Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan AGUS SJAFARI Pendahuluan Menurut Bintoro, partisipasi masyarakat merupakan elemen penting dalam pembangunan. Administrasi pembangunan yang sedang berjalan, tidak akan sempurna (efektif) jika tidak terdapat partisipasi masyarakat. Paling tidak partisipasi dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan. Rakyat dan Masyarakat (Rudito: 2003) Istilah “rakyat (people)” pada dasarnya mempunyai konotasi keberpihakan kepada suatu kelompok tertentu, dan juga penggambaran kepada suatu bentuk ketertindasan serta ketidakmampuan. Istilah “rakyat” juga mengarahkan kita pada suatu bentuk kekuatan besar yang muncul pada suatu kesempatan yang sangat diperhitungkan (masyarakat sipil). Istilah “masyarakat” lebih luas dari konsep tersebut karena bisa menyangkut dua konsep yang saling beroposisi menjadi satu kesatuan yakni rakyat di satu sisi (masyarakat sipil) dan pemerintah di sisi lainnya. Lanjutan Pengertian masyarakat banyak diungkap oleh para pakar sosiologi. Mac Iver dan Page (1961) menyatakan: “Masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Dan masyarakat selalu berubah.” Lanjutan Ralp Linton (1936) mengatakan bahwa masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batasbatas yang dirumuskan dengan jelas. Lanjutan Selo Soemardjan (1968) menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan, sedangkan Soerjono Soekanto (1982) mengenali masyarakat dengan mengungkap beberapa unsurunsur yang mampu ditelusuri melalui berbagai definisi dari berbagai ahli: (1) manusia yang hidup bersama, (2) bercampur untuk waktu yang cukup lama, (3) kesadaran akan sebagai kesatuan, (4) adanya sistem yang terbentuk. Lanjutan Soerjono Soekanto (1982) menambahkan adanya urgensi lokalitas tempat terjadinya pertemuan dan kesatuan sosial. Urgensi tersebut muncul ketika menelusuri konsep ‘rakyat’. Istilah ”rakyat” menunjuk pada adanya jumlah yang besar dari ”penduduk” yang memiliki kehendak umum bersama (masyarakat sipil) dan dihadapkan pada pemerintah yang mengatur dan memerintah kehendak tadi. Sehingga dengan demikian terdapat kepentingan akan teritoir yang jelas. Lanjutan Burns (1996) menganggap masyarakat secara umum dengan sebutan ‘public’ katimbang istilah lainnya –agar dapat masuk ke dalam istilah ‘society’ maupun ‘people’. Namun satu hal yang paling penting bagi burns juga adalah adanya urgensi lingkup kontak manusia terjadinya kesatuan sosial yang disebut ‘public’ karena bagi burns dapat tercipta ‘public’ yang bersifat lokal maupun yang lebih makro. Lanjutan Definisi yang telah dengan jelas memasukan kepentingan area dibangun oleh Artworti (1999) bahwa secara umum masyarakat (community) adalah satu kesatuan manusia yang menempati satu wilayah. Konsep ‘community’ oleh pakar-pakar Indonesia muncul karena adanya pembedaan konsep masyarakat yang luas dan berjumlah banyak dengan masyarakat yang lebih sedikit dengan lingkup sempit. Masyarakat yang menempati terotoir yang sempit disebut sebagai komunitas (community). Lanjutan Dalam konteks formal, muncul pembedaan pemerintahan. Masyarakat (sipil) bangsa yang luas biasanya dihadapkan dengan negara (state) dalam arti makro, sedangkan komunitas (masyarakat sipil lokal) berhadapan dengan pemerintahan daerah (local self government). PARTISIPASI MASYARAKAT Fagence (1977) menyatakan secara rinci bahwa partisipasi masyarakat bukan pada dua matra pengambilan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan semata, melainkan berbagai peran yang dapat dilakukan: (1) inisiator yang fungsinya menentukan isu-isu dalam pengambilan kebijakan; (2) pemandu, yang fungsinya mengarahkan pengambilan