dengan pengusaha

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hubungan antara pemerintah (state) dengan pengusaha (corporation) dan
masyarakat (civil society) yang dinamis, selalu menciptakan kondisi sosial yang
beragam. Keragaman tersebut bisa saja berdampingan secara baik-baik saja, saling
menjaga dan saling menguntungkan, namun sebaliknya bisa juga saling berbeda
pendapat dan menjadikan konflik di antara ketiganya. Terlebih saat ketiganya
memiliki arti berbeda tentang konsep “Pembangunan” yang menjelaskan proses
dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur
masyarakat, dan sebagainya. Meski pada praktiknya pembangunan kota
ditunjukkan lewat geliat industrinya, lengkap dengan tekhnologi, pendidikan
massa, transportasi canggih, bahkan taman rekreasi yang memikat dan bisa
menjadi penyokong kesejahteraan untuk masyarakatnya. Tak jarang pembangunan
ini memicu konflik di kehidupan sosial masyarakat, bisa dikarenakan
pembangunan
kurang
membasis
kemasyarakat
(pembangunan
berbasis
kerakyatan), integrated rural development, sustainable development, dll. Disisi
lain pembangunan juga bisa diartikan sebagai diskursus atau paham, bahkan
sebuah doktrin dan idiologi, yang mengartikulasikan pembangunan sebagai bagian
dari perubahan sosial, yang itu memiliki arti luas dari sekedar pembangunan
konsep kebendaan, yang kemudian disinergikan dengan teori perubahan sosial
lainnya seperti sosialisme, kapitalis, dependensia, dll. Banyak hal tentang
1
pengertian inilah yang membuat kemudian pembangunan punya banyak dimensi
perspektif didalamnya, yang memungkinkan ketiga kelompok (masyarakat,
pemerintah, dan pengusaha) dapat menjadi bersahabat, namun disatu sisi pula
dapat menjadikan mereka melawan satu dengan lainnya.
Kondisi yang digambarkan oleh Rostow dulu di tahun 1960 lewat Teori
Pembangunan atau lebih dikenal “the five-stage scheme”, dimana semua bangsa
akan melewati secara evolusi yaitu dimulai dari pertama masyarakat tradisional,
kedua prakondisi tinggal landas, ketiga masyarakat tinggal landas, keempat
masyarakat pematangan pertumbuhan, dan terakhir kelima adalah masyarakat
konsumsi tingkat tinggi (high mass consumption)1. Setidaknya lewat pandangan
ini pembangunan (development) kemudian menjadi sebuah gelombang perubahan
di Negara ini, dan kapitalisme ikut menjadi pembonceng gelapnya. Kondisi yang
sama terjadi pada kawasan kota Batu, yang ikut menasbihkan daerahnya menjadi
sebuah kota berkemampuan melakukan pembangunan menuju ikon “Kota
Pariwisata”. Namun, pembangunan yang seringkali praktis dan syarat muatan
politis, tak ayal akan menumbuhkan ketimpangan maupun manipulasi. Disinilah
pembangunan melahirkan berbagai permasalahannya. Begitupun dengan teori
pembangunan Rostow yang akhirnya mengalami kejatuhan dan mulai menuai
banyak kritik opini maupun idiologis dari para akademisi maupun birokrasi
moralis.
Kota Batu pada kali ini juga harus berhadapan dengan permasalahan
pembangunannya, dimana terjadi sebuah ketidaksepakatan masyarakat terhadap
1
Fakih, Mansour, 2011, “Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi” , Yogyakarta, Insist
Press, Hal 56
2
kebijakan pemerintah yang memberlakukan daerah konservasi sumber mata air
untuk dijadikan rencana pembangunan Hotel berbintang. Mengingat Kawasan
Sumber Mata Air Gemulo Batu, telah memberikan penghidupan berupa air bersih
untuk beberapa desa di kota Batu antara lain Desa Gunungsari, Punten, Bumiaji
dan Bulukerto (Kecamatan Bumiaji), serta dari Desa Sidomulyo dan Pandanrejo
(Kecamatan Batu). Tak pelak ketika kemudian ada isu dan kebijakan terkait
pembangunan hotel di sisi sumber mata air tersebut, membuat masyarakat desa
tersebut menjadi resah dan memastikan untuk menentang kebijakan tersebut.
Kondisi ini kemudian meruncing pada sebuah gerakan massa yang massif
memprotes kebijakan tersebut.
Pemerintah kota Batu di bawah kepemimpinan Edi Rumpoko sebagai
Walikota periode pertama tahun 2008-2012 dan periode kedua 2012-1017
mengesahkan dan memperbolehkan kawasan tersebut untuk di bangun ”Hotel
The Rayja”, sebab itu dinilai mampu memberikan sumbangsih dari sisi
perekonomian pariwisata untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar
dan mampu menyerap tenaga kerja lokal. Akan tetapi berbeda dengan pandangan
masyarakat yang lebih memilih untuk menjadikan kawasan tersebut tetap sebagai
kawasan konservasi dan penelitian, dan bukan sebagai lahan pembangunan2,
sebab hal itu tidak sesuai dengan kebijakan yang telah dicanangkan oleh walikota
Batu sebelumnya. Perbedaan ini kemudian menjadikan tarik ulur kebijakan
pemerintah kota Batu sekarang, yang kemudian membesar dan menjadi konflik di
kawasan sumber mata air di Sumber Gemulo Batu.
2
Menilik surat wasiat Walikota Batu Imam Kabul tahun 2004, yang menyatakan bahwa Sumber
Air Gemulo Batu adalah area konservasi dan Penelitian.
3
Prasarana masal tersebut diperebutkan sisi pemanfaatannya, masyarakat
menginginkan kawasan yang dekat dengan sumber mata air tersebut tetap menjadi
area konservasi, bebas dari skenario bangunan fisik hotel. Hanya saja dilain sisi
tanah yang dekat dengan area tersebut merupakan tanah hak milik dari “Purnama
Hotel Group”, sehingga mereka juga punya hak untuk memanfaatkan kawasan
tersebut untuk dibangun sebuah Hotel sebagaimana bagian dari rencana
pengembangan perusahaan. Perbedaan inilah yang kemudian berujung pada
perselisihan antara perusahaan dengan masyarakat, dan ketidakmampuan
pemerintah dalam menyelesaikan semakin menjadikan konflik seakan tiada ujung
penyelesaian.
Purnama Hotel Group sebagai pihak corporation mengungkapkan bahwa
pembangunan tersebut tidak akan merusak kawasan sumbermata air di dekatnya.
Hal ini seiring dengan Amdal yang telah mereka rujukkan, bahwa skenario untuk
mendirikan bangunan fisik atau “Hotel The Rayja” 3 adalah telah benar, dan
dinyatakan tidak akan mengganggu ekosistem mata air tersebut. Kendati demikian
berbeda dengan pemahaman masyarakat sekitar kawasan tersebut, yang mana jika
terjadi pembangunan hotel di situ, tetap akan merusak seluruh habitat dan
ekosistem yang ada pada kawasan konservasi tersebut pada jangka pendek
maupun jangka panjang. Terlebih saat ini sumber air tersebut telah mengairi 6
desa di kawasan Batu. Masyarakat kemudian meragukan keotentikan surat hanya
berupa UKL UPL yang telah dibuat sebagai syarat pemenuhan pembangunan,
bahkan mereka mencurigai sebab seharusnya dalam hal ini perusahaan harus
3
Nama Hotel yang akan dibangun oleh Perusahaan Pariwisata Purnama Group dikawasan tersebut
4
melampirkan AMDAL bukan UKL-UPL, inilah yang membuat warga melihat
bahwa telah terjadi mal-administrasi pada kasus ini4.
Di sisi lain masyarakat juga memperkuat asumsi mereka bahwa jika
pembangunan hotel dilakukan, hal ini juga akan berpengaruh besar pada budaya
masyarakat, dimana dalam hal ini adalah budaya kesatuan adat 6 desa untuk
menjaga dan melindungi sumber mata air besar tersebut yang telah lama
terbentuk, yang selama ini budaya tersebut mampu menjadi pengikat dan
menyatukan 6 desa dari 2 Kecamatan di Batu. Kehilangan nilai budaya dan
perusakan ekosistem menjadi point penting yang diangkat oleh masyarakat
tersebut. Kondisi ini kemudian membawa masyarakat pada langkah melakukan
mobilisir internal mereka lewat organisasi HIPAM (Himpunan Pengguna Air
Minum) yang telah lama terbentuk, yang mana HIPAM berfungsi dan bergerak
untuk menangani persoalan pengairan dari pemanfaatan dari sumber mata air yang
ada. Masyarakat yang tergabung dalam HIPAM merasa senasib dan mulai
membentuk organisasi aksi protes yang mereka namakan FMPMA (Forum
Masyarakat Peduli Mata Air).
Dikarenakan HIPAM bukan organisasi massa gerakan, maka masyarakat
yang sudah lama merasakan manfaat dan hidup dari sumber mata air Gemulo
bergerak dengan membentuk FMPMA. Forum ini murni dibentuk sebagai gerakan
4
Ijin UKL-UPL dibuat oleh BRAWIJAYA yaitu salah satu institusi Perguruan tinggi Negeri di
Malang, yang juga berujung pada aksi demo di Univ. Brawijaya, Malang oleh masyarakat yang
menamakan diri FMPMA Sumber Gemulo, Batu. Mereka pada 05 Februari 2013 menggelar aksi
demonstrasi di universitas tersebut, puluhan warga Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur,
menggugat hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas
Brawijaya pertama terkait UKL UPL yang dibuat 3 bulan setelah ijin IMB keluar lebih dulu,
kedua hasil penelitian yang menyebutkan pembangunan Hotel Rayja tidak mempengaruhi sumber
air Gemulo. Ini dinilai oleh warga sebagai hal yang syarat dengan rekayasa, massa aksi menuding
bahwa UKL-UPL yang dibuat telah mengesampingkan kebutuhan masyarakat lokal sekitar
Sumber air Umbul Gemulo.
5
perlawanan atau protes kolektif warga, dengan tujuan menolak pembangunan
hotel atau bangunan gedung wisata apapun di sekitar kawasan sumber mata air
tersebut. Keterlekatan basis HIPAM di dalam FMPMA hanyalah didasari pada
latar yang sama, yaitu sesama pengguna air dari sumber mata air Gemulo. Merasa
ketergantungan dengan manfaat dari sumber mata air tersebut, maka mereka
merasa harus menjaga kelestarian Sumber Mata Air tersebut, supaya tidak rusak
dan tetap bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya untuk mencukupi kebutuhan
air bersih sehari-hari sampai hari-hari anak cucu esok.
Lahirnya FMPMA (Forum Masyarakat Peduli Mata Air) menjadikan titik
langkah awal untuk sebuah gerakan yang terorganisir dalam hal menolak
pembangunan “Hotel The Rayja”. Dari sisi lain, hadirnya organisasi advokasi atau
NGO/LSM seperti WALHI, LBH, MCW,dll, juga memberikan warna pada
kekuatan perjuangan mereka. Selain menjadi wadah penggerak massa di
masyarakat 3 sampai 6 desa ini FMPMA lahir sebagai organisasi civil society
murni, kekuatan dan kedatangan NGO/ LSM yang bergabung hanya untuk
menyelaraskan strategi gerakan perlawanan terhadap kesewenangan pemerintah
Kota Batu yang telah resmi memberikan ijin kepada pihak manajemen “Hotel The
Rayja” agar bisa mendirikan bangunan hotel di dekat tanah konservasi tersebut.
Forum ini di awal di ketuai oleh Pak Pi’i yang kemudian menjadi tokoh
gerakan FMPMA, namun saat gerakan dihadapkan dengan problem dan konflik
yang cukup mengeras, akhirnya membuat beberapa tokoh dan anggota serta NGO
di dalamnya diuji loyalitas serta strateginya. Hingga kemudian ketidak aktifan Pak
Pi’i dalam FMPMA memunculkan sosok Haji Rudi sebagai social figure dalam
6
organisasi FMPMA. Sebagai social figure, dengan alasan pertama dia adalah
seorang pengusaha yang pasti secara ekonomi lebih kuat dibanding masyarakat
lain, kedua dia juga merupakan anak asli daerah lokal Batu, anak dari tokoh
setempat. H. Rudy yang tidak pernah mencalonkan diri, kemudian diminta dan
ditunjuk oleh seluruh masyarakat untuk membantu perjuangan masyarakat dalam
upaya melawan kebijakan yang dianggap akan merugikan masyarakat di 3 desa di
Batu. Selain itu, back up pemuda desa pecinta alam yang tergabung dalam
NAWAKALAM tergolong berani dan vokal, juga menjadi magnet perekat massa
yang cukup efektif dan massif disaat FMPMA akan dilumpuhkan kekuatannya
oleh Negara dan corporation. Beberapa pemuda desa, mampu dengan baik
memanfaatkan kodisi kedekatannya dengan para masyarakat maupun tokoh-tokoh
desa untuk tetap memelihara semangat perlawanan disaat-saat perjuangan
FMPMA harus menunggu keputusan dari MA terkait masalah ini. Kondisi inilah
yang kemudian oleh Walhi disebutkan bahwa perjuangan saat ini berada pada
kondisi “Hibernate”.
Sebagaimana gerakan protes yang terencana, pengorganisasian terbentuk
dengan pembagian wilayah aktifitas atau peran, yang berguna dan vital, agar
organisasi tetap terorganisir. Kondisi ini dapat ditilik dengan adanya beberapa
orang yang secara sukarela mengajukan diri untuk masuk dan bertanggung jawab
mulai peran dokumentasi, surat, menyurat, maupun sampai teknis pengkondisian
massa gerakan, counter isu, atau bahkan membuat wall di FB (facebook) sebagai
bagian dari penyebaran isu, penciptaan image gerakan, semua tertuju pada
7
penolakan keras didirikannya “Hotel The Rayja”, yang telah menggunakan area
sumber mata air Gemulo, yang seharusnya di jadikan lahan Konservasi ekologis.
Gerakan protes pun tak terhindarkan, mulai dari gerakan protes aksi turun
jalan, demo menduduki kantor walikota Batu selama berjam-jam, hingga
penyegelan tanah lokasi dibangunnya hotel, bahkan pencabutan tiang pancang
pondasi bangunan hotel. Kondisi ini tak pelak menjadi sebuah konflik yang
semakin panas dan membesar. Kegiatan memobilisir massa pun semakin intens
dilakukan, apalagi semenjak mereka harus mengadapi sidang gugatan dari
perusahaan. Masyarakat yang tergabung dalam FMPMA kemudian banyak
menggelar pertemuan antar warga, mulai diskusi, sosialisasi, hingga advokasi
menjadi agenda untuk mematangkan perlawanan mereka. Dibantu dengan LSM/
NGO yang bergabung, seolah memberikan semangat FMPMA bahwa gerakan
mereka untuk membatalkan pembangunan hotel The Rayja akan berhasil.
Grand idea kasus penelitian
Pada kerangka analisa kelompok berkonflik, pada kondisi ini setidaknya
akan terlihat terjadi perselisihan di tiga kelompok, pertama adalah masyarakat
dengan simbol FMPMA sebagai korban kebijakan, kedua adalah pengusaha
sebagai penekan gerakan sekaligus pihak penyelenggara pembangunan hotel The
Rayja, dan ketiga adalah pemerintah sebagai pemangku kebijakan yang terkesan
separuh hati dan tidak serius dalam upaya penyelesaian konflik. Ketiganya
merupakan bagian dari kelompok yang masing-masing mempunyai gagasan serta
langkah-langkah untuk tetap pada tujuan yang mereka bawa.
8
Penelitian ini akan membatasi dan menitik beratkan pada pembahasan
integrasi ketahanan dan strategi organisasi masyarakat (FMPMA) melawan
dominasi kelompok pemerintah dan pengusaha, yang dianggap telah merugikan
masyarakat pengguna sumber mata air, yang telah melahirkan ancaman dan
konflik di Desa mereka. Kecenderungan perlawanan organisasi yang hadir disaat
menghadapi tuntutan hukum dari pihak pengusaha Hotel The Rayja, serta dari
dinginnya tatapan Pemerintah Kota Batu saat melihat kasus konflik ini
berkepanjangan, tetap tidak membuat gentar FMPMA. Kekuatan, potensi, serta
strategi yang mereka miliki disaat menanti upaya perjuangan mereka belum
berhasil sepenuhnya.
Tentunya ini kemudian oleh peneliti dituangkan ke dalam pertanyaan besar
penelitian atau Grand Idea Thesis, yaitu tentang “bagaimana proses gerakan
sosial di bangun untuk penyelamatan Sumber Mata Air di Gemulo Batu?”. Untuk
melihat upaya strategi dan model penyelesaian konflik dengan cara yang dibangun
masyarakat, sebagai sikap menghadapi Pemerintah Kota Batu, yang terkesan diam
dan seolah apatis terhadap persoalan pembangunan Hotel The Rayja, yang disaat
itu malah membawa aksi masyarakat berhadapan dengan tuntutan coorporation di
meja hijau, hingga gerakan mereka mampu memberikan dampak sosial (social
effect), terlebih yang seharusnya mereka dapat menjadi relasi atau kawan dalam
upaya
pembangunan
pariwisata
dan
lingkungannya.
9
menciptakan
lapangan
kerja
di
Meski demikian peneliti juga lebih menekankan gerakan sosial ini hanya
pada wujud protes kolektif5 masyarakat saja. Mengacu pada pengertian target dan
sasaran atas gerakan FMPMA yang hanya berorientasi untuk meminta adanya
kebijakan ekologis tentang pemanfaatan Sumber Mata Air Gemulo, yang tidak
sampai merubah struktur pemerintahan desa maupun kecamatan dan kota Batu,
atau bahkan sampai keinginan merubah tatanan struktur lembaga sosial lainnya
yang sudah ada di masyarakat saat ini. Analisa akan lebih terkait cara konflik
masyarakat dengan pemerintah berwenang di kota Batu, serta konflik masyarakat
dengan investor yang berbalik menggugat perjuangan mereka. Terkait hal tersebut
maka untuk menjawab gagasan dari ide utama beserta perspetifnya tersebut, maka
dirumuskanlah masalah penelitian ini dalam 3 aspek berikut: pertama yaitu terkait
metode pengorganisasian isu, kedua adalah terbentuknya CSO, advokasi NGO,
serta dinamika internal mereka, ketiga adalah bentuk-bentuk perjuangan aksi,
beserta tuntutan formal (draft keadilan) mampu membuat sebuah proses
perubahan.
