“Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan

advertisement
i
Laporan Studi Pustaka (KPM 403)
PENGARUH PERHUTANAN SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN
SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN
Dheva Sari Silaban
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “PENGARUH
PERHUTANAN SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT DESA HUTAN” merupakan hasil karya sendiri yang belum pernah
diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak
mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali
sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya
buat dengan sesungguhnnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan
ini.
Bogor, Desember 2014
Dheva Sari Silaban
NIM I34110151
iii
ABSTRAK
DHEVA SARI SILABAN. Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial
Ekonomi Masyarakat Desa Hutan. Di bawah bimbingan SAHARUDDIN.
Perhutanan sosial merupakan ilmu dan seni memadukan penanaman pohon atau
tumbuhan lain di kawasan hutan yang terkait aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi,
dan budaya masyarakat. Pengelolaanya dilakukan dengan mengkombinasikan
peran,hak, dan kewajiban masyarakat dengan berbagai pihak pengelola sumberdaya
hutan untuk perlindungan, pengentasan kemiskinan, serta tujuan produksi lestari
kesejahteraan masyarakat. Pengaruh perhutanan sosial terhadap masyarakat dapat
dilihat dari beberapa aspek. Dari aspek sosial, perhutanan sosial mempengaruhi strategi
nafkah, modal sosial, peranan gender, resolusi konflik, dan keberdayaan. Kehidupan
sosial tersebut kemudian juga mempengaruhi kehidupan ekonomi yang ditinjau dari
tingkat kesejahteraan dan investasi. Hubungan dari aspek sosial dan ekonomi
masyarakat tersebut berdampak kembali terhadap kelestarian hutan itu sendiri.
Kata kunci: gender, investasi, kelestarian hutan, kesejahteraan, modal sosial,
pemberdayaan, perhutanan sosial, resolusi konflik, strategi nafkah.
ABSTRACT
DHEVA SARI SILABAN. Influence of Social Forestry for Rural Community SocioEconomic Life Forest. Supervised by SAHARUDDIN.
Social forestry is the science and art of combining the planting of trees or other
vegetation in forest-related aspects of social life,economy, and culture. Management is
done by combining the roles,rights, and obligations of local community of forest
resources manager for the protection, poverty alleviation, and the public welfare goals
of sustainable production. The influence of the social forestry to the community can be
seen from various aspects. From the social aspect, social forestry influencing
livelihood strategy, social capital, gender’s roles, resolution of conflicts, and
empowerment. Social life is then also affect economic life in terms of the level of
welfare and investment. The relationship of social and economic aspects of community
has an back impact to the preservation of the forest itself.
Keywords : gender, investment, forest preservation, welfare, social capital,
empowerment, social forestry, resolution of conflict, livelihood strategy.
iv
PENGARUH PERHUTANAN SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN
SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN
Oleh
DHEVA SARI SILABAN
I34110151
Laporan Studi Pustaka
Sebagai syarat kelulusan KPM 403
Pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Insititut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
v
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh :
Nama Mahasiswa
: Dheva Sari Silaban
NIM
: I34110151
Judul
: Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial
Ekonomi
Masyarakat Desa Hutan
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Petanian Bogor.
Disetujui oleh
Dr. Ir. Saharudin, MS
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan :
vi
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena
anugerahNya penulis dapat menyelasaikan Studi Pustaka dengan judul “Pengaruh
Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan”.
Begitu banyak tantangan yang harus penulis lewati untuk dapat menyelesaikan Studi
Pustaka, namun Dia memberikan kuasa dan kehendakNya agar penulis dimampukan
mengerjakan bagian ini. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat
kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa studi pustaka ini memiliki dapat diselesaikan karena
dukungan, bantuan dan doa dari berbagai pihak sekalipun masih terdapat kekurangan di
beberapa bagian. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak
Saharuddin selaku dosen pembimbing yang kritis sehingga mampu mengarahkan tulisan
ini menjadi tulisan yang menarik. Penulis juga menyampaikan cinta dan kasih kepada
Bapak Anggiat Silaban, dan Ibu Saria Panjaitan yang begitu banyak mendukung dalam
materi dan dukungan moriil pada penulis, saudara-saudara laki-laki penulis, Eyrton
Crismastua Silaban dan Abed Nego Silaban yang menjadi sumber penghiburan dan
motivasi diri, sahabat-sahabat di kampus, Kinan, Ela, Wanda, Ray, Olin, dan Hanna
sebagai teman sepelayanan dari dulu hingga sekarang, penulis berterimakasih untuk
setiap kontribusi mereka dalam suka maupun duka. Terimakasih pula penulis sampaikan
pada komunitas-komunitas yang pernah ikut berkontribusi di dalamnya, Persekutuan
Mahasiswa Kristen, Komisi Pelayanan Anak, Kelompok Pra Alumni, Kelompok Kecil
PMK-IPB, Research and Development Himasiera, Swayanaka Regional Jakarta, Ducil,
dan komunitas lainnya. KuasaNya yang memampukan penulis dapat berdampak pada
komunitas-komunitas ini.
Akhirnya penulis berharap nantinya studi pustaka ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis dan pembaca dalam memahami Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan.
Bogor, Desember 2014
Dheva Sari Silaban
NIM I34110151
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN.........................................................................................................
ABSTRAK..................................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................
PRAKATA.................................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................
PENDAHULUAN
Latar belakang............................................................................................................
Tujuan penulisan.........................................................................................................
Metode Penulisan........................................................................................................
RANGKUMAN DAN ANALISIS
1. Kebijakan Pengembangan Perhutanan Sosial dalam Perspektif Resolusi
Konflik............................................................................................................
2. Perhutanan Sosial............................................................................................
3. Beberapa Aspek Pemberdayaan Perhutanan Sosial (Paparan Studi Kasus
Sukabumi) ......................................................................................................
4. Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah Sosiologi yang Perlu Diperhatikan:
Sebuah Tinjauan Teoritis................................................................................
5. Perilaku Masyarakat Desa Hutan dalam Memanfaatkan Lahan di Bawah
Tegakan...........................................................................................................
6. Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan Kehutanan (Studi
Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan) ......................
7. Peranan Gender dalam Adaptasi Perubahan Iklim pada Ekosistem
Pegunungan di Kabupaten Solok, Sumatera Barat ........................................
8. Peranan Kayu dan Hasil Bukan Kayu dari Hutan Rakyat pada Pemilikan
Lahan Sempit: Kasus Kabupaten Pati ............................................................
9. Manfaat Ekonomi dan Peluang Pengembangan Hutan Rakyat Sengon di
Kabupaten Pati................................................................................................
10. Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan...............................................................
11. Simplified and Harmonized Forestry Regulatory Procedures of The
Philippines.....................................................................................................
12. Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuu Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan..................................................................................................
13. Community-Based Forest Management Within the Context of Institutional
Decntralization in Honduras..........................................................................
14. Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui Pendekatan
Kluster.............................................................................................................
15. Nilai
Ekonomis
Modal
Sosial
pada
Sektor
Informal
Perkotaan......................... ..............................................................................
16. Strategi Nafkah Rumah Tangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa
Peserta PHBM Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) .........................
17. Efektivitas Program Hutan Kemasyarakatan Dalam Meningkatkan
Kesejahteraan
Masyarakat
melalui
Redistribusi
Lahan..............................................................................................................
18. Pengaruh Investasi Sumber Daya Manusia dan Investasi Modal terhadap
Pendapatan Perkapita Masyarakat Indonesia..................................................
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
ii
iii
v
vi
vii
vii
1
2
2
3
5
6
7
9
10
12
13
15
16
18
19
21
22
23
24
26
29
viii
Perhutanan Sosial........................................................................................................
Definisi Perhutanan Sosial..........................................................................................
Aplikasi Perhutanan Sosial.........................................................................................
Permasalahan Perhutanan Sosial................................................................................
Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Hutan.................................................................
1. Konflik dan Resolusi Konflik dalam Perhutanan...........................................
2. Keberdayaan...................................................................................................
3. Isu Gender.......................................................................................................
4. Modal Sosial...................................................................................................
5. Strategi Nafkah...............................................................................................
Kehidupan Ekonomi Masyarakat Desa Hutan............................................................
1. Investasi..........................................................................................................
2. Kesejateraan....................................................................................................
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap AspekAspek Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan......................................
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian........................................................
Kerangka Pemikiran Identifikasi Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan
Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan...................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................... ...........................................
LAMPIRAN...............................................................................................................
RIWAYAT HIDUP....................................................................................................
31
31
32
32
33
33
35
36
37
39
39
40
43
44
44
47
49
50
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Analisis Perhutanan Sosial Mempengaruhi
46
Kehidupan Sosial Ekonomi Mayarakat Desa Hutan................................
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanfaatan hutan secara komersial terutama di hutan alam, yang dimulai sejak
tahun 1967, telah menempatkan kehutanan sebagai penggerak perekonomian nasional.
Kompleksnya tata guna hutan menjadikan semakin rumit pula pemecahan masalah
terhadap sengketa pengelola lahan hutan tersebut. Pengelolaan hutan di masing-masing
negara di ASEAN memiliki strategi masing-masing tergantung luas lahan hutan,
kebijakan pemerintah, kebiasaan masyarakat kawasan hutan, dan iklim. Terlebih pada
luas hutan di InLuas hutan dan perairan di Indonesia sendiri hingga SK 2012 adalah
136.174.000 ha1.
Hutan di Indonesia sangat luas, namun hanya sebagian kecil saja dari luas hutan
tersebut di serahkan secara swadaya kepada masyarakat. Perhutanan sosial seharusnya
menjadi alat yang tepat jika pemerintah mengetahui dengan pasti hubungan emosional
antara masyarakat kawasan hutan dengan hutan tersebut. Perhutanan sosial adalah
bentuk perhutanan yang memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat
tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan
yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan
produksi yang lestari (CIFOR 2003). Dari pengertian tersebut tampak kolaborasi dari
berbagai pihak ─tidak hanya masyarakat hutan─ dalam mendukung kegiatan konservasi
dan produksi hutan.
Menurut Lynch dan Talbott (1995) dalam menghasilkan hutan yang sehat dan
produktif, pemerintah harus membangun kerjasama dengan orang-orang yang tinggal di
dalam dan dari hutan itu sendiri serta kepada mereka yang memiliki kepentingan
langsung secara strategis mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Orangorang yang dimaksud Lynch dan Talbott tersebut tidak lain adalah masyarakat kawasan
hutan dan sudah memiliki hubungan saling ketergantungan dengan hutan. Hal ini perlu
dipahami pemerintah sebelum mereka menyerahkan berbagai izin atau konsesi kepada
perusahaan-perusahaan.
Sekalipun bentuk penyerahan luas hutan tertentu sosial dari pemerintah kepada
communal tidak terlalu menguntungkan secara ekonomi dibanding diberikan kepada
private sector, pemerintah membuktikan bahwa perhutanan sosial memang menjadi
menjadi payung bagi lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan. Hal ini juga
membuktikan bahwa pemerintah serius untuk menerapkan Pasal 47 Undang-Undang No
41 tahun 1999 tentang usaha untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara,
masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Di Indonesia, dari 130 juta hektare luas hutan, hanya 3 persen dialokasikan
untuk masyarakat. Sebagian besar untuk perusahaan (perkebunan sawit, HTI akasia,
kayu log), hutan lindung, dan konservasi. Bandingkan dengan di Filipina, di mana 30
persen hutan dikelola masyarakat, di Vietnam dan Thailand porsi untuk masyarakat juga
relatif besar. Menurut Bampton, kalaupun 2,5 juta hektare target Kementerian
Kehutanan Indonesia tercapai, sangat kecil dibanding hutan Indonesia yang luasnya 130
juta hektare2. Hal ini sangat membingungkan berbagai pihak. Pemerintah sudah
mengetahui fungsi dari hutan kemasyarakatan namun masih sangat enggan
mengalokasikannya pada masyarakat. Tulisan ini akan membukakan pengaruh yang
1
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=60&not
ab=4
2
Koran Tempo hal.12, 5 Mei 2014, Meniti Harapan di Hutan Kemasyarakatan.htm
2
diperoleh masyarakat dalam kehidupan sosial ekonominya. Menurut Brata (2004),
modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok
misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi,
menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Berdasarkan
pernyataan tersebut maka disusunlah setiap aspek sosial dan ekonomi yang dapat
berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam kehidupan sosialnya akan
dibahas tentang strategi nafkah, modal sosial, resolusi konflik, pemberdayaan, dan isu
gender. Sedangkan pada kehidupan ekonomi akan dikaji tentang investasi, pendapatan,
dan kesejahteraan. Baik kehidupan sosial maupun ekonomi tersebut akan dijelakan
pengaruhnya kemudian terhadap kelestarian hutan. Dari pemaparan diatas, apakah
perhutanan sosial dapat benar-benar berimplikasi nyata dalam kehidupan sosial
ekonomi masyarakat desa hutan?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan studi pustaka ini adalah untuk mengidentifikasi konsep dan
permasalahan praktis dalam pengembangan perhutanan sosial. Selanjutnya dari hasil
identifikasi tersebut dianalisis aspek-aspek kehidupan sosial dan menganalisis aspekaspek kehidupan ekonomi masyarakat desa hutan yang terkait dengan program
perhutanan sosial.
Metode Penulisan
Tulisan studi pustaka ini digunakan melalui metode penulusuran data sekunder
yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti jurnal, artikel, terminal report, , tesis, serta
berbagai laporan dan hasil penelitian ilmiah lainnya. Data sekunder yang digunakan
terdiri dari delapan belas bacaan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah tersebut akan
dipilah sesuai konsep yang terdapat didalamnya sehingga dapat dibandingkan dan
dihubungkan dengan bacaan lainnya. Data sekunder akan diringkas dan dilakukan
analisis dan sintesis terhadap hasil ringkasan (ikhtisar). Berdasarkan hasil analisis dan
sintesis, maka disusunlah kerangka pemikiran dan perumusan masalah untuk penelitian
selanjutnya. Berikut daftar konsep yang tersaji dalam studi pustaka ini.
Konsep
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11
Resolusi Konflik
√
√
√
Perhutanan Sosial
Pemberdayaan
√
√
12
13
14
15
17
√
√
√
√
√
√
√
√
Strategi Nafkah
√
√
√
√
Investasi
√
Kesejahteraan
√
Modal Sosial
Agroforestry
18
√
Masyarakat Adat
Peranan Gender
16
√
√
√
√
3
RANGKUMAN DAN ANALISIS PUSTAKA
1.
Judul
1.: Kebijakan Pengembangan Perhutanan Sosial
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
:
:
:
:
:
:
:
:
Tanggal Unduh
:
Dalam Perspektif Resolusi Konflik
2009
Jurnal
Elektronik
Salamet Edi Sumanto
Kupang/
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
06(01): 1-13
http://fordamof.org/files/6.1.2009%20Slamet_Edi_Suman
to%5B1%5D.pdf.
19 September 2014
Ringkasan
Konflik pada umumnya berkaitan dengan tiga hal yaitu: (a) situasi yakni
ketidakselarasan tujuan, kebutuhan, dan kepentingan berbagai pihak yang bersumber
dari kondisi struktur sosial, nilai sosial, kelangkaan, kompetisi dan perubahan; (b) sikap
yakni aspek-aspek kognisi (seperti konstruksi 'musuh') dan emosi (seperti rasa benci dan
bermusuhan) yang dialami pihak-pihak yang terlibat konflik, yang bersumber dari naluri
agresif, ketegangan pribadi, frustasi kelompok; (c) perilaku yakni kegiatan, perkataan,
dan perilaku aktual yang terpolarisasi dan merusak dari pihak-pihak yang bertikai.
Terdapat pertimbangan dalam resolusi konflik, yakni; (1) Dikotomi ruang
lingkup program perhutanan sosial. Di dalam kawasan atau di luar kawasan hutan
dikotomi yang jelas antara Hutan Kemasyarakatan dan HR (dan mungkin HTR) sangat
diperlukan bagi penentuan aktor dan perannya. Dikotomi ini mengacu pada ruang
lingkup 'kawasan hutan' dengan 'tanah milik masyarakat'. (2) Fakta historis tentang
pengelolaan hutan antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Di Jawa, penetapan batasbatas kawasan hutan sudah permanen dan model pengelolaannya sudah cukup baik.
Sedangkan di luar Jawa, penentuan batas-batas kawasan hutan ditentukan berdasarkan
peta-peta peninggalan kolonial. Oleh karena itu batas kawasan hutan kabur dan
mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat.
Pemberdayaan merupakan penciptaan hubungan antarpersonal yang
berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antara pihak yang lemah dengan pihak
yang kuat. Terdapat dua dimensi yang memperkuat konsep pemberdayaan yakni, (1)
dimensi eksistensi kawasan hutan dan masyarakat. Pihak pengelola sebaiknya
mengetahui dan paham baahwa ada hubungan emosional yang kuat antara masyarakat
dan lingkungannya. (2) dimensi perubahan atau inovasi. Pihak pengelola juga sebaiknya
mengetahui bahwa tidak semua masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan dengan
mudah menerima perubahan atau proses transformasi yang direncanakan.
Salah satu contoh kasus resolusi konflik dalam program pemberdayaan melalui
perhutanan sosial adalah penanganan konflik model 'suf' di Kabupaten Timor Tengah
Selatan. Sejak tahun 2006 beberapa warga di Desa Nenas Kecamatan Fatumnasi
melakukan penyerobotan di Cagar Alam Gunung Mutis, yang menurut pengakuan
mereka tanah tersebut merupakan 'suf' (tanah adat) marga Oenob yang menaungi
mereka sehingga mereka memandang berhak mengelola kawasan tersebut. Dinas
Kehutanan setempat melakukan penangkapan dan memberikan sanksi adat bukan
4
berupa uang atau hewan ternak tetapi berupa bibit tanaman yang bernilai ekonomis
tinggi dan sesuai dengan kondisi alam. Anakan tersebut wajib ditanam di lokasi bekas
penyerobotan. Saat ini tanaman yang diusahakan tersebut sudah mencapai tinggi dua
meteran, terdiri dari tanaman kemiri, kelapa, kopi, sirih, pinang, jeruk, dan tanaman
pangan (ubi jalar, padi, jagung, kacang, dan sebagainya).
Analisis
Banyak konflik yang terjadi pada saat perjuangan mengeksiskan perhutanan
sosial disuatu wilayah, terutama di hutan milik negara atau izin swasta. Perlu banyak hal
yang harus dipahami dalam konflik tersebut. Kebanyakan jenis konflik berkaitan
dengan situasi seperti kepentingan yang berbeda masing masing pihak. Hal tersebut jika
tercampur dengan sikap dan perilaku pihak yang mendukung perbedaan kepentingan
tersebut akan semakin parah. Selain masalah tersebut, ada juga masalah dikotomi
lingkup perhutanan sosial. Dikotomi masalah kawasan menyangkut masalah posisi dan
peran serta kewenangan pemerintah selalu dalam struktur yang lebih tinggi dan
dominan dibandingkan posisi dan peran masyarakat. Hal ini dirasa tidak adil dan
struktur tertinggi tidak mau mengalah. Masalah dikotomi tersebut ternyata bisa
memperkuat menjelaskan masalah pengelolaan hutan di Jawa dan di luar Jawa.
Dinamika dan komposisi penduduk yang berbeda maka dinamika konflik juga cukup
berbeda.
Sekalipun ada konflik di kawasan sekitar hutan, terdapat resolusi yang bisa
dijalankan kedua belah pihak sekalipun revolusi struktur merupakan jalan terbaik.
Resolusi tersebut dapat dilakukan melaui pemberdayaan yakni komitmen menciptakan
hubungan berkelanjutan pihak-pihak yang bertentangan. Komitmen tersebut akan sangat
baik dibangun melalui dua pondasi yang kuat yakni pemahaman dimensi eksistensi
kawasan hutan dan masyarakat dan dimensi pemakluman perubahan. Resolusi konflik
melalui pemberdayaan dapat dilakukan dengan aturan formal yang dijalankan tanpa
mengabaikan aturan adat.
Melalui konsep dan teori resolusi konflik, jurnal ini menjelaskan relasi antar
konsepnya sangat baik. Sedangkan saat sudah menuju studi kasus banyak kerancuan.
