BAB III

advertisement
BAB IV
TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS
4.1 Tinjauan Umum
Hidrotermal berasal dari kata ”hidro” artinya air dan ”termal” artinya panas.
Adapun hidrotermal itu sendiri didefinisikan sebagai larutan panas (50oC sampai
>500oC) yang mengandung Na, K, Ca, Cl sebagai komponen utama dan komponen
lain sebagai penyusun minor seperti Mg, B, S, Sr, Co, H2S, NH4, Cu, Pb, Zn, Sn, Mo,
Au, dan Ag. Alterasi hidrotermal adalah proses yang sangat kompleks, berkaitan
dengan kandungan mineral, kimia, dan perubahan tekstur akibat berinteraksinya
larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya, dalam kondisi fisika dan kimia
tertentu (Pirajno, 1992). Pada sistem hidrotermal segala unsur logam yang terdapat
didalamnya karena perubahan kondisi dan lingkungan serta temperatur akan
menyebabkan pengendapan unsur tersebut dengan pembentukan mineral alterasi dan
mengubah tekstur dari batuan (Gambar 4.1).
Secara esensial pembentukan endapan hidrotermal (Bateman, 1960):
(1)Keterdapatan
larutan
mineralisasi
yang
mampu
melarutkan
dan
mentransportasi bahan atau material. Dengan karaktektistik berupa larutan
panas dengan suhu 500oC-50oC
(2) Keterdapatan rekahan atau bukaan dalam batuan yang dapat dilalui oleh
batuan
(3) Keterdapatan tempat untuk mengendapkan mineral
(4) Adanya reaksi kimia yang menjadi hasil pengendapan
(5) Larutan hidrotermal memiliki konsentrasi yang cukup untuk terendapkannya
material mineral.
Gambar 4.1 Sistematika sistem hidrotermal (NIPPONIA, 2008).
20
Mineral-mineral ubahan yang dihasilkan dari proses ubahan hidrotermal dapat
terjadi melalui empat cara, yaitu:
1. Pengendapan langsung dari larutan pada rongga, pori, retakan membentuk
urat
2. Penggantian pada mineral primer batuan untuk mencapai kesetimbangan
pada kondisi dan lingkungan yang baru yang lebih stabil
3. Pelarutan dari mineral primer batuan
4. Pelemparan akibat arus turbulen dari zona didih.
Suatu
daerah
yang
memperlihatkan
penyebaran
kesamaan
himpunan
memperlihatkan kesamaan himpunan mineral alterasi dapat dijadikan sebagai zona
alterasi dengan digunakan untuk mengenali asosiasi mineral dengan mineral lainya
dan fungsi kimia dari proses alterasi. Berikut merupakan klasifikasi zona alterasi
menurut (Lowell dan Guilbert, 1970; dalam Pirajno, 1992):
• Argilik lanjut: zona ini terdiri dari rangkaian mineral alunit, diaspor dan atau
piropilit, kuarsa, kalsedon, kaolinit, dan dikit. Proses pembentukan zona ini
sangat dipengaruhi oleh migrasi larutan magmatik asam.
• Argilik: zona ini kaya dengan didominasi oleh kumpulan mineral lempung
temperatur rendah seperti kaolinit, smektit, dan perlapisan antara illit dan
smektit. Pembentukan terjadi dalam temperatur rendah (< 230oC) yang
dikontrol oleh fluida asam sampai netral.
• Propilitik : zona ini dicirikan oleh serangkaian kumpulan mineral diantaranya
klorit, epidot, kalsit, mineral opak berupa pirit dan kalsit terjadi pada
temperatur menengah dengan suhu 200oC-300oC
• Filik : zona ini didominasi oleh kehadiran mineral serisit, kuarsa ± anhidirit ±
klorit dan kalsit. Zona ini terbentuk pada temperatur tinggi sekitar 200oC400oC. Zona ini hadir akibat adanya kontak dengan fluida meteorik yang
memiliki temperatur lebih rendah dan pH yang lebih asam.
