1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus
dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak
asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945. Pertimbangan
tersebut mendasari terbitnya UU No.7 /1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan
dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat
penting bagi kehidupan suatu bangsa.
Bagi Indonesia, pangan diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini
merupakan makanan pokok utama. Beras memiliki nilai strategis dalam bidang
ekonomi (penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi
pedesaan), lingkungan (menjaga tata guna air dan udara bersih) dan sosial politik
(perekat bangsa, ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama
pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin. Berbagai
gejolak dapat terjadi jika ketahanan pangan terganggu, dengan pertimbangan
pentingnya beras maka pemerintah selalu berupaya meningkatkan ketahanan
pangan dari produksi dalam negeri. Kenaikan produktivitas merupakan kunci
utama untuk meningkatkan produksi padi.
Komoditas padi merupakan komoditas pangan utama, dan merupakan salah
satu komoditi unggulan dalam empat sukses program Kementrian Pertanian, guna
mendukung program swasembada pangan. Pemerintah bertekad mempercepat
upaya peningkatan produksi padi nasional, untuk memenuhi kebutuhan pangan
1
2
yang terus meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun
ke tahun. Gagasan tersebut diimplementasikan melalui Program Peningkatan
Produksi Beras Nasional (P2BN), yang dimulai pada tahun 2007. Salah satu
strategi yang diterapkan dalam program P2BN adalah meningkatkan produktivitas
padi melalui penerapan
pengetahuan
dan
teknologi. Sejalan dengan perkembangan ilmu
teknologi,
Badan
Litbang
telah
menghasilkan
dan
mengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), yang ternyata
mampu meningkatkan produktivitas padi serta lebih efisien. Dalam upaya
pengembangan PTT secara nasional, Departemen Pertanian meluncurkan Program
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT).
Program SL-PTT merupakan program nasional pemerintah Indonesia sejak
tahun 2008. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pangan
nasional khususnya padi. Pada awal tahun 2011 total luas areal padi di Indonesia
mencapai 12.879.039 Ha, produksi mencapai 64.329.329 ton dengan produktivitas
hanya mencapai 49 kwintal per hektar, jauh dari standar yang diharapkan yakni
dapat menghasilkan lebih dari 100 kwintal per hektar.
Produksi padi Provinsi Bali tahun 2011 sebesar 858.316 ton dengan
produktivitas sebesar 56,25 kwintal per hektar dan pada tahun 2012 produksi padi
menjadi 865.554 ton dengan produktivitas 58,09 kwintal per hektar. Luas areal
SL-PTT di Provinsi Bali pada tahun 2012 seluas 33.900 Ha, dengan luas tanam
33.375 Ha dan realisasi panen seluas 28.115 Ha. Berdasarkan total ubinan di
seluruh kabupaten diperoleh nilai produktivitas pada lokasi SL-PTT sebesar 70,60
kwintal per hektar meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 64,20 kwintal per
3
hektar. Pada tahun 2012 dari sembilan kabupaten yang ada di Provinsi Bali,
Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten yang memperoleh program
SL-PTT padi non hibrida seluas 5.000 hektar (Distan Provinsi Bali,2012).
Kabupaten Gianyar memiliki luas areal sawah sebesar 14.732 hektar pada
tahun 2011 dan setiap tahunnya cenderung terjadi alih fungsi lahan, sehingga
diperlukan upaya-upaya peningkatan produksi padi sejalan dengan kebutuhan
yang semakin meningkat. Berdasarkan data statistik Distanhutbun Kabupaten
Gianyar dapat diketahui perkembangan produksi padi pada tahun 2012 sebesar
173.593 ton gabah kering giling dengan produktivitas sebesar 58,08 kwintal per
hektar dan pada tahun 2013 menjadi sebesar 185.123 ton gabah kering giling
dengan produktivitas sebesar 59,38 kwintal per hektar.
Berdasarkan perkembangan produktivitas yang ada di Kabupaten Gianyar
yang masih rendah maka perlu upaya yang terfokus, sinergi dan terintegrasi dari
segi pembinaan maupun pembiayaan. Oleh karena itu upaya peningkatan produksi
padi tahun 2012 difokuskan pada penerapan SL-PTT padi di Kabupaten Gianyar
yang tersebar di 7 kecamatan termasuk Kecamatan Sukawati.
Kecamatan Sukawati sangat berpotensi untuk ditingkatkan produksi
tanaman padi, mengingat penggunaan lahan untuk sawah terluas dibandingkan
kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Gianyar.
Selain itu penerapan
teknologi SL-PTT sangat berpeluang untuk dikembangkan di Kecamatan
Sukawati, mengingat jumlah subak yang paling banyak dibandingkan kecamatan
lainnya. Berdasarkan data statistik Distanhutbun Kabupaten Gianyar tahun 2012,
4
jumlah subak yang ada di Kecamatan Sukawati sebanyak 91 subak dengan luas
lahan sawah keseluruhan 2.705 hektar.
Produktivitas di Kecamatan Sukawati masih dibawah target 100 kwintal per
hektar, oleh sebab itu perlu upaya peningkatan produksi dan produktivitas melalui
penerapan teknologi secara terpadu. Pada tahun 2012 Dinas Pertanian, Perhutanan
dan Perkebunan Kabupaten Gianyar mengalokasikan Program SL-PTT di 33
subak yang tersebar pada 12 (dua belas) Desa Di Kecamatan Sukawati.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Gianyar tahun 2011, Kecamatan Sukawati
memiliki luas tanam 6.319 hektar, luas panen 6.556 hektar, produksi 37.268,46
ton dan produktivitas 56,85 kwintal per hektar. Data luas tanam, luas panen,
produksi dan produktivitas tiap subak di Kecamatan Sukawati dapat dilihat pada
tabel 1.1
Tabel 1.1
Luas Tanam, Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Dirinci per Desa
Tahun 2011 di Kecamatan Sukawati
No
Desa
Luas Tanam
(Ha)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Batubulan
Batubulan Kangin
Ketewel
Guwang
Sukawati
Celuk
Singapadu
Singapadu Tengah
Singapadu Kaler
Batuan
Batuan Kaler
Kemenuh
Jumlah
635
448
929
484
624
323
402
314
305
409
363
1.083
6.319
Luas
Panen
(Ha)
571
509
1.229
605
335
513
326
299
250
441
366
1.112
6.556
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Kw/Ha)
3.381,52
2.657,49
8.387,93
3.433,68
1.907,16
3.233,95
1.727,47
1.487,82
1.302,75
2.485,92
1.803.65
7.254,69
37.268,46
59.22
52.21
68.25
56.76
56.93
63.04
52.99
49.76
52.11
56.37
49.28
65.24
56.85
5
SL-PTT merupakan sekolah lapang bagi petani dalam menerapkan berbagai
teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut
spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk
menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan.
SL-PTT merupakan sarana petani dapat belajar langsung di lapangan
melalui pembelajaran dan pengamatan langsung, menganalisis, menyimpulkan
dan menerapkan serta mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi, terutama dalam usahatani padi dengan mengkaji secara bersama
kelompok petani.
Kegiatan SL-PTT diharapkan mampu memperbaiki pemahaman petani dan
kelompok tani mengenai pentingnya inovasi teknologi dengan benar. Dalam
melaksanakan kegiatan SL-PTT didasarkan pada prinsip partisipatif, petani ikut
berperan aktif dalam penentuan teknologi sesuai kondisi setempat, serta
meningkatkan kemampuan melalui pembelajaran di laboratorium lapangan.
Prinsip kedua spesifik lokasi dalam penerapan teknologi perlu disesuaikan dengan
lingkungan sosial, budaya dan ekonomi petani setempat. Prinsip ketiga terpadu
antara sumberdaya tanaman, tanah dan air dikelola dengan baik secara terpadu
dan berkelanjutan. Prinsip keempat sinergis atau serasi dalam pemanfaatan
teknologi terbaik memperhatikan keterkaitan antar komponen teknologi yang
saling mendukung. Prinsip kelima dinamis, penerapan teknologi selalu
disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan iptek serta kondisi sosial
ekonomi setempat.