Kronologis penyerobotan lahan yang dilakukan masyarakat sekitar desa yang mengakui
hak ulayat tidak dibahas habis. Seakan-akan masyarakat sangat pasrah ketika diberikan
sanksi adat oleh pihak Perhutani. Terlebih lagi saat kasus pemberian sanksi, Perhutani
dipandang seperti “malaikat” yang sangat baik memberikan sanksi adat bukan hukum
positif. Padahal sebenarnya bisa dilakukan co-management dengan pengakuan
kekuasaan masyarakat. Kolaborasi masing-masing pihak sangat dibutuhkan untuk
mencapai perbaikan hubungan jangka panjang dan keberlanjutan lingkungan. Resolusi
konflik yang adil juga kurang terlalu dibahas. Bibit-bibit yang digunakan sebagai sanksi
tidak menjelaskan proses pemberdayaan masyarakat.
5
2.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
: Perhutanan Sosial
2.
Tanggal Unduh
:
:
:
:
:
:
:
:
:
2003
Jurnal
Elektronik
CIFOR
Bogor, CIFOR
Warta Kebijakan
9(01): 1-6
www.cifor.org/acm/download/pub/wk/wa
rta09.pdf
19 September 2014
Ringkasan
Perhutanan sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan
peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana
saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan
sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan
perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan
perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari.
Di Indonesia digunakan berbagai istilah seperti hutan kemasyarakatan, hutan
kerakyatan, kehutanan masyarakat, kehutanan sosial dan sosial forestri. Selain itu ada
pula yang menggunakan istilah perhutanan masyarakat, pengelolaan hutan berbasis
masyarakat atau pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) ada juga yang
menggunakan istilah pengelolaan hutan bersama, pengelolaan hutan dalam kemitraan
dan pengelolaan hutan multipihak atau pengelolaan hutan oleh masyarakat (PHOM).
Menurut Departemen Kehutanan sejak tahun 1980-an Perhutanan Sosial adalah
semua bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat baik di
kawasan hutan milik negara maupun milik pribadi atau kelompok. Di kawasan hutan
milik negara disebut Hutan Kemasyarakatan (HKM) sedangkan di lahan milik disebut
Hutan Rakyat (HR). Kebijakan dan peraturan yang mengarah kepada upaya perbaikan
peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara kemudian dikembangkan
dalam bentuk hutan kemasyarakatan (HKM) dimulai pada awal tahun 1995 dalam
bentuk keputusan menteri dengan SK No. 622/1995. Keputusan ini menekankan pada
ijin pemanfaatan hutan. Hak masyarakat dibatasi pada rehabilitasi hutan dan
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Keputusan ini kemudian diperbaiki dengan SK
Menteri No. 677/Kpts-II/1998 di mana masyarakat bisa mengambil keputusan
pengelolaan hutan dan pemerintah sebagai fasilitator saja dan masyarakat harus
membentuk koperasi. Ijin pemanfaatan diganti menjadi ijin pengusahaan. Keputusan ini
kemudian diganti lagi dengan SK No. 865/Kpts-II/1999 di mana ijin pengusahaan
diganti menjadi ijin pemanfaatan dan masyarakat tidak harus membentuk koperasi
tetapi bisa kelompok apa saja. Sebelum sempat beredar di masyarakat, Keputusan ini
diganti lagi dengan SK Menteri Kehutanan No. 31/Kpts- II/2001 yang memberikan
wewenang pada Bupati untuk memberi ijin dan memfasilitasi pembentukan
kelembagaan masyarakat. Namun, dengan diberlakukannya PP 34 tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan
Penggunaan Kawasan Hutan, SK 31 tentang Hutan Kemasyarakatan secara hukum tidak
berlaku lagi.
Analisis
6
Dari pemaparan jurnal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sangat penting
memberikan ruang bagi masyarakat kawasan hutan. Hak dan ruang kelola masyarakat
merupakan salah satu isu kunci. Kebanyakan hutan di Indonesia dikuasai oleh negara.
Akan sangat baik jika pengakuan terhadap hak adat dilaksanakan atau penguatan Perda
tentang kebijakan daerah untuk pengelolaan hutan. Kepercayaan terhadap pemerintah
harus dibangun demi kebaikan pembangunan daerah. Kesulitan tersebut susah dibangun
karena banyak kebijakan yang katanya bijak sering tidak bijak bagi masyarakat kawasan
hutan. Namun suatu kali saat daerah diberi otoritas desa, banyak pembalakan,
pengambilan hasil hutan, penyerobotan lahan yang juga salah. Kebebasan yang
diberikan menjadikan masyarakat kawasan liar saat diberikan lahan bersama. Oleh
karena itu butuh regulasi yang tepat dan berbasis masyarakat yang adil. Karena
menyangkut banyak kepentingan, suatu sumber daya pun harusnya mampu menampung
setiap partisipasi positif.
Jika melihat ke arah kebijakan, kebijakan dari SK Menteri SK No. 622/1995
hingga SK Menteri Kehutanan No. 31/Kpts- II/2001 benar-benar berpihak pada
perbaikan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara. Segala
sesuatunya baik hingga muncul PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang
menarik wewenang pada Bupati untuk memberi ijin dan memfasilitasi pembentukan
kelembagaan masyarakat pada SK 31 tersebut.
Secara kritis, tulisan tersebut sangat mudah dibayangkan keparadoksannya. Satu
sisi kebijakan yang dikeluarkan sangat berkembang. Namun disatu sisi lainnya,
implementasi kebijakan sangat buruk hingga berpikir tidak ada gunanya kebijakan yang
dikembangkan tersebut. Tulisan ini kurang mengambil setiap contoh aplikatif disetiap
sisi sub-bab nya. Misalnya contoh penerapan kebijakan dibeberapa daerah, kebijakan
yang malfungsi, dan tantangan perhutanan sosial masa depan.
3.
Judul
: Beberapa
3.
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Makalah
:
:
:
:
:
:
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
:
:
Tanggal Unduh
:
Aspek
Pemberdayaan
Perhutanan Sosial (Paparan Studi Kasus
Sukabumi)
2008
Jurnal
Elektronik
Tarsoen Waryono
Makalah Penunjang Seminar Perhutanan
Sosial Litbang Dephutbun.
https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono
/files/2009/12/26-perhutanan-sosial.pdf.
19 September 2014
Ringkasan
Pengertian otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social
Science, otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal self sufficiency of social
body and is actual independence. Sedangkan menurut UU Nomor 22 tahun 1999,
tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
7
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, sesuai dengan peraturan
perudangan.
Aplikasi Pemberdayaan Pembangunan Hutan Rakyat perlu diaplikasikan untuk
mendapat bentuk kongkrit dari otonomi. Pemberdayaan jenis ini diharapkan bisa
berhasil, memiliki benefit dimasyarakat, dan kontinu. Digalakannya hutan rakyat oleh
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, melalui program “sengonisasi, sungkenisasi,
sukunisasi dan turinisasi” di Jawa Barat, nampaknya belum memberikan kesan atas
keberhasilannya ditinjau dari niat kesungguhan masyarakat terhadap program tersebut.
Nampaknya kunci keinginan masyarakat yang dikehendaki adalah; terciptanya
kontinuitas pendapatan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh sebab itu
pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan pemahaman atas penerapan sistem
tumpangsari pada waktu tanaman masih muda, untuk kemudian dilanjutkan dengan
agroforestry, hingga tanaman pokok mencapai daur ekonomis. Atas dasar itulah
menempatkan kaidah-kaidah pembangunan hutan rakyat dengan cara-cara rasional,
akan menjamin kontinuitas pendapatan masyarakat, merupakan kunci harapan atas
keberhasilan program.
Memperhatikan atas fakta fisik wilayah Kabupaten Sukabumi, nampaknya
pemberdayaan perhutanan sosial dalam bentuk hutan rakyat, penyusunan rancangan
programnya perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan
sektor lain, dalam lingkup pembangunan daerah. Penyelarasan tersebut perlu diperjelas
menuju integrasi yang baik bukan tumpang tindih atau konflik tidak penting. Namun,
hadirnya pembangunan hutan rakyat, cenderung memacu ekses terjadinya kesenjangan,
antara masyarakat yang memiliki lahan dan membangunnya dengan masyarakat
lainnya; dimana ekses tersebut tidak jarang menimbulkan kerawanan sosial yang
berdampak negatif terhadap pengelolaan hutannya.
Analisis
Artikel ini menunjukkan sebenarnya otonomi daerah itu sangat ideal untuk desa
dengan memberi pengertian tentang otonomi.. Namun demikian, otonomi bisa menjadi
bumerang yang tepat sasaran untuk daerah yang menjalankan otonomi itu juga.
Perlunya otonomi juga dirasa karena masyarakat jenuh dengan perintah-perintah dari
atas seperti Departemen Kehutanan. Departemen ini juga menjadikan masyarakat
sebagai objek program bukan sebagai subjek yang memastikan keberlanjutan.
Dalam lingkup pembangunan daerah, penyusunan rancangan programnya perlu
diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain. Bukan
hanya perlu keberhasilan sehingga menaikkan prestise dimata pihak lain. Namun
menyadari sepenuhnya bahwa masyarakat dan lingkungannya memang perlu dibangun.
Pembangunan tersebut harus berkelanjutan sekalipun melibatkan pemberdayaan.
Penulis memiliki pemikiran kritis seperti ini dan hal ini sangat koheren dengan
kehidupan pemberdayaan hutan kemasyarakatan zaman sekarang.
4.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
4.: Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah Sosiologi
:
:
:
:
:
:
yang Perlu Diperhatikan : Sebuah Tinjauan
Teoritis
2003
Jurnal
Elektronik
Kresno Agus Hendarto
Bogor
Jurnal Manajemen Hutan Tropika
8
Volume(Edisi)
Halaman
Alamat URL
Tanggal Unduh
: IX(1) hal 47-58
: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/31169
: 19 September 2014
Ringkasan
Perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon dan atau tumbuhan
lain pada lahan yang dimungkinkan untuk tujuan tertentu, didalam maupun di luar
kawasan hutan, dan mengelolanya secara intensif dengan melibatkan masyarakat dan
pengelolaan ini terintegrasi dengan kegiatan lain, yang mengakibatkan terjadinya
keseimbangan dan saling mengisi penggunaan lahan dengan maksud untuk
menyediakan barang dan jasa secara luas baik kepada individu penggarap maupun
masyarakat.
Secara kongkrit, tujuan perhutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang
biasa dan komersial dalam 3 (tiga) hal, yaitu (1) Perhutanan sosial meliputi produksi
dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian, terutama yang tidak
diedarkan sebagai uang (non-monetized); (2) Perhutanan sosial menyangkut partisipasi
langsung pemanfaat; (3) Termasuk sikap dan ketrampilan yang berbeda dari segi ahli
kehutanan yang harus memberikan peranannya sebagai pelindung hutan terhadap
penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam pohon.
Peubah-peubah sosiologi yang dirasa penting dalam perhutanan sosial terdiri
dari beberapa konsep. Kesetaraan gender yakni adanya peran yang sama dan sebangun
antara perempuan dan laki-laki dalam perhutanan sosial. Misalnya pembagian peran
tradisional di sektor pertanian di Jawa adalah sebagai berikut: (1) Laki-laki melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat, seperti menyiapkan lahan (membajak, menggaru,
mencangkul); (2) Perempuan melakukan tugas-tugas lain (menanam, memanen,
mengeringkan). Peubah selanjutnya yakni keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah
distribusi keuntungan atau kerugian akan disebarkan ke berbagai pihak dalam berbagai
bentuk.. Kemudian peubah selanjutnya adalah penghargaan terhadap lokal Spesies.
Masyarakat kawasan hutan berhak menentukan spesies tertentu yang bisa ditanam dan
spesies yang tidak sesuai kebutuhan untuk perhutanan sosial. Seandainya masyarakat
lokal tidak menginginkan spesies tertentu yang masuk dalam MPTS (Multy Purpose
Tree Spesies), tersebut untuk perhutanan sosial maka spesies itu haruslah tidak berada
dalam rancangan kegiatan. Demikian pula sebaliknya, jika suatu spesies dikehendaki
oleh masyarakat lokal, maka spesies itulah yang harus ditanam.
Analisis
Peubah-peubah yang disusun penulis sehingga terdapat empat peubah yang
dirangkum tersebut merupakan rangkuman dari beberapa pendapat. Terdapat peubah
yang penting namun kurang dianggap penting oleh penulis yakni peubah struktur sosial.
Penulis beranggapan bahwa konsep struktur sosial adalah aspek statis dari susunan
hubungan sosial dalam suatu masyarakat (karena ia terdiri atas status suatu kelompok
masyarakat). Selain itu, dalam konsep struktur sosial orang cenderung untuk berbicara
tentang pola perilaku yang ideal dan normatif. Dari beberapa kelemahan di atas,
diperlukan adanya suatu peubah derivative (turunan) dari struktur sosial, yang bersifat
dinamis, terdiri atas role (aturan) dan yang berbicara tentang pola perilaku yang ideal
dan situasional, yaitu kelompok sosial. Padahal struktur sosial merupakan faktor yang
sangat penting dalam mereformasi tata aturan maupun peran tata kelembagaan. Namun,
kebanyakan pihak pemerintah maupun private sector enggan mereformasi struktur dan
sistem rumit yang menanti di depan. Hal ini pulalah yang membuat suatu bentuk
9
penguasaan sumberdaya dapat direformasi. Pihak yang dominan dapat mengembalikan
kekuasaan maupun didaur.
5. Judul
: Perilaku Masyarakat Desa Hutan Dalam
5.
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
:
:
:
:
:
:
:
:
Tanggal Unduh
:
Memanfaatkan Lahan Di Bawah Tegakan
2011
Jurnal
Elektronik
Moh Solehatul Mustofa
Semarang
Jurnal Komunitas
3(1) hal 1-11
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komu
nitas/article/view/2287
19 September 2014
Ringkasan
Pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT) merupakan alternatif dalam akses
pemanfaatan lahan hutan yang diberikan kepada masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut
sesuai dengan tujuan dari pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM).
PLDT merupakan agroforestry yang pada dasarnya adalah pola pertanaman yang
memanfaatkan sinar matahari dan tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan. Selain
itu pola tanam agroforestry juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah
penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Jadi manfaat ganda dari pola
agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan produktivitas dan pemeliharaan lingkungan.
Agroforestry merupakan sistem pengelolaan hutan dengan menerapkan pola
budidaya tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian, peternakan, perikanan pada
unit lahan pada waktu yang sama maupun berurutan dengan tujuan peningkatan
produktivitas lahan dan kelestarian hutan.
Beberapa bentuk perilaku masyarakat di sekitar hutan di wilayah Perhutani KPH
Pati Kecamatan Gembong Kabupaten Pati dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan,
Pertama, Pembukaan lahan dan kelanjutan pengelolaan lahan hutan yang dilakukan oleh
masyarakat. Kedua, bentuk perilaku masyarakat dua desa disekitar hutan wilayah
Perhutani adalah pemanfaatan lahan hutan untuk bertanam. Ketiga, adalah menjaga
kelestarian hutan. Dengan adanya ijin menggarap lahan gundul di hutan, secara otomatis
masyarakat juga turut memelihara dan menjaga kelestarian hutan. Keempat, masyarakat
menjaga keamanan hutan. Penduduk sekitar hutan jati menjadi turut bertanggungjawab
terhadap keberadaan hutan jati dari penjarah hutan. Kelima, mengembangkan kelembagaan. Perilaku masyarakat desa hutan terhadap pemanfaatan lahan di bawah tegakan
berpengaruh pada pengembangan kelembagaan yang sangat positif.
Analisis
Secara umum jurnal ini menjelaskan dari konsep dasar perhutanan sosial.
Perhutanan sosial memiliki banyak bentuk dan penerapannya di daerah desa hutan.
Salah satu bentuk penerapan perhutanan sosial adalah hasil kontrak dari Perhutani
kepada masyarakat dalam memanfaatkan luas lahan tertentu. Namun, penerapan
tersebut terkadang membuahkan konflik laten atau manifest dan perasaan tidak aman.
Alternatif penyelesaian konflik pun mulai dirancangan seperti penanaman spesies
tertentu oleh para pesanggem dan bantuan fee penjualan kayu jati oleh Perhutani.
10
Pemanfaatan lahan yang terbatas dan penuh sengketa pun mau tidak mau harus
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat. Mereka
menggunakan lahan tertentu dalam tanaman kayu di hutan sebagai tanaman palawija
ataupun tanaman non-kayu lainnya. Masyarakat memiliki perilaku tertentu pula dalam
menggunakan lahan tersebut. Dari kelima perilaku yang dijelaskan dalam jurnal ini,
penulis merangkum berbagai perilaku terlalu luas dan general. Misalnya pengelolaan
dan pemanfaatan lahan di hutan. Definisi pemanfaatan dan pengelolaan hutan dapat
dibagi menjadi beberapa tingkatan. Bisa saja pemanfaatan atau pengelolaan tersebut
hanya samai pada tahap mendapt akses namun tidak terlalu berkuasa memanajemen
dalam memaksimalkan hasil sumber daya tersebut. Sekalipun dalam deskripsi dari
perilaku masyarakat sekitar hutan sudah dijelaska secara rinci, pengistilahannya masih
tergolong general.
6.
Judul
6.: Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
:
:
:
:
:
:
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
:
:
Tanggal Unduh
:
Pembangunan Kehutanan (Studi Kasus
Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi
Selatan)
2013
Jurnal
Elektronik
Mohammad Mulyadi
Jakarta
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan
10(4) hal 224-234
http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/170
19 September 2014
Ringkasan
Konstruksi masyarakat adat yang diatur dalam UUD 1945 generasi pertama
adalah pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah “bawahan” yang istimewa
untuk menopang Pemerintahan Republik di Jakarta sebagaimana sebutkan dalam
penjelasan Pasal 18 UUD 1945.
Masyarakat adat kemudian disepakati bahwa masyarakat adat adalah kelompok
masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis
tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan
wilayah sendiri. Pengertian masyarakat adat tidak dapat dilepaskan dari pengertian
masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan
kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri
sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan
hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya bentuk
hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem
pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan
pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengana perburuan binatang liar,
pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan
kewajibannya. Penghidupan mereka berciri; komunal, dimana gotong royong, tolong
menolong, serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar. Masyarakat adat memiliki
kearifan yang tinggi, kedalaman pengetahuan kehidupan yang mengagumkan serta
sistim sosial-ekonomi yang tangguh. Namun demikian, dalam kenyataannya terjadi
11
pertentangan antara budaya masyarakat adat yang bertumpu pada keseimbangan alam
dan sistim produksi yang lebih menekankan pada ekonomi subsisten.
Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat
penghuninya. Masyarakat hutan adat umumnya terbukti mampu menyangga kehidupan
dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan
sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk.
Penentuan tingkat kemiskinan di wilayah masyarakat adat Battang masih tinggi
yang merupakan desa hutan, ditandai dengan beberapa indikator. Indikator-indikator
tersebut yakni kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan
masyarakat adat untuk menyampaikan aspirasi. Untuk mengatasi kemiskinan,
diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat. Beberapa upaya penting yang harus
dilakukan oleh pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adat adalah
pertama, reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan, kedua, gerakan sosial
masyarakat adat,ketiga, membangun institusi lokal masyarakat adat, keempat,
pengembangan kapasitas masyarakat adat.
Analisis
Dalam jurnal tersebut, penulis mengaitkan antar variabel secara
berkesinambungan. Penjelasan konstruksi masyarakat adat dibahas dari hal fundamental
negara yakni UUD 1945. Ternyata dari UUD 1945 sekalipun, menganggap pemerintah
masyarakat desa sebagai pemerintah “bawahan” dengan panggilan “istimewa”. Setelah
penguatan masyarakat adat dan keberanian mereka dengan dibentuknya Jaringan
Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA), konsep masyarakat adat
dinyatakan kembali. Masyarakat adat disepakati merupakan kelompok masyarakat yang
memiliki historis, ideologi, politik, dari wilayah sendiri. Masyarakat adat juga dikenal
dengan kekayaan hukumnya sehingga sering dikenal dengan masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat lebih kuat posisinya karena memiliki kesatuan hukum,
penguasa, lingkungan hidupberdasarkan hak atas sumber daya yang sama. Posisi ini pun
sangat rentan apabila mulai mengorientasikan budaya masyarakat adat yang bertumpu
pada keseimbangan alam dan sistem produksi yang lebih menekankan pada ekonomi
subsisten. Masyarakat adat pun memiliki tempat tinggal yang sering dekat dengan hutan
adat. Lokasi hutan adat tersebut berada dalam wilayah adat dan memiliki hubungan
sangat dekat dengan komunitas yang tinggal di dalamnya. Namun sangat disayangkan,
peningkatan kapasitas bagi masyarakat adat kurang diperhatikan, sedangkan proyek
atau program pembangunan selau diintervensi pada mereka. Terjadinya lag antaraa
usaha peningkatan kapasistas dengan intervensi program pembangunan terhadap hutan
berdampak pada kemiskinan mereka. Kemiskinan masyarakat adat terutama masyarakat
Battang masih tinggi dengan memperhatikan variabel kerentanan, ketidakberdayaan,
keterisolasian, dan ketidakmampuan masyarakat adat dalam menyampaikan aspirasi.
