BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hubungan antara pemerintah (state) dengan pengusaha (corporation) dan masyarakat (civil society) yang dinamis, selalu menciptakan kondisi sosial yang beragam. Keragaman tersebut bisa saja berdampingan secara baik-baik saja, saling menjaga dan saling menguntungkan, namun sebaliknya bisa juga saling berbeda pendapat dan menjadikan konflik di antara ketiganya. Terlebih saat ketiganya memiliki arti berbeda tentang konsep “Pembangunan” yang menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Meski pada praktiknya pembangunan kota ditunjukkan lewat geliat industrinya, lengkap dengan tekhnologi, pendidikan massa, transportasi canggih, bahkan taman rekreasi yang memikat dan bisa menjadi penyokong kesejahteraan untuk masyarakatnya. Tak jarang pembangunan ini memicu konflik di kehidupan sosial masyarakat, bisa dikarenakan pembangunan kurang membasis kemasyarakat (pembangunan berbasis kerakyatan), integrated rural development, sustainable development, dll. Disisi lain pembangunan juga bisa diartikan sebagai diskursus atau paham, bahkan sebuah doktrin dan idiologi, yang mengartikulasikan pembangunan sebagai bagian dari perubahan sosial, yang itu memiliki arti luas dari sekedar pembangunan konsep kebendaan, yang kemudian disinergikan dengan teori perubahan sosial lainnya seperti sosialisme, kapitalis, dependensia, dll. Banyak hal tentang 1 pengertian inilah yang membuat kemudian pembangunan punya banyak dimensi perspektif didalamnya, yang memungkinkan ketiga kelompok (masyarakat, pemerintah, dan pengusaha) dapat menjadi bersahabat, namun disatu sisi pula dapat menjadikan mereka melawan satu dengan lainnya. Kondisi yang digambarkan oleh Rostow dulu di tahun 1960 lewat Teori Pembangunan atau lebih dikenal “the five-stage scheme”, dimana semua bangsa akan melewati secara evolusi yaitu dimulai dari pertama masyarakat tradisional, kedua prakondisi tinggal landas, ketiga masyarakat tinggal landas, keempat masyarakat pematangan pertumbuhan, dan terakhir kelima adalah masyarakat konsumsi tingkat tinggi (high mass consumption)1. Setidaknya lewat pandangan ini pembangunan (development) kemudian menjadi sebuah gelombang perubahan di Negara ini, dan kapitalisme ikut menjadi pembonceng gelapnya. Kondisi yang sama terjadi pada kawasan kota Batu, yang ikut menasbihkan daerahnya menjadi sebuah kota berkemampuan melakukan pembangunan menuju ikon “Kota Pariwisata”. Namun, pembangunan yang seringkali praktis dan syarat muatan politis, tak ayal akan menumbuhkan ketimpangan maupun manipulasi. Disinilah pembangunan melahirkan berbagai permasalahannya. Begitupun dengan teori pembangunan Rostow yang akhirnya mengalami kejatuhan dan mulai menuai banyak kritik opini maupun idiologis dari para akademisi maupun birokrasi moralis. Kota Batu pada kali ini juga harus berhadapan dengan permasalahan pembangunannya, dimana terjadi sebuah ketidaksepakatan masyarakat terhadap 1 Fakih, Mansour, 2011, “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi” , Yogyakarta, Insist Press, Hal 56 2 kebijakan pemerintah yang memberlakukan daerah konservasi sumber mata air untuk dijadikan rencana pembangunan Hotel berbintang. Mengingat Kawasan Sumber Mata Air Gemulo Batu, telah memberikan penghidupan berupa air bersih untuk beberapa desa di kota Batu antara lain Desa Gunungsari, Punten, Bumiaji dan Bulukerto (Kecamatan Bumiaji), serta dari Desa Sidomulyo dan Pandanrejo (Kecamatan Batu). Tak pelak ketika kemudian ada isu dan kebijakan terkait pembangunan hotel di sisi sumber mata air tersebut, membuat masyarakat desa tersebut menjadi resah dan memastikan untuk menentang kebijakan tersebut. Kondisi ini kemudian meruncing pada sebuah gerakan massa yang massif memprotes kebijakan tersebut. Pemerintah kota Batu di bawah kepemimpinan Edi Rumpoko sebagai Walikota periode pertama tahun 2008-2012 dan periode kedua 2012-1017 mengesahkan dan memperbolehkan kawasan tersebut untuk di bangun ”Hotel The Rayja”, sebab itu dinilai mampu memberikan sumbangsih dari sisi perekonomian pariwisata untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar dan mampu menyerap tenaga kerja lokal. Akan tetapi berbeda dengan pandangan masyarakat yang lebih memilih untuk menjadikan kawasan tersebut tetap sebagai kawasan konservasi dan penelitian, dan bukan sebagai lahan pembangunan2, sebab hal itu tidak sesuai dengan kebijakan yang telah dicanangkan oleh walikota Batu sebelumnya. Perbedaan ini kemudian menjadikan tarik ulur kebijakan pemerintah kota Batu sekarang, yang kemudian membesar dan menjadi konflik di kawasan sumber mata air di Sumber Gemulo Batu. 2 Menilik surat wasiat Walikota Batu Imam Kabul tahun 2004, yang menyatakan bahwa Sumber Air Gemulo Batu adalah area konservasi dan Penelitian. 3 Prasarana masal tersebut diperebutkan sisi pemanfaatannya, masyarakat menginginkan kawasan yang dekat dengan sumber mata air tersebut tetap menjadi area konservasi, bebas dari skenario bangunan fisik hotel. Hanya saja dilain sisi tanah yang dekat dengan area tersebut merupakan tanah hak milik dari “Purnama Hotel Group”, sehingga mereka juga punya hak untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk dibangun sebuah Hotel sebagaimana bagian dari rencana pengembangan perusahaan. Perbedaan inilah yang kemudian berujung pada perselisihan antara perusahaan dengan masyarakat, dan ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan semakin menjadikan konflik seakan tiada ujung penyelesaian. Purnama Hotel Group sebagai pihak corporation mengungkapkan bahwa pembangunan tersebut tidak akan merusak kawasan sumbermata air di dekatnya. Hal ini seiring dengan Amdal yang telah mereka rujukkan, bahwa skenario untuk mendirikan bangunan fisik atau “Hotel The Rayja” 3 adalah telah benar, dan dinyatakan tidak akan mengganggu ekosistem mata air tersebut. Kendati demikian berbeda dengan pemahaman masyarakat sekitar kawasan tersebut, yang mana jika terjadi pembangunan hotel di situ, tetap akan merusak seluruh habitat dan ekosistem yang ada pada kawasan konservasi tersebut pada jangka pendek maupun jangka panjang. Terlebih saat ini sumber air tersebut telah mengairi 6 desa di kawasan Batu. Masyarakat kemudian meragukan keotentikan surat hanya berupa UKL UPL yang telah dibuat sebagai syarat pemenuhan pembangunan, bahkan mereka mencurigai sebab seharusnya dalam hal ini perusahaan harus 3 Nama Hotel yang akan dibangun oleh Perusahaan Pariwisata Purnama Group dikawasan tersebut 4 melampirkan AMDAL bukan UKL-UPL, inilah yang membuat warga melihat bahwa telah terjadi mal-administrasi pada kasus ini4. Di sisi lain masyarakat juga memperkuat asumsi mereka bahwa jika pembangunan hotel dilakukan, hal ini juga akan berpengaruh besar pada budaya masyarakat, dimana dalam hal ini adalah budaya kesatuan adat 6 desa untuk menjaga dan melindungi sumber mata air besar tersebut yang telah lama terbentuk, yang selama ini budaya tersebut mampu menjadi pengikat dan menyatukan 6 desa dari 2 Kecamatan di Batu. Kehilangan nilai budaya dan perusakan ekosistem menjadi point penting yang diangkat oleh masyarakat tersebut. Kondisi ini kemudian membawa masyarakat pada langkah melakukan mobilisir internal mereka lewat organisasi HIPAM (Himpunan Pengguna Air Minum) yang telah lama terbentuk, yang mana HIPAM berfungsi dan bergerak untuk menangani persoalan pengairan dari pemanfaatan dari sumber mata air yang ada. Masyarakat yang tergabung dalam HIPAM merasa senasib dan mulai membentuk organisasi aksi protes yang mereka namakan FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Mata Air). Dikarenakan HIPAM bukan organisasi massa gerakan, maka masyarakat yang sudah lama merasakan manfaat dan hidup dari sumber mata air Gemulo bergerak dengan membentuk FMPMA. Forum ini murni dibentuk sebagai gerakan 4 Ijin UKL-UPL dibuat oleh BRAWIJAYA yaitu salah satu institusi Perguruan tinggi Negeri di Malang, yang juga berujung pada aksi demo di Univ. Brawijaya, Malang oleh masyarakat yang menamakan diri FMPMA Sumber Gemulo, Batu. Mereka pada 05 Februari 2013 menggelar aksi demonstrasi di universitas tersebut, puluhan warga Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, menggugat hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Brawijaya pertama terkait UKL UPL yang dibuat 3 bulan setelah ijin IMB keluar lebih dulu, kedua hasil penelitian yang menyebutkan pembangunan Hotel Rayja tidak mempengaruhi sumber air Gemulo. Ini dinilai oleh warga sebagai hal yang syarat dengan rekayasa, massa aksi menuding bahwa UKL-UPL yang dibuat telah mengesampingkan kebutuhan masyarakat lokal sekitar Sumber air Umbul Gemulo. 5 perlawanan atau protes kolektif warga, dengan tujuan menolak pembangunan hotel atau bangunan gedung wisata apapun di sekitar kawasan sumber mata air tersebut. Keterlekatan basis HIPAM di dalam FMPMA hanyalah didasari pada latar yang sama, yaitu sesama pengguna air dari sumber mata air Gemulo. Merasa ketergantungan dengan manfaat dari sumber mata air tersebut, maka mereka merasa harus menjaga kelestarian Sumber Mata Air tersebut, supaya tidak rusak dan tetap bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya untuk mencukupi kebutuhan air bersih sehari-hari sampai hari-hari anak cucu esok. Lahirnya FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Mata Air) menjadikan titik langkah awal untuk sebuah gerakan yang terorganisir dalam hal menolak pembangunan “Hotel The Rayja”. Dari sisi lain, hadirnya organisasi advokasi atau NGO/LSM seperti WALHI, LBH, MCW,dll, juga memberikan warna pada kekuatan perjuangan mereka. Selain menjadi wadah penggerak massa di masyarakat 3 sampai 6 desa ini FMPMA lahir sebagai organisasi civil society murni, kekuatan dan kedatangan NGO/ LSM yang bergabung hanya untuk menyelaraskan strategi gerakan perlawanan terhadap kesewenangan pemerintah Kota Batu yang telah resmi memberikan ijin kepada pihak manajemen “Hotel The Rayja” agar bisa mendirikan bangunan hotel di dekat tanah konservasi tersebut. Forum ini di awal di ketuai oleh Pak Pi’i yang kemudian menjadi tokoh gerakan FMPMA, namun saat gerakan dihadapkan dengan problem dan konflik yang cukup mengeras, akhirnya membuat beberapa tokoh dan anggota serta NGO di dalamnya diuji loyalitas serta strateginya. Hingga kemudian ketidak aktifan Pak Pi’i dalam FMPMA memunculkan sosok Haji Rudi sebagai social figure dalam 6 organisasi FMPMA. Sebagai social figure, dengan alasan pertama dia adalah seorang pengusaha yang pasti secara ekonomi lebih kuat dibanding masyarakat lain, kedua dia juga merupakan anak asli daerah lokal Batu, anak dari tokoh setempat. H. Rudy yang tidak pernah mencalonkan diri, kemudian diminta dan ditunjuk oleh seluruh masyarakat untuk membantu perjuangan masyarakat dalam upaya melawan kebijakan yang dianggap akan merugikan masyarakat di 3 desa di Batu. Selain itu, back up pemuda desa pecinta alam yang tergabung dalam NAWAKALAM tergolong berani dan vokal, juga menjadi magnet perekat massa yang cukup efektif dan massif disaat FMPMA akan dilumpuhkan kekuatannya oleh Negara dan corporation. Beberapa pemuda desa, mampu dengan baik memanfaatkan kodisi kedekatannya dengan para masyarakat maupun tokoh-tokoh desa untuk tetap memelihara semangat perlawanan disaat-saat perjuangan FMPMA harus menunggu keputusan dari MA terkait masalah ini. Kondisi inilah yang kemudian oleh Walhi disebutkan bahwa perjuangan saat ini berada pada kondisi “Hibernate”. Sebagaimana gerakan protes yang terencana, pengorganisasian terbentuk dengan pembagian wilayah aktifitas atau peran, yang berguna dan vital, agar organisasi tetap terorganisir. Kondisi ini dapat ditilik dengan adanya beberapa orang yang secara sukarela mengajukan diri untuk masuk dan bertanggung jawab mulai peran dokumentasi, surat, menyurat, maupun sampai teknis pengkondisian massa gerakan, counter isu, atau bahkan membuat wall di FB (facebook) sebagai bagian dari penyebaran isu, penciptaan image gerakan, semua tertuju pada 7 penolakan keras didirikannya “Hotel The Rayja”, yang telah menggunakan area sumber mata air Gemulo, yang seharusnya di jadikan lahan Konservasi ekologis. Gerakan protes pun tak terhindarkan, mulai dari gerakan protes aksi turun jalan, demo menduduki kantor walikota Batu selama berjam-jam, hingga penyegelan tanah lokasi dibangunnya hotel, bahkan pencabutan tiang pancang pondasi bangunan hotel. Kondisi ini tak pelak menjadi sebuah konflik yang semakin panas dan membesar. Kegiatan memobilisir massa pun semakin intens dilakukan, apalagi semenjak mereka harus mengadapi sidang gugatan dari perusahaan. Masyarakat yang tergabung dalam FMPMA kemudian banyak menggelar pertemuan antar warga, mulai diskusi, sosialisasi, hingga advokasi menjadi agenda untuk mematangkan perlawanan mereka. Dibantu dengan LSM/ NGO yang bergabung, seolah memberikan semangat FMPMA bahwa gerakan mereka untuk membatalkan pembangunan hotel The Rayja akan berhasil. Grand idea kasus penelitian Pada kerangka analisa kelompok berkonflik, pada kondisi ini setidaknya akan terlihat terjadi perselisihan di tiga kelompok, pertama adalah masyarakat dengan simbol FMPMA sebagai korban kebijakan, kedua adalah pengusaha sebagai penekan gerakan sekaligus pihak penyelenggara pembangunan hotel The Rayja, dan ketiga adalah pemerintah sebagai pemangku kebijakan yang terkesan separuh hati dan tidak serius dalam upaya penyelesaian konflik. Ketiganya merupakan bagian dari kelompok yang masing-masing mempunyai gagasan serta langkah-langkah untuk tetap pada tujuan yang mereka bawa. 8 Penelitian ini akan membatasi dan menitik beratkan pada pembahasan integrasi ketahanan dan strategi organisasi masyarakat (FMPMA) melawan dominasi kelompok pemerintah dan pengusaha, yang dianggap telah merugikan masyarakat pengguna sumber mata air, yang telah melahirkan ancaman dan konflik di Desa mereka. Kecenderungan perlawanan organisasi yang hadir disaat menghadapi tuntutan hukum dari pihak pengusaha Hotel The Rayja, serta dari dinginnya tatapan Pemerintah Kota Batu saat melihat kasus konflik ini berkepanjangan, tetap tidak membuat gentar FMPMA. Kekuatan, potensi, serta strategi yang mereka miliki disaat menanti upaya perjuangan mereka belum berhasil sepenuhnya. Tentunya ini kemudian oleh peneliti dituangkan ke dalam pertanyaan besar penelitian atau Grand Idea Thesis, yaitu tentang “bagaimana proses gerakan sosial di bangun untuk penyelamatan Sumber Mata Air di Gemulo Batu?”. Untuk melihat upaya strategi dan model penyelesaian konflik dengan cara yang dibangun masyarakat, sebagai sikap menghadapi Pemerintah Kota Batu, yang terkesan diam dan seolah apatis terhadap persoalan pembangunan Hotel The Rayja, yang disaat itu malah membawa aksi masyarakat berhadapan dengan tuntutan coorporation di meja hijau, hingga gerakan mereka mampu memberikan dampak sosial (social effect), terlebih yang seharusnya mereka dapat menjadi relasi atau kawan dalam upaya pembangunan pariwisata dan lingkungannya. 9 menciptakan lapangan kerja di Meski demikian peneliti juga lebih menekankan gerakan sosial ini hanya pada wujud protes kolektif5 masyarakat saja. Mengacu pada pengertian target dan sasaran atas gerakan FMPMA yang hanya berorientasi untuk meminta adanya kebijakan ekologis tentang pemanfaatan Sumber Mata Air Gemulo, yang tidak sampai merubah struktur pemerintahan desa maupun kecamatan dan kota Batu, atau bahkan sampai keinginan merubah tatanan struktur lembaga sosial lainnya yang sudah ada di masyarakat saat ini. Analisa akan lebih terkait cara konflik masyarakat dengan pemerintah berwenang di kota Batu, serta konflik masyarakat dengan investor yang berbalik menggugat perjuangan mereka. Terkait hal tersebut maka untuk menjawab gagasan dari ide utama beserta perspetifnya tersebut, maka dirumuskanlah masalah penelitian ini dalam 3 aspek berikut: pertama yaitu terkait metode pengorganisasian isu, kedua adalah terbentuknya CSO, advokasi NGO, serta dinamika internal mereka, ketiga adalah bentuk-bentuk perjuangan aksi, beserta tuntutan formal (draft keadilan) mampu membuat sebuah proses perubahan. B. RUMUSAN MASALAH Pertanyaan utama dari penelitian “Bagaimana Proses Gerakan Sosial di Bangun untuk Penyelamatan Sumber Mata Air di Gemulo Batu? kemudian diturunkan menjadi beberapa pertanyaan berikut: 5 Perbedaan Protes Kolektif dalam kajian gerakan sosial adalah terletak pada kajian sasaran target gerakan, di dalam Situmorang protes kolektif dibedakan dengan gerakan sosial, dimana disebutkan “protes kolektif tidak berorientasi kepada perubahan struktur, tetapi lebih pada penyelesaian kasus-kasus, sedangkan gerakan sosial berorientasi kepada perubahan struktur” (Situmorang, 2013:hal 12) 10 1. Bagaimana pengorganisiran isu pembangunan Hotel The Rayja muncul sehingga melahirkan Gerakan Sosial Masyarakat Penyelamat Sumber Mata Air? 2. Bagaimana bentuk koalisi CSO (civil social organisation) di tubuh FMPMA hingga mampu menciptakan strategi / model aksi gerakan yang saling terintegrasi? 