IMPLEMENTASI MODEL PRAKTIK BELAJAR KEWARGANEGARAAN DAN PENINGKATAN PENGUASAAN LIFE SKILLS SISWA (Studi Reflektif pada Siswa Kelas X SMA Laboratorium IKIP Negeri Singaraja) Oleh Sukadi Jurusan PPKN FIS Undiksha Singaraja Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas kecakapan hidup (life skills) dalam pembelajaran PPKn pada siswa Kelas X5 SMA Laboratorium IKIP Negeri Singaraja tahun ajaran 2004/2005 melalui penerapan model praktik belajar kewarganegaraan. Penelitian ini menggunakan rancangan PTK yang melibatkan kolaborasi antara dosen jurusan PPKN, guru PKn dan siswa kelas X5 SMA Laboratorium IKIP Negeri Singaraja. PTK ini dilaksanakan dalam dua siklus tindakan. Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik yang biasa diterapkan dalam penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru PKn dapat melaksanakan pembelajaran PKn yang menggunakan model praktik belajar kewarganegaraan ini dengan cukup baik. Akan tetapi, implementasi model ini dalam dua siklus tindakan belum dapat meningkatkan kapabilitas kecakapan hidup (life skills) dengan baik dalam aspek-aspek kecakapan personal, sosial, intelektual, dan akademis. Hal ini disebabkan, antara lain oleh: rendahnya kemampuan awal siswa, siswa masih merasa mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan model praktik belajar ini, dan waktu belajar yang relatif singkat. Kata-kata kunci: praktik belajar kewarganegaraan dan kecakapan hidup. Abstract This study was aimed at improving students’ life skills in civic education teaching at the tenth grade students of SMA Laboratorium IKIP Negeri Singaraja in the academic year 2004/2005 through the implementation of project citizen model. This study used classroom action research (CAR) design involved the collaboration between civic lecturer, civic teacher, and the students of SMA Laboratorium IKIP Negeri Singaraja. CAR was conducted in two cycles. Data gathering and analysis were performed in qualitative approach. The result of this study revealed that civic teacher involved in this study could practice project citizen model properly. The implementation of this model in two cycles, however, has not been able to increase students’ life skills yet (personal, social, intellectual, and academic). The obstacles to achieve this objective were, namely: the low level of students’ prior knowledge, the high of students learning difficulties, and the lack of students learning time. Key words: Project citizen and life skills. 1. Pendahuluan Pemerintah dewasa ini telah mengembangkan kebijakan untuk pengembangan pendidikan berbasis luas (broad-based education). Untuk kepentingan ini, program pendidikan tidak bisa tidak haruslah memberdayakan kompetensi kecakapan hidup (life skills) peserta didik sebagai bagian dari masyarakat luas. Kecakapan hidup itu antara lain mencakup kecakapan personal, sosial, intelektual, akademis, dan vokasional (Depdiknas, 2004; 2001; Suryadi, 2002). Sesuai dengan kebijakan tersebut, kurikulum di tingkat persekolahan dewasa ini dikembangkan berbasis pada kompetensi. Pengembangan kompetensi inilah yang berorientasi pada mengintegrasikan kecakapan hidup dalam 1 pembelajaran yang dikembangkan secara kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme. Harapannya, peserta didik dapat secara optimal memberdayakan, mengembangkan, dan mengaktualisasikan potensi multiinteligensinya. Kepentingannya adalah baik untuk melanjutkan studi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun untuk bekal terjun langsung dalam kehiduan masyarakat luas. Seluruh komponen pendidik haruslah dapat mengupayakan pencapaian tujuan pendidikan sekolah tersebut, tidak terkecuali guru-guru PKn di SMA Lab.IKIP Negeri Singaraja. Sayangnya, para guru di SMA Lab. itu mengakui masih menemukan kesulitan untuk mengembangkan model pembelajaran PKn yang relevan dengan tuntutan kurikulum di atas. Kesulitan ini khususnya dalam pencapaian pengembangan kecakapan hidup secara terintegrasi dalam pembelajaran. Hal ini berkaitan dengan belum dipahaminya visi, misi, dan tujuan yang inovatif dalam pembelajaran PKn. Begitu pula, masih lemahnya kemampuan guru dalam mengembangkan indikator hasil belajar yang mengintegrasikan pengembangan kecakapan hidup dalam bidang PKn. Tak kalah pentingnya, masih kurangnya wawasan dan keterampilan guru dalam mengembangkan model pembelajaran PKn yang