SURATKU BUAT RI 1-2: "Mengelola Masa Transisi" (94) Oleh : Syifa Saputra Senin, 24 Agustus 2009 11:33 Kepada : Bapak Presiden dan wakil presiden RI 2009-2014. Assalamuaalikum wr.wb Dalam upaya revitalisasi agenda reformasi dan semangat kemerdekaan yang tertuang dalam preambule UUD 1945 serta meretas solusi dari kepemimpinan umat, bangsa dan Negara, kit perlu menggali kembali orisinalitas ajaran islam tentang kepemimpinan yang merupakan bab penting dalam teologi islam. Dalam konteks pemikiran, kita dapat memahami mengapa dalam setiap masa transisi selalu muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti “Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apa sesungguhnya yang kita inginkan? Apa yang harus kita lakukan? Dan dari mana kita memulai?” Ketika masyarakat dunia berbenah mempersiapkan diri menyambut datangnya millennium baru, justru sekali lagi kita memasuki masa-masa yang sulit dalam perjalanan sejarah bangsa. Setengah abad agaknya tidak cukup memadai mengajari kita bagaimana mengelola peralihan kepemimpinan nasional dan pergantian rezim dengan cara damai. Setiap rezim selalu meninggalkan warisan yang buruk dan beban yang sangat berat bagi pengganti dan rakyatnya. 1/6 SURATKU BUAT RI 1-2: "Mengelola Masa Transisi" (94) Oleh : Syifa Saputra Senin, 24 Agustus 2009 11:33 Masa transisi kita kali ini, bukanlah merupakan pengecualian. Tanggal 21 Mei 1998 sesungguhnya merupakan kulminsai dari penolakan seluruh rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Orde Baru. Seperti juga Soekarno, Soeharto juga meninggalkan banyak catatan kelam dan segudang permasalahan. Ada kegamangan. Ada ketidakpastian. Ada ketidakterarahan. Selain itu, masa transisi kita kali ini relative lebih rumit dari masa-masa transisi yang pernah terjadi sebelumnya. Pertama, karena krisis ekonomi telah menghancurkan seluruh basis legimitasi Orde Baru. Ked ua , krisis ekonomi Asia sekaligus mengancam system keuangan dan ekonomi global. Ketiga , krisis ekonomi dikawasan asia juga telah memicu terjadinya krisis politik dan berujung pada pergantian pemerintahan seperti yang terjadi di Thailand dan Jepang. Selalu ada ketegangan-ketegangan dalam setiap masa transisi itu dipicu oleh krisis moral dan ekonomi yang menekan kehidupan rakyat secara keseluruhan. Ketegangan-ketegangan itu tercipta sebagai manifestasi dari tarik-menarik antara rezim tua yang akan segera berakhir dengan rezim baru yang belum matang dan mempunyai jati diri yang jelas. Ketegangan itu sebenarnya sudah terjadi jauh sebelumnya. Tapi ketegangan yang menyebabkan berakhirnya suatu rezim biasanya selalu di tandai oleh dua gejala : penolakan dan pemisahan. Akhir dari sebuah rezim selalu dimulai dari penolakan nurani terhadap rezim itu. Jarak antara penolakan nurani dengan keruntuhan rezim itu sendiri tidak selalu dekat, boleh jadi sangat jauh, karena biasanya tidak beralasan dan cenderung tidak logis dimata banyak orang serta sulit dibahasakan secara verbal dan formal. Itulah yang membutuhkan setumpuk bukti empiris untuk diungkap secara verbal, atau dalam bentuk kritik dan aksi-aksi masal. Dan itu butuh waktu. Hilangnya harapan dan kepercayaan terhadap hokum keterpaksaan untuk mengahargai prestasi palsu atau mengakui kemenangan hasil kecurangan, membengkaknya kaum oportunis dan petualang politik, semua orang mulai pandai menymebunyikan sinisme di balik basa basi dan eufemisme bahasa menjadi umum terjadi. Selanjutnya muncul pencarian-pencarian liar akan pikiran-pikiran dan pijakan-pijakan baru. Dilapangan kita menyaksikan adanya diskontinyuitas dalam realitas. Realitas-realitas baru bermunculan, tapi bukan merupakan kesinambungan dari pikiran-pikiran lama yang sudah tertolak itu. Ada pemisahan dalam realitas-realitas baru itu dan peristiwa-peristiwa sosial politik menjadi tidak linear. Inilah sesungguhnya bagian yang paling sublime dari sejarah. 