Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1 PERKEMBANGAN KEHIDUPAN PERS DARI MASA REZIM ORDE BARU KE MASA REZIM REFORMASI Amir Purba Abstract: Siebert, Patterson, and Schramm, introduced four concept of press, there are The Authoritarianism Press, The Communism Press, The Libertarianism Press, The Social and Responsibility Press. According to their categories we can take two categories which had been applied in Indonesian press life till now on, there are The Authoritarianism Press in the era of the New Order Regime; and The Libertarianism Press in the era of The Reformation Regime. So, in the era of The New Order Regime, state took the superior position upon the press and they control the press activity would not out from their interest. In the era of The Reformation Regime, state does not take the superior position upon the press, but this position have been changed by the owner of the press. In the two eras –The New Order Regime and The Reformation Regime– we find out that the role of public is not so comfort. In their interaction with the press public position usually as the object of even state, the owner, or the press itself. Now on, we have to build the new performance of public which are going suitable with democracy communication system is Media Literacy Society. Keywords: the authoritarianism press, the libertarianism press, media literacy PENDAHULUAN Ada empat kategori konsep pers, yaitu Pers Otoriter (The Authoritarianism Press), Pers Komunis (The Communism Press), Pers Liberal (The Libertarianism Press), dan Pers Tanggung Jawab Sosial (The Social Responsibility Press). Pada Pers Otoriter negara melakukan pengawasan atau kontrol terhadap pers untuk menjaga agar aktivitas mereka tidak menyimpang dari kepentingankepentingan negara; sementara pada Pers Komunis, pers ditempatkan sebagai organ negara sehingga keberadaan mereka tergantung kepada negara. Pers Liberal, menempatkan pers sebagai lembaga yang independen, otonom, dan bebas dari negara; sedangkan Pers Tanggung-jawab Sosial yang lahir sebagai konsekuensi dari Pers Liberal menempatkan kepentingan masyarakat sebagai tujuan utama, di mana kebebasan pers, peranan negara, hukum, dan lain-lain berpedoman kepada kepentingan masyarakatnya. Dari penjelasan tersebut, memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara konsep pers yang diterapkan di suatu sistem sosial yang sebenarnya juga sejalan dengan realitas politik suatu negara dengan realitas pers. Dengan perkataan lain, perbedaan realitas politik akan membawa konsekuensi terhadap konsep pers, 40 dan selanjutnya juga membawa konsekuensi terhadap realitas empiris pers. Di setiap penerapan keempat konsep pers di atas, pers akan tampil dengan empat fungsinya yang tidak berbeda, yaitu fungsi informasi, fungsi persuasi, fungsi edukasi, dan fungsi hiburan. Perbedaan-perbedaannya baru akan kelihatan pada orientasi dari pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Jika pada konsep Pers Komunis dan Pers Otoriter penyelenggaraan fungsi pers lebih berorientasi kepada kepentingan negara (state) atau kekuasaan, maka pada konsep Pers Liberal dan Pers Tanggung Jawab Sosial penyelenggaraan fungsi pers sekalipun pada batas-batas tertentu lebih berorientasi kepada kepentingan para pemilik modal namun bentuk yang ideal adalah pers yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat luas (non-state). