BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945. Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No.7 /1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Bagi Indonesia, pangan diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Beras memiliki nilai strategis dalam bidang ekonomi (penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi pedesaan), lingkungan (menjaga tata guna air dan udara bersih) dan sosial politik (perekat bangsa, ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin. Berbagai gejolak dapat terjadi jika ketahanan pangan terganggu, dengan pertimbangan pentingnya beras maka pemerintah selalu berupaya meningkatkan ketahanan pangan dari produksi dalam negeri. Kenaikan produktivitas merupakan kunci utama untuk meningkatkan produksi padi. Komoditas padi merupakan komoditas pangan utama, dan merupakan salah satu komoditi unggulan dalam empat sukses program Kementrian Pertanian, guna mendukung program swasembada pangan. Pemerintah bertekad mempercepat upaya peningkatan produksi padi nasional, untuk memenuhi kebutuhan pangan 1 2 yang terus meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Gagasan tersebut diimplementasikan melalui Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), yang dimulai pada tahun 2007. Salah satu strategi yang diterapkan dalam program P2BN adalah meningkatkan produktivitas padi melalui penerapan pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan perkembangan ilmu teknologi, Badan Litbang telah menghasilkan dan mengembangkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), yang ternyata mampu meningkatkan produktivitas padi serta lebih efisien. Dalam upaya pengembangan PTT secara nasional, Departemen Pertanian meluncurkan Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Program SL-PTT merupakan program nasional pemerintah Indonesia sejak tahun 2008. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pangan nasional khususnya padi. Pada awal tahun 2011 total luas areal padi di Indonesia mencapai 12.879.039 Ha, produksi mencapai 64.329.329 ton dengan produktivitas hanya mencapai 49 kwintal per hektar, jauh dari standar yang diharapkan yakni dapat menghasilkan lebih dari 100 kwintal per hektar. Produksi padi Provinsi Bali tahun 2011 sebesar 858.316 ton dengan produktivitas sebesar 56,25 kwintal per hektar dan pada tahun 2012 produksi padi menjadi 865.554 ton dengan produktivitas 58,09 kwintal per hektar. Luas areal SL-PTT di Provinsi Bali pada tahun 2012 seluas 33.900 Ha, dengan luas tanam 33.375 Ha dan realisasi panen seluas 28.115 Ha. Berdasarkan total ubinan di seluruh kabupaten diperoleh nilai produktivitas pada lokasi SL-PTT sebesar 70,60 kwintal per hektar meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 64,20 kwintal per 3 hektar. Pada tahun 2012 dari sembilan kabupaten yang ada di Provinsi Bali, Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten yang memperoleh program SL-PTT padi non hibrida seluas 5.000 hektar (Distan Provinsi Bali,2012). Kabupaten Gianyar memiliki luas areal sawah sebesar 14.732 hektar pada tahun 2011 dan setiap tahunnya cenderung terjadi alih fungsi lahan, sehingga diperlukan upaya-upaya peningkatan produksi padi sejalan dengan kebutuhan yang semakin meningkat. Berdasarkan data statistik Distanhutbun Kabupaten Gianyar dapat diketahui perkembangan produksi padi pada tahun 2012 sebesar 173.593 ton gabah kering giling dengan produktivitas sebesar 58,08 kwintal per hektar dan pada tahun 2013 menjadi sebesar 185.123 ton gabah kering giling dengan produktivitas sebesar 59,38 kwintal per hektar. Berdasarkan perkembangan produktivitas yang ada di Kabupaten Gianyar yang masih rendah maka perlu upaya yang terfokus, sinergi dan terintegrasi dari segi pembinaan maupun pembiayaan. Oleh karena itu upaya peningkatan produksi padi tahun 2012 difokuskan pada penerapan SL-PTT padi di Kabupaten Gianyar yang tersebar di 7 kecamatan termasuk Kecamatan Sukawati. Kecamatan Sukawati sangat berpotensi untuk ditingkatkan produksi tanaman padi, mengingat penggunaan lahan untuk sawah terluas dibandingkan kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Gianyar. Selain itu penerapan teknologi SL-PTT sangat berpeluang untuk dikembangkan di Kecamatan Sukawati, mengingat jumlah subak yang paling banyak dibandingkan kecamatan lainnya. Berdasarkan data statistik Distanhutbun Kabupaten Gianyar tahun 2012, 4 jumlah subak yang ada di Kecamatan Sukawati sebanyak 91 subak dengan luas lahan sawah keseluruhan 2.705 hektar. Produktivitas di Kecamatan Sukawati masih dibawah target 100 kwintal per hektar, oleh sebab itu perlu upaya peningkatan produksi dan produktivitas melalui penerapan teknologi secara terpadu. Pada tahun 2012 Dinas Pertanian, Perhutanan dan Perkebunan Kabupaten Gianyar mengalokasikan Program SL-PTT di 33 subak yang tersebar pada 12 (dua belas) Desa Di Kecamatan Sukawati. Berdasarkan data BPS Kabupaten Gianyar tahun 2011, Kecamatan Sukawati memiliki luas tanam 6.319 hektar, luas panen 6.556 hektar, produksi 37.268,46 ton dan produktivitas 56,85 kwintal per hektar. Data luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas tiap subak di Kecamatan Sukawati dapat dilihat pada tabel 1.1 Tabel 1.1 Luas Tanam, Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Dirinci per Desa Tahun 2011 di Kecamatan Sukawati No Desa Luas Tanam (Ha) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Batubulan Batubulan Kangin Ketewel Guwang Sukawati Celuk Singapadu Singapadu Tengah Singapadu Kaler Batuan Batuan Kaler Kemenuh Jumlah 635 448 929 484 624 323 402 314 305 409 363 1.083 6.319 Luas Panen (Ha) 571 509 1.229 605 335 513 326 299 250 441 366 1.112 6.556 Produksi (Ton) Produktivitas (Kw/Ha) 3.381,52 2.657,49 8.387,93 3.433,68 1.907,16 3.233,95 1.727,47 1.487,82 1.302,75 2.485,92 1.803.65 7.254,69 37.268,46 59.22 52.21 68.25 56.76 56.93 63.04 52.99 49.76 52.11 56.37 49.28 65.24 56.85 5 SL-PTT merupakan sekolah lapang bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan. SL-PTT merupakan sarana petani dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan pengamatan langsung, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan serta mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi, terutama dalam usahatani padi dengan mengkaji secara bersama kelompok petani. Kegiatan SL-PTT diharapkan mampu memperbaiki pemahaman petani dan kelompok tani mengenai pentingnya inovasi teknologi dengan benar. Dalam melaksanakan kegiatan SL-PTT didasarkan pada prinsip partisipatif, petani ikut berperan aktif dalam penentuan teknologi sesuai kondisi setempat, serta meningkatkan kemampuan melalui pembelajaran di laboratorium lapangan. Prinsip kedua spesifik lokasi dalam penerapan teknologi perlu disesuaikan dengan lingkungan sosial, budaya dan ekonomi petani setempat. Prinsip ketiga terpadu antara sumberdaya tanaman, tanah dan air dikelola dengan baik secara terpadu dan berkelanjutan. Prinsip keempat sinergis atau serasi dalam pemanfaatan teknologi terbaik memperhatikan keterkaitan antar komponen teknologi yang saling mendukung. Prinsip kelima dinamis, penerapan teknologi selalu disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan iptek serta kondisi sosial ekonomi setempat. 