i Laporan Studi Pustaka (KPM 403) PENGARUH PERHUTANAN SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN Dheva Sari Silaban DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “PENGARUH PERHUTANAN SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN” merupakan hasil karya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Desember 2014 Dheva Sari Silaban NIM I34110151 iii ABSTRAK DHEVA SARI SILABAN. Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan. Di bawah bimbingan SAHARUDDIN. Perhutanan sosial merupakan ilmu dan seni memadukan penanaman pohon atau tumbuhan lain di kawasan hutan yang terkait aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Pengelolaanya dilakukan dengan mengkombinasikan peran,hak, dan kewajiban masyarakat dengan berbagai pihak pengelola sumberdaya hutan untuk perlindungan, pengentasan kemiskinan, serta tujuan produksi lestari kesejahteraan masyarakat. Pengaruh perhutanan sosial terhadap masyarakat dapat dilihat dari beberapa aspek. Dari aspek sosial, perhutanan sosial mempengaruhi strategi nafkah, modal sosial, peranan gender, resolusi konflik, dan keberdayaan. Kehidupan sosial tersebut kemudian juga mempengaruhi kehidupan ekonomi yang ditinjau dari tingkat kesejahteraan dan investasi. Hubungan dari aspek sosial dan ekonomi masyarakat tersebut berdampak kembali terhadap kelestarian hutan itu sendiri. Kata kunci: gender, investasi, kelestarian hutan, kesejahteraan, modal sosial, pemberdayaan, perhutanan sosial, resolusi konflik, strategi nafkah. ABSTRACT DHEVA SARI SILABAN. Influence of Social Forestry for Rural Community SocioEconomic Life Forest. Supervised by SAHARUDDIN. Social forestry is the science and art of combining the planting of trees or other vegetation in forest-related aspects of social life,economy, and culture. Management is done by combining the roles,rights, and obligations of local community of forest resources manager for the protection, poverty alleviation, and the public welfare goals of sustainable production. The influence of the social forestry to the community can be seen from various aspects. From the social aspect, social forestry influencing livelihood strategy, social capital, gender’s roles, resolution of conflicts, and empowerment. Social life is then also affect economic life in terms of the level of welfare and investment. The relationship of social and economic aspects of community has an back impact to the preservation of the forest itself. Keywords : gender, investment, forest preservation, welfare, social capital, empowerment, social forestry, resolution of conflict, livelihood strategy. iv PENGARUH PERHUTANAN SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN Oleh DHEVA SARI SILABAN I34110151 Laporan Studi Pustaka Sebagai syarat kelulusan KPM 403 Pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Insititut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh : Nama Mahasiswa : Dheva Sari Silaban NIM : I34110151 Judul : Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Petanian Bogor. Disetujui oleh Dr. Ir. Saharudin, MS Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal Pengesahan : vi PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena anugerahNya penulis dapat menyelasaikan Studi Pustaka dengan judul “Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan”. Begitu banyak tantangan yang harus penulis lewati untuk dapat menyelesaikan Studi Pustaka, namun Dia memberikan kuasa dan kehendakNya agar penulis dimampukan mengerjakan bagian ini. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa studi pustaka ini memiliki dapat diselesaikan karena dukungan, bantuan dan doa dari berbagai pihak sekalipun masih terdapat kekurangan di beberapa bagian. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak Saharuddin selaku dosen pembimbing yang kritis sehingga mampu mengarahkan tulisan ini menjadi tulisan yang menarik. Penulis juga menyampaikan cinta dan kasih kepada Bapak Anggiat Silaban, dan Ibu Saria Panjaitan yang begitu banyak mendukung dalam materi dan dukungan moriil pada penulis, saudara-saudara laki-laki penulis, Eyrton Crismastua Silaban dan Abed Nego Silaban yang menjadi sumber penghiburan dan motivasi diri, sahabat-sahabat di kampus, Kinan, Ela, Wanda, Ray, Olin, dan Hanna sebagai teman sepelayanan dari dulu hingga sekarang, penulis berterimakasih untuk setiap kontribusi mereka dalam suka maupun duka. Terimakasih pula penulis sampaikan pada komunitas-komunitas yang pernah ikut berkontribusi di dalamnya, Persekutuan Mahasiswa Kristen, Komisi Pelayanan Anak, Kelompok Pra Alumni, Kelompok Kecil PMK-IPB, Research and Development Himasiera, Swayanaka Regional Jakarta, Ducil, dan komunitas lainnya. KuasaNya yang memampukan penulis dapat berdampak pada komunitas-komunitas ini. Akhirnya penulis berharap nantinya studi pustaka ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca dalam memahami Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan. Bogor, Desember 2014 Dheva Sari Silaban NIM I34110151 vii DAFTAR ISI PERNYATAAN......................................................................................................... ABSTRAK.................................................................................................................. LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................ PRAKATA................................................................................................................. DAFTAR ISI.............................................................................................................. DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. PENDAHULUAN Latar belakang............................................................................................................ Tujuan penulisan......................................................................................................... Metode Penulisan........................................................................................................ RANGKUMAN DAN ANALISIS 1. Kebijakan Pengembangan Perhutanan Sosial dalam Perspektif Resolusi Konflik............................................................................................................ 2. Perhutanan Sosial............................................................................................ 3. Beberapa Aspek Pemberdayaan Perhutanan Sosial (Paparan Studi Kasus Sukabumi) ...................................................................................................... 4. Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah Sosiologi yang Perlu Diperhatikan: Sebuah Tinjauan Teoritis................................................................................ 5. Perilaku Masyarakat Desa Hutan dalam Memanfaatkan Lahan di Bawah Tegakan........................................................................................................... 6. Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan Kehutanan (Studi Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan) ...................... 7. Peranan Gender dalam Adaptasi Perubahan Iklim pada Ekosistem Pegunungan di Kabupaten Solok, Sumatera Barat ........................................ 8. Peranan Kayu dan Hasil Bukan Kayu dari Hutan Rakyat pada Pemilikan Lahan Sempit: Kasus Kabupaten Pati ............................................................ 9. Manfaat Ekonomi dan Peluang Pengembangan Hutan Rakyat Sengon di Kabupaten Pati................................................................................................ 10. Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan............................................................... 11. Simplified and Harmonized Forestry Regulatory Procedures of The Philippines..................................................................................................... 12. Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuu Pengelolaan Hutan Berkelanjutan.................................................................................................. 13. Community-Based Forest Management Within the Context of Institutional Decntralization in Honduras.......................................................................... 14. Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui Pendekatan Kluster............................................................................................................. 15. Nilai Ekonomis Modal Sosial pada Sektor Informal Perkotaan......................... .............................................................................. 16. Strategi Nafkah Rumah Tangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) ......................... 17. Efektivitas Program Hutan Kemasyarakatan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat melalui Redistribusi Lahan.............................................................................................................. 18. Pengaruh Investasi Sumber Daya Manusia dan Investasi Modal terhadap Pendapatan Perkapita Masyarakat Indonesia.................................................. RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ii iii v vi vii vii 1 2 2 3 5 6 7 9 10 12 13 15 16 18 19 21 22 23 24 26 29 viii Perhutanan Sosial........................................................................................................ Definisi Perhutanan Sosial.......................................................................................... Aplikasi Perhutanan Sosial......................................................................................... Permasalahan Perhutanan Sosial................................................................................ Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Hutan................................................................. 1. Konflik dan Resolusi Konflik dalam Perhutanan........................................... 2. Keberdayaan................................................................................................... 3. Isu Gender....................................................................................................... 4. Modal Sosial................................................................................................... 5. Strategi Nafkah............................................................................................... Kehidupan Ekonomi Masyarakat Desa Hutan............................................................ 1. Investasi.......................................................................................................... 2. Kesejateraan.................................................................................................... SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap AspekAspek Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan...................................... Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian........................................................ Kerangka Pemikiran Identifikasi Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan................................................................... DAFTAR PUSTAKA..................................................... ........................................... LAMPIRAN............................................................................................................... RIWAYAT HIDUP.................................................................................................... 31 31 32 32 33 33 35 36 37 39 39 40 43 44 44 47 49 50 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Analisis Perhutanan Sosial Mempengaruhi 46 Kehidupan Sosial Ekonomi Mayarakat Desa Hutan................................ 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanfaatan hutan secara komersial terutama di hutan alam, yang dimulai sejak tahun 1967, telah menempatkan kehutanan sebagai penggerak perekonomian nasional. Kompleksnya tata guna hutan menjadikan semakin rumit pula pemecahan masalah terhadap sengketa pengelola lahan hutan tersebut. Pengelolaan hutan di masing-masing negara di ASEAN memiliki strategi masing-masing tergantung luas lahan hutan, kebijakan pemerintah, kebiasaan masyarakat kawasan hutan, dan iklim. Terlebih pada luas hutan di InLuas hutan dan perairan di Indonesia sendiri hingga SK 2012 adalah 136.174.000 ha1. Hutan di Indonesia sangat luas, namun hanya sebagian kecil saja dari luas hutan tersebut di serahkan secara swadaya kepada masyarakat. Perhutanan sosial seharusnya menjadi alat yang tepat jika pemerintah mengetahui dengan pasti hubungan emosional antara masyarakat kawasan hutan dengan hutan tersebut. Perhutanan sosial adalah bentuk perhutanan yang memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari (CIFOR 2003). Dari pengertian tersebut tampak kolaborasi dari berbagai pihak ─tidak hanya masyarakat hutan─ dalam mendukung kegiatan konservasi dan produksi hutan. Menurut Lynch dan Talbott (1995) dalam menghasilkan hutan yang sehat dan produktif, pemerintah harus membangun kerjasama dengan orang-orang yang tinggal di dalam dan dari hutan itu sendiri serta kepada mereka yang memiliki kepentingan langsung secara strategis mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Orangorang yang dimaksud Lynch dan Talbott tersebut tidak lain adalah masyarakat kawasan hutan dan sudah memiliki hubungan saling ketergantungan dengan hutan. Hal ini perlu dipahami pemerintah sebelum mereka menyerahkan berbagai izin atau konsesi kepada perusahaan-perusahaan. Sekalipun bentuk penyerahan luas hutan tertentu sosial dari pemerintah kepada communal tidak terlalu menguntungkan secara ekonomi dibanding diberikan kepada private sector, pemerintah membuktikan bahwa perhutanan sosial memang menjadi menjadi payung bagi lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan. Hal ini juga membuktikan bahwa pemerintah serius untuk menerapkan Pasal 47 Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang usaha untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Di Indonesia, dari 130 juta hektare luas hutan, hanya 3 persen dialokasikan untuk masyarakat. Sebagian besar untuk perusahaan (perkebunan sawit, HTI akasia, kayu log), hutan lindung, dan konservasi. Bandingkan dengan di Filipina, di mana 30 persen hutan dikelola masyarakat, di Vietnam dan Thailand porsi untuk masyarakat juga relatif besar. Menurut Bampton, kalaupun 2,5 juta hektare target Kementerian Kehutanan Indonesia tercapai, sangat kecil dibanding hutan Indonesia yang luasnya 130 juta hektare2. Hal ini sangat membingungkan berbagai pihak. Pemerintah sudah mengetahui fungsi dari hutan kemasyarakatan namun masih sangat enggan mengalokasikannya pada masyarakat. Tulisan ini akan membukakan pengaruh yang 1 http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=60&not ab=4 2 Koran Tempo hal.12, 5 Mei 2014, Meniti Harapan di Hutan Kemasyarakatan.htm 2 diperoleh masyarakat dalam kehidupan sosial ekonominya. Menurut Brata (2004), modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Berdasarkan pernyataan tersebut maka disusunlah setiap aspek sosial dan ekonomi yang dapat berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam kehidupan sosialnya akan dibahas tentang strategi nafkah, modal sosial, resolusi konflik, pemberdayaan, dan isu gender. Sedangkan pada kehidupan ekonomi akan dikaji tentang investasi, pendapatan, dan kesejahteraan. Baik kehidupan sosial maupun ekonomi tersebut akan dijelakan pengaruhnya kemudian terhadap kelestarian hutan. Dari pemaparan diatas, apakah perhutanan sosial dapat benar-benar berimplikasi nyata dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa hutan? Tujuan Penulisan Tujuan penulisan studi pustaka ini adalah untuk mengidentifikasi konsep dan permasalahan praktis dalam pengembangan perhutanan sosial. Selanjutnya dari hasil identifikasi tersebut dianalisis aspek-aspek kehidupan sosial dan menganalisis aspekaspek kehidupan ekonomi masyarakat desa hutan yang terkait dengan program perhutanan sosial. Metode Penulisan Tulisan studi pustaka ini digunakan melalui metode penulusuran data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti jurnal, artikel, terminal report, , tesis, serta berbagai laporan dan hasil penelitian ilmiah lainnya. Data sekunder yang digunakan terdiri dari delapan belas bacaan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah tersebut akan dipilah sesuai konsep yang terdapat didalamnya sehingga dapat dibandingkan dan dihubungkan dengan bacaan lainnya. Data sekunder akan diringkas dan dilakukan analisis dan sintesis terhadap hasil ringkasan (ikhtisar). Berdasarkan hasil analisis dan sintesis, maka disusunlah kerangka pemikiran dan perumusan masalah untuk penelitian selanjutnya. Berikut daftar konsep yang tersaji dalam studi pustaka ini. Konsep 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Resolusi Konflik √ √ √ Perhutanan Sosial Pemberdayaan √ √ 12 13 14 15 17 √ √ √ √ √ √ √ √ Strategi Nafkah √ √ √ √ Investasi √ Kesejahteraan √ Modal Sosial Agroforestry 18 √ Masyarakat Adat Peranan Gender 16 √ √ √ √ 3 RANGKUMAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Judul 1.: Kebijakan Pengembangan Perhutanan Sosial Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : : : : : : : : Tanggal Unduh : Dalam Perspektif Resolusi Konflik 2009 Jurnal Elektronik Salamet Edi Sumanto Kupang/ Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 06(01): 1-13 http://fordamof.org/files/6.1.2009%20Slamet_Edi_Suman to%5B1%5D.pdf. 19 September 2014 Ringkasan Konflik pada umumnya berkaitan dengan tiga hal yaitu: (a) situasi yakni ketidakselarasan tujuan, kebutuhan, dan kepentingan berbagai pihak yang bersumber dari kondisi struktur sosial, nilai sosial, kelangkaan, kompetisi dan perubahan; (b) sikap yakni aspek-aspek kognisi (seperti konstruksi 'musuh') dan emosi (seperti rasa benci dan bermusuhan) yang dialami pihak-pihak yang terlibat konflik, yang bersumber dari naluri agresif, ketegangan pribadi, frustasi kelompok; (c) perilaku yakni kegiatan, perkataan, dan perilaku aktual yang terpolarisasi dan merusak dari pihak-pihak yang bertikai. Terdapat pertimbangan dalam resolusi konflik, yakni; (1) Dikotomi ruang lingkup program perhutanan sosial. Di dalam kawasan atau di luar kawasan hutan dikotomi yang jelas antara Hutan Kemasyarakatan dan HR (dan mungkin HTR) sangat diperlukan bagi penentuan aktor dan perannya. Dikotomi ini mengacu pada ruang lingkup 'kawasan hutan' dengan 'tanah milik masyarakat'. (2) Fakta historis tentang pengelolaan hutan antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Di Jawa, penetapan batasbatas kawasan hutan sudah permanen dan model pengelolaannya sudah cukup baik. Sedangkan di luar Jawa, penentuan batas-batas kawasan hutan ditentukan berdasarkan peta-peta peninggalan kolonial. Oleh karena itu batas kawasan hutan kabur dan mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat. Pemberdayaan merupakan penciptaan hubungan antarpersonal yang berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antara pihak yang lemah dengan pihak yang kuat. Terdapat dua dimensi yang memperkuat konsep pemberdayaan yakni, (1) dimensi eksistensi kawasan hutan dan masyarakat. Pihak pengelola sebaiknya mengetahui dan paham baahwa ada hubungan emosional yang kuat antara masyarakat dan lingkungannya. (2) dimensi perubahan atau inovasi. Pihak pengelola juga sebaiknya mengetahui bahwa tidak semua masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan dengan mudah menerima perubahan atau proses transformasi yang direncanakan. Salah satu contoh kasus resolusi konflik dalam program pemberdayaan melalui perhutanan sosial adalah penanganan konflik model 'suf' di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sejak