BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul Berawal dari kegelisahan peneliti terhadap permasalahan-permasalahan sosial dan perekonomian yang muncul pada masyarakat pasca bencana alam di Daerah Istimewa Yogyakarta, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap kelangsungan hidup masyarakat pasca bencana. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan dan mengungkapkan realitas yang ada berdasarkan atas faktafakta hasil temuan di lapangan. Melalui penelitian ini, peneliti ingin memahami dan mempelajari strategi yang ditempuh oleh masyarakat korban erupsi Gunung Merapi 2010 di Pelemsari dan sekitarnya dalam melangsungkan penghidupan mereka pasca mengalami bencana. Selain itu, peneliti ingin menggali lebih dalam mengenai keterkaitan antara kelangsungan hidup masyarakat korban erupsi dengan keberadaan pariwisata pasca bencana di lereng Merapi. Judul dalam penelitian ini adalah “Strategi Kelangsungan Hidup Masyarakat Pasca Erupsi Merapi 2010” (Kajian Pengelolaan Pariwisata Pasca Bencana Volcano Tour Merapi oleh Masyarakat di Dusun Pelemsari Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.). Dalam menentukan judul, peneliti menggunakan dua alasan pokok sebagai pertimbangan untuk memaparkan substansi penelitian, yaitu alasan teoritis dan alasan praktis. Pertama, secara teoritis, sebuah judul penelitian harus memenuhi aspek-aspek aktualitas, orisinilitas, dan mempunyai relevansi 1 atau keterkaitan dengan bidang ilmu yang ditekuni oleh peneliti, yaitu Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Kedua, secara praktis, peneliti menentukan judul penelitian dengan mempertimbangkan aspek kemudahan dan kesulitan yang dapat menghambat atau memperlancar proses penelitian. 1.1.1 Aktualitas Penelitian berikut dapat dikatakan aktual karena sampai saat ini masyarakat masih memperjuangkan kelangsungan hidup mereka namun tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah. Hal ini disebabkan masyarakat menyelenggarakan kegiatan pariwisata pasca bencana di daerah yang rawan bahaya bencana alam, dan sudah diatur dalam peta kawasan rawana bencana dari instansi terkait. Namun di lain pihak, penyelenggaraan pariwisata pasca bencana oleh masyarakat tersebut mampu mengangkat perekonomian pasca erupsi serta mampu merevitalisasi kondisi kehidupan sosial masyarakat setempat. Padahal, penyelenggaraan kegiatan pariwisata secara swadaya oleh masyarakat pada dasarnya dapat membantu pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan pasca bencana. Selain itu, melalui wadah pariwisata pasca bencana ini juga dapat digunakan sebagai sarana untuk pengembangan usaha mandiri rumah tangga industri. Pada awal penyelenggaraannya, antusiasme masyarakat pengunjung baik lokal, luar daerah, hingga mancanegara ke daerah terdampak erupsi di lereng Merapi terlihat cukup besar. Sementara itu, untuk mengantisipasi perubahan kondisi Gunung Merapi pasca erupsi, Badan Geologi dari Kementrian Energi & Sumber Daya Mineral (ESDM), bersama Pusat 2 Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Balai Penyelidikan & Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), menerbitkan kebijakan mengenai Kawasan Rawan Bencana atau Peta KRB Gunung Merapi. Kebijakan tersebut diambil pemerintah untuk mengantisipasi bahaya susulan dari Gunung Merapi yang pada saat itu belum berada pada kondisi stabil. Untuk memperkuat kebijakan tersebut, pemerintah kemudian mencanangkan pembentukan tata ruang baru bertajuk Kawasan Strategis Nasional (KSN) di lingkungan lereng Gunung Merapi. KRB dibagi ke dalam tiga kriteria, secara berurutan dari KRB I, KRB II, dan KRB III yang merupakan daerah paling berbahaya. Penetuan kriteria tersebut berdasarkan dampak risiko dari daerah-daerah menjadi jalur lava pijar, lahar dingin, maupun awan panas Gunung Merapi (BPPTK, 2011 dalam geospasial.bnpb.go.id). Salah satu imbas dari diterbitkannya peta KRB dan rancangan KSN Merapi tersebut adalah direlokasinya pemukiman masyarakat Pelemsari dan Pangukrejo menuju daerah yang lebih aman. Erupsi Gunung api merupakan rangkaian siklus alam yang tidak dapat dicegah, namun saat ini sudah dapat diprediksi aktifitasnya. Sehingga masyarakat lebih mudah mengantisipasi dan berupaya menghindari jatuhnya korban jiwa kedepannya. Relokasi menjadi tindakan logis bagi pemerintah sebagai upaya melindungi masyarakat, dan juga bagi masyarakat setempat untuk menjalani kehidupan yang lebih aman dan nyaman. Kebijakan peta KRB dan relokasi pemukiman ini ternyata menimbulkan masalah baru bagi masyarakat korban erupsi. Relokasi yang 3 berada jauh dari tempat asal mereka, dan karakteristiknya yang berbeda dengan kondisi masyarakat sebelumnya masih membutuhkan banyak penyesuaian. Selain itu, keterbatasan sumberdaya yang ada di sekitar tempat relokasi membuat masyarakat tidak mempunyai pilihan selain untuk tetap menyelenggarakan kegiatan pariwisata pasca bencana di lereng Merapi. Ditambah lagi, sektor peternakan yang dulu sempat menjadi komoditas andalan masyarakat setempat, saat ini belum bisa dipulihkan sepenuhnya. Untuk memulihkan keadaan seperti semula tentunya membutuhkan waktu yang tidak singkat, dan pariwisata pasca bencana menjadi satu-satunya sarana bagi masyarakat korban erupsi untuk memulihkan penghidupan mereka pasca bencana. 1.1.2 Orisinilitas Sebuah penelitian dapat dikatakan mempunyai orisinilitas apabila penelitian tersebut belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Jika terdapat penelitian lain yang relatif sama, keaslian penelitian dapat dilihat dari segi obyek penelitian, fokus permasalahan, ataupun dari metode yang digunakan. Sepengetahuan peneliti, sejauh ini belum ada penelitian mengenai “Strategi Kelangsungan Hidup Masyarakat Pasca Erupsi Merapi 2010” (Kajian Pengelolaan Wisata Bencana Merapi oleh Masyarakat di Dusun Pelemsari Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Penelitian-penelitian yang membahas permasalahan-permasalahan pasca bencana di lereng Merapi 4 memang sudah banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: Tabel I.1 Daftar Penelitian Strategi Kelangsungan Hidup No. 1. Keterangan Pengembangan Atraksi Wisata Jelajah Pelemsari Berbasis Komunitas. Oleh: Retnaningtyas Susanti. Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2009. Tahun 2011. 2. Manajemen Tanggap Darurat Dan Penanganan Pengungsi, Analisis Manajemen Tanggap Darurat dan Penanganan Pengungsi pada Bencana Erupsi Merapi 2010. Oleh: Boni Andika, & Swastaji A. Rahmadi. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2010. Tahun 2011 3. Pariwisata Pascabencana, Kajian Etnosains Pariwisata Di Kampung Pelemsari, Desa Umbulharjo, Sleman. Oleh: Mona Erythrea Nur Islami. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2010. Tahun 2014. Penelitian-penelitian tersebut membahas mengenai mitigasi masyarakat lereng Merapi pasca erupsi, ataupun konsep-konsep pariwisata pasca bencana. Sedangkan penelitian ini berfokus pada strategi-strategi yang 5 dilakukan oleh masyarakat korban erupsi di daerah potensial pariwisata dalam melangsungkan penghidupannya. Pelemsari dan beberapa daerah lereng Merapi di sekitarnya merupakan daerah wisata alam, yaitu daerah yang mengandalkan panorama keindahan alam sebagai daya tarik wisata. Pasca erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober dan 5 November 2010, Pelemsari tidak hanya menjadi sentra lokasi wisata alam, namun juga menjadi lokasi pariwisata minat khusus yang mengandalkan kerusakan alam pasca erupsi sebagai daya tarik wisata. Selain itu, pariwisata di Pelemsari juga dikelola langsung oleh masyarakat setempat dan menjadi pijakan untuk melangsungkan penghidupan dan meningkatkan kesejahteraan pasca erupsi. 