BAB II KAJIAN TEORETIS A. Tinjauan tentang

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Tinjauan tentang Komitmen
1. Pengertian Komitmen
Komitmen seseorang terhadap organisasi seringkali menjadi isu yang sangat
penting. Oleh karena pentingnya hal tersebut, sampai-sampai beberapa organisasi
berani memasukkan unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu
jabatan/posisi yang ditawarkan untuk lowongan pekerjaan. Meskipun hal ini sudah
sangat umum namun tidak jarang organisasi maupun guru, tetapi belum memahami
arti komitmen secara sungguh-sungguh. Padahal pemahaman tersebut sangatlah
penting agar tercipta kondisi yang kondusif sehingga organisasi
dapat berjalan
secara efisien dan efektif.
Mowday,dkk (1982 : 27) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai
kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan
dirinya kedalam bagian organisasi. Komitmen seorang dapat ditandai dengan tiga hal,
yaitu : (1) Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. (2) Kesiapan dan
kesedian untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi. (3)
Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi bagian
dari organisasi). komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap
nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi
kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang guru
terhadap
organisasinya. Komitmen organisasi merupakan kondisi dimana guru sangat tertarik
7
8
terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi
artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai
organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi
kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam
komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam
pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
2. Jenis dan Tingkatan Komitmen
Setiap guru memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan
komitmen organisasi yang dimilikinya. Guru yang memiliki komitmen organisasi
dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan guru yang berdasarkan
continuance. Guru yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk
menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang
terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain,
sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu,
komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi,
tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki guru . Komponen
normatif menimbulkan perasaan kewajiban pada guru
untuk memberi balasan atas
apa yang telah diterimanya dari organisasi.
Komitmen organisasi seperti yang telah diuraikan di atas lebih dikenal
sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Mowday dkk, (1982 : 51) bahwa
komitmen organisasi ini memiliki tiga komponen yaitu sikap dan kehendak untuk
bertingkah laku. Sikap mencakup: (1) Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan
tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi.
Identifikasi guru
tampak melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi,
9
kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari
organisasi. (2) Keterlibatan sesuai peran dan tanggungjawab pekerjaan di organisasi
tersebut. Guru yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas
dna tanggungjawab pekerjaan yang diberikan padanya. (3) Kehangatan, afeksi dan
loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya
ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan guru . Guru
dengan
komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi.
Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi
terhadap organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam berorganisasi, memiliki loyalitas
serta afeksi positif terhadap kegiatan pendidikan di sekolah. Selain itu tampil tingkah
laku berusaha kearah tujuan organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan
organisasi dalam jangka waktu lama.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
komitmen
dalam
berorganisasi
karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama
berorganisasi. Aspek yang termasuk ke dalam karakteristik organisasi adalah struktur
organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan
organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam dua
variabel, yaitu variabel demografis; dan variabel disposisional. Variabel demografis
mencakup gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang
pada suatu organisasi. Dalam beberapa penelitian ditemukan adanya hubungan antara
variabel demografis tersebut dan komitmen berorganisasi, namun ada pula beberapa
penelitian yang menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu kuat.
10
Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki
anggota organisasi. Hal-hal lain yang tercakup ke dalam variabel disposisional ini
adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos yang baik. Selain itu kebutuhan untuk
berafiliasi dan persepsi individu mengenai kompetensinya sendiri juga tercakup ke
dalam variabel ini. Variabel disposisional ini memiliki hubungan yang lebih kuat
dengan komitmen berorganisasi, karena adanya perbedaan pengalaman masingmasing anggota dalam organisasi tersebut. Sedangkan pengalaman berorganisasi
tercakup ke dalam kepuasan dan motivasi anggota organisasi selama berada dalam
organisasi, perannya dalam organisasi tersebut, dan hubungan antara anggota
organisasi dengan supervisor atau pemimpinnya.
Mowday, dkk (1982 : 182) Perbedaan yang lebih tradisional ini memiliki
implikasi tidak hanya kepada definisi dan pengukuran komitmen, tapi juga
pendekatan yang digunakan dalam berbagai penelitian perkembangan dan
konsekuensi komitmen. Attitudinal commitment berfokus pada proses bagaimana
seseorang mulai memikirkan mengenai hubungannya dalam organisasi atau
menentukan sikapnya terhadap organisasi. Dengan kata lain hal ini dapat dianggap
sebagai sebuah pola pikir di mana individu memikirkan sejauh mana nilai dan
tujuannya sendiri sesuai dengan organisasi di mana ia berada. Sedangkan behavioral
commitment berhubungan dengan proses di mana individu merasa terikat kepada
organisasi tertentu dan bagaimana cara mereka mengatasi setiap masalah yang
dihadapi.
Penelitian mengenai Attitudinal commitment melibatkan pengukuran
terhadap komitmen (sebagai sikap atau pola pikir), bersamaan dengan variabel lain
yang dianggap sebagai penyebab, atau konsekuensi dari komitmen. Tujuan dari
11
penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa komitmen yang kuat
menyebabkan terjadinya tingkah laku anggota organisasi sesuai dengan yang
diharapkan (dari perspektif organisasi), seperti anggota organisasi jarang untuk tidak
hadir dan perpindahan ke organisasi lain lebih rendah, dan produktivitas yang lebih
tinggi. Tujuan yang kedua menunjukkan karakteristik individu dan situasi kondisi
seperti apa yang mempengaruhi perkembangan komitmen berorganisasi yang tinggi.
