BAB 2 LANDASAN TEORI dan KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia “Human Resource Management refers to the policies, practices, and systems that influence employees’ behavior, attitudes, and performance.” (Noe dkk, 2000, p4) Berdasarkan Hariandja dan Hardiwati (2003, p16), manajemen SDM adalah keseluruhan penentuan dan pelaksanaan berbagai aktivitas, policy, dan program yang bertujuan untuk mendapatkan tenaga kerja, pengembangan, dan pemeliharaan dalam usaha meningkatkan dukungannya terhadap peningkatan efektivitas organisasi dengan cara yang secara etis dan sosial dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan Mathis dan Jackson (2006, p67), manajemen SDM adalah penggunaan karyawan secara organisasional untuk mendapatkan atau memelihara keunggulan kompetitif terhadap para pesaing. Sehingga, manajemen SDM adalah sistem dan kebijakan yang mengatur penggunaan karyawan secara organisasional dengan cara yang etis untuk mempengaruhi kinerja karyawan dan memberikan kontribusi terhadap efektivitas organisasi. 2.1.1.1 Peran Manajemen Sumber Daya Manusia Seperti digambarkan dalam Gambar 2.1, manajemen Sumber Daya Manusia memainkan beberapa peranan bagi organisasi, seperti berikut. 9 10 Sumber: Mathis dan Jackson, 2006, p51 Gambar 2.1 Perbedaan Peran Manajemen SDM 1. Peran Administratif Meliputi aktivitas-aktivitas administrasi, seperti program bantuan karyawan, administrasi pensiun, pemerikasaan latar belakang/surat keterangan, administrasi imbalan kerja, perencanaan dan administrasi kompensasi, dan penanganan persoalan cuti yang terkait dengan urusan keluarga. 2. Penasihat Karyawan Profesional-profesional SDM sebagai suara atas persoalan-persoalan karyawan, biasanya dipandang sebagai petugas moral perusahaan. Profesional SDM banyak menghabiskan waktu untuk menangani manajemen krisis SDM yang berhubungan dengan masalah pekerjaan karyawan maupun masalah yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. 3. Operasional Peran operasional terdiri dari beberapa aktivitas SDM berikut ini. 11 • Pengadaan tenaga kerja (procurement) Fungsi operasional dari manajemen personalia adalah berupa usaha untuk memperoleh jenis dan jumlah yang tepat dari personalia yang diperlukan untuk menyelesaikan sasaran organisasi. Hal-hal yang dilakukan dalam kaitan ini adalah penentuan sumber daya manusia yang dibutuhkan dan perekrutannya, seleksi, dan penempatan . Penentuan sumber daya manusia yang diperlukan harus bersandar pada tugas-tugas yang tercantum pada rancangan pekerjaan yang ditentukan sebelumnya • Pengembangan (development) Pengembangan merupakan peningkatan keterampilan melalui pelatihan yang perlu untuk prestasi kerja yang tepat. Kegiatan ini amat penting dan terus tumbuh karena perubahan-perubahan teknologi, reorganisasi pekerjaan, tugas manajemen yang semakin rumit. • Kompensasi (compensation) Fungsi ini dirumuskan sebagai balas jasa yang memadai dan layak kepada personalia untuk sumbangan mereka kepada tujuan organisasi • Integrasi (integration) Integrasi merupakan usaha untuk menghasilkan suatu rekonsiliasi (kecocokan) yang layak atas kepentingan-kepentingan perorangan (individu), masyarakat , dan organisasi. Definisi ini berpijak atas dasar kepercayaan bahwa masyarakat kita terdapat tumpang tindih kepentingan yang cukup berarti. • Pemeliharaan (maintenance) Pemeliharaan merupakan usaha untuk mengabadikan angkatan kerja yang mempunyai kemauan dan mampu untuk bekerja. Terpeliharanya kemauan untuk bekerja sangat dipengaruhi oleh komunikasi dengan para karyawan, keadaan jasmani (fisik) karyawan, dan kesehatan serta keselamatan kerja. 12 • Pemutusan hubungan kerja (separation) Jika fungsi pertama manajemen personalia adalah untuk mendapatkan karyawan, adalah logis bahwa fungsi terakhir adalah memutuskan hubungan kerja dan mengembalikan orang-orang tersebut kepada masyarakat. Organisasi bertanggung jawab untuk melaksanakan proses pemutusan hubungan kerja sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan, dan menjamin bahwa warga masyarakat yang dikembalikan itu berada dalam keadaan yang sebaik mungkin. 4. Strategis SDM harus berfokus pada implikasi jangka panjang dari persoalan SDM dan berperan sebagai rekan bisnis strategis perusahaan. Contoh dari peran strategis ini adalah bagaimana demografi angkatan kerja dan kekurangan angkatan kerja yang berubah-ubah akan mempengaruhi organisasi, dan cara apa yang akan digunakan untuk menyampaikan keurangan-kekurangan seiring berjalannya waktu. 2.1.2 Perilaku Organisasi Menurut Keith Davis (Umar, 1998, p23), perilaku organisasi merupakan telaah dan penerapan pengetahuan mengenai bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi. Berdasarkan Robbins (2003, p10), perilaku organisasi adalah suatu bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki keefektifan organisasi. Sedangkan berdasarkan Luthans (2006, p20), perilaku organisasi didefinisikan sebagai pemahaman, prediksi, dan manajemen perilaku manusia dalam organisasi. Maka, dapat disimpulkan bahwa perilaku organisasi adalah ilmu yang berusaha menyelidiki, memahami, meramalkan, dan mengatur bagaimana orang-orang bertindak dalam organisasi dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi. 13 Gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan hubungan dan penekanan yang sangat umum antara perilaku organisasi (OB) dan berbagai disiplin ilmu yang terkait. Sumber: Luthans, 2006, p20 Gambar 2.2 Hubungan Perilaku Organisasi dengan Disiplin Ilmu yang Terkait Erat Greenberg dan Baron (2003, p4) mengatakan bahwa ada empat karakter utama dari bidang ilmu perilaku organisasi, yaitu: - Perilaku organisasi menggunakan metode ilmiah untuk mengatasi masalah-masalah manajerial Pengetahuan dalam perilaku organisasi didasarkan pada ilmu perilaku (behavioral sciences), seperti psikologi dan sosiologi yang mencari tahu tentang perilaku manusia dan masyarakat melalui penggunaan metode ilmiah. - Perilaku organisasi fokus pada tiga level analisis, yaitu individu, kelompok, dan organisasi Perilaku organisasi tidak hanya menyoroti orang-orang secara individual, karena dalam organisasi orang bekerja sama dalam kelompok dan tim. Lebih jauh, orang secara individu maupun kelompok mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan kerja mereka. Level individu yang dipelajari dalam perilaku organisasi misalnya sikap kerja, level kelompok misalnya komunikasi, dan level organisasi misalnya struktur. 14 - Perilaku organisasi sebenarnya merupakan multi-disipliner Perilaku organisasi tidak hanya mempelajari sebuah topik dari satu perspektif tertentu, melainkan juga mempertimbangkan berbagai macam pendekatan, mulai dari pendekatan psikologi yang sangat berorientasi pada individu, ilmu sosiologi yang lebih berorientasi pada kelompok, hingga isu-isu dalam kualitas organisasi yang dipelajari oleh para ilmuwan manajemen. - Perilaku organisasi berusaha mengembangkan efektivitas organisasi dan kualitas kehidupan dalam pekerjaan Disiplin-disiplin ilmu yang menyumbang kepada bidang perilaku organisasi (Robbins, 2003, p13-17): - Psikologi, yaitu ilmu yang berupaya mengukur, menjelaskan, dan kadang-kadang mengubah perilaku manusia dan binatang-binatang lain. - Sosiologi, yaitu studi tentang orang-orang dalam hubungan dengan manusia-manusia sesamanya. - Psikologi sosial, yaitu suatu bidang di dalam psikologi yang memadukan konsep-konsep baik dari psikologi maupun sosiologi dan yang memusatkan perhatian pada saling mempengaruhi antara orang-orang. - Antropologi, yaitu studi tentang masyarakat untuk mempelajari mengenai manusia dan kegiatan mereka. - Ilmu politik, yaitu studi tentang perilaku individu dan kelompok dalam suatu lingkungan politik. 2.1.3 Kepribadian Kepribadian berarti bagaimana orang mempengaruhi orang lain dan bagaimana mereka memahami dan memandang dirinya, juga bagaimana pola ukur karakter dalam dan 15 karakter luar mereka mengukur trait dan interaksi antara manusia-situasi (Luthans, 2006, p228). Berdasarkan Robbins (2003, p120), kepribadian adalah keseluruhan total cara seseorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan yang lain. Sedangkan berdasarkan Ewen (2003, p4), kepribadian menunjuk pada “important and relatively stable aspects of behavior”. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah bagaimana seseorang memandang dirinya, serta bagaimana ia mempengaruhi orang lain berdasarkan keseluruhan total aspek perilaku yang stabil. Dalam teori-teori kepribadian, kepribadian terdiri dari antara lain trait dan tipe (type). Trait kepribadian merupakan konstruk teoritis yang menggambarkan dimensi dasar dari kepribadian yang merupakan kecenderungan emosional, kognitif, dan tingkah laku, yang bersifat konsisten dan ditampilkan individu sebagai respons terhadap berbagai situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait. Trait merupakan disposisi untuk berperilaku dalam cara tertentu, seperti yang tercermin dalam perilaku seseorang pada berbagai situasi. Teori trait merupakan teori kepribadian yang didasari oleh beberapa asumsi, yaitu: 1. Trait merupakan pola konsisten dari pikiran, perasaan, atau tindakan yang membedakan seseorang dari yang lain, sehingga: - trait relatif stabil dari waktu ke waktu - trait konsisten dari situasi ke situasi 2. Trait merupakan kecenderungan dasar yang menetap selama kehidupan, namun karakteristik tingkah laku dapat berubah karena: - ada proses adaptif - adanya perbedaan kekuatan, dan 16 - kombinasi dari trait yang ada Teori trait dimunculkan pertama kalinya oleh Gordon W. Allport. Selain Allport, terdapat dua orang ahli lain yang mengembangkan teori ini. Mereka adalah Raymond B. Cattell dan Hans J. Eysenck. Allport mengenalkan istilah central trait, yaitu kumpulan kata-kata yang biasanya digunakan oleh orang untuk mendeskripsikan individu. Central trait dipercaya sebagai jendela menuju kepribadian seseorang. Menurut Allport, unit dasar dari kepribadian adalah trait yang keberadaannya bersumber pada sistem saraf. Allport percaya bahwa trait menyatukan dan mengintegrasikan perilaku seseorang dengan mengakibatkan seseorang melakukan pendekatan yang serupa (baik tujuan ataupun rencananya) terhadap situasi-situasi yang berbeda. Walaupun demikian, dua orang yang memiliki trait yang sama tidak selalu menampilkan tindakan yang sama. Mereka dapat mengekspresikan trait mereka dengan cara yang berbeda. Perbedaan inilah yang membuat masing-masing individu menjadi pribadi yang unik. Oleh sebab itu Allport percaya bahwa individu hanya dapat dipahami secara parsial jika menggunakan tes-tes yang menggunakan norma kelompok. Sama seperti Allport, Cattell juga percaya bahwa kata-kata yang digunakan seseorang untuk menggambarkan dirinya dan orang lain adalah petunjuk penting kepada struktur kepribadian. Perbedaan mendasar antara Allport dan Cattell adalah bahwa Cattell percaya kepribadian dapat digeneralisir. Yang harus dilakukan adalah dengan mencari trait dasar atau utama dari ribuan trait yang ada. Menurut Allport, faktor genetik dan lingkungan sama-sama berpengaruh dalam menentukan perilaku manusia. Bukan hanya faktor keturunan sendiri atau faktor lingkungan sendiri yang menentukan bagaimana kepribadian terbentuk, melainkan melalui pengaruh resiprokal faktor keturunan dan lingkungan yang memunculkan karakteristik kepribadian. 17 Sehubungan dengan adanya peran genetik dalam pembentukan kepribadian, terdapat 4 pemahaman penting yang perlu diperhatikan: 1. Meskipun faktor genetik mempunyai peran penting terhadap perkembangan kepribadian, faktor non-genetik tetap mempunyai peranan bagi variasi kepribadian 2. Meskipun faktor genetik merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi lingkungan, faktor non-genetik adalah faktor yang paling bertanggungjawab akan perbedaan lingkungan pada orang-orang 3. Pengalaman-pengalaman dalam keluarga adalah hal yang penting meskipun lingkungan keluarga berbeda bagi setiap anak sehubungan dengan jenis kelamin anak, urutan kelahiran, atau kejadian unik dalam kehidupan keluarga pada tiap anak. 4. Meski terdapat kontribusi genetik yang kuat terhadap trait kepribadian, tidak berarti bahwa trait itu tetap atau tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan. 2.1.3.1 Komponen Dasar Kepribadian Ciri khusus dari kepribadian dan implikasinya pada perilaku organisasi berdasarkan Luthans (2006, p230-232): 1. Penghargaan diri Penghargaan diri berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk menilai diri dan citra diri. Ringkasan penelitian terbaru mengungkapkan bahwa orang dengan penghargaan diri lebih tinggi memilki sikap, perasaan, dan kepuasan hidup yang positif dan tidak terlalu cemas, putus asa, dan depresi. Penghargaan diri memiliki implikasi yang jelas pada perilaku organisasi. Penghargaan diri pada organisasi disebut organization-based self-esteem (OBSE), yang didefinisikan sebagai penilaian diri yang dimiliki individu sebagai anggota organisasi yang bertindak dalam konteks organisasi. Orang dengan OBSE tinggi memandang dirinya secara positif, 18 dan meta-analisis terbaru menemukan hubungan positif yang signifikan antara OBSE dengan kinerja dan kepuasan kerja. Jika penghargaan diri karyawan rendah dan ia tidak percaya akan kemampuan berpikirnya sendiri, maka ia mungkin takut mengambil keputusan, lemah dalam bernegosiasi dan keahlian interpersonal, serta menjadi malas atau tidak dapat berubah. 2. Interaksi manusia-situasi Dimensi interaksi kepribadian manusia-situasi memberikan pemahaman lebih lanjut terhadap kepribadian manusia. Tentu saja setiap situasi itu berbeda. Sekilas perbedaan mungkin terlihat sangat kecil, tapi saat disaring dengan proses kognitif seperti persepsi, perbedaan tersebut dapat menghasilkan perbedaan subjektif yang sangat besar dan hasil perilaku yang sangat berbeda. Secara khusus, dimensi ini menyatakan bahwa orang itu tidak statis, bertindak sama dalam setiap situasi, tetapi selalu berubah dan fleksibel. Misalnya, karyawan dapat berubah tergantung pada situasi tertentu di mana mereka berinteraksi. Terutama untuk saat ini, dengan perubahan organisasi dan lingkungan yang bergolak, organisasi yang dapat menemukan, mengembangkan, dan mempertahankan manusia yang dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah secara dinamis adalah organisasi yang akan berhasil. 3. Proses sosialisasi Peranan manusia, kelompok, dan terutama organisasi yang sangat mempengaruhi kepribadian individu semakin dihargai. Dampak yang berkelanjutan dari lingkungan sosial secara umum disebut proses sosialisasi. Proses sosialisasi secara khusus relevan dengan perilaku organisasi karena proses tidak ditentukan pada awal masa kecil, melainkan terjadi sepanjang kehidupan seseorang. Secara khusus, fakta menyatakan bahwa sosialisasi mungkin menjadi salah satu penjelasan terbaik mengapa karyawan berperilaku seperti yang terlihat dalam organisasi saat ini. 19 Seperti yang dinyatakan Edgar Schein, “Perlu waktu di mana beberapa pengetahuan dan keahlian manajerial dapat difokuskan kepada kekuatan lingkungan organisasi yang berasal dari fakta bahwa organisasi adalah suatu sistem sosial yang mensosialisasi karyawan baru. Jika kita tidak belajar untuk menganalisis dan mengontrol kekuatan sosialisa organisasi, maka kita melepaskan salah satu tanggung jawab manajerial utama kita.” Menurut Schein, organisasi itu sendiri memberi kontribusi bagi sosialisasi. Dia menyatakan bahwa proses hanya mencakup pembelajaran nilai, norma, dan pola perilaku yang dari sudut pandang organisasi dan kelompok kerja, diperlukan oleh anggota baru untuk belajar. Berikut ini adalah karakteristik sosialisasi organisasi dari karyawan: - Mengubah sikap, nilai, dan perilaku - Kontinuitas dari sosialisasi setiap waktu - Penyesuaian pekerjaan, kelompok kerja, dan praktik organisasi terbaru - Pengaruh mutual antara karyawan baru dan manajer mereka - Kekritisan periode sosialisasi awal 2.1.3.2 Kepribadian Big Five Pada penelitian ini, kepribadian dilihat berdasarkan the big five personality yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae (1992, 1998). Greenberg dan Baron (2003, p85) mendefinisikan kepribadian big five sebagai “five basic dimensions of personality that are assumed to underlie many specific traits”. Teori ini didasarkan pada model lima faktor kepribadian sebagai representasi struktur trait yang merupakan dimensi utama dari kepribadian. Taksonomi kepribadian lima besar merupakan asesmen yang komprehensif dari kepribadian dimana individu mempersepsikan bagaimana dirinya sendiri serta bagaimana hubungan dirinya dengan orang lain. 20 Penilaian dalam kepribadian lima besar tidak menghasilkan satu trait tunggal yang dominan, tetapi menunjukkan seberapa kuat setiap trait dalam diri seseorang. Meskipun kelima ciri merupakan faktor kepribadian yang sangat independen, seperti warna utama, ciri tersebut dapat dicampur dalam proporsi yang tidak terhitung dan dengan karakteristik lain untuk menghasilkan keseluruhan kepribadian yang unik. Kelima trait kepribadian tersebut adalah, berdasarkan Robbins (2003, p125): 1. Extraversion (ekstraversi) Dimensi ini mencakup tingkat kesenangan seseorang akan hubungan. Orang-orang yang ekstravert cenderung suka berkelompok, tegas, dan mampu bersosialisasi. Kaum introvert cenderung pendiam, malu-malu, dan tenang. 