10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepribadian 2.1.1 Pengertian kepribadian Mengacu kepada Pervin et al. (2012) dalam Psikologi Kepribadian, kepribadian merupakan karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran dan perilaku. Allport (1961) menyatakan bahwa kepribadian adalah organisasi yang dinamis, dari dalam individu, sistem psikofisik yang menciptakan pola karakteristik perilaku, pikiran dan perasaan seseorang. Menurut Child (1968) kepribadian tersebut merupakan sesuatu yang relative stabil. Manusia tidak mengubah kepribadiannya setiap minggu. Kepribadian merupakan dasar tindakan, pikiran dan perasaan yang konsiten dan juga membuat satu individu dengan individu yang lain berbeda. 2.1.2 Teori-teori kepribadian Menurut Boeree (2010) dalam Personality Theories, terdapat banyak teori kepribadian yang terus berkembang. Teori-teori tersebut diawali dengan teori kepribadian psikoanalitik menurut Sigmund Freud (1856-1939), dilanjutkan teori kepribadian person-centered oleh Carl R. Rogers (19021987), dilanjutkan dengan teori sifat GW Allport (1897-1967), juga teori tiga faktor Hans. J Eysenck (1916-1998) dan teori sifat The Big Five Theory oleh Lewis R. Goldberg. 10 11 The Big Five Theory merupakan teori sifat yang mudah untuk dikaji secara akal sehat karena mencakup semua sifat kepribadiaan yang ada dalam sisi kehidupan manusia. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Warren Norman pada tahun 1963. Pada kali ini pembahasan mengenai The Big Five Theory sebagai indikator kepribadian akan diteliti sebagai prediktor peran extra karyawan atau sering disebut dengan OCB. Dimensi kepribadian berdasarkan Bono dan Judge (2004), the big five theory meliputi 5 kepribadian sebagai berikut: a. Openness to experience (Terbuka pada pengalaman) Ciri kepribadian: Imajinatif, berbudaya dan non tradisional b. Conscientiousness (Kesungguhan) Ciri kepribadian: Bertanggungjawab, disiplin, berorientasi pada prestasi c. Extraversion (Ekstroversi) Ciri kepribadian: Supel, banyak bicara dan ambisius d. Agreeableness (Kemampuan bersepakat) Ciri kepribadian: baik hati, kooperatif dan dapat dipercaya e. Neuroticism (Instabilitas Emosi) Ciri kepribadian: gawat/tension, grogi, tegang, cemas, rasa rapuh dan rasa sedih Dalam penelitian McCrae dan Costa Jr (dalam Jonh et al., 2008) menerangkan bahwa selain neuroticism, keempat indikator big five theory 12 berpengaruh positif terhadap sebuah organisasi. The big five theory di ilustrasikan dengan tabel berikut: Tabel 2.1. Big Five Theory dan skala ilustratif Karakteristik Nilai yang Lebih Tinggi Cemas, gugup, emosional, tidak aman, tidak cakap, hypocodriacal Dapat bersosialisasi, aktif, senang bercakapcakap, berorientasi pada orang, optimistis, menyukai keriaan, lembut Ingin tahu, minat yang luas, kreatif, orisinal, imajinatif, tidak tradisional Lembut, ramah, dipercaya, membantu, memaafkan, mudah dibujuk, terang- Skala Sifat NEUROTICISM Penilaian penyesuaian vs ketidakstabilan emosional. Mengidentifikasikan individu yang rentan terhadap tekanan psikologis, ide yang tidak realistis, kecanduan atau dorongan yang berlebihan, dan respon coping yang maladaptive EXTRAVERSION Menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal; level aktivitas; kebutuhan akan stimulasi; dan kapasitas untuk menikmati. OPENNESS Menilai pencarian proaktif dan penghargaan terhadap pengalaman untuk dirinya sendiri, toleransi dan eksplorasi terhadap yang tidak biasa. AGREEABLENESS Menilai kualitas orientasi interpersonal seseorang sepanjang kontinum dari Karakteristik Nilai yang Lebih Rendah Tenang, rileks, tidak emosional, kukuh, aman, puas diri Menahan diri, bijaksana, tidak gembira, menyendiri, berorientasi pada tugas, menarik diri, diam Konvensional, membumi, sedikit minat, tidak