BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
“Human Resource Management refers to the policies, practices, and systems that
influence employees’ behavior, attitudes, and performance.” (Noe dkk, 2000, p4)
Berdasarkan Hariandja dan Hardiwati (2003, p16), manajemen SDM adalah
keseluruhan penentuan dan pelaksanaan berbagai aktivitas, policy, dan program yang
bertujuan untuk mendapatkan tenaga kerja, pengembangan, dan pemeliharaan dalam usaha
meningkatkan dukungannya terhadap peningkatan efektivitas organisasi dengan cara yang
secara etis dan sosial dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan Mathis dan Jackson (2006, p67), manajemen SDM adalah penggunaan
karyawan secara organisasional untuk mendapatkan atau memelihara keunggulan kompetitif
terhadap para pesaing.
Sehingga,
manajemen
SDM
adalah
sistem
dan
kebijakan
yang
mengatur
penggunaan karyawan secara organisasional dengan cara yang etis untuk mempengaruhi
kinerja karyawan dan memberikan kontribusi terhadap efektivitas organisasi.
2.1.1.1 Peran Manajemen Sumber Daya Manusia
Seperti digambarkan dalam Gambar 2.1, manajemen Sumber Daya Manusia
memainkan beberapa peranan bagi organisasi, seperti berikut.
9
10 Sumber: Mathis dan Jackson, 2006, p51
Gambar 2.1 Perbedaan Peran Manajemen SDM
1. Peran Administratif
Meliputi
aktivitas-aktivitas
administrasi,
seperti
program
bantuan
karyawan,
administrasi pensiun, pemerikasaan latar belakang/surat keterangan, administrasi imbalan
kerja, perencanaan dan administrasi kompensasi, dan penanganan persoalan cuti yang
terkait dengan urusan keluarga.
2. Penasihat Karyawan
Profesional-profesional SDM sebagai suara atas persoalan-persoalan karyawan,
biasanya
dipandang
sebagai
petugas
moral
perusahaan.
Profesional
SDM
banyak
menghabiskan waktu untuk menangani manajemen krisis SDM yang berhubungan dengan
masalah pekerjaan karyawan maupun masalah yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
3. Operasional
Peran operasional terdiri dari beberapa aktivitas SDM berikut ini.
11 •
Pengadaan tenaga kerja (procurement)
Fungsi operasional dari manajemen personalia adalah berupa usaha untuk
memperoleh jenis dan jumlah yang tepat dari personalia yang diperlukan untuk
menyelesaikan sasaran organisasi. Hal-hal yang dilakukan dalam kaitan ini adalah
penentuan sumber daya manusia yang dibutuhkan dan perekrutannya, seleksi, dan
penempatan . Penentuan sumber daya manusia yang diperlukan harus bersandar
pada tugas-tugas yang tercantum pada rancangan pekerjaan yang ditentukan
sebelumnya
•
Pengembangan (development)
Pengembangan merupakan peningkatan keterampilan melalui pelatihan yang perlu
untuk prestasi kerja yang tepat. Kegiatan ini amat penting dan terus tumbuh karena
perubahan-perubahan teknologi, reorganisasi pekerjaan, tugas manajemen yang
semakin rumit.
•
Kompensasi (compensation)
Fungsi ini dirumuskan sebagai balas jasa yang memadai dan layak kepada personalia
untuk sumbangan mereka kepada tujuan organisasi
•
Integrasi (integration)
Integrasi merupakan usaha untuk menghasilkan suatu rekonsiliasi (kecocokan) yang
layak atas kepentingan-kepentingan perorangan (individu), masyarakat , dan
organisasi. Definisi ini berpijak atas dasar kepercayaan bahwa masyarakat kita
terdapat tumpang tindih kepentingan yang cukup berarti.
•
Pemeliharaan (maintenance)
Pemeliharaan merupakan usaha untuk mengabadikan angkatan kerja yang
mempunyai kemauan dan mampu untuk bekerja. Terpeliharanya kemauan untuk
bekerja sangat dipengaruhi oleh komunikasi dengan para karyawan, keadaan
jasmani (fisik) karyawan, dan kesehatan serta keselamatan kerja.
12 •
Pemutusan hubungan kerja (separation)
Jika fungsi pertama manajemen personalia adalah untuk mendapatkan karyawan,
adalah logis bahwa fungsi terakhir adalah memutuskan hubungan kerja dan
mengembalikan orang-orang tersebut kepada masyarakat. Organisasi bertanggung
jawab untuk melaksanakan proses pemutusan hubungan kerja sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan, dan menjamin bahwa warga
masyarakat yang dikembalikan itu berada dalam keadaan yang sebaik mungkin.
4. Strategis
SDM harus berfokus pada implikasi jangka panjang dari persoalan SDM dan berperan
sebagai rekan bisnis strategis perusahaan. Contoh dari peran strategis ini adalah bagaimana
demografi angkatan kerja dan kekurangan angkatan kerja yang berubah-ubah akan
mempengaruhi organisasi, dan cara apa yang akan digunakan untuk menyampaikan
keurangan-kekurangan seiring berjalannya waktu.
2.1.2 Perilaku Organisasi
Menurut Keith Davis (Umar, 1998, p23), perilaku organisasi merupakan telaah dan
penerapan pengetahuan mengenai bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi.
Berdasarkan Robbins (2003, p10), perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang
menyelidiki dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi
dengan maksud menerapkan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki keefektifan
organisasi. Sedangkan berdasarkan Luthans (2006, p20), perilaku organisasi didefinisikan
sebagai pemahaman, prediksi, dan manajemen perilaku manusia dalam organisasi.
Maka, dapat disimpulkan bahwa perilaku organisasi adalah ilmu yang berusaha
menyelidiki, memahami, meramalkan, dan mengatur bagaimana orang-orang bertindak
dalam organisasi dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi.
13 Gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan hubungan dan penekanan yang sangat umum
antara perilaku organisasi (OB) dan berbagai disiplin ilmu yang terkait.
Sumber: Luthans, 2006, p20
Gambar 2.2 Hubungan Perilaku Organisasi dengan Disiplin Ilmu yang Terkait Erat
Greenberg dan Baron (2003, p4) mengatakan bahwa ada empat karakter utama
dari bidang ilmu perilaku organisasi, yaitu:
-
Perilaku organisasi menggunakan metode ilmiah untuk mengatasi masalah-masalah
manajerial
Pengetahuan dalam perilaku organisasi didasarkan pada ilmu perilaku (behavioral
sciences), seperti psikologi dan sosiologi yang mencari tahu tentang perilaku manusia
dan masyarakat melalui penggunaan metode ilmiah.
-
Perilaku organisasi fokus pada tiga level analisis, yaitu individu, kelompok, dan
organisasi
Perilaku organisasi tidak hanya menyoroti orang-orang secara individual, karena dalam
organisasi orang bekerja sama dalam kelompok dan tim. Lebih jauh, orang secara
individu maupun kelompok mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan kerja
mereka. Level individu yang dipelajari dalam perilaku organisasi misalnya sikap kerja,
level kelompok misalnya komunikasi, dan level organisasi misalnya struktur.
14 -
Perilaku organisasi sebenarnya merupakan multi-disipliner
Perilaku organisasi tidak hanya mempelajari sebuah topik dari satu perspektif tertentu,
melainkan
juga
mempertimbangkan
berbagai
macam
pendekatan,
mulai
dari
pendekatan psikologi yang sangat berorientasi pada individu, ilmu sosiologi yang lebih
berorientasi pada kelompok, hingga isu-isu dalam kualitas organisasi yang dipelajari
oleh para ilmuwan manajemen.
-
Perilaku organisasi berusaha mengembangkan efektivitas organisasi dan kualitas
kehidupan dalam pekerjaan
Disiplin-disiplin ilmu yang menyumbang kepada bidang perilaku organisasi (Robbins,
2003, p13-17):
-
Psikologi, yaitu ilmu yang berupaya mengukur, menjelaskan, dan kadang-kadang
mengubah perilaku manusia dan binatang-binatang lain.
-
Sosiologi, yaitu studi tentang orang-orang dalam hubungan dengan manusia-manusia
sesamanya.
-
Psikologi sosial, yaitu suatu bidang di dalam psikologi yang memadukan konsep-konsep
baik dari psikologi maupun sosiologi dan yang memusatkan perhatian pada saling
mempengaruhi antara orang-orang.
-
Antropologi, yaitu studi tentang masyarakat untuk mempelajari mengenai manusia dan
kegiatan mereka.
-
Ilmu politik, yaitu studi tentang perilaku individu dan kelompok dalam suatu lingkungan
politik.
