PERKEMBANGAN KEHIDUPAN PERS DARI MASA REZIM ORDE

advertisement
Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1
PERKEMBANGAN KEHIDUPAN PERS DARI MASA REZIM ORDE BARU
KE MASA REZIM REFORMASI
Amir Purba
Abstract: Siebert, Patterson, and Schramm, introduced four concept of press,
there are The Authoritarianism Press, The Communism Press, The
Libertarianism Press, The Social and Responsibility Press. According to their
categories we can take two categories which had been applied in Indonesian
press life till now on, there are The Authoritarianism Press in the era of the New
Order Regime; and The Libertarianism Press in the era of The Reformation
Regime. So, in the era of The New Order Regime, state took the superior
position upon the press and they control the press activity would not out from
their interest. In the era of The Reformation Regime, state does not take the
superior position upon the press, but this position have been changed by the
owner of the press. In the two eras –The New Order Regime and The
Reformation Regime– we find out that the role of public is not so comfort. In
their interaction with the press public position usually as the object of even state,
the owner, or the press itself. Now on, we have to build the new performance of
public which are going suitable with democracy communication system is Media
Literacy Society.
Keywords: the authoritarianism press, the libertarianism press, media literacy
PENDAHULUAN
Ada empat kategori konsep pers, yaitu
Pers Otoriter (The Authoritarianism Press),
Pers Komunis (The Communism Press), Pers
Liberal (The Libertarianism Press), dan Pers
Tanggung Jawab Sosial (The Social
Responsibility Press). Pada Pers Otoriter
negara melakukan pengawasan atau kontrol
terhadap pers untuk menjaga agar aktivitas
mereka tidak menyimpang dari kepentingankepentingan negara; sementara pada Pers
Komunis, pers ditempatkan sebagai organ
negara
sehingga
keberadaan
mereka
tergantung kepada negara. Pers Liberal,
menempatkan pers sebagai lembaga yang
independen, otonom, dan bebas dari negara;
sedangkan Pers Tanggung-jawab Sosial yang
lahir sebagai konsekuensi dari Pers Liberal
menempatkan kepentingan masyarakat sebagai
tujuan utama, di mana kebebasan pers, peranan
negara, hukum, dan lain-lain berpedoman
kepada kepentingan masyarakatnya. Dari
penjelasan tersebut, memperlihatkan adanya
hubungan yang kuat antara konsep pers yang
diterapkan di suatu sistem sosial yang
sebenarnya juga sejalan dengan realitas politik
suatu negara dengan realitas pers. Dengan
perkataan lain, perbedaan realitas politik akan
membawa konsekuensi terhadap konsep pers,
40
dan selanjutnya juga membawa konsekuensi
terhadap realitas empiris pers.
Di setiap penerapan keempat konsep
pers di atas, pers akan tampil dengan empat
fungsinya yang tidak berbeda, yaitu fungsi
informasi, fungsi persuasi, fungsi edukasi, dan
fungsi hiburan. Perbedaan-perbedaannya baru
akan kelihatan pada orientasi dari pelaksanaan
fungsi-fungsi tersebut. Jika pada konsep Pers
Komunis dan Pers Otoriter penyelenggaraan
fungsi pers lebih berorientasi kepada
kepentingan negara (state) atau kekuasaan,
maka pada konsep Pers Liberal dan Pers
Tanggung Jawab Sosial penyelenggaraan
fungsi pers sekalipun pada batas-batas tertentu
lebih berorientasi kepada kepentingan para
pemilik modal namun bentuk yang ideal
adalah pers yang lebih berorientasi kepada
kepentingan masyarakat luas (non-state). Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
konsep Pers Komunis dan Otoriter merupakan
bentuk sistem pers yang otoriter atau tidak
demokratis; sementara konsep Pers Liberal dan
Pers Tanggung Jawab Sosial sebagai sistem
pers demokratis.
Pada sistem pers demokratis tingkat
representasi pers terhadap masyarakat di
lingkungannya relatif tinggi, sehingga
kerapkali pers diilustrasikan sebagai kekuatan
politik keempat sebagai mitra dari legfislatif,
Purba, Perkembangan Kehidupan Pers ...
eksekutif, dan yudikatif, yang dikenal dengan
The Fourth Estate Press.