Dalam
behavioral
commitment
anggota
dipandang
dapat
menjadi
berkomitmen kepada tingkah laku tertentu, daripada pada suatu entitas saja. Sikap
atau tingkah laku yang berkembang adalah konsekuensi komitmen terhadap suatu
tingkah
laku.
Contohnya
anggota
organisasi
yang
berkomitmen
terhadap
organisasinya, mungkin saja mengembangkan pola pandang yang lebih positif
terhadap organisasinya, konsisten dengan tingkah lakunya untuk menghindari
disonansi kognitif atau untuk mengembangkan self-perception yang positif. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi yang seperti apa yang membuat
individu memiliki komitmen terhadap organisasinya.
Komitmen dianggap sebagai psychological state, namun hal ini dapat
berkembang secara retrospektif (sebagai justifikasi terhadap tingkah laku yang sedang
berlangsung) sebagaimana diajukan pendekatan behavioral, sama seperti juga secara
prospektif (berdasarkan persepsi dari kondisi saat ini atau di masa depan di dalam
organisasi) sebagaimana dinyatakan dalam pendekatan attitudinal.
Definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk
psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan
organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan
keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang
12
memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian
dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap
organisasi. Komitmen memiliki arti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan
dan nilainilai organisasi , di mana individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki
hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut.
Berdasarkan berbagai definisi mengenai komitmen terhadap organisasi maka
dapat disimpulkan bahwa komitmen terhadap organisasi merefleksikan tiga dimensi
utama, yaitu komitmen dipandang merefleksikan orientasi afektif terhadap organisasi,
pertimbangan kerugian jika meninggalkan organisasi, dan beban moral untuk terus
berada dalam organisasi.
Faktor
utama
yang
membuat
orang
komitmen yang telah ia buat sebelumnya,
seperti : (a)
Ceroboh
saat akan
tidak
dapat
mempertahankan
yaitu : (1) Internal (diri sendiri),
mengambil
keputusan, sehingga menyesal
dikemudian hari, (b) Kurang berpikir panjang sewaktu menganalisa resiko-resiko
yang akan dihadapi apabila ia mengambil keputusan, (c) Keyakinan goyah disebabkan
karena seseorang tidak kuat mentalnya, (2) Eksternal (di luar diri sendiri), seperti : (a)
Lingkungan, seringkali karena pengaruh lingkungan, seseorang gagal dalam
mempertahankan komitmennya. Didalamnya termasuk peran keluarga, pasangan, atau
sahabat/teman, (b) Gaya hidup yang tidak benar. Perkembangan jaman, selain
membawa dampak positif, juga terkadang membawa dampak negatif bagi seseorang,
(c) Pengaruh uang, tidak bisa dipungkiri, uang memiliki power yang besar dalam
hidup ini. Apabila seseorang tidak kuat mental, komitmen yang dibuat seseorang
dapat kandas di tengah jalan. (d) Tidak tahan pada pasang surut kehidupan.
13
Beberapa orang dapat terpengaruh akibat kehidupan yang dijalaninya, sehingga ia
menyerah pada kehidupan.
Individu dengan affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan
emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut akan
memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap
organisasi dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah.
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment memiliki hubungan
yang sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam
organisasi. Hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil pekerjaan yang
dilakukan, individu dengan affective commitment akan be lebih keras dan
menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang komitmennya lebih
rendah.
Meyer (1997:98 ) menyatakan individu dengan affective commitment tinggi
akan lebih mendukung kebijakan organisasi dibandingkan yang lebih rendah.
Affective commitment memiliki hubungan yang erat dengan pengukuran self-reported
dari keseluruhan hasil pekerjaan individu
Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk
melakukan internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian
yang berwenang dalam organisasi) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu
melaporkan kecurangan atau kesalahan organisasi pada pihak yang berwenang).
4. Upaya Pembentukan Komitmen
Mowday, dkk (1992:56) mengatakan bahwa untuk menumbuhkan komitmen
dalam organisasi maka memiliki tiga aspek utama, yaitu : identifikasi, keterlibatan
dan loyalitas guru terhadap organisasi.
14
a. Identifikasi
Identifikasi, adalah upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kepercayaan
diri seorang guru terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan
organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para guru ataupun dengan
kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan guru dalam tujuan
organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para
guru dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa guru dengan
rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena guru
menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan
pribadi mereka pula .
b. Keterlibatan
Keterlibatan atau partisipasi guru dalam aktivitas-aktivitas penting untuk
diperhatikan karena adanya keterlibatan guru menyebabkan mereka akan mau dan
senang be sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman . Salah satu cara
yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan guru adalah dengan memancing
partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat
menumbuhkan keyakinan pada guru bahwa apa yang telah diputuskan adalah
merupakan keputusan bersama. Di samping itu, dengan melakukan hal tersebut maka
guru merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang utuh dari organisasi, dan
konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melaksanakan bersama apa yang
telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan.
