BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep “pusat” yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan bagaimana suatu rezim memaknai serta memperlakuan lingkungan alam di bawah suatu tradisi kekuasaan tertentu. Pada periode abad ke-15 hingga ke16, rezim kekuasaan Islam bertradisi maritim-sawah berbasis lingkungan pantai yang menekankan pada perdagangan maritim tetap mengusung konsep “suci dan sempurna” yang dilandasi oleh pemahaman akan adanya “gunung suci”. Konsep tersebut memungkinkan terbentuknya politik teritorial yang dicirikan oleh dominasi kekuasaan raja dalam suatu tatanan hirarkis berpola jaringan. Perubahan tradisi kekuasaan Islam dari tradisi maritim-sawah ke tradisi sawah telah memasukkan dataran subur sebagai elemen lingkungan alam pembentuk kekuasaan yang merubah tatanan hirarkis dari pola jaringan ke pola konsentrik. Memasuki abad ke-17 hingga ke-19, rezim kekuasaan Barat menerapkan konsep “pusat” yang berorientasi pada keuntungan ekonomi dengan menempatkan lingkungan alam sebagai faktor produksi. Perubahan tradisi kekuasaan Barat dari merkantilisme ke liberalismekapitalisme merubah politik teritorial dari pengendalian simpul perdagangan 2. menjadi pengendalian teritori. Di bawah rezim kekuasaan Islam bertradisi maritim-sawah, praktek penguatan pinggiran dan likuidasi politik berimplikasi pada pergantian identitas beberapa kota pelabuhan menjadi kota dakwah serta menghilangnya identitas politik beberapa kota pedalaman di lembah-lembah subur penghasil beras. Di masa rezim kekuasaan Islam bertradisi sawah, gejala likuidasi politik dan netralisasi pinggiran mendorong kemunculan kota pedalaman sebagai titik pancar kekuasaan raja. Sejalan dengan tergantikannya beras oleh rempah-rempah sebagai komoditi perdagangan, tradisi merkantilisme rezim 396 kekuasaan Barat memunculkan kembali peran penting kota-kota pelabuhan baik sebagai pusat distribusi maupun pusat diplomasi perdagangan. Upaya penguasaan faktor produksi oleh rezim kekuasaaan Barat melalui sistem birokrasi kolonial, kapitalisasi perkebunan, dan pembangunan jalan raya memunculkan kota-kota multi fungsi yang saling terhubung; bahkan pada tempat-tempat yang secara primordial dipandang beridentitas geopolitik negatif. 8.2. Implikasi Keilmuan Terdapat dua kelemahan dalam peneliian ini yang saling terkait. Kelemahan pertama menyangkut ketersediaan data dan informasi. Pilihan untuk menggunakan studi literatur menyebabkan penelitian ini berhadapan dengan berbagai macam konteks yang melatari kemunculan data atau informasi; tergantung pada perspekif dan kepentingan penulismya. Selain itu, literatur yang beragam juga tidak selalu menyediakan data dan informasi yang setara tentang beberapa hal yang dipandang relevan untuk ditemukan keterkaitannya baik dari segi kelengkapan maupun kedalaman. Sementara itu kelemahan kedua berkenaan dengan penerapan hermeneutika pada cakupan wilayah yang sangat luas dan rentang waktu historis yang terbilang lama. Hal ini berbeda dengan penelitian-penelitian berbasis geografi kritis yang pada umumnya membahas aktivitas keseharian pada skala ruang mikro. Kedua kelemahan tersebut berakibat pada timbulnya kesan akan adanya generalisasi yang terlalu berani pada beberapa bagian. Walaupun begitu, pada akhirnya penelitian ini tetap dapat memenuhi tujuan penerapan hermeneutika dalam disiplin geografi yaitu memberikan penafsiran spasial terhadap jejak dan hasil tindakan manusia menurut konteks tertentu guna mendapatkan suatu pemahaman baru. Tujuan tersebut diperoleh melalui penerapan prinsip-prinsip hermeneutika Paul Ricouer yang memungkinkan terbukanya penafsiran terhadap kota sebagai jejak dari suatu kekuasaan. Merujuk pada pemahaman bahwa tindakan manusia adalah sebuah teks, maka sesuai dengan prinsip hermeneutika proses penafisran tersebut juga mencakup penafsiran 397 terhadap aktor. Jika kemudian dikaitkan dengan prinsip dalam ilmu geografi, khususnya paradigma geografi kritis, eksistensi dan identitas aktor sebagai pelaku tindakan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan yang melingkupinya, baik lingkungan alam maupun sosial budaya. Sesuai dengan basis kultural yang melingkupinya, suatu rezim dapat memaknai lingkungan alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari identitas kekuasaannya. Pemaknaan tersebut mengisyaratkan bahwa suatu rezim kekuasaan memiliki keterikatan dan ketergantungan pada suatu lingkungan alam tertentu. Berbagai kenampakan lingkungan fisik yang menonjol diyakini memiliki kontribusi penting dalam membentuk tradisi kekuasaan yang salah satunya dimunculkan dalam wujud kode geopolitik. Dengan kata lain, tradisi kekuasaan merupakan produk dari keunikan dialektika manusia-lingkungan pada tempattenpat yang berbeda. Perpaduan antara kondisi fisik dan kultural sebagai kerangka utama penelitian ini dengan demikian telah menyediakan suatu pendekatan alternatif yang dapat mengakomodir sifat kontinum dibandingkan pendekatan dikotomis pesisir-pedalaman. permukaan bumi Atas dasar itu, maka Gambar 8.1 menawarkan suatu kerangka kerja hermeneutik dalam disiplin geografi guna menelusuri keterkaitan antara aktor kekuasaan, tindakan politik, dan pertumbuhan kota. Kerangka kerja tersebut menempatkan unsur-unsur lingkungan alam seperti sungai, gunung, pantai, lembah, dan dataran bukan semata-mata menekankan pada wujud fisiknya, melainkan juga dalam peran dan makna simboliknya. Seperti telah terungkap dalam hasil penelitian ini, penempatan seperti itu telah memberikan penafsiran baru terhadap unsur alam sebagai faktor pembentuk kehidupan, khususnya yang terkait dengan tradisi kekuasaan. Dalam hal ini makna simbolik ini merupakan representasi dari adanya gagasan yang khas tentang kekuasaan yang diusung oleh suatu rezim. Penafsiran akan adanya makna simbolik ini hanya dimungkinkan dengan melibatkan sistem nilai (value system) yang berperan sebagai basis kultural suatu rezim kekuasaan. 398 Penekanan proses hermeneutik Gambar 8.1. Implikasi metodologis keterkaitan antara praktek spatial kekuasaan dan pertumbuhan kota Gejala-gejala yang dapat memperlihatkan peran penting makna simbolik yang terkandung dalam unsur-unsur lingkungan alam tergambar pada konsep dan perilaku “pusat” sebagai suatu entitas spasial. Melalui pendalaman terhadap konsep “pusat”, penelitian dapat menafsirkan keunikan gagasan ruang yang melandasi politik teritorial suatu rezim kekuasaan dan bagaimana gagasan tersebut berimplikasi pada kemunculan dan keruntuhan kota-kota. Dalam hal ini, gagasan ruang tersebut – yang dalam penelitian ini disebut sebagai kode geopolitik – sesungguhnya adalah suatu materi yang memiliki kecenderungan kuat untuk bergerak bebas mengatasi hambatan ruang baik yang dibentuk oleh kondisi fisik alamiah maupun kultural. Pendalaman tersebut merupakan elaborasi terhadap penelitian-penelitian sebelumnya sehingga dapat memahami pertumbuhan kota sebagai produk dari aliran gagasan politik yang bergerak bebas dari satu tempat ke tempat lain. 399 Secara keseluruhan, Gambar 8.1 menyediakan suatu kerangka pemikiran hermeneutik dalam disiplin geografi yang memungkinkan dilakukannya penelusuran dan penafsiran terhadap imajinasi ruang oleh suatu rezim kekuasaan dan bagaimana imajinasi tersebut mengalami perubahan baik yang disebabkan oleh perkembangan situasi eksternal seperti munculnya entitas kekuasaan baru, perkembangan ekonomi, intervensi teknologi atau pun suntikan suatu ideologi baru yang dapat memodifikasi kode geopolitik ke dalam bentuk yang baru sehingga mendorong terjadinya perumusan ulang terhadap ruang kekuasaan. Konsep, pemaknaan, serta perilaku pusat pun akan berubah. Demikian pula halnya dengan pola dominansi dan identitas kekuasaan yang diusung oleh pusat. Pusat baru ini membangun simbol-simbol kekuasaan sesuai dengan kepentingannya dalam wujud kota. Sebagai simbol kekuasaan, kota pun menjadi tanda bagi hadirnya suatu rezim kekuasaan di wilayah tertentu beserta segenap jaringannnya. Melalui kota-kota, suatu rezim kekuasan dapat melakukan penguasaan, pengendalian, serta pengelolaan teritorial demi mengembangkan basis spasial geopolitiknya. Gambar 8.1 juga memperlihatkan proses hermeneutik terhadap praktek kekuasaan yang merupakan wujud operasional dari modus produksi ruang yang dilandasi oleh suatu kode geopolitik tertentu. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa setiap kode geopolitik mengandung modus produksi ruang yang khas sebagaimana tercermin dari konsep dan perilaku “pusat”, pola dominasi, dan pembentukan identitas ruang kekuasaan. Pergantian rezim kekuasaan yang diikuti oleh perubahan kode geopolitik dengan demikian akan merubah modus produksi ruang kekuasaan. Pola-pola representasi kekuasaan melalui berbagai simbol demi memuluskan klaim-klaim teritorial juga mengalami perubahan. Pada tahapan ini setiap rezim kekuasaan baru berpeluang untuk membentuk suatu “pusat” yang dilakukan secara simultan dengan kepentingannya untuk menciptakan basis geopolitik yang baru pula. juga Berdasarkan pertimbangan terhadap pola dominasi pusat, kerangka di atas menawarkan suatu pendekatan baru dalam melihat kemunculan dan keruntuhan kota-kota bukan dalam kedudukannya sebagai “pusat besar”, 400 melainkan sebagai entitas-entitas di pinggiran. Hal ini menandakan terjadinya suata dielaktika pusat-pinggiran yang mempertanyakan sejauh mana tesis tentang eksistensi pusat sebagai suatu entitas yang dominan, aktif, dan menentukan dapat terus dipertahankan dalam menjelaskan petumbuhan kota. Melalui pemahaman terhadap perilaku dan hubungan antar pusat terutama yang berlangsung sebelum masa kekuasaan Barat, tampak adanya gejala anti-tesis yang memperlihatkan adanya pusat yang seakan-akan aktif namun sesungguhnya memiliki ketergantungan yang terbilang tinggi pada entitas lain yang justru berada di “pinggiran”. Sifat aktif dan menentukan dari pusat dimaksud sesungguhnya bersifat semu. Dengan demikian, pendekatan geopolitik krtitis yang digunakan dalam penelitian dan melibatkan aspek identitas, ideologi, serta praktek kekuasaan dapat menjadi alternatif baru bagi kajian pertumbuhan kota-kota menengah secara regional yang selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan neo-klasik, seperti yang ditawarkan oleh John Friedmann melalui Teori Pusat-Pinggiran. Selain kerangka metodologis di atas, melalui penelaahan mendalam terhadap konsep pusat, penelitian ini bukan saja berhasil mengetengahkan wacana baru mengenai urgensi dan eksistensi pusat dalam pengelolaan teritori, tetapi juga dapat memodifikasi struktur ruang konsentris-hirarkis kekuasaan Jawa yang pernah ditawarkan oleh Profesor Selo Sumardjan pada tahun 1981. Dengan memasukkan “masjid” sebagai pusat dan kemudian menelaah bentuk-bentuk relasinya dengan “istana” di bawah tradisi sawah, penelitian ini berhasil menawarkan suatu struktur ruang konsentris-hirakis baru yang memperlihatkan adanya relasi-relasi kekuasaan di pinggiran dan bagaimana relasi-relasi pinggiran tersebut terkoneksi dengan istana di pusat kekuasaan. Dalam konteks penelitian, struktur ruang baru dimaksud terbentuk pada masa kekuasaan Kesultanan Mataram ketika terjadi pemutlakkan kedudukan “istana” sebagai pusat besar yang dominan. Perbandingan antara kedua struktrur ruang konsentris tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.2 berikut ini. 401 Struktur ruang hirarkis-konsentris dalam tradisi kekuasaan Jawa versi Selo Sumardjan (1981) Struktur ruang hirarkis-konsentris dalam tradisi kekuasaan Jawa pada masa Kesultanan Mataram (2014) Gambar 8.2 Perbandingan model empiris struktur ruang hirarkis-konsentris Hasil penelitian ini juga menawarkan pandangan yang berbeda dengan yang disampaikan oleh Bouchari dan Dupagne (2003) dalam kaitannya dengan alasanalasan menghilangnya kedudukan “masjid” sebagai pusat. Dengan merujuk kembali pada Gambar 5.3, Bouchari dan Dupagne percaya bahwa kemunculan pusat-pusat ekonomi baru adalah penyebab utama menghilangnya kedudukan “masjid” sebagai pusat. Dengan kata lain, daya tarik ekonomi dari suatu pusat akan mengalahkan daya tarik religius dari masjid. Namun demikian gejala tersebut tampaknya tidak berlaku di Pulau Jawa terutama dalam konteks penelitian ini. Meredupnya kedudukan “masjid” sebagai pusat di Pulau Jawa justru terjadi bersamaan dengan meredupnya peran “pelabuhan” sebagai pusat ekonomi. Begitu juga sebaliknya. Meningkatnya kedudukan “masjid” sebagai pusat berjalan seiring dengan meningkatnya peran “pelabuhan”. Dalam kasus Pulau Jawa, faktor utama yang menyebabkan meredupnya kedudukan masjid sebagai pusat adalah munculnya kekuasaan bersifat absolut dan hegemonik yang secara sekaligus mengendalikan aspek-aspek politik, ekonomi, religius, dan kultural di tengah kehidupan masyarakat. 402