Ketimpangan perencanaan dan realitas di masyarakat adat hutan membutuhkan
pemberdayaan setempat yang berbasiis kebutuhan mereka sendiri juga. Uaya yang
penting dala pemberdayaan tersebut adalah reorientasi masyarakat adat dalam
pembangunan yakni pengkajian kembali tujuan dari berdirinya masyarakat adat.
Kemudian upaya selanjutnya adalah gerakan sosial masyarakat adat yang menguatkan
kelembagaan adat dengan merevitalisasi pola-pola gerakan tersebut. Selanjutnya adalah
upaya membangun institusi lokal masyarakat adat. Masyarakat adat membutuhkan
wadah aspirasi yang aman dan terjamin. Wadah tersebut merupakan institusi lokal yang
terbentuk dan bertumbuh hingga akhirnya melahirkan buah yang baik dari institusi
tersebut kepada masyarakat. Terakhir adalah pengembangan kapasistas masyarakat adat.
12
Sangat disayangkan apabila karena kelalaian atau tidak terliriknya kapasistas
masyarakat adat yang merupakan subjek pembangunan, segala proyek pembangunan
tidak efektif berjalan.
7.
Judul
7.: Peranan Gender dalam Adaptasi Perubahan
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
:
:
:
:
:
:
:
:
Tanggal Unduh
:
Iklim pada Ekosistem Pegunungan di
Kabupaten Solok, Sumatera Barat
2013
Jurnal
Elektronik
Yanto Rochmayanto & Pebriyanti Kurniasih
Riau
Jurnal Analisis Kebijakan Hutan
10(3) hal 203-213
http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JAKK/article/view/328
19 September 2014
Ringkasan
Peran gender merupakan peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai
status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. 3 (tiga) kategori peranan yaitu:
Peranan produktif, yaitu peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk
memperoleh bayaran tunai, termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar dan
produksi rumah tangga/subsisten dengan nilai guna. Peranan reproduktif, yakni peranan
yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik
untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut
kelangsungan tenaga. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik, terdiri atas 2 (dua)
kategori, yaitu: Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), mencakup semua
aktivitas dalam komunitas sebagai kepanjangan peran reproduktif, bersifat sukarela dan
tanpa upah. Peranan pengelolaan politik, yakni peranan dalam pengorganisasian
komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak
langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status.
Peranan reproduktif pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan masih
dipengaruhi oleh nilai dan norma masyarakat, dimana semua jenis pekerjaan yang
bersifat domestik atau feminin yang menggunakan teknologi tradisional yang tidak
memerlukan tenaga kerja yang kuat dikerjakan oleh perempuan. Laki-laki kurang
berperan dalam kegiatan reproduksi karena keseharian mereka banyak dihabiskan di
sektor publik. Peranan produktif pada kegiatan bercocok tanam di ladang, perempuan
dan laki-laki memiliki beban kerja yang sama, tidak ada pembedaan tugas dalam
pengelolaan lahan. Pada kegiatan penjualan hasil ladang, biasanya para pria membawa
dan menjualnya ke pasar sedangkan perempuan menunggu di rumah. Ikut sertanya
perempuan dalam kegiatan bercocok tanam dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang
tidak menentu akibat perubahan pola hujan. Perubahan iklim ini mempengaruhi
produktivitas tanaman pertanian sehingga berdampak pada penurunan pendapatan
keluarga. Perempuan bekerja di ladang menggantikan suami yang bekerja menjadi
buruh tani di ladang orang lain atau bekerja pada sektor lain, sehingga mendapatkan
penghasilan tambahan. Pada peranan dalam kegiatan pengelolaan masyarakat dan
politik, perempuan mempercayakan hak politiknya kepada suami atau anak laki-laki dan
lebih aktif pada kegiatan pengelolaan masyarakat yang bersifat sosial di lembaga formal
dan informal. Dampak perubahan peranan terhadap kerentanan perempuan pun tak
13
dapat dibendung. Marginalisasi adalah pemiskinan ekonomi terhadap perempuan.
Perempuan mengalami marginalisasi dalam hal pengelolaan sumber daya alam
pertanian. Perempuan yang bekerja sebagai buruh pertanian memiliki penghasilan yang
lebih rendah dibanding laki-laki dengan beban kerja yang sama. Selain itu ada juga
pelabelan negatif (stereotype) peranan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam
pertanian yang dipandang sebelah mata. Perempuan masih dianggap sebagai sosok yang
lemah dibandingkan dengan laki-laki. Kemudian, subordinasi adanya anggapan bahwa
perempuan pada akhirnya nanti akan bekerja di dapur, sehingga tidak perlu sekolah
tinggi. Beban ganda perempuan yakni penurunan pendapatan keluarga akibat adanya
iklim yang tidak menentu, membuat perempuan ikut membantu suami mencari
pendapatan tambahan. Hal ini menyebabkan alokasi waktu produksi dan reproduksi
perempuan lebih besar dari laki-laki, dan alokasi waktu untuk kegiatan sosial menjadi
berkurang. Strategi adaptasi yakni Strategi yang diperlukan untuk memastikan upaya
peningkatan kapasitas adaptif dan menurunkan kerentanan perempuan terhadap
perubahan iklim pun muncul. Peningkatan kapasitas perempuan berupa pendidikan
formal maupun keterampilan/ non formal.
Analisis
Dari penjelasan jurnal tersebut, penulis menyatakan hubungan yang krusial
antara perubahan iklim yang signifikan dengan peran gender. Peran gender juga tidak
bisa dipandang sebelah mata mengingat di masyarakat harapan peran masyarakat
terhadap laki-laki dan perempuan masih begitu berpengaruh. Terlebih peran gender
merupakan salah satu variabel ketahanan keluarga.
Penulis secara nyata juga menekankan akibat yang globally saat perubahan iklim
disuatu daerah terjadi. Logikanya, hubungan ini begitu signifikan dengan alur dari
penurunan produktifitas hingga jam kerja perempuan dibidang produktifitas semakin
bertambah. Hal ini juga mengakibatkan kontribusi perempuan dibidang politik, bidang
formal maupun non-formal di masyarakat sangat berkurang demi mempertahankan
ketahanan keluarga di bidang ekonomi. Secara umum, perubahan iklim mempunyai
multiplyer effect. Efek-efek tersebut bahkan menyentuh hingga di sektor mikro seperti
keluarga petani. Aspek sosial seperti perubahan peranan gender atau aspek-aspek sosial
lain juga akan sangat mempengaruhi produktifitas nasional. Tulisan ini mengajak
pembaca agar berfikir luas dan jangka panjang akan sesuatu yang tidak kasat mata.
8.
Judul
8.: Peranan Kayu dan Hasil Bukan Kayu dari
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
:
:
:
:
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
:
:
:
:
Tanggal Unduh
:
Ringkasan
Hutan Rakyat pada Pemilikan Lahan Sempit
: Kasus Kabupaten Pati
2012
Jurnal
Elektronik
Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka,
Sulistya Ekawati
Bogor
Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan
9(3) hal 113-125
http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/198
19 September 2014
14
Lahan pekarangan dan tegalan rata-rata dipraktekkan sistem tumpangsari antara
jenis tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan, dan dibawahnya dikembangkan
tanaman semusim, empon-empon, atau rumput pakan ternak sehingga berbentuk
agroforestri. Lahan rakyat yang diusahakan sebagai hutan rakyat dengan teknik
agroforestri adalah 88,6%, sehingga pendapatan dari hutan rakyat diduga menjadi
sumber pendapatan utama bagi petani.
Hasil Kayu dalam Usaha Hutan Rakyat sangat berperan pula bagi masyarakat
kawasan hutan. Rata-rata 88,6% dari lahan rakyat diusahakan sebagai hutan rakyat
sehingga pendapatan dari hutan rakyat memiliki peran besar dalam ekonomi rumah
tangga petani di desa-desa lokasi studi. Penjualan per pohon umumnya dilakukan
dengan sistem tebang pilih saat butuh atau tebang pilih rakyat, di mana pohon yang
diameternya sudah besar (meski umur baru 4 tahun) atau yang kira-kira nilai uang hasil
jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani, akan ditebang terlebih dahulu.
Sementara itu pada penjualan per hamparan dengan sistem tebas, Petani langsung
menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur dan menghitung volume kayunya
sendiri.
Selain hasil kayu, hasil bukan kayu dalam Usaha Hutan Rakyat juga memiliki
andil dalam hidup masyarakat kawasan hutan. Jenis HBK dari lahan hutan rakyat yang
kontribusinya besar terhadap pendapatan petani di tiga desa lokasi studi adalah jenis
tanaman buah-buahan (31,58% -75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% -55,41%).
Berdasarkan diskusi kelompok terarah diketahui bahwa hasil berbagai jenis tanaman
yang dibudidayakan oleh petani dapat dipanen secara bergilir. Dengan cara menanam
berbagai jenis tanaman tersebut, petani dapat memenuhi seluruh kebutuhan jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang, namun kecukupannya sangat
dipengaruhi oleh luasan lahannya. Jangka waktu panen HBK yang lebih singkat sangat
besar peranannya dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat terutama pada
pemilikan lahan sempit karena petani tetap mempunyai sumber pendapatan dari lahan
hutan rakyat meskipun tanaman kayunya belum dapat dipanen.
Analisis
Dalam tulisan ini, penulis menyatakan secara gamblang betapa hutan rakyat
sangat menguntungkan bagi masyarakat dari hasil kayu hingga hasil hutan bukan kayu.
Dengan teknik agroferstri, masyarakat dapan mengatur pola watu penanaman. Selain
itu, hal baiknya adalah penulis menceritakan bahwa masyarakat yang berkontribusi
dalam hutan rakyat ini dan hutan rakyat berkontribusi banyak juga bagi masyarakat.
Masyarakat menjadikan hutan produktif dan hutan berkontribusi terhadap pendapatan
masyarakat.
Hal yang kurang luas dibahas dalam jurnal ini adalah kekhasan dari masyarakat
peserta hutan rakyat. Di daerah hutan, sudah pasti mereka merupakan orang-orang desa
yang memiliki pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal tesebutlah yang menentukan
tingkah laku masyarakat terhadap sumber dayanya. Dalam jurnal hal ini kurang dibahas
mengingat kontribusi pengetahuan loal atau kearifan lokal sangat menjadi variabel
pengaruh dan penting terhadapa produksi masyarakat dan keberlanjutan nilai ekonomi
mereka.
9.
Judul
9.: Manfaat
Ekonomi
dan
Peluang
Pengembangan Hutan Rayat Sengon di
Kabupaten Pati
15
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
:
:
:
:
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
:
:
:
:
Tanggal Unduh
:
2012
Jurnal
Elektronik
Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka,
Sulistya Ekawati
Bogor
Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan
9(3) hal 126-139
http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/199
19 September 2014
Ringkasan
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat di beberapa negara telah bergeser dari
pengelolaan secara subsisten menuju ke pengelolaan hutan secara komersial dalam
berbagai model bisnis. Pengelolaan hutan komersial berbasis masyarakat merupakan
salah satu kebijakan prioritas pemerintah Indonesia yang diimplementasikan melalui
program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa
(HD) dan Hutan Rakyat (HR).
Pendapatan yang bersumber dari penggunaan lahan sangat mempengaruhi
masyarakat kawasan hutan. Kecukupan pendapatan sangat dipengaruhi oleh luasan
lahan yang dimiliki atau digarapnya. Pendapatan petani dari penggunaan lahan dapat
dibedakan menjadi pendapatan dari hasil kayu, hasil bukan kayu, dan dari ternak yang
pakannya berasal dari lahan.
Terdapat pula organisasi petani yang sengaja dibentuk masyarakat sebagai
wadah membagikan nilai dalam hidup mereka. Ada beragam organisasi petani di lokasi
penelitian, seperti : (1) Kelompok tani Masyarakat di desa-desa di lokasi studi
membentuk kelompok tani yang mewadahi kegiatan hutan rakyat yang mereka lakukan.
Kelompok Pengelolaan Hutan Rakyat (KPHR) Tani Unggul yang merupakan wadah
untuk sosialisasi dan menyalurkan bibit tanaman kehutanan dari LSM Trees4Trees
kepada para petani. (2) Organisasi simpan pinjam Untuk membantu mengatasi kesulitan
keuangan penduduk, bantuan uang dari PNPM ke desa Gunungsari dijadikan modal
usaha simpanpinjam yang dikelola oleh GAPOKTAN dengan cara mendistribusikan ke
Kelompok-Kelompok Tani di tiap-tiap pedukuhan. (3) Organisasi pemanfaatan mata air
Berkembangnya hutan rakyat mempengaruhi sumber mata air yang ada di desa.
Pemanfaatannya dilakukan secara berkelompok diantara rumah-rumah penduduk yang
berada di sekitar mata air.
Selain pendapatan dan organisasi petani, di lapangan ditemui beberapa
hambatan yang mengancam usaha hutan rakyat. Ada tiga hambatan yang dihadapi
petani sengon di lokasi studi, yaitu hambatan silvikultur, pengorganisasian petani, dan
pemasaran. Dari silvikultur, pertumbuhan tanaman sengon seringkali tidak seragam
walaupun ditanam pada lahan dengan waktu dan perlakukan yang sama. Hal ini diduga
karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas bibit yang tidak seragam. Selain itu,
umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang terlalu lama dalam kaitannya dengan
kesinambungan pendapatan petani. Oleh karena itu, petani menerapkan pola
tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai umur sengon 3 tahun.
Namun ketika sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak tertimpa pohon, padahal
umur panen sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman kopi, sehingga banyak
petani yang tidak menerapkan pola tersebut.
16
Kecenderungan yang Sedang Berlaku melihat perilaku para petani adalah : (1)
Kecenderungan konversi lahan konversi lahan sawah menjadi tegal dan pekarangan. Hal
ini terjadi karena pasokan air untuk pertanian sawah tidak dapat berlangsung sepanjang
tahun, karena lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga. (2)
Kecenderungan peran aktif perempuan dalam usaha pemanfaatan lahan karena untuk
menjangkau lokasi tegalan atau hutan yang relatif jauh dari lokasi rumah serta
mengangkut faktor produksi seperti bibit, pupuk, dan hijauan pakan ternak, serta hasil
panenan dapat dilakukan menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Kecenderungan
ini juga dipacu oleh kepergian kaum laki-laki ke luar daerah atau ke luar negeri untuk
mencari tambahan penghasilan sehingga pengelolaan lahan diserahkan kepada kaum
perempuan. (3) Kecenderungan sengon sebagai tabungan Penduduk desa-desa di lokasi
studi cenderung menganggap tanaman sengon sebagai tabungan keluarga.
Peluang yang dapat tercipta pada Usaha Hutan Rakyat secara kongkrit adalah :
(1) Konversi pemanfaatan lahan banyak petani yang mengkonversi lahan sawahnya
menjadi tegal dan pekarangan untuk ditanami sengon karena kayu sengon cepat tumbuh
dan mulai umur 4 tahun sudah dapat dipanen. (2) Dukungan program pemerintah Di
wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah antara lain KBR,
BLMPPMBK, dan KBD. (3) Tanah yang subur Desa penelitian terletak di kawasan
perbukitan kaki gunung Muria yang tanahnya subur sehingga potensial dengan tanaman
kayu-kayuan. (4) Permintaan kayu sengon yang tinggi. (5) Peluang untuk
dikembangkan industri pengolahan. Perdagangan kayu sengon rakyat di wilayah
Kabupaten Pati baru berkembang.
Analisis
Pada jurnal tersebut penulis juga menceritakan tentang keuntungan usaha hutan
rakyat bagi masyarakat dan dibahas lebih luas tidak hanya pada keuntungan sektor
ekonomi namun juga membahas tentang aspek sosial yang menjadi peluan sekaligus
hambatan kemajuan usaha masyarakat.
Pendapatan dari masyarakat dijelaskan dipengaruhi oleh luas lahan garapan. Hal
ini masuk akal sekali walaupun luas lahan tidak selalu menjadi variabel mutlak
bertambahanya pendapatan rumah tangga. Pendapatan dari hasil kau maupun non-kayu
dan ternak juga ada hubungannya dengan organisasi untuk membagikan nilai hidup
mereka. Terdapat juga beberapa hal yang mengahambat produksi masyarakt yakni
perliha silvikultur, pola tanam yang kurang tepat, pengorganisasian petani, dan
pemasaran. Permasalah yang dijelaskan dalam artikel ini memiliki pengertian yang
lebih luas dibanding jurnal yang hanya membahas hambatan ekonomi saja.
10. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
: Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan
10.
:
:
:
:
Kota Penerbit
:
Nama Jurnal
:
Volume
(Edisi) :
Halaman
Alamat URL
:
Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros
Sulawesi Selatan
Jurnal
Elektronik
Muspida
Maros
Jurnal Hutan dan Masyarakat
2(3) hal 290-302
http://download.portalgaruda.org/article.php?ar
ticle=29822&val=2169
17
Tanggal Unduh
: 19 September 2014
Ringkasan
Penguasaan lahan merupakan masalah besar bagi kehidupan petani dan
keluarganya. Selain rumah atau tempat tinggal, lahan merupakan aset paling berharga
yang dimiliki petani di ketiga desa kasus. Ada tiga jenis lahan yang menjadi indikator
kehidupan petani, yaitu lahan persawahan, lahan hutan kemiri dan lahan perladangan.
Cara petani memperoleh lahan yang dikuasai di ketiga desa umumnya melalui
pewarisan, Sompa (lahan pemberian sebagai salah satu syarat pernikahan) dan
pemindahan hak melalui jual beli, serta penguasaan lahan melalui kelembagaan sanra
(gadai) dan teseng (bagi hasil). Penguasaan lahan oleh petani melalui kelembagaan
sanra dan teseng pada umumnya adalah lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang
tinggal di kota.
Modal sosial mikro dalam pembangunan hutan kemiri di ketiga desa kasus
dibahas dalam dimensi kognitif dan dimensi struktural. Dimensi kognitif bersumber dari
norma-norma dan nilai-nilai serta keyakinan yang hidup di dalam masyarakat sipil oleh
dorongan saling percaya (trust), meliputi unsur prmbukaan lahan, peralihan hak kelola
lahan (teseng, Sanra, jual beli dan pewarisan), dan dimensi struktural bersumber dari
peranan dan aturan dalam jaringan (networking) meliputi jaringan pembukaan lahan,
pemungutan dan pengolahan hasil serta pemasaran. Kedua dimensi tersebut memiliki
elemen-elemen umum yang mendorong tingkah laku bekerjasama secara
menguntungkan melalui tindakan terkordinasi.
Peran modal sosial makro pembangunan hutan kemiri di ketiga desa kasus akan
dikaji baik dalam dimensi kognitif maupun dalam dimensi struktural yang terangkum
dalam kebijakan Tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Pada awalnya pemerintah
dalam menetapakan tata batas hutan masih memberi peluang kepada masyarakat untuk
melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam kawasan hutan. Sejak tahun 1994,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros mulai mensosialisasikan batasbatas kawasan hutan TGHK dan melarang masyarakat melakukan kegiatan pengelolaan
hutan kemiri dalam bentuk peremajaan (mallolo). Masyarakat hanya diizinkan
melakukan pemungutan buah kemiri dalam kawasan hutan.