kontekstual. Terakhir, guru juga kurang wawasan dan keterampilan dalam mengembangkan dan menggunakan strategi asesmen alternatif dalam penilaian hasil belajar PKn berorientasi pengintegrasian kecakapan hidup. Akibatnya, walau kurikulum telah berubah, dalam realita praktik pembelajaran sehari-hari, guru-guru PKn cenderung masih menerapkan model pembelajaran langsung yang konvensional. Guru setiap hari masih mempraktikkan pendekatan ekspositori dalam pembelajaran. Tujuan pembelajaran cenderung mengacu pada pencapaian informasi verbal siswa secara terbatas. Kegiatan belajar siswa berorientasi pada penguasaan materi buku teks yang padat dengan kapabilitas belajar yang rendah. Tujuan akhirnya adalah agar siswa mendapat skor atau nilai yang tinggi dalam pelaksanaan tes sumatif tiap semester dan ujian akhir dengan model pelaksanaan penilaian hasil belajar menggunakan teknik paper and pencil test saja. Hasil belajar seperti ini memang dapat mengantarkan siswa untuk memperoleh rerata hasil belajar PKn yang relatif tinggi (rata-rata nilai PKn dalam raport 70,11). Akan tetapi, di samping bersifat artifisial, hasil belajar ini tidak menunjang pencapaian seluruh kecakapan hidup siswa secara utuh dan bermakna. Siswa kelas X5 yang menjadi partisipan dalam penelitian ini bahkan masih sangat mengalami kesulitan mengungkapkan buah pikirannya secara verbal dan tertulis yang menunjukkan lemahnya kecakapan personal (rasa percaya diri), kecakapan intelektual, dan kecakapan akademis siswa. 2 Karena itu, guru PKn menghendaki perlunya inovasi pembelajaran dan penerapan model asesmen hasil belajar PKn siswa yang lebih memungkinkan kompetensi kecakapan hidup siswa dapat diberdayakan, dikembangkan, dan diaktualisasikan. Kesepakatan antara dosen peneliti dan guru merujuk pada penerapan model Praktik Belajar Kewarganegaraan (PBK) untuk meningkatkan penguasaan kecakapan hidup siswa dalam bidang PKn. Ini berimplikasi juga pada penerapan model asesmen alternatif untuk menyertai implementasi PBK ini. Upaya inovasi ini dilatarbelakangi oleh pemikiran-pemikiran teoretis, praktis, dan dukungan hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, sejalan dengan perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia; visi, misi, dan tujuan PKn di sekolah dewasa ini juga telah mengalami perubahan. PKn ke depan haruslah dapat menjadi wahana education about, through, and for citizenship (QCA, 1999; Winataputra, 2001). Di samping itu, PKn haruslah juga menfasilitasi dan memberdayakan siswa untuk learning democracy, in democracy, and for democracy (Cogan et al, 1997; Winataputra, 2001). Misinya mencakup tugas-tugas sosiopaedagogis, sosioakademis, dan sosiokultural sekaligus (Sukadi, 2004a; Winataputra, 2001). Tujuannya adalah mengembangkan iklim civic culture dalam kehidupan sosial budaya siswa di lingkungan sekolah, di rumah, dan di masyarakat yang bercirikan oleh berkembang dan terintegrasinya civic knowledge, values and disposition, attitude, skills, confidence, commitment, and civic competence secara utuh dan bermakna. Dengan ini diharapkan dapat melahirkan generasi warga negara yang cerdas secara utuh dan partisipatif dalam pengambilan-pengambilan keputusan publik (Cogan, et al., 1997; Sukadi, 2004a; Stopsky and Lee, 1994; Winataputra, 2001). Kedua, untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan PKn seperti di atas, pembelajaran PKn tidak mungkin hanya dilakukan dengan pendekatan konvensional berbasis teori behavioristik seperti yang selama ini dilakukan guru. Membangun dan mengembangkan kompetensi kecakapan hidup siswa dalam bidang kewarganegaraan diyakini dapat dicapai dengan baik jika pembelajara PKn dilakukan dengan pendekatan konstruktivisme sosial yang memadukan aktivitas studi akademis, studi sosial, dan aktivitas moral religius (DeVries and Zan, 1994). Ini dapat dilakukan melalui bentuk PBK yang mengintegrasikan ketiga aktivitas studi tersebut dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran siswa diajak untuk memecahkan masalah-masalah real dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di sini siswa belajar menemukan alternatif pemecahan masalah dalam aktivitas studi akademis. Di samping itu, siswa juga mengembangkan proses penalaran dan klarifikasi nilai (aktivitas nilai dan moral). 