160 RENCANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERBASIS EKOSITEM DAS DI WILAYAH PERKOTAAN; STUDI KASUS PENGELOLAAN DAS BAU-BAU Oleh : Safril Kasim 1) ABSTRACT Bau-Bau Watershed have supported civilization for many years. Covering 6.159,80 hectares, the watershed is a great importance of Bau-Bau Town and Buton District. Forests, were once more dense and widespread, has given significant contribution to the availability and quality of clean water, oxygen supply and carbon absorbtion, and has acted as buffer zone area of Bau-Bau Town. However, such unsustainable practices as overexploitation, illegal lodging, shifting cultivation, combine with forests fire, has resulted in a significant decrease of forest resources within the watershed area. Based on GIS analysis (2008), forest covers 48,66 percent of total land area (1.990,48 ha), while agricultural crops cover 22,13 percent and housing 29,42 percent. The change of forested area has a tendency to decrease over times. It is therefore important to formulate an appropriate reforestation plan and management. The study aims (1) to analyze existing macro conditions of the watershed using GIS Analysis, (2) to analyze rate of forest degradation within the watershed area using Citralandsat Data and GIS analysis, (3) to analyze erosion rate within the watershed area, and (4) to formulate planning policy for forest resource management based on macro condition of watershed area, forest degradation and erosion rates. The study found that forest areas within the watershes have been degraded. The GIS analysis shows that a protected forest cover has been reduced amount 226,8 Ha in Wakonti Subdistrict, 129 Ha in Baadia/Waborobo Subdistrict, and 33,1 Ha in Sorawolio Subdistrict. Furthermore, 84,60 percent (5211,07 Ha) of total 6.159 Ha area of the Watershed have very high and high actual erosion rates. The study recommends to carry out agroforestry sytem and reforestation planning policy to remedy those degraded forestlands.The study also recommends to conduct integrated watershed management and to involve communities around the watershed area since in the earlier of the watershed planning and management process. Key words : Bau-Bau Watershed, Forest Degradation Rates, Erosion Rates, Forest Resource Planning, Watershed Planning and Management. PENDAHULUAN Latar belakang Secara umum penyusunan rencana pengelolaan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Sub DAS dimaksudkan untuk menjaga kelestarian fungsi DAS dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan DAS. Kelestarian fungsi DAS dapat dicapai melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang ada didalamnya secara rasional dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi sumberdaya hutan, tanah dan air. Tujuan pengelolaan suatu DAS adalah: (1) Mewujudkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor/instansi/ lembaga/wilayah dalam pengelolaan sumberdaya hutan, tanah dan air dalam DAS; (2) Mewujudkan kondisi hidrologis (tata air) yang meliputi kuantitas, kualitas dan distribusi; (3) Terwujudnya peningkatan produktivitas hutan, tanah dan air dalam DAS; (4) Terbentuknya kelembagaan masyarakat yang mantap dalam kegiatan pengelolaan DAS; (5) Terjaminnya pemanfaatan/penggunaan hutan, tanah dan air dalam kawasan DAS; (6). Terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan berkelanjutan (Santoso, 2006). DAS merupakan satu ekosistem dan kesatuan tata air. Unsur-unsur utama dalam eksosistem DAS adalah vegetasi, tanah, air dan manusia. Keseimbangan antar unsur- ) Staf Pengajar Pada JurusanVolume Budidaya Pertanian Fakultas Universitas Kendari. AGRIPLUS, 18 Nomor : 03Pertanian September 2008,Haluoleo, ISSN 0854-0128 1 160 161 unsur tersebut mutlak diperlukan demi kepentingan manusia. Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen yang penting di dalam sebuah ekosistem. Sebagai komponen yang dinamis, aktivitas manusia seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, sehingga dengan demikian mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan timbal-balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil (homeostatis). Sebaliknya, bila hubungan timbal balik antar komponen dalam ekosistem DAS mengalami gangguan dapat berimplikasi terhadap ketidakseimbangan ekosistem DAS. Ketidakseimbangan ekosistem DAS dapat mengakibatkan terganggunya fungsi DAS itu sendiri. Salah satu DAS yang memiliki fungsi strategis dan membutuhkan pengelolaan yang serius adalah DAS Bau-Bau. Di dalam nomenklatur DAS di Sultra, kawasan DAS ini dikenal dengan istilah DAS Bau-Bau-Wonco yang merupakan salah satu DAS Prioritas I di Provinsi Sulawesi Tenggara (BPDAS Sampara, 2007). Secara keseluruhan DAS Bau-Bau mempunyai luas 6159, 80 ha yang terdiri dari empat Sub DAS yaitu Sub DAS Wamoose, Sub DAS Wasamparona, Sub DAS Sigari, dan Sub DAS Wancuawu. DAS Bau-Bau sendiri melintas di 2 (dua) wilayah administrasi Kabupaten dan Kota, yaitu wilayah administrasi Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau. DAS Bau-Bau yang berada pada wilayah administrasi Kota Bau-Bau sendiri memiliki luas 5648,73 ha. Letak DAS Bau-Bau sangat strategis, daerah hilirnya mengalir melintasi tengahtengah Kota Bau-Bau dan bermuara pada Selat Bau-Bau. Dengan posisinya yang strategis, DAS Bau-Bau selama ini melayani fungsi ekologis, ekonomis dan sosial bagi masyarakat Kota Bau-Bau. Secara ekologis, DAS Bau-Bau sangat penting perannya sebagai kawasan penyanggah (buffer zone) bagi Kota Bau-Bau, menangkap dan mengalirkan air hujan ke outlet DAS BauBau. Selain fungsi tata air, pada bagian hulu DAS Bau-Bau mempunyai potensi hutan yang cukup baik. Kawasan hutan ini memegang peranan yang penting didalam menyediakan iklim mikro, menjadi paru-paru (penghasil oksigen) bagi Kota Bau-Bau, dan penyerap gas-gas cemaran yang dihasilkan oleh transportasi, industri dan gas-gas cemaran domestik. Pada wilayah perairan DAS Bau-Bau, sejumlah biota sungai hidup yang memungkinkan aneka ragam kehidupan hayati sungai tumbuh dan berkembang. Secara ekonomis, di dalam kawasan DAS Bau-Bau terdapat beberapa daerah tangkapan air (catchment area) yang menyimpan cadangan sumber air bersih untuk kebutuhan masyarakat Kota Bau-Bau. Pada wilayah hulu dan tengah DAS Bau-Bau, masyarakat memanfaatkan lahan untuk berladang, berkebun dan mengembangkan beberapa tanaman semusim, perkebunan, hortikultura dan tanaman hutan. Bagian hilir DAS Bau-Bau melintang dan mengalir di tengah Kota Bau-Bau. Posisi strategis seperti ini, dimana dapat diakses dengan mudah, sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata alam dan ruang publik, baik bagi masyarakat Kota Bau-Bau, maupun bagi pengunjung dari luar Kota Bau-Bau. Secara sosial, DAS Bau-Bau menjadi sebuah ruang terbuka yang dimanfaatkan untuk melaksanakan interaksi sosial antar masyarakat. Interaksi