Hasil riset menunjukkan bahwa tingkat kehadiran mereka yang memiliki rasa
keterlibatan tinggi umumnya tinggi pula. Mereka hanya absen jika mereka sakit hingga
benar-benar tidak dapat masuk. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja pada
15
individu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan guru yang keterlibatannya lebih
rendah.
Robbins, (2003 : 87) mengatakan bahwa partisipasi akan meningkat apabila
mereka menghadapi suatu situasi yang penting untuk mereka diskusikan bersama, dan
salah satu situasi yang perlu didiskusikan bersama tersebut adalah kebutuhan serta
kepentingan pribadi yang ingin dicapai oleh guru dalam organisasi. Apabila kebutuhan
tersebut dapat terpenuhi hingga guru memperoleh kepuasan , maka guru pun akan
menyadari pentingnya memiliki kesediaan untuk menyumbangkan usaha dan
kontribusi bagi kepentingan organisasi. Sebab hanya dengan pencapaian kepentingan
organisasilah, kepentingan merekapun akan lebih terpuaskan.
c.
Loyalitas
Loyalitas guru terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang
untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan
mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Kesediaan guru
untuk mempertahankan diri be dalam organisasi adalah hal yang penting dalam
menunjang komitmen guru terhadap organisasi dimana mereka be. Hal ini dapat
diupayakan bila guru merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi
tempat ia bergabung untuk bekerja.
Memperhatikan uraian di atas, maka terlihat bahwa komitmen individu
terhadap organisasi bukanlah merupakan suatu hal yang terjadi secara sepihak. Dalam
hal ini organisasi dan guru
(individu) harus secara bersama-sama menciptakan
kondisi yang kondusif untuk mencapai komitmen yang dimaksud. Sebagai contoh
seorang guru yang semula kurang memiliki komitmen, namun setelah be ternyata
selain ia mendapat imbalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ternyata didapati
16
adanya hal-hal yang menarik dan memberinya kepuasan. Hal itu tentu akan memupuk
berkembangnya komitmen individu tersebut terhadap organisasi. Apalagi jika tersedia
faktor-faktor yang dapat memberikan kesejahteraan hidup atau jaminan keamanan,
misalnya ada koperasi, ada fasilitas transportasi, ada fasilitas yang mendukung
kegiatan maka dapat dipastikan ia dapat be dengan penuh semangat, lebih produktif,
dan efisien dalam menjalankan tugasnya. Sebaliknya jika iklim organisasi dalam
organisasi tersebut kurang menunjang, misalnya fasilitas kurang, hubungan kurang
harmonis, jaminan sosial dan keamanan kurang, maka secara otomatis komitmen
individu terhadap organisasi menjadi makin luntur atau bahkan mungkin ia cenderung
menjelek-jelekkan tempat nya. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan berbagai
gejolak seperti korupsi, mogok , unjuk rasa, pengunduran diri, terlibat tindakan
kriminal dan sebagainya.
Inti pengertian komitmen dari kedua pendapat di atas adalah kesungguhan
dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tujuan dan prosedur
ditentukan serta budaya
yang telah
yang dianut oleh organisasi. Oleh sebab itu hakikat
komitmen adalah suatu tanggung jawab dalam melaksanakan suatu pekerjaan yang
menjadi kewajiban seseorang dalam suatu lingkungan organisasi.
Pendapat lain mengenai jenis komitmen juga dikemukakan oleh Karina
bahwa dimensi komitmen dalam Berorganisasi dirumuskan tiga dimensi komitmen
dalam berorganisasi, yaitu: affective, continuance, dan normative. Ketiga hal ini lebih
tepat dinyatakan sebagai komponen atau dimensi dari komitmen berorganisasi,
daripada jenis-jenis komitmen berorganisasi. Hal ini disebabkan hubungan anggota
organisasi dengan organisasi mencerminkan perbedaan derajat ketiga dimensi
tersebut, yaitu, (a) Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional
17
anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan
anggota dengan kegiatan di organisasi. Anggota organisasi dengan affective
commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena memang
memiliki keinginan untuk itu, (b) Continuance commitment berkaitan dengan
kesadaran anggota organisasi akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi.
Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi
anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota
organisasi tersebut, (c) Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan
untuk terus berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative
commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa
dirinya harus berada dalam organisasi tersebut.
Komitmen adalah suatu janji pada diri kita sendiri ataupun orang lain yang
tercermin dalam tindakan yang selalu mempertahankan janji itu sampai akhir. Setiap
orang dari kecil sampai dewasa pastilah pernah membuat komitmen, meskipun
terkadang komitmen itu seringkali tidak diucapkan dengan kata-kata. Seiring
bertambahnya usia seseorang, maka komitmen yang ada semakin berkembang dalam
penerapannya.
Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya beberapa
faktor, baik dari organisasi, maupun dari individu sendiri. Hal ini menjadi perhatian
semua yang terkait maupun yang berkepentingan untuk dapat melakukan tindakan
untuk mempertahankan komitmen yang sudah terbangun antara peminpin dengan
bawahan guna untuk mencapai tujuan.
