BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS 4.1 Tinjauan Umum Hidrotermal berasal dari kata ”hidro” artinya air dan ”termal” artinya panas. Adapun hidrotermal itu sendiri didefinisikan sebagai larutan panas (50oC sampai >500oC) yang mengandung Na, K, Ca, Cl sebagai komponen utama dan komponen lain sebagai penyusun minor seperti Mg, B, S, Sr, Co, H2S, NH4, Cu, Pb, Zn, Sn, Mo, Au, dan Ag. Alterasi hidrotermal adalah proses yang sangat kompleks, berkaitan dengan kandungan mineral, kimia, dan perubahan tekstur akibat berinteraksinya larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya, dalam kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno, 1992). Pada sistem hidrotermal segala unsur logam yang terdapat didalamnya karena perubahan kondisi dan lingkungan serta temperatur akan menyebabkan pengendapan unsur tersebut dengan pembentukan mineral alterasi dan mengubah tekstur dari batuan (Gambar 4.1). Secara esensial pembentukan endapan hidrotermal (Bateman, 1960): (1)Keterdapatan larutan mineralisasi yang mampu melarutkan dan mentransportasi bahan atau material. Dengan karaktektistik berupa larutan panas dengan suhu 500oC-50oC (2) Keterdapatan rekahan atau bukaan dalam batuan yang dapat dilalui oleh batuan (3) Keterdapatan tempat untuk mengendapkan mineral (4) Adanya reaksi kimia yang menjadi hasil pengendapan (5) Larutan hidrotermal memiliki konsentrasi yang cukup untuk terendapkannya material mineral. Gambar 4.1 Sistematika sistem hidrotermal (NIPPONIA, 2008). 20 Mineral-mineral ubahan yang dihasilkan dari proses ubahan hidrotermal dapat terjadi melalui empat cara, yaitu: 1. Pengendapan langsung dari larutan pada rongga, pori, retakan membentuk urat 2. Penggantian pada mineral primer batuan untuk mencapai kesetimbangan pada kondisi dan lingkungan yang baru yang lebih stabil 3. Pelarutan dari mineral primer batuan 4. Pelemparan akibat arus turbulen dari zona didih. Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan memperlihatkan kesamaan himpunan mineral alterasi dapat dijadikan sebagai zona alterasi dengan digunakan untuk mengenali asosiasi mineral dengan mineral lainya dan fungsi kimia dari proses alterasi. Berikut merupakan klasifikasi zona alterasi menurut (Lowell dan Guilbert, 1970; dalam Pirajno, 1992): • Argilik lanjut: zona ini terdiri dari rangkaian mineral alunit, diaspor dan atau piropilit, kuarsa, kalsedon, kaolinit, dan dikit. Proses pembentukan zona ini sangat dipengaruhi oleh migrasi larutan magmatik asam. • Argilik: zona ini kaya dengan didominasi oleh kumpulan mineral lempung temperatur rendah seperti kaolinit, smektit, dan perlapisan antara illit dan smektit. Pembentukan terjadi dalam temperatur rendah (< 230oC) yang dikontrol oleh fluida asam sampai netral. • Propilitik : zona ini dicirikan oleh serangkaian kumpulan mineral diantaranya klorit, epidot, kalsit, mineral opak berupa pirit dan kalsit terjadi pada temperatur menengah dengan suhu 200oC-300oC • Filik : zona ini didominasi oleh kehadiran mineral serisit, kuarsa ± anhidirit ± klorit dan kalsit. Zona ini terbentuk pada temperatur tinggi sekitar 200oC400oC. Zona ini hadir akibat adanya kontak dengan fluida meteorik yang memiliki temperatur lebih rendah dan pH yang lebih asam. • Potasik : zona yang didominasi oleh kehadiran mineral sekunder berupa biotit, K-feldspar, kuarsa, dan magnetit dan mineral aksesoris berupa aktinolit, epidot, klorit dan anhidrit, dan mineral ubahan dalam jumlah sedikit berupa albit. Zona ini terbentuk dekat dengan intrusi, fluida panas bersuhu > 300oC dan kemungkinan 400oC - 600oC terpengaruh kuat karakter magmatik dan salinitas tinggi. 