masyarakat hulutengah-hilir dalam suatu kawasan DAS perlu dikelola dengan baik sehingga tidak ada pihak yang hanya menghasilkan dampak, dan pihak lain menanggung dampak. Hubungan ini misalnya dapat dilihat pada kasus ketika masyarakat hulu DAS melakukan aktivitas pertanian dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, sehingga dapat menimbulkan banjir dan tanah longsor pada masyarakat tengah dan hilir. Sebaliknya masyarakat tengah dan hilir pun dapat memberikan kontribusi terhadap upayaupaya konservasi sumber daya hutan, tanah dan air di wilayah hulu. AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128 162 Masalah-masalah DAS di Indonesia secara umum adalah menipisnya kawasan hutan di daerah hulu dan tengah akibat penebangan kayu tak terencana dan alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan, pertanian dan atau pemukiman, menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, degradasi lahan, erosi, banjir, kekeringan, sedimentasi, penurunan kualitas dan kuantitas air sungai, penurunan kualitas dan kuantitas biota sungai, dan bahkan dapat merubah fungsi sungai itu sendiri. Tekanan penduduk dan aktivitas manusia diberbagai sektor kehidupan di Kota Bau- Bau berimplikasi langsung terhadap kompetisi pemanfaatan lahan perkotaan. Hal ini harus diantisipasi dengan tepat sehingga tidak sampai menimbulkan alih fungsi hutan dan daerah-daerah tangkapan air di bagian hulu DAS Bau-Bau menjadi kawasan pemukiman dan atau untuk kepentingan penggunaan lahan perkotaan lainnya. Alih fungsi lahan hutan dan daerah-daerah tangkapan air dapat berimplikasi secara langsung terhadap menurunnya cadangan air tanah dan berkurangnya debit aliran sungai. Dalam jangka panjang, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan sumber air bersih bagi masyarakat Kota Bau-Bau yang akan semakin bertambah jumlahnya ke depan. Lebih dari itu, degradasi kawasan hulu dan tengah kawasan DAS Bau-Bau juga memicu terjadinya pencucian unsur hara dan bahan organik tanah pada lapisan top soil dan meningkatnya erosi dan sedimentasi. Proses sedimentasi di sungai menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas air sungai. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman biota sungai. Kualitas air sungai yang semakin menurun akan sangat mengganggu fungsi sungai itu sendiri bagi wilayah perkotaan, baik fungsi ekonomi, sosial, estetis maupun fungsi ekologis. Sebaliknya terpeliharanya kawasan DAS akan meningkatkan fungsi ekonomi, sosial, estetis dan fungsi ekologis dari DAS itu sendiri. Berdasarkan gambaran tersebut di atas, merupakan hal yang penting untuk melakukan upaya-upaya secara sistematis, terencana dan menyeluruh agar fungsi ekologis, ekonomi, sosial, dan estetis DAS Bau-Bau tetap lestari. Penelitian ini fokus pada 3 (dua) issu utama, yaitu : (1) analisis makro kondisi eksisting DAS Bau-Bau dan rencana pemanfaatannya secara berkelanjutan dan (2) Analisis pengelolaan vegetasi hutan berdasarkan tingkat degradasi kawasan hutan dan Tingkat Bahaya Erosi di Hulu DAS BauBau, (3) Penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan berdasarkan tingkat degradasi hutan dan tingkat bahaya erosi. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Melakukan analisis makro karakteristik biofisik DAS Bau-Bau, (2) Melakukan analisis tingkat degradasi kawasan hutan pada hulu DAS Bau-Bau, (3) Melakukan analisis tingkat bahaya erosi dalam kawasan DAS Bau-Bau, dan (4) Menyusun rencana pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekosistem DAS yang didasarkan pada pertimbangan kondisi eksisting Makro DAS Bau-Bau, Tingkat Degradasi Kawasan Hutan dan Tingkat Bahaya Erosi. Manfaat Manfaat yang diharapkan adalah : (1) Menjadi salah satu sumber informasi bagi Pemerintah Kota Bau-Bau, khususnya SKPD terkait dalam melakukan pengelolaan Kawasan DAS Bau-Bau, (2) Menjadi informasi dan arahan bagi stakeholders lainnya untuk berperan aktif dalam pengelolaan DAS Bau-Bau, dan (3) Implementasi Dokumen Rencana Pengelolaan Sumberdaya Hutan berbasis ekosistem DAS akan berimplikasi terhadap kelestarian sumber daya hutan itu sendiri, menurunkan erosi dan sedimentasi, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air secara berkelanjutan. AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128 163 METODOLOGI Jadwal dan lokasi Pelaksanaan penelitian ini berjalan efektif selama 4 (empat) bulan, dimulai sejak minggu ke IV bulan Juni sampai dengan minggu ke IV bulan September 2008. Metode pengumpulan data Pengumpulan data primer biofisik dilakukan melalui survey biofisik. Data yang terkumpul melalui survey biofisik adalah karakteristik dan kualitas tanah, informasi geologi, informasi topografi, informasi iklim dan hidrologi dan informasi penggunaan lahan sekarang. Survey ini dilakukan mengacu pada peta kerja (peta unit lahan, 1 : 25.000) yang dibuat berdasarkan lingkup pekerjaan. Pengumpulan data sekunder pada penelitian ini dilakukan melalui review and literature analysis, yang berasal dari berbagai sumber antara lain: dokumen pemerintah (Badan Pusat Statistik Kota Bau-Bau, Dinas Kemakmuran Kota Bau-Bau, Badan Perencana Pembangunan Kota Bau-Bau, BPDAS Sampara, BPN Sultra dan Kota Bau-Bau, Dinas Pekerjaan Umum, Pemukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, Balai Inventarisasi Hutan Provinsi Sulawesi Tenggara, dan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara), hasil-hasil penelitian yang telah ada, baik yang dilakukan oleh Pihak Perguruan Tinggi (Fakultas Pertanian Unhalu), maupun dokumen yang berasal dari sumber-sumber lainnya yang relevan. Analisis data Data biofisik DAS Bau-Bau digunakan untuk memberi gambaran umum aspek biofisik eksisting DAS Bau-Bau. Data kondisi vegetasi hutan yang diambil berdasarkan data citra satelit (Citra Landsat, 2006), selanjutnya dianalisis dengan analisis GIS untuk menghitung tingkat degradasi kawasan hutan pada hulu DAS Bau-Bau. Tingkat Bahaya Erosi dihitung dengan menggunakan metode USLE. Rekomendasi pengelolaan vegetasi hutan didasarkan pada perhitungan tingkat kerusakan hutan dan tingkat bahaya erosi pada unit-unit lahan yang telah ditetapkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kondisi makro DAS Bau-Bau Kondisi topografi Keadaan topografi DAS Bau-Bau dibuat berdasarkan kelas kelerengan. Kelas kelerengan yang ada di wilayah DAS Bau-Bau cukup bervariasi akan tetapi kelas kelerengan IV (sangat curam) di DAS Bau-Bau lebih dominan yaitu sekitar 3.069,25 ha, atau sekitar 49,83%. Kelas kelerengan I (datar) seluas 1.489,08 (23,98%), landai 855,04 ha (13,77%), Agak Curam 459,05 ha (7,39%) dan curam seluas 287,38 ha (4,63%) dari luas DAS. Penggunaan lahan Berdasarkan hasil analisis GIS menunjukkan bahwa pola penggunaan lahan (land use) yang ada di DAS Bau-Bau terdiri dari: tegalan, kebun campuran, semak, belukar, dan pemukiman. Namun pemukiman merupakan