Dalam perkembangannya
affective
commitment, continuance commitment, dan normative commitment, masing-masing
memiliki pola perkembangan tersendiri.
18
1. Proses terbentuknya Affective commitment
Menurut Mathieu dan Zajac (1990 : 171) bahwa ada beberapa penelitian
mengenai antecedents dari affective commitment. Berdasarkan penelitian tersebut
didapatkan tiga kategori besar. Ketiga kategori tersebut yaitu: (1) Karakterisitik
Organisasi. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi perkembangan affective
commitment adalah sistem desentralisasi, adanya kebijakan organisasi yang adil,
dan cara menyampaikan kebijakan organisasi kepada individu.
Dalam karakteristik organisasi yang dilihat adalah aliran organisasi yang
digunakan, bagaimana praktek kelompok sel dalam organisasi tersebut dan bagaimana
kedudukan kelompok sel sebagai strategi organisasi. (2) Karakteristik Individu. Ada
beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender mempengaruhi affective
commitment, namun ada pula yang menyatakan tidak demikian. Selain itu usia juga
mempengaruhi proses terbentuknya affective commitment, meskipun tergantung dari
beberapa kondisi individu sendiri. Organizational tenure status pernikahan, tingkat
pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi, etos, dan persepsi individu mengenai
kompetensinya (3) Pengalaman. Pengalaman individu yang mempengaruhi proses
terbentuknya affective commitment antara lain Job scope, yaitu beberapa karakteristik
yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu. Hal ini mencakup tantangan
dalam pekerjaan, tingkat otonomi individu, dan variasi kemampuan yang digunakan
individu, selain itu peran individu dalam organisasi tersebut, dan hubungannya
dengan atasan, Pengalaman berorganisasi individu didapatkan dari pelayanan yang
dilakukannya dalam organisasi dan juga interaksinya dengan anggota organisasi lain
seperti pemimpinnya.
19
2. Proses terbentuknya Continuance commitment
Continuance commitment dapat berkembang karena adanya berbagai
tindakan atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan
organisasi. Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variable,
yaitu investasi dan alternatif. Selain itu proses pertimbangan juga dapat
mempengaruhi individu.
Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun
uang, yang harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan
alternatif adalah kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan
adalah saat di mana individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan
bagaimana dampaknya bagi mereka sendiri.
Investasi dan alternatif yang dialami individu dalam organisasi berbeda
dengan organisasi lain. Investasi dan alternatif yang terjadi lebih terkait dengan
kegiatan-kegiatan khas organisasi dibandingkan keuntungan materi atau kedudukan
yang bisa didapat dari organisasi profit biasa.
3. Proses terbentuknya Normative commitment
Normative commitment terhadap organisasi dapat berkembang dari sejumlah
tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya)
dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi. Selain itu
normative commitment juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang
sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali. Faktor lainnya adalah
adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya. Kontrak psikologis
adalah kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal
balik.
20
B. Pengelolaan Pembelajaran
Dikdasmen (2004:15) menegaskan bahwa: “Pengelolaan pembelajaran
adalah
suatu tindakan dalam kegiatan pembelajaran yang meliputi perencanaan,
pengelolaan dan evaluasi dalam rangka pengembangan pengetahuan, keterampilan
dan sikap seorang guru ketika menyampaikan informasi dan berinteraksi dengan
lingkungan.”
Memperhatikan uraian di atas maka inti dari makna pengelolaan
pembelajaran mencakupi pemilihan, penyusunan dan penyampaian informasi dalam
suatu lingkungan yang sesuai dengan cara siswa berinteraksi dengan informasi. Oleh
karena itu seorang guru sangat diperlukan kepemilikan sejumlah komitmen guna
menunjang tugas mengajar. Interaksi yang bermakna dan menyenangkan antara guru
sebagai fasilitator dengan siswa sebagai personal yang belajar perlu dikembangkan
Guru sebagai pendidik ataupun pengajar merupakan faktor penentu kesuksesan setiap
usaha pembelajaran.
Adapun pengelolaan pembelajaran menurut Muhibbin syah
(2003 : 229) ialah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajibankewajibannya secara bertanggung jawab dan layak yang meliputi penyusunan
renacana, pengelolaan renaca dan tindakan evaluasi. Guru yang piawai dalam
melaksanakan profesinya dapat disebut sebagai guru yang kompeten dan profesional.
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Broke and Stone, (dalam Uzer Moh. 2000 :
14) yaitu : Descriptive of qualitative natur or teacher behavior appears to be entirely
meaningfull. Pendapat ini menekankan bahwa komitmen
merupakan gambaran
hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak sangat berarti.” Komitmen guru
dalam pengelolaan pembelajaran menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan
atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya, bukan sekedar
21
pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan
diri untuk memiliki keterampilan yang tinggi dan memiliki suatu tingkah laku yang
dipersyaratkan”.
