PERSIAPAN PERIOPERATIF PADA PASIEN GAWAT DARURAT Dzulfikar DLH Maret 2010 Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak/ FKUP dr. Hasan Sadikin Bandung, Prof.Dr.Nanan Sekarwana, dr., SpA(K), MARS NIP 19491104 197611 1001 Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung DAFTAR ISI I. Pendahuluan 1 II. Tahapan yang Perlu Dilakukan Perioperatif 1 III. Pemeriksaan Penunjang Sebelum Operasi 5 IV. Premedikasi 9 V. Persiapan Perioperatif Lain 9 VI. Persiapan Perioperatif pada Anak dengan Keadaan Khusus 10 VII. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA 14 Persiapan Perioperatif pada Pasien Gawat Darurat I. Pendahuluan Anak-anak sangat berbeda dengan orang dewasa dalam berbagai hal. Perbedaan yang ada meliputi perbedaan anatomi dan fisiologis tubuh. Penilaian perioperatif seorang anak yang akan menghadapi operasi tentunya membutuhkan perhatian khusus meliputi pemahaman menyeluruh terhadap struktur anatomi dan fungsi fisiologis normal seorang anak, pengaruh perjalanan penyakit terhadap kondisi fisik anak serta persiapan obat-obatan dan tindakan perioperatif yang harus dilakukan untuk mempersiapkan kondisi anak seoptimal mungkin dalam menjalani operasi.1,2 Berdasarkan hal ini, jelas terlihat bahwa penilaian perioperatif pada pasien anak memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan suatu tindakan operasi. Penilaian yang optimal akan memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko dari suatu operasi serta menjadi dasar untuktatalaksana post operatif yang memuaskan. Keberhasilan operasi tentunya akan mengurangi morbiditas, meningkatkan kualitas dan harapan hidup seorang anak khususnya dan meningkatkan taraf kesehatan pada umumnya. Dapat terlihat bahwa sesuatu yang tampaknya sederhana ternyata merupakan hal yang sangat bernilai terlebih lagi untuk keselamatan seorang pasien, dalam hal ini anak-anak. 1,2 Dalam referat ini akan dibahas mengenai tahapan yang perlu dilakukan sebelum operasi dan tujuan dilakukannya termasuk pemeriksaan penunjang sebelum operasi. II. Tahapan yang Perlu Dilakukan Perioperatif Supaya tindakan operasi yang dilakukan dapat optimal baik pada saat dilakukannya operasi maupun saat post operatif dibutuhkan penilaian yang teliti mengenai kondisi pasien sebelumnya. Tahapan yang perlu dilakukan dalam persiapan perioperatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan penjelasan mengenai prosedur anestesi yang akan dilakukan berikut manfaat dan resikonya (informed consent). Pembinaan hubungan baik dengan anak dan orangtuanya juga dilakukan saat kunjungan perioperatif. 1-5 Anamnesis Keluhan utama merupakan alasan yang menyebabkan seorang anak dibawa oleh orangtuanya ke dokter. Informasi durasi, onset, progresivitas dan berat ringannya keluhan 1 utama serta keluhan dan gejala yang menyertainya harus digali seteliti mungkin. Riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit dahulu berguna untuk mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatlkan ketidakberhasilan operasi. Riwayat operasi sebelumnya dan pemberian obat yang berhubungan dengan keluhan utama dicatat. Kondisi lain seperti terdapat dyspnea, riwayat sianosis, edema, perdarahan yang sulit berhenti, dan riwayat alergi harus ditanyakan. Obat yang sedang digunakan juga harus diketahui jenis, dosis dan jadwal pemberiannya. Riwayat persalinan, riwayat imunisasi, asupan nutrisi serta pertumbuhan dan perkembangan sebaiknya diperhatikan.2-5 Riwayat penyakit dan silsilah keluarga (family tree) berguna pada penyakit-penyakit kongenital, genetik atau keganasan. Riwayat sosial terutama berperan pada kondisi tempat tinggal dan lingkungan serta perkembangan sosial dan akademik seorang anak. 3-5 Pemeriksaan Fisis Tujuan pemeriksaan fisis adalah untuk identifikasi bagian mana yang akan menjalani operasi dan menyakinkan bahwa sistim organ yang lain dalam keadaan sehat. Pemeriksaan pasien anak harus disesuaikan dengan keadaan setiap anak. 2 Kontrol infeksi dimulai dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah pemeriksaan, selain meyakinkan orang tua bahwa kebersihan merupakan hal penting. Pada anak yang lebih tua dan kooperatif, pemeriksaan dapat sesuai dengan urutan rutin. Pada bayi dapat diposisikan pada meja pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan dengan orang tua pasien berada di samping anak untuk menenangkannya. Pakaian pasien dilepaskan secara menyeluruh supaya pemeriksaan dapat berlangsung seteliti mungkin.1-5 Kulit dan Integumen Lesi atau benjolan