SUARA PEMBARUAN DAILY Indonesia di Persimpangan Jalan Bara Hasibuan Tahun 1989 merupakan tahun yang paling menggairahkan bagi rakyat Eropa Timur. The Third Wave of Democratization (Gelombang Ketiga Demokratisasi) datang menghantam dan satu per satu rezim otoriter di Polandia, Cekoslowakia, Hungaria, Rumania, dan Bulgaria berjatuhan. Karena kuatnya gelombang itu, pada akhir tahun Tembok Berlin juga akhirnya runtuh–yang merupakan simbol berakhirnya The Soviet Empire (Kerajaan Soviet) di Eropa Timur. Datangnya alam demokrasi baru betul-betul disambut dengan antusiasme luar biasa oleh rakyat yang sudah muak dengan puluhan tahun hidup di bawah ketakutan dan kemiskinan. Pesta kemenangan pun terjadi di seluruh Eropa Timur. Tidak henti-hentinya rakyat berteriak: ’’Freedom!’’ (kebebasan) atau ’’Truth shall prevail!’’ (kebenaran akan menang). Ada juga yang mengklaim: ’’Democracy has won!’’ (demokrasi telah menang). Bagi kebanyakan rakyat, saat itu merupakan pertama kalinya mereka mendapatkan kesempatan untuk menikmati kebebasan secara penuh. Sekarang mereka dapat melakukan apa saja tanpa dihantui rasa takut termasuk untuk berkumpul bersama membicarakan masalah politik. Untuk pertama kalinya, mereka juga dapat memilih dalam pemilu yang demokratis. Di samping itu, ada semacam harapan tinggi di antara publik bahwa rezim baru akan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka dibandingkan dengan sebelumnya. Namun, ternyata euforia tersebut hanya berlangsung sebentar. Rakyat Eropa Timur ternyata sadar bahwa pergantian rezim tidak otomatis membawa perbaikan. Bahkan ada dari beberapa negara tersebut yang keadaannya menjadi jauh lebih buruk dibandingkan dengan pada waktu mereka masih di bawah cengkeraman kekuasaan otoriter. Kekacauan politik dan ekonomi ditambah dengan meningkatnya korupsi dan berbagai macam skandal mendominasi situasi negara-negara tersebut tidak lama setelah rezim komunis runtuh. Akibatnya, berbagai kekecewaan kepada rezim baru yang demo- kratis mulai bermunculan. Pembusukan Situasi yang sama juga melanda Rusia tidak lama setelah komunisme tumbang tahun 1991. Pada mulanya terdapat kegairahan luar biasa dari rakyat Rusia dalam menyambut datangnya kebebasan baru. Namun ternyata kehidupan demokratis Rusia didominasi oleh chaos dan pembusukan di bidang politik dan ekonomi. Situasi keamanan juga sangat parah ditandai dengan konflik bersenjata di berbagai daerah ditambah dengan kejahatan yang meningkat pesat. Korupsi juga menjadi fenomena baru yang merajalela di mana-mana. Berakhirnya rezim Soviet yang ditandai dengan melemahnya kekuatan negara juga memberikan jalan atas bermunculannya warlords (raja-raja kecil) dan mafia di berbagai daerah. Di samping itu, kebanyakan partai baru ternyata hanya mementingkan kepentingannya dan tidak peduli dengan nasib rakyat. Lebih parah lagi, banyak dari partai tersebut digunakan oleh penjahat-penjahat masa lalu sebagai kendaraan untuk mendapatkan immunity (kekebalan hukum). Dalam Pemilu 1995, misalnya, sedikitnya 80 orang calon legislatif dari berbagai macam partai ternyata pernah menjalani hukuman penjara karena kasus kriminal. Akibatnya rakyat Rusia mengalami kekecewaan yang mendalam atas situasi baru yang demokratis itu. Mereka menganggap rezim baru ternyata tidak bisa membawa perbaikan taraf hidup dan bahkan membuat keadaan lebih sulit. Retorika-retorika yang berisi kerincuan atas kehidupan masa lalu kemudian mulai bermunculan. Walaupun bersifat otoriter, bagi mereka masa lalu masih lebih baik karena keadaan relatif stabil dan harga-harga kebutuhan pokok lebih murah. Dengan berbagai macam kekecewaan tersebut, Samuel Huntington pada waktu