dampak keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di negara

advertisement
DAMPAK KETERBUKAAN EKONOMI TERHADAP
STABILITAS INFLASI DI NEGARA-NEGARA
ASEAN+6
HENGKI EKO RIYADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Dampak Keterbukaan Ekonomi
terhadap Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6” adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Hengki Eko Riyadi
NRP. H151104424
ii
iii
ABSTRACT
HENGKI EKO RIYADI. The Impact of Openness on Inflation Stability in
ASEAN+6 Countries. Under direction of NOER AZAM ACHSANI and
LUKYTAWATI ANGGRAENI
Trade and financial openness, which are expected to improve the welfare
of society, in principle does not only affect the output but also the price. This
occurs because of the trade-off between economic growth and inflation. Some
countries adopted Inflation Targeting Framework (ITF) policy to stabilize
inflation, while others adopted exchange rate targeting or money targeting. The
purpose of this study was to analyze the impact of openness, both trade and
financial openness, on inflation stability in ASEAN+6 countries. By employing
panel data analysis of the eleven countries in 2001-2010, this study found that
trade openness worsens inflation stability, while financial openness increases
inflation stability. The negative impact of trade openness is particularly accurs in
ITF countries. The positive impact of financial openness occurs in a non-ITF
countries, whereas the opposite accurs for the ITF countries. The positive impact
of financial openness on inflation stability in developing countries is greater than
the developed countries.
Keywords: openness, inflation stability, inflation targeting framework, panel data
iv
v
RINGKASAN
HENGKI EKO RIYADI. Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas
Inflasi di Negara-negara ASEAN+6. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI
dan LUKYTAWATI ANGGRAENI
Keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik
perdagangan maupun finansial merupakan konsekuensi dalam era globalisasi.
Salah satu kerjasama perdagangan tingkat regional yang sudah berlangsung
adalah ASEAN+6. Keterbukaan ekonomi, pada prinsipnya tidak hanya
memengaruhi output tetapi juga harga. Pada sisi lain, ada suatu kebijakan yang
diterapkan otoritas moneter yang bertujuan menstabilkan perubahan harga, yaitu
Inflation Targeting Framework (ITF). Stabilitas inflasi penting dilakukan terkait
dengan ekspektasi, baik masyarakat maupun pemerintah. Inflasi yang berfluktuasi
akan menyusahkan masyarakat dan pemerintah dalam program perencanaan.
Dalam makroekonomi, ada suatu trilema dalam pengambilan kebijakan, dimana
suatu negara hanya dapat memilih dua dari tiga kebijakan yang mungkin
dilaksanakan agar perekonomian berlangsung baik. Kebijakan tersebut adalah
independensi bank sentral (dicerminkan oleh kebijakan ITF), stabilitas nilai tukar,
dan keterbukaan ekonomi.
Penelitian mengenai dampak keterbukaan ekonomi dengan inflasi,
khususnya stabilitas inflasi, sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka
penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis kaitan antara keterbukaan
ekonomi dengan stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6; (2) menganalisis
dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di negara-negara
ASEAN+6 terkait dengan adanya kebijakan ITF; dan (3) menganalisis dampak
dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di kelompok negara maju dan
kelompok negara berkembang di ASEAN+6.
Cakupan penelitian ini adalah sebelas negara, yaitu: Indonesia, Thailand,
Filipina, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, China, Jepang, Australia, Selandia
Baru, dan India (yang selanjutnya disebut ASEAN+6) dengan periode waktu
pengamatan selama sepuluh tahun, yaitu tahun 2001-2010. Adapun data yang
digunakan merupakan data sekunder yang bersumber dari World Bank dan bank
sentral di setiap negara.
Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama adalah analisis
eksploratif dan uji Kausalitas Granger, sedangkan untuk menjawab tujuan kedua
dan ketiga digunakan regresi data panel dengan membuat dummy interaksi.
Sementara itu, model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi
dari model New Keynesian Phillips Curve (NKPC) berbasis hybrid oleh Gali dan
Gertler (2000), model yang digunakan oleh Mukherjee (2011), dan model yang
digunakan oleh Mishkin dan Schmidt-Hebbel (2007) dalam penelitiannya.
Berdasarkan ketiga model tersebut, variabel lain yang juga disertakan dalam
penelitian ini adalah stabilitas inflasi sebelumnya, deviasi ekspektasi inflasi,
kesenjangan output, dan nilai tukar riil. Penelitian ini juga menggunakan metode
Hodrick-Presscott Filter untuk memperoleh nilai output potensial dan inflasi
potensial.
vi
Berdasarkan uji Kausalitas Granger diperoleh dua pola arah hubungan
antara stabilitas inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti. Pertama, hubungan
dua arah, yaitu antara stabilitas inflasi dengan deviasi ekspektasi inflasi dan
kesenjangan output. Kedua, hubungan satu arah, yaitu: keterbukaan perdagangan,
keterbukaan finansial, dan nilai tukar riil memengaruhi stabilitas inflasi.
Dengan membandingkan ketiga model data panel statis, yakni: Pooled
Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM)
melalui uji Chow dan uji Haussman diperoleh hasil bahwa metode FEM lebih
baik dibandingkan dua metode lainnya. Sementara itu, model data panel dinamis,
baik First Difference-Generalized Method of Moments (FD-GMM) maupun
System-Generalized Method of Moments (Sys-GMM), memberikan estimasi yang
valid namun tidak konsisten dan bias. Lebih lanjut, adanya masalah
heteroskedastisitas, maka FEM dengan General Least Square (GLS) Weighted
digunakan sebagai model estimasi. Hasil yang diperoleh adalah makin tinggi
tingkat keterbukaan perdagangan maka inflasi di negara-negara ASEAN+6 akan
menjadi tidak stabil, sedangkan makin tinggi tingkat keterbukaan finansial maka
inflasinya akan makin stabil.
Terkait dengan penerapan kebijakan ITF di beberapa negara ASEAN+6,
dampak buruk keterbukaan perdagangan terhadap stabilitas inflasi ternyata hanya
signifikan terjadi di negara-negara ITF (yaitu: Indonesia, Thailand, Filipina,
Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru), sedangkan di negara-negara NonITF (yaitu: Malaysia, Singapura, China, Jepang, dan India) tidak signifikan.
Sementara itu, keterbukaan finansial berdampak buruk terhadap stabilitas inflasi
di negara-negara ITF, tetapi berdampak baik terhadap stabilitas inflasi di negaranegara non-ITF. Pengaruh signifikan terhadap stabilitas inflasi juga diberikan oleh
nilai tukar riil. Depresiasi nilai tukar riil memberikan dampak buruk terhadap
stabilitas inflasi di negara-negara ITF, tetapi memberi dampak baik bagi stabilitas
inflasi di negara-negara non-ITF.
Keterbukaan finansial memberikan dampak baik bagi stabilitas inflasi di
kelompok negara-negara sedang berkembang (yaitu: Indonesia, Thailand, Filipina,
Malaysia, China, dan India) lebih besar dibandingkan yang diterima kelompok
negara-negara maju (yaitu: Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Singapura,
dan Jepang).
Berdasarkan hasil penelitian, implikasi kebijakan yang dapat disarankan,
adalah: (1) Pemerintah dan otoritas moneter perlu berkoordinasi dalam hal
perumusan kebijakannya. Jika keterbukaan negara-negara ASEAN+6 tidak dapat
dibatasi (dikarenakan merupakan suatu kesepakatan) maka negara-negara yang
mengadopsi ITF harus mengalihkan kebijakan moneternya menjadi base money
targeting atau exchange rate targeting. (2) Terkait dampak buruk depresiasi nilai
tukar riil dan keterbukaan perdagangan, negara-negara ITF dapat melakukan
kebijakan substitusi impor. Substitusi impor diperlukan agar negara tidak
tergantung produk impor yang rentan perubahan nilai tukar. Selain itu, dapat
mengurangi keterbukaan perdagangan. (3) Terkait dampak buruk depresiasi nilai
tukar riil dan keterbukaan finansial, negara-negara ITF dapat menggalakkan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan kontrol neraca modal. Hal ini
setidaknya mengurangi pengaruh permintaan/penawaran mata uang asing yang
pada akhirnya menjaga kestabilan inflasi.
Kata Kunci: keterbukaan ekonomi, stabilitas inflasi, ITF, data panel
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
viii
ix
DAMPAK KETERBUKAAN EKONOMI TERHADAP
STABILITAS INFLASI DI NEGARA-NEGARA
ASEAN+6
HENGKI EKO RIYADI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Muhammad Firdaus, S.P., M.Si., Ph.D.
xi
Judul Penelitian
Nama
NRP
Program Studi
: Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi
di Negara-negara ASEAN+6
: Hengki Eko Riyadi
: H151104424
: Ilmu Ekonomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S.
Ketua
Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 31 Juli 2012
Tanggal Lulus:
xii
xiii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Dampak
Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6”.
Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu
Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, yang
dalam kesibukannya masih meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan
bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis
ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Muhammad Firdaus, S.P.,
M.Si., Ph.D. selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi,
M.Sc.Agr. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Direktur Statistik Peternakan,
Perikanan, dan Kehutanan, dan Kepala Subdirektorat Statistik Perikanan yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan
Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana
(SPS) IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada
Bapak Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola
Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis,
dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan
penyelesaian tugas akhir ini.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada
isteriku tersayang Dewy Sarihastuti, S.Si., M.A.B. dan seluruh keluarga besar
yang telah memberikan do’a dan dukungan yang tak terkira sejak awal
perkuliahan.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan
tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Allah
SWT. Dia jualah yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah
banyak membantu penulis. Meskipun demikian, penulis berharap bahwa tesis ini
dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi
para pembaca sekalian.
Bogor, Agustus 2012
Hengki Eko Riyadi
xiv
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahir di Purworejo (Jawa Tengah) pada tanggal 3 September
1978. Penulis merupakan sulung dari empat bersaudara pasangan Bapak Ponidi
dan Ibu Wasiyati.
Pada tahun 1996, penulis diterima sebagai mahasiswa kedinasan Akademi
Ilmu Statistik Jakarta dan menyelesaikan pendidikan D-III tersebut pada tahun
1999 sebagai peringkat ke-3 terbaik. Pada tahun 1999 itu juga, penulis mendapat
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan D-IV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik
(d.h. Akademi Ilmu Statistik) pada Konsentrasi Statistik Ekonomi dan
menyelesaikannya pada tahun 2000 sebagai peringkat ke-2 terbaik.
Setelah lulus D-IV, penulis ditugaskan pada Badan Pusat Statistik Provinsi
Sumatera Utara pada Bagian Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. Pada tahun
2005, penulis diberi kepercayaan untuk menjadi Kepala Seksi Neraca Wilayah
dan Analisis Statistik Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Pada tahun 2008,
penulis dipindahtugaskan ke Subdirektorat Statistik Perikanan BPS RI.
Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di
Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB melalui penyelenggaraan khusus, setelah
sebelumnya menyelesaikan Program Alih Jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekomoni dan Manajemen IPB. Program Penyelenggaraan Khusus ini
merupakan kerjasama BPS dan IPB.
xvi
xvii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xxiii
DAFTAR ISTILAH .................................................................................... xxv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................ xxvii
I.
PENDAHULUAN ................................................................................
1.1 Latar Belakang .............................................................................
1.2 Perumusan Masalah .....................................................................
1.3 Tujuan Penelitian .........................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................
1
1
4
7
7
7
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
2.1 Inflasi dan Stabilitas Inflasi ..........................................................
2.2 Inflation Targeting Framework (ITF) ...........................................
2.3 Kurva Phillips versi New Keynesian berbasis Hybrid ...................
2.3.1 Output Potensial dan Kesenjangan Output ..........................
2.3.2 Deviasi Ekspektasi Inflasi ..................................................
2.4 Model Keseimbangan AD-AS dalam Perekonomian Terbuka .....
2.4.1 Permintaan Aggregat (AD) .................................................
2.4.2 Penawaran Aggregat (AS) ..................................................
2.5 Kaitan Keterbukaan Ekonomi dengan Inflasi ................................
2.5.1 Keterbukaan Perdagangan ...................................................
2.5.2 Keterbukaan Finansial .......................................................
2.6 Kaitan Nilai Tukar dengan Inflasi ................................................
2.7 Pemilihan Metode Analisis ..........................................................
2.7.1 Metode Estimasi Inflasi Potensial dan PDB Potensial .........
2.7.2 Metode Regresi ..................................................................
2.8 Penelitian Terdahulu ....................................................................
2.9 Kerangka Pemikiran .....................................................................
2.10 Hipotesis Penelitian ......................................................................
9
9
12
13
16
17
18
18
19
20
20
24
25
26
26
27
28
31
32
III. METODE PENELITIAN ......................................................................
3.1 Jenis dan Sumber Data .................................................................
3.2 Metode Analisis ...........................................................................
3.2.1 Analisis Eksploratif ............................................................
3.2.2 Metode Hodrick-Presscott Filter ........................................
3.2.3 Metode Regresi Data Panel ................................................
3.2.3.1 Regresi Data Panel Statis ......................................
3.2.3.2 Regresi Data Panel Dinamis ..................................
3.3 Spesifikasi Model .......................................................................
35
35
36
36
36
37
37
41
48
xviii
3.4 Definisi Variabel Operasional ........................................................
3.5 Prosedur Analisis ...........................................................................
50
51
IV. GAMBARAN UMUM ..........................................................................
4.1 Inflasi .............................................................................................
4.2 Produk Domestik Bruto (PDB) ......................................................
4.3 Ekspor dan Impor ...........................................................................
4.4 Foreign Direct Investment (FDI) dan Portfolio Equity ....................
4.5 Nilai Tukar .....................................................................................
57
57
60
62
65
67
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
5.1 Pengujian Stasioneritas Data ..........................................................
5.2 Kaitan Keterbukaan Ekonomi dan Variabel Lain dengan
Stabilitas Inflasi .............................................................................
5.2.1 Kaitan Keterbukaan Perdagangan dengan Stabilitas Inflasi ..
5.2.2 Kaitan Keterbukaan Finansial dengan Stabilitas Inflasi .......
5.2.3 Kaitan Kesenjangan Output dengan Stabilitas Inflasi ...........
5.2.4 Kaitan Nilai Tukar Riil dengan Stabilitas Inflasi .................
5.2.5 Kaitan Deviasi Ekspektasi Inflasi dengan Stabilitas Inflasi .
5.2.6 Pengujian Kausalitas Granger .............................................
5.3 Estimasi Model ..............................................................................
5.4 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi .............
5.5 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi terkait
Penerapan Kebijakan ITF ..............................................................
5.6 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi terkait
Pengelompokkan Negara Maju dan Berkembang ...........................
69
69
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
6.1 Kesimpulan ....................................................................................
6.2 Implikasi Kebijakan .......................................................................
6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut ........................................................
81
81
81
82
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
LAMPIRAN ................................................................................................
83
87
71
71
71
72
72
72
73
74
76
78
80
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Nilai Ekspor dan Impor, Keterbukaan Perdagangan, dan Keterbukaan
Finansial di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001 dan 2010 ................
3
2
Daftar Negara-negara Pengadopsi ITF (s.d Desember 2010) ..................
12
3
Data-data yang Digunakan dalam Penelitian .........................................
35
4
Kerangka Identifikasi Autokorelasi .......................................................
53
5
Inflasi, Rata-rata Inflasi, dan Koefisien Ragam Inflasi
di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (persen) ......................
53
Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010
(Persen) ................................................................................................
59
Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010
(Persen) ................................................................................................
61
8
PDB Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$) ..........
61
9
Nilai Ekspor di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010
(Milyar US$) ........................................................................................
62
10 Nilai Impor di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010
(Milyar US$) ........................................................................................
63
11 Nilai Ekspor Netto di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010
(Milyar US$) ........................................................................................
64
12 Proporsi Ekspor dan Impor terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6
Tahun 2001-2010 (Persen) ....................................................................
64
13 Proporsi Netinflow FDI terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6
Tahun 2001-2010 (Persen) ....................................................................
65
14 Proporsi Netinflow Portfolio Equity terhadap PDB
di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) ......................
66
15 Proporsi Netinflow FDI dan Portfolio Equity terhadap PDB
di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen) ......................
67
16 Perubahan Nilai Tukar di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010
(Persen) ................................................................................................
67
6
7
xx
17 Perubahan Nilai Tukar Riil di Negara-negara ASEAN+6
Tahun 2001-2010 (Persen) ....................................................................
68
18 Rekapitulasi Hasil Pengujian Stasioneritas Data ....................................
70
19 Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Stabilitas Inflasi dengan
Variabel yang Diteliti Menggunakan Program Eviews v 6 ...................
73
20 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter PLS, FEM, REM,
FD-GMM,dan Sys-GMM ....................................................................
74
21 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan
GLS Weighted .....................................................................................
76
xxi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Tingkat Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen)
5
2
Mekanisme Inflasi pada Sektor Riil ......................................................
10
3
Hipotesis Trade off antara Inflasi dan Kesenjangan Output dalam Kurva
Phillips versi NKPC .............................................................................
15
4
Kerangka Pemikiran .............................................................................
32
5
Perkembangan Rata-rata Inflasi dan Stabilitas Inflasi ASEAN+6
Tahun 2001-2010 (Persen) ....................................................................
58
Rata-rata Inflasi dan Stabilitas Inflasi ASEAN+6 menurut
Kelompok Negara ITF dan Non-ITF Tahun 2001-2010 (Persen) ..........
60
6
xxii
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Grafik Perkembangan Variabel setiap Negara ASEAN+6
Tahun 2001-2010 .................................................................................
89
2
Hasil Pengujian Stasioneritas Data Menggunakan Program Eviews v 6
92
3
Grafik Kaitan setiap Variabel yang Diteliti dengan Stabilitas Inflasi
Tahun 2001-2010 ................................................................................. 102
4
Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Stabilitas Inflasi dengan
Variabel yang Diteliti Menggunakan Program Eviews v 6 ................... 107
5
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS) Menggunakan Program
Eviews v 6 ............................................................................................ 108
6
Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM) Menggunakan Program
Eviews v 6 ............................................................................................ 109
7
Hasil Estimasi Random Effect Model (REM) Menggunakan Program
Eviews v 6 ............................................................................................ 110
8
Hasil Uji Chow .....................................................................................
111
9
Hasil Uji Haussman Menggunakan Program Eviews v 6 .......................
112
10 Hasil Estimasi First Difference-Generalized Method of Moments (FDGMM) Menggunakan Program Stata v 10 ............................................. 113
11 Hasil Estimasi System-Generalized Method of Moments (Sys-GMM)
Menggunakan Program Stata v 10 ........................................................ 114
12 Hasil Uji Autokorelasi ..........................................................................
115
13 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted Menggunakan Program
Eviews v 6 ............................................................................................ 116
14 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted dengan Variabel Dummy
Interaksi ITF Menggunakan Program Eviews v 6 .................................. 117
15 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted dengan Variabel Dummy
Interaksi Negara Maju Menggunakan Program Eviews v 6 ................... 118
16 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya ...............................................
119
xxiv
xxv
DAFTAR ISTILAH
ASEAN+6
:
Backward looking
:
Building block
Cancel out
Capital inflow
Capital outflow
Ceteris paribus
Common estimator
Common unit root
Deviasi ekspektasi inflasi
:
:
:
:
:
:
:
:
Driving force variable
Exchange Rate Pass Through
First difference
Foreign Direct Investment
:
:
:
:
Forward looking
:
Individual intercept effect
Individual unit root
Inflasi potensial
Intermitten inflation
Kesenjangan output
:
:
:
:
:
Keterbukaan finansial
:
Keterbukaan perdagangan
Mark up
Netinflow
Non-ITF
:
:
:
:
Output potensial
Panel unit root
Persisten inflation
Portfolio equity
:
:
:
:
Purchasing Power Parity
:
Negara-negara yang terdiri atas: Indonesia,
Filipina, Thailand, Malaysia, Singapura,
Jepang, Korea Selatan, China, Australia,
Selandia Baru, dan India
Melihat kondisi akan datang berdasarkan
kesalahan-kesalahan yang terjadi sampai saat
ini
Bangunan
Menggantikan
Aliran modal masuk
Aliran modal keluar
Kondisi variabel yang lain konstan
Penduga umum
Akar ciri umum
Selisih antara ekspektasi inflasi dengan
inflasi potensial
Variabel pengendali
Dampak langsung nilai tukar
Pembeda pertama
Investasi dari luar negeri yang meliputi
ekuitas modal, keuntungan yang
diinvestasikan kembali, modal jangka
panjang, dan modal jangka pendek
Melihat kondisi akan datang berdasarkan
kondisi sampai saat ini
Efek intersep individu
Akar ciri individu
Inflasi dalam kondisi pengangguran alamiah
Inflasi terkait kondisi yang tidak diantisipasi
Selisih antara output aktual dengan output
potensial
Rasio netinflow FDI dan portfolio equity
terhadap PDB
Rasio ekspor dan impor terhadap PDB
Melebihkan
Arus masuk bersih
Jangkar nominal selain ITF, dapat berupa
base money targeting atau exchange rate
targeting
Output dalam kondisi pengangguran alamiah
Akar ciri panel
Inflasi terkait ekspektasi
Saham, penerimaan penyimpanan, dan
pembelian langsung saham di pasar saham
Kekuatan daya beli
xxvi
Real money
Rule of thumb
Shoe-leather cost
Stabilitas inflasi
:
:
:
:
Staggered
Stasioner
Steady inflation
Steady state
Trade-off
Transient inflation
Univariate detrending
Unweighted statistic
Volatilitas
Wage setters
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Weighted statistic
:
Jumlah uang beredar per harga
Aturan utama
Biaya sol sepatu terkait terjadinya inflasi
Selisih antara inflasi aktual dan inflasi
potensial
Tidak kontinyu
Tetap/teratur
Inflasi terkait ekspektasi
Kondisi mapan
Konsekuensi atau pertukaran
Inflasi terkait kondisi yang tidak diantisipasi
Metode peramalan satu variabel
Penduga tidak tertimbang
Pergolakan yang terus menerus
Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
menentukan upah
Penduga tertimbang
xxvii
DAFTAR SINGKATAN
AANZFTA
ACFTA
AD-AS
ADF Fisher
AEC
AFTA
AIFTA
AJCEP
AKFTA
ARIMA
ASEAN
BLUE
BP Filter
CEPEA
DW
EAEC
ERPT
FD-GMM
FDI
FEM
FTA
GLS
GMM
HP Filter
IHK
IHP
ITF
LLC
NEER
NER
NKPC
OECD
PDB
PLS
PP Fisher
PPP
REER
REM
RER
Sys-GMM
WDI
WTO
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
ASEAN-Australian-New Zealand Free Trade Area
ASEAN-China Free Trade Area
Aggregate Demand - Aggregate Supply
Augmented Dickey Fuller Fisher
ASEAN Economic Community
ASEAN Free Trade Area
ASEAN-India Free Trade Area
ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership
ASEAN-Korea Free Trade Area
Autoregressive Integrated Moving-Average
Assosiation of South-East Asian Nations
Best Unbiased Linear Estimation
Band Pass Filter
Comprehensive Economic Partnership in East Asia
Durbin-Watson
East Asian Economic Community
Exchange Rate Pass-Through
First Differences Generalized Method of Moments
Foreign Direct Investment
Fixed Effects Model
Free Trade Agreement
Generalized Least Square
Generalized Method of Moments
Hodrick-Prescott Filter
Indeks Harga Konsumen
Indeks Harga Produsen
Inflation Targeting Framework
Levin, Lin, dan Chu
Nominal Efective Exchange Rate (Nilai Tukar Efektif Nominal)
Nominal Exchange Rate (Nilai Tukar Nominal)
New Keynesian Philips Curve
Organization For Economics Cooperation and Development
Produk Domestik Bruto
Pooled Least Square
Philips Perron Fisher
Purchashing Power Parity
Real Efective Exchange Rate (Nilai Tukar Efektif Riil)
Random Effects Model
Real Exchange Rate (Nilai Tukar Riil)
System Generalized Method of Moments
World Development Indicators
World Trade Organization
ii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik
perdagangan maupun finansial, merupakan konsekuensi dalam era globalisasi.
Keterbukaan ekonomi menggambarkan semakin hilangnya hambatan tarif dan
non-tarif dalam melakukan perdagangan dan semakin lancarnya mobilitas modal
antarnegara. Salvatore (1997) menunjukkan bahwa keterbukaan ekonomi
menjanjikan keuntungan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya.
Keuntungan dari perdagangan internasional diantaranya berupa pembukaan akses
pasar yang lebih luas, pencapaian tingkat efisiensi dan daya saing ekonomi yang
lebih tinggi, dan peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Sementara itu,
keterbukaan di sektor finansial dapat mendorong keluar-masuknya modal asing,
mempercepat terjadinya akumulasi modal, dan transfer teknologi.
Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara di suatu kawasan
melakukan kesepakatan perdagangan bebas. Pertama, perundingan perdagangan
secara multilateral di bawah kerangka World Trade Organization (WTO) tidak
selamanya berjalan lancar dan membutuhkan waktu relatif lama. Kedua,
perdagangan bebas regional diharapkan dapat mempercepat proses integrasi
ekonomi di suatu kawasan. Ketiga, perdagangan bebas regional dijadikan sebagai
batu loncatan menuju liberalisasi perdagangan multilateral dalam kerangka WTO.
Keempat, melihat kenyataan bahwa sejak tahun 1990-an liberalisasi perdagangan
regional semakin berkembang pesat, terutama di Kawasan Eropa dan Amerika
Utara. Kelima, pembentukan perdagangan bebas regional sebagai komitmen
politik untuk meningkatkan kerjasama regional yang lebih luas (WTO, 2010).
Salah satu kerjasama tingkat regional yang sudah berlangsung adalah
ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA diberlakukan untuk mengurangi
hambatan tarif secara bertahap sejak tahun 1992. Saat ini AFTA beranggotakan
sepuluh negara di Asia Tenggara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura
Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.
Kerjasama kawasan ini kemudian berkembang dengan mitra dagang
lainnya, yaitu: China, Korea Selatan, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India
2
(ASEAN+6). Bersama China, ASEAN membentuk ASEAN-China Free Trade
Area (ACFTA) yang ditandatangani pada 29 November 2004. Bersama Korea
Selatan, ASEAN membentuk ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) yang
ditandatangani pada 26 Agustus 2006. Bersama Jepang, ASEAN membentuk
ASEAN-Japan
Comprehensive
Economic
Partnership
(AJCEP)
yang
ditandatangani pada 1 Maret 2008. Bersama Australia dan Selandia Baru, ASEAN
membentuk ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) yang
ditandatangani pada 27 Februari 2009. Terakhir, bersama India, ASEAN
membentuk ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yang ditandatangani pada 13
Agustus 2009. Para pemimpin negara-negara ASEAN+6 sepakat membentuk
Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) yang bertujuan
meningkatkan integritas ekonomi di ASEAN+6 dan memperkecil kesenjangan
pembangunan antarnegara.
Selain itu, telah dirintis pula kerangka kerjasama untuk mewujudkan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community, AEC) pada tahun
2015 dan Masyarakat Ekonomi Asia Timur (East Asian Economic Community,
EAEC) yang dipelopori oleh negara-negara ASEAN, China, Jepang, dan Korea
Selatan yang akan mengurangi hambatan non-tarif. Winantyo et al. (2008)
menyatakan bahwa dalam mewujudkan AEC berupa terjadinya keterbukaan
perdagangan, investasi, dan tenaga kerja terampil maka dibutuhkan keterbukaan
finansial. Keterbukaan finansial tersebut diperlukan untuk mendukung transaksi
keuangan
yang
pembangunan,
lebih efisien,
sebagai salah satu
memfasilitasi
perdagangan
sumber
internasional,
pembiayaan
mendukung
perkembangan sektor keuangan, dan akhirnya meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Peranan negara-negara ASEAN dan mitra dagangnya mengalami
peningkatan yang cukup signifikan dalam perdagangan dunia pada satu dekade
terakhir. Pada tahun 2001, negara-negara ASEAN+6 dengan total ekspor dan
impor sebesar US$2.936 milyar memiliki peran 18,88 persen terhadap
perdagangan dunia. Dengan berbagai keterbukaan yang ada, peranannya
meningkat menjadi 25,22 persen dengan nilai US$9.385 milyar pada tahun 2010.
Peningkatan peran ASEAN+6 terhadap perdagangan dunia juga dapat terlihat dari
3
keterbukaan perdagangannya, dimana rasio ekspor dan impor terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) meningkat dari 39,83 persen tahun 2001 menjadi 55
persen pada tahun 2010. Peningkatan ini lebih cepat dibandingkan keterbukaan
perdagangan dunia yang bergerak dari 48,30 persen tahun 2001 menjadi 55,86
persen tahun 2010. Di antara negara-negara ASEAN+6, tingkat keterbukaan
perdagangan paling tinggi terdapat di Singapura. Sementara itu, China menjadi
negara dengan nilai perdagangan terbesar dengan nilai mencapai US$3.273
milyar, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1
Nilai Ekspor dan Impor, Keterbukaan Perdagangan, dan Keterbukaan
Finansial di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001 dan 2010
Negara
(1)
Ekspor dan Impor
(Milyar US$)
2001
2010
(3)
Keterbukaan
Finansial2
2001
2010
(4)
(5)
(6)
(7)
112
145
75
189
329
571
349
839
126
167
35
336
430
143
420
823
3.273
1.035
1.599
800
451
75
69,79
125,22
98,91
203,36
360,57
43,08
69,22
20,49
26,41
43,77
66,85
47,59
135,14
71,42
176,80
394,07
55,23
101,99
29,29
46,32
39,87
55,90
-1,58
4,69
0,42
0,60
16,45
3,40
2,73
1,11
1,76
4,05
-0,49
2,18
3,06
1,10
4,00
20,21
3,65
2,25
0,71
3,71
3,58
0,22
ASEAN+6
2.936
9.385
39,83
55,00
3,01
4,06
Dunia
15.551
37.205
48,30
55,86
Indonesia
Thailand
Filipina
Malaysia
Singapura
China
Korea Selatan
Jepang
India
Australia
Selandia Baru
(2)
Keterbukaan
Perdagangan1
2001
2010
Keterangan:
1) Persentase ekspor dan impor terhadap PDB
2) Persentase netinflow Foreign Direct Investment (FDI) dan Portfolio Equity terhadap PDB
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN+6 semakin
terbuka dalam hal finansial, khususnya modal swasta. Proporsi aliran masuk
bersih (netinflow) modal swasta yang terdiri atas Foreign Direct Investment (FDI)
dan portfolio equity terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari 3,01
persen tahun 2001 menjadi 4,06 persen tahun 2010. Singapura menjadi negara
dengan tingkat keterbukaan finansial tertinggi di ASEAN+6, dimana proporsi
4
netinflow modal swastanya mencapai 16,45 persen pertahun pada periode tahun
2001-2010 (World Bank, 2012).
1.2 Perumusan Masalah
Keterbukaan ekonomi, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pada prinsipnya memang tidak hanya berpengaruh terhadap output,
tetapi juga harga. Hal ini terjadi karena adanya konsekuensi (trade off) antara
output dan inflasi. Ada empat biaya yang ditimbulkan sebagai akibat terjadinya
inflasi, yaitu: shoe-leather costs, distorsi pajak pendapatan, ilusi uang, dan
variabilitas inflasi (Blanchard, 2009).
Pada sisi lain, ada suatu kebijakan otoritas moneter yang bertujuan
menstabilkan perubahan harga, yaitu: Inflation Targeting Framework (ITF).
Stabilitas inflasi ini penting dilakukan terkait dengan ekspektasi baik masyarakat
maupun pemerintah. Inflasi yang berfluktuasi akan menyusahkan masyarakat dan
pemerintah dalam program perencanaan.