3 Kemudian siswa mengembangkan usul kebijakan publik (aktivitas studi sosial) dan mengusulkan rencana tindakan (aksi sosial) (DeVris and Zan, 1994; Sukadi, 2004b). Model pembelajaran seperti ini membutuhkan model penilaian proses dan hasil belajar siswa menggunakan pendekatan asesmen alternatif melalui asesmen kinerja, selfassessment, dan asesmen portofolio (Budimansyah, 2001; Zainul, 2001). Karena itu, dalam penerapan model PBK ini diterapkan pula model asesmen alternatif tersebut. Penerapan pembelajaran seperti ini di tempat lain telah memberikan hasil yang positif kepada siswa. Hasil penelitian Budimansyah (2002) tentang pembelajaran PKn berbasis portofolio pada siswa SLTP menunjukkan bahwa prestasi belajar konvensional siswa meningkat. Begitu pula ada perkembangan dalam beberapa segi kecakapan siswa, antara lain: rasa percaya diri, keterampilan intelektual, kecakapan sosial, dan kecakapan akademis. Tim CCE Provinsi Bali (2002) melaporkan hasil pengamatannya dalam penerapan model PBK di tingkat SLTP Provinsi Bali, antara lain menemukan adanya peningkatan rasa percaya diri, motivasi berprestasi, kepekaan dan komitmen sosial, kompetensi intelektual, kemampuan siswa bekerja sama dan berkompetisi, kecakapan akademis dalam melakukan penelitian dan membuat karya tulis ilmiah sederhana, kemampuan presentasi, dan segi-segi keterampilan sosial siswa lainnya. Dari latar belakang dan identifikasi masalah di atas dikembangkanlah tujuan penelitian ini, yaitu: pertama, meningkatkan kecakapan hidup siswa kelas X5 SMA Lab. IKIP Negeri Singaraja dalam pembelajaran PKn melalui penerapan model PBK. Kedua, menjelaskan hambatan-hambatan yang ditemui guru dan siswa dalam implementasi model PBK tersebut beserta cara pemecahannya. 2. Prosedur Penelitian Inovasi pembelajaran ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan siklus pembelajaran di kelas (perencanaan, pelaksanaan, observasi, evaluasi dan refleksi) dengan menerapkannya pada dua kali siklus tindakan. Pembelajaran dilaksanakan pada siswa kelas X5 SMA Lab. IKIP Negeri Singaraja tahun ajaran 2004/2005 dengan pertimbangan seperti hasil refleksi yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, mengumpulkan dokumen, pemberian tes, penggunaan format self-assessment, serta penilaian portofolio siswa. Analisis data terutama dilakukan secara kualitatif untuk memungkinkan kegiatan refleksi dilakukan secara mendalam. Model analisis mengadopsi model Spradley (1980) melalui analisis domain, analisis taksonomi, dan analisis 4 componensial yang diakhiri dengan temuan tema-tema kajian. Indikator kinerja yang digunakan antara lain berupa peningkatan hasil belajar siswa yang meliputi kecakapan personal, kemampuan berpikir intelektual, kemampuan berpikir akademis, dan keterampilan sosial kewarganegaraan siswa. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Siklus Pertama Sesuai dengan perencanaan, pada siklus pertama ini guru menerapkan model PBK pada pokok materi tentang Hakikat Bangsa dan Negara. Indikator keberhasilan belajar dalam penguasaan kecakapan hidup yang dikembangkan adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatkan rasa percaya diri siswa. Kedua, meningkatkan kecakapan sosial siswa dalam berkomunikasi secara lisan dan tertulis, menghargai pendapat orang lain, sharing informasi, dan sharing tanggung jawab kepemimpinan. Ketiga, meningkatkan kecakapan intelektual siswa yang meliputi penguasaan dan pemahaman konsep, mengidentifikasi dan merumuskan masalah, mengajukan alternatif pemecahan masalah, mengajukan usul kebijakan publik, dan mengembangkan rencana aksi. Keempat, meningkatkan kecakapan akademis siswa yang meliputi keterampilan mengumpulkan data, mengolah informasi ke dalam berbagai bentuk tayangan informasi dan simpulan-simpulan, dan kemampuan menyusun karya ilmiah atas satu masalah kebijakan publik. Penerapan model PBK yang dilakukan guru pada siklus pertama ini meliputi sintaks pembelajaran sebagai berikut. Pertama, guru menugasi siswa untuk belajar secara mandiri dalam menguasai konsep-konsep pada pokok materi Hakikat Bangsa dan Negara dilanjutkan dengan diskusi kelompok secara kooperatif dan diakhiri dengan pemberian tes formatif. Kedua, guru mengajak siswa mengidentifikasi masalah-masalah kebijakan publik secara detail yang relevan dengan pokok materi. Ketiga, guru meminta siswa mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk dasar pemecahan masalah. Keempat, siswa belajar mengajukan berbagai alternatif pemecahan masalah yang disertai proses penalaran dan klarifikasi nilai. Kelima, siswa mengajukan usul kebijakan publik yang relevan. Keenam, siswa belajar mengembangkan rencana aksi untuk menyampaikan usul kebijakan publik. Ketujuh, hasil yang dicapai siswa dipresentasikan dalam seminar terbatas tentang usulan kebijakan publik. Kedelapan, guru dan siswa melakukan refleksi pengalaman belajar. Semua proses PBK ini dilakukan dalam bentuk kelompok kerja sama secara kooperatif. 