itu memperingatkan, The Third Wave of Democratization yang sebelumnya menghantam Eropa Timur dan Rusia mungkin sedang dihantam oleh reverse wave (gelombang balik) yang dapat menimbulkan erosi atas berbagai keberhasilan yang sudah dicapai oleh proses demokratisasi tersebut. Akibat paling buruk dari datangnya gelombang balik itu adalah jatuhnya kembali negara-negara tersebut ke dalam cengkeraman kekuasaan otoriter. Walaupun pada akhirnya secara umum negara-negara di Eropa Timur berhasil menahan gelombang balik tersebut dan sekarang keadaan jauh lebih stabil, namun saat itu mereka cukup rentan terhadap kemungkinan gagalnya proses transisi politik. Sebaliknya Rusia sampai sekarang juga masih rentan terhadap gelombang balik karena krisis berkepanjangan masih terus berlangsung. Lebih Buruk Apa yang terjadi di Eropa Timur dan Rusia itu ternyata mulai menghinggapi masyarakat Indonesia. Euforia politik sudah lama berakhir dan sekarang rakyat menghadapi kenyataan bahwa kehidupan baru belum juga membawa perbaikan hidup. Dalam hampir semua aspek seperti keamanan, politik dan ekonomimasyarakat memandang keadaan justru lebih buruk daripada waktu masa Orde Baru. Rezim sekarang yang dipilih melalui proses demokratis ternyata tidak berjalan secara efektif sehingga tidak mampu menyelesaikan berbagai agenda reformasi dan persoalan fundamental yang menyangkut harkat hidup orang banyak. Pada saat yang bersamaan juga terjadi democratic fatigue (kecapaian demokrasi) atas kompetisi politik yang terlalu mementingkan kepentingan sempit dan kurang mempedulikan nasib rakyat. Sikap apatis, kecewa dan frustrasi pun muncul di mana-mana. Akhirnya, sekarang kita lihat mulai ada kerinduan akan kehidupan masa lalu. Walaupun tidak ada kebebasan pers dan demokrasi, misalnya, masa lalu yang penuh dengan ketenangan dilengkapi dengan harga-harga barang pokok yang relatif murah menjadi sesuatu yang dirindukan kembali oleh masyarakat umum. Munculnya gejala yang mulai menggerogoti legitimasi demokrasi tersebut merupakan sinyal akan kemungkinan kita sedang dihantam gelombang balik. Memang, menurut observasi Huntington, gelombang-gelombang demokratisasi yang melanda dunia sebelumnya mulai dari abad ke-19 sampai dengan pertengahan abad ke-20 (The First and the Second Waves of Democratization ) selalu dihantam oleh gelombang balik yang memberikan jalan bagi berkuasanya rezim-rezim fasisme, otoriter dan juga diktator militer. Proses transisi politik menuju consolidated democracy (demokrasi yang terkonsolidasi) -yang dimulai semenjak jatuhnya rezim diktator sampai tertanamnya nilai-nilai dan prosedur demokrasi- memang dapat merupakan periode panjang yang melelahkan, penuh komplikasi dan sering menciptakan disorientasi pada tingkat elite dan juga massa. Dan, biasanya, setiap proses transisi politik juga dibarengi dengan terjadinya berbagai macam krisis, terutama dalam segi ekonomi. Itu yang menyebabkan usaha konsolidasi demokrasi -seperti reformasi konstitusi, perbaikan sistem politik, penguatan institusi-institusi demokrasi dan pengembangan budaya demokrasi- menjadi lebih berat karena harus dilakukan bersamaan dengan menyelesaikan krisis. Tidak jarang suatu negara tidak pernah selesai menyelesaikan pekerjaannya untuk mengonsolidasikan demokrasi. Atau lebih parah lagi, seperti dikatakan Huntington, proses itu dapat dihantam oleh gelombang balik yang kemudian menyebabkan terjadinya breakdown (kehancuran). Tidak Mampu Proses breakdown itu dapat dimulai ketika pemerintahan baru yang dipilih melalui proses demokratis ternyata tidak mampu untuk deliver (menghasilkan) secara ekonomi (seperti menyejahterahkan rakyat) dan mengatasi berbagai