1.1.3 Relevansi Dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Pemilihan judul diatas tentunya mempunyai keterkaitan erat dengan bidang ilmu yang ditekuni oleh peneliti, yaitu Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) atau Ilmu Sosiatri. Fokus kajian Ilmu PSdK adalah mengenai masalah-masalah sosial dalam masyarakat beserta cara-cara untuk menyehatkannya kembali agar tercapai kesejahteraan baik secara fisik, mental dan sosial secara keseluruhan (Sunartiningsih, 2002: 48). Dalam perkembangannya, Ilmu PSdK lebih memfokuskan untuk mempelajari hubungan antar manusia, antar kelompok, antar manusia dan kelompok dalam rangka untuk pembangunan masyarakat (Sunartiningsih, 2002: 23). Bidang konsentrasi Ilmu PSdK berada pada Community Development, Social Policy, dan Corporate Social Responsibility (CSR). Sedangkan 6 pendekatan yang digunakan untuk mmengkaji obyek keilmuannya adalah Community Development, dan Communty Organization. Seperti yang telah kita ketahui bersama, konsep pembangunan masyarakat, dalam Ilmu PSdK adalah upaya menciptakan hubungan yang seimbang antara kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat dengan sumbersumber daya yang ada, sehingga tercapai kesejahteraan yang penuh baik fisik, mental dan sosial bagi setiap warga masyarakat baik secara perorangan maupun secara keseluruhan. Pembangunan masyarakat mengoptimalkan segenap sumberdaya pengetahuan, dan ketrampilan dalam diri masyarakat, agar masyarakat tersebut mampu, berdaya, dan mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Strategi kelangsungan hidup masyarakat pasca bencana merupakan bagian dari kajian pembangunan masyarakat. Keterkaitannya ditandai dengan adanya usaha dari masyarakat korban erupsi di lereng Merapi dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan menekuni bidang-bidang pekerjaan dalam lingkup pariwisata pasca bencana. Kondisi tersebut mendorong kemampuan masyarakat korban erupsi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Selain itu juga mendorong kemampuan masyarakat untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang muncul pasca erupsi agar dapat melangsungkan penghidupannya. Dengan demikian masyarakat dapat turut serta dalam rangka pelaksanaan pembangunan, serta dapat menunjang perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Sleman pada khususnya. 7 Kajian ini sejalan dengan konsep pembangunan masyarakat dalam disiplin Ilmu PSdK dimana pembangunan masyarakat dimaknai sebagai usaha untuk mewujudkan hubungan yang seimbang antara needs & resources-nya. 1.1.4 Berdasarkan Analisis “KUWAT” Secara praktis, peneliti menyesuaikan penelitian ini berdasarkan analisis KUWAT. Berdasarkan ketersediaan Kesempatan, Pembiayaan, Waktu, Alat, dan Tenaga yang diperlukan, diperkirakan masih mampu dijangkau oleh peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini. Kesempatan peneliti untuk mengamati strategi masyarakat dalam mengupayakan keberlangsungan hidup pasca bencana melalui pariwisata pasca bencana masih terbuka lebar. Selain itu, lingkupnya yang masih berada dalam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diperkirakan tidak terlalu membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan pembiayaan. Ketersediaan peralatan yang digunakan dalam penelitian pun diperkirakan sudah cukup memadai dan mendukung peneliti dalam melakukan penelitian, dan mengumpulkan data-data dan informasi di lapangan. Selain itu, peneliti juga menggunakan beberapa hasil-hasil penelitian terdahulu baik mengenai startegi kelangsungan hidup, maupun mengenai pariwisata pasca bencana, beberapa referensi buku, jurnal, artikel dan bacaan lain sebagai data pendukung dalam menyelesaikan penelitian ini. 8 1.2 Latar Belakang Masalah Lereng Gunung Merapi merupakan rumah dan sumber kehidupan bagi masyarakat yang tinggal dan bermukim di Pelemsari dan sekitarnya. Padatnya jumlah penduduk di daerah ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah korban jiwa meninggal dunia pasca erupsi 2010. Tidak hanya di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, kepadatan penduduk di lereng Merapi juga terdapat di Provinsi Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Boyolali. Padahal, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Merapi merupakan Gunung api aktif dengan aktifitas vulkanis yang bersifat siklis. Artinya, erupsi Merapi merupakan potensi bencana yang sangat mungkin terjadi secara berkala atau berulang pada setiap jangka waktu tertentu (Andika dan Rahmadi, 2011 dalam academia.edu). Lingkungan Merapi yang banyak digunakan sebagai lahan pemukiman membuat dampak yang ditimbulkan dari bencana yang dihasilkannya akan langsung dirasakan oleh masyarakat yang ada di sekelilingnya. Namun, beberapa manfaat lereng Merapi sampai saat ini juga telah dirasakan oleh masyarakat. Kondisi tanah yang subur dapat digunakan untuk mengembangkan sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan. Ditambah lagi, pasir Merapi juga dapat membuka peluang usaha di sektor penambangan pasir dan batu alam. Tidak hanya itu, faktor keindahan panorama alam “Gunung Merapi” juga dapat digunakan untuk mengembangkan sektor pariwisata. Lebih jauh, bagi masyarakat Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta, Gunung Merapi telah mengkonstruksi pengetahuan 9 dan tradisi menjadi suatu kearifan lokal yang sampai saat ini masih sangat mempengaruhi tata kehidupan dan pola pikir masyarakat setempat. Masyarakat setempat masih mempercayai Gunung Merapi sebagai tempat yang sakral dan sarat dengan unsur religius, bahkan cenderung magis. Kedekatan masyarakat lereng dengan Gunung Merapi tersebut menimbulkan kepercayaan bahwa Gunung Merapi juga mempunyai “kehidupan” sendiri. Masyarakat setempat membangun suatu sistem kepercayaan yang memandang Merapi sebagai sahabat, bukan sebagai suatu ancaman. Namun, di satu sisi, mereka juga menyadari adanya potensi bahaya erupsi yang bisa terjadi sewaktu-waktu seperti yang terjadi pada 26 Oktober dan 5 November 2010 lalu. Pasca erupsi, kondisi perkebunan, ladang, dan persawahan lahan pertanian di lereng Merapi tak lagi berbekas, hampir semua rusak akibat terjangan awan panas. Lebih dari itu, hewan ternak, yang merupakan aset bernilai bagi masyarakat lereng Merapi juga tak sempat terselamatkan. Bagi masyarakat setempat, hewan ternak tersebut merupakan tabungan jangka panjang, kebutuhan di masa depan dan juga sebagai alternatif pekerjaan sehari-hari. Sebelum erupsi Merapi 2010, masyarakat Pelemsari dan sekitarnya menjalani kehidupan dengan berbagai aktifitas dan mempunyai beberapa komoditas. Selain bekerja di sektor pertanian, perdagangan, pertambangan pasir dan buruh bangunan, sebagian besar masyarakatnya mendapatkan penghasilan dari sektor peternakan dan memproduksi hasilnya berupa susu segar dari sapi-sapi perah. Erupsi Gunung Merapi 2010 praktis mengurangi jumlah populasi hewan ternak, terutama sapi perah di Pelemsari. Beberapa sapi ternak yang selamat pun 10 juga mengalami kesulitan pakan karena rerumputan yang semakin berkurang. Ditambah lagi, maraknya isu penjarahan pada saat evakuasi semakin menambah permasalahan masyarakat terdampak erupsi (Satria, 2010 dalam ugm.ac.id). Dari data seputar dampak erupsi Merapi Desa Umbulharjo 2010, tercatat jumlah sapi ternak yang mati sebanyak 211 ekor sapi perah milik masyarakat Pelemsari, dan 280 ekor sapi perah milik masyarakat Pangukrejo. Dengan berkurangnya jumlah sapi-sapi ternak pasca erupsi di Pelemsari, menambah beban ekonomi masyarakat yang sudah kehilangan pekerjaan setelah sawah dan kebunnya rusak terkubur abu Merapi. Kondisi tersebut berdampak pada kelumpuhan perekonomian masyarakat di Pelemsari dan sekitarnya, jika tidak segera diatasi masyarakat terancam menjadi tunakarya. Selain sapi perah, rata-rata masyarakat korban erupsi kehilangan berbagai aset penghidupan seperti tempat tinggal, harta benda berharga, sawah dan lahan garapan, pekerjaan, hingga merenggut keluarga, sanak-saudara, kerabat dan tetangga disekitarnya. Selain itu, bencana tersebut juga meninggalkan trauma pada diri masing-masing individu, sehingga dampak dari bencana tersebut juga mempengaruhi kondisi kehidupan sosial masyarakat pasca erupsi. Banyaknya jumlah korban jiwa yang mayoritas berasal dari Pelemsari membuat masyarakat survival dari daerah ini cenderung mengalami berbagai dampak sosial dan psikologis melebihi daerah lain di sekitarnya. Pertama, masyarakat yang terdampak langsung memerlukan pemulihan traumatik agar mampu melangsungkan penghidupannya kembali. Kedua, Jiwa sosial masyarakat cenderung menurun pasca kehilangan aset-aset berharga dan tabungan-tabungan 11 masa depannya. Ketiga, masyarakat mengalami kerugian yang cukup tinggi, yang dapat mengakibatkan rasa frustasi dan hilang semangat dalam menjalani kehidupan pasca erupsi. Kebanyakan dari mereka cenderung mengalami kesulitan untuk menata kembali kehidupan pasca tertimpa bencana yang menjadi