5 Kemampuan guru melaksanakan model pembelajaran ini pada siklus pertama tampak masih belum memamadai. Kelemahan masih tampak pada setiap tahapan kegiatan pembelajaran. Di sini guru masih kelihatan canggung, kurang wawasan, menjadi agak kaku, bingung dalam mengelola kelas yang ribut, kurang mampu memotivasi belajar siswa, kurang mampu mengatur dan mendisiplinkan waktu belajar siswa, kurang berani melepaskan pengetahuannya dari isi buku teks, kurang memahami apakah siswa telah belajar mengembangkan kecakapan hidupnya pada track yang benar, kurang mampu membantu proses penalaran dan klarifikasi nilai, kurang mampu memfasilitasi dan mengarahkan kebutuhan sarana belajar, dan kurang mampu membantu siswa dalam mengembangkan portofolio kelas. Pemahaman dan pengalaman guru yang terbatas dalam mengembangkan PBK ini menjadi penghambat guru dalam melaksanakannya. Karena masih lemahnya kualitas proses pembelajaran di siklus pertama ini, hasil belajar siswa dalam pengembangan kecakapan hidupnya juga masih tampak lemah. Dalam upaya meningkatkan rasa percaya diri, banyak siswa (lebih dari 80%) masih menunjukkan rasa ragu-ragu, grogi, malu, dan takut jika diminta mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan guru, memberikan tanggapan atas pandangan siswa lain, dan dalam melakukan presentasi lisan baik secara individu maupun kelompok. Kelemahan rasa percaya diri dan konsep diri siswa ini berkaitan dengan guru dan siswa cenderung belum belajar bagaimana strategi meningkatkan rasa percaya diri siswa secara memadai. Guru memang telah memberikan tugas-tugas belajar mandiri kepada siswa, seperti membuat ringkasan buku secara personal, menggali informasi dari berbagai sumber, mempresentasikan kepada teman hasil lacakan informasi, sharing tanggung jawab kepemimpinan, mempresentasikan hasil pengembangan portofolio, dan melakukan refleksi pengalaman belajar. Sayangnya, karena lemahnya sistem reinforcement yang dilakukan guru, tugas-tugas belajar mandiri belum banyak berkontribusi pada pengembangan rasa percaya diri dan konsep diri siswa. Di sini siswa cenderung enggan menunjukkan kelebihan dan kelemahan dirinya sehingga cenderung belum aktif dalam proses pembelajaran. Karya-karya tulisnya juga cenderung masih mereproduksi materi buku teks. Faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah masih kuatnya persepsi dan sikap siswa bahwa belajar adalah proses transfer ilmu dari kepala guru atau buku teks ke pikiran siswa. Konsekuensinya, jika siswa tidak mampu mengcopy isi buku teks atau pikiran guru, mereka merasakan bahwa diri mereka belum belajar. Faktor kedua tampaknya berkaitan dengan kurangnya guru memperhatikan aspek rasa percaya diri ini. 6 Akibatnya, bimbingan-bimbingan belajar pada setiap fase pembelajaran mengabaikan pentingnya rasa percaya diri ditumbuhkan dalam belajar. Kedua, dalam pengembangan kecakapan sosial, hasil belajar juga masih menunjukkan belum memadai. Guru memang telah menstimulasi siswa untuk mengembangkan model-model belajar kelompok secara kooperatif. Sayangnya, guru belum sepenuhnya memahami hakikat belajar secara kooperatif dan bagaimana keterampilan-keterampilan sosial itu dikembangkan dalam kerja kelompok. Akibatnya, siswa masih menunjukkan kelemahan terutama dalam aktivitas kerja kelompok, sharing pengalaman, aktivitas berkomunikasi interpersonal dalam kelompok, sharing tanggung jawab bersama, menghargai perbedaan pendapat, dan lemah pula dalam presentasi secara lisan. Ketiga, pengembangan kecakapan intelektual dan akademis juga masih tampak sederhana. Di sini, tidak saja siswa lemah dalam penguasaan konsep-konsep dasar seperti dideskripsikan dalam isi materi buku teks, tetapi mereka juga masih lemah dalam mengembangkan konsep-konsepnya sendiri dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Lemahnya peningkatan kecakapan intelektual dan akademis