pengelolaan lingkungan pada sentra industri rumah

advertisement
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
PADA SENTRA INDUSTRI RUMAH TANGGA
PENGASAPAN IKAN BANDARHARJO
KOTA SEMARANG
Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana S-2 pada
Program Studi Ilmu Lingkungan
Masithoh
L4K007007
PROGRAM MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008
ii
TESIS
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
PADA SENTRA INDUSTRI RUMAH TANGGA
PENGASAPAN IKAN BANDARHARJO
KOTA SEMARANG
Disusun oleh
Masithoh
L4K007007
Mengetahui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing Utama,
Pembimbing Kedua,
Dr. Ir. Purwanto, DEA
Ir. Danny Sutrisnanto, M.Eng
Mengetahui,
Ketua Program
Magister Ilmu Lingkungan
Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES
iii
LEMBAR PENGESAHAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN
PADA SENTRA INDUSTRI RUMAH TANGGA
PENGASAPAN IKAN BANDARHARJO
KOTA SEMARANG
Disusun oleh
Masithoh
L4K007007
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji
Pada Tanggal 5 Agustus 2008
dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
Ketua,
Dr. Ir. Purwanto, DEA
............................................
1. Ir. Danny Sutrisnanto, M.Eng
............................................
2. Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES
............................................
3. Dr. Boedi Hendrarto, MSc
............................................
Anggota :
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya susun
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Magister Ilmu
Lingkungan seluruhnya merupakan hasil karya saya sendiri.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan Tesis yang saya kutip dari
hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan
hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya
bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
Semarang,
Masithoh
L4K007007
v
BIODATA
Masithoh, lahir di Magelang pada tanggal 20 September
1971, menyelesaikan pendidikan dasar di Semarang
pada tahun 1984. Tahun 1987 lulus dari SMP Negeri 5
Semarang dan pada tahun 1990 lulus dari SMA Negeri I
Semarang. Pada tahun 1996 berhasil menyelesaikan S1
pada Fakultas Peternakan Jurusan Perikanan
Universitas Diponegoro Semarang.
Pada tahun 1999 diangkat menjadi PNS di lingkungan
Pemerintah Kota Semarang dan pada tahun 2003
menjabat sebagai Kepala Seksi Konservasi.
Tahun 2007 mendapat beasiswa dari BAPPENAS untuk melanjutkan studi pada
Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro
Semarang.
vi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadlirat Allah Swt yang telah
melimpahkan kasih dan sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
yang diajukan sebagai syarat untuk menempuh gelar Magister Ilmu Lingkungan
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro yang berjudul :
“PENGELOLAAN LINGKUNGAN PADA SENTRA INDUSTRI RUMAH
TANGGA PENGASAPAN IKAN BANDARHARJO KOTA SEMARANG”.
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memberikan masukan dalam
perencanaan pengelolaan yang bisa diimplementasikan sesuai dengan kondisi
sosial ekonomi masyarakat di sentra pengasapan ikan Bandarharjo kota Semarang.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Lingkungan Universitas Diponegoro dan dosen penguji ;
2. Dr. Ir. Purwanto, DEA selaku pembimbing I ;
3. Ir. Danny Sutrisnanto, M.Eng selaku pembimbing II ;
4. Dr. Boedi Hendrarto, MSc selaku anggota penguji ;
5. Segenap dosen, pengelola dan staff Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Diponegoro ;
6. BAPPENAS yang telah memberikan kesempatan dengan memberikan
beasiswa untuk melanjutkan studi ;
7. Rekan-rekan BAPPENAS angkatan 17 dan PU angkatan 18 yang senantiasa
selalu saling mensupport ;
8. Pemerintah kota Semarang yang juga memberikan kesempatan untuk
melanjutkan studi ;
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu ;
Penulis,
MASITHOH
vii
Tesis ini dapat terselesaikan atas dorongan semangat dan doa
dari suamiku tercinta, Ir. Andung Damar Sasongko MT serta
anak-anakku tersayang yang waktunya banyak tersita
Ilham Rashif Sasongko, Alina Tsania Sasongko dan Rafdan Rais Sasongko
Juga orang tuaku yang selalu mendoakan aku,
Drs H Acmad, Hj Maryam dan Hj Prihatin Soegito.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
viii
DAFTAR ISI
COVER ..........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN .........................................................
iv
BIODATA ........................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................
xi
DAFTAR TABEL ............................................................................
xii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................
xiv
ABSTRAK ........................................................................................
xv
BAB I
: PENDAHULUAN .....................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................
1
1.2. Pembatasan Masalah
....................................
3
1.3. Perumusan Masalah ...........................................
3
1.4. Tujuan Penelitian .................................................
4
1.5. Manfaat Penelitian .............................................
4
1.6. Originalitas Penelitian ........................................
4
: TINJAUAN PUSTAKA ............................................
5
2.1. Pengelolaan Lingkungan ......................................
5
2.2. Industri Rumah Tangga ........................................
6
2.3. Pengolahan Ikan ...................................................
7
BAB II
2.3.1. PMMT berdasarkan konsepsi HACCP ....
10
2.3.2. Pengasapan Ikan ........................................
13
2.4. Permasalahan Lingkungan .....................................
14
2.4.1. Permasalahan lingkungan yang disebabkan
Alam ...........................................................
14
ix
2.4.2. Permasalahan lingkungan yang disebabkan
Manusia ......................................................
2.5. SNI 19-14004-2005 Sistem Manajemen Lingkungan
16
2.6. Unsur Sistem Manajemen Lingkungan ..................
17
2.6.1. Umum .........................................................
17
2.6.2. Kebijakan Lingkungan ...............................
21
2.6.3. Perencanaan ................................................
23
2.6.4. Penerapan dan operasi .................................
28
2.6.5. Pemeriksaan .................................................
30
2.6.6. Tinjauan manajemen ....................................
31
Tujuan
dan
Manfaat dari Penerapan Sistem
Manajemen Lingkungan ..........................................
32
: METODE PENELITIAN .............................................
35
3.1. Kerangka pikir .........................................................
35
3.2. Lokasi Penelitian ...................................................
36
3.3. Ruang Lingkup Penelitian ......................................
36
3.4. Tipe Penelitian .........................................................
36
3.5. Teknik Pengambilan Data .......................................
36
3.6. Analisis Data ...........................................................
37
2.7.
BAB III
BAB IV
15
: HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Tinjauan Umum Kelurahan Bandarharjo ................
40
4.2. Terbentuknya Sentra Industri Rumah Tangga
Pengasapan Ikan Bandarharjo ................................
46
4.3. Sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan
Bandarharjo .............................................................
50
4.3.1. Bahan Baku ( Resources) ..............................
52
4.3.2. Pemasaran ......................................................
53
4.3.3. Tenaga Kerja .................................................
55
4.4. Proses Produksi Pengasapan Ikan ...........................
56
x
BAB V
4.5. Dampak Keberadaan Sentra Industri Pengasapan
Ikan Bandarharjo .....................................................
63
4.5.1. Dampak Pada Sentra Industri Pegasapan ....
64
4.5.2. Dampak Terhadap Lingkungan Sekitar/
Pemukiman Sekitar ......................................
68
4.6. Analisis Proses Perencanaan Pengelolaan Ling –
kungan pada Sentra Industri Rumah Tangga Peng
asapan Ikan Bandarharjo .........................................
74
4.6.1. Perumusan Masalah .....................................
74
4.6.2. Penetapan Tujuan ........................................
75
4.6.3. Analisis Kondisi ..........................................
76
4.6.4. Identifikasi Alternatif Kebijakan .................
80
4.6.5. Pilihan Kebijakan .........................................
81
4.6.6. Kajian Dampak ............................................
82
4.6.7. Pengambilan Keputusan ..............................
83
: KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan ....................................................
87
5.2. Rekomendasi .................................................
88
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
89
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Kerangka pikir penelitian ..........................................
35
Gambar 2.
Piramida Penduduk Kelurahan Bandarharjo .............
41
Gambar 3.
Peta Tata Guna Lahan Wilayah BWK III .................
43
Gambar 4.
Peta Topografi dan Kapling Kelurahan Bandarharjo
44
Gambar 5.
Peta Wilayah Penelitian ............................................
44
Gambar 6.
Foto udara lokasi pengasapan ikan …........................
50
Gambar 7.
Lokasi pengasapan ikan di tepi kali Semarang ..........
51
Gambar 8.
Peta Perolehan Bahan Baku ......................................
53
Gambar 9.
Peta wilayah Pemasaran Ikan Asap ..........................
54
Gambar 10.
Prosentase Tenaga Kerja menurut pendidikan .........
55
Gambar 11.
Diagram Alir aktivitas Pengasapan Ikan ...................
56
Gambar 12.
Tempat mencuci ikan .................................................
57
Gambar 13.
Limbah produksi ......................................................
58
Gambar 14.
Prosentase Pengusaha Ikan Asap berdasarkan Produksi
60
Gambar 15.
Rumah pengasapan ikan tipe kecil ................................
60
Gambar 16.
Lay out ruang pengasapan tipe kecil …………………..
61
Gambar 17.
Rumah pengasapan ikan tipe menengah .........................
61
Gambar 18.
Lay out ruang pengasapan tipe menengah .......................
62
Gambar 19.
Rumah pengasapan ikan tipe besar ..................................
62
Gambar 20.
Lay out ruang pengasapan tipe besar ................................
63
Gambar 21.
Saluran tempat pembuangan hasil cucian .........................
65
Gambar 22.
Sumur dengan dinding rendah .........................................
66
Gambar 23.
Asap hasil dari proses produksi dalam ruangan ................
67
Gambar 24.
Asap yang berasal dari cerobong ....................................... 68
Gambar 25.
Polusi asap yang dihasilkan dari sentra pengasapan .......... 70
Gambar 26.
Penyebaran asap terhadap lingkungan perumahan ............. 71
Gambar 27.
Desain Tata letak Pengasapan Ikan ..............................
84
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Proses Pengolahan dan Risiko di Setiap Kegiatan ....
12
Tabel 2.
Nara sumber penggalian informasi …………………
37
Tabel 3.
Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan
Semarang Utara …………………………………….
40
Tabel 4.
Penduduk menurut umur ……………………………
41
Tabel 5.
Penduduk menurut mata pencaharian ………………
42
Tabel 6.
Kondisi fisik dasar .....................................................
46
Tabel 7.
Kapasitas produksi .....................................................
63
Tabel 8.
Identifikasi permasalahan di sentra pengasapan .......
71
Tabel 9.
Sintesa Faktor-faktor Kekuatan dan Kelemahan .......
76
Tabel 10.
Faktor-faktor Kekuatan dan Kelemahan ....................
76
Tabel 11.
Sintesa Faktor-faktor Peluang dan Ancaman .............
77
Tabel 12.
Faktor-faktor Peluang dan Ancaman .........................
77
Tabel 13.
Penentuan alternatif strategis kebijakan ……………..
81
Tabel 14.
Penentuan sasaran prioritas kebijakan ……………....
82
xiii
DAFTAR ISTILAH
BOD
: Biological Oxygen Demand
BPS
: Biro Pusat Statistik
BWK
: Bagian Wilayah Kota
COD
: Chemical Oxygen Demand
EFAS
: External strategy Factors Summary
Garis sempadan sungai
: adalah garis batas luar pengamanan luar
HACCP
: Hazard Analysis Ctritical Control Point
IFAS
: Internal strategy Factors Summary
ISPA
: Infeksi Saluran Pernapasan Akut
KK
: Kepala Keluarga
KOPIN
: Kopersi Perajin Ikan
KSM
: Kelompok Swadaya Masyarakat
MCK
: Mandi Cuci Kakus
NAB
: Nilai Ambang Batas
PRPP
: Pekan Raya Promosi Pembangunan
RDTRK
: Rencana Detail Tata Ruang Kota
RTRW
: Rencana Tata Ruang Wilayah
SME
: Small Medium Enterprise
SML
: Sistem Manajemen Lingkungan
SSUDP
: Semarang Surakarta Urban Development Project
SWOT
: Strength Weakness Opportunity Threats
TPI
: Tempat Pelelangan Ikan
UKM
: Usaha Kecil dan Menengah
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Panduan Pertanyaan
2. Data Pengasap Ikan
3. SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 01/Men/2002 Tentang Sistem
Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan
4. Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 Tentang Garis Sempadan Sungai,
Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, dan Bekas Sungai
5. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No.
26/Per/M.Kukm/VI/2007 Tentang Pedoman Teknis Bantuan Perkuatan untuk
Teknologi Produksi Bersih dan Teknologi Tepat Guna Bagi Sentra Usaha
Kecil dan Menengah
xv
ABSTRAK
Kebijakan pemerintah mengenai peremajaan dan pengembangan wilayah
kumuh di kelurahan Bandarharjo merupakan awal dari keberadaan Sentra
Pengasapan Ikan Bandarharjo. Kebijakan peremajaan tersebut meliputi
pengembangan fisik kawasan, yaitu dengan pembangunan perumahan, terutama
pembangunan rumah susun, pembangunan infrastruktur, fasilitas umum dan sosial
serta dukungan terhadap aktivitas ekonomi masyarakat, diantaranya pemindahan
atau penataan kegiatan pengasapan ikan dari lingkungan perumahan ke lokasi
khusus pengasapan ikan
Potensi Sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo
yang begitu besar sekaligus sering dianggap sebagai sumber pencemar yang
dikeluhkan masyarakat yang ada disekitar sentra pengasapan ikan Bandarharjo,
karena dari aktivitasnya dianggap berdampak pada turunnya kualitas lingkungan.
Untuk menyikapi hal tersebut diatas dan belum adanya manajemen pengelolaan
yang baik, maka perlu disusun suatu “Pengelolaan Lingkungan Pada Sentra
Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo Kota Semarang”. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi penyebab penurunan kualitas
lingkungan di sentra industri rumah tangga pengasapan ikan Bandarharjo
sehingga dapat dirumuskan sistem pengelolaan yang tepat yang dapat diterapkan
sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Bandarharjo.
Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data
melalui wawancara, observasi dan kajian literatur serta pengumpulan data
sekunder. Digunakan analisis SWOT untuk merumuskan rencana strategis
pengelolaan di sentra industri rumah tangga pengasapan ikan Bandarharjo.
Penurunan kualitas lingkungan di Sentra Industri Rumah Tangga
Pengasapan disebabkan karena (a) Infrastruktur yang tidak berfungsi (b) Kondisi
Fisik Lingkungan dan (c) Budaya Masyarakat. Tidak berfungsinya infrastruktur
yang ada menyebabkan limbah yang dihasilkan dari rumah pengasapan tidak bisa
terkelola sehingga memenuhi kriteria aman untuk dibuang. Tingkat pendidikan
yang rendah dan kebiasaan hidup di lingkungan yang kurang sehat menjadikan
masyarakat juga berperilaku tidak sehat. Sehingga letak sentra industri yang
terletak di daerah amblesan dengan permasalahan klasik banjir dan rob terlihat
semakin kumuh.
Penyusunan
sasaran
prioritas
kebijakan
dilakukan
dengan
mengkombinasikan antara komponen yang ada dalam analisis SWOT sehingga
didapatkan 6 alternatif strategi kebijakan yang dapat diimplementasikan dengan
prioritas pertama Revitalisasi Sentra Pengasapan. Dengan merevitalisasi sentra
pengasapan ikan perlu adanya suatu tata kelola yang baik untuk membuat sentra
pengasapan ikan yang memenuhi persyaratan industri pengolahan hasil perikanan.
Sistem Manajemen Lingkungan merupakan salah satu solusi yang bisa diterapkan
walaupun memerlukan waktu yang cukup lama. Tujuan dari Sistem Manajemen
Lingkungan untuk mendukung perlindungan lingkungan dan pencegahan
pencemaran yang sesuai dengan kebutuhan sosial ekonomi di Sentra Industri
Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo dapat diterapkan.
xvi
Kata Kunci
: Pengasapan Ikan di Bandarharjo, Penurunan Kualitas Lingkungan,
Penerapan SML untuk sentra Industri Pengasapan Ikan
ABSTRACT
Government policy on renewal and development of slump area in
Bandarharjo was an initial effort toward the establishment of the Bandarharjo Fish
Smoke Center. The renewal policy consisted of physical development in the area,
such as apartment housing, infrastructures, public and social facilities, as well as
economic activities, including relocation or restructuring the fish smoke activities
from the housing to the exclusive area.
Bandarharjo has a great potential for the advance of industrialisation, in
particular home industries. Yet, it also gives adverse impact in the form of
pollution to the local people that live nearby to the industrial center. In response to
this phenomenon, there should be an “Environmental Management of the Center
of Fish Smoke Home Industries Bandarharjo Semarang Municipality”. Based on
this background, the study is aimed at identifying factors causing loss of
environmental quality at the center of fish smoke home industries of Bandarharjo.
The purpose of this effort would be formulation of proper management according
to social and economic conditions of the local people in Bandarharjo.
The study applied a qualitative-descriptive method by means of interview,
direct observation, and library study, supported by secondary data. To formulate
strategic plan of the management of the center of fish smoke home industries in
Bandarharjo, the study performed a SWOT analysis.
The loss of environmental quality in the Center of Fish Smoke Home
Industries was caused by as follows: (a) inadequate infrastructures, (b) physical
condition of the environment, and (c) local culture. Infrastructural dysfunctional
resulted in inadequate management of industrial waste so that it conforms safety
and disposability criteria. Low educational background and unhealty habit of the
local people also contributed to the unhealty behaviours. In addition, the Center of
Fish Smoke Home Industries Bandarharjo is situated in land subsidence area so
that it often deals with classical problems such as floods and slumps.
The arrangement of priority targets of the policy combining concerned
components in the SWOT Analysis resulted in six alternatives of policy strategy,
which were implemented by Revitalisation of the Smoke Center as the primary
priority. This revitalisation needed a well-managed structure in order to make the
fish smoke center fulfill the terms and conditions of fishery product manufacture
industries. Environmental Management System is one of solutions necessarily
required despite its long-term characteristic in implementation. The system aimed
to support environmental protection and pollution prevention according to socialeconomic needs of the Center of Fish Smoke Home Industries Bandarharjo.
Keywords : Fish Smoke in Bandarharjo, Decreased In Environmental Quality,
Application of Environmental Management System at Fish Smoke
Industrial Center.
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kota Semarang memiliki garis pantai sepanjang 21 km yang memanjang
dari arah barat berbatasan dengan Wilayah Kabupaten Kendal sampai ke timur
berbatasan dengan Wilayah Kabupaten Demak. Secara umum, garis pantai Kota
Semarang terdiri dari 3 karakteristik kawasan :
a.
Wilayah barat sebagai kawasan yang lebih berorientasi pada sektor primer
untuk pengembangan pariwisata, konservasi, pertambakan
b.
Wilayah
tengah
merupakan
Kawasan
Pengembangan
Fungsional
Perkotaan yaitu dari pantai PRPP/Marina hingga kawasan pelabuhan,
sebagai pengembangan pelabuhan, industri, permukiman, pariwisata dan
konservasi
c.
Wilayah timur mulai dari batas pelabuhan Tanjung Mas sampai perbatasan
Wilayah Kabupaten Demak sebagai pengembangan kegiatan pertambakan,
Pusat Pendaratan Ikan, industri dan konservasi
Sebagai kota yang terletak di wilayah pesisir, banyak penduduk Kota Semarang
yang bekerja di sub sektor perikanan dengan sebaran domisili di wilayah yang
sesuai dengan jenis kegiatan usahanya, yaitu :
a.
Nelayan, berada di wilayah Kecamatan Tugu, Semarang Barat dan
Semarang Utara
b.
Petani tambak, berada di wilayah Kecamatan Tugu, Semarang Barat dan
Kecamatan Gayamsari.
c.
Petani Ikan Tawar/Kolam, berada di Kecamatan Gunungpati, Mijen,
Genuk dan Pedurungan.
d.
Pengolah Ikan, berada di wilayah Kecamatan Tugu, Semarang Utara dan
Gayamsari.
xviii
Kota Semarang sebagai ibu kota propinsi Jawa Tengah yang mengarah
pada
kota perdagangan, industri dan jasa mempunyai potensi di bidang
perikanan, yaitu sebagai pasar transit ikan basah dari berbagai daerah di Jawa
Tengah dan sekitarnya untuk pasokan bahan baku pengolahan ikan seperti
pengasapan, pengeringan, presto dan kolam pancing maupun ikan segar untuk
konsumsi.
Salah satu usaha pengolahan ikan yang potensial di Kota Semarang adalah
pengasapan ikan atau pemanggangan ikan. Usaha pengasapan ikan tersebut berada
di Kelurahan Bandarharjo yang terletak di wilayah Kecamatan Semarang Utara.
Usaha ini sudah ada sejak lama dan merupakan salah satu bentuk aktivitas
ekonomi masyarakat di kelurahan Bandarharjo yang berbasis rumah tangga.
Kegiatan pengasapan ikan dilakukan dirumah penduduk. Hal ini menimbulkan
beberapa permasalahan, karena tercampurnya aktivitas rumah tangga dan aktivitas
produksi sehingga lingkungan di rumah menjadi kumuh, kotor dan berbau.
Pada tahun 1992, terdapat kebijakan pemerintah mengenai peremajaan dan
pengembangan wilayah kumuh. Kebijakan peremajaan tersebut meliputi
pengembangan fisik kawasan, yaitu dengan pembangunan perumahan, terutama
pembangunan rumah susun, pembangunan infrastruktur, fasilitas umum dan sosial
serta dukungan terhadap aktivitas ekonomi masyarakat. (Bapedalda, 2006).
Kebijakan pengembangan sektor sosial dan ekonomi yang dilakukan
pemerintah kota Semarang diantaranya pemindahan atau penataan kegiatan
pengasapan ikan dari lingkungan perumahan ke lokasi khusus pengasapan ikan
dan menjadikan lokasi tersebut sebagai Sentra Pengasapan Ikan Bandarharjo.
