perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id EFEK ANTIPIRETIK EKSTRAK DAUN JERUK NIPIS (Citrus aurantiifolium L.) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Amelia Kartika Widowati G0004039 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul : Efek Antipiretik Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Amelia Kartika Widowati, NIM/Semester : G0004039, Tahun 2011 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari …., Tanggal ……………..20…. Pembimbing Utama Nama : Nur Hafidha H., dr., M.Clin.Epid NIP : 19761225 200501 2 001 ................................. Pembimbing Pendamping Nama : Eti Poncorini P., dr., M.Pd NIP : 19750311 200212 2 002 ................................. Penguji Utama Nama : Endang S. Hardjanti, dr., P.FarK NIP : 19471007 197611 2 001 ................................. Anggota Penguji Nama : Yulia Lanti Retno D., dr., M.Si NIP : 19610320 199203 2 001 ................................. Surakarta, …………..20….. Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS Muthmainah, dr., M.Kes NIP. 19660702 199802 2 001 Prof. DR. Zainal Arifin A., dr., Sp.PD-KR, FINASIM NIP : 19510601 197903 1 002 commit to user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Surakarta, Juli 2011 Amelia Kartika Widowati NIM. G0004039 commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK Amelia Kartika Widowati, G0004039, 2011. Efek Antipiretik Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus), Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada tikus putih yang diinduksi demam menggunakan vaksin DPT. Metode: Subyek berupa 30 ekor tikus putih jantan dengan berat ±200 gram dan berusia ±2-3 bulan. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok sama besar, yaitu kelompok kontrol negatif (2ml akuabides), kontrol positif (6,3mg/100grBB asetaminofen), ekstrak daun jeruk nipis dosis 1 (1,26mg/100grBB), dosis 2 (2,52mg/100grBB), dan dosis 3 (5,04mg/100grBB). Pengukuran suhu dilakukan sebelum pemberian vaksin DPT, 2 jam setelah pemberian vaksin DPT, dan tiap 30’ setelah perlakuan sampai menit ke-120. Data penelitian pada menit ke-120 dianalisis dengan uji one way anova. Hasil: Hasil uji one way anova menunjukkan adanya perbedaan suhu yang bermakna antar kelompok (p<0.05) pada 120 menit setelah perlakuan. Hasil uji post hoc menunjukkan bahwa perbedaan yang bermakna (p<0.05) terdapat antara kelompok kontrol negatif dengan 4 kelompok lainnya dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0.05) antara kelompok kontrol positif dengan 3 kelompok ekstrak daun jeruk nipis. Simpulan: Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L. ) mempunyai efek antipiretik pada tikus putih. Kata kunci: Ekstrak daun jeruk nipis, antipiretik, asetaminofen commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT Amelia Kartika Widowati, G0004039, 2011. Antipyretic Effect of Key Lime Leaf Extract (Citrus aurantiifolium L.) on White Rats, Medical Faculty of Sebelas Maret University. Objective: The objective of this study is to evaluate the antipyretic effect of key lime leaf (Citrus aurantiifolium L.) on white rats induced fever using DPT vaccine. Methods: Thirty male white rats weighted ±200 gram and aged ±2-3 months old were used to this study. Rats were grouped equally into five, namely negative control group (2ml aquabidest), positive control group (acetaminophen 6,3mg/100gr of body weight), first dose of key lime leaf extract (1,26mg/100gr of body weight), second dose (2,52mg/100gr of body weight) and third dose (5,04mg/100gr of body weight). The measurement of rat temperature was conducted before and 2 hours after getting DPT vaccine, and every 30 minutes post treatment until 120 minutes. Data at minute 120 were analyzed using one way anova test. Result: The results of one way anova test showed that there were significant differences (p<0,05) among treatment groups. The results of post hoc test analysis showed that the significant differences (p<0.05) were found between negative control group and 4 other groups. There was no significant difference (p>0.05) between positive control group and 3 groups of key lime leaf extract. Conclusion: The key lime leaf extract (Citrus aurantiifolium L.) has an antipyretic effect on white male rats. Keywords: Key lime leaf extract, antipyretic, acetaminofen commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PRAKATA Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efek Antipiretik Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kesulitan. Namun berkat bimbingan dan bantuan yang diberikan oleh semua pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. DR. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR, FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Nur Hafidha H., dr., M.Clin.Epid selaku Pembimbing Utama atas semua bimbingan, saran, motivasi dan masukan dalam penyusunan skripsi. 4. Eti Poncorini P., dr., M.Pd selaku Pembimbing Pendamping atas semua bimbingan, saran, motivasi dan masukan dalam penyusunan skripsi. 5. Endang S. Hardjanti, dr., P.FarK selaku Penguji Utama atas saran dan masukan dalam penyusunan skripsi. 6. Yulia Lanti Retno D., dr., M.Si selaku Anggota Penguji atas saran dan masukan dalam penyusunan skripsi. 7. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan pelayanan dan kemudahan dalam pelaksanaan skripsi. 8. Semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga apa yang tertuang dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada umumnya dan bagi pembaca pada khususnya. Surakarta, Juli 2011 Amelia Kartika Widowati commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI PRAKATA ....................................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................... 3 C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 3 D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 3 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 5 1. Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolia) .............................................. 5 2. Demam ....................................................................................... 9 3. Antipiretik .................................................................................. 16 4. Vaksin DPT ................................................................................ 19 B. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 21 C. Hipotesis .......................................................................................... 22 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ................................................................................ 23 B. Lokasi Penelitian ............................................................................. 23 commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id C. Subyek Penelitian ............................................................................ 23 D. Teknik Sampling ............................................................................. 23 E. Identifikasi Variabel Penelitian ....................................................... 24 F. Definisi Operasional Variabel.......................................................... 25 G. Rancangan Penelitian ...................................................................... 27 H Alat dan Bahan Penelitian ............................................................... 28 I. Cara Kerja ....................................................................................... 29 J. Analisis Data .................................................................................. 32 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian ............................................................................... 33 B. Analisis Data ................................................................................... 