DAMPAK KETERBUKAAN EKONOMI TERHADAP STABILITAS INFLASI DI NEGARA-NEGARA ASEAN+6 HENGKI EKO RIYADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2012 Hengki Eko Riyadi NRP. H151104424 ii iii ABSTRACT HENGKI EKO RIYADI. The Impact of Openness on Inflation Stability in ASEAN+6 Countries. Under direction of NOER AZAM ACHSANI and LUKYTAWATI ANGGRAENI Trade and financial openness, which are expected to improve the welfare of society, in principle does not only affect the output but also the price. This occurs because of the trade-off between economic growth and inflation. Some countries adopted Inflation Targeting Framework (ITF) policy to stabilize inflation, while others adopted exchange rate targeting or money targeting. The purpose of this study was to analyze the impact of openness, both trade and financial openness, on inflation stability in ASEAN+6 countries. By employing panel data analysis of the eleven countries in 2001-2010, this study found that trade openness worsens inflation stability, while financial openness increases inflation stability. The negative impact of trade openness is particularly accurs in ITF countries. The positive impact of financial openness occurs in a non-ITF countries, whereas the opposite accurs for the ITF countries. The positive impact of financial openness on inflation stability in developing countries is greater than the developed countries. Keywords: openness, inflation stability, inflation targeting framework, panel data iv v RINGKASAN HENGKI EKO RIYADI. Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan LUKYTAWATI ANGGRAENI Keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik perdagangan maupun finansial merupakan konsekuensi dalam era globalisasi. Salah satu kerjasama perdagangan tingkat regional yang sudah berlangsung adalah ASEAN+6. Keterbukaan ekonomi, pada prinsipnya tidak hanya memengaruhi output tetapi juga harga. Pada sisi lain, ada suatu kebijakan yang diterapkan otoritas moneter yang bertujuan menstabilkan perubahan harga, yaitu Inflation Targeting Framework (ITF). Stabilitas inflasi penting dilakukan terkait dengan ekspektasi, baik masyarakat maupun pemerintah. Inflasi yang berfluktuasi akan menyusahkan masyarakat dan pemerintah dalam program perencanaan. Dalam makroekonomi, ada suatu trilema dalam pengambilan kebijakan, dimana suatu negara hanya dapat memilih dua dari tiga kebijakan yang mungkin dilaksanakan agar perekonomian berlangsung baik. Kebijakan tersebut adalah independensi bank sentral (dicerminkan oleh kebijakan ITF), stabilitas nilai tukar, dan keterbukaan ekonomi. Penelitian mengenai dampak keterbukaan ekonomi dengan inflasi, khususnya stabilitas inflasi, sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis kaitan antara keterbukaan ekonomi dengan stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6; (2) menganalisis dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6 terkait dengan adanya kebijakan ITF; dan (3) menganalisis dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang di ASEAN+6. Cakupan penelitian ini adalah sebelas negara, yaitu: Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, China, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India (yang selanjutnya disebut ASEAN+6) dengan periode waktu pengamatan selama sepuluh tahun, yaitu tahun 2001-2010. Adapun data yang digunakan merupakan data sekunder yang bersumber dari World Bank dan bank sentral di setiap negara. Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama adalah analisis eksploratif dan uji Kausalitas Granger, sedangkan untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga digunakan regresi data panel dengan membuat dummy interaksi. Sementara itu, model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari model New Keynesian Phillips Curve (NKPC) berbasis hybrid oleh Gali dan Gertler (2000), model yang digunakan oleh Mukherjee (2011), dan model yang digunakan oleh Mishkin dan Schmidt-Hebbel (2007) dalam penelitiannya. Berdasarkan ketiga model tersebut, variabel lain yang juga disertakan dalam penelitian ini adalah stabilitas inflasi sebelumnya, deviasi ekspektasi inflasi, kesenjangan output, dan nilai tukar riil. Penelitian ini juga menggunakan metode Hodrick-Presscott Filter untuk memperoleh nilai output potensial dan inflasi potensial. vi Berdasarkan uji Kausalitas Granger diperoleh dua pola arah hubungan antara stabilitas inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti. Pertama, hubungan dua arah, yaitu antara stabilitas inflasi dengan deviasi ekspektasi inflasi dan kesenjangan output. Kedua, hubungan satu arah, yaitu: keterbukaan perdagangan, keterbukaan finansial, dan nilai tukar riil memengaruhi stabilitas inflasi. Dengan membandingkan ketiga model data panel statis, yakni: Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM) melalui uji Chow dan uji Haussman diperoleh hasil bahwa metode FEM lebih baik dibandingkan dua metode lainnya. Sementara itu, model data panel dinamis, baik First Difference-Generalized Method of Moments (FD-GMM) maupun System-Generalized Method of Moments (Sys-GMM), memberikan estimasi yang valid namun tidak konsisten dan bias. Lebih lanjut, adanya masalah heteroskedastisitas, maka FEM dengan General Least Square (GLS) Weighted digunakan sebagai model estimasi. Hasil yang diperoleh adalah makin tinggi tingkat keterbukaan perdagangan maka inflasi di negara-negara ASEAN+6 akan menjadi tidak stabil, sedangkan makin tinggi tingkat keterbukaan finansial maka inflasinya akan makin stabil. Terkait dengan penerapan kebijakan ITF di beberapa negara ASEAN+6, dampak buruk keterbukaan perdagangan terhadap stabilitas inflasi ternyata hanya signifikan terjadi di negara-negara ITF (yaitu: Indonesia, Thailand, Filipina, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru), sedangkan di negara-negara NonITF (yaitu: Malaysia, Singapura, China, Jepang, dan India) tidak signifikan. Sementara itu, keterbukaan finansial berdampak buruk terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ITF, tetapi berdampak baik terhadap stabilitas inflasi di negaranegara non-ITF. Pengaruh signifikan terhadap stabilitas inflasi juga diberikan oleh nilai tukar riil. Depresiasi nilai tukar riil memberikan dampak buruk terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ITF, tetapi memberi dampak baik bagi stabilitas inflasi di negara-negara non-ITF. Keterbukaan finansial memberikan dampak baik bagi stabilitas inflasi di kelompok negara-negara sedang berkembang (yaitu: Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, China, dan India) lebih besar dibandingkan yang diterima kelompok negara-negara maju (yaitu: Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan Jepang). Berdasarkan hasil penelitian, implikasi kebijakan yang dapat disarankan, adalah: (1) Pemerintah dan otoritas moneter perlu berkoordinasi dalam hal perumusan kebijakannya. Jika keterbukaan negara-negara ASEAN+6 tidak dapat dibatasi (dikarenakan merupakan suatu kesepakatan) maka negara-negara yang mengadopsi ITF harus mengalihkan kebijakan moneternya menjadi base money targeting atau exchange rate targeting. (2) Terkait dampak buruk depresiasi nilai tukar riil dan keterbukaan perdagangan, negara-negara ITF dapat melakukan kebijakan substitusi impor. Substitusi impor diperlukan agar negara tidak tergantung produk impor yang rentan perubahan nilai tukar. Selain itu, dapat mengurangi keterbukaan perdagangan. (3) Terkait dampak buruk depresiasi nilai tukar riil dan keterbukaan finansial, negara-negara ITF dapat menggalakkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan kontrol neraca modal. Hal ini setidaknya mengurangi pengaruh permintaan/penawaran mata uang asing yang pada akhirnya menjaga kestabilan inflasi. Kata Kunci: keterbukaan ekonomi, stabilitas inflasi, ITF, data panel vii © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB viii ix DAMPAK KETERBUKAAN EKONOMI TERHADAP STABILITAS INFLASI DI NEGARA-NEGARA ASEAN+6 HENGKI EKO RIYADI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 x Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Muhammad Firdaus, S.P., M.Si., Ph.D. xi Judul Penelitian Nama NRP Program Studi : Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 : Hengki Eko Riyadi : H151104424 : Ilmu Ekonomi Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. Ketua Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 31 Juli 2012 Tanggal Lulus: xii xiii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6”. Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Muhammad Firdaus, S.P., M.Si., Ph.D. selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Direktur Statistik Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan, dan Kepala Subdirektorat Statistik Perikanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis, dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada isteriku tersayang Dewy Sarihastuti, S.Si., M.A.B. dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan do’a dan dukungan yang tak terkira sejak awal perkuliahan. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Allah SWT. Dia jualah yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Meskipun demikian, penulis berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Bogor, Agustus 2012 Hengki Eko Riyadi xiv xv RIWAYAT HIDUP Penulis dilahir di Purworejo (Jawa Tengah) pada tanggal 3 September 1978. Penulis merupakan sulung dari empat bersaudara pasangan Bapak Ponidi dan Ibu Wasiyati. Pada tahun 1996, penulis diterima sebagai mahasiswa kedinasan Akademi Ilmu Statistik Jakarta dan menyelesaikan pendidikan D-III tersebut pada tahun 1999 sebagai peringkat ke-3 terbaik. Pada tahun 1999 itu juga, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan D-IV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (d.h. Akademi Ilmu Statistik) pada Konsentrasi Statistik Ekonomi dan menyelesaikannya pada tahun 2000 sebagai peringkat ke-2 terbaik. Setelah lulus D-IV, penulis ditugaskan pada Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara pada Bagian Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Pada tahun 2005, penulis diberi kepercayaan untuk menjadi Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Pada tahun 2008, penulis dipindahtugaskan ke Subdirektorat Statistik Perikanan BPS RI. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB melalui penyelenggaraan khusus, setelah sebelumnya menyelesaikan Program Alih Jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekomoni dan Manajemen IPB. Program Penyelenggaraan Khusus ini merupakan kerjasama BPS dan IPB. xvi xvii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xxiii DAFTAR ISTILAH .................................................................................... xxv DAFTAR SINGKATAN ............................................................................ xxvii I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................ 1 1 4 7 7 7 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1 Inflasi dan Stabilitas Inflasi .......................................................... 2.2 Inflation Targeting Framework (ITF) ........................................... 2.3 Kurva Phillips versi New Keynesian berbasis Hybrid ................... 2.3.1 Output Potensial dan Kesenjangan Output .......................... 2.3.2 Deviasi Ekspektasi Inflasi .................................................. 2.4 Model Keseimbangan AD-AS dalam Perekonomian Terbuka ..... 2.4.1 Permintaan Aggregat (AD) ................................................. 2.4.2 Penawaran Aggregat (AS) .................................................. 2.5 Kaitan Keterbukaan Ekonomi dengan Inflasi ................................ 2.5.1 Keterbukaan Perdagangan ................................................... 2.5.2 Keterbukaan Finansial ....................................................... 2.6 Kaitan Nilai Tukar dengan Inflasi ................................................ 2.7 Pemilihan Metode Analisis .......................................................... 2.7.1 Metode Estimasi Inflasi Potensial dan PDB Potensial ......... 2.7.2 Metode Regresi .................................................................. 2.8 Penelitian Terdahulu .................................................................... 2.9 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 2.10 Hipotesis Penelitian ...................................................................... 9 9 12 13 16 17 18 18 19 20 20 24 25 26 26 27 28 31 32 III. METODE PENELITIAN ...................................................................... 3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................. 3.2 Metode Analisis ........................................................................... 3.2.1 Analisis Eksploratif ............................................................ 3.2.2 Metode Hodrick-Presscott Filter ........................................ 3.2.3 Metode Regresi Data Panel ................................................ 3.2.3.1 Regresi Data Panel Statis ...................................... 3.2.3.2 Regresi Data Panel Dinamis .................................. 3.3 Spesifikasi Model ....................................................................... 35 35 36 36 36 37 37 41 48 xviii 3.4 Definisi Variabel Operasional ........................................................ 3.5 Prosedur Analisis ........................................................................... 50 51 IV. GAMBARAN UMUM .......................................................................... 4.1 Inflasi ............................................................................................. 4.2 Produk Domestik Bruto (PDB) ...................................................... 4.3 Ekspor dan Impor ........................................................................... 4.4 Foreign Direct Investment (FDI) dan Portfolio Equity .................... 4.5 Nilai Tukar ..................................................................................... 57 57 60 62 65 67 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 5.1 Pengujian Stasioneritas Data .......................................................... 5.2 Kaitan Keterbukaan Ekonomi dan Variabel Lain dengan Stabilitas Inflasi ............................................................................. 5.2.1 Kaitan Keterbukaan Perdagangan dengan Stabilitas Inflasi .. 5.2.2 Kaitan Keterbukaan Finansial dengan Stabilitas Inflasi ....... 5.2.3 Kaitan Kesenjangan Output dengan Stabilitas Inflasi ........... 5.2.4 Kaitan Nilai Tukar Riil dengan Stabilitas Inflasi ................. 5.2.5 Kaitan Deviasi Ekspektasi Inflasi dengan Stabilitas Inflasi . 5.2.6 Pengujian Kausalitas Granger ............................................. 5.3 Estimasi Model .............................................................................. 5.4 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi ............. 5.5 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi terkait Penerapan Kebijakan ITF .............................................................. 5.6 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi terkait Pengelompokkan Negara Maju dan Berkembang ........................... 69 69 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 6.1 Kesimpulan .................................................................................... 6.2 Implikasi Kebijakan ....................................................................... 6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut ........................................................ 81 81 81 82 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN ................................................................................................ 83 87 71 71 71 72 72 72 73 74 76 78 80 xix DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai Ekspor dan Impor, Keterbukaan Perdagangan, dan Keterbukaan Finansial di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001 dan 2010 ................ 3 2 Daftar Negara-negara Pengadopsi ITF (s.d Desember 2010) .................. 12 3 Data-data yang Digunakan dalam Penelitian ......................................... 35 4 Kerangka Identifikasi Autokorelasi ....................................................... 53 5 Inflasi, Rata-rata Inflasi, dan Koefisien Ragam Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (persen) ...................... 53 Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) ................................................................................................ 59 Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) ................................................................................................ 61 8 PDB Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$) .......... 61 9 Nilai Ekspor di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$) ........................................................................................ 62 10 Nilai Impor di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$) ........................................................................................ 63 11 Nilai Ekspor Netto di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$) ........................................................................................ 64 12 Proporsi Ekspor dan Impor terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) .................................................................... 64 13 Proporsi Netinflow FDI terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) .................................................................... 65 14 Proporsi Netinflow Portfolio Equity terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) ...................... 66 15 Proporsi Netinflow FDI dan Portfolio Equity terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) ...................... 67 16 Perubahan Nilai Tukar di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) ................................................................................................ 67 6 7 xx 17 Perubahan Nilai Tukar Riil di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) .................................................................... 68 18 Rekapitulasi Hasil Pengujian Stasioneritas Data .................................... 70 19 Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Stabilitas Inflasi dengan Variabel yang Diteliti Menggunakan Program Eviews v 6 ................... 73 20 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter PLS, FEM, REM, FD-GMM,dan Sys-GMM .................................................................... 74 21 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan GLS Weighted ..................................................................................... 76 xxi DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tingkat Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) 5 2 Mekanisme Inflasi pada Sektor Riil ...................................................... 10 3 Hipotesis Trade off antara Inflasi dan Kesenjangan Output dalam Kurva Phillips versi NKPC ............................................................................. 15 4 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 32 5 Perkembangan Rata-rata Inflasi dan Stabilitas Inflasi ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) .................................................................... 58 Rata-rata Inflasi dan Stabilitas Inflasi ASEAN+6 menurut Kelompok Negara ITF dan Non-ITF Tahun 2001-2010 (Persen) .......... 60 6 xxii xxiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Grafik Perkembangan Variabel setiap Negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 ................................................................................. 89 2 Hasil Pengujian Stasioneritas Data Menggunakan Program Eviews v 6 92 3 Grafik Kaitan setiap Variabel yang Diteliti dengan Stabilitas Inflasi Tahun 2001-2010 ................................................................................. 102 4 Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Stabilitas Inflasi dengan Variabel yang Diteliti Menggunakan Program Eviews v 6 ................... 107 5 Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS) Menggunakan Program Eviews v 6 ............................................................................................ 108 6 Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM) Menggunakan Program Eviews v 6 ............................................................................................ 109 7 Hasil Estimasi Random Effect Model (REM) Menggunakan Program Eviews v 6 ............................................................................................ 110 8 Hasil Uji Chow ..................................................................................... 111 9 Hasil Uji Haussman Menggunakan Program Eviews v 6 ....................... 112 10 Hasil Estimasi First Difference-Generalized Method of Moments (FDGMM) Menggunakan Program Stata v 10 ............................................. 113 11 Hasil Estimasi System-Generalized Method of Moments (Sys-GMM) Menggunakan Program Stata v 10 ........................................................ 114 12 Hasil Uji Autokorelasi .......................................................................... 115 13 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted Menggunakan Program Eviews v 6 ............................................................................................ 116 14 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted dengan Variabel Dummy Interaksi ITF Menggunakan Program Eviews v 6 .................................. 117 15 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted dengan Variabel Dummy Interaksi Negara Maju Menggunakan Program Eviews v 6 ................... 118 16 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya ............................................... 119 xxiv xxv DAFTAR ISTILAH ASEAN+6 : Backward looking : Building block Cancel out Capital inflow Capital outflow Ceteris paribus Common estimator Common unit root Deviasi ekspektasi inflasi : : : : : : : : Driving force variable Exchange Rate Pass Through First difference Foreign Direct Investment : : : : Forward looking : Individual intercept effect Individual unit root Inflasi potensial Intermitten inflation Kesenjangan output : : : : : Keterbukaan finansial : Keterbukaan perdagangan Mark up Netinflow Non-ITF : : : : Output potensial Panel unit root Persisten inflation Portfolio equity : : : : Purchasing Power Parity : Negara-negara yang terdiri atas: Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, China, Australia, Selandia Baru, dan India Melihat kondisi akan datang berdasarkan kesalahan-kesalahan yang terjadi sampai saat ini Bangunan Menggantikan Aliran modal masuk Aliran modal keluar Kondisi variabel yang lain konstan Penduga umum Akar ciri umum Selisih antara ekspektasi inflasi dengan inflasi potensial Variabel pengendali Dampak langsung nilai tukar Pembeda pertama Investasi dari luar negeri yang meliputi ekuitas modal, keuntungan yang diinvestasikan kembali, modal jangka panjang, dan modal jangka pendek Melihat kondisi akan datang berdasarkan kondisi sampai saat ini Efek intersep individu Akar ciri individu Inflasi dalam kondisi pengangguran alamiah Inflasi terkait kondisi yang tidak diantisipasi Selisih antara output aktual dengan output potensial Rasio netinflow FDI dan portfolio equity terhadap PDB Rasio ekspor dan impor terhadap PDB Melebihkan Arus masuk bersih Jangkar nominal selain ITF, dapat berupa base money targeting atau exchange rate targeting Output dalam kondisi pengangguran alamiah Akar ciri panel Inflasi terkait ekspektasi Saham, penerimaan penyimpanan, dan pembelian langsung saham di pasar saham Kekuatan daya beli xxvi Real money Rule of thumb Shoe-leather cost Stabilitas inflasi : : : : Staggered Stasioner Steady inflation Steady state Trade-off Transient inflation Univariate detrending Unweighted statistic Volatilitas Wage setters : : : : : : : : : : Weighted statistic : Jumlah uang beredar per harga Aturan utama Biaya sol sepatu terkait terjadinya inflasi Selisih antara inflasi aktual dan inflasi potensial Tidak kontinyu Tetap/teratur Inflasi terkait ekspektasi Kondisi mapan Konsekuensi atau pertukaran Inflasi terkait kondisi yang tidak diantisipasi Metode peramalan satu variabel Penduga tidak tertimbang Pergolakan yang terus menerus Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan menentukan upah Penduga tertimbang xxvii DAFTAR SINGKATAN AANZFTA ACFTA AD-AS ADF Fisher AEC AFTA AIFTA AJCEP AKFTA ARIMA ASEAN BLUE BP Filter CEPEA DW EAEC ERPT FD-GMM FDI FEM FTA GLS GMM HP Filter IHK IHP ITF LLC NEER NER NKPC OECD PDB PLS PP Fisher PPP REER REM RER Sys-GMM WDI WTO : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : ASEAN-Australian-New Zealand Free Trade Area ASEAN-China Free Trade Area Aggregate Demand - Aggregate Supply Augmented Dickey Fuller Fisher ASEAN Economic Community ASEAN Free Trade Area ASEAN-India Free Trade Area ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership ASEAN-Korea Free Trade Area Autoregressive Integrated Moving-Average Assosiation of South-East Asian Nations Best Unbiased Linear Estimation Band Pass Filter Comprehensive Economic Partnership in East Asia Durbin-Watson East Asian Economic Community Exchange Rate Pass-Through First Differences Generalized Method of Moments Foreign Direct Investment Fixed Effects Model Free Trade Agreement Generalized Least Square Generalized Method of Moments Hodrick-Prescott Filter Indeks Harga Konsumen Indeks Harga Produsen Inflation Targeting Framework Levin, Lin, dan Chu Nominal Efective Exchange Rate (Nilai Tukar Efektif Nominal) Nominal Exchange Rate (Nilai Tukar Nominal) New Keynesian Philips Curve Organization For Economics Cooperation and Development Produk Domestik Bruto Pooled Least Square Philips Perron Fisher Purchashing Power Parity Real Efective Exchange Rate (Nilai Tukar Efektif Riil) Random Effects Model Real Exchange Rate (Nilai Tukar Riil) System Generalized Method of Moments World Development Indicators World Trade Organization ii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik perdagangan maupun finansial, merupakan konsekuensi dalam era globalisasi. Keterbukaan ekonomi menggambarkan semakin hilangnya hambatan tarif dan non-tarif dalam melakukan perdagangan dan semakin lancarnya mobilitas modal antarnegara. Salvatore (1997) menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi menjanjikan keuntungan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya. Keuntungan dari perdagangan internasional diantaranya berupa pembukaan akses pasar yang lebih luas, pencapaian tingkat efisiensi dan daya saing ekonomi yang lebih tinggi, dan peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Sementara itu, keterbukaan di sektor finansial dapat mendorong keluar-masuknya modal asing, mempercepat terjadinya akumulasi modal, dan transfer teknologi. Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara di suatu kawasan melakukan kesepakatan perdagangan bebas. Pertama, perundingan perdagangan secara multilateral di bawah kerangka World Trade Organization (WTO) tidak selamanya berjalan lancar dan membutuhkan waktu relatif lama. Kedua, perdagangan bebas regional diharapkan dapat mempercepat proses integrasi ekonomi di suatu kawasan. Ketiga, perdagangan bebas regional dijadikan sebagai batu loncatan menuju liberalisasi perdagangan multilateral dalam kerangka WTO. Keempat, melihat kenyataan bahwa sejak tahun 1990-an liberalisasi perdagangan regional semakin berkembang pesat, terutama di Kawasan Eropa dan Amerika Utara. Kelima, pembentukan perdagangan bebas regional sebagai komitmen politik untuk meningkatkan kerjasama regional yang lebih luas (WTO, 2010). Salah satu kerjasama tingkat regional yang sudah berlangsung adalah ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA diberlakukan untuk mengurangi hambatan tarif secara bertahap sejak tahun 1992. Saat ini AFTA beranggotakan sepuluh negara di Asia Tenggara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Kerjasama kawasan ini kemudian berkembang dengan mitra dagang lainnya, yaitu: China, Korea Selatan, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India 2 (ASEAN+6). Bersama China, ASEAN membentuk ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang ditandatangani pada 29 November 2004. Bersama Korea Selatan, ASEAN membentuk ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) yang ditandatangani pada 26 Agustus 2006. Bersama Jepang, ASEAN membentuk ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) yang ditandatangani pada 1 Maret 2008. Bersama Australia dan Selandia Baru, ASEAN membentuk ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) yang ditandatangani pada 27 Februari 2009. Terakhir, bersama India, ASEAN membentuk ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yang ditandatangani pada 13 Agustus 2009. Para pemimpin negara-negara ASEAN+6 sepakat membentuk Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) yang bertujuan meningkatkan integritas ekonomi di ASEAN+6 dan memperkecil kesenjangan pembangunan antarnegara. Selain itu, telah dirintis pula kerangka kerjasama untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community, AEC) pada tahun 2015 dan Masyarakat Ekonomi Asia Timur (East Asian Economic Community, EAEC) yang dipelopori oleh negara-negara ASEAN, China, Jepang, dan Korea Selatan yang akan mengurangi hambatan non-tarif. Winantyo et al. (2008) menyatakan bahwa dalam mewujudkan AEC berupa terjadinya keterbukaan perdagangan, investasi, dan tenaga kerja terampil maka dibutuhkan keterbukaan finansial. Keterbukaan finansial tersebut diperlukan untuk mendukung transaksi keuangan yang pembangunan, lebih efisien, sebagai salah satu memfasilitasi perdagangan sumber internasional, pembiayaan mendukung perkembangan sektor keuangan, dan akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peranan negara-negara ASEAN dan mitra dagangnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam perdagangan dunia pada satu dekade terakhir. Pada tahun 2001, negara-negara ASEAN+6 dengan total ekspor dan impor sebesar US$2.936 milyar memiliki peran 18,88 persen terhadap perdagangan dunia. Dengan berbagai keterbukaan yang ada, peranannya meningkat menjadi 25,22 persen dengan nilai US$9.385 milyar pada tahun 2010. Peningkatan peran ASEAN+6 terhadap perdagangan dunia juga dapat terlihat dari 3 keterbukaan perdagangannya, dimana rasio ekspor dan impor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari 39,83 persen tahun 2001 menjadi 55 persen pada tahun 2010. Peningkatan ini lebih cepat dibandingkan keterbukaan perdagangan dunia yang bergerak dari 48,30 persen tahun 2001 menjadi 55,86 persen tahun 2010. Di antara negara-negara ASEAN+6, tingkat keterbukaan perdagangan paling tinggi terdapat di Singapura. Sementara itu, China menjadi negara dengan nilai perdagangan terbesar dengan nilai mencapai US$3.273 milyar, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Nilai Ekspor dan Impor, Keterbukaan Perdagangan, dan Keterbukaan Finansial di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001 dan 2010 Negara (1) Ekspor dan Impor (Milyar US$) 2001 2010 (3) Keterbukaan Finansial2 2001 2010 (4) (5) (6) (7) 112 145 75 189 329 571 349 839 126 167 35 336 430 143 420 823 3.273 1.035 1.599 800 451 75 69,79 125,22 98,91 203,36 360,57 43,08 69,22 20,49 26,41 43,77 66,85 47,59 135,14 71,42 176,80 394,07 55,23 101,99 29,29 46,32 39,87 55,90 -1,58 4,69 0,42 0,60 16,45 3,40 2,73 1,11 1,76 4,05 -0,49 2,18 3,06 1,10 4,00 20,21 3,65 2,25 0,71 3,71 3,58 0,22 ASEAN+6 2.936 9.385 39,83 55,00 3,01 4,06 Dunia 15.551 37.205 48,30 55,86 Indonesia Thailand Filipina Malaysia Singapura China Korea Selatan Jepang India Australia Selandia Baru (2) Keterbukaan Perdagangan1 2001 2010 Keterangan: 1) Persentase ekspor dan impor terhadap PDB 2) Persentase netinflow Foreign Direct Investment (FDI) dan Portfolio Equity terhadap PDB Sumber: Diolah dari World Bank (2012) Tabel 1 juga menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN+6 semakin terbuka dalam hal finansial, khususnya modal swasta. Proporsi aliran masuk bersih (netinflow) modal swasta yang terdiri atas Foreign Direct Investment (FDI) dan portfolio equity terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari 3,01 persen tahun 2001 menjadi 4,06 persen tahun 2010. Singapura menjadi negara dengan tingkat keterbukaan finansial tertinggi di ASEAN+6, dimana proporsi 4 netinflow modal swastanya mencapai 16,45 persen pertahun pada periode tahun 2001-2010 (World Bank, 2012). 1.2 Perumusan Masalah Keterbukaan ekonomi, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pada prinsipnya memang tidak hanya berpengaruh terhadap output, tetapi juga harga. Hal ini terjadi karena adanya konsekuensi (trade off) antara output dan inflasi. Ada empat biaya yang ditimbulkan sebagai akibat terjadinya inflasi, yaitu: shoe-leather costs, distorsi pajak pendapatan, ilusi uang, dan variabilitas inflasi (Blanchard, 2009). Pada sisi lain, ada suatu kebijakan otoritas moneter yang bertujuan menstabilkan perubahan harga, yaitu: Inflation Targeting Framework (ITF). Stabilitas inflasi ini penting dilakukan terkait dengan ekspektasi baik masyarakat maupun pemerintah. Inflasi yang berfluktuasi akan menyusahkan masyarakat dan pemerintah dalam program perencanaan. Memang, sejak terjadinya krisis ekonomi pada 1997-1998 banyak negara mengubah kebijakan moneternya, baik dalam rezim nilai tukar maupun jangkar nominal. Rezim nilai tukar mengalami perubahan dari yang sebelumnya nilai tukar baku (fixed exchange rate) menjadi nilai tukar bebas-terkendali (managefloating exchange rate) atau bahkan nilai tukar bebas (floating exchange rate), sedangkan jangkar nominal mengalami perubahan dari yang sebelumnya penargetan uang beredar (money targeting) atau penargetan nilai tukar (exchange rate targeting) menjadi penargetan inflasi (inflation targeting). Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu jangkar nominal dimana kebijakan ini dapat diterapkan dengan syarat bahwa rezim nilai tukar negara tersebut adalah floating dan memiliki kebijakan keterbukaan ekonomi atau pada suatu negara dengan rezim nilai tukar tetap dan keterbukaan ekonomi terbatas. ITF pertama kali dilakukan oleh Selandia Baru pada tahun 1990. Selain Selandia Baru, negara-negara yang mengadopsi ITF di kawasan ASEAN+6 adalah Australia, Thailand, Filipina, Korea Selatan, dan Indonesia. Dengan adanya ITF, bank sentral di negara-negara ITF melakukan penargetan inflasi setiap awal tahun. Negara-negara ITF berharap bahwa dengan menargetkan inflasi di awal tahun, 5 kebijakan makroekonomi yang mendukung pertumbuhan ekonomi dapat lebih stabil dan berkelanjutan tanpa khawatir atas perubahan tingkat inflasi yang terlalu besar. Sementara itu, bukan berarti di negara-negara non-ITF tidak ada penargetan inflasi. Negara-negara non-ITF melakukan pengasumsian inflasi yang akan direvisi seiring perkembangan perekonomian, biasanya setiap tiga atau enam bulan. 14,00 Inflasi (%) 12,00 10,00 8,00 Negara-negara ITF 6,00 Indonesia Filipina 4,00 Thailand 2,00 Australia Selandia Baru 0,00 -2,00 14,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Korea Selatan Tahun Inflasi (%) 12,00 10,00 8,00 Negara-negara Non-ITF 6,00 Malaysia 4,00 Singapura 2,00 China India 0,00 -2,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jepang Tahun Sumber: Diolah dari World Bank (2012) Gambar 1 Tingkat Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) Gambar 1 menunjukkan bahwa selama satu dekade terakhir, dimana era keterbukaan makin populer, inflasi di negara-negara ASEAN+6 mengalami 6 pergerakan yang berbeda. Inflasi negara-negara pengadopsi ITF memiliki pergerakan yang relatif stabil, kecuali Indonesia, Filipina, dan Thailand. Sementara itu, hanya di Jepang dan Singapura yang inflasinya relatif stabil di negara-negara non-ITF. Bahkan, inflasi di India (yang merupakan negara nonITF) terus mengalami peningkatan. Menurut Krugman dan Obstfelt (2005), dalam makroekonomi ada trilema yang harus dihadapi. Pemerintah dan bank sentral harus memilih dua dari tiga kemungkinan yang ada, yaitu: keterbukaan ekonomi, pembakuan nilai tukar, dan independensi bank sentral. Artinya, ketika pemerintah memilih untuk tidak membatasi keterbukaan ekonomi dan bank sentral memilih untuk independen (ada penargetan inflasi) maka pilihan berikutnya adalah membiarkan nilai tukar bergerak bebas. Penelitian-penelitian mengenai keterbukaan ekonomi yang dilakukan sebelumnya umumnya mengaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang seluruhnya menyatakan bahwa ada hubungan positif antara keterbukaan dengan pertumbuhan ekonomi (Purwanto, 2011). Sementara itu, yang mengaitkan keterbukaan ekonomi dengan inflasi, khususnya stabilitas inflasi, sangat terbatas. Penelitian mengenai keterbukaan dan inflasi awalnya dilakukan oleh Romer (1993) dan Lane (1997). Mereka menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara keterbukaan perdagangan dan inflasi. Artinya, makin bebas perdagangan maka inflasi akan makin rendah. Akan tetapi, Temple (2002) tidak mendapatkan hubungan negatif tersebut. Mukherjee (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keterbukaan finansial menurunkan Exchange Rate Pass-Through (ERPT) terhadap inflasi domestik dan kemudian memperbaiki trade off output terhadap inflasi. Mukherjee (2011) juga mendapatkan bahwa keterbukaan perdagangan dan keterbukaan finansial akan menurunkan selisih antara inflasi aktual dengan target inflasi. Dengan demikian, pemahaman yang baik mengenai dampak keterbukaan ekonomi, baik perdagangan maupun finansial, terhadap stabilitas inflasi mutlak diperlukan agar kebijakan yang diterapkan dapat berjalan efektif dan tepat sasaran terutama di negara-negara ASEAN+6. Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 7 1. Bagaimana kaitan antara keterbukaan ekonomi dengan stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6? 2. Bagaimana dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6 terkait dengan adanya kebijakan ITF? 3. Bagaimana dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di kelompok negara maju dan negara sedang berkembang di ASEAN+6? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kaitan antara keterbukaan ekonomi dengan stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6. 2. Menganalisis dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6 terkait dengan adanya kebijakan ITF . 3. Menganalisis dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi pada kelompok negara maju dan negara sedang berkembang di ASEAN+6. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah dan bank sentral mengenai dampak keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan dunia pendidikan dan penelitian di masa mendatang. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, negara-negara yang dicakup sebanyak sebelas negara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru yang selanjutnya disebut ASEAN+6. Data yang digunakan adalah data tahunan mulai tahun 2001 sampai 2010. 8 Adapun keterbatasan penelitian ini adalah: 1. Negara ASEAN yang dicakup hanya lima negara karena ketersediaan data. 2. Indikator keterbukaan perdagangan dilihat dari persentase total ekspor dan impor terhadap PDB, bukan ekspor dan impor intra ASEAN+6. 3. Filipina dan Indonesia dikelompokkan sebagai negara ITF meskipun baru menerapkan ITF secara resmi pada Januari 2002 dan Juli 2005. 4. Jumlah individu (dalam hal ini adalah negara) yang diteliti tidak berbeda jauh dengan periode waktu sehingga dapat berdampak pada penggunaan metode data panel. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inflasi dan Stabilitas Inflasi Milton Friedman (1963) dalam Roger (1998) mendefinisikan inflasi sebagai kenaikan pada tingkat harga umum yang mapan (steady) dan terusmenerus (sustained). Friedman menekankan perbedaan antara presisten inflation atau steady inflation dengan intermitten inflation atau transient inflation. Presisten inflation atau steady inflation terkait dengan masalah ekspektasi dari inflasi itu sendiri, sedangkan intermitten inflation atau transient inflation terkait dengan kondisi yang tidak diantisipasi. Berdasarkan definisi umum tersebut terdapat tiga aspek penting, yaitu: 1. Ada kecenderungan harga-harga yang meningkat, artinya dalam kurun waktu tertentu, harga-harga menunjukkan kecenderungan (trend) atau tendensi yang meningkat. 2. Peningkatan harga berlangsung secara terus-menerus, artinya dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. 3. Pengertian harga adalah tingkat harga umum, artinya harga tersebut mencakup keseluruhan komoditas dan bukan hanya pada satu atau beberapa komoditas saja. Pada dasarnya, pengertian inflasi dibedakan menjadi dua aliran, yaitu Moneteris dan Keynesian. Moneteris menganggap bahwa pergerakan inflasi seiring dengan peningkatan jumlah uang beredar, baik dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti luas (M2), sehingga seringkali peningkatan jumlah uang beredar dianggap sebagai penyebab utama terjadinya inflasi. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah karena Friedman menyatakan inflasi merupakan sebuah fenomena moneter. Inflasi sebagai fenomena moneter merupakan salah satu indikator yang dapat mencerminkan kondisi riil nilai uang. Bila terjadi inflasi maka nilai uang secara riil mengalami penurunan dan akan menyebabkan kemampuan daya beli dari uang itu menurun. Bila inflasi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil, maka sudah dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakan secara umum mengalami penurunan. 9 10 Melalui pendekatan sektor riil, aliran Keynesian membagi penyebab inflasi menjadi dua faktor, yaitu adanya kelebihan permintaan dan adanya kenaikan biaya produksi. Faktor pertama adalah ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang tidak dapat mencukupi kelebihan permintaan masyarakat secara umum sehingga menyebabkan kenaikan harga secara agregat. Secara implisit, ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang menyiratkan kapasitas produksi optimum dari suatu perekonomian sehingga hal tersebut sesungguhnya mencerminkan kondisi output potensial. Inflasi dengan tipe seperti ini seringkali diistilahkan sebagai inflasi akibat tarikan permintaan (demand pull inflation), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 panel (a). Inflasi tipe kedua seringkali disebut sebagai inflasi akibat dorongan biaya (cost push inflation), dimana kenaikan harga yang terjadi merupakan kondisi yang tidak diantisipasi dan hal tersebut disebabkan oleh kenaikan biaya produksi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 panel (b). Harga (P) Harga (P) AS AS’ AS P’ P’ P AD’ P AD AD Y Y’ Output (Y) (a) Demand Pull Inflation Y’ Y Output (y) (b) Cost Push Inflation Keterangan: - AD: Aggregat Demand - AS: Aggregat Supply Sumber: Blanchard (2009) Gambar 2 Mekanisme Inflasi pada Sektor Riil Inflasi akibat tarikan permintaan terjadi karena adanya kebijakan ekspansioner, baik fiskal maupun moneter. Kebijakan fiskal ekspansioner yang memicu terjadinya inflasi adalah peningkatan belanja pemerintah dan penurunan pajak, sedangkan kebijakan moneter ekspansioner dapat berupa peningkatan jumlah uang beredar, penurunan suku bunga, atau devaluasi nilai tukar (pada 11 negara dengan rezim nilai tukar tetap). Sementara itu, inflasi akibat dorongan harga terjadi akibat adanya guncangan (shock) dari sisi penawaran, seperti: kenaikan harga minyak dunia, kenaikan upah, dan bencana alam. Pada praktiknya, inflasi dihitung berdasarkan pendekatan indeks harga. Beberapa alternatif dalam menghitung indeks harga adalah Indek Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga Produsen (IHP) dan indeks harga implisit yang diturunkan dari penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB), atau sering disebut sebagai GDP deflator. Berdasarkan beberapa alternatif dalam penghitungan inflasi, umumnya digunakan IHK karena nilai uang secara umum terkait dengan kekuatan daya beli dari uang pada tingkat konsumen. Hanya saja perlu disadari bahwa IHK tidak didesain untuk mengukur kecenderungan (trend) dari harga, sehingga seringkali IHK tidak dapat memberikan gambaran mendasar mengenai inflasi, mengingat ada ketidaksesuaian antara konsep dengan pendekatan penghitungan inflasi tersebut (Hanh, 2002). Adanya ketidaksesuaian tersebut, dari sudut pandang teoritis dapat disanggah karena tujuan utama dari kebijakan moneter adalah memaksimumkan kesejahteraan masyarakat. Secara logika, wajar jika kemudian pihak otoritas moneter memfokuskan pada indeks harga yang dapat lebih mendekati indeks biaya hidup dari konsumen. Indeks biaya hidup dari konsumen lebih bisa didekati oleh IHK dibanding dengan IHP dan indeks implisit. Pertimbangan lain dari penggunaan IHK terkait dengan kualitas dari IHK yang jauh lebih baik dibanding indeks harga lainnya adalah pada umumnya badan/biro statistik di seluruh negara berusaha mengerahkan lebih banyak sumber daya untuk membangun IHK dibanding indeks harga lainnya. Oleh sebab itu, cukup adil jika mengatakan bahwa kebanyakan bank sentral yang menerapkan penargetan inflasi telah menemukan alasan secara praktis dalam menggunakan IHK bersamaan dengan alasan kredibilitas dalam menggunakan IHK dibanding pertimbangan untuk menolaknya (Roger, 1998). Berdasarkan alasan-alasan tersebut, inflasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan dari IHK. Lebih lanjut, stabilitas inflasi didefinisikan sebagai kondisi dimana inflasi aktual tidak berbeda jauh dari inflasi potensialnya (Mishkin dan Schmidt-Hebbel, 2007). Sementara itu, Mukherjee (2011) mengasumsikan bahwa inflasi potensial 12 di negara-negara pengadopsi ITF adalah inflasi target sehingga mendefinisikan inflasi yang stabil sebagai inflasi yang tidak berbeda jauh dari inflasi yang telah ditargetkan sebelumnya. 2.2 Inflation Targeting Framework (ITF) Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja dari bank sentral, selain base money targeting dan exchange rate targeting, yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Tabel 2 Daftar Negara-negara Pengadopsi ITF (s.d. Desember 2010) No. Negara (1) (2) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Selandia Baru Kanada Inggris Raya Swedia Finlandia Australia Spanyol Israel Rep. Ceska Polandia Brasil Chile Kolombia Afrika Selatan Thailand Tahun Mulai No. Negara (3) (1) (2) 1990 1991 1992 1993 1993 1993 1995 1997 1997 1998 1999 1999 1999 2000 2000 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. Korea Selatan Meksiko Islandia Norwegia Hongaria Peru Filipina Guatemala Slovakia Indonesia Rumania Turki Serbia Ghana Tahun Mulai (3) 2001 2001 2001 2001 2001 2002 2002 2005 2005 2005 2005 2006 2006 2007 Sumber: Roger (2009) dalam Svensson (2010) Keterangan: Negara yang dicetak tebal adalah yang termasuk dalam penelitian Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF. Pertama, ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi secara eksplisit, masyarakat akan memahami arah inflasi. Kedua, ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukan time lag. Ketiga, ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan moneter. Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspek good 13 governance dari sebuah bank yang telah diberikan independensi. Keempat, ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan inflasi. Jangkar nominal ITF pertama kali digunakan oleh Selandia Baru pada tahun 1990. Sampai Desember 2010, ada sebanyak 29 negara mengadopsi ITF sebagai kebijakan moneternya (selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2). 2.3 Kurva Phillips versi New Keynesian Berbasis Hybrid Phillips mengungkapkan adanya bukti yang cukup kuat dan hubungan negatif yang relatif stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi upah di Inggris sepanjang satu abad sebelumnya. Tak lama berselang, beberapa peneliti selanjutnya menemukan hubungan yang sama antara tingkat penganguran dan inflasi harga dan hubungan tersebut kemudian dikenal sebagai kurva Phillips. Berdasarkan bukti empiris tersebut, disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi, baik dari tinjauan teoritis maupun berdasarkan dukungan bukti empiris (Romer, 2006). Sampai dengan tahun 1960-an, kurva Phillips seakan menjadi rule of thumb dan banyak diterima oleh berbagai kalangan, namun ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia dan perubahan cara wage setters dalam membangun ekspektasi terkait dengan perubahan perilaku inflasi sehingga inflasi menjadi lebih persisten, hubungan tersebut tidak terlihat lagi. Berdasarkan temuan tersebut, hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips kemudian dipertanyakan. Serangan terhadap hubungan yang permanen antara pengangguran dan inflasi atau output dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips dilakukan oleh Friedman (1968) dan Phelp (1968) dalam Blanchard (2009) yang menyatakan bahwa hubungan tersebut adalah tidak dapat diterima karena variabel nominal seperti inflasi dan penawaran uang (money supply) tidak dapat memengaruhi variabel riil. Hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukan Friedman (1968) dalam Romer (2006) memberikan penjelasan yang lebih memuaskan terhadap fenomena stagflasi yang dialami negara-negara industri pada tahun 1970-an. Secara umum, kurva Phillips versi tradisional (bahkan dalam bentuk augmented version 14 sekalipun) masih tetap menjadi obyek kajian yang intensif dari beberapa sudut pandang. Hal ini terutama menyangkut kurangnya landasan analisis ekonomi mikro yang dalam sehingga menjadi subyek dari kritik Lucas (Lucas critique). Lebih dari itu, validitasnya sebagai suatu building block dari model untuk evaluasi atas berbagai alternatif kebijakan masih dipertanyakan. Perkembangan terkini dari teori inflasi melahirkan analisis Kurva Phillips versi New Keynesian (New Keynesian Phillips Curve, NKPC). NKPC didasarkan pada landasan mikroekonomi yang cukup kuat sebagai jawaban atas kritik Lucas dari versi kurva Phillips sebelumnya. Perbedaan yang mendasar versi ini dengan sebelumnya adalah perubahan harga merupakan hasil dari keputusan optimal dari para pelaku bisnis dalam memaksimumkan keuntungannya pada pasar persaingan monopolistik, dengan kendala berupa frekuensi penyesuaian harga dan dalam analisis pembentukan harga nominal yang bersifat tidak kontinyu (staggered), yang diilhami oleh John B. Taylor (1980) dalam Gali (2002). Spesifikasi umum dari pendekatan ini didasarkan pada model staggered price setting yang dikembangkan oleh Calvo (1983) dalam Solikin (2004). Persamaan utama mengkaitkan tingkat inflasi saat ini dengan inflasi masa depan yang diharapkan dan biaya marginal (Gali dan Gertler (2000) dan Gali et al. (2001 dan 2005)): π t = β E t {π t+1 } + λ mc t ’ ............................................ (2.1) dengan mc t’ adalah persentase deviasi biaya marginal riil dari level steady state, β adalah discount factor, dan λ adalah koefisien yang merupakan dekomposisi dari beberapa parameter dalam sistem permodelan, sekaligus mencerminkan derajat kekakuan harga (price rigidity). Mengingat biaya marginal riil merupakan fungsi dari output riil, termasuk level steady state dari biaya marginal riil adalah fungsi dari output potensial, maka dengan beberapa asumsi yang dipakai dalam model standar optimisasi dengan perilaku harga nominal yang kaku, pola hubungan yang sederhana antara kedua variabel tersebut dapat diturunkan sebagai berikut, mc t = δ ( y t – y* t ) ............................................ (2.2) 15 dengan y t dan y* t masing-masing adalah logaritma dari tingkat output riil dan tingkat output potensial. Kombinasi dari persamaan (2.1) dan (2.2) menghasilkan rumusan NKPC dengan dasar kesenjangan output (Gali, 2002) : π t = β E t {π t+1 } + κ ( y t – y* t ) ............................................. (2.3) dengan κ ≡ λδ. Persamaan (2.3) memperlihatkan adanya trade off antara inflasi dengan kesenjangan output, yaitu besarnya deviasi output aktual terhadap output potensial atau output naturalnya. πa π* Keterangan: Ya : Output aktual Y* : Output potensial πa : Inflasi aktual π* : Inflasi potensial Sumber : Romer (2006) Gambar 3 Hipotesis Trade off antara Inflasi dan Kesenjangan Output dalam Kurva Phillips versi NKPC Gambar 3 menunjukkan bahwa ketika output aktual berada di atas kondisi potensialnya maka tingkat inflasi akan lebih tinggi dari inflasi potensialnya. Kondisi sebaliknya, jika output aktual lebih rendah dari output potensial, maka tingkat inflasi aktual akan lebih rendah dari inflasi potensialnya. 16 Perlu dipahami bahwa trade off yang diilustrasikan oleh Gambar 3 tersebut tidak bersifat permanen karena slop dari kurva Phillips versi NKPC bisa berubahubah seiring dengan terjadinya perubahan fundamental dari suatu perekonomian (regime dependent). Beberapa penelitian dengan menggunakan kurva Phillips menyatakan bentuk kurva tersebut bisa menjadi lebih tegak atau lebih datar sehingga hal tersebut menyebabkan tidak terjadinya trade off sama sekali. Beberapa kritik ditujukan pada validitas formulasi NKPC yang menyatakan bahwa inflasi hanya merupakan fenomena forward looking. Mengingat adanya persistensi dari tekanan inflasi, alternatif dari rumusan tersebut adalah inflasi pada dasarnya merupakan fenomena backward looking. Hal ini tercermin dari keterkaitan yang erat antara inflasi saat ini dengan inflasi periode sebelumnya sebagaimana dipaparkan oleh analisis Kurva Phillips versi tradisional. Berkaitan dengan kedua fenomena tersebut, Gali dan Gertler (2000) dan Gali et al. (2005) mengajukan model gabungan/hibrid (hybrid model) dari NKPC, yaitu model yang juga memperhitungkan kemungkinan adanya fraksi tertentu dari perusahaan yang menggunakan pola penyesuaian backward looking sebagai rule of thumb. Berdasarkan hipotesis tersebut, NKPC dengan basis model hibrid dapat dituliskan sebagai: π t = γ b π t-1 + γ f Ε t {π t+1 } + λ mc t ’ ............................................ (2.4) atau dengan menggunakan variabel kesenjangan output sebagai driving force variabel (Solikin, 2004) : π t = γ b π t-1 + γ f Ε t {π t+1 } + κ (y t – y* t ) ........................................... (2.5) dengan γ b dan γ f masing-masing merupakan koefisien dekomposisi dari beberapa parameter dalam permodelan, sekaligus mencerminkan perilaku backward looking dan forward looking dari inflasi. 2.3.1 Output Potensial dan Kesenjangan Output Output potensial sering diartikan sebagai level dari kegiatan ekonomi ketika permintaan agregat dan penawaran agregat berada pada kondisi yang konsisten dengan tingkat inflasi yang stabil, sementara kesenjangan output 17 adalah deviasi dari output aktual terhadap tingkat output potensial. Kedua indikator tersebut kian menjadi fokus perhatian, karena kemudian sering digunakan untuk menilai sampai sejauhmana efektivitas dari kebijakan makro ekonomi. Konsep di atas sepertinya dekat dengan definisi yang diberikan oleh Friedman (1968) dalam Gibbs (1995), yaitu tingkat output maksimum yang bisa dihasilkan tanpa menimbulkan kenaikan inflasi. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, Svensson (2000) dan Mukherjee (2011) mendapatkan hasil bahwa kesenjangan output berpengaruh positif terhadap inflasi. Artinya, makin besar kesenjangan antara output aktual dengan output potensial maka selisih inflasi dengan inflasi potensial/targetnya juga semakin besar, dengan kata lain inflasi makin tidak stabil. 2.3.2 Deviasi Ekspektasi Inflasi Ekspektasi inflasi atau inflasi mendatang yang diprediksi oleh pelaku ekonomi adalah salah satu unsur memegang peran penting dalam formulasi kurva Phillips. Pada horizon waktu yang cukup panjang, hal ini secara tidak langsung bisa mencerminkan kredibilitas dari pihak otoritas moneter terkait dengan komitmennya dalam stabilisasi harga. Munculnya unsur ekspektasi inflasi sebagai fenomena forward looking dalam kurva Phillips merupakan jawaban atas kritik yang dilakukan oleh Lucas. Ide dasar dari ekspektasi inflasi tersebut adalah hipotesis ekspektasi rasional, dengan setiap pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi secara optimal tergantung dari tingkat pemahamannya mengenai kondisi ekonomi dan sejumlah informasi yang tersedia untuknya (Lucas (1972) dalam Kiley (2009)). Karena pengetahuan yang tidak sempurna (imperfect knowledge), maka pemahaman setiap pelaku ekonomi terhadap kondisi ekonomi menjadi berbedabeda terkait ekspektasi inflasi (Orphanides dan Williams, 2003). Hal ini membuat ekspektasi inflasi sangat dipengaruhi oleh kondisi dan latar belakang sosialdemografi dari setiap pelaku ekonomi. Hasil penelitian Blanchflower dan MacCoille (2009) secara signifikan menunjukkan bahwa perbedaan kondisi sosial-demografi dari pelaku ekonomi memengaruhi pembentukkan ekspektasi inflasi. 18 Walsh (2009) dan Mukherjee (2011) membedakan antara ekspektasi inflasi dengan inflasi potensial/target. Ekspektasi inflasi merupakan inflasi yang diprediksi masyarakat, sedangkan inflasi potensial/target merupakan inflasi dalam kondisi potensial atau yang ditargetkan oleh otoritas moneter. Walsh (2009) dan Mukherjee (2011) menggunakan metode forward looking untuk mendapatkan ekspektasi inflasi masyarakat (yaitu dengan me-rata-rata-kan inflasi dua periode sebelumnya) dalam penelitiannya. Hasil yang diperoleh adalah deviasi ekspektasi inflasi terhadap inflasi potensial/target berhubungan searah dengan selisih inflasi dengan inflasi potensial/targetnya. Artinya, semakin besar deviasi ekspektasi inflasi maka inflasi makin tidak stabil. 2.4 Model Keseimbangan AD-AS dalam Perekonomian Terbuka Model keseimbangan AD–AS dibangun berdasarkan pendekatan dua buah kurva, yaitu kurva permintaan agregat (aggregate demand, AD) dan kurva penawaran agregat (aggregate supply, AS) yang mewakili terjadinya kondisi keseimbangan serentak yang terjadi pada pada sisi permintaan dan sisi penawaran (Blanchard, 2009). 2.4.1 Permintaan Agregat (AD) Kurva permintaan agregat dapat diturunkan dari kurva IS–LM yang berdasarkan model Keynesian, yaitu kondisi yang mewakili terjadinya keseimbangan serentak yang terjadi pada pasar barang dan pasar uang. Kurva IS adalah kurva yang mewakili kondisi keseimbangan pada pasar barang/jasa yang dinyatakan dalam kombinasi hubungan antara output dan tingkat suku bunga dengan total jumlah barang yang diproduksi sama dengan total jumlah barang/jasa yang diminta. Secara ringkas persamaan untuk kurva IS dalam kondisi perekonomian terbuka dari model Keynesian adalah (Blanchard, 2009): Y = C(Yd) + I(Y,r) + G + NX(Y,Y*,e) ............................................ (2.6) dengan Y adalah output, C adalah konsumsi masyarakat yang dipengaruhi oleh pendapatan disposibel (Yd), I adalah investasi yang dipengaruhi oleh output (Y) dan suku bunga riil (r), G adalah pengeluaran pemerintah, NX adalah ekspor netto 19 yang dipengaruhi oleh output (Y), output di luar negeri (Y*), dan nilai tukar riil (e). Kurva LM adalah kondisi yang mencerminkan keseimbangan di pasar uang berdasarkan kombinasi hubungan antara tingkat suku bunga dan output dengan permintaan uang (money demand) sama besar dengan penawaran uang (money supply). Pendekatan Keynesian untuk kondisi real money balanced tersebut dapat diringkas menjadi persamaan berikut (Blanchard, 2009): M Y= f ,r P ............................................. (2.7) Dengan Y adalah output yang dipengaruhi oleh jumlah uang beredar riil (M/P) dan suku bunga riil (r). Jika kemudian persamaan (2.6) dan persamaan (2.7) digabungkan, akan diperoleh persamaan untuk permintaan agregat : M Y= f , G, T , e P ............................................. (2.8) Persamaan (2.8) secara implisit memperlihatkan bagaimana jumlah uang beredar riil (M/P), belanja pemerintah (G), pajak (T) dan nilai tukar riil (e) dapat memengaruhi permintaan agregat. 2.4.2 Penawaran Agregat Kurva penawaran agregat diturunkan dari price setting relation (PS) dan wage setting relation (WS), dengan harga ditentukan oleh besarnya upah sebagai input dalam kegiatan produksi dan mark up, sementara upah dipengaruhi oleh ekspektasi harga ke depan dan tingkat pengangguran (Blanchard, 2009): PS : P =(1+µ)W WS : W = Pe F(u, z) ............................................. (2.9) ............................................. (2.10) dengan P adalah tingkat harga, Pe adalah ekspektasi harga, W adalah upah nominal, µ adalah mark up, u adalah tingkat pengangguran, dan z adalah variabel lainnya. 20 Melalui proses eleminasi terhadap variabel upah nominal (W), persamaan (2.10) kemudian dapat dimasukkan ke persamaan (2.9), sehingga akan diperoleh persamaan untuk penawaran agregat, P = Pe ( 1 + µ ) F(u, z) ............................................ (2.11) Jika tingkat pengangguran (u) kemudian digantikan dengan dengan output (Y) per angkatan kerja (L), sehingga ; u = 1 − Y L maka persamaan (2.11) dapat dituliskan dalam bentuk: Y P = P e (1 + u ) F 1 − , z L ............................................ (2.12) Berdasarkan persamaan (2.12), secara eksplisit dapat dilihat, beberapa variabel yang dapat memengaruhi tingkat harga adalah ekspektasi harga, mark up dan output. 2.5 Kaitan Keterbukaan Ekonomi dengan Inflasi 2.5.1 Keterbukaan Perdagangan Teori perdagangan internasional menyatakan bahwa dengan adanya kelimpahan sumber daya, setiap wilayah yang memiliki keunggulan komparatif akan melakukan spesialisasi guna memproduksi komoditi yang harganya relatif murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional. Kondisi sebaliknya, apabila terjadi keterbatasan sumber daya, melalui perdagangan interregional dan pasar internasional, kebutuhan akan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, mengingat adanya keunggulan komparatif dari wilayah atau negara lain, dapat dipenuhi melalui kegiatan impor. Oleh karenanya, kegiatan ekspor-impor dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk suatu wilayah atau negara karena konsumen akan mendapatkan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, terkait dengan adanya spesialisasi antar wilayah atau negara (Salvatore, 1997). Integrasi ekonomi kawasan melalui pembentukan blok perdagangan bebas regional memiliki implikasi terhadap kesejahteraan negara-negara anggota, yaitu: efek positif berupa kreasi perdagangan (trade creation) dan efek negatif karena 21 diversi perdagangan (trade diversion). Perubahan tingkat kesejahteraan tersebut ditentukan oleh seberapa besar terjadinya kreasi dan diversi perdagangan. Apabila kreasi lebih besar dari diversi perdagangan, maka kesejahteraan meningkat dan sebaliknya. Kreasi perdagangan adalah keadaan dimana sebuah perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement, FTA) dapat menciptakan perdagangan di antara anggota yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan adanya kreasi perdagangan, sebuah negara anggota FTA akan memperoleh barang-barang yang diproduksi secara lebih efisien dari negara anggota FTA lainnya (Krugman dan Obstfeld, 2005). Berdasarkan teori perdagangan internasional tersebut, seharusnya dengan semakin besar kapasitas perdagangan internasional akan menurunkan harga barang/jasa kebutuhan konsumen sehingga secara tidak langsung hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan (trade openness) dengan inflasi diprediksi akan berbanding terbalik atau memiliki hubungan negatif. Sementara itu, berdasarkan model keseimbangan AD-AS, pengaruh keterbukaan perdagangan bisa positif atau negatif terhadap harga. Jika ekspor lebih besar daripada impor (atau net ekspor positif) maka permintaan aggregat akan meningkat yang diikuti dengan peningkatan harga. Sebaliknya, jika ekspor lebih rendah daripada impor (atau net ekspor negatif) maka permintaan aggregat akan menurun yang diikuti dengan penurunan harga. Terkait dengan prediksi dari teori perdagangan standar tersebut, Romer (1993) memberikan bukti empiris dari 114 negara pada periode tahun 1973-1988 dengan menggunakan regresi data panel yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara tingkat keterbukaan perdagangan (dalam hal ini rasio impor terhadap PDB) dengan inflasi. Romer menemukan bahwa rata-rata tingkat inflasi yang lebih rendah terjadi pada negara dengan perekonomian lebih terbuka. Penelitian ini dilanjutkan oleh Lane (1997) dengan menambahkan masalah independensi dari bank sentral terkait dengan hubungan antara keterbukaan dan inflasi. Kondisi di negara-negara dengan bank sentral yang lebih independen, adalah bank sentral akan melaksanakan tugasnya dengan kredibilitas sehingga seharusnya tidak akan ada hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Sebaliknya, pada negara-negara dengan kondisi otoritas moneter 22 yang tidak independen, keterbukaan akan berperan untuk mengurangi insentif pemerintah dalam memicu terjadinya inflasi. Hubungan negatif keterbukaan perdagangan dengan inflasi kembali dikuatkan oleh Bowdler dan Nunziata (2006). Bowdler dan Nunziata meneliti 19 negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada periode tahun 1961-1993 dengan metode regresi probit dan menyatakan bahwa keterbukaan perdagangan memberikan peluang negatif terjadinya inflasi. Artinya, semakin terbuka maka inflasi berpeluang makin rendah. Bowdler and Malik (2006) dalam Subekti (2011) menyatakan bahwa ada 2 jalur mengenai bagaimana keterbukaan dalam perdagangan internasional dapat berpengaruh terhadap volatilitas inflasi. Pertama, keterbukaan memengaruhi biaya terkait dengan volatilitas inflasi, yaitu dengan menciptakan insentif bagi pemerintah dan bank sentral untuk mengimplementasikan kebijakan yang akan memberikan implikasi yang berbeda-beda terhadap tingkat volatilitas. Mekanisme pada jalur ini cukup rumit karena harus melihat faktor apa yang mendorong terjadinya peningkatan keterbukaan perdagangan, apakah didorong oleh kemajuan teknologi sehingga menyebabkan penurunan harga atau berasal dari penurunan tarif impor yang akan menimbulkan terjadinya diskresi dalam kebijakan moneter dan akan membuat inflasi menjadi lebih volatile. Berdasarkan beberapa penelitian berikutnya, Bowdler and Malik (2006) dalam Subekti (2011) kemudian menyimpulkan bahwa stabilitas kebijakan moneter memegang peranan penting dalam menentukan tingkat volatilitas inflasi. Kedua, keterbukaan perdagangan akan memengaruhi struktur konsumsi dan produksi. Melalui diversifikasi konsumsi akan menyebabkan terjadinya cancel out dalam agregasi indeks harga. Sesungguhnya jalur ini mengacu pada teori perdagangan standar seperti telah dijelaskan sebelumnya, yaitu akibat spesialisasi produksi dan diversifikasi konsumsi akan menurunkan volatilitas inflasi. Benigno and Faia (2010) dalam Subekti (2011) mencoba menjelaskan bagaimana globalisasi dapat memengaruhi dinamika inflasi di dalam negeri. Dalam papernya, mereka berfokus pada bagaimana mekanisme transmisi dari globalisasi terhadap inflasi. Jalur pertama adalah melalui pass-through dari kombinasi antara nilai tukar nominal dan biaya marginal dari luar negeri melalui 23 barang-barang impor, baik barang-barang untuk kebutuhan konsumsi akhir atau yang tergolong sebagai input antara, sehingga akan memberikan pengaruh terhadap tingkat kompetisi produk dalam dan luar negeri. Jalur kedua adalah melalui pengaruh secara tidak langsung yang akan menimbulkan dampak pada strategi harga dari perusahaan domestik dalam menjual produknya untuk pasar internal. Akibatnya, perusahaan domestik dan luar negeri akan berkompetisi untuk meningkatkan market share dari produk mereka melalui strategi penentuan harga. Hasil penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa derajat pass-through akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk asing ke pasar domestik. Lebih lanjut, tingkat ketergantungan dari perusahaan domestik yang menggunakan komponen impor dalam melancarkan strategi penentuan harga juga meningkat bila kemudian terjadi peningkatan derajat kompetisi dengan perusahaan asing. Berdasarkan beberapa kajian teoritis dan penelitian empiris yang telah disampaikan, pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi cukup sulit diketahui karena terkait erat dengan perilaku dari pembuat kebijakan dan struktur perekonomian dari suatu wilayah, terlepas berbagai kemungkinan mekanisme transmisi yang akan terjadi. Oleh karenanya, untuk melihat seberapa jauh pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi atau tingkat volatilitas inflasi akan lebih bijaksana bila melibatkan beberapa faktor lainnya seperti kondisi spesifik dari suatu negara dan kondisi global. Mukherjee (2011) meneliti pengaruh keterbukaan perdagangan, keterbukaan finansial, kesenjangan output, dan nilai tukar terhadap inflasi pada delapan negara ITF sejak negara tersebut mengadopsi ITF sampai tahun 2008 dengan menggunakan regresi data panel dinamis. Hasilnya adalah keterbukaan perdagangan berhubungan terbalik dengan inflasi. Artinya, makin terbuka perdagangan suatu negara maka inflasinya akan makin stabil. Keterbukaan perdagangan dicerminkan oleh rasio nilai ekspor dan impor terhadap PDB atas dasar harga berlaku. Ukuran ini juga digunakan oleh Badinger (2009) dalam penelitiannya menggantikan rasio impor terhadap PDB yang digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, seperti: Romer (1993), Lane (1997), Bowdler dan Nunziata (2006), dan Wu dan Lin (2008). 24 2.5.2 Keterbukaan Finansial Model pertumbuhan Harrod-Domar (Harrod-Domar growth model) merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negara-negara sedang berkembang (Todaro dan Smith, 2006). Harrod-Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda yang dimainkan oleh investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses pengganda investasi (investment multiplier) dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital serta meningkatkan kapasitas produksi sehingga berpengaruh pula pada penawaran agregat. Harrod-Domar menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar kenaikan permintaan agregat sama dengan kapasitas produksinya sehingga pemanfaatan kapasitas secara penuh dapat dipertahankan. Dengan demikian, keterbukaan finansial diharapkan akan semakin menambah investasi dan modal yang akan meningkatkan produksi, sehingga harga barang-barang akan menjadi murah. Jadi, akan ada hubungan negatif antara keterbukaan finansial dengan perubahan harga. Tidak banyak penelitian yang mengkaji keterbukaan finansial dengan inflasi. Badinger (2009) dan Mukherjee (2011) adalah dua peneliti yang meneliti hal ini. Badinger (2009) meneliti hubungan antara keterbukaan perdagangan dan keterbukaan finansial, yang diukur dengan rasio asset dan liability asing terhadap PDB, dengan inflasi di 91 negara pada periode tahun 1985-2004 dengan menggunakan regresi data panel. Hasil yang diperoleh adalah keterbukaan perdagangan dan keuangan yang lebih tinggi mengurangi bias inflasi bank sentral dengan menghasilkan inflasi rata-rata lebih rendah. Sementara itu, Mukherjee (2011) memperoleh hasil bahwa keterbukaan pasar modal yang terbatas meningkatkan ERPT terhadap inflasi domestik. Ini kemudian memperburuk trade off output-inflasi dan meningkatkan kerugian sosial dari penargetan inflasi bank sentral. Artinya, keterbukaan ekonomi akan menurunkan inflasi. Reinhardt et al. (2010) menunjukkan bahwa variabel yang signifikan dalam mengukur keterbukaan finansial adalah netinflow dari Foreign Direct Investment (FDI) dan investasi portfolio equity (PE). Hal ini diperkuat dengan 25 pernyataan Baltagi et al. (2008) yang menyatakan bahwa kedua variabel tersebut merupakan ukuran yang sebenarnya (de facto) dari keterbukaan finansial. 2.6 Kaitan Nilai Tukar dengan Inflasi Nilai Tukar (Exchange Rate) didefinisikan sebagai harga satuan mata uang dalam negeri (domestic currency) terhadap mata uang luar negeri (Krugman dan Obstfelt, 2005). Dalam kenyataannya nilai dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: nilai tukar nominal, nilai tukar riil, nilai tukar efektif nominal, dan nilai tukar efektif riil. Nilai tukar nominal (Nominal Exchange Rate, NER) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Biasanya NER disebut juga nilai tukar bilateral karena hanya membandingkan nilai mata uang dua negara. Sebagai contoh jika kurs nominal antara Indonesia dengan Amerika sebesar Rp10.000/$ maka artinya untuk memperoleh satu Dollar Amerika Serikat (US$1) harus ditukarkan dengan uang sebesar Rp10.000. Nilai tukar riil (Real Exchange Rate, RER) adalah milai mata uang setelah mengeluarkan pengaruh harga. RER dirumuskan sebagai berikut: RER = NER x IHK* / IHK .................................................................. (2.13) dimana RER adalah nilai tukar riil, NER adalah nilai tukar nominal per satu mata uang asing, IHK* adalah IHK di luar negeri, dan IHK adalah IHK di dalam negeri. Nilai tukar efektif nominal (Nominal Efective Exchange Rate, NEER) adalah nilai tukar nominal tertimbang, dengan penimbang adalah volume perdagangan. NEER = NER 1 x w1 + NER 2 x w2 + ... + NER n x wn ....................... (2.14) Dengan NEER adalah nilai tukar efektif nominal, NER 1 adalah nilai tukar nominal terhadap negara 1, NER 2 adalah nilai tukar nominal terhadap negara 2, dan NER n adalah nilai tukar nominal terhadap negara n, sedangkan w1 , w2 , wn masingmasing adalah proporsi perdagangan terhadap negara 1, 2, dan n. Nilai tukar efektif riil (Real Efective Exchange Rate, REER) adalah nilai tukar nominal tertimbang, dengan penimbang adalah volume perdagangan setelah mengeluarkan pengaruh harga. REER = NEER x IHK* / IHK ........................................................... (2.15) 26 dimana REER adalah nilai tukar efektif riil, NEER adalah nilai tukar efektif nominal, IHK* adalah IHK di luar negeri, dan IHK adalah IHK di dalam negeri. Hubungan antara nilai tukar dengan inflasi dijelaskan dalam model Mundell-Flemming. Jika nilai tukar riil terdepresiasi maka inflasi akan bergerak naik, dan sebaliknya jika nilai tukar riil mengalami apresiasi maka inflasi akan turun (Blanchard, 2009). Svensson (2000) dan Mukherjee (2011) membuktikan hal tersebut. 2.7 Pemilihan Metode Analisis 2.7.1 Metode Estimasi Inflasi Potensial dan PDB Potensial Salah satu metode yang sering digunakan untuk mengestimasi inflasi potensial dan output potensial adalah metode Hodrick–Prescott (HP) filter. Walapun banyak mendapat kritik, namun jika dibandingkan metode univariate detrending lainnya seperti Beveridge−Nelson decomposition, metode ini menghasilkan dugaan yang unique (Enders, 2004). Hal ini disebabkan oleh ketergantungan dari model Autoregresive Integrated Moving-Average (ARIMA) (p,1,q) yang sesuai dengan kondisi data, sementara masalah kesesuaian pada model ARIMA sendiri cenderung bersifat subjektif. Metode alternatif yang bisa digunakan untuk mengukur output potensial adalah metode Band Pass (BP) filter. Pendekatan ini berusaha untuk mengestimasi komponen siklus secara langsung agar mendekati BP filter yang ideal, sehingga berada di antara selang low band dan high band. Terdapat dua pendekatan dalam metode ini, yaitu metode BP Baxter−King dan metode BP Christiano−Fitzgerald. Keduanya berusaha untuk meminimumkan deviasi antara respon frekuensi dari filter yang ideal dengan estimasi dari respon frekuensi dari estimasinya, hanya saja untuk BP Christiano−Fitzgerald menggunakan penimbang berupa densitas spektral dari data runtun waktu yang akan dilakukan detrended (Ladiray et al., 2003). Merujuk pada hasil penelitian dari Justiniano and Primiceri (2008) dalam Subekti (2011), output potensial seharusnya terlihat cukup halus karena tidak 27 menunjukkan adanya guncangan yang bersifat sesaat dari tren output dalam jangka panjang. Wimanda et al. (2011) dan Subekti (2011) membandingkan hasil estimasi output potensial di Indonesia berdasarkan metode HP filter dan metode (BP) filter ala Christiano−Fitzgerald dimana HP filter memberikan estimasi yang lebih halus. Penggunaan HP Filter untuk estimasi output potensial juga dilakukan oleh Walsh (2009) dan Mukherjee (2011). Pada sisi lain, Mishkin dan Schmidt-Hebbel (2007) juga menggunakan metode HP Filter untuk mengestimasi inflasi potensial. Berdasarkan penelitian tersebut, maka estimasi output potensial dan inflasi potensial dalam penelitian ini akan menggunakan metode HP filter. 2.7.2 Metode Regresi Beberapa metode yang pernah digunakan dalam menganalisis hubungan antara keterbukaan dengan inflasi. Romer (1993), Lane (1997), Temple (2002), Wu dan Lin (2006), Walsh (2009), Badinger (2009), dan Mukherjee (2011) menggunakan regresi data panel. Bowdler dan Nunziata (2006) menggunakan regresi probit. Svensson (2000) menggunakan Vector Autoregresion (VAR). Berdasarkan kondisi data yang digunakan, maka metode regresi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data panel. Baltagi (2005) menyatakan bahwa keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrik, adalah: (i) Mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii) Memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah kolinieritas (collinearity), meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien; (iii) Lebih baik dalam studi dynamics of adjustment; (iv) Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi oleh data cross section atau time series murni; dan (v) Dapat digunakan untuk mengonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series murni. Kendati demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya, khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) Relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section 28 dan time series menimbulkan masalah desain survei, pengumpulan dan manajemen data, di antaranya coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) Distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon, seperti pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lainlain; (iii) Masalah selektivitas, yakni selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survei lanjutan); dan (iv) Cross section dependence yang dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat (missleading inference). Lebih lanjut, dengan mensinyalir adanya hubungan dinamis antara stabilitas inflasi, artinya stabilitas inflasi periode sebelumnya mempengaruhi stabilitas inflasi saat ini, maka penelitian ini akan menggunakan metode regresi data panel dinamis Generalized Method of Moments (GMM). Arrellano dan Bond (1991) dalam Baltagi (2005) menyarankan suatu pendekatan GMM ketika pada suatu persamaan terdapat lag variabel dependen pada variabel regresor. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, yaitu: (i) GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian; dan (ii) GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) penduga GMM adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar, tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) penduga ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. 2.8 Penelitian Terdahulu Penelitian empiris mengenai keterkaitan keterbukaan ekonomi dengan inflasi atau stabilitas inflasi mulai dilakukan sejak tahun 1993 oleh Romer. Romer (1993) meneliti hubungan antara keterbukaan dengan inflasi. Keterbukaan yang dimaksudkan tersebut adalah keterbukaan perdagangan dengan indikator persentase impor terhadap PDB. Penelitian yang dilakukan terhadap 114 negara 29 dengan data tahunan antara 1973-1990 dengan metode data panel tersebut mendapatkan hasil bahwa ada hubungan negatif antara keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Penelitian Romer tersebut dilanjutkan oleh Lane dengan menambahkan variabel independensi bank sentral. Lane (1997) memperoleh hasil yang sama seperti Romer dengan tambahan bahwa negara dengan ekonomi lebih terbuka akan cenderung menggunakan fixed exchange rate. Dalam penelitiannya, keterbukaan perdagangan diindikatorkan dengan rasio impor terhadap PDB. Svensson (2000) mengkaji penargetan inflasi pada Small Open Economy (SOE) dengan membandingkan strict dan fleksibel targeting, fungsi reaksi inflation targeting, dan Taylor rule di Amerika Serikat. Dengan menggunakan metode VAR diperoleh hasil bahwa ekspektasi inflasi, kesenjangan output, dan nilai tukar riil berdampak positif terhadap inflasi. Bowdler dan Nunziata (2006) meneliti peluang terjadinya inflasi di 19 negara OECD. Dengan menggunakan regresi probit antara tahun 1961-1993, mereka mendapatkan hasil bahwa keterbukaan memberikan peluang negatif. Artinya, semakin terbuka suatu negara maka inflasi berpeluang lebih rendah. Indikator keterbukaan yang digunakan adalah rasio impor terhadap PDB. Lebih lanjut, Temple (2002) melakukan pengkajian mengenai hubungan antara keterbukaan perdagangan dan trade off output-inflasi pada 19 negara antara pertengahan tahun 60-an sampai 80-an. Dengan menggunakan metode data panel, Temple (2002) menyatakan bahwa hubungan negatif antara keterbukaan perdagangan dengan inflasi yang dikemukakan oleh Romer tidak kuat. Selain itu, dinyatakan juga bahwa inflasi relatif mahal dalam ekonomi yang lebih terbuka karena inflasi terkait dengan nilai tukar. Wu dan Lin (2006) menyatakan bahwa hubungan keterbukaan dengan inflasi berbeda di setiap negara, ada yang positif dan ada yang negatif. Wu dan Lin tersebut melakukan penelitiannya terhadap sebelas negara (Asian 4 dan G7) dengan menggunakan dua metode, yaitu data panel dan VAR. Indikator keterbukaan yang digunakan masih menggunakan rasio impor terhadap PDB. Badinger (2009), yang meneliti hubungan antara keterbukaan perdagangan dan keuangan terhadap Inflasi dan trade off output-inflasi, menyatakan bahwa 30 keterbukaan perdagangan dan keuangan yang lebih tinggi mengurangi bias inflasi bank sentral dengan menghasilkan inflasi rata-rata lebih rendah. Akan tetapi, untuk subsampel OECD tidak ditemukan efek keterbukaan pada inflasi. Indikator keterbukaan perdagangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio ekspor dan impor terhadap PDB, sedangkan keterbukaan finansial yang digunakan adalah rasio asset dan liability asing terhadap PDB. Penelitian mengenai stabilitas inflasi dilakukan oleh Mishkin dan Schmidt-Hebbel (2007). Mereka meneliti pengaruh kesenjangan output, nilai tukar nominal, dan perbedaan suku bunga terhadap stabilitas inflasi di 21 negara ITF dan 13 negara non-ITF. Dengan menggunakan data triwulanan antara tahun 1989:1 sampai 2004:4 dipeoleh hasil bahwa inflation targeting membantu negaranegara mencapai inflasi yang rendah. Dalam penelitian tersebut, inflasi potensial di negara ITF diasumsikan sama dengan target inflasi. Selanjutnya, dengan menggunakan data 25 negara (maju dan berkembang) antara tahun 1962 sampai 2007, Walsh (2009) menyatakan bahwa ITF dan nonITF memberikan hasil yang sama di negara maju, sedangkan di negara berkembang ITF memberikan kinerja makroekonomi yang lebih baik, inflasi lebih rendah, dan ekonomi riil yang lebih stabil. Penelitian ini menggunakan metode data panel dengan membagi periode sebelum dan sesudah penerapan ITF juga dengan mengklasifikasikan negara ITF dan non-ITF. Variabel yang digunakan adalah target inflasi, ekspektasi inflasi, dan kesenjangan output. Ekspektasi inflasi dihitung dengan merata-ratakan inflasi dua periode sebelumnya. Dengan meneliti dampak keterbukaan pasar modal terhadap ERPT pada inflasi dan implikasinya terhadap trade off output-inflasi dan fungsi kerugian sosial di delapan negara ITF, Mukherjee (2011) menyatakan bahwa deviasi ekspektasi inflasi dengan target inflasi, kesenjangan output, dan nilai tukar riil berpengaruh positif terhadap selisih inflasi dengan target inflasi sedangkan keterbukaan perdagangan dan finansial berhubungan negatif. Artinya, makin terbuka perdagangan dan finansial suatu negara maka selisih inflasi aktual dengan target inflasinya semakin kecil. Hasil ini diperoleh menggunakan metode data panel dengan data sejak diberlakukannya ITF sampai tahun 2008. Indikator keterbukaan perdagangan yang digunakan adalah rasio ekspor dan impor terhadap 31 PDB, sedangkan indikator keterbukaan finansial yang digunakan adalah indeks Chin-Ito. Sementara itu, ekspektasi inflasi yang digunakan adalah rata-rata inflasi dua periode sebelumnya. Indikator yang digunakan dalam mengukur keterbukaan finansial cukup beragam. Reinhardt et al. (2010) menunjukkan bahwa, diantara ukuran-ukuran yang diujikan, FDI dan portfolio equity merupakan ukuran yang signifikan terhadap keterbukaan finansial. Penelitian tersebut menggunakan metode data panel terhadap 106 negara dengan periode waktu 1982-2006. Selengkapnya mengenai penelitian terdahulu disajikan pada Lampiran 16. 