BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis moneter yang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur
pada pertengahan tahun 1997-1998 adalah awal dari krisis moneter kawasan yang
kemudian merambah menjadi krisis ekonomi dan krisis sosial politik yang lebih
parah di Indonesia. Sejak pertengahan Juli tahun 1997, Rupiah mengalami
tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap
US Dollar. Tekanan tersebut, diakibatkan oleh adanya currency turmoil yang
melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara
termasuk Indonesia.
Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas
moneter di Indonesia melakukan intervensi baik melalui spot exchange rate
maupun forward exchange rate. Namun, tekanan terhadap Rupiah terus
meningkat. Oleh karena itu, dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang
terus berkurang, pada tanggal 14 Agustus 1997, BI memutuskan untuk menghapus
rentang intervensi sehingga nilai tukar Rupiah dibiarkan mengikuti mekanisme
pasar (sistem nilai tukar mengambang bebas). Namun, hal tersebut telah
mengakibatkan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar menjadi terdepresiasi
hingga mencapai Rp14.900 (lihat Gambar 1.1).
Dengan terdepresiasinya nilai tukar rupiah, secara otomatis tingkat inflasi
meningkat dari 10,26% pada tahun 1997 menjadi 77,54% pada tahun 1998.
Tingginya tingkat inflasi di suatu negara dapat menghambat pertumbuhan
1
ekonomi ke arah yang lebih baik. Hal itu terbukti dari pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang terkontraksi dari 4,7% pada tahun 1997 menjadi -13,13% pada
tahun 1998 (lihat Gambar 1.2). Kondisi ini telah memberikan guncangan terhadap
perekonomian Indonesia, tidak terkecuali sektor moneter.
Gambar 1.1. Pergerakan Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dollar,
1990:1-2005:2
Sumber: IMF (2013)
Gambar 1.2. Pergerakan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,
1990-2005
Sumber: IMF (2013)
2
Dalam upaya pemulihan pasca krisis moneter 1997-1998, telah dilakukan
restrukturisasi sistem moneter di Indonesia. Salah satu bentuk nyata dalam
restrukturisasi sistem moneter yaitu dengan munculnya Undang-Undang No. 23
tahun 1999, sebagai pengganti dari Undang-Undang No. 13 tahun 1968. Di dalam
undang-undang BI yang lama, status dan kedudukan BI lebih menekankan pada
posisi bank sentral sebagai pembantu presiden dalam melaksanakan kebijakan
moneter, sehingga BI tidak memiliki otonomi dalam melaksanakan tugas
pokoknya. Disamping itu, kedudukan tersebut membuka peluang adanya
intervensi dari pihak luar sehingga dapat menyebabkan kebijakan yang diambil
oleh BI menjadi kurang efektif.
Sedangkan, dalam undang-undang BI yang baru dan kemudian direvisi
dengan Undang-undang No.3 tahun 2004, status dan kedudukan BI dalam struktur
kelembagaan kenegaraan Indonesia ditempatkan secara khusus. Dalam pasal 4
ayat 2 dirumuskan bahwa BI adalah lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah
dan/atau pihak lain. Selanjutnya, dalam pasal 9 dinyatakan bahwa pihak lain
dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI,
dan demikian pula, BI wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk
campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Dengan
adanya independensi dalam melakukan kebijakan, peluang tercapainya tujuan
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah akan lebih maksimal.
Berlakunya undang-undang tersebut, menandakan bahwa BI mulai
mengubah kerangka kebijakan moneternya. Sasaran akhir kebijakan moneter BI
3
mulai diarahkan untuk menjaga inflasi, dengan suku bunga sebagai sasaran
operasional. Namun, faktanya menunjukkan bahwa tingkat inflasi Indonesia
cenderung belum membaik, bahkan pada tahun 2001 tingkat inflasi Indonesia
mencapai 12,55% (IMF, 2012).
Berdasarkan hal tersebut pada bulan Juli tahun 2005 BI selaku otoritas
moneter di Indonesia secara penuh mengadopsi Inflation Targeting Framework
(ITF) sebagai kerangka kerja kebijakan moneter yang digunakannya. ITF
merupakan kerangka kebijakan moneter dengan mengumumkan pada publik
mengenai seberapa besar target inflasi yang ingin dicapai. Penerapan ITF di
Indonesia adalah upaya yang dilakukan oleh BI untuk menjaga kestabilan nilai
tukar rupiah. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai tukar rupiah adalah
kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada tingkat
inflasi yang rendah dan stabil.
Dalam ITF ada empat prinsip atau elemen dasar, yaitu: (1) Penggunaan
suku bunga BI Rate sebagai reference rate dalam pengendalian moneter dan
pengganti sasaran operasional uang primer; (2) Penguatan proses perumusan
kebijakan moneter dengan strategi antisipatif (forward looking strategy) dalam
mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi
ke depan; (3) Strategi komunikasi yang lebih transparan untuk memperkuat sinyal
kebijakan moneter kepada pasar dan upaya pembentukan ekspektasi inflasi; (4)
Penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk meminimalkan tekanan
inflasi dari kenaikan administered prices dan volatile foods maupun untuk sinergi
kebijakan ekonomi secara keseluruhan.
4
ITF telah menjadi suatu kerangka kerja dalam kebijakan moneter yang
banyak digunakan oleh bank sentral negara maju untuk menekan inflasi. Di
pelopori oleh Slandia Baru di awal tahun 1990, beberapa negara lain seperti
Inggris, Kanada, Australia, Swedia, Finlandia, dan Spanyol mengikuti langkah
negara ini untuk menerapkan ITF (Bernanke & Mishkin, 1997; Dotsey, 2006).
