1 FAKTOR RISIKO KEMATIAN NEONATAL DI KABUPATEN MOROWALI PROPINSI SULAWESI TENGAH Masni1, Risma Sabalio2 1 Konsentrasi Kesehatan Reproduksi & Keluarga Prodi S2 Kesmas Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah ABSTRAK Kematian bayi mencakup kematian perinatal dan kematian neonatal merupakan indikator utama pembangunan di suatu negara, sehingga menjadi perhatian utama dalam upaya penurunan jumlah kejadian setiap tahun. Di Provinsi Sulawesi tengah, kasus kematian neonatal memberikan kontribusi terhadap angka kematian bayi, 80% pada tahun 2007, 71% pada tahun 2009 dan sekitar 83% pada tahun 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko asfiksia neonaturum, BBLR, umur ibu, paritas, dan pelayanan antenatal terhadap kematian neonatal. Penelitian dengan disain kasus kontrol ini melibatkan 43 orang ibu sebagai kelompok kasus dan 86 orang sebagai kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara menggunakan kuesioner. Data dianalisis menggunakan uji OR untuk analisis bivariat dan uji logistik regresi untuk analisis multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, variabel yang signifikan merupakan faktor risiko terhadap kematian neonatal adalah asfiksia neonatorum (OR = 42,134; 95% CI = 11,485 – 155,888), BBLR (OR = 18,519; 95% CI = 6,629 – 51,731) dan pelayanan antenatal (OR = 9,159; 95% CI = 3,288 – 25,514) sedangkan umur ibu (OR = 2,174; 95% CI = 0,956 – 4.945) dan paritas (OR = 0,950; 95% CI = 0,442 – 2,045) bukan merupakan factor risiko kematian neonatal. Akhirnya disarankan agar kasus asfiksia neonaturum dan BBLR perlu ditangani lebih cermat dan adekuat, perlu meningkatkan kualitas pelayanan dan memotivasi ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur agar komplikasi obstetrik dapat dideteksi secara dini. Kata kunci : Kematian Neonatal, Asfiksia Neonatorum, BBLR, Umur, Paritas dan Pelayanan Antenatal PENDAHULUAN Berbagai upaya pembangunan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kelangsungan hidup bayi dan anak. Bayi menjadi fokus dalam setiap program kesehatan karena dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya setiap saat menghadapi ancaman bagi kelangsungan hidupnya seperti kesakitan dan kematian akibat berbagai masalah kesehatan (Depkes RI, 2003).Angka Kematian Bayi (AKB) adalah salah satu indikator kesehatan yang paling utama pada suatu bangsa, karena berhubungan dengan berbagai faktor seperti kesehatan ibu hamil, mutu dan akses terhadap ke pelayanan kesehatan, kondisi-kondisi sosial-ekonomi, dan berbagai praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Tingginya angka kelahiran prematur adalah penyebab utama sehingga masih tingginya angka kematian bayi (Marian F. Macdorman And T.J. Mathews, 2008). Laporan Millenium Development Goal’s (MDG’s) tahun 2010 di Indonesia menunjukkan bahwa angka kematian bayi telah mengalami penurunan dari 68 per 1.000 Kelahitan Hidup (KH) di tahun 1991 menjadi 34 per 1.000 KH di tahun 2007 dan mencapai 30 per 1.000 KH di tahun 2009, sedangkan penurunan kematian neonatal berlangsung 2 lambat yaitu dari 32 per 1.000 KH pada tahun 1991, menjadi 17 per 1.000 KH pada tahun 2004namun mengalami peningkatan lagi menjadi 19 per 1.000 KH di tahun 2007 (SDKI, 2007, MDG’s, 2010 dan WHO, 2007 dan 2011). Dari data kematian tersebut menunjukkan bahwa 55,8% dari kematian bayi terjadi pada periode neonatal, sekitar 78,5%-nya terjadi pada umur 0-6 hari (Riskesdas 2007). Jika dibandingkan dengan negara tetangga lainnya, capaian penurunan angka kematian bayi di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara seperti Vietnam 20,9 per 1.000 KH, Thailand 16,39 per 1.000 KH, dan Malaysia 15 per 1.000 KH (WHO, 2011). Capaian angka kematian bayi (AKB) diPropinsi Sulawesi Tengah menurut sensus penduduk ialah terjadinya penurunan dari 92 per 1.000 KH pada tahun 1990 menjadi 66 per 1.000 KH pada tahun 2000. Penurunan lebih lanjut dapat