti secara politik
suara mereka sama, karena antarblok partai Islam
sendiri sering terjadi pertentangan dan gesekan
politik, dengan agenda politik yang tidak sama.
Perkembangan partai-partai Islam
selanjutnya di masa Orde Baru—nyaris
“tenggelam,” tidak bisa berkembang secara
optimal karena tekanan dan intervensi Orde Baru.
Kebijakan penyederhanaan partai melalui fusi
partai politik pada 1973 menyebabkan blok partai
Islam yang tumbuh di era pemerintahan Orde
Lama, dikerdilkan melalui pengelompokkan
dengan lahirnya Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan blok partai nasional melalui Partai
Demokrasi Indonesia.
20
Muhammad Asfar (ed.), “Model-model Sistem Pemilihan...,”
hlm. 4.
21
Andrew Reynolds, “Merancang Sistem Pemilihan Umum”
dalam Juan J. Linz, et.al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat:
Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain, Bandung: Mizan,
2001, hlm. 102.
22
Gabungan perolehan suara antara Masyumi (20,9%), NU
(18,4%), PSSI (2,9%), Perti (1,3%) PPTI (0,2%), dan AKUI
(0,2%). Tentang kegagalan partai Islam dalam Pemilu 1999,
lihat misalnya, Syamsuddin Haris, “Politicization of Religion
and the Failure of Islamic Parties in the 1999 General Election”,
dalam Antlov dan Cederroth, ed, Election in Indonesia: The New
Order and Beyond, (London and New York: RoutledgeCurzon,
2004), hlm. 77-110.
23
232 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 Grafik 1. Perolehan Suara Golkar, PPP, PDI pada PemiluPemilu Orde Baru
Sumber: diolah dari data KPU oleh tim peneliti.
Di era reformasi, blok partai (Islam dan
Nasionalis) yang dikubur dan diharamkan oleh
Orde Baru tumbuh kembali seiring dengan
dibukanya kebebasan berserikat dan berkumpul,
khususnya untuk mendirikan partai politik
menjelang Pemilu 1999—pemilu pertama era
reformasi. Tercatat 19 partai Islam yang ikut
menjadi peserta pemilu dengan perolehan suara
37,59 %, sedangkan blok partai nasionalis
sebanyak 29 partai dengan perolehan suara
62,41 persen. Perolehan blok partai Islam di era
reformasi cenderung fluktuatif, dengan perolehan
dukungan paling tinggi sebanyak 38,54 persen
pada Pemilu 2004. Penurunan drastis terjadi pada
Pemilu 2009 dan Pemilu 2014.
Tabel 3. Perbandingan Jumlah Parpol dan Perolehan
Suara Blok Partai Islam dan Nasionalis pada PemiluPemilu Era Reformasi
Pemilu
1999
2004
2009
2014
Partai Islam
Jumlah
parpol
peserta
pemilu
19
7
9
5
Perolehan
suara
(%)
37,59
38,54
25,94
31,39
Partai Non-Islam
(Nasionalis)
Jumlah
Perparpol
olehan
peserta
suara
pemilu
(%)
29
62,41
17
61,46
35
74,06
7
68,61
Sumber: diolah dari berbagai sumber oleh tim
peneliti.
Dari empat partai Islam yang memiliki kursi
di DPR dan lolos electoral threshold (ET) dan/
atau parliamentary threshold (PT) sejak Pemilu
1999 hingga Pemilu 2014 yaitu PPP, PKB, PAN
dan PK/PKS, ada kecenderungan pola dukungan
pemilih terhadap blok partai Islam semakin
menurun. Dukungan paling signifikan pemilih
terhadap blok partai Islam terjadi pada Pemilu
1999. Selebihnya, dukungan pemilih dari pemilu
ke pemilu (1999 ke 2004; dan 2004 ke 2009)
terhadap blok partai Islam terus mengalami
penurunan. Kenaikan signifikan dialami oleh
PKS pada Pemilu 2004, dengan memperoleh
suara sebesar 7,20 persen (meingkat 5,85%).
Gambaran sebaliknya terjadi peningkatan relatif
sedikit dukungan terhadap partai-partai Islam
(PPP, PKB dan PAN) pada Pemilu 2014, tetapi
PKS justru mengalami penurunan.
Grafik 2. Perolehan Suara PPP, PKB, PAN, dan PKS
pada Pemilu Reformasi
Sumber: diolah dari data KPU oleh tim peneliti.
Tabel 4. Perolehan Suara PPP, PKB, PAN, dan PKS
pada Pemilu Reformasi
Parpol
PPP
PKB
PAN
PK/PKS
1999
10,71
12,60
7,11
1,35
Pemilu
2004 2009
8,16
5,33
10,61 4,95
6,41
6,03
7,20
7,89
2014
6,53
9,04
7,57
6,79
Dari perolehan suara partai-partai Islam
di atas, PPP tampaknya terus mengalami
penurunan suara, kalau pun terjadi kenaikan
dukungan “sangat sedikit.” Ada gejala bahwa
PPP mengalami stagnasi elektoral, pada kisaran
angka dukungan antara 5-6 persen. Sementara
itu, PAN relatif mengalami tingkat stabilitas yang
lebih baik ketimbang PPP, karena kecenderungan
perolehan suaranya antara 6-7 persen. Demikian
pula dengan PKS, besaran dukungannya antara
6-8 persen. PKB yang relatif mengalami fluktuasi
dukungan dengan jarak yang relatif tinggi,
khususnya pada Pemilu 2004 ke Pemilu 2009
dan dari Pemilu 2009 ke Pemilu 2014.
Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 233 Kalau dihitung dengan rumus volatilitas
elektoral (Ve), dengan menggunakan indeks
Pedersen (lihat lampiran), menunjukkan bahwa
Ve Blok partai Islam pada Pemilu 1999 dengan
Pemilu 2004 adalah Ve yang paling tinggi,
sebesar 9,43%, sedangkan pada Pemilu 2004
ke Pemilu 2009 sebesar 7,36% dan dari Pemilu
2009 ke Pemilu 2014 sebesar 5,58%. Tingkat
volatilitas blok partai Islam ini memang kecil
dibandingkan dengan dengan tingkat volalititas
pemilu-pemilu di Indonesia, di mana Ve pemilu
di era reformasi berkisar antara 27-29 persen.
Data Ve blok partai Islam di atas memperlihatkan
bahwa tingkat rata-rata Ve blok partai Islam
antara 5-9 persen. Artinya tingkat kemungkinan
naik turunnya suara partai blok Islam paling
tinggi tidak akan melebihi 9 persen, dan paling
rendah 5 persen.
Sementara itu kalau dilihat dengan Ve
masing-masing partai Islam dengan menggunakan
rumus Scott Mainwaring, tampak bahwa PPP,
PAN dan PKS memiliki kecenderungan Ve
yang kecil (<1%), dibandingkan dengan PKB
yang jarak Ve dari pemilu ke pemilu relatif
besar (antara 1,5-2,5 persen). Dari data Ve blok
partai Islam dan masing-masing partai Islam
menunjukkan bahwa tingkat kemungkinan Ve
partai Islam sebenarnya tidak akan lebih dari 5
persen.
volatilitas yang lebih kompleks, pada satu sisi
bisa secara fluktuatif menurun tajam—mana
kala terjadi konflik atau kerapuhan internal, dan
cenderung stabil atau meningkat manakala terjadi
konsolidasi politik, atau tetap memiliki hubungan
yang baik dengan NU.
Volatilitas elektoral partai-partai Islam
juga menunjukkan bahwa mereka relatif
memperebutkan basis massa yang tidak terlalu
berbeda (“Umat Islam”) dengan tingkat kompetisi
yang relatif mirip. Artinya, partai-partai Islam
cenderung memperebutkan basis masa yang
cenderung identik.
Hal itu tampak dari perbadingan sebaran
perolehan kursi partai Islam pada Pemilu
2009 dan 2014—yang tidak terlalu mengalami
perubahan sumber daerah pemilihan yang
memberikan kontribusi dukungan suara dan
kursi.
Tabel 6. Perbandingan Sebaran Perolehan Kursi
Partai Islam Pemilu 2009
Tabel 5. Ukuran Volatilitas Elektoral Partai Islam
(PPP, PKB, PAN, PKS)
Par Pol
Pemilu
2004
Selisih
Mutlak
Ve
(di
bagi 2)
Pemilu
1999
2004
2009
2014
PPP
10,71
8,16
2,55
1,275
5,33
6,53
Seli
sih
Mut
lak
1,2
Ve
(di
bagi
2)
0,6
PKB
12,6
10,61
1,99
1,56078
4,95
9,04
4,09
2,045
PAN
7,11
6,41
0,7
0,4485
6,03
7,57
1,54
0,77
PK/
PKS
1,35
7,2
5,85
2,925
7,89
6,79
1,1
0,55
11,09
5,5
7,93
3,95
Sumber: diolah oleh tim dari data perolehan kursi blok
partai Islam berdasarkan Dapil pada Pemilu 2009.
Sumber: diolah oleh tim dengan menggunakan rumus Scot
Mainwairing.
Kecenderungan volatilitas elektoral di atas
menunjukkan bahwa PPP, PAN dan PKS relatif
tidak memiliki faktor yang dapat melonjakkan
perolehan suaranya dibandingkan dengan PKB.
Artinya ada kecenderungan kuat bahwa PPP,
PAN dan PKS relatif akan memperoleh dukungan
pada kisaran suara antara 5-7 persen. Sementara
itu, PKB yang relatif mempunyai faktor elektoral
234 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 Tabel 7. Sebaran Perolehan Kursi Partai Islam pada
Pemilu 2014
Sumber: diolah oleh tim dari data perolehan kursi blok
partai Islam berdasarkan Dapil pada Pemilu 2014.
Kompetisi partai-partai Islam cenderung
berada pada daerah pemilihan yang terpusat di
Jawa, dan sebagian kecil di luar Jawa Kawasan
Indonesia Barat. Sementara tingkat dukungan
di daerah-daerah pemilihan Luar Jawa Kawasan
Indonesia Timur relatif masih sangat rendah.
Faktor yang Memengaruhi Volatilitas
Elektoral Partai Islam
Secara umum, hasil kajian ini menemukan tiga
pola volatilitas elektoral partai-partai Islam, yaitu
stagnan, stabil dan fluktuatif. Stagnasi elektoral
misalnya terjadi pada PPP. Ada sejumlah faktor
yang menjadi penyebabnya, antara lain, pertama,
PPP –memiliki usia jauh lebih tua dibandingkan
dengan partai-partai Islam lainnya seperti PKB,
PAN, dan PKS. Walau demikian, PPP justru
tidak bisa keluar dari perangkap ideologi Islam
yang diusungnya. PPP mengalamai “kegalauan
ideologi,” akibat tidak berhasil menerjemahkan
Islam sebagai ideologi yang menarik bagi para
pemilih. Problem ideologi yang diterapkan oleh
PPP dan beberapa partai Islam lainnya seperti
PKS, justru menyebabkan dilema elektoral. PKS
dapat disebut sebagai satu di antara partai Islam
yang relatif berhasil menerjemahkan ideologi
dalam organisasi partai dan kadernya.
Islam sebagai ideologi dan identitas simbolik,
diterjemahkan sebagai ideologi organisasi
dan dipraktikkan oleh kader-kadernya dalam
kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, dari
sisi integritas dan moralitas justu ada paradoks,
di mana perilaku sebagian kadernya dianggap
“kurang Islami,” akibat beberapa kadernya terjerat
persoalan korupsi dan lainnya. Hal itu yang justru
menyebabkan para simpatisan PKS (pemilih)
pada Pemilu 2004 tidak dapat dipertahankan.
Simpatisan PKS justru “meninggalkan” PKS
pada Pemilu 2009 dan 2014. PKS kehilangan
branding sebagai partai bersih.
Sementara itu, PKB dan PAN,24 dua partai
yang ideologi dan asasnya terbuka (tidak
berideologi Islam) secara politik elektoral juga
mengalami masalah yang relatif sama. Tidak
terlalu ada pengaruh “keterbukaan ideologi”
PAN dan PKB sebagai magnet untuk mendulang
suara. PKB dan PAN masih dianggap sebagai
partai yang lekat dan dekat dengan simbol-simbol
Islam. Kedekatan emosional dan historis antara
PKB dengan NU yang melahirkannya, dan PAN
dengan sebagian besar kader Muhammmadiyah,25
relatif menguntungkannya. PKB dan PAN relatif
memiliki kader yang lebih jelas ketimbang PPP.
Sementara PKS mencoba menampung aspirasi
politik umat Islam yang tidak NU dan tidak
Muhammadiyah, tetapi lebih didukung oleh
gerakan tarbiyah yang berkembang di kampuskampus pada era 1980-an.
Secara kinerja elektoral, PKB tetap bertumpu
pada figur Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Garis
kebijakan PKB dalam kinerja elektoral dilakukan
dengan cara tetap mempertahankan peran tokoh
sentral Gus Dur sebagai magnet politik untuk
memperoleh dukungan pemilih dari kalangan
NU. Bagi PKB, figur Gus Dur adalah figur yang
PAN merupakan partai politik yang berasaskan Pancasila.
Identitasnya bersumber dari asas partai yang terpantul
dari keterkaitannya pada moral agama yang menghargai
harkat kemanusiaan dan kemajemukan sosial kutural dalam
memperjuangkan kedaulatan rakyat, keadilan sosial dan
kehidupan yang cerdas. PAN juga bersifat terbuka dan mandiri,
dalam arti terbuka bagi warga negara Indonesia yang berasal
dari berbagai pemikiran, latar belakang etnis dan agama, juga
gender. Bambang Setiawan dan Bestian Nainggolan (Ed),
Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 20042009, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 233.
24
PAN dideklarasikan pada 23 Agustus 1998. Dalam platform
yang disusun ketika itu, partai ini bertugas memperjuangkan
kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan dan keadilan sosial.
Cita-cita partai berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan
kemajemukan. Sedangkan prinsip yang dianutnya adalah
nonsektarian dan nondiskriminatif.
25
Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 235 tetap erat hubungannya dengan PKB, dan Gus
Dur merupakan salah satu faktor untuk menarik
kembali masa Islam yang dahulu loyal kepada
Gus Dur untuk kembali memilih PKB. PKB tetap
mengandalkan pola vote getter, di mana tokohtokoh kiai atau keluarga kiai melalui jaringan
pesantrennya tetap dijadikan sebagai pendulang
suara yang paling dominan. Hubungan itu dirajut
dengan memperbaiki silaturahmi politik antara
PKB dengan NU, baik secara kultural maupun
struktural.
Visi PKB yang relatif “disamakan” dengan
visi ideologis NU, termasuk perubahan struktur
organisasi yang dilakukan oleh Muhaimin
Iskandar adalah satu cara untuk tetap memelihara
kedekatan PKB dengan NU. Upaya itu dilakukan
untuk mengembalikan lumbung suara PKB yang
hilang pada Pemilu 2009, akibat konflik internal
PKB yang berkepanjangan.
Secara ideologis memang ada proses
sekularisasi pada PKB. PKB menerapkan
ideologi secara longgar dan terbuka dengan
harapan dapat menarik dukungan pemilih yang
lebih luas, khususnya konstituen di luar pemilih
NU yang berada di luar garis ideologi ke-NU-an
dengan melakukan gerakan-gerakan sekulernasionalis di satu sisi, dan di sisi lain tetap
mempertahankan basis dukungan pesantren. PKB
juga menjalankan strategi ganda yaitu dengan
memaksimalkan fungsi sayap-sayap partai,
seperti sayap legislatif , sayap eksekutif nasional,
sayap eksekutif daerah. Pilkada-pilkada yang
di gelar di daerah-daerah dengan mendorong
kader-kader ataupun non-kader yang menjadi
simpatisan PKB menjadi motor pendongkrak
suara partai. Perekrutan berbagai kalangan
termasuk artis juga dilakukan oleh PKB dalam
pemilu 2014. Tercatat ada Krisna Mukti dan
Arzetty, yang berhasil menjadi anggota DPR RI
2014-2019.
Sementara itu ada beberapa artis lain
yang meraup perolehan suara kurang lebih
35.000 suara, namun tidak lolos ke Senayan.
Walaupun tidak lolos, jumlah suara yang
dikumpulkan tetap memiliki arti bagi PKB.
PKB juga mengoptimalkan peran Raja Dangdut
Rhoma Irama yang digadang-gadang menjadi
Calon Presiden RI ke 7 dari PKB, dianggap turut
mendorong kenaikan suara PKB pada Pemilu
2014. Model kampanye yang berbasis hiburan
dengan menempatkan juru kampanye Raja
Dangdut dan artis sekelas Ahmad Dani, Mahfud
MD mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, hingga
Rusdi Kirana Direktur Utama maskapai Lion
Air, dan lain-lain, dianggap memiliki pengaruh
terhadap perolehan suara PKB.
Relatif sama dengan PKB, PAN tetap
mempertahankan figur Amien Rais (AR) sebagai
salah satu magnet untuk memperoleh dukungan
dari kader dan pemilih Muhammadiyah.
Sementara dari sisi ideologi, di mana PAN
menetapkan ideologi dan asas partai yang bukan
agama, tetapi identitas partai yang inklusif, bukan
tanpa resiko. Resiko positifnya, seperti dicatat
dalam laporan Tempo ketika awal kehadiran
PAN (5-11 Januari 1999), bahwa pilihan itu
akan memungkinkan terjadinya perluasan basis
suara PAN yang semula diperkirakan akan hanya
terbatas pada basis kelompok tertentu, seperti
Muhammadiyah.
Dengan ideologi yang inklusif, PAN
mengharapkan akan memperoleh dukungan
pemilih yang lebih luas. Pilihan itu bukan tanpa
resiko. Resiko negatifnya, PAN bisa kehilangan
sebagian pendukung dari Muhammadiyah.
Kemungkinan lain yang dihadapi PAN misalnya,
sejumlah warga Muhammadiyah bisa lari
meninggalkan PAN begitu partai ini memutuskan
untuk menjadi partai yang inklusif. Identitas
seperti itu sebenarnya bisa menjadi modal
politik bagi PAN untuk mendapatkan kontinuitas
dukungan di masyarakat. Tinggal bagaimana
dengan karakter partai yang terbuka tersebut
PAN dapat melakukan perluasan dukungan dari
pemilu ke pemilu. Salah satu ciri karakter politik
elektoral di Indonesia umumnya menyukai sifat
yang moderat atau inklusif. Maka semakin partai
politik menunjukkan bahwa kemoderatannya
atau inklusif semakin mereka berpeluang meraih
suara.
Untuk memperoleh itu, rancang bangun
struktur organisasi PAN ini disusun dengan
mengkombinasikan beberapa standar organisasi
yang telah ada dan menyesuaikannya dengan
kebutuhan partai. Struktur organisasi didesain
agar target dan program partai bisa berjalan lancar
serta dapat mengakomodasi semua kepentingan
dan gagasan. Namun dalam perkembangannya,
236 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 justru perbedaan itu mulai berubah, karena
ternyata dalam pengisian kepengurusan PAN
selanjutnya, sebagian besar mereka yang duduk
dalam jajaran kepengurusan pernah aktif dan
dikenal sebagai tokoh dari Muhammadiyah, yang
memang memiliki keterkaitan historis dengan
PAN.
Hal ini justru menegaskan kedekatan secara
politik partai ini dengan partai-partai yang
secara tegas menyatakan diri sebagai partai
Islam. Namun demikian, PAN tetap memberi
ruang yang lebih lebar dan luas pada generasi
muda untuk duduk dalam kepengurusan partai
sebagai proses regenerasi dan kaderisasi. Pada
derajat tertentu, organisasi partai juga mulai
didorong untuk berubah, di mana kepemimpinan
yang awalnya pada figur diubah ke institusi.
Walaupun ada ruang yang luas dan lebar pada
masuknya generasi muda dan sejumlah tokoh
pada struktur PAN, namun sisa-sisa personifikasi
beberapa sosok yang pernah memimpin PAN
masih terasa. Pengaruh besar Amien Rais di
PAN tidak bubar, masih tetap memiliki pengaruh
pada perkembangan PAN baik secara organisasi,
ideologi, dan garis kebijakan partai. PAN seperti
juga partai Islam lainnya, tidak terbebas dari
faksi-faksi yang diakibatkan oleh perbedaan
dalam memahami Islam dan politik, meskipun
faksi-faksi tersebut belum menimbulkan konflik
terbuka. PAN relatif memiliki tingkat kohesi
internal partai yang lebih baik ketimbang PPP
dan PKB, karena mereka mengelola perbedaan
yang disadari sejak awal sebagai unsur penopang
pendirian PAN.
