PENDIDIKAN TEOLOGI: PERAN STT DALAM PEMBERITAAN INJIL

advertisement
1
PENDIDIKAN TEOLOGI:
PERAN STT DALAM PEMBERITAAN INJIL
Oleh: Pdt. Dr. Arnold Tindas
Pendidikan Tinggi Teologi (PTT) di Indonesia pada akhir
dasawarsa abad ke-20 dan permulaan abad ke-21 ini mengalami
perkembangan yang signifikan dan fenomenal secara kuantitas. Dari
perkiraan 300 PTT yang ada di Indonesia sekarang ini, lebih dari 200
(66.6%) di antaranya bertambah hanya dalam jangka waktu 15 tahun
terakhir ini. Sisanya, tidak lebih dari 100 PTT (33.4%) lahir selama
40 tahun sebelumnya, sejak pertengahan abad ke-20.
Salah satu
penyebab adalah karena pada awalnya memang tidak banyak induk
organisasi gereja yang mengakui peran PTT. Kehadirannya dicurigai
oleh gereja-gereja dalam lingkup aliran evangelical, pentakostal atau
karismatik, karena berasumsi bahwa PTT dapat menjadi dapur
sekularisasi, akibat penekanan pada peran aspek natura-rasional
(intelek manusia) dan pengabaian aspek supernatura-spiritual (Roh
Kudus) dalam proses belajar mengajar. Tetapi seiring dengan
perkembangan sains dan teknologi dalam era modernisasi dan
globalisasi, terjadi pergeseran paradigma (paradigm shift) dan
reinterpretasi teologis. Gereja-gereja kemudian menyadari bahwa
kehadiran dan peran PTT dalam pertumbuhan gereja, khususnya
dalam Pekabaran Injil (PI) penting. Dalam 15 tahun terakhir ini
menjadi era pertumbuhan pesat PTT secara kuantitas. Fenomena ini
di satu pihak menggembirakan, tetapi di lain pihak menguatirkan,
karena pertumbuhan kuantitatif tersebut tidak disertai dengan
2
pertumbuhan kualitatif, sehingga belakangan ini ada sinyalemen
PTT-PTT
tertentu
memilih
“obral
gelar”
dari
pada
mempertimbangkan kualitas. Peran PTT dalam PI akan dipaparkan
dalam aspek-aspek berikut: pembentukan tenaga PI, pengembangan
perspektif teologis PI, dan implementasi PI di lapangan pelayanan.
1. Peran dalam Pembentukan Tenaga PI
Pelayanan PI menuntut adanya tenaga PI yang handal, yang
mengakui
keterpanggilannya, yang mengerti tanggung jawabnya,
dan yang menyadari konsekuensi dan resikonya. Rasul Paulus
mengakui panggilannya sebagai hamba Tuhan dan tanggung
jawabnya secara khusus sebagai pemberita Injil. Perkenalan dirinya
kepada jemaat Roma, yang didahului dengan penyebutan dirinya
sebagai hamba Tuhan, membuktikan bahwa dia tahu pasti panggilan
dan tanggung jawabnya itu. Ia memperkenalkan dirinya demikian,
“Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan
dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah.” (Rm. 1:1). Paulus sadar
akan konsekuensi dan resiko sebagai pemberita Injil, sehingga ia
sabar menanggung
penderitaan ketika ia menjalankan tugas
panggilannya itu. Ia mengemukakannya kepada Timotius demikian,
“Karena pemberitaan Injil inilah aku menderita, malah dibelenggu
seperti seorang penjahat, tetapi firman Allah tidak terbelenggu.
Karena itu aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang
pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam
Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal.” (2 Tim. 2:9-10).