B. RUMUSAN MASALAH
Pertanyaan utama dari penelitian “Bagaimana Proses Gerakan Sosial
di Bangun untuk Penyelamatan Sumber Mata Air di Gemulo Batu? kemudian
diturunkan menjadi beberapa pertanyaan berikut:
5
Perbedaan Protes Kolektif dalam kajian gerakan sosial adalah terletak pada kajian sasaran target
gerakan, di dalam Situmorang protes kolektif dibedakan dengan gerakan sosial, dimana disebutkan
“protes kolektif tidak berorientasi kepada perubahan struktur, tetapi lebih pada penyelesaian
kasus-kasus, sedangkan gerakan sosial berorientasi kepada perubahan struktur” (Situmorang,
2013:hal 12)
10
1.
Bagaimana pengorganisiran isu pembangunan Hotel The Rayja
muncul sehingga melahirkan Gerakan Sosial Masyarakat Penyelamat
Sumber Mata Air?
2.
Bagaimana bentuk koalisi CSO (civil social organisation) di tubuh
FMPMA hingga mampu menciptakan strategi / model aksi gerakan
yang saling terintegrasi?
3.
Bagaimana aksi masyarakat Sumber Gemulo Batu melawan sikap
Negara (Pemerintah Kota Batu) dan aktor perusak lingkungan,
membawa perubahan seperti yang sudah dimanifestasikan ke dalam
bentuk draft tuntutan keadilan mereka?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
1. Dapat
mengetahui
kekhawatiran
yang
kemunculan
dihadapi
isu,
serta
masyarakat,
alasan-alasan
sehingga
dan
menjadi
permasalahan bersama yang memunculkan sebuah gerakan perlawanan
dari masyarakat penyelamat Sumber Air Umbul Gemulo.
2. Dapat mengetahui keberadaan organisasi-organisasi yang tergabung
dalam forum (FMPMA) mulai latar belakang, visi misi bergabung,
jaringan, cara advokasi, dinamika internal yang terjadi, sehingga
menjadi suatu bentuk gerakan sosial CSO yang mampu terintegrasi
dengan baik.
3. Mengetahui bentuk-bentuk aksi perlawanan yang termanifestasikan
pada bentuk draft-draft tuntutan keadilan mereka, serta model-model
11
aksi perlawanan masyarakat terhadap aktor perusak lingkungan,
hingga proses perubahan yang terjadi sebagai upaya penyelesaian
konflik sumber mata air di Umbul Gemulo Batu.
D. MANFAAT PENELITIAN
Memberikan dan menambah kajian penelitian yang telah ada tentang
analisa gerakan sosial terkait bentuk organisasinya, konflik yang
dihadapinya. Dengan begitu mampu menjadi rujukan bagi instansi yang
terkait konflik, akademisi/mahasiswa, dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan mengembangkan analisa konflik secara sosiologis, serta
tentunya dapat menjadi dokumentasi dan evaluasi terkait persoalan dan
kondisi gerakan sosial yang terjadi di Kota Batu.
E. PENELITIAN TERDAHULU
1) Gerakan Sosial Kasus Sumber Gemulo Batu oleh Rachmat KDS
Bagaimana persoalan sumber daya alam dihubungkan dengan
kemunculan gerakan-gerakan lingkungan dengan perspektif sosiologis
sebetulnya sudah banyak yang mulai mengkaji hal ini. Penelitian sebelumnya
tentang sumber gemulo juga pernah dilakukan oleh Racmat KDS, pada
penelitian ini, khususnya kasus Sumber Gemulo dilihat dari perspektif
sosiologi lingkungan, kemudian dijadikan buku dengan judul “Wong Gunung
Mudun Embong” (2013). Melalui penelitian ini, kasus pendirian hotel
dikawasan sumber mata air adalah suatu yang tidak bisa dibenarkan, dengan
12
alasan menyalahi kesepakatan umum sebelumnya sebagai lahan konservasi.
penelitian ini dilakukan semenjak tahun 2010-2013. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Rachmat, muncul dua sebab yang menjadi pemicu konflik,
yakni karena pilihan paradigma pembangunan pariwisata secara radikal dan
pengelolaan sumber daya alam yang tidak partisipatif. Konflik pengelolaan
sumber daya alam di Kota Batu, tidak lepas dari praktek otonomi daerah
melahirkan pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali, hal inilah
yang memancing lahirnya penolakan-penolakan di masyarakat
yang
melahirkan konflik-konflik sosial (Rachmat,2013).
Persoalan yang mulai dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan,
yakni tidak tercukupinya suplai air minum sudah dirasakan di 3 desa,
disamping itu krisis air di kawasan Batu juga sudah terjadi dimana-mana
(Radar
Batu,
11
April
2013).
Ketidakpuasan
atas
daya
dukung
alam/lingkungan yang kian mengkuatirkan dan akumulasi kekecewaan
terhadap perilaku aparat negara membuat keresahan masyarakat itu kian
membesar.
Maraknya
pembangunan,
bahkan
mengalahkan
aspek
perkembangan pertanian. Tidak heran, konflik sosial menjadi persoalan
sosiologis yang dilahirkan dari pembangunan infrastruktur pariwisata secara
besar-besaran ini.
Perlawanan masyarakat dipilih melalui jalan Demonstrasi, hal ini
dipilih sebagai tanggapan masyarakat untuk mengetahui sikap pemerintah
maupun DPRD atas tidak jelasnya sikap mereka dalam menanggapi tuntutan
FMPMA. Bagi FMPMA, kejelasan sikap akan diperoleh setelah masyarakat
13
turun jalan atau demonstrasi. Demonstrasi pertama dilakukan di Kantor
Walikota. Demontrasi kedua dilakukan di Kantor Kecamatan Bumiaji dan
Kantor Walikota. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis, dalam membawa
protes secara demonstrasi bahwa kekuatan utama gerakan tetap berada di
tangan masyarakat lokal. Para pendamping tidak harus tampil di muka. Kalau
masyarakat lokal atau FMPMA sudah bisa menjalankan fungsi-fungsi seperti
yang dipertimbangkan para pendamping tersebut, maka masyarakat dibiarkan
untuk menjalankan strategi-strategi mereka. Kelompok aksi ini bekerja dengan
pendamping dari NGO (Non Governmental Organization), yaitu: Yayasan
Pusaka, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Jawa Timur dan MCW
(Malang Corruption Watch).
Konflik bersifat pasang surut banyak ditentukan oleh sikap pemerintah
yang seolah dan seakan mengakomodir keinginan FMPMA, tetapi ketika tiba
saat janji tersebut tidak dilaksanakan, maka konflik membesar kembali dan
kemudian meledak. Konflik yang ada sangat mudah terlihat, seperti saat
Walikota bersedia menerima tuntutan FMPMA yakni menetapkan lahan di
sekitar sumber air sebagai lahan konservasi. Namun yang terjadi kemudian,
walikota melalui birokrasi dibawahnya menanggapi gerakan FMPMA dengan
mengumpulkan kepala desa dan Camat sebagai upaya meng-counter atas
tuduhan yang diarahkan oleh FMPMA. Bahkan, rombongan ini diajak ke
lokasi pembangunan hotel untuk melihat langsung bahwa pembangunan hotel
tidak akan merusak sumber air. Selain itu, walikota juga menggalang
dukungan dari pengurus/simpatisan partai politik tertentu. Tentu saja tindakan
14
ini menyulut kemarahan dan meningkatkan tensi perlawanan masyarakat, apa
yang dilakukan walikota ini tetap membuat FMPMA tidak mundur dan
berbelok arah perjuangannya.
Dari keadaan di atas bisa disimpulkan karakter konflik yang terjadi
bahwa
masyarakat
yang
lebih
menghendaki
diberlakukannya
lahan
konservasi, dimana didorong kegelisahan atas kekurangan pasokan air minum
yang sudah dirasakan di 2 desa (Desa Giripurno dan Desa Pendem) dan satu
kelurahan (Dadaprejo). Dari awal semula, konflik lahan untuk konservasi ini
juga tidak mengarah kepada sikap anarkis, sebab masing-masing yang
berkonflik memiliki keinginan untuk menjaga situasi agar tetap pada situasi
yang relative bisa terkomunikasikan. Hal ini karena masing-masing pihak
berkeinginan untuk menjaga konflik kearah yang produktif.
2) James Scoot “Gerakan Sosial Petani Melawan Perubahan”
Pada kasus masyarakat yang tidak mau menerima adanya perubahan
dikarenakan ketakutan dan lebih pada dampak negative yang akan diterima
juga dituliskan dalam penelitian James Scoot dalam bukunya “Moral
Ekonomi Petani”, menceritakan bagaimana para petani menjalani system
subsistensi, dimana berarti bahwa petani lebih suka meminimumkan
kemungkinan
terjadinya
satu
bencana
dari
pada
memaksimumkan
penghasilan rata-ratanya, dan memakai prinsip yang disebut oleh Roumasset
sebagai “dahulukan selamat” (Scoot,1981:26).
15
Peralihan dari produksi subsistensi ke produksi komersil hampir selalu
memperbesar resiko. Tanaman subsistensi yang berhasil sedikit banyaknya
menjamin persediaan pangan keluarga, sedangkan nilai tanaman komersil
yang tidak dapat dimakan tergantung kepada harga pasarnya dan kepada
harga bahan-bahan kebutuhan pokok konsumen (Scoot,1981:30). Besarnya
resiko yang terkandung dalam peralihan itu serta kemampuan petani-petani
bersangkutan untuk menilai dan memikul resiko itu merupakan variabelvariabel kunci tipikal dalam keputusan itu. Jikalau ada kasus lain seperti di
Ban Ping, dimana petani melakukan “Produksi Komersil” itu karena
Penduduk desa itu baru menanam padi untuk di jual setelah ada kepastian
bahwa mempunyai cukup padi ketan untuk dimakan dan untuk memenuhi
keperluan-keperluan
besarnya
ambisi
jamuan dan keagamaan yang lazim. Bagaimanapun
kewiraswastaan
petani,
rasionalitas
mereka
tidak
mengijinkan tanaman komersil yang membahayakan subsistensi mereka
(Scoot,1981:35). Pierre Gourou mengemukakan persoalannya adalah
pertanian bukanlah satu usaha ekonomis yang bertujuan bisnis dan mencari
untung, melainkan satu pertanian subsitensi yang semata-mata bertujuan
menghasilkan pangan bagi mereka yang melakukannya (Scoot,1981:32).
Prisip “dahulukan selamat” itu juga terlihat jelas pada peryataan-peryataan
lazim bahwa petani Asia Tenggara enggan berusaha mencari untung, apabila
hal itu berarti mengacaukan kegiatan-kegiatan subsistensi yang rutin yang
sudah terbukti memadai di waktu yang lampau (Scoot,1981:32).
16
Persoalan mulai muncul ketika petani-petani ini menolak membayar
pajak dikarenakan semakin menjerat mereka pada perekonomian yang
semakin menyusahkan. Ketika Negara membutuhkan pendapatan, maka
Negara akan menaikkan pajak tanah yang menjadi salah satu dari sumber
pendapatannya, ketika itu pula maka pemilik tanah tidak akan mau beresiko
dengan kerugian, maka dia juga ikut menaikkan harga sewa tanah pertanian,
hal inilah yang membuat petani penggarap terkadang harus berhitung
keuntungan, sebab harga padi tetap tidak mengalami kenaikan. Dilain sisi
ketika berhitung kerugian, jika mereka tidak menyewa, dan hanya sebagai
buruh tanam saja, maka itu akan semakin mempersulit kehidupan mereka.
Kondisi sulit yang dihadapi terkait perubahan-perubahan inilah yang
kemudian membuat kalangan petani enggan berpindah dari system bertahan
hidup atau subtitusi.
Sikap yang sudah umum itu mencerminkan etika subtitusi yakni
anggapan bahwa hak untuk melakukan pungutan atas penghasilan, hanya sah
setelah kebutuhan-kebutuhan subtitensi setempat terpenuhi (Scoot:1981:187).
Begitu juga dengan masyarakat Sumber Gemulo yang memang mengalami
kekurangan debit air pasca pembanguan yang marak dilakukan oleh
Pemerintah Kota sesuai kebijakan yang mereka buat. Masyarakat mulai
berhitung bahwa air yang merupakan kebutuhan primer tidak boleh sampai
mengalami keurangan atau kelangkaan, maka pembangunan harus sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Pembangunan dianggab wajar jika masih
dalam dasar yang tidak mengganggu ketersediaan stok air yang mengairi 6
17
desa
itu.
Ketakutan
kelangkaan,
kekhawatiran
terhadap
eksploitasi
pembangunan, kepanikan oleh semakin mahalnya harga air, dikarenakan
dampak perubahan (berupa pembanguan sektor pariwisata) yang dinilai tidak
adil, hal ini dirasakan oleh masyarakat yang kemnudian memunculkan
perjuangan pada protes kolektif masyarakat Gemulo Batu.
3) Gerakan Sosial “Kasus Tak Kunjung Usai Indrayon”
Ada hal yang cukup menarik dari kasus Indrayon di Toba-Samosir
Sumatera Utara. Seperti yang dituliskan Effendi Panjaitan di dalam buku
“Gelombang Perlawanan Rakyat” dengan judul “Tapasadama Rohanta
menutup Indrayon” (Kita Satukan Tekad menutup Indrayon). Gerakan sosial
melawan
Indrayon
dianggab
sebagai
simbol
perlawanan
terhadap
kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.
“Meskipun pemerintah melalui sidang cabinet yang dipimpin oleh Wakil
Presiden Megawati Soekarno Putri Maret 2000 mencabut ijin produksi rayon
dan hanya mengijinkan produksi pulp dari PT. Inti Indrayon Utama (PT.IIU),
namun rakyat Kabupaten Toba Samosir yang berdomisili di kec. Porsea,
Uluan, Lumban Julu, Pintu Pohan, berjarak 250 km dari Medan tetap menolak
keputusan itu, sebab rakyat menuntut penutupan total dan final operasi PT.
IIU. Sejak mulai beroperasi tahun 1986 PT. IIU yang mempunyai Hak
Penguasaan Hutan (HPH) seluas 269.000 ha dan mempunyai modal awal US
$ 200 juta banyak menimbulkan kerugian seperti penyerobotan tanah rakyat,
tanah longsor, pencemaran air, pencemaran udara, dan ketegangan sosial,
sehingga rakyat sejak awal menentang kehadiran Indrayon”
( E.Panjaitan,2004:247)
Suara Rakyat Bersama (SRB) adalah sebuah organisasi bentukan
rakyat6, di dalam organisasi inilah masyarakat yang menolak pengoperasian
kembali PT. IIU berkumpul dan bersatu. Disitu terdapat pemuka agama
6
Organisi SRB dalam hal ini adalah sama dengan FMPMA di Sumber GEmulo BAtu
18
(ulama, pendeta), kepala desa dari 143 desa, sipil berbagai profesi, laki-laki,
perempuan, pemuda, tua, akademisi kampus (mahasiswa, dosen) mereka
mengatasnamakan rakyat meneriakkan satu tujuan utama, yaitu menentang
beroperasinya kembali Indrayon dan menutup total Indrayon. Mereka
berjuang bersama politisi, kalangan sesepuh atau tokoh masyarakat Batak
(Parbato), Ornop bentukan masyarakat lokal KSPPM, Kelompok Anti
Pencemaran Lingkungan (KAPAL), Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka
(KSMM), LSM/NGO seperti Bantuan Hukum Sumatera Utara (BAKUMSU),
Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Utara dan Badan Eksekutif Nasional
WALHI, Yayasan Lembaga Bantuan Hidup Indonesia(YLBHI).
Perjuangan mereka cukup panjang, tercatat sejak tahun 1986 mereka
telah melakukan perlawanan. Organisasi ini berdiri untuk “Pelestarian
Lingkungan Hidup”, menggantikan organisasi KAPAL yang sudah munurun
aktivitas perlawanannya. SRB kepengurusannya tidak begitu melembaga
secara formal, artinya tidak punya akta notaris, anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga, tetapi mempunyai kepengurusan di tingkat kabupaten secara
kolektif, yang mewakili desa-desa dan kecamatan. Perwakilan dari kecamatan
adalah pemuka masyarakat, pendeta, pastor dan ustad, sedang dari desa
adalah masing-masing kepala desa sebanyak 130 orang. Disamping itu ada
pengurus harian yang bertugas mendistribusikan informasi dan memobilisasi
gerakan, sehingga informasi dan gerakan mobilisasi cepat dan mudah
dilakukan.
19
Dengan dukungan para ulama serta tokoh, perlawanan rakyat semakin
gencar dan semangat mereka benar-benar bulat untuk menutup Indrayon.
Bahkan sampai kata Indrayon mereka pelesetkan menjadi “Indorojan”, yang
dalam bahasa Batak “Rojan” berarti “racun” sebagai gambaran kebencian
yang amat sangat kepada Indrayon. Tuntutan untuk menutup Indrayon tetap
bergejolak, sampai pada tahun 1999 Menteri Ehuin kala itu Ginanjar
Kartasasmita berinisiatif untuk mencari masukan dari Walhi atas kasus ini,
namun pada tanggal 16 Maret 1999 rakyat menjawabnya dengan mengadakan
aksi blockade Jalan Raya Balige, dimana jalan ini merupakan lintas armada
Indrayon. Pada aksi ini terjadi bentrok aparat dengan warga, hingga akhirnya
masih dibulan yang sama Presiden Habibie memerintahkan secara lesan untuk
menghentikan seluruh aktivitas PT IIU.
Tahun 1999 bersamaan dengan pemilu presiden dan dewan legislatif,
suasana Porsea kian memanas. Kampanye partai juga mengusung tema
penutupan Indrayon. Dari sini masyarakat pun membuat rencana strategi
dalam hal mempengaruhi pembuatan kebijakan, sebagaimana halnya masuk
dalam pemerintahan secara langsung, dan mereka mendapatkan itu. Mereka
berhasil menempatkan perwakilan mereka untuk duduk di kursi Dewan
Propinsi Sumatra Utara sebanyak 1 orang, 2 orang di DPRD Kabupaten Toba
Samosir.
Tahun 2000 di bulan Januari lahirlah rekomendasi Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang penghentian operasi PT IIU dikarenakan telah
melanggar ketentuan Lingkungan Hidup, antara lain tidak melaksanakan
20
Rencana Kelola Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan
(RPL), dan membuang Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3).
Rekomendasi ini dinilai kurang memuaskan, karena target tuntutan adalah
menutup Indrayon. Pergerakan masyarakat dalam melawan PT IIU terus
bergema, disisi lain pihak Indrayon juga gemar melakukan lobi untuk tetap
mengoperasikan kembali perusahaan ini.