Memang, sejak terjadinya krisis ekonomi pada 1997-1998 banyak negara
mengubah kebijakan moneternya, baik dalam rezim nilai tukar maupun jangkar
nominal. Rezim nilai tukar mengalami perubahan dari yang sebelumnya nilai
tukar baku (fixed exchange rate) menjadi nilai tukar bebas-terkendali (managefloating exchange rate) atau bahkan nilai tukar bebas (floating exchange rate),
sedangkan jangkar nominal mengalami perubahan dari yang sebelumnya
penargetan uang beredar (money targeting) atau penargetan nilai tukar (exchange
rate targeting) menjadi penargetan inflasi (inflation targeting).
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu jangkar nominal
dimana kebijakan ini dapat diterapkan dengan syarat bahwa rezim nilai tukar
negara tersebut adalah floating dan memiliki kebijakan keterbukaan ekonomi atau
pada suatu negara dengan rezim nilai tukar tetap dan keterbukaan ekonomi
terbatas. ITF pertama kali dilakukan oleh Selandia Baru pada tahun 1990. Selain
Selandia Baru, negara-negara yang mengadopsi ITF di kawasan ASEAN+6 adalah
Australia, Thailand, Filipina, Korea Selatan, dan Indonesia. Dengan adanya ITF,
bank sentral di negara-negara ITF melakukan penargetan inflasi setiap awal tahun.
Negara-negara ITF berharap bahwa dengan menargetkan inflasi di awal tahun,
5
kebijakan makroekonomi yang mendukung pertumbuhan ekonomi dapat lebih
stabil dan berkelanjutan tanpa khawatir atas perubahan tingkat inflasi yang terlalu
besar. Sementara itu, bukan berarti di negara-negara non-ITF tidak ada penargetan
inflasi. Negara-negara non-ITF melakukan pengasumsian inflasi yang akan
direvisi seiring perkembangan perekonomian, biasanya setiap tiga atau enam
bulan.
14,00
Inflasi (%)
12,00
10,00
8,00
Negara-negara ITF
6,00
Indonesia
Filipina
4,00
Thailand
2,00
Australia
Selandia Baru
0,00
-2,00
14,00
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Korea Selatan
Tahun
Inflasi (%)
12,00
10,00
8,00
Negara-negara
Non-ITF
6,00
Malaysia
4,00
Singapura
2,00
China
India
0,00
-2,00
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jepang
Tahun
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
Gambar 1 Tingkat Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen)
Gambar 1 menunjukkan bahwa selama satu dekade terakhir, dimana era
keterbukaan makin populer, inflasi di negara-negara ASEAN+6 mengalami
6
pergerakan yang berbeda. Inflasi negara-negara pengadopsi ITF memiliki
pergerakan yang relatif stabil, kecuali Indonesia, Filipina, dan Thailand.
Sementara itu, hanya di Jepang dan Singapura yang inflasinya relatif stabil di
negara-negara non-ITF. Bahkan, inflasi di India (yang merupakan negara nonITF) terus mengalami peningkatan.
Menurut Krugman dan Obstfelt (2005), dalam makroekonomi ada trilema
yang harus dihadapi. Pemerintah dan bank sentral harus memilih dua dari tiga
kemungkinan yang ada, yaitu: keterbukaan ekonomi, pembakuan nilai tukar, dan
independensi bank sentral. Artinya, ketika pemerintah memilih untuk tidak
membatasi keterbukaan ekonomi dan bank sentral memilih untuk independen (ada
penargetan inflasi) maka pilihan berikutnya adalah membiarkan nilai tukar
bergerak bebas.
Penelitian-penelitian mengenai keterbukaan ekonomi yang dilakukan
sebelumnya umumnya
mengaitkan dengan
pertumbuhan ekonomi
yang
seluruhnya menyatakan bahwa ada hubungan positif antara keterbukaan dengan
pertumbuhan ekonomi (Purwanto, 2011). Sementara itu, yang mengaitkan
keterbukaan ekonomi dengan inflasi, khususnya stabilitas inflasi, sangat terbatas.
Penelitian mengenai keterbukaan dan inflasi awalnya dilakukan oleh
Romer (1993) dan Lane (1997). Mereka menyatakan bahwa ada hubungan negatif
antara keterbukaan perdagangan dan inflasi. Artinya, makin bebas perdagangan
maka inflasi akan makin rendah. Akan tetapi, Temple (2002) tidak mendapatkan
hubungan negatif tersebut. Mukherjee (2011) dalam penelitiannya menyatakan
bahwa keterbukaan finansial menurunkan Exchange Rate Pass-Through (ERPT)
terhadap inflasi domestik dan kemudian memperbaiki trade off output terhadap
inflasi. Mukherjee (2011) juga mendapatkan bahwa keterbukaan perdagangan dan
keterbukaan finansial akan menurunkan selisih antara inflasi aktual dengan target
inflasi.
Dengan demikian, pemahaman yang baik mengenai dampak keterbukaan
ekonomi, baik perdagangan maupun finansial, terhadap stabilitas inflasi mutlak
diperlukan agar kebijakan yang diterapkan dapat berjalan efektif dan tepat sasaran
terutama di negara-negara ASEAN+6. Berdasarkan latar belakang dan uraian di
atas maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
7
1.
Bagaimana kaitan antara keterbukaan ekonomi dengan stabilitas inflasi di
negara-negara ASEAN+6?
2.
Bagaimana dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di
negara-negara ASEAN+6 terkait dengan adanya kebijakan ITF?
3.
Bagaimana dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di
kelompok negara maju dan negara sedang berkembang di ASEAN+6?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis kaitan antara keterbukaan ekonomi dengan stabilitas inflasi di
negara-negara ASEAN+6.
2.
Menganalisis dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di
negara-negara ASEAN+6 terkait dengan adanya kebijakan ITF .
3.
Menganalisis dampak dari keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi
pada kelompok negara maju dan negara sedang berkembang di ASEAN+6.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada
pemerintah dan bank sentral mengenai dampak keterbukaan ekonomi terhadap
stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6. Selain itu, penelitian ini diharapkan
dapat memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan dunia pendidikan dan
penelitian di masa mendatang.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, negara-negara yang dicakup sebanyak sebelas
negara, yaitu: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, China, Jepang,
Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru yang selanjutnya disebut
ASEAN+6. Data yang digunakan adalah data tahunan mulai tahun 2001 sampai
2010.
8
Adapun keterbatasan penelitian ini adalah:
1. Negara ASEAN yang dicakup hanya lima negara karena ketersediaan data.
2. Indikator keterbukaan perdagangan dilihat dari persentase total ekspor dan
impor terhadap PDB, bukan ekspor dan impor intra ASEAN+6.
3. Filipina dan Indonesia dikelompokkan sebagai negara ITF meskipun baru
menerapkan ITF secara resmi pada Januari 2002 dan Juli 2005.
4. Jumlah individu (dalam hal ini adalah negara) yang diteliti tidak berbeda jauh
dengan periode waktu sehingga dapat berdampak pada penggunaan metode
data panel.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inflasi dan Stabilitas Inflasi
Milton Friedman (1963) dalam Roger (1998) mendefinisikan inflasi
sebagai kenaikan pada tingkat harga umum yang mapan (steady) dan terusmenerus (sustained). Friedman menekankan perbedaan antara presisten inflation
atau steady inflation dengan intermitten inflation atau transient inflation.
Presisten inflation atau steady inflation terkait dengan masalah ekspektasi dari
inflasi itu sendiri, sedangkan intermitten inflation atau transient inflation terkait
dengan kondisi yang tidak diantisipasi. Berdasarkan definisi umum tersebut
terdapat tiga aspek penting, yaitu:
1. Ada kecenderungan harga-harga yang meningkat, artinya dalam kurun
waktu tertentu, harga-harga menunjukkan kecenderungan (trend) atau
tendensi yang meningkat.
2. Peningkatan harga berlangsung secara terus-menerus, artinya dari waktu ke
waktu mengalami peningkatan.
3. Pengertian harga adalah tingkat harga umum, artinya harga tersebut
mencakup keseluruhan komoditas dan bukan hanya pada satu atau beberapa
komoditas saja.
Pada dasarnya, pengertian inflasi dibedakan menjadi dua aliran, yaitu
Moneteris dan Keynesian. Moneteris menganggap bahwa pergerakan inflasi
seiring dengan peningkatan jumlah uang beredar, baik dalam arti sempit (M1)
maupun dalam arti luas (M2), sehingga seringkali peningkatan jumlah uang
beredar dianggap sebagai penyebab utama terjadinya inflasi. Anggapan tersebut
tidak sepenuhnya salah karena Friedman menyatakan inflasi merupakan sebuah
fenomena moneter. Inflasi sebagai fenomena moneter merupakan salah satu
indikator yang dapat mencerminkan kondisi riil nilai uang. Bila terjadi inflasi
maka nilai uang secara riil mengalami penurunan dan akan menyebabkan
kemampuan daya beli dari uang itu menurun. Bila inflasi tersebut tidak dibarengi
dengan peningkatan pendapatan secara riil, maka sudah dipastikan bahwa tingkat
kesejahteraan masyarakan secara umum mengalami penurunan.
9
10
Melalui pendekatan sektor riil, aliran Keynesian membagi penyebab
inflasi menjadi dua faktor, yaitu adanya kelebihan permintaan dan adanya
kenaikan biaya produksi. Faktor pertama adalah ketersediaan komoditas yang
terbatas di pasar barang tidak dapat mencukupi kelebihan permintaan masyarakat
secara umum sehingga menyebabkan kenaikan harga secara agregat. Secara
implisit, ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang menyiratkan
kapasitas produksi optimum dari suatu perekonomian sehingga hal tersebut
sesungguhnya mencerminkan kondisi output potensial. Inflasi dengan tipe seperti
ini seringkali diistilahkan sebagai inflasi akibat tarikan permintaan (demand pull
inflation), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 panel (a). Inflasi tipe kedua
seringkali disebut sebagai inflasi akibat dorongan biaya (cost push inflation),
dimana kenaikan harga yang terjadi merupakan kondisi yang tidak diantisipasi
dan hal tersebut disebabkan oleh kenaikan biaya produksi, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2 panel (b).
Harga (P)
Harga (P)
AS
AS’
AS
P’
P’
P
AD’
P
AD
AD
Y
Y’
Output (Y)
(a) Demand Pull Inflation
Y’
Y
Output (y)
(b) Cost Push Inflation
Keterangan:
- AD: Aggregat Demand
- AS: Aggregat Supply
Sumber: Blanchard (2009)
Gambar 2 Mekanisme Inflasi pada Sektor Riil
Inflasi akibat tarikan permintaan terjadi karena adanya kebijakan
ekspansioner, baik fiskal maupun moneter. Kebijakan fiskal ekspansioner yang
memicu terjadinya inflasi adalah peningkatan belanja pemerintah dan penurunan
pajak, sedangkan kebijakan moneter ekspansioner dapat berupa peningkatan
jumlah uang beredar, penurunan suku bunga, atau devaluasi nilai tukar (pada
11
negara dengan rezim nilai tukar tetap). Sementara itu, inflasi akibat dorongan
harga terjadi akibat adanya guncangan (shock) dari sisi penawaran, seperti:
kenaikan harga minyak dunia, kenaikan upah, dan bencana alam.
Pada praktiknya, inflasi dihitung berdasarkan pendekatan indeks harga.
Beberapa alternatif dalam menghitung indeks harga adalah Indek Harga
Konsumen (IHK), Indeks Harga Produsen (IHP) dan indeks harga implisit yang
diturunkan dari penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB), atau sering disebut
sebagai GDP deflator. Berdasarkan beberapa alternatif dalam penghitungan
inflasi, umumnya digunakan IHK karena nilai uang secara umum terkait dengan
kekuatan daya beli dari uang pada tingkat konsumen. Hanya saja perlu disadari
bahwa IHK tidak didesain untuk mengukur kecenderungan (trend) dari harga,
sehingga seringkali IHK tidak dapat memberikan gambaran mendasar mengenai
inflasi, mengingat ada ketidaksesuaian antara konsep dengan pendekatan
penghitungan inflasi tersebut (Hanh, 2002).
Adanya ketidaksesuaian tersebut, dari sudut pandang teoritis dapat
disanggah karena tujuan utama dari kebijakan moneter adalah memaksimumkan
kesejahteraan masyarakat. Secara logika, wajar jika kemudian pihak otoritas
moneter memfokuskan pada indeks harga yang dapat lebih mendekati indeks
biaya hidup dari konsumen. Indeks biaya hidup dari konsumen lebih bisa didekati
oleh IHK dibanding dengan IHP dan indeks implisit. Pertimbangan lain dari
penggunaan IHK terkait dengan kualitas dari IHK yang jauh lebih baik dibanding
indeks harga lainnya adalah pada umumnya badan/biro statistik di seluruh negara
berusaha mengerahkan lebih banyak sumber daya untuk membangun IHK
dibanding indeks harga lainnya. Oleh sebab itu, cukup adil jika mengatakan
bahwa kebanyakan bank sentral yang menerapkan penargetan inflasi telah
menemukan alasan secara praktis dalam menggunakan IHK bersamaan dengan
alasan kredibilitas dalam menggunakan IHK dibanding pertimbangan untuk
menolaknya (Roger, 1998). Berdasarkan alasan-alasan tersebut, inflasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan dari IHK.
Lebih lanjut, stabilitas inflasi didefinisikan sebagai kondisi dimana inflasi
aktual tidak berbeda jauh dari inflasi potensialnya (Mishkin dan Schmidt-Hebbel,
2007). Sementara itu, Mukherjee (2011) mengasumsikan bahwa inflasi potensial
12
di negara-negara pengadopsi ITF adalah inflasi target sehingga mendefinisikan
inflasi yang stabil sebagai inflasi yang tidak berbeda jauh dari inflasi yang telah
ditargetkan sebelumnya.
2.2 Inflation Targeting Framework (ITF)
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja dari
bank sentral, selain base money targeting dan exchange rate targeting, yang
ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak
dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa
inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter.
Tabel 2
Daftar Negara-negara Pengadopsi ITF (s.d. Desember 2010)
No.
Negara
(1)
(2)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Selandia Baru
Kanada
Inggris Raya
Swedia
Finlandia
Australia
Spanyol
Israel
Rep. Ceska
Polandia
Brasil
Chile
Kolombia
Afrika Selatan
Thailand
Tahun Mulai
No.
Negara
(3)
(1)
(2)
1990
1991
1992
1993
1993
1993
1995
1997
1997
1998
1999
1999
1999
2000
2000
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Korea Selatan
Meksiko
Islandia
Norwegia
Hongaria
Peru
Filipina
Guatemala
Slovakia
Indonesia
Rumania
Turki
Serbia
Ghana
Tahun Mulai
(3)
2001
2001
2001
2001
2001
2002
2002
2005
2005
2005
2005
2006
2006
2007
Sumber: Roger (2009) dalam Svensson (2010)
Keterangan: Negara yang dicetak tebal adalah yang termasuk dalam penelitian
Ada sejumlah alasan mengapa menggunakan jangkar nominal dengan ITF.
Pertama, ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi
secara eksplisit, masyarakat akan memahami arah inflasi. Kedua, ITF bersifat
forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukan
time lag. Ketiga, ITF meningkatkan trasparansi dan akuntabilitas kebijakan
moneter mendorong kredibilitas kebijakan moneter. Aspek transparansi dan
akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspek good
13
governance dari sebuah bank yang telah diberikan independensi. Keempat, ITF
tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan
inflasi.
Jangkar nominal ITF pertama kali digunakan oleh Selandia Baru pada
tahun 1990. Sampai Desember 2010, ada sebanyak 29 negara mengadopsi ITF
sebagai kebijakan moneternya (selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2).
2.3 Kurva Phillips versi New Keynesian Berbasis Hybrid
Phillips mengungkapkan adanya bukti yang cukup kuat dan hubungan negatif
yang relatif stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi upah di Inggris sepanjang
satu abad sebelumnya. Tak lama berselang, beberapa peneliti selanjutnya
menemukan hubungan yang sama antara tingkat penganguran dan inflasi harga dan
hubungan tersebut kemudian dikenal sebagai kurva Phillips. Berdasarkan bukti
empiris tersebut, disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang stabil antara tingkat
pengangguran dan inflasi, baik dari tinjauan teoritis maupun berdasarkan dukungan
bukti empiris (Romer, 2006).
Sampai dengan tahun 1960-an, kurva Phillips seakan menjadi rule of thumb
dan banyak diterima oleh berbagai kalangan, namun ketika terjadi kenaikan harga
minyak dunia dan perubahan cara wage setters dalam membangun ekspektasi terkait
dengan perubahan perilaku inflasi sehingga inflasi menjadi lebih persisten, hubungan
tersebut tidak terlihat lagi. Berdasarkan temuan tersebut, hubungan yang stabil antara
tingkat pengangguran dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips
kemudian dipertanyakan. Serangan terhadap hubungan yang permanen antara
pengangguran dan inflasi atau output dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam
kurva Phillips dilakukan oleh Friedman (1968) dan Phelp (1968) dalam Blanchard
(2009) yang menyatakan bahwa hubungan tersebut adalah tidak dapat diterima
karena variabel nominal seperti inflasi dan penawaran uang (money supply) tidak
dapat memengaruhi variabel riil.
Hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukan Friedman (1968)
dalam Romer (2006) memberikan penjelasan yang lebih memuaskan terhadap
fenomena stagflasi yang dialami negara-negara industri pada tahun 1970-an. Secara
umum, kurva Phillips versi tradisional (bahkan dalam bentuk augmented version
14
sekalipun) masih tetap menjadi obyek kajian yang intensif dari beberapa sudut
pandang. Hal ini terutama menyangkut kurangnya landasan analisis ekonomi
mikro yang dalam sehingga menjadi subyek dari kritik Lucas (Lucas critique).
Lebih dari itu, validitasnya sebagai suatu building block dari model untuk evaluasi
atas berbagai alternatif kebijakan masih dipertanyakan.
Perkembangan terkini dari teori inflasi melahirkan analisis Kurva Phillips
versi New Keynesian (New Keynesian Phillips Curve, NKPC). NKPC didasarkan
pada landasan mikroekonomi yang cukup kuat sebagai jawaban atas kritik Lucas dari
versi kurva Phillips sebelumnya. Perbedaan yang mendasar versi ini dengan
sebelumnya adalah perubahan harga merupakan hasil dari keputusan optimal dari
para pelaku bisnis dalam memaksimumkan keuntungannya pada pasar persaingan
monopolistik, dengan kendala berupa frekuensi penyesuaian harga dan dalam analisis
pembentukan harga nominal yang bersifat tidak kontinyu (staggered), yang diilhami
oleh John B. Taylor (1980) dalam Gali (2002).
Spesifikasi umum dari pendekatan ini didasarkan pada model staggered price
setting yang dikembangkan oleh Calvo (1983) dalam Solikin (2004). Persamaan
utama mengkaitkan tingkat inflasi saat ini dengan inflasi masa depan yang
diharapkan dan biaya marginal (Gali dan Gertler (2000) dan Gali et al. (2001 dan
2005)):
π t = β E t {π t+1 } + λ mc t ’
............................................ (2.1)
dengan mc t’ adalah persentase deviasi biaya marginal riil dari level steady state,
β adalah discount factor, dan λ adalah koefisien yang merupakan dekomposisi
dari beberapa parameter dalam sistem permodelan, sekaligus mencerminkan derajat
kekakuan harga (price rigidity). Mengingat biaya marginal riil merupakan fungsi
dari output riil, termasuk level steady state dari biaya marginal riil adalah fungsi dari
output potensial, maka dengan beberapa asumsi yang dipakai dalam model standar
optimisasi dengan perilaku harga nominal yang kaku, pola hubungan yang
sederhana antara kedua variabel tersebut dapat diturunkan sebagai berikut,
mc t = δ ( y t – y* t )
............................................ (2.2)
15
dengan y t dan y* t masing-masing adalah logaritma dari tingkat output riil dan
tingkat output potensial. Kombinasi dari persamaan (2.1) dan (2.2) menghasilkan
rumusan NKPC dengan dasar kesenjangan output (Gali, 2002) :
π t = β E t {π t+1 } + κ ( y t – y* t )
............................................. (2.3)
dengan κ ≡ λδ.
Persamaan (2.3) memperlihatkan adanya trade off antara inflasi dengan
kesenjangan output, yaitu besarnya deviasi output aktual terhadap output potensial
atau output naturalnya.
πa
π*
Keterangan:
Ya : Output aktual
Y* : Output potensial
πa : Inflasi aktual
π* : Inflasi potensial
Sumber : Romer (2006)
Gambar 3
Hipotesis Trade off antara Inflasi dan Kesenjangan Output dalam
Kurva Phillips versi NKPC
Gambar 3 menunjukkan bahwa ketika output aktual berada di atas kondisi
potensialnya maka tingkat inflasi akan lebih tinggi dari inflasi potensialnya.
Kondisi sebaliknya, jika output aktual lebih rendah dari output potensial, maka
tingkat inflasi aktual akan lebih rendah dari inflasi potensialnya.
16
Perlu dipahami bahwa trade off yang diilustrasikan oleh Gambar 3 tersebut
tidak bersifat permanen karena slop dari kurva Phillips versi NKPC bisa berubahubah seiring dengan terjadinya perubahan fundamental dari suatu perekonomian
(regime dependent). Beberapa penelitian dengan menggunakan kurva Phillips
menyatakan bentuk kurva tersebut bisa menjadi lebih tegak atau lebih datar sehingga
hal tersebut menyebabkan tidak terjadinya trade off sama sekali.
Beberapa kritik ditujukan pada validitas formulasi NKPC yang menyatakan
bahwa inflasi hanya merupakan fenomena forward looking. Mengingat adanya
persistensi dari tekanan inflasi, alternatif dari rumusan tersebut adalah inflasi pada
dasarnya merupakan fenomena backward looking. Hal ini tercermin dari keterkaitan
yang erat antara inflasi saat ini dengan inflasi periode sebelumnya sebagaimana
dipaparkan oleh analisis Kurva Phillips versi tradisional. Berkaitan dengan kedua
fenomena tersebut, Gali dan Gertler (2000) dan Gali et al. (2005) mengajukan
model gabungan/hibrid (hybrid model) dari NKPC, yaitu model yang juga
memperhitungkan kemungkinan adanya fraksi tertentu dari perusahaan yang
menggunakan pola penyesuaian backward looking sebagai rule of thumb.
Berdasarkan hipotesis tersebut, NKPC dengan basis model hibrid dapat
dituliskan sebagai:
π t = γ b π t-1 + γ f Ε t {π t+1 } + λ mc t ’
............................................ (2.4)
atau dengan menggunakan variabel kesenjangan output sebagai driving force
variabel (Solikin, 2004) :
π t = γ b π t-1 + γ f Ε t {π t+1 } + κ (y t – y* t ) ...........................................
(2.5)
dengan γ b dan γ f masing-masing merupakan koefisien dekomposisi dari beberapa
parameter dalam permodelan, sekaligus mencerminkan perilaku backward looking
dan forward looking dari inflasi.
2.3.1 Output Potensial dan Kesenjangan Output
Output potensial sering diartikan sebagai level dari kegiatan ekonomi
ketika permintaan agregat dan penawaran agregat berada pada kondisi yang
konsisten dengan tingkat inflasi yang stabil, sementara kesenjangan output
17
adalah deviasi dari output aktual terhadap tingkat output potensial. Kedua
indikator tersebut kian menjadi fokus perhatian, karena kemudian sering
digunakan untuk menilai sampai sejauhmana efektivitas dari kebijakan makro
ekonomi. Konsep di atas sepertinya dekat dengan definisi yang diberikan oleh
Friedman (1968) dalam Gibbs (1995), yaitu tingkat output maksimum yang bisa
dihasilkan tanpa menimbulkan kenaikan inflasi.
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, Svensson (2000) dan Mukherjee
(2011) mendapatkan hasil bahwa kesenjangan output berpengaruh positif terhadap
inflasi. Artinya, makin besar kesenjangan antara output aktual dengan output
potensial maka selisih inflasi dengan inflasi potensial/targetnya juga semakin
besar, dengan kata lain inflasi makin tidak stabil.
2.3.2 Deviasi Ekspektasi Inflasi
Ekspektasi inflasi atau inflasi mendatang yang diprediksi oleh pelaku
ekonomi adalah salah satu unsur memegang peran penting dalam formulasi kurva
Phillips. Pada horizon waktu yang cukup panjang, hal ini secara tidak langsung
bisa mencerminkan kredibilitas dari pihak otoritas moneter terkait dengan
komitmennya dalam stabilisasi harga. Munculnya unsur ekspektasi inflasi sebagai
fenomena forward looking dalam kurva Phillips merupakan jawaban atas kritik
yang dilakukan oleh Lucas. Ide dasar dari ekspektasi inflasi tersebut adalah
hipotesis ekspektasi rasional, dengan setiap pelaku ekonomi dalam membentuk
ekspektasi secara optimal tergantung dari tingkat pemahamannya mengenai
kondisi ekonomi dan sejumlah informasi yang tersedia untuknya (Lucas (1972)
dalam Kiley (2009)).
Karena pengetahuan yang tidak sempurna (imperfect knowledge), maka
pemahaman setiap pelaku ekonomi terhadap kondisi ekonomi menjadi berbedabeda terkait ekspektasi inflasi (Orphanides dan Williams, 2003). Hal ini membuat
ekspektasi inflasi sangat dipengaruhi oleh kondisi dan latar belakang sosialdemografi dari setiap pelaku ekonomi. Hasil penelitian Blanchflower dan
MacCoille (2009) secara signifikan menunjukkan bahwa perbedaan kondisi
sosial-demografi dari pelaku ekonomi memengaruhi pembentukkan ekspektasi
inflasi.
18
Walsh (2009) dan Mukherjee (2011) membedakan antara ekspektasi
inflasi dengan inflasi potensial/target. Ekspektasi inflasi merupakan inflasi yang
diprediksi masyarakat, sedangkan inflasi potensial/target merupakan inflasi dalam
kondisi potensial atau yang ditargetkan oleh otoritas moneter. Walsh (2009) dan
Mukherjee (2011) menggunakan metode forward looking untuk mendapatkan
ekspektasi inflasi masyarakat (yaitu dengan me-rata-rata-kan inflasi dua periode
sebelumnya) dalam penelitiannya. Hasil yang diperoleh adalah deviasi ekspektasi
inflasi terhadap inflasi potensial/target berhubungan searah dengan selisih inflasi
dengan inflasi potensial/targetnya. Artinya, semakin besar deviasi ekspektasi
inflasi maka inflasi makin tidak stabil.
2.4 Model Keseimbangan AD-AS dalam Perekonomian Terbuka
Model keseimbangan AD–AS dibangun berdasarkan pendekatan dua buah
kurva, yaitu kurva permintaan agregat (aggregate demand, AD) dan kurva
penawaran agregat (aggregate supply, AS) yang mewakili terjadinya kondisi
keseimbangan serentak yang terjadi pada pada sisi permintaan dan sisi penawaran
(Blanchard, 2009).
2.4.1 Permintaan Agregat (AD)
Kurva permintaan agregat dapat diturunkan dari kurva IS–LM yang
berdasarkan model Keynesian, yaitu kondisi yang mewakili terjadinya
keseimbangan serentak yang terjadi pada pasar barang dan pasar uang. Kurva IS
adalah kurva yang mewakili kondisi keseimbangan pada pasar barang/jasa yang
dinyatakan dalam kombinasi hubungan antara output dan tingkat suku bunga
dengan total jumlah barang yang diproduksi sama dengan total jumlah barang/jasa
yang diminta. Secara ringkas persamaan untuk kurva IS dalam kondisi
perekonomian terbuka dari model Keynesian adalah (Blanchard, 2009):
Y = C(Yd) + I(Y,r) + G + NX(Y,Y*,e)
............................................ (2.6)
dengan Y adalah output, C adalah konsumsi masyarakat yang dipengaruhi oleh
pendapatan disposibel (Yd), I adalah investasi yang dipengaruhi oleh output (Y)
dan suku bunga riil (r), G adalah pengeluaran pemerintah, NX adalah ekspor netto
19
yang dipengaruhi oleh output (Y), output di luar negeri (Y*), dan nilai tukar riil
(e).
Kurva LM adalah kondisi yang mencerminkan keseimbangan di pasar
uang berdasarkan kombinasi hubungan antara tingkat suku bunga dan output
dengan permintaan uang (money demand) sama besar dengan penawaran uang
(money supply). Pendekatan Keynesian untuk kondisi real money balanced
tersebut dapat diringkas menjadi persamaan berikut (Blanchard, 2009):
M 
Y= f
,r
P 
............................................. (2.7)
Dengan Y adalah output yang dipengaruhi oleh jumlah uang beredar riil (M/P) dan
suku bunga riil (r).
Jika kemudian persamaan (2.6) dan persamaan (2.7) digabungkan, akan
diperoleh persamaan untuk permintaan agregat :
M

Y= f
, G, T , e 
 P

............................................. (2.8)
Persamaan (2.8) secara implisit memperlihatkan bagaimana jumlah uang beredar
riil (M/P), belanja pemerintah (G), pajak (T) dan nilai tukar riil (e) dapat
memengaruhi permintaan agregat.
2.4.2 Penawaran Agregat
Kurva penawaran agregat diturunkan dari price setting relation (PS) dan
wage setting relation (WS), dengan harga ditentukan oleh besarnya upah sebagai
input dalam kegiatan produksi dan mark up, sementara upah dipengaruhi oleh
ekspektasi harga ke depan dan tingkat pengangguran (Blanchard, 2009):
PS
: P =(1+µ)W
WS : W = Pe F(u, z)
............................................. (2.9)
............................................. (2.10)
dengan P adalah tingkat harga, Pe adalah ekspektasi harga, W adalah upah
nominal, µ adalah mark up, u adalah tingkat pengangguran, dan z adalah variabel
lainnya.
20
Melalui proses eleminasi terhadap variabel upah nominal (W), persamaan
(2.10) kemudian dapat dimasukkan ke persamaan (2.9), sehingga akan diperoleh
persamaan untuk penawaran agregat,
P = Pe ( 1 + µ ) F(u, z)
............................................ (2.11)
Jika tingkat pengangguran (u) kemudian digantikan dengan dengan output (Y) per
angkatan kerja (L), sehingga ; u = 1 −
Y
L
maka persamaan (2.11) dapat dituliskan
dalam bentuk:
Y 

P = P e (1 + u ) F  1 − , z 
L 

............................................ (2.12)
Berdasarkan persamaan (2.12), secara eksplisit dapat dilihat, beberapa
variabel yang dapat memengaruhi tingkat harga adalah ekspektasi harga, mark up
dan output.
2.5 Kaitan Keterbukaan Ekonomi dengan Inflasi
2.5.1 Keterbukaan Perdagangan
Teori perdagangan internasional menyatakan bahwa dengan adanya
kelimpahan sumber daya, setiap wilayah yang memiliki keunggulan komparatif
akan melakukan spesialisasi guna memproduksi komoditi yang harganya relatif
murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional.
Kondisi sebaliknya, apabila terjadi keterbatasan sumber daya,
melalui
perdagangan interregional dan pasar internasional, kebutuhan akan komoditi yang
diinginkan dengan harga yang relatif murah, mengingat adanya keunggulan
komparatif dari wilayah atau negara lain, dapat dipenuhi melalui kegiatan impor.
Oleh
karenanya,
kegiatan
ekspor-impor
dianggap
dapat
meningkatkan
kesejahteraan penduduk suatu wilayah atau negara karena konsumen akan
mendapatkan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, terkait
dengan adanya spesialisasi antar wilayah atau negara (Salvatore, 1997).