penggunaan lahan yang terluas, dengan luas 1.808,07 hektar atau sekitar 29,42% dari luas DAS, selanjutnya masingmasing diikuti oleh penggunaan lahan semak dengan luas 1.554,22 (25,29%), belukar 1.436,26 hektar (23,37%), kebun campuran seluas 835,97 hektar (13,60%) dan perkebunan/tegalan dengan 525,29 hektar (8,53). Tanah dan geomorfologi Hasil analisis GIS menunjukkan bahwa di wilayah DAS Bau-Bau didominasi oleh jenis tanah Latisol yang menyebar di Kec. Batauga, Kec. Sampolawa, Kel. Bukit Wajo Indah, Kel. Baadia, Kel. Bataraguru, Kel. Batulo, Kel. Bone-Bone, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kadolomoko, Kel. Kaisabu Baru, Kel. Kaobula, Kel. Katobengke, Kel. Lamangga, Kel. Lanto, Kel. Lipu, Kel. Melai, Kel. Nganganaumala, Kel. Tanganapada, Kel. AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128 164 Tarafu, Kel. Tomba, Kel. Waborobo, Kel. Wajo, Kel. Wale, Kel. Wameo, dan Kel. Wangkanapi dengan luas 4.672,88 (75,97%). Sedang Jenis tanah Litosol menyebar di Kel. Bugi, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kaisabu Baru, Kel. Karya Baru dengan luas 3606,17 ha (41,77%). Jenis Tanah Latosol menyebar di Kec. Batauga, Kec. Sampolawa, Kel. Bugi, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kaisabu Baru, Kel. Karya Baru, Kel. Waborobo seluas 379,45 (6,16%). Sedangkan Jenis tanah Mediteran tersebar di Kec. Sampolawa, Kel. Bugi, Kel. Kadolokatapi, Kel. Kaisabu Baru, Kel. Karya Baru. Keadaan geomorfologi DAS Bau-Bau pada wilayah hulu merupakan pembuktian conical berlereng terjal dan puncak membulat, peneplain berombak dari batu liat (tidak berkapur), perbukitan berlereng terjal dan puncak agak bulat. Pada bagian wilayah tanah DAS merupakan pelembahan luas agak datar, perbukitan berlereng agak terjal, perbukitan punggung memanjang berlereng terjal dan puncak membulat, perbukitan conical berlereng terjal dan puncak membulat, perbukitan terjal tertoreh berat, perbukitan berlereng terjal dan puncak agak bulat. Sedangkan pada bagian hilir DAS merupakan batu gamping terumbu angkatan agak berombak, train berombak dan bergelombang dengan punggung sejajar dan datar sampai agak berombak, train berlereng terjal dengan lipatan kecil dan perbukitan punggung berlereng terjal. Geologi Berdasarkan hasil analisis, kondisi geologi yang ada di wilayah DAS Bau-Bau terdiri dari 5 (lima) jenis formasi geologi, yakni: formasi Tondo, Sampolakosa, Wapulaka, Ultra basah tanpa toreh, dan Winto. Iklim Iklim merupakan salah satu potensi alam, namun kenyataannya sering menjadi faktor penghambat yang sifatnya permanen karena secara makro sulit atau tidak dapat dimodifikasi. Iklim dengan berbagai unsurnya, seperti: curah hujan, radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, dan angin adalah faktor yang paling menentukan keberhasilan usaha khususnya di bidang pertanian. Karakteristik iklim di wilayah Kota BauBau dalam kajian ini didasarkan pada data iklim dari Stasiun Meteorologi Betoambari Bau-Bau selama 14 tahun terakhir (19942006) khusus curah hujan sedangkan unsurunsur iklim lainnya selama 5 tahun terakhir (2002 – 2006). Data iklim yang ada menunjukkan bahwa wilayah Kota Bau-Bau cakupan Stasiun Meteorologi Betoambari memiliki kondisi iklim bulanan rata-rata, yaitu suhu udara maksimum 32oC, tertinggi pada bulan Oktober 33,6 oC , terendah bulan Juni 31,2 oC; suhu udara minimum 23,5oC, tertinggi pada bulan Februari 24,7oC dan terendah pada