dilihat dari data Survai Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, bahwa AKB di Propinsi Sulawesi Tengah kemudian menurun menjadi 52 per 1.000 KH. Namun demikian data dari SDKI 2007 untuk AKB dipropinsi Sulawesi Tengah cukup memprihatikan. AKB meningkat dari 52 menjadi 60 per 1.000 KH. Di Propinsi Sulawesi Tengah kematian Neonatal memberi kontribusi terbesar pada kasus kematian bayi yaitu sekitar 80%. Dari data yang ada menunjukkan bahwa jumlah kematian Neonatal terbanyak pada umur 0-7 hari sebesar 344 kasus dari 488 atau sebesar (71%) dari kasus kematian yang ada. (Profil Kesehatan Sulawesi Tengah Tahun 2009).Tingginya capaian tersebut mengingat data kematian 335 kasus kematian neonatal dari 384 kasus kematian bayi di tahun 2010 yang meningkat lagi pada tahun 2011 dengan jumlah kematian neonatal sebanyak 367 kasus dari 439 kasus kematian bayi (Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011). Dalam rangka menurunkan angka kematian ibu, maka setiap persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan. Oleh karena itu, setiap ibu hamil harus mempunyai akses terhadap petugas dan pelayanan kesehatan. Namun demikian, akses ternyata masih menjadi persoalan di sebagian wilayah Indonesia, khususnya di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Hal tersebut antara lain disebabkan adanya keterbatasan infrastruktur dan transportasi, kondisi geografis dan cuaca yang sulit, serta masih kurangnya tenaga kesehatan. Hal-hal tersebut akan menyulitkan proses rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terdekat ketika ada ibu hamil atau bersalin yang mengalami komplikasi (Depkes RI, 2010).Menurut Kosen dan Sarimawar (2005), penyebab utama kematian neonatal dini adalah infeksi (56%), asfiksia (45%) dan kelainan bawaan (11%) sedangkan kematian pada neonatal lanjut adalah infeksi (56%), berat badan lahir rendah (BBLR) dan prematuritas (14%), ikterus dan neonatal jaundice (14%), kelainan bawaan (7%) dan obstruksi usus (7%).Penyebab langsung yang memberi kontribusi terbesar terhadap kematian bayi termasuk neonatal adalah kelahiran bayi dengan BBLR dan prematur. 3 Capaian angka kematian bayi di Kabupaten Morowali cukup tinggi,dan memberi kontribusi terhadap tingginya angka kematian bayi di Propinsi Sulawesi Tengah. Sedangkan kematian neonatal merupakan penyumbang utama tingginya jumlah kasus kematian bayi di Kabupaten Morowali terlebih lagi di tingkat Propinsi Sulawesi Tengah.Jumlah kematian neonatal memberi kontribusi >75% dari kematian bayi.Berdasarkan hal tersebut maka penelitian dilakukan untuk menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan kematian neonatal.Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang berisiko terhadap kematian neonatal.Selain itu ditujukan untuk mengetahui dan menganalisis faktor risiko asfiksia neonatorum terhadap kematian neonatal, mengetahui dan menganalisis faktor risiko BBLR terhadap kematian neonatal, dan faktor risiko umur ibu terhadap kematian neonatal.Selanjutnyamenganalisis faktor risiko paritas terhadap kematian neonataldan faktor risiko pelayanan antenatal terhadap kematian neonatal METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan rancangan Case Control Study. Study ini adalah suatu jenis penelitian yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor risiko) dengan penyakit, dengan cara membanding kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. Kasus merupakan subjek dengan karakteristik positif sedangkan kontrol adalah subjek dengan karakteristik negatif. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah pada bulan Maret - April Tahun 2012 Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah keseluruhan bayi yang tercatat dalam buku registrasi KIA tingkat Puskesmas dan Kabupaten Morowali dan keseluruhan kematian bayi yang tercatat dilaporkan Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali. Sampel penelitian dibedakan atas dua yaitu sampel kasus yaitu bayi yang mengalami kematian neonatal setelah lahir hidup dan sampel kontrol adalah bayi yang lahir hidup yang dilaporkan baik pada tingkat puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali Tahun 2011. Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner kemudian diolah dengan program SPSS. Analisis univariat dilakukan dalam bentuk analisis distribusi frekuensi, analisis bivariat menggunakan uji OR dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. 4 HASIL PENELITIAN Analisis Univariat Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pada kelompok kasus kelompok umur yang terbanyak adalah 30 – 34 tahun (20,9%) dan yang paling sedikit adalah yang berumur lebih dari 40 tahun (9,3%), sedangkan pada kelompok kontrol, terbanyak pada kelompok umur 20 – 24 tahun (30,2%) dan yang paling sedikit adalah umur lebih dari 40 tahun (3,5%). Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa, baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol, sebagian besar mempunyai pendidikan SD dan SMP (69,8%). Distribusi responden berdasarkan pekerjaan , sebagian besar responden hanya sebagai ibu rumah tangga, 86% pada kelompok kasus dan 79,1% pada kelompok kontrol. Untuk lebih jelasnya tersaji pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan umur, pendidikan dan pekerjaan Di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah Variabel Umur (Tahun) <20 20-24 25-29 30-34 35-39 40 keatas Jumlah Pendidikan SD SMP SMU SARJANA Jumlah Pekerjaan PNS WIRASWASTA TANI/NELAYAN TIDAK KERJA/URT Jumlah Kasus n % Kontrol n % Jumlah n % 9 8 8 9 5 4 43 20,9 18,6 18,6 20,9 11,6 9,3 100,0 6 26 24 12 15 3 86 7,0 30,2 27,9 14,0 17,4 3,5 100,0 15 34 32 21 20 7 129 11,6 26,4 24,8 16,3 15,5 5,4 100,0 12 18 10 3 43 27,9 41,9 23,3 7,0 100,0 24 36 20 6 86 27,9 41,9 23,3 7,0 100,0 36 54 30 9 129 27,9 41,9 23,3 7,0 100,0 4 1 1 9,3 2,3 2,3 10 2 6 11,6 2,3 7,0 14 3 7 10,9 2,3 5,4 37 86,0 68 79,1 105 81,4 43 100,0 86 100,0 129 100,0 Analisis Bivariat Faktor risiko asfiksia neonatorum terhadap kematian neonatal Tabel 2 menunjukkan bahwa asfiksia neonaturum yang berisiko (nilai apgar < 7) lebih banyak terjadi pada kelompok kasus (60,5%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,5%). Hasil analisis Odds Ratio (OR) menunjukkan bahwa, asfiksia neonatorum 5 merupakan faktor risiko terhadap kematian neonatal, nilai OR = 42,314 (95% CI : 11,485155,888), artinya bayi dengan kasus asfiksia neonatorum (nilai APGAR < 7) berisiko 42,314 kali lebih besar untuk mengalami kematian pada usia neonatal dibanding bayi dengan nilai APGAR lebih besar dari 7. Tabel 2. Analisis Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum terhadapKejadian Kematian Neonatal di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah Asfiksia Neonatorum Berisiko Tidak Berisiko Jumlah Kematian Neonatal Kasus Kontrol n % n % 26 60,5 3 3,5 Jumlah n 29 % 22,5 C.I OR 17 39,5 83 96,5 100 77,5 42,314 43 100,0 86 100,0 129 100,0 Lo Up 11,485 155,888 Faktor risiko BBLR terhadap kematian neonatal Tabel 3 menunjukkan bahwa kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) lebih banyak terjadi pada kelompok kasus (58,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (7,0%). Hasil analisis Odds Ratio (OR) menunjukkan nilai OR = 18,519 (95% CI : 6,629-51,731). Dengan demikian bayi yang lahir dengan berat lahir < 2500 gram berisiko 18,519 kali lebih besar untuk mengalami kematian pada usia neonatal daripada bayi yang lahir dengan berat lahir 2500 gram atau lebih. Tabel 3. Analisis Faktor Risiko Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) terhadap Kejadian Kematian Neonatal Di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah BBLR Tidak normal Normal Jumlah Kematian Neonatal Kasus Kontrol n % n % Jumlah n % 25 58,1 6 7,0 31 24,0 18 43 41,9 100,0 80 86 93,0 100,0 98 129 76,0 100,0 C.I OR 18,519 Lo Up 6,629 