6
SL-PTT bisa diartikan sebagai suatu tempat pendidikan non formal bagi
petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali
potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil
keputusan, dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya
setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan, sehingga usahataninya
menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Melalui Program SLPTT, akan terjadi komunikasi antara pemandu lapang sebagai pembawa pesan
dengan petani sebagai penerima pesan.
Program ini diharapkan dapat mempercepat penerapan teknologi dari
peneliti ke petani peserta kemudian berlangsung adopsi secara alamiah dari
alumni SL-PTT kepada petani. Seiring perjalanan waktu dan tahapan SL-PTT,
petani merasa memiliki PTT yang dikembangkan yang pada akhirnya tercapai
peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani.
Program SL-PTT di Kecamatan Sukawati sudah dilaksanakan sejak tahun
2008, namun kenyataanya, produksi padi yang dicapai masih dibawah rata-rata
yaitu kurang atau sama dengan enam ton per hektar belum sebanding dengan
potensi lahan yang ada di petani (Distanhutbun,2012). Penerapan inovasi PTT
oleh petani diduga belum optimal dan penggunaan input produksi atau sumber
daya yang ada belum dimanfaatkan secara efisien. Keadaan ini menarik bagi
peneliti untuk mempelajari seberapa jauh adopsi inovasi PTT padi di Kecamatan
Sukawati dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses adopsi.
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimana perilaku petani tentang inovasi PTT di Kecamatan Sukawati ?
2.
Bagaimana adopsi inovasi PTT di Kecamatan Sukawati ?
3.
Bagaimana pengaruh karakteristik petani, kompetensi penyuluh, sifat-sifat
inovasi PTT terhadap perilaku petani dan adopsi inovasi di Kecamatan
Sukawati ?
4.
Bagaimana pengaruh perilaku petani terhadap adopsi inovasi PTT di
Kecamatan Sukawati ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan,
maka tujuan dalam penelitian ini adalah :
1.
Mendiskripsikan perilaku petani dan adopsi inovasi PTT
di Kecamatan
Sukawati.
2.
Menganalisis pengaruh faktor karakteristik petani, kompetensi penyuluh dan
sifat inovasi PTT terhadap perilaku petani tentang PTT.
3.
Menganalisis pengaruh faktor karakteristik petani, kompetensi penyuluh dan
sifat inovasi PTT terhadap adopsi inovasi PTT di Kecamatan Sukawati.
4.
Menganalisis pengaruh faktor perilaku terhadap adopsi inovasi PTT di
Kecamatan Sukawati.
8
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diharapkan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
inovasi PTT padi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi
bagi peneliti-peneliti lainnya yang melakukan penelitian dengan obyek yang
sama.
1.4.2
Manfaat praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagi penyuluh, dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam
memberikan penyuluhan serta dapat menjadi acuan dalam mengintroduksi
teknologi spesifik lokasi, berdasarkan kondisi sosial, ekonomi dan budaya
petani.
2.
Bagi Pemerintah, sebagai bahan evaluasi terkait dalam menyusun
perencanaan dan pelaksanaan SL-PTT sehingga bisa menetapkan kebijakan
strategis dan langkah-langkah mempercepat adopsi inovasi PTT melalui SLPTT di tingkat petani.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)
2.1.1 Inovasi PTT
Pengelolaan Tanaman Prinsip Terpadu (PTT) adalah pendekatan dalam
pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT) dan iklim
secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas,
pendapatan petani dan kelestarian lingkungan. PTT dirancang berdasarkan
pengalaman implementasi berbagai sistem intensifikasi padi yang pernah
dikembangkan di Indonesia (Deptan,2008).
Prinsip PTT mencakup empat unsur yaitu integrasi, interaksi, dinamis dan
partisipatif. a) Integrasi,
dalam
implementasinya
dilapangan
PTT
mengintegrasikan sumber daya lahan, air, tanaman, OPT dan iklim untuk mampu
meningkatkan produktivitas. b) Interaksi,
PTT berlandaskan pada hubungan
sinergis atau interaksi antara dua atau lebih komponen teknologi produksi. c)
Dinamis,
PTT bersifat dinamis karena selalu mengikuti perkembangan
teknologi dan penerapannya disesuaikan dengan keinginan dan pilihan petani.
Oleh karena itu PTT selalu bercirikan spesifik lokasi. Teknologi PTT senantiasa
memperhatikan lingkungan fisik, biofisik, iklim dan kondisi sosial ekonomi petani
setempat. d) Partisipatif, PTT membuka ruang bagi petani untuk memilih,
mempraktekkan dan bahkan memberikan saran kepada penyuluh dan peneliti
untuk menyempurnakan PTT serta menyampaikan pengetahuan yang dimiliki
kepada petani yang lain.
10
SL-PTT adalah bentuk sekolah yang seluruh proses belajar mengajarnya
dilakukan dilapangan. Hamparan sawah milik petani peserta program penerapan
PTT disebut hamparan SL-PTT, sedangkan hamparan sawah tempat praktek
sekolah lapang disebut laboratorium lapang (LL). Sekolah lapang seolah-olah
menjadikan petani peserta sebagai murid dan pemandu lapang (PL I atau PL II)
sebagai guru. Namun pada sekolah lapang tidak dibedakan antara guru dan murid
karena aspek kekeluargaan lebih diutamakan, sehingga antara “guru dan murid”
saling memberi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman (Deptan,2008).
Penciri SL-PTT adalah antara peserta dan pemandu saling memberi dan
menghargai, perencanaan dan pengambilan keputusan dilakukan bersama dengan
kelompok tani (poktan) atau gapoktan, komponen teknologi yang akan diterapkan
berdasarkan hasil PRA (Participatory Rural Appraisal) yang dilakukan oleh
petani peserta. Dalam SL-PTT pemandu tidak mengajari petani tetapi petani
belajar dengan inisiatif sendiri, pemandu sebagai fasilitator memberikan
bimbingan. Materi latihan, praktek dan sarana belajar semua ada di lapangan,
kurikulum yang dipelajari dirancang hanya satu musim tanam sehingga dalam
periode tersebut diharapkan terdapat 10-18 kali pertemuan antara peserta dengan
pemandu.
SL-PTT memiliki tujuan utama untuk mempercepat alih teknologi dari
peneliti dan narasumber lainnya. Narasumber memberi ilmu dan teknologi yang
telah dikembangkan kepada pemandu lapang I (PL I) sebagai Training of Master
Trainer (TOMT) PL I terdiri dari penyuluh pertanian, Pengamat Organisme
Pengganggu Tanaman (POPT) dan Pengawas Benih Tanaman (PBT) tingkat
11
provinsi yang telah dilatih di tingkat nasional. Selanjutnya PL I menurunkan
IPTEK tersebut kepada PL II yang terdiri dari penyuluh pertanian, POPT tingkat
kabupaten/kota pelatihannya diselenggarakan di provinsi. Kemudian untuk
pelatihan pemandu lapang ditingkat kecamatan/desa diselenggarakan di kabupaten
atau kota dengan materi pelatihan diberikan oleh narasumber dan PL II. Melalui
SL-PTT ini diharapkan terjadi percepatan penyebaran IPTEK dari peneliti ke
petani peserta, seiring dengan waktu diharapkan paket teknologi spesifik lokasi
dapat diterapkan petani.