2.1.3 Kepribadian
Kepribadian berarti bagaimana orang mempengaruhi orang lain dan bagaimana
mereka memahami dan memandang dirinya, juga bagaimana pola ukur karakter dalam dan
15 karakter luar mereka mengukur trait dan interaksi antara manusia-situasi (Luthans, 2006,
p228). Berdasarkan Robbins (2003, p120), kepribadian adalah keseluruhan total cara
seseorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan yang lain. Sedangkan berdasarkan
Ewen (2003, p4), kepribadian menunjuk pada “important and relatively stable aspects of
behavior”.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah bagaimana seseorang
memandang dirinya, serta bagaimana ia mempengaruhi orang lain berdasarkan keseluruhan
total aspek perilaku yang stabil.
Dalam teori-teori kepribadian, kepribadian terdiri dari antara lain trait dan tipe
(type). Trait kepribadian merupakan konstruk teoritis yang menggambarkan dimensi dasar
dari kepribadian yang merupakan kecenderungan emosional, kognitif, dan tingkah laku, yang
bersifat konsisten dan ditampilkan individu sebagai respons terhadap berbagai situasi yang
berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan
dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada
trait.
Trait merupakan disposisi untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti yang
tercermin dalam perilaku seseorang pada berbagai situasi. Teori trait merupakan teori
kepribadian yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu:
1. Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang
membedakan seseorang dari yang lain, sehingga:
-
trait relatif stabil dari waktu ke waktu
-
trait konsisten dari situasi ke situasi
2. Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama kehidupan, namun
karakteristik tingkah laku dapat berubah karena:
-
ada proses adaptif
-
adanya perbedaan kekuatan, dan
16 -
kombinasi dari trait yang ada
Teori trait dimunculkan pertama kalinya oleh Gordon W. Allport. Selain Allport,
terdapat dua orang ahli lain yang mengembangkan teori ini. Mereka adalah Raymond B.
Cattell dan Hans J. Eysenck.
Allport mengenalkan istilah central trait, yaitu kumpulan kata-kata yang biasanya
digunakan oleh orang untuk mendeskripsikan individu. Central trait dipercaya sebagai jendela
menuju kepribadian seseorang. Menurut Allport, unit dasar dari kepribadian adalah trait yang
keberadaannya bersumber pada sistem saraf. Allport percaya bahwa trait menyatukan dan
mengintegrasikan
perilaku
seseorang
dengan
mengakibatkan
seseorang
melakukan
pendekatan yang serupa (baik tujuan ataupun rencananya) terhadap situasi-situasi yang
berbeda. Walaupun demikian, dua orang yang memiliki trait yang sama tidak selalu
menampilkan tindakan yang sama. Mereka dapat mengekspresikan trait mereka dengan cara
yang berbeda. Perbedaan inilah yang membuat masing-masing individu menjadi pribadi yang
unik. Oleh sebab itu Allport percaya bahwa individu hanya dapat dipahami secara parsial jika
menggunakan tes-tes yang menggunakan norma kelompok.
Sama seperti Allport, Cattell juga percaya bahwa kata-kata yang digunakan
seseorang untuk menggambarkan dirinya dan orang lain adalah petunjuk penting kepada
struktur kepribadian. Perbedaan mendasar antara Allport dan Cattell adalah bahwa Cattell
percaya kepribadian dapat digeneralisir. Yang harus dilakukan adalah dengan mencari trait
dasar atau utama dari ribuan trait yang ada.
Menurut Allport, faktor genetik dan lingkungan sama-sama berpengaruh dalam
menentukan perilaku manusia. Bukan hanya faktor keturunan sendiri atau faktor lingkungan
sendiri yang menentukan bagaimana kepribadian terbentuk, melainkan melalui pengaruh
resiprokal faktor keturunan dan lingkungan yang memunculkan karakteristik kepribadian.
17 Sehubungan dengan adanya peran genetik dalam pembentukan kepribadian,
terdapat 4 pemahaman penting yang perlu diperhatikan:
1. Meskipun faktor genetik mempunyai peran penting terhadap perkembangan
kepribadian, faktor non-genetik tetap mempunyai peranan bagi variasi kepribadian
2. Meskipun faktor genetik merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi
lingkungan, faktor non-genetik adalah faktor yang paling bertanggungjawab
akan perbedaan lingkungan pada orang-orang
3. Pengalaman-pengalaman dalam keluarga adalah hal yang penting meskipun
lingkungan
keluarga
berbeda
bagi
setiap
anak
sehubungan
dengan
jenis
kelamin anak, urutan kelahiran, atau kejadian unik dalam kehidupan keluarga pada
tiap anak.
4. Meski terdapat kontribusi genetik yang kuat terhadap trait kepribadian, tidak berarti
bahwa trait itu tetap atau tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan.
2.1.3.1 Komponen Dasar Kepribadian
Ciri khusus dari kepribadian dan implikasinya pada perilaku organisasi berdasarkan
Luthans (2006, p230-232):
1. Penghargaan diri
Penghargaan diri berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menilai diri dan
citra diri. Ringkasan penelitian terbaru mengungkapkan bahwa orang dengan
penghargaan diri lebih tinggi memilki sikap, perasaan, dan kepuasan hidup yang positif
dan tidak terlalu cemas, putus asa, dan depresi.
Penghargaan diri memiliki implikasi yang jelas pada perilaku organisasi. Penghargaan
diri pada organisasi disebut organization-based self-esteem (OBSE), yang didefinisikan
sebagai penilaian diri yang dimiliki individu sebagai anggota organisasi yang bertindak
dalam konteks organisasi. Orang dengan OBSE tinggi memandang dirinya secara positif,
18 dan meta-analisis terbaru menemukan hubungan positif yang signifikan antara OBSE
dengan kinerja dan kepuasan kerja. Jika penghargaan diri karyawan rendah dan ia tidak
percaya akan kemampuan berpikirnya sendiri, maka ia mungkin takut mengambil
keputusan, lemah dalam bernegosiasi dan keahlian interpersonal, serta menjadi malas
atau tidak dapat berubah.
2. Interaksi manusia-situasi
Dimensi interaksi kepribadian manusia-situasi memberikan pemahaman lebih lanjut
terhadap kepribadian manusia. Tentu saja setiap situasi itu berbeda. Sekilas perbedaan
mungkin terlihat sangat kecil, tapi saat disaring dengan proses kognitif seperti persepsi,
perbedaan tersebut dapat menghasilkan perbedaan subjektif yang sangat besar dan hasil
perilaku yang sangat berbeda. Secara khusus, dimensi ini menyatakan bahwa orang itu
tidak statis, bertindak sama dalam setiap situasi, tetapi selalu berubah dan fleksibel.
Misalnya, karyawan dapat berubah tergantung pada situasi tertentu di mana mereka
berinteraksi. Terutama untuk saat ini, dengan perubahan organisasi dan lingkungan yang
bergolak, organisasi yang dapat menemukan, mengembangkan, dan mempertahankan
manusia yang dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah secara dinamis
adalah organisasi yang akan berhasil.
3. Proses sosialisasi
Peranan manusia, kelompok, dan terutama organisasi yang sangat mempengaruhi
kepribadian individu semakin dihargai. Dampak yang berkelanjutan dari lingkungan sosial
secara umum disebut proses sosialisasi. Proses sosialisasi secara khusus relevan dengan
perilaku organisasi karena proses tidak ditentukan pada awal masa kecil, melainkan
terjadi sepanjang kehidupan seseorang. Secara khusus, fakta menyatakan bahwa
sosialisasi mungkin menjadi salah satu penjelasan terbaik mengapa karyawan berperilaku
seperti yang terlihat dalam organisasi saat ini.
19 Seperti yang dinyatakan Edgar Schein, “Perlu waktu di mana beberapa pengetahuan
dan keahlian manajerial dapat difokuskan kepada kekuatan lingkungan organisasi yang
berasal dari fakta bahwa organisasi adalah suatu sistem sosial yang mensosialisasi
karyawan baru. Jika kita tidak belajar untuk menganalisis dan mengontrol kekuatan
sosialisa organisasi, maka kita melepaskan salah satu tanggung jawab manajerial utama
kita.” Menurut Schein, organisasi itu sendiri memberi kontribusi bagi sosialisasi. Dia
menyatakan bahwa proses hanya mencakup pembelajaran nilai, norma, dan pola
perilaku yang dari sudut pandang organisasi dan kelompok kerja, diperlukan oleh
anggota baru untuk belajar. Berikut ini adalah karakteristik sosialisasi organisasi dari
karyawan:
-
Mengubah sikap, nilai, dan perilaku
-
Kontinuitas dari sosialisasi setiap waktu
-
Penyesuaian pekerjaan, kelompok kerja, dan praktik organisasi terbaru
-
Pengaruh mutual antara karyawan baru dan manajer mereka
-
Kekritisan periode sosialisasi awal
2.1.3.2 Kepribadian Big Five
Pada penelitian ini, kepribadian dilihat berdasarkan the big five personality yang
dikembangkan oleh Costa dan McCrae (1992, 1998). Greenberg dan Baron (2003, p85)
mendefinisikan kepribadian big five sebagai “five basic dimensions of personality that are
assumed to underlie many specific traits”. Teori ini didasarkan pada model lima faktor
kepribadian sebagai representasi struktur trait yang merupakan dimensi utama dari
kepribadian. Taksonomi kepribadian lima besar merupakan asesmen yang komprehensif dari
kepribadian dimana individu mempersepsikan bagaimana dirinya sendiri serta bagaimana
hubungan dirinya dengan orang lain.