6 SL-PTT bisa diartikan sebagai suatu tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan, dan menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis dan berwawasan lingkungan, sehingga usahataninya menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan berkelanjutan. Melalui Program SLPTT, akan terjadi komunikasi antara pemandu lapang sebagai pembawa pesan dengan petani sebagai penerima pesan. Program ini diharapkan dapat mempercepat penerapan teknologi dari peneliti ke petani peserta kemudian berlangsung adopsi secara alamiah dari alumni SL-PTT kepada petani. Seiring perjalanan waktu dan tahapan SL-PTT, petani merasa memiliki PTT yang dikembangkan yang pada akhirnya tercapai peningkatan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Program SL-PTT di Kecamatan Sukawati sudah dilaksanakan sejak tahun 2008, namun kenyataanya, produksi padi yang dicapai masih dibawah rata-rata yaitu kurang atau sama dengan enam ton per hektar belum sebanding dengan potensi lahan yang ada di petani (Distanhutbun,2012). Penerapan inovasi PTT oleh petani diduga belum optimal dan penggunaan input produksi atau sumber daya yang ada belum dimanfaatkan secara efisien. Keadaan ini menarik bagi peneliti untuk mempelajari seberapa jauh adopsi inovasi PTT padi di Kecamatan Sukawati dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses adopsi. 7 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana perilaku petani tentang inovasi PTT di Kecamatan Sukawati ? 2. Bagaimana adopsi inovasi PTT di Kecamatan Sukawati ? 3. Bagaimana pengaruh karakteristik petani, kompetensi penyuluh, sifat-sifat inovasi PTT terhadap perilaku petani dan adopsi inovasi di Kecamatan Sukawati ? 4. Bagaimana pengaruh perilaku petani terhadap adopsi inovasi PTT di Kecamatan Sukawati ? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Mendiskripsikan perilaku petani dan adopsi inovasi PTT di Kecamatan Sukawati. 2. Menganalisis pengaruh faktor karakteristik petani, kompetensi penyuluh dan sifat inovasi PTT terhadap perilaku petani tentang PTT. 3. Menganalisis pengaruh faktor karakteristik petani, kompetensi penyuluh dan sifat inovasi PTT terhadap adopsi inovasi PTT di Kecamatan Sukawati. 4. Menganalisis pengaruh faktor perilaku terhadap adopsi inovasi PTT di Kecamatan Sukawati. 8 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi PTT padi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti-peneliti lainnya yang melakukan penelitian dengan obyek yang sama. 1.4.2 Manfaat praktis Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi penyuluh, dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam memberikan penyuluhan serta dapat menjadi acuan dalam mengintroduksi teknologi spesifik lokasi, berdasarkan kondisi sosial, ekonomi dan budaya petani. 2. Bagi Pemerintah, sebagai bahan evaluasi terkait dalam menyusun perencanaan dan pelaksanaan SL-PTT sehingga bisa menetapkan kebijakan strategis dan langkah-langkah mempercepat adopsi inovasi PTT melalui SLPTT di tingkat petani. 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) 2.1.1 Inovasi PTT Pengelolaan Tanaman Prinsip Terpadu (PTT) adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT) dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani dan kelestarian lingkungan. PTT dirancang berdasarkan pengalaman implementasi berbagai sistem intensifikasi padi yang pernah dikembangkan di Indonesia (Deptan,2008). Prinsip PTT mencakup empat unsur yaitu integrasi, interaksi, dinamis dan partisipatif. a) Integrasi, dalam implementasinya dilapangan PTT mengintegrasikan sumber daya lahan, air, tanaman, OPT dan iklim untuk mampu meningkatkan produktivitas. b) Interaksi, PTT berlandaskan pada hubungan sinergis atau interaksi antara dua atau lebih komponen teknologi produksi. c) Dinamis, PTT bersifat dinamis karena selalu mengikuti perkembangan teknologi dan penerapannya disesuaikan dengan keinginan dan pilihan petani. Oleh karena itu PTT selalu bercirikan spesifik lokasi. Teknologi PTT senantiasa memperhatikan lingkungan fisik, biofisik, iklim dan kondisi sosial ekonomi petani setempat. d) Partisipatif, PTT membuka ruang bagi petani untuk memilih, mempraktekkan dan bahkan memberikan saran kepada penyuluh dan peneliti untuk menyempurnakan PTT serta menyampaikan pengetahuan yang dimiliki kepada petani yang lain. 10 SL-PTT adalah bentuk sekolah yang seluruh proses belajar mengajarnya dilakukan dilapangan. Hamparan sawah milik petani peserta program penerapan PTT disebut hamparan SL-PTT, sedangkan hamparan sawah tempat praktek sekolah lapang disebut laboratorium lapang (LL). Sekolah lapang seolah-olah menjadikan petani peserta sebagai murid dan pemandu lapang (PL I atau PL II) sebagai guru. Namun pada sekolah lapang tidak dibedakan antara guru dan murid karena aspek kekeluargaan lebih diutamakan, sehingga antara “guru dan murid” saling memberi pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman (Deptan,2008). Penciri SL-PTT adalah antara peserta dan pemandu saling memberi dan menghargai, perencanaan dan pengambilan keputusan dilakukan bersama dengan kelompok tani (poktan) atau gapoktan, komponen teknologi yang akan diterapkan berdasarkan hasil PRA (Participatory Rural Appraisal) yang dilakukan oleh petani peserta. Dalam SL-PTT pemandu tidak mengajari petani tetapi petani belajar dengan inisiatif sendiri, pemandu sebagai fasilitator memberikan bimbingan. Materi latihan, praktek dan sarana belajar semua ada di lapangan, kurikulum yang dipelajari dirancang hanya satu musim tanam sehingga dalam periode tersebut diharapkan terdapat 10-18 kali pertemuan antara peserta dengan pemandu. SL-PTT memiliki tujuan utama untuk mempercepat alih teknologi dari peneliti dan narasumber lainnya. Narasumber memberi ilmu dan teknologi yang telah dikembangkan kepada pemandu lapang I (PL I) sebagai Training of Master Trainer (TOMT) PL I terdiri dari penyuluh pertanian, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) dan Pengawas Benih Tanaman (PBT) tingkat 11 provinsi yang telah dilatih di tingkat nasional. Selanjutnya PL I menurunkan IPTEK tersebut kepada PL II yang terdiri dari penyuluh pertanian, POPT tingkat kabupaten/kota pelatihannya diselenggarakan di provinsi. Kemudian untuk pelatihan pemandu lapang ditingkat kecamatan/desa diselenggarakan di kabupaten atau kota dengan materi pelatihan diberikan oleh narasumber dan PL II. Melalui SL-PTT ini diharapkan terjadi percepatan penyebaran IPTEK dari peneliti ke petani peserta, seiring dengan waktu diharapkan paket teknologi spesifik lokasi dapat diterapkan petani. 