BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Latar Belakang Meski antibiotik yang poten telah banyak dikembangkan, pneumonia bakterial masih membawa masalah morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka insidensi tahunan pneumonia bakterial diperkirakan mencapai 4 juta, dengan 25% di antaranya membutuhkan perawatan RS. Efusi pleura parapneumonik (EPP) masih menjadi penyebab tersering dari efusi pleura karena sebanyak 40% dari pasien rawat inap dengan pneumonia bakteri mengalami efusi pleura (Koegelenberg, et al, 2008). Morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan pneumonia dan pleura efusi lebih tinggi dibandingkan pasien dengan pneumonia saja. Pada satu studi terhadap 1.424 pasien rawat inap dengan pneumonia-komunitas (community-acquired pneumonia = CAP), pasien dengan efusi pleura 2,7 kali lebih mungkin mengalami kegagalan pengobatan dibandingkan mereka yang tanpa efusi pleura (Manendez, et al, 2004). Risiko relatif kematian pada pasien dengan CAP adalah 6,5 kali lebih tinggi untuk pasien dengan efusi pleura bilateral dan 3,7 kali lebih tinggi untuk pasien dengan efusi pleura unilateral ukuran sedang atau besar bila dibandingkan dengan pasien lain dengan komunitas yang didapat pneumonia saja. Naiknya morbiditas dan mortalitas pada beberapa pasien dengan PPE terjadi lebih karena salah tata laksana dari efusi pleura (Light, 2006). 2.1.1 Epidemiologi Belum ada angka pasti insidensi pneumonia secara global. Laporan WHO menunjukkan beban penyakit yang berhubungan dengan kematian akibat infeksi saluran pernapasan bawah pada tahun 2004 mencapai 4,2 juta. Perkiraan angka insidensi efusi pleura dan empyema dapat dibuat dari angka insidensi di AS, namun angka ini harus dihitung dengan hati-hati mengingat kurangnya perawatan dan pengobatan tertunda di negara-negara berkembang mungkin saja membuat insidensi global meroket tajam (Limsukon, 2014). Sekitar 1,3 juta pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun dengan pneumonia di Amerika Serikat. Prevalensi efusi pleura parapneumonik sebagian tergantung pada organisme yang terlibat. Secara keseluruhan, efusi pleura muncul pada sekitar 35-40% pasien dengan pneumonia bakteri atau pneumonia anaerob, dengan prevalensi pneumonia pneumokokus mendekati 60%. Efusi pleura komplikata lebih sering muncul dengan infeksi pleuropulmoner anaerob. Sehingga diperkirakan ada sekitar 500,000-750,000 pasien dengan efusi parapneumonik per tahun. Belum ada angka pasti mengenai berapa banyak pasien yang akhirnya mengalami efusi komplikata atau empyema, tapi dari satu studi kecil ada sekitar 5-10% yang memerlukan drainase atau prosedur bedah (Limsukon, 2014). Studi tentang data rawat inap di Amerika Serikat menemukan bahwa pada tahun 1996, secara nasional tingkat rawat inap diagnosa terkait empyema parapneumonik adalah 3,04 per 100.000; pada tahun 2008, angka ini meningkat menjadi 5,98 per 100.000, naik 2 kali lipat. Angka empyema pneumokokus tetap stabil, namun tingkat empyema staphylococcal naik tiga kali lipat. Tingkat rawat inap untuk empyema lain atau yang tidak diketahui etiologi nya (62,4% dari rawat inap empyema) naik dua kali lipat, seperti halnya tingkat empyema streptokokus non-pneumococcal (Chalmers, et al, 2009). Angka pasti untuk kasus seputar masalah infeksi pleura dan komplikasinya di Indonesia belum ada. Meski demikian, beberapa studi yang dikerjakan di beberapa center dapat memberikan gambaran amplitudo masalah ini. Studi di RS Persahabatan Jakarta di tahun 2012 menemukan 119 pasien dengan efusi pleura; 104 dengan efusi pleura eksudatif dan 15 pasien dengan efusi pleura transudatif. Pasien laki-laki sebanyak 66 (55,5%) pasien dan sisanya 53 (44,5%) pasien adalah perempuan (Khairani, et al, 2012). Proporsi laki-laki yang lebih banyak ini sama dengan hasil yang ditemukan pada studi di RS Adam Malik Medan yakni laki-laki 65,4% (89 pasien) dan perempuan 34,6% (47) (Tobing dan Widirahardjo, 2013). 