3. Bagaimana aksi masyarakat Sumber Gemulo Batu melawan sikap Negara (Pemerintah Kota Batu) dan aktor perusak lingkungan, membawa perubahan seperti yang sudah dimanifestasikan ke dalam bentuk draft tuntutan keadilan mereka? C. Maksud dan Tujuan Penelitian 1. Dapat mengetahui kekhawatiran yang kemunculan dihadapi isu, serta masyarakat, alasan-alasan sehingga dan menjadi permasalahan bersama yang memunculkan sebuah gerakan perlawanan dari masyarakat penyelamat Sumber Air Umbul Gemulo. 2. Dapat mengetahui keberadaan organisasi-organisasi yang tergabung dalam forum (FMPMA) mulai latar belakang, visi misi bergabung, jaringan, cara advokasi, dinamika internal yang terjadi, sehingga menjadi suatu bentuk gerakan sosial CSO yang mampu terintegrasi dengan baik. 3. Mengetahui bentuk-bentuk aksi perlawanan yang termanifestasikan pada bentuk draft-draft tuntutan keadilan mereka, serta model-model 11 aksi perlawanan masyarakat terhadap aktor perusak lingkungan, hingga proses perubahan yang terjadi sebagai upaya penyelesaian konflik sumber mata air di Umbul Gemulo Batu. D. MANFAAT PENELITIAN Memberikan dan menambah kajian penelitian yang telah ada tentang analisa gerakan sosial terkait bentuk organisasinya, konflik yang dihadapinya. Dengan begitu mampu menjadi rujukan bagi instansi yang terkait konflik, akademisi/mahasiswa, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan mengembangkan analisa konflik secara sosiologis, serta tentunya dapat menjadi dokumentasi dan evaluasi terkait persoalan dan kondisi gerakan sosial yang terjadi di Kota Batu. E. PENELITIAN TERDAHULU 1) Gerakan Sosial Kasus Sumber Gemulo Batu oleh Rachmat KDS Bagaimana persoalan sumber daya alam dihubungkan dengan kemunculan gerakan-gerakan lingkungan dengan perspektif sosiologis sebetulnya sudah banyak yang mulai mengkaji hal ini. Penelitian sebelumnya tentang sumber gemulo juga pernah dilakukan oleh Racmat KDS, pada penelitian ini, khususnya kasus Sumber Gemulo dilihat dari perspektif sosiologi lingkungan, kemudian dijadikan buku dengan judul “Wong Gunung Mudun Embong” (2013). Melalui penelitian ini, kasus pendirian hotel dikawasan sumber mata air adalah suatu yang tidak bisa dibenarkan, dengan 12 alasan menyalahi kesepakatan umum sebelumnya sebagai lahan konservasi. penelitian ini dilakukan semenjak tahun 2010-2013. Dari penelitian yang dilakukan oleh Rachmat, muncul dua sebab yang menjadi pemicu konflik, yakni karena pilihan paradigma pembangunan pariwisata secara radikal dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak partisipatif. Konflik pengelolaan sumber daya alam di Kota Batu, tidak lepas dari praktek otonomi daerah melahirkan pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali, hal inilah yang memancing lahirnya penolakan-penolakan di masyarakat yang melahirkan konflik-konflik sosial (Rachmat,2013). Persoalan yang mulai dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan, yakni tidak tercukupinya suplai air minum sudah dirasakan di 3 desa, disamping itu krisis air di kawasan Batu juga sudah terjadi dimana-mana (Radar Batu, 11 April 2013). Ketidakpuasan atas daya dukung alam/lingkungan yang kian mengkuatirkan dan akumulasi kekecewaan terhadap perilaku aparat negara membuat keresahan masyarakat itu kian membesar. Maraknya pembangunan, bahkan mengalahkan aspek perkembangan pertanian. Tidak heran, konflik sosial menjadi persoalan sosiologis yang dilahirkan dari pembangunan infrastruktur pariwisata secara besar-besaran ini. Perlawanan masyarakat dipilih melalui jalan Demonstrasi, hal ini dipilih sebagai tanggapan masyarakat untuk mengetahui sikap pemerintah maupun DPRD atas tidak jelasnya sikap mereka dalam menanggapi tuntutan FMPMA. Bagi FMPMA, kejelasan sikap akan diperoleh setelah masyarakat 13 turun jalan atau demonstrasi. Demonstrasi pertama dilakukan di Kantor Walikota. Demontrasi kedua dilakukan di Kantor Kecamatan Bumiaji dan Kantor Walikota. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis, dalam membawa protes secara demonstrasi bahwa kekuatan utama gerakan tetap berada di tangan masyarakat lokal. Para pendamping tidak harus tampil di muka. Kalau masyarakat lokal atau FMPMA sudah bisa menjalankan fungsi-fungsi seperti yang dipertimbangkan para pendamping tersebut, maka masyarakat dibiarkan untuk menjalankan strategi-strategi mereka. Kelompok aksi ini bekerja dengan pendamping dari NGO (Non Governmental Organization), yaitu: Yayasan Pusaka, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Jawa Timur dan MCW (Malang Corruption Watch). Konflik bersifat pasang surut banyak ditentukan oleh sikap pemerintah yang seolah dan seakan mengakomodir keinginan FMPMA, tetapi ketika tiba saat janji tersebut tidak dilaksanakan, maka konflik membesar kembali dan kemudian meledak. Konflik yang ada sangat mudah terlihat, seperti saat Walikota bersedia menerima tuntutan FMPMA yakni menetapkan lahan di sekitar sumber air sebagai lahan konservasi. Namun yang terjadi kemudian, walikota melalui birokrasi dibawahnya menanggapi gerakan FMPMA dengan mengumpulkan kepala desa dan Camat sebagai upaya meng-counter atas tuduhan yang diarahkan oleh FMPMA. Bahkan, rombongan ini diajak ke lokasi pembangunan hotel untuk melihat langsung bahwa pembangunan hotel tidak akan merusak sumber air. Selain itu, walikota juga menggalang dukungan dari pengurus/simpatisan partai politik tertentu. Tentu saja tindakan 14 ini menyulut kemarahan dan meningkatkan tensi perlawanan masyarakat, apa yang dilakukan walikota ini tetap membuat FMPMA tidak mundur dan berbelok arah perjuangannya. Dari keadaan di atas bisa disimpulkan karakter konflik yang terjadi bahwa masyarakat yang lebih menghendaki diberlakukannya lahan konservasi, dimana didorong kegelisahan atas kekurangan pasokan air minum yang sudah dirasakan di 2 desa (Desa Giripurno dan Desa Pendem) dan satu kelurahan (Dadaprejo). Dari awal semula, konflik lahan untuk konservasi ini juga tidak mengarah kepada sikap anarkis, sebab masing-masing yang berkonflik memiliki keinginan untuk menjaga situasi agar tetap pada situasi yang relative bisa terkomunikasikan. Hal ini karena masing-masing pihak berkeinginan untuk menjaga konflik kearah yang produktif. 2) James Scoot “Gerakan Sosial Petani Melawan Perubahan” Pada kasus masyarakat yang tidak mau menerima adanya perubahan dikarenakan ketakutan dan lebih pada dampak negative yang akan diterima juga dituliskan dalam penelitian James Scoot dalam bukunya “Moral Ekonomi Petani”, menceritakan bagaimana para petani menjalani system subsistensi, dimana berarti bahwa petani lebih suka meminimumkan kemungkinan terjadinya satu bencana dari pada memaksimumkan penghasilan rata-ratanya, dan memakai prinsip yang disebut oleh Roumasset sebagai “dahulukan selamat” (Scoot,1981:26). 15 Peralihan dari produksi subsistensi ke produksi komersil hampir selalu memperbesar resiko. Tanaman subsistensi yang berhasil sedikit banyaknya menjamin persediaan pangan keluarga, sedangkan nilai tanaman komersil yang tidak dapat dimakan tergantung kepada harga pasarnya dan kepada harga bahan-bahan kebutuhan pokok konsumen (Scoot,1981:30). Besarnya resiko yang terkandung dalam peralihan itu serta kemampuan petani-petani bersangkutan untuk menilai dan memikul resiko itu merupakan variabelvariabel kunci tipikal dalam keputusan itu. Jikalau ada kasus lain seperti di Ban Ping, dimana petani melakukan “Produksi Komersil” itu karena Penduduk desa itu baru menanam padi untuk di jual setelah ada kepastian bahwa mempunyai cukup padi ketan untuk dimakan dan untuk memenuhi keperluan-keperluan besarnya ambisi jamuan dan keagamaan yang lazim. Bagaimanapun kewiraswastaan petani, rasionalitas mereka tidak mengijinkan tanaman komersil yang membahayakan subsistensi mereka (Scoot,1981:35). Pierre Gourou mengemukakan persoalannya adalah pertanian bukanlah satu usaha ekonomis yang bertujuan bisnis dan mencari untung, melainkan satu pertanian subsitensi yang semata-mata bertujuan menghasilkan pangan bagi mereka yang melakukannya (Scoot,1981:32). Prisip “dahulukan selamat” itu juga terlihat jelas pada peryataan-peryataan lazim bahwa petani Asia Tenggara enggan berusaha mencari untung, apabila hal itu berarti mengacaukan kegiatan-kegiatan subsistensi yang rutin yang sudah terbukti memadai di waktu yang lampau (Scoot,1981:32). 16 Persoalan mulai muncul ketika petani-petani ini menolak membayar pajak dikarenakan semakin menjerat mereka pada perekonomian yang semakin menyusahkan. Ketika Negara membutuhkan pendapatan, maka Negara akan menaikkan pajak tanah yang menjadi salah satu dari sumber pendapatannya, ketika itu pula maka pemilik tanah tidak akan mau beresiko dengan kerugian, maka dia juga ikut menaikkan harga sewa tanah pertanian, hal inilah yang membuat petani penggarap terkadang harus berhitung keuntungan, sebab harga padi tetap tidak mengalami kenaikan. Dilain sisi ketika berhitung kerugian, jika mereka tidak menyewa, dan hanya sebagai buruh tanam saja, maka itu akan semakin mempersulit kehidupan mereka. Kondisi sulit yang dihadapi terkait perubahan-perubahan inilah yang kemudian membuat kalangan petani enggan berpindah dari system bertahan hidup atau subtitusi. Sikap yang sudah umum itu mencerminkan etika subtitusi yakni anggapan bahwa hak untuk melakukan pungutan atas penghasilan, hanya sah setelah kebutuhan-kebutuhan subtitensi setempat terpenuhi (Scoot:1981:187). Begitu juga dengan masyarakat Sumber Gemulo yang memang mengalami kekurangan debit air pasca pembanguan yang marak dilakukan oleh Pemerintah Kota sesuai kebijakan yang mereka buat. Masyarakat mulai berhitung bahwa air yang merupakan kebutuhan primer tidak boleh sampai mengalami keurangan atau kelangkaan, maka pembangunan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pembangunan dianggab wajar jika masih dalam dasar yang tidak mengganggu ketersediaan stok air yang mengairi 6 17 desa itu. Ketakutan kelangkaan, kekhawatiran terhadap eksploitasi pembangunan, kepanikan oleh semakin mahalnya harga air, dikarenakan dampak perubahan (berupa pembanguan sektor pariwisata) yang dinilai tidak adil, hal ini dirasakan oleh masyarakat yang kemnudian memunculkan perjuangan pada protes kolektif masyarakat Gemulo Batu. 3) Gerakan Sosial “Kasus Tak Kunjung Usai Indrayon” Ada hal yang cukup menarik dari kasus Indrayon di Toba-Samosir Sumatera Utara. Seperti yang dituliskan Effendi Panjaitan di dalam buku “Gelombang Perlawanan Rakyat” dengan judul “Tapasadama Rohanta menutup Indrayon” (Kita Satukan Tekad menutup Indrayon). Gerakan sosial melawan Indrayon dianggab sebagai simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. “Meskipun pemerintah melalui sidang cabinet yang dipimpin oleh Wakil Presiden Megawati Soekarno Putri Maret 2000 mencabut ijin produksi rayon dan hanya mengijinkan produksi pulp dari PT. Inti Indrayon Utama (PT.IIU), namun rakyat Kabupaten Toba Samosir yang berdomisili di kec. Porsea, Uluan, Lumban Julu, Pintu Pohan, berjarak 250 km dari Medan tetap menolak keputusan itu, sebab rakyat menuntut penutupan total dan final operasi PT. IIU. Sejak mulai beroperasi tahun 1986 PT. IIU yang mempunyai Hak Penguasaan Hutan (HPH) seluas 269.000 ha dan mempunyai modal awal US $ 200 juta banyak menimbulkan kerugian seperti penyerobotan tanah rakyat, tanah longsor, pencemaran air, pencemaran udara, dan ketegangan sosial, sehingga rakyat sejak awal menentang kehadiran Indrayon” ( E.Panjaitan,2004:247) Suara Rakyat Bersama (SRB) adalah sebuah organisasi bentukan rakyat6, di dalam organisasi inilah masyarakat yang menolak pengoperasian kembali PT. IIU berkumpul dan bersatu. Disitu terdapat pemuka agama 6 Organisi SRB dalam hal ini adalah sama dengan FMPMA di Sumber GEmulo BAtu 18 (ulama, pendeta), kepala desa dari 143 desa, sipil berbagai profesi, laki-laki, perempuan, pemuda, tua, akademisi kampus (mahasiswa, dosen) mereka mengatasnamakan rakyat meneriakkan satu tujuan utama, yaitu menentang beroperasinya kembali Indrayon dan menutup total Indrayon. Mereka berjuang bersama politisi, kalangan sesepuh atau tokoh masyarakat Batak (Parbato), Ornop bentukan masyarakat lokal KSPPM, Kelompok Anti Pencemaran Lingkungan (KAPAL), Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM), LSM/NGO seperti Bantuan Hukum Sumatera Utara (BAKUMSU), Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara dan Badan Eksekutif Nasional WALHI, Yayasan Lembaga Bantuan Hidup Indonesia(YLBHI). Perjuangan mereka cukup panjang, tercatat sejak tahun 1986 mereka telah melakukan perlawanan. Organisasi ini berdiri untuk “Pelestarian Lingkungan Hidup”, menggantikan organisasi KAPAL yang sudah munurun aktivitas perlawanannya. SRB kepengurusannya tidak begitu melembaga secara formal, artinya tidak punya akta notaris, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, tetapi mempunyai kepengurusan di tingkat kabupaten secara kolektif, yang mewakili desa-desa dan kecamatan. Perwakilan dari kecamatan adalah pemuka masyarakat, pendeta, pastor dan ustad, sedang dari desa adalah masing-masing kepala desa sebanyak 130 orang. Disamping itu ada pengurus harian yang bertugas mendistribusikan informasi dan memobilisasi gerakan, sehingga informasi dan gerakan mobilisasi cepat dan mudah dilakukan. 19 Dengan dukungan para ulama serta tokoh, perlawanan rakyat semakin gencar dan semangat mereka benar-benar bulat untuk menutup Indrayon. Bahkan sampai kata Indrayon mereka pelesetkan menjadi “Indorojan”, yang dalam bahasa Batak “Rojan” berarti “racun” sebagai gambaran kebencian yang amat sangat kepada Indrayon. Tuntutan untuk menutup Indrayon tetap bergejolak, sampai pada tahun 1999 Menteri Ehuin kala itu Ginanjar Kartasasmita berinisiatif untuk mencari masukan dari Walhi atas kasus ini, namun pada tanggal 16 Maret 1999 rakyat menjawabnya dengan mengadakan aksi blockade Jalan Raya Balige, dimana jalan ini merupakan lintas armada Indrayon. Pada aksi ini terjadi bentrok aparat dengan warga, hingga akhirnya masih dibulan yang sama Presiden Habibie memerintahkan secara lesan untuk menghentikan seluruh aktivitas PT IIU. Tahun 1999 bersamaan dengan pemilu presiden dan dewan legislatif, suasana Porsea kian memanas. Kampanye partai juga mengusung tema penutupan Indrayon. Dari sini masyarakat pun membuat rencana strategi dalam hal mempengaruhi pembuatan kebijakan, sebagaimana halnya masuk dalam pemerintahan secara langsung, dan mereka mendapatkan itu. Mereka berhasil menempatkan perwakilan mereka untuk duduk di kursi Dewan Propinsi Sumatra Utara sebanyak 1 orang, 2 orang di DPRD Kabupaten Toba Samosir. Tahun 2000 di bulan Januari lahirlah rekomendasi Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang penghentian operasi PT IIU dikarenakan telah melanggar ketentuan Lingkungan Hidup, antara lain tidak melaksanakan 20 Rencana Kelola Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), dan membuang Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Rekomendasi ini dinilai kurang memuaskan, karena target tuntutan adalah menutup Indrayon. Pergerakan masyarakat dalam melawan PT IIU terus bergema, disisi lain pihak Indrayon juga gemar melakukan lobi untuk tetap mengoperasikan kembali perusahaan ini. Dalam tulisan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara masyarakat untuk melakukan gerakan penolakan melalui mobilisasi massa. Banyaknya korban dari masyarakat sipil memberikan gambaran jelas, respon yang diberikan Negara dalam memihak dan menjalankan perekonomian dinegara ini. Jelas dalam kondisi ini, ekonomi terlihat sebagai mesin eksploitatif, dan jauh dari keadilan ekonomi masyarakat sebenarnya, terutama yang berada di sekitarnya. Pasang surut permasalahan indrayon tidak hanya merugikan tenaga dan financial di kedua belah pihak, kan tetapi disinilah peran Negara di uji, sebab di agenda negaralah semua aspek tentang kemasyarakatan ini diatur, dan mengatur keadilan yang distributif merupakan peran Negara yang diinginkan oleh masyarakat sipil. 