2.1.2 Mekanisme Pelaksanaan SL-PTT Padi di Kabupaten Gianyar Pelaksanaan SL-PTT terdiri atas beberapa tahap diantaranya tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengamatan, tahap evaluasi pelaksanaan SLPTT dan laporan. Untuk persiapan SL-PTT diantaranya pemilihan desa dan hamparan lahan sawah seluas 25 Ha, beserta kelompok tani. Dalam hamparan sawah seluas 25 ha terdapat 1 ha yang merupakan laboratorium lapangan (LL). Selain itu dilakukan pemilihan petani peserta, tempat dan area (LL) bahan dan alat belajar, materi dan wakktu belajar. Persiapan ini dibahas ditingkat desa dan kelompok tani. Pertemuan di tingkat desa atau kecamatan dilakukan untuk mendapat dukungan dari aparat desa dan pejabat kecamatan dalam hal penentuan lokasi, jumlah dan nama calon peserta, juga waktu pertemuan dikelompok tani. Pertemuan persiapan berikutnya dilaksanakan di tingkat kelompok tani untuk menginventarisasi kelompok tani, nama dan luas garapan masing-masing petani di kawasan SL-PTT seluas 25 ha. Dalam pertemuan dibicarakan waktu pelaksanaan 12 SL-PTT Padi, kegiatan mingguan, lokasi laboratorium lapangan, tempat belajar, materi pelajaran dan PRA. Dalam kelompok tani dilakukan pembagian kelompok tani menjadi sub-sub kelompok. Perkelompok anggotanya 20-30 petani. Pertemuan di tingkat petani dilakukan paling lambat tiga minggu sebelum SLPTT padi dimulai. Tahap pelaksanaan, proses belajar dalam SL-PTT berlangsung secara periodik menurut stadia tanam, aktivitas pengolahan hama dan penyakit tanaman padi dan kemungkinan terjadinya anomali iklim. Untuk itu pertemuan periodik dimulai beberapa minggu sebelum tanam untuk melihat potensi, kendala dan peluang melalui pelaksanaan PRA. Pertemuan berikutnya pada saat pengolahan tanah, pembuatan, pesemaian, pemupukan, pengairan dan pada saat tanaman padi dalam fase anakan maksimum, primodia, bunting, berbunga, pengisian bulir, panen dan pasca panen. Proses belajar mengajar pada SL-PTT dilakukan sesuai kesepakatan sehingga tidak mengganggu aktivitas petani mencari nafkah dan untuk kelancarannya dibuat jadwal pengamatan agroekosistem (Deptan,2008) Distanhutbun Kabupaten Gianyar (2012), SL-PTT merupakan salah satu cara untuk mengenalkan inovasi teknologi spesifik lokasi secara partisipatif kepada masyarakat tani. Dalam pelaksanaan SL-PTT terdapat 2 komponen teknologi, yaitu komponen dasar dan komponen pilihan. Komponen teknologi dasar yaitu teknologi yang sangat dianjurkan untuk diterapkan disemua lokasi padi sawah. Komponen teknologi ini terdiri atas : 13 a) Tanam Varietas Padi Unggul Varietas padi yang unggul urutan paling pertama dalam melakukan pendekatan SL-PTT padi karena memakai varietas padi unggul memiliki kelebihan hasil tinggi, umur tanaman pendek, jumlah anakannya sangat produktif, tanggap terhadap pemupukan, nasinya pulen, dapat menyesuaikan diri terhadap iklim dan jenis tanah setempat, memiliki harga yang tinggi dipasar lokal dan toleran terhadap hama dan penyakit ( Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008). b) Benih Bermutu dan berlabel Benih bermutu adalah benih yang sehat, bersih dan sehat atau benih yang berlabel biru karena dengan benih bermutu akan menghasilkan bibit yang sehat dan dapat menghasilkan produksi yang seragam dan tinggi (BPTP Jatim, 2012). c) Pemberian Bahan Organik Bahan organik merupakan bahan yang berasal dari limbah tanaman, kotoran hewan atau hasil pengomposan seperti kotoran sapi, kotoran ayam, jerami atau sisa tanaman lain, pupuk hijau dan hasil pangkasan tanaman kacang-kacangan sehingga setelah diolah sedemikian rupa akan dapat menjadi pupuk organik. Pada kegiatan SL-PTT ini diharapkan petani melakukan pengembalian jerami kesawah setelah panen bukan menjual atau membakar jerami tetapi membenamkan ketanah untuk dijadikan kompos. 14 d) Pengaturan populasi tanam secara optimum Penanaman sebaiknya dilakukan secara serempak, sebagai ukuran umum untuk lahan yang subur dan pengairan cukup, populasi tanaman dianjurkan agak jarang sebaliknya pada tanah kurang subur populasinya lebih padat. Cara tanam yang dianjurkan adalah tanam pindah jajar legowo. Tanam pindah jajar legowo ini merupakan cara tanam berselang seling. Tanam pindah dengan sistem jajar legowo ini memiliki kelebihan : pertama, menjadikan semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir galengan sehingga tanaman mendapat efek samping (border effect), dimana tanaman yang mendapatkan efek samping ini produksinya lebih tinggi daripada tidak mendapatkan efek samping ditengah petakan sawah. Kedua, pada musim hujan dapat mengurangi kelembaban disekitar rumpun tanaman, sehingga dapat mengurangi serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Ketiga, memudahkan pemeliharaan tanaman yang meliputi penyiangan, pengendalian hama, penyakit dan gulma karena terdapat ruangan yang cukup lebar untuk pergerakan pekerja. Keempat, memudahkan dan menghemat pemupukan, karena pupuk tidak disebar merata keseluruh areal sawah, Disamping kelebihan juga memiliki kekurangan yang sering dijumpai dilapangan seperti membutuhkan tenaga tanam lebih banyak, sedang sistem pengupahan tenaga tanamnya umumnya dilakukan secara borongan karena rumit dan memiliki keahlian tertentu. e) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah 15 Penggunaan pupuk dalam penerapan paket SL-PTT diharapkan melaksanakan secara hemat dan bijaksana dengan menentukan takaran, waktu dan cara pemupukan yang tepat menurut lokasi dan musim tanam dengan tujuan untuk menambah hara yang kurang sehingga diperoleh keseimbangan ketersediaan hara bagi tanaman agar dihasilkan tinggkat efesiensi pemupukan yang tinggi. Berdasarkan anjuran rekomendasi pemupukan dari Distanhutbun Kabupaten Gianyar penggunaan pupuk Urea 2 kg per are, pupuk NPK 2 kg per are dan penggunaan pupuk organik minimal 3 kg per are. f) Pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan Pendekatan PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Prinsip pengendalian hama dan penyakit secara terpadu dalam SL-PTT padi dilakukan dengan menerapkan kaidah pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) yang memiliki strategis pengendalian sebagai berikut menggunakan varietas yang tahan, menanam tanaman yang sehat termasuk pengendalian dari aspek kultur teknis seperti : pola tanam yang tepat, pergiliran tanaman, waktu tanam yang tepat, pengamatan berkala dilapangan, pemanfaatan musuh alami (predator) seperti musuh alami, pengendalian secara mekanik, pengendalian secara fisik dan penggunaan pestisida hanya bila diperlukan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008). Komponen teknologi pilihan yaitu teknologi yang disesuaikan dengan kondisi, kemauan dan kemampuan petani setempat. Teknologi ini dapat diterapkan seluruhnya, sebagian atau ada komponen yang dimodifikasi berdasarkan hasil keputusan bersama antara petugas dengan petani dengan 16 mempertimbangkan potensi, keinginan