NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN KECENDERUNGAN FOBIA SEKOLAH PADA ANAK SEKOLAH DASAR Oleh : Nunik Nur Handayanti Ratna Syifa’a.S PRODI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007 HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN KECENDERUNGAN FOBIA SEKOLAH PADA ANAK SEKOLAH DASAR Nunik Nur Handayanti Ratna Syifa’a.S INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara harga diri dan kecenderungan fobia sekolah pada anak sekolah dasar. Asumsi awal yang diajukan pada penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara diri dengan kecenderungan fobia sekolah pada anak sekolah dasar. Anak yang memiliki harga diri tinggi akan memiliki kecenderungan fobia sekolah yang rendah. Subjek pada penelitian ini adalah 80 siswa Sekolah Dasar Masjid Syuhada kelas 3 . Alat ukur yang digunakan adalah skala harga diri dari Coopersmith (1967) dan skala kecenderungan fobia sekolah yang merupakan modifikasi dari Kearney (2001).Metode analisis statistik yang digunakan dalam model penelitian ini adalah kolerasi product moment. Data penelitian diolah menggunakan program komputer SPSS 11.5 for windows. Hasil analisis data menunjukan ada hubungan negatif antara harga diri dan kecenderungan fobia sekolah pada anak sekolah dasar. Angka kolerasi yang di peroleh adalah – 0,565, p = 0,0000 (p < 0,01) Semakin tinggi harga diri maka semakin rendah kecenderungan fobia sekolah. Hipotesis diterima Kata kunci : harga diri, kecenderungan fobia sekolah Pengantar Pendidikan merupakan hal yang penting bagi perkembangan anak, pendidikan tersebut dapat diberikan secara formal maupun non formal. Pendidikan non-formal di dapat dari anak baru lahir sampai sepanjang rentang hidupnya baik di rumah maupun di lingkungan. Sedangkan pendidikan formal didapatkan melalui lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMU dan Kuliah. Sudah merupakan kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan tersebut bagi anaknya baik di dalam maupun di luar rumah. Pendidikan yang diberikan kepada anak haruslah sesuai dengan tahap perkembangan. Untuk pendidikan formal ada anak yang senang ketika harus bersekolah tapi ada juga anak yang menolak atau takut untuk masuk sekolah. Ketakutan anak untuk masuk sekolah biasa disebut dengan fobia sekolah. Fobia sekolah adalah keengganan bersekolah secara total atau sebagian dan dinyatakan dengan gejala fisik misalnya rasa mual, tidak ingin makan dan sedikit demam. Anak itu mungkin pergi ke sekolah lalu mengeluh tentang beberapa masalah somatik seperti sakit perut atau sakit kepala (Harlock.1993). Gejalagejala somatik yang dialami remaja yang takut sekolah akan hilang ketika orang tua mengijinkan anak tersebut untuk tetap berada dirumah. Gejala itu akan muncul lagi ketika akan berangkat ke sekolah begitu seterusnya. Takut sekolah berkembang pada anak yang lebih besar namun takut sekolah paling umum terjadi selama masa taman kanak-kanak dan empat tahun pertama sekolah dasar. Anak yang lebih besar menemukan bahwa rasa takut sekolah dianggap “kekanakkanakan” karena itu anak-anak memproyeksikan kesalahan pada seseorang seperti sesuatu didalam situasi sekolah misalnya anak mengatakan tidak ingin sekolah karena tidak siap menghadapi ulangan, bahwa guru tidak menyukainya atau teman sekelasnya sering mengganggunya. Tanpa menyadari bahwa takut sekolah “berasal dari rumah” beberapa orang tua berusaha memindahkan anak itu ke kelas atau sekolah lain. Hal tersebut jarang berhasil karena kesulitan tidak terletak