tahun 2006 beberapa warga di Desa Nenas Kecamatan Fatumnasi melakukan penyerobotan di Cagar Alam Gunung Mutis, yang menurut pengakuan mereka tanah tersebut merupakan 'suf' (tanah adat) marga Oenob yang menaungi mereka sehingga mereka memandang berhak mengelola kawasan tersebut. Dinas Kehutanan setempat melakukan penangkapan dan memberikan sanksi adat bukan 4 berupa uang atau hewan ternak tetapi berupa bibit tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dan sesuai dengan kondisi alam. Anakan tersebut wajib ditanam di lokasi bekas penyerobotan. Saat ini tanaman yang diusahakan tersebut sudah mencapai tinggi dua meteran, terdiri dari tanaman kemiri, kelapa, kopi, sirih, pinang, jeruk, dan tanaman pangan (ubi jalar, padi, jagung, kacang, dan sebagainya). Analisis Banyak konflik yang terjadi pada saat perjuangan mengeksiskan perhutanan sosial disuatu wilayah, terutama di hutan milik negara atau izin swasta. Perlu banyak hal yang harus dipahami dalam konflik tersebut. Kebanyakan jenis konflik berkaitan dengan situasi seperti kepentingan yang berbeda masing masing pihak. Hal tersebut jika tercampur dengan sikap dan perilaku pihak yang mendukung perbedaan kepentingan tersebut akan semakin parah. Selain masalah tersebut, ada juga masalah dikotomi lingkup perhutanan sosial. Dikotomi masalah kawasan menyangkut masalah posisi dan peran serta kewenangan pemerintah selalu dalam struktur yang lebih tinggi dan dominan dibandingkan posisi dan peran masyarakat. Hal ini dirasa tidak adil dan struktur tertinggi tidak mau mengalah. Masalah dikotomi tersebut ternyata bisa memperkuat menjelaskan masalah pengelolaan hutan di Jawa dan di luar Jawa. Dinamika dan komposisi penduduk yang berbeda maka dinamika konflik juga cukup berbeda. Sekalipun ada konflik di kawasan sekitar hutan, terdapat resolusi yang bisa dijalankan kedua belah pihak sekalipun revolusi struktur merupakan jalan terbaik. Resolusi tersebut dapat dilakukan melaui pemberdayaan yakni komitmen menciptakan hubungan berkelanjutan pihak-pihak yang bertentangan. Komitmen tersebut akan sangat baik dibangun melalui dua pondasi yang kuat yakni pemahaman dimensi eksistensi kawasan hutan dan masyarakat dan dimensi pemakluman perubahan. Resolusi konflik melalui pemberdayaan dapat dilakukan dengan aturan formal yang dijalankan tanpa mengabaikan aturan adat. Melalui konsep dan teori resolusi konflik, jurnal ini menjelaskan relasi antar konsepnya sangat baik. Sedangkan saat sudah menuju studi kasus banyak kerancuan. Kronologis penyerobotan lahan yang dilakukan masyarakat sekitar desa yang mengakui hak ulayat tidak dibahas habis. Seakan-akan masyarakat sangat pasrah ketika diberikan sanksi adat oleh pihak Perhutani. Terlebih lagi saat kasus pemberian sanksi, Perhutani dipandang seperti “malaikat” yang sangat baik memberikan sanksi adat bukan hukum positif. Padahal sebenarnya bisa dilakukan co-management dengan pengakuan kekuasaan masyarakat. Kolaborasi masing-masing pihak sangat dibutuhkan untuk mencapai perbaikan hubungan jangka panjang dan keberlanjutan lingkungan. Resolusi konflik yang adil juga kurang terlalu dibahas. Bibit-bibit yang digunakan sebagai sanksi tidak menjelaskan proses pemberdayaan masyarakat. 5 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : Perhutanan Sosial 2. Tanggal Unduh : : : : : : : : : 2003 Jurnal Elektronik CIFOR Bogor, CIFOR Warta Kebijakan 9(01): 1-6 www.cifor.org/acm/download/pub/wk/wa rta09.pdf 19 September 2014 Ringkasan Perhutanan sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari. Di Indonesia digunakan berbagai istilah seperti hutan kemasyarakatan, hutan kerakyatan, kehutanan masyarakat, kehutanan sosial dan sosial forestri. Selain itu ada pula yang menggunakan istilah perhutanan masyarakat, pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) ada juga yang menggunakan istilah pengelolaan hutan bersama, pengelolaan hutan dalam kemitraan dan pengelolaan hutan multipihak atau pengelolaan hutan oleh masyarakat (PHOM). Menurut Departemen Kehutanan sejak tahun 1980-an Perhutanan Sosial adalah semua bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat baik di kawasan hutan milik negara maupun milik pribadi atau kelompok. Di kawasan hutan milik negara disebut Hutan Kemasyarakatan (HKM) sedangkan di lahan milik disebut Hutan Rakyat (HR). Kebijakan dan peraturan yang mengarah kepada upaya perbaikan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara kemudian dikembangkan dalam bentuk hutan kemasyarakatan (HKM) dimulai pada awal tahun 1995 dalam bentuk keputusan menteri dengan SK No. 622/1995. Keputusan ini menekankan pada ijin pemanfaatan hutan. Hak masyarakat dibatasi pada rehabilitasi hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Keputusan ini kemudian diperbaiki dengan SK Menteri No. 677/Kpts-II/1998 di mana masyarakat bisa mengambil keputusan pengelolaan hutan dan pemerintah sebagai fasilitator saja dan masyarakat harus membentuk koperasi. Ijin pemanfaatan diganti menjadi ijin pengusahaan. Keputusan ini kemudian diganti lagi dengan SK No. 865/Kpts-II/1999 di mana ijin pengusahaan diganti menjadi ijin pemanfaatan dan masyarakat tidak harus membentuk koperasi tetapi bisa kelompok apa saja. Sebelum sempat beredar di masyarakat, Keputusan ini diganti lagi dengan SK Menteri Kehutanan No. 31/Kpts- II/2001 yang memberikan wewenang pada Bupati untuk memberi ijin dan memfasilitasi pembentukan kelembagaan masyarakat. Namun, dengan diberlakukannya PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, SK 31 tentang Hutan Kemasyarakatan secara hukum tidak berlaku lagi. Analisis 6 Dari pemaparan jurnal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sangat penting memberikan ruang bagi masyarakat kawasan hutan. Hak dan ruang kelola masyarakat merupakan salah satu isu kunci. Kebanyakan hutan di Indonesia dikuasai oleh negara. Akan sangat baik jika pengakuan terhadap hak adat dilaksanakan atau penguatan Perda tentang kebijakan daerah untuk pengelolaan hutan. Kepercayaan terhadap pemerintah harus dibangun demi kebaikan pembangunan daerah. Kesulitan tersebut susah dibangun karena banyak kebijakan yang katanya bijak sering tidak bijak bagi masyarakat kawasan hutan. Namun suatu kali saat daerah diberi otoritas desa, banyak pembalakan, pengambilan hasil hutan, penyerobotan lahan yang juga salah. Kebebasan yang diberikan menjadikan masyarakat kawasan liar saat diberikan lahan bersama. Oleh karena itu butuh regulasi yang tepat dan berbasis masyarakat yang adil. Karena menyangkut banyak kepentingan, suatu sumber daya pun harusnya mampu menampung setiap partisipasi positif. Jika melihat ke arah kebijakan, kebijakan dari SK Menteri SK No. 622/1995 hingga SK Menteri Kehutanan No. 31/Kpts- II/2001 benar-benar berpihak pada perbaikan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara. Segala sesuatunya baik hingga muncul PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang menarik wewenang pada Bupati untuk memberi ijin dan memfasilitasi pembentukan kelembagaan masyarakat pada SK 31 tersebut. Secara kritis, tulisan tersebut sangat mudah dibayangkan keparadoksannya. Satu sisi kebijakan yang dikeluarkan sangat berkembang. Namun disatu sisi lainnya, implementasi kebijakan sangat buruk hingga berpikir tidak ada gunanya kebijakan yang dikembangkan tersebut. Tulisan ini kurang mengambil setiap contoh aplikatif disetiap sisi sub-bab nya. Misalnya contoh penerapan kebijakan dibeberapa daerah, kebijakan yang malfungsi, dan tantangan perhutanan sosial masa depan. 3. Judul : Beberapa 3. Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Makalah : : : : : : Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : : Tanggal Unduh : Aspek Pemberdayaan Perhutanan Sosial (Paparan Studi Kasus Sukabumi) 2008 Jurnal Elektronik Tarsoen Waryono Makalah Penunjang Seminar Perhutanan Sosial Litbang Dephutbun. https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono /files/2009/12/26-perhutanan-sosial.pdf. 19 September 2014 Ringkasan Pengertian otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal self sufficiency of social body and is actual independence. Sedangkan menurut UU Nomor 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut 7 prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, sesuai dengan peraturan perudangan. Aplikasi Pemberdayaan Pembangunan Hutan Rakyat perlu diaplikasikan untuk mendapat bentuk kongkrit dari otonomi. Pemberdayaan jenis ini diharapkan bisa berhasil, memiliki benefit dimasyarakat, dan kontinu. Digalakannya hutan rakyat oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan, melalui program “sengonisasi, sungkenisasi, sukunisasi dan turinisasi” di Jawa Barat, nampaknya belum memberikan kesan atas keberhasilannya ditinjau dari niat kesungguhan masyarakat terhadap program tersebut. Nampaknya kunci keinginan masyarakat yang dikehendaki adalah; terciptanya kontinuitas pendapatan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh sebab itu pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan pemahaman atas penerapan sistem tumpangsari pada waktu tanaman masih muda, untuk kemudian dilanjutkan dengan agroforestry, hingga tanaman pokok mencapai daur ekonomis. Atas dasar itulah menempatkan kaidah-kaidah pembangunan hutan rakyat dengan cara-cara rasional, akan menjamin kontinuitas pendapatan masyarakat, merupakan kunci harapan atas keberhasilan program. Memperhatikan atas fakta fisik wilayah Kabupaten Sukabumi, nampaknya pemberdayaan perhutanan sosial dalam bentuk hutan rakyat, penyusunan rancangan programnya perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain, dalam lingkup pembangunan daerah. Penyelarasan tersebut perlu diperjelas menuju integrasi yang baik bukan tumpang tindih atau konflik tidak penting. Namun, hadirnya pembangunan hutan rakyat, cenderung memacu ekses terjadinya kesenjangan, antara masyarakat yang memiliki lahan dan membangunnya dengan masyarakat lainnya; dimana ekses tersebut tidak jarang menimbulkan kerawanan sosial yang berdampak negatif terhadap pengelolaan hutannya. Analisis Artikel ini menunjukkan sebenarnya otonomi daerah itu sangat ideal untuk desa dengan memberi pengertian tentang otonomi.. Namun demikian, otonomi bisa menjadi bumerang yang tepat sasaran untuk daerah yang menjalankan otonomi itu juga. Perlunya otonomi juga dirasa karena masyarakat jenuh dengan perintah-perintah dari atas seperti Departemen Kehutanan. Departemen ini juga menjadikan masyarakat sebagai objek program bukan sebagai subjek yang memastikan keberlanjutan. Dalam lingkup pembangunan daerah, penyusunan rancangan programnya perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain. Bukan hanya perlu keberhasilan sehingga menaikkan prestise dimata pihak lain. Namun menyadari sepenuhnya bahwa masyarakat dan lingkungannya memang perlu dibangun. Pembangunan tersebut harus berkelanjutan sekalipun melibatkan pemberdayaan. Penulis memiliki pemikiran kritis seperti ini dan hal ini sangat koheren dengan kehidupan pemberdayaan hutan kemasyarakatan zaman sekarang. 4. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal 4.: Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah Sosiologi : : : : : : yang Perlu Diperhatikan : Sebuah Tinjauan Teoritis 2003 Jurnal Elektronik Kresno Agus Hendarto Bogor Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8 Volume(Edisi) Halaman Alamat URL Tanggal Unduh : IX(1) hal 47-58 : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/31169 : 19 September 2014 Ringkasan Perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon dan atau tumbuhan lain pada lahan yang dimungkinkan untuk tujuan tertentu, didalam maupun di luar kawasan hutan, dan mengelolanya secara intensif dengan melibatkan masyarakat dan pengelolaan ini terintegrasi dengan kegiatan lain, yang mengakibatkan terjadinya keseimbangan dan saling mengisi penggunaan lahan dengan maksud untuk menyediakan barang dan jasa secara luas baik kepada individu penggarap maupun masyarakat. Secara kongkrit, tujuan perhutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang biasa dan komersial dalam 3 (tiga) hal, yaitu (1) Perhutanan sosial meliputi produksi dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian, terutama yang tidak diedarkan sebagai uang (non-monetized); (2) Perhutanan sosial menyangkut partisipasi langsung pemanfaat; (3) Termasuk sikap dan ketrampilan yang berbeda dari segi ahli kehutanan yang harus memberikan peranannya sebagai pelindung hutan terhadap penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam pohon. Peubah-peubah sosiologi yang dirasa penting dalam perhutanan sosial terdiri dari beberapa konsep. Kesetaraan gender yakni adanya peran yang sama dan sebangun antara perempuan dan laki-laki dalam perhutanan sosial. Misalnya pembagian peran tradisional di sektor pertanian di Jawa adalah sebagai berikut: (1) Laki-laki melakukan pekerjaan-pekerjaan berat, seperti menyiapkan lahan (membajak, menggaru, mencangkul); (2) Perempuan melakukan tugas-tugas lain (menanam, memanen, mengeringkan). Peubah selanjutnya yakni keadilan. Keadilan yang dimaksud adalah distribusi keuntungan atau kerugian akan disebarkan ke berbagai pihak dalam berbagai bentuk.. Kemudian peubah selanjutnya adalah penghargaan terhadap lokal Spesies. Masyarakat kawasan hutan berhak menentukan spesies tertentu yang bisa ditanam dan spesies yang tidak sesuai kebutuhan untuk perhutanan sosial. Seandainya masyarakat lokal tidak menginginkan spesies tertentu yang masuk dalam MPTS (Multy Purpose Tree Spesies), tersebut untuk perhutanan sosial maka spesies itu haruslah tidak berada dalam rancangan kegiatan. Demikian pula sebaliknya, jika suatu spesies dikehendaki oleh masyarakat lokal, maka spesies itulah yang harus ditanam. Analisis Peubah-peubah yang disusun penulis sehingga terdapat empat peubah yang dirangkum tersebut merupakan rangkuman dari beberapa pendapat. Terdapat peubah yang penting namun kurang dianggap penting oleh penulis yakni peubah struktur sosial. Penulis beranggapan bahwa konsep struktur sosial adalah aspek statis dari susunan hubungan sosial dalam suatu masyarakat (karena ia terdiri atas status suatu kelompok masyarakat). Selain itu, dalam konsep struktur sosial orang cenderung untuk berbicara tentang pola perilaku yang ideal dan normatif. Dari beberapa kelemahan di atas, diperlukan adanya suatu peubah derivative (turunan) dari struktur sosial, yang bersifat dinamis, terdiri atas role (aturan) dan yang berbicara tentang pola perilaku yang ideal dan situasional, yaitu kelompok sosial. Padahal struktur sosial merupakan faktor yang sangat penting dalam mereformasi tata aturan maupun peran tata kelembagaan. Namun, kebanyakan pihak pemerintah maupun private sector enggan mereformasi struktur dan sistem rumit yang menanti di depan. Hal ini pulalah yang membuat suatu bentuk 9 penguasaan sumberdaya dapat direformasi. Pihak yang dominan dapat mengembalikan kekuasaan maupun didaur. 5. Judul : Perilaku Masyarakat Desa Hutan Dalam 5. Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : : : : : : : : Tanggal Unduh : Memanfaatkan Lahan Di Bawah Tegakan 2011 Jurnal Elektronik Moh Solehatul Mustofa Semarang Jurnal Komunitas 3(1) hal 1-11 http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komu nitas/article/view/2287 19 September 2014 Ringkasan Pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT) merupakan alternatif dalam akses pemanfaatan lahan hutan yang diberikan kepada masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM). PLDT merupakan agroforestry yang pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan. Selain itu pola tanam agroforestry juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan produktivitas dan pemeliharaan lingkungan. Agroforestry merupakan sistem pengelolaan hutan dengan menerapkan pola budidaya tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian, peternakan, perikanan pada unit lahan pada waktu yang sama maupun berurutan dengan tujuan peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian hutan. Beberapa bentuk perilaku masyarakat di sekitar hutan di wilayah Perhutani KPH Pati Kecamatan Gembong Kabupaten Pati dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan, Pertama, Pembukaan lahan dan kelanjutan pengelolaan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Kedua, bentuk perilaku masyarakat dua desa disekitar hutan wilayah Perhutani adalah pemanfaatan lahan hutan untuk bertanam. Ketiga, adalah menjaga kelestarian hutan. Dengan adanya ijin menggarap lahan gundul di hutan, secara otomatis masyarakat juga turut memelihara dan menjaga kelestarian hutan. Keempat, masyarakat menjaga keamanan hutan. Penduduk sekitar hutan jati menjadi turut bertanggungjawab terhadap keberadaan hutan jati dari penjarah hutan. Kelima, mengembangkan kelembagaan. Perilaku masyarakat desa hutan terhadap pemanfaatan lahan di bawah tegakan berpengaruh pada pengembangan kelembagaan yang sangat positif. Analisis Secara umum jurnal ini menjelaskan dari konsep dasar perhutanan sosial. Perhutanan sosial memiliki banyak bentuk dan penerapannya di daerah desa hutan. Salah satu bentuk penerapan perhutanan sosial adalah hasil kontrak dari Perhutani kepada masyarakat dalam memanfaatkan luas lahan tertentu. Namun, penerapan tersebut terkadang membuahkan konflik laten atau manifest dan perasaan tidak aman. Alternatif penyelesaian konflik pun mulai dirancangan seperti penanaman spesies tertentu oleh para pesanggem dan bantuan fee penjualan kayu jati oleh Perhutani. 10 Pemanfaatan lahan yang terbatas dan penuh sengketa pun mau tidak mau harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat. Mereka menggunakan lahan tertentu dalam tanaman kayu di hutan sebagai tanaman palawija ataupun tanaman non-kayu lainnya. Masyarakat memiliki perilaku tertentu pula dalam menggunakan lahan tersebut. Dari kelima perilaku yang dijelaskan dalam jurnal ini, penulis merangkum berbagai perilaku terlalu luas dan general. Misalnya pengelolaan dan pemanfaatan lahan di hutan. Definisi pemanfaatan dan pengelolaan hutan dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan. Bisa saja pemanfaatan atau pengelolaan tersebut hanya samai pada tahap mendapt akses namun tidak terlalu berkuasa memanajemen dalam memaksimalkan hasil sumber daya tersebut. Sekalipun dalam deskripsi dari perilaku masyarakat sekitar hutan sudah dijelaska secara rinci, pengistilahannya masih tergolong general. 6. Judul 6.: Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal : : : : : : Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : : Tanggal Unduh : Pembangunan Kehutanan (Studi Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan) 2013 Jurnal Elektronik Mohammad Mulyadi Jakarta Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 10(4) hal 224-234 http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/170 19 September 2014 Ringkasan Konstruksi masyarakat adat yang diatur dalam UUD 1945 generasi pertama adalah pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah “bawahan” yang istimewa untuk menopang Pemerintahan Republik di Jakarta sebagaimana sebutkan dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Masyarakat adat kemudian disepakati bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Pengertian masyarakat adat tidak dapat dilepaskan dari pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya bentuk hukum kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengana perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri; komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar. Masyarakat adat memiliki kearifan yang tinggi, kedalaman pengetahuan kehidupan yang mengagumkan serta sistim sosial-ekonomi yang tangguh. Namun demikian, dalam kenyataannya terjadi 11 pertentangan antara budaya masyarakat adat yang bertumpu pada keseimbangan alam dan sistim produksi yang lebih menekankan pada ekonomi subsisten. Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Masyarakat hutan adat umumnya terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk. Penentuan tingkat kemiskinan di wilayah masyarakat adat Battang masih tinggi yang merupakan desa hutan, ditandai dengan beberapa indikator. Indikator-indikator tersebut yakni kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan masyarakat adat untuk menyampaikan aspirasi. Untuk mengatasi kemiskinan, diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat. Beberapa upaya penting yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adat adalah pertama, reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan, kedua, gerakan sosial masyarakat adat,ketiga, membangun institusi lokal masyarakat adat, keempat, pengembangan kapasitas masyarakat adat. Analisis Dalam jurnal tersebut, penulis mengaitkan antar variabel secara berkesinambungan. Penjelasan konstruksi masyarakat adat dibahas dari hal fundamental negara yakni UUD 1945. Ternyata dari UUD 1945 sekalipun, menganggap pemerintah masyarakat desa sebagai pemerintah “bawahan” dengan panggilan “istimewa”. Setelah penguatan masyarakat adat dan keberanian mereka dengan dibentuknya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA), konsep masyarakat adat dinyatakan kembali. Masyarakat adat disepakati merupakan kelompok masyarakat yang memiliki historis, ideologi, politik, dari wilayah sendiri. Masyarakat adat juga dikenal dengan kekayaan hukumnya sehingga sering dikenal dengan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat lebih kuat posisinya karena memiliki kesatuan hukum, penguasa, lingkungan hidupberdasarkan hak atas sumber daya yang sama. Posisi ini pun sangat rentan apabila mulai mengorientasikan budaya masyarakat adat yang bertumpu pada keseimbangan alam dan sistem produksi yang lebih menekankan pada ekonomi subsisten. Masyarakat adat pun memiliki tempat tinggal yang sering dekat dengan hutan adat. Lokasi hutan adat tersebut berada dalam wilayah adat dan memiliki hubungan sangat dekat dengan komunitas yang tinggal di dalamnya. Namun sangat disayangkan, peningkatan kapasitas bagi masyarakat adat kurang diperhatikan, sedangkan proyek atau program pembangunan selau diintervensi pada mereka. Terjadinya lag antaraa usaha peningkatan kapasistas dengan intervensi program pembangunan terhadap hutan berdampak pada kemiskinan mereka. Kemiskinan masyarakat adat terutama masyarakat Battang masih tinggi dengan memperhatikan variabel kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan masyarakat adat dalam menyampaikan aspirasi. Ketimpangan perencanaan dan realitas di masyarakat adat hutan membutuhkan pemberdayaan setempat yang berbasiis kebutuhan mereka sendiri juga. Uaya yang penting dala pemberdayaan tersebut adalah reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan yakni pengkajian kembali tujuan dari berdirinya masyarakat adat. Kemudian upaya selanjutnya adalah gerakan sosial masyarakat adat yang menguatkan kelembagaan adat dengan merevitalisasi pola-pola gerakan tersebut. Selanjutnya adalah upaya membangun institusi lokal masyarakat adat. Masyarakat adat membutuhkan wadah aspirasi yang aman dan terjamin. Wadah tersebut merupakan institusi lokal yang terbentuk dan bertumbuh hingga akhirnya melahirkan buah yang baik dari institusi tersebut kepada masyarakat. Terakhir adalah pengembangan kapasistas masyarakat adat. 12 Sangat disayangkan apabila karena kelalaian atau tidak terliriknya kapasistas masyarakat adat yang merupakan subjek pembangunan, segala proyek pembangunan tidak efektif berjalan. 7. Judul 7.: Peranan Gender dalam Adaptasi Perubahan Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : : : : : : : : Tanggal Unduh : Iklim pada Ekosistem Pegunungan di Kabupaten Solok, Sumatera Barat 2013 Jurnal Elektronik Yanto Rochmayanto & Pebriyanti Kurniasih Riau Jurnal Analisis Kebijakan Hutan 10(3) hal 203-213 http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JAKK/article/view/328 19 September 2014 Ringkasan Peran gender merupakan peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. 3 (tiga) kategori peranan yaitu: Peranan produktif, yaitu peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran tunai, termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar dan produksi rumah tangga/subsisten dengan nilai guna. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik, terdiri atas 2 (dua) kategori, yaitu: Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), mencakup semua aktivitas dalam komunitas sebagai kepanjangan peran reproduktif, bersifat sukarela dan tanpa upah. Peranan pengelolaan politik, yakni peranan dalam pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status. Peranan reproduktif pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan masih dipengaruhi oleh nilai dan norma masyarakat, dimana semua jenis pekerjaan yang bersifat domestik atau feminin yang menggunakan teknologi tradisional yang tidak memerlukan tenaga kerja yang kuat dikerjakan oleh perempuan. Laki-laki kurang berperan dalam kegiatan reproduksi karena keseharian mereka banyak dihabiskan di sektor publik. Peranan produktif pada kegiatan bercocok tanam di ladang, perempuan dan laki-laki memiliki beban kerja yang sama, tidak ada pembedaan tugas dalam pengelolaan lahan. Pada kegiatan penjualan hasil ladang, biasanya para pria membawa dan menjualnya ke pasar sedangkan perempuan menunggu di rumah. Ikut sertanya perempuan dalam kegiatan bercocok tanam dikarenakan faktor ekonomi keluarga yang tidak menentu akibat perubahan pola hujan. Perubahan iklim ini mempengaruhi produktivitas tanaman pertanian sehingga berdampak pada penurunan pendapatan keluarga. Perempuan bekerja di ladang menggantikan suami yang bekerja menjadi buruh tani di ladang orang lain atau bekerja pada sektor lain, sehingga mendapatkan penghasilan tambahan. Pada peranan dalam kegiatan pengelolaan masyarakat dan politik, perempuan mempercayakan hak politiknya kepada suami atau anak laki-laki dan lebih aktif pada kegiatan pengelolaan masyarakat yang bersifat sosial di lembaga formal dan informal. Dampak perubahan peranan terhadap kerentanan perempuan pun tak 13 dapat dibendung. Marginalisasi adalah pemiskinan ekonomi terhadap perempuan. Perempuan mengalami marginalisasi dalam hal pengelolaan sumber daya alam pertanian. Perempuan yang bekerja sebagai buruh pertanian memiliki penghasilan yang lebih rendah dibanding laki-laki dengan beban kerja yang sama. Selain itu ada juga pelabelan negatif (stereotype) peranan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam pertanian yang dipandang sebelah mata. Perempuan masih dianggap sebagai sosok yang lemah dibandingkan dengan laki-laki. Kemudian, subordinasi adanya anggapan bahwa perempuan pada akhirnya nanti akan bekerja di dapur, sehingga tidak perlu sekolah tinggi. Beban ganda perempuan yakni penurunan pendapatan keluarga akibat adanya iklim yang tidak menentu, membuat perempuan ikut membantu suami mencari pendapatan tambahan. Hal ini menyebabkan alokasi waktu produksi dan reproduksi perempuan lebih besar dari laki-laki, dan alokasi waktu untuk kegiatan sosial menjadi berkurang. Strategi adaptasi yakni Strategi yang diperlukan untuk memastikan upaya peningkatan kapasitas adaptif dan menurunkan kerentanan perempuan terhadap perubahan iklim pun muncul. Peningkatan kapasitas perempuan berupa pendidikan formal maupun keterampilan/ non formal. Analisis Dari penjelasan jurnal tersebut, penulis menyatakan hubungan yang krusial antara perubahan iklim yang signifikan dengan peran gender. Peran gender juga tidak bisa dipandang sebelah mata mengingat di masyarakat harapan peran masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan masih begitu berpengaruh. Terlebih peran gender merupakan salah satu variabel ketahanan keluarga. Penulis secara nyata juga menekankan akibat yang globally saat perubahan iklim disuatu daerah terjadi. Logikanya, hubungan ini begitu signifikan dengan alur dari penurunan produktifitas hingga jam kerja perempuan dibidang produktifitas semakin bertambah. Hal ini juga mengakibatkan kontribusi perempuan dibidang politik, bidang formal maupun non-formal di masyarakat sangat berkurang demi mempertahankan ketahanan keluarga di bidang ekonomi. Secara umum, perubahan iklim mempunyai multiplyer effect. Efek-efek tersebut bahkan menyentuh hingga di sektor mikro seperti keluarga petani. Aspek sosial seperti perubahan peranan gender atau aspek-aspek sosial lain juga akan sangat mempengaruhi produktifitas nasional. Tulisan ini mengajak pembaca agar berfikir luas dan jangka panjang akan sesuatu yang tidak kasat mata. 8. Judul 8.: Peranan Kayu dan Hasil Bukan Kayu dari Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : : Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : : : : Tanggal Unduh : Ringkasan Hutan Rakyat pada Pemilikan Lahan Sempit : Kasus Kabupaten Pati 2012 Jurnal Elektronik Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka, Sulistya Ekawati Bogor Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan 9(3) hal 113-125 http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/198 19 September 2014 14 Lahan pekarangan dan tegalan rata-rata dipraktekkan sistem tumpangsari antara jenis tanaman kehutanan, perkebunan, buah-buahan, dan dibawahnya dikembangkan tanaman semusim, empon-empon, atau rumput pakan ternak sehingga berbentuk agroforestri. Lahan rakyat yang diusahakan sebagai hutan rakyat dengan teknik agroforestri adalah 88,6%, sehingga pendapatan dari hutan rakyat diduga menjadi sumber pendapatan utama bagi petani. Hasil Kayu dalam Usaha Hutan Rakyat sangat berperan pula bagi masyarakat kawasan hutan. Rata-rata 88,6% dari lahan rakyat diusahakan sebagai hutan rakyat sehingga pendapatan dari hutan rakyat memiliki peran besar dalam ekonomi rumah tangga petani di desa-desa lokasi studi. Penjualan per pohon umumnya dilakukan dengan sistem tebang pilih saat butuh atau tebang pilih rakyat, di mana pohon yang diameternya sudah besar (meski umur baru 4 tahun) atau yang kira-kira nilai uang hasil jualnya sesuai dengan kebutuhan keuangan petani, akan ditebang terlebih dahulu. Sementara itu pada penjualan per hamparan dengan sistem tebas, Petani langsung menerima uang tunai tanpa menebang, mengukur dan menghitung volume kayunya sendiri. Selain hasil kayu, hasil bukan kayu dalam Usaha Hutan Rakyat juga memiliki andil dalam hidup masyarakat kawasan hutan. Jenis HBK dari lahan hutan rakyat yang kontribusinya besar terhadap pendapatan petani di tiga desa lokasi studi adalah jenis tanaman buah-buahan (31,58% -75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% -55,41%). Berdasarkan diskusi kelompok terarah diketahui bahwa hasil berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani dapat dipanen secara bergilir. Dengan cara menanam berbagai jenis tanaman tersebut, petani dapat memenuhi seluruh kebutuhan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, namun kecukupannya sangat dipengaruhi oleh luasan lahannya. Jangka waktu panen HBK yang lebih singkat sangat besar peranannya dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat terutama pada pemilikan lahan sempit karena petani tetap mempunyai sumber pendapatan dari lahan hutan rakyat meskipun tanaman kayunya belum dapat dipanen. Analisis Dalam tulisan ini, penulis menyatakan secara gamblang betapa hutan rakyat sangat menguntungkan bagi masyarakat dari hasil kayu hingga hasil hutan bukan kayu. Dengan teknik agroferstri, masyarakat dapan mengatur pola watu penanaman. Selain itu, hal baiknya adalah penulis menceritakan bahwa masyarakat yang berkontribusi dalam hutan rakyat ini dan hutan rakyat berkontribusi banyak juga bagi masyarakat. Masyarakat menjadikan hutan produktif dan hutan berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat. Hal yang kurang luas dibahas dalam jurnal ini adalah kekhasan dari masyarakat peserta hutan rakyat. Di daerah hutan, sudah pasti mereka merupakan orang-orang desa yang memiliki pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal tesebutlah yang menentukan tingkah laku masyarakat terhadap sumber dayanya. Dalam jurnal hal ini kurang dibahas mengingat kontribusi pengetahuan loal atau kearifan lokal sangat menjadi variabel pengaruh dan penting terhadapa produksi masyarakat dan keberlanjutan nilai ekonomi mereka. 9. Judul 9.: Manfaat Ekonomi dan Peluang Pengembangan Hutan Rayat Sengon di Kabupaten Pati 15 Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : : Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : : : : Tanggal Unduh : 2012 Jurnal Elektronik Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka, Sulistya Ekawati Bogor Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan 9(3) hal 126-139 http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/199 19 September 2014 Ringkasan Pengelolaan hutan berbasis masyarakat di beberapa negara telah bergeser dari pengelolaan secara subsisten menuju ke pengelolaan hutan secara komersial dalam berbagai model bisnis. Pengelolaan hutan komersial berbasis masyarakat merupakan salah satu kebijakan prioritas pemerintah Indonesia yang diimplementasikan melalui program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan Hutan Rakyat (HR). Pendapatan yang bersumber dari penggunaan lahan sangat mempengaruhi masyarakat kawasan hutan. Kecukupan pendapatan sangat dipengaruhi oleh luasan lahan yang dimiliki atau digarapnya. Pendapatan petani dari penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi pendapatan dari hasil kayu, hasil bukan kayu, dan dari ternak yang pakannya berasal dari lahan. Terdapat pula organisasi petani yang sengaja dibentuk masyarakat sebagai wadah membagikan nilai dalam hidup mereka. Ada beragam organisasi petani di lokasi penelitian, seperti : (1) Kelompok tani Masyarakat di desa-desa di lokasi studi membentuk kelompok tani yang mewadahi kegiatan hutan rakyat yang mereka lakukan. Kelompok Pengelolaan Hutan Rakyat (KPHR) Tani Unggul yang merupakan wadah untuk sosialisasi dan menyalurkan bibit tanaman kehutanan dari LSM Trees4Trees kepada para petani. (2) Organisasi simpan pinjam Untuk membantu mengatasi kesulitan keuangan penduduk, bantuan uang dari PNPM ke desa Gunungsari dijadikan modal usaha simpanpinjam yang dikelola oleh GAPOKTAN dengan cara mendistribusikan ke Kelompok-Kelompok Tani di tiap-tiap pedukuhan. (3) Organisasi pemanfaatan mata air Berkembangnya hutan rakyat mempengaruhi sumber mata air yang ada di desa. Pemanfaatannya dilakukan secara berkelompok diantara rumah-rumah penduduk yang berada di sekitar mata air. Selain pendapatan dan organisasi petani, di lapangan ditemui beberapa hambatan yang mengancam usaha hutan rakyat. Ada tiga hambatan yang dihadapi petani sengon di lokasi studi, yaitu hambatan silvikultur, pengorganisasian petani, dan pemasaran. Dari silvikultur, pertumbuhan tanaman sengon seringkali tidak seragam walaupun ditanam pada lahan dengan waktu dan perlakukan yang sama. Hal ini diduga karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas bibit yang tidak seragam. Selain itu, umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang terlalu lama dalam kaitannya dengan kesinambungan pendapatan petani. Oleh karena itu, petani menerapkan pola tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai umur sengon 3 tahun. Namun ketika sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak tertimpa pohon, padahal umur panen sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman kopi, sehingga banyak petani yang tidak menerapkan pola tersebut. 16 Kecenderungan yang Sedang Berlaku melihat perilaku para petani adalah : (1) Kecenderungan konversi lahan konversi lahan sawah menjadi tegal dan pekarangan. Hal ini terjadi karena pasokan air untuk pertanian sawah tidak dapat berlangsung sepanjang tahun, karena lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga. (2) Kecenderungan peran aktif perempuan dalam usaha pemanfaatan lahan karena untuk menjangkau lokasi tegalan atau hutan yang relatif jauh dari lokasi rumah serta mengangkut faktor produksi seperti bibit, pupuk, dan hijauan pakan ternak, serta hasil panenan dapat dilakukan menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Kecenderungan ini juga dipacu oleh kepergian kaum laki-laki ke luar daerah atau ke luar negeri untuk mencari tambahan penghasilan sehingga pengelolaan lahan diserahkan kepada kaum perempuan. (3) Kecenderungan sengon sebagai tabungan Penduduk desa-desa di lokasi studi cenderung menganggap tanaman sengon sebagai tabungan keluarga. Peluang yang dapat tercipta pada Usaha Hutan Rakyat secara kongkrit adalah : (1) Konversi pemanfaatan lahan banyak petani yang mengkonversi lahan sawahnya menjadi tegal dan pekarangan untuk ditanami sengon karena kayu sengon cepat tumbuh dan mulai umur 4 tahun sudah dapat dipanen. (2) Dukungan program pemerintah Di wilayah Kabupaten Pati terdapat beberapa program pemerintah antara lain KBR, BLMPPMBK, dan KBD. (3) Tanah yang subur Desa penelitian terletak di kawasan perbukitan kaki gunung Muria yang tanahnya subur sehingga potensial dengan tanaman kayu-kayuan. (4) Permintaan kayu sengon yang tinggi. (5) Peluang untuk dikembangkan industri pengolahan. Perdagangan kayu sengon rakyat di wilayah Kabupaten Pati baru berkembang. Analisis Pada jurnal tersebut penulis juga menceritakan tentang keuntungan usaha hutan rakyat bagi masyarakat dan dibahas lebih luas tidak hanya pada keuntungan sektor ekonomi namun juga membahas tentang aspek sosial yang menjadi peluan sekaligus hambatan kemajuan usaha masyarakat. Pendapatan dari masyarakat dijelaskan dipengaruhi oleh luas lahan garapan. Hal ini masuk akal sekali walaupun luas lahan tidak selalu menjadi variabel mutlak bertambahanya pendapatan rumah tangga. Pendapatan dari hasil kau maupun non-kayu dan ternak juga ada hubungannya dengan organisasi untuk membagikan nilai hidup mereka. Terdapat juga beberapa hal yang mengahambat produksi masyarakt yakni perliha silvikultur, pola tanam yang kurang tepat, pengorganisasian petani, dan pemasaran. Permasalah yang dijelaskan dalam artikel ini memiliki pengertian yang lebih luas dibanding jurnal yang hanya membahas hambatan ekonomi saja. 10. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan 10. : : : : Kota Penerbit : Nama Jurnal : Volume (Edisi) : Halaman Alamat URL : Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan Jurnal Elektronik Muspida Maros Jurnal Hutan dan Masyarakat 2(3) hal 290-302 http://download.portalgaruda.org/article.php?ar ticle=29822&val=2169 17 Tanggal Unduh : 19 September 2014 Ringkasan Penguasaan lahan merupakan masalah besar bagi kehidupan petani dan keluarganya. Selain rumah atau tempat tinggal, lahan merupakan aset paling berharga yang dimiliki petani di ketiga desa kasus. Ada tiga jenis lahan yang menjadi indikator kehidupan petani, yaitu lahan persawahan, lahan hutan kemiri dan lahan perladangan. Cara petani memperoleh lahan yang dikuasai di ketiga desa umumnya melalui pewarisan, Sompa (lahan pemberian sebagai salah satu syarat pernikahan) dan pemindahan hak melalui jual beli, serta penguasaan lahan melalui kelembagaan sanra (gadai) dan teseng (bagi hasil). Penguasaan lahan oleh petani melalui kelembagaan sanra dan teseng pada umumnya adalah lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang tinggal di kota. Modal sosial mikro dalam pembangunan hutan kemiri di ketiga desa kasus dibahas dalam dimensi kognitif dan dimensi struktural. Dimensi kognitif bersumber dari norma-norma dan nilai-nilai serta keyakinan yang hidup di dalam masyarakat sipil oleh dorongan saling percaya (trust), meliputi unsur prmbukaan lahan, peralihan hak kelola lahan (teseng, Sanra, jual beli dan pewarisan), dan dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan dalam jaringan (networking) meliputi jaringan pembukaan lahan, pemungutan dan pengolahan hasil serta pemasaran. Kedua dimensi tersebut memiliki elemen-elemen umum yang mendorong tingkah laku bekerjasama secara menguntungkan melalui tindakan terkordinasi. Peran modal sosial makro pembangunan hutan kemiri di ketiga desa kasus akan dikaji baik dalam dimensi kognitif maupun dalam dimensi struktural yang terangkum dalam kebijakan Tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Pada awalnya pemerintah dalam menetapakan tata batas hutan masih memberi peluang kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam kawasan hutan. Sejak tahun 1994, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros mulai mensosialisasikan batasbatas kawasan hutan TGHK dan melarang masyarakat melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam bentuk peremajaan (mallolo). Masyarakat hanya diizinkan melakukan pemungutan buah kemiri dalam kawasan hutan. Analisis keterkaitan modal sosial mikro, dan modal sosial makro dalam pengelolaan hutan kemiri pada tiga desa kasus adalah sebagai berikut: (1) Saling Percaya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keterkaitan rasa saling percaya (trust) dalam hal status penguasaan lahan hutan kemiri antara petani dengan petani dijumpai dalam bentuk pengakuan hak atas lahan hutan kemiri. (2) Jaringan. Hasil penelitian memperlihatkan keterkaitan modal sosial jaringan (net work) dalam hal pembukaan dan pengelolaan lahan hutan kemiri antar petani di ketiga desa kasus dijumpai dalam bentuk kelompok pembukaan lahan, dan sewa menyewa lahan. Analisis Jurnal ini sedikit banyak menceritakan tentang begitu besar kontribusi modal sosial baik mikro maupun makro dalam produksi kemiri petani setempat. Bentuk modal sosial tersebut yakni rasa saling percaya dalam batas penguasaan lahan, jaringan pembukaan lahan baru, dan terbangunnya norma dan kelembagaan masyarakat yang mengarahkan ketertiban sosial dalam pembukaan dan pengelolaan lahan kemiri. Namun dalam penjelasan interaksi dari keterkaitan modal sosial hanya dijelaskan dari sudut pandang hubungan saling percaya dan jaringan saja tanpa mendalami peran norma. 18 Perihal pengaruh yang paling dirasakan dan dilihat mungkin jadi pertimbangan penulis tidak memasukkan unsur norma kedalam penjelasannya. Selebihnya, penjelasan dari jurnal ini, dibahas juga pemanfaatan lahan itu diatur dalam pengetahuan lokal maupun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat secara umum saja. Cara petani memperoleh lahan yang dikuasai di ketiga desa umumnya melalui pewarisan, Sompa (lahan pemberian sebagai salah satu syarat pernikahan) dan pemindahan hak melalui jual beli, serta penguasaan lahan melalui kelembagaan sanra (gadai) dan teseng (bagi hasil). Penguasaan lahan oleh petani melalui kelembagaan sanra dan teseng pada umumnya adalah lahan yang dikuasai oleh orang-orang yang tinggal di kota. Hal ini sangat mengagumkan karena masyarakat desa tersebut memahami kompleksitas penguasaan lahan dan melakuan regulasi sedemikian rupa hingga aturan dapat dimaknai bersama. 11. Judul : Simplified 11. and Harmonized Forestry Regulatory Procedures of The Philippines Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : : Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL Tanggal Unduh : : : : : 2004 Terminal Report Elektronik College of Forestry and Natural Resources University of the Philippines Los Baños Los Banos hal 290-302 http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadd061.pdf 19 September 2014 Ringkasan Terdapat berbagai isu atau permasalahan dalam Identifikasi dan Approval of Open Access Area Available pada berbagai penerapan yaitu: (1) kemampuan yang cukup dari Department Environment and Natural Resources (DENR) untuk validasi tanah, evaluasi kesesuaian letak, dan persediaan sumber daya di lokasi potensial Financial Management Association (FMA) berupa pemendekan prosedur. Sejumlah pegawai bidang DENR melaporkan bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya melaksanakan validasi tanah, evaluasi kesesuaian letak dan persediaan sumber daya sebab anggaran tidak mencukupi, juga sumber daya utama terbatas (dana tidak memadai, peralatan, fasilitas, dll). (2) Konflik penggunaan lahan, klaim dan instrumen tenurial yang dikeluarkan karena tidak cukup, peta yang bertentangan, usang, dan tidak dapat diakses informasi juga basis data. Masalah yang umum ditemukan oleh DENR dan klien di berbagai daerah merupakan tumpang tindih instrumen tenurial, konflik penggunaan lahan dan klaim atas suatu wilayah tertentu, setelah instrumen tenurial tertentu telah diberikan. Masalah ini berkaitan erat dengan masalah sebelumnya dimana DENR tidak mampu untuk melakukan identifikasi dan persetujuan daerah terbuka untuk akses. (3) Kurangnya Tata Guna Hutan Rencana di kantor-kantor regional DENR. Dalam kebanyakan kasus, orang-orang DENR tidak benar-benar tahu berapa banyak lahan (dan di mana lahan tersebut berada) telah dialokasikan untuk instrumen yang berbeda dan tersedia untuk akses terbuka. LGU juga mengangkat isu kurangnya kemampuan teknis dan keuangan untuk melakukan perencanaan lahan hutan. Namun masalah lain yang diangkat adalah lembaga yang berbeda '(yaitu, DA, DAR, DTI, DOT, dll) yang memiliki rencana sendiri untuk lahan hutan. Masalah ini menandakan 19 kebutuhan untuk instansi yang bersangkutan untuk koordinasi sehingga rencana masingmasing dapat diintegrasikan dengan rencana penggunaan lahan hutan keseluruhan masing-masing daerah. (4) Perlu untuk menyelaraskan kebijakan perjanjian pengelolaan hutan dengan LGU dan undang-undang National Commission for Indigenous People (NCIP). Prosedur yang ada pada identifikasi dan persetujuan daerah yang tersedia untuk berbagai manajemen hutan perjanjian harus diselaraskan dengan orang-orang dari LGU sebagaimana tercantum dalam DENRDILG JMC Nos. 98-01 dan 2003-01 dan orangorang dari NCIP sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Indigenous People’s Rights Act (IPRA). Di antara isu-isu / masalah yang teridentifikasi, berikut ini adalah bagian penting yang harus dilakukan adalah: a. Tumpang Tindih daerah / klaim yang bertentangan pada area yang diidentifikasi dengan LGU, dll .; b. Kesulitan dalam mengamankan dukungan LGU, sehingga menyebabkan keterlambatan dalam pemrosesan aplikasi; c. Biaya aplikasi tinggi relatif terhadap instrumen tenurial lain seperti IFMA; d. Sebuah sketsa peta yang menjadi kebutuhan daripada Rencana Pengelolaan Hutan indikatif untuk wilayah dan e. Ada terlalu banyak tingkatan otoritas yang terlibat dalam pengolahan SIFMA yang aplikasi di DENR, pada dasarnya menyebabkan penundaan dan meningkatkan biaya transaksi pada bagian dari pemohon. Analisis Dalam artikel ini dibuka dengan luas sisi lain permasalahan tenurial di dunia. Department Environment and Natural Resources (DENR) menyatakan bahwa objektivitas dalam menyelesaikan masalah tenurial sangat susah tercapai karena masalah-masalah preventif seperti kesesuaian letak, upaya validasi tanah, anggaran dan sumber daya terbatas, dan lain sebagainya. Adalagi pemicu konflik seperti tumpang tindih instrumen tenurial, konflik klaim atas wilayah, yang menyusahkan DENR. Masalah tersebut tidak dielesaikan dengan mudah. Selain karena harus observasi tempat dan menggali kebenaran melalui sejarah serta hukum positif juga perlu komitmen pegawai untuk memprioritaskan pekerjaan ini disertai kecukupan keterampilan, anggaran, integrasi dengan rencana penggunaan lahan hutan keseluruhan masingmasing daerah. Laporan ini membahas sangat luas tentang konflik tenurial karena memandang lingkup yang luas juga. Perlu integrasi dan penyelarasan kebijakan perjanian pengelolaan. Di Filipina, NCIP (National Ccommision for Indigenous People) memegang hak penting dalam keberlanjutan lingkungan. Ditonjolkannya keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipatifnya pengambilan keputusan antara pemangku kepentingan membuat semua pendapat terakomodasi dalam menyelesaikan konflik ini. 12. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal : Model 12. : : : : : : Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan 2011 Thesis Cetak Bambang Dipokusumo Bogor - 20 Volume (Edisi) Halaman Alamat URL Tanggal Unduh : 55-54 : : - Ringkasan Sejak awal pembangunan nasional sampai sekarang ini (2011) pengelolaan hutan sosial (social forestry) mengalami perkembangan, artinya pemerintah secara bertahap memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengelolaan hutan. Istilah social forestry pada awalnya digunakan oleh Westoby dalam Ninth Commonwealth Forestry Congress di Delhi, India tahun 1968 dan mendefinisikan Social Forestry sebagai “a forestry which aims at production flow of protection and recreation benefits for the community”. Menurut Direktorat Bina Hutan Kemasyarakan Departemen Kehutanan (2003) menyebutkan bahwa Social Forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan dan atau hutan hak, dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraanya dan mewujudkan kelestarian hutan. Kemudian Tiwary berpendapat bahwa Social Forestry pada dasarnya bertujuan memenuhi kebutuhan dasar manusia dari hutan di pedesaan. Adapun prinsip Social Forestry terdiri dari enam aspek yaitu pertama, aspek sistem pengelolaan hutan yang mencakup aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya serta tidak lagi hanya mementingkan aspek kayu saja; kedua, aspek peningkatan kualitas kehidupan masyarakat; ketiga, aspek yang meningkatkan kualitas lingkungan, khususnya sumberdaya hutan; aspek menghormati dan mengakui inisiatif social forestry; keempat, menghormati dan mengakui keragaman inisiatif social forestry; kelima, aspek yang mendorong proses kolaborasi multipihak; dan keenam, aspek adanya dukungan pemerintah. Pengelolaan hutan sosial di Indonesia mengalami perkembangan dan disajikan dalam uraian berikut ini (Munggoro et al. 2001; Ngadiono 2004): (1) Hak Pengusahaan Hutan Bina Desa Hak Pengusahaan Hutan Bina Desa (HPH Bina Desa) Pemegang sesungguhnya sejak awal memiliki tanggungjawab terhadap pembangunan masyarakat desa melalui pembinaan masyarakat setempat, namun keadaan ini tidak sesuai dengan harapan, dimana terjadi kesenjangan ekonomi antara kedua belah pihak. (2) Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Banyaknya kelemahan yang ditimbulkan oleh pemegang HPH Bina Desa dalam sistem perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi di lapangan, maka untuk mengatasi permasalahan tersebut dikeluarkan SK Menteri kehutanan No.697/Kpts-II/1995 tentang Kewajiban Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dalam Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Tujuan dari PMDH adalah membantu mewujudkan terciptanya masyarakat yang mandiri, sejahtera dan sadar lingkungan. (3) Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hutan Kemasyarakatan merupakan salah satu bentuk perhutanan sosial yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan dan diatur dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan. Perhutanan sosial merupakan model pengelolaan yang melibatkan masyarakat yang dapat dilakukan dalam kerjasama dengan semua pihak dan menjadi payung dari semua kebijakan, seperti Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan Masyarakat, Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Industri yang dikembangkan bersama masyarakat, dan Wana Tani. Munggoroet al.(2001), menyatakan bahwa kebijakan HKm pada hakekatnya adalah penyerahan kewenangan seluas-luasnya kepada masyarakat setempat dalam mengelola kawasan hutan negara untuk menjamin integritas ekosistem hutan, 21 pencapaian kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, pengembangan demokrasi, peningkatan akuntabilitas publik dan kepastian hukum. (4) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan variasi lain dari dalam model social forestry yang menekankan pada aspek partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, baik dalam proses perencanaan, proses pelaksanaan dan dalam proses pengawasan. PHBM muncul dalam berbagai bentuk, nama atau model pengelolaan hutan. Tafsiran model PHBM sangat ditentukan oleh derajad atau tingkat peran serta atau partisipasi masyarakat, hak dan pengambilan keputusan oleh masyarakat. PHBM memiliki cakupan luas mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemeliharaan, pengamanan hutan, pengambilan hasil, pemasaran sampai dengan konservasi dan rehabilitasi. (5)Hutan Desa. Pengertian hutan desa dapat dilihat dari berbagai aspek atau beberapa pandangan antara lain ; Dipandang dari aspek teritorial, hutan desa merupakan hutan yang masuk wilayah administrasi sebuah desa definitif dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat. Bila dilihat dari perspektif UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5 ayat (1), hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Analisis Pengertian perhutanan sosial sendiri dalam tesis ini dibahas cukup luas dan dari perspektif awal hingga yang terbarukan. Awalnya perhutanan sosial bertujuan mengalirkan produksi hasil hutan dari hutan yang dilindungi sehingga terdapat keuntungan yang lain. Pengertian perhutanan sosial dibahas dari Kongres Kehutanan Dunia, dari beberapa negara seperti India dan Indonesia. Di Indonesia sendiri, Berdasarkan Direktorat Bina Hutan Keamsyaraktan Departemen Kehutanan menyatakan bahwa perhutanan sosial sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan dan atau hutan hak, denganmelibatkan masyarakat ssbegai pelaku mitra utama. Dalam pengertian ini, masyarakat masih dianggap sebagai mitra bukan sebagai pihak yang diberi kuasa yang mandiri untuk mengelola. Persepsi bahwa masyarakat hanya sebagai mitra ini menimbulkan beberapa spekulasi pengaruh positif negatif. 13. Judul : Community-Based Forest Management Within 13. Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : : : : : : : : Tanggal Unduh : the Context of Institutional Decentralization in Honduras 2005 Jurnal Elektronik Anja Nygren Elsevier 33(4) hal 1-17 www.sciencedirect.com/science/article/pii/S03 05750X05000070 19 September 2014 Ringkasan Secara teori, desentralisasi dapat meningkatkan demokratisasi alami pengelolaan sumber daya dengan memungkinkan populasi lokal untuk membuat keputusan pada kontrol dan penggunaan sumber daya lokal. Dengan desentralisasi pengelolaan sumber 22 daya alam, masyarakat lokal mungkin merasa kepemilikan yang lebih besar untuk aturan penggunaan sumber daya dan akan lebih terlibat dalam pelaksanaannya, pemantauan, dan penegakan hukum. Dalam pengalaman Lepaterique pada hutan manajemen, Amerika Tengah, diprakarsai oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), mendefinisikan kriteria dan indikator pengelolaan hutan berkelanjutan yang dikenal sebagai '' proses Lepaterique ''. Selama proses ini, kota berwenang meningkatkan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam dan melibatkan masyarakat lokal sebagai mitra aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan hutan kegiatan . Pengakuan kompleksitas pengelolaan hutan menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya alam lebih dari sekedar devolusi kekuasaan atas sumber daya alam dari pemerintah pusat untuk masyarakat. Kotamadya mengakui hak adat dari pemegang kekuasaan lokal (parceleros), meskipun, dalam pengertian hukum, hak guna tersebut tidak diakui oleh negara. Pengelolaan sumber daya hutan secara tradisional telah sangat terpusat di Honduras. Sampai tahun 1970-an, perusahaan kayu di luar mendominasi sektor kehutanan di Lepaterique, seperti di tempat lain di Honduras, melaksanakan luas potong-dan-lari melalui konsesi yang diberikan oleh pemerintah. Logging yang ekstensif, dilakukan tanpa reboisasi, mengurangi stok kayu dari hutan dan menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan untuk regenerasi alami. Selama tahun 1970, sebagai tanggapan terhadap salah urus skala besar dan eksploitasi berlebihan hutan sumber daya, pemerintah Honduras mengambil peran yang lebih besar dalam tata kelola hutan. Pada tahun 1974, pemerintah mendirikan Honduras Korporasi Pengembangan Kehutanan (Corporacio' n Honduren~a de Desarrollo Forestal, COHDEFOR), dan membuat lembaga ini pemilik eksklusif hutan Honduras. Semua pohon-pohon di wilayah Honduras yang dinyatakan sebagai properti negara, sedangkan tanah tersebut secara nasional, municipally, atau milik pribadi. Analisis Jurnal ini sangat menarik untuk dibaca karena menghubungkan variabel-variabel unik yang secara kasat mata tidak berhubungan, namun setelah ditilik lebih lanjut sangat berhubungan erat. Penjelasan awal dan menjadi starter yang baik adalah isu desentralisasi dalam keberpusatan pemerinthan. Desentralisasi diakui mendistribusikan manfaat lebih adil, meningkatkna rasa kepemilikan sumber daya yang lebih besar untuk aturan penggunaan sumber daya, dan lain sebagainya. Masyarakat dijadikan sebagai mitra aktif dalam manajemen hutan. Mitra aktif yang dimaksud adalah masyarakat lokal berperan serta mulai dari perencanaan, pengambilan keputusan, hingga pelaksanaan. Efisiensi dari pengelolaan hutan di Amerika Tengah sukses yakni di hutan kemasyarakatannya. Kesuksesan tersebut ternyata membutuhkaan banyak tenaga untuk mencapai rekonsiliasi atau terkadang membuat konflik antar lembaga. Namun pemerintah mengakui kompleksnya pengelolaan hutan tersebut bahkan harus menarik slogan pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya. Akibat pengakuan dari keterbatasan pemerintah tersebut, kotamadya mengakui hak adat dari pemegang kekuasaan lokal walaupun dalam pengertian hukum tidak diakui oleh negara. Pengelolaan yang sentralistik tersebut membuat banyak konsesi juga mudah diserahkan kepada siapa saja sekalipun mayoritas diberikan kepada perusahaanperusahaan. Kerusakan hutan semakin parah akibat perusahaan yang kapitalis dan logging yang ekstensif tanpa reboisasi. Maka didirikanlah COHDEFOR di Honduras sebuah korporasi Pengembangan Kehutanan yang dinaungi pemilik eksklusif hutan Honduras. Kelembagaan lokal ini pun mengendalikan semua fase kehutanan. Proyek MAFOR pun dikeluarkan dari lembaga ini yang menghubungkan tujuan pelestarian 23 lingkungan dan pengentasan kemiskinan melalui program desentralisasi pemerintahan dan pembangunan hutan bisnis penebangan komunal. 14. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL Tanggal Unduh : Mengembangkan Industri Kecil Menengah 14. Melalui Pendekatan Kluster 2005 Jurnal Elektronik Kacung Marijan Surabaya INSAN 7(3)/ Edisi Desember 2005/ hal 216-223 http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/02%2 0%20Mengembangkan%20Industri%20Kecil% 20Menengah%20Melalui%20Pendekatan%20 Kluster.pdf : 29 Oktober 2014 : : : : : : : : Ringkasan Upaya mengembangkan sektor industri melalui pendekatan kluster masih memerlukan kerja keras. Hal ini terjadi karena sebagian besar kluster industri di Indonesia masih bercorak pasif dan lebih mengandalkan external economies. Upaya yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengangkat kluster industri itu sehingga bisa bercorak yang lebih dinamis, kalaupun tidak sampai yang bercorak modern. Pada analisis pendekatan kluster dalam pengembangan industri kecil menengah, terdapat aspek joint action. Untuk menumbuhkan terdapatnya joint action, misalnya, dibutuhkan adanya modal sosial (social capital) yang kuat, yakni adanya saling percaya (trust) antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Dengan demikian, masingmasing perusahaan tidak hanya berpikir bagaimana memajukan diri sendiri, malainkan berpikir tentang bagaimana maju bersama-sama. Perasaan demikian mungkin bisa terbangkitkan manakala masing-masing menyadari bahwa mereka harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar yang ada di luar kluster dan produk-produk impor. Melalui joint action, mereka bisa mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi dan merumuskan langkah bersama tentang bagaimana memecahkannya. Secara kultural, kita sebenarnya memiliki landasan untuk mengembangkan modal sosial seperti itu. Misalnya saja, kita pernah memiliki budaya gotong royong, kita juga menganut agama yang menganjurkan berbuat jujur, saling menghormati, dan suka tolong menolong antara satu dengan yang lain. Sayangnya, nilai-nilai yang memungkinkan munculnya joint action itu justru sering kita abaikan. Konsekuensinya, seperti yang terjadi di Cibaduyut itu, kluster industri di Indonesia kurang mampu berkembang secara baik. Konsekuensinya, IKM di Indonesia akan terus kesulitan berkembang menjadi industri-industri yang mampu bersaing di pasar internasional. Belakangan terdapat kesadaran bahwa kluster industri itu tidak hanya membutuhkan apa yang disebut sebagai efisiensi kolektif guna menjadikan dirinya sebagai kluster yang dinamis. Bagaimanapun juga, kluster industri itu harus mampu bersaing di pasar internasional untuk memasarkan produk-produknya. Untuk itu, kluster industri itu perlu selalu melakukan perbaikan (upgrading) terhadap teknologi dan 24 kualitas produk yang dimilikinya, di samping memiliki kemampuan mengembangkan jaringan (networking) dengan para pelaku di pasar internasional. Analisis Dalam jurnal ini dijelakan tentang pendekatan kluster dalam melihat jumlah pendapatan masyarakat. Penulis menggunakan pendekatan kluster modal sosial di areal tertentu. Secara khusus penulis meneliti tentang industri kecil menengah dan mendapati adanya aspek joint action. Tulisan ini memang tidak membahas modal sosial secara umum, namun membahas lebih dalam tentang hubungan saling percaya (trust) antar perusahaan. Modal tersebut merupakan modal yang paling menonjol tatkala ingin bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar di luar kluster produk impor. Joint action merupakan konsep yang relatif jarang dibahas namun unik untuk dibahas. Joint action ini memiliki kekuatan komunikasi dua aarah yang efektif mulai dari mendiskusikan permasalahan hingga merumuskan langkah bersama untuk memecahkan masalah. Kekuatan joint action dapat diterapkan saat merasa sudah sevisi antar industri kecil menengah untuk melawan kekuatan kapitalis yang besar. Kluster ndustri perlu melakukan perbaikan terhadap teknologi, kualitas, mengembangkan jaringan internasional juga. 15. Judul : Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Sektor 15. Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis : : : : Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL : : : : Tanggal Unduh : Informal Perkotaan 2004 Artikel Elektronik Aloysius Gunadi Brata Jakarta -/ Agustus 2004/ hal 1-10 http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/S ocialMatters/angkringartikel.pdf 29 Oktober 2014 Ringkasan Modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Bastelaers (2000) telah mengingatkan bahwa anggota masyarakat yang paling miskin seringkali masih tidak memiliki akses terhadap fasilitas mikro-kredit, sekalipun program-program kredit formal maupun informal yang ditujukan untuk kaum miskin sudah menempatkan jaringan-jaringan sosial sebagai elemen penting. Artikel singkat ini mencoba melihat bagaimana modal sosial memberikan manfaat ekonomis bagi pelaku ekonomi informal, dengan berdasarkan pengalaman beberapa pedagang angkringan di Yogyakarta. Artikel singkat ini mencoba melihat bagaimana modal sosial memberikan manfaat ekonomis bagi pelaku ekonomi informal, dengan berdasarkan pengalaman beberapa pedagang angkringan di Yogyakarta. Secara ringkas, modal sosial dapat dikatakan memfasilitasi atau memperbanyak “what you knows” dan “who you knows”. 25 Sektor informal merupakan sektor bidang pekerjaan yang dipilih seseorang yang tidak terlalu resmi seperti pedagang kaki lima, pengemis, tukang parkir, dan lain-lain. Dalam beberapa hal, hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten karena mayoritas pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan pokok. Selain itu pekerjaan di sektor informal relatif menghasilkan pendapatan yang tidak sebesar sektor formal. Kendati demikian, sepanjang sektor formal-modern tetap belum mampu mengatasi pengangguran maka tidak ada solusi lain kecuali masuk ke sektor informal. Tiga golongan pedagang angkringan tersebut adalah “mandiri”, “semi mandiri”, dan “non mandiri” merasakan bentuk-bentuk dari modal sosial; (1) Informasi Peluang Usaha. Bagi pedagang angkringan yang berasal dari luar Yogyakarta, informasiinformasi yang diperoleh dari teman sedesa ataupun kerabat, khususnya yang sudah terlebih dahulu menjadi pedagang angkringan, sangatlah penting artinya. Modal sosial berupa jaringan sosial di kampung halamannya telah membuka jalan baginya untuk memperoleh penghasilan lebih baik daripada tetap menjadi petani di desa asalnya. (2) Persoalan Lokasi. Tempat strategis yakni tempat yang mampu dijangkau pembeli ataupun lokasi-lokasi relatif ramai lebih memberi kepastian akan adanya pembeli. (3) Mengatasi Kebutuhan Dana Usaha. Dalam hal ini, hubungan kekerabatan menjadi penting karena dapat menjadi sumber dari dana yang dibutuhkan. Salah seorang pedagang angkringan semi-mandiri mendapatkan bantuan dari pihak keluarganya sendiri. Tabungan yang dimiliki keluarga dikeluarkan untuk digunakan membuka warung angkring bagi dua orang anggota keluarga mereka. (4) Menambah Modal Sosial. Jalinan hubungan antara pedagang angkringan dengan pembeli merupakan jalinan yang cukup menentukan kelancaran perolehan penghasilan. Pembeli yang merasa puas dan merasa dekat dengan pedagang angkringan bukan hanya dapat menjadi pelanggan tetap namun sekaligus dapat membawa efek bola salju yang menguntungkan bahwa pedagang angkringan yang bersangkutan. Dengan adanya efek bola salju maka terdapat kesempatan bertambahnya jumlah pelanggan. Dari hubungan dengan pelanggan ini tidak jarang pedagang angkringan juga memperoleh informasi-informasi baru. Dengan menjaga keamanan dan kebersihan tempat para penjual di warung angkringan maka jaringan dan hubungan yang baik antara penjual, pelanggan ataupun masyrakat sekitar akan bertambah dan berkualitas. Analisis Jurnal ini juga membahas tentang modal sosial namun dari sisi lain yang lebih realistis. Modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Jaringan-jaringan sosial pula tidak menjadi jawaban dalam pengentasan kemiskinan saat konsep tersebut dimasukkan pada kredit maro-mikro. Sekali lagi, modal sosial merupakan modal yang relatif penting dalam hubungan sosial untuk memajukan perekonomian keluarga. Namun modal sosial baru bernilai ekonomis saat dapat membantu mengakses sumber-sumber keuangan. Pada sektor informal, modal sosial khususnya jaringan sangat diperlukan dan diaplikasikan dalam bentuk informasi peluang usaha, menambah modal sosial, mengatasi kebutuhan dana usaha, dan persoalan lokasi. 26 16. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL Tanggal Unduh : Strategi Nafkah Rumah Tangga Desa Sekitar 16. : : : : : : : Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat 2006 Tesis Elektronik Agustina Multi Purnomo Bogor -/ hal 1-218 : http://repository.ipb.ac.id/browse?order=ASC&rp p=20&sort_by=-1&value_lang=&value=&etal=1&offset=52550&type=author : 29 Oktober 2014 Ringkasan Pengambilalihan penguasaan dan pengusahaan hutan dari masyarakat lokal oleh negara yang dipraktikkan pada masa kolonial serta berpeluang berlanjut di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dilanjutkan oleh Pemerintah Orde Baru. Melalui UUPH (Undang-undang Pengelolaan Hutan) tahun 1967, hak pengelolaan hutan diberikan pada pengusaha-pengusaha pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan perusahaan milik negara. Tujuan pengelolaan hutan untuk menambah pendapatan negara dari sektor kehutanan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Terdapat beberapa ancang-ancang untuk menanggulangi keberlanjutan penguasaan kolonial tersebut, salah satunya dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dirancang sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang dapat menjaga kelestarian hutan dan keberlanjutan nafkah rumahtangga di desa sekitar hutan. Semangat ini digambarkan dalam slogan PHBM “hutan lestari, masyarakat sejahtera”. PHBM merupakan sistem pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat sejak pemetaan wilayah hutan yang akan menjadi wilayah kelola sampai dengan cara penanaman dan tanaman yang akan ditanam. Peranan LSM LATIN dan LSM KANOPI di Kuningan adalah membentuk kelembagaan yang dapat menjamin posisi tawar masyarakat desa di sekitar hutan terhadap Perhutani. LSM LATIN mendorong agar Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan Juknis (Petunjuk teknis) PHBM tidak ditentukan sepihak oleh Perhutani dan memberikan kesempatan bagi LSM di Kuningan bersama masyarakat menentukan bentuk kerjasama dalam PHBM. Chamber dan Conway (1991) menunjukan definisi pola nafkah sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Akses menunjukan aturan dan norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan manusia untuk memiliki, mengendalikan dalam artian menggunakan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan umum untuk kepentingan sendiri. Unsur-unsur dalam strategi nafkah menurut Chambers dan Conway (1991) adalah kapabilitas, aset dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Kapabilitas menunjukan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukan set alternatif menjadi dan melakukan yang bisa dilakukan dengan karakteristik ekonomi, sosial dan personal manusia. Aktifitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Menggunakan pendekatan Dharmawan (2001) tentang tujuan strategi 27 nafkah, maka strategi nafkah berarti tindakan rasional individu untuk mempertahankan hidup atau memperbaiki keadaan hidupnya. Strategi nafkah selain untuk mengamankan kehidupan sehari-hari dapat juga berupa upaya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi. Coping strategy merupakan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan sulit. Coping strategy dilakukan dengan mengubah strategi nafkah yang biasa dilakukan dengan strategi nafkah yang baru. Strategi nafkah yang baru dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber nafkah rumahtangga. Strategi nafkah yang baru dapat bersifat sementara atau dilakukan seterusnya. Sumber nafkah merupakan aset, sumberdaya atau modal yang dimiliki rumahtangga yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan nafkah rumahtangga. Sumberdaya mengacu pada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumahtangga. Aset mengacu semua hal yang dapat dimafaatkan oleh rumahtangga, sedangkan modal mengacu pada semua hal yang dimiliki atau dapat diakses oleh rumahtangga. Analisis Dalam tulisan diatas membahas relatif luas teori strategi nafkah. Teori yang muncul kemudian dan saling berkaitan satu sama lain adalah kapabilitas, aset dan aktivitas. Kapabilitas menjelaskan tentang kemampuan, aset tentang materi yang diliki berupa klaim maupun akses, dan aktivitas merupakan kegiatan yang menghasilkan pendaptan. Ketiganya begitu berhubungan. Misanya kapabilitas ditentukan oleh aset dan aktivitas, begitupun hal lainnya. Definisi Lain tentang strategi nafkah merupakan perombakan strategi jika strategi untuk menghasilkan materi yang lalu sudah tidak eksis lagi untuk diterapkan. Keeksisan tersebut sudah tidak dapat diterapkan lagi karena beberapa faktor seperti tidak berada pada perhitungan sumber daya manusia mupun perhitungan belanja sebelumnya. Sumber nafkah rumahtangga biasanya berupa sumber nafkah yang beragam (multiple source of livelihood ). Ini karena rumahtangga tidak tergantung pada satu kegiatan tertentu dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat memenuhi tujuan rumahtangga. Perihal mencari aman untuk memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga meruapkan kata kunci dalam coping strategy dalam strategi nafkah tersebut. 17. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal Volume(Edisi)Halaman Alamat URL Tanggal Unduh : Efektivitas Program Hutan Kemasyarakatan Dalam Meningkatkan Kesejaahteraan Masyarakat Melalui Redistribusi Lahan : 2002 : Tesis : Elektronik : Onrianto Adi Fajari : Bogor : : hal 2-168 : http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789 /7633 : 29 Oktober 2014 28 Ringkasan Salah satu harapan dari pelaksanaan hutan kemasyarakatan yang diselenggarakan oleh Departemen Kehutanan adalah adanya keinginan untuk melaksanakan redistribusi lahan hutan kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar kawasan hutan. Menurut SK No.31/Kpts-II/2001, redistribusi lahan hutan tersebut diberikan kepada masyarakat (kelompok masyarakat) dalam bentuk hak pengelolaan lahan hutan, dan bukan hak pemilikan. Redistribusi tanah adalah keharusan dalam memasuki setiap sistem ekonomi modern. Tanpa redistribusi tanah, maka konflik kesenjangan sosial akan semakin tajam dan tidak terselesaikan. Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial (keruangan), serta antar pelaku pembangunan intra di dalam dan antar daerah. Agar dapat mendukung reformasi ekonomi wilayah pedesaan memerlukan beberapa dukungan kebijaksanaan diantaranya melalui redistribusi aset, terutama yang menyangkut lahan kapital. Adanya program hutan kemasyarakatan, setidak-tidaknya dapat memberikan harapan bagi masyarakt sekitar hutan untuk memperbaiki kehidupan ekonominya. Program ini nampaknya memberikan pengaruh nyata terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Hasil Analisis Regresi Berganda penelitian ini mengindikasikan bahwa masyarakat yang mengikuti program hutan kemasyarakatan mempunyai tingkat kesejahteraan lebih bak dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mengikutinya. Perubahan tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilihat dari dua indikator, yaitu tingkat endapatan rumah tangga, dan indek Good Services Ratio. a. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Dengan mengetahui tingkat pengeluaran rumah tangga, yaitu dengan menginventarisir beberapa jenis pengeluaran yang harus ditanggulangi oleh rumah tangga untuk mempertahankan kehidupan keluarganya dapat diketahui tingkat pendapatan rumah tangga. b. Analisis Good Services Ratio Metode Good Services Ratio dihitung dengan cara membandingkan antara besarnya pendapatan rumah tangga yang diguakan untuk memenuhi kebutuhan primer (pokok) dibandingkan kebutuhan sekunder. Dengan nilai GSR yang lebih baik, menunjukkan bahwa program HKm selama tahun ketiga pelaksanaan (sampai pertengaha 2001) secara nyata telah memberikan banyak kesempatan kerja dan peluang berusaha bagi masyarakat yang mengikutinya. Tingkat kesehjahteraan peserta yang lebih baik ini disebabkan karena peserta HKm mempunyai pendatana yang ebih tinggi dibandingkan masyarakat lainnya. Redistribusi lahan hutan sektor kehutanan dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu melalui hak milik dan hak pengelolaan. Redistribusi lahan hutan dalam bentuk pemberian hak milik umumnya dilakukan melaui kegiatan pelepasan kawasan untuk pemukimam penduduk, atau pengakuan atas Hak Ulayat suku tertentu. Redistribus lahan hutan melalui hak pengelolaan salah satunya dilakukan lemalui program hutan kemasyarakatan. Dalam program ini, peserta diberikan hak (izin) utuk mengelola arela hutan seluas ± 1 hektar selama 25 tahun. Dibukanya akses pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat setidak-tidaknya telah memberikan kejelasan tentang property right dari kawasan hutan yang tidak produktif. Kejelasan tersebut akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan maupun keadaan sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan yang rusak. 29 Analisis Dalam jurnal di atas penunjukan cara mengukur tingkat kesejahteraan kurang lebih dapat diterapkan secara umum pada masyarakat yang mengikuti program hutan kemasyarakatan. Pengukurannya menggunakan indikator tingkat pendapatan rumah tangga dan analisis goog services ratio. Pendapatna rumah tangga dibahas secara mendalam yakni tidak hanya pada pengeluaran secara kasar namun dengan membandingkan pengeluaran makanan dan bukan makanan. Selain itu analisis good services ratio juga menghubungkan antara pengeluaran kebutuhan primer banding sekunder. Kebutuhan sekunder tersebut sudah termasuk dengan adanya pendidikan, kehidupan sosial, dan lainnya. Hal ini cukup adil karena kesejahteraan tidak hanya mementingkan aspek materi saja. 18. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota Penerbit Nama Jurnal Volume (Edisi) Halaman Alamat URL Tanggal Unduh : Pengaruh Investasi Sumber Daya Manusia dan Investasi Modal Terhadap Pendapatan Perkapitan Masyarakat Indonesia : 2013 : Jurnal : Elektronik : Didi Setyopurwanto dan M. Pudjihardjo : Malang : Artikel Jurnal Fakultas Ekonomi dan Bisnis : -/hal 1-17 : http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/ viewFile/554/497 : 29 Oktober 2014 Ringkasan Pertumbuhan ekonomi merupakan perbandingan kenaikan pendapatan (GDP) antar tahun bersangkutan terhadap tahun sebelumnya. Tingkat kemajuan suatu pembangunan dapat dilihat melalui pencapaian tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capita). Pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang sama pentingnya dengan investasi dalam modal fisik untuk mencapai kesuksesan ekonomi jangka panjang suatu negara (Mankiw 2007). Kualitas sumber daya manusia sangat diperukan dalam peningkatan kualitas faktor produksi. Kualitas faktor produksi sumber daya manusia sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kesehatan. Angkatan kerja yang terdidik dan terlatih merupakan syarat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Semuanya hanya dapat dicapai dnegan pendidikan yag baik. Selain sumber daya manusia,untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibutuhkan adanya investasi modal. Investasi dapat dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Pemerintah melakukan investasi tanpa mengharap laba tetapi untuk menyediakan barang publik yang menunjang perekonomian. Investasi pemerintah dilakukan seperti penyediaan infrastruktur sedangkan investasi swasta yang bersumber dari dalam maupun luar negri, akan menyerap tenaga kerja sehingga memberikan pendapatan. Peningkatan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan modal (investasi modal) dapat mendorong pertumbuhan output sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Investasi sangat dibutuhkan dalam rangka peningkatan ekonomi. Investasi modal akan menunjang penambahan industri sehingga meningkatkan output yang 30 membutuhkan tambahan tenaga kerja dalam proses produksinya sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Investasi fisik (physical investment) adalah semua pengeluaran yang dapat menciptakan modal baru atau meningkatkan stok barang modal (Mankiw 2007). Sedangkan investasi sumber daya manusia dapat berupa nilainilai pembelajaran yang ada dalam diri tenaga kerja seperti peningkatan produktivitasnya dan pendapatan. Investasi adalah permintaan barang dan jasa untuk menciptakan atau menambah kapasitas produksi atau pendapatan di amsala yang akan datang. Tujuan utama investasi adalah mengganti bagian dari modal yang rusak dan menambah penyediaan modal yang ada dengan pertimbangan karena adanya faktor harapan akan memeroleh keuntungan di masa depan. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah pendapatan perkapita masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh investasi sumber daya manusia dan investasi modal. Investasi sumber daya manusia berupa peran pemerintah dalam hal pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Investasi modal dapat berupa penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.Pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan ditujukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan menjadi tenaga kerja yang produktif. Investasi modal digunakan untuk meningkatkan kegiatan produksi dan penambahan lapangan kerja sehingga dapat meningkat pendapatan masyarakat. Investasi modal dalam negeri (PMDN) memberikan pengaruh positif secara signifikan terhadap perubahan pendapatan perkapita masyarakat, namun begitu investasi modal asing (PMA) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pendapatan perkapita masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh sektor yang digunakan, PMDN cenderung bersifat padat karya sedangkan PMA cenderung bersifat padat modal.Karena bersifat padat karya maka lebih banyak tenaga kerja yang terserap akibat investasi tersebut. Analisis Dalam artikel jurnal ini dijelaskan beberapa investasi yang signifikan berpengaruh pada masyarakat yang berhubungan dengan pemerintah dan sektor privat. Investasi yang signifikan dapat diterapkan dan sangat berpengaruh secara luas adalah Investasi fisik (physical investment) yakni semua pengeluaran yang dapat menciptakan modal baru atau meningkatkan stok barang modal dan investasi sumber daya manusia dapat berupa nilai-nilai pembelajaran yang ada dalam diri tenaga kerja seperti peningkatan produktivitasnya dan pendapatan. Jenis investasi ini relatif adil dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi. Selain mengangkat isu aset properti seperti investasi fisik juga mempertimbangkan investasi sumberdaya yang invisible. Investasi sumberdaya juga sebenarnya sangat penting bagi mereka yang memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya pendidikan dan kebutuhan hidup lainnya. Selain membahas tentang pemerintah dan perusahaan-perusahaan, artikel jurnal ini juga mampu diterapkan dalam mengukur investasi rumah tangga atau perorangan. Investasi rumah tnagga yang berskala lebih kecil dari pemerintah maupun sektor privat dapat diketahui ertumbuhan ekonominya melalui investasi. Tidak terlalu sulit untuk mengukur investasi fisik dan sumber daya manusia dalam keluarga melaui beberapa konsep dan teori tersebut. 31 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Perhutanan Sosial (Social Forestry) Definisi Perhutanan Sosial Istilah social forestry pada awalnya digunakan oleh Westoby dalam Ninth Commonwealth Forestry Congress di Delhi, India tahun 1968 dan mendefinisikan Social Forestry sebagai “a forestry which aims at production flow of protection and recreation benefits for the community”. Namun istilah Social Forestry itu sendiri diperkenalkan setelah Kongres Kehutanan Dunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan diperkenalkannya konsep forest for people. Kemudian untuk kondisi di India pada saat itu Tiwari mendefinisikan “Social Forestry sebagai The science and art of growing trees and or other vegetation on all land available for purpose, in outside forest areas, and managing existing forest with intimate involvement of the people and more and less integrated with other operations, resulting in balance and complementary land use with a view to provide a wide range of goods and services to the individuals as well as to the society”. Wiersum mendefinisikan Social Forestry sebagai “Participatory Forestry, relating to forest management activities planned by profesional forestry services in which popular participation with the management of centrally controlled forest land is encouraged. Menurut Direktorat Bina Hutan Kemasyarakan Departemen Kehutanan (2003) menyebutkan bahwa Social Forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan dan atau hutan hak, dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraanya dan mewujudkan kelestarian hutan. Menurut CIFOR (2003) perhutanan sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diijinkan. Perhutanan sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumberdaya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal dan tujuan produksi yang lestari. Dalam arti luas, perhutanan sosial mencakup semua bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran, hak dan akses masyarakat serta ada upaya memperhatikan perpaduan antara kesejahteraan masyarakat dengan pelestarian sumberdaya hutan. Dari berbagai konsep tersebut, maka dapat ditarik elemen-elemen pembentuk perhutanan sosial yakni partisipatif antara masyarakat dan pihak pengelola perhutanan sosial, masyarakat sebagai mitra utama, perlindungan hutan yang berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan produksi lestari. Aplikasi Perhutanan Sosial Sejak awal pembangunan nasional, pengelolaan hutan sosial mengalami perkembangan. Artinya pemerintah secara bertahap memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengelolaan hutan. Istilah perhutanan sosial setelah Kongres Kehutanan Dunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan diperkenalkannya konsep forest for people, bukan hal yang baru untuk Indonesia, karena sejak abad 18 pemerintah Belanda melakukan pengelolaan hutan (khususnya taman jati) dengan sistem tumpang sari. Konsep dari perhutanan sosial tersebut yang mencakup seni dan ilmu sangat terkait dengan konsep agroforestry juga. Pada kasus pemanfaatan lahan di bawah 32 tegakan (PLDT) di wilayah KPH Pati Kecamatan Gembong Kabupaten Pati, pemanfaatan tersebut menjadi sebuah alternatif dalam akses lahan hutan yang diberikan pada masyarakat sekitar hutan. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM). PLDT merupakan agorforestry yang pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan. Selain itu pola tanam agroforestry juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan dan pemeliharaan lingkungan. Agroforestry merupakan sistem pengelolaan hutan dengan menerapkan pola budidaya tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian, peternakan, perikanan pada unit lahan pada waktu yang sama maupun berurutan dengan tujuan peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian hutan. Teknik ini diterapkan pada beberapa perhutanan sosial untuk memaksimalkan fungsi hutan secara terpadu dan maksimal. Pemberian lahan dari pihak pengelola seperti Perhutani dapat dimanfaatkan dan tujuan definisi khusus perhutanan sosial yakni tujuan produksi lestari dapat dicapai. Social Forestry pada dasarnya bertujuan memenuhi kebutuhan dasar manusia dari hutan di pedesaan. Adapun prinsip Social Forestry terdiri dari enam aspek yaitu pertama, aspek sistem pengelolaan hutan yang mencakup aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya serta tidak lagi hanya mementingkan aspek kayu saja; kedua, aspek peningkatan kualitas kehidupan masyarakat; ketiga, aspek yang meningkatkan kualitas lingkungan, khususnya sumberdaya hutan; aspek menghormati dan mengakui inisiatif social forestry; keempat, menghormati dan mengakui keragaman inisiatif social forestry; kelima, aspek yang mendorong proses kolaborasi multipihak; dan keenam, aspek adanya dukungan pemerintah. Secara kongkrit, tujuan perhutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang biasa dan komersial dalam tiga (3) hal, yaitu (1) Perhutanan sosial meliputi produksi dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian, terutama yang tidak diedarkan sebagai uang (non-mentionized); (2) perhutanan sosial menyangkut partisipasi langsung pemanfaat; (3) termasuk sikap dan keterampilan yang berbeda dari ahli kehutanan yang harus memberikan peranannya sebagai pelindung hutan terhadap penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam pohon. Permasalahan Perhutanan Sosial Dengan diberlakukannya PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, SK 31 tentang Hutan Kemasyarakatan secara hukum sempat tidak berlaku lagi. Seharusnya kebijakan, peraturan atau keputusan dan perijinan dapat ditetapkan dengan Perda. Dengan proses desentralisasi pihak pemerintah di beberapa kabupaten berupaya membuat kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat bekerjasama dengan masyarakat, LSM serta lembaga pendidikan. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung, lemahnya koordinasi antar pihak dan peran serta masyarakat yang kurang dalam memberikan masukan untuk perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Pemerintah cenderung memberikan berbagai peraturan yang malah menyulitkan. Sangat disayangkan bahwa PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, SK 31 tentang Hutan Kemasyarakatan secara hukum tidak berlaku lagi. Dari pemerintah menyediakan ruang khusus untuk upaya perbaikan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan milik negara, namun dari pihak pemerintah pun yang tidak memberlakukan HKM tersebut. Ruang masyarakat sebagai penenetu 33 kebijakan terbaruka seharusnya perlu dibuka, bukan mereka yang tidak pernah mengerti kehidupan sekitar hutan tiba-tiba mengeuarkan kebijakan seenaknya. Dalam usaha hutan rakyat sebagai bagian dari perhutanan sosial pun ditemui hambatan yang dihadapi petani. Berdasarkan hasil penelitian Irawanti et.al, (2012), ada tiga hambatan yang dihadapi petani sengon di lokasi studi, yaitu hambatan silvikultur, pengorganisasian petani, dan pemasaran. Dari silvikultur, pertumbuhan tanaman sengon seringkali tidak seragam walaupun ditanam pada lahan dengan waktu yang diperlakukan sama. Hal ini diduga karena kondisi tanah yang tidak sama dan kualitas bibit yang tidak seragam. Selain itu, umur panen sengon sekitar 6 tahun dipandang terlalu lama dalam kaitannya dengan kesinambungan pendaatan petani. Oleh karena itu petani menerapkan pola tumpangsari sengon dengan tanaman semusim ubi kayu sampai umur sengon 3 tahun. Namun ketika sengon dipanen, tanaman kopi/kakao bisa rusak tertima pohon, padahal umur panen sengon bersamaan dengan awal produksi tanaman kopi, sehingga banyak petani yang akhirnya tidak menerapkan pola tersebut. Dalam pengorganisasian petani, organisasi yang sudah dibentuk pada masyarakat tidak serta merta efektif memasarkan hasil hutan. Hal ini dikarenakan kurangnya jaringan yang lebih menguntungkan. Hasil hutan biasanya dipasarkan kepada tengkulak atau perusahan-perusahaan kayu besar yang lebih banyak mengambil keuntungan dari petani. Berdasarkan definisi perhutanan sosial yang bercita-cita pada kesejahteraan masyarakat lokal, serta tujuan produksi lestari kesejahteraan masyarakat, berikut dipaparkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat desa hutan atau kawasan hutan yang dipengaruhi oleh perhutanan sosial: Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Hutan 1. Konflik dan Resolusi Konflik dalam Perhutanan Konflik pada umumnya berkaitan dengan tiga hal yaitu: (a) situasi yakni ketidakselarasan tujuan, kebutuhan, dan kepentingan berbagai pihak yang bersumber dari kondisi struktur sosial, nilai sosial, kelangkaan, kompetisi dan perubahan; (b) sikap yakni aspek-aspek kognisi (seperti konstruksi 'musuh') dan emosi (seperti rasa benci dan bermusuhan) yang dialami pihak-pihak yang terlibat konflik, yang bersumber dari naluri agresif, ketegangan pribadi, frustasi kelompok; (c) perilaku yakni kegiatan, perkataan, dan perilaku aktual yang terpolarisasi dan merusak dari pihak-pihak yang bertikai (Sumanto 2009). Konflik dalam perhutanan baik konvensional maupun sosial memiliki potensi. Tidak hanya pada tingkat mikro namun juga dapat sampai pada tingkat makro. Berdasarkan terminal report University of the Philippines Los Banos, terdapat isu atau permasalahan dalam identifikasi Approval of Open Access Area Available pada berbagai penerapan. Konflik yang sering timbul adalah konflik penggunaan lahan, klaim tenurial, peta yang bertentangan, usang, dan informasi yang tidak dapat diakses untuk menyelesaikan permasalahannya. Tumpang tindih tenurial antara masyarakat lokal dengan pihak klaim. Department of Natural and Resources Filipina tidak mampu melakukan identifikasi dan persetujuan daerah terbuka juga untuk akses dengan mudahnya. Apalagi konflik pun bisa timbul dari kekuasaan leluhur yang mengklaim lebih daerah tenurial yang dikeluarkan. Akhirnya, disarankan perlunya menyelaraskan kebijakan perjanjian pengelolaan hutan dengan Local Government Unit dan UndangUndang National Commision for Indigenous People (NCIP). Persetujuan yang diharapkan adalah untuk berbagai manajemen hutan perjanjian yang diselaraskan dengan Local Goverment Unit (LGU). Sampai tahap ini, begitu besar proporsi keterlibatan dan campur tangan dari masyarakat asli dalam penyelesaian konflik 34 tenurial. Mereka dihargai bahkan sangat menentukan hasil akhir penyelesaian, bukan sebagai objek Undang-Undang saja. Untuk menyelesaikan konflik para pihak yang bersengketa dapat dilaksanakan resolusi konflik. Terdapat pertimbangan dalam resolusi konflik, yakni; (1) Dikotomi ruang lingkup program perhutanan sosial. Di dalam kawasan atau di luar kawasan hutan dikotomi yang jelas antara Hutan Kemasyarakatan dan HR (dan mungkin HTR) sangat diperlukan bagi penentuan aktor dan perannya. Dikotomi ini mengacu pada ruang lingkup 'kawasan hutan' dengan 'tanah milik masyarakat'. Khusus untuk programprogram perhutanan sosial yang berada di dalam kawasan hutan, pada hakikatnya posisi hierarki yang berlaku tidak bersifat simetris. Artinya posisi dan peran serta kewenangan pemerintah selalu dalam struktur yang lebih tinggi dan dominan dibandingkan posisi dan peran masyarakat, sehingga pertukaran sosial yang berkembang menjadi tidak seimbang. (2) Fakta historis tentang pengelolaan hutan antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Di Jawa, penetapan batas-batas kawasan hutan sudah permanen dan model pengelolaannya sudah cukup baik. Sedangkan di luar Jawa, penentuan batas-batas kawasan hutan ditentukan berdasarkan peta-peta peninggalan kolonial. Oleh karena itu batas kawasan hutan kabur dan mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat. Salah satu contoh kasus resolusi konflik di perhutanan sosial Kabupaten Timor Tengah Selatan. Warga Desa Nenas Kecamatan Fatumnasi melakukan penyerobotan Cagar Alam Gunung Mutis, yang menurut pengakuan mereka tanah tersebut merupakan ‘suf’ (tanah adat) marga Oenob yang menaungi mereka sehingga mereka memandang berhak mengelola kawasan tersebut. Dinas Kehutanan setempat melakukan penangkapan dan memberikan sanksi adat bukan berupa uang atau hewan ternak tetapi bibit tanaman yang bernilai ekonomis tinggi dan sesuai dengan kondisi alam. Anakan tersebut wajib ditanam di lokasi bekas penyerobotan. Saat ini tanaman yang diusahakan tersebut sudah mencapai tinggi dua meteran, terdiri dari tanaman kemiri, kelapa, kopi, sirih, pinang, jeruk, dan tanaman pangan (ubi jalar, padi, jagung, kacang, dan sebagainya). Tanaman yang ditanam tersebut tentu memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Dengan hasil resolusi ini, pihak petani diuntungkan secara ekonomi untuk kesejahteraan mereka juga. Jika masih dalam sengketa atau konflik, areal penyerobotan tersebut tidak akan produktif apalagi menghasilkan keuntungan yang baik. Namun dengan adanya pemberdayaan berupa investasi tanaman bernilai ekonomi dalam resolusi ini, maka banyaknya tutupan vegetasi di areal sengketa tersebut menjadi suatu tanda lestarinya hutan. Menurut Waryono (2008) penyelarasan pemberdayaan hutan kemasyarakatan dalam sektor-sektor lain dalam hutan perlu diperjelas menuju integrasi yang baik bukan tumpang tindih atau konflik tidak penting. Namun, hadirnya pembangunan hutan rakyat, cenderung memacu akses terjadinya kesenjangan, antara masyarakat yang memiliki lahan dan membangunnya dengan masyarakat lainnya; dimana akses tersebut tidak jarang menimbulkan kerawanan sosial yang berdampak negatif terhadap pengelolaan hutannya. Fajari (2002) juga menyatakan bahwa redistribusi tanah adalah keharusan dalam memasuki setiap sistem ekonomi modern. Tanpa redistribusi tanah, maka konflik kesenjangan sosial akan semakin tajam dan tidak terselesaikan. Redistribusi lahan hutan sektor kehutanan dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu melalui hak milik dan hak pengelolaan. Redistribusi lahan hutan dalam bentuk pemberian hak milik umumnya dilakukan melalui kegiatan pelepasan kawasan untuk pemukiman penduduk, atau pengakuan atas Hak Ulayat suku tertentu. Redistribusi lahan untuk melalui hak pengelolaan salah satunya dilakukan melalui program hutan kemasyarakatan. Dibukanya akses pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat setidak-tidaknya telah memberikan kejelasan tentang property right dari kawasan hutan yang tidak produktif. 35 Kejelasan tersebut akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan maupun keadaan sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan yang rusak. 2. Keberdayaan Menurut Sumanto (2009) pemberdayaan merupakan penciptaan hubungan antarpersonal yang berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antara pihak yang lemah dengan pihak yang kuat. Terdapat dua dimensi yang memperkuat konsep pemberdayaan yakni, (1) dimensi eksistensi kawasan hutan dan masyarakat. Pihak pengelola sebaiknya mengetahui dan paham bahwa ada hubungan emosional yang kuat antara masyarakat dan lingkungannya. (2) dimensi perubahan atau inovasi. Pihak pengelola juga sebaiknya mengetahui bahwa tidak semua masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan dengan mudah menerima perubahan atau proses transformasi yang direncanakan. Dalam aplikasi Pemberdayaan Pembangunan Hutan Rakyat perlu diaplikasikan untuk mendapat bentuk kongkrit dari otonomi. Pemberdayaan jenis ini diharapkan bisa berhasil, memiliki benefit dimasyarakat, dan kontinu (Waryono 2008). Pemberdayaan terutama dalam perhutanan sosial tidak semudah pemberdayaan di desa pada umumnya. Pemberdayaan di dalam perhutanan sosial membutuhkan perhatian serius dan hati-hati mengingat pola hidupnya berda dan bergantung pada sumberdaya yang memiliki emosi dalam hidupnya. Pada kasus digalakkannya hutan rakyat oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan, melalui program “sengonisasi, sungkenisasi, sukunisasi, dan turinisasi” di Jawa Barat, kesan keberhasilan belum ditampakkan jika ditinjau dari niat kesungguhan masyarakat terhadap program tersebut. Dalam pemberdayaan, kunci keinginan masyarakat yang dikehendaki adalah terciptanya kontinuitas pendapatan jangka pendek maupun jangka panjang. Terdapat pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan pemahaman atas penerapan sistem tumpangsari pada waktu tanaman masih muda, untuk kemudian dilanjutkan dengan agroforestry, hingga tanaman pokok mencapai daur ekonomis. Atas dasar itulah menempatkan kaidah-kaidah pembangunan hutan rakyat dengan cara-cara rasional, akan menjamin kontinuitas pendapatan masyarakat, merupakan kunci harapan atas keberhasilan program perhutanan sosial. Dalam kasus fakta fisik wilayah Kabupaten Sukabumi, nampaknya pemberdayaan perhutanan sosial dalam bentuk hutan rakyat, penyusunan rancangan programnya perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain, dalam lingkup pembangunan daerah. Penyelarasan tersebut perlu diperjelas menuju integrasi yang baik bukan tumpang tindih atau konflik tidak penting. Terkhusus pada kawasan perhutanan sosial yang berada pada daerah adat, Mulyadi (2013) menyatakan bahwa untuk mengatasi kemiskinan, diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat. Beberapa upaya penting yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adat adalah: (1) reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan; (2) gerakan sosial masyarakat adat; (3) membangun institusi lokal masyarakat adat; (4) keempat, pengembangan kapasitas masyarakat adat. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik budaya, sosial, dan wilayah sendiri. Pengertian masyarakat adat tidak dapat dilepaskan dari pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapankelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama mempengaruhi sistem pemerintahannya. Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Melalui ciri unik mereka tersebut, masyarakat hukum adat 36 perlu pemberdayaan tanpa mengganggu ideologinya. Pengakuan kompleksitas pengelolaan hutan menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya alam lebih dari sekedar devolusi kekuasaan atas sumber daya alam dari pemerintah pusat untuk masyarakat. Tugas yang jauh lebih menantang adalah untuk memahami pola diferensiasi sosial dan fragmentasi politik dalam lokalitas dan pertikaian yang kuat dari posisi para pemangku kepentingan. Pertimbangan kompleksitas dan kerapuhan konsep dari ''masyarakat'' dan '' lokalitas '' adalah penting jika desentralisasi pengelolaan hutan adalah untuk keuntungan lebih dari kuatnya minoritas (Nygren 2005). Hutan Kemasyarakatan sebagai bagian dari perkembangan pengelolaan hutan sosial di Indonesia memiliki konsep pemberdayaan. Menurut Munggoroet et. Al, (2001), kebijakan HKm pada hakekatnya adalah penyerahan kewenangan seluasluasnya kepada masyarakat setempat dalam mengelola kawasan hutan negara untuk menjamin integritas ekosistem hutan, pencapaian kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, pengembangan demokrasi, peningkatan akuntabilitas publik dan kepastian hukum. HKm bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa menganggu fungsi pokok hutan. Erawanti (2012) menyatakan terdapat program pemerintah terkait hutan rakyat program pemerintah yang mendukung pengembangan hutan rakyat, yaitu Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari Pemerintah Pusat KBR merupakan program pemerintah untuk menyediakan bibit tanaman kehutanan dan (MPTS) yang dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok masyarakat, terutama di pedesaan yang berbasis pemberdayaan masyarakat., Bantuan Langsung Masyarakat untuk Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi (BLM-PPMBK) dari Pemerintah Pusat, dan Kebun Bibit Desa (KBD) dari PemerintahKabupaten Program KBD dibiayai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) BidangKehutanan yang disalurkan ke Pemerintah Kabupaten. 3. Isu Gender Menurut Hendarto (2003), kesetaraan gender yakni adanya peran yang sama dan sebangun antara perempuan dan laki-laki dalam perhutanan sosial. Misalnya pembagian peran tradisional di sektor pertanian di Jawa adalah sebagai berikut: (1) Laki-laki melakukan pekerjaan-pekerjaan berat, seperti menyiapkan lahan (membajak, menggaru, mencangkul); (2) Perempuan melakukan tugas-tugas lain (menanam, memanen, mengeringkan). Peran gender merupakan peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Terdapat 3 (tiga) kategori peranan yaitu: Peranan produktif, yaitu peranan yang dikerjakan perempuan dan lakilaki untuk memperoleh bayaran tunai, termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar dan produksi rumah tangga/subsisten dengan nilai guna. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik, terdiri atas 2 (dua) kategori, yaitu: Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), mencakup semua aktivitas dalam komunitas sebagai kepanjangan peran reproduktif, bersifat sukarela dan tanpa upah. Peranan pengelolaan politik, yakni peranan dalam pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status (Rochmayanto dan Kurniasih 2013). Selain ketiga peran tersebut ada juga peranan dalam kegiatan pengelolaan masyarakat dan politik. Perempuan mempercayakan hak politiknya kepada suami atau anak laki-laki dan lebih aktif pada kegiatan pengelolaan masyarakat yang bersifat sosial di lembaga formal dan informal. 37 Dalam suatu kasus saat terjadinya perubahan iklim yang kemudian membuat perekonomian keluarga tidak menentu sehingga perempuan harus ikut serta dalam bercocok tanam ada dampak perubahan peranan terhadap kerentanan perempuan. 1. Terjadi marjinilisasi gender. Marginalisasi adalah pemiskinan ekonomi terhadap perempuan. Perempuan mengalami marginalisasi dalam hal pengelolaan sumber daya alam pertanian. Perempuan yang bekerja sebagai buruh pertanian memiliki penghasilan yang lebih rendah dibanding laki-laki dengan beban kerja yang sama. 2. Pelabelan negatif (stereotype.) Peranan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam pertanian masih dipandang sebelah mata. Perempuan masih dianggap sebagai sosok yang lemah dibandingkan dengan laki-laki. 3. Subordinasi yakni adanya anggapan bahwa perempuan pada akhirnya nanti akan bekerja di dapur, sehingga tidak perlu sekolah tinggi. 4. Beban ganda. Penurunan pendapatan keluarga akibat adanya iklim yang tidak menentu, membuat perempuan ikut membantu suami mencari pendapatan tambahan. Hal ini menyebabkan alokasi waktu produksi dan reproduksi perempuan lebih besar dari laki-laki, dan alokasi waktu untuk kegiatan sosial menjadi berkurang. 5. Strategi Adaptasi. Strategi tersebut diperlukan untuk memastikan upaya peningkatan kapasitas adaptif dan menurunkan kerentanan perempuan terhadap perubahan iklim. Peningkatan kapasitas perempuan berupa pendidikan formal maupun keterampilan/ non formal. Menurut hasil penelitian Irawanti (2012), terdapat kecenderungan yang sedang berlaku melihat perilaku petani Hutan Rakyat Sengon dalam bidang gender. Kecenderungan peran aktif perempuan dalam usaha pemanfaatan lahan karena untuk menjangkau lokasi tegalan atau hutan yang relatif jauh dari lokasi rumah serta mengangkut faktor produksi seperti bibit, pupuk, dan hijauan pakan ternak, serta hasil panenan dapat dilakukan menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Kecenderungan ini juga dipacu oleh kepergian kaum laki-laki ke luar daerah atau ke luar negeri untuk mencari tambahan penghasilan sehingga pengelolaan lahan diserahkan kepada kaum perempuan. Pada perhutanan sosial isu gender ini penting untuk dikaji karena akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga petani juga. Peran aktif perempuan akan muncul saat usaha pemanfaatan lahan membutuhkan tenaga kerja tambahan. Jam kerja perempuan disamping untuk fungsi reproduksi kemudian ditambah lagi oleh fungsi produksi. Serta merta peran aktif di fungsi produksi tersebut akan menimbulkan dampak perubahan peranan terhadap kerentanan perempuan. 4. Modal sosial Brata (2004) menyatakan bahwa modal sosial barulah bernilai ekonomis kalau dapat membantu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi. Secara ringkas, modal sosial dapat dikatakan memfasilitasi atau memperbanyak “what you knows” dan “who you knows”. Bentuk modal sosial yang sangat terasa membantu adalah informasi peluang usaha, persoalan lokasi, mengatasi kebutuhan dana usaha, menambah modal sosial lainnya. Pada analisis hasil penelitian Marijan (2005) pendekatan kluster dalam pengembangan industri kecil menengah, terdapat aspek joint action. Untuk menumbuhkan terdapatnya joint action, misalnya, dibutuhkan adanya modal sosial (social capital) yang kuat yakni adanya rasa saling percaya antara peerusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya. Dengan demikian perusahaan tidak hanya berpikir 38 bagaimana menunjukkan diri sendiri, melainkan berpikir bagaimana maju bersamasama. Perasaan tersebut bisa terbangkitkan jika masing-masing menyadari bahwa mereka harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar. Joint action sebagai dampak dari modal sosial penting untuk diterapkan pada perhutanan sosial. Bentuknya yang mengembangkan jaringan positif dan memiliki mitra dalam merekonstruksi faktor pendapatannya menjadi titik kekuatan masing-masing petani. Pada hasil penelitian Muspida (Tidak ada tahun), modal sosial mikro dalam pembangunan hutan kemiri ketiga desa kasus di Maros dibahas dalam dimensi kognitif dan dimensi struktural. Dimensi kognitif bersumber dari norma-norma dan nilai-nilai serta keyakinan yang hidup di dalam masyarakat sipil oleh dorongan saling percaya (trust), meliputi unsur prmbukaan lahan, peralihan hak kelola lahan (teseng, Sanra, jual beli dan pewarisan), dan dimensi struktural bersumber dari peranan dan aturan dalam jaringan (networking) meliputi jaringan pembukaan lahan, pemungutan dan pengolahan hasil serta pemasaran. Kedua dimensi tersebut memiliki elemen-elemen umum yang mendorong tingkah laku bekerjasama secara menguntungkan melalui tindakan terkordinasi. Peran modal sosial makro pembangunan hutan kemiri di ketiga desa kasus akan dikaji baik dalam dimensi kognitif maupun dalam dimensi struktural yang terangkum dalam kebijakan Tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Pada awalnya pemerintah dalam menetapakan tata batas hutan masih memberi peluang kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam kawasan hutan. Sejak tahun 1994, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros mulai mensosialisasikan batasbatas kawasan hutan TGHK dan melarang masyarakat melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri dalam bentuk peremajaan (mallolo). Masyarakat hanya diizinkan melakukan pemungutan buah kemiri dalam kawasan hutan. Dari beberapa modal sosial tersebut ada interaksi dan keterkaitan modal sosial dalam pengelolaan hutan kemiri. Keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan hutan kemiri melahirkan modal sosial dalam bentuk saling percaya antara sesama petani dalam hal batas penguasaan lahan, adanya jaringan dalam hal pembukaan lahan, terbangunnya norma dan kelembagaan masyarakat yang mengarahkan ketertiban sosial dalam pembukaan dan pengolahan lahan kemiri. Analisis keterkaitan modal sosial mikro, dan modal sosial makro dalam pengelolaan hutan kemiri pada tiga desa kasus adalah sebagai berikut: (1) Saling Percaya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keterkaitan rasa saling percaya (trust) dalam hal status penguasaan lahan hutan kemiri antara petani dengan petani dijumpai dalam bentuk pengakuan hak atas lahan hutan kemiri, Pengakuan hak penguasaan lahan antara sesama petani merupakan wujud kerjasama yang terkoordinasi sehingga rasa saling percaya antara petani dengan petani merupakan modal sosial yang terbangun melalui proses pemilikan lahan. (2) Jaringan. Hasil penelitian memperlihatkan keterkaitan modal sosial jaringan (net work) dalam hal pembukaan dan pengelolaan lahan hutan kemiri antar petani di ketiga desa kasus dijumpai dalam bentuk kelompok pembukaan lahan, dan sewa menyewa lahan. Pembukaan lahan yang dilakukan oleh petani diketiga desa kasus dilakukan secara berkelompok baik berdasarkan kedekatan lahan maupun berdasarkan kelompok keluarga (appang). Pembukaan dan pengolahan lahan bagi masyarakat di Desa Timpuseng dan Desa Barugae berdasarkan kelompok keluarga (appang). Hal ini terjadi karena sejarah pembukaan lahan dilakukan ketika masyarakat mengungsi ke dalam hutan untuk menghindari kekacauan dari gerombolan. Hal yang berbeda dari kedua desa tersebut adalah jaringan kelompok appang di Desa Timpuseng digerakkan oleh kelompok keluarga sedangkan di Desa Barugae di gerakkan oleh Kepala Desa. 39 5. Strategi Nafkah Chamber dan Conway dalam Purnomo (2006) menunjukan definisi pola nafkah sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Akses menunjukan aturan dan norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan manusia untuk memiliki, mengendalikan dalam artian menggunakan sumberdaya seperti lahan dan kepemilikan umum untuk kepentingan sendiri. Unsur-unsur dalam strategi nafkah madalah kapabilitas, aset dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Aset yang dimiliki juga dapat digunakan oleh rumahtangga yakni modal. Modal bisa dibedakan menjadi lima kategori, seperti: modal alam, modal fisik, modal manusia, modal finansial, dan modal sosial. Kapabilitas menunjukan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukan set alternatif menjadi dan melakukan yang bisa dilakukan dengan karakteristik ekonomi, sosial dan personal manusia. Aktifitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Strategi nafkah tergantung dari seberapa besar aset yang dimiliki, kapabilitas individu dan aktivitas yang nyata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pola nafkah tersebut kemudian memunculkan rencana cadangan lain pada saat keadaan yang tidak menyenangkan atau sulit. Coping strategy merupakan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan sulit. Coping strategy dilakukan dengan mengubah strategi nafkah yang biasa dilakukan dengan strategi nafkah yang baru. Strategi nafkah yang baru dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber nafkah rumahtangga. Strategi nafkah yang baru dapat bersifat sementara atau dilakukan seterusnya. Pada studi kasus analisis strategi nafkah yang dilakukan oleh LSM LATIN di Kuningan, mereka lebih memperhatikan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan. Konsep strategi nafkah digunakan untuk menjelaskan bagaimana rumahtangga yang tinggal di sekitar kawasan hutan produksi memenuhi kebutuhan ekonominya. Hasil penelitian tersebut mengartikan strategi nafkah sebagai nafkah dalam artian pendapatan secara material dan spiritual atau pekerjaan. Di Kuningan, sumberdaya hutan memiliki tempat yang penting sebagai modal alam. Selain lahan sawah, komposisi lahan terbesar adalah hutan produksi, lahan yang dilindungi, dan komunitas hutan. Strategi nafkah menurut Dharmawan dalam Purnomo (2006) berarti tindakan rasional individu untuk mempertahankkan hidup atau memperbaiki keadaan hidupnya. Strategi nafkah selain untuk megamankan kehidupan sehar-hari dapat juga berupa upaya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi. Strategi ini pasti diimpliksikan oleh masyarakat sekitar hutan dalam mengelola kehidupannya melaui sumber daya hutan. Mengingat beberapa tanaman hutan tahunan yang dipanen dalam jangka yang panjang kemudian menghasilkan pendapatan, masyarakat pun akan mengatur strategi tanaman musiman untuk konsumsi pribadi maupun komersial untuk mempertahankan atau meningkatkan kehidupannya. Kehidupan Ekonomi Masyarakat Desa Hutan 1. Investasi Investasi adalah permintaan barang dan jasa untuk menciptakan atau menambah kapasitas produksi atau pendapatan di masa yang akan datang. Tujuan utama investasi adalah mengganti bagian dari modal yang rusak dan menambah penyediaan modal yang ada dengan pertimbangan karena adanya faktor harapan akan memperoleh keuntungan di masa depan. Investasi sangat dibutuhkan dalam rangka peningkatan ekonomi. Investasi modal akan menunjang penambahan industri sehingga meningkatkan output yang membutuhkan tambahan tenaga kerja dalam proses produksinya sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Investasi juga akan erat hubungannya dengan 40 pendapatan per kapita karena pendapatan per kapita merupakan ukuran kemajuan pembangunan. Pendapatan perkapita masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh investasi sumber daya manusia dan investasi modal. Pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang sama pentingnya dengan investasi dalam modal fisik untuk mencapai kesuksesan ekonomi jangka panjang suatu kualitas produksi (Mankiw dalam Setyopurwanto dan Pudjihardjo (2013). Kualitas faktor produksi sumber daya sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kesehatan. Angkatan kerja yang terdidik dan terlatih merupakan syarat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Selain sumber daya manusia, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibutuhkan adanya investasi modal. Investasi modal dipengaruhi oleh dua lingkungan strategis yaitu lingkungan eksternal yang semakin ketat dan daya tarik domestik yang masih lemah, dan lingkungan eksternal dipengaruhi ketidakpastian global yang berpengaruh terhadap kegiatan penanaman modal. Investasi akan berpengaruh pada masyarakat desa hutan. Mereka membutuhkan ini terutama dalam tanaman tahunan dan anak dari rumah tangga petani itu sendiri. Dalam investasi sumber daya manusia, para petani dapat menyekolahkan anaknya di pendidikan formal maupun non-formal. Pendidikan tersebut akan berdampak pada produktivitas tenagakerja yang mendorong peningkatan pendapatan. Investasi sumber daya manusia selain dibangku pendidikan juga dapat diperoleh dari pengalaman dan evaluasi kesalahan pengalaman hutannya. Sedangkan investasi modal dapat dilakukan dengan investasi uang atau materi petani dalam bentuk tanaman yang menghasilkan laba positif dalam jangka panjang. Dalam analisisnya, investasi dipengaruhi oleh lingkungan eksternal yang semakin ketat dan daya tarik domestik yang masih lemah. Artinya, daya tarik akan hasil produksi di desa atau lingkup lokal lebih lemah sedangkan di luar sangat besar. Karena banyaknya permintaan dan persaingan yang ketat di luar lingkup desa hutan petani, hal ini yang menyebabkan investasi dipancing untuk semakin bertambah. Lingkungan strategis lainnya adalah lingkungan eksternal dipengaruhi global yang berpengaruh pada kegiatan penanaman modal. Artinya, karena ketidakpastian pasar tempat menjual hasil produksi hutan, semangat untuk investasi atau bahkan menambah investasi akan berkurang. Sebagai aset yang begitu berkelanjutan, tanaman hutan yang akan dipanen tahunan merupakan investasi atau tabungan petani bagi keturunannya. Tidak hanya pada investasi modal atau fisik, untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga perlu juga investasi sumberdaya manusia untuk kesejahteraan keluarga. Investasi sumberdaya manusia berupa pendidikan dan kesehatan penting juga untuk menjamin berlanjutnya ketersediaan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga. 2. Kesejahteraan Adanya program hutan kemasyarakatan, setidak-tidaknya dapat memberikan harapan bagi masyarakat sekitar hutan untuk memperbaiki kehidupan ekonominya. Progrma ini nampaknya memberikan pengaruh nyata terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Hasil penelitian Fajari (2002) mengindikasikan bahwa masyarakat yang mengikuti program hutan kemasyarakat mempunyai tingkat kesejahteraan lebih baik dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mengikutinya. Perubahan tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilihat dari dua indikator, yaitu tingkat pendapatan rumah tangga, dan Indeks Good Services Ratio. a. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Dengan mengetahui tingkat pengeluaran rumah tangga, yaitu dengan menginventarisir beberapa jenis pengeluaran yang harus ditanggulangi oleh rumah tangga untuk mempertahankan kehidupan keluarganya dapat diketahui tingkat 41 pendapatan rumah tangga. Secara umum diketahui bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat dikatakan semakin baik apabila persentase pengeluaran konsumsi barang khususnya makanan semakin kecil. Tingkat pendapatan rumah tangga peserta HKm berbeda nyata dibandingkan yang tidak mengikuti program. Ini berarti bahwa program hutan kemasyarakatan secara nyata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari hasil penelitian Iriwanti et.al, (2012) dinyatakan bahwa 88,6% dari lahan rakyat diusahakan sebagai hutan rakyat sehingga pendapatan dari hutan rakyat memiliki peran besar dalam ekonomi rumah tangga petani di desa-desa lokasi studi b. Analisis Good Services Ratio Metode Good Services Ratio dihitung dengan cara membandingkan antara besarnya pendapatan rumah tanagga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer (pokok) dibandingkan kebutuhan sekunder. Semakin rendah nilai GDR menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan semakin baik, karena proporsi pendapatan yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan primer semakin kecil dibandingkan pemenuhan kebutuhan lainnya. Indikator kesejahteraan ini perlu menginventarisir kebutuhan sekuder berdasarkan pemahaman petani lainnya. Indikator ini juga tidak terlalu mematok pendapatan atau materi sebagai tingkat sejahteranya masyarakat. Kebutuhan sekunder diluar sandang, pangan, papan seperti pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya merupaka ukuran yang relatif adil dalam menentukan kesejahteraan. Begitu banyak program-program pemerintah dalam menjadikan masyarakat mitra pengelolaan sumber daya hutan. Dalam kegiatan yang mengintegrasikan kegiatan hutan ke dalam ekonomi petani secara ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan dapat menghasilkan pengelolaan efektif. Menghubungkan tujuan pelestarian lingkungan dan pengentasan kemiskinan melalui program desentralisasi pemerintah dan pembangunan penebangangan komunal hutan bisnis dapat dikongkritkan dalam suatu bentuk proyek atau program. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dirancang sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang dapat menjaga kelestarian hutan dan keberlanjutan nafkah rumahtangga di desa sekitar hutan (Purnomo 2006). 42 43 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Pembahasan Pengaruh Perhutanan Sosial Perhutanan sosial merupakan ilmu dan seni memadukan penanaman pohon atau tumbuhan lain yang terkait dengan aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya mayarakat kawasan hutan. Pengelolaannya dilakukan dengan mengkombinasikan peran, hak, dan kewajiban masyarakat beserta berbagai pihak pengelola sumberdaya hutan untuk perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal, serta tujuan produksi lestari kesejahteraan masyarakat. Melihat dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa perhutanan sosial memegang manfaat penting yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Dari segi ekonomi, perhutanan sosial bertujuan mencapai kesejahteraan masyarakat lokal, dari segi sosial menunjang segala ketercapaian segi ekonomi tersebut. Di Indonesia digunakan berbagai istilah perhutanan sosial seperti hutan kemasyarakatan, hutan kerakyatan, kehutanan masyarakatan, kehutanan sosial, dan sosial forestri. Selain itu adapula yang menggunakan istilah perhutanan masyarakat, pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) ada juga yang menggunakan istilah pengelolaan hutan bersama, pengelolaan hutan dalam kemitraan dan pengelolaan hutan multipihak atau pengelolaan hutan oleh masyarakat (PHOM). Berpengaruhnya perhutanan sosial terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat desa hutan juga seharusnya dapat memberikan dampak pula terhadap kelestarian hutan itu sendiri. Tujuan pelestarian lingkungan dan pengentasan kemiskinan melalui program desentralisasi pemerintah dan pembangunan penebangangan komunal hutan bisnis dapat dikongkritkan dalam suatu bentuk proyek atau program. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dirancang sebagai suatu sistem pengelolaan hutan yang dapat menjaga kelestarian hutan dan keberlanjutan nafkah rumahtangga di desa sekitar hutan. Belum ada istilah yang disepakati bersama dan diterima luas. Dari definisi yang diusung tentang perhutanan sosial tersebut, begitu terlihat pengaruhnya terhadap kehidupan sosial ekonomi penduduk desa hutan. Perhutanan sosial mampu mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat desa hutan. Pertama, resolusi konflik. Dalam kawasan hutan, sering sekali terdapat konflik antara masyarakat lokal maupun adat dengan pihak pengelola sumber daya hutan seperti Perum Perhutani maupun pihak swasta yang memegang konsesi. Dalam pertimbangan resolusi konflik, pada hakikatnya posisi hirarki yang berlaku tidak bersifat simetri khusus untuk program-program perhutanan sosial yang berada di dalam kawasan hutan. Artinya, posisi dan peran serta kewenangan pemerintah selalu dalam struktur yang lebih tinggi dan dominan dibandingkan posisi dan peran masyarakat, sehingga pertukaran peran kurang seimbang. Dalam resolusi konflik sangat dibutuhkan posisi dan hierarki yang simetris antara masyarakat dan pemerintah mengingat perhutanan sosial merupakan “forestry participation”; mengakui hak-hak ulayat masyarakat; pemberdayaan; ketidaksenjangan akses lahan antar sesama masyarakat; dan redistribusi lahan. Kedua, peranan gender. Peran gender merupakan peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya. Terdapat tiga peranan gender yakni peranan produktif, reproduktif, dan pengelolaan. Peran tersebut dimainkan dalam rumah tangga dengan kondisi dan strategi tertentu. Ketiga, Pemberdayaan yakni penciptaan hubungan antarpersonal yang berkelanjutan untuk membangun kepercayaan antara pihak yang lemah dan pihak yang kuat. Pemberdayaan seharusnya menciptakan kontinuitas jangka pendek hingga panjang, reorientasi masyarakat dalam pembanguna, gerakan sosial, membangun institusi lokal, 44 dan pengembangan kapasitas. Keempat, modal sosial makro dan mikro yang dibahas dalam dimensi kognitif dan struktural. Modal sosial ini akan mengidentifikasi unsur kepercayaan dan jaringan. Kelima, strategi nafkah yang memiliki unsur-unsur kapabilitas, aset, dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Kapabilitas menunjukkan kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia dalam artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukkan set alternatif menjadi dan melaksanakan yang bisa dilakukan dengan karakteristik ekonomi, sosial, dan personal manusia. Aktivitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Selain mempengaruhi kehidupan sosial, perhutanan sosial pun memiliki pengaruh pada kehidupan ekonomi masyarakat desa hutan. Pertama, investasi yakni permintaan barang atau jasa untuk menciptakan atau menambah kapasitas produksi atau pendapatan di masa yang akan datang. Investasi menyangkut investasi modal dan investasi sumberdaya manusia. Kedua, kesejahteraan. Adanya program hutan kemasyarakatan, setidak-tidaknya dapat memberikan harapan bagi masyarakat sekitar hutan untuk memperbaiki kehidupan ekonominya. Perubahan tingkat kesejahteraan dapat dilihat dari dua indikator, yaitu tingkat pendapatan rumah tangga dan Indeks Good Services Ratio. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Perhutanan sosial memiliki dimensi eksistensi kawasan hutan dan masyarakat. Masyarakat memiliki hubungan emosional yang kuat antara dirinya dan lingkungannya. Hal ini pulalah yang menyebabkan perhutanan sosial memiliki pengaruh yang kuat kepada kehidupan masyarakat desa hutan. Pengaruh tersebut setidaknya menyentuh kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ketika perhutanan dapat terbukti menyejahterakan masyarakat bahkan meningkatnya kualitas hidupnya, redistribusi lahan untuk sumber hidup sekaligus pelestarian hutan merupakan suatu kewajiban. Oleh karena itu, rancangan pertanyaan penelitian yang akan diajukan adalah: 1. Bagaimana perhutanan sosial dapat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat desa di sekitar hutan? 2. Bagaimana perhutanan sosial mampu mendorong upaya-upaya resolusi konflik? 3. Bagaimana perhutanan sosial menciptakan kelestarian ekonomi, sosial, dan hutan? Kerangka Pemikiran Identifikasi Pengaruh Perhutanan Sosial terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Hutan Perhutanan sosial memiliki fokus utama yakni perlindungan hutan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan produksi lestari. Dari fokus perhutanan sosial tersebut dapat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat desa hutan. Perhutanan sosial dapat mempengaruhi modal sosial seperti pengembangan jaringan dan tingkat kepercayaan. Pengembangan jaringan diperlukan agar mencari hubungan kerjasama pemasaran hasil hutan atau dalam kehidupan politik di lingkungannya. Sedangkan dari tingkat kepercayaan, pengembangan jaringan didasari kepercayaan pada pihak lain karena relasi-relasi yang dibangun sebelumnya. Selain modal sosial, adajuga strategi nafkah. Dengan ekosistem kawasan hutan, masyarakat harus menguasai sistem nafkahnya dan mengatur strategi dari unsur-unsur kapabilitas, aset dan aktvitas untuk bertahan hidup atau bahkan mengembangkan usahanya kemudian. Kemudian terdapat peran gender yang dipengaruhi program perhutanan sosial. Peran gender dapat berubah-ubah bahkan dari perempuan atau laki-laki bisa memiliki peran ganda ditinjau dari peran produksi, reproduksi, dan pengelolaan. Aspek yang terakhir adalah 45 pemberdayaan sebagai aksi dan bentuknyata perhutanan sosial. Dalam pemberdayaan dapat terlihat secara kongkrit bentuk komitmen pelaksanaan perhutanan sosial yakni dengan memberi kekuasaan pengelolaan perhutanan kepada masyarakat. Kelima aspek kehidupan sosial yang dipengaruhi oleh perhutanan sosial tersebut kemudian dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat desa hutan. Kesejahteraan dapat ditinjau dari tingkat pendapatan rumah tangga dan analisis good services ratio. Selain dari aspek kehidupan sosial, sebagai daerah yang rawan terjadinya konflik, program perhutanan sosial juga dapat menjadi alat resolusi konflik. Konflik dapat saja muncul oleh dua pihak atau lebih yang memperebutkan suatu sumberdaya yang sama. Klaim antar pihak bertentangan tersebut dipengaruhi oleh perhutanan sosial yang dapat terjadi lewat redistribusi lahan, sistem bagi hasil, atau penyewaan. Dengan begitu banyaknya klaim sengketa, ketidaksesuaian pemahaman antar pihak yang berkonflik, bahkan data di lapangan dan dari sumber sekunder yang tidak sama akan menimbulkan penyerobotan lahan bahkan bentuk kekerasan lainnya. Perhutanan sosial dapat menjadi alternatif konflik tersebut yankni dengan menyamakan cita-cita yang sama dan kerelaan membagi kekuasaan pihak pngelola perhutanan dengan masyarakat. Dengan perhutanan sosial, penyerobotan lahan dapat ditanggulangi dengan pemberdayaan masyarakat dan pihak pengelola. Hukuman yang dilaksanakan juga harus dimaknai bersama dan menguntungkan hutan itu sendiri juga. Jika diadakan rekonsiliasi dan pelaksanaan perhutanan sosial bagi areal konflik, tentu akan menguntungkan kedua pihak sengketa. Perhutanan sosial yanng muncul sebagai resolusi kemudian mampu memancing investasi. Investasi yang dimaksud adalah hasil rekonsiliasi areal konflik. Dengan adanya rekonsiliasi, areal konflik dapat ditanami tanaman bernilai ekonomi dan produktif. Nilai ekonomi dari tanaman hasil rekonsiliasi tersebut kemudian akan menambah sumber daya bahkan menyimpan hasilnya untuk masa depan. Investasi yang terjadi, selain dalam bentuk modal, dapat juga dalam bentuk investasi sumberdaya manusia. Investasi sumberdaya manusia misalnya dalam bentuk kesehatan dan pendidikan atau pengetahuan. Investasi sebagai hasil resolusi konflik tersebut kemudian akan berpeluang menjadikan hutan itu sendiri lestari karena tutupan vegetasi yang lebih banyak dan menguntungkan hutan. Berikut kerangka pikiran usulan berdasarkan pemaparan tersebut. 46 Fokus utama perhutanan sosial Aspek Kehidupan Sosial 1. Modal Sosial 1. Perlindungan hutan 2. Kesejahteraan masyarakat lokal 3. Produksi lestari 2. Strategi Nafkah 3. Peran Gender Kesejahteraan 4. Keberdayaan Resolusi Konflik Kelestarian Hutan Investasi = Mempengaruhi Gambar 1. Kerangka analisis perhutanan sosial mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat desa hutan. 47 DAFTAR PUSTAKA [CIFOR]. 2003. Perhutanan sosial. [jurnal]. Warta Kebijakan 9(01): 1-6. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: www.cifor.org/acm/download/pub/wk/warta09.pdf. [College of Forestry and Natural Resources University of the Phipippines Los Banos]. 2004. Simplified and harmonized forestry regulatory procedures of the Philippines. [terminal report]. Hal 290-302. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadd061.pdf Brata Aloysius Gunadi. 2004. Nilai ekonomis modal sosial pada sektor informal perkotaan. [jurnal]. Agustus 2004 hal 1-10. Diunduh pada tanggal 29 Oktober 2014. Dapat diunduh dari: http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/SocialMatters/angkringartikel.pdf Dipokusumo Bambang. 2011. Model partisipatif perhutanan sosial menuju pengelolaan hutan berkelanjutan. [tesis]. Fajari Onrianto Adi. 2002. Efektivitas program hutan kemasyarakatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui redistribusi lahan. [tesis]. Hl 2168. Diunduh pada tanggal 29 Oktober 2014. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/7633 Hendarto Kresno Agus. 2003. Perhutanan sosial dan peubah-peubah sosiologi yang perlu diperhatikan : Sebuah Tinjauan Teoritis . [jurnal]. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. IX(1) hal 47-58. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/31169. Irawanti Setiasih et.al,. 2012. Manfaat ekonomi dan peluang pengembangan hutan rakyat sengon di Kabupaten Pati. [jurnal]. Jurnal Peneitian Sosial Ekonomi Kehutanan. 9(3) hal 126-139. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/199 Irawanti Setiasih et.al,. 2012. Peranan kayu dan hasil bukan kayu dari hutan rakyat pada pemilikan lahan sempit: Kasus Kabupaten Pati. [jurnal]. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan. 9(3) hal 113-125. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPSE/article/view/198 Lynch Owen J. dan Kirk Talbott. 1995. Balancing acts: Community-based forest management and national law in Asia and Pacific. [jurnal]. World Resources Institute September 1995. hal 1-198. Diunduh pada tanggal 19 September 2014 . Dapat diunduh dari: https://muse.jhu.edu/login?auth=0&type=summary&url=/journals/sais_review/v 016/16.1br_lynch.html. Nygren Anja. 2005. Community-based forest management within the context of institutional decentralization in Honduras. [jurnal]. Elsevier. 33(4) hal 1-17. 48 Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0305750X05000070 dari: Marijan Kacung. 2005. Mengembangkan industri kecil menengah melalui pendekatan kluster. [jurnal]. INSAN. 7(3) Desember 2005 hal 216-223. Diunduh pada tanggal 29 Oktober 2014. Dapat diunduh dari: http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/02%20%20Mengembangkan%20Industri%20Kecil%20Menengah%20Melalui Mulyadi Mohammad. 2013. Pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan kehutanan (Studi Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan). [jurnal]. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 10(4) hal 224-234. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPSE/article/view/170 Muspida. Tidak ada tahun. Keterkaitan modal sosial dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. [jurnal]. Jurnal Hutan dan Mayarakat. 2(3) hal 290-302. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=29822&val=2169 Mustofa Moh Solehatul. 2011. Perilaku Masyarakat Desa Hutan Dalam Memanfaatkan Lahan Di Bawah Tegakan. [jurnal]. Jurnal Komunitas 3(1) hal 1-11. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2287 Purnomo Agustina Multi. 2006. Strategi nafkah rumah tangga desa sekitar hutan (Studi kasus desa peserta PHBM di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat). [tesis]. Hal 1- 218. Diunduh pada tanggal 29 Oktober 2014. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/browse?order=ASC&rpp=20&sort_by=1&value_lang=&value=&etal=-1&offset=52550&type=author Rochmayanto Yanto dan Pebriyanti Kurniasih. 2013. Peranan gender dalam adaptasi perubahan iklim pada ekosistem pegunungan di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. [jurnal]. Jurnal Analisis Kebijakan Hutan. 10(3) hal 203-213. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://ejournal.fordamof.org/ejournal-litbang/index.php/JAKK/article/view/328 Sumanto Selamet Edi. 2009. Kebijakan pengembangan perhutanan sosial dalam perspektif resolusi konflik. [jurnal]. Jurnal Analisis Kebijakan Hutan 06(01) hal 1-13. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat diunduh dari: http://forda-mof.org/files/6.1.2009%20Slamet_Edi_Sumanto%5B1%5D.pdf. Setyopurwanto Didi dan M. Pudjihardjo. 2013. Pengaruh investasi sumber daya manusia dan investasimodal terhadapt pendapatan perkapita masyarakat Indonesia. [jurnal]. Hal 1-17. Diunduh pada tanggal 29 Oktober 2014. Dapat diunduh dari: http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/viewFile/554/497 Waryono Tarsoen. 2008. Beberapa aspek pemberdayaan perhutanan sosial (Paparan Studi Kasus Sukabumi). [jurnal]. Makalah Penunjang Seminar Perhutanan Sosial Litbang Dephutbun. Diunduh pada tanggal 19 September 2014. Dapat 49 diunduh dari: https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoen.waryono/files/2009/12/26perhutanan- sosial.pdf. 50 51 LAMPIRAN 1. Jurnal Kebijakan Pengembangan Perhutanan Sosial Dalam Perspektif Resolusi Konflik. 2. Jurnal Perhutanan Sosial. 3. Jurnal Beberapa Aspek Pemberdayaan Perhutanan Sosial (Paparan Studi Kasus Sukabumi). 4. Jurnal Perhutanan Sosial dan Peubah-Peubah Sosiologi yang Perlu Diperhatikan : Sebuah Tinjauan Teoritis. 5. Jurnal Perilaku Masyarakat Desa Hutan Dalam Memanfaatkan Lahan Di Bawah Tegakan. 6. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Adat dalam Pembangunan Kehutanan (Studi Kasus Komunitas Battang di Kota Palopo, Sulawesi Selatan). 7. Jurnal Peranan Gender dalam Adaptasi Perubahan Iklim pada Ekosistem Pegunungan di Kabupaten Solok, Sumatera Barat. 8. Jurnal Peranan Kayu dan Hasil Bukan Kayu dari Hutan Rakyat pada Pemilikan Lahan Sempit : Kasus Kabupaten Pati. 9. Jurnal Manfaat Ekonomi dan Peluang Pengembangan Hutan Rayat Sengon di Kabupaten Pati. 10. Jurnal Keterkaitan Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. 11. Laporan Simplified and Harmonized Forestry Regulatory Procedures of The Philippines. 12. Tesis Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. 13. Jurnal Community-Based Forest Management Within the Context of Institutional xDecentralization in Honduras. 14. Jurnal Mengembangkan Industri Kecil Menengah Melalui Pendekatan Kluster. 15. Jurnal Nilai Ekonomis Modal Sosial Pada Sektor Informal Perkotaan. 16. Tesis Strategi Nafkah Rumah Tangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat). 17. Jurnal 17 Efektivitas Program Hutan Kemasyarakatan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Redistribusi Lahan. 18. Jurnal Pengaruh Investasi Sumber Daya Manusia dan Investasi Modal terhadap Pendapatan Perkapita Masyarakat Indonesia. 52 RIWAYAT HIDUP Dheva Sari Silaban lahir di Sangatta, 13 September 1993 dari pasangan Anggiat Silaban dan Saria Panjaitan. Pendidikan formal yang ditempuh oleh penulis mulai dari TK Maria Mutiara, Sibolga (1998-1999), SD RK No.3, Sibolga (1999-2005), SMP N Fatima 1,Sibolga (2005-2008), dan SMA Tri Ratna Sibolga (2008-2011). Pada tahun 2011, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Masuk IPB (UTM). Semasa perkuliahan penulis mendapatkan beasiswa National Champion Scholarship Tanoto Foundation 2013. Pengalaman organisasi penulis adalah sebagai anggota divisi Research and Development HIMASERA (Himpunan Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) pada periode kepengurusan tahun 2013. Selain itu penulis juga penah menjadi kepala divisi Medis pada Masa Perkenalan Departemen 2012, Penanggungjawab koordinasi Panti Asuhan Candra Naya di Komisi Pelayanan Anak (2013), Divisi Pendidikan di Swayanaka Regional Jakarta (2014), Ketua Divisi Dokumentasi di Proyek Duta Cilik Anti Rokok (2014), Ketua Divisi Dana dan Usaha Retreat PMK IPB Angkatan 51, Divisi Sosial Lingkungan pada Tanoto Scholars Association IPB (2013-2014), dan lain-lain. Untuk pengalaman kerja penulis pernah menjadi asisten praktikum MK. Pengantar llmu Kependudukan dan Sosiologi Umum tahun ajaran 2013-2014.