Integrasi ekonomi kawasan melalui pembentukan blok perdagangan bebas
regional memiliki implikasi terhadap kesejahteraan negara-negara anggota, yaitu:
efek positif berupa kreasi perdagangan (trade creation) dan efek negatif karena
21
diversi perdagangan (trade diversion). Perubahan tingkat kesejahteraan tersebut
ditentukan oleh seberapa besar terjadinya kreasi dan diversi perdagangan. Apabila
kreasi lebih besar dari diversi perdagangan, maka kesejahteraan meningkat dan
sebaliknya. Kreasi perdagangan adalah keadaan dimana sebuah perjanjian
perdagangan
bebas
(Free Trade Agreement,
FTA)
dapat
menciptakan
perdagangan di antara anggota yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan
adanya kreasi perdagangan, sebuah negara anggota FTA akan memperoleh
barang-barang yang diproduksi secara lebih efisien dari negara anggota FTA
lainnya (Krugman dan Obstfeld, 2005).
Berdasarkan teori perdagangan internasional tersebut, seharusnya dengan
semakin besar kapasitas perdagangan internasional akan menurunkan harga
barang/jasa kebutuhan konsumen sehingga secara tidak langsung hubungan antara
tingkat keterbukaan perdagangan (trade openness) dengan inflasi diprediksi akan
berbanding terbalik atau memiliki hubungan negatif.
Sementara itu, berdasarkan model keseimbangan AD-AS, pengaruh
keterbukaan perdagangan bisa positif atau negatif terhadap harga. Jika ekspor
lebih besar daripada impor (atau net ekspor positif) maka permintaan aggregat
akan meningkat yang diikuti dengan peningkatan harga. Sebaliknya, jika ekspor
lebih rendah daripada impor (atau net ekspor negatif) maka permintaan aggregat
akan menurun yang diikuti dengan penurunan harga.
Terkait dengan prediksi dari teori perdagangan standar tersebut, Romer
(1993) memberikan bukti empiris dari 114 negara pada periode tahun 1973-1988
dengan menggunakan regresi data panel yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan negatif antara tingkat keterbukaan perdagangan (dalam hal ini rasio
impor terhadap PDB) dengan inflasi. Romer menemukan bahwa rata-rata tingkat
inflasi yang lebih rendah terjadi pada negara dengan perekonomian lebih terbuka.
Penelitian ini dilanjutkan oleh Lane (1997) dengan menambahkan masalah
independensi dari bank sentral terkait dengan hubungan antara keterbukaan dan
inflasi. Kondisi di negara-negara dengan bank sentral yang lebih independen,
adalah bank sentral akan melaksanakan tugasnya dengan kredibilitas sehingga
seharusnya tidak akan ada hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan
dengan inflasi. Sebaliknya, pada negara-negara dengan kondisi otoritas moneter
22
yang tidak independen, keterbukaan akan berperan untuk mengurangi insentif
pemerintah dalam memicu terjadinya inflasi.
Hubungan negatif keterbukaan perdagangan dengan inflasi kembali
dikuatkan oleh Bowdler dan Nunziata (2006). Bowdler dan Nunziata meneliti 19
negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada
periode tahun 1961-1993 dengan metode regresi probit dan menyatakan bahwa
keterbukaan perdagangan memberikan peluang negatif terjadinya inflasi. Artinya,
semakin terbuka maka inflasi berpeluang makin rendah.
Bowdler and Malik (2006) dalam Subekti (2011) menyatakan bahwa ada 2
jalur mengenai bagaimana keterbukaan dalam perdagangan internasional dapat
berpengaruh terhadap volatilitas inflasi. Pertama, keterbukaan memengaruhi biaya
terkait dengan volatilitas inflasi, yaitu dengan menciptakan insentif bagi
pemerintah dan bank sentral untuk mengimplementasikan kebijakan yang akan
memberikan implikasi yang berbeda-beda terhadap tingkat volatilitas. Mekanisme
pada jalur ini cukup rumit karena harus melihat faktor apa yang mendorong
terjadinya peningkatan keterbukaan perdagangan, apakah didorong oleh kemajuan
teknologi sehingga menyebabkan penurunan harga atau berasal dari penurunan
tarif impor yang akan menimbulkan terjadinya diskresi dalam kebijakan moneter
dan akan membuat inflasi menjadi lebih volatile. Berdasarkan beberapa penelitian
berikutnya, Bowdler and Malik (2006) dalam Subekti (2011) kemudian
menyimpulkan bahwa stabilitas kebijakan moneter memegang peranan penting
dalam menentukan tingkat volatilitas inflasi. Kedua, keterbukaan perdagangan
akan memengaruhi struktur konsumsi dan produksi. Melalui diversifikasi
konsumsi akan menyebabkan terjadinya cancel out dalam agregasi indeks harga.
Sesungguhnya jalur ini mengacu pada teori perdagangan standar seperti telah
dijelaskan sebelumnya, yaitu akibat spesialisasi produksi dan diversifikasi
konsumsi akan menurunkan volatilitas inflasi.
Benigno and Faia (2010) dalam Subekti (2011) mencoba menjelaskan
bagaimana globalisasi dapat memengaruhi dinamika inflasi di dalam negeri.
Dalam papernya, mereka berfokus pada bagaimana mekanisme transmisi dari
globalisasi terhadap inflasi. Jalur pertama adalah melalui pass-through dari
kombinasi antara nilai tukar nominal dan biaya marginal dari luar negeri melalui
23
barang-barang impor, baik barang-barang untuk kebutuhan konsumsi akhir atau
yang tergolong sebagai input antara, sehingga akan memberikan pengaruh
terhadap tingkat kompetisi produk dalam dan luar negeri. Jalur kedua adalah
melalui pengaruh secara tidak langsung yang akan menimbulkan dampak pada
strategi harga dari perusahaan domestik dalam menjual produknya untuk pasar
internal. Akibatnya, perusahaan domestik dan luar negeri akan berkompetisi untuk
meningkatkan market share dari produk mereka melalui strategi penentuan harga.
Hasil penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa derajat pass-through
akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk asing ke pasar domestik.
Lebih
lanjut,
tingkat
ketergantungan
dari
perusahaan
domestik
yang
menggunakan komponen impor dalam melancarkan strategi penentuan harga juga
meningkat bila kemudian terjadi peningkatan derajat kompetisi dengan
perusahaan asing.
Berdasarkan beberapa kajian teoritis dan penelitian empiris yang telah
disampaikan, pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi cukup sulit
diketahui karena terkait erat dengan perilaku dari pembuat kebijakan dan struktur
perekonomian dari suatu wilayah, terlepas berbagai kemungkinan mekanisme
transmisi yang akan terjadi. Oleh karenanya, untuk melihat seberapa jauh
pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi atau tingkat volatilitas
inflasi akan lebih bijaksana bila melibatkan beberapa faktor lainnya seperti
kondisi spesifik dari suatu negara dan kondisi global.
Mukherjee
(2011)
meneliti
pengaruh
keterbukaan
perdagangan,
keterbukaan finansial, kesenjangan output, dan nilai tukar terhadap inflasi pada
delapan negara ITF sejak negara tersebut mengadopsi ITF sampai tahun 2008
dengan menggunakan regresi data panel dinamis. Hasilnya adalah keterbukaan
perdagangan berhubungan terbalik dengan inflasi. Artinya, makin terbuka
perdagangan suatu negara maka inflasinya akan makin stabil. Keterbukaan
perdagangan dicerminkan oleh rasio nilai ekspor dan impor terhadap PDB atas
dasar harga berlaku. Ukuran ini juga digunakan oleh Badinger (2009) dalam
penelitiannya menggantikan rasio impor terhadap PDB yang digunakan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya, seperti: Romer (1993), Lane (1997), Bowdler dan
Nunziata (2006), dan Wu dan Lin (2008).
24
2.5.2 Keterbukaan Finansial
Model pertumbuhan Harrod-Domar (Harrod-Domar growth model)
merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak
diaplikasikan pada negara-negara sedang berkembang (Todaro dan Smith, 2006).
Harrod-Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda yang
dimainkan oleh investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi
memengaruhi permintaan agregat melalui proses pengganda investasi (investment
multiplier) dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang
akan menambah stok kapital serta meningkatkan kapasitas produksi sehingga
berpengaruh pula pada penawaran agregat. Harrod-Domar menjawab tingkat
investasi yang diperlukan agar kenaikan permintaan agregat sama dengan
kapasitas produksinya sehingga pemanfaatan kapasitas secara penuh dapat
dipertahankan.
Dengan demikian, keterbukaan finansial diharapkan akan semakin
menambah investasi dan modal yang akan meningkatkan produksi, sehingga
harga barang-barang akan menjadi murah. Jadi, akan ada hubungan negatif antara
keterbukaan finansial dengan perubahan harga.
Tidak banyak penelitian yang mengkaji keterbukaan finansial dengan
inflasi. Badinger (2009) dan Mukherjee (2011) adalah dua peneliti yang meneliti
hal ini. Badinger (2009) meneliti hubungan antara keterbukaan perdagangan dan
keterbukaan finansial, yang diukur dengan rasio asset dan liability asing terhadap
PDB, dengan inflasi di 91 negara pada periode tahun 1985-2004 dengan
menggunakan regresi data panel. Hasil yang diperoleh adalah keterbukaan
perdagangan dan keuangan yang lebih tinggi mengurangi bias inflasi bank sentral
dengan menghasilkan inflasi rata-rata lebih rendah. Sementara itu, Mukherjee
(2011) memperoleh hasil bahwa keterbukaan pasar modal yang terbatas
meningkatkan ERPT terhadap inflasi domestik. Ini kemudian memperburuk trade
off output-inflasi dan meningkatkan kerugian sosial dari penargetan inflasi bank
sentral. Artinya, keterbukaan ekonomi akan menurunkan inflasi.
Reinhardt et al. (2010) menunjukkan bahwa variabel yang signifikan
dalam mengukur keterbukaan finansial adalah netinflow dari Foreign Direct
Investment (FDI) dan investasi portfolio equity (PE). Hal ini diperkuat dengan
25
pernyataan Baltagi et al. (2008) yang menyatakan bahwa kedua variabel tersebut
merupakan ukuran yang sebenarnya (de facto) dari keterbukaan finansial.
2.6 Kaitan Nilai Tukar dengan Inflasi
Nilai Tukar (Exchange Rate) didefinisikan sebagai harga satuan mata uang
dalam negeri (domestic currency) terhadap mata uang luar negeri (Krugman dan
Obstfelt, 2005). Dalam kenyataannya nilai dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:
nilai tukar nominal, nilai tukar riil, nilai tukar efektif nominal, dan nilai tukar
efektif riil.
Nilai tukar nominal (Nominal Exchange Rate, NER) adalah harga relatif
dari mata uang dua negara. Biasanya NER disebut juga nilai tukar bilateral karena
hanya membandingkan nilai mata uang dua negara. Sebagai contoh jika kurs
nominal antara Indonesia dengan Amerika sebesar Rp10.000/$ maka artinya
untuk memperoleh satu Dollar Amerika Serikat (US$1) harus ditukarkan dengan
uang sebesar Rp10.000.
Nilai tukar riil (Real Exchange Rate, RER) adalah milai mata uang setelah
mengeluarkan pengaruh harga. RER dirumuskan sebagai berikut:
RER = NER x IHK* / IHK .................................................................. (2.13)
dimana RER adalah nilai tukar riil, NER adalah nilai tukar nominal per satu mata
uang asing, IHK* adalah IHK di luar negeri, dan IHK adalah IHK di dalam negeri.
Nilai tukar efektif nominal (Nominal Efective Exchange Rate, NEER)
adalah nilai tukar nominal tertimbang, dengan penimbang adalah volume
perdagangan.
NEER = NER 1 x w1 + NER 2 x w2 + ... + NER n x wn ....................... (2.14)
Dengan NEER adalah nilai tukar efektif nominal, NER 1 adalah nilai tukar nominal
terhadap negara 1, NER 2 adalah nilai tukar nominal terhadap negara 2, dan NER n
adalah nilai tukar nominal terhadap negara n, sedangkan w1 , w2 , wn masingmasing adalah proporsi perdagangan terhadap negara 1, 2, dan n.
Nilai tukar efektif riil (Real Efective Exchange Rate, REER) adalah nilai
tukar nominal tertimbang, dengan penimbang adalah volume perdagangan setelah
mengeluarkan pengaruh harga.
REER = NEER x IHK* / IHK ........................................................... (2.15)
26
dimana REER adalah nilai tukar efektif riil, NEER adalah nilai tukar efektif
nominal, IHK* adalah IHK di luar negeri, dan IHK adalah IHK di dalam negeri.
Hubungan antara nilai tukar dengan inflasi dijelaskan dalam model
Mundell-Flemming. Jika nilai tukar riil terdepresiasi maka inflasi akan bergerak
naik, dan sebaliknya jika nilai tukar riil mengalami apresiasi maka inflasi akan
turun (Blanchard, 2009). Svensson (2000) dan Mukherjee (2011) membuktikan
hal tersebut.
2.7 Pemilihan Metode Analisis
2.7.1 Metode Estimasi Inflasi Potensial dan PDB Potensial
Salah satu metode yang sering digunakan untuk mengestimasi inflasi
potensial dan output potensial adalah metode Hodrick–Prescott (HP) filter.
Walapun banyak mendapat kritik, namun jika dibandingkan metode univariate
detrending lainnya seperti Beveridge−Nelson decomposition, metode ini
menghasilkan dugaan yang unique (Enders, 2004). Hal ini disebabkan oleh
ketergantungan dari model Autoregresive Integrated Moving-Average (ARIMA)
(p,1,q) yang sesuai dengan kondisi data, sementara masalah kesesuaian pada
model ARIMA sendiri cenderung bersifat subjektif.
Metode alternatif yang bisa digunakan untuk mengukur output potensial
adalah metode Band Pass (BP) filter. Pendekatan ini berusaha untuk
mengestimasi komponen siklus secara langsung agar mendekati BP filter yang
ideal, sehingga berada di antara selang low band dan high band. Terdapat dua
pendekatan dalam metode ini, yaitu metode BP Baxter−King dan metode BP
Christiano−Fitzgerald. Keduanya berusaha untuk meminimumkan deviasi antara
respon frekuensi dari filter yang ideal dengan estimasi dari respon frekuensi dari
estimasinya, hanya saja untuk BP Christiano−Fitzgerald menggunakan penimbang
berupa densitas spektral dari data runtun waktu yang akan dilakukan detrended
(Ladiray et al., 2003).
Merujuk pada hasil penelitian dari Justiniano and Primiceri (2008) dalam
Subekti (2011), output potensial seharusnya terlihat cukup halus karena tidak
27
menunjukkan adanya guncangan yang bersifat sesaat dari tren output dalam
jangka panjang.
Wimanda et al. (2011) dan Subekti (2011) membandingkan hasil estimasi
output potensial di Indonesia berdasarkan metode HP filter dan metode (BP) filter
ala Christiano−Fitzgerald dimana HP filter memberikan estimasi yang lebih halus.
Penggunaan HP Filter untuk estimasi output potensial juga dilakukan oleh Walsh
(2009) dan Mukherjee (2011). Pada sisi lain, Mishkin dan Schmidt-Hebbel (2007)
juga menggunakan metode HP Filter untuk mengestimasi inflasi potensial.
Berdasarkan penelitian tersebut, maka estimasi output potensial dan inflasi
potensial dalam penelitian ini akan menggunakan metode HP filter.
2.7.2 Metode Regresi
Beberapa metode yang pernah digunakan dalam menganalisis hubungan
antara keterbukaan dengan inflasi. Romer (1993), Lane (1997), Temple (2002),
Wu dan Lin (2006), Walsh (2009), Badinger (2009), dan Mukherjee (2011)
menggunakan regresi data panel. Bowdler dan Nunziata (2006) menggunakan
regresi probit. Svensson (2000) menggunakan Vector Autoregresion (VAR).
Berdasarkan kondisi data yang digunakan, maka metode regresi yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data panel. Baltagi (2005)
menyatakan bahwa keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis
ekonometrik, adalah: (i) Mampu mengontrol heterogenitas individu; (ii)
Memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan masalah
kolinieritas (collinearity), meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien;
(iii) Lebih baik dalam studi dynamics of adjustment; (iv) Lebih baik dalam
mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi oleh data cross
section atau time series murni; dan (v) Dapat digunakan untuk mengonstruksi dan
menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cross section
atau time series murni.
Kendati demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan
dan keterbatasan dalam penggunaannya, khususnya apabila data panel
dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara
lain: (i) Relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section
28
dan time series menimbulkan masalah desain survei, pengumpulan dan
manajemen data, di antaranya coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat
responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) Distorsi kesalahan
pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan
respon, seperti pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lainlain; (iii) Masalah selektivitas, yakni selfselectivity, nonresponse, attrition (jumlah
responden yang terus berkurang pada survei lanjutan); dan (iv) Cross section
dependence yang dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat
(missleading inference).
Lebih lanjut, dengan mensinyalir adanya hubungan dinamis antara
stabilitas inflasi, artinya stabilitas inflasi periode sebelumnya mempengaruhi
stabilitas inflasi saat ini, maka penelitian ini akan menggunakan metode regresi
data panel dinamis Generalized Method of Moments (GMM). Arrellano dan Bond
(1991) dalam Baltagi (2005) menyarankan suatu pendekatan GMM ketika pada
suatu persamaan terdapat lag variabel dependen pada variabel regresor.
Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, yaitu: (i) GMM merupakan common
estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan
dan penilaian; dan (ii) GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap
estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood. Namun demikian,
penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan
metode ini, yaitu: (i) penduga GMM adalah asymptotically efficient dalam ukuran
contoh besar, tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan
(ii) penduga ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman
sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi
pendekatan GMM.
2.8 Penelitian Terdahulu
Penelitian empiris mengenai keterkaitan keterbukaan ekonomi dengan
inflasi atau stabilitas inflasi mulai dilakukan sejak tahun 1993 oleh Romer. Romer
(1993) meneliti hubungan antara keterbukaan dengan inflasi. Keterbukaan yang
dimaksudkan tersebut adalah keterbukaan perdagangan dengan indikator
persentase impor terhadap PDB. Penelitian yang dilakukan terhadap 114 negara
29
dengan data tahunan antara 1973-1990 dengan metode data panel tersebut
mendapatkan hasil bahwa ada hubungan negatif antara keterbukaan perdagangan
dengan inflasi.
Penelitian Romer tersebut dilanjutkan oleh Lane dengan menambahkan
variabel independensi bank sentral. Lane (1997) memperoleh hasil yang sama
seperti Romer dengan tambahan bahwa negara dengan ekonomi lebih terbuka
akan cenderung menggunakan fixed exchange rate. Dalam penelitiannya,
keterbukaan perdagangan diindikatorkan dengan rasio impor terhadap PDB.
Svensson (2000) mengkaji penargetan inflasi pada Small Open Economy
(SOE) dengan membandingkan strict dan fleksibel targeting, fungsi reaksi
inflation targeting, dan Taylor rule di Amerika Serikat. Dengan menggunakan
metode VAR diperoleh hasil bahwa ekspektasi inflasi, kesenjangan output, dan
nilai tukar riil berdampak positif terhadap inflasi.
Bowdler dan Nunziata (2006) meneliti peluang terjadinya inflasi di 19
negara OECD. Dengan menggunakan regresi probit antara tahun 1961-1993,
mereka mendapatkan hasil bahwa keterbukaan memberikan peluang negatif.
Artinya, semakin terbuka suatu negara maka inflasi berpeluang lebih rendah.
Indikator keterbukaan yang digunakan adalah rasio impor terhadap PDB.
Lebih lanjut, Temple (2002) melakukan pengkajian mengenai hubungan
antara keterbukaan perdagangan dan trade off output-inflasi pada 19 negara antara
pertengahan tahun 60-an sampai 80-an. Dengan menggunakan metode data panel,
Temple (2002) menyatakan bahwa hubungan negatif antara keterbukaan
perdagangan dengan inflasi yang dikemukakan oleh Romer tidak kuat. Selain itu,
dinyatakan juga bahwa inflasi relatif mahal dalam ekonomi yang lebih terbuka
karena inflasi terkait dengan nilai tukar.
Wu dan Lin (2006) menyatakan bahwa hubungan keterbukaan dengan
inflasi berbeda di setiap negara, ada yang positif dan ada yang negatif. Wu dan
Lin tersebut melakukan penelitiannya terhadap sebelas negara (Asian 4 dan G7)
dengan menggunakan dua metode, yaitu data panel dan VAR. Indikator
keterbukaan yang digunakan masih menggunakan rasio impor terhadap PDB.
Badinger (2009), yang meneliti hubungan antara keterbukaan perdagangan
dan keuangan terhadap Inflasi dan trade off output-inflasi, menyatakan bahwa
30
keterbukaan perdagangan dan keuangan yang lebih tinggi mengurangi bias inflasi
bank sentral dengan menghasilkan inflasi rata-rata lebih rendah. Akan tetapi,
untuk subsampel OECD tidak ditemukan efek keterbukaan pada inflasi. Indikator
keterbukaan perdagangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio ekspor
dan impor terhadap PDB, sedangkan keterbukaan finansial yang digunakan adalah
rasio asset dan liability asing terhadap PDB.
Penelitian mengenai stabilitas inflasi dilakukan oleh Mishkin dan
Schmidt-Hebbel (2007). Mereka meneliti pengaruh kesenjangan output, nilai
tukar nominal, dan perbedaan suku bunga terhadap stabilitas inflasi di 21 negara
ITF dan 13 negara non-ITF. Dengan menggunakan data triwulanan antara tahun
1989:1 sampai 2004:4 dipeoleh hasil bahwa inflation targeting membantu negaranegara mencapai inflasi yang rendah. Dalam penelitian tersebut, inflasi potensial
di negara ITF diasumsikan sama dengan target inflasi.
Selanjutnya, dengan menggunakan data 25 negara (maju dan berkembang)
antara tahun 1962 sampai 2007, Walsh (2009) menyatakan bahwa ITF dan nonITF memberikan hasil yang sama di negara maju, sedangkan di negara
berkembang ITF memberikan kinerja makroekonomi yang lebih baik, inflasi lebih
rendah, dan ekonomi riil yang lebih stabil. Penelitian ini menggunakan metode
data panel dengan membagi periode sebelum dan sesudah penerapan ITF juga
dengan mengklasifikasikan negara ITF dan non-ITF. Variabel yang digunakan
adalah target inflasi, ekspektasi inflasi, dan kesenjangan output. Ekspektasi inflasi
dihitung dengan merata-ratakan inflasi dua periode sebelumnya.
Dengan meneliti dampak keterbukaan pasar modal terhadap ERPT pada
inflasi dan implikasinya terhadap trade off output-inflasi dan fungsi kerugian
sosial di delapan negara ITF, Mukherjee (2011) menyatakan bahwa deviasi
ekspektasi inflasi dengan target inflasi, kesenjangan output, dan nilai tukar riil
berpengaruh positif terhadap selisih inflasi dengan target inflasi sedangkan
keterbukaan perdagangan dan finansial berhubungan negatif. Artinya, makin
terbuka perdagangan dan finansial suatu negara maka selisih inflasi aktual dengan
target inflasinya semakin kecil. Hasil ini diperoleh menggunakan metode data
panel dengan data sejak diberlakukannya ITF sampai tahun 2008. Indikator
keterbukaan perdagangan yang digunakan adalah rasio ekspor dan impor terhadap
31
PDB, sedangkan indikator keterbukaan finansial yang digunakan adalah indeks
Chin-Ito. Sementara itu, ekspektasi inflasi yang digunakan adalah rata-rata inflasi
dua periode sebelumnya.
Indikator yang digunakan dalam mengukur keterbukaan finansial cukup
beragam. Reinhardt et al. (2010) menunjukkan bahwa, diantara ukuran-ukuran
yang diujikan, FDI dan portfolio equity merupakan ukuran yang signifikan
terhadap keterbukaan finansial. Penelitian tersebut menggunakan metode data
panel terhadap 106 negara dengan periode waktu 1982-2006.
Selengkapnya mengenai penelitian terdahulu disajikan pada Lampiran 16.
2.9 Kerangka Pemikiran
Keterbukaan ekonomi, baik perdagangan dan finansial, yang diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pada prinsipnya memang tidak
hanya berpengaruh terhadap output, tetapi juga harga. Hal ini terjadi karena
adanya konsekuensi (trade off) antara output dan inflasi.
Pada sisi lain, ada suatu kebijakan otoritas moneter yang bertujuan
menstabilkan perubahan harga, yaitu: Inflation Targeting Framework (ITF).
Beberapa negara ASEAN+6 mengadopsi kebijakan ITF untuk menstabilkan
perubahan harga di negaranya. Stabilitas inflasi ini penting dilakukan terkait
dengan ekspektasi baik masyarakat maupun pemerintah. Inflasi yang berfluktuasi
akan menyusahkan masyarakat dan pemerintah dalam program perencanaan. ola
inflasi negara-negara ASEAN+6 menunjukkan hal yang berbeda-beda. Negara
pengadopsi ITF ternyata tidak selamanya memiliki inflasi yang relatif stabil
dibandingkan negara yang tidak mengadopsi ITF (non-ITF).
Untuk itu, menarik untuk dilihat bagaimana dampak dari keterbukaan
ekonomi terhadap stabilitas inflasi baik di negara ITF maupun non-ITF. Selain
keterbukaan ekonomi, penelitian ini juga melihat dampak dari variabel lain, yaitu:
stabilitas inflasi sebelumnya, deviasi ekspektasi inflasi, dan kesenjangan output
(seperti yang dinyatakan dalam NKPC hybrid) serta nilai tukar riil (seperti yang
dinyatakan dalam Model Mundell-Flemming).
Untuk lebih jelas, kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat di
Gambar 4.
32
Gambar 4 Kerangka Pemikiran
2.10 Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini, ada beberapa hipotesis terkait dengan dampak
keterbukaan ekonomi terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ASEAN+6,
yaitu:
1) Keterbukaan perdagangan berpengaruh negatif terhadap stabilitas inflasi.
Artinya, makin terbuka perdagangan maka perbedaan inflasi aktual dengan
inflasi potensial/target makin kecil.
2) Keterbukaan finansial berpengaruh negatif terhadap stabilitas inflasi. Artinya,
makin terbuka finansial maka perbedaan inflasi aktual dengan inflasi
potensial/target makin kecil.
3) Kesenjangan output berpengaruh positif terhadap stabilitas inflasi. Artinya
makin besar kesenjangan output maka perbedaan inflasi aktual dengan inflasi
potensial/target makin besar.
4) Depresiasi nilai tukar riil berpengaruh positif terhadap stabilitas inflasi.
Artinya, makin terdepresiasi nilai tukar riil maka perbedaan inflasi aktual
dengan inflasi potensial/target makin besar.
33
5) Deviasi ekspektasi inflasi berpengaruh positif terhadap stabilitas inflasi.
Artinya makin besar deviasi ekspektasi inflasi dengan inflasi potensial/target
maka perbedaan inflasi aktual dengan inflasi potensial/target makin besar.
34
Halaman ini sengaja dikosongkan
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder
dalam bentuk panel data yaitu gabungan antara data time series tahunan periode
tahun 2001 sampai 2010 dan data cross-section negara-negara ASEAN+6 yang
bersumber dari World Bank (World Development Indicators, WDI) dan bank
sentral negara terkait. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: inflasi,
target inflasi, PDB, ekspor, impor, nilai tukar, IHK, FDI, dan portfolio equity.
Selengkapnya mengenai data-data yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dilihat di Tabel 3.
Tabel 3 Data-data yang Digunakan dalam Penelitian
No. Data
(1)
Keterangan
(2)
(3)
Satuan
Sumber
(4)
(5)
1. Inflasi
Perubahan indeks harga
konsumen (IHK)
Persen
WDI
2. Target inflasi
Angka inflasi yang
ditargetkan atau diasumsikan
di awal tahun
Persen
Bank sentral
setiap negara
3. PDB Riil
PDB atas dasar harga
konstan 2000
Milyar US$
WDI
4. PDB
PDB atas dasar harga berlaku
Milyar US$
WDI
5. Ekspor
Nilai Ekspor FOB
Milyar US$
WDI
6. Impor
Nilai Impor CIF
Milyar US$
WDI
7. Nilai tukar
Nilai tukar nominal
Per US$
WDI
8. IHK
IHK tahun dasar 2005
Persen
WDI
9. IHK Luar Negeri
IHK Amerika Serikat tahun
dasar 2005
Persen
WDI
10. FDI
Netinflow
Milyar US$
WDI
11. Portfolio equity
Netinflow
Milyar US$
WDI
36
3.2 Metode Analisis
3.2.1 Analisis Eksploratif
Analisis eksploratif adalah suatu analisis dalam meneliti sekelompok
objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada
masa sekarang. Tujuan dilakukannya analisis ini adalah membuat suatu deskriptif,
gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat
serta hubungan antar fenomena yang terjadi (Nazir, 1999).
Bentuk analisis eksploratif dalam penelitian ini adalah melakukan kajian
terhadap keterkaitan antara stabilitas inflasi dengan variabel-variabel lain, yaitu:
keterbukaan perdagangan, keterbukaan finansial, kesenjangan output, nilai tukar
riil, dan deviasi ekspektasi inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada periode tahun
2001-2010.
3.2.2 Metode Hodrick-Presscott Filter
Metode
Hodrick-Presscott
(HP)
Filter
digunakan
untuk
melihat
kecenderungan (tren) dari output dalam jangka panjang. Metode HP Filter
berusaha untuk mendekomposisikan series data menjadi trend (µ t ) dan komponen
stasioner y t - µ t . Jika didefinisikan jumlah kuadrat sebagai berikut:
SS =
λ
1 T
∑ ( yt − µ t ) 2 + T
T t =1
T −1
∑ [(µ
t =2
t +1
− µ t ) ( µ t − µ t −1 )]2
................... ......(3.1)
dengan λ adalah sebuah konstanta, µ adalah rata-rata, dan T adalah jumlah
observasi yang digunakan.
Permasalahan dalam penggunaan metode HP Filter adalah bagaimana
menentukan suatu deret dari µ t sehingga meminimumkan jumlah kuadrat (SS).
Terkait dengan permasalahan minimisasi, λ adalah suatu sembarang konstanta
yang mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana menurunkan
fluktuasi menjadi tren. Tarik ulur dalam menentukan besar λ akan berimplikasi
pada hasil dekomposisi, akan menjadi tren yang halus atau bahkan akan menjadi
konstanta (Enders, 2004).
Merujuk pada Hodrick–Prescot (1980) dalam Ladiray et al. (2003), nilai λ
dibedakan menurut periode data, yaitu untuk data tahunan menggunakan λ = 100,
37
sedangkan pada data triwulanan λ ditetapkan sebesar 1.600, sementara untuk data
bulanan besarnya λ adalah 144.000.
3.2.3 Metode Regresi Data Panel
Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang dan waktu, yang
merupakan gabungan antara data silang (cross section) dengan data runtut waktu
(time series). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series
yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah
observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
3.2.3.1 Regresi Data Panel Statis
Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit
cross section yang sama, yang memiliki karakteristik di mana N > 1 dan T > 1.
Misalkan y it merupakan nilai variabel dependen untuk unit cross section ke-i pada
waktu ke-t dengan i = 1, 2,…, N dan t = 1, 2,…,T. Misalkan terdapat K variabel
penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2,…,K serta dinotasikan sebagai
𝑗
𝑋𝑖𝑡 , yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada waktu ke-t.
Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan
menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:
1
𝑋
𝑦𝑖1
⎡ 𝑖1
1
𝑦𝑖2
𝑦𝑖 = � �; 𝑋𝑖 = ⎢𝑋𝑖2
⋮
⎢ ⋮
𝑦𝑖𝑇
1
⎣𝑋𝑖𝑇
2
𝑋𝑖1
⋯
2
𝑋𝑖2 ⋯
⋮ ⋱
2
𝑋𝑖𝑇
⋯
𝐾
𝑋𝑖1
𝜀𝑖1
⎤
𝐾
𝑋𝑖2 ⎥; 𝜀 = � 𝜀𝑖2 � ...............................(3.2)
𝑖
⋮
⋮ ⎥
𝜀𝑖𝑇
𝐾
𝑋𝑖𝑇 ⎦
dengan 𝜀𝑖𝑡 menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t.
Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut:
𝑦1
𝑋1
𝜀1
𝑦2
𝜀2
𝑋2
𝑦 = � ⋮ �; 𝑋 = � �; 𝜀 = � ⋮ �
⋮
𝑦𝑁
𝜀𝑁
𝑋𝑁
...........................................................(3.3)
dengan y adalah matriks berukuran NTx1, X adalah matriks berukuran NTxK, dan
ε adalah matriks berukuran NTx1. Model standar data panel linier dapat
diekspresikan sebagai berikut:
y = X 'β + ε
.............................................................................................(3.4)
38
dengan β adalah matriks berukuran NT x 1 yang diekspresikan sebagai,
𝛽1
𝛽
𝛽 = � 2�
⋮
𝛽𝑁
.............................................................................................(3.5)
Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk mengestimasi
parameter model data panel statis. Metode sederhana yang sering digunakan
adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya
digunakan pada model cross section dan time series murni. Akibat memiliki
jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series
murni, maka regresi yang dihasilkan ketika data digabungkan menjadi pooled
data cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross
section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data maka
variasi atau perbedaan, baik antara individu dan waktu, tidak dapat terlihat. Hal
ini tentunya kurang sesuai dengan tujuan dari digunakannya data panel. Lebih
jauh lagi, dalam beberapa kasus penduga yang dihasilkan melalui least square
dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya
digunakan dalam pemodelan data panel, yaitu metode efek tetap (fixed effects
model) dan metode efek random (random effects model). Persamaan berikut:
y = 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝜀𝑖𝑡
...…..............................................................................(3.6)
dengan gangguan acak diasumsikan mengikuti one-way error component model
sebagai berikut:
𝜀𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡
......................................................................................(3.7)
dan diasumsikan bahwa u it merupakan gangguan acak yang tidak berkorelasi
dengan X it , sedangkan α i disebut sebagai efek individual (time invariant person
specific effect).
Fixed Effects Model (FEM)
Beberapa aplikasi empiris data panel umumnya melibatkan satu di antara
asumsi mengenai efek individual. Bila α i (efek individu) pada Persamaan (3.7)
diperlakukan sebagai parameter tetap, namun bervariasi antar i = 1,2,…, N , maka
model ini disebut sebagai fixed effects model (FEM). Model efek tetap umumnya
39
digunakan ketika terdapat korelasi antara intersep individual dan variabel
independen, dan/atau ketika N relatif kecil dan T relatif besar. Secara umum
model ini dapat diekspresikan sebagai,
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 ........................................................................(3.8)
dengan asumsi bahwa u it ~ iid (0,σ2u ). Penduga dari model ini mampu
menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual),
karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep α pada setiap i.
Penduga dari model ini ditentukan sebagaimana penduga least square dalam
regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Menurut Verbeek
(2000), dugaan untuk paremeter β dengan menggunakan FEM dapat
diformulasikan sebagai,
𝑁
𝑇
−1 (∑𝑁 ∑𝑇 (
�
�
𝛽�
�𝑖 ) ...(3.9)
𝐹𝐸 = (∑𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖 )′ )
𝑖=1 𝑡=1 𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖 )(𝑦𝑖𝑡 − 𝑦
sedangkan estimasi untuk intersep α dituliskan sebagai,
𝛼�𝑖 = 𝑦�𝑖 − 𝑋�𝑖′ 𝛽̂𝐹𝐸 ; 𝑖 = 1, . . , 𝑁
..........................................................(3.10)
Matriks kovarian untuk fixed effect estimator 𝛽̂𝐹𝐸 , dengan u it ~ iid (0,σ2u ) diberikan
oleh:
𝑇
−1
�
�
𝑉 [𝛽̂𝐹𝐸 ] = 𝜎𝑖𝑡2 (∑𝑁
𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖 )(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑖 )′ )
.........................(3.11)
dengan
𝜎𝑖𝑡2 =
1
𝑁(𝑇−1)
𝑇
∑𝑁
�𝑖 − (𝑋𝑖𝑡 − 𝑋�𝑖 )′ 𝛽̂𝐹𝐸 )2 .......................(3.12)
𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑦𝑖𝑡 − 𝑦
Pada dasarnya, FEM lebih menekankan pada perbedaan di antara individu,
yakni menjelaskan bagaimana 𝑦𝑖𝑡 berbeda dari 𝑦�𝑖 , dan tidak menjelaskan kenapa
𝑦�𝑖 berbeda dari 𝑦�𝑗 . Di sisi lain, asumsi parametrik mengenai β menekankan bahwa
perubahan yang terjadi dalam X memiliki pengaruh yang sama, apakah perubahan
dari satu periode ke periode lainnya atau perubahan dari satu individu ke individu
lainnya.
Random Effects Model (REM)
Bila 𝛼𝑖 (efek individu) pada Persamaan (3.7) diperlakukan sebagai
parameter random maka model disebut sebagai random effects model (REM).
Dalam REM, perbedaan karakeristik individu diakomodasi oleh error dalam
40
model. REM umumnya digunakan bila N relatif besar dan T relatif kecil. Secara
umum model ini dapat diekspresikan sebagai,
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖 ...............................................................(3.13)
dengan 𝛼𝑖 = 𝛼 + 𝜏𝑖 dan memiliki rata-rata nol. Di sini, 𝜏𝑖 merepresentasikan
gangguan individu (individual disturbance) yang tetap sepanjang waktu. Beberapa
asumsi yang melekat dalam REM antara lain:
𝐸 (𝑢𝑖𝑡 |𝜏𝑖 ) = 0 ......................................................................................(3.14)
2
�𝜏𝑖 ) = 𝜎𝑢2
𝐸 (𝑢𝑖𝑡
..................................................................................(3.15)
𝐸 (𝜏𝑖 |𝑥𝑖𝑡 ) = 0; ∀ 𝑖, 𝑡
𝐸 (𝜏𝑖𝑡2 �𝑥𝑖𝑡 ) = 𝜎𝑡2
...........................................................................(3.16)
.................................................................................(3.17)
𝐸 �𝑢𝑖𝑡 𝜏𝑗 � = 0; ∀ 𝑖, 𝑡, 𝑗 ........................................................................(3.18)
𝐸 �𝑢𝑖𝑡 𝑢𝑗𝑠 � = 0; 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠
𝐸 �𝑢𝑖𝑡 𝜏𝑗 � = 0; ∀ 𝑖, 𝑡, 𝑗
.................................................... (3.19)
........................................................................(3.20)
Untuk menduga REM umumnya digunakan metode generalized least
square (GLS). Misalkan kombinasi error pada Persamaan (3.13) dituliskan
menjadi 𝑤𝑖𝑡 = 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖 , dengan
𝐸 (𝑤𝑖𝑡 ) = 0
.........................................................................................(3.21)
𝐸 (𝑤𝑖𝑡2 ) = 𝜎𝑖𝑡2 + 𝜎𝜏2 ; ∀ 𝑖, 𝑡 ...................................................................(3.22)
𝐸 �𝑤𝑖𝑡 𝑤𝑗𝑠 � = 𝜎𝜏2 ; ∀ 𝑡 ≠ 𝑠
................................................................(3.23)
𝐸 �𝑤𝑖𝑡 𝑤𝑗𝑠 � = 0; 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠
.........................................(3.24)
Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor
𝑤𝑖 = (𝑤𝑖1 , 𝑤𝑖2 , … , 𝑤𝑖𝑇 )’ maka dapat dituliskan bahwa
𝐸 �𝑤𝑖 𝑤𝑖′ � = Ω .....................................................................................(3.25)
dengan
𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2
2
2
2
⎛𝜎𝜏 𝜎𝑢 + 𝜎𝜏
Ω = ⎜𝜎𝜏2
𝜎𝜏2
⋮
⋮
⎝𝜎𝜏2
𝜎𝜏2
𝜎𝜏2
𝜎𝜏2
𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2
⋮
𝜎𝜏2
⋯
⋯
⋯
⋱
⋯
𝜎𝜏2
𝜎𝜏2 ⎞
𝜎𝜏2 ⎟
⋮
𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 ⎠
.............................(3.26)
Untuk keseluruhan observasi panel, matriks kovarian error 𝑤 = (𝑤1 , 𝑤2 , … , 𝑤𝑁 )′
dapat diturunkan sebagai,
41
Ω
⎛0
𝑉
= ⎜0
𝑁𝑇𝑥𝑁𝑇
⋮
0
⎝
0 0
Ω 0
0 Ω
⋮ ⋮
0 0
⋯ 0
⋯ 0⎞
⋯ 0 ⎟ = 𝐼𝑁 ⊗ Ω ....................................(3.27)
⋱ ⋮
⋯ Ω⎠
dengan 𝐼𝑁 menyatakan matriks identitas berdimensi N dan ⊗ merepresentasikan
Kronecker product. Misalkan Y pada Persamaan (3.13) direpresentasikan sebagai
vektor stack dari 𝑦𝑖𝑡 yang dibentuk dengan pola yang sama dengan w (dengan
struktur yang sama untuk X). Selanjutnya keseluruhan sistem yang dituliskan
sebagai
Y = Xβ + w ...........................................................................................(3.28)
dapat diestmasi dengan menggunaan metode GLS. Secara umum pendugaan GLS
untuk persamaan regresi (3.28) memerlukan transformasi untuk menghilangkan
struktur yang tidak baku dari matriks kovarian (𝑤 ′ 𝑤) = 𝑉. Kemudian dengan
mendefinisikan matriks penimbang 𝑃 = 𝑉 −1/2 dan mengalikannya ke kedua ruas
diperoleh hasil transformasi sebagai berikut,
atau
𝑃𝑌 = 𝑃𝑋𝛽 + 𝑃𝑤
................................................................................(3.29)
𝑌 ∗ = 𝑋 ∗ 𝛽 + 𝑤 ∗ .....................................................................................(3.30)
sekarang 𝐸(𝑤 ∗ 𝑤 ∗𝑡 ) = 𝐸(𝑃𝑤𝑤 ′ 𝑃) = PE (ww’)P = PVP = 𝐼𝑁𝑇
Sehingga, penduga GLS pada persamaan regresi (3.28) dapat dituliskan sebagai
𝛽̂𝐺𝐿𝑆 = (𝑋′𝑉 −1 𝑋)−1 𝑋′𝑉 −1 𝑌 ..................................................................(3.31)
3.2.3.2 Regresi Data Panel Dinamis
Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak
yang bersifat dinamis. Analisis data panel dapat digunakan pada model yang
bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic
of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel
dependen di antara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, model data panel
dinamis adalah sebagai berikut:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝑥𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 ; 𝑖 = 1, … , 𝑁; 𝑡 = 1, . . , 𝑇
..........................(3.32)
42
dengan 𝛿 menyatakan suatu skalar, 𝑥𝑖𝑡′ menyatakan matriks berukuran 1xK dan 𝛽
matriks berukuran Kx1. Dalam hal ini, 𝑢𝑖𝑡 diasumsikan mengikuti model oneway
error component sebagai berikut:
𝑢𝑖𝑡 = 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 ......................................................................................(3.33)
dengan 𝜇𝑖 ~ iid (0, σ2µ ) menyatakan pengaruh individu dan 𝑣𝑖𝑡 ~ iid (0, σ2v )
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa
literatur disebut sebagai transient error.
Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan
efisiensi, baik pada FEM dan REM, terkait perlakuan terhadap 𝜇𝑖 . Dalam model
dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda karena 𝑦𝑖𝑡 merupakan fungsi
dari 𝜇𝑖 maka 𝑦𝑖,𝑡−1 juga merupakan fungsi dari 𝜇𝑖 . Karena 𝜇𝑖 adalah fungsi dari
𝑢𝑖𝑡 maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor 𝑦𝑖,𝑡−1 dengan 𝑢𝑖𝑡 . Hal ini
akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model
data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila 𝑣𝑖𝑡 tidak berkorelasi
serial sekalipun.
Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel
autoregresif (AR(1)) tanpa menyertakan variabel eksogen:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝑢𝑖𝑡 ; |𝛿 | < 1; 𝑡 = 1, . . , 𝑇 .............................................(3.34)
dengan 𝑢𝑖𝑡 = 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 di mana 𝜇𝑖 ~ iid (0, σ2µ ) dan 𝑣𝑖𝑡 ~ iid (0, σ2v ) saling bebas
satu sama lain. Penduga fixed effect bagi 𝛿 diberikan oleh
𝑁
𝑇
∑
∑
−𝑦�
)
(𝑦 −𝑦� )(𝑦
𝛿̂𝐹𝐸 = 𝑖=1 𝑁𝑡=1 𝑇 𝑖𝑡 𝑖 𝑖,𝑡−1 2𝑖,−1 .......................................................(3.35)
∑𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑦𝑖,𝑡−1−𝑦�𝑖,−1)
dengan 𝑦�𝑖 = 1/𝑇 ∑𝑇𝑡=1 𝑦𝑖𝑡 dan 𝑦�𝑖,−1 = 1/𝑇 ∑𝑇𝑡=1 𝑦𝑖,𝑡−1 . Untuk menganalis sifat
dari 𝛿̂𝐹𝐸 , dapat disubstitusi Persamaan (3.34) ke (3.35) untuk memperoleh:
𝛿̂𝐹𝐸 = 𝛿 +
(
1
𝑇
) ∑𝑁
�𝑖 )(𝑦𝑖,𝑡−1−𝑦�𝑖,−1)
𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑣𝑖𝑡 −𝑣
𝑁𝑇
2
1
𝑁
𝑇
( ) ∑𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑦𝑖,𝑡−1−𝑦�𝑖,−1 )
𝑁𝑇
...........................................(3.36)
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk 𝑁 → ∞ dan T tetap, bentuk
pembagian pada Persamaan (3.36) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak
konvergen menuju nol bila 𝑁 → ∞. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan
bahwa:
43
𝜎 2 (𝑇−1)−𝑇𝛿+𝛿 𝑇
𝑝𝑙𝑖𝑚 1 ∑𝑁 ∑𝑇 (
� � 𝑖=1 𝑡=1 𝑣𝑖𝑡 − 𝑣̅𝑖 )�𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝑦�𝑖,−1 � = − 𝑇𝑣2 (1−𝛿)2
≠0
𝑁 → ∞ 𝑁𝑇
.................................................................................................................(3.37)
sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten.
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat
digunakan. Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan
untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni:
1.
First Difference GMM (FD-GMM)
2.
System GMM (SYS-GMM)
First-differences GMM (FD-GMM)
Untuk mendapatkan estimasi 𝛿 yang konsisten di mana 𝑁 → ∞ dengan T
tertentu,
akan dilakukan first-difference pada Persamaan
(3.33)
untuk
mengeliminasi pengaruh individual (𝜇𝑖 ) sebagai berikut:
𝑦𝑖𝑡 − 𝑦𝑖,𝑡−1 = 𝛿�𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝑦𝑖,𝑡−2 � + �𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �; 𝑡 = 2, . . , 𝑇 ............(3.38)
namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga 𝛿 yang
inkonsisten karena 𝑦𝑖,𝑡−1 dan 𝑣𝑖,𝑡−1 berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila
𝑇 → ∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat
menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, 𝑦𝑖,𝑡−2 akan
digunakan sebagai instrumen. Di sini, 𝑦𝑖,𝑡−2 berkorelasi dengan �𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝑦𝑖,𝑡−2 �
tetapi tidak berkorelasi dengan 𝑣𝑖,𝑡−1 , dan 𝑣𝑖𝑡 tidak berkorelasi serial. Di sini,
penduga variabel instrumen bagi 𝛿 disajikan sebagai,
𝑁
𝑇
∑
∑
(𝑦 −𝑦
)
𝑦
𝛿̂𝐼𝑉 = ∑𝑁𝑖=1∑𝑇 𝑡=2 𝑖,𝑡−2(𝑦 𝑖𝑡 −𝑦𝑖,𝑡−1 ) ..........................................................(3.39)
𝑖=1
𝑡=2 𝑦𝑖,𝑡−2
𝑖,𝑡−1
𝑖,𝑡−2
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
𝑝𝑙𝑖𝑚
1
𝑇
𝑁 → ∞ �𝑁(𝑇−1)� ∑𝑁
𝑖=1 ∑𝑡=2�𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �𝑦𝑖,𝑡−2 = 0
𝑇→∞
...........................(3.40)
Penduga (3.39) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan
Hsiao dalam Verbeek (2000). Mereka juga mengajukan penduga alternatif di
mana 𝑦𝑖,𝑡−2 − 𝑦𝑖,𝑡−3 digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen
bagi 𝛿 disajikan sebagai,
44
𝑁
𝑇
∑
∑
−𝑦
)(𝑦 −𝑦
)
(𝑦
𝛿̂𝐼𝑉(2) = ∑𝑁𝑖=1∑𝑇 𝑡=3 𝑖,𝑡−2−𝑦 𝑖,𝑡−3)(𝑦 𝑖𝑡 −𝑦𝑖,𝑡−1 )
𝑖=1
𝑡=3(𝑦𝑖,𝑡−2
𝑖,𝑡−3
𝑖,𝑡−1
𝑖,𝑡−2
...........................................(3.41)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
𝑝𝑙𝑖𝑚
1
𝑇
𝑁 → ∞ �𝑁(𝑇−2)� ∑𝑁
𝑖=1 ∑𝑡=3�𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �(𝑦𝑖,𝑡−2 − 𝑦𝑖,𝑡−3 ) = 0
𝑇→∞
..........(3.42)
Penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag
variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang
digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel
“hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga
dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama
dari pendekatan metode ini mencatat bahwa
𝑝𝑙𝑖𝑚
1
𝑇
𝑁 → ∞ �𝑁(𝑇−1)� ∑𝑁
𝑖=1 ∑𝑡=2�𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �𝑦𝑖,𝑡−2 = 𝐸��𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 �𝑦𝑖,𝑡−2 � = 0
𝑇→∞
..................................................................................................................(3.43)
yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama
dapat diperoleh:
𝑝𝑙𝑖𝑚
1
𝑇
𝑁 → ∞ �𝑁(𝑇−1)� ∑𝑁
𝑖=1 ∑𝑡=3(𝑣𝑖𝑡 − 𝑣𝑖,𝑡−1 )(𝑦𝑖,𝑡−2 − 𝑦𝑖,𝑡−3 ) =
𝑇→∞
𝐸[�𝑣𝑖𝑡 𝑣𝑖,𝑡−1 � (𝑦𝑖,𝑡−2 − 𝑦𝑖,𝑡−3 )] = 0 .....................................................(3.44)
yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator selanjutnya dikenakan
kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih
banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond
(1991) dalam Baltagi (2005) menyatakan bahwa daftar instrumen dapat
dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan
jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, mereka mempertahankan T tetap.
Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh:
𝐸 [(𝑣𝑖2 − 𝑣𝑖1 )𝑦𝑖0 ] = 0, untuk t=2
𝐸 [(𝑣𝑖3 − 𝑣𝑖2 )𝑦𝑖1 ] = 0 𝑑𝑎𝑛 𝐸 [(𝑣𝑖3 − 𝑣𝑖2 )𝑦𝑖0 ] = 0, untuk t=3
𝐸 [(𝑣𝑖4 − 𝑣𝑖3 )𝑦𝑖0 ] = 0, 𝐸 [(𝑣𝑖4 − 𝑣𝑖3 )𝑦𝑖2 ] = 0 𝑑𝑎𝑛 𝐸 [(𝑣𝑖4 − 𝑣𝑖3 )𝑦𝑖3 ],
untuk t = 4
45
Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya,
untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel
yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat ditulis sebagai,
𝑣𝑖2 − 𝑣𝑖1
⋮
� ..........................................................................(3.45)
∆𝑣𝑖 = �
𝑣𝑖,𝑇 − 𝑣𝑖,𝑇−1
sebagai vektor tranformasi error, dan
[𝑦 ]
0
⎡ 𝑖0
[
0
𝑦𝑖0 , 𝑦𝑖1 ]
𝑍𝑖 = ⎢
⋮
⎢ ⋮
⎣ 0
0
⋯
⋯
0
⎤
0
⎥ ....................................(3.46)
⋮
⋱
⎥
⋯ �𝑦𝑖0 , … , 𝑦𝑖,𝑇−2 �⎦
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks 𝑍𝑖 berisi instrumen yang
valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh
kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai,
𝐸�𝑍𝑖′ ∆𝑣𝑖 � = 0
......................................................................................(3.47)
yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM,
Persamaan (3.47) dituliskan sebagai,
𝐸�𝑍𝑖′ (∆𝑦𝑖 − ∆𝑦𝑖,−1 )� = 0 .....................................................................(3.48)
Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang
belum diketahui, 𝛿 akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel
yang bersesuaian, yakni:
′
′
𝑁
𝑚𝑖𝑛 [1/𝑁 ∑𝑁
𝑖=1 𝑍𝑖 (∆ 𝑦𝑖 − ∆𝑦𝑖,−1 )]′𝑊𝑁 [1/𝑁 ∑𝑖=1 𝑍𝑖 (∆𝑦𝑖 − ∆𝑦𝑖,−1 )] ... (3.49)
dengan 𝑊𝑁 adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris.
Dengan mendifrensiasikan Persamaan (3.49) terhadap 𝛿 akan diperoleh penduga
GMM sebagai,
𝑁
𝑁
𝑖=1
𝑖=1
′
𝛿̂𝐺𝑀𝑀 ((� ∆𝑦𝑖,−1
𝑍𝑖 )𝑊𝑁 (� 𝑍𝑖′ ∆𝑦𝑖,−1 ))
−1
′
′
𝑁
𝑥 ((∑𝑁
𝑖=1 ∆𝑦𝑖,−1 𝑍𝑖 )𝑊𝑁 (∑𝑖=1 𝑍𝑖 ∆𝑦𝑖 )) ......................................(3.50)
Sifat dari penduga GMM (3.50) bergantung pada pemilihan 𝑊𝑁 yang konsisten
selama 𝑊𝑁 definit positif, sebagai contoh 𝑊𝑁 = 1 yang merupakan matriks
identitas.
Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan
penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik
46
terkecil bagi 𝛿̂𝐺𝑀𝑀 . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM, diketahui
bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers
dari momen sampel (Verbeek, 2000). Dalam hal ini, matriks penimbang optimal
seharusnya memenuhi
𝑝𝑙𝑖𝑚
𝑊 = 𝑉[𝑍𝑖′ ∆𝑣𝑖 ]−1 = 𝐸[𝑍𝑖′ ∆𝑣𝑖 𝑣𝑖′ 𝑍𝑖 ]−1
𝑁→∞ 𝑁
.....................................(3.51)
Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks
kovarian 𝑣𝑖 , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step
consistent estimator bagi 𝛿 dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata
sampel, yakni (two step estimator)
−1
′
�𝑁𝑜𝑝𝑡 = [1/𝑁 ∑𝑁
�𝑖 ∆𝑣�𝑖′ 𝑍𝑖 ]
.....................................................(3.52)
𝑊
𝑖=1 𝑍𝑖 ∆𝑣
Dengan ∆𝑣�𝑖 menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent
estimator.
Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa 𝑣𝑖𝑡 ~ iid pada
seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi
tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi
dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan
matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat
dianjurkan
bagi
sampel
berukuran
kecil)
menekankan
ketidakberadaan
autokorelasi pada 𝑣𝑖𝑡 dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis.
Dengan catatan di bawah restriksi
2
𝐸�∆𝑣𝑖 𝑣𝑖′ � = 𝜎𝑣2 𝐺 = 𝜎𝑣2 �−1
0
⋮
−1
2
⋱
0
0 …
⋱ 0 � ...................................(3.53)
⋱ −1
−1 2
matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai one step estimator
−1
′
�𝑁𝑜𝑝𝑡 = [1/𝑁 ∑𝑁
𝑊
..............................................................(3.54)
𝑖=1 𝑍𝑖 𝐺𝑍𝑖 ]
Sebagai catatan bahwa (3.54) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui,
sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila
error 𝑣𝑖𝑡 diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi.
Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka
Persamaan (3.32) dapat dituliskan kembali menjadi
𝑦𝑖𝑡 = 𝑥𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 ..........................................................(3.55)
47
Parameter persamaan (3.55) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi
variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat
terhadap 𝑥𝑖𝑡 , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila
𝑥𝑖𝑡 strictly exogenous dalam artian bahwa 𝑥𝑖𝑡 tidak berkorelasi dengan sembarang
error 𝑣𝑖𝑠 , akan diperoleh:
𝐸[𝑥𝑖𝑠 , ∆𝑣𝑖𝑡 ] = 0; untuk setiap s dan t
..................................................(3.56)
sehingga x1 , … , xiT dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan
first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada 𝑍𝑖 menjadi
besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen
𝐸[∆𝑥𝑖𝑡 , ∆𝑣𝑖𝑡 ] = 0; untuk setiap t ..........................................................(3.57)
Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai
⎡
⎢
𝑍𝑖 = ⎢
⎢
⎣
′
�𝑦𝑖0 , ∆𝑥𝑖2
�
0
⋮
0
0
′
�𝑦𝑖0 , 𝑦𝑖1 , ∆𝑥𝑖3
�
⋮
0
⋱
⋯
⋯
0
⎤
⎥
⎥ ...........(3.58)
⎥
�𝑦𝑖0 , … , 𝑦𝑖,𝑇−2 , ∆𝑥𝑖𝑡 �⎦
⋯
0
⋮
Bila variabel 𝑥𝑖𝑡 tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus
di mana 𝑥𝑖𝑡 dan lag 𝑥𝑖𝑡 tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan
diperoleh 𝐸[𝑥𝑖𝑡 , ∆𝑣𝑖𝑠 ] = 0, untuk s ≥ t. Dalam kasus dimana hanya 𝑥𝑖,𝑡−1 , … , 𝑥𝑖1
instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi
momen dapat dikenakan sebagai
𝐸�𝑥𝑖,𝑡−𝑗 ∆𝑣𝑖𝑡 � = 0; 𝑗 = 1, … , 𝑡 − 1, ∀𝑡 .................................................(3.59)
Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan
predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks 𝑍𝑖 kemudian dapat
disesuaikan.
System GMM (SYS-GMM)
Ide dasar dari penggunaan metode Sys-GMM adalah untuk mengestimasi
sistem persamaan baik pada first differences maupun pada level, dimana
instrumen yang digunakan pada level adalah lag first differences dari deret.
Blundell dan Bond (1998) dalam Baltagi (2005) menyatakan pentingnya
pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari
48
model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model
autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogen sebagai berikut:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖𝑡
......................................................................(3.60)
dengan 𝐸(𝜇𝑖 ) = 0, 𝐸(𝑣𝑖𝑡 ) = 0, dan 𝐸(𝜇𝑖 𝑣𝑖𝑡 ) = 0 untuk i = 1, 2,…, N; t = 1,
2,…,T.
Dalam hal ini, Blundel dan Bond memfokuskan pada T = 3, oleh
karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh
𝐸(𝑦𝑖1 ∆𝑣𝑖3 ) = 0 sedemikian sehingga 𝛿 tepat teridentifikasi (just identified).
Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan
meregresikan ∆𝑦𝑖2 pada 𝑦𝑖1 . Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari
Persamaan (3.60) yang dievaluasi pada saat t = 2 dengan mengurangi kedua ruas
pada persamaan tersebut, yakni:
∆𝑦𝑖2 = (𝛿−1)𝑦𝑖,1 + 𝜇𝑖 + 𝑣𝑖2
..............................................................(3.61)
Dikarenakan ekspektasi 𝐸(𝑦𝑖1 𝜇𝑖 ) > 0, maka (𝛿 − 1) akan bias ke atas (upward
biased) dengan
𝑝𝑙𝑖𝑚 �𝛿̂ − 1� = (𝛿 − 1)
𝑐
2 /𝜎 2 )
𝑐+(𝜎𝜇
𝑢
......................................................(3.62)
dengan 𝑐 = (1 − 𝛿)/(1 + 𝛿 ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari
variabel instrumen 𝑦𝑖1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi
variabel intsrumen tahap pertama akan konvergen ke 𝜒𝑖2 dengan parameter non-
centrality
(𝜎 2𝑐)2
𝑢
𝜏 = 𝜎2 +𝜎
........................................................(3.63)
2 𝑐 → 0, dengan 𝛿 → 1
𝜇
𝑢
Karena 𝜏 → 0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell
dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga FD-GMM dengan
masalah lemahnya instrumen, yang mana dicirikan dari parameter konsentrasi 𝜏.
3.3 Spesifikasi Model
Model yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada model New
Keynesian Phillips Curve (NKPC) berbasis hybrid yang digunakan oleh Gali dan
Gertler (2000), konsep pada model yang digunakan oleh Mishkin dan SchmidtHebbel (2007), dan model yang digunakan oleh Mukherjee (2011). Gali dan
49
Gertler (2000) menyatakan bahwa inflasi dipengaruhi oleh inflasi sebelumnya,
ekspektasi inflasi, dan kesenjangan output.
Mishkin dan Schmidt-Hebbel (2007) dalam penelitiannya terhadap negara
ITF dan non-ITF mendefinisikan konsep stabilitas inflasi sebagai selisih antara
inflasi aktual dengan inflasi potensial untuk negara non ITF dan dengan target
inflasi untuk negara ITF. Mukherjee (2011) mendefinisikan stabilitas inflasi, yaitu
selisih inflasi aktual dengan inflasi target, sebagai fungsi dari deviasi ekspektasi
inflasi dengan target inflasi, kesenjangan output, depresiasi nilai tukar riil,
keterbukaan perdagangan, dan keterbukaan finansial. Mukherjee (2011)
mengasumsikan target inflasi sebagai inflasi potensial. Model tersebut digunakan
dalam penelitaannya “The Effect of Capital Market Openness on Exchange Rate
Pass-Through and Welfare in an Inflation Targeting Small Open Economy” pada
delapan negara inflation-targeting (Australia, Kanada, Islandia, Selandia Baru,
Norwegia, Swedia, Swiss, dan Inggris) sejak pemberlakuan IT sampai tahun 2008.
Berdasarkan model-model tersebut, maka model umum yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
STABINFit = β 0 + β 1 STABINFi(t-1) + β 2 DEVEXPINFit + β 3 lnYGAP it
+ β 4 lnRER it - β 5 TO it - β 6 FO it + ε it ...................................
(3.64)
Sementara itu, untuk mendapatkan perbedaan dampak setiap variabel
terkait dengan adanya perbedaan kebijakan moneter (berupa ITF) dan antara
kelompok negara maju dan negara sedang berkembang maka digunakan model
sebagai berikut:
STABINFit = β 0 + β 1 STABINFi(t-1) + β 2 DEVEXPINFit + β 3 lnYGAPit
+ β 4 lnRER it - β 5 TO it - β 6 FO it + β k (Z it )*DITF + ε it .........
(3.65)
STABINFit = β 0 + β 1 STABINFi(t-1) + β 2 DEVEXPINFit + β 3 lnYGAPit
+ β 4 lnRER it - β 5 TO it - β 6 FO it + β k (Z it )*DM + ε it ............