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep Pers Komunis dan Otoriter merupakan bentuk sistem pers yang otoriter atau tidak demokratis; sementara konsep Pers Liberal dan Pers Tanggung Jawab Sosial sebagai sistem pers demokratis. Pada sistem pers demokratis tingkat representasi pers terhadap masyarakat di lingkungannya relatif tinggi, sehingga kerapkali pers diilustrasikan sebagai kekuatan politik keempat sebagai mitra dari legfislatif, Purba, Perkembangan Kehidupan Pers ... eksekutif, dan yudikatif, yang dikenal dengan The Fourth Estate Press. Pergantian sistem politik di Indonesia dari rezim Politik Orde Baru yang otoriter ke rezim Reformasi yang demokratis sudah tentu akan berimplikasi juga terhadap kehidupan pers yang ada. Tidak adanya campur tangan negara terhadap kehidupan pers ternyata tidak serta merta menjamin adanya kebebasan pers. Gejala yang kemudian muncul adalah menguatnya pengaruh pengusaha terhadap kehidupan pers. Kuatnya pengaruh pemilik ini ternyata telah mempersempit ruang publik (public sphere) yang semestinya tersedia di dalam pers yang demokratis. PEMBAHASAN a. Rezim Orde Baru Banyak tesis yang diajukan para Indonesianis yang menyatakan bahwa rezim Orde Baru merupakan rezim otoritarian. K.D. Jackson menyebutnya dengan Bureaucratic Polity, sementara D. King menggunakan istilah Bureaucratic Authoritarian Regime. Di dalam sistem yang sedemikian itu, kekuasaan lembaga kepresidenan menjadi sangat dominan, menempati posisi super-ordinasi, berhadap-hadapan dengan lembaga-lembaga politik lainnya yang disub-ordinasikan. Interaksi yang berlangsung di antara para elite telah menempatkan lembaga kepresidenan sebagai sentrum kekuasaan dan menjadikannya lembaga yang supra-birokratis. Lembagalembaga negara lainnya, seperti lembaga parlemen dan lembaga peradilan mendapat perlakuan yang sama, ditempatkan pada posisi sub-ordinasi. Demikian halnya dengan kekuatan-kekuatan sosial politik masyarakat seperti pers, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan lainlain juga mendapatkan perlakuan yang sama saja. Akibatnya partisipasi politik masyarakat menjadi lemah. Khususnya terhadap pers, negara melakukan kontrol yang sangat ketat. Kontrol dilakukan dengan tujuan agar aktivitas pers tidak menyimpang, apalagi sampai bertentangan dengan kepentingan-kepentingan mereka. Berbagai cara dilakukan dalam melakukan kontrol ini, di antaranya dengan membangun regulasi untuk mengatur aktivitas pers, dalam bentuk perundang-undangan, perizinan, penempatan posisi organisasi pers sebagai korporasi negara, pembreidelan, dan lain-lain. Dengan kondisi yang seperti itu, kiranya jelas jika pers mengalami banyak kesulitan untuk melaksanakan fungsinya secara baik. Terlebih lagi, di dalam operasionalisasi dari regulasi yang ada, seperti untuk menetapkan batasan-batasan tentang yang mana yang “benar” dan yang mana yang “salah”, adalah sangat tergantung pada interpretasi penguasa. Jelasnya, regulasiregulasi tersebut memang dirancang bersifat “elastis” sehingga diistilahkan sebagai “pasalpasal karet”. Sebagaimana diungkapkan oleh Alfian: “Jadi dapat dikatakan bahwa sifat pengendalian itu adalah bagaikan gelang karet. Ia mengkerut sewaktu krisis politik, kemudian agak melonggar bilamana krisis itu mulai mereda, dan dapat lebih longgar lagi bilamana kehidupan politik makin stabil dan tenang, tetapi akan segera mengkerut lagi bilamana bahaya krisis politik baru muncul dan berkembang”. Kuatnya intervensi negara telah mengakibatkan pers menjadi kurang merepresentasikan realitas yang ada di kalangan masyarakat luasnya (grass root mass). Pers menghadapi banyak kesulitan ketika mereka dituntut untuk melakukan fungsi-fungsi yang diembannya, khususnya fungsi-fungsi mereka terhadap masyarakat. Sebagaimana dinyatakan: (1) Pers menampilkan informasi yang berdimensi politik lebih banyak dibandingkan dengan ekonomi, dengan didominasi subyek