STIKES NGUDI WALUYO HUBUNGAN KEJADIAN ASFIKSIA NEONATORUM DENGAN KEMATIAN NEONATAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KRATON KABUPATEN PEKALONGAN JURNAL SKRIPSI OLEH : FARAH SABRIYANA WILLIANDY ADITYA TAMARIA NIM : 030112A031 PROGRAM STUDI D IV KEBIDANAN STIKES NGUDI WALUYO 2013 1 HUBUNGAN KEJADIAN ASFIKSIA NEONATORUM DENGAN KEMATIAN NEONATAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KRATON KABUPATEN PEKALONGAN Oleh : FARAH SABRIYANA WILLIANDY ADITYA TAMARIA Program Studi D IV Kebidanan STIKES Ngudi Waluyo Abstrak Kematian neonatal di negara berkembang lebih tinggi daripada negara maju proporsinya pada berat badan lahir rendah, lahir asfiksia dan kelainan kongenital. Penyebab utama kematian neonatal disebabkan oleh asfiksia neonatorum, karena kemungkinan terjadinya asfiksia dapat lebih besar pada bayi baru lahir yang tanpa faktor resiko asfiksia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara kejadian asfiksia neonatorum dengan kematian neonatal di Rumah Sakit Umum Daerah Kraton Kabupaten Pekalongan. Metode penelitian yang digunakan descriptif corelatif dengan pendekatan cross sectional. Populasinya sebanyak 74 bayi. Sampel dalam penelitian ini adalah 52 bayi yang meninggal. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sample dan uji analisa data menggunakan uji chi – square. Hasil penelitian didapatkan dari 52 bayi, yang mengalami asfiksia neonatorum sebanyak 48 bayi (92,3%) dan seluruhnya mengalami kematian neonatal. Sebanyak 4 bayi (7,7 %) tidak mengalami asfiksia, 2 bayi (50 %) mengalami kematian neonatal dan 2 bayi (50 %) tidak mengalami kematian neonatal, hasil analisis didapatkan nilai p value = 0,005 ( p < α ). Kesimpulannya ada hubungan kejadian asfiksia neonatorum dengan kematian neonatal di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Disarankan agar petugas kesehatan lebih meningkatkan keterampilan dalam penanganan masalah kegawatdaruratan neonatus. Kata Kunci : Asfiksia neonatorum, Kematian neonatal PENDAHULUAN Salah satu cara untuk menilai keberhasilan program pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan di suatu negara adalah dengan melihat perkembangan angka kematian dari tahun ke tahun. Angka kematian bayi adalah banyaknya kematian bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun, per 1000 kelahiran hidup pada waktu tertentu (Dinkesjatengprov, 2012). Angka kelahiran adalah angka yang menunjukkan jumlah bayi yang lahir dari setiap 1000 orang penduduk per tahun (Mochtar, 2012). Penanganan yang kurang baik pada bayi baru lahir akan menyebabkan kelainankelainan yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup atau bahkan kematian. Pembersihan jalan nafas yang kurang baik saat bayi lahir dapat menyebabkan masuknya cairan lambung ke dalam paru-paru sehingga dapat mengakibatkan kesulitan pernafasan, kekurangan zat asam, dan apabila hal ini berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang (Saifudin, 2008). Manajemen bayi baru lahir normal dapat dilihat dari penilaiannya yaitu bayi yang cukup bulan, air ketuban jernih, tidak bercampur mekonium, bayi menangis atau bernafas spontan, dan tonus otot bayi baik / bayi bergerak aktif (Gulardi, 2008). Penilaian bayi baru lahir dilihat dari apgar (apperance / warna kulit, pulse / frekuensi jantung, grimace / reaksi terhadap rangsangan, activity / tonus otot, respirasi / pernafasan). Bayi dikatakan normal apabila nilai apgar 7-10. Apabila nilai apgar kurang dari 7 dapat digolongkan menjadi bayi gawat (high risk baby) dan memerlukan penanggulangan 2 khusus seperti adanya asfiksia (Mochtar, 2012). Asfiksia merupakan kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernafasan secara spontan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat sesudah lahir (Gulardi, 2008). Ciri - ciri dari bayi asfiksia adalah bayi tampak pucat dan kebiruan serta tidak bernafas (Mochtar, 2012). Beberapa keadaan yang menyebabkan asfiksia antara lain yaitu dapat dilihat dari keadaan ibu, keadaan tali pusat, dan