Pergantian sistem politik di Indonesia
dari rezim Politik Orde Baru yang otoriter ke
rezim Reformasi yang demokratis sudah tentu
akan berimplikasi juga terhadap kehidupan
pers yang ada. Tidak adanya campur tangan
negara terhadap kehidupan pers ternyata tidak
serta merta menjamin adanya kebebasan pers.
Gejala yang kemudian muncul adalah
menguatnya pengaruh pengusaha terhadap
kehidupan pers. Kuatnya pengaruh pemilik ini
ternyata telah mempersempit ruang publik
(public sphere) yang semestinya tersedia di
dalam pers yang demokratis.
PEMBAHASAN
a. Rezim Orde Baru
Banyak tesis yang diajukan para
Indonesianis yang menyatakan bahwa rezim
Orde Baru merupakan rezim otoritarian. K.D.
Jackson menyebutnya dengan Bureaucratic
Polity, sementara D. King menggunakan
istilah Bureaucratic Authoritarian Regime. Di
dalam sistem yang sedemikian itu, kekuasaan
lembaga
kepresidenan
menjadi
sangat
dominan, menempati posisi super-ordinasi,
berhadap-hadapan dengan lembaga-lembaga
politik lainnya yang disub-ordinasikan.
Interaksi yang berlangsung di antara para elite
telah menempatkan lembaga kepresidenan
sebagai sentrum kekuasaan dan menjadikannya
lembaga yang supra-birokratis. Lembagalembaga negara lainnya, seperti lembaga
parlemen dan lembaga peradilan mendapat
perlakuan yang sama, ditempatkan pada posisi
sub-ordinasi. Demikian halnya dengan
kekuatan-kekuatan sosial politik masyarakat
seperti pers, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi profesi, perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan lainlain juga mendapatkan perlakuan yang sama
saja. Akibatnya partisipasi politik masyarakat
menjadi lemah.
Khususnya terhadap pers, negara
melakukan kontrol yang sangat ketat. Kontrol
dilakukan dengan tujuan agar aktivitas pers
tidak
menyimpang,
apalagi
sampai
bertentangan dengan kepentingan-kepentingan
mereka. Berbagai cara dilakukan dalam
melakukan kontrol ini, di antaranya dengan
membangun regulasi untuk mengatur aktivitas
pers, dalam bentuk perundang-undangan,
perizinan, penempatan posisi organisasi pers
sebagai korporasi negara, pembreidelan, dan
lain-lain. Dengan kondisi yang seperti itu,
kiranya jelas jika pers mengalami banyak
kesulitan untuk melaksanakan fungsinya
secara baik. Terlebih lagi, di dalam
operasionalisasi dari regulasi yang ada, seperti
untuk menetapkan batasan-batasan tentang
yang mana yang “benar” dan yang mana yang
“salah”, adalah sangat tergantung pada
interpretasi penguasa. Jelasnya, regulasiregulasi tersebut memang dirancang bersifat
“elastis” sehingga diistilahkan sebagai “pasalpasal karet”. Sebagaimana diungkapkan oleh
Alfian:
“Jadi dapat dikatakan bahwa sifat
pengendalian itu adalah bagaikan
gelang karet. Ia mengkerut sewaktu
krisis
politik,
kemudian
agak
melonggar bilamana krisis itu mulai
mereda, dan dapat lebih longgar lagi
bilamana kehidupan politik makin
stabil dan tenang, tetapi akan segera
mengkerut lagi bilamana bahaya krisis
politik baru muncul dan berkembang”.
Kuatnya intervensi negara telah mengakibatkan pers menjadi kurang merepresentasikan realitas yang ada di kalangan masyarakat
luasnya (grass root mass). Pers menghadapi
banyak kesulitan ketika mereka dituntut untuk
melakukan fungsi-fungsi yang diembannya,
khususnya fungsi-fungsi mereka terhadap
masyarakat. Sebagaimana dinyatakan:
(1) Pers menampilkan informasi yang
berdimensi
politik
lebih
banyak
dibandingkan dengan ekonomi, dengan
didominasi subyek negara.
(2) Kecenderungan pers lebih berat ke sisi
negara dilakukan dengan cara lebih
memilih realitas psikologis dibanding
dengan realitas sosiologis.
Tekanan kekuasaan telah memaksa
pers untuk selalu beradaptasi dengan
kepentingan
kekuasaan
tersebut.