20 Penilaian dalam kepribadian lima besar tidak menghasilkan satu trait tunggal yang
dominan, tetapi menunjukkan seberapa kuat setiap trait dalam diri seseorang. Meskipun
kelima ciri merupakan faktor kepribadian yang sangat independen, seperti warna utama, ciri
tersebut dapat dicampur dalam proporsi yang tidak terhitung dan dengan karakteristik lain
untuk menghasilkan keseluruhan kepribadian yang unik. Kelima trait kepribadian tersebut
adalah, berdasarkan Robbins (2003, p125):
1. Extraversion (ekstraversi)
Dimensi ini mencakup tingkat kesenangan seseorang akan hubungan. Orang-orang
yang ekstravert cenderung suka berkelompok, tegas, dan mampu bersosialisasi.
Kaum introvert cenderung pendiam, malu-malu, dan tenang.
2. Agreeableness (Kemampuan untuk bersepakat)
Dimensi ini merujuk pada kecenderungan seorang individu untuk tunduk kepada
yang lain. Orang-orang yang berkemampuan untuk sepakat itu kooperatif, hangat,
dan percaya. Orang yang memiliki skor yang rendah dalam kemampuan untuk
sepakat adalah orang yang dingin, tidak mampu bersepakat, dan antagonistik.
3. Conscientiousness (sifat mendengarkan suara hati)
Dimensi ini merupakan ukuran dari keandalan (reliability). Orang yang sangat peka
terhadap suara hati, bertanggung jawab, terorganisir, dapat dipercaya, dan gigih.
Mereka yang memiliki skor yang rendah dalam dimensi ini cenderung mudah
bingung, tidak terorganisir, dan tidak andal.
4. Neuroticism (stabilitas emosional)
Dimensi ini membuka jalan bagi kemempuan seseorang untuk bertahan terhadap
stres. Orang dengan stabilitas emosional yang positif cenderung tenang, percaya diri,
dan aman. Mereka dengan skor negatif yang tinggi cenderung nervous, cemas,
tertekan, dan tidak aman.
21 5. Openness to experience (terbuka pada pengalaman)
Dimensi final mengajukan suatu kisaran minat indivisual dan kekaguman terhadap
hal baru. Orang yang ekstrim terbuka adalah orang yang kreatif, ingin tahu, dan
sensitif secara artistik. Mereka yang berada pada sisi lain dari kategori keterbukaan
adalah konvensional dan menemukan kenyamanan dalam keakraban.
Tabel 2.1 di bawah ini akan mengidentifikasikan Big Five dan karakteristik utamanya.
Tabel 2.1 Tabel Ciri Kepribadian Big Five
Ciri Utama
Karakteristik Deskriptif pada Orang dengan Skor Tinggi
Extraversion
Dapat bersosialisasi, terbuka, banyak bicara, asertif, suka
berteman
Agreeableness
Kooperatif, hangat, perhatian, watak baik, sopan, dapat
dipercaya
Conscientiousness
Dapat diandalkan, pekerja keras, teratur, disiplin diri, gigih,
bertanggung jawab
Neuroticism
Tenang, aman, senang, tidak khawatir
Openness to experience
Ingin tahu, intelek, kreatif, terpelajar, sensitif, fleksibel,
imajinatif
Sumber: Luthans, 2006, p234
Kepribadian lima besar sangat penting diteliti bagi kesuksesan sebuah organisasi.
“The big five dimensions of personality are highly relevant to several important aspects of
organizational behavior” (Greenberg dan Baron, 2003, p87). Beberapa dimensi dari big five
personality
sangat
berhubungan
dengan
kinerja
kerja.
Secara
umum,
dimensi
conscientiousness menunjukkan hubungan paling kuat dengan prestasi kerja. Semakin tinggi
seseorang dalam dimensi ini, semakin tinggi tingkat kinerja mereka. Dimensi neuroticism
juga berhubungan dengan prestasi kerja, walaupun tidak terlalu kuat. Semakin stabil emosi
22 seseorang, maka kinerjanya akan lebih baik. Agreeableness berhubungan dengan aspek
interpersonal dalam pekerjaan, seperti dapat berbaur dengan rekan kerja yang lain.
Sementara itu, bagi sebagian pekerjaan yang memerlukan individu untuk berinteraksi dengan
banyak orang, seperti manager, bagian penjualan, dan petugas kepolisian, dimensi
extraversion sangat berhubungan dengan kinerja.
Aspek-aspek dasar dari kepribadian juga berkaitan dengan banyak proses organisasi
lainnya. Misalnya, menyediakan kerangka untuk memahami para pelamar kerja dan memilih
yang orang yang paling baik untuk berbagai macam pekerjaan (right man in the right place).
2.1.4 Sikap
Kepribadian dan sikap merupakan proses kognitif yang kompleks. Perbedaannya
adalah kepribadian biasanya dianggap sebagai manusia seutuhnya, sedangkan ciri/trait dan
sikap dianggap sebagai pembentuk kepribadian. (Luthans, 2006, p236). Sikap dapat ditandai
dengan tiga cara. Pertama, sikap cenderung bertahan kecuali ada sesuatu yang dilakukan
untuk mengubahnya. Kedua, sikap dapat mencakup rangkaian dari yang sangat disukai
sampai yang sangat tidak disukai. Ketiga, sikap diarahkan pada beberapa objek di mana
orang memiliki perasaan dan kepercayaan.
“An attitude consists of feelings, beliefs, and predispositions to behave in certain
ways” (Organ dan Hammer, 1982, p131). Ketiga komponen tersebut kemudian berpadu
bersama-sama, secara psikologis, di mana masing-masing komponen berimplikasi terhadap
yang lainnya. Greenberg dan Baron (2003, p147) menyebut ketiga komponen tersebut
sebagai an evaluative component, a cognitive component, and a behavioral component.
Evaluative component menunjuk pada kesukaan atau ketidaksukaan seseorang terhadap
orang lain, barang, atau kejadian tertentu (disebut sebagai attitude object). Cognitive
component adalah hal-hal yang kita percayai tentang suatu attitude object, tak peduli apakah
pandangan tersebut salah atau benar. Sedangkan, behavioral component merupakan
23 kecenderungan (predispotition) untuk berperilaku dalam suatu cara tertentu secara konsisten
sesuai dengan keyakinan (belief) dan perasaan (feeling) kita tentang sebuah attitude object.
Ketiga komponen sikap tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.
Sumber: Greenberg dan Baron,2003, p147
Gambar 2.3 Tiga Komponen Dasar dari Sikap
Fungsi-fungsi dari sikap, yaitu:
-
Fungsi penyesuaian
Sikap sering membantu orang menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja mereka. Saat
karyawan diperlakukan dengan baik, mereka cenderung mengembangkan sikap positif
terhadap manajemen dan organisaisi. Sebaliknya, bila mereka diperlakukan kasar dan
peningkatan gaji kecil, mereka cenderung mengembangkan sikap negatif terhadap
manajemen dan organisasi.
-
Fungsi pertahanan ego
Sikap juga membantu karyawan mempertahankan citra diri. Misalnya, manajer lebih tua
yang keputusannya terus ditentang manajer bawahan yang lebih muda mungkin merasa
bahwa anak muda tidak sopan, sombong, belum dewasa, dan tidak berpengalaman.
Sebanarnya, manajer muda mungkin benar ketika menentang keputusan tersebut.
24 Manajer yang lebih tua mungkin bukan pemimpin yang efektif dan terus membuat
keputusan yang buruk. Sebaliknya, manajer yang lebih tua tidak mengakui hal tersebut
dan mencoba melindungi egonya dengan menempatkan kesalahan pada pihak lain. Jadi,
sikap berfungsi membenarkan tindakan dan mempertahankan ego.
-
Fungsi mengekspresikan nilai
Sikap bertindak sebagai dasar untuk mengekspresikan nilai sentral seseorang. Misalnya,
manajer yang meyakini etika kerja akan cenderung mengomentari sikap individu tertentu
atau praktik kerja tertentu sebagai alat untuk merefleksikan nilai. Seorang atasan yang
ingin bawahannya bekerja lebih keras mungkin melakukan hal ini: “Anda harus bekerja
lebih keras lagi. Hal tersebut telah menjadi tradisi perusahaan sejak didirikan. Semua itu
membuat kami seperti sekarang ini, dan setiap orang diharapkan menganut etika ini”.
-
Fungsi pengetahuan
Sikap membantu menyediakan standar dan kerangka referensi memungkinkan orang
untuk mengelola dan menjelaskan dunia di sekitar mereka. Misalnya, organisator serikat
mungkin memiliki sikap negatif terhadap manajemen. Sikap ini bisa saja tidak
berdasarkan fakta, tetapi membantu orang untuk berhubungan dengan manajemen.