kebijakan; Lanjutan (3) peneliti; yang fungsinya memperhatikan seluruh aspek-aspek yang mempengaruhi isu-isu pengambilan kebijakan; (4) pemberitahu; yang fungsinya meperlihatkan informasiinformasi di seputar isu tersebut; (5) penguji, yang fungsinya menilai kompetensi paara pengambil kebijakan; (6) pemandu suara; yang fungsinya mengurus proses penilaian kompetensi pengambil kebijakan dan mengumpulkan suara pengambilan kebijakan; Lanjutan (7) perencana, yang fungsinya mereview kebutuhan pengambilan kebijakan; (8) hakim, yang fungsinya memperhatikan ramburambu hukum yang berlaku, dan (9) administrator, fungsinya mengatur sistem sampai pelaksanaan kebijakan. Lanjutan Thomas (1995) mengartikan partisipasi masyarakat (sipil) sebagai keterlibatan masyarakat (sipil) dalam pemerintahan. Terdapat bentuk-bentuk yang dapat dibangun menurut Thomas (1995: 12) dalam partisipasi masyarakat sipil antara lain: key contact, public meeting, advisory committees, citizen surveys, citizen contact, negotiation and mediation. Lanjutan Berbeda dengan pendapat tersebut, Fagence (1977) menyebutkan bentukbentuk partisipasi publik sebagai berikut: (1) in-actives, yang hampir tidak aktivitas; (2) voting specialist, sedikit berinisiatif tetapi mampu membentuk perlawanan partisipasi; (3) parochial participations, yang bertindak dengan inisiatif, walaupun dengan sedikit terbatas kepentingannya. Lanjutan (4) communalities, yang bertindak dengan inisiatif dan lebih luas kepentingan serta komitmen kewarganegaraan yang digunakan; (5) campaigners, yang bertindak dengan inisiatif yang moderate, komitmen dan kepentingan yang lebih luas; (6) complete activities, yang tinggi komitmennya di hampir semua aktivitas pengambilan kebijakan. Lanjutan Arnstein yang dirujuk oleh Buns (1994) membuat tangga partisipasi yang terdiri dari: citizen control, delegated power, partnership untuk kelompok pertama (citizen power); placation, consultation, information, untuk kelompok kedua (tokenism); therapy, dan manipulation untuk kelompok ketiga/ paling bawah (non-participation). Lanjutan Antoft dan Novack (1998) mengartikan partisipasi masyarakat (sipil) sebagai keterlibatan secara terus-menerus dan aktif dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhinya. Dalam pikiran kedua pakar tersebut, tidak mungkin seluruh warga memiliki akses terhadap pengambilan keputusan di setiap bidang, yang ada adalah sekelompok orang/warga terhadap bidang-bidang tertentu yang dianggap dapat mempengaruhinya. Dan yang paling penting menurut kedua pakar tersebut adalah terdengarnya suara publik. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Negara Vis-a-vis Publik Manajemen Baru Perluasan Demokrasi BEBAS MEMILIH Mengatur DIri Bebas Bersuara Konsumen Kelompok Sosial Perluasan Pasar Warga Negara Lanjutan Dalam kapasitasnya sebagai konsumen, partisipasi luas dari masyarakat menurut Peters (1994) meningkatkan kinerja pelayanan birokrasi pemerintah. Hal itu dibenarkan oleh Blackman (1995: 107) dengan mengatakan bahwa partisipasi masyarakat luas harus diberi tempat dalam pelayanan umum dengan kejelasan tata cara, proses, dan prosedurnya. lanjutan Tingkat Kepercayaan individu dalam organisasi menurut pakar Psikologi menumbuhkan partisipasi dalam aktivitas organisasi secara sadar (Thoha; 1990). Dengan demikian, rendahnya kepercayaan dapat diketahui melalui rendahnya partsipasi individu dalam berbagai aktivitas organisasi. Empat Aspek Penting dalam partisipasi (Bintoro) Terlibatnya dan ikut sertanya masyarakat sesuai dengan mekanisme proses politik dalam suatu negara turut menentukan arah, strategi, dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Meningkatkan artikulasi (kemampuan) untuk merumuskan tujuan-tujuan dan terutama cara-cara dalam merencanakan tujuan yang sebaiknya. lanjutan Partisipasi masyarakat dalam kegiatan nyata yang konsisten dengan arah, strategi, dan rencana yang telah ditentukan dalam proses politik. Adanya perumusan dan pelaksanaan program-program partisipatif dalam pembangunan yang berencana. PERMASALAHAN UMUM PARTISIPASI pertama, dari sisi pemerintah, yakni pemerintah kurang cepat dan tanggap di dalam: (1) memfasilitasi pengembangan/peningkatan kapasitas LSM dan masyarakat di dalam menjalankan fungsi pengawasan sosial dan partisipasinya di dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pembangunan Daerah; (2) mensosialisasikan seara luas makna pemberdayaan partisipasi masyarakat sesuai peraturan per-UU-an terhadap aparat pemerintah, DPRD, dan Masyarakat/LSM; (3) tidak adanya pedoman/ landasan pijak bagi Pemerintah untuk berperan dalam pengembangan partisipasi masyarakat/ LSM. Lanjutan Kedua, dari sisi Pemerintahan daerah terdapat masalah-masalah: (1) pemahaman otonomi daerah dan desentralisasi yang dilandasi prinsipprinsip demokrasi, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat belum dimiliki oleh umumnya jajaran pemerintahan daerah, masyarakat madani dan atau sektor swasta; (2) belum adanya pedoman mekanisme hubungan kemitraan dan sinergi antara masyarakat/ LSM dengan DPRD dalam penyaluran aspirasi/ tuntutan masyarakat dan fungsi pengawasan sosial masyarakat/ LSM terhadap DPRD. Keadaan ini menimbulkan kinerja DPRD apa adanya, tidak aspiratif, tidak peka dalam menampung aspirasi/ tuntutan masyarakat/ LSM, bahkan cenderung lebih aspiratif terhadap kepentingan partai atau organisasi masyarakat tertentu. Lanjutan Ketiga, dari sisi masyarakat/ LSM terdapat permasalahan yaitu: (1) masyarakat perorangan, kelompok kepentingan umumnya belum mengetahui dan mengerti atas haknya di dalam menyalurkan aspirasi/tuntutan kepada lembaga legislatif dan eksekutif, dan atau lembaga pemerintah lainnya; (2) peran lembaga RT/RW, lembaga adat dan keagamaan di lingkungan masyarakat belum berfungsi dan berperan di dalam mensosialisasikan hak-hak rakyat dan partisipasinya di dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah; Lanjutan 3) keterbatasan pengetahuan masyarakat dan kesenjangan serta ketidak-adilan memberikan dampak tersendiri di dalam menyalurkan hak dan aspirasinya sering menjadi obyek/kedok kepentingan kelompok tertentu dalam menyelurkan tuntutannya. (4) sebagian besar LSM belum memiliki SDM, kelembagaan dan landasan hukum yang memadai, dan tidak mandiri, bekerja sesuai dengan dukungan dana. Lanjutan (5) keterbatasan pengetahuan/ketrampilan SDM LSM mengakibatkan dalam setiap kegiatannya tidak terfokus atau terarah dengan jelas dalam menyalurkan tuntutan dan aspirasinya, dan bahkan tidak jarang melanggar rambu-rambu peraturan perundangan yang berlaku karena tidak memahami peraturan perundangan yang mendasari tuntutannya. (6) kurangnya komunikasi di antara LSM sering menimbulkan duplikasi dalam kegiatannya di masyarakat, hal ini juga disebabkan ego kepentingan dari penyandang dana. (7) cukup banyak LSM musiman atau berpredikat supir tembak yang dalam kegiatannya sulit dipertanggungjawabkan baik di masyarakat maupun terhadap penyandang dana. Tiga masalah penting dalam Partisipasi (Bintoro) Kepemimpinan kualitas kepemimpinan menjadi kata kunci. Komunikasi Gagasan pembangunan akan mendapat sambutan jika diketahui, dan ini ditentukan oleh komunikasi pembangunan (politik). Pendidikan kesadaran masyarakat ditentukan oleh pendidikan masyarakat sebagai faktor penting dalam pengembangan identifikasi tujuan-tujuan pembangunan.