Akan tetapi dalam perkembangannya, fasilitas yang disediakan meliputi
penyediaan sarana prasarana yang ada tidak berfungsi sesuai harapan, misalnya
drainase yang penuh dengan sampah yang menyebabkan aliran air tidak lancar,
konstruksi cerobong asap yang belum mampu menyelesaikan permasalahan
timbulnya asap dari proses pengasapan ikan sehingga menambah kekumuhan di
daerah tersebut dan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan.
Melihat permasalahan tersebut, pemikiran untuk menata dan
memindahkan sentra industri rumah tangga pengasapan ikan di kelurahan
Bandarharjo sendiri merupakan suatu pilihan yang memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Sedangkan memulihkan kondisi lingkungan seperti harapan pada saat
perencanaan program peremajaan dulu, tentu membutuhkan waktu yang panjang
dan biaya yang tidak sedikit serta pemikiran yang mendalam, sehingga diperlukan
suatu perencanaan untuk pengelolaan lingkungan sebagai perbaikan kualitas
lingkungan di sentra industri rumah tangga pengasapan ikan di kelurahan
xix
Bandarharjo secara tepat.
1.2.
Pembatasan Masalah
Aktivitas pengasapan ikan di sentra industri rumah tangga pengasapan
ikan Bandarharjo meliputi pembelian bahan baku dan penunjang, pembersihan
dan pencucian ikan, proses pengasapan ikan dan pemasaran hasil produksi.
Penelitian difokuskan pada perencanaan pengelolaan lingkungan di sentra
industri rumah tangga pengasapan ikan Bandarharjo sebagai upaya perbaikan
lingkungan yang mengalami penurunan kualitas akibat proses pengasapan ikan,
yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di
Bandarharjo.
1.3.
Perumusan Masalah
Dengan melihat uraian latar belakang diatas, terdapat beberapa
permasalahan sebagai dampak dari kegiatan usaha di sentra industri rumah tangga
pengasapan ikan Bandarharjo. Adapun permasalahan yang ada dapat dirumuskan
sebagai berikut :
a.
Adanya penurunan kualitas lingkungan di sentra industri rumah tangga
pengasapan ikan Bandarharjo
b.
Pengelolaan lingkungan pada sentra industri rumah tangga pengasapan
ikan Bandarharjo belum dilakukan dengan baik
1.4.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.
Mengidentifikasi penyebab penurunan kualitas lingkungan di sentra
industri rumah tangga pengasapan ikan Bandarharjo
b.
Memberikan masukan perencanaan dalam mengelola lingkungan di sentra
industri rumah tangga pengasapan ikan Bandarharjo dengan menerapkan
Sistem Manajemen Lingkungan
xx
1.5.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
a.
Bagi masyarakat, khususnya pengrajin ikan di sentra industri rumah tangga
pengasapan ikan Bandarharjo, sebagai penyadaran perlunya mengelola
lingkungan di tempat kerjanya
b.
Bagi Pemerintah Kota Semarang atau pengambil kebijakan, sebagai
masukan dalam mengambil kebijakan mengenai upaya pengelolaan
lingkungan di sentra industri rumah tangga pengasapan ikan Bandarharjo
yang telah mengalami penurunan kualitas lingkungan
1.6.
Originalitas Penelitian
Penelitian lain yang mengambil lokasi yang sama, diantaranya :
1.
A. Girindra Wadhani, Dampak Pencemaran Udara dan Pencemaran Air
terhadap Kualitas Lingkungan Hunian di Semarang : Studi di Pusat
Pengasapan Ikan Bandarharjo (Lemlit UNIKA Soegijapranata, 2004)
2.
Puspaningdyah Ekawati, Pemeriksaan Jumlah Staphylococcus Aureus dan
Total Bakteri pada Ikan Asap di Sentra Industri Pengasapan Ikan
Bandarharjo Semarang di Tingkat Produsen dan Penjual (FKM UNDIP,
2004)
3.
Puji Pranowowati, Induksi Partikel Terhirup Dalam Asap Terhadap
Kapasitas Fungsi Paru Pada Pengrajin Pengasapan Ikan di Kelurahan
Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang (STIKES Ngudi
Waluyo, 2007)
xxi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengelolaan Lingkungan
Pengertian pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai usaha secara
sadar untuk memelihara atau dan memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan
dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya (Soemarwoto: 1997,76).
Masalah-masalah lingkungan dapat menimbulkan kerugian tidak saja bagi
lingkungan kegiatan usaha tetapi juga masyarakat sekitar. Kerugian yang
ditimbulkan antara lain adalah :
-
menurunnya produktivitas yang diakibatkan oleh penurunan kesehatan
karyawan
-
peningkatan biaya operasional yang diakibatkan oleh penggunaan bahan baku,
air dan energi yang berlebihan
-
timbulnya biaya-biaya eksternal yang diakibatkan keluhan masyarakat karena
dampak dari kegiatan usaha.
Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu pengelolaan lingkungan, khususnya di
lingkungan kerja yang mencakup lokasi produksi dan nonproduksi di lingkup
kegiatan usaha.
Ruang lingkup pengelolaan lingkungan meliputi :
-
pengelolaan lingkungan secara rutin, manusia secara rutin mengelola
lingkungannya
seperti
pembuangan
sampah
dan
pembuatan
saluran
pembuangan limbah dari kamar mandi.
-
perencanaan dini pengelolaan lingkungan suatu daerah yang menjadi dasar
dan tuntutan bagi perencaan pembangunan. Perencanaan pengelolaan
lingkungan secara dini perlu dikembangkan untuk dapat memberikan petunjuk
pembangunan apa yang sesuai di suatu daerah, tempat pembangunan itu
dilakukan dan bagaimana pembangunan itu dilaksanakan.
-
perencanaan
pengelolaan
lingkungan
berdasarkan
perkiraan
dampak
lingkungan yang akan terjadi sebagai suatu proyek pembangunan yang sedang
direncanakan.
xxii
-
perencanaan pengelolaan lingkungan untuk memperbaiki lingkungan yang
mengalami kerusakan, baik karena sebab alamiah maupun karena tindakan
manusia (Soemarwoto :1997,95-96).
Untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan yang baik maka perlu
memperhatikan masalah lingkungan yang berhubungan dengan produksi/kegiatan
usaha. Pengelolaan lingkungan selama ini dianggap sebagai suatu hal yang
memerlukan pengoperasian dan biaya yang mahal. Persepsi ini terkadang
menyebabkan keengganan suatu kegiatan usaha untuk melakukan pengelolaan
lingkungan, baik pada kegiatan usaha skala besar, menengah maupun kecil (KLH,
2003)
Pengelolaan lingkungan adalah kapasitas individu dalam melaksanakan
berbagai tugas dalam suatu pekerjaan meliputi pemanfaatan, penataan,
pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan untuk meningkatkan
kualitas lingkungan biotik, abiotik, dan lingkungan sosial.
2.2.
Industri Rumah Tangga
Pengasapan ikan di kelurahan Bandarharjo kecamatan Semarang Utara
adalah suatu usaha berbasis rumah tangga, jadi rumah bukan untuk sekedar home
life, tetapi merupakan tempat untuk produksi.
Industri rumah tangga pada umumnya berawal dari usaha keluarga yang
turun temurun dan pada akhirnya meluas ini secara otomatis dapat bermanfaat
sebagai mata pencaharian penduduk kampung di sekitarnya. Sifat dari industri
rumah tangga ini biasanya menggunakan teknologi sederhana atau tradisional,
mempekerjakan anggota keluarga juga warga sekitar dan berorientasi pada pasar
lokal. Industri rumah tangga sendiri termasuk dalam katagori Small Medium
Enterprise atau SME
Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) dalam Ni Putu Wiwin Setyari, definisi
yang digunakan lebih mengarah pada skala usaha dan jumlah tenaga kerja yang
diserap. Usaha kecil menggunakan kurang dari lima orang karyawan, sedangkan
usaha skala menengah menyerap antara 5-19 tenaga kerja.
xxiii
Pada umumnya permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan
Menengah (UKM), antara lain berhubungan dengan karakteristik yang dimiliki
oleh UKM tersebut, diantaranya :
a. Rendahnya kualitas sumber daya manusia yang bekerja pada sektor UKM;
b. Rendahnya produktifitas tenaga kerja yang berimbas pada rendahnya gaji
dan upah;
c. Kualitas barang yang dihasilkan relative rendah;
d. Mempekerjakan tenaga kerja wanita lebih banyak daripada pria;
e. Lemahnya struktur permodalan dan kurangnya akses untuk menguatkan
struktur modal tersebut;
f. Kurangnya inovasi dan adopsi teknologi-teknologi baru, serta
g. Kurangnya akses pemasaran ke pasar yang potensial.
Sedangkan kelemahan yang berkaitan dengan proses dan produksinya
diantaranya adalah pekerjaan dilakukan secara manual, alur kerja tidak beraturan,
formulasi tidak konsisten, kebersihan dan higienitas kurang terjamin, kemasan
tradisional, kualitas dan keuntungan cukup, tidak optimal.
2.3.
Pengolahan Ikan
Definisi pengolahan ikan menurut keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 01/Men/2002 Tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil
Perikanan adalah semua kegiatan untuk menghasilkan produk terakhir termasuk
penanganan, pengumpulan, pengangkutan, pengemasan, penyimpanan dan
pendistribusian.
Pengolahan ikan di Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini
didominasi oleh pengolahan ikan secara tradisional, yaitu sekitar 43-46% (Dinas
Kelautan dan Perikanan, 2006). Prosentase ikan yang diolah secara tradisional
selalu tinggi, karena cita rasa yang dihasilkan dengan cara tradisional lebih
disukai dan harga yang relatif lebih murah.
Mencermati kondisi tersebut, pengolahan ikan tradisional mempunyai
peluang dan potensi yang besar untuk dikembangkan. Salah satu cara ialah dengan
peningkatan kualitas dan proses pengolahan, agar produk yang dihasilkan
xxiv
memenuhi persyaratan mutu, jaminan kesehatan dan kebersihan bagi konsumen.
Menurut Dirjen Perikanan Tangkap ( 2005 ) dalam Arsiken bahwa
pengolahan ikan secara tradisional dilakukan secara umum oleh masyarakat
nelayan di sepanjang pantai dan tempat pendaratan ikan. Pada umumnya
pengolahan dilakukan secara tradisional dan turun temurun. Pengolahan ikan
secara modern seperti pengalengan dan pembekuan sulit untuk dilakukan karena
membutuhkan pasokan bahan baku yang bermutu tinggi, jenis dan ukuran yang
seragam serta harus tersedia dalarn jumlah yang banyak sesuai dengan kapasitas
industri. Selain itu corak perikanan saat ini masih bersifat perikanan rakyat
dengan 90% armada perahu motor kecil, jumlah tangkapan yang sedikit,
persebaran yang sangat besar. Untuk menjaga kualitas ikan, nelayan tidak
membawa es sebagai pengawet karena harga es relatif mahal sedangkan ikan
belum tentu berhasil ditangkap. Sementara itu daerah penangkapan ikan cukup
jauh, yaitu lebih dari 12 jam perjalanan sehingga menyebabkan mutu dan
kesegaran ikan cepat turun karena ikan terpapar pada suhu dan kelembaban yang
tinggi dalam jangka waktu lama. Setelah sampai di darat tidak ada fasilitas
pengawetan, penyimpanan dan transportasi yang memadai, menyebabkan mutu
ikan tidak memenuhi syarat untuk diolah secara modern. Kondisi ini kemudian
memberikan peluang dikembangkannya pengolahan tradisional karena tersedianya
sumber daya ikan di pusat produksi, tingginya permintaan di pusat konsumsi,
banyaknya industri rumah tangga dan sederhananya teknologi pengolahan.
Ciri khas yang menonjol dari pengolahan tradisional ini adalah jenis dan
bahan baku serta bahan pembantu yang sangat bervariasi dan kondisi lingkungan
yang sulit dikontrol. Cara, proses dan prosedur selalu berbeda menurut tempat,
individu dan keadaan. Juga lebih banyak tergantung kepada faktor alam,
perlakuan yang tidak terukur secara kuantitatif sehingga proses tidak dapat
diulang dengan hasil yang identik. Akibatnya, produk yang dihasilkan,
kualitasnya tidak dapat seragam, jumlah yang didapatkan juga tidak tentu.
Kondisi ini berakibat hasil yang diperoleh sulit untuk distandardisasikan. ( Aris
dalam Bulletin P3K, 2004 ).
xxv
Agar diperoleh produk yang aman dengan mutu yang terjamin, proses
pengolahan harus dilakukan secara baku. Standardisasi hendaknya dilakukan
mulai dari bahan baku, bahan pembantu, proses pengolahan, sampai lingkungan
pengolahan. Kondisi fisik dan bakterial, komposisi kimia, serta kesegaran bahan
baku dan bahan pembantu harus diketahui untuk memilih proses pengolahan yang
tepat. Melalui standardisasi, konsumen akan mendapatkan produk yang sesuai dan
yang setara kualitasnya. Kondisi ini juga akan membuka peluang pengembangan
pemasaran produk olahan tradisional. Pemilihan proses pengolahan harus
didasarkan pada ciri kerusakan spesifik dan masa simpan yang diinginkan. Hal
terpenting dalam standarisasi ialah melakukan proses dengan terukur, antara lain
dalam jumlah, bobot, takaran, komposisi, tingkat kesegaran, suhu dan waktu agar
produk lebih setara dalam mutu dan masa simpannya. Upaya ini akan
memudahkan dalam melakukan standardisasi proses maupun produk.
Standardisasi proses pengolahan, termasuk pengemasan dan pengawetan
pada saat produk akan dijual, perlu dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan
proses yang sesuai dengan masa simpan yang diperlukan, kecuali bila produk
memang hanya ditujukan untuk dipasarkan di wilayah yang tidak jauh dari
produsen dan distribusinya cepat. Pengawetan sendiri dapat menimbulkan resiko
bahaya terhadap konsumen, selain itu memerlukan tenaga dan biaya tambahan.
Pengolahan ikan secara tradisional masih mempunyai prospek untuk
dikembangkan. Mengingat tingginya ketergantungan masyarakat terhadap produk
perikanan dalam memenuhi kebutuhan gizi, belum meratanya distribusi ikan dari
pusat produksi ke pusat konsumsi serta belum terpenuhinya persyaratan untuk
melakukan pengolahan modern. Prospek ini didukung oleh cukup tersedianya
sumberdaya ikan, khususnya di Tempat Pelelangan lkan (TPI), masih
sederhananya teknologi pengolahan, dan cukup banyaknya industri rumah tangga
yang melakukan pengolahan ikan secara tradisional. Keberhasilan pengembangan
perlu disertai dengan upaya perbaikan berupa rasionalisasi dan standardisasi, agar
sifat fungsional, mutu, nilai nutrisi, keamanan produk terjamin. Upaya perbaikan
perlu diikuti dengan peningkatan industrialisasi dan komersialisasi. ( Dinas
Perikanan, 1995 ).
xxvi
2.3.1. Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) Berdasarkan Konsepsi
HACCP
Mutu dan jaminan mutu merupakan bagian dari kehidupan modern. Oleh
karena itu, konsep mutu harus diterapkan dalarn setiap kegiatan masyarakat,
termasuk pengernbangan produk olahan ikan tradisional. Tanpa prinsip tersebut,
olahan tradisional akan segera ditinggalkan oleh masyarakat. pembeli tidak akan
membeli produk yang sama untuk kedua kalinya apabila mutu produk tersebut
ternyata tidak mampu memenuhi keinginannya
Para pengolah hendaknya diajarkan untuk memahami prinsip dasar
pengolahan yang benar dan dibiasakan untuk melakukannya, sehingga sistem
jaminan mutu produk dapat diterapkan. Untuk mengendalikan mutu produk yang
dihasilkan, diperlukan suatu sistem yang terkendali yang dapat mengendalikan
seluruh aktivitas yang mempengaruhi mutu produk. Pengendalian mutu tidak
terbatas pada aspek teknis saja melainkan juga mencakup aspek nonteknis berupa
kegiatan manajemen dan administrasi.
Khusus untuk produk hasil perikanan, munculnya isu ”food safety” telah
mendorong negara-negara maju mewajibkan penerapan sistem manajemen mutu
perikanan. Hazard Analysis Ctritical Control Point (HACCP) merupakan alat
yang mampu membuat sistem manajemen mutu disuatu perusahaan menjadi jelas
dan terkendali, juga merupakan alat yang baik bagi pemasaran. Dengan
dimilikinya sertifikat HACCP oleh perusahaan, maka perusahaan akan semakin
mudah dalam meyakinkan kepercayaan pembeli.
Lahirnya HACCP dipelopori oleh sebuah perusahaan makanan terkenal di
Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Perusahaan tersebut bernama Pillsbury Co
dan merupakan perusahaan yang mempunyai komitmen tinggi terhadap
permasalahan mutu. HACCP pertama kali dikembangkan untuk program makanan
luar angkasa. Kemudian program ini diadopsi oleh pemerintah Amerika dan oleh
banyak perusahaan makanan yang berkembang saat itu. HACCP merupakan suatu
sistem yang digunakan untuk memastikan bahwa makanan yang dioleh di unit
pengolahan adalah aman atau di istilahkan sebagai suatu sistem yang nol resiko,
xxvii
melainkan suatu program yang tujuannya untuk meminimalisai resiko. (Ktut
Wijayaka,2000)
Pada tahun 1973, Food and Drug Administration (FDA) atau Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
Amerika,
untuk
pertama
kalinya
merekomendasikan penggunaan program HACCP sebagai sistem jaminan
keamanan produk makanan kaleng.
Pada tahun 1985, melalui proses pengkajian mandalam yang cukup
panjang National Academy of Sciences (NAS) USA atau Lembaga Penelitian dan
Ilmu Pengetahuan Amerika Serikat juga merekomendasikan pendekatan sistem
HACCP sebagai standar mutu bagi perusahaan makanan yang digunakan secara
luas atau universal.
Rekomendasi tersebut akhirnya pada tahun 1998 menjadi dasar bagi
berdirinya National Advisory Committe on Microbiological Criteria for Food
(NACMCF) atau Komisi Penanganan Kriteria Mikrobiologi untuk Makanan.
Komisi inilah yang kemudian membentuk fondasi penerapan HACCP yang
disebut dengan ”Tujuh Prinsip” HACCP.
Ketujuh prinsip HACCP tersebut meliputi :
1. Analisa bahaya (hazard)
2. Identifikasi titik-titik pengendalian (critical control point/ccp)
3. Penetapan batas kritis (critical limit)
4. Penetapan prosedur pemantauan terhadap setiap ccp
5. Penetapan tindakan koreksi (corrective action)
6. Penetapan sistem pencatatan
7. Penetapan prosedur verifikasi (BSN, 1998)
Pemberlakuan sistem pembinaan dan pengawasan mutu berdasarkan
konsepsi HACCP ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat
dengan meningkatkan jaminan keamanan makanan (food safety), mutu
(wholesomenes) serta menghindari kemungkinan timbulnya kerugian secara
ekonomis (economic fraud) (DKP, 2006).
xxviii
Dalam keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 01/Men/2002
definisi Sistem Manajemen Mutu Terpadu adalah bentuk, tanggung jawab,
prosedur, proses, sumber daya organisasi untuk menerapkan sistem manajemen
mutu secara terpadu dalam seluruh rangkaian proses produksi hasil perikanan
mulai pra panen, pemanenan dan pasca panen.
Sedangkan definisi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
adalah suatu konsepsi manajemen mutu yang diterapkan untuk memberikan
jaminan mutu dari produk yang diolah di unit pengolahan.
Sebagai contoh, untuk menjamin mutu ikan asap dapat dilihat pada tabel 1.
di bawah ini :
Tabel 1. Proses Pengolahan dan Risiko pada Setiap Kegiatan
Operasi Kritis
Potensi Risiko
Titik Kontrol Kritis
Pengendalian
Pembelian Ikan
Perumbuhan
mikroorganisme
Menjaga suhu selalu
Transportasi,
pengaturan suhu dan rendah/ pendinginan
waktu penanganan
Pencucian
Kontaminasi bakteri
Peningkatan higieni
Proses Pengasapan
Pertumbuhan
mikroorganisme,
lalat/serangga
Tempat penyimpanan
Penyimpanan,
perlindungan produk, bersih, lingkungan
bebas serangga/ lalat,
kepekatan asap
cerobong asap
memadai
Penyimpanan dan
Distribusi
Pertumbuhan
mikroorganisme,
lalat, udara kotor
Peningkatan higieni, Lingkungan bersih,
pengaturan suhu
bebas serangga, suhu
rendah
Penggunaan air
bersih
Sumber: Lembaga Penelitian Unika, 2005
Penjaminan mutu harus dilakukan, diantaranya dengan melakukan
pengawasan mutu dengan cara dilakukan uji secara periodik. Untuk itu, kriteria
mutu serta cara pengujian dari setiap kriterium harus ditetapkan. Selama ini mutu
produk olahan tradisional hanya ditetapkan secara organoleptik, dengan
menggunakan kriteria rupa, warna, rasa, bau dan tekstur. Walaupun demikian,
cara pengamatan mutu ini tidak harus ditinggalkan, namun perlu dilengkapi
dengan cara penentuan mutu yang lebih obyektif demi memberi kepastian kepada
konsumen akan mutu suatu produk.
xxix
2.3.2. Pengasapan Ikan
Pengasapan ikan merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk
mengawetkan dan memberi warna, aroma dan cita rasa yang khas. Proses
pengasapan bisa menghentikan aktivitas mikroba pembusuk dan enzim perusak
dalam daging ikan sehingga proses pembusukan dapat dicegah.