Manifestasinya adalah isi pers menjadi
cenderung seragam, memberikan lebih banyak
ruang dan waktu yang tersedia bagi
kepentingan kekuasaan, lebih mengutamakan
informasi yang bersifat politik, kualitas isi
yang rendah, dan lain-lain. Bagi pers yang
melanggar ketentuan-ketentuan dari regulasi
yang ada, kepada mereka dikenakan sanksi,
yakni dari tingkat peringatan, pemberhentian
penerbitan, sampai dengan menutup lembaga
pers yang bersangkutan selama-lamanya.
41
Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1
b.
Rezim Reformasi yang Demokratis
Konsep
demokrasi
menjelaskan
adanya tingkat partisipasi masyarakat yang
tinggi di dalam suatu sistem politik, baik itu
partisipasi pada tahapan masukan (input)
politik yang dapat berupa dukungan (support)
politik, maupun berupa tuntutan (demand)
politik sampai dengan tahapan keluaran
(output) politik, dan demikian seterusnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sistem politik yang demokratis adalah
merupakan sistem yang memiliki kemampuan
untuk mengakomodasikan berbagai macam
aspirasi baik berupa tuntutan maupun
dukungan politik yang berkembang di berbagai
bidang kehidupan masyarakat yang majemuk;
baik itu kemajemukan secara horizontal, yakni
yang meliputi berbagai aspek primordialisme
yang ada, seperti aspek-aspek etnisitas, agama,
bahasa, kedaerahan, dan lain-lain; maupun
secara vertikal, yakni pada struktur sosial,
ekonomi dan politik. Kemajemukan ini,
meliputi
berbagai
macam
organisasi
kemasyarakatan,
organisasi
keagamaan,
organisasi profesi, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, termasuk pers, dan lainlain, harus diakui eksistensi dan juga
independensinya di dalam seluruh proses
politik. Kesemuanya itulah yang akan
menopang prinsip utama faham demokrasi,
yang seharusnya memberikan jaminan bahwa
setiap warga negara memiliki akses yang sama
di dalam proses pengambilan, pelaksanaan,
dan evaluasi keputusan (kebijakan) politik.
Peristiwa monumental, secara politik,
sebagai landasan bagi berlangsungnya
demokrasi pada rezim ini, adalah dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 22 Tahun
1999 Tentang Otonomi Daerah;
dan
berikutnya melalui proses revisi menjadi
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. Sebagaimana disebutkan
bahwa yang menjadi prinsip-prinsip utama
undang-undang ini adalah (1) demokrasi; (2)
peran serta masyarakat; (3) pemerataan dan
keadilan; (4) memperhatikan potensi dan
keane-karagaman daerah. Kiranya jelas bahwa
inti dari keseluruhan prinsip-prinsip tersebut
adalah paham demokrasi.
Mengacu
pada
undang-undang
tersebut, terdapat beberapa jenjang otonomi
politik, yaitu otonomi politik pemerintahan
pusat, otonomi politik pemerintahan provinsi,
otonomi politik pemerintahan kota dan
kabupaten.
Di
masing-masing
jenjang
pemerintahan yang otonom tersebut, terdapat
otonomi dalam hal pembuatan kebijakan.
Sementara, di setiap proses pengambilan
42
kebijakan, memerlukan dua bentuk proses
komunikasi yang berlangsung secara baik,
yaitu proses komunikasi dari bawah ke atas
(bottom up flow communication) dan juga
proses komunikasi dari atas ke bawah (top
down flow communication). Di dalam kedua
bentuk proses komunikasi tersebutlah pers
mempunyai posisi yang sangat strategis. Pers
akan menjadi representasi dari dukungan
maupun tuntutan yang berkembang. Pers juga
akan turut berperan dalam menyeleksi bentukbentuk tuntutan dan dukungan yang ada di
sekitarnya, yang kemudian disalurkan ke
dalam
proses
pembuatan
kebijakan.
Selanjutnya, pers juga berperan sebagai sarana
dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan
yang telah ditetapkan kepada masyarakatnya;
dan sekaligus mengawasi pelaksanaan,
maupun proses evaluasi
dari kebijakankebijakan tersebut. Jelasnya pers akan
menyelenggarakan fungsinya di setiap tahapan
sistem politik yang ada.