21 Endapan hidrotermal menurut Lindgren (1933; dalam Batemen, 1960) dibagi hipotermal dengan suhu pembentukan (300-600oC), mesotermal (200oC-300oC), epitermal (200oC-100oC), teletermal (<100oC), dan xenotermal (kedalaman dangkal, tetapi memiliki temperatur tinggi). Endapan hidrotermal dapat dibagi menjadi porfiri dan epitermal. Endapan epitermal menurut Lindgren (1933; dalam Hedenquist dkk., 2000) lingkungan epitermal adalah lingkungan dengan permukaan dangkal 1-2 km yang memiliki karakteristik endapan Au, Ag dan logam dasar serta Hg, Sb, S, kaolinit, alunit, dan silika, berdasarkan dengan jangkauan temperatur berdasarkan inklusi fluida <150oC-300oC. Berdasarkan tipe endapan yang terbentuk dari perbedaan sifat kimia fluida endapan epitermal dibagi menjadi dua subtipe endapan yaitu sulfida tinggi dan sulfida rendah (Gambar 4.2 dan Tabel 4.1). Gambar 4.2. Dua tipe dari endapan epitermal yaitu sistem epitermal sulfida rendah dan sistem epitermal sulfida tinggi (Hedenquist dan White, 1995) 22 Tabel 4.1. Perbedaan antara epitermal sulfida rendah dan sulfida tinggi (Hedenquist dan White ,1995). Aspek Pembentukan endapan Sulfida tinggi Sulfat asam Sulfida rendah adularia-serisit - Vein subordinate - Open space vein - Mineral bijih tersebar - Mineral bijih tersebar dominan - Penggantian mineral minor - bijih terjadi dominan Tekstur Mineral gangue Mineral bijih Stockwork ore minor Penggantian mineral bijih minor - Stockwork ore terjadi Penggantian batuan Urat, cavity filling (bands, samping, breksia, urat colloforms), breksia Kuarsa, alunit, barit, Kuarsa, kalsedon, kalsit, kaolinit, piropilit adularia, illit, karbonat Pirit, enargit, kalkopirit, Pirit, elektrum, gold, tennantit, kovelit, emas, sfalerit, galena, arsenopirit tellurit Alterasi hidrotermal Fluida asam (pH <1 Fluida netral sampai >3) Illit (serisit), perlapisan Alunit, kaolinit, piropilit, lempung diaspor, illit pada zona terluar Mineral logam Au, Ag, As, Cu, Sb, Bi, Au, Ag, As, Sb, Hg, Zn, Hg, Te, Sn, Pb, Mo, Te/Se Pb, Se, K, Ag/Au (Cu, (K, Zn, Ag/Au) Te/Se) 4.2 Pengamatan Petrografi Pengamatan petrografi menggunakan analisisi sayatan tipis untuk menentukan sifat fisik suatu mineral yang belum teramati jelas dalam pengamatan megaskopis. Pengamatan petrografi hanya digunakan dalam pengamatan mineral yang non logam. Selain itu, juga mengamati alterasi pada batuan tersebut, sehingga zonasi alterasi, intesitas alterasi dan paragenesa dari alterasi dapat diketahui. 23 Intesitas alterasi merupakan perbandingan antara volume mineral ubahan terhadap volume total keseluruhan dari mineral penyusun batuan (Browne, 1989). Intensitas alterasi (Tabel 4.2) menunjukkan pengaruh fluida hidrotermal terhadap suatu masa batuan. Variasi intensitas dapat dibagi menjadi empat tingkatan yaitu lemah, sedang, kuat, dan sangat kuat (Browne, 1989). Persentase (%) Intensitas Ubahan 0-25 % Lemah 26-50% Sedang 51-75% Kuat 75-100% Sangat kuat Tabel 4.2 Intensitas ubahan (Browne, 1989). 