dan peluang keberhasilannya. Teknologi ini terdiri atas : a) Pengolahan tanah Pengolahan tanah bertujuan untuk mendapatkan pelumpuran yang sempurna sebagai media tumbuh yang baik dan sekaligus sebagai tindakan awal pengendalian gulma. Pengolahan tanah ini disesuaikan dengan jenis tanah sehingga ditiap tempat perlakuannya tidak bisa disamakan. b) Penggunaan bibit muda Rekomendasi dengan pola pendekatan SL-PTT tanam bibit muda sangat dianjurkan sekali yaitu berumur 15-21 hari setelah tanam yang dicirikan dengan tumbuhnya empat lembar helai daun muda. Keuntungan menanam bibit yang masih muda adalah bibit akan cepat kembali pulih, akar akan lebih kuat dan dalam, tanaman menghasilkan anakan lebih banyak,tanaman tidak mudah rebah, tanaman akan lebih tahan kekeringan dan tanaman menyerap pupuk lebih hemat sesuai kebutuhan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008) c) Tanam bibit 1-3 batang per lubang Penanaman dengan menggunakan bibit 1-3 batang per lubang untuk menghemat penggunaan bibit dengan populasi minimum diharapkan 250.000/rumpun/ha. Pertumbuhan bibit akan lebih baik karena tidak terjadi persaingan makanan dalam satu lubang sehingga pertumbuhan tanaman padi lebih sehat. 17 d) Pengairan secara efektif dan efesien Tanaman padi bukan termasuk tanaman air yang memerlukan air terlalu banyak pada setiap pertumbuhannya, diharapkan diatur secara efektif dan efesien sehingga akan dapat memperbaiki aerasi tanah. Pengairan terus menerus dapat dilakukan pada tanah-tanah yang sarang dan kondisi air irigasinya sulit dilakukan. e) Penyiangan dengan landak atau gasrok Penyiangan dengan landak dan gasrok bertujuan untuk mengendalikan gulma secara tepat dan bijaksana. Gulma merupakan rumput atau tumbuhan pengganggu dapat dikendalikan dengan cara mekanik. Penyiangan gulma diperlukan untuk mengurangi persaingan antara gulma dengan tanaman padi, memutus perputaran hidup gulma, mencegah terbentuknya tempat berkembang bagi serangga hama dan penyakit, mencegah tersumbatnya saluran dan aliran air irigasi dan ada beberapa jenis gulma yang akarnya dapat mengeluarkan racun bagi akar tanaman padi. f) Penanganan Panen dan Pasca Panen dengan baik Panen dan pasca panen akan sangat berpengaruh terhadap hasil karena kehilangan hasil dan penurunan mutu selama proses panen dan pasca panen masih tinggi yaitu sekitar 20 % disamping itu juga akan dapat menyebabkan kualitas benih rendah. Oleh sebab itu sangat dianjurkan panen tepat waktu dan gabah segera dirontokkan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2008). 18 2.2 2.2.1 Adopsi Inovasi Pengertian adopsi Inovasi Menurut Rogers (2003) inovasi adalah suatu ide, penerapan atau praktek teknologi atau sumber yang dianggap baru oleh seseorang. Sebuah inovasi biasanya terdiri dari dua komponen yaitu komponen ide dan komponen obyek yang berupa aspek material atau produk fisik dari ide tersebut. Menurut Soekartawi (1988) inovasi adalah suatu ide yang dipandang baru oleh sesorang, karena latar belakang seseorang ini berbeda-beda maka di dalam menilai secara obyektif tentang suatu ide baru yang dimaksud itu adalah relatif sekali sifatnya. Adopsi adalah proses mental dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru. Adopsi juga didefinisikan sebagai proses mental seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi terjadi dalam diri individu. Adopsi dalam kaitannya dengan penyuluhan pertanian adalah suatu proses yang terjadi pada pihak sasaran (petani) sejak sesuatu hal baru diperkenalkan sampai orang tersebut menerapkan (mengadopsi) hal baru tersebut (Rogers,2003). Selanjutnya menurut Mosher (1991) bahwa adopsi suatu inovasi merupakan proses yang ditunjukkan, mempertimbangkan dan akhirnya menolak atau mempraktekkan inovasi tertentu. Adopsi dan keputusan-keputusan yang diambil menyangkut perilaku individual. Sehingga cepat lambatnya proses adopsi akan tergantung dari sifat dinamika sasaran, baik dinamika pengalaman, pengetahuan, interaksi sosial, komunikasi sosial dan belajar sosial. 19 2.2.2 Proses adopsi inovasi Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang. Keputusan inovasi adalah proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolak, dan kemudian mengukuhkannya (Rogers, 2003). Proses keputusan inovasi berlangsung melalui lima tahap yaitu : a) Mengetahui, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mengetahui adanya suatu inovasi dan memperoleh beberapa pengertian mengenai berfungsinya inovasi itu secara umum. b) Berminat, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya membentuk sikap berkenaan atau tidak berkenaan suatu inovasi dan berusaha mencari informasi yang lebih banyak tentang keberadaan inovasi itu. c) Keputusan, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya berada dalam kegiatan penilaian terhadap inovasi, dihubungkan dengan dirinya saat sekarang dan di masa yang akan datang yang mengarah pada pemilihan untuk menerima atau menolak suatu inovasi. d) Pelaksanaan, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mulai menggunakan inovasi, meskipun dalam skala kecil. e) Konfirmasi, yaitu ketika seseorang atau unit pengambil keputusan lainnya mencari bukti-bukti untuk memperkuat keputusan yang telah diambilnya. Rogers (2003) mengatakan bahwa proses keputusan tersebut terdiri atas rentetan aktivitas dan pemilihan sepanjang waktu melalui seseorang atau suatu organisasi dalam rangka mengevaluasi suatu inovasi dan memutuskannya sesuai 20 atau tidaknya untuk dilaksanakan. Pengambilan keputusan inovasi oleh suatu organisasi atau kumpulan individu (agregate) merupakan implikasi dari proses tersebarnya teknologi baru dalam suatu daerah tertentu. Ini berarti, adopsi inovasi tersebut diukur dengan cara menilai tingkatan jumlah penggunaan dan tingkat penggunaan inovasi tersebut. Menurut Lionberger dan Gwin (1991), kelancaran proses pengambilan keputusan inovasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti keberadaan sasaran, jenis-jenis informasi yang dibutuhkan sasaran berdasarkan tahapan proses adopsinya, dan sumber-sumber atau saluran komunikasi bagi informasi sesuai dengan tahapan proses adopsinya (Gambar 2.1). Saluran Komunikasi MENGETAHUI BERMINAT KEPUTUSAN PELAKSANAAN Var. Penerima - Karakteristik sosial ekonomi - Kepribadian - Perilaku komunikasi Terima Terima Terus Lambat Terima Tolak Berhenti Tolak Terus Var. Sistem Sosial - Norma sistem sosial - Keinovatifan masyarakat - Kebutuhan yang dirasakan Ciri-ciri inovasi : - KONFIRMASI Memberi keuntungan relatif Sesuai dengan norma budaya daerah setempat Tidak terlalu rumit dilaksanakan Dapat dicoba Dapat diamati Gambar 2.1. Proses pengambilan keputusan inovasi 21 Jenis-jenis informasi inovasi yang dibutuhkan sasaran selayaknya disesuaikan dengan tahapan proses adopsinya (Rogers,1983). Pada tahap pengenalan terdapat tiga tipe informasi yang dibutuhkan, yaitu (1) informasi tentang adanya