ini diduga berkaitan dengan lemahnya kemampuan awal siswa dan kurang pengalaman. Di samping itu, berkaitan juga dengan kurangnya bimbingan belajar oleh guru secara individual dan kelompok karena besarnya jumlah siswa, bimbingan belajar yang belum sistematis, dan kebiasaan belajar siswa sebelumnya yang tidak mendukung upaya-upaya belajar kompleks. Dari berbagai kelemahan di atas, dapat pula diidentifikasi berbagai hambatan dan kendala yang dihadapi guru maupun siswa pada pelaksanaan siklus pertama ini. Pertama, guru tampaknya belum terbiasa dan belum terampil melaksanakan model pembelajaran ini. Kedua, pengetahuan dan wawasan guru seputar masalah-masalah yang dijadikan proyek kelas oleh siswa juga tampak masih sangat terbatas, sehingga bimbingan guru untuk mengembangkan kecakapan intelektual dan akademis siswa juga menjadi terbatas. Ketiga, sumber-sumber belajar yang masih terbatas menjadi beban bagi guru untuk mengembangkannya. Keempat, pemahaman dan wawasan guru tentang makna belajar secara konstruktivisme juga masih terbatas. Akibatnya, guru cenderung ingin mengajar secara konvensional. Kelima, model pembelajaran ini dengan keterbatasan-keterbatasan kemampuan siswa cenderung membutuhkan waktu belajar yang lebih lama. Akibatnya, guru menjadi kurang sabar dalam menyelesaikan fase-fase pembelajaran. Dari dimensi siswa, kebiasaan belajar sebelumnya menjadi kendala utama pelaksanaan inovasi belajar 7 ini. Begitu pula, terbatasnya sumber belajar di sekolah menyebabkan waktu belajar di kelas kurang efektif dan efisien. Siswa membutuhkan waktu belajar di luar kelas yang lebih banyak, dan ini dirasakan membebani aktivitas belajar siswa. Karena kelemahan dan kendala-kendala di atas, upaya refleksi dan diskusi yang intensif dilakukan oleh dosen dan guru untuk memecahkan masalah-masalah di atas. Dalam upaya tersebut hambatan-hambatan kognisi guru didiskusikan dan disepakati berbagai upaya alternatif pemecahannya. Begitu pula pendekatan kepada siswa oleh guru dan dosen untuk menumbuhkan keyakinan siswa tentang manfaat inovasi pembelajaran ini ditingkatkan terutama dengan memberikan motivasi dan pemberian reward. 3.2 Siklus Kedua Siklus kedua dilaksanakan setelah guru dinilai lebih mantap keyakinan dan kemampuannya dalam melaksanakan model praktik belajar kewarganegaraan ini. Pelaksanaan pembelajaran siklus kedua dilakukan pada pokok materi tentang Nilai, Norma, dan Hukum. Dari segi sintaks pembelajaran, tidak ada perubahan berarti yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran. Perubahan ditekankan pada upaya-upaya guru yang lebih tepat dalam memberikan bimbingan belajar, mengelola kelas dan kelompok belajar, memberikan reinforcement, peningkatan penguasaan informasi tentang masalah yang dijadikan proyek kelas oleh siswa, bantuan untuk memperoleh sumber informasi yang lebih relevan bagi siswa, serta perubahan sikap guru tentang disiplin dan efisiensi waktu belajar oleh siswa yang lebih fleksibel menyesuaikan dengan irama atau tempo belajar siswa. Perubahan-perubahan seperti ini ternyata mampu meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan model PBK berbasis konstruktivisme, walau belum tampak perubahan yang signifikan. Artinya, secara prosedural guru telah melaksanakan model bimbingan belajar yang baik pada setiap fase pembelajaran yang dilaksanakan. Indikasinya, semua fase pembelajaran yang ditetapkan telah dilaksanakan oleh guru. Akan tetapi, guru tampaknya belum sepenuhnya menjiwai dengan baik setiap bimbingan belajar yang diberikan kepada siswa. Pertama, tidak semua tujuan belajar dapat dicapai siswa dengan mudah dengan tugas-tugas yang dibimbing guru. Kedua, kemampuan guru melakukan hubungan interpersonal dengan siswa belum seluruhnya mempunyai pengaruh terhadap penyelesaian tugas-tugas belajar secara efektif dan efisien. Tidak sedikit stimulasi belajar yang diberikan guru tidak mendapat respons belajar siswa secara memadai. Namun demikian, secara keseluruhan kemampuan guru melaksanakan pembelajaran sudah dapat dikatakan cukup baik. 8 Sejalan dengan perbaikan kemampuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan model praktik belajar kewarganegaraan, kompetensi siswa dalam empat kecakapan hidup yang dinilai juga mengalami peningkatan walau belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Pertama, kecakapan personal siswa terutama dalam