Kehidupan pers setelah Reformasi,
mengalami perubahan yang besar. Suatu
kebijakan yang monumental karena dianggap
sebagai tonggak dimulainya kebebesan pers di
Indonesia yakni dikeluarkannya Permenpen
No. 01/per/Menpen/1998, tentang KententuanKetentuan SIUPP. Pada Permenpen ini, sanksi
pencabutan SIUPP maupun pembreidelan bagi
pers ditiadakan. Ada lima peraturan, baik
berupa Peraturan Menteri maupun
Surat
Keputusan Menteri, yang keseluruhannya
menghambat ruang gerak pers, dicabut.
Puncaknya adalah dikeluarkannya UndangUndang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Terdapat pasal di dalam undang-undang ini
yang menyatakan pencabutan semua undangundang pers yang ada sebelumnya.
Dengan demikian, pada rezim ini tidak
ada lagi peraturan yang membatasi ruang gerak
pers. Perubahan-perubahan yang begitu besar
dan berlangsung dalam masa yang sedemikian
singkat tersebut, ternyata telah meningkatkan
keinginan orang-orang maupun lembagalembaga yang ada di masyarakat untuk
mendirikan penerbitan pers. Hal ini dapat
dilihat dari melonjaknya permintaan SIUPP
untuk
mendirikan
perusahaan
pers.
Sebagaimana dinyatakan:
“...jumlah SIUPP yang dikeluarkan
oleh Departemen Penerangan RI,
yakni sampai dengan 15 April 1999,
sebanyak 852 SIUPP dikeluarkan;
sementara pada masa Orde Baru
selama 32 tahun hanya mengeluarkan
321 SIUPP. Kendati demikian,
Jakarta masih tetap mendominasi
Purba, Perkembangan Kehidupan Pers ...
jumlah SIUPP, yaitu sebanyak 415
(48,70%), Ujung Pandang 58
(6,80%), Bandung 42 (4,92%),
Surabaya 39 (4,57%), Medan 36
(4,22%), Manado 23 (2,69%),
Semarang 18 (2,11%), dan diikuti
sampai dengan 73 wilayah yang
jumlah SIUPP-nya berada di bawah 2
%.”
Lonjakan minat untuk mendirikan
penerbitan pers kelihatannya didukung oleh
suasana politik yang demokratis dan juga
persyaratan-persyaratan peraturan yang tidak
lagi memberatkan terhadap para pelaku pers.
Di samping jumlahnya yang tinggi, pola
penyebaran permintaan SIUPP ke daerahdaerah mengindikasikan adanya pemerataan
minat untuk mendirikan perusahaan pers
secara
nasional.
Keadaan
tersebut
mengindikasikan bahwa tingginya minat untuk
mendirikan pers adalah sejalan dengan tingkat
kemajemukan masyarakat yang ada, baik
secara horizontal maupun vertikal.
Tidak adanya campur tangan negara
terhadap kehidupan pers, maka gejala yang
kemudian
muncul
adalah
menguatnya
pengaruh pengusaha terhadap kehidupan pers.
Sebagian besar pers yang strategis pada
kenyataannya telah menjadi milik mereka.
Keadaan ini telah memberi ruang yang
lebih longgar bagi pemilik modal untuk
menentukan warna pers. Kuatnya pengaruh
pemilik ini ternyata telah mempersempit ruang
publik (public sphere) yang semestinya
tersedia di dalam pers yang demokratis.
Isi pers lebih berorientasi kepada
keuntungan dibandingkan dengan pelayanan
publik. Sebagai ilustrasi adalah metode rating
siaran. Metode ini, yang diprakarsai oleh ABG
Nielsen Media Research, mengarahkan rating
isi siaran berdasarkan jumlah penontonnya.
Artinya, semakin banyak yang menonton
sebuah siaran maka siaran tersebut dianggap
yang paling baik, karena semakin banyak yang
menonton maka akan semakin banyak pula
pemasang iklan yang berpartisipasi pada siaran
tersebut. Dalam hal ini, masyarakat kembali
diposisikan sebagai obyek dari iklan,
sementara fungsi televisi untuk menyeleksi
siaran-siaran yang benar-benar berkualitas
untuk disampaikan kepada penontonnya
menjadi tidak bermakna. Penonton justru
dirangsang dengan siaran-siaran yang sesuai
dengan selera mereka semata-mata.