2. Agreeableness (Kemampuan untuk bersepakat) Dimensi ini merujuk pada kecenderungan seorang individu untuk tunduk kepada yang lain. Orang-orang yang berkemampuan untuk sepakat itu kooperatif, hangat, dan percaya. Orang yang memiliki skor yang rendah dalam kemampuan untuk sepakat adalah orang yang dingin, tidak mampu bersepakat, dan antagonistik. 3. Conscientiousness (sifat mendengarkan suara hati) Dimensi ini merupakan ukuran dari keandalan (reliability). Orang yang sangat peka terhadap suara hati, bertanggung jawab, terorganisir, dapat dipercaya, dan gigih. Mereka yang memiliki skor yang rendah dalam dimensi ini cenderung mudah bingung, tidak terorganisir, dan tidak andal. 4. Neuroticism (stabilitas emosional) Dimensi ini membuka jalan bagi kemempuan seseorang untuk bertahan terhadap stres. Orang dengan stabilitas emosional yang positif cenderung tenang, percaya diri, dan aman. Mereka dengan skor negatif yang tinggi cenderung nervous, cemas, tertekan, dan tidak aman. 21 5. Openness to experience (terbuka pada pengalaman) Dimensi final mengajukan suatu kisaran minat indivisual dan kekaguman terhadap hal baru. Orang yang ekstrim terbuka adalah orang yang kreatif, ingin tahu, dan sensitif secara artistik. Mereka yang berada pada sisi lain dari kategori keterbukaan adalah konvensional dan menemukan kenyamanan dalam keakraban. Tabel 2.1 di bawah ini akan mengidentifikasikan Big Five dan karakteristik utamanya. Tabel 2.1 Tabel Ciri Kepribadian Big Five Ciri Utama Karakteristik Deskriptif pada Orang dengan Skor Tinggi Extraversion Dapat bersosialisasi, terbuka, banyak bicara, asertif, suka berteman Agreeableness Kooperatif, hangat, perhatian, watak baik, sopan, dapat dipercaya Conscientiousness Dapat diandalkan, pekerja keras, teratur, disiplin diri, gigih, bertanggung jawab Neuroticism Tenang, aman, senang, tidak khawatir Openness to experience Ingin tahu, intelek, kreatif, terpelajar, sensitif, fleksibel, imajinatif Sumber: Luthans, 2006, p234 Kepribadian lima besar sangat penting diteliti bagi kesuksesan sebuah organisasi. “The big five dimensions of personality are highly relevant to several important aspects of organizational behavior” (Greenberg dan Baron, 2003, p87). Beberapa dimensi dari big five personality sangat berhubungan dengan kinerja kerja. Secara umum, dimensi conscientiousness menunjukkan hubungan paling kuat dengan prestasi kerja. Semakin tinggi seseorang dalam dimensi ini, semakin tinggi tingkat kinerja mereka. Dimensi neuroticism juga berhubungan dengan prestasi kerja, walaupun tidak terlalu kuat. Semakin stabil emosi 22 seseorang, maka kinerjanya akan lebih baik. Agreeableness berhubungan dengan aspek interpersonal dalam pekerjaan, seperti dapat berbaur dengan rekan kerja yang lain. Sementara itu, bagi sebagian pekerjaan yang memerlukan individu untuk berinteraksi dengan banyak orang, seperti manager, bagian penjualan, dan petugas kepolisian, dimensi extraversion sangat berhubungan dengan kinerja. Aspek-aspek dasar dari kepribadian juga berkaitan dengan banyak proses organisasi lainnya. Misalnya, menyediakan kerangka untuk memahami para pelamar kerja dan memilih yang orang yang paling baik untuk berbagai macam pekerjaan (right man in the right place). 2.1.4 Sikap Kepribadian dan sikap merupakan proses kognitif yang kompleks. Perbedaannya adalah kepribadian biasanya dianggap sebagai manusia seutuhnya, sedangkan ciri/trait dan sikap dianggap sebagai pembentuk kepribadian. (Luthans, 2006, p236). Sikap dapat ditandai dengan tiga cara. Pertama, sikap cenderung bertahan kecuali ada sesuatu yang dilakukan untuk mengubahnya. Kedua, sikap dapat mencakup rangkaian dari yang sangat disukai sampai yang sangat tidak disukai. Ketiga, sikap diarahkan pada beberapa objek di mana orang memiliki perasaan dan kepercayaan. “An attitude consists of feelings, beliefs, and predispositions to behave in certain ways” (Organ dan Hammer, 1982, p131). Ketiga komponen tersebut kemudian berpadu bersama-sama, secara psikologis, di mana masing-masing komponen berimplikasi terhadap yang lainnya. Greenberg dan Baron (2003, p147) menyebut ketiga komponen tersebut sebagai an evaluative component, a cognitive component, and a behavioral component. Evaluative component menunjuk pada kesukaan atau ketidaksukaan seseorang terhadap orang lain, barang, atau kejadian tertentu (disebut sebagai attitude object). Cognitive component adalah hal-hal yang kita percayai tentang suatu attitude object, tak peduli apakah pandangan tersebut salah atau benar. Sedangkan, behavioral component merupakan 23 kecenderungan (predispotition) untuk berperilaku dalam suatu cara tertentu secara konsisten sesuai dengan keyakinan (belief) dan perasaan (feeling) kita tentang sebuah attitude object. Ketiga komponen sikap tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini. Sumber: Greenberg dan Baron,2003, p147 Gambar 2.3 Tiga Komponen Dasar dari Sikap Fungsi-fungsi dari sikap, yaitu: - Fungsi penyesuaian Sikap sering membantu orang menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja mereka. Saat karyawan diperlakukan dengan baik, mereka cenderung mengembangkan sikap positif terhadap manajemen dan organisaisi. Sebaliknya, bila mereka diperlakukan kasar dan peningkatan gaji kecil, mereka cenderung mengembangkan sikap negatif terhadap manajemen dan organisasi. - Fungsi pertahanan ego Sikap juga membantu karyawan mempertahankan citra diri. Misalnya, manajer lebih tua yang keputusannya terus ditentang manajer bawahan yang lebih muda mungkin merasa bahwa anak muda tidak sopan, sombong, belum dewasa, dan tidak berpengalaman. Sebanarnya, manajer muda mungkin benar ketika menentang keputusan tersebut. 24 Manajer yang lebih tua mungkin bukan pemimpin yang efektif dan terus membuat keputusan yang buruk. Sebaliknya, manajer yang lebih tua tidak mengakui hal tersebut dan mencoba melindungi egonya dengan menempatkan kesalahan pada pihak lain. Jadi, sikap berfungsi membenarkan tindakan dan mempertahankan ego. - Fungsi mengekspresikan nilai Sikap bertindak sebagai dasar untuk mengekspresikan nilai sentral seseorang. Misalnya, manajer yang meyakini etika kerja akan cenderung mengomentari sikap individu tertentu atau praktik kerja tertentu sebagai alat untuk merefleksikan nilai. Seorang atasan yang ingin bawahannya bekerja lebih keras mungkin melakukan hal ini: “Anda harus bekerja lebih keras lagi. Hal tersebut telah menjadi tradisi perusahaan sejak didirikan. Semua itu membuat kami seperti sekarang ini, dan setiap orang diharapkan menganut etika ini”. - Fungsi pengetahuan Sikap membantu menyediakan standar dan kerangka referensi memungkinkan orang untuk mengelola dan menjelaskan dunia di sekitar mereka. Misalnya, organisator serikat mungkin memiliki sikap negatif terhadap manajemen. Sikap ini bisa saja tidak berdasarkan fakta, tetapi membantu orang untuk berhubungan dengan manajemen. Akibatnya, apa pun yang dikatakan manajer ditanggapi organisator serikat sebagai tidak lebih daripada sekumpulan bualan, atau usaha memanipulasi pekerja. Tanpa memedulikan keakuratan pandangan seseorang terhadap realita, sikap terhadap orang lain, kejadian, dan objek, membantu individu mengerti apa yang sedang terjadi. Seseorang bisa mempunyai ribuan sikap, tapi perilaku organisasi memfokuskan pada jumlah sangat terbatas sikap yang berhubungan dengan pekerjaan. Sikap kerja adalah perasaan, keyakinan, dan kecenderungan perilaku yang relatif stabil terhadap berbagai aspek dari pekerjaan itu sendiri. Sikap yang berkaitan dengan pekerjaan ini membuka jalan evaluasi 25 positif atau negatif yang dipegang para karyawan mengenai aspek-aspek dari lingkungan kerja mereka. Kebanyakan riset dalam perilaku organisasi telah mempedulikan tiga sikap: kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen organisasi (Robbins, 2003, p91). Dalam penelitian ini, hanya dibahas mengenai kepuasan kerja dan komitmen organisasi. 