meningkatkan rasa percaya diri tampak ada peningkatan dari siklus pertama. Intensivitas bimbingan belajar dalam bentuk tugas-tugas belajar mandiri membantu siswa meningkatkan rasa percaya diri dan konsep diri akademis. Walau begitu, untuk unjuk kerja akademis yang kompleks, rasa percaya diri siswa dalam mengekpresikan buah pikirannya secara lisan dan tertulis masih belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Kedua, pada siklus kedua ini kecakapan sosial siswa juga distimulasi lebih intensif dalam berbagai aspek kerja kelompok atau kelas secara kooperatif dan dalam studi sosial di masyarakat. Pada beberapa aspek kecakapan sosial yang tidak banyak berhubungan dengan kecakapan intelektual dan akademis, kompetensi sosial siswa dapat berkembang dengan baik. Akan tetapi, kompetensi sosial yang kompleks yang melibatkan aspek-aspek kecakapan intelektual dan akademis belum dapat berkembang dengan baik. Namun demikian, sikap sosial siswa dalam berkomunikasi dan bekerja sama umumnya tumbuh dan berkembang makin positif. Ketiga, kecakapan intelektual dan akademis siswa dalam memecahkan masalahmasalah sosial untuk usul kebijakan publik merupakan unsur kecakapan yang paling terbatas dapat ditingkatkan dengan segera dalam dua siklus tindakan. Hal ini terkait dengan pemahaman dan kemampuan identifikasi siswa terhadap masalah cenderung bersifat unidimensi dan lebih konkret. Keterbatasan sumber informasi dan lemahnya minat baca siswa menjadi penghambat upaya meningkatkan kecakapan intelektual dan akademis yang kompleks ini. Namun demikian, upaya melepaskan pikiran siswa dari reproduksi teks dan membantu siswa mengkonstruksi pengalaman dan pengetahuan alamiahnya sendiri menjadi kemampuan berpikir yang lebih ilmiah dapat lebih dikembangkan. Sayangnya, kemampuan berpikirnya masih cenderung mengandalkan operasi konkret dan dengan dimensi hubungan antar-konsep yang masih terbatas. Terakhir, masih ditemukan faktor-faktor penghambat pencapaian peningkatan kecakapan hidup siswa secara signifikan dalam penerapan model praktik belajar kewarganegaraan pada siklus kedua ini. Pertama, terbatasnya pengetahuan dan wawasan guru tentang masalah-masalah yang dijadikan fokus kegiatan pembelajaran. Kedua, masih terbatasnya sumber-sumber belajar baik untuk guru maupun siswa. Ketiga, masih lemahnya minat baca siswa secara keseluruhan. Keempat, terbatasnya waktu belajar 9 dibandingkan dengan kecepatan tempo belajar siswa dalam mengidentifikasi masalah, mengembangkan kerangka pemecahan masalah, menggali informasi, menganalisis informasi dan melakukan klarifikasi nilai, mengolah dan mentransformasi informasi, membuat usul kebijakan publik, dan mengembangkan rencana aksi. 3.3 Pembahasan Hasil penelitian ini dalam dua siklus tindakan belum dapat menguatkan sepenuhnya hasil-hasil penelitian lain seperti Sukadi dan Landrawan (2003) dan CCE (2001) yang antara lain telah menunjukkan bahwa penerapan model praktik belajar kewarganegaraan dapat meningkatkan kompetensi intelektual, akademis, dan kecakapan sosial peserta didik. Ada indikasi, pengalaman dan kemampuan guru memberikan fasilitasi dan bimbingan berkorelasi dengan kemampuan siswa mengembangkan kecakapan hidupnya. Karena pelaksanaan tindakan hanya baru dua siklus, guru tampaknya belum optimal mengembangkan pengalaman dan kemampuannya melaksanakan pembelajaran dengan model PBK ini yang agak kompleks penerapannya. Inilah yang berkorelasi dengan terbatasnya peningkatan kemampuan siswa dalam mengembangkan rasa percaya diri, kecakapan sosial, intelektual, dan akademis. Hasil penelitian ini tampaknya wajar. Pengembangan kecakapan hidup siswa memang agak sulit bisa dicapai dalam waktu belajar yang singkat, apalagi dengan pengalaman dan kemampuan guru yang agak terbatas dalam memfasilitasi, membimbing, dan memberdayakannya (Depdiknas, 2004). Keberanian siswa untuk mengajukan pertanyaan dan merespons pertanyaan dan atau tugas-tugas dari guru yang sederhana, misalnya, mungkin dapat distimulasi dengan cepat oleh guru yang bersemangat, terbuka, ramah, membimbing, dan selalu memberikan reinforcement kepada siswa seperti yang dilakukan oleh guru di kelas (Gredler, 1992). Akan tetapi, tugas-tugas intelektual yang kompleks cenderung melemahkan rasa percaya diri siswa jika mereka merasa belum benar-benar siap menguasainya. Begitu pula halnya dalam pengembangan kecakapan