2.9 Kerangka Pemikiran Keterbukaan ekonomi, baik perdagangan dan finansial, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pada prinsipnya memang tidak hanya berpengaruh terhadap output, tetapi juga harga. Hal ini terjadi karena adanya konsekuensi (trade off) antara output dan inflasi. Pada sisi lain, ada suatu kebijakan otoritas moneter yang bertujuan menstabilkan perubahan harga, yaitu: Inflation Targeting Framework (ITF). Beberapa negara ASEAN+6 mengadopsi kebijakan ITF untuk menstabilkan perubahan harga di negaranya. Stabilitas inflasi ini penting dilakukan terkait dengan ekspektasi baik masyarakat maupun pemerintah. Inflasi yang berfluktuasi akan menyusahkan masyarakat dan pemerintah dalam program perencanaan. ola inflasi negara-negara ASEAN+6 menunjukkan hal yang berbeda-beda. Negara pengadopsi ITF ternyata tidak selamanya memiliki inflasi yang relatif stabil dibandingkan negara yang tidak mengadopsi ITF (non-ITF). Untuk itu, menarik untuk dilihat bagaimana dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi baik di negara ITF maupun non-ITF. Selain keterbukaan ekonomi, penelitian ini juga melihat dampak dari variabel lain, yaitu: stabilitas inflasi sebelumnya, deviasi ekspektasi inflasi, dan kesenjangan output (seperti yang dinyatakan dalam NKPC hybrid) serta nilai tukar riil (seperti yang dinyatakan dalam Model Mundell-Flemming). Untuk lebih jelas, kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat di Gambar 4. 32 Gambar 4 Kerangka Pemikiran 2.10 Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini, ada beberapa hipotesis terkait dengan dampak keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6, yaitu: 1) Keterbukaan perdagangan berpengaruh negatif terhadap stabilitas inflasi. Artinya, makin terbuka perdagangan maka perbedaan inflasi aktual dengan inflasi potensial/target makin kecil. 2) Keterbukaan finansial berpengaruh negatif terhadap stabilitas inflasi. Artinya, makin terbuka finansial maka perbedaan inflasi aktual dengan inflasi potensial/target makin kecil. 3) Kesenjangan output berpengaruh positif terhadap stabilitas inflasi. Artinya makin besar kesenjangan output maka perbedaan inflasi aktual dengan inflasi potensial/target makin besar. 4) Depresiasi nilai tukar riil berpengaruh positif terhadap stabilitas inflasi. Artinya, makin terdepresiasi nilai tukar riil maka perbedaan inflasi aktual dengan inflasi potensial/target makin besar. 33 5) Deviasi ekspektasi inflasi berpengaruh positif terhadap stabilitas inflasi. Artinya makin besar deviasi ekspektasi inflasi dengan inflasi potensial/target maka perbedaan inflasi aktual dengan inflasi potensial/target makin besar. 34 Halaman ini sengaja dikosongkan III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dalam bentuk panel data yaitu gabungan antara data time series tahunan periode tahun 2001 sampai 2010 dan data cross-section negara-negara ASEAN+6 yang bersumber dari World Bank (World Development Indicators, WDI) dan bank sentral negara terkait. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: inflasi, target inflasi, PDB, ekspor, impor, nilai tukar, IHK, FDI, dan portfolio equity. Selengkapnya mengenai data-data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat di Tabel 3. Tabel 3 Data-data yang Digunakan dalam Penelitian No. Data (1) Keterangan (2) (3) Satuan Sumber (4) (5) 1. Inflasi Perubahan indeks harga konsumen (IHK) Persen WDI 2. Target inflasi Angka inflasi yang ditargetkan atau diasumsikan di awal tahun Persen Bank sentral setiap negara 3. PDB Riil PDB atas dasar harga konstan 2000 Milyar US$ WDI 4. PDB PDB atas dasar harga berlaku Milyar US$ WDI 5. Ekspor Nilai Ekspor FOB Milyar US$ WDI 6. Impor Nilai Impor CIF Milyar US$ WDI 7. Nilai tukar Nilai tukar nominal Per US$ WDI 8. IHK IHK tahun dasar 2005 Persen WDI 9. IHK Luar Negeri IHK Amerika Serikat tahun dasar 2005 Persen WDI 10. FDI Netinflow Milyar US$ WDI 11. Portfolio equity Netinflow Milyar US$ WDI 36 3.2 Metode Analisis 3.2.1 Analisis Eksploratif Analisis eksploratif adalah suatu analisis dalam meneliti sekelompok objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dilakukannya analisis ini adalah membuat suatu deskriptif, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang terjadi (Nazir, 1999). Bentuk analisis eksploratif dalam penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap keterkaitan antara stabilitas inflasi dengan variabel-variabel lain, yaitu: keterbukaan perdagangan, keterbukaan finansial, kesenjangan output, nilai tukar riil, dan deviasi ekspektasi inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada periode tahun 2001-2010. 3.2.2 Metode Hodrick-Presscott Filter Metode Hodrick-Presscott (HP) Filter digunakan untuk melihat kecenderungan (tren) dari output dalam jangka panjang. Metode HP Filter berusaha untuk mendekomposisikan series data menjadi trend (µ t ) dan komponen stasioner y t - µ t . Jika didefinisikan jumlah kuadrat sebagai berikut: SS = λ 1 T ∑ ( yt − µ t ) 2 + T T t =1 T −1 ∑ [(µ t =2 t +1 − µ t ) ( µ t − µ t −1 )]2 ................... ......(3.1) dengan λ adalah sebuah konstanta, µ adalah rata-rata, dan T adalah jumlah observasi yang digunakan. Permasalahan dalam penggunaan metode HP Filter adalah bagaimana menentukan suatu deret dari µ t sehingga meminimumkan jumlah kuadrat (SS). Terkait dengan permasalahan minimisasi, λ adalah suatu sembarang konstanta yang mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana menurunkan fluktuasi menjadi tren. Tarik ulur dalam menentukan besar λ akan berimplikasi pada hasil dekomposisi, akan menjadi tren yang halus atau bahkan akan menjadi konstanta (Enders, 2004). Merujuk pada Hodrick–Prescot (1980) dalam Ladiray et al. (2003), nilai λ dibedakan menurut periode data, yaitu untuk data tahunan menggunakan λ = 100, 37 sedangkan pada data triwulanan λ ditetapkan sebesar 1.600, sementara untuk data bulanan besarnya λ adalah 144.000. 3.2.3 Metode Regresi Data Panel Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang dan waktu, yang merupakan gabungan antara data silang (cross section) dengan data runtut waktu (time series). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. 3.2.3.1 Regresi Data Panel Statis Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama, yang memiliki karakteristik di mana N > 1 dan T > 1. Misalkan y it merupakan nilai variabel dependen untuk unit cross section ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2,…, N dan t = 1, 2,…,T. Misalkan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2,…,K serta dinotasikan sebagai 𝑗 𝑋𝑖𝑡 , yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut: 1 𝑋 𝑦𝑖1 ⎡ 𝑖1 1 𝑦𝑖2 𝑦𝑖 = � �; 𝑋𝑖 = ⎢𝑋𝑖2 ⋮ ⎢ ⋮ 𝑦𝑖𝑇 1 ⎣𝑋𝑖𝑇 2 𝑋𝑖1 ⋯ 2 𝑋𝑖2 ⋯ ⋮ ⋱ 2 𝑋𝑖𝑇 ⋯ 𝐾 𝑋𝑖1 𝜀𝑖1 ⎤ 𝐾 𝑋𝑖2 ⎥; 𝜀 = � 𝜀𝑖2 � ...............................(3.2) 𝑖 ⋮ ⋮ ⎥ 𝜀𝑖𝑇 𝐾 𝑋𝑖𝑇 ⎦ dengan 𝜀𝑖𝑡 menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t. Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut: 𝑦1 𝑋1 𝜀1 𝑦2 𝜀2 𝑋2 𝑦 = � ⋮ �; 𝑋 = � �; 𝜀 = � ⋮ � ⋮ 𝑦𝑁 𝜀𝑁 𝑋𝑁 ...........................................................(3.3) dengan y adalah matriks berukuran NTx1, X adalah matriks berukuran NTxK, dan ε adalah matriks berukuran NTx1. Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai berikut: y = X 'β + ε .............................................................................................(3.4) 38 dengan β adalah matriks berukuran NT x 1 yang diekspresikan sebagai, 𝛽1 𝛽 𝛽 = � 2� ⋮ 𝛽𝑁 .............................................................................................(3.5) Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk mengestimasi parameter model data panel statis. Metode sederhana yang sering digunakan adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Akibat memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni, maka regresi yang dihasilkan ketika data digabungkan menjadi pooled data cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data maka variasi atau perbedaan, baik antara individu dan waktu, tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan tujuan dari digunakannya data panel. Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus penduga yang dihasilkan melalui least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pemodelan data panel, yaitu metode efek tetap (fixed effects model) dan metode efek random (random effects model). Persamaan berikut: y = 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝜀𝑖𝑡 ...…..............................................................................(3.6) dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model sebagai berikut: 𝜀𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡 ......................................................................................(3.7) dan diasumsikan bahwa u it merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi dengan X it , sedangkan α i disebut sebagai efek individual (time invariant person specific effect). Fixed Effects Model (FEM) Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan satu di antara asumsi mengenai efek individual. Bila α i (efek individu) pada Persamaan (3.7) diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar i = 1,2,…, N , maka model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM). Model efek tetap umumnya 39 digunakan ketika terdapat korelasi antara intersep individual dan variabel independen, dan/atau ketika N relatif kecil dan T relatif besar. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai, 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 ........................................................................(3.8) dengan asumsi bahwa u it ~ iid (0,σ2u ). Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep α pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Menurut Verbeek (2000), dugaan untuk paremeter β dengan menggunakan FEM dapat diformulasikan sebagai, 𝑁 𝑇 −1 (∑𝑁 ∑𝑇 ( � � 𝛽� �𝑖 ) ...(3.9) 𝐹𝐸 = (∑𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖 )′ ) 𝑖=1 𝑡=1 𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖 )(𝑦𝑖𝑡 − 𝑦 sedangkan estimasi untuk intersep α dituliskan sebagai, 𝛼�𝑖 = 𝑦�𝑖 − 𝑋�𝑖′ 𝛽̂𝐹𝐸 ; 𝑖 = 1, . . , 𝑁 ..........................................................(3.10) Matriks kovarian untuk fixed effect estimator 𝛽̂𝐹𝐸 , dengan u it ~ iid (0,σ2u ) diberikan oleh: 𝑇 −1 � � 𝑉 [𝛽̂𝐹𝐸 ] = 𝜎𝑖𝑡2 (∑𝑁 𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖 )(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖 )′ ) .........................(3.11) dengan 𝜎𝑖𝑡2 = 1 𝑁(𝑇−1) 𝑇 ∑𝑁 �𝑖 − (𝑋𝑖𝑡 − 𝑋�𝑖 )′ 𝛽̂𝐹𝐸 )2 .......................(3.12) 𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑦𝑖𝑡 − 𝑦 Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu, yakni menjelaskan bagaimana 𝑦𝑖𝑡 berbeda dari 𝑦�𝑖 , dan tidak menjelaskan kenapa 𝑦�𝑖 berbeda dari 𝑦�𝑗 . Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai β menekankan bahwa perubahan yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, apakah perubahan dari satu periode ke periode lainnya atau perubahan dari satu individu ke individu lainnya. Random Effects Model (REM) Bila 𝛼𝑖 (efek individu) pada Persamaan (3.7) diperlakukan sebagai parameter random maka model disebut sebagai random effects model (REM). Dalam REM, perbedaan karakeristik individu diakomodasi oleh error dalam 40 model. REM umumnya digunakan bila N relatif besar dan T relatif kecil. Secara umum model ini dapat diekspresikan sebagai, 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖 ...............................................................(3.13) dengan 𝛼𝑖 = 𝛼 + 𝜏𝑖 dan memiliki rata-rata nol. Di sini, 𝜏𝑖 merepresentasikan gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa asumsi yang melekat dalam REM antara lain: 𝐸 (𝑢𝑖𝑡 |𝜏𝑖 ) = 0 ......................................................................................(3.14) 2 �𝜏𝑖 ) = 𝜎𝑢2 𝐸 (𝑢𝑖𝑡 ..................................................................................(3.15) 𝐸 (𝜏𝑖 |𝑥𝑖𝑡 ) = 0; ∀ 𝑖, 𝑡 𝐸 (𝜏𝑖𝑡2 �𝑥𝑖𝑡 ) = 𝜎𝑡2 ...........................................................................(3.16) .................................................................................(3.17) 𝐸 �𝑢𝑖𝑡 𝜏𝑗 � = 0; ∀ 𝑖, 𝑡, 𝑗 ........................................................................(3.18) 𝐸 �𝑢𝑖𝑡 𝑢𝑗𝑠 � = 0; 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠 𝐸 �𝑢𝑖𝑡 𝜏𝑗 � = 0; ∀ 𝑖, 𝑡, 𝑗 .................................................... (3.19) ........................................................................(3.20) Untuk menduga REM umumnya digunakan metode generalized least square (GLS). Misalkan kombinasi error pada Persamaan (3.13) dituliskan menjadi 𝑤𝑖𝑡 = 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖 , dengan 𝐸 (𝑤𝑖𝑡 ) = 0 .........................................................................................(3.21) 𝐸 (𝑤𝑖𝑡2 ) = 𝜎𝑖𝑡2 + 𝜎𝜏2 ; ∀ 𝑖, 𝑡 ...................................................................(3.22) 𝐸 �𝑤𝑖𝑡 𝑤𝑗𝑠 � = 𝜎𝜏2 ; ∀ 𝑡 ≠ 𝑠 ................................................................(3.23) 𝐸 �𝑤𝑖𝑡 𝑤𝑗𝑠 � = 0; 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠 .........................................(3.24) Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor 𝑤𝑖 = (𝑤𝑖1 , 𝑤𝑖2 , … , 𝑤𝑖𝑇 )’ maka dapat dituliskan bahwa 𝐸 �𝑤𝑖 𝑤𝑖′ � = Ω .....................................................................................(3.25) dengan 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 2 2 2 ⎛𝜎𝜏 𝜎𝑢 + 𝜎𝜏 Ω = ⎜𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 ⋮ ⋮ ⎝𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 ⋮ 𝜎𝜏2 ⋯ ⋯ ⋯ ⋱ ⋯ 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 ⎞ 𝜎𝜏2 ⎟ ⋮ 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 ⎠ .............................(3.26) Untuk keseluruhan observasi panel, matriks kovarian error 𝑤 = (𝑤1 , 𝑤2 , … , 𝑤𝑁 )′ dapat diturunkan sebagai, 41 Ω ⎛0 𝑉 = ⎜0 𝑁𝑇𝑥𝑁𝑇 ⋮ 0 ⎝ 0 0 Ω 0 0 Ω ⋮ ⋮ 0 0 ⋯ 0 ⋯ 0⎞ ⋯ 0 ⎟ = 𝐼𝑁 ⊗ Ω ....................................(3.27) ⋱ ⋮ ⋯ Ω⎠ dengan 𝐼𝑁 menyatakan matriks identitas berdimensi N dan ⊗ merepresentasikan Kronecker product. Misalkan Y pada Persamaan (3.13) direpresentasikan sebagai vektor stack dari 𝑦𝑖𝑡 yang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan sebagai Y = Xβ + w ...........................................................................................(3.28) dapat diestmasi dengan menggunaan metode GLS. Secara umum pendugaan GLS untuk persamaan regresi (3.28) memerlukan transformasi untuk menghilangkan struktur yang tidak baku dari matriks kovarian (𝑤 ′ 𝑤) = 𝑉. Kemudian dengan mendefinisikan matriks penimbang 𝑃 = 𝑉 −1/2 dan mengalikannya ke kedua ruas diperoleh hasil transformasi sebagai berikut, atau 𝑃𝑌 = 𝑃𝑋𝛽 + 𝑃𝑤 ................................................................................(3.29) 𝑌 ∗ = 𝑋 ∗ 𝛽 + 𝑤 ∗ .....................................................................................(3.30) sekarang 𝐸(𝑤 ∗ 𝑤 ∗𝑡 ) = 𝐸(𝑃𝑤𝑤 ′ 𝑃) = PE (ww’)P = PVP = 𝐼𝑁𝑇 Sehingga, penduga GLS pada persamaan regresi (3.28) dapat dituliskan sebagai 𝛽̂𝐺𝐿𝑆 = (𝑋′𝑉 −1 𝑋)−1 𝑋′𝑉 −1 𝑌 ..................................................................(3.31) 3.2.3.2 Regresi Data Panel Dinamis Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen di antara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, model data panel dinamis adalah sebagai berikut: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝑥𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 ; 𝑖 = 1, … , 𝑁; 𝑡 = 1, . . , 𝑇 ..........................(3.32) 42 dengan 𝛿 menyatakan suatu skalar, 𝑥𝑖𝑡′ menyatakan matriks berukuran 1xK dan 𝛽 matriks berukuran Kx1. Dalam hal ini, 𝑢𝑖𝑡 diasumsikan mengikuti model oneway error component sebagai berikut: 𝑢𝑖𝑡 = 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 ......................................................................................(3.33) dengan 𝜇𝑖 ~ iid (0, σ2µ ) menyatakan pengaruh individu dan 𝑣𝑖𝑡 ~ iid (0, σ2v ) menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi, baik pada FEM dan REM, terkait perlakuan terhadap 𝜇𝑖 . Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda karena 𝑦𝑖𝑡 merupakan fungsi dari 𝜇𝑖 maka 𝑦𝑖,𝑡−1 juga merupakan fungsi dari 𝜇𝑖 . Karena 𝜇𝑖 adalah fungsi dari 𝑢𝑖𝑡 maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor 𝑦𝑖,𝑡−1 dengan 𝑢𝑖𝑡 . Hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila 𝑣𝑖𝑡 tidak berkorelasi serial sekalipun. Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR(1)) tanpa menyertakan variabel eksogen: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝑢𝑖𝑡 ; |𝛿 | < 1; 𝑡 = 1, . . , 𝑇 .............................................(3.34) dengan 𝑢𝑖𝑡 = 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 di mana 𝜇𝑖 ~ iid (0, σ2µ ) dan 𝑣𝑖𝑡 ~ iid (0, σ2v ) saling bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi 𝛿 diberikan oleh 𝑁 𝑇 ∑ ∑ −𝑦� ) (𝑦 −𝑦� )(𝑦 𝛿̂𝐹𝐸 = 𝑖=1 𝑁𝑡=1 𝑇 𝑖𝑡 𝑖 𝑖,𝑡−1 2𝑖,−1 .......................................................(3.35) ∑𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑦𝑖,𝑡−1−𝑦�𝑖,−1) dengan 𝑦�𝑖 = 1/𝑇 ∑𝑇𝑡=1 𝑦𝑖𝑡 dan 𝑦�𝑖,−1 = 1/𝑇 ∑𝑇𝑡=1 𝑦𝑖,𝑡−1 . Untuk menganalis sifat dari 𝛿̂𝐹𝐸 , dapat disubstitusi Persamaan (3.34) ke (3.35) untuk memperoleh: 𝛿̂𝐹𝐸 = 𝛿 + ( 1 𝑇 ) ∑𝑁 �𝑖 )(𝑦𝑖,𝑡−1−𝑦�𝑖,−1) 𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑣𝑖𝑡 −𝑣 𝑁𝑇 2 1 𝑁 𝑇 ( ) ∑𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑦𝑖,𝑡−1−𝑦�𝑖,−1 ) 𝑁𝑇 ...........................................(3.36) Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk 𝑁 → ∞ dan T tetap, bentuk pembagian pada Persamaan (3.36) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila 𝑁 → ∞. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan bahwa: 43 𝜎 2 (𝑇−1)−𝑇𝛿+𝛿 𝑇 𝑝𝑙𝑖𝑚 1 ∑𝑁 ∑𝑇 ( � � 𝑖=1 𝑡=1 𝑣𝑖𝑡 − 𝑣̅𝑖 )�𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝑦�𝑖,−1 � = − 𝑇𝑣2 (1−𝛿)2 ≠0 𝑁 → ∞ 𝑁𝑇 .................................................................................................................(3.37) sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: 1. First Difference GMM (FD-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM) First-differences GMM (FD-GMM) Untuk mendapatkan estimasi 𝛿 yang konsisten di mana 𝑁 → ∞ dengan T tertentu, akan dilakukan first-difference pada Persamaan (3.33) untuk mengeliminasi pengaruh individual (𝜇𝑖 ) sebagai berikut: 𝑦𝑖𝑡 − 𝑦𝑖,𝑡−1 = 𝛿�𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝑦𝑖,𝑡−2 � + �𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �; 𝑡 = 2, . . , 𝑇 ............(3.38) namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga 𝛿 yang inkonsisten karena 𝑦𝑖,𝑡−1 dan 𝑣𝑖,𝑡−1 berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila 𝑇 → ∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, 𝑦𝑖,𝑡−2 akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, 𝑦𝑖,𝑡−2 berkorelasi dengan �𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝑦𝑖,𝑡−2 � tetapi tidak berkorelasi dengan 𝑣𝑖,𝑡−1 , dan 𝑣𝑖𝑡 tidak berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi 𝛿 disajikan sebagai, 𝑁 𝑇 ∑ ∑ (𝑦 −𝑦 ) 𝑦 𝛿̂𝐼𝑉 = ∑𝑁𝑖=1∑𝑇 𝑡=2 𝑖,𝑡−2(𝑦 𝑖𝑡 −𝑦𝑖,𝑡−1 ) ..........................................................(3.39) 𝑖=1 𝑡=2 𝑦𝑖,𝑡−2 𝑖,𝑡−1 𝑖,𝑡−2 syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah 𝑝𝑙𝑖𝑚 1 𝑇 𝑁 → ∞ �𝑁(𝑇−1)� ∑𝑁 𝑖=1 ∑𝑡=2�𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �𝑦𝑖,𝑡−2 = 0 𝑇→∞ ...........................(3.40) Penduga (3.39) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao dalam Verbeek (2000). Mereka juga mengajukan penduga alternatif di mana 𝑦𝑖,𝑡−2 − 𝑦𝑖,𝑡−3 digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi 𝛿 disajikan sebagai, 44 𝑁 𝑇 ∑ ∑ −𝑦 )(𝑦 −𝑦 ) (𝑦 𝛿̂𝐼𝑉(2) = ∑𝑁𝑖=1∑𝑇 𝑡=3 𝑖,𝑡−2−𝑦 𝑖,𝑡−3)(𝑦 𝑖𝑡 −𝑦𝑖,𝑡−1 ) 𝑖=1 𝑡=3(𝑦𝑖,𝑡−2 𝑖,𝑡−3 𝑖,𝑡−1 𝑖,𝑡−2 ...........................................(3.41) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah 𝑝𝑙𝑖𝑚 1 𝑇 𝑁 → ∞ �𝑁(𝑇−2)� ∑𝑁 𝑖=1 ∑𝑡=3�𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �(𝑦𝑖,𝑡−2 − 𝑦𝑖,𝑡−3 ) = 0 𝑇→∞ ..........(3.42) Penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini mencatat bahwa 𝑝𝑙𝑖𝑚 1 𝑇 𝑁 → ∞ �𝑁(𝑇−1)� ∑𝑁 𝑖=1 ∑𝑡=2�𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �𝑦𝑖,𝑡−2 = 𝐸��𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �𝑦𝑖,𝑡−2 � = 0 𝑇→∞ ..................................................................................................................(3.43) yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh: 𝑝𝑙𝑖𝑚 1 𝑇 𝑁 → ∞ �𝑁(𝑇−1)� ∑𝑁 𝑖=1 ∑𝑡=3(𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 )(𝑦𝑖,𝑡−2 − 𝑦𝑖,𝑡−3 ) = 𝑇→∞ 𝐸[�𝑣𝑖𝑡 𝑣𝑖,𝑡−1 � (𝑦𝑖,𝑡−2 − 𝑦𝑖,𝑡−3 )] = 0 .....................................................(3.44) yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond (1991) dalam Baltagi (2005) menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, mereka mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh: 𝐸 [(𝑣𝑖2 − 𝑣𝑖1 )𝑦𝑖0 ] = 0, untuk t=2 𝐸 [(𝑣𝑖3 − 𝑣𝑖2 )𝑦𝑖1 ] = 0 𝑑𝑎𝑛 𝐸 [(𝑣𝑖3 − 𝑣𝑖2 )𝑦𝑖0 ] = 0, untuk t=3 𝐸 [(𝑣𝑖4 − 𝑣𝑖3 )𝑦𝑖0 ] = 0, 𝐸 [(𝑣𝑖4 − 𝑣𝑖3 )𝑦𝑖2 ] = 0 𝑑𝑎𝑛 𝐸 [(𝑣𝑖4 − 𝑣𝑖3 )𝑦𝑖3 ], untuk t = 4 45 Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat ditulis sebagai, 𝑣𝑖2 − 𝑣𝑖1 ⋮ � ..........................................................................(3.45) ∆𝑣𝑖 = � 𝑣𝑖,𝑇 − 𝑣𝑖,𝑇−1 sebagai vektor tranformasi error, dan [𝑦 ] 0 ⎡ 𝑖0 [ 0 𝑦𝑖0 , 𝑦𝑖1 ] 𝑍𝑖 = ⎢ ⋮ ⎢ ⋮ ⎣ 0 0 ⋯ ⋯ 0 ⎤ 0 ⎥ ....................................(3.46) ⋮ ⋱ ⎥ ⋯ �𝑦𝑖0 , … , 𝑦𝑖,𝑇−2 �⎦ sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks 𝑍𝑖 berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai, 𝐸�𝑍𝑖′ ∆𝑣𝑖 � = 0 ......................................................................................(3.47) yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, Persamaan (3.47) dituliskan sebagai, 𝐸�𝑍𝑖′ (∆𝑦𝑖 − ∆𝑦𝑖,−1 )� = 0 .....................................................................(3.48) Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, 𝛿 akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yakni: ′ ′ 𝑁 𝑚𝑖𝑛 [1/𝑁 ∑𝑁 𝑖=1 𝑍𝑖 (∆ 𝑦𝑖 − ∆𝑦𝑖,−1 )]′𝑊𝑁 [1/𝑁 ∑𝑖=1 𝑍𝑖 (∆𝑦𝑖 − ∆𝑦𝑖,−1 )] ... (3.49) dengan 𝑊𝑁 adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan mendifrensiasikan Persamaan (3.49) terhadap 𝛿 akan diperoleh penduga GMM sebagai, 𝑁 𝑁 𝑖=1 𝑖=1 ′ 𝛿̂𝐺𝑀𝑀 ((� ∆𝑦𝑖,−1 𝑍𝑖 )𝑊𝑁 (� 𝑍𝑖′ ∆𝑦𝑖,−1 )) −1 ′ ′ 𝑁 𝑥 ((∑𝑁 𝑖=1 ∆𝑦𝑖,−1 𝑍𝑖 )𝑊𝑁 (∑𝑖=1 𝑍𝑖 ∆𝑦𝑖 )) ......................................(3.50) Sifat dari penduga GMM (3.50) bergantung pada pemilihan 𝑊𝑁 yang konsisten selama 𝑊𝑁 definit positif, sebagai contoh 𝑊𝑁 = 1 yang merupakan matriks identitas. Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik 46 terkecil bagi 𝛿̂𝐺𝑀𝑀 . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM, diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel (Verbeek, 2000). Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi 𝑝𝑙𝑖𝑚 𝑊 = 𝑉[𝑍𝑖′ ∆𝑣𝑖 ]−1 = 𝐸[𝑍𝑖′ ∆𝑣𝑖 𝑣𝑖′ 𝑍𝑖 ]−1 𝑁→∞ 𝑁 .....................................(3.51) Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian 𝑣𝑖 , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi 𝛿 dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel, yakni (two step estimator) −1 ′ �𝑁𝑜𝑝𝑡 = [1/𝑁 ∑𝑁 �𝑖 ∆𝑣�𝑖′ 𝑍𝑖 ] .....................................................(3.52) 𝑊 𝑖=1 𝑍𝑖 ∆𝑣 Dengan ∆𝑣�𝑖 menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator. Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa 𝑣𝑖𝑡 ~ iid pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan autokorelasi pada 𝑣𝑖𝑡 dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi 2 𝐸�∆𝑣𝑖 𝑣𝑖′ � = 𝜎𝑣2 𝐺 = 𝜎𝑣2 �−1 0 ⋮ −1 2 ⋱ 0 0 … ⋱ 0 � ...................................(3.53) ⋱ −1 −1 2 matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai one step estimator −1 ′ �𝑁𝑜𝑝𝑡 = [1/𝑁 ∑𝑁 𝑊 ..............................................................(3.54) 𝑖=1 𝑍𝑖 𝐺𝑍𝑖 ] Sebagai catatan bahwa (3.54) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error 𝑣𝑖𝑡 diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi. Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka Persamaan (3.32) dapat dituliskan kembali menjadi 𝑦𝑖𝑡 = 𝑥𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 ..........................................................(3.55) 47 Parameter persamaan (3.55) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap 𝑥𝑖𝑡 , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila 𝑥𝑖𝑡 strictly exogenous dalam artian bahwa 𝑥𝑖𝑡 tidak berkorelasi dengan sembarang error 𝑣𝑖𝑠 , akan diperoleh: 𝐸[𝑥𝑖𝑠 , ∆𝑣𝑖𝑡 ] = 0; untuk setiap s dan t ..................................................(3.56) sehingga x1 , … , xiT dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada 𝑍𝑖 menjadi besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen 𝐸[∆𝑥𝑖𝑡 , ∆𝑣𝑖𝑡 ] = 0; untuk setiap t ..........................................................(3.57) Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai ⎡ ⎢ 𝑍𝑖 = ⎢ ⎢ ⎣ ′ �𝑦𝑖0 , ∆𝑥𝑖2 � 0 ⋮ 0 0 ′ �𝑦𝑖0 , 𝑦𝑖1 , ∆𝑥𝑖3 � ⋮ 0 ⋱ ⋯ ⋯ 0 ⎤ ⎥ ⎥ ...........(3.58) ⎥ �𝑦𝑖0 , … , 𝑦𝑖,𝑇−2 , ∆𝑥𝑖𝑡 �⎦ ⋯ 0 ⋮ Bila variabel 𝑥𝑖𝑡 tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus di mana 𝑥𝑖𝑡 dan lag 𝑥𝑖𝑡 tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh 𝐸[𝑥𝑖𝑡 , ∆𝑣𝑖𝑠 ] = 0, untuk s ≥ t. Dalam kasus dimana hanya 𝑥𝑖,𝑡−1 , … , 𝑥𝑖1 instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai 𝐸�𝑥𝑖,𝑡−𝑗 ∆𝑣𝑖𝑡 � = 0; 𝑗 = 1, … , 𝑡 − 1, ∀𝑡 .................................................(3.59) Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks 𝑍𝑖 kemudian dapat disesuaikan. System GMM (SYS-GMM) Ide dasar dari penggunaan metode Sys-GMM adalah untuk mengestimasi sistem persamaan baik pada first differences maupun pada level, dimana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first differences dari deret. Blundell dan Bond (1998) dalam Baltagi (2005) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari 48 model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogen sebagai berikut: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 ......................................................................