BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Latar Belakang Meski antibiotik yang

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Latar Belakang
Meski antibiotik yang poten telah banyak dikembangkan, pneumonia
bakterial masih membawa masalah morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Angka insidensi tahunan pneumonia bakterial diperkirakan mencapai 4 juta,
dengan 25% di antaranya membutuhkan perawatan RS. Efusi pleura
parapneumonik (EPP) masih menjadi penyebab tersering dari efusi pleura karena
sebanyak 40% dari pasien rawat inap dengan pneumonia bakteri mengalami efusi
pleura (Koegelenberg, et al, 2008). Morbiditas dan
mortalitas pada
pasien
dengan pneumonia dan pleura efusi lebih tinggi dibandingkan pasien dengan
pneumonia saja. Pada satu studi terhadap 1.424 pasien rawat inap dengan
pneumonia-komunitas (community-acquired pneumonia = CAP), pasien dengan
efusi pleura 2,7 kali lebih mungkin mengalami kegagalan pengobatan
dibandingkan mereka yang tanpa efusi pleura (Manendez, et al, 2004). Risiko
relatif kematian pada pasien dengan CAP adalah 6,5 kali lebih tinggi untuk pasien
dengan efusi pleura bilateral dan 3,7 kali lebih tinggi untuk pasien dengan efusi
pleura unilateral ukuran sedang atau besar bila dibandingkan dengan pasien lain
dengan komunitas yang didapat pneumonia saja. Naiknya morbiditas dan
mortalitas pada beberapa pasien dengan PPE terjadi lebih karena salah tata
laksana dari efusi pleura (Light, 2006).
2.1.1
Epidemiologi
Belum ada angka pasti insidensi pneumonia secara global. Laporan WHO
menunjukkan beban penyakit yang berhubungan dengan kematian akibat infeksi
saluran pernapasan bawah pada tahun 2004 mencapai 4,2 juta. Perkiraan angka
insidensi efusi pleura dan empyema dapat dibuat dari angka insidensi di AS,
namun angka ini harus dihitung dengan hati-hati mengingat kurangnya perawatan
dan pengobatan tertunda di negara-negara berkembang mungkin saja membuat
insidensi global meroket tajam (Limsukon, 2014).
Sekitar 1,3 juta pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun dengan
pneumonia di Amerika Serikat. Prevalensi efusi pleura parapneumonik sebagian
tergantung pada organisme yang terlibat. Secara keseluruhan, efusi pleura muncul
pada sekitar 35-40% pasien dengan pneumonia bakteri atau pneumonia anaerob,
dengan prevalensi pneumonia pneumokokus mendekati 60%. Efusi pleura
komplikata lebih sering muncul dengan infeksi pleuropulmoner anaerob.
Sehingga diperkirakan ada sekitar 500,000-750,000 pasien dengan efusi
parapneumonik per tahun. Belum ada angka pasti mengenai berapa banyak pasien
yang akhirnya mengalami efusi komplikata atau empyema, tapi dari satu studi
kecil ada sekitar 5-10% yang memerlukan drainase atau prosedur bedah
(Limsukon, 2014).
Studi tentang data rawat inap di Amerika Serikat menemukan bahwa pada
tahun 1996, secara nasional tingkat rawat inap diagnosa terkait empyema
parapneumonik adalah 3,04 per 100.000; pada tahun 2008, angka ini meningkat
menjadi 5,98 per 100.000, naik 2 kali lipat. Angka empyema pneumokokus tetap
stabil, namun tingkat empyema staphylococcal naik tiga kali lipat. Tingkat rawat
inap untuk empyema lain atau yang tidak diketahui etiologi nya (62,4% dari rawat
inap empyema) naik dua kali lipat, seperti halnya tingkat empyema streptokokus
non-pneumococcal (Chalmers, et al, 2009).
Angka pasti untuk kasus seputar masalah infeksi pleura dan komplikasinya
di Indonesia belum ada. Meski demikian, beberapa studi yang dikerjakan di
beberapa center dapat memberikan gambaran amplitudo masalah ini. Studi di RS
Persahabatan Jakarta di tahun 2012 menemukan 119 pasien dengan efusi pleura;
104 dengan efusi pleura eksudatif dan 15 pasien dengan efusi pleura transudatif.