4.3 Pengamatan Mineragrafi Suatu batuan merupakan kumpulan dari mineral-mineral yang terdiri atas mineral logam dan mineral nonlogam. Pengamatan mineragrafi dilakukan untuk mengetahui jenis mineral logam dan hubungan antara mineral logam tersebut dengan mengamati tekstur mineral bijih tersebut. Pengamatan mineral bijih ini menggunakan sayatan poles dan mikroskop bijih (Gambar 4.3). Gambar 4.3 Mikroskop bijih dan sayatan poles. Identifikasi mineral bijih dilakukan berdasarkan sifat fisik mineral dan sifat optik dari mineral tersebut (Hadi, 1996). Sifat fisik mineral bijih meliputi bentuk kristal, habit, belahan, kembaran dan zoning, sedangkan sifat optik meliputi warna, refleksi ganda, anisotropisme, dan refleksi dalam (Craig dan Vaughan, 1981). 24 Sifat fisik : a. Bentuk kristal dan perawakan : identifikasi mineral bijih, mineral yang memiliki kekerasan keras cenderung membentuk bentuk kristal yang sempurna (euhedral), seperti pirit, hematit, dan magnetit, sedangkan mineral yang memiliki kekerasan rendah umumnya memiliki daya kristalisasi yang rendah, sehingga bentuk kristalnya cenderung tidak sempurna (anhedral), seperti kalkopirit, galena (Hadi, 1996). Perawakan dalam pengamatan mineralgrafi merupakan bentukan kristal tersebut, misal pirit memiliki habit kubik dan hematit memiliki perawakan menjarum (accicular). b. Belahan yang teramati bergantung pada jumlah arah bidang belah dan orientasi kristalografi terhadap bidang asah. c. Kembaran dan zoning, identifikasi berdasarkan adanya kontras warna. Kembaran disebabkan oleh perubahan orientasi dari belahan, sedangkan zoning disebabkan akibatkan oleh adanya inklusi yang tersusun secara konsentris. Sifat optik: a. Warna merupakan warna mineral bijih yang terpantulkan. Untuk pengamatan pada mineral bijih menggunakan nikol sejajar b. Refleksi ganda (Bireflectance), pada beberapa mineral yang bukan bersistem isometrik memiliki akan menunjukan perubahan intensitas warna dan perubahan warna pada saat meja mikroskop diputar dan pada pengamatan nikol sejajar, maka hal ini dapat disamakan dengan pleokroisme yang dimiliki mineral yang tembus cahaya, pada pengamatan mineral bijih disebut Refleksi ganda (Bireflectance) c. Anistropisme adalah pengamatan nikol bersilang, apabila meja mikroskop diputar 360o, bila mineral bijih yang diamati tidak menunjukan perubahan intensitas dan warna, mineral tersebut disebut mineral isotrop dengan kata lain mineral tersebut bersistem isometrik. Untuk mineral bijih sistem lain seperti tetragonal, hexagonal, ortorombik, monoklin, dan triklin pada pengamatan anistropisme menunjukan perubahan intensitas dan warna, mineral tersebut disebut mineral anisotrop. d. Refleksi dalam adalah sifat optik yang diamati dengan menggunakan nikol bersilang, disebabkan oleh adanya penyinaran difusi yang berasal dari 25 bagian dalam mineral-mineral kedap cahaya yang semi tembus cahaya (Hadi, 1996). Pada umumnya pantulan sinar berasal dari retakan atau batas mineral. 4.4 Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) adalah suatu alat yang digunakan pada metoda analisis yang digunakan untuk penentuan unsur-unsur logam dan metalloid yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Gambar 4.4). Prinsip analisis cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai untuk partikel elemen dianalisis dilewatkan, kemudian beberapa dari cahaya tersebut diabsorpsi oleh atom dari sampel (Mulyani, 2007). Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) dapat digunakan untuk menentukan enam puluh satu logam. Non logam yang dapat dianalisis adalah fosfor dan boron. Dari hasil analisis AAS akan didapatkan nilai konsentrasi dari unsur dalam satuan ppm dan ppb yang kemudian akan dihitung harga ambangnya. Gambar 4.4 Diagram alat (AAS) Atomic Absorption Spectroscopy (Mulyani, 2007). 4.5 Penentuan Harga Ambang Nilai ambang adalah nilai yang berada pada perpotongan kelompok latarbelakang dan kelompok anomali. Nilai harga ambang disuatu area dengan area yang lain dapat berbeda. Hal ini, dikarenakan oleh konsentrasi unsur yang berbeda. Penentuan harga ambang memiliki fungsi untuk mengetahui batas terendah dari suatu populasi anomali. Nilai latar belakang adalah nilai rata-rata unsur di Bumi yang normal atau dengan kata lain belum termineralisasi, sedangkan nilai anomali adalah nilai penyimpangan dari nilai latarbelakang (Rose dkk., 1979). Pola penyebaran anomali dalam analisis geokimia memiliki hubungan dengan adanya mineralisasi. 26 Dalam penentuan harga ambang dapat menggunakan metode diantaranya metode simpangan baku dan metode kurva probabilitas. 4.5.1 Metode Simpangan Baku Metode simpangan baku adalah metode penentuan nilai ambang dengan menggunakan parameter rata-rata (Suroto, 2005). Simpangan baku adalah bentukan akar kuadrat dari suatu variasi dispresi (gambaran penyebaran nilainilai dari data geokimia) (Sinclair, 1987). Semakin besar nilai simpangan baku mencerminkan data yang dianalisis semakin tersebar heterogen dari nilai rata-rata data tersebut. Metode ini hanya dapat digunakan untuk nilai simpangan baku yang lebih kecil dari nilai rata-rata (distribusi normal). Nilai rata-rata diperoleh dengan rumus: n x= ∑ xi i =n n x = nilai rata-rata konsentrasi unsur (ppm) xi = nilai konsentrasi unsur ke i (ppm) n = jumlah data unsur Nilai simpangan baku diperoleh dengan rumus: n SD = ∑ ( xi − x ) 2 i =1 n −1 xi = nilai konsentrasi unsur ke i (ppm) x = nilai rata-rata konsentrasi unsur (ppm) n= jumlah data unsur SD= standar deviasi (ppm) Nilai ambang Nilai ambang = x + 2SD x = nilai rata-rata unsur (ppm) SD= standar deviasi (ppm) 4.5.2 Metode Kurva Probabilitas Metode ini dalam analisis data geokimia untuk penentuan harga ambang menggunakan kertas semilog. Dalam menggunakan penentuan harga ambang 27 dengan menggunakan metode probabilitas memiliki beberapa prosedur diantaranya : a. Nilai konsentrasi unsur (data) yang memiliki satuan ppm diubah menjadi logppm b. Pada data unsur yang tersedia ditentukan nilai maksimum, nilai minimum yang selanjutnya akan ditentukan nilai dari panjang kelas (Sinclair, 1974) K = 1 + 3.3 log n K= koefisien n= jumlah data P= ( X max − X min) K P= panjang kelas c. Data dikelompokan menjadi kelas dengan jumlah tertentu sekitar sepuluh kelas dengan menggunakan panjang kelas yang telah dihitung dan nilai maksimum dijadikan patokan pengelompokan akhir kelas terbesar dan nilai minimum dijadikan patokan pengelompokan awal kelas d. Nilai tengah setiap kelas dihitung M = ( BA − BB) 2 M= nilai tengah BA= batas atas kelas BB= batas kelas bawah e. Frekuensi dari setiap kelas dihitung