• Potasik : zona yang didominasi oleh kehadiran mineral sekunder berupa biotit,
K-feldspar, kuarsa, dan magnetit dan mineral aksesoris berupa aktinolit, epidot,
klorit dan anhidrit, dan mineral ubahan dalam jumlah sedikit berupa albit.
Zona ini terbentuk dekat dengan intrusi, fluida panas bersuhu > 300oC dan
kemungkinan 400oC - 600oC terpengaruh kuat karakter magmatik dan salinitas
tinggi.
21
Endapan hidrotermal menurut Lindgren (1933; dalam Batemen, 1960) dibagi
hipotermal dengan suhu pembentukan (300-600oC), mesotermal (200oC-300oC),
epitermal (200oC-100oC), teletermal (<100oC), dan xenotermal (kedalaman dangkal,
tetapi memiliki temperatur tinggi). Endapan hidrotermal dapat dibagi menjadi porfiri
dan epitermal.
Endapan epitermal menurut Lindgren (1933; dalam Hedenquist dkk., 2000)
lingkungan epitermal adalah lingkungan dengan permukaan dangkal 1-2 km yang
memiliki karakteristik endapan Au, Ag dan logam dasar serta Hg, Sb, S, kaolinit,
alunit, dan silika, berdasarkan dengan jangkauan temperatur berdasarkan inklusi
fluida <150oC-300oC. Berdasarkan tipe endapan yang terbentuk dari perbedaan sifat
kimia fluida endapan epitermal dibagi menjadi dua subtipe endapan yaitu sulfida
tinggi dan sulfida rendah (Gambar 4.2 dan Tabel 4.1).
Gambar 4.2. Dua tipe dari endapan epitermal yaitu sistem epitermal sulfida rendah dan
sistem epitermal sulfida tinggi (Hedenquist dan White, 1995)
22
Tabel 4.1. Perbedaan antara epitermal sulfida rendah dan sulfida tinggi (Hedenquist dan
White ,1995).
Aspek
Pembentukan endapan
Sulfida tinggi
Sulfat asam
Sulfida rendah
adularia-serisit
-
Vein subordinate
-
Open space vein
-
Mineral bijih tersebar
-
Mineral bijih tersebar
dominan
-
Penggantian mineral
minor
-
bijih terjadi dominan
Tekstur
Mineral gangue
Mineral bijih
Stockwork ore minor
Penggantian mineral
bijih minor
-
Stockwork ore terjadi
Penggantian batuan
Urat, cavity filling (bands,
samping, breksia, urat
colloforms), breksia
Kuarsa, alunit, barit,
Kuarsa, kalsedon, kalsit,
kaolinit, piropilit
adularia, illit, karbonat
Pirit, enargit, kalkopirit,
Pirit, elektrum, gold,
tennantit, kovelit, emas,
sfalerit, galena, arsenopirit
tellurit
Alterasi hidrotermal
Fluida asam (pH <1
Fluida netral
sampai >3)
Illit (serisit), perlapisan
Alunit, kaolinit, piropilit,
lempung
diaspor, illit pada zona
terluar
Mineral logam
Au, Ag, As, Cu, Sb, Bi,
Au, Ag, As, Sb, Hg, Zn,
Hg, Te, Sn, Pb, Mo, Te/Se
Pb, Se, K, Ag/Au (Cu,
(K, Zn, Ag/Au)
Te/Se)
4.2 Pengamatan Petrografi
Pengamatan petrografi menggunakan analisisi sayatan tipis untuk menentukan
sifat fisik suatu mineral yang belum teramati jelas dalam pengamatan megaskopis.
Pengamatan petrografi hanya digunakan dalam pengamatan mineral yang non logam.
Selain itu, juga mengamati alterasi pada batuan tersebut, sehingga zonasi alterasi,
intesitas alterasi dan paragenesa dari alterasi dapat diketahui.
23
Intesitas alterasi merupakan perbandingan antara volume mineral ubahan terhadap
volume total keseluruhan dari mineral penyusun batuan (Browne, 1989). Intensitas
alterasi (Tabel 4.2) menunjukkan pengaruh fluida hidrotermal terhadap suatu masa
batuan. Variasi intensitas dapat dibagi menjadi empat tingkatan yaitu lemah, sedang,
kuat, dan sangat kuat (Browne, 1989).