bulan Agustus 22,0oC; Suhu udara rata-rata 27,7 oC, tertinggi pada bulan November 28,8 o C dan terendah pada bulan Juli 26,8 oC; kelembaban udara 77,8%, tertinggi pada bulan Desember 83,4% dan terendah pada bulan September 74,2%; tekanan udara 1013,1 mb, tertinggi pada bulan September 1015,0 mb dan terendah pada bulan Desember 1011,6 mb; kecepatan angin 3,4 knot jam-1, tertinggi pada bulan Agustus dan September masingmasing 4,34 knot jam-1 terendah pada bulan April 2,4 knot jam-1. Hasil analisis data curah hujan dan hari hujan rata-rata (periode 1994-2006) pada stasiun meteorologi Betoambari wilayah DAS Bau-Bau menunjukkan bahwa pola perubahan curah hujan bulanan di wilayah Bau-Bau seirama dengan perubahan hari hujan. Namun demikian, tampak pula bahwa tidak selalu curah hujan bulanan yang tinggi berarti hari hujannya lebih lama, dan curah hujan bulanan rendah tidak selalu hari hujannya lebih singkat. Berdasarkan sistem Klasifikasi Oldeman (BB = CH rata-rata >200 mm bulan –1 ; BK = CH rata-rata < 100 mm bulan –1), iklim di wilayah Kota bau-Bau cakupan Stasiun Meteorologi Betoambari tergolong tipe agroklimat C3, yaitu memiliki 5 (lima) bulan AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128 165 basah (BB) berturut-turut yakni Desember – Januari - Februari - Maret – April, dan terdapat 4 (empat) bulan kering (BK) berurutan yaitu bulan Juli – Agustus – September – Oktober. Kenyataan ini berindikasi bahwa wilayah cakupan stasiun ini merupakan daerah pertanian terbatas artinya hanya dapat ditanami satu kali padi, setelah itu dapat ditanami Palawija namun dengan ekstra hati-hati jangan jatuh pada bulan kering. Menurut sistem klasifikasi SchmidthFergusson (BB = CH >100 mm bulan –1; –1 BK = CH < 60 mm bulan ) bahwa di wilayah Kota bau-Bau cakupan Stasiun Meteorologi Betoambari tergolong tipe iklim C, yaitu terdapat rata-rata 7 (tujuh) bulan basah (BB) dan rata-rata 4 (tiga) bulan kering (BK) dengan nilai Quotient (Q) = 57,1%. Kenyataan ini berindikasi bahwa di wilayah cakupan stasiun ini tergolong tipe iklim agak basah dengan vegetasi hutan rimba diantaranya jenis kayu yang menggugurkan daunnya pada musim kemarau. Tingkat degradasi kawasan hutan Berdasarkan peta Fungsi Kawasan (Tata Guna Hutan Kesepakatan), pada bagian hulu DAS Bau-Bau terdapat potensi Hutan Lindung (HL) sebesar 1.102,06 Ha, Hutan Produksi Biasa (HPB) sebesar 1.798, 60 Ha dan Areal Penggunaan Lain (KPB) sebesar 3.259,01 hektar. Kenyataan tersebut di atas berindikasi bahwa Hulu DAS Bau-Bau memiliki kawasan hutan yang cukup potensial, namun demikian berdasarkan hasil analisis GIS, kawasan hutan di hulu DAS Bau-Bau sudah terdegradasi. Luas lahan terbuka dalam kawasan hutan lindung Wakonti sudah mencapai 226,80 Ha, Luas lahan tandus dalam kawasan lindung Baadia/Waborobo telah mencapai 129 Ha, luas lahan tandus dalam kawasan hutan produksi hulu barat (Sorawolio) seluas 33,10 Ha, serta luas ladang (lahan tandus) dalam kawasan lindung Baadia/ Waborobo seluas 129 Ha. Kondisi ini sudah cukup mengkhawatirkan mengingat pentingnya fungsi hutan pada kawasan hulu DAS Bau-Bau bagi masyarakat Kota BauBau. Oleh karena itu, perlu disusun langkahlangkah antisipatif dalam payung pengelolaan DAS Bau-Bau secara terpadu dan berkelanjutan. Tingkat bahaya erosi Pengendalian erosi dan sedimentasi di DAS Bau-Bau dilakukan sebagai rekomendasi dalam Rencana Teknik Lapangan-Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT). Pengendalian