36 BAB V PEMBAHASAN ................................................................................. 39 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ......................................................................................... 43 B. Saran ................................................................................................ 43 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 44 commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur Kimia Flavonoid ............................................................ 8 Gambar 2. Pemasukan dan Pengeluaran Panas ............................................. 11 Gambar 3. Ringkasan Patofisiologi Demam ................................................. 14 Gambar 4. Ringkasan Biosintesis Prostaglandin ........................................... 15 Gambar 5. Struktur Kimia Asetaminofen ...................................................... 18 Gambar 6. Kerangka Pemikiran..................................................................... 21 Gambar 7. Rancangan Penelitian................................................................... 27 Gambar 8. Grafik Rerata Suhu Tubuh (dalam 0C) Tikus Putih pada Berbagai Perlakuan dalam 6 kali Pengamatan ............................................ .. commit to user ix 35 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 1. Rerata Suhu Tubuh (dalam 0C) Tikus Putih pada Berbagai Perlakuan dalam 6 Kali Pengamatan ................................................................... 34 Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data Suhu Menit ke-120 ................................... 36 Tabel 3. Hasil Post Hoc Test dengan LSD Data Suhu Menit ke-120 ............... 38 commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Pengukuran Suhu Rektal Tikus Putih Lampiran 2. Hasil Uji Statistik Lampiran 3. Konversi Dosis untuk Manusia dan Hewan Lampiran 4. Daftar Volume Maksimum Larutan Obat yang Dapat Diberikan pada Berbagai Hewan dalam ml Lampiran 5. Surat Ijin Penelitian Lampiran 6. Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian Lampiran 7. Foto-foto Penelitian commit to user xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini dengan meningkatnya taraf pendidikan warga masyarakat yang menuntut cara berpikir rasional, maka obat dan cara pengobatan tradisional perlu dikaji secara berkesinambungan. Permasalahan yang ada saat ini adalah adanya kesenjangan persepsi antarpemerhati obat dan pengobatan tradisional dengan pengobatan modern. Dalam upaya mempersempit kesenjangan tersebut maka perlu dilakukan penelitian dan tindak lanjutnya. Obat tradisional yang merupakan kekayaan Indonesia, menuntut masyarakatnya untuk menggalakkan penggunaan obat tradisional. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari bahan alam seperti tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit dan digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat (Hargono, 1992). Beberapa keunggulan obat tradisional adalah efek sampingnya yang lebih ringan jika dibanding obat sintetik. Selain itu, obat tradisional juga terjangkau oleh semua kalangan masyarakat karena harganya relatif lebih murah (Afdhal, 1996). Termasuk penggunaan obat tradisional oleh masyarakat adalah sebagai obat penurun demam atau antipiretik (Wijayakusuma, 1995). Penggunaan obat tradisional sebagai antipiretik menduduki urutan kedua setelah penggunaan obat tradisional untuk pengobatan pusing. Hal ini dikarenakan demam commit to user 1 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2 merupakan suatu gejala penyakit yang sering terjadi. Demam menempati urutan kedua dari gejala yang sering dikeluhkan masyarakat setelah nyeri (Notosiswoyo et al., 1998). Obat kimia yang biasa digunakan untuk menurunkan demam adalah parasetamol dan asetosal. Sekitar 175 juta tablet parasetamol dikonsumsi masyarakat Indonesia setiap tahunnya ketika gejala demam muncul karena cukup aman, mudah didapat dan harganya terjangkau. Beberapa penelitian tentang parasetamol akhir-akhir ini menemukan bahwa meskipun cukup aman tetapi parasetamol memiliki banyak efek samping (Sajuthi, 2003). Salah satu jenis bahan tradisional yang sering digunakan sebagai pereda demam adalah daun jeruk nipis. Penggunaan daun jeruk nipis sebagai obat tradisional berhubungan erat dengan kandungan zat aktif yang dimilikinya. Salah satu zat tersebut adalah flavonoid. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa flavonoid memiliki efek antipiretik. Flavonoid mampu menghambat enzim siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin (Amili et al., 2008). Meningkatnya prostaglandin akan menginduksi terjadinya kenaikan set point suhu tubuh sehingga terjadi demam (Sherwood, 2001; Guyton, 2007). Oleh karena itu, tanaman yang mengandung flavonoid seperti jeruk nipis berpotensi sebagai antipiretik. Penelitian mengenai potensi ekstrak daun jeruk nipis sebagai antipiretik belum ada, oleh karena itu diperlukan suatu pengujian secara ilmiah untuk membuktikan kebenaran dari dugaan tersebut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3 Berdasarkan keterangan di atas, peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada tikus putih yang diinduksi demam dengan vaksin DPT. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan asetaminofen atau parasetamol sebagai pembanding. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini, yaitu apakah ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) mempunyai efek antipiretik pada tikus putih? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) pada tikus putih. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan mengenai manfaat ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.), terutama sebagai antipiretik. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan penelitian berikutnya untuk pengembangan potensi daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) sebagai antipiretik. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Jeruk Nipis (Citrus aurantiifolia) a. Taksonomi Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae Ordo : Sapindales Famili : Rutaceae Genus : Citrus Spesies : Citrus aurantiifolia (Christm.) Swing b. Deskripsi dan Morfologi Tanaman jeruk merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Sejak ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau dibudidayakan. Jeruk nipis selalu tersedia di sepanjang tahun dengan kualitas yang diketahui dari warna, kejernihan dan tekstur kulit, bukan dari ukuran buahnya. commit to user 5 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6 Jeruk nipis (Citrus aurantiifolia) termasuk jenis tumbuhan perdu yang banyak memiliki dahan dan ranting. Tingginya sekitar 0,5-3,5 m dengan batang pohonnya berkayu ulet, berduri dan keras. Tanaman ini memiliki permukaan kulit luar yang berwarna tua dan kusam. Tanaman jeruk nipis pada umur 2,5 tahun sudah mulai berbuah. Buahnya berbentuk bulat sebesar bola pingpong dengan diameter 3,5-5 cm berwarna (kulit luar) hijau atau kekuning-kuningan, dan jika sudah tua rasanya asam. Akar jeruk nipis berbentuk tunggang. Area pertumbuhan tanaman jeruk umumnya adalah tempat-tempat yang memperoleh sinar matahari langsung. Daun jeruk nipis bersifat majemuk, berbentuk elips dengan pangkal membulat, ujung tumpul dan tepi beringgit. Panjang daunnya mencapai 2,5-9 cm dan lebarnya 2-5 cm dengan tulang daunnya yang menyirip dengan tangkai bersayap, hijau dan dengan lebar 5-25 mm. Bunganya bersifat majemuk/tunggal yang tumbuh di ketiak daun atau di ujung batang dengan diameter 1,5-2,5 cm (Morton, 1987). c. Kandungan Kimia Buah jeruk nipis mengandung konstituen yang memiliki efek penting bagi kesehatan seperti: gula sederhana, vitamin C, karotenoid, flavonoid, limonoid, serat, asam folat dan kalium. Selain asam, jeruk nipis juga memiliki rasa yang pahit. Kepahitan dalam buah jeruk dan jus terutama disebabkan oleh dua keluarga fitokimia yang