sosial. Meminta siswa untuk bekerja sama dan membentuk kelompok belajar mungkin segera dapat diikuti oleh siswa. Akan tetapi, jika dalam diskusi kelompok yang dipecahkan adalah masalah-masalah yang cukup rumit menurut pengalaman siswa, maka siswa yang tidak siap cenderung mengundurkan diri dari berdiskusi dan bekerja sama. Jika guru tidak memantau kesulitan belajar siswa dan tidak membimbing dan mengarahkan usaha kerja sama secara positif, 10 pengembangan kecakapan sosial dalam bekerja berkelompok dapat menemui hambatan Rogers and Freiberg (1994). Karena itu, kecakapan intelektual dan akademis tampaknya menjadi variabel kunci. Kegagalan penguasaan kedua kecakapan ini dapat menghambat pengembangan kecakapan hidup lainnya yang bersifat kompleks. Tradisi belajar PKn selama ini yang cenderung verbalistik pada aspek kemampuan intelek yang rendah, menghambat kemampuan berpikir kompleks yang membutuhkan keterampilan berpikir kritis dan analitis, kemampuan memecahkan masalah, dan berpikir kreatif (Somantri, 2001; Sukadi, 2006). Sayangnya, tiga kemampuan berpikir yang terakhir ini cenderung terbentuk dalam akumulasi dan hirarki belajar yang panjang dan terstruktur dengan baik (Gagne, et al., 1992). Dibutuhkan pengalaman belajar dan kualitas bimbingan guru yang memadai untuk dapat mengembangkan kecakapan intelektual dan akademis yang tinggi. Menurut DeVries dan Zan (1994), guru perlu mengintegrasikan atau mensinergikan pengembangan pengetahuan fisik, logika, dan pengetahuan sosial dalam kegiatan belajar yang mengembangkan dan mengintegrasikan aktivitas studi, aktivitas sosial, dan aktivitas reflektif (moral) untuk dapat mengembangkan kecakapan hidup siswa secara memadai baik yang mencakup kecakapan personal, sosial, intelektual, maupun akademis. Jelaslah, kemudian, bahwa penerapan PBK mungkin akan memberikan hasil belajar yang memadai kepada siswa dalam mengembangkan seluruh kapabilitas atau kecakapan hidup yang dimilikinya. Namun, dibutuhkan pengalaman, kemampuan, keetrampilan, dan komitmen guru yang memadai untuk mengimplementasikan PBK dengan baik sampai dapat memberdayakan kecakapan hidup siswa secara optimal. Keterbatasan waktu dan pengalaman serta pelaksanaan yang setengah hati membatasi kemampuan efektivitas PBK mewujudkan harapan-harapan yang ingin dicapainya. Dalam konsep kearifan lokal Bali, seorang guru yang hendak melaksanakan PBK dalam pembelajaran haruslah sudah menguasai (mewirama), menjiwai (mawirasa), dan terampil (mawiraga) dalam mengimplementasikan PBK tersebut. Hanya guru yang telah mencapai tiga kesadaran tersebut mampu membawakan PBK secara metaksu (profesional) dan dipastikan dapat membimbing dan menuntun siswa dengan baik mencapai tujuan-tujuan belajar dalam pengembangan kecakapan hidupnya (Sukadi, 2006). Di samping itu, faktor dalam diri siswa itu sendiri juga ikut menentukan efektivitas pembelajaran dengan PBK yang cenderung bersifat kompleks. Pengalaman belajar dan pengetahuan siswa sebelumnya yang terbatas, belum berkembangnya kesadaran akan tujuan belajar yang bermakna, menganggap tugas belajar yang kompleks 11 sebagai beban, motivasi belajar yang seadanya menjadi penghambat pengembangan seluruh kecakapan hidup siswa. Apalagi, masih terbatasnya sumber dan sarana belajar lainnya baik yang bisa disediakan sekolah, guru, maupun oleh siswa itu sendiri. Dalam pembelajaran siswa cenderung hanya memanfaatkan buku teks dan materi yang diperoleh dalam surat kabar seadanya. Sumber belajar dalam masyarakat belum dimanfaatkan seoptimal-optimalnya. Faktor-faktor ini juga berimplikasi pada keterbatasan pencapaian tujuan belajar dalam pengembangan kecakapan hidup yang hanya dilaksanakan dalam dua siklus pembelajaran dengan PBK. 4. Penutup Pelaksanaan pembelajaran PKn pada siswa kelas X5 SMA Lab. IKIP Negeri Singaraja dengan penerapan model PBK dalam dua siklus tindakan belum dapat meningkatkan secara signifikan empat kecakapan hidup siswa dalam bidang sosial kewarganegaraan, yang mencakup: kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan akademis. Dari empat kecakapan ini, dua kecakapan yang terakhir adalah yang paling terbatas peningkatannya baik dalam proses maupun sebagai hasil belajar. Pengalaman, kemampuan, dan keterampilan guru yang cenderung belum optimal dalam melaksanakan PBK ini berimplikasi pada keterbatasan untuk memberdayakan empat kecakapan