keadaan bayi. Keadaan ibu bersalin yang dapat menyebabkan bayi asfiksia antara lain ibu dengan preeklamsi dan eklamsia, plasenta previa atau solusio plasenta, partus lama atau partus macet, demam selama persalinan, infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV), dan kehamilan post matur (setelah 42 minggu). Keadaan tali pusat yang dapat menyebabkan bayi asfiksia yaitu adanya lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, dan prolapsus tali pusat. Keadaan bayi yang dapat menyebabkan bayi asfiksia adalah bayi premature (sebelum 37 minggu), persalinan sulit (sungsang, kembar, distosia, ekstraksi vakum atau forceps), kelainan kongenital, dan air ketuban bercampur mekonium (Gulardi, 2008). Asfiksia terjadi apabila aliran darah ibu yang melalui plasenta berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin berkurang (Gulardi, 2008). Apabila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, maka akan timbul rangsangan sehingga bunyi denyut jantung meningkat. Bila kekurangan O2 terus berlangsung maka denyut jantung menjadi semakin cepat akhirnya ireguler dan menghilang (Mochtar, 2012). Apabila proses ini terus berlanjut dapat mengakibatkan kerusakan otak atau bahkan kematian (Saifudin, 2008). Upaya-upaya yang aman dan efektif untuk mencegah dan mengatasi penyebab utama kematian bayi baru lahir adalah pelayanan antenatal yang berkualitas, asuhan persalinan normal / dasar dan pelayanan kesehatan neonatal oleh tenaga profesional. Untuk menurunkan kematian bayi baru lahir karena asfiksia, persalinan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan dan ketrampilan manajemen asfiksia pada bayi baru lahir. Kemampuan dan ketrampilan yang baik ini digunakan setiap kali menolong persalinan. Pada setiap menolong persalinan bidan harus siap melakukan resusitasi bayi dan bidan perlu mengetahui sebelum dan sesudah bayi lahir, apakah bayi mempunyai risiko asfiksia. Pada keadaan bayi yang memiliki risiko asfiksia bidan harus memberitahukan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan diperlukan tindakan resusitasi. Akan tetapi, pada keadaan tanpa faktor risiko pun beberapa bayi dapat mengalami asfiksia. Sehingga bidan harus siap melakukan resusitasi bayi baru lahir pada setiap menolong persalinan (Gulardi, 2008). Menurut WHO, setiap tahunnya sekitar 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini kemungkinan meninggal. Di Indonesia dari 120 juta balita sebanyak 38% meninggal pada masa bayi baru lahir (Gulardi, 2008). Kematian perinatal merupakan ukuran memberikan pelayanan obstetrik yang mencerminkan kesehatan. Negara berkembang memiliki angka mortalitas dan morbiditas perinatal yang masih sangat tinggi. Mortalitas dan morbiditas di Negara maju dan Negara berkembang memiliki perbedaan. Negara maju lebih cenderung pada kelainan kongenital sedangkan di Negara berkembang, proporsi lebih tinggi pada berat lahir rendah, asfiksia dan infeksi. Penyebab utama kematian neonatal disebabkan oleh asfiksia neonatorum, karena kemungkinan terjadinya asfiksia lebih besar pada bayi baru lahir yang mempunyai resiko maupun yang tidak mempunyai resiko asfiksia (Manuaba, 2010). Meski telah mengalami penurunan yang cukup banyak, indikator AKB dan AKI dalam MDGs (Millennium Development Goals) masih jauh dari target yang ditentukan dan harus dicapai pada 2015. Pemerintah masih harus bekerja keras untuk mencapai target MDGs sesuai kesepakatan yaitu AKB 35 per 1.000 kelahiran hidup dan AKI 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015 (Health compas, 2013). Provinsi Jawa Tengah Angka kematian Bayi mendapat perhatian secara khusus melalui berbagai program dan kegiatan. Beberapa indikator keberhasilan bidang kesehatan ditunjukkan dengan Angka Kematian Bayi yang cenderung menurun dari 3 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2000, tahun 2003-2004 menunjukkan penurunan, namun tahun 2004-2005 terjadi kenaikan sebesar 9,96 % dan pada tahun 2005 Angka Kematian Bayi menjadi 14 per 