Akibatnya, apa pun yang dikatakan manajer ditanggapi organisator serikat sebagai tidak
lebih
daripada
sekumpulan
bualan,
atau
usaha
memanipulasi
pekerja.
Tanpa
memedulikan keakuratan pandangan seseorang terhadap realita, sikap terhadap orang
lain, kejadian, dan objek, membantu individu mengerti apa yang sedang terjadi.
Seseorang bisa mempunyai ribuan sikap, tapi perilaku organisasi memfokuskan pada
jumlah sangat terbatas sikap yang berhubungan dengan pekerjaan. Sikap kerja adalah
perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku yang relatif stabil terhadap berbagai aspek
dari pekerjaan itu sendiri. Sikap yang berkaitan dengan pekerjaan ini membuka jalan evaluasi
25 positif atau negatif yang dipegang para karyawan mengenai aspek-aspek dari lingkungan
kerja mereka.
Kebanyakan riset dalam perilaku organisasi telah mempedulikan tiga sikap: kepuasan
kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen organisasi (Robbins, 2003, p91). Dalam penelitian
ini, hanya dibahas mengenai kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
2.1.4.1 Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah tingkat rasa puas individu bahwa mereka mendapat imbalan
yang setimpal dari bermacam-macam aspek situasi pekerjaan dari organisasi tempat mereka
bekerja (Tangkilisan, 2005, p164). Berdasarkan Robbins (2003, p30), kepuasan kerja adalah
suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang
diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Sedangkan, berdasarkan pendapat Luthans (2006, p243), kepuasan kerja adalah hasil dari
persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai
penting.
Dari definisi-definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah
persepsi karyawan bahwa imbalan yang mereka terima dari organisasi sebagai hasil dari
pekerjaan mereka sudah setimpal, sehingga mereka memunculkan sikap puas terhadap
pekerjaan mereka.
Menurut Wexley dan Yukl (Moeljono, 2003, p113), ada tiga dimensi kepuasan kerja:
a. Kepuasan kerja adalah sebuah respons emosional terhadap situasi kerja
b. Kepuasan kerja sering ditentukan oleh bagaimana outcomes (hasil/keluaran) dapat
sesuai atau melebihi harapan
c.
Kepuasan kerja akan mempresentasikan sikap-sikap yang berhubungan dengan hal
tersebut
26 Beberapa faktor penentu kepuasan kerja adalah sebagai berikut.
1. Pekerjaan itu sendiri
Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan, di
mana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan
kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Berdasarkan survey diagnostik pekerjaan
diperoleh hasil tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja
untuk berbagai macam pekerjaan. Ciri-ciri tersebut ialah:
a. Keragaman keterampilan, banyak ragam keterampilan yang diperlukan untuk
melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam keterampilan yang digunakan, makin
kurang membosankan pekerjaan.
b. Jati diri tugas (task identity), sejauh mana tugas merupakan suatu kegiatan
keseluruhan yang berarti. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang
lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri akan
menimbulkan rasa tidak puas.
c.
Tugas yang penting (task significance), rasa pentingnya tugas bagi seseorang. Jika
tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung
mempunyai kepuasan kerja.
d. Otonomi, pekerjaan yang menimbulkan kebebasan, ketidaktergantungan dan
memberikan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan
kerja.
e. Pemberian umpan balik (feedback) pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat
kepuasan kerja.
2.
Gaji atau imbalan yang dirasakan adil
Menurut penelitian Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut
dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja,
dan bagaimana gaji diberikan. Uang memang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi orang
27 yang
berbeda-beda.
Di samping
memenuhi
kebutuhan
tingkat
rendah
(makanan,
perumahan), uang dapat merupakan simbol dari pencapaian (achievement), keberhasilan,
dan pengakuan atau penghargaan. Lagipula uang mempunyai kegunaan sekunder. Jumlah
gaji yang diperoleh dapat secara nyata mewakili kebebasan untuk melakukan apa yang ingin
dilakukan.
Dengan
dipersepsikan
menggunakan
sebagai
terlalu
teori
keadilan
kecil
atau
Adams,
terlalu
orang
besar
akan
menerima
gaji
mengalami
yang
distress
(ketidakpuasan). Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji
dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan
individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada
kepuasaan kerja.
3. Kesempatan promosi
Menyangkut kemungkinan seseorang untuk maju dalam organisasi dan dapat
berkembang melalui kenaikan jabatan. Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan
yang besar untuk naik jabatan atau tidak, serta proses kenaikan jabatan terbuka atau kurang
terbuka. Ini juga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang.
4. Pengawasan (supervisi)
Atasan yang senantiasa memberikan perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan
kerja. Cara-cara atasan dalam memperlakukan bawahannya dapat menjadi menyenangkan
atau tidak menyenangkan bagi bawahannya tersebut, dan hal ini mempengaruhi kepuasan
kerja. Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang
rasa. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu tenaga kerja
untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan
keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan
nilai-nilai yang serupa. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan adalah jika
kedua hubungan adalah positif.
28 5. Rekan kerja
Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul karena mereka dalam jumlah
tertentu, berada dalam satu ruangan kerja, sehingga mereka dapat saling berbicara
(kebutuhan sosial terpenuhi). Sifat alami dari kelompok atau tim kerja akan mempengruhi
kepuasan kerja. Pada umumnya, rekan kerja atau anggota tim yang kooperatif merupakan
sumber kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu. Kelompok
kerja bertindak sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasihat, dan bantuan pada anggota
individu.
Kelompok
yang
memerlukan
kesalingtergantungan
antar-anggota
dalam
menyelesaikan pekerjaan, akan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi. Kelompok kerja
yang baik membuat pekerjaan menjadi menyenangkan, sehingga menimbulkan kepuasan
kerja pada individu karyawan.
6. Kondisi kerja
Bekerja dalam ruangan kerja yang sempit, panas, yang cahaya lampunya
menyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak mengenakkan akan menimbulkan keengganan
untuk bekerja. Orang akan mencari alasan untuk sering-sering keluar ruangan kerjanya.
Dalam hal ini perusahaan perlu menyediakan ruang kerja yang terang, sejuk, dengan
peralatan kerja yang nyaman untuk digunakan, seperti meja, kursi yang dapat diatur tinggirandah, miring-tegaknya posisi duduk. Dalam kondisi seperti ini, kebutuhan-kebutuhan fisik
yang terpenuhi akan memuaskan tenaga kerja.
2.1.4.1.1 Mengukur Kepuasan Kerja
Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, baik dari
segi analisa statistik maupun dengan pengumpulan data. Dalam semua kasus, kepuasan
kerja diukur dengan kuesioner laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan
kerja dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu kepuasan kerja dilihat sebagai
29 konsep global, kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan, dan sebagai fungsi
kebutuhan yang terpenuhkan.
1. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global
Konsep ini merupakan konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi dari
semua aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai dari suatu jabatan. Pengukuran ini
dilakukan dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal). Cara ini memiliki sejumlah
kelebihan, di antaranya adalah tidak ada biaya pengembangan dan dapat dimengerti oleh
mereka yang ditanyai. Selain itu cara ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai.
Kuesioner satu pertanyaan menyediakan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran pribadi
dari pertanyaan yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan,
iklim sosial organisasi, dan sebagainya .
2. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan
Konsep ini menggunakan konsep facet (permukaan) atau komponen, yang
menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi kerja yang berbeda
dapat bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara konsep facet yang
dapat diperiksa adalah beban kerja, keamanan kerja, kompetensi, kondisi kerja, status dan
prestise kerja. Kecocokan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek
manejemen, hubungan atasan-bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatan, kesempatan
untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk pertumbuhan
dan pengembangan.
3. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai kebutuhan yang terpenuhkan
Yaitu
suatu
pendekatan
terhadap
pengukuran
kepuasan
kerja
yang
tidak
menggunakan asumsi bahwa semua orang memiliki perasaan yang sama mengenai aspek
tertentu dari situasi kerja, pendekatan ini dikembangkan oleh Porter. Kuesioner Porter
didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan kerja. Kuesioner ini terdiri dari
15 pertanyaan yang berkaitan dengan kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, otonomi,
30 sosial, dan aktualisasi diri. Berdasarkan kebutuhan dan persepsi orang itu sendiri mengenai
jabatannya,
tiap
responden
menjawab
tiga
pertanyaan
mengenai
masing-masing
pertanyaan: (1) Berapa yang ada sekarang? (2) Berapa seharusnya? (3) Bagaimana
pentingnya hal ini bagi saya?. Berdasarkan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai
pemenuhan kebutuhan kerja tersebut, kepuasan kerja diukur dengan perbedaan antara
“Berapa yang ada sekarang?” dan “Berapa yang seharusnya?”, semakin kecil perbedaan,
maka semakin besar kepuasannya.
Nilai yang terpisah dihitung untuk masing-masing dari lima kategori kebutuhan.