2.1.2 Etiologi Sebenarnya hampir semua jenis pneumonia (bakterial, viral, atipikal) bisa menyebabkan EPP. Namun insidensi relatif EPP bervariasi sesuai organisme penyebabnya. Pneumonia viral dan pneumonia mycoplasma menyebabkan efusi pleura pada 20 % pasien. Untuk empyema toraks, pneumonia bakterial menjadi penyebab pada 70% kasus. Sebagai tambahan pula, empyema thorax merupakan komplikasi dari operasi sebelumnya, yang menyumbang 30 % dari kasus. Kasus trauma juga dapat dipersulit oleh oleh superinfeksi pada rongga pleura. Bilamana tidak ada infeksi atau trauma, organisme penginfeksi dapat menyebar dari darah atau organ lainnya ke dalam rongga pleura, yang nantinya akan berkembang menjadi abses subdiafragma, ruptur esofagus, mediastinitis, osteomyelitis, perikarditis, kholangitis dan divertikulitis (Sahn, 2007). 2.1.3 Bakteriologi Sejak munculnya antibiotik, gambaran bakteriologis EPP dengan kultur- positif telah berubah. Sebelum jaman antibiotik, yang terbanyak tumbuh di cairan empyema adalah Streptococcus pneumoniae atau Streptococcus hemolyticus. Di periode tahun 1955 – 1965, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering diisolasi dari cairan pleura. Pada awal 1970-an, organisme anaerob yang paling sering diisolasi. Kini, ternyata bahwa organisme aerob yang lebih sering menimbulkan sebagian besar empyema dibanding anaerob. Studi atas 197 pasien dengan kultur-positif bakteri untuk cairan pleura di RS militer menemukan kalau bakteri aerobik dapat diisolasi pada 64% pasien, 13% pasien hanya ditemukan organisme anaerob dan di 23% dari pasien ditemukan organisme aerobik dan anaerob (Tsang, 2007). Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes dan Staphylococcus aureus merupakan organisme tersering yang dikaitkan dengan infeksi pleura (Burgos, et al, 2011). Juga kelompok S. anginosus (dikenal sebagai kelompok S. milleri) yang terdiri dari S. anginosus, S. constellatus dan S. intermedius merupakan flora normal manusia yang menjadi signifikan dalam konteks infeksi pleura, muncul pada 30-50% kasus CAP dewasa (Burgos, et al, 2011; Ahmed, et al, 2006; Maskell, et al, 2005). S. aureus lebih sering ditemukan pada pasien rawat inap tua yang memiliki komorbiditas. Biasanya disertai kavitasi dan pembentukan abses, dengan empyema muncul pada 1-25 % kasus dewasa. Kini juga ada laporan tentang peningkatan jumlah kasus empyema yang disebabkan oleh community-acquired MRSA, dan bakteri ini patut dicurigai community- dan hospital-acquired empyema (Lindstrom, 1999). Namun bakteri anaerob juga berkontribusi signifikan terhadap infeksi pleura, diisolasi sebagai agen tunggal atau co-patogen di 25-76 % kasus anak (Micek, 2005). 2.2 Patofisiologi Rongga pleura normal terisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni 0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya untuk memfasilitasi pergerakan kembang-kempis paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorpsi maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer. Cairan pleura berisi 1.500 – 4500 sel/mL dengan komponen makrofag (75%), limfosit (23%), eritosit dan mesotel bebas. Kandungan protein normal di pleura adalah 1 – 2 g/100mL. Elektroforesis protein cairan pleura menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20 – 25% lebih tinggi dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion Natrium lebih rendah 3 – 5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6 – 9% sehingga pH cairan pleura lebih tinggi dibandingkan pH plasma. Keseimbangan ionik ini diatur melalui transpor aktif mesotelium. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura setara dengan plasma (Putratomo dan Yunus, 2013). Gambar 2.1 Terbentuknya transudat dan eksudat. A, Tekanan hidrostatik normal (panah biru) ± 32 mmHg di ujung arteri dari kapiler dan 12 mmHg di ujung vena dari kapiler; rerata tekanan osmotik koloid jaringan ± 25 mmHg (panah hijau), yang sama dengan rata-rata tekanan kapiler. Makanya, hampir tidak ada aliran bebas cairan melintasi vascular bed. B, Transudat terbentuk karena kebocoran cairan akibat naiknya tekanan hidrostatik atau menurunnya tekanan osmotik. C, Eksudat terbentuk pada proses inflamasi karena meningkatnya permeabilitas vaskuler sebagai akibat dari merenggangnya ruang interendotelial. (Gambar dari Kumar et al, 2014) Efusi pleura muncul saat lebih banyak cairan yang memasuki rongga pleura daripada yang dibuang (Gambar 1). Mekanisme akumulasi cairan pleura antara lain: bertambahnya cairan interstitial di paru-paru akibat naiknya tekanan kapiler paru (misalnya, gagal jantung) atau meningkatnya permeabilitas (pneumonia); penurunan tekanan intrapleural (atelektasis); penurunan tekanan onkotik plasma (hipoalbuminemia); meningkatnya permeabilitas membran pleura dan obstruksi aliran limfatik (keganasan atau infeksi pleura); defek diafragma (hydrothorax hepatis); dan ruptur duktus toraks (chylothorax). Meskipun berbagai macam penyakit dapat menimbulkan efusi pleura, penyebab yang paling umum pada orang dewasa adalah gagal jantung, keganasan, pneumonia, tuberkulosis, dan emboli paru, sementara penyebab pada anak yang paling sering adalah pneumonia (Porcel dan Light, 2006). Tabel 1 menguraikan berbagai penyebab efusi pleura. Tabel 2.1 Penyebab efusi pleura eksudatif dan transudatif (Na, 2014) Tipe Paling sering Kurang sering Jarang Eksudat Keganasan Efusi parapneumonik TBC Emboli paru Artritis rheumatoid dan pleuritis otoimun lainnya Efusi asbestos benigna Pankreatitis Infark Post-myokardium Pasca operasi bypass arteri koroner Yellow nail syndrome Gangguan limfatik lainnya (limfangioleiomyomatosis) Obat-obatan Infeksi jamur Transudat Gagal Jantung Kiri Sirosis hepar Hipoalbuminemia Dialisis peritoneal Hipotiroidisme Sindrom Nefrotik Stenosis Mitral Perikarditis konstruktif Urinotoraks Meigs’ syndrome Efusi pleura parapneumonik adalah setiap efusi pleura yang disebabkan oleh pneumonia bakterial, abses paru, atau bronkiektasis. Pada beberapa pasien kasusnya berkembang menjadi empyema dengan munculnya nanah dalam rongga pleura. Empyema didefinisikan sebagai cairan pleura dengan BJ > 1,018, WBC > 500 sel/mm3, atau protein > 2,5 g/dL. Juga, ada yang menyatakan bahwa empyema adalah cairan pleura yang kultur bakterinya positif atau dengan WBC > 15.000/mm3 dan protein > 3,0 g/dL. Sementara menurut Light, empyema adalah efusi pleura dengan cairan kental kental dan purulen, meski beberapa pasien dengan empyema tidak mengalami proses pneumonik (Light, 2008). Gambar 2.2 Rangkuman patogenesis efusi pleura parapneumonik. IL-8, interleukin-8; TNF, tumor necrosis factor; PAI, plasminogen activator inhibitor; t-PA, tissue plasminogen activator (Garrido et al, 2014) Saat penderita mengalami pneumonia, pleura bereaksi terhadap hadirnya mikroba dengan respon inflamasi yang kuat. Produksi cairan pleura akan meningkat