didefinisikan sesuai dengan ukuran, bentuk, konsistensi dan mobilitas. Kemerahan (rash) merupakan indikasi proses infeksi atau vaskulitis. Skar dari operasi sebelumnya juga harus dicari. Selulitis dapat timbul setelah trauma seperti laserasi, benda asing atau luka operasi. Abses diindikasikan dengan eritema, indurasi dan fluktuasi. Pada kasus penganiayaan, dapat ditemukan memar dan bekas luka bakar.2 Nodus Limfatikus Limfadenopati dapat terjadi pada berbagai lokasi dan sering melibatkan daerah servikal, aksiler, epitroklear atau inguinal dan umumnya disebabkan oleh infeksi sehingga sumber infeksi harus diidentifikasi pada pemeriksaan. Penyebab dapat bakteri, virus, jamur atau 2 protozoa. Pembesaran kelenjar getah bening juga dapat merupakan tanda metastasis atau keganasan seperti leukemia limfoblastik akut (ALL), penyakit Hodgkin dan limfoma non Hodgkin.2 Kepala, Telinga, Mata, Hidung dan Tenggorokan Perhatikan ukuran dan bentuk kepala. Anak-anak dengan fusi abnormal dari sutura koronaria biasanya tidak normosefalik. Makrosefali atau mikrosefali dapat merupakan petunjuk adanya proses intrakranial. Sklera ikterik menunjukkan disfungsi hati atau kandung empedu dan salurannya. Otitis media juga mudah timbul pada anak-anak. Infeksi jalan napas atas sering terjadi dan ditandai dengan orofaring yang eritematus atau inflamasi turbin nasal disertai rinorea. Pemeriksaan gigi geligi juga penting pada anakanak yang akan dioperasi.2-5 Dinding Dada dan Paru-paru Deformitas bentuk toraks seperti pektus ekskavatum atau pektus karinatum. Berat ringannya deformitas tersebut menentukan kemungkinan adanya gangguan pada fungsi jantung dan paru-paru. Selain itu identifikasi massa di daerah dada (payudara) juga dilakukan terutama pada anak perempuan.2 Bising inosen yang dapat ditemukan pada anak tidak bersifat patologis akan tetapi sering disalahtafsirkan sebagai bising organik sehingga pasien dilakukan pemeriksaan khusus yang tidak perlu. Bising inosen dapat terdengar dari masa neonatus sampai dewasa muda tetapi paling sering terdengar pada usia 3-7 tahun. Beberapa karakteristik dari inosen murmur adalah terdengar pada fase sistolik kecuali dengung vena yang mirip bising kontinu, berupa bising ejeksi sistolik pendek, intensitas rendah dan tidak melebihi derajat 3/6, mungkin melemah bila pasien duduk dan mengeras bila terjadi takikardia akibat demam, latihan atau ansietas, serta tidak disertai dengan kelainan struktural jantung dan pembuluh darah besar. Dengan memperhatikan karakteristik tersebut umumnya bising inosen dapat dipastikan dengan pemeriksaan fisis tanpa pemeriksaan penunjang.6 Pemeriksaan paru-paru harus dilakukan dengan teliti. Suara napas harus bersih dan identik di antara ke dua paru. Proses pada paru-paru dapat ditandai adanya bunyi napas abnormal seperti ronki, wheezing atau crackles.2 3 Abdomen dan Inguinal Pemeriksaan abdomen harus dilakukan secara sistimatis dan lembut. Pertama-tama perhatikan abdomen anak secara menyeluruh, identifikasi bekas luka, lokasi dan panjangnya serta bentuk abdomen. Abdomen skafoid dapat merupakan tanda hernia diafragmatika tetapi normal pada anak yang kurus. Obstruksi usus, massa abdomen atau asites dapat menyebabkan distensi abdomen.2 Selanjutnya mendengarkan suara bising usus. Tidak adanya bising usus mungkin menandakan peritonitis sedangkan suara bising usus yang tinggi menandakan obstruksi usus. Perabaan dapat dilakukan mulai dari daerah yang tidak sakit dan terakhir baru di daerah yang sakit. Rasa lunak difus dapat merupakan tanda peritonitis. Perhatikan apakah nyerinya bersifat superfisial, muskuloskeletal atau viseral.2 Tanda peritoneal seperti rebound dan guarding harus dievaluasi dengan lembut. Ekspresi wajah dan tingkah laku anak merupakan indikator nyeri yang lebih dapat dipercaya dibandingkan verbal. Perabaan dapat memberikan informasi mengenai ukuran, bentuk dan konsistensi massa abdomen.2-5 Pemeriksaan daerah inguinal dilakukan terutama pada hernia atau hidrokel. Valsava maneuver dapat dilakukan bila hernia tidak tampak.2-5 Genitalia Pemeriksaan genitalia anak laki-laki sangat penting pada kasus-kasus seperti hidrokel dan undesensus testis. Teknik transiluminasi dapat berguna untuk visualisasi pada pembesaran skrotum tetapi bukan untuk memastikan diagnosis terutama pada bayi. Pemeriksaan meliputi ukuran, bentuk dan karakter cairan di dalam skrotum.2 Pemeriksaan genitalia pada anak perempuan meliputi fusi labia, himen imperforatus dan perdarahan vagina atau perineal. Penganiayaan