4) Struktur Mobilisasi dan Kesempatan Politik dalam Gerakan Sosial Lingkungan oleh Abdul Wahib Situmorang Mengambil penelitian Situmorang (2013), terkonfirmasi bahwasanya data protes kolektif dan gerakan lingkungan hidup yang terjadi dominan di lakukan oleh masyarakat perkotaan. Terdefinisikan pula adanya pola umum kebijakan yang mewajibkan analisa dampak lingkungan hidup (AMDAL), 21 kewajiban menyusun dan melaksanakan rencana tata kelola lingkungan dan pemantauan lingkungan hidup juga relatif berhasil disahkan sebagai aturan dan undang-undang, akan tetapi secara pada kenyataannya, situasi yang terjadi di lapangan bukan berarti pencemaran serta kerusakan yang disebabkan oleh industry, mengalami perbaikan yang cukup significant diwilayah penanganannya. Di dalam penjelasan Situmorang (hal 151-152) pada era Gus Dur sektor kehutanan menjadi sektor yang paling banyak diprotes. Dipengaruhi oleh kebijakan Menteri Kehutanan Nur Mahmudi yang memperbolehkan daerah mengeluarkan IPHH (Izin Pemanfaatan Hasil Hutan). Imbasnya adalah para bupati dapat mengeluarkan izin untuk pengelolaan Hutan, berkakibat pada 500.000 Hektar lahan di Kutai Barat terbuka, dan menimbulkan banyak protes masyarakat disana. Periode Megawati juga mengalami hal serupa, bedanya adalah pada sektor tambang, dimana Megawati mengeluarkan izin lokasi penambangan di wilayah yang selama ini dilindungi atau berada di lokasi sumber-sumber kehidupan masyarakat, ada 115 izin setingkat keputusan Presiden untuk memfasilitasi kepentingan ekonomi global termasuk sektor pertambangan, apalagi izin terhadap tambang di hutan lindung, yang tentu saja hal ini menimbulkan reaksi keras berupa protes masyarakat. Setidaknya pemerintahan SBY juga melakukan hal yang sama dengan membiarkan aturan yang tumpang tindih antara kawasan lindung dan konservasi, atau tumpang tindih dengan sumber mata air dan lokasi penghidupan masyarakat. Bahkan periode SBY menunjukkan peningkatan 22 pada izin pertambangan skala kecil yang dikeluarkan oleh pemerintahan lokal, yang memicu protes masyarakat terhadap tambang pasir besi, tambang galian C. Kelahiran Protes sendiri mempunyai alasan bahwasanya kecenderungan pemerintah untuk memberikan izin pertambangan dan pembangunan infrastruktur di kawasan hutan lindung dan area konservasi yang sudah sangat jarang ditemui di area padat penduduk. Itu lah yang menyebabkan adanya protes lingkungan hidup dalam sektor tambang dan kehutanan mengalami peningkatan. Hasil analisa gerakan sosial lingkungan hidup yang diteliti oleh Situmorang sejak tahun 1968-2011 menunjukkan adanya berbagai kerangka gerakan yang tidak tunggal dalam aspirasi atau tujuan dari protes kolektif yang dilakukan. Beberapa hal yang bisa dilihat yaitu ada yang menuntut menghentikan kerusakan yang terjadi, penanggulangan pencemaran, permintaan ganti rugi, sanksi hukum, penghentian aktivitas atau reformasi kebijakan dan sistem yang secara tidak langsung diangab sebagai penyebab kerusakan (2011:323). Hal ini bisa digambarkan melalui protes yang dilakukan LBH Surabaya yang menolak dan menuntut rencana pengembangan PTS karena bertolak belakang dengan RTRW dan mengakibatkan hutan bakau dan mangrove hilang sebagai penahan abrasi laut, atau sekelompok mahasiswa yang berunjuk rasa di DPRD Prov. KALBAR untuk menghentikan eksploitasi PT. MWS atas tambang di TNG Palung, karena mengancam ekosistem setempat, ataupun seperti halnya juga protes yang dilakukan oleh Komite Masyarakat Penolakan PLTA Lore Lindu di SULSEL, mereka menilai 23 pembangunan PLTA dapat mengancam keselamatan dan kelestarian lingkungan. Adapun formulasi gerakan seringkali dimulai dan disampaikan oleh Kepala Desa maupun tokoh-tokoh di masyarakat, yang menyampaikan informasi bahwa akan ada aktivitas atau izin yang telah diberikan oleh pemerintah atau kuasa modal yang akan beroperasi di kawasan kelola masyarakat atau kawasan yang memiliki peran ekologi penting bagi kelompok-kelompok di masyarakat. Dari penelitian Situmorang juga didapatkan beberapa ciri gerakan pertama adalah gerakan penolakan kegiatan atau izin kegiatan banyak dilakukan oleh struktur mobilisasi informal, mereka adalah kelompokkelompok yang ada di masyarakat. Kedua adalah gerakan penolakan kebijakan lebih banyak dipilih oleh struktur organisasi formal seperti LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya, karena dipengaruhi oleh idiologi yang mereka yakini. Gerakan LSM lebih banyak melihat kebijakan pemerintah yang tidak memihak lingkungan dan kepentingan masyarakat sebagai penyebab utamanya. Ketiga, dalam kesempatan politik yang mereka punya, gerakan juga sering menunjukkan penolakan kepada organisasi formal maupun kelompok masyarakat biasa (ormas), pada saat mereka akan menggabungkan bentuk sikap. Kesempatan politik ini dipilih dan disuarakan secara bersamaan setelah melalui proses komunikasi dan diskusi antar aktoraktor yang terlibat (2011:322). 24 5) Organisasi sebagai kekuatan Gerakan Penelitian yang dilakukan di IDASA (Institute for Democracy in South Africa) pertengahan tahun 2005. Ada yang menarik dalam penelitian tentang NGO ini, adalah tentang Karakter organisasi IDASA adalah 1) keyakinan kuat pada demokrasi, 2) kemampuan beradaptasi dengan segala tantangan baru, 3) kredibilitas di mata donor, 4) kapasitas membuat inovasi (Darmawan, 2006:235), karakter ini yang kemudian mampu membuat IDASA menjadi NGO besar dengan integritas tinggi di dunia. IDASA merupakan salah satu NGO yang ada di Afrika Selatan, lembaga ini bergerak untuk perjuangan penuh visi untuk mewujudkan suatu negeri yang demokratis dan bebas dari diskriminasi rasial di Afrika Selatan (2006:234). Lebih lanjut dijelaskan oleh Darmawan (2006) Pandangan utamanya IDASA adalah memahamkan upaya untuk tetap percaya pada harapan-harapan dan kebajikan-kebajikan yang ditawarkan oleh demokrasi ditengah-tengah masyarakat yang tiada henti dilanda kekerasan. Hal ini dikarenakan saat itu sedang terjadi kenaikan kekuatan gerakan sosial domestik oleh civil society, ditengah konstelasi geopolitik di benua hitam tersebut. IDASA didirikan oleh Frederick van Zyl Slabbert dan Alex Borane setelah keluar dari parlemen di tahun 1986, disebabkan merasa bahwa parlemen telah mengalami kebuntuan politik untuk menemukan jalan alternative yang demokratis, non rasial, non kekerasan, dan dapat diterapkan bagi Afrika Selatan sebagai pengganti apartheid. Zyl Slabbert dan Alex Borane berpendapat bahwa suatu lembaga yang independen dibutuhkan untuk 25 memainkan peran sebagai badan pengumpul informasi dan mediasi (Darmawan,2006:236). “..prioritas kami adalah mendorong politik negosiasi, sebagai alternatif dari politik pengucilan, penindasan, dan kekerasan yang tengah marak saat itu..” (Borrane (1992) dalam Darmawan,2006:235) Disini Zyl Slabbert dan Alex Borane memposisikan IDASA sebagai fasilitator untuk mengembangkan tatanan masyarakat tanpa diskriminasi ras dan sebagai wahana untuk menumbuhkan solidaritas di antara partai politik, tokoh masyarakat, dan rakyat biasa Africa selatan melalui tatanan demokrasi yang sejati. pengembangan Demokrasi dipandang sebagai ruh dalam kerja-kerja institusi-institusi, norma, dan prosedur politik bagi terbentuknya pemerintahan oleh rakyat yang berdaulat (polular selfgovernment). IDASA menilai bahwa tolak ukur yang lebih penting dalam demokrasi adalah tingkat partisipasi warga Negara dalam kehidupan public, dan kinerja pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya. “kita tidak dapat memiliki demokrasi jika pemerintah lemah. Kita tidak dapat memiliki demokrasi jika hanya civil society yang percaya pada gagasan itu. Kita akan memiliki demokrasi jika pemerintah tidak sekedar percaya pada gagasan itu, tetapi juga mempraktekkannya (Jenkins (1992) dalam Darmawan,2006:238) Kecanggihan IDASA sebagai NGO dalam beradaptasi dan menemukan strategi adalah point yang penting untuk dipelajari. Sepanjang keberadaanya di tengah masyarakat, IDASA telah mencicipi berbagai ragam perubahan konstelasi politik domestic Afrika Selatan. Adapun beberapa perubahan strategi yang digunakan terangkum seperti berikut: 26 a) Pada periode awal (1987-1990), upaya-upaya IDASA difokuskan pada pembangunan iklim untuk tumbuhnya demokrasi. b) Periode kedua (1990-1993), fokus IDASA beralih menjadi “sekutu kritis bagi proses transisi”. Ini dilakukan dengan menafsirkan proses transisi, mendorong dan mengembangkan dukungan bagi mekanisme transisi, mendorong dan mengartikulasikan kebutuhan warga Negara dan aspirasi mitra-mitra negoisasi. c) Periode ketiga (1993-1995), IDASA bergeser fokus strateginya pada upaya-upaya untuk mendukung penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis. d) Periode keempat (1995-1997) fokus IDASA beralih pada upaya “pembangunan institusi-institusi demokratis” dengan membantu rekonstruksi Negara, pengembangan prinsip-prinsip kewarganegaraan, mendorong praktik dan prosedur demokratis, dan mengkonsolidasikan konstitusi baru. e) Periode ke lima (pasca 1997) program IDASA di dominasi dengan aktivitas-aktivitas “ memberdayakan warga Negara”. Lembaga ini mencurahkan upayanya untuk membangkitkan pengetahuan warga Negara mengenai hak-hak dan tanggung jawab mereka, menyediakan keahlian untuk berperan serta memantau dan menafsirkan hukum dan kebijakan. Bagi IDASA, untuk bisa mencapai keberlanjutan, demokrasi harus lah memiliki syarat sebagai berikut (Darmawan, 2006:244) 27 1. Dimiliki, didukung, dan dibela oleh warga Negara 2. Dijalankan oleh institusi-institusi demokratis dengan kapasitas domestik yang memadai 3. Didanai oleh aliran pendapatan dari perekonomian yang stabil Saat ini kecakapan inti lembaga IDASA adalah riset dan analisis sosial, pelatihan dan pendidikan,pembangunan jaringan dan koalisi, fasilitasi politik (dengan menggabungkan advokasi, penyelesaian masalah, konsultasi dan manajemen proyek), serta pemantauan dan penyebaran informasi. Kemampuan IDASA untuk mendapatkan dukungan yang significant dari lembaga donor disebabkan oleh kredibilitas lembaga itu. Sebagian pendonor percaya bahwa IDASA memiliki kecakapan yang memadai untuk mengimplementasikan program-programnya. Faktor kunci lainnya yang menarik minat donor adalah kapasitas IDASA untuk menyesuaikan diri dengan konteks politik yang senantiasa berubah. Hal ini dikarenakan IDASA mampu mengeksplorasi gagasan dan gambaran informasi tentang sosial demokrasi yang berkembang saat itu ditiap waktu. Untuk itu IDASA tidak hanya mengandalkan satu jenis strategi. Namun, sebagaimana dijelaskan Ivor Jenkins bahwasanya masing-masing program menyusun sejumlah strategi dan memiliki “cukup ruang” untuk melakukan kombinasi taktik antara advokasi, riset, pembangunan kapasitas, dan fasilitasi ditiap-tiap program (Darmawan,2006:249). Pendek kata, civil society terus menjadi mediator antara Negara dan warganya. kebutuhan untuk berkolaborasi dengan Negara, mendefinisikan, 28 memantau, dan menyiapkan berbagai hal untuk sebuah tatanan demokrasi merupakan sudut terpenting dalam gagasan penting melihat NGO ini berada yang tampil di tengah masyarakat tanpa mengenal adanya demokrasi. Menyoroti kekuatan NGO IDASA sebagai element penting penggerak pemikiran masyarakat, merupakan perjuangan yang riil dalam melawan eksploitasi kelompok tertentu yang diskriminatif. Saat Negara tidak mampu melakukan perbaikan disana-sini, pelayanan kebutuhan dasar, perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan bagi warga yang amburadur, NGO merupakan bukti kekuatan entitas terbaik yang bisa diandalkan dalam kondisi perbaikan tersebut, dan masyarakat membutuhkan hal itu. F. KERANGKA KONSEPTUAL Kerangka konseptual didasarkan pada beberapa konsep yang diperlukan sebagai pedoman penelitian. Beberapa konsep tersebut antara lain adalah : a) Gerakan Sosial Masyarakat (Social Movement) 1) Definisi dan Konsep Gerakan Sosial Gerakan sosial merupakan sebuah gerakan mobilisir yang dilakukan oleh sekelompok orang secara kolektif, continue atau berkelanjutan, sistematis dengan tujuan untuk mendukung atau menentang keberlakuan tata kehidupan tertentu, dimana mereka memiliki kepentingan di dalamnya, baik secara individu, kelompok, komunitas, atau level yang lebih luas lagi. Mengutip pandangan Van Kliven dalam The Blackwell Companion To Social Movements (Haryanto,dkk, 2013:188-189) mendefinisikan Gerakan Sosial sebagai berikut: 29 “Kolektivitas-kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak di saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang di dasarkan secara institusional atau cultural dan berlaku dalam kelompok, organisas, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia dimana mereka merupakan salah satu bagiannya.” John Wilson dalam Introduction To Social Movement juga memberikan pengertian gerakan melalui ciri-cirinya dimana gerakan sosial merupakan tindakan kolektif, dilakukan secara terorganisasi, mempunyai ruang lingkup yang sangat potensial luas, menggunakan sarana atau cara yang non institusional (demonstrasi atau pengerahan massa) di dalam upaya mencapai tujuannya, mempunyai tujuan yang tidak terbatas dalam pengertian tidak membatasi sasarannya pada ketegori-kategori para pendukungnya dan menggunakan upayaupaya yang jelas bagi terjadinya perubahan (1973:4). Secara pasti dari sini bisa dipahami bahwa setiap gerakan sosial mempunyai tujuan yang jelas dan massa yang terstruktur dalam menjalankan aksi protesnya. Munculnya gerakan sosial dengan demikian merupakan tanda bahwa tatanan sosial yang lama di tentang karena dianggab telah kehilangan kesuciannya (keluar dari koridor pemerataan keadilan) karenanya menjadi tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat (Wilson,1973:4). Terlebih terhadap hal-hal yang memang memerlukan sebuah rekonstruksi ulang sosial, dikarenakan sudah tidak ditemukan kesesuaian di kelompok-kelompok yang ada dimasyarakat. Dimana individu-individu, kelompok, dan organisasi yang membentuk budaya proses gerakan dengan menambahkan, mengubah, merekonstruksi, dan reformulasi kondisi yang telah ada sebelumnya (Klandermans,1995:hal 5). 