Persentase (%)
Intensitas Ubahan
0-25 %
Lemah
26-50%
Sedang
51-75%
Kuat
75-100%
Sangat kuat
Tabel 4.2 Intensitas ubahan (Browne, 1989).
4.3 Pengamatan Mineragrafi
Suatu batuan merupakan kumpulan dari mineral-mineral yang terdiri atas mineral
logam dan mineral nonlogam. Pengamatan mineragrafi dilakukan untuk mengetahui
jenis mineral logam dan hubungan antara mineral logam tersebut dengan mengamati
tekstur mineral bijih tersebut. Pengamatan mineral bijih ini menggunakan sayatan
poles dan mikroskop bijih (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Mikroskop bijih dan sayatan poles.
Identifikasi mineral bijih dilakukan berdasarkan sifat fisik mineral dan sifat optik
dari mineral tersebut (Hadi, 1996). Sifat fisik mineral bijih meliputi bentuk kristal,
habit, belahan, kembaran dan zoning, sedangkan sifat optik meliputi warna, refleksi
ganda, anisotropisme, dan refleksi dalam (Craig dan Vaughan, 1981).
24
Sifat fisik :
a. Bentuk kristal dan perawakan : identifikasi mineral bijih, mineral yang
memiliki kekerasan keras cenderung membentuk bentuk kristal yang
sempurna (euhedral), seperti pirit, hematit, dan magnetit, sedangkan
mineral yang memiliki kekerasan rendah umumnya memiliki daya
kristalisasi yang rendah, sehingga bentuk kristalnya cenderung tidak
sempurna (anhedral), seperti kalkopirit, galena (Hadi, 1996). Perawakan
dalam pengamatan mineralgrafi merupakan bentukan kristal tersebut,
misal pirit memiliki habit kubik dan hematit memiliki perawakan
menjarum (accicular).
b. Belahan yang teramati bergantung pada jumlah arah bidang belah dan
orientasi kristalografi terhadap bidang asah.
c. Kembaran dan zoning, identifikasi berdasarkan adanya kontras warna.
Kembaran disebabkan oleh perubahan orientasi dari belahan, sedangkan
zoning disebabkan akibatkan oleh adanya inklusi yang tersusun secara
konsentris.
Sifat optik:
a. Warna merupakan warna mineral bijih yang terpantulkan. Untuk
pengamatan pada mineral bijih menggunakan nikol sejajar
b. Refleksi ganda (Bireflectance), pada beberapa mineral yang bukan
bersistem isometrik memiliki akan menunjukan perubahan intensitas
warna dan perubahan warna pada saat meja mikroskop diputar dan pada
pengamatan nikol sejajar, maka hal ini dapat disamakan dengan
pleokroisme yang dimiliki mineral yang tembus cahaya, pada pengamatan
mineral bijih disebut Refleksi ganda (Bireflectance)
c. Anistropisme adalah pengamatan nikol bersilang, apabila meja mikroskop
diputar 360o, bila mineral bijih yang diamati tidak menunjukan perubahan
intensitas dan warna, mineral tersebut disebut mineral isotrop dengan kata
lain mineral tersebut bersistem isometrik. Untuk mineral bijih sistem lain
seperti tetragonal, hexagonal, ortorombik, monoklin, dan triklin pada
pengamatan anistropisme menunjukan perubahan intensitas dan warna,
mineral tersebut disebut mineral anisotrop.
d. Refleksi dalam adalah sifat optik yang diamati dengan menggunakan nikol
bersilang, disebabkan oleh adanya penyinaran difusi yang berasal dari
25
bagian dalam mineral-mineral kedap cahaya yang semi tembus cahaya
(Hadi, 1996). Pada umumnya pantulan sinar berasal dari retakan atau batas
mineral.