berbeda, yaitu flavonoid dan limonoid. Rasa pahit limonoid terjadi secara commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7 bertahap dalam varietas tertentu jeruk setelah pengolahan jus, dan setelah buah-buahan mengalami pembekuan atau kerusakan mekanis. Di sisi lain, kepahitan flavonoid diakumulasikan dalam jaringan buah (Moriguchi et al., 2003). Selain flavonoid, buah jeruk nipis (Citrus aurantiifolia) juga mengandung unsur-unsur senyawa kimia yang bemanfaat, misalnya: asam sitrat, asam amino (triptofan, lisin), minyak atsiri (sitral, limonen, felandren, lemon kamfer, kadinen, gerani-lasetat, linalilasetat, aktilaldehid, nonildehid), damar, glikosida, asam sitrun, lemak, kalsium, fosfor, besi, belerang, vitamin B1 dan C (Farmasi UGM, 2008). Daun jeruk nipis juga mengandung senyawa flavonoid (Agricultural Research Service USDA, 1999). Tampubolon menyebutkan bahwa selain flavonoid, bagian daun juga mempunyai kandungan seperti: sitrat, limonena, lemon kamfer, fellandrena, geranil asetat, kadinena, linalin asetat, asam sitrat 7 – 7,6 %, damar, mineral, vitamin B1 dan C (Triayu, 2009). Flavonoid merupakan senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid larut dalam air dan cukup stabil dalam pemanasan yang mencapai suhu 100˚C (Harborne, 1996). Senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propana dari sistem 1,3- commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 diarilpropana yang merupakan struktur dasar flavonoid. Flavonoid secara garis besar dikelompokkan menjadi empat golongan utama yaitu flavones, flavanone, catechins, dan anthocyanins. . Struktur kimia flavonoid dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur Kimia Flavonoid Sebagian besar senyawa flavonoid ditemukan di alam dalam bentuk glikosida dengan unit flavonoidnya terikat pada suatu gula. Glikosida merupakan kombinasi gula dan alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida (Nijveldt et al., 2001). Flavonoid sebagai antipiretik bekerja seperti aminobenzen yaitu dengan menghambat enzim siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin (Freddy et al., 2007). Penghambatan enzim siklooksigenase menyebabkan penurunan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9 produksi prostaglandin sehingga set point termostat tubuh di hipotalamus diturunkan kembali dan demam dapat turun (Sherwood, 2001; Guyton, 2007). Kandungan flavonoid pada daun jeruk nipis diharapkan mampu menunjukkan khasiatnya sebagai antipiretik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang mengandung flavonoid seperti semak bunga putih (Owoyele et.al., 2008) dan bayam duri (Kumar et.al., 2009) memiliki efek antipiretik. d. Manfaat Dalam praktik pengobatan tradisional, jeruk nipis berkhasiat sebagai obat batuk, penurun panas, pegal linu, disentri, sembelit, ambeien, haid tidak teratur, difteri, jerawat, penambah nafsu makan, pencegah rambut rontok, ketombe anyang-anyangan, radang tenggorokan, kurap/panu, demam/panas, terkilir, sakit gigi, pelangsing badan, penambah stamina dan hipertensi. Untuk demam/panas, tanaman ini sering digunakan pada pasien yang terinfeksi malaria. Pada demam, 3 lembar daun jeruk nipis dan beberapa daun tanaman obat lain direbus secara bersamaan, dan setelah dingin air disaring lalu diminum pagi dan sore (Sudarti, 2010). 2. Demam a. Definisi Demam adalah respon yang terkoordinasi akibat adanya stimulus imun (biologis maupun kimiawi), berupa peningkatan suhu inti tubuh commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 yang melebihi normal, meliputi tiga fase klinis yaitu: fase dingin (chill), fase demam (fever) dan fase kemerahan (flush). Fase dingin merupakan fase di mana terjadi kenaikan suhu tubuh menuju set point yang baru di hipotalamus. Fase demam terjadi ketika suhu tubuh sudah mencapai set point baru dan tercapai keseimbangan antara produksi dan pengeluaran panas. Sedangkan fase kemerahan terjadi ketika set point suhu tubuh kembali ke normal, ditandai dengan berkeringat dan kulit kemerahan karena vasodilatasi pembuluh darah. Respon fase akut yang terlibat dalam proses adaptif ini adalah sistem otonom, tingkah laku dan neuroendokrin (Thompson, 2005; Dalal dan Zhukovsky, 2006). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5˚-37,2˚C. Demam pada umumnya terjadi pada kenaikan suhu di atas 37,2˚C (Nelwan, 2006). Kenaikan suhu merupakan tanda utama demam, di mana kenaikannya melebihi 1˚C di atas suhu tubuh harian normal. Tidak ada patokan suhu absolut untuk mendefinisikan demam. Perubahan set point suhu tubuh dipertahankan dengan penyimpanan dan pembentukan panas tubuh sampai agen penginduksi demam hilang dari tubuh. b. Patofisiologi Dalam keadaan normal, suhu tubuh dijaga keseimbangannya antara produksi dan pengeluaran panas tubuh (Sherwood, 2001). Pengaturan suhu tubuh ini dilakukan melalui mekanisme umpan balik dan diatur oleh pusat pengaturan suhu yang terletak di hipotalamus commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 (Guyton, 2007). Dua jenis sinyal akan dihantarkan menuju neuronneuron pada hipotalamus anterior preoptik dan hipotalamus posterior. Pertama dari saraf perifer yang mencerminkan reseptor-reseptor untuk hangat dan dingin, dan yang kedua dari temperatur darah yang membasahi daerah ini. Pengintegrasian sinyal dilakukan oleh pusat termoregulasi hipotalamus untuk mempertahankan temperatur normal (Gelfand, 2005). Konsep terpenting pengaturan suhu tubuh adalah keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran panas. Pemasukan panas terjadi melalui produksi panas internal (terutama dari aktivitas otot dan laju metabolisme) dan penambahan panas dari lingkungan eksternal. Sedangkan pengeluaran panas terjadi melalui pengurangan panas dari permukaan tubuh ke lingkungan eksternal dengan cara radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi. Alur termoregulasi tubuh dijelaskan dalam Gambar 2. Produksi panas internal Pemasukan panas Suhu inti Pengeluaran panas Lingkungan eksternal Gambar 2. Pemasukan dan Pengeluaran Panas (Sherwood, 2001) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 Respon demam merupakan reaksi yang melibatkan sitokin sebagai perantara terjadinya kenaikan suhu tubuh, membangkitkan reaksi fase akut, dan mengaktifkan sistem imun dan endokrin (Mackowiak et al., 1997). Sitokin yang tersekresi membuat patokan (set point) yang lebih tinggi, pada keadaan ini pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) tetap berlangsung (Sherwood, 2001; Thompson, 2005). Semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh terlibat ketika set point tubuh mulai meninggi, termasuk regulasi penyimpanan dan pembentukan panas. Perubahan set point menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis yang menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah kulit, menghambat aktivitas kelenjar keringat, mengaktifkan pusat menggigil di hipotalamus, sehingga produksi panas meningkat (Sherwood, 2001). Penyebab kenaikan set point termostat tubuh di hipotalamus adalah suatu zat pirogenik yang terbentuk sebagai respon dari infeksi atau inflamasi (Sherwood, 2001; Thompson, 2005; Guyton, 2007). Pirogen terbagi menjadi eksogen dan endogen, di mana eksogen berasal dari luar hospes, sedangkan pirogen endogen diproduksi oleh hospes yang umumnya terbentuk sebagai respon terhadap stimulan awal yang biasanya timbul oleh karena infeksi atau inflamasi. Pirogen endogen yang dihasilkan baik secara sistemik maupun lokal kemudian memasuki sirkulasi dan menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus (Gelfand, 2005). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 Pirogen endogen menginduksi pembentukan prostaglandin (PG) terutama prostaglandin E2 (PGE2) yang selanjutnya bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam (Guyton, 2007). Prostaglandin E2 disintesis melalui tiga langkah, yaitu: (1) konversi membran fosfolipid menjadi asam arakidonat oleh enzim fosfolipase A2; (2) asam arakidonat kemudian dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2) dengan enzim siklooksigenase (COX); (3) PGH2 kemudian diisomerisasi menjadi PGE2 oleh enzim PGE sintase (Murakami dan Kudo, 2004). Ringkasan patofisiologi demam dan biosintesis prostaglandin dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 Pirogen eksogen (agen infeksius, toksin, tumor) Fagosit mononuklear Pirogen endogen (IL-1, faktor nekrosis tumor, interferon gamma, IL-6) PGE2 AINS Antipiretik Hipotalamus anterior Set point termoregulasi } Pertahanan panas (vasokonstriksi, tingkah laku) Produksi panas (kontraksi otot involunter) Demam Keterangan : : meningkatkan/merangsang : menghambat Gambar 3. Ringkasan Patofisiologi Demam (Dalal dan Zhukovsky, 2006) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 Membran fosfolipid Kortikosteroid Fosfolipase Asam Arakidonat Siklooksigenase (COX) 1/2 AINS Prostaglandin G2 Peroksidase Prostaglandin H2 Tromboksan sintase PG sintase Prostaglandin D2 Prostaglandin F2 Tromboksan (TXA2) Prostasiklin (PGI2) Prostaglandin E2 Keterangan : : menghambat Gambar 4. Ringkasan Biosintesis Prostaglandin (Murakami dan Kudo, 2004) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 3. Antipiretik Antipiretik adalah obat yang dapat menekan atau mengurangi peningkatan temperatur tubuh yang tidak normal (Ganong, 2005). Demam merupakan gejala yang sering terjadi pada suatu penyakit infeksi dan yang lain, oleh karena itu obat antipiretik sangat sering digunakan oleh masyarakat sebagai obat simptomatis (Notosiswoyo et al., 1998). Hampir semua obat analgesik perifer (non opioid) bersifat antipiretik. Oleh sebab itu, istilah analgesik-antipiretik sering dipakai sebagai satu kesatuan. Obat analgesik-antipiretik bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX) yang berperan dalam biosintesis prostaglandin (Tjay dan Rahardja, 2002). Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin akan dibantu oleh enzim siklooksigenase. Enzim siklooksigenase memiliki dua isoform yaitu enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). COX1 berfungsi dalam menyediakan prekursor prostaglandin untuk sintesis tromboksan yang berfungsi dalam homeostasis. Tromboksan yang terbentuk berperan dalam agregasi dari trombosit. Enzim COX-1 terdapat dalam hampir semua jaringan tubuh. Di lambung, COX-1 memproduksi prostaglandin yang berperan menjaga aliran darah pada mukosa lambung. Pemberian obat antiinflamasi non-steroid (AINS) akan menghambat fungsi COX-1, sehingga aliran darah pada mukosa lambung terganggu dan menyebabkan iskemia mukosa lambung yang dapat menjadi ulkus (Dubois et al., 1998). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 Kenaikan temperatur tubuh pada keadaan demam diinisiasi oleh sitokin- pirogen seperti interleukin-1, interleukin-6 dan faktor nekrosis tumor α (TNF α). Sitokin pirogen tersebut menstimulasi enzim siklooksigenase-2 (COX-2) yang terdapat dalam sel endotel perivaskuler di hipotalamus. Setelah terstimulasi, produksi prostaglandin E2 (PGE2) meningkat dan menyebabkan naiknya set point suhu tubuh sehingga terjadi demam. Penghambatan aktivitas COX-2 oleh obat antipiretik akan menurunkan prostaglandin E2 tersebut sehingga set point suhu tubuh kembali normal (Simmons et al., 2004). Obat analgesik-antipiretik dikelompokkan menjadi beberapa golongan yaitu: a. Golongan para amino fenol Preparat terpenting dan paling banyak digunakan dalam golongan ini adalah asetaminofen atau parasetamol (Gambar 5). Asetaminofen adalah metabolit dari fenasetin, yang dahulu banyak digunakan sebagai analgesik. Setelah diketahui bahwa asetaminofen bersifat nefrotoksik dan karsinogenik, penggunaannya diawasi dan dikurangi. Penggunaan asetaminofen dalam jangka panjang dapat menyebabkan nefropati analgesik. Asetaminofen mempunyai khasiat analgesik-antipiretik, tetapi efek antiinflamasinya sangat lemah. Asetaminofen dianggap sebagai obat analgesik-antipiretik yang paling aman dan dijual bebas untuk swamedikasi karena jarang menimbulkan efek samping. Asetaminofen commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 dapat digunakan oleh ibu hamil dan menyusui. Absorbsi asetaminofen di usus bersifat cepat dan tuntas sementara secara rektal lebih lambat. (Tjay dan Rahardja, 2002). Gambar 5. Struktur Kimia Asetaminofen (Katzung dan Payan, 1998) Asetaminofen bekerja dengan menginhibisi enzim siklooksigenase (COX) yang berperan dalam sintesis prostaglandin E2, sehingga set point suhu tubuh akan menurun (Wilmana dan Gan, 2007). Senyawa alami seperti flavonoid sebagai antipiretik bekerja dengan cara yang sama seperti asetaminofen (Sitompul, 2003). Asetaminofen memiliki selektivitas penghambatan siklooksigenase pada sistem nervus sentral dan memiliki efek yang lemah pada saluran gastrointestinal sehingga asetaminofen jarang menimbulkan efek samping pada lambung (Lucas, 2005). b. Golongan asam salisilat Contoh dari preparat golongan salisilat adalah aspirin (asetosal) yang merupakan obat standar untuk analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Secara sistemik, aspirin digunakan sebagai analgesik, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 antipiretik, antiinflamasi dan antigout. Efek samping penggunaan aspirin yang sering adalah iritasi lambung dan reaksi alergi. c. Golongan pirazolon Preparat golongan pirazolon yang umum digunakan adalah dipiron (antalgin). Dipiron digunakan hanya sebagai analgesikantipiretik karena efek antiinflamasinya lemah. Penggunaan dipiron dapat menimbulkan efek samping berupa agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. d. Golongan AINS lainnya Obat antiinflamasi non steroid (AINS) lainnya yang cukup sering digunakan adalah asam mefenamat, diklofenak dan ibuprofen. Asam mefenamat adalah derivat dari asam fenamat. Penggunaan asam mefenamat sering menimbulkan efek samping berupa iritasi lambung. Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat, sedangkan ibuprofen adalah derivat asam propionat. Diklofenak dan ibuprofen tidak dianjurkan untuk wanita hamil (Wilmana dan Gan, 2007). 4. Vaksin DPT (difteri, pertusis dan tetanus) Vaksin DPT terdiri dari difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin difteri berasal dari toksin kuman difteri yang dilemahkan (toksoid). Vaksin difteri biasanya diolah dan dikemas bersama-sama dengan vaksin tetanus dalam bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk vaksin DPT. Reaksi imunisasi yang mungkin terjadi adalah demam ringan, pembengkakan dan rasa nyeri di tempat suntikan selama 1-2 hari. Unsur commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 pertusis dalam vaksin yang berasal dari semua kuman sel (whole cell) sering menyebabkan efek samping berupa demam tinggi atau kejang. Bagian pertusis inilah yang berperan sebagai bahan yang meningkatkan terbentuknya sitokin pirogen seperti interleukin-1. Peningkatan interleukin-1 (IL-1) menginduksi pembentukan PGE2 di hipotalamus dan menaikkan set point termostat tubuh sehingga menimbulkan demam (Ganong, 2005). Vaksin DPT dikemas dalam bentuk flakon 5 ml, 10 dosis. Kandungan vaksin terdiri dari 40 Lf toksoid difteri, 15 Lf toksoid tetanus, 24 (OU) Bordetalla pertusis (mati) diserapkan ke dalam aluminium fosfat dan mertiolat. Secara fisik vaksin DPT berupa cairan tidak berwarna, berkabut dengan sedikit endapan putih, dan rusak jika terkena panas atau sinar matahari langsung. Vaksin DPT disimpan dalam lemari es bersuhu 28°C dengan masa kadaluarsa 2 tahun (Mansjoer et.al., 2000). Pada penelitian ini digunakan vaksin DPT untuk menginduksi demam pada tikus. Selain vaksin DPT, induksi demam pada tikus juga dapat dilakukan dengan menggunakan pepton. Pemberian vaksin DT (difteri dan tetanus) saja tidak akan menimbulkan efek samping berupa demam (Katzung dan Payan, 1998; Markum, 2002). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 B. Kerangka Pemikiran Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) Pirogen eksogen, dehidrasi dan faktor-faktor lain yang menyebabkan demam Fagosit mononuklear terangsang Flavonoid Asetaminofen Gugus aminobenzen Pirogen endogen} Membran fosfolipid Asam arakidonat Enzim siklooksigenase (COX) 2 PGE2 } Set point suhu tubuh } Gambar 6 Keterangan : : menghasilkan/merangsang : menghambat commit to user DEMAM perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 C. Hipotesis Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) memiliki efek antipiretik pada tikus putih yang telah diinduksi demam menggunakan vaksin DPT. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat kuasi eksperimental dengan rancangan the post test only with control group design. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Universitas Setia Budi Surakarta. C. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah tikus putih (Rattus norvegicus) yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut: jenis kelamin jantan, galur Wistar, berat badan ±200 gram, berumur 2-3 bulan, sehat dan tidak kawin. D. Teknik Sampling Teknik sampling menggunakan metode purposive sampling untuk menentukan subyek penelitian. Jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus Federer yaitu: (k-1) (n-1) > 15 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998). Terdapat 5 kelompok pada penelitian ini, dengan demikian perhitungan dengan rumus Federer dalam menentukan jumlah sampel tiap kelompok sebagai berikut: (k-1) (n-1) ≥ 15 (5-1) (n-1) ≥ 15 commit to user 23 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 4 (n-1) ≥ 15 4n ≥ 19 n ≥ 5 Keterangan: k : jumlah kelompok n : banyak sampel dalam tiap kelompok Dari perhitungan rumus Federer didapatkan jumlah sampel tiap kelompok sebanyak 5 sampel. Dengan demikian jumlah sampel pada penelitian ini adalah 25 sampel. Namun untuk mengantisipasi jika terdapat tikus yang mati di tengah percobaan berlangsung, maka penulis menyediakan 30 ekor tikus, dengan 5 ekor tikus sebagai cadangan. E. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) 2. Variabel terikat : penurunan suhu tubuh 3. Variabel luar : a. Terkendali : Karakteristik tikus putih (jenis kelamin, galur, berat badan, umur), makanan dan minuman serta suhu ruangan b. Tak terkendali : zat pirogen endogen, pH lambung dan stres commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 F. Definisi Operasional Variabel 1. Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) Ekstrak daun jeruk nipis adalah ekstrak yang dibuat dengan metode maserasi dengan pelarut etanol 70%, pelarut sempurna untuk flavonoid. Ekstrak yang dihasilkan merupakan ekstrak kental. Ekstrak diberikan per oral kepada tikus putih jantan. Ekstraksi dilakukan di Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Daun jeruk nipis yang digunakan berupa daun utuh dan dibuang tangkai daunnya, diambil di bagian tengah (mulai daun ke-4 sampai 6), sehingga tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Jumlah ekstrak didapat dari daun dengan dosis empiris yang biasa digunakan secara tradisional dan diujikan terlebih dahulu dengan orientasi dosis. Skala pengukurannya adalah ordinal. 2. Penurunan suhu tubuh Penurunan suhu tubuh merupakan efek yang ditimbulkan oleh obat atau zat antipiretik. Pengukuran suhu tubuh dilakukan untuk setiap tikus pada tiap kelompok. Pengukuran suhu dilakukan per-rektum tiap 30’ selama 120’. Pengukuran suhu dilakukan dengan termometer digital dan menggunakan skala derajat Celcius (ºC). Penggunaan termometer digital dikarenakan termometer digital lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan lebih objektif dalam pembacaan hasil pengukuran dibanding termometer commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 air raksa. Termometer digital yang digunakan untuk masing-masing kelompok bermerk dan bertipe sama dengan baterai baru. Skala pengukurannya adalah rasio. 3. Karakteristik tikus putih a. Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan sebagai sampel disebabkan tikus putih jantan mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan dengan tikus putih betina. Selain itu tikus putih jantan juga tidak mengalami siklus menstruasi, sehingga tidak terjadi ovulasi yang dapat meningkatkan suhu tubuh ± 1oC. b. Jenis tikus yang dipilih adalah galur Wistar. Tikus galur Wistar dipilih karena dapat tinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar dan melihat tikus lain, tenang dan mudah ditangani serta lebih besar daripada mencit. c. Berat badan tikus yang dipilih adalah ±200 gr. d. Umur tikus pada penelitian ini adalah 2-3 bulan. 4. Makanan dan minuman Makanan yang diberikan berupa pelet dan minuman dari air PAM. Semua tikus yang digunakan untuk percobaan mendapat makanan dan minuman yang cukup dan jumlah kurang lebih sama. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 5. Suhu ruangan Ruangan yang digunakan untuk mengandangkan tikus putih dikondisikan pada suhu kamar sekitar 250C. 6. Variabel luar yang tak terkendali Zat pirogen endogen, keadaan pH lambung tikus dan stres merupakan beberapa di antara banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan. Kondisi psikologis tikus dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Lingkungan yang terlalu ramai dan gaduh, pemberian perlakuan yang berulang kali dan perkelahian antartikus dapat mempengaruhi kondisi psikologis tikus. G. Rancangan Penelitian K1 K1U1 V K2 K2U1 V K3 K3U1 V K4 K4U1 V K5 K5U1 V 2 jam 2 jam 2 jam 2 jam 2 jam K1U2 K2U2 K3U2 K4U2 K5U2 Gambar 7 Keterangan : K1 : Kelompok kontrol negatif K2 : Kelompok kontrol positif commit to user 5’ 5’ 5’ 5’ 5’ K1M1 K2M2 K3M3 K4M4 K5M5 30’ 30’ 30’ 30’ 30’ K1U3 K2U3 K3U3 K4U3 K5U3 A perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 K3 : Kelompok uji dosis 1 K4 : Kelompok uji dosis 2 K5 : Kelompok uji dosis 3 U1 : Pengukuran awal suhu rektal V : Pemberian vaksin DPT 0,4 cc U2 : Pengukuran suhu rektal 5 menit sebelum perlakuan M1 : Pemberian aquadest M2 : Pemberian asetaminofen M3 : Pemberian ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) dosis 1 M4 : Pemberian ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) dosis 2 M5 : Pemberian ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) dosis 3 U3 : Tiga puluh menit setelah perlakuan, suhu rektal diukur lagi, sampai percobaan pada menit ke 120 dengan interval 30 menit. A : Analisis data dengan uji statistik anova dan post hoc H. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian a. Kandang b. Timbangan c. Termometer digital d. Arloji/stopwatch e. Jarum suntik f. Spuit pencekok g. Bekkerglass commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 h. Pengaduk kaca 2. Bahan penelitian a. Ekstrak daun jeruk nipis b. Akuabides c. Asetaminofen tablet d. Vaksin DPT e. Alkohol 70% f. Kapas I. Cara Kerja 1. Penentuan dosis ekstrak daun jeruk nipis Volume cairan maksimal yang dapat diberikan per oral pada tikus putih adalah 5 ml/100 gr BB. Disarankan takaran dosis tidak sampai melebihi setengah kali volume maksimalnya (Imono dan Nurlaila, 1986). Takaran daun jeruk nipis yang biasa digunakan adalah 10 gr. Uji pendahuluan atau orientasi dosis perlu dilakukan karena belum ada riset tentang dosis baku daun jeruk nipis untuk pengobatan per oral. Faktor konversi dosis untuk manusia dengan berat badan 70 kg pada tikus putih dengan berat badan 200 gr adalah 0,018. Sedangkan berat ratarata manusia Indonesia adalah 50 kg (Ngatidjan, 1991). Dosis daun jeruk nipis untuk tikus adalah: = ( 10 x 1000 mg x 70/50 x 0,018)/200 gr BB = 252 mg/200 gr BB = 126 mg/100 gr BB commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 Persentase dari daun jeruk nipis segar ke ekstrak daun jeruk nipis dengan kandungan yang sama adalah sebesar 2%. Dosis ekstrak untuk tikus putih jantan yaitu: = ( 126 x 2% )/100 gr BB = 2,52/100 gr BB/2 ml a. Dosis I = 1,26 mg ekstrak/100 gr BB/2 ml b. Dosis II = 2,52 mg ekstrak/100 gr BB/2 ml c. Dosis III = 5,04 mg ekstrak/100 gr BB/2 ml 2. Penentuan dosis asetaminofen Dosis lazim asetaminofen pada manusia adalah 500 mg. Konversi dosis dari manusia dengan berat badan 70 kg ke tikus 200 gr adalah 0,018. Sedangkan berat rata-rata manusia Indonesia adalah 50 kg (Ngatidjan, 1991). Maka dosis untuk tikus adalah = (500 mg x 70/50 x 0,018)/200 gr BB = 12,6 mg/200 gr BB = 6,3 mg/100 gr BB. 3. Membuat ekstrak daun jeruk nipis Ekstrak dibuat dengan metode maserasi dengan pelarut etanol 70 %, pelarut sempurna untuk flavonoid. Ekstrak yang dihasilkan merupakan ekstrak kental. 