Kesimpulan dari kedua pendapat di atas adalah komitmen guru adalah
serangkaian tanggung jawab, kewenangan, perilaku rasional yang meliputi kecakapan
atau keterampilan dan pengetahuan yang dilaksanakan secara layak dan bertanggung
jawab. Komitmen mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh
melalui pendidikan, komitmen menunjuk kepada performance dan perbuatan yang
rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pengelolaan tugas-tugas
kependidikan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah dan tujuan, sedangkan
performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak hanya dapat diamati saja,
tetapi meliputi yang lebih jauh dari itu yang tidak tampak.
Muhibbin Syah (2003 : 230) mengatakan bahwa : “Dalam menjalankan
kewajiban, guru dituntut memiliki keanekaragaman kecakapan (competencies) yang
bersifat psikologis, yang meliputi (1) komitmen kognitif (kecakapan ranah cipta); (2)
komitmen afektif (kecakapan ranah rasa); dan (3) komitmen psikomotor (kecakapan
ranah karsa). Di samping itu, ada satu macam komitmen yang diperlukan guru, yakni
komitmen kepribadian.”
Direct and Directive Instruction, merujuk pada pola-pola pembelajaran
dimana guru banyak menjelaskan konsep atau keterampilan kepada sejumlah
kelompok siswa dan menguji keterampilan siswa melaui latihan-latihan dibawah
bimbingan dan arahan guru. Dengan demikian, tujuan pembelajaran distrukturkan
oleh guru.
22
Model pembelajaran (direct instruction) merujuk pada berbagai teknik
pembelajaran ekspositori (pemindahan pengetahuan dari guru) yang melibatkan
seluruh kelas. Pendekatan dalam model pembelajaran ini berpusat pada guru dimana
guru menyampaikan isi akademik dalam format yang sangat terstruktur, mengarahkan
kegiatan siswa, dan mempertahankan fokus pencapaian akademik.
Tujuan
utama
pembelajaran
direktif
adalah
untuk
memaksimalkan
penggunaan waktu belajar siswa. Beberapa temuan dalam teori perilaku diantaranya
adalah pencapaian siswa yang dihubungkan dengan waktu yang digunakan oleh siswa
dalam belajar/tugas dan kecepatan siswa unuk berhasil dalam mengerjakan tugas
sangat positif. Dengan demikian, model pembelajaran langsung dirancang untuk
menciptakan lingkungan belajar terstruktur dan berorientasi pada pencapaian
akademik. Guru berperan sebagai penyampai informasi, dalam melakukan tugasnya,
guru dapat menggunakan berbagai media, misalnya film, tape recorder, gambar,
peragaan, dsb. Informasi yang dapat disampaikan dengan strategi direktif dapat
berupa pengetahuan prosedural, yaitu pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan
sesuatu atau pengetahuan deklaratif, yaitu pengetahuan tentang sesuatu dapat berupa
fakta, konsep, prinsip, atau generalisasi. Dengan demikian pembelajaran langsung
dapat didefinisikan sebagai model pembelajaran dimana guru mentransformasikan
informasi atau keterampilan secara langsung kepada siswa dan pembelajaran
berorientasi pada tujuan dan distrukturkan oleh guru. Model ini sangat cocok jika
guru menginginkan siswa menguasai informasi atau keterampilan tertentu, akan tetapi
jika guru menginginkan siswa belajar menemukan konsep lebih jauh dan melatihkan
keterampilan berpikir lainnya, maka model ini kurang cocok.
23
Para ahli psikologi perilaku memfokuskan pada cara-cara melatih seseorang
untuk menguasai sejumlah keterampilan kompleks yang melibatkan kerja yang akurat
dan presisi dan melibatkan koordinasi dengan orang lain. Prinsip pembelajaran
langsung difokuskan pada konseptualisasi kinerja siswa ke dalam tujuan yang akan
dicapai melalui pelaksanaan tugas-tugas yang ahrus dilakukan, dan pengembangan
aktivitas latihan untuk memantapkan penguasaan setiap komponen tugas yang
diberikan. Istilah directive digunakan untuk menekankan pembelajaran dalam
mencapai tujuan bahwa siswa dapat meniru perilaku-perilaku atau keterampilan yang
dimodelkan atau diperagakan atau diinstruksikan oleh guru. Strategi directive
didasarkan pada teori belajar rumpun perilaku, khsususnya.
Dilihat dari tugas dan tanggung jawabnya, tenaga kependidikan bahwa untuk
menyandang jabatan dan pekerjaan tersebut dituntut beberapa persyaratan. Secara
umum persyaratan tersebut seperti dikemukakan oleh Gumelar dan Dahyat (2003 :
110) sebagai berikut: “ (1) Menuntut adanya keterampilan yang berlandaskan konsep
dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam; (2) Menekankan pada suatu keahlian
dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya; (3) Menuntut adanya tingkat
pendidikan tinggi; (4) Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari
pekerjaan yang dilaksanakan; (5) Memungkinkan pengembangan sejalan dengan
dinamika kehidupan.”