Pertanyaan “Bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?” memberikan kepada penyilidik ukuran
kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan bagi tiap responden. Hampir semua
penelitian kepuasan kerja berdasarkan pada kuesioner pengukuran kepuasan kerja. Karena
kepuasan kerja adalah fenomena yang subjektif dan individual, mungkin kuesioner
merupakan ukuran yang paling sesuai. Meskipun demikian penting sekali menyadari adanya
keterbatasan tertentu dari metode ini dalam mendapatkan data bagi penelitian kepuasan
kerja. Sejumlah masalah yang timbul oleh pengukuran melalui kuesioner tersebut berkaitan
dengan ketepatan tanggapan. Walaupun responden tidak memberikan jawaban yang
menyesatkan secara sengaja, sejumlah variabel situasional dapat mempengaruhi, baik sejauh
mana mereka mau memahami pertanyaan tersebut maupun sejauh mana mereka mau
benar-benar berterus terang dalam menjawab.
Meskipun kesalahan pengukuran yang berkaitan tidak dapat dihilangkan, namun
terdapat langkah-langkah tertentu yang dapat diambil untuak menguranginya, yaitu dengan
menggunakan kuesioner yang keandalannya telah ditentukan, kejelasan pengarahan diuji
sebelumnya, menjaga kerahasiaan subjek, menggunakan sample yang cukup banyak untuk
mengurangi penyimpangan respon yang cenderung terdistribusi secara acak.
31 2.1.4.1.2 Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan
Menurut Robbins, ketidakpuasan kerja, pada tenaga kerja dapat diungkapkan
dengan berbagai macam cara, misalnya selain meninggalkan pekerjaan, mengeluh,
membangkang, mencuri barang milik organisasi, menghindari sebagian dari tanggung jawab
pekerjaan, dll. Seperti terlihat pada Gambar 2.4, empat cara tenaga kerja mengungkapkan
ketidakpuasan:
-
Keluar (exit), meninggalkan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain
-
Suara (voice), memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan
atasan untuk memperbaiki kondisi secara aktif dan konstruktif
-
Kesetiaan (loyalty), menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih
baik, termasuk membela organisasi terhadap kritik dari luar serta mempercayai
organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat
-
Mengabaikan (neglect), sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, seperti
sering absen, menurangi upaya, atau kesalahan yang dibuat makin banyak
Sumber: Robbins, 2003, p106
Gambar 2.4 Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja
32 2.1.4.1.3 Cara Meningkatkan Kepuasan
Beberapa cara yang dapat dilakukan organisasi untuk meningkatkan kepuasan kerja
karyawannya berdasarkan Greenberg dan Baron (2003, p159):
-
Make jobs fun
Orang akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka nikmati daripada yang
membosankan. Walaupun beberapa pekerjaan memang bersifat membosankan, tetap
ada cara untuk menyuntikkan beberapa level keasyikan ke dalam hampir setiap
pekerjaan. Teknik-teknik kreatif yang telah diterapkan misalnya mengoper buket bunga
dari meja satu orang ke yang lainnya setiap setengah jam dan mengambil gambar lucu
orang lain ketika sedang bekerja lalu memasukkannya ke papan buletin.
-
Pay people fairly
Ketika orang merasa bahwa mereka dibayar atau diberi imbalan secara adil, maka
kepuasan kerja mereka cenderung akan meningkat.
-
Match people to jobs that fit their interests
Semakin orang merasa bahwa mereka mampu memenuhi kesenangan atau minat
mereka saat bekerja, semakin mereka akan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan
tersebut.
-
Avoid boring, repetitive jobs
Orang jauh lebih merasa puas terhadap pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk
mencapai keberhasilan dengan memiliki kontrol secara bebas tentang bagaimana
mereka melakukan tugas-tugas mereka.
2.1.4.2 Komitmen Organisasi
Menurut Porter, Steers, Mowday, dan Boulian (Rabin, 2003, p868), komitmen
organisasi adalah “the relative strength of an individual’s identification with and involvement
in a particular organization”.
33 Berdasarkan Robbins (2003, p92), komitmen organisasi diidentifikasikan sebagai
suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan
tujuan-tujuannya serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu.
Sedangkan berdasarkan Luthans (2006, p249), komitmen organisasi didefinisikan
sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan
untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, dan
penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang
merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota
organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta
kemajuan yang berkelanjutan.
Dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan psikologis individu
yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap
tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan
tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi.
Bila kepuasan kerja berkaitan dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya, di
mana menunjukkan kepuasan karyawan terhadap pekerjaan yang dia lakukan, maka
komitmen organisasi berkaitan dengan level organisasi, di mana menunjukkan kepuasan
karyawan terhadap organisasi tempat ia bekerja. Namun, hubungan yang kuat antara
kepuasan kerja dan komitmen organisasi telah diketahui selama bertahun-tahun (Luthans,
2006, p248).
Ada tiga dimensi komponen dari komitmen organisasi menurut Mayer dan Allen,
seperti juga dapat dilihat pada Gambar 2.5:
1. Komitmen
afektif,
yaitu
keterikatan
emosional
karyawan,
identifikasi,
dan
keterlibatan dalam organisasi. Keterikatan emosional ini terbentuk karena karyawan
setuju dengan tujuan dasar dan nilai-nilai organisasi tersebut, serta mengerti untuk
apa organisasi tersebut berdiri. Karyawan dengan derajat komitmen afektif tinggi
34 akan memilih tetap tinggal dalam organisasi untuk menyokong organisasi dalam
mencapai misinya.
2. Komitmen kelanjutan, yaitu komitmen berdasarkan kerugian yang mungkin akan
muncul dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Semakin lama seseorang tinggal
dalam sebuah organisasi, ia akan semakin tidak rela kehilangan apa yang telah
mereka ‘investasikan’ di organisasi tersebut selama bertahun-tahun, misalnya
senioritas, kesempatan promosi, rencana pensiun, dan hubungan persahabatan
dengan rekan kerja. Karyawan dengan derajat komitmen kelanjutan tinggi memilih
untuk tetap tinggal dalam organisasi hanya karena tidak ingin mengambil risiko
kehilangan hal-hal seperti itu.
3. Komitmen normatif, yaitu perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi
karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus
dilakukan. Keharusan untuk tetap tinggal dalam organisasi disebabkan karena
tekanan dari orang atau pihak lain. Karyawan dengan derajat komitmen normatif
tinggi sangat peduli pada apa yang akan dipikirkan orang lain bila ia keluar dari
organisasi tempatnya bekerja. Karyawan seperti itu merasa enggan untuk
mengecewakan majikannya dan kuatir akan apa dicap buruk oleh rekan sekerjanya
bila ia resign.
Sumber: Greenberg dan Baron, 2003, p162
Gambar 2.5 Dimensi Komitmen Organisasi
35 2.1.4.2.1 Cara Meningkatkan Komitmen
Dessler memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen
yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi
pada diri karyawan (Luthans, 2006, p250):
-
Berkomitmen pada nilai utama manusia
Dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan
tepat, dan mempertahankan komunikasi.
-
Memperjelas dan mengkomunikasikan misi
Memperjelas
misi
dan
ideologi;
berkarisma;
menggunakan
praktik
perekrutan
berdasarkan nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai stres dan pelatihan;
membentuk tradisi.
-
Menjamin keadilan organisasi
Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif; menyediakan komunikasi
dua arah yang ekstensif.
-
Menciptakan rasa komunitas
Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan; menekankan kerja sama, saling
mendukung, dan kerja tim; berkumpul bersama.
-
Mendukung perkembangan karyawan
Melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama;
memajukan dan memberdayakan; mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas
perkembangan; menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.
2.1.5 Organizational Citizenship Behaviour
Organizational Citizenship Behaviour atau kewarganegaraan organisasional sangat
terkenal dalam perilaku organisasi saat pertama kali diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu
dengan dasar teori disposisi/kepribadian dan sikap kerja. Dasar kepribadian untuk OCB
36 merefleksikan ciri/trait predisposisi karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan
bersungguh-sungguh. Sedangkan dasar sikap mengindikasikan bahwa karyawan terlibat
dalam OCB untuk membalas tindakan organisasi (Luthans, 2006, p251). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku anggota organisasi yang mencakup faktor
kepribadian dan sikap keja sebagai dasar utama, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.6
berikut ini.
Gambar 2.6 Dasar Teori OCB
Menurut
Organ,
kewarganegaraan
organisasional
(Organizational
Citizenship
Behaviour) adalah perilaku diskresioner yang bukan merupakan bagian dari persyaratanpersyaratan jabatan formal seorang karyawan, meskipun demikian hal itu mempromosikan
pemfungsian efektif atas organisasi (Robbins, 2003, p30). Van Dyne dkk mengusulkan
konstruksi dari extra role behavior (ERB), yaitu “behavior that attempts to benefit the
organization and that goes beyond existing role expectations” (Organ, 2005, p33).
