BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Ganjaran 2.1.1.1 Pengertian Ganjaran Ganjaran adalah suatu alat pendidikan untuk mendorong anak didik agar dapat terus mengerjakan perbuatan itu, ataupun suatu penghargaan yang diberikan dengan maksud tujuan tertentu. Djamarah (2003) Penguatan atau reinforcement adalah semua peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu yang terdekat untuk meningkatkan kecenderungan pengulangan respon yang telah dilakukan. Prayitno (2002:34) penguatan (reinforcement) adalah respon terhadap suatu tingkah laku yang dapat meningkatkan kemungkinan berulangnya tingkah laku tersebut. Memberikan penguatan ini kelihatannya sangat sederhana, namun mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi siswa. Bayangkan seandainya siswa telah berusaha untuk menunjukkan pekerjaan yang baik, akan tetapi guru bersikap acuh tanpa memberi komentar apapun, dapat membuat siswa patah semangat. Penghargaan dari guru sebenarnya tidak berat, cukup dengan anggukan, senyuman, pujian atau bahkan acungan ibu jari, namun kenyataannya masih banyak yang tidak melakukannya. Thorndike, berpendapat bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi tingkah laku dengan rangsangan (stimulus). Prasetyo (2007: 22) menyatakan bahwa komponen-komponen dalam ganjaran atau penguatan adalah sebagai berikut: 1. Penguatan Verbal Penguatan Verbal dapat dinyatakan dalam dua bentuk, yaitu: a. Kata-kata seperti : bagus,baik, hebat, wah bagus sekali dan sebagainya. b. Kalimat seperti : pekerjaanmu baik sekali saya senang dengan pekerjaanmu, inilah pertanyaan yang bagus. 5 6 2. Penguatan dengan cara mendekati Penguatan yang dilakukan dengan cara mendekatnya guru kepada siswa untuk menyatakan perhatian dan kesenangannya terhadap pekerjaan, tingkah laku, atau penampilan siswa. Cara pelaksanaannya antara lain: a. Berdiri disamping siswa. b. Berjalan menuju kearah siswa. c. Duduk dekat seorang atau kelompok. 3. Penguatan dengan sentuhan Penguatan ini dilakukan dengan cara : a. menepuk bahu. b. Menjabat tangan. c. Membelai rambut/mengusap kepala. Beberapa pertimbangan dalam penggunaan penguatan dengan sentuhan, yaitu: Umur, jenis kelamin, latar belakang kebudayaan. 4. Penguatan dengan kegiatan yang menyenangkan Memberikan kegiatan-kegiatan atau tugas-tugas yang disenangi siswa. 5. Penguatan berupa simbol atau benda Simbol misalnya : dengan tanda (V), komentar tertulis pada buku siswa. Benda : gambar, buku, bintang plastik dsb. Tindakan guru yang tidak segera menyatakan jawaban/pekerjaan siswa yang belum benar, atau baru sebagian benar misalnya : a. Ya jawabanmu sudah baik, tetapi masih perlu disempurnakan sedikit. b. Ah, pekerjaanmu bagus, coba sekarang diperhalus sedikit. Melalui uraian beberapa para para ahli diatas penguatan adalah stimulus yang mendorong individu agar berulang kembali tingkah laku untuk meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon yang dikehendakinya. Respon adalah stimulus yang mendorong individu untuk meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon yang dikehendaki. 6. Penguatan Gestural 7 Yaitu Penguatan berupa gerak tubuh atau mimik muka yang memberi arti/kesan baik kepada peserta didik. Penguatan gestural dapat berupa tepuk tangan, acungan jempol, anggukan tersenyum, dan sebagainya. Burrush Frederich Skinner dalam Slameto (2003) menyatakan ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan proses yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur. Skinner juga berpendapat bahwa penguatan dibagi atas dua bagian yaitu, penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan merupakan stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak didik dalam melakukan pengulangan perilaku tersebut. Jadi penguatan yang diberikan kepada anak didik memperkuat tindakan anak didik, sehingga anak didik cenderung untuk sering melakukannya. Contoh penguatan positif antara lain pujian pada saat anak didik menjawab benar atau mendapat nilai tinggi. Pada pembelajaran matematika baik penguatan positif maupun ganjaran sangat diperlukan anak didik. Keduanya merupakan motivasi positif dalam belajar matematika. Dalam percobaan strategi pembelajaran matematika melalui lomba dan hadiah bagi pemenang, yang dikenakan pada beberapa mahasiswa PGSD UPPI UNNES yang bermasalah (enggan mengikuti kuliah, tidak mau mengerjakan tugas kelompok, prestasi rendah, dsb) pada tahun 2004, hasilnya sebagai berikut: a. Semuanya senang dengan pembelajaran matematika yang baru dilaksanakan. b. Mereka mengharapkan untuk sering melaksanakan pembelajaran dengan strategi tersebut, baik yang tidak mendapat hadiah, terlebih yang mendapat hadiah. c. Ada perubahan tingkah laku mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya yaitu menjadi lebih aktif mengikuti kegiatan di kelas, bergairah/bersemangat pada perkuliahan matematika, mau melaksanakan tugas kelompok bersama temannya, dan menjadi rajin mengikuti kuliah matematika d. Prestasi mereka pada mata kuliah matematika naik. 8 Meskipun contoh penguatan tersebut dikenakan pada mahasiswa, hasilnya tidak akan jauh berbeda jika dikenakan pada anak SD. Contoh tersebut selaras dengan pendapat Skinner, bahwa penguatan penguatan akan berbekas pada anak didik. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil menyelesaikan tugas atau dapat menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi anak didik untuk rajin belajar dan untuk mempertahankan prestasi yang diraihnya. Oleh sebab penguatan akan berbekas pada anak didik, sedangkan hasil penguatan diharapkan positif, maka penguatan yang yang diberikan harus teralamatkan pada respon anak didik yang benar. Jangan memberikan penguatan atas respon anak didik, jika respon tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan. 2.1.1.2 Bentuk-bentuk Ganjaran Fathleen Sri Wardani (1992) menyatakan bahwa ada lima kategori utama bentuk ganjaran yang mudah diperoleh dalam kelas. Adapun kategori bentuk ganjaran adalah : 1. Ganjaran berupa pujian Guru memberi kata-kata yang mengembirakan (pujian) seperti, “Rupanya sudah baik pula tulisanmu, namun kalau kamu terus berlatih, tentu akan lebih baik lagi”. Bagus sekali hasil pekerjaanmu, tingkatkan! 