pada sekolah namun pada anak itu sendiri. Epidemiologi fobia sekolah terjadi antara 1% sampai 5% terjadi pada hampir semua sekolah, persentase kejadian sama antara anak laki-laki dan anak perempuan, walaupun fobia sekolah terjadi pada semua umur sekolah tapi hanya terjadi pada usia 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan 11 tahun, tidak ada perbedaan sosial ekonomi yang mempengaruhi fobia sekolah. (Fremont, 2003) Peristiwa yang terjadi di salah satu sekolah di Yogyakarta yaitu SD Syuhada anak yang berusia 6-7 tahun atau yang masih duduk di kelas 1 dan 2 menurut kepala sekolah SD tersebut masih ada murid-murid yang ditemani oleh pengasuhnya karena anak tersebut belum memiliki keberanian untuk berada di sekolah sendiri. Murid-murid tersebut di temani oleh pengasuh bukan orang tua anak tersebut. Menurut kepala sekolah hal tersebut pasti terjadi karena merukan awal-awal tahun anak masuk sekolah. Tanda-tanda fobia sekolah terjadi biasanya setelah liburan sekolah atau setelah mengalami sakit yang cukup lama, stres di rumah atau di sekolah dan masalah dengan teman sebaya bisa menjadi penyebab terjadinya fobia sekolah. Gejala yang biasa terjadi pada pagi hari ketika anak akan berangkat sekolah adalah ketakutan yang berlebihan, panik, menangis secara terus-menerus somatisasi dan tempramen yang meningkat atau marah-marah. Perilaku tersebut bahkan berkembang jika anak diijinkan tetap tinggal di rumah. Chess dan Thomas (Santrock,2001) menunjukkan bahwa anak-anak yang memilki tempramen yang rendah atau tinggi, memiliki penyesuaian diri yang negatif terhadap perubahan dalam berbagai keadaan. Bernstein, (2006) mengungkapkan bahwa gejala fobia sekolah biasanya disertai dengan gangguan lain antara lain separatin anxiety, sosial fobia, fobia sederhana, panic disorder, depresi, dan gangguan penyesuaian diri Banyak orang tua bingung oleh perilaku remaja tersebut. Banyak juga orang tua yang belum memahami apa penyebab terjadinya gejala somatis setiap kali akan berangkat sekolah. (www.emedecine.com ) Kesulitan anak dalam melakukan penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh kepribadian anak itu sendiri, salah satu faktor penting dari kepribadian seseorang adalah harga diri yang terbentuk dari interaksi sosial yang dilakukan oleh anak. Menurut Coopersmith (1967), harga diri merupakan penilaian seseorang terhadap diri sendiri yang didasarkan atas penilaian orang lain. Harga diri juga mempengaruhi pergaulan sosial seseorang, orang yang memiliki harga diri yang tinggi melihat dirinya mampu untuk menghadapi lingkungan sosial, menunjukkan penerimaan yang baik terhadap orang lain dan cenderung kuat dalam hubungan sosial. Orang yang memiliki harga diri yang rendah menunjukkan hambatan sosial dan kurang menunjukkan afeksi. Leary dkk berpendapat bahwa penurunan harga diri merupakan resiko sebagai akibat terganggunya hubungan seseorang dengan penerimaan atau penolakan kelompok terhadap dirinya. Harga diri rendah diasosiasikan dengan depresi, kecemasan dan gangguan penyesuaian diri serta emosi yang tidak stabil. (Murtini,2006). Anak dengan harga diri rendah menurut Coopersmith (1967) sulit mendapat teman dan mempunyai sikap yang agresif. Harga diri dapat berperan dalam keseluruhan perilaku manusia, cara berpikir daan kemampuan sosial seseorang tersebut. Harga diri memainkan peranan penting dalam setiap kehidupan seseorang karena harga diri merupakan motivator yang baik. Anak yang memilki harga diri tinggi mampu menghadapi lingkungan sosial dan penerimaan yang baik terhadap orang lain. Anak yang memilki harga diri rendah menunjukan hambatan sosial ( Coopermith ,1967). Berdasarkan fenomena diatas fobia sekolah merupakan topik yang menarik untuk dibahas terutama pada anak-anak, terkait dengan harga diri. Oleh karena itu pertanyan penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara harga diri dengan fobia sekolah pada anak sekolah dasar. Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka di atas hipotesis penelitian yang dapat diajukan adalah ada hubungan negatif antara harga diri dengan kecenderungan untuk fobia sekolah. Semakin tinggi harga diri anak, akan semakin rendah kecenderungan untuk fobia sekolah. Metode Penelitian Sesuai dengan hipotesis yang diajukan, maka di buat racangan penelitian sebagai berikut : Variabel bebas : Harga diri Variabel tergantung :Kecenderungan Fobia sekolah Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi SD Syuhada Yogyakarta kelas 3 yang berusia 8-9 tahun dan terdiri dari siswa putra dan putri, berjumlah 80 orang. Penelitian ini menggunakan dua macam skala sebagai alat pengumpulan data. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala harga diri dan kecenderungan fobia sekolah. Skala fobia sekolah yang dipakai dalam penelitian ini adalah modifikasi dari skala fobia sekolah yang disusun oleh Kearney (2001). Jumlah butir skala yang dimiliki oleh Kearney (2001) terdiri dari 16 butir namun peneliti memodifikasi sehingga menjadi butir 44 yang terdiri dari 25 butir pernyataan favourble dan 19 butir pernyataan unfavourable. Modifikasi dibuat berdasarkan aspek-aspek fobia diungkapkan oleh Kearney (2001) antara lain : 1. Menghindari situasi negatif yang ada di sekolah. 2. Menolak terhadap lingkungan sosial atau penilaian sekolah. 3. Perlakuan positif yang nyata diluar sekolah. 4. Mencari perhatian. sekolah yang Skala Harga diri yang di pakai dalam penelitian ini, menggunakan skala harga diri milik Coopersmith (1967). Skala harga diri tersebut terdiri dari 56 aitem. Hasil Penelitian 1. Deskripsi statistik Subjek dalam penelitian ini digolongkan dalam lima kategori diagnostik yaitu saangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Kategori berdasarkan sebaran hipotetik yaitu nilai maksimal dikurangi nilai minimal, sehingga diperoleh perkiraan besarnya standar hipotetik skor empiris yang terdapat pada suatu standar deviasi diatas mean dikategorikan tinggi, sedangkan untuk satu standar deviasi dibahwa mean hipotetik dikategorikan rendah. Pada tabel berikut dapat dilihat kategorisasi subjek penelitain berdasarkan mean hipotetik dan mean empiris. Tabel 1 Deskripsi data penelitian Variabel Hipotetik Min Harga diri Kecenderungan Fobia sekolah 0 0 Max 38 24 Empirik Rerata SD Min 19 12 6,33 8 4 0 Max Rerata SD 37 18 4,811 3,218 27,76 4,00 Sebaran hipotetik dari skor skala harga diri dapat diuraikan untuk mengetahui keadan subjek penelitian yang berdasarkan pada kategorisasi standar deviasi daapt dilihat pada tabel berikut : Tabel 2 Kriteria kategorosasi skala harga diri Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Rentang skor Jumlah Prosentase X = 7,606 7,606= X = 15,202 15,202=X= 22,792 22,792=X= 30,399 X > 30,399 0 1 9 47 27 0% 1,25% 11,25% 58,75% 28,75% Sebaran hipotetik pada skor harga diri diketahui nilai terendah adalah = 7,606 , nilai tertinggi adalah > 30,399. luas jarak sebarannya adalah 38-0 = 38, sehingga setiap satuan standar deviasi bernilai 6,33 dan mean teoritisnya 19. Rasio pengolahan yang ditunjukakan dalam tabel