3
PTT selayaknya menjadi sarana pembentukan tenaga PI dan
karena itu kurikulum PTT harus memuat kompetensi yang
menghasilkan tamatan tenaga PI yang handal, yang mengakui
keterpanggilannya, yang mengerti tanggung jawabnya, dan yang
menyadari konsekuensi dan resikonya. Kurikulum dijabarkan dari
rumusan visi, misi dan tujuan PTT yang jelas, yang memberi
perhatian pada PI. PTT harus mampu membentuk tenaga PI, tidak
bisa lagi “asda” (asal berada), “asjal” (asal jalan) atau “asbelar” (asal
beri gelar), tetapi harus bertanggung jawab atas keberadaannya,
perjalanannya dan dalam pemberian gelar.
Tenaga PI output PTT diharapkan sudah terbentuk secara
utuh, yang bukan saja melakukan pendekatan secara konvensional
melainkan juga yang mengenal dan mampu memanfaatkan berbagai
jenis jaringan sosial modern. Tuntutan kompetensi pendidikan secara
global, mengacu kepada Komisi Internasional tentang Pendidikan
Abad ke-21 dari UNESCO dalam hal “Learning The Treasure
Within”, menantang perguruan tinggi untuk berperan secara
maksimal
dalam
membentuk
sumber
daya
manusia
dalam
transformasi global. Karena itu perserta didik, dengan mengalami
penempaan pada perguruan tinggi, diharapkan sudah mengetahui dan
menguasai instrument pengetahuan (learning to know); memiliki life
skills, seperti komunikasi, kerja tim, pemecahan masalah, mengelola
konflik,
mengalami
ketrampilan manual dan intelektual (learning to do);
perkembangan
menyeluruh,
seperti
intelegensia,
kepekaan, estetika, tanggungjawab pribadi, dan nilai-nilai spiritual
(learning to be); dan mampu menumbuhkan toleransi dan saling
menghargai untuk hidup bersama (learning to live together).
4
2. Peran dalam Pengembangan Perspektif Teologis PI
PTT tidak hanya berperan membentuk tenaga PI melainkan
juga berperan dalam pengembangan perspektif teologis PI. Perspektif
teologis PI menentukan benar tidaknya implementasi PI itu sendiri.
Kebersamaan gereja-gereja dan lembaga-lembaga gerejawi dalam
misi sedunia, sejak abad XX hingga awal XXI ini, menunjukkan
adanya
perkembangan yang tidak sehat. Kebersamaan tersebut
dimulai dengan sebuah konferensi misi yang disebut, “the World
Missionary
Conference”yang
diselenggarakan
di
Edinburgh,
Scotlandia, Juni 1910. Konferensi sepakat untuk secara bersamasama dalam misi sedunia tetapi tetap tidak sepaham dalam perspektif
teologis PI, karena itu muncul idea untuk mengembangkan terlebih
dahulu keyakinan bersama yang disebut, “Faith and Order”.
Perspektif teologis PI tetap berbeda tapi antusiasme PI dalam misi
sedunia tak terbendung oleh perbedaan tersebut, sehingga muncul
kesepakatan untuk mendahulukan implementasi PI dengan konsep
“Life and Work”. Gerakan Faith and Order menjadi sebuah institusi
Oktober 1910 dan pertama kali mengadakan konferensinya di
Lausane 1927. Lembaga Faith and Order dan Life and Work pada
akhirnya menjadi bagian dari Dewan Gereja-gereja Se-Dunia (WCC)
ketika didirikan pada tahun 1948. Gerakan Injili tetap tidak sepakat
dalam perspektif teologis, karena itu mendirikan lembaga sendiri
World Evangelical Fellowship (WEF), yang sekarang berganti nama
World Evangelical Alliance (WEA). Gerakan ini secara nasional di
Indonesia masih dalam perbedaan juga, dan mengelompok dalam
persekutuan yang berbeda, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI) dan Persekutuan Gereja-gereja dan Lambaga-lembaga Injili
5
Indonesia (PGLII). Persekutuan dalam PTT secara khusus di
Indonesia juga berbeda, PTT di kalangan PGI menyatu dalam
Perhimpunan Sekolah Teologi di Indonesia (Persetia) dan di kalangan
PGLII menyatu dalam Persekutuan Antar Sekolah Teologi Injili di
Indonesia (PASTI).