inovasi, (2) informasi teknis (cara atau prosedur penggunaan inovasi), dan (3) informasi prinsip, yakni berkenaan dengan prinsip-prinsip berfungsinya suatu inovasi. Pada tahap minat, jenis informasi yang dibutuhkan lebih kearah operasionalisasi dan kegunaan inovasi, misalnya cara bekerjanya inovasi itu, manfaatnya untuk pemakaiannya dan sebagainya (Lionberger dan Gwin,1991). Menurut Rogers (1983) Pada tahap ini seseorang akan membentuk sikap berkenaan atau tidak terhadap suatu inovasi. Berarti sasaran membutuhkan informasi ciri-ciri inovasi yaitu : (1) keuntungan relatif inovasi, (2) kesesuaian inovasi dengan sosial budaya sasaran, (3) tidak rumit dilakukan bagi sasaran, (4) dapat dicoba, dan (5) dapat diamati. Menurut Rogers (1983), pada tahap keputusan sasaran membutuhkan informasi menyangkut bahan pertimbangan untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Secara khusus menurut Lionberger dan Gwin (1991), informasi yang dibutuhkan pada tahap ini lebih bersifat saran perimbangan untuk melakukan evaluasi terhadap inovasi tersebut, seperti konsekuensi sosial, ekonomi dan budayanya; penilaian-penilaian dari orang-orang yang dipercaya terhadap inovasi tersebut, dan hasil percobaan-percobaan pada tingkat lokal/regional. Pada tahap pelaksanaan, proses keputusan inovasi tidak lagi berpusat pada aktivitas mental, tetapi sudah melibatkan perubahan perilaku sebagai pelaksanaan 22 ide-ide itu. Informasi yang dibutuhkan dalam tahap ini seperti: asal inovasi diperoleh, cara menggunakan inovasi, masalah operasional yang dihadapi, cara memecahkan masalah tersebut, dan sebagainya. Pada tahap ini jenis informasi yang dibutuhkan lebih bersifat aplikasi atau cara kerja inovasi, misalnya berapa jumlah, bentuknya, tingkatannya, waktu yang harus digunakan, frekwensinya, intervalnya dan sebagainya (Lionberger dan Gwin, 1991). Pada tahap konfirmasi, jenis informasi yang diperlukan lebih kearah hasilhasil percobaan inovasi yang telah dilakukan selama ini baik secara langsung oleh sasaran maupun oleh orang lainnya, yang akan semakin memperkuat keputusannya (Lionberger dan Gwin,1991). Proses keputusan inovasi tidak berakhir setelah orang mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi itu (Rogers,1986). Seseorang akan mencari informasi untuk menguatkan keputusannya, akan tetapi mungkin juga akan mengubah keputusannya semula jika ia memperoleh pesan-pesan yang bertentangan dengan inovasi itu. Pada tahap ini seseorang berusaha untuk menghindari kenyataan yang menyimpang dan bertentangan dengan keputusannya. Jika hasil inovasi dapat dilihat dengan cepat , maka calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap mencoba melainkan terus ke tahap adopsi. Ini bukan berarti calon pengadopsi langsung memulai dari tahap adopsi untuk menerima suatu inovasi, tetapi mereka juga menjalani tahap sebelumnya dengan waktu yang relative singkat. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) dan Rogers (1983), unsur saluran komunikasi juga berperan penting dalam mempercepat proses adopsi inovasi karena merupakan alat untuk menyampaikan ide-ide baru dari seseorang kepada 23 orang lain. Saluran komunikasi sangat penting dalam menentukan keputusan sasaran, untuk menerima atau menolak suatu inovasi. Pada dasarnya terdapat dua saluran komunikasi yaitu (Berlo,1960 ; Rogers dan Shoemaker, 1971) ; dan Rogers (1983) : (a) saluran antar pribadi, yaitu segala bentuk pertukaran pesan antar dua orang atau lebih secara langsung (tatap muka) dengan atau tanpa alat bantu yang memungkinkan semua pihak yang berkomunikasi dapat memberikan umpan balik secara langsung, dan (b) saluran media massa (baik media cetak maupun media elektronik) yang memungkinkan seseorang atau sekelompok kecil orang tertentu dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat luas. Jika dikaitkan dengan peranan masing-masing saluran komunikasi terhadap tahap-tahap proses adopsinya, maka menurut Rogers dan Shoemaker (1971), Rogers (1983) dan Lionberger dan Gwin (1991), pada tahap sadar dan minat, saluran komunikasi yang efektif yang digunakan adalah media massa karena mampu menjangkau sasaran secara cepat dan luas dalam rangka memberikan informasi dan pengertian tentang suatu inovasi. Pada tahap proses berikutnya, peran media massa kurang efektif. Selain saluran media massa, saluran antar pribadi juga berperan dalam tahap sadar dan minat, sedangkan pada tahap menilai , mencoba dan adopsi saluran antar pribadi yang paling efektif. 2.2.3 Kecepatan adopsi inovasi Kecepatan adopsi adalah waktu yang menunjukkan penerimaan inovasi oleh suatu sistem sosial. Kecepatan ini biasanya diukur dengan jumlah penerima yang mengadopsi suatu ide baru dalam suatu periode waktu tertentu (Rogers,2003). 24 Selanjutnya disebutkan bahwa peubah penjelas kecepatan adopsi suatu inovasi adalah sifat-sifat inovasi itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi yang berkaitan dengan sifat inovasinya adalah : (a) keuntungan relatif (relative advantage) yaitu inovasi akan dapat cepat diadopsi jika suatu inovasi dianggap lebih menguntungkan dari teknologi yang pernah ada sebelumnya, (b) kesesuaian (compatability) yaitu ketika suatu inovasi masih tetap konsisten dengan nilai-nilai budaya yang ada, (c) kerumitan (complexity) yaitu ketika suatu inovasi mempunyai sifat-sifat yang rumit sulit dipahami dan diikuti, (d) dapat dicoba (trialability) yaitu inovasi akan cepat diadopsi jika inovasi tersebut mudah dicoba pada kondisi dan situasi yang ada, (e) mudah diamati (observability) yaitu inovasi akan mudah diterima jika dengan cepat dapat dilihat dan dirasakan hasilnya. Kecepatan adopsi inovasi selain dipengaruhi oleh kelima sifat-sifat inovasi, juga dipengaruhi oleh hal-hal lain yang dapat menjadi peubah penjelas kecepatan adopsi adalah : (a) tipe keputusan inovasi, (b) sifat saluran komunikasi yang dipergunakan untuk menyebarluaskan inovasi dalam proses keputusan inovasi, (c) ciri-ciri sistem sosial dan (4) gencarnya usaha agen pembaharu dalam mempromosikan inovasi. Rogers (2003) menambahkan tipe keputusan inovasi yang mempengaruhi keputusan adopsi. Semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan inovasi, semakin lambat tempo adopsinya. Inovasi yang diputuskan secara otoritas (kekuasaan) diadopsi lebih cepat karena melibatkan lebih sedikit orang dalam pengambilan keputusan. Tetapi, jika bentuk kekuasaannya 25 tradisional,mungkin tempo adopsinya juga lambat. Keputusan opsional (individu) biasanya lebih cepat daripada keputusan kolektif, tetapi lebih lambat daripada keputusan otoritas. Tipe keputusan kontingen paling lambat karena melibatkan dua urutan keputusan inovasi atau lebih. Saluran komunikasi yakni alat yang dipergunakan untuk menyebarluaskan suatu inovasi. Jika saluran komunikasi interpersonal yang dipergunakan untuk menciptakan kesadaran pengetahuan inovasi, seperti terjadi dimasyarakat pedesaan kecepatan