30 Banyak pakar yang menyimak khas gerakan sosial dari sisi perubahan di masyarakat seperti yang direkam oleh Piotr Szotmka (2005) 7, seperti halnya Blumer (1951) yang mengganggab gerakan sosial sebagai bagian dari pembenahan ulang penataan masyarakat modern, ataupun sebagai pencipta perubahan sosial (Killian,1964), aktor historis atau pencipta sejarah (Touraine, 1977), agen perubahan kehidupan politik atau pembawa proyek history (Eyerman & Jaminson,1991), gerakan massa dan konflik yang ditimbulkannya adalah agen utama perubahan sosial (Adamson & Borgos,1984). Dari situ Sztomka (2005:325) mendefinisikan gerakan sosial sebagai: “tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga (resmi) untuk mengasilkan perubahan pada masyarakat mereka” Jelas dalam kondisi tersebut bisa dilihat bentuk dari gerakan sosial meski bukan merupakan gerakan resmi politik, namun tetap merupakan bentuk gerakan massa yang diakui dalam akivitasnya sebagai corong identitas pergolakan masyarakat, yang mampu merubah arah kebijakan pemerintah yang resmi. Sebuah gerakan sosial adalah dilakukan dengan sadar, kolektif, terorganisir dalam rangka upaya untuk membawa atau menolak perubahan besar-besaran dengan cara melalui lembaga non-resmi (masyarakat sipil) (Wilson,1973: 8) Seperti pandangan Hebele (1972) dalam Sztomka (2005:326) yang menyatakan kelompok gerakan sosial sebagai : “jenis khusus kelompok yang bertindak dengan persetujuan bersama, usianya lebih lama dan lebih kompak ketimbang gerombolan orang ramai, massa dan kerumunan, tetapi tak terorganisasi seperti klub politik (partai) dan asosiasi lainnya” 7 Sztomka, Piotr,2005, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada, hal 323-326 31 Dari sejarah juga terlihat bahwasanya gerakan sosial muncul dari ketidakpuasan, ketidaksetujuan, ketidakadilan yang diterima oleh sebagian/sekelompok khalayak masyarakat, terhadap penyelenggara kegiatan yang menindas. Mengutip pendapat Soeharko (2006) yang menjelaskan bahwasanya perlawanan politik dan gerakan-gerakan penentangan ditujukan terhadap pemegang kekuasaan yang dianggab otoriter dan represif8. Budaya serta tatanan sosial yang sudah jauh dari kerangka tujuan hidup secara bersama, dengan demikian dapat memicu adanya sebuah pergolakan protes. Maka dengan kondisi itu masyarakat akan menganggab perlawanan dan perubahan adalah suatu keharusan bahkan keniscayaan, meski demikian tidak selanjutnya mengubah segalanya yang ada, namun juga bisa disesuaikan dengan kondisi target dari sebuah perlawanan. Meminjam pandangan Klandermans (1995:4) gerakan sosial tidak hanya dapat timbul dari celah budaya, tetapi juga dapat memproses budaya sejauh mereka mengkonsumsi apa yang diberikan budaya, dan menghasilkan transmutasi itu. Dari sini maka akan nampak terlihat apakah mereka akan melakukan gerakan sosial sekedar protes sosial, atau memobilsasi massa untuk sebuah revolusi sosial. Sedangkan menurut Sidney Tarrow (2011:7), menyatakan bahwa gerakan sosial sebagai tantangan kolektif/bersama (kepada elit,otoritas,kelompok lain atau peraturan budaya) oleh orang-orang yang mempunyai tujuan yang umum dan solidaritas dalam interaksi yang berkesinambungan dengan elit,oposisi dan otoritas. Tarrow yang menempatkan gerakan sosial sebagai politik perlawanan 8 Putra,Fadilah ,dkk.2006,”Gerakan Sosial – konsep,Strategi,Aktor,Hambatan, dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia”, Malang, PLaCID’s 32 yang terjadi ketika rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Konteks gerakan sosial dari Tarrow, merupakan tindakan yang didasari politik perlawanan adalah aksi kolektif yang melawan (contentius collective action). Umumnya tidakan kolektif berlangsung dalam institusi ketika orang-orang yang tergabung di dalamnya bertindak untuk mencapai tujuan bersama. Aksi kolektif memiliki nuansa penentangan ketika aksi itu dilakukan oleh orang-orang yang kurang memiliki akses ke institusi-institusi untuk mengajukan klaim baru atau klaim yang tidak dapat diterima oleh pemegang otoritas atau pihak-pihak yang ditentang lainnya. Aksi kolektif yang melawan merupakan basis dari gerakan sosial, karena aksi itu seringkali merupakan satu-satunya sumber daya yang dimiliki oleh orang-orang awam dalam menentang pihak-pihak lain yang lebih kuat seperti Negara. Teorinya secara umum menekankan mobilisasi aktor, gerakan sosial muncul dari bawah ketika volume keluhan, ketidakpuasan, dan kekecewaan rakyat melampaui ambang batas tertentu. Salah satu variasinya yang oleh Gurr (1970) disebut semacam citra “ledakan” dari sebuah kekecewaan yang tak terbendung. Gerakan sosial secara spontan akan terlihat dari “ledakan” tersebut, kemudian baru mendapat pimpinan, organisasi dan ideologi (gerakan terjadi secara spontan). Variasi lain dari gerakan sosial adalah mempunyai citra kewirausahaan atau komplotan atau company. Gerakan sosial dipandang sebagai tindakan kolektif yang mempunyai tujuan, direkrut, dimobilisasi, dan dikendalikan oleh pimpinan dan ideologinya (pemrakarsa persekongkolan, 33 pemrakarsa gerakan dan sebagainya) sebagai upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, menurut teori Tarrow gerakan sosial itu dibentuk dengan sengaja. Tarrow membedakan secara khusus gerakan sosial dari partai politik dan kelompok kepentingan. Arti pentingnya adalah gerakan sosial muncul sebagai kelompok penekan, dengan diikuti sebuah tindakan kolektif yang bermusuhan diantara berbagai kelompok sosial dan Negara, mengikuti dinamika dan diluar kebijaksanaan negara. Bahwasanya gerakan sosial yang dilakukan oleh partai maupun oleh masyarakat sama-sama telah mengalami redefinisi dari perjuangan kelas ala Marx menjadi sebuah gerakan yang lebih luas dan beragam, dengan kausal atau sebab akibat dari faktor-faktor yang lebih makrostruktural (struktur yang luas), seperti siklus ekonomi, atau juga berpindahnya perubahan-perubahan pada peluang politik, hal yang tentu saja bisa mengurangi “ongkos” atau aspekaspek di dalam tindakan kolektif (Tarrow,1994). Akan tetapi dari kesamaan aksi yang dilakukan oleh partai politik maupun kelompok kepentingan, dari beberapa hal tersebut bagi Tarrow gerakan sosial lebih terlihat sebagai kelompok-kelompok yang bersifat tidak melembaga, anggota dari berbagai masyarakat yang tidak terwakili, yang bergerak dalam alur interaksi dan berseberangan dengan elit atau pihak oposisi. Menurut Sidney Tarrow terdapat beberapa syarat utama agar suatu gerakan disebut sebagai Aksi Sosial yaitu Pertama, suatu protes yang dilakukan oleh massa dapat disebut sebagai gerakan bila didalamnya ada aktor-aktor yang mengorganisasikan diri dan memobilisasi massa. Sebuah organisasi atau lebih didalam sebuah aksi adalah salah satu tanda penting bahwa protes itu memang 34 terorganisir. Kondisi ini dimaksudkan untuk membedakan adanya suatu kumpulan massa dengan kerumunan massa (crowd). Kedua, pentingnya pemahaman mengenai gerakan yang terorganisir adalah mengenai asumsi tentang eksistensi sang aktor social, yang mengelola segala bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan (grievances), atau isu bersama, menjadi identitas dan solidaritas, bahkan ideologi. Ini sangat penting karena sebuah gerakan butuh dukungan publik, setidaknya kelompok-kelompok organisasi untuk bergabung dalam suatu protes. Aktor-aktor yang bergerak untuk melawan selalu secara dinamis merancang tindakan sedemikian rupa untuk menciptakan peluang politik bagi mereka ketika berhadapan dengan lawan-lawannya. Ketiga, ada lawan-lawan yang setidaknya merupakan bagian dari kelompok yang terorganisir pula. Lawan itu dapat berasal dari Negara, militer-militer atau pemerintah, penguasa, pengusaha besar atau perusahaan-perusahaan, baik lawan–lawan pada tingkat sektoral maupun nasional adalah bagian dari sebuah kekuatan yang tidak hanya memiliki legitimasi menggunakan alat-alat represi. Ada represi dalam bentuk sebuah produk keputusan kebijakan penguasa yang dipandang tidak menguntungkan, tidak menciptakan partisipasi mereka sementara hal itu berkaitan langsung dengan masa depan mereka. Keempat, tindak protes selalu mencerminkan adanya sebuah siklus proses perlawanan yang terorganisir (gagal maupun sukses) terhadap kekuasaan selalu terjadi berulang-ulang. Oleh Charles Tilly dalam bukunya ”Social Movement 1768-2004” gerakan sosial didefinisikan “perlawanan yang terus-menerus atas nama kelompok yang dirugikan (wronged population) terhadap pemegang kekuasaan (existing 35 holders of powers) melalui berbagai ragam bentuk protes publik, termasuk tindakan-tindakan di luar jalur partisipasi politik formal yang diatur oleh hukum dan perundangan, untuk menunjukkan bahwa kelompok tersebut solid, berkomitmen, serta mewakili jumlah yang signifikan (Tilly,2007:hal 6). Menurutnya lebih jauh gerakan sosial adalah sebagai sebuah tindakan/ performance yang berkelanjutan secara bertahap, adanya aksi dan kampanye yang dilakukan oleh orang-orang biasa (sekelompok massa) dan mereka membuat tuntutan secara kolektif terhadap yang kelompok lain (target otoritas). Pada intinya dapat dikatakan bahwa gerakan sosial disini adalah dapat dijadikan sebuah kendaraan besar bagi orang-orang biasa untuk berpartisipasi dalam ruang publik maupun politik. Hampir sama dengan pandangan Mac Adam (dalam Davis,Gerald.F, et all, 2005 :hal 6) bahwasanya teori gerakan sosial memusatkan perhatian pada mekanisme mobilisasi dan kesempatan untuk mencari ganti rugi. Ganti rugi yang dimaksud adalah terkait motivasi pola rasionalitas (sesuai rasionalitas dan kebutuhan) individu di dalam kelompok gerakan maupun rasionalitas kelompok besarnya, sebab hal ini adalah kecenderungan dari kelompok gerakan oleh massa yang telah mengerti manfaat dari mobilisasi massa. Mc Carthy dan Zald (1977) menyebut bentuk-bentuk gerakan baru ini sebagai “organisasi gerakan professional”, tetapi gerakan-gerakan ini seringkali mencakup para aktivis amatir dan paruh waktu yang mempergunakan berbagai ketrampilan organisasional dan sumber daya komunikasi yang tersedia kepada orang-orang biasa yang malakukan tindakan kolektif. Kemampuan kelompok seperti ini dalam mengatasi kekurangan sumber dayanya, dalam mempergunakan 36 bentuk-bentuk tindakan kolektif yang inovatif, dan dalam mendapatkan akses kepada media, membedakannya dari bentuk-bentuk gerakan sosial lama (Klandermans,1992). Menurut Tilly bahwa ada 3 elemen penting yang melekat pada gerakan sosial, yaitu adanya sebagai berikut: Pertama, Kampanye yang merupakan sebuah pertahanan, organisir kekuatan publik, dan membuat tuntutan kolektif pada target otoritas Kedua, Seleksi gerakan sosial adalah kombinasi antara tokoh, pengurus, dan pengikut aksi, dari partai politik maupun organisasi lain yang ikut bergabung, untuk menciptakan perkumpulan/asosiasi yang bertujuan khusus dalam bentuk koalisi, pertemuan umum, pertemuan formal, vigils ,publik meeting, demostrasi, penyampaian petisi, pernyataan ke dan dalam media umum, dan selebaran Ketiga, adanya penunjukan perwakilan yang berkomitmen sebagai tokoh, partisipan publik dan juru bicara, untuk membuat aturan intern (di dalam) organisasi mereka dari (Kejahatan/ worthiness, persatuan/unity, total/numbers, and komitment/commitments) yang sesuai dengan aturan mereka. Ada yang menarik dari perhatian para peneliti gerakan, tidak semua gerakan muncul dengan terbuka dan perlawanan secara terangan-terangan, setidaknya itu yang muncul dari penelitian J.Scoot (1976). Kehadiran perlawan oleh kelompok kelas bawah khusunya dikalangan petani dan pedesaan, umumnya 37 dilakukan dengan cara yang tidak frontal, meski demikan gerakan perlawanan ini muncul dan diakui sebagai gerankan penekan kelompok otoritas.Dalam bukunya “Moral Ekonomi Petani-Pergolakan dan Subtitensi di Asia Tenggara”, Scoot meneruskan pandangan Pierre Gourou mengenai sangat pentingnya mengerti pola pertanian Indocina, yang mana pertanian bukanlah satu usaha ekonomis yang bertujuan bisnis dan mencari untung, melainkan satu pertanian subsitensi yang semata-mata bertujuan menghasilkan pangan bagi mereka yang melakukannya (1976:32). Lewat penelitiannya di Malaysia, Jawa, Burma, Vietnam, Filipina, protes berupa perlawanan yang lahir dari depresi akibat eksploitasi dan ketidakadilan yang diterima oleh kelompok kelas tertentu, dengan kesadaran politik (warga Negara) yang dipunyainya. Banyaknya peristiwa perlawanan petani adalah lebih dikarenakan ketidaksediaan pejabat setempat untuk menghormati norma-norma redistributif dari kehidupan desa (Scoot,1976:220). Tekanan terhadap rutin-rutin subtitensi yang ditimbulkan oleh krisi pasar atau kegagalan panen ditejemahkan ke dalam suatu pola kemarahan dan perlawanan yang sesuai dengan cara penyampaiannya (Scoot,1976:309). James Scoot juga memberikan suatu definisi perlawanan kolektif yang dilakukan tidak kemudian dilakukan dengan cara terbuka, namun juga tertutup, tetapi tetap efektif dalam melakukan protes. Biasanya perlawanan mereka tidak ditandai oleh konfrontasi besar-besaran dan menentang, akan tetapi lebih oleh aksi menghindarkan diri secara diam-diam yang juga tidak kurang besarnya dan seringkali jauh lebih efektif (Scoot,2000:43). Hal 38 inilah yang menjadikan gerakan perlawanan kaum petani atau kelompok kelas bawah mampu mendesak dan diperhitungkan oleh kelas diatasnya. Tahap-Tahap Gerakan Sosial dari segi pola perkembangannnya tidaklah sama, namun semua gerakan sosial dimulai dari suatu keadaan krisis, lalu mengalami perkembangan dalam berbagai tingkat, dan kemudian lenyap atau melembaga. Menurut W.E Gettys, kebanyakan gerakan sosial melewati tahaptahap berikut: 1. Tahap kegelisahan. Dala tahap ini terjadi ketidakpuasan akibat pergolakan sistem yang kurang baik. Tahap ini bisa meluas dan berlangsung selama beberapa tahun. 2. Tahap kegusaran. Setelah perhatian dipusatkan pada kondisi-kondisi yang menimbulkan kegelisahan, maka terhimpunlah sebuah kolektivitas. Kegelisahan yang muncul dalam kolektivitas ini digerakkan oleh para agitator atau pemimpin. 3. Tahap formalisasi. Dalam tahap ini, tidak tampak adanya struktur formal yang terorganisir yang dilengkapi dengan hierarki petugas-petugas. Salah satu tugas penting adalah mejelaskan ideologi gerakan kepada anggota yang telah bersatu. Sebab-sebab terjadinya ketidakpuasan, rencana aksi dan sasaran-sasaran gerakan. 4. Tahap pelembagaan. Jika geraka tersebut berhasil menarik banyak pengikut dan dapat memenangkan dukungan publik, akhirnya akan terjadi pelembagaan. Selama tahap ini, 39 ditetapkan suatu birokrasi dan kepemimpinan yang profesional yang disiplin mengganti figur-figur kharismatik sebelumnya Dari beberapa perspektif dan penelitian gerakan sosial yang ada, jelas tergambarkan bahwasanya gerakan memang tidak muncul secara tiba-tiba, namun bisa juga melalui rentetan kejadian masalah atau sebab akibat yang lama sudah didiamkan. Pada kondisi kekinian, gerakan muncul dengan banyak frem kepentingan idiologis maupun politis, cara-cara yang ditempuh dalam melakukan mobilisasi massa juga berbeda-beda, dengan kampanye melaui simbol-simbol dan media yang lebih beragam. Maka untuk itu secara faktual gerakan sosial saat ini mengutip pandangan Diani & Bison (2004) adalah “Sebentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat, oleh aktor-aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentukbentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama.” (dalam Darmawan, 2006: hal 6) 2) Macam-macam Gerakan Sosial Gerakan Sosial Lama Seperti yang diketahui bahwasanya gerakan sudah lama muncul, bahkan sejak revolusi industri di abad 18. Kejadian Revolusi Perancis tahun 1789, yang menginspirasi Negara Inggris, Jerman, dan Italia untuk mempercepat terjadinya “Revolusi Politik” dengan target utama membentuk Pemerintahan Rakyat dan “Revolusi Sosial” dengan menekankan kepada penguasaan alat-alat produksi 40 seperti yang diramalkan oleh Marx9, merupakan sebuah history yang panjang dalam timbulnya gerakan sosial di Eropa Barat. Rata-rata gerakan sosial lama dipicu adanya ketidakpuasan kaum buruh yang ingin adanya perbaikan di hidup (welfare right movement), gerakan itu umumnya mengarah pada eksistensi kelas. Fenomena yang muncul akibat dari system penggajian yang buruk, eksploitasi jam tenaga kerja (Laclau & Moufie,2008: 240). Selain itu di kawasan Negara bagian dunia ketiga abad 20 beberapa perlawanan juga muncul sebagai bentuk gerakan sosial lama, seperti adanya gagal panen, pajak dan sewa tanah yang melangit, depresi, ketakutan dengan system baru (Scoot,J.,1981:191), dominasi kelas elit pemilik tanah dan pengendalian kelas petani lemah (Paige, Jaffery.M, 2011:72), serangkaian itu semua adalah gejala ketidak puasan kelompok petani atau kelas lemah, yang mana kemudian dengan dukungan organisasi mereka berjuang secara kolektif. Gerakan sosial baru Gerakan sosial baru umumnya diinisiasi oleh aktor gerakan sosial tidak berdasarkan kepada kepentingan kelas tertentu, tetapi berdasarkan kepentingan isu yang dirasakan oleh semua kelas atau kelompok tertentu (Donatella D.Porta & Mario Diani (1999) dalam Situmorang,2011:2). Gerakan ini berbasis non kelas, seperti gerakan perempuan, mahasiswa dan pelajar, keagamaan, anti korupsi, etnis, guru, guy dan lesbian, persamaan ras, kebebasan berorganisasi, 9 Revolusi Politik dipelopori kelompok kelas menengah ang tercerahkan, dan kelompok pemilik modal yang berkeinginan menggeser otoritas para bangsawan dalam mengkontrol pemerintahan. Mereka menginginkan pemerintah rakyat dengan pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan. Sedangkan Revolusi Sosial dipelopori oleh buruh yang tidak kuat dengan penindasan dan berpendapat revolusi adalah satu-satunya jalan untuk bisa keluar dari penindasan melalui pendekatan konflik dan srutrukturalis (Situmorang,2013:hal 6). 