4. Langkah penelitian a. Sebelum perlakuan Setelah diadaptasikan selama 6 hari di tempat percobaan, tikus putih dipuasakan 6 jam sebelum perlakuan. Tikus putih kemudian dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor tikus putih. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 Temperatur rektal tikus putih diukur terlebih dahulu untuk mengetahui temperatur normal kemudian tikus putih disuntik vaksin DPT 0,4 cc intramuskuler. Penentuan ini berdasarkan hasil orientasi dosis pada tikus putih jantan. Untuk mengetahui berapa derajat peningkatan suhu tubuh setelah penyuntikan vaksin, maka 2 jam setelah dilakukan penyuntikan, suhu rektal tikus putih diukur terlebih dahulu. b. Pemberian perlakuan Dua jam setelah pemberian vaksin, masing-masing kelompok mendapat perlakuan sebagai berikut: Kelompok 1 mendapat 2 ml larutan akuabides peroral. Kelompok 2 mendapat larutan asetaminofen peroral. Kelompok 3 mendapat ekstrak daun jeruk nipis dengan dosis 1,26 mg/100 gr BB/2 ml. Kelompok 4 mendapat ekstrak daun jeruk nipis dengan dosis 2,52 mg/100 gr BB/2 ml. Kelompok 5 mendapat ekstrak daun jeruk nipis dengan dosis 5,04 mg/100 gr BB/2 ml. c. Setelah perlakuan Tigapuluh menit setelah perlakuan, suhu rektal diukur lagi, sampai percobaan pada menit ke 120 dengan interval 30 menit. . commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 J. Analisis Data Data ditabulasi dan ditampilkan dalam bentuk grafik. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara statistik dengan uji anova dan uji post hoc. Uji anova adalah uji untuk membandingkan perbedaan rerata suhu pada kelima kelompok, sedangkan uji post hoc adalah uji untuk membandingkan perbedaan mean antara 2 kelompok dengan nilai α = 0,5 (Murti, 1994). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian Penelitian efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) dilakukan terhadap 5 kelompok perlakuan, terdiri dari 3 kelompok dengan pemberian ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) dosis 1,26 mg/100 gr BB/2 ml, dosis 2,52 mg/100 gr BB/2 ml dan dosis 5,04 mg/100 gr BB/2 ml. Satu kelompok dengan pemberian 2 ml larutan akuabides peroral sebagai kontrol negatif dan satu kelompok dengan pemberian larutan asetaminofen peroral sebagai kontrol positif. Pengamatan dilakukan sebanyak 6 kali. Pengamatan pertama dilakukan sebelum eksperimen untuk mengetahui suhu normal tikus putih. Pengamatan kedua dilakukan 2 jam setelah pemberian vaksin DPT 0,4 cc untuk mengetahui peningkatan suhu. Empat pengamatan yang lain adalah pengukuran suhu untuk mengetahui efek perlakuan yang dilakukan 30 menit, 60 menit, 90 menit dan 120 menit setelah perlakuan. Tabel 1 berikut adalah hasil pengamatan suhu tubuh tikus putih untuk mengetahui perbandingan efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis dengan 3 macam dosis dan dua jenis kontrol yaitu larutan akuabides dan asetaminofen. commit to user 44 33 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 Tabel 1. Rerata Suhu Tubuh (dalam 0C) Tikus Putih pada Berbagai Perlakuan dalam 6 Kali Pengamatan No I II III IV V Suhu 2 Jam Setelah Vaksinasi 36,517 ± 0,426 37,000 ± 0,341 36,583 ± 0,160 37,883 ± 0,538 36,267 ± 0,463 37,583 ± 0,479 36,367 ± 0,280 37,567 ± 0,408 36,233 ± 0,408 37,517 ± 0,426 Sumber: Data primer, 2011 Suhu Awal Suhu Setelah Perlakuan 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit 37,900 ± 0,283 38,017 ± 0,319 37,917 ± 0,462 37,883 ± 0,371 37,833 ± 0,480 38,317 ± 0,264 37,900 ± 0,400 38,133 ± 0,367 37,767 ± 0,361 37,900 ± 0,390 38,633 ± 0,393 37,400 ± 0,297 37,750 ± 0,259 36,983 ± 0,407 37,483 ± 0,293 38,783 ± 0,214 36,933 ± 0,423 37,333 ± 0,234 36,700 ± 0,358 36,883 ± 0,556 Keterangan : I = Kelompok kontrol negatif diberi 2 ml larutan akuabides peroral II = Kelompok kontrol positif diberi larutan asetaminofen peroral III = Kelompok perlakuan pemberian ekstrak daun jeruk nipis dosis 1,26 mg/100 gr BB/2 ml IV = Kelompok perlakuan pemberian ekstrak daun jeruk nipis dosis 2,52 mg/100 gr BB/2 ml V = Kelompok perlakuan pemberian ekstrak daun jeruk nipis dosis 5,04 mg/100 gr BB/2 ml Untuk melihat dan membandingkan rerata suhu tubuh dalam 6 pengamatan pada masing-masing kelompok akan lebih jelas bila dilihat pada Gambar 8 berikut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 39.0 38.5 38.0 37.5 Kontrol Negatif 37.0 Kontrol Positif 36.5 Dosis 1 Dosis 2 36.0 Dosis 3 35.5 35.0 Suhu Awal Suhu 2 jam Setelah Vaksinasi Suhu 30 menit Setelah Perlakuan Suhu 60 menit Setelah Perlakuan Suhu 90 menit Setelah Perlakuan Suhu 120 menit Setelah Perlakuan Gambar 8. Grafik Rerata Suhu Tubuh (dalam 0 C) Tikus Putih pada Berbagai Perlakuan dalam 6 Kali Pengamatan Berdasarkan Gambar 8 diketahui perubahan suhu tubuh tikus putih dalam 6 waktu pengamatan. Kelompok tikus putih yang mendapat perlakuan kontrol negatif (diberi 2 ml larutan akuabides peroral) mengalami peningkatan suhu tubuh sejak awal (kondisi normal sebelum eksperimen) hingga pengamatan terakhir (120 menit setelah perlakuan). Adapun 4 kelompok tikus putih yang lain secara umum tampak mengalami peningkatan suhu tubuh dari awal hingga 30 dan 60 menit setelah perlakuan. Setelah itu penurunan suhu tubuh mulai tampak pada menit ke- 90 dan kemudian 120 menit setelah perlakuan. Data pengamatan terakhir suhu tubuh (120 menit setelah perlakuan) selanjutnya dianalisis dengan anova untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 signifikan antarkelompok (yang dengan kata lain meneliti ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap suhu tubuh). Apabila terdapat perbedaan yang bermakna maka dilakukan uji lanjut (post hoc test) untuk mengetahui letak perbedaan dalam masing-masing pasangan kelompok. B. Analisis Data Uji Anova dilakukan untuk membandingkan rerata suhu tubuh antar 5 perlakuan. Anova merupakan metode komparasi parametrik yang mensyaratkan asumsi normalitas dan homogenitas variansi. Uji normalitas dilakukan terhadap data pada masing-masing kelompok sedangkan uji homogenitas variansi dilakukan terhadap variansi antarkelompok. Hasil uji normalitas disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data Suhu Menit ke-120 Kelompok Nilai p Kontrol Negatif 0,331 Kontrol Positif 0,126 Dosis 1 0,421 Dosis 2 0,619 Dosis 3 0,865 Berdasarkan Tabel 2 diperoleh hasil uji normalitas dengan menggunakan metode Shapiro-Wilk. Metode ini dipilih karena ukuran sampel yang sangat kecil (n = 6). Shapiro-Wilk biasanya digunakan pada ukuran sampel kecil (n < 25). Terlihat bahwa pengujian terhadap data 5 kelompok commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 menghasilkan p > 0,05. Dengan demikian disimpulkan bahwa data pengamatan berdistribusi normal. Hasil uji homogenitas variansi data suhu pada menit ke-120 dengan uji Levene menunjukkan p = 0.453 (Lampiran 2a), berarti p > 0,05 sehingga disimpulkan bahwa variansi antarperlakuan termasuk homogen. Dengan terpenuhinya syarat normalitas dan homogenitas variansi maka dapat dilakukan analisis dengan anova kemudian dilanjutkan dengan post hoc test menggunakan teknik Least Significant Different (LSD) bila hasil anova menunjukkan perbedaan yang bermakna. Hasil