Patogenesis Salah satu yang berperan dalam proses pernapasan adalah adanya tekanan negatif pada rongga pleura selama berlangsungnya siklus respirasi. Apabila terjadi suatu kebocoran akibat pecahnya alveoli, bula atau bleb sehingga timbul suatu hubungan anara alveoli yang pecah dengan rongga pleura, atau terjadi kebocoran dinding dada akibat trauma, maka udara akan pindah ke rongga pleura yang bertekanan negatif hingga tercapai tekanan yang sama atau hingga kebocoran tertutup. Tekanan negatif di rongga pleura tidak sama besar di seluruh pleura, tekanan lebih negatif pada daerah apeks dibandingkan dengan daerah basal. Mekanisme terjadinya pneumothoraks spontan adalah akibat dari lebih negatifnya tekanan di daerah puncak paru dibandingkan dengan bagian basal dan perbedaan tekanan tersebut akan menyebabkan distensi lebih besar pada alveoli daerah apeks. Distensi yang berlebihan pada paru normal akan menyebabkan rupture alveoli subpleural. Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya pneumotoraks spontan adalah pecahnnya bula atau bleb subpleural. Sebuah penelitian melaporkan bahwa meskipun secara klinis penderita pneumotoraks spontan primer tidak menunjukkan kelainan di paru, ternyata ditemukan bula subpleura pada 76-100% kasus dengan tindakan Video Assisted Surgey (VATS), dan pada 100% kasus dengan torakotomi. Hubungan antara rokok sebagai faktor resiko dan bula pada pneumotoraks dapat dijelaskan dengan data bahwa dari 89% penderita yang terdeteksi mempunyai bula dengan pemeriksaan CT-scan adalah perokok. Mekanisme terbentuknya bula tersebut masih dipertanyakan. Suatu teori yang menjelaskan pembentukan bula pada perokok menghubungkan proses degradasi benang elastin paru yang diinduksi asap rokok. Proses tersebut kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Degradasi ini menyebabkan ketidakseimbangan rasio proteinaseantiproteinase dan sistem oksidan-antioksidan di dalam paru, menyebabkan obstruksi akibat inflamasi. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya tekanan intra-alveolar sehingga terjadi kebocoran udara menuju ruang interstisial paru ke hilus yang menyebabkan pneumomediastinum. Tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura mediastinum rupture sehingga menyebabkan pneumotoraks. (Sahn SA, Heffner JE. Spontaneuos pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74) Mekanisme terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah akibat peningkatan tekanan alveolar melebihi tekanan interstisial paru dan menyebabkan udara dari alveolus berpindah ke rongga interstisial kemudian menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Kemudian udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura sehingga menimbulkan pneumotoraks. Peningkatan tekanan alveolus ini terjadi pada penyakit penyerta pada pneumotoraks spontan sekunder, antara lain dapat dilihat pada tabel 1. Di Indonesia, TB paru menjadi penyebab terbanyak dan perlu dipikirkan bila terjadi pada penderita usia muda. (Sahn SA, Heffner JE. Spontaneuos pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74) Perubahan fisiologis yang terjadi akibat pneumotoraks adalah gangguan ventilasi, penurunan nilai kapasitas vital paru, dan tekanan oksigen darah (PO2) sehingga terjadi hipoventilasi dan menimbulkan asidosis respiratorik. Evakuasi udara dari rongga pleura sesegera mungkin akan memperbaiki gangguan ventilasi dan kapasitas vital paru, sehingga akan membantu peningkatan PO2. (Sahn SA, Heffner JE. Spontaneuos pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74) Tabel 1. Penyebab Pneumotoraks Spontan Sekunder Penyakit saluran napas PPOK Fibrosis kistik Asma bronchial Penyakit infeksi paru Pneumocystis carinii pneumonia Necrotizing pneumonia (oleh kuman anaerob, gram negatif atau stafilokokus) Penyakit paru interstisial Sarkoidosis Fibrosis paru idiopatik Granulomatosis sel Langerhans Limfangileiomiomatous Sklerosis tuberus Penyakit jaringan ikat Arthritis rheumatoid Ankylosing spondylitis Poliomyelitis dan dermatomiosis Skleroderma Sindroma Marfan Sindroma Ehler-Danlos Kanker Sarkoma Kanker paru Endometriosis torakis Dikutip dari Sahn SA, Heffner JE. Spontaneuos pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74