anak harus dicurigai bila terdapat robekan atau laserasi pada daerah kemaluan ataupun bila didapatkan cairan keluar dari kemaluan yang menandakan kemungkinan infeksi atau penyakit seksual.2 Rektum Pemeriksaan colok dubur merupakan hal yang traumatik bagi seorang anak dan sebelum pemeriksaan, orang tua harus mendapatkan penjelasan yang akurat.2 Tindakan pertama adalah dengan menemukan apakah terdapat fisura, fistula atau lesi lain yang dapat terlihat dengan membuka muara anus. Selanjutnya dilakukan colok dubur dengan menggunakan jari kelingking pada bayi dan balita dan jari telunjuk pada anak yang 4 lebih besar. Tonus spingter dapat menurun pada pasien dengan anoplasti atau trauma pada otot atau bahkan pada medula spinalis.2 Bila ditemukan massa, tentukan lokasi, ukuran dan konsistensinya. Tumor presakral dapat menyebabkan konstipasi pada anak. Rasa sakit dapat disebabkan fisura anal, apendisitis atau proses inflamasi di daerah pelvis.2 Punggung dan Tulang Belakang Skoliosis dan deformitas spinal lain sering kali tampak jelas selama pemeriksaan punggung. Trauma dapat ditandai dengan memar pada vertebra sedangkan bengkak pada sudut kostovertebra dapat menunjukkan kemungkinan pielonefritis atau apendisitis pada pasien dengan apendik retrosekal.2 Ekstremitas Clubbing dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit kronis, terutama pasien dengan penyakit paru. Sianosis merupakan indikasi dari oksigenasi atau perfusi yang buruk dan harus ditentukan apakah merupakan proses akut atau kronis. Edema dapat menandakan adanya gangguan fungsi ginjal dan jantung. Deformitas tulang sekunder akibat patah tulang panjang menandai kemungkinan adanya penganiayaan anak.2-5 Sistim Saraf Tingkah laku anak dapat memberikan banyak informasi mengenai sistim saraf. Anak yang aktif berinteraksi dan bermain kemungkinan tidak mengalami gangguan neurologis fokal. Pemeriksaan sistim saraf meliputi fungsi saraf kranial, motoris dan sensoris, evaluasi refleks dan fungsi kognitif.2 III. Pemeriksaan Penunjang Sebelum Operasi Pemeriksaan Laboratorium Sebelum Operasi Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi kelainan fisiologis atau metabolisme yang dapat meningkatkan resiko dalam periode perioperatif. Pemeriksaan laboratorium jarang dilakukan pada anak sehat yang dijadwalkan untuk pembedahan rawat jalan. Pemeriksaan foto toraks rutin sebelum operasi rutin pada anak-anak juga tidak cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan akibat anestesi atau pembedahan. Pemeriksaan urin sebelum operasi juga tidak dilakukan pada anak tanpa kelainan ginjal atau kandung kemih.7 5 Situasi akan berbeda pada persiapan perioperatif anak dengan riwayat atau adanya suatu kelainan. Pemeriksaan foto toraks akan sangat membantu pada anak dengan riwayat aspirasi kronis atau penyakit saluran napas bawah. Mengetahui tingkat hemoglobin penting pada anak dengan penyakit anemia sickle cell atau penyakit jantung. Seorang anak yang memiliki penyakit jantung dan sedang menjalani terapi digoksin harus menjalani pemeriksaan natrium, kalium, dan kadar digoksin. EKG dibenarkan dilakukan pada anak dengan Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), Bronchopulmonal dysplasia (BPD), penyakit jantung bawaan, atau skoliosis berat. Kadar elektrolit harus dievaluasi pada anak dengan gagal ginjal atau pada penggunaan diuretik, angiotensin-converting enzyme inhibitor, atau obat lain yang meningkatkan kemungkinan hasil abnormal. Elektrolit juga harus ditentukan pada anak dengan nasogastric atau gastrostomy tube atau nutrisi parenteral. Anak dengan antikonvulsan harus menjalani pemeriksaan kadar obat tersebut di dalam darah untuk memastikan kadar terapetik obat yang diberikan.2-5,7 Pemeriksaan Darah Rutin Pemeriksaan Hb secara selektif dilakukan pada anak dengan penyakit kronis dan anak yang akan menjalani prosedur dengan potensi kehilangan darah yang signifikan. Pemeriksaan Hb harus dilakukan pada bayi berusia kurang dari 6 bulan karena pada usia ini secara fisiologis produksi eritrosit mengalami penurunan tingkat Hb dapat sampai 7 g/dL. Selain itu, pada bayi prematur, tingkat Hb kurang dari 10 g/dL telah dikaitkan dengan peningkatan insidensi apnoe paska operasi Pertimbangan pemberian transfusi tidak hanya didasarkan pada kadar Hb dan hematokrit tetapi berdasarkan atas kehilangan darah yang sedang berlangsung serta faktor hemodinamik.7,8 Transfusi pack red cell (PRC) harus dilakukan pada pasien dengan Hb 7 g/dL tanpa adanya kelainan jantung