EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Bambang Sayaka 1, Haryono2 dan Effendi Pasandaran2 1) Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2) Ekonomi hijau saat ini merupakan pasar yang sedang tumbuh yang mengoptimalkan tiga kelompok nilai, yaitu nilai sosial, lingkungan, dan finansial. Ketiganya sering disebut tiga dasar utama. Definisi ekonomi hijau adalah: (i) lestari dari sudut pandang lingkungan, dengan keyakinan bahwa biosfer merupakan sistem tertutup dengan sumber daya terbatas serta kapasitas terbatas untuk mengatur dan memperbaharui sendiri. Manusia tergantung pada sumber daya alam di bumi, sehingga harus menciptakan sistem ekonomi yang menghargai integritas dan menjamin ketahanan sistem pendukung kehidupan; (ii) adil secara sosial, berdasarkan keyakinan bahwa kebudayaan dan martabat umat manusia merupakan sumber daya yang sangat berharga yang, seperti sumber daya alam, memerlukan pengelolaan yang bertanggung jawab supaya tidak habis. Manusia harus menciptakan sistem ekonomi yang dinamis yang menjamin setiap individu memiliki akses untuk mendapatkan standar hidup yang bermartabat dan penuh kesempatan bagi perkembangan perorangan maupun masyarakat; (iii) berakar lokal, berdasarkan keyakinan bahwa hubungan otentik terhadap tempat merupakan prakondisi esensial menuju kelestarian dan keadilan. Ekonomi hijau merupakan agregat global dari komunitas individual yang memenuhi kebutuhan anggotanya melalui produksi lokal dan transaksi barang dan jasa secara bertanggungjawab.1 Ekonomi hijau merujuk pada proses rekonfigurasi bisnis dan infrastruktur untuk memperoleh manfaat lebih baik dari investasi alam, manusia, dan modal ekonomi yang pada saat bersamaan mengurangi emisi gas rumah kaca, menggali dan menggunakan sumber daya alam lebih sedikit, menciptakan lebih sedikit limbah dan mengurangi kesenjangan sosial. Pada prinsipnya ekonomi hijau dirancang untuk membantu pemerintah dalam “menghijaukan” perekonomian dengan membentuk dan memusatkan kebijakan, investasi dan pengeluaran pada sejumlah sektor, seperti teknologi bersih, energi terbarukan, pelayanan air, transportasi hijau, pengelolaan limbah, bangunan hijau, serta pertanian dan hutan lestari. Dengan demikian segala kegiatan ekonomi harus terkait erat dengan ekosistem. Penerapan ekonomi hijau dapat dijumpai pada berbagai sektor perekonomian, baik sektor pertanian maupun non-pertanian.2 Ilmu ekonomi hijau (green economics) didefinisikan sebagai metode ekonomi yang mendukung interaksi secara selaras antara alam dan manusia agar masing-masing dapat memenuhi kebutuhan secara bersamaan. Berbagai produk industri menggunakan bahan 1 2 www.globalcitizencenter.com United Nations Environment Programme EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN daur ulang yang bertujuan untuk mengurangi limbah. Moda transportasi semakin ramah lingkungan, ditandai dengan penggunaan bahan bakar yang semakin hemat serta gas buang yang menimbulkan polusi lebih sedikit atau bahkan relatif ramah lingkungan. Perikanan laut dituntut untuk memperhatikan hasil tangkapan lestari (maximum sustainable yield) dan dilarang menangkap jenis-jenis binatang laut yang dilindungi. Penebangan hutan tidak diperbolehkan secara ilegal serta harus menanam kembali sebanyak pohon yang ditebang. Penggunaan masukan untuk produksi pertanian bersifat ramah lingkungan dan limbahnya dapat didaur ulang untuk keperluan rumah tangga atau dikembalikan ke lahan pertanian. Tujuan makalah ini adalah menguraikan berbagai instrumen pemasaran produk pertanian dengan konsep ekonomi hijau untuk menunjang kelestarian lingkungan. Pemasaran Produk Strategi pemasaran produk secara umum menggunakan pendekatan 4P, yaitu product (produk), price (harga), place (tempat pemasaran, distribusi), dan promotion (promosi). Pendekatan tersebut merupakan parameter yang dikendalikan oleh manajer dalam memasarkan produknya dengan memperhatikan hambatan internal