1000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2011). Berdasarkan KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan angka kematian bayi (AKB) yang tercatat di Kabupaten Pekalongan pada tahun 2012 mengalami peningkatan dibandingkan angka kematian bayi tahun 2011. AKB 2011 adalah sebesar 8,5 per 1000 kelahiran hidup sedangkan AKB pada tahun 2012 adalah sebesar 10,98 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun angka tersebut lebih baik dari target nasional yaitu 35 per 1000 kelahiran hidup, tetapi angka kejadian cukup tinggi sehingga masih membutuhkan perhatian supaya dapat mencapai target MDG’s (Millenium Development Goals). Kasus kematian bayi yang tercatat di Kabupaten Pekalongan dari bulan Januari – Juni 2013 sebanyak 94 kasus (DKK Pekalongan, 2013). Berdasarkan hasil studi pendahuluan di ruang RM (Rekam Medis) RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan diperoleh data pada bulan Januari – Maret 2013 total jumlah kelahiran sebanyak 558 bayi. Jumlah kelahiran bayi asfiksia yang hidup dari bulan januari – maret 2013 adalah 260 bayi, dan bayi yang lahir normal sebanyak 283 bayi. Jumlah kematian perinatal sebanyak 15 kasus atau sekitar 2,68% dari seluruh kelahiran hidup. Penyumbang kasus kematian perinatal karena asfiksia neonatorum yaitu sebanyak 8 kasus atau sekitar 53,3% dari total kematian bayi, sedangkan 7 kasus atau sekitar 46,6% disebabkan karena BBLR, infeksi, dan kelainan konginetal. Adapun jumlah kematian perinatal karena asfiksia berat sebanyak 8 kasus atau sekitar 100% dari total kematian bayi penyebab asfiksia berat. Penanganan yang sudah dilakukan pada bayi asfiksia di ruang perinatologi RSUD Kraton kabupaten Pekalongan adalah sudah sampai dilakukannya VTP (ventilasi tekanan positif). Sebagian besar bayi yang asfiksia berat tidak tertolong karena prognosis yang jelek. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara kejadian asfiksia neonatorum dengan kematian neonatal di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian Desain penelitian menggunakan deskriptif korelasional yaitu penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas dengan variabel terikat (Notoatmodjo,2002). . Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross sectional. B. Definisi Operasional Variabel Hasil Ukur Skala Independen Pembagian kategori: Nominal Kejadian 1. Ya : Asfiksia Apabila nilai Neonatorum APGAR score 0-6 2. Tidak : Apabila APGAR score 7-10 Dependen Pembagian kategori: Nominal Kematian 1. Ya : Neonatal Apabila meninggal umur 0-7 hari 2. Tidak : Apabila meninggal umur 8-28 hari C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Populasi pada penelitian ini adalah bayi 0-28 hari yang meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Kraton Kabupaten Pekalongan pada bulan Juni 2012 – Mei 2013 sebanyak 74. Teknik pengambilan sampel ini dengan teknik Nonprobability Sampling yaitu purposive sampling yaitu cara pengambilan sampel untuk tujuan tertentu (Hidayat, 2011). Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah semua bayi yang meninggal umur 0-28 hari pertama pada bulan Juni 2012Mei 2013 yang mempunyai data RM lengkap sebanyak 52. 4 D. Analisa Data 1. Analisis Univariat Analisis Univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan setiap variabel penelitian (Soekidjo Notoatmojo, 2010). Yaitu untuk mengetahui kejadian asfiksia dan kematian neonatal di Rumah Sakit Umum Daerah Kraton Kabupaten Pekalongan. Analisa ini digunakan untuk menjelaskan nilai jumlah masing-masing variabel dalam ukuran distribusi, frekuensi dan presentase 2. Analisa Bivariat Analisa Bivariat yaitu analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Soekidjo Notoatmojo, 2010). Analisa ini bertujuan mengetahui ada atau tidak hubungan antara asfiksia neonatorum dengan kematian neonatal di Rumah Sakit Umum Daerah Kraton Kabupaten Pekalongan. Teknik analisa bivariat yang digunakan adalah dengan menggunakan Uji Chi Square. 