(3.66)
dengan,
50
STABINFit
= stabilitas inflasi (persen);
STABINFi(t-1)
= stabilitas inflasi tahun sebelumnya (persen);
DEVEXPINFit
= deviasi ekspektasi inflasi (persen);
lnYGAP it
= kesenjangan output (miliar US$), dalam logaritma natural
(ln);
lnRER it
= nilai tukar riil (per US$), dalam logaritma natural (ln);
TO it
= keterbukaan perdagangan (persen);
FO it
= keterbukaan finansial (persen);
DITFit
= dummy kebijakan ITF; negara ITF=1, negara non-ITF=0
DM it
= dummy kelompok negara; negara maju=1, negara sedang
berkembang=0
Z it
= matriks variabel struktur (STABINFi(t-1) , DEVEXPINF it ,
lnYGAP it , lnRER it , TO it , dan FO it )
i
= negara (i = 1, 2, 3, ..., 11);
t
= tahun (t = 2001 - 2010);
β0
= konstanta;
β 1 , β 2 , ..., β 6
= koefisien parameter pada variabel struktur/independen;
βk
= koefisien parameter pada variabel interaksi; dan
k
= variabel interaksi (k = 7, 8, 9, ..., 12).
3.4 Definisi Variabel Operasional
Definisi operasional variabel-variabel yang digunakan dalam model sebagai
berikut:
1. Stabilitas inflasi (STABINF) adalah selisih antara inflasi aktual dengan
inflasi potensial. Inflasi aktual adalah perubahan harga barang dan jasa antar
periode yang diukur dari perubahan indeks harga konsumen (IHK), sedangkan
inflasi potensial adalah angka inflasi yang ditargetkan oleh negara ITF atau
inflasi potensial yang diperoleh dari hasil estimasi HP Filter untuk negara
Non-ITF.
2. Deviasi ekspektasi inflasi (DEVEXPINF) adalah selisih antara ekspektasi
inflasi dengan inflasi potensial. Ekspektasi Inflasi diperoleh dari rata-rata
inflasi dua periode sebelumnya.
51
3. Kesenjangan output (lnYGAP) adalah selisih antara PDB riil dalam bentuk
logaritma natural (ln) dengan PDB riil potensial dalam bentuk logaritma
natural (ln). PDB riil aktual adalah nilai barang dan jasa akhir (final goods
and services) yang dihasilkan oleh suatu perekonomian (negara) selama satu
tahun, dalam penelitian ini digunakan PDB riil dengan tahun dasar 2000.
Sementara itu, PDB riil potensial diperoleh dari metode Hodrick-Prescott
Filter.
4. Nilai tukar riil (RER) diperoleh dari nilai tukar nominal per dollar Amerika
Serikat (US$) dikali IHK Amerika Serikat dan dibagi IHK masing-masing
negara. Kemudian nilai tukar riil tersebut dilogaritma-naturalkan (lnRER).
Peningkatan berarti terjadi depresiasi.
5. Keterbukaan Perdagangan (TO) adalah persentase nilai ekspor dan impor
terhadap PDB. Ekspor dihitung berdasarkan nilai FOB (Freight on Board)
meliputi nilai barang dan jasa, biaya angkut, asuransi, royalti, lisensi, dan jasa
lainnya. Impor dihitung berdasarkan nilai CIF (Cost Insurance and Freight)
meliputi nilai barang dan jasa, biaya angkut, asuransi, royalti, lisensi, dan jasa
lainnya.
6. Keterbukaan Finansial (FO) adalah persentase nilai private capital flows
(arus modal swasta), yang terdiri dari Foreign Direct Investment (FDI) dan
Portfolio equity, terhadap PDB. FDI adalah investasi yang berasal dari luar
negeri
(netinflow)
yang
diinvestasikan kembali,
meliputi
modal
ekuitas
jangka
modal,
panjang
keuntungan
dan
yang
jangka pendek
sebagaimana yang tertera dalam neraca pembayaran (balance of payment),
sedangkan portfolio equity meliputi arus masuk (netinflow) dari equitas selain
yang dicatat sebagai investasi langsung, termasuk saham, penerimaan
penyimpanan, dan pembelian langsung saham di pasar saham lokal oleh
investor asing sebagaimana juga yang tertera dalam neraca pembayaran
(balance of payment).
3.5 Prosedur Analisis
Parameter model data panel statis akan diestimasi dengan menggunakan
model pooled least square (PLS), fixed effect model (FEM) dan random effect
52
model (REM). Tahap pertama adalah uji Chow untuk pemilihan model terbaik
antara PLS dan FEM. Uji dilakukan dengan membandingkan nilai F-hitung dan Fstatistik. Hipotesis yang digunakan adalah:
H 0 : α 1 = α 2 = … = α i (memiliki nilai intercept sama)
H 1 : sekurang-kurangnya ada 1 (satu) intercept yang berbeda
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil uji, dengan melihat kondisi sebagai
berikut:
• Jika F-hitung ≤ F-tabel maka dikatakan terima H 0 (tidak signifikan), artinya
model PLS lebih baik daripada FEM.
• Jika F-hitung > F-tabel maka dikatakan tolak H 0 (signifikan), artinya FEM
lebih baik daripada PLS.
Tahap Kedua adalah uji Hausman untuk menentukan model yang lebih
baik antara FEM dan REM. Uji dilakukan dengan menggunakan hipotesa sebagai
berikut:
H0: E(τi | xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat
H1: E(τi | xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat
Sebagai
dasar
penolakan
H0
digunakan
statistik
Hausman
dan
membandingkannya dengan Chi square (χ2). Jika nilaii χ2 hitung hasil pengujian
lebih besar dari χ2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap
H 0 sehingga pendekatan yang digunakan adalah FEM, begitu juga sebaliknya.
Tahap ketiga, jika model yang terpilih setelah dilakukan uji Chow dan uji
Hausman adalah REM maka model diasumsikan Best Linier Unbiased Estimator
(BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama model
BLUE (non-multicolinierity, homoskedasticity, dan non-autocorelation). Hal ini
dikarenakan dua alasan, yaitu: (i) sifat data panel adalah bebas dari gejala
multikolinieritas; dan (ii) REM adalah model generalized least square (GLS), dan
estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah terbebas dari gejala
autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas yang disebabkan
variansi sisaannya konstan (Gujarati, 2004).
Namun, jika model yang terpilih dalam uji Chow dan uji Hausman
tersebut adalah FEM maka dilakukan beberapa uji asumsi sebagai berikut:
(i) Uji Autokorelasi
53
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antarobservasi dalam satu
peubah atau korelasi antara error masa yang lalu dengan error saat ini. Uji
autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang
digunakan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari penduganya. Untuk
mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson
(DW). Untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi dilakukan dengan
membandingkan nilai DW-hitung dan DW-tabel. Adapun kerangka identifikasi
autokorelasi terangkum dalam Tabel 4. Korelasi serial ditemukan jika error dari
periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan
melihat pola error acak dari hasil regresi.
Tabel 4 Kerangka Identifikasi Autokorelasi
Nilai DW
Hasil
(1)
(2)
4 – dL < DW < 4
Terdapat korelasi serial negatif
4 – dU < DW < 4- dL
Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4 – dU
Tidak ada korelasi serial
dU < DW < 2
Tidak ada korelasi serial
d L < DW < dU
Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dL
Terdapat korelasi serial positif
Sumber: Gujarati (2004)
(ii) Uji Homoskedastisitas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah
bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE maka varian u i
harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error memiliki varian
yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian
tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk
mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode GLS cross
section weights, yakni membandingkan jumlah kuadrat residual (sum square
residual) antara weighted statistics dengan unweighted statistics. Jika jumlah
kuadrat residual pada weighted statistics ternyata lebih kecil maka dapat
disimpulkan terjadi heteroskedastisitas pada model.
54
Selanjutnya, untuk menduga parameter pada model data panel dinamis
akan digunakan metode first difference-generalized method of moments (FDGMM) dan system-generalized method of moments (Sys-GMM). Pertama,
estimasi dilakukan dengan metode FD-GMM, kemudian dilakukan uji validitas,
konsistensi instrumen yang digunakan, dan ketidakbiasan. Apabila hasil uji tidak
memenuhi syarat ini maka akan dilanjutkan dengan penggunaan metode SysGMM. Uji validitas, konsistensi, dan ketidakbiasan juga dilakukan pada metode
Sys-GMM.
Untuk menguji validitas instrumen digunakan uji Sargan. Uji Sargan untuk
overidentifying restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi apakah
ada masalah dengan validitas instrumen. Hipotesis yang digunakan adalah:
H 0 : tidak ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen valid)
H 1 : ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen tidak valid)
Tidak ada masalah dengan validitas instrumen (instrumen valid) berarti bahwa
instrumen tersebut tidak berkorelasi dengan error pada model. Hasil yang
diharapkan untuk uji ini adalah tidak menolak H 0 pada taraf nyata 5 persen.
Untuk melihat konsistensi hasil estimasi yang dihasilkan model dapat
dilakukan dengan uji autokorelasi menggunakan statistik m 1 dan m2 . Konsistensi
hasil estimasi model ditunjukkan bila nilai statistik m1 signifikan (tolak H 0 ) dan
nilai statistik m2 tidak signifikan (tidak tolak H 0 ).
Sementara itu, untuk ketidakbiasan dapat dilihat dari koefisien hasil
estimasi variabel lag dependen. Jika koefisien hasil estimasinya berada dalam
rentang koefisien hasil estimasi model PLS dan model FEM maka model tersebut
dikatakan tidak bias.
Tahap berikutnya adalah melakukan komparasi antara hasil estimasi model
data panel statis terbaik dengan hasil estimasi model data panel dinamis untuk
kemudian ditelaah dan dianalisis lebih lanjut untuk menentukan model mana yang
terbaik. Selanjutnya, dilakukan pengujian tingkat signifikansi dari setiap koefisien
estimasi model terbaik. Berdasarkan hasil pengujian signifikansi tersebut
selanjutnya dilakukan telaah dan analisis untuk menjawab tujuan dan hipotesis
penelitian.
55
Seluruh pengolahan data, baik pada model data panel statis maupun
dinamis, akan dilakukan dengan bantuan program komputer Eviews versi 6 dan
STATA versi 10. Pemilihan program ini dikarenakan ketersedian tools untuk
pengolahan data sekaligus pengujian berbagai asumsi yang disyaratkan.
56
Halaman ini sengaja dikosongkan
IV. GAMBARAN UMUM
4.1 Inflasi
Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi penting dalam
melihat stabilitas perekonomian. Inflasi yang berfluktuasi tinggi mencerminkan
adanya ketidakstabilan, sedangkan inflasi dengan fluktuasi yang rendah
menandakan stabilitas ekonomi yang relatif kokoh. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, bahwa ada dua kelompok negara berdasarkan kebijakan inflasinya di
negara-negara ASEAN+6. Indonesia, Thailand, Filipina, Korea Selatan, Australia,
dan Selandia Baru menggunakan ITF sebagai kebijakan inflasinya, sedangkan
Malaysia, Singapura, China, Jepang, dan India tidak menggunakan ITF dalam
kebijakannya.
Selama periode tahun 2001-2010, rata-rata inflasi tertinggi di antara
negara-negara ASEAN+6 terjadi di Indonesia, dimana setiap tahunnya rata-rata
terjadi inflasi sebesar 8,59 persen, sedangkan rata-rata inflasi terendah terjadi di
Singapura, dengan rata-rata inflasi sebesar 1,62 persen pertahun. Sementara itu, di
Jepang rata-rata terjadi deflasi sebesar 0,26 persen pertahun. Hal ini
mengindikasikan bahwa inflasi di negara maju relatif rendah dibandingkan negara
sedang berkembang.
Tabel 5
Inflasi, Rata-rata Inflasi, dan Koefisien Ragam Inflasi di Negara-negara
ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (persen)
𝑥̅
Negara
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
10,45
4,54
7,63
2,75
2,67
3,17
13,11
4,64
6,24
2,20
3,54
3,17
6,41
2,28
2,83
2,54
2,33
2,59
9,78
5,40
9,31
4,70
4,35
3,85
4,81
-0,85
3,23
2,80
1,82
1,89
5,13
3,31
3,81
2,93
2,85
2,91
8,59
2,62
5,23
3,19
3,01
2,69
1,10
1,42
0,99
0,19
0,24
0,16
2,96
0,43
1,82
-0,27
4,25
3,67
3,61
1,02
1,46
0,24
6,15
4,13
2,03
2,10
4,75
0,06
6,37
3,12
5,44
6,52
5,86
1,37
8,35
5,90
0,58
0,60
-0,70
-1,35
10,88
2,16
ITF
Indonesia
11,50 11,88 6,59 6,24
Thailand
1,63
0,70 1,80 2,76
Filipina
6,80
3,00 3,45 5,98
Korea Selatan 4,07
2,76 3,51 3,59
Australia
4,38
3,00 2,77 2,34
Selandia Baru 2,51
2,66 1,51 2,60
Non-ITF
Malaysia
1,42
1,81 0,99 1,52
Singapura
1,00 -0,39 0,51 1,66
China
0,72 -0,77 1,16 3,88
Jepang
-0,80 -0,90 -0,25 -0,01
India
3,68
4,39 3,81 3,77
𝑥̅
3,35
2,56 2,35 3,12
Keterangan:
𝑥̅ : rata-rata
CV : koefisien ragam
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
CV
1,71 2,21 0,94
2,81 1,62 2,33
3,31 2,15 2,33
-0,72 -0,26 -2,19
11,99 6,36 1,48
3,64
58
Tabel 5 menunjukkan bahwa, jika dilihat dari koefisien ragamnya,
Selandia Baru menjadi negara dengan tingkat kestabilan inflasi terbaik diantara
negara-negara ASEAN+6. Tingkat kestabilan yang tinggi juga terjadi di Korea
Selatan dan Australia. Ketiga negara tersebut menerapkan ITF sebagai kebijakan
moneternya. Tiga negara ITF lainnya juga memiliki tingkat kestabilan inflasi yang
relatif lebih baik dibandingkan negara-negara non-ITF. Negara non-ITF yang
memiliki tingkat kestabilan inflasi yang relatif baik hanya Malaysia.
Rata-rata inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 5,9 persen.
Inflasi yang cukup tinggi terjadi di Indonesia, Filipina, dan India dengan masingmasing sebesar 9,78 persen; 9,31 persen; dan 8,35 persen Kondisi ini tidak
terlepas dari adanya krisis finansial global yang berawal dari krisis subprime
mortgage di Amerika Serikat pada akhir tahun 2007 yang ternyata memberi
tekanan cukup besar terhadap perekonomian dunia, termasuk ASEAN+6.
Inflasi negara-negara ASEAN+6 secara rata-rata memiliki kecenderungan
(trend) meningkat. Meskipun demikian, selisih antara inflasi aktual dengan inflasi
potensial/targetnya berada pada kisaran satu persen, kecuali tahun 2008, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Persentase
7,00
Inflasi
6,00
Stabilitas Inflasi
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
Gambar 5 Perkembangan Rata-rata Inflasi dan Stabilitas Inflasi ASEAN+6
Tahun 2001-2010 (Persen)
59
Inflasi yang paling berbeda jauh dengan potensialnya terjadi pada tahun
2008, dengan rata-rata perbedaan mencapai 2,80 persen. Terjadinya krisis
finansial global ternyata berdampak terhadap ekspektasi masyarakat sehingga
mendorong kenaikan harga. Sementara itu, perbedaan yang paling rendah terjadi
pada tahun 2003, dimana selisih antara inflasi aktual dengan potensial/targetnya
rata-rata hanya sebesar 0,64 persen. Pada tahun 2010, rata-rata selisih inflasi
aktual dengan inflasi potensial/targetnya sebesar 0,73 persen, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6
Stabilitas Inflasi di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen)
/𝑥̅ /
Negara
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
0,31
-2,10
-0,27
-0,20
-0,68
-0,11
1,13
2,06
-0,69
-0,07
0,35
0,91
2,82
1,63
1,86
0,64
0,71
0,86
-1,96
-2,19
-3,82
-1,18
1,15
1,27
-0,84
-0,30
0,01
-0,52
1,18
0,73
0,98
1,09
1,43
0,50
0,93
ITF
Indonesia
6,50
2,38
-2,41
0,74
4,45
5,11
0,41
4,78
Thailand
-0,12
-1,05
0,05
1,01
2,79
2,89
0,53
3,65
Filipina
1,30
-2,50
-1,55
1,48
2,13
1,74
-1,67
5,31
Korea Selatan 1,57
-0,24
0,51
0,59
-0,25
-0,80
-0,46
1,70
Australia
1,88
0,50
0,27
-0,16
0,17
1,04
-0,17
1,85
Selandia Baru 1,01
0,66
-0,49
0,60
1,17
1,17
0,59
1,85
Non-ITF
Malaysia
-0,16
0,05
-0,93
-0,58
0,71
1,23
-0,44
2,92
Singapura
0,86
-0,84
-0,27
0,55
-1,02
-0,78
-0,05
4,03
China
0,10
-1,78
-0,26
2,10
-0,31
-0,98
2,04
2,93
Jepang
-0,27
-0,46
0,10
0,26
-0,07
0,40
0,20
1,52
India
1,19
1,14
-0,21
-1,05
-1,43
-0,46
-1,23
-0,29
/𝑥̅ /
1,36
1,06
0,64
0,83
1,32
1,51
0,71
2,80
Keterangan:
/𝑥̅ / : rata-rata dengan me-mutlak-kan nilai yang akan diperhitungkan.
Sumber: Diolah dari World Bank (2012) dan bank sentral setiap negara ITF
Jika dibandingkan antara negara-negara ITF dan Non-ITF, rata-rata inflasi
di negara ITF cenderung mengalami penurunan, sedangkan rata-rata inflasi di
negara Non-ITF cenderung mengalami peningkatan, seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 6 panel (a). Meskipun demikian, stabilitas inflasi di negara ITF
cenderung lebih fluktuatif dibandingkan negara non-ITF. Adanya guncangan
perekonomian global, seperti: kenaikan harga minyak pada tahun 2005, membuat
inflasi di negara-negara ITF bergerak tinggi dan berbeda jauh dari targetnya
(Gambar 6 panel (b)). Secara tidak langsung, hal ini mengindikasikan bahwa
beberapa negara yang menerapkan kebijakan ITF (yaitu: Indonesia, Thailand, dan
Filipina) belum memiliki pondasi ekonomi yang kuat untuk menstabilkan
inflasinya.
60
Persentase
Persentase
7,00
3,50
6,00
3,00
5,00
2,50
4,00
2,00
3,00
1,50
ITF
Non-ITF
1,00
2,00
ITF
1,00
0,50
Non-ITF
0,00
0,00
Tahun
Tahun
(a) Inflasi
(b) Stabilitas Inflasi
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
Gambar 6 Rata-rata Inflasi dan Stabilitas Inflasi Negara-negara ASEAN+6
menurut Kelompok Negara ITF dan Non-ITF Tahun 2001-2010
(Persen)
4.2 Produk Domestik Bruto (PDB)
Selama periode tahun 2001-2010, PDB negara-negara ASEAN terus
mengalami peningkatan, kecuali tahun 2008 dan 2009. Pada tahun 2008, Selandia
Baru dan Jepang mengalami resesi masing-masing sebesar 1,54 persen dan 1,17
persen. Sementara itu, pada tahun 2009, beberapa negara yang mengalami
pertumbuhan negatif adalah Thailand (-2,33 persen), Selandia Baru
(-0,47
persen), Malaysia (-1,64 persen), Singapura (-0,77 persen), dan Jepang
(-6,29
persen). Penurunan ekonomi ini merupakan dampak dari terjadinya subprime
mortgage.
Pada tahun 2010, perekonomian seluruh negara ASEAN+6 kembali
tumbuh positif. Pertumbuhan dua digit terjadi di Singapura (14,47 persen) dan
China (10,40 persen). Pertumbuhan ekonomi lebih dari lima persen terjadi di
India, Thailand, Filipina, Malaysia, Korea Selatan, dan Indonesia. Sementara itu,
perekonomian Jepang, Australia, dan Selandia Baru tumbuh tidak lebih dari empat
persen, seperti yang disajikan pada Tabel 7.
61
Tabel 7
Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (persen)
Negara
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
3,64
2,17
2,89
3,97
1,98
3,59
4,50
5,32
3,65
7,15
3,90
4,91
4,78
7,14
4,97
2,80
3,27
4,35
5,03
6,34
6,70
4,62
4,16
3,76
5,69
4,60
4,78
3,96
2,96
3,30
5,50
5,09
5,24
5,18
3,08
0,77
6,35
5,04
6,62
5,11
3,56
2,98
6,01
2,48
4,15
2,30
3,83
-1,54
4,58
-2,33
1,15
0,32
1,45
-0,47
6,10
7,81
7,63
6,16
2,26
1,66
0,52
-1,22
8,30
0,18
5,22
5,39
4,24
9,10
0,26
3,77
5,79
4,60
10,00
1,41
8,37
6,78
9,24
10,10
2,74
8,28
5,33
7,38
11,30
1,93
9,32
5,85
8,70
12,70
2,04
9,27
6,48
8,77
14,20
2,36
9,82
4,81
1,49
9,60
-1,17
4,93
-1,64
-0,77
9,20
-6,29
9,10
7,19
14,47
10,40
4,00
8,81
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
Sumber: World Bank (2012)
Tabel 7 juga menunjukkan bahwa perekonomian China tumbuh sangat
pesat, dimana pertumbuhan ekonominya selalu di atas delapan persen. Bahkan
pada tahun 2007, pertumbuhan ekonomi China mencapai 14,20 persen.
Pesatnya pertumbuhan ekonomi China menjadikannya sebagai negara
dengan PDB terbesar di ASEAN+6 pada tahun 2010. Posisi China tersebut
menggeser posisi Jepang yang sebelumnya menjadi negara dengan PDB terbesar
di ASEAN+6. China memiliki PDB sebesar US$5.927 milyar, sedangkan Jepang
memiliki PDB sebesar US$5.459 milyar. Sementara itu, PDB yang besar juga
dimiliki oleh India (US$1.727 milyar), Australia (US$1.132 milyar), Korea
Selatan (US$1.014 milyar), dan Indonesia (US$707 milyar), seperti yang
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8
PDB Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$)
Negara
2001
2002
2003
2004
2005
2006
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
160
116
76
505
380
53
196
127
81
576
397
65
235
143
84
644
468
87
257
161
91
722
616
102
286
176
103
845
696
111
93
91
1.325
4.095
478
101
91
1.454
3.918
507
110
93
1.641
4.229
599
125
109
1.932
4.606
722
138
124
2.257
4.552
834
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
2007
2008
2009
2010
(8)
(9)
(10)
(11)
365
207
122
952
750
111
432
247
149
1.049
857
138
510
273
174
931
1.062
118
539
264
168
834
924
127
707
319
200
1.014
1.132
134
157
139
2.713
4.363
951
187
168
3.494
4.378
1.242
223
178
4.522
4.880
1.216
193
188
4.991
5.033
1.377
238
209
5.927
5.459
1.727
62
Jika dilihat dari sisi pendapatan perkapita, terdapat kesenjangan yang
sangat tinggi antar negara ASEAN+6. Pada tahun 2010, pendapatan perkapita
tertinggi di kawasan ASEAN+6 terdapat di Singapura dengan nilai mencapai
US$56.890, sedangkan yang terendah terdapat di India dengan nilai hanya sebesar
US$3.340. Selain Singapura, negara-negara di kawasan ASEAN+6 yang memiliki
pendapatan perkapita US$20.000 atau lebih adalah Australia (US$36.910), Jepang
(US$34.780), Selandia Baru (US$29.140), Korea Selatan (US$28.830) yang
digolongkan sebagai negara maju. Sementara itu, Malaysia (US$14.160),
Thailand (US$8.150), China (US$7.600), Indonesia (US$4.190), Filipina
(US$3.960), dan tentunya India digolongkan sebagai negara berkembang (World
Bank, 2012).
4.3 Ekspor dan Impor
Seiring dengan perkembangan perekonomian yang terus meningkat selama
periode tahun 2001-2010, ekspor negara-negara ASEAN+6 juga terus mengalami
peningkatan. Peningkatan ekspor terbesar terjadi di India dan China dengan
masing-masing tumbuh sebesar 22,26 persen pertahun dan 21,69 persen pertahun.
Sementara itu, ekspor negara lain tumbuh antara 7,5 sampai 13 persen pertahun.
Pada tahun 2010, nilai ekspor terbesar terjadi di China yaitu mencapai
US$1.752,6 milyar, diikuti oleh Jepang (US$830,6 milyar) dan Korea Selatan
(US$531,5 milyar), sedangkan yang terendah terjadi di Selandia Baru (US$38,4
milyar), seperti disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9
Nilai Ekspor di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$)
Negara
(1)
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
62,6
76,1
35,1
180,3
83,7
18,3
64,0
81,4
38,0
190,8
81,5
21,0
71,6
93,7
39,6
227,7
88,3
24,9
82,7
114,1
44,4
295,2
104,4
29,2
97,4
129,7
47,6
331,8
125,6
30,4
113,1
152,5
56,9
377,7
146,5
31,6
127,2
181,3
64,6
439,9
168,8
39,2
152,1
208,4
64,1
493,7
208,7
36,3
130,4
180,1
54,3
414,8
209,4
35,4
173,9
226,9
69,5
531,5
223,8
38,4
102,4
171,4
109,2
171,2
117,9
193,9
143,9
240,1
162,0
284,0
182,5
325,1
205,5
368,2
229,8
415,0
185,9
376,8
231,4
440,6
299,4
365,4
485,0
655,8
836,9
1.061,7
1.342,2
1.581,7
1.333,3
1.752,6
432,5
61,0
445,3
73,5
507,9
88,7
612,7
126,6
652,5
160,8
703,0
200,5
771,4
253,9
856,2
289,4
636,1
273,0
830,6
372,0
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
63
Seperti ekspor, nilai impor India dan China juga tumbuh paling pesat di
antara negara-negara ASEAN+6, dengan masing-masing tumbuh sebesar 23,25
persen pertahun dan 21,11 persen pertahun. Sementara itu, impor negara lain
tumbuh antara 7 sampai 14 persen pertahun. Pada tahun 2010, nilai impor terbesar
terjadi di China yaitu mencapai US$1.520,5 milyar, diikuti oleh Jepang (US$768
milyar) dan Korea Selatan (US$503,2 milyar), sedangkan yang terendah terjadi di
Selandia Baru (US$36,4 milyar), seperti yang disajikan pada tabel 10.
Tabel 10 Nilai Impor di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$)
Negara
(1)
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
2001
2002
2003
2004
2005
2007
2008
2009
2010
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
2006
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
49,4
68,6
40,3
168,9
82,9
17,1
51,6
73,0
45,3
182,3
81,2
19,8
54,3
84,0
45,9
213,1
97,8
24,6
70,7
106,2
49,4
265,1
120,1
29,9
85,5
131,7
53,3
308,9
143,1
32,8
93,4
145,3
59,1
364,5
158,0
33,2
109,8
160,6
64,8
424,0
179,4
40,3
146,7
201,4
68,3
504,7
230,9
37,8
115,2
152,3
56,2
383,9
203,8
33,5
162,4
203,5
73,1
503,2
227,3
36,4
86,3
157,2
91,8
155,4
96,2
167,9
118,5
212,0
130,6
247,7
147,1
283,8
167,0
313,9
178,3
377,8
144,4
332,3
189,0
382,1
271,3
328,0
448,9
606,5
712,1
852,8
1.034,7
1.232,8
1.113,2
1.520,5
406,4
65,2
394,1
78,5
439,1
96,5
523,7
139,3
589,3
183,7
648,4
230,5
698,0
303,8
849,1
351,6
620,8
344,8
768,0
428,0
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
Jika dilihat secara netto, beberapa negara ASEAN+6 ada yang selalu
mengalami surplus perdagangan, tetapi ada juga yang selalu mengalami defisit
perdagangan. Surplus perdagangan selalu terjadi di Indonesia, Malaysia,
Singapura, China, dan Jepang. Defisit perdagangan selalu terjadi di India dan
Filipina. Semantara itu, Thailand dan Korea Selatan hanya mengalami defisit
perdagangan masing-masing pada tahun 2005 dan 2008.
Tabel 11 menunjukkan bahwa China mengalami surplus perdagangan
sangat tinggi yaitu mencapai US$232,1 milyar pada tahun 2010. Tingginya
surplus perdagangan di China tersebut sudah dimulai sejak tahun 2005 dengan
nilai US$124,8 milyar.
64
Tabel 11 Nilai Ekspor Netto di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Milyar US$)
Negara
2001
2002
(1)
(2)
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
13,3
7,5
-5,2
11,4
0,8
1,2
12,3
8,5
-7,3
8,5
0,3
1,2
17,2
9,7
-6,3
14,6
-9,5
0,3
12,0
7,8
-5,0
30,0
-15,7
-0,7
11,9
-2,0
-5,8
22,8
-17,5
-2,5
19,7
7,2
-2,2
13,2
-11,5
-1,6
17,5
20,7
-0,1
15,8
-10,6
-1,2
5,4
7,0
-4,3
-11,0
-22,2
-1,5
15,1
27,8
-1,9
30,9
5,6
1,8
11,5
23,5
-3,6
28,3
-3,5
2,0
16,2
14,2
28,1
26,1
-4,3
17,4
15,8
37,4
51,1
-5,0
21,7
26,0
36,1
68,8
-7,7
25,4
28,1
49,3
89,0
-12,7
31,5
36,3
124,8
63,1
-22,9
35,5
41,3
208,9
54,6
-30,1
38,5
54,3
307,5
73,3
-49,9
51,6
37,2
348,9
7,1
-62,1
41,5
44,5
220,1
15,4
-71,8
42,4
58,6
232,1
62,6
-56,0
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
Meskipun India dan China memiliki nilai ekspor dan impor terbesar,
namun jika dibandingkan dengan perekonomian kedua negara tersebut masih
relatif kecil, hanya sekitar 55,23 persen dan 46,32 persen pada tahun 2010.
Proporsi ekspor dan impor terhadap PDB terbesar terjadi di Singapura yaitu
mencapai 394,07 persen, atau ekspor dan impornya tiga kali lebih besar dari
perekonomian negara tersebut. Tingginya proporsi ekspor dan impor terhadap
PDB tersebut mengindikasikan tingginya derajat keterbukaan perdagangan
Singapura.
Tabel 12 Proporsi Ekspor dan Impor terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6
Tahun 2001-2010 (Persen)
Negara
(1)
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
ITF
Indonesia
69,79
Thailand
125,22
Filipina
98,91
Korea Selatan 69,22
Australia
43,77
Selandia Baru 66,85
Non ITF
Malaysia
203,36
Singapura
360,57
China
43,08
Jepang
20,49
India
26,41
59,08
121,70
102,44
64,78
40,99
62,22
53,62
124,58
101,85
68,47
39,73
57,01
59,76
136,54
102,64
77,61
36,46
57,89
63,99
148,25
97,88
75,83
38,59
56,94
56,66
143,80
94,94
77,98
40,61
58,65
54,83
138,46
86,62
82,34
40,62
57,47
58,56
150,33
76,28
107,20
41,41
62,94
45,53
126,16
65,59
95,76
44,71
54,37
47,59
135,14
71,42
101,99
39,87
55,90
199,36
360,59
47,70
21,42
29,97
194,20
387,50
56,91
22,39
30,90
210,37
413,45
65,35
24,67
36,86
212,10
430,56
68,63
27,28
41,32
210,46
438,90
70,57
30,98
45,31
199,45
405,50
68,03
33,56
44,88
183,21
445,91
62,24
34,94
52,71
171,23
376,20
49,02
24,97
44,86
176,80
394,07
55,23
29,29
46,32
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
Selama periode 2001-2010, Thailand (rata-rata 135,02 persen pertahun),
Filipina (89,86 persen pertahun), dan Korea Selatan (82,12 persen pertahun)
65
merupakan negara dengan derajat keterbukaan perdagangan tertinggi untuk
kelompok negara ITF, sedangkan Singapura (401,33 persen pertahun) dan
Malaysia (196,05 persen pertahun) menjadi negara dengan derajat keterbukaan
perdagangan tertinggi untuk kelompok negara Non-ITF di ASEAN+6.
