BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Kajian Teori tentang Kontrol Diri a. Konsep Kontrol Diri Kontrol diri sangat diperlukan dalam kehidupan individu. Dengan adanya kontrol diri individu mampu mengatur perilaku sesuai dengan keadaan dan kemauan dirinya. Calhoun & Acocella (1990: 130) mendefinisikan “Kontrol diri sebagai pengaruh seseorang terhadap pengaturan tentang fisiknya, perilaku, dan proses-proses psikologisnya dengan kata lain sekelompok proses yang mengikat dirinya”. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa kemampuan individu dalam menyelaraskan kondisi fisik, perilaku, dan prosesproses psikologis individu dalam mengontrol aktivitas dirinya. Goldfried & Merbaum (dalam Ghufron & Risnawita, 2012:22) mendefinisikan “Kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif”. Perilaku yang telah terarah dengan baik sesuai dengan keadaan lingkungan akan memberikan dampak positif bagi individu. Kontrol diri diperlukan guna membantu individu mengatasi keterbatasan individu dalam mengatasi berbagai hal yang merugikan dalam interaksinya dengan lingkungan. Individu dalam berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain akan menampilkan diri dengan menunjukkan kelebihan yang dimiliki supaya orang lain dapat menerima dan menghargai dirinya. Hal ini dapat berdampak positif dengan adanya kemampuan kontrol diri dalam aktivitas yang dilakukan. Lazarus (dalam Thalib, 2013: 107) menjelaskan “Kontrol diri menggambarkan keputusan individu melalui pertimbangan kognitif 8 9 untuk menyatukan perilaku yang telah disusun guna meningkatkan hasil dan tujuan tertentu sebagaimana yang diinginkan”. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa keputusan yang diambil telah dipikirkan dengan matang sesuai dengan tujuan sehingga tidak sebatas emosional semata. Setiap individu memiliki kualitas kontrol diri yang berbeda yang akan berkembang sesuai dengan bertambahnya usia, ada individu yang memiliki kualitas kontrol diri yang rendah juga ada yang tinggi. Individu dengan kontrol diri yang tinggi mengetahui cara yang tepat dalam berperilaku dalam berbagai situasi dan kondisi yang ada dalam kehidupanya sehari-hari. Horney (dalam Olson & Hargenhahn, 2013:246) menjelaskan bahwa pribadi yang mengembangkan kontrol yang ketat tidak akan membiarkan dirinya terbawa sedikitpun entah oleh antusiasme, kesenangan seksual, menangisi diri atau kemarahan. Individu kurang mengontrol diri, sebagian besar kehidupannya dipengaruhi orang lain mudah terpengaruh dengan hal-hal yang negatif. Gottfredson & Hirschi (dalam Aroma & Suminar, 2012) mengatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung bertindak impulsif, lebih memilih tugas sederhana, melibatkan kemampuan fisik, egois, senang mengambil resiko, dan mudah kehilangan kendali emosi kerena mudah frustasi. Individu dengan kontrol diri yang rendah tidak mampu berperilaku dengan baik sehingga mudah terjerumus terhadap hal-hal yang negatif. Feist & Gregory (2010: 186) mengatakan bahwa saat seseorang mengontrol perilaku dirinya, mereka juga melakukannya dengan memanipulasi variabel yang sama saat mengontrol perilaku orang lain. Individu yang berusaha melakukan kontrol diri juga bisa menggunakan cara yang sama saat individu melakukan kontrol terhadap perilaku orang lain yang menyimpang. Individu dengan menggunakan kontrol diri akan 10 berada dalam suatu tingkatan penguasa bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Berdasarkan uraian penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengatur perilaku melalui pertimbangan kognitif serta pengambilan keputusan ke arah konsekuensi positif. b. Pentingnya Kontrol Diri Kontrol diri merupakan kemampuan individu yang berguna dalam berbagai aktifitas yang dilakukan sehari-hari. Individu yang mengerti pentinnya kontrol diri akan berperilaku lebih selektif dan lebih berhati-hati. Calhoun & Acocella (1990: 131) mengemukakan alasan mengapa kontrol diri itu penting sebagai berikut: Pertama, kita tidak dapat hidup sendiri, tetapi dalam kelompok, di dalam masyarakat. Bagaimanapun juga seperti yang ditunjukkan oleh Freud, manusia dimotivasi oleh dorongan seksual yang kuat dan agresif. Individu memiliki kebutuhan untuk memuaskan kebutuhan untuk makan, minum, kehangatan, dan sebagainya. Kegiatan yang kita kerjakan harus dikontrol sehingga tidak mengganggu tata tertib sosial atau melanggar kesenangan dan keamanan yang lain. Kedua, setiap manusia mendapatkan dari budayanya tujuantujuan tertentu mengingat kompetensi, kebaikan, dan keinginan lain. Agar mencapai tujuan ini, kontrol diri dibutuhkan. Hal ini khususnya kasus dalam masyarakat kita yang berorientasi pada prestasi. Masyarakat mendorong kita terus-menerus untuk menetapkan standar yang tinggi untuk diri sendiri. Untuk mengukur standar ini kita harus belajar berulang-ulang untuk mengendalikan dorongan hati dan memilih tujuan jangka panjang. Kontrol diri sangat penting bagi kehidupan individu. Individu yang mengetahui pentingnya kontrol diri akan lebih terarah dalam 11 berperilaku sehingga sesuai dengan aturan dan norma masyarakat. Adapun pentingnya kontrol diri menurut Wibisono (2013) sebagai berikut: Pertama, kontrol diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan orang lain (interaksi sosial). Hal ini dikarenakan kita senantiasa hidup dalam kelompok atau masyarakat dan tidak bisa hidup sendirian. Seluruh kebutuhan hidup kita (fisiologis) terpenuhi dari bantuan orang lain, begitu pula kebutuhan psikologis dan sosial kita. Oleh karena itu, agar kita dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup ini dibutuhkan kerjasama dengan orang lain dan kerjasama dapat berlangsung dengan baik jika kita mampu mengendalikan diri dari perbuatan yang merugikan orang lain. Kedua, Kontrol diri memiliki peran dalam menunjukkan siapa diri kita (nilai diri). Seringkali seseorang memberikan penilaian dari apa yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari dan kontrol diri merupakan salah satu aspek penting dalam mengelola dan mengendalikan perilaku kita. Kontrol diri menjadi aspek yang penting dalam aktualisasi pola pikir, rasa, dan perilaku kita dalam menghadapi setiap situasi. Seseorang yang dapat mengendalikan diri dari hal-hal yang negatif tentunya akan memperoleh penilaian yang positif dari orang lain (lingkungan sosial), begitu pula sebaliknya. Ketiga, kontrol diri berperan dalam pencapaian tujuan pribadi. Kontrol diri dipercaya dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuan hidup seseorang. Hal ini dikarenakan bahwa seseorang yang mampu menahan diri dari perbuatan yang dapat merugikan diri atau orang