Organisasi membutuhkan karyawan yang bergabung dalam perilaku-perilaku
“kewarganegaraan yang baik” seperti membuat pernyataan-pernyataan yang konstruktif
37 tentang kelompok kerja dan organisasi mereka, membantu yang lain dalam tim mereka,
sukarela melakukan kegiatan-kegiatan tambahan, menghindari konflik-konfik yang tidak
perlu, menunjukkan perhatian pada properti organisasi, menghargai semangat dan juga
kaidah dan aturan tersurat, dan bersedia mentolerir gangguan dan kerugian-kerugian yang
berkaitan dengan pekerjaan yang tidak tetap (Robbins, 2003, p30).
Sehingga, penulis menyimpulkan OCB sebagai perilaku karyawan yang dengan suka
rela bersedia melakukan hal-hal di luar uraian jabatan formal yang menguntungkan
organisasi, sehingga memberikan dampak bagi efektivitas organisasi.
Menurut Organ (Purba dan Seniati, 2004, p106), OCB terdiri dari lima dimensi:
1. Altruism, yaitu perilaku membantu meringankan pekerjaan yang ditujukan kepada
individu lain dalam suatu organisasi, misalnya membantu saat rekan kerja tidak sehat.
2. Courtesy, yaitu membantu teman kerja mencegah timbulnya masalah sehubungan
dengan pekerjannya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai
kebutuhan mereka, atau memahami dan berempati walaupun saat dikritik.
3. Sportsmanship, yaitu toleransi pada situasi yang kurang ideal di tempat kerja tanpa
mengeluh, misalnya ikut menanggung kegagalan proyek tim yang mungkin akan berhasil
dengan mengikuti nasihat anggota.
4. Civic virtue, yaitu terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi dan peduli pada
kelangsungan hidup organisasi, misalnya rela mewakili perusahaan untuk program
bersama.
5. Conscientiousness, yaitu melakukan hal-hal yang menguntungkan organisasi, misalnya
mematuhi peraturan-peraturan di organisasi dan bersedia lembur untuk menyelesaikan
proyek.
Bukti menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut yang memiliki karyawan
yang memiliki OCB tinggi berkinerja melebihi organisasi-organisasi yang tidak memiliki
karyawan tersebut. Akibatnya, perilaku organisasi itu berhubungan dengan OCB sebagai
38 varibel bergantung (Robbins, 2003, p30). Sehingga, manajer sekarang sangat bijaksana
bukan hanya dalam mencoba meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen organisasi, tetapi
juga OCB karyawan mereka (Luthans, 2006, p251).
2.1.5.1 Motif yang Mendasari OCB
Seperti halnya sebagian besar perilaku yang lain, OCB ditentukan oleh banyak hal,
artinya tidak ada penyebab tunggal dalam OCB. Sesuatu yang masuk akal bila kita
menerapkan OCB secara rasional. Salah satu pendekatan motif dalam perilaku organisasi
berasal dari kajian McClelland dan rekan-rekannya. Menurut McClelland, manusia memiliki
tiga tingkatan motif (Hardaningtyas, 2005, p14):
1. Motif berprestasi, mendorong orang untuk menunjukkan suatu standard
keistimewaan (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau
kompetisi
2. Motif
afiliasi,
mendorong
orang
untuk
mewujudkan,
memelihara,
dan
memperbaiki hubungan dengan orang lain
3. Motif kekuasaan, mendorong orang untuk mencari status dan situasi di mana
mereka dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain
Kerangka motif berprestasi,
afiliasi,
dan
kekuasaan
telah
diterapkan
untuk
memahami OCB guna memahami mengapa orang menunjukkan OCB. Gambar 2.7
menunjukkan model OCB yang didasari oleh suatu motif.
Paradigma 1: OCB dan Motif Berprestasi
OCB dianggap sebagai alat untuk prestasi tugas (task accomplishment). Ketika
prestasi menjadi motif, OCB muncul karena perilaku tersebut dipandang perlu untuk
kesuksesan tugas tersebut. Perilaku seperti menolong orang lain, membicarakan perubahan
dapat mempengaruhi orang lain, berusaha tidak mengeluh, berpartisipasi dalam rapat unit
merupakan hal-hal yang dianggap kritis terhadap keseluruhan prestasi tugas, proyek, tujuan
39 atau misi. Singkatnya, karyawan yang memiliki motivasi berprestasi memandang tugas dari
perspektif yang lebih menyeluruh. Hal-hal kecil yang membentuk OCB benar-benar dianggap
sebagai kunci untuk kesuksesan.
OCB
Motif Berprestasi
Motif Afiliasi
Motif Kekuasaan
Dengan OCB berarti:
Dengan OCB berarti:
Dengan OCB berarti:
•
kesempurnaan
tugas
•
kesuksesan
organisasi
•
•
pembentukan
dan
pemeliharaan
relasi
penerimaan dan
persetujuan
•
mendapat
kekuasaan dan
status
•
menunjukkan
kesan positif
Gambar 2.7 Motif OCB
Dengan mewujudkan OCB mungkin meningkatkan derajat kepuasan intrinsik. Namun
karyawan yang berorientasi pada prestasi akan menunjukkan OCB seolah-olah hal ini
dibutuhkan untuk kesuksesan tugas. Mereka termotivasi untuk memperbaiki kinerja di masa
mendatang dan berusaha keras untuk sukses. Tapi mereka juga membutuhkan perlakuan
yang adil dan penuh perhatian dari manajer maupun orang lain. Ketika feedback tidak
memberikan yang diharapkan, tidak akurat atau tidak adil, ada kemungkinan mereka akan
kehilangan ketertarikan untuk menampilkan OCB.
Menurut Bateman dan Organ, paradigma ini mendukung kepuasan kerja atau
keadilan sebagai antesedens OCB (Hardaningtyas, 2005, p17). Karyawan yang berorientasi
pada prestasi bertekad untuk menggantikan atau mengerjakan hal-hal yang membuahkan
40 prestasi atas tugas yang dikerjakannya. Selama orang yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi menerima perlakuan atau reward yang adil dari manajemen, OCB akan terus nampak.
Paradigma 2: OCB dan Motif Afiliasi
Orang
yang
berorientasi
pada
afiliasi
menunjukkan
OCB
karena
mereka
menempatkan nilai orang lain dan hubungan kerjasama. Istilah sederhananya adalah
karyawan yang ‘berorientasi pada orang’ berusaha melayani orang lain. Motif afiliasi
dipandang sebagai suatu komitmen terhadap pemberian pelayanan pada orang lain.
Karyawan yang berorientasi pada afiliasi membantu orang lain karena mereka
membutuhkan
bantuan,
atau
menyampaikan suatu
informasi
karena
hal
tersebut
menguntungkan penerima. Karyawan tipe ini akan bersungguh-sungguh karena seseorang,
baik atasan maupun pelanggan, membutuhkan mereka. Hasil kinerja mereka tidal sebanyak
perhatian tentang keuntungan yang diterima orang lain. Mereka menempatkan prioritas pada
OCB, meskipun kadang-kadang merugikan dirinya.
Paradigma ini mendukung pendapat William dan Anderson bahwa terdapat
hubungan antara komitmen organisasi dan OCB (Hardaningtyas, 2005, p18). Karyawan yang
berorientasi pada afiliasi akan menunjukkan komitmen terhadap orang lain dalam organisasi,
baik rekan kerja, manajer, maupun supervisor. Perilaku menolong, berkomunikasi, bekerja
sama, dan berpartisipasi muncul dari keinginan mereka untuk memiliki dan tetap berada
dalam kelompok. Selama masyarakat tersebut memahami bahwa kelompok tersebut bernilai,
OCB akan tetap berlanjut.
Paradigma 3: OCB dan Motif Kekuasaan
OCB dipandang sebagai perilaku yang dapat diamati yang berasall dari berbagai
motif, tidak hanya sekedar intensi altruistik. Di satu sisi, terdapat perilaku organisasi yang
mendukung organisasi, namun di sisi lain terdapat pelayanan diri (self-serving). Karyawan
yang berorientasi pada kekuasaan menganggap OCB merupakan alat untuk mendapatkan
41 kekuasaan dan status dengan figur otoritas dalam organisasi. Tindakan-tindakan OCB
didorong oleh suatu komitmen terhadap agenda karier seseorang.
Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan menolong orang lain, berkomunikasi
lintas departemen, atau memberikan masukan dalam proses organisasi adalah agar dapat
terlihat peran kekuasaannya. Selama target figur otoritas diakui, para pencari kekuasaan
termotivasi untuk melanjutkan OCB, yang dianggap sebagai bentuk dari modal politis.
Mereka menginvestasikan modalnya dengan menampilkan OCB dan membangun landasan
untuk kekuasaan mereka melalui OCB. Mereka mengkalkulasi kesempatan perilaku mereka,
kemudian berjuang untuk organisasi selama organisasi tersebut membantu mereka mencapai
agenda pribadi mereka.