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, tampaklah secara jelas bahwa untuk
suatu jabatan profesional harus melalui jenjang pendidikan yang mempersiapkannya
dengan bekal pengetahuan, nilai-nilai dan sikap serta keterampilan yang sesuai
dengan bidang profesionalnnya. Gumelar dan Dahyat (2003 : 120) mengatakan :
Sebagai indikator, tenaga kependidikan yang dinilai kompeten secara profesional
24
apabila memiliki ciri-ciri : (a) Tenaga kependidikan tersebut mampu mengembangkan
tanggung jawab dengan sebaik-baiknya. (b) Tenaga kependidikan tersebut mampu
melaksanakan peranan-peranan secara berhasil. (c) Tenaga kependidikan tersebut
mampu bersaing dalam berusaha mencapai tujuan pendidikan sekolah. (d) Tenaga
kependidikan tersebut harus mampu melaksanakan peranannya dalam proses belajar
mengajar di kelas. “
Untuk membantu proses berpikir guru mengenai hal tersebut. Rohani dan
Ahmadi, 1991: 66) yaitu : “The Teacher as a Decision Maker mengatakan bahwa
guru hendaknya memiliki 4 komitmen : (1) Memiliki pengetahuan tentang “belajar
dan tingkah laku” manusia (peserta didik) serta mampu menerjemahkan teori itu
kedalam situasi yang riil. (2) Memiliki sikap yang tepat terhadap diri sendiri, sekolah,
peserta didik, teman sejawat dan mata pelajaran yang dibina.(3) Menguasai mata
pelajaran yang akan diajarkan. (4) Memiliki keterampilan teknis dalam mengajar,
antara lain : keterampilan merencanakan pelajaran, bertanya, menilai pencapaian
peserta didik, menggunakan strategi mengajar, megelola kelas dan memotivasi peserta
didik. “ Kemudian lebih dalam lagi, Surachmad (1984 : 61-62) melihat bahwa
kecakapan serta pengetahuan dasar seorang guru terletak dalam sedikitnya 4 bidang
utama yaitu : “ (a) Guru harus mengenal setiap murid yang dipercayakan padanya. (b)
Guru harus memiliki kecakapan memberi bimbingan, (c) Guru harus memiliki dasar
pengetahuan yang luas tentang tujuan pendidikan di Indonesia pada umumnya sesuai
dengan tahap-tahap pembangunan, dan (d) Guru harus memiliki pengetahuan yang
bulat dan baru mengenai ilmu yang diajarkan.
Mengenai konsep tugas dan tanggung jawab guru, dikemukakan oleh
Ametembun,
(1975 : 21) mengatakan bahwa,” Guru adalah semua orang yang
25
berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid–muridnya, baik secara
individual maupun klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Ini berarti
seorang guru perlu memiliki dasar–dasar komitmen
sebagai wewenang dan
kemampuan dalam menjalankan tugas.” Untuk itu seorang guru memiliki kepribadian,
menguasai
bahan pelajaran dan menguasai cara – cara mengajar sebagai dasar
komitmen .
Bertitik tolak pada pengertian ini, maka menurut Supriadi (1999 : 97)
mengatakan, “ Wujud dari komitmen guru adalah memiliki kemampuan dan keahlian
khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya
sebagai guru dengan kemampuan maksimal, serta memiliki pengalaman yang kaya di
bidangnya.”
Memang upaya pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan
oleh mutu masukkan (siswa), sarana, dan faktor – faktor instrumental lainya. Tapi
semua ini akhirnya tergantung
pada mutu pengajaran, dan mutu pengajaran
tergantung pada mutu guru. Untuk itu seorang guru dituntut memiliki lima hal seperti
yang tertuang dalam jurnal educational leadership, Supriadi (1999 : 98), yaitu : “
Pertama, guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajaranya. Ini berarti
bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepentingan siswanya. Kedua, guru menguasai
secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya
kepada para siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melaluli berbagai
teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa dalam tes hasil belajar.
Keempat, guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar
dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan
26
refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari
pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, cara baik dan buruk
dampaknya pada proses belajar siswa. Kelima, guru seyogianya merupakan bagian
dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya, PGRI dan organisasi
profesi lainnya”.
Ciri-ciri di atas terasa amat sederhana dan pragramatis. Namun justru
kesederhanaan akan membuat sesuatu lebih mudah dicapai. Di samping itu
profesionalisme guru yang diuraikan tersebut adalah yang bersifat umum dan cukup
luas ruang lingkupnya. Berkenaan dengan ini maka dalam mengoperasionalkannya
pada kegiatan proses pembelajaran di sekolah Debdikbud mengeluarkan keputusan
Nomor : 025/C/1995 yang mengatakan : Komitmen guru dalam pengelolaan proses
pembelajaran minimal menguasai 5 (lima) komitmen yaitu kemampuan menyusun
program pengajaran, melaksanakan program pengajaran, kemampuan melaksanakan
evaluasi hasil belajar siswa, kemampuan menganalisis hasil evaluasi belajar siswa dan
kemampuan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan.” Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh Suryosubroto (2001 : 19 - 20) bahwa : “Proses belajar mengajar
sebagai wujud perilaku kemampuan profesionalisme guru merupakan kegiatan yang
dimulai perencanaan, pengelolaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut
yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu
pengajaran. Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan formal
dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Dalam proses pembelajaran sebagian
besar hasil belajar siswa ditentukan oleh peranan guru. Guru yang berkompeten akan
lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu
27
pengelolaan proses pembelajaran, sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat
optimal.”