lain akan lebih mudah fokus terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai, mampu memilih tindakan yang memberi manfaat, menunjukkan kematangan emosi dan tidak mudah terpengaruh terhadap kebutuhan atau perbuatan yang menimbulkan kesenangan sesaat. Bila hal ini terjadi niscaya seseorang akan lebih mudah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 12 Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan pentingnya kontrol diri, yaitu: (1) Kontrol diri berperan penting dalam hubungan seseorang dengan orang lain (interaksi sosial) dalam kelompok, di dalam masyarakat, (2) Setiap manusia mendapatkan dari budayanya tujuan-tujuan tertentu mengingat kompetensi, kebaikan, dan kontrol diri berperan dalam pencapaian tujuan pribadi, dan (3) Kontrol diri memiliki peran dalam menunjukkan siapa diri kita (nilai diri). c. Aspek-aspek Kontrol Diri Averill (dalam Thalib, 2013: 110) membagi aspek kontrol diri menjadi tiga kategori utama, yaitu: mengontrol perilaku, mengontrol kognitif, dan mengontrol keputusan. 1) Mengontrol perilaku (behavior control) Kontrol perilaku merupakan kemampuan untuk memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini dibedakan atas dua komponen, yaitu: a) Kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration), yaitu menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau orang lain atau sesuatu diluar dirinya. Individu dengan kemampuan mengontrol diri yang baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya. b) Kemampuan mengatur stimulus (stimulus modifiability), merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki terjadi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya. 2) Mengontrol kognitif (cognitive control) Mengontrol kognitif merupakan cara seseorang dalam menafsirkan, menilai atau menggabungkan suatu kejadian dalam 13 suatu kerangka kognitif. Mengontrol kognisi merupakan kemampuan dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan untuk mengurangi tekanan. Mengontrol kognitif dibedakan atas dua komponen, yaitu: a) Kemampuan untuk memperoleh informasi (information again). Informasi yang dimiliki individu mengenai suatu keadaan akan membuat individu mampu mengantisipasi keadaan melalui berbagai pertimbangan objektif. b) Kemampuan melakukan penilaian (appraisal). Penilaian yang dilakukan individu merupakan usaha untuk menilai dan mentafsirkan suatu keadaan dengan memerhatikan segi-segi positif secara subjektif. 3) Mengontrol keputusan (decesional control) Mengontrol keputusan merupakan kemampuan individu untuk memilih dan menentukan tujuan yang diinginkan. Kemampuan untuk mengontrol keputusan akan berfungsi baik bilamana individu memiliki kesempatan, kebebasan, dan berbagai alternatif dalam melakukan suatu tindakan. Sedangkan Sarafino (1998: 110), menjelaskan ada beberapa aspek kontrol diri, yaitu: 1) Pengendalian tempat (locus of control) Orang yang percaya bahwa mereka mempunyai kontrol yang lebih terhadap kesuksesan dan kegagalan, dideskripsikan sebagai locus of control internal. Sedangkan orang yang percaya bahwa hidup mereka dikontrol oleh kekuatan dari luar diri mereka sendiri, seperti keberuntungan, berarti mereka mempunyai locus of control eksternal. 2) Efikasi diri (self efficacy) Keyakinan atau kepercayaan bahwa kita dapat sukses atas sesuatu yang kita ingin lakukan. 14 Berdasarkan aspek-aspek kontrol diri di atas penulis mengacu pada pendapat Averill (dalam Thalib, 2013: 110) secara umum kontrol diri dibedakan atas tiga kategori utama, yaitu: mengontrol perilaku, mengontrol kognitif, dan mengontrol keputusan yang dipandang sesuai dengan pemahaman penulis. d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri Perkembangan kontrol diri sebagaimana potensi psikologis lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Ghufron & Risnawita (2012: 32) faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari diri individu yaitu usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin baik kemampuan mengontrol diri seseorang. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri individu yaitu lingkungan keluarga. pola asuh keluarga membentuk tingkat kontrol diri remaja. Situasi dan pola asuh keluarga yang mengekang akan membuat remaja merasa tidak dihargai ataupun merasa dikucilkan sehingga membuat anak tidak mampu mengembangkan kontrol diri dengan baik. Persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua yang semakin demokratis cenderung diikuti tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Wibisono (2013) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, kepribadian mempengaruhi kontrol diri dalam konteks bagaimana seseorang dengan tipikal tertentu bereaksi dengan tekanan yang dihadapinya dan berpengaruh pada hasil yang akan diperolehnya. Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda (unik) dan hal inilah yang akan membedakan pola reaksi terhadap situasi yang dihadapi. Ada seseorang yang cenderung reaktif terhadap situasi yang dihadapi, khususnya yang menekan secara psikologis, tetapi ada juga seseorang yang lamban memberikan reaksi. 15 Kedua, situasi merupakan faktor yang berperan penting dalam proses kontrol diri. Setiap orang mempunyai strategi yang berbeda pada situasi tertentu, di mana strategi tersebut memiliki karakteristik yang unik. Situasi yang dihadapi akan dipersepsi berbeda oleh setiap orang, bahkan terkadang situasi yang sama dapat dipersepsi yang berbeda pula sehingga akan mempengaruhi cara memberikan reaksi terhadap situasi tersebut. Setiap situasi mempunyai karakteristik tertentu yang dapat mempengaruhi pola reaksi yang akan dilakukan oleh seseorang. Ketiga, etnis atau budaya mempengaruhi kontrol diri dalam bentuk keyakinan atau pemikiran, di mana setiap kebudayaan tertentu memiliki keyakinan atau nilai yang membentuk cara seseorang berhubungan atau bereaksi dengan lingkungan. Budaya telah mengajarkan nilai-nilai yang akan menjadi salah satu penentu terbentuknya perilaku seseorang, sehingga seseorang yang hidup dalam budaya yang berbeda akan menampilkan reaksi yang berbeda dalam menghadapi situasi yang menekan, begitu pula strategi yang digunakan. Keempat, pengalaman akan membentuk proses pembelajaran pada diri seseorang. Pengalaman yang diperoleh dari proses pembelajaran lingkungan keluarga juga memegang peran penting dalam kontrol diri seseorang, khususnya pada masa anak-anak. Pada masa selanjutnya seseorang bereaksi dengan menggunakan pola fikir yang lebih kompleks dan pengalaman terhadap situasi sebelumnya untuk melakukan tindakan, sehingga pengalaman yang positif akan mendorong seseorang untuk bertindak yang sama, sedangkan pengalaman