F22586/Indonesia di Persimpangan

advertisement
SUARA PEMBARUAN DAILY
Indonesia di Persimpangan Jalan
Bara Hasibuan
Tahun 1989 merupakan tahun yang paling menggairahkan bagi rakyat Eropa
Timur. The Third Wave of Democratization (Gelombang Ketiga Demokratisasi)
datang menghantam dan satu per satu rezim otoriter di Polandia, Cekoslowakia,
Hungaria, Rumania, dan Bulgaria berjatuhan. Karena kuatnya gelombang itu,
pada akhir tahun Tembok Berlin juga akhirnya runtuh–yang merupakan simbol
berakhirnya The Soviet Empire (Kerajaan Soviet) di Eropa Timur.
Datangnya alam demokrasi baru betul-betul disambut dengan antusiasme luar
biasa oleh rakyat yang sudah muak dengan puluhan tahun hidup di bawah
ketakutan dan kemiskinan. Pesta kemenangan pun terjadi di seluruh Eropa
Timur. Tidak henti-hentinya rakyat berteriak: ’’Freedom!’’ (kebebasan) atau
’’Truth shall prevail!’’ (kebenaran akan menang). Ada juga yang mengklaim:
’’Democracy has won!’’ (demokrasi telah menang).
Bagi kebanyakan rakyat, saat itu merupakan pertama kalinya mereka
mendapatkan kesempatan untuk menikmati kebebasan secara penuh. Sekarang
mereka dapat melakukan apa saja tanpa dihantui rasa takut termasuk untuk
berkumpul bersama membicarakan masalah politik. Untuk pertama kalinya,
mereka juga dapat memilih dalam pemilu yang demokratis. Di samping itu, ada
semacam harapan tinggi di antara publik bahwa rezim baru akan dapat
meningkatkan kualitas hidup mereka dibandingkan dengan sebelumnya.
Namun, ternyata euforia tersebut hanya berlangsung sebentar. Rakyat Eropa
Timur ternyata sadar bahwa pergantian rezim tidak otomatis membawa
perbaikan. Bahkan ada dari beberapa negara tersebut yang keadaannya menjadi
jauh lebih buruk dibandingkan dengan pada waktu mereka masih di bawah
cengkeraman kekuasaan otoriter. Kekacauan politik dan ekonomi ditambah
dengan meningkatnya korupsi dan berbagai macam skandal mendominasi
situasi negara-negara tersebut tidak lama setelah rezim komunis runtuh.
Akibatnya, berbagai kekecewaan kepada rezim baru yang demo- kratis mulai
bermunculan.
Pembusukan
Situasi yang sama juga melanda Rusia tidak lama setelah komunisme tumbang
tahun 1991. Pada mulanya terdapat kegairahan luar biasa dari rakyat Rusia
dalam menyambut datangnya kebebasan baru. Namun ternyata kehidupan
demokratis Rusia didominasi oleh chaos dan pembusukan di bidang politik dan
ekonomi. Situasi keamanan juga sangat parah ditandai dengan konflik
bersenjata di berbagai daerah ditambah dengan kejahatan yang meningkat
pesat. Korupsi juga menjadi fenomena baru yang merajalela di mana-mana.
Berakhirnya rezim Soviet yang ditandai dengan melemahnya kekuatan negara
juga memberikan jalan atas bermunculannya warlords (raja-raja kecil) dan mafia
di berbagai daerah.
Di samping itu, kebanyakan partai baru ternyata hanya mementingkan
kepentingannya dan tidak peduli dengan nasib rakyat. Lebih parah lagi, banyak
dari partai tersebut digunakan oleh penjahat-penjahat masa lalu sebagai
kendaraan untuk mendapatkan immunity (kekebalan hukum). Dalam Pemilu
1995, misalnya, sedikitnya 80 orang calon legislatif dari berbagai macam partai
ternyata pernah menjalani hukuman penjara karena kasus kriminal.
Akibatnya rakyat Rusia mengalami kekecewaan yang mendalam atas situasi
baru yang demokratis itu. Mereka menganggap rezim baru ternyata tidak bisa
membawa perbaikan taraf hidup dan bahkan membuat keadaan lebih sulit.
Retorika-retorika yang berisi kerincuan atas kehidupan masa lalu kemudian
mulai bermunculan. Walaupun bersifat otoriter, bagi mereka masa lalu masih
lebih baik karena keadaan relatif stabil dan harga-harga kebutuhan pokok lebih
murah.