(3.60) dengan 𝐸(𝜇𝑖 ) = 0, 𝐸(𝑣𝑖𝑡 ) = 0, dan 𝐸(𝜇𝑖 𝑣𝑖𝑡 ) = 0 untuk i = 1, 2,…, N; t = 1, 2,…,T. Dalam hal ini, Blundel dan Bond memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh 𝐸(𝑦𝑖1 ∆𝑣𝑖3 ) = 0 sedemikian sehingga 𝛿 tepat teridentifikasi (just identified). Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan ∆𝑦𝑖2 pada 𝑦𝑖1 . Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari Persamaan (3.60) yang dievaluasi pada saat t = 2 dengan mengurangi kedua ruas pada persamaan tersebut, yakni: ∆𝑦𝑖2 = (𝛿−1)𝑦𝑖,1 + 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖2 ..............................................................(3.61) Dikarenakan ekspektasi 𝐸(𝑦𝑖1 𝜇𝑖 ) > 0, maka (𝛿 − 1) akan bias ke atas (upward biased) dengan 𝑝𝑙𝑖𝑚 �𝛿̂ − 1� = (𝛿 − 1) 𝑐 2 /𝜎 2 ) 𝑐+(𝜎𝜇 𝑢 ......................................................(3.62) dengan 𝑐 = (1 − 𝛿)/(1 + 𝛿 ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel instrumen 𝑦𝑖1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi variabel intsrumen tahap pertama akan konvergen ke 𝜒𝑖2 dengan parameter non- centrality (𝜎 2𝑐)2 𝑢 𝜏 = 𝜎2 +𝜎 ........................................................(3.63) 2 𝑐 → 0, dengan 𝛿 → 1 𝜇 𝑢 Karena 𝜏 → 0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga FD-GMM dengan masalah lemahnya instrumen, yang mana dicirikan dari parameter konsentrasi 𝜏. 3.3 Spesifikasi Model Model yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada model New Keynesian Phillips Curve (NKPC) berbasis hybrid yang digunakan oleh Gali dan Gertler (2000), konsep pada model yang digunakan oleh Mishkin dan SchmidtHebbel (2007), dan model yang digunakan oleh Mukherjee (2011). Gali dan 49 Gertler (2000) menyatakan bahwa inflasi dipengaruhi oleh inflasi sebelumnya, ekspektasi inflasi, dan kesenjangan output. Mishkin dan Schmidt-Hebbel (2007) dalam penelitiannya terhadap negara ITF dan non-ITF mendefinisikan konsep stabilitas inflasi sebagai selisih antara inflasi aktual dengan inflasi potensial untuk negara non ITF dan dengan target inflasi untuk negara ITF. Mukherjee (2011) mendefinisikan stabilitas inflasi, yaitu selisih inflasi aktual dengan inflasi target, sebagai fungsi dari deviasi ekspektasi inflasi dengan target inflasi, kesenjangan output, depresiasi nilai tukar riil, keterbukaan perdagangan, dan keterbukaan finansial. Mukherjee (2011) mengasumsikan target inflasi sebagai inflasi potensial. Model tersebut digunakan dalam penelitaannya “The Effect of Capital Market Openness on Exchange Rate Pass-Through and Welfare in an Inflation Targeting Small Open Economy” pada delapan negara inflation-targeting (Australia, Kanada, Islandia, Selandia Baru, Norwegia, Swedia, Swiss, dan Inggris) sejak pemberlakuan IT sampai tahun 2008. Berdasarkan model-model tersebut, maka model umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah: STABINFit = β 0 + β 1 STABINFi(t-1) + β 2 DEVEXPINFit + β 3 lnYGAP it + β 4 lnRER it - β 5 TO it - β 6 FO it + ε it ................................... (3.64) Sementara itu, untuk mendapatkan perbedaan dampak setiap variabel terkait dengan adanya perbedaan kebijakan moneter (berupa ITF) dan antara kelompok negara maju dan negara sedang berkembang maka digunakan model sebagai berikut: STABINFit = β 0 + β 1 STABINFi(t-1) + β 2 DEVEXPINFit + β 3 lnYGAPit + β 4 lnRER it - β 5 TO it - β 6 FO it + β k (Z it )*DITF + ε it ......... (3.65) STABINFit = β 0 + β 1 STABINFi(t-1) + β 2 DEVEXPINFit + β 3 lnYGAPit + β 4 lnRER it - β 5 TO it - β 6 FO it + β k (Z it )*DM + ε it ............ (3.66) dengan, 50 STABINFit = stabilitas inflasi (persen); STABINFi(t-1) = stabilitas inflasi tahun sebelumnya (persen); DEVEXPINFit = deviasi ekspektasi inflasi (persen); lnYGAP it = kesenjangan output (miliar US$), dalam logaritma natural (ln); lnRER it = nilai tukar riil (per US$), dalam logaritma natural (ln); TO it = keterbukaan perdagangan (persen); FO it = keterbukaan finansial (persen); DITFit = dummy kebijakan ITF; negara ITF=1, negara non-ITF=0 DM it = dummy kelompok negara; negara maju=1, negara sedang berkembang=0 Z it = matriks variabel struktur (STABINFi(t-1) , DEVEXPINF it , lnYGAP it , lnRER it , TO it , dan FO it ) i = negara (i = 1, 2, 3, ..., 11); t = tahun (t = 2001 - 2010); β0 = konstanta; β 1 , β 2 , ..., β 6 = koefisien parameter pada variabel struktur/independen; βk = koefisien parameter pada variabel interaksi; dan k = variabel interaksi (k = 7, 8, 9, ..., 12). 3.4 Definisi Variabel Operasional Definisi operasional variabel-variabel yang digunakan dalam model sebagai berikut: 1. Stabilitas inflasi (STABINF) adalah selisih antara inflasi aktual dengan inflasi potensial. Inflasi aktual adalah perubahan harga barang dan jasa antar periode yang diukur dari perubahan indeks harga konsumen (IHK), sedangkan inflasi potensial adalah angka inflasi yang ditargetkan oleh negara ITF atau inflasi potensial yang diperoleh dari hasil estimasi HP Filter untuk negara Non-ITF. 2. Deviasi ekspektasi inflasi (DEVEXPINF) adalah selisih antara ekspektasi inflasi dengan inflasi potensial. Ekspektasi Inflasi diperoleh dari rata-rata inflasi dua periode sebelumnya. 51 3. Kesenjangan output (lnYGAP) adalah selisih antara PDB riil dalam bentuk logaritma natural (ln) dengan PDB riil potensial dalam bentuk logaritma natural (ln). PDB riil aktual adalah nilai barang dan jasa akhir (final goods and services) yang dihasilkan oleh suatu perekonomian (negara) selama satu tahun, dalam penelitian ini digunakan PDB riil dengan tahun dasar 2000. Sementara itu, PDB riil potensial diperoleh dari metode Hodrick-Prescott Filter. 4. Nilai tukar riil (RER) diperoleh dari nilai tukar nominal per dollar Amerika Serikat (US$) dikali IHK Amerika Serikat dan dibagi IHK masing-masing negara. Kemudian nilai tukar riil tersebut dilogaritma-naturalkan (lnRER). Peningkatan berarti terjadi depresiasi. 5. Keterbukaan Perdagangan (TO) adalah persentase nilai ekspor dan impor terhadap PDB. Ekspor dihitung berdasarkan nilai FOB (Freight on Board) meliputi nilai barang dan jasa, biaya angkut, asuransi, royalti, lisensi, dan jasa lainnya. Impor dihitung berdasarkan nilai CIF (Cost Insurance and Freight) meliputi nilai barang dan jasa, biaya angkut, asuransi, royalti, lisensi, dan jasa lainnya. 6. Keterbukaan Finansial (FO) adalah persentase nilai private capital flows (arus modal swasta), yang terdiri dari Foreign Direct Investment (FDI) dan Portfolio equity, terhadap PDB. FDI adalah investasi yang berasal dari luar negeri (netinflow) yang diinvestasikan kembali, meliputi modal ekuitas jangka modal, panjang keuntungan dan yang jangka pendek sebagaimana yang tertera dalam neraca pembayaran (balance of payment), sedangkan portfolio equity meliputi arus masuk (netinflow) dari equitas selain yang dicatat sebagai investasi langsung, termasuk saham, penerimaan penyimpanan, dan pembelian langsung saham di pasar saham lokal oleh investor asing sebagaimana juga yang tertera dalam neraca pembayaran (balance of payment). 3.5 Prosedur Analisis Parameter model data panel statis akan diestimasi dengan menggunakan model pooled least square (PLS), fixed effect model (FEM) dan random effect 52 model (REM). Tahap pertama adalah uji Chow untuk pemilihan model terbaik antara PLS dan FEM. Uji dilakukan dengan membandingkan nilai F-hitung dan Fstatistik. Hipotesis yang digunakan adalah: H 0 : α 1 = α 2 = … = α i (memiliki nilai intercept sama) H 1 : sekurang-kurangnya ada 1 (satu) intercept yang berbeda Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil uji, dengan melihat kondisi sebagai berikut: • Jika F-hitung ≤ F-tabel maka dikatakan terima H 0 (tidak signifikan), artinya model PLS lebih baik daripada FEM. • Jika F-hitung > F-tabel maka dikatakan tolak H 0 (signifikan), artinya FEM lebih baik daripada PLS. Tahap Kedua adalah uji Hausman untuk menentukan model yang lebih baik antara FEM dan REM. Uji dilakukan dengan menggunakan hipotesa sebagai berikut: H0: E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1: E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat Sebagai dasar penolakan H0 digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi square (χ2). Jika nilaii χ2 hitung hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H 0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah FEM, begitu juga sebaliknya. Tahap ketiga, jika model yang terpilih setelah dilakukan uji Chow dan uji Hausman adalah REM maka model diasumsikan Best Linier Unbiased Estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama model BLUE (non-multicolinierity, homoskedasticity, dan non-autocorelation). Hal ini dikarenakan dua alasan, yaitu: (i) sifat data panel adalah bebas dari gejala multikolinieritas; dan (ii) REM adalah model generalized least square (GLS), dan estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah terbebas dari gejala autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variansi sisaannya konstan (Gujarati, 2004). Namun, jika model yang terpilih dalam uji Chow dan uji Hausman tersebut adalah FEM maka dilakukan beberapa uji asumsi sebagai berikut: (i) Uji Autokorelasi 53 Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antarobservasi dalam satu peubah atau korelasi antara error masa yang lalu dengan error saat ini. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari penduganya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan dengan membandingkan nilai DW-hitung dan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 4. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola error acak dari hasil regresi. Tabel 4 Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW Hasil (1) (2) 4 – dL < DW < 4 Terdapat korelasi serial negatif 4 – dU < DW < 4- dL Hasil tidak dapat ditentukan 2 < DW < 4 – dU Tidak ada korelasi serial dU < DW < 2 Tidak ada korelasi serial d L < DW < dU Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < dL Terdapat korelasi serial positif Sumber: Gujarati (2004) (ii) Uji Homoskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE maka varian u i harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error memiliki varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode GLS cross section weights, yakni membandingkan jumlah kuadrat residual (sum square residual) antara weighted statistics dengan unweighted statistics. Jika jumlah kuadrat residual pada weighted statistics ternyata lebih kecil maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas pada model. 54 Selanjutnya, untuk menduga parameter pada model data panel dinamis akan digunakan metode first difference-generalized method of moments (FDGMM) dan system-generalized method of moments (Sys-GMM). Pertama, estimasi dilakukan dengan metode FD-GMM, kemudian dilakukan uji validitas, konsistensi instrumen yang digunakan, dan ketidakbiasan. Apabila hasil uji tidak memenuhi syarat ini maka akan dilanjutkan dengan penggunaan metode SysGMM. Uji validitas, konsistensi, dan ketidakbiasan juga dilakukan pada metode Sys-GMM. Untuk menguji validitas instrumen digunakan uji Sargan. Uji Sargan untuk overidentifying restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrumen. Hipotesis yang digunakan adalah: H 0 : tidak ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen valid) H 1 : ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen tidak valid) Tidak ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen valid) berarti bahwa instrumen tersebut tidak berkorelasi dengan error pada model. Hasil yang diharapkan untuk uji ini adalah tidak menolak H 0 pada taraf nyata 5 persen. Untuk melihat konsistensi hasil estimasi yang dihasilkan model dapat dilakukan dengan uji autokorelasi menggunakan statistik m 1 dan m2 . Konsistensi hasil estimasi model ditunjukkan bila nilai statistik m1 signifikan (tolak H 0 ) dan nilai statistik m2 tidak signifikan (tidak tolak H 0 ). Sementara itu, untuk ketidakbiasan dapat dilihat dari koefisien hasil estimasi variabel lag dependen. Jika koefisien hasil estimasinya berada dalam rentang koefisien hasil estimasi model PLS dan model FEM maka model tersebut dikatakan tidak bias. Tahap berikutnya adalah melakukan komparasi antara hasil estimasi model data panel statis terbaik dengan hasil estimasi model data panel dinamis untuk kemudian ditelaah dan dianalisis lebih lanjut untuk menentukan model mana yang terbaik. Selanjutnya, dilakukan pengujian tingkat signifikansi dari setiap koefisien estimasi model terbaik. Berdasarkan hasil pengujian signifikansi tersebut selanjutnya dilakukan telaah dan analisis untuk menjawab tujuan dan hipotesis penelitian. 55 Seluruh pengolahan data, baik pada model data panel statis maupun dinamis, akan dilakukan dengan bantuan program komputer Eviews versi 6 dan STATA versi 10. Pemilihan program ini dikarenakan ketersedian tools untuk pengolahan data sekaligus pengujian berbagai asumsi yang disyaratkan. 56 Halaman ini sengaja dikosongkan IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Inflasi Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi penting dalam melihat stabilitas perekonomian. Inflasi yang berfluktuasi tinggi mencerminkan adanya ketidakstabilan, sedangkan inflasi dengan fluktuasi yang rendah menandakan stabilitas ekonomi yang relatif kokoh. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa ada dua kelompok negara berdasarkan kebijakan inflasinya di negara-negara ASEAN+6. Indonesia, Thailand, Filipina, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru menggunakan ITF sebagai kebijakan inflasinya, sedangkan Malaysia, Singapura, China, Jepang, dan India tidak menggunakan ITF dalam kebijakannya. Selama periode tahun 2001-2010, rata-rata inflasi tertinggi di antara negara-negara ASEAN+6 terjadi di Indonesia, dimana setiap tahunnya rata-rata terjadi inflasi sebesar 8,59 persen, sedangkan rata-rata inflasi terendah terjadi di Singapura, dengan rata-rata inflasi sebesar 1,62 persen pertahun. Sementara itu, di Jepang rata-rata terjadi deflasi sebesar 0,26 persen pertahun. Hal ini mengindikasikan bahwa inflasi di negara maju relatif rendah dibandingkan negara sedang berkembang. Tabel 5 Inflasi, Rata-rata Inflasi, dan Koefisien Ragam Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (persen) 𝑥̅ Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) 10,45 4,54 7,63 2,75 2,67 3,17 13,11 4,64 6,24 2,20 3,54 3,17 6,41 2,28 2,83 2,54 2,33 2,59 9,78 5,40 9,31 4,70 4,35 3,85 4,81 -0,85 3,23 2,80 1,82 1,89 5,13 3,31 3,81 2,93 2,85 2,91 8,59 2,62 5,23 3,19 3,01 2,69 1,10 1,42 0,99 0,19 0,24 0,16 2,96 0,43 1,82 -0,27 4,25 3,67 3,61 1,02 1,46 0,24 6,15 4,13 2,03 2,10 4,75 0,06 6,37 3,12 5,44 6,52 5,86 1,37 8,35 5,90 0,58 0,60 -0,70 -1,35 10,88 2,16 ITF Indonesia 11,50 11,88 6,59 6,24 Thailand 1,63 0,70 1,80 2,76 Filipina 6,80 3,00 3,45 5,98 Korea Selatan 4,07 2,76 3,51 3,59 Australia 4,38 3,00 2,77 2,34 Selandia Baru 2,51 2,66 1,51 2,60 Non-ITF Malaysia 1,42 1,81 0,99 1,52 Singapura 1,00 -0,39 0,51 1,66 China 0,72 -0,77 1,16 3,88 Jepang -0,80 -0,90 -0,25 -0,01 India 3,68 4,39 3,81 3,77 𝑥̅ 3,35 2,56 2,35 3,12 Keterangan: 𝑥̅ : rata-rata CV : koefisien ragam Sumber: Diolah dari World Bank (2012) CV 1,71 2,21 0,94 2,81 1,62 2,33 3,31 2,15 2,33 -0,72 -0,26 -2,19 11,99 6,36 1,48 3,64 58 Tabel 5 menunjukkan bahwa, jika dilihat dari koefisien ragamnya, Selandia Baru menjadi negara dengan tingkat kestabilan inflasi terbaik diantara negara-negara ASEAN+6. Tingkat kestabilan yang tinggi juga terjadi di Korea Selatan dan Australia. Ketiga negara tersebut menerapkan ITF sebagai kebijakan moneternya. Tiga negara ITF lainnya juga memiliki tingkat kestabilan inflasi yang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara non-ITF. Negara non-ITF yang memiliki tingkat kestabilan inflasi yang relatif baik hanya Malaysia. Rata-rata inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 5,9 persen. Inflasi yang cukup tinggi terjadi di Indonesia, Filipina, dan India dengan masingmasing sebesar 9,78 persen; 9,31 persen; dan 8,35 persen Kondisi ini tidak terlepas dari adanya krisis finansial global yang berawal dari krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada akhir tahun 2007 yang ternyata memberi tekanan cukup besar terhadap perekonomian dunia, termasuk ASEAN+6. Inflasi negara-negara ASEAN+6 secara rata-rata memiliki kecenderungan (trend) meningkat. Meskipun demikian, selisih antara inflasi aktual dengan inflasi potensial/targetnya berada pada kisaran satu persen, kecuali tahun 2008, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Persentase 7,00 Inflasi 6,00 Stabilitas Inflasi 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Sumber: Diolah dari World Bank (2012) Gambar 5 Perkembangan Rata-rata Inflasi dan Stabilitas Inflasi ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) 59 Inflasi yang paling berbeda jauh dengan potensialnya terjadi pada tahun 2008, dengan rata-rata perbedaan mencapai 2,80 persen. Terjadinya krisis finansial global ternyata berdampak terhadap ekspektasi masyarakat sehingga mendorong kenaikan harga. Sementara itu, perbedaan yang paling rendah terjadi pada tahun 2003, dimana selisih antara inflasi aktual dengan potensial/targetnya rata-rata hanya sebesar 0,64 persen. Pada tahun 2010, rata-rata selisih inflasi aktual dengan inflasi potensial/targetnya sebesar 0,73 persen, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) /𝑥̅ / Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 0,31 -2,10 -0,27 -0,20 -0,68 -0,11 1,13 2,06 -0,69 -0,07 0,35 0,91 2,82 1,63 1,86 0,64 0,71 0,86 -1,96 -2,19 -3,82 -1,18 1,15 1,27 -0,84 -0,30 0,01 -0,52 1,18 0,73 0,98 1,09 1,43 0,50 0,93 ITF Indonesia 6,50 2,38 -2,41 0,74 4,45 5,11 0,41 4,78 Thailand -0,12 -1,05 0,05 1,01 2,79 2,89 0,53 3,65 Filipina 1,30 -2,50 -1,55 1,48 2,13 1,74 -1,67 5,31 Korea Selatan 1,57 -0,24 0,51 0,59 -0,25 -0,80 -0,46 1,70 Australia 1,88 0,50 0,27 -0,16 0,17 1,04 -0,17 1,85 Selandia Baru 1,01 0,66 -0,49 0,60 1,17 1,17 0,59 1,85 Non-ITF Malaysia -0,16 0,05 -0,93 -0,58 0,71 1,23 -0,44 2,92 Singapura 0,86 -0,84 -0,27 0,55 -1,02 -0,78 -0,05 4,03 China 0,10 -1,78 -0,26 2,10 -0,31 -0,98 2,04 2,93 Jepang -0,27 -0,46 0,10 0,26 -0,07 0,40 0,20 1,52 India 1,19 1,14 -0,21 -1,05 -1,43 -0,46 -1,23 -0,29 /𝑥̅ / 1,36 1,06 0,64 0,83 1,32 1,51 0,71 2,80 Keterangan: /𝑥̅ / : rata-rata dengan me-mutlak-kan nilai yang akan diperhitungkan. Sumber: Diolah dari World Bank (2012) dan bank sentral setiap negara ITF Jika dibandingkan antara negara-negara ITF dan Non-ITF, rata-rata inflasi di negara ITF cenderung mengalami penurunan, sedangkan rata-rata inflasi di negara Non-ITF cenderung mengalami peningkatan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 panel (a). Meskipun demikian, stabilitas inflasi di negara ITF cenderung lebih fluktuatif dibandingkan negara non-ITF. Adanya guncangan perekonomian global, seperti: kenaikan harga minyak pada tahun 2005, membuat inflasi di negara-negara ITF bergerak tinggi dan berbeda jauh dari targetnya (Gambar 6 panel (b)). Secara tidak langsung, hal ini mengindikasikan bahwa beberapa negara yang menerapkan kebijakan ITF (yaitu: Indonesia, Thailand, dan Filipina) belum memiliki pondasi ekonomi yang kuat untuk menstabilkan inflasinya. 60 Persentase Persentase 7,00 3,50 6,00 3,00 5,00 2,50 4,00 2,00 3,00 1,50 ITF Non-ITF 1,00 2,00 ITF 1,00 0,50 Non-ITF 0,00 0,00 Tahun Tahun (a) Inflasi (b) Stabilitas Inflasi Sumber: Diolah dari World Bank (2012) Gambar 6 Rata-rata Inflasi dan Stabilitas Inflasi Negara-negara ASEAN+6 menurut Kelompok Negara ITF dan Non-ITF Tahun 2001-2010 (Persen) 4.2 Produk Domestik Bruto (PDB) Selama periode tahun 2001-2010, PDB negara-negara ASEAN terus mengalami peningkatan, kecuali tahun 2008 dan 2009. Pada tahun 2008, Selandia Baru dan Jepang mengalami resesi masing-masing sebesar 1,54 persen dan 1,17 persen. Sementara itu, pada tahun 2009, beberapa negara yang mengalami pertumbuhan negatif adalah Thailand (-2,33 persen), Selandia Baru (-0,47 persen), Malaysia (-1,64 persen), Singapura (-0,77 persen), dan Jepang (-6,29 persen). Penurunan ekonomi ini merupakan dampak dari terjadinya subprime mortgage. Pada tahun 2010, perekonomian seluruh negara ASEAN+6 kembali tumbuh positif. Pertumbuhan dua digit terjadi di Singapura (14,47 persen) dan China (10,40 persen). Pertumbuhan ekonomi lebih dari lima persen terjadi di India, Thailand, Filipina, Malaysia, Korea Selatan, dan Indonesia. Sementara itu, perekonomian Jepang, Australia, dan Selandia Baru tumbuh tidak lebih dari empat persen, seperti yang disajikan pada Tabel 7. 61 Tabel 7 Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (persen) Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 3,64 2,17 2,89 3,97 1,98 3,59 4,50 5,32 3,65 7,15 3,90 4,91 4,78 7,14 4,97 2,80 3,27 4,35 5,03 6,34 6,70 4,62 4,16 3,76 5,69 4,60 4,78 3,96 2,96 3,30 5,50 5,09 5,24 5,18 3,08 0,77 6,35 5,04 6,62 5,11 3,56 2,98 6,01 2,48 4,15 2,30 3,83 -1,54 4,58 -2,33 1,15 0,32 1,45 -0,47 6,10 7,81 7,63 6,16 2,26 1,66 0,52 -1,22 8,30 0,18 5,22 5,39 4,24 9,10 0,26 3,77 5,79 4,60 10,00 1,41 8,37 6,78 9,24 10,10 2,74 8,28 5,33 7,38 11,30 1,93 9,32 5,85 8,70 12,70 2,04 9,27 6,48 8,77 14,20 2,36 9,82 4,81 1,49 9,60 -1,17 4,93 -1,64 -0,77 9,20 -6,29 9,10 7,19 14,47 10,40 4,00 8,81 ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India Sumber: World Bank (2012) Tabel 7 juga menunjukkan bahwa perekonomian China tumbuh sangat pesat, dimana pertumbuhan ekonominya selalu di atas delapan persen. Bahkan pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi China mencapai 14,20 persen. Pesatnya pertumbuhan ekonomi China menjadikannya sebagai negara dengan PDB terbesar di ASEAN+6 pada tahun 2010. Posisi China tersebut menggeser posisi Jepang yang sebelumnya menjadi negara dengan PDB terbesar di ASEAN+6. China memiliki PDB sebesar US$5.927 milyar, sedangkan Jepang memiliki PDB sebesar US$5.459 milyar. Sementara itu, PDB yang besar juga dimiliki oleh India (US$1.727 milyar), Australia (US$1.132 milyar), Korea Selatan (US$1.014 milyar), dan Indonesia (US$707 milyar), seperti yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 PDB Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$) Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 160 116 76 505 380 53 196 127 81 576 397 65 235 143 84 644 468 87 257 161 91 722 616 102 286 176 103 845 696 111 93 91 1.325 4.095 478 101 91 1.454 3.918 507 110 93 1.641 4.229 599 125 109 1.932 4.606 722 138 124 2.257 4.552 834 ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India Sumber: Diolah dari World Bank (2012) 2007 2008 2009 2010 (8) (9) (10) (11) 365 207 122 952 750 111 432 247 149 1.049 857 138 510 273 174 931 1.062 118 539 264 168 834 924 127 707 319 200 1.014 1.132 134 157 139 2.713 4.363 951 187 168 3.494 4.378 1.242 223 178 4.522 4.880 1.216 193 188 4.991 5.033 1.377 238 209 5.927 5.459 1.727 62 Jika dilihat dari sisi pendapatan perkapita, terdapat kesenjangan yang sangat tinggi antar negara ASEAN+6. Pada tahun 2010, pendapatan perkapita tertinggi di kawasan ASEAN+6 terdapat di Singapura dengan nilai mencapai US$56.890, sedangkan yang terendah terdapat di India dengan nilai hanya sebesar US$3.340. Selain Singapura, negara-negara di kawasan ASEAN+6 yang memiliki pendapatan perkapita US$20.000 atau lebih adalah Australia (US$36.910), Jepang (US$34.780), Selandia Baru (US$29.140), Korea Selatan (US$28.830) yang digolongkan sebagai negara maju. Sementara itu, Malaysia (US$14.160), Thailand (US$8.150), China (US$7.600), Indonesia (US$4.190), Filipina (US$3.960), dan tentunya India digolongkan sebagai negara berkembang (World Bank, 2012). 4.3 Ekspor dan Impor Seiring dengan perkembangan perekonomian yang terus meningkat selama periode tahun 2001-2010, ekspor negara-negara ASEAN+6 juga terus mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor terbesar terjadi di India dan China dengan masing-masing tumbuh sebesar 22,26 persen pertahun dan 21,69 persen pertahun. Sementara itu, ekspor negara lain tumbuh antara 7,5 sampai 13 persen pertahun. Pada tahun 2010, nilai ekspor terbesar terjadi di China yaitu mencapai US$1.752,6 milyar, diikuti oleh Jepang (US$830,6 milyar) dan Korea Selatan (US$531,5 milyar), sedangkan yang terendah terjadi di Selandia Baru (US$38,4 milyar), seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Nilai Ekspor di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$) Negara (1) ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 62,6 76,1 35,1 180,3 83,7 18,3 64,0 81,4 38,0 190,8 81,5 21,0 71,6 93,7 39,6 227,7 88,3 24,9 82,7 114,1 44,4 295,2 104,4 29,2 97,4 129,7 47,6 331,8 125,6 30,4 113,1 152,5 56,9 377,7 146,5 31,6 127,2 181,3 64,6 439,9 168,8 39,2 152,1 208,4 64,1 493,7 208,7 36,3 130,4 180,1 54,3 414,8 209,4 35,4 173,9 226,9 69,5 531,5 223,8 38,4 102,4 171,4 109,2 171,2 117,9 193,9 143,9 240,1 162,0 284,0 182,5 325,1 205,5 368,2 229,8 415,0 185,9 376,8 231,4 440,6 299,4 365,4 485,0 655,8 836,9 1.061,7 1.342,2 1.581,7 1.333,3 1.752,6 432,5 61,0 445,3 73,5 507,9 88,7 612,7 126,6 652,5 160,8 703,0 200,5 771,4 253,9 856,2 289,4 636,1 273,0 830,6 372,0 Sumber: Diolah dari World Bank (2012) 63 Seperti ekspor, nilai impor India dan China juga tumbuh paling pesat di antara negara-negara ASEAN+6, dengan masing-masing tumbuh sebesar 23,25 persen pertahun dan 21,11 persen pertahun. Sementara itu, impor negara lain tumbuh antara 7 sampai 14 persen pertahun. Pada tahun 2010, nilai impor terbesar terjadi di China yaitu mencapai US$1.520,5 milyar, diikuti oleh Jepang (US$768 milyar) dan Korea Selatan (US$503,2 milyar), sedangkan yang terendah terjadi di Selandia Baru (US$36,4 milyar), seperti yang disajikan pada tabel 10. Tabel 10 Nilai Impor di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$) Negara (1) ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India 2001 2002 2003 2004 2005 2007 2008 2009 2010 (2) (3) (4) (5) (6) 2006 (7) (8) (9) (10) (11) 49,4 68,6 40,3 168,9 82,9 17,1 51,6 73,0 45,3 182,3 81,2 19,8 54,3 84,0 45,9 213,1 97,8 24,6 70,7 106,2 49,4 265,1 120,1 29,9 85,5 131,7 53,3 308,9 143,1 32,8 93,4 145,3 59,1 364,5 158,0 33,2 109,8 160,6 64,8 424,0 179,4 40,3 146,7 201,4 68,3 504,7 230,9 37,8 115,2 152,3 56,2 383,9 203,8 33,5 162,4 203,5 73,1 503,2 227,3 36,4 86,3 157,2 91,8 155,4 96,2 167,9 118,5 212,0 130,6 247,7 147,1 283,8 167,0 313,9 178,3 377,8 144,4 332,3 189,0 382,1 271,3 328,0 448,9 606,5 712,1 852,8 1.034,7 1.232,8 1.113,2 1.520,5 406,4 65,2 394,1 78,5 439,1 96,5 523,7 139,3 589,3 183,7 648,4 230,5 698,0 303,8 849,1 351,6 620,8 344,8 768,0 428,0 Sumber: Diolah dari World Bank (2012) Jika dilihat secara netto, beberapa negara ASEAN+6 ada yang selalu mengalami surplus perdagangan, tetapi ada juga yang selalu mengalami defisit perdagangan. Surplus perdagangan selalu terjadi di Indonesia, Malaysia, Singapura, China, dan Jepang. Defisit perdagangan selalu terjadi di India dan Filipina. Semantara itu, Thailand dan Korea Selatan hanya mengalami defisit perdagangan masing-masing pada tahun 2005 dan 2008. Tabel 11 menunjukkan bahwa China mengalami surplus perdagangan sangat tinggi yaitu mencapai US$232,1 milyar pada tahun 2010. Tingginya surplus perdagangan di China tersebut sudah dimulai sejak tahun 2005 dengan nilai US$124,8 milyar. 