Kajian Rahmat Saleh pada isi surat
kabar Media Indonesia memperlihatkan:
a. Media Indonesia kental memperlihatkan
ideologi pemilik –Surya Paloh– dalam
konstruksi teks. Penerjemahan ideologi
dilakukan dengan “patuh” dalam aktivitas
rutin media (media routine) dan menjadi
panduan dalam referendum Aceh;
b. Kepentingan terhadap aspirasi ini dominan
ditampilkan dalam berbagai jenis teks
mulai editorial sebagai ruang pribadi
(private space), berita, komentar pembaca,
dan artikel opini sebagai ruang publik.
c. Eksekusi teks tersebut mengindikasikan
rendahnya peran media sebagai ruang
publik, seperti akses publik non-elite yang
minim, ketimpangan kedudukan publik
dalam diskusi isu, strategi pemberitaan
dengan
pendekatan
talking
news,
rendahnya
keberlakuan
obyektivitas
pemberitaan, konstelasi sikap publik yang
tidak berimbang, serta tendensi-tendensi
sikap media yang misleading. Semua
rangkaian eksekusi teks tersebut memiliki
motif baik ekonomi maupun, khususnya
yang
terlihat
jelas,
“kepentingan
ideologis”.
Pemilik modal memilliki pengaruh
yang kuat terhadap pers. Ideologi pemilik
mewarnai kehidupan pers, yang meliputi
aktivitas rutin mereka dan isi pers secara
keseluruhan. Kuatnya pengaruh ideologi
pemilik ternyata telah mempersempit ruang
publik (public sphere) yang semestinya
tersedia.
Kiranya
jelas
bahwa
pada
kenyataannya pers tidak netral dalam
merespons realitas yang mereka beritakan.
Tidak hanya ideologi pemilik, pers
sebagai suatu
institusi juga memiliki
ideologinya sendiri. Sebagaimana diajukan
oleh Febry Ichwan Butsi yang mengkaji isi
majalah Sabili dan majalah Tempo tentang
kasus bom Bali:
a. Frame kedua majalah sangat berbeda.
Majalah Sabili memaknainya sebagai
masalah kepentingan politik, sedangkan
Tempo sebagai masalah moral dan hukum.
b. Corak
ideologi
media
sangat
berpengaruh. Majalah Sabili sebagai
majalah Islam bersikap positif terhadap
Islam dan Indonesia,
dan negatif
terhadap Amerika Serikat. Majalah
Tempo, sebagai majalah umum yang
mengusung jurnalisme sastra dan
reportase investigatif lebih bersikap hatihati memaknai kasus bom Bali.
43
Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1
Terdapat dikotomi antara fakta
lapangan dengan realitas media. Hal ini
dikarenakan perbedaan pola konstruksi dan
frame
tertentu
dari
mendefinisikan masalah.
media
dalam
Penguasa Media di Indonesia
No.
1.
Media
Pemilik
TV: RCTI; Global TV; TPI
Hary Tanoesoedibjo (Grup Bimantara)
RADIO: Trijaya Network (6 Stasiun); ARHGlobal; Radio Dangdut TPI; Women Radio
2.
TV: Indosiar
Anthoni Salim (Grup Salim)
RADIO: Elshinta (12 Stasiun dan bekerja
sama dengan 54 stasiun lainnya)
3.
TV: TV 7
Jacob Oetama (Kompas-Gramedia)
RADIO: Sonora Grup
4.
TV: SCTV
Keluarga Sariatmadja
5.
RADIO: Smart FM (7 stasiun)
Fachry Mohammad (Grup Smart-FM)
6.
TV: ANTV
Anindya Bakrie (Grup Bakrie)
8.
TV: JTV Surabaya; Batam TV; Riau TV
Dahlan Iskan (Grup Jawa Pos)
9.
TV: Trans TV
Chaerul Tanjung (Grup Para)
10. TV: O-Channel
Adiguna Sutowo, Onky Soemarno,
RADIO: Hard Rock FM (4 stasiun); MTV Soetikno (MRA Group)
Sky, I-Radio FM; Comopolitan FM.
11. RADIO: FeMale Radio FM (2 stasiun); Delta
Malik Sjafei (Grup Marsima)
FM (6 stasiun); Prambors FM (7stasiun)
12. TV: Metro TV
Surya Paloh (Grup Media)
Eric Thohir (Grup Mahaka)
13. TV: Jak-TV
RADIO: Radio One (Target 5 stasiun)
Sumber: Majalah Tempo, No. 03/XXXIV/13-19 Maret, 2006
Perubahan konsep pers pada level
normatif ternyata membawa konsekuensi bagi
perubahan pada realitas empiris pers. Pada
Pers Otoriter, pers dikuasai oleh negara
sehingga isinya cenderung seragam dan
bersifat indoktrinasi. Pada sistem liberal pers
cenderung dikuasai oleh pengusaha atau
pemilik modal pers. Isi pers cenderung
mendukung ideologi dan kepentingan mereka
sehingga mengurangi ruang publik yang
seharusnya tersedia.