negara. (2) Kecenderungan pers lebih berat ke sisi negara dilakukan dengan cara lebih memilih realitas psikologis dibanding dengan realitas sosiologis. Tekanan kekuasaan telah memaksa pers untuk selalu beradaptasi dengan kepentingan kekuasaan tersebut. Manifestasinya adalah isi pers menjadi cenderung seragam, memberikan lebih banyak ruang dan waktu yang tersedia bagi kepentingan kekuasaan, lebih mengutamakan informasi yang bersifat politik, kualitas isi yang rendah, dan lain-lain. Bagi pers yang melanggar ketentuan-ketentuan dari regulasi yang ada, kepada mereka dikenakan sanksi, yakni dari tingkat peringatan, pemberhentian penerbitan, sampai dengan menutup lembaga pers yang bersangkutan selama-lamanya. 41 Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1 b. Rezim Reformasi yang Demokratis Konsep demokrasi menjelaskan adanya tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi di dalam suatu sistem politik, baik itu partisipasi pada tahapan masukan (input) politik yang dapat berupa dukungan (support) politik, maupun berupa tuntutan (demand) politik sampai dengan tahapan keluaran (output) politik, dan demikian seterusnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem politik yang demokratis adalah merupakan sistem yang memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan berbagai macam aspirasi baik berupa tuntutan maupun dukungan politik yang berkembang di berbagai bidang kehidupan masyarakat yang majemuk; baik itu kemajemukan secara horizontal, yakni yang meliputi berbagai aspek primordialisme yang ada, seperti aspek-aspek etnisitas, agama, bahasa, kedaerahan, dan lain-lain; maupun secara vertikal, yakni pada struktur sosial, ekonomi dan politik. Kemajemukan ini, meliputi berbagai macam organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, termasuk pers, dan lainlain, harus diakui eksistensi dan juga independensinya di dalam seluruh proses politik. Kesemuanya itulah yang akan menopang prinsip utama faham demokrasi, yang seharusnya memberikan jaminan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang sama di dalam proses pengambilan, pelaksanaan, dan evaluasi keputusan (kebijakan) politik. Peristiwa monumental, secara politik, sebagai landasan bagi berlangsungnya demokrasi pada rezim ini, adalah dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah; dan berikutnya melalui proses revisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sebagaimana disebutkan bahwa yang menjadi prinsip-prinsip utama undang-undang ini adalah (1) demokrasi; (2) peran serta masyarakat; (3) pemerataan dan keadilan; (4) memperhatikan potensi dan keane-karagaman daerah. Kiranya jelas bahwa inti dari keseluruhan prinsip-prinsip tersebut adalah paham demokrasi. Mengacu pada undang-undang tersebut, terdapat beberapa jenjang otonomi politik, yaitu otonomi politik pemerintahan pusat, otonomi politik pemerintahan provinsi, otonomi politik pemerintahan kota dan kabupaten. Di masing-masing jenjang pemerintahan yang otonom tersebut, terdapat otonomi dalam hal pembuatan kebijakan. Sementara, di setiap proses pengambilan 42 kebijakan, memerlukan dua bentuk proses komunikasi yang berlangsung secara baik, yaitu proses komunikasi dari bawah ke atas (bottom up flow communication) dan juga proses komunikasi dari atas ke bawah (top down flow communication). Di dalam kedua bentuk proses komunikasi tersebutlah pers mempunyai posisi yang sangat strategis. Pers akan menjadi representasi dari dukungan maupun tuntutan yang berkembang. Pers juga akan turut berperan dalam menyeleksi bentukbentuk tuntutan dan dukungan yang ada di sekitarnya, yang kemudian disalurkan ke dalam proses pembuatan