Pasien laki-laki sebanyak 66 (55,5%) pasien dan sisanya 53 (44,5%) pasien adalah
perempuan (Khairani, et al, 2012). Proporsi laki-laki yang lebih banyak ini sama
dengan hasil yang ditemukan pada studi di RS Adam Malik Medan yakni laki-laki
65,4% (89 pasien) dan perempuan 34,6% (47) (Tobing dan Widirahardjo, 2013).
2.1.2
Etiologi
Sebenarnya hampir semua jenis pneumonia (bakterial, viral, atipikal) bisa
menyebabkan EPP. Namun insidensi relatif EPP bervariasi sesuai organisme
penyebabnya. Pneumonia viral dan pneumonia mycoplasma menyebabkan efusi
pleura pada 20 % pasien. Untuk empyema toraks, pneumonia bakterial menjadi
penyebab pada 70% kasus. Sebagai tambahan pula, empyema thorax merupakan
komplikasi dari operasi sebelumnya, yang menyumbang 30 % dari kasus. Kasus
trauma juga dapat dipersulit oleh oleh superinfeksi pada rongga pleura. Bilamana
tidak ada infeksi atau trauma, organisme penginfeksi dapat menyebar dari darah
atau organ lainnya ke dalam rongga pleura, yang nantinya akan berkembang
menjadi abses subdiafragma, ruptur esofagus, mediastinitis, osteomyelitis,
perikarditis, kholangitis dan divertikulitis (Sahn, 2007).
2.1.3
Bakteriologi
Sejak munculnya antibiotik, gambaran bakteriologis EPP dengan kultur-
positif telah berubah. Sebelum jaman antibiotik, yang terbanyak tumbuh di cairan
empyema adalah Streptococcus pneumoniae atau Streptococcus hemolyticus. Di
periode tahun 1955 – 1965, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling
sering diisolasi dari cairan pleura. Pada awal 1970-an, organisme anaerob yang
paling sering diisolasi. Kini, ternyata bahwa organisme aerob yang lebih sering
menimbulkan sebagian besar empyema dibanding anaerob. Studi atas 197 pasien
dengan kultur-positif bakteri untuk cairan pleura di RS militer menemukan kalau
bakteri aerobik dapat diisolasi pada 64% pasien, 13% pasien hanya ditemukan
organisme anaerob dan di 23% dari pasien ditemukan organisme aerobik dan
anaerob (Tsang, 2007).
Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes dan Staphylococcus aureus
merupakan organisme tersering yang dikaitkan dengan infeksi pleura (Burgos, et
al, 2011). Juga kelompok S. anginosus (dikenal sebagai kelompok S. milleri) yang
terdiri dari S. anginosus, S. constellatus dan S. intermedius merupakan flora
normal manusia yang menjadi signifikan dalam konteks infeksi pleura, muncul
pada 30-50% kasus CAP dewasa (Burgos, et al, 2011; Ahmed, et al, 2006;
Maskell, et al, 2005).
S. aureus lebih sering ditemukan pada pasien rawat inap tua yang memiliki
komorbiditas. Biasanya disertai kavitasi dan pembentukan abses, dengan
empyema muncul pada 1-25 % kasus dewasa. Kini juga ada laporan tentang
peningkatan jumlah kasus empyema yang disebabkan oleh community-acquired
MRSA, dan bakteri ini patut dicurigai community- dan hospital-acquired empyema
(Lindstrom, 1999). Namun bakteri anaerob juga berkontribusi signifikan terhadap
infeksi pleura, diisolasi sebagai agen tunggal atau co-patogen di 25-76 % kasus
anak (Micek, 2005).
2.2
Patofisiologi
Rongga pleura normal terisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya untuk memfasilitasi pergerakan
kembang-kempis paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan
dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi
normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorpsi maksimal drainase sistem
limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi protein
lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.
Cairan pleura berisi 1.500 – 4500 sel/mL dengan komponen makrofag
(75%), limfosit (23%), eritosit dan mesotel bebas. Kandungan protein normal di
pleura adalah 1 – 2 g/100mL. Elektroforesis protein cairan pleura menunjukkan
bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein serum, namun
kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan
pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20 – 25% lebih tinggi
dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion Natrium lebih rendah
3 – 5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6 – 9% sehingga pH cairan pleura lebih
tinggi dibandingkan pH plasma. Keseimbangan ionik ini diatur melalui transpor
aktif mesotelium. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura setara dengan
plasma (Putratomo dan Yunus, 2013).