51,731 Faktor Risiko Umur Ibu terhadap Kematian Neonatal Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase ibu dengan umur berisiko (<20 tahun & >35 tahun lebih tinggi pada kelompok kasus (34,9%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (19,8%). Nilai Odds Ratio (OR) = 2,174 (95% CI : 0,956-4,945), berarti bahwa ibu yang melahirkan bayi pada umur <20 tahun atau >35 tahun berisiko 2,174 kali lebih besar untuk mengalami kematian bayi pada usia neonatal dibanding ibu yang melahirkan pada usia 2035 tahun. Nilai OR ini tidak signifikan karena nilai Lower limit dan Upper limit mencakup nilai 6 satu , maka umur ibu bukan merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian kematian neonatal. Tabel 4. Analisis Faktor Risiko Umur Ibu terhadap Kejadian Kematian Neonatal Di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah Umur Ibu Kematian Neonatal Kasus Kontrol n % N % 15 34,9 17 19,8 Berisiko Tidak 28 65,1 69 Berisiko Jumlah 43 100,0 86 Sumber : Data Primer 80,2 Jumlah N 32 % 24,8 97 75,2 100,0 129 OR 95 % C.I LL UL 2,174 0,956 4,945 100,0 Faktor Risiko Paritas terhadap Kematian Neonatal Hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa paritas berisiko (>2 anak) mempunyai persentase lebih tinggi pada kelompok kontrol (36,0%) dibandingkan dengan kelompok kasus (34,9%). Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) diperoleh nilai OR = 0,950 (95% CI : 0,442-2,045) yang berarti paritas bukan merupakan faktor risiko kematian neonatal. Tabel 5. Analisis Faktor Risiko Paritas terhadap Kejadian Kematian Neonatal Di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah 415 Kematian Neonatal Jumlah 95% C.I Paritas Kasus Kontrol OR N % n % N % LL UL Berisiko 15 34,9 31 36,0 46 35,7 Tidak 28 65,1 55 64,0 83 64,3 0,44 Berisiko 0,950 2,045 2 100, 100, 100, Jumlah 43 86 129 0 0 0 Analisis Faktor Risiko Pelayanan Antenatal dengan Kematian Neonatal Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase ibu yang melakukan ANC yang tidak teratur lebih banyak pada kelompok kasus (88,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (45,3%). Hasil analisis Odds Ratio diperoleh nilai OR = 9,159 (95% CI : 3,288-25,514), Artinya bahwa, bayi yang lahir dari ibu yang tidak memanfaatkan pelayanan antenatal secara teratur berisiko 9,159 kali lebih besar untuk mengalami kematian pada usia neonatal daripada bayi yang lahir pada ibu yang memanfaatkan pelayanan antenatal secara teratur. Selanjutnya karena nilai Lower limit dan Upper limit tidak mencakup nilai satu sehingga risiko pelayanan antenatal signifikan terhadap kejadian kematian neonatal. 7 Tabel 6. Analisis Faktor Risiko Pelayanan Antenatal terhadap Kejadian Kematian Neonatal Di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah4.16 Kematian Neonatal Pelayanan Jumlah 95% C.I Kasus Kontrol OR Antenatal n % n % n % LL UL Berisiko 38 88,4 39 45,3 77 59,7 Tidak 5 11,6 47 54,7 52 40,3 9,159 3,288 25,514 Berisiko Jumlah 43 100,0 86 100,0 129 100,0 Analisis Multivariat Hasil analisis multivariat yang tersaji pada Tabel 7 menunjukkan bahwa, asfiksia neonatorum dan pelayanan antenatal bermakna secara signifikan terhadap kematian neonatal dimana asfiksia neonatorum merupakan variabel yang memberi kontribusi lebih besar terhadap kematian neonatal berdasarkan nilai exponen beta 13,449 (p=0,016). Tabel 7. Analisis Hubungan Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum, BBLR, Umur Ibu, Paritas dan Pelayanan Antenatal terhadap Kejadian Kematian Neonatal Di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah 418 Variabel Asfiksia Neonatorum BBLR Umur Ibu Paritas Pelayanan Antenatal Constant Df Sig. Exp(B) 95% C.I. Lower Upper 1,074 5,858 1 0,016 13,449 1,639 110,331 1,112 0,787 -0,586 0,984 1,278 0,606 1,685 0,562 1,087 1 1 1 0,258 0,194 0,297 3,041 2,197 0,557 0,442 0,669 0,185 20,913 7,208 1,675 2,198 0,673 10,669 1 0,001 9,011 2,409 33,705 -9,067 2,088 