negatif akan dapat merubah pola reaksi terhadap situasi tersebut. Kelima, bertambahnya usia pada dasarnya akan diikuti dengan bertambahnya kematangan dalam berpikir dan bertindak. Hal ini dikarenakan, pengalaman hidup yang telah dilalui lebih banyak dan 16 bervariasi, sehingga akan sangat membantu dalam memberikan reaksi terhadap situasi yang dihadapi. Orang yang lebih tua cenderung memiliki kontrol diri yang lebih baik dibanding orang yang lebih muda. Sedangkan Calhoun & Acocella (1990: 151) menjelaskan bahwa proses belajar merupakan pusat bagi perkembangan kontrol diri. melalui pengkondisian responden kita mempelajari asosiasi dengan stimulus yang menyenangkan dan menyakitkan, jadi melatih diri sendiri untuk menunda pemuasan. Dengan adanya pengkondisian operan, kita dapat belajar mengontrol diri sendiri untuk mencapai konsekuensi yang memuaskan. Perilaku kita mungkin diperkuat dengan pengutan positif (stimulus menyenangkan) atau pengutan negatif (pemusnahan stimulus yang tidak menyenangkan). Perilaku dapat “diperlemah” melalui hukuman atau pemusnahan. Ketika sesuatu yang dipelajari seseorang dalam satu situasi atau tentang respon seseorang yang dipindahkan kesituasi atau respon lain, terjadilah generalisasi. Apabila perbedaan dibuat antara situasi atau respon, proses itu dinamakan diskriminasi. Respon yang nampak dari individu dapat dipelajari melalui pembentukan. Respon dapat dipelajari melalui proses penguatan dari pendekatan yang berturut-turut mengenai respon itu atau melalui peneladanan dengan belajar mengamati orang lain. Dalam perkembangan kontrol diri yang terpenting adalah dua proses belajar tambahan yaitu belajar menghindar dan penguatan intermiten. Belajar menghindar seseorang belajar menghindar dari stimulus yang tidak menyenangkan. Penguatan intermiten, penguatan perilaku pada jarak waktu tertentu lebih baik daripada setiap respon mengakibatkan belajar yang relatif tetap dan tahan terhadap pemusnahan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kontol diri. (1) Faktor internal 17 terdiri dari; usia, kepribadian, dan pengalaman. (2) Faktor eksternal terdiri dari; lingkungan keluarga, situasi, etnis, dan proses belajar. e. Fungsi Kontrol Diri Mesina & Messina (dalam Melati, dkk., 2007) menjelaskan fungsi kontrol diri sebagai berikut: 1) Membatasi perhatian individu kepada orang lain Individu akan memberikan perhatian pada kebutuhan pribadinya, tidak berfokus pada kebutuhan atau keinginan orang lain di lingkungan. 2) Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di lingkungannya Individu akan membatasi dirinya untuk menahan dorongan atau keinginan yang tidak sesuai dengan norma sosial. 3) Membatasi individu untuk menghindari perilaku negatif Individu akan membatasi dirinya untuk menahan dorongan atau keinginan yang tidak sesuai dengan norma sosial. 4) Membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang. Individu akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan kebutuhan yang ingin dipenuhinya, sehingga individu dapat menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi kontrol diri adalah membatasi perhatian individu kepada orang lain, membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain di lingkungannya, membatasi individu untuk menghindari perilaku negatif, dan membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang. 18 f. Cara Meningkatkan Kemampuan Kontrol Diri Kontrol diri merupakan suatu potensi yang akan berkembang seiring dengan bertambahnya usia individu melalui serangkaian pengalaman-pengalaman hidupnya. Kontrol diri yang merupakan kemampuan individu untuk mengontrol lingkungan pribadi sebagai usaha yang bersifat pencegahan (preventif) untuk mengurangi efek psikologis negatif yang bersumber dari lingkungan. Secara umum, strategi untuk meningkatkan kontrol diri dapat digolongkan menjadi tiga kategori Wendersman, (Holahan & Wandersman 1987:245) sebagai berikut: Pertama, membuat atau memodifikasi lingkungan menjadi responsif atau menunjang tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Pada prinsipnya, arah ini menempatkan objek (lingkungan) sebagai sentral atau pusat pengembangan. Contohnya, mengubah tata letak perabotan atau fungsi ruangan dalam mengurangi kebosanan di dalam rumah atau tempat kerja Kedua, memperbanyak informasi dan kemampuan untuk menghadapi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan. Misalnya melatih diri mengantisipasi hal-hal atau kondisi yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang Ketiga, menggunakan secara lebih efektif kebebasan memilih dalam pengaturan lingkungan. Misalnya, menggunakan waktu dan posisi individu dalam situasi atau lingkungan tertentu. Keluar dari suatu keadaan atau lingkungan pada saat-saat tertentu juga dapat digunakan sebagai alternatif bilamana hal tersebut dipandang lebih baik. Kontrol diri sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan masyarakat, yang apabila seseorang tidak dapat mengontrol dirinya akan berdampak negatif bagi dirinya dan pencapaian tujuan hidup. Sehingga diperlukan teknik/cara untuk meningkatkan kontrol diri. Skinner dan 19 Vaughan (dalam Jess & Gregory, 2009: 186) mengatakan beberapa teknik yang dapat digunakan oleh individu untuk meningkatkan kontrol diri, yaitu: Pertama, individu dapat menggunakan alat bantu seperti perkakas, mesin, dan sumber finansial untuk mengubah lingkungan mereka. Sebagai contoh, seseorang dapat mengambil uang lebih saat pergi berbelanja untuk memberikan dirinya pilihan melakukan belanja impulsif. Kedua, individu dapat mengubah lingkungannya, sehingga meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku yang diinginkan. Sebagai contoh, seorang pelajar yang ingin berkonsentrasi pada pelajaranya dapat mematikan perangkat televisi yang mengganggu. Ketiga, individu dapat mengatur lingkunganya supaya dapat menghindari stimulus yang tidak menyenangkan hanya dengan menggunakan respon yang tepat. Sebagai contoh, seorang wanita dapat mengatur suara jam wakernya supaya suaranya yang tidak menyenangkan hanya dapat dihentikan dengan turun dari tempat tidur dan mematikanya. Keempat, individu dapat menggunakan obat-obatan, sebagai suatu cara melakukan kontrol diri. Sebagai contoh, seorang pria dapat mengonsumsi obat penenang untuk membuat perilakunya lebih tenang. Kelima, individu dapat melakukan suatu hal lain untuk menghindari perilaku dengan cara yang tidak diinginkan. Sebagai contoh, seorang wanita yang obsesif dapat menghitung pola yang diulang dalam kertas dinding untuk menghindari berpikir mengenai pengalaman masa lalu yang dapat menciptakan perasaan bersalah. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kontrol diri dapat dikembangkan melalui memodifikasi/mengatur lingkungan sehingga meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku yang diinginkan, memperbanyak informasi dan kemampuan untuk menghadapi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan, menggunakan 20 secara lebih efektif kebebasan memilih dalam pengaturan lingkungan, menggunakan alat bantu, menggunakan obat-obatan, dan individu dapat melakukan suatu hal lain untuk menghindari perilaku dengan cara yang tidak diinginkan. Pengembangan kontrol diri pada prakteknya dapat dilakukan secara individual seperti penjelasan di atas maupun berkelompok dengan bantuan orang lain yang lebih ahli. Bantuan orang lain yang ahli dapat dilakukan melalui psikolog, psikiter maupun konselor. Pengembangan kontrol diri peserta didik di lingkungan sekolah dilakukan oleh konselor (guru bimbingan dan konseling). Guru bimbingan dan konseling dalam meningkatkan kontrol diri peserta didik menggunakan berbagai layanan bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling yang diprediksi cocok adalah bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi. Bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi merupakan bimbingan kelompok yang dilaksanakan dengan peniruan terhadap sesuatu peristiwa/kejadian untuk merefleksikan situasi-situasi yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya. Sehingga peran peserta didik dalam permainan ini sangat penting dalam membentuk dinamika kelompok, belajar memecahkan masalah bersama, dan mencapai tujuan bersama. 2. Kajian Teori tentang Bimbingan Kelompok dengan Teknik Permainan Simulasi a. Konsep Bimbingan Kelompok Pelaksanaan program bimbingan dan konseling dalam prakteknya menggunakan layanan yang bersifat individual dan kelompok. Salah satu layanan yang bersifat kelompok adalah layanan bimbingan kelompok. Bimbingan kelompok merupakan usaha pemberian bantuan yang dilakukan oleh ahli (konselor) kepada peserta didik untuk memahami diri dan lingkungan dalam suasana kelompok. Prayitno & Amti (2008: 309) mengatakan “Bimbingan kelompok 21 adalah suatu layanan bimbingan yang diberikan dalam suasana kelompok”. Penjelasan tersebut bermakna bahwa bimbingan yang diberikan kepada peserta didik mengutamakan suasana kelompok yang aktif saling memberikan interaksi dan timbal balik dalam pelaksanaan bimbingan. Tohirin (2009: 170) menyatakan “Bimbingan kelompok merupakan suatu cara memberikan bantuan (bimbingan) kepada individu (siswa) melalui kegiatan kelompok”. Pendapat tersebut bermakna bahwa bantuan yang diberikan kepada peserta didik dilakukan dengan kegiatan kelompok di mana setiap anggota kelompok berkontribusi dalam keberhasilan kegiatan bimbingan kelompok. Hartinah (2009: 6) mengatakan “Bimbingan kelompok merupakan kegiatan bimbingan yang diberikan kepada kelompok individu yang mengalami masalah sama”. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa dalam bimbingan kelompok masalah yang akan diselesaikan sama atau relatif sama yang dihadapi peserta didik. Gazda (dalam Prayitno & Amti, 2008: 309) menjelaskan “Bimbingan kelompok di sekolah merupakan kegiatan informasi kepada sekelompok siswa untuk membantu mereka menyusun rencana dan keputusan yang tepat”. Pendapat tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan bimbingan kelompok guru pembimbing sebagai fasilitator memberi informasi dan memberikan pengarahan supaya peserta didik mampu memahami dirinya dan masalah yang dihadapinya sehingga diperoleh pemecahan masalah yang tepat sesuai keadaan peserta didik. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bimbingan kelompok adalah layanan bimbingan yang diberikan kepada individu yang memiliki masalah relatif sama melalui suasana dan kegiatan kelompok untuk memperoleh keputusan pemecahan masalah yang tepat. Bimbingan kelompok dalam pelaksanaan di sekolah untuk memperbaiki perilaku dan kebiasaan menyimpang yang dialami 22 peserta didik. Tohirin (2009: 172) mengatakan bahwa secara umum layanan bimbingan kelompok bertujuan untuk mengembangkan kemampuan bersosialisasi, khususnya kemampuan berkomunikasi pada peserta layanan. Secara lebih khusus, layanan bimbingan kelompok bertujuan untuk mendorong pengembangan perasaan, wawasan, dan sikap yang menunjang perwujudan perilaku yang lebih efektif, yakni peningkatan kemampuan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal peserta didik. Pelaksanaan bimbingan kelompok akan terjadi interaksi antar anggota kelompok sehingga terbentuk dinamika kelompok. Dinamika kelompok yang baik akan berdampak positif bagi kelancaran tujuan layanan bimbingan kelompok. Dalam pelaksanaan bimbingan kelompok yang sudah berjalan dengan baik akan memiliki banyak keuntungan yang didapat. Hartinah (2009: 9) menjelaskan beberapa keuntungan yang diperoleh melalui bimbingan kelompok, yaitu: 1) Anak bermasalah dapat mengenal dirinya melalui teman-teman kelompok. Anak dapat membandingkan potensi dirinya dengan yang lain. Anak dibantu yang lain dalam menemukan dirinya dan sebaliknya, anak dapat membantu kawannya untuk menemukan dirinya. Kecenderungan tersebut akan didorong dengan dasar bahwa anak pada hakikatnya adalah makhluk individu dan sebagai makhluk sosial; 2) Melalui kelompok, sikap-sikap positif anak dapat dikembangkan seperti toleransi, saling menghargai, kerjasama, tanggung jawab, disiplin, kreativitas, dan sikap-sikap kelompok lainnya; 3) Melalui kelompok dapat dihilangkan beban-beban moril seperti malu, penakut, agresif, manja, dan sifat-sifat egoistis; 4) Melalui kelompok, dapat dihilangkan ketegangan-ketegangan emosi, konflik-konflik, kekecewaan, curiga-mencurigai, dan iri hati; 23 5) Melalui kelompok, dapat dikembangkan gairah hidup dalam melakukan tugas, suka menolong, disiplin, dan sikap-sikap sosial lainnya. Tohirin (2009: 173) mengatakan bahwa topik-topik yang dibahas dalam layanan bimbingan kelompok mencakup bidang-bidang pengembangan kepribadian, hubungan sosial, pendidikan karakter, kehidupan keluarga, kehidupan beragama, dan lain sebagainya. Topik yang ada dalam layanan bimbingan kelompok tersebut dapat diperluas sesuai dengan keadaan yang ada di lapangan. Misalnya pengembangan kepribadian dapat mencakup kepribadian yang optimis, toleransi, dan kontrol diri yang baik. Bimbingan kelompok tidak berfokus pada satu teknik saja dalam pelaksanaannya, namun memiliki berbagai teknik. Bimbingan kelompok memiliki berbagai teknik yang dapat dipakai sesuai dengan kebutuhan. Romlah (2006:87) menjelaskan bahwa teknik yang biasa dipakai dalam pelaksanaan bimbingan kelompok, yaitu: pemberian informasi atau ekspositori, diskusi