jumlahnya f. Kumulatif frekuensi dari setiap kelas dihitung g. Kumulatif probabilitas (%) dihitung pada setiap kelas. Kumulatif probabilitas dihitung dari jumlah kumulatif frekuensi mulai kelas terbesar dijumlahkan dengan kelas berikutnya yang lebih kecil hingga jumlahnya mencapai 100% h. Kumulatif probabilitas dan nilai tengah diplot dalam kertas semilog. Kumulatif probabilitas menjadi bagian horizontal dari bagian kurva yang memiliki nilai skala logaritmik, sedangkan nilai tengah menjadi bagian vertikal dari kurva yang memiliki nilai skala normal. i. Pada pengplotan akan terlihat adanya populasi data. Apabila populasi tunggal, maka akan membentuk suatu garis lurus, sedangkan apabila populasi ganda akan memperlihatkan dua garis lurus yang berbeda arah. 28 j. Penentuan harga ambang a. Pada populasi tunggal, harga ambang tidak dapat ditentukan dengan metode ini karena hanya terdapat satu garis lurus dan tidak terdapat berpotongan b. Pada populasi ganda, perpotongan antara dua garis populasi merupakan nilai ambang (Gambar 4.5). Gambar 4.5 Kurva probabilitas dalam menentukan harga ambang. 4.6 Penentuan Asosiasi Unsur Penentuan asosiasi unsur dilakukan untuk mengetahui korelasi diantara unsurunsur yang dianalisis yang akan berimplikasi pada ciri dari tipe mineralisasi yang terdapat pada daerah penelitian. Metode yang digunakan adalah metode Pearson. Nilai koefisien Pearson (r) ditentukan dengan rumus berikut (Sinclair, 1987): rxy= koefisien Pearson x = nilai konsentrasi unsur 1 y = nilai konsentrasi unsur 2 n = jumlah data menurut Sinclair (1987), nilai koefisien korelasi Pearson berada pada kisaran antara +1 dan -1. Apabila nilai yang dekati +1 atau mencapai +1 maka korelasi antara unsur semakin kuat dan sebaliknya. 29 4.7 Portable Infrared Mineral Analyzer (PIMA) PIMA (Portable Infrared Mineral Analyzer) adalah metode yang digunakan dengan memanfaatkan pancaran sinar inframerah dalam menganalisis mineral khususnya mineral-mineral halus (Gambar 4.6). Material mineral yang dapat dianalisis oleh PIMA adalah hidroksil (kelompok OH); seperti pilosilikat (lempung, klorit dan mineral sepentinit), hydroxylated silicates (epidot dan amphibol), sulfat (gipsum) dan karbonat. Selain digunakan pada batuan, PIMA juga dapat digunakan untuk analisis pada tanah dan sedimen. Gambar 4.6 Perangkat analisis PIMA. Kelebihan dari PIMA diantaranya pertama merupakan alat portable yang dapat digunakan di lapangan ataupun di laboratorium. Kegiatan lapangan membantu menganalisis mineral alterasi. Kedua, pengoperasian mudah dan pembacaan sampel cepat berkisar antara 30 detik sampai 60 detik. Pengambilan data PIMA, sampel dalam keadaan kering dan sampel permukaan relatif datar. Sampel diletakkan pada lensa kecil pada instrument integrated spectronic. Perangkat lunak yang digunakan untuk pengambilan data yaitu integrated spectronic, PIMA SP/RAP Acquistion module (c) 98 version 2.1 (Gambar 4.7). Pengambilan data memiliki patokan grafik gelombang pembacaan mineral. Setiap sampel dilakukan tiga kali pengujian untuk mencapai tingkat presisi dan akurasi pengujian. Setelah tiga kali pengujian, dilakukan kaliberasi pembacaan alat. Setelah tahapan pengambilan data sampel, data diolah menggunakan perangkat lunak TSG Professional, Versi 4. Hasil analisis dan pengolahan data ditampilkan 30 dalam bentuk grafik antara reflektasi inframerah dan panjang gelombang inframerah (Gambar 4.8) (a) (b) Gambar 4.7 Pengambilan data mineral dengan PIMA (a) sampel rock chip diletakan diatas lensa pada integrated spectronic kemudian (b) dilakukan pengambilan data dengan perangkat lunak Intergrated Spectronic, PIMA SP/RAP Acquistion module. 