2.1.4.1 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah tingkat rasa puas individu bahwa mereka mendapat imbalan yang setimpal dari bermacam-macam aspek situasi pekerjaan dari organisasi tempat mereka bekerja (Tangkilisan, 2005, p164). Berdasarkan Robbins (2003, p30), kepuasan kerja adalah suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Sedangkan, berdasarkan pendapat Luthans (2006, p243), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Dari definisi-definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah persepsi karyawan bahwa imbalan yang mereka terima dari organisasi sebagai hasil dari pekerjaan mereka sudah setimpal, sehingga mereka memunculkan sikap puas terhadap pekerjaan mereka. Menurut Wexley dan Yukl (Moeljono, 2003, p113), ada tiga dimensi kepuasan kerja: a. Kepuasan kerja adalah sebuah respons emosional terhadap situasi kerja b. Kepuasan kerja sering ditentukan oleh bagaimana outcomes (hasil/keluaran) dapat sesuai atau melebihi harapan c. Kepuasan kerja akan mempresentasikan sikap-sikap yang berhubungan dengan hal tersebut 26 Beberapa faktor penentu kepuasan kerja adalah sebagai berikut. 1. Pekerjaan itu sendiri Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan, di mana pekerjaan memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. Berdasarkan survey diagnostik pekerjaan diperoleh hasil tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan. Ciri-ciri tersebut ialah: a. Keragaman keterampilan, banyak ragam keterampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Makin banyak ragam keterampilan yang digunakan, makin kurang membosankan pekerjaan. b. Jati diri tugas (task identity), sejauh mana tugas merupakan suatu kegiatan keseluruhan yang berarti. Tugas yang dirasakan sebagai bagian dari pekerjaan yang lebih besar dan yang dirasakan tidak merupakan satu kelengkapan tersendiri akan menimbulkan rasa tidak puas. c. Tugas yang penting (task significance), rasa pentingnya tugas bagi seseorang. Jika tugas dirasakan penting dan berarti oleh tenaga kerja, maka ia cenderung mempunyai kepuasan kerja. d. Otonomi, pekerjaan yang menimbulkan kebebasan, ketidaktergantungan dan memberikan peluang mengambil keputusan akan lebih cepat menimbulkan kepuasan kerja. e. Pemberian umpan balik (feedback) pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan kerja. 2. Gaji atau imbalan yang dirasakan adil Menurut penelitian Theriault, kepuasan kerja merupakan fungsi dari jumlah absolut dari gaji yang diterima, derajat sejauh mana gaji memenuhi harapan-harapan tenaga kerja, dan bagaimana gaji diberikan. Uang memang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi orang 27 yang berbeda-beda. Di samping memenuhi kebutuhan tingkat rendah (makanan, perumahan), uang dapat merupakan simbol dari pencapaian (achievement), keberhasilan, dan pengakuan atau penghargaan. Lagipula uang mempunyai kegunaan sekunder. Jumlah gaji yang diperoleh dapat secara nyata mewakili kebebasan untuk melakukan apa yang ingin dilakukan. Dengan dipersepsikan menggunakan sebagai terlalu teori keadilan kecil atau Adams, terlalu orang besar akan menerima gaji mengalami yang distress (ketidakpuasan). Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil. Jika gaji dipersepsikan sebagai adil didasarkan tuntutan-tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu, maka akan ada kepuasaan kerja. 3. Kesempatan promosi Menyangkut kemungkinan seseorang untuk maju dalam organisasi dan dapat berkembang melalui kenaikan jabatan. Seseorang dapat merasakan adanya kemungkinan yang besar untuk naik jabatan atau tidak, serta proses kenaikan jabatan terbuka atau kurang terbuka. Ini juga dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja seseorang. 4. Pengawasan (supervisi) Atasan yang senantiasa memberikan perintah atau petunjuk dalam pelaksanaan kerja. Cara-cara atasan dalam memperlakukan bawahannya dapat menjadi menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi bawahannya tersebut, dan hal ini mempengaruhi kepuasan kerja. Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. Tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan adalah jika kedua hubungan adalah positif. 28 5. Rekan kerja Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul karena mereka dalam jumlah tertentu, berada dalam satu ruangan kerja, sehingga mereka dapat saling berbicara (kebutuhan sosial terpenuhi). Sifat alami dari kelompok atau tim kerja akan mempengruhi kepuasan kerja. Pada umumnya, rekan kerja atau anggota tim yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu. Kelompok kerja bertindak sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasihat, dan bantuan pada anggota individu. Kelompok yang memerlukan kesalingtergantungan antar-anggota dalam menyelesaikan pekerjaan, akan memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi. Kelompok kerja yang baik membuat pekerjaan menjadi menyenangkan, sehingga menimbulkan kepuasan kerja pada individu karyawan. 6. Kondisi kerja Bekerja dalam ruangan kerja yang sempit, panas, yang cahaya lampunya menyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak mengenakkan akan menimbulkan keengganan untuk bekerja. Orang akan mencari alasan untuk sering-sering keluar ruangan kerjanya. Dalam hal ini perusahaan perlu menyediakan ruang kerja yang terang, sejuk, dengan peralatan kerja yang nyaman untuk digunakan, seperti meja, kursi yang dapat diatur tinggirandah, miring-tegaknya posisi duduk. Dalam kondisi seperti ini, kebutuhan-kebutuhan fisik yang terpenuhi akan memuaskan tenaga kerja. 2.1.4.1.1 Mengukur Kepuasan Kerja Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, baik dari segi analisa statistik maupun dengan pengumpulan data. Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur dengan kuesioner laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu kepuasan kerja dilihat sebagai 29 konsep global, kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan, dan sebagai fungsi kebutuhan yang terpenuhkan. 1. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global Konsep ini merupakan konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi dari semua aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai dari suatu jabatan. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal). Cara ini memiliki sejumlah kelebihan, di antaranya adalah tidak ada biaya pengembangan dan dapat dimengerti oleh mereka yang ditanyai. Selain itu cara ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai. Kuesioner satu pertanyaan menyediakan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran pribadi dari pertanyaan yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan, iklim sosial organisasi, dan sebagainya . 2. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan Konsep ini menggunakan konsep facet (permukaan) atau komponen, yang menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi kerja yang berbeda dapat bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara konsep facet yang dapat diperiksa adalah beban kerja, keamanan kerja, kompetensi, kondisi kerja, status dan prestise kerja. Kecocokan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek manejemen, hubungan atasan-bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatan, kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk pertumbuhan dan pengembangan. 3. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai kebutuhan yang terpenuhkan Yaitu suatu pendekatan terhadap pengukuran kepuasan kerja yang tidak menggunakan asumsi bahwa semua orang memiliki perasaan yang sama mengenai aspek tertentu dari situasi kerja, pendekatan ini dikembangkan oleh Porter. Kuesioner Porter didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan kerja. Kuesioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang berkaitan dengan kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, otonomi, 30 sosial, dan aktualisasi diri. Berdasarkan kebutuhan dan persepsi orang itu sendiri mengenai jabatannya, tiap responden menjawab tiga pertanyaan mengenai masing-masing pertanyaan: (1) Berapa yang ada sekarang? (2) Berapa seharusnya? (3) Bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?. Berdasarkan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai pemenuhan kebutuhan kerja tersebut, kepuasan kerja diukur dengan perbedaan antara “Berapa yang ada sekarang?” dan “Berapa yang seharusnya?”, semakin kecil perbedaan, maka semakin besar kepuasannya. Nilai yang terpisah dihitung untuk masing-masing dari lima kategori kebutuhan. Pertanyaan “Bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?” memberikan kepada penyilidik ukuran kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan bagi tiap responden. Hampir semua penelitian kepuasan kerja berdasarkan pada kuesioner pengukuran kepuasan kerja. Karena kepuasan kerja adalah fenomena yang subjektif dan individual, mungkin kuesioner merupakan ukuran yang paling sesuai. Meskipun demikian penting sekali menyadari adanya keterbatasan tertentu dari metode ini dalam mendapatkan data bagi penelitian kepuasan kerja. Sejumlah masalah yang timbul oleh pengukuran melalui kuesioner tersebut berkaitan dengan ketepatan tanggapan. Walaupun responden tidak memberikan jawaban yang menyesatkan secara sengaja, sejumlah variabel situasional dapat mempengaruhi, baik sejauh mana mereka mau memahami pertanyaan tersebut maupun sejauh mana mereka mau benar-benar berterus terang dalam menjawab. Meskipun kesalahan pengukuran yang berkaitan tidak dapat dihilangkan, namun terdapat langkah-langkah tertentu yang dapat diambil untuak menguranginya, yaitu dengan menggunakan kuesioner yang keandalannya telah ditentukan, kejelasan pengarahan diuji sebelumnya, menjaga kerahasiaan subjek, menggunakan sample yang cukup banyak untuk mengurangi penyimpangan respon yang cenderung terdistribusi secara acak. 31 2.1.4.1.2 Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan Menurut Robbins, ketidakpuasan kerja, pada tenaga kerja dapat diungkapkan dengan berbagai macam cara, misalnya selain meninggalkan pekerjaan, mengeluh, membangkang, mencuri barang milik organisasi, menghindari sebagian dari tanggung jawab pekerjaan, dll. Seperti terlihat pada Gambar 2.4, empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidakpuasan: - Keluar (exit), meninggalkan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain - Suara (voice), memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi secara aktif dan konstruktif - Kesetiaan (loyalty), menunggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela organisasi terhadap kritik dari luar serta mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat - Mengabaikan (neglect), sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, seperti sering absen, menurangi upaya, atau kesalahan yang dibuat makin banyak Sumber: Robbins, 2003, p106 Gambar 2.4 Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja 32 2.1.4.1.3 Cara Meningkatkan Kepuasan Beberapa cara yang dapat dilakukan organisasi untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawannya berdasarkan Greenberg dan Baron (2003, p159): - Make jobs fun Orang akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka nikmati daripada yang membosankan. Walaupun beberapa pekerjaan memang bersifat membosankan, tetap ada cara untuk menyuntikkan beberapa level keasyikan ke dalam hampir setiap pekerjaan. Teknik-teknik kreatif yang telah diterapkan misalnya mengoper buket bunga dari meja satu orang ke yang lainnya setiap setengah jam dan mengambil gambar lucu orang lain ketika sedang bekerja lalu memasukkannya ke papan buletin. - Pay people fairly Ketika orang merasa bahwa mereka dibayar atau diberi imbalan secara adil, maka kepuasan kerja mereka cenderung akan meningkat. - Match people to jobs that fit their interests Semakin orang merasa bahwa mereka mampu memenuhi kesenangan atau minat mereka saat bekerja, semakin mereka akan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan tersebut. - Avoid boring, repetitive jobs Orang jauh lebih merasa puas terhadap pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk mencapai keberhasilan dengan memiliki kontrol secara bebas tentang bagaimana mereka melakukan tugas-tugas mereka. 2.1.4.2 Komitmen Organisasi Menurut Porter, Steers, Mowday, dan Boulian (Rabin, 2003, p868), komitmen organisasi adalah “the relative strength of an individual’s identification with and involvement in a particular organization”. 33 Berdasarkan Robbins (2003, p92), komitmen organisasi diidentifikasikan sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. Sedangkan berdasarkan Luthans (2006, p249), komitmen organisasi didefinisikan sebagai (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi. Bila kepuasan kerja berkaitan dengan sikap karyawan terhadap pekerjaannya, di mana menunjukkan kepuasan karyawan terhadap pekerjaan yang dia lakukan, maka komitmen organisasi berkaitan dengan level organisasi, di mana menunjukkan kepuasan karyawan terhadap organisasi tempat ia bekerja. Namun, hubungan yang kuat antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi telah diketahui selama bertahun-tahun (Luthans, 2006, p248). Ada tiga dimensi komponen dari komitmen organisasi menurut Mayer dan Allen, seperti juga dapat dilihat pada Gambar 2.5: 1. Komitmen afektif, yaitu keterikatan emosional karyawan, identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi. Keterikatan emosional ini terbentuk karena karyawan setuju dengan tujuan dasar dan nilai-nilai organisasi tersebut, serta mengerti untuk apa organisasi tersebut berdiri. Karyawan dengan derajat komitmen afektif tinggi 34 akan memilih tetap tinggal dalam organisasi untuk menyokong organisasi dalam mencapai misinya. 2. Komitmen kelanjutan, yaitu komitmen berdasarkan kerugian yang mungkin akan muncul dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Semakin lama seseorang tinggal dalam sebuah organisasi, ia akan semakin tidak rela kehilangan apa yang telah mereka ‘investasikan’ di organisasi tersebut selama bertahun-tahun, misalnya senioritas, kesempatan promosi, rencana pensiun, dan hubungan persahabatan dengan rekan kerja. Karyawan dengan derajat komitmen kelanjutan tinggi memilih untuk tetap tinggal dalam organisasi hanya karena tidak ingin mengambil risiko kehilangan hal-hal seperti itu. 3. Komitmen normatif, yaitu perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Keharusan untuk tetap tinggal dalam organisasi disebabkan karena tekanan dari orang atau pihak lain. Karyawan dengan derajat komitmen normatif tinggi sangat peduli pada apa yang akan dipikirkan orang lain bila ia keluar dari organisasi tempatnya bekerja. Karyawan seperti itu merasa enggan untuk mengecewakan majikannya dan kuatir akan apa dicap buruk oleh rekan sekerjanya bila ia resign. Sumber: Greenberg dan Baron, 2003, p162 Gambar 2.5 Dimensi Komitmen Organisasi 35 2.1.4.2.1 Cara Meningkatkan Komitmen Dessler memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan (Luthans, 2006, p250): - Berkomitmen pada nilai utama manusia Dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi. - Memperjelas dan mengkomunikasikan misi Memperjelas misi dan ideologi; berkarisma; menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai; menekankan orientasi berdasarkan nilai stres dan pelatihan; membentuk tradisi. - Menjamin keadilan organisasi Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif; menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif. - Menciptakan rasa komunitas Membangun homogenitas berdasarkan nilai; keadilan; menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim; berkumpul bersama. - Mendukung perkembangan karyawan Melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama; memajukan dan memberdayakan; mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan. 2.1.5 Organizational Citizenship Behaviour Organizational Citizenship Behaviour atau kewarganegaraan organisasional sangat terkenal dalam perilaku organisasi saat pertama kali diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu dengan dasar teori disposisi/kepribadian dan sikap kerja. Dasar kepribadian untuk OCB 36 merefleksikan ciri/trait predisposisi karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan bersungguh-sungguh. Sedangkan dasar sikap mengindikasikan bahwa karyawan terlibat dalam OCB untuk membalas tindakan organisasi (Luthans, 2006, p251). Sehingga dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku anggota organisasi yang mencakup faktor kepribadian dan sikap keja sebagai dasar utama, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut ini. Gambar 2.6 Dasar Teori OCB Menurut Organ, kewarganegaraan organisasional (Organizational Citizenship Behaviour) adalah perilaku diskresioner yang bukan merupakan bagian dari persyaratanpersyaratan jabatan formal seorang karyawan, meskipun demikian hal itu mempromosikan pemfungsian efektif atas organisasi (Robbins, 2003, p30). Van Dyne dkk mengusulkan konstruksi dari extra role behavior (ERB), yaitu “behavior that attempts to benefit the organization and that goes beyond existing role expectations” (Organ, 2005, p33). Organisasi membutuhkan karyawan yang bergabung dalam perilaku-perilaku “kewarganegaraan yang baik” seperti membuat pernyataan-pernyataan yang konstruktif 37 tentang kelompok kerja dan organisasi mereka, membantu yang lain dalam tim mereka, sukarela melakukan kegiatan-kegiatan tambahan, menghindari konflik-konfik yang tidak perlu, menunjukkan perhatian pada properti organisasi, menghargai semangat dan juga kaidah dan aturan tersurat, dan bersedia mentolerir gangguan dan kerugian-kerugian yang berkaitan dengan pekerjaan yang tidak tetap (Robbins, 2003, p30). Sehingga, penulis menyimpulkan OCB sebagai perilaku karyawan yang dengan suka rela bersedia melakukan hal-hal di luar uraian jabatan formal yang menguntungkan organisasi, sehingga memberikan dampak bagi efektivitas organisasi. Menurut Organ (Purba dan Seniati, 2004, p106), OCB terdiri dari lima dimensi: 1. Altruism, yaitu perilaku membantu meringankan pekerjaan yang ditujukan kepada individu lain dalam suatu organisasi, misalnya membantu saat rekan kerja tidak sehat. 