2. Kematian neonatal Tabel 2 Distribusi frekuensi berdasarkan kematian neonatal di RSUD Kraton Kabupaen Pekalongan bulan Juni 2012 – Mei 2013. Penggolongan Frekuensi Presentase kematian (f) (%) Kematian 50 96,2 Neonatal Tidak 2 3,8 Kematian Neonatal Jumlah 52 100,0 Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa neonatus yang mengalami kematian neonatal ≤ 7 hari sebanyak 50 bayi (96,2%) dan yang mengalami kematian neonatal > 7 hari sebanyak 2 bayi (3,8%). 3. Hubungan Neonatorum neonatal Penggolongan Frekuensi Presentase asfiksia (f) (%) Asfiksia 48 92,3 Tidak 4 7,7 asfiksia Jumlah 52 100,0 Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 52 bayi yang meninggal hampir seluruh bayi sebanyak 48 bayi (92,3 %) mengalami asfiksia, sedangkan yang tidak mengalami asfiksia yaitu 4 bayi (7,7%). Asfiksia Kematian Tabel 3 Hubungan kejadian asfiksia neonatorum dengan kematian neonatal di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Kejadian Asfiksia Neonatorum Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan kejadian asfiksia neonatorum di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan bulan Juni 2012 – 2013. Kejadian dengan Penggolongan asfiksia Asfiksia Ya 48 Kematian neonatal % Tidak % 100 0 0 Tidak asfiksia 2 50,0 2 50,0 4 Total 50 96,2 2 3,8 52 To tal 48 % 10 0 10 0 10 0 P value 0,005 Berdasarkan tabel 3 didapatkan hasil bahwa dari 48 bayi yang mengalami asfiksia neonatorum seluruhnya mengalami kematian neonatal sebanyak 48 bayi (100%), sedangkan dari 4 bayi yang tidak mengalami asfiksia sebanyak 2 bayi (50%) mengalami kematian neonatal, dan sebanyak 2 bayi (50%) tidak mengalami kematian neonatal. Berdasarkan perhitungan dari chi square dengan mebaca tabel Fisher’s Exact Test nilai p value sebesar 5 0,005 < 0,05 ini berarti ada hubungan yang signifikan antara kejadian asfiksia neonatorum dengan kematian neonatal di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. B. Pembahasan 1. Kejadian Asfiksia Neonatorum Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan didapatkan hampir seluruh bayi sebanyak 48 bayi (92,3 %) mengalami asfiksia neonatorum. Asfiksia neonatorum (apnea neonatorum) adalah keadaan dimana bayi yang baru dilahirkan tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan (Mochtar, 2012). Menurut teori Mochtar (2012) kehidupan awal bayi sangat dipengaruhi oleh kemampuan bayi beradaptasi dengan lingkungan ekstrauteri, dimana kematangan fungsi organ sangat menentukan akankah bayi dapat bertahan hidup atau akan mengalami kematian. Bila organ vital bayi mengalami gangguan maka bayi tak akan dapat bertahan lama di lingkungan ekstrauteri. Pada bayi yang mengalami asfiksia, pengembangan paru-paru menjadi tak sempurna. Bayi tidak menangis menandakan respirasi belum aktif, sementara suplai oksigen dari ibu ke janin sudah terputus, ini menyebabkan bayi mengalami hipoksia dan bila penanganan tidak dilakukan sesegera mungkin bayi akan mengalami kerusakan jaringan terutama jaringan otak dan berujung pada kematian bayi. Penyebab kejadian asfiksia neonatorum di RSUD Kraton kabupaten Pekalongan sebagian besar dipengaruhi oleh keadaan tali pusat dan keadaan bayi seperti lilitan tali pusat, bayi prematur (sebelum 37 mingu kehamilan), persalinan sulit (letak sungsang), kelainan kongenital, dan air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan). Pada bayi dengan riwayat persalinan preterm (antara 20-37 minggu) atau BBLR (berat bayi lahir rendah) dapat mengalami asfiksia neonatorum, karena kematangan fungsi organ belum sempuna. Semakin muda usia kehamilannya semakin besar morbiditas dan mortalitasnya, dan disamping harapan hidup perlu difikirkan pula kualitas hidup bayi tersebut. Karakteristik yang sering dijumpai pada bblr seperti lemak subkutan kurang, aktivitas bayi kurang atau lemah, otot masih hipotonik, tangis lemah, pernafasan belum teratur dan sering mengalami serangan apnoe, reflek tonic neck lemah, sehingga dapat memicu terjadinya asfiksia neonatorum. Mekonium dalam cairan ketuban merupakan indikasi adanya gangguan pada bayi yang berkaitan dengan masalah intrauterin ataupun gangguan pernafasan karena aspirasi mekonium setelah bayi lahir. Pada bayi yang mengalami lilitan tali pusat dapat menghambat sistem pernafasan dikarenakan saat bayi didalam kandungan tali pusatnya melilit pada daerah leher yang dapat menyebabkan bayi sulit untuk lahir, sehingga bayi terlalu lama mengalami sesak nafas. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Manuaba (2010) bahwa persalinan kepala pada letak sungsang tidak mempunyai mekanisme “maulage” karena susunan tulang dasar kepala yang rapat dan padat, sehingga hanya mempunyai waktu 8 menit, setelah bayi lahir. Keterbatasan waktu persalinan kepala setelah bokong adalah 8 menit. Melampaui batas 8 menit dapat menimbulkan kesakitan atau kematian bayi. Kelambatan persalinan kepala bayi pada presentasi bokong akan menimbulkan asfiksia karena tali pusat tertekan sehingga aliran darah menuju bayi mengalami penurunan dan kekurangan nutrisi serta oksigen. Selain penyebab yang telah disebutkan di atas, kelainan kongenital 6 juga dapat menyebakan asfiksia neonatorum. Hal ini disebabkan karena bentuk dan fungsi organ yang tidak sempurna sehingga memungkinkan bayi kesulitan untuk bernafas, dan menjadikan kualitas hidupnya rendah. 2. Kematian Neonatal Hasil penelitian diketahui bahwa dari 52 bayi hampir seluruh bayi sebanyak 50 bayi (96,2 %) mengalami kematian neonatal ≤ 7 hari, dan 2 bayi (3,8 %) tidak mengalami kematian neonatal > 7 hari. Kematian neonatal adalah kematian bayi antara 0-7 hari pertama setelah lahir (Cuningham, 2004). Secara garis besar, penyebab kematian bayi ada dua macam yaitu kematian bayi endogen dan kematian bayi eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut kematian neonatal adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan (Cuningham, 2004). Etiologi kematian neonatal dari faktor ibu antara lain : pendidikan rendah dan ekonomi rendah, umur kurang 20 tahun / di atas 35 tahun, paritas diatas 5, hamil tanpa pengawasan, hamil dengan penyakit dan hamil dengan komplikasi. Dilihat dari faktor bayi antara lain : berat badan bayi kurang 2500 gr (BBLR), berat badan bayi diatas 4000 gr, bayi premature (umur kehamilan kurang 37 minggu), kelainan kongenital, dan lahir dengan asfiksia. Negara berkembang mortalitas dan morbiditas perinatal masih sangat tinggi hal ini di sebabkan oleh : kelahiran bayi dengan berat rendah, asfiksia, infeksi intra sampai ekstra uteri dan terjadi kelainan kongenital (Manuaba, 2010). Terdapat perbedaan sebab morbiditas dan mortalitas di Negara maju dan Negara berkembang. Di Negara maju lebih disebabkan karena kelainan kongenital, sedangkan di Negara berkembang lebih disebabkan karena BBLR, asfiksia dan infeksi (Manuaba,2010). Dalam proses penelitian ditemukan bahwa sebagian besar bayi yang diteliti mengalami kematian neonatal pada usia ≤ 7 hari. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kematian neonatal merupakan kematian bayi selama 7 hari pertama setelah lahir karena adanya faktor yang telah dibawa sejak lahir. Dapat dilihat pada hasil rekam medik yang menunjukkan bahwa bayi tidak dapat bertahan hidup lama dengan riwayat persalinan asfiksia. 3. Hubungan Kejadian Asfiksia Neonatorum dengan Kematian Neonatal Hasil analisa hubungan antara kejadian asfiksia neonatorum dengan kematian neonatal di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan dari 48 bayi yang mengalami asfiksia neonatorum seluruhnya mengalami kematian neonatal sebanyak 48 bayi (100%), sedangkan dari 4 bayi yang tidak mengalami asfiksia sebanyak 2 bayi (50%) mengalami kematian neonatal, dan sebanyak 2 bayi (50%) tidak mengalami kematian neonatal. Uji statistik dengan chi square didapatkan hasil p value 0,005 <α = 0,05, sehingga dapat diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara kejadian asfiksia neonatorum dengan kematian neonatal di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. Hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruh kematian neonatal disebabkan oleh asfiksia