2. Ganjaran berupa aktivitas Pekerjaan dapat juga menjadi suatu ganjaran. Contoh “Engkau akan kuberi soal sedikit yang lebih sukar sedikit, Andi karena yang nomor 3 ini rupa-rupanya agak terlalu baik engkau kerjakan. Jika kamu aktif menjawab soal ini akan saya beri kamu kesempatan istirahat lebih awal. 3. Ganjaran berupa benda Ganjaran dapat juga berupa benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi anak-anak. Misalnya pensil, buku tulis, permen, gula-gula atau makanan lain. 4. Ganjaran berupa tanda kredit Ganjaran ini tidak bernilai tinggi tetapi kelak dapat ditukarkan dengan sesuatu yang berharga. 9 Ganjaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ganjaran berupa benda yaitu memberi “bintang” plastik kepada siswa yang dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan guru maupun siswa yang memperoleh nilai terbaik saat tes formatif. Selain itu ganjaran berupa bukan kebendaan berupa pujian dengan mengucapkan kata “hebat” pada siswa yang dengan tepat menjawab pertanyaan guru atau pun siswa yang paling cepat dan benar menjawab pertanyaan yang disampaikan guru saat pembelajaran berlangsung. Pemberian ganjaran tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan motivasi pada anak, mengingat selama ini pembelajaran matematika menjadi pelajaran yang dianggap paling sulit bagi siswa. Melalui pemberian ganjaran tersebut siswa termotivasi untuk belajar karena ingin mendapatkan ganjaran baik berupa benda maupun bukan benda. 2.1.1.3 Tujuan Pemberian Ganjaran Prasetyo (2007:21) menyatakan bahwa ada empat tujuan diberikan penguatan, adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan perhatian siswa 2. Membangkitkan dan memelihara motivasi siswa 3. Memudahkan siswa belajar 4. Mengontrol dan memodifikasi tingkah laku siswa yang kurang positif serta mendorong munculnya tingkah laku yang produksi. Menurut Sudjana (2004) penghargaan pendidik terhadap anak didik mempunyai nilai pendidikansebagai beikut: 1. Dari hal yang menyebabkan anak didik memperoleh penghargaan, anak didik mengetahui norma-norma kehidupan yang baik; 2. Penghargaan memupuk rasa suka pada perbuatan atau norma yang baik dan memperbesar semangat berbuat luhur, lebih-lebih kalau penghargaan berasal dari pendidik yang dihormati dan disayangi anak didik; 3. Penghargaan yang akan diterima menolong kata hati anak didik menjatuhkan pilihannya pada motif yang tepat pada waktu anak didik mengalami perjuangan motif; 4. Di dalam pendidikan sosial rumah tangga, di sekolah maupun di dalam masyarakat pemberian penghargaan menimbulkan suasana gembira; 10 5. Penghargaan memperkeras kemauan anak didik melaksanakan perbuatan luhur yang telah ia pilih; 6. Penghargaan mempertinggi prestasi perbuatan anak didik dan rombongan sosialnya. 2.1.1.4. Pengaruh Pemberian Ganjaran Terhadap Psikologis Anak Penghargaan merupakan motivator yang jauh lebih berkhasiat dari pada celaan, hukuman atau ujian ulangan. Pada umunya jiwa anak melihat bahwa pujian guru itu sebagai sumber mendapatkan kepuasan, maka tindakan guru itu akan menjadi pendorong untuk terjadinya tingkah laku (Nasution, 1998). Ganjaran dapat memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikan pada stimulus tertentu secara berkali-kali, Skinner menyebutkan hal ini dengan reinforcement, misalnya bila setiap anak menyebut kata yang sopan kita segera memujinya, kelak anak itu akan mencintai kata-kata yang sopan dalam komuikasinya. Penghargaan perlu diberikan secara adil, tanpa membedakan anak didik, asal padanya ada kerajinan, kesungguhan dan ketekunan berusaha. Ketidakadilan dalam pemberian penghargaan dapat menimbulkan perpecahan dalam lingkungan pendidikan (Willis, 2008). Hal tersebut dimaksudkan agar tidak timbul persepsi dalam diri siswa akan berperilaku keliru agar mendapat ganjaran. Hal ini tidak akan terjadi, bila guru menguasai keadaan dan menentukan harapan berikut konsekuensinya. Bentuk manipulasi perilaku ini hanya akan timbul jika guru tidak bersikap konsisten. Perilaku ini juga akan meningkat jika anak berada di atas angin, yaitu jika dibiarkan memanipulasi keadaan untuk keuntungan pribadinya. Guru harus selalu bersikap konsisten dan memegang kendali untuk dapat menghindarkan tumbuhnya perilaku yang manipulatif. Guru harus konsekuen dengan apa yang sudah dikatakan dan harus menentukan peraturan berikut konsekuensinya. Meskipun guru memegang kendali, sebetulnya peserta didik sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi atas dirinya. Ini dapat dicapai dengan mencanangkan peraturan atau perilaku yang diharapkan berikut dengan konsekuensinya. 11 2.1.2 Pembelajaran Matematika 2.1.2.1 Pengertian Pembelajaran Matematika Menurut Bruner (Purwanto, 2006:56) belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubunga-hubungan antara konsep-konsep struktur-struktur matematika. Pemahaman terhadap konsep dan stuktur suatu materi menjadikan materi itu mudah dipahami secara komprehensif. Selain itu anak didiklebih mudah mengingat materi bila yang dipelajari mempunyai pola terstruktur. Dengan memahami konsep dan struktur akan mempermudah terjadinya transfer. Dalam belajar, Bruner hampir selalu memulai dengan memusatkan manipulasi material. Anak didik harus menemukan keteraturan dengan cara pertama-tama memanipulasi material yang sudah dimiliki oleh anak didik. Berarti anak didik dalam belajar haruslah terlibat aktif mentalnya yang dapat diperlihatkan dari keaktifan fisiknya. Bruner melukiskan anak-anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu: a. Tahap enaktif Pada tahap ini, dalam belajar anak didik menggunakan atau memanipulasi objek-objek secara konkret secara langsung. b. Tahap ikonik Pada tahap ini kegiatan anak didik mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objekobjek konkret seperti pada tahap enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek-objek yang dimaksud. c. Tahap simbolik Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek. Pembelajaran matematika menurut Suherman (2006) adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga siswa memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari. Salah satu komponen yang menentukan ketercapaian kompetensi adalah penggunaan strategi matematika, yang