Gambar 2.1
Terbentuknya transudat dan eksudat. A, Tekanan hidrostatik normal (panah biru)
± 32 mmHg di ujung arteri dari kapiler dan 12 mmHg di ujung vena dari kapiler;
rerata tekanan osmotik koloid jaringan ± 25 mmHg (panah hijau), yang sama
dengan rata-rata tekanan kapiler. Makanya, hampir tidak ada aliran bebas cairan
melintasi vascular bed. B, Transudat terbentuk karena kebocoran cairan akibat
naiknya tekanan hidrostatik atau menurunnya tekanan osmotik. C, Eksudat
terbentuk pada proses inflamasi karena meningkatnya permeabilitas vaskuler
sebagai akibat dari merenggangnya ruang interendotelial. (Gambar dari Kumar et
al, 2014)
Efusi pleura muncul saat lebih banyak cairan yang memasuki rongga
pleura daripada yang dibuang (Gambar 1). Mekanisme akumulasi cairan pleura
antara lain: bertambahnya cairan interstitial di paru-paru akibat naiknya tekanan
kapiler paru (misalnya, gagal jantung) atau meningkatnya permeabilitas
(pneumonia); penurunan tekanan intrapleural (atelektasis); penurunan tekanan
onkotik plasma (hipoalbuminemia); meningkatnya permeabilitas membran pleura
dan obstruksi aliran limfatik (keganasan atau infeksi pleura); defek diafragma
(hydrothorax hepatis); dan ruptur duktus toraks (chylothorax). Meskipun berbagai
macam penyakit dapat menimbulkan efusi pleura, penyebab yang paling umum
pada orang dewasa adalah gagal jantung, keganasan, pneumonia, tuberkulosis,
dan emboli paru, sementara penyebab pada anak yang paling sering adalah
pneumonia (Porcel dan Light, 2006). Tabel 1 menguraikan berbagai penyebab
efusi pleura.
Tabel 2.1
Penyebab efusi pleura eksudatif dan transudatif (Na, 2014)
Tipe
Paling sering
Kurang sering
Jarang
Eksudat
Keganasan
Efusi parapneumonik
TBC
Emboli paru
Artritis rheumatoid dan pleuritis otoimun lainnya
Efusi asbestos benigna
Pankreatitis
Infark Post-myokardium
Pasca operasi bypass arteri koroner
Yellow nail syndrome
Gangguan limfatik lainnya (limfangioleiomyomatosis)
Obat-obatan
Infeksi jamur
Transudat
Gagal Jantung Kiri
Sirosis hepar
Hipoalbuminemia
Dialisis peritoneal
Hipotiroidisme
Sindrom Nefrotik
Stenosis Mitral
Perikarditis konstruktif
Urinotoraks
Meigs’ syndrome
Efusi pleura parapneumonik adalah setiap efusi pleura yang disebabkan
oleh pneumonia bakterial, abses paru, atau bronkiektasis. Pada beberapa pasien
kasusnya berkembang menjadi empyema dengan munculnya nanah dalam rongga
pleura. Empyema didefinisikan sebagai cairan pleura dengan BJ > 1,018, WBC >
500 sel/mm3, atau protein > 2,5 g/dL. Juga, ada yang menyatakan bahwa
empyema adalah cairan pleura yang kultur bakterinya positif atau dengan WBC >
15.000/mm3 dan protein > 3,0 g/dL. Sementara menurut Light, empyema adalah
efusi pleura dengan cairan kental kental dan purulen, meski beberapa pasien
dengan empyema tidak mengalami proses pneumonik (Light, 2008).
Gambar 2.2
Rangkuman patogenesis efusi pleura parapneumonik. IL-8, interleukin-8; TNF,
tumor necrosis factor; PAI, plasminogen activator inhibitor; t-PA, tissue
plasminogen activator (Garrido et al, 2014)
Saat penderita mengalami pneumonia, pleura bereaksi terhadap hadirnya
mikroba dengan respon inflamasi yang kuat. Produksi cairan pleura akan
meningkat cepat. Kenaikan ini terutama berasal dari cairan interstitial paru, dan
kedua karena naiknya permeabilitas kapiler di paru. Ketika jumlah cairan pleura
yang masuk ke rongga pleura lebih besar dari kapasitas limfatik pleura untuk
menyerap cairan, maka terjadilah efusi pleura. Pada mulanya, kadar glukosa dan
pH cairan pleuranya masih normal dengan LDH dan leukosit yang rendah. Sel-sel
mesotel aktif melakukan fagositosis, yang memicu respon inflamasi ketika dipicu
oleh adanya bakteri, dan melepaskan chemokine (grup C-X-C), sitokin (IL-1, IL6, IL-8 TNF-α), oksidan dan protese (Bouros, 2009).