Dalam tulisan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara masyarakat
untuk melakukan gerakan penolakan melalui mobilisasi massa. Banyaknya
korban dari masyarakat sipil memberikan gambaran jelas, respon yang
diberikan Negara dalam memihak dan menjalankan perekonomian dinegara
ini. Jelas dalam kondisi ini, ekonomi terlihat sebagai mesin eksploitatif, dan
jauh dari keadilan ekonomi masyarakat sebenarnya, terutama yang berada di
sekitarnya. Pasang surut permasalahan indrayon tidak hanya merugikan
tenaga dan financial di kedua belah pihak, kan tetapi disinilah peran Negara
di uji, sebab di agenda negaralah semua aspek tentang kemasyarakatan ini
diatur, dan mengatur keadilan yang distributif merupakan peran Negara yang
diinginkan oleh masyarakat sipil.
4) Struktur Mobilisasi dan Kesempatan Politik dalam Gerakan Sosial
Lingkungan oleh Abdul Wahib Situmorang
Mengambil penelitian Situmorang (2013), terkonfirmasi bahwasanya
data protes kolektif dan gerakan lingkungan hidup yang terjadi dominan di
lakukan oleh masyarakat perkotaan. Terdefinisikan pula adanya pola umum
kebijakan yang mewajibkan analisa dampak lingkungan hidup (AMDAL),
21
kewajiban menyusun dan melaksanakan rencana tata kelola lingkungan dan
pemantauan lingkungan hidup juga relatif berhasil disahkan sebagai aturan
dan undang-undang, akan tetapi secara pada kenyataannya, situasi yang terjadi
di lapangan bukan berarti pencemaran serta kerusakan yang disebabkan oleh
industry,
mengalami
perbaikan
yang
cukup
significant
diwilayah
penanganannya.
Di dalam penjelasan Situmorang (hal 151-152) pada era Gus Dur
sektor kehutanan menjadi sektor yang paling banyak diprotes. Dipengaruhi
oleh kebijakan Menteri Kehutanan Nur Mahmudi yang memperbolehkan
daerah mengeluarkan IPHH (Izin Pemanfaatan Hasil Hutan). Imbasnya adalah
para bupati dapat mengeluarkan izin untuk pengelolaan Hutan, berkakibat
pada 500.000 Hektar lahan di Kutai Barat terbuka, dan menimbulkan banyak
protes masyarakat disana. Periode Megawati juga mengalami hal serupa,
bedanya adalah pada sektor tambang, dimana Megawati mengeluarkan izin
lokasi penambangan di wilayah yang selama ini dilindungi atau berada di
lokasi sumber-sumber kehidupan masyarakat, ada 115 izin setingkat
keputusan Presiden untuk memfasilitasi kepentingan ekonomi global termasuk
sektor pertambangan, apalagi izin terhadap tambang di hutan lindung, yang
tentu saja hal ini menimbulkan reaksi keras berupa protes masyarakat.
Setidaknya pemerintahan SBY juga melakukan hal yang sama dengan
membiarkan aturan yang tumpang tindih antara kawasan lindung dan
konservasi, atau tumpang tindih dengan sumber mata air dan lokasi
penghidupan masyarakat. Bahkan periode SBY menunjukkan peningkatan
22
pada izin pertambangan skala kecil yang dikeluarkan oleh pemerintahan lokal,
yang memicu protes masyarakat terhadap tambang pasir besi, tambang galian
C. Kelahiran Protes sendiri mempunyai alasan bahwasanya kecenderungan
pemerintah untuk memberikan izin pertambangan dan pembangunan
infrastruktur di kawasan hutan lindung dan area konservasi yang sudah sangat
jarang ditemui di area padat penduduk. Itu lah yang menyebabkan adanya
protes lingkungan hidup dalam sektor tambang dan kehutanan mengalami
peningkatan.
Hasil analisa gerakan sosial lingkungan hidup yang diteliti oleh
Situmorang sejak tahun 1968-2011 menunjukkan adanya berbagai kerangka
gerakan yang tidak tunggal dalam aspirasi atau tujuan dari protes kolektif yang
dilakukan. Beberapa hal yang bisa dilihat yaitu ada yang menuntut
menghentikan
kerusakan
yang
terjadi,
penanggulangan
pencemaran,
permintaan ganti rugi, sanksi hukum, penghentian aktivitas atau reformasi
kebijakan dan sistem yang secara tidak langsung diangab sebagai penyebab
kerusakan (2011:323).
Hal ini bisa digambarkan melalui protes yang
dilakukan LBH Surabaya yang menolak dan menuntut rencana pengembangan
PTS karena bertolak belakang dengan RTRW dan mengakibatkan hutan bakau
dan mangrove hilang sebagai penahan abrasi laut, atau sekelompok mahasiswa
yang berunjuk rasa di DPRD Prov. KALBAR untuk menghentikan eksploitasi
PT. MWS atas tambang di TNG Palung, karena mengancam ekosistem
setempat, ataupun seperti halnya juga protes yang dilakukan oleh Komite
Masyarakat Penolakan PLTA Lore Lindu di SULSEL, mereka menilai
23
pembangunan PLTA dapat mengancam keselamatan dan kelestarian
lingkungan. Adapun formulasi gerakan seringkali dimulai dan disampaikan
oleh Kepala Desa maupun tokoh-tokoh di masyarakat, yang menyampaikan
informasi bahwa akan ada aktivitas atau izin yang telah diberikan oleh
pemerintah atau kuasa modal yang akan beroperasi di kawasan kelola
masyarakat atau kawasan yang memiliki peran ekologi penting bagi
kelompok-kelompok di masyarakat.
Dari penelitian Situmorang juga didapatkan beberapa ciri gerakan
pertama adalah gerakan penolakan kegiatan atau izin kegiatan banyak
dilakukan oleh struktur mobilisasi informal, mereka adalah kelompokkelompok yang ada di masyarakat. Kedua adalah gerakan penolakan kebijakan
lebih banyak dipilih oleh struktur organisasi formal seperti LSM dan
organisasi masyarakat sipil lainnya, karena dipengaruhi oleh idiologi yang
mereka yakini. Gerakan LSM lebih banyak melihat kebijakan pemerintah
yang tidak memihak lingkungan dan kepentingan masyarakat sebagai
penyebab utamanya. Ketiga, dalam kesempatan politik yang mereka punya,
gerakan juga sering menunjukkan penolakan kepada organisasi formal
maupun kelompok masyarakat biasa (ormas), pada saat mereka akan
menggabungkan bentuk sikap. Kesempatan politik ini dipilih dan disuarakan
secara bersamaan setelah melalui proses komunikasi dan diskusi antar aktoraktor yang terlibat (2011:322).
24
5) Organisasi sebagai kekuatan Gerakan
Penelitian yang dilakukan di IDASA (Institute for Democracy in South
Africa) pertengahan tahun 2005. Ada yang menarik dalam penelitian tentang
NGO ini, adalah tentang Karakter organisasi IDASA adalah 1) keyakinan kuat
pada demokrasi, 2) kemampuan beradaptasi dengan segala tantangan baru, 3)
kredibilitas di mata donor, 4) kapasitas membuat inovasi (Darmawan,
2006:235), karakter ini yang kemudian mampu membuat IDASA menjadi
NGO besar dengan integritas tinggi di dunia.
IDASA merupakan salah satu NGO yang ada di Afrika Selatan,
lembaga ini bergerak untuk perjuangan penuh visi untuk mewujudkan suatu
negeri yang demokratis dan bebas dari diskriminasi rasial di Afrika Selatan
(2006:234). Lebih lanjut dijelaskan oleh Darmawan (2006) Pandangan
utamanya IDASA adalah memahamkan upaya untuk tetap percaya pada
harapan-harapan dan kebajikan-kebajikan yang ditawarkan oleh demokrasi
ditengah-tengah masyarakat yang tiada henti dilanda kekerasan. Hal ini
dikarenakan saat itu sedang terjadi kenaikan kekuatan gerakan sosial domestik
oleh civil society, ditengah konstelasi geopolitik di benua hitam tersebut.
IDASA didirikan oleh Frederick van Zyl Slabbert dan Alex Borane
setelah keluar dari parlemen di tahun 1986, disebabkan merasa bahwa
parlemen telah mengalami kebuntuan politik untuk menemukan jalan
alternative yang demokratis, non rasial, non kekerasan, dan dapat diterapkan
bagi Afrika Selatan sebagai pengganti apartheid. Zyl Slabbert dan Alex
Borane berpendapat bahwa suatu lembaga yang independen dibutuhkan untuk
25
memainkan peran sebagai badan pengumpul informasi dan mediasi
(Darmawan,2006:236).
“..prioritas kami adalah mendorong politik negosiasi, sebagai alternatif dari
politik pengucilan, penindasan, dan kekerasan yang tengah marak saat itu..”
(Borrane (1992) dalam Darmawan,2006:235)
Disini Zyl Slabbert dan Alex Borane memposisikan IDASA sebagai
fasilitator untuk mengembangkan tatanan masyarakat tanpa diskriminasi ras
dan sebagai wahana untuk menumbuhkan solidaritas di antara partai politik,
tokoh masyarakat, dan rakyat biasa Africa selatan melalui tatanan demokrasi
yang sejati.
pengembangan
Demokrasi dipandang sebagai ruh dalam kerja-kerja
institusi-institusi,
norma,
dan
prosedur
politik
bagi
terbentuknya pemerintahan oleh rakyat yang berdaulat (polular selfgovernment). IDASA menilai bahwa tolak ukur yang lebih penting dalam
demokrasi adalah tingkat partisipasi warga Negara dalam kehidupan public,
dan kinerja pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya.
“kita tidak dapat memiliki demokrasi jika pemerintah lemah. Kita tidak dapat
memiliki demokrasi jika hanya civil society yang percaya pada gagasan itu.
Kita akan memiliki demokrasi jika pemerintah tidak sekedar percaya pada
gagasan itu, tetapi juga mempraktekkannya (Jenkins (1992) dalam
Darmawan,2006:238)
Kecanggihan IDASA sebagai NGO dalam beradaptasi dan menemukan
strategi adalah point yang penting untuk dipelajari. Sepanjang keberadaanya di
tengah masyarakat, IDASA telah mencicipi berbagai ragam perubahan
konstelasi politik domestic Afrika Selatan. Adapun beberapa perubahan
strategi yang digunakan terangkum seperti berikut:
26
a) Pada periode awal (1987-1990), upaya-upaya IDASA difokuskan pada
pembangunan iklim untuk tumbuhnya demokrasi.
b) Periode kedua (1990-1993), fokus IDASA beralih menjadi “sekutu
kritis bagi proses transisi”. Ini dilakukan dengan menafsirkan proses
transisi, mendorong dan mengembangkan dukungan bagi mekanisme
transisi, mendorong dan mengartikulasikan kebutuhan warga Negara
dan aspirasi mitra-mitra negoisasi.
c) Periode ketiga (1993-1995), IDASA bergeser fokus strateginya pada
upaya-upaya untuk mendukung penyelenggaraan pemilihan umum
yang demokratis.
d) Periode keempat (1995-1997) fokus IDASA beralih pada upaya
“pembangunan institusi-institusi demokratis” dengan membantu
rekonstruksi Negara, pengembangan prinsip-prinsip kewarganegaraan,
mendorong praktik dan prosedur demokratis, dan mengkonsolidasikan
konstitusi baru.
e) Periode ke lima (pasca 1997) program IDASA di dominasi dengan
aktivitas-aktivitas “ memberdayakan warga Negara”. Lembaga ini
mencurahkan upayanya untuk membangkitkan pengetahuan warga
Negara mengenai hak-hak dan tanggung jawab mereka, menyediakan
keahlian untuk berperan serta memantau dan menafsirkan hukum dan
kebijakan.
Bagi IDASA, untuk bisa mencapai keberlanjutan, demokrasi harus lah
memiliki syarat sebagai berikut (Darmawan, 2006:244)
27
1. Dimiliki, didukung, dan dibela oleh warga Negara
2. Dijalankan oleh institusi-institusi demokratis dengan kapasitas domestik
yang memadai
3. Didanai oleh aliran pendapatan dari perekonomian yang stabil
Saat ini kecakapan inti lembaga IDASA adalah riset dan analisis
sosial, pelatihan dan pendidikan,pembangunan jaringan dan koalisi, fasilitasi
politik (dengan menggabungkan advokasi, penyelesaian masalah, konsultasi
dan manajemen proyek), serta pemantauan dan penyebaran informasi.
Kemampuan IDASA untuk mendapatkan dukungan yang significant dari
lembaga donor disebabkan oleh kredibilitas lembaga itu. Sebagian pendonor
percaya
bahwa
IDASA
memiliki
kecakapan
yang
memadai untuk
mengimplementasikan program-programnya. Faktor kunci lainnya yang
menarik minat donor adalah kapasitas IDASA untuk menyesuaikan diri
dengan konteks politik yang senantiasa berubah. Hal ini dikarenakan IDASA
mampu mengeksplorasi gagasan dan gambaran informasi tentang sosial
demokrasi yang berkembang saat itu ditiap waktu. Untuk itu IDASA tidak
hanya mengandalkan satu jenis strategi. Namun, sebagaimana dijelaskan Ivor
Jenkins bahwasanya masing-masing program menyusun sejumlah strategi dan
memiliki “cukup ruang” untuk melakukan kombinasi taktik antara advokasi,
riset,
pembangunan
kapasitas,
dan
fasilitasi
ditiap-tiap
program
(Darmawan,2006:249).
Pendek kata, civil society terus menjadi mediator antara Negara dan
warganya. kebutuhan untuk berkolaborasi dengan Negara, mendefinisikan,
28
memantau, dan menyiapkan berbagai hal untuk sebuah tatanan demokrasi
merupakan sudut terpenting dalam gagasan penting melihat NGO ini berada
yang tampil di tengah masyarakat tanpa mengenal adanya demokrasi.
Menyoroti kekuatan NGO IDASA sebagai element penting penggerak
pemikiran masyarakat, merupakan perjuangan yang riil dalam melawan
eksploitasi kelompok tertentu yang diskriminatif. Saat Negara tidak mampu
melakukan perbaikan disana-sini, pelayanan kebutuhan dasar, perlindungan
hukum dan jaminan kesejahteraan bagi warga
yang amburadur, NGO
merupakan bukti kekuatan entitas terbaik yang bisa diandalkan dalam kondisi
perbaikan tersebut, dan masyarakat membutuhkan hal itu.
F. KERANGKA KONSEPTUAL
Kerangka konseptual didasarkan pada beberapa konsep yang diperlukan
sebagai pedoman penelitian. Beberapa konsep tersebut antara lain adalah :
a) Gerakan Sosial Masyarakat (Social Movement)
1) Definisi dan Konsep Gerakan Sosial
Gerakan sosial merupakan sebuah gerakan mobilisir yang dilakukan oleh
sekelompok orang secara kolektif, continue atau berkelanjutan, sistematis dengan
tujuan untuk mendukung atau menentang keberlakuan tata kehidupan tertentu,
dimana mereka memiliki kepentingan di dalamnya, baik secara individu,
kelompok, komunitas, atau level yang lebih luas lagi. Mengutip pandangan Van
Kliven dalam The Blackwell Companion To Social Movements (Haryanto,dkk,
2013:188-189) mendefinisikan Gerakan Sosial sebagai berikut:
29
“Kolektivitas-kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu
bertindak di saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan
menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang di dasarkan secara
institusional atau cultural dan berlaku dalam kelompok, organisas,
masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia dimana mereka merupakan salah
satu bagiannya.”
John Wilson dalam Introduction To Social Movement juga memberikan
pengertian gerakan melalui ciri-cirinya dimana gerakan sosial merupakan
tindakan kolektif, dilakukan secara terorganisasi, mempunyai ruang lingkup yang
sangat potensial luas, menggunakan sarana atau cara yang non institusional
(demonstrasi atau pengerahan massa) di dalam upaya mencapai tujuannya,
mempunyai tujuan yang tidak terbatas dalam pengertian tidak membatasi
sasarannya pada ketegori-kategori para pendukungnya dan menggunakan upayaupaya yang jelas bagi terjadinya perubahan (1973:4). Secara pasti dari sini bisa
dipahami bahwa setiap gerakan sosial mempunyai tujuan yang jelas dan massa
yang terstruktur dalam menjalankan aksi protesnya. Munculnya gerakan sosial
dengan demikian merupakan tanda bahwa tatanan sosial yang lama di tentang
karena dianggab telah kehilangan kesuciannya (keluar dari koridor pemerataan
keadilan) karenanya menjadi tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat
(Wilson,1973:4). Terlebih terhadap hal-hal yang memang memerlukan sebuah
rekonstruksi ulang sosial, dikarenakan sudah tidak ditemukan kesesuaian di
kelompok-kelompok
yang
ada
dimasyarakat.
Dimana
individu-individu,
kelompok, dan organisasi yang membentuk budaya proses gerakan dengan
menambahkan, mengubah, merekonstruksi, dan reformulasi kondisi yang telah
ada sebelumnya (Klandermans,1995:hal 5).