perhatian dunia internasional ini. Hal tersebut juga akan membuat masyarakat harus bergantung pada pasokan-pasokan bantuan untuk beberapa waktu pasca erupsi. Tabel 1.2 Korban Jiwa Erupsi Merapi 2010 Desa Umbulharjo Jenis Kelamin Padukuhan Jumlah L P Pelemsari 27 11 38 Pangukrejo 1 - 1 Gambretan - 1 1 Balong - 1 1 Plosorejo 2 - 2 Plosokerep 2 1 3 32 14 46 Jumlah Sumber: Arsip Kantor Desa Umbulharjo Pelemsari dan Pangukrejo merupakan daerah terdampak erupsi terparah dari Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan. Kedua padukuhan tersebut merupakan daerah yang berjarak paling berdekatan dengan puncak Merapi, berada pada ketinggian 1.700 mdpl, dan hanya sekitar 4,4 kilometer dari kubah lava Merapi (jip.co.id, 2013). Selain pertanian dan peternakan, sektor perdagangan 12 tidak kalah pentingnya di Pelemsari. Sebagai daerah potensial pariwisata, perekonomian masyarakat juga berkembang melalui warung-warung dan koperasi. Rekap Informasi Dampak Erupsi Merapi dari Desa Umbulharjo menunjukkan bahwa 25 dari 31 jenis usaha dagang di Pelemsari dan Pangukrejo mengalami kerusakan berat, sedangkan 6 sisanya rusak sedang. Data tersebut cukup memberikan gambaran bahwa hampir 100% perputaran ekonomi masyarakat lereng Merapi pasca erupsi mengalami kelumpuhan total. Tabel 1.3 Daftar Kerusakan Bidang Ekonomi (Pelemsari – Pangukrejo) Wilayah Kategori Kerusakan Jenis Usaha Pelemsari Pangukrejo Ringan Sedang Berat Warung 8 18 - 1 25 Pedagang Keliling - 5 - 5 - Koperasi Susu 2 4 - - 6 Lain-lain - 2 - - 2 Sumber: Arisp Kantor Desa Umbulharjo 2010 Melemahnya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Pelemsari diperparah dengan sarana dan prasarana pendukung kegiatan sosial dan ekonomi yang mengalami kerusakan akibat erupsi. Terputusnya jaringan komunikasi, sumber energi, dan akses jalan pun masih dibatasi pengembangannya hingga saat ini. Rusaknya lahan garapan dan banyaknya hewan ternak, terutama sapi perah yang mati juga memperlambat laju pertumbuhan ekonomian pasca erupsi. Sebagai pihak yang paling dirugikan, masyarakat yang bermukim di padukuhan dan 13 pedesaan sekitar lereng Merapi seperti di Pelemsari dan sekitarnya mempunyai beban besar yang harus dihadapi dan dicari jalan penyelesaiannya. Belum lagi beberapa kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pasca bencana erupsi ini terkadang justru tidak sepenuhnya mendukung ide-ide, keputusan, dan tindakan, yang dilakukan oleh masyarakat untuk me-recovery penghidupannya. Berikut beberapa permasalahan pokok dan mendasar yang harus dihadapi masyarakat lereng Merapi khususnya di Pelemsari pasca terjadinya erupsi Merapi 2010 yang didapat dari berbagai sumber, diantaranya: - Masyarakat Pelemsari kehilangan sanak-keluarga, harta benda, investasi (baik lahan garapan, maupun hewan ternak), hingga kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, dan berpotensi menjadi tuna karya, rentan gangguan psikis, stress, ketidak stabilan emosi, dll (Keraf, 2010:66), - Masyarakat Pelemsari kehilangan rumah tinggal dikarenakan mengalami kerusakan, terkubur, hingga tersapu awan panas dan aliran lahar dingin Merapi sehingga tidak lagi layak untuk dihuni dan berpotensi menjadi tuna wisma, - Masyarakat tinggal berpindah mulai dari lokasi pengungsian, menempati shelter atau hunian sementara (huntara), sampai menetap di huntap tentunya selalu membutuhkan adaptasi dalam menjalani setiap proses penghidupan di lingkungan-lingkungan yang baru, - Kegiatan atau aktivitas sosial-ekonomi masyarakat Pelemsari dan sekitar lereng Merapi yang sempat lumpuh total karena rusaknya fasilitas 14 penghidupan pasca erupsi, memerlukan waktu untuk pemulihan, bahkan prosesnya masih berjalan hingga saat ini beberapa waktu, - Pelemsari lama dan beberapa daerah lain di lereng Gunung Merapi pasca erupsi tercemar partikel debu dari abu vulkanik, dan berbagai macam gas beracun yang membahayakan kesehatan masyarakat seperti SO2 atau Sulfur Dioksida, H2S atau Hidrogen Sulfide, dan No2 atau Nitrogen Dioksida (belajarilmugeografi.blogspot.com), - Kandungan gas beracun tersebut, jika terlalu tinggi kadarnya dapat menyebabkan masyarakat Pelemsari dan Sekitarnya terjangkit berbagai macam penyakit, seperti masalah gangguan pernafasan atau ISPA, penyakit kulit, mata, alergi, dan lain-lain, padahal masyarakat beraktifitas dan bekerja sehari-hari di lingkungan tersebut (Keraf, 2010: 65), - Kerusakan ekosistem hutan alamiah dan kerusakan lahan garapan masyarakat Pelemsari dan sekitarnya, mengakibatkan kegagalan panen dan melemahnya ketahanan pangan. Selain itu juga menyebabkan berkurangnya populasi hewan ternak masyarakat karena kekurangan sumber pakan, - Terhentinya aktivitas pariwisata, baik yang melibatkan Pelemsari ataupun daerah tujuan pariwisata lainnya yang berada di sekitar lereng Merapi, seperti wisata alam, pendakian, dan lain-lain. Erupsi Gunung Merapi tidak dapat dicegah, dan dampak kerusakan yang diakibatkan oleh erupsi tersebut tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama dalam upaya pemulihannya. Meskipun, dalam jangka panjang, erupsi Merapi juga 15 akan membawa efek positif, bagi masyarakat yang bermukim di sekitar lereng Gunung Merapi. Dampak positif tersebut bisa dari kandungan vulkanik dalam material yang dikeluarkan oleh gunung api tersebut, dan juga dari daerah atau kawasan yang rusak akibat dari erpusi tersebut. Beberapa kemungkinan positif yang dalam beberapa waktu ke depan dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitar lereng Merapi, terutama bagi masyarakat Dusun Pelemsari, diantaranya: - Awan panas, dan abu Merapi membawa kandungan vulkanik yang dapat memberikan kesuburan di tanah-tanah disekitar lereng Merapi, sehingga dapat membantu pertumbuhan kembali pepohonan dan hutan yang sempat rusak pasca erupsi, - Banjir lahar dingin yang membawa material bebatuan, kerikil, dan pasir yang terakumulasi dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan pertambangan pasir, belerang, batu pualam, hingga pemanfaatan endapan lava, dan lain-lain, yang bernilai jual tinggi, - Terbentuknya tata ruang baru di sekitar lereng Merapi, masyarakat menempati daerah yang lebih aman, dan dibangunkan tempat bermukim yang lebih jauh dari ancaman bahaya erupsi Merapi, - Terbukanya lapangan pekerjaan baru, dengan memanfaatkan “hasil” erupsi merapi, seperti pertambangan, industri kerajinan, perdagangan, hingga pariwisata, - Daerah terdampak erupsi, seperti di Pelemsari ini dapat dijadikan sebagai obyek dan destinasi pariwisata, karena informasi dan berita yang meluas, 16 hingga mampu menarik perhatian masyarakat luar, hingga wisatawan baik domestik maupun mancanaegara, dan juga masih banyak berbagai manfaat positif lainnya. Proses tanggap bencana dan pemulihan kondisi kehidupan pasca bencana jelas tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat akan sangat membantu dan tentunya sangat dibutuhkan. Pemerintah yang tidak dapat mengkonsentrasikan kebijakannya hanya pada satu permasalahan saja, membuat masyarakat setempat berinisiatif untuk bertindak dalam merecovery penghidupan sosial dan perekonomiannya secara swadaya. Jika hanya menunggu dan mengandalkan bantuan dari pemerintah ataupun dari pihak ketiga saja, justru akan menghambat laju percepatan proses pemulihannya. Ditambah lagi, tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat akan semakin mendesak setiap harinya. Sedangkan, kehidupan harus terus berjalan, masyarakat membutuhkan usaha yang berkelanjutan dan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi Pelemsari yang rusak pasca erupsi Merapi 2010 justru membawa berkah tersendiri bagi masyarakat setempat. Keadaan tersebut menimbulkan rasa keingintahuan dari masyarakat luar untuk datang berwisata. Sisa-sisa pemukiman penduduk dan bekas rumah peninggalan Almarhum Mbah Maridjan yang berdekatan dengan puncak Pelemsari menjadi daya tarik Pelemsari pasca erupsi. Saat ini, perubahan kondisi alam Pelemsari telah dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat, dan menjadi bagian dari strategi pemulihan kondisi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Mayoritas masyarakat setempat yang semula bekerja di 17 sektor pertanian, peternakan, dan tenaga buruh, beralih pekerjaan ke sektor industri pariwisata, dengan memanfaatkan kondisi lingkungan terdampak erupsi