uji anova data suhu pada menit ke-120 memberikan nilai p < 0,05 (Lampiran 2b) sehingga H0 ditolak atau Ha diterima. Dengan demikian disimpulkan bahwa terdapat perbedaan suhu tubuh yang bermakna antar kelompok pada 120 menit setelah perlakuan. Maka dilanjutkan dengan post hoc test, dan hasilnya disajikan pada Tabel 3 berikut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 Tabel 3. Hasil Post Hoc Test dengan LSD Data Suhu Menit ke-120 Interval Perbedaan Rerata Suhu Perbandingan Kelompok Signifikansi 0 Keyakinan 95% ( C) Kontrol Negatif vs Kontrol Positif 1,850 0,000* 1,400 - 2,300 Kontrol Negatif vs Dosis 1 1,450 0,000* 1,000 - 1,900 Kontrol Negatif vs Dosis 2 2,083 0,000* 1,633 - 2,534 Kontrol Negatif vs Dosis 3 1,900 0,000* 1,450 - 2,350 Kontrol Positif vs Dosis 1 0,400 0,079 -0,850 - 0,500 Kontrol Positif vs Dosis 2 0,233 0,296 -0,217 - 0,684 Kontrol Positif vs Dosis 3 0,050 0,821 -0,400 - 0,500 Dosis 1 vs Dosis 2 0,633 0,008* 0,183 - 1,084 Dosis 1 vs Dosis 3 0,450 0,050 0,000 - 0,900 Dosis 2 vs Dosis 3 0,183 0,410 -0,634 - 0,267 * terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik (p < 0,05) Berdasarkan Tabel 3 diketahui hasil perbandingan antar dua perlakuan dari 5 perlakuan dalam eksperimen. Kelompok dengan perlakuan kontrol negatif (diberi larutan akuabides) adalah satu-satunya kelompok yang berbeda signifikan dengan 4 kelompok lainnya (p < 0,05). Dosis 1 berbeda secara bermakna dengan dosis 2 dan 3. Dosis 2 dan 3 tidak ada perbedaan rerata suhu yang bermakna. Namun demikian, ketiga kelompok yang diberi ekstrak daun jeruk nipis tidak berbeda signifikan dengan kontol positif (p > 0,05). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengukuran suhu rektal tikus putih, suhu awal pada semua kelompok tampak relatif sama. Setelah dilakukan induksi demam dengan vaksin DPT, suhu meningkat pada setiap kelompok. Hal tersebut mendukung teori bahwa pemberian vaksin DPT dapat menimbulkan demam. Menurut Tumbelaka dan Hadinegoro (2005), vaksin DPT terdiri atas kuman difteri yang dilemahkan atau toksoid difteri (alumprecipitated toxoid), toksoid tetanus dan vaksin pertusis dengan menggunakan fraksi sel (selular) yang berisi komponen spesifik dari Bordettella pertusis. Komponen itulah yang kemudian memicu terjadinya demam. Hasil pengamatan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1 menunjukkan adanya variasi suhu rata-rata pada setiap kelompok setelah diberikan perlakuan. Selain terdapat variasi suhu antarkelompok (yang disebabkan oleh perbedaan perlakuan), juga terdapat variasi dalam masing-masing kelompok. Variasi dalam suatu kelompok perlakuan menunjukkan adanya faktor endogen masing-masing tikus putih jantan yang bersifat individual terhadap agen pencetus demam dan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor non fisik dan lingkungan. Stres pada tikus karena pengukuran suhu rektal yang berulang-ulang mungkin merupakan salah satu faktor pengganggu yang menyebabkan kenaikan suhu tikus. Menurut Aiache (1993), variasi suhu hasil pengukuran dapat dimengerti karena terdapat keragaman kepekaan setiap hewan uji yang merupakan akibat dari commit to user 44 39 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 perbedaan biologik yaitu ketersediaan hayati dan perubahan hayati suatu obat. Penurunan efek obat mungkin merupakan akibat dari penyerapan yang jelek pada saluran cerna, pembuluh darah atau peningkatan ekskresi melalui ginjal. Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 8, suhu meningkat dengan signifikan dari pengamatan awal hingga 2 jam setelah pemberian vaksin DPT. Secara umum, peningkatan suhu terus terjadi hingga pengamatan keempat yaitu pada menit ke-60 setelah perlakuan, meskipun tidak sedrastis sebelum diberi perlakuan. Peningkatan ini mungkin karena efek antipiretik kelompok perlakuan belum bekerja dan atau efek pirogen dari vaksin DPT masih bekerja lebih dominan. Efek antipiretik mulai terlihat pada pengamatan kelima yaitu pada 90 menit setelah perlakuan. Suhu terus mengalami penurunan hingga pengamatan terakhir yaitu menit ke-120 setelah perlakuan. Analisis variasi suhu (anova) dilakukan dengan data pengamatan terakhir ini. Pada kelompok perlakuan yang diberi asetaminofen, penurunan suhu sudah mulai tampak pada menit ke-60 namun sangat kecil, baru pada menit ke-90 terjadi penurunan suhu yang cukup bermakna. Hal ini sesuai menurut Ganiswara (2003), bahwa kadar puncak parasetamol dalam plasma darah dicapai dalam waktu 60-90 menit. Pada kelompok perlakuan yang diberi larutan akuabides, kenaikan suhu terjadi sejak sebelum diberi vaksin DPT hingga pengamatan terakhir. Berarti pada penelitian ini akuabides dianggap tidak memiliki efek antipiretik dan digunakan sebagai kontrol negatif. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 Anova dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang bermakna antarlima kelompok perlakuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antarkelompok pada akhir waktu penelitian (menit ke-120). Selanjutnya, letak perbedaan diketahui berdasarkan uji lanjut setelah anova, yaitu post hoc test. Maka terlihat bahwa perbedaannya terletak pada suhu kelompok kontrol negatif dengan empat kelompok yang lain. Apabila dibandingkan satu persatu memang ada beberapa yang menunjukkan perbedaan signifikan, namun secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan ekuipotensi (daya antipiretik yang setara/sebanding) antara ketiga dosis ekstrak daun jeruk nipis dengan asetaminofen. Perbedaan yang signifikan terlihat antara kelompok yang diberi ekstrak daun jeruk nipis dosis 1 dengan dosis 2, di mana dosis 2 lebih efektif dalam menghasilkan efek antipiretik dibandingkan dosis 1. Hal tersebut mungkin disebabkan perlakuan dengan dosis 1 masih belum optimal, sehingga reseptorreseptor dari tubuh belum semua terikat. Selain itu, teknik pemberian peroral yang kurang tepat, daya serap obat peroral yang lambat dan terhambatnya tahapan pada penyerapan obat sampai ke pembuluh darah juga dapat mempengaruhi hasil percobaan. Hasil uji post hoc menunjukkan bahwa dosis 3 tidak berbeda signifikan baik dengan dosis 2 maupun dosis 1. Dosis 3 adalah perlakuan yang memberikan hasil paling mirip dengan asetaminofen. Pada penelitian ini, dosis 2 yaitu 2,52 mg/100 gr BB dapat dikatakan sebagai dosis yang memberikan hasil optimal, karena memberikan rerata suhu yang paling mendekati normal. Dan secara umum, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 semua kelompok perlakuan dapat mengembalikan suhu tubuh dalam batas normal (36,5oC-37,2oC), kecuali kelompok kontrol negatif. Adanya efek antipiretik tersebut mungkin disebabkan kandungan senyawa flavonoid dalam daun jeruk nipis. Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat menghambat enzim siklooksigenase khususnya siklooksigenase-2 yang berperan dalam biosintesis prostaglandin sehingga demam terhambat. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa tanaman yang mengandung flavonoid memiliki efek antipiretik seperti tanaman bayam duri (Kumar et.al., 2009), semak bunga putih (Owoyele et.al., 2008), umbi bawang merah (Setiyawan, 2005) dan brotowali (Ernitawati, 2004). Pada penelitian tidak terlihat adanya efek samping ekstrak daun jeruk nipis terhadap tikus percobaan. Meskipun daun jeruk nipis bersifat asam, tidak ada tikus yang mengalami diare atau muntah, kemungkinan karena dosisnya sudah tepat. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukan randomisasi (pembagian kelompok secara acak). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) memberikan efek antipiretik pada tikus putih yang telah diinduksi demam menggunakan vaksin DPT. 2. Efek antipiretik yang ditimbulkan oleh ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) setara dengan efek antipiretik asetaminofen. 3. Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) dosis II (2,52 mg/100 gr BB) merupakan dosis yang paling efektif dibandingkan dosis I (1,26 mg/100 gr BB) dan dosis III (5,04 mg/100 gr BB). B. Saran 1. Mengingat adanya keterbatasan dalam penelitian ini, maka diperlukan penelitian lebih lanjut, yaitu suatu penelitian serupa dengan sampel, kontrol dan metode yang lebih baik (seperti pengambilan sampel secara random) serta penelitian uji klinis untuk mengetahui secara lebih terperinci efek antipiretik ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.). 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi komponenkomponen kimia daun jeruk nipis (Citrus aurantiifolium L.) yang berperan dalam menimbulkan efek antipiretik. commit to user 43 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR PUSTAKA Afdhal A. 1996. Pengembangan dan prospek industri jamu di Indonesia. Warta Tanaman Obat Indonesia. Vol.3(1). Agricultural Research Service USDA. 1999. Survey of Phenolic Compounds Produced in Citrus. http://www.ars.usda.gov/is/np/phenolics/tab2/caura.htm?pf=1 (6 Desember 2010) Aiache J.M. 1993. Farmasetika 2. Airlangga University Press, hal: 87-89 Amili, Rusnaidi, Lukmayani Y. 2008. Uji Efek Antipiretik Jus Jeruk Nipis pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley Sel kelamin. MIMBAR Vol. XXIV, No. 1:27-35. Dalal S. and Zhukovsky D.S. 2006. Pathophysiology and management of fever. J Support Oncol 2006. 4: 009–016. Dubois R.N., Abramson S.B., Crofford L., Gupta R.A., Simon L.S., van de Putte L.B.A., Lipsky P.E. 1998. Cyclooxygenase in biology and disease. Faseb J. 12: 1063-73. Ernitawati, B. 2004. Efek antipiretik air rebusan batang brotowali (Tinospora crispa Miers.) pada tikus putih. Universitas Sebelas Maret. Skripsi. Farmasi UGM. 2008. Jeruk nipis (Citrus aurantiifolia L.) http://ccrcfarmasiugm.wordpress.com/ensiklopedia/ensiklopedia-tanamananti-kanker/j/jeruk-nipis/ (27 November 2010) Freddy I. dan Wilmana. 2007. “Analgesik, antipiretik, Anti Inflamasi Non Steroid dan Obat Pirai”. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal : 209-217 Ganiswara S. G. 2003. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi Universitas Indonesia, pp: 207-14 Ganong W.F. 2005. Pengaturan sentral fungsi visera. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Alih bahasa: M. Djauhari W. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 236-7. Gelfand J.A. 2005. Fever and hyperthermia. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Ed. Vol II. New York: The McGraw-Hill Companies. commit to user 44 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 Guyton A.C. 2007. Suhu tubuh, pengaturan suhu tubuh, dan demam. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Alih bahasa: Petrus Adrianto. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 944-5. Harborne J.B. 1996. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan kedua. Penerjemah: K. Padmawinata dan I. Soediro. Bandung: Penerbit ITB, pp: 68-76. Hargono D. 1992. Tumbuhan obat dan pelayanan kesehatan. Antropologi Kesehatan Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 13-52. Imono A.D. dan Nurlaila. 1986. Obat Tradisional dan Fitoterapi Uji Toksikologi. Yogyakarta : Fakultas Farmasi UGM, pp : 8-11. Katzung B.G. dan Payan D.G. 1998. Obat antiinflamasi nonsteroid; analgetik nonopioid; obat yang digunakan pada gout. Dalam: Azwar Agoes, dkk (eds). Farmakologi Dasar dan Klinik Bertram G. Katzung. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC, pp: 293-5. Kumar B.S.A., Lakshman K., Jayaveera K.K.N., Shekar D.S., Muragan C.S., Manoj B. 2009. Antinociceptive and antipyretic activities of Amaranthus viridis Linn in different experimental models. Avicenna J Med Biotech. 1(3): 167-71. Lucas L., Warner T.D., Vojnovic I., Mitchell J.A. 2005. Cellular mechanisms of acetaminophen: role of cyclooxygenase. Faseb J express article 10.1096/fj.04-2437fje. Mackowiak P.A., Bartlett J.G., Borden E.C. 1997. Concepts of fever: recent advances and lingering dogma. J Clin Infect Dis. 25: 119-38. Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W. (eds). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius, pp: 590-1 Manthey J.A. 2002. Analysis of Flavonoids and Hydroxynnamates in Citrus Processing Byproducts by High Performance Liquid ChromatographyElectrospray Ionization-Mass Spectrometry. Proc. Fla. State Hort. Soc. 115:292-297. 2002. Markum A.H. 2002. Imunisasi. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Moriguchi T., Kita M., Ogawa K., Tomono Y., Endo T., Omura M. 2003. Flavonol synthase gene expression during citrus fruit development. Phys. Plant. volume 114, 2002, pp: 251–258. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 Morton J. 1987. Mexican Lime. p. 168–172. In: Fruits of warm climates. Julia F. Morton, Miami, FL. Murakami M. and Kudo I. 2004. Recent advances in molecular biology and physiology of the prostaglandin E2-biosynthetic pathway. Prog Lipid Res. 43: 3–35. Murti B. 1994. Penerapan Metode Statistik Non Parametrik Dalam Ilmu-Ilmu Kesehatan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Nelwan R.H.H. 2006. Demam: tipe dan pendekatan. Dalam: A.W. Sudoyo, dkk (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p: 1697. Ngatidjan. 1991. Petunjuk Laboratorium, Metode Laboratorium Toksikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. dalam Nijveldt R.J., van Nood E., van Hoorn D.E.C. 2001. Flavonoids: a review of probable mechanisms of action and potential applications. Am J Clinical Nutrition. 74: 418–25. Notosiswoyo M., Supardi S., Winarsih. 1998. Pengobatan sendiri terhadap demam, batuk, pilek, dan pusing dengan obat kimia dan tradisional di pedesaan. Media Litbangkes. Vol. 7(2). Owoyele B.V., Oguntoye S.O., Dare K., Ogunbiyi B.K., Aruboula E.A, Soladoye A.O. 2008. Analgesic, anti-inflammatory and antipyretic activities from flavonoid fractions of Chromolaena odorata. J Med Plants Research. 2(9): 219-25. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: Penerbit ITB, pp : 191-3 Sajuthi D. 2003. Efek Antipiretik Ekstrak Cacing Tanah. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/29/ilpeng/336450.htm (4 September 2009) Setiyawan D. 2005. Efek Antipiretik Air Perasan Umbi Bawang Merah (Allium ascalonicum Linn.) pada Tikus Putih Jantan. Universitas Sebelas Maret. Skripsi Sherwood L. 2001. Keseimbangan tubuh dan pengaturan suhu. Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem. Edisi 2. Alih bahasa: Brahm U.P. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 604-7. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 Simmons D.L., Botting R.M., Hla T. Cyclooxygenase isozymes: the biology of prostaglandin synthesis and inhibition. Pharmacol rev. 56:387-437. Sitompul B. 2003. Antioksidan dan penyakit aterosklerosis. Medika XXIX(6), pp: 373-7. Smith J.B. dan Mangkoewidjojo S. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Indonesia University Press. Sudarti. 2010. 11 Manfaat jeruk nipis. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/nutrition/2053394-11-manfaatjeruk-nipis/. (27 November 2010) Thompson H.J. 2005. Fever: a concept analysis. J Adv Nurs 2005. 51(5): 484–92. Tjay T.H. dan Rahardja K. 2002. Obat-obat Penting Khasiat dan Penggunannya. Edisi 5. Jakarta : PT. Elex Media Computindo, pp: 297-303. Triayu S. I. 2009. Formulasi Krim Obat Jerawat Minyak Atsiri Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia, Swingle) dan Uji Daya Antibakteri Secara In Vitro. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi Tumbelaka A. R. dan Hadinegoro S. R. S. 2005. Difteria, Pertusis, Tetanus. Dalam: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, pp: 102-8 Wijayakusuma H. 1995. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jakarta: Pustaka Kartini, pp: 28-9. Wilmana P.F. dan Gan S. 2007. Analgesik-antipiretik, analgesik-antiinflamasi nonsteroid dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, pp: 230-4. commit to user