Teknik pengasapan sendiri pada prinsipnya merupakan proses penarikan
air oleh berbagai senyawa yang berasal dari asap. Adapun bahan bakar yang
digunakan biasanya berupa kayu atau tempurung kelapa.
Beberapa hal penting dalam pengasapan ikan adalah :
a. Pemilihan bahan baku
Bahan baku yang digunakan biasanya ikan segar jenis cucut, pari, tengiri dan
tongkol. Untuk ikan jenis besar ini biasanya dipotong-potong dulu, tidak
dalam bentuk utuh
b. Penirisan
Hal ini dilakukan setelah ikan dicuci atau direndam dalam larutan garam
untuk memberikan rasa gurih dan awet
c. Pembentukan warna dan rasa
Rasa, bau dan warna yang khas pada ikan asap/panggang berasal dari asap dan
bara api. Agar warna menarik pada saat pemanggangan diusahakan agar asap
merata. Ikan yang kurang segar biasanya lebih mudah terlihat coklat karena
lebih banyak mengandung NH3
d. Proses pengasapan
Pengasapan merupakan suatu cara pengawetan dengan memanfaatkan panas
yang berasal dari bara kayu atau bahan bakar lain. Suhu dalam pengasapan
cukup tinggi sehingga ikan matang. Daya tahan ikan berasal dari pemanasan
dan asap yang menempel selama proses pemanggangan
Mutu Hasil Pengasapan/Pemanggangan yang baik terlihat dari :
-
Warna
: bersih, cemerlang, coklat, megkilap
-
Bau
: enak, sedap tanpa aroma lain
-
Tekstur ikan : padat, tidak berair, empuk, tidak hancur (jawa : gempi)
-
Rasa
: rasa khas, tidak pahit (Dinas Perikanan, 1995)
xxx
2.4.
Permasalahan Lingkungan
Salah satu permasalahan utama dalam pengembangan di sentra industri
Bandarharjo adalah permasalahan lingkungan. Adapun permasalahan lingkungan
yang ada di area pengasapan ikan, menurut Elwina (2006) dapat dikelompokkan
menjadi 2, yaitu permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh alam dan yang
disebabkan oleh perilaku manusia.
2.4.1. Permasalahan Lingkungan yang disebabkan oleh Alam
Berkaitan dengan kondisi geografis, permasalahan utama adalah banjir
yang disebabkan oleh pengaruh pasang air laut atau rob. Hal ini karena letak
lokasi pengasapan ikan ini berada di dataran rendah dengan ketinggian tanah
antara 0-0.75 m dpl yang mempunyai permasalahan klasik dengan genangan dan
banjir.
Berkaitan dengan kondisi geologis, dimana lokasi pengasapan struktur
geologinya berupa struktur batuan endapan yang bersifat lembek, yang
mengakibatkan bangunan ambles secara perlahan. Secara umum land subsidence
rumah di kelurahan Bandarharjo antara 5-10 tahun turun1-1.5 meter tergantung
dari bahan/material yang digunakan.
Kondisi geografis dan geologis lokasi pengasapan ikan yang demikian
membuat akses mendapatkan air bersih menjadi sulit. Air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak (MDG’s).
Di sentra industri pengasapan ikan Bandarharjo, pemanfaatan sumur
dangkal dengan konstruksi yang sangat sederhana, pada saat rob atau banjir akan
tercampur dengan air rob. Sedangkan sumur yang terletak di dekat sungai
memungkinkan air sungai merembes ke dalam sumur dan mencemari air sumur
sehingga secara fisik air sumur terlihat kotor dan bau.
xxxi
Pada pengujian kandungan air sumur di laboratorium yang dilakukan oleh
Wardani (2004) didapatkan hasil :
a. pH air sumur 6.40, yang berarti tingkat keasaman air dibawah standar
ketentuan air bersih dari Depkes RI, yaitu antara 6.50 – 9.0
b. Air sumur mengandung COD 1120 mg/l dan BOD 190 mg/l
c. Coliform bakteria 252 x 103 cfu/ml. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 ditetapkan bahwa kadar maksimum total
bakteri colli adalah 0
d. Total bakteri 164,5 x 106 cfu/ml
Kehadiran bakteri patogen atau hasil metabolismenya di dalam ikan asap
dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa keracunan (intoksikasi) dan
infeksi. Salah satu bakteri yang dicurigai terdapat di dalam ikan asap adalah
Staphylococcus aureus. Pada penelitian yang dilakukan oleh Puspaningdyah
Ekawati dengan total populasi sebanyak 69 responden dan sampel ikan sebanyak
32 sampel didapatkan hasil, bahwa rata-rata jumlah Staphylococcus aureus pada
tingkat produsen sebesar 0,5x103 koloni/gram, penjual yang sekaligus sebagai
produsen 2,0x103 koloni/gram dan penjual biasa 3,8x103 koloni/gram. Sedangkan
rata-rata total bakteri pada tingkat produsen 0,5x106 koloni/gram, penjual yang
sekaligus sebagai produsen 1,0x106 koloni/gram dan penjual biasa 1,3x106
koloni/gram. Di tingkat produsen, seluruh ikan asap yang diperiksa masih dalam
batas aman (£106 koloni/gram). Sebanyak 51,4% produsen masuk dalam kategori
higiene buruk dan 48,6% termasuk dalam kategori higiene baik.
2.4.2. Permasalahan Lingkungan yang disebabkan oleh Manusia
Pengasapan ikan disini adalah kegiatan pengolahan yang dilakukan secara
tradisional, sehingga jenis dan mutu bahan baku sangat bervariasi atau tidak ada
standar yang pasti.
Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan mengakibatkan sulitnya
mengubah perilaku atau kebiasaan masyarakat. Misalnya perilaku membuang
sampah atau limbah produksi tidak pada tempatnya
xxxii
Drainase sederhana dengan sampah dan limbah buangan bekas mencuci
ikan yang menyebabkan aliran air selokan tidak mengalir lancar. Limbah padat
dan cair yang berasal dari proses produksi langsung dibuang tanpa dikelola
terlebih dahulu.
Konstruksi cerobong asap yang sederhana belum mampu menyelesaikan
permasalahan timbulnya asap yang cukup mengganggu yang berasal dari proses
pengasapan ikan dengan bahan bakar batok kelapa secara tradisional pada tungku
sederhana. Asap terlihat mengepul tebal dan berbau. Di lokasi pengasapan pun
udara terasa lebih panas yang kemungkinan disebabkan karena minimnya
tanaman peneduh. Asap yang dihasilkan terasa pedih dan membuat mata merah.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Puji Pranowowati, asap yang ada
mengandung bahan kimia yang berpotensi sebagai penyebab penurunan fungsi
paru berupa partikulat dan komponen gas. Gangguan yang dialami pengasap
meliputi 33 orang mengalami batuk, 28 orang mengalami batuk berdahak, 35
orang mengalami sesak nafas dan 30 orang mengalami nyeri dada.
Nilai ambang batas partikel terhirup menurut Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja No. SE-01/MEN/1997 tentang Nilai Ambang Batas faktor kimia
adalah 3 mg/m3. Pengukuran dengan menggunakan Personal Dust Sampler pada
pengasap didapatkan data 12 orang menghirup partikel dalam asap melebihi
3mg/m3 dari 45 responden yang ada.
Masalah asap dan bau juga dikeluhkan oleh masyarakat yang bermukim di
sebelah Barat Laut lokasi pengasapan yaitu Kali Asin dan Tanah Mas karena
angin lebih banyak bertiup ke arah barat laut.
2.5.
SNI 19-14004-2005 Sistem Manajemen Lingkungan
Sejalan dengan meningkatnya perhatian terhadap perbaikan mutu
lingkungan, organisasi-organisasi dengan berbagai jenis dan ukuran makin
meningkatkan perhatian terhadap dampak lingkungan dari kegiatan, produk dan
jasanya. Kinerja lingkungan dari suatu organisasi semakin penting bagi pihak
terkait di lingkungan internal maupun eksternal. Untuk mencapai kinerja
lingkungan yang baik diperlukan komitmen organisasi untuk melakukan
xxxiii
pendekatan yang sistematik dan penyempurnaan yang berkelanjutan dalam suatu
Sistem Manajemen Lingkungan (SML).
Tujuan umum Standar Nasional ini adalah untuk membantu organisasiorganisasi dalam menerapkan atau menyempurnakan sistem manajemen
lingkungan dan kinerja lingkungannya. Standar ini konsisten dengan konsep
pembangunan berkelanjutan dan sesuai dengan berbagai kerangka budaya, sosial
dan organisasi serta sistem manajemen.
Standar Nasional ini dapat digunakan oleh semua jenis, ukuran dan tingkat
kedewasaan suatu organisasi, dan dalam semua sektor dan lokasi geografis.
Kebutuhan khusus usaha kecil dan menengah (small medium enterprises)
digabungkan
dan
standar
ini
mengakomodir
kebutuhan
keduanya
dan
mendorongnya untuk meningkatkan penggunaan sistem manajemen lingkungan.
Standar ini disusun oleh Panitia Teknis 207S, Manajemen Lingkungan
dengan menerjemahkan seluruh isi standar ISO 14004:2004, Environmental
Management Systems –General Guidelines On Principles, Systems And Support
Techniques.
Penerapan sistem manajemen lingkungan yang ditetapkan dalam standar
nasional ini dimaksudkan untuk menghasilkan perbaikan kinerja lingkungan.
Untuk itu, standar ini didasarkan pada pemikiran bahwa organisasi akan meninjau
dan mengevaluasi sistem manajemen lingkungannya secara berkala untuk
mengidentifikasi peluang untuk perbaikan dan penerapannya.
Laju, jangkauan dan jangka waktu proses perbaikan berkelanjutan ini
ditentukan oleh organisasi dengan memperhatikan kondisi ekonomi dan
pertimbangan
lainnya.
Perbaikan
pada
sistem
manajemen
lingkungan
dimaksudkan untuk menghasilkan perbaikan lebih lanjut pada kinerja lingkungan.
2.6.
Unsur Sistem Manajemen Lingkungan
2.6.1. Umum
Sistem manajemen lingkungan paling baik dipandang sebagai suatu
kerangka kerja pengorganisasian yang sebaiknya dipantau secara berkelanjutan
dan dikaji secara berkala untuk memberikan arahan yang efektif bagi manajemen
xxxiv
lingkungan organisasi dalam menghadapi perubahan akibat faktor internal dan
eksternal. Semua tingkatan dalam organisasi sebaiknya menerima tanggung jawab
untuk bekerja mencapai perbaikan lingkungan, sesuai yang dapat dilaksanakan.
Pada saat pertama menetapkan sistem manajemen lingkungan, organisasi
sebaiknya memulai dari hal yang memiliki manfaat yang jelas, misalnya dengan
memfokuskan pada penghematan biaya secara cepat atau penaatan peraturan
perundang-undangan yang sebagian besar terkait dengan aspek lingkungan
penting.
Sistem manajemen lingkungan yang dirinci dalam standar ini mengikuti
model manajemen Rencanakan-Lakukan-Periksa-Tindaki (“Plan-Do-Check-Act”
atau PDCA). PDCA adalah proses yang terus menerus, berulang yang
memungkinkan organisasi untuk menetapkan, menerapkan dan memelihara
kebijakan lingkungannya yang didasarkan pada kepemimpinan manajemen
puncak dan komitmen untuk sistem manajemen lingkungan. Setelah organisasi
melakukan evaluasi status terkininya yang terkait dengan lingkungan langkahlangkah proses berikutnya adalah :
a) Perencanaan
menetapkan proses perencanaan yang terus menerus yang memungkinkan
organisasi untuk :
b) Penerapan :
menerapkan dan melaksanakan sistem manajemen lingkungan
c) Pemeriksaan :
menilai proses sistem manajemen lingkungan
d) Tindakan
mengkaji dan melakukan tindakan untuk menyempurnakan sistem manajemen
lingkungan
Proses yang terus menerus itu memungkinkan organisasi untuk menyempurnakan
sistem manajemen lingkungannya dan keseluruhan kinerja lingkungannya secara
berkelanjutan.
Saat Sistem Manajemen Lingkungan berkembang lebih lanjut, maka
prosedur, program dan teknologi dapat digunakan untuk lebih menyempurnakan
xxxv
kinerja lingkungan. Selanjutnya dengan semakin matangnya sistem manajemen
lingkungan, pertimbangan lingkungan dapat diintegrasikan ke dalam seluruh
keputusan bisnis.
Untuk menjamin keberhasilan, langkah awal dalam pengembangan atau
penyempurnaan sistem manajemen lingkungan melibatkan adanya komitmen dari
manajemen puncak organisasi untuk menyempurnakan manajemen lingkungan
dari kegiatan, produk dan jasanya. Komitmen dan kepemimpinan manajemen
puncak yang berkesinambungan sangat menentukan. Identifikasi manfaat dan
tantangan yang dapat dihadapi dengan sistem manajemen lingkungan dapat
membantu untuk meyakinkan komitmen dan kepemimpinan manajemen puncak.
Manajemen puncak perlu menentukan lingkup dari sistem manajemen
lingkungan. Dalam hal ini, manajemen puncak sebaiknya menentukan batasan
organisasi dimana sistem manajemen lingkungan diterapkan. Saat lingkup telah
ditentukan, semua kegiatan, produk dan jasa organisasi yang berada dalam
lingkup yang telah ditentukan tersebut sebaiknya dicakup dalam sistem
manajemen lingkungan.
Organisasi yang belum memiliki sistem manajemen lingkungan sebaiknya
menilai posisi organisasi terhadap lingkungan dengan melakukan suatu kajian.
Maksud dari kajian ini sebaiknya mempertimbangkan aspek lingkungan dari
kegiatan, produk dan jasa organisasi sebagai dasar untuk membangun sistem
manajemen lingkungan.
Organisasi yang telah memiliki sistem manajemen lingkungan mungkin
tidak perlu melakukan kajian tersebut meskipun kajian tersebut dapat membantu
mereka menyempurnakan sistem manajemen lingkungan
Kajian sebaiknya meliputi empat bidang utama:
a. identifikasi aspek lingkungan, termasuk yang terkait dengan kondisi operasi
normal, kondisi abnormal, awal operasi (start-up) dan akhir operasi (shutdown), serta situasi darurat dan kecelakaan
b. identifikasi persyaratan peraturan perundang-undangan dan persyaratan
lainnya yang berlaku yang diikuti organisasi
xxxvi
c. pengujian pelaksanaan dan prosedur sistem manajemen lingkungan yang telah
ada termasuk kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa dan
kontrak
d. evaluasi situasi darurat dan kecelakaan yang pernah terjadi sebelumnya.
Kajian dapat pula memasukkan pertimbangan tambahan seperti:
-
evaluasi kinerja dibandingkan dengan kriteria internal yang berlaku,
standar eksternal, peraturan-peraturan, tata laksana (code of practice) dan
seperangkat prinsip dan panduan,
-
peluang
untuk
keunggulan
yang
kompetitif,
termasuk
peluang
penghematan biaya,
-
pandangan dari pihak terkait, dan
-
sistem organisasi lainnya yang dapat membantu atau menghambat kinerja
lingkungan.
Hasil kajian dapat digunakan untuk membantu organisasi dalam menetapkan
lingkup system manajemen lingkungannya, menyusun atau menyempurnakan
kebijakan lingkungan, menyusun tujuan dan sasaran lingkungan dan menentukan
efektifitas pendekatannya untuk memelihara penaatan terhadap persyaratan
peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya yang diikuti organisasi.
Metode yang dapat digunakan untuk menguji praktek dan prosedur manajemen
lingkungan yang telah ada, meliputi:
a. Wawancara dengan orang-orang yang bekerja saat ini atau sebelumnya untuk
atau atas nama organisasi untuk menentukan lingkup kegiatan produk dan jasa
organisasi saat ini dan sebelumnya
b. Evaluasi komunikasi internal dan eksternal yang dilakukan dengan pihakpihak berkepentingan, termasuk keluhan, persoalan yang terkait dengan
persyaratan peraturan perundang-undangan dan persyaratan lainnya yang
diikuti organisasi, insiden dan kecelakaan lingkungan atau yang terkait di
masa lampau
xxxvii
c. Pengumpulan informasi yang terkait dengan praktek manajemen lingkungan
saat ini seperti :
-
pengendalian proses terhadap pengadaan bahan kimia berbahaya dan
beracun,
-
penyimpanan dan penanganan bahan kimia (seperti, penampung sekunder;
tata graha (housekeeping), penyimpanan bahan kimia yang tidak selaras),
-
pengendalian emisi yang menyebar (fugitive),
-
metode pembuangan limbah,
-
peralatan kesiagaan dan tanggap darurat,
-
penggunaan sumber daya (misal, penggunaan lampu kantor setelah jam
kerja)
-
perlindungan terhadap vegetasi dan habitatnya selama masa konstruksi,
-
perubahan sementara pada proses (misal perubahan pola rotasi tanaman
yang menyebabkan pupuk dibuang ke air),
-
program pelatihan lingkungan,
-
proses kajian dan persetujuan untuk prosedur pengendalian operasional,
-
kelengkapan
rekaman
pemantauan
dan
atau
kemudahan
dalam
pengambilan rekaman masa lalu.
Kajian dapat dilakukan dengan menggunakan daftar periksa, diagram alir proses,
wawancara, inspeksi lapangan dan hasil pengukuran yang lalu dan saat ini, hasil
audit sebelumnya atau kajian lainnya tergantung pada sifat kegiatan organisasi,
produk dan jasa.
Hasil kajian sebaiknya didokumentasikan sehingga dapat digunakan
sebagai bahan untuk menetapkan ruang lingkup dan membentuk atau
menyempurnakan
sistem
manajemen
lingkungan,
termasuk
kebijakan
lingkungannya.
2.6.2. Kebijakan lingkungan
Kebijakan lingkungan menetapkan prinsip sebagai dasar bagi organisasi
dalam melakukan tindakan. Kebijakan menentukan tingkat tanggung jawab dan
xxxviii
kinerja yang disyaratkan oleh organisasi, dimana semua tindakan berikutnya akan
dinilai berdasarkan kebijakan ini.
Kebijakan sebaiknya sesuai dengan dampak lingkungan dari kegiatan,
produk dan jasa organisasi dalam lingkup sistem manajemen lingkungan yang
ditetapkan dan sebaiknya menjadi panduan dalam menyusun tujuan dan sasaran
organisasi.
Sejumlah organisasi internasional termasuk pemerintah, asosiasi industri
dan kelompok masyarakat telah mengembangkan berbagai prinsip panduan.
Prinsip panduan tersebut telah membantu organisasi menentukan keseluruhan
ruang lingkup komitmennya terhadap lingkungan. Prinsip panduan ini juga
membantu memberikan berbagai organisasi nilai-nilai umum. Prinsip panduan
semacam ini dapat membantu organisasi dalam mengembangkan kebijakannya
sendiri. Tanggung jawab untuk menetapkan kebijakan lingkungan terletak pada
manajemen puncak organisasi. Kebijakan lingkungan dapat dimasukkan kedalam
atau terkait dengan dokumen kebijakan organisasi lainnya. Manajemen organisasi
bertanggung jawab untuk menerapkan kebijakan dan menyediakan masukan untuk
perumusan dan pengubahan kebijakan. Kebijakan sebaiknya dikomunikasikan
kepada semua orang yang bekerja untuk atau atas nama organisasi. Selain itu
kebijakan sebaiknya dibuat tersedia untuk masyarakat
Dalam
menyusun
kebijakan
lingkungannya,
organisasi
sebaiknya
mempertimbangkan :
a. misi, visi, nilai utama dan keyakinan (core values and beliefs) organisasi;
b. keselarasan dengan kebijakan organisasi lainnya (misal mutu, keselamatan
dan kesehatan kerja);
c. persyaratan dan komunikasi dengan pihak yang berkepentingan;
d. prinsip panduan;
e. kondisi khusus setempat atau regional;
f. komitmen untuk pencegahan pencemaran, perbaikan berkelanjutan;
g. komitmen untuk penaatan terhadap persyaratan peraturan perundangundangan dan persyaratan lainnya yang diikuti oleh organisasi.
xxxix
2.6.3. Perencanaan
Perencanaan adalah bagian yang penting untuk memenuhi kebijakan
lingkungan organisasi dan dalam penetapan, penerapan dan pemeliharaan sistem
manajemen lingkungan. Organisasi sebaiknya mempunyai proses perencanaan
yang mencakup unsur berikut:
a. Identifikasi aspek lingkungan dan penentuan aspek lingkungan penting.
b. Identifikasi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
persyaratan lainnya yang diikuti organisasi.
c. Penentuan kriteria kinerja internal, bila diperlukan.
d. Penentuan tujuan dan sasaran dan penetapan program untuk mencapainya.
Proses perencanaan dapat membantu organisasi memusatkan sumberdayanya pada
bidang yang paling penting untuk mencapai tujuannya. Informasi yang dihasilkan
dari proses perencanaan dapat pula digunakan dalam penetapan dan perbaikan
bagian-bagian lain dari sistem manajemen lingkungan, seperti pelatihan,
pengendalian operasional dan pemantauan dan pengukuran.
Perencanaan adalah proses yang terus berjalan. Perencanaan digunakan
untuk menetapkan dan menerapkan sistem manajemen lingkungan dan juga untuk
memelihara dan memperbaikinya berdasarkan perubahan keadaan serta masukan
dan keluaran sistem manajemen lingkungannya. Sebagai bagian dari proses
perencanaan,
suatu
organisasi
sebaiknya
mempertimbangkan
bagaimana
mengukur dan mengevaluasi kinerjanya dalam memenuhi komitmen kebijakan,
tujuan dan sasaran serta kriteria kinerja lainnya. Satu pendekatan yang dapat
berguna adalah menetapkan indikator kinerja selama proses perencanaan.