artistic, tidak analitik Klinis, kasar, curiga, tidak kooperatif, pendendam, bengis, pemarah, manipulatif 13 terangan perasaan terhadap antagonism dalam pemikiran, perasaan dan tindakan Terorganisisr, dapat CONSCIENTIOUSNESS Tidak berjuang, tidak diandalkan, pekerja Menilai tingkat dapat diandalkan, keras, disiplin diri, tepat organisasi, ketekunana, malas, acuh, sembrono, waktu, cermat, rapi, dan motivasi dalam lemah niat, hedonistis ambisius, keras hati perilaku berarah tujuan. Berlawanan dengan orang yang bergantung kepada orang lain dan cerewet dengan mereka yang malas dan pembangkang Sumber: Handbook of Personality Theory and Research (2008) Elanain (2007) conscientiousness menyatakan dan kepribadian neuroticism openness mempengaruhi to perilaku experience, karyawan khususnya dalam mencapai OCB. Sedangkan extraversion dan agreeableness ditemukan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap OCB. Dalam penelitiannya yang berbeda, Elanain (2007) juga menemukan bahwa kepribadian seseorang memiliki peran yang signifikan dalam perilakunya di tempat kerja. Penelitian lainnya oleh Emmerik dan Euwema (2007) menemukan bahwa guru yang extrovert dan open to experience lebih memiliki OCB dibandingakan guru yang introvert dan less open to experience. Selain itu, Emmerik dan Euwema (2007) juga menyebutkan guru dengan kepribadian conscientious memiliki OCB yang lebih kuat. Hal ini sejurus dengan ide bahwa seseorang dengan kepribadian conscientious lebih berhati-hati dan bertanggungjawab. Nicodemus (2012) menyatakan bahwa seseorang dengan 14 kepribadian neuroticism, cenderung berpandangan negatif sehingga menjadikan anda secara umum lebih tidak bahagia, khususnya di tempat kerja. Sebaliknya seseorang dengan kepribadian conscientious dan extraversion, semakin mudah orang tersebut merasa puas dengan pekerjaannya. 2.2 Kepemimpinan 2.2.1 Pengertian kepemimpinan Yukl (2001) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju apa dan bagaimana tugas di lakukan secaara efektif dengan cara memfasilitasi upaya individu ataupun kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Yap (2001) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan suatu yang memiliki visi yang jelas, strategi yang tepat, berjiwa pahlawan dan tepat mengunakan momentum untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Charan (2012) menemukan suatu kecerdasan, kepercayaan diri, keberadaan, kemampuan berkomunikasi dan visi di dalam kepemimpinan. Dalam sebuah organisasi kepemimpinan berdampak siginifikan terhadap perilaku bawahan. Suatu organinsasi akan gagal ataupun berhasil sebagian besar ditentukan oleh pemimpin di dalam kepemimpinannya, Yukl (2001). Jadi dalam hal ini seorang pemimpin harus dapat mempengaruhi bawahan agar dapat bekerja baik secara individu dan kolektif agar mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Kepemimpinan merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji dan diteliti, karena kepemimpinan seorang pemimpin pada masing-masing oraganisasi 15 memiliki pendekatan yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan. Limsila dan Ogunlana (2007), menyimpulkan bahwa adanya 3 (tiga) pendekatan kepemimpinan yang mempengaruhi efektifitas dan performa sebuah organisasi meliputi laissez-faire style, transformational style dan transactional style. Selanjutnya Khan (2013), dalam penelitiannya menemukan 3 (tiga) kepemimpinan yang mempunyai hubungan yang siginifikan terhadap performa sebuah organisasi yakni, Kepemimpinan Charismatic, Transformational dan Transactional. 2.2.2 Teori Kepemimpinan Menurut Yukl (2001), sebagian besar teori dan penelitian terdahulu mengenai perilaku kepemimpinan, mempertimbangakan bagaimana hubungan yang terjadi antara pendekatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin kepada bawahan. Beberapa teori transformasional, transaksional serta situasional dalam pembahasan ini akan memberikan ilustrasi dan gambaran tentang apa dan bagaimana peran seorang pemimpin berintegrsi kepada bawahan dalam organisasi. A. Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan transformasional dicirikan sebagai pemimpin yang berfokus kepada pencapain perubahan dan niai-nilai, kepercayaan, sikap, perilaku, emosional dan kebutuhan bawahan menuju perubahan yang lebih baik oleh sebuah organisasi di masa yang akan datang. Judge and Piccolo (2004) menemukan adanya 3 (tiga) dimensi factor yang mempengaruhi kepemimpinan transformasional yakni Carismatic Leadership, Individualized 16 Consideration dan Intellectual Stimulation. Selanjutnya secara terpisah Bass (1998), Luthans (2006) dan Lee (2010), menyempurnakan penelitian tentang kepemimpinan transformasional dengan menemukan 4 (empat) indikator kepemimpinan transformasional, yaitu : 1. Stimulasi individu (Individual Stimulation). Pemimpin transformasional memberikan rangsangan yang positif kepada bawahannya agar mampu berkreasi dan berinovasi dengan mempertanyakan asumsi, pembatasan masalah dan pendekatan dari situasi lama dengan cara yang baru. 2. Konsiderasi Individu (Individual Consideration). Pemimpin transformasional memiliki perhatian khusus terhadap kebutuhan individu dalam pencapaiannya dan pertumbuhan yang mereka harapkan dengan berperilaku sebagai pelatih (coach) ataupun menthor. 3. Motivasi Inspirasional (Inspirational Motivation). Pemimpin transformasional memberikan motivasi dengan inspirasi terhadap orangorang disekitarnya. 4. Pengaruh Ideal (Idealized influence). Pemimpin transformasional berperilaku sebagai model bagi bawahannya dan pemimpin ini biasanya dihoramati dan dipercaya oleh bawahnnya. Menurut Robbins (2008), kepemimpinan transformasional mampu membawa organisasi menuju kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional. Hal serupa juga dipertegas oleh Lian dan Tui (2012) bahwa kepemimpinan transformasional lebih efektif dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional dalam sebuah organisasi. Selanjutnya Jung dan 17 Avolio (2000) melakukankan penelitian pada 194 orang mahasiswa yang sudah bekerja, menemukan bahwa kepemimpinan transformasional lebih efektif dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional. Sehingga dalam rangka peningkatan kinerja sebuah oraganisasi, pemimpin transformasional mampu menggerakan bawahan dengan extra-role. B. Kepemimpinan Transaksional Kepemimpinan transaksional lebih berfokus pada hubungan pemimpin dan bawahan, mereka lebih banyak mengawasi, mengontrol, dan memberikan perintah-perintah untuk diselesaikan oleh bawahannya. Secara terpisah Bass (1998) dan Judge and Piccolo (2004) mengemukakan tiga hal ciri yang tercermin dari kepemimpinan transaksional yakni : 1. Pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelaskan apa yang akan mereka dapatkan apabila kinerjanya sesuai dengan harapan. 2. Pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan imbalan. 3. Pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan karyawan. Bass (1998) dan Judge and Piccolo (2004), menemukan 2 (dua) dimensi dari kepemimpinan transaksional yakni : 1. Imabalan Kontijen (Contigensi Reward). Pemimpin transaksional berperilaku membuat kesepakatan tentang hal-hal apa saja yang dilakukan 18 oleh bawahan dan menjanjikan imbalan apa yang akan diperoleh bila hal tersebut tercapai. 