2.1.2 Mekanisme Pelaksanaan SL-PTT Padi di Kabupaten Gianyar
Pelaksanaan SL-PTT terdiri atas beberapa tahap diantaranya tahap
persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengamatan, tahap evaluasi pelaksanaan
SLPTT dan laporan. Untuk persiapan SL-PTT diantaranya pemilihan desa dan
hamparan lahan sawah seluas 25 Ha, beserta kelompok tani. Dalam hamparan
sawah seluas 25 ha terdapat 1 ha yang merupakan laboratorium lapangan (LL).
Selain itu dilakukan pemilihan petani peserta, tempat dan area (LL) bahan dan alat
belajar, materi dan wakktu belajar. Persiapan ini dibahas ditingkat desa dan
kelompok tani.
Pertemuan di tingkat desa atau kecamatan dilakukan untuk mendapat
dukungan dari aparat desa dan pejabat kecamatan dalam hal penentuan lokasi,
jumlah dan nama calon peserta, juga waktu pertemuan dikelompok tani.
Pertemuan persiapan berikutnya dilaksanakan di tingkat kelompok tani untuk
menginventarisasi kelompok tani, nama dan luas garapan masing-masing petani di
kawasan SL-PTT seluas 25 ha. Dalam pertemuan dibicarakan waktu pelaksanaan
12
SL-PTT Padi, kegiatan mingguan, lokasi laboratorium lapangan, tempat belajar,
materi pelajaran dan PRA. Dalam kelompok tani dilakukan pembagian kelompok
tani menjadi sub-sub kelompok. Perkelompok anggotanya 20-30 petani.
Pertemuan di tingkat petani dilakukan paling lambat tiga minggu sebelum SLPTT padi dimulai.
Tahap pelaksanaan, proses belajar dalam SL-PTT berlangsung secara
periodik menurut stadia tanam, aktivitas pengolahan hama dan penyakit tanaman
padi dan kemungkinan terjadinya anomali iklim. Untuk itu pertemuan periodik
dimulai beberapa minggu sebelum tanam untuk melihat potensi, kendala dan
peluang melalui pelaksanaan PRA. Pertemuan berikutnya pada saat pengolahan
tanah, pembuatan, pesemaian, pemupukan, pengairan dan pada saat tanaman padi
dalam fase anakan maksimum, primodia, bunting, berbunga, pengisian bulir,
panen dan pasca panen. Proses belajar mengajar pada SL-PTT dilakukan sesuai
kesepakatan sehingga tidak mengganggu aktivitas petani mencari nafkah dan
untuk kelancarannya dibuat jadwal pengamatan agroekosistem (Deptan,2008)
Distanhutbun Kabupaten Gianyar (2012), SL-PTT merupakan salah satu
cara untuk mengenalkan inovasi teknologi spesifik lokasi secara partisipatif
kepada masyarakat tani. Dalam pelaksanaan SL-PTT terdapat 2 komponen
teknologi, yaitu komponen dasar dan komponen pilihan.
Komponen teknologi dasar yaitu teknologi yang sangat dianjurkan untuk
diterapkan disemua lokasi padi sawah. Komponen teknologi ini terdiri atas :
13
a) Tanam Varietas Padi Unggul
Varietas padi yang unggul urutan paling pertama dalam melakukan
pendekatan SL-PTT padi karena memakai varietas padi unggul memiliki
kelebihan hasil tinggi, umur tanaman pendek, jumlah anakannya sangat
produktif, tanggap terhadap pemupukan, nasinya pulen, dapat menyesuaikan
diri terhadap iklim dan jenis tanah setempat, memiliki harga yang tinggi
dipasar lokal dan toleran terhadap hama dan penyakit ( Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008).
b) Benih Bermutu dan berlabel
Benih bermutu adalah benih yang sehat, bersih dan sehat atau benih yang
berlabel biru karena dengan benih bermutu akan menghasilkan bibit yang
sehat dan dapat menghasilkan produksi yang seragam dan tinggi (BPTP Jatim,
2012).
c) Pemberian Bahan Organik
Bahan organik merupakan bahan yang berasal dari limbah tanaman, kotoran
hewan atau hasil pengomposan seperti kotoran sapi, kotoran ayam, jerami atau
sisa tanaman lain, pupuk hijau dan hasil pangkasan tanaman kacang-kacangan
sehingga setelah diolah sedemikian rupa akan dapat menjadi pupuk organik.
Pada kegiatan SL-PTT ini diharapkan petani melakukan pengembalian jerami
kesawah setelah panen bukan menjual atau membakar jerami tetapi
membenamkan ketanah untuk dijadikan kompos.
14
d) Pengaturan populasi tanam secara optimum
Penanaman sebaiknya dilakukan secara serempak, sebagai ukuran umum
untuk lahan yang subur dan pengairan cukup, populasi tanaman dianjurkan
agak jarang sebaliknya pada tanah kurang subur populasinya lebih padat. Cara
tanam yang dianjurkan adalah tanam pindah jajar legowo. Tanam pindah jajar
legowo ini merupakan cara tanam berselang seling. Tanam pindah dengan
sistem jajar legowo ini memiliki kelebihan : pertama, menjadikan semua
barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir galengan sehingga
tanaman mendapat efek samping (border effect), dimana tanaman yang
mendapatkan efek samping ini produksinya lebih tinggi daripada tidak
mendapatkan efek samping ditengah petakan sawah. Kedua, pada musim
hujan dapat mengurangi kelembaban disekitar rumpun tanaman, sehingga
dapat mengurangi serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Ketiga,
memudahkan pemeliharaan tanaman yang meliputi penyiangan, pengendalian
hama, penyakit dan gulma karena terdapat ruangan yang cukup lebar untuk
pergerakan pekerja. Keempat, memudahkan dan menghemat pemupukan,
karena pupuk tidak disebar merata keseluruh areal sawah, Disamping
kelebihan juga memiliki kekurangan yang sering dijumpai dilapangan seperti
membutuhkan tenaga tanam lebih banyak, sedang sistem pengupahan tenaga
tanamnya umumnya dilakukan secara borongan karena rumit dan memiliki
keahlian tertentu.
e) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah
15
Penggunaan pupuk dalam penerapan paket SL-PTT diharapkan melaksanakan
secara hemat dan bijaksana dengan menentukan takaran, waktu dan cara
pemupukan yang tepat menurut lokasi dan musim tanam dengan tujuan untuk
menambah hara yang kurang sehingga diperoleh keseimbangan ketersediaan
hara bagi tanaman agar dihasilkan tinggkat efesiensi pemupukan yang tinggi.
Berdasarkan anjuran rekomendasi pemupukan dari Distanhutbun Kabupaten
Gianyar penggunaan pupuk Urea 2 kg per are, pupuk NPK 2 kg per are dan
penggunaan pupuk organik minimal 3 kg per are.
f) Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan Pendekatan
PHT (Pengendalian Hama Terpadu).
Prinsip pengendalian hama dan penyakit secara terpadu dalam SL-PTT padi
dilakukan dengan menerapkan kaidah pengendalian hama dan penyakit
terpadu (PHT) yang memiliki strategis pengendalian sebagai berikut
menggunakan varietas yang tahan, menanam tanaman yang sehat termasuk
pengendalian dari aspek kultur teknis seperti : pola tanam yang tepat,
pergiliran tanaman, waktu tanam yang tepat, pengamatan berkala dilapangan,
pemanfaatan musuh alami (predator) seperti musuh alami, pengendalian
secara mekanik, pengendalian secara fisik dan penggunaan pestisida hanya
bila diperlukan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008).