di atas terlihat dari keseluruhan jumlah subjek yaitu 80 orang, mayoritas subjek berada pada tingkat harga diri tinggi yaitu 58,75%. Sebaran hipotetik dari skor kecenderungan fobia sekolah dapat diuraikan untuk mengetahui keadaan subjek penelitian berdasarkan pada kategorisasi standar deviasi, dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 8 Kriteria kategorosasi skala kecenderungan fobia sekolah Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Rentang skor X = 4,8 4,8 = X = 9,6 9,6 = X = 14,4 14,4 = X = 19,2 X < 19,2 Jumlah 49 27 3 1 0 Prosentase 61,25% 33,75% 3,75% 1,25% 0% Sebaran hipotetik pada skor harga diri diketahui nilai terendah adalah = 4.8 , nilai tertinggi adaalah > 19,2. luas jarak sebarannya adalah 24-0 = 24 ,sehingga setiap satuan standar deviasi bernilai 4, dan mean teoritisnya 12. Rasio pengolahan yang ditunjukakan dalam tabel di atas terlihat dari keseluruhan jumlah subjek yaitu 80 orang, mayoritas subjek berada pada tingkat kecenderungan fobia sekolah sangat rendah yaitu 61,25% 2. Uji Asumsi Uji asumsi dilakukan sebelum analisis data penelitian atau uji hipotesis yang mana uji normalitas dan uji linearitas merupakan syarat sebelum dilakukan pengetesan nilai kolerasi agar kesimpulan yang di tarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS versi 11.5 dengan statistik teknik one sample kolomogrov smirnov test. Variabel harga diri menunjukkan K- SZ = 0,778; p = 0,580 (p > 0,05). Variabel kecenderungan fobia sekolah menunjukkan K – SZ = 1,091 ; p = 0,185 ( p > 0,05). Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa kedua alat ukur normal. Uji lineritas dilakukan untuk mengetahui linearitas varieabel harga diri dengan variabel kecenderungan fobia sekolah. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 11.5 yaitu untuk statistik compare mean. Di peroleh bahwa F = 37,600 dan p = 0,000 ( p < 0,05) dan deviant of linearity F = 1,121 ; p = 0,356 (p > 0,05). Hasil uji linearitas menunjukkan antara harga diri dan kecenderungan fobia sekolah bersifat linear dan tidak ada kecenderungan menyimpang dari garis linear. 3. Uji Hipotesis Hubungan antara harga diri dengan kecenderungan fobia sekolah dapat diketahui dengan cara melakukan uji hipotesis. Hasil analisis data dengan menggunakan korelasi product moment dari Pearson pada komputer SPSS versi 11.5 diperoleh angka koefisien sebesar – 0, 565 dengan p = 0,000 ( p < 0,01) sehingga hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara harga diri dan kecenderungan fobia sekolah pada anak dapat diterima. Hasil uji kolerasi tersebut menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara harga diri dan kecenderungan fobia sekolah 4. Analisis Tambahan 1. Frekuensi jawaban reposden pada skala fobia sekolah banyak subjek yang memberikan jawaban TIDAK pada aitem 20 yang berbunyi “Saya mengurung diri di kamar setiap saat akan berangkat ke sekolah” dengan frekuensi jawaban sebesar : TIDAK : 98,8% dan YA : 1,3%. 2. Frekuensi jawaban reposden pada skala harga diri banya sujek yang menjawab YA pada aitem 1 dan 20 yang berbunyi “Saya sangat yakin terhadp diri sendiri” dan “ Saya suka menjadi diri saya sendiri” dengan frekuensi jawaban sebesar : TIDAK : 3,8% Dan YA : 96,3%. Hasil frekuensi tersebut menunjukkan seberapa banyak subjek menjawab YA dan TIDAK pada masing-masing aitem. Pembahasan Hasil analisis data penelitian ini menunjukkan adanya hubungan negatif antara harga diri dengan kecenderungan fobia sekolah pada anak Sekolah Dasar. Semakin tinggi harga diri