2/6 SURATKU BUAT RI 1-2: "Mengelola Masa Transisi" (94) Oleh : Syifa Saputra Senin, 24 Agustus 2009 11:33 Pikiran-pikiran baru belum sepenuhnya utuh dan menemukan bentuknya yang jelas. Gejalanya adalah sifat emosional dan warna pemberontakan dalam peristiwa-peristiwa itu. Ada benturan ide-ide yang menciptakan ketegangan psikologis dalam tataran sosial dan politik. Ide-ide itu muncul tanpa pengorganisasian yang pasti. Tapi pasti sesungguhnya benturan itu hanyalah merupakan fungsi seleksi terhadap teori sosial baru yang akan lahir dan yang kelak mewarnai kehidupan bangsa itu pada era selanjutnya. Apakah pemikiran-pemikiran lama itu sudah mati sama sekali? Tidak. Itu akan sangat dipengaruhi oleh beberapa cepat pikiran-pikiran baru itu mematangkan dirinya dan menemukan bentuknya yang paling utuh. Mereka yang akan memimpin di masa depan adalah mereka yang mempunyai teori tentang masa depan itu dan mampu mematangkannya dalam waktu cepat. Kit a dapat memahami mengapa dalam setiap masa transisi selalu muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti : · Apa yang sebenarnya sedang terjadi? · Apa yang sesungguhya kita inginkan? · Apa yang harus kita lakukan? · Dari mana kita mulai? Di depan pertanyaan-pertanyaan itu setiap entitas hanya mempunyai dua pilihan : jika ia menjawab dengan benar, maka ia akan hidup dan menjadi pemimpin. Jika ia menjawab dengan salah atau tidak menjawab sama sekali, maka ia akan mati dan ditinggalkan. Karena bukan saja individu yang mempunyai ajal, demikian juga entitas manusia bahkan negara. Usia setiap entitas partai politik selalu ditentukan oleh daya tahan pikiran-pikirannya terhadap berbagai perubahan dalam ruanag waktu serta kemampuannya untuk terus menerus menguji dan menguji ulang paradigma dan teorinya. 3/6 SURATKU BUAT RI 1-2: "Mengelola Masa Transisi" (94) Oleh : Syifa Saputra Senin, 24 Agustus 2009 11:33 Bapak dan wakil presiden RI 2009-2014 Ada setidaknya tiga alasan mengapa kita perlu merumuskan ulang teori kita tentang negara, pemerintahan dan pembangunan? Pertama, karena setiap teori adalah hipotesis, dan hipotesis itu dibangun dari asumsi-asumsi yang validitasnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Kedua, tempo perubahan (speed of change) yang terjadi di lingkungan strategis kita sangat cepat dan dengan skala yang kadang sangat masif. Ketiga, kegagalan empiris dari teori-teori orde baru tentang negara, pemerintahan dan pembangunan. Teori pertama yang harus kita ubah adalah paradigma yang menyatakan perlunya agama dijauhkan dari politik. Alasannya bahwa politik itu kotor sehingga bila agama dibawa dalam aktifitas perpolitikan, maka itu akan mengotori kesucian agama. Kerancuan berpikir ini nampak dari keonsekuensi logis diterimanya cara pandang itu dalam dua rezim Orde Lama dan Orde Baru yang mengisyaratkan harusnya bangsa ini menyerahkan hal pengurusan negara kepada kekotoran-kekotoran yang dipraktekkan dalam perpolitikan kita. Dikalangan para pelaku politik muncul kemudian persepsi bahwa negara adalah legalitas dan kekuasaan, politik adalah cara mencapainya, partai politik adalah kendaraannya, kepentingan adalah misinya, dan jabatan adalah prestise dan kehormatan. Oleh karenanya, kata-kata kunci dalam bahasa komunikasi politik kita adalah persaingan, pengendalian dan adu domba. Dan itulah Machievelisme. Kesalahan paradigma dan persepsi ini tidak dapat kita tolak manakala kita melihat dampaknya terhadap apa yang