2. Manajemen dengan eksepsi (Manajemen by exception). Pemimpin melakukan pemantauan deviasi dari standar yang telah ditetapkan dan melakukan tindakan perbaikan baik secara pasif maupun aktif. C. Kepemimpinan Situasional Fulop & Linstead (dalam Surveyor Indonesia:1999), Yukl (2001) serta Sugiono (2006), mengungkapkan bahwa tidak selamanya kepemimpinan transaksional kurang transformasional, efektif kedua dan kepemimpinan efisien ini dibandingkan harus diselaraskan dengan secara situasional, sehingga apa yang diharapkan oleh sebuah organisasi, akibat dari tujuan yang ditetapkan dapat berjalan dengan baik. Para peneliti tersebut mengembangkan demensi kepemimpinan dengan indikator kepemimpinan situasional sebagai berikut : 1. Kepemimpinan Direktif adalah perilaku pemimpin yang selalu menjelaskan tugas-tugas dan bersama-sama menjabarkan tugas ataupun hubungan kerja antara satu dengan yang lainya. 2. Kepemimpinan Suportif adalah perilaku pemimpin yang selalu medukung bawahan dengan turun langsung memberikan petunjuk dengan menyerap segala aspirasi bawahan. 3. Kepemimpinan Partisipatif adalah perilaku pemimpin yang mengajak seluruh karyawan untuk bersama-sama merumuskan tujuan perusahaan. 19 2.3 Organizational Citizenship Behavior (OCB) 2.3.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior Sethi (2012) menyatakan bahwa OCB merupakan sikap yang melampaui kebutuhan dasar pekerjaan, sikap yang bijak dan menguntungkan organisasi. Pada tahun 1977, Organ untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah Organizational citizenship behavior (OCB), dimana merupakan komponen dari kinerja. Sebagaimana didefinisikan, OCB merupakan suatu sikap bijak seorang karyawan yang bekerja tidak hanya peran formal pekerjaannya tetapi juga berkontribusi kepada organisasi dengan berfungsi secara efektif (Organ, 1988). Mohammad et al. (2011) menyatakan OCB merupakan faktor penting yang dapat berkontribusi terhadap keberadaan sebuah organisasi. Sehingga menjadi sangat krusial untuk mengetahui variable yang secara signifikan membentuk OCB. Menurut Ahdiyana (2009) OCB juga sering diartikan sebagai perilaku yang melebihi kewajiban formal (ekstra role) yang tidak berhubungan dengan kompensasi langsung. Artinya, seseorang yang memiliki OCB tinggi tidak akan dibayar dalam bentuk uang atau bonus tertentu, namun OCB lebih kepada perilaku sosial dari masing-masing individu untuk bekerja melebihi apa yang diharapkan. OCB merupakan perilaku karyawan yang bekerja melebihi peran formalnya yang mengacu pada tujuan organisasi. 2.3.2 Antesenden Organizational Citizenship Behavior Menurut Podsakoff (2000), karakteristik individual, karakteristik pekerjaan, karakteristik organisasi dan kepemimpinan mempengaruhi tingkat OCB seseorang. Zhang (2011) menyatakan prediktor daripada OCB menyangkut 20 kepribadian, atitud (kepuasan kerja, keterikatan karyawana, komitmen organisasi, motivasi dan tingkat kepercayaan karyawan terhadap teman kerja dan atasannya) dan karakteristik kepemimpinan. Masih mengacu pada Zhang (2011), bahwa segala antesenden yang tersebut diatas dapat digunakan sebagai pedoman meningkatkan nilai OCB di tempat kerja melalui memotivasi karyawan misalnya atau membangun hubungan yang lebih baik antara karyawan dan atasan maupun antar karyawan. 2.3.3 Konseptualisasi Organizational Citizenship Behavior Studi empiris yang di lakukan oleh Organ (1988) dan kembali diteliti oleh Podsakoff (1997) mendefinisikan 5 konseptualisasi OCB, yang antara lain: a. Alturism yang menjelaskan bantuan yang diberikan kepada orang yang memerlukan dapat menjadi jalan keluar daripada masalah maupun kesulitan dalam tempat kerja. b. Courtesy merupakan bantuan yang bertujuan menghindari masalah dengan pengambilan sikap diawal, sehingga mengurangi resiko. c. Sportmanship merupakan sikap toleran terhadap ketidaknyamanan dan tekanan. d. Civic Virtue sikap yang penuh partisipasi dan keterlibatan dalam perusahaan dalam upaya mendukung operasional perusahaan. e. Conscientiousness merupakan sikap yang mengikuti segala peraturan baik formal maupun informal. Matamala (2011), menyatakan bahwa OCB harus dibedakan menjadi OCB dengan target individual (OCB-I) atau OCB dengan target organisasi (OCB-O). 