kebijakan. Selanjutnya, pers juga berperan sebagai sarana dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan kepada masyarakatnya; dan sekaligus mengawasi pelaksanaan, maupun proses evaluasi dari kebijakankebijakan tersebut. Jelasnya pers akan menyelenggarakan fungsinya di setiap tahapan sistem politik yang ada. Kehidupan pers setelah Reformasi, mengalami perubahan yang besar. Suatu kebijakan yang monumental karena dianggap sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers di Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen No. 01/per/Menpen/1998, tentang KententuanKetentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik berupa Peraturan Menteri maupun Surat Keputusan Menteri, yang keseluruhannya menghambat ruang gerak pers, dicabut. Puncaknya adalah dikeluarkannya UndangUndang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Terdapat pasal di dalam undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua undangundang pers yang ada sebelumnya. Dengan demikian, pada rezim ini tidak ada lagi peraturan yang membatasi ruang gerak pers. Perubahan-perubahan yang begitu besar dan berlangsung dalam masa yang sedemikian singkat tersebut, ternyata telah meningkatkan keinginan orang-orang maupun lembagalembaga yang ada di masyarakat untuk mendirikan penerbitan pers. Hal ini dapat dilihat dari melonjaknya permintaan SIUPP untuk mendirikan perusahaan pers. Sebagaimana dinyatakan: “...jumlah SIUPP yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan RI, yakni sampai dengan 15 April 1999, sebanyak 852 SIUPP dikeluarkan; sementara pada masa Orde Baru selama 32 tahun hanya mengeluarkan 321 SIUPP. Kendati demikian, Jakarta masih tetap mendominasi Purba, Perkembangan Kehidupan Pers ... jumlah SIUPP, yaitu sebanyak 415 (48,70%), Ujung Pandang 58 (6,80%), Bandung 42 (4,92%), Surabaya 39 (4,57%), Medan 36 (4,22%), Manado 23 (2,69%), Semarang 18 (2,11%), dan diikuti sampai dengan 73 wilayah yang jumlah SIUPP-nya berada di bawah 2 %.” Lonjakan minat untuk mendirikan penerbitan pers kelihatannya didukung oleh suasana politik yang demokratis dan juga persyaratan-persyaratan peraturan yang tidak lagi memberatkan terhadap para pelaku pers. Di samping jumlahnya yang tinggi, pola penyebaran permintaan SIUPP ke daerahdaerah mengindikasikan adanya pemerataan minat untuk mendirikan perusahaan pers secara nasional. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa tingginya minat untuk mendirikan pers adalah sejalan dengan tingkat kemajemukan masyarakat yang ada, baik secara horizontal maupun vertikal. Tidak adanya campur tangan negara terhadap kehidupan pers, maka gejala yang kemudian muncul adalah menguatnya pengaruh pengusaha terhadap kehidupan pers. Sebagian besar pers yang strategis pada kenyataannya telah menjadi milik mereka. Keadaan ini telah memberi ruang yang lebih longgar bagi pemilik modal untuk menentukan warna pers. Kuatnya pengaruh pemilik ini ternyata telah mempersempit ruang publik (public sphere) yang semestinya tersedia di dalam pers yang demokratis. Isi pers lebih berorientasi kepada keuntungan dibandingkan dengan pelayanan publik. Sebagai ilustrasi adalah metode rating siaran. Metode ini, yang diprakarsai oleh ABG Nielsen Media Research, mengarahkan rating isi siaran berdasarkan jumlah penontonnya. Artinya, semakin banyak yang menonton sebuah siaran maka siaran tersebut dianggap yang paling baik, karena semakin banyak yang menonton maka akan semakin banyak pula pemasang iklan yang berpartisipasi pada siaran tersebut. Dalam hal ini, masyarakat kembali diposisikan sebagai obyek dari iklan, sementara fungsi televisi untuk menyeleksi siaran-siaran yang