adopsi akan lambat karena penyebaran pengetahuan tidak berjalan cepat (Fisher,1989). Sifat inovasi dan saluran komunikasi saling berkaitan dalam mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Inovasi yang rumit akan lebih memuaskan apabila disebarluaskan melalui saluran media massa seperti majalah pertanian, tetapi inovasi yang dianggap rumit oleh petani maka saluran interpersonal dengan petugas penyuluh dianggap lebih tepat. Jika tidak tepat dalam memilih dan menggunakan saluran komunikasi, maka waktu pengadopsian akan lambat (Rogers,2003). Karena itu, untuk mempercepat waktu pengadopsian inovasi , seorang agen perubahan dalam hal saluran komunikasi tergantung atas campuran dari pertimbangan tahap-tahap dalam proses keputusan inovasi dan sifat-sifat inovasi menurut pengamatan dan penerima. Pada tahap pengenalan, kompleksitas dan observabilitas inovasi sangat penting. Pada tahap persuasi, keuntungan relative dan observabilitas inovasi yang perlu ditonjolkan. Sedangkan pada tahap keputusan, dapat dicobanya suatu inovasi yang paling penting (Rogers,2003). 26 Sistem sosial merupakan hal lain yang mempengaruhi kecepatan adopsi suatu inovasi terutama norma-norma sistem sosial. Dalam suatu sistem yang modern, tempo adopsi mungkin lebih cepat karena kurang ada rintanngan sikap diantara para penerima. Sedangkan dalam sistem tradisional, tempo adopsi akan lebih lambat (Rogers,2003). Kecepatan adopsi inovasi, akhirnya dipengaruhi oleh gencarnya usahausaha promosi yang dilakukan agen perubahan. Hubungan antara kecepatan adopsi dengan usaha agen perubahan tidak langsung atau linear. Pada tahap tertentu , usaha keras agen perubahan mendatangkan hasil yang lebih besar. Respons terbesar terhadap agen perubahan terjadi pada saat pemuka masyarakat mulai mengadopsi inovasi, yang terjadi antara 13-16 % pengadopsian dalam sistem sosial (Rogers,2003). Jika seseorang mengadopsi suatu inovasi, maka perubahan perilaku yang diakibatkan oleh proses pengadopsian akan mempengaruhi sistem sosialnya. Demikian juga sebaliknya jika proses pengadopsian berhenti maka sistem sosial juga akan mengikuti perubahannya. Apabila suatu inovasi telah diadopsi oleh seseorang dalam sistem sosialnya, hasilnya dapat diamati dari perubahan atribut dari inovasi tersebut seperti idenya, prosesnya ataupun teknologinya. Perkembangan inisiasi dan proses kedewasaan dari adopsi berhubungan dengan kualitas dan sumber informasi dan populasi pengadopsi (Rogers et al,2011). 27 2.3 Komunikasi 2.3.1 Pengertian komunikasi Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan, akan tetapi perlu dipahami bahwa komunikasi tidak hanya sampai pada batas penerima tetapi juga bagaimana proses pesan itu disampaikan dan diterima. Dalam model linier, komunikasi dikatakan efektif jika penerima mampu menerima pesan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh sumber. Model komunikasi linier sering juga disebut sebagai model SMCRE (Source, Message, Channel, Receiver dan Effect) (Berlo, 1960). Komunikasi juga tidak lain dari satu tingkah laku, perbuatan atau kegiatan penyampaian yang mengandung arti atau makna, merupakan sentra dari segala sesuatu yang dilakukan. Komunikasi akan menjadi buruk karena adanya hambatan komunikasi atau karena tidak terjadi komunikasi. Berhasil atau tidak suatu komunikasi adalah akibat langsung dari kemampuan atau ketidakmampuan untuk berkomunikasi (Robbins,1986). Dalam berkomunikasi orang dapat berbuat, berfikir atau merasakan suatu cara tertentu tentang adanya respons atau tanggapan orang yang diajak berkomunikasi. Respons dari lawan bicara kita adalah umpan balik yang dapat ditanggapi oleh penerima, sepanjang reaksi dari respons dipahami oleh pemberi dan penerima respons. Respons dapat terjadi secara sengaja dan dapat pula terjadi secara tidak sengaja dari bentuk komunikasi yang digunakan (Effendy, 2003). Komunikator yang efektif harus peka terhadap semua tanda-tanda yang memberitahu atau mengisyaratkannya agar dapat bereaksi kepada pendengarnya. 28 Untuk mencapai komunikasi yang efektif, umpan balik sangat diperlukan. Namun umpan balik tidak selalu memberikan hasil yang positif, karena kendalanya umpan balik adalah gangguan. Seringkali kita menghadapi umpanbalik dalam suatu komunikasi, tetapi kemudian tidak melakukan sesuatu untuk mendorong timbulnya penerimaan dari umpan balik tersebut (Robbins,1986). Dalam kehidupan sosial, komunikasi mempunyai kemampuan untuk mengubah masyarakat. Sebaliknya, individu dapat juga menyesuaikan diri dengan kelompoknya melalui komunikasi. Dengan demikian, arti khusus dari komunikasi sosial adalah sejauh mana akibat sosial yang ditimbulkannya dari kegiatan komunikasi yang dilakukan. 2.3.2 Proses komunikasi Proses komunikasi adalah bagaimana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikannya, sehingga dapat menciptakan suatu persamaan makna antara komunikan dengan komunikatornya. Proses komunikasi ini bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif (Vardiyansah,2004). Proses komunikasi dapat terjadi apabila ada interaksi antar manusia dan ada penyampaian pesan untuk mewujudkan motif komunikasi. Tahapan proses komunikasi adalah sebagai berikut : (a) penginterprestasian, hal yang diinterpretasikan adalah motif komunikasi, terjadi dalam diri komunikator. Artinya, proses komunikasi tahap pertama bermula sejak motif komunikasi muncul hingga akal budi komunikator berhasil menginterpretasikan apa yang ia pikir dan rasakan ke dalam pesan (masih abstrak). Proses penerjemahan motif 29 komunikasi ke dalam pesan disebut interpreting, (b) penyandian, tahap ini masih ada dalam komunikator dari pesan yang bersifat abstrak berhasil diwujudkan oleh akal budi manusia ke dalam lambang komunikasi. Tahap ini disebut encoding, akal budi manusia berfungsi sebagai encorder, alat penyandi, merubah pesan abstrak menjadi konkret, (c) pengiriman, proses ini terjadi ketika komunikator melakukan tindakan komunikasi, mengirim lambang komunikasi dengan peralatan jasmaniah yang disebut transmitter atau alat pengirim pesan, d) perjalanan, tahapan ini terjadi antara komunikator dan komunikan, sejak pesan dikirim hingga pesan diterima oleh komunikan, (e) penerimaan, tahapan ini ditandai dengan diterimanya lambang komunikasi melalui peralatan jasmaniah komunikan, (f) penyandian balik, tahap ini terjadi pada diri komunikan sejak lambang komunikasi diterima melalui peralatan yang berfungsi sebagai receiver hingga akal budinya berhasil menguraikannya (decoding), (g) penginterpretasian, ini terjadi pada komunikan, sejak lambang komunikasi berhasil diuraikan dalam bentuk pesan (Wiryanto,2006). Proses komunikasi dapat dilihat pada Gambar 2.2 : Gambar 2.2. Proses Komunikasi 30 Penegasan tentang unsur – unsur dalam proses komunikasi itu adalah sebagai berikut : a) Sender adalah komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang b) Encoding adalah penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang c) Message adalah pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator d) Media adalah saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator ke pada komunikan e) Decoding adalah pengawasan, proses di mana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya f) Receiver adalah komunikan yang menerima pesan dari komunikator g) Response adalah tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterima pesan h) Feedback adalah umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator i) Noise adalah gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. Effendy (2001) menyatakan agar terjadi komunikasi yang efektif, maka komponen-komponen komunikasi perlu diperhatikan mulai dari komunikator, pesan, saluran dan komunikan sebagai sasaran komunikasi. (a) Komunikator, 31 seorang komunikator harus terpercaya (credible), agar mendapat kepercayaan dari komunikan. Komunikator akan mampu mengubah sikap, opini dan perilaku komunikan melalui mekanisme daya tarik, (b) pesan, agar pesan mendapat tanggapan baik dari komunikan hendaknya pesan dirancang sehingga dapat menarik perhatian komunikan, pesan menggunakan lambing-lambang yang samasama dimengerti antara komunikator dan komunikan, (c) saluran, menurut teori komunikasi pembangunan, saluran terdiri dari dua tahap. Menurut pendapat Rogers (2003) bahwa saluran komunikan yang dapat dipergunakan dalam proses difusi inovasi adalah media massa dan media interpersonal, (d) komunikan, dalam bahasan tentang difusi inovasi, Rogers (2003) menyatakan bahwa komunikan adalah suatu sistem sosial. Komunikasi adalah kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terkait dalam kerjasama. 2.3.3 Teknik komunikasi Komunikasi merupakan proses dimana dua orang atau lebih melakukan suatu pertukaran informasi setelah itu diharapkan akan terjadi perubahan sikap, tingkah laku dan kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian diantara orang-orang yang ikut pada proses komunikasi. Untuk terjadi perubahan dapat diusahakan dengan menerapkan berbagai teknik, yaitu: a) Teknik persuasive (bujukan/ajakan), dengan menerapkan komunikasi secara bertahap, dari tahapan menggugah perasaan sampai tahapan yang tertinggi. b) Teknik compulsion (paksaan), melalui usaha menciptakan kondisi atau keadaan yang menyebabkan komunikan harus berubah pikiran. 32 c) Teknik pervasion (pengulangan), dengan melakukan komunikasi secara berulang-ulang tentang hal yang sama yang dipandang akan dapat merubah perilaku komunikan. d) Teknik Coersion (paksaan secara langsung), yaitu teknik pemaksaan secara langsung, dengan cara memberikan sanksi (hadiah atau hukuman) kepada mereka yang menurut/melanggar anjuran yang diberikan.dengan memberikan sanksi atau hukum. Dari teknik tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk merubah perilaku sasaran dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan paksaan dan persuasif. Kedua teknik tersebut oleh Mercado (1971) dibedakan berdasarkan apanya yang berubah terlebih dulu, sikapnya atau tindakannya. Pada teknik persuasif komunikan berubah sikapnya lebih dulu dibandingkan tindakannya, dan pada teknik paksaan yang berubah lebih dulu adalah tindakannya kemudian sikapnya. Berkenaan dengan bimbingan massal teknik persuasif akan memakan banyak waktu dan dinilai tidak efektif, karena itu digunakan teknik paksaan, tapi perlu diingat teknik paksaan tidak sesuai dengan falsafah penyuluhan, sebab penyuluhan bukan bersifat paksaan melainkan menumbuhkan kesadaran untuk merubah perilaku sasaran dengan sendirinya. Memang diakui paksaan dapat diharapkan tumbuhnya partisipasi masyarakat, tapi sering tidak langgeng dan kurang bertanggung jawab jika timbul masalah, sedang persuasif sifatnya langgeng dan apabila timbul masalah mereka akan bertanggung jawab untuk mengusahakan penyelesaiannya sendiri. 33 Sehubungan dengan ini, dalam penyuluhan pertanian harus dihindari caracara pemaksaan, tetapi sejauh mungkin tetap melaksanakan teknik-teknik bujukan dan pengulangan yang dilakukan melalui kegiatan belajar bersama. 2.4. Perilaku Menurut Tubbs dan Moss (2000), komunikasi yang efektif memiliki dua konsep, yaitu konsep sederhana dan konsep umum. Konsep sederhana menyatakan bahwa komunikasi efektif apabila berhasil menyampaikan pesan seperti apa yang dimaksud (hal ini merupakan salah satu ukuran dari efektifitas komunikasi). Sedangkan menurut konsep umum, komunikasi efektif apabila rangsangan yang disampaikan atau dimaksudkan oleh pengirim / sumber berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap atau yang dipahami oleh penerima pesan. Komunikasi antara pemandu lapang dan petani dapat berjalan efektif apabila terjadi perubahan perilaku pada diri petani setelah menerima suatu informasi. Perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan psikologis, dan pola prilaku dikatakan sebagai tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya (Kast dan Rosenzweig,1995). Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tidak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap (affective) serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psycomotoric) dan tindakan nyata (action). Memahami perilaku dapat dilihat dari pendekatan kognitif, meliputi kegiatan sadar seperti berpikir, mengetahui, memahami dan kesemuanya itu merupakan faktor yang menentukan perilaku 34 (Kast dan Rosenzweig,1995). Kognisi diartikan sebagai proses sadar kearah mendapatkan pengetahuan. Sikap terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar (Sarwono,1997). Proses belajar itu sendiri dapat terjadi melalui proses kondisioning klasik atau melalui proses belajar sosial atau karena pengalaman langsung. Terbentuknya sikap terjadi karena adanya interaksi manusia dengan obyek tertentu (komunikasi), serta interaksi sosial di dalam kelompok maupun diluar kelompok. Sikap mempunyai obyek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi benda,dll) dan mengandung penilaian (setuju, tidak setuju, suka, tidak suka). Keterampilan dalam penyuluhan pertanian ingin mewujudkan masyarakat (petani) memiliki pengetahuan luas tentang berbagai ilmu dan teknologi, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu informasi yang baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan-harapannya demi tercapainya kesejahteraan keluarga petani (Mardikanto,1993). Petani dikatakan mempunyai kemampuan jika mempunyai keterampilan, kecakapan atau terampil dalam melaksanakan pekerjaan badaniah dan kecakapan berpikir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari. 2.5 Kajian Penelitian Sebelumnya Pembahasan hasil penelitian terdahulu dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran untuk memperjelas kerangka berpikir penelitian ini. Disamping itu juga merupakan referensi yang akan digunakan dalam melakukan evaluasi terhadap pengaruh masing-masing konsep. 