Komponen teknologi pilihan yaitu teknologi yang disesuaikan dengan
kondisi, kemauan dan kemampuan petani setempat. Teknologi ini dapat
diterapkan seluruhnya, sebagian atau ada komponen yang dimodifikasi
berdasarkan hasil keputusan bersama antara petugas dengan petani dengan
16
mempertimbangkan potensi, keinginan dan peluang keberhasilannya. Teknologi
ini terdiri atas :
a) Pengolahan tanah
Pengolahan tanah bertujuan untuk mendapatkan pelumpuran yang sempurna
sebagai media tumbuh yang baik dan sekaligus sebagai tindakan awal
pengendalian gulma. Pengolahan tanah ini disesuaikan dengan jenis tanah
sehingga ditiap tempat perlakuannya tidak bisa disamakan.
b) Penggunaan bibit muda
Rekomendasi dengan pola pendekatan SL-PTT tanam bibit muda sangat
dianjurkan sekali yaitu berumur 15-21 hari setelah tanam yang dicirikan
dengan tumbuhnya empat lembar helai daun muda. Keuntungan menanam
bibit yang masih muda adalah bibit akan cepat kembali pulih, akar akan lebih
kuat dan dalam, tanaman menghasilkan anakan lebih banyak,tanaman tidak
mudah rebah, tanaman akan lebih tahan kekeringan dan tanaman menyerap
pupuk lebih hemat sesuai kebutuhan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Provinsi Bali, 2008)
c) Tanam bibit 1-3 batang per lubang
Penanaman dengan menggunakan bibit 1-3 batang per lubang untuk
menghemat penggunaan bibit dengan populasi minimum diharapkan
250.000/rumpun/ha. Pertumbuhan bibit akan lebih baik karena tidak terjadi
persaingan makanan dalam satu lubang sehingga pertumbuhan tanaman padi
lebih sehat.
17
d) Pengairan secara efektif dan efesien
Tanaman padi bukan termasuk tanaman air yang memerlukan air terlalu
banyak pada setiap pertumbuhannya, diharapkan diatur secara efektif dan
efesien sehingga akan dapat memperbaiki aerasi tanah.
Pengairan terus
menerus dapat dilakukan pada tanah-tanah yang sarang dan kondisi air
irigasinya sulit dilakukan.
e) Penyiangan dengan landak atau gasrok
Penyiangan dengan landak dan gasrok bertujuan untuk mengendalikan gulma
secara tepat dan bijaksana. Gulma merupakan rumput atau tumbuhan
pengganggu dapat dikendalikan dengan cara mekanik. Penyiangan gulma
diperlukan untuk mengurangi persaingan antara gulma dengan tanaman padi,
memutus perputaran hidup gulma, mencegah terbentuknya tempat berkembang
bagi serangga hama dan penyakit, mencegah tersumbatnya saluran dan aliran
air irigasi dan ada beberapa jenis gulma yang akarnya dapat mengeluarkan
racun bagi akar tanaman padi.
f) Penanganan Panen dan Pasca Panen dengan baik
Panen dan pasca panen akan sangat berpengaruh terhadap hasil karena
kehilangan hasil dan penurunan mutu selama proses panen dan pasca panen
masih tinggi yaitu sekitar 20 % disamping itu juga akan dapat menyebabkan
kualitas benih rendah. Oleh sebab itu sangat dianjurkan panen tepat waktu dan
gabah segera dirontokkan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali,
2008).
18
2.2
2.2.1
Adopsi Inovasi
Pengertian adopsi Inovasi
Menurut Rogers (2003) inovasi adalah suatu ide, penerapan atau praktek
teknologi atau sumber yang dianggap baru oleh seseorang. Sebuah inovasi
biasanya terdiri dari dua komponen yaitu komponen ide dan komponen obyek
yang berupa aspek material atau produk fisik dari ide tersebut.
Menurut Soekartawi (1988) inovasi adalah suatu ide yang dipandang baru
oleh sesorang, karena latar belakang seseorang ini berbeda-beda maka di dalam
menilai secara obyektif tentang suatu ide baru yang dimaksud itu adalah relatif
sekali sifatnya.
Adopsi adalah proses mental dalam mengambil keputusan untuk menerima
atau menolak ide baru. Adopsi juga didefinisikan sebagai proses mental seseorang
dari mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Keputusan
untuk mengadopsi suatu inovasi terjadi dalam diri individu. Adopsi dalam
kaitannya dengan penyuluhan pertanian adalah suatu proses yang terjadi pada
pihak sasaran (petani) sejak sesuatu hal baru diperkenalkan sampai orang tersebut
menerapkan (mengadopsi) hal baru tersebut (Rogers,2003).
Selanjutnya menurut Mosher (1991) bahwa adopsi suatu inovasi
merupakan proses yang ditunjukkan, mempertimbangkan dan akhirnya menolak
atau mempraktekkan inovasi tertentu. Adopsi dan keputusan-keputusan yang
diambil menyangkut perilaku individual. Sehingga cepat lambatnya proses adopsi
akan tergantung dari sifat dinamika sasaran, baik dinamika pengalaman,
pengetahuan, interaksi sosial, komunikasi sosial dan belajar sosial.
19
2.2.2
Proses adopsi inovasi
Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat
oleh seseorang. Keputusan inovasi adalah proses mental, sejak seseorang
mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau
menolak, dan kemudian mengukuhkannya (Rogers, 2003). Proses keputusan
inovasi berlangsung melalui lima tahap yaitu :
a) Mengetahui, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya
mengetahui adanya suatu inovasi dan memperoleh beberapa pengertian
mengenai berfungsinya inovasi itu secara umum.
b) Berminat, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya
membentuk sikap berkenaan atau tidak berkenaan suatu inovasi dan berusaha
mencari informasi yang lebih banyak tentang keberadaan inovasi itu.
c) Keputusan, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya
berada dalam kegiatan penilaian terhadap inovasi, dihubungkan dengan
dirinya saat sekarang dan di masa yang akan datang yang mengarah pada
pemilihan untuk menerima atau menolak suatu inovasi.
d) Pelaksanaan, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya
mulai menggunakan inovasi, meskipun dalam skala kecil.
e) Konfirmasi, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya
mencari bukti-bukti untuk memperkuat keputusan yang telah diambilnya.
Rogers (2003) mengatakan bahwa proses keputusan tersebut terdiri atas
rentetan aktivitas dan pemilihan sepanjang waktu melalui seseorang atau suatu
organisasi dalam rangka mengevaluasi suatu inovasi dan memutuskannya sesuai
20
atau tidaknya untuk dilaksanakan. Pengambilan keputusan inovasi oleh suatu
organisasi atau kumpulan individu (agregate) merupakan implikasi dari proses
tersebarnya teknologi baru dalam suatu daerah tertentu. Ini berarti, adopsi inovasi
tersebut diukur dengan cara menilai tingkatan jumlah penggunaan dan tingkat
penggunaan inovasi tersebut.
Menurut Lionberger dan Gwin (1991), kelancaran proses pengambilan
keputusan inovasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti keberadaan
sasaran, jenis-jenis informasi yang dibutuhkan sasaran berdasarkan tahapan proses
adopsinya, dan sumber-sumber atau saluran komunikasi bagi informasi sesuai
dengan tahapan proses adopsinya (Gambar 2.1).
Saluran Komunikasi
MENGETAHUI
BERMINAT
KEPUTUSAN
PELAKSANAAN
Var. Penerima
- Karakteristik sosial
ekonomi
- Kepribadian
- Perilaku komunikasi
Terima
Terima
Terus
Lambat
Terima
Tolak
Berhenti
Tolak
Terus
Var. Sistem Sosial
- Norma sistem sosial
- Keinovatifan masyarakat
- Kebutuhan yang
dirasakan
Ciri-ciri inovasi :
-
KONFIRMASI
Memberi keuntungan relatif
Sesuai dengan norma budaya daerah setempat
Tidak terlalu rumit dilaksanakan
Dapat dicoba
Dapat diamati
Gambar 2.1. Proses pengambilan keputusan inovasi
21
Jenis-jenis informasi inovasi yang dibutuhkan sasaran selayaknya
disesuaikan dengan tahapan proses adopsinya (Rogers,1983). Pada tahap
pengenalan terdapat tiga tipe informasi yang dibutuhkan, yaitu (1) informasi
tentang adanya inovasi, (2) informasi teknis (cara atau prosedur penggunaan
inovasi), dan (3) informasi prinsip, yakni berkenaan dengan prinsip-prinsip
berfungsinya suatu inovasi.