benar-benar berkualitas untuk disampaikan kepada penontonnya menjadi tidak bermakna. Penonton justru dirangsang dengan siaran-siaran yang sesuai dengan selera mereka semata-mata. Kajian Rahmat Saleh pada isi surat kabar Media Indonesia memperlihatkan: a. Media Indonesia kental memperlihatkan ideologi pemilik –Surya Paloh– dalam konstruksi teks. Penerjemahan ideologi dilakukan dengan “patuh” dalam aktivitas rutin media (media routine) dan menjadi panduan dalam referendum Aceh; b. Kepentingan terhadap aspirasi ini dominan ditampilkan dalam berbagai jenis teks mulai editorial sebagai ruang pribadi (private space), berita, komentar pembaca, dan artikel opini sebagai ruang publik. c. Eksekusi teks tersebut mengindikasikan rendahnya peran media sebagai ruang publik, seperti akses publik non-elite yang minim, ketimpangan kedudukan publik dalam diskusi isu, strategi pemberitaan dengan pendekatan talking news, rendahnya keberlakuan obyektivitas pemberitaan, konstelasi sikap publik yang tidak berimbang, serta tendensi-tendensi sikap media yang misleading. Semua rangkaian eksekusi teks tersebut memiliki motif baik ekonomi maupun, khususnya yang terlihat jelas, “kepentingan ideologis”. Pemilik modal memilliki pengaruh yang kuat terhadap pers. Ideologi pemilik mewarnai kehidupan pers, yang meliputi aktivitas rutin mereka dan isi pers secara keseluruhan. Kuatnya pengaruh ideologi pemilik ternyata telah mempersempit ruang publik (public sphere) yang semestinya tersedia. Kiranya jelas bahwa pada kenyataannya pers tidak netral dalam merespons realitas yang mereka beritakan. Tidak hanya ideologi pemilik, pers sebagai suatu institusi juga memiliki ideologinya sendiri. Sebagaimana diajukan oleh Febry Ichwan Butsi yang mengkaji isi majalah Sabili dan majalah Tempo tentang kasus bom Bali: a. Frame kedua majalah sangat berbeda. Majalah Sabili memaknainya sebagai masalah kepentingan politik, sedangkan Tempo sebagai masalah moral dan hukum. b. Corak ideologi media sangat berpengaruh. Majalah Sabili sebagai majalah Islam bersikap positif terhadap Islam dan Indonesia, dan negatif terhadap Amerika Serikat. Majalah Tempo, sebagai majalah umum yang mengusung jurnalisme sastra dan reportase investigatif lebih bersikap hatihati memaknai kasus bom Bali. 43 Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1 Terdapat dikotomi antara fakta lapangan dengan realitas media. Hal ini dikarenakan perbedaan pola konstruksi dan frame tertentu dari mendefinisikan masalah. media dalam Penguasa Media di Indonesia No. 1. Media Pemilik TV: RCTI; Global TV; TPI Hary Tanoesoedibjo (Grup Bimantara) RADIO: Trijaya Network (6 Stasiun); ARHGlobal; Radio Dangdut TPI; Women Radio 2. TV: Indosiar Anthoni Salim (Grup Salim) RADIO: Elshinta (12 Stasiun dan bekerja sama dengan 54 stasiun lainnya) 3. TV: TV 7 Jacob Oetama (Kompas-Gramedia) RADIO: Sonora Grup 4. TV: SCTV Keluarga Sariatmadja 5. RADIO: Smart FM (7 stasiun) Fachry Mohammad (Grup Smart-FM) 6. TV: ANTV Anindya Bakrie (Grup Bakrie) 8. TV: JTV Surabaya; Batam TV; Riau TV Dahlan Iskan (Grup Jawa Pos) 9. TV: Trans TV Chaerul Tanjung (Grup Para) 10. TV: O-Channel Adiguna Sutowo, Onky Soemarno, RADIO: Hard Rock FM (4 stasiun); MTV Soetikno (MRA Group) Sky, I-Radio FM; Comopolitan FM. 11. RADIO: FeMale Radio FM (2 stasiun); Delta Malik Sjafei (Grup Marsima) FM (6 stasiun); Prambors FM (7stasiun) 12. TV: Metro TV Surya Paloh (Grup Media) Eric Thohir (Grup Mahaka) 13. TV: Jak-TV RADIO: Radio One (Target 5 stasiun) Sumber: Majalah Tempo, No. 03/XXXIV/13-19 Maret, 2006 Perubahan konsep pers pada level normatif ternyata membawa konsekuensi bagi perubahan pada realitas empiris pers. Pada