cepat. Kenaikan ini terutama berasal dari cairan interstitial paru, dan kedua karena naiknya permeabilitas kapiler di paru. Ketika jumlah cairan pleura yang masuk ke rongga pleura lebih besar dari kapasitas limfatik pleura untuk menyerap cairan, maka terjadilah efusi pleura. Pada mulanya, kadar glukosa dan pH cairan pleuranya masih normal dengan LDH dan leukosit yang rendah. Sel-sel mesotel aktif melakukan fagositosis, yang memicu respon inflamasi ketika dipicu oleh adanya bakteri, dan melepaskan chemokine (grup C-X-C), sitokin (IL-1, IL6, IL-8 TNF-α), oksidan dan protese (Bouros, 2009). Pada beberapa pasien, proses ini berlanjut dengan bakteri yang menginvasi cairan pleura. Akibatnya, kadar glukosa dan pH cairan pleura menurun, LDH naik dan cairan makin kental. Juga, lembaran-lembaran fibrin membentuk loculus cairan dan menutupi pleura visceralis, yang akan menghalangi paru mengembang bilamana cairannya sudah dibuang. Proses ini bisa reversibel dengan pemberian antibiotik yang tepat selama fase eksudatif dini (Bouros, 2009). Klasifikasi klinis praktis EPP adalah sebagai berikut: (1) efusi pleura parapneumonik non-komplikata (UPPE, uncomplicated parapneumonic effusion) sembuh dengan terapi antibiotik saja, tanpa sequelae pada ruang pleura; (2) efusi pleura parapneumonik komplikata (CPPE, complicated parapneumonic effusion) membutuhkan drainase pleura untuk mengatasi sepsis pleura dan mencegah terjadinya empyema; dan (3) empyema, tahap akhir dari EPP. Empyema ditentukan oleh tampilannya; cairan kental, keruh, kuning-keputihan, yang merupakan hasil dari koagulasi serum protein, debris seluler, dan deposisi fibrin. Empyema muncul terutama karena pasien dengan pneumonia lanjut dan infeksi pleura progresif telat berobat dan, pada kasus yang lebih jarang, akibat dari manajemen klinis yang tidak tepat (Sahn, 2007). Gambar 2.3 menjelaskan proses evolusi EPP dalam 3 tahap yaitu tahap eksudatif, fibrinopurulen dan organisasi. Gambar 2.3 Perkiraan perjalanan penyakit EPP yang tidak diobati atau diobati tidak dengan tepat. Umumnya empyema muncul 4 –6 minggu setelah onset aspirasi bakteri ke dalam paru (Sahn, 2007) Pemicu pada sebagian besar kasus pneumonia adalah aspirasi dari organisme dari orofaring. Jika load (muatan) organismenya tinggi dan pertahanan host memang terganggu (misalnya, sebagai akibat dari merokok atau konsumsi alkohol), pasien lebih gampang terkena pneumonia. Jeda antara aspirasi organisme dan munculnya pneumonia bervariasi dari beberapa hari sampai 1 minggu. Pneumonia biasanya dimulai pada lobus di pinggiran paru-paru dan, jika tidak diobati, menyebar secara sentripetal menuju hilus. Jika tidak diobati untuk 2-5 hari berikutnya, muncullah UPPE. Efusi muncul karena dari naiknya permeabilitas kapiler pada jejas endotel yang dipicu oleh oleh neutrofil teraktivasi, yang melepaskan metabolit oksigen, konstituen granul, dan produkproduk dari fosfolipase membran. Cairan paru ekstravaskuler yang bertambah ini akan meningkatkan gradien tekanan interstitial-pleura dan mendorong terbentuknya efusi pleura saat cairan bergerak antara sel mesothelial ke rongga pleura (Sahn, 2007). Jika pembentukan cairan interstitial melebihi kapasitas limfatik paru-paru dan pleura, terjadilah efusi pleura. Jika tidak diobati untuk 5-10 hari berikutnya, EPP akan berubah ke tahap fibrinopurulen, ditandai oleh adhesi, naiknya neutrofil, dan munculnya bakteri. Fibrin terbentuk sebagai bekuan protein intravaskular yang memasuki rongga pleura, bersamaan dengan terhambatnya fibrinolisis pada rongga pleura. Fibroblas memasuki ruang pleura oleh 2 kemungkinan