Pada tahap minat, jenis informasi yang dibutuhkan lebih kearah
operasionalisasi dan kegunaan inovasi, misalnya cara bekerjanya inovasi itu,
manfaatnya untuk pemakaiannya dan sebagainya (Lionberger dan Gwin,1991).
Menurut Rogers (1983) Pada tahap ini seseorang akan membentuk sikap
berkenaan atau tidak terhadap suatu inovasi. Berarti sasaran membutuhkan
informasi ciri-ciri inovasi yaitu : (1) keuntungan relatif inovasi, (2) kesesuaian
inovasi dengan sosial budaya sasaran, (3) tidak rumit dilakukan bagi sasaran, (4)
dapat dicoba, dan (5) dapat diamati.
Menurut Rogers (1983), pada tahap keputusan sasaran membutuhkan
informasi menyangkut bahan pertimbangan untuk menerima atau menolak suatu
inovasi. Secara khusus menurut Lionberger dan Gwin (1991), informasi yang
dibutuhkan pada tahap ini lebih bersifat saran perimbangan untuk melakukan
evaluasi terhadap inovasi tersebut, seperti konsekuensi sosial, ekonomi dan
budayanya; penilaian-penilaian dari orang-orang yang dipercaya terhadap inovasi
tersebut, dan hasil percobaan-percobaan pada tingkat lokal/regional.
Pada tahap pelaksanaan, proses keputusan inovasi tidak lagi berpusat pada
aktivitas mental, tetapi sudah melibatkan perubahan perilaku sebagai pelaksanaan
22
ide-ide itu. Informasi yang dibutuhkan dalam tahap ini seperti: asal inovasi
diperoleh, cara menggunakan inovasi, masalah operasional yang dihadapi, cara
memecahkan masalah tersebut, dan sebagainya. Pada tahap ini jenis informasi
yang dibutuhkan lebih bersifat aplikasi atau cara kerja inovasi, misalnya berapa
jumlah, bentuknya, tingkatannya, waktu yang harus digunakan, frekwensinya,
intervalnya dan sebagainya (Lionberger dan Gwin, 1991).
Pada tahap konfirmasi, jenis informasi yang diperlukan lebih kearah hasilhasil percobaan inovasi yang telah dilakukan selama ini baik secara langsung oleh
sasaran maupun oleh orang lainnya, yang akan semakin memperkuat
keputusannya (Lionberger dan Gwin,1991). Proses keputusan inovasi tidak
berakhir setelah orang mengambil keputusan untuk menerima atau menolak
inovasi itu (Rogers,1986). Seseorang akan mencari informasi untuk menguatkan
keputusannya, akan tetapi mungkin juga akan mengubah keputusannya semula
jika ia memperoleh pesan-pesan yang bertentangan dengan inovasi itu. Pada tahap
ini seseorang berusaha untuk menghindari kenyataan yang menyimpang dan
bertentangan dengan keputusannya. Jika hasil inovasi dapat dilihat dengan cepat ,
maka calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap mencoba
melainkan terus ke tahap adopsi. Ini bukan berarti calon pengadopsi langsung
memulai dari tahap adopsi untuk menerima suatu inovasi, tetapi mereka juga
menjalani tahap sebelumnya dengan waktu yang relative singkat.
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983), unsur saluran
komunikasi juga berperan penting dalam mempercepat proses adopsi inovasi
karena merupakan alat untuk menyampaikan ide-ide baru dari seseorang kepada
23
orang lain. Saluran komunikasi sangat penting dalam menentukan keputusan
sasaran, untuk menerima atau menolak suatu inovasi.
Pada dasarnya terdapat dua saluran komunikasi yaitu (Berlo,1960 ; Rogers
dan Shoemaker, 1971) ; dan Rogers (1983) : (a) saluran antar pribadi, yaitu segala
bentuk pertukaran pesan antar dua orang atau lebih secara langsung (tatap muka)
dengan atau tanpa alat bantu yang memungkinkan semua pihak yang
berkomunikasi dapat memberikan umpan balik secara langsung, dan (b) saluran
media massa (baik media cetak maupun media elektronik) yang memungkinkan
seseorang atau sekelompok kecil orang tertentu dapat menyampaikan pesan
kepada masyarakat luas.
Jika dikaitkan dengan peranan masing-masing saluran komunikasi
terhadap tahap-tahap proses adopsinya, maka menurut Rogers dan Shoemaker
(1971), Rogers (1983) dan Lionberger dan Gwin (1991), pada tahap sadar dan
minat, saluran komunikasi yang efektif yang digunakan adalah media massa
karena mampu menjangkau sasaran secara cepat dan luas dalam rangka
memberikan informasi dan pengertian tentang suatu inovasi. Pada tahap proses
berikutnya, peran media massa kurang efektif.
Selain saluran media massa,
saluran antar pribadi juga berperan dalam tahap sadar dan minat, sedangkan pada
tahap menilai , mencoba dan adopsi saluran antar pribadi yang paling efektif.
2.2.3
Kecepatan adopsi inovasi
Kecepatan adopsi adalah waktu yang menunjukkan penerimaan inovasi oleh
suatu sistem sosial. Kecepatan ini biasanya diukur dengan jumlah penerima yang
mengadopsi suatu ide baru dalam suatu periode waktu tertentu (Rogers,2003).
24
Selanjutnya disebutkan bahwa peubah penjelas kecepatan adopsi suatu inovasi
adalah sifat-sifat inovasi itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
adopsi inovasi yang berkaitan dengan sifat inovasinya adalah : (a) keuntungan
relatif (relative advantage) yaitu inovasi akan dapat cepat diadopsi jika suatu
inovasi dianggap lebih menguntungkan dari teknologi yang pernah ada
sebelumnya, (b) kesesuaian (compatability) yaitu ketika suatu inovasi masih tetap
konsisten dengan nilai-nilai budaya yang ada, (c) kerumitan (complexity) yaitu
ketika suatu inovasi mempunyai sifat-sifat yang rumit sulit dipahami dan diikuti,
(d) dapat dicoba (trialability) yaitu inovasi akan cepat diadopsi jika inovasi
tersebut mudah dicoba pada kondisi dan situasi yang ada, (e) mudah diamati
(observability) yaitu inovasi akan mudah diterima jika dengan cepat dapat dilihat
dan dirasakan hasilnya.
Kecepatan adopsi inovasi selain dipengaruhi oleh kelima sifat-sifat
inovasi, juga dipengaruhi oleh hal-hal lain yang dapat menjadi peubah penjelas
kecepatan adopsi adalah : (a) tipe keputusan inovasi, (b) sifat saluran komunikasi
yang dipergunakan untuk menyebarluaskan inovasi dalam proses keputusan
inovasi, (c) ciri-ciri sistem sosial dan (4) gencarnya usaha agen pembaharu dalam
mempromosikan inovasi.
Rogers (2003) menambahkan tipe keputusan inovasi yang mempengaruhi
keputusan adopsi. Semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pembuatan
keputusan inovasi, semakin lambat tempo adopsinya. Inovasi yang diputuskan
secara otoritas (kekuasaan) diadopsi lebih cepat karena melibatkan lebih sedikit
orang dalam pengambilan keputusan. Tetapi, jika bentuk kekuasaannya
25
tradisional,mungkin tempo adopsinya juga lambat. Keputusan opsional (individu)
biasanya lebih cepat daripada keputusan kolektif, tetapi lebih lambat daripada
keputusan otoritas. Tipe keputusan kontingen paling lambat karena melibatkan
dua urutan keputusan inovasi atau lebih.