41 demokratisasi, lingkungan hidup (Joe Fowaker (1995), Sidney Tarrow (1994), dalam Situmorang,2011:2). Gerakan sosial kontemporer (versi eropa & versi amerika) Gerakan sosial kontemporer muncul di sekitar tahun 1960-1970an. Menjadi sesuatu yang baru, serta melihatnya sebagai buah dari pergeseran dalam tatanan masyarakat dan kebudayaan yang ada. Beberapa tokoh menyimpulkan bahwa gerakan sosial kontemporer tersebut berkepentingan dengan pembentukan identitas politik yang baru, yang tidak bisa diakomodasikan oleh system Negara yang lama (Phongpaicit (2001) dalam Darmawan (ed) 2006:8). Di Eropa Barat perkembangan gerakan sosial kontemporer lebih dipicu oleh adanya korporatisme serikat buruh dan tradisi kuat dalam tatanan demokrasinya, sedangkan di Amerika lebih banyak dipicu karena kemampuan dari kelompok-kelompok kepentingan untuk secara terus-menerus memobilisasi sumber daya dan meraih representasi politik dalam sistem pemerintahan. Perbedaanya peneliti Amerika Serikat lebih cenderung melihat upaya keberhasilan dan kegagalan gerakan sosial sebagai kajiannya, dibanding dengan pandangan dari kalangan ilmuwan Eropa Barat yang masih dapat mengkaji kekuatan buruh yang significant sebagai konteks yang mendasar lahirnya gerakan (Phongpaicit (2001) dalam Darmawan (ed) 2006:8) . Pada perjalanannya gerakan sosial juga menjumpai dua hal yang berbeda, disatu sisi gerakan sosial dianggab sebagai jembatan transformasi kepada tren sebuah gaya hidup baru, bersifat sipil, nasional, memperjuangkan sebuah tujuan, sehingga tindakan kolektif ini diterima dan dijadikan landasan dalam pembuatan kebijakan yang lebih bisa diterima oleh seluruh lapisan kelompok masyarakat, 42 akan tetapi disatu sisi gerakan sosial yang telah menyebar dengan identik kekerasan didalamnya,kesewenag-wenangan gerakan (seperti gerakan islam fundamental, etnis,dll), menjadikan gerakan menjadi sebuah produk yang ironi. Sedangkan Jenis-Jenis Gerakan Sosial Gerakan sosial memiliki beberapa jenis, yaitu: 1. Gerakan perpindahan (migratory movement), yaitu arus perpindahan ke suatu tempat yang baru. Individu-individu dalam jenis gerakan ini umumnya tidak puas dengan keadaan sekarang dan bermigrasi dengan harapan memperoleh masa depan lebih baik 2. Gerakan ekspresif (expresive movement),yaitu tindakan penduduk untuk mengubah sikap mereka sendiri dan bukan mengubah masyarakat. Individu-individu dalam jenis gerakan ini sebenarnya hanya merubah persepsi mereka terhadap lingkungan luar yang kurang menyenangkan dari pada mengubah kondisi luar itu sendiri 3. Gerakan utopia (utopian movement), yaitu gerakan yang bertujuan menciptakan lingkungan sosial ideal yang dihuni atau upaya menciptakan masyarakat sejahtera yang bersekala kecil. 4. Gerakan reformasi (reform movement), yaitu gerakan yang berupaya memperbaiki beberapa kepincangan atau aspek tertentu dalam masyarakat tanpa memperbarui secara keseluruhan. 5. Gerakan revolusioner (revolutionary movement), yaitu gerakan sosial yang melibatkan masyarakat secara tepat dan drastis dengan tujuan mengganti sistem yang ada dengan sistem baru. 43 6. Gerakan regresif (reaksioner) yaitu gerakan yang berusaha untuk mengembalikan keadaan kepada kedudukan sebelumnya. Para individu yang begabung dalam gerakan ini adalah orang- orang yang kecewa terhadap kecenderungan sosial yang sedang berjalan.. 7. Gerakan perlawanan (resistance movement) yaitu gerakan yang berusaha melawan perubahan sosial tertentu. 8. Gerakan progresif (progressive movement) yaitu gerakan yang bertujuan memperbaiki masyarakat dengan cara mengadakan perubahan-perubahan positif pada lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi. 9. Gerakan konservatif (conservative movement) yaitu gerakan yang berusaha menjaga agar masyarakat tidak berubah. Individu-individu yang mendukung gerakan ini menganggap bahwa kedudukan masyarakat pada saat sekarang sebagai kedudukan yang paling menyenangkan 3) Pendekatan utama a) New Social Movement (NSM) ala Touraine dan Laclau Pendekatan ini untuk memahami asal-muasal timbulnya suatu gerakan atau “the „why‟ question”. Pendekatan ini lebih menekankan pada pemahaman sisi kultural gerakan sosial serta memandangnya sebagai suatu perjuangan perebutan kendali atas produksi makna, serta pembentukan suatu identitas kolektif baru (Canel (1997) dalam Darmawan (ed), 2006: hal 8). Lebih lagi NSM lebih 44 pada sudut pandang menggugat reduksionalisme Marx yang menempatkan logika dan kelas sebagai prima causa dan motor gerakan sosial10. b) Resource Mobilization Theory (RMT) Tilly dan Zald Pendekatan ini dipergunakan untuk memahami dampak dan capaian gerakan atau “the „how‟ question”. RMT lebih menekankan pemahaman terhadap sisi politik dari gerakan sosial serta memandangnya sebagai konflik atas alokasi sumber daya dalam pasar politik (political market). Berbeda dengan NSM yang menolak pandangan Marxis, RMT bertolak dari sudut pandang yang menolak cara pandang “Teori Kolektif” Durkheim dan kemapanan dari “Teori Fungsional”, yang telah memandang gerakan sosial sebagai reaksi anomi, bahkan bentuk yang irasional dari sebuah perubahan sosial yang pesat di masyarakat. Lewat sudut pandangnya, RMT lebih menempatkan aktor-aktor yang rasional dengan strategistrateginya, serta instrument-instrument yang memadai di tingkat kelembagaan politik, hal yang digunakan untuk menggantikan peran segerombolan yang dianggap irasional dalam aksi gerakan sosial. Ada dua kerangka model analisa yang dikembangkan oleh pendekatan RMT, pertama adalah Political Interactive Model dimana model ini lebih menekankan pentingnya perubahan struktur kesempatan bagi aksi kolektif, 10 Gugatan ini terletak pada tuduhan Marx atas terjadinya gerakan revolusi dari sector kekuataan kelas, dimana kelas buruh (proletar) melakukan tuntutan kepada kaum borjois sebagai penyelenggara kekuatan kapitalisme. Bagi NSM berbeda, secara umum pendekatan ini mengaitkan kemunculan gerakan pada kegagalan system demokrasi di dalam tatanan sosial pascamodernitas (post-modern society) untuk menjamin kebebasan individu, kesetaraan dan persaudaraan. Menurut pandangan NSM , demokrasi tengah mengalami kemerosotan ke-arah Negara otoarianteknokaratis. Negara berada dalam cengkraman pasar, sehingga warga Negara mengalami tekanan, baik dari teknokratisme Negara maupun dari kekuatan pasar. Kelas pekerja perlahan musnah dan digantikan oleh barisan konsumen yang mengalami manipulasi oleh kekuatan pasar (disadur dari tulisan Iwan Gardono Sujatmiko di buku (Darmawan.ed) “Gerakan Sosial”, Jakarta, LP3ES, (2006: hal 9), tentang pandangan Touraine dan Habermas terkait “Theories of Social Movement “ 45 keberadaa jejaring, serta kaitan horizontal yang telah terbangun dengan kelompok tertindas (aggrieved group) sebagai faktor penentu keberhasilan gerakan sosial. Model ini dikembangkan oleh Tilly, Gamson, Oberschall dan McAdam. Kedua, adalah Organizational-Entrepeneurial Model yang memandang bahwasanya dinamika organisasional, kepemimpinan, dan pengelolaan sumberdaya merupakan faktor yang lebih significant dalam menentukan keberhasilan gerakan sosial. Model ini dikembangkan oleh McCarthy dan Zald (Sujatmiko,I.G.,Darmawan(ed),2006,hal 11- 12). McCarthy membedakan antara “Gerakan Sosial” dengan “Organisasi Gerakan Sosial” (Social Movement Organization) , kemudian ada “industri gerakan sosial” (Social Industry Movement) dan “sektor gerakan sosial” (Social Sector Movement). Bagi McCarthy organisasi gerakan sosial merupakan organisasi yang sangat kompleks, formal, yang meng-idektik-kan tujuannya sesuai dengan tujuan dari gerakan sosial yang dipilihnya, dan berusaha memperjuangkan tujuan tersebut. Sebagai agregat untuk mencapai tujuan tersebut, maka organisasi gerakan didalamnya akan membentuk industri gerakan sosial sebagai bagian dari membentuk dan memproduksi gagasan-gagasan yang sesuai dengan tujuan dari organisasi gerakan tersebut, hingga kemudian secara agregat jika industri itu sudah kuat dalam membingkai gerakan, maka akan besar menjadi sektor gerakan sosial, dimana dalam sektor ini gerakan mulai terpisah sesuai dengan sasarannya, semisal lingkungan, HAM, feminism, dll11. 11 Gambaran ini lebih mudahnya oleh peneliti di pahami jika dengan kasus mata air sumber gemulo ini, di dalam gerakan sosial masyarakat tersebut ada organisasi gerakan sosial (FMPMA organisasi gerakan utamanya, yang didalamnya ada WaLHI,LBH Surabaya,MCW, sebagai ornop). Masing-masing ornop memegang sudut pandang sesuai dengan background gerakan mereka, 46 Dari definisi yang ada, gerakan sosial seolah menjadi tumpuan dalam setiap perubahan di masyarakat, akan tetapi yang harus dicermati bersama bahwasanya gerakan sosial tidak selalu merupakan pemicu perubahan sosial dalam masyarakat, namun juga ada yang untuk mempertahankan situasi kondisi atau keadaan yang sudah ada atau mapan. Dengan begitu peneliti dalam hal ini memahami konsep gerakan adalah terkait dengan suatu kolektivitas yang terorganisir dan mempunyai arah tujuan jelas lewat aktivitas protesnya. Meski demikian untuk keberhasilanya, gerakan sosial secara efektif harus mampu menguasai kekuatan lain di dalam struktur sosial dan jaringan politik, serta menentukan tempo gerakan dengan benar. Biasanya disinilah NGO atau LSM melatih individu massa atau aktor gerakan dengan advokasi yang massif. Kemampuan menjaga proses mobilisasi NGO/LSM untuk keberhasilan gerakan sosial sangat di tuntut dalam hal ini, bukan saja karena mereka adalah organisasi yang sudah mapan, namun kebanyakan dari mereka adalah pemilik jaringan, sehingga tak jarang dikalangan akademisi bahkan pemerintah, NGO dikenal sebagai lokomotif civil society. Terpenting dari ini semua, dengan hadirnya NGO ini gerakan masyarakat akan lebih mempunyai langkah-langkah yang significant dan mendapat legitimasi (legitimate) yang kuat serta mempunyai kredibilitas (credibility) sehingga gerakan sosial tidak bisa dipandang remeh. Sebagaimana konsep gerakan sosial tersebut, maka peneliti akan menggunakan definisi disinilah industri gerakan mulai bekerja dengan mesin mobilisasi yang menyesuaikan tujuan besar yaitu penyelamatan sumber mata air dan menyatukan asumsi pihak Hotel The Rayja sebagai common enemy atau musuh bersama. Akan tetapi, jika kemudian dalam proses organisasi gerakan tersebut, yang mulai bergerak dan melibatkan industri gerakan sosial yang kompleks, secara tidak langsung akan menggiring pula pada potensi isu dan sasaran yang semakin kuat dan terspesifikasi pada wilayah tujuan dan isunya, WALHI dengan isu lingkungan, LBH Surabaya pada isu Hukum dan HAM, MCW pada wilayah korupsinya, di isitulah akan terjadi sektor gerakan sosial. 47 operasional sebagaimana antara lain adalah Struktur Mobilisasi, Protes Kolektif, NGO/LSM (Ornop bagian dari Civil Society) sebagai konsep dasar penelitian. 4) Struktur Mobilisasi Struktur mobilisasi dalam penjelasan A. W. Situmorang dijabarkan menjadi sejumlah sub konsep seperti organisasi gerakan formal, aliansi-aliansi non gerakan formal, jaringan kekerabatan etnis dan pertemanan, sumberdaya keuangan dan konstituen (2013:64). Konsep itu memberikan pengertian bahwasanya bisa didapatkan beberapa variable terkait struktur mobilisasi secara operasional antara lain adalah pertama, aktor-aktor yang menjadi motor proses kolektif, kedua adalah bentuk-bentuk organisasi yang terlibat, ketiga adalah jumlah partisipan yang terlibat. Setidaknya dalam kondisi ini, struktur mobilisasi bisa berbentuk formal yaitu ada kepengurusan dan bagian- bagiannya, yang bahkan terindikasi secara baik sebagai bentuk organisasi massa. Namun juga bisa berbentuk jaringan informal dimana hanya menjadi akses untuk sebuah agenda perlawanan, atau bahkan yang merupakan kombinasi dari sebuah organisasi formal dan jaringan informal. Biasanya struktur mobilisasi akan memasukkan beberapa jumlah organisasi formal yang nantinya menjadi kekuatan jaringannya. Organisasi formal yang dimaksud disini adalah yang memiliki hukum atau aturan organisasi yang baku, memiliki struktur kepengurusan dan mekanisme pergantian kepengurusan, serta memiliki program tahunan yang dilaksanakan oleh pengurusnya. 48 Sebagai kekuatannya, kemudian organisasi formal yang menjadi struktur mobilisasi adalah gabungan dengan beberapa orang atau individu yang itu mempunyai jaringan dan mampu menguasai massa dalam persentase yang jauh lebih besar. Pada tingkatan seperti inilah kekuatan struktur mobilisasi menjadi kelompok yang sangat terorganisir, bahkan tersistematis dan massif dalam menggalang kekuatan massanya. Di wilayah kajian ini, akan ditemui kelompok NGO nasional dan sekup kecil /kota, seperti LBH Surabaya, MCW, Poldev Institute, WALHI, dan juga kelompok jaringan mahasiswa, masyarakat pemakai jasa HIPAM di 6 desa, dan sekitarnya, Partai Politik, Kalangan birokrat, dll. Kesempatan politik yang dipunyai oleh masing-masing jaringan juga ikut andil dalam membentuk model strategi yang akan digunakan gerakan FMPMA. Oleh karenanya, struktur ini mampu menjadi mesin yang relevan untuk membuat protes perlawanan. Struktur ini sangat berkaitan dengan loyalitas sebagai penduduk satu kampung, kekerabatan, ketergantungan akan sumber air yang sama, perhatian akan pentingnya sebuah tatanan yang baik untuk kelestarian alam, semua menjadi kekuatan pendorong emosi di gerakan protes masyarakat Batu ini. Kondisi ini memang tak bisa dipungkiri, sebab dengan struktur mobilisasi kekuatan yang ada dalam sebuah gerakan mampu mendorong pada suatu tatanan perubahan sosial. Sekalipun begitu, struktur mobilisasi terpatahkan apabila kemudian jika didalamnya ternyata kelompok yang ada, dengan berbagai kepentingan latar belakang hanya menjalankan aksi sesuai 49 kehendak dan atau hanya saling menunggangi satu sama lainnya. Dengan kondisi inilah konsep Struktur Mobilisasi menjadi salah satu konsep penting didalam penelitian ini. Sesuai dengan keberagaman karakter dan kepentingannya, kelompok yang tergabung dalam struktur mobilisasi FMPMA mempunyai peran penting untuk memenuhi kebutuhan perlawanan masyarakat 6 desa yang sedang mempertahankan Sumber Mata Air Gemulo Batu. 5) Protes kolektif Protes kolektif didefinisikan oleh Dieter Ructh (1998) sebagai bentuk aktifitas kelompok yang direncanakan dan dilaksanakan oleh aktor-aktor non Negara untuk menyatakan perbedaan dan ketidak kesepakatan atas sesuatu secara terbuka di publik (Situmorang, 2013:11). Lebih jauh Ruct dalam buku Situmorang (2013:12) juga menjelaskan perbedaannya dengan gerakan lingkungan hidup yang oleh Rutch lebih di definisikan sebagai segala bentuk aktivitas kelompok yang direncanakan dan berorientasi pada perubahan struktur di masyarakat dan gerakan didasarkan atas sebuah jaringan kelompok dan organisasi yang luas dan antar sesama anggota jaringan berbagai kepercayaan dan cita-cita yang diperjuangkan. Artinya gerakan bersifat lebih luas, besar cakupannya dan mempunyai peran untuk sebuah perubahan struktur yang dianggap kaku atau tidak berpihak dan menyalahi terhadap sebuah kelestarian lingkungan hidup, sedangkan protes kolektif tidak berorientasi kepada perubahan struktur tetapi lebih cenderung kepada penyelesaian kasus-kasus lingkungan hidup saja. 50 Bukan itu saja, protes kolektif juga berjalan dengan menyalurkan aspirasi ketidakkesepakatannya melalui media cetak dan elektroknik atau media lainnya yang dikategorikan sebagai salah satu ruang protes, sebagai implikasinya protes kolektif juga tidak selalu kemudian identik dengan kehadiran fisik para demonstran di jalanan (seperti kasus sejuta koin untuk Prita (tahun 2009-2012) atau dukungan sejuta sandal untuk terdakwa anak All ( di tahun 2012 ), mereka menggunakan media elektronik sebagai ruang aksi untuk melakukan protes dan menarik dukungan massa dari berbagai lintas kelas, kelompok kepentingan, golongan, berbeda dengan gerakan sosial yang identik memakai taktik aksi turun jalan secara langsung, bahkan tidak segansegan melakukan hal-hal perlawanan yang bersifat keras. Peristiwa protes ini bisa ditilik dari kasus Protes Para Petani Irlandia pada tahun 1966, dimana para petani dalam peristiwa tersebut terorganisir dalam formasi massa yang disiplin, tapi aktifitas mereka tidak terkoordinir oleh organisasi legal administratif manapun (Paige, 2011:166). Tuntutan petani terbatas pada pengontrolan pasar daging, tidak lebih dari itu. Tidak ada tuntutan yang menginginkan revolusioner atau ingin mengubah situasi