Dosen UGM: Fobia Komunisme Embrio Fasisme di Indonesia SELASA, 31 MEI 2016 | 03:19 WIB HTTPS://M.TEMPO.CO/READ/NEWS/2016/05/31/078775359/DOSEN-UGM-FOBIA-KOMUNISME-EMBRIO-FASISME-DI-INDONESIA Pemutaran dan diskusi film memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia di AJI Yogyakarta 3 Mei 2016 dibubarkan polisi. TEMPO.CO, Yogyakarta - Pengajar Sastra Roman di Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Muhammad Al-Fayyadl, mengatakan fobia terhadap komunisme merupakan pemanasan menuju fasisme. Situasi di Indonesia saat ini, kata Muhammad, disebut proto-fasisme atau pemanasan menuju fasisme. Orang menjadi terbiasa dengan ketakutan-ketakutan. Bukan hanya militer yang menjadi ancaman, melainkan juga ketakutan-ketakutan terhadap ideologi tertentu yang sudah menjadi budaya masyarakat. "Situasi itulah yang menyuburkan fobia terhadap sesuatu," katanya kepada Tempo seusai bicara pada Forum Umar Kayam edisi Mei di Ruang Pameran PKKH UGM, Kamis, 26 Mei 2016. Alumnus program Filsafat dan Kritik Kebudayaan di Université de Paris VIII (Vincennes-Saint-Denis), Prancis itu mengatakan proto-fasisme bisa menjadi fasis bila tidak diatasi. Fasisme mengarah pada kondisi ketika negara dan seluruh masyarakat saling berkolaborasi melarang ideologi tertentu. Contoh fasisme adalah kekuasaan Hitler lewat Nazi yang menyebabkan tragedi kemanusiaan. Adapun saat ini di Indonesia baru sebagian kalangan masyarakat yang fobia terhadap paham tertentu. 1 Menurut Muhammad, razia buku-buku tentang komunisme menggambarkan mindset tentara yang tidak berubah seperti ketika Orde Baru berkuasa. Presiden Soeharto waktu itu menggunakan teknik intimidasi dan fobia untuk menekan rakyat. Pemberangusan buku juga menggambarkan tentara tidak belajar ihwal perkembangan teknologi. Razia buku "kiri" itu sia-sia belaka karena orang sekarang mudah mengakses berbagai informasi lewat Internet. Buku-buku elektronik pun tersedia di Internet. Cara mengatasi fobia terhadap komunisme dan ideologi lain, kata Muhammad, adalah membicarakan hal-hal yang ditabukan secara terbuka. Tentu hal itu perlu proses panjang. Apa yang membuat orang takut perlu dinetralisasi. Orang yang berani mengemukakan pendapat berbeda mesti diberikan ruang untuk bicara. Cara lain adalah melepaskan berbagai intimidasi yang melanggengkan budaya kekerasan. Misalnya, tidak memposisikan penyintas sebagai korban yang punya relasi timpang dengan kalangan yang mengintimidasi. Muhammad melihat penyintas 65 mempunyai pengalaman traumatis yang beragam. Muhammad juga mengkritik media yang tidak tuntas menjelaskan secara spesifik apa itu komunisme dan bagaimana bentuknya. Akibatnya, orang belum-belum sudah takut dengan komunisme dan menganggapnya sesuatu yang tidak baik. Muhammad Al-Fayyadl merupakan alumnus Pesantren Annuqayah Madura dan kini menetap di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. Ia merupakan satu di antara penggagas Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya (FNKSD) dan situs IslamBergerak.com. Ia juga kontributor indoprogress.com, literasi.co, dan nu.or.id. Karyanya di bidang Filsafat adalah Derrida (2005), Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (2015), dan Filsafat Negasi (2016). SHINTA MAHARANI 2