sesuai dengan (1) topik yang sedang dibicarakan, (2) tingkat 12 perkembangan intelektual siswa, (3) prinsip dan teori belajar, (4) keterlibatan siswa secara aktif, (5) keterkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari, (6) pengembangan dan pemahaman penalaran matematis. Untuk mendukung usaha pembelajaran yang mampu menumbuhkan kekuatan matematika diperlukan guru yang profesional dan kompeten, yaitu guru yang menguasai pembelajaran matematika, memahami karakteristik belajar siswa dan dapat membuat keputusan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Beberapa komponen dalam standar guru matematika yang profesional menurut Suherman (2006) adalah: (1) penguasaan dalam pembelajaran matematika, (2) penguasaan dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran matematika, (3) penguasaan dalam pengembangan profesional guru matematika, dan (4) penguasaan tentang posisi penopang dan pengembang guru matematika dalam pembelajaran matematika. Guru matematika yang profesional dan kompeten mempunyai wawasan landasan yang dapat dipakai dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran matematika. 2.1.2.2 Tujuan Pembelajaran Matematika di SD Belajar matematika merupakan tentang konsep-konsep dan struktur abstrak yang terdapat dalam matematika serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur matematika. Belajar matematika harus melalui proses yang bertahan dari konsep yang sederhana ke konsep yang lebih kompleks. Setiap konsep matematika dapat dipahami dengan baik jika pertama-tama disajikan dalam bentuk konkrit. Russeffendi dalam Slameto (2003) mengungkapkan bahwa alat peraga adalah alat untuk menerangkan/ mewujudkan konsep matematika sehingga materi pelajaran yang disajikan mudah dipahami oleh siswa. Salah satu dari Standar Kompetensi Lulusan SD pada mata pelajaran matematika yaitu, memahami konsep bilangan pecahan, perbandingan dalam pemecahan masalah, serta penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari (Depdiknas, 2006). Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa pemahaman guru tentang hakekat pembelajaran matematika di SD dapat merancang pelaksanaan proses pembelajaran dengan baik yang sesuai dengan perkembanagan kognitif siswa, penggunaan media, metode dan 13 pendekatan yang sesuai pula. Sehingga guru dapat menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif serta terselenggaranya kegiatan pembelajaran yang efektif. Tujuan pembelajaran matematika di SD dapat dilihat di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan 2006 SD. Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut, (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algortima, secara luwes, akurat, efesien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirikan solusi yang diperoleh, (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika sifat-sifat ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006). Selain tujuan umum yang menekankan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta memberikan tekanan pada ketrampilan dalam penerapan matematika juga memuat tujuan khusus matematika SD yaitu: (1) menumbuhkan dan mengembangkan ketrampilan berhitung sebagai latihan dalam kehidupan sehari-hari, (2) menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan melalui kegiatan matematika, (3) mengembangkan kemampuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut, (4) membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin (Depdiknas, 2006). 2.1.2.3 Ruang Lingkup Pengajaran Matematika SD Mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan sekolah dasar meliputi aspekaspek sebagai berikut: (1) bilangan, (2) geomteri, (3) pengolahan data (Depdiknas, 2006). Cakupan bilangan antara lain bilangan dan angka, perhitungan dan perkiraan. Cakupan geometri antara lain bangun dua dimensi, tiga dimensi, tranformasi dan simetri, lokasi dan susunan berkaitan dengan koordinat. Cakupan pengukuran berkaitan dengan perbandingan kuantitas suatu obyek, penggunaan satuan ukuran dan pengukuran. 14 Materi pecahan di kelas IV merupakan materi yang baru, sehingga membutuhkan metode pembelajaran yang tepat dalam pelaksanaan pembelajaran. Bilangan pecahan yang digunakan oleh penulis menggunakan materi pelajaran matematika kelas IV Sekolah Dasar. Materi tersebut masih merupakan materi yang cukup sulit untuk dipahami siswa. Bilangan pecahan dalam pembelajarannya harus menggunakan alat peraga dan metode pembelajaran yang tepat, karena siswa akan lebih mudah memahaminya dan tidak cepat lupa. Menurut Ichsan (2005) dalam bukunya yang berjudul Pembelajaran Pecahan di SD. Pecahan atau bilangan pecah mempunyai dua pengertian yaitu : 1. Bilangan untuk menyatakan banyaknya bagian dari suatu benda utuh yang dibagi menjadi dua bagian-bagian yang sama besar. 2. Bilangan untuk menyatakan suatu bilangan. Dalam penelitian ini pokok bahasan yang diteliti adalah pokok bahasan arti pecahan dan urutannya. Materi pecahan di kelas IV merupakan materi kelanjutan dari kelas III. Materi pecahan di kelas III masih berupa materi pengenalan pembilang dan penyebut pada semester II, sehingga saat di kelas IV siswa masih banyak yang belum memahami materi tersebut. Ichsan (2005) memberi contoh pada siswa yang sering dijumpai sehari-hari dengan menggunakan apel, roti, telur asin, untuk mengenalkan pecahan 1/2, 1/3, 1/4, 1/6 dan lain sebagainya. 2.1.2.4 Fakor-Faktor Yang Mempengaruhi Anak dalam Hasil Belajar Matematika Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar : 1. Faktor intern Faktor intern adalah faktor yang berada di dalam diri anak didik yang sedang belajar. Faktor intern dikelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu faktor jasmaniah (tubuh), psikologis, dan kesehatan. a. faktor jasmani (tubuh) Faktor jasmani yang dapat mempengaruhi anak dalam belajar matematika ditinjau dari faktor kesehatan dan cacat tubuh. (Slameto, 2003:54-55) 1) Faktor kesehatan 15 Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya, atau bebas dari penyakit. Kesehatan adalah keadaan atau hal sehat. Kesehatan seorang anak berpengaruh terhadap belajarnya. Proses belajar seorang anak akan terganggu jika kesehatannya terganggu. Ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, pusing, ngantuk ,lemah, dan sebagainya. Keadaan tersebut menyebabkannya malas berpikir, terutama melakukan operasi hitung dan semacamnya, serta malas melakukan kegiatan matematika. Dari hasil angket terbuka yang diajukan kepada 38 mahasiswa PGSD UPPI UNNES Semarang pada tanggal 1 juni 2004 tentang faktor-faktor yang menyebabkan mereka tidak suka belajar matematika ,11 mahasiswa (28,9%) menyatakan bahwa dia tidak suka belajar matematika kalau kesehatannya sedang terganggu (sakit), hendaknya ia berobat atau istirahat dahulu agar sembuh baru belajar lagi . Agar seseorang dapat belajar matematika dengan baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin dengan selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan untuk belajar, tidur, makan, olahraga, dan rekreasi. Oleh karena itu, agar anak tetap sehat, sehingga faktor kesehatan tidak menjadi salah satu faktor yang dapat membuat anak tidak suka belajar matematika, hendaknya para guru mau bekerja sama dengan orang tua anak didik untuk memperhatikan kesehatan anaknya. Selain itu hendaknya guru tanggap terhadap anak yang terganggu kesehatannya, untuk menyarankan istirahat dan segera berobat. Kalau kelas sedang diserang suatu penyakit ringan, misalnya flu, sedangkan bertepatan dengan pelajaran matematika, guru sebaiknya tidak memberikan materi baru. Sebaiknya yang diberikan matematika ria, yang berupa teka-teki ringan atau permainan matematika. Dengan demikian anak tetap senang belajar matematika meskipun sedang sakit. 2) Cacat tubuh Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh atau badan. Cacat itu dapat berupa buta, setengah buta, tuli, setengah tuli, patah kaki atau tangan, lumpuh, dan sebagainya. Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Anak didik yang cacat, belajarnya juga terganggu. Anak yang buta atau setengah buta tentu tidak dapat melihat 16 tulisan dipapan tulis dengan jelas. Dengan demikian anak tersebut tidak dapat melakukan interaksi yang baik dengan guru maupun dengan teman. Jika hal-hal tersebut terjadi, hendaknya dia belajar pada lembaga pendidikan khusus atau diusahakan alat bantu agar dapat menghindari atau mengurangi pengaruh kecacatannya. b. Faktor psikologi Ada 7 faktor psikologis yang dapat mempengaruhi belajar anak. 1) Intelegensi Intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar anak. Dalam situasi yang sama, anak didik yang memiliki intelegensi yang tinggi akan lebih cepat berhasil dari pada yang mempunyai tingkat intelegensi rendah. Walaupun demikian, anak didik yang mempunyai tingkat intelegensi tinggi belum tentu berhasil dalam belajarnya. Hal ini disebabkan karena belajar adalah suatu proses yang kompleks, dengan banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, sedangkan intelegensi hanya merupakan salah satu faktor saja dari antara faktor yang lain. Anak didik yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi dapat cepat berhasil belajarnya dengan maksimal jika belajar dengan baik, artinya belajar dengan menerapan metode belajar yang efisien, dan faktor-faktor yang mempengaruhi belajarnya memberi pengaruh positif. Sedangkan anak yang mempunyai tingkat intelegensi rendah, untuk mendapatkan hasil yang baik dalam belajar memerlukan waktu lebih lama, serta penanganan khusus. Agar faktor intelegensi ini dapat berkembang menjadi pengaruh positif bagi anak dalam belajar matematika, guru harus bijaksana dalam menangani perbedaan intelegensi tiap-tiap anak. Misalnya memberikan pengayaan bagi anak yang cepat menguasai materi (punya intelegensi tinggi), dan memberikan kegiatan tambahan atau kesempatan belajar lebih lama bagi yang lamban (punya intelegensi rendah). Anak didik yang lamban lebih banyak membutuhkan motivasi dari guru untuk berani dan belajar matematika. Para guru jangan sampai mematahkan semagat belajar anak didik yang lamban belajar matematika, atau membuatnya takut, atau membuatnya rendah diri. Misalnya dengan mengatakan “bodoh”, membentak atau memarahi karena kelambanannya. Sebaliknya, para guru juga jangan sampai membuat anak didiknya yang pandai menjadi 17 sombong dengan memuji terus dihadapan temannya. Lebih baik guru memanfaatkan anak yang punya kepandaian lebih tinggi dengan memberi tugas kepadanya untuk menolong menjelaskan kepada temannya yang kurang. Ada kalanya tutor teman sebaya lebih dapat berhasil. Bagi guru yang mempunyai anak didik dengan tingkat intelegensi sangat rendah (di bawah normal), hendaknya memberikan saran kepada orang tua anak tersebut untuk menyekolahkan anaknya disekolah khusus. 2) Perhatian Menurut Gazali (Slameto, 2003:56), perhatian adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi dan hanya tertuju kepada suatu objek (benda/hal) atau kumpulan objek tertentu. Jika dalam belajar matematika perhatian anak tinggi, maka dia akan berhasil (hasil belajarnya tinggi). Sebaliknya jika perhatiannya rendah dalam belajar matematika, mungkin bosan atau tidak suka, maka tidak berhasil (hasil belajarnya rendah). Dan jika hal ini terjadi, mengakibatkan anak tersebut menjadi sangat tidak suka terhadap matematika. Untuk menarik perhatian anak didik terhadap suatu topik pada pelajaran matematika, para guru dapat menggunakan cara antara lain dengan memakai alat peraga dengan menarik dan menimbulkan keingintahuan yang besar bagi anak, memakai beraneka pendekatan yang sesuai dengan kesenangan anak, dan lain sebagainya. Strategi yang digunakan dalam pembelajaran matematika hendaknya tidak monoton, agar tidak membosankan anak didik, karena perhatian anak akan hilang jika dia merasa bosan. Hendaknya guru selalu mengusahakan agar anak merasa mendapatkan kesenangan pada saat dia belajar matematika. Pada umumnya setiap anak tentu senang bermain, maka pendekatan dengan permainan sangat disenangi oleh anak. 3) Minat Menurut Hilgard (Slameto, 2003:57) minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan menikmati suatu kegiatan atau suatu hal (interest is persisting tendency to pay attencion to enjoy some activity or content). Jika suatu kegiatan/hal diminati seseorang, maka akan diperhatikan dan dinikmatinya terus-menerus dengan disertai rasa senang. Ada perbedaan antara perhatian dengan