struktur birokrasi yang besar. Target mereka adalah menuntut kebijakan pemerintah Nasional dengan cara protes berdefile (berarak-arakan, pawai,parade), dan gerakan protes kolektif mereka berhasil. Pada contohnya kasus di Indonesia keberhasilan protes sosial sebagai bentuk dari perlawanan masyarakat adalah protes kolektif masyarakat Toba Batak yang menentang keberadaan PT. Inti Indrayon Utama di Sosor Ladang, 51 Porsea Sumatra Utara, yang dianggab oleh masyarakat sebagai penyebab utama degradasi lingkungan hidup dan sosial di Porsea. Protes kolektif ini hanya menuntut untuk ditutupnya PT. Indrayon dan berhasil dengan ditutupnya PT. Indrayon di tahun 1999 lalu. Meski demikian, protes kolektif yang menentang sebuah ketidakadilan lingkungan hidup sebenarnya mulai tumbuh pada tahun 1980-an (Situmorang,1999), namun masih bersifat terbatas, hanya terjadi di beberapa tempat, melibatkan sejumlah kecil massa, bentuk perlawanan yang tidak frontal, melibatkan beberapa jaringan organisasi lingkungan hidup dan lebih berorientasi pada penyelesaian kasus, berbeda dengan protes sosial saat ini yang lebih terbuka, seluruh masyarakat luas bisa melihat kejadian dengan bantuan media elektronik maupun tulis, bentuk perlawanan yang semakin berani, inovatif dan frontal, dengan dukungan jaringan LSM serta kelompok kelompok masyarakat yang semakin matang dalam konsep perlawanannya untuk meruntuhkan sebuah tata ruang kota baru yang dianggab mereka kurang adil dan dapat merusak kelestarian lingkungan hidup yang sudah lama mereka jaga. Protes kolektif yang terjadi di masyarakat Kota Batu, dalam memperjuangkan aspirasinya untuk menjaga dan melestarikan Sumber Mata Air Gemulo adalah salah satu bentuk protes sosial. Mereka hanya menginginkan pemerintah segera mencabut ijin pembangunan Hotel The Rayja dan segera membuat aturan perundangan yang berkaitan dengan tanah konservasi lingkungan hidup. Sehingga dengan begitu sumbermata air 52 Gemulo, dan sumber mata air di Kota Batu akan terlindungi dari pembangunan yang dapat merusak habiat di tanah konservasi. b) Civil Society Konsep masyarakat sipil paling tua berkembang pada masa Yunani Kuno yang merujuk kepada pendapat Aristoteles. Menurut Aristoteles, civil society (politike koinonia) adalah komunitas/ masyarakat politik/Negara. Pada saat itu masyarakat sipil identik dengan Negara yang didalamnya ada warga Negara yang mampu mengurus diri mereka sendiri. Otonomi disini dimaksudkan bahwa civil society terlepas dari pengaruh dan kebergantungan dari negara baik dibidang ekonomi, politik, maupun sosial. Selain itu, masyarakat juga memiliki akses terhadap lembaga-lembaga negara. Munculnya istilah Civil Society disebabkan karena terjadinya dominasi dan ototarian dalam praktik kekuasaan oleh penguasa atau rezim yang berkuasa di negara-negara Barat pada waktu itu. Civil society dalam terminologi Nurcholis Madjid, diistilahkan dengan Masyarakat Madani, yakni terkait masyarakat yang memiliki ciri-ciri antara lain egalitarianism, menghargai prestasi, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan plurarisme, serta musyawarah. Sedangkan dalam terminologi Muhammad A.S. Hikam civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, kemandirian yang tinggi berhadapan dengan Negara dan keterikatan dengan norma atau nilai hukum yang diikuti oleh warganya (Hidayatullah, 2011). International Crisis Group (ICG) menyampaikan empat tugas yang biasa di berikan kepada civil society. Pertama adalah untuk melindungi dan membela HAk 53 Azasi Manusia (HAM). Kedua adalah memperbaiki fungsi Negara atau mengkontrol Negara. Ketiga adalah memberdayakan rakyat atau menjamin keikutsertaan rakyat dalam proses pemerintahan. Keempat adalah untuk mendorong pemerataan ekonomi supaya perbedaan yang kaya dan yang miskin tidak terlalu jauh. Masyarakat sipil bukanlah institusi yang berorientasi pada kekuasaan dan bertujuan maksimalisasi kapital. Kelompok ini lahir dari rahim kesadaran untuk memperjuangkan nilai-nilai universersal manusia yang tidak melihat perbedaan bangsa, status sosial, ekonomi, ideology, agama, maupun identitas promodial berwarganegaraan lainnya (dalam Hidayatullah 2011:173). (citizenship) masyarakatnya timbul karena Kehidupan kesadaran, keinginan dan kebutuhan masyarakat sendiri. Negara hanya mengupayakan menjalankan fungsi fasilitator, koordinator, dan mediator dalam membantu pemenuhan hak-hak masyarakat sebagaimana berkehidupan berbangsa dan bernegara. c) NGO (Non Governmental Organization) Di sebuah gerakan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tak jarang ikut turut campur untuk mengadvokasi. Sebagai lembaga yang hampir ada di setiap kota, mereka mulai merebak sebagai ciri identitas sebuah tatanan Demokrasi. Begitupun dengan kondisi di Kota Batu. LSM atau NGO (non government organization) sering kali mengambil peran penyeimbang atau yang memposisikan dirinya untuk jembatan penghubung antara masyarakat dan Negara. Disinilah NGO bisa disebut sebagai salah satu dari intermediary actor. Secara 54 definitive peran, mereka tersebut tak jarang berbentuk advokasi kepada masyarakat. Program kerja pemerintah yang kadang berbenturan dengan kebutuhan masyarakat, bahkan jika struktur Negara nampak mendominasi kekuasaan sebagai dinasti yang otoriter, menjadikan kelompok ini semakin dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat. Sebab, tak jarang fungsi peran pemerintah yang lemah, khususnya saat mengidentifikasi masalah-masalah sosial12 serta dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya, pada kondisi inilah sering kemudian peran transformasi tersebut diambil alih oleh kelompok NGO ataupun kelompok masyarakat ini untuk dibantu pelaksanaannya. Bahkan mereka dapat menjadi media control dan evaluasi kinerja pemerintahan yang cukup efektif. Lebih jauh adalah dalam kaitannya ikut memperjuangkan hak-hak rakyat yang terkadang dilupakan oleh pemerintah. sehingga tak jarang pula ide dan kritik mereka berbenturan dengan program kebijakan pemerintah. Pada tingkat internasional, untuk mengakomodasi keterlibatan NGO ini, PBB secara khusus memfasilitasi berdirinya satu lembaga penghubung yaitu UN Non Government Liaison Service (NGLS) pada tahun 1975 (Saidi,Z.,1995:10). PBB dalam memposisikan NGLS ini sebagai penghubung NGO dengan system 12 Memakai kacamata Weinberg (1981) di dalam buku “Masalah Sosial” Soetomo (2013 :7-8) masalah sosial diartikan sebagai situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Terlebih secara umumnya permasalahan sosial adalah terkait dengan ketidak mampuan pemerintah dalam melakukan identifikasi kondisi sosial masyarakat sekitar (Soetomo,2013:9). Dalam menentukan dimensi permasalahan sosial dan komponen inilah yang harus diperbaiki, bagi peneliti pemerintah seringkali gagal mempertemukan kebijakan dengan kebutuhan masyarakatnya, sehingga seolah membuat persoalan baru. Kesan menyepelekan suara rakyat akhirnya muncul, yang padahal itu juga belum tentu dengan mudah pemerintah dapat menyelesaikannya. Padahal jelas bahwa persoalan sosial seharusnya, dihadapi dengan langkah kebijakan yang lebih adil dan solutif, serta dengan cara yang baik pula dalam penyelesaiannya. 55 multirateral PBB. Peran utamanya adalah membantu NGO dalam kegiatankegiatannya khususnya pendidikan, advokasi, analisis kebijakan, dan prosesproses negoisasi yang mempengaruhi hubungan Negara maju dan Negara sedang berkembang, dengan dibiayai bersama oleh Badan-Badan maupun Program dari PBB. Menilik keberadaan dari organisasi diluar pemerintah, jauh sebelumnya Alexis De Tocqueville (1805-1859) pengamat sosial berkebangsaan Perancis, melihat adanya kehadiran kelompok perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association) di kunjungannya ke Amerika tahun 1830-an. Mereka juga menyelenggarakan kepentingan mereka sendiri, dengan melakukan kegiatan inovatif, perkumpulan dan perhimpunan itu juga bertindak sebagai lembaga pengimbang terhadap kekuatan Negara (as a counter-weights to state power). Menurut Tocqueville tiga peranan yang dijalankan oleh organisasi tersebut (yang seolah menjadi sokoguru dari bentuk civil society di era demokrasi), yang kemudian konsepnya sekarang ini dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)13: 1) Menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang jika tidak dilakukan pasti tidak akan terdengar oleh pemerintah atau kalangan masyarakat umumnya 2) Menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya masyarakat daripada mengantungkan diri kepada prakarsa Negara 13 M. Dawam Raharjo dalam pengantar Buku “Secangkir Kopi Max Havelar” (1995) berjudul “Kelas Menengah, Masyarakat Sipil, dan LSM,” hal xvii ,Jakarta, Gramedia 56 3) Menciptakan forum pendidikan kewarganegaraan, menarik masyarakat untuk membentuk usaha bersama (co-operatif ventures) dan dengan demikian mencairkan sikap menyendiri (isolative) serta membangkitkan tanggung jawab sosial yang lebih luas Dari situ Tocqueville melihat ada prasyarat dari latar belakangnya kemunculan Ornop yaitu pertama kesukarelaan, kedua keswasembadaan, ketiga keswadayaan, keempat kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara, kelima keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh negaranya. Sedangkan meminjam pandangan Noelen Heyzer setidaknya ada tiga peran penting yang dimainkan oleh kalangan kelompok ini. Beberapa peran NGO diidentifikasi dalam Gaffar (2006:203) : a) mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat “grasroot”, yang b) c) sangat esensial, dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Meningkatkan pengaruh politik secara meluas, melalui jaringan kerjasama, baik dalam suatu Negara ataupun dengan lembaga-lembaga international lainnya Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan. Sedangkan oleh Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna dalam Gaffar (2006:204) lebih menekankan peran pada dimensi politik antara lain adalah sebagai: 1) 2) 3) 4) Katalisasi perubahan sistem, dilakukan dengan jalan mengangkat sejumlah masalah yang penting dalam masyarakat, membentuk sebuah kesadaran global, melakuka advokasi demi perubahan kebijaksanaan Negara, mengembangkan kemauan politik rakyat, dan mengadakan eksperimen yang mendorong inisiatif masyarakat. Memonitor pelaksanaan system dan cara penyelenggaraan Negara, bahkan bila perlu ikut melakukan protes. Memfasilitasi rekonsiliasi warga Negara dengan Lembaga Peradilan. Muncul secara aktif untuk melakukan pembelaan bagi korban ketidakadilan. Implementasi program pelayanan, yang mana NGO menempatkan diri sebagai lembaga yang mewujudkan sejumlah program dalam masyarakat 57 Kehadiran NGO atau lebih dikenal dengan LSM sering lebih terlihat perannya sebagai alat transformasi sosial, dimana peran tersebut ikut menciptakan perubahan sosial di dunia menjadi lebih adil, baik di tingkat lokal maupun global, seperti yang dijelaskan dalam buku Mansour Fakih “Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial- Pergolakan Idiologi LSM Indonesia”. Oleh karena itulah mereka terlihat sebagai organisasi yang juga melakukan kegiatan-kegiatan di wilayah pengembangan masyarakat. Setidaknya kegiatan tersebut tergambarkan seperti berikut : “Jika dalam masa 1970-an kebanyakan kegiatan LSM lebih difokuskan bagaimana bekerja dengan rakyat di tingkat akar rumput dengan melakukan pengembangan masyarakat (community development), maka dalam tahun 1980an bentuk perjuangannya menjadi lebih beragam, dari perjuangan lokal hingga jenis advokasi nasional maupun internasional. Sejumlah aktivis LSM bahkan mulai mengkhususkan diri melakukan kerja advokasi publik untuk perubahan kebijakan yang dalam manifestasinya dilakukan dengan membuat pelbagai macam statement politik, petisi, lobbi, protes, dan demonstrasi” ( M.Fakih,2004:5-6) NGO dan gerakan sosial seakaan tak pernah lepas dan seolah menjadi satu kesatuan. Disetiap gerakan yang ada, hampir selalu ditemui NGO yang itu ikut memfasilitasi gerakan yang sedang dilakukan oleh masyarakat. Dengan kata lain, bahwasanya NGO bisa menjadi martil tersendiri untuk pemerintah yang sewenang-wenang dan menjadi kekuatan yang massif jika masuk dalam sebuah tatanan gerakan sosial. Banyaknya permasalahan yang dijumpai di sekitar kita, juga seolah ikut menyuburkan keberadaan NGO di Negara ini. Oleh karenanya, kehadiran NGO juga bisa menjadi angin segar pembaruan, namun disatu sisi juga menjadi petanda bahwasanya masih ada banyak hal yang perlu dicarikan solusi 58 secara baik. Itulah karenanya peran massif LSM ini tak jarang juga ikut terbentuk dengan alasan kekuatan struktur negara yang sulit ditembus oleh aspirasi masyarakat yang ada di dalam kuasa pemerintahan itu. Seperti halnya di Negara ini, pemerintah Orde Baru yang otoriter juga secara tidak langsung membentuk adanya kelahiran kelompok-kelompok gressroot yang menginginkan adanya pemerataan pembanganan tanpa mengharap campur tangan Negara lagi. Kondisi itu kemudian menyadarkan kepada ornop ini untuk mencapai tujuannya dengan cara mencari bantuan atau penyokong dana dari berbagai donator. Sehingga yang terjadi sangat mencolok adalah ketika ORBa terguling dan lahir Orde Reformasi, dimana dengan system demokrasi yang memudahkan akses siapa saja membuat ornop dengan mudah melakukan maneuver pendampingan masyarakat melalui masing-masing program yang mereka buat. Kran pemerintah yang saat itu terbuka dengan sumber pendanaan dari dalam negeri sendiri maupun bantuan dana dari luar negeri untuk pembangunan yang merata, mulai membuat LSM mulai berebut dana untuk melakukan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat. Walaupun kemudian hal ini menjadi koreksi tersendiri, seperti yang diungkapkan oleh Patra M. Zen (Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Jakarta (2008), ikhwal bahwasanya setelah pendanaan keluar nampak persaingan secara tidak langsung antar LSM dalam berebut dana atau founding tersebut, yang kemudian membuat LSM ini bertahan dengan pembenaran masing-masing, sehingga muncul anggapan apatis masyarakat 59 terhadap LSM, karena LSM diangap memanfaatkan masyarakat untuk mendapatkan Proyek dari penyandang dana (Lutfi.J.K.,dkk,2008:21). Pada kondisi ini memang secara tidak langsung memancing potensi LSM untuk dijadikan alat kuat oleh founding-nya. Bahkan juga tak jarang muncul LSM yang itu adalah bentukan pengusaha, politisi, LSM yang terlahir untuk sebuah proyek kepentingan pribadi atau golongan mereka sendiri, yang itu membutuhkan keterlibatan dari masyarakat. Wacana ini pun berakhir dengan tuduhan yang sebenarnya sudah jauh hari diramalkan sebelum keruntuhan Orba yaitu “LSM abal-abal”, “LSM kagetan” atau bahkan LSM yang hanya hidup dengan memanfaatkan donatur dana untuk aktivitasnya (Saidi,Zaim,1995:11). Konsep NGO sering dikenal sebagai organisasi yang dibentuk oleh kalangan bersifat mandiri. Disebut mandiri sebab tidak menggantungkan diri pada pemerintah atau Negara, terutama dalam dukungan finansial dan sarana maupun prasarana (Gaffar,2006:200). Kendati demikian menurut Heyker, Ryker and Quizon bukan berarti kemudian NGO tersebut terlepas dari pemerintah, karena tak jarang pemerintah juga memberikan fasilitas penopang, misalnya dengan adanya pembebasan pajak untuk aktivitas dan asset yang dimiliki oleh NGO (Gaffar 2006:201). Sebagai organisasi yang terstruktur, peranan mereka menjadi penting dalam sebuah penaataan masyarakat yang lebih baik. Kendati demikian bukan berarti peranan mereka mulus diperjalanannya dalam melakukan sebuah gagasan demokratisasi, transformasi sosial, dan keadilan sosial, sebab tak jarang mereka 60 akan berbenturan dengan lingkungan politik, ekonomi, kultur, dan aspek-aspek lainnya yang memandang skeptis dan curiga dengan kehadiran mereka. Disisi lain karena keterlibatan mereka yang tak jarang mengarahkan untuk masuk ranah politik inilah yang tak jarang menjadi permasalahan tersendiri saat kehadiran mereka di tengah-tengah problematik masyarakat, dan tak jarang aktivis LSM juga terkena tuduhan melakukan pelanggaran karena aktivitasnya yang terlalu keras bersuara Seperti halnya organisasi LSM yang berada di konflik Sumber Mata Air Gemulo Batu ini, ada WALHI, LBH Surabaya, MCW, dll, keberadaan mereka diterima dan dibutuhkan. Masyarakat tetap melakukan mobilisasi massa sendiri dengan membentuk FMPMA, dimana disini mereka berharap organisasi LSM juga terlibat dalam pergerakan mereka, menjadi bagian dari kekuatan yang mereka bentuk. Kerjasama LSM dengan FMPMA sebagai organisasi khusus gerakan lokal Sumber gemulo adalah bentuk entitas keberadaan civil society. Seperti diketahui bersama Ornop (NGO/LSM) bukan merupakan satusatunya penjelmaan civil society14, namun lebih pada salah satu dari organisasi civil society, yang berdampingan dengan organisasi massa non pemerintahan lainnya. Dimana bisa dikatakan bahwasanya organisasi massa bisa dalam bentuk ormas, partai politik, profesi, paguyuban, limited group discussion, dll. Akan 14 Syarat adanya civil society menurut Habermas sebagai model Demokrasi Deliberatif adalah dengan adanya Ruang Publik, yang di dalamnya terdapat ruang untuk menyampaikan argument dan bebas menyatakan sikap mereka sebagai warga Negara. Maka itu, ruang publik politik tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah politik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung (dalam B.Hardiman, 2013:134). Pada kondisi ini ruang-ruang itu tercipta dengan bentuk kelompok massa yang beragam. 