Merapi pada saat itu. Dengan berpartisipasi di dalam pariwisata pasca bencana, baik sebagai penyedia, maupun sebagai pelaku atau pelaksana kegiatannya, masyarakat telah turut berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan bertajuk “Volcano Tour i Merapi”, pariwisata pasca bencana di lereng Merapi telah menjadi fenomena baru bagi dunia pariwisata di Indonesia, sekaligus menjadi ironi tersendiri yang berpengaruh langsung pada keberlanjutan kehidupan masyarakat setempat. Pasca erupsi tersebut, masyarakat terdampak erupsi yang berada di sekitar lereng Merapi, harus dihadapkan pada kenyataan yang tidak mudah mereka hadapi atas kehilangan yang mereka alami. Ditambah lagi masyarakat terdampak erupsi yang membutuhkan simpati, dukungan, bantuan moral dan material harus merelakan daerah dan tempat tinggalnya menjadi arena pariwisata. Namun, justru disinilah kesempatan masyarakat untuk menunjukkan kekuatan swadaya mereka, dimana mereka harus bertahan hidup dengan kondisi yang “sedang terluka” dan serba terbatas pasca bencana erupsi Merapi. Pariwisata merupakan fenomena kemasyarakatan yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, organisasi, kebudayaan, dan sebagainya, yang pada mulanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat maupun daerah setempat (Pitana dan Gayatri, 2005:31). Tidak berbeda dengan wisata bencana di Dusun Pelemsari, masyarakat setempat memanfaatkan kawasan pasca bencana dan intensitas kedatangan masyarakat luar yang berwisata dengan membentuk suatu pusat kegiatan ekonomi melalui sektor 18 pariwisata. Masyarakat Dusun Pelemsari Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam “membentuk” suatu kegiatan pariwisata pasca bencana di lereng Merapi dengan mengandalkan beberapa faktor penarik pariwisata berikut: - Letak Pelemsari yang padat penduduk namun hanya berjarak sekitar 4,4 kilometer dari puncak atau kawah Gunung Merapi, dan sering dijadikan sebagai desa wisata, dan pendakian, - Pelemsari merupakan tempat tinggal “juru kunci” Gunung Merapi yang kerap dipanggil Mbah Maridjan yang turut menjadi korban bersama dengan dr. Tutur Priyanto (relawan PMI) dan Yuniawan Wahyu Nugraha (wartawan media massa), para wisatawan juga dapat memanfaatkannya sebagai “wisata ziarah”, - Situs Pelemsari yang mengalami kerusakan pasca erupsi, sisa-sisa daerah pemukiman yang hancur diterjang amukan awan panas, lahar dingin, dan abu vulkanik dari erupsi Gunung Merapi 2010, menjadi daya tarik bagi para pelaku pariwisata minat dan wisata alternatif, - Sensasi panorama Gunung Merapi yang dapat dinikmati lebih dekat dari Pelemsari, mulai dari bentukan kawah atau kubah lava baru hingga jalur aliran lahar dingin dari puncak Gunung Merapi. - Sejak dari masa pembangunan shelter atau huntara hingga pembangunan huntap dan beberapa fasilitas umum pendukung lainnya baik dari pemerintah, bantuan pihak asing, hingga swadaya masyarakat, juga 19 mampu menarik kunjungan masyarakat hingga dari mancanegara baik untuk memberikan bantuan maupun hanya sekedar berwisata. Eksistensi pariwisata bencana di lereng Merapi merupakan sarana bagi masyarakat korban erupsi untuk melangsungkan penghidupan pasca bencana. Sehingga pasang-surut keberadaannya baik dari segi sistem pengelolaan, infrastruktur, pelayanan, hingga objek pariwisata yang ditawarkan akan sangat mempengaruhi masyarakat setempat. Kelangsungan pariwisata pasca bencana di lereng Merapi tersebut utamanya dipengaruhi oleh motivasi wisatawan, yang merupakan pemicu dari proses perjalanan wisata; yaitu keinginan untuk mendapatkan pengalaman otentik atau authentic experience (Pitana dan Gayatri; 2005:58). Proses pengambilan keputusan masyarakat Pelemsari dan sekitarnya untuk terjun ke industri pariwisata pasca bencana bisa jadi dipengaruhi oleh hasil menjanjikan yang ditawarkan oleh dunia pariwisata. Secara global, industri pariwisata telah menjadi andalan dalam penyediaan lapangan dan penyerapan tenaga kerja, pembangunan ekonomi hingga peningkatan pendapatan negara. Selain sebagai penopang keberlangsungan penghidupan pasca erupsi, keberlangsungan pariwisata pasca bencana yang merupakan pariwisata minat ini cenderung dipengaruhi dan dikendalikan oleh minat wisatawan untuk datang berwisata. Disamping itu, keberadaan pariwisata pasca bencana juga dipengaruhi oleh karakteristik dunia pariwisata yang multi-sektoral, dimana didalamnya mencakup beberapa aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, politik, keamanan, agama, dan lain sebagainya seringkali membuat suatu daerah atau kawasan pariwisata tidak mampu bertahan lama dan terkadang justru 20 menimbulkan masalah baru yang bermunculan di sekitar kawasan pariwisata tersebut (Pitana dan Gayatri, 2005:35). Salah satunya adalah ketidakpastian masa depan masyarakat yang menekuni dunia pariwisata pasca bencana yang tidak bisa lepas dari ancaman keamanan dan keselamatan. Melihat permasalahan tersebut, pemerintah juga tidak dapat secara berkelanjutan memberikan bantuan atau fasilitas kepada masyarakat karena bersinggungan dengan peraturan kawasan rawan bencana (KRB). Jika pemerintah turut memfasilitasi masyarakat dalam mengelola pariwisata pasca bencana sama hannya dengan melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Pemerintah tidak bisa dengan mudah melakukan pelarangan terhadap kegiatan tersebut karena segala kondisi dan keterbatasan masyarakat pada saat itu, terlebih kegiatan tersebut terselenggara di tanah leluhur dan tanah sumber penghidupan bagi mereka. Jika pemerintah tidak menangani, seakan melakukan pembiaran terhadap keberadaan dan kegiatan masyarakat di daerah rawan bencana. Sebagai pelindung masyarakat, pemerintah seharusnya tidak membiarkan masyarakat melakukan aktiftas intensif di kawasan rawan bencana, karena dengan begitu pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap hak-hak dan keselamatan masyarakat kedepannya. Hal ini tentunya menjadi permasalahan tersendiri, ironis apabila masyarakat harus serta-merta dipindahkan dari tanah kelahirannya untuk membangun kehidupan baru di tempat yang mungkin “asing” bagi mereka. Masyarakat lebih memilih untuk kembali menempati daerahnya meskipun berada di kawasan rawan bencana, daripada harus direlokasi dan menempati hunian yang baru yang dan berbeda dari karakteristik kehidupan mereka. Oleh karena itu, 21 masyarakat membutuhkan adanya strategi untuk mengupayakan kelangsungan penghidupan mereka tanpa harus mengandalkan pemerintah atau meski harus mempertaruhkan keselamatan dengan beraktifitas di kawasan rawan bencana. Salah satu strategi tersebut adalah dengan memanfaatkan kawasan terdampak bencana dan mengelolanya sebagai daerah tujuan wisata untuk melangsungkan penghidupan pasca erupsi. Meskipun sudah berjalan dalam beberapa tahun, namun sampai saat ini belum semua korban erupsi berada pada kondisi kestabilan sosial dan ekonomi seperti pada waktu sebelum terjadinya erupsi. Hingga kini, masyarakat korban erupsi di Pelemsari dan sekitarnya masih terus berjuang untuk bangkit. Mereka masih berupaya melangsungkan kembali penghidupannya dan meningkatkan taraf hidupnya di lereng Merapi. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan diatas, melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai “Strategi Kelangsungan Hidup Masyarakat Pasca Erupsi Merapi 2010” yang dipilih dan digunakan oleh masyarakat korban erupsi di Pelemsari dan sekitarnya, di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul pasca erupsi. 1.3 Rumusan Masalah Terbentuknya pariwisata pasca bencana di lereng Gunung Merapi menjadi sarana penyambung hidup, penyedia lapangan kerja, sekaligus pijakan untuk meningkatkan taraf penghidupan bagi masyarakat korban erupsi Merapi 2010. Eksistensinya hingga saat ini menjadi bukti bahwa pariwisata pasca bencana mempunyai andil dalam upaya kelangsungan hidup masyarakat Pelemsari dan 22 sekitarnya. Permasalahannya, hingga saat ini, keberadaan pariwisata pasca bencana masih menjadi polemik dan menuai pro dan kontra. Letaknya yang berada pada kawasan rawan bencana, menimbulkan isu keaman baik bagi wisatawan maupun bagi para pelaku usahanya sendiri. Ditambah lagi, keberadaanya yang menjadi urat nadi perekonomian masyarakat pasca erupsi sangat bergantung pada minat dan motivasi wisatawan. Sedangkan, pemerintah tidak bisa mengelola dan mengupayakan konsistensinya karena bersinggungan dengan kebijakan atau peraturan yang dicanangkan. Kondisi-kondisi ketidakpastian tersebut dapat menghambat laju perputaran roda perekonomian dan keberlangsungan penghidupan masyarakat setempat. Secara garis besar, permasalahan yang dirumuskan oleh peneliti adalah mengenai pengaruh keberadaan pariwisata pasca bencana terhadap keberlangsungan hidup masyarakat korban erupsi Gunung Merapi. namun, berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti membatasi fokus penelitian dalam pertanyaan: “Bagaimana strategi yang digunakan oleh masyarakat korban erupsi dalam melangsungkan penghidupan pasca erupsi Merapi 2010 di Pelemsari dan sekitarnya?” 