Perencanaan adalah aktivitas menetapkan sasaran dan tindakan–tindakan
untuk mencapai sasaran. Aktivitas perencanaan guru dalam pengelolaan pembelajaran
meliputi menyiapkan bahan pelajaran, merumuskan tujuan pengajaran, memilih
metode dan sumber belajar dengan tepat, memilih metode yang sesuai dengan tujuan
pengajaran, dan merencanakan penilaian hasil belajar siswa.
Khusus untuk penrencanaan pembelajaran Perrott (1982 : 6) mengatakan
bahwa fungsi perencanaan diperlukan guru untuk membuat keputusan tentang
kebutuhan murid, sasaran hasil dan tujun yang paling sesuai untuk membantu
pertandingan kebutuhan itu, motivasi diperlukan untuk mencapai sasaran hasil dan
tujuan mereka dan strategi pengajaran yang paling sesuai untuk pencapaian sasaran
hasil dan tujuan itu semua. Fungsi perencanaan pada umumnya terjadi ketika guru
adalah sendiri dan sempat mempertimbangkan rencana jangka pendek dan jangka
panjang: kemajuan murid; ketersediaan sumber daya, aquipment dan material;
kebutuhan waktu tentang aktivitas tertentu dan isu lain.
Pada hakikatnya bila suatu kegiatan direncanakan lebih dahulu, maka tujuan
dari kegiatan tersebut akan lebih terarah dan lebih berhasil. Itulah sebabnya seorang
guru harus memiliki kemampuan dalam merencakan pengajaran. Dengan perencanaan
maka pengelolaan pengajaran menjadi baik dan efektif yaitu murid harus dijadikan
pedoman setiap kali membuat persiapan mengajar.
Program pengajaran merupakan seperangkat rencana bahan pengajaran yang
digunakan sebagai pedoman pengajaran. Program pengajaran tersebut tertuang dalam
silabus yang di dalamnya memuat standar kompetensi, kompetensi dasar dan
28
indikator. Sebelum tampil di depan kelas, guru harus menguasai bahan atau materi
pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa dan bahan pelajaran yang mendukung
jalannya proses belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar di sekolah pada
hakikatnya merupakan perwujudan pengelolaan program pengajaran yang telah
digariskan dalam kurikulum. Oleh karena itu sebelum melaksanakan kegiatan belajar
mengajar guru harus memahami benar isi dari silabus tersebut, yang meliputi tujuan
kurikuler, tujuan instruksional, serta materi / bahan pelajaran yang diajarkan.
Analisis materi pelajaran adalah hasil dari kegiatan yang berlangsung sejak
seorang guru mulai meneliti isi silabus kemudian mengkaji materi dan
menjabarkannya serta mempertimbangkan penyajiannya. Analisis materi pelajaran
merupakan salah satu bagian dari rencana kegiatan belajar mengajar yang
berhubungan erat dengan materi pelajaran dan strategi penyajiannya.
Depdikbud (1995 : 23) menegaskan bahwa : “Fungsi analisis materi
pelajaran sebagai acuan untuk menyusun program pengajaran yaitu program tahunan,
program semester, program satuan pelajaran dan rencana pengajaran. Sasaran analisis
materi pelajaran yang merupakan komponen utama, meliputi (a) terjabarnya
tema/konsep/pokok bahasan/sub pokok bahasan konsep / sub konsep / sub tema. (b)
terpilihnya metode yang efektif dan efisien, (c) terpilihnya sarana pembelajaran yang
paling cocok, (d) tersedianya alokasi waktu sesuai dengan lingkup materi ke dalam
materi dan keluasan materi “
Kegiatan penyusunan analisis materi pelajaran ini berupa penjabaran dan
penyesuaian isi silabus mata pelajaran. Adapun langkah-langkahnya adalah (a)
menjabarkan kurikulum, yaitu menguraikan bahan pelajaran, menguraikan tema/
konsep pokok bahasan yang mengacu pada tujuan pembelajaran. (b) menyesuaikan
29
kurikulum yaitu menyesuaikan pembelajaran dalam kurikulum nasional dengan
keadaan setempat agar proses belajar dan hasil belajar dapat dicapai secara efektif dan
efisien, sesuai dengan tujuan. Kegiatan penyesuaian kurikulum mencakup pemilihan
metode, pemilihan sarana pembelajaran, pendistribusian waktu belajar mengajar.
Menyusun program semester didasarkan atas program tahunan. Program
tahunan dan program semester merupakan sebagian dari program pengajaran.
Program tahunan memuat alokasi waktu untuk setiap pokok bahasan dalam satu tahun
pelajaran, sedangkan program semester memuat alokasi waktu untuk setiap satuan
bahasan setiap semester. Dalam menyusun program semester dapat ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut : (a) menghitung hari dan jam efektif selama satu
semester, (b) mencatat mata pelajaran yang akan diajarkan selama satu semester, (c)
membagi alokasi waktu yang tersedia selama satu semester.”