61 tetapi LSM sebagai ornop dengan kemampuannya bisa dikatakan sebagai koordinator kolaborasi antar element, dan merupakan bentuk aliansi yang memiliki idiologi serta capaian jangka panjang. Dengan demikan NGO/LSM merupakan kelompok yang menginginkan adanya perubahan sosial, serta mampu memperluas dialog cultural maupun kelembagaan antara berbagai inisiatif akar rumput. Pada pengertian masyarakat sipil disini adalah masyarakat yang berkeadaban, sadar dan mematuhi tatanan yang disebut demokrasi, sedangkan meminjam pandangan M. Dawam Raharjo (1995) 15 sebenarnya, demokrasi adalah sebuah system pemerintahan dalam masyarakat yang berpendidikan, dalam masyarakat yang kurang berpendidikan, mesin demokrasi cenderung tidak jalan, karena rakyat tidak mengetahui adanya HAM. Antara ornop dan ormas didalam civil society Ada perbedaan di antara organisasi ormas dan organisasi non pemerintahan,disamping kemudian ada persamaan diantaranya adalah sama-sama sebagai sarana atau ruang berekspresi dan mengapresiasikan dirinya ditengahtengah masyarakat dan Negara (Lutfi.J.K.,dkk,2008:36). Seperti yang dijelaskan oleh Adi Surya Culla dalam buku Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (2006:70), perbedaan tersebut adalah pertama, ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat sebagai warga Negara untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional (UU no 8/1985), sedangkan ornop, adalah wujud partisipasi mayarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat serta mengacu pada 15 Pengantar buku “Secangkir Kopi Max Havelar” (1995) oleh M. Dawam Rahardjo berjudul “Kelas Menengah, Masyarakat Sipil, dan LSM,” hal xi ,Jakarta, Gramedia 62 Irmendagri No 8/1990). Kedua, ormas adalah perkumpulan orang-orang yang bekerjasama secara terlembaga melalui struktur yang ketat terorganisasi, sedangkan Ornop adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang terorganisasi maupun yang tidak terorganisasi dengan struktur tidak harus rumit. Ketiga, kepengurusan Ormas berjenjang dan subordinatif, khususnya antara pusat dan cabang, sedangkan kepengurusan Ornop lebih terbuka, kenyal, dan tidak formal, termasuk hubungan antar organisasi induk dan cabang, serta pengurus daerah. Keempat, ormas umumnya memiliki susunan keanggotaan sangat ketat, terdaftar, dan mengikat, sedangkan ornop tidak harus memiliki keangotaan yang mengikat. Dari sudut pandang itu dapat bisa terlihat perbedaan fungsi di keduanya, utamanya adalah Ornop tidak mempunyai anggota diluar pengurus, hanya kelompok masyarakat yang mendampinginya, atau hanya sebatas jaringan atau relasi kerja, dengan struktur yang lentur dan jauh dari kemeriahan jika ada suksesi pergantian pengurus, itu sebabnya pegiat Ornop / NGO biasanya adalah benarbenar dari kalangan sipil. Hal yang sangat berbalik dengan ormas yang memiliki anggota secara rinci dan ketat, dengan implementasi program yang tak jarang menitikberatkan pada anggotanya, dan paling mencolok adalah saat pergantian pengurus pasti ramai dibicarakan dan menjadi sorotan, sehingga tak jarang nuansa politis-kekuasaan muncul sebagai dominasi suksesi tersebut (Mukhtamar NU ke33 di Jombang tahun 2015 yang berakhir dengan persaingan politis baru-baru ini), karena tidak dapat dipungkiri ada banyak tokoh masyarakat, nasional, maupun regional dengan background masing-masing di dalam Ormas tersebut. Namun 63 dari sinilah secara relevansi, organisasi masyarakat atau Ormas dapat menjadi salah satu element penting dalam melihat peta kekuatan masyarakat sipil. Selain itu menurut Lubis dalam buku Suharko16 juga menerangkan adanya perbedaaan Ormas dan LSM terlihat secara sederhana dari orientasi keorganisasiannya (2001: 91). Ormas biasanya lebih menekankan pada keanggotaan dan mempunyai akses langsung ke masyarakat, sedangkan LSM memberikan tekanan pada aktivitas atau isu tertentu, namun tidak mempunyai akses kepada masyarakat langsung dan tidak mempunyai basis keanggotaan. Walaupun demikian, ada banyaknya NGO dan LSM di Indonesia, juga tak jarang memberikan kritik maupun perdebatan dari kalangan aktivis, intelektual, akademisi, dan masyarakat sendiri. Seperti tertuang dalam buku Mansour Fakih “Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial- Pergolakan Idiologi LSM Indonesia” (2004). Dalam tulisannya M. Fakih menjelaskan LSM saat ini masih berada dipersimpangan jalan, antara pilihan mengidentifikasi eksistensinya sebagai civil society dalam konteks “demokratisasi” melalui system relasi politik dan ekonomi model neoliberalisme, atau memilih jalan sebagai “gerakan sosial” dalam rangka transformasi sosial menuju masyarakat demokrasi kerakyatan, yaitu suatu tatanan relasi sosial ekonomi dan politik yang bersendikan pada keadilan 16 dengan judul “Merajut Demokrasi” buku ini juga mengetengahkan tentang hubungan NGO di Indonesia. Bentuk ormas dapat dibagi menjadi orgnisasi yang berhubungna dengan bisnis (seperti KADIN-Kamar Dagang dan Industri, dan asosiasi-asosiasi bisnis lainnya, organisasi yang dibentuk dan dijalankan oleh pemerintah (KNPI-SPSI, HKTI, dan sebagainya, dan organisasi masyarakat yang otonom mencakup koperasi, organisasi pelajar ataupun mahasiswa, akademik, organisasi berbasis agama, organisasi berorientasi kultural, hobi. Sedangkan pada bentuk aktivitasnya pada kenyataannya ormas juga memiliki kesamaan dengan LSM, dimana khususnya ormas agama, mereka mempunyai bentuk visioner dakwah, dan seringkali mempunyai programprogram untuk implementasi gerakan mereka, yang mereka didalamnya mempunyai lembaga kajian dan pengembangan sumber daya manusia seperti halnya Lakpesdam NU, atau Yayasan Sosial Soegijopraroto yang terkait erat dengan katolik, dll. 64 sosial dan kedaulatan rakyat. Belum lagi, Semakin menjamurnya jumlah NGO yang ada juga disebabkan dari pendanaan dari luar negeri, hampir semua NGO yang ada di Indonesia ini belum sepenuhnya dapat membiayai dirinya sendiri, ketergantungan ini dialami oleh NGO lokal maupun sebesar WALHI dan YLBHI (Lutfi.J.K.,dkk,2008:49). Ada banyak macam NGO dan LSM di Negara ini, semua mengedepankan idiologinya masing-masing dalam mengejewantahkan program-program yang dibawanya. Visi misi, metode, hingga praksis gerakan yang dibawanya, sering berujung pada perdebatan antar NGO tersebut. Tipologi NGO/LSM di Indonesia pernah diteliti oleh Philip Elgdridge, yang membagi gerakan LSM/NGO menjadi dua dimana yang satu adalah LSM pembangunan dan LSM mobilisasi, dimana pembangunan diartikan program kerjanya fokus pada pembangunan- pembangunan dan pemberdayaan masryarakat, sedangkan mobilisasi memusatkan pada pendidikan masyarakat yang termarginalkan dengan memberikan pendidikan hak ekosob (Fakih,2004:10). Mansour Fakih (2004:122) membagi dalam tiga kategori, dimana pertama adalah tipe konformis dengan melakukan kerja aspek karikatif (member bantuan), kedua tipe reformis dengan upaya pemberian bantuan beserta kerja-kerja pemberdayaan, dan ketiga adalah tipe transformasi dengan memberikan bantuan mulai aspek teologis sampai praksis. Beberapa kalangan mendefinisikan NGO dan LSM sebagai hal yang sama, hanya saja istilah NGO adalah istilah yang digunakan diluar negeri, sedangkan di dalam negeri kita sendiri konsep LSM lebih dikenal dan dipergunakan. Namun beberapa kalangan aktivis pegiat juga meperdebatkan tentang konsep NGO dan 65 LSM, muncul pandangan seperti Adi Surya Culla (2006: 68-69) yang mana konsep NGO lebih diartikan sebagai organisasi yang independen, tidak terkoptasi oleh pemerintah, entitas gerakan yang dibentuk oleh masyarakat di luar Negara, dan memiliki karakter tersendiri seperti yang disepakati oleh dunia internasional sebagai organisasi non pemerintah yang sesungguhnya. Berbeda dengan konotasi LSM yang memang juga lahir dari bentukan civil society, namun terkesan bisa diartikan sebagai organisasi yang bisa dijalankan oleh siapa saja, bisa aktor maupun kelompok yang berlatar sebagai aparat Negara, birokrasi, maupun pengusaha sekalipun (dalam Lutfi.J.K.,dkk,2008:35). Hal ini lebih dikarenakan istilah LSM hanya mendefinisikan sebagai organisasi swadaya yang dibentuk oleh masyarakat tanpa melihat independensi background anggota atau pegiatnya atau founding-nya. Secara harfiah pengistilahan LSM ini diartikan lebih lunak dan bebas, belum terkesan independen sebagai organisasi masyarakat, dimana implikasinya siapapun boleh masuk dalam organisasi masyarakat tersebut. Hal ini juga dibenarkan dalam lokakarya Bina desa di tahun 1978, istilah LSM dipakai sebagai definisi dikarenakan mereka hadir bukan semata-mata “bukan pemerintah” dan seakan-akan menentang pemerintah yang sah, akan tetapi kala itu aktivis beranggapan bahwa gerakan mereka dilandasi dengan satu misi positif, yakni mengembangkan kemandirian (Saidi,Z.,1995:9). 66 dan membangun keswadayaan G. METODE PENELITIAN a) Metode penelitian kualitatif Pada perkembangannya ilmu selalu dituntut untuk senantiasa dinamis, dan membawa penemuan-penemuan baru dengan segala konsep teori-teorinya. Hal ini seperti yang oleh Khun ungkapkan dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolution”di tahun 1962, paradigma lama akan mengalami krisis dan akhirnya kemudian mengalami pengembangan paradigma baru (Khun,2008:7). Kondisi ini kemudian mengharuskan adanya penelitianpenelitian baru sebagaimana kaidah pembentukan paradigma baru tersebut. Sebagai konsekwensinya, ketepatan analisa sebagai metode penelitiannya menjadi kekuataan utamanya. Seperti spirit yang dilakukan Khun, peneliti dalam kerangka ini bermaksud dan berupaya untuk memberikan corak lain diantara hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya, sesuatu hal yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya yang banyak dilakukan oleh berbagai kalangan peneliti lainnya, peneliti akan berupaya menemukan nilai lebih sebagai hasil temuan pada penelitian kali ini. Seperti halnya pada penelitian umumnya, metode penelitian adalah terbagi pada bentuk kualitatif, kuantitatif, dan mix method. Ketiganya masingmasing memiliki kekuatan dalam mengungkap persoalan yang dikaji dan di teliti. Pada penelitian Sumber Air Gemulo Batu yang menuntut pada pengungkapan mendalam, terkait menjelaskan adanya arti peran, kekuatan yang terdapat di dalam struktur mobilisasi pada konflik Sumber mata air Gemulo, Batu, maka membawa penelitian kali ini menggunakan metode 67 penelitian kualitatif sebagai metode pembedah kasusnya, sebagaimana bertujuan untuk “memahami” sesuatu fenomena sosial atau dalam bahasa Jerman disebut verstehen yang berarti pengertian, jadi metode ini lebih memakai pemahaman secara aktif dimana penelitian ini bisa bersifat mendeskripsikan secara fundamental pada semua tatanan yang menyangkut perbedaan tujuan, aksioma karakteristik dan prosedur/proses selama penelitian. Penelitian kualitatif oleh Creswell (dalam Herdiansyah, 2010:8) di artikan sebagai “suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks. Disajikan dengan melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi”. Sedangkan oleh Denzin & Lincoln (dalam Herdiansyah, 2010:7) penelitian kualitatif didefinisikan sebagai “penelitian yang bertujuan untuk menyediakan penjelasan tersirat mengenai struktur, tatanan, dan pola yang luas yang terdapat dalam suatu kelompok partisipan”. Artinya Denzin & Lincoln mendiskripsikan penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk mencapai pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus daripada mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar sebuah populasi. Lebih lanjut Denzin & Lincoln juga menegaskan: “study things in their natural setting, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people brings to them. Qualitative research involves the studied use and collection of variety of empirical materials…that describe routine and problematic moments and meanings in individuals lives” (Denzim & Lincon 1994:2) 68 Bahwasanya penelitian kualitatif ditujukan untuk mendapatkan pemahaman yang mendasar melalui pengalaman yang mendasar melalui pengalaman first-hand dari peneliti yang langsung berproses dan melebur menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dengan subyek dan latar yang akan diteliti berupa laporan yang sebenar-benarnya, apa adanya, dan catatan-catatan lapangan yang aktual, serta memahami bagaimana para subyek penelitian mengambil makna dari lingkungan sekitar dan bagaimana makna-makna tersebut mempengaruhi perilaku subyek sendiri. Pada definisi yang dikemukakan Banister et al penelitian kualitatif lebih ditujukan sebagai metode untuk mengungkap dan memberikan gambaran terhadap suatu fenomena, sebagai metode untuk mengeksplorasi fenomena, dan sebagai metode untuk memberikan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti. “Suatu penelitian yang dengan ke-khas-annya mampu menguak tabir dan mengungkapkan sesuatu yang dimaknai oleh individu, sehingga makna tersebut dapat dipahami dengan lebih mudah dan sederhana.Penelitian ini diharapkan mampu mengungkap sesuatu yang unik, khas, dan mempunyai daya tarik tertentu dari suatu fenomena yang ada hingga menjadi central phenomenon (pokok permasalahan) dari kasus permasalahan yang diteliti” (dalam Herdiansyah, 2010:8). b) Studi kasus Dalam kajian metodenya, penelitian kualitatif mempunyai jenisjenisnya, antara lain studi kasus, etnografi, penelitian sejarah/biografis, penelitian tindakan, kajian pustaka, grounded theory, dan penelitian fenomenologis (Putra,2012:18) . Sedangkan pada penelitian ini akan digunakan studi kasus sebagai metode jelajahnya. Studi kasus adalah salah 69 satu metode strategi eksploratoris dimana dapat memberikan pengetahuan secara unik tentang fenomena individual, organisasi, sosial, dan politik, dimana mempunyai kemampuan deskriftif terhadap suatu fenomena atau peristiwa yang kontemporer dan tidak membutuhkan kontrol terhadap peristiwa17, dengan kondisi seperti itu membawa studi kasus pada ciri khas tujuannya yang bisa digunakan untuk eksploratoris, deskriftif, atau eksplanatoris (Yin.1981a;1981b;2013:7). Ciri khusus studi kasus yang diberikan oleh Yin (2013:18) adalah suatu inkuiri empiris yang: “Menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan multisumber bisa dimanfaatkan” Hal ini memberikan pembeda kerangka studi kasus dengan penelitian lain yang hampir sama yaitu penelitian eksperimen dan history. Eksperimen adalah penelitian yang menceraikan fenomena dari konteksnya, sehinga penelitian eksperimen perhatiannya dapat difokuskan pada beberapa variable (biasanya “konteks” dalam hal ini dikontrol dengan lingkungan laboratories). Sedangkan penelitian History, dimana lebih berkenaan dengan situasi yang menjerat fenomena dan konteks, dengan peristiwa yang nonkontemporer, dan terakhir adalah survey yang mempunyai kecenderungan untuk membatasi variable sebagai bagian yang dianalis. Studi kasus juga menggunakan strategi historis, hanya saja kemudian studi kasus menggunakan atau menambah dua alat bukti yaitu observasi dan wawancara sistematis yang kedua hal ini lebih sering ditinggalkan oleh sejarawan. 