Ketidak-cocokan Mind Set Kesehatan di Sulawesi Barat Subuh ini tiba-tiba memori saya on. Maka saya rangkum beberapa sequens informasi ke dalam tulisan ini. Info kunjungan sosialisasi buku saku SOP Perawatan Bayi di RSUD dan Puskesmas dengan Rawat Inap…….“Di Sulbar pak dokter spesialis anaknya (cuma ada 2) kemarin cerita tak ada bidan yang punya ambubag. Satu Provinsi ini juga tak punya manekin untuk latihan resusitasi bayi. Pantes angka kematian bayinya paling tinggi seNusantara.” Evidence based yang pernah terungkap dan saya angkat ke permukaan diskusi tentang pelatihan asphyxia begini:………….”Pelatihan resusitasi neonatal asfiksia atas kerjasama Perinasia, IDAI dan POGI dalam kurun waktu 1997-2005, yang melatih intervensi ketersediaan dan penggunaan sungkup resusitasi pada neonatus, baru menjangkau 22 kota di 18 provinsi dengan 3437 peserta, 86,6 % peserta dari RS/RSB/klinik. Hanya 7,3 % peserta berasal dari Puskesmas/dinas kesehatan/institusi pendidikan. Selama ini secara formal POGI melakukan pelatihan PONED (pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar) di Provinsi Banten, Bangka Belitung dan Bali yang telah disepakati menjadi kebutuhan bagi tiap unit pelayanan kesehatan. Modul pelatihan telah disepakati pula oleh organisasi profesi yang tergabung dalam Jaringan Nasional Pelatihan Klinik (JNPK). [24] Dalam pelatihan dimaksud, terkandung pula didalamnya penanganan neonatal dalam porsi terbatas. Pelatihan tersebut di atas lebih memperhatikan perawatan neonatal di fasilitas kesehatan dan masih kurangnya perhatian perawatan BBLR di rumah tangga.” Mengungkap data semacam itu pada pelaku kunci ada risikonya, tenaga sudah empot-empotan masih tampak kesenjangannya, dan dikritik ilmiah pisan…..ya tentu bawah sadarnya muncul ketersinggungan……..dengan rekomendasi “jangan diteruskan, stop sampai di sini!!!!” Tentu reaksi semacam itu ada yang mem-back-up dengan doa kehadiatNYA. Dari data di atas, ya memang baru terjangkau 18 Provinsi akibat beratnya sumber daya yang menyaratkan spesifikasi pelatihan tertentu. Tetapi kalau Sulbar memang miskin sumber daya……kalau saya bandingkan dengan Kabupaten Merauke…RSUDnya bisa beli alat pada 2010 yang direncanakan dan dibelanjakan mereka sendiri dari uang Kemenkes yang ditransfer ke daerah lho! Dan menjadi tanggungjawab mereka sendiri, seperti di bawah ini: Meja Operasi dibeli dari Dana Alokasi Khusus Bidang kesehatan TA 2010 Kayaknya sih ini kalau ada ambu bag di sisi kiri koq alat anestesi ya, saya bukan fotografernya, jadi tidak mengikuti penjelasan pengantarnya. Masih di gudang, kunjungan bulan Mei. Katanya butuh…..dikasih duit…..beli sendiri…..koq belum dipakai pelayanan dan memasukkan pendapatan sih! Sudah dibeli, belum dibuka dari packing……keburu out of date masa expired teknologinya yang dibeli jangan-jangan sudah terlambat sequens waktu kebaruannya ya. Perlu Technology Impact Assessment kali ya. Kalau lihat dinding porselin ini sudah di gudang OK…..gudang lho itu tampakannya. Belum dipakai, beli tahun 2009…..kunjungan Mei 2011…..coba……bukannya kreatif meningkatkan pelayanan…..kepuasan konsumen dapat…..pemasukan RSUD dapat gitu lho! Banyak alat dibeli, masih di gudang. Padahal tahun 2011 mereka sudah harus merencanakan beli agar habis anggarannya…… Kembali ke issue Sulawesi Barat……..Mungkin koq kondisinya begitu juga. Pelatihan resusitasi mestinya sudah mereka berdayakan di tataran klinik. Duit konteks darurat medis untuk ambu bag (punya institusi tentunya, jangan diklaim punya bidan toh) dan manekin bisa itu. Pengarahan dari Unit di Kemenkes sudah diberikan untuk mengukur kebutuhan daerah pada alat kesehatan. Yang masih miskin adalah kreativitas…..otak kanannya mengalami restraksi yang endemis terjadi di masyarakatnya kali ya. Intervensinya ya dilihat konsumsi albumin pada ketersediaan bahan makanan lokal bagaimana polanya. Saya