minat. Jika perhatian sifatnya sementara dan belum tentu disertai dengan rasa senang, maka minat sifatnya terus-menerus dan disertai dengan rasa senang dan puas. 18 Pengaruh minat sangat besar terhadap belajar anak. Jika anak tidak berminat pada suatu topik/materi matematika yang sedang dipelajari, maka dia akan malas untuk mempelajarinya, dan perhatiannya pada pelajaran tersebut akan hilang. Sebalikya, jika seorang anak menaruh minat terhadap terhadap suatu topic/materi matematika yang sedang dipelajari, maka dia akan senang mempelajarinya. Karena belajar dengan situasi yang senang, maka anak akan merasa lebih mudah dalam mempelajari topic tersebut, sehingga hasil belajarnya tinggi. Dengan demikian anak tersebut akan memperoleh kepuasan. Jika ada anak didik yang tidak berminat terhadap pelajaran matematika, maka guru hendaklah berusaha menumbuhkan minatnya dengan cara, antara lain, menjelaskan kegunaan matematika dalam kehidupan manusia, untuk dapat mencapai cita-cita diperlukan kemampuan matematika, dan lain sebagainya. Perlu juga dijelaskan adanya kaitan antara pelajaran matematika dalam pelajaran yang diminati oleh anak tersebut. 4) Bakat Menurut Hilgard (Slameto 2003:57) bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih. Orang yang berbakat menyanyi (olah vocal) akan lebih cepat untuk dapat menirukan lagu yang didengar dengan baik, bila dibandingkan orang yang tidak berbakat dalam olah vocal. Dengan demikian, bakat juga mempengaruhi belajar anak. Jika materi yang sedang dipelajari anak didik sesuai dengan bakatnya, maka hasil belajarnya tentu akan lebih baik. Dengan hasil belajar yang baik, anak menjadi senang, selanjutnya dia akan lebih giat dalam mempelajarinya. Jika ada anak didik yang tidak berbakat dalam bidang matematika, hendaklah guru berusaha membangkitkan minatnya terhadap pelajaran matematika. Dengan berminat pada pelajaran matematika akan membantu anak lebih berhasil, karena dapat lebih tahan lama belajar matematika. 5) Motif Menurut James Drever (Slameto 2003:58) motif adalah sebuah factor alamiah yang efektif yang bergerak dalam menentukan arah tingkah laku seseorang menuju pada tujuan akhir cita-cita, baik dipahami secara sadar atau tidak. 19 Jadi motif erat sekali hubungannya dengan tujuan akhir yang akan dicapai. Motif bisa merupakan penyebab tidakan. Motif juga dipakai sebagai pendorong atau penggerak seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Motif yang dimiliki seseorang bisa saja tidak disadari oleh pelaku tindakan, apalagi oleh orang yang melihat tindakannya. Dalam pembelajaran matematika haruslah guru memperhatikan apa yang dapat menjadi pendorong anak untuk dapat belajar matematika, atau sudahkah anak mempunyai motif untuk berfikir, memusatkan perhatian, merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan/menunjang dalam belajar matematika. Jika ada anak didik yang tidak punya motif untuk belajar matematika, guru dapat memberikan motifasi pada anak untuk belajar matematika, misalnya dengan hadiah bagi yang berhasil, atau memberi poin untuk dapat menjawab pertanyaan dengan tepat, dan lain sebagainya. Kehendak untuk mendapat hadiah, mendapat poin, mendapat nilai baik, dapat mengungguli nilai teman, mendapat pujian dari guru atau orang tua, semua itu dapat menjadi motif bagi anak untuk belajar matematika. 6) Kematangan Menurut Slameto (2003:58) kemangatangan adalah suatu tingkah/fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya atau daya tangkap dan daya pikirnya telah siap untuk melaksanakan kecakapan atau menerima konsep baru, misalnya anak kelompok usia 6-9 tahun belum matang dalam menguasai koordinasi otot halus sehingga belum sempurna dalam melakukan kegiatan menggunting dan menulis, sebaliknya anak kelompok usia 9-12 tahun sudah matang di dalam koordinasi otot halus sehingga mulai dapat sempurna di dalam menggunting dan menulis. Contoh lain, anak yang telah memahami kekekalan bilangan telah siap untuk belajar konsep bilangan,berarti anak sudah matang untuk belajar konsep bilangan. Perlu diperhatikan bahwa kematangan tidak berarti anak dapat melaksanakan kegiatan secara terus-menerus. Untuk itu perlu diperlukan latihan-latihan. Hal ini berarti untuk dapat menguasai konsep bilangan cacah, anak perlu banyak latihan untuk memahami konsep bilangan. Misalnya sesudah anak diberi kegiatan untuk memahami bilangan cacah sampai dengan sepuluh (missal dengan teori belajar Bruner). Dari uraian diatas, tingkat kematangan anak tidak menyebabkan anak tersebut dapat melakukan kegiatan sendiri untuk memahami konsep baru. Tingkat kematangan 20 yang ada pada anak didik harus disertai dengan latihan-latihan tertentu sebagai alat bantu untuk mamahirkan anak didik melakukan kegiatan tertentu atau menerima konsep baru. Memang benar bahwa tingkat keberhasilan anak didik di dalam menerima pelajaran baru dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi harus diawali dengan tingkat kematangan yang seimbang dengan tingkat kesulitan pelajaran yang akan diterima. c. Faktor Kelelahan Kelelahan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan fisik dan kelelahan psikis. Kelelahan fisik terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Kelelahan fisik terjadi karena adanya kekacauan substansi sisa pembakaran di dalam tubuh, sehingga aliran darah tidak/kurang lancer pada bagian-bagian tertentu. Kelelahan psikis dapat dilihat dengan adanya kelesuan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang. Kelelahan ini sangat terasa pada bagian kepala dengan pusing-pusing sehingga sulit untuk berkonsentrasi, seolah-olah otak kehabisan daya untuk bekerja. Kelelahan psikis (rohani) dapat terjadi jika terus-menerus memikirkan masalah yang dianggap berat tanpa istirahat, menghadapi hal-hal yang selalu sama/konstan tanpa variasi, atau mengerjakan sesuatu karena terpaksa dan tidak sesuai dengan bakat, minat, dan perhatian. Dari uraian diatas dapatlah dimengerti bahwa kelelahan itu mempengaruhi belajar. Agar anak didik dapat belajar dengan baik haruslah menghindari kelelahan, baik kelelahan fisik maupun kelelahan psikis. Kelelahan fisik dan psikis dapat dihilangkan dengan caracara sebagai berikut: 1) Tidur/istirahat 2) Mengusahakan variasi strategi dalam belajar 3) Menggunakan obat-obatan yang bersifat melancarkan peredaran darah seperti obat gosok 4) Olah raga secara teratur 5) Pola makan yang teratur dan sehat 6) Jika kelelahan yang dialami sangat serius, maka akan lebih efektif jika menghubungi ahli seperti psikiater, dokter, dan sebagainya. 