Secara garis besar ada empat faksi menonjol di
PAN, yaitu: pertama, mereka yang berpandangan
atau kelompok moderat terlihat pada Amien Rais,
M. Amin Azis, Muhammad Siswosoedarmo,
dan Abdillah Toha. Kubu kedua, adalah mereka
yang berideologi sosial demokrat. Representasi
kubu ini umumnya dari mereka yang berlatar
belakang akademisi atau pegiat LSM, seperti
Faisal Basri, Toety Heraty, M. Dawam rahardjo,
Syamsurizal Panggabean, Sandra Hamid, Taufik
Abdullah. Ketiga, kelompok minoritas non-Islam
yang selalu memperjuangkan ide-ide pluralisme.
Kelompok ini dihuni seperti Th. Sumartana dan
Sindhunata. Kelompok keempat, kubu Islam
ideologis yang dipelopori oleh AM. Fatwa yang
termasuk dalam kelompok ini adalah tokoh-tokoh
terkemuka Muhammadiyah.26
PPP sebagai partai Islam—pada konstelasi
pemilu di era reformasi—relatif tidak menjadi
wadah politik NU baik secara struktural maupun
kultural. Kader-kader NU memang tetap sebagian
besar di PPP—tetapi dalam realitasnya, kaderkader NU yang tidak terpakai di PKB dan kader
MI yang tidak di PAN, alternatifnya ke PPP atau
ke partai-partai nasionalis lainnya.
Dari akar historis, PPP sebenarnya memiliki
dukungan yang masih cukup kuat dari kaderkader Parmusi, yang sebagian besar merupakan
pendukung setianya sejak pemilu di masa
Orde Baru hingga masa reformasi. Perolehan
suara PPP 10,71 persen tampaknya tidak dapat
bertahan lama, karena pada pemilu selanjutnya,
Pemilu 2004, justru suara PPP turun 2,5 persen.
Demikian pada pemilu berikutnya, pada Pemilu
2009 suara PPP turun 2,83 persen, sebagai
penurunan suara yang paling signifikan.27
Nasib PPP agak beruntung karena pada
Pemilu 2014, perolehan suara PPP mengalami
kenaikan 1,2 persen. Salah satunya dianggap
sebagai keberuntungan, karena beberapa partai
Islam seperti PKNU gagal sebagai peserta
pemilu. Penurunan itu juga dikarenakan PPP
mengalami perpecahan menjelang Pemilu 2004.
Saat kepemimpinan PPP di bawah Hamzah Haz
(1998-2003 dan 2003-2007) sengketa internal
terjadi. K.H. Zainuddin MZ yang kecewa
bersama dengan beberapa tokoh PPP lainnya
mendirikan PPP Reformasi. Partai tersebut
kemudian berubah nama menjadi Partai Bintang
Reformasi (PBR) pada 2003.
Secara umum, stagnasi perolehan suara PPP
disebabkan oleh faktor internal dan ekternal.
Salah satu faktor yang menjadi perdebatan
tidak bekerjanya volatilitas elektoral PPP atau
partai-partai Islam lainnya adalah sejauhmana
pengaruh ideologi Islam dapat menjadi magnet
bagi PPP untuk memperoleh dukungan dari
pemilih yang beragama Islam. Lebih dari itu
bagaimana ideologi Islam dan simbol Ka’bah
26
Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto,
(Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 155.
Tantangan yang dihadapi oleh PPP ini dapat dilihat pada Abul
Aziz, Politik Islam Politik: Pergulatan Ideologis PPP Menjadi
Partai Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 2-5.
27
Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 237 yang diusung oleh PPP mampu menembus
batas psikologis pembelahan sosial pemilih di
Indonesia. Atau unsur-unsur PPP manakah yang
mampu menjadi daya tarik sehingga pemilih rela
untuk memberikan suaranya.
PPP juga mengalami disorientasi ideologi.
Hal itu mengingatkan pada kasus yang hampir
sama di masa lalu, ketika PPP mengalami
kekaburan ideologi sejak Muktamar I Tahun
1984. Pada Muktamar I tersebut, PPP secara
resmi menanggalkan asas Islam dan lambang
Ka’bah menjadi berasaskan Pancasila dan
bintang dalam segi lima. Kekaburan ideologi
bahkan keinginan untuk meninggalkan ideologi
Islam. PPP justru ingin dibawa ke ideologi
“tengah” antara Islam dan Nasionalis yang tidak
tegas. PPP relatif gamang menghadapi perubahan
politik di era reformasi, sejak sebagian tokohtokoh NU yang dimotori oleh K.H. Abdurrahman
Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa
dan sebagian besar warga Muhammadiyah
terlibat dalam kelahiran Partai Amanat Nasional.
Persoalannya, ideologi Islam seperti
apa yang yang hendak dikembangkan dan
diimplementasikan oleh PPP dalam konteks
ke-Indonesiaan yang sedang berubah. Problem
ini yang belum tuntas diselesaikan oleh PPP.
PPP relatif gagal menerjemahkan ideologi Islam
dalam konteks organisasi dan Islam sebagai
ideologi yang membumi. PPP juga relatif
mengalami persoalan dalam membedakan dirinya
dengan partai-partai Islam lainnya seperti PKB,
PAN, dan PKS dalam mendiferensiasi Islam
sebagai sebuah ideologi.
PPP juga belum bisa keluar dari pola
pengembangan partai yang sifatnya tradisionalis,
mengandalkan jaringan Islam lama, mendekati
tokoh-tokoh keagamaan yang memiliki pengaruh,
menggunakan keturunan kyai kharismatik. PPP
juga belum bisa keluar dari dua basis utama umat
di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah—
walau yang di Muhammadiyah sangatlah
sulit untuk menyebut mendukung PPP, karena
sebagian pilihan pemilihnya sudah berpindah
secara variatif, sebagian ke PAN, sebagian ke
partai nasional dan partai Islam lainnya.
Naik turunnya suara PPP juga dipengaruhi
oleh arah pengelolaan partai yang tidak
jelas dalam mengemas ideologinya untuk
diperkenalkan kepada masyarakat. Kegagalan
dalam mengelola sumber daya internal (kader)
dan material menjadi salah satu sebabnya. Hal itu
salah satunya dipengaruhi oleh ketidakberdayaan
partai untuk memberikan insentif substantif
kepada para anggotanya.
Kebanyakan dalam konteks Indonesia,
orang tertarik menjadi anggota partai karena
berharap memperoleh pekerjaan. Orang masuk
ke partai politik untuk bekerja bukan orang
masuk ke partai politik untuk menjadi aktivis
politik. PPP terjebak pada arus politik lama yang
cenderung “tradisionalis.” Pengelolaan partai
politik mengandalkan jalur kekerabatan politik
dan unsur-unsur lama kader militannya. PPP
juga terjebak pada situasi politik yang sedang
berubah yang menuntut “perbedaan” antara partai
yang tumbuh di era Orba dengan era Reformasi.
Perubahan formulasi sosial umat Islam dalam
konteks politik tidak diantisipasi dengan baik.
PPP justru kurang berhasil mendekati formulasi
sosial umat Islam yang baru yang memerlukan
ruang berekspresi secara politik.
PPP juga kesulitan mengembangkan
pengaruh sayap partai. Tidak terlalu terjadi
pergeseran yang signifikan antara sebaran
dukungan PPP pada masa Orba dan masa
reformasi. Pada Pemilu 1977, pemilu pertama
era Orba sejak fusi 1973, PPP memperoleh kursi
di 22 provinsi waktu itu. Dukungan politik pada
PPP relatif tidak mengalami perubahan secara
signifikan dari pemilu-pemilu masa Orba hingga
reformasi.
Pada pemilu di era reformasi, pola dukungan
terhadap PPP justru cenderung mengalami
penurunan dari waktu ke waktu. Dari segi
dukungan wilayah, gambaran di atas menegaskan
temuan Anis Bawesdan yang menyebut adanya
korelasi signifikan antara dukungan untuk partai
Islam di setiap Kota dan Kabupaten selama
dua pemilu. Pola dukungan politik terhadap
PPP secara garis besar dapat digarisbawahi
bahwa unsur-unsur pendukung lama, khususnya
sebagian besar unsur Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi) kemungkinan besar masih menjadi
mesin PPP dalam mempertahankan suaranya
pada pemilu. Di era reformasi, Parmusi—meski
beberapa kadernya sempat kecewa dengan
kepemimpinan Hamzah Haz dan Suryadharma
238 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 Ali, namun secara umum unsur Parmusi dapat
disebut masih memberi kontribusi yang relatif
besar pada PPP ketimbang ketiga unsur lainnya
khususnya NU dan Muhammadiyah.
Beberapa kecenderungan faktor elektoral
yang terjadi pada partai-partai Islam di atas,
juga dialami oleh Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). PKS merupakan metamorfosa dari Partai
Keadilan (PK), yang didirikan oleh para anak
muda mantan aktivis Islam dikampus dan masjid.
Bagi para pendirinya, PK bukanlah partai politik
an sich, tetapi lebih dari itu, ia juga bagian dari
dakwah.
Secara historis, Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan
(PK) yang dibentuk pada tahun 1998. Bila
dilihat dari latar belakang kemunculannya,
pendirian PK merupakan respon konkret para
aktivis dakwah kampus yang memanfaatkan
momentum reformasi pasca berakhirnya rezim
orde baru. Para aktivis dakwah kampus tersebut
tergabung dalam gerakan dakwah kampus yang
popular disebut gerakan tarbiyah,28 yang secara
aktif mereka mengkaji Islam serta berusaha
mengaplikasikannya dalam kehidupan seharihari. Masjid kampus adalah basis yang dijadikan
benteng pertahanan sekaligus basis gerakan.
Gerakan itu menyebar di kampus-kampus dan
masyarakat umum, terutama lebih menonjol
pada kampus-kampus besar seperti Universitas
Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung
(ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan
Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS).
Para perintis dari beberapa kampus besar pada
gerakan ini pun juga mengajak para mahasiswa
yang dikadernya untuk mewujudkan Islam secara
kaffah (menyeluruh) dan secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Gerakan tarbiyah merupakan gerakan yang mengedepankan
aspek pendidikan atau pembinaan jamaah dengan mengacu
pada marhalah dakwah yang ditempuh Rasulullah, berusaha
mengaplikasikan Islam secara menyeluruh (kaffah),
komprehensif (syamil), dan manusiawi (insani). Gerakan
Tarbiyah itu terdiri dari lima elemen penting: pertama, DDII
(Dewan Dakwah Islam Indonesia) yang merupakan transformasi
dari Masyumi dengan tokoh utamanya adalah Mohammad
Natsir. Kedua, elemen jaringan dakwah kampus (LDK) sebagai
tulang punggung Tarbiyah dan sekolah (ROHIS). Ketiga,
elemen para alumnus perguruan tinggi luar negeri, khususnya
Timur Tengah. Keempat: para aktivis ormas Islam maupun
kepemudaan Islam. Kelima, para da’i lulusan pesantren.
28
Sebagai partai politik, perolehan suara PKS
relatif tidak beranjak sebagai partai menengah,
dengan jarak perolehan suara berkisar antara 6-7
persen. Sebagai partai yang relatif baru, perolehan
suara PK tersebut tergolong cukup signifikan,
mengingat ia merupakan sebuah partai baru yang
dipimpin oleh anak muda yang tidak memiliki
hubungan geneologis dengan partai-partai Islam
sebelumnya, maupun dengan ormas-ormas Islam
mainstream (NU dan Muhammadiyah). Bahkan
PK bisa mengungguli perolehan suara beberapa
partai Islam lainnya yang mengklaim sebagai
pewaris partai-partai Islam masa lalu.29
Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Liddle
bahwa PK mewakili kelompok Islam baru yang
tidak berakar pada kekuatan organisasi modernis
yang pernah ada di Indonesia. Pemilihnya berasal
dari latarbelakang perkotaan dan terkonsentrasi
pada universitas terkemuka dimana kebanyakan
pemimpinnya juga pengajar dan peneliti.
Fenomena PK—sebagai salah satu bagian
dari sejarah PKS—cukup signifikan karena PK
pada Pemilu 1999 menang di DKI Jakarta. Secara
signifikan, PKS mengalami masa keemasan
dukungan pada Pemilu 2004. Peningkatan suara
yang sangat signifikan itu tidak lepas dari strategi
ganda yang dilakukan PKS, yaitu memadukan
dua konsep antara politik dan Islamisme dan
good governance (dengan slogan bersih dan
peduli).30 Di lain pihak, PKS melihat keberhasilan
tersebut terjadi karena slogan “bersih dan peduli”
sebagai party ID yang membedakan PKS dengan
partai lainnya. Faktor internal juga bekerja, di
antaranya adalah faktor kepemimpinan Ustadz
Hilmi Aminuddin dan kualitas kader yang
mendukung.31
Dari segi perilaku pemilih, peningkatan
suara PKS bukan semata-mata karena performa
PKS yang bagus pada periode sebelumnya, tetapi
di antaranya karena publik tidak punya pilihan
lain. PKS berhasil menarik simpatisan lintas
partai pada komunitas pemilih Islam. Sebaran
29
Lili Romli, “Model Pelembagaan Partai...,” hlm. 54
30
Lili Romli, “Model Pelembagaan Partai...,” hlm. 54
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika
Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam Arena
Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, Disertasi, (Depok:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
2011), hlm. 369
31
Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 239 dukungan PKS pun mulai meluas jika dilihat dari
sejarah pendiriannya yang baru berumur sekitar 5
tahun. dukungan atau basis suara PKS mencakup
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat,
jawa tengah, Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Maluku dan Maluku Utara.32
Bagaimanapun faktor pelembagaan internal
PKS yang relatif lebih bagus ketimbang partaipartai Islam lainnya, dengan terciptanya sistem
kaderisasi mirip sistem sel, menjadikan PKS
memiliki ideologi yang membedakannya dengan
partai Islam lainnya. PKS berhasil menyusun
paradigma Islam eksklusif dan inklusif dalam
menerjemahkan ideologi partai.
Suasana itu tidak terjadi pada Pemilu
2009 dan 2014, karena faktor kinerja elektoral
PKS relatif hanya mengandalkan kader-kader
internalnya, dan PKS kehilangan simpatisan
yang memilihnya pada Pemilu 2004. PKS
nyaris tenggelam oleh problematik internal dan
integritas kader-kadernya.33 Sirkulasi elit yang
statis dan perilaku elit pada PKS pada beberapa
kasus korupsi turut menjadi faktor turunnya suara
PKS pada Pemilu 2009 dan 2014. Walaupun
tidak separah PKB dan PPP, konflik internal
PKS cenderung senyap, tidak terlalu gaduh,
dan di tengah keterpurukan, kepemimpinan
Anis Matta masih mampu mengkonsolidasikan
internal PKS agar kader-kadernya tidak beralih
dengan memilih ke partai lain. Pertarungan antara
faksi keadilan dan kesejahteraan, yang sering
disinyalir, sebenarnya tidak sesederhana itu.
PKS mengalami faksionalisasi yang lebih
kompleks antar unsur inti elit dengan unsur-unsur
lainnya. Ada faksi idealis, faksi konservatif,
dan faksi progresif, faksi penantang, dan juga
orientasi kelompok pendukung partai dengan
gerakan religius kelompoik-kelompok tarbiyah
lainnya yang berbeda orientasi dan gagasan.34
Kohesi partai memang cenderung terlihat agak
utuh, walaupun di dalamnya ada dinamika antar
32
Diolah dari data KPU oleh tim peneliti
Syamsuddin Haris, Evaluasi Proses dan Analisis Hasil Pemilu
Legislatif 2014, dalam Laporan Tim Pemilu Tematik, tahun
2014. tidak dicetak. hlm. 133
33
Arief Munandar, “Antara Jemaah dan Partai Politik...,”
hlm. 146.
34
kelompok yang dinamis, yang berhasil dikelola
oleh PKS, tetapi juga dapat menjadi hambatan
bagi perkembangan partai.
Secara umum, problematik kinerja elektoral
partai-partai Islam hampir memiliki kesamaan
antara satu partai dengan partai lainnya. Hingga
Pemilu 2014, kinerja elektoral partai Islam
masih belum bisa mendominasi suara pemilih
umat Islam. Ada sejumlah faktor mengapa
hal itu terjadi pada pada partai-partai Islam,
antara lain: pertama, sejauh ini belum ada
partai Islam yang berhasil memunculkan figur
nasional, sebagai figur alternatif yang memiliki
elektabilitas yang dapat dipersandingkan dengan
tokoh-tokoh politik yang diusung oleh partai
nasionalis. Sumber daya kader partai Islam relatif
mengalami kemunduran, karena figur-figur yang
muncul masih belum mampu menjadi alternatif
bagi kepemimpinan nasional di masa depan.
Kedua, problem kemampuan dalam
memimpin birokrasi. Kemampuan teknokratik
yang rendah pada beberapa kader partai Islam
di antaranya disebabkan oleh “peluang” yang
sempit bagi kalangan muda Islam yang memiliki
kemampuan teknokratik untuk memimpin
partai Islam, seperti PPP, PKB, PAN, dan PKS,
karena pola kepemimpinan mereka masih
bersumber pada proses penjaringan yang sifatnya
“tradisional.” PKS dan PAN mungkin agak relatif
berbeda, atau masih memiliki sejumlah kader
yang memiliki tingkat teknokratik yang bisa
diandalkan, ketimbang PPP dan PKB.
Ketiga, partai-partai Islam belum mampu
menjadi ruang imajinasi bagi kalangan muda
Islam yang jumlahnya sangat potensial sebagai
pemilih. Tantangan partai-partai Islam yang dapat
diterima oleh kalangan pemilih (komunitas Islam)
yang tengah mengalami perubahan merupakan
tantangan yang berat. Kehadiran ideologi,
kepemimpinan dan tokoh-tokoh dianggap belum
bisa mengayomi banyak kelompok, karena
secara internal—Islam juga mengalami persoalan
dengan lahirnya perbedaan-perbedaan dalam hal
keagamaan. Pengkotak-kotakan itu juga menjadi
salah satu faktor eksternal yang menyebabkan
pemilih Islam, kurang tertarik pada partai-partai
Islam.
Jarak ideologis pemilih di Indonesia
dianggap menjadi salah satu faktor mengapa
240 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 partai-partai Islam menjadi sebagian partai papan
tengah, dan sebagian lagi mengarah pada partai
papan bawah. Ideologi yang seharusnya sangat
menentukan bagi keterpilihan partai di dalam
pemilu tidak lagi terjadi di Indonesia. Saat ini,
ideologi partai politik bersifat rendah dan party
identification-nya pun bersifat rendah. Sebagai
contoh, orang Islam tidak lagi secara pasti
memilih partai yang berbasis Islam.35 Masyarakat
sudah rasional dalam menentukan pilihan. Salah
satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi
adalah partai yang seharusnya menjadi sekolah
ideologi bagi para kadernya nampaknya telah
gagal menjalankan peran tersebut.
Keempat, performance partai-partai Islam
yang masih lekat dengan “politik kelompok.”
Konflik internal di PPP yang berlarut-larut
misalnya, dapat memengaruhi persepsi pemilih
bahwa partai hanya menjadi “kendaraan politik”
oleh orang-orang tertentu. Partai dianggap belum
hadir ditengah persoalan yang sedang dihadapi
oleh pemilih, dan partai justru menyimpan
banyak masalah ketimbang menjadi solusi atas
masalah yang dialami oleh masyarakat.
Kelima, faktor perubahan sistem pemilu
dan kepartaian. Perubahan sistem pemilu ke
arah sistem proporsional terbuka, menyebabkan
terjadinya kompetisi bertingkat yang berat.
Kompetisi internal partai dan kompetisi antarpartai
begitu ketat. Apalagi, partai-partai Islam juga
relatif memperebutkan basis pemilih Islam yang
relatif sama. Perubahan perilaku pemilih yang
lebih “transaksional,” menyebabkan partaipartai Islam kesulitan untuk mengembangkan
dukungan. Modal dana yang kecil dibandingkan
dengan partai-partai nasionalis dianggap sebagai
salah satu sebab mengapa dukungan pemilih
yang sebagian besar beragama Islam tidak
sepenuhnya mendukung partai-partai Islam.
Partai-partai Islam pada pemilu di era reformasi
kecenderungannya menempati posisi papan
tengah dan bawah.