4.4 Atomic Absorption Spectroscopy (AAS)
Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) adalah suatu alat yang digunakan pada
metoda analisis yang digunakan untuk penentuan unsur-unsur logam dan metalloid
yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang
tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Gambar 4.4). Prinsip analisis cahaya
dengan panjang gelombang yang sesuai untuk partikel elemen dianalisis dilewatkan,
kemudian beberapa dari cahaya tersebut diabsorpsi oleh atom dari sampel (Mulyani,
2007). Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) dapat digunakan untuk menentukan
enam puluh satu logam. Non logam yang dapat dianalisis adalah fosfor dan boron.
Dari hasil analisis AAS akan didapatkan nilai konsentrasi dari unsur dalam satuan
ppm dan ppb yang kemudian akan dihitung harga ambangnya.
Gambar 4.4 Diagram alat (AAS) Atomic Absorption Spectroscopy (Mulyani, 2007).
4.5 Penentuan Harga Ambang
Nilai ambang adalah nilai yang berada pada perpotongan kelompok
latarbelakang dan kelompok anomali. Nilai harga ambang disuatu area dengan area
yang lain dapat berbeda. Hal ini, dikarenakan oleh konsentrasi unsur yang berbeda.
Penentuan harga ambang memiliki fungsi untuk mengetahui batas terendah dari suatu
populasi anomali. Nilai latar belakang adalah nilai rata-rata unsur di Bumi yang
normal atau dengan kata lain belum termineralisasi, sedangkan nilai anomali adalah
nilai penyimpangan dari nilai latarbelakang (Rose dkk., 1979). Pola penyebaran
anomali dalam analisis geokimia memiliki hubungan dengan adanya mineralisasi.
26
Dalam penentuan harga ambang dapat menggunakan metode diantaranya metode
simpangan baku dan metode kurva probabilitas.
4.5.1 Metode Simpangan Baku
Metode simpangan baku adalah metode penentuan nilai ambang dengan
menggunakan parameter rata-rata (Suroto, 2005). Simpangan baku adalah
bentukan akar kuadrat dari suatu variasi dispresi (gambaran penyebaran nilainilai dari data geokimia) (Sinclair, 1987). Semakin besar nilai simpangan baku
mencerminkan data yang dianalisis semakin tersebar heterogen dari nilai rata-rata
data tersebut. Metode ini hanya dapat digunakan untuk nilai simpangan baku
yang lebih kecil dari nilai rata-rata (distribusi normal).
Nilai rata-rata diperoleh dengan rumus:
n
x=
∑ xi
i =n
n
x = nilai rata-rata konsentrasi unsur (ppm)
xi = nilai konsentrasi unsur ke i (ppm)
n = jumlah data unsur
Nilai simpangan baku diperoleh dengan rumus:
n
SD =
∑ ( xi − x )
2
i =1
n −1
xi = nilai konsentrasi unsur ke i (ppm)
x = nilai rata-rata konsentrasi unsur (ppm)
n= jumlah data unsur
SD= standar deviasi (ppm)
Nilai ambang
Nilai ambang = x + 2SD
x = nilai rata-rata unsur (ppm)
SD= standar deviasi (ppm)
4.5.2 Metode Kurva Probabilitas
Metode ini dalam analisis data geokimia untuk penentuan harga ambang
menggunakan kertas semilog. Dalam menggunakan penentuan harga ambang
27
dengan menggunakan metode probabilitas memiliki beberapa prosedur
diantaranya :
a. Nilai konsentrasi unsur (data) yang memiliki satuan ppm diubah menjadi
logppm
b. Pada data unsur yang tersedia ditentukan nilai maksimum, nilai minimum
yang selanjutnya akan ditentukan nilai dari panjang kelas (Sinclair, 1974)
K = 1 + 3.3 log n
K= koefisien
n= jumlah data
P=
( X max − X min)
K
P= panjang kelas
c. Data dikelompokan menjadi kelas dengan jumlah tertentu sekitar sepuluh
kelas dengan menggunakan panjang kelas yang telah dihitung dan nilai
maksimum dijadikan patokan pengelompokan akhir kelas terbesar dan nilai
minimum dijadikan patokan pengelompokan awal kelas
d. Nilai tengah setiap kelas dihitung
M =
( BA − BB)
2
M= nilai tengah
BA= batas atas kelas
BB= batas kelas bawah
e. Frekuensi dari setiap kelas dihitung jumlahnya
f. Kumulatif frekuensi dari setiap kelas dihitung
g. Kumulatif probabilitas (%) dihitung pada setiap kelas. Kumulatif probabilitas
dihitung dari jumlah kumulatif frekuensi mulai kelas terbesar dijumlahkan
dengan kelas berikutnya yang lebih kecil hingga jumlahnya mencapai 100%
h. Kumulatif probabilitas dan nilai tengah diplot dalam kertas semilog.