dan kardiovaskuler. American Collage of Physician menentukan kadar Hb yang sama untuk indikasi transfusi. ASA menentukan Hb 6 g/dL untuk indikasi transfusi sampai kadar Hb 10 g/dL. Canadian Medical Association menentukan kadar Hb 8 mg/dL untuk indikasi transfusi PRC. College of American Pathologists menentukan kadar Hb dibawah 6 g/dL atau kehilangan darah yang masif hingga mencapai lebih dari 30-40%. Norton dkk merekomendasikan kadar Hb 11 g/dL dan kadar hematokrit 33% untuk melakukan operasi dengan kemungkinan post operasi yang optimal.9 Lekopenia terjadi bila jumlah leukosit kurang dari 4000/mm3. Neutropenia terjadi bila hitung jenis neutropenia kurang dari 1000/mm3 pada bayi antara usia 2 minggu-1 6 tahun dan dibawah 1500/mm3 diatas usia 1 tahun. Orang kulit hitam mempunyai kecenderungan netrofil 100-200/mm3 lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih. Terapi yang diberikan adalah pemberian antibiotika yang adekuat, dan pemberian Growthcolony stimulating factor (G-CSF) yang diberikan dengan dosis 0,3µg/kg/hari secara subkutan terbukti dapat jumlah netrofil pada pasien netropenia atau pasien netropenia dengan berbagai sindrom. Sedangkan pemberian kortikosteroid hingga sekarang masih merupakan hal yang kontroversial.Lekositosis terjadi bila jumlah lekosit lebih dari normal menurut usia. Bila lekosit lebih dari 50.000/mm3 dinamakan reaksi lekemoid yang umumnya terjadi pada anak yang mengalami infeksi. Sedangkan hiperlekositosis terjadi bila lekosit lebih dari 100.000/mm3. Hal ini merupakan kegawatdaruratan pada bidang hematologi onkologi. Hiperleukositosis pada umumnya terjadi pada anak-anak dengan penyakit keganasan sehingga membutuhkan tindakan hidrasi. 10 Indikasi untuk dilakukan transfusi trombosit adalah nilai trombosit 10.000/mm3 pada pasien yang stabil, 20.000/mm3 pada pasien dengan adanya keluhan demam atau terdapatnya infeksi, 50.000/mm3 untuk persiapan infeksi dan kadar 50.000-100.000/mm3 untuk keadaan emergensi atau pasien dengan critical ill.9 Tes Koagulasi Tes koagulasi dilakukan secara rutin pada pasien yang akan menggunakan blokade neuraksial seperti tonsilektomi, adenoidektomi atau pasien-pasien dibawah usia 1 tahun yang sebelumnya tidak ada riwayat trauma atau perdarahan yang sulit berhenti. Pada keadaan seperti ini riwayat prematur dan riwayat selama periode neonatus dibutuhkan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya gangguan perdarahan seperti rendahnya faktor IX karena hati yang imatur dan defisiensi vitamin K.11 Bila hasil yang didapatkan normal tidak sepenuhnya menyingkirkan diagnosis gangguan perdarahan dan tidak semua anak yang memberikan hasil abnormal akan mengalami gangguan koagulasi saat operasi. Tes ini akan berarti bila terdapat riwayat gangguan perdarahan sebelumnya.11 Indikasi untuk pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) adalah untuk kadar PT atau aPTT yang 1,5 kali lebih dari normal. Pemberian FFP dengan dosis 10-15 mL/kg akan menaikan konsentrasi faktor plasma 30%. FFP dapat pula diberikan pada untuk pasien dengan defisiensi koagulopati atau pasien dengan purpura trombositopenia.9 Indikasi diberikan transfusi kryopresipitat adalah saat diketahui kadar fibrinogen kurang dari 80 mg/dL. Satu unit kryopresipitat per 10 kgBB akan menaikan kadar 7 fibrinogen sampai 50 mg/dL. The ASA Task Force mempunyai 3 rekomendasi untuk diberikan kryopresipitat yaitu profilaksis pada nonbleeding perioperative atau pasien peripartum dengan defisiensi kongenital fibrinogen atau penyakit Von Willenbrand yang tidak responsif terhadap desmopressin acetate, pasien yang mengalami perdarahan dengan penyakit Von Willebrand, koreksi perdarahan mikrovaskuler pada pasien yang mengalami perdarahan masif dengan kadar fibrinogen kurang dari 80-100 mg/dL, atau saat kadar fibrinogen tidak dapat diperiksa. 9 Pemeriksaan Elektrolit Kelainan elektrolit sangat jarang terjadi pada anak sehat. Skrining perioperatif untuk kelainan ini umumnya tidak berguna dan tidak mengubah penatalaksanaan anestesi. Bahkan bagi pasien rawat inap yang mungkin diduga memiliki insidensi kelainan elektrolit lebih tinggi daripada pasien rawat jalan sehat, pemeriksaan sebelum operasi rutin tidak diindikasikan.7,8 Terapi Albumin Pemberian terapi albumin masih merupakan hal yang kontroversial sebelum dilakukannya operasi. Hal ini dipertimbangkan karena pada beberapa obat yang digunakan bersamaan dengan albumin dapat menimbulkan efek toksisitas. Obat yang sering dilaporkan adalah penggunaan fenitoin sebelum operasi. Albumin dapat mempengruhi faktor koagulasi. Albumin dapat menurunkan agregasi trombosit dan menimbulkan efek heparin-like activity sehingga mempengaruhi antitrombin. Albumin mempengaruhi mikrosirkulasi karena perubahan permeabilitas kapiler. 