21 Dengan mengacu pada paparan tersebut diatas, upaya agar anak dapat belajar matematika dengan baik, harus menghindarkannya dari kelelahan, baik kelelahan fisik maupun kelelahan psikis. Untuk itu guru hendaklah memperhitungkan banyaknya tugas yang diberikan pada anak didik. Jangan sampai terlalu banyak hingga melelahkan anak. Jika anak kelelahan dalam mengerjakan PR atau tugas matematika, maka hasil balajarnya menjadi tidak optimal. Jika anak merasa hasil belajarnya kurang baik, maka dia menjadi kecewa. Kekecawaan ini dapat menyebabkan anak tidak senang dalam pelajaran matematika. Oleh karena itu sebaiknya tugas yang diberikan kepada anak SD-MI hanya 2 sampai 3 soal, tetapi diberikan secara rutin dan bervariasi. 2. Faktor Ekstern Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang berada diluar diri anak tersebut. Faktor ekstern digolongkan menjadi 2 faktor, yaitu faktor keluarga dan faktor sekolah. a. Faktor keluarga Anak didik akan menerima pengaruh dari keluarga berupa, antara lain: cara orangtua mendidik, hubungan antar keluarga, suasana rumah. 1) Cara orangtua mendidik Menurut Slameto (2003:61) keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Pendidikan dalam fase kecil yang dilakukan oleh keluarga menjadi penentu dalam pendidikan anak dalam fase yang lebih besar, seperti pendidikan disekolah dan pendidikan dimasyarakat dari pernyataan diatas, metode pendidikan yang diberikan orang tua sangatlah berpengaruh bagi jenjang pendidikan disekolah, dan keberhasilan anak didik dalam mengikuti materi pelajaran disekolah sangat dipengaruhi oleh metode pendidikan orang tua dirumah. Orang tua yang bersifat acuh tak acuh terhadap pendidikan anak berakibatnya gagal pendidikan anak dijenjang sekolahan. Sikap acuh tak acuh ini dapat dinyatakan dengan sikap tak mau tahu terhadap cara belajar anak, tidak mau menyediakan media yang mau menunjang belajar anak, terlalu memanjakan anak, tidak mengatur cara belajar anak dirumah, dan sebagainya. Sebaliknya, orang tua yang sangat memperhatiakan pendidikan anaknya berpenagruh pada keberhasilan pendidikan anak. Sebagai contoh, 22 orang tua yang sabar membantu, menunggui, memperhatikan dan memenuhi fasilitas anaknya untuk belajar matematika akan membuat anak tersebut merasa senang dan nyaman belajar matematika. Orang tua juga perlu memberikan kebiasan belajar yang baik kepada anak, termasuk belajar matematika. Misalnya setiap hari anak belajar matematika dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga anak tidak menjadi bosan, melainkan menjadi senang dan terbiasa belajar matematika. Sedapat mungkin, orang tua berusaha mengadakan alat peraga untuk belajar matematika bagi anaknya. Bagi orang tua yang kurang mampu, dapat membuat alat peraga sendiri. Untuk itu sebaiknya orng tua berhubungan dengan guru atau aktif membaca buku tuntunan untuk belajar matematika. 2) Relasi antara anggota keluarga Disamping pendidikan orang tua dirumah, hubungan antara anggota keluarga juga menjadi faktor dalam keberhasilan belajar anak didik. Hubungan yang menunjang dalam belajar anak adalah hubunagn yang positif antara orang tua dan anak maupun antara saudara, contohnya hubungan saling mengasihi, saling mengerti dan saling memperhatikan. Hubungan kasih, pengertian, dan perhatian yang diungkapkan bukan berartiharus memanjakan anak sehingga anak akan lupa dengan tugasnya sebagai pelajar. 3) Suasana rumah Suasana rumah juga bisa menjadi faktor yang dapat mendukung atau faktor yang tidak mendukung belajar anak, dan bisa menjadikan hasil belajar menjadi optimal atau minimal. Suasana yang tidak mendukung belajar anak adalah rumah yang kacau, dan ribut. Kekacauan atau keributan yang terjadi bias disebabkan banyak hal. Mungkin bisa berupa keributan yang ditimbulkan karena banyaknya kegiatan yang diadakan dirumah, misalnya sering ada pertemuan atau resepsi, dan sebagainya. Untuk itu suasana harus diusahakan tenang, teteram, tidak bising, dan tidak ada pertengkaran. Selain itu juga diusahakan cukup mendapat udara segar serta cahaya/penerangan dengan suasana rumah yang sehat dan mendukung anak dalam belajar matematika, maka anak menjadi betah dalam belajar matematika dan akhirnya menjadi senang dalam belajar matematika. 23 b. Faktor Sekolah Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar antara lain: 1) Metode mengajar Metode mengajar adalah suatu cara yang ditempuh oleh guru untuk menciptakan situasi pengajaran yang benar-benar menyenangkan dan mendukung kelancaran proses belajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan. 2) Metode belajar Banyak anak yang salah dalam memakai metode belajar, mereka tidak belajar secara rutin. Mereka lebih suka baru belajar kalau ada ulangan atau sedang ada ujian. Hal ini menyebabkan beban yang harus dipelajarinya banyak sedangkan waktu belajar sedikit, akibatnya hasil belajar mereka tidak maksimal. Disamping itu mereka jatuh sakit pada saat ujian karena semalaman belajar terus dan kurang tidur atau istirahat, tidak digunakan untuk belajar. Teristimewa untuk matematika, metode belajar “wayangan “ seperti itu tidak dapat diterapkan, karena selain konsep yang perlu dipahami, didalam matematika juga diperlukan pula latihan-latihan yang berkesinambungan untuk ketrampilannya. 3) Media pengajaran Media pengajaran erat sekali hubungannya dengan cara belajar anak, karena dipakai anak untuk belajar atau menguasai bahan pelajaran. Media pengajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar dan mempermudah anak belajar. Jadi media pengajaran, baik alat pelajaran maupun alat peraga, sangat berpengaruh terhadap belajar anak. 4) Guru Guru merupakan salah satu faktor yang besar pengaruh yang besar bagi belajar anak. Jika anak senang pada guru matematikanya, maka ia akan senang pada pelajaran matematika, serta aktif dan giat mengikuti semua kegiatan selama proses pembelajaran matematika. Hal ini menyebabkan prestasi hasil belajar matematikanya tinggi. Sebaliknya, jika anak tidak suka pada guru matematikanya, malas mengikuti krgiatan selama proses pembelajaran matematika, serta malas untuk berinteraksi dengan gurunya. Hal ini menyebakan prestasi belajar matematikanya rendah. 