Sistem manajemen lingkungan yang efektif dimulai dengan pemahaman
mengenai bagaimana organisasi dapat berinteraksi dengan lingkungan. Unsur
kegiatan, produk dan jasa organisasi yang dapat mempengaruhi lingkungan
disebut aspek lingkungan. Sebagai contoh termasuk pembuangan, emisi,
konsumsi atau penggunaan kembali bahan, atau sumber kebisingan. Organisasi
yang menerapkan sistem manajemen lingkungan sebaiknya mengidentifikasi
aspek lingkungan yang dapat dikendalikan dan yang dapat dipengaruhinya.
xl
Perubahan pada lingkungan, baik yang merugikan atau menguntungkan,
yang dihasilkan secara keseluruhan atau sebagian dari aspek lingkungan disebut
dampak lingkungan. Contoh dampak yang merugikan termasuk pencemaran
udara, dan penipisan sumber daya alam. Contoh dampak yang menguntungkan
termasuk perbaikan kualitas air atau tanah.
Hubungan antara aspek lingkungan dan dampak yang terkait adalah
hubungan sebab dan akibat. Organisasi sebaiknya memiliki pemahaman mengenai
aspek lingkungan penting yang mempunyai atau dapat mempunyai dampak
lingkungan penting.
Karena organisasi dapat mempunyai banyak aspek lingkungan dan
dampak lingkungan terkait, organisasi tersebut sebaiknya menetapkan kriteria dan
metode untuk menentukan aspek lingkungan akan dipertimbangkan sebagai aspek
penting.
Beberapa faktor sebaiknya dipertimbangkan pada saat menetapkan kriteria
seperti karakteristik lingkungan, informasi persyaratan peraturan perundangundangan dan persyaratan lainnya yang diikuti oleh organisasi dan perhatian dari
pihak-pihak berkepentingan (internal dan eksternal). Beberapa dari kriteria ini
dapat diterapkan pada aspek lingkungan organisasi secara langsung dan beberapa
kriteria berlaku untuk dampak lingkungan terkait.
Identifikasi aspek lingkungan penting dan dampak terkait adalah penting
untuk menentukan apakah diperlukan pengendalian atau perbaikan dan untuk
menyusun prioritas tindakan manajemen. Kebijakan organisasi, tujuan dan
sasaran,
pelatihan,
komunikasi,
pengendalian
operasional
dan
program
pemantauan sebaiknya didasarkan pada pengetahuan tentang aspek lingkungan
penting meskipun isu seperti persyaratan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan persyaratan lainnya yang diikuti organisasi dan pandangan pihakpihak berkepentingan akan dibutuhkan pula untuk dipertimbangkan.
2.6.3.1. Identifikasi Aspek lingkungan
Organisasi sebaiknya mengidentifikasi aspek lingkungan dalam lingkup
sistem manajemen lingkungan yang berkaitan dengan kegiatan, produk dan jasa
xli
pada masa lalu, saat ini dan yang direncanakan. Dalam semua kasus, organisasi
sebaiknya mempertimbangkan kondisi operasi yang normal dan abnormal
termasuk awal operasi (start up) dan akhir operasi (shut down), pemeliharaan dan
situasi darurat dan kecelakaan.
Proses identifikasi aspek lingkungan akan memanfaatkan partisipasi
memerlukan peran serta orang-orang yang memahami kegiatan, produk dan jasa
organisasi. Meskipun tidak ada pendekatan tunggal untuk mengidentifikasi aspek
lingkungan, pendekatan yang dipilih dapat mempertimbangkan, sebagai contoh :
-
emisi ke udara;
-
pembuangan ke air;
-
pembuangan ke tanah;
-
penggunaan bahan baku dan sumber daya alam (seperti penggunaan tanah,
-
penggunaan air);
-
isu lingkungan lokal masyarakat;
-
penggunaan energi;
-
pancaran energi (seperti panas, radiasi, getaran);
-
limbah dan produk samping; dan
-
atribut fisik (seperti ukuran, bentuk, warna, penampilan).
2.6.3.2. Memahami dampak lingkungan.
Pemahaman terhadap dampak lingkungan organisasi adalah penting pada
saat mengidentifikasi aspek lingkungan dan menentukan tingkat pentingnya.
Banyak pendekatan yang dapat digunakan. Organisasi sebaiknya memilih satu
pendekatan yang sesuai dengan kebutuhannya.Informasi yang telah tersedia untuk
beberapa jenis dampak lingkungan yang terkait dengan aspek lingkungan
organisasi mungkin memadai untuk beberapa organisasi. Organisasi lainnya dapat
memilih untuk menggunakan diagram sebab akibat atau bagan alir masukan,
keluaran atau neraca massa/energi atau pendekatan lainnya seperti analisa dampak
lingkungan atau kajian daur hidup
xlii
Pendekatan yang dipilih sebaiknya mampu menunjukkan:
a. dampak lingkungan positif (menguntungkan) dan negatif (merugikan);
b. dampak lingkungan yang nyata dan potensial;
c. bagian dari lingkungan yang dapat terkena pengaruh seperti udara, air, tanah,
flora, fauna, cagar budaya, dan lain-lain;
d. karakteristik lokasi yang dapat mempengaruhi dampak (seperti kondisi cuaca
lokal, kedalaman tingginya permukaan air tanah, jenis tanah, dan lain-lain);
e. Sifat perubahan terhadap lingkungan (seperti isu global vs, isu lokal, jangka
waktu terjadinya dampak, potensi dampak terakumulasi seiring dengan
bertambahnya waktu)
2.6.3.3. Persyaratan peraturan perundang-undangan dan persyaratan
lainnya
Persyaratan peraturan perundang-undangan secara umum merujuk pada
berbagai persyaratan atau perijinan yang berkaitan dengan aspek lingkungan dari
organisasi sebagaimana diterbitkan oleh instansi pemerintah yang berwenang
(termasuk
instansi
pada
tingkat
internasional,
nasional,
propinsi
dan
kabupaten/kota) dan memiliki kekuatan hukum.
Persyaratan peraturan perundang-undangan dapat mempunyai banyak bentuk,
seperti:
a. undang-undang, termasuk peraturan-peraturan;
b. keputusan dan ketetapan;
c. ijin, lisensi atau bentuk-bentuk lain dari wewenang;
d. surat perintah yang diterbitkan oleh instansi penerbit peraturan;
e. keputusan pengadilan atau tribunal administrasi;
f. norma kemasyarakatan atau hukum adat; dan
g. perjanjian, konvensi dan protokol.
Untuk memfasilitasi penelusuran persyaratan peraturan perundang-undangan,
organisasi dapat terbantu dengan memelihara daftar persyaratan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
xliii
Organisasi dapat pula mempertimbangkan untuk menuju kinerja
lingkungan yang lebih baik dari penaatan terhadap persyaratan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Peningkatan reputasi, daya saing, antisipasi
atau pengaruh dari persyaratan peraturan perundang-undangan baru, peningkatan
kinerja lingkungan dan peningkatan hubungan dengan masyarakat dan pemerintah
dapat mengkompensasikan biaya tambahan yang dikeluarkan.
Tergantung dari keadaan dan kebutuhannya, organisasi dapat mengikuti
persyaratan selain persyaratan peraturan perundang-undangan secara sukarela,
yang dapat diterapkan untuk aspek lingkungan dari kegiatan, produk dan jasa.
Persyaratan lingkungan lainnya, dapat mencakup:
a. kesepakatan dengan instansi pemerintah yang berwenang;
b. kesepakatan dengan pelanggan;
c. panduan yang bukan peraturan;
d. prinsip-prinsip sukarela atau kode-kode praktek;
e. pelabelan lingkungan secara sukarela atau komitmen pelayanan produk;
f. persyaratan asosiasi perdagangan;
g. kesepakatan dengan kelompok-kelompok masyarakat atau lembaga swadaya
masyarakat;
h. komitmen organisasi atau organisasi induk kepada masyarakat;
i. persyaratan perusahaan/korporasi.
Beberapa komitmen atau kesepakatan tersebut dapat mencakup beragam isu selain
isu lingkungan. Sistem manajemen lingkungan hanya perlu mengelola komitmen
atau perjanjian yang terkait dengan aspek lingkungan organisasi.
Informasi tentang kriteria kinerja internal, bersama dengan persyaratan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan persyaratan lain yang diikuti
organisasi, dapat membantu organisasi dalam mengembangkan tujuan dan
sasarannya. Bila persyaratan peraturan perundang-undangan dan persyaratan lain
tidak ada atau tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan organisasi tersebut,
maka organisasi dapat mengembangkan dan melaksanakan kriteria kinerja internal
untuk memenuhi kebutuhanya. Contoh kriteria kinerja internal mungkin dapat
mencakup batasan terhadap jenis dan kuantitas bahan bakar atau bahan berbahaya
xliv
yang dapat digunakan atau dikelola pada suatu fasilitas, atau batasan emisi udara
yang lebih baik daripada persyaratan peraturan perundang-undangan.
2.6.3.4. Tujuan, sasaran dan program.
Dalam proses perencanaan, organisasi menetapkan tujuan dan sasaran
untuk memenuhi komitmen yang telah ditetapkan dalam kebijakan lingkungannya
dan untuk mencapai tujuan organisasi lainnya. Proses penetapan dan pengkajian
terhadap tujuan dan pelaksanaan program untuk mencapai tujuan tersebut,
memberikan suatu dasar sistem dari organisasi untuk meningkatkan kinerja
lingkungan pada beberapa bagian landasan
sambil menjaga tingkat kinerja lingkungannya pada bagian lain. Kinerja
manajemen dan operasional, keduanya dapat dikelola melalui penetapan tujuan.
2.6.4. Penerapan dan operasi
Organisasi sebaiknya menyediakan berbagai sumber daya, kemampuan,
struktur dan perangkat penting mekanisme pendukung yang perlu, untuk:
a. mencapai kebijakan lingkungan, tujuan dan sasarannya;
b. memenuhi persyaratan organisasi yang berubah komunikasi dengan pihakpihak berkepentingan mengenai sistem manajemen lingkungan; dan
c. mendukung operasi yang sedang berlangsung dan perbaikan berkelanjutan
system manajemen lingkungan tersebut untuk perbaikan kinerja lingkungan
organisasi.
Untuk mengelola lingkungan secara efektif, sistem manajemen lingkungan dapat
dirancang atau direvisi agar selaras dan terpadu dengan proses sistem manajemen
yang ada. Pengintegrasian dapat membantu organisasi untuk menyeimbangkan
dan menyelesaikan konflik antara tujuan lingkungan dengan tujuan dan prioritas
organisasi lainnya, yang mungkin terjadi.
Elemen sistem manajemen yang dapat memanfaatkan pengintegrasian
meliputi: kebijakan organisasi, alokasi sumberdaya, pengendalian operasional dan
dokumentasi, informasi dan sistem pendukung, pelatihan dan pengembangan,
struktur organisasi dan pertanggungjawaban, sistem penghargaan dan penilaian,
xlv
sistem pengukuran dan pemantauan, proses audit internal, komunikasi dan
pelaporan.
Landasan sumber daya dan struktur organisasi dari perusahaan skala kecil
atau menengah (UKM) dapat mengakibatkan batas-batas kemampuan tertentu
dalam pelaksanaan sistem manajemen lingkungan. Untuk mengatasi batas-batas
kemampuan tersebut UKM dapat mempertimbangkan strategi kerjasama dengan:
a. Mitra usaha dan pemasok yang lebih besar untuk berbagi teknologi dan
pengetahuan;
b. UKM lainnya dalam rantai pasokan (supply chain) atau lokasi setempat untuk
menentukan dan membahas isu-isu umum, berbagi pengalaman, memfasilitasi
pengembangan fasilitas teknik, menggunakan bersama berbagai fasilitas
secara bersama dan secara kolektif melibatkan berbagai sumber daya dari luar;
c. Organisasi standar, asosiasi UKM, Kamar Dagang, untuk pelatihan dan
program-program kesadaran; dan
d. Perguruan tinggi serta pusat-pusat penelitian lainnya untuk mendukung
perbaikan produktivitas dan inovasi.
Pimpinan puncak memiliki tanggung jawab kunci untuk membangun kesadaran
dan motivasi para pegawainya melalui penjelasan mengenai nilai-nilai lingkungan
dari organisasi, pengkomunikasian komitmen terhadap kebijakan lingkungan, dan
mendorong setiap orang yang bekerja untuk atau atas nama organisasi untuk
memahami pentingnya mencapai tujuan dan sasaran lingkungan yang menjadi
tanggung jawab mereka. Komitmen dari setiap orang yang dijiwai nilai-nilai
lingkungan yang disepakati bersama adalah kunci dalam melaksananakan suatu
sistem manajemen lingkungan dari kertas kerja menjadi suatu proses yang efektif.
Orang yang bekerja untuk atau atas nama organisasi sebaiknya didorong
untuk membuat usulan-usulan yang dapat mengarah pada perbaikan kinerja
lingkungan. Organisasi sebaiknya memastikan bahwa semua pegawai yang
bekerja untuk dan atas nama organisasi menyadari pentingnya kesesuaian
terhadap kebijakan lingkungan dengan persyaratan sistem manajemen lingkungan,
peran dan tanggung jawab mereka dalam sistem manajemen lingkungan, aspek
lingkungan penting yang potensial atau nyata dan dampak yang terkait dari
xlvi
pekerjaan mereka, manfaat perbaikan kinerja dan konsekuensinya apabila
melanggar ketentuan sistem manajemen lingkungan yang berlaku.
Program pelatihan yang terkait dengan sistem manajemen lingkungan dapat
termasuk:
a. mengidentifikasi kebutuhan pelatihan bagi pegawai;
b. merancang dan mengembangkan rencana pelatihan sesuai dengan kebutuhan
pelatihan yanng telah ditetapkan;
c. memverifikasi kesesuaian dengan persyaratan-persyaratan pelatihan sistem
manajemen lingkungan;
d. pelatihan untuk kelompok pegawai sasaran;
e. mendokumentasikan dan memonitor hasil pelatihan yang diterima; dan
f. mengevalusi pelatihan yang diterima terhadap kebutuhan dan persyaratan
pelatihan yang telah ditetapkan.
2.6.5. Pemeriksaan
Pemeriksaan meliputi pengukuran, pemantauan, dan evaluasi terhadap
kinerja lingkungan organisasi. Tindakan pencegahan sebaiknya digunakan untuk
mengidentifikasi dan mencegah timbulnya masalah potensial sebelum terjadi.
Tindakan perbaikan meliputi identifikasi dan perbaikan masalah dalam sistem
manajemen lingkungan.
Proses
untuk
mengidentifikasi
ketidaksesuaian
di
dalam
sistem
manajemen lingkungan dan melakukan perbaikan atau tindakan pencegahan
membantu suatu organisasi menjalankan dan memelihara sistem manajemen
lingkungan sesuai tujuannya.
Menyimpan rekaman dan mengelolanya secara efektif memberi organisasi
suatu sumber informasi handal mengenai pelaksanaan dan hasil dari sistem
manajemen lingkungan. Audit berkala sistem manajemen lingkungan membantu
verifikasi bahwa sistem tersebut dirancang dan dilaksanakan berdasarkan rencana.
Semua cara tersebut mendukung evaluasi kinerja sistem tersebut.
xlvii
2.6.6. Tinjauan manajemen
Organisasi sebaiknya secara berkala meninjau dan melakukan perbaikan
sistem manajemen lingkungannya secara berkelanjutan dengan tujuan untuk
memperbaiki kinerja lingkungannya secara keseluruhan.
Manajemen puncak organisasi sebaiknya melakukan tinjauan terhadap
sistem manajemen lingkungan untuk mengevaluasi kesesuaian, kecukupan dan
efektivitas sistemnya, dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan organisasi.
Tinjauan tersebut sebaiknya mencakup aspek lingkungan dari berbagai kegiatan,
produk dan jasa yang berada dalam lingkup sistem manajemen lingkungan.
Masukan-masukan untuk tinjauan manajemen dapat mencakup:
a. hasil-hasil audit internal dan evaluasi penaatan terhadap persyaratan peraturan
perundang-undangan yanng berlaku dan persyaratan yang diikuti oleh
organisasi;
b. komunikasi dari pihak luar yang terkait, termasuk keluhan-keluhan;
c. kinerja lingkungan organisasi;
d. tingkat pencapaian tujuan dan sasaran;
e. status tindakan perbaikan dan pencegahan
f. tindak lanjut yang dilakukan dari tinjauan manajemen sebelumnya;
g. perubahan keadaan, termasuk:
-
perubahan dalam produk, kegiatan dan jasa organisasi;
-
hasil-hasil evaluasi aspek-aspek lingkungan dari yang telah direncanakan
atau penebangan baru;
-
perubahan persyaratan-persyaratan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau persyaratan lain yang diikuti oleh organisasi;
-
pandangan dari pihak-pihak berkepentingan;
-
kemajuan ilmu dan teknologi; dan
-
pelajaran yang dipelajari dari situasi darurat dan kecelakaan;
h. rekomendasi untuk perbaikan.
xlviii
Perbaikan berkelajutan adalah sifat/atribut utama dari sistem manajemen
lingkungan
yang
efektif.
Perbaikan
berkelanjutan
dilaksanakan
melalui
pencapaian tujuan dan sasaran lingkungan serta peningkatan secara keseluruhan
pada sistem manajemen lingkungan atau setiap komponennya.
Organisasi
sebaiknya
secara
berkelanjutan
mengevaluasi
kualitas
lingkungannya dan kinerja proses sistem manajemen lingkungannya untuk
mengidentifikasi peluang-peluang untuk melakukan perbaikan. Manajemen
puncak sebaiknya terlibat langsung dalam melakukan evaluasi tersebut melalui
proses tinjauan manajemen.
Identifikasi
kekurangan
sistem
manajemen
lingkungan
(termasuk
ketidaksesuaian yang nyata terjadi atau yang potensial) juga menyediakan peluang
untuk perbaikan. Untuk mewujudkan perbaikan demikian, organisasi sebaiknya
tidak hanya mengetahui apa kekurangan yang ada, tetapi mengerti mengapa
kekurangan tersebut terjadi. Perbaikan ini dapat dicapai melalui analisis akar
penyebab dari kekurangan sistem manajemen lingkungan tersebut.
Ketika peluang-peluang untuk melakukan perbaikan diidentifikasi,
peluang tersebut sebaiknya dievaluasi untuk menentukan tindakan apa yang
sebaiknya dilakukan. Tindakan untuk perbaikan seharunya direncanakan, dan
perubahan pada sistem manajemen lingkungan sebaikanya dilaksanakan sesuai
dengan rencana tersebut. Perbaikan tidak perlu dilakukan di semua tempat secara
bersamaan.
2.7.
Tujuan dan Manfaat dari Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan
Secara umum tujuan dari penerapan Sistem Manajemen Lingkungan
adalah untuk mendukung perlindungan lingkungan dan pencegahan pencemaran
yang seimbang dengan kebutuhan sosial ekonomi. (Pramudya, 2001)
Dalam SNI 19-14004-2005, Sistem Manajemen Lingkungan yang efektif
membantu organisasi dalam menghindari, mengurangi atau mengendalikan
dampak lingkungan negatif dari kegiatan, produk dan jasa, mencapai penaatan
terhadap persyaratan hukum dan persyaratan lain yang diikuti organisasi dan
membantu penyempurnaan kinerja lingkungan secara berkelanjutan.
xlix
Memiliki sistem manajemen lingkungan dapat membantu organisasi
meyakinkan pihak-pihak berkepentingan mengenai:
-
keberadaan komitmen manajemen untuk memenuhi arah kebijakan, tujuan dan
sasaran,
-
adanya penekanan pada tindakan pencegahan,
-
dapat diberikan bukti adanya perhatian yang cukup dan taat terhadap
perundangundangan, dan
-
rancangan sistem memasukkan proses penyempurnaan berkelanjutan
Keuntungan ekonomi dapat diperoleh dari penerapan sistem manajemen
lingkungan. Suatu organisasi yang sistem manajemennya memasukkan sistem
manajemen lingkungan mempunyai kerangka untuk menyeimbangkan dan
memadukan kepentingan ekonomi dan lingkungan. Keuntungan ini dapat juga
diidentifikasi untuk menunjukkan kepada pihak terkait tentang nilai dari
manajemen lingkungan yang baik bagi organisasi. Sistem ini juga memberikan
peluang kepada organisasi untuk mengkaitkan tujuan dan sasaran lingkungan
dengan hasil finansial tertentu dan dengan demikian menjamin bahwa sumberdaya
disediakan secara optimum untuk memberikan keuntungan yang paling baik
secara financial maupun lingkungan. Organisasi yang telah menerapkan sistem
manajemen lingkungan dapat mencapai daya saing yang penting.
Selain meningkatnya kinerja lingkungan, peluang keuntungan yang
berkaitan dengan system manajemen lingkungan yang efektif mencakup:
-
menjamin pelanggan dengan adanya komitmen terhadap manajemen
lingkungan yang dapat ditunjukkan;
-
memelihara hubungan baik dengan publik/masyarakat;
-
memenuhi kriteria investor dan meningkatkan akses ke modal;
-
mendapatkan asuransi pada tingkat biaya yang wajar;
-
meningkatkan citra dan pangsa pasar;
-
meningkatkan pengendalian biaya;
-
mengurangi peristiwa yang menimbulkan biaya gugatan (liability);
-
konservasi energi dan bahan masukan;
l
-
memfasilitasi dalam perolehan ijin dan kewenangan dan memenuhi
persyaratan yang terkait;
-
promosi kepedulian lingkungan antara pemasok, kontraktor dan semua orang
yang bekerja untuk mewakili organisasi;
-
mempercepat pembangunan dan membantu penyelesaian masalah lingkungan;
dan meningkatkan hubungan antara industri dan pemerintah.
li
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Kerangka Pikir
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat hubungan
sebab akibat dari permasalahan lingkungan yang terjadi dan metode apa yang bisa
diterapkan untuk mengatasinya. Dengan harapan menjadi masukan bagi
pengambil kebijakan dalam mengelola lingkungan di Sentra Industri Pengasapan
Ikan Bandarharjo
Permasalahan lingkungan yang ada di Sentra Industri Rumah Tangga
Pengasapan Ikan Bandarharjo muncul sebagai dampak dari aktivitas pengasapan
ikan yang menghasilkan limbah, baik itu cair, padat maupun gas yang tidak
terkelola dengan baik sehingga menimbulkan permasalahan baik di sentra
pengasapan ikan maupun dilingkungan sekitarnya. Analisis dilakukan berdasarkan
pengumpulan data primer dan data sekunder yang ada, untuk kemudian dibuat
suatu perencanaan pengelolaan dengan menerapkan
Sistem Manajemen
Lingkungan.