35 Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2011) yaitu Faktor-Faktor yang mempengaruhi Efektivitas Komunikasi Di Dalam Sekolah lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi. Kasus di Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Hasil penelitian menunjukkan efektivitas komunikasi pada program SL-PTT padi di lokasi penelitian terbukti dapat meningkatkan pemahaman dan mengarahkan perubahan sikap petani untuk mengadopsi teknologi yang disosialisasikan dalam program tersebut, meskipun belum optimal. Partisipasi petani dalam program SL-PTT padi terbukti berkorelasi nyata dengan efektivitas komunikasi dalam aspek peningkatan pengetahuan (cognitive) dan sikap (affective). Faktor-faktor yang berhubungan (berkorelasi) dengan partisipasi petani, meliputi: karakteristik pemandu lapang, karakteristik inovasi teknologi dan karakteristik petani. Sedangkan, faktor saluran komunikasi tidak menunjukkan korelasi nyata. Semua unsur karakteristik pemandu lapang (penguasaan materi, pengalaman, kemampuan berkomunikasi) berkorelasi nyata dengan partisipasi komunikasi. Faktor inovasi teknologi, hanya unsur dapat dicoba dan dapat diamati yang terbukti berkorelasi. Untuk faktor karakteristik petani hanya unsur umur dan pengalaman bertani yang berkorelasi nyata. Penelitian ini lebih menekankan pada efektifitas komunikasi dalam SL-PTT tetapi tidak mengkaji mengenai tingkat adopsi inovasi SL-PTT. Penelitian yang dilakukan oleh Rangkuti,A.P. (2007) mengenai Jaringan Komunikasi Petani Dalam Adopsi Inovasi Teknologi Kasus Adopsi Inovasi Traktor Tangan di Desa Neglasari, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Kondisi 36 karakteristik petani mempunyai pengaruh nyata terhadap jaringan komunikasi petani dalam proses tingkat adopsi inovasi teknologi traktor tangan dalam pengolahan lahan sawah. (2) Faktor-faktor positif dari karakterisik usahatani atas tingkat keterkaitan, keragaman, kekompakan dan keterbukaan, menunjukkan bahwa luas lahan garapan dan produktifitas lahan memberi konstribusi paling besar terhadap jaringan komunikasi. (3) Faktor-faktor positif dari ciri-ciri adopsi inovasi menunjukkan tingkat observabilitas memberi konstribusi terbesar terhadap tingkat adopsi inovasi traktor tangan. Sebagian besar petani merasakan adopsi inovasi traktor tangan memberi tingkat keuntungan relatif tergolong tinggi, dan sebaliknya petani menganggap tingkat kompleksitas traktor tangan bernilai negatif terhadap adopsi inovasi taktor tangan. (4) Untuk mengembangkan dinamika jaringan komunikasi di tingkat petani perlu meningkatkan peran tokoh formal dan informal termasuk petugas penyuluh lapangan dengan mengedepankan komunikasi konvergen dan memanfaatkan media komunikasi massa secara optimal sebagai upaya meningkatkan kekosmopolitan petani. Penelitian ini samasama mengenai adopsi tetapi membahas inovasi teknologi yang berbeda, penelitian ini menekankan pada adopsi inovasi traktor tangan. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya memiliki beberapa kesamaan, namun tetap memiliki perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan pada faktor-faktor yang mempengaruhi, obyek dan lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan adalah Adopsi Inovasi PTT pada Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. 37 BAB III KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berfikir Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi merupakan salah satu program pemerintah khususnya Kementrian Pertanian untuk mempercepat proses penyebaran teknologi pertanian yang dianggap dapat meningkatkan produksi sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Program SL-PTT merupakan tempat belajar bagi petani yang dilakukan secara langsung di lahan pertanian milik petani, dimana pada lokasi tersebut 12 komponen teknologi pertanian yang dihasilkan lembaga-lembaga penelitian diterapkan. Dalam penerapan teknologi ini disesuaikan dengan kondisi setempat atau spesifik lokasi. Namun pada kenyataanya di lapangan, inovasi pengelolaan tanaman terpadu yang telah dipelajari pada sekolah lapang tidak sepenuhnya dapat diterapkan oleh petani. Berpijak dari kenyataan ini perlu dicari faktor penyebab adopsi inovasi PTT di tingkat petani pelaksana SL-PTT di Kecamatan Sukawati. 3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan studi teoritik dan empirik maka dapat disusun kerangka konseptual tentang variabel-variabel penelitian serta pengaruhnya. Pada penelitian ini dibagi menjadi dua peubah yaitu peubah endogen dan eksogen. Peubah eksogen terdiri dari karakteristik petani, kompetensi penyuluh dan sifat 38 inovasi PTT sedangkan peubah endogen terdiri dari dua peubah yaitu perilaku petani dan adopsi inovasi PTT. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh peubah karakteristik petani, kompetensi penyuluh dan sifat inovasi terhadap perilaku petani dan juga pengaruhnya terhadap adopsi inovasi PTT. Penelitian ini juga untuk mengetahui pengaruh perilaku petani terhadap adopsi inovasi PTT. Adopsi inovasi PTT diukur dengan menggunakan komponen-komponen PTT yang dianjurkan oleh Dinas Pertanian, Perhutanan dan Perkebunan Kabupaten Gianyar. Kerangka konsep penelitian ini dapat diilustrasikan pada Gambar 3.1. Karakteristik Petani (X1) Perilaku Petani (Y1) Kompetensi Penyuluh (X2) Sifat Inovasi PTT (X3) Adopsi Inovasi PTT (Y2) (Y2) Gambar 3.1 Kerangka Konsep Adopsi Inovasi PTT Padi Untuk memperjelas kerangka konsep mengenai pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen lebih detil pada Gambar 3.2. 39 p1 p2 p3 x11 x12 PETANI x13 Pengetahuan x14 x15 k1 k2 k3 X2.1 PERILAKU k4 si1 si2 si3 si4 si5 si6 si7 si8 si9 si10 si11 Sikap k5 m1 m2 m3 X2.2 PENYULUH m4 si12 m5 t1 t2 t3 t1 t2 Keterampilan X2.3 t3 t4 v1 var t5 v2 mutu or x31 x32 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10 p11 p12 p13 ta 1 INOVASI pu x33 x34 ADOPSI x35 pht olah o1 o2 ta1 ta2 ta3 pu1 pu2 pu3 pu4 ht1 ht2 ht3 ht4 muda satu air a1 a2 a3 siang si1 si2 panen Gambar 3.2 Model SEM dengan PLS Adopsi Inovasi PTT Padi t4 t5 t6 t7 t8 t9 t10 t11 t12 40 3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan literatur yang tertuang dalam bab tinjauan pustaka, kerangka berpikir dan konsep penelitian, maka hipotesis yang harus diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Hipotesis 1 (H1) : Karakteristik petani berpengaruh nyata terhadap perilaku petani. Hipotesis 2 (H2) : Kompetensi penyuluh berpengaruh nyata terhadap perilaku petani. Hipotesis 3 (H3) : Sifat Inovasi PTT berpengaruh nyata terhadap perilaku petani. Hipotesis 4 (H4) : Karakteristik petani berpengaruh nyata terhadap adopsi inovasi PTT. Hipotesis 5 (H5) : Kompetensi penyuluh berpengaruh nyata terhadap adopsi inovasi PTT. Hipotesis 6 (H6) : Sifat Inovasi PTT berpengaruh nyata terhadap adopsi inovasi PTT. Hipotesis 7 (H7) : Perilaku petani berpengaruh nyata terhadap adopsi inovasi PTT. 41