Meskipun era perdagangan bebas sudah diterapkan namun tidak semua
negara ASEAN+6 memiliki trend derajat keterbukaan perdagangan positif
(meningkat). Negara-negara ASEAN+6 yang memiliki trend derajat keterbukaan
menurun, adalah: Indonesia, Filipina, dan Malaysia (lihat Lampiran 1 panel (e)).
4.4 Foreign Direct Investment (FDI) dan Portfolio Equity
Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk ke negara-negara ASEAN+6
umumnya lebih besar daripada yang keluar selama periode tahun 2001-2010.
Beberapa negara pernah mengalami FDI keluar lebih besar dibandingkan yang
masuk, seperti Indonesia pada tahun 2001 dan 2003, Australia pada tahun 2005,
Jepang pada tahun 2006, Selandia Baru pada tahun 2009, dan terakhir terjadi di
Jepang dan Korea Selatan di tahun 2010. Proporsi netinflow FDI terhadap PDB
terbesar terjadi di Singapura dengan rata-rata mencapai 14,28 persen pertahun,
diikuti oleh China (3,61 persen pertahun) dan Thailand (3,5 persen pertahun),
seperti disajikan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Proporsi Netinflow FDI terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6
Tahun 2001-2010 (Persen)
Negara
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
-1,86
4,39
0,26
0,70
2,17
-0,57
0,07
2,63
1,90
0,42
4,28
2,26
-0,25
3,67
0,59
0,55
1,71
2,61
0,74
3,63
0,75
1,28
5,98
2,29
2,92
4,57
1,80
0,75
-5,11
1,41
1,35
4,56
2,39
0,38
3,52
4,13
1,60
4,59
1,95
0,17
4,79
2,23
1,83
3,13
0,89
0,36
4,45
4,35
0,90
1,89
1,17
0,27
2,95
-0,99
1,88
1,98
0,86
-0,01
2,70
0,45
0,60
16,55
3,34
0,15
1,15
3,18
7,07
3,39
0,23
1,11
2,24
12,79
2,87
0,15
0,72
3,71
19,23
2,84
0,17
0,80
2,87
12,52
5,19
0,07
0,91
3,88
21,15
4,57
-0,16
2,14
4,60
22,02
4,58
0,51
2,05
3,31
4,83
3,87
0,50
3,57
0,72
8,11
2,29
0,24
2,58
4,00
18,51
3,12
-0,02
1,40
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
Sumber: World Bank (2012)
66
Portfolio equity yang masuk ke negara-negara ASEAN+6 juga umumnya
lebih besar daripada yang keluar selama periode tahun 2001-2010, kecuali tahun
2008. Pada tahun 2008, arus keluar portfolio equity lebih besar daripada yang
masuk terjadi di negara Thailand, Filipina, Korea Selatan, Malaysia, Singapura,
Jepang, dan India. Selama periode tahun 2001-2010, proporsi netinflow portfolio
equity terhadap PDB yang terbesar terjadi di Singapura dengan rata-rata mencapai
2,17 persen pertahun, diikuti oleh China (1,14 persen pertahun) dan India (1,12
persen pertahun), seperti disajikan dalam Tabel 14.
Tabel 14 Proporsi Netinflow Portfolio Equity terhadap PDB di Negara-negara ASEAN+6
Tahun 2001-2010 (Persen)
Negara
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
0,28
0,30
0,16
2,03
1,88
0,07
0,45
0,42
0,28
0,07
0,07
0,00
0,48
1,25
0,60
2,24
2,61
0,83
0,80
0,82
0,57
1,31
-4,10
0,10
-0,06
2,90
1,42
0,39
1,17
-0,09
0,52
2,53
2,07
-0,88
1,86
-0,36
0,82
1,73
2,13
-2,74
1,60
0,17
0,06
-1,39
-0,74
-3,61
1,83
0,14
0,15
0,51
-0,65
2,98
3,61
0,76
0,30
1,08
0,24
2,27
0,88
-0,23
0,00
-0,10
0,06
0,95
0,62
-0,05
-0,49
0,15
-0,43
0,21
1,22
2,98
0,47
2,08
1,37
3,61
2,18
0,57
2,13
1,25
-0,87
3,96
0,90
2,88
1,46
1,50
7,31
1,58
1,64
1,00
-0,36
10,88
0,53
1,04
2,65
-4,81
-6,58
0,19
-1,43
-1,24
-0,23
-0,17
0,56
0,25
1,53
0,00
1,70
0,53
0,74
2,31
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
Sumber: World Bank (2012)
Jika FDI dan portfolio equity digabungkan, Singapura tetap menjadi
negara terbesar dalam penyerapan modal asing secara relatif terhadap
perekonomiannya. Proporsi netinflow FDI dan portfolio equity Singapura
mencapai 16,45 persen pertahun. Meskipun jauh lebih rendah dibanding
Singapura, proporsi netinflow FDI dan portfolio equity terhadap PDB Thailand
dan China berada pada posisi berikutnya dengan proporsi masing-masing rata-rata
sebesar 4,52 persen pertahun dan 4,16 persen pertahun. Proporsi netinflow FDI
dan portfolio equity terhadap PDB terendah terjadi di Korea Selatan dengan
proporsi sebesar 0,89 persen pertahun, seperti disajikan dalam Tabel 15.
Selama periode tahun 2001-2010, proporsi netinflow FDI dan portfolio
equity mengalami trend positif, atau setidaknya tidak mengalami penurunan di
semua negara ASEAN+6 (lihat Lampiran 1 panel (f)). Kondisi terus
67
meningkatnya proporsi netinflow FDI dan portfolio equity berarti semakin
bertambahnya
akumulasi
modal
swasta
asing
sehingga
dapat
lebih
mengefisienkan proses produksi.
Tabel 15 Proporsi Netinflow FDI dan Portfolio Equity terhadap PDB di Negara-negara
ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen)
Negara
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
-1,58
4,69
0,42
2,73
4,05
-0,49
0,52
3,06
2,17
0,48
4,35
2,26
0,23
4,92
1,18
2,79
4,32
3,44
1,53
4,45
1,32
2,59
1,89
2,39
2,86
7,47
3,22
1,14
-3,94
1,32
1,87
7,10
4,46
-0,50
5,38
3,77
2,43
6,31
4,08
-2,57
6,39
2,39
1,89
1,73
0,15
-3,25
6,28
4,49
1,05
2,39
0,52
3,25
6,56
-0,23
2,18
3,06
1,10
2,25
3,58
0,22
0,60
16,45
3,40
1,11
1,76
3,12
6,58
3,55
-0,19
1,32
3,46
15,77
3,34
2,22
2,09
7,32
21,41
3,41
2,30
2,05
2,01
16,48
6,09
2,96
2,37
5,38
28,47
6,15
1,48
3,14
4,24
32,90
5,11
1,54
4,70
-1,50
-1,75
4,07
-0,93
2,33
0,49
7,93
2,85
0,48
4,12
4,00
20,21
3,65
0,71
3,71
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
4.5 Nilai Tukar
Nilai tukar di negara ITF cenderung lebih fluktuatif dibandingkan negara
Non-ITF. Hal ini dimungkinkan karena negara ITF umumnya (seharusnya)
memang menganut rezim nilai tukar mengambang, sedangkan negara Non-ITF
biasanya menganut rezim nilai tukar tetap.
Tabel 16 Perubahan Nilai Tukar di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010 (Persen)
Negara
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
StDev
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
-9,26
-3,31
1,20
-3,09
-4,80
-9,10
-7,88
-3,43
5,04
-4,75
-16,23
-20,35
4,22
-3,04
3,39
-3,89
-11,81
-12,39
8,57
-0,01
-1,70
-10,58
-3,70
-5,86
-5,62
-5,81
-6,85
-6,77
1,41
8,57
-0,20
-8,88
-10,07
-2,67
-10,01
-11,76
6,10
-3,49
-3,95
18,59
-0,24
4,56
7,12
2,92
7,57
15,87
7,55
12,47
-12,51
-7,58
-5,39
-9,47
-14,98
-13,29
7,95
3,61
5,90
10,57
8,01
11,19
0,00
-0,06
0,00
3,18
3,02
0,00
-2,70
0,00
-7,54
-4,17
0,00
-2,98
0,00
-6,68
-2,72
-0,34
-1,53
-1,00
1,87
-2,68
-3,14
-4,53
-2,70
5,52
2,74
-6,29
-5,15
-4,59
1,25
-8,74
-2,96
-6,12
-8,66
-12,22
5,22
5,66
2,80
-1,69
-9,47
11,26
-8,61
-6,26
-0,90
-6,19
-5,54
4,14
3,00
2,86
6,35
6,22
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
Keterangan: Tanda (-) berarti terjadi apresiasi/revaluasi
StDev: Standar deviasi
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
68
Berdasarkan standar deviasi perubahan nilai tukar setiap negara, rata-rata
standar deviasi perubahan nilai tukar di negara ITF sebesar 7,87, sedangkan di
negara Non-ITF sebesar 4,51. Meskipun demikian, beberapa negara ITF, yaitu:
Thailand dan Filipina memiliki standar deviasi yang lebih rendah daripada negara
Non-ITF.
Hal yang sama juga terjadi pada perubahan nilai tukar riil. Berdasarkan
standar deviasi perubahan nilai tukar riil setiap negara, rata-rata standar deviasi
perubahan nilai tukar riil di negara ITF sebesar 7,65, sedangkan di negara NonITF sebesar 4,88. Thailand dan Filipina juga memiliki standar deviasi yang lebih
rendah daripada negara Non-ITF.
Tabel 17 Perubahan Nilai Tukar Riil di Negara-negara ASEAN+6 Tahun 2001-2010
(Persen)
Negara
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
StDev
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
-17,60
-2,46
-0,19
-4,20
-6,11
-10,06
-11,61
-2,99
3,84
-5,90
-16,63
-19,76
0,72
-3,12
0,17
-4,73
-11,53
-12,32
1,63
-1,10
-5,57
-10,03
-3,02
-5,66
-13,87
-7,08
-9,49
-5,83
1,11
8,63
-3,53
-8,37
-10,05
-2,38
-9,55
-11,53
0,37
-4,92
-8,76
17,61
-0,73
4,55
1,84
3,44
3,84
12,31
5,25
9,99
-15,41
-9,08
-7,37
-10,60
-15,97
-14,36
8,11
3,92
5,67
9,80
7,65
10,76
-0,22
1,92
2,37
5,76
0,25
1,26
-1,00
1,10
-5,21
-5,59
1,14
-2,01
-1,16
-4,17
-3,74
0,08
1,38
0,53
5,62
-3,48
-3,50
-2,45
-1,01
8,66
-0,09
-5,53
-4,45
-6,32
4,08
-11,75
-4,43
-8,48
-10,41
-10,09
0,83
4,67
1,82
-1,34
-8,56
-0,01
-8,67
-7,31
-2,50
-3,96
-14,27
4,13
3,84
3,98
6,94
5,48
ITF
Indonesia
Thailand
Filipina
Korea Selatan
Australia
Selandia Baru
Non ITF
Malaysia
Singapura
China
Jepang
India
Keterangan: Tanda (-) berarti terjadi apresiasi/revaluasi
StDev: Standar deviasi
Sumber: Diolah dari World Bank (2012)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengujian Stasioneritas Data
Pengujian stasioneritas data merupakan tahap yang paling penting dalam
menganalisis data panel untuk melihat ada tidaknya panel unit root yang
terkandung dalam suatu variabel, sehingga hubungan antar variabel menjadi valid.
Statistik uji yang dapat digunakan dalam pengujian stasioneritas data adalah
Levin, Lin, dan Chu (LLC) untuk common unit root, ADF-Fisher dan PP-Fisher
untuk individual unit root. PP-Fisher lebih digunakan pada data-data yang
mengandung perubahan struktur, seperti pada periode krisis ekonomi 1997.
Akan tetapi, sebelum dilakukan pengujian stasioneritas data, terlebih
dahulu dilakukan plotting data untuk menentukan metode pengujiannya, apakah
metode individual intercept effect atau metode indifidual intercept effect dengan
trend. Berdasarkan plotting data diketahui bahwa variabel stabilitas inflasi
(STABINF), deviasi ekspektasi inflasi (DEVEXPINF), kesenjangan output
(lnYGAP), dan keterbukaan finansial (FO) tidak memiliki trend effect, sedangkan
nilai tukar riil (lnRER) dan keterbukaan perdagangan (TO) memiliki trend effect.
Dengan demikian, stabilitas inflasi (STABINF), deviasi ekspektasi inflasi
(DEVEXPINF), kesenjangan output (lnYGAP), dan keterbukaan finansial (FO)
menggunakan metode individual intercept effect tanpa trend, sedangkan nilai
tukar riil (lnRER) dan keterbukaan perdagangan (TO) menggunakan metode
individual intercept effect dengan trend. Hasil ploting data dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Berdasarkan pengujian panel unit root dengan menggunakan uji Levin,
Lin, dan Chu (LLC) untuk common unit root diperoleh bahwa seluruh variabel
stasioner pada data level, namun berdasarkan uji ADF-Fisher untuk individual
unit root diperoleh bahwa keterbukaan perdagangan (TO) dan nilai tukar riil
(lnRER) tidak stasioner pada level sehingga diperlukan proses differencing.
Dikarenakan ada sebagian variabel dilakukan proses differencing, maka variabel
kesenjangan output (lnYGAP) dan keterbukaan finansial (FO) juga dilakukan
differencing agar memudahkan dalam analisis.
70
Setelah dilakukan first difference pada variabel keterbukaan perdagangan
(TO), nilai tukar riil (lnRER), kesenjangan output (lnYGAP), dan keterbukaan
finansial (FO) dilakukan kembali proses pengujian stasioneritas data. Berdasarkan
pengujian panel unit root dengan menggunakan uji Levin, Lin, dan Chu (LLC)
untuk common unit root diperoleh bahwa seluruh variabel stasioner pada data first
difference. Hal yang sama juga diperoleh dari pengujian untuk individual unit root
dengan menggunakan ADF-Fisher maupun PP-Fisher, dimana variabel-variabel
tersebut stasioner pada data first difference pada level 5%, seperti yang disajikan
pada Tabel 18. Hasil lengkap pengujian stasioneritas data dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Variabel stabilitas inflasi (STABINF) dan deviasi ekspektasi inflasi
(DEVEXPINF) tidak dilakukan differencing karena pada dasarnya variabelvariabel tersebut merupakan data first differencing (pembedaan pertama). Untuk
selanjutnya, pembedaan pertama (first differencing) dalam penelitian ini
disimbolkan dengan”D”.
Tabel 18
Rekapitulasi Hasil Pengujian Stasioneritas Data
LLC
p-value
ADF-Fisher
PP-Fisher
(3)
(4)
(5)
(6)
0
1
0,0000
0,0000
0,0000
DEVEXPINF
0
1
0,0000
0,0000
0,0000
lnYGAP
D(lnYGAP)
0
1
1
1
0,0017
0,0000
0,0073
0,0007
0,0001
0,0000
lnRER
D(lnRER)
0
1
2
2
0,0000
0,0000
0,1079
0,0235
0,0096
0,0172
TO
D(TO)
0
1
2
2
0,0082
0,0000
0,6619
0,0249
0,2319
0,0000
FO
D(FO)
0
1
1
1
0,0000
0,0000
0,0271
0,0000
0,0038
0,0000
Variabel
diff
Metode
(1)
(2)
STABINF
Keterangan:
- Differencing:
- Metode:
- Statistik uji:
0
1
1
2
LLC
ADF-Fisher
PP-Fisher
= Data level
= Data first difference
= Individual intercept effect
= Individual intercept effect dan trend
= Levin, Lin, dan Chu test
= ADF–Fisher Chi-Square
= PP–Fisher Chi-Square
71
5.2 Kaitan Keterbukaan Ekonomi dan Variabel Lainnya dengan Stabilitas
Inflasi
5.2.1 Kaitan Keterbukaan Perdagangan dengan Stabilitas Inflasi
Keterbukaan perdagangan dan stabilitas inflasi dinyatakan berhubungan
negatif oleh beberapa peneliti sebelumnya, seperti Mukherjee (2011). Artinya,
semakin tinggi derajat keterbukaan perdagangan maka selisih antara inflasi aktual
dengan inflasi potensial/targetnya akan makin kecil, atau inflasi makin stabil.
Jika dilihat berdasarkan plot data antara keterbukaan perdagangan dan
stabilitas inflasi selama periode tahun 2001-2010, hubungan negatif tersebut
hanya terjadi di India dan Filipina. India bukan negara pengadopsi ITF (Non-ITF),
sedangkan Filipina merupakan negara pengadopsi ITF. Keduanya bukan
tergolong negara maju. Selengkapnya mengenai kaitan antara keterbukaan
perdagangan dan stabilitas inflasi dapat dilihat pada Lampiran 3 panel (a).
5.2.2 Kaitan Keterbukaan Finansial dengan Stabilitas Inflasi
Keterbukaan finansial juga dinyatakan memiliki hubungan negatif dengan
stabilitas inflasi. Artinya, semakin terbuka finansial di negara tersebut maka
stabilitas inflasinya akan semakin baik.
Berdasarkan plot data antara keterbukaan finansial dan stabilitas inflasi
selama periode tahun 2001-2010, hubungan negatif terjadi di Indonesia, Filipina,
Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Jepang, dan India. Indonesia, Filipina, Korea
Selatan merupakan negara ITF, sedangkan Malaysia, Singapura, Jepang, dan India
bukan negara ITF. Negara yang tergolong maju adalah Korea Selatan, Singapura,
dan Jepang.
Sebaliknya, hubungan positif, atau makin terbuka finansial maka stabilitas
inflasinya makin buruk, terjadi di Thailand, Australia, Selandia Baru, dan China.
Thailand, Australia, dan Selandia Baru merupakan negara ITF, sedangkan China
negara non-ITF. Australia dan Selandia Baru tergolong sebagai negara maju,
sedangkan Thailand dan China bukan negara maju. Selengkapnya mengenai
kaitan antara keterbukaan finansial dan stabilitas inflasi dapat dilihat pada
Lampiran 3 panel (b)
72
5.2.3 Kaitan Kesenjangan Output dengan Stabilitas Inflasi
Kaitan kesenjangan output dengan stabilitas inflasi yang positif terjadi
hampir diseluruh negara ASEAN+6, kecuali China dan Korea Selatan. Hal ini
menunjukkan bahwa jika output aktual lebih tinggi daripada output potensial akan
berakibat pada terjadinya inflasi aktual yang lebih tinggi daripada inflasi
potensialnya. Jika output aktual lebih tinggi daripada output potensial maka akan
berakibat pada kelebihan permintaan sehingga harga-harga akan bergerak naik.
Selengkapnya mengenai kaitan antara kesenjangan output dengan stabilitas inflasi
dapat dilihat pada Lampiran 3 panel (c).
5.2.4 Kaitan Nilai Tukar Riil dengan Stabilitas Inflasi
Hubungan nilai tukar riil dengan stabilitas inflasi cukup beragam.
Hubungan positif nilai tukar riil dengan stabilitas inflasi terjadi di Indonesia,
Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan India, yang berarti bahwa terjadinya
depresiasi/devaluasi nilai tukar riil akan berdampak buruk terhadap stabilitas
inflasi. Dengan kata lain, apresiasi/revaluasi nilai tukar riil berdampak baik bagi
stabilitas inflasi. Dari lima negara tersebut, hanya India yang merupakan negara
Non-ITF.
Sebaliknya, depresiasi/devaluasi nilai tukar riil berdampak baik bagi
negara Filipina, Malaysia, Singapura, dan China, atau dengan kata lain
apresiasi/revaluasi nilai tukar riil akan berdampak buruk bagi stabilitas inflasi.
Filipina merupakan satu-satunya negara ITF yang mengalami kondisi ini.
Selengkapnya mengenai kaitan antara kesenjangan output dengan stabilitas inflasi
dapat dilihat pada Lampiran 3 panel (d).
5.2.5 Kaitan Deviasi Ekspektasi Inflasi dengan Stabilitas Inflasi
Hubungan positif deviasi ekspektasi inflasi dengan stabilitas inflasi terjadi
di Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan India. Kondisi ini mengindikasikan
bahwa jika semakin berbeda antara inflasi yang diekspektasi dunia usaha dengan
inflasi potensial maka inflasi aktual juga akan makin jauh dari inflasi
potensialnya. India menjadi satu-satunya negara non-ITF yang mengalami kondisi
73
hubungan positif tersebut. Selengkapnya mengenai kaitan antara deviasi
ekspektasi inflasi dengan stabilitas inflasi dapat dilihat pada Lampiran 3 panel (e).
5.2.6 Pengujian Kausalitas Granger
Pengujian kausalitas granger antara stabilitas inflasi dengan beberapa
variabel yang diteliti adalah untuk mengetahui variabel-variabel mana yang lebih
dahulu memengaruhi stabilitas inflasi atau sebaliknya stabilitas inflasi yang lebih
dahulu memengaruhi variabel-variabel lainnya. Hasil pengujian kausalitas granger
juga dapat menyatakan bahwa variabel-variabel yang diteliti saling memengaruhi
dengan stabilitas inflasi atau sebaliknya tidak saling memengaruhi. Satu hal yang
perlu digarisbawahi, meski dalam pengujian kausalitas granger dinyatakan bahwa
suatu variabel signifikan memengaruhi stabilitas inflasi, bukan berarti secara
otomatis variabel tersebut akan memberi pengaruh signifikan dalam model data
panel.
Hasil pengujian kausalitas granger menyimpulkan bahwa ada dua pola
arah hubungan antara stabilitas inflasi dengan beberapa variabel yang diteliti.
Pertama, hubungan dua arah, yaitu antara stabilitas inflasi dengan deviasi
ekspektasi inflasi dan kesenjangan output. Kedua, hubungan satu arah, yaitu:
keterbukaan perdagangan, keterbukaan finansial, dan nilai tukar riil memengaruhi
stabilitas inflasi.
Tabel 19 Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Stabilitas Inflasi
dengan Variabel yang Diteliti menggunakan Program Eviews v 6
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
(1)
(2)
(3)
DEVEXPINF does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause DEVEXPINF
88
5,85378 ***
133,684 ***
D(lnYGAP) does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause D(lnYGAP)
88
3,47872 **
13,1281 ***
D(lnRER) does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause D(lnRER)
77
5,74051 ***
0,05184
D(TO) does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause D(TO)
77
7,53420 ***
0,60707
D(FO) does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause D(FO)
77
2,56602 *
0,16689
Keterangan: ***, **, dan * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi 1%, 5%, dan 10%
74
5.3 Estimasi Model
Estimasi model awal dilakukan melalui seluruh metode baik statis [Pooled
Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model
(REM)] maupun dinamis [First Differences-Generalized Method of Moment (FDGMM) dan System-Generalized Method of Moments (Sys-GMM)]. Rekapitulasi
model awal disajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter PLS, FEM, REM, FD-GMM,
dan Sys-GMM
Variabel
PLS
FEM
REM
FD-GMM
Sys-GMM
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
0,2381
0,4400
**
0,2381
- 0,3200
- 0,2254
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(lnYGAP)
D(lnRER)
D(TO)
D(FO)
0,0964
0,0647
7,5981
-2,5819
0,0272
-0,0738
-0,0108
-0,2270
5,0297
-1,1420
0,0194
-0,0766
**
0,0964
0,0647
7,5981
-2,5819
0,0272
-0,0738
- 0,4127
- 0,6605
- 61,0769
- 19,6234
0,0254
0,0088
- 0,3204
- 0,6005
- 47,4235
- 17,7848
0,0272
0,0010
R-Square
Hausman Test
Statistik m1
Statistik m2
Sargan Test
0,1332
C
*
**
0,2707
*
**
**
*
**
*
***
0,1332
[0,0215]
[0,1611]
[0,4155]
[1,0000]
[0,1399]
[0,1947]
[1,0000]
Keterangan: 1) angka dalam [ ] merupakan p-value
2) ***, **, dan * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi 1%, 5%, dan 10%
Berdasarkan pengujian pada ketiga model data panel statis yakni PLS,
FEM, dan REM diperoleh hasil bahwa metode FEM lebih dipilih dibandingkan
dua metode lainnya. Berdasarkan uji Chow, FEM lebih baik daripada PLS pada
taraf nyata 10 persen, dimana nilai statistik uji Chow sebesar 1,7728 lebih besar
dari nilai F tabel yang sebesar 1,6681, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 8.
Berdasarkan uji Haussman, FEM lebih baik daripada REM pada taraf nyata 5
persen, dimana nilai prob Chi-square yang sebesar 0,0215 lebih kecil daripada
taraf nyata, seperti yang disajikan pada Lampiran 9. Dengan demikian, model
yang dipilih pada data panel statis adalah FEM.
Sementara itu, pengujian pada kedua model data panel dinamis yakni FDGMM dan Sys-GMM tidak menghasilkan suatu metode estimasi yang memiliki
validitas instrumen sekaligus konsisten dan unbias.
75
Metode FD-GMM menghasilkan estimasi yang valid dimana hasil uji
Sargan menunjukkan hal tersebut (dengan kesimpulan tidak menolak hipotesis
nol), namun tidak memiliki konsistensi yang baik dan bias. Ketidakkonsistenan
tersebut terlihat dari tidak signifikannya hasil uji statistik m1 yang semestinya
signifikan. Estimasi yang dihasilkan juga bias karena koefisien variabel
independen lag, yaitu: stabilitas inflasi sebelumnya (dalam hasil pengolahan
dengan program Eviews disimbolkan dengan “STABINF(-1)” sedangkan dalam
hasil pengolahan dengan program Stata disimbolkan dengan “stabinf L1”) tidak
berada pada rentang koefisien variabel independen lag model PLS dan FEM.
Selengkapnya disajikan pada Lampiran 10.
Hal yang sama terjadi pada metode Sys-GMM. Metode Sys-GMM juga
menghasilkan estimasi yang valid dimana hasil uji Sargan menunjukkan hal
tersebut (dengan kesimpulan tidak menolak hipotesis nol), namun tidak memiliki
konsistensi yang baik dan bias. Ketidakkonsistenan tersebut terlihat dari tidak
signifikannya hasil uji statistik m1 yang semestinya signifikan. Estimasi yang
dihasilkan juga bias karena koefisien variabel independen lag (stabinf L1) tidak
berada pada rentang koefisien variabel independen lag (STABINF(-1)) model PLS
dan FEM. Selengkapnya disajikan pada Lampiran 11.
Pengujian berbagai asumsi dasar terhadap metode FEM, sebagai model
terpilih, dilakukan untuk memperoleh hasil estimasi yang BLUE (best linear
unbiased estimator), khususnya uji autokorelasi dan uji homoskedasitas.
Berdasarkan hasil uji Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW sebesar 2,0906.
Dengan taraf nyata 5 persen, n=110, dan k=6, nilai d U diperoleh sebesar 1,8054
dan nilai d L sebesar 1,5761 maka nilai DW terletak antara d U < DW < 4-d U (yaitu
antara 1,8054 dan 2,1946). Hasil ini menunjukkan bahwa model tidak
mengandung autokorelasi.
Sementara itu, dengan jumlah kuadrat residual (sum square residual) pada
weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics maka terdapat
pelanggaran asumsi homoskedasitas pada model. Oleh karena itu, estimasi perlu
dilakukan menggunakan metode FEM dengan General Least Square (GLS)
Weighted untuk mengatasi pelanggaran asumsi tersebut. Rekapitulasi Hasil
Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan GLS Weighted, baik untuk model
76
umum maupun model untuk negara ITF dan non-ITF serta untuk kelompok
negara maju dan kelompok negara sedang berkembang disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21 Rekapitulasi Hasil Estimasi Koefisien Parameter FEM dengan GLS Weighted
Variabel
ASEAN+6
Non-ITF
ITF
NSB
NM
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
0,4788 ***
- 0,0359
- 0,1916
0,0715
0,0674
0,0217 **
- 0,0601 ***
0,3192 **
0,0435
- 0,3901
4,9901
- 6,9743 **
0,0089
- 0,0788 ***
C
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(lnYGAP)
D(lnRER)
D(TO)
D(FO)
0,3192
0,0608
- 0,1104
- 4,4714
0,6372**
0,0824***
0,0518***
0,3337*
0,0564
- 0,1392
4,1523
- 7,9466
0,0441
- 0,2661**
0,3337*
- 0,1516
- 0,2809
- 9,4593
1,3286
0,0294
- 0,0282**
Keterangan:
1) ASEAN+6
2)
3)
4)
5)
6)
: Negara-negara ASEAN+6 (Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Jepang,
Korea Selatan, China, India, Australia, dan Selandia Baru);
Non-ITF
: Negara-negara non-ITF (Malaysia, Singapura, China, Jepang, dan India)
ITF
: Negara-negara dengan kebijakan ITF (Indonesia, Thailand, Filipina, Korea Selatan,
Australia, dan Selandia Baru)
NSB
: Negara Sedang Berkembang (Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, China, dan India)
NM
: Negara Maju (Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan Jepang)
***, **, dan * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi 1%, 5%, dan 10%
5.4 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi
Secara umum, keterbukaan ekonomi, baik perdagangan maupun finansial,
akan memengaruhi stabilitas inflasi secara signifikan di negara-negara ASEAN+6.
Makin tinggi tingkat keterbukaan perdagangan maka inflasinya akan menjadi
tidak stabil, sedangkan makin tinggi tingkat keterbukaan finansial maka inflasinya
akan makin stabil di negara-negara ASEAN+6.
Tabel 21 kolom (2) menunjukkan bahwa ketika tingkat keterbukaan
perdagangan meningkat satu persen maka selisih inflasi dengan inflasi potensial
(stabilitas inflasinya) akan bertambah secara riil sebesar 0,02 persen, ceteris
paribus. Sementara itu, bertambahnya tingkat keterbukaan finansial sebesar satu
persen akan menurunkan selisih inflasi dengan inflasi potensialnya sebesar 0,06
persen, ceteris paribus. Dengan kata lain, makin tinggi tingkat keterbukaan
perdagangan di negara-negara ASEAN+6 maka stabilitas inflasi akan semakin
buruk, sedangkan makin tinggi tingkat keterbukaan finansial maka stabilitas
inflasi akan semakin baik.
77
Kondisi makin buruknya stabilitas inflasi sebagai akibat tingginya tingkat
keterbukaan perdagangan disebabkan lebih besarnya proporsi ekspor terhadap
PDB dibandingkan dengan proporsi impor terhadap PDB. Rata-rata proporsi
ekspor terhadap PDB di negara-negara ASEAN+6 sebesar 56,46 persen pertahun,
sedangkan proporsi impor terhadap PDB sebesar 51,93 persen pertahun. Secara
teori, dengan makin besarnya proporsi ekspor dibandingkan proporsi impor akan
meningkatkan permintaan agregat yang pada akhirnya akan menarik tingkat harga
(demand pull inflation).
Secara empiris, hubungan positif keterbukaan perdagangan terhadap
inflasi memang belum ada yang memperolehnya, namun setidaknya hubungan
tersebut tidak selalu negatif. Temple (2002) tidak memperoleh hubungan negatif
antara keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Temple (2002) juga menyatakan
bahwa inflasi atau stabilitas inflasi menjadi relatif mahal dalam ekonomi yang
lebih terbuka, karena inflasi terkait dengan nilai tukar. Kondisi ini sejalan dengan
polt data antara keterbukaan perdagangan dan stabilitas inflasi, dimana hampir
seluruh negara ASEAN+6 memiliki hubungan positif, kecuali Filipina dan India.