18,854 1 0,000 0,000 B S.E. 2,599 Tabel 8. Wald menunjukkan bahwa interaksi antara asfiksia neonatorum dengan pelayanan antenatal memiliki pengaruh positif terhadap kematian neonatal (p= 0,000) dengan besaran risiko adalah 6,754 pada Exp (B) dan nilai 95% C.I tidak mencakup satu. Tabel 8 Analisis Interaksi Asfiksia Neonarotum dengan Pelayanan Antenatal terhadap Kejadian Kematian Neonatal Di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah Variabel B S.E. Wald Df Sig. Exp(B) Asfiksia by Pelayanan Antenatal 1,910 0,405 22,235 1 0,000 6,754 Constant 3,384 0,790 18,331 1 0,000 0,034 95% C.I. Lower Upper 3,053 14,941 8 PEMBAHASAN Analisis Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum terhadap Kematian Neonatal Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir yang disebabkan oleh terjadinya hipoksia kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir dan umumnya merupakan kelanjutan dari hipoksia janin yaitu gangguan pernafasan selama dalam kandungan.Hasil temuan peneliti dilapangan bahwa jumlah kejadian asfiksia neonatorum cukup memprihatinkan dimana jumlah kasus mencapai 22,5 persen dari keseluruhan sampel penelitian. Kejadian asfiksia neonatorum sendiri pada dasarnya berkaitan dengan rendahnya pengamatan dan pengawasan kesehatan ibu selama masa kehamilan dimana asfiksia setelah kelahiran sebagai kelanjutan dari asfiksia dalam masa kehamilan sehingga dengan adanya pengawasan yang optimal melalui kunjungan pemeriksaan kehamilan ibu secara teratur akan mengurangi dampak dari asfiksia termasuk tindakan segera untuk menangani masalah kehamilan ibu dan perkembangan bayi dalam kandungan (American Heart Association, 2000) Hasil penelitian Prabamurti (2008) menunjukkan hasil yang serupa dimana kejadian asfiksia sejak kelahiran bayi berisiko 7,85 kali lebi besar dibandingkan dengan bayi yang tidak mengalami asfiksia sejak kelahirannya. Hal ini disebabkan karena asfiksia dapat menyebabkan penurunan denyut jantung yang cepat pada bayi, kebiruan dan pucat pada tubuh dan refleks-refleks melemah sampai menghilang dan berakhir pada kematian (Depkes RI, 2000). Analisis Faktor Risiko BBLR terhadap Kematian Neonatal Hasil temuan peneliti dilapangan diperoleh kelahiran bayi saat lahir tidak normal sebanyak 24% dari keseluruhan sampel penelitian yang memberi gambaran akan masih tingginya risiko akibat BBLR pada kelahiran bayi di Kabupaten Morowali. Kejadian BBLR pada dasarnya terkait dengan adanya berbagai faktor yang berkaitan secara langsung terhadap kesehatan ibu selama kehamilan yang berdampak pada gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan.Kelahiran bayi dengan BBLR pada dasarnya merupakan dampak lanjut dari rendahnya pemenuhan kebutuhan nutrisi selama masa kehamilan. Kelahiran bayi dengan BBLR merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi masih tingginya angka kematian di suatu wilayah. Sebagaimana berdasarkan hasil temuan peneliti di Kabupaten Morowali dinyatakan bahwa BBLR merupakan faktor risiko terhadap kematian neonatal dengan besar risiko yang ditimbulkan adalah 18,519 kali pada berat lahir < 2500 gram dimana kontribusi yang diberikan terhadap kematian neonatal akibat BBLR adalah mencapai 58,1 persen pada kelompok kasus.Penilaian BBLR pada penelitian ini didasarkan atas hasil penimbangan berat badan lahir bayi segera setelah kelahiran atau maksimal 24 jam setelah kelahiran sehingga dapat memberi gambaran terhadap kesehatan 9 bayi segera setelah kelahiran termasuk perhatian terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi sewaktu masih dalam kandungan.Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Depkes RI (1994) memuat bahwa kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan dalam periode neonatal dini sangat erat hubungannya dengan berat badan lahir. Analisis Faktor Risiko Umur Ibu terhadap Kematian Neonatal Hasil temuan penelitian yang ditunjukkan pada tabel 4.8 masih terdapat 24,8 persen dari ibu berada pada kelompok umur yang berisiko dimana ibu mengalami kehamilan sebelum usia 20 tahun dan masih hamil pada usia 36 tahun keatas. Kelompok usia ini merupakan kelompok umur yang berisiko dimana pada ibu yang berumur < 20 tahun belum memiliki kesiapan fisiologis dari organ reproduksi sedangkan pada usia > 35 tahun berkaitan dengan penurunan kemampuan organ reproduksi. Hasil temuan peneliti tentang risiko umur ibu terhadap kematian neonatal telah disajikan pada tabel 4.8 dimana besarnya risiko yang ditimbulkan oleh kelompok umur yang berisiko terhadap kematian neonatal adalah 2 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan kelompok umur tidak berisiko. Jika dibandingkan dengan asfiksia neonatorum dan BBLR, risiko umur ibu masih lebih rendah dimana kontribusi terhadap kematian neonatal hanya mencapai 34,9 persen yang lebih banyak pada ibu yang tidak mengalami kematian neonatal pada kelahiran bayinya. Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun telah memberi risiko terhadap kematian neonatal namun berdasarkan tinjauan statistik, risiko yang ditimbulkan tersebut tidak memberi arti yang bermakna dimana nilai capaian 95% CI dengan nilai antara lower dan upper limit yang mencakup nilai 1. Keadaan ini didasarkan atas keadaan lapangan yang menunjukkan masih banyak dari ibu meskipun dengan umur yang berisiko namun melahirkan anak yang sehat dan tidak mengalami kematian.Hasil ini juga memberi gambaran akan keberhasilan pemberian informasi tentang umur yang ideal untuk masa kehamilan pada kelompok masyarakat sehingga ibu yang mengalami kehamilan pada umur yang berisiko lebih sering dan intensif ke pelayanan kesehatan untuk pemeriksaan kehamilannya. Hasil penelitian Kasmiati dkk (1991) menyatakan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu yang berumur < 20 tahun memiliki risiko kematian neonatal 2 kali lebih besar dibandingkan bayi yang dilahirkan dari ibu berumur 20 – 34 tahun. Keadaan kesehatan ibu selama masa kehamilan tersebut tidak terlepas dari umur ibu itu sendiri. Meskipun pada hasil temuan peneliti tidak memberi makna yang berarti terhadap kematian neonatal namun masih mendapat perhatian mengingat besar risiko yang ditimbulkan. Selain itu, pada kondisi tertentu yang bersifat kompleks, umur ibu akan turut andil dalam meningkatkan risiko terhadap kematian neonatal. 10 Analisis Faktor Risiko Paritas terhadap Kematian Neonatal Berdasarkan hasil temuan peneliti yang telah disajikan pada tabel 4.9menunjukkan bahwa 35,7 persen ibu adalah kelompok berisiko dengan memiliki paritas > 2. Dikatakan sebagai kelompok berisiko didasarkan atas tingkat stabilitas dan kemampuan organ reproduksi wanita. Secara alamiah, seorang perempuan sudah dapat mengalami kehamilan setelah terjadi menstruasi pertama namun kesiapan dan kemampuan organ reproduksi tersebut tidak sepenuhnya optimal. Organ reproduksi seorang perempuan mengalami perkembangan sampai pada tahap yang siap untuk mengalami kehamilan sampai pada penurunan kemampuan sebagai suatu siklus kehidupan. Kehamilan dengan frekuensi yang tinggi tidak lepas dari umur pertama ibu menikah. Semakin cepat usia perkawinan tentunya dapat meningkatkan jumlah kehamilan dan kelahiran oleh seorang ibu dalam hal ini paritas juga akan tinggi. Tingginya paritas pada seorang ibu dapat memberi dampak terhadap kesehatannya. Seiring dengan pertambahan usia, paritas yang tinggi akan meningkatkan risiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi khususnya kematian ibu dan bayi.Paritas bukan merupakan factor risiko terhadap kematian neonatal berdasarkan hasil temuan peneliti namun bukan menjadi kesimpulan mutlak bahwa jumlah paritas tidak memiliki singkronisasi dengan kematian neonatal. Paritas yang tinggi pada seorang ibu pada dasarnya dapat memberi gambaran terhadap rendahnya perhatian terhadap pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana. Program