2. Courtesy, yaitu membantu teman kerja mencegah timbulnya masalah sehubungan dengan pekerjannya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai kebutuhan mereka, atau memahami dan berempati walaupun saat dikritik. 3. Sportsmanship, yaitu toleransi pada situasi yang kurang ideal di tempat kerja tanpa mengeluh, misalnya ikut menanggung kegagalan proyek tim yang mungkin akan berhasil dengan mengikuti nasihat anggota. 4. Civic virtue, yaitu terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi dan peduli pada kelangsungan hidup organisasi, misalnya rela mewakili perusahaan untuk program bersama. 5. Conscientiousness, yaitu melakukan hal-hal yang menguntungkan organisasi, misalnya mematuhi peraturan-peraturan di organisasi dan bersedia lembur untuk menyelesaikan proyek. Bukti menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut yang memiliki karyawan yang memiliki OCB tinggi berkinerja melebihi organisasi-organisasi yang tidak memiliki karyawan tersebut. Akibatnya, perilaku organisasi itu berhubungan dengan OCB sebagai 38 varibel bergantung (Robbins, 2003, p30). Sehingga, manajer sekarang sangat bijaksana bukan hanya dalam mencoba meningkatkan kepuasan kerja dan komitmen organisasi, tetapi juga OCB karyawan mereka (Luthans, 2006, p251). 2.1.5.1 Motif yang Mendasari OCB Seperti halnya sebagian besar perilaku yang lain, OCB ditentukan oleh banyak hal, artinya tidak ada penyebab tunggal dalam OCB. Sesuatu yang masuk akal bila kita menerapkan OCB secara rasional. Salah satu pendekatan motif dalam perilaku organisasi berasal dari kajian McClelland dan rekan-rekannya. Menurut McClelland, manusia memiliki tiga tingkatan motif (Hardaningtyas, 2005, p14): 1. Motif berprestasi, mendorong orang untuk menunjukkan suatu standard keistimewaan (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau kompetisi 2. Motif afiliasi, mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara, dan memperbaiki hubungan dengan orang lain 3. Motif kekuasaan, mendorong orang untuk mencari status dan situasi di mana mereka dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain Kerangka motif berprestasi, afiliasi, dan kekuasaan telah diterapkan untuk memahami OCB guna memahami mengapa orang menunjukkan OCB. Gambar 2.7 menunjukkan model OCB yang didasari oleh suatu motif. Paradigma 1: OCB dan Motif Berprestasi OCB dianggap sebagai alat untuk prestasi tugas (task accomplishment). Ketika prestasi menjadi motif, OCB muncul karena perilaku tersebut dipandang perlu untuk kesuksesan tugas tersebut. Perilaku seperti menolong orang lain, membicarakan perubahan dapat mempengaruhi orang lain, berusaha tidak mengeluh, berpartisipasi dalam rapat unit merupakan hal-hal yang dianggap kritis terhadap keseluruhan prestasi tugas, proyek, tujuan 39 atau misi. Singkatnya, karyawan yang memiliki motivasi berprestasi memandang tugas dari perspektif yang lebih menyeluruh. Hal-hal kecil yang membentuk OCB benar-benar dianggap sebagai kunci untuk kesuksesan. OCB Motif Berprestasi Motif Afiliasi Motif Kekuasaan Dengan OCB berarti: Dengan OCB berarti: Dengan OCB berarti: • kesempurnaan tugas • kesuksesan organisasi • • pembentukan dan pemeliharaan relasi penerimaan dan persetujuan • mendapat kekuasaan dan status • menunjukkan kesan positif Gambar 2.7 Motif OCB Dengan mewujudkan OCB mungkin meningkatkan derajat kepuasan intrinsik. Namun karyawan yang berorientasi pada prestasi akan menunjukkan OCB seolah-olah hal ini dibutuhkan untuk kesuksesan tugas. Mereka termotivasi untuk memperbaiki kinerja di masa mendatang dan berusaha keras untuk sukses. Tapi mereka juga membutuhkan perlakuan yang adil dan penuh perhatian dari manajer maupun orang lain. Ketika feedback tidak memberikan yang diharapkan, tidak akurat atau tidak adil, ada kemungkinan mereka akan kehilangan ketertarikan untuk menampilkan OCB. Menurut Bateman dan Organ, paradigma ini mendukung kepuasan kerja atau keadilan sebagai antesedens OCB (Hardaningtyas, 2005, p17). Karyawan yang berorientasi pada prestasi bertekad untuk menggantikan atau mengerjakan hal-hal yang membuahkan 40 prestasi atas tugas yang dikerjakannya. Selama orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi menerima perlakuan atau reward yang adil dari manajemen, OCB akan terus nampak. Paradigma 2: OCB dan Motif Afiliasi Orang yang berorientasi pada afiliasi menunjukkan OCB karena mereka menempatkan nilai orang lain dan hubungan kerjasama. Istilah sederhananya adalah karyawan yang ‘berorientasi pada orang’ berusaha melayani orang lain. Motif afiliasi dipandang sebagai suatu komitmen terhadap pemberian pelayanan pada orang lain. Karyawan yang berorientasi pada afiliasi membantu orang lain karena mereka membutuhkan bantuan, atau menyampaikan suatu informasi karena hal tersebut menguntungkan penerima. Karyawan tipe ini akan bersungguh-sungguh karena seseorang, baik atasan maupun pelanggan, membutuhkan mereka. Hasil kinerja mereka tidal sebanyak perhatian tentang keuntungan yang diterima orang lain. Mereka menempatkan prioritas pada OCB, meskipun kadang-kadang merugikan dirinya. Paradigma ini mendukung pendapat William dan Anderson bahwa terdapat hubungan antara komitmen organisasi dan OCB (Hardaningtyas, 2005, p18). Karyawan yang berorientasi pada afiliasi akan menunjukkan komitmen terhadap orang lain dalam organisasi, baik rekan kerja, manajer, maupun supervisor. Perilaku menolong, berkomunikasi, bekerja sama, dan berpartisipasi muncul dari keinginan mereka untuk memiliki dan tetap berada dalam kelompok. Selama masyarakat tersebut memahami bahwa kelompok tersebut bernilai, OCB akan tetap berlanjut. Paradigma 3: OCB dan Motif Kekuasaan OCB dipandang sebagai perilaku yang dapat diamati yang berasall dari berbagai motif, tidak hanya sekedar intensi altruistik. Di satu sisi, terdapat perilaku organisasi yang mendukung organisasi, namun di sisi lain terdapat pelayanan diri (self-serving). Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan menganggap OCB merupakan alat untuk mendapatkan 41 kekuasaan dan status dengan figur otoritas dalam organisasi. Tindakan-tindakan OCB didorong oleh suatu komitmen terhadap agenda karier seseorang. Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan menolong orang lain, berkomunikasi lintas departemen, atau memberikan masukan dalam proses organisasi adalah agar dapat terlihat peran kekuasaannya. Selama target figur otoritas diakui, para pencari kekuasaan termotivasi untuk melanjutkan OCB, yang dianggap sebagai bentuk dari modal politis. Mereka menginvestasikan modalnya dengan menampilkan OCB dan membangun landasan untuk kekuasaan mereka melalui OCB. Mereka mengkalkulasi kesempatan perilaku mereka, kemudian berjuang untuk organisasi selama organisasi tersebut membantu mereka mencapai agenda pribadi mereka. 