Kelompok ini sebenarnya berasal dari teori tentang konflik dan rasisme, kemudian dikembangkan lagi dengan teori tentang diskriminasi satu kelompok kepada kelompok lain Teori tentang anti diskriminasi lebih condong pada paradigma socialist – collectivist Teori ini lebih terfokus pada upaya untuk mengatasi diskriminasi yang melembaga dalam suatu masyarakat, ada kelompok kuat dan kelompok lemah. Teori ini dibangun berdasarkan teori sosiologis dan psikologi yang menyatakan bahwa masyarakat memiliki keanekaragaman yang membentuk social divisions. Social division ini membentuk pembagian kerja yang berujung pada pembentukan identitas sosial. Identitas sosial yang berlandaskan pembagian kerja ini mengakibatkan ketidakadilan yang kuat cenderung menindas yang lemah. Antidiskriminasi meliputi ideologi maupun proses-proses sosial yang menindas kelompok tertentu, yang seringkali berdasarkan budaya, ras, gender, disability, age, dst. Teori Diskriminasi, awalnya dilandasi oleh asumsi yang meyakini adanya rasa rendah diri yang disebabkan oleh kategori biologis yang ada pada klp tertentu Sebaliknya, superioritas juga disebabkan oleh karakteristik biologis tertentu dari suatu kelompok ras. Akhirnya, karakteristik tersebut menentukan status. Status inilah yang menyebabkan adanya kelebihan dari satu kelompok ras terhadap kelompok lainnya. Diskriminasi berarti menentukan kelompok tertentu yang memiliki karakteristik lebih unggul dari kelompok lain, dan memperlakukan kelompok yang lebih lemah sesuai dengan kelemahan yang dimilikinya. Kondisi ini menyebabkan ketidak samaan segalanya. Diskriminasi lain disebabkan oleh struktur kelas dalam masy (teori Marx). Masy terbagi menjadi kelas pekerja dan kelas pemiliki modal. Ketimpangan terjadi pada hubungan kekuasaan antar dua kelas tersebut. Kelas pemilik modal akan terus berusaha memiliki modal itu yang harus dijalankan dan dikerjakan oleh pekerja. Pemilik modal semakin kaya, kelas pekerja menjadi bagian dari alat produksi. Pemilik modal selalu mempertahankan hegemoni ketimpangan, melalui rekayasa struktural yang mengekalkan ketidak berdayaan. Teori sensitivitas budaya/etnik lebih condong pada paradigma reflexive – therapeutic, karena mengutamakan penguatan orang. Teori ini berlandaskan pada multikulturalisme yang meyakini bahwa masyarakat terbentuk dari beraneka ragam budaya dan berupaya untuk menggabungkan budaya2 ini dalam membentuk atau mengkonstruksi masyarakat. Knowledge about Cultures + Awareness (of yourself and others) + Awareness of Social Environments = Cultural Competence To Work With Others / cultural sensitivity = Helping Relationship / working with others in cooperative ways Language, learn native language Tolerance Flexibility Critical Thinking. Multidimentional Thinking Many ways to see the world / life. Listening and Empathy Skills Humility (kerendahan hati) Openmindedness (terbuka thd perbedaan). Congruence. Teori ini berguna bagi pekerja sosial dalam mengurangi atau menghindari terjadinya , diskriminasi, penindasan, atau ketidak adilan yang menyebabkan munculnya banyak masalah lain : Kemiskinan, kesengsaraan, ketunaan, kebodohan, dan sebagainya. Antidiskriminasi dan cultural sensitivity pada intinya memberi dampak pada bentuk intervensi pekerjaan sosial: Pendekatan pemberdayaan, combating discrimination against all groups. Memberi penekanan pada social division of class, gender, race & ethnicity, structural elements of community, and many other things potential to opression. Bekerja dalam kesetaraan dengan klien/ kelompok sasaran. Minimal intervention : Primary, secondary, tertiary level of intervention. Teori antidiskriminasi & sensitivitas bdaya menonjolkan “self etermination”, dalam arti, mengedepankan all human potentiality, dengan demikian, intervensi must be conducted in minimal nature, alias nggak menggurui, nggak ngatur, nggak boleh menonjolkan peran pekerja sosial, tetapi justru menonjolkan peran klien/komunitas yang diajak kerjasama, “putting last first and putting the first last” alias tut wuri handayani. Primary level : Mencegah munculnya masalah. Secondary level: Mencoba untuk mengatasi permasalahan sedini mungkin, jika memang tak dapat dicegah. Untuk mengurangi peluang semakin memburuknya masalah. Tertiary level: mengurangi efek lebih buruk dari suatu masalah yang sudah terlanjur terjadi, biasa disebut “harm reduction” All types of SW intervention must be amalgamated / orchestrated into a dynamic way, to free all parts of community elements, to express their power. Do not use your power to control.