BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Alterasi dan Endapan Hidrotermal

advertisement
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1
Alterasi dan Endapan Hidrotermal
Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan
perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan. Proses tersebut
merupakan hasil interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya
pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno, 1992). Secara istilah, larutan
hidrotermal adalah cairan panas, yang umumnya berasosiasi dengan proses
magmatik, namun dapat pula berasal dari air meteorik, air connate, atau air yang
mengandung mineral yang dihasilkan selama proses metamorfisme dan kemudian
terpanaskan di dalam perut bumi (Bateman dan Jensen, 1981). Proses naiknya larutan
hidrotermal ke permukaan menyebabkan terjadinya ubahan pada batuan samping.
Proses ubahan ini disebabkan oleh kecenderungan mineral dalam batuan untuk
membentuk suatu mineral baru agar mencapai kesetimbangan. Menurut Bateman dan
Jensen (1991), faktor-faktor yang mempengaruhi tipe dan intensitas ubahan
hidrotermal adalah:
-
Karakteristik dan komposisi dari batuan induk (host rock)
-
Komposisi larutan hidrotermal
-
Tekanan dan temperatur serta perubahan fase pada larutan hidrotermal
-
Perubahan pada unsur tertentu
Namun, temperatur dan sifat kimia (pH) larutan hidrotermal dianggap sebagai
dua faktor yang paling berpengaruh dalam proses ubahan hidrotermal (Corbett dan
Leach, 1998). Mineral-mineral di dalam batuan yang terkena fluida hidrotermal
cenderung terubah menjadi mineral sekunder baru yang lebih sesuai dengan
perubahan kondisi pH dan temperatur.
Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan mineral
alterasi disebut sebagai zona alterasi (Guilbert dan Park, 1986). Berikut adalah
beberapa zona alterasi yang dibedakan berdasarkan kumpulan mineral, temperatur,
dan pH larutan hidrotermal (Morrison, 1995):
-
Potasik merupakan zona alterasi yang berada dekat dengan intrusi dengan
temperatur fluida hidrotermal lebih dari 3000C dan salinitas tinggi. Zona
alterasi ini dicirikan dengan pembentukan mineral sekunder berupa K-
Dewi Prihatini (12007012)
15
feldspar, biotit, kuarsa, dan magnetit. Selain itu aktinolit, epidot, klorit, dan
anhidrit, serta sedikit rutil dan albit juga dapat muncul dalam zona ini.
-
Propilitik merupakan zona alterasi yang terbentuk pada kondisi pH netral
sampai alkali dengan temperatur berkisar antara 2000-3000C. Mineral-mineral
penciri zona ini diantaranya adalah klorit, kalsit, dan epidot yang dapat
disertai dengan kuarsa, adularia, albit, serisit, dan anhidrit. Zona ini
merupakan fase alterasi lanjutan dari alterasi potasik.
-
Filik merupakan zona alterasi yang ditandai dengan kehadiran mineral
sekunder yang didominasi oleh serisit dan kuarsa. Selain itu dapat pula
muncul pirit dan anhidrit. Tipe alterasi ini terbentuk akibat fluida netral
sampai asam pada temperatur sedang yaitu berkisar antara 2000-4000C.
Biasanya terbentuk pada daerah yang permeabel dan berdekatan dengan urat.
-
Argilik merupakan zona alterasi yang ditandai dengan pembentukan mineral
lempung bertemperatur rendah seperti kaolinit, montmorillonit, smektit, dan
illit. Alterasi ini terbentuk akibat kondisi fluida hidrotermal netral sampai
asam dengan temperatur rendah (<2300C).
-
Argilik lanjut merupakan zona alterasi yang terbentuk pada fluida asam
(pH<4) yang ditandai dengan hadirnya alunit, diaspor, pirofilit, bersama
dengan kuarsa, kalsedon, kaolinit, dan dikit.
Corbett dan Leach (1998) menggambarkan himpunan mineral yang terbentuk
pada kondisi pH dan temperatur tertentu serta tipe endapannya dalam suatu sistem
hidrotermal. Setiap mineral hanya akan terbentuk jika berada dalam kondisi yang
stabil. Oleh karena itu, beberapa mineral tertentu hanya akan terbentuk pada kondisi
pH dan temperatur tertentu (Gambar 3.1).