tersebut terutama pada unit-unit lahan yang memiliki tingkat bahaya erosi tingkat sedang sampai sangat tinggi. Di DAS Bau-Bau, 84,60% dari total luas (5211, 07 Ha) memiliki erosi aktual yang berat sampai sangat berat. Lahan-lahan tersebutlah yang perlu dilakukan rencana pengendalian erosi dan sedimentasi. Sedangkan unit-unit lahan yang memiliki bahaya erosi rendah perlu dipelihara dengan baik melalui upaya-upaya konservasi yang sesuai. Dari luas tersebut tersebar di beberapa Kecamatan di Kota Bau-Bau seperti: Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Murhum, Kecamatan Wolio, dan Kecamatan Betoambari. Secara lengkap, Tingkat Bahaya Erosi dapat dilihat pada Tabel 1. AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128 166 Tabel 1. Tingkat Bahaya Erosi di Daerah Aliran Sungai Bau-Bau Tingkat Bahaya Erosi Luas (ha) Persentase (%) Sangat Ringan (SR) Ringan (R) Sedang (S) Berat (B) Sangat Berat SB) 207,47 315,47 425,79 1.463,93 3.747,14 3,37 5,12 6,91 23,77 60,83 Jumlah 6.159,80 100,00 Sumber : Data primer diolah (2008). Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa kawasan DAS Bau-Bau didominasi oleh tingkat bahaya erosi sangat berat yakni 3.747,14 ha atau 60,83%, selanjutnya kategori berat 1.463,93 ha atau 23,77%, sedang 425,79 ha atau 6,91%, ringan 315,47 Ha atau 5,12%, dan sangat ringan 207,47 atau 3,37%. Kenyataan ini berindikasi bahwa kawasan DAS Bau-Bau dominan areal penyanggahnya sudah rusak akibat aktifitas manusia yang berdampak pada rusaknya vegetasi. Hal ini cukup beralasan karena hilangnya vegetasi maka berarti lahan terbuka tanpa adanya penutup atau penyangga sehingga pada saat musim hujan terjadi laju erosi yang cukup tinggi. Dengan demikian perlu perhatian khusus agar kondisi ini tidak semakin parah karena tanpa upaya perbaikan di kawasan DAS Bau-Bau maka sungai Bau- Bau akan kering pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan sebagai konsekuensi rusaknya vegetasi yang membuat siklus hidrologi tidak berjalan normal. Rekomendasi pengelolaan sumberdaya hutan Berdasarkan hasil prediksi erosi dan pertimbangan tingkat degradasi hutan di DAS Bau-Bau maka disusunlah Rencana Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Di dalam menyusun perencanaan tersebut maka memerlukan alternatif-alternatif perbaikan lahan dengan masukan-masukan teknologi pertanian yang sesuai agar dapat menekan erosi sampai lebih kecil dan menguntungkan bagi masyarakat dan lingkungan. Jenis rekomendasi dan bentuk perlakuan konservasi disajikan pada Tabel 2. AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128 167 Tabel 2. Rekomendasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan di DAS Bau-Bau Land Use Kebun Campuran Pemukiman Belukar Semak-Semak Tegalan TGHK APL HPB HL APL HPB APL HPB HL APL HPB HL APL HPB Rekomendasi Agroforestry Reboisasi Reboisasi Tanaman Pek Reboisasi Agroforestry Reboisasi Reboisasi Agroforestry Reboisasi Reboisasi Agroforestry Reboisasi Jumlah Bentuk Perlakuan V7b V10b V10b T.Pek V10b V7b V10b V10b V7b V10b V10b V7b V10b Luas Ha 432,00 59,38 67,84 1791,65 11,98 320,7 746,79 423,92 426,98 861,1 536,77 343,18 137,51 6.159,80 % 7,01 0,96 1,11 29,09 0,19 5,21 12,13 6,88 6,93 13,98 8,71 5,57 2,23 100,00 Sumber : Data Primer, diolah (2008). Tabel 2 menunjukkan bahwa ternyata penggunaan untuk pemukiman banyak memiliki kendala di DAS Bau-Bau. Hal lain yang terlihat bahwa pemanfaatan lahan