9 Tes fungsi paru Tes fungsi paru sering digunakan untuk menilai respon terhadap terapi bronkodilator pada pasien dengan bronkospasme yang reversibel. Meskipun jarang diperlukan pada pasien dengan asma tanpa komplikasi, tes ini mungkin berguna untuk memprediksi apakah anak dengan kelainan bentuk toraks atau paru seperti skoliosis mengalami peningkatan resiko komplikasi anestesi dan insufisiensi pernafasan paska operasi. Pemeriksaan yang sering dilakukan oksimetri denyut nadi oksimetri, kapasitas vital paksa (FVC) dan FEV1. Nilai mutlak dan rasio dari 2 pengukuran (FEV1/ FVC) merupakan prediktor yang berguna untuk mengetahui perlunya ventilasi mekanis paska operasi pada pasien yang beresiko (kifoskoliosis). Namun, hasil akurat pengukuran FEV1 dan FVC membutuhkan kerjasama 8 pasien, sehingga memperoleh hasil yang dapat dipercaya pada anak-anak kurang dari 6 tahun biasanya tidak mungkin.3-5,7,8 Pemeriksaan Penunjang Lain Pemeriksan penunjang lain hanya dilakukan atau indikasi seperti dilakukannya tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, tes urin rutin, rontgen, EKG, ekokardiografi, USG, CT scan maupun Magnetic Resonance Imaging (MRI).11 IV. Premedikasi Premedikasi memiliki banyak pilihan pada pasien pediatrik. Sedatif umumnya dihindari pada neonatus atau bayi yang sakit. Anak dengan kecemasan yang berlebihan dapat diberikansedatif seperti midazolam (0.3–0.5 mg/kg, maksimal 15 mg). Pemberian oral lebih disukai karena kurang traumatik dibandingkan IM walaupun efek baru timbul setelah 20-45 menit. Dosis kecil midazolam dapat digunakan dengan tambahan ketamine (4-6 mg/kg). Pasien yang tidak kooperatif membutuhkan midazolam IM (0.1-0.15 mg/kg, maksimal 10 mg) dan/atau ketamine (2–3 mg/kg) dengan atropine (0.02 mg/kg). Midazolam rektal (0.5–1 mg/kg, maksimum 20 mg) atau methohexital rektal (25–30 mg/kg larutan 10%) juga dapat diberikan. 3-5 Sebagian ahli anestesi memberikan obat antikolinergik (atropine 0.02 mg/kg IM) untuk menurunkan bradikardia selama induksi. Atropine menurunkan insidensi hipotensi selama induksi pada bayi dan neonatus kurang dari 3 bulan selama induksi. Selain itu atropine dapat mencegah akumulasi sekret yang dapat menyumbat jalan napas dan endotracheal tube. Sekret yang berlebihan dapat menjadi masalah pada pasien saluran nafas atas atau akibat pemberian ketamine. Atropine kadang diberikan secara oral (0.05 mg/kg), IM atau rektal. Banyak ahli anestesi memilih untuk memberikan atropine IV pada saat atau sesaat setelah induksi.3-5 V. Persiapan Perioperatif Lain Puasa Sebelum Operasi (Preoperative Fasting) Pasien dengan volume asam lambung yang banyak beresiko untuk mengalami aspirasi paru dan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Resiko aspirasi paru pada anak yang sehat kurang dari 0,05%, praktek NPO setelah tengah malam telah ditinggalkan. The American Society of Anesthesiology telah merevisi pedoman puasa sebelum operasi.12-14 9 Anak didorong untuk minum air (clear liquids) dengan tujuan meminimalkan kecemasan, hipovolemia dan kemungkinan hipoglikemia yang dapat disebabkan oleh puasa yang berkepanjangan sebelum operasi. Obat dengan durasi kerja jangka panjang diminum bersama dengan air pada pagi hari sebelum operasi. Anak yang sehat diperbolehkan untuk minum air sampai 2 jam sebelum operasi, bayi dapat disusui sampai 4 jam sebelum operasi, susu formula dapat diberikan sampai 6 jam sebelum operasi. Walaupun puasa 6 jam sebelum operasi berlaku untuk makanan ringan, kebanyakan makanan padat memiliki kandungan lemak tinggi yang menunda pengosongan lambung. Karena faktor ini, banyak ahli anestesi pediatrik menganjurkan puasa 6 jam sebelum operasi elektif. Mengunyah permen karet meningkatkan volume cairan lambung sekurangkurangnya 2 kali lipat sehingga umumnya dilarang dalam periode sebelum operasi.3-5,12-14 VI. Persiapan Perioperatif pada Anak dengan Keadaan Khusus Jalan Napas dan Fungsi Paru Anestesi umum mengubah fungsi pernafasan secara nyata di hampir setiap tingkat. Efek awal eksitasi refleks jalan napas seperti laringospasme, peningkatan sekresi dan bronkospasme selama induksi inhalasi anestesi umum dapat terjadi. Selain itu pada anestesi terjadi penurunan kontraktilitas otot pernafasan, depresi fungsi