Analisis keterkaitan modal sosial mikro, dan modal sosial makro dalam
pengelolaan hutan kemiri pada tiga desa kasus adalah sebagai berikut: (1) Saling
Percaya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keterkaitan rasa saling percaya (trust)
dalam hal status penguasaan lahan hutan kemiri antara petani dengan petani dijumpai
dalam bentuk pengakuan hak atas lahan hutan kemiri. (2) Jaringan. Hasil penelitian
memperlihatkan keterkaitan modal sosial jaringan (net work) dalam hal pembukaan dan
pengelolaan lahan hutan kemiri antar petani di ketiga desa kasus dijumpai dalam bentuk
kelompok pembukaan lahan, dan sewa menyewa lahan.
Analisis
Jurnal ini sedikit banyak menceritakan tentang begitu besar kontribusi modal
sosial baik mikro maupun makro dalam produksi kemiri petani setempat. Bentuk modal
sosial tersebut yakni rasa saling percaya dalam batas penguasaan lahan, jaringan
pembukaan lahan baru, dan terbangunnya norma dan kelembagaan masyarakat yang
mengarahkan ketertiban sosial dalam pembukaan dan pengelolaan lahan kemiri. Namun
dalam penjelasan interaksi dari keterkaitan modal sosial hanya dijelaskan dari sudut
pandang hubungan saling percaya dan jaringan saja tanpa mendalami peran norma.
18
Perihal pengaruh yang paling dirasakan dan dilihat mungkin jadi pertimbangan penulis
tidak memasukkan unsur norma kedalam penjelasannya.
Selebihnya, penjelasan dari jurnal ini, dibahas juga pemanfaatan lahan itu diatur
dalam pengetahuan lokal maupun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat secara umum
saja. Cara petani memperoleh lahan yang dikuasai di ketiga desa umumnya melalui
pewarisan, Sompa (lahan pemberian sebagai salah satu syarat pernikahan) dan
pemindahan hak melalui jual beli, serta penguasaan lahan melalui kelembagaan sanra
(gadai) dan teseng (bagi hasil). Penguasaan lahan oleh petani melalui kelembagaan
sanra dan teseng pada umumnya adalah lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang
tinggal di kota. Hal ini sangat mengagumkan karena masyarakat desa tersebut
memahami kompleksitas penguasaan lahan dan melakuan regulasi sedemikian rupa
hingga aturan dapat dimaknai bersama.
11. Judul
: Simplified
11.
and
Harmonized
Forestry
Regulatory Procedures of The Philippines
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
:
:
:
:
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
Tanggal Unduh
:
:
:
:
:
2004
Terminal Report
Elektronik
College of Forestry and Natural Resources
University of the Philippines Los Baños
Los Banos
hal 290-302
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadd061.pdf
19 September 2014
Ringkasan
Terdapat berbagai isu atau permasalahan dalam Identifikasi dan Approval of
Open Access Area Available pada berbagai penerapan yaitu: (1) kemampuan yang
cukup dari Department Environment and Natural Resources (DENR) untuk validasi
tanah, evaluasi kesesuaian letak, dan persediaan sumber daya di lokasi potensial
Financial Management Association (FMA) berupa pemendekan prosedur. Sejumlah
pegawai bidang DENR melaporkan bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya
melaksanakan validasi tanah, evaluasi kesesuaian letak dan persediaan sumber daya
sebab anggaran tidak mencukupi, juga sumber daya utama terbatas (dana tidak
memadai, peralatan, fasilitas, dll). (2) Konflik penggunaan lahan, klaim dan instrumen
tenurial yang dikeluarkan karena tidak cukup, peta yang bertentangan, usang, dan tidak
dapat diakses informasi juga basis data. Masalah yang umum ditemukan oleh DENR
dan klien di berbagai daerah merupakan tumpang tindih instrumen tenurial, konflik
penggunaan lahan dan klaim atas suatu wilayah tertentu, setelah instrumen tenurial
tertentu telah diberikan. Masalah ini berkaitan erat dengan masalah sebelumnya dimana
DENR tidak mampu untuk melakukan identifikasi dan persetujuan daerah terbuka untuk
akses. (3) Kurangnya Tata Guna Hutan Rencana di kantor-kantor regional DENR.
Dalam kebanyakan kasus, orang-orang DENR tidak benar-benar tahu berapa banyak
lahan (dan di mana lahan tersebut berada) telah dialokasikan untuk instrumen yang
berbeda dan tersedia untuk akses terbuka. LGU juga mengangkat isu kurangnya
kemampuan teknis dan keuangan untuk melakukan perencanaan lahan hutan. Namun
masalah lain yang diangkat adalah lembaga yang berbeda '(yaitu, DA, DAR, DTI, DOT,
dll) yang memiliki rencana sendiri untuk lahan hutan. Masalah ini menandakan
19
kebutuhan untuk instansi yang bersangkutan untuk koordinasi sehingga rencana masingmasing dapat diintegrasikan dengan rencana penggunaan lahan hutan keseluruhan
masing-masing daerah. (4) Perlu untuk menyelaraskan kebijakan perjanjian pengelolaan
hutan dengan LGU dan undang-undang National Commission for Indigenous People
(NCIP). Prosedur yang ada pada identifikasi dan persetujuan daerah yang tersedia untuk
berbagai manajemen hutan perjanjian harus diselaraskan dengan orang-orang dari LGU
sebagaimana tercantum dalam DENRDILG JMC Nos. 98-01 dan 2003-01 dan orangorang dari NCIP sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Indigenous People’s
Rights Act (IPRA). Di antara isu-isu / masalah yang teridentifikasi, berikut ini adalah
bagian penting yang harus dilakukan adalah:
a. Tumpang Tindih daerah / klaim yang bertentangan pada area yang
diidentifikasi dengan LGU, dll .;
b. Kesulitan dalam mengamankan dukungan LGU, sehingga menyebabkan
keterlambatan dalam pemrosesan aplikasi;
c. Biaya aplikasi tinggi relatif terhadap instrumen tenurial lain seperti
IFMA;
d. Sebuah sketsa peta yang menjadi kebutuhan daripada Rencana
Pengelolaan Hutan indikatif untuk wilayah dan
e. Ada terlalu banyak tingkatan otoritas yang terlibat dalam pengolahan
SIFMA
yang
aplikasi di DENR, pada dasarnya menyebabkan penundaan dan
meningkatkan biaya transaksi pada bagian dari pemohon.
Analisis
Dalam artikel ini dibuka dengan luas sisi lain permasalahan tenurial di dunia.
Department Environment and Natural Resources (DENR) menyatakan bahwa
objektivitas dalam menyelesaikan masalah tenurial sangat susah tercapai karena
masalah-masalah preventif seperti kesesuaian letak, upaya validasi tanah, anggaran dan
sumber daya terbatas, dan lain sebagainya. Adalagi pemicu konflik seperti tumpang
tindih instrumen tenurial, konflik klaim atas wilayah, yang menyusahkan DENR.
Masalah tersebut tidak dielesaikan dengan mudah. Selain karena harus observasi tempat
dan menggali kebenaran melalui sejarah serta hukum positif juga perlu komitmen
pegawai untuk memprioritaskan pekerjaan ini disertai kecukupan keterampilan,
anggaran, integrasi dengan rencana penggunaan lahan hutan keseluruhan masingmasing daerah.
Laporan ini membahas sangat luas tentang konflik tenurial karena memandang
lingkup yang luas juga. Perlu integrasi dan penyelarasan kebijakan perjanian
pengelolaan. Di Filipina, NCIP (National Ccommision for Indigenous People)
memegang hak penting dalam keberlanjutan lingkungan. Ditonjolkannya keterbukaan,
akuntabilitas, dan partisipatifnya pengambilan keputusan antara pemangku kepentingan
membuat semua pendapat terakomodasi dalam menyelesaikan konflik ini.
12. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
: Model
12.
:
:
:
:
:
:
Partisipatif Perhutanan Sosial
Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
2011
Thesis
Cetak
Bambang Dipokusumo
Bogor
-
20
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
Tanggal Unduh
: 55-54
: : -
Ringkasan
Sejak awal pembangunan nasional sampai sekarang ini (2011) pengelolaan
hutan sosial (social forestry) mengalami perkembangan, artinya pemerintah secara
bertahap memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengelolaan
hutan.
Istilah social forestry pada awalnya digunakan oleh Westoby dalam Ninth
Commonwealth Forestry Congress di Delhi, India tahun 1968 dan mendefinisikan
Social Forestry sebagai “a forestry which aims at production flow of protection and
recreation benefits for the community”. Menurut Direktorat Bina Hutan Kemasyarakan
Departemen Kehutanan (2003) menyebutkan bahwa Social Forestry didefinisikan
sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan dan atau hutan hak,
dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku atau mitra utama dalam rangka
meningkatkan kesejahteraanya dan mewujudkan kelestarian hutan.
Kemudian Tiwary berpendapat bahwa Social Forestry pada dasarnya bertujuan
memenuhi kebutuhan dasar manusia dari hutan di pedesaan. Adapun prinsip Social
Forestry terdiri dari enam aspek yaitu pertama, aspek sistem pengelolaan hutan yang
mencakup aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya serta tidak lagi hanya
mementingkan aspek kayu saja; kedua, aspek peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat; ketiga, aspek yang meningkatkan kualitas lingkungan, khususnya
sumberdaya hutan; aspek menghormati dan mengakui inisiatif social forestry; keempat,
menghormati dan mengakui keragaman inisiatif social forestry; kelima, aspek yang
mendorong proses kolaborasi multipihak; dan keenam, aspek adanya dukungan
pemerintah. Pengelolaan hutan sosial di Indonesia mengalami perkembangan dan
disajikan dalam uraian berikut ini (Munggoro et al. 2001; Ngadiono 2004): (1) Hak
Pengusahaan Hutan Bina Desa Hak Pengusahaan Hutan Bina Desa (HPH Bina Desa)
Pemegang sesungguhnya sejak awal memiliki tanggungjawab terhadap pembangunan
masyarakat desa melalui pembinaan masyarakat setempat, namun keadaan ini tidak
sesuai dengan harapan, dimana terjadi kesenjangan ekonomi antara kedua belah pihak.
(2) Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Banyaknya kelemahan yang
ditimbulkan oleh pemegang HPH Bina Desa dalam sistem perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi di lapangan, maka untuk mengatasi permasalahan tersebut dikeluarkan SK
Menteri kehutanan No.697/Kpts-II/1995 tentang Kewajiban Pemegang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dalam Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Tujuan dari PMDH adalah membantu mewujudkan
terciptanya masyarakat yang mandiri, sejahtera dan sadar lingkungan. (3) Hutan
Kemasyarakatan (HKm). Hutan Kemasyarakatan merupakan salah satu bentuk
perhutanan sosial yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan dan diatur dalam
SK Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Pelaksanaan Hutan
Kemasyarakatan. Perhutanan sosial merupakan model pengelolaan yang melibatkan
masyarakat yang dapat dilakukan dalam kerjasama dengan semua pihak dan menjadi
payung dari semua kebijakan, seperti Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan Masyarakat,
Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Industri yang dikembangkan bersama masyarakat, dan
Wana Tani.
Munggoroet al.(2001), menyatakan bahwa kebijakan HKm pada hakekatnya
adalah penyerahan kewenangan seluas-luasnya kepada masyarakat setempat dalam
mengelola kawasan hutan negara untuk menjamin integritas ekosistem hutan,
21
pencapaian kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, pengembangan demokrasi,
peningkatan akuntabilitas publik dan kepastian hukum. (4) Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan
variasi lain dari dalam model social forestry yang menekankan pada aspek partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan hutan, baik dalam proses perencanaan, proses
pelaksanaan dan dalam proses pengawasan. PHBM muncul dalam berbagai bentuk,
nama atau model pengelolaan hutan. Tafsiran model PHBM sangat ditentukan oleh
derajad atau tingkat peran serta atau partisipasi masyarakat, hak dan pengambilan
keputusan oleh masyarakat. PHBM memiliki cakupan luas mulai dari perencanaan,
penanaman, pemeliharaan, pemeliharaan, pengamanan hutan, pengambilan hasil,
pemasaran sampai dengan konservasi dan rehabilitasi. (5)Hutan Desa. Pengertian hutan
desa dapat dilihat dari berbagai aspek atau beberapa pandangan antara lain ; Dipandang
dari aspek teritorial, hutan desa merupakan hutan yang masuk wilayah administrasi
sebuah desa definitif dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat. Bila dilihat dari
perspektif UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal
5 ayat (1), hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan desa.
Analisis
Pengertian perhutanan sosial sendiri dalam tesis ini dibahas cukup luas dan dari
perspektif awal hingga yang terbarukan. Awalnya perhutanan sosial bertujuan
mengalirkan produksi hasil hutan dari hutan yang dilindungi sehingga terdapat
keuntungan yang lain. Pengertian perhutanan sosial dibahas dari Kongres Kehutanan
Dunia, dari beberapa negara seperti India dan Indonesia. Di Indonesia sendiri,
Berdasarkan Direktorat Bina Hutan Keamsyaraktan Departemen Kehutanan
menyatakan bahwa perhutanan sosial sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan
pada kawasan hutan dan atau hutan hak, denganmelibatkan masyarakat ssbegai pelaku
mitra utama. Dalam pengertian ini, masyarakat masih dianggap sebagai mitra bukan
sebagai pihak yang diberi kuasa yang mandiri untuk mengelola. Persepsi bahwa
masyarakat hanya sebagai mitra ini menimbulkan beberapa spekulasi pengaruh positif
negatif.
13. Judul
: Community-Based Forest Management Within
13.
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
:
:
:
:
:
:
:
:
Tanggal Unduh
:
the Context of Institutional Decentralization in
Honduras
2005
Jurnal
Elektronik
Anja Nygren
Elsevier
33(4) hal 1-17
www.sciencedirect.com/science/article/pii/S03
05750X05000070
19 September 2014
Ringkasan
Secara teori, desentralisasi dapat meningkatkan demokratisasi alami pengelolaan
sumber daya dengan memungkinkan populasi lokal untuk membuat keputusan pada
kontrol dan penggunaan sumber daya lokal. Dengan desentralisasi pengelolaan sumber
22
daya alam, masyarakat lokal mungkin merasa kepemilikan yang lebih besar untuk
aturan penggunaan sumber daya dan akan lebih terlibat dalam pelaksanaannya,
pemantauan, dan penegakan hukum. Dalam pengalaman Lepaterique pada hutan
manajemen, Amerika Tengah, diprakarsai oleh Organisasi Pangan dan Pertanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), mendefinisikan kriteria dan indikator pengelolaan
hutan berkelanjutan yang dikenal sebagai '' proses Lepaterique ''. Selama proses ini, kota
berwenang meningkatkan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam dan
melibatkan masyarakat lokal sebagai mitra aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan
hutan kegiatan . Pengakuan kompleksitas pengelolaan hutan menunjukkan bahwa
pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya alam lebih dari sekedar
devolusi kekuasaan atas sumber daya alam dari pemerintah pusat untuk masyarakat.
Kotamadya mengakui hak adat dari pemegang kekuasaan lokal (parceleros),
meskipun, dalam pengertian hukum, hak guna tersebut tidak diakui oleh negara.
Pengelolaan sumber daya hutan secara tradisional telah sangat terpusat di Honduras.
Sampai tahun 1970-an, perusahaan kayu di luar mendominasi sektor kehutanan di
Lepaterique, seperti di tempat lain di Honduras, melaksanakan luas potong-dan-lari
melalui konsesi yang diberikan oleh pemerintah. Logging yang ekstensif, dilakukan
tanpa reboisasi, mengurangi stok kayu dari hutan dan menciptakan kondisi yang tidak
menguntungkan untuk regenerasi alami. Selama tahun 1970, sebagai tanggapan
terhadap salah urus skala besar dan eksploitasi berlebihan hutan sumber daya,
pemerintah Honduras mengambil peran yang lebih besar dalam tata kelola hutan. Pada
tahun 1974, pemerintah mendirikan Honduras Korporasi Pengembangan Kehutanan
(Corporacio' n Honduren~a de Desarrollo Forestal, COHDEFOR), dan membuat
lembaga ini pemilik eksklusif hutan Honduras. Semua pohon-pohon di wilayah
Honduras yang dinyatakan sebagai properti negara, sedangkan tanah tersebut secara
nasional, municipally, atau milik pribadi.
Analisis
Jurnal ini sangat menarik untuk dibaca karena menghubungkan variabel-variabel
unik yang secara kasat mata tidak berhubungan, namun setelah ditilik lebih lanjut sangat
berhubungan erat. Penjelasan awal dan menjadi starter yang baik adalah isu
desentralisasi dalam keberpusatan pemerinthan. Desentralisasi diakui mendistribusikan
manfaat lebih adil, meningkatkna rasa kepemilikan sumber daya yang lebih besar untuk
aturan penggunaan sumber daya, dan lain sebagainya. Masyarakat dijadikan sebagai
mitra aktif dalam manajemen hutan. Mitra aktif yang dimaksud adalah masyarakat lokal
berperan serta mulai dari perencanaan, pengambilan keputusan, hingga pelaksanaan.
Efisiensi dari pengelolaan hutan di Amerika Tengah sukses yakni di hutan
kemasyarakatannya. Kesuksesan tersebut ternyata membutuhkaan banyak tenaga untuk
mencapai rekonsiliasi atau terkadang membuat konflik antar lembaga.
Namun pemerintah mengakui kompleksnya pengelolaan hutan tersebut bahkan
harus menarik slogan pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya.
Akibat pengakuan dari keterbatasan pemerintah tersebut, kotamadya mengakui hak adat
dari pemegang kekuasaan lokal walaupun dalam pengertian hukum tidak diakui oleh
negara. Pengelolaan yang sentralistik tersebut membuat banyak konsesi juga mudah
diserahkan kepada siapa saja sekalipun mayoritas diberikan kepada perusahaanperusahaan. Kerusakan hutan semakin parah akibat perusahaan yang kapitalis dan
logging yang ekstensif tanpa reboisasi. Maka didirikanlah COHDEFOR di Honduras
sebuah korporasi Pengembangan Kehutanan yang dinaungi pemilik eksklusif hutan
Honduras. Kelembagaan lokal ini pun mengendalikan semua fase kehutanan. Proyek
MAFOR pun dikeluarkan dari lembaga ini yang menghubungkan tujuan pelestarian
23
lingkungan dan pengentasan kemiskinan melalui program desentralisasi pemerintahan
dan pembangunan hutan bisnis penebangan komunal.
14. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Mengembangkan Industri Kecil Menengah
14.
Melalui Pendekatan Kluster
2005
Jurnal
Elektronik
Kacung Marijan
Surabaya
INSAN
7(3)/ Edisi Desember 2005/ hal 216-223
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/02%2
0%20Mengembangkan%20Industri%20Kecil%
20Menengah%20Melalui%20Pendekatan%20
Kluster.pdf
: 29 Oktober 2014
:
:
:
:
:
:
:
:
Ringkasan
Upaya mengembangkan sektor industri melalui pendekatan kluster masih
memerlukan kerja keras. Hal ini terjadi karena sebagian besar kluster industri di
Indonesia masih bercorak pasif dan lebih mengandalkan external economies. Upaya
yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengangkat kluster industri itu sehingga bisa
bercorak yang lebih dinamis, kalaupun tidak sampai yang bercorak modern. Pada
analisis pendekatan kluster dalam pengembangan industri kecil menengah, terdapat
aspek joint action. Untuk menumbuhkan terdapatnya joint action, misalnya, dibutuhkan
adanya modal sosial (social capital) yang kuat, yakni adanya saling percaya (trust)
antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Dengan demikian, masingmasing perusahaan tidak hanya berpikir bagaimana memajukan diri sendiri, malainkan
berpikir tentang bagaimana maju bersama-sama. Perasaan demikian mungkin bisa
terbangkitkan manakala masing-masing menyadari bahwa mereka harus bersaing
dengan perusahaan-perusahaan besar yang ada di luar kluster dan produk-produk impor.
Melalui joint action, mereka bisa mendiskusikan permasalahan-permasalahan
yang mereka hadapi dan merumuskan langkah bersama tentang bagaimana
memecahkannya. Secara kultural, kita sebenarnya memiliki landasan untuk
mengembangkan modal sosial seperti itu. Misalnya saja, kita pernah memiliki budaya
gotong royong, kita juga menganut agama yang menganjurkan berbuat jujur, saling
menghormati, dan suka tolong menolong antara satu dengan yang lain. Sayangnya,
nilai-nilai yang memungkinkan munculnya joint action itu justru sering kita abaikan.