Pada beberapa pasien, proses ini berlanjut dengan bakteri yang menginvasi
cairan pleura. Akibatnya, kadar glukosa dan pH cairan pleura menurun, LDH naik
dan cairan makin kental. Juga, lembaran-lembaran fibrin membentuk loculus
cairan dan menutupi pleura visceralis, yang akan menghalangi paru mengembang
bilamana cairannya sudah dibuang. Proses ini bisa reversibel dengan pemberian
antibiotik yang tepat selama fase eksudatif dini (Bouros, 2009).
Klasifikasi klinis praktis EPP adalah sebagai berikut: (1) efusi pleura
parapneumonik non-komplikata (UPPE, uncomplicated parapneumonic effusion)
sembuh dengan terapi antibiotik saja, tanpa sequelae pada ruang pleura; (2) efusi
pleura parapneumonik komplikata (CPPE, complicated parapneumonic effusion)
membutuhkan drainase pleura untuk mengatasi sepsis pleura dan mencegah
terjadinya empyema; dan (3) empyema, tahap akhir dari EPP. Empyema
ditentukan oleh tampilannya; cairan kental, keruh, kuning-keputihan, yang
merupakan hasil dari koagulasi serum protein, debris seluler, dan deposisi fibrin.
Empyema muncul terutama karena pasien dengan pneumonia lanjut dan infeksi
pleura progresif telat berobat dan, pada kasus yang lebih jarang, akibat dari
manajemen klinis yang tidak tepat (Sahn, 2007).
Gambar 2.3 menjelaskan proses evolusi EPP dalam 3 tahap yaitu tahap
eksudatif, fibrinopurulen dan organisasi.
Gambar 2.3
Perkiraan perjalanan penyakit EPP yang tidak diobati atau diobati tidak dengan
tepat. Umumnya empyema muncul 4 –6 minggu setelah onset aspirasi bakteri ke
dalam paru (Sahn, 2007)
Pemicu pada sebagian besar kasus pneumonia adalah aspirasi dari
organisme dari orofaring. Jika load (muatan) organismenya tinggi dan pertahanan
host memang terganggu (misalnya, sebagai akibat dari merokok atau konsumsi
alkohol), pasien lebih gampang terkena pneumonia. Jeda antara aspirasi
organisme dan munculnya pneumonia bervariasi dari beberapa hari sampai 1
minggu. Pneumonia biasanya dimulai pada lobus di pinggiran paru-paru dan, jika
tidak diobati, menyebar secara sentripetal menuju hilus. Jika tidak diobati untuk
2-5 hari berikutnya, muncullah UPPE. Efusi muncul karena dari naiknya
permeabilitas kapiler pada jejas endotel yang dipicu oleh oleh neutrofil
teraktivasi, yang melepaskan metabolit oksigen, konstituen granul, dan produkproduk dari fosfolipase membran. Cairan paru ekstravaskuler yang bertambah ini
akan
meningkatkan
gradien
tekanan
interstitial-pleura
dan
mendorong
terbentuknya efusi pleura saat cairan bergerak antara sel mesothelial ke rongga
pleura (Sahn, 2007). Jika pembentukan cairan interstitial melebihi kapasitas
limfatik paru-paru dan pleura, terjadilah efusi pleura. Jika tidak diobati untuk 5-10
hari berikutnya, EPP akan berubah ke tahap fibrinopurulen, ditandai oleh adhesi,
naiknya neutrofil, dan munculnya bakteri. Fibrin terbentuk sebagai bekuan protein
intravaskular yang memasuki rongga pleura, bersamaan dengan terhambatnya
fibrinolisis pada rongga pleura. Fibroblas memasuki ruang pleura oleh 2
kemungkinan mekanisme: (1) gerakan dari fibrocytes sumsum tulang ke lokasi
inflamasi, dan (2) perubahan sel-sel mesotelium menjadi fibroblast oleh sitokin.