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sebuah penelitian dilakukan pada dasarnya mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan jawaban atas suatu permasalahan dalam pertanyaan penelitian. Dengan ditentukannya tujuan penelitian yang terarah dan sistematis akan menjaga fokus peneliti dalam melakukan penelitian. Berikut tujuan dan manfaat dalam penelitian ini: 23 1.4.1 Tujuan Operasional a. Sesuai dengan kajian Ilmu yang ditekuni oleh peneliti, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan Jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan di masa sekarang dan di masa yang akan datang. b. Penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan masukan kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan terhadap pemecahan permasalahan sosial-ekonomi pasca bencana, terutama pada masyarakat yang berada di daerah potensial pariwisata. c. Sebagai tugas akhir dan untuk memenuhi syarat-syarat dalam mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan konsentrasi Program Studi Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan atau Ilmu Sosiatri. 1.4.2 Tujuan Substansial a. Untuk mengetahui bagaimana strategi yang ditempuh oleh masyarakat lereng Merapi (Pelemsari dan sekitarnya) dalam melangsungkan penghidupan dan memulihkan kondisi sosial ekonomi pasca bencana erupsi Merapi 2010. b. Selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberadaan pariwisata pasca bencana dapat membantu menutupi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat korban erupsi Merapi 2010. 24 1.4.3 Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat tentang pentingnya kondisi lingkungan fisik dan sosial, baik tempat tinggal maupun tempat wisata yang sehat dan aman untuk menunjang kehidupan yang sejahtera. b. Hasil Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan pertimbangan kepada pemerintah dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat hidup berdampingan dengan daerah wisata dan daerah rawan bencana. c. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dan referensi untuk penelitian selanjutnya, terutama penelitian mengenai pariwisata minat khusus, dan kesejahteraan masyarakat pasca bencana. d. Sebagai pengetahuan, bahan kajian, dan masukan bagi masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak terkait dalam upaya tindakan pemulihan kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat korban erupsi Merapi 2010. e. Bagi jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan tentang bidang terkait. f. Bagi peneliti, penelitian ini dilakukan untuk memperluas bidang ilmu pengetahuan, khususnya di bidang swadaya masyarakat dan stategi kelangsungan hidup pasca bencana. 25 1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Perubahan Sosial Pasca Erupsi Dalam menjalani setiap kehidupannya, pada umumnya manusia mengalami proses-proses perubahan. Manusia adalah satuan terkecil dari masyarakat, dimana masyarakat itu sendiri mempunyai sifat dinamis yang selalu mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat dapat berupa perubahan nilai-nilai sosial, sistem, norma, budaya, pola perilaku, interaksi, strata sosial, hingga ekonomi masyarakat. Perubahan tersebut dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, dapat berjalan dengan lambat, bertahap, bahkan terjadi secara cepat (Sztompka, 2007:3, 50). Perubahan sosial merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Gilin dan Gilin dalam Abdulsyani, 2002:163). Erupsi Merapi 2010 membuat fondasi kehidupan (struktur, sistem, dan stratifikasi di dalamnya) kemasyarakatan masyarakat terdampak mengalami beberapa perubahan. Selain itu, keteraturan pola (perilaku sosial, ekonomi, dan budaya) dalam masyarakat tersebut juga cenderung mengalami perubahan/pergeseran. Kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan untuk ditempati memaksa masyarakat untuk memulai penghidupan pasca erupsi di daerah yang baru. Dalam prosesnya, selama masa pengungsian masyarakat tinggal dalam kurun waktu tertentu di satu daerah tertentu, kemudian berpindah hingga saat ini menempati lokasi hunian yang baru. Selain itu, 26 kondisi-kondisi sosial primer seperti kondisi ekonomis, teknologis dan geografis, atau biologis juga menyebabkan terjadinya perubahan pada aspekaspek kehidupan sosial dalam suatu masyarakat (Soekanto, 2000:338). Berikut ciri-ciri perubahan sosial menurut Soekanto antara lain: a. Perubahan sosial terjadi secara terus menerus b. Perubahan sosial selalu diikuti oleh perubahan-perubahan sosial lainnya c. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian diri d. Setiap masyarakat mengalami perubahan (masyarakat dinamis). Perubahan sosial yang dialami/dilakukan oleh masyarakat korban erupsi merupakan dampak dari perubahan lingkungan di sekitar tempat hidupnya. Perubahan tersebut juga bisa merupakan bagian dari strategi masyarakat korban erupsi untuk melangsungkan penghidupan pasca bencana. Lingkungan hidup sangat mempengaruhi sendi kehidupan suatu masyarakat sehingga apabila terjadi perubahan. Dari segi fisik, perubahan membawa masyarakat pada kondisi lingkungan sosial, geografis, dan tata ruang yang baru, (wilayah baru, pemukiman baru, tetangga baru). Dalam hal penghidupan, perubahan membawa masyarakat menuju industri pariwisata, Dalam dimensi interaksi kultural, melalui pariwisata, kebudayaan masyarakat tradisional agraris sedemikian rupa bertemu dan berpadu dengan kebudayaan 27 masyarakat modern industrial (Usman, 2010:53). Dengan demikian, masyarakat cenderung mengikuti dalam berperilaku dan berbudaya pariwisata. Masyarakat Pelemsari sebelumnya terbiasa dengan bentuk dan karakteristik perkampungan yang tersebar di daerah lereng pegunungan. Kondisi tersebut sangatlah jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi pemukiman mereka saat ini yang menjadi terpusat pada satu lokasi. Dalam berkehidupan, mereka juga sudah terbiasa dengan lingkungan pertanian, perkebunan, dan peternakan pedesaan. Perubahan kondisi lingkungan yang diikuti dengan perubahan potensi mata pencaharian memaksa masyarakat untuk beradaptasi, menyesuaikan diri agar mampu melangsungkan hidup. Selain itu, trauma pasca erupsi yang masih tersisa dalam diri masyarakat dapat mempengaruhi keberlangsungan kehidupan di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan yang baru. Beberapa perubahan tersebut tentunya memerlukan waktu bagi masyarakat agar dapat beradaptasi/menyesuaikan diri sehingga dapat melangsungkan penghidupan dan memulihkan perekonomiannya. 1.5.2 Strategi Kelangsungan Hidup Masyarakat Lereng Merapi Konsep strategi kelangsungan hidup secara umum adalah strategi yang dikembangkan secara aktif oleh masyarakat, sebagian besar berkaitan dengan aspek ekonomi rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar. upaya-upaya ini terutama ditujukan untuk bertahan hidup (Cederroth, 1995 dalam Sulistyastuti dan Faturochman, 2000:61). Strategi kelangsungan hidup yang diterapkan oleh seseorang dalam menjalani kehidupan dapat dilihat dari sisi internal dan eksternal. Dari sisi internal, strategi survival seseorang dalam 28 menghadapi berbagai kesulitan dipengaruhi oleh perilaku yang dimiliki seseorang, seperti semangat/daya juang, keyakinan kepada Tuhan, keberanian menghadapi resiko, inisiatif, dan memiliki visi ke depan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dari sisi eksternal, strategi survival dipengaruhi oleh solidaritas sosial tempat seseorang bertempat tinggal, seperti semangat untuk saling membantu (TDMRC-Unsyiah, 2011:40 dalam tdmrc.org). Secara sosiologis, konsep strategi kelangsungan hidup dapat diartikan sebagai usaha untuk mempertahankan diri dengan keberadaan yang ada disertai dengan usaha-usaha menuju kemajuan secara berkesinambungan (Kusumawati, 2009:32). Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat peneliti simpulkan bahwa strategi kelangsungan hidup adalah tata cara dan upaya yang digunakan oleh sesorang atau sekelompok orang dalam menghadapi suatu keadaan dalam fase kehidupannya, dan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mendukung kelangsungan penghidupannya. Strategi kelangsungan hidup erat kaitannya dengan upaya individu, rumah tangga, atau masyarakat (yang cenderung kekurangan) agar tetap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan hidup keseharian. Keberadaan Pelemsari di dalam kawasan lereng Gunung Merapi membuat pemanfaatan sumberdaya alam sekitar oleh masyarakat sangat terbatas. Gunung Merapi yang mempunyai keterkaitan dengan kehidupan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta secara keseluruhan membuatnya tidak bisa untuk di eksplorasi begitu saja. Terlebih, bagi masyarakat setempat, keberadaan Gunung Merapi 29 dianalogikan mempunyai siklus dan kehidupan tersendiri (Islami, 2014:3). Sehingga, dalam berkehidupan kedua belah pihak (Penduduk dan Merapi) harus saling pengertian satu sama lain, menjaga, menghormati ranah masingmasing, seperti saat Merapi sedang “punya hajat” (Kurniawan, 2008:22). Masyarakat Pelemsari yang dalam kesehariannya hidup berdampingan dengan Merapi dituntut untuk selalu sadar dan waspada, dan mencanangkan segala sesuatu yang diperlukan, karena bahaya dapat mengancam sewaktu-waktu. Pasca erupsi Merapi 2010, masyarakat korban erupsi dihadapkan pada situasi yang serba tidak mudah. Kelumpuhan kehidupan sempat terjadi dalam beberapa waktu, sehingga mengharuskan masyarakat melakukan berbagai upaya agar dapat melangsungkan penghidupan (survival). Manusia, sebagai makhluk individu dan sosial mempunyai naluri untuk bertahan hidup dan melangsungkan penghidupannya. Dalam prosesnya, manusia berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya, dan selalu melangkah maju menuju ke taraf kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat korban erupsi tentunya tidak dapat terus menerus bergantung pada pasokan bantuan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kebutuhan harian, memulihkan penghidupan, dan meningkatkan kesejahteraan semakin urgent. Strategi kelangsungan hidup disini sangat dibutuhkan masyarakat untuk menghadapi tantangan pasca erupsi, yaitu kelumpuhan perekonomian dan ancaman pengangguran. Oleh karena itu, masyarakat korban erupsi di Pelemsari dan sekitarnya menerapkan beberapa strategi agar tetap dapat melangsungkan penghidupannya. Secara umum, permasalahan yang dihadapi 30 oleh masyarakat korban erupsi relatif sama, namun tingkat kesulitan hidup yang harus ditanggung oleh masing-masing dari mereka berbeda-beda. Namun, dalam upaya menanggulanginya, masyarakat dapat bekerja bersamasama merealisaikan ide-ide dan gagasan-gagasan dari masing-masing mereka dalam memanfaatkan sumberdaya yang mereka miliki dengan kondisi alam yang memberikan potensi yang berbeda dari yang telah ada sebelumnya. Bentuk nyatanya adalah melalui pertisipasi mereka dalam kegiatan pariwisata pasca bencana, dengan masing-masing strategi dalam menjalaninya. 1.5.3 Strategi Adaptasi dan Alih Pekerjaan Dalam rangka melangsungkan penghidupannya, masyarakat tidak terlepas dari kemampuan untuk beradaptasi. Adaptasi dapat diartikan sebagai proses untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan hidup dalam suatu keadaan lingkungan yang ada (Fairchild, 1962 dalam Yanuarto, 2008:19). Menurut kamus sosiologi, adaptasi adalah tindakan dari individu untuk menyesuaikan diri tehadap kondisi-kondisi lingkungan sekelilingnya melalui langkahlangkah seleksi, alami, atau buatan. Kondisi-kondisi tersebut erat kaitannya dengan tindakan dan kemampuan diri seperti pendidikan, ketrampilan, dan kekuatan fisik (Fairchild, 1962 dalam Yanuarto, 2008:66). Sedangkan, strategi adaptasi atau adaptive strategy dapat diartikan sebagai rencana tindakan yang dilakukan manusia baik secara sadar maupun tidak sadar, secara eksplisit maupun implicit dalam merespon berbagai kondisi internalatau eksternal (Iskandar, 2009:209 dalam beethnograph.blogspot.com). 31 Strategi adaptasi juga didefinisikan sebagai suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial. Adaptasi yang dimaknai dalam rangka mempertahankan kehidupan manusia, menunjuk pada suatu proses timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Alland Jr, 1975, dan Hardesty, 1977 dalam Haryono, 2005:120). Kapasitas manusia untuk dapat beradaptasi ditunjukkan dengan usahanya untuk mencoba mengelola dan bertahan dalam kondisi lingkungannya. Makin besar kemampuan adaptasi suatu makhluk hidup, makin besar pula kemungkinan kelangsungan hidup makhluk tersebut. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu proses di mana suatu individu berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya (Sahlins, 1968 dalam Haryono 2005:120). Berikut beberapa batasanbatasan mengenai konsep adaptasi, diantaranya (Soekanto, 2000:10-11): - Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan. - Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan. - Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. - Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan. - Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungandan sistem. - Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari teori-teori dan batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan suatu tindakan penyesuaian diri dari individu atau kelompok terhadap keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya. Penyesuaian diri tersebut 32 berkaitan dengan pola pikir, tindakan, dan proses interaksi dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat dan lingkungan alam sekitar. Dalam kaitannya dengan strategi kelangsungan hidup yang dilakukan oleh masyarakat korban erupsi di lereng Merapi, strategi adaptasi adalah kemampuan masyarakat setempat (Pelemsari dan sekitarnya) dalam membaca kondisi-situasi dan peluang kedepannya yang ada di lingkungan alam sekitarnya untuk melangsungkan penghidupannya pasca bencana. Penerapan strategi adaptasi tersebut dituangkan ke dalam sebuah gagasan yang berorientasi tujuan yaitu pengelolaan pariwisata pasca bencana. Sebagai imbas dari adaptasi pasca bencana, masyarakat korban erupsi Merapi juga melakukan pengalihan pekerjaan dalam upaya melangsungkan penghidupannya. Belum ada konsep dan definisi yang jelas dan pasti mengenai alih pekerjaan. Namun, menurut Ashley (2003), perubahan mata pencaharian dilakukan dengan tujuan untuk menolong rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan. Perubahan mata pencaharian merupakan salah satu strategi untuk mencapai penghidupan yang berkelanjutan (Wijayanti, 2013:23). Dengan demikian, alih pekerjaan merupakan suatu tindakan penggantian pekerjaan seseorang dari yang sudah lama ditekuni ke pekerjaan yang baru akan dijalani. Mata pencaharian masyarakat Pelemsari sebelumnya dapat dikatakan tidak sepenuhnya dilandasi dengan pendidikan tinggi secara formal. Bekerja dengan bertani, beternak, hingga tenaga buruh bisa juga dilandasi keahlian dasar dan pengetahuan turun temurun. 33 Lebih lanjut, Melalui alih pekerjaan, masyarakat dapat menurunkan kerentanan dan mengurangi tekanan akan permasalahan-permasalahan sosial dan ekonomi yang bermunculan pasca erupsi. Pengalihan pekerjaan menjadi sangat diperlukan bagi perlindungan untuk masyarakat pemulihan korban kondisi erupsi sosial dan sebagai jaminan ekonomi, dan keberlangsungan penghidupan pasca bencana. Penghidupan dapat dikatakan berkelanjutan apabila dapat mengatasi dan memulihkan diri dari stres dan guncangan, memelihara atau meningkatkan kemampuan dan aset sehingga dapat memberikan kontribusi berupa keuntungan bersih untuk kehidupan lain pada tataran lokal dan global, baik dalam jangka pendek dan panjang (Chambers & Conway, 1991 dalam Wijayanti, 2013:20). Alih pekerjaan merupakan tindakan yang dianggap paling rasional jika melihat kondisi yang ada di lapangan pasca bencana erupsi Gunung Merapi 2010. Kerusakan wilayah akibat bencana justru menjadi daya tarik wisata yang dapat memunculkan peluang kerja baru sehingga dibukalah kawasan wisata pasca bencana Volcano Tour di lereng Merapi (Wijayanti, 2013:19). Strategi alih pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat korban erupsi mempertimbangkan keadaan alam yang tidak lagi memungkinkan untuk kembali ke pekerjaan semula dalam beberapa waktu pasca erupsi. Selain itu meningkatnya animo masyarakat luar mengunjungi atau “berwisata” ke kawasan terdampak erupsi menjadi faktor pendukung bagi masyarakat setempat untuk menekuni industri pariwisata pasca bencana. 