Konsekuensinya, seperti yang terjadi di Cibaduyut itu, kluster industri di Indonesia
kurang mampu berkembang secara baik. Konsekuensinya, IKM di Indonesia akan terus
kesulitan berkembang menjadi industri-industri yang mampu bersaing di pasar
internasional. Belakangan terdapat kesadaran bahwa kluster industri itu tidak hanya
membutuhkan apa yang disebut sebagai efisiensi kolektif guna menjadikan dirinya
sebagai kluster yang dinamis. Bagaimanapun juga, kluster industri itu harus mampu
bersaing di pasar internasional untuk memasarkan produk-produknya. Untuk itu, kluster
industri itu perlu selalu melakukan perbaikan (upgrading) terhadap teknologi dan
24
kualitas produk yang dimilikinya, di samping memiliki kemampuan mengembangkan
jaringan (networking) dengan para pelaku di pasar internasional.
Analisis
Dalam jurnal ini dijelakan tentang pendekatan kluster dalam melihat jumlah
pendapatan masyarakat. Penulis menggunakan pendekatan kluster modal sosial di areal
tertentu. Secara khusus penulis meneliti tentang industri kecil menengah dan mendapati
adanya aspek joint action. Tulisan ini memang tidak membahas modal sosial secara
umum, namun membahas lebih dalam tentang hubungan saling percaya (trust) antar
perusahaan. Modal tersebut merupakan modal yang paling menonjol tatkala ingin
bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar di luar kluster produk impor.
Joint action merupakan konsep yang relatif jarang dibahas namun unik untuk
dibahas. Joint action ini memiliki kekuatan komunikasi dua aarah yang efektif mulai
dari mendiskusikan permasalahan hingga merumuskan langkah bersama untuk
memecahkan masalah. Kekuatan joint action dapat diterapkan saat merasa sudah sevisi
antar industri kecil menengah untuk melawan kekuatan kapitalis yang besar. Kluster
ndustri perlu melakukan perbaikan terhadap teknologi, kualitas, mengembangkan
jaringan internasional juga.
15. Judul
: Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Sektor
15.
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
:
:
:
:
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
:
:
:
:
Tanggal Unduh
:
Informal Perkotaan
2004
Artikel
Elektronik
Aloysius Gunadi Brata
Jakarta
-/ Agustus 2004/ hal 1-10
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/S
ocialMatters/angkringartikel.pdf
29 Oktober 2014
Ringkasan
Modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau
kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan
informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi.
Bastelaers (2000) telah mengingatkan bahwa anggota masyarakat yang paling miskin
seringkali masih tidak memiliki akses terhadap fasilitas mikro-kredit, sekalipun
program-program kredit formal maupun informal yang ditujukan untuk kaum miskin
sudah menempatkan jaringan-jaringan sosial sebagai elemen penting. Artikel singkat ini
mencoba melihat bagaimana modal sosial memberikan manfaat ekonomis bagi pelaku
ekonomi informal, dengan berdasarkan pengalaman beberapa pedagang angkringan di
Yogyakarta. Artikel singkat ini mencoba melihat bagaimana modal sosial memberikan
manfaat ekonomis bagi pelaku ekonomi informal, dengan berdasarkan pengalaman
beberapa pedagang angkringan di Yogyakarta. Secara ringkas, modal sosial dapat
dikatakan memfasilitasi atau memperbanyak “what you
knows” dan “who you knows”.
25
Sektor informal merupakan sektor bidang pekerjaan yang dipilih seseorang yang
tidak terlalu resmi seperti pedagang kaki lima, pengemis, tukang parkir, dan lain-lain.
Dalam beberapa hal, hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten karena
mayoritas pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan sampingan untuk menambah
penghasilan pokok. Selain itu pekerjaan di sektor informal relatif menghasilkan
pendapatan yang tidak sebesar sektor formal. Kendati demikian, sepanjang sektor
formal-modern tetap belum mampu mengatasi pengangguran maka tidak ada solusi lain
kecuali masuk ke sektor informal.
Tiga golongan pedagang angkringan tersebut adalah “mandiri”, “semi mandiri”,
dan “non mandiri” merasakan bentuk-bentuk dari modal sosial; (1) Informasi Peluang
Usaha. Bagi pedagang angkringan yang berasal dari luar Yogyakarta, informasiinformasi yang diperoleh dari teman sedesa ataupun kerabat, khususnya yang sudah
terlebih dahulu menjadi pedagang angkringan, sangatlah penting artinya. Modal sosial
berupa jaringan sosial di kampung halamannya telah membuka jalan baginya untuk
memperoleh penghasilan lebih baik daripada tetap menjadi petani di desa asalnya. (2)
Persoalan Lokasi. Tempat strategis yakni tempat yang mampu dijangkau pembeli
ataupun lokasi-lokasi relatif ramai lebih memberi kepastian akan adanya pembeli. (3)
Mengatasi Kebutuhan Dana Usaha. Dalam hal ini, hubungan kekerabatan menjadi
penting karena dapat menjadi sumber dari dana yang dibutuhkan. Salah seorang
pedagang angkringan semi-mandiri mendapatkan bantuan dari pihak keluarganya
sendiri. Tabungan yang dimiliki keluarga dikeluarkan untuk digunakan membuka
warung angkring bagi dua orang anggota keluarga mereka. (4) Menambah Modal
Sosial. Jalinan hubungan antara pedagang angkringan dengan pembeli merupakan
jalinan yang cukup menentukan kelancaran perolehan penghasilan. Pembeli yang
merasa puas dan merasa dekat dengan pedagang angkringan bukan hanya dapat menjadi
pelanggan tetap namun sekaligus dapat membawa efek bola salju yang menguntungkan
bahwa pedagang angkringan yang bersangkutan. Dengan adanya efek bola salju maka
terdapat kesempatan bertambahnya jumlah pelanggan. Dari hubungan dengan
pelanggan ini tidak jarang pedagang angkringan juga memperoleh informasi-informasi
baru. Dengan menjaga keamanan dan kebersihan tempat para penjual di warung
angkringan maka jaringan dan hubungan yang baik antara penjual, pelanggan ataupun
masyrakat sekitar akan bertambah dan berkualitas.
Analisis
Jurnal ini juga membahas tentang modal sosial namun dari sisi lain yang lebih
realistis. Modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau
kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan
informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi.
Jaringan-jaringan sosial pula tidak menjadi jawaban dalam pengentasan kemiskinan saat
konsep tersebut dimasukkan pada kredit maro-mikro. Sekali lagi, modal sosial
merupakan modal yang relatif penting dalam hubungan sosial untuk memajukan
perekonomian keluarga. Namun modal sosial baru bernilai ekonomis saat dapat
membantu mengakses sumber-sumber keuangan.
Pada sektor informal, modal sosial khususnya jaringan sangat diperlukan dan
diaplikasikan dalam bentuk informasi peluang usaha, menambah modal sosial,
mengatasi kebutuhan dana usaha, dan persoalan lokasi.
26
16. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume
(Edisi)
Halaman
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Strategi Nafkah Rumah Tangga Desa Sekitar
16.
:
:
:
:
:
:
:
Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM di
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat
2006
Tesis
Elektronik
Agustina Multi Purnomo
Bogor
-/ hal 1-218
: http://repository.ipb.ac.id/browse?order=ASC&rp
p=20&sort_by=-1&value_lang=&value=&etal=1&offset=52550&type=author
: 29 Oktober 2014
Ringkasan
Pengambilalihan penguasaan dan pengusahaan hutan dari masyarakat lokal oleh
negara yang dipraktikkan pada masa kolonial serta berpeluang berlanjut di Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan dilanjutkan oleh Pemerintah Orde Baru. Melalui UUPH
(Undang-undang Pengelolaan Hutan) tahun 1967, hak pengelolaan hutan diberikan pada
pengusaha-pengusaha pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan perusahaan milik
negara. Tujuan pengelolaan hutan untuk menambah pendapatan negara dari sektor
kehutanan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Terdapat beberapa ancang-ancang untuk menanggulangi keberlanjutan
penguasaan kolonial tersebut, salah satunya dengan Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dirancang sebagai suatu sistem
pengelolaan hutan yang dapat menjaga kelestarian hutan dan keberlanjutan nafkah
rumahtangga di desa sekitar hutan. Semangat ini digambarkan dalam slogan PHBM
“hutan lestari, masyarakat sejahtera”. PHBM merupakan sistem pengelolaan hutan
yang melibatkan masyarakat sejak pemetaan wilayah hutan yang akan menjadi wilayah
kelola sampai dengan cara penanaman dan tanaman yang akan ditanam.
Peranan LSM LATIN dan LSM KANOPI di Kuningan adalah membentuk
kelembagaan yang dapat menjamin posisi tawar masyarakat desa di sekitar hutan
terhadap Perhutani. LSM LATIN mendorong agar Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan
Juknis (Petunjuk teknis) PHBM tidak ditentukan sepihak oleh Perhutani dan
memberikan kesempatan bagi LSM di Kuningan bersama masyarakat menentukan
bentuk kerjasama dalam PHBM.
Chamber dan Conway (1991) menunjukan definisi pola nafkah sebagai akses
yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Akses menunjukan aturan dan norma sosial
yang menentukan perbedaan kemampuan manusia untuk memiliki, mengendalikan
dalam artian menggunakan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan umum untuk
kepentingan sendiri. Unsur-unsur dalam strategi nafkah menurut Chambers dan Conway
(1991) adalah kapabilitas, aset dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses.
Kapabilitas menunjukan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya
sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukan set
alternatif menjadi dan melakukan yang bisa dilakukan dengan karakteristik ekonomi,
sosial dan personal manusia. Aktifitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan
pendapatan. Menggunakan pendekatan Dharmawan (2001) tentang tujuan strategi
27
nafkah, maka strategi nafkah berarti tindakan rasional individu untuk mempertahankan
hidup atau memperbaiki keadaan hidupnya. Strategi nafkah selain untuk mengamankan
kehidupan sehari-hari dapat juga berupa upaya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi.
Coping strategy merupakan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan sulit.
Coping strategy dilakukan dengan mengubah strategi nafkah yang biasa dilakukan
dengan strategi nafkah yang baru. Strategi nafkah yang baru dilakukan dengan
menggunakan sumber-sumber nafkah rumahtangga. Strategi nafkah yang baru dapat
bersifat sementara atau dilakukan seterusnya.
Sumber nafkah merupakan aset, sumberdaya atau modal yang dimiliki
rumahtangga yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan nafkah rumahtangga.
Sumberdaya mengacu pada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh
rumahtangga. Aset mengacu semua hal yang dapat dimafaatkan oleh rumahtangga,
sedangkan modal mengacu pada semua hal yang dimiliki atau dapat diakses oleh
rumahtangga.
Analisis
Dalam tulisan diatas membahas relatif luas teori strategi nafkah. Teori yang
muncul kemudian dan saling berkaitan satu sama lain adalah kapabilitas, aset dan
aktivitas. Kapabilitas menjelaskan tentang kemampuan, aset tentang materi yang diliki
berupa klaim maupun akses, dan aktivitas merupakan kegiatan yang menghasilkan
pendaptan. Ketiganya begitu berhubungan. Misanya kapabilitas ditentukan oleh aset dan
aktivitas, begitupun hal lainnya.
Definisi Lain tentang strategi nafkah merupakan perombakan strategi jika
strategi untuk menghasilkan materi yang lalu sudah tidak eksis lagi untuk diterapkan.
Keeksisan tersebut sudah tidak dapat diterapkan lagi karena beberapa faktor seperti
tidak berada pada perhitungan sumber daya manusia mupun perhitungan belanja
sebelumnya. Sumber nafkah rumahtangga biasanya berupa sumber nafkah yang
beragam (multiple source of livelihood ). Ini karena rumahtangga tidak tergantung pada
satu kegiatan tertentu dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada satu sumber nafkah
yang dapat memenuhi tujuan rumahtangga. Perihal mencari aman untuk memenuhi
kebutuhan perekonomian keluarga meruapkan kata kunci dalam coping strategy dalam
strategi nafkah tersebut.
17.
Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume(Edisi)Halaman
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Efektivitas
Program
Hutan
Kemasyarakatan Dalam Meningkatkan
Kesejaahteraan
Masyarakat
Melalui
Redistribusi Lahan
: 2002
: Tesis
: Elektronik
: Onrianto Adi Fajari
: Bogor
: : hal 2-168
: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789
/7633
: 29 Oktober 2014
28
Ringkasan
Salah satu harapan dari pelaksanaan hutan kemasyarakatan yang diselenggarakan
oleh Departemen Kehutanan adalah adanya keinginan untuk melaksanakan redistribusi
lahan hutan kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan.
Menurut SK No.31/Kpts-II/2001, redistribusi lahan hutan tersebut diberikan kepada
masyarakat (kelompok masyarakat) dalam bentuk hak pengelolaan lahan hutan, dan
bukan hak pemilikan.
Redistribusi tanah adalah keharusan dalam memasuki setiap sistem ekonomi
modern. Tanpa redistribusi tanah, maka konflik kesenjangan sosial akan semakin tajam
dan tidak terselesaikan. Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), pembangunan berbasis
pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar
spasial (keruangan), serta antar pelaku pembangunan intra di dalam dan antar daerah.
Agar dapat mendukung reformasi ekonomi wilayah pedesaan memerlukan beberapa
dukungan kebijaksanaan diantaranya melalui redistribusi aset, terutama yang
menyangkut lahan kapital.
Adanya program hutan kemasyarakatan, setidak-tidaknya dapat memberikan
harapan bagi masyarakt sekitar hutan untuk memperbaiki kehidupan ekonominya.
Program ini nampaknya memberikan pengaruh nyata terhadap kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan. Hasil Analisis Regresi Berganda penelitian ini
mengindikasikan bahwa masyarakat yang mengikuti program hutan kemasyarakatan
mempunyai tingkat kesejahteraan lebih bak dibandingkan dengan masyarakat yang
tidak mengikutinya. Perubahan tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilihat dari dua
indikator, yaitu tingkat endapatan rumah tangga, dan indek Good Services Ratio.
a. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga
Dengan mengetahui tingkat pengeluaran rumah tangga, yaitu dengan
menginventarisir beberapa jenis pengeluaran yang harus ditanggulangi oleh rumah
tangga untuk mempertahankan kehidupan keluarganya dapat diketahui tingkat
pendapatan rumah
tangga.
b. Analisis Good Services Ratio
Metode Good Services Ratio dihitung dengan cara membandingkan antara
besarnya pendapatan rumah tangga yang diguakan untuk memenuhi kebutuhan primer
(pokok) dibandingkan kebutuhan sekunder.
Dengan nilai GSR yang lebih baik, menunjukkan bahwa program HKm selama
tahun ketiga pelaksanaan (sampai pertengaha 2001) secara nyata telah memberikan
banyak kesempatan kerja dan peluang berusaha bagi masyarakat yang mengikutinya.
Tingkat kesehjahteraan peserta yang lebih baik ini disebabkan karena peserta HKm
mempunyai pendatana yang ebih tinggi dibandingkan masyarakat lainnya.
Redistribusi lahan hutan sektor kehutanan dapat dilakukan dalam dua bentuk,
yaitu melalui hak milik dan hak pengelolaan. Redistribusi lahan hutan dalam bentuk
pemberian hak milik umumnya dilakukan melaui kegiatan pelepasan kawasan untuk
pemukimam penduduk, atau pengakuan atas Hak Ulayat suku tertentu. Redistribus
lahan hutan melalui hak pengelolaan salah satunya dilakukan lemalui program hutan
kemasyarakatan. Dalam program ini, peserta diberikan hak (izin) utuk mengelola arela
hutan seluas ± 1 hektar selama 25 tahun. Dibukanya akses pengelolaan kawasan hutan
kepada masyarakat setidak-tidaknya telah memberikan kejelasan tentang property right
dari kawasan hutan yang tidak produktif. Kejelasan tersebut akan memberikan dampak
positif terhadap lingkungan maupun keadaan sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan
yang rusak.
29
Analisis
Dalam jurnal di atas penunjukan cara mengukur tingkat kesejahteraan kurang
lebih dapat diterapkan secara umum pada masyarakat yang mengikuti program hutan
kemasyarakatan. Pengukurannya menggunakan indikator tingkat pendapatan rumah
tangga dan analisis goog services ratio. Pendapatna rumah tangga dibahas secara
mendalam yakni tidak hanya pada pengeluaran secara kasar namun dengan
membandingkan pengeluaran makanan dan bukan makanan. Selain itu analisis good
services ratio juga menghubungkan antara pengeluaran kebutuhan primer banding
sekunder. Kebutuhan sekunder tersebut sudah termasuk dengan adanya pendidikan,
kehidupan sosial, dan lainnya. Hal ini cukup adil karena kesejahteraan tidak hanya
mementingkan aspek materi saja.
18. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota Penerbit
Nama Jurnal
Volume (Edisi) Halaman
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Pengaruh Investasi Sumber Daya Manusia dan
Investasi Modal Terhadap Pendapatan
Perkapitan Masyarakat Indonesia
: 2013
: Jurnal
: Elektronik
: Didi Setyopurwanto dan M. Pudjihardjo
: Malang
: Artikel Jurnal Fakultas Ekonomi dan Bisnis
: -/hal 1-17
: http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/
viewFile/554/497
: 29 Oktober 2014
Ringkasan
Pertumbuhan ekonomi merupakan perbandingan kenaikan pendapatan (GDP)
antar tahun bersangkutan terhadap tahun sebelumnya. Tingkat kemajuan suatu
pembangunan dapat dilihat melalui pencapaian tingkat pertumbuhan pendapatan
perkapita (income per capita).
Pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang sama
pentingnya dengan investasi dalam modal fisik untuk mencapai kesuksesan ekonomi
jangka panjang suatu negara (Mankiw 2007). Kualitas sumber daya manusia sangat
diperukan dalam peningkatan kualitas faktor produksi. Kualitas faktor produksi sumber
daya manusia sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kesehatan. Angkatan
kerja yang terdidik dan terlatih merupakan syarat penting bagi pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan. Semuanya hanya dapat dicapai dnegan pendidikan yag baik.
Selain sumber daya manusia,untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dibutuhkan adanya investasi modal. Investasi dapat dilakukan oleh pemerintah dan
swasta. Pemerintah melakukan investasi tanpa mengharap laba tetapi untuk
menyediakan barang publik yang menunjang perekonomian. Investasi pemerintah
dilakukan seperti penyediaan infrastruktur sedangkan investasi swasta yang bersumber
dari dalam maupun luar negri, akan menyerap tenaga kerja sehingga memberikan
pendapatan. Peningkatan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan modal (investasi
modal) dapat mendorong pertumbuhan output sehingga dapat meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat.
Investasi sangat dibutuhkan dalam rangka peningkatan ekonomi. Investasi modal
akan menunjang penambahan industri sehingga meningkatkan output yang
30
membutuhkan tambahan tenaga kerja dalam proses produksinya sehingga dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat.
Investasi fisik (physical investment) adalah semua pengeluaran yang dapat
menciptakan modal baru atau meningkatkan stok barang modal (Mankiw 2007).
Sedangkan investasi sumber daya manusia dapat berupa nilainilai pembelajaran yang
ada dalam diri tenaga kerja seperti peningkatan produktivitasnya dan pendapatan.
Investasi adalah permintaan barang dan jasa untuk menciptakan atau menambah
kapasitas produksi atau pendapatan di amsala yang akan datang. Tujuan utama investasi
adalah mengganti bagian dari modal yang rusak dan menambah penyediaan modal yang
ada dengan pertimbangan karena adanya faktor harapan akan memeroleh keuntungan di
masa depan.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah pendapatan perkapita masyarakat
Indonesia dipengaruhi oleh investasi sumber daya manusia dan investasi modal.
Investasi sumber daya
manusia berupa peran pemerintah dalam hal pengeluaran pemerintah di bidang
pendidikan dan kesehatan. Investasi modal dapat berupa penanaman modal asing dan
penanaman modal dalam negeri.Pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan
kesehatan ditujukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan
menjadi tenaga kerja yang produktif. Investasi modal digunakan untuk meningkatkan
kegiatan produksi dan penambahan lapangan kerja sehingga dapat meningkat
pendapatan masyarakat. Investasi modal dalam negeri (PMDN) memberikan pengaruh
positif secara signifikan terhadap perubahan pendapatan perkapita masyarakat, namun
begitu investasi modal asing (PMA) tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan pendapatan perkapita masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh sektor
yang digunakan, PMDN cenderung bersifat padat karya sedangkan PMA cenderung
bersifat padat modal.Karena bersifat padat karya maka lebih banyak tenaga kerja yang
terserap akibat investasi tersebut.