Dengan berbagai macam kekecewaan tersebut, Samuel Huntington pada waktu
itu memperingatkan, The Third Wave of Democratization yang sebelumnya
menghantam Eropa Timur dan Rusia mungkin sedang dihantam oleh reverse
wave (gelombang balik) yang dapat menimbulkan erosi atas berbagai
keberhasilan yang sudah dicapai oleh proses demokratisasi tersebut.
Akibat paling buruk dari datangnya gelombang balik itu adalah jatuhnya kembali
negara-negara tersebut ke dalam cengkeraman kekuasaan otoriter. Walaupun
pada akhirnya secara umum negara-negara di Eropa Timur berhasil menahan
gelombang balik tersebut dan sekarang keadaan jauh lebih stabil, namun saat itu
mereka cukup rentan terhadap kemungkinan gagalnya proses transisi politik.
Sebaliknya Rusia sampai sekarang juga masih rentan terhadap gelombang balik
karena krisis berkepanjangan masih terus berlangsung.
Lebih Buruk
Apa yang terjadi di Eropa Timur dan Rusia itu ternyata mulai menghinggapi
masyarakat Indonesia. Euforia politik sudah lama berakhir dan sekarang rakyat
menghadapi kenyataan bahwa kehidupan baru belum juga membawa perbaikan
hidup. Dalam hampir semua aspek seperti keamanan, politik dan ekonomimasyarakat memandang keadaan justru lebih buruk daripada waktu masa Orde
Baru.
Rezim sekarang yang dipilih melalui proses demokratis ternyata tidak berjalan
secara efektif sehingga tidak mampu menyelesaikan berbagai agenda reformasi
dan persoalan fundamental yang menyangkut harkat hidup orang banyak.
Pada saat yang bersamaan juga terjadi democratic fatigue (kecapaian
demokrasi) atas kompetisi politik yang terlalu mementingkan kepentingan sempit
dan kurang mempedulikan nasib rakyat. Sikap apatis, kecewa dan frustrasi pun
muncul di mana-mana.
Akhirnya, sekarang kita lihat mulai ada kerinduan akan kehidupan masa lalu.
Walaupun tidak ada kebebasan pers dan demokrasi, misalnya, masa lalu yang
penuh dengan ketenangan dilengkapi dengan harga-harga barang pokok yang
relatif murah menjadi sesuatu yang dirindukan kembali oleh masyarakat umum.
Munculnya gejala yang mulai menggerogoti legitimasi demokrasi tersebut
merupakan sinyal akan kemungkinan kita sedang dihantam gelombang balik.
Memang, menurut observasi Huntington, gelombang-gelombang demokratisasi
yang melanda dunia sebelumnya mulai dari abad ke-19 sampai dengan
pertengahan abad ke-20 (The First and the Second Waves of Democratization )
selalu dihantam oleh gelombang balik yang memberikan jalan bagi berkuasanya
rezim-rezim fasisme, otoriter dan juga diktator militer.
Proses transisi politik menuju consolidated democracy (demokrasi yang
terkonsolidasi) -yang dimulai semenjak jatuhnya rezim diktator sampai
tertanamnya nilai-nilai dan prosedur demokrasi- memang dapat merupakan
periode panjang yang melelahkan, penuh komplikasi dan sering menciptakan
disorientasi pada tingkat elite dan juga massa. Dan, biasanya, setiap proses
transisi politik juga dibarengi dengan terjadinya berbagai macam krisis, terutama
dalam segi ekonomi.
Itu yang menyebabkan usaha konsolidasi demokrasi -seperti reformasi
konstitusi, perbaikan sistem politik, penguatan institusi-institusi demokrasi dan
pengembangan budaya demokrasi- menjadi lebih berat karena harus dilakukan
bersamaan dengan menyelesaikan krisis.
Tidak jarang suatu negara tidak pernah selesai menyelesaikan pekerjaannya
untuk mengonsolidasikan demokrasi. Atau lebih parah lagi, seperti dikatakan
Huntington, proses itu dapat dihantam oleh gelombang balik yang kemudian
menyebabkan terjadinya breakdown (kehancuran).
Tidak Mampu
Proses breakdown itu dapat dimulai ketika pemerintahan baru yang dipilih
melalui proses demokratis ternyata tidak mampu untuk deliver (menghasilkan)
secara ekonomi (seperti menyejahterahkan rakyat) dan mengatasi berbagai
macam krisis.