24 Oleh karena itu, agar guru dapat menjadi faktor positif atau yang menyenangkan bagi belajar anak, maka guru harus berusaha agar dirinya menjadi idola bagi anak didiknya. Hendaknya guru berusaha agar anak senang berinteraksi dengannya baik didalam pembelajaran matematika maupun diluar kela, serta menjadikan dirinya guru matematika yang ideal bagi anak didiknya. 5) Interaksi dikelas atau disekolah Interaksi anak dengan guru maupun dengan teman dikelas atau disekolah juga mempengaruhi belajar anak. Anak yang takut pada guru matematikanya juga takut pad pelajaran matematika. Dikelas dia tidak berani maju mengerjakan soal dipapan tulis, atau mengeluarkan pendapatnya, karena takut salah atau dimarahi. Hal ini menyebabkan prestasi belajar matematika anak turun. Penurunan prestasi belajar matematika berlanjut pada penurunan anak pada minat matematika, yang menyebakan anak tidak suka pelajaran matematika. Oleh karena itu hendaknya guru dapat menciptakan interaksi yang baik diluar atau didalam kela, terutama interaksi dalam pembelajaran. 6) Materi pelajaran Materi pelajaran merupakan pengaruh yang cukup besar bagi belajar anak jika materi yang dipelajari menyenagkan, menarik perhatian dan minat anak, maka anak akan tekun, bersemangat dan senang mempelajarinya. Sebaliknya, jika materi tidak disukai oleh anak, terlalu sulit dan tidak dapat menarik perhatian dan minat anak, maka anak akan enggan untuk belajar. Sedangkan anak dapat timbul minatnya untuk belajar matematika, jika dia merasa kebutuhannya terpenuhi dengan belajar matematika. 2.1.3. Hasil Belajar Menurut Sudjana (2004: 14) hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan Nasution (2003: 42) berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun 25 kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum. Penilaian merupakan upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian (formatif), nilai ulangan tengah semester (Sub sumatif), dan nilai ulangan semester (sumatif). Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Proses penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu. Hasil belajar menurut Sudjana (2004: 22) dibagi menjadi tiga macam hasil belajar yaitu : (a). Keterampilan dan kebiasaan; (b). Pengetahuan dan pengertian; (c). Sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah. 2.1.4. Ganjaran sebagai Alat untuk Meningkatkan Hasil Belajar Ganjaran merupakan penilaian yang bersifat positif terhadap belajar murid (Indrakusuma, 1993:159); pada umumnya ganjaran/pujian merupakan motivator yang jauh lebih berkhasiat dari pada celaan, hukuman atau ujian ulangan (Sutadipura, 1982:132). Pada umunya jiwa anak melihat bahwa pujian guru itu sebagai sumber mendapatkan kepuasan, maka tindakan guru itu akan menjadi pendorong untuk terjadinya tingkah laku. Pujian dapat dilakukan dengan memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikan pada stimulus tertentu secara berkali-kali, Skinner menyebutkan hal ini dengan reinforcement (peneguhan), misalnya bila setiap anak menyebut kata yang sopan kita segera memujinya, kelak anak itu akan mencintai kata-kata yang sopan dalam komuikasinya, atau pada waktu mahasiswa membuat prestasi yang baik kita menghargainya dengan sebuah buku yang bagus, maka mahasiswa akan meningkatkan prestasinya. (Rahmat, 1994:24) 26 2.1.5. Penggunaan Ganjaran dalam Pembelajaran Matematika Ganjaran merupakan alat pendidikan represif yang menyenangkan (Indrakusuma, 1993). Dalam pembelajaran matematika banyak guru yang mengeluhkan rendahnya kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. Hal ini terlihat dari banyaknya kesalahan siswa dalam memahami konsep matematika sehingga mengakibatkan kesalahan–kesalahan dalam mengerjakan soal sehingga mengakibatkan rendahnya prestasi belajar siswa (skor) baik dalam ulangan harian, ulangan semester, maupun ujian akhir sekolah, padahal dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas biasanya guru memberikan tugas (pemantapan) secara kontinu berupa latihan soal. Kondisi riil dalam pelaksanaannya latihan yang diberikan tidak sepenuhnya dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. Rendahnya mutu pembelajaran dapat diartikan kurang efektifnya proses pembelajaran. Penyebabnya dapat berasal dari siswa, guru maupun sarana dan prasarana yang ada, minat dan motivasi siswa yang rendah, kinerja guru yang rendah, serta sarana dan prasarana yang kurang memadai akan menyebabkan pembelajaran menjadi kurang efektif. Saat sekarang ini sistem pembelajaran harus sesuai dengan kurikulum yang menggunakan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Jadi pendidikan tidak hanya ditekankan pada aspek kognitif saja tetapi juga afektif dan psikomotorik. Metode pembelajaran yang kurang efektif dan efisien, menyebabkan tidak seimbangnya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, misalnya pembelajaran yang monoton dari waktu ke waktu, guru yang bersifat otoriter dan kurang bersahabat dengan siswa, sehingga siswa merasa bosan dan kurang minat belajar. Untuk mengatasi hal tersebut maka guru sebagai tenaga pengajar dan pendidik harus selalu meningkatkan 27 kualitas profesionalismenya yaitu dengan cara memberikan kesempatan belajar kepada siswa dengan melibatkan siswa secara efektif dalam proses pembelajaran. Juga mengupayakan agar siswa memiliki motivasi melalui bentuk-bentuk penghargaan atau ganjaran sehingga siswa memiliki antusiasme dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika yang selama ini dianggap siswa sebagai pelajaran yang sulit perlu langkah tepat agar motivasi menyimak pelajaran tumbuh dengan baik (Suherman, 2004: 62). Diantaranya adalah pemberian ganjaran berupa benda dan nonbenda. Pemberian ucapan “bagus” atau “hebat” ketika siswa mampu mengerjakan dengan baik atau mampu menjawab pertanyaan yang disampaikan guru merupakan suatu bentuk ganjaran yang dapat memberikan nilai positif terhadap motivasi belajar siswa. Faktor motivasi tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar. Bentuk lain dari pemberian ganjaran adalah ganjaran benda, misalnya memberi tanda “bintang” plastik terhadap siswa yang mengerjakan soal dengan benar atau menjawab pertanyaan yang disampaikan guru atau memperoleh nilai terbaik di kelas ketika dilakukan tes. Ganjaran berupa benda tersebut akan menumbuhkan motivasi dalam diri anak (Purwanto, 2001: 184). Keberhasilan pembelajaran matematika dalam arti tercapainya standar kompetensi, sangat bergantung pada kemampuan guru mengolah pembelajaran yang dapat menciptakan situasi yang memungkinkan siswa belajar sehingga merupakan titik awal berhasilnya pembelajaran (Semiawan, 2005: 54). Banyaknya teori dan hasil penelitian para ahli pendidikan yang menunjukkan bahwa pembelajaran akan berhasil bila siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. 