Sementara itu, makin baiknya stabilitas inflasi karena meningkatnya
tingkat keterbukaan finansial menunjukkan bahwa arus modal swasta yang masuk
dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga tercipta efisiensi modal, yang pada
akhirnya akan meningkatkan pasokan (supply) barang dan menurunkan tingkat
harga. Hasil empiris hubungan negatif keterbukaan finansial dengan inflasi
diperoleh Mukherjee (2011) dan Badinger (2009). Hubungan negatif ini terjadi di
tujuh negara ASEAN+6, yaitu: Indonesia, Filipina, Korea Selatan, Malaysia,
Singapura, Jepang, dan India.
Tidak signifikannya pengaruh stabilitas inflasi sebelumnya terhadap
stabilitas inflasi saat ini menunjukkan bahwa tidak terjadi presisten stabilitas
inflasi di negara-negara ASEAN+6. Hal ini lebih disebabkan bahwa stabilitas
inflasi hanya menjadi perhatian otoritas moneter semata, bukan pelaku ekonomi
lainnya. Hasil estimasi selanjutnya adalah kesenjangan output, nilai tukar riil, dan
deviasi ekspektasi inflasi tidak memberikan pengaruh signifikasn terhadap
stabilitas inflasi.
78
5.5 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi terkait
Penerapan Kebijakan ITF
Terkait dengan penerapan kebijakan ITF oleh otoritas moneter di beberapa
negara ASEAN+6, dampak buruk keterbukaan perdagangan ternyata hanya terjadi
di negara-negara ITF. Tabel 21 kolom (4) menunjukkan bahwa setiap
penambahan secara riil satu persen derajat keterbukaan perdagangan berakibat
pada bertambahnya selisih antara inflasi aktual dengan targetnya sebesar 0,08
persen, ceteris paribus. Lebih besarnya proporsi ekspor (39,23 persen pertahun)
daripada impor (38,98 persen pertahun) lagi-lagi menjadi penyebab terjadinya
kondisi ini.
Sementara itu, dalam hal keterbukaan finansial, dampak berbeda dialami
oleh negara-negara ITF dan negara-negara non-ITF. Keterbukaan finansial
berdampak positif dan signifikan terhadap stabilitas inflasi di negara-negara ITF.
Artinya, makin tinggi tingkat keterbukaan finansial maka stabilitas inflasi di
negara-negara ITF akan makin buruk. Setiap penambahan secara riil satu persen
derajat keterbukaan finansial akan berakibat pada bertambahnya selisih antara
inflasi aktual dengan targetnya sebesar 0,05 persen, ceteris paribus. Hal ini tidak
sesuai dengan hasil yang diperoleh Mukherjee (2011) yang mendapatkan
hubungan negatif keterbukaan finansial dengan stabilitas inflasi di negara ITF
Maju.
Dampak buruk keterbukaan finansial terhadap stabilitas inflasi negaranegara ITF disinyalir terjadi sebagai akibat kurang percayanya investor asing
terhadap kondisi perekonomian beberapa negara ITF sehingga ketika ada
guncangan
terhadap
perekonomian
nasional
maupun
global
langsung
mengalihkan modalnya ke luar negeri (capital outflow), seperti yang terjadi di
Korea Selatan pada tahun 2006-2008. Terjadinya capital outflow berdampak pada
penurunan nilai mata uang dalam negeri sehingga memicu terjadinya inflasi.
Kondisi ini mencerminkan bahwa kebijakan ITF kurang layak dalam era
keterbukaan finansial.
Dampak keterbukaan finansial terhadap stabilitas inflasi di negara-negara
non-ITF menunjukkan hal sebaliknya, yaitu menstabilkan inflasi. Tabel 21 kolom
(3) menunjukkan bahwa setiap penambahan secara riil satu persen derajat
79
keterbukaan finansial akan berakibat pada berkurangnya selisih antara inflasi
aktual dengan targetnya sebesar 0,08 persen, ceteris paribus.
Pengaruh signifikan terhadap stabilitas inflasi juga diberikan oleh nilai
tukar riil. Depresiasi nilai tukar riil memberikan dampak buruk terhadap stabilitas
inflasi di negara-negara ITF. Atau, apresiasi nilai tukar riil memberikan dampak
baik terhadap stabilitas inflasi. Penambahan satu persen depresiasi nilai tukar riil
akan menambah selisih inflasi aktual dengan inflasi potensialnya sebesar 0,64
persen, ceteris paribus.
Dampak buruk depresiasi nilai tukar riil terhadap stabilitas inflasi dapat
terjadi melalui dua jalur. Pertama, depresiasi nilai tukar riil akan berdampak pada
naiknya harga barang-barang impor sehingga dunia usaha yang menggunakan
bahan baku impor akan mengalami beban biaya yang tinggi dan untuk
mengatasinya akan mengurangi produksi yang berdampak pada berkurangnya
ketersediaan barang di pasar dan akhirnya memicu inflasi (cost push inflation).
Kedua, depresiasi nilai tukar akan menurunkan harga relatif barang sehingga
permintaan barang dari luar negeri akan meningkat. Meskipun tidak langsung
berpengaruh, peningkatan permintaan ekspor ini akan meningkatkan permintaan
agregat yang pada akhirnya memicu inflasi (demand pull inflation). Hasil ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Svensson (2000) dan Mishkin dan
Schmidt-Hebbel (2007).
Akan tetapi, depresiasi nilai tukar riil ternyata memberi dampak baik bagi
stabilitas inflasi di negara-negara non-ITF. Atau, apresiasi nilai tukar riil
memberikan dampak buruk terhadap stabilitas inflasi. Setiap penambahan satu
persen depresiasi nilai tukar riil akan mengurangi selisih inflasi aktual dengan
potensialnya sebesar 6,97 persen. Hal ini disinyalir terkait dengan adanya
kebijakan fixed exchange rate di negara-negara non-ITF, seperti China dan
Malaysia. Negara dengan rezim nilai tukar ini semaksimal mungkin untuk tidak
me-revaluasi mata uangnya karena dengan me-revaluasi mata uangnya maka
harga relatif barang ekspornya menjadi lebih mahal sehingga akan mengganggu
kondisi perekonomiannya. Selain itu, Malaysia memiliki kebijakan kontrol
selektif terhadap neraca modalnya. Lane (1997) mendapatkan hasil bahwa negara
80
dengan perekonomian yang relatif terbuka akan cenderung untuk menganut rezim
nilai tukar tetap.
5.6 Dampak Keterbukaan Ekonomi terhadap Stabilitas Inflasi terkait
Pengelompokan Negara Maju dan Berkembang
World Bank (2012) mengelompokkan negara maju dan berkembang
berdasarkan pendapatan perkapita Purcashing Power Parity (PPP). Negara
dengan pendapatan perkapita PPP US$20.000 ke atas dikelompokkan menjadi
negara maju, sedangkan negara dengan pendapatan perkapita PPP kurang dari
US$20.000 dikelompokkan sebagai negara sedang berkembang.
Tabel 21 kolom (5) dan (6) menunjukkan dampak keterbukaan ekonomi
terhadap negara berkembang dan negara maju. Penambahan secara riil satu persen
derajat keterbukaan finansial akan mengurangi selisih antara inflasi aktual dengan
inflasi potensialnya sebesar 0,27 persen, ceteris paribus, di negara-negara sedang
berkembang. Sementara itu, penambahan yang sama hanya akan mengurangi
selisih inflasi aktual dengan inflasi potensial di negara maju sebesar 0,03 persen,
ceteris paribus. Artinya, keterbukaan finansial memberikan dampak baik bagi
stabilitas inflasi di negara-negara sedang berkembang lebih besar dibandingkan
yang diterima negara-negara maju.
Kondisi lebih besarnya dampak keterbukaan finansial terhadap stabilitas
inflasi di negara berkembang dikarenakan tingkat inflasi dan selisih inflasi aktual
dengan inflasi potensial di negara-negara sedang berkembang lebih tinggi dari
pada negara maju. Rata-rata inflasi di negara sedang berkembang sebesar 4,53
persen pertahun sedangkan di negara maju sebesar 2,05 persen pertahun.
Sementara itu, rata-rata selisih inflasi aktual dengan inflasi potensial di negara
maju sebesar 1,61 persen pertahun sedangkan negara maju sebesar 0,76 persen
pertahun.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan yang disampaikan dan pembahasan yang dilakukan,
ada tiga hal yang dapat disimpulkan, yaitu:
1. Pola hubungan yang diperoleh adalah keterbukaan perdagangan, keterbukaan
finansial, dan nilai tukar riil memengaruhi (secara satu arah) terhadap
stabilitas inflasi, sedangkan hubungan saling memengaruhi (dua arah) terjadi
antara stabilitas inflasi dengan deviasi ekspektasi inflasi dan kesenjangan
output.
2. Keterbukaan perdagangan memberi dampak buruk terhadap stabilitas inflasi di
negara ITF. Keterbukaan finansial berdampak baik hanya pada negara nonITF, sedangkan terhadap negara ITF memberikan dampak buruk. Hal ini
mengindikasikan bahwa kebijakan ITF tidak sejalan dalam era keterbukaan
ekonomi. Atau, keterbukaan ekonomi tidak tepat dilakukan ketika suatu
negara menerapkan ITF.
3. Keterbukaan finansial memiliki dampak baik relatif besar terhadap stabilitas
inflasi di negara-negara sedang berkembang dibandingkan negara maju.
6.2 Implikasi Kebijakan
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, ada beberapa implikasi kebijakan
yang dapat direkomendasikan, yaitu:
1. Pemerintah dan otoritas moneter perlu melakukan koordinasi dalam hal
perumusan
kebijakannya.
Apabila
negara-negara
ASEAN+6
ingin
menerapkan kebijakan ITF maka perlu perlu ada pembatasan dalam hal
keterbukaan, baik perdagangan maupun finansial. Atau, jika keterbukaan
negara-negara ASEAN+6 tidak dapat dibatasi (dikarenakan merupakan suatu
kesepakatan) maka negara-negara ASEAN+6 yang mengadopsi ITF harus
mengalihkan kebijakan moneternya agar inflasinya dapat stabil.
2. Terkait dengan dampak buruk depresiasi nilai tukar riil dan keterbukaan
perdagangan terhadap stabilitas inflasi, negara-negara ITF dapat melakukan
kebijakan substitusi impor. Substitusi impor diperlukan agar negara tidak
82
tergantung dengan produk impor yang rentan terhadap perubahan nilai tukar.
Selain itu, juga dapat mengurangi derajat keterbukaan perdagangan.
3. Terkait dengan dampak buruk depresiasi nilai tukar riil dan keterbukaan
finansial, negara-negara ITF dapat menggalakkan Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) dan melakukan kontrol neraca modal. Dengan PMDN,
setidaknya dapat mengurangi permintaan dan penawaran mata uang asing,
seperti yang terjadi jika tingkat keterbukaan finansial yang tinggi, sehingga
nilai tukar dalam negeri dapat terkontrol yang pada akhirnya kestabilan inflasi
dapat terjaga. Sementara itu, melalui kontrol neraca modal, keluar/masuk
modal asing dapat dikendalikan sehingga nilai tukar dalam negeri dapat
terkontrol yang pada akhirnya kestabilan inflasi juga dapat terjaga.
6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut
Dengan adanya keterbatasan, penelitian ini bisa dikembangkan lebih lanjut
guna memperoleh hasil yang lebih baik. Saran untuk penelitian lebih lanjut
adalah:
1. Melengkapi cakupan, khususnya seluruh negara ASEAN, jika data sudah
tersedia.
2. Memperbaiki proksi ekspektasi inflasi dengan melakukan perkiraan inflasi
menggunakan metode peramalan, seperti: ARIMA.
3. Mengunakan metode lain, seperti: Instrument Variabel Generalized Method of
Moments (IV-GMM), dalam mengestimasi koefisien parameter.
DAFTAR PUSTAKA
Badinger H. 2009. Globalization, The Output-Inflation Trade-off and Inflation.
European Economic Review 53:888-907.
Baltagi
BH. 2005. Econometric Analysis
Chicester: John Wiley & Sons, Ltd.
of
Panel
Data.
Ed
ke-3.
Baltagi BH, Demetriades PO, dan Law SH. 2008. Financial Development and
Openness: Evidence from Panel Data. Center for Policy Research No.60.
Bangko Sentral ng Pilipinas. http://www.bsp.gov.ph [15 Maret 2012]
Bank Indonesia. http://www.bi.go.id [15 Maret 2012]
Bank of Korea. http://www.bok.or.kr [15 Maret 2012]
Bank of Thailand. http://www.bot.or.th [15 Maret 2012]
Blanchard O. 2009. Macroeconomics. Ed ke-5. New Jersey: Prentice Hall.
Blanchflower DG dan MacCoille C. 2009. The Formation Of Inflation
Expectations: An Empirical Analysis For The UK. NBER Working Paper
Series No.15388.
Bowdler C dan Nunziata L. 2006. Trade Openness and Inflation Episodes in the
OECD. Journal of Money, Credit, and Banking 38(2):553-563
Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series. Ed ke-2. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Gali J. 2002. New Perspectives On Monetary Policy, Inflation, And The Business
Cycle. NBER Working Paper Series No.8767.
Gali J dan Gertler M. 2000. Inflation Dynamics: A Structural Econometric
Analysis. Journal of Monetary Economics 44:195-222.
Gali J, Gertler M, dan Lopez-Salido JD. 2001. European Inflation Dynamics. NBER
Working Paper Series No.8218.
Gali J, Gertler M, dan Lopez-Salido JD. 2005. Robustness Of The Estimates of
The Hybrid New Keynesian Phillips Curve. NBER Working Paper Series
No.11788.
Gibbs D. 1995. Potential Output: Concepts and Measurement. Labour Market
Bulletin 1:72-115.
Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics. Ed ke-4. New York: McGraw Hill.
Hanh E. 2002. Core Inflation in the Euro Area: Evidence from the Structural VAR
Approach. CFS Working Paper No.2001/09.
84
Kiley MT. 2009. Inflation Expectations, Uncertainty, the Phillips Curve, and
Monetary Policy. Finance and Economics Discussion Series – Federal
Reserve Board No.2009-15.
Krugman PR dan Obstfeld M. 2005. Ekonomi Internasional: Teori dan
Kebijakan. Ed ke-5. Basri FH, penerjemah; Sarwiji B, editor. Jakarta: PT.
Indeks Gramedia. Terjemahan dari: International Economics.
Ladiray D, Mazzi GL, dan Sartori F. 2003. Statistical Methods for Potential
Output Estimation and Cycle Extraction. European Commission Working
Papers and Studies No.KS-AN-03-15-EN-N.
Lane PR. 1997. Inflation in Open Economies. Journal of International Economics
42:327-347.
Mishkin FS dan Schmidt-Hebbel K. 2007. Does Inflation Targeting Make A
Different?. NBER Working Paper Series No.12876.
Mukherjee S. 2011. The Effect of Capital Market Openness on Exchange Rate
Pass-Through and Welfare in an Inflation Targeting Small Open Economy.
Federal Reserve Bank of Cleveland Working Paper No.1018.
Nazir M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Orphanides A dan Williams JC. 2003. Imperfect Knowledge, Inflation
Expectations, And Monetary Policy. NBER Working Paper Series
No.9884.
Purwanto T. 2011. Dampak Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan
Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Reinhardt D, Ricci LA, dan Tressel T. 2010. International Capital Flows and
Development: Financial Openness Matters. IMF Working Paper
WP/10/235.
Reserve Bank of Australia. http://www.rba.gov.au [15 Maret 2012]
Reserve Bank of New Zealand. http://www.rbnz.govt.nz [15 Maret 2012]
Roger S. 1998. Core Inflation: Concepts, Uses, and Measurement. Reserve Bank
of New Zealand Discussion Paper Series No.G98/9.
Romer D. 1993. Openness and Inflation: Theory and Evidence. The Quarterly
Journal of Economics 108:870-903.
Romer D. 2006. Advanced Macroeconomics. Ed ke-3. New York: McGraw Hill.
Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Ed ke-5. Munandar H, penerjemah;
Sumiharti Y, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: International
Economics.
85
Solikin. 2004. Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia: Keberadaan,
Pembentukan Ekspektasi, dan Linearitas. Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan (BEMP) 6(4):41-75.
Subekti A. 2011. Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi [Tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Svensson LEO. 2000. Open Economy Inflation Targeting. Journal of
International Economics 50:155-183.
Svensson LEO. 2010. Inflation Targeting. NBER Working Paper Series No.16654
Temple J. 2002. Openness, Inflation, and the Phillips Curve: A Puzzle. Journal of
Money, Credit, and Banking 34(2):450-468.
Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Ed ke-9.
Munandar H, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Economic
Development.
Verbeek M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. Chicester: John Wiley &
Sons, Ltd.
Walsh CE. 2009. Inflation Targeting: What have we learned?. International
Finance 12:195-233.
Wimanda RE, Turner P, dan Hall MJB. 2011. Expectations and The Inertia of
Inflation: The Case of Indonesia. Journal of Policy Modeling 33:426-438.
Winantyo R et al. 2008. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat
Sinergi ASEAN di tengah Kompetisi Global. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
World Bank. 2012. World Development Indicators 2011. Washington DC, USA.
http://data.worldbank.org/indicator [5 April 2012]
WTO. 2010. International Trade Statistics 2010. [New York]: WTO Publication.
Wu CS dan Lin JL. 2008. The Relationship between Openness and Inflation in
Asian 4 and G 7. International Financial Issues in the Pacific Rim: Global
Imbalances, Financial Liberalization, and Exchange Rate Policy. NBEREASE No.17.
86
Halaman ini sengaja dikosongkan
LAMPIRAN
88
89
Lampiran 1 Grafik Perkembangan Variabel setiap Negara ASEAN+6
Tahun 2001-2010
1
2
6
4
3
4
6
8
2.0
1.5
4
2
4
1.0
2
0
2
0.5
0
0
0.0
-2
-2
-2
-4
-0.5
-4
-4
01
02
03
04
05
06
07
08
09
01
10
02
03
04
05
5
06
07
08
09
-1.0
01
10
02
03
04
05
6
2.0
2.0
1.6
1.5
1.2
06
07
08
09
01
10
02
03
04
05
7
06
07
08
09
10
06
07
08
09
10
8
3
6
2
4
1
2
1.0
0.8
0.5
0.4
0
0
-1
-2
0.0
0.0
-0.5
-0.4
-0.8
-2
-1.0
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
01
02
03
04
05
9
06
07
08
09
-4
01
10
02
03
04
05
10
4
2
06
07
08
09
10
07
08
09
10
01
02
03
04
05
11
2.0
1.5
1.5
1.0
1.0
0.5
0.5
0
0.0
0.0
-0.5
-0.5
-2
-1.0
-1.0
-4
-1.5
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
-1.5
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
01
02
03
04
05
06
Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India
(a) Stabilitas Inflasi
1
2
8
3
6
2
4
1
2
0
0
-1
-2
3
-2
01
02
03
04
05
06
07
08
09
2
2
1
1
0
0
-1
-1
01
10
02
03
04
05
5
06
07
08
09
10
-2
01
02
03
04
05
6
1.5
1.0
4
3
06
07
08
09
10
01
02
03
04
05
7
1.5
3
1.0
2
0.5
1
0.0
0
-0.5
-1
-1.0
-2
06
07
08
09
10
06
07
08
09
10
8
2
1
0.5
0.0
0
-0.5
-1.0
-1.5
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
01
02
03
04
05
9
06
07
08
09
10
-1
-2
01
02
03
04
05
10
3
1.2
2
0.8
1
0.4
0
0.0
-1
-0.4
06
07
08
09
10
07
08
09
10
01
02
03
04
05
11
8
6
4
2
0
-2
-2
-0.8
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
-4
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
01
02
03
04
05
06
Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India
(b) Deviasi Ekspektasi Inflasi
90
1
2
4
3
.03
.02
.02
.01
.02
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.02
-.01
-.01
-.02
-.04
-.02
-.02
.04
-.03
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
.02
-.06
01
02
03
04
06
05
5
07
08
09
10
-.03
01
02
03
04
06
05
6
.012
07
08
09
10
01
02
03
04
05
7
.04
.04
.02
.02
.00
.00
06
07
08
09
10
06
07
08
09
10
8
.06
.04
.008
.02
.004
.00
.000
-.02
-.004
-.02
-.02
-.04
-.04
-.04
-.008
01
02
03
04
06
05
07
08
09
10
01
02
03
04
06
05
9
07
08
09
10
-.06
01
02
03
04
05
.06
.12
.08
06
07
08
09
10
07
08
09
10
01
02
03
04
05
11
10
.08
.04
.06
.02
.04
.00
.02
.04
.00
-.04
-.08
-.02
.00
-.04
-.02
-.06
01
02
03
04
06
05
07
08
09
10
-.04
01
02
03
04
06
05
07
08
09
10
01
02
03
04
05
06
Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India
(c) Kesenjangan Output
2
1
14,000
45.0
1,400
42.5
55
12,000
4
3
60
1,300
40.0
1,200
50
10,000
37.5
1,100
45
35.0
8,000
40
6,000
01
02
03
04
05
06
07
08
09
30.0
01
10
1,000
32.5
35
02
03
04
05
5
06
07
08
09
900
01
10
02
03
04
05
6
07
08
09
01
10
02
03
04
05
7
2.4
2.0
06
06
07
08
09
10
06
07
08
09
10
8
3.8
1.7
3.6
1.6
3.4
1.5
3.2
1.4
2.2
1.8
2.0
1.6
1.8
1.4
1.6
1.2
1.4
1.0
1.2
01
02
03
04
05
06
07
08
09
3.0
01
10
02
03
04
05
9
06
07
08
09
1.3
01
10
02
03
04
05
10
8.4
07
08
09
10
07
08
09
10
01
02
03
04
05
11
125
52
120
8.0
06
48
115
7.6
44
110
7.2
40
105
6.8
36
100
6.4
95
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
32
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
01
02
03
04
05
06
Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India
(d) Nilai Tukar Riil
91
1
3
2
70
110
65
100
60
90
55
80
50
70
4
160
110
100
150
90
140
45
80
130
60
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
70
120
01
02
03
04
06
05
5
07
08
09
10
60
01
02
03
04
6
48
07
08
09
10
01
02
03
04
05
07
08
09
10
06
07
08
09
10
460
220
440
210
64
06
8
7
68
50
06
05
420
200
60
46
400
190
380
44
56
42
52
01
02
03
04
05
06
07
08
09
180
01
10
360
170
02
03
04
06
05
9
07
08
09
10
340
01
02
03
04
05
10
75
06
07
08
09
10
07
08
09
10
01
02
03
04
05
11
36
55
70
50
32
65
45
60
28
40
55
35
50
24
30
45
40
20
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
25
01
02
03
04
06
05
07
08
09
10
01
02
03
04
06
05
Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India
(e) Keterbukaan Perdagangan
1
2
3
5
2
4
1
3
0
2
-1
1
-2
3
02
03
04
05
06
07
08
09
10
4
6
2
4
0
2
-2
0
0
01
01
02
03
04
05
5
06
07
08
09
-4
01
10
02
03
04
05
6
8
5
6
4
4
4
8
06
07
08
09
01
10
02
03
04
05
7
06
07
08
09
10
06
07
08
09
10
8
8
40
6
30
4
20
2
10
3
2
2
0
1
-2
-4
0
-6
-1
01
02
03
04
05
06
07
08
09
01
10
02
03
04
05
9
06
07
08
09
0
0
-2
-10
01
10
02
03
04
05
10
7
6
06
07
08
09
10
07
08
09
10
01
02
03
04
05
11
3
5
2
4
1
3
0
2
5
4
3
2
-1
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
1
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
01
02
03
04
05
06
Keterangan: 1. Indonesia 2. Filipina 3 Thailand 4. Korea Selatan 5. Australia 6. Selandia Baru 7. Malaysia 8. Singapura 9 China 10. Jepang 11. India
(f) Keterbukaan Finansial
92
Lampiran 2
Hasil Pengujian Stasioneritas Data Menggunakan
Program Eviews v 6
Panel unit root test: Summary
Series: STABINF
Date: 06/05/12 Time: 14:09
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-9.96550
0.0000
Crosssections
Obs
11
96
11
11
11
96
96
99
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-5.68893
0.0000
ADF - Fisher Chi-square
75.7421
0.0000
PP - Fisher Chi-square
102.380
0.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: STABINF
Date: 06/05/12 Time: 14:13
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-6.23208
0.0000
Breitung t-stat
-1.53144
0.0628
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-1.26325
0.1033
ADF - Fisher Chi-square
42.3481
0.0057
PP - Fisher Chi-square
67.2102
0.0000
Crosssections
Obs
11
11
94
83
11
11
11
94
94
99
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
93
Panel unit root test: Summary
Series: DEVEXPINF
Date: 06/05/12 Time: 14:15
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-10.1019
0.0000
Crosssections
Obs
11
96
11
11
11
96
96
99
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-5.16795
0.0000
ADF - Fisher Chi-square
68.9515
0.0000
PP - Fisher Chi-square
76.4719
0.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: DEVEXPINF
Date: 06/05/12 Time: 14:15
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-7.42882
0.0000
Breitung t-stat
0.03935
0.5157
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-2.09375
0.0181
ADF - Fisher Chi-square
53.1996
0.0002
PP - Fisher Chi-square
90.9856
0.0000
Crosssections
Obs
11
11
94
83
11
11
11
94
94
99
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
94
Panel unit root test: Summary
Series: LNYGAP
Date: 06/05/12 Time: 14:17
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-2.93476
0.0017
Crosssections
Obs
11
91
11
11
11
91
91
99
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-2.24705
0.0123
ADF - Fisher Chi-square
41.4203
0.0073
PP - Fisher Chi-square
55.4967
0.0001
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: LNYGAP
Date: 06/05/12 Time: 14:18
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.31394
0.0000
Breitung t-stat
2.38402
0.9914
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-1.15036
0.1250
ADF - Fisher Chi-square
38.6943
0.0153
PP - Fisher Chi-square
71.9701
0.0000
Crosssections
Obs
11
11
93
82
11
11
11
93
93
99
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
95
Panel unit root test: Summary
Series: D(LNYGAP)
Date: 06/22/12 Time: 23:48
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-4.46588
0.0000
Crosssections
Obs
11
80
11
11
11
80
80
88
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-2.94867
0.0016
ADF - Fisher Chi-square
49.3209
0.0007
PP - Fisher Chi-square
71.0236
0.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: D(LNYGAP)
Date: 06/22/12 Time: 23:49
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.57988
0.0000
Breitung t-stat
-0.39118
0.3478
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-1.01587
0.1548
ADF - Fisher Chi-square
38.7268
0.0152
PP - Fisher Chi-square
61.7364
0.0000
Crosssections
Obs
11
11
81
70
11
11
11
81
81
88
96
Panel unit root test: Summary
Series: LNRER
Date: 06/22/12 Time: 23:50
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-0.41468
0.3392
Crosssections
Obs
11
96
11
11
11
96
96
99
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
1.86712
0.9691
ADF - Fisher Chi-square
16.0318
0.8143
PP - Fisher Chi-square
20.4524
0.5548
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
Panel unit root test: Summary
Series: LNRER
Date: 06/22/12 Time: 23:51
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.97193
0.0000
Breitung t-stat
0.06062
0.5242
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.66593
0.2527
ADF - Fisher Chi-square
30.4514
0.1079
PP - Fisher Chi-square
40.4540
0.0096
Crosssections
Obs
11
11
94
83
11
11
11
94
94
99
97
Panel unit root test: Summary
Series: D(LNRER)
Date: 06/22/12 Time: 23:51
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-6.93331
0.0000
Crosssections
Obs
11
83
11
11
11
83
83
88
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-3.29916
0.0005
ADF - Fisher Chi-square
51.3378
0.0004
PP - Fisher Chi-square
49.9105
0.0006
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
Panel unit root test: Summary
Series: D(LNRER)
Date: 06/22/12 Time: 23:52
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-6.84055
0.0000
Breitung t-stat
-0.35274
0.3621
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.84002
0.2004
ADF - Fisher Chi-square
37.0217
0.0235
PP - Fisher Chi-square
38.2504
0.0172
Crosssections
Obs
11
11
78
67
11
11
11
78
78
88
98
Panel unit root test: Summary
Series: TO
Date: 06/05/12 Time: 14:20
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-3.63933
0.0001
Crosssections
Obs
11
95
11
11
11
95
95
99
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.99613
0.1596
ADF - Fisher Chi-square
26.8299
0.2178
PP - Fisher Chi-square
25.2382
0.2858
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: TO
Date: 06/05/12 Time: 14:21
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-2.39898
0.0082
Breitung t-stat
0.08635
0.5344
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
0.36744
0.6434
ADF - Fisher Chi-square
18.7301
0.6619
PP - Fisher Chi-square
26.4744
0.2319
Crosssections
Obs
11
11
94
83
11
11
11
94
94
99
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
99
Panel unit root test: Summary
Series: D(TO)
Date: 06/05/12 Time: 14:23
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-7.03906
0.0000
Crosssections
Obs
11
87
11
11
11
87
87
88
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-3.84239
0.0001
ADF - Fisher Chi-square
58.0818
0.0000
PP - Fisher Chi-square
69.5463
0.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: D(TO)
Date: 06/05/12 Time: 14:24
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-4.59786
0.0000
Breitung t-stat
3.02239
0.9987
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.35810
0.3601
ADF - Fisher Chi-square
36.8003
0.0249
PP - Fisher Chi-square
72.4205
0.0000
Crosssections
Obs
11
11
83
72
11
11
11
83
83
88
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
100
Panel unit root test: Summary
Series: FO
Date: 06/05/12 Time: 14:25
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.01814
0.0000
Crosssections
Obs
11
97
11
11
11
97
97
99
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-2.10118
0.0178
ADF - Fisher Chi-square
36.4527
0.0271
PP - Fisher Chi-square
43.7831
0.0038
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: FO
Date: 06/05/12 Time: 14:25
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-5.59366
0.0000
Breitung t-stat
-2.25933
0.0119
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-0.30551
0.3800
ADF - Fisher Chi-square
24.5238
0.3204
PP - Fisher Chi-square
35.1468
0.0374
Crosssections
Obs
11
11
96
85
11
11
11
96
96
99
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
101
Panel unit root test: Summary
Series: D(FO)
Date: 06/05/12 Time: 15:02
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-10.5696
0.0000
Crosssections
Obs
11
87
11
11
11
87
87
88
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-4.83866
0.0000
ADF - Fisher Chi-square
68.7403
0.0000
PP - Fisher Chi-square
93.1842
0.0000
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
Panel unit root test: Summary
Series: D(FO)
Date: 06/05/12 Time: 15:03
Sample: 2001 2010
Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends
Automatic selection of maximum lags
Automatic selection of lags based on AIC: 0 to 1
Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel
Method
Statistic
Prob.**
Null: Unit root (assumes common unit root process)
Levin, Lin & Chu t*
-8.75433
0.0000
Breitung t-stat
-2.91572
0.0018
Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Im, Pesaran and Shin W-stat
-1.33581
0.0908
ADF - Fisher Chi-square
44.7874
0.0028
PP - Fisher Chi-square
79.5273
0.0000
Crosssections
Obs
11
11
84
73
11
11
11
84
84
88
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi
-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.