17 Berbeda dengan penelitian eksperimen yang lebih menguasai dan mengontrol peristiwa yang diteliti. 70 Sebagaimana definisi studi kasus tersebut, maka penelitian dalam kasus ini diharapkan bisa memberikan deskriptif tentang adanya aturan, kepemimpinan & jaringan, strategi pengorganisasian gerakan, keputusan aksi, langkah politik yang akan ditempuh oleh kelompok massa penolak pembangunan Hotel d’Radja, serta mengungkap hambatan/ tantangan, ketakutan masyarakat, ancaman, hingga respon psikoligis terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan oleh kelompok lawan untuk menekan gerakan massa kelompok protes kolektif. Dengan demikian peneliti akan menggunakan seluruh kekuatan metode analisa studi kasus mulai dari menelaah berbagai jenis bukti, dokumen, peralatan (audio-visual), wawancara, dan observasi. c) Sumber penelitian Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa kegiatan penelitian studi kasus mempunyai metode pengumpulan data yang dianggab relevan. Peneliti menggunakan metode tersebut beberapa diantaranya seperti yang tertuang dalam buku Robert. K. Yin (2010:103) adalah: 1) Dokumentasi Dimaksudkan disini adalah peneliti juga melihat dokumentasi foto, informasi dan kondisi yang berkembang terkait dengan gerakan protes kolektif di Sumber Gemulo, Batu. Hal ini berguna untuk menambah bukti serta memperkuat analisa, namun demikian tidak seluruh dokumentasi seperti surat, pengumuman, proposal, memorandum, catatan setiap agenda (kesimpulan maupun laporan kegiatan), penelitian dan evaluasinya, kliping, artikel media cetak 71 maupun elektronik, akan digunakan semua. Artinya peneliti akan juga menggunakan material audio – visual berupa rekaman langsung via handycam, situs resmi / web Gerakan masyarakat Gemulo, berita surat kabar elekronik maupun media cetak, rekam tulisan agenda pertemuan konsolidasi, dan surat-surat penting berkenaan kasus Sumber Gemulo Batu. Peneliti disini memperhatikan validitas dokumen, mulai akurasi, relevansi, hingga kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan, dengan cara begitu penelusuran dilakukan secara sistematis dalam penelitian ini. 2) Rekaman arsip Rekaman arsip disini dimaksudkan penggunaan arsip sebagai rekam jejak studi kasus yang bervariasi, dimana menurut Creswell & Amussen hal tersebut bisa dilakukan untuk merekam situasi yang merupakan mata rantai dari kejadian, tanpa harus melakukan wawancara secara langsung disaat kejadian (Santana,2007:105). Arsip disini seperti halnya bagan organisasi FMPMA (termasuk dalam tempo waktu tertentu), rekaman pribadi, peta geografis dan karakteristik tempat, bahkan no telp sebagai data kepemilikan jaringan/kesempatan politik. Peneliti disini juga memilah dan menentukan kondisi yang menghasilkan bukti bagian dari tingkat keakuratannya. 3) Wawancara Sebagai salah satu sumber yang terpenting dalam studi kasus. Wawancara mengambil beberapa bentuk, yang paling umum adalah 72 bertipe “open-ended”, terfokus, pertanyaan terstruktur (Robert.K.Yin, 2010:109). Dimana open-ended dimaksudkan sebagai peneliti dapat bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa, disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Pada beberapa situasi, peneliti bahkan bisa meminta responden untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu, dan bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar jika akan melakukan penelitian selanjutnya. Tipe wawancara berikutnya adalah terfokus dimana responden diwawancarai dalam waktu yang pendek. Pada posisi ini peneliti meninggalkan protokoler sistematisasi pertanyaan, namun cukup dengan serangkaian pertanyaan tertentu yang diturunkan langsung dari penelitian studi kasusnya. Hal ini penting dilakukan untuk mendukung bebarapa pertanyaan yang belum terjawab secara spesifik, atau bahkan menanyakan topik yang terhubung dengan situasi tertentu oleh beberapa informan. Terakhir adalah wawancara dengan pertanyaan yang terstruktur, hal ini dilakukan sebagai instrument wawancara sistematis dengan metode pertanyaan yang terperinci yang disusun dalam guide interview. Kesemuanya bentuk wawancara tersebut akan peneliti gunakan, dengan kesesuaian waktu, situasi, tujuan pertanyaan, dengan tidak meninggalkan etika sebagai peneliti yang mengerti kaidah dalam berkomunikasi dengan para informannya. 73 Informan adalah subyek atau aktor yang berperan dan berkaitan dengan gerakan sosial masyarakat di kota Batu. Adapun itu adalah dari tokoh NGO, beberapa tokoh Birokrasi, Partai Politik, aktor intelektual (Aktivis, Dosen), element masyarakat biasa yang tergabung dalam kelompok aksi FMPMA. 4) Observasi langsung Peneliti akan menciptakan kesempatan untuk observasi langsung. Hal ini melibatkan observasi formal melalui pertemuanpertemuan, kegiatan-kegiatan, dengan periode tertentu, dan observasi informal yaitu melalui kunjungan lapangan dengan kesempatan yang ada tanpa terpaut dengan periode tertentu namun masih terpaut dengan pengumpulan situasi untuk pembuktian-pembuktian yang diperlukan (Robert.K.Yin, 2010:113). Tahapan ini juga masuk dalam kerangka inti, yang juga bisa disebut dengan tahapan in the field. Inti dari Observasi adalah bentuk teknik pengamatan dengan menggunakan indera terhadap gejala atau kejadian yang di tangkap pada suatu waktu. Langkah awalnya adalah peneliti akan mencari struktur ”fisik” berupa gambaran peristiwa/kejadian di satu ruang dan waktu, termasuk karakteristiknya, artinya pengalaman subyek akan dilihat atau diamati dari sudut ”dimana kejadiannya” dan ”kapan terjadinya”. Termasuk pada kapasitas ini peneliti akan melihat sisi habitus kehidupan seharihari mereka, mulai pekerjaan, 74 kegiatan masyarakat, budaya masyarakat, serta arti dan kebutuhan dari sumber mata air Gemulo Batu. Berikutnya, langkah mendeskripsikan struktur kedua dari observasi adalah mobilisasi yang diperoleh pada langkah pertama tadi, mencakup tema, motif, emosi, dorongan perlawanan menjadi sebuah entitas gerakan protes. Dimana peneliti melakukan pengamatan langsung untuk kebutuhan memperoleh data-data yang akurat tentang penelitian Sumber Gemulo, sehingga dapat lebih memahami inti permasalahan protes sosial Sumber Gemulo yang terjadi. Peneliti akan menggunakan teknik observasi partisipan, dimana suatu bentuk observasi khusus dimana peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwaperistiwa yang akan diteliti (Robert.K.Yin, 2010:114). Pada situasi ini peneliti lebih menonjol sebagai pengamat yang juga ikut serta didalam situasi sosial tersebut. Di partisispasi ini, artinya peneliti juga akan bergabung dengan komunitas penyelamatan sumber mata air Gemulo, Batu, melakukan aktivitas penyelamatan bersama mereka, berupa partisipasi ikut serta dalam agenda perjuangan mereka, yang dimungkinkan agar bisa menjelaskan lebih detail struktur, sumberdaya, ikatan emosi, yang kesemuanya menjadikan kekuatan mobilisir massa gerakan dengan masif. 75 d) Teknik Analisis Data Data kualitatif yang ada digunakan untuk analisis berupa jejak rekam kata-kata informan, kalimat atau narasi-narasi yang diperoleh saat wawancara mendalam atapun observasi partisipatoris berlangsung. Guna menjaga validitas data, maka peneliti menggunakan Empirical validity, dimana menggunakan kriteria kesesuaian antara apa yang dirasa, dinyatakan dengan situasi kejadian yang terjadi (Hadi,1994:116). Dari sini peneliti juga akan memulai temuan pikirannya dengan catatan dan pengalaman riil, serta dari keterlibatannya pada kasus yang diteliti. Adapun analisis data juga dilakukan setiap saat selama proses penggalian data berlangsung. Sedangkan prosedur analisis yang digunakan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: a. Tahap Pertama, diawali oleh peneliti dengan mereduksi data dengan cara melakukan koding terhadap informasi-informasi penting yang terkait dengan masalah penelitian, agar dengan mudah dapat melakukan pengelompokan data sesuai dengan rincian atau identifikasi masalah. b. Tahap kedua, data yang dikelompokkan oleh peneliti selanjutnya disusun dalam bentuk narasi-narasi, sehingga membentuk sebuah rangkaian informasi yang memiliki signifikansi sesuai dengan masalah penelitian. c. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan berdasarkan susunan narasi yang telah disusun pada tahap kedua, sehingga dapat memberikan jawaban atas masalah penelitian. 76 d. Tahap keempat, melakukan verifikasi hasil analisis data dengan informan yang didasarkan pada simpulan tahap ketiga. Tahap ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah informan, sehingga terdapat proses penjaminan tidak terkaburkannya hasil analisis yang menyimpang dari fokus penelitian. Setelah itu semua, peneliti akan mencari hubungan antara konsep-konsep yang sudah ada dalam upaya menyesuaikan dan mengembangakan konstruksi teori yang dipilih untuk membedahnya. Peneliti akan meminjam “the consistant comparative method” yang dipakai oleh Gleser & Anselm (1980) , yaitu mengidentifikasi suatu fokus, dengan mempelajari bagaimana informasi dan data yng diperoleh itu ada, dengan berbagai lokasi dan kondisi, siapa dan berbicara apa, dan bagaimana mereka melakukan (Kaelan,2012:144). Dengan mendeskripsikan, menganalisis, dan membandingkan, maka peneliti dapat melihat dan menemukan proporsionalitas data, yang kemudian akan dijadikan narasi deskriptif dalam penulisan penelitian ini. H. Lokasi dan waktu penelitian Lokasi penelitian adalah daerah penelitian, dimana kasus penelitian ini sedang berlangsung, yaitu di daerah yang berkaitan langsung dengan gerakan protes Kolektif yaitu di Desa Gunungsari, Punten, Bumiaji dan Bulukerto (Kecamatan Bumiaji), serta dari Desa Sidomulyo dan Pandanrejo (Kecamatan 77 Batu), yang kesemuanya adalah memakai mata Air sumber Gemulo, Batu sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-harinya, namun pada perjalanannya lebih banyak fokus 3 desa yaitu Bumiaji, Bulukerto, dan Sidomulyo hingga menjadi perhatian utama, sebab di 3 desa tersebutlah bisa dikatakan masa gerakan FMPMA berada cukup solid dan terjadi banyak dinamika. Batasan waktu penelitian akan diseseuaikan dengan kebutuhan thema penelitian yang akan diteliti, dalam hal ini secara tidak langsung adalah penelitian akan dicukupkan jika seluruh pertanyaan dalam rangkaian rumusan masalah penelitian sudah terjawab dan dianggap memenuhi syarat untuk diambil menjadi sebuah kesimpulan akhir atau final. Walaupun kemudian sangat dimungkinkan, ini juga akan menjadi kesimpulan sementara bagi penelitian selanjutnya, atau bagi yang akan memperluas pertanyaan demi menemukan kajian ilmiah lainnya di kasus studi Sumber mata Air daerah Gemulo, Batu. I. Logika dan batasan dari penelitian Pada asumsi kali ini, gerakan sosial masarakat adalah bentuk dari gerakan aksi protes kolektif yang hadir di permukaan secara terang-terangan. Gerakan masyarakat yang semakin massif juga dikarenakan adanya solidaritas kepemilikan dan terkait dengan kebutuhan akan sumber mata air yang selama ini sudah menjadi pemasok air bersih unuk kehidupan mereka semua di 6 desa Kota Batu. Dilain sisi melalui gerakan protes kolektif dimana merupakan gerakan yang mengutamakan target perubahan kebijakan saja untuk menyelesaikan persoalan yang mereka bawa, dalam pencapaiannya mereka 78 tidak menuntut sampai pada gagasan perubahan struktur besar di dalam Birokrasi. Hal ini tentu menarik, sebab ironi di negeri ini bahwasanya pada setiap birokrasi terkadang mempunyai kepentingan sendiri. Di setiap jaman politik siapa yang jadi pemimpin dia yang akan menguasai, ini tentu jauh dari nilai etika pemerintahan yang mengajarkan pemimpin adalah bagian dari pelaku amanah rakyat, dan kekuasaan adalah tetap milik rakyat. Dengan logika seperti ini, maka peneliti akan melihat bahwa pengaruh kebijakan seorang pemimpin yang tak jarang berselingkuh dengan para pengusaha dengan dalih kemajuan perekonomian, tak pelak menjadi persoalan yang membuat masyarakat dan lingkungan hidup dirugikan. Oleh karenanya bagi masyarakat kejadian protes sosial menjadi suatu solusi dimana protes ini mempunyai nilai serta efektifitas dikarenakan tidak merubah sesuatu yang lebih besar, namun lebih pada potongan persoalan yang dianggap salah saja. Melalui hal ini, massa juga tidak perlu kemudian melakukan aksi perombakan birokrasi besar besaran atau menyeluruh, atau bahkan mengusir pengusaha yang telah menyebabkan terjadinya permasalahan, namun cukup hanya dengan menolak rancangan usaha pengusaha dan meminta pemerintah untuk mencabut dan mengoreksi kebijakan yang dinilai tidak tepat karena dapat merusak lingkungan, disitu targe protes aksi ini selesai. Kecenderungan sebuah protes kolektif dalam gerakan sosial di kota Batu juga dipengaruhi oleh massa juga tidak hanya dari masyarakat setempat, 79 namun seluruh lapisan masyarakat luas yang memandang perlunya protes dan menitik beratkan pada kesatuan pendapat untuk menjaga lingkungan. Hal yang manjadi salah satu kekuatan pada gerakan ini. Hal inilah yang bisa menjadi analisa bahwasanya massa aksi tidak terkait dengan kaum papa, namun elit lokal, pegawai negri, guru, pelajar, petani, bahkan buruh telah membentuk menjadi satu kesatuan massa, yang kemudian terorganisir untuk melakukan gerakan protes kolektif. Disisi inilah peneliti ingin mengungkap, adanya kesatuan ide serta isu yang ada, yang menjadikan struktur mobilisasi secara massif bergerak hingga mendorong pada kegiatan protes kolektif. Kekuatan struktur mulai dari bentuk organisasi, aliansi-aliansinya, jaringan (kekerabatan,etnis, pekerjaan,dll), dan sumberdaya keuangan menjadi sisi yang perlu untuk diungkap dalam kajian yang lebih ilmiah. Belum lagi kecenderungan bahwasanya melihat ada banyaknya organisasi atau kelompok yang bergabung disitu untuk berjuang bersama, akan tetapi perjalanan kasus ini juga panjang, seolah masih belum terlihat akan berhenti dan mencapai tujuan yang diinginkan dan diperjuangan oleh masyarakat dari 6 desa. Dari sinilah logika pertanyaan sebagai grand question dimulai, jika memang gerakan ini mendapat kekuatan besar dan ada NGO yang besar pula untuk mem back-up perjuangan mereka, namun mengapa seolah gerakan ini hanya mengalir begitu saja, seolah tidak mempunyai power untuk membendung upaya perusakan sumber mata air dan segera menuntaskan permasalahan. Situasi ini membawa pada logika pertanyaan, apakah memang sebegitu susahnya persoalan yang terjadi? hingga elit 80 birokrasi sebagai pemutus kebijakan pun terkesan diam dan terlihat hanya menjadi penonton, bahkan tanpa mampu menjadi penilai yang adil bagi mayorias rakyatnya, atau mungkin saja kedaulatan kelompok-kelompok yang berpartisipasi di dalam organisasi FMPMA hanyalah sekedar keterlibatan yang masih harus menyesuaikan dengan kepentingan masing-masing kelompok yang terlibat terlebih dahulu. Disinilah logika dan batasan penelitian kali ini diangkat menjadi sebuah narasi thesis, bahwasanya gerakan sosial masyarakat Umbul Gemulo Batu dengan melibatkan kelompok akademisi, NGO, mahasiswa, dll, setidaknya mampu menghasilkan strategi taktis untuk perlawanan yang beritikad bisa menceraikan perselingkuhan pengusaha dengan elit birokrasi seperti yang telah mereka tuduhkan selama ini. Penelitian ini akan melihat sisi lain dari sebuah kekuatan yang hadir di dalam suatu gerakan sosial masyarakat kota Batu. Peneliti juga akan mencoba melihat seberapa tangguh struktur mobilisasi gerakan mengadapi ancaman kebijakan dan kekerasan secara psikologis maupun fisik yang dilancarkan oleh pihak musuh yaitu pengusaha, yang disaat bersamaan pemerintah belum mampu menjalankan dengan benar peran dan fungsi dalam pencegahan proses sosial dari pembangunan ekonomi yang anarkis. Sebab sangat bisa jadi seperti yang diungkapkan oleh Moctar Mas’oed (2003:123) bahwasanya kebijaksanaan publik sering dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik paling dasar, yaitu mempertahankan kekuasaan, dengan cara itu maka pemimpin akan memobilisasi pendukungnya dan berusaha melemahkan lawan politiknya. Tak 81 heran karenanya elit birokrasi tak jarang mengukur dulu untuk melihat kekuatan serta kepentingan-kepentingan kelompok yang bermain dalam persoalan yang terjadi, baru kemudian menentukan kemana mereka akan memihak. 82