Keenam, kualitas parpol dapat dilihat dari
beberapa sisi, yakni kejelasan positioning ideologi
dan diferensiasi antarparpol; memudahkan
pemilih untuk mengidentifikasi perbedaan
Kacung Marijan, Seminar Sosialisasi Akhir Hasil Penelitian
Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, di Jakarta, 13 November
2012.
35
principal and working ideology masing-masing
partai serta meningkatkan party-ID di kalangan
pemilih. Minimnya party-ID karena fragmentasi
partai yang terlalu banyak membuat sistem
kompetisi partai tidak lagi didasarkan pada
ideologi dan programmatic appeals. Logika
persaingan elektoral dalam sistem multipartai
yang terlalu ekstrem tidak mengikuti asumsi
representasi ideologi dan basis sosial partai, tapi
mengarah pada “politik ke tengah” (political
centrism). Partai-partai sengaja mengaburkan
jenis kelamin ideologi mereka karena yakin
proporsi pemilih berdiam di tengah (bukan
ekstrem kiri maupun kanan). Pada titik inilah,
mobilisasi finansial untuk memenangkan
persaingan elektoral melalui iklan dan politik
uang lebih ditempuh partai-partai ketimbang
mengedepankan tawaran ideologi dan program. 36
Masa Depan Partai Islam di Indonesia
Masa depan partai Islam dilihat dari dua hal yaitu
stabilitas perolehan suara partai-partai Islam dari
pemilu ke pemilu; dan eksistensi partai-partai
Islam pada sistem politik, sistem kepartaian
dan pemilu di Indonesia. Sebagaimana telah
digambarkan di atas, stabilitas perolehan suara
partai-partai Islam cenderung mengarah pada
posisi partai Islam papan tengah (perolehan suara
7-10 persen) dan di bawah 7 persen (4-7 persen).
Masa depan partai Islam sebagai partai papan
tengah dan bawah tersebut dipengaruhi oleh
sikap dan perilaku politik pemilih “Islam” itu
sendiri. Dalam konteks kinerja elektoral, selama
masih ada santri dan pesantran—dan kelompokkelompok yang menggunakan identitas politik
“Islam” sebenarnya dukungan terhadap partai
Islam akan tetap terbuka dan besar. Persoalannya
kecenderungan pemilih Islam yang berubah
bagaimanapun akan memiliki pengaruh pada
masa depan partai Islam itu sendiri.
Dari segi elektoral, dari empat partai Islam
(PPP, PKB, PAN, dan PKS), PPP tergolong
sebagai partai Islam yang riskan, karena
perolehan suaranya cenderung mendekati garis
Burhanuddin Muhtadi, Peneliti Lembaga Survei Indonesia
(LSI) dan pengajar FISIP UIN Jakarta , “Pro-Kontra
Penyederhanaan Sistem Kepartaian”, dalam http://www.
lampungpost.com/opini/20730-pro-kontra-penyederhanaansistem-kepartaian.html, 5 Januari 2012.
36
Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 241 parliamentary threshold (PT) yang diterapkan
pada pemilu-pemilu era reformasi. Tabel pada
lampiran tentang jarak perolehan suara partai
dengan besaran PT menunjukkan kecenderungan
itu. Dari segi pemilu, partai-partai Islam
sebenarnya realistis hanya dapat eksis pada
kisaran PT antara 2,5-3 persen. Lebih dari 3,5%
atau 4%, kecenderungan berkurangnya partai
Islam dalam sistem kepartaian dan pemilu di
Indonesia akan sangat memungkinkan.
Kajian ini juga menunjukkan bahwa partaipartai Islam hanya dapat tumbuh dan berkembang
pada kisaran besaran daerah pemilihan menengah
(7-8 kursi) dan besar (9-10 atau > 10 kursi).
Partai-partai Islam yang cenderung memiliki
dukungan suara papan tengah, secara empirik
mengalami kesulitan untuk berkompetisi pada
besaran daerah pemilihan 3-6 kursi, karena
perolehan kursi partai-partai Islam hanya
mengandalkan suara sisa pada penghitungan
kedua dan ketiga.
Dalam konteks politik nasional, masa depan
partai-partai Islam masih belum mampu sebagai
alternatif untuk melakukan perubahan karena
faktor perbedaan ideologi dalam membangun
koalisi antarpartai Islam, dan dalam melahirkan
sosok alternatif untuk kepemimpinan nasional.
Kelemahan kepemimpinan internal partai
dan “belum” lahirnya sosok pemimpin dari
kader-kader partai Islam yang menjadi magnet
politik untuk menarik massa dan memiliki
elektabilitas yang tinggi menyebabkan partaipartai Islam dalam kancah politik nasional hanya
diperhitungan sebagai “dukungan politik” untuk
memenuhi faktor representasi pemilih. Posisi dan
peran mereka relatif hanya terasa sebagai faktor
pelengkap dalam dinamika dan proses politik
serta dalam perubahan yang sedang berlangsung.
Referensi
Buku
Amalia, Luky Sandra. (Ed.). Kecenderungan
Hubungan Anggota Legislatif dan Konstituen:
Studi DPRD Provinsi Banten Hasil Pemilu
2009, Jakarta: LIPI Press. 2010.
Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik Kartel
Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia
Era Reformasi. Jakarta: KPG. 2009.
Amir, Zainal Abidin. Peta Islam Politik PascaSoeharto. Jakarta: LP3ES. 2003.
Ananta, Aris, Evi Nurvidya Arifin, Leo Suryadinata.
Emerging Democracy in Indonesia. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies. 2005.
Antunes, Rui. “Party Identification and Voting
Behavior: Structural Factors, Attitudes and
Changes in Voting”. Doctoral Thesis. University
of Coimbra. 2008.
Asfar, Muhammad. Pemilu dan Perilaku Memilih
1955-2004. Surabaya: Pustaka Eureka dan
PusDeHAM. 2006.
Choirie, A. Effendy. Islam-Nasionalisme UMNOPKB Studi Komparasi dan Diplomasi. Jakarta:
Pensil-234. 2008.
Dhakiri, Muhammad Hanif dan kawan-kawan. PKB
Masa Depan. Jakarta: DPP Partai Kebangkitan
Bangsa. 2006.
Dirdjosanjoto, Pradjarta. Memelihara Umat: Kiai
Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta:
LkiS. 2013.
Evans, Kevin Raymond. Sejarah Pemilu & Partai
Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Aries
Consultancies. 2003.
Feith, Herbert dan Lance Castles. Indonesian Political
Thinking 1945-1965. Itacha and London:
Cornell University. 1970.
Feith, Herbert. Pemilihan Umum 1955. Jakarta:
LP3ES. 1985.
Firmanzah. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan
Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011.
Firmanzah. Persaingan Legitimasi Kekuasaan dan
Marketing Politik-Pembelajaran Politik Pemilu
2009. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2010.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: The
University of Chicago Press. 1960.
Gherghina, Sergiu. Party Organization and Electoral
Volatility in Central and Eastern Europe
Enhancing Voter Loyalty. Oxon: Routledge.
2015.
Halim, Abdul. Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama:
Perspektif Hermeneutika Gadamer. Jakarta:
LP3ES. 2014.
Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam
Media Massa: Sebuah Study Critical Discourse
Analysis Terhadap Berita –berita Politik.
Jakarta: Granit. 2004.
Hefner, Robert W. Geger Tengger, Perubahan sosial
dan Pertikaian Politik. Yogyakarta: LkiS. 1999.
Horikoshi, Hiroko. Kiai dan Perubahan Sosial.
Jakarta: P3M. 1984.
242 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 Ida, Laode. NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme
Baru. Jakarta: Erlangga. 2004.
Irsyam, Mahrus. Ulama dan Partai Politik,
Upaya Mengatasi Krisis. Jakarta: Yayasan
Perkhidamatan. 1984.
Iskandar, A Muhaimin. Melampaui Demokrasi
Merawat Bangsa dengan Visi Ulama. Refleksi
Sewindu Partai Kebangkitan Bangsa.
Yogjakarta: Klik.R. 2006.
Kamarudin, Kamarudin. Partai Politik Islam di Pentas
Reformasi Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu
2004. Jakarta: Visi Publishing. 2003.
Kompas, Tim Penelitian dan Pengembangan Kompas.
Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi,
Strategi, dan Program. Jakarta: Kompas. 1999.
Mainwaring, Scott dan Timothy R Scully. Building
Democratic Institutions: Party Systems in
Latin America. Stanford, California: Stanford
University Press. 1995.
Muchlis, Edison. (ed). Pelembagaan Partai Politik
di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Pusat
Penelitian Politik. 2007.
Muhtadi, Burhanuddin. Dilema PKS Suara dan
Syariah. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. 2012.
Mujani, Saiful, R. William Liddle, dan Kuskridho
Ambardi. Kuasa Rakyat: Analisis tentang
Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif
dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru.
Bandung: Mizan. 2012.
Najib, Muhammad dan K.S. Himmaty. Amien Rais:
Dari Yogya ke Bina Graha. Jakarta: Gema
Insani Press. 1999.
Noer, Deliar (et.al.). Mengapa Partai Islam Kalah?
Perjalanan Politik Islam Dari Pra-Pemilu ’99
Sampai Pemilihan Presiden. Jakarta : Alvabet.
1999.
Novianto, Kholid., Chaidar, Al., (ed). Era Baru
Indonesia : Sosialisasi Pemikiran Amien Rais,
Hamzah Haz, Nur mahmudi, Matori Abdul
Djalil dan Yusril Ihza Mahendra, Cetakan I,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1999.
Pamungkas, Sigit. Partai Politik Teori dan Praktik di
Indonesia. Yogyakarta: Institute for Democracy
and Welfarism. 2011.
Price, Daniel E. Islamic Political Culture, Democracy,
And Human Rights : A Comparative Study .
USA: Praeger Publisher. 1999.
Reid, Antony and Gilsenan, Michael (eds.). Islamic
Legitimacy in a Plural Asia. London and New
York: Routledge, Taylor and Francis Group.
2007.
Romli, Lili. (ed). Potret Partai Politik Pasca Orde
Baru. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI.
2003.
Romli, Lili. Model Pelembagaan Partai Politik di
Indonesia: Kasus Partai Keadilan Sejahtera,
dalam Pelembagaan Partai Politik di Indonesia
Pasca Orde Baru. Jakarta: LIPI Press. 2007.
Setiawan, Bambang dan Bestian Nainggolan (Ed).
Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan
Program 2004-2009. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas. 2004.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia. 1998.
Jurnal
Bird, Judith. “Indonesia in 1998: The Pot Boils Over,”
dalam Asian Survey Vol. 39, No. 1, 1999.
Croissant, Aurel and Philip Volkel. “Party system
types and party system institutionalization:
Comparing new democracies in East and
Southeast Asia,” dalam Party Politics Vol.18,
No.2, 2012.
Ishomuddin, “Continuity and Change of Political
Culture: Study on Scientific Insights and
Political Understanding on Politicians of
Political Parties in Indonesia,” dalam Asian
Social Science Vol. 10, No. 16, 2014.
Liddle, R. William dan Saiful Mujani. “Indonesia in
2004: The Rise of Susilo Bambang Yudhoyono,”
dalam Asian Survey, Vol. 45, No. 1, 2005.
Liddle, R. William. “Leadership, Party, and Religion
Explaining Voting Behavior in Indonesia,”
Comparative Political Studies, Vol. 40, No.
7, 2007.
Mietzner, Marcus. “Indonesia’s 2009 Elections:
Populism, Dynasties and the Consolidation of
the Party System,” dalam Lowy Institute for
International Policy, 2009.
Nurhasim, Moch. “Kegagalan Modernisasi Partai
Politik di Era Reformasi,” dalam Jurnal
Penelitian Politik Vol.10, No.1, Juni 2013,
Jakarta: LIPI Press.
Romli, Lili. “Crescent and Electoral Strength:
Islamic Party Portrait of Reform Era In
Indonesia,” dalam International Journal of
Islamic Thought, Vol.4, 2003.
Tan, Paige Johnson. “Indonesia Seven Years after
Soeharto: Party System Institutionalization
in a New Democracy,” dalam Contemporary
Southeast Asia Vol.28, No.1, 2006.
Tomsa, Dirk. “Party System Fragmentation in
Indonesia: The Subnational Dimension,” dalam
Journal of East Asian Studies, Vol.14, 2014.
Masa Depan Partai Islam di Indonesia ... | Moch. Nurhasim | 243 Woodward, Mark. “Indonesia’s Religious Political
Parties: Democratic Consolidation and Security
in Post-New Order Indonesia,” dalam Asian
Security, Vol.4, No.1, 2008.
Disertasi
Firman Noor, “Institutionalising Islamic Political
Parties in Indonesia: A Study of Internal
Fragmentation and Cohesion in the PostSoeharto Era (1998-2008)”, Disertasi, (London:
University of Exeter).
Munandar, Arief. Antara Jemaah dan Partai Politik:
Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) dalam Arena Politik Indonesia
Pasca Pemilu 2004. Disertasi. Depok: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, 2011.
Website
“Ini Hasil Lengkap Rekapitulasi Perolehan Suara
Pileg 2014”, dalam http://www.republika.co.id/
berita/nasional/politik/14/05/10/n5bgv5-inihasil-lengkap-rekapitulasi-perolehan-suarapileg-2014, diunduh 10 Agustus 2014.
Haris, Syamsuddin.. “PPP dan Gerakan Politik Islam”,
dalam http://www.republika.co.id/berita/koran/
teraju/14/11/14/nf0y4q-ppp-gerakan-politikIslam, diakses pada 28 Februari 2015.
Muhtadi, Burhanuddin. “Pro-Kontra Penyederhanaan
Sistem Kepartaian,” dalam http://www.
lampungpost.com/opini/20730-pro-kontrapenyederhanaan-sistem-kepartaian.html, 5
Januari 2012.
Supit Urang PKB Gus Dur, www.aananshori.com,
diakses pada tanggal 21 september 2015.
Laporan Penelitian
Amalia, Luky Sandra. (Ed.). “Evaluasi Sistem
Kepartaian di Era Reformasi”, Laporan
Penelitian, Jakarta: Pusat Penelitian Politik
LIPI, 2012.
Haris, Syamsuddin. Evaluasi Proses dan Analisis
Hasil Pemilu Legislatif 2014. Laporan Tim
Pemilu Tematik, P2Politik Tahun 2014 (tidak
dicetak).
Mainwaring, Scott. “Rethingking Party System Theory
In The Third Wave of Democratization: The
Importance of Party System Institutionlization,
Working Paper #260 – October 1998, Kellogg
Institute.
Romli, Lili. Peta Kekuatan Partai Politik Hasil
Pemilu 2014. Laporan Tim Pemilu Tematik,
P2Politik Tahun 2014 (tidak dicetak).
Surat Kabar
Evans, Kevin. “Politik ‘Aliran’ yang Mana?”. Tempo.
5 April 2009.
Haris, Syamsuddin. “Masa Depan Parpol Islam,”
dalam Seputar Indonesia, 12 Oktober 2012.
Haris, Syamsuddin. “Mengapa ‘Partai Tengah’”,
dalam Suara Pembaruan, 31 Mei 2010.
Haris, Syamsuddin.. “PPP dan Nasib Parpol Islam”,
dalam Kompas, 4 Juli 2011.
Jakarta Post, Chinese-Indonesians and NU pray for
sick ‘father’ Gus Dur, 7 September, 2009
Kompas, Menjaga Sinar Politik Sang Matahari, 2
Maret 2015.
Kompas, Setelah Semua Perbedaan Diselesaikan, 2
Maret 2015.
Kompas, Zulkifli: Semua Harus Bersatu Kembali, 2
Maret 2015.
Pramono, Sidik. Proporsional Terbuka Sitem yang
Membuat Dilema, Kompas, 14 Maret 2007.
Sumber Lainnya
Anggaran Dasar PAN, Tahun 1998.
Anggaran Dasar PAN, Tahun 2010.
Anggaran Dasar Partai Kebangkitan Bangsa Pasal
3,4 dan 5
Arah Perjuangan Politik Partai Kebangkitan Bangsa.
Jakarta; DPP PKB, 2004.
Dokumentasi Hasil Muktamar II PKB, Jakarta, DPP
PKB, 2005
Keputusan KPU No.416/Kpts/KPU/Tahun 2014
tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai
Politik dan Penetapan Calon Terpilih Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pemilu 2014
KPU RI. Modul I Pemilih untuk Pemula. Jakarta:
KPU RI. 2013.
Laporan Pertanggungjawaban DPP PKB Periode
2002-2005 pada Muktamar II PKB di Semarang
16-18 April 2005.
Pemilu 2009 Dalam Angka, KPU RI, 2010
Surat Keputusan Menkum HAM No M.HH-70/
AH.11.01 tahun 2008 tentang pengesahan
susunan kepengurusan DPP PKB periode
2008-2013.
244 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 227–244 PROBLEMATIKA KEKUATAN POLITIK ISLAM DI MAROKO,
SUDAN, DAN SOMALIA1
THE PROBLEMS OF THE POWER OF POLITICAL ISLAM IN
MOROCCO, SUDAN AND SOMALIA
Nostalgiawan Wahyudhi
Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jalan Jenderal Gatot Subroto no. 10, Jakarta
e-mail: [email protected]
Abstract
This research is conducted to examine the development of political Islam in Morocco, Sudan and Somalia in
post Arab Spring. Based on research finding in 2014, we found the phenomenon of “backward bending process” in
which the political unrest and regime change in previous case studies do not lead towards democracy, but turned
back to authoritarianism. The research on Morocco, Sudan and Somalia shows a unique finding that the Muslim
Brotherhood (IM) has existed in these three countries. However this movement is deeply rooted in Sudan compared
to the rest countries based on geographical and historical reasons. Other findings are Islamic political movements
have emerged as democratic opposition movements against the authoritarian regimes. This study shows that the
phenomenon of ‘Arab exceptionalism’ has existed. The cultural and political systems in these three countries do
not provide a sufficient space for the growth of democracy.
Keywords: Arab Spring, Ikhwanul Muslimin, Maroko, Sudan, Somalia
Abstrak
Riset ini dilakukan untuk meneliti perkembangan kekuatan politik Islam di Maroko, Sudan dan Somalia pasca
Arab Spring. Berdasarkan riset tahun 2014, kami menemukan fenomena “backward bending process” dimana gejolak
politik dan regime change dibeberapa negara kasus sebelumnya justru tidak mengarah pada demokrasi, namun terjadi
pembalikan kembali ke arah autoritarianisme. Maroko, Sudan dan Somalia memiliki keunikan dibanding penelitian
sebelumnya, dimana Ikhwanul Muslimin (IM) menjadi benang merah di ketiga negara tersebut. Meskipun begitu,
gerakan IM lebih mengakar di Sudan dibandingkan dua negara lainnya karena faktor geografis dan historis. Selain
itu, gerakan politik Islam di tiga negara ini muncul sebagai gerakan oposisi pro demokrasi menentang rezim otoriter.
Penelitian ini membuktikan fenomena Arab exceptionalism terjadi. Budaya dan sistem politik di tiga negara kasus
tidak memberikan ruang yang cukup bagi tumbuhnya iklim demokrasi.
Kata Kunci: Arab Spring, Ikhwanul Muslimin, Maroko, Sudan, Somalia
Tim Peneliti terdiri atas M. Fakhry Ghafur (koordinator), M. Hamdan Basyar, Dhurorudin Mashad, Indriana Kartini, Nostalgiawan
Wahyudhi.
1
Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 245 Pendahuluan
Problematika demokratisasi di Timur Tengah,
sejatinya bukanlah berakar dari agama
(Islam sebagai agama mayoritas), tetapi
lebih dikarenakan ketidakmampuan rezim
otoriter yang gagal menerapkan demokrasi dan
memecahkan masalah kesejahteraan ekonomi,
partisipasi politik, keadilam sosial dan lain-lain.
Ketidakmampuan rezim ini memicu tumbuhnya
gerakan oposisi yang menggunakan Islam
sebagai dasar untuk mendapatkan identitas
dan legitimasi politik, disisi lain juga dijadikan
landasan ideologis bagi tatanan kehidupan
masyarakat. Kompleksitas permasalahan ini
menemukan momentumnya di Tunisia dan
menjadi gerakan Arab Spring sebagai bentuk
gelombang demokratisasi yang masif di kawasan
Timur Tengah.