34 1.5.4 Pengelolaan Pariwisata Pasca Bencana Oleh Masyarakat Pariwisata mempunyai keterkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek ekonomi, budaya, agama, lingkungan, keamanan, dan aspek-aspek lainnya (Gelgel, 2006:54). Pariwisata di Pelemsari pada awalnya hanya berupa wisata alam (pendakian), wisata budaya (religi), dan beberapa obyek wisata alam yang berada di sekelilingnya. Pelemsari sebagai kawasan terdekat dengan puncak Merapi menjadi satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan pendaki. Pasca erupsi 2010, Pelemsari beralih fungsi menjadi daerah tujuan wisata yang mengandalkan obyek kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan pasca erupsi. Daerah tujuan wisata adalah ujung tombak dan alasan utama perkembangan pariwisata yang membutuhkan perencanaan dan strategi manajemen yang tepat untuk menarik wisatawan. Daerah tujuan wisata merupakan pemacu keseluruhan sistem pariwisata dan menciptakan permintaan untuk perjalanan wisata (Ismayanti, 2010:3). Pengelolaan pariwisata pasca bencana di Pelemsari dan sekitarnya bermula dari maraknya kedatangan masyarakat luar yang mengunjungi daerah terdampak erupsi. Masyarakat kemudian secara perlahan mengupayakan fasilitasi, menjadi penyedia jasa, dan mengelola kegiatan pariwisata yang berjalan. Kegiatan pariwisata yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat setempat merupakan suatu bentuk pariwisata berbasis masyarakat atau Community Based Tourism (CBT). Pariwisata berbasis masyarakat sebagai sebuah pendekatan pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku yang melibatkan dan meletakkan penting dalam konteks paradigm baru 35 pembangunan berkelanjutan atau sustainable development (Sastrayuda, 2010:2). Damanik, dalam bukunya (2013:9) juga menerangkan bahwa pelibatan masyarakat merupakan kata kunci untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan melalui pengembangan pariwisata. “Communities are expected to find 25% of the cost of any programme undertaken and have to participate in proposal preparation and negotiation in order to access support. This is all part of the approach to strengthen local capacities.” (Saville 2001:20 dalam Damanik, 2013:9). CBT memberikan kesempatan penuh bagi masyarakat korban erupsi untuk merencanakan, melaksanakan, mengelola, dan mengambil hasil yang diperoleh dari kegiatan pariwisata yang dijalankan. CBT yang dikembangkan di Pelemsari dan Pangukrejo tersebut juga mampu menyerap tenaga kerja setempat dan meminimalisir ancaman kemiskinan bagi masyarakat korban erupsi yang kehilangan pekerjaan yang sebelumnya. Semakin tertatanya kegiatan yang berjalan, seperti adanya pembagian tugas (penarikan retribusi, tempat penitipan kendaraan, juru parkir, jasa antar dan sewa kendaraan, pemandu wisata, fasilitas dan atraksi wisata), menjadi ukuran keberhasilan penerapan CBT dalam pariwisata pasca bencana di Pelemsari dan sekitarnya. Pariwisata berbasis masyarakat ini merupakan alternatif solusi pengembangan masyarakat yang dapat mendukung strategi kelangsungan hidup masyarakat korban bencana pasca erupsi Merapi 2010. Secara umum, pariwisata bersifat dinamis, dan dapat digunakan sebagai sarana perubahan yang selalu menjadi sarana pertemuan dan pertukaran dari dua atau lebih kebudayaan yang berbeda, baik dalam hal 36 norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya. Hubungan host-guest dengan latar belakang sosial-budaya yang berbeda di dalam suatu arena pariwisata tentunya akan menghasilkan adanya berbagai proses akulturasi, dominasi, asimilasi, adopsi, adaptasi, menimbulkan adanya perbedaan harapan, interpretasi, pemaknaan, dan sebagainya, sehingga rentan akan pergeseran sosial-budaya masyarakat setempat (Pitana dan Gayatri, 2005:35, 38). Untuk itu, dalam pengembangan pariwisata pasca bencana, diperlukan adanya kerjasama yang baik dari pihak-pihak yang terlibat didalamnya, baik itu pemerintah, masyarakat dan juga stakeholders pengembang pariwisata. Dalam Volcano Tour, pemerintah hanya berperan sebagai pembina, pengendali, dan pembuat kebijakan dalam proses pelaksanaan kegiatannya. Namun, stakeholders diberikan porsi lebih, karena sebagai investor, pengembang dan promotor yang dapat mengembangkan pariwisata pasca bencana. Sedangkan, masyarakat setempat mempunyai peranan yang paling penting dalam keberhasilan pariwisata. Dalam pelaksanaannya, penerapan CBT mengutamakan swakelola, dalam pengertian masyarakat setempat mendapat peluang seluas-luasnya untuk mengelola kegiatan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhannya (Soetomo, 2006:396). CBT juga sejalan dengan konsep People Centered Development (PCD) yang menekankan pembangunan pada partisipasi nyata dari masyarakat dalam berbagai aktifitas kehidupan untuk mendorong terciptanya kegiatan-kegiatan produktif yang bernilai tinggi (Muslim, 2009:44). 37 Muslim (2009) juga mengemukakan bahwa keyakinan masyarakat menunujukkan partisipasi yang tinggi dalam pembangunan, maka secara tidak langsung mereka telah memperkuat kemampuan bangsa dalam menghadapi dinamika perubahan pada lingkup regional, nasional, maupun global. Melalui CBT, masyarakat berkembang dapat menjadi peserta aktif dalam memberikan kontribusinya dalam proses pembangunan, dan dapat dilibatkan bersama-sama pemerintah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan, dan turut serta dalam memilih isu kemasyarakatan (Muslim, 2009:44). Sebagai penduduk setempat, masyarakat tentunya sangat memahami seluk beluk dan karakteristik daerahnya. Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi penyedia, pengelola, dan pelaksana dari kegiatan pariwisata tersebut, sekaligus memanfaatkannya untuk memulihkan perekonomian, dan melangsungkan penghidupannya. 1.6 Landasan Teori Pariwisata Pasca Bencana “Volcano Tour” Merapi di Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan suatu fenomena pariwisata yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Berwisata ke daerah terdampak bencana seakan terkesan tidak etis dan tidak semestinya dilakukan, karena hal ini identik dengan bersenang-senang di atas penderitan orang lain. Namun, tidak demikian dengan apa yang terjadi di Yogyakarta, dengan kearifan lokal yang tinggi dan besarnya rasa kebersamaan, semangat juang untuk bangkit, bergotong-royong saling membantu untuk memulihkan kondisi kehidupan pasca bencana. Masyarakat yang terkena dampak atau yang menjadi korban erupsi Merapi mampu bertahan atas 38 bencana yang menimpa mereka. Terlebih, saat ini masyarakat lereng Merapi justru semakin mandiri dengan mengubah daerah “petilasan” bencana menjadi lahan penghidupan, bahkan menjadi mata pencaharian. Melihat pada permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori tindakan sosial (Max Weber) sebagai landasan untuk membangun kerangka pikir dan menjelaskan permasalahan yang diteliti. Teori merupakan suatu kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik. Dalam penelitian kualitatif, teori mempunyai kedudukan sebagai pandangan sementara untuk menjelaskan permasalahan yang diteliti dan mengambil batasan terhadap ruang lingkup penelitian. Teori Weber memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan proses pemikiran (dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya) antara terjadinya stimulus dengan respon (Ritzer dan Goodman, 2008:136). Teori ini menjelaskan bagaimana masyarakat korban erupsi mampu menghasilkan tindakan (pengelolaan pariwisata) dari proses pemikiran (adaptasi, alih pekerjaan, dsb.) sebagai respon atas kondisi lingkungan yang ada. Lebih lanjut, weber menyebutkan bahwa teori tindakan sosial berupaya memahami tindakan masyarakat dengan mengapresiasi lingkungan sosial di mana mereka berada dan memperhatikan tujuan-tujuan warga masyarakat yang bersangkutan (Jones, 2009: 114). Teori tindakan