Dewi Prihatini (12007012)
16
Gambar 3.1 Himpunan mineral berdasarkan pH dan temperatur pembentukannya
(Corbett dan Leach, 1998)
Selain alterasi atau ubahan yang terbentuk dalam suatu sistem hidroterrmal,
Lindgreen (1933; dalam Bateman dan Jensen, 1991) membagi endapan hidrotermal
menjadi 3 tipe endapan berbeda berdasarkan hubungan temperatur, tekanan, dan
kondisi geologi yang tercermin dari mineral-mineral yang terbentuk. Tipe endapan
tersebut, adalah:
1. Endapan hipotermal, terbentuk pada daerah dekat dengan intrusi pada
temperatur berkisar antara 500-6000C dan tekanan sangat tinggi
2. Endapan mesotermal, terbentuk pada jarak tertentu dari intrusi pada
temperatur berkisar antara 200-500 0C dan tekanan tinggi
3. Endapan epitermal, terbentuk jauh dari intrusi pada temperatur berkisar
antara 50-200 0C dan tekanan sedang atau medium
Dewi Prihatini (12007012)
17
Menurut Hedenquist dan White (1995), endapan epitermal adalah endapan
mineral yang terbentuk pada temperatur kurang dari 1500C sampai ~3000C dan
berada pada kedalaman 1- 2 kilometer. Endapan epitermal terbentuk pada lingkungan
hidrotermal yang dekat dengan permukaan dan pada umumnya berhubungan dengan
sub-aerial volkanisme kalk-alkali (Hedenquist dan Houghton, 1988). Fluida
hidrotermal pada endapan ini biasanya berasal dari air meteorik, namun ada beberapa
komponen yang berasal dari air magmatik.
Hedenquist dan White (1995) membedakan endapan epitermal menjadi
endapan epitermal sulfida rendah (low sulphidation) dan sulfida tinggi (high
sulfidation) (Tabel 3.1). Keduanya dibedakan berdasarkan pada mineralogi bijih dan
mineral ikutan (gangue) serta jenis fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan
batuan induk (host rock) (Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Tipe endapan epitermal sulfida rendah dan sulfida tinggi
(Hedenquist dan White, 1995)
Endapan epitermal sulfida rendah menunjukkan kondisi reduksi yang
dicirikan oleh dominasi H2S pada fluida hidrotermal (Giggenbach, 1992; dalam
Corbett, 2002). Kondisi tersebut merupakan akibat dari interaksi antara air magmatik
dengan batuan samping serta air meteorik yang bersirkulasi (Simmons, 1995; dalam
Corbett, 2002). Menurut Hedenquist dan White (1995), mineral-mineral sulfida
seperti sfalerit, galena, kalkopirit, dan pirit terbentuk pada kondisi ini. Sebaliknya,
Dewi Prihatini (12007012)
18
fluida hidrotermal pada endapan epitermal sulfida tinggi didominasi oleh SO 2 yang
menunjukkan kondisi oksidasi. Hal ini disebabkan oleh fluida hidrotermal yang
berasal dari air magmatik naik ke atas melalui pipa breksia sehingga interaksi fluida
dengan batuan dan air meteorik terbatas. Fluida yang bersifat asam dicirikan dengan
terbentuknya asosiasi mineral ubahan seperti pirofilit, alunit, kaolinit, serta mineral
bijih berupa pirit, enargit, dan luzonit.
Tabel 3.1 Perbedaan Tipe Endapan Epitermal Sulfida Tinggi dan Sulfida
Rendah (Hedenquist dan White, 1995)
Sulfida Rendah (adularia-serisit)
Sulfida Tinggi (acid-sulfate)
Fluida
- didominasi air meteorik, namun ada
- didominasi air magmatik
hidrotermal
interaksi dengan air magmatik
- pH asam
- pH mendekati netral
- kondisi oksidasi
- kondisi reduksi
Mineral
Kuarsa, kalsedon, kalsit, adularia, illit,
Kuarsa, alunit, kaolinit, pirofilit,
ubahan
karbonat
diaspor
Mineralisasi
open-space veins dan cavity filling
menyebar
dominan
penggantian (replacement)
Tekstur
Comb, crustiform, banded vein
vuggy quartz
Mineral bijih
Pirit, sfalerit, galena, elektrum, emas,
Pirit, enargit, luzonit, kalkopirit
(disseminated) dan
arsenopirit
Unsur logam
3.2
Au + Ag, Pb, Zn, Cu, As, Te, Hg, Sb
Au + Cu, As, Te
Mineralisasi
Mineralisasi adalah suatu proses introduksi atau masuknya mineral ke dalam
batuan yang kemudian membentuk mineral bijih dan mineral penyertanya (gangue)
sehingga terbentuk endapan mineral (Gary dkk., 1972). Endapan mineral adalah
akumulasi atau konsentrasi dari satu atau beberapa material yang berguna, baik
berupa logam maupun nonlogam, yang terdapat di dalam kerak bumi bagian luar
(Bateman dan Jansen, 1981).