koq mikir perlu intervensi promotif dan preventif untuk meningkatkan kreativitas segala bidang kehidupan manusianya. Manusianya kan tidak dalam kondisi disabilitas……dalam kondisi normal. Mungkin koq sel otak kanannya tidak pernah digunakan sejak bayi menjadi disused atrophy… ambil saja posisi hipotetik sementara begitu . kalau pengobatan dinasti Ming…….ikan gabus yang buesar >sekilo per ekornya di tim…..diambil ekstrak cairan yang keluar…..itu albumin. Sisa dagingnya menjadi tidak enak ternyata. Kalau digoreng untuk manusia menjadi tidak enak. Jadi enaknya ikan gabus goreng sebenarnya dari cairan albumin yang dikandungnya rupanya. Itu kita peras. Dikonsumsi sesendok-sesendok makan 2 kali sehari (karena sudah langka ikan gabusnya). Biar nggak amis dikasih peresan jeruk, plus garam biar nggak anyep. Kan ini orang normal. Bukan orang yang lagi pasca stroke hipertensi yang perlu ditumbuhkan kembali linking synap-nya. Ditambah lidah buaya Pontianak yang banyak di Giants atau Carefour sesendok makan 2 x sehari juga. Bikin sendiri saja, kulit hijaunya diiris….tinggal gelnya…..diiris kubus kayak Natta de Cocco. Kalau langsung diicip berlendir dan pahit. Itu pencahar efeknya. Banyak enzimnya, jadi jangan direbus. Untuk pahitnya direndam dulu dengan 5 biji jeruk nipis atau lemon per 1 kg lidah buaya selama 2-3 jam……..coba aja kalau 30 menit seberapa efek pahitnya yang hilang. Diukur-ukur sendiri dulu untuk memfitkan waktunya yang robust……he….he…he….koyok statistik aja. Dibilas dengan aqua…..ganti rendam dengan air kapur sirih yang bening selama 2 jam (makin lama makin menghilangkan lendirnya…diukur sendiri aja apa sudah peret). Setelah itu bilas lagi dengan aqua. Kasih sirup gula batu atau gula pasir bikinan sendiri……10 sendok makan pada 2-3 gelas air dilarutkan dalam kompor….setelah dingin dituang saja. Masukkan kulkas biar dingin enak. Sepertinya gulanya diserap gel Allovera-nya….soalnya kalau diicip koq jadi kurang manisnya. Bagi yang nggak mau repot kayak gitu, sekarang banyak mal-mal yang mendatangkan sirup jadi dari Pontianak, se pak isi 5 harganya 20rb kali ya….kalau bawa sendiri dari Pontianak pakai kardus …walah berat dan besar bagasinya…..mahal lagi kan. Tidak terkontrol proses pembuatannya apa menghilangkan enzim-enzim yang dikandung….yang mau kita ambil manfaatnya. Cara itu ternyata ada yang hemiplegi karena thrombotik stroke…..6 bulan balik nyetir mobil (karena sudah pensiun) ngantar isterinya dinas…..jauh juga jarak rumah-kantornya dan macet lagi. Waktu pulang ngantar dan berangkat menjemput kan sendirian nyetir, koq mampu normal lagi! Ada efek regenerasi sel otaknya….yang bayangan saya tidak mungkin bisa terjadi. Kalau kita ke tukang ikan….selalu setiap penjualnya di mana pun bilang kalau ikan gabus langka, makannya bersih tidak jorok karena predator makan binatang hidup. Suka dipesan perawat-perawat untuk obat habis operasi bilangnya. Jadi sebenarnya di masyarakat kita pola itu sudah folklore juga lho. Omega 3 dan 6 yang mahalnya jabang bayi di toko suplemen itu banyak kadarnya kali ya. Efek makan ikan lemuru pada preventif sakit jantung PJK saja jadi disertasi. Masak terapi dinasti Ming (sinshe-sinshe akupunctur kali ya yang mempopulerkan) nggak mau mengamati. Apalagi kalau itu kebutuhan Sulawesi Barat. Kembali ke issue maneqin di Subar…..ya itu yang membekali di Pusat koq tidak terendus kebutuhan datanya perlu apa, pembekalannya kayak apa, Provinsi koq nggak ngerti butuhnya sendiri, duitnya ada, kewenangan dan responsibilitas nya ada. Payung hukum dan manual pengadaan dan penggunaannya sudah ada. Tinggal kesadaran untuk kreatif itu lho yang perlu dibangkitkan dengan mengenalkan ikan gabus dan Allovera……..he…..he….he…. ini makin rumit menyadarkan saya bagaimana kita harus mengumpulkan data untuk evidencenyamenj, untuk diolah menjadi policy pimpinan di daerah.