maupun eksternal dari lingkungan pemasaran. Tujuan strategi ini adalah membuat keputusan yang memusatkan keempat parameter tersebut pada konsumen di dalam pasar yang menjadi sasaran sehingga mampu menciptakan persepsi nilai dan menghasilkan respons yang positif. Strategi pemasaran tersebut ditunjukkan dalam Gambar 1). Price TARGET Product Promotion MARKET Place Gambar 1. Pemasaran dengan Strategi 4P 297 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Product (produk) Produk merujuk pada komoditas dan jasa yang dapat diukur jasa. Beberapa keputusan tentang produk yang harus dipertimbangkan meliputi merek dagang, manfaat, model, kualitas, keamanan, pengemasan, perbaikan dan dukungan, jaminan, aksesoris dan layanan. Price (harga) Beberapa keputusan tentang harga antara lain adalah penentuan harga (secara cepat, penetrasi), harga eceran yang disarankan, diskon jumlah dan penentuan harga perdagangan besar, diskon pembayaran kontan dan pembayaran awal, harga musiman, penentuan harga untuk sekelompok produk (bundling), fleksibilitas harga, dan diskriminasi harga. Place (tempat distribusi) Distribusi merupakan kegiatan untuk menyampaikan produk supaya sampai kepada konsumen. Distribusi mencakup antara lain saluran distribusi, cakupan pasar (saluran inklusif, selektif, eksklusif), pengelolaan produk dan bahan baku, pergudangan, pusat distribusi, pengolahan order, transportasi, dan logistik berlawan arah. Promotion Decisions (promosi) Dalam strategi pemasaran, promosi merupakan berbagai aspek komunikasi pemasaran, yaitu komunikasi informasi tentang produk yang diharapkan mendapatkan respons positif dari konsumen. Komunikasi pemasaran meliputi strategi promosi, iklan, penjualan langsung ke konsumen, promosi penjualan, hubungan masyarakat dan publisitas, dan anggaran komunikasi pemasaran. Batasan Strategi Pemasaran Konsep strategi pemasaran khususnya berguna pada saat sebagian besar produk yang dipasarkan berupa barang. Saat ini strategi pemasaran ditambah lagi dengan beberapa hal, misalnya pengemasan, proses dan sebagainya. Walaupun demikian konsep 4P dalam pemasaran masih digunakan untuk kegiataan pemasaran. Beberapa konsep hanya bisa dilakukan untuk produsen yang bersifat monopoli atau oligopoli atau mempunyai kekuatan pasar yang sangat besar dan tidak cocok untuk pasar bersaing sempurna terutama dalam penentuan harga eceran dan penjualan beberapa barang dalam satu paket (bundling). Metode tersebut masih berlaku untuk green marketing, tetapi harus merujuk pelestarian lingkungan. Pemasaran produk, termasuk produk pertanian, dituntut untuk semakin ramah lingkungan agar sumber daya alam tetap lestari atau memperhatikan ekonomi hijau. Pemasaran hijau (green marketing) merupakan bagian keterbukaan strategi bagi manajer dan pembuat kebijakan. Strategi ini dapat dilaksanakan di tingkat industri (kode industri), pabrik/perusahaan (laporan lingkungan tahunan) fasilitas (program terkait), dan produk (label). 298 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Pemasaran hijau mengacu pada strategi promosi produk dengan menonjolkan atribut lingkungan dalam hal sistem, kebijakan dan proses perusahaan dalam menghasilkan produk. Pemasaran hijau juga erat kaitannya dengan isu ekologi industri dan kelestarian lingkungan seperti tanggung jawab perusahaan yang semakin meluas, analisis daur hidup, penggunaan bahan dan aliran sumber daya, serta eko-efisiensi (Prakash, 2002). Peran Pemerintah Tiga pelaku utama dalam jaringan pemasaran adalah perusahaan (bisnis), konsumen, dan pemerintah. Peraturan pemerintah yang semakin ketat dan tekanan publik agar bisnis lebih ramah lingkungan akan mendorong eksekutif perusahaan untuk melakukan pemasaran sesuai dengan prinsip ekonomi hijau. Laporan The Sustainable Consumption Roundtable’s (2006) berjudul “I will if you will” (Saya bersedia jika anda bersedia) merangkum kepentingan masing-masing ketiga pelaku tersebut. Konsumen bersedia membeli sebuah produk secara terus-menerus jika bisnis menyediakan produk dan layanan yang sebanding dengan harga komoditas dan pemerintah memberikan insentif pajak yang memadai. Produsen akan menjalankan bisnisnya secara ramah lingkungan jika memperoleh keuntungan kompetitif dan peraturan pemerintah tidak terlalu memberatkan. Konsumen dan produsen akan berperilaku ramah lingkungan jika pemerintah memberi contoh kegiatan ramah lingkungan yang ditunjukkan oleh perilaku para menteri dan cara kantor-kantor pemerintah dioperasikan. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa setiap pelaku, yaitu pemerintah, produsen, dan konsumen masing-masing menduduki tempat di sudut segi tiga perubahan (Gambar 2). Gambar 2. Segi tiga perubahan (Xu, Walker, Nairn, and Johnsen 2007) 299 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Green Constitution Asshiddique (2009) mengusulkan perlindungan lingkungan hidup bukan hanya dilegalkan melalui peraturan atau undang-undang, tetapi ditingkatkan menjadi konstitusi suatu negara. Melindungi lingkungan hidup melalui konstitusi dianggap perlu karena selain konstitusi tidak bisa diubah juiga merupakan tujuan, pedoman dan alat ukur kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh beberapa negara yang sudah melakukan konstitusionalisasi lingkungan hidup antara lain Portugal (1976), Spanyol (1978), Polandia (1997), Prancis (2006) dan Ekuador (2008). Ekuador bahkan juga mengubah pembukaan dengan memasukkan Environment Charter of 2004. Ekuador menyebutkan di dalam konstitusinya bahwa lingkungan hidup mempunyai hak mendasar sendiri yang harus disetarakan dengan dengan hak asasi manusia. Konstitusionalisasi lingkungan hidup dalam konstitusi Indonesia sudah dilakukan dalam amandemen UUD 1945, namun tidak banyak pihak yang memperhatikan hal ini secara serius. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 merupakan bukti bahwa konstitusi Indonesia dapat disebut sebagai Konstitusi Hijau (Green Constitution). Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Gagasan Green Constitution dikaitkan dengan kedaulatan lingkungan yang erat hubungannya dengan Ekokrasi. Gagasan kedaulatan lingkungan ini menjadi pelengkap khazanah teori kedaulatan sudah ada selama ini. Dalam sejarah, umat manusia sudah mengenal gagasan Kedaulatan Tuhan yang dikaitkan dengan Teokrasi, gagasan Kedaulatan Rakyat yang dikaitkan dengan Demokrasi, gagasan Kedaulatan Hukum yang dikaitkan dengan Nomokrasi. Selain gagasan kedaulatan lingkungan, juga diuraikan gagasan tentang perlunya Indonesia membentuk Komisi Nasional Perlindungan Lingkungan Hidup yang diharapkan memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kejahatan lingkungan. Kewenangannya seperti yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Kosupsi. Tetapi Asshiddique (2009) menyampaikan tidak perlu dibuat pengadilan khusus untuk kasus lingkungan. Kejahatan lingkungan ditangani oleh Komisi Nasional Perlindungan Lingkungan Hidup untuk dibawa ke pengadilan umum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 UU No. 32 tahun 2009 merupakan revisi UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa ”perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan 300 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakkan hukum”. Perbedaan utama antara UU No. 32 Tahun 2009 dengan UU No. 23 Tahun 1997 tidak hanya pada denda berupa uang, tetapi hukuman penjara bagi pelanggar UU lingkungan hidup. Pasal 65 UU 32/2009 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian hak asasi manusia, berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping itu juga disebutkan bahwa setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya dalam Pasal 66 tertulis bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Hal ini akan mendorong setiap orang untuk melaporkan kerusakan lingkungan hidup tanpa takut dituntut balik. Tindak pidana dalam UU lingkungan hidup ini merupakan kejahatan (Pasal 98), yaitu setiap orang yang dengan sengaja mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda antara Rp 3 miliar hingga Rp10 miliar (ayat 1). Jika perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, pelanggar dihukum penjara antara 4 hingga 12 tahun dan denda antara Rp. 4 miliar hingga Rp 12 miliar (ayat 2). Pelanggaran UU lingkungan yang mengakibatkan orang luka berat atau mati dapat dipenjara antara 5 hingga 15 tahun dan denda antara Rp. 5 miliar sampai Rp15 miliar rupiah. Pelanggar baku mutu lingkungan juga dapat dipenjara antara 1 hingga 3 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar sampai Rp 3 miliar (pasal 99). Pelepasan produk rekayasa genetik dapat didenda dan dipenjara jika melanggar UU ini (Pasal 101). Demikian juga pengolahan limbah B3 tanpa ijin (Pasal 102) dan menghasilkan limbah B3 tidak dikelola dengan baik dapat dipenjara dan didenda (Pasal 103). Pembuangan limbah B3 ke lingkungan hidup tanpa izin Pasal 104) dan impor limbah dari luar negeri (Pasal 104-107) juga dapat dipenjara dan didenda. Pembakaran lahan (Pasal 108), pembukaan usaha tanpa izin lingkungan (Pasal 109), penyusun amdal tanpa sertifikat (Pasal 110), dan pemberian rekomendasi ijin lingkungan tanpa amdal oleh pejabat (Pasal 111) adalah tindakan kriminal dengan ancaman penjara dan denda. Tantangan dan Peluang Berbagai bisnis yang mengaku ramah lingkungan (green campaign) pada kenyataannya tidak melakukan ekonomi hijau. Alasan yang dikemukakan antara lain karena keuntungan tidak signifikan dan biaya mahal. Green campaign yang lebih mengutamakan keuntungan daripada pelestarian lingkungan disebut green washing. 301 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Hambatan dalam pemasaran hijau terutama datang dari konsumen yang tidak percaya terhadap reputasi produsen. Dengan demikian konsumen juga tidak percaya bahwa produk yang dijual produsen tersebut ramah lingkungan. Hambatan lain adalah manfaat yang ditawarkan dalam pemasaran hijau tidak terukur (intangible). Pada taraf tertentu manfaatnya bersifat jangka panjang, sehingga konsumen sulit mengamatinya dalam waktu singkat. Promosi yang gencar melalui berbagai media massa maupun label produk sering dicurigai oleh konsumen sekedar menutupi hal-hal yang buruk dan menonjolkan hal-hal yang baik. Disamping itu pada taraf tertentu pengetahuan konsumen tentang manfaat produk terhadap kesehatan maupun pelestarian lingkungan secara umum juga kurang memadai (Widyaharsana, 2010). Promosi pemasaran hijau tetap harus dilakukan agar produk dapat dikenal konsumen. Desain atau penampilan produk perlu dikemas agar lebih menarik. Selanjutnya nilai tambah bagi konsumen harus dapat dirasakan manfaatnya. Walaupun demikian biasanya produk yang dikelola mengikuti proses ekonomi hijau umumnya lebih mahal harganya dibanding produk sejenis yang diproduksi dengan proses biasa. Kelompok berpendapatan menengah ke atas dengan kesadaran lingkungan tinggi dapat menjadi konsumen potensial untuk produk ekonomi hijau. Praktik Ekonomi Hijau Contoh kegiatan pertanian bernuansa ekonomi hijau cukup beragam. Namun sebagian masih dalam skala kecil karena masih mengalami hambatan dalam adopsi skala yang lebih luas. Di bawah ini disajikan beberapa contoh praktik pertanian yang relatif ramah lingkungan walaupun dalam pemasaran hasilnya belum mendapatkan insentif yang memadai. System of Rice Intensification (SRI) Cara budidaya padi yang lebih hemat air, benih, dan pupuk serta lebih cepat panen diperkenalkan ke Indonesia pada akhir tahun 1980-an dikenal dengan sebutan System of Rice Intensification (SRI). Budidaya padi dengan metode SRI dianggap ramah lingkungan. SRI menggunakan optimasi untuk mencapai tujuan process intensification (PI), yaitu proses lebih murah dan aman, bahan lebih sedikit, konsumsi energi lebih sedikit, waktu antara produksi dan pemasaran lebih singkat, sisa produksi sedikit, produktivitas lebih tinggi, dan memberi