Nanti di tahap fibrinopurulen, nanah akan disedot melalui thoracosentesis; namun,
paru-paru biasanya masih dapat mengembang. Kalau tahap fibrinopurulen ini
terus berlanjut, pasien makin susah diobati tanpa drainase rongga pleura. Untuk
10-21 hari berikutnya, EPP akan berkembang ke tahap organisasi atau empyema,
dengan paru yang terjebak akibat fibrosis pleura visceralis. Pasien dengan
empyema selalu membutuhkan drainase pleura untuk resolusi yang mengatasi
sepsis pleura dan sering membutuhkan dekortikasi (Sahn, 2007).
Pada kondisi pleura normal, glukosa berdifusi bebas melintasi membran
pleura dan konsentrasi glukosa cairan pleura setara dengan yang di serum. Pada
kondisi infeksi, karena meningkatnya aktifitas metabolisme, terjadi peningkatan
konsumsi glukosa tanpa disertai penggantian yang adekuat.
Kadar glukosa pleura yang rendah (< 3,4 mmol/l) dapat ditemukan di
CPPE, empyema, arthritis pleuritis dan efusi pleura TB, keganasan dan rupture
esofagus. Penyebab paling umum dari kadar glukosa pleura yang sangat rendah
(<1,6 mmol/l) adalah arthritis dan empyema (Hooper, et al, 2010)
2.3
Gejala dan Tanda Klinis
Manifestasi klinis efusi PPE dan empyema sangat tergantung pada apakah
pasien terkena infeksi aerob atau anaerob. Onset infeksi aerobik lebih akut dengan
gejala demam akut, sementara infeksi anaerob lebih lambat dan gejalanya
mungkin tidak spesifik disertai demam ringan. Jika masih demam berlangsung
selama lebih dari 48 jam setelah mulai pengobatan antibiotik, kemungkinan besar
sudah terjadi CPPE atau empyema (Limsukon, 2014).
Manifestasi klinis pasien dengan pneumonia anaerob mirip dengan pasien
pneumonia bakterial. Juga muncul demam akut disertai nyeri dada, produksi
sputum dan leukositosis. CPPE ditandai pula dengan adanya demam lebih dari 48
jam setelah pemberian antibiotik. Sementara itu, pasien dengan infeksi bakteri
anaerob yang melibatkan pleura biasanya datang dengan keluhan subakut.
Umumnya gejala muncul lebih dari 7 hari, disertai penurunan berat badan dan
anemia. Faktor predisposisi yang memicu aspirasi bakteri berulang antara lain
higiene mulut yang buruk dan konsumsi alkohol (Light, 2006).
Pada pemeriksaan fisik didapati takipnea dan takikardi, pasien tampak toksik
dan disertai gejala dan tanda yang mengarah ke SIRS. Tanda-tanda efusi pleura
antara lain menurunnya suara nafas, perkusi yang redup, dan menurunnya
fremitus (Limsukon, 2014).
2.4
Diagnosis
Dalam evaluasi atas pneumonia, pertimbangkan selalu kemungkinan EPP.
Pemeriksaan radiologis seperti foto polos thorax, USG dan CT-scan berperan
penting. Selain menemukan penumpulan sudut kostofrenikus pada foto polos, CTscan bisa membedakan konsolidasi paru dari efusi pleura yang hipodens. USG
membantu mengarahkan ke lokasi terbaik untuk pemasangan drainase,
meningkatkan kinerja, dan mengurangi risiko komplikasi (Garrido, et al, 2014).
Lakukan thoracentesis dan pengambilan darah bila dicurigai efusi pleura.
UPPE dapat berkembang menjadi CPPE dalam kurang dari 12 jam, sehingga tata
laksana klinis sangat penting. Efusi pleura parapneumonik ditandai dengan adanya
mikroorganisme dalam cairan, bau yang busuk atau kekeruhan, yang disebut
empyema bila mengandung nanah. Seringkali kultur cairan pleuranya negatif atau
kondisi pasien menuntut untuk segera diberikan keputusan terapi sedini mungkin,
sebelum hasil kultur bisa keluar. Dalam kasus-kasus seperti inilah, nilai pH bisa
menjadi marker terbaik. Yang perlu dicatat adalah bahwa pH dapat bervariasi
dalam berbagai ruang EP loculated, dan juga bahwa itu adalah asam di PE ganas,
rheumatoid arthritis, pleuritis lupus dan PE TB. (Garrido, 2014).