64 Tabel 11 Nilai Ekspor Netto di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$) Negara 2001 2002 (1) (2) ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 13,3 7,5 -5,2 11,4 0,8 1,2 12,3 8,5 -7,3 8,5 0,3 1,2 17,2 9,7 -6,3 14,6 -9,5 0,3 12,0 7,8 -5,0 30,0 -15,7 -0,7 11,9 -2,0 -5,8 22,8 -17,5 -2,5 19,7 7,2 -2,2 13,2 -11,5 -1,6 17,5 20,7 -0,1 15,8 -10,6 -1,2 5,4 7,0 -4,3 -11,0 -22,2 -1,5 15,1 27,8 -1,9 30,9 5,6 1,8 11,5 23,5 -3,6 28,3 -3,5 2,0 16,2 14,2 28,1 26,1 -4,3 17,4 15,8 37,4 51,1 -5,0 21,7 26,0 36,1 68,8 -7,7 25,4 28,1 49,3 89,0 -12,7 31,5 36,3 124,8 63,1 -22,9 35,5 41,3 208,9 54,6 -30,1 38,5 54,3 307,5 73,3 -49,9 51,6 37,2 348,9 7,1 -62,1 41,5 44,5 220,1 15,4 -71,8 42,4 58,6 232,1 62,6 -56,0 Sumber: Diolah dari World Bank (2012) Meskipun India dan China memiliki nilai ekspor dan impor terbesar, namun jika dibandingkan dengan perekonomian kedua negara tersebut masih relatif kecil, hanya sekitar 55,23 persen dan 46,32 persen pada tahun 2010. Proporsi ekspor dan impor terhadap PDB terbesar terjadi di Singapura yaitu mencapai 394,07 persen, atau ekspor dan impornya tiga kali lebih besar dari perekonomian negara tersebut. Tingginya proporsi ekspor dan impor terhadap PDB tersebut mengindikasikan tingginya derajat keterbukaan perdagangan Singapura. Tabel 12 Proporsi Ekspor dan Impor terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) Negara (1) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) ITF Indonesia 69,79 Thailand 125,22 Filipina 98,91 Korea Selatan 69,22 Australia 43,77 Selandia Baru 66,85 Non ITF Malaysia 203,36 Singapura 360,57 China 43,08 Jepang 20,49 India 26,41 59,08 121,70 102,44 64,78 40,99 62,22 53,62 124,58 101,85 68,47 39,73 57,01 59,76 136,54 102,64 77,61 36,46 57,89 63,99 148,25 97,88 75,83 38,59 56,94 56,66 143,80 94,94 77,98 40,61 58,65 54,83 138,46 86,62 82,34 40,62 57,47 58,56 150,33 76,28 107,20 41,41 62,94 45,53 126,16 65,59 95,76 44,71 54,37 47,59 135,14 71,42 101,99 39,87 55,90 199,36 360,59 47,70 21,42 29,97 194,20 387,50 56,91 22,39 30,90 210,37 413,45 65,35 24,67 36,86 212,10 430,56 68,63 27,28 41,32 210,46 438,90 70,57 30,98 45,31 199,45 405,50 68,03 33,56 44,88 183,21 445,91 62,24 34,94 52,71 171,23 376,20 49,02 24,97 44,86 176,80 394,07 55,23 29,29 46,32 Sumber: Diolah dari World Bank (2012) Selama periode 2001-2010, Thailand (rata-rata 135,02 persen pertahun), Filipina (89,86 persen pertahun), dan Korea Selatan (82,12 persen pertahun) 65 merupakan negara dengan derajat keterbukaan perdagangan tertinggi untuk kelompok negara ITF, sedangkan Singapura (401,33 persen pertahun) dan Malaysia (196,05 persen pertahun) menjadi negara dengan derajat keterbukaan perdagangan tertinggi untuk kelompok negara Non-ITF di ASEAN+6. Meskipun era perdagangan bebas sudah diterapkan namun tidak semua negara ASEAN+6 memiliki trend derajat keterbukaan perdagangan positif (meningkat). Negara-negara ASEAN+6 yang memiliki trend derajat keterbukaan menurun, adalah: Indonesia, Filipina, dan Malaysia (lihat Lampiran 1 panel (e)). 4.4 Foreign Direct Investment (FDI) dan Portfolio Equity Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk ke negara-negara ASEAN+6 umumnya lebih besar daripada yang keluar selama periode tahun 2001-2010. Beberapa negara pernah mengalami FDI keluar lebih besar dibandingkan yang masuk, seperti Indonesia pada tahun 2001 dan 2003, Australia pada tahun 2005, Jepang pada tahun 2006, Selandia Baru pada tahun 2009, dan terakhir terjadi di Jepang dan Korea Selatan di tahun 2010. Proporsi netinflow FDI terhadap PDB terbesar terjadi di Singapura dengan rata-rata mencapai 14,28 persen pertahun, diikuti oleh China (3,61 persen pertahun) dan Thailand (3,5 persen pertahun), seperti disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 Proporsi Netinflow FDI terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) -1,86 4,39 0,26 0,70 2,17 -0,57 0,07 2,63 1,90 0,42 4,28 2,26 -0,25 3,67 0,59 0,55 1,71 2,61 0,74 3,63 0,75 1,28 5,98 2,29 2,92 4,57 1,80 0,75 -5,11 1,41 1,35 4,56 2,39 0,38 3,52 4,13 1,60 4,59 1,95 0,17 4,79 2,23 1,83 3,13 0,89 0,36 4,45 4,35 0,90 1,89 1,17 0,27 2,95 -0,99 1,88 1,98 0,86 -0,01 2,70 0,45 0,60 16,55 3,34 0,15 1,15 3,18 7,07 3,39 0,23 1,11 2,24 12,79 2,87 0,15 0,72 3,71 19,23 2,84 0,17 0,80 2,87 12,52 5,19 0,07 0,91 3,88 21,15 4,57 -0,16 2,14 4,60 22,02 4,58 0,51 2,05 3,31 4,83 3,87 0,50 3,57 0,72 8,11 2,29 0,24 2,58 4,00 18,51 3,12 -0,02 1,40 ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India Sumber: World Bank (2012) 66 Portfolio equity yang masuk ke negara-negara ASEAN+6 juga umumnya lebih besar daripada yang keluar selama periode tahun 2001-2010, kecuali tahun 2008. Pada tahun 2008, arus keluar portfolio equity lebih besar daripada yang masuk terjadi di negara Thailand, Filipina, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Jepang, dan India. Selama periode tahun 2001-2010, proporsi netinflow portfolio equity terhadap PDB yang terbesar terjadi di Singapura dengan rata-rata mencapai 2,17 persen pertahun, diikuti oleh China (1,14 persen pertahun) dan India (1,12 persen pertahun), seperti disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14 Proporsi Netinflow Portfolio Equity terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 0,28 0,30 0,16 2,03 1,88 0,07 0,45 0,42 0,28 0,07 0,07 0,00 0,48 1,25 0,60 2,24 2,61 0,83 0,80 0,82 0,57 1,31 -4,10 0,10 -0,06 2,90 1,42 0,39 1,17 -0,09 0,52 2,53 2,07 -0,88 1,86 -0,36 0,82 1,73 2,13 -2,74 1,60 0,17 0,06 -1,39 -0,74 -3,61 1,83 0,14 0,15 0,51 -0,65 2,98 3,61 0,76 0,30 1,08 0,24 2,27 0,88 -0,23 0,00 -0,10 0,06 0,95 0,62 -0,05 -0,49 0,15 -0,43 0,21 1,22 2,98 0,47 2,08 1,37 3,61 2,18 0,57 2,13 1,25 -0,87 3,96 0,90 2,88 1,46 1,50 7,31 1,58 1,64 1,00 -0,36 10,88 0,53 1,04 2,65 -4,81 -6,58 0,19 -1,43 -1,24 -0,23 -0,17 0,56 0,25 1,53 0,00 1,70 0,53 0,74 2,31 ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India Sumber: World Bank (2012) Jika FDI dan portfolio equity digabungkan, Singapura tetap menjadi negara terbesar dalam penyerapan modal asing secara relatif terhadap perekonomiannya. Proporsi netinflow FDI dan portfolio equity Singapura mencapai 16,45 persen pertahun. Meskipun jauh lebih rendah dibanding Singapura, proporsi netinflow FDI dan portfolio equity terhadap PDB Thailand dan China berada pada posisi berikutnya dengan proporsi masing-masing rata-rata sebesar 4,52 persen pertahun dan 4,16 persen pertahun. Proporsi netinflow FDI dan portfolio equity terhadap PDB terendah terjadi di Korea Selatan dengan proporsi sebesar 0,89 persen pertahun, seperti disajikan dalam Tabel 15. Selama periode tahun 2001-2010, proporsi netinflow FDI dan portfolio equity mengalami trend positif, atau setidaknya tidak mengalami penurunan di semua negara ASEAN+6 (lihat Lampiran 1 panel (f)). Kondisi terus 67 meningkatnya proporsi netinflow FDI dan portfolio equity berarti semakin bertambahnya akumulasi modal swasta asing sehingga dapat lebih mengefisienkan proses produksi. Tabel 15 Proporsi Netinflow FDI dan Portfolio Equity terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) Negara 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) -1,58 4,69 0,42 2,73 4,05 -0,49 0,52 3,06 2,17 0,48 4,35 2,26 0,23 4,92 1,18 2,79 4,32 3,44 1,53 4,45 1,32 2,59 1,89 2,39 2,86 7,47 3,22 1,14 -3,94 1,32 1,87 7,10 4,46 -0,50 5,38 3,77 2,43 6,31 4,08 -2,57 6,39 2,39 1,89 1,73 0,15 -3,25 6,28 4,49 1,05 2,39 0,52 3,25 6,56 -0,23 2,18 3,06 1,10 2,25 3,58 0,22 0,60 16,45 3,40 1,11 1,76 3,12 6,58 3,55 -0,19 1,32 3,46 15,77 3,34 2,22 2,09 7,32 21,41 3,41 2,30 2,05 2,01 16,48 6,09 2,96 2,37 5,38 28,47 6,15 1,48 3,14 4,24 32,90 5,11 1,54 4,70 -1,50 -1,75 4,07 -0,93 2,33 0,49 7,93 2,85 0,48 4,12 4,00 20,21 3,65 0,71 3,71 ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India Sumber: Diolah dari World Bank (2012) 4.5 Nilai Tukar Nilai tukar di negara ITF cenderung lebih fluktuatif dibandingkan negara Non-ITF. Hal ini dimungkinkan karena negara ITF umumnya (seharusnya) memang menganut rezim nilai tukar mengambang, sedangkan negara Non-ITF biasanya menganut rezim nilai tukar tetap. Tabel 16 Perubahan Nilai Tukar di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 StDev (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) -9,26 -3,31 1,20 -3,09 -4,80 -9,10 -7,88 -3,43 5,04 -4,75 -16,23 -20,35 4,22 -3,04 3,39 -3,89 -11,81 -12,39 8,57 -0,01 -1,70 -10,58 -3,70 -5,86 -5,62 -5,81 -6,85 -6,77 1,41 8,57 -0,20 -8,88 -10,07 -2,67 -10,01 -11,76 6,10 -3,49 -3,95 18,59 -0,24 4,56 7,12 2,92 7,57 15,87 7,55 12,47 -12,51 -7,58 -5,39 -9,47 -14,98 -13,29 7,95 3,61 5,90 10,57 8,01 11,19 0,00 -0,06 0,00 3,18 3,02 0,00 -2,70 0,00 -7,54 -4,17 0,00 -2,98 0,00 -6,68 -2,72 -0,34 -1,53 -1,00 1,87 -2,68 -3,14 -4,53 -2,70 5,52 2,74 -6,29 -5,15 -4,59 1,25 -8,74 -2,96 -6,12 -8,66 -12,22 5,22 5,66 2,80 -1,69 -9,47 11,26 -8,61 -6,26 -0,90 -6,19 -5,54 4,14 3,00 2,86 6,35 6,22 ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India Keterangan: Tanda (-) berarti terjadi apresiasi/revaluasi StDev: Standar deviasi Sumber: Diolah dari World Bank (2012) 68 Berdasarkan standar deviasi perubahan nilai tukar setiap negara, rata-rata standar deviasi perubahan nilai tukar di negara ITF sebesar 7,87, sedangkan di negara Non-ITF sebesar 4,51. Meskipun demikian, beberapa negara ITF, yaitu: Thailand dan Filipina memiliki standar deviasi yang lebih rendah daripada negara Non-ITF. Hal yang sama juga terjadi pada perubahan nilai tukar riil. Berdasarkan standar deviasi perubahan nilai tukar riil setiap negara, rata-rata standar deviasi perubahan nilai tukar riil di negara ITF sebesar 7,65, sedangkan di negara NonITF sebesar 4,88. Thailand dan Filipina juga memiliki standar deviasi yang lebih rendah daripada negara Non-ITF. Tabel 17 Perubahan Nilai Tukar Riil di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 StDev (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) -17,60 -2,46 -0,19 -4,20 -6,11 -10,06 -11,61 -2,99 3,84 -5,90 -16,63 -19,76 0,72 -3,12 0,17 -4,73 -11,53 -12,32 1,63 -1,10 -5,57 -10,03 -3,02 -5,66 -13,87 -7,08 -9,49 -5,83 1,11 8,63 -3,53 -8,37 -10,05 -2,38 -9,55 -11,53 0,37 -4,92 -8,76 17,61 -0,73 4,55 1,84 3,44 3,84 12,31 5,25 9,99 -15,41 -9,08 -7,37 -10,60 -15,97 -14,36 8,11 3,92 5,67 9,80 7,65 10,76 -0,22 1,92 2,37 5,76 0,25 1,26 -1,00 1,10 -5,21 -5,59 1,14 -2,01 -1,16 -4,17 -3,74 0,08 1,38 0,53 5,62 -3,48 -3,50 -2,45 -1,01 8,66 -0,09 -5,53 -4,45 -6,32 4,08 -11,75 -4,43 -8,48 -10,41 -10,09 0,83 4,67 1,82 -1,34 -8,56 -0,01 -8,67 -7,31 -2,50 -3,96 -14,27 4,13 3,84 3,98 6,94 5,48 ITF Indonesia Thailand Filipina Korea Selatan Australia Selandia Baru Non ITF Malaysia Singapura China Jepang India Keterangan: Tanda (-) berarti terjadi apresiasi/revaluasi StDev: Standar deviasi Sumber: Diolah dari World Bank (2012) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengujian Stasioneritas Data Pengujian stasioneritas data merupakan tahap yang paling penting dalam menganalisis data panel untuk melihat ada tidaknya panel unit root yang terkandung dalam suatu variabel, sehingga hubungan antar variabel menjadi valid. Statistik uji yang dapat digunakan dalam pengujian stasioneritas data adalah Levin, Lin, dan Chu (LLC) untuk common unit root, ADF-Fisher dan PP-Fisher untuk individual unit root. PP-Fisher lebih digunakan pada data-data yang mengandung perubahan struktur, seperti pada periode krisis ekonomi 1997. Akan tetapi, sebelum dilakukan pengujian stasioneritas data, terlebih dahulu dilakukan plotting data untuk menentukan metode pengujiannya, apakah metode individual intercept effect atau metode indifidual intercept effect dengan trend. Berdasarkan plotting data diketahui bahwa variabel stabilitas inflasi (STABINF), deviasi ekspektasi inflasi (DEVEXPINF), kesenjangan output (lnYGAP), dan keterbukaan finansial (FO) tidak memiliki trend effect, sedangkan nilai tukar riil (lnRER) dan keterbukaan perdagangan (TO) memiliki trend effect. Dengan demikian, stabilitas inflasi (STABINF), deviasi ekspektasi inflasi (DEVEXPINF), kesenjangan output (lnYGAP), dan keterbukaan finansial (FO) menggunakan metode individual intercept effect tanpa trend, sedangkan nilai tukar riil (lnRER) dan keterbukaan perdagangan (TO) menggunakan metode individual intercept effect dengan trend. Hasil ploting data dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan pengujian panel unit root dengan menggunakan uji Levin, Lin, dan Chu (LLC) untuk common unit root diperoleh bahwa seluruh variabel stasioner pada data level, namun berdasarkan uji ADF-Fisher untuk individual unit root diperoleh bahwa keterbukaan perdagangan (TO) dan nilai tukar riil (lnRER) tidak stasioner pada level sehingga diperlukan proses differencing. Dikarenakan ada sebagian variabel dilakukan proses differencing, maka variabel kesenjangan output (lnYGAP) dan keterbukaan finansial (FO) juga dilakukan differencing agar memudahkan dalam analisis. 70 Setelah dilakukan first difference pada variabel keterbukaan perdagangan (TO), nilai tukar riil (lnRER), kesenjangan output (lnYGAP), dan keterbukaan finansial (FO) dilakukan kembali proses pengujian stasioneritas data. Berdasarkan pengujian panel unit root dengan menggunakan uji Levin, Lin, dan Chu (LLC) untuk common unit root diperoleh bahwa seluruh variabel stasioner pada data first difference. Hal yang sama juga diperoleh dari pengujian untuk individual unit root dengan menggunakan ADF-Fisher maupun PP-Fisher, dimana variabel-variabel tersebut stasioner pada data first difference pada level 5%, seperti yang disajikan pada Tabel 18. Hasil lengkap pengujian stasioneritas data dapat dilihat pada Lampiran 2. Variabel stabilitas inflasi (STABINF) dan deviasi ekspektasi inflasi (DEVEXPINF) tidak dilakukan differencing karena pada dasarnya variabelvariabel tersebut merupakan data first differencing (pembedaan pertama). Untuk selanjutnya, pembedaan pertama (first differencing) dalam penelitian ini disimbolkan dengan”D”. Tabel 18 Rekapitulasi Hasil Pengujian Stasioneritas Data LLC p-value ADF-Fisher PP-Fisher (3) (4) (5) (6) 0 1 0,0000 0,0000 0,0000 DEVEXPINF 0 1 0,0000 0,0000 0,0000 lnYGAP D(lnYGAP) 0 1 1 1 0,0017 0,0000 0,0073 0,0007 0,0001 0,0000 lnRER D(lnRER) 0 1 2 2 0,0000 0,0000 0,1079 0,0235 0,0096 0,0172 TO D(TO) 0 1 2 2 0,0082 0,0000 0,6619 0,0249 0,2319 0,0000 FO D(FO) 0 1 1 1 0,0000 0,0000 0,0271 0,0000 0,0038 0,0000 Variabel diff Metode (1) (2) STABINF Keterangan: - Differencing: - Metode: - Statistik uji: 0 1 1 2 LLC ADF-Fisher PP-Fisher = Data level = Data first difference = Individual intercept effect = Individual intercept effect dan trend = Levin, Lin, dan Chu test = ADF–Fisher Chi-Square = PP–Fisher Chi-Square 71 5.2 Kaitan Keterbukaan Ekonomi dan Variabel Lainnya dengan Stabilitas Inflasi 5.2.1 Kaitan Keterbukaan Perdagangan dengan Stabilitas Inflasi Keterbukaan perdagangan dan stabilitas inflasi dinyatakan berhubungan negatif oleh beberapa peneliti sebelumnya, seperti Mukherjee (2011). Artinya, semakin tinggi derajat keterbukaan perdagangan maka selisih antara inflasi aktual dengan inflasi potensial/targetnya akan makin kecil, atau inflasi makin stabil. Jika dilihat berdasarkan plot data antara keterbukaan perdagangan dan stabilitas inflasi selama periode tahun 2001-2010, hubungan negatif tersebut hanya terjadi di India dan Filipina. India bukan negara pengadopsi ITF (Non-ITF), sedangkan Filipina merupakan negara pengadopsi ITF. Keduanya bukan tergolong negara maju. Selengkapnya mengenai kaitan antara keterbukaan perdagangan dan stabilitas inflasi dapat dilihat pada Lampiran 3 panel (a). 5.2.2 Kaitan Keterbukaan Finansial dengan Stabilitas Inflasi Keterbukaan finansial juga dinyatakan memiliki hubungan negatif dengan stabilitas inflasi. Artinya, semakin terbuka finansial di negara tersebut maka stabilitas inflasinya akan semakin baik. Berdasarkan plot data antara keterbukaan finansial dan stabilitas inflasi selama periode tahun 2001-2010, hubungan negatif terjadi di Indonesia, Filipina, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Jepang, dan India. Indonesia, Filipina, Korea Selatan merupakan negara ITF, sedangkan Malaysia, Singapura, Jepang, dan India bukan negara ITF. Negara yang tergolong maju adalah Korea Selatan, Singapura, dan Jepang. Sebaliknya, hubungan positif, atau makin terbuka finansial maka stabilitas inflasinya makin buruk, terjadi di Thailand, Australia, Selandia Baru, dan China. Thailand, Australia, dan Selandia Baru merupakan negara ITF, sedangkan China negara non-ITF. Australia dan Selandia Baru tergolong sebagai negara maju, sedangkan Thailand dan China bukan negara maju. Selengkapnya mengenai kaitan antara keterbukaan finansial dan stabilitas inflasi dapat dilihat pada Lampiran 3 panel (b) 72 5.2.3 Kaitan Kesenjangan Output dengan Stabilitas Inflasi Kaitan kesenjangan output dengan stabilitas inflasi yang positif terjadi hampir diseluruh negara ASEAN+6, kecuali China dan Korea Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa jika output aktual lebih tinggi daripada output potensial akan berakibat pada terjadinya inflasi aktual yang lebih tinggi daripada inflasi potensialnya. Jika output aktual lebih tinggi daripada output potensial maka akan berakibat pada kelebihan permintaan sehingga harga-harga akan bergerak naik. Selengkapnya mengenai kaitan antara kesenjangan output dengan stabilitas inflasi dapat dilihat pada Lampiran 3 panel (c). 5.2.4 Kaitan Nilai Tukar Riil dengan Stabilitas Inflasi Hubungan nilai tukar riil dengan stabilitas inflasi cukup beragam. Hubungan positif nilai tukar riil dengan stabilitas inflasi terjadi di Indonesia, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan India, yang berarti bahwa terjadinya depresiasi/devaluasi nilai tukar riil akan berdampak buruk terhadap stabilitas inflasi. Dengan kata lain, apresiasi/revaluasi nilai tukar riil berdampak baik bagi stabilitas inflasi. Dari lima negara tersebut, hanya India yang merupakan negara Non-ITF. Sebaliknya, depresiasi/devaluasi nilai tukar riil berdampak baik bagi negara Filipina, Malaysia, Singapura, dan China, atau dengan kata lain apresiasi/revaluasi nilai tukar riil akan berdampak buruk bagi stabilitas inflasi. Filipina merupakan satu-satunya negara ITF yang mengalami kondisi ini. Selengkapnya mengenai kaitan antara kesenjangan output dengan stabilitas inflasi dapat dilihat pada Lampiran 3 panel (d). 5.2.5 Kaitan Deviasi Ekspektasi Inflasi dengan Stabilitas Inflasi Hubungan positif deviasi ekspektasi inflasi dengan stabilitas inflasi terjadi di Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan India. Kondisi ini mengindikasikan bahwa jika semakin berbeda antara inflasi yang diekspektasi dunia usaha dengan inflasi potensial maka inflasi aktual juga akan makin jauh dari inflasi potensialnya. India menjadi satu-satunya negara non-ITF yang mengalami kondisi 73 hubungan positif tersebut. Selengkapnya mengenai kaitan antara deviasi ekspektasi inflasi dengan stabilitas inflasi dapat dilihat pada Lampiran 3 panel (e). 5.2.6 Pengujian Kausalitas Granger Pengujian kausalitas granger antara stabilitas inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti adalah untuk mengetahui variabel-variabel mana yang lebih dahulu memengaruhi stabilitas inflasi atau sebaliknya stabilitas inflasi yang lebih dahulu memengaruhi variabel-variabel lainnya. Hasil pengujian kausalitas granger juga dapat menyatakan bahwa variabel-variabel yang diteliti saling memengaruhi dengan stabilitas inflasi atau sebaliknya tidak saling memengaruhi. Satu hal yang perlu digarisbawahi, meski dalam pengujian kausalitas granger dinyatakan bahwa suatu variabel signifikan memengaruhi stabilitas inflasi, bukan berarti secara otomatis variabel tersebut akan memberi pengaruh signifikan dalam model data panel. Hasil pengujian kausalitas granger menyimpulkan bahwa ada dua pola arah hubungan antara stabilitas inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti. Pertama, hubungan dua arah, yaitu antara stabilitas inflasi dengan deviasi ekspektasi inflasi dan kesenjangan output. Kedua, hubungan satu arah, yaitu: keterbukaan perdagangan, keterbukaan finansial, dan nilai tukar riil memengaruhi stabilitas inflasi. Tabel 19 Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Stabilitas Inflasi dengan Variabel yang Diteliti menggunakan Program Eviews v 6 Null Hypothesis: Obs F-Statistic (1) (2) (3) DEVEXPINF does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause DEVEXPINF 88 5,85378 *** 133,684 *** D(lnYGAP) does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause D(lnYGAP) 88 3,47872 ** 13,1281 *** D(lnRER) does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause D(lnRER) 77 5,74051 *** 0,05184 D(TO) does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause D(TO) 77 7,53420 *** 0,60707 D(FO) does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause D(FO) 77 2,56602 * 0,16689 Keterangan: ***, **, dan * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi 1%, 5%, dan 10% 74 5.3 Estimasi Model Estimasi model awal dilakukan melalui seluruh metode baik statis [Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM)] maupun dinamis [First Differences-Generalized Method of Moment (FDGMM) dan System-Generalized Method of Moments (Sys-GMM)]. Rekapitulasi model awal disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter PLS, FEM, REM, FD-GMM, dan Sys-GMM Variabel PLS FEM REM FD-GMM Sys-GMM (1) (2) (3) (4) (5) (6) 0,2381 0,4400 ** 0,2381 - 0,3200 - 0,2254 STABINF(-1) DEVEXPINF D(lnYGAP) D(lnRER) D(TO) D(FO) 0,0964 0,0647 7,5981 -2,5819 0,0272 -0,0738 -0,0108 -0,2270 5,0297 -1,1420 0,0194 -0,0766 ** 0,0964 0,0647 7,5981 -2,5819 0,0272 -0,0738 - 0,4127 - 0,6605 - 61,0769 - 19,6234 0,0254 0,0088 - 0,3204 - 0,6005 - 47,4235 - 17,7848 0,0272 0,0010 R-Square Hausman Test Statistik m1 Statistik m2 Sargan Test 0,1332 C * ** 0,2707 * ** ** * ** * *** 0,1332 [0,0215] [0,1611] [0,4155] [1,0000] [0,1399] [0,1947] [1,0000] Keterangan: 1) angka dalam [ ] merupakan p-value 2) ***, **, dan * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi 1%, 5%, dan 10% Berdasarkan pengujian pada ketiga model data panel statis yakni PLS, FEM, dan REM diperoleh hasil bahwa metode FEM lebih dipilih dibandingkan dua metode lainnya. Berdasarkan uji Chow, FEM lebih baik daripada PLS pada taraf nyata 10 persen, dimana nilai statistik uji Chow sebesar 1,7728 lebih besar dari nilai F tabel yang sebesar 1,6681, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 8. Berdasarkan uji Haussman, FEM lebih baik daripada REM pada taraf nyata 5 persen, dimana nilai prob Chi-square yang sebesar 0,0215 lebih kecil daripada taraf nyata, seperti yang disajikan pada Lampiran 9. Dengan demikian, model yang dipilih pada data panel statis adalah FEM. Sementara itu, pengujian pada kedua model data panel dinamis yakni FDGMM dan Sys-GMM tidak menghasilkan suatu metode estimasi yang memiliki validitas instrumen sekaligus konsisten dan unbias. 75 Metode FD-GMM menghasilkan estimasi yang valid dimana hasil uji Sargan menunjukkan hal tersebut (dengan kesimpulan tidak menolak hipotesis nol), namun tidak memiliki konsistensi yang baik dan bias. Ketidakkonsistenan tersebut terlihat dari tidak signifikannya hasil uji statistik m1 yang semestinya signifikan. Estimasi yang dihasilkan juga bias karena koefisien variabel independen lag, yaitu: stabilitas inflasi sebelumnya (dalam hasil pengolahan dengan program Eviews disimbolkan dengan “STABINF(-1)” sedangkan dalam hasil pengolahan dengan program Stata disimbolkan dengan “stabinf L1”) tidak berada pada rentang koefisien variabel independen lag model PLS dan FEM. Selengkapnya disajikan pada Lampiran 10. Hal yang sama terjadi pada metode Sys-GMM. Metode Sys-GMM juga menghasilkan estimasi yang valid dimana hasil uji Sargan menunjukkan hal tersebut (dengan kesimpulan tidak menolak hipotesis nol), namun tidak memiliki konsistensi yang baik dan bias. Ketidakkonsistenan tersebut terlihat dari tidak signifikannya hasil uji statistik m1 yang semestinya signifikan. Estimasi yang dihasilkan juga bias karena koefisien variabel independen lag (stabinf L1) tidak berada pada rentang koefisien variabel independen lag (STABINF(-1)) model PLS dan FEM. Selengkapnya disajikan pada Lampiran 11. Pengujian berbagai asumsi dasar terhadap metode FEM, sebagai model terpilih, dilakukan untuk memperoleh hasil estimasi yang BLUE (best linear unbiased estimator), khususnya uji autokorelasi dan uji homoskedasitas. Berdasarkan hasil uji Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW sebesar 2,0906. Dengan taraf nyata 5 persen, n=110, dan k=6, nilai d U diperoleh sebesar 1,8054 dan nilai d L sebesar 1,5761 maka nilai DW terletak antara d U < DW < 4-d U (yaitu antara 1,8054 dan 2,1946). Hasil ini menunjukkan bahwa model tidak mengandung autokorelasi. Sementara itu, dengan jumlah kuadrat residual (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics maka terdapat pelanggaran asumsi homoskedasitas pada model. Oleh karena itu, estimasi perlu dilakukan menggunakan metode FEM dengan General Least Square (GLS) Weighted untuk mengatasi pelanggaran asumsi tersebut. Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan GLS Weighted, baik untuk model 76 umum maupun model untuk negara ITF dan non-ITF serta untuk kelompok negara maju dan kelompok negara sedang berkembang disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan GLS Weighted Variabel ASEAN+6 Non-ITF ITF NSB NM (1) (2) (3) (4) (5) (6) 0,4788 *** - 0,0359 - 0,1916 0,0715 0,0674 0,0217 ** - 0,0601 *** 0,3192 ** 0,0435 - 0,3901 4,9901 - 6,9743 ** 0,0089 - 0,0788 *** C STABINF(-1) DEVEXPINF D(lnYGAP) D(lnRER) D(TO) D(FO) 0,3192 0,0608 - 0,1104 - 4,4714 0,6372** 0,0824*** 0,0518*** 0,3337* 0,0564 - 0,1392 4,1523 - 7,9466 0,0441 - 0,2661** 0,3337* - 0,1516 - 0,2809 - 9,4593 1,3286 0,0294 - 0,0282** Keterangan: 1) ASEAN+6 2) 3) 4) 5) 6) : Negara-negara ASEAN+6 (Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, China, India, Australia, dan Selandia Baru); Non-ITF : Negara-negara non-ITF (Malaysia, Singapura, China, Jepang, dan India) ITF : Negara-negara dengan kebijakan ITF (Indonesia, Thailand, Filipina, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru) NSB : Negara Sedang Berkembang (Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, China, dan India) NM : Negara Maju (Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan Jepang) ***, **, dan * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi 1%, 5%, dan 10% 5.4 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi Secara umum, keterbukaan ekonomi, baik perdagangan maupun finansial, akan memengaruhi stabilitas inflasi secara signifikan di negara-negara ASEAN+6. Makin tinggi tingkat keterbukaan perdagangan maka inflasinya akan menjadi tidak stabil, sedangkan makin tinggi tingkat keterbukaan finansial maka inflasinya akan makin stabil di negara-negara ASEAN+6. Tabel 21 kolom (2) menunjukkan bahwa ketika tingkat keterbukaan perdagangan meningkat satu persen maka selisih inflasi dengan inflasi potensial (stabilitas inflasinya) akan bertambah secara riil sebesar 0,02 persen, ceteris paribus. Sementara itu, bertambahnya tingkat keterbukaan finansial sebesar satu persen akan menurunkan selisih inflasi dengan inflasi potensialnya sebesar 0,06 persen, ceteris paribus. Dengan kata lain, makin tinggi tingkat keterbukaan perdagangan di negara-negara ASEAN+6 maka stabilitas inflasi akan semakin buruk, sedangkan makin tinggi tingkat keterbukaan finansial maka stabilitas inflasi akan semakin baik. 77 Kondisi makin buruknya stabilitas inflasi sebagai akibat tingginya tingkat keterbukaan perdagangan disebabkan lebih besarnya proporsi ekspor terhadap PDB dibandingkan dengan proporsi impor terhadap PDB. Rata-rata proporsi ekspor terhadap PDB di negara-negara ASEAN+6 sebesar 56,46 persen pertahun, sedangkan proporsi impor terhadap PDB sebesar 51,93 persen pertahun. Secara teori, dengan makin besarnya proporsi ekspor dibandingkan proporsi impor akan meningkatkan permintaan agregat yang pada akhirnya akan menarik tingkat harga (demand pull inflation). Secara empiris, hubungan positif keterbukaan perdagangan terhadap inflasi memang belum ada yang memperolehnya, namun setidaknya hubungan tersebut tidak selalu negatif. Temple (2002) tidak memperoleh hubungan negatif antara keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Temple (2002) juga menyatakan bahwa inflasi atau stabilitas inflasi menjadi relatif mahal dalam ekonomi yang lebih terbuka, karena inflasi terkait dengan nilai tukar. Kondisi ini sejalan dengan polt data antara keterbukaan perdagangan dan stabilitas inflasi, dimana hampir seluruh negara ASEAN+6 memiliki hubungan positif, kecuali Filipina dan India. Sementara itu, makin baiknya stabilitas inflasi karena meningkatnya tingkat keterbukaan finansial menunjukkan bahwa arus modal swasta yang masuk dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga tercipta efisiensi modal, yang pada akhirnya akan meningkatkan pasokan (supply) barang dan menurunkan tingkat harga. Hasil empiris hubungan negatif keterbukaan finansial dengan inflasi diperoleh Mukherjee (2011) dan Badinger (2009). Hubungan negatif ini terjadi di tujuh negara ASEAN+6, yaitu: Indonesia, Filipina, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Jepang, dan India. Tidak signifikannya pengaruh stabilitas inflasi sebelumnya terhadap stabilitas inflasi saat ini menunjukkan bahwa tidak terjadi presisten stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6. Hal ini lebih disebabkan bahwa stabilitas inflasi hanya menjadi perhatian otoritas moneter semata, bukan pelaku ekonomi lainnya. Hasil estimasi selanjutnya adalah kesenjangan output, nilai tukar riil, dan deviasi ekspektasi inflasi tidak memberikan pengaruh signifikasn terhadap stabilitas inflasi. 