kering di DAS Bau-Bau diperuntukkan baik untuk budidaya tanaman semusim maupun budidaya tanaman tahunan. Pemanfaatan pertanian lahan kering tersebut tidak dikuti dengan tindakan pengelolaan tanah atau konservasi tanah dan air, sehingga erosi yang terjadi lebih besar. Demikian pula pada lahan-lahan yang ditumbuhi semak dan belukar serta kebun campuran masih dominan terjadi erosi yang berat. Oleh karena itu maka diperlukan pengelolaan dengan tindakan konservasi seperti: pembuatan rorak, strip cropping dan alley cropping pada lahan tegalan. Sedangkan pada lahan belukar dan semak dapat dijadikan hutan produksi, dengan menggunakan sistem agroforestry dan hutan kemasyarakatan. Pada kawasan hutan lindung upaya-upaya reforestasi melalui program reboisasi dapat dilaksanakan. Pada lahan pekarangan dapat dioptimalkan dengan pemanfaatan tanaman pekarangan sebagai tanaman pagar. Rekomendasi pengelolaan sumberdaya hutan dalam studi ini dapat dilihat pada Gambar 1. KESIMPULAN DAN SARAN Secara umum, kondisi DAS Bau-Bau sudah terdegradasi dengan tingkat kerusakan kategori berat sampai sangat berat. Hal ini dapat dilihat dari data tingkat kerusakan hutan pada hulu DAS Bau-Bau. Berdasarkan hasil analisis GIS, luas lahan terbuka dalam kawasan hutan lindung Wakonti sudah mencapai 226,8 Ha, luas lahan tandus dalam kawasan lindung Baadia/Waborobo telah mencapai 129 Ha, luas lahan tandus dalam kawasan hutan produksi hulu barat (Sorawolio) seluas 33,1 Ha, serta luas ladang (lahan tandus) dalam kawasan lindung Baadia/ Waborobo seluas 129 Ha. Hasil analisis Tingkat Bahaya Erosi (TBE) juga menunjukkan bahwa di DAS Bau-Bau, dari luas 6.159,80 hektar, seluas 5.211,07 Ha atau sekitar 84, 60% memiliki erosi aktual berat sampai sangat berat. Oleh karena itu, upayaupaya pengendalian erosi perlu dilakukan melalui pengelolaan vegetasi dan tindakan AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128 168 Chappel, N.A. and Thang, H.C. 2007. Practical hydrological protection for tropical forests: The Malaysian experience. Unasylva , 58 (4):12-17. konservatif lainnya. Rencana pengelolaan hutan yang direkomendasikan adalah pengembangan pola tanam agroforestry pada kawasan hutan produksi serta pengembangan tanaman pekarangan pada lahan pemukiman. Rekomendasi pengelolaan hutan pada kawasan lindung adalah dengan program reboisasi yang dilaksanakan secara intensif, terpadu dan berkelanjutan. Lee, R. 1988. Hidrologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Untuk melaksanakan rencana program pengelolaan sumberdaya hutan tersebut disarankan untuk memiliki payung kelembagaan yang multipihak dan sejak awal melibatkan masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah DAS Bau-Bau. Santoso, H. 2006. Kebijakan Pengelolaan DAS. Direktur Pengelolaan DAS, Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan. Makalah dalam Seminar Pengelolaan DAS Wanggu, Hotel Atthaya Kendari. DAFTAR PUSTAKA Sosrodarsono, S dan Takeda, K. 1987. Hidrologi untuk Pengairan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Sosrodarsono, S dan Takeda, K. 1980. Hidrologi untuk Pertanian. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Arsyad, S.2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB. Bogor. Stolton, S. and Dudley, N. 2007. Managing Forests for Cleaner Water for Urban Population, Unasylva, 58 (4): 39-53. Harto. 1993. Analisis Hidrologi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128