neonatorum. Hal ini ditandai dari data rekam medis yang menunjukkan nilai APGAR skor < 7. Pada penelitian ini nilai APGAR (apperance / warna kulit, pulse / frekuensi jantung, grimace / reaksi terhadap rangsangan, activity / tonus otot, respirasi / pernafasan) dilihat 7 melalui medical record pada semua kasus kematian bayi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bayi mengalami asfiksia neonatorum atau tidak. Pada bayi baru lahir memerlukan usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan nafas (ekspirasi), sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya setiap kali bernafas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernafas (saat kelahiran). Sebagai akibatnya janin lebih banyak menghabiskan O2 untuk menghasilkan energi daripada yang ia terima, dan ini menyebabkan bayi kelelahan sehingga bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya (Surasmi, 2003). Janin yang kekurangan oksigen dan kadar karbondioksida bertambah akan timbul rangsangan terhadap Nervus vagus sehingga bunyi jantung janin menjadi lambat. Apabila kekurangan Oksigen ini terus berlangsung, maka Nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Sehingga akan timbul rangsangan dari Nervus Simpatikus, DJJ (Denyut Jantung Janin) akhirnya bertambah menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang (Saifudin, 2006). Surfaktan adalah bahan yang dikeluarkan oleh sel pada alveoli paru yang dapat menurunkan tekanan antara udara dan jaringan sehingga memudahkan perkembangan paru saat bayi bernapas pertama. Surfaktan bekerja membantu alveoli paru agar tetap terbuka. Pembentukan surfaktan pada janin terjadi usia kehamilan 20 minggu. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Tanpa surfaktan janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Bayi yang lahir lebih dari 32 minggu harapan hidup akan lebih baik dari bayi yang lahir antara 24 minggu- 32 minggu, karena pada alveoli yang berkembang memiliki jumlah surfaktan yang cukup. Jika ketuban pecah sebelum umur kehamilan 20 minggu, dapat menghambat pembentukan susunan bronkus dan pembentukan tulang rawan. Secara klinis tanda-tanda asfiksia adalah denyut jantung janin yang lebih cepat dari 160 X permenit atau kurang dari 100 X permenit, halus dan ireguler, serta adanya pengeluaran mekonium (Mochtar, 2011). Apabila asfiksia terus berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung janin akan menurun sedangkan tonus neuromoskular berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode yang disebut dengan sebagai apneu primer (Saifudin, 2006). Apablia kondisi bayi bertambah buruk, bayi akan jatuh ke dalam keadaan apneu sekunder dengan gejala seperti nafas megap-megap (gasping), frekuensi jantung menurun, tekanan darah menurun, bayi tampak lemas (tonus otot sangat berkurang), gangguan metabolisme paling akhir adalah jantung sampai berhenti sama sekali yang diikuti kematian (Manuaba, 2006). Kematian neonatal yang disebabkan karena pernafasan bayi tersumbat sehingga bayi sulit bernafas yang disebut dengan asfiksia merupakan salah satu masalah yang terjadi akibat kegagalan seorang bayi untuk beradaptasi. Bayi tidak dapat bernafas secara teratur dan tidak menangis, namun karena kondisi bayi yang lemah sehingga bayi tidak dapat bertahan > 7 hari. Penanganan yang kurang tepat pada bayi baru lahir akan menyebabkan kelainan-kelainan yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup atau bahkan kematian. Pembersihan jalan nafas yang kurang tepat saat bayi lahir dapat menyebabkan masuknya cairan lambung ke dalam paru-paru sehingga 8 dapat mengakibatkan kesulitan pernafasan seperti asfiksia neonatorum, kekurangan zat asam, dan apabila hal ini berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang. Semua bayi yang menunjukkan tandatanda asfiksia memerlukan perawatan dan perhatian segera. Kewenangan bidan dalam melakukan tindakan resusitasi hanya sampai pada langkah awal dan resusitasi. Bila tindakan resusitasi gagal dapat langsung, dicari penyebab