semakin rendah kecenderungan fobia sekolah pada anak Hasil penelitian menunjukakan prosentase yang tinggi pada skala harga diri dan prosentase yang sangat rendah pada kecenderungan fobia sekolah dengan angka prosentase 58,75% pada skala harga diri dan 61,25% pada skala kecenderungan fobia sekolah. Hal tersebut berarti mayoritas subjek yaitu anak-anak yang berusia antara 7 tahun sampai 10 tahun memiliki harga diri yang tinggi. Hal tersebut menunjukakan bahwa karena harga diri yang tinggi, maka harga diri berpengaruh besar tehadap kecenderungan fobia sekolah pada anak. Pada kategorisasi kecenderungan fobia sekolah menunjukkan bahwa sebagian besar subjek memiliki kecenderungan fobia sekolah yang rendah Harter dkk ( Boyd & Bee, 2006) mengatakan bahwa anak sudah dapat memberi penilaian terhadap diri sendiri serta dilakukan pada tahun-tahun pertama sekolah, anak mulai membangun harga diri sejak berumur 7 tahun. Harga diri dapat digambarkan sebagai harga diri rendah dan harga diri tinggi. Harga diri juga dapat digambarkan secara global dimana hal tersebut sangat multidimensional yang terdiri dari ( Harter dalam Bern, 2003 ) : kompetensi sekolah; kompetensi dalam olahraga; kompetensi dalam kehidupan sosial; perilaku sehari-hari. Coopersmith (Smith, 1973) menjelaskan bahwa anak dengan harga diri tinggi memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki dan mempunyai penilaian positif. Kepercayaan diri tersebut menentukan setiap tindakan anak dan inisiatif anak. Anak tidak memperoleh kesulitan dalam memperoleh teman dan dalam mengekspresikan diri walaupun mendapat kritik dari orang lain. Anak dengan harga diri rendah memiliki kepercayaan diri yang rendah juga, anak takut untuk mengekspresikan ide yang dimiliki dan takut mendapat kritikan. Dalam sebuah kelompok anak lebih banyak diam dan tidak suka berpartisipasi, takut untuk mengeluarkan pendapat dan kurang memiliki hubungan yang baik dengan orang lain. Perbandingan harga diri anak berasal dari empat sumber (Boyd&Bee, 2006) yaitu 1. Pengalaman kegagalan dan keberhasilan anak dalam menghadapi berbagai situasi. 2. Penilaian anak yang berasal dari orang tua atau teman sebaya misalnya penilaian teman sebaya. 3. Labeling atau penilaian yang berasal dari lingkungan tempat anak bermain. Anak yang sering mendapat penilaian “pintar”, “baik” atau “cantik” akan memilki harga diri yang tinggi daripada anak yang sering mendapat komentar “bodoh” atau “nakal” . 4. Anak belajar mengevaluasi diri mereka sendiri yang berasal dari kehidupan sosial yang satu ke kehidupan sosial yang lain. Staurt dan Sudden (Asmarani, 2006) mengemukakan bahwa harga diri adalah masalah utama seseorang dan dapat diekspresikan dalam bentuk kecemasan tingkat sedang dan tingkat berat. Termasuk evaluasi diri negatif. Harga diri rendah mengindikasikan penolakan dan kebencian terhadap diri sendiri dan merupakan proses yang diekspresikan secara langsung dan tidak langsung. Anak dengan harga diri rendah cenderung akan menilai rendah dirinya sehingga kurang memiliki keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki. Anak yang memiliki harga diri tinggi adalah anak yang mandiri, aktif, ekspresif, cenderung sukses dalam bidang akademik, dan kehidupan sosialnya mempunyai perhatian yang cukup terhadap lingkungan. Anak dengan harga diri akan memiliki kemampuan dalam menghadapi situasi apapun termasuk situasi sekolah karena anak tersebut akan memiliki penyesuaian diri yang baik pula. Hal tersebut didukung oleh penelitian yaitu oleh Martini (2006) tentang penyesuaian diri siswa sekolah dasar. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa harga diri tinggi mempunyai sumbangan negatif terhadap penyesuaian diri rendah. Brown dan Dutton ( dalam Martini,2006) menyatakan bahwa mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan pengaturan emosi yang disebut perasaan berharga meliputi perasaan bangga dan senang terhadap diri sendiri versus perasaan terhina dan malu terhadap diri sendiri. Seseorang dengan harga diri tinggi akan terampil dalam memuaskan kebutuhan, mempunyai respon yang konsisten terhadap suatu kejadian dalam rangka mempertahankan atau memperbaiki perasaan berharga, kemauan itu akan tampak pada waktu melawan hasil perilaku negatif seperti mengatasi penolakan interpersonal. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Coopersmith (Martini,2006) dengan subjek anak kelas 5 dan 6 SD yang menunjukkan bahwa anak dengan harga diri tinggi lebih mudah mendapat teman, lebih mandiri dan mempuyai hubungan harmonis dengan keluarganya. Penelitian lain yang mendukung misalnya penelitian yang dilakukan oleh Mukhlis (2000) harga diri dan pusat kendali sebagai prediktor kepercayaan diri anak. Penelitian menjelaskan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara harga diri dan kepercayan diri anak dan merupakan faktor penting untuk memprediksi kepercayaan diri anak. Penelitian lainnya yaitu dilakukan oleh Carolina (2000) tentang hubungan antara harga diri dan motivasi berprestasi pada siswa SMP, penelitian ini menjelaskan bahwa adanya hubungan positif antara harga diri dengan motivasi berprestasi pada siswa SMP. Siswa-siswi dengan harga diri tinggi akan memiliki penilaian yang baik terhadap dirinya, lebih puas serta lebih menghargai kemampuan dan keadaannya. Kearney dan Silverman (Brandibas dkk, 2004) mengatakan bahwa penolakan sekolah berhubungan langsung dengan kecemasan dan terdapat dua tipe yaitu kecemasan berpisah dengan orang tua dan kecemasan akan status atau keberadaan dirinya. Kecemasan tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti harga diri dan penilaian anak terhadap dirinya sendiri. Harga diri memberikan sumbangan efektif sebesar 31% terhadap kecenderungan fobia pada anak, sedangkan sisanya sebesar 69% berasal dari faktor lain. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kecenderungan fobia sekolah adalah keluarga, sekolah dn lingkungan sosial. Hal tersebut didukung yang dilakukan oleh Maurice Place dkk yaitu School Refusal : Changing Problem Which Requires A Change of Approach, dengan subjek anak umur 12-15 tahun, diungkapkan bahwa penolakan sekolah tidak hanya berasal dari diri anak tetapi juga dari rumah, sekolah dan lingkungan. Pada anlisis tambahan dapat di lihat frekuensi jawaban pada tiap aitem, dimana pada skala kecenderungan fobia sekolah banyak subjek yang menjawab TIDAK pada aitem 20 yang berbunyi “ Saya mengurung diri dikamar pada saat akan berangkat sekolah” hal tersebut menunjukkan bahwa anak sudah tidak takut lagi untuk berangkat ke sekolah. Untuk skala harga diri subjek banyak menjawab YA pada aitem 1 dan 20 yang berbunyi “Saya sangat yakin terhadp diri sendiri” dan “ Saya suka menjadi diri saya sendiri” hal tersebut menunjukakan bahwa anak sudah memiliki harga diri yang tinggi karena anak menilai dirinya dengan positif sehingga anak menyukai apa yang terdapat pada dirinya. Seseorang yang memiliki harga diri tinggi memiliki beberapa sifat yaitu : lebih menyukai dirinya, tidak mencela dirinya, menghargai