Gerakan politik Islam di beberapa negara
yang sudah dikaji pada tahun sebelumnya
(Yaman, Suriah dan Aljazair), menjadi parameter
kajian saat ini. Karena hasil penelitian tersebut
menemukan adanya gerakan backward
bending, pembalikan politik ke arah asal yaitu
otoritarianisme. Pemilihan negara kasus pada
penelitian saat ini, Maroko, Sudan,dan Somalia
sangat menarik untuk melengkapi hasil penelitian
sebelumnya. Mengingat aktivitas politik gerakan
Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin
(IM) sangat eksis di tiga negara kasus tersebut.
Sudan memiliki posisi yang sangat unik,
dimana awalnya kekuatan politik Islam bersatu
dengan militer membentuk pemerintahan baru
yang Islamis. Namun, kemenangan ini justru
membuat kekuatan politik Islam memilih
menjadi oposisi dan berkonsentrasi dalam politik
yang menentang pemerintahan militer-Islamis
pimpinan Omar Bashir. Sedangkan di Maroko,
politik Islam semakin kuat dan meluas di
kalangan rakyat bawah ditengah kuatnya politik
rezim monarki yang bercorak sosialis-sekuler.
Berbeda dengan kedua negara di atas, Somalia
memiliki tingkat kompleksitas permasalahan
yang paling tinggi karena kekuatan politik Islam
tumbuh ditengah kondisi negara yang gagal
(failed state) dan politik klan yang kuat. Kekuatan
politik Islam tumbuh dalam bentuk perlawanan
politik terhadap intervensi internasional dan
pemerintahan despotik yang tidak aspiratif.
Melihat kompleksitas peta kekuatan
politik Islam dalam konstelasi politik di ketiga
negara tersebut, penelitian ini difokuskan untuk
menjawab beberapa pertanyaan berikut: Pertama,
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
tumbuhnya kekuatan politik Islam secara
signifikan di Maroko, Sudan, dan Somalia?
Kedua, bagaimana peran kekuatan politik Islam
terhadap pertumbuhan demokrasi di tiga negara
tersebut? Ketiga, bagaimana implikasinya
terhadap pertumbuhan demokrasi di tiga negara
tersebut?
Maroko, Sudan, dan Somalia dalam
Bingkai Sejarah Budaya Politik
Sejarah Islam di Maroko dapat dilihat dari
kebangkitan apa yang disebut sebagai “Murabitun”
pada abad kesebelas dan “Muwahidun” pada abad
kedua belas. Keberadaan Dinasti al-Murabitun2
berawal dari sekelompok pejuang yang disebut
al-Mulassimun karena mereka selalu menutup
wajah untuk melindungi diri dari terik panas
matahari di gurun pasir Magribi (Maroko
sekarang). Kelompok itu berasal dari kabilah
Lemtuna, sebuah kabilah bangsa Berber di
wilayah gurun pasir Magribi yang bernama
Sanhaja. Mereka menyebarkan agama Islam
dengan mengajak suku-suku lain untuk menganut
agama Islam. Mereka mengikuti ajaran Mazhab
Salaf (Gerakan Salafiyah) secara ketat. Wilayah
dakwah mereka meliputi Afrika barat daya dan
daerah Spanyol.
Kemudian pada akhir abad kesembilan
belas dan awal abad kedua puluh, di Maroko
ada gerakan reformasi Salafi. Gerakan Salafi ini
mengkritik keras adanya pengkultusan terhadap
orang-orang suci. Mereka ingin merasionalisasi
penafsiran Islam dengan kembali ke sumber
aslinya, tanpa penafsiran yang macam-macam.
Dengan keras, mereka ingin kembali ke hadits,
bukan bersandar kepada aturan fiqh, yang
dianggap mewakili penafsiran pada masa
tertentu. Dengan penafsiran itu, aturan menjadi
kaku tanpa koneksi ke sumber aslinya maupun
masyarakat Maroko.
Tentang Al-Murabitun, antara lain, dapat dilihat Nazeer
Ahmed, “The Murabitun in the Maghreb,” dalam http://
historyofislam.com/murabitun/, (diakses pada 11 November
2015).
2
246 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 Pasca kemerdekaan pada tahun 1956, muncul
gerakan yang dapat dikatakan fundamentalis.
Gerakan itu dapat dikatakan bermula pada tahun
1969. Ketika itu, Abd al-KarÄ«m Muti’ mendirikan
organisasi “Pemuda Islam” (Shabiba Islamiyyah).
Itu adalah sebuah gerakan politik bawah tanah
untuk melawan ajaran ateisme, khususnya
kelompok kiri yang ada di kampus universitas.
Munculnya Shabiba Islamiyyah dipengaruhi oleh
ideologi yang berasal dari tulisan-tulisan Sayyid
Qutb, Mesir. Organisasi Shabiba Islamiyyah
itu kemudian disahkan oleh pihak Kerajaan
pada tahun 1972. Shabiba berkembang pesat,
terutama, di kampus-kampus universitas dan
banyak mempengaruhi pandangan dan sikap
mahasiswa Maroko. Tetapi pembunuhan aktivis
buruh, Umar Ibn Jallūn, pada tahun 1975 oleh
beberapa anggota Shabiba telah menyebabkan
terusirnya Abd al-KarÄ«m Muti’ dan pembubaran
organisasi Shabiba.
Pada tahun 1998, kelompok Shabiba
membentuk suatu partai politik yang diberi
nama “Partai Keadilan dan Pembangunan”
(Party of Justice and Development - PJD).
Dengan menggunakan PJD, mereka berusaha
berpartisipasi dalam pemilu legislatif dan pemilu
dewan kota. Anggota mereka adalah para lulusan
dari sistem pendidikan Arab. PJD sendiri terkait
erat dengan jaringan sekitar dua ratus asosiasi
Islam yang tergabung dalam Gerakan Persatuan
dan Pembaruan. Gerakan itulah yang menjadi
motor alat perekrutan anggota dan alat kampanye
pemenangan PJD. Partai ini mempunyai ideologi
yang sangat dekat dengan ideologi Ikhwanul
Muslimin, Mesir. Mereka ingin berkiprah
dalam koridor hukum dan tetap setia pada garis
komando ideologi Ikhwan. Mereka bersikeras
menciptakan kehidupan publik yang bermoral,
menciptakan warga percaya dan mau menerapkan
syariah Islam dalam kehidupan kesehariannya.
Adapun sejarah Islam di Sudan, ada
istilah yang disebut sebagai “Imam Mahdi”.
Gerakan Imam Mahdi ingin menyadarkan umat
Islam di dunia selama abad ke-18 dan ke-19
dan menghasilkan puritanisme. Gerakan ini
berpandangan bahwa sudah saatnya umat Islam
terbebas dari belenggu ketidakadilan yang
menjerat mereka. Dengan idealismenya, mereka
ingin mengubah Sudan sesuai dengan konsepnya.
Sebelum ada gerakan Mahdi, di Sudan sudah
ada sufi Khatmiyya (kadang-kadang disebut
Mirghaniyya, sesuai nama pendirinya). Gerakan
itu menggabungkan sufi dan kepemimpinan
suku. Selama tahun 1821-1885, gerakan sufi
Khatmiyya cukup berjaya di wilayah Sudan.
Pada waktu yang bersamaan, wilayah Sudan di
bawah kekuasaan Turki-Mesir. Oleh karena itu,
ketika gerakan Mahdi muncul, ada persaingan
dengan Khatmiyya. Para pemimpin Khatmiyya
yang didukung oleh kekuasaan Turki, berusaha
menghadang pemberontakan Mahdi. Pertikaian
antara pendukung Mahdi dan orang-orang
Khatmiyya, yang berakar di abad ke-19, terus
berlanjut pada pemerintahan berikutnya.
Ketika berdiri “Kongres Sarjana” pada 1938,
anggota mereka terbagi menjadi dua kelompok.
Ada yang pro-Mahdi dan ada yang pro-Khatmi.
Kebanyakan partai politik besar yang muncul
pada 1940-an juga berada dalam naungan salah
satu dari dua Sayyid tersebut. Tanpa perlindungan
itu, mereka akan sulit untuk mendapatkan
dukungan dari masyarakat banyak. Berdirinya
asosiasi kaum terdidik muda yang bersandingan
dengan dua organisasi keagamaan besar itu,
membawa fenomena unik dan berdampak luas
pada perkembangan kehidupan masyarakat
Sudan. Di satu sisi, hal itu menciptakan situasi
di mana keputusan politik tergantung pada
pimpinan faksi besar agama. Di sisi lain, itu
dapat mendorong kaum elite terpelajar yang
aktif berpolitik tetapi tidak mau bergabung
dengan salah satu dari dua kelompok keagamaan
tersebut, akan membentuk kelompok sendiri yang
lebih radikal.
Akibat kondisi tersebut, selama Perang
Dunia Kedua, di Sudan muncul Partai Komunis.
Kemudian pada tahun 1954, muncul pula
gerakan Ikhwanul Muslimin (IM). Sepuluh
tahun kemudian, 1964, gerakan IM mendirikan
organisasi politik yang disebut Islamic Charter
Front (ICF). Organisasi ini kemudian menjadi
kekuatan politik yang signifikan dengan
berbagai fungsi. ICF mewakili organisasi
modern perkotaan, bila dibandingkan dengan
sufi tarekat tradisional (Ansar, Khatmiyya dan
Partai Umma).3
L i h a t G a b r i e l R . Wa r b u r g m , “ I s l a m a n d t h e
S t a t e i n N u m a y r i ’s S u d a n , ” d a l a m J o u r n a l o f
3
Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 247 Pada tahun 1969, ICF mengajukan draft
moderat Konstitusi Islam. Usul itu didukung
oleh dua sekte sufi, Ansar dan Khatmiyya.
Proposal itu diajukan oleh ICF menjelang kudeta
militer pimpinan Numayri, 1969. Apa yang
dinginkan oleh ICF tidak mudah, karena itu
harus mengubah Konstitusi. Untuk mengubah
Konstitusi yang Islamis, ICF harus berhadapan
dengan kelompok lain, Partai Komunis Sudan
(CPS), yang menginginkan negara sekuler.
Akhirnya, Hassan al-Turabi berkolaborasi
dengan Jenderal Omar Hasan Ahmad al-Bashir
mengambil alih kekuasaan dari Numayri pada
1985. Setelah penggulingan tersebut, ICF
melakukan reorganisasi dan berubah dengan
nama National Islamic Front (NIF). Turabi
membentuk NIF sebagai partai politik bersamasama dengan sejumlah kelompok Islam. Partai itu
menjadi blok ketiga di parlemen pada tahun 1986.
Kolaborasi Turabi dan Bashir juga membawa
mereka ke dalam persaingan politik yang terlalu
kentara. Sebenarnya perbedaan pandangan
keduanya sudah terlihat tidak lama setelah
jatuhnya Numayri. Pada 1 April 1996, ada pemilu
pertama pasca penumbangan terhadap Presiden
Numayri. Ketika itu, ada empat ratus orang
terpilih menjadi anggota Majelis Nasional. Omar
Bashir terpilih menjadi Presiden Sudan dengan
75,7% suara, dan Hassan al-Turabi terpilih
menjadi Ketua Parlemen.Rupanya persaingan
politik keduanya tidak dapat dikompromikan
lagi. Maka, pada 12 Desember 1999, Presiden
Sudan Omar Hassan al-Bashir memberlakukan
keadaan darurat dan membubarkan parlemen.
Sebagai Ketua Parlemen, Turabi pun mengutuk
pembubaran Parlemen oleh Bashir dan
menganggap sebagai “kudeta militer” serta
menolak keadaan darurat karena inkonstitusional.
Turabi menganggap Bashir sebagai “The man
has destroyed the constitution and liberties
and betrayed the political system. He has also
deceived the forces that brought him to power
and supported him.”4
the International African Institute, Vol. 55, No. 4, 1985, hlm.
400-413.
Lihat “Coup in Sudan May be Turabi’s Swan Song,” dalam
Middle East Intelligence Bulletin, Vol. 1 No. 12, December
1999; lihat juga “Coup in Sudan Maybe Turabi’s Swan Song,”
dalam https://www.meforum.org/meib/issues/9912.htm,
(diakses pada 11 November 2015).
Sementara itu, kebangkitan Islam di Somalia
pada abad ke-19 dan ke-20 dipelopori oleh ulama
sufi. Pada waktu itu, gerakan sufi Qadiriyyah,
Ahmadiyah dan Salihiya menjadi kelompok
tarekat sufi besar. Kemudian, pada tahun 1940,
sebuah kesadaran dan gerakan baru Islam
mulai muncul dan dikembangkan. Liga Islam
Somalia, yang didirikan pada tahun 1952,
adalah organisasi pertama untuk merespon
peningkatan peran misionaris Kristen. Liga Islam
juga mempromosikan pendidikan dalam bahasa
Arab. Dari sekolah-sekolah ini, lahir generasi elit
Somalia baru yang terdidik dalam budaya Arab.5
Selanjutnya, kebangkitan Islam yang
sebenarnya terjadi setelah kemerdekaan Somalia,
pada 1960-an dan 1970-an, ketika kaum terdidik
dari universitas Arab membawa ideologi Islam
modern ke seluruh penjuru Somalia. Berbagai
organisasi kecil dibentuk untuk memacu adanya
kebangkitan kesadaran Islam yang dipimpin oleh
ulama Islam modern.
Akan tetapi, selama kekuasaan Somalia di
bawah rezim sosialis, sejak tahun 1969, negara
sosialis sekuler itu melarang semua organisasi
non pemerintahan, termasuk organisasi Islam.
Kemudian, pada tahun 1975, penguasa Somalia
menyetujui undang-undang tentang kehidupan
keluarga untuk melawan prinsip-prinsip Islam.
Pemerintah Somalia waktu itu, menginginkan
masyarakatnya menjadi sekuler yang jauh dari
prinsip kehidupan yang Islami. Akibatnya,
ada berbagai protes dari masyarakat Muslim.
Pemerintah melakukan tindakan yang keras
terhadap para pemrotes. Maka, ribuan ulama
Islam melarikan diri ke Arab Saudi, Mesir
dan Sudan. Mereka menyelamatkan diri dan
sekaligus memulai gerakan terorganisir di luar
negeri. Muslim Somalia yang sebelumnya satu
pandangan ideologi telah tersebar ke seluruh
negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Di
sana, mereka terpengaruh dengan ideologi
setempat yang menyebabkan mereka berbeda
pandangan. Ketika mereka kembali ke Somalia
pada akhir tahun 1970, para ulama tersebut
membawa ideologi mereka masing-masing
4
Lihat Abdurahman M. Abdullahi, “Islamism and Politics in
Somalia,” dalam https://www.chathamhouse.org/sites/files/
chathamhouse/public/Research/Africa/120612summary.pdf,
(diakses pada 13 November 2015).
5
248 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 yang berbeda-beda dalam menginterpretasikan
pemahaman Islam.
Pada tahun 1978, Gerakan Islah lahir di
Somalia yang merupakan cabang Ikhwanul
Muslimin. Al-Islah mengadopsi pendekatan
modern dan moderat Islam. Gerakan al-Islah
mempromosikan reformasi Islam yang damai
selama masa pemerintahan diktator (1969-1991)
dan perang saudara (1991-2008).
Tampaknya di Somalia, ada “wajah”
ideologi yang saling bertentangan. Pertama, ada
konflik antara modernitas dan tradisional. Dalam
beberapa kali kejadian, gerakan-gerakan Islam
telah diartikan sebagai penentangan terhadap
sebuah negara modern. Kedua, ada konflik
terus-menerus antara Islamisme, kesukuan
(clanism) dan nasionalisme. Ketiga, ada konflik
antara ideologi yang berbeda dalam masyarakat
Muslim. Di antara mereka ada penganut tasawuf,
Salafisme dan Ikhwanul Muslimin.
Sejarah gerakan Islam sejalan dengan sejarah
negara yang mengalami keruntuhan pada tahun
1991. Gerakan ekstremis muncul setelah tahun
1991 yang mengubah jalannya sejarah Somalia.
Keterlibatan Al Qaeda mulai terasa, ketika
mereka berusaha untuk mengeksploitasi Gerakan
Islam al Itihaad selama perang saudara. Mereka
menciptakan sebuah kelompok bersenjata
yang terorganisir dengan agenda keislaman
dan nasionalis. Ketika al Itihaad meninggalkan
perjuangan bersenjata, kekosongan itu justru
dimanfaatkan oleh al-Shabaab. Kelompok keras
itu muncul kepermukaan Somalia, setelah tahun
2003.
Problematika Kekuatan Politik Islam di
Maroko
Dibandingkan dengan negara-negara Timur
Tengah dan Afrika Utara lainnya, seperti
Tunisia, Mesir, dan Libya, yang terkena imbas
fenomena Arab Spring, Maroko dianggap
sebagai “pengecualian” dan selamat dari
pergolakan politik, konflik sektarianisme
dan perpecahan sosial. Label “Moroccan
exceptionalism” kemudian sering digunakan oleh
para pejabat pemerintah dan analis politik untuk
menggambarkan situasi politik Maroko pasca
Arab Spring.
Pada awal kekuasaannya, Muhammad
VI mengeluarkan kebijakan demokratisasi
di Maroko dan menanamkan kultur HAM di
institusi negara. Ayahnya, Raja Hassan II, pada
1990an juga telah memahami bahwa Maroko
perlu melakukan reformasi politik dan mulai
mengimplementasikannya melalui pembentukan
Kementerian HAM, meski langkah tersebut
dianggap hanya institusional belum substansial.
Bisa dikatakan bahwa di masa Muhammad VI
aktivisme civil society meningkat termasuk
organisasi-organisasi yang mempromosikan dan
membela HAM. Organisasi-organisasi tersebut
terlibat dalam pembentukan Instance Equite
et Reconciliation (IER), yang memberikan
legitimasi kepada Raja secara domestik dan
internasional seperti reformasi family law code
2004 (Mudawana).6
Komisi IER mendapat perhatian
internasional, namun perubahan signifikan
yang dibawa Raja Muhammad VI adalah
Mudawana (family law code). Perubahan tersebut
tidak dilakukan sendiri oleh Raja, melainkan
berbarengan dengan desakan dari sejumlah
organisasi perempuan. Perubahan signifikan
dalam Mudawana adalah meningkatnya hakhak perempuan dalam perkawinan, perceraian,
pemeliharaan anak, dan harta warisan. Meski
persoalan terkait hak perempuan masih terjadi,
namun setidaknya telah terjadi kemajuan
signifikan dibanding masa sebelumnya. Sebelum
adanya Mudawana, kaum perempuan berada di
posisi minor, sebagai warga negara kelas dua dan
selalu menjadi subyek kontrol laki-laki, bahkan
anak laki-laki si perempuan menjadi wali sah
mereka.7
Selain perubahan yang berkaitan dengan
hak perempuan, dikeluarkan pula kebijakan yang
bertujuan mengubah proses pemilu dan institusi
negara menjadi lebih demokratis. Hal ini terlihat
dalam pemilu legislatif 2002 yang dipandang
sebagai “turning point” yang dalam hal ini pihak
pemerintah mengurangi campur tangan dalam
proses pemilu. Lebih lanjut, pemerintah juga
Emanuela Dalmasso & Francesco Cavatorta, “Political Islam
in Morocco: Negotiating the Liberal Space Post 2003”, Working
Papers in International Studies, Centre for Intenational Studies,
Dublin City University, No. 4, 2011, hlm.3.
6
7
Ibid., hlm.70.
Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 249 memberikan kesempatan kepada parlemen untuk
terlibat dalam pembuatan kebijakan ketimbang
menyandarkan sepenuhnya kepada eksekutif
yang ditunjuk oleh Raja.8
Sementara itu, ditengah perkembangan
politik Maroko yang sangat dinamis, politik Islam
yang mendapat dukungan dari kalangan bawah
dapat berperan secara signifikan. Berdasarkan
analisis Laskier dan Dalmasso & Cavatorta,
terdapat empat kelompok Islam politik di
Maroko, yakni pertama, kelompok toleran
Jama’at al-Adl wal-Ihsan (Justice and Charity),
pimpinan Syekh Abd al-Salam Yasin; kedua,
Hizb al-Adala wal-Tanmiyya (The Party for
Justice and Development), dipimpin oleh Dr.
Abd al-Karim Khatib dan Abd al-Illah Benkiran;
ketiga, kelompok radikal Salafiya Jihadiya
(Salafist Jihad); keempat, kelompok Sufi Zaouiya
Boutchichia.9
Kelompok pertama, Jama’at al-Adl wal-Ihsan
(Justice and Charity/ JC), merupakan kelompok
semi-legal yang sangat popular di masyarakat.