Program satuan pelajaran merupakan salah satu bagian dari program
pelajaran yang memuat satuan bahasan untuk disajikan dalam beberapa kali
pertemuan. Fungsi satuan pelajaran digunakan sebagai acuan untuk menyusun
rencana pelajaran, sehingga dapat digunakan sebagai acuan bagi guru untuk
melaksanakan KBM agar lebih terarah dan berjalan efisien dan efektif. Sehubungan
dengan penyusunan satuan pelajaran. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
karakteristik dan kemampuan awal siswa. Karakteristik dan kemampuan awal siswa
adalah pengetahuan dan ketermpilan yang relevan termasuk latar belakang
karakteristik yang dimiliki siswa pada saat akan mulai mengikuti suatu program
pengajaran.
Suryosubroto (2000 : 36) mengemukakan bahwa pengelolaan proses belajar
mengajar adalah proses berlangsungnya belajar mengajar di kelas yang merupakan
30
inti dari kegiatan pendidikan di sekolah. Jadi pengelolaan pengajaran adalah interaksi
guru dengan murid dalam rangka menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa dan
untuk mencapai tujuan pengajaran.“
Sesuai pengertian di atas maka pengelolaan proses belajar mengajar
merupakan interaksi guru dengan siswa dalam rangka menyampaikan bahan pelajaran
kepada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Menurut Sudjana (1987 : 148)
bahwa : “ Pengelolaan belajar mengajar meliputi pentahapan sebagai berikut : (1)
tahapan pra instruksional, yaitu tahap yang ditempuh pada saat memulai proses
belajar mengajar, (2) tahapan instruksional yaitu tahap pemberian bahan pelajaran,
(3) tahapan evaluasi dan tindakan lanjut yaitu, untuk mengetahui keberhasilan tahap
instruksional.” Hal yang senada juga dikemukakan oleh Hasibuan (1988 : 29) yaitu :
“Mengajar memiliki tahap–tahap yakni (1) sebelum pengajaran, (2) pengajaran yaitu
interaksi guru dengan siswa, (3) sesudah pengajaran”.
Pendapat di atas menggambarkan bahwa pengelolaan pembelajaran sangat
diperlukan guru untuk menerapkan keputusan dilakukan di langkah perencanaan,
terutama yang berhubungan dengan mengajar metode, strategi dan aktivitas pelajaran.
implementasi Fungsi ini terjadi ketika guru adalah saling berinteraksi dengan para
murid. Ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa dalam melaksanakan pembelajaran
memiliki
tahap
yaitu
sebelum
pengajaran
(pra
instuksional),
pengajaran
(instruksional) dan sesudah pengajaran (evaluasi dan tindakan lanjut).
Berdasarkan berbagai teori yang telah diuraikan di atas, maka komitmen
guru dalam pengelolaan pembelajaran dalam penelitian ini adalah kemampuan yang
harus dimiliki oleh seorang guru dalam pengelolaan proses pembelajaran yang
meliputi
kecakapan
dan
kesanggupan
seorang
guru
dalam
merencanakan
31
pembelajaran mengorganisasikan, mengevaluasi hasil belajar dan menciptakan
suasana hubungan yang kondusif dengan siswa, sehingga tujuan pembelajaran akan
tercapai sesuai yang direncanakan.
Ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa dalam melaksanakan
pembelajaran memiliki tahap yaitu sebelum pengajaran (pra instuksional), pengajaran
(instruksional) dan sesudah pengajaran (evaluasi dan tindakan lanjut).
Berdasarkan berbagai teori yang telah diuraikan di atas, maka komitmen
guru dalam pelaksanaan pembelajaran dalam penelitian ini adalah kemampuan yang
harus dimiliki oleh seorang guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang
meliputi
kecakapan
dan
kesanggupan
seorang
guru
dalam
merencanakan
pembelajaran mengorganisasikan, mengevaluasi hasil belajar dan menciptakan
suasana hubungan yang kondusif dengan siswa, sehingga tujuan pembelajaran akan
tercapai sesuai yang direncanakan.
Komitmen guru dalam pengelolaan pembelajaran sesungguhnya merupakan
serangkaian usaha untuk meningkatkan kemampuan mengajar guna mencapai tujuan
dan berbagai sasaran yang telah ditetapkan. Esensi dari tujuan yang diharapkan adalah
memberikan sesuatu pelayanan yang terbaik buat siswa.
Guru yang memiliki komitmen akan melakukan berbagai upaya untuk
memenuhi tuntutan tugas dan tanggung jawabnya seperti menguasai landasan
pendidikan sebagai tempat berpijak dalam menyusun rencana pembelajaran,
mengorganisasikan kegiatan pembelajaran, dan dalam mengevaluasi hasil belajar
siswa. Di samping itu guru juga diharapkan untuk selalu berinovasi untuk memperluas
pengetahuan tentang disiplin ilmu yang diajarkan kepada siswa, menguasai
penggunaan metode dan media pembelajaran, dan selalu menciptakan hubungan yang
32
harmonis dengan komponen yang terkait di sekolah baik sesama teman guru, orang
tua siswa bahkan terhadap siswa itu sendiri.
Proses belajar mengajar sebagai wujud perilaku kemampuan profesionalisme
guru merupakan kegiatan yang dimulai perencanaan, pengelolaan kegiatan sampai
evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran. Proses belajar mengajar merupakan inti
dari proses pendidikan formal dengan guru sebagai pemegang peranan utama.
Download