pembangunan kesehatan melalui kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana telah mencanangkan jumlah kehamilan dan kelahiran ideal oleh seorang ibu adalah maksimal 2 kali sehingga masih terdapatnya ibu dengan paritas yang lebih tinggi berkaitan dengan rendahnya akses terhadap informasi tersebut (Depkes RI, 1994b). Analisis Faktor Risiko Pelayanan Antenatal terhadap Kematian Neonatal Hasil temuan peneliti dilapangan menunjukkan bahwa masih dominan ibu tidak memanfaatkan pelayanan antenatal secara lengkap dan teratur yaitu mencapai 59,7%. Ketidaklengkapan dan ketidakteraturan pelayanan antenatal yang dilakukan oleh ibu berdasarkan hasil temuan peneliti ditunjukkan dengan jumlah kunjungan ke pelayanan kesehatan yang tidak memenuhi standar berdasarkan perkembangan usia kehamilan yaitu minimal 1 kali pada trimester I, 1 kali pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Dampak dari ketidakteraturan ibu hamil mengunjungi pelayanan kesehatan tersebut sehingga berbagai jenis pelayanan yang semestinya didapatkan pula tidak lengkap. Rendahnya pemanfaatan pelayanan antenatal oleh ibu hamil pada dasarnya berkaitan dengan faktor akses terhadap pelayanan kesehatan itu sendiri. Jangkauan pelayanan kesehatan yang tidak dapat terpenuhi turut memiliki andil terhadap keadaan ini. Lokasi tempat tinggal yang terlampau jauh dari pelayanan kesehatan serta keadaan 11 demografi kepulauan di lokasi penelitian merupakan salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan.Akses yang rendah terhadap pelayanan kesehatan juga ditunjang dengan rendahnya capaian petugas kesehatan ke daerah-daerah terpencil sehingga masyarakat khususnya ibu hamil tidak mendapatkan pelayanan yang lengkap dan teratur.Rendahnya pemanfaatan pelayanan antenatal oleh ibu hamil pada dasarnya dapat memberi gambaran terhadap rendahnya proses persalinan yang dilakukan oleh tenaga penolong profesional. Keadaan ini tentunya akan meningkatkan risiko terhadap kematian neonatal. Sebagaimana hasil penelitian Prabamurti dkk (2008) menunjukkan bahwa kejadian kematian bayi berisiko 6,07 kali lebih besar pada persalinan yang tidak ditolong oleh tenaga kesehatan. Analisis Faktor Risiko dengan Kontribusi Tertinggi terhadap Kematian Neonatal Berdasarkan analisis multivariat lanjutan memberi gambaran bahwa pengaruh asfiksia neonatorum akan lebih meningkat terhadap kematian bayi pada usia neonatal dengan adanya pengurangan keterlibatan variabel penelitian sedangkan variabel lainnya mengalami penurunan risiko. Begitupun pula pada variabel pelayanan antenatal dimana risiko yang ditimbulkan mengalami penurunan karena adanya keterlibatan variabel asfiksia neonatorum yang memberi pemahaman bahwa meskipun ibu telah memanfaatkan pelayanan antenatal secara teratur dan lengkap namun jika mengalami kelahiran bayi dengan nilai APGAR < 7 akan lebih tinggi risikonya mengalami kematian pada usia neonatal. Berdasarkan hal tersebut, perhatian terhadap kesehatan ibu baik sebelum, saat sampai pada masa persalinan perlu mendapat perhatian untuk menegah terjadinya gangguan kesehatan kehamilan dan gangguan perkembangan janin. Hal ini disebabkan karena kejadian asfiksia neonatorum berkaitan langsung dengan rendahnya perhatian terhadap kesehatan ibu selama kehamilan. Pelayanan antenatal yang teratur dan lengkap harus dibarengi dengan perhatian terhadap kesehatan gizi dan aspek lainnya yang turut mendukung pertumbuhan janin yang optimal selama dalam kandungan. Kejadian kematian neonatal tidak terlepas pula adanya interaksi dari setiap variabel penelitian dimana pada individu teridentifikasi terpapar dengan faktor risiko lebih dari satu sehingga dilakukan analisis interaksi dari variabel penelitian yang memiliki kontribusi positif. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menilai tingkat risiko yang ditimbulkan dari faktor risiko kematian neonatal. Berdasarkan hasil analisis data temuan peneliti yang ditunjukkan pada tabel 3, adanya interaksi antara asfiksia neonatorum dengan pelayanan antenatal juga menunjukkan pengaruh positif terhadap kematian neonatal yang berarti bahwa pada bayi yang mengalami asfiksia neonatorum disertai dengan ibu yang tidak melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur berisiko positif terhadap kematian neonatal berdasarkan nilai signifikansi = 0,000 < 0,05.Keadaan akan berbalik pada proses analisis data dimana dengan memasukkan variabel interaksi dalam analisis lanjutan menunjukkan 12 bahwa ketiga variabel yang dianalisis yaitu asfiksia neonatorum, pelayanan antenatal dan interaksi asfiksia neonatorum dengan pelayanan antenatal menunjukkan tidak adanya pengaruh positif terhadap kematian neonatal berdasarkan nilai signifikansi > 0,05. Keadaan ini berkaitan dengan adanya kejadian faktor risiko yang saling berulang sehingga risiko mengalami penurunan. KESIMPULAN Asfiksia neonatorum merupakan faktor risiko terhadap kematian neonatal dengan besar risiko 42,314 kali lebih besar pada bayi yang mengalami asfiksia neonaturum(nilai APGAR < 7), dibanding yang tidak mengalami asfiksia neonaturum. Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan faktor risiko terhadap kematian neonatal dengan besar risiko 18,519 kali lebih besar pada bayi dengan berat badan lahir tidak normal(< 2500 gram). Umur ibu bukan merupakan faktor risiko terhadap kematian neonatal dengan berdasarkan nilai OR = 0,950 dan nilai 95% CI yang mencakup nilai satu. Dalam penelitian ini, paritas bukan merupakan faktor risiko terhadap kematian neonatal berdasarkan nilai OR = 0,950 dan 95% CI mencakup nilai satu. Pelayanan antenatal merupakan faktor risiko terhadap kematian neonatal dengan besar risiko 9,159 kali lebih besar pada ibu yang tidak memanfaatkan pelayanan antenatal secara lengkap dan teratur. Disarankan agar ibu hamil agar melakukan pemeriksaan kehamilan secara tertatur dan lengkap sehingga komplikasi yang dialami oleh ibu bisa dideteksi sedini mungkin dan bila ditemukan komplikasi obstetric tindakan rujukan dapat segera dilakukan. DAFTAR PUSTAKA American Heart Association, (2000). Depkes RI, (1994a). Pedoman Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesehatan Neonatal. Dirjen Binkesmas. Jakarta. Depkes RI. (1994b). Buku Pedoman Pelayanan Upaya Kesehatan Perinatal di Wilayah Puskesmas. Dirjen Binkesmas. Jakarta. Depkes RI. (2000). Pedoman Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Dirjen Binkesmas. Jakarta. Depkes RI. (2003a). Laporan Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2002 – 2003. Depkes RI. Jakarta. Depkes RI, (2010a). Rumah Tunggu Kelahiran Sebagai Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu. Kementrian Kesehatan RI. www.kesehatanibu.depkes.go.id. Jakarta. Akses 24 November 2011. Kasmiyati, Asih et.al.(1991). Factors Influencing Infant Motality in Indonesia. Journal of Population. Vol 3 No 1 June. Kosen, Soewarta dan Sarimawar. (2005). Peningkatan Kelangsungan Hidup Neonatal di Indonesia. Disajikan dalam Simposium Nasional II Bidang Litbangkes Depkes RI. Jakarta. Laporan MDG’s .(2010). 13 Laporan Riset Kesehatan Dasar .(2007). Marian F. Macdorman And T.J. Mathews.(2008). Recent Trends In Infant Mortality In The United States, CTR. For Disease Control And Prevention, NAT’L CTR. For Health Statistics Data Brief. Prabamurti, Priyadi Nugraha dkk. (2006). Analisis Faktor Risiko Status Kematian NeonatalStudi Kasus Kontrol di Kecamatan Losari Kabupaten Brebes Tahun 2006. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol.3. Profil Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2011. Profil Kesehatan Sulawesi Tengah Tahun 2009. WHO. (2011). World Health Statistics 2011. WHO Department of Health Statistics and Informatics of the Innovation, Information, Evidence and Research Cluster. WHO Library Cathaloguing. France. 14