Selain itu, beberapa negara berkembang juga turut mengadopsi ITF dengan
maksud untuk memperbaiki atau memperkuat fundamental ekonomi makro
negaranya.
Dari beberapa studi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa penerapan
ITF di negara berkembang yang telah mengadopsinya, tingkat inflasi secara
signifikan memperlihatkan level yang lebih rendah, serupa dengan negara maju
yang telah terlebih dahulu menerapkan ITF (Fraga, et al., 2003). Hal tersebut
didukung juga oleh hasil temuan Lin & Ye (2009) yang melakukan penelitian di
13 negara berkembang (Brazil, Chili, Kolombia, Republik Ceko, Hungaria, Israel,
Korea Selatan, Mexico, Peru, Filipina, Polandia, Afrika Selatan dan Thailand).
Secara umum, penerapan ITF di negara berkembang memiliki dampak yang besar
dan signifikan pada penurunan inflasi dan variabilitas inflasi. Namun, efektivitas
penerapan ITF pada penurunan tingkat inflasi cukup heterogen di 13 negara
berkembang tersebut.
Selanjutnya, menurut Muhanna (2006) implementasi penerapan ITF di
negara berkembang, pada tahun-tahun awal menghadapi tantangan yang cukup
serius. Sebuah kerangka kerja penargetan inflasi hanya dapat berhasil jika publik
yakin bahwa bank sentral serius menargetkan inflasi. Hal ini berarti bahwa bank
5
sentral tidak dapat begitu saja mengubah penargetan inflasi tanpa adanya
kepercayaan dan dukungan dari publik. Kesalahpahaman publik yang harus
diubah ketika bank sentral menerapkan ITF, ada anggapan bahwa bank sentral
tidak peduli terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Hal
ini penting sekali untuk diperhatikan oleh bank sentral, agar publik dapat yakin
bahwa bank sentral tetap memperhatikan isu-isu penting lainnya dalam
perekonomian.
1.2. Rumusan Masalah
ITF merupakan sebuah kerangka kerja yang digunakan dalam kebijakan
moneter di Indonesia. Sejak di terapkan pada bulan Juli tahun 2005, rezim baru
dalam dunia moneter di Indonesia ini masih mengalami berbagai tantangan.
Seperti, tingkat inflasi aktual yang masih sering melenceng dari target. Selain itu,
banyak debat di antara para ekonom di berbagai negara yang meragukan
efektivitas dari ITF. Namun, banyak juga yang mendukung ITF sebagai kerangka
kerja yang digunakan dalam kebijakan moneter di negaranya.
Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba menjelaskan lebih lanjut
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi pada rezim ITF serta efektivitas
penerapan ITF di Indonesia dan mengevaluasi hasil penerapan ITF yang kurang
lebih telah berjalan selama 7 tahun dari 2005-2012. Selanjutnya, penelitian ini
juga mencoba untuk membandingkan kesuksesan antara Indonesia dengan
beberapa negara berkembang lainnya yang telah menerapkan ITF dalam kerangka
kerja kebijakan moneter di negaranya.
6
1.3. Pertanyaan Penelitian
Setelah mengetahui latar belakang masalah yang terjadi di Indonesia
tentang pengaruh inflasi pada perekonomian, penulis mencoba untuk merumuskan
pertanyaan penelitian yaitu:
1. Bagaimana rata-rata tingkat inflasi di Indonesia pasca penerapan ITF?
2. Bagaimana pengaruh guncangan (shock) pada pergerakan nilai tukar
rupiah, tingkat suku bunga BI rate, pertumbuhan jumlah uang beredar,
dan pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi di indonesia pada rezim
ITF?
3. Faktor apakah yang paling besar pengaruhnya terhadap inflasi pada
rezim ITF di Indonesia?
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diuraikan, tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis rata-rata tingkat inflasi di Indonesia pasca penerapan
ITF.
2. Menganalisis pengaruh guncangan (shock) pada pergerakan nilai tukar
rupiah, tingkat suku bunga BI rate, pertumbuhan jumlah uang beredar
dan pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi di Indonesia pada rezim
ITF.
3. Menganalisis faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap inflasi
pada rezim ITF di Indonesia.
7
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat
bagi pihak yang berkepentingan, antara lain:
1. Bagi penulis,
pengetahuan
penelitian
dan
ini
kemampuan
bermanfaat
dalam
untuk
meningkatkan
mengidentifikasi
dan
menganalisis perubahan inflasi, nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga
BI rate, pertumbuhan jumlah uang beredar dan pertumbuhan ekonomi.
2. Menjadi
literatur
untuk
penelitian-penelitian
selanjutnya
yang
bertemakan sama tentang inflasi pada rezim ITF.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi
pemerintah dan BI dalam menetapkan suatu kebijakan.
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan skripsi ini terdiri dari empat bab. Bab 1 berisi
pendahuluan yang
mencakup latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2
menguraikan beberapa penelitian-penelitian terdahulu mengenai ITF yang
memperkuat penelitian ini, beserta dengan metode analisis yang digunakan. Bab 3
merupakan pembahasan dari data dan hasil temuan berdasarkan metode yang
digunakan. Bab 4 merupakan bagian penutup yang mencakup kesimpulan dan
saran.
8
Download