Saluran komunikasi yakni alat yang dipergunakan untuk menyebarluaskan
suatu inovasi. Jika saluran komunikasi interpersonal yang dipergunakan untuk
menciptakan kesadaran pengetahuan inovasi, seperti terjadi dimasyarakat
pedesaan kecepatan adopsi akan lambat karena penyebaran pengetahuan tidak
berjalan cepat (Fisher,1989).
Sifat
inovasi
dan
saluran
komunikasi
saling
berkaitan
dalam
mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Inovasi yang rumit akan lebih
memuaskan apabila disebarluaskan melalui saluran media massa seperti majalah
pertanian, tetapi inovasi yang dianggap rumit oleh petani maka saluran
interpersonal dengan petugas penyuluh dianggap lebih tepat. Jika tidak tepat
dalam memilih dan menggunakan saluran komunikasi, maka waktu pengadopsian
akan lambat (Rogers,2003).
Karena itu, untuk mempercepat waktu pengadopsian inovasi , seorang
agen perubahan dalam hal saluran komunikasi tergantung atas campuran dari
pertimbangan tahap-tahap dalam proses keputusan inovasi dan sifat-sifat inovasi
menurut pengamatan dan penerima. Pada tahap pengenalan, kompleksitas dan
observabilitas inovasi sangat penting. Pada tahap persuasi, keuntungan relative
dan observabilitas inovasi yang perlu ditonjolkan. Sedangkan pada tahap
keputusan, dapat dicobanya suatu inovasi yang paling penting (Rogers,2003).
26
Sistem sosial merupakan hal lain yang mempengaruhi kecepatan adopsi
suatu inovasi terutama norma-norma sistem sosial. Dalam suatu sistem yang
modern, tempo adopsi mungkin lebih cepat karena kurang ada rintanngan sikap
diantara para penerima. Sedangkan dalam sistem tradisional, tempo adopsi akan
lebih lambat (Rogers,2003).
Kecepatan adopsi inovasi, akhirnya dipengaruhi oleh gencarnya usahausaha promosi yang dilakukan agen perubahan. Hubungan antara kecepatan
adopsi dengan usaha agen perubahan tidak langsung atau linear. Pada tahap
tertentu , usaha keras agen perubahan mendatangkan hasil yang lebih besar.
Respons terbesar terhadap agen perubahan terjadi pada saat pemuka masyarakat
mulai mengadopsi inovasi, yang terjadi antara 13-16 % pengadopsian dalam
sistem sosial (Rogers,2003).
Jika seseorang mengadopsi suatu inovasi, maka perubahan perilaku yang
diakibatkan oleh proses pengadopsian akan mempengaruhi sistem sosialnya.
Demikian juga sebaliknya jika proses pengadopsian berhenti maka sistem sosial
juga akan mengikuti perubahannya. Apabila suatu inovasi telah diadopsi oleh
seseorang dalam sistem sosialnya, hasilnya dapat diamati dari perubahan atribut
dari
inovasi
tersebut
seperti
idenya,
prosesnya
ataupun
teknologinya.
Perkembangan inisiasi dan proses kedewasaan dari adopsi berhubungan dengan
kualitas dan sumber informasi dan populasi pengadopsi (Rogers et al,2011).
27
2.3
Komunikasi
2.3.1 Pengertian komunikasi
Komunikasi
merupakan proses penyampaian pesan, akan tetapi perlu
dipahami bahwa komunikasi tidak hanya sampai pada batas penerima tetapi juga
bagaimana proses pesan itu disampaikan dan diterima. Dalam model linier,
komunikasi dikatakan efektif
jika penerima mampu menerima pesan sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh sumber. Model komunikasi linier sering juga
disebut sebagai model SMCRE (Source, Message, Channel, Receiver dan Effect)
(Berlo, 1960).
Komunikasi juga tidak lain dari satu tingkah laku, perbuatan atau kegiatan
penyampaian yang mengandung arti atau makna, merupakan sentra dari segala
sesuatu yang dilakukan. Komunikasi akan menjadi buruk karena adanya hambatan
komunikasi atau karena tidak terjadi komunikasi. Berhasil atau tidak suatu
komunikasi adalah akibat langsung dari kemampuan atau ketidakmampuan untuk
berkomunikasi (Robbins,1986).
Dalam berkomunikasi orang dapat berbuat, berfikir atau merasakan suatu
cara tertentu tentang adanya respons atau tanggapan orang yang diajak
berkomunikasi. Respons dari lawan bicara kita adalah umpan balik yang dapat
ditanggapi oleh penerima, sepanjang reaksi dari respons dipahami oleh pemberi
dan penerima respons. Respons dapat terjadi secara sengaja dan dapat pula terjadi
secara tidak sengaja dari bentuk komunikasi yang digunakan (Effendy, 2003).
Komunikator yang efektif harus peka terhadap semua tanda-tanda yang
memberitahu atau mengisyaratkannya agar dapat bereaksi kepada pendengarnya.
28
Untuk mencapai komunikasi yang efektif, umpan balik sangat diperlukan.
Namun umpan balik tidak selalu memberikan hasil yang positif, karena
kendalanya umpan balik adalah gangguan. Seringkali kita menghadapi
umpanbalik dalam suatu komunikasi, tetapi kemudian tidak melakukan sesuatu
untuk
mendorong
timbulnya
penerimaan
dari
umpan
balik
tersebut
(Robbins,1986).
Dalam kehidupan sosial, komunikasi mempunyai kemampuan untuk
mengubah masyarakat. Sebaliknya, individu dapat juga menyesuaikan diri dengan
kelompoknya melalui komunikasi. Dengan demikian, arti khusus dari komunikasi
sosial adalah sejauh mana akibat sosial yang ditimbulkannya dari kegiatan
komunikasi yang dilakukan.
2.3.2 Proses komunikasi
Proses komunikasi adalah bagaimana komunikator menyampaikan pesan
kepada komunikannya, sehingga dapat menciptakan suatu persamaan makna
antara komunikan dengan komunikatornya. Proses komunikasi ini bertujuan untuk
menciptakan komunikasi yang efektif (Vardiyansah,2004).
Proses komunikasi dapat terjadi apabila ada interaksi antar manusia dan
ada penyampaian pesan untuk mewujudkan motif komunikasi. Tahapan proses
komunikasi adalah sebagai berikut : (a) penginterprestasian, hal yang
diinterpretasikan adalah motif komunikasi, terjadi dalam diri komunikator.
Artinya, proses komunikasi tahap pertama bermula sejak motif komunikasi
muncul hingga akal budi komunikator berhasil menginterpretasikan apa yang ia
pikir dan rasakan ke dalam pesan (masih abstrak). Proses penerjemahan motif
29
komunikasi ke dalam pesan disebut interpreting, (b) penyandian, tahap ini masih
ada dalam komunikator dari pesan yang bersifat abstrak berhasil diwujudkan oleh
akal budi manusia ke dalam lambang komunikasi. Tahap ini disebut encoding,
akal budi manusia berfungsi sebagai encorder, alat penyandi, merubah pesan
abstrak menjadi konkret, (c) pengiriman, proses ini terjadi ketika komunikator
melakukan tindakan komunikasi, mengirim lambang komunikasi dengan peralatan
jasmaniah yang disebut transmitter atau alat pengirim pesan, d) perjalanan,
tahapan ini terjadi antara komunikator dan komunikan, sejak pesan dikirim hingga
pesan diterima oleh komunikan, (e) penerimaan, tahapan ini ditandai dengan
diterimanya lambang komunikasi melalui peralatan jasmaniah komunikan,
(f) penyandian balik, tahap ini terjadi pada diri komunikan sejak lambang
komunikasi diterima melalui peralatan yang berfungsi sebagai receiver hingga
akal budinya berhasil menguraikannya (decoding), (g) penginterpretasian, ini
terjadi pada komunikan, sejak lambang komunikasi berhasil diuraikan dalam
bentuk pesan (Wiryanto,2006).