Aktivitas
Pengasapan
ikan
Permasalahan
Lingkungan
Pengasapan Ikan yg
menerapkan
Sistem Manajemen
Lingkungan
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Penurunan
Kualitas
Lingkungan
Perbaikan
Kualitas
Lingkungan
lii
3.2.
Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan wilayah penelitian adalah di Sentra Industri Rumah
Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo yang terletak di wilayah kecamatan
Semarang Utara kota Semarang
3.3.
Ruang Lingkup Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu penelitian, maka penelitian akan difokuskan pada :
a. Identifikasi penyebab penurunan kualitas lingkungan di sentra industri rumah
tangga pengasapan ikan Bandarharjo
b. Perencanaan Pengelolaan Lingkungan di Sentra Industri Pengasapan Ikan
Bandarharjo dengan mengamati hal-hal yang sederhana namun dapat
dilaksanakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Bandarharjo.
3.4.
Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan metode
kualitatif. Yang dimaksud penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk mempelajari fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada
suatu kontek khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.
3.5.
Teknik Pengambilan Data
Pada penelitian ini data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dan observasi
lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan sumber
tertulis atau dokumen instansi terkait dan dari studi pustaka.
a.
Wawancara
Wawancara dilakukan kepada tokoh-tokoh yang dipandang mengetahui
masalah yang diteliti, baik dari tokoh masyarakat yaitu ketua KOPIN dan
KUB maupun dari perajin ikan mengenai permasalahan yang dihadapi dan
pihak pemerintah daerah yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan, BAPPEDA,
liii
BAPPEDALDA serta dari Pusat Studi Urban UNIKA Soegijapranata dan
CV Arsiken sebagai konsultan. Wawancara dilakukan langsung, bebas
tidak terstruktur dengan menggunakan pedoman pertanyaan sebagai
panduan, sehingga jawaban dari nara sumber bersifat terbuka
b.
Observasi lapangan
Observasi dilakukan dengan mengamati langsung di lapangan keseluruhan
proses produksi untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan sambil
mengadakan pencatatan dengan sistematik tentang gejala-gejala yang ada
di lapangan. Informasi dan pengamatan yang dihimpun melalui observasi
dapat dipakai untuk melengkapi data yang tidak bisa diperoleh dari
wawancara.
c.
Kajian Literatur
Data yang didapatkan merupakan data sekunder yang dapat menunjang
penelitian ini. Data ini didapat dari instansi diatas maupun hasil penelitian
sejenis
Tabel 2. Nara Sumber Penggalian Informasi
No
Lokasi
I
Pengasapan Ikan
KOPIN & KUB
Perajin Ikan
INSTANSI
Bappeda
Bapedalda
PSU UNIKA
Konsultan
Dinas Kelautan
II
3.6.
Tokoh
Formal
Nara Sumber
Tokoh
Masyarakat Masyarakat
2
15
1
1
2
1
3
Jumlah
Kebutuhan Data
2
15
Data kelompok
Data produksi
1
1
2
1
3
Peta, RDTRK
Pantauan limbah
Data pencemaran
Foto udara
Data binaan
Analisis Data
Analisis yang digunakan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian
kualitatif ini menggunakan analisa SWOT. Proses analisis data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang dihimpun melalui wawancara, diskusi, observasi
lapangan maupun dokumen resmi dari beberapa instansi dengan penelitian.
liv
Setelah ditelaah dan dipelajari langkah berikutnya yaitu mengadakan reduksi data
yang dilakukan dengan membuat abstraksi, kemudian menyusunnya. Identifikasi
yang diperoleh diharapkan dapat secara cepat dan mudah untuk menyusun
perencanaan pengelolaan lingkungan.
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan rencana pengelolaan. Berbagai situasi yang dihadapi baik internal
maupun eksternal harus dapat dijadikan masukan bagi sentra industri untuk
menentukan rencana strategis dalam menyusun rencana pengelolaan lingkungan
yang tepat untuk diterapkan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di
sentra Bandarharjo .
Model analisisnya yaitu :
1. Pembobotan menggunakan skala 1 (sangat penting ) hingga 0 (tidak penting),
akan tetapi penentuan nilai skala untuk masing-masing situasi total berjumlah
1 dengan cara:
a. Urutkan faktor situasi berdasarkan skala prioritas (SP) (tertinggi nilainya
16 dari 4x4, urutan 2 nilainya 3 x 4 = 12 dan terendah nilai 4 dari 1 x 4)
lalu dikalikan dengan konstanta (K) nilai tertinggi yaitu 4
b. Masing-masing nilai situasi tersebut di bagi dengan total nilai SP x K
2. Peringkat tetap menggunakan skala 1(rendah) - 4 (tinggi) untuk kekuatan dan
peluang, sedangkan skala 4(rendah) - 1(tinggi) untuk kelemahan dan ancaman
3. Nilai tertinggi untuk Bobot x Peringkat adalah 1-2 (Kuat) dan terendah adalah
0-1 (lemah).
Berdasarkan nilai peringkat dan pembobotan yang kemudian dikalikan akan
diperoleh hasil kombinasi antara beberapa situasi sebagai berikut :
1. Kekuatan, Peluang (S,O)
artinya perusahaan menentukan strategi berdasarkan kombinasi kekuatan dan
peluang yang bisa memanfaatkan kekuatan untuk menggunakan peluang
sebaik-baiknya
lv
2. Kelemahan, Peluang (W,O)
artinya perusahaan harus membuat strategi bagaimana meminimalkan
kelemahan yang selalu muncul dalam perusahaan dengan memanfaatkan
peluang yang menguntungkan.
3. Kekuatan, Ancaman (S,T)
artinya perusahaan bisa memanfaatkan kekuatan baik dalam hal manajemen,
sistem pemasaran maupun kemampuan finansial untuk mengatasi ancaman
4. Kelemahan, Ancaman (W,T)
artinya perusahaan harus meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
lvi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Tinjauan Umum Kelurahan Bandarharjo Semarang
Kelurahan Bandarharjo berada pada Wilayah Perencanaan BWK III yang
terletak di Kecamatan Semarang Utara. Tinjauan umum kelurahan Bandarharjo
meliputi kependudukan, geografi, topografi, geologi, klimatologi dan hidrologi.
Kependudukan merupakan elemen penting, karena penduduk merupakan
subyek sekaligus obyek dalam pembangunan. Kondisi penduduk di sekitar
Kelurahan Bandarharjo akan merefleksikan keadaan dan lingkungan hidup di
Kelurahan Bandarharjo secara keseluruhan ditinjau dari sektor sosial dan
ekonomi.
Kelurahan Bandarharjo merupakan salah satu kelurahan dengan mayoritas
penduduk bekerja di sektor perikanan. Jumlah KK di Kelurahan Bandarharjo
sebanyak 4.306, yang menempati wilayah seluas 342,675 Ha. Tingkat kepadatan
penduduk sebesar 82 jiwa/Ha di wilayah tersebut. Kepadatan penduduk di
Kecamatan Semarang Utara khususnya kelurahan Bandarharjo ditunjukkan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Semarang Utara
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Luas Wilayah
(Ha)
Kecamatan Semarang Utara
Bulu Lor
68,676
Plombokan
34,900
Panggung Kidul
68,963
Panggung Lor
123,470
Kuningan
41,510
Purwosari
48,049
Dadapsari
83,250
Bandarharjo
342,675
Tanjung Mas
323,782
Kelurahan
Sumber: RDTRK Semarang, 2000-2010
Kepadatan
(Jiwa/ Ha)
357
340
144
206
488
276
203
82
130
lvii
Kondisi padatnya penduduk, karena pada umumnya secara turun temurun
berdomisili di wilayah tersebut dengan mata pencaharian sebagai nelayan,
sehingga wilayah ini lebih dikenal sebagai kampung nelayan.
Keadaan penduduk menurut usia, hampir serupa dengan daerah-daerah lain
di wilayah pesisir, umumnya cukup tinggi pada usia produktif dan usia muda.
Lebih lengkapnya, dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 2.
Tabel 4. Penduduk Menurut Umur
Usia
Laki-Laki
0-4
5-9
10-14
15-19
20-24
25-29
30-34
35-39
40-44
45-49
50-54
55-59
60-64
65 +
Total
876
1.036
1.029
882
801
739
720
731
732
655
640
585
278
112
9.816
Jumlah
Penduduk
1.751
2.084
2.149
1.689
1.565
1.469
1.429
1.461
1.463
1.309
1.279
1.169
556
223
19.596
Perempuan
875
1.048
1.120
807
764
730
709
730
731
654
639
584
278
111
9.780
Sumber : Monografi Kelurahan, 2007
65 +
60-64
60-64
55-59
50-54
50-54
45-49
40-44
40-44
35-39
30-34
30-34
25-29
20-24
20-24
15-19
10-14
10-14
5-9
0-4 0-4
1200
1000
800
600
400
200
0
0
200
400
600
800
1000
Gambar 2. Piramida Penduduk Kelurahan Bandarharjo
Sumber: Olah Data, 2008
1200
lviii
Melihat piramida penduduk di atas, dapat disimpulkan bahwa usia muda
dan produktif sangat tinggi, namun belum tentu diimbangi dengan kemudahan
mendapatkan pekerjaan pada penduduk usia muda. Angkatan kerja yang besar,
namun tidak terakomodasi lapangan kerja, justru berakibat pada pembebanan
sosial dan perekonomian masyarakat. Belum terciptanya lapangan kerja,
merupakan faktor terbentuknya kondisi sosial masyarakat yang berkualitas
rendah. Karakteristik masyarakat di daerah pesisir dan daerah kumuh, cenderung
keras, kasar dan emosional. Secara umum angkatan kerja yang telah terakomodasi
dan memiliki lapangan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Penduduk Menurut Mata Pencaharian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mata Pencaharian
Nelayan
Pengusaha
Pengrajin
Buruh Industri
Buruh Bangunan
Pedagan
PNS
ABRI
Pensiun
Jumlah
Jumlah
170
2
25
5.775
3.350
200
274
24
12
9.832
Sumber: Kelurahan, 2007
Penduduk di Kelurahan Bandarharjo dalam kurun waktu terakhir ini, lebih
cenderung bekerja di sektor lain selain perikanan dan kelautan, atau mulai
meninggalkan mata pencaharian orangtua dan leluhurnya sebagai nelayan.
Mayoritas penduduk di Kelurahan Bandarharjo bekerja sebagai buruh, yaitu buruh
industri sebanyak 5.775 orang dan 3.350 orang menjadi buruh bangunan. Tren
baru ini disebabkan karena sebagian besar penduduk merasa potensi pekerjaan
menjadi nelayan tidak lagi menjanjikan. Penghasilan yang didapatkan tidak besar,
dan tidak tetap sehingga kecenderungan penduduk mencari pekerjaan yang tetap
dan berpenghasilan tetap. Terdapat juga beberapa penduduk bekerja di sektor lain,
namun berjumlah tidak begitu besar.
lix
Gambar 3. Peta Tata Guna Lahan Wilayah BWK III
Sumber : RTRW Kota Semarang Tahun 2000-2010
Kelurahan
Bandarharjo
secara
administratif
merupakan
wilayah
perngembangan BWK III kota Semarang yang secara geografis terletak di
Kecamatan Semarang Utara dengan batas wilayah :
Utara
: berbatasan dengan Laut Jawa
Selatan : berbatasan dengan Kelurahan Kuningan
Timur
: berbatasan dengan Kelurahan Panjang Lor
Barat
: berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Mas
Kelurahan Bandarharjo merupakan daerah dataran rendah/ pantai dengan
ketinggian tanah berkisar antara 0-0,75m dpl (diatas permukaan laut). Kondisi
topografinya, merupakan daerah datar dengan kemiringan lahan 0-8%. Kondisi
tersebut mempunyai karakteristik klasik dalam hal aliran permukaan, yaitu
genangan dan banjir, baik yang diakibatkan oleh air hujan maupun oleh rob.
44
Gambar 4. Peta Topografi dan Kapling Kelurahan Bandarharjo
Sumber : RTRW Kota Semarang Tahun 2000-2010
Gambar 5. Peta Wilayah Penelitian
Sumber : RTRW Kota Semarang Tahun 2000-2010
45
Kondisi geologi Kota Semarang dibedakan atas dua belahan yaitu geologi
pada daerah perbukitan dan dataran rendah. Bandarharjo merupakan bagian dari
geologi dataran rendah, dengan strukturnya berupa batuan endapan (alluvium)
yang berasal dari endapan sungai sehingga banyak mengandung pasir dan
lempung yang bersifat lembek.
Kondisi klimatologis Kelurahan Bandarharjo pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan kondisi klimatologi wilayah Kota Semarang pada umumnya.
Iklim di Kelurahan Bandarharjo ialah iklim tropis dengan suhu udara minimummaksimum antara 23-35 derajat celcius, terdiri dari 2 musim yaitu musim
kemarau (terjadi sekitar bulan April-Oktober) dan musim penghujan (terjadi
sekitar bulan Oktober-April).
Mengenai kondisi hidrologis, yaitu kondisi tata air dalam suatu unit lahan,
sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari unit lahan yang bersangkutan. Kondisi
hidrologis di Bandarharjo meliputi:
•
Pola aliran air permukaan
Pola aliran bersifat menyebar dan lambat, hal ini terjadi karena pengaruh
kondisi lahan yang datar. Sedangkan pola aliran di alur sungai yaitu sekitar
kelurahan, Kali Semarang dan Kali Baru (Asin) adalah mengarah dan lambat
serta sangat dipengaruhi oleh kondisi permukaan air laut karena posisi alur
sungai yang sangat dekat dengan muara.
•
Air tanah
Muka air tanah sangat dangkal di pinggir sungai dan pantai, yaitu berada pada
kedalaman antara 0,25 – 0,30 meter dengan kondisi payau atau asin sebagai
akibat dari pengaruh intrusi air laut. Muka air tanah untuk daerah yang tidak
terletak di tepi sungai berkisar antara 90 – 100 meter dari permukaan tanah
setempat. Air tanah ini pada umumnya dikonsumsi penduduk setempat
melalui pembuatan sumur-sumur artetis atau sumur pompa.
•
Tingkat peresapan
Tingkat
peresapan air sangat lambat yang dapat diidentifikasi melalui
genangan-genangan air yang ada. Hal ini terutama terjadi karena pengaruh
keadaan tanah, posisi muka air tanah yang sangat dangkal, sehingga tanah
46
hampir selalu dalam kondisi jenuh selain karena kemiringan lahan yang relatif
kecil. Selain itu kepadatan bangunan yang cukup tinggi juga turut
mempengaruhi tingkat peresapan.
Tabel 6. Kondisi Fisik Dasar
No.
Kondisi Fisik Dasar
Keterangan
1
Ketinggian Lahan
0 – 0,75 m
2
Kemiringan
0 – 8% Kemiringan lahan sangat kecil.
3
Struktur Geologi
Batuan Endapan (Alluvial)
4
Sifat Teknik Tanah (2m – 3m)
- Kekompakan
- Sudut Geser
- Nilai Kohesi
- Daya dukung tanah
Rendah
6–8
1,4 – 1,6 t/ m2
5 – 6 t/m2
5
Hidrologi
- Pola aliran
- Air tanah
- Peresapan
Menyebar dan lambat
Dangkal 0,25 – 0,30 m
payau/ asin
Sumur artetis 90 - 100m
Rendah, karena posisi muka air tanah
dangkal, sehingga tanah dalam kondisi
jenuh.
Sumber: Lembaga Penelitian Unika, 2005
4.2.
Terbentuknya Sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan
Bandarharjo
Rob yang terjadi karena air pasang yang datang sewaktu-waktu membuat
seluruh aspek kehidupan warga Bandarharjo menjadi sangat buruk. Tenaga,
pikiran dan dana dicurahkan untuk mengatasi masalah rob tersebut. Akibatnya
mereka relatif tidak memiliki pandangan mengenai bagaimana merencanakan
hidup.
Kondisi tersebut menjadi perhatian banyak pihak, terutama saat
Bandarharjo menjadi wajah depan Kota Semarang dengan dibangunnya jalan
lingkar. Oleh karena itu kemudian muncul inisiatif Pemda untuk memperbaiki
citra kawasan tersebut. Penanganan Bandarharjo diarahkan tidak hanya semata-
47
mata pendekatan pembangunan fisik melainkan juga memperhatikan aspek
manusia dan ekonomi. Untuk itu perbaikan lingkungan di Bandarharjo pernah
dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu :
a. Pada tahun 1986 ada kebijakan dari pemerintah untuk memindahkan kegiatan
pengasapan ini ke lokasi tanah kosong di tepi kali Semarang, yang juga berada
di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara. Secara perlahan para
pelaku usaha pengasapan ikan mulai berpindah ke lokasi baru yang disediakan
oleh pemerintah
b. Pada tahun 1992-1996 dilakukan studi pendahuluan terkait dengan kebijakan
peremajaan dan pengembangan wilayah kumuh di kelurahan Bandarharjo,
sebagai awal dari sebuah kegiatan penataan kawasan permukiman di
Bandarharjo yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Semarang (d.h.
Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang).
Dasar/alasan dan konsep penataan kawasan yang dikembangkan oleh
Pemerintah Kota Semarang yaitu :
-
kondisi fisik kawasan Bandarharjo sangat kumuh dan sangat dipengaruhi
oleh genangan rob/ banjir,
-
terbatasnya akses keluar kawasan.
-
mata pencaharian masyarakat pada umumnya buruh bangunan, buruh
nelayan, pengolah ikan dan perajin jok kursi.
-
tingkat kesehatan masyarakat yang relatif rendah, banyak terdapat
penyakit kulit dan ISPA
-
pembangunan akses ring road/arteri, menjadikan kawasan Bandarharjo
sebagai “muka” Kota Semarang
c. Tahun 1996-1998 pengintegrasian ke dalam SSUDP (Semarang Surakarta
Urban
Development
Project)
dengan
memulai
pembangunan
fisik
keciptakaryaan
d. Tahap berikutnya adalah tahun 1998-1999. Proyek ini dintegrasikan dalam
P3P (Proyek Peningkatan Prasarana Permukiman) Program Penataan
Permukiman Kumuh dan Nelayan, yang meliputi kawasan yang lebih luas.
48
e. Kemudian pada tahun 2000 direncanakan permasalahan rob yang akan
dituntaskan dengan menggunakan bantuan dana maupun teknis dari JICA
Beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui proyek peremajaan ini adalah :
-
Mewujudkan suatu proses yang berkelanjutan (sustainable) dan dapat
direplikasi (replicable)
-
Menanggulangi proses kemiskinan melalui program fisik yang secara
sistematis dan terintegrasi dapat mewadahi kegiatan sosial dan ekonomi
-
Mengurangi biaya yang harus dikeluarkan akibat adanya peremajaan, seperti
biaya ekonomi (pendanaan) dan biaya sosial (kerugian-kerugian yang harus
ditanggung masyarakat) dengan mempertahankan dan memperkuat struktur
sosial masyarakat setempat melalui perubahan pola yang semula bertumpu
pada pemberian oleh pemerintah menjadi pola yang bertumpu pada partisipasi
masyarakat
-
Memberikan landasan yang kuat pada peremajaan kawasan dengan
mengintegrasikan perencanaan pada skala lingkungan (neighborhood-wide) ke
dalam skala kota (city-wide)
Dalam jangka panjang proyek ini berusaha menempatkan pembangunan
masyarakat dalam suatu struktur pola pendekatan terhadap pelaksanaan
kegiatan/penanganan, dengan melibatkan sektor swasta dan koperasi. Hal tersebut
dicapai dengan memberdayakan masyarakat melalui partisipasi masyarakat dalam
menggalang potensi pembangunan serta tindakan masyarakat.
Konsep peremajaan diarahkan pada pembangunan komunitas dengan
melibatkan masyarakat melalui KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) atau
Community Develompment Planning Program untuk mengembangkan sektor
sosial ekonomi masyarakat dan aktivitas masyarakat yang menonjol, misalnya
home industri, pemulung dan perajin ikan. (UN-Habitat, 2002)
Dalam kebijakan peremajaan ini terkait tiga aspek yang disebut Konsepsi
Tribina meliputi :
♦ Bina Manusia (Human Resources Development)
Diarahkan dengan memberikan dorongan agar masyarakat percaya diri
sehingga dapat berkembang. Masyarakat mempunyai arti penting dalam
49
pembangunan yang akan datang. Pembangunan sumber daya manusia
dilaksanakan melalui jenis kegiatan yang dapat dikembangkan secara sosial
ekonomi. Masyarakat akan menyadari bahwa untuk dapat membangun bukan
hanya menunggu bantuan akan tetapi bagaimana menciptakan bantuan dan
sekaligus berpartisipasi di dalamnya
♦ Bina Usaha (Economic Development)
Diarahkan pada kegiatan yang dapat memberikan dampak secara ekonomi
bagi individu, keluarga maupun masyarakat luas. Kegiatan yang dilakukan
dapat berfungsi sebagai income generating dan menjadi embrio bagi
penciptaan lapangan pekerjaan baru
♦ Bina Lingkungan (Built Environment Development)
Mengarah secara mendasar pada pengembangan sumber daya yang dapat
memberikan manfaat pada lingkungan. Sedangkan hasil yang dicapai dapat
memecahkan permasalahan di lingkungan perumahan dan perukiman serta
dapat menciptakan suatu bentuk lingkungan sosial ekonomi yang lebih baik
Konsep Tribina diatas sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) yaitu upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini
tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Yang seluruh
kegiatannya harus dilandasi dengan tiga pilar pembangunan secara seimbang,
yaitu :
diterima secara sosial (socially acceptable)
menguntungkan secara ekonomi (economically viable) dan
ramah lingkungan (environmentally sound).