Seperti
yang
terjadi
di
Eropa
Timur
dan
Rusia,
di
Indonesia
pun
ketidakmampuan dari rezim baru untuk memperbaiki kehidupan rakyat
menyebabkan terjadinya kekecewaan. Banyak pihak kemudian, baik di tingkat
elite maupun masyarakat, yang menarik dukungan yang sebelumnya mereka
berikan kepada rezim demo- kratis tersebut.
Situasi seperti ini juga dapat dimanfaatkan oleh disloyal opposition (oposisi yang
tidak loyal) atau kekuatan non-demokratis untuk menawarkan solusi alternatif
yang lebih sederhana atas masalah yang tidak kunjung henti.
Di Rusia, contohnya, frustrasi yang tinggi di masyarakat telah memberikan jalan
bagi munculnya berbagai macam kelompok ultranasionalis dan ekstremis yang
mengobral janji bahwa mereka dapat mengembalikan stabilitas dan order
(keteraturan).
Salah satu kelompok ultranasionalis -yang dipimpin oleh Vladimir Zhirinovskyterbukti pernah mempunyai appeal (daya pikat) di masyarakat ketika mereka
memenangkan pemilu untuk memilih anggota Duma (parlemen Rusia) tahun
1993.
Ketidakefektifan
pemerintah
baru
dalam
menangani
krisis
juga
dapat
dieksploitasi oleh kelompok yang merepresentasikan kekuatan masa lalu untuk
menunjukkan bahwa kehidupan baru yang bebas ternyata gagal memberikan
kesejahteraan. Kekuatan itu kemudian juga dapat meyakinkan publik bahwa
kehidupan lama–walaupun tidak demokratis– ternyata lebih baik.
Kerinduan akan kehidupan masa lalu kemudian bermunculan yang dapat
memberikan jalan bagi kembalinya kekuatan lama karena dianggap mampu
untuk menyelesaikan masalah.
Partai Komunis Rusia, misalnya, berhasil memenangkan pemilu parlemen tahun
1995. Partai Komunis Polandia, setelah melalui proses reinkarnasi dan berganti
identitas menjadi Aliansi Demokrasi Kiri (SLD) juga berhasil memenangkan
pemilu tahun 1993.
Di Indonesia, ketidakmampuan rezim baru untuk deliver dan kegagalan politisi
sipil baru dalam berperan dapat memberikan kesempatan bagi kekuatan lama
atau antidemokratis untuk tampil dan bahkan mendapatkan simpati pada pemilu
berikutnya.
Di samping itu, proses breakdown juga dapat dimulai dari tindakan abuse atas
rule of the game (aturan permainan) termasuk konstitusi, maupun juga norma
demokrasi yang dilakukan oleh para pemimpin politik itu sendiri. Tindakan
tersebut bisa dilakukan oleh aktor-aktor politik yang termarginalisasi atau tidak
sabar atas proses transisi yang sedang berlangsung.
Orientasi kepada kekuasaan yang mendominasi political behaviour (perilaku
politik) aktor-aktor politik dapat mendorong mereka untuk menggunakan caracara yang tidak demokratis untuk mendapatkan tujuan seperti misalnya
berkolaborasi dengan kekuatan bersenjata untuk melancarkan coup. Memang,
dalam situasi transisi, tindakan abuse menjadi mudah karena konstitusi dan rule
of the game yang berlaku masih rancu ditambah dengan institusi demokrasi yang
masih lemah dan norma-norma politik yang belum sepenuhnya disepakati.
Kompetisi politik yang tidak dilengkapi dengan perangkat peraturan yang
memadai tersebut jelas mendominasi kehidupan politik Indonesia saat ini.
Keadaan itu dibiarkan dan dimanipulasi oleh hampir semua kekuatan politik yang
berperan baik di eksekutif maupun legislatif- hanya untuk kepentingan politik
sesaat. Gejala itu kalau berlangsung terus akan sangat berbahaya atas
legitimasi demokrasi Indonesia.
Kebutuhan pragmatis seperti stabilitas dan keamanan akan lebih appealing bagi
masyarakat dan dapat mengalahkan kebutuhan luhus untuk menyelesaikan
proyek besar konsolidasi demorasi. Akhirnya, proses breakdown atas usaha
konsolidasi demokrasi Indonesia akan terjadi karena kegagalan pemimpin politik
sipil itu sendiri.
Penulis adalah aktivis politik
Download