Analisis
Dalam artikel jurnal ini dijelaskan beberapa investasi yang signifikan
berpengaruh pada masyarakat yang berhubungan dengan pemerintah dan sektor privat.
Investasi yang signifikan dapat diterapkan dan sangat berpengaruh secara luas adalah
Investasi fisik (physical investment) yakni semua pengeluaran yang dapat menciptakan
modal baru atau meningkatkan stok barang modal dan investasi sumber daya manusia
dapat berupa nilai-nilai pembelajaran yang ada dalam diri tenaga kerja seperti
peningkatan produktivitasnya dan pendapatan. Jenis investasi ini relatif adil dalam
hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi. Selain mengangkat isu aset properti
seperti investasi fisik juga mempertimbangkan investasi sumberdaya yang invisible.
Investasi sumberdaya juga sebenarnya sangat penting bagi mereka yang memiliki
kesadaran tinggi akan pentingnya pendidikan dan kebutuhan hidup lainnya.
Selain membahas tentang pemerintah dan perusahaan-perusahaan, artikel jurnal
ini juga mampu diterapkan dalam mengukur investasi rumah tangga atau perorangan.
Investasi rumah tnagga yang berskala lebih kecil dari pemerintah maupun sektor privat
dapat diketahui ertumbuhan ekonominya melalui investasi. Tidak terlalu sulit untuk
mengukur investasi fisik dan sumber daya manusia dalam keluarga melaui beberapa
konsep dan teori tersebut.
31
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Perhutanan Sosial (Social Forestry)
Definisi Perhutanan Sosial
Istilah social forestry pada awalnya digunakan oleh Westoby dalam Ninth
Commonwealth Forestry Congress di Delhi, India tahun 1968 dan mendefinisikan
Social Forestry sebagai “a forestry which aims at production flow of protection and
recreation benefits for the community”. Namun istilah Social Forestry itu sendiri
diperkenalkan setelah Kongres Kehutanan Dunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan
diperkenalkannya konsep forest for people.
Kemudian untuk kondisi di India pada saat itu Tiwari mendefinisikan “Social
Forestry sebagai The science and art of growing trees and or other vegetation on all
land available for purpose, in outside forest areas, and managing existing forest with
intimate involvement of the people and more and less integrated with other operations,
resulting in balance and complementary land use with a view to provide a wide range of
goods and services to the individuals as well as to the society”. Wiersum
mendefinisikan Social Forestry sebagai “Participatory Forestry, relating to forest
management activities planned by profesional forestry services in which popular
participation with the management of centrally controlled forest land is encouraged.
Menurut Direktorat Bina Hutan Kemasyarakan Departemen Kehutanan (2003)
menyebutkan bahwa Social Forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumber
daya hutan pada kawasan hutan dan atau hutan hak, dengan melibatkan masyarakat
sebagai pelaku atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraanya dan
mewujudkan kelestarian hutan.
Menurut CIFOR (2003) perhutanan sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan
hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang
dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang
diijinkan. Perhutanan sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat
tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan
yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan
produksi yang lestari. Dalam arti luas, perhutanan sosial mencakup semua bentuk
pengelolaan hutan yang melibatkan peran, hak dan akses masyarakat serta ada upaya
memperhatikan perpaduan antara kesejahteraan masyarakat dengan pelestarian
sumberdaya hutan.
Dari berbagai konsep tersebut, maka dapat ditarik elemen-elemen pembentuk
perhutanan sosial yakni partisipatif antara masyarakat dan pihak pengelola perhutanan
sosial, masyarakat sebagai mitra utama, perlindungan hutan yang berkelanjutan,
pengentasan kemiskinan, dan produksi lestari.
Aplikasi Perhutanan Sosial
Sejak awal pembangunan nasional, pengelolaan hutan sosial mengalami
perkembangan. Artinya pemerintah secara bertahap memberikan hak kepada
masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengelolaan hutan. Istilah perhutanan sosial
setelah Kongres Kehutanan Dunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan
diperkenalkannya konsep forest for people, bukan hal yang baru untuk Indonesia,
karena sejak abad 18 pemerintah Belanda melakukan pengelolaan hutan (khususnya
taman jati) dengan sistem tumpang sari.
Konsep dari perhutanan sosial tersebut yang mencakup seni dan ilmu sangat
terkait dengan konsep agroforestry juga. Pada kasus pemanfaatan lahan di bawah
32
tegakan (PLDT) di wilayah KPH Pati Kecamatan Gembong Kabupaten Pati,
pemanfaatan tersebut menjadi sebuah alternatif dalam akses lahan hutan yang diberikan
pada masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari pengelolaan
sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM). PLDT merupakan agorforestry yang
pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah
untuk meningkatkan produktivitas lahan. Selain itu pola tanam agroforestry juga
melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui
mekanisme alami. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten)
adalah peningkatan dan pemeliharaan lingkungan. Agroforestry merupakan sistem
pengelolaan hutan dengan menerapkan pola budidaya tanaman kehutanan dengan
tanaman pertanian, peternakan, perikanan pada unit lahan pada waktu yang sama
maupun berurutan dengan tujuan peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian hutan.
Teknik ini diterapkan pada beberapa perhutanan sosial untuk memaksimalkan fungsi
hutan secara terpadu dan maksimal. Pemberian lahan dari pihak pengelola seperti
Perhutani dapat dimanfaatkan dan tujuan definisi khusus perhutanan sosial yakni tujuan
produksi lestari dapat dicapai.
Social Forestry pada dasarnya bertujuan memenuhi kebutuhan dasar manusia
dari hutan di pedesaan. Adapun prinsip Social Forestry terdiri dari enam aspek yaitu
pertama, aspek sistem pengelolaan hutan yang mencakup aspek ekologi, ekonomi, dan
sosial budaya serta tidak lagi hanya mementingkan aspek kayu saja; kedua, aspek
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat; ketiga, aspek yang meningkatkan kualitas
lingkungan, khususnya sumberdaya hutan; aspek menghormati dan mengakui inisiatif
social forestry; keempat, menghormati dan mengakui keragaman inisiatif social
forestry; kelima, aspek yang mendorong proses kolaborasi multipihak; dan keenam,
aspek adanya dukungan pemerintah.
Secara kongkrit, tujuan perhutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang
biasa dan komersial dalam tiga (3) hal, yaitu (1) Perhutanan sosial meliputi produksi
dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian, terutama yang tidak
diedarkan sebagai uang (non-mentionized); (2) perhutanan sosial menyangkut
partisipasi langsung pemanfaat; (3) termasuk sikap dan keterampilan yang berbeda dari
ahli kehutanan yang harus memberikan peranannya sebagai pelindung hutan terhadap
penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam pohon.
Permasalahan Perhutanan Sosial
Dengan diberlakukannya PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, SK
31 tentang Hutan Kemasyarakatan secara hukum sempat tidak berlaku lagi. Seharusnya
kebijakan, peraturan atau keputusan dan perijinan dapat ditetapkan dengan Perda.
Dengan proses desentralisasi pihak pemerintah di beberapa kabupaten berupaya
membuat kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat bekerjasama dengan
masyarakat, LSM serta lembaga pendidikan.
Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung, lemahnya koordinasi antar
pihak dan peran serta masyarakat yang kurang dalam memberikan masukan untuk
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Pemerintah cenderung memberikan
berbagai peraturan yang malah menyulitkan.
Sangat disayangkan bahwa PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
Kawasan Hutan, SK 31 tentang Hutan Kemasyarakatan secara hukum tidak berlaku
lagi. Dari pemerintah menyediakan ruang khusus untuk upaya perbaikan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara, namun dari pihak pemerintah pun
yang tidak memberlakukan HKM tersebut. Ruang masyarakat sebagai penenetu
33
kebijakan terbaruka seharusnya perlu dibuka, bukan mereka yang tidak pernah mengerti
kehidupan sekitar hutan tiba-tiba mengeuarkan kebijakan seenaknya.
Dalam usaha hutan rakyat sebagai bagian dari perhutanan sosial pun ditemui
hambatan yang dihadapi petani. Berdasarkan hasil penelitian Irawanti et.al, (2012), ada
tiga hambatan yang dihadapi petani sengon di lokasi studi, yaitu hambatan silvikultur,
pengorganisasian petani, dan pemasaran. Dari silvikultur, pertumbuhan tanaman sengon
seringkali tidak seragam walaupun ditanam pada lahan dengan waktu yang
diperlakukan sama. Hal ini diduga karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas
bibit yang tidak seragam. Selain itu, umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang
terlalu lama dalam kaitannya dengan kesinambungan pendaatan petani. Oleh karena itu
petani menerapkan pola tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai
umur sengon 3 tahun. Namun ketika sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak
tertima pohon, padahal umur panen sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman
kopi, sehingga banyak petani yang akhirnya tidak menerapkan pola tersebut. Dalam
pengorganisasian petani, organisasi yang sudah dibentuk pada masyarakat tidak serta
merta efektif memasarkan hasil hutan. Hal ini dikarenakan kurangnya jaringan yang
lebih menguntungkan. Hasil hutan biasanya dipasarkan kepada tengkulak atau
perusahan-perusahaan kayu besar yang lebih banyak mengambil keuntungan dari
petani.
Berdasarkan definisi perhutanan sosial yang bercita-cita pada kesejahteraan
masyarakat lokal, serta tujuan produksi lestari kesejahteraan masyarakat, berikut
dipaparkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat desa hutan atau kawasan hutan yang
dipengaruhi oleh perhutanan sosial:
Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Hutan
1. Konflik dan Resolusi Konflik dalam Perhutanan
Konflik pada umumnya berkaitan dengan tiga hal yaitu: (a) situasi yakni
ketidakselarasan tujuan, kebutuhan, dan kepentingan berbagai pihak yang bersumber
dari kondisi struktur sosial, nilai sosial, kelangkaan, kompetisi dan perubahan; (b) sikap
yakni aspek-aspek kognisi (seperti konstruksi 'musuh') dan emosi (seperti rasa benci dan
bermusuhan) yang dialami pihak-pihak yang terlibat konflik, yang bersumber dari naluri
agresif, ketegangan pribadi, frustasi kelompok; (c) perilaku yakni kegiatan, perkataan,
dan perilaku aktual yang terpolarisasi dan merusak dari pihak-pihak yang bertikai
(Sumanto 2009).
Konflik dalam perhutanan baik konvensional maupun sosial memiliki potensi.
Tidak hanya pada tingkat mikro namun juga dapat sampai pada tingkat makro.
Berdasarkan terminal report University of the Philippines Los Banos, terdapat isu atau
permasalahan dalam identifikasi Approval of Open Access Area Available pada
berbagai penerapan. Konflik yang sering timbul adalah konflik penggunaan lahan,
klaim tenurial, peta yang bertentangan, usang, dan informasi yang tidak dapat diakses
untuk menyelesaikan permasalahannya. Tumpang tindih tenurial antara masyarakat
lokal dengan pihak klaim. Department of Natural and Resources Filipina tidak mampu
melakukan identifikasi dan persetujuan daerah terbuka juga untuk akses dengan
mudahnya. Apalagi konflik pun bisa timbul dari kekuasaan leluhur yang mengklaim
lebih daerah tenurial yang dikeluarkan. Akhirnya, disarankan perlunya menyelaraskan
kebijakan perjanjian pengelolaan hutan dengan Local Government Unit dan UndangUndang National Commision for Indigenous People (NCIP). Persetujuan yang
diharapkan adalah untuk berbagai manajemen hutan perjanjian yang diselaraskan
dengan Local Goverment Unit (LGU). Sampai tahap ini, begitu besar proporsi
keterlibatan dan campur tangan dari masyarakat asli dalam penyelesaian konflik
34
tenurial. Mereka dihargai bahkan sangat menentukan hasil akhir penyelesaian, bukan
sebagai objek Undang-Undang saja.
Untuk menyelesaikan konflik para pihak yang bersengketa dapat dilaksanakan
resolusi konflik. Terdapat pertimbangan dalam resolusi konflik, yakni; (1) Dikotomi
ruang lingkup program perhutanan sosial. Di dalam kawasan atau di luar kawasan hutan
dikotomi yang jelas antara Hutan Kemasyarakatan dan HR (dan mungkin HTR) sangat
diperlukan bagi penentuan aktor dan perannya. Dikotomi ini mengacu pada ruang
lingkup 'kawasan hutan' dengan 'tanah milik masyarakat'. Khusus untuk programprogram perhutanan sosial yang berada di dalam kawasan hutan, pada hakikatnya posisi
hierarki yang berlaku tidak bersifat simetris. Artinya posisi dan peran serta kewenangan
pemerintah selalu dalam struktur yang lebih tinggi dan dominan dibandingkan posisi
dan peran masyarakat, sehingga pertukaran sosial yang berkembang menjadi tidak
seimbang. (2) Fakta historis tentang pengelolaan hutan antara pulau Jawa dan luar pulau
Jawa. Di Jawa, penetapan batas-batas kawasan hutan sudah permanen dan model
pengelolaannya sudah cukup baik. Sedangkan di luar Jawa, penentuan batas-batas
kawasan hutan ditentukan berdasarkan peta-peta peninggalan kolonial. Oleh karena itu
batas kawasan hutan kabur dan mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat.
Salah satu contoh kasus resolusi konflik di perhutanan sosial Kabupaten Timor
Tengah Selatan. Warga Desa Nenas Kecamatan Fatumnasi melakukan penyerobotan
Cagar Alam Gunung Mutis, yang menurut pengakuan mereka tanah tersebut merupakan
‘suf’ (tanah adat) marga Oenob yang menaungi mereka sehingga mereka memandang
berhak mengelola kawasan tersebut. Dinas Kehutanan setempat melakukan
penangkapan dan memberikan sanksi adat bukan berupa uang atau hewan ternak tetapi
bibit tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dan sesuai dengan kondisi alam. Anakan
tersebut wajib ditanam di lokasi bekas penyerobotan. Saat ini tanaman yang diusahakan
tersebut sudah mencapai tinggi dua meteran, terdiri dari tanaman kemiri, kelapa, kopi,
sirih, pinang, jeruk, dan tanaman pangan (ubi jalar, padi, jagung, kacang, dan
sebagainya). Tanaman yang ditanam tersebut tentu memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Dengan hasil resolusi ini, pihak petani diuntungkan secara ekonomi untuk kesejahteraan
mereka juga. Jika masih dalam sengketa atau konflik, areal penyerobotan tersebut tidak
akan produktif apalagi menghasilkan keuntungan yang baik. Namun dengan adanya
pemberdayaan berupa investasi tanaman bernilai ekonomi dalam resolusi ini, maka
banyaknya tutupan vegetasi di areal sengketa tersebut menjadi suatu tanda lestarinya
hutan.
Menurut Waryono (2008) penyelarasan pemberdayaan hutan kemasyarakatan
dalam sektor-sektor lain dalam hutan perlu diperjelas menuju integrasi yang baik bukan
tumpang tindih atau konflik tidak penting. Namun, hadirnya pembangunan hutan rakyat,
cenderung memacu akses terjadinya kesenjangan, antara masyarakat yang memiliki
lahan dan membangunnya dengan masyarakat lainnya; dimana akses tersebut tidak
jarang menimbulkan kerawanan sosial yang berdampak negatif terhadap pengelolaan
hutannya. Fajari (2002) juga menyatakan bahwa redistribusi tanah adalah keharusan
dalam memasuki setiap sistem ekonomi modern. Tanpa redistribusi tanah, maka konflik
kesenjangan sosial akan semakin tajam dan tidak terselesaikan. Redistribusi lahan hutan
sektor kehutanan dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu melalui hak milik dan hak
pengelolaan. Redistribusi lahan hutan dalam bentuk pemberian hak milik umumnya
dilakukan melalui kegiatan pelepasan kawasan untuk pemukiman penduduk, atau
pengakuan atas Hak Ulayat suku tertentu. Redistribusi lahan untuk melalui hak
pengelolaan salah satunya dilakukan melalui program hutan kemasyarakatan.
Dibukanya akses pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat setidak-tidaknya telah
memberikan kejelasan tentang property right dari kawasan hutan yang tidak produktif.
35
Kejelasan tersebut akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan maupun
keadaan sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan yang rusak.
2. Keberdayaan
Menurut Sumanto (2009) pemberdayaan merupakan penciptaan hubungan
antarpersonal yang berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antara pihak yang
lemah dengan pihak yang kuat. Terdapat dua dimensi yang memperkuat konsep
pemberdayaan yakni, (1) dimensi eksistensi kawasan hutan dan masyarakat. Pihak
pengelola sebaiknya mengetahui dan paham bahwa ada hubungan emosional yang kuat
antara masyarakat dan lingkungannya. (2) dimensi perubahan atau inovasi. Pihak
pengelola juga sebaiknya mengetahui bahwa tidak semua masyarakat, terutama
masyarakat sekitar hutan dengan mudah menerima perubahan atau proses transformasi
yang direncanakan. Dalam aplikasi Pemberdayaan Pembangunan Hutan Rakyat perlu
diaplikasikan untuk mendapat bentuk kongkrit dari otonomi. Pemberdayaan jenis ini
diharapkan bisa berhasil, memiliki benefit dimasyarakat, dan kontinu (Waryono 2008).
Pemberdayaan terutama dalam perhutanan sosial tidak semudah pemberdayaan di desa
pada umumnya. Pemberdayaan di dalam perhutanan sosial membutuhkan perhatian
serius dan hati-hati mengingat pola hidupnya berda dan bergantung pada sumberdaya
yang memiliki emosi dalam hidupnya. Pada kasus digalakkannya hutan rakyat oleh
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, melalui program “sengonisasi, sungkenisasi,
sukunisasi, dan turinisasi” di Jawa Barat, kesan keberhasilan belum ditampakkan jika
ditinjau dari niat kesungguhan masyarakat terhadap program tersebut. Dalam
pemberdayaan, kunci keinginan masyarakat yang dikehendaki adalah terciptanya
kontinuitas pendapatan jangka pendek maupun jangka panjang.
Terdapat pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan pemahaman atas
penerapan sistem tumpangsari pada waktu tanaman masih muda, untuk kemudian
dilanjutkan dengan agroforestry, hingga tanaman pokok mencapai daur ekonomis. Atas
dasar itulah menempatkan kaidah-kaidah pembangunan hutan rakyat dengan cara-cara
rasional, akan menjamin kontinuitas pendapatan masyarakat, merupakan kunci harapan
atas keberhasilan program perhutanan sosial.
Dalam kasus fakta fisik wilayah Kabupaten Sukabumi, nampaknya
pemberdayaan perhutanan sosial dalam bentuk hutan rakyat, penyusunan rancangan
programnya perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan
sektor lain, dalam lingkup pembangunan daerah. Penyelarasan tersebut perlu diperjelas
menuju integrasi yang baik bukan tumpang tindih atau konflik tidak penting.
Terkhusus pada kawasan perhutanan sosial yang berada pada daerah adat,
Mulyadi (2013) menyatakan bahwa untuk mengatasi kemiskinan, diperlukan upaya
pemberdayaan masyarakat. Beberapa upaya penting yang harus dilakukan oleh
pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adat adalah: (1) reorientasi
masyarakat adat dalam pembangunan; (2) gerakan sosial masyarakat adat; (3)
membangun institusi lokal masyarakat adat; (4) keempat, pengembangan kapasitas
masyarakat adat. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul
leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik budaya, sosial, dan wilayah sendiri. Pengertian masyarakat
adat tidak dapat dilepaskan dari pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum
adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapankelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan
penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama mempengaruhi
sistem pemerintahannya. Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam
wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan
komunitas adat penghuninya. Melalui ciri unik mereka tersebut, masyarakat hukum adat
36
perlu pemberdayaan tanpa mengganggu ideologinya. Pengakuan kompleksitas
pengelolaan hutan menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat lokal untuk
mengelola sumber daya alam lebih dari sekedar devolusi kekuasaan atas sumber daya
alam dari pemerintah pusat untuk masyarakat. Tugas yang jauh lebih menantang adalah
untuk memahami pola diferensiasi sosial dan fragmentasi politik dalam lokalitas dan
pertikaian yang kuat dari posisi para pemangku kepentingan. Pertimbangan
kompleksitas dan kerapuhan konsep dari ''masyarakat'' dan '' lokalitas '' adalah penting
jika desentralisasi pengelolaan hutan adalah untuk keuntungan lebih dari kuatnya
minoritas (Nygren 2005).