30
Banyak pakar yang menyimak khas gerakan sosial dari sisi perubahan di
masyarakat seperti yang direkam oleh Piotr Szotmka (2005) 7, seperti halnya
Blumer (1951) yang mengganggab gerakan sosial sebagai bagian dari
pembenahan ulang penataan masyarakat modern, ataupun sebagai pencipta
perubahan sosial (Killian,1964), aktor historis atau pencipta sejarah (Touraine,
1977), agen perubahan kehidupan politik atau pembawa proyek history (Eyerman
& Jaminson,1991), gerakan massa dan konflik yang ditimbulkannya adalah agen
utama perubahan sosial (Adamson & Borgos,1984). Dari situ Sztomka (2005:325)
mendefinisikan gerakan sosial sebagai:
“tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga
(resmi) untuk mengasilkan perubahan pada masyarakat mereka”
Jelas dalam kondisi tersebut bisa dilihat bentuk dari gerakan sosial meski
bukan merupakan gerakan resmi politik, namun tetap merupakan bentuk gerakan
massa yang diakui dalam akivitasnya sebagai corong identitas pergolakan
masyarakat, yang mampu merubah arah kebijakan pemerintah yang resmi. Sebuah
gerakan sosial adalah dilakukan dengan sadar, kolektif, terorganisir dalam rangka
upaya untuk membawa atau menolak perubahan besar-besaran dengan cara
melalui lembaga non-resmi (masyarakat sipil) (Wilson,1973: 8)
Seperti pandangan Hebele (1972) dalam Sztomka (2005:326) yang
menyatakan kelompok gerakan sosial sebagai :
“jenis khusus kelompok yang bertindak dengan persetujuan bersama, usianya
lebih lama dan lebih kompak ketimbang gerombolan orang ramai, massa dan
kerumunan, tetapi tak terorganisasi seperti klub politik (partai) dan asosiasi
lainnya”
7
Sztomka, Piotr,2005, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada, hal 323-326
31
Dari sejarah juga terlihat bahwasanya gerakan sosial muncul dari
ketidakpuasan,
ketidaksetujuan,
ketidakadilan
yang
diterima
oleh
sebagian/sekelompok khalayak masyarakat, terhadap penyelenggara kegiatan
yang menindas. Mengutip pendapat Soeharko (2006) yang menjelaskan
bahwasanya perlawanan politik dan gerakan-gerakan penentangan ditujukan
terhadap pemegang kekuasaan yang dianggab otoriter dan represif8. Budaya serta
tatanan sosial yang sudah jauh dari kerangka tujuan hidup secara bersama, dengan
demikian dapat memicu adanya sebuah pergolakan protes. Maka dengan kondisi
itu masyarakat akan menganggab perlawanan dan perubahan adalah suatu
keharusan bahkan keniscayaan, meski demikian tidak selanjutnya mengubah
segalanya yang ada, namun juga bisa disesuaikan dengan kondisi target dari
sebuah perlawanan. Meminjam pandangan Klandermans (1995:4) gerakan sosial
tidak hanya dapat timbul dari celah budaya, tetapi juga dapat memproses budaya
sejauh mereka mengkonsumsi apa yang diberikan budaya, dan menghasilkan
transmutasi itu. Dari sini maka akan nampak terlihat apakah mereka akan
melakukan gerakan sosial sekedar protes sosial, atau memobilsasi massa untuk
sebuah revolusi sosial.
Sedangkan menurut Sidney Tarrow (2011:7), menyatakan bahwa gerakan
sosial sebagai tantangan kolektif/bersama (kepada elit,otoritas,kelompok lain atau
peraturan budaya) oleh orang-orang yang mempunyai tujuan yang umum dan
solidaritas dalam interaksi yang berkesinambungan dengan elit,oposisi dan
otoritas. Tarrow yang menempatkan gerakan sosial sebagai politik perlawanan
8
Putra,Fadilah ,dkk.2006,”Gerakan Sosial – konsep,Strategi,Aktor,Hambatan, dan Tantangan
Gerakan Sosial di Indonesia”, Malang, PLaCID’s
32
yang terjadi ketika rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok
masyarakat yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk melawan para
elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Konteks gerakan sosial
dari Tarrow, merupakan tindakan yang didasari politik perlawanan adalah aksi
kolektif yang melawan (contentius collective action). Umumnya tidakan kolektif
berlangsung dalam institusi ketika orang-orang yang tergabung di dalamnya
bertindak untuk mencapai tujuan bersama. Aksi kolektif memiliki nuansa
penentangan ketika aksi itu dilakukan oleh orang-orang yang kurang memiliki
akses ke institusi-institusi untuk mengajukan klaim baru atau klaim yang tidak
dapat diterima oleh pemegang otoritas atau pihak-pihak yang ditentang lainnya.
Aksi kolektif yang melawan merupakan basis dari gerakan sosial, karena aksi itu
seringkali merupakan satu-satunya sumber daya yang dimiliki oleh orang-orang
awam dalam menentang pihak-pihak lain yang lebih kuat seperti Negara.
Teorinya secara umum menekankan mobilisasi aktor, gerakan sosial
muncul dari bawah ketika volume keluhan, ketidakpuasan, dan kekecewaan rakyat
melampaui ambang batas tertentu. Salah satu variasinya yang oleh Gurr (1970)
disebut semacam citra “ledakan” dari sebuah kekecewaan yang tak terbendung.
Gerakan sosial secara spontan akan terlihat dari “ledakan” tersebut, kemudian
baru mendapat pimpinan, organisasi dan ideologi (gerakan terjadi secara spontan).
Variasi lain dari gerakan sosial adalah mempunyai citra kewirausahaan atau
komplotan atau company. Gerakan sosial dipandang sebagai tindakan kolektif
yang mempunyai tujuan, direkrut, dimobilisasi, dan dikendalikan oleh pimpinan
dan
ideologinya
(pemrakarsa
persekongkolan,
33
pemrakarsa
gerakan dan
sebagainya) sebagai upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, menurut teori
Tarrow gerakan sosial itu dibentuk dengan sengaja.
Tarrow membedakan secara khusus gerakan sosial dari partai politik dan
kelompok kepentingan. Arti pentingnya adalah gerakan sosial muncul sebagai
kelompok penekan, dengan diikuti sebuah tindakan kolektif yang bermusuhan
diantara berbagai kelompok sosial dan Negara, mengikuti dinamika dan diluar
kebijaksanaan negara. Bahwasanya gerakan sosial yang dilakukan oleh partai
maupun oleh masyarakat sama-sama telah mengalami redefinisi dari perjuangan
kelas ala Marx menjadi sebuah gerakan yang lebih luas dan beragam, dengan
kausal atau sebab akibat dari faktor-faktor yang lebih makrostruktural (struktur
yang luas), seperti siklus ekonomi, atau juga berpindahnya perubahan-perubahan
pada peluang politik, hal yang tentu saja bisa mengurangi “ongkos” atau aspekaspek di dalam tindakan kolektif (Tarrow,1994). Akan tetapi dari kesamaan aksi
yang dilakukan oleh partai politik maupun kelompok kepentingan, dari beberapa
hal tersebut bagi Tarrow gerakan sosial lebih terlihat sebagai kelompok-kelompok
yang bersifat tidak melembaga, anggota dari berbagai masyarakat yang tidak
terwakili, yang bergerak dalam alur interaksi dan berseberangan dengan elit atau
pihak oposisi.
Menurut Sidney Tarrow terdapat beberapa syarat utama agar suatu gerakan
disebut sebagai Aksi Sosial yaitu Pertama, suatu protes yang dilakukan oleh
massa dapat disebut sebagai gerakan bila didalamnya ada aktor-aktor yang
mengorganisasikan diri dan memobilisasi massa. Sebuah organisasi atau lebih
didalam sebuah aksi adalah salah satu tanda penting bahwa protes itu memang
34
terorganisir. Kondisi ini dimaksudkan untuk membedakan adanya suatu kumpulan
massa dengan kerumunan massa (crowd). Kedua, pentingnya pemahaman
mengenai gerakan yang terorganisir adalah mengenai asumsi tentang eksistensi
sang aktor social, yang mengelola segala bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan
(grievances), atau isu bersama, menjadi identitas dan solidaritas, bahkan ideologi.
Ini sangat penting karena sebuah gerakan butuh dukungan publik, setidaknya
kelompok-kelompok organisasi untuk bergabung dalam suatu protes. Aktor-aktor
yang bergerak untuk melawan selalu secara dinamis merancang tindakan
sedemikian rupa untuk menciptakan peluang politik bagi mereka ketika
berhadapan dengan lawan-lawannya. Ketiga, ada lawan-lawan yang setidaknya
merupakan bagian dari kelompok yang terorganisir pula. Lawan itu dapat berasal
dari Negara, militer-militer atau pemerintah, penguasa, pengusaha besar atau
perusahaan-perusahaan, baik lawan–lawan pada tingkat sektoral maupun nasional
adalah bagian dari sebuah kekuatan yang tidak hanya memiliki legitimasi
menggunakan alat-alat represi. Ada represi dalam bentuk sebuah produk
keputusan kebijakan penguasa yang dipandang tidak menguntungkan, tidak
menciptakan partisipasi mereka sementara hal itu berkaitan langsung dengan masa
depan mereka. Keempat, tindak protes selalu mencerminkan adanya sebuah siklus
proses perlawanan yang terorganisir (gagal maupun sukses) terhadap kekuasaan
selalu terjadi berulang-ulang.
Oleh Charles Tilly dalam bukunya ”Social Movement 1768-2004”
gerakan sosial didefinisikan “perlawanan yang terus-menerus atas nama kelompok
yang dirugikan (wronged population) terhadap pemegang kekuasaan (existing
35
holders of powers) melalui berbagai ragam bentuk protes publik, termasuk
tindakan-tindakan di luar jalur partisipasi politik formal yang diatur oleh hukum
dan perundangan, untuk menunjukkan bahwa kelompok tersebut solid,
berkomitmen, serta mewakili jumlah yang signifikan (Tilly,2007:hal 6).
Menurutnya lebih jauh gerakan sosial adalah sebagai sebuah tindakan/
performance yang berkelanjutan secara bertahap, adanya aksi dan kampanye yang
dilakukan oleh orang-orang biasa (sekelompok massa)
dan mereka membuat
tuntutan secara kolektif terhadap yang kelompok lain (target otoritas). Pada
intinya dapat dikatakan bahwa gerakan sosial disini adalah dapat dijadikan sebuah
kendaraan besar bagi orang-orang biasa untuk berpartisipasi dalam ruang publik
maupun politik. Hampir sama dengan pandangan Mac Adam (dalam
Davis,Gerald.F, et all, 2005 :hal 6) bahwasanya teori gerakan sosial memusatkan
perhatian pada mekanisme mobilisasi dan kesempatan untuk mencari ganti rugi.
Ganti rugi yang dimaksud adalah terkait motivasi pola rasionalitas (sesuai
rasionalitas dan kebutuhan) individu di dalam kelompok gerakan maupun
rasionalitas kelompok besarnya, sebab hal ini adalah kecenderungan dari
kelompok gerakan oleh massa yang telah mengerti manfaat dari mobilisasi massa.
Mc Carthy dan Zald (1977) menyebut bentuk-bentuk gerakan baru ini
sebagai “organisasi gerakan professional”, tetapi gerakan-gerakan ini seringkali
mencakup para aktivis amatir dan paruh waktu yang mempergunakan berbagai
ketrampilan organisasional dan sumber daya komunikasi yang tersedia kepada
orang-orang biasa yang malakukan tindakan kolektif. Kemampuan kelompok
seperti ini dalam mengatasi kekurangan sumber dayanya, dalam mempergunakan
36
bentuk-bentuk tindakan kolektif yang inovatif, dan dalam mendapatkan akses
kepada media, membedakannya dari bentuk-bentuk gerakan sosial lama
(Klandermans,1992).
Menurut Tilly bahwa ada 3 elemen penting yang melekat pada gerakan
sosial, yaitu adanya sebagai berikut:
Pertama, Kampanye yang merupakan sebuah pertahanan, organisir
kekuatan publik, dan membuat tuntutan kolektif pada target otoritas
Kedua, Seleksi gerakan sosial adalah kombinasi antara tokoh, pengurus,
dan pengikut aksi, dari partai politik maupun organisasi lain yang ikut
bergabung, untuk menciptakan perkumpulan/asosiasi yang bertujuan
khusus dalam bentuk koalisi, pertemuan umum, pertemuan formal, vigils
,publik meeting, demostrasi, penyampaian petisi, pernyataan ke dan dalam
media umum, dan selebaran
Ketiga, adanya penunjukan perwakilan yang berkomitmen sebagai tokoh,
partisipan publik dan juru bicara, untuk membuat aturan intern (di dalam)
organisasi
mereka
dari
(Kejahatan/
worthiness,
persatuan/unity,
total/numbers, and komitment/commitments) yang sesuai dengan aturan
mereka.
Ada yang menarik dari perhatian para peneliti gerakan, tidak semua
gerakan muncul dengan terbuka dan perlawanan secara terangan-terangan,
setidaknya itu yang muncul dari penelitian J.Scoot (1976). Kehadiran perlawan
oleh kelompok kelas bawah khusunya dikalangan petani dan pedesaan, umumnya
37
dilakukan dengan cara yang tidak frontal, meski demikan gerakan perlawanan ini
muncul dan diakui sebagai gerankan penekan kelompok otoritas.Dalam bukunya
“Moral Ekonomi Petani-Pergolakan dan Subtitensi di Asia Tenggara”, Scoot
meneruskan pandangan Pierre Gourou mengenai sangat pentingnya mengerti pola
pertanian Indocina, yang mana pertanian bukanlah satu usaha ekonomis yang
bertujuan bisnis dan mencari untung, melainkan satu pertanian subsitensi yang
semata-mata bertujuan menghasilkan pangan bagi mereka yang melakukannya
(1976:32).
Lewat penelitiannya di Malaysia, Jawa, Burma, Vietnam, Filipina, protes
berupa perlawanan yang lahir dari depresi akibat eksploitasi dan ketidakadilan
yang diterima oleh kelompok kelas tertentu, dengan kesadaran politik (warga
Negara) yang dipunyainya. Banyaknya peristiwa perlawanan petani adalah lebih
dikarenakan ketidaksediaan pejabat setempat untuk menghormati norma-norma
redistributif dari kehidupan desa (Scoot,1976:220). Tekanan terhadap rutin-rutin
subtitensi yang ditimbulkan oleh krisi pasar atau kegagalan panen ditejemahkan
ke dalam suatu pola kemarahan dan perlawanan yang sesuai dengan cara
penyampaiannya (Scoot,1976:309). James Scoot juga memberikan suatu definisi
perlawanan kolektif yang dilakukan tidak kemudian dilakukan dengan cara
terbuka, namun juga tertutup, tetapi tetap efektif dalam melakukan protes.
Biasanya perlawanan mereka tidak ditandai oleh konfrontasi besar-besaran dan
menentang, akan tetapi lebih oleh aksi menghindarkan diri secara diam-diam yang
juga tidak kurang besarnya dan seringkali jauh lebih efektif (Scoot,2000:43). Hal
38
inilah yang menjadikan gerakan perlawanan kaum petani atau kelompok kelas
bawah mampu mendesak dan diperhitungkan oleh kelas diatasnya.
Tahap-Tahap Gerakan Sosial dari segi pola perkembangannnya tidaklah
sama, namun semua gerakan sosial dimulai dari suatu keadaan krisis, lalu
mengalami perkembangan dalam berbagai tingkat, dan kemudian lenyap atau
melembaga. Menurut W.E Gettys, kebanyakan gerakan sosial melewati tahaptahap berikut:
1. Tahap kegelisahan. Dala tahap ini terjadi ketidakpuasan akibat pergolakan
sistem yang kurang baik. Tahap ini bisa meluas dan berlangsung selama
beberapa tahun.
2. Tahap kegusaran. Setelah perhatian dipusatkan pada kondisi-kondisi yang
menimbulkan kegelisahan, maka terhimpunlah sebuah kolektivitas.
Kegelisahan yang muncul dalam kolektivitas ini digerakkan oleh para
agitator atau pemimpin.
3. Tahap formalisasi. Dalam tahap ini, tidak tampak adanya struktur formal
yang terorganisir yang dilengkapi dengan hierarki petugas-petugas. Salah
satu tugas penting adalah mejelaskan ideologi gerakan kepada anggota
yang telah bersatu. Sebab-sebab terjadinya ketidakpuasan, rencana aksi
dan sasaran-sasaran gerakan.
4. Tahap pelembagaan. Jika geraka tersebut berhasil menarik banyak
pengikut dan dapat memenangkan dukungan publik, akhirnya akan terjadi
pelembagaan. Selama tahap ini,
39
ditetapkan suatu birokrasi dan
kepemimpinan yang profesional yang disiplin mengganti figur-figur
kharismatik sebelumnya
Dari beberapa perspektif dan penelitian gerakan sosial yang ada, jelas
tergambarkan bahwasanya gerakan memang tidak muncul secara tiba-tiba, namun
bisa juga melalui rentetan kejadian masalah atau sebab akibat yang lama sudah
didiamkan. Pada kondisi kekinian, gerakan muncul dengan banyak frem
kepentingan idiologis maupun politis, cara-cara yang ditempuh dalam melakukan
mobilisasi massa juga berbeda-beda, dengan kampanye melaui simbol-simbol dan
media yang lebih beragam. Maka untuk itu secara faktual gerakan sosial saat ini
mengutip pandangan Diani & Bison (2004) adalah “Sebentuk aksi kolektif dengan
orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu,
dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat, oleh aktor-aktor
yang diikat rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentukbentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama.” (dalam Darmawan, 2006:
hal 6)
2) Macam-macam Gerakan Sosial
Gerakan Sosial Lama
Seperti yang diketahui bahwasanya gerakan sudah lama muncul, bahkan
sejak revolusi industri di abad 18. Kejadian Revolusi Perancis tahun 1789, yang
menginspirasi Negara Inggris, Jerman, dan Italia untuk mempercepat terjadinya
“Revolusi Politik” dengan target utama membentuk Pemerintahan Rakyat dan
“Revolusi Sosial” dengan menekankan kepada penguasaan alat-alat produksi
40
seperti yang diramalkan oleh Marx9, merupakan sebuah history yang panjang
dalam timbulnya gerakan sosial di Eropa Barat. Rata-rata gerakan sosial lama
dipicu adanya ketidakpuasan kaum buruh yang ingin adanya perbaikan di hidup
(welfare right movement), gerakan itu umumnya mengarah pada eksistensi kelas.
Fenomena yang muncul akibat dari system penggajian yang buruk, eksploitasi
jam tenaga kerja (Laclau & Moufie,2008: 240). Selain itu di kawasan Negara
bagian dunia ketiga abad 20 beberapa perlawanan juga muncul sebagai bentuk
gerakan sosial lama, seperti adanya gagal panen, pajak dan sewa tanah yang
melangit, depresi, ketakutan dengan system baru (Scoot,J.,1981:191), dominasi
kelas elit pemilik tanah dan pengendalian kelas petani lemah (Paige, Jaffery.M,
2011:72), serangkaian itu semua adalah gejala ketidak puasan kelompok petani
atau kelas lemah, yang mana kemudian dengan dukungan organisasi mereka
berjuang secara kolektif.
Gerakan sosial baru
Gerakan sosial baru umumnya diinisiasi oleh aktor gerakan sosial tidak
berdasarkan kepada kepentingan kelas tertentu, tetapi berdasarkan kepentingan isu
yang dirasakan oleh semua kelas atau kelompok tertentu (Donatella D.Porta &
Mario Diani (1999) dalam Situmorang,2011:2). Gerakan ini berbasis non kelas,
seperti gerakan perempuan, mahasiswa dan pelajar, keagamaan, anti korupsi,
etnis, guru, guy dan lesbian, persamaan ras, kebebasan berorganisasi,
9
Revolusi Politik dipelopori kelompok kelas menengah ang tercerahkan, dan kelompok pemilik
modal yang berkeinginan menggeser otoritas para bangsawan dalam mengkontrol pemerintahan.