Kumulatif probabilitas menjadi bagian horizontal dari bagian kurva yang
memiliki nilai skala logaritmik, sedangkan nilai tengah menjadi bagian
vertikal dari kurva yang memiliki nilai skala normal.
i. Pada pengplotan akan terlihat adanya populasi data. Apabila populasi tunggal,
maka akan membentuk suatu garis lurus, sedangkan apabila populasi ganda
akan memperlihatkan dua garis lurus yang berbeda arah.
28
j. Penentuan harga ambang
a. Pada populasi tunggal, harga ambang tidak dapat ditentukan dengan metode
ini karena hanya terdapat satu garis lurus dan tidak terdapat berpotongan
b. Pada populasi ganda, perpotongan antara dua garis populasi merupakan nilai
ambang (Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Kurva probabilitas dalam menentukan harga ambang.
4.6 Penentuan Asosiasi Unsur
Penentuan asosiasi unsur dilakukan untuk mengetahui korelasi diantara unsurunsur yang dianalisis yang akan berimplikasi pada ciri dari tipe mineralisasi yang
terdapat pada daerah penelitian. Metode yang digunakan adalah metode Pearson. Nilai
koefisien Pearson (r) ditentukan dengan rumus berikut (Sinclair, 1987):
rxy= koefisien Pearson
x = nilai konsentrasi unsur 1
y = nilai konsentrasi unsur 2
n = jumlah data
menurut Sinclair (1987), nilai koefisien korelasi Pearson berada pada kisaran antara
+1 dan -1. Apabila nilai yang dekati +1 atau mencapai +1 maka korelasi antara unsur
semakin kuat dan sebaliknya.
29
4.7 Portable Infrared Mineral Analyzer (PIMA)
PIMA (Portable Infrared Mineral Analyzer) adalah metode yang digunakan
dengan memanfaatkan pancaran sinar inframerah dalam menganalisis mineral
khususnya mineral-mineral halus (Gambar 4.6). Material mineral yang dapat
dianalisis oleh PIMA adalah hidroksil (kelompok OH); seperti pilosilikat (lempung,
klorit dan mineral sepentinit), hydroxylated silicates (epidot dan amphibol), sulfat
(gipsum) dan karbonat. Selain digunakan pada batuan, PIMA juga dapat digunakan
untuk analisis pada tanah dan sedimen.
Gambar 4.6 Perangkat analisis PIMA.
Kelebihan dari PIMA diantaranya pertama merupakan alat portable yang dapat
digunakan di lapangan ataupun di laboratorium. Kegiatan lapangan membantu
menganalisis mineral alterasi. Kedua, pengoperasian mudah dan pembacaan sampel
cepat berkisar antara 30 detik sampai 60 detik.
Pengambilan data PIMA, sampel dalam keadaan kering dan sampel permukaan
relatif datar. Sampel diletakkan pada lensa kecil pada instrument integrated
spectronic. Perangkat lunak yang digunakan untuk pengambilan data yaitu integrated
spectronic, PIMA SP/RAP Acquistion module (c) 98 version 2.1 (Gambar 4.7).
Pengambilan data memiliki patokan grafik gelombang pembacaan mineral. Setiap
sampel dilakukan tiga kali pengujian untuk mencapai tingkat presisi dan akurasi
pengujian. Setelah tiga kali pengujian, dilakukan kaliberasi pembacaan alat.
