Target (Ambisius) Kebijakan Perhutanan Sosial

advertisement
Target (Ambisius) Kebijakan Perhutanan Sosial: Antara Idealita dan Realita
Perhutanan Sosial: Antitesis Paradigma Pengelolaan Hutan Konvensional
Perhutanan Sosial (PS) didefinisikan dalam Permen LHK No. 83/2016 sebagai sistem
pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan
hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat
sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan
dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm),
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
Kebijakan perhutanan sosial di Indonesia pada dasarnya terlahir dari proses sejarah
yang panjang. Kebijakan ini terilhami dari perubahan paradigma (cara pandang) masyarakat
global dalam mengelola hutan secara konvensional (timber extraction & timber management)
yang cenderung melihat hutan semata-mata hanyalah kayu dan habitat bagi fauna dengan
menegasikan keberadaan masyarakat sekitar/dalam hutan yang hidup, berinteraksi dan
bergantung terhadap eksistensi hutan sebagai satu kesatuan ekosistem yang tidak terpisahkan.
Paradigma lama yang berujung pada kerusakan hutan dan pemiskinan struktural masyarakat
sekitar hutan.
Wacana paradigma social forestry (perhutanan sosial) di Indonesia muncul sebagai
wujud “perlawanan” terhadap pemerintah (orde baru) yang kala itu mengesampingkan
keberadaan masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan dan cenderung berpihak
kepada pemodal (asing & dalam negeri) untuk mengelola (mengeksploitasi) hutan dengan
dalih pertumbuhan ekonomi. Awang (2004) menyatakan bahwa selama orde baru berkuasa
sekitar 64 juta ha kawasan HPH dikuasai oleh segelintir (sekitar 20 orang) konglomerat yang
dekat dengan pejabat pemerintah. Masyarakat yang semula berinteraksi dan menggantungkan
hidupnya kepada hutan terpaksa harus “terusir” dari rumah (hutan) mereka. Tindakan
pemanfaatan yang mereka lakukan dianggap “illegal” hanya karena tiadanya kapital yang
bisa diberikan kepada negara sebagai penguasa tunggal sumberdaya alam hutan di Indonesia.
Era Reformasi dan masuknya Indonesia dalam atmosfer demokrasi merupakan
momentum besar bagi perkembangan wacana perhutanan sosial. Ibarat biji di tanah kering
yang mulai bertunas saat hujan mulai datang. Gelombang keadilan dan kesejahteraan sosial
dalam pengelolaan hutan semakin menguat di level lokal (didukung dengan semangat
desentralisasi). Namun, yang menjadi pertanyaan adalah sudah hampir menginjak 20 tahun
momentum reformasi berlalu apakah paradigma perhutanan sosial masih sekedar menjadi
jargon politik penarik massa, sebatas program janji manis? ataukah dibawah kepemimpinan
presiden rimbawan yang dikenal (dicitrakan) merakyat ini menjadi momentum kedua bagi
menguatnya perspektif perhutanan sosial yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan
sosial?
Jokowi, Nawacita, dan Semangat Perhutanan Sosial
Target implementasi program perhutanan sosial oleh pemerintah saat ini dapat
dikatakan luar biasa. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan & Kehutanan (KLHK)
pada periode 2015-2019 menargetkan 12,7 juta ha kawasan hutan dikelola oleh masyarakat
melalui skema HD, HKm, HTR, Hutan Adat, dan Kemitraan.
Implementasi program perhutanan sosial merupakan bagian dari program Nawacita
Presiden Jokowi. Target implementasi program tersebut adalah mensejahterakan 10,2 juta
masyarakat pra sejahtera di dalam kawasan hutan yang belum memiliki aspek legal terhadap
sumberdaya hutan melalui pemberian akses dan dukungan terhadap pertumbuhan sektorsektor perekonomian lokal. Lebih lanjut lagi, implementasi program ini diharapkan juga
berdampak dalam meminimalisir konflik tenurial yang selama ini terjadi di tingkat tapak
akibat adanya tumpang tindih perizinan dan perbedaan klaim pengelolaan kawasan hutan.
Terlepas dari tujuan-tujuan tersebut seberapa besar kesungguhan pemerintah dalam
implementasi kebijakan perhutanan sosial, menunjukkan dimana posisi keberpihakan
pemerintah, apakah lebih besar kepada masyarakat? atau masih kepada pemilik modal?
Realita (Implementasi) Kebijakan Perhutanan Sosial
Masih jauh panggang dari api. Peribahasa tersebut (lagi-lagi) relevan dengan
implementasi kebijakan perhutanan sosial di Indonesia. Dikutip dari situs berita daring
Mongabay 26 Januari 2017, secara agregat capaian hutan untuk kelola masyarakat baik
melalui skema HKm, HD, HTR, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan lain-lain baru mencapai
494.876 Ha (9,74%) dari target 2016 sebesar 5,08 juta ha. Data tersebut baru berbicara
kuantitas capaian luasan areal perhutanan sosial, belum lagi kualitas pengelolaan kawasan
yang telah dikeluarkan izin pengelolaannya. Masyarakat dinilai masih sangat memerlukan
dampingan dalam penyusunan rencana pengelolaannya, skema pendanaan, hingga jaringan
pemasarannya.
Kebijakan perhutanan sosial hakikatnya berbicara tentang akses masyarakat terhadap
sumberdaya hutan. Akses sebagai kemampuan (ability) mengambil manfaat dari sesuatu
(hutan) dan lebih condong kepada power, ketimbang sekedar legalitas klaim atas hak (right)
kelola. Ribot & Peluso (2003) menyatakan bahwa kunci pembeda antara akses (access) dan
properti (property) terletak pada ability dan right.
Terlepas dari perdebatan diatas, saya cenderung memandang bahwa akses dan right
bukanlah sesuatu yang dipertentangkan, melainkan sebuah tahapan yang harus dijalankan
berimbang. Antara capaian kuantitas pengeluaran izin kelola dengan pengkapasitasan
sumberdaya manusia pengelolanya. Perpaduan keduanya memerlukan proses panjang dan
biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu salah satu (bukan satu-satunya) indikator sederhana
untuk melihat seberapa jauh keberpihakan pemerintah dalam implementasi program adalah
seberapa besar anggaran yang dialokasikan untuk merealisasikannya.
Dikutip dari situs berita online CNN Indonesia 25 Januari 2017, Indonesian
Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa terjadi penurunan alokasi anggaran untuk
implementasi perhutanan sosial, dari Rp 308,12 M di tahun 2015 menjadi 165,17 M untuk
tahun 2017 (turun 46,4%) padahal anggaran keseluruhan KLHK periode 2015-2017 naik
sebesar 0,17 T. Sekali lagi, meskipun bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
implementasi kebijakan perhutanan sosial, namun dukungan ketersediaan dana menjadi
penting agar target capaian tidak terkesan ambisius. Dalam hal ini perlu adanya political will
yang lebih kuat dari Jokowi sebagai presiden rimbawan untuk membuktikan keberpihakannya
kepada masyarakat sekitar hutan melalui program perhutanan sosial bukan hanya sebatas lip
service untuk kapitalisasi suara masyarakat kecil dalam ajang kontestasi kekuasaan lima
tahunan. Salam Lestari. Wallahu’alam bishowab
Download