Mereka menginginkan pemerintah rakyat dengan pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan. Sedangkan
Revolusi Sosial dipelopori oleh buruh yang tidak kuat dengan penindasan dan berpendapat
revolusi adalah satu-satunya jalan untuk bisa keluar dari penindasan melalui pendekatan konflik
dan srutrukturalis (Situmorang,2013:hal 6).
41
demokratisasi, lingkungan hidup (Joe Fowaker (1995), Sidney Tarrow (1994),
dalam Situmorang,2011:2).
Gerakan sosial kontemporer (versi eropa & versi amerika)
Gerakan sosial kontemporer muncul di sekitar tahun 1960-1970an.
Menjadi sesuatu yang baru, serta melihatnya sebagai buah dari pergeseran dalam
tatanan masyarakat dan kebudayaan yang ada. Beberapa tokoh menyimpulkan
bahwa gerakan sosial kontemporer tersebut berkepentingan dengan pembentukan
identitas politik yang baru, yang tidak bisa diakomodasikan oleh system Negara
yang lama (Phongpaicit (2001) dalam Darmawan (ed) 2006:8). Di Eropa Barat
perkembangan gerakan sosial kontemporer lebih dipicu oleh adanya korporatisme
serikat buruh dan tradisi kuat dalam tatanan demokrasinya, sedangkan di Amerika
lebih banyak dipicu karena kemampuan dari kelompok-kelompok kepentingan
untuk secara terus-menerus memobilisasi sumber daya dan meraih representasi
politik dalam sistem pemerintahan. Perbedaanya peneliti Amerika Serikat lebih
cenderung melihat upaya keberhasilan dan kegagalan gerakan sosial sebagai
kajiannya, dibanding dengan pandangan dari kalangan ilmuwan Eropa Barat yang
masih dapat mengkaji kekuatan buruh yang significant sebagai konteks yang
mendasar lahirnya gerakan (Phongpaicit (2001) dalam Darmawan (ed) 2006:8) .
Pada perjalanannya gerakan sosial juga menjumpai dua hal yang berbeda,
disatu sisi gerakan sosial dianggab sebagai jembatan transformasi kepada tren
sebuah gaya hidup baru, bersifat sipil, nasional, memperjuangkan sebuah tujuan,
sehingga tindakan kolektif ini diterima dan dijadikan landasan dalam pembuatan
kebijakan yang lebih bisa diterima oleh seluruh lapisan kelompok masyarakat,
42
akan tetapi disatu sisi gerakan sosial yang telah menyebar dengan identik
kekerasan didalamnya,kesewenag-wenangan gerakan (seperti gerakan islam
fundamental, etnis,dll), menjadikan gerakan menjadi sebuah produk yang ironi.
Sedangkan Jenis-Jenis Gerakan Sosial Gerakan sosial memiliki beberapa
jenis, yaitu:
1. Gerakan perpindahan (migratory movement), yaitu arus perpindahan ke
suatu tempat yang baru. Individu-individu dalam jenis gerakan ini
umumnya tidak puas dengan keadaan sekarang dan bermigrasi dengan
harapan memperoleh masa depan lebih baik
2. Gerakan ekspresif (expresive movement),yaitu tindakan penduduk untuk
mengubah sikap mereka sendiri dan bukan mengubah masyarakat.
Individu-individu dalam jenis gerakan ini sebenarnya hanya merubah
persepsi mereka terhadap lingkungan luar yang kurang menyenangkan dari
pada mengubah kondisi luar itu sendiri
3. Gerakan utopia (utopian movement), yaitu gerakan yang bertujuan
menciptakan lingkungan sosial ideal yang dihuni atau upaya menciptakan
masyarakat sejahtera yang bersekala kecil.
4. Gerakan reformasi (reform movement), yaitu gerakan yang berupaya
memperbaiki beberapa kepincangan atau aspek tertentu dalam masyarakat
tanpa memperbarui secara keseluruhan.
5. Gerakan revolusioner (revolutionary movement), yaitu gerakan sosial yang
melibatkan masyarakat secara tepat dan drastis dengan tujuan mengganti
sistem yang ada dengan sistem baru.
43
6. Gerakan regresif (reaksioner) yaitu gerakan yang berusaha untuk
mengembalikan keadaan kepada kedudukan sebelumnya. Para individu
yang begabung dalam gerakan ini adalah orang- orang yang kecewa
terhadap kecenderungan sosial yang sedang berjalan..
7. Gerakan perlawanan (resistance movement) yaitu gerakan yang berusaha
melawan perubahan sosial tertentu.
8. Gerakan progresif (progressive movement) yaitu gerakan yang bertujuan
memperbaiki masyarakat dengan cara mengadakan perubahan-perubahan
positif pada lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi.
9. Gerakan konservatif (conservative movement) yaitu gerakan yang berusaha
menjaga agar
masyarakat
tidak berubah.
Individu-individu
yang
mendukung gerakan ini menganggap bahwa kedudukan masyarakat pada
saat sekarang sebagai kedudukan yang paling menyenangkan
3) Pendekatan utama
a) New Social Movement (NSM) ala Touraine dan Laclau
Pendekatan ini untuk memahami asal-muasal timbulnya suatu gerakan
atau “the „why‟ question”. Pendekatan ini lebih menekankan pada pemahaman
sisi kultural gerakan sosial serta memandangnya sebagai suatu perjuangan
perebutan kendali atas produksi makna, serta pembentukan suatu identitas kolektif
baru (Canel (1997) dalam Darmawan (ed), 2006: hal 8). Lebih lagi NSM lebih
44
pada sudut pandang menggugat reduksionalisme Marx yang menempatkan logika
dan kelas sebagai prima causa dan motor gerakan sosial10.
b) Resource Mobilization Theory (RMT) Tilly dan Zald
Pendekatan ini dipergunakan untuk memahami dampak dan capaian
gerakan atau “the „how‟ question”. RMT lebih menekankan pemahaman terhadap
sisi politik dari gerakan sosial serta memandangnya sebagai konflik atas alokasi
sumber daya dalam pasar politik (political market). Berbeda dengan NSM yang
menolak pandangan Marxis, RMT bertolak dari sudut pandang yang menolak cara
pandang “Teori Kolektif” Durkheim dan kemapanan dari “Teori Fungsional”,
yang telah memandang gerakan sosial sebagai reaksi anomi, bahkan bentuk yang
irasional dari sebuah perubahan sosial yang pesat di masyarakat. Lewat sudut
pandangnya, RMT lebih menempatkan aktor-aktor yang rasional dengan strategistrateginya, serta instrument-instrument yang memadai di tingkat kelembagaan
politik, hal yang digunakan untuk menggantikan peran segerombolan yang
dianggap irasional dalam aksi gerakan sosial.
Ada dua kerangka model analisa yang dikembangkan oleh pendekatan
RMT, pertama adalah Political Interactive Model dimana model ini lebih
menekankan pentingnya perubahan struktur kesempatan bagi aksi kolektif,
10
Gugatan ini terletak pada tuduhan Marx atas terjadinya gerakan revolusi dari sector kekuataan
kelas, dimana kelas buruh (proletar) melakukan tuntutan kepada kaum borjois sebagai
penyelenggara kekuatan kapitalisme. Bagi NSM berbeda, secara umum pendekatan ini mengaitkan
kemunculan gerakan pada kegagalan system demokrasi di dalam tatanan sosial pascamodernitas
(post-modern society) untuk menjamin kebebasan individu, kesetaraan dan persaudaraan. Menurut
pandangan NSM , demokrasi tengah mengalami kemerosotan ke-arah Negara otoarianteknokaratis. Negara berada dalam cengkraman pasar, sehingga warga Negara mengalami tekanan,
baik dari teknokratisme Negara maupun dari kekuatan pasar. Kelas pekerja perlahan musnah dan
digantikan oleh barisan konsumen yang mengalami manipulasi oleh kekuatan pasar (disadur dari
tulisan Iwan Gardono Sujatmiko di buku (Darmawan.ed) “Gerakan Sosial”, Jakarta, LP3ES,
(2006: hal 9), tentang pandangan Touraine dan Habermas terkait “Theories of Social Movement “
45
keberadaa jejaring, serta kaitan horizontal yang telah terbangun dengan kelompok
tertindas (aggrieved group) sebagai faktor penentu keberhasilan gerakan sosial.
Model ini dikembangkan oleh Tilly, Gamson, Oberschall dan McAdam. Kedua,
adalah Organizational-Entrepeneurial Model yang memandang bahwasanya
dinamika organisasional, kepemimpinan, dan pengelolaan sumberdaya merupakan
faktor yang lebih significant dalam menentukan keberhasilan gerakan sosial.
Model
ini
dikembangkan
oleh
McCarthy
dan
Zald
(Sujatmiko,I.G.,Darmawan(ed),2006,hal 11- 12).
McCarthy membedakan antara “Gerakan Sosial” dengan “Organisasi
Gerakan Sosial” (Social Movement Organization) , kemudian ada “industri
gerakan sosial” (Social Industry Movement) dan “sektor gerakan sosial” (Social
Sector Movement). Bagi McCarthy organisasi gerakan sosial merupakan
organisasi yang sangat kompleks, formal, yang meng-idektik-kan tujuannya sesuai
dengan tujuan dari gerakan sosial yang dipilihnya, dan berusaha memperjuangkan
tujuan tersebut. Sebagai agregat untuk mencapai tujuan tersebut, maka organisasi
gerakan didalamnya akan membentuk industri gerakan sosial sebagai bagian dari
membentuk dan memproduksi gagasan-gagasan yang sesuai dengan tujuan dari
organisasi gerakan tersebut, hingga kemudian secara agregat jika industri itu
sudah kuat dalam membingkai gerakan, maka akan besar menjadi sektor gerakan
sosial, dimana dalam sektor ini gerakan mulai terpisah sesuai dengan sasarannya,
semisal lingkungan, HAM, feminism, dll11.
11
Gambaran ini lebih mudahnya oleh peneliti di pahami jika dengan kasus mata air sumber
gemulo ini, di dalam gerakan sosial masyarakat tersebut ada organisasi gerakan sosial (FMPMA
organisasi gerakan utamanya, yang didalamnya ada WaLHI,LBH Surabaya,MCW, sebagai ornop).
Masing-masing ornop memegang sudut pandang sesuai dengan background gerakan mereka,
46
Dari definisi yang ada, gerakan sosial seolah menjadi tumpuan dalam
setiap perubahan di masyarakat, akan tetapi yang harus dicermati bersama
bahwasanya gerakan sosial tidak selalu merupakan pemicu perubahan sosial
dalam masyarakat, namun juga ada yang untuk mempertahankan situasi kondisi
atau keadaan yang sudah ada atau mapan. Dengan begitu peneliti dalam hal ini
memahami konsep gerakan adalah terkait dengan suatu kolektivitas yang
terorganisir dan mempunyai arah tujuan jelas lewat aktivitas protesnya.
Meski demikian untuk keberhasilanya, gerakan sosial secara efektif harus
mampu menguasai kekuatan lain di dalam struktur sosial dan jaringan politik,
serta menentukan tempo gerakan dengan benar. Biasanya disinilah NGO atau
LSM melatih individu massa atau aktor gerakan dengan advokasi yang massif.
Kemampuan menjaga proses mobilisasi NGO/LSM untuk keberhasilan gerakan
sosial sangat di tuntut dalam hal ini, bukan saja karena mereka adalah organisasi
yang sudah mapan, namun kebanyakan dari mereka adalah pemilik jaringan,
sehingga tak jarang dikalangan akademisi bahkan pemerintah, NGO dikenal
sebagai lokomotif civil society. Terpenting dari ini semua, dengan hadirnya NGO
ini gerakan masyarakat akan lebih mempunyai langkah-langkah yang significant
dan mendapat legitimasi (legitimate) yang kuat serta mempunyai kredibilitas
(credibility) sehingga gerakan sosial tidak bisa dipandang remeh. Sebagaimana
konsep gerakan sosial tersebut, maka peneliti akan menggunakan definisi
disinilah industri gerakan mulai bekerja dengan mesin mobilisasi yang menyesuaikan tujuan besar
yaitu penyelamatan sumber mata air dan menyatukan asumsi pihak Hotel The Rayja sebagai
common enemy atau musuh bersama. Akan tetapi, jika kemudian dalam proses organisasi gerakan
tersebut, yang mulai bergerak dan melibatkan industri gerakan sosial yang kompleks, secara tidak
langsung akan menggiring pula pada potensi isu dan sasaran yang semakin kuat dan terspesifikasi
pada wilayah tujuan dan isunya, WALHI dengan isu lingkungan, LBH Surabaya pada isu Hukum
dan HAM, MCW pada wilayah korupsinya, di isitulah akan terjadi sektor gerakan sosial.
47
operasional sebagaimana antara lain adalah Struktur Mobilisasi, Protes Kolektif,
NGO/LSM (Ornop bagian dari Civil Society) sebagai konsep dasar penelitian.
4) Struktur Mobilisasi
Struktur mobilisasi dalam penjelasan A. W. Situmorang dijabarkan
menjadi sejumlah sub konsep seperti organisasi gerakan formal, aliansi-aliansi
non gerakan formal, jaringan kekerabatan etnis dan pertemanan, sumberdaya
keuangan dan konstituen (2013:64). Konsep itu memberikan pengertian
bahwasanya bisa didapatkan beberapa variable terkait struktur mobilisasi
secara operasional antara lain adalah pertama, aktor-aktor yang menjadi motor
proses kolektif, kedua adalah bentuk-bentuk organisasi yang terlibat, ketiga
adalah jumlah partisipan yang terlibat. Setidaknya dalam kondisi ini, struktur
mobilisasi bisa berbentuk
formal yaitu ada kepengurusan dan bagian-
bagiannya, yang bahkan terindikasi secara baik sebagai bentuk organisasi
massa. Namun juga bisa berbentuk jaringan informal dimana hanya menjadi
akses untuk sebuah agenda perlawanan, atau bahkan yang merupakan
kombinasi dari sebuah organisasi formal dan jaringan informal. Biasanya
struktur mobilisasi akan memasukkan beberapa jumlah organisasi formal yang
nantinya menjadi kekuatan jaringannya. Organisasi formal yang dimaksud
disini adalah yang memiliki hukum atau aturan organisasi yang baku, memiliki
struktur kepengurusan dan mekanisme pergantian kepengurusan, serta
memiliki program tahunan yang dilaksanakan oleh pengurusnya.
48
Sebagai kekuatannya, kemudian organisasi formal yang menjadi struktur
mobilisasi adalah gabungan dengan beberapa orang atau individu yang itu
mempunyai jaringan dan mampu menguasai massa dalam persentase yang jauh
lebih besar. Pada tingkatan seperti inilah kekuatan struktur mobilisasi menjadi
kelompok yang sangat terorganisir, bahkan tersistematis dan massif dalam
menggalang kekuatan massanya. Di wilayah kajian ini, akan ditemui kelompok
NGO nasional dan sekup kecil /kota, seperti LBH Surabaya, MCW, Poldev
Institute, WALHI, dan juga kelompok jaringan mahasiswa, masyarakat
pemakai jasa HIPAM di 6 desa, dan sekitarnya, Partai Politik, Kalangan
birokrat, dll.
Kesempatan politik yang dipunyai oleh masing-masing jaringan juga ikut
andil dalam membentuk model strategi yang akan digunakan gerakan FMPMA.
Oleh karenanya, struktur ini mampu menjadi mesin yang relevan untuk
membuat protes perlawanan. Struktur ini sangat berkaitan dengan loyalitas
sebagai penduduk satu kampung, kekerabatan, ketergantungan akan sumber air
yang sama, perhatian akan pentingnya sebuah tatanan yang baik untuk
kelestarian alam, semua menjadi kekuatan pendorong emosi di gerakan protes
masyarakat Batu ini.
Kondisi ini memang tak bisa dipungkiri, sebab dengan struktur
mobilisasi kekuatan yang ada dalam sebuah gerakan mampu mendorong pada
suatu tatanan perubahan sosial. Sekalipun begitu, struktur mobilisasi
terpatahkan apabila kemudian jika didalamnya ternyata kelompok yang ada,
dengan berbagai kepentingan latar belakang hanya menjalankan aksi sesuai
49
kehendak dan atau hanya saling menunggangi satu sama lainnya. Dengan
kondisi inilah konsep Struktur Mobilisasi menjadi salah satu konsep penting
didalam
penelitian
ini.
Sesuai
dengan
keberagaman
karakter
dan
kepentingannya, kelompok yang tergabung dalam struktur mobilisasi FMPMA
mempunyai peran penting untuk memenuhi kebutuhan perlawanan masyarakat
6 desa yang sedang mempertahankan Sumber Mata Air Gemulo Batu.
5) Protes kolektif
Protes kolektif didefinisikan oleh Dieter Ructh (1998) sebagai bentuk
aktifitas kelompok yang direncanakan dan dilaksanakan oleh aktor-aktor non
Negara untuk menyatakan perbedaan dan ketidak kesepakatan atas sesuatu
secara terbuka di publik (Situmorang, 2013:11). Lebih jauh Ruct dalam buku
Situmorang (2013:12) juga menjelaskan perbedaannya dengan gerakan
lingkungan hidup yang oleh Rutch lebih di definisikan sebagai segala bentuk
aktivitas kelompok yang direncanakan dan berorientasi pada perubahan
struktur di masyarakat dan gerakan didasarkan atas sebuah jaringan kelompok
dan organisasi yang luas dan antar sesama anggota jaringan berbagai
kepercayaan dan cita-cita yang diperjuangkan. Artinya gerakan bersifat lebih
luas, besar cakupannya dan mempunyai peran untuk sebuah perubahan
struktur yang dianggap kaku atau tidak berpihak dan menyalahi terhadap
sebuah kelestarian lingkungan hidup, sedangkan protes kolektif tidak
berorientasi kepada perubahan struktur tetapi lebih cenderung kepada
penyelesaian kasus-kasus lingkungan hidup saja.