silia, depresi respon pusat pernapasan terhadap hipoksia dan hiperkapnia, penurunan volume paru-paru dan peningkatan intrapulmonary shunting. Efek ini dapat mengakibatkan obstruksi saluran pernapasan atas, hipoventilasi atau apnea, dan hipoksemia. Adanya kondisi yang mendasari (prematuritas) atau penyakit pernapasan (asma, displasia bronkopulmonalis) sangat beresiko bagi seorang anak. Oleh karena itu informasi rinci tentang penyakit pernapasan yang sudah ada sebelumnya harus tersedia selengkap mungkin.15,16 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Insidensi kejadian gangguan pernafasan perioperatif meningkat 7 kali pada anak dengan ISPA atas maupun bawah dan 11 kali jika anak diintubasi. Resiko komplikasi jalan napas tetap tinggi hingga 6 minggu setelah ISPA, mungkin sebagai akibat dari perubahan reaktivitas saluran napas. Anak dengan ISPA menjalani operasi jantung elektif memiliki 4 kali lipat peningkatan insidensi komplikasi jalan napas pada induksi anestesi, 2 kali lipat peningkatan insidensi komplikasi pernapasan paska operasi, dan 5 kali lipat peningkatan infeksi bakteri paska operasi, serta perpanjangan lama tinggal di unit perawatan intensif. Kematian selama atau setelah pemberian obat anestesi pada anak dengan ISPA jarang 10 dilaporkan. Namun, gangguan jalan napas bertanggung jawab untuk hampir 30% dari semua kematian anestesi pediatrik dalam data henti jantung perioperatif pediatrik. Peristiwa yang paling umum terjadi adalah laringospasme, obstruksi jalan napas, oksigenasi yang tidak memadai, ekstubasi yang kurang hati-hati, intubasi sulit dan bronkospasme.15-16 Anak dengan ISPA bawah dengan disertai adanyasekret mukopurulen, batuk produktif, demam lebih dari 38 oC, letargis atau dicurigai adanya suatu keterlibatan paru harus menunda operasi minimal 4 minggu tetapi bagaimanapun pertimbangan keuntungan dan kerugian operasi harus tetap dipertimbangkan. Pada hal ini pertimbangan penundaan operasi termasuk gejala klinis yang terjadi, kondisi komorbid, jenis operasi yang akan dilakukan dan frekuensi ISPA setiap tahunnya.Pada anak dengan terjadinya ISPA bawah lebih dari 6 kali per tahun, sangat sulit menentukan kapan waktu operasi yang tepat.11 Asma Asma merupakan salah satu penyakit yang umum terjadi dan dapat membahayakan pasien yang menjalani anestesi umum. Insidensi penyakit jalan napas reaktif meningkat tajam dalam populasi pediatrik umum dan sekarang sekitar 25% dari populasi bedah pediatrik. Banyak prosedur yang dilakukan secara rutin selama anestesi, terutama laringoskopi dan intubasi, yang dapat menyebabkan bronkospasme pada anak asma. Bronkospasme intraoperatif dapat membahayakan. Ventilasi sulit, jika bukan tidak mungkin, dan dapat menyebabkan hiperkapnia, asidosis, hipoksia, kolaps kardiovaskular dan kematian.17-20 Secara umum, terapi medis asma perioperatif harus ditingkatkan bahkan pada pasien asimtomatik atau pasien dengan asma terkontrol baik untuk membatasi atau mencegah bronkospasme intraoperatif. Kortikosteroid jangka pendek sangat efektif dalam mencegah mengi perioperatif, bahkan pada pasien asma berat. Anak dengan terapi asma harus sudah mulai menggunakan beta-agonis atau obat-obatan oral 3 sampai 5 hari perioperatif. Pada anak yang menggunakan obat jangka panjang (oral atau inhalasi) harus diberikan steroid dalam dosis untuk eksaserbasi akut. Anak dengan asma yang sedang meminum bronkodilator dan steroid secara teratur membutuhkan intensifikasi frekuensi nebuliser, penambahan bronkodilator, peningkatan steroid, atau kadang-kadang diperlukan semua tindakan-tindakan di atas. Terapi tidak boleh dihentikan sebelum operasi.17-20 Terapi teofilin untuk penyakit saluran napas reaktif kurang begitu umum dilakukan. Anak dengan pengobatan teofilin harus menjalani pemeriksaan kadar obat tersebut di dalam darah untuk memastikan kadar terapetiknya dan menghindari efek toksik seperti 11 aritmia. Walaupun puasa, semua obat yang diberikan harus diminum dengan 1-2 sendok air pagi hari sebelum operasi.17-20 Hemofilia Pengobatan suportif untuk penderita hemofilia adalah transfusi faktor VIII atau kryopresipitat. Kryopresipitat yang diperlukan adalah 0,5xkgBBxkadar yang diinginkan (%). Satu kantung kryopresipitat mengandung 100-150 unit faktor VIII. Pemberian kryopresipitat tergantung dari keadaan klinis pasien. Hemarthrosis ringan atau hematoma membutuhkan faktor VIII 15-20%, hemarthrosis berat atau dengan hematom luas membutuhkan faktor VIII 20-40%, pasien dengan operasi berat membutuhkan faktor VIII 80-100%. 