Hal-hal pokok yang mempengaruhi pembentukkan mineral hasil dari proses
mineralisasi (Bateman dan Jansen, 1981), yaitu: adanya larutan hidrotermal sebagai
pembawa mineral dan adanya celah batuan sebagai jalan bagi lewatnya larutan
Dewi Prihatini (12007012)
19
hidrotermal. Selain itu, faktor lain adalah adanya tempat bagi pengendapan mineral,
terjadinya reaksi kimia yang dapat menyebabkan terbentuknya pengendapan mineral,
dan konsentrasi larutan yang cukup tinggi bagi terendapkannya kandungan mineral.
Endapan epitermal terbentuk pada kedalaman yang dangkal dengan suhu
yang relatif rendah, yaitu kurang dari 1500C sampai ~3000C (Hedenquist dan White,
1995). Kondisi inilah yang membedakannya dengan tipe endapan lain dalam proses
pembentukan tubuh bijih yang menghasilkan mineralisasi. Fluida hidrotermal
pembawa mineralisasi melewati batuan melalui permeabilitas yang dikontrol oleh
struktur dan litologi batuan tersebut. Pada endapan epitermal, mineralisasi umumnya
terbentuk sebagai pengisi pada bukaan (open-space filling atau cavity filling) sebagai
urat maupun menyebar (disseminated) (Corbett dan Leach, 1998).
Mineral bijih yang terbentuk pada endapan epitermal bervariasi, bergantung
pada kedalaman dan kondisi fluida hidrotermal. Pada tipe endapan epitermal sulfida
rendah, mineral bijih yang umum muncul adalah pirit, galena, sfalerit, dan kalkopirit
yang mencerminkan kondisi reduksi (Tabel 3.1). Salah satu penciri lain adalah
kehadiran sfalerit dan arsenopirit yang umum pada tipe sulfida rendah. Kedua
mineral tersebut sangat jarang hadir pada tipe epitermal sulfida tinggi (White dkk.,
1995; dalam Hedenquist dan White, 1995). Tipe endapan epitermal sulfida tinggi
umumnya banyak terdapat mineral bijih yang kaya tembaga, khususnya mineral yang
memiliki bilangan oksidasi tinggi seperti enargit dan luzonit (Tabel 3.1). Kelimpahan
mineral sulfida, terutama pirit, tidak dapat dijadikan penentu untuk membedakan tipe
endapan epitermal (Hedenquist dan White, 1995).
3.3
Geokimia Unsur
Geokimia
adalah
ilmu
yang
mempelajari
proses
penyebaran
dan
pengumpulan unsur yang terdapat di bumi dan dapat digunakan untuk melacak
keberadaan sumberdaya mineral melalui eksplorasi geokimia (Rose dkk., 1979).
Penyebaran unsur di bumi umumnya membentuk suatu pola sebaran tertentu. Pola
sebaran yang terbentuk dapat mencerminkan persebaran satuan batuan dan
keberadaan mineralisasi. Menurut Rose dkk. (1979), pola sebaran geokimia dapat
dibedakan menjadi kelompok-kelompok sebagai berikut:
Dewi Prihatini (12007012)
20

Nilai latar belakang adalah nilai rata-rata unsur di Bumi yang normal atau belum
termineralisasi. Nilai latar belakang membentuk suatu populasi yang memiliki
pola sebaran relatif dominan di suatu tempat.