Kebijakan pengembangan sektor sosial dan ekonomi yang dialakukan
diantaranya pembangunan koperasi serba usaha, pembangunan areal home
indsutri KSM Pancang Sari, relokasi pengasapan ikan ke lokasi khusus
pengasapan ikan serta pembangunan fisik berupa penyediaan sarana dan prasarana
yang dapat membantu masyarakat Bandarharjo serta dibentuknya KSM KOPIN
(Koperasi Perajin Ikan) yang bertujuan untuk membantu kegiatan home industri
pengasapan ikan.
50
Kebijakan tersebut membawa dampak yang baik. Peremajaan kondisi fisik
dasar lingkungan meliputi akses jalan, perbaikan daerah tepi sungai, sistem
drainase, penyediaan area serta fasilitas pengolahan ikan, penyediaan air bersih,
pengelolaan sampah, serta penyediaan sarana MCK.
Akan tetapi sejalan waktu dan perkembangan usaha serta kondisi alam
yang ada dan kebiasaan hidup masyarakat, fasilitas yang disediakan mengalami
penurunan kualitas ditandai dengan tidak berfungsinya sistem drainase,
pengelolaan sampah yang tidak baik, timbulan limbah sisa produksi yang dibuang
tanpa diolah terlebih dahulu.
4.3.
Sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo
Gambar 6. Foto Udara Lokasi Pengasapan Ikan
Sumber: CV. Arsiken
Lokasi pengasapan ikan Bandarharjo berbatasan langsung dengan Kali
Semarang. Tidak adanya garis sempadan sebagai jarak pemisah dengan sungai
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan, khususnya habitat sungai. Jalan
inspeksi yang seharusnya terdapat di sepanjang sungai dimanfaatkan oleh pelaku
51
industri pengasapan ikan untuk pembuangan limbah dari sisa hasil proses
pengasapan ikan langsung ke badan Kali Semarang sehingga terlihat kotor dan
menimbulkan bau. Seperti terlihat pada gambar 7, lokasi industri pengasapan ikan
Bandarharjo hanya dipisahkan oleh jalan inspeksi yang semakin menyusut
lebarnya, kumuh dan becek. Beberapa rumah pengasapan prosesnya langsung
menempati lahan tepat di samping sungai. Kondisi ini merusak lingkungan dan
dapat merugikan pelaku usaha, terutama pada saat musim hujan yang sering
mengalami banjir.
Gambar 7. Lokasi Pengasapan Ikan di Tepi Kali Semarang
Dalam Permen PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai,
Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai, dan Bekas Sungai yang
didalamnya mengatur garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan
perkotaan, kondisi ideal adalah sekurang-kurangnya 3 meter di sebelah luar
sepanjang kaki tanggul dan pemanfaatannya yang memang tidak diperuntukkan
untuk kegiatan industri.
52
Aksesibilitas makro, meliputi kemudahan pencapaian dalam mendapatkan
bahan baku dari pusat penangkapan ikan, jangkauan pemasaran dan kemudahan
mendapatkan tenaga kerja pada sentra industri rumah tangga pengasapan ikan
Bandarharjo adalah sebagai berikut :
4.3.1. Bahan Baku (Resources)
Peta alur perolehan bahan baku industri pengasapan ikan merupakan
ilustrasi alur pasokan bahan baku ikan segar. Para pengusaha ikan asap, membeli
ikan segar dari penjual di Pasar Kobong. Pasokan dan pengangkutan dilakukan
secara tradisional, menggunakan becak atau gerobak sebagai alat transportasi
utama. Industri pengasapan ikan hanya melakukan proses pengasapan ikan di tiaptiap rumah asap, kemudian produk ikan asap langsung diangkut kembali ke Pasar
Kobong atau pasar tradisional lain di Kota Semarang.
Kondisi di atas menunjukkan pasokan bahan baku dan bahan mentah,
khususnya ikan segar yang tidak dapat bertahan lama harus cepat diolah dan
diasapkan untuk menghemat biaya produksi. Apabila ikan tersimpan lama, akan
memerlukan proses pendinginan, dimana para perajin harus mengeluarkan biaya
tambahan untuk membeli es/ freezing. Teknik pengolahan dan penyimpanan
bahan baku yang tradisional belum memungkinkan untuk menjaga kualitas dan
mutu produksi.
Secara ringkas, aksesibilitas dan kemudahan pencapaian bahan baku
menjadi faktor penting dan mendasar dalam proses pengolahan ikan asap.
Diperlukan jarak pencapaian yang lebih dekat, ketersediaan prasarana jalan dan
sarana pengangkut yang memadai untuk mempermudah proses transportasi.
Mengacu pada aspek kemudahan mendapatkan bahan baku dan bahan
pembantu, seperti batok kelapa untuk bahan bakar mengasap ikan, maka perlu
diketahui terlebih dahulu proses mendapatkan bahan baku. Lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 8.
53
Gambar 8. Peta Perolehan Bahan Baku
Sumber : Bappeda, 2007
4.3.2. Pemasaran
Potensi pengembangan sentra pengasapan ikan, sangat ditentukan oleh
kelancaran pemasaran dan penjualan produk. Komoditas hasil olahan ikan asap
mencapai kurang lebih 5-6 ton/hari dari Bandarharjo. Untuk itu, pengelolaan
sentra pengasapan ikan harus diarahkan agar mampu meningkatkan kapasitas
produksi dan menjaga mutu produk.
Pemasaran ikan asap telah mampu menjangkau wilayah luar kota
Semarang. Luas jangkauan ini merupakan potensi besar yang perlu terus
dikembangkan, karena akan memberi manfaat ekonomi dan forward linkage
cukup berarti bagi kehidupan masyarakat. Pemasaran yang dilakukan secara
tradisional, melalui pasar-pasar tradisional yang ada di sekitar Semarang, seperti
Pasar Bulu, Karangayu, Johar dan pasar tradisional lainnya. Penjual dan pedagang
di pasar-pasar tersebut pada umumnya menjual kepada para pedagang dari
Kendal, Temanggung, Demak, Ungaran, Salatiga, Purwodadi dan sekitarnya.
Rantai distribusi ini tercipta secara alami, sehingga produsen dan penjual/
distributor tidak memerlukan promosi atau memerlukan teknik pemasaran khusus.
54
Gambar 9. Peta Wilayah Pemasaran Ikan Asap
Sumber : CV. Arsiken, 2007
Produsen ikan asap menggunakan teknik pemasaran yang sederhana,
karena keterbatasan modal dan pengetahuan serta belum adanya pengenalan dan
arahan untuk memperluas teknik pemasaran produk ikan asap. Kondisi ini terkait
pula pengemasan produk yang kurang menarik, sehingga konsumen kelas
menengah atas belum begitu
tertarik dengan kemasan yang ada.
Proses
pengemasan, terkait pula daya tahan produk yang tidak tahan lama (umumnya
bertahan hanya 2 hari) dan tidak melalui proses penjaminan mutu. Produk olahan
yang dihasilkan belum bisa dikatakan higienis, karena pada proses pengasapan
masih banyak potensi risiko terjadinya kontaminasi.
Model pemasaran yang dilakukan oleh pengusaha pengasapan ikan di
Bandarharjo ialah model sederhana yang tidak menggunakan standardisasi mutu
dan jaminan mutu. Mengingat tingginya ketergantungan masyarakat terhadap
produk perikanan dalam memenuhi kebutuhan gizi dan belum meratanya
distribusi ikan dari pusat produksi ke pusat konsumsi, maka masih banyak hal
yang perlu diperbaiki dalam mendukung kelancaran pemasaran produk ikan asap.
55
4.3.3. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang terampil dan terbiasa melakukan pekerjaan pengasapan
ikan pada umumnya adalah ibu-ibu dan para wanita. Disamping itu ada juga
pekerja laki-laki yang mempunyai tanggung jawab mengerjakan pekerjaan yang
lebih banyak di luar wilayah pengasapan.
51,2%
11,6%
2,2%
9,5%
20,9%
Laki-Laki :
Perempuan :
4,6%
Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Gambar 10. Prosentase Tenaga Kerja Menurut Pendidikan
Sumber: CV. Arsiken, 2007
Mayoritas pekerja, baik laki-laki dan perempuan berada pada tingkat
pendidikan Sekolah Dasar yaitu 51,2 % pekerja laki-laki dari keseluruhan pekerja
dan 20,9% pekerja wanita. Artinya, tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
sebagian besar pekerja pengasapan ikan hanya sampai pada tingkat pendidikan
dasar. Ada juga yang tidak bersekolah sama sekali, karena sejak kecil sudah
membantu orangtuanya mengasap ikan. Pendidikan pekerja yang rendah,
merupakan alasan para pengusaha pengasapan memberikan upah yang rendah.
Pekerjaan pengasapan merupakan pekerjaan yang mudah dan kasar, sehingga
pekerja dianggap sebagai buruh.
Tenaga kerja terbesar berasal dari lingkup internal Kelurahan Bandarharjo
dan sekitarnya, meliputi Kelurahan Kuningan, Panjang dan Tanjung Mas.
Keberadaan sumber tenaga kerja yang mengumpul di satu wilayah ini, disebabkan
keberadaan industri yang ada merupakan industri kecil/industri rumah tangga,
dimana bercirikan mempekerjakan anggota keluarga juga warga sekitar wilayah
industri dan berorientasi pada pasar lokal.
56
4.4.
Proses Produksi Pengasapan Ikan
Usaha pengasapan ikan ini dikelola secara tradisional, oleh karena itu
belum ada pencatatan pembukuan untuk mencatat pengeluaran dan pemasukan
dari tiap kegiatan. Saat ini kurang lebih terdapat 40 rumah pengasapan yang aktif
berproduksi dengan jumlah pekerja 160 orang dengan kapasitas produksi berkisar
6 ton per hari.
INPUT
PROSES
Ikan, tempurung
kelapa, tawas
Pembelian bahan
Air
Pembersihan
Air
Pencucian
Pisau
Pemotongan
Air, tawas
Perendaman
Lidi, potongan
ikan
Pemasangan lidi
Para-para,
potongan ikan
Penataan di rak
Ikan dan arang
batok kelapa
Pengasapan
Bahan
pengemas
Pengemasan
Ikan yang sudah
dikemas
Pemasaran
OUTPUT
Isi perut ikan,
lendir, bau amis
Air cucian berlemak bau amis
• Kepala ikan
• Kulit ikan
• Tulang ikan
• Oesofagus ikan
Air cucian berbau
amis
Bau amis
Debu, Arang Sisa
Pengasapan, Asap,
Panas
Gambar 11. Diagram alir aktivitas pengasapan ikan
Bau
57
Ikan yang digunakan sebagai bahan baku ikan asap adalah ikan segar
dengan berbagai kualitas kesegaran. Jenis dan harga ikan segar bervariasi
tergantung pada jenis dan musimnya. Jenis yang banyak digunakan yaitu ikan
manyung, tongkol, cucut, ikan pari atau pe dan songot (nama lokal). Sebagai
contoh, harga ikan Manyung ialah antara Rp 7.000 sampai dengan Rp 9.000 tiap
kilogramnya. Sedangkan jenis lainnya lebih murah, berkisar antara Rp 5.000
sampai dengan Rp 6.000.
Setelah bahan baku datang, proses selanjutnya adalah mencuci ikan,
membuang bagian yang tidak digunakan, memotong seukuran kepalan tangan,
merendam dalam air tawas, memasang lidi, menata ikan di para-para kemudian
mengasap. Proses produksi dan hasil samping seperti terlihat pada gambar 11.
Pada proses pencucian, terlihat tempat mencuci yang basah, becek dengan
bau yang tidak sedap. Hal tersebut disebabkan karena tempat mencuci yang tidak
higienis dan penggunaan air yang berasal dari sumur dangkal dengan dinding
sumur rendah sehingga berpotensi untuk tercemar air rob.
Gambar 12. Tempat mencuci ikan
58
Setelah pencucian, ikan dipotong-potong. Pada proses ini dihasilkan
limbah yang cukup bernilai ekonomis, misalnya kulit ikan pari. Untuk ukuran
kecil dijual Rp 15.000,- per kg, sedangkan yang berukuran besar Rp 3.000 per cm.
Kulit tersebut dibeli orang untuk disamak sebagai bahan dasar tas dan dompet.
Sedangkan tulang yang sudah dijemur dibeli orang dengan harga Rp. 40.000,- per
kg untuk diproses sebagai bahan dasar kosmetik. Untuk oesophagus atau
kerongkongan yang biasa disebut cekathak dijual dengan harga Rp 150.000,- per
kg kering. Jeroan ikan juga dimanfaatkan sebagai campuran pellet pakan ternak.
Gambar 13. Limbah produksi
Ikan yang sudah dipotong, direndam dalam air tawas yang tujuannya
untuk menghilangkan lendir dan membuat ikan kesat. Air dan tawas yang
digunakan takarannya tidak pernah sama. Begitu juga dengan lama perendaman.
Proses selanjutnya adalah memasang lidi agar tidak hancur pada saat diasap,
kemudian menata ikan di para-para untuk diasap.
Proses pengasapan memerlukankan waktu 20 menit dengan menggunakan
tempurung kelapa yang diberi minyak tanah untuk menghasilkan aroma yang khas
dan warna coklat keemasan. Sisa pembakaran tempurung kelapa berupa arang
59
batok kelapa juga laku dijual. Biasanya arang batok kelapa dimanfaatkan oleh
tukang sate, karena untuk membakar sate akan dihasilkan aroma yang sedap dan
tidak ada abu dari arang yang menempel.
Kegiatan pengasapan dilakukan di ruang tertutup dengan jumlah cerobong
yang terbatas (1 cerobong asap untuk 3-4 tungku). Tempat penyimpanan bahan
bakar menjadi satu dengan ruang pengasapan. Sirkulasi udara yang tidak baik
menyebabkan asap tidak sepenuhnya bisa keluar melalui cerobong. Sehingga
ruang pengasapan terlihat kotor dan berdebu.
Ikan yang sudah selesai diasap ditunggu supaya dingin untuk ditata di
keranjang bambu dan siap dipasarkan. Ikan asap dijual ke Pasar Johar, Pasar
Peterongan, Pasar Bulu dan berbagai pasar di Kota Semarang atau diambil bakul
untuk pemasaran di sekitar kota Semarang. Seiris ikan asap Manyung dijual antara
Rp 600 – Rp 1000. Sedangkan jenis lainnya dijual antara Rp 350 – Rp 500
tergantung dari besar kecilnya irisan dan musim. Kepala ikan juga diasap dengan
cara dijemur dulu yang dijual dengan harga Rp 10.000 per kg yang berisi 5-6
kepala ikan. Sampai saat ini ikan asap yang diproduksi selalu terserap oleh pasar,
sehingga pengembalian ikan asap karena kelebihan pasokan belum pernah terjadi.
Biaya tenaga kerja belum dimasukkan sebagai komponen pada harga
produksi ikan asap. Padahal dari beberapa pengusaha mempekerjakan buruh
dengan upah harian antara Rp 17.500,- sampai dengan Rp 25.000,- tergantung
pada jenis pekerjaan. Waktu bekerja dimulai pada jam 6 pagi sampai jam 5 sore.
Keuntungan para pengusaha ikan asap (juragan) sangat bervariatif,
tergantung kepada lingkup dan jenis usaha mereka. Grafik pada gambar 14
menggambarkan tipe rumah pengasapan yang dibedakan berdasarkan kapasitas
produksi harian:
60
20%
30%
Tipe kecil 50-200 kg
Tipe menengah 200400 kg
Tipe besar > 400 kg
50%
Gambar 14. Presentase Pengusaha Ikan Asap Berdasarkan Produksi
Kapasitas produksi rata-rata dipengaruhi pula oleh tipe usaha yang terdiri
dari 3 klasifikasi usaha, yaitu :
a. Tipe kecil
pengasapan ikan tipe kecil ini mempunyai kapasitas produksi 50 kg s.d. 2
kuintal (200 Kg) per hari dengan 5 orang pekerja. Adapun pembagian tugas 2
orang mengasap, 2 orang mencuci dan menyiangi dan 1 orang memotong
ikan. Terdapat sekitar 15 rumah pengasapan tipe kecil seperti terlihat pada
gambar 15.
Gambar 15. Rumah pengasapan tipe kecil
61
persiapan
mengasap
memotong
Bahan
bakar
sumur
mencuci
Gambar 16. Lay out pengasapan tipe kecil
b. Tipe menengah
Pengasapan ikan tipe menengah mempunyai kapasitas produksi 2 s.d. 4
kuintal (200-400 Kg) per hari, dengan jumlah pekerja termasuk keluarga dan
pemilik 8 orang dengan rincian pekerjaan 3 orang mengasap, 2 orang
mencuci, 3 orang memotong dan memasang lidi. Terdapat ± 25 rumah
pengasapan tipe menengah (gambar 17)
Gambar 17. Rumah pengasapan tipe menengah
62
sumur
Bahan
bakar
Memotong
Bahan
bakar
mengasap
Bahan
bakar
Bahan
bakar
Merendam
mengasap
mencuci
Memasang lidi
Bahan
bakar
Gambar 18. Lay out pengasapan tipe menengah
c. Tipe besar
tempat pengasapan tipe besar kapasitas produksinya s.d. 5 kuintal per hari
(500 Kg) dengan jumlah pegawai ± 14 orang, terdiri dari 3 pekerja laki-laki
dan 11 pekerja wanita. Perinciannya 5 orang mengasap, 2 orang mencuci, 3
orang memotong, 2 orang memasang lidi dan 2 orang persiapan. Tipe ini
terdapat sekitar 10 rumah pengasapan (gambar 19)
Gambar 19. Rumah pengasapan tipe besar
63
mengasap
Bahan
bakar
mengasap
mengasap
sumur
Bahan
bakar
memotong
mencuci
memasang lidi
Gambar 20. Lay out pengasapan tipe besar
Secara ringkas, kapasitas produksi yanga ada pada masing-masing tipe rumah
pengasapan seperti yanga ada pada tabel 7 berikut :
Tabel 7. Kapasitas Produksi
Kapasitas
Produksi per hari
Jumlah
Pekerja
Rata-rata/ Hari/
Orang
Kecil / 5 tungku
200 Kg
5 orang
60 Kg
Menengah / 8 tungku
400 Kg
8 orang
62 Kg
Besar / 15 tungku
Sumber: Penelitian, 2008
500 Kg
14 orang
57 Kg
Jenis Ruang
4.5.
Dampak Keberadaan Sentra Industri Pengasapan Ikan Bandarharjo
Keberadaan
sentra
industri
pengasapan
ikan
selain
memberikan
keuntungan secara finansial bagi masyarakat, khususnya yang bekerja di
pengasapan ikan, terdapat pula dampak negatif dan merugikan baik di sentra
pengasapan itu sendiri maupun bagi lingkungan / permukiman sekitar.
64
4.5.1. Dampak Pada Sentra Industri Pengasapan
Dari aktivitas yang dilakukan pada proses pengasapan ikan, ditimbulkan li
mbah cair, padat dan asap di sekitar kawasan.
Pada proses pencucian, dihasilkan limbah cair yang keruh, berbau amis
dan berlemak yang dialirkan langsung ke badan kali Semarang. Sistem
pembuangan air cucian seperti pembuangan limbah rumah tangga, dalam artian
tidak dilakukan pengolahan terlebih dulu. Kebiasaan itu mengakibatkan selokan
mampat dan menebarkan bau busuk. Proses ini menggunakan air yang berasal dari
sumur dangkal walaupun air tersebut terlihat kotor dan jauh dari kesan sehat serta
higienis, karena air bersih pada umumnya sulit didapatkan di lokasi pengolahan.
PDAM tidak menjangkau sentra pengasapan, hanya sampai di permukiman
penduduk.
Dalam proses pengolahan ikan, prasarana air bersih sangat diperlukan,
karena air bersih tidak dapat dipisahkan dari proses pengolahan ikan. Salah satu
persyaratan yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. KEP. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil
Perikanan
diantaranya mengatur masalah air yang digunakan sebagai bahan
penolong dalam pengolahan ikan harus memenuhi persyaratan kualitas air minum.
Pada pengujian kandungan air sumur di laboratorium oleh Wardani (2004)
didapatkan hasil :
e. pH air sumur 6.40, yang berarti tingkat keasaman air dibawah standar
ketentuan air bersih dari Depkes RI, yaitu antara 6.5 – 8.5
f. Air sumur mengandung COD 1120 mg/l dan BOD 190 mg/l
g. Coliform bakteria 252 x 103 cfu/ml, pada ketentuan , jumlah kadar maksimum
yang diperbolehkan adalah 0.
h. Total bakteri 164,5 x 106 cfu/ml
Melihat hasil pengujian dan pengamatan di lapangan, dapat diambil kesimpulan
bahwa air yang digunakan belum memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
65
Gambar 21. Saluran (drainase) tempat pembuangan hasil cucian
Disamping kesadaran perajin ikan asap untuk menggunakan air bersih
dalam proses pembersihan ikan masih sangat rendah, karena minimnya anggaran
biaya, pada akhirnya perajin ikan asap mengabaikan hal tersebut. Pendapat para
pengolah bahwa bahan baku dan bahan pembantu untuk pengolahan tradisional
tidak harus bermutu tinggi terbentuk karena mereka tidak berorientasi pada mutu
produk akhir. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena mereka tidak sadar
akan mendapat insentif lebih tinggi dari mutu produk akhir yang lebih berkualitas.