hidup siswa secara optimal. Di samping itu, faktor internal dalam diri siswa, baik yang merupakan syarat esensial (pengalaman dan pengetahuan awal) maupun syarat pendukung (sikap, perasaan, dan motivasi belajar) turut juga mempengaruhinya. Tidak kalah pentingnya, keterbatasan sumber serta sarana belajar dan pembelajaran melemahkan juga efektivitas pencapaian tujuan belajar dalam pengembangan kecakapan hidup melalui pembelajaran PKn dengan PBK. Sebagai saran, guru dan siswa perlu diberi kesempatan lebih banyak untuk menerapkan model PBK ini dalam belajar dan pembelajaran PKn pada berbagai setting kelas yang berbeda dengan berkolaborasi pula dengan dosen ahli. Tidak kalah pentingnya dukungan sekolah perlu ditingkatkan terutama dalam penyiapan sumber serta peralatan belajar dan pembelajaran baik untuk guru maupun siswa. Pemanfaatan sumber serta media belajar dan pembelajaran yang ada di masyarakat juga tampaknya perlu dieksplorasi oleh guru dan siswa. 12 Daftar Pustaka Budimansyah, D. (2002). Model Belajar Berbasis Portofolio. http://www.dikdasmen. depdiknas.go.id/html/info_Dikdasmen/info-04.htm. ............. (2001). Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: Grafika. CCE. (2001). Kumpulan Hasil Penelitian untuk Materi Penataran Praktik Belajar Kewarganegaraan Kami Bangsa Indonesia bagi Kepala Sekolah dan Guru-guru PPKn. Cogan, J. J. et al. (1997). Multidimensional Citizenship: Educational Policy for the 21st Century. An Executive Summary of the Citizenship Education Policy Study Project. Depdiknas. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup (Life Skills) Pendidikan Non Formal. Jakarta: Depdiknas. ............... (2001). Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Buku I. Jakarta. Tim BBE Depdiknas. DeVries, R. and B. Zan. (1994). Moral Classrooms, Moral Children: Creating a Constructivist Atmosphere in Early Education. New York and London: Teachers College Press. Gagne, R. M., L. J. Briggs, and W. W. Wager. (1992). Principles of Instructional Design. Fourth Edition. New York: Harcourt Brace Jovanovich College Publisher. Gredler, M. E. (1992). Learning and Instruction: Theory into Practice. Second Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. QCA – Qualification and Curriculum Authority. (1999). Education for Citizenshiop and The Teaching of Democracy in Schools. London: DoEE. Rogers, C. And H. J. Freiberg. (1994). Freedom to learn. Third Edition. New York: Macmillan College Publishing Company, Inc. Somantri, M. N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT Remaja Posdakarya. Spradley, J.P. (1980). Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. Stopsky, F. dan S. Lee. (1994). Social Studies in a Global Society. New York: Delmar Publishers Inc. Sukadi. (2006). Pendidikan IPS sebagai Rekonstruksi Pengalaman Budaya Berbasis Ideologi Tri Hita Karana. Disertasi (tidak dipublikasikan). Bandung: UPI ............. (2004a). Dialektika Nasionalisme, Globalisasi, dan Etnisitas dalam Pandangan Mahasiswa dan kaitannya dengan Pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di IKIP Negeri Singaraja. Laporan Penelitian. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja. ............ (2004b). Penilaian Proses dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Rumpun IPS dengan Pendekatan Authentic Assessment Berdasarkan Kurikulum 2004. Makalah disampaikan pada Pelatihan Guru-guru Kelompok IPS di SMA Negeri 1 Singaraja tanggal 8 Desember 2004. 13 Sukadi dan W. Landrawan. (2003). Implementasi Konstruktivisme Sosial Model DeVries dan Zan dalam Pembelajaran PKn/Kewiraan untuk Meningkatkan Keterampilan Intelektual dan Akademis serta Keterampilan Sosial Kewarganegaraan pada Mahasiswa IKIP Negeri Singaraja. Laporan Penelitian. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja. Suryadi, A. (2002). Memahami ‘Life Skills’. Media Indonesia (14 Pebruari 2002). Tim CCE Provinsi Bali. (2002). Implementasi Praktik Belajar Kewarganegaraan pada SLTP di Bali. Laporan Hasil Observasi (Tidak dipublikasikan). Singaraja: CCEI. Winataputra, U.S. (2001). Jati diri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi (Suatu Kajian Konseptual dalam Konteks Pendidikan IPS). Disertasi (Tidak dipublikasikan). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Zainul, A. (2001). Alternative Assessment. Bandung: Universitas Pendidikan Indonsia. 14