dirinya sendiri, lebih berhasil dalam kehidupan sosial, dan berharap untuk menjadi lebih baik. Berdasarkan uraian di atas nampak bahwa harga diri seperti yang peneliti sebutkan berpengaruh besar terhadap kecenderungan fobia sekolah pada anak serta beberapa faktor lain juga yang berpengaruh seperti sekolah keluarga dan lingkungan sosial. Kelemahan-kelemahan dari penelitian ini adalah subjek pada penelitian ini akan lebih tepat jika dilakukan pada anak TK atau anak kelas satu SD pada usia tersebut merupakan awal-awal anak beradaptasi dengan lingkungan baru di luar keluarga, selain subjek kelemahan lainnya adalah alat yang digunakan pada penelitian ini sebelumnya tidak dilakukan uji bahasa yang berfungsi sebagai seberapa jauh subjek mengerti pertanyaan yang diberikan, selain itu lokasi yang diguanakan untuk penelitian kurang tepat karena pada SD tempat penelitian dilakukan kurang terdapat kasus anak fobia sekolah. Saran Berkaitan dengan hasil penelitian ini saran yang diajukan peneliti berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh : 1. Saran bagi subjek Berdasarkan data penelitian terlihat bahwa subjek penelitian memiliki kecenderungan fobia sekolah yang rendah. Kecenderungan fobia yang rendah pada anak dapat dipertahankan dengan meninggkatkan harga diri anak tersebut. 2. Saran bagi orang tua Bagi orang tua yang memiliki anak yang sedang bersekolah di sekolah dasar sebaiknya membantu meningkatkan harga diri anak agar anak tidak memiliki kecenderungan fobia sekolah. 3. Saran bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti yang tertarik dengan bahasan yang sama, disarankan untuk menggunakan variable-variabel yang lain yang dapat mempengaruhi kecenderungan fobia sekolah seperti : keluarga, lingkungan sekolah dan faktorfaktor lainnya. Subjek yang memang mempunyai kecenderungan fobia sekolah yang tiggi seperti anak TK, playgroup. DAFTAR PUSTAKA Asmarani, K.2006. Hubungan Tingkat Harga Diri Dengan Perilaku Koping Anak Penyandang Cacat Retardasi Mental SLB Di Kota Yogya. Skripsi(Tidak Diterbitkan).Yogyakarta Fakulatas Kedokteran UGM Bern, R. M. 2004 Child. Family. School Community : Socialization Suport. US : Thompson Wadworth. Bernstein, E, B. 2006. Anxiety Disorder: Separation Anxiety and School Refusal. www.emedecine.com/16/04/2006 Boyd, D & Helen, B.. 2006. Life Span Deelopment 4th Edition. Person Education. Brandibas, G., Jeuneir, B., Clanet, C& Fouraste, R. 2004. Truancy, School Refusal and Anxiety. School Psychology International. Vol. 21(1), 117-126. Coopersmith, S. 1967. The Antecendents of Self Esteem. San Fransisco : W.H Freeman And Company. Fremont, P, W. 2003. School Refusal In Children And Adolesence. Juornal of American Family Physician Vol. 68. No.8 Hurlock,E,B. 1993. Psikologi anak jilid 2, terjemahan Med Meitasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasih. Jakarta : Erlangga . Kearney, A.C. 2001.School Refusal Behavior in Youth. Washington DC: Amarican Psychological Association. Lachenmayer, R.J.1982. Pstchopatologi In Child. Newyork : Gardner Pers Inc. Murtini. 2006 Penyesuaian Diri Siswa Sekolah Dasar. Desertasi(tidak diterbitkan) Yogyakarta universitas Gajah Mada. Nevid, J.S & Rathus, A.S. 2005. Psikologi Abnormal Jilid 2. Alih Bahasa Tim Psikologi UI. Jakarta : Erlangga Santrock, J.W.2001. Adolesence(8th Ed).NewYork : McGrawl-Hill Companies,Inc Smith, S. B. 1973. Child Psychology. USA : Maradith Corporation. WaleY, J & Sons. 1992. HandBook Of Clinical Child Psychology. US : Waley Science Publication