21 Lama pemberian termasuk derajat beratnya perdarahan, misalnya untuk lamanya pencabutan gigi dan epistaksis 2-5 hari, untuk operasi atau luka laserasi luas 7-14 hari. Bila tidak tersedia kryopresipitat dapat diberikan plasma segar 10-15 ml/kgBB dan bila terjadi perdarahan massif dapat diberikan darah segar 10-20 ml/kgBB disusul oleh pemberian kryopresipitat. Bila terjadi hemarthrosis berat harus dilakukan sinovektomi untuk mencegah terjadinya kontraktur akibat fibrosis. Bila tersedia preparat faktor VIII komersial (Koate) dapat diberikan dengan dosis 25 ml/kgBB.21 Terdapat prosedural pemberian kryopresipitat sebelum dilakukannya operasi bedah minor yaitu diberikan dosis kryopresipitat 50 mg/kgbb, kadar plasma dipertahankan diatas 60% selama 4 hari dan kadar plasma dipertahankan 20% pada 4 hari sebelumnya sedangkan kebijakan pada bedah mayor hampir sama tetapi kadar dalam plasma yang harus dipertahankan pada 4 hari berikutnya adalah 40%. 21 Pada prosedur orthopaedi dosis yang diberikan sampai kadar dalam plasma mencapai 100% 1 jam sebelum prosedur dilakukan (50 unit/kgBB). Kadar plasma dipertahankan diatas 80% selama 4 hari (40 unit/kgBB 2 kali sehari). Bila penderita digips pengobatan dihentikan tetapi bila tidak di gips kadar plasma dipertahankan 20% selama ambulasi. Selama rehabilitasi kadar plasma dipertahankan diatas 10% selama 3 minggu. Pada prosedur gigi diberikan faktor pembekuan sampai kadar dalam plasma mencapai 100% 1 jam sebelum prosedur.21 Tuberkulosis Terapi tuberkulosis sebelum operasi yang umumnya dilakukan selama 2 minggu bertujuan supaya efek bakteriostatik dan bakterisidal yang dimiliki oleh obat-obat antituberkulosis 12 dapat mulai terlihat dalam waktu 2 minggu. Diharapkan setelah pemakaian 2 minggu maka bakteri M. tuberkulosis dapat menjadi dormant dalam tubuh. Tuberkulosis paru yang disertai dengan komplikasi post operasi seperti sepsis akan mengakibatkan bakteri tuberkulosis berkembang dengan cepat menjadi tuberkulosis berat seperti tuberkulosis milier. Penyakit Jantung Semua obat anestesi dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular. Aktifitas SA node, sistem konduksi dan kontraktilitas miokard dapat ditekan dengan anestesi umum. Selain itu, obat ini mengubah baik preload maupun afterload dengan merelaksasikan otot polos vaskular. Anestesi umum juga menyebabkan hipoksia paru akibat vasokonstriksi sehingga merusak keseimbangan ventilasi dan perfusi. Kombinasi vasodilatasi dan gangguan kontraktilitas miokard sering menyebabkan hipotensi, terutama pada anak yang relatif hipovolemia berkepanjangan karena kehilangan cairan secara cepat atau berlebihan (diare, muntah, pendarahan). Adanya penyakit jantung akan meningkatkan resiko anestesi sehingga evaluasi preanestesi jantung harus mampu mengidentifikasi apakah terdapat disfungsi jantung, penyakit jantung struktural, atau hipertensi dan apakah profilaksis endokarditis subakut bakteri (SBE) diperlukan.22 Dibawah ini terdapat beberapa tabel yang merupakan terapi profilaksis antibiotika sebelum dilakukannya operasi. 23 Tabel 1. Pemberian Antibiotika pada Prosedur Saluran Urogenital dan Cerna Keadaan Risiko tinggi Obat Ampisilin+Gentamisin Dosis 50 mg/kgbb i.v/i.m. (maks.2 g) 1,5 mg/kgbb i.v/i.m (maks 120 mg),30 menit sebelum prosedur, 6 jam kemudian Ampisilin 25 mg/kgbb i.v./i.m. Atau Amoksisilin 25 mg/kg p.o. Risiko tinggi alergi Vankomisin+Gentamisin 20 mg/kgbb i.v. selama 1-2 jam amoksisilin/ampisilin 1,5 mg/kgbb i.v./i.m Diberikan 30 menit sebelum prosedur Risiko sedang Amiksisilin/Ampisilin 50 mg/kgbb p.o 1 jam sebelum prosedur 50 mg/kgbb i.v/i.m. Diberikan 30 menit sebelum prosdur 13 Risiko sedang yang Vankomisin 20 mg/kgbb i.v. selama 1-2 jam alergi Diberikan 30 menit sebelum prosedur amoksisilin/ampisilin Tabel 2. Pemberian Antibiotika pada Tindakan Gigi, Mulut, Saluran Nafas Atas atau Prosedur Esofagus Keadaan Profilaksis standar Obat Dosis Amoksisilin 50 mg/kgbb p.o 1 jam sebelum tindakan Tidak dapat minum Ampisilin 50 mg/kgbb i.v/i.m 30 menit obat sebelum tindakan Alergi penisilin Klindamisin atau 20 mg/kgbb i.v. selama 1-2 jam Sefaleksin/Sefadroksil atau 50 mg/kgbb p.o 1 jam sebelum Azitromisin/Klaritromisin tindakan Alergi penisilin dan Klindamisin dan Sefazolin tidak dapat minum obat 15 mg/kgbb p.o 1 jam sebelum tindakan 25 mg/kgbb i.v./i.m 30 menit sebelum tindakan VII.Kesimpulan Evaluasi dan persiapan perioperatif bertujuan meminimalkan resiko anestesi dan pembedahan dengan mempersiapkan anak