Proses komunikasi dapat dilihat pada Gambar 2.2 :
Gambar 2.2. Proses Komunikasi
30
Penegasan tentang unsur – unsur dalam proses komunikasi itu adalah
sebagai berikut :
a) Sender adalah komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau
sejumlah orang
b) Encoding adalah penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam
bentuk lambang
c) Message adalah pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang
disampaikan oleh komunikator
d) Media adalah saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator
ke pada komunikan
e) Decoding adalah pengawasan,
proses di mana komunikan menetapkan
makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya
f) Receiver adalah komunikan yang menerima pesan dari komunikator
g) Response adalah tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah
diterima pesan
h) Feedback
adalah
umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila
tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator
i) Noise adalah gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi
sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan
pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.
Effendy (2001) menyatakan agar terjadi komunikasi yang efektif, maka
komponen-komponen komunikasi perlu diperhatikan mulai dari komunikator,
pesan, saluran dan komunikan sebagai sasaran komunikasi. (a) Komunikator,
31
seorang komunikator harus terpercaya (credible), agar mendapat kepercayaan dari
komunikan. Komunikator akan mampu mengubah sikap, opini dan perilaku
komunikan melalui mekanisme daya tarik, (b) pesan, agar pesan mendapat
tanggapan baik dari komunikan hendaknya pesan dirancang sehingga dapat
menarik perhatian komunikan, pesan menggunakan lambing-lambang yang samasama dimengerti antara komunikator dan komunikan, (c) saluran, menurut teori
komunikasi pembangunan, saluran terdiri dari dua tahap. Menurut pendapat
Rogers (2003) bahwa saluran komunikan yang dapat dipergunakan dalam proses
difusi inovasi adalah media massa dan media interpersonal, (d) komunikan, dalam
bahasan tentang difusi inovasi, Rogers (2003) menyatakan bahwa komunikan
adalah suatu sistem sosial. Komunikasi adalah kumpulan unit yang berbeda secara
fungsional dan terkait dalam kerjasama.
2.3.3 Teknik komunikasi
Komunikasi merupakan proses dimana dua orang atau lebih melakukan
suatu pertukaran informasi setelah itu diharapkan akan terjadi perubahan sikap,
tingkah laku dan kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian diantara
orang-orang yang ikut pada proses komunikasi. Untuk terjadi perubahan dapat
diusahakan dengan menerapkan berbagai teknik, yaitu:
a) Teknik persuasive (bujukan/ajakan), dengan menerapkan komunikasi secara
bertahap, dari tahapan menggugah perasaan sampai tahapan yang tertinggi.
b) Teknik compulsion (paksaan), melalui usaha menciptakan kondisi atau
keadaan yang menyebabkan komunikan harus berubah pikiran.
32
c) Teknik pervasion (pengulangan), dengan melakukan komunikasi secara
berulang-ulang tentang hal yang sama yang dipandang akan dapat merubah
perilaku komunikan.
d) Teknik Coersion (paksaan secara langsung), yaitu teknik pemaksaan secara
langsung, dengan cara memberikan sanksi (hadiah atau hukuman) kepada
mereka yang menurut/melanggar anjuran yang diberikan.dengan memberikan
sanksi atau hukum.
Dari teknik tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk merubah perilaku
sasaran dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan paksaan dan persuasif. Kedua
teknik tersebut oleh Mercado (1971) dibedakan berdasarkan apanya yang berubah
terlebih dulu, sikapnya atau tindakannya. Pada teknik persuasif komunikan
berubah sikapnya lebih dulu dibandingkan tindakannya, dan pada teknik paksaan
yang berubah lebih dulu adalah tindakannya kemudian sikapnya.
Berkenaan dengan bimbingan massal teknik persuasif akan memakan
banyak waktu dan dinilai tidak efektif, karena itu digunakan teknik paksaan, tapi
perlu diingat teknik paksaan tidak sesuai dengan falsafah penyuluhan, sebab
penyuluhan bukan bersifat paksaan melainkan menumbuhkan kesadaran untuk
merubah perilaku sasaran dengan sendirinya. Memang diakui paksaan dapat
diharapkan tumbuhnya partisipasi masyarakat, tapi sering tidak langgeng dan
kurang bertanggung jawab jika timbul masalah, sedang persuasif sifatnya
langgeng dan apabila timbul masalah mereka akan bertanggung jawab untuk
mengusahakan penyelesaiannya sendiri.
33
Sehubungan dengan ini, dalam penyuluhan pertanian harus dihindari caracara pemaksaan, tetapi sejauh mungkin tetap melaksanakan teknik-teknik bujukan
dan pengulangan yang dilakukan melalui kegiatan belajar bersama.
2.4.
Perilaku
Menurut Tubbs dan Moss (2000), komunikasi yang efektif memiliki dua
konsep, yaitu konsep sederhana dan konsep umum. Konsep sederhana
menyatakan bahwa komunikasi efektif apabila berhasil menyampaikan pesan
seperti apa yang dimaksud (hal ini merupakan salah satu ukuran dari efektifitas
komunikasi). Sedangkan menurut konsep umum, komunikasi efektif apabila
rangsangan yang disampaikan atau dimaksudkan oleh pengirim / sumber berkaitan
erat dengan rangsangan yang ditangkap atau yang dipahami oleh penerima pesan.
Komunikasi antara pemandu lapang dan petani dapat berjalan efektif apabila
terjadi perubahan perilaku pada diri petani setelah menerima suatu informasi.
Perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang
dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan
psikologis, dan pola prilaku dikatakan sebagai tingkah laku yang dipakai
seseorang
dalam
melaksanakan
kegiatan-kegiatannya
(Kast
dan
Rosenzweig,1995).
Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tidak tampak seperti pengetahuan
(cognitive) dan sikap (affective) serta perilaku yang tampak seperti keterampilan
(psycomotoric) dan tindakan nyata (action). Memahami perilaku dapat dilihat
dari pendekatan kognitif, meliputi kegiatan sadar seperti berpikir, mengetahui,
memahami dan kesemuanya itu merupakan faktor yang menentukan perilaku
34
(Kast dan Rosenzweig,1995). Kognisi diartikan sebagai proses sadar kearah
mendapatkan pengetahuan.
Sikap terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar (Sarwono,1997).
Proses belajar itu sendiri dapat terjadi melalui proses kondisioning klasik atau
melalui proses belajar sosial atau karena pengalaman langsung. Terbentuknya
sikap terjadi karena adanya interaksi manusia dengan obyek tertentu
(komunikasi), serta interaksi sosial di dalam kelompok maupun diluar kelompok.
Sikap mempunyai obyek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi benda,dll) dan
mengandung penilaian (setuju, tidak setuju, suka, tidak suka).
Keterampilan dalam penyuluhan pertanian ingin mewujudkan masyarakat
(petani) memiliki pengetahuan luas tentang berbagai ilmu dan teknologi, memiliki
sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu
informasi yang baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan
keinginan dan harapan-harapannya demi tercapainya kesejahteraan keluarga
petani (Mardikanto,1993).
Petani dikatakan mempunyai kemampuan jika mempunyai keterampilan,
kecakapan atau terampil dalam melaksanakan pekerjaan badaniah dan kecakapan
berpikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari.
2.5 Kajian Penelitian Sebelumnya
Pembahasan
hasil
penelitian
terdahulu
dimaksudkan
agar
dapat
memberikan gambaran untuk memperjelas kerangka berpikir penelitian ini.
Disamping itu juga merupakan referensi yang akan digunakan dalam melakukan
evaluasi terhadap pengaruh masing-masing konsep.
35
Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2011) yaitu Faktor-Faktor yang
mempengaruhi Efektivitas Komunikasi Di Dalam Sekolah lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu Padi. Kasus di Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas komunikasi pada
program SL-PTT padi di lokasi penelitian terbukti dapat meningkatkan
pemahaman dan mengarahkan perubahan sikap petani untuk mengadopsi
teknologi yang disosialisasikan dalam program tersebut, meskipun belum optimal.