Perspektif teologis PI dalam lingkup WCC dan PGI
mengacu pada Teologi Kontekstual, yang menekankan misi
kontekstual. Gerakan misi sedunia awalnya mengenal pendekatan
misi yang disebut “indigenezation” (pempribumian) berita Injil. WCC
mengganti nama ini dengan “contextualization” untuk maksud yang
sama tapi dengan perspektif teologis PI yang berbeda. WCC menolak
indegenisasi karena pempribumian berita Injil selalu berujung pada
“memenangkan” jiwa bagi Kristus. WCC mengembakan perspektif
teologis yang pluralis, yang berkeyakinan bahwa keselamatan bukan
kebenaran satu-satunya dalam Kristus melainkan kebenaran plural
dalam semua agama dan ideologi sekalipun. Kontekstualisasi PI
murni kabar baik sosial, dan karena itu harus bersih dari pemikiran
menjangkau unreach people groupp, yang justru menjadi penekanan
WEA dan PGLII.
PTT seharus menyediakan konsep teologi PI bagi gereja dan
lembaga-lembaga gerejawi dalam mengimplementasikan misi PI. Jadi
peran PTT merupakan tempat pengembangan perspektif teologis PI
yang benar sehingga implementasi misi PI pun benar.
3. Implementasi PI di Lapangan Pelayanan
Peran PTT sebagai perguruan tinggi di negeri ini dituntut
untuk mengimplementasikan tri dharma perguruan tinggi, yaitu
6
pendidikan, penelitian dan pengabdian. Pembentukan tenaga dan
pengembangan perspektif teologis adalah bagian yang tercakup
dalam pendidikan dan penelitian, sementara implementasi PI di
lapangan pelayanan adalah bagian dari dharma pengabdian.
Implementasi PI oleh PTT di Lapangan Pelayanan pada
umumnya diselenggarakan dalam kerjasama dengan gereja-gereja
lokal. Bentuk implementasi dapat berupa Mission Trip, Pelayananan
weekend, praktek pelayanan setahun sebelum tahun penamatan dan
pelayanan
khusus
church
planting.
PTT
tertentu
mengutus
mahasiswanya untuk mission trip selama libur tahun ajaran selama
kurang lebih 30 – 50 hari ke daerah-daerah atau bahkan ke luar
negeri. PTT yang lain menetapkan minimal satu church planting
sebagai salah satu persyaratan dalam penamatan mahasiswanya. PTT
yang lain lagi mengirim mahasiswanya untuk magang setahun di
gereja-gereja lokal sebelum melanjutkan satu tahun kuliah terakhir.
Semua PTT yang mengembangkan perspektif teologis PI yang Injili,
seperti halnya dalam lingkup PASTI di Indonesia, pada umumnya
memanfaatkan semua bentuk pelayanan mahasiswa tersebut sebagai
implementasi PI di iapangan pelayanan, sementara PTT dalam
perspektif teologis PI yang kontekstual, bentuk implementasi PI
adalah pelayanan sosial sebagai pengabdian masyarakat.
Kesimpulan
Jadi peran PTT dalam PI sebagai bagian dalam pendidikan
teologi dapat berupa pembentukan tenaga PI, pengembangan
perspektif teologis PI, dan implementasi PI di lapangan pelayanan.
Tiga peran ini menjadi implementasi tri dharma perguruan tinggi,
7
meskipun tidak harus diselaraskan per satu peran dengan satu
dharma. Peran pembentukan tenaga dan pengembangan perspektif
berada dalam masing-masing dharma pendidikan dan penelititian,
sementara peran implementasi PI berada dalam dharma pengabdian
masyarakat. PI adalah amanat dari Tuhan Yesus Kristus, dan karena
itu PTT dalam pendidikan teologi harus berperan dalam pemberitaan
Injil.
Download