Kelompok ini beroperasi seperti gerakan sosial
yang memberikan pelayanan dan bantuan
kepada masyarakat miskin. Al-Adl didirikan
oleh Syekh Abd al-Salam Yasin. Debut politik
Yasin dimulai pada 1974, ketika mengirimkan
surat kepada Raja Hassan II, berjudul alIslam wal-Tufan (Islam and the Deluge), yang
meminta Raja memegang teguh ajaran Islam dan
meninggalkan kebijakan-kebijakan yang tidak
Islami. Dalam surat tersebut, Yasin mengkritik
imperialisme monarki, dekadensi Westernisasi,
dan ketidakadilan sosial. Respons Raja adalah
dengan memenjarakan Yasin selama tiga tahun.
Setelah bebas, Yasin kemudian mempublikasikan
majalah Islam al-Jama’a, yang menjadi fondasi
awal gerakannya. Setelah al-Jama’at dibekukan
pada 1983, Yasin kemudian mempublikasikan
harian al-Subh. Harian ini kemudian dibekukan
juga dan Yasin pun harus dipenjara kembali
selama dua tahun. Meski diberi sedikit ruang
bernafas, namun al-Adl tetap mendapat kekerasan
8
Ibid., hlm. 4.
Michael M. Laskier, “A Difficult Inheritance: Moroccan
Society under King Mohammed VI”, Middle East Review of
International Affairs”, Vol.7, No.3, 2003, hlm.4; Lihat juga,
Dalmasso & Cavatorta, hlm. 4.
sistematis dari polisi.10 Wafatnya Raja Hassan
II dan diangkatnya Raja Muhammad VI justru
membuat aktivitas al-Adl meningkat. Hal ini
disebabkan karena dua faktor, yakni pertama,
reformasi sosial yang dilakukan monarki baru
kontradiktif dengan prinsip-prinsip Islam; kedua,
karena kebijakan rezim pemerintahan baru yang
membuka kebebasan politik dan ekspresi kultural
yang lebih luas.
Kelompok kedua, Hizb al-Adala walTanmiyya (The Party for Justice and Development/
PJD), merupakan partai politik yang para
pemimpinnya mau berpartisipasi dalam sistem
politik dan dibolehkan untuk aktif dalam
politik. Hal ini berbeda dengan kelompok al-Adl
yang bersikap oposan. Partai Al-Adala (PJD)
dibentuk dari gabungan organisasi-organisasi
Islam moderat dan kelompok pendukung
Kerajaan. Di bawah nama the Constitutional
and Democratic Popular Movement (MPDC),
koalisi ini bertarung dalam pemilu legislatif
1997 dan berhasil masuk parlemen pertama kali
dengan memenangkan 9 kursi. Pada 1998, terjadi
perubahan nama partai menjadi the Justice and
Development Party. Dalam pemilu legislatif
2002, PJD memenangkan 42 dari 295 kursi,
serta menjadi salah satu kekuatan politik utama
di Maroko.11 Setelah empat tahun pemerintahan
koalisi pimpinan PJD berjalan, pada 5 September
2015, Maroko menyelenggarakan pemilu lokal
dan regional. Dalam pemilu lokal, partai oposisi
the Authenticity and Modernity Party (PAM)
berhasil memenangkan suara terbanyak dengan
6.655 kursi di dewan lokal, atau 21,12%, diikuti
oleh Partai Istiqlal dengan 5.106 kursi, atau
16,22%, sedangkan PJD menduduki urutan
ketiga dengan 5.021 kursi atau 15.94%.12 Meski
mengalami kekalahan dalam pemilu lokal, PJD
berhasil memenangkan 174 kursi dalam pemilu
regional, atau 25,66% memimpin perolehan suara
di beberapa kota besar.
Berbeda dengan al-Adl/JC, PJD tidak
mempersoalkan fondasi politik kerajaan Maroko.
Partai itu mendukung monarki dan tidak
10
Laskier, ibid., hlm. 4-5.
11
Ibid., hlm. 9.
9
“PJD Comes Third in Morocco’s Local, First in Regional
Elections”, Kuwait News Agency, 5 September 2015, (diakses
pada 16 Oktober 2015).
12
250 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 menyerukan retorika perubahan sosial yang
bertujuan membentuk negara islam. Sebaliknya,
PJD memandang bahwa negara dan masyarakat
tidak perlu di-Islamisasi karena Maroko
sudah merupakan negara Muslim. PJD teguh
memegang prinsip mempertahankan identitas
Islam masyarakat Maroko melalui legislatif dan
institusional tatkala identitas tersebut terancam.
Kelompok ketiga, Salafiya Jihadiya
merupakan kelompok radikal yang bertujuan
menggulingkan pemerintahan melalui cara
kekerasan. Kelompok ini merupakan minoritas
dan tidak mendapat banyak dukungan, namun
disinyalir bertanggungjawab dalam peristiwa
penyerangan pada Mei 2003 di Kasablanka.
Secara historis, eksistensi kelompok ini berawal
pada 1980an, tatkala Raja Hassan II mengizinkan
Arab Saudi untuk menyebarkan paham Wahabi
untuk meng-counter Islam politik di Maroko.
Konsekuensinya, generasi baru ulama radikal
disekolahkan di Arab Saudi, termasuk Omar
al-Haddouci, Hassan Kettani, Ahmed al-Raffiki,
Abdelkarim Chadli dan Muhammad Fizazi.
Semua tokoh-tokoh ini merupakan ideolog
kunci dari Salafiya Jihadiya. Sebagaimana
yang telah disinggung bahwa eksistensi Arab
Saudi di Maroko adalah untuk meng-counter
perkembangan Islam Politik. Arab Saudi
merupakan negara tempat lahirnya ideologi
Wahabi yang sangat mendukung Salafiyyah
Jihadiyyah, karena itu wajar kiranya banyak para
ulama yang belajar di Saudi untuk memperkuat
pemahaman keagamaan akan Islam dan Jihad.
Pasca Perang Teluk 1991, para tokoh ulama
ini menjaga jarak dengan Arab Saudi yang
dianggap turut membantu invasi AS dan mulai
mengkritisi orotitas kerajaan Maroko. Secara
ideologis, Salafiya Jihadiya terinspirasi oleh
tulisan dan pidato dari Sayyid Qutb, Omar Abd
al-Rahman, Abu Qatada dan Osama bin Laden.
Doktrin yang dihasilkan berupa versi radikal dari
Salafisme yang ingin menggulingkan monarki
melalui jalan kekerasan. Salafiya Jihadiya
menolak demokrasi dan menuduh rezim Maroko
sebagai murtad. Salafiya Jihadiya mengklaim
bahwa aksi lokal melawan kaum Musllim yang
murtad lebih penting ketimbang perang melawan
orang kafir.13
13
Thomas Renard, “Moroccan Crackdown on salafiya Jihadiya
Kelompok keempat, Sufi Zaouiya
Boutchichia, merupakan kelompok yang memiliki
hubungan dekat sekaligus pendukung monarki.
Kelompok sufi ini seringkali dipinggirkan
dalam kajian politik Maroko, meski merupakan
aktor penting yang berperan dalam pengakuan
legitimasi monarki. Peran penting dari kelompok
ini adalah sebagai penghubung kelompok relijius
kelas menengah dengan monarki. Gerakan
ini beraliansi dengan monarki dalam bidang
politik dan sosial, dan dapat dimobilisir untuk
menghadapi oposisi kelompok Islam lainnya.14
Ditengah proses transisi politik
menuju pemerintahan yang demokratis dan
berkembangnya politik Islam, Maroko harus
menghadapi tantangan lainnya yakni ancaman
terorisme. Serangan bom pada 16 Mei 2003 di
Kasablanka meruntuhkan keyakinan sebelumnya
bahwa Maroko “immune” dari aksi terorisme.
Aksi bom tersebut dilakukan dengan target
yakni pusat komunitas Yahudi, restoran dan
klub sosial Spanyol, hotel, dan Konsulat Belgia,
yang menewaskan 41 orang dan lebih dari 100
orang luka-luka. Pihak otoritas Maroko kemudian
menuding kelompok Jamaa Islamiya Moukatila
Maghrebia (the Moroccan Islamic Combat
Group/ GICM) bertanggungjawab atas aksi
terorisme tersebut.
Aksi terorisme di Maroko ini mendapat
perhatian dunia internasional dan menunjukkan
bahwa aksi ini merupakan konsekuensi dari
kehadiran gerakan teroris transnasional di
wilayah Maroko. Kelompok GICM yang
didirikan oleh Nafia Noureddine yang berkaitan
erat dengan kelompok radikal Salafiya Jihadiya,
disinyalir memiliki afiliasi dengan Al Qaida yang
memperoleh pelatihan milliter dan bantuan materi
dari Osama bin Laden. PBB, AS, dan Inggris
kemudian memasukkan kelompok GICM ke
dalam daftar organisasi teroris yang berbahaya.
Pada 10 Oktober 2002, PBB mengeluarkan
larangan beroperasi bagi kelompok tersebut di
bawah Resolusi Dewan Keamanan 1267. Di
tahun yang sama, pemerintah AS memasukkan
Recruitment of Fighters for Iraq”, Terrorirism Focus, Vo.5,
No.27, 23 Juli 2008, dalam http://www.jamestown.org/
programs/tm/single/?tx_ttnews[tt_news]=5072&no_cache=1#.
ViWayytlTcc, (diakses pada 20 Oktober 2015).
14
Ibid., hlm. 9.
Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 251 kelompok GICM ke dalam organisasi teroris
asing. Sejalan dengan AS, di bawah UU Terorisme
2000, pemerintah Inggris memberlakukan
hukuman tahanan 10 tahun bagi anggota GICM.
Dalam konteks melawan radikalisme di
Maroko, pemerintah AS berpandangan bahwa
kelompok Islam moderat sebaiknya dilibatkan
dalam proses demokratisasi, seperti dilibatkannya
partai PJD. “The PJD can act as a buffer against
Al-Qaeda inspired groups that seeks to mobilize
the poorest and most marginalize. That is
what the US seems to think”.15 Ada pula yang
berpandangan bahwa meningkatnya partisipasi
politik dari kelompok Islam moderat merupakan
cara terbaik untuk mencegah berkembangnya
ekstrimisme di Maroko.
Problematika Kekuatan Politik Islam di
Sudan
Sudan termasuk dari negara yang memiliki
tingkat pembangunan manusia yang rendah
(low development index countries) namun tetap
memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan
negara-negara Afrika lainnya. Sektor yang
paling menonjol dari Sudan adalah pendidikan,
yang membuat tingkat literasi di negara tersebut
mencapai 71.9 persen, sebuah angka yang
cukup tinggi diantara negara-negara low
development index.16 Namun Sudan memiliki
tingkat pengangguran yang cukup tinggi dengan
pendapatan perkapita perhari hanya $ 2.7 per hari
(sekitar $ 987 per tahun). Belum lagi didukung
dengan tingkat korupsi yang amat fatal dari
pemerintahan Omar Bashir yang membuat
Sudan berada pada tingkat 173 dari 175 negara.17
Berkaitan dengan pengelolaan negara yang
koruptif dan konflik sipil yang panjang, Sudan
berada pada negara yang tergenting nomor 4
Erik Fattorelli,”Morocco between Terrorism, Islamism, and
Democratisation: a Cosmetic Approach”, 2009, dalam http://
www.ssoar.info/ssoar/bitstream/handle/document/11883/ssoar2009-fattorelli-morocco_between_terrorism.pdf?sequence=1,
(diakses pada 18 Oktober 2015).
15
16
Data HDR 2014.
“Sudan: Economic Indicators”, dalam http://www.
tradingeconomics.com/sudan/indicators, diunduh pada 10
Agustus 2015 ; ICG, “Divisions in Sudan’s Ruling Party and the
Threat to the Country’s Future Stability,” Crisis Group Africa
Report No. 174, 4 Mei 2011, hlm. 13.
17
dari yang paling bawah dalam daftar Fragile
State Index.18
Islam merupakan agama mayoritas di Sudan
yang mencapai 97% pada pasca lepasnya Sudan
Selatan dari wilayah kekuasaan Sudan. Mayoritas
Muslim Sudan adalah Sunni yang menganut
madzhab Maliki. Banyak diantara fuqaha, orang
yang memiliki otoritas untuk mengajarkan
Islam, adalah ulama sufi yang mengajarkan
mistisisme. Kuatnya sufisme ini seiring dengan
Islam datang ke Sudan dengan proses Islamisasi
dan Arabisasi dari negara-negara Afrika Utara
melalui perdagangan, pernikahan campuran
(dengan orang Arab) dan interaksi yang intens.19
Melekatnya Islam dalam masyarakat Sudan
melalui sufisme yang hadir dalam tariqah-tariqah
yang kuat dikalangan Muslim konservatif, yang
dibawa oleh ulama-ulama Arab, memiliki
dampak politik yang panjang.20 Penguasaan
gerakan Al-Mahdi yang memerintah Sudan pada
masa kekuasaan Turko-Egyptian dan AngloEgyptian memberikan warna tersendiri bahwa
Islam dan politik begitu erat di Sudan. Hubungan
lintas batas antara Mesir dan Sudan yang terjadi
dalam praktek perdagangan perbudakan di Darfur
dan Khartoum yang memiliki potensi ekonomi
besar telah membuat eksistensi ras Arab menguat
di bagian utara Sudan yang pada akhirnya
berkembang menjadi identitas yang berbasis ras.21
Dalam perkembangannya, ras Arab menduduki
status yang lebih tinggi dan secara otoritarian
menguasai sumber-sumber politik dan ekonomi
sehingga menentukan pembentukan identitas
nasional Sudan yang berbasis Arab dan Islam.22
Fragile State Index 2015, http://library.fundforpeace.org/
library/fragilestatesindex-2015.pdf, (diakses pada 10 Agustus
2015).
18
Maruyama Daisuke, “Redefining Sufism in Its Social and
Political Contexts: The Relationship between Sufis and Salafis
in Contemporary Sudan,” Kyoto Bulletin of Islamic Area
Studies, 8 Maret 2015, hlm. 40–56.
19
H.A. MacMichael, A History of the Arabs in Sudan, and
Some Accounts of the People who Preceded Them and of the
Tribes Inhabiting Darfur, (Cambridge: Cambridge University
Press, 2011)
20
Mohamed Ibrahim Nugud, Slavery in the Sudan: History,
Documents, and Commentary, (New York: Palgrave Macmillan,
2013)
21
Amir H. Idris, Sudan’s Civil War: Slavery, Race, and
Formational Identities, (Lewiston: Edwin Mellen Press, 2001),
22
252 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 Sedangkan ras Afrika Sudan mendapatkan
posisi yang lebih rendah meskipun sebagian dari
mereka juga memiliki status sebagai Muslim
(Islam) terutama yang berdomisili di wilayah
Darfur sebagai akibat dari stereotype perbudakan
di masa lalu. Dalam hal ini, gerakan Islam muncul
sebagai bentuk perlawanan terhadap politik
rasisme dan otoritarianisme di Sudan.23
Bashir memberangus partai-partai politik
dan menekan gerakan tokoh-tokoh oposisi agar
lebih mudah melakukan dominasi politik. Hal
ini tidak mengherankan jika kita melihat trend
bahwa rezim militer diktator yang berkuasa
di Sudan muncul melalui serangkaian kudeta
militer. Kediktatoran ini telah menciptakan
iklim yang negatif terhadap pertumbuhan
demokrasi sehingga memunculkan gerakangerakan perlawanan yang terinisiasi oleh ideologi
Ikhwanul Muslimin (IM) yang telah ada sejak
awal kemerdekaan dengan tokoh sentral Hassan
Turabi (ICF/NIF/PCP) dan Al-Mirghani (NUP/
DUP). Berkembangnya IM di Sudan tidak lepas
dari faktor geo-politik yang mempengaruhinya,
dimana Sudan merupakan negara yang berbatasan
langsung dengan Mesir tempat lahirnya gerakan
IM. Keterkaitan Khartoum dan Kairo tidak hanya
erat dalam bidang ekonomi tetapi juga bidang
pendidikan. Meskipun tidak secara utuh dan
menyeluruh, Universitas Khartoum sebagian
besar masih berkiblat pada universitas al-Azhar
baik secara akademis maupun aktivisme. Selain
itu, Sudan dan Mesir memiliki keterkaitan dan
keterpengaruhan sejarah yang panjang dalam
bentuk kekuasaan (Turko-Egyptian rule) dan
penjajahan (Anglo-Egyptian rule), sehingga
perubahan sosial-politik di Mesir akan memiliki
pengaruh besar bagi Sudan.
Sedangkan Sadiq Al-Mahdi (Umma Party)
merupakan transformasi institusional dari gerakan
Al-Mahdi yang pernah berkuasa di Sudan.
Gerakan-gerakan Islam semacam Ikhwanul
Muslimin merupakan gerakan modernis yang
berbasis perkotaan (urban-centred modernist
movements) yang dekat dengan politik dan
adaptif dengan perubahan sosial yang ada.
Terutama jika dibandingkan dengan pola-pola
bab 4.
Amir H. Idris, Conflict and Politics of Identity in Sudan, (New
York: Palgrave, 2005)
23
organisasi sufisme yang tradisional (traditionbound sufi order), sehingga keberadaannya tidak
mendapatkan dukungan penuh dari grass root
terutama kalangan sufi tradisional.
Relasi rezim militer Omar Bashir dengan
gerakan-gerakan Islam mengalami pasang surut
dalam bentuk koalisi dan konfrontasi, misalnya
merekrut Hasan Turabi untuk membentuk
partai bersama di NCP karena Bashir masih
mempercayai potensi kuat dari politik Islam
untuk mendukung kekuasaannya. Hal yang
menjadi sangat identik di perpolitikan Sudan
adalah fokus yang sangat berlebihan dikalangan
elit politik untuk mencari dukungan dari masa
gerakan Islam, sehingga kehidupan Islam
seakan dipaksa untuk selalu terkait dengan
politik negara. Hal ini pula yang menjadi strategi
Omar Bashir untuk melanggengkan pengaruh
politiknya di Sudan.
Serangkaian momentum politik dan
gelombang Arab Spring dari negara-negara Afrika
Utara membuat gerakan oposisi menggeliat.
Gejala Arab Spring telah menumbuhkan gerakan
new intifada di Sudan. Meskipun terjadi di
berbagai kota besar, gerakan ini belum berdampak
masif bagi terjadinya regime change di Sudan.
Padahal jika kita menilik kondisi perekonomian
Sudan yang cukup parah, terutama setelah
lepasnya beberapa kilang minyak yang menjadi
suplai utama anggaran negara jatuh ke tangan
Sudan Selatan dan krisis ekonomi sebagai akibat
dari mismanagement dalam pemerintahan,
seharusnya gerakan new intifada bisa membawa
perubahan politik yang fundamental di Sudan.
Kegagalan ini disebabkan karena tidak adanya
tokoh sentral simbol perlawanan pasca Arab
Spring. Kelompok oposisi terkemuka justru
terpecah antara tokoh oposisi Hasan Turabi dan
Sadeq el Mahdi. Protes yang terjadi di tahun
2011 hingga 2015 masih bersifat sporadis dan
tidak masif, dukungan yang kuat dari militer
sehingga rezim secara represif dan otoriter masih
bisa meredam protes masa, dan tidak tersedianya
ruang bagi publik untuk melakukan perlawanan
dan mengekspresikan ketidaksetujuannya
terhadap pemerintah.
Keengganan Bashir untuk berkompetisi
secara fair yang diiringi kekuatan militer yang
mendukungnya secara kuat membuat masa depan
Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 253 kehidupan demokratis di Sudan terlihat suram.
Hal ini membuat masyarakat Sudan memiliki
pengalaman yang kurang memadai dalam
membangun kehidupan lingkungan politik yang
kompetitif dan multi partai. Pemilu di Sudan
tidak dilakukan secara reguler dengan periodesasi
tertentu, misalnya secara umum pemilu di
negara-negara dunia setiap 5 tahun sekali. Hal
ini karena yang paling memungkinkan adalah
perang sipil dengan Sudan Selatan (dulu Sudan)
pada pasca kemerdekaan dan disusul konflik sipil
di wilayah Darfur. Selain itu, Sudan termasuk
negara yang sering berganti sistem politiknya
tergantung rezim yang berkuasa dan kestabilan
politik negara.