102
Lampiran 3 Grafik Kaitan setiap Variabel dengan Stabilitas Inflasi
Tahun 2001-2010
Thailand
6
y = 0,2621x - 12,585
R² = 0,4557
2
20,00
-4
40,00
60,00
80,00
2
1
0
0,00
-1
50,00
-3
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
y = 0,009x - 0,5058
R² = 0,0246
0
0,00
-1
50,00
100,00
150,00
-1
2
2
y = 0,0968x - 3,9765
R² = 0,0776
1
1
y = 0,0248x - 4,8701
R² = 0,0711
0
0,00 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00
-1
4
3
y = 0,0218x - 8,732
R² = 0,1655
2
1
y = 0,0836x - 2,2559
R² = 0,3575
1
-2
-3
-4
-5
30,00
40,00
-1
2
1
y = -0,0357x + 1,4244
R² = 0,08
1
0
20,00
-1
30,00
40,00
50,00
60,00
-1
-2
-2
-2
Keterbukaan Perdagangan
40,00
60,00
80,00
Keterbukaan Perdagangan
4
y = 0,0983x - 5,7679
3
R² = 0,2299
2
1
0
60,00
20,00
40,00
-10,00
India
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
20,00
Keterbukaan Perdagangan
Jepang
2
20,00
y = 0,0879x - 4,4516
R² = 0,2527
China
5
-3
10,00
1
-1
Keterbukaan Perdagangan
0
0,00
-1
1
-1
-2
-3
1
2
0
0,00
-1
0
-10,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00
-2
2
2
Keterbukaan Perdagangan
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
3
150,00
Keterbukaan Perdagangan
Singapura
4
100,00
-4
0
42,00 44,00 46,00 48,00 50,00 52,00
-1
Malaysia
1
50,00
Selandia Baru
3
Keterbukaan Perdagangan
2
0
0,00
-2
Australia
2
1
2
Keterbukaan Perdagangan
Korea Selatan
y = -0,0232x + 2,6085
R² = 0,0194
4
-2
Keterbukaan Perdagangan
2
1
6
100,00 150,00 200,00
Stabilitas Inflasi
0
0,00
-2
y = 0,1612x - 20,8
R² = 0,8031
3
Stabilitas Inflasi
4
Filipina
4
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
Indonesia
8
Keterbukaan Perdagangan
(a) Keterbukaan Perdagangan dan Stabilitas Inflasi
80,00
Keterbukaan Perdagangan
103
Indonesia
Thailand
y = -0,2433x + 2,656
R² = 0,013
4
2
1,00
-4
2,00
3,00
4,00
y = 0,2659x - 0,2317
R² = 0,0802
2
1
0
0,00
-1
2,00
-3
1
y = -0,0011x + 0,2365
1
R² = 9E-06
2,00
4,00
2
2
y = 0,0378x + 0,3585
R² = 0,0193
1
1
0
0,00
-1
-5,00
-1
5,00
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
-2,00
1
0
0,00
-1
2,00
4,00
6,00
8,00
1
0
-10,00 -10,00
10,00
20,00
30,00
40,00
-2
-3
-3
1
-2,00
Jepang
2,00
Stabilitas Inflasi
2
1
4
3
2
1
0
-10,00
2,00
-2
-3
-4
-5
y 1= -0,079x + 0,0926
R² = 0,0176
2,00
3,00
4,00
-1
y = -0,1028x + 0,2831
R² = 0,0111
1
0
0,00
-1
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
-1
-2
-2
-2
Keterbukaan Finansial
6,00
y = 0,2957x - 1,2291
R² = 0,031
2
1
4,00
Keterbukaan Finansial
India
2
1,00
y = 0,0851x + 0,5694
R² = 0,0483
0
0,00
-1
Keterbukaan Finansial
Keterbukaan Finansial
0
-2,00 -1,00 0,00
-1
1
China
y = -0,0573x + 0,9418
R² = 0,1275
2
5,00
2
-1
4
-2
Stabilitas Inflasi
10,00
5
3
4,00
2
Singapura
y = -0,164x + 0,4772
R² = 0,0984
3,00
Keterbukaan Finansial
Keterbukaan Finansial
Malaysia
4
2,00
-4
-1
Keterbukaan Finansial
2
1,00
Selandia Baru
3
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
2
3
y = -0,3177x + 1,1183
R² = 0,045
2
Australia
2
-2,00
4
0
0,00
-2
8,00
Keterbukaan Finansial
Korea Selatan
-4,00
6,00
-2
Keterbukaan Finansial
0
0,00
-1
4,00
6
Stabilitas Inflasi
0
-2,00 -1,00 0,00
-2
3
Stabilitas Inflasi
6
Filipina
4
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
8
Keterbukaan Finansial
(b) Keterbukaan Finansial dan Stabilitas Inflasi
4,00
6,00
8,00
Keterbukaan Finansial
104
y = 52,593x + 2,3327
R² = 0,0737
4
2
0,01
0,02
0,03
0,04
2
1
-0,06
-0,04
-0,02
1
y = -15,533x + 0,2337
R² = 0,0517
0
-0,03 -0,02 -0,01 0,00
-1
0,01
0,02
0,03
2
y = 51,523x + 0,5072
R² = 0,0971
1
1
-0,01
-0,01
0
0,00
-1
2
y = 60,006x + 0,0134
R² = 0,5387
1
0
0,00
-1
0,02
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
3
0,01
0,04
4
3
y = 17,934x + 0,0041 2
1
R² = 0,1109
-0,10
0
-10,00
-0,05
-0,06
-0,04
0,05
-3
y = 21,088x + 0,0077
R² = 0,5748
1
0
-0,06 -0,04 -0,02 0,00
-1
0,02
0,04
0,06
-1
Stabilitas Inflasi
India
2
-0,05
2
2
1
1
0
-10,00
y = 24,316x - 0,0154
R² = 0,45
0,05
0,10
-1
-2
-2
-2
Kesenjangan Output
0
0,00
-1
0,02
0,04
4
3
2
y = -5,4399x + 0,0127
1
R² = 0,0158
0
0,05
0,10
-0,05 -10,00
0,15
-2
-3
-4
-5
Kesenjangan Output
Jepang
-0,02
Kesenjangan Output
-0,10
-2
Kesenjangan Output
Stabilitas Inflasi
1
China
5
-3
1
0,02
y = 2,4436x + 0,7368
R² = 0,0072
1
-1
-2
2
0,01
2
Singapura
4
0,03
2
Kesenjangan Output
Kesenjangan Output
Malaysia
0,02
Kesenjangan Output
-1
-1
0,01
Selandia Baru
3
2
y = 41,742x + 0,5275
R² = 0,052
-4
Stabilitas Inflasi
1
2
Kesenjangan Output
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
2
4
0
-0,03 -0,02 -0,01 0,00
-2
0,04
Australia
2
6
-3
Kesenjangan Output
Korea Selatan
-0,02
0,02
-2
-4
-0,04
0
0,00
-1
Stabilitas Inflasi
0
-0,02 -0,01 0,00
-2
4 y = 65,31x + 0,998
R² = 0,5744
3
Stabilitas Inflasi
6
Filipina
Thailand
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
Indonesia
8
Kesenjangan Output
(c) Kesenjangan Output dan Stabilitas Inflasi
Kesenjangan Output
105
0
0,00
-2
-4
10,00
1
0
-15,00 -10,00 -5,00 0,00
-1
20,00
-3
1
-10,00
y = 0,0545x + 0,2406
R² = 0,4415
10,00
20,00
2
2
1
1
-20,00
-10,00
-1
0
0,00
-1
3
-5,00
y = -0,1286x - 0,1779
R² = 0,1458
0
0,00
-1
5,00
10,00
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
-10,00
2
1
1
1
0
0,00
-1
-10,00
10,00
India
y = -0,012x + 0,0112
R² = 0,0214
1
5,00
Perubahan Nilai Tukar Riil
10,00
20,00
Stabilitas Inflasi
2
y = -0,3103x - 0,5154
R² = 0,38
-15,00
0
-10,00
-3
2
1
y = 0,0419x + 0,1407 1
R² = 0,0509
0
-20,00 -15,00 -10,00 -5,00 0,00
-1
5,00 10,00
-1
-2
-1
-2
-2
Perubahan Nilai Tukar Riil
20,00
China
1
-2
10,00
-1
3
-5,00
y = 0,0237x + 0,8355
R² = 0,155
0
-30,00 -20,00 -10,00 0,00
-1
Perubahan Nilai Tukar Riil
y = -0,1849x - 0,2744
R² = 0,2459 2
-3
2
Stabilitas Inflasi
20,00
4
-2
Jepang
-10,00
10,00
5
-10,00
Pderubahan Nilai Tukar Riil
-20,00
y = 0,0406x + 0,6953
R² = 0,1832
2
Singapura
4
1
Perubahan Nilai Tukar Riil
LnRER
Malaysia
5,00 10,00 15,00
-4
-1
Perubahan Nilai Tukar Riil
2
0
-15,00 -10,00 -5,00 0,00
-2
Selandia Baru
3
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
2
y = -0,0725x + 0,364
R² = 0,049
2
Australia
2
0
0,00
-1
4
Perubahan Nilai Tukar Riil
Perubahan Nilai Tukar Riil
1
5,00 10,00 15,00
-2
Korea Selatan
-20,00
y = -0,1442x + 0,6294
R² = 0,2368
Stabilitas Inflasi
-10,00
y = 0,1097x + 2,8351
R² = 0,1452
2
6
Stabilitas Inflasi
4
3
Stabilitas Inflasi
-20,00
6
4
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
8
2
Filipina
Thailand
Indonesia
Perubahan Nilai Tukar Riil
(d) Perubahan Nilai Tukar Riil dan Stabilitas Inflasi
-5,00
4
3
2
1
0
-10,00
-2
-3
-4
-5
5,00
Perubahan Nilai Tukar Riil
106
y = 0,0263x + 2,2617
R² = 0,0007
2
4,00
6,00
8,00
1
0
-1,00
0,00
-1
1,00
y = 0,2304x + 0,1964
R² = 0,0559
1
1
0
0,00
-1
1,00
2,00
2
2
1
1
-2,00
-1,00
0
-1,00
0,00
-1
y = -0,3143x + 0,1077
0,053 3,00
1,00 R² =2,00
4
3
2
1
0
-2,00
-1,00 - 0,3277
y = -1,0678x
-10,00
-3
-2,00
1,00
2,00
-3
Deviasi Ekspektasi Inflasi
Deviasi Ekspektasi Inflasi
Jepang
-0,50
0
0,00
-1
0,50
1
1
y = -0,6259x + 0,0926
0
0,00
0,50
R² = 0,13491,00
-1
-1
Stabilitas Inflasi
2
4
3
2
1
0
-1,00 -10,00
-2
-3
-4
-5
Deviasi Ekspektasi Inflasi
1
0
-4,00 -2,00 0,00
-1
y = 0,1909x + 0,1137
R² = 0,2394
2,00
4,00
6,00
8,00
-1
-2
-2
-2
Deviasi Ekspektasi Inflasi
1,50
y = -0,7483x - 0,373
R² = 0,2251
1,00
2,00
3,00
2
1
1,00
Deviasi Ekspektasi Inflasi
India
2
Stabilitas Inflasi
-1,00
China
R² = 0,3053 -2
-2
-0,50
1
-1
5
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
1
2,00
y = -0,1415x + 0,8017
R² = 0,0202
1
Singapura
2
3,00
2
Deviasi Ekspektasi Inflasi
Malaysia
3
2,00
2
y = -0,7974x + 0,764
0
R² = 0,4072
0,00
1,00
-1
-1
4
1,00
Selandia Baru
3
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
2
y = -0,1573x + 0,6686
R² = 0,0102
Deviasi Ekspektasi Inflasi
Australia
2
Deviasi Ekspektasi Inflasi
-1,00
-2,00
Deviasi Ekspektasi Inflasi
-1
-2,00
4,00
0
-1,00
0,00
-2
-4
-3
Deviasi Ekspektasi Inflasi
-1,00
3,00
2
-2
Korea Selatan
-2,00
2,00
4
Stabilitas Inflasi
-4
2,00
y = 0,0367x + 0,9292
R² = 0,0007
Stabilitas Inflasi
0
-4,00 -2,00 0,00
-2
3
2
6
Stabilitas Inflasi
6
4
Filipina
Thailand
4
Stabilitas Inflasi
Stabilitas Inflasi
Indonesia
8
Deviasi Ekspektasi Inflasi
(e) Deviasi Ekspektasi Inflasi dan Stabilitas Inflasi
107
Lampiran 4
Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Stabilitas Inflasi dengan
Variabel yang Diteliti Menggunakan Program Eviews v 6
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 06/05/12 Time: 19:23
Sample: 2001 2010
Lags: 2
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
DEVEXPINF does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause DEVEXPINF
88
5.85378
133.684
0.0042
1.E-26
D(LNYGAP) does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause D(LNYGAP)
88
3.47872
13.1281
0.0361
1.E-05
D(LNRER) does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause D(LNRER)
77
5.74051
0.05184
0.0049
0.9495
D(TO) does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause D(TO)
77
7.53420
0.60707
0.0011
0.5477
D(FO) does not Granger Cause STABINF
STABINF does not Granger Cause D(FO)
77
2.56602
0.16689
0.0839
0.8466
108
Lampiran 5
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS) Menggunakan
Program Eviews v 6
Dependent Variable: STABINF
Method: Panel Least Squares
Date: 06/10/12 Time: 18:12
Sample (adjusted): 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 11
Total panel (balanced) observations: 99
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(LNYGAP)
D(LNRER)
D(TO)
D(FO)
0.238053
0.096362
0.064737
7.598125
-2.581896
0.027242
-0.073765
0.193254
0.119435
0.121670
7.561738
2.512370
0.015691
0.035824
1.231816
0.806817
0.532070
1.004812
-1.027674
1.736140
-2.059094
0.2212
0.4219
0.5960
0.3176
0.3068
0.0859
0.0423
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.133173
0.076641
1.581521
230.1112
-182.2253
2.355709
0.036711
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.396768
1.645848
3.822734
4.006228
3.896976
2.250810
109
Lampiran 6 Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM) menggunakan
Program Eviews v 6
Dependent Variable: STABINF
Method: Panel Least Squares
Date: 06/10/12 Time: 18:12
Sample (adjusted): 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 11
Total panel (balanced) observations: 99
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(LNYGAP)
D(LNRER)
D(TO)
D(FO)
0.439974
-0.010793
-0.226970
5.029742
-1.141969
0.019425
-0.076635
0.196455
0.120714
0.143223
7.460032
2.548119
0.015708
0.034968
2.239567
-0.089409
-1.584739
0.674225
-0.448162
1.236657
-2.191554
0.0278
0.9290
0.1169
0.5021
0.6552
0.2197
0.0312
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.270716
0.128417
1.536541
193.5987
-173.6730
1.902439
0.031609
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.396768
1.645848
3.851979
4.297605
4.032280
2.090588
110
Lampiran 7
Hasil Estimasi Random Effect Model (REM) menggunakan
Program Eviews v 6
Dependent Variable: STABINF
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 06/10/12 Time: 18:13
Sample (adjusted): 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 11
Total panel (balanced) observations: 99
Swamy and Arora estimator of component variances
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(LNYGAP)
D(LNRER)
D(TO)
D(FO)
0.238053
0.096362
0.064737
7.598125
-2.581896
0.027242
-0.073765
0.187758
0.116038
0.118210
7.346676
2.440916
0.015245
0.034805
1.267875
0.830436
0.547645
1.034226
-1.057757
1.786963
-2.119371
0.2080
0.4084
0.5853
0.3037
0.2929
0.0772
0.0368
Effects Specification
S.D.
Cross-section random
Idiosyncratic random
0.000000
1.536541
Rho
0.0000
1.0000
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.133173
0.076641
1.581521
2.355709
0.036711
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
0.396768
1.645848
230.1112
2.250810
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.133173
230.1112
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
0.396768
2.250810
111
Lampiran 8
Hasil Uji Chow
Hipotesis:
Ho
: PLS lebih baik daripada FEM
H1
: FEM lebih baik daripada PLS
Uji Statistik:
CHOW
= [(SSR PLS – SSR FEM)/(n-1)] / [SSR FEM/(nT-n-k)]
= [(230.1112 – 193.5987)/(11-1)] / [193.5987/(11*10-11-6)]
= 1.7728
F Tabel:
F(0,05;10;93) = 1.9341
F(0,1;10;93) = 1.6681
Keputusan:
Jika α = 5% maka Tidak Tolak Ho
Jika α = 10% maka Tolak Ho
Kesimpulan:
Jika α = 10% maka FEM lebih baik daripada PLS
112
Lampiran 9
Hasil Uji Haussman Menggunakan Program Eviews v 6
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Chi-Sq.
Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
14.847918
6
0.0215
Test Summary
Cross-section random
** WARNING: estimated cross-section random effects variance is zero.
Cross-section random effects test comparisons:
Variable
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(LNYGAP)
D(LNRER)
D(TO)
D(FO)
Fixed
-0.010793
-0.226970
5.029742
-1.141969
0.019425
-0.076635
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.096362
0.064737
7.598125
-2.581896
0.027242
-0.073765
0.001107
0.006539
1.678435
0.534841
0.000014
0.000011
0.0013
0.0003
0.0474
0.0490
0.0390
0.3952
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: STABINF
Method: Panel Least Squares
Date: 06/10/12 Time: 18:14
Sample (adjusted): 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 11
Total panel (balanced) observations: 99
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(LNYGAP)
D(LNRER)
D(TO)
D(FO)
0.439974
-0.010793
-0.226970
5.029742
-1.141969
0.019425
-0.076635
0.196455
0.120714
0.143223
7.460032
2.548119
0.015708
0.034968
2.239567
-0.089409
-1.584739
0.674225
-0.448162
1.236657
-2.191554
0.0278
0.9290
0.1169
0.5021
0.6552
0.2197
0.0312
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.270716
0.128417
1.536541
193.5987
-173.6730
1.902439
0.031609
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
0.396768
1.645848
3.851979
4.297605
4.032280
2.090588
113
Lampiran 10 Hasil Estimasi First Difference-Generalized Method of Moments
(FD-GMM), Uji Arellano Bond, dan Uji Sargan Menggunakan
Program Stata v 10
. xtabond stabinf l.stabinf devexpinf d.lnygap d.lnrer d.to d.fo, lags(1) twostep artests(2)
note: L.stabinf dropped because of collinearity
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: neg
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
43
=
=
88
11
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
407.59
0.0000
Wald chi2(6)
Prob > chi2
Two-step results
Coef.
stabinf
stabinf
L1.
devexpinf
lnygap
D1.
lnrer
D1.
to
D1.
fo
D1.
_cons
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-.4127191
-.6605442
.2912277
.231531
-1.42
-2.85
0.156
0.004
-.983515
-1.114337
.1580767
-.2067518
-61.07694
60.18566
-1.01
0.310
-179.0387
56.88478
-19.6234
19.6791
-1.00
0.319
-58.19372
18.94693
.0254344
.0118249
2.15
0.031
.0022579
.0486108
.0087931
-.3199754
.0684397
.6682552
0.13
-0.48
0.898
0.632
-.1253462
-1.629732
.1429324
.9897808
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard
errors are recommended.
Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).stabinf
Standard: LD.stabinf D.devexpinf D2.lnygap D2.lnrer D2.to D2.fo
Instruments for level equation
Standard: _cons
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
Order
1
2
z
Prob > z
-1.4013
-.81421
0.1611
0.4155
H0: no autocorrelation
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(36)
Prob > chi2
=
=
3.593434
1.0000
114
Lampiran 11 Hasil Estimasi System-Generalized Method of Moments (SysGMM), Uji Arellano Bond, dan Uji Sargan Menggunakan
Program Stata v 10
. xtdpdsys stabinf l.stabinf devexpinf d.lnygap d.lnrer d.to d.fo, lags(1) twostep artests(2)
note: L.stabinf dropped because of collinearity
System dynamic panel-data estimation
Group variable: neg
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
51
=
=
99
11
min =
avg =
max =
9
9
9
=
=
190.18
0.0000
Wald chi2(6)
Prob > chi2
Two-step results
stabinf
Coef.
stabinf
L1.
devexpinf
lnygap
D1.
lnrer
D1.
to
D1.
fo
D1.
_cons
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-.3209413
-.6005102
.187522
.2424492
-1.71
-2.48
0.087
0.013
-.6884777
-1.075702
.0465951
-.1253185
-47.4235
31.55025
-1.50
0.133
-109.2609
14.41386
-17.78481
9.651982
-1.84
0.065
-36.70235
1.132728
.0271786
.0082388
3.30
0.001
.0110308
.0433264
.0009946
-.2253816
.0517083
.3544807
0.02
-0.64
0.985
0.525
-.1003519
-.9201511
.102341
.4693879
Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standar d
errors are recommended.
Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).stabinf
Standard: LD.stabinf D.devexpinf D2.lnygap D2.lnrer D2.to D2.fo
Instruments for level equation
GMM-type: LD.stabinf
Standard: _cons
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
Order
1
2
z
Prob > z
-1.4761
-1.2967
0.1399
0.1947
H0: no autocorrelation
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(44)
Prob > chi2
=
=
2.88655
1.0000
115
Lampiran 12 Hasil Uji Autokorelasi
Hipotesis:
Ho
: Tidak ada Autokorelasi
H1
: Ada Autokorelasi
Uji Statistik:
Nilai Durbin Watson (DW) Model FEM = 2,090588
Nilai DW Tabel:
Nilai Tabel DW dengan α = 5%; n = 110 dan k = 6 adalah:
- d L = 1,5761
- d U = 1,8054
Kriteria Keputusan:
Nilai DW
Hasil
4 – d L < DW < 4
Terdapat korelasi serial negatif
4 – d U < DW < 4- d L
Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4 – d U
Tidak ada korelasi serial
d U < DW < 2
Tidak ada korelasi serial
d L < DW < d U
Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < d L
Terdapat korelasi serial positif
Keputusan:
Karena nilai DW terletak antara d U < DW < 4-d U atau antara 1,8054 dan 2,1946
maka tidak tolak H 0
Kasimpulan: tidak ada autokorelasi
116
Lampiran 13 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted Menggunakan
Program Eviews v 6
Dependent Variable: STABINF
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 06/10/12 Time: 18:26
Sample (adjusted): 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 11
Total panel (balanced) observations: 99
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(LNYGAP)
D(LNRER)
D(TO)
D(FO)
0.478828
-0.035948
-0.191578
0.071515
0.067364
0.021788
-0.060096
0.140987
0.127551
0.154345
5.002391
1.526259
0.010194
0.020837
3.396252
-0.281831
-1.241229
0.014296
0.044136
2.137333
-2.884104
0.0011
0.7788
0.2181
0.9886
0.9649
0.0355
0.0050
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.351775
0.225292
1.510759
2.781203
0.001317
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
0.378764
1.702541
187.1563
2.104644
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.259015
196.7049
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
0.396768
2.080730
117
Lampiran 14 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted dengan Variabel
Dummy Interaksi ITF Menggunakan Program Eviews v 6
Dependent Variable: STABINF
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 06/10/12 Time: 18:29
Sample (adjusted): 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 11
Total panel (balanced) observations: 99
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(LNYGAP)
D(LNRER)
D(TO)
D(FO)
STABINF(-1)*DITF
DEVEXPINF*DITF
D(LNYGAP)*DITF
D(LNRER)*DITF
D(TO)*DITF
D(FO)*DITF
0.319150
0.043546
-0.390084
4.990081
-6.974309
0.008869
-0.078817
0.017217
0.279645
-9.461472
7.611554
0.073561
0.130631
0.161140
0.200370
0.236639
5.736647
2.834191
0.009422
0.019166
0.254597
0.296555
11.90828
3.384659
0.025536
0.047291
1.980578
0.217327
-1.648437
0.869860
-2.460776
0.941242
-4.112414
0.067625
0.942979
-0.794529
2.248839
2.880640
2.762304
0.0513
0.8285
0.1034
0.3871
0.0161
0.3496
0.0001
0.9463
0.3487
0.4294
0.0274
0.0052
0.0072
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.561596
0.434690
1.445884
4.425284
0.000001
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
0.444628
1.921943
158.8840
2.179811
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.296530
186.7458
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
0.396768
2.094732
118
Lampiran 15 Hasil Estimasi FEM dengan GLS Weighted dengan Variabel
Dummy Interaksi Negara Maju Menggunakan Program Eviews v 6
Dependent Variable: STABINF
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 06/10/12 Time: 18:31
Sample (adjusted): 2002 2010
Periods included: 9
Cross-sections included: 11
Total panel (balanced) observations: 99
Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
STABINF(-1)
DEVEXPINF
D(LNYGAP)
D(LNRER)
D(TO)
D(FO)
STABINF(-1)*DM
DEVEXPINF*DM
D(LNYGAP)*DM
D(LNRER)*DM
D(TO)*DM
D(FO)*DM
0.333729
0.056377
-0.139222
4.152324
-7.946648
0.044077
-0.266090
-0.208002
-0.141722
-13.61163
9.275236
-0.014716
0.237935
0.171551
0.195519
0.204678
12.40152
5.900237
0.036581
0.107168
0.262917
0.295917
13.83150
6.072373
0.038651
0.109668
1.945364
0.288347
-0.680200
0.334824
-1.346835
1.204913
-2.482936
-0.791133
-0.478926
-0.984103
1.527448
-0.380739
2.169592
0.0554
0.7739
0.4984
0.7387
0.1820
0.2320
0.0152
0.4313
0.6334
0.3282
0.1308
0.7045
0.0332
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.426445
0.260417
1.486762
2.568501
0.001293
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
0.440788
1.732161
167.9951
2.136103
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.338803
175.5239
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
0.396768
2.145304
Lampiran 16 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya
No.
Peneliti
Tujuan
Cakupan
(1)
1.
(2)
Romer (1993)
(3)
Meneliti hubungan antara
keterbukaan (perdagangan)
dengan inflasi
(4)
114 negara
(1973-1990)
2.
Lane (1997)
Meneliti hubungan antara
keterbukaan (perdagangan)
dengan inflasi
114 negara
(1973-1988)
3.
Svensson (2000)
Amerika
Serikat
4.
Temple (2002)
Mengkaji penargetan
inflasi dalam SOE dengan
membandingkan strict dan
fleksibel targeting, fungsi
reaksi inflation-targeting,
dan Taylor rule
Mengkaji kemungkinan
hubungan antara
keterbukaan perdagangan
dan slope trade-off outputinflasi
19 negara
(pertengahan
‘60-an
sampai akhir
‘80-an)
Variabel
Metode
Hasil
(5)
Dependent:
Inflasi
Independent:
Keterbukaan (Impor/PDB) dan
PDB Perkapita
Dependent:
Inflasi
Independent:
Keterbukaan (Impor/PDB), PDB,
PDB Perkapita, dan Independensi
Bank Sentral
Dependent:
Inflasi
Independent:
Ekspektasi Inflasi, Kesenjangan
Output, dan Nilai Tukar Riil
(6)
Data Panel
(7)
Ada hubungan negatif antara
keterbukaan (perdagangan) dengan
inflasi.
Data Panel
Dependent:
- Sacrifice Ratio
- Benefit Ratio
- BMR Trade-off parameter
Independent:
Keterbukaan (Impor/PDB), Inflasi,
Perubahan Inflasi, Length, dan
Contract Duration
Data Panel
Ada hubungan negatif antara
keterbukaan (perdagangan) dengan
inflasi.
Negara dengan ekonomi yang lebih
terbuka akan cenderung
menggunakan nilai tukar fixed.
Ekspektasi Inflasi, Kesenjangan
Output, dan Nilai Tukar Riil
berdampak positif terhadap inflasi.
Supply shock negatif dan demand
shock positif memiliki efek yang
serupa pada inflasi.
Hubungan negatif antara keterbukaan
(perdagangan) dengan inflasi yang
dikemukakan oleh Romer tidak kuat.
Inflasi relatif mahal dalam ekonomi
yang lebih terbuka karena inflasi
terkait dengan nilai tukar.
VAR
(1)
5.
(2)
Wu dan Lin
(2006)
(3)
Meneliti hubungan antara
keterbukaan (perdagangan)
dengan inflasi
(4)
11 negara
(1973-2001)
(1965:12001:4)
6.
Bowdler dan
Nunziata (2006)
Meneliti peluang terjadinya
inflasi
19 negara
OECD (19611993)
7.
Badinger (2009)
Meneliti hubungan antara
keterbukaan perdagangan
dan keuangan terhadap
Inflasi dan Trade-off
Output-Inflasi
91 negara
(1985-2004)
8.
Walsh (2009)
Membandingkan dampak
dari inflation-targeting
terhadap kinarja
makroekonomi
25 negara
(1962-2007)
(5)
Dependent:
Inflasi
Independent:
Keterbukaan (Impor/PDB) dan
PDB perkapita.
Dependent:
Peluang Inflasi
Independent:
Keterbukaan (Impor/PDB),
Pertumbuhan PDB, dan
Perbedaan Inflasi setiap negara
dengan US
Dependent:
Inflasi
Trade-off Output-Inflasi
Independent:
Keterbukaan Perdagangan (Ekspor
dan Impor/PDB), Keterbukaan
Finansial (Asset dan Liability
Asing/PDB), Populasi penduduk,
Luas Wilayah, Independensi Bank
Sentral, Stabilitas Politik, dan PDB
per pekerja.
Dependent:
Inflasi
Independent:
Target inflasi, Selisih Ekspektasi
Inflasi dgn Target Inflasi, dan
Output Gap.
(6)
Data panel
dan VAR
(7)
Hubungan Openness dan Inflasi
berbeda di setiap negara, ada yang
positif dan ada yang negatif
Regresi
Probit
Keterbukuaan memberikan peluang
negatif. Artinya, semakin terbuka
maka peluang inflasi makin rendah.
Data panel
Keterbukaan perdagangan dan
keuangan yang lebih tinggi
mengurangi bias inflasi bank sentral
dengan menghasilkan inflasi rata-rata
lebih rendah.
Untuk subsampel OECD, tidak
ditemukan efek keterbukaan pada
inflasi.
Data panel
Pada negara maju, IT dan non-IT
memberikan hasil yang sama.
Pada negara berkembang, IT
memberikan kinerja makroekonomi
yang lebih baik, inflasi lebih rendah
dan ekonomi riil yang lebih stabil.
(1)
9.
(2)
Mishkin dan
Schmidt-Hebbel
(2007)
(3)
Meneliti hubungan
berbagai variabel terhadap
stabilitas inflasi di negara
IT dan Non-IT
(4)
21 negara IT
dan 13 negara
Non-IT
(1989:1 –
2004:4)
10.
Mukherjee (2011)
Meneliti dampak
keterbukaan pasar modal
terhadap ERPT pada inflasi
dan implikasinya terhadap
trade-off output-inflasi dan
fungsi kerugian sosial
8 negara IT
Maju (Sejak
berlakunya
ITF sampai
2008)
11.
Reinhardt et al.
(2010)
Meneliti variabel yang
mempengaruhi
keterbukaan finansial
106 negara
(1982-2006)
(5)
Dependent:
Stabilitas inflasi
Independent:
Kesenjangan Output, Nilai Tukar
Nominal, dan perbedaan suku
bunga.
Dependent:
Selisih Inflasi dgn Target Inflasi
Independent:
Deviasi Ekspektasi Inflasi dgn
Target Inflasi, Kesenjangan
Output, Nilai Tukar Riil,
Keterbukaan Finansial (Indeks
Chin-Ito), dan Keterbukaan
Perdagangan (Ekspor dan
Impor/PDB).
Dependent:
Keterbukaan Finansial (Indeks
Quinn)
Independent:
FDI, Portofolio Equity, Portofolio
Debt, Other Investment Private,
Other Investment Other Sectors,
Other Investment Bank, dan Other
Investment Official.
(6)
Data Panel
(7)
Inflation targeting membantu
Negara-negara mencapai inflasi yang
lebih rendah.
Data Panel
Deviasi Ekspektasi Inflasi dgn Target
Inflasi, Kesenjangan Output, dan
Nilai Tukar Riil berpengaruh positif
terhadap Selisih Inflasi dengan
Target Inflasi. Keterbukaan
Perdagangan dan Finansial
berhubungan negatif.
Data Panel
FDI dan PE berpengaruh signifikan
terhadap Keterbukaan Finansial,
sedangkan yang lain tidak
berpengaruh.
Download