sosial merekonstruksi makna dibalik kejadian-kejadian sejarah yang menghasilkan struktur-struktur dan bentukan-bentukan sosial, tetapi pada saat yang sama memandang semua konfigurasi kondisi historis itu unik (Jones, 2009: 115). Teori tindakan sosial 39 membandingkan beberapa struktur beberapa masyarakat dengan memahami alasan-alasan mengapa warga masyarakat tersebut bertindak, kejadian-kejadian historis secara berurutan yang mempengaruhi karakter mereka, dan memahami tindakan pada pelakunya yang hidup pada masa kini, akan tetapi tidak mungkin menggeneralisasi semua masyarakat atau semua struktur sosial (Jones, 2009:115). Setiap manusia pasti mempunyai keinginan untuk menjalani kehidupan yang sejahtera baik dari segi sosial maupun ekonominya. Untuk itu, manusia berusaha memenuhi segala kebutuhan hidupnya dengan melakukan kegiatankegiatan produktif. Demikian pula dengan masyarakat korban erupsi di lereng Merapi yang sebagian besar bekerja di lingkup pariwisata pasca bencana untuk melangsungkan penghidupannya. Keberlanjutan penyelenggaraan pariwisata pasca bencana di lereng Merapi menjadi sangat vital, karena telah menjadi penopang kelangsungan penghidupan masyarakat korban erupsi di lereng Merapi. Melalui pariwisata pasca bencana tersebut, masyarakat dapat memulihkan dan mengembangkan perekonomian masyarakat dan daerahnya, membuka dan membagi lapangan kerja bagi sesamanya yang membutuhkan, mengurangi risiko pengangguran pasca bencana, memperkaya pengetahuan dan kemampuan dasar di bidang pariwisata, dan mengenalkan sosial budayanya kepada para wisatawan. Keberadaan pariwisata pasca bencana sebagai penopang kehidupan masyarakat pasca eruspi tidak muncul begitu saja. Sebelumnya, masyarakat hanya tersebar di lokasi terdampak bencana dan mengandalkan sumbangan sukarela dari para pengunjung. Seiring meningkatnya animo pengunjung dari waktu ke waktu, keamanan dan kenyamanan wisatawan kemudian muncul menjadi pokok 40 permasalahan yang sering dipersoalkan. Namun, pada kenyataannya kondisi Gunung Merapi yang belum stabil pasca erupsi juga tidak mengurangi kuantitas wisatawan pada beberapa waktu pasca erupsi. Selain itu, pemerintah yang masih membatasi adanya aktifitas intensif di kawasan terdampak bencana juga seakan menghalangi keinginan masyarakat untuk mengupayakan kelangsungan penghidupannya secara lebih mandiri. Menanggapi beberapa hal tersebut masyarakat membutuhkan tindakan-tindakan nyata untuk bisa mepertahankan dan mengembangkan peluang usahanya, dan untuk melangsungkan penghidupannya. Dilihat dari perkembangannya, yang terjadi pada masyarakat korban erupsi yang mengupayakan kelangsungan penghidupannya melalui pariwisata pasca bencana, sejalan dengan teori tindakan sosial. Dalam prosesnya, masyarakat setempat melakukan berbagai tindakan untuk mempertahankan jalan usaha yang telah mereka jalani, yaitu pariwisata pasca bencana untuk melangsungkan penghidupan mereka kedepannya. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentukbentuk strategi yang terlahir dari buah pemikiran masyarakat/masing-masing individu dalam merealisasikan kelangsungan usahanya dalam pariwisata pasca bencana tersebut. Dalam upayanya tersebut, masyarakat memanfaatkan kondisi lingkungan terdampak erupsi, dengan melihat keberhasilan penyelenggaraan sebelumnya (Lava Tour Kaliadem), menyesuaikan dengan permintaan jasa wisata dari para pengunjung, dan mempertimbangkan sumberdaya yang mereka miliki. 1.6.1 Kerangka Berpikir Weber mengklasifikasikan bentuk-bentuk tindakan yang didasarkan pada konteks motif para pelakunya, yaitu: tindakan tradisional, tindakan 41 afektif, tindakan berorientasi nilai, dan tindakan rasionalitas instrumental (Ritzer dan Goodman 2008:137). a) Tindakan Tradisional Tindakan tradisional adalah tindakan yang ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar secara turun temurun atau yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Secara turun temurun, karakteristik masyarakat Pelemsari adalah petani peternak, namun pasca erupsi mereka dihadapkan dengan kondisi yang belum memungkinkan untuk mereka melangsungkan penghidupan sebelumnya. Masyarakat bersikukuh kembali menempati dusunnya, minimal mereka bisa melanjutkan penghidupan di sana. Masyarakat merasa sudah terbiasa dengan lingkungan yang telah ditempatinya selama bertahun-tahun, meskipun saat ini kondisinya berbeda dan telah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana. Untuk itu masyarakat memerlukan strategi kelangsungan hidup. b) Tindakan Afektif Tindakan afektif merupakan tindakan yang bersifat spontan (otomatis) dan irasional, lebih didominasi perasaan atau ekspresi emosional tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan ini biasanya ditentukan oleh kondisi-kondisi atau rangsangan dari luar dan membuat tindakan tersebut menjadi bermakna. Pasca erupsi, selain dari supply bantuan, masyarakat sama sekali tidak mempunyai 42 pegangan untuk melangsungkan penghidupan. Mayoritas masyarakat hanya mempunyai keahlian dasar bertani dan beternak, dan selebihnya berdagang. Tingkat kebutuhan yang semakin mendesak dan keinginan untuk mendapatkan penghidupan yang layak seperti sebelumnya memicu masyarakat setempat untuk bangkit dari keterpurukan dan mengupayakan berbagai strategi untuk melangsungkan penghidupan. c) Tindakan Berorientasi Nilai Tindakan rasional nilai dilakukan untuk alasan-alasan dan tujuantujuan yang ada dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat atau masing-masing individu didalamnya. Namun, tindakan ini dilakukan tanpa memperhitungkan prospek-prospek yang ada kaitannya dengan berhasil atau gagalnya tindakan tersebut kedepannya. Dalam hal ini, masyarakat memilih hidup berdampingan dengan Gunung Merapi untuk menghormati dan mempertahankan tanah leluhurnya yang telah memberi mereka penghidupan, serta menjaga dan melestari budaya yang merupakan warisan dan jati diri mereka. Oleh karena itu masyarakat memerlukan strategi untuk membangun kembali dusun dan melangsungkan penghidupan meskipun secara swadaya tanpa dukungan dari pemerintah. d) Tindakan Rasional Instrumental Tindakan rasional instrumental ditujukan pada pencapaian tujuantujuan yang diupayakan sendiri dan diperhitungkan secara matang oleh masyarakat/masing-masing individu didalamnya dan secara sadar 43 atau rasional mempertimbangkan ketersediaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Tujuan utama yang ingin dicapai masyarakat Pelemsari cukup jelas, yaitu melangsungkan penghidupan pasca erupsi. Masyarakat memanfaatkan animo pengunjung yang pada beberapa waktu pasca erupsi semakin banyak berdatangan ke daerah terdampak bencana, sehingga masyarakat setempat membuka daerahnya sebagai lokasi pariwisata dan membentuk kelompokkelompok pengelola dengan pembagian tugas sedemikian rupa sebagai strategi untuk melangsungkan penghidupan pasca erupsi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tipologi tindakan rasionalitas instrumental, atau tindakan berorientasi sarana-tujuan sebagai bagian dari teori tindakan sosial. Tindakan rasionalitas instrumental adalah tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku obyek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai ‘syarat’ atau ‘sarana’ untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional (Weber, 1921/1968:24 dalam Ritzer dan Goodman, 2008:137). Tipologi tindakan rasionalitas instrumental dalam teori tindakan sosial ini menjelaskan, tindakan masyarakat secar kolektif beralih pekerjaan sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap perubahan lingkungan dan kecenderungannya menjadi daya tarik wisata merupakan suatu strategi dan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu melangsungkan penghidupan dan mencapai kesejahteraan pasca bencana. 44 Berikut pandangan sementara peneliti dalam melihat dan memahami fenomena strategi kelangsungan hidup pasca erupsi Merapi 2010: Bagan. I.1 Alur kerangka pikir peneliti dalam memahami strategi kelangsungan hidup masyarakat melalui pariwisata pasca bencana erupsi Gunung Merapi 2010. Erupsi Merapi 2010 Memiskinkan penduduk setempat Peningkatan kesejahteraan Strategi bertahan hidup Wisata Bencana Pemerintah dianggap lamban dalam menangani Pemanfaatan kawasan bencana Peran Pemerintah Masyarakat korban bencana Masyarakat luar area bencana 45