mekanisme: (1) gerakan dari fibrocytes sumsum tulang ke lokasi inflamasi, dan (2) perubahan sel-sel mesotelium menjadi fibroblast oleh sitokin. Nanti di tahap fibrinopurulen, nanah akan disedot melalui thoracosentesis; namun, paru-paru biasanya masih dapat mengembang. Kalau tahap fibrinopurulen ini terus berlanjut, pasien makin susah diobati tanpa drainase rongga pleura. Untuk 10-21 hari berikutnya, EPP akan berkembang ke tahap organisasi atau empyema, dengan paru yang terjebak akibat fibrosis pleura visceralis. Pasien dengan empyema selalu membutuhkan drainase pleura untuk resolusi yang mengatasi sepsis pleura dan sering membutuhkan dekortikasi (Sahn, 2007). Pada kondisi pleura normal, glukosa berdifusi bebas melintasi membran pleura dan konsentrasi glukosa cairan pleura setara dengan yang di serum. Pada kondisi infeksi, karena meningkatnya aktifitas metabolisme, terjadi peningkatan konsumsi glukosa tanpa disertai penggantian yang adekuat. Kadar glukosa pleura yang rendah (< 3,4 mmol/l) dapat ditemukan di CPPE, empyema, arthritis pleuritis dan efusi pleura TB, keganasan dan rupture esofagus. Penyebab paling umum dari kadar glukosa pleura yang sangat rendah (<1,6 mmol/l) adalah arthritis dan empyema (Hooper, et al, 2010) 2.3 Gejala dan Tanda Klinis Manifestasi klinis efusi PPE dan empyema sangat tergantung pada apakah pasien terkena infeksi aerob atau anaerob. Onset infeksi aerobik lebih akut dengan gejala demam akut, sementara infeksi anaerob lebih lambat dan gejalanya mungkin tidak spesifik disertai demam ringan. Jika masih demam berlangsung selama lebih dari 48 jam setelah mulai pengobatan antibiotik, kemungkinan besar sudah terjadi CPPE atau empyema (Limsukon, 2014). Manifestasi klinis pasien dengan pneumonia anaerob mirip dengan pasien pneumonia bakterial. Juga muncul demam akut disertai nyeri dada, produksi sputum dan leukositosis. CPPE ditandai pula dengan adanya demam lebih dari 48 jam setelah pemberian antibiotik. Sementara itu, pasien dengan infeksi bakteri anaerob yang melibatkan pleura biasanya datang dengan keluhan subakut. Umumnya gejala muncul lebih dari 7 hari, disertai penurunan berat badan dan anemia. Faktor predisposisi yang memicu aspirasi bakteri berulang antara lain higiene mulut yang buruk dan konsumsi alkohol (Light, 2006). Pada pemeriksaan fisik didapati takipnea dan takikardi, pasien tampak toksik dan disertai gejala dan tanda yang mengarah ke SIRS. Tanda-tanda efusi pleura antara lain menurunnya suara nafas, perkusi yang redup, dan menurunnya fremitus (Limsukon, 2014). 2.4 Diagnosis Dalam evaluasi atas pneumonia, pertimbangkan selalu kemungkinan EPP. Pemeriksaan radiologis seperti foto polos thorax, USG dan CT-scan berperan penting. Selain menemukan penumpulan sudut kostofrenikus pada foto polos, CTscan bisa membedakan konsolidasi paru dari efusi pleura yang hipodens. USG membantu mengarahkan ke lokasi terbaik untuk pemasangan drainase, meningkatkan kinerja, dan mengurangi risiko komplikasi (Garrido, et al, 2014). Lakukan thoracentesis dan pengambilan darah bila dicurigai efusi pleura. UPPE dapat berkembang menjadi CPPE dalam kurang dari 12 jam, sehingga tata laksana klinis sangat penting. Efusi pleura parapneumonik ditandai dengan adanya mikroorganisme dalam cairan, bau yang busuk atau kekeruhan, yang disebut empyema bila mengandung nanah. Seringkali kultur cairan pleuranya negatif atau kondisi pasien menuntut untuk segera diberikan keputusan terapi sedini mungkin, sebelum hasil kultur bisa keluar. Dalam kasus-kasus seperti inilah, nilai pH bisa menjadi marker terbaik. Yang perlu dicatat adalah