biasanya dilakukan oleh penguasa pada waktu berkuasa, sujud syukur pada hari penunjukan dan KKN sampai akhir masa jabatannya. Dalam masyarakat berparadigma seperti itu organisasi pemerintahan mangalami disfungsi, jasa pelayanan dimatikan oleh birokrasi, birokarasi menjadi pos-pos pemerasan dan para pejabat mengidentifikasikan diri sebagai orang yang harus dihormati serta dilayani. Orang-orang tidak berbicara tentang “laporan yang baik”. Oleh karena itu suksesi kepemimpinan manjadi barang langka dan mahal. Proses pendidikan politik mengalami stagnasi, pelaku politik berkapasitas negarawan menjadi “makhluk langka” yang harus dilestarikan, dan money politics mewarnai cara-cara kampanye kita. Demikian juga stabilitas menjadi syarat mutlak dalam penyelenggaraan dan komunikasi politik. Stabilitas itu sendiri tidaklah salah dengan sendirinya. Teori kedua yang harus kita ubah adalah teori pembangunan berorientasi pertumbuhan. Alasan 4/6 SURATKU BUAT RI 1-2: "Mengelola Masa Transisi" (94) Oleh : Syifa Saputra Senin, 24 Agustus 2009 11:33 hidup Orde Baru ada pada kata pertumbuhan ini. Tapi apa yang secara pasti dapat disalahkan dari teori itu dalam kasus Orde Baru adalah kebijakannya untuk memenangkan segelintir orang untuk tumbuh pesat mencapainya. Selama dua dasawarsa pertama dari Orde Baru sebagian besar pengamat masih percaya pada teori itu. Teori tickle down effect ternyata gagal menjodohkan pertumbuhan dengan pemerataan. Bom waktu kesenjangan social ekonomi membuat pemerintahan menjadi panic. Program kesejahteraan dalam bentuk IDT, BLT, PNPM, tidak berhasil mengahapus rasa ketidakadilan distribusi asset nasional. Apalagi-karena penyakit moralnya-sering pula muncul kasus tentang penyelewengan dana. Kesalahan teori ini tidak terbatas sampai disitu. Teori ini dilakukan melalui dua kebijakan, pendanaan dengan utang luar negeri dan kebijakan proteksionisme. Negara harus kembali dipersepsi kembali sebagai rumah masyarakat. Ia bukan sekadar entitas politik, ia adalah entitas peradaban. Dengan mengacu kapada prinsip persatuan dan persatuan bangsa, dan Negara yang mensejahterakan sesame, bukan yang ekspolitatif dan diskriminatif yang akan melahirkan budaya kezaliman dalam pola hubungan antara pusat dan daerah. Perubahan penting yang akan tercipta adalah berubahnya paradigm kewarganegaraan. Basis identitas setiap warga tidak lagi hanya kembali kenegara asal, tapi akan kembali keperadaban asal. Tesis Huntington yang menyatakan bahwa pusaran konflik global akan berpindah dari politik ke budaya akan menjadi kenyataan. Apa yang lebih penting dari sekedar meningkatnya arus lalu lintas uang adalah meningkatnya arus lalu lintas informasi. Struktur social kita akan berubah dari model hirarki kejaringan. Kontribusi industry jasa dan informasi terhadap perekonomian dunia secara perlahan juga mengubah struktur perekonomian dan menggeser peran primer dari modal, tenaga kerja dan tanah sebagai factor produksi ke ilmu pengetahuan. Teori Peter F. Drucker tentang ekonomi berbasis pengetahuan akan mendapat pembenaran di hari-hari mendatang. Demikian ide dan harapan untuk memajukan bangsa dan negara yang tercinta ini, dan semangat kemerdekaan perlu kita patri berssama dan terus kita mempertahankannya. Merdeka. 5/6 SURATKU BUAT RI 1-2: "Mengelola Masa Transisi" (94) Oleh : Syifa Saputra Senin, 24 Agustus 2009 11:33 Bireuen, 19 Agustus 2009 wassalamualaikum Biodata Nama : Syifa Saputra Tempat dan Tgl Lahir : Cot Baroh, 10 Februari 1987 Alamat : Desa Pulo Awe, Kecamatan Kuta Blang, Kab. Bireuen Status : Belum kawin Pekerjaan : Mahasiswa Universitas Almuslim No HP : 0852 6088 1631 Alamat Email : [email protected] 6/6