2.1.5.2 Manfaat OCB dalam Perusahaan Dari hasil-hasil penelitian mengenai OCB, dapat disimpulkan bahwa (Hardaningtyas, 2005): 1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja - Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut - Seiring berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok 2. OCB meningkatkan produktivitas manajer - Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja - Karyawan yang sopan dan menghindari konflik dengan rekan kerja akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen 42 3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan - Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan bagi organisasi - Karyawan yang menampilkan conscentioussness yang tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting - Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut - Karyawan yang menampilkan perilaku sportmanship akan sangat menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan 4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara fungsi kelompok - Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moral, dan kerekatan kelompok, sehingga anggota kelompok atau manajer tidak perlu menghabiskan energi dan waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok - Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen berkurang 5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja 43 - Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue, seperti menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya, akan membantu koordinasi di antara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam kelompok - Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy, seperti saling memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan 6. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik - Perilaku menolong dapat meningkatkan moral dan kerekatan serta perasaan saling memiliki di antara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik - Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku sportmanship, misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-permasalahan kecil, akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi 7. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi - Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas, dengan cara mengurangi variabilitas dari kinerja unit kerja - Karyawan yang conscientiuous cenderung mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja 8. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan - Karyawan yang mempunyai hubungan dekat dekat dengan pasar dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan memberi saran 44 tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat - Karyawan yang aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi - Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness, misalnya kesediaan memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru, akan meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya 2.1.6 Efektivitas Organisasi Georgopualos dan Tannebaum dalam Tangkilisan (2005, p139) mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai “...the extent to which an organization as a social system, given certain resources and mean, fulfill it’s objective without incapacitating it’s means and resources and without placing strain upon it’s members.” Sedangkan Price dalam Zammuto (1982, p22) mendefinisikan efektivitas organisasi sebagai “...the degree of achievement of multiple goals.” Argriss dan Siliss mengatakan efektivitas organisasi adalah keseimbangan atau pendekatan secara optimal pada pencapaian tujuan, kemampuan, dan pemanfaatan tenaga manusia (Tangkilisan, 2005, p139). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa efektivitas organisasi adalah tingkat sejauh mana organisasi berhasil memanfaatkan sumber daya yang ada seoptimal mungkin dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya dengan tetap menghindari ketegangan seminimal mungkin di antara para anggotanya. Organisasi terdiri dari individu dan kelompok, karena itu efektivitas organisasi terdiri dari efektivitas individu dan kelompok. Namun demikian, efektivitas organisasi lebih banyak dari jumlah efektivitas individu dan kelompok. Organisasi mampu mendapatkan hasil kinerja untuk lebih tinggi tingkatannya daripada jumlah hasil kinerja setiap bagiannya. 45 Hubungan antara ketiga pandangan mengenai efektivitas diperlihatkan dalam Gambar 2.8. Efektivitas individual adalah harus merupakan sebab dari efektivitas kelompok, namun tidak dapat dikatakan bahwa efektivitas kelompok adalah jumlah dari efektivitas individu. Hubungan antara pandangan-pandangan tersebut berubah-ubah tergantung dari faktor-faktor seperti jenis organisasi, pekerjaan yang dilaksanakan, dan teknologi yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Efektivitas Organisasi Efektivitas Kelompok Efektivitas Individu Gambar 2.8 Tiga Pandangan tentang Efektivitas Organisasi Organisasi memiliki dua kelompok besar, yaitu sumber manusia dan sumber alam. Manusia terdiri dari orang-orang yang bekerja di organisasi karyawan operasional, staf, dan tenaga manajemen. Mereka menyumbangkan waktu dan tenaga mereka kepada organisasi dengan mendapatkan upah dan imbalan lain, baik berwujud maupun tak berwujud. Sedangkan, sumber alam terdiri dari input bukan manusia, yang akan diproses atau akan digunakan dalam kombinasi dengan unsur manusia untuk menghasilkan sumber lain. Fungsi efektif dari sebuah organisasi tergantung dari usaha karyawan yang melebihi persyaratan peran formal pekerjaannya, yang disebut dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). Terdapat bukti bahwa individu yang menunjukkan OCB memiliki kinerja lebih baik dan menerima evaluasi kinerja yang lebih tinggi. OCB juga berhubungan dengan kinerja dan keefektivan kelompok dan organisasi (Luthans, 2006, p251). Selain itu, Organ juga 46 menyatakan bahwa tingkat OCB yang lebih tinggi akan menghasilkan tingkat keefektifan yang lebih pula bagi organisasi dan membantu membawa sumber-sumber daya baru ke dalam organisasi. Perilaku OCB yang ditampilkan oleh karyawan seharusnya berdampak pada efektivitas organisasi. Setiap dimensi OCB memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap hubungan ini, namun berujung pada satu hasil, yaitu efektivitas organisasi. Altruism (membantu meringankan tugas rekan kerja) membuat sistem kerja lebih produktif karena satu pekerja dapat menggunakan waktu luangnya untuk membantu tugas lain yang lebih mendesak. Perilaku civic virtue, seperti memberikan saran maupun ide-ide kepada manajemen, membawa perkembangan bagi organisasi, yang secara langsung mempengaruhi efisiensi. Karyawan yang memiliki dimensi conscientiousness, menghindari mengutamakan kepentingan pribadi dan perilaku negatif lainnya, menaati kebijakan perusahaan dan mempertahankan jadwal kerja yang konsisten, akan meningkatkan reliabilitas karyawan. Ketika reliabilitas meningkat, maka biaya pengerjaan ulang dapat dikurangi, sehingga membuat unit kerja lebih efisien. Dengan begitu, maka tujuan-tujuan organisasi dapat tercapai. 2.1.6.1 Pendekatan Efektivitas Organisasi Efektivitas organisasi dapat dieveluasi dengan melihat dua hal, yaitu (1) pencapaian sasaran dan (2) proses pelaksanaan organisasi, yang tercermin dalam perilaku organisasi (Hutapea dan Thoha, 2008, p59). Baik pencapaian sasaran maupun proses pelaksanaan organisasi memiliki peran yang sama penting bagi organisasi karena pencapaian sasaran yang tidak disertai dengan proses pelaksanaan yang baik akan mengakibatkan usaha pencapaian sasaran tidak dapat berlangsung lama. Dengan kata lain, proses organisasi yang buruk akan dapat menurunkan tingkat efisiensi yang berdampak pada menurunnya pencapaian sasaran pada periode berikutnya. 47 Hal ini sejalan dengan pendapat Tangkilisan (2005, p139) bahwa konsep tingkat efektivitas organisasi menyangkut dua aspek, yaitu (1) tujuan organisasi dan (2) pelaksanaan fungsi atau cara untuk mencapai tujuan tersebut. Selain itu, dalam Hutapea dan Thoha (2008, p59) Ivancevich dan Matteson pun menggunakan pendekatan yang serupa untuk mengukur efektivitas organisasi, yaitu Pendekatan Sasaran Organisasi (Goal Approach) dan Pendekatan Sistem (System Theory Approach). Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai kedua pendekatan tersebut. 1. Pendekatan Sasaran Organisasi Pendekatan tujuan berfokus pada tingkat di mana suatu organisasi mencapai tujuannya (Griffin, 2004, p88). Pendekatan ini telah lama digunakan oleh organisasi untuk mengetahui tingkat efektivitas organisasi dan bahkan sampai saat ini masih tetap digunakan. Para pendukung pendekatan ini berargumentasi bahwa organisasi dibentuk dengan tujuan untuk mencapai sasaran sehingga untuk melihat tingkat efektivitas pelaksanaan organisasi mereka langsung menghubungkannya dengan pencapaian sasaran organisasi. Banyak perusahaan menggunakan pendekatan ini dan pada umumnya mereka menggunakan sasaran jangka pendek maupun jangka panjang untuk mengukur tingkat keberhasilan manajer dan karyawannya. Mereka menentukan sasaran kerja manajer dan bawahannya berdasarkan sasaran perusahaan. Atas dasar sasaran perusahaan tersebut dibuat sasaran departemen atau bagian, dan dari sasaran departemen atau bagian ditentukan sasaran setiap pekerjaan. Menurut Gibson dalam Tangkilisan (2005, p141), kejelasan tujuan yang hendak dicapai memang merupakan salah satu indikator pengukuran efektivitas organisasi. Pendekatan sasaran ini ditanggapi secara positif oleh banyak perusahaan karena penggunaan sasaran perusahaan dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan untuk mencapai sasaran kerja yang telah ditetapkan. 