50
Bukan itu saja, protes kolektif juga berjalan dengan menyalurkan
aspirasi ketidakkesepakatannya melalui media cetak dan elektroknik atau
media lainnya yang dikategorikan sebagai salah satu ruang protes, sebagai
implikasinya protes kolektif juga tidak selalu kemudian identik dengan
kehadiran fisik para demonstran di jalanan (seperti kasus sejuta koin untuk
Prita (tahun 2009-2012) atau dukungan sejuta sandal untuk terdakwa anak All
( di tahun 2012 ), mereka menggunakan media elektronik sebagai ruang aksi
untuk melakukan protes dan menarik dukungan massa dari berbagai lintas
kelas, kelompok kepentingan, golongan, berbeda dengan gerakan sosial yang
identik memakai taktik aksi turun jalan secara langsung, bahkan tidak segansegan melakukan hal-hal perlawanan yang bersifat keras.
Peristiwa protes ini bisa ditilik dari kasus Protes Para Petani Irlandia
pada tahun 1966, dimana para petani dalam peristiwa tersebut terorganisir
dalam formasi massa yang disiplin, tapi aktifitas mereka tidak terkoordinir
oleh organisasi legal administratif manapun (Paige, 2011:166). Tuntutan
petani terbatas pada pengontrolan pasar daging, tidak lebih dari itu. Tidak ada
tuntutan yang menginginkan revolusioner atau ingin mengubah situasi struktur
birokrasi yang besar. Target mereka adalah menuntut kebijakan pemerintah
Nasional dengan cara protes berdefile (berarak-arakan, pawai,parade), dan
gerakan protes kolektif mereka berhasil.
Pada contohnya kasus di Indonesia keberhasilan protes sosial sebagai
bentuk dari perlawanan masyarakat adalah protes kolektif masyarakat Toba
Batak yang menentang keberadaan PT. Inti Indrayon Utama di Sosor Ladang,
51
Porsea Sumatra Utara, yang dianggab oleh masyarakat sebagai penyebab
utama degradasi lingkungan hidup dan sosial di Porsea. Protes kolektif ini
hanya menuntut untuk ditutupnya PT. Indrayon dan berhasil dengan
ditutupnya PT. Indrayon di tahun 1999 lalu.
Meski demikian, protes kolektif yang menentang sebuah ketidakadilan
lingkungan
hidup
sebenarnya
mulai
tumbuh
pada
tahun
1980-an
(Situmorang,1999), namun masih bersifat terbatas, hanya terjadi di beberapa
tempat, melibatkan sejumlah kecil massa, bentuk perlawanan yang tidak
frontal, melibatkan beberapa jaringan organisasi lingkungan hidup dan lebih
berorientasi pada penyelesaian kasus, berbeda dengan protes sosial saat ini
yang lebih terbuka, seluruh masyarakat luas bisa melihat kejadian dengan
bantuan media elektronik maupun tulis, bentuk perlawanan yang semakin
berani, inovatif dan frontal, dengan dukungan jaringan LSM serta kelompok
kelompok masyarakat yang semakin matang dalam konsep perlawanannya
untuk meruntuhkan sebuah tata ruang kota baru yang dianggab mereka kurang
adil dan dapat merusak kelestarian lingkungan hidup yang sudah lama mereka
jaga.
Protes kolektif yang terjadi di masyarakat Kota Batu, dalam
memperjuangkan aspirasinya untuk menjaga dan melestarikan Sumber Mata
Air Gemulo adalah salah satu bentuk protes sosial. Mereka hanya
menginginkan pemerintah segera mencabut ijin pembangunan Hotel The
Rayja dan segera membuat aturan perundangan yang berkaitan dengan tanah
konservasi lingkungan hidup. Sehingga dengan begitu sumbermata air
52
Gemulo, dan sumber mata air di Kota Batu akan terlindungi dari
pembangunan yang dapat merusak habiat di tanah konservasi.
b) Civil Society
Konsep masyarakat sipil paling tua berkembang pada masa Yunani Kuno
yang merujuk kepada pendapat Aristoteles. Menurut Aristoteles, civil society
(politike koinonia) adalah komunitas/ masyarakat politik/Negara. Pada saat itu
masyarakat sipil identik dengan Negara yang didalamnya ada warga Negara yang
mampu mengurus diri mereka sendiri. Otonomi disini dimaksudkan bahwa civil
society terlepas dari pengaruh dan kebergantungan dari negara baik dibidang
ekonomi, politik, maupun sosial. Selain itu, masyarakat juga memiliki akses
terhadap lembaga-lembaga negara. Munculnya istilah Civil Society disebabkan
karena terjadinya dominasi dan ototarian dalam praktik kekuasaan oleh penguasa
atau rezim yang berkuasa di negara-negara Barat pada waktu itu.
Civil society
dalam terminologi Nurcholis Madjid, diistilahkan dengan
Masyarakat Madani, yakni terkait masyarakat yang memiliki ciri-ciri antara lain
egalitarianism, menghargai prestasi, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan,
toleransi dan plurarisme, serta musyawarah. Sedangkan dalam terminologi
Muhammad A.S. Hikam civil society sebagai wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dengan kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, kemandirian
yang tinggi berhadapan dengan Negara dan keterikatan dengan norma atau nilai
hukum yang diikuti oleh warganya (Hidayatullah, 2011).
International Crisis Group (ICG) menyampaikan empat tugas yang biasa di
berikan kepada civil society. Pertama adalah untuk melindungi dan membela HAk
53
Azasi Manusia (HAM). Kedua adalah memperbaiki fungsi Negara atau
mengkontrol Negara. Ketiga adalah memberdayakan rakyat atau menjamin
keikutsertaan rakyat dalam proses pemerintahan. Keempat adalah untuk
mendorong pemerataan ekonomi supaya perbedaan yang kaya dan yang miskin
tidak terlalu jauh. Masyarakat sipil bukanlah institusi yang berorientasi pada
kekuasaan dan bertujuan maksimalisasi kapital. Kelompok ini lahir dari rahim
kesadaran untuk memperjuangkan nilai-nilai universersal manusia yang tidak
melihat perbedaan bangsa, status sosial, ekonomi, ideology, agama, maupun
identitas promodial
berwarganegaraan
lainnya (dalam Hidayatullah 2011:173).
(citizenship)
masyarakatnya
timbul
karena
Kehidupan
kesadaran,
keinginan dan kebutuhan masyarakat sendiri. Negara hanya mengupayakan
menjalankan fungsi fasilitator, koordinator, dan mediator dalam membantu
pemenuhan hak-hak masyarakat sebagaimana berkehidupan berbangsa dan
bernegara.
c) NGO (Non Governmental Organization)
Di sebuah gerakan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tak
jarang ikut turut campur untuk mengadvokasi. Sebagai lembaga yang hampir ada
di setiap kota, mereka mulai merebak sebagai ciri identitas sebuah tatanan
Demokrasi. Begitupun dengan kondisi di Kota Batu. LSM atau NGO (non
government organization) sering kali mengambil peran penyeimbang atau yang
memposisikan dirinya untuk jembatan penghubung antara masyarakat dan Negara.
Disinilah NGO bisa disebut sebagai salah satu dari intermediary actor. Secara
54
definitive peran, mereka tersebut tak jarang berbentuk advokasi kepada
masyarakat.
Program kerja pemerintah yang kadang berbenturan dengan kebutuhan
masyarakat, bahkan jika struktur Negara nampak mendominasi kekuasaan sebagai
dinasti
yang
otoriter,
menjadikan
kelompok
ini
semakin
dibutuhkan
keberadaannya oleh masyarakat. Sebab, tak jarang fungsi peran pemerintah yang
lemah, khususnya saat mengidentifikasi masalah-masalah sosial12 serta dalam
memenuhi kebutuhan masyarakatnya, pada kondisi inilah sering kemudian peran
transformasi tersebut diambil alih oleh kelompok NGO ataupun kelompok
masyarakat ini untuk dibantu pelaksanaannya. Bahkan mereka dapat menjadi
media control dan evaluasi kinerja pemerintahan yang cukup efektif. Lebih jauh
adalah dalam kaitannya ikut memperjuangkan hak-hak rakyat yang terkadang
dilupakan oleh pemerintah. sehingga tak jarang pula ide dan kritik mereka
berbenturan dengan program kebijakan pemerintah.
Pada tingkat internasional, untuk mengakomodasi keterlibatan NGO ini,
PBB secara khusus memfasilitasi berdirinya satu lembaga penghubung yaitu UN
Non Government Liaison Service (NGLS) pada tahun 1975 (Saidi,Z.,1995:10).
PBB dalam memposisikan NGLS ini sebagai penghubung NGO dengan system
12
Memakai kacamata Weinberg (1981) di dalam buku “Masalah Sosial” Soetomo (2013 :7-8)
masalah sosial diartikan sebagai situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan
nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkannya
suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Terlebih secara umumnya permasalahan sosial
adalah terkait dengan ketidak mampuan pemerintah dalam melakukan identifikasi kondisi sosial
masyarakat sekitar (Soetomo,2013:9). Dalam menentukan dimensi permasalahan sosial dan
komponen inilah yang harus diperbaiki, bagi peneliti pemerintah seringkali gagal mempertemukan
kebijakan dengan kebutuhan masyarakatnya, sehingga seolah membuat persoalan baru. Kesan
menyepelekan suara rakyat akhirnya muncul, yang padahal itu juga belum tentu dengan mudah
pemerintah dapat menyelesaikannya. Padahal jelas bahwa persoalan sosial seharusnya, dihadapi
dengan langkah kebijakan yang lebih adil dan solutif, serta dengan cara yang baik pula dalam
penyelesaiannya.
55
multirateral PBB. Peran utamanya adalah membantu NGO dalam kegiatankegiatannya khususnya pendidikan, advokasi, analisis kebijakan, dan prosesproses negoisasi yang mempengaruhi hubungan Negara maju dan Negara sedang
berkembang, dengan dibiayai bersama oleh Badan-Badan maupun Program dari
PBB.
Menilik keberadaan dari organisasi diluar pemerintah, jauh sebelumnya
Alexis De Tocqueville (1805-1859) pengamat sosial berkebangsaan Perancis,
melihat adanya kehadiran kelompok perkumpulan dan perhimpunan sukarela
(voluntary association) di kunjungannya ke Amerika tahun 1830-an. Mereka juga
menyelenggarakan kepentingan mereka sendiri, dengan melakukan kegiatan
inovatif, perkumpulan dan perhimpunan itu juga bertindak sebagai lembaga
pengimbang terhadap kekuatan Negara (as a counter-weights to state power).
Menurut Tocqueville tiga peranan yang dijalankan oleh organisasi tersebut (yang
seolah menjadi sokoguru dari bentuk civil society di era demokrasi), yang
kemudian konsepnya sekarang ini dikenal sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM)13:
1) Menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang
jika tidak dilakukan pasti tidak akan terdengar oleh pemerintah atau
kalangan masyarakat umumnya
2) Menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya masyarakat
daripada mengantungkan diri kepada prakarsa Negara
13
M. Dawam Raharjo dalam pengantar Buku “Secangkir Kopi Max Havelar” (1995) berjudul
“Kelas Menengah, Masyarakat Sipil, dan LSM,” hal xvii ,Jakarta, Gramedia
56
3) Menciptakan forum pendidikan kewarganegaraan, menarik
masyarakat untuk membentuk usaha bersama (co-operatif ventures)
dan dengan demikian mencairkan sikap menyendiri (isolative) serta
membangkitkan tanggung jawab sosial yang lebih luas
Dari situ Tocqueville melihat ada prasyarat dari latar belakangnya
kemunculan Ornop yaitu pertama kesukarelaan, kedua keswasembadaan, ketiga
keswadayaan, keempat kemandirian tinggi berhadapan dengan Negara, kelima
keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh
negaranya.
Sedangkan meminjam pandangan Noelen Heyzer setidaknya ada tiga
peran penting yang dimainkan oleh kalangan kelompok ini. Beberapa peran NGO
diidentifikasi dalam Gaffar (2006:203) :
a) mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat “grasroot”, yang
b)
c)
sangat esensial, dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
Meningkatkan pengaruh politik secara meluas, melalui jaringan kerjasama, baik
dalam suatu Negara ataupun dengan lembaga-lembaga international lainnya
Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan.
Sedangkan oleh Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna dalam Gaffar
(2006:204) lebih menekankan peran pada dimensi politik antara lain adalah
sebagai:
1)
2)
3)
4)
Katalisasi perubahan sistem, dilakukan dengan jalan mengangkat sejumlah
masalah yang penting dalam masyarakat, membentuk sebuah kesadaran global,
melakuka advokasi demi perubahan kebijaksanaan Negara, mengembangkan
kemauan politik rakyat, dan mengadakan eksperimen yang mendorong inisiatif
masyarakat.
Memonitor pelaksanaan system dan cara penyelenggaraan Negara, bahkan bila
perlu ikut melakukan protes.
Memfasilitasi rekonsiliasi warga Negara dengan Lembaga Peradilan. Muncul
secara aktif untuk melakukan pembelaan bagi korban ketidakadilan.
Implementasi program pelayanan, yang mana NGO menempatkan diri sebagai
lembaga yang mewujudkan sejumlah program dalam masyarakat
57
Kehadiran NGO atau lebih dikenal dengan LSM sering lebih terlihat
perannya sebagai alat transformasi sosial, dimana peran tersebut ikut menciptakan
perubahan sosial di dunia menjadi lebih adil, baik di tingkat lokal maupun global,
seperti yang dijelaskan dalam buku Mansour Fakih “Masyarakat Sipil Untuk
Transformasi Sosial- Pergolakan Idiologi LSM Indonesia”. Oleh karena itulah
mereka terlihat sebagai organisasi yang juga melakukan kegiatan-kegiatan di
wilayah pengembangan masyarakat. Setidaknya kegiatan tersebut tergambarkan
seperti berikut :
“Jika dalam masa 1970-an kebanyakan kegiatan LSM lebih difokuskan
bagaimana bekerja dengan rakyat di tingkat akar rumput dengan melakukan
pengembangan masyarakat (community development), maka dalam tahun
1980an bentuk perjuangannya menjadi lebih beragam, dari perjuangan lokal
hingga jenis advokasi nasional maupun internasional. Sejumlah aktivis LSM
bahkan mulai mengkhususkan diri melakukan kerja advokasi publik untuk
perubahan kebijakan yang dalam manifestasinya dilakukan dengan membuat
pelbagai macam statement politik, petisi, lobbi, protes, dan demonstrasi” (
M.Fakih,2004:5-6)
NGO dan gerakan sosial seakaan tak pernah lepas dan seolah menjadi satu
kesatuan. Disetiap gerakan yang ada, hampir selalu ditemui NGO yang itu ikut
memfasilitasi gerakan yang sedang dilakukan oleh masyarakat. Dengan kata lain,
bahwasanya NGO bisa menjadi martil tersendiri untuk pemerintah yang
sewenang-wenang dan menjadi kekuatan yang massif jika masuk dalam sebuah
tatanan gerakan sosial. Banyaknya permasalahan yang dijumpai di sekitar kita,
juga seolah ikut menyuburkan keberadaan NGO di Negara ini. Oleh karenanya,
kehadiran NGO juga bisa menjadi angin segar pembaruan, namun disatu sisi juga
menjadi petanda bahwasanya masih ada banyak hal yang perlu dicarikan solusi
58
secara baik. Itulah karenanya peran massif LSM ini tak jarang juga ikut terbentuk
dengan alasan kekuatan struktur negara yang sulit ditembus oleh aspirasi
masyarakat yang ada di dalam kuasa pemerintahan itu.
Seperti halnya di Negara ini, pemerintah Orde Baru yang otoriter juga
secara tidak langsung membentuk adanya kelahiran kelompok-kelompok
gressroot yang menginginkan adanya pemerataan pembanganan tanpa mengharap
campur tangan Negara lagi. Kondisi itu kemudian menyadarkan kepada ornop ini
untuk mencapai tujuannya dengan cara mencari bantuan atau penyokong dana dari
berbagai donator. Sehingga yang terjadi sangat mencolok adalah ketika ORBa
terguling dan lahir Orde Reformasi, dimana dengan system demokrasi yang
memudahkan akses siapa saja membuat ornop dengan mudah melakukan
maneuver pendampingan masyarakat melalui masing-masing program yang
mereka buat.
Kran pemerintah yang saat itu terbuka dengan sumber pendanaan dari
dalam negeri sendiri maupun bantuan dana dari luar negeri untuk pembangunan
yang merata, mulai membuat LSM mulai berebut dana untuk melakukan kegiatan
yang dibutuhkan masyarakat. Walaupun kemudian hal ini menjadi koreksi
tersendiri, seperti yang diungkapkan oleh Patra M. Zen (Ketua Badan Pengurus
Yayasan LBH Jakarta (2008), ikhwal bahwasanya setelah pendanaan keluar
nampak persaingan secara tidak langsung antar LSM dalam berebut dana atau
founding tersebut, yang kemudian membuat LSM ini bertahan dengan
pembenaran masing-masing, sehingga muncul anggapan apatis masyarakat
59
terhadap LSM, karena LSM diangap memanfaatkan masyarakat untuk
mendapatkan Proyek dari penyandang dana (Lutfi.J.K.,dkk,2008:21).
Pada kondisi ini memang secara tidak langsung memancing potensi LSM
untuk dijadikan alat kuat oleh founding-nya. Bahkan juga tak jarang muncul LSM
yang itu adalah bentukan pengusaha, politisi, LSM yang terlahir untuk sebuah
proyek kepentingan pribadi atau golongan mereka sendiri, yang itu membutuhkan
keterlibatan dari masyarakat. Wacana ini pun berakhir dengan tuduhan yang
sebenarnya sudah jauh hari diramalkan sebelum keruntuhan Orba yaitu “LSM
abal-abal”, “LSM kagetan” atau bahkan LSM yang hanya hidup dengan
memanfaatkan donatur dana untuk aktivitasnya (Saidi,Zaim,1995:11).
Konsep NGO sering dikenal sebagai organisasi yang dibentuk oleh
kalangan bersifat mandiri. Disebut mandiri sebab tidak menggantungkan diri pada
pemerintah atau Negara, terutama dalam dukungan finansial dan sarana maupun
prasarana (Gaffar,2006:200).
Kendati demikian menurut Heyker, Ryker and
Quizon bukan berarti kemudian NGO tersebut terlepas dari pemerintah, karena tak
jarang pemerintah juga memberikan fasilitas penopang, misalnya dengan adanya
pembebasan pajak untuk aktivitas dan asset yang dimiliki oleh NGO (Gaffar
2006:201).