citra lebih baik (Ramshaw, 2001). SRI ditemukan oleh Fr. Madagaskar Henri de Laulanie sekitar tahun 1983 di Madagaskar. SRI ada karena kepedulian Laulanie terhadap kondisi petani di Madagaskar yang produktivitas pertaniannya relatif rendah dalam kondisi kesuburan lahan dan biaya produksi sangat terbatas. Konsep dasar SRI dapat diringkas sebagai berikut (Uphoff, 2008): (a). Menggunakan bibit yang relatif muda agar pertumbuhan tanaman dewasa 302 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN mencapai potensi optimal. Sebagian petani menerapkan tanam benih langsung yang sudah berubah dari konsep awalnya; (b) Menanam bibit yang sudah dipindahkan dari persemaian secepatnya, ditanam dangkal (1-2 cm), dan perakaran bibit tidak terbalik agar bibit bisa tumbuh segera setelah ditanam; (c) Bibit ditanam satu tanaman per lubang dalam jarak relatif renggang dan berjarak sama antara satu tanaman dengan yang lainnya (jarak tanam bujur sangkar) agar tanaman tumbuh lebih optimal; (d) Menjaga agar tanah sawah yang ditanami padi tetap lembab, tidak selalu digenangi, selalu dalam kondisi aerob dan tidak jenuh. Cara ini telah dipraktikkan untuk budidaya padi di lahan tadah hujan dan tidak beririgasi yang hasilnya sangat baik; (e) Secara rutin melakukan aerasi di lahan sawah, antara lain dengan menggunakan alat penyiang berbentuk roda; (f) Menggunakan bahan organik sebanyak mungkin melalui aplikasi kompos, mulsa, pupuk kandang, dan lainlain. Pupuk kimia dapat digunakan dalam SRI tetapi hasil padi terbaik diperoleh dengan penggunaan pupuk organik. Metode SRI sejauh ini sudah diujicoba di 25 negara, yaitu Bangladesh, Kamboja, Cina, India, Indonesia, Laos, Myanmar, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Thailand, Vietnam, Madagaskar, Kuba, Sierra Leone, Peru, Gambia, Guinea, Zambia, Iran, Irak, Bhutan, Afganistan (Tabel Lampiran 1). Di Indonesia uji coba SRI melalui kerjasama CIIFAD dengan Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pertanian, Balitpa Sukamandi, Institut Pertanian Bogor, Universitas Andalas, Yayasan MEDCO, Sekolah Lapang Petani bimbingan LSM FIELD, Nippon Koei TA Team dan PT Sampoerna. Akan tetapi sampai saat ini belum ada data luas tanam uji coba padi SRI di Indonesia. Dalam hal ini keterlibatan Balitpa Sukamandi dianggap ambivalen. Di beberapa negara lainnya tidak ada keterlibatan institusi pemerintah dalam uji coba SRI. Di beberapa daerah Indonesia budidaya padi dengan metode SRI sudah diuji coba, misalnya di Garut, Jawa Barat (Mutakin, 2009). Uji coba budidaya padi dengan metode SRI pada musim tanam kedua menghabiskan biaya sebesar Rp 5.855.000/ha atau lebih tinggi dibanding metode konvensional yang memerlukan Rp .4.825.000/ha. Biaya SRI yang lebih mahal terutama dalam penggunaan pupuk, penyiangan, penyulaman dan panen. SRI menggunakan pupuk organik, yaitu jerami ditambah 3 ton kompos per hektare. Sedangkan metode konvensional menggunakan pupuk anorganik, yaitu Urea, TSP, dan KCl. Metode SRI menggunakan biopestisida, sedangkan metode konvensional menggunakan pestidida kimia. Hasil SRI mencapai 10 ton/ha gabah senilai Rp 20 juta dan metode konvensional menghasilkan gabah 5 ton/ha (Rp 10 juta). Keuntungan SRI mencapai Rp 14.145.000/ha yang jauh diatas keuntungan konvensional (Rp 5.175.000/ha). Hasil panen padi dengan metode SRI pada musim tanam pertama umumnya lebih rendah dari metode konvensional. Metode SRI harus dilakukan berkelompok agar dapat mengatur irigasi secara baik, terutama pada musim kemarau di lahan irigasi teknis. Pada musim hujan, petani sulit mengatur irigasi karena curah hujan yang tinggi sehingga sawah akan lebih sering tergenang. Di samping itu penggunaan kompos hingga 3 ton/ha dalam 303 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN skala luas sulit dilakukan kecuali bila kelompok tani dilibatkan membuat kompos sendiri. Aplikasi biopestisida bukan berarti lahan sawah menjadi bebas polusi karena pencemaran juga tetap terjadi seperti pada penggunaan pestisida kimia. Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (PTT) PTT merupakan pendekatan untuk mengelola sumber daya lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT) dan iklim secara terintegrasi dan diterapkan secara berkelanjutan (Ishaq, Subagyono, dan Nurawan 2009). Badan Litbang Pertanian mulai 2009 menerapkan PTT untuk tanaman padi, jagung, kedelai (Isbandi, 2009a dan 2009b) dan kacang tanah. Pada prinsipnya PTT menerapkan empat hal, yaitu partisipatif, terpadu, spesifik lokasi, dan interaksi. Partisipatif artinya diperlukan keterlibatan berbagai petugas (penyuluh, POPT, PBT, Widya Iswara, peneliti) dan petani dalam menentukan teknologi yang akan diterapkan. Terpadu dalam arti PTT merupakan pengelolaan sumber daya lahan, air, OPT dan iklim secara bijak. Spesifik lokasi mengacu pada kondisi fisik dan sosial ekonomi di tiap wilayah pengembangan karena PTT bukan paket teknologi yang tetap. Interaksi berbagai komponen teknologi diharapkan memberikan sinergisme sehingga dapat diperoleh hasil terbaik. Teknologi PTT untuk padi sawah meliputi berbagai komponen. Paket teknologi tersebut meliputi varietas unggul baru, benih bermutu dan berlabel, pemupukan berimbang, pengendalian hama dan penyakit menggunakan PHT, pengaturan populasi tanaman, pemberian bahan organik, pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, penanaman bibit muda (kurang dari 21 hari), pengairan secara efektif dan efisien, penyiangan menggunakan landak atau gasrok, panen tepat waktu, dan perontokan gabah sesegera mungkin. Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu (PTT) dilakukan dengan metode Sekolah Lapangan (SL) yang meliputi SL-PTT Padi Sawah Inbrida dan SL-PTT padi sawah hibrida. SL-PTT padi sawah inbrida dilakukan dengan membagi setiap satuan unit SL-PTT seluas 25 ha ke dalam Laboratorium Lapangan (LL) seluas ± 1 ha dan wilayah hamparan SL seluas ± 24 ha. SL-PTT Padi Sawah Hibrida secara operasional dilakukan dengan cara membagi setiap satuan unit SLPTT seluas 10 ha ke dalam LL seluas ± 1 ha dan wilayah hamparan SLPTT seluas ± 9 ha. Sedangkan SL-PTT Padi Gogo/Lahan Kering secara operasional dilakukan dengan cara membagi setiap satuan unit SLPTT seluas 15 ha ke dalam LL seluas ± 1 ha dan wilayah hamparan SL seluas ± 14 ha. Pada tahun 2009 pelaksanaan SL-PTT Padi Sawah di seluruh Indonesia mencakup 2.051.000 ha yang terdiri atas SL-PTT Padi Sawah Inbrida seluas 2.001.000 ha (80.400 unit SL) dan SL-PTT Padi Sawah Hibrida seluas 50.000 ha (5.000 unit SL). Khusus di 304 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Provinsi Jawa Barat, areal SL-PTT Padi Sawah Inbrida seluas 196.000 ha (7.840 unit SL) dan SL-PTT Padi Sawah Hibrida seluas 4.500 ha (450 unit SL). Pada tahun 2010 pelaksanaan SL-PTT Padi Sawah di seluruh wilayah Indonesia direncanakan mencakup luasan 2.200.000 ha, terbagi ke dalam SL-PTT Padi Sawah Inbrida seluas 2.000.000 ha dan SL-PTT Padi Sawah Hibrida seluas 200.000 ha. Di samping kegiatan SL-PTT Padi Sawah, direncanakan pula pelaksanaan kegiatan SL-PTT Padi Gogo/Lahan Kering seluas 300.000 ha. Di Jawa Barat pelaksanaan SL-PTT Padi Sawah pada tahun 2010 direncanakan seluas 146.500 ha, terbagi ke dalam SL-PTT Padi Sawah Inbrida seluas 130.000 ha (5.200 unit SL) dan SL-PTT Padi Sawah Hibrida seluas 16.500 ha (1.650 unit SL), sedangkan pelaksanaan SL-PTT Padi Gogo/Lahan Kering direncanakan seluas 75.000 ha (120 unit SL). Teknologi yang digunakan dalam SL-PTT secara prinsip tidak jauh berbeda dengan teknologi SRI. Masing-masing menekankan pengelolaan air secara efisien dan efektif, penggunaan pupuk organik dan pengendalain hama dan penyakit secara terpadu. Adopsi PTT padi sawah di beberapa desa di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) hanya sebatas pada LL-PTT seluas 1 ha di tiap lokasi. Prinsip PTT padi sawah relatif baik dengan menerapkan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Hambatan