Hutan Kemasyarakatan sebagai bagian dari perkembangan pengelolaan hutan
sosial di Indonesia memiliki konsep pemberdayaan. Menurut Munggoroet et. Al,
(2001), kebijakan HKm pada hakekatnya adalah penyerahan kewenangan seluasluasnya kepada masyarakat setempat dalam mengelola kawasan hutan negara untuk
menjamin integritas ekosistem hutan, pencapaian kesejahteraan rakyat, keadilan sosial,
pengembangan demokrasi, peningkatan akuntabilitas publik dan kepastian hukum.
HKm bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa menganggu fungsi
pokok hutan. Erawanti (2012) menyatakan terdapat program pemerintah terkait hutan
rakyat program pemerintah yang mendukung pengembangan hutan rakyat, yaitu Kebun
Bibit Rakyat (KBR) dari Pemerintah Pusat KBR merupakan program pemerintah untuk
menyediakan bibit tanaman kehutanan dan (MPTS) yang dilaksanakan secara swakelola
oleh kelompok masyarakat, terutama di pedesaan yang berbasis pemberdayaan
masyarakat., Bantuan Langsung Masyarakat untuk Pengembangan Perhutanan
Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-PPMBK) dari Pemerintah Pusat, dan
Kebun Bibit Desa (KBD) dari PemerintahKabupaten Program KBD dibiayai dari Dana
Alokasi Khusus (DAK) BidangKehutanan yang disalurkan ke Pemerintah Kabupaten.
3. Isu Gender
Menurut Hendarto (2003), kesetaraan gender yakni adanya peran yang sama dan
sebangun antara perempuan dan laki-laki dalam perhutanan sosial. Misalnya pembagian
peran tradisional di sektor pertanian di Jawa adalah sebagai berikut: (1) Laki-laki
melakukan pekerjaan-pekerjaan berat, seperti menyiapkan lahan (membajak, menggaru,
mencangkul); (2) Perempuan melakukan tugas-tugas lain (menanam, memanen,
mengeringkan).
Peran gender merupakan peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai
status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Terdapat 3 (tiga) kategori
peranan yaitu: Peranan produktif, yaitu peranan yang dikerjakan perempuan dan lakilaki untuk memperoleh bayaran tunai, termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar
dan produksi rumah tangga/subsisten dengan nilai guna. Peranan reproduktif, yakni
peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas
domestik untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut
kelangsungan tenaga. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik, terdiri atas 2 (dua)
kategori, yaitu: Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), mencakup semua
aktivitas dalam komunitas sebagai kepanjangan peran reproduktif, bersifat sukarela dan
tanpa upah. Peranan pengelolaan politik, yakni peranan dalam pengorganisasian
komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak
langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status (Rochmayanto dan Kurniasih
2013). Selain ketiga peran tersebut ada juga peranan dalam kegiatan pengelolaan
masyarakat dan politik. Perempuan mempercayakan hak politiknya kepada suami atau
anak laki-laki dan lebih aktif pada kegiatan pengelolaan masyarakat yang bersifat sosial
di lembaga formal dan informal.
37
Dalam suatu kasus saat terjadinya perubahan iklim yang kemudian membuat
perekonomian keluarga tidak menentu sehingga perempuan harus ikut serta dalam
bercocok tanam ada dampak perubahan peranan terhadap kerentanan perempuan.
1. Terjadi marjinilisasi gender. Marginalisasi adalah pemiskinan ekonomi terhadap
perempuan. Perempuan mengalami marginalisasi dalam hal pengelolaan sumber
daya alam pertanian. Perempuan yang bekerja sebagai buruh pertanian memiliki
penghasilan yang lebih rendah dibanding laki-laki dengan beban kerja yang sama.
2. Pelabelan negatif (stereotype.) Peranan perempuan dalam pengelolaan sumber daya
alam pertanian masih dipandang sebelah mata. Perempuan masih dianggap sebagai
sosok yang lemah dibandingkan dengan laki-laki.
3. Subordinasi yakni adanya anggapan bahwa perempuan pada akhirnya nanti akan
bekerja di dapur, sehingga tidak perlu sekolah tinggi.
4. Beban ganda. Penurunan pendapatan keluarga akibat adanya iklim yang tidak
menentu, membuat perempuan ikut membantu suami mencari pendapatan
tambahan. Hal ini menyebabkan alokasi waktu produksi dan reproduksi perempuan
lebih besar dari laki-laki, dan alokasi waktu untuk kegiatan sosial menjadi
berkurang.
5. Strategi Adaptasi. Strategi tersebut diperlukan untuk memastikan upaya
peningkatan kapasitas adaptif dan menurunkan kerentanan perempuan terhadap
perubahan iklim. Peningkatan kapasitas perempuan berupa pendidikan formal
maupun keterampilan/ non formal.
Menurut hasil penelitian Irawanti (2012), terdapat kecenderungan yang sedang
berlaku melihat perilaku petani Hutan Rakyat Sengon dalam bidang gender.
Kecenderungan peran aktif perempuan dalam usaha pemanfaatan lahan karena untuk
menjangkau lokasi tegalan atau hutan yang relatif jauh dari lokasi rumah serta
mengangkut faktor produksi seperti bibit, pupuk, dan hijauan pakan ternak, serta hasil
panenan dapat dilakukan menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Kecenderungan
ini juga dipacu oleh kepergian kaum laki-laki ke luar daerah atau ke luar negeri untuk
mencari tambahan penghasilan sehingga pengelolaan lahan diserahkan kepada kaum
perempuan.
Pada perhutanan sosial isu gender ini penting untuk dikaji karena akan
mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga petani juga. Peran aktif perempuan
akan muncul saat usaha pemanfaatan lahan membutuhkan tenaga kerja tambahan. Jam
kerja perempuan disamping untuk fungsi reproduksi kemudian ditambah lagi oleh
fungsi produksi. Serta merta peran aktif di fungsi produksi tersebut akan menimbulkan
dampak perubahan peranan terhadap kerentanan perempuan.
4. Modal sosial
Brata (2004) menyatakan bahwa modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau
dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber
keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan
meminimalkan biaya transaksi. Secara ringkas, modal sosial dapat dikatakan
memfasilitasi atau memperbanyak “what you knows” dan “who you knows”. Bentuk
modal sosial yang sangat terasa membantu adalah informasi peluang usaha, persoalan
lokasi, mengatasi kebutuhan dana usaha, menambah modal sosial lainnya.
Pada analisis hasil penelitian Marijan (2005) pendekatan kluster dalam
pengembangan industri kecil menengah, terdapat aspek joint action. Untuk
menumbuhkan terdapatnya joint action, misalnya, dibutuhkan adanya modal sosial
(social capital) yang kuat yakni adanya rasa saling percaya antara peerusahaan yang satu
dengan perusahaan lainnya. Dengan demikian perusahaan tidak hanya berpikir
38
bagaimana menunjukkan diri sendiri, melainkan berpikir bagaimana maju bersamasama. Perasaan tersebut bisa terbangkitkan jika masing-masing menyadari bahwa
mereka harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar. Joint action sebagai
dampak dari modal sosial penting untuk diterapkan pada perhutanan sosial. Bentuknya
yang mengembangkan jaringan positif dan memiliki mitra dalam merekonstruksi faktor
pendapatannya menjadi titik kekuatan masing-masing petani.
Pada hasil penelitian
Muspida (Tidak ada tahun), modal sosial mikro dalam pembangunan hutan kemiri
ketiga desa kasus di Maros dibahas dalam dimensi kognitif dan dimensi struktural.
Dimensi kognitif bersumber dari norma-norma dan nilai-nilai serta keyakinan yang
hidup di dalam masyarakat sipil oleh dorongan saling percaya (trust), meliputi unsur
prmbukaan lahan, peralihan hak kelola lahan (teseng, Sanra, jual beli dan pewarisan),
dan dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan dalam jaringan (networking)
meliputi jaringan pembukaan lahan, pemungutan dan pengolahan hasil serta pemasaran.
Kedua dimensi tersebut memiliki elemen-elemen umum yang mendorong tingkah laku
bekerjasama secara menguntungkan melalui tindakan terkordinasi.
Peran modal sosial makro pembangunan hutan kemiri di ketiga desa kasus akan
dikaji baik dalam dimensi kognitif maupun dalam dimensi struktural yang terangkum
dalam kebijakan Tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Pada awalnya pemerintah
dalam menetapakan tata batas hutan masih memberi peluang kepada masyarakat untuk
melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam kawasan hutan. Sejak tahun 1994,
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros mulai mensosialisasikan batasbatas kawasan hutan TGHK dan melarang masyarakat melakukan kegiatan pengelolaan
hutan kemiri dalam bentuk peremajaan (mallolo). Masyarakat hanya diizinkan
melakukan pemungutan buah kemiri dalam kawasan hutan.
Dari beberapa modal sosial tersebut ada interaksi dan keterkaitan modal sosial
dalam pengelolaan hutan kemiri. Keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan hutan
kemiri melahirkan modal sosial dalam bentuk saling percaya antara sesama petani
dalam hal batas penguasaan lahan, adanya jaringan dalam hal pembukaan lahan,
terbangunnya norma dan kelembagaan masyarakat yang mengarahkan ketertiban sosial
dalam pembukaan dan pengolahan lahan kemiri.
Analisis keterkaitan modal sosial mikro, dan modal sosial makro dalam
pengelolaan hutan kemiri pada tiga desa kasus adalah sebagai berikut: (1) Saling
Percaya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keterkaitan rasa saling percaya (trust)
dalam hal status penguasaan lahan hutan kemiri antara petani dengan petani dijumpai
dalam bentuk pengakuan hak atas lahan hutan kemiri, Pengakuan hak penguasaan lahan
antara sesama petani merupakan wujud kerjasama yang terkoordinasi sehingga rasa
saling percaya antara petani dengan petani merupakan modal sosial yang terbangun
melalui proses pemilikan lahan. (2) Jaringan. Hasil penelitian memperlihatkan
keterkaitan modal sosial jaringan (net work) dalam hal pembukaan dan pengelolaan
lahan hutan kemiri antar petani di ketiga desa kasus dijumpai dalam bentuk kelompok
pembukaan lahan, dan sewa menyewa lahan. Pembukaan lahan yang dilakukan oleh
petani diketiga desa kasus dilakukan secara berkelompok baik berdasarkan kedekatan
lahan maupun berdasarkan kelompok keluarga (appang). Pembukaan dan pengolahan
lahan bagi masyarakat di Desa Timpuseng dan Desa Barugae berdasarkan kelompok
keluarga (appang). Hal ini terjadi karena sejarah pembukaan lahan dilakukan ketika
masyarakat mengungsi ke dalam hutan untuk menghindari kekacauan dari gerombolan.
Hal yang berbeda dari kedua desa tersebut adalah jaringan kelompok appang di Desa
Timpuseng digerakkan oleh kelompok keluarga sedangkan di Desa Barugae di gerakkan
oleh Kepala Desa.
39
5. Strategi Nafkah
Chamber dan Conway dalam Purnomo (2006) menunjukan definisi pola nafkah
sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Akses menunjukan aturan dan
norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan manusia untuk memiliki,
mengendalikan dalam artian menggunakan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan
umum untuk kepentingan sendiri. Unsur-unsur dalam strategi nafkah madalah
kapabilitas, aset dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Aset yang dimiliki
juga dapat digunakan oleh rumahtangga yakni modal. Modal bisa dibedakan menjadi
lima kategori, seperti: modal alam, modal fisik, modal manusia, modal finansial, dan
modal sosial. Kapabilitas menunjukan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi
dirinya sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas
menunjukan set alternatif menjadi dan melakukan yang bisa dilakukan dengan
karakteristik ekonomi, sosial dan personal manusia. Aktifitas merujuk pada kegiatan
yang menghasilkan pendapatan. Strategi nafkah tergantung dari seberapa besar aset
yang dimiliki, kapabilitas individu dan aktivitas yang nyata dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pola nafkah tersebut kemudian memunculkan rencana cadangan
lain pada saat keadaan yang tidak menyenangkan atau sulit. Coping strategy merupakan
strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan sulit. Coping strategy dilakukan dengan
mengubah strategi nafkah yang biasa dilakukan dengan strategi nafkah yang baru.
Strategi nafkah yang baru dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber nafkah
rumahtangga. Strategi nafkah yang baru dapat bersifat sementara atau dilakukan
seterusnya.
Pada studi kasus analisis strategi nafkah yang dilakukan oleh LSM LATIN di
Kuningan, mereka lebih memperhatikan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan.
Konsep strategi nafkah digunakan untuk menjelaskan bagaimana rumahtangga yang
tinggal di sekitar kawasan hutan produksi memenuhi kebutuhan ekonominya. Hasil
penelitian tersebut mengartikan strategi nafkah sebagai nafkah dalam artian pendapatan
secara material dan spiritual atau pekerjaan. Di Kuningan, sumberdaya hutan memiliki
tempat yang penting sebagai modal alam. Selain lahan sawah, komposisi lahan terbesar
adalah hutan produksi, lahan yang dilindungi, dan komunitas hutan. Strategi nafkah
menurut Dharmawan dalam Purnomo (2006) berarti tindakan rasional individu untuk
mempertahankkan hidup atau memperbaiki keadaan hidupnya. Strategi nafkah selain
untuk megamankan kehidupan sehar-hari dapat juga berupa upaya untuk memperbaiki
kehidupan ekonomi. Strategi ini pasti diimpliksikan oleh masyarakat sekitar hutan
dalam mengelola kehidupannya melaui sumber daya hutan. Mengingat beberapa
tanaman hutan tahunan yang dipanen dalam jangka yang panjang kemudian
menghasilkan pendapatan, masyarakat pun akan mengatur strategi tanaman musiman
untuk konsumsi pribadi maupun komersial untuk mempertahankan atau meningkatkan
kehidupannya.
Kehidupan Ekonomi Masyarakat Desa Hutan
1. Investasi
Investasi adalah permintaan barang dan jasa untuk menciptakan atau menambah
kapasitas produksi atau pendapatan di masa yang akan datang. Tujuan utama investasi
adalah mengganti bagian dari modal yang rusak dan menambah penyediaan modal yang
ada dengan pertimbangan karena adanya faktor harapan akan memperoleh keuntungan
di masa depan. Investasi sangat dibutuhkan dalam rangka peningkatan ekonomi.
Investasi modal akan menunjang penambahan industri sehingga meningkatkan output
yang membutuhkan tambahan tenaga kerja dalam proses produksinya sehingga dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat. Investasi juga akan erat hubungannya dengan
40
pendapatan per kapita karena pendapatan per kapita merupakan ukuran kemajuan
pembangunan. Pendapatan perkapita masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh investasi
sumber daya manusia dan investasi modal. Pendidikan merupakan bentuk investasi
sumber daya manusia yang sama pentingnya dengan investasi dalam modal fisik untuk
mencapai kesuksesan ekonomi jangka panjang suatu kualitas produksi (Mankiw dalam
Setyopurwanto dan Pudjihardjo (2013). Kualitas faktor produksi sumber daya sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kesehatan. Angkatan kerja yang terdidik dan
terlatih merupakan syarat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain sumber daya manusia, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dibutuhkan adanya investasi modal. Investasi modal dipengaruhi oleh dua lingkungan
strategis yaitu lingkungan eksternal yang semakin ketat dan daya tarik domestik yang
masih lemah, dan lingkungan eksternal dipengaruhi ketidakpastian global yang
berpengaruh terhadap kegiatan penanaman modal.
Investasi akan berpengaruh pada masyarakat desa hutan. Mereka membutuhkan
ini terutama dalam tanaman tahunan dan anak dari rumah tangga petani itu sendiri.
Dalam investasi sumber daya manusia, para petani dapat menyekolahkan anaknya di
pendidikan formal maupun non-formal. Pendidikan tersebut akan berdampak pada
produktivitas tenagakerja yang mendorong peningkatan pendapatan. Investasi sumber
daya manusia selain dibangku pendidikan juga dapat diperoleh dari pengalaman dan
evaluasi kesalahan pengalaman hutannya. Sedangkan investasi modal dapat dilakukan
dengan investasi uang atau materi petani dalam bentuk tanaman yang menghasilkan
laba positif dalam jangka panjang. Dalam analisisnya, investasi dipengaruhi oleh
lingkungan eksternal yang semakin ketat dan daya tarik domestik yang masih lemah.
Artinya, daya tarik akan hasil produksi di desa atau lingkup lokal lebih lemah
sedangkan di luar sangat besar. Karena banyaknya permintaan dan persaingan yang
ketat di luar lingkup desa hutan petani, hal ini yang menyebabkan investasi dipancing
untuk semakin bertambah. Lingkungan strategis lainnya adalah lingkungan eksternal
dipengaruhi global yang berpengaruh pada kegiatan penanaman modal. Artinya, karena
ketidakpastian pasar tempat menjual hasil produksi hutan, semangat untuk investasi atau
bahkan menambah investasi akan berkurang.
Sebagai aset yang begitu berkelanjutan, tanaman hutan yang akan dipanen
tahunan merupakan investasi atau tabungan petani bagi keturunannya. Tidak hanya pada
investasi modal atau fisik, untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga perlu juga
investasi sumberdaya manusia untuk kesejahteraan keluarga. Investasi sumberdaya
manusia berupa pendidikan dan kesehatan penting juga untuk menjamin berlanjutnya
ketersediaan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga.
2. Kesejahteraan
Adanya program hutan kemasyarakatan, setidak-tidaknya dapat memberikan
harapan bagi masyarakat sekitar hutan untuk memperbaiki kehidupan ekonominya.
Progrma ini nampaknya memberikan pengaruh nyata terhadap kesejahteraan
masyarakat sekitar hutan. Hasil penelitian Fajari (2002) mengindikasikan bahwa
masyarakat yang mengikuti program hutan kemasyarakat mempunyai tingkat
kesejahteraan lebih baik dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mengikutinya.
Perubahan tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilihat dari dua indikator, yaitu tingkat
pendapatan rumah tangga, dan Indeks Good Services Ratio.
a. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga
Dengan mengetahui tingkat pengeluaran rumah tangga, yaitu dengan
menginventarisir beberapa jenis pengeluaran yang harus ditanggulangi oleh rumah
tangga untuk mempertahankan kehidupan keluarganya dapat diketahui tingkat
41
pendapatan rumah tangga. Secara umum diketahui bahwa tingkat kesejahteraan
masyarakat dikatakan semakin baik apabila persentase pengeluaran konsumsi barang
khususnya makanan semakin kecil. Tingkat pendapatan rumah tangga peserta HKm
berbeda nyata dibandingkan yang tidak mengikuti program. Ini berarti bahwa
program hutan kemasyarakatan secara nyata dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dari hasil penelitian Iriwanti et.al, (2012) dinyatakan bahwa 88,6% dari
lahan rakyat diusahakan sebagai hutan rakyat sehingga pendapatan dari hutan rakyat
memiliki peran besar dalam ekonomi rumah tangga petani di desa-desa lokasi studi
b. Analisis Good Services Ratio
Metode Good Services Ratio dihitung dengan cara membandingkan antara besarnya
pendapatan rumah tanagga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer
(pokok) dibandingkan kebutuhan sekunder. Semakin rendah nilai GDR menunjukkan
bahwa tingkat kesejahteraan semakin baik, karena proporsi pendapatan yang
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan primer semakin kecil dibandingkan
pemenuhan kebutuhan lainnya.
Indikator kesejahteraan ini perlu menginventarisir kebutuhan sekuder berdasarkan
pemahaman petani lainnya. Indikator ini juga tidak terlalu mematok pendapatan atau
materi sebagai tingkat sejahteranya masyarakat. Kebutuhan sekunder diluar sandang,
pangan, papan seperti pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya merupaka ukuran
yang relatif adil dalam menentukan kesejahteraan.