Pers Otoriter, pers dikuasai oleh negara sehingga isinya cenderung seragam dan bersifat indoktrinasi. Pada sistem liberal pers cenderung dikuasai oleh pengusaha atau pemilik modal pers. Isi pers cenderung mendukung ideologi dan kepentingan mereka sehingga mengurangi ruang publik yang seharusnya tersedia. KESIMPULAN Sudah saatnya membangun kehidupan pers yang sehat. Pers yang demokratis, yakni yang tidak semata-mata menjadi alat negara dan juga tidak hanya menjadi alat pengusaha, akan tetapi pers yang lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat. Demokrasi dalam pengertian komunikasi dapat diterjemahkan sebagai adanya kesamaan akses dari semua warga masyarakat terhadap sumber-sumber informasi (information resources). Demikian halnya dengan pers, sebagai sumber informasi maka keberadaannya juga harus dapat diakses secara merata oleh khalayaknya. Perbedaan44 Keterangan perbedaan sosial, ekonomi, politik, dan juga geografis yang menjadi penghalang bagi terjadinya kesamaan akses sudah seharusnya dihilangkan. Dengan perkataan lain, perlu dilakukan upaya untuk mengembangkan potensi publik, yakni publik yang memiliki “kesadaran akan independensinya” sewaktu berinteraksi dengan pers. Hal inilah yang dikenal sebagai melek media (media literacy), yaitu: “Suatu perspektif yang kita pergunakan secara aktif sewaktu mengkonsumsi media dan menerjemahkan makna dari message yang disampaikannya. Untuk itu, kita perlu menggunakan struktur pengetahuan yang kita miliki sebagai perspektif. Untuk membangun struktur pengetahuan, kita memerlukan peralatan dan bahan-bahan. Dalam hal ini, sebagai peralatan adalah keahlian kita; sedangkan sebagai bahan-bahan adalah informasi yang kita peroleh dari media dan juga dari dunia nyata ini. Yang dimaksud dengan menggunakan perspektif secara aktif adalah bahwa kita menguasai message yang disampaikan media dan “dalam Purba, Perkembangan Kehidupan Pers ... keadaan sadar” sewaktu berinteraksi dengannya.” Masyarakat memiliki dunianya sendiri sebagai suatu realitas yang nyata (real world); sementara pers juga merupakan suatu dunia tersendiri (media world). Dunia nyata adalah di mana kita semua dapat berinteraksi secara langsung dengan orang-orang yang lainnya, lokasi, peristiwa, dan lain-lain. Sebagian besar masyarakat merasa bahwa dunia yang nyata itu sangat terbatas, karena mereka tidak mendapatkan pengalaman maupun informasi yang memadai. Untuk mendapatkan informasi yang lebih masyarakat memasuki dunia pers. Sewaktu masyarakat mendapatkan pengalaman tersebut, kita akan membawanya kembali ke dalam dunia nyata kita. Kita secara terusmenerus silih berganti melintasi batas dunia nyata dan dunia pers. Tidak selamanya terdapat kesesuaian di antara dunia nyata dengan dunia pers. Terdapat banyak tempat di mana batas antara dunia pers dengan dunia nyata menjadi tidak begitu jelas. Untuk itu diperlukan masyarakat yang memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki dunianya sendiri sebagai realitas yang nyata; sementara pers juga merupakan suatu dunia yang memiliki realitasnya sendiri yang berbeda. Agar masyarakat yang sedemikian itu dapat terbentuk maka mereka hendaknya dibekali dengan struktur pengetahuan yang selanjutnya akan menjadi perspektif sewaktu mengkonsumsi pers. Sebagai-mana dikatakan oleh Potter: 1. Masyarakat memerlukan pengetahuan mengenai kebiasaan-kebiasaan media dalam memproduksi pesan dan juga pola (pattern) pesan yang dihasilkan dari kebiasaan-kebiasaan tersebut. 