Sebagai organisasi yang terstruktur, peranan mereka menjadi penting
dalam sebuah penaataan masyarakat yang lebih baik. Kendati demikian bukan
berarti peranan mereka mulus diperjalanannya dalam melakukan sebuah gagasan
demokratisasi, transformasi sosial, dan keadilan sosial, sebab tak jarang mereka
60
akan berbenturan dengan lingkungan politik, ekonomi, kultur, dan aspek-aspek
lainnya yang memandang skeptis dan curiga dengan kehadiran mereka. Disisi lain
karena keterlibatan mereka yang tak jarang mengarahkan untuk masuk ranah
politik inilah yang tak jarang menjadi permasalahan tersendiri saat kehadiran
mereka di tengah-tengah problematik masyarakat, dan tak jarang aktivis LSM
juga terkena tuduhan melakukan pelanggaran karena aktivitasnya yang terlalu
keras bersuara
Seperti halnya organisasi LSM yang berada di konflik Sumber Mata Air
Gemulo Batu ini, ada WALHI, LBH Surabaya, MCW, dll, keberadaan mereka
diterima dan dibutuhkan. Masyarakat tetap melakukan mobilisasi massa sendiri
dengan membentuk FMPMA, dimana disini mereka berharap organisasi LSM
juga terlibat dalam pergerakan mereka, menjadi bagian dari kekuatan yang mereka
bentuk. Kerjasama LSM dengan FMPMA sebagai organisasi khusus gerakan lokal
Sumber gemulo adalah bentuk entitas keberadaan civil society.
Seperti diketahui bersama Ornop (NGO/LSM) bukan merupakan satusatunya penjelmaan civil society14, namun lebih pada salah satu dari organisasi
civil society, yang berdampingan dengan organisasi massa non pemerintahan
lainnya. Dimana bisa dikatakan bahwasanya organisasi massa bisa dalam bentuk
ormas, partai politik, profesi, paguyuban, limited group discussion, dll. Akan
14
Syarat adanya civil society menurut Habermas sebagai model Demokrasi Deliberatif adalah
dengan adanya Ruang Publik, yang di dalamnya terdapat ruang untuk menyampaikan argument
dan bebas menyatakan sikap mereka sebagai warga Negara. Maka itu, ruang publik politik tidak
lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan
aspirasi diskursif sebuah politik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung (dalam
B.Hardiman, 2013:134). Pada kondisi ini ruang-ruang itu tercipta dengan bentuk kelompok massa
yang beragam.
61
tetapi LSM sebagai ornop dengan kemampuannya bisa dikatakan sebagai
koordinator kolaborasi antar element, dan merupakan bentuk aliansi yang
memiliki idiologi serta capaian jangka panjang. Dengan demikan NGO/LSM
merupakan kelompok yang menginginkan adanya perubahan sosial, serta mampu
memperluas dialog cultural maupun kelembagaan antara berbagai inisiatif akar
rumput. Pada pengertian masyarakat sipil disini adalah masyarakat yang
berkeadaban, sadar dan mematuhi tatanan yang disebut demokrasi, sedangkan
meminjam pandangan M. Dawam Raharjo (1995) 15 sebenarnya, demokrasi adalah
sebuah system pemerintahan dalam masyarakat yang berpendidikan, dalam
masyarakat yang kurang berpendidikan, mesin demokrasi cenderung tidak jalan,
karena rakyat tidak mengetahui adanya HAM.
Antara ornop dan ormas didalam civil society
Ada perbedaan di antara organisasi ormas dan organisasi non
pemerintahan,disamping kemudian ada persamaan diantaranya adalah sama-sama
sebagai sarana atau ruang berekspresi dan mengapresiasikan dirinya ditengahtengah masyarakat dan Negara (Lutfi.J.K.,dkk,2008:36). Seperti yang dijelaskan
oleh Adi Surya Culla dalam buku Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi
Ornop di Indonesia (2006:70), perbedaan tersebut adalah pertama, ormas adalah
organisasi yang dibentuk oleh masyarakat sebagai warga Negara untuk berperan
serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional (UU no
8/1985), sedangkan ornop, adalah wujud partisipasi mayarakat dalam upaya
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat serta mengacu pada
15
Pengantar buku “Secangkir Kopi Max Havelar” (1995) oleh M. Dawam Rahardjo berjudul
“Kelas Menengah, Masyarakat Sipil, dan LSM,” hal xi ,Jakarta, Gramedia
62
Irmendagri No 8/1990). Kedua, ormas adalah perkumpulan orang-orang yang
bekerjasama secara terlembaga melalui struktur yang ketat terorganisasi,
sedangkan Ornop adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang terorganisasi
maupun yang tidak terorganisasi dengan struktur tidak harus rumit. Ketiga,
kepengurusan Ormas berjenjang dan subordinatif, khususnya antara pusat dan
cabang, sedangkan kepengurusan Ornop lebih terbuka, kenyal, dan tidak formal,
termasuk hubungan antar organisasi induk dan cabang, serta pengurus daerah.
Keempat, ormas umumnya memiliki susunan keanggotaan sangat ketat, terdaftar,
dan mengikat, sedangkan ornop tidak harus memiliki keangotaan yang mengikat.
Dari sudut pandang itu dapat bisa terlihat perbedaan fungsi di keduanya,
utamanya adalah Ornop tidak mempunyai anggota diluar pengurus, hanya
kelompok masyarakat yang mendampinginya, atau hanya sebatas jaringan atau
relasi kerja, dengan struktur yang lentur dan jauh dari kemeriahan jika ada suksesi
pergantian pengurus, itu sebabnya pegiat Ornop / NGO biasanya adalah benarbenar dari kalangan sipil. Hal yang sangat berbalik dengan ormas yang memiliki
anggota secara rinci dan ketat, dengan implementasi program yang tak jarang
menitikberatkan pada anggotanya, dan paling mencolok adalah saat pergantian
pengurus pasti ramai dibicarakan dan menjadi sorotan, sehingga tak jarang nuansa
politis-kekuasaan muncul sebagai dominasi suksesi tersebut (Mukhtamar NU ke33 di Jombang tahun 2015 yang berakhir dengan persaingan politis baru-baru ini),
karena tidak dapat dipungkiri ada banyak tokoh masyarakat, nasional, maupun
regional dengan background masing-masing di dalam Ormas tersebut. Namun
63
dari sinilah secara relevansi, organisasi masyarakat atau Ormas dapat menjadi
salah satu element penting dalam melihat peta kekuatan masyarakat sipil.
Selain itu menurut Lubis dalam buku Suharko16 juga menerangkan adanya
perbedaaan Ormas dan LSM
terlihat
secara sederhana dari orientasi
keorganisasiannya (2001: 91). Ormas biasanya lebih menekankan pada
keanggotaan dan mempunyai akses langsung ke masyarakat, sedangkan LSM
memberikan tekanan pada aktivitas atau isu tertentu, namun tidak mempunyai
akses kepada masyarakat langsung dan tidak mempunyai basis keanggotaan.
Walaupun demikian, ada banyaknya NGO dan LSM di Indonesia, juga tak jarang
memberikan kritik maupun perdebatan dari kalangan aktivis, intelektual,
akademisi, dan masyarakat sendiri. Seperti tertuang dalam buku Mansour Fakih
“Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial- Pergolakan Idiologi LSM
Indonesia” (2004). Dalam tulisannya M. Fakih menjelaskan LSM saat ini masih
berada dipersimpangan jalan, antara pilihan mengidentifikasi eksistensinya
sebagai civil society dalam konteks “demokratisasi” melalui system relasi politik
dan ekonomi model neoliberalisme, atau memilih jalan sebagai “gerakan sosial”
dalam rangka transformasi sosial menuju masyarakat demokrasi kerakyatan, yaitu
suatu tatanan relasi sosial ekonomi dan politik yang bersendikan pada keadilan
16
dengan judul “Merajut Demokrasi” buku ini juga mengetengahkan tentang hubungan NGO di
Indonesia. Bentuk ormas dapat dibagi menjadi orgnisasi yang berhubungna dengan bisnis (seperti
KADIN-Kamar Dagang dan Industri, dan asosiasi-asosiasi bisnis lainnya, organisasi yang
dibentuk dan dijalankan oleh pemerintah (KNPI-SPSI, HKTI, dan sebagainya, dan organisasi
masyarakat yang otonom mencakup koperasi, organisasi pelajar ataupun mahasiswa, akademik,
organisasi berbasis agama, organisasi berorientasi kultural, hobi. Sedangkan pada bentuk
aktivitasnya pada kenyataannya ormas juga memiliki kesamaan dengan LSM, dimana khususnya
ormas agama, mereka mempunyai bentuk visioner dakwah, dan seringkali mempunyai programprogram untuk implementasi gerakan mereka, yang mereka didalamnya mempunyai lembaga
kajian dan pengembangan sumber daya manusia seperti halnya Lakpesdam NU, atau Yayasan
Sosial Soegijopraroto yang terkait erat dengan katolik, dll.
64
sosial dan kedaulatan rakyat. Belum lagi, Semakin menjamurnya jumlah NGO
yang ada juga disebabkan dari pendanaan dari luar negeri, hampir semua NGO
yang ada di Indonesia ini belum sepenuhnya dapat membiayai dirinya sendiri,
ketergantungan ini dialami oleh NGO lokal maupun sebesar WALHI dan YLBHI
(Lutfi.J.K.,dkk,2008:49).
Ada banyak macam NGO dan LSM di Negara ini, semua mengedepankan
idiologinya masing-masing dalam mengejewantahkan program-program yang
dibawanya. Visi misi, metode, hingga praksis gerakan yang dibawanya, sering
berujung pada perdebatan antar NGO tersebut. Tipologi NGO/LSM di Indonesia
pernah diteliti oleh Philip Elgdridge, yang membagi gerakan LSM/NGO menjadi
dua dimana yang satu adalah LSM pembangunan dan LSM mobilisasi, dimana
pembangunan
diartikan
program
kerjanya
fokus
pada
pembangunan-
pembangunan dan pemberdayaan masryarakat, sedangkan mobilisasi memusatkan
pada pendidikan masyarakat yang termarginalkan dengan memberikan pendidikan
hak ekosob (Fakih,2004:10). Mansour Fakih (2004:122) membagi dalam tiga
kategori, dimana pertama adalah tipe konformis dengan melakukan kerja aspek
karikatif (member bantuan), kedua tipe reformis dengan upaya pemberian bantuan
beserta kerja-kerja pemberdayaan, dan ketiga adalah tipe transformasi dengan
memberikan bantuan mulai aspek teologis sampai praksis.
Beberapa kalangan mendefinisikan NGO dan LSM sebagai hal yang sama,
hanya saja istilah NGO adalah istilah yang digunakan diluar negeri, sedangkan di
dalam negeri kita sendiri konsep LSM lebih dikenal dan dipergunakan. Namun
beberapa kalangan aktivis pegiat juga meperdebatkan tentang konsep NGO dan
65
LSM, muncul pandangan seperti Adi Surya Culla (2006: 68-69) yang mana
konsep NGO lebih diartikan sebagai organisasi yang independen, tidak terkoptasi
oleh pemerintah, entitas gerakan yang dibentuk oleh masyarakat di luar Negara,
dan memiliki karakter tersendiri seperti yang disepakati oleh dunia internasional
sebagai organisasi non pemerintah yang sesungguhnya. Berbeda dengan konotasi
LSM yang memang juga lahir dari bentukan civil society, namun terkesan bisa
diartikan sebagai organisasi yang bisa dijalankan oleh siapa saja, bisa aktor
maupun kelompok yang berlatar sebagai aparat Negara, birokrasi, maupun
pengusaha sekalipun (dalam Lutfi.J.K.,dkk,2008:35). Hal ini lebih dikarenakan
istilah LSM hanya mendefinisikan sebagai organisasi swadaya yang dibentuk oleh
masyarakat tanpa melihat independensi background anggota atau pegiatnya atau
founding-nya. Secara harfiah pengistilahan LSM ini diartikan lebih lunak dan
bebas, belum terkesan independen sebagai organisasi masyarakat, dimana
implikasinya siapapun boleh masuk dalam organisasi masyarakat tersebut. Hal ini
juga dibenarkan dalam lokakarya Bina desa di tahun 1978, istilah LSM dipakai
sebagai definisi dikarenakan mereka hadir
bukan semata-mata “bukan
pemerintah” dan seakan-akan menentang pemerintah yang sah, akan tetapi kala itu
aktivis beranggapan bahwa gerakan mereka dilandasi dengan satu misi positif,
yakni
mengembangkan
kemandirian
(Saidi,Z.,1995:9).
66
dan
membangun
keswadayaan
G. METODE PENELITIAN
a) Metode penelitian kualitatif
Pada perkembangannya ilmu selalu dituntut untuk senantiasa dinamis,
dan membawa penemuan-penemuan baru dengan segala konsep teori-teorinya.
Hal ini seperti yang oleh Khun ungkapkan dalam bukunya “The Structure of
Scientific Revolution”di tahun 1962, paradigma lama akan mengalami krisis
dan
akhirnya
kemudian
mengalami
pengembangan
paradigma
baru
(Khun,2008:7). Kondisi ini kemudian mengharuskan adanya penelitianpenelitian baru sebagaimana kaidah pembentukan paradigma baru tersebut.
Sebagai konsekwensinya, ketepatan analisa sebagai metode penelitiannya
menjadi kekuataan utamanya. Seperti spirit yang dilakukan Khun, peneliti
dalam kerangka ini bermaksud dan berupaya untuk memberikan corak lain
diantara hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya, sesuatu hal yang berbeda
dari penelitian-penelitian sebelumnya yang banyak dilakukan oleh berbagai
kalangan peneliti lainnya, peneliti akan berupaya menemukan nilai lebih
sebagai hasil temuan pada penelitian kali ini.
Seperti halnya pada penelitian umumnya, metode penelitian adalah
terbagi pada bentuk kualitatif, kuantitatif, dan mix method. Ketiganya masingmasing memiliki kekuatan dalam mengungkap persoalan yang dikaji dan di
teliti. Pada penelitian Sumber Air Gemulo Batu yang menuntut pada
pengungkapan mendalam, terkait menjelaskan adanya arti peran, kekuatan
yang terdapat di dalam struktur mobilisasi pada konflik Sumber mata air
Gemulo, Batu, maka membawa penelitian kali ini menggunakan metode
67
penelitian kualitatif sebagai metode pembedah kasusnya, sebagaimana
bertujuan untuk “memahami” sesuatu fenomena sosial atau dalam bahasa
Jerman disebut verstehen yang berarti pengertian, jadi metode ini lebih
memakai pemahaman secara aktif dimana penelitian ini bisa bersifat
mendeskripsikan secara fundamental pada semua tatanan yang menyangkut
perbedaan tujuan, aksioma karakteristik dan prosedur/proses selama
penelitian.
Penelitian kualitatif oleh Creswell (dalam Herdiansyah, 2010:8) di
artikan sebagai “suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk
memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan
menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks. Disajikan dengan
melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi”. Sedangkan
oleh Denzin & Lincoln (dalam Herdiansyah, 2010:7) penelitian kualitatif
didefinisikan sebagai “penelitian yang bertujuan untuk menyediakan
penjelasan tersirat mengenai struktur, tatanan, dan pola yang luas yang
terdapat dalam suatu kelompok partisipan”. Artinya Denzin & Lincoln
mendiskripsikan penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk mencapai
pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus daripada
mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar sebuah populasi. Lebih
lanjut Denzin & Lincoln juga menegaskan:
“study things in their natural setting, attempting to make sense of, or interpret,
phenomena in terms of the meanings people brings to them. Qualitative
research involves the studied use and collection of variety of empirical
materials…that describe routine and problematic moments and meanings in
individuals lives” (Denzim & Lincon 1994:2)
68
Bahwasanya penelitian kualitatif ditujukan untuk mendapatkan
pemahaman yang mendasar melalui pengalaman yang mendasar melalui
pengalaman first-hand dari peneliti yang langsung berproses dan melebur
menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dengan subyek dan latar yang akan
diteliti berupa laporan yang sebenar-benarnya, apa adanya, dan catatan-catatan
lapangan yang aktual, serta memahami bagaimana para subyek penelitian
mengambil makna dari lingkungan sekitar dan bagaimana makna-makna
tersebut mempengaruhi perilaku subyek sendiri.
Pada definisi yang dikemukakan Banister et al penelitian kualitatif
lebih ditujukan sebagai metode untuk mengungkap dan memberikan gambaran
terhadap suatu fenomena, sebagai metode untuk mengeksplorasi fenomena,
dan sebagai metode untuk memberikan penjelasan dari suatu fenomena yang
diteliti.
“Suatu penelitian yang dengan ke-khas-annya mampu menguak tabir dan
mengungkapkan sesuatu yang dimaknai oleh individu, sehingga makna
tersebut dapat dipahami dengan lebih mudah dan sederhana.Penelitian ini
diharapkan mampu mengungkap sesuatu yang unik, khas, dan mempunyai
daya tarik tertentu dari suatu fenomena yang ada hingga menjadi central
phenomenon (pokok permasalahan) dari kasus permasalahan yang diteliti”
(dalam Herdiansyah, 2010:8).
b) Studi kasus
Dalam kajian metodenya, penelitian kualitatif mempunyai jenisjenisnya, antara lain studi kasus, etnografi, penelitian sejarah/biografis,
penelitian tindakan, kajian pustaka, grounded theory, dan penelitian
fenomenologis (Putra,2012:18) . Sedangkan pada penelitian ini akan
digunakan studi kasus sebagai metode jelajahnya. Studi kasus adalah salah
69
satu metode strategi eksploratoris dimana dapat memberikan pengetahuan
secara unik tentang fenomena individual, organisasi, sosial, dan politik,
dimana mempunyai kemampuan deskriftif terhadap suatu fenomena atau
peristiwa yang kontemporer dan tidak membutuhkan kontrol terhadap
peristiwa17, dengan kondisi seperti itu membawa studi kasus pada ciri khas
tujuannya yang bisa digunakan untuk eksploratoris, deskriftif, atau
eksplanatoris (Yin.1981a;1981b;2013:7). Ciri khusus studi kasus yang
diberikan oleh Yin (2013:18) adalah suatu inkuiri empiris yang:
“Menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan, bilamana batas-batas
antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dan multisumber bisa
dimanfaatkan”
Hal ini memberikan pembeda kerangka studi kasus dengan penelitian
lain yang hampir sama yaitu penelitian eksperimen dan history. Eksperimen
adalah penelitian yang menceraikan fenomena dari konteksnya, sehinga
penelitian eksperimen perhatiannya dapat difokuskan pada beberapa variable
(biasanya “konteks” dalam hal ini dikontrol dengan lingkungan laboratories).