umum yang dijumpai petani dalam mengadopsi PTT padi sawah antara lain adalah keterbatasan modal dalam membeli input, aliran irigasi yang tidak lancar karena eksploitasi sungai untuk penambangan pasir dan batu secara berlebihan, dan kondisi saluran irigasi yang rusak sehingga air irigasi tidak mengalir secara efisien. Di samping itu penggunaan pupuk organik buatan pabrik kurang diminati petani karena dibuat dari sampah kota yang umumnya kurang bagus karena banyak mengandung plastik, kawat dan bahan-bahan non organik lainnya. Di Kabupaten Sragen (Jawa Tengah) pupuk organik buatan pabrik disubsidi pemerintah sehingga harga jualnya lebih rendah dari pupuk organik buatan petani. Dalam hal ini usaha kelompok tani tidak dapat berkembang, bahkan terhenti, karena subsidi pemerintah diberikan kepada perusahaan. Sasaran Badan Litbang Pertanian bahwa pada tahun 2010 berupa penerapan PTT padi sawah secara nasional seluas 2.200.000 ha atau 20 persen total luas tanam padi sawah nasional akan sangat sulit tercapai. PTT padi sawah oleh petani hanya dianggap sebagai proyek dan tidak dapat berlanjut setelah proyek selesai. Jika proyek tersebut ingin mencapai sasaran luas areal yang telah ditetapkan harus disertai anggaran yang sangat besar untuk membeli input yang dibagikan gratis kepada petani peserta. Di samping itu petani di sekitar LL umumnya masih menerapkan metode lama yang lebih mudah secara teknis, misalnya pengendalian hama dan penyakit, irigasi, pemupukan, dan aplikasi varietas padi. Pertanian Organik Sistem pertanian organik merupakan sistem produksi yang menyeluruh dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Praktik 305 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN pertanian organik antara lain dilakukan dengan cara: (1) tidak menggunakan bibit/benih hasil rekayasa genetika, (2) tidak menggunakan pestisida kimia sintetis, (3) pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman atau secara terpadu, (4) tidak menggunakan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (5) memelihara dan memperbaiki kesuburan dan produktivitas tanah melalui pengembalian residu tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legum dan rotasi tanaman, dan (6) tidak menggunakan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak (Deptan, 2002). Beberapa keuntungan pertanian organik antara lain adalah: (i) pupuk organik dapat disediakan oleh petani dengan harga relatif murah dengan memanfaatkan limbah peternakan dan pertanian yang dimiliki ataupun didapatkan di sekitarnya; (ii) aplikasi pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan fisik, kimiawi dan biologi tanah; (iii) mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik yang diproduksi pabrik; (iv) produk pertanian organik umumnya lebih aman dan sehat bagi konsumen (Prasetyo et al. 2005). Pemasaran produk organik masih menemui berbagai hambatan. Produk pertanian organik di dalam negeri selama ini hanya mengandalkan kepercayaan produsen dan konsumen. Banyak produk organik yang dijual tanpa memperoleh sertifikasi organik secara resmi. Produk tersebut diberi label organik tetapi diproduksi tanpa mengikuti aturan baku, misalnya masih menggunakan campuran pupuk organik dan organik, maupun penggunaan pestisida walaupun relatif sedikit. Hal ini merugikan petani yang benar-benar melaksanakan pertanian secara organik. Departemen Pertanian telah menyusun standar pertanian organik di Indonesia yang tertuang dalam SNI 01-6729-2002. Sistem pertanian organik menerapkan paham proses organik, artinya semua proses sistim pertanian organik dari penyiapan lahan hingga pasca panen harus memenuhi standar budidaya organik, bukan dilihat dari produk organik yang dihasilkan (SNI, 2002). Tabel Lampiran 2 dan 3 menunjukkan penyebaran sertifikasi organik nasional di berbagai daerah. Kabupaten Sragen termasuk salah satu daerah yang gencar memproduksi padi organik. Padi