48 2. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem tidak melihat efektivitas organisasi atas dasar sasaran yang dicapai, melainkan dari gambaran perilaku organisasi baik pada saat terjadi interaksi secara internal di organisasi maupun dari perilaku organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Hutapea dan Thoha, 2008, p61). Dengan kata lain, ada dua peran yang harus dilakukan oleh organisasi, yaitu peran internal dan peran eksternal. Dalam penelitian ini, penulis hanya menggunakan pendekatan proses secara internal, karena pengkuran efektivitas organisasi dalam hal ini dilakukan dari sudut pandang karyawan. Pendekatan proses internal berkaitan dengan mekanisme internal dari organisasi dan berfokus pada meminimalisasi ketegangan, mengintegrasikan individu dan organisasi, dan melaksanakan operasi secara lancar dan efisien (Griffin, 2004, p88). Sharma dalam Tangkilisan (2004, p140) juga menyebutkan tidak adanya ketegangan di dalam organisasi atau hambatan-hambatan konflik di antara bagian-bagian organisasi sebagai salah satu kriteria efektivitas organisasi. Selain itu, kepuasan kerja juga merupakan indikator efektivitas organisasi berdasarkan Steers. Sedangkan, Gibson menyebutkan sistem pengawasan dan pengendalian sebagai ukuran efektivitas organisasi. Komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar dalam organisasi dan adanya semangat kerja sama dan loyalitas anggota organisasi juga merupakan kriteria dari pendekatan proses (ITB, 2003, p14). 49 2.2 Kerangka Pemikiran Big Five Personality (X1) - Extraversion Agreeableness Conscientiousness Neuroticism Openness to experience Kepuasan Kerja (X2) - Pekerjaan Itu Sendiri Imbalan Kesempatan Promosi Penyelia Rekan Kerja Kondisi Kerja Organizational Citizenship Behavior (Y) - Altruism Courtesy Sportsmanship Civic Virtue Conscientiousness Komitmen Organisasi (X3) - Afektif - Kelanjutan - Normatif Gambar 2.9 Kerangka Pemikiran Keterangan: Menggambarkan pengaruh secara simultan Menggambarkan pengaruh secara individual Menggambarkan hubungan (korelasi) antar variabel Efektivitas Organisasi (Z) - Sasaran Organisasi - Proses 50 Kepribadian karyawan PT HSL dilihat dari faktor big five: extraversion, agreeableness, conscientious, neuroticism, dan openness to experience. Sedangkan, kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor: pekerjaan itu sendiri, imbalan, kesempatan promosi, penyelia, dan rekan kerja. Komitmen organisasi sendiri dinilai dari dimensi afektif, kelanjutan, dan normatif. Ketiga variabel bebas tersebut dicari apakah saling berkorelasi secara signifikan atau tidak serta bagaimana sifat hubungannya. Variabel Big Five Personality, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi secara individual maupun simultan diasumsikan berkorelasi dengan dan mempengaruhi variabel Organizational Citizenship Behavior (OCB) yang memiliki ciri: altruism, courtesy, sportmanship, civic virtue, dan conscientiousness. Kemudian, keempat variabel tersebut dicari apakah berkorelasi dengan dan berkontribusi terhadap variabel bergantung Efektivitas Organisasi yang dilihat dari dimensi sasaran organisasi dan proses, baik secara individual maupun simultan. Korelasi antara Big Five Personality dan kepuasan kerja dibuktikan oleh Hardjapamekas (2007). Dari hasil penelitiannya, diketahui bahwa ketika masing-masing dimensi dilihat korelasinya dengan kepuasan kerja, hanya dimensi conscientiousness saja yang tidak memiliki hubungan dengan kepuasan kerja. Sedangkan keempat dimensi lainnya yaitu extraversion, agreeableness, neuroticism, dan openness to experience masing-masing memiliki hubungan dengan kepuasan kerja. Dari hasil penelitian yang sebelumnya, telah didapatkan bahwa kepribadian mempengaruhi komitmen organisasi sebesar 17,7 % dengan critical ratio 2.251 yang lebih besar dari α=0.05, sehingga dinyatakan bahwa kepribadian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen organisasi (Nugroho, 2008). Hubungan kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi juga telah dibuktikan oleh penelitian sebelumya. Kepuasan kerja berhubungan secara positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi (Susatyo, 2008). Sedangkan, menurut penelitian Mutiara (tahun tidak 51 diketahui), terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi (r = 0.844). Hal ini sejalan dengan pendapat Luthans bahwa meskipun kepuasan berkaitan dengan sikap karyawan terhdap pekerjaan, dan komitmen berkaitan dengan level organisasi, tetapi hubungan yang kuat antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi telah diketahui selama bertahun-tahun (2006, p248). Pengaruh Big Five Personality terhadap OCB telah dibuktikan oleh penelitian sebelumnya. All FFM (Five Factor Model) dimensions were positively related to overall OCB (Elanain, 2007). Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian Purba dan Seniati (2004), dinyatakan bahwa proporsi OCB total yang diterangkan oleh trait kepribadian dan komitmen organisasi secara bersama-sama adalah sebesar 42.2%. Menurut Organ dan Ryan, dimensi kepuasan kerja secara jelas berhubungan dengan OCB (Luthans, 2006, p251). Sedangkan menurut Reilly dan Chatman, dimensi komitmen organisasi juga secara jelas berhubungan dengan OCB. Demikian pula ada hubungan yang positif dan signifikan antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja dengan Organizational Citizenship Behavior dengan r=0,441; R2=0,194 dan p Value=0,000 (Danan, 2007). Pengaruh keempat variabel bebas terhadap efektivitas organisasi juga telah dibuktikan oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian Andersen (2005), kepribadian diketahui mempengaruhi efektivitas organisasi. Juga diketahui bahwa terdapat hubungan antara kepribadian dengan efektivitas organisasi pada U.S. Navy (Hackett dan McInerney, tahun tidak diketahui). Kepuasan kerja diketahui berkontribusi terhadap efektivitas organisasi. Job satisfaction is a concept that behavioral scientists have emphasized in recent years, it has an important impact on organizational effectiveness and efficiency (Demir, 2002). Berdasarkan Knopp dan O’Reilly, yang meneliti pengaruh kepuasan kerja guru terhadap efektivitas organisasi pada Sekolah-sekolah Dasar di Ontario, Canada, keefektivan organisasi dipengaruhi oleh kepuasan kerja guru terhadap rekan kerja, penyelia, dan 52 pekerjaan itu sendiri. Sedangkan, pengaruh komitmen organisasi terhadap efektivitas organisasi dibuktikan dalam penelitian Ussahawanitchakit (2008). Adanya pengaruh OCB terhadap efektivitas organisasi dibuktikan dalam penelitian Yen dan Niehoff terhadap pegawai bank-bank di Taiwan. Selain itu, hasil penelitian lainnya menyatakan bahwa “developing a work environment that promotes OCB performance may enhance a manager’s personal productivity and success as well as the organization’s effectiveness” (Walz dan Niehoff, 2000). 2.3 Hipotesis Hipotesis pertama yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini sesuai dengan Tujuan 1 adalah sebagai berikut: Ho = Big Five Personality (X1), Kepuasan Kerja (x2), dan Komitmen Organisasi (X3) karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap OCB (Y) pada PT HSL Ha = Big Five Personality (X1), Kepuasan Kerja (x2), dan Komitmen Organisasi (X3) karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap OCB (Y) pada PT HSL Lalu, hipotesis kedua yang juga akan dibuktikan kebenarannya sesuai dengan Tujuan 2 yaitu sebagai berikut: Ho = Big Five Personality (X1), Kepuasan Kerja (X2), Komitmen Organisasi (X3), serta OCB (Y) karyawan tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap Efektivitas Organisasi (Z) pada PT HSL Ha = Big Five Personality (X1), Kepuasan Kerja (X2), Komitmen Organisasi (X3), serta OCB (Y) karyawan memiliki kontribusi yang signifikan secara simultan terhadap Efektivitas Organisasi (Z) pada PT HSL