Partisipasi petani dalam program SL-PTT padi terbukti berkorelasi nyata dengan
efektivitas komunikasi dalam aspek peningkatan pengetahuan (cognitive) dan
sikap (affective). Faktor-faktor yang berhubungan (berkorelasi) dengan partisipasi
petani, meliputi: karakteristik pemandu lapang, karakteristik inovasi teknologi dan
karakteristik petani. Sedangkan, faktor saluran komunikasi tidak menunjukkan
korelasi nyata. Semua unsur karakteristik pemandu lapang (penguasaan materi,
pengalaman, kemampuan berkomunikasi) berkorelasi nyata dengan partisipasi
komunikasi. Faktor inovasi teknologi, hanya unsur dapat dicoba dan dapat diamati
yang terbukti berkorelasi. Untuk faktor karakteristik petani hanya unsur umur dan
pengalaman bertani yang berkorelasi nyata. Penelitian ini lebih menekankan pada
efektifitas komunikasi dalam SL-PTT tetapi tidak mengkaji mengenai tingkat
adopsi inovasi SL-PTT.
Penelitian yang dilakukan oleh Rangkuti,A.P. (2007) mengenai Jaringan
Komunikasi Petani Dalam Adopsi Inovasi Teknologi Kasus Adopsi Inovasi
Traktor Tangan di Desa Neglasari, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur,
Propinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Kondisi
36
karakteristik petani mempunyai pengaruh nyata terhadap jaringan komunikasi
petani dalam proses tingkat adopsi inovasi teknologi traktor tangan dalam
pengolahan lahan sawah. (2) Faktor-faktor positif dari karakterisik usahatani atas
tingkat keterkaitan, keragaman, kekompakan dan keterbukaan, menunjukkan
bahwa luas lahan garapan dan produktifitas lahan memberi konstribusi paling
besar terhadap jaringan komunikasi. (3) Faktor-faktor positif dari ciri-ciri adopsi
inovasi menunjukkan tingkat observabilitas memberi konstribusi terbesar terhadap
tingkat adopsi inovasi traktor tangan. Sebagian besar petani merasakan adopsi
inovasi traktor tangan memberi tingkat keuntungan relatif tergolong tinggi, dan
sebaliknya petani menganggap tingkat kompleksitas
traktor tangan bernilai
negatif terhadap adopsi inovasi taktor tangan. (4) Untuk mengembangkan
dinamika jaringan komunikasi di tingkat petani perlu meningkatkan peran tokoh
formal dan informal termasuk petugas penyuluh lapangan dengan mengedepankan
komunikasi konvergen dan memanfaatkan media komunikasi massa secara
optimal sebagai upaya meningkatkan kekosmopolitan petani. Penelitian ini samasama mengenai adopsi tetapi membahas inovasi teknologi yang berbeda,
penelitian ini menekankan pada adopsi inovasi traktor tangan.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya memiliki beberapa
kesamaan, namun tetap memiliki perbedaan dengan penelitian yang penulis
lakukan pada faktor-faktor yang mempengaruhi, obyek dan lokasi penelitian.
Penelitian yang dilakukan adalah Adopsi Inovasi PTT pada Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi di Kecamatan Sukawati,
Kabupaten Gianyar.
37
BAB III
KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berfikir
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi merupakan
salah satu program pemerintah khususnya Kementrian Pertanian untuk
mempercepat proses penyebaran teknologi pertanian yang dianggap dapat
meningkatkan produksi sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan sejalan
dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Program SL-PTT merupakan tempat belajar bagi petani yang dilakukan
secara langsung di lahan pertanian milik petani, dimana pada lokasi tersebut 12
komponen teknologi pertanian yang dihasilkan lembaga-lembaga penelitian
diterapkan. Dalam penerapan teknologi ini disesuaikan dengan kondisi setempat
atau spesifik lokasi.
Namun pada kenyataanya di lapangan, inovasi
pengelolaan tanaman
terpadu yang telah dipelajari pada sekolah lapang tidak sepenuhnya dapat
diterapkan oleh petani. Berpijak dari kenyataan ini perlu dicari faktor penyebab
adopsi inovasi PTT di tingkat petani pelaksana SL-PTT di Kecamatan Sukawati.
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan studi teoritik dan empirik maka dapat disusun kerangka
konseptual tentang variabel-variabel penelitian serta
pengaruhnya. Pada
penelitian ini dibagi menjadi dua peubah yaitu peubah endogen dan eksogen.
Peubah eksogen terdiri dari karakteristik petani, kompetensi penyuluh dan sifat
38
inovasi PTT sedangkan peubah
endogen terdiri dari dua peubah yaitu perilaku
petani dan adopsi inovasi PTT. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh peubah
karakteristik petani, kompetensi penyuluh dan sifat inovasi terhadap perilaku
petani dan juga pengaruhnya terhadap adopsi inovasi PTT. Penelitian ini juga
untuk mengetahui pengaruh perilaku petani terhadap adopsi inovasi PTT. Adopsi
inovasi PTT diukur dengan menggunakan komponen-komponen PTT yang
dianjurkan oleh Dinas Pertanian, Perhutanan dan Perkebunan Kabupaten Gianyar.
Kerangka konsep penelitian ini dapat diilustrasikan pada Gambar 3.1.
Karakteristik
Petani
(X1)
Perilaku
Petani
(Y1)
Kompetensi
Penyuluh
(X2)
Sifat
Inovasi PTT
(X3)
Adopsi
Inovasi
PTT (Y2)
(Y2)
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Adopsi Inovasi PTT Padi
Untuk memperjelas kerangka konsep mengenai pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen lebih detil pada Gambar 3.2.
39
p1
p2
p3
x11
x12
PETANI
x13
Pengetahuan
x14
x15
k1
k2
k3
X2.1
PERILAKU
k4
si1
si2
si3
si4
si5
si6
si7
si8
si9
si10
si11
Sikap
k5
m1
m2
m3
X2.2
PENYULUH
m4
si12
m5
t1
t2
t3
t1
t2
Keterampilan
X2.3
t3
t4
v1
var
t5
v2
mutu
or
x31
x32
p4
p5
p6
p7
p8
p9
p10
p11
p12
p13
ta
1
INOVASI
pu
x33
x34
ADOPSI
x35
pht
olah
o1
o2
ta1
ta2
ta3
pu1
pu2
pu3
pu4
ht1
ht2
ht3
ht4
muda
satu
air
a1
a2
a3
siang
si1
si2
panen
Gambar 3.2
Model SEM dengan PLS Adopsi Inovasi PTT Padi
t4
t5
t6
t7
t8
t9
t10
t11
t12
40
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan literatur yang tertuang dalam bab tinjauan pustaka, kerangka
berpikir dan konsep penelitian, maka hipotesis yang harus diuji kebenarannya
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Hipotesis 1 (H1) : Karakteristik petani berpengaruh nyata terhadap perilaku
petani.
Hipotesis 2 (H2) : Kompetensi penyuluh berpengaruh nyata terhadap perilaku
petani.
Hipotesis 3 (H3) : Sifat Inovasi
PTT
berpengaruh nyata terhadap perilaku
petani.
Hipotesis 4 (H4) : Karakteristik petani berpengaruh nyata terhadap adopsi inovasi
PTT.
Hipotesis 5 (H5) : Kompetensi penyuluh berpengaruh nyata terhadap adopsi
inovasi PTT.
Hipotesis 6 (H6) : Sifat Inovasi PTT berpengaruh nyata terhadap adopsi inovasi
PTT.
Hipotesis 7 (H7) : Perilaku petani berpengaruh nyata terhadap adopsi inovasi
PTT.
41
Download