2. Masyarakat memerlukan pengetahuan tentang keadaan industri dari media tersebut, seperti orisinalitas industrinya, pola pengembangannya, basis ekonominya, dan hal-hal yang berkenaan dengan strukturnya (pola kepemilikannya dan regulasi pemerintah yang berkaitan) 3. Masyarakat perlu mengetahui perspektif yang berkenaan dengan efek media. Dalam hal ini, meliputi efek media dalam jangka panjang maupun yang seketika, efek terhadap masyarakat maupun individual, dan efek ini tidak terbatas hanya pada perilaku kita, akan tetapi juga terhadap pengetahuan, sikap, emosi, dan fungsifugsi tubuh kita. 4. Masyarakat juga perlu memiliki pengetahuan yang cukup tentang informasi faktual (factual information) dan informasi sosial (social information). Informasi faktual adalah informasi tentang realitas yang cenderung sebagai kepastian, seperti jumlah penduduk, nama tokoh politik, jarak wilayah, dll. Sebaliknya informasi sosial sebagai hasil dari adanya interaksi, seperti nilai-nilai moral, peranan manusia di dalam struktur (anak sekolah, kerabat, teman, dll.) Masyarakat seperti itulah yang dapat diharapkan untuk berhadapan dan mengawasi media. Masyarakat yang memiliki kemampuan bahwa isi pers pada dasarnya adalah sebagai suatu realitas yang semu (virtual reality) yang dibangun pers, dan terdapat di sekitar mereka. Masyarakat yang sadar bahwa di dalam pers terdapat berbagai kepentingan berkompetisi seperti kepentingan pemilik media, pemasang iklan, pekerja media, pemerintah, dan lain-lain; di samping mereka (masyarakat) juga sebenarnya memiliki kepentingan, khususnya dalam konteks pers. Dengan demikian mereka akan memiliki kemampuan untuk mengkategorikan surat kabar, radio, maupun televisi; maupun isi serta programprogramnya, sebagai jenis maupun isi pers yang “baik” atau yang “buruk”. Masyarakat yang demikian itulah yang diperlukan di dalam sistem pers yang demokratis, yang berkemampuan melakukan kontrol terhadap pers. 45 Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1 DAFTAR PUSTAKA Alfian. 1991. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta, Gramedia. Almond, Gabriel A. 1981. Perbandingan Sistem Politik. Dalam Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Jackson, K.D. 1978. Bureaucratic Polity: A Theoretical Frame Work for Analysis of Power and Communication in Indonesia. Dalam K.D. Jackson dan L.W. Pye. Political Power and Communication in Indonesia. University of California Press. King, D.Y. 1982. Indonesian’s New Order As A Bureaucratic Polity, A Neo patrimonial Regime or Bureaucratic-Authoritarian Regime: What Differences Does It Make?. Dalam Benedict Anderson and Audrey Kahin (ed.). Interpreting Indonesian Politic: Thirteen Contributions to the Debate. Interim Report Series, Publication, 62, Cornel Modern Indonesian Project, Ithaca. Lasswell, H.D. 1960. The Structure and Function of Communication In Society, dalam, W. Schramm. Mass Communication. Urbana, University of Illinois Press. Mas’oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971. Jakarta, LP3ES. O’Donnell, Guilerno, dan Schimitter, Philippe C. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta, LP3ES. Siebert, Peterson, dan Schramm. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta, PT. Intermasa. Siregar, Ashadi. 1990. Peranan Pers dalam Pembangunan: Mengartikulasikan Partisipasi Massa Mengambang, dalam Akhmad Zaini Abar (ed.). 1990. Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. Solo, Ramadhani. Jurnal LP3Y, Edisi I/Thn. 1/1994. Majalah Tempo, No. 03/XXXIV/13 – 19 Maret, 2006. Media Watch: Jurnal Pemantau Media, No. 42 Februari 2006, The Habibie Center, Jakarta. Laporan Tahunan 1998-1999 oleh: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), 1999. “Pers Indonesia Pasca-Soeharto: Setelah Tekanan Penguasa Melemah”, LSPP dan AJI, Jakarta. 46