lain seperti kebocoran dalam sungkup, atau kemungkinan prognosis jelek / baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori penyebab kematian neonatal yang salah satunya dikarenakan asfiksia nenatorum. Semakin berat keadaan asfiksia yang dialami bayi, maka semakin kecil pula kemampuan organ vital bayi untuk dapat berfungsi secara normal sehingga memperkecil pula kemungkinan bayi dapat bertahan hidup. Semakin tinggi nilai apgar bayi maka semakin tinggi pula kemungkinan bayi untuk dapat bertahan hidup. Penelitian menurut Priyadi Nugraha Prabamurti (2012), yang berjudul Analisis Faktor Risiko Status Kematian Neonatal di Kecamatan Losari Kabupaten Brebes tahun 2011. Hasil analisis dengan Yate’s correction menunjukkan ada hubungan antara asfiksia dengan kematian neonatal. Hal ini mendukung hasil penelitian yang didapatkan bahwa kematian neonatal penyebab terbesarnya adalah bayi mengalami asfiksia neonatorum SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Sebanyak 48 bayi (92,3%) dari 52 bayi meninggal karena disebabkan oleh asfiksia neonatorum. 2. Sebanyak 50 bayi (96,2%) dari 52 bayi mengalami kematian neonatal. 3. Ada hubungan yang signifikan antara kejadian asfiksia neonatorum dengan kematian neonatal. B. Saran 1. Bagi peneliti selanjutnya Diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penilitian ini dengan menggali faktor-faktor penyebab kematian neontal, sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai masukan dalam upaya penurunan kejadian asfiksia neonatorum dan kematian neonatal. 2. Bagi Tenaga Kesehatan a. Agar dapat sesegera mungkin mendeteksi adanya kegawatan janin saat masih di dalam kandungan, sehingga pasien dapat memperoleh pertolongan yang lebih cepat yang dapat memperbesar kemungkinan hidup bayi. b. Petugas kesehatan terutama bidan hendaknya selalu meningkatkan pengetahuan, dan keterampilan terutama permasalahan kegawatdaruratan obstetri dan neonatologi dimana salah satunya ada penanganan asfiksia yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam tindakan DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2013. Target MDGs. 8 Maret 2013. http://www.healthcompas.com Asrimi, Surasmi; Handayani, Siti: Kusuma, Heni Nur. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC. Budiman, Chandra. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : EGC. Buku acuan Pelatihan Persalinan Normal. 2008. Jakarta : JNP-KR. Cuningham,F. garry.dkk. 2004. Obstetri Williams Ed 21 Vol. Jakarta : EGC. Dinkes Jateng. 2012. Buku Saku Kesehatan. 28 Februari 2013. http://www.dinkesjatengprov.go.id 9 F.Mckenzie james,R.Pinger Robert,E.Kotecki Jerome. 2003. Kesehatan Masyarakat edisi 4. Jakarta : EGC. Hidayat, A. Aziz Alimul. 2011. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik analisis Data. Jakarta : Salemba Medika. Jitowiyono, Sugeng. 2010. Asuhan Keperawata Neonatus dan Anak. Asuhan Keperawata Neonatus dan Anak. Yogyakarta : Nuha Medika. Kemenkes. 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. 19 Maret 2013. http://p3b.bappenas.go.id Kristiyanasari, Weni. 2009. Neonatus & Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta : Nuha offset. Manuaba IBG. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC. Manuaba IGB. 2000. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta : EGC. Mochtar, Rustam. 2012. Sinopsis Obstetri jilid 1. Jakarta : EGC. Mochtar, Rustam. 2012. Sinopsis Obstetri jilid 2. Jakarta:EGC. Notoatmojo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rieneka Cipta. Ridwidikdo, Handoko. 2010. Statistik untuk Penelitian dengan Aplikasi Program R dan SPSS. Yogyakarta : Pustaka Rihanama. Ridwidikdo, Handoko. 2012. Statistik Kesehatan.Yogyakarta : Nuha Medika. Saifudin, AB. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neontal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sudarti, & Fauziah, Afroh. 2013. Asuhan Kebidanan Neonatus Risiko Tinggi dan kegawatan.Yogyakarta : Nuha Medika. Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung : alfabeta 10