13 anti diskriminasi

advertisement

Kelompok ini sebenarnya berasal dari teori
tentang konflik dan rasisme, kemudian
dikembangkan lagi dengan teori tentang
diskriminasi satu kelompok kepada kelompok
lain


Teori tentang anti diskriminasi lebih condong
pada paradigma socialist – collectivist
Teori ini lebih terfokus pada upaya untuk
mengatasi diskriminasi yang melembaga
dalam suatu masyarakat, ada kelompok kuat
dan kelompok lemah.

Teori ini dibangun berdasarkan teori sosiologis
dan psikologi yang menyatakan bahwa
masyarakat memiliki keanekaragaman yang
membentuk social divisions. Social division ini
membentuk pembagian kerja yang berujung
pada pembentukan identitas sosial. Identitas
sosial yang berlandaskan pembagian kerja ini
mengakibatkan ketidakadilan yang kuat
cenderung menindas yang lemah.


Antidiskriminasi meliputi ideologi maupun
proses-proses sosial yang menindas kelompok
tertentu, yang seringkali berdasarkan budaya,
ras, gender, disability, age, dst.
Teori Diskriminasi, awalnya dilandasi oleh
asumsi yang meyakini adanya rasa rendah diri
yang disebabkan oleh kategori biologis yang
ada pada klp tertentu


Sebaliknya, superioritas juga disebabkan oleh
karakteristik biologis tertentu dari suatu
kelompok ras.
Akhirnya, karakteristik tersebut menentukan
status. Status inilah yang menyebabkan adanya
kelebihan dari satu kelompok ras terhadap
kelompok lainnya.

Diskriminasi berarti menentukan kelompok
tertentu yang memiliki karakteristik lebih
unggul dari kelompok lain, dan
memperlakukan kelompok yang lebih lemah
sesuai dengan kelemahan yang dimilikinya.
Kondisi ini menyebabkan ketidak samaan
segalanya.



Diskriminasi lain disebabkan oleh struktur
kelas dalam masy (teori Marx). Masy terbagi
menjadi kelas pekerja dan kelas pemiliki
modal. Ketimpangan terjadi pada hubungan
kekuasaan antar dua kelas tersebut.
Kelas pemilik modal akan terus berusaha
memiliki modal itu yang harus dijalankan dan
dikerjakan oleh pekerja. Pemilik modal
semakin kaya, kelas pekerja menjadi bagian
dari alat produksi.
Pemilik modal selalu mempertahankan
hegemoni ketimpangan, melalui rekayasa
struktural yang mengekalkan ketidak
berdayaan.


Teori sensitivitas budaya/etnik lebih condong
pada paradigma reflexive – therapeutic, karena
mengutamakan penguatan orang.
Teori ini berlandaskan pada multikulturalisme
yang meyakini bahwa masyarakat terbentuk
dari beraneka ragam budaya dan berupaya
untuk menggabungkan budaya2 ini dalam
membentuk atau mengkonstruksi masyarakat.
Knowledge about Cultures
+
Awareness (of yourself and others)
+
Awareness of Social Environments
=
Cultural Competence To Work With Others /
cultural sensitivity
=
Helping Relationship / working with others in
cooperative ways




Language, learn native language
Tolerance
Flexibility
Critical Thinking.






Multidimentional Thinking
Many ways to see the world / life.
Listening and Empathy Skills
Humility (kerendahan hati)
Openmindedness (terbuka thd perbedaan).
Congruence.

Teori ini berguna bagi pekerja sosial dalam
mengurangi atau menghindari terjadinya ,
diskriminasi, penindasan, atau ketidak adilan
yang menyebabkan munculnya banyak
masalah lain : Kemiskinan, kesengsaraan,
ketunaan, kebodohan, dan sebagainya.
Antidiskriminasi dan cultural sensitivity pada
intinya memberi dampak pada bentuk
intervensi pekerjaan sosial:
 Pendekatan pemberdayaan, combating
discrimination against all groups.
 Memberi penekanan pada social division of
class, gender, race & ethnicity, structural
elements of community, and many other things
potential to opression.
 Bekerja dalam kesetaraan dengan klien/
kelompok sasaran.
 Minimal intervention : Primary, secondary,
tertiary level of intervention.

Teori antidiskriminasi & sensitivitas bdaya
menonjolkan “self etermination”, dalam arti,
mengedepankan all human potentiality,
dengan demikian, intervensi must be
conducted in minimal nature, alias nggak
menggurui, nggak ngatur, nggak boleh
menonjolkan peran pekerja sosial, tetapi justru
menonjolkan peran klien/komunitas yang
diajak kerjasama, “putting last first and
putting the first last” alias tut wuri handayani.



Primary level : Mencegah munculnya masalah.
Secondary level: Mencoba untuk mengatasi
permasalahan sedini mungkin, jika memang
tak dapat dicegah. Untuk mengurangi peluang
semakin memburuknya masalah.
Tertiary level: mengurangi efek lebih buruk
dari suatu masalah yang sudah terlanjur
terjadi, biasa disebut “harm reduction”
All types of SW intervention must be
amalgamated / orchestrated into a dynamic
way, to free all parts of community elements,
to express their power.


Do not use your power to control.
Download