28 2.1.6. Hasil-hasil Penelitian Yang Relevan Hasil penelitian yang relevan atau hampir sama dengan penelitian ini adalah tindakan kelas oleh Indriaswati (2009) yaitu ganjaran non verbal sebagai media meningkatkan hasil prestasi belajar IPA khususnya tentang pemahaman sifat-sifat cahaya siswa kelas V di SD Negeri Sumobroto Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Tahun Pelajaran 2009/2010. Hasil penelitian itu untuk mengetahui apakah Ganjaran Non Verbal sebagai media meningkatkan prestasi belajar, khususnya tentang pemahaman konsep sifat-sifat cahaya kelas V. Dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa sebelum menggunakan pemberian Ganjaran Non Verbal prestasi belajar IPA khususnya tentang pemahaman konsep sifatsifat cahaya di SD Negeri Sumobroto Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Tahun pelajaran 2009/2010 adalah batas tuntas dari 29 siswa ternyata yang tuntas 60%. Bahkan terdapat peserta didik yang nilainya kurang dari 60. Setelah menggunakan tekhnik pemberian penguatan siswa mengalami peningkatan 80%. Penelitian lain juga dilakukan oleh Mohamad Yusuf dengan judul Pengaruh Pelaksanaan Ganjaran dan Hukuman Terhadap Motivasi Berprestasi Siswa di MTs. NU 05 Sunan Katong Kaliwungu Kendal (iib.uin-malang.ac.id). Penelitian ini menggunakan metode survey korelasional. Subyek penelitian sebanyak 504 yang berasal dari 3 (tiga) kelas, kelas satu sebanyak 172 siswa, kelas dua senyak 132 siswa dan kelas tiga sebanyak 200 siswa yang jumlah keseluruhan merupakan populasi. Pengumpulan data menggunakan angket untuk menjaring data X1, X2 dan Y. Data penelitian yang terkumpul di analisa dengan menggunakan teknik analisis diskriptif dan inferensial. Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi dua prediktor dengan skor deviasi. Pengujian hipotesis penelitian menunjukkan : 1) terdapat hubungan yang positif antara pelaksanaan ganjaran dengan motivasi berprestasi, hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi Rx1y = 0.390 dan koefisien determinan R2x1y = 0.1517 (hal ini menunjukkan bahwa 15.2% motivasi belajar ditentukan oleh ganjaran (reward), melalui fungsi taksiran Y = 0,547 X1 + 26,2699. 2) terdapat hubungan yang positif antara Pelaksanaan hukuman dengan motivasi berprestasi, hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi Rx2y = 0.406 dan koefisien determinan R2x1y = 0.1649 (hal ini menunjukkan bahwa 16.49% motivasi belajar ditentukan oleh hukuman (punishment), melalui fungsi taksiran Y = 0,55348 X2 + 26,045. 29 3) terdapat hubungan yang positif antara pelaksanaan ganjaran dan hukuman terhadap motivasi berprestasi, hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi Rx(1,2)y = 0.462 dan koefisien determinan R2x(1,2)y = 0.1865 (hal ini menunjukkan bahwa 18.65% motivasi berprestasi ditentukan oleh pelaksanaan ganjaran dan hukuman), melalui fungsi taksiran Y = 0,2895 X1 + 0,3565 X2 + 22,6355. Dengan demikian hipotesis yang penulis ajukan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan antara pelaksanaan ganjaran (X1) dan pemberian hukuman (X2) terhadap motivasi berprestasi siswa di MTs. NU 05 Sunan Katong Kaliwungu Kendal diterima 2.2. Kerangka Berfikir Kerangka berfikir dalam penelitian “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV Melalui Pemberian Ganjaran di SDN 01 Nyemoh Kec.Bringin Kab Semarang Semester II 2011/2012” adalah sebagai berikut : partisipasi guru kurang baik saat proses pembelajaran Matematika Kelas IV SD Negeri 01 Nyemoh Kec.Bringin Kab Semarang berlangsung, sehingga berimbas pada hasil belajar dan motivasi yang kurang optimal. Pengajaran merupakan suatu sistem, yaitu sebagai kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan (Sumaatmadja, 1984). Sebagai suatu sistem, pengajaran mengandung sejumlah komponen antara lain : mata pelajaran, metode, media, alat eveluasi dan lain-lain, yang berinteraksi satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang telah dirumuskan dan salah satu cara yang dilakukan dalam PBM yaitu dengan pemberian ganjaran kepada siswa. Pemberian ganjaran pada penelitian ini diterapkan karena diharapkan dapat memotivasi siswa saat belajar dan memancing siswa untuk giat belajar sehingga didalam kelas terdapat persaingan yang mengarah ke hal positif dan siwa tertarik untuk mengikuti proses pembelajaran. Adapun ganjaran-ganjaran berupa pujian, ganjaran berupa aktivitas, ganjaran berupa benda, ganjaran berupa tanda kredit sehingga hasil belajarnya meningkat. Adapun skema dapat dilihat dalam gambar 2.1 : 30 Kondisi awal Tindakan Kondisi Kondisi Akhir akhir Guru belum memberi ganjaran saat proses pembelajaran matematika Guru menerapkan pemberian ganjaran saat proses belajar matematika Hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika meningkat dan tuntas (≥ KKM) (70) 2.3. Hipotesis Penelitian Hasil belajar siswa rendah pada mata pelajaran matematika ≤ 70 (KKM) Siklus 1: Hasil belajar pada siswa meningkat tetapi belum tuntas Siklus 2: Hasil belajar siswa meningkat pada mata pelajaran matematika (≥ KKM) (70) Gambar 2.1 Kerangka berfikir Berdasarkan Kajian Teori dan Hasil penelitian yang relevan, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: Pemberian ganjaran dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri I Nyemoh Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.