78 5.5 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi terkait Penerapan Kebijakan ITF Terkait dengan penerapan kebijakan ITF oleh otoritas moneter di beberapa negara ASEAN+6, dampak buruk keterbukaan perdagangan ternyata hanya terjadi di negara-negara ITF. Tabel 21 kolom (4) menunjukkan bahwa setiap penambahan secara riil satu persen derajat keterbukaan perdagangan berakibat pada bertambahnya selisih antara inflasi aktual dengan targetnya sebesar 0,08 persen, ceteris paribus. Lebih besarnya proporsi ekspor (39,23 persen pertahun) daripada impor (38,98 persen pertahun) lagi-lagi menjadi penyebab terjadinya kondisi ini. Sementara itu, dalam hal keterbukaan finansial, dampak berbeda dialami oleh negara-negara ITF dan negara-negara non-ITF. Keterbukaan finansial berdampak positif dan signifikan terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ITF. Artinya, makin tinggi tingkat keterbukaan finansial maka stabilitas inflasi di negara-negara ITF akan makin buruk. Setiap penambahan secara riil satu persen derajat keterbukaan finansial akan berakibat pada bertambahnya selisih antara inflasi aktual dengan targetnya sebesar 0,05 persen, ceteris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh Mukherjee (2011) yang mendapatkan hubungan negatif keterbukaan finansial dengan stabilitas inflasi di negara ITF Maju. Dampak buruk keterbukaan finansial terhadap stabilitas inflasi negaranegara ITF disinyalir terjadi sebagai akibat kurang percayanya investor asing terhadap kondisi perekonomian beberapa negara ITF sehingga ketika ada guncangan terhadap perekonomian nasional maupun global langsung mengalihkan modalnya ke luar negeri (capital outflow), seperti yang terjadi di Korea Selatan pada tahun 2006-2008. Terjadinya capital outflow berdampak pada penurunan nilai mata uang dalam negeri sehingga memicu terjadinya inflasi. Kondisi ini mencerminkan bahwa kebijakan ITF kurang layak dalam era keterbukaan finansial. Dampak keterbukaan finansial terhadap stabilitas inflasi di negara-negara non-ITF menunjukkan hal sebaliknya, yaitu menstabilkan inflasi. Tabel 21 kolom (3) menunjukkan bahwa setiap penambahan secara riil satu persen derajat 79 keterbukaan finansial akan berakibat pada berkurangnya selisih antara inflasi aktual dengan targetnya sebesar 0,08 persen, ceteris paribus. Pengaruh signifikan terhadap stabilitas inflasi juga diberikan oleh nilai tukar riil. Depresiasi nilai tukar riil memberikan dampak buruk terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ITF. Atau, apresiasi nilai tukar riil memberikan dampak baik terhadap stabilitas inflasi. Penambahan satu persen depresiasi nilai tukar riil akan menambah selisih inflasi aktual dengan inflasi potensialnya sebesar 0,64 persen, ceteris paribus. Dampak buruk depresiasi nilai tukar riil terhadap stabilitas inflasi dapat terjadi melalui dua jalur. Pertama, depresiasi nilai tukar riil akan berdampak pada naiknya harga barang-barang impor sehingga dunia usaha yang menggunakan bahan baku impor akan mengalami beban biaya yang tinggi dan untuk mengatasinya akan mengurangi produksi yang berdampak pada berkurangnya ketersediaan barang di pasar dan akhirnya memicu inflasi (cost push inflation). Kedua, depresiasi nilai tukar akan menurunkan harga relatif barang sehingga permintaan barang dari luar negeri akan meningkat. Meskipun tidak langsung berpengaruh, peningkatan permintaan ekspor ini akan meningkatkan permintaan agregat yang pada akhirnya memicu inflasi (demand pull inflation). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Svensson (2000) dan Mishkin dan Schmidt-Hebbel (2007). Akan tetapi, depresiasi nilai tukar riil ternyata memberi dampak baik bagi stabilitas inflasi di negara-negara non-ITF. Atau, apresiasi nilai tukar riil memberikan dampak buruk terhadap stabilitas inflasi. Setiap penambahan satu persen depresiasi nilai tukar riil akan mengurangi selisih inflasi aktual dengan potensialnya sebesar 6,97 persen. Hal ini disinyalir terkait dengan adanya kebijakan fixed exchange rate di negara-negara non-ITF, seperti China dan Malaysia. Negara dengan rezim nilai tukar ini semaksimal mungkin untuk tidak me-revaluasi mata uangnya karena dengan me-revaluasi mata uangnya maka harga relatif barang ekspornya menjadi lebih mahal sehingga akan mengganggu kondisi perekonomiannya. Selain itu, Malaysia memiliki kebijakan kontrol selektif terhadap neraca modalnya. Lane (1997) mendapatkan hasil bahwa negara 80 dengan perekonomian yang relatif terbuka akan cenderung untuk menganut rezim nilai tukar tetap. 5.6 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi terkait Pengelompokan Negara Maju dan Berkembang World Bank (2012) mengelompokkan negara maju dan berkembang berdasarkan pendapatan perkapita Purcashing Power Parity (PPP). Negara dengan pendapatan perkapita PPP US$20.000 ke atas dikelompokkan menjadi negara maju, sedangkan negara dengan pendapatan perkapita PPP kurang dari US$20.000 dikelompokkan sebagai negara sedang berkembang. Tabel 21 kolom (5) dan (6) menunjukkan dampak keterbukaan ekonomi terhadap negara berkembang dan negara maju. Penambahan secara riil satu persen derajat keterbukaan finansial akan mengurangi selisih antara inflasi aktual dengan inflasi potensialnya sebesar 0,27 persen, ceteris paribus, di negara-negara sedang berkembang. Sementara itu, penambahan yang sama hanya akan mengurangi selisih inflasi aktual dengan inflasi potensial di negara maju sebesar 0,03 persen, ceteris paribus. Artinya, keterbukaan finansial memberikan dampak baik bagi stabilitas inflasi di negara-negara sedang berkembang lebih besar dibandingkan yang diterima negara-negara maju. Kondisi lebih besarnya dampak keterbukaan finansial terhadap stabilitas inflasi di negara berkembang dikarenakan tingkat inflasi dan selisih inflasi aktual dengan inflasi potensial di negara-negara sedang berkembang lebih tinggi dari pada negara maju. Rata-rata inflasi di negara sedang berkembang sebesar 4,53 persen pertahun sedangkan di negara maju sebesar 2,05 persen pertahun. Sementara itu, rata-rata selisih inflasi aktual dengan inflasi potensial di negara maju sebesar 1,61 persen pertahun sedangkan negara maju sebesar 0,76 persen pertahun. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan tujuan yang disampaikan dan pembahasan yang dilakukan, ada tiga hal yang dapat disimpulkan, yaitu: 1. Pola hubungan yang diperoleh adalah keterbukaan perdagangan, keterbukaan finansial, dan nilai tukar riil memengaruhi (secara satu arah) terhadap stabilitas inflasi, sedangkan hubungan saling memengaruhi (dua arah) terjadi antara stabilitas inflasi dengan deviasi ekspektasi inflasi dan kesenjangan output. 2. Keterbukaan perdagangan memberi dampak buruk terhadap stabilitas inflasi di negara ITF. Keterbukaan finansial berdampak baik hanya pada negara nonITF, sedangkan terhadap negara ITF memberikan dampak buruk. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan ITF tidak sejalan dalam era keterbukaan ekonomi. Atau, keterbukaan ekonomi tidak tepat dilakukan ketika suatu negara menerapkan ITF. 3. Keterbukaan finansial memiliki dampak baik relatif besar terhadap stabilitas inflasi di negara-negara sedang berkembang dibandingkan negara maju. 6.2 Implikasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, ada beberapa implikasi kebijakan yang dapat direkomendasikan, yaitu: 1. Pemerintah dan otoritas moneter perlu melakukan koordinasi dalam hal perumusan kebijakannya. Apabila negara-negara ASEAN+6 ingin menerapkan kebijakan ITF maka perlu perlu ada pembatasan dalam hal keterbukaan, baik perdagangan maupun finansial. Atau, jika keterbukaan negara-negara ASEAN+6 tidak dapat dibatasi (dikarenakan merupakan suatu kesepakatan) maka negara-negara ASEAN+6 yang mengadopsi ITF harus mengalihkan kebijakan moneternya agar inflasinya dapat stabil. 2. Terkait dengan dampak buruk depresiasi nilai tukar riil dan keterbukaan perdagangan terhadap stabilitas inflasi, negara-negara ITF dapat melakukan kebijakan substitusi impor. Substitusi impor diperlukan agar negara tidak 82 tergantung dengan produk impor yang rentan terhadap perubahan nilai tukar. Selain itu, juga dapat mengurangi derajat keterbukaan perdagangan. 3. Terkait dengan dampak buruk depresiasi nilai tukar riil dan keterbukaan finansial, negara-negara ITF dapat menggalakkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan melakukan kontrol neraca modal. Dengan PMDN, setidaknya dapat mengurangi permintaan dan penawaran mata uang asing, seperti yang terjadi jika tingkat keterbukaan finansial yang tinggi, sehingga nilai tukar dalam negeri dapat terkontrol yang pada akhirnya kestabilan inflasi dapat terjaga. Sementara itu, melalui kontrol neraca modal, keluar/masuk modal asing dapat dikendalikan sehingga nilai tukar dalam negeri dapat terkontrol yang pada akhirnya kestabilan inflasi juga dapat terjaga. 6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut Dengan adanya keterbatasan, penelitian ini bisa dikembangkan lebih lanjut guna memperoleh hasil yang lebih baik. Saran untuk penelitian lebih lanjut adalah: 1. Melengkapi cakupan, khususnya seluruh negara ASEAN, jika data sudah tersedia. 2. Memperbaiki proksi ekspektasi inflasi dengan melakukan perkiraan inflasi menggunakan metode peramalan, seperti: ARIMA. 3. Mengunakan metode lain, seperti: Instrument Variabel Generalized Method of Moments (IV-GMM), dalam mengestimasi koefisien parameter. DAFTAR PUSTAKA Badinger H. 2009. Globalization, The Output-Inflation Trade-off and Inflation. European Economic Review 53:888-907. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis Chicester: John Wiley & Sons, Ltd. of Panel Data. Ed ke-3. Baltagi BH, Demetriades PO, dan Law SH. 2008. Financial Development and Openness: Evidence from Panel Data. Center for Policy Research No.60. Bangko Sentral ng Pilipinas. http://www.bsp.gov.ph [15 Maret 2012] Bank Indonesia. http://www.bi.go.id [15 Maret 2012] Bank of Korea. http://www.bok.or.kr [15 Maret 2012] Bank of Thailand. http://www.bot.or.th [15 Maret 2012] Blanchard O. 2009. Macroeconomics. Ed ke-5. New Jersey: Prentice Hall. Blanchflower DG dan MacCoille C. 2009. The Formation Of Inflation Expectations: An Empirical Analysis For The UK. NBER Working Paper Series No.15388. Bowdler C dan Nunziata L. 2006. Trade Openness and Inflation Episodes in the OECD. Journal of Money, Credit, and Banking 38(2):553-563 Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series. Ed ke-2. New York: John Wiley & Sons, Inc. Gali J. 2002. New Perspectives On Monetary Policy, Inflation, And The Business Cycle. NBER Working Paper Series No.8767. Gali J dan Gertler M. 2000. Inflation Dynamics: A Structural Econometric Analysis. Journal of Monetary Economics 44:195-222. Gali J, Gertler M, dan Lopez-Salido JD. 2001. European Inflation Dynamics. NBER Working Paper Series No.8218. Gali J, Gertler M, dan Lopez-Salido JD. 2005. Robustness Of The Estimates of The Hybrid New Keynesian Phillips Curve. NBER Working Paper Series No.11788. Gibbs D. 1995. Potential Output: Concepts and Measurement. Labour Market Bulletin 1:72-115. Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics. Ed ke-4. New York: McGraw Hill. Hanh E. 2002. Core Inflation in the Euro Area: Evidence from the Structural VAR Approach. CFS Working Paper No.2001/09. 84 Kiley MT. 2009. Inflation Expectations, Uncertainty, the Phillips Curve, and Monetary Policy. Finance and Economics Discussion Series – Federal Reserve Board No.2009-15. Krugman PR dan Obstfeld M. 2005. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan. Ed ke-5. Basri FH, penerjemah; Sarwiji B, editor. Jakarta: PT. Indeks Gramedia. Terjemahan dari: International Economics. Ladiray D, Mazzi GL, dan Sartori F. 2003. Statistical Methods for Potential Output Estimation and Cycle Extraction. European Commission Working Papers and Studies No.KS-AN-03-15-EN-N. Lane PR. 1997. Inflation in Open Economies. Journal of International Economics 42:327-347. Mishkin FS dan Schmidt-Hebbel K. 2007. Does Inflation Targeting Make A Different?. NBER Working Paper Series No.12876. Mukherjee S. 2011. The Effect of Capital Market Openness on Exchange Rate Pass-Through and Welfare in an Inflation Targeting Small Open Economy. Federal Reserve Bank of Cleveland Working Paper No.1018. Nazir M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Orphanides A dan Williams JC. 2003. Imperfect Knowledge, Inflation Expectations, And Monetary Policy. NBER Working Paper Series No.9884. Purwanto T. 2011. Dampak Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Reinhardt D, Ricci LA, dan Tressel T. 2010. International Capital Flows and Development: Financial Openness Matters. IMF Working Paper WP/10/235. Reserve Bank of Australia. http://www.rba.gov.au [15 Maret 2012] Reserve Bank of New Zealand. http://www.rbnz.govt.nz [15 Maret 2012] Roger S. 1998. Core Inflation: Concepts, Uses, and Measurement. Reserve Bank of New Zealand Discussion Paper Series No.G98/9. Romer D. 1993. Openness and Inflation: Theory and Evidence. The Quarterly Journal of Economics 108:870-903. Romer D. 2006. Advanced Macroeconomics. Ed ke-3. New York: McGraw Hill. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Ed ke-5. Munandar H, penerjemah; Sumiharti Y, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: International Economics. 85 Solikin. 2004. Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia: Keberadaan, Pembentukan Ekspektasi, dan Linearitas. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (BEMP) 6(4):41-75. Subekti A. 2011. Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Svensson LEO. 2000. Open Economy Inflation Targeting. Journal of International Economics 50:155-183. Svensson LEO. 2010. Inflation Targeting. NBER Working Paper Series No.16654 Temple J. 2002. Openness, Inflation, and the Phillips Curve: A Puzzle. Journal of Money, Credit, and Banking 34(2):450-468. Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Ed ke-9. Munandar H, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development. Verbeek M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. Chicester: John Wiley & Sons, Ltd. Walsh CE. 2009. Inflation Targeting: What have we learned?. International Finance 12:195-233. Wimanda RE, Turner P, dan Hall MJB. 2011. Expectations and The Inertia of Inflation: The Case of Indonesia. Journal of Policy Modeling 33:426-438. Winantyo R et al. 2008. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di tengah Kompetisi Global. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. World Bank. 2012. World Development Indicators 2011. Washington DC, USA. http://data.worldbank.org/indicator [5 April 2012] WTO. 2010. International Trade Statistics 2010. [New York]: WTO Publication. Wu CS dan Lin JL. 2008. The Relationship between Openness and Inflation in Asian 4 and G 7. International Financial Issues in the Pacific Rim: Global Imbalances, Financial Liberalization, and Exchange Rate Policy. NBEREASE No.17. 86 Halaman ini sengaja dikosongkan LAMPIRAN 88 89 Lampiran 1 Grafik Perkembangan Variabel setiap Negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 1 2 6 4 3 4 6 8 2.0 1.5 4 2 4 1.0 2 0 2 0.5 0 0 0.0 -2 -2 -2 -4 -0.5 -4 -4 01 02 03 04 05 06 07 08 09 01 10 02 03 04 05 5 06 07 08 09 -1.0 01 10 02 03 04 05 6 2.0 2.0 1.6 1.5 1.2 06 07 08 09 01 10 02 03 04 05 7 06 07 08 09 10 06 07 08 09 10 8 3 6 2 4 1 2 1.0 0.8 0.5 0.4 0 0 -1 -2 0.0 0.0 -0.5 -0.4 -0.8 -2 -1.0 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 01 02 03 04 05 9 06 07 08 09 -4 01 10 02 03 04 05 10 4 2 06 07 08 09 10 07 08 09 10 01 02 03 04 05 11 2.0 1.5 1.5 1.0 1.0 0.5 0.5 0 0.0 0.0 -0.5 -0.5 -2 -1.0 -1.0 -4 -1.5 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 -1.5 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 01 02 03 04 05 06 Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India (a) Stabilitas Inflasi 1 2 8 3 6 2 4 1 2 0 0 -1 -2 3 -2 01 02 03 04 05 06 07 08 09 2 2 1 1 0 0 -1 -1 01 10 02 03 04 05 5 06 07 08 09 10 -2 01 02 03 04 05 6 1.5 1.0 4 3 06 07 08 09 10 01 02 03 04 05 7 1.5 3 1.0 2 0.5 1 0.0 0 -0.5 -1 -1.0 -2 06 07 08 09 10 06 07 08 09 10 8 2 1 0.5 0.0 0 -0.5 -1.0 -1.5 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 01 02 03 04 05 9 06 07 08 09 10 -1 -2 01 02 03 04 05 10 3 1.2 2 0.8 1 0.4 0 0.0 -1 -0.4 06 07 08 09 10 07 08 09 10 01 02 03 04 05 11 8 6 4 2 0 -2 -2 -0.8 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 -4 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 01 02 03 04 05 06 Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India (b) Deviasi Ekspektasi Inflasi 90 1 2 4 3 .03 .02 .02 .01 .02 .01 .01 .00 .00 .00 .00 -.01 -.02 -.01 -.01 -.02 -.04 -.02 -.02 .04 -.03 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 .02 -.06 01 02 03 04 06 05 5 07 08 09 10 -.03 01 02 03 04 06 05 6 .012 07 08 09 10 01 02 03 04 05 7 .04 .04 .02 .02 .00 .00 06 07 08 09 10 06 07 08 09 10 8 .06 .04 .008 .02 .004 .00 .000 -.02 -.004 -.02 -.02 -.04 -.04 -.04 -.008 01 02 03 04 06 05 07 08 09 10 01 02 03 04 06 05 9 07 08 09 10 -.06 01 02 03 04 05 .06 .12 .08 06 07 08 09 10 07 08 09 10 01 02 03 04 05 11 10 .08 .04 .06 .02 .04 .00 .02 .04 .00 -.04 -.08 -.02 .00 -.04 -.02 -.06 01 02 03 04 06 05 07 08 09 10 -.04 01 02 03 04 06 05 07 08 09 10 01 02 03 04 05 06 Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India (c) Kesenjangan Output 2 1 14,000 45.0 1,400 42.5 55 12,000 4 3 60 1,300 40.0 1,200 50 10,000 37.5 1,100 45 35.0 8,000 40 6,000 01 02 03 04 05 06 07 08 09 30.0 01 10 1,000 32.5 35 02 03 04 05 5 06 07 08 09 900 01 10 02 03 04 05 6 07 08 09 01 10 02 03 04 05 7 2.4 2.0 06 06 07 08 09 10 06 07 08 09 10 8 3.8 1.7 3.6 1.6 3.4 1.5 3.2 1.4 2.2 1.8 2.0 1.6 1.8 1.4 1.6 1.2 1.4 1.0 1.2 01 02 03 04 05 06 07 08 09 3.0 01 10 02 03 04 05 9 06 07 08 09 1.3 01 10 02 03 04 05 10 8.4 07 08 09 10 07 08 09 10 01 02 03 04 05 11 125 52 120 8.0 06 48 115 7.6 44 110 7.2 40 105 6.8 36 100 6.4 95 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 32 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 01 02 03 04 05 06 Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India (d) Nilai Tukar Riil 91 1 3 2 70 110 65 100 60 90 55 80 50 70 4 160 110 100 150 90 140 45 80 130 60 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 70 120 01 02 03 04 06 05 5 07 08 09 10 60 01 02 03 04 6 48 07 08 09 10 01 02 03 04 05 07 08 09 10 06 07 08 09 10 460 220 440 210 64 06 8 7 68 50 06 05 420 200 60 46 400 190 380 44 56 42 52 01 02 03 04 05 06 07 08 09 180 01 10 360 170 02 03 04 06 05 9 07 08 09 10 340 01 02 03 04 05 10 75 06 07 08 09 10 07 08 09 10 01 02 03 04 05 11 36 55 70 50 32 65 45 60 28 40 55 35 50 24 30 45 40 20 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 25 01 02 03 04 06 05 07 08 09 10 01 02 03 04 06 05 Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India (e) Keterbukaan Perdagangan 1 2 3 5 2 4 1 3 0 2 -1 1 -2 3 02 03 04 05 06 07 08 09 10 4 6 2 4 0 2 -2 0 0 01 01 02 03 04 05 5 06 07 08 09 -4 01 10 02 03 04 05 6 8 5 6 4 4 4 8 06 07 08 09 01 10 02 03 04 05 7 06 07 08 09 10 06 07 08 09 10 8 8 40 6 30 4 20 2 10 3 2 2 0 1 -2 -4 0 -6 -1 01 02 03 04 05 06 07 08 09 01 10 02 03 04 05 9 06 07 08 09 0 0 -2 -10 01 10 02 03 04 05 10 7 6 06 07 08 09 10 07 08 09 10 01 02 03 04 05 11 3 5 2 4 1 3 0 2 5 4 3 2 -1 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 1 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 01 02 03 04 05 06 Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India (f) Keterbukaan Finansial 92 Lampiran 2 Hasil Pengujian Stasioneritas Data Menggunakan Program Eviews v 6 Panel unit root test: Summary Series: STABINF Date: 06/05/12 Time: 14:09 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -9.96550 0.0000 Crosssections Obs 11 96 11 11 11 96 96 99 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -5.68893 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 75.7421 0.0000 PP - Fisher Chi-square 102.380 0.0000 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: STABINF Date: 06/05/12 Time: 14:13 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -6.23208 0.0000 Breitung t-stat -1.53144 0.0628 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -1.26325 0.1033 ADF - Fisher Chi-square 42.3481 0.0057 PP - Fisher Chi-square 67.2102 0.0000 Crosssections Obs 11 11 94 83 11 11 11 94 94 99 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 93 Panel unit root test: Summary Series: DEVEXPINF Date: 06/05/12 Time: 14:15 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -10.1019 0.0000 Crosssections Obs 11 96 11 11 11 96 96 99 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -5.16795 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 68.9515 0.0000 PP - Fisher Chi-square 76.4719 0.0000 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: DEVEXPINF Date: 06/05/12 Time: 14:15 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -7.42882 0.0000 Breitung t-stat 0.03935 0.5157 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -2.09375 0.0181 ADF - Fisher Chi-square 53.1996 0.0002 PP - Fisher Chi-square 90.9856 0.0000 Crosssections Obs 11 11 94 83 11 11 11 94 94 99 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 94 Panel unit root test: Summary Series: LNYGAP Date: 06/05/12 Time: 14:17 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -2.93476 0.0017 Crosssections Obs 11 91 11 11 11 91 91 99 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -2.24705 0.0123 ADF - Fisher Chi-square 41.4203 0.0073 PP - Fisher Chi-square 55.4967 0.0001 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: LNYGAP Date: 06/05/12 Time: 14:18 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.31394 0.0000 Breitung t-stat 2.38402 0.9914 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -1.15036 0.1250 ADF - Fisher Chi-square 38.6943 0.0153 PP - Fisher Chi-square 71.9701 0.0000 Crosssections Obs 11 11 93 82 11 11 11 93 93 99 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 95 Panel unit root test: Summary Series: D(LNYGAP) Date: 06/22/12 Time: 23:48 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -4.46588 0.0000 Crosssections Obs 11 80 11 11 11 80 80 88 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -2.94867 0.0016 ADF - Fisher Chi-square 49.3209 0.0007 PP - Fisher Chi-square 71.0236 0.0000 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: D(LNYGAP) Date: 06/22/12 Time: 23:49 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.57988 0.0000 Breitung t-stat -0.39118 0.3478 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -1.01587 0.1548 ADF - Fisher Chi-square 38.7268 0.0152 PP - Fisher Chi-square 61.7364 0.0000 Crosssections Obs 11 11 81 70 11 11 11 81 81 88 96 Panel unit root test: Summary Series: LNRER Date: 06/22/12 Time: 23:50 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -0.41468 0.3392 Crosssections Obs 11 96 11 11 11 96 96 99 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 1.86712 0.9691 ADF - Fisher Chi-square 16.0318 0.8143 PP - Fisher Chi-square 20.4524 0.5548 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi Panel unit root test: Summary Series: LNRER Date: 06/22/12 Time: 23:51 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.97193 0.0000 Breitung t-stat 0.06062 0.5242 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.66593 0.2527 ADF - Fisher Chi-square 30.4514 0.1079 PP - Fisher Chi-square 40.4540 0.0096 Crosssections Obs 11 11 94 83 11 11 11 94 94 99 97 Panel unit root test: Summary Series: D(LNRER) Date: 06/22/12 Time: 23:51 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -6.93331 0.0000 Crosssections Obs 11 83 11 11 11 83 83 88 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -3.29916 0.0005 ADF - Fisher Chi-square 51.3378 0.0004 PP - Fisher Chi-square 49.9105 0.0006 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi Panel unit root test: Summary Series: D(LNRER) Date: 06/22/12 Time: 23:52 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -6.84055 0.0000 Breitung t-stat -0.35274 0.3621 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.84002 0.2004 ADF - Fisher Chi-square 37.0217 0.0235 PP - Fisher Chi-square 38.2504 0.0172 Crosssections Obs 11 11 78 67 11 11 11 78 78 88 98 Panel unit root test: Summary Series: TO Date: 06/05/12 Time: 14:20 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -3.63933 0.0001 Crosssections Obs 11 95 11 11 11 95 95 99 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.99613 0.1596 ADF - Fisher Chi-square 26.8299 0.2178 PP - Fisher Chi-square 25.2382 0.2858 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: TO Date: 06/05/12 Time: 14:21 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -2.39898 0.0082 Breitung t-stat 0.08635 0.5344 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat 0.36744 0.6434 ADF - Fisher Chi-square 18.7301 0.6619 PP - Fisher Chi-square 26.4744 0.2319 Crosssections Obs 11 11 94 83 11 11 11 94 94 99 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 99 Panel unit root test: Summary Series: D(TO) Date: 06/05/12 Time: 14:23 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -7.03906 0.0000 Crosssections Obs 11 87 11 11 11 87 87 88 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -3.84239 0.0001 ADF - Fisher Chi-square 58.0818 0.0000 PP - Fisher Chi-square 69.5463 0.0000 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: D(TO) Date: 06/05/12 Time: 14:24 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -4.59786 0.0000 Breitung t-stat 3.02239 0.9987 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.35810 0.3601 ADF - Fisher Chi-square 36.8003 0.0249 PP - Fisher Chi-square 72.4205 0.0000 Crosssections Obs 11 11 83 72 11 11 11 83 83 88 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 100 Panel unit root test: Summary Series: FO Date: 06/05/12 Time: 14:25 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.01814 0.0000 Crosssections Obs 11 97 11 11 11 97 97 99 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -2.10118 0.0178 ADF - Fisher Chi-square 36.4527 0.0271 PP - Fisher Chi-square 43.7831 0.0038 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: FO Date: 06/05/12 Time: 14:25 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -5.59366 0.0000 Breitung t-stat -2.25933 0.0119 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -0.30551 0.3800 ADF - Fisher Chi-square 24.5238 0.3204 PP - Fisher Chi-square 35.1468 0.0374 Crosssections Obs 11 11 96 85 11 11 11 96 96 99 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 101 Panel unit root test: Summary Series: D(FO) Date: 06/05/12 Time: 15:02 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -10.5696 0.0000 Crosssections Obs 11 87 11 11 11 87 87 88 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -4.83866 0.0000 ADF - Fisher Chi-square 68.7403 0.0000 PP - Fisher Chi-square 93.1842 0.0000 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. Panel unit root test: Summary Series: D(FO) Date: 06/05/12 Time: 15:03 Sample: 2001 2010 Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends Automatic selection of maximum lags Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1 Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel Method Statistic Prob.