Nilai anomali adalah penyimpangan dari nilai latar belakang atau nilai yang
normal. Nilai anomali membentuk suatu populasi anomali yang memiliki pola
sebaran yang menyimpang dari populasi latar belakang. Penyimpangan tersebut
dapat dipengaruhi oleh adanya mineralisasi.

Nilai ambang adalah nilai batas antara nilai latar belakang dengan nilai anomali.
Nilai ambang suatu unsur di suatu tempat dapat berbeda dengan tempat lain
karena konsentrasi suatu unsur tidak sama di setiap tempat.
Asosiasi unsur dalam geokimia merupakan kekerabatan geokimia antar unsur
yang terjadi akibat kesamaan kondisi lingkungan, sifat fisik, dan sifat kimia (Rose
dkk., 1979). Asosiasi unsur dapat dimanfaatkan untuk menentukan tipe mineralisasi
dan melacak unsur ekonomis lain dengan menggunakan unsur yang berasosiasi.
3.3.1 Analisis Geokimia
Analisis geokimia dilakukan untuk mengetahui nilai ambang dan asosiasi
unsur. Metode yang digunakan pada analisis ini adalah metode statistik.
3.3.1.1 Penentuan nilai ambang
Nilai ambang ditentukan untuk mendapatkan batasan nilai anomali, yaitu
nilai yang lebih besar dari nilai ambang. Metode yang digunakan adalah metode
kurva probabilitas dan persentil.
a. Metode kurva probabilitas adalah metode penentuan nilai ambang dengan
memisahkan populasi latar belakang dengan populasi anomali dari kurva
yang terbentuk pada kurva probabilitas. Untuk mengeplot data ke dalam
grafik probabilitas, sebelumnya data harus diubah ke dalam nilai logaritma.
Berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengeplot data
ke dalam kurva probabilitas.
 Data konsentrasi (ppm) dari masing-masing unsur diubah ke dalam bentuk
logaritma
 Data dalam bentuk logaritma tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam
beberapa kelas dengan interval tertentu.
Dewi Prihatini (12007012)
21
 Frekuensi data, kumulatif frekuensi, dan kumulatif probabilitas (%) dari
setiap kelas dihitung.
 Data yang diplot pada kertas grafik probabilitas adalah kumulatif
probabilitas (sumbu-x) dan nilai tengah kelas (sumbu-y).
 Populasi ditentukan berdasarkan kumpulan data yang telah diplot.
Data-data yang telah diplot ke dalam kurva probabilitas akan membentuk
kumpulan data atau populasi data. Populasi data tersebut harus dipisahkan,
antara populasi latar belakang dan populasi anomali. Nilai ambang
merupakan titik potong dari populasi yang berbeda (Gambar 3.3). Jika pada
kurva hanya terdapat satu populasi, maka nilai ambang tidak dapat ditentukan
(Sinclair, 1976; dalam Rose dkk., 1979).
Populasi Anomali
Nilai
Ambang
Populasi Latar Belakang
Nilai ambang : antilog 0,3 = 1,99
ppm
Gambar 3.3 Penentuan nilai ambang Au dengan metode kurva probabilitas

Metode persentil dilakukan dengan mengurutkan nilai konsentrasi setiap
unsur dari nilai tertinggi hingga terendah, yang kemudian ditentukan
persentilnya. Misal untuk persentil 90 (P90), maka nilai konsentrasi
tertinggi yang diambil adalah 10% dari jumlah data. Penentuan nilai ambang
dengan menggunakan metode ini adalah dengan memilih nilai terendah pada
persentil tertentu.
Dewi Prihatini (12007012)
22
3.3.1.2 Penentuan asosiasi unsur
Asosiasi unsur dapat digunakan untuk mengetahui tipe mineralisasi di
suatu daerah. Metode yang digunakan dalam penentuan asosiasi unsur ini adalah
metode persentil. Metode persentil ini dilakukan dengan cara yang sama seperti
pada penentuan nilai ambang, yaitu dengan mengurutkan nilai konsentrasi setiap
unsur dari yang tertinggi hingga terendah. Namun, untuk penentuan asosiasi
unsur ini terlebih dahulu ditentukan unsur mana yang dijadikan acuan untuk
mengamati hubungan antar unsur pada persentil tertentu.
Dewi Prihatini (12007012)
23
Download