kelompok, pemecahan masalah (problem-solving), penciptaan suasana kekeluargaan (homeroom), permainan peranan, karyawisata, dan permainan simulasi. Penelitian ini menggunakan teknik permainan simulasi karena teknik ini diprediksikan cocok sebagai pelatihan untuk meningkatkan kontrol diri peserta didik karena topik bahasan dalam permainan simulasi yang telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan peningkatan kontrol diri peserta didik. b. Pengertian Bimbingan Kelompok Teknik Permainan Simulasi Permainan simulasi merupakan salah satu teknik yang ada dalam bimbingan kelompok. Permainan simulasi merupakan salah satu teknik bimbingan kelompok yang pelaksanaannya menggunakan permainan yang diaplikasikan dalam layanan bimbingan yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling. Romlah (2006: 118) mengatakan “Permainan simulasi dapat dikatakan gabungan antara 24 teknik bermain peran dengan teknik diskusi”. Penjelasan tersebut menegaskan bahwa dalam permainan simulasi ini terjalin komunikasi dan interaksi antar anggota kelompok dengan memerankan peran yang telah ditentukan ditambah dengan adanya diskusi kelompok. Menurut Samani & Hariyanto (2013: 157) mengatakan “Permainan simulasi artinya peniruan terhadap sesuatu, jadi bukan sesuatu yang terjadi sesungguhnya”. Penjelasan tersebut bermakna bahwa peserta didik tidak berada dalam situasi sesungguhnya, tetapi memerankan/menirukan tokoh seolah-olah mengalaminya sendiri. Adams (dalam Romlah, 2006: 118) “Permainan simulasi adalah permainan yang dimaksudkan untuk merefleksikan situasi-situasi yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya”. Permainan simulasi ini dianggap sebagai cara untuk merasakan ataupun mendapatkan pengalaman dari situasi-situasi yang sebenarnya dengan pelaksanaan permainan simulasi. Topik-topik permainan simulasi disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan peserta didik dengan demikian sesuai keadaan diri peserta didik. Permainan simulasi cocok dipakai untuk memotivasi peserta didik untuk mendapatkan pengalaman belajar, terutama bila bahan pelajaran yang dipelajarinya kurang menarik. Permainan simulasi selain berguna untuk memperkenalkan konsep dan menanamkan pengertian tentang sesuatu hal, juga mempunyai kekuatan untuk membangkitkan minat dan perhatian peserta didik. Penggunaan teknik permainan simulasi baik untuk kepentingan pengajaran maupun bimbingan didasarkan pada pikiran bahwa belajar dapat terjadi apabila peserta didik menyatu dan akrab dengan lingkungan belajarnya. Belajar dengan situasi demikian disebut belajar aktif (Romlah, 2006: 119). Bimbingan melalui pemberian pengalaman pada peserta didik dengan lingkungan belajarnya akan memudahkan dalam memahami kebutuhan yang diperlukan peserta didik di dalam lingkungan belajarnya. Layanan yang diberikan mudah 25 meresap, diterima, dan merasa puas karena berpartisipasi aktif dalam kegiatan permainan. Permainan simulasi dapat merangsang berbagai bentuk belajar, seperti belajar tentang kompetisi, kerjasama, empati, sistem sosial, konsep, keterampilan, kemampuan berfikir kritis, pengambilan keputusan dan lain-lain (Uno, 2012:30). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi merupakan suatu usaha pemberian layanan bimbingan kelompok yang dilaksanakan dengan peniruan terhadap sesuatu melalui gabungan bermain peran dan diskusi untuk merefleksikan situasi-situasi yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya. c. Tujuan Bimbingan Kelompok Teknik Permainan Simulasi Permainan simulasi dalam praktek layanan bimbingan kelompok memiliki tujuan tertentu, yang membedakan dengan teknik bimbingan kelompok yang lain. Samani & Hariyanto (2013: 157) menyatakan bahwa Permainan simulasi dilakukan dengan tujuan agar peserta didik memperoleh keterampilan tertentu, baik yang bersifat profesional maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Dapat pula simulasi ditujukan untuk memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip, serta bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang relevan dengan pendidikan karakter. Dengan adanya kerjasama dan saling bertukar pendapat dalam permainan dapat memunculkan pengalaman-pengalaman baru yang mungkin belum pernah dialami dirinya tetapi dialami anggota kelompok lain. Majid (2013: 205) mengatakan bahwa metode simulasi bertujuan untuk: (1) Melatih keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari, (2) Memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip, (3) Melatih memecahkan masalah, (4) Meningkatkan keaktifan belajar, (5) Memberi motivasi belajar kepada siswa, (6) Melatih peserta didik 26 untuk mengadakan kerjasama dalam sistuasi kelompok, (7) Menumbuhkan daya kreatif siswa, dan (8) Melatih peserta didik untuk mengembangkan sikap toleransi. Masing-masing tujuan yang dikemukakan oleh Majid dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Pertama, profesional melatih maupun bagi keterampilan tertentu kehidupan sehari-hari. baik bersifat Pelaksanaan permainan simulasi memerlukan keseriusan peserta didik. Saat peserta didik melaksanakan permainan peserta didik diberikan kebebasan mengeksplore potensi dirinya. Potensi tersebut antara lain kreativitas, komunikasi antar anggota, kedisiplinan dan kepercayaan diri. Semua itu akan terlatih dalam proses jalanya permainan. Kedua, memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip. Pelaksanaan permainan simulasi yang dilaksanankan dengan benar akan memberikan kesan yang mendalam bagi peserta didik yang terlibat, baik sebagai penonton maupun pemain. Secara sadar maupun tidak peserta didik mendapatkan pemahaman suatu konsep atau prinsip yang dibutuhkan di lingkungan sosial baik sekolah, tempat kerja maupun masyarakat menjadi hasil akhir bimbingan. Ketiga, melatih pemecahan masalah. Dalam rangkaian pelaksanaan permainan simulasi merupakan bentuk pemeranan dalam kondisi permasalahan yang ada dikehidupan masyarakat. Dengan dihadapkan dengan masalah tersebut peserta didik belajar memposisikan dirinya menjadi orang yang sedang menyelesaikan masalah sesuai dengan kemampuan dan pemahaman peserta didik. Sehingga akan terlatih menghadapi masalah yang sama dikemudian hari. Keempat, meningkatkan keaktifan. Pelaksanaan permainan simulasi yang sudah disesuaikan dengan topik yang dibutuhkan peserta didik. Sehingga pelaksanaannya akan lebih natural dan keaktifan peserta didik dapat meningkat karena topik yang dimainkan peserta didik ada dikehidupan sehari-hari mereka. 