2.1.5.2 Manfaat OCB dalam Perusahaan
Dari hasil-hasil penelitian mengenai OCB, dapat disimpulkan bahwa (Hardaningtyas,
2005):
1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja
-
Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian tugas
rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut
-
Seiring berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan
membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok
2. OCB meningkatkan produktivitas manajer
-
Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer
mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut
untuk meningkatkan efektivitas unit kerja
-
Karyawan yang sopan dan menghindari konflik dengan rekan kerja akan menolong
manajer terhindar dari krisis manajemen
42 3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara
keseluruhan
-
Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu
pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat
memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan bagi
organisasi
-
Karyawan yang menampilkan conscentioussness yang tinggi hanya membutuhkan
pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan
tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu
yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting
-
Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan
orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan
tersebut
-
Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan sangat menolong manajer
tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan
kecil karyawan
4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi
kelompok
-
Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moral, dan
kerekatan kelompok, sehingga anggota kelompok atau manajer tidak perlu
menghabiskan energi dan waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok
-
Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan
mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk
menyelesaikan konflik manajemen berkurang
5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok
kerja
43 -
Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue, seperti menghadiri dan
berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya, akan membantu koordinasi di
antara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas
dan efisiensi dalam kelompok
-
Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy, seperti saling memberi informasi
tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain akan menghindari munculnya
masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan
6. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan
karyawan terbaik
-
Perilaku menolong dapat meningkatkan moral dan kerekatan serta perasaan saling
memiliki di antara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi
dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik
-
Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportmanship,
misalnya
tidak
mengeluh
karena
permasalahan-permasalahan
kecil,
akan
menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi
7. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi
-
Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai
beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas, dengan cara mengurangi variabilitas
dari kinerja unit kerja
-
Karyawan yang conscientiuous cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang
tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja
8. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan
lingkungan
-
Karyawan yang mempunyai hubungan dekat dekat dengan pasar dengan sukarela
memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan memberi saran
44 tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat
beradaptasi dengan cepat
-
Karyawan yang aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di
organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui
oleh organisasi
-
Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness, misalnya kesediaan
memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru, akan meningkatkan
kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya
2.1.6 Efektivitas Organisasi
Georgopualos dan Tannebaum dalam Tangkilisan (2005, p139) mendefinisikan
efektivitas organisasi sebagai “...the extent to which an organization as a social system,
given certain resources and mean, fulfill it’s objective without incapacitating it’s means and
resources and without placing strain upon it’s members.”
Sedangkan Price dalam Zammuto (1982, p22) mendefinisikan efektivitas organisasi
sebagai “...the degree of achievement of multiple goals.” Argriss dan Siliss mengatakan
efektivitas organisasi adalah keseimbangan atau pendekatan secara optimal pada pencapaian
tujuan, kemampuan, dan pemanfaatan tenaga manusia (Tangkilisan, 2005, p139).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa efektivitas organisasi adalah tingkat sejauh
mana organisasi berhasil memanfaatkan sumber daya yang ada seoptimal mungkin dalam
usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya dengan tetap menghindari ketegangan
seminimal mungkin di antara para anggotanya.
Organisasi terdiri dari individu dan kelompok, karena itu efektivitas organisasi terdiri
dari efektivitas individu dan kelompok. Namun demikian, efektivitas organisasi lebih banyak
dari jumlah efektivitas individu dan kelompok. Organisasi mampu mendapatkan hasil kinerja
untuk lebih tinggi tingkatannya daripada jumlah hasil kinerja setiap bagiannya.
45 Hubungan antara ketiga pandangan mengenai efektivitas diperlihatkan dalam
Gambar 2.8. Efektivitas individual adalah harus merupakan sebab dari efektivitas kelompok,
namun
tidak dapat dikatakan bahwa efektivitas kelompok adalah jumlah dari efektivitas
individu. Hubungan antara pandangan-pandangan tersebut berubah-ubah tergantung dari
faktor-faktor seperti jenis organisasi, pekerjaan yang dilaksanakan, dan teknologi yang
digunakan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Efektivitas Organisasi
Efektivitas
Kelompok
Efektivitas
Individu
Gambar 2.8 Tiga Pandangan tentang Efektivitas Organisasi
Organisasi memiliki dua kelompok besar, yaitu sumber manusia dan sumber alam.
Manusia terdiri dari orang-orang yang bekerja di organisasi karyawan operasional, staf, dan
tenaga manajemen. Mereka menyumbangkan waktu dan tenaga mereka kepada organisasi
dengan mendapatkan upah dan imbalan lain, baik berwujud maupun tak berwujud.
Sedangkan, sumber alam terdiri dari input bukan manusia, yang akan diproses atau akan
digunakan dalam kombinasi dengan unsur manusia untuk menghasilkan sumber lain.
Fungsi efektif dari sebuah organisasi tergantung dari usaha karyawan yang melebihi
persyaratan peran formal pekerjaannya, yang disebut dengan Organizational Citizenship
Behavior (OCB). Terdapat bukti bahwa individu yang menunjukkan OCB memiliki kinerja lebih
baik dan menerima evaluasi kinerja yang lebih tinggi. OCB juga berhubungan dengan kinerja
dan keefektivan kelompok dan organisasi (Luthans, 2006, p251). Selain itu, Organ juga
46 menyatakan bahwa tingkat OCB yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat keefektifan
yang lebih pula bagi organisasi dan membantu membawa sumber-sumber daya baru ke
dalam organisasi.
Perilaku OCB yang ditampilkan oleh karyawan seharusnya berdampak pada
efektivitas organisasi. Setiap dimensi OCB memberikan pengaruh yang berbeda-beda
terhadap hubungan ini, namun berujung pada satu hasil, yaitu efektivitas organisasi.
Altruism (membantu meringankan tugas rekan kerja) membuat sistem kerja lebih produktif
karena satu pekerja dapat menggunakan waktu luangnya untuk membantu tugas lain yang
lebih mendesak. Perilaku civic virtue, seperti memberikan saran maupun ide-ide kepada
manajemen, membawa perkembangan bagi organisasi, yang secara langsung mempengaruhi
efisiensi. Karyawan yang memiliki dimensi conscientiousness, menghindari mengutamakan
kepentingan pribadi dan perilaku negatif lainnya, menaati kebijakan perusahaan dan
mempertahankan jadwal kerja yang konsisten, akan meningkatkan reliabilitas karyawan.
Ketika reliabilitas meningkat, maka biaya pengerjaan ulang dapat dikurangi, sehingga
membuat unit kerja lebih efisien. Dengan begitu, maka tujuan-tujuan organisasi dapat
tercapai. 2.1.6.1 Pendekatan Efektivitas Organisasi
Efektivitas organisasi dapat dieveluasi dengan melihat dua hal, yaitu (1) pencapaian
sasaran dan (2) proses pelaksanaan organisasi, yang tercermin dalam perilaku organisasi
(Hutapea dan Thoha, 2008, p59). Baik pencapaian sasaran maupun proses pelaksanaan
organisasi memiliki peran yang sama penting bagi organisasi karena pencapaian sasaran
yang tidak disertai dengan proses pelaksanaan yang baik akan mengakibatkan usaha
pencapaian sasaran tidak dapat berlangsung lama. Dengan kata lain, proses organisasi yang
buruk akan dapat menurunkan tingkat efisiensi yang berdampak pada menurunnya
pencapaian sasaran pada periode berikutnya.
47 Hal ini sejalan dengan pendapat Tangkilisan (2005, p139) bahwa konsep tingkat
efektivitas organisasi menyangkut dua aspek, yaitu (1) tujuan organisasi dan (2) pelaksanaan
fungsi atau cara untuk mencapai tujuan tersebut. Selain itu, dalam Hutapea dan Thoha
(2008, p59) Ivancevich dan Matteson pun menggunakan pendekatan yang serupa untuk
mengukur efektivitas organisasi, yaitu Pendekatan Sasaran Organisasi (Goal Approach) dan
Pendekatan Sistem (System Theory Approach).
Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai kedua pendekatan tersebut.
1. Pendekatan Sasaran Organisasi
Pendekatan tujuan berfokus pada tingkat di mana suatu organisasi mencapai tujuannya
(Griffin, 2004, p88). Pendekatan ini telah lama digunakan oleh organisasi untuk
mengetahui tingkat efektivitas organisasi dan bahkan sampai saat ini masih tetap
digunakan. Para pendukung pendekatan ini berargumentasi bahwa organisasi dibentuk
dengan tujuan untuk mencapai sasaran sehingga untuk melihat tingkat efektivitas
pelaksanaan organisasi mereka langsung menghubungkannya dengan pencapaian
sasaran organisasi. Banyak perusahaan menggunakan pendekatan ini dan pada
umumnya mereka menggunakan sasaran jangka pendek maupun jangka panjang untuk
mengukur tingkat keberhasilan manajer dan karyawannya. Mereka menentukan sasaran
kerja manajer dan bawahannya berdasarkan sasaran perusahaan. Atas dasar sasaran
perusahaan tersebut dibuat sasaran departemen atau bagian, dan dari sasaran
departemen atau bagian ditentukan sasaran setiap pekerjaan. Menurut Gibson dalam
Tangkilisan (2005, p141), kejelasan tujuan yang hendak dicapai memang merupakan
salah satu indikator pengukuran efektivitas organisasi. Pendekatan sasaran ini
ditanggapi secara positif oleh banyak perusahaan karena penggunaan sasaran
perusahaan dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan untuk mencapai sasaran kerja
yang telah ditetapkan.