macam krisis. Seperti yang terjadi di Eropa Timur dan Rusia, di Indonesia pun ketidakmampuan dari rezim baru untuk memperbaiki kehidupan rakyat menyebabkan terjadinya kekecewaan. Banyak pihak kemudian, baik di tingkat elite maupun masyarakat, yang menarik dukungan yang sebelumnya mereka berikan kepada rezim demo- kratis tersebut. Situasi seperti ini juga dapat dimanfaatkan oleh disloyal opposition (oposisi yang tidak loyal) atau kekuatan non-demokratis untuk menawarkan solusi alternatif yang lebih sederhana atas masalah yang tidak kunjung henti. Di Rusia, contohnya, frustrasi yang tinggi di masyarakat telah memberikan jalan bagi munculnya berbagai macam kelompok ultranasionalis dan ekstremis yang mengobral janji bahwa mereka dapat mengembalikan stabilitas dan order (keteraturan). Salah satu kelompok ultranasionalis -yang dipimpin oleh Vladimir Zhirinovskyterbukti pernah mempunyai appeal (daya pikat) di masyarakat ketika mereka memenangkan pemilu untuk memilih anggota Duma (parlemen Rusia) tahun 1993. Ketidakefektifan pemerintah baru dalam menangani krisis juga dapat dieksploitasi oleh kelompok yang merepresentasikan kekuatan masa lalu untuk menunjukkan bahwa kehidupan baru yang bebas ternyata gagal memberikan kesejahteraan. Kekuatan itu kemudian juga dapat meyakinkan publik bahwa kehidupan lama–walaupun tidak demokratis– ternyata lebih baik. Kerinduan akan kehidupan masa lalu kemudian bermunculan yang dapat memberikan jalan bagi kembalinya kekuatan lama karena dianggap mampu untuk menyelesaikan masalah. Partai Komunis Rusia, misalnya, berhasil memenangkan pemilu parlemen tahun 1995. Partai Komunis Polandia, setelah melalui proses reinkarnasi dan berganti identitas menjadi Aliansi Demokrasi Kiri (SLD) juga berhasil memenangkan pemilu tahun 1993. Di Indonesia, ketidakmampuan rezim baru untuk deliver dan kegagalan politisi sipil baru dalam berperan dapat memberikan kesempatan bagi kekuatan lama atau antidemokratis untuk tampil dan bahkan mendapatkan simpati pada pemilu berikutnya. Di samping itu, proses breakdown juga dapat dimulai dari tindakan abuse atas rule of the game (aturan permainan) termasuk konstitusi, maupun juga norma demokrasi yang dilakukan oleh para pemimpin politik itu sendiri. Tindakan tersebut bisa dilakukan oleh aktor-aktor politik yang termarginalisasi atau tidak sabar atas proses transisi yang sedang berlangsung. Orientasi kepada kekuasaan yang mendominasi political behaviour (perilaku politik) aktor-aktor politik dapat mendorong mereka untuk menggunakan caracara yang tidak demokratis untuk mendapatkan tujuan seperti misalnya berkolaborasi dengan kekuatan bersenjata untuk melancarkan coup. Memang, dalam situasi transisi, tindakan abuse menjadi mudah karena konstitusi dan rule of the game yang berlaku masih rancu ditambah dengan institusi demokrasi yang masih lemah dan norma-norma politik yang belum sepenuhnya disepakati. Kompetisi politik yang tidak dilengkapi dengan perangkat peraturan yang memadai tersebut jelas mendominasi kehidupan politik Indonesia saat ini. Keadaan itu dibiarkan dan dimanipulasi oleh hampir semua kekuatan politik yang berperan baik di eksekutif maupun legislatif- hanya untuk kepentingan politik sesaat. Gejala itu kalau berlangsung terus akan sangat berbahaya atas legitimasi demokrasi Indonesia. Kebutuhan pragmatis seperti stabilitas dan keamanan akan lebih appealing bagi masyarakat dan dapat mengalahkan kebutuhan luhus untuk menyelesaikan proyek besar konsolidasi demorasi. Akhirnya, proses breakdown atas usaha konsolidasi demokrasi Indonesia akan terjadi karena kegagalan pemimpin politik sipil itu sendiri. Penulis adalah aktivis politik