Sedangkan penelitian History, dimana lebih berkenaan dengan situasi yang
menjerat fenomena dan konteks, dengan peristiwa yang nonkontemporer,
dan terakhir adalah survey yang mempunyai kecenderungan untuk membatasi
variable sebagai bagian yang dianalis. Studi kasus juga menggunakan strategi
historis, hanya saja kemudian studi kasus menggunakan atau menambah dua
alat bukti yaitu observasi dan wawancara sistematis yang kedua hal ini lebih
sering ditinggalkan oleh sejarawan.
17
Berbeda dengan penelitian eksperimen yang lebih menguasai dan mengontrol peristiwa yang
diteliti.
70
Sebagaimana definisi studi kasus tersebut, maka penelitian dalam
kasus ini diharapkan bisa memberikan deskriptif tentang adanya aturan,
kepemimpinan & jaringan, strategi pengorganisasian gerakan, keputusan aksi,
langkah
politik yang akan ditempuh oleh kelompok massa penolak
pembangunan Hotel d’Radja, serta mengungkap hambatan/ tantangan,
ketakutan masyarakat, ancaman, hingga respon psikoligis terhadap seluruh
kegiatan yang dilakukan oleh kelompok lawan untuk menekan gerakan massa
kelompok protes kolektif. Dengan demikian peneliti akan menggunakan
seluruh kekuatan metode analisa studi kasus mulai dari menelaah berbagai
jenis bukti, dokumen, peralatan (audio-visual), wawancara, dan observasi.
c) Sumber penelitian
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa kegiatan penelitian studi
kasus mempunyai metode pengumpulan data yang dianggab relevan. Peneliti
menggunakan metode tersebut beberapa diantaranya seperti yang tertuang
dalam buku Robert. K. Yin (2010:103) adalah:
1) Dokumentasi
Dimaksudkan disini adalah peneliti juga melihat dokumentasi
foto, informasi dan kondisi yang berkembang terkait dengan gerakan
protes kolektif di Sumber Gemulo, Batu. Hal ini berguna untuk
menambah bukti serta memperkuat analisa, namun demikian tidak
seluruh
dokumentasi
seperti
surat,
pengumuman,
proposal,
memorandum, catatan setiap agenda (kesimpulan maupun laporan
kegiatan), penelitian dan evaluasinya, kliping, artikel media cetak
71
maupun elektronik, akan digunakan semua. Artinya peneliti akan juga
menggunakan material audio – visual berupa rekaman langsung via
handycam, situs resmi / web Gerakan masyarakat Gemulo, berita surat
kabar elekronik maupun media cetak, rekam tulisan agenda pertemuan
konsolidasi, dan surat-surat penting berkenaan kasus Sumber Gemulo
Batu. Peneliti disini memperhatikan validitas dokumen, mulai akurasi,
relevansi,
hingga kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan,
dengan cara begitu penelusuran dilakukan secara sistematis dalam
penelitian ini.
2) Rekaman arsip
Rekaman arsip disini dimaksudkan penggunaan arsip sebagai
rekam jejak studi kasus yang bervariasi, dimana menurut Creswell &
Amussen hal tersebut bisa dilakukan untuk merekam situasi yang
merupakan mata rantai dari kejadian, tanpa harus melakukan
wawancara secara langsung disaat kejadian (Santana,2007:105). Arsip
disini seperti halnya bagan organisasi FMPMA (termasuk dalam tempo
waktu tertentu), rekaman pribadi, peta geografis dan karakteristik
tempat, bahkan no telp sebagai data kepemilikan jaringan/kesempatan
politik. Peneliti disini juga memilah dan menentukan kondisi yang
menghasilkan bukti bagian dari tingkat keakuratannya.
3) Wawancara
Sebagai salah satu sumber yang terpenting dalam studi kasus.
Wawancara mengambil beberapa bentuk, yang paling umum adalah
72
bertipe “open-ended”, terfokus, pertanyaan terstruktur (Robert.K.Yin,
2010:109). Dimana open-ended dimaksudkan sebagai peneliti dapat
bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa,
disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Pada beberapa
situasi,
peneliti
bahkan
bisa
meminta
responden
untuk
mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu, dan
bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar jika akan
melakukan penelitian selanjutnya.
Tipe wawancara berikutnya adalah terfokus dimana responden
diwawancarai dalam waktu yang pendek. Pada posisi ini peneliti
meninggalkan protokoler sistematisasi pertanyaan, namun cukup
dengan serangkaian pertanyaan tertentu yang diturunkan langsung dari
penelitian studi kasusnya. Hal ini penting dilakukan untuk mendukung
bebarapa pertanyaan yang belum terjawab secara spesifik, atau bahkan
menanyakan topik yang terhubung dengan situasi tertentu oleh
beberapa informan. Terakhir adalah wawancara dengan pertanyaan
yang terstruktur, hal ini dilakukan sebagai instrument wawancara
sistematis dengan metode pertanyaan yang terperinci yang disusun
dalam guide interview.
Kesemuanya bentuk wawancara tersebut akan peneliti gunakan,
dengan kesesuaian waktu, situasi, tujuan pertanyaan, dengan tidak
meninggalkan etika sebagai peneliti yang mengerti kaidah dalam
berkomunikasi dengan para informannya.
73
Informan adalah subyek atau aktor yang berperan dan berkaitan
dengan gerakan sosial masyarakat di kota Batu. Adapun itu adalah dari
tokoh NGO, beberapa tokoh Birokrasi, Partai Politik, aktor intelektual
(Aktivis, Dosen), element masyarakat biasa yang tergabung dalam
kelompok aksi FMPMA.
4) Observasi langsung
Peneliti akan menciptakan kesempatan untuk observasi
langsung. Hal ini melibatkan observasi formal melalui pertemuanpertemuan, kegiatan-kegiatan, dengan periode tertentu, dan observasi
informal yaitu melalui kunjungan lapangan dengan kesempatan yang
ada tanpa terpaut dengan periode tertentu namun masih terpaut dengan
pengumpulan situasi untuk pembuktian-pembuktian yang diperlukan
(Robert.K.Yin, 2010:113). Tahapan ini juga masuk dalam kerangka
inti, yang juga bisa disebut dengan tahapan in the field. Inti dari
Observasi adalah bentuk teknik pengamatan dengan menggunakan
indera terhadap gejala atau kejadian yang di tangkap pada suatu waktu.
Langkah awalnya adalah peneliti akan mencari struktur ”fisik”
berupa gambaran peristiwa/kejadian di satu ruang dan waktu, termasuk
karakteristiknya, artinya pengalaman subyek akan dilihat atau diamati
dari sudut ”dimana kejadiannya” dan ”kapan terjadinya”. Termasuk
pada kapasitas ini peneliti akan melihat sisi habitus kehidupan seharihari
mereka,
mulai
pekerjaan,
74
kegiatan
masyarakat,
budaya
masyarakat, serta arti dan kebutuhan dari sumber mata air Gemulo
Batu.
Berikutnya,
langkah
mendeskripsikan struktur
kedua
dari
observasi
adalah
mobilisasi yang diperoleh pada langkah
pertama tadi, mencakup tema, motif, emosi, dorongan perlawanan
menjadi sebuah entitas gerakan protes. Dimana peneliti melakukan
pengamatan langsung untuk kebutuhan memperoleh data-data yang
akurat tentang penelitian Sumber Gemulo, sehingga dapat lebih
memahami inti permasalahan protes sosial Sumber Gemulo yang
terjadi.
Peneliti akan menggunakan teknik observasi partisipan,
dimana suatu bentuk observasi khusus dimana peneliti tidak hanya
menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai
peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwaperistiwa yang akan diteliti (Robert.K.Yin, 2010:114). Pada situasi ini
peneliti lebih menonjol sebagai pengamat yang juga ikut serta didalam
situasi sosial tersebut. Di partisispasi ini, artinya peneliti juga akan
bergabung dengan komunitas penyelamatan sumber mata air Gemulo,
Batu, melakukan aktivitas penyelamatan bersama mereka, berupa
partisipasi ikut serta dalam agenda perjuangan mereka, yang
dimungkinkan agar bisa menjelaskan lebih detail struktur, sumberdaya,
ikatan emosi, yang kesemuanya menjadikan kekuatan mobilisir massa
gerakan dengan masif.
75
d) Teknik Analisis Data
Data kualitatif yang ada digunakan untuk analisis berupa jejak rekam
kata-kata informan, kalimat atau narasi-narasi yang diperoleh saat wawancara
mendalam atapun observasi partisipatoris berlangsung. Guna menjaga
validitas data, maka peneliti menggunakan Empirical validity,
dimana
menggunakan kriteria kesesuaian antara apa yang dirasa, dinyatakan dengan
situasi kejadian yang terjadi (Hadi,1994:116). Dari sini peneliti juga akan
memulai temuan pikirannya dengan catatan dan pengalaman riil, serta dari
keterlibatannya pada kasus yang diteliti. Adapun analisis data juga dilakukan
setiap saat selama proses penggalian data berlangsung. Sedangkan prosedur
analisis yang digunakan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Pertama, diawali oleh peneliti dengan mereduksi data dengan
cara melakukan koding terhadap informasi-informasi penting yang
terkait dengan masalah penelitian, agar dengan mudah dapat
melakukan pengelompokan data sesuai dengan rincian atau identifikasi
masalah.
b. Tahap kedua, data yang dikelompokkan oleh peneliti selanjutnya
disusun dalam bentuk narasi-narasi, sehingga membentuk sebuah
rangkaian informasi yang memiliki signifikansi sesuai dengan masalah
penelitian.
c. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan berdasarkan susunan narasi yang
telah disusun pada tahap kedua, sehingga dapat memberikan jawaban
atas masalah penelitian.
76
d. Tahap keempat, melakukan verifikasi hasil analisis data dengan
informan yang didasarkan pada simpulan tahap ketiga. Tahap ini
dimaksudkan untuk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil
wawancara dengan sejumlah informan, sehingga terdapat proses
penjaminan tidak terkaburkannya hasil analisis yang menyimpang dari
fokus penelitian.
Setelah itu semua, peneliti akan mencari hubungan antara
konsep-konsep yang sudah ada dalam upaya menyesuaikan dan
mengembangakan konstruksi teori yang dipilih untuk membedahnya.
Peneliti akan meminjam “the consistant comparative method” yang
dipakai oleh Gleser & Anselm (1980) , yaitu mengidentifikasi suatu
fokus, dengan mempelajari bagaimana informasi dan data yng diperoleh
itu ada, dengan berbagai lokasi dan kondisi, siapa dan berbicara apa, dan
bagaimana
mereka
melakukan
(Kaelan,2012:144).
Dengan
mendeskripsikan, menganalisis, dan membandingkan, maka peneliti dapat
melihat dan menemukan proporsionalitas data, yang kemudian akan
dijadikan narasi deskriptif dalam penulisan penelitian ini.
H. Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi penelitian adalah daerah penelitian, dimana kasus penelitian ini
sedang berlangsung, yaitu di daerah yang berkaitan langsung dengan gerakan
protes Kolektif yaitu di Desa Gunungsari, Punten, Bumiaji dan Bulukerto
(Kecamatan Bumiaji), serta dari Desa Sidomulyo dan Pandanrejo (Kecamatan
77
Batu), yang kesemuanya adalah memakai mata Air sumber Gemulo, Batu
sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-harinya, namun pada perjalanannya
lebih banyak fokus 3 desa yaitu Bumiaji, Bulukerto, dan Sidomulyo hingga
menjadi perhatian utama, sebab di 3 desa tersebutlah bisa dikatakan masa
gerakan FMPMA berada cukup solid dan terjadi banyak dinamika.
Batasan waktu penelitian akan diseseuaikan dengan kebutuhan thema
penelitian yang akan diteliti, dalam hal ini secara tidak langsung adalah
penelitian akan dicukupkan jika seluruh pertanyaan dalam rangkaian rumusan
masalah penelitian sudah terjawab dan dianggap memenuhi syarat untuk
diambil menjadi sebuah kesimpulan akhir atau final. Walaupun kemudian
sangat dimungkinkan, ini juga akan menjadi kesimpulan sementara bagi
penelitian selanjutnya, atau bagi yang akan memperluas pertanyaan demi
menemukan kajian ilmiah lainnya di kasus studi Sumber mata Air daerah
Gemulo, Batu.
I. Logika dan batasan dari penelitian
Pada asumsi kali ini, gerakan sosial masarakat adalah bentuk dari
gerakan aksi protes kolektif yang hadir di permukaan secara terang-terangan.
Gerakan masyarakat yang semakin massif juga dikarenakan adanya solidaritas
kepemilikan dan terkait dengan kebutuhan akan sumber mata air yang selama
ini sudah menjadi pemasok air bersih unuk kehidupan mereka semua di 6 desa
Kota Batu. Dilain sisi melalui gerakan protes kolektif dimana merupakan
gerakan yang mengutamakan target perubahan kebijakan saja untuk
menyelesaikan persoalan yang mereka bawa, dalam pencapaiannya mereka
78
tidak menuntut sampai pada gagasan perubahan struktur besar di dalam
Birokrasi.
Hal ini tentu menarik, sebab ironi di negeri ini bahwasanya pada setiap
birokrasi terkadang mempunyai kepentingan sendiri. Di setiap jaman politik
siapa yang jadi pemimpin dia yang akan menguasai, ini tentu jauh dari nilai
etika pemerintahan yang mengajarkan pemimpin adalah bagian dari pelaku
amanah rakyat, dan kekuasaan adalah tetap milik rakyat. Dengan logika
seperti ini, maka peneliti akan melihat bahwa pengaruh kebijakan seorang
pemimpin yang tak jarang berselingkuh dengan para pengusaha dengan dalih
kemajuan perekonomian, tak pelak menjadi persoalan yang membuat
masyarakat dan lingkungan hidup dirugikan.
Oleh karenanya bagi masyarakat kejadian protes sosial menjadi suatu
solusi dimana protes ini mempunyai nilai serta efektifitas dikarenakan tidak
merubah sesuatu yang lebih besar, namun lebih pada potongan persoalan yang
dianggap salah saja. Melalui hal ini, massa juga tidak perlu kemudian
melakukan aksi perombakan birokrasi besar besaran atau menyeluruh, atau
bahkan
mengusir
pengusaha
yang
telah
menyebabkan
terjadinya
permasalahan, namun cukup hanya dengan menolak rancangan usaha
pengusaha dan meminta pemerintah untuk mencabut dan mengoreksi
kebijakan yang dinilai tidak tepat karena dapat merusak lingkungan, disitu
targe protes aksi ini selesai.
Kecenderungan sebuah protes kolektif dalam gerakan sosial di kota
Batu juga dipengaruhi oleh massa juga tidak hanya dari masyarakat setempat,
79
namun seluruh lapisan masyarakat luas yang memandang perlunya protes dan
menitik beratkan pada kesatuan pendapat untuk menjaga lingkungan. Hal yang
manjadi salah satu kekuatan pada gerakan ini. Hal inilah yang bisa menjadi
analisa bahwasanya massa aksi tidak terkait dengan kaum papa, namun elit
lokal, pegawai negri, guru, pelajar, petani, bahkan buruh telah membentuk
menjadi satu kesatuan massa, yang kemudian terorganisir untuk melakukan
gerakan protes kolektif. Disisi inilah peneliti ingin mengungkap, adanya
kesatuan ide serta isu yang ada, yang menjadikan struktur mobilisasi secara
massif bergerak hingga mendorong pada kegiatan protes kolektif. Kekuatan
struktur
mulai
dari
bentuk
organisasi,
aliansi-aliansinya,
jaringan
(kekerabatan,etnis, pekerjaan,dll), dan sumberdaya keuangan menjadi sisi
yang perlu untuk diungkap dalam kajian yang lebih ilmiah.
Belum lagi kecenderungan bahwasanya melihat ada banyaknya
organisasi atau kelompok yang bergabung disitu untuk berjuang bersama,
akan tetapi perjalanan kasus ini juga panjang, seolah masih belum terlihat
akan berhenti dan mencapai tujuan yang diinginkan dan diperjuangan oleh
masyarakat dari 6 desa. Dari sinilah logika pertanyaan sebagai grand question
dimulai, jika memang gerakan ini mendapat kekuatan besar dan ada NGO
yang besar pula untuk mem back-up perjuangan mereka, namun mengapa
seolah gerakan ini hanya mengalir begitu saja, seolah tidak mempunyai power
untuk membendung upaya perusakan sumber mata air dan segera
menuntaskan permasalahan. Situasi ini membawa pada logika pertanyaan,
apakah memang sebegitu susahnya persoalan yang terjadi? hingga elit
80
birokrasi sebagai pemutus kebijakan pun terkesan diam dan terlihat hanya
menjadi penonton, bahkan tanpa mampu menjadi penilai yang adil bagi
mayorias rakyatnya, atau mungkin saja kedaulatan kelompok-kelompok yang
berpartisipasi di dalam organisasi FMPMA hanyalah sekedar keterlibatan
yang masih harus menyesuaikan dengan kepentingan masing-masing
kelompok yang terlibat terlebih dahulu.
Disinilah logika dan batasan penelitian kali ini diangkat menjadi
sebuah narasi thesis, bahwasanya gerakan sosial masyarakat Umbul Gemulo
Batu dengan melibatkan kelompok akademisi, NGO, mahasiswa, dll,
setidaknya mampu menghasilkan strategi taktis untuk perlawanan yang
beritikad bisa menceraikan perselingkuhan pengusaha dengan elit birokrasi
seperti yang telah mereka tuduhkan selama ini. Penelitian ini akan melihat sisi
lain dari sebuah kekuatan yang hadir di dalam suatu gerakan sosial masyarakat
kota Batu. Peneliti juga akan mencoba melihat seberapa tangguh struktur
mobilisasi gerakan mengadapi ancaman kebijakan dan kekerasan secara
psikologis maupun fisik yang dilancarkan oleh pihak musuh yaitu pengusaha,
yang disaat bersamaan pemerintah belum mampu menjalankan dengan benar
peran dan fungsi dalam pencegahan proses sosial dari pembangunan ekonomi
yang anarkis. Sebab sangat bisa jadi seperti yang diungkapkan oleh Moctar
Mas’oed (2003:123) bahwasanya kebijaksanaan publik sering dimanfaatkan
oleh pemerintah sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik paling dasar,
yaitu mempertahankan kekuasaan, dengan cara itu maka pemimpin akan
memobilisasi pendukungnya dan berusaha melemahkan lawan politiknya. Tak
81
heran karenanya elit birokrasi tak jarang mengukur dulu untuk melihat
kekuatan serta kepentingan-kepentingan kelompok yang bermain dalam
persoalan yang terjadi, baru kemudian menentukan kemana mereka akan
memihak.
82
Download