48 2. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem tidak melihat efektivitas organisasi atas dasar sasaran yang dicapai,
melainkan dari gambaran perilaku organisasi baik pada saat terjadi interaksi secara
internal di organisasi maupun dari perilaku organisasi dalam rangka menyesuaikan diri
dengan lingkungannya (Hutapea dan Thoha, 2008, p61). Dengan kata lain, ada dua
peran yang harus dilakukan oleh organisasi, yaitu peran internal dan peran eksternal.
Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan pendekatan proses secara internal,
karena pengkuran efektivitas organisasi dalam hal ini dilakukan dari sudut pandang
karyawan. Pendekatan proses internal berkaitan dengan mekanisme internal dari
organisasi dan berfokus pada meminimalisasi ketegangan, mengintegrasikan individu
dan organisasi, dan melaksanakan operasi secara lancar dan efisien (Griffin, 2004, p88).
Sharma dalam Tangkilisan (2004, p140) juga menyebutkan tidak adanya ketegangan di
dalam organisasi atau hambatan-hambatan konflik di antara bagian-bagian organisasi
sebagai salah satu kriteria efektivitas organisasi. Selain itu, kepuasan kerja juga
merupakan indikator efektivitas organisasi berdasarkan Steers. Sedangkan, Gibson
menyebutkan sistem pengawasan dan pengendalian sebagai ukuran efektivitas
organisasi. Komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar dalam organisasi dan adanya
semangat kerja sama dan loyalitas anggota organisasi juga merupakan kriteria dari
pendekatan proses (ITB, 2003, p14).
49 2.2 Kerangka Pemikiran
Big Five Personality
(X1)
-
Extraversion
Agreeableness
Conscientiousness
Neuroticism
Openness to
experience
Kepuasan Kerja
(X2)
-
Pekerjaan Itu Sendiri
Imbalan
Kesempatan Promosi
Penyelia
Rekan Kerja
Kondisi Kerja
Organizational
Citizenship
Behavior (Y)
-
Altruism
Courtesy
Sportsmanship
Civic Virtue
Conscientiousness
Komitmen
Organisasi
(X3)
- Afektif
- Kelanjutan
- Normatif
Gambar 2.9 Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Menggambarkan pengaruh secara simultan
Menggambarkan pengaruh secara individual
Menggambarkan hubungan (korelasi) antar variabel
Efektivitas
Organisasi
(Z)
- Sasaran
Organisasi
- Proses
50 Kepribadian
karyawan
PT
HSL
dilihat
dari
faktor
big
five:
extraversion,
agreeableness, conscientious, neuroticism, dan openness to experience. Sedangkan,
kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor: pekerjaan itu sendiri, imbalan,
kesempatan promosi, penyelia, dan rekan kerja. Komitmen organisasi sendiri dinilai dari
dimensi afektif, kelanjutan, dan normatif. Ketiga variabel bebas tersebut dicari apakah saling
berkorelasi secara signifikan atau tidak serta bagaimana sifat hubungannya.
Variabel Big Five Personality, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi secara
individual maupun simultan diasumsikan berkorelasi dengan dan mempengaruhi variabel
Organizational
Citizenship
Behavior
(OCB)
yang
memiliki
ciri:
altruism,
courtesy,
sportmanship, civic virtue, dan conscientiousness. Kemudian, keempat variabel tersebut
dicari apakah berkorelasi dengan dan berkontribusi terhadap variabel bergantung Efektivitas
Organisasi yang dilihat dari dimensi sasaran organisasi dan proses, baik secara individual
maupun simultan.
Korelasi
antara
Big Five Personality dan kepuasan kerja dibuktikan oleh
Hardjapamekas (2007). Dari hasil penelitiannya, diketahui bahwa ketika masing-masing
dimensi dilihat korelasinya dengan kepuasan kerja, hanya dimensi conscientiousness saja
yang tidak memiliki hubungan dengan kepuasan kerja. Sedangkan keempat dimensi lainnya
yaitu extraversion, agreeableness, neuroticism, dan openness to experience masing-masing
memiliki hubungan dengan kepuasan kerja.
Dari hasil penelitian yang sebelumnya, telah didapatkan bahwa kepribadian
mempengaruhi komitmen organisasi sebesar 17,7 % dengan critical ratio 2.251 yang lebih
besar dari α=0.05, sehingga dinyatakan bahwa kepribadian memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap komitmen organisasi (Nugroho, 2008).
Hubungan kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi juga telah dibuktikan oleh
penelitian sebelumya. Kepuasan kerja berhubungan secara positif dan signifikan terhadap
komitmen organisasi (Susatyo, 2008). Sedangkan, menurut penelitian Mutiara (tahun tidak
51 diketahui), terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan
komitmen organisasi (r = 0.844). Hal ini sejalan dengan pendapat Luthans bahwa meskipun
kepuasan berkaitan dengan sikap karyawan terhdap pekerjaan, dan komitmen berkaitan
dengan level organisasi, tetapi hubungan yang kuat antara kepuasan kerja dan komitmen
organisasi telah diketahui selama bertahun-tahun (2006, p248).
Pengaruh Big Five Personality terhadap OCB telah dibuktikan oleh penelitian
sebelumnya. All FFM (Five Factor Model) dimensions were positively related to overall OCB
(Elanain, 2007). Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian Purba dan Seniati (2004),
dinyatakan bahwa proporsi OCB total yang diterangkan oleh trait kepribadian dan komitmen
organisasi secara bersama-sama adalah sebesar 42.2%.
Menurut Organ dan Ryan, dimensi kepuasan kerja secara jelas berhubungan dengan
OCB (Luthans, 2006, p251). Sedangkan menurut Reilly dan Chatman, dimensi komitmen
organisasi juga secara jelas berhubungan dengan OCB. Demikian pula ada hubungan yang
positif dan signifikan antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja dengan Organizational
Citizenship Behavior dengan r=0,441; R2=0,194 dan p Value=0,000 (Danan, 2007).
Pengaruh keempat variabel bebas terhadap efektivitas organisasi juga telah
dibuktikan oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian Andersen
(2005), kepribadian diketahui mempengaruhi efektivitas organisasi. Juga diketahui bahwa
terdapat hubungan antara kepribadian dengan efektivitas organisasi pada U.S. Navy (Hackett
dan McInerney, tahun tidak diketahui). Kepuasan kerja diketahui berkontribusi terhadap
efektivitas organisasi. Job satisfaction is a concept that behavioral scientists have emphasized
in recent years, it has an important impact on organizational effectiveness and efficiency
(Demir, 2002). Berdasarkan Knopp dan O’Reilly, yang meneliti pengaruh kepuasan kerja guru
terhadap efektivitas organisasi pada Sekolah-sekolah Dasar di Ontario, Canada, keefektivan
organisasi dipengaruhi oleh kepuasan kerja guru terhadap rekan kerja, penyelia, dan
52 pekerjaan itu sendiri. Sedangkan, pengaruh komitmen organisasi terhadap efektivitas
organisasi dibuktikan dalam penelitian Ussahawanitchakit (2008).
Adanya pengaruh OCB terhadap efektivitas organisasi dibuktikan dalam penelitian
Yen dan Niehoff terhadap pegawai bank-bank di Taiwan. Selain itu, hasil penelitian lainnya
menyatakan bahwa “developing a work environment that promotes OCB performance may
enhance a manager’s personal productivity and success as well as the organization’s
effectiveness” (Walz dan Niehoff, 2000).
2.3 Hipotesis
Hipotesis pertama yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan
Tujuan 1 adalah sebagai berikut:
Ho = Big Five Personality (X1), Kepuasan Kerja (x2), dan Komitmen Organisasi (X3)
karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap OCB (Y)
pada PT HSL
Ha = Big Five Personality (X1), Kepuasan Kerja (x2), dan Komitmen Organisasi (X3)
karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap OCB (Y) pada
PT HSL
Lalu, hipotesis kedua yang juga akan dibuktikan kebenarannya sesuai dengan Tujuan
2 yaitu sebagai berikut:
Ho = Big Five Personality (X1), Kepuasan Kerja (X2), Komitmen Organisasi (X3), serta OCB
(Y) karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap
Efektivitas Organisasi (Z) pada PT HSL
Ha = Big Five Personality (X1), Kepuasan Kerja (X2), Komitmen Organisasi (X3), serta OCB
(Y) karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap Efektivitas
Organisasi (Z) pada PT HSL
Download