0.338 16:45_R-_r1 Nomor conto analisis SRSS 0 Grafik pembacaan 0.31 200 400 0.283 800 1000 1200 1400 0.255 Grafik patokan 1600 1800 2000 >2000 0.227 Re fle cta nce 600 1300 1600 1900 2200 2500 Wa ve l e ngth i n nm Illite; SRSS=76, SNR=2021.8, H2O=0.464 Mineral hasil pembacaan PIMA Nilai spektrum Nilai Error Pancaran penggunaan spektrum Gambar 4.8 Grafik analisis PIMA. 31 4.8 Inklusi Fluida Inklusi dikenal sebagai material berukuran mikro yang terdapat didalam suatu mineral, pada umumnya terdapat tiga fasa yaitu fasa padat, cair, maupun gas (Roedder, 1974; dalam Yuwono, 1994). Selama proses kristalisasi dari suatu mineral, yaitu perubahan dari fase cair menjadi padat diakibatkan oleh penurunan suhu, ada kemungkinan bahwa sebagian cairan atau larutan akan terperangkap dalam kristal tersebut, genesa seperti dikenali sebagai inklusi primer (Gambar 4.9). Genesa lainnya, setelah suatu kristal terbentuk terjadi peristiwa geologi yang menyebabkan adanya retakan halus, lalu terjadi adanya larutan hidrotermal yang mengisi retakan tersebut, kemungkinan inklusi yang terbentuk terjadi dalam fasa cair setelah proses healing disebut inklusi sekunder. Inklusi pseudosekunder adalah inklusi yang hadir saat retakan hadir kristal juga ikut tumbuh dalam retakan tersebut. Inklusi psedousekunder adalah inklusi secara deskriptif termasuk inklusi sekunder, tetapi secara genetis termasuk inklusi primer ( Roedder, 1984; dalam Yuwono,1994). Gambar 4.9 (a) Inklusi fluida primer (P) dan inklusi Pseudosekunder (Ps) (b) Pembentukan inklusi sekunder (Roedder, 1984; dalam Yuwono, 1994). Preparasi inklusi fluida untuk eksplorasi endapan bijih dipilih urat yang terisi oleh mineral sekunder yang memiliki kristal-kristal jernih berukuran kasar berbentuk euhedral dan tidak mengalami pelapukan. Menurut Yuwono (1994) mineral sekunder yang umum untuk digunakan untuk analisis inklusi adalah kuarsa, kalsit, aragonit, 32 gipsum, anhidrit, dan flourit, sedangkan untuk mineral bijih yang baik untuk digunakan adalah spalerit. Pengamatan inklusi dilakukan dengan pengamatan petrografi pada sayatan poles ganda. Pengamatan petrografi digunakan untuk mengetahui jenis inklusi yang selanjutnya akan berguna untuk pengukuran Tt, Tm, dan Tf. Pengukuran Th, Tf, dan Tm dilakukan dengan menggunakan perangkat yang disebut freezing and heating stage yang dipasang pada mikroskop polarisasi (Gambar 4.10). Pengukuran Tf (temperature freezing) diawali dengan pembekuan fluida, pada saat seluruh cairan berubah menjadi es. Pengukuran Tm (temperature melting) didapatkan dengan cara menaikkan temperatur secara perlahan hingga seluruh es mencair. Pengukuran Th (temperature homogenization) didapatkan dengan cara menaikan temperatur secara perlahan hingga gelembung yang terdapat dalam inklusi menghilang. Th mencerminkan temperatur minimum mineral tersebut terbentuk. Gambar 4.10 Perangkat pengamatan inklusi fluida pada saat pengukuran Th dan Tm. 33