21 Altruism dan Courtesy digolongkan menjadi OCB-I sedangkan tiga lainnya tergolong dalam OCB-O. Najari et. al (2011) menyatakan bahwa OCB seseorang dipengaruhi oleh kepribadian orang itu sendiri. Elanain (2007) menyatakan bahwa OCB dan kepribadian merupakan hal yang mengandung banyak aspek, untuk mempersempit prediksi OCB penilaian kepribadian juga harus dipersempit. Tan (2008) menjelaskan bahwa OCB merupakan kontribusi sukarela yang dapat meningkatkan efektivitas dan performa perilaku prososial. Dalam penelitian ini, komponen atau ciri-ciri OCB yang digunakan merupakan ciri-ciri yang dikemukakan oleh Organ (1988); Podsakoff (1997); Ahmed et al. (2012);, yaitu: 1. Altruism Altruism adalah perilaku berinisiatif untuk membantu atau menolong rekan kerja dalam organisasi secara sukarela. Secara lebih rinci, komponen altruism memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Membantu rekan kerja yang beban kerjanya berlebih b. Menggantikan peran atau pekerjaan rekan kerjayang berhalangan hadir c. Rela membantu rekan kerja yang memiliki masalah dengan pekerjaan d. Membantu rekan kerja yang lain agar lebig produktif e. Membantu proses Orientasi lingkungan kerja member arahan kepada pegawai yang baru meskipun tidak diminta. 2. Courtesy Courtesy adalah perilaku individu yang menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam 22 organisasi. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Secara lebih rinci, komponen courtesy memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Menghormati hak-hak dan privasi rekan kerja b. Mencoba untuk tidak membuat masalah dengan rekan kerja c. Mencoba menghindari terjadinya perselisihan antar rekan kerja d. Mempertimbangkan dampak terhadap rekan kerja dari setiap tindakan yang dilakukan e. Berkonsultsi terlebih dahulu dengan rekan kerja yang mungkin akan berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukan. 3. Sportmanship Sportsmanship adalah kesediaan individu menerima apapun yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya. Secara lebih rinci, komponen sportsmanship memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Tidak menghabiskan waktu untuk mengeluh atas permasalahan yang sepele b. Tidak membesar-besarkan permasalahan yang terjadi dalam organisasi c. Menerima setiap kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh organisasi d. Mentolerir ketidaknyamanan yang terjadi di tempat kerja 4. Conscientiousness 23 Conscientiousness adalah pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek. Secara lebih rinci, komponen Conscientiousness memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Ketika tidak masuk kerja, melapor kepada atasan atau rekan kerja terlebih dahulu b. Menyelesaikan tugas sebelum waktunya c. Selalu berusaha melakukan lebih dari apa yang seharusnya dilakukan d. Secara sukarela melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi organisasi disamping tugas utama e. Tidak membuang-buang waktu kerja f. Tidak mengambil waktu istirahat secara berlebihan g. Mematuhi peraturan dan ketentuan organisasi meskipun dalam kondisi tidak ada seorangpun yang mengawasi 5. Civic Virtue Civic Virtue adalah perilaku individu yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat, berpartisipasi, turut serta, dan peduli dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan organisasi. Secara lebih rinci, komponen civic virtue memiliki cirri-ciri sebagai berikut: a. Peduli terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam organisasi 24 b. Turut serta dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi c. Mengambil inisiatif untuk memberikan rekomendasi atau saran inovatif untuk meningkatkan kualitas organisasi secara keseluruhan