Serangkaian konflik sebelum pisahnya
Sudan Selatan membuat data yang akurat tentang
pemilu Sudan sangat sulit didapatkan. Namun
pisahnya Sudan Selatan dan menurunnya konflik
membuat pemilu di Sudan semakin menapaki
titik terang. Pemilu tahun 2015 merupakan
pemilu presiden dengan tingkat partisipasi
terendah yaitu sekitar 46.40 %. Meski demikian,
persentase kemenangan Bashir cukup tinggi
hingga mencapai 94.05% jika dibandingkan
pemilu sebelumnya 75.68% (1996), 86.5%
(2000), dan 68.24% (2010).24 Hasil ini justru
membuktikan popularitas dan legitimasi Bashir
pada pemilu 2015 semakin rendah. Kemenangan
ganjil ini sebenarnya disebabkan oleh beberapa
kondisi, pertama, protes yang terjadi sepanjang
tahun 2011-2015 sebagai pengaruh dari Arab
springs dan keterpurukan ekonomi. Kedua,
pasca pisahnya Sudan Selatan, Bashir kehilangan
momentum untuk menciptakan ancaman
bersama (common enemy) bagi memonopoli
dukungan rakyat. Ketiga, terjadinya boikot
terhadap pemilu 2015 yang dilakukan kalangan
oposisi: Shadiq Al-Mahdi (Umma Party/UP),
Hassan Turabi (People Congress Party/PCP) dan
Al-Mirghani (Democratic Unionist Party/DUP)
serta masyarakat Darfur yang apatis terhadap
perubahan politik Sudan pada paska pemilu
2015.25
Lihat http://www.espac.org/presidential_pages/presidential_
parliamentary.asp; http://www.ipu.org/parline-e/reports/
arc/2297_00.htm, diunduh pada 2 April 2015; “Elections in
Sudan,” http://africanelections.tripod.com/sd.html, (diakses
pada 18 Oktober 2015).
24
25
Adela Suliman, “’More of the same’: Bashir sweeps Sudan
Secara eksplisit pemerintah Sudan
mempersepsikan bahwa pasca lepasnya Sudan
Selatan, Sudan merupakan pemerintahan
negara Islam yang hampir seluruh penduduknya
beragama Islam sehingga tidak diperlukan lagi
proses-proses Islamisasi untuk meng-Islam-kan
seperti yang dilakukan oleh gerakan-gerakan
Islam. Namun rendahnya partisipasi pemilu
legislatif pada tahun 2015 ini memberikan dugaan
dan indikasi lain, terutama kasus boikot yang
dilakukan oleh oposisi yang sebagian besar dari
kalangan gerakan Islam seperti Hassan Turabi
(PCP) dan Sadiq Al-Mahdi (UP). Indikasi ini
juga terlihat dari perolehan DUP yang meningkat
dari 4 kursi pada pemilu 2010 menjadi 40 kursi
pada pemilu legislatif 2015 (hasil akumulasi DUP
pimpinan Al-Mirghani dan DUP pimpinan Jalal
Al-Digair). Bisa jadi pemilu 2015 ini merupakan
awal dari kebangkitan menguatnya eksistensi
partai-partai Islam di Sudan.
Meskipun mengalami serangkaian perang
sipil yang panjang dengan gerakan separatis Sudan
People Liberation Movement/Army (SPLM/A) di
wilayah selatan dan Sudan Liberation Movement
(SLM) di Darfur– yang memancing “campur
tangan” internasional-- gerakan oposisi Islam
yang dipelopori oleh Turabi, Sadiq Al-Mahdi
dan Al-Mirghani memberikan harapan yang
konsisten akan pertumbuhan demokrasi di Sudan.
Namun pada sisi lain gerakan Islam-militeristik
yang dibawa oleh Bashir dan penguasa militer
sebelumnya menggunakan politik otorianistik
dalam menjalankan roda pemerintahan terasa
kontra produktif bagi pembentukan iklim
demokrasi dan penguatan civil society. Meskipun
tidak mengarah pada politik totalitarianisme
namun Sudan masih harus menapaki jalan yang
panjang menuju demokrasi.
Problematika Kekuatan Politik Islam di
Somalia
Somalia dihadapkan pada kekacauan politik dan
konflik sosial yang tak berkesudahan. Berbagai
kasus, seperti perebutan sumber daya alam,
sengketa perbatasan, pembajakan, perang antar
election,” http://www.aljazeera.com/news/2015/04/bashirsweeps-sudan-election-150427111551251.html, (diakses pada
15 Oktober 2015).
254 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 suku, dan kekacauan politik selalu mewarnai
lembaran sejarah negara multi etnis ini, bahkan
di tengah euforia Arab Spring yang menjadi
momentum bagi perubahan iklim politik di
sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara,
Somalia justru terjebak dalam perang sipil yang
akut sebagai imbas dari warisan era kolonialisme.
Situasi ini mengantarkan Somalia menjadi negara
gagal (failed state).26
Di tengah krisis yang berkepanjangan,
para tokoh dan pemimpin di Somalia berusaha
untuk membangun kembali negara melalui
upaya rekonsiliasi dan konsolidasi politik. Pada
tahun 2009, parlemen transisi (Transitional
Federal Parliament/TFP) memilih pimpinan The
Alliance for Re-Liberation of Somalia (ARS),
Syekh Sharif Ahmad sebagai presiden pertama
dengan perdana menteri Umar Abdurrashid
Ali Sharmarke. Seiring berakhirnya masa
pemerintahan interim, pada Agustus 2012,
terbentuk National Constituent Assembly/NCA
yang menjadi cikal bakal berdirinya pemerintahan
federal Somalia.27 Dalam pemilu pertama yang
diselenggarakan NCA pada September 2012,
Hassan Syekh Mahmoud berhasil unggul dalam
perolehan suara mengungguli pesaingnya dari
Islamic CourtsUnion/ICU, Syekh Sharif Ahmad.
Terbentuknya Pemerintah Federal Somalia
dibawah pimpinan Hassan Syekh Mahmoud
menjadi langkah awal penegakkan demokrasi
di Somalia.
Tercapainya rekonsiliasi pada era 2009-2012
tidak lepas dari peran klan dan kelompok Islam
Sufi yang memang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan sosial-politik Somalia.28 Diantara
klan utama yang mempunyai peran signifikan
dalam politik Somalia adalah Darood, Ishaaq,
Dir, dan Hawiya. Darood adalah klan terbesar di
Somalia yang sebagian besar menempati wilayah
timur laut dan barat daya Somalia, tepatnya di
lembah Jubbah, sebelah utara Kenya. Mantan
presiden Siyaad Barri dan Abdillah Yusuf Ahmad
“The Failed State Index 2011”, The Fund for Peace, dalam
http://www.fundforpeace.org, diunduh pada 4 September 2015.
26
Nuruddin Farah, et.al, Somalia : A Nation Without A State,
Life and Peace Institute, (Stockholm: The Nordic Africa
Institute, 2007).
27
Jason Mosley, “Somalia’s Federal Future : Layered Agendas,
Risks and Opportunities”, Africa Programme, September 2015.
28
berasal dari klan ini. Sementara klan Ishaaq
terkonsentrasi di utara, sebagian wilayah tengah
dan selatan. Dari kedua suku ini berkembang tiga
tarikat terbesar, yaitu Qadariyyah, Ahmadiyyah,
dan Salihiyyah.29 Tradisi Islam sufi yang damai
dan selaras dengan hukum adat menciptakan
tatanan sosial yang harmonis selama berabadabad, karena itu kelompok Islam sufi lebih
mengedepankan pendekatan humanis ketimbang
bersikap radikal dalam menghadapi setiap
persoalan di Somalia.
Hubungan antara Islam dan klan di Somalia
pun sudah berlangsung sejak lama, bahkan
sebelum Islam sendiri sampai di Madinah dan
mencapai puncaknya ketika terjadi migrasi kaum
muslimin sekitar abad ke-8 ke wilayah pesisir
Somalia akibat instabiitas sosial-politik di Jazirah
Arab. Kehadiran dua tokoh sufi, Abdurrahman
bin Ismail al-Jabrti atau yang lebih dikenal
dengan Syekh Darood dan Syekh Ishaaq bin
Ahmad Al-Alawi –keduanya satu silsilah dengan
nabi Saw- memperkuat relasi antara Islam dan
klan di Somalia.30 Keduanya menetap di utara
Somalia sampai beranak pinak dan melahirkan
konfederasi dua klan terbesar saat ini, yakni
Darood dan Ishaaq. Dalam perkembangannya,
kedua klan ini menjadi cikal bakal lahirnya
gerakan Islam –khususnya tarekat sufi- di
Somalia. Salah satu tokoh dari klan Darood,
Syekh Syarif Ahmad menjadi pelopor pergerakan
politik kelompok sufi di Somalia yang memilih
untuk melakukan rekonsiliasi dengan pemerintah
transisi dan membentuk pemerintahan koalisi
ARS yang merupakan gabungan antara kelompok
Islam moderat non-radikal di Somalia.
Secara historis, kebangkitan sufisme di
Somalia dimulai pada abad ke-19 di bawah
pimpinan tokoh sufi terkemuka Syekh Muhyiddin
bin Syekh Uwais dengan beberapa muridnya
yang mengembangkan aliran tarekat Qadariyyah.
Hal yang menarik adalah bahwa sufi Somalia
tidak seperti kebanyakan sufi umumnya yang
terbiasa tinggal dalam lingkungan zaawiyah
atau surau melainkan turut beraktivitas dalam
berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan.
Pada tahun 1952, sejumlah tokoh sufi Islam
Lihat, Abdurrahman M. Abdullahi, “Islamism and Politics
in Somalia”, Chatham House, 2012.
29
30
Ibid.
Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 255 mendirikan Somalia Islamic League/Liga
Islam Somalia sebagai reaksi dari maraknya
kristenisasi di Somalia.31 Meski demikian, masih
tetap saja ada diantaranya yang bereaksi melalui
jalur ekstremisme, seperti halnya Ahlussunnah
Wal Jama’ah yang bereaksi terhadap simbol
kemusyrikan dan budaya barat yang berkembang,
bahkan tidak sedikit pula yang bergabung dengan
gerakan Ash-Shabab. Perbedaan interpretasi
dalam memaknai prinsip-prinsip Islam menjadi
salah satu faktor munculnya kelompok sufi yang
lebih reaksioner.
Pasca kemerdekaan 1961, gerakan Islam
kontemporer muncul dengan berbagai coraknya.
Gerakan ini dipelopori oleh beberapa alumnus
perguruan tinggi Islam terkemuka di Timur
Tengah yang kemudian mempromosikan ide-ide
keislamannya dengan membentuk sejumlah
gerakan Islam di Somalia. Gerakan Islam yang
terkenal adalah Harokah Al-Ittihad Al-Islami
yang didirikan pada tahun 1982. Gerakan ini
menginspirasi lahirnya gerakan Islam moderat
dan radikal, seperti Al-Islah, Al-Itisham, Hizb
al-Islam, Ash-Shabab, dan Salafiyyah Jadidah.
Sebelumnya sudah ada gerakan Islam serupa,
yakni Harokah An-Nahdah yang berdiri tahun
1967 di Mogadishu, Wahadaat ash-Shabab
al-Islami tahun 1969 dan Jamaat Ahlal Islam.
Para aktivisnya menjadi motor pergerakan Islam
dalam menentang rezim militer-sosialis.32
Oleh karena itu, keberadaan gerakan Islam
sangat ditentang rezim Siyaad Barri dengan
menetapkan undang-undang yang melarang
berdirinya gerakan dan organisasi massa Islam di
Somalia. Banyak para aktivisnya yang ditangkap
dan mengasingkan diri ke Sudan, Mesir, Yaman,
dan Arab Saudi. Mereka memperjuangkan Islam
dari luar dan membangun jaringan dengan gerakan
Islam transnasional, seperti IM, Salafiyyah,
Jama’ah Tabligh dan Jama’ah Jihadiyyah. Pasca
lengsernya Siyaad Barri, gerakan Islam semakin
menemukan momentumnya dengan maraknya
aktivitas Harokah Da’wah Islamiyyah yang
dipelopori oleh para ulama dan pemuda Somalia
melalui penguatan peran dakwah Islam di sekolah
maupun lembaga pendidikan. Mereka bahkan
31
Ibid.
32
Ibid.
mengisi kekosongan hampir di semua lini,
baik dalam berdagang maupun aktivitas sosial
kemasyarakatan.
Selain semaraknya dakwah Islam, Islam
di Somalia juga diwarnai dengan munculnya
gerakan Al-Islah yang didirikan oleh sejumlah
tokoh IM di Somalia yang bertujuan menjaga
nilai-nilai budaya Somalia dan menerapkan
prinsip Islam dalam bernegara. Karena itu, dalam
setiap aktivitasnya gerakan ini kerap bertentangan
dengan rezim sosialis, sehingga banyak diantara
para tokohnya seperti Syekh Mohammed Ahmad
Nur, Dr. Ali Syekh Ahmed, Dr. Mohamed Yusuf
Abdi, Syekh Ahmad Rasyid Hanafi, dan Syekh
Abdullah Ahed Abdullah yang menjadi musuh
rezim dan sejak lama hidup dipengasingan.33
Dibawah pimpinan Syekh Mohammed Ahmed
Nur, al-Islah menjadi gerakan Islam yang
inklusif dan anti kekerasan. Kelompok ini lebih
mengedepankan dakwah Islam melalui metode
pendidikan Islam moderat sebagaimana yang
digagas oleh Abduh maupun Al Afghani.
Meski mendapat sambutan dari masyarakat
kelas menengah, keberadaan gerakan Islam
sekelas IM di Somalia tidak begitu kuat
terlebih jika dibandingkan dengan IM di Mesir
maupun Sudan. Hal itu tidak lepas dari belum
berkembangnya iklim intelektual (kampus)
di Somalia sehingga kekuatan IM yang biasa
berkembang dalam lingkungan intelektual Islam
dapat dikatakan tidak begitu berperan secara
signifikan. Selain itu, iklim politik Somalia yang
sarat akan konflik dan perebutan kekuasaan
lebih mendorong lahirnya gerakan Islam radikal,
seperti Ash-Shabab maupun Hizb Al-Islam.
Dengan kata lain, Somalia menjadi rumah yang
nyaman bagi perkembangan gerakan Islam
Jihadiyyah.
Sementara itu, kelompok Islam SalafiyyahJihadiyyah terefleksikan dengan munculnya
gerakan Al-Ittihad Almahakim Al-Islamiyyah,
Ash-Shabab, dan Hizb al-Islami. Pada awalnya
tujuan berdirinya gerakan itu adalah sebagai
bentuk perlawanan terhadap rezim Siyaad Barri
disamping untuk mendirikan pemerintahan
yang lebih Islami. Agenda keislaman kelompok
Abdurrahman M. Abdullahi, “The Islah Movement : Islamic
Moderation in War-torn Somalia”, dalam http://www.hiiraan.
com/oct2008/ISLAH.pdf, (diakses pada 20 Maret 2015).
33
256 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 Salafiyyah-Jihadiyyah terlihat dengan
dibentuknya pengadilan Islam atau al-Mahakim
Al-Islamiyyah di sejumlah wilayah dibawah
pimpinan Fuqoha atau seorang yang ahli dalam
hukum Islam. Disini faktor klan menjadi penentu
aktivitas al-Mahakim. Berdirinya sejumlah
pengadilan Islam mendorong kekhawatiran AS
dan negara-negara Barat akan kebangkitan Islam
di Somalia. Mereka mengklaim bahwa kelompok
ini adalah ancaman bagi keamanan regional dan
global.
Disamping membangun jaringan dengan
kelompok Islam lokal, Salafiyyah Jihadiyyah
mempunyai relasi yang kuat dengan kelompok Al
Qaeda in Arabian Peninsula (AQAP). Hubungan
kedua kelompok terjalin sejak awal tahun 2000,
ketika Osama bin Laden secara resmi menyatakan
akan memberikan dukungan finansial dan
fasilitas persenjataan bagi gerakan Islam
Somalia. Dukungan ini jelas menguntungkan
kelompok Islam radikal di Somalia khususnya
setelah melemahnya basis kekuatan Al-Ittihad
Al-Islamiyyah akibat serangan pasukan militer
Ethiopia pada tahun 2002. Untuk mengisi
kekosongan kekuatan Islam, pada tahun 2003
berdiri gerakan Islam baru yang lebih radikal
dikenal dengan sebutan Harokah Ash-Shabab AlMujahidin. Menurut David Shinn, Ash-Shabab
dianggap sebagai gerakan Islam paling kuat di
Somalia setelah kegagalan pemerintahan koalisi
ICU di Mogadishu.34 Kehadiran Ash-Shabab
sebagai garda gerakan Islam radikal di Somalia
menjadikan konflik antara kelompok Islam di
satu sisi dan pemerintah yang didukung kekuatan
militer asing tidak terelakkan lagi. Akibatnya
selama beberapa dekade Somalia didera konflik
akut yang berkepanjangan.
Konflik internal yang berkepanjangan itu
menimbulkan dampak yang cukup signifikan
tidak hanya bagi Somalia tetapi juga bagi sejumlah
negara yang mempunyai kepentingan di wilayah
Timur Tengah dan Afrika. Hal ini mendorong
sejumlah kekuatan politik internasional untuk
terlibat dalam konflik internal Somalia. Ethiopia
adalah negara yang terlibat cukup besar dalam
pusaran konflik Somalia. Keterlibatan itu tidak
lepas dari faktor historis, demografis, maupun
David Shinn, “Al Shabaab’s Foreign Threat to Somalia”,
Foreign Policy Research Institute, 2011.
geografis yang melatarbelakanginya. Secara
historis, sejak masa kolonialisme, kedua negara
kerap berseteru. Pembagian wilayah yang tidak
melihat faktor clanism menjadi awal penyebab
terjadinya konflik. Disamping itu, perbedaan
agama dan budaya semakin meningkatkan
ketegangan kedua negara.
Selain Ethiopia, AS dan negara-negara Barat
ikut terlibat dalam dinamika politik Somalia.
Keterlibatan AS tidak lepas dari dua hal, yakni
kontra-terorisme dan maraknya aksi bajak laut.
Indikasi keterlibatan itu sudah terlihat sejak lama,
bahkan sejak masa pemerintahan Siyaad Barri,
ketika kekuatan AS bercokol untuk mengkanter
menyebarnya paham sosialis-marxisme di
Somalia. Kemudian intervensi AS semakin
meningkat pada tahun 2001 terutama pasca
tragedi WTC. Wendy Sherman, Wakil Menteri
Luar Negeri AS, menyatakan dalam pidatonya,
“A secure and united Somalia weakens the forces
of extremism that threaten other countries,
including the United States”.35 Hal itu juga
diperkuat oleh pernyataan John Norris, bahwa
kepentingan AS di Somalia bukan hanya masalah
kontra-terorisme, tetapi juga karena faktor lain,
yakni bajak laut yang sudah mengakibatkan
kerugian besar bagi perekonomian AS dan
sejumlah negara di dunia. Meski ada upaya untuk
terus meningkatkan intervensi militer di Somalia,
namun belakangan dunia internasional mulai
mencari cara untuk mengatasi krisis Somalia
tanpa intervensi militer. Salah satunya adalah
dengan penyelesaian konflik melalui pendekatan
sosio-kultural-keagamaan dengan mengupayakan
jalan damai antar kekuatan politik dan klan di
Somalia, sehingga jika stabilitas politik dan
keamanan terwujud, maka konflik sosial dan
maraknya aksi bajak laut yang lebih bermotif
ekonomi akan dapat terselesaikan.
Penutup
Agama dan politik (demokrasi) apalagi dalam
konstelasi dunia Islam tampaknya selalu menjadi
wacana menarik untuk diperbincangkan. Bahkan,
kedua hal tersebut seolah menjadi dua sisi mata
uang yang tak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu,
Cunningham menyebutnya sebagai dua hal yang
34
35
Ibid.
Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 257 saling tumpang-tindih (overlapping) dan tidak
pernah berujung, sehingga selalu menemukan
justifikasi untuk menautkan diri.36
Namun, realitas itu acapkali menumbuhkan
kecurigaan dari kalangan sekuleris, yang
senantiasa memandang curiga terhadap peran
agama dalam konteks politik (demokrasi).