Gambar 2.4
Algoritma terapi efusi parapneumonik. Terapi antibiotik harus diberikan
sedini mungkin pada semua kasus, lalu disesuaikan dengan hasil kultur.
(Garrido, et al, 2014)
2.5
Analisa Pleura: Glukosa Cairan Pleura
Identifikasi atas infeksi secara definitif dilakukan dengan analisis cairan
pleura. Gambaran pus/nanah yang nyata sudah menunjukkan adanya empyema,
jadi tidak memerlukan pemeriksaan biokimia lebih lanjut. Sekitar 40% efusi
pleura yang infektif memberi hasil kultur yang negatif, sehingga kita memerlukan
pemeriksaan tambahan, untuk menentukan ada tidaknya infeksi yakni pH, LDH
dan glukosa pleura (Rahman dan Davies, 2008). Nilai pH pleura merupakan
pemeriksaan terbaik, diikuti glukosa pleura dan LDH pleura.
Meskipun nilai pH cairan pleura merupakan yang terbaik dalam
mengetahui infeksi dalam cairan pleura, sayangnya akurasi pengukuran pH pleura
sangat tergantung pada teknik pengambilan sampel. Sedikit saja udara atau sisa
lidokain dalam tabung pengumpul akan mengubah hasil nilai pH. Di saat yang
sama, pengukuran kadar glukosa pleura, baik oleh alat pengukur AGD atau mesin
analisa konvensional, tidaklah gampang terpengaruh oleh teknik pengumpulan
sampel atau penundaan analisa. Jadi, bilamana nilai pH pleura tidak dapat dipakai,
kita bisa memakai kadar glukosa cairan pleura untuk mengetahui proses infeksi di
pleura (Rahman et al, 2008).
Dalam keadaan normal, kadar glukosa serum dan pleura harusnya sama
karena glukosa memiliki berat molekul rendah dan transportasinya dari darah ke
cairan pleura cukup dengan difusi sederhana melintasi membran endotel dan
mesotel. Kadar glukosa cairan pleura rendah artinya < 60 mg/dL atau rasio
glukosa pleura/serum <0,5. Kadar glukosa pleura yang rendah ini berbanding
lurus dengan kadar laktat dan nilai pCO2 cairan pleura, yang menunjukkan kalau
akumulasi produk-akhir glukosa inilah yang menyebabkan menurunnya pH cairan
pleura pada empyema. Dan pada percobaan empyema, glukosa turun dengan cepat
setelah masuknya bakteri ke dalam rongga pleura (Sahn dan Heffner, 2008).
Mekanisme rendahnya pH dan kadar glukosa cairan pleura pada
EPP/empyema adalah karena meningkatnya konsumsi glukosa oleh karena
fagositosis neutrofil dan metabolisme bakteri yang disertai akumulasi produk
akhir glikolisis, CO2 dan asam laktat, dan berujung pada turunnya kadar glukosa
dan nilai pH cairan pleura (Sahn, 2009). Selain itu juga, menebalnya membran
pleura juga mengganggu transpor glukosa dari darah masuk ke cairan pleura
(Chavalittamrong, 1979)
. Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis efusi
pleura
yang
infektif
seperti
tumor
necrosis
factor-alpha
(TNF-α),
myeloperoxidase, CRP dan PCT. Namun, tak satu pun dari parameter tersebut
yang lebih unggul dari parameter klasik pH pleura <7.20, atau glukosa pleura <60
mg / dL (Porcel, et al, 2009). Belum lagi, biaya pemeriksaannya jauh lebih mahal
dibandingkan pemeriksaan glukosa cairan pleura.
2.6
Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Cairan Pleura
1. Sampel pleura diambil sebanyak 10 – 20 cc dari toracentesis, simpan
dalam tabung EDTA
2. Bila sampel jernih, langsung tambahkan reagen untuk pemeriksaan
glukosa kemudian diperiksa dengan menggunakan spektrofotometer/
autoanalyzer
3. Bila sampel keruh, disentrifus dulu, diambil supernatannya, lalu
ditambahkan reagen untuk pemeriksaan glukosa. Selanjutnya langsung
diperiksa dengan spektrofotometer/ autoanalyzer.
Download