** Null: Unit root (assumes common unit root process) Levin, Lin & Chu t* -8.75433 0.0000 Breitung t-stat -2.91572 0.0018 Null: Unit root (assumes individual unit root process) Im, Pesaran and Shin W-stat -1.33581 0.0908 ADF - Fisher Chi-square 44.7874 0.0028 PP - Fisher Chi-square 79.5273 0.0000 Crosssections Obs 11 11 84 73 11 11 11 84 84 88 ** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi -square distribution. All other tests assume asymptotic normality. 102 Lampiran 3 Grafik Kaitan setiap Variabel dengan Stabilitas Inflasi Tahun 2001-2010 Thailand 6 y = 0,2621x - 12,585 R² = 0,4557 2 20,00 -4 40,00 60,00 80,00 2 1 0 0,00 -1 50,00 -3 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi y = 0,009x - 0,5058 R² = 0,0246 0 0,00 -1 50,00 100,00 150,00 -1 2 2 y = 0,0968x - 3,9765 R² = 0,0776 1 1 y = 0,0248x - 4,8701 R² = 0,0711 0 0,00 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00 -1 4 3 y = 0,0218x - 8,732 R² = 0,1655 2 1 y = 0,0836x - 2,2559 R² = 0,3575 1 -2 -3 -4 -5 30,00 40,00 -1 2 1 y = -0,0357x + 1,4244 R² = 0,08 1 0 20,00 -1 30,00 40,00 50,00 60,00 -1 -2 -2 -2 Keterbukaan Perdagangan 40,00 60,00 80,00 Keterbukaan Perdagangan 4 y = 0,0983x - 5,7679 3 R² = 0,2299 2 1 0 60,00 20,00 40,00 -10,00 India Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 20,00 Keterbukaan Perdagangan Jepang 2 20,00 y = 0,0879x - 4,4516 R² = 0,2527 China 5 -3 10,00 1 -1 Keterbukaan Perdagangan 0 0,00 -1 1 -1 -2 -3 1 2 0 0,00 -1 0 -10,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 -2 2 2 Keterbukaan Perdagangan Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 3 150,00 Keterbukaan Perdagangan Singapura 4 100,00 -4 0 42,00 44,00 46,00 48,00 50,00 52,00 -1 Malaysia 1 50,00 Selandia Baru 3 Keterbukaan Perdagangan 2 0 0,00 -2 Australia 2 1 2 Keterbukaan Perdagangan Korea Selatan y = -0,0232x + 2,6085 R² = 0,0194 4 -2 Keterbukaan Perdagangan 2 1 6 100,00 150,00 200,00 Stabilitas Inflasi 0 0,00 -2 y = 0,1612x - 20,8 R² = 0,8031 3 Stabilitas Inflasi 4 Filipina 4 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi Indonesia 8 Keterbukaan Perdagangan (a) Keterbukaan Perdagangan dan Stabilitas Inflasi 80,00 Keterbukaan Perdagangan 103 Indonesia Thailand y = -0,2433x + 2,656 R² = 0,013 4 2 1,00 -4 2,00 3,00 4,00 y = 0,2659x - 0,2317 R² = 0,0802 2 1 0 0,00 -1 2,00 -3 1 y = -0,0011x + 0,2365 1 R² = 9E-06 2,00 4,00 2 2 y = 0,0378x + 0,3585 R² = 0,0193 1 1 0 0,00 -1 -5,00 -1 5,00 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi -2,00 1 0 0,00 -1 2,00 4,00 6,00 8,00 1 0 -10,00 -10,00 10,00 20,00 30,00 40,00 -2 -3 -3 1 -2,00 Jepang 2,00 Stabilitas Inflasi 2 1 4 3 2 1 0 -10,00 2,00 -2 -3 -4 -5 y 1= -0,079x + 0,0926 R² = 0,0176 2,00 3,00 4,00 -1 y = -0,1028x + 0,2831 R² = 0,0111 1 0 0,00 -1 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 -1 -2 -2 -2 Keterbukaan Finansial 6,00 y = 0,2957x - 1,2291 R² = 0,031 2 1 4,00 Keterbukaan Finansial India 2 1,00 y = 0,0851x + 0,5694 R² = 0,0483 0 0,00 -1 Keterbukaan Finansial Keterbukaan Finansial 0 -2,00 -1,00 0,00 -1 1 China y = -0,0573x + 0,9418 R² = 0,1275 2 5,00 2 -1 4 -2 Stabilitas Inflasi 10,00 5 3 4,00 2 Singapura y = -0,164x + 0,4772 R² = 0,0984 3,00 Keterbukaan Finansial Keterbukaan Finansial Malaysia 4 2,00 -4 -1 Keterbukaan Finansial 2 1,00 Selandia Baru 3 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 2 3 y = -0,3177x + 1,1183 R² = 0,045 2 Australia 2 -2,00 4 0 0,00 -2 8,00 Keterbukaan Finansial Korea Selatan -4,00 6,00 -2 Keterbukaan Finansial 0 0,00 -1 4,00 6 Stabilitas Inflasi 0 -2,00 -1,00 0,00 -2 3 Stabilitas Inflasi 6 Filipina 4 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 8 Keterbukaan Finansial (b) Keterbukaan Finansial dan Stabilitas Inflasi 4,00 6,00 8,00 Keterbukaan Finansial 104 y = 52,593x + 2,3327 R² = 0,0737 4 2 0,01 0,02 0,03 0,04 2 1 -0,06 -0,04 -0,02 1 y = -15,533x + 0,2337 R² = 0,0517 0 -0,03 -0,02 -0,01 0,00 -1 0,01 0,02 0,03 2 y = 51,523x + 0,5072 R² = 0,0971 1 1 -0,01 -0,01 0 0,00 -1 2 y = 60,006x + 0,0134 R² = 0,5387 1 0 0,00 -1 0,02 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 3 0,01 0,04 4 3 y = 17,934x + 0,0041 2 1 R² = 0,1109 -0,10 0 -10,00 -0,05 -0,06 -0,04 0,05 -3 y = 21,088x + 0,0077 R² = 0,5748 1 0 -0,06 -0,04 -0,02 0,00 -1 0,02 0,04 0,06 -1 Stabilitas Inflasi India 2 -0,05 2 2 1 1 0 -10,00 y = 24,316x - 0,0154 R² = 0,45 0,05 0,10 -1 -2 -2 -2 Kesenjangan Output 0 0,00 -1 0,02 0,04 4 3 2 y = -5,4399x + 0,0127 1 R² = 0,0158 0 0,05 0,10 -0,05 -10,00 0,15 -2 -3 -4 -5 Kesenjangan Output Jepang -0,02 Kesenjangan Output -0,10 -2 Kesenjangan Output Stabilitas Inflasi 1 China 5 -3 1 0,02 y = 2,4436x + 0,7368 R² = 0,0072 1 -1 -2 2 0,01 2 Singapura 4 0,03 2 Kesenjangan Output Kesenjangan Output Malaysia 0,02 Kesenjangan Output -1 -1 0,01 Selandia Baru 3 2 y = 41,742x + 0,5275 R² = 0,052 -4 Stabilitas Inflasi 1 2 Kesenjangan Output Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 2 4 0 -0,03 -0,02 -0,01 0,00 -2 0,04 Australia 2 6 -3 Kesenjangan Output Korea Selatan -0,02 0,02 -2 -4 -0,04 0 0,00 -1 Stabilitas Inflasi 0 -0,02 -0,01 0,00 -2 4 y = 65,31x + 0,998 R² = 0,5744 3 Stabilitas Inflasi 6 Filipina Thailand Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi Indonesia 8 Kesenjangan Output (c) Kesenjangan Output dan Stabilitas Inflasi Kesenjangan Output 105 0 0,00 -2 -4 10,00 1 0 -15,00 -10,00 -5,00 0,00 -1 20,00 -3 1 -10,00 y = 0,0545x + 0,2406 R² = 0,4415 10,00 20,00 2 2 1 1 -20,00 -10,00 -1 0 0,00 -1 3 -5,00 y = -0,1286x - 0,1779 R² = 0,1458 0 0,00 -1 5,00 10,00 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi -10,00 2 1 1 1 0 0,00 -1 -10,00 10,00 India y = -0,012x + 0,0112 R² = 0,0214 1 5,00 Perubahan Nilai Tukar Riil 10,00 20,00 Stabilitas Inflasi 2 y = -0,3103x - 0,5154 R² = 0,38 -15,00 0 -10,00 -3 2 1 y = 0,0419x + 0,1407 1 R² = 0,0509 0 -20,00 -15,00 -10,00 -5,00 0,00 -1 5,00 10,00 -1 -2 -1 -2 -2 Perubahan Nilai Tukar Riil 20,00 China 1 -2 10,00 -1 3 -5,00 y = 0,0237x + 0,8355 R² = 0,155 0 -30,00 -20,00 -10,00 0,00 -1 Perubahan Nilai Tukar Riil y = -0,1849x - 0,2744 R² = 0,2459 2 -3 2 Stabilitas Inflasi 20,00 4 -2 Jepang -10,00 10,00 5 -10,00 Pderubahan Nilai Tukar Riil -20,00 y = 0,0406x + 0,6953 R² = 0,1832 2 Singapura 4 1 Perubahan Nilai Tukar Riil LnRER Malaysia 5,00 10,00 15,00 -4 -1 Perubahan Nilai Tukar Riil 2 0 -15,00 -10,00 -5,00 0,00 -2 Selandia Baru 3 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 2 y = -0,0725x + 0,364 R² = 0,049 2 Australia 2 0 0,00 -1 4 Perubahan Nilai Tukar Riil Perubahan Nilai Tukar Riil 1 5,00 10,00 15,00 -2 Korea Selatan -20,00 y = -0,1442x + 0,6294 R² = 0,2368 Stabilitas Inflasi -10,00 y = 0,1097x + 2,8351 R² = 0,1452 2 6 Stabilitas Inflasi 4 3 Stabilitas Inflasi -20,00 6 4 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 8 2 Filipina Thailand Indonesia Perubahan Nilai Tukar Riil (d) Perubahan Nilai Tukar Riil dan Stabilitas Inflasi -5,00 4 3 2 1 0 -10,00 -2 -3 -4 -5 5,00 Perubahan Nilai Tukar Riil 106 y = 0,0263x + 2,2617 R² = 0,0007 2 4,00 6,00 8,00 1 0 -1,00 0,00 -1 1,00 y = 0,2304x + 0,1964 R² = 0,0559 1 1 0 0,00 -1 1,00 2,00 2 2 1 1 -2,00 -1,00 0 -1,00 0,00 -1 y = -0,3143x + 0,1077 0,053 3,00 1,00 R² =2,00 4 3 2 1 0 -2,00 -1,00 - 0,3277 y = -1,0678x -10,00 -3 -2,00 1,00 2,00 -3 Deviasi Ekspektasi Inflasi Deviasi Ekspektasi Inflasi Jepang -0,50 0 0,00 -1 0,50 1 1 y = -0,6259x + 0,0926 0 0,00 0,50 R² = 0,13491,00 -1 -1 Stabilitas Inflasi 2 4 3 2 1 0 -1,00 -10,00 -2 -3 -4 -5 Deviasi Ekspektasi Inflasi 1 0 -4,00 -2,00 0,00 -1 y = 0,1909x + 0,1137 R² = 0,2394 2,00 4,00 6,00 8,00 -1 -2 -2 -2 Deviasi Ekspektasi Inflasi 1,50 y = -0,7483x - 0,373 R² = 0,2251 1,00 2,00 3,00 2 1 1,00 Deviasi Ekspektasi Inflasi India 2 Stabilitas Inflasi -1,00 China R² = 0,3053 -2 -2 -0,50 1 -1 5 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 1 2,00 y = -0,1415x + 0,8017 R² = 0,0202 1 Singapura 2 3,00 2 Deviasi Ekspektasi Inflasi Malaysia 3 2,00 2 y = -0,7974x + 0,764 0 R² = 0,4072 0,00 1,00 -1 -1 4 1,00 Selandia Baru 3 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi 2 y = -0,1573x + 0,6686 R² = 0,0102 Deviasi Ekspektasi Inflasi Australia 2 Deviasi Ekspektasi Inflasi -1,00 -2,00 Deviasi Ekspektasi Inflasi -1 -2,00 4,00 0 -1,00 0,00 -2 -4 -3 Deviasi Ekspektasi Inflasi -1,00 3,00 2 -2 Korea Selatan -2,00 2,00 4 Stabilitas Inflasi -4 2,00 y = 0,0367x + 0,9292 R² = 0,0007 Stabilitas Inflasi 0 -4,00 -2,00 0,00 -2 3 2 6 Stabilitas Inflasi 6 4 Filipina Thailand 4 Stabilitas Inflasi Stabilitas Inflasi Indonesia 8 Deviasi Ekspektasi Inflasi (e) Deviasi Ekspektasi Inflasi dan Stabilitas Inflasi 107 Lampiran 4 Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Stabilitas Inflasi dengan Variabel yang Diteliti Menggunakan Program Eviews v 6 Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/05/12 Time: 19:23 Sample: 2001 2010 Lags: 2 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob. DEVEXPINF does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause DEVEXPINF 88 5.85378 133.684 0.0042 1.E-26 D(LNYGAP) does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause D(LNYGAP) 88 3.47872 13.1281 0.0361 1.E-05 D(LNRER) does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause D(LNRER) 77 5.74051 0.05184 0.0049 0.9495 D(TO) does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause D(TO) 77 7.53420 0.60707 0.0011 0.5477 D(FO) does not Granger Cause STABINF STABINF does not Granger Cause D(FO) 77 2.56602 0.16689 0.0839 0.8466 108 Lampiran 5 Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS) Menggunakan Program Eviews v 6 Dependent Variable: STABINF Method: Panel Least Squares Date: 06/10/12 Time: 18:12 Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 99 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C STABINF(-1) DEVEXPINF D(LNYGAP) D(LNRER) D(TO) D(FO) 0.238053 0.096362 0.064737 7.598125 -2.581896 0.027242 -0.073765 0.193254 0.119435 0.121670 7.561738 2.512370 0.015691 0.035824 1.231816 0.806817 0.532070 1.004812 -1.027674 1.736140 -2.059094 0.2212 0.4219 0.5960 0.3176 0.3068 0.0859 0.0423 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.133173 0.076641 1.581521 230.1112 -182.2253 2.355709 0.036711 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 0.396768 1.645848 3.822734 4.006228 3.896976 2.250810 109 Lampiran 6 Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM) menggunakan Program Eviews v 6 Dependent Variable: STABINF Method: Panel Least Squares Date: 06/10/12 Time: 18:12 Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 99 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C STABINF(-1) DEVEXPINF D(LNYGAP) D(LNRER) D(TO) D(FO) 0.439974 -0.010793 -0.226970 5.029742 -1.141969 0.019425 -0.076635 0.196455 0.120714 0.143223 7.460032 2.548119 0.015708 0.034968 2.239567 -0.089409 -1.584739 0.674225 -0.448162 1.236657 -2.191554 0.0278 0.9290 0.1169 0.5021 0.6552 0.2197 0.0312 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.270716 0.128417 1.536541 193.5987 -173.6730 1.902439 0.031609 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 0.396768 1.645848 3.851979 4.297605 4.032280 2.090588 110 Lampiran 7 Hasil Estimasi Random Effect Model (REM) menggunakan Program Eviews v 6 Dependent Variable: STABINF Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/10/12 Time: 18:13 Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 99 Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C STABINF(-1) DEVEXPINF D(LNYGAP) D(LNRER) D(TO) D(FO) 0.238053 0.096362 0.064737 7.598125 -2.581896 0.027242 -0.073765 0.187758 0.116038 0.118210 7.346676 2.440916 0.015245 0.034805 1.267875 0.830436 0.547645 1.034226 -1.057757 1.786963 -2.119371 0.2080 0.4084 0.5853 0.3037 0.2929 0.0772 0.0368 Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random 0.000000 1.536541 Rho 0.0000 1.0000 Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.133173 0.076641 1.581521 2.355709 0.036711 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 0.396768 1.645848 230.1112 2.250810 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.133173 230.1112 Mean dependent var Durbin-Watson stat 0.396768 2.250810 111 Lampiran 8 Hasil Uji Chow Hipotesis: Ho : PLS lebih baik daripada FEM H1 : FEM lebih baik daripada PLS Uji Statistik: CHOW = [(SSR PLS – SSR FEM)/(n-1)] / [SSR FEM/(nT-n-k)] = [(230.1112 – 193.5987)/(11-1)] / [193.5987/(11*10-11-6)] = 1.7728 F Tabel: F(0,05;10;93) = 1.9341 F(0,1;10;93) = 1.6681 Keputusan: Jika α = 5% maka Tidak Tolak Ho Jika α = 10% maka Tolak Ho Kesimpulan: Jika α = 10% maka FEM lebih baik daripada PLS 112 Lampiran 9 Hasil Uji Haussman Menggunakan Program Eviews v 6 Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 14.847918 6 0.0215 Test Summary Cross-section random ** WARNING: estimated cross-section random effects variance is zero. Cross-section random effects test comparisons: Variable STABINF(-1) DEVEXPINF D(LNYGAP) D(LNRER) D(TO) D(FO) Fixed -0.010793 -0.226970 5.029742 -1.141969 0.019425 -0.076635 Random Var(Diff.) Prob. 0.096362 0.064737 7.598125 -2.581896 0.027242 -0.073765 0.001107 0.006539 1.678435 0.534841 0.000014 0.000011 0.0013 0.0003 0.0474 0.0490 0.0390 0.3952 Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: STABINF Method: Panel Least Squares Date: 06/10/12 Time: 18:14 Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 99 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C STABINF(-1) DEVEXPINF D(LNYGAP) D(LNRER) D(TO) D(FO) 0.439974 -0.010793 -0.226970 5.029742 -1.141969 0.019425 -0.076635 0.196455 0.120714 0.143223 7.460032 2.548119 0.015708 0.034968 2.239567 -0.089409 -1.584739 0.674225 -0.448162 1.236657 -2.191554 0.0278 0.9290 0.1169 0.5021 0.6552 0.2197 0.0312 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.270716 0.128417 1.536541 193.5987 -173.6730 1.902439 0.031609 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 0.396768 1.645848 3.851979 4.297605 4.032280 2.090588 113 Lampiran 10 Hasil Estimasi First Difference-Generalized Method of Moments (FD-GMM), Uji Arellano Bond, dan Uji Sargan Menggunakan Program Stata v 10 . xtabond stabinf l.stabinf devexpinf d.lnygap d.lnrer d.to d.fo, lags(1) twostep artests(2) note: L.stabinf dropped because of collinearity Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Group variable: neg Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 43 = = 88 11 min = avg = max = 8 8 8 = = 407.59 0.0000 Wald chi2(6) Prob > chi2 Two-step results Coef. stabinf stabinf L1. devexpinf lnygap D1. lnrer D1. to D1. fo D1. _cons Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -.4127191 -.6605442 .2912277 .231531 -1.42 -2.85 0.156 0.004 -.983515 -1.114337 .1580767 -.2067518 -61.07694 60.18566 -1.01 0.310 -179.0387 56.88478 -19.6234 19.6791 -1.00 0.319 -58.19372 18.94693 .0254344 .0118249 2.15 0.031 .0022579 .0486108 .0087931 -.3199754 .0684397 .6682552 0.13 -0.48 0.898 0.632 -.1253462 -1.629732 .1429324 .9897808 Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).stabinf Standard: LD.stabinf D.devexpinf D2.lnygap D2.lnrer D2.to D2.fo Instruments for level equation Standard: _cons . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2 z Prob > z -1.4013 -.81421 0.1611 0.4155 H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(36) Prob > chi2 = = 3.593434 1.0000 114 Lampiran 11 Hasil Estimasi System-Generalized Method of Moments (SysGMM), Uji Arellano Bond, dan Uji Sargan Menggunakan Program Stata v 10 . xtdpdsys stabinf l.stabinf devexpinf d.lnygap d.lnrer d.to d.fo, lags(1) twostep artests(2) note: L.stabinf dropped because of collinearity System dynamic panel-data estimation Group variable: neg Time variable: tahun Number of obs Number of groups Obs per group: Number of instruments = 51 = = 99 11 min = avg = max = 9 9 9 = = 190.18 0.0000 Wald chi2(6) Prob > chi2 Two-step results stabinf Coef. stabinf L1. devexpinf lnygap D1. lnrer D1. to D1. fo D1. _cons Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -.3209413 -.6005102 .187522 .2424492 -1.71 -2.48 0.087 0.013 -.6884777 -1.075702 .0465951 -.1253185 -47.4235 31.55025 -1.50 0.133 -109.2609 14.41386 -17.78481 9.651982 -1.84 0.065 -36.70235 1.132728 .0271786 .0082388 3.30 0.001 .0110308 .0433264 .0009946 -.2253816 .0517083 .3544807 0.02 -0.64 0.985 0.525 -.1003519 -.9201511 .102341 .4693879 Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standar d errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).stabinf Standard: LD.stabinf D.devexpinf D2.lnygap D2.lnrer D2.to D2.fo Instruments for level equation GMM-type: LD.stabinf Standard: _cons . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors Order 1 2 z Prob > z -1.4761 -1.2967 0.1399 0.1947 H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(44) Prob > chi2 = = 2.88655 1.0000 115 Lampiran 12 Hasil Uji Autokorelasi Hipotesis: Ho : Tidak ada Autokorelasi H1 : Ada Autokorelasi Uji Statistik: Nilai Durbin Watson (DW) Model FEM = 2,090588 Nilai DW Tabel: Nilai Tabel DW dengan α = 5%; n = 110 dan k = 6 adalah: - d L = 1,5761 - d U = 1,8054 Kriteria Keputusan: Nilai DW Hasil 4 – d L < DW < 4 Terdapat korelasi serial negatif 4 – d U < DW < 4- d L Hasil tidak dapat ditentukan 2 < DW < 4 – d U Tidak ada korelasi serial d U < DW < 2 Tidak ada korelasi serial d L < DW < d U Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < d L Terdapat korelasi serial positif Keputusan: Karena nilai DW terletak antara d U < DW < 4-d U atau antara 1,8054 dan 2,1946 maka tidak tolak H 0 Kasimpulan: tidak ada autokorelasi 116 Lampiran 13 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted Menggunakan Program Eviews v 6 Dependent Variable: STABINF Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/10/12 Time: 18:26 Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 99 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C STABINF(-1) DEVEXPINF D(LNYGAP) D(LNRER) D(TO) D(FO) 0.478828 -0.035948 -0.191578 0.071515 0.067364 0.021788 -0.060096 0.140987 0.127551 0.154345 5.002391 1.526259 0.010194 0.020837 3.396252 -0.281831 -1.241229 0.014296 0.044136 2.137333 -2.884104 0.0011 0.7788 0.2181 0.9886 0.9649 0.0355 0.0050 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.351775 0.225292 1.510759 2.781203 0.001317 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 0.378764 1.702541 187.1563 2.104644 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.259015 196.7049 Mean dependent var Durbin-Watson stat 0.396768 2.080730 117 Lampiran 14 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted dengan Variabel Dummy Interaksi ITF Menggunakan Program Eviews v 6 Dependent Variable: STABINF Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/10/12 Time: 18:29 Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 99 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C STABINF(-1) DEVEXPINF D(LNYGAP) D(LNRER) D(TO) D(FO) STABINF(-1)*DITF DEVEXPINF*DITF D(LNYGAP)*DITF D(LNRER)*DITF D(TO)*DITF D(FO)*DITF 0.319150 0.043546 -0.390084 4.990081 -6.974309 0.008869 -0.078817 0.017217 0.279645 -9.461472 7.611554 0.073561 0.130631 0.161140 0.200370 0.236639 5.736647 2.834191 0.009422 0.019166 0.254597 0.296555 11.90828 3.384659 0.025536 0.047291 1.980578 0.217327 -1.648437 0.869860 -2.460776 0.941242 -4.112414 0.067625 0.942979 -0.794529 2.248839 2.880640 2.762304 0.0513 0.8285 0.1034 0.3871 0.0161 0.3496 0.0001 0.9463 0.3487 0.4294 0.0274 0.0052 0.0072 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.561596 0.434690 1.445884 4.425284 0.000001 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 0.444628 1.921943 158.8840 2.179811 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.296530 186.7458 Mean dependent var Durbin-Watson stat 0.396768 2.094732 118 Lampiran 15 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted dengan Variabel Dummy Interaksi Negara Maju Menggunakan Program Eviews v 6 Dependent Variable: STABINF Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/10/12 Time: 18:31 Sample (adjusted): 2002 2010 Periods included: 9 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 99 Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C STABINF(-1) DEVEXPINF D(LNYGAP) D(LNRER) D(TO) D(FO) STABINF(-1)*DM DEVEXPINF*DM D(LNYGAP)*DM D(LNRER)*DM D(TO)*DM D(FO)*DM 0.333729 0.056377 -0.139222 4.152324 -7.946648 0.044077 -0.266090 -0.208002 -0.141722 -13.61163 9.275236 -0.014716 0.237935 0.171551 0.195519 0.204678 12.40152 5.900237 0.036581 0.107168 0.262917 0.295917 13.83150 6.072373 0.038651 0.109668 1.945364 0.288347 -0.680200 0.334824 -1.346835 1.204913 -2.482936 -0.791133 -0.478926 -0.984103 1.527448 -0.380739 2.169592 0.0554 0.7739 0.4984 0.7387 0.1820 0.2320 0.0152 0.4313 0.6334 0.3282 0.1308 0.7045 0.0332 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.426445 0.260417 1.486762 2.568501 0.001293 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 0.440788 1.732161 167.9951 2.136103 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.338803 175.5239 Mean dependent var Durbin-Watson stat 0.396768 2.145304 Lampiran 16 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya No. Peneliti Tujuan Cakupan (1) 1. (2) Romer (1993) (3) Meneliti hubungan antara keterbukaan (perdagangan) dengan inflasi (4) 114 negara (1973-1990) 2. Lane (1997) Meneliti hubungan antara keterbukaan (perdagangan) dengan inflasi 114 negara (1973-1988) 3. Svensson (2000) Amerika Serikat 4. Temple (2002) Mengkaji penargetan inflasi dalam SOE dengan membandingkan strict dan fleksibel targeting, fungsi reaksi inflation-targeting, dan Taylor rule Mengkaji kemungkinan hubungan antara keterbukaan perdagangan dan slope trade-off outputinflasi 19 negara (pertengahan ‘60-an sampai akhir ‘80-an) Variabel Metode Hasil (5) Dependent: Inflasi Independent: Keterbukaan (Impor/PDB) dan PDB Perkapita Dependent: Inflasi Independent: Keterbukaan (Impor/PDB), PDB, PDB Perkapita, dan Independensi Bank Sentral Dependent: Inflasi Independent: Ekspektasi Inflasi, Kesenjangan Output, dan Nilai Tukar Riil (6) Data Panel (7) Ada hubungan negatif antara keterbukaan (perdagangan) dengan inflasi. Data Panel Dependent: - Sacrifice Ratio - Benefit Ratio - BMR Trade-off parameter Independent: Keterbukaan (Impor/PDB), Inflasi, Perubahan Inflasi, Length, dan Contract Duration Data Panel Ada hubungan negatif antara keterbukaan (perdagangan) dengan inflasi. Negara dengan ekonomi yang lebih terbuka akan cenderung menggunakan nilai tukar fixed. Ekspektasi Inflasi, Kesenjangan Output, dan Nilai Tukar Riil berdampak positif terhadap inflasi. Supply shock negatif dan demand shock positif memiliki efek yang serupa pada inflasi. Hubungan negatif antara keterbukaan (perdagangan) dengan inflasi yang dikemukakan oleh Romer tidak kuat. Inflasi relatif mahal dalam ekonomi yang lebih terbuka karena inflasi terkait dengan nilai tukar. VAR (1) 5. (2) Wu dan Lin (2006) (3) Meneliti hubungan antara keterbukaan (perdagangan) dengan inflasi (4) 11 negara (1973-2001) (1965:12001:4) 6. Bowdler dan Nunziata (2006) Meneliti peluang terjadinya inflasi 19 negara OECD (19611993) 7. Badinger (2009) Meneliti hubungan antara keterbukaan perdagangan dan keuangan terhadap Inflasi dan Trade-off Output-Inflasi 91 negara (1985-2004) 8. Walsh (2009) Membandingkan dampak dari inflation-targeting terhadap kinarja makroekonomi 25 negara (1962-2007) (5) Dependent: Inflasi Independent: Keterbukaan (Impor/PDB) dan PDB perkapita. Dependent: Peluang Inflasi Independent: Keterbukaan (Impor/PDB), Pertumbuhan PDB, dan Perbedaan Inflasi setiap negara dengan US Dependent: Inflasi Trade-off Output-Inflasi Independent: Keterbukaan Perdagangan (Ekspor dan Impor/PDB), Keterbukaan Finansial (Asset dan Liability Asing/PDB), Populasi penduduk, Luas Wilayah, Independensi Bank Sentral, Stabilitas Politik, dan PDB per pekerja. Dependent: Inflasi Independent: Target inflasi, Selisih Ekspektasi Inflasi dgn Target Inflasi, dan Output Gap. (6) Data panel dan VAR (7) Hubungan Openness dan Inflasi berbeda di setiap negara, ada yang positif dan ada yang negatif Regresi Probit Keterbukuaan memberikan peluang negatif. Artinya, semakin terbuka maka peluang inflasi makin rendah. Data panel Keterbukaan perdagangan dan keuangan yang lebih tinggi mengurangi bias inflasi bank sentral dengan menghasilkan inflasi rata-rata lebih rendah. Untuk subsampel OECD, tidak ditemukan efek keterbukaan pada inflasi. Data panel Pada negara maju, IT dan non-IT memberikan hasil yang sama. Pada negara berkembang, IT memberikan kinerja makroekonomi yang lebih baik, inflasi lebih rendah dan ekonomi riil yang lebih stabil. (1) 9. (2) Mishkin dan Schmidt-Hebbel (2007) (3) Meneliti hubungan berbagai variabel terhadap stabilitas inflasi di negara IT dan Non-IT (4) 21 negara IT dan 13 negara Non-IT (1989:1 – 2004:4) 10. Mukherjee (2011) Meneliti dampak keterbukaan pasar modal terhadap ERPT pada inflasi dan implikasinya terhadap trade-off output-inflasi dan fungsi kerugian sosial 8 negara IT Maju (Sejak berlakunya ITF sampai 2008) 11. Reinhardt et al. (2010) Meneliti variabel yang mempengaruhi keterbukaan finansial 106 negara (1982-2006) (5) Dependent: Stabilitas inflasi Independent: Kesenjangan Output, Nilai Tukar Nominal, dan perbedaan suku bunga. Dependent: Selisih Inflasi dgn Target Inflasi Independent: Deviasi Ekspektasi Inflasi dgn Target Inflasi, Kesenjangan Output, Nilai Tukar Riil, Keterbukaan Finansial (Indeks Chin-Ito), dan Keterbukaan Perdagangan (Ekspor dan Impor/PDB). Dependent: Keterbukaan Finansial (Indeks Quinn) Independent: FDI, Portofolio Equity, Portofolio Debt, Other Investment Private, Other Investment Other Sectors, Other Investment Bank, dan Other Investment Official. (6) Data Panel (7) Inflation targeting membantu Negara-negara mencapai inflasi yang lebih rendah. Data Panel Deviasi Ekspektasi Inflasi dgn Target Inflasi, Kesenjangan Output, dan Nilai Tukar Riil berpengaruh positif terhadap Selisih Inflasi dengan Target Inflasi. Keterbukaan Perdagangan dan Finansial berhubungan negatif. Data Panel FDI dan PE berpengaruh signifikan terhadap Keterbukaan Finansial, sedangkan yang lain tidak berpengaruh.