Begitu banyak program-program pemerintah dalam menjadikan masyarakat
mitra pengelolaan sumber daya hutan. Dalam kegiatan yang mengintegrasikan kegiatan
hutan ke dalam ekonomi petani secara ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan
dapat menghasilkan pengelolaan efektif. Menghubungkan tujuan pelestarian lingkungan
dan pengentasan kemiskinan melalui program desentralisasi pemerintah dan
pembangunan penebangangan komunal hutan bisnis dapat dikongkritkan dalam suatu
bentuk proyek atau program. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dirancang
sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang dapat menjaga kelestarian hutan dan
keberlanjutan nafkah rumahtangga di desa sekitar hutan (Purnomo 2006).
42
43
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan
Pembahasan Pengaruh Perhutanan Sosial
Perhutanan sosial merupakan ilmu dan seni memadukan penanaman pohon atau
tumbuhan lain yang terkait dengan aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya
mayarakat kawasan hutan. Pengelolaannya dilakukan dengan mengkombinasikan peran,
hak, dan kewajiban masyarakat beserta berbagai pihak pengelola sumberdaya hutan
untuk perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal, serta tujuan produksi lestari
kesejahteraan masyarakat. Melihat dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa
perhutanan sosial memegang manfaat penting yang mempengaruhi kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat. Dari segi ekonomi, perhutanan sosial bertujuan mencapai
kesejahteraan masyarakat lokal, dari segi sosial menunjang segala ketercapaian segi
ekonomi tersebut.
Di Indonesia digunakan berbagai istilah perhutanan sosial seperti hutan
kemasyarakatan, hutan kerakyatan, kehutanan masyarakatan, kehutanan sosial, dan
sosial forestri. Selain itu adapula yang menggunakan istilah perhutanan masyarakat,
pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau pengelolaan hutan bersama masyarakat
(PHBM) ada juga yang menggunakan istilah pengelolaan hutan bersama, pengelolaan
hutan dalam kemitraan dan pengelolaan hutan multipihak atau pengelolaan hutan oleh
masyarakat (PHOM). Berpengaruhnya perhutanan sosial terhadap kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat desa hutan juga seharusnya dapat memberikan dampak pula
terhadap kelestarian hutan itu sendiri. Tujuan pelestarian lingkungan dan pengentasan
kemiskinan melalui program desentralisasi pemerintah dan pembangunan
penebangangan komunal hutan bisnis dapat dikongkritkan dalam suatu bentuk proyek
atau program. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dirancang sebagai suatu sistem
pengelolaan hutan yang dapat menjaga kelestarian hutan dan keberlanjutan nafkah
rumahtangga di desa sekitar hutan. Belum ada istilah yang disepakati bersama dan
diterima luas. Dari definisi yang diusung tentang perhutanan sosial tersebut, begitu
terlihat pengaruhnya terhadap kehidupan sosial ekonomi penduduk desa hutan.
Perhutanan sosial mampu mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat desa
hutan. Pertama, resolusi konflik. Dalam kawasan hutan, sering sekali terdapat konflik
antara masyarakat lokal maupun adat dengan pihak pengelola sumber daya hutan seperti
Perum Perhutani maupun pihak swasta yang memegang konsesi. Dalam pertimbangan
resolusi konflik, pada hakikatnya posisi hirarki yang berlaku tidak bersifat simetri
khusus untuk program-program perhutanan sosial yang berada di dalam kawasan hutan.
Artinya, posisi dan peran serta kewenangan pemerintah selalu dalam struktur yang lebih
tinggi dan dominan dibandingkan posisi dan peran masyarakat, sehingga pertukaran
peran kurang seimbang. Dalam resolusi konflik sangat dibutuhkan posisi dan hierarki
yang simetris antara masyarakat dan pemerintah mengingat perhutanan sosial
merupakan “forestry participation”; mengakui hak-hak ulayat masyarakat;
pemberdayaan; ketidaksenjangan akses lahan antar sesama masyarakat; dan redistribusi
lahan. Kedua, peranan gender. Peran gender merupakan peranan yang dilakukan
perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya.
Terdapat tiga peranan gender yakni peranan produktif, reproduktif, dan pengelolaan.
Peran tersebut dimainkan dalam rumah tangga dengan kondisi dan strategi tertentu.
Ketiga, Pemberdayaan yakni penciptaan hubungan antarpersonal yang berkelanjutan
untuk membangun kepercayaan antara pihak yang lemah dan pihak yang kuat.
Pemberdayaan seharusnya menciptakan kontinuitas jangka pendek hingga panjang,
reorientasi masyarakat dalam pembanguna, gerakan sosial, membangun institusi lokal,
44
dan pengembangan kapasitas. Keempat, modal sosial makro dan mikro yang dibahas
dalam dimensi kognitif dan struktural. Modal sosial ini akan mengidentifikasi unsur
kepercayaan dan jaringan. Kelima, strategi nafkah yang memiliki unsur-unsur
kapabilitas, aset, dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Kapabilitas
menunjukkan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia
dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukkan set alternatif menjadi
dan melaksanakan yang bisa dilakukan dengan karakteristik ekonomi, sosial, dan
personal manusia. Aktivitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan.
Selain mempengaruhi kehidupan sosial, perhutanan sosial pun memiliki
pengaruh pada kehidupan ekonomi masyarakat desa hutan. Pertama, investasi yakni
permintaan barang atau jasa untuk menciptakan atau menambah kapasitas produksi atau
pendapatan di masa yang akan datang. Investasi menyangkut investasi modal dan
investasi sumberdaya manusia. Kedua, kesejahteraan. Adanya program hutan
kemasyarakatan, setidak-tidaknya dapat memberikan harapan bagi masyarakat sekitar
hutan untuk memperbaiki kehidupan ekonominya. Perubahan tingkat kesejahteraan
dapat dilihat dari dua indikator, yaitu tingkat pendapatan rumah tangga dan Indeks Good
Services Ratio.
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Perhutanan sosial memiliki dimensi eksistensi kawasan hutan dan masyarakat.
Masyarakat memiliki hubungan emosional yang kuat antara dirinya dan lingkungannya.
Hal ini pulalah yang menyebabkan perhutanan sosial memiliki pengaruh yang kuat
kepada kehidupan masyarakat desa hutan. Pengaruh tersebut setidaknya menyentuh
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ketika perhutanan dapat terbukti
menyejahterakan masyarakat bahkan meningkatnya kualitas hidupnya, redistribusi
lahan untuk sumber hidup sekaligus pelestarian hutan merupakan suatu kewajiban. Oleh
karena itu, rancangan pertanyaan penelitian yang akan diajukan adalah:
1. Bagaimana perhutanan sosial dapat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat
desa di sekitar hutan?
2. Bagaimana perhutanan sosial mampu mendorong upaya-upaya resolusi konflik?
3. Bagaimana perhutanan sosial menciptakan kelestarian ekonomi, sosial, dan
hutan?
Kerangka Pemikiran Identifikasi Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan
Perhutanan sosial memiliki fokus utama yakni perlindungan hutan,
kesejahteraan masyarakat lokal, dan produksi lestari. Dari fokus perhutanan sosial
tersebut dapat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat desa hutan.
Perhutanan sosial dapat mempengaruhi modal sosial seperti pengembangan jaringan dan
tingkat kepercayaan. Pengembangan jaringan diperlukan agar mencari hubungan
kerjasama pemasaran hasil hutan atau dalam kehidupan politik di lingkungannya.
Sedangkan dari tingkat kepercayaan, pengembangan jaringan didasari kepercayaan
pada pihak lain karena relasi-relasi yang dibangun sebelumnya. Selain modal sosial,
adajuga strategi nafkah. Dengan ekosistem kawasan hutan, masyarakat harus menguasai
sistem nafkahnya dan mengatur strategi dari unsur-unsur kapabilitas, aset dan aktvitas
untuk bertahan hidup atau bahkan mengembangkan usahanya kemudian. Kemudian
terdapat peran gender yang dipengaruhi program perhutanan sosial. Peran gender dapat
berubah-ubah bahkan dari perempuan atau laki-laki bisa memiliki peran ganda ditinjau
dari peran produksi, reproduksi, dan pengelolaan. Aspek yang terakhir adalah
45
pemberdayaan sebagai aksi dan bentuknyata perhutanan sosial. Dalam pemberdayaan
dapat terlihat secara kongkrit bentuk komitmen pelaksanaan perhutanan sosial yakni
dengan memberi kekuasaan pengelolaan perhutanan kepada masyarakat. Kelima aspek
kehidupan sosial yang dipengaruhi oleh perhutanan sosial tersebut kemudian dapat
berdampak pada kesejahteraan masyarakat desa hutan. Kesejahteraan dapat ditinjau dari
tingkat pendapatan rumah tangga dan analisis good services ratio.
Selain dari aspek kehidupan sosial, sebagai daerah yang rawan terjadinya
konflik, program perhutanan sosial juga dapat menjadi alat resolusi konflik. Konflik
dapat saja muncul oleh dua pihak atau lebih yang memperebutkan suatu sumberdaya
yang sama. Klaim antar pihak bertentangan tersebut dipengaruhi oleh perhutanan sosial
yang dapat terjadi lewat redistribusi lahan, sistem bagi hasil, atau penyewaan. Dengan
begitu banyaknya klaim sengketa, ketidaksesuaian pemahaman antar pihak yang
berkonflik, bahkan data di lapangan dan dari sumber sekunder yang tidak sama akan
menimbulkan penyerobotan lahan bahkan bentuk kekerasan lainnya. Perhutanan sosial
dapat menjadi alternatif konflik tersebut yankni dengan menyamakan cita-cita yang
sama dan kerelaan membagi kekuasaan pihak pngelola perhutanan dengan masyarakat.
Dengan perhutanan sosial, penyerobotan lahan dapat ditanggulangi dengan
pemberdayaan masyarakat dan pihak pengelola. Hukuman yang dilaksanakan juga
harus dimaknai bersama dan menguntungkan hutan itu sendiri juga. Jika diadakan
rekonsiliasi dan pelaksanaan perhutanan sosial bagi areal konflik, tentu akan
menguntungkan kedua pihak sengketa. Perhutanan sosial yanng muncul sebagai resolusi
kemudian mampu memancing investasi. Investasi yang dimaksud adalah hasil
rekonsiliasi areal konflik. Dengan adanya rekonsiliasi, areal konflik dapat ditanami
tanaman bernilai ekonomi dan produktif. Nilai ekonomi dari tanaman hasil rekonsiliasi
tersebut kemudian akan menambah sumber daya bahkan menyimpan hasilnya untuk
masa depan. Investasi yang terjadi, selain dalam bentuk modal, dapat juga dalam bentuk
investasi sumberdaya manusia. Investasi sumberdaya manusia misalnya dalam bentuk
kesehatan dan pendidikan atau pengetahuan. Investasi sebagai hasil resolusi konflik
tersebut kemudian akan berpeluang menjadikan hutan itu sendiri lestari karena tutupan
vegetasi yang lebih banyak dan menguntungkan hutan. Berikut kerangka pikiran usulan
berdasarkan pemaparan tersebut.
46
Fokus utama perhutanan
sosial
Aspek Kehidupan Sosial
1. Modal Sosial
1. Perlindungan hutan
2. Kesejahteraan
masyarakat lokal
3. Produksi lestari
2. Strategi Nafkah
3. Peran Gender
Kesejahteraan
4. Keberdayaan
Resolusi Konflik
Kelestarian Hutan
Investasi
= Mempengaruhi
Gambar 1. Kerangka analisis perhutanan sosial mempengaruhi kehidupan sosial
ekonomi masyarakat desa hutan.
47
DAFTAR PUSTAKA
[CIFOR]. 2003. Perhutanan sosial. [jurnal]. Warta Kebijakan 9(01): 1-6. Diunduh pada
tanggal
19
September
2014.
Dapat
diunduh
dari:
www.cifor.org/acm/download/pub/wk/warta09.pdf.
[College of Forestry and Natural Resources University of the Phipippines Los Banos].
2004. Simplified and harmonized forestry regulatory procedures of the
Philippines. [terminal report]. Hal 290-302. Diunduh pada tanggal 19 September
2014. Dapat diunduh dari: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadd061.pdf
Brata Aloysius Gunadi. 2004. Nilai ekonomis modal sosial pada sektor informal
perkotaan. [jurnal]. Agustus 2004 hal 1-10. Diunduh pada tanggal 29 Oktober
2014.
Dapat
diunduh
dari:
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/SocialMatters/angkringartikel.pdf
Dipokusumo Bambang. 2011. Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan
hutan berkelanjutan. [tesis].
Fajari Onrianto Adi. 2002. Efektivitas program hutan kemasyarakatan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui redistribusi lahan. [tesis]. Hl 2168. Diunduh pada tanggal 29 Oktober 2014. Dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/7633
Hendarto Kresno Agus. 2003. Perhutanan sosial dan peubah-peubah sosiologi yang
perlu diperhatikan : Sebuah Tinjauan Teoritis . [jurnal]. Jurnal Manajemen
Hutan Tropika. IX(1) hal 47-58. Diunduh pada tanggal 19 September 2014.
Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/31169.
Irawanti Setiasih et.al,. 2012. Manfaat ekonomi dan peluang pengembangan hutan
rakyat sengon di Kabupaten Pati. [jurnal]. Jurnal Peneitian Sosial Ekonomi
Kehutanan. 9(3) hal 126-139. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat
diunduh
dari:
http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/199
Irawanti Setiasih et.al,. 2012. Peranan kayu dan hasil bukan kayu dari hutan rakyat pada
pemilikan lahan sempit: Kasus Kabupaten Pati. [jurnal]. Jurnal Penelitian Sosial
Ekonomi Kehutanan. 9(3) hal 113-125. Diunduh pada tanggal 19 September
2014.
Dapat
diunduh
dari:
http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/198
Lynch Owen J. dan Kirk Talbott. 1995. Balancing acts: Community-based forest
management and national law in Asia and Pacific. [jurnal]. World Resources
Institute September 1995. hal 1-198. Diunduh pada tanggal 19 September 2014 .
Dapat
diunduh
dari:
https://muse.jhu.edu/login?auth=0&type=summary&url=/journals/sais_review/v
016/16.1br_lynch.html.
Nygren Anja. 2005. Community-based forest management within the context of
institutional decentralization in Honduras. [jurnal]. Elsevier. 33(4) hal 1-17.
48
Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh
www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0305750X05000070
dari:
Marijan Kacung. 2005. Mengembangkan industri kecil menengah melalui pendekatan
kluster. [jurnal]. INSAN. 7(3) Desember 2005 hal 216-223. Diunduh pada
tanggal
29
Oktober
2014.
Dapat
diunduh
dari:
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/02%20%20Mengembangkan%20Industri%20Kecil%20Menengah%20Melalui
Mulyadi Mohammad. 2013. Pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan
kehutanan (Studi Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan).
[jurnal]. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 10(4) hal 224-234.
Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari:
http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPSE/article/view/170
Muspida. Tidak ada tahun. Keterkaitan modal sosial dalam pengelolaan hutan kemiri
rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. [jurnal]. Jurnal Hutan dan
Mayarakat. 2(3) hal 290-302. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat
diunduh
dari:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=29822&val=2169
Mustofa Moh Solehatul. 2011. Perilaku Masyarakat Desa Hutan Dalam Memanfaatkan
Lahan Di Bawah Tegakan. [jurnal]. Jurnal Komunitas 3(1) hal 1-11. Diunduh
pada
tanggal
19
September
2014.
Dapat
diunduh
dari:
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2287
Purnomo Agustina Multi. 2006. Strategi nafkah rumah tangga desa sekitar hutan (Studi
kasus desa peserta PHBM di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat). [tesis].
Hal 1- 218. Diunduh pada tanggal 29 Oktober 2014. Dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/browse?order=ASC&rpp=20&sort_by=1&value_lang=&value=&etal=-1&offset=52550&type=author
Rochmayanto Yanto dan Pebriyanti Kurniasih. 2013. Peranan gender dalam adaptasi
perubahan iklim pada ekosistem pegunungan di Kabupaten Solok, Sumatera
Barat. [jurnal]. Jurnal Analisis Kebijakan Hutan. 10(3) hal 203-213. Diunduh
pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://ejournal.fordamof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK/article/view/328
Sumanto Selamet Edi. 2009. Kebijakan pengembangan perhutanan sosial dalam
perspektif resolusi konflik. [jurnal]. Jurnal Analisis Kebijakan Hutan 06(01) hal
1-13. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari:
http://forda-mof.org/files/6.1.2009%20Slamet_Edi_Sumanto%5B1%5D.pdf.
Setyopurwanto Didi dan M. Pudjihardjo. 2013. Pengaruh investasi sumber daya
manusia dan investasimodal terhadapt pendapatan perkapita masyarakat
Indonesia. [jurnal]. Hal 1-17. Diunduh pada tanggal 29 Oktober 2014. Dapat
diunduh dari: http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/viewFile/554/497
Waryono Tarsoen. 2008. Beberapa aspek pemberdayaan perhutanan sosial (Paparan
Studi Kasus Sukabumi). [jurnal]. Makalah Penunjang Seminar
Perhutanan
Sosial Litbang Dephutbun. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat
49
diunduh dari: https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/12/26perhutanan- sosial.pdf.
50
51
LAMPIRAN
1. Jurnal Kebijakan Pengembangan Perhutanan Sosial Dalam Perspektif Resolusi
Konflik.
2. Jurnal Perhutanan Sosial.
3. Jurnal Beberapa Aspek Pemberdayaan Perhutanan Sosial (Paparan Studi Kasus
Sukabumi).
4. Jurnal Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah Sosiologi yang Perlu Diperhatikan
: Sebuah Tinjauan Teoritis.
5. Jurnal Perilaku Masyarakat Desa Hutan Dalam Memanfaatkan Lahan Di Bawah
Tegakan.
6. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan Kehutanan (Studi
Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan).
7. Jurnal Peranan Gender dalam Adaptasi Perubahan Iklim pada Ekosistem
Pegunungan di Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
8. Jurnal Peranan Kayu dan Hasil Bukan Kayu dari Hutan Rakyat pada Pemilikan
Lahan Sempit : Kasus Kabupaten Pati.
9. Jurnal Manfaat Ekonomi dan Peluang Pengembangan Hutan Rayat Sengon di
Kabupaten Pati.
10. Jurnal Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di
Kabupaten
Maros Sulawesi Selatan.
11. Laporan Simplified and Harmonized Forestry Regulatory Procedures of The
Philippines.
12. Tesis Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan.
13. Jurnal Community-Based Forest Management Within the Context of Institutional
xDecentralization in Honduras.
14. Jurnal Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui Pendekatan Kluster.
15. Jurnal Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Sektor Informal Perkotaan.
16. Tesis Strategi Nafkah Rumah Tangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa
Peserta PHBM di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat).
17. Jurnal 17 Efektivitas Program Hutan Kemasyarakatan dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat Melalui Redistribusi Lahan.
18. Jurnal Pengaruh Investasi Sumber Daya Manusia dan Investasi Modal terhadap
Pendapatan Perkapita Masyarakat Indonesia.
52
RIWAYAT HIDUP
Dheva Sari Silaban lahir di Sangatta, 13 September 1993 dari pasangan Anggiat Silaban
dan Saria Panjaitan. Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis mulai dari TK
Maria Mutiara, Sibolga (1998-1999), SD RK No.3, Sibolga (1999-2005), SMP N
Fatima 1,Sibolga (2005-2008), dan SMA Tri Ratna Sibolga (2008-2011). Pada tahun
2011, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Ujian Talenta Masuk IPB (UTM). Semasa perkuliahan penulis mendapatkan
beasiswa National Champion Scholarship Tanoto Foundation 2013.
Pengalaman organisasi penulis adalah sebagai anggota divisi Research and
Development HIMASERA (Himpunan Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat) pada periode kepengurusan tahun 2013. Selain itu penulis juga penah
menjadi kepala divisi
Medis pada Masa Perkenalan Departemen 2012,
Penanggungjawab koordinasi Panti Asuhan Candra Naya di Komisi Pelayanan Anak
(2013), Divisi Pendidikan di Swayanaka Regional Jakarta (2014), Ketua Divisi
Dokumentasi di Proyek Duta Cilik Anti Rokok (2014), Ketua Divisi Dana dan Usaha
Retreat PMK IPB Angkatan 51, Divisi Sosial Lingkungan pada Tanoto Scholars
Association IPB (2013-2014), dan lain-lain. Untuk pengalaman kerja penulis pernah
menjadi asisten praktikum MK. Pengantar llmu Kependudukan dan Sosiologi Umum
tahun ajaran 2013-2014.
Download