Setelah tahapan pengambilan data sampel, data diolah menggunakan perangkat
lunak TSG Professional, Versi 4. Hasil analisis dan pengolahan data ditampilkan
30
dalam bentuk grafik antara reflektasi inframerah dan panjang gelombang inframerah
(Gambar 4.8)
(a)
(b)
Gambar 4.7 Pengambilan data mineral dengan PIMA (a) sampel rock chip diletakan diatas
lensa pada integrated spectronic kemudian (b) dilakukan pengambilan data dengan perangkat
lunak Intergrated Spectronic, PIMA SP/RAP Acquistion module.
0.338
16:45_R-_r1
Nomor conto analisis
SRSS
0
Grafik pembacaan
0.31
200
400
0.283
800
1000
1200
1400
0.255
Grafik patokan
1600
1800
2000
>2000
0.227
Re fle cta nce
600
1300
1600
1900
2200
2500
Wa ve l e ngth i n nm
Illite; SRSS=76, SNR=2021.8, H2O=0.464
Mineral hasil pembacaan
PIMA
Nilai
spektrum
Nilai Error
Pancaran
penggunaan
spektrum
Gambar 4.8 Grafik analisis PIMA.
31
4.8 Inklusi Fluida
Inklusi dikenal sebagai material berukuran mikro yang terdapat didalam suatu
mineral, pada umumnya terdapat tiga fasa yaitu fasa padat, cair, maupun gas (Roedder,
1974; dalam Yuwono, 1994). Selama proses kristalisasi dari suatu mineral, yaitu
perubahan dari fase cair menjadi padat diakibatkan oleh penurunan suhu, ada
kemungkinan bahwa sebagian cairan atau larutan akan terperangkap dalam kristal
tersebut, genesa seperti dikenali sebagai inklusi primer (Gambar 4.9). Genesa lainnya,
setelah suatu kristal terbentuk terjadi peristiwa geologi yang menyebabkan adanya
retakan halus, lalu terjadi adanya larutan hidrotermal yang mengisi retakan tersebut,
kemungkinan inklusi yang terbentuk terjadi dalam fasa cair setelah proses healing
disebut inklusi sekunder. Inklusi pseudosekunder
adalah inklusi yang hadir saat
retakan hadir kristal juga ikut tumbuh dalam retakan tersebut. Inklusi psedousekunder
adalah inklusi secara deskriptif termasuk inklusi sekunder, tetapi secara genetis
termasuk inklusi primer ( Roedder, 1984; dalam Yuwono,1994).
Gambar 4.9 (a) Inklusi fluida primer (P) dan inklusi Pseudosekunder (Ps) (b) Pembentukan
inklusi sekunder (Roedder, 1984; dalam Yuwono, 1994).
Preparasi inklusi fluida untuk eksplorasi endapan bijih dipilih urat yang terisi
oleh mineral sekunder yang memiliki kristal-kristal jernih berukuran kasar berbentuk
euhedral dan tidak mengalami pelapukan. Menurut Yuwono (1994) mineral sekunder
yang umum untuk digunakan untuk analisis inklusi adalah kuarsa, kalsit, aragonit,
32
gipsum, anhidrit, dan flourit, sedangkan untuk mineral bijih yang baik untuk
digunakan adalah spalerit.
Pengamatan inklusi dilakukan dengan pengamatan petrografi pada sayatan poles
ganda. Pengamatan
petrografi digunakan untuk mengetahui jenis inklusi yang
selanjutnya akan berguna untuk pengukuran Tt, Tm, dan Tf.
Pengukuran Th, Tf, dan Tm dilakukan dengan menggunakan perangkat yang
disebut freezing and heating stage yang dipasang pada mikroskop polarisasi (Gambar
4.10). Pengukuran Tf (temperature freezing) diawali dengan pembekuan fluida, pada
saat seluruh cairan berubah menjadi es. Pengukuran Tm (temperature melting)
didapatkan dengan cara menaikkan temperatur secara perlahan hingga seluruh es
mencair. Pengukuran Th (temperature homogenization) didapatkan dengan cara
menaikan temperatur secara perlahan hingga gelembung yang terdapat dalam inklusi
menghilang. Th mencerminkan temperatur minimum mineral tersebut terbentuk.
Gambar 4.10 Perangkat pengamatan inklusi fluida pada saat pengukuran Th dan Tm.
33
Download