organik di Kabupaten ini ditanam di desa Sukorejo (132 ha) dan Jetis (53 ha) Kecamatan Sambirejo. Padi organik yang dihasilkan sudah disertifikasi oleh Inotis Balittro Bogor. Kedua desa tersebut terletak di lereng Gunung Lawu dan sumber airnya tidak tercemar oleh bahan-bahan kimia. Beras organik dari Sragen dijual dengan harga yang relatif lebih tinggi dari harga beras biasa. Total luas lahan sawah yang ditanami padi semi organik pada tahun 2008/2009 adalah 2.831 ha yang tersebar di 20 kecamatan. Produk disebut padi semi organik karena pupuk yang digunakan adalah pupuk organik dan pestisida organik, tetapi sumber airnya bukan dari gunung sehingga tidak bebas pencemaran. Walaupun demikian Pemkab Sragen telah berusaha mempromosikan ekonomi hijau melalui penggunaan pupuk organik dan pestisida organik yang relatif banyak diadopsi petani. 306 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Kesimpulan dan Saran Ekonomi hijau memiliki peluang agar kegiatan ekonomi, termasuk pertanian, menjadi lebih ramah lingkungan. Metode pemasaran yang digunakan dapat berupa metode konvensional tetapi penampilan produk harus lebih menarik dan manfaatnya dapat dirasakan oleh konsumen. Harga produk ekonomi hijau umumnya lebih mahal karena biaya sosial (upaya menjaga kelestarian lingkungan) turut diperhitungkan. Dalam hal ini pemerintah perlu mengambil bagian dalam menggalakkan ekonomi hijau agar kesadaran masyarakat, baik produsen maupun konsumen, semakin luas. Penegakkan peraturan secara tegas harus dilakukan agar memberikan efek jera terhadap pelanggar lingkungan. Sertifikasi organik sangat diperlukan agar konsumen lebih percaya terhadap produk ekonomi hijau. Selain itu diperlukan pula upaya lebih jauh agar sertifikasi produk tidak hanya menilai proses produksi tetapi juga menguji kandungan produk tersebut. Implementasi ekonomi hijau memerlukan kerja sama kelompok karena sangat sulit dilaksanakan oleh petani secara perorangan yang umumnya berskala kecil. Daftar Pustaka Asshiddiqie, KJ. 2009. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 208 hal. Ishaq I, K Subagyono, dan A Nurawan. 2009. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Sumber daya Terpadu (PTT) Padi Sawah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Lembang. 56 hal. Mutakin J. 2009. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode SRI (System of Rice Intensification). Universitas Garut. 5 hal. Prakash A. 2002. Green Marketing, Public Policy and Managerial Strategies. Business Strategy and the Environment Bus. Strat. Env. 11, 285–297 (2002) Published online in Wiley InterScience (www.interscience.wiley.com). DOI: 10.1002/bse.338. Sri Karyaningsih, MD M Pawarti, dan Dwi Nugraheni. 2008. Inovasi Teknologi Budidaya Padi Organik Menuju Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008 . Yogyakarta, 18-19 November 2008. Supriyadi H. 2009. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Sumber Daya Terpadu (PTT) Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Lembang. 16 hal. 307 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN Supriyadi H. 2009. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Sumber daya Terpadu (PTT) Kedelai. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Lembang. 14 hal. Uphoff N. 2008. The System of Rice Intensification (SRI) as a System of Agricultural Innovation. 18 pp. Widyaharsana JIW. 2010. Green Marketing Confusion. www.ppm-manajemen.ac.id/ index. Xu SX, H Walker, A Nairn, and T Johnsen,. 2007. A Network Approach to Understanding “Green Buying”: A Literature Review. ttp://www.impgroup.org/uploads/papers/5967. pdf. 308 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN 309 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN 310 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN 311 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN 312 EKONOMI HIJAU UNTUK PEMULIHAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN 313