27 Kelima, memberi motivasi belajar pada peserta didik. Dengan adanya evaluasi dalam permainan simulasi ini diharapkan menumbuhkan motivasi pemain supaya permainannya baik dan penonton termotivasi untuk mengamati permainan simulasi temannya sehingga bisa memberi masukan demi kebaikan bersama. Keenam, melatih peserta didik untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok. Pelaksanaan permainan simulasi tidak lepas dari interaksi antar-anggota kelompok. Melalui kerjasama yang baik antar-pemain maksud dan tujuan dari permainan simulasi yang ditampilkan akan sampai kepada penonton. Ketujuh, menumbuhkan daya kreatif peserta didik. Peran yang disimulasikan dalam permainan sesuai dengan kreativitas pemain sesuai kondisi yang sedang dimainkan seperti kejadian yang sebenarnya. Sehingga dengan kreativitas dan pemahaman yang baik dengan perannya, penonton akan tertarik dan mudah memahami maksud pemain. Kedelapan, melatih peserta didik mengembangkan toleransi. Dalam hubungan dengan orang lain toleransi sangat dibutuhkan supaya tidak terjadi perbedaan pendapat terutama dalam permainan simulasi ini saat bermain dituntut untuk kompak dan bisa mengontrol dirinya agar tidak menganggu hak orang lain. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan tujuan permainan simulasi adalah peserta didik memperoleh keterampilan baik yang bersifat profesional maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari, memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip, melatih memecahkan masalah, meningkatkan keaktifan belajar, memberi motivasi belajar kepada peserta didik, melatih peserta didik untuk mengadakan kerjasama dalam sistuasi kelompok, menumbuhkan daya kreatif peserta didik, dan melatih peserta didik untuk mengembangkan sikap toleransi. 28 d. Kelebihan dan Kekurangan Bimbingan Kelompok Teknik Permainan Simulasi Setiap teknik yang ada dalam bimbingan kelompok pastilah memiliki karakteristik yang membedakan dengan teknik yang lain. Tidak ada satu teknik yang cocok digunakan untuk semua permasalahan, maka dari itu teknik permainan simulasi juga memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya. Majid (2013: 207) menyebutkan bahwa permainan simulasi memiliki kelebihan berikut: 1) Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi peserta didik dalam menghadapi situasi yang sebenarnya kelak; 2) Simulasi dapat mengembangkan kreativitas peserta didik karena diberikan kesempatan untuk memainkan peranan sesuai dengan topik atau masalah yang ada; 3) Simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri peserta didik; 4) Memperkaya pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi situasi sosial; 5) Simulasi dapat meningkatkan gairah peserta didik dalam proses pembelajaran. Sejalan dengan pendapat di atas Uno (2012: 29) mengatakan beberapa kelebihan simulasi antara lain: 1) Peserta didik dapat mempelajari sesuatu yang dalam situasi nyata tidak dapat dilakukan karena kerumitanya atau karena faktor lain seperti resiko kecelakaan, bahaya, dan lain-lain; 2) Memungkinkan peserta didik belajar dari umpan balik yang datang dari dirinya sendiri. Majid (2013:207) Permainan simulasi juga memiliki beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya, yaitu: 1) Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai di lapangan; 29 2) Pengelolaan yang kurang baik sering menjadikan simulasi sebagai alat hiburan, sehingga tujuan pembelajaran menjadi terabaikan; 3) Faktor psikologis seperti malu dan takut sering mempengaruhi peserta didik dalam melakukan simulasi. e. Langkah Pelaksanaan Bimbingan Kelompok Teknik Permainan Simulasi Pelaksanaan permainan simulasi harus dipersiapkan dengan matang supaya hasil yang dicapai dapat maksimal. Sebelum melaksanakan permainan simulasi, guru pembimbing perlu menyiapkan segala keperluan untuk permainan. Romlah (2006: 121) menjelaskan cara untuk membuat permainan simulasi adalah sebagai berikut: 1) Meneliti masalah yang banyak dimiliki anak; 2) Merumuskan tujuan yang ingin dicapai; 3) Membuat daftar sumber-sumber yang ingin dipakai; 4) Memilih situasi dalam kehidupan sebenarnya yang ada kaitanya dengan kehidupan peserta didik; 5) Membuat model atau skenario dari situasi yang telah dipilih; 6) Identifikasi peserta didik yang akan terlibat dalam permainan tersebut; 7) Membuat alat-alat permainan. Pelaksanaan permainan simulasi selain memperhatikan cara pembuatan permainan juga harus memperhatikan pihak yang terlibat dalam permainan dan aktif dalam pelaksanaan permainan. Pihak yang harus ada dalam permainan simulasi menurut Romlah (2006:121) sebagai berikut: 1) Fasilitator, yaitu individu yang bertugas memimpin permainan simulasi. Tugas fasilitator adalah menjelaskan tujuan permainan, mendorong pemain dan penonton untuk aktif ikut berdiskusi, membantu memecahkan masalah yang timbul selama permainan, 30 menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh peserta lain, mengarahkan diskusi dan melaporkan hasilnya. 2) Penulis, bertugas mencatat segala sesuatu yang terjadi selama permainan berlangsung. 3) Pemain, yaitu individu-individu yang memegang tanda bermain dan menjawab dan mendiskusikan pesan-pesan permainan simulasi. 4) Pemegang peran, yaitu individu-individu yang berperan sebagai orang-orang atau tokoh yang ada dalam skenario permainan, misalnya guru, kepala sekolah, peserta didik, orang tua, tokoh masyarakat dan sebagainya. Tugas pemegang peran adalah memberikan pendapat pada masalah yang menyangkut bidangnya untuk memperjelas informasi. 5) Penonton, yaitu mereka yang ikut menyaksikan permainan simulasi dan berhak mengemukakan pendapat, menjawab pertanyaan dan berdiskusi. Persiapan permainan yang sudah selesai, maka berlanjut pada langkah/prosedur pelaksanaan permainan. Persiapan yang baik harus diikuti dengan prosedur yang baik pula, maka hasilnya akan memuaskan. Permainan simulasi dilaksanakan sesuai dengan aturan atau prosedur tertentu yang telah dipahami oleh peserta didik. Majid (2013: 207) menyebutkan langkah-langkah permainan simulasi adalah sebagai berikut: 1) Persiapan simulasi a) Menetapkan topik atau masalah dan tujuan yang ingin dicapai; b) Guru pembimbing memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan disimulasikan; c) Guru pembimbing menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi; d) Guru pembimbing memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya pada pemain. 31 2) Pelaksanaan simulasi a) Simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran; b) Peserta didik lainnya mengikuti dengan penuh perhatian; c) Guru pembimbing hendaknaya memberi bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan; d) Simulasi hendaknya dihentikan pada saat puncak untuk mendorong peserta didik berpikir dalam menyelesaikan masalah yang sedang disimulasikan. 