KESIMPULAN
Sudah saatnya membangun kehidupan
pers yang sehat. Pers yang demokratis, yakni
yang tidak semata-mata menjadi alat negara
dan juga tidak hanya menjadi alat pengusaha,
akan tetapi pers yang lebih berpihak kepada
kepentingan masyarakat. Demokrasi dalam
pengertian komunikasi dapat diterjemahkan
sebagai adanya kesamaan akses dari semua
warga masyarakat terhadap sumber-sumber
informasi (information resources). Demikian
halnya dengan pers, sebagai sumber informasi
maka keberadaannya juga harus dapat diakses
secara merata oleh khalayaknya. Perbedaan44
Keterangan
perbedaan sosial, ekonomi, politik, dan juga
geografis yang menjadi penghalang bagi
terjadinya kesamaan akses sudah seharusnya
dihilangkan. Dengan perkataan lain, perlu
dilakukan upaya untuk mengembangkan
potensi publik, yakni publik yang memiliki
“kesadaran akan independensinya” sewaktu
berinteraksi dengan pers. Hal inilah yang
dikenal sebagai melek media (media literacy),
yaitu:
“Suatu perspektif yang kita pergunakan
secara aktif sewaktu mengkonsumsi
media dan menerjemahkan makna dari
message yang disampaikannya. Untuk
itu, kita perlu menggunakan struktur
pengetahuan yang kita miliki sebagai
perspektif. Untuk membangun struktur
pengetahuan,
kita
memerlukan
peralatan dan bahan-bahan. Dalam hal
ini, sebagai peralatan adalah keahlian
kita; sedangkan sebagai bahan-bahan
adalah informasi yang kita peroleh dari
media dan juga dari dunia nyata ini.
Yang dimaksud dengan menggunakan
perspektif secara aktif adalah bahwa
kita
menguasai
message
yang
disampaikan media dan “dalam
Purba, Perkembangan Kehidupan Pers ...
keadaan sadar” sewaktu berinteraksi
dengannya.”
Masyarakat memiliki dunianya sendiri
sebagai suatu realitas yang nyata (real world);
sementara pers juga merupakan suatu dunia
tersendiri (media world). Dunia nyata adalah
di mana kita semua dapat berinteraksi secara
langsung dengan orang-orang yang lainnya,
lokasi, peristiwa, dan lain-lain. Sebagian besar
masyarakat merasa bahwa dunia yang nyata itu
sangat terbatas, karena mereka tidak mendapatkan pengalaman maupun informasi yang
memadai. Untuk mendapatkan informasi yang
lebih masyarakat memasuki dunia pers.
Sewaktu masyarakat mendapatkan pengalaman
tersebut, kita akan membawanya kembali ke
dalam dunia nyata kita. Kita secara terusmenerus silih berganti melintasi batas dunia
nyata dan dunia pers. Tidak selamanya
terdapat kesesuaian di antara dunia nyata
dengan dunia pers. Terdapat banyak tempat di
mana batas antara dunia pers dengan dunia
nyata menjadi tidak begitu jelas.
Untuk itu diperlukan masyarakat yang
memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki
dunianya sendiri sebagai realitas yang nyata;
sementara pers juga merupakan suatu dunia
yang memiliki realitasnya sendiri yang
berbeda. Agar masyarakat yang sedemikian itu
dapat terbentuk maka mereka hendaknya
dibekali dengan struktur pengetahuan yang
selanjutnya akan menjadi perspektif sewaktu
mengkonsumsi pers. Sebagai-mana dikatakan
oleh Potter:
1. Masyarakat memerlukan pengetahuan
mengenai kebiasaan-kebiasaan media
dalam memproduksi pesan dan juga pola
(pattern)
pesan yang dihasilkan dari
kebiasaan-kebiasaan tersebut.