Penyediaan prasarana pendukung seperti drainase lingkungan internal
dalam lingkup kawasan industri pengasapan ikan akan membuat kondisi
lingkungan yang lebih layak untuk sebuah industri yang bersih. Setidaknya
sirkulasi pembuangan air akan lebih lancar sehingga mengurangi genangan air di
sekitar kawasan pengasapan ikan. Tidak adanya genangan air di sekitar kawasan,
akan memudahkan perajin ikan asap, untuk melakukan proses pengasapan dan
menjaga lingkungan lebih kering dan tidak becek.
66
Gambar 22. Sumur dengan dinding yang rendah dan berdekatan dengan drainase
Selain permasalahan diatas, permasalahan asap juga cukup mengganggu.
Pencemaran udara yang terjadi di Bandarharjo sangat parah, walaupun sebagian
besar perajin sudah menggunakan cerobong, asap dari proses pengasapan dengan
bahan bakar batok kelapa selain terakumulasi di dalam ruang, juga menghasilkan
asap yang terlihat hitam dan terasa pedih di mata.
Pengukuran dengan
menggunakan Personal Dust Sampler oleh Puji Pranowowati pada tahun 2007
didapatkan data bahwa pengasap dengan induksi partikel terhirup yang melebihi
Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan dalam Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja No. SE-01/MEN/1997 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia Di Udara
Lingkungan Kerja, dijumpai pada 12 orang dari 45 pengasap. Artinya bahwa di
lingkungan pengasapan ikan berpotensi untuk terjadinya gangguan fungsi paru.
Hal tersebut antara lain karena desain cerobong yang kurang pas atau
adanya kesalahan konstruksi. Akibatnya, tarikan asap atau natural draft lemah.
Selama ini tidak dilakukan perawatan tertentu pada cerobong asap.
67
Ketinggian cerobong tidak didesain dengan mempertimbangkan aspek
pengendalian pencemaran udara dengan melihat lokasi dan kegiatan lain
disekitarnya. Perhitungan tinggi cerobong seharusnya mengacu berdasarkan
Keputusan Kepala Bapedal no. Kep. 205/07/BAPEDAL/1996 Lampiran III
tentang Persyaratan cerobong. Persyaratan tersebut antara lain tinggi cerobong
minimum 2 –2,5 kali tinggi bangunan disekitarnya, sehingga lingkungan disekitar
cerobong tidak terkena turbulensi. Sebagai upaya agar asap tidak berkumpul di
ruang produksi, pemerintah kota Semarang melalui Dinas Kelautan dan Perikanan
memberikan bantuan ventilator di ujung cerobong. Tapi hal inipun belum
mengatasi permasalahan yang ada.
Gambar 23. Asap hasil dari proses produksi dalam ruangan
Sentra industri pengasapan ikan merupakan industri rumah tangga yang
termasuk dalam Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Salah satu pemasalahan
internal UKM adalah keterbatasan modal, jadi untuk pengadaan sarana prasarana
tentu saja bukan hal yang mudah. Sehingga bentuk pembinaan yang dilakukan
oleh pemerintah pada UKM diantaranya adalah penyediaan sarana dan prasarana
yang memadai yang bisa digunakan.
68
Gambar 24. Asap yang berasal dari cerobong asap
4.5.2. Dampak Terhadap Lingkungan Sekitar/ Permukiman
Pengaruh negatif terhadap lingkungan sekitar sentra pengasapan ikan,
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari internal maupun eksternal
masyarakat sekitar pengasapan. Faktor lain, ialah sosial budaya masyarakat di
sekitar wilayah penelitian yang tidak terbiasa hidup sehat dan bersih, disebabkan
area permukiman merupakan lingkungan kumuh dan miskin dengan tingkat
kepadatan penduduk yang cukup tinggi.
Keberadaan wilayah pengasapan pada dasarnya merupakan lokasi
pemindahan dari lokasi sebelumnya yang berada di tengah permukiman.
Pemindahan ini dilakukan oleh Pemerintah Kota pada tahun 1992 ini bersifat
sementara dimaksudkan untuk mencegah pencemaran yang lebih parah di wilayah
permukiman Bandarharjo.
Dampak pengasapan ikan bagi lingkungan, tidak akan mudah untuk
dihilangkan. Kondisi ini wajar terjadi, sebagai efek samping pertumbuhan
industri, walaupun industri tersebut merupakan industri kecil dan home-industry
69
yang sangat minim menggunakan bahan kimia maupun bahan aditif lainnya.
Prinsip dasar untuk pengurangan polusi dan pencemaran limbah ialah
pembangunan instalasi pengolahan dan pembuangan limbah, baik padat maupun
cair, termasuk sampah (organik dan anorganik).
Dampak pencemaran lingkungan yang sangat khas dan tidak bisa
dihindari, ialah dampak polusi asap. Polusi asap menimbulkan dampak buruk di
lingkungan sekitar sentra pengasapan ikan, termasuk udara, air, tumbuhan, hingga
pekerja dan pengusaha pengasapan ikan sendiri. Keluhan dari warga sekitar,
banyak bayi dan anak-anak balita yang tinggal di wilayah pengasapan ikan di
Bandarharjo mengalami sesak nafas dan gangguan Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA), sebagai akibat sejak lahir senantiasa menghirup udara hasil
pembakaran batok kelapa untuk pengasapan ikan. Dari Puskesmas setempat
didapatkan data bahwa Penyakit ISPA termasuk dalam 10 peringkat penyakit
yang banyak dikeluhkan di kelurahan Bandarharjo. Zat-zat beracun dan berbahaya
yang terus menerus dihirup secara berkala akan mengakibatkan kerusakan paruparu permanen (Lembaga Penelitian Unika, 2005). Gambaran
mengenai
penyebaran asap ini dapat dilihat pada gambar 24. Dari gambar dapat terlihat
bahwa penyebaran asap menyebar di sekitar rumah pengasapan ikan sepanjang
sungai dan pengaruhnya sampai ke permukiman di seberang sungai.
ANGIN
SIANG LAUT
HARI
ANGIN
SIANG LAUT
HARI
70
Gambar 25. Polusi Asap Dihasilkan Industri Pengasapan Ikan
Sumber: CV Arsiken, 2008
Gambar 26. Penyebaran Asap Terhadap Lingkungan Permukiman
Sumber, BAPPEDA 2007
71
Dari beberapa deskripsi diatas, tabel di bawah ini merangkum beberapa eksisting permasalahan yang berakibat pada penurunan
kualitas lingkungan :
Tabel 8. Identifikasi permasalahan di Sentra Pengasapan Ikan Bandarharjo
Aspek Lingkungan
Bahan Baku dan
Bahan Penunjang
1. Ikan
- Merupakan produk
yang mudah rusak,
tidak ada tempat
penyimpanan
2. Air
- Tidak dijangkau
PDAM hanya ada
sumur yang tercemar air rob dan
rembesan sungai
3. Tempurung kelapa
- Debu dari sabut
kelapa
- Bau lembab
Dampak Nyata dan
Potensial
Potensi Risiko
Pengendalian
Lingkungan
Titik Kontrol Kritis
Pengendalian
Kesehatan
- Penurunan kualitas
dalam pembelian
bahan yang lokasinya
cukup jauh
- Pertumbuhan mikroorganisme
- Standarisasi
bahan baku
- Transportasi,
pengaturan suhu
dan waktu
penanganan
- Menjaga suhu
selalu rendah/
pendinginan
- Produk yang
dihasilkan tidak
higienis
- Bakteri E Colli mencemari
air sumur yang digunakan
untuk mencuci ikan
- Dilakukan
pengambilan
sample air utk
menjaga kualitas
- Penggunaan air
bersih
- Sumur dibuat
lebih dalam dan
diberi dinding
(filtrasi,
desinfektan)
- Tempat bersarangnya
kecoa, tikus
- Kontaminasi penyakit
- Penempatan
tempurung dalam
ruang yang bersih
- Pengaturan
tempat / wadah
penyim-panan
- Pembuatan
gudang
72
Aspek Lingkungan
4. Tawas
Digunakan stlh
proses pencucian
ikan sebagai bahan
rendaman
Pra Produksi
1. Pembersihan isi
perut
- Limbah jeroan
ikan
2. Pencucian ikan
- Konsumsi air
sumur,
3. Pemotongan ikan
- Limbah kulit,
tulang,oesophagus
4. Perendaman
- Penggunaan
tawas
5. Pemasangan lidi
- Timbul bau
menyengat
6. Penataan ikan
- Terlihat lalat
Dampak Nyata dan
Potensial
Potensi Risiko
Pengendalian
Lingkungan
Titik Kontrol Kritis
- Membuat ikan
terlihat padat, tetapi
tidak
mengembalikan
kesegaran
Dosis yang berlebihan
berpengaruh terhadap
kesehatan
- Pemilihan bahan
yang berkualitas
tidak
memerlukan
pemakaian tawas
Pemilihan bahan
berkualitas
Pencemaran air tanah
- Penurunan kualitas
produk
- Pencemaran air
tanah
- Ganguan terhadap
masyarakat sekitar
( asap yang terlihat
hitam, bau )
Pada pengolahan yang tidak
higienis rentan untuk
terkontaminasi bakteri
Organisasi ruang
yang baik ditunjang
dengan
kelengkapan ruang
produksi akan
meningkatkan
higienitas. Misal
dengan tersedianya:
- air bersih
- ruang cuci
- ruang produksi
yang bersih
Peningkatan
higienitas
Perbaikan drainase
Penyediaan IPAL
Pengendalian
Kesehatan
- Tidak memakai
tawas sebagai
zat aditif
- Penggunaan air
bersih
- Penyediaan IPAL
- Tempat penyimpanan bersih
73
Aspek Lingkungan
Proses Produksi
1. Penyiapan tungku
- Debu
2. Pengasapan ikan
- Timbul asap,
panas
Pasca Produksi
1. Penataan
- Wadah seadanya
Dampak Nyata dan
Potensial
- Penurunan
kesehatan pekerja
- Ketidaknyamanan
pekerja
- Gangguan pada
ling- kungan sekitar
- Pencemaran udara
- Kurang higienis
- Penurunan kualitas
- Kurang memiliki
nilai tawar yang
2. Distribusi
baik
- Diambil pedagang
dilokasi
Pengendalian
Lingkungan
Titik Kontrol Kritis
Pengendalian
Kesehatan
Ruang produksi dengan
sirkulasi yang tidak baik
rawan terhadap kesehatan
pekerja
Cerobong asap yang
memenuhi
persyaratan
- Peningkatan
suhu di sekitar
daerah produksi
- Kepekatan asap
- Pemakaian masker
- Pemeriksaan
berkala terhadap
kesehatan
karyawan
- Pertumbuhan
mikroorganisme, lalat
- Udara kotor
Ruang penataan
dan wadah yang
higienis
Peningkatan
higienitas,
pengaturan suhu
Lingkungan bersih,
dan bebas serangga
Potensi Risiko
4.6.
Analisis Proses Perencanaan Pengelolaan Lingkungan Pada Sentra
Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo
Sentra industri rumah tangga pengasapan ikan Bandarharjo terbentuk
karena adanya kebijakan peremajaan permukiman di kawasan Bandarharjo.
Wilayah ini mempunyai potensi yang besar sebagai wilayah yang produktif.
Produksi rata-rata harian yang mencapai 6 ton per hari cukup menggambarkan
banyaknya keluarga yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas di sentra
industri rumah tangga pengasapan ikan ini.
Potensi Bandarharjo yang begitu besar sering dianggap sebagai sumber
pencemar yang dikeluhkan masyarakat yang ada disekitar sentra pengasapan ikan
Bandarharjo. Meskipun sebenarnya hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena
apabila terkelola dengan baik, banyak limbah yang bernilai ekonomis dari sentra
industri pengasapan ikan ini.
Untuk menyikapi hal tersebut diatas dan belum adanya manajemen
pengelolaan, maka perlu disusun suatu perencanaan pengelolaan yang melibatkan
semua pihak terkait dengan mengedepankan peran serta masyarakat Bandarharjo
baik yang bekerja di pengasapan ikan maupun masyarakat sekitar. Adapun proses
penyusunan rencana pengelolaan melalui langkah-langkah perencanaan sebagai
berikut :
4.6.1. Perumusan Masalah
Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan menjadi
keluaran dan menghasilkan produk samping antara lain limbah yang sebetulnya
bisa bernilai ekonomis atau limbah yang memang harus dibuang setelah dilakukan
pengolahan dan memenuhi syarat untuk dibuang. Permasalahan lingkungan yang
terjadi pada sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo muncul
sebagai dampak dari aktivitas pengasapan ikan yang menghasilkan limbah, baik
itu cair, padat maupun gas dan belum terkelola dengan baik, sehingga
menyebabkan penurunan kualitas lingkungan
4.6.2. Penetapan Tujuan
Berdasarkan hasil identifikasi, inventarisasi dan rumusan permasalahan
ditetapkan tujuan dari penyusuan rencana pengelolaan. Upaya pengelolaan
diarahkan kepada perbaikan kinerja lingkungan. Hasil penyusunan rencana Sentra
Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo diharapkan dapat
menghasilkan suatu bentuk pengelolaan yang dapat mengakomodir kepentingan
pengasap, masyarakat sekitar yang terkena dampak negatif dari keberadaan sentra
pengasapan ikan dan pemerintah.
4.6.3. Analisis Kondisi
Setelah tujuan dari perencanaan pengelolaan ditetapkan, selanjutnya
dilakukan analisis kondisi terhadap aspek-aspek internal dan eskternal.
Kegiatan analisis kondisi ini dilakukan dengan analisis SWOT yaitu
analisis alternatif yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor
secara sistematis untuk memformulasikan prioritas kebijakan dalam pengelolaan
di Sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo.
Selanjutnya untuk mentransformasikan SWOT
pengelolaan tersebut,
ke dalam kebijakan
maka perlu melihat kombinasi antara faktor eksternal
(dampak langsung dari luar) dengan faktor internal (dampak langsung dari
dalam). Lingkungan eksternal yang dimaksud antara lain peluang dan ancaman
(Opportunity dan Threats) yang disingkat EFAS (External Strategy Factors
Summary) dan lingkungan internal antara lain kekuatan dan kelemahan (Strenght
dan Weakness) yang disingkat IFAS (Internal Strategy Factors Summary). Kedua
faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari peluang dan
kekuatan dan dampak negatif yang berasal dari ancaman dan kelemahan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT sebagai berikut :
4.6.3.1. Aspek Internal
Dari hasil survai dan wawancara dilapangan serta masukan dan saran
berbagai sumber, maka didapatkan sintesa beberapa kekuatan dan kelemahan
yang dimiliki Sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo seperti
pada Tabel 9.
ii
Tabel 9. Sintesa Faktor-Faktor Kekuatan (Strength) dan Faktor-Faktor
Kelemahan (Weaknessy)
Faktor-Faktor
Strategi Internal
Kekuatan (S)
1. Produksi yang
dihasilkan rata-rata
harian 6 ton
2. Tetap survive pada
kondisi paling sulit
3. Tenaga kerja berasal
dari sekitar sentra
pengasapan
4. Adanya limbah yang
bernilai ekonomis
Jumlah
Kelemahan (W)
1. Kepedulian masyarakat
dalam pengelolaan
lingkungan pengasapan
rendah
2. Tingkat pendidikan
pengolah yang rendah
3. Kualitas produk yang
dihasilkan rendah
4. Belum ada payung
hukum yang
melindungi keberadaan
sentra pengasapan ikan
Jumlah
Kode
SP
K
SPxK
Bobot
a
b
c
d
e
S1
4
4
16
16/40 = 0.4
S2
2
4
8
8/40 = 0.2
S3
3
4
12
12/40 = 0.3
S4
1
4
a
b
c
4
40
d
4/40 = 0.1
1.0
e
W1
3
4
12
0.3
W2
1
4
4
0.1
W3
2
4
8
0.2
W4
4
4
16
0.4
40
1.0
Berdasarkan sintesa diatas, dibuat tabel faktor-faktor strategik internal (IFAS)
pada tabel 10 berikut :
Tabel 10. Faktor-Faktor Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weaknessy)
Faktor-Faktor
Strategi Internal
Kekuatan
1. Produksi yang dihasilkan
rata-rata harian 6 ton
2. Tetap survive pada kondisi paling sulit
S
Bobot
Rating
a
b
c
Bobot
x
Rating
d
S1
0.4
4
1,60
S2
0,2
3
0,60
iii
Komentar
E
Produksi tersebut selalu
terserap habis dipasaran
Ikan yg bersifat musiman, lingkungan kerja yg
tdk higienis
Menekan biaya produksi
3. Tenaga kerja berasal dari
sekitar sentra pengasapan
4. Adanya limbah yang
bernilai ekonomis
Jumlah
Kelemahan
1. Rendahnya kepedulian
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
pengasapan
2. Tingkat pendidikan
pengolah yang rendah
3. Kualitas produk yang
dihasilkan rendah
4. Belum ada payung
hukum yang melindungi
keberadaan sentra
pengasapan ikan
Jumlah
S3
0,3
3
0,90
S4
0,1
2
0,20
a
b
c
3.30
d
W1
0.3
2
0,60
W2
0.1
2
0,10
W3
0.2
2
0,40
W4
0.4
2
0,80
Tulang,oesophagus dan
kulit serta arang batok
kelapa adl limbah
produksi yg laku dijual
E
Kurangnya pemahaman
masyarakat tentang
kesehatan lingkungan
Sulit untuk mengubah
kebiasaan hidup sehat
Tidak ada standarisasi
pengolahan
Masyarakat merasa
tidak nyaman
1,90
4.6.3.2. Aspek Eksternal
Dari hasil survey dan wawancara dilapangan serta masukan dan saran dari
berbagai sumber informan maka didapatkan sintesa beberapa peluang dan
ancaman yang seperti pada Tabel 11.
Tabel 11. Sintesa Faktor-faktor Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threats)
Faktor-Faktor
Strategi Eksternal
Peluang (O)
1. Masuknya lembaga keuangan untuk penguatan
modal
2. Keterbukaan masyarakat untuk revitalisasi
sentra pengasapan
3. Pemanfaatan limbah
ekonomis
4. Potensi wisata kuliner
Jumlah
Kode
SP
K
SPxK
Bobot
a
b
c
d
e
O1
4
4
16
0.4
O2
3
4
12
0.3
O3
O4
2
1
4
4
8
4
40
0.2
0.1
1.0
iv
Ancaman (T)
1. Relokasi
2. Komplain masyarakat
sekitar terhadap keberadaan sentra pengasapan
3. Banjir,rob dan amblesan
4. Kesulitan pemasaran
ikan asap/panggang
Jumlah
a
T1
b
4
c
4
d
16
e
0.4
T2
2
4
8
0.2
T3
3
4
12
0.3
T4
1
4
4
40
0.1
Berdasarkan sintesa diatas, dibuat tabel faktor-faktor strategik eksternal (EFAS)
pada tabel 12 berikut :
Tabel 12 :
Faktor-faktor Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threats)
Kode
Bobot
Rating
a
b
c
Bobot
x
Rating
d
O1
0.4
3
1.6
O2
0.3
4
1.2
O3
0.2
3
0.6
4. Potensi wisata kuliner
O4
0.1
2
0.2
Jumlah
Ancaman
1. Relokasi
a
T1
b
0.4
c
3
3.6
d
1.2
T2
0.2
2
0.4
T3
0.3
2
0.6
T4
0.1
1
0.1
Faktor-Faktor
Strategi Eksternal
Peluang
1. Masuknya lembaga
keuangan untuk penguatan modal
2. Keterbukaan
masyarakat untuk
revitalisasi sentra
pengasapan
3. Pemanfaatan limbah
ekonomis
2. Komplain masyarakat
sekitar terhadap
keberadaan sentra
pengasapan
3. Banjir,rob dan amblesan
4. Kesulitan pemasaran
ikan asap/panggang
Jumlah
2.3
v
Komentar
e
Permintaan pasar tinggi,
modal terbatas
Keinginan untuk bekerja
ditempat yang lebih
layak
Perlunya bimbingan
teknis pengelolaan limbah produksi yang bernilai ekonomis
Masakan khas kota
Semarang “mangut”
E
Pembangunan waduk
Jatibarang dan normalisasi Kali Semarang
Adanya asap yang
ditimbulkan dari
produksi pengasapan
ikan
Kondisi geografis dan
geologis sentra
pengasapan
Terhambatnya akses
masuk ke sentra pengasapan karena rusaknya infrastuktur
Dari tabel tersebut di atas, ditetapkan ada 5 (lima) Kekuatan, 5 (lima)
Kelemahan, 5 (lima) Peluang, dan 5 (lima) Ancaman berdasarkan kondisi yang
ada dan terjadi di lapangan. Setelah dilakukan proses analisis dengan melihat nilai
kepentingan (bobot prioritas) dari unsur-unsur dalam SWOT, dapat ditetapkan
bahwa dari komponen kekuatan (strength atau S) yang mempunyai nilai
kepentingan (bobot prioritas) tertinggi adalah Produksi rata-rata harian 6 ton
(1,60), dari komponen kelemahan (weakness atau W) yang mempunyai nilai
kepentingan (bobot prioritas) tertinggi adalah Belum adanya payung hukum
yang melindungi keberadaan Sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan
di Bandarharjo (0,80) dan dari komponen peluang (opportunity atau O) yang
mempunyai nilai kepentingan (bobot prioritas) tertinggi adalah Masuknya
lembaga keuangan utk penguatan modal (1,60), serta dari komponen ancaman
(threats atau T) yang mempunyai nilai kepentingan (bobot prioritas) tertinggi
adalah Relokasi (1.20).