bahwa pH dapat bervariasi dalam berbagai ruang EP loculated, dan juga bahwa itu adalah asam di PE ganas, rheumatoid arthritis, pleuritis lupus dan PE TB. (Garrido, 2014). Gambar 2.4 Algoritma terapi efusi parapneumonik. Terapi antibiotik harus diberikan sedini mungkin pada semua kasus, lalu disesuaikan dengan hasil kultur. (Garrido, et al, 2014) 2.5 Analisa Pleura: Glukosa Cairan Pleura Identifikasi atas infeksi secara definitif dilakukan dengan analisis cairan pleura. Gambaran pus/nanah yang nyata sudah menunjukkan adanya empyema, jadi tidak memerlukan pemeriksaan biokimia lebih lanjut. Sekitar 40% efusi pleura yang infektif memberi hasil kultur yang negatif, sehingga kita memerlukan pemeriksaan tambahan, untuk menentukan ada tidaknya infeksi yakni pH, LDH dan glukosa pleura (Rahman dan Davies, 2008). Nilai pH pleura merupakan pemeriksaan terbaik, diikuti glukosa pleura dan LDH pleura. Meskipun nilai pH cairan pleura merupakan yang terbaik dalam mengetahui infeksi dalam cairan pleura, sayangnya akurasi pengukuran pH pleura sangat tergantung pada teknik pengambilan sampel. Sedikit saja udara atau sisa lidokain dalam tabung pengumpul akan mengubah hasil nilai pH. Di saat yang sama, pengukuran kadar glukosa pleura, baik oleh alat pengukur AGD atau mesin analisa konvensional, tidaklah gampang terpengaruh oleh teknik pengumpulan sampel atau penundaan analisa. Jadi, bilamana nilai pH pleura tidak dapat dipakai, kita bisa memakai kadar glukosa cairan pleura untuk mengetahui proses infeksi di pleura (Rahman et al, 2008). Dalam keadaan normal, kadar glukosa serum dan pleura harusnya sama karena glukosa memiliki berat molekul rendah dan transportasinya dari darah ke cairan pleura cukup dengan difusi sederhana melintasi membran endotel dan mesotel. Kadar glukosa cairan pleura rendah artinya < 60 mg/dL atau rasio glukosa pleura/serum <0,5. Kadar glukosa pleura yang rendah ini berbanding lurus dengan kadar laktat dan nilai pCO2 cairan pleura, yang menunjukkan kalau akumulasi produk-akhir glukosa inilah yang menyebabkan menurunnya pH cairan pleura pada empyema. Dan pada percobaan empyema, glukosa turun dengan cepat setelah masuknya bakteri ke dalam rongga pleura (Sahn dan Heffner, 2008). Mekanisme rendahnya pH dan kadar glukosa cairan pleura pada EPP/empyema adalah karena meningkatnya konsumsi glukosa oleh karena fagositosis neutrofil dan metabolisme bakteri yang disertai akumulasi produk akhir glikolisis, CO2 dan asam laktat, dan berujung pada turunnya kadar glukosa dan nilai pH cairan pleura (Sahn, 2009). Selain itu juga, menebalnya membran pleura juga mengganggu transpor glukosa dari darah masuk ke cairan pleura (Chavalittamrong, 1979) . Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis efusi pleura yang infektif seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), myeloperoxidase, CRP dan PCT. Namun, tak satu pun dari parameter tersebut yang lebih unggul dari parameter klasik pH pleura <7.20, atau glukosa pleura <60 mg / dL (Porcel, et al, 2009). Belum lagi, biaya pemeriksaannya jauh lebih mahal dibandingkan pemeriksaan glukosa cairan pleura. 2.6 Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Cairan Pleura 1. Sampel pleura diambil sebanyak 10 – 20 cc dari toracentesis, simpan dalam tabung EDTA 2. Bila sampel jernih, langsung tambahkan reagen untuk pemeriksaan glukosa kemudian diperiksa dengan menggunakan spektrofotometer/ autoanalyzer 3. Bila sampel keruh, disentrifus dulu, diambil supernatannya, lalu ditambahkan reagen untuk pemeriksaan glukosa. Selanjutnya langsung diperiksa dengan spektrofotometer/ autoanalyzer.