2. Masyarakat memerlukan pengetahuan tentang keadaan industri dari media tersebut,
seperti orisinalitas industrinya, pola
pengembangannya, basis ekonominya, dan
hal-hal yang berkenaan dengan strukturnya
(pola
kepemilikannya
dan
regulasi
pemerintah yang berkaitan)
3. Masyarakat perlu mengetahui perspektif
yang berkenaan dengan efek media. Dalam
hal ini, meliputi efek media dalam jangka
panjang maupun yang seketika, efek
terhadap masyarakat maupun individual,
dan efek ini tidak terbatas hanya pada
perilaku kita, akan tetapi juga terhadap
pengetahuan, sikap, emosi, dan fungsifugsi tubuh kita.
4. Masyarakat
juga
perlu
memiliki
pengetahuan yang cukup tentang informasi
faktual (factual information) dan informasi
sosial (social information). Informasi
faktual adalah informasi tentang realitas
yang cenderung sebagai kepastian, seperti
jumlah penduduk, nama tokoh politik,
jarak wilayah, dll. Sebaliknya informasi
sosial sebagai hasil dari adanya interaksi,
seperti nilai-nilai moral, peranan manusia
di dalam struktur (anak sekolah, kerabat,
teman, dll.)
Masyarakat seperti itulah yang dapat
diharapkan untuk berhadapan dan mengawasi
media. Masyarakat yang memiliki kemampuan
bahwa isi pers pada dasarnya adalah sebagai
suatu realitas yang semu (virtual reality) yang
dibangun pers, dan terdapat di sekitar mereka.
Masyarakat yang sadar bahwa di dalam pers
terdapat berbagai kepentingan berkompetisi
seperti kepentingan pemilik media, pemasang
iklan, pekerja media, pemerintah, dan lain-lain;
di samping mereka (masyarakat) juga
sebenarnya memiliki kepentingan, khususnya
dalam konteks pers. Dengan demikian mereka
akan
memiliki
kemampuan
untuk
mengkategorikan surat kabar, radio, maupun
televisi;
maupun
isi serta
programprogramnya, sebagai jenis maupun isi pers
yang “baik” atau yang “buruk”. Masyarakat
yang demikian itulah yang diperlukan di dalam
sistem pers yang demokratis, yang berkemampuan melakukan kontrol terhadap pers.
45
Jurnal Wawasan, Juni 2006, Volume 12, Nomor 1
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1991. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta, Gramedia.
Almond, Gabriel A. 1981. Perbandingan Sistem Politik. Dalam Mochtar Mas’oed dan Colin
MacAndrews. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Jackson, K.D. 1978. Bureaucratic Polity: A Theoretical Frame Work for Analysis of Power and
Communication in Indonesia. Dalam K.D. Jackson dan L.W. Pye. Political Power and
Communication in Indonesia. University of California Press.
King, D.Y. 1982. Indonesian’s New Order As A Bureaucratic Polity, A Neo patrimonial Regime
or Bureaucratic-Authoritarian Regime: What Differences Does It Make?. Dalam
Benedict Anderson and Audrey Kahin (ed.). Interpreting Indonesian Politic: Thirteen
Contributions to the Debate. Interim Report Series, Publication, 62, Cornel Modern
Indonesian Project, Ithaca.
Lasswell, H.D. 1960. The Structure and Function of Communication In Society, dalam, W.
Schramm. Mass Communication. Urbana, University of Illinois Press.
Mas’oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971. Jakarta, LP3ES.
O’Donnell, Guilerno, dan Schimitter, Philippe C. 1993. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian
Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta, LP3ES.
Siebert, Peterson, dan Schramm. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta, PT. Intermasa.
Siregar, Ashadi. 1990. Peranan Pers dalam Pembangunan: Mengartikulasikan Partisipasi Massa
Mengambang, dalam Akhmad Zaini Abar (ed.). 1990. Beberapa Aspek Pembangunan
Orde Baru. Solo, Ramadhani.
Jurnal LP3Y, Edisi I/Thn. 1/1994.
Majalah Tempo, No. 03/XXXIV/13 – 19 Maret, 2006.
Media Watch: Jurnal Pemantau Media, No. 42 Februari 2006, The Habibie Center, Jakarta.
Laporan Tahunan 1998-1999 oleh: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), 1999. “Pers Indonesia Pasca-Soeharto: Setelah Tekanan
Penguasa Melemah”, LSPP dan AJI, Jakarta.
46
Download