dalam kondisi sesehat mungkin sebelum operasi.Anak-anak sangat berbeda dengan orang dewasa dalam hal anatomi dan fisiologi. Tahapan yang perlu dilakukan sebelum operasi yaitu anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Pengetahuan ini memungkinkan seorang anak dipersiapkan seoptimal mungkin dalam menghadapi pembedahan dan meminimalkan tingkat morbiditas dan mortalitas serendah mungkin. Hubungan yang baik antara dokter, anak dan orang tua anak mempermudah usaha tenaga medis dalam memberikan persiapan perioperatif yang maksimal bagi seorang anak. 14 15 DAFTAR PUSTAKA 1. Hughes JM. Parents' experiences of caring for their child following day case surgery: a diary study. J Child Health Care. 2004;8:47-58. 2. Chen LE, Minkes RK. Evaluation of the Pediatric Surgical Patient. http//emedicine.medscape.com/article/936148-print. Diakses tgl 9 Februari 2010 3. Gutsche JT, Duetschman CS. Anesthesia for Children. Dalam: Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM, penyunting. Anesthesiology. Edisi ke-1. USA: McGraw-Hill; 2008:1521-40. 4. Cravero JP, Kain ZN. Pediatric AnesthesiaA. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, penyunting. Clinical Anesthesia. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006:1205-18. 5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. USA: McGraw-Hill. 2006:922-50. 6. Sastroasmoro S, Sampurno SI. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting.Kardiologi Anak.1994. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.h. 24 7. O'Connor ME, Drasner K. Preoperative laboratory testing of children undergoing elective surgery. Anesth Analg. 1990;70:176-180. 8. Hackmann T, Steward DJ, Sheps SB. Anemia in pediatric day-surgery patients: prevalence and detection. Anesthesiology. 1991;75:27-31 9. Mackenzie CF. Transfusion of red cells and blood components in stressed, trauma and critical care patients.Dalam: Hahn RG, Prough DS, Svensen CH, penyunting. Perioperative fluid therapy. 2007. Newyork: Informa healthcare.h.303-14. 10. Lanzkowsky P. Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-2. Newyork:Churchill Livingstone. h. 159-63 11. Salvo I, Camporesi A. Preoperative Evaluation. Dalam: Gullo A, Astuto M, Salvo I, penyunting. Anesthesia, Intensive Care and Pain in Neonates and Children.2009. Milan: Springer-Verlag.h. 80-6. 12. Litman RS. The difficult pediatric airway. Dalam: Litman RS,penyunting. Pediatric Anesthesia: The Requisites in Anesthesiology. Philadelphia, PA: Elsevier Mosby; 2004. 13. Coté CJ: NPO after midnight for children – a reappraisal. Anesthesiology. 1990;72:589-592. 14. Warner MA, Caplan RA, Epstein BS. Practice guidelines for preoperative fasting and the use of pharmacologic agents to reduce the risk of pulmonary aspiration: application to healthy patients undergoing elective procedures: a report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Preoperative Fasting. Anesthesiology. 1999;90:896-905. 15. Tait AR, Malviya S. Anesthesia for the child with an upper respiratory tract infection: still a dilemma? Anesth Analg. 2005;100(1):59-65. 16. Tait AR, Malviya S, Voepel-Lewis T. Risk factors for perioperative adverse respiratory events in children with upper respiratory tract infections. Anesthesiology. 2001;95:299-306. 17. Malviya S, Voepel-Lewis T, Siewert M. Risk factors for adverse postoperative outcomes in children presenting for cardiac surgery with upper respiratory tract infections. Anesthesiology. 2003;98:628-32. 18. Coté CJ. The upper respiratory tract infection dilemma: fear of a complication or litigation. Anesthesiology. 2001;95:283-5. 19. Toelle BG, Ng K, Belousova E. Prevalence of asthma and allergy in schoolchildren in Belmont, Australia: three cross sectional surveys over 20 years. BMJ. 2004;328:386-7. 20. Doherty GM, Chisakuta A, Crean P. Anesthesia and the child with asthma. Pediatr Anesth. 2005;15: 446-54. 21. Hemofilia. Pedoman terapi hematologi. Bandung: Ilmu Kesehatan Anak FKUP Banduing.h.3 22. Wilson W, Taubert KA, Gewitz M. Prevention of infective endocarditis. Guidelines from the American Heart Association Rheumatic Fever, Endocarditis, and Kawasaki Disease Committee, Council on Cardiovascular Disease in the Young, and the Council on Clinical Cardiology, Council on Cardiovascular Surgery and Anesthesia, and Quality of Care and Outcomes Research Interdisciplinary Working Group. Circulation. 2007;116:1736-54. 23. Madiono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak. Jakarta:FKUI.2005. h.51