3) Penutup a) Melakukan diskusi baik tentang jalanya simulasi maupun materi cerita yang disimulasikan; b) Merumuskan kesimpulan. f. Keefektifan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Permainan Simulasi untuk Meningkatkan Kontrol Diri Kontrol diri merupakan potensi penting yang harus dikembangkan untuk membentuk kepribadian. Dengan kontrol diri yang baik individu dapat mengantisipasi dampak-dampak negatif yang ada di lingkungan. Kontrol diri membantu individu untuk bersikap dengan benar dan efektif sesuai keadaan yang dibutuhkan dalam masyarakat. Sehingga perilaku yang dimunculkan merupakan perilaku yang akan memberi manfaat dan dampak positif bagi dirinya. Perkembangan zaman yang semakin berkembang dan modern. Kontrol diri semakin diperlukan sebagai perisai diri yang membentengi dari arus modernisasi yang begitu pesat terutama untuk peserta didik. Perlu diketahui tidak semua peserta didik memiliki kemampuan kontrol diri yang baik. Peserta didik yang memiliki kontrol diri rendah cenderung akan terjerumus dalam hal-hal menyimpang dari aturan sosial dan memicu konflik apabila berinteraksi dengan orang lain. Upaya untuk meningkatkan kontrol diri diperlukan layanan yang tepat dan efektif. Bimbingan kelompok merupakan suatu upaya untuk 32 membantu peserta didik dalam pemahaman diri, pemecahan masalah, pengembangan potensi. Hasan, dkk (2011: 214) mengatakan bahwa bimbingan kelompok akan berjalan efektif apabila didalamnya terdapat permainan. Hal ini dikarenakan siswa lebih aktif dan termotivasi dengan permainan, permainan tidak hanya disukai oleh anak-anak saja namun disukai oleh semua usia. Zulkifli (2012: 40) menjelaskan “Permainan merupakan latihan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan kehidupan, juga dapat dianggap sebagai latihan jiwa dan raga untuk kehidupan dimasa yang akan datang”. Pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa melalaui permainan peserta didik dapat dilatih berbagai keterampilan yang berguna dimasa depan. Sejalan dengan pendapat tersebut digunakan lah permainan simulasi untuk meningkatkan kontrol diri. Surjadi (1989: 129) mengatakan “Tujuan permainan simulasi yaitu untuk memperoleh informasi baru dan kesadaran akan masalah yang dihadapi bersama serta keinginan untuk memecahkannya”. Sejalan dengan pendapat di atas permainan simulasi dapat memberikan informasi dan membantu peserta didik menyadari permasalahan kontrol diri yang rendah serta membantu peserta didik memecahkan masalah tersebut dengan keputusan yang tepat. Sehingga peserta didik mampu meningkatkan kemampuan kontrol dirinya dalam berperilaku dan mengambil keputusan dikehidupan sehari-hari. Pelaksanaan permainan simulasi peserta didik dengan memainkan peran yang menjadi tanggung jawab mereka sesuai dengan pemahaman dan pengalaman masing-masing peserta didik. Peserta didik tidak harus pernah mengalami kejadian ataupun peristiwa yang akan disimulasikan. Proses belajar dari peserta didik yang lain membuat pelaksanaan permainan simulasi penuh dengan pertukaran informasi dan pengalaman hidup peserta didik. 33 3. Tinjauan Peserta Didik Sekolah Menengah Pertama Remaja merupakan masa menuju kedewasaan. Santrock (2003: 26) “Remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional’’. Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa masa remaja memiliki tahap perkembangan yang harus dilalui untuk menjadi dewasa. Sejalan dengan pendapat Desmita (2009: 189) menjelaskan bahwa remaja berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Pada masa perekembangan ini remaja belajar menjadi dewasa sebagai peserta didik. Chasiyah, dkk (2009: 15) mengatakan “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri dengan mengikuti pendidikan pada jalur sekolah”. Penjelasan tersebut dapat dimaknai dalam pengembangan diri peserta didik memiliki tempat khusus untuk mengoptimalkan perkembangan peserta didik hingga mencapai kedewasaan melalui sekolah. Sekolah memiliki tingkatan di dalamnya dari usia balita hingga remaja. Masa remaja Monk, Knoers, & Haditomo (dalam Desmita, 2012) membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu: (1) masa pra-remaja atau pra-pubertas (10-12 tahun), (2) masa remaja awal atau pubertas (12-15 tahun), (3) masa remaja pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Remaja awal hingga akhir inilah yang disebut masa adolosen. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui peserta didik sekolah menengah pertama berada pada masa remaja awal (12-15 tahun). Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik sekolah menengah atas merupakan peserta didik usia remaja awal (12-15 tahun) yang mengembangkan diri melalui pendidikan jalur sekolah. Setiap periode penting selama rentang kehidupan memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakanya dengan periode sebelum dan 34 sesudahnya. Peserta didik SMP yang tergolong remaja awal memiliki karakteristik tertentu dalam berbagai aspek kehidupannya. Yusuf (2011: 193) menjelaskan karakteristik perkembangan remaja, yaitu: 1) Perkembangan fisik Masa remaja merupakan salah satu di antara dua masa rentang kehidupan individu di mana terjadi perubahan fisik yang pesat. Pertumbuhan yang cepat pada remaja secara proposional menjadi besar dibanding fase sebelumnya. Dalam perkembangan seksualitas ditandai dengan dua ciri yaitu ciri-ciri seks primer seperti mengalami mimpi basah dan menstruasi sedangkan pada ciri-ciri seks sekunder tumbuh kumis atau bertambah besar buah dada. 2) Perkembangan kognitif Kognitif merupakan proses berfikir abstrak dengan baik serta berfikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru. Remaja secara mental telah dapat berfikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak, sehingga remaja berada pada tahap operasional formal dan sudah mampu berfikir abstrak, logis, rasional, serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotesis. 3) Perkembangan emosi Masa remaja perkembangan merupakan emosional puncak yang emosionalitas, tinggi. Pada usia yaitu remaja perkembangan emosinya menunjukkan sifat yang sensitive dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental. Bagi remaja tugas perkembangan yang palin gsulit yaitu, mencapai kematangan emosional, karena pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik dan kondisi sosioemosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. 35 4) Perkembangan Sosial Kehidupan sosial remaja sedang mengalami proses peralihan dari fase sebelumnya sehingga memerlukan banyak penyesuaian terhadap kebutuhan dan tugas perkembangan yang baru. Pada masa remaja berkembang “sosial cognition” yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai maupun persaannya sehingga mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebayanya. 