Dari masing-masing komponen dalam unsur SWOT, posisi kondisi Sentra
Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan di Bandarharjo dengan cara
menentukan membandingkan nilai kepetingan dari masing-masing faktor internal
dan eksternal. Untuk faktor internal, nilai kepentingan faktor kekuatan dikurangi
nilai kepentingan kelemahan adalah 1,60 – 0,80 = 0,80 (nilai Positif) berarti
faktor kekuatan > dari faktor kelemahan. Sedangkan Untuk faktor eksternal,
nilai kepentingan faktor Peluang dikurangi nilai kepentingan kelemahan adalah
1,60 – 1,20 = 0.40 (nilai Positif) berarti faktor peluang > dari faktor ancaman.
Dengan demikian posisi pengelolaan Sentra Industri Rumah Tangga
Pengasapan Ikan di Bandarharjo berada pada Kuadran 1 (satu), ini merupakan
situasi yang sangat menguntungkan. Pemerintah dan masyarakat memiliki
peluang untuk kekuatan sehingga dapat menafaatkan peluang yang ada. Menurut
Rangkuti (2006) bahwa pada situasi di kuadran 1 (satu) strategi yang harus
diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan yang agresif (Growth
oriented strategy).
vi
4.6.4. Identifikasi Alternatif Kebijakan.
Setelah diperoleh gambaran tentang kondisi yang berpengaruh terhadap
Sentra
Industri
Rumah
Tangga
Pengasapan
Ikan
Bandarharjo,
yang
dikelompokkan sebagai faktor eksternal dan internal, maka selanjutnya
Pemerintah (Tim Teknis), masyarakat, LSM, konsultan perencanaan dan lembaga
penelitian dari perguruan
tinggi melakukan indentifikasi alternatif kebijakan.
Identifikasi juga didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku sehingga
konsep kebijakan memiliki payung hukum yang kuat.
Penyusunan alternatif strategi kebijakan dapat dilakukan dengan dukungan
beberapa strategi yang di dapat dari ke empat faktor dalam SWOT yaitu kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman. Metode yang digunakan dalam penyusunan
alternatif strategi kebijakan adalah dengan memformulasikan pendekatan strategi
silang, yaitu :
-
Strategi SO, yaitu strategi yang dibuat berdasarkan jalan pikiran pengambil
kebijakan (pemerintah) yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan dan
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
-
Strategi ST adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki
perusahaan untuk mengatasi ancaman.
-
Strategi WO diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan
cara meminimalkan kelemahan yang ada.
-
Strategi WT ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Proses penentuan alternatif startegis kebijakan pengelolaan selengkapnya tampak
pada Tabel 13.
vii
Tabel 13. Penentuan Alternatif Strategis Kebijakan Sentra Industri Rumah Tangga
Pengasapan Ikan Bandarharjo
EFAS
Kelemahan (Weakness)
a. Rendahnya kepedulian
masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan
pengasapan
b. Rendahnya tingkat pendidikan pengolah
c. Rendahnya kualitas produk yang dihasilkan
d. Belum ada payung hukum yang melindungi
keberadaan sentra pengasapan ikan
Strategi WO
Strategi SO
• Revitalisasi sentra peng- • Pendampingan untuk
kemitraan
asapan
• Penerapan Sistem
Manajemen Lingkungan
sebagai upaya perbaikan
lingkungan
Kekuatan (Strength)
a. Produksi yang dihasilIFAS
kan rata-rata 6 ton/hr
b. Tetap survive pada
kondisi paling sulit
c. Tenaga kerja berasal
dari sekitar sentra
pengasapan
d. Adanya limbah yang
bernilai ekonomis
Peluang (Opportunity)
a. Masuknya lembaga keuangan untuk penguatan
modal
b. Keterbukaan masyarakat
untuk revitalisasi sentra
pengasapan
c. Pemanfaatan limbah ekonomis.
d. Potensi wisata kuliner
Ancaman (Threats)
a. Relokasi
b. Komplain masyarakat
sekitar terhadap
keberadaan sentra
c. Banjir, rob dan amblesan
d. Kesulitan pemasaran ikan
asap/panggang
Strategi ST
•Penerapan teknologi tepat guna untuk meminimasi limbah
•Kajian aspek lingkungan dalam bentuk
Pantauan Lingkungan
sehingga dampak negatif dapat teratasi
Strategi WT
• Penetapan Bandarharjo
sebagai sentra industri
pengasapan ikan dengan
Peraturan Daerah
4.6.5. Pilihan Kebijakan
Melihat hasil formulasi strategi tersebut di atas, selanjutnya digunakan
untuk menentukan urutan sasaran prioritas dengan mencari potensi yang dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi masalah dalam Sentra Industri Rumah Tangga
Pengasapan Ikan Bandarharjo. Penyusunan sasaran prioritas kebijakan dilakukan
dengan mengkombinasikan antara komponen yang telah disusun dalam analisis
viii
SWOT baik internal factor (kekuatan dan kelemahan) maupun external factor
(peluang dan ancaman) terdiri dari 6 alternatif strategi kebijakan yang dapat
diimplementasikan. Penentuan urutan sasaran prioritas kebijakan dengan
mempertimbangkan unsur keterkaitan dalam setiap unsur SWOT. Nilai urutan
yang diperoleh dilakukan dengan merangking untuk mendapatkan skala prioritas.
Berikut penentuan sasaran proritas kebijakan pengelolaan seperti pada tabel 14.
Tabel 14. Penentuan sasaran prioritas kebijakan pengelolaan
Unsur SWOT/ Alternatif Kebijakan
Strategis dan Program
1. Revitalisasi sentra pengasapan
2. Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan untuk UKM sebagai upaya
perbaikan lingkungan
3. Pendampingan untuk kemitraan
4. Penerapan teknologi tepat guna untuk
meminimasi limbah
5. Kajian aspek lingkungan dalam bentuk
pemantauan lingkungan, sehingga
dampak negatif dapat teratasi
6. Penetapan Bandarharjo sebagai sentra
industri pengasapan ikan dengan
Peraturan Daerah
Keterkaitan
Bobot
Prioritas
S1,S2,S3,
O2,O4
S4
O1,O3
4.6
1
2.4
6
W1, W2,W3
O1,O3,O4
S1,S4
T2,T3
S4
T1,T2,T3
3.5
2
2.8
4
2,4
5
W4
T1, T2, T3
3.0
3
4.6.6. Kajian Dampak
Sebagai upaya untuk meminimalkan terjadinya dampak terhadap
lingkungan, dampak sosial, ekonomi dan budaya, maka pilihan kebijakan dalam
bentuk sasaran prioritas pengelolaan sentra industri pengasapan ikan harus
melalui kajian dampak. Kajian dampak harus dilakukan secara komprehesif
berkaitan dengan bentuk kegiatan yang dilakukan, sesuai dengan prosedur yang
telah ditetapkan dalam UKL/UPL. Kajian dampak dilakukan oleh Tim Penyusun
UKL/UPL agar menghasilkan dokumen UKL/UPL yang dapat memberikan
ganbaran tentang dampak besar dan penting yang mungkin terjadi dalam upaya
pengelolaan Sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan Bandarharjo.
ix
4.6.7. Pengambilan Keputusan.
Pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama antara Pemerintah
dan masyarakat dengan memperhatikan keinginan masyarakat. Pengambilan
keputusan dilakukan setelah kajian dampak terhadap beberapa pilihan kebijakan
tersebut menunjukan bahwa kegiatan yang menjadi sasaran prioritas layak dan
memenuhi syarat untuk dilaksanakan.
Masyarakat yang hidupnya bergantung pada sentra industri pengasapan
ikan merupakan komponen penting dalam menetapkan pengelolaan, karena
komunitas ini yang kesehariannya berada pada lokasi pengasapan.
Berdasarkan hasil analisa SWOT, diperoleh hasil sasaran strategis prioritas
kebijakan sebagai berikut :
1. Revitalisasi sentra pengasapan
Keberadaan sentra industri rumah tangga pengasapan ikan Bandarharjo
terbentuk karena adanya kebijakan peremajaan permukiman di kawasan
Bandarharjo. Kebijakan pengembangan sektor sosial dan ekonomi yang
dilakukan pemerintah kota Semarang diantaranya pemindahan atau penataan
kegiatan pengasapan ikan tersebut dari lingkungan perumahan ke lokasi
khusus pengasapan ikan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, fasilitas yang disediakan
meliputi penyediaan sarana prasarana yang ada tidak berfungsi sehingga
menambah kekumuhan di daerah tersebut dan berdampak pada penurunan
kualitas lingkungan.
Melihat gambaran diatas, perlu adanya upaya revitalisasi sentra
industri dengan penyediaan sarana prasarana yang sesuai dengan peraturan
perundangan yang ada. Misalnya :
-
Penyediaan air bersih sebagai bahan penolong dengan dibuat sumur dalam
dan distribusikan melalui pemipaan ke rumah-rumah pengasapan
-
Perbaikan
drainase
dengan
memperhatikan
ketinggian
dan
memperhitungkan letak sentra industri yang berada di daerah rob dan
banjir
x
-
Penyediaan pengolahan limbah (IPAL)
-
Perbaikan cerobong yang memperhatikan ketentuan untuk Pengendalian
Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak, yaitu ketinggian minimum 2 –
2,5 kali tinggi bangunan disekitarnya
Pada gambar 26, adalah salah satu contoh desain lay out rumah pengasapan
ikan yang mengakomodir sarana dan prasarana seperti yang tersebut diatas.
Rumah pengasapan sebaiknya memperhatikan ketinggian dan kemiringan
lahan. Sebaiknya berada diatas ketinggian rata-rata rob sehingga tidak
mencemari IPAL dan drainase. Hal tersebut akan berpengaruh pada
kelancaran aliran air limbah.
A
E
PIPA DISTRIBUSI AIR BERSIH
B
C
RA-1
RA-2
RA-3
RA-4
D
JALAN LINGKUNGAN
KALI SEMARANG
KETERANGAN:
A. MENARA AIR
B. CEROBONG ASAP
C. KONTAINER (LIMBAH PADAT)
D. INSTALASI IPAL
E. SUMUR DALAM
Gambar 27. Desain Tata Letak Pengasapan Ikan
2. Pendampingan untuk kemitraan
Pendampingan kepada masyarakat dengan mensosialisasikan peraturan
perundangan yang berkaitan dengan pengasapan ikan, teknologi tepat guna,
inovasi produk, manajemen mutu terpadu perikanan sebagai upaya
peningkatan kualitas produk, dalam hal ini ikan asap
xi
3. Penetapan sentra industri pengasapan ikan dengan Perda, sehingga ada
kepastian hukum untuk pengasap ikan dalam menempati ruang yang
disediakan. Hal ini akan berdampak pada kenyamanan bekerja dan kemajuan
usaha para pengasap, karena dengan adanya penetapan ruang para pengasap
akan lebih matang dalam memajukan usahanya. Misalnya, akan ada
kesempatan dari lembaga keuangan untuk membantu penguatan modal atau
masuknya investor yang berniat membantu dalam pemasaran produk mereka
4. Penerapan teknologi tepat guna untuk meminimasi limbah.
Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan
Perikanan melalui program PEMP, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir mempunyai suatu program pengembangan teknologi dan sistem
informasi sumberdaya kelautan dan perikanan yang salah satu kegiatannya
adalah menerapkan teknologi tepat guna. Hal ini dimaksudkan untuk memberi
nilai tambah produk yang dihasilkan.
Keuntungan yang didapat tidak hanya keuntungan finansial saja misalnya :
-
Keamanan konsumen;
-
Memelihara hubungan baik dengan lingkungan sekitar;
-
Meningkatkan akses permodalan;
-
Memperbaiki citra dan pangsa pasar;
-
Meningkatkan pengendalian biaya;
-
Konservasi energi dan bahan masukan;
-
Meningkatkan hubungan antara industri dan pemerintah.
5. Kajian aspek lingkungan dalam bentuk UKL /UPL, sehingga dampak negatif
dapat teratasi. Hal ini bisa mengurangi peristiwa yang menimbulkan biaya
gugatan (liability)
6. Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan untuk UKM sebagai upaya
perbaikan lingkungan
Urgensi penerapan sistem manajemen lingkungan dan keamanan
pangan merupakan sistem yang saling terkait. Pada produk-produk perikanan
keamanan produk untuk dikonsumsi di mulai dari penanganan, pengumpulan,
xii
pengangkutan, pengemasan, penyimpanan sampai pendistribusian. Hazard
Analysis Critical Control Point (HACCP), adalah suatu konsepsi manajemen
mutu yang diterapkan untuk memberikan jaminan mutu dari produk yang
diolah di unit pengolahan. HACCP ditujukan untuk memberikan perlindungan
kepada masyarakat dengan meningkatkan jaminan keamanan makanan (food
safety), mutu (wholesomenes) serta menghindari kemungkinan timbulnya
kerugian secara ekonomis (economic fraud).
Landasan sumber daya dan struktur organisasi dari perusahaan skala
kecil atau menengah (UKM) dapat mengakibatkan batas-batas kemampuan
tertentu dalam pelaksanaan sistem manajemen lingkungan. Untuk mengatasi
batas-batas kemampuan tersebut UKM dapat mempertimbangkan strategi
kerjasama dengan:
e. Mitra usaha dan pemasok yang lebih besar untuk berbagi teknologi dan
pengetahuan;
f. UKM lainnya dalam rantai pasokan (supply chain) atau lokasi setempat
untuk menentukan dan membahas isu-isu umum, berbagi pengalaman,
memfasilitasi pengembangan fasilitas teknik, menggunakan bersama
berbagai fasilitas secara bersama dan secara kolektif melibatkan berbagai
sumber daya dari luar;
g. Organisasi standar, asosiasi UKM, Kamar Dagang, untuk pelatihan dan
program-program kesadaran; dan
h. Perguruan tinggi serta pusat-pusat penelitian lainnya untuk mendukung
perbaikan produktivitas dan inovasi
Sehingga secara umum tujuan dari penerapan Sistem Manajemen Lingkungan
untuk mendukung perlindungan lingkungan dan pencegahan pencemaran yang
seimbang dengan kebutuhan sosial ekonomi di sentra industri rumah tangga
pengasapan ikan Bandarharjo dapat diterapkan.
xiii
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Komoditas ikan asap merupakan salah satu makanan khas yang menjadi
“icon” bagi Kota Semarang, sehingga untuk mempertahankan keberadaannya
diperlukan pemikiran khusus untuk semakin meningkatkan kualitas produk dan
memberikan keamanan bagi konsumen. Sentra industri rumah tangga pengasapan
ikan Bandarharjo
cukup menimbulkan banyak permasalahan lingkungan,
sehingga menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di sentra industri rumah
tangga pengasapan ikan Bandarharjo.
1. Penyebab penurunan kualitas lingkungan di Sentra Industri Rumah Tangga
Pengasapan disebabkan karena :
a. Infrastruktur
-
Tidak berfungsinya infrastruktur yang ada menyebabkan limbah yang
dihasilkan dari rumah pengasapan tidak bisa terkelola sehingga
memenuhi kriteria aman untuk dibuang.
-
Belum adanya sarana dan prasarana yang seharusnya ada dalam
industri pengolahan ikan.
b. Kondisi Fisik Lingkungan
-
Sentra industri terletak di daerah rob dan banjir sehingga di lingkungan
pengasapan selalu terlihat genangan dan becek
-
Berkaitan dengan kondisi geologis, lokasi pengasapan terletak di
daerah amblesan sehingga rawan untuk bangunan yang berdiri
diatasnya
c. Budaya Masyarakat
xiv
Tingkat pendidikan yang rendah dan kebiasaan hidup di lingkungan yang
kurang sehat menjadikan masyarakat juga berperilaku tidak sehat.
Misalnya, kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya.
2. Melihat fenomena diatas, perlu adanya suatu tata kelola yang baik untuk
membuat sentra pengasapan ikan yang memenuhi persyaratan industri
pengolahan hasil perikanan. Sistem Manajemen Lingkungan merupakan salah
satu solusi yang mungkin diterapkan walaupun memerlukan waktu yang
cukup lama.
Sehingga, secara umum tujuan dari penerapan Sistem
Manajemen Lingkungan untuk mendukung perlindungan lingkungan dan
pencegahan pencemaran yang sesuai dengan kebutuhan sosial ekonomi di
sentra industri rumah tangga pengasapan ikan Bandarharjo dapat diterapkan.
5.2. Rekomendasi
Dari beberapa hasil kesimpulan dan analisis yang telah dilakukan, maka
terdapat beberapa rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini
sebagai berikut:
a. Keberadaan Sentra Industri Rumah Tangga Pengasapan Ikan di Bandarharjo
perlu didukung dengan payung hukum yang jelas didukung dengan
penyediaan dan perbaikan infrastruktur yang baik
b. Kajian aspek lingkungan perlu dilakukan lebih mendalam dalam bentuk
pemantauan lingkungan, sehingga berbagai dampak negatif yang mungkin
timbul dapat dikurangi dan dihilangkan
c. Perlunya kajian lebih lanjut mengenai penggunaan teknologi tepat guna
sehingga dapat ditemukan suatu teknologi atau cara yang efektif untuk tetap
berproduksi dengan minimasi limbah produksi.
d. Perlu adanya pendekatan sosial yang baik dan pendampingan intensif baik
dalam bentuk sosialisasi, keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat
e. Memanfaatkan pertemuan rutin kelompok untuk memasyarakatkan peraturan,
perundang-undangan, teknologi, kesehatan, ekonomis maupun lingkungan
yang berkaitan dengan pengasapan ikan
xv
DAFTAR PUSTAKA
Arsiken, PT. 2007. Studi Kelayakan Pembangunan Sentra Pengasapan Ikan di
Kota Semarang
Bappeda Kota Semarang, RDTRK dan RTRW tahun 2000 – 2010
Bapedalda Kota Semarang. 2006. Sekilas Tentang Persoalan Pemanggangan Ikan
di Bandarharjo Kota Semarang
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. 2007. Profil PEMP Kota
Semarang
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. 2006. Laporan Tahunan
Dinas Perikanan. 1995. Teknik Pengolahan Hasil Perikanan
Ekawati, Puspaningdyah. 2004. Pemeriksaan Jumlah Staphylococcus Aureus Dan
Total Bakteri Pada Ikan Asap di Sentra Industri Pengasapan Ikan
Bandarharjo Semarang di Tingkat Produsen dan Penjual. FKM UNDIP
Elwina, Marcella S. 2006. Problematika Pengembangan Industri Pengasapan Ikan
( Studi Kasus Industri Pengasapan Ikan Bandarharjo, Semarang ). Seminar
Pengembangan Industri Pengasapan Ikan Bandarharjo : Profil,
Permasalahan, Peluang dan Tantangan. Semarang
Kabul, Aris. 2004. Pengembangan Cluster Industri Pulau-Pulau Kecil. Bulletin
P3K Vol. II No 06
Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Panduan Produksi Bersih dan Sistem
Manajemen Lingkungan Untuk Usaha/Industri Kecil dan Menengah
Ktut Wijayaka. 2000. Rancangan Model Penilaian Kinerja Program Manajemen
Mutu Terpadu Berdasarkan Konsepsi Hazard Analisis. Palembang
Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung
Putong, Iskandar. 2003. Teknik Pemanfaatan Analisis SWOT tanpa Skala Industri
(A-SWOT-TSI). Jurnal Ekonomi & Bisnis No. 2 Jilid 8
Pranowowati, Puji. 2007. Induksi Partikel Terhirup Dalam Asap Terhadap
Kapasitas Fungsi Paru Pada Pengrajin Pengasapan Ikan di Kelurahan
Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. STIKES Ngudi
Waluyo. Ungaran
xvi
Rangkuti, Fredy. 2006. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis.
Gramedia. Jakarta
Setyari, Ni Putu Wiwin. Dinamika Pengembangan UMKM Di Indonesia.
Denpasar
Soemarwoto Otto. 1997. Ekologi dan Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Jambatan. Jakarta
Sunu, Pramudya.2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001.
PT. Grasindo. Jakarta
UN-Habitat. 2002. Bandarharjo Housing, Urban Renewal and Community
Development Project
Wardhani, A Girindra. 2004. Dampak Pencemaran Udara dan Pencemaran Air
terhadap Kualitas Lingkungan Hunian di Semarang : Studi di Pusat
Pengasapan Ikan Bandarharjo. Lemlit UNIKA Soegijapranata
Beberapa peraturan perundangan yang terkait :
Badan Standardisasi Nasional. 2005. SNI 19-14004-2005, Sistem Manajemen
Lingkungan, Panduan Umum Tentang Prinsip, Sistem dan Teknik
Pendukung
Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01-4852-1998 Sistem Analisa Bahaya
dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) Serta Pedoman Penerapannya
Bapedal. 1996. Keputusan No. KEP-205/BAPEDAL/07/1996 Tentang Pedoman
Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak,
Lampiran III tentang Persyaratan cerobong
Menteri Kelautan dan Perikanan. 2002. SK No. Kep. 01/Men/2002 Tentang
Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan
Menteri Pekerjaan Umum. 1993. Permen PU No. 63/PRT/1993 Tentang Garis
Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai,
dan Bekas Sungai
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 2007. Permen No.
26/Per/M.Kukm/Vi/2007 Tentang Pedoman Teknis Bantuan Perkuatan
untuk Teknologi Produksi Bersih dan Teknologi Tepat Guna Bagi Sentra
Usaha Kecil dan Menengah
Menteri Tenaga Kerja. 1997. Surat Edaran No. SE-01/MEN/1997 tentang Nilai
Ambang Batas
xvii
Download