Artinya, ketika Islam melekat kepada kehidupan
politik, maka politik Islam dianggap tidak
akan menyediakan tempat bagi tumbuhnya
iklim demokrasi. Namun, pandangan ekstrem
sebaliknya juga menggejala di sebagian kalangan
Islam sendiri, yang apriori terhadap segala konsep
yang lahir dari dunia Barat/sekuler (termasuk
partai politik, pemilu dan parlementariat). Baik
kaum sekuleris maupun kaum Islamis sama-sama
memandang Islam dan demokrasi sebagai sesuatu
yang tidak bisa disandingkan.
Wacana “Islamic exceptionalism” sebagai
dasar tidak selarasnya Islam dan demokrasi
dalam kasus Maroko, Sudan dan Somalia
menjadi kurang tepat. Sebab fenomena
“Arab exceptionalism” tampaknya lebih
bisa mengilustrasikan mengapa mayoritas
negara-negara Arab tidak demokratis.37 Artinya,
tidak adanya demokrasi di dunia Arab selama
berabad-abad bukan akibat tidak kompatibelnya
demokrasi dengan Islam. Melainkan faktor
politico-historis bangsa Arab yang telah lama
mempraktikkan sistem kenegaraan yang bersifat
dinasti-autoritarian.38
Frank Cunningham, “The Conflicting Truths of Religion
and Democracy”, dalam John Rowan (ed.), HumanRights
and Democracy, (Charlottesville, V.A.: Philosophical
Documentation Centre, 2005), hlm.65-80.
36
Konsep Islamic exceptionalism didasarkan pada aggapan
bahwa Islam sebagai faktor/pengecualian yang menyulitkan
tumbuhnya iklim demokrasi. Begitu juga Arab exceptionalism
merupakan sebuah anggapan yang menyatakan budaya Arab
sebagai faktor yang menyulitkan tumbuhnya iklim yang
demokrasi. Riset ini didasarkan pada penelitian pemilu di
47 negara mayoritas Muslim yang menunjukkan bahwa
negara non Arab memiliki iklim pemilu hampir dua puluh
kali lebih kompetitif di bandingkan negara-negara Arab.Lihat
Alfred Stepan dan Graeme B. Robertson, “Arab, not Muslim,
Exceptionalism,” Journal of Democracy, 15, No.4, Oktober
2004, hlm.140-146.
37
Sedangkan yang menjadi kontras adalah bagaimana nilainilai demokratis dalam Islam tersebut diimplementasikan
oleh kalangan radikal dalam bentuk authoritarian, sedangkan
kalangan moderat menafsirkanya dalam koridor yang keadilan
dan Islamis. Lihat, Ahmad S. Mousalli, The Islamic Quest for
Democracy, Pluralism and Human Right, (Florida: University
38
Fenomena Arab Spring, menumbuhkan
kesadaran politik warga negara untuk mendorong
pemerintah menyelenggarakan pemilu dan
menumbuhkan iklim politik yang lebih
demokratis. Dalam kasus Maroko, Sudan, dan
Somalia, meskipun “rezim yang lama” tetap
berkuasa, menguatnya dukungan masyarakat
terhadap partai-partai Islam membuat pemerintah
harus berpikir ulang tentang efektivitas sistem
otoritarian dalam melanggengkan kekuasaan.
Baik di Maroko, Sudan dan Somalia,
gerakan Ikhwanul Muslimin tidak lagi menjadi
hal yang asing baik secara ideologis maupun
gerakan sosial. Tak berlebihan jika Valentine
Columbo, guru besar geopolitik dunia Islam
Universitas Eropa di Roma, menyebut bahwa
Arab Spring hakekatnya bagai musim semi
Ikhwanul Muslimin di jazirah Arab. Sebab pada
kenyataannya organisasi sosial-politik yang
berafiliasi pada Ikhwanul Muslim yang tampil
dominan dalam konstelasi politik demokrasi.
Melihat realitas ini maka peran kekuatan
politik Islam dalam kerangka membangun
demokrasi, pelan tapi pasti kian mapan.
Dibandingkan Somalia, negara Maroko dan
Sudan lebih siap berdemokrasi. Hanya saja
kekuasaan Raja Muhammad IV dan Omar Bashir
yang terlalu besar membuat iklim demokrasi
terhambat untuk tumbuh. Ketidaksiapan negara
dalam menghadapi tumbuhnya kesadaran
demokratis rakyatnya, mendorong pemerintah
menggunakan tangan besi untuk melakukan
monopoli politik. Demokrasi dianggap
sebuah ancaman. Kemenangan partai Islam
dalam kontestasi politik harus berujung pada
pemberangusan seperti kasus FIS Aljazair (1990),
Refah di Turki (1995), Morsi di Mesir (2012). Ini
menegaskan bahwa nihilnya iklim demokrasi di
Timur Tengah adalah “Arab exceptionalism”.
Referensi
Buku
Mousalli, Ahmad S. The Islamic Quest for Democracy,
Pluralism and Human Right. Florida: University of Florida Press. 2003.
of Florida Press, 2003), hlm. 158-167. Baca juga Fares AlBraizat, “Muslim and Democracy: An Empirical Critique of
Fukuyama’s Cultural Approach,” International Journal of
Comparative Sociology, Vol. 43, No. 3-5, 2002, hlm.269-299.
258 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 Idris, Amir H. Conflict and Politics of Identity in Sudan. New York: Palgrave. 2005.
-----,. Sudan’s Civil War: Slavery, Race, and Formational Identities. Lewiston: Edwin Mellen
Press. 2001.
Cunningham, Frank. “The Conflicting Truths of Religion and Democracy”, dalam John Rowan
(ed.) Human Rights and Democracy, Charlottesville, V.A.: Philosophical Documentation
Centre. 2005.
MacMichael, H.A. A History of the Arabs in Sudan,
and Some Accounts of the People who Preceded Them and of the Tribes Inhabiting Darfur.
Cambridge: Cambridge University Press. 2011.
Nugud, Mohamed Ibrahim. Slavery in the Sudan: History, Documents, and Commentary. New York:
Palgrave Macmillan. 2013.
Jurnal
Al-Braizat, Fares. “Muslim and Democracy: An Empirical Critique of Fukuyama’s Cultural Approach”. International Journal of Comparative
Sociology. Vol.43. No. 3-5. 2002.
Laskier, Michael M. “A Difficult Inheritance: Moroccan Society under King Mohammed VI”.
Middle East Review of International Affairs.
Vol.7. No.3. 2003.
Maruyama, Daisuke. “Redefining Sufism in Its Social and Political Contexts: The Relationship
between Sufis and Salafis in Contemporary
Sudan”. Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies. Vol.8. 2015.
Stepan, Alfred & Robertson, Graeme B. “Arab, not
Muslim, Exceptionalism,” Journal of Democracy, Vol.15. No.4. 2004.
Warburgm, Gabriel R. “Islam and the State in Numayri’s Sudan”. Journal of the International
African Institute. Vol. 55. No. 4. 1985.
Makalah
Abdullahi, Abdurrahman M. “Islamism and Politics
in Somalia”. Chatham House. 2012.
Dalmasso, Emanuela & Cavatorta, Francesco. “Political Islam in Morocco: Negotiating the Liberal
Space Post 2003”. Working Papers in International Studies No. 4. Centre for Intenational
Studies, Dublin City University. 2011.
ICG. “Divisions in Sudan’s Ruling Party and the
Threat to the Country’s Future Stability”. Crisis
Group Africa Report. No. 174. 2011.
Mosley, Jason. “Somalia’s Federal Future : Layered
Agendas, Risks and Opportunities”. Africa Programme. 2015.
Nuruddin, Farah, et.al . “Somalia : A Nation Without
A State”. Life and Peace Institute, The Nordic
Africa Institute : Stockholm. 2007.
Shinn, David. “Al Shabaab’s Foreign Threat to Somalia”. Foreign Policy Research Institute. 2011.
Internet
Abdullahi, Abdurahman M, “Islamism and Politics in
Somalia,” dalam https://www.chathamhouse.
org/sites/files/chathamhouse/public/Research/
Africa/120612summary.pdf, diunduh pada 13
November 2015.
------------, “The Islah Movement : Islamic Moderation in War-torn Somalia”, dalam http://www.
hiiraan.com/oct2008/ISLAH.pdf, diunduh pada
15 Oktober 2015.
Ahmed, Nazeer, “The Murabitun in the Maghreb,”
dalam http://historyofislam.com/murabitun/,
diunduh pada 11 November 2015.
“Elections in Sudan”, dalam http://africanelections.
tripod.com/sd.html, diunduh pada 18 Oktober 2015.
Fattorelli, Erik, “Morocco between Terrorism, Islamism, and Democratisation: a Cosmetic
Approach”, 2009, dalam http://www.ssoar.
info/ssoar/bitstream/handle/document/11883/
ssoar-2009-fattorelli-morocco_between_terrorism.pdf?sequence=1, diunduh pada 18 Oktober 2015.
“Fragile State Index 2015”, dalam http://library.fundforpeace.org/library/fragilestatesindex-2015.
pdf, diunduh pada 10 Agustus 2015.
http://www.espac.org/presidential_pages/presidential_parliamentary.asp, diunduh pada 2 April
2015.
http://www.ipu.org/parline-e/reports/arc/2297_00.
htm, diunduh pada 5 Maret 2016.
“PJD Comes Third in Morocco’s Local, First in Regional Elections”, Kuwait News Agency, 5 September 2015, diunduh pada 16 Oktober 2015.
“Sudan: Economic Indicators”, dalam http://www.
tradingeconomics.com/sudan/indicators, diunduh pada 10 Agustus 2015.
Problematika Kekuatan Politik Islam di Maroko ... | Nostalgiawan Wahyudhi | 259 Suliman, Adela, “’More of the same’: Bashir sweeps
Sudan election,” http://www.aljazeera.com/
news/2015/04/bashir-sweeps-sudan-election-150427111551251.html, diunduh pada 15
Oktober 2015.
Thomas, Renard, “Moroccan Crackdown on salafiya
Jihadiya Recruitment of Fighters for Iraq”, Terrorism Focus, Vo.5, No.27, 2008, dalam http://
www.jamestown.org/programs/tm/single/?tx_
ttnews[tt_news]=5072&no_cache=1#.ViWayytlTcc, diunduh pada 20 Oktober 2015.
“The Failed State Index 2011”, The Fund for Peace,
dalam http://www.fundforpeace.org, diunduh
pada 4 September 2015.
260 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 245–260 MEMBANGUN KEMANDIRIAN DESA DALAM BINGKAI
OTONOMI DAERAH
INDEPENDENCE VILLAGE BUILDING IN FRAME
OF REGIONAL AUTONOMY
Yusuf Maulana
Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jln. Jend Gatot Subroto No.10, Jakarta
Email : [email protected]
Judul Buku
Pengarang
Penerbit
Tahun Terbit
Tebal
: Membangun Kemandirian Desa
: Didik G. Suharto
: Pustaka Pelajar
: 2016
: 288 Halaman
Abstract
Issues surrounding the village is complex. Especially the issue of decentralization in the village are not clear,
which is related to the position of the village and the expected impact of decentralization. The existence of the
problem structure and function of rural government institutions are not in accordance with the needs of the village
and its people. Then the problem changes in the structure and the function has not contributed to the independence
of the village. How these changes could create the potential independence of the village can be awakened
Keywords: village, decentralization, autonomy, institutional.
Abstrak
Persoalan yang melingkupi desa cukup kompleks. Terutama persoalan pelaksanaan desentralisasi di tingkat
desa yang belum jelas, yang terkait posisi desa dan dampak desentralisasi yang diharapkan. Adanya masalah struktur
dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa yang belum sesuai dengan kebutuhan desa dan masyarakatnya. Kemudian masalah perubahan struktur dan fungsi tersebut belum memberikan kontribusi kepada kemandirian desa.
Bagaimana perubahan tersebut bisa membuat potensi kemandirian desa bisa terbangun
Kata Kunci : Desa, Desentralisasi, Otonomi Daerah, Kelembagaan.
Pendahuluan
Disahkannya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang
Desa seakan menjadi akhir penantian dan
perjuangan panjang dari segenap elemen desa.
Ribuan kepala desa, perangkat desa, dan aktivis
pro-desa lainnya tak pernah lelah melakukan
pergerakan, baik melalui forum-forum ilmiah
hingga aksi jalanan, baik di daerah maupun
berdemontrasi ke Jakarta untuk mendesak
pengesahan undang-undang desa.
Latar belakang dibentuknya UU Desa
tersebut berangkat dari adanya anggapan
bahwa pembangunan nasional justru
menciptakan kesenjangan antara desa dan kota.
Pembangunan yang bias perkotaan semakin
memperbesar disparitas antara kota dan desa.
Membangun Kemandirian Desa ... | Yusuf Maulana | 261 Negara berkembang, termasuk Indonesia lebih
mengkosentrasikan pembangunan ekonomi pada
sektor industri untuk mengejar pertumbuhan. Ini
mengakibatkan pembangunan hanya terpusat
di kota dan kepentingan masyatakat desa
terkesampingkan.
besar menjembatani sejumlah persoalan yang
telah diuraikan di atas. Selo Soemardjam selalu
menyoroti betapa sulitnya menempatkan posisi
dan format desa. Pendapatnya adalah sebagai
berikut :
“Mengenai
pembentukan
daerah-daerah
administratif pada umumnya tidak dijumpai
masalah-masalah yang berarti, baik secara
hukum maupun politis. Sebaliknya menghadapi
desa, negeri, marga dan sebagainya yang
diakui sebagai daerah istimewa tampaknya ada
berbagai pendapat yang berbeda-beda yang
sampai sekarang belum dapat disatukan dengan
tuntas. Perbedaan pendapat itu mengakibatkan
keragu-raguan pemerintah untuk memilih
antara sistem desentralisasi dua tingkat, yaitu
dengan daerah otonom tingkat I dan tingkat II
ditambah tingkat III”2
Sementara masalah yang terjadi di desa
yang hingga saat ini terjadi memperlihatkan
bahwa sistem pemerintahan desa yang berlaku
sejak Indonesia merdeka hingga kini di Era
Reformasi terbukti belum menjadi sebuah
sistem yang konsisten dalam mencapai tujuan
mensejahterakan masyarakat desa. Kompleksitas
persoalan tersebut berakar pada persoalan
seputar pelaksanaan desentralisasi, khususnya
penyelenggaraan pemerintah desa.
Dari sisi kelembagaan, pengaturan mengenai
desa cenderung mengalami penurunan kualitas
dalam aspek demokratisasi. Persoalan penurunan
kualitas demokratisasi paling nampak terjadi pada
institusi Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Institusi yang mencerminkan demokrasi desa
mengalami erosi kelembagaan. BPD mengalami
penurunan posisi legal formal kedudukan
dan peranan yang terlihat dan tidak tegasnya
kedudukan BPD sebagai lembaga legislatif desa
dan mekanisme pengisian keangotaaan BPD
yang semula dipilih langsung menjadi ditetapkan
secara musyawarah mufakat berdasar perwakilan
wilayah1.
Beragam persoalan pemerintah desa
itu pada intinya bersumber kepada struktur
dan fungsi kelembagaan pemerintahan desa
yang masih bermasalah. Untuk menentukan
struktur dan fungsi kelembagaan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat atau organisasi
pemerintah desa itu sendiri tidak mudah. Secara
teoritis, belum ada pedoman atau ukuran-ukuran
baku yang mengidentifikasi struktur dan fungsi
kelembagaan pemerintahan desa yang sesuai
kebutuhan masyarakat/organisasi. Juga belum
ada pengelompokan bentuk atau klarifikasi desa
sebagai wujud keberagaman karakteristik desa
yang bisa diterima luas.
Perspektif umum dari buku ini berpandangan
bahwa faktor struktural dan fungsional
kelembagaan desa dinilai memiliki pengaruh
Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 3
1
Desentralisasi Pemerintahan
dalam UU Desa
Daerah
Dalam desentralisasi yang dianut oleh NKRI,
pelaksanaan pada pemerintah desa selama ini
belum nampak jelas, terutama posisi desa dan
dampak desentralisasi yang dihasilkan. Kebijakan
desentralisasi seharusnya mampu menjadi
solusi terhadap permasalahan yang terjadi di
pemerintah desa. Dalam sistem desentralisasi,
pemerintahan di level bawah (daerah dan
desa) sudah sepatutnya diberikan kewenangankewenangan untuk mengatur urusan rumah
tangganya sendiri. Demikian pula hubungan
antar pemerintahan, yang termanifestasi dalam
hubungan desa dengan supra-desa, logikanya
dapat mewujudkan hubungan antara ordinat dan
sub-ordinat yang harmonis sehingga tercapai
kemandirian desa.
Merujuk pada pendapat Norton,
desentralisasi kepada desa dapat dibenarkan
tetapi harus melihat sejauh mana partisipasi
masyarakat. Salah satu bentuk partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan daerah adalah
melakukan desentralisasi pada unit-unit
pemerintahan yang lebih kecil di daerah tersebut
(decentralization within cities). Tujuannya untuk
memungkinkan masyarakat mengartikulasikan
atau menyampaikan kebutuhan mereka,
membawa kekuasaan lebih dekat dengan rakyat,
Ditjen PMD Depdagri, Naskah Akademik RUU tentang Desa,
2007, hlm. 17
2
262 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 261–267 dan menarik berbagai partisipan ke dalam sistem
politik.3
Menurut Suharto desentralisasi dapat
dikelompokan dalam dua definisi, yaitu definisi
dari perspektif administrasi dan perspektif politik.
Persepektif desentralisasi politik menerjemahkan
desentralisasi sebagai devolusi dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah; sedangkan
persepektif desentralisasi administrasi diartikan
sebagai pendelegasian wewenang administratif
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.4
Implementasi kebijakan desentralisasi akan
melahirkan pemerintahan lokal di negara yang
bersangkutan.5 Sebagai instrumen desentralisasi,
pemerintah lokal memiliki peran lain. Pertama,
pemerintah lokal dapat menjadi senjata yang
efektif untuk menyalurkan tekanan lokal,
menyatakan dan menyatukan kepentingan
lokal. Kedua, pemerintah lokal dapat lebih
memberikan suatu pelayanan secara efisien
daripada pemerintah pusat. Ketiga, pemerintah
lokal dapat merencanakan, dengan pemahaman
yang jauh lebih baik atas persoalan yang ada di
wilayahnya, berbagai rancangan untuk kemajuan
sosial, ekonomi dan sumber daya manusia yang
lebih efisien daripada pemerintah nasional.
Keempat, pemerintah lokal dapat memastikan
pertanggungjawaban yang lebih baik tentang
pejabat publik kepada para warga kota, karena
mereka lebih dekat dengan masyarakatnya.
Terakhir, pemerintah lokal dapat menjadi saluran
komunikasi yang lebih efektif untuk memastikan
berjalannya kebijakan pemerintah pusat dengan
baik.
Merujuk dari negara-negara di kawasan
Eropa barat, dimana desa cenderung dilihat
sebagai lembaga-lembaga administratif berbasis
komunitas teritorial sebagai bagian alami
dari suatu kesatuan organ di dalam aspekaspek politik masyarakat dan menekankan
harapan tentang solidaritas di dalam dan
antar masyarakat. Negara-negara Anglophone
cenderung menganut pandangan instrumental dan
Alan Norton,” Internasional Handbook of Local and Regional
Government, (UK: Edward Elgar Publishing, 1997), hlm.
106-107
3
4
Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, hlm. 36
Bambang Supriyono, “Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis
Masyarakat Kultural”, (Universitas Brawijaya, 2010), hlm. 13
5
pragmatis tentang pemerintah yang memandang
kepentingan nasional tidak lebih dari sekadar
hasil persaingan kepentingan swasta. Di Eropa
Barat mencerminkan sikap non-ekonomis dan
non-utilitarian terhadap hubungan politik. Di
Eropa Barat Pemerintah pusat menganggap
pemerintah daerah memperoleh legitimasi dari
masyarakat daerah. Konsep-konsep dan nilainilai dibentuk oleh filsafat sosial, moral dan
politik yang diekspresikan melalui saluran politik
telah memainkan sebuah peranan penting.6
Sementara dalam konstitusi di Indonesia,
posisi pemerintahan daerah sangat kuat, karena
tercantum dalam UUD 1945. Pasal 18 UUD RI
1945 menyebutkan “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan
kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang
diatur undang-undang”. Aturan turunan dari
pasal tersebut adalah UU Nomor 23 tahun 2014
tentang pemerintah daerah yang menyangkut asas
penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah.
Di pasal 5 ayat (4) disebutkan, penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah dilaksanakan
berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan.
Menariknya, pada UU Desa No. 6 Tahun
2014 ini, yang lebih dahulu dibentuk adalah UU
Desa, baru setelah UU Desa disahkan barulah
UU pemerintah daerah yang disahkan. Pada UU
pemerintahan daerah sebelumnya yaitu UU No.
32 tahun 2004, pemerintah daerah hanya berhenti
pada pemerintah kabupaten/kota, di mana desa
bukan merupakan unsur dalam pemerintahan
daerah. Sedangkan pada UU pemerintah daerah
yang baru yaitu UU No. 23 tahun 2014, posisi desa
dimasukkan ke dalam bagian dari pemerintahan
daerah yang mempunyai asas rekognisi sebagai
pengakuan adanya pemerintahan desa.
Menyangkut sumber pendapatan desa,
ketentuan pada masa lalu dan era UU No.
32/2004 berbeda dibanding UU No. 6 2014 yang
berlaku sekarang. Pendapatan desa sekarang
meliputi sumber: (a) pendapatan asli desa
(PADesa), (b) alokasi anggaran dan pendapatan
belanja negara, (c) bagian dari hasil pajak daerah
dan retribusi daerah kabupaten/kota, (d) alokasi
6
Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, hlm. 42
Membangun Kemandirian Desa ... | Yusuf Maulana | 263 dana desa yang merupakan bagian dari dana
perimbangan yang diterima kabupaten/kota, (e)
bantuan keuangan dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah provinsi/kabupaten/kota, (f) hibah
dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak
ketiga dan (g) lain-lain pendapatan desa yang sah.
Sementara pada masa UU No. 32 tahun
2004, sumber pendapatan desa meliputi PADesa,
bagi hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/
kota, bagian dari dana perimbangan keuangan
pusat dan daerah, bantuan dari pemerintah pusat,
provinsi hingga kabupaten/kota dan sumbangan
pihak ketiga. Pada masa lalu, penghasilan dapat
dibagi menjadi lima macam, kalau dipandang
dari sudut penyelenggaraan rumah-tangga
desa, yaitu: tenaga warga-desa atau tebusannya
berupa uang, hasil usaha di lapangan pertanian
yang berupa barang atau uang, hasil perusahaan
desa, penghasilan yang langsung di peruntukan
membayar kepala dan pemerintah desa, serta
pajak desa, urunan desa, dan subsidi pemerintah
pusat.
Masuknya negara dan pengaruh sistem
administrasi modern mendorong perubahan
terhadap sistem pemerintahan desa dan pranatapranata sosial yang ada dalam komunitas
masyarakat. sementara didaerah ada beberapa isu
kritis tentang pemerintahan desa: (a) kedudukan
dan kewenangan desa; (b) perencanaan
pembangunan desa; (c) keuangan desa; (d)
demokrasi desa, khususnya tentang posisi
dan peran badan permusyawaratan desa; serta
birokrasi desa. Senada dengan pendapat tersebut,
pendapat lainnya menguraikan isu-isu kritis yang
terkandung dalam otonomi desa yang selama ini
dalam perhatian.
Pertama, adalah isu ketatanegaraan dan
pemerintahan. Kedudukan dan kewenangan desa
menjadi titik sentral dalam semesta pembicaraan
tentang otonomi desa. Kedua, isu adat dan
lokalisme, hampir semua masyarakat berusaha
mempertahankan pemerintahan adat itu adan
pada saat yang sama pemerintah berupaya
melakukan intervensi dan modernisasi terhadap
pemerintahan adat agar sesuai dengan tujuan
dan kepentingan nasional. Ketiga, isi ekonomi
politik. Tarik menarik antara pemerintah dengan
masyarakat lokal yang terus menerus berlangsung
sebenarnya merupakan bentuk pertarungan
antara negara dan modal dengan masyarakat
lokal memperebutkan kuasa atas tanah dan
penduduk. Keempat, desa umumnya mempunyai
keterbatasan sumber daya lokal. Berdasarkan
kalkulasi nominal, desa umumnya mempunyai
keterbatasan luas wilayah, jumlah penduduk,
potensi desa, dan lain-lain.7
Menata kelembagaan menuju
kemandirian desa
Untuk mengkaji struktur dan fungsi suatu
organisasi atau lembaga, terlebih dahulu perlu
dipahami mengenai bagian-bagian pokok dari
organisasi. Suharto menawarkan konsepsi
Henry Mintberg tentang lima bagian pokok
dari organisasi relevan diketengahkan. Dimana
Mintzberg menjelaskan, pada bagian dasar
terdapat operating core, di mana operator
menjalankan pekerjaan pokok organisasi baik
input maupun output, hal tersebut identik dengan
dinas daerah dan kecamatan. Bagian tengah ada
middle line yang bertugas mengoperasionalkan
strategi yang dibangun, hal ini identik dengan
sekretaris daerah. Dan di bagian tertinggi
terdapat strategic apex yang bertugas melakukan
supervisi langsung, melakukan hubungan dengan
lingkungan, dan pengembangan strategi, hal
tersebut identik dengan kepala daerah.8
Sementara dalam mengkaji kelembagaan
pemerintahan desa, dipandang tepat untuk
mencermatinya dari perspektif pembangunan
lembaga (institution building). Model
pembangunan lembaga adalah suatu teori elitis
dengan suatu prasangka rekayasa sosial yang
eksplisit. Perubahan-perubahan terjadi dari atas ke
bawah, bukan dari bawah ke atas, dan perubahanperubahan tersebut dipimpin oleh orang-orang
yang sampai batas tertentu memiliki wewenang
atau sanksi resmi. Wahana perubahannya adalah
organisasi formal yang mungkin birokratis
sifatnya, yang mengumpulkan kemampuankemampuan teknis dan komitmen-komitmen
nilai yang diperlukan untuk mengadakan
inovasi dan untuk mendorong dan melindungi
mereka dalam lingkungan yang relevan untuk
organisasi. Lingkungannya adalah sekumpulan
7
Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, hlm. 60
8
Ibid.,hlm. 75
264 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 261–267 organisasi atau kelompok , yang masing-masing
bekerja komunikasi-komunikasi intern, sehingga
informasi dapat bergerak dengan cepat dan
karenanya memperlancar tindakan yang lebih
cepat dan rasional dan dalam sumber-sumber
dukungan sosial. Pembangunan yang efektif
sangat perlu bagi modernisasi dan pembangunan
bangsa.
Kemandirian dalam pembangunan desa
erat kaitannya dengan otonomi daerah, dalam
konsep otonomi terkandung kebebasan untuk
berprakarsa untuk mengambil keputusan, baik
politik maupun administratif. Secara teoritik,
jika desa terlepas dari intervensi negara maka
aplikasi kekuasaan dan kewenangan yang telah
didesentralisasikan berlangsung lebih leluasa.
Asumsinya, dalam keadaan berlangsungnya
otonomi, desa memperoleh kewenangan yang
lebih besar di tangan politisi lokal, dan tersedia
ruang pemberdayaan civil society di desa.
Kekuasaan besar yang dimiliki politisi lokal akan
bermanfaat bagi pengembangan desa jika disertai
kapasitas yang memadai dan kesadaran serta
tanggung jawab politik yang besar pula Dalam
pandangan tersebut, otonomi desa menjadi
prinsip dasar yang harus dikembangkan.
Berdasarkan perspektif pemerintahan daerah,
kemandirian dalam pengelolaan kewenangan
daerah adalah dasar untuk mewujudkan efisiensi,
akuntabilitas, pengendalian, dan otonomi.
Kemandirian dalam pengelolaan dapat terwujud
apabila memenuhi beberapa prinsip. Pertama,
pengambilan keputusan harus terjadi pada
tingkatan terendah pemerintahan yang konsisten
dengan tujuan efisiensi alokasi sumber daya.
Kedua, keselarasan batasan politik dengan
kemanfaatan atau keuntungan yang diperoleh,
untuk itu diperlukan yuridiksi untuk setiap jenis
layanan publik. Ketiga, kejelasan yuridiksi yang
berkaitan dengan kewenangan pusat dan daerah
menyangkut penyediaan setiap barang publik
harus disediakan dengan batasan yuridiksi yang
jelas melalui kontrol yang bersifat terbatas.
Keempat, belanja dan fungsi regulasi harus
berada pada tingkatan pemerintahan terendah.9
Pendapat lain menyatakan bahwa jika
hendak memahami dan mendesain otonomi
Supriyono, Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat
Kultural, hlm. 35
9
desa secara lebih maksimal maka otonomi desa
bukan sesuatu yang asli dan lokalistik, tetapi
otonomi desa yang sepadan dengan otonomi
daerah sebagai implikasi dari desentralisasi.
Otonomi desa dalam konteks desentralisasi
berarti menempatkan desa sebagai local selfgovernment, bukan sekadar self-government
community yang asli. Apabila mengikuti skema
desentralisasi antara self-governming community
dan self-government bukan dua status desa
yang bertentangan. Prinsip dasar pertama,
desentralisasi merupakan bentuk pengakuan
negara terhadap self-governing community,
dan prinsip selanjutnya adalah pembagian
kewenangan dan keuangan kepada desa untuk
membuat desa sebagai local self-government.10
Dalam memandang kemandirian desa,
Suharto membatasi dalam dua pokok persoalan,
Pertama, Kemandirian administratif/ekonomi
yang memandang tingkat kemandirian
dapat diamati dari proporsi Pendapatan Asli
Desa(PADesa) dibanding pendapatan desa
secara keseluruhan. Kontribusi desa terhadap
seluruh pendapatan desa pada umumnya masih
sangat minim dan terbatas.11 Sumber pendapatan
desa dari dulu hingga sekarang relatif tidak
memberikan pendapatan bagi desa secara
signifikan. Ketidakmampuan untuk meningkatkan
pendapatan desa tersebut dikarenakan potensi
komponen sumber pendapatan desa relatif
kurus atau dengan kata lain tidak memberikan
hasil optimal. Mayoritas pendapatan desa dalam
APBDes berasal dari sumbangan/bantuan dari
pemerintah supra-desa. Kenyataan sebaliknya
terjadi dalam hal kemandirian masyarakat.
Masyarakat relatif mandiri dalam membangun
desa, yang dibuktikan dari antusiasme masyarakat
untuk berswadaya.
Kedua, kemandirian politik desa antara
lain dapat dilihat dari proses rekruitmen/
pembinaan aparatur, pertanggungjawaban
aparatur, perwujudan hak-hak politik/partisipasi
masyarakat, kemandirian dalam pembuatan
kebijakan, kebebasan dalam mengekspresikan
asal-usul desa dan adat istiadat. Kemandirian
politik di desa sangat dipengaruhi karakteristik
Eko Sutoro dan Abdul Rozaki, Prakarsa Desentralisasi dan
Otonomi Desa, (Yogyakarta: Ire Press, 2005), hlm. 45
10
11
Didik Suharto, Membangun Kemandirian Desa, hlm. 84
Membangun Kemandirian Desa ... | Yusuf Maulana | 265 pemerintah desa dan BPD. Dari sisi kuantitas
maupun kualitas, realitas kondisi aparatur
pemerintah amat terbatas. Struktur pemerintahan
desa yang lemah secara kualitas menjadi
hambatan pelayanan bagi warga masyarakat
dan peningkatan kinerja organisasi. Semakin
tidak mampu pemerintah desa menyelesaikan
tugasnya, maka dorongan terhadap keberhasilan
kemandirian desa juga akan cenderung semakin
tergantung kepada pemerintah tingkat di atasnya.
Dari analisis kondisi kemandirian desa
yang disampaikan, ada berapa faktor yang
mempengaruhi kemandirian desa. Secara umum,
kedudukan dan kewenangan desa masih sangat
terbatas. Kapasitas pemerintahan desa dipandang
juga belum mampu menyelenggarakan urusannya
dengan maksimal. Desa dihadapkan kepada
permasalahan pengorganisasian, sumber daya
manusia dan pendanaan untuk melaksanakan
urusan yang menjadi kewenangan desa. Di pihak
lain, pemerintahan supra-desa serasa enggan
berbagi kekuasaan dan sumber daya dengan desa.
Faktor internal yang mempengaruhi
kemandirian desa adalah kapasitas sumber daya
manusia, manajemen pemerintahan termasuk
kepemimpinan kepala desa. Kekompakan internal
pemerintah desa dan eksistensi lembaga-lembaga
desa merupakan tantangan sekaligus persoalan
bagi pemerintah desa dalam menjalankan
pemerintahan dan pembangunan. Perubahan
struktur dan fungsi kelembagaan desa berpotensi
menimbulkan ketidaksolidan internal pemerintah
desa. Manajemen pemerintahan yang kurang
tertata menyebabkan pemerintah desa kurang
bisa mendorong pemerintahan desa.
Sedangkan faktor eksternal yang
mempengaruhi kemandirian desa adalah faktor
regulasi yang banyak mempengaruhi pola
kemandirian atau ketergantungan desa. Penulis
banyak mengupas kemandirian desa dengan
membandingkan antara periode UU No. 32
tahun 2004, UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 5
Tahun 1979 di mana perubahan regulasi tersebut
melahirkan perubahan atas unsur atau komponen
pemerintahan desa. Perubahan status aparatur
desa seperti sekretaris desa menjadi pegawai
negeri sipil (PNS), aturan tentang kades terutama
soal penghasilan dan masa jabatan kepala desa,
dan pengaruh terhadap keuangan desa. Poin-poin
tersebut secara langsung maupun tidak langsung
dapat mempengaruhi struktur kemandirian desa.
Untuk mencermati faktor-faktor yang
mempengaruhi kemandirian desa dikaitkan
dengan struktur dan fungsi kelembagaan
desa, penulis menawarkan teori strukturisasi
dari Giddens, struktur dipandang sebagai
aturan-aturan dan sumber daya yang terlibat
secara terus menerus dalam reproduksi sosial;
unsur-unsur terlembagakan sistem sosial
memiliki kelengkapan-kelengkapan struktural
dalam pengertian bahwa hubungan-hubungan
distabilkan di sepanjang masa dan ruang. 12
Komposisi antara para agen dan struktur-struktur
bukanlah dua perangkat fenomena-fenomena
tertentu yang saling terpisah atau sebuah
dualisme, melainkan mewakili sebuah dualitas.
Menurut Giddens, salah satu proposisi utama teori
strukturasi adalah aturan-aturan dan sumber daya
yang dilibatkan dalam produksi dan reproduksi
tindakan sosial sekaligus merupakan saranasarana reproduksi sistem (dualitas struktur).
Struktur sebagai perangkat aturan dan sumber
daya yang terorganisasikan secara rutin berada di
luar ruang dan waktu.13 Sebaliknya sistem sosial
yang secara rutin melibatkan struktur terdiri dari
aktivitas-aktivitas tertentu para agen manusia dan
reproduksi di sepanjang ruang dan waktu.
Didik Suharto di akhir pembahasannya
melengkapi kajian dengan sebuah model
rekomendasi dalam membangun kemandirian
desa. Pertama, Penekanan desentralisasi hingga
ke tingkat desa. Jika selama ini kewenangan desa
hanya terkait dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
direkomendasikan perlu lebih besar kewenangan
urusan berdasar asas desentralisasi di desa dan
diberikan otonomi yang lebih besar. Kedua, arah
desentralisasi yaitu: kebebasan bertanggung
jawab, desentralistik, semi hierarkis, local
democracy model, keberagaman, dan kesadaran
partisipatif harus terus ditingkatkan. Ketiga,
pemerintahan supra-desa dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa idealnya tidak mengulangkan
kedaulatan desa. Keempat, Kedudukan desa perlu
diperjelas dan diperkuat. Perlu ada kapasitas
12
Ibid., hlm. 239-240
Anthony Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-Dasar
Pembentukan Struktural Sosial Masyarakat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010).
13
266 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 13 No. 2 Desember 2016 | 261–267 lokal yang memadai dan peluang kepada desa
untuk mandiri. Kelima, dalam hal struktur
kelembagaan, struktur pemerintahan desa
sebaiknya didesain lebih fungsional, adaptif, dan
sederhana tanpa mengabaikan fungsi pelayanan
publik dan pemberdayaan masyarakat.
Penutup
Buku yang mengangkat isu mengenai kemandirian
desa yang ditulis oleh Didik Suharto ini dengan
jelas menggambarkan persoalan yang dihadapi
desa. Dia melihat terdapat persoalan serius
ketika kebijakan sistem pemerintahan desa yang
telah mengalami perubahan beberapa kali, tetapi
implikasi nyata bagi kemakmuran desa dirasa
masih belum terlihat. Dalam konteks seperti ini,
kebijakan terkait sistem pemerintahan desa perlu
di evaluasi. Kemandirian desa menjadi titik tolak
sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam rangka
mewujudkan kemajuan desa dan kesejahteraan
masyarakat desa. Penulis buku ini mencoba
memotret dan menganalisis kemandirian desa
itu dari sudut pandang kebijakan publik,
terutama saat berlakunya perundang-undangan
tentang desa yang berubah-ubah di mana cukup
memberi warna bagi proses penyelenggaraan
pemerintahan desa selama ini.
Dari ulasan bab-bab di buku ini, dapat ditarik
benang merah bahwa terdapat sejumlah persoalan
strategis yang dihadapi desa. Pertama, dan
menjadi hal mendasar adalah terkait kedudukan
desa. Tanpa menafikan faktor kelemahan yang
bersumber dari internal desa seperti kualitas/
kuantitas SDM dan sarana/prasarana pemerintah
desa, stagnasi atau kelambatan pembangunan
desa amat dipengaruhi oleh pemerintah supradesa dalam hal ini adalah pemerintah pusat.
Realitas bahwa kemajuan desa dan kesejahteraan
masyarakat desa belum bisa terwujud selama
ini terutama disebabkan oleh tidak jelasan atau
lemahnya posisi desa dalam sistem pemerintahan
nasional. Eksistensi desa hampir-hampir tidak
diakui, dipandang sebelah mata, dan bahkan
sering dianggap sebagai sumber masalah.
Sehingga dari perspektif regulasi maupun
perilaku pemerintahan di tingkat atas (supradesa), cenderung dipinggirkan. Akibatnya, desa
kurang diperhatikan dan tidak diberikan posisi
yang kuat.
Mencermati substansi isi dari UU No.6 tahun
2014 serta dibandingkan dengan undang-undang
sebelumnya (UU No. 32 tahun 2004) terlihat
bahwa secara normatif desa semakin diberikan
kesempatan untuk otonom. Kesempatan otonomi
desa yang kian besar, termasuk dalam hal
penguatan kapasitas kelembagaan, memberikan
harapan baru akan terwujudnya kemandirian
desa di masa depan. Harapan sekaligus tantangan
dalam UU No.6 tahun 2014 tersebut memerlukan
kerja keras dan komitmen dari para stakeholders,
termasuk pemerintahan supra-desa, untuk
mengimplementasikan dan mewujudkannya.
Tanpa itu, harapan baru dari UU No. 6 Tahun
2014 tidak akan membawa makna berarti bagi
kemandirian desa.
Namun dalam buku ini belum begitu terlihat
bagaimana posisi desa dalam menghadapi
undang-undang desa yang baru dan peluang
desa menuju kemandirian politik, sosial dan
ekonomi, dimana penulis lebih mengedepankan
perjalanan kebijakan desa sejak Negara Indonesia
berdiri hingga sebelum implementasi UU No.6
Tahun 2014. Padahal buku ini terbit pada tahun
2016, dimana UU Desa yang baru disahkan pada
tahun 2014. Seharusnya pembahasan mengenai
UU Desa yang baru tersebut lebih komprehensif
dibahas penulis dalam buku ini.
Daftar Pustaka
Ditjen PMD Depdagri. Naskah Akademik RUU
tentang Desa. Jakarta; Kemendagri. 2007.
Eko, Sutoro dan Abdul Rozaki. Prakarsa
Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta
: IRE Press. 2005.
Giddens, Anthony. Teori Strukturasi; Dasar-Dasar
Pembentukan Struktural Sosial Masyarakat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Norton, Alan. Internasional Handbook of Local and
Regional Government. UK: Edward Elgar
Publishing. 1997.
Suharto, Didik. Membangun Kemandirian Desa.
Jakarta : Pustaka Pelajar. 2016.
Supriyono, Bambang. Sistem Pemerintahan Daerah
Berbasis Masyarakat Kultural. Malang:
Universitas Brawijaya. 2010.
Membangun Kemandirian Desa ... | Yusuf Maulana | 267 
Download