5) Perkembangan moral Remaja muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya, karena dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya remaja akan merasa puas. 6) Perkembangan kepribadian Fase remaja merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan dan integrasi kepribadian, karena masa remaja merupakan saat berkembangnya jati diri yang akan membentuk kepribadian pada masa dewasa. 7) Perkembangan kesadaran beragama Kemampuan berpikir abstrak remaja memungkinkan untuk dapat mentransformasikan kesadaran atau keyakinan keyakinan beragama. beragama, Berkembangnya remaja sering mempermasalahkan sumber-sumber otoritas dalam kehidupan. Perkembangan masa remaja sejalan dengan perkembangan kontrol diri remaja. Kontrol diri berkaitan erat dengan keterampilan emosional. Bahkan kontrol diri merupakan salah satu komponen keterampilan emosional. Sebagaimana yang dikatakan oleh Goleman (dalam Thalib, 2013: 107) bahwa keterampilan emosional mencakup kontrol diri, semangat, ketekunan, kemampuan untuk memotivasi diri 36 sendiri, tidak melebih-lebihkan kesenangan, empati, dan mengatur suasana hati. Keterampilan ini dapat diajarkan kepada remaja. Remaja dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila pada masa akhir remajanya tidak meledak-ledak emosinya dihadapan orang lain (Ghufron & Risnawita, 2012: 28). Ghufron & Risnawita (2012: 24) mengatakan bahwa ada dua kriteria yang menentukan apakah kontrol emosi dapat diterima secara sosial atau tidak. Kontrol emosi dapat diterima bila reaksi masyarakat terhadap pengendalian emosi adalah positif. Namun, reaksi positif saja tidaklah cukup karenanya diperlukan kriteria lain. Hurlock (dalam Ghufron & Risnawita, 2012: 24) menyebutkan tiga kriteria emosi, yaitu: 1) Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial; 2) Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhanya dan sesuai dengan harapan masyarakat; 3) Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponya dan memutuskan cara beraksi terhadap situasi tersebut. Efek yang muncul setelah mengontrol emosi terhadap kondisi fisik dan psikis seharusnya tidak membahayakan fisik dan psikis individu. Artinya dengan mengontrol emosi kondisi fisik dan psikis individu terlepas dari tekanan yang berasal dari emosi yang berlebihan, sehingga keaadaan fisik dan psikis akan lebih baik . 4. Hasil Penelitian yang Relevan Rahmatuz Zaqiyah (2014) telah melakukan penelitian yang berjudul “Bimbingan Kelompok dengan Teknik Permainan Simulasi untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 1 Matesih Tahun Ajaran 2014/2015”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menguji keefektifan layanan bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi dalam meningkatkan keterampilan sosial peserta didik SMPN 1 Matesih Tahun Ajaran 37 2014/2015. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil uji t-test dengan nilai ๐กโ๐๐ก๐ข๐๐ sebesar 3,286 dengan signifikansi 0,002. Adapun nilai signifikansi 0,002<0,05 maka ๐ป๐ ditolak dan ๐ป๐ diterima, dengan demikian dinyatakan bahwa ada perbedaan antara kelompok eksperiman yang telah diberi dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan treatment. kelompok dengan Sehingga teknik disimpulkan permainan bahwa simulasi bimbingan efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial pada peserta didik kelas VII SMPN 1 Matesih tahun ajaran 2013/2014. Haning Nikitasari (2014) melakukan penelitian yang berjudul “Permainan Simulasi untuk Meningkatkan Kerjasama dalam Menyelesaikan Tugas Akademik pada Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri 1 Weru Sukoharjo Tahun Ajaran 2014/2015”. Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen menggunakan analisis data uji t dengan bantuan SPSS 18. Hasil hipotesis data posttest antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol menunjukkan nilai ๐กโ๐๐ก๐ข๐๐ sebesar 2.479 dan nilai ๐ก๐ก๐๐๐๐ 1.67 dengan nilai signifikansi 0.016, artinya ada perbedaan yang signifikan hasil posttest antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Simpulan yang dapat diambil dari hasil analisis yaitu permainan simulasi efektif untuk meningkatkan kerjasama dalam menyelesaikan tugas akademik pada peserta didik kelas VIII SMP Negeri 1 Weru Sukoharjo. B. Kerangka Berfikir Kontrol diri peserta didik berbeda antara satu dengan yang lainnnya. Ada peserta didik yang memiliki kontrol diri tinggi dan kontrol diri rendah. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kontrol diri rendah yaitu menerapkan bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi. Peserta didik diberikan treatment bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi untuk meningkatkan kontrol diri peserta didik. Berdasarkan penjelasan di atas dibuat skema kerangka berfikir sebagai berikut: 38 Kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengatur perilaku melalui pertimbangan kognitif serta pengambilan keputusan ke arah konsekuensi positif. Peserta didik SMP kemampuan kontrol berbeda. Ada yang kontrol diri tinggi kontrol diri rendah. memiliki diri yang memiliki dan juga Kontrol diri berkembang melalui proses belajar. Proses belajar akan menambah pengalaman dan wawasan tentang pentingnya kontrol diri dan cara mengembangkan kontrol diri. Bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi kontrol diri untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri peserta didik. Gambar 2.1. Skema Kerangka Berfikir Bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi merupakan suatu usaha pemberian layanan bimbingan kelompok yang dilaksanakan dengan peniruan terhadap sesuatu melalui gabungan bermain peran dan diskusi untuk merefleksikan situasi-situasi yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya. Topik-topik permainan simulasi disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan peserta didik di lapangan dengan demikian sesuai keadaan diri peserta didik. Permainan simulasi dapat memberikan pemahaman dan informasi tentang konsep, prinsip serta keterampilan yang membantu peserta didik menyadari dan memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi. Kemampuan kontrol diri peserta didik dapat meningkat. 39 C. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara atas suatu permasalahan